Pros. SemNas. Peningkatan Mutu Pendidikan E-ISSN: 2745-5297 Volume 1, Nomor 1, Janauri 2020 Halaman 24 - 32

Pemanfaatan folklor asal usul Kota sebagai media pendidikan perdamaian

Mufti Riyani1, Ramazan1, Novi Triana Habsari2, dan Durrotun Nafisah3 1)Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Samudra, Langsa, 2)Universitas PGRI Madiun, Jl. Setiabudi No.85, Kanigoro, Kota Madiun, Jawa Timur, Indonesia 63118 3)STKIP PGRI Lamongan, Jl. Sunan Kalijogo, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Indonesia 62214

Email: [email protected]

ABSTRAK

Pasca tercapainya MoU Helsinki, pembangunan perdamaian menjadi hal pokok dalam proses transmisi dan konsolidasi masyarakat . Folklor asal usul Kota Langsa memiliki kandungan nilai kearifan lokal yang potensial untuk dikembangkan dan diselaraskan dengan 12 nilai perdamaian. Nilai tersebut terdiri dari; menerima diri sendiri, menghindari prasangka buruk, pengertian dan sikap menghargai keragaman etnis, perbedaan agama, perbedaan jenis kelamin, status sosial, dan perbedaan kelompok. Selain itu dalam upaya membangun jalan menunju perdamaian maka perlu memahami adanya keragaman, memahami konflik, membangun sikap menolak kekerasan, serta kerelaan untuk memulai mengakui kesalahan, dan kerelaan untuk memberi maaf. Melalui analisis konten, penelitian ini menunjukan jejaring nilai kearifan lokal dalam Folklor Asal Usul Kota Langsa dengan nilai pendidikan perdamaian yang relevan. Hasilnya meskipun tidak keseluruhan nilai perdamaian dapat dijejaringkan namun dapat direkomendasikan sebagai media pendidikan perdamaian. Bentuknya dapat diterapkan melalui pembalajaran di sekolah khususnya di Langsa dan Aceh pada umumnya.

Kata kunci : folklor, langsa, media, nilai perdamaian, pendidikan perdamaian

ABSTRACT

After the Helsinki Agreement, peacebuilding became a staple in the process of transmission and consolidation of Acehnese society. Folklor's origin of Langsa city has a potential value of local wisdom to be developed and aligned with the 12 values of peace. The value consists of; Accepting oneself, avoiding bad prejudice, understanding and attitudes respecting ethnic diversity, religious differences, gender differences, social status, and group differences. In addition to the effort to build a way of peace, it is necessary to understand the diversity, understand the conflict, build an attitude of resisting violence, and willingness to initiate confessing mistakes, and willingness to apologize. Through the analysis of content, this research shows the network of local wisdom value in Folklor origins of Langsa city with the relevant value of peace education. The result though is not the overall value of peace can be broken but can be recommended as a medium of peace education. The form can be applied through the schools, especially in Langsa and Aceh in general.

Keywords: folklore, Langsa, medium, value of peace, education of peace

Riyani et al. Pemanfaatan Folklor Asal Usul Kota Langsa

1. PENDAHULUAN Strategi ini merupakan implementasi aktivitas yang mampu mempromosikan pengetahuan, keterampilan Sebelum Tahun 2005, Aceh telah mengalami 2 dan sikap membantu orang lain. Baik bersifat kali kegagalan kesepakatan damai dengan pemerintah pencegahan terhadap terjadinya konflik, resolusi Indonesia. Lima putaran tawar-menawar yang sulit konflik secara damai, maupun menciptakan kondisi antara bulan Januari dan Juli tahun 2005 akhirnya sosial yang kondusif untuk perdamaian. Pendidikan menghasilkan MoU Helsinki (Aspinall, E. 2005; perdamaian dapat membantu untuk memutus rantai Morfit, M.2007). Kesepakatan damai ini menjadi konflik. Sukendar (2011) menyebut bahwa harapan baru bagi masyarakat Aceh untuk pendidikan perdamaian membantu para siswa memperoleh kehidupan yang jauh lebih nyaman menjadi individu-individu yang terbebas dari (Sukma, R. 2012). Namun demikian, tercapainya dendam, mampu bersikap toleran, mencintai kesepakatan damai melalui MoU Helsinki bukan perdamaian dan menghindari kekerasan. berarti upaya untuk menjaga kedamaian terhenti. Nilai internal dalam masyarakat postkonflik dapat Tercapainya MoU Helsinki merupakan fase dimanfaatkan untuk Pendidikan Perdamaian. Folklor pertama dari proses perdamaian. Dalam proses terhubung dengan konsep kepercayaan, identitas, perdamaian dikenal dua fase besar, yakni resolusi budaya dan signifikasi. Folklor merupakan salah satu konflik dan pembangunan perdamaian atau media pendidikan yang mengandung nilai potensial Peacebuilding. Masing-masing fase terdiri dari berupa nilai sosial dan budaya (Gloriani 2016; beberapa etape. Resolusi konflik sendiri terdiri dari Puspitasari 2012; Sukmana 2018). Nilai-nilai tersebut upaya negosiasi dan penghentian perselisihan, sedang dapat diselaraskan dengan nilai-nilai pendidikan pembangunan perdamaian terdiri dari masa transisi perdamaian seperti yang dirumuskan oleh Erik dan konsolidasi (Ball 1996 dalam Sugito 2015). Lincoln dan Irfan Amalee (Lincoln dan Amalee Pembangunan perdamaian merupakan pekerjaan 2010; Kasriadi 2018; Darmawan 2019). serius pasca tercapainya resolusi konflik di Aceh. Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis Meskipun perdamaian yang bersifat stabil jarang nilai-nilai dalam kearifan lokal asal usul Kota Langsa terjadi karena beberapa faktor, namun Pembangunan yang dapat diselaraskan dengan 12 nilai dasar perdamaian yang dilakukan tetap harus bersifat pendidikan perdamaian yang diajukan Erik Lincoln komprehensif dan multiaspek. Hal ini berguna untuk dan Irfan Amalee. Dipilihnya Folklor asal usul Kota menghindari terjadinya konflik berulang. Miall Langsa sebagai fokus dalam kajian ini dilatar (2000) menyebut bahwa potensi konflik yang bersifat belakangi oleh beberapa hal yang unik dan paradoks. laten masih ada dalam proses transformasi konflik Pertama, Langsa merupakan salah satu daerah yang khususnya pada konflik yang sifatnya asimetris. Oleh paling plural di wilayah Aceh. Oleh sebab itu selain sebab itu pada masyarakat postkonflik diperlukan memiliki kemungkinan nilai folklor yang terbentuk upaya pembangunan perdamaian yang berkelanjutan. atas dasar keragaman, Langsa juga menyimpan Dalam proses perdamaian yang panjang, potensi clash yang lebih besar akibat keragaman itu peacebuilding mengarah pada upaya untuk sendiri. Kedua, Langsa berdasarkan kajian terdahulu memperbaiki kondisi-kondisi masyarakat postkonflik (Czaika dan Kis-Katos 2009) merupakