texture, art & culture journal

KAJIAN VISUAL HINGGI DAN LAU UNTUK UPACARA KEMATIAN SUKU

Rr Ashri Eka Rizki Program Studi Kriya Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret, Surakarta Email: [email protected] Theresia Widyastuti Program Studi Kriya Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret, Surakarta Email: [email protected]

ABSTRACT

Hinggi and lau are Sumba’s traditional sheet (Kain Sumba) used for ceremonial purposes, one of them is funeral. Hinggi and lau containts its own story that describe Sumba. This research is consisted of following topics : (1) How hinggi and lau’s motive are related to Sumba culture? (2) How hinggi and lau’s visual representation appear on funeral. The approach of this qualitative research utilize the Culture Theory purposed by Clliford Greetz. Research was conducted in Sumba. Focusing on the analysis of Kain Sumba especially hinggi and lau for funeral as one of tangible heritage of Sumba’s people, that can be read, studied and comprehended. Hinggi and lau considered sacred and contais the philosophy that describe the Cyrcle of Death, has the extra virtue of respect to the ancestors and also as a symbolic representation of traditional faith.The result of this research is to describe how hinggi and lau are related to the culture of Sumba people, in faith, social and tribal life of Sumba people. Also as visual description of hinggi and lau for funeral which consisted of animal shapes such as horde, chicken, tau (human), shrimp and snake. Keywords: Sumba Sheet, Hinggi, Lau, Funeral, Culture Theory

ABSTRAK

Hinggi dan lau merupakan Kain Sumba yang digunakan dalam berbagai upacara, salah satunya dalam upacara kematian. Di dalam hinggi dan lau mengandung cerita tersendiri yang menggambarkan Sumba. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu: (1) Bagaimana keterkaitan motif hinggi dan lau dengan budaya Sumba? (2) Bagaimana visual dari hinggi dan lau untuk upacara kematian.Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan Teori Kebudaya milik Clifford Greetz. Lokasi penelitian dilakukan di Sumba. Berfokus pada analisis Kain Sumba khususnya hinggi dan lau untuk upacara kematian sebagai salah satu hasil kebudayaan dari masyarakat Sumba dapat dibaca untuk memahami budaya masyarakat Sumba. Hinggi dan lau untuk upacara kematian dianggap sakral dan memiliki makna filosofis yang menceritakan mengenai daur kematian, memiliki nilai lebih sebagai wujud penghormatan kepada leluhur serta sebagai wujud simbolis bagi kepercayaan adat.Hasil dari penelitian ini adalah penjelasan mengenai kaitan motif pada hinggi dan lau dengan budaya masyarkat Sumba dalam hal kepercayaan, adat serta sosial dalam tatanan hidup masyarakat Sumba, gambaran dan penjelasan akan visual dari kain hinggi dan lau untuk upacara kematian yang meliputi bentuk kuda, ayam, tau (manusia), udang, dan ular. Kata Kunci: Kain Sumba, Hinggi, Lau, Upacara Kematian, Teori Kebudayaan

118 Volume 3 No.2 Desember 2020 Rr. Ashri Eka R, Theresia Widyastuti : Kajian Visual Hinggi dan Lau untuk Upacara Kematian Suku Sumba

PENDAHULUAN Motif dalam hinggi dan lau yang dipakai dalam upacara kematian memiliki makna tersendiri Suku Sumba atau biasa disebut dengan yang menceritakan daur kematian. sebutan “Orang Sumba” (Tau Humba) Kain Sumba hinggi dan lau telah merupakan suku yang mendiami Pulau Sumba. banyak dibahas melalui penelitian-penelitian Orang Sumba dikenal sebagai suku yang sebelumnya. Salah satunya membahas memiliki beragam kekayaan budaya. Dalam dinamika kain Sumba di dalam masyarakat kebudayaan Sumba terdapat warisan budaya Sumba khususnya dalam aspek struktural yang berupa kain tradisi yang biasa disebut oleh mengandung tiga prinsip yakni ciri antagonisme penduduk lokal dengan sebutan kain Sumba, kosmologis yang bertepatan dengan klasifikasi dibuat dengan cara ditenun menggunakan Alat kosmos yang membedakan adanya alam Tenun Gendong. Teknik tenun yang digunakan atas, alam tengah, dan alam bawah, atau atas dalam pembuatan kain Sumba adalah tenun klasifikasi atam atas dan kombinasi antara ikat. alam tengah dengan alam bawah (Soeriadirejo, Proses pembuatan kain Sumba dikerjakan 2013). secara manual dari menyiapkan bahan dasar Kain Sumba khususnya hinggi dan lau hingga menjadi kain. Kegiatan menenun di untuk upacara kematian sebagai salah satu Sumba telah menjadi sebuah tradisi yang ada hasil kebudayaan dari masyarakat Sumba dapat dalam masyarakat Sumba, kain Sumba ditenun dibaca untuk memahami budaya masyarakat oleh para perempuan Sumba. Keahlian membuat Sumba. Kedua jenis kain ini dianggap sakral dan kain Sumba telah mereka peroleh secara turun- memiliki makna filosofis yang menceritakan temurun.Sampai saat ini, kegiatan menenun mengenai daur hidup, khususnya untuk masih dilaksana di setiap rumah penduduk. kematian, memiliki nilai lebih sebagai wujud Terdapat beberapa macam kain Sumba penghormatan kepada leluhur serta sebagai yakni yang dibuat dengan cara tenun ikat dan wujud simbolis bagi kepercayaan adat, serta dibuat dengan cara tenun songket. Salah satu berbeda dengan hinggi dan lau yang dipakai kain Sumba merupakan bagian terpenting dalam untuk dengan keperluan-keperluan lainnya. kehidupan Orang Sumba adalah hinggi dan lau. Oleh karena itu kain hinggi dan lau untuk Hinggi merupakan busana adat yang wajib upacara kematian ini menarik untuk ditelaah. digunakan oleh para pria Sumba, sedangkan Metode Penelitian lau atau sarung merupakan busana adat bagi para perempuan Sumba. Hinggi dan lau selain Penelitian ini menggunakan metode dipakai untuk sehari-hari juga digunakan pada deskriptif kualitatif, khususnya dalam mengkaji upacara dalam kebudayaan masyarakat Sumba. Kain Sumba hinggi dan lau untuk upacara kematian. Metode kualitatif adalah multimetode Hinggi dan lau memiliki beragam jenis dalam fokus, termasuk pendekatan interpretatif motif hewan yang ada di sekitar tempat tinggal dan naturalistik terhadap pokok persoalannya. Orang Sumba, seperti kuda, ayam dan udang. Ini berarti peneliti kualitatif melakukan kajian Setiap motif yang ada dalam kain Sumba segala sesuatu dalam latar alamiahnya, berusaha tersebut mengandung berbagai cerita yang untuk memahami atau menginterpretasi berbeda untuk menggambarkan daur kehidupan fenomena dalam hal makna-makna yang orang- mereka. Salah satu yang menarik untuk orang berikan pada fenomena tersebut. (Denzin dikaji dari kain Sumba adalah hinggi dan lau & Lincoln, 1994 dalam Creswell, 1998: 15). yang digunakan pada saat upacara kematian. Penggunaan hinggi dan lau dalam upacara Penelitian kualitatif pada dasarnya kematian memiliki peranan yang cukup penting. merupakan suatu proses penyelidikan, yang mirip dengan pekerjaan detektif (Miles,

119 texture, art & culture journal

1992). Tujuan utama memakai metodologi aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan kualitatif adalah menangkap proses untuk berhubungan secara kontinu dengan sesamanya. menemukan makna. Langkah pendekatannya Wujud kebudayaan ini bersifat konkret, menggunakan teori kebudayaan milik Clifford bisa difoto, dan bisa dilihat. Upacara kematian Greetz, Kain Sumba merupakan suatu hasil dari melibatkan suatu aktivitas kontinu dari individu produk budaya Sumba yang mewakili suatu anggota masyarakat yang berpola dan bisa kebudayaan, sehingga dapat diterjemahkan diamati secara langsung. Upacara kematian untuk mengetahui kaitannya dengan bertujuan untuk meminta pertolongan kepada kebudayaan Sumba. para , para leluhur yang didewakan, Strategi dalam metode penelitian meliputi agar arwah diberi kemudahan (bantuan) saat metode yang digunakan untuk mengumpulkan menuju ke Parai Marapu. dan menganalisa data, dengan kata lain, Pada dasar masyarakat Sumba memiliki pemilihan strategi yang menjelaskan bagaimana suatu pandangan tersendiri mengenai kematian, tujuan penelitian yang akan dicapai dan juga mereka percaya bahwa di kehidupan setelah mati berbagai masalah yang dihadapi didalam arwah akan menjalani hidup layaknya mereka penelitian akan dikaji dan dipecahkan untuk menjalani kehidupan di dunia ini. Pandangan dipahami. Strategi penelitian ini mengacu pada tersebut menyebabkan masyarakat Sumba akan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang membekali jenazah dengan berbagai keperluan bertujuan untuk melaporkan apa adanya hasil sebagai bekal dalam kehidupan sesudah mati penelitian yang dilakukan (Sutopo, 2002: 123 nantinya. & 142). Kepercayaan akan hidup dan mati PEMBAHASAN Kepercayaan mengenai hidup dan mati sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Upacara Kematian Suku Sumba Sumba. Dalam masyarakat Sumba berkembang Sudah menjadi suatu tradisi dalam anggapan akan adanya kehidupan setelah mati budaya Sumba untuk mengadakan berbagai yang serupa dengan kehidupan sekarang yang upacara, seperti upacara kelahiran, upacara dijalani ini. Bagi mereka dunia dibagi atas tiga panen, upacara pernikahan (belis) dan upacara dunia yakni dunia atas, dunia tengah dan dunia kematian (panguburan). Upacara kematian bawah. Dunia tengah merupakan alam nyata atau dalam bahasa Sumba disebut dengan yang tidak kekal dan dunia atas serta dunia upacara panguburan merupakan sebuah bawah merupakan alam gaib dimana adanya aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh kehidupan kekal abadi. Masyarakat Sumba sebagai salah satu dari Bagi masyarakat Sumba manusia hidup dan tiga wujud kebudayaan. Dalam pandangan mati telah ditentukan oleh pencipta. Kematian Masyarakat Sumba kematian merupakan salah merupakan daur hidup dimana beralihnya satu masa kritis dari siklus daur hidup manusia, dari dunia nyata menuju ke alam gaib. Setelah merupakan daur hidup yang pasti akan dilewati mati roh akan menuju kembali ke pencipta. setiap manusia. Keberadaan manusia untuk sampai kembali ke Masyarakat Sumba percaya bahwa perlu pencipta menuju Parai Marapu setelah mati diadakannya sebuah upacara khusus yang bergantung kepada apa yang telah dilakukannya diharapkan dapat mempermudah jalan bagi di dunia. arwah menuju Parai Marapu (surga), oleh Upacara kematian dilakukan untuk karena itu Masyarakat Sumba akan mengadakan membantu arwah menuju Parai Marapu dan upacara kematian. Sistem ini terdiri atas meminta pertolongan kepada para marapu.

120 Volume 3 No.2 Desember 2020 Rr. Ashri Eka R, Theresia Widyastuti : Kajian Visual Hinggi dan Lau untuk Upacara Kematian Suku Sumba

Para roh yang telah menghuni Parai Marapu mereka saat menghadapi berbagai kesulitan. tersebut yang dikatakan sebagai marapu yang Atas dasar-dasar tersebut maka diadakan didewakan oleh masyarakat Sumba. berbagai upacara seperti upacara kematian Makna Upacara Kematian bagi Suku Sumba yang merupakan salah satu cara berkomunikasi yang bertujuan untuk meminta pertolongan Upacara kematian sangat erat kaitannya kepada marapu. Dalam melaksanakan upacara dalam perihal kepercayaan di Sumba, yakni kematian terdapat beberapa aspek penting yang berkaitan dengan marapu. Marapu merupakan perlu diperhatikan yakni mengenai waktu, bagian penting bagi masyarakat Sumba, tempat dan benda atau alat yang digunakan ajarannya telah lekat dan mendarah daging dalam upacara. Dalam menentukan aspek-spek di tengah kehidupan masyarakat Sumba. ersebut juga akan mempengaruhi kelancaran Masyarakat Sumba sangat menghormati jalannya upacara kematian. leluhurnya, kepercayaan mereka didasari oleh rasa cinta kasih dan ketidakberdayaan kepada Aspek dalam Upacara Kematian Suku leluhur sehingga timbul rasa hormat kepada Sumba leluhur. Masyarakat Sumba memiliki waktu-waktu Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal tertentu untuk menjalankan suatu kegiatan, salah mula permasalahan fungsi kepercayaan (religi) satunya upacara kematian. Dalam menentukan dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan waktu tertentu mereka menggunakan sebuah mengapa manusia percaya kepada adanya perhitungan berdasarkan kelipatan dua. Waktu suatu kekuatan gaib atau supranatural yang yang ditentukan tidak hanya berupa kapan dianggap lebih tinggi daripada manusia dan upacara akan dilaksanakan namun juga tentang mengapa manusia itu melakukan berbagai cara menentukan berapa lama upacara tersebut untuk berkomunikasi dan mencari hubungan- dilaksanakan. Adapun hitugan tersebut terbagi hubungan dengan kekuatan-kekuatan atas: empat (2 x 2), delapan (2 x 4), dan enam supranatural tersebut. Setelah kematian, roh belas (2 x 8). (Soeriadirejo, 2016:28). dianggap abadi, dan “hidup” dalam keseharian Dalam setiap kabihu di Sumba memiliki manusia. Meskipun tidak terlihat, roh dapat tempat yang dinamakan balai besar, berada dirasakan pengaruh dan kekuatannya, misalnya dalam lingkungan tempat tinggal suatu kabihu. melalui bencana alam maupun gagal panen Di sanalah tempat dimana berbagai upacara dan yang dianggap ditimbulkan karena kelalaian berbagai kegiatan lainnya dilakukan, termasuk memuja roh nenek moyang tersebut. di dalamnya tempat bagi upacara kematian Kepercayaan terhadap roh juga berlangsung. Dalam upacara kematian jenazah menimbulkan pemujaan terhadap benda- akan disemayamkan di dalam lingkungan benda fetis, yaitu benda-benda keramat (jimat) tempat tinggal masyarakat Sumba, seperti di yang dianggap didiami roh atau dianggap halaman rumah mereka. mengandung daya magis (Dhavamony, Terdapat benda-benda yang digunakan 1995:68). Dalam upacara kematian di Sumba dalam upacara kematian yang penting benda-benda kramat selalu disiapkan untuk keberadaannya bagi keberlangsungan jalannya melengkapi jalannya upacara, jika salah satu upacara. Benda terebut merupakan pusaka yang dari benda tersebut tidak ada mereka percaya keberadaannya wajib ada didalam jalannya akan timbulnya mala petaka dan ketidak upacara, termasuk saat diadakannya upacara beruntungan. Masyarakat Sumba sangat kematian. Benda tersebut disebut dengan tanggu mendewakan leluhurnya, mereka percaya marapu yang terdiri atas perhiasan yang terbuat bahwa kekuatan para marapu dapat menolong dari emas atau perak yakni mamuli, kanataru,

121 texture, art & culture journal lamba dan nggedingu. Selain itu terdapat sistem gagasan, tindakan dan hasil karya anamongu yakni gong yang dipakai untuk manusia dalam rangka kehidupan masyarakat mengiringi jalannya upacara serta terdapat kain yang dijadikan milik diri manusia dengan adat Sumba hinggi dan lau. belajar. Sebagai hasil budaya Sumba hinggi dan lau dapat mencerminkan pandangan Kain Sumba Hinggi dan Lau untuk Upacara masyarakat Sumba akan semesta. Hinggi dan Kematian lau untuk upacara kematian mengambil peran Salah satu benda yang digunakan di saat yang penting baik dalam kehidupan sehari-hari upacara kematian adalah Kain Sumba yakni maupun dalam upacara tertentu. hinggi dan lau. Bentuk rasa cinta kasih dan Dalam memahami sebuah kebudayaan hormat dituangkan kedalam Kain Sumba. maka setiap unsur kebudayaan dibagi menjadi Dalam motif kematian sebagai wujud meminta tiga kategori wujud kebudayaan, yaitu sistem pertolongan kepada marapu. Secara umum ide, aktivitas, dan artefak. Dalam kebudayaan kehadiran hinggi dan lau dapat diartikan Sumba misalnya wujud sistem ide di dalam sebagai bentuk (lambang) dari kehadiran arwah, sistem keyakinan hidup atau kepercayaan kainnya sendiri pun memuat cerita tentang adalah konsep mengenai Pencipta, dewa-dewa daur kematian. Bentuk yang dikandungnya (marapu), kehidupan setelah mati dan roh-roh. pun diambil dari objek yang memiliki nilai Wujud kebudayaan berupa aktivitas dalam filosofi dalam kebudayaan masyarakat Sumba. sistem keagamaan seperi diadakannya upacara Dalam membuat motif, penenun menuangkan kematian (panguburan), sedangkan wujud jalan cerita di hinggi dan lau dengan berhati- material atau fisik dari sistem kepercayaan hati, proses penenunan hinggi dan lau juga terdiri atas Kain Sumba (hinggi dan lau), perak dianggap sebagai ‘perjalanan’ religi bagi para dan lain sebagainya. penenunnya.oleh karenanya walau memuat Motif yang terkandung dalam hinggi dan cerita yang sama motif yang dihasilkan dapat lau untuk upacara kematian merupakan motif berbeda pada setiap kainnya, tergantung dari tradisi yang terdiri atas bentuk-bentuk yang bagiamana pengalaman sang penenun. diambil dari objek yang dianggap suci oleh Makna hinggi dan lau menjadi semakin masyarakat Sumba. Anggapan tersebut tak lepas mendalam takala dikaitkan dengan suatu kaitannya dengan kepercayaan yang dianut kepercayaan yang sakral. Kajian antropologi oleh masyarakat Sumba yang di dalamnya dalam memahami unsur kepercayaan (religi) mengandung emosi keagamaan. Binatang, sebagai kebudayaan manusia tidak dapat tumbuhan dan bentuk manusia yang dianggap dipisahkan dari religious emotion atau emosi suci karena memiliki kaitan dengan marapu. keagamaan. Emosi keagamaan adalah perasaan dalam diri manusia yang mendorongnya Peran Hinggi dan Lau untuk Upacara melakukan tindakan-tindakan yang bersifat Kematian religius. Emosi keagamaan ini pula yang memunculkan konsepsi mengenai benda- Dalam suatu masyarakat pakaian adat benda yang dianggap sakral dan profan dalam menjadi bagian dari tradisi atau adat istiadat kehidupan manusia. Kain Sumba menjadi salah yang berfungsi sebagai simbol-simbol budaya satu benda yang dianggap sakral di Sumba. tertentu yang merepresentasikan adat istiadat dan nilai-nilai suku bangsa tersebut. Kegunaan Hinggi dan lau untuk upacara kematian hinggi dan lau untuk upacara kematian tidak merupakan hasil produk dari kebudayaan sebatas pakaian adat yang wajib digunakan Sumba. Kebudayaan atau budaya menurut namun juga sebagai pelengkap dalam Koentjaraningrat merupakan keseluruhan berlangsungnya upacara kematian, yakni

122 Volume 3 No.2 Desember 2020 Rr. Ashri Eka R, Theresia Widyastuti : Kajian Visual Hinggi dan Lau untuk Upacara Kematian Suku Sumba sebagai kain pembungkus jenazah dan bekal Perubahan dari unsur budaya Sumba yang kubur. berasal dari budaya lain merupakan usaha untuk Hal tersebut didasari dari keyakinan hidup sesuai dengan zaman konstelasi dunia masyarakat Sumba akan kehidupan setelah (Koentjaraningrat). Oleh karena itu masyarakat mati. Selain itu hinggi dan lau dapat menjadi Sumba menyesuaikan diri dengan situasi zaman simbol kehadiran arwah, dalam pandangan artinya pemakaian hingi dan lau untuk upacara tersebut masyarakat Sumba percaya bahwa kematian akan turut berubah. Kain Sumba dapat mewakili kehadiran arwah- Pengaruh dalam hal kepercayaan memiliki arwah sehingga dalam setiap kesempatan dampak yang cukup besar dalam tatanan hidup khusus (upacara adat, upacara kepercayaan, masyarakat Sumba. Penduduk di Sumba pun hari besar) Kain Sumba akan turut dihadirkan. sebagian besar telah menganut kepercayaan lain Kebudayaan di Sumba telah mengikuti di luar Marapu. Hingga saat ini orang-orang yang perkembangan zaman. Sudah menjadi sebuah menganut kepercayaan Marapu masih bertahan tradisi menggunakan hinggi dan lau untuk dalam kelompok-kelompok hidup yang ada di upacara kematian tanpa menghilangkan nilai- Sumba dan masih diterima dengan baik oleh nilai penting dalam hinggi dan lau. Nilai- masyarakat Sumba. Meski bukan lagi menjadi nilai filosofis tetap dipertahankan walaupun mayoritas dalam masyarakat Sumba, “Orang kebanyakan dari masyarakat Sumba sudah tidak Marapu” tetap diterima dengan baik dan tetap mengimani merapu. Mereka masih menganggap dapat menjalankan segala kegiatannya. bahwa marapu sebagai leluhur harus dihormati Menurut Geertz, secara umum proses dan sebagai anak-cucu merupakan sebuah rasionalisasi agama telah menimbulkan kewajiban untuk menjaga tradisi yang ada. guncangan yang keras terhadap dasar-dasar Motif-motif tradisi masih dipertahankan tatanan sosial masyarakat (Greezt : p.127 dalam dan digunakan dalam upacara kematian. Wirajati, 2018). Saat ini, berbagai kegiatan Upacara kematian tetap menggunakan hinggi yang selama ini telah ada bagi sebagian dan lau dalam pelaksanaan kegiatannya. Motif masyarakat Sumba yang telah memeluk hinggi dan lau kematian mengandung cerita kepercayaan tertentu dianggap sebagai tradisi tentang daur kematian yang disimbolkan dengan perlu dilestarikan agar budaya yang ada tetap menggunakan bentuk-bentuk yang diambil terjaga. dari sekitar tempat tinggal masyarakat Sumba Prosesi dalam berbagai upacara dilakukan dan berasal anggapan-angaapan yang memang dengan berbagai penyesuaian. Beberapa dianggap sakral. Penggunaan motif kematian penyesuain tersebut juga mempengaruhi dilakukan sebagai wujud penghormatan penggunaan hinggi dan lau dan pemaknaannya. dan untuk mengenang para marapu tanpa Penggunaan hinggi dan lau sebagai pakaian menghilangkan nilai-nilai filosofisnya. Makna- adat telah mengikuti perkembangan zaman, makna yang dihasilkan oleh motif dari hinggi hal yang paling mencolok terletak pada paduan dan lau tersebut merupakan salah satu wujud hinggi dan lau dengan baju atasan terutama dari masyarakat Sumba melihat semesta. bagi perempuan Sumba karena sudah tidak bertelanjang dada. Hinggi dan Lau untuk Upacara Kematian di Pakaian yang digunakan seperti blous, Era Sekarang kaos, kemeja dan kebaya dipadukan dengan Seiring berkembangnya zaman suku lau untuk upacara kematian serta tak lupa Sumba telah turut mendapat pengaruh dari menggunakan muti (aksesoris berupa perhiasan berbagai kebudayaan dari luar Pulau Sumba, dari batu berwarna oranye) sebagai tanda salah satunya di dalam hal kepercayaan. sebagai masyarakat aSumba. Selain itu terdapat

123 texture, art & culture journal dijadikan pul sebagai jas atau gaun, kebanyakan ada di Sumba, termasuk didalamnya hasil yang digunakan adalah Kain Sumba Tenun produk budaya Sumba berupa artefak seperti Ikat Kombu. Salah satu contoh lain yakni hinggi dan lau untuk upacara kematin. menggunakan hinggi atau lau tidak dengan menyelimutkannya kepada jenazah tetapi Pola Desain dengan cara menjadikan hinggi dan lau sebagai Bagi hinggi dan lau untuk upacara penutup peti jenazah. kematian pada dasarnya memiliki pola desain Masyarakat Sumba dapat menyesuaikannya yang sama yakni dibagi atas tiga bagian sama antara adat dengan kepercayaan mereka halnya dengan hinggi dan lau yang digunakan sekarang sehingga menciptakan variasi baru untuk upacara atau kegiatan lainnya, yang dalam menjalankan kegiatan upacara kematian membedakan adalah bentuk atau objek yang Sumba. Perubahan yang ada dapat diterima terkandung didalam motif kematian. Bentuk- dengan baik dalam lingkungan masyarakat bentuk tersebut merupakan salah satu dari cara Sumba dan dapat dijalankan dengan baik pula. mereka berkomunikasi yakni sebagai ungkapan Pada dasarnya walaupun dikenal memiliki ekspresi jiwa masyarakat terhadap kebudayaan perwatakan yang tergolong keras, masyarakat mereka. Sumba memiliki rasa toleransi yang tinggi Baik hinggi maupun lau untuk kematian sehingga dapat menerima berbagai perubahan memiliki makna dan pesan yang sama. Dalam yang ada tanpa meninggalkan ajaran leluhurnya. penampilannya tentunya memiliki sedikit perbedaan, Hal ini dipengaruhi oleh fungsi dari Visual Hinggi dan Lau untuk Upacara kain tersebut, hinggi berguna sebagai selimut Kematian dan lau berguna sebagai sarung. Pola desain Motif yang dikandung dalam hinggi dan pada kedua kain tersebut memiliki hubungan lau untuk kematian menceritakan mengenai yang erat dengan kepercayaan setempat. Dapat daur hidup kematian, menggunakan bentuk- dikatakan bahwa pola desain tersebut selaras bentuk tertentu yang diambil dari sekitar tempat dengan pola pikir masyarakat terhadap sistem tinggal mereka dan menjadikannya simbol religi (kepercayaan) mereka, yaitu keyakinan penghormatan terhadap para marapu. Mereka mereka akan adanya keberadaan mereka mengamati dan mempelajari bentuk-bentuk (manusia) dengan pencipta dan para dewa tersebut lalu memaknainya. Kebanyakan (marapu). bentuk yang mereka ambil berasal dari hewan Motif dalam lau tidaklah serumit hinggi, namun selain itu juga terdapat motif selain umumnya komposisi lau memiliki motif yang dari hewan seperti bentuk manusia (tau) yang lebih sederhana. Lau pada bidang atasnya tidak menggambarkan sosok masyarakat Sumba terdapat motif atau ada namun hanya terdapat sendiri. motif garis-garis sedangkan pada hinggi pada Motif kematian terdiri atas beberapa bentuk bagian atas dan bawah motifnya memiliki pola hewan yakni` kuda, ayam, udang, ular yang yang simetris dan bercermin.Pada bagian pusat dianggap suci oleh karenanya motif kematian hinggi da lau akan diisi dengan motif seperti termasuk ke dalam motif adat yang tidak boleh bentuk binatang, manusia dan tumbuhan dipakai sembarangan. Hewan-hewan tersebut kemudian untuk lau bagian bawah pada memiliki arti penting bagi masyarakat Sumba umumnya akan diberi berbagai hiasan dari dalam hal daur kematian terutama berhubungan sulam maupun dari songket, serta hiasan-hiasan dengan marapu dan kehidupan setelah mati. tambahan lainnya. Pandangan masyarakat Sumba akan hal-hal tersebut turut membangun kebudayaan yang

124 Volume 3 No.2 Desember 2020 Rr. Ashri Eka R, Theresia Widyastuti : Kajian Visual Hinggi dan Lau untuk Upacara Kematian Suku Sumba

Makna Hinggi dan Lau untuk Upacara Kuda Kematian Kuda merupakan salah satu binatang yang Secara garis besar motif yang ada pada dianggap suci dan menjadi kebanggaan bagi hinggi dan lau menggambarkan budaya di dalam masyarakat Sumba. Bagi masyarakat Sumba, masyarakat Sumba, menjadikan hinggi dan kuda merupakan lambang dari kebangsawanan, lau memiliki keterkaitan erat dengan budaya kegagahan dan keagungan. Kuda menjadi tolak masyarakat Sumba. Kain tradisi tersebut memuat ukur bagi status sosial di Sumba. beragam cerita mengenai berbagai hal yang terjadi Pada umumnya bentuk kuda pada Kain di Sumba, kisah para marapu, cerita mengenai Sumba diperuntukan untuk laki-laki, hal daur hidup dan anggapan-anggapan yang ada di ini dikarenakan laki-laki dianggap sebagai dalam masyarakat Sumba. pemimpin dan pelindung bagi keluarganya. Menurut rumusan Geertz berusaha untuk Dijadikannya kuda sebagai lambang bagi laki- menafsirkan simbol-simbol yang muncul dalam laki menunjukan bahwa masyarakat Sumba perilaku keseharian yang dipraktekan oleh mencoba berkomunikasi melalui Kain Sumba. kelompok masyarakat tertentu dalam lingkungan Dari anggapan itu pula dapat dilihat bahwa dan konteks historis tertentu (Greezt dalam dalam tatanan hidup masyarakat Sumba Wirajati, 2018). Dalam menggambarkan daur memegang prinsip patriaki, dimana pemimpin kematian salah satu cara bagi masyarakat Sumba yang bertanggung jawab dalam suatu rumah menuangkannya dengan cara menceritakan ke tangga merupakan laki-laki. dalam motif pada hinggi dan lau. Masyarakat Sumba berusaha unuk berkomunikasi melalui motif kematian. Motif tersebut memiliki makna tersendiri bagi Masyarakat Sumba, tidak sembarang bentuk dapat dimasukan kedalam motif hinggi dan lau. Beberapa contoh bentuk yang ada dalam hinggi dan lau untuk upacara kematian seperti bentuk ayam, kuda dan udang. Bentuk tersebut diambil dari sekitar lingkungan hidup Masyarakat Sumba, yang kemudian di gambarkan dalam Kain Sumba. Objek-objek tersebut dianggap suci dan memiliki arti khusus bagi Masyarakat Sumba. Masyarakat Sumba mengamati objek- objek tersebut, mempelajarinya kemudian dimaknai dalam kehidupan sehari-harinya. Adapun makna setiap objek tersebut berkaitan Gambar 1. Motif Kuda (Foto: Ashri Eka Rizki, 2019) erat dengan kebudayaan dan pandangan mereka akan kehidupan. Anggapan mengenai sesuau Kuda juga memiliki makna khusus dalam yang suci tersebut merupakan sebuah gagasan marapu, kuda merupakan tunggangan bagi para yang terbangun dalam masyarakat Sumba dan marapu yang turut menemani para marapu di menciptakan berbagai tatanan hidup yang ada dunia selanjutnya. Masyarakat Sumba percaya di Sumba. Gagasan atau ide sistem ide bersifat bahwa kuda akan turut menemani para merapu sangat abstrak, tidak bisa diraba atau difoto dan seperti saat masih di dunia dahulu. Bagi orang terdapat dalam alam pikiran individu penganut yang baru saja meninggal saat akan di kebumikan kebudayaan tersebut.

125 texture, art & culture journal maka kuda terbaik atau kuda kesayangan Hal ini berasal dari perilaku ayam yang selalu yang mereka miliki akan turut dikorbankan berjalan di depan yang diikuti oleh anak-anaknya, untuk menemani arwah menuju perjalanan ke yang dapat menandakan bahwa orang tua akan Parai Marapu. Di dunia selanjutnya arwah akan memimpin, membimbing dan menjadi akan bertemu dengan para marapu yang akan panutan bagi anak-anaknya. Ayam pun diadaptasi membantu (menuntun dan menjaga) arwah- kedalam motif Kain Sumba untuk melambangkan arwah tersebut menuju pencipta. hal tersebut Oleh karena itu dalam setiap hinggi Ayam yang digambarkan sebagai motif tradisi dengan motif tradisi akan terdapat bentuk adalah ayam jantan dengan ciri terdapat ekor kuda, termasuk pada hinggi yang digunakan dalam jumlah tertentu, biasanya dengan jumlah untuk upacara kematian. Hal ini mencerminkan ganjil antara 3 atau 5 garis. Ayam dianggap sebagai bahwa kuda merupakan bagian penting dalam hewan yang memiliki kekuatan magis, bulu-bulu kebudayaan Sumba, mereka percaya bahwa ayam jantan dianggap mempunyai kekuatan kuda yang merupakan simbol dari keagungan untuk menolak bahaya dan dapat memayungi dan kegagahan yang akan menemani dan arwah seseorang dalam perjalanannya menuju menjaga mereka (para arwah) untuk melakukan Parai Marapu. perjalanan menuju Parai Marapu. Hal Bentuk ayam pun tidak hanya muncul dalam ini menunjukan keselarasan antara sistem kain Sumba untuk kematian saja. Makna bagi kepercayaan yang ada pada suatu budaya kain yang diperuntukan untuk upacara kematian berlaku juga di Sumba. sama seperti makna bagi motif lainnya yakni sebagai hewan yang dianggap suci dan dijaga Ayam oleh masyarakat Sumba.

Dalam kebudayaan Sumba ayam jantan Udang akan dipelihara secara khusus untuk disiapkan sebagai binatang kurban dalam upacara adat Udang dalam kebudayaan Sumba dapat marapu. Keseharian perempuan Sumba selain diartikan sebagai lambang dari kesatuan dan mengurus rumah tangga dan menenun adalah persaudaraan, hal ini dikarenakan udang memiliki dengan memelihara ayam dan babi untuk suatu kebiasaan berjalan beriring-iringan. kebutuhan hidup, sehingga ayam erat kaitannya Karena itu masyarakat Sumba melihat lalu dengan sebagai lambang kehidupan perempuan. memaknainya sedemikian rupa. Bentuk udang juga dapat dijumpai dalam hinggi dan lau untuk upacara kematian di Sumba. Salah satu alasan kuat dijadikannya ke dalam motif untuk upacara kematian didasari oleh kepercayaan masyarakat Sumba akan kehidupan setelah mati, anggapan tersebut hingga saat ini masih banyak diyakini oleh masyarakat Sumba. Dalam salah satu pepatah Sumba mengatakan “Njulu La Kura Luku, Halubu La Mandu Mara” yang berarti menjelma seperti udang, mengelupas seperti ular darat. Pepatah tersebut dapat diartikan sebagai kepercayaan masyarakat Sumba akan Gambar 2. Motif Ayam dibalik kematian akan ada kehidupan baru yakni (Foto: Ashri Eka Rizki, 2019) pengharapan akan hidup kekal atau terjadinya Ayam memiliki makna sebagai lambang dari kehidupan baru yang berbeda dari kehidupan kesadaran, kekuatan dan kehidupan perempuan. yang telah dijalani sekarang ini (renkarnasi)

126 Volume 3 No.2 Desember 2020 Rr. Ashri Eka R, Theresia Widyastuti : Kajian Visual Hinggi dan Lau untuk Upacara Kematian Suku Sumba

dibalik kematian ada kehidupan baru yang kekal atau kehidupan baru yang berbeda. Anggapan tersebut merupakan sebuah gagasan yang terbangun dalam masyarakat Sumba yang merupakan salah satu dari wujud budaya. Kemudian gagasan tersebut direalisasikan dengan diwujudkan kedalam motif Kain Sumba, yakni menjadi suatu wujud kebudayaan berupa artefak.

Manusia Masyarakat Sumba sebagai suku yang memiliki kepercayaan menunjukan bahwa mereka percaya akan adanya kekuatan gaib yang lebih dari mereka. Unsur budaya yang bersifat universal menunjukan bahwa dapat Gambar 3. Motif Udang digunakan untuk mempelajari Masyarakat (Sumber: http://www.gerainusantara.com/) Sumba. Kepercayaan sebagai salah satu unsur budaya terlihat sangat berpengaruh dalam Ular kehidupan mereka, kemudian anggapan- Mandu atau ular di dalam budaya anggapan yang muncul dalam masyarakat Sumba merupakan sebuah simbol dari sifat (gagasan) dikomunikasikan menggunakan kesombongan, keangkuhan juga merupakan berbagai media. simbol dari watak manusia yang suka berbelit- belit, penuh amarah, pendendam, selalu mencari kesempatan untuk mengalahkan lawan- lawannya. Biasanya dalam motif kematian, jika terdapat bentuk udang maka akan terdapat bentuk ular.

Gambar 4. Motif Ular (Sumber: Textiles of Southeast Asia 2003) Gambar 5. Motif Manusia Makna lain dari mandu adalah sebagai (Sumber: Textiles of Southeast Asia 2003) simbol bergantinya kehidupan, berasal dari kebiasaan ular yang berganti kulit. Bentuk Salah satunya dengan menggunakan mandu kemudian diadaptasi ke dalam motif hinggi dan lau. Bentuk tau (manusia) dalam hinggi dan lau untuk upacara kematian. motif dalam kain hinggi dan lau digambarkan Anggapan masyarakat Sumba mengenai mandu sebagai manusia dengan bentuk yang juga berangkat dari pepatah yang sama dengan sederhana, dianggap memiliki fungsi sebagai udang yakni terkandung dalam pepatah “Njulu penolak perkara buruk seperti kejahatan, roh- La Kura Luku, Halubu La Mandu Mara”, roh jahat dan mengandung makna tetntang

127 texture, art & culture journal kesaktian. Bentuk tau jika digambarkan sebagai DAFTAR PUSTAKA manusia yang sedang telanjang dikenal dengan nama anatau. Anatau dapat melambangkan Adams, M. 1972. Classic and Eccentric sebuah kepolosan, kesendirian, ketakutan Elementsin East Sumba Textiles: dan kemiskinan, namun anatau juga memiliki A Field Report. Washington D.C: makna lain bahwa manusia dihadapan pencipta Textile Museum. tidak ada yang disembunyikan, manusia adalah Holmgren, Robert J dan E Spertus, Anita. bagian dari alam semesta dan karenanya 1989. Early Indonesian Textiles From manusia harus menjaga keseimbangan alam. Three Island Cultures. New York : Sehingga anatau dalam hinggi dan lau untuk The Metropolitan Museum of Art upacara kematian dapat diartikan sebagai posisi Kapita, Oemboe Hina. 1976. Masyarakat manusia di hadapan sang pencipta. Sumba dan Adat Istiadatnya. Waingapu: Panitia Penerbit Naskah- KESIMPULAN naskah Kebudayaan Daerah Sumba, Hinggi dan lau memiliki keterkaitan yang GKS. kuat dengan masyarakat Sumba, merupakan Maxwell, Robyn. 2003. Textiles of Southeast pakaian adat Sumba yang penggunaannya Asia. Jakarta: PT Books tidak sebatas itu saja. Dalam upacara kematian hinggi dan lau dapat berperan sebagai pakaian Soeriadiredja, Purwadi. 2013. “Dinamika Kain adat, bekal kubur dan pembungkus jenazah. Tenun Tradisional Sumba” dalam Ketiga peran tersebut saling berkaitan dengan Tenun Ikat Sumba: Warisan Budaya pandangan Orang Sumba akan semesta dan yang menembus Zaman. Jakarta: sangat berkaitan erat dengan tatanan hidup di Museum Tekstil Jakarta Sumba. Secara umum Orang Sumba percaya akan , Purwadi. 2016. Tatanan Hidup kekuasaan pencipta, mereka percaya untuk Orang Sumba. Denpasar: Fakultas mencapai pencipta perlu bantuan dari marapu. Ilmu Budaya Universitas Udayana Atas dasar cinta kasih dan hormat pada marapu, Denpasar. Orang Sumba menuangkannya ke dalam motif- Solihin, Lukman. 2013. Mengantar Arwah motif kain Sumba, salah satunya pada hinggi Jenazah Ke Parai Marapu: Upacara dan lau untuk upacara kematian. Hinggi dan Kubur Batu Pada Masyarakat lau untuk upacara kematian memiliki makna Umalulu, Sumba Timur. Jakarta: tersendiri dan dianggap sebagai sesuatu yang Pusat Penelitian dan Pengembangan sakral (daur kematian). Kebudayaan Tak sembarang bentuk dapat dimasukan ke Van Hout, Itie. 1999. Indonesian Weaving dalam motif untuk upacara kematian. Bentuk- Between Heaven and Earth: Religious bentuk tersebut berasal dari binatang, tumbuhan Implication of Birds Motifs on dan manusia yang ada di sekitar lingkungan Textiles. Amsterdam: Royal Tropical hidup Orang Sumba. Mereka mengamati dan Institut. mempelajari berbagai objek tersebut yang kemudian dimaknai oleh mereka. Adapun bentuk yang diambil untuk dijadikan motif hinggi dan lau untuk upacara kematian adalah kuda, ayam, manusia, udang dan ular.

128 Volume 3 No.2 Desember 2020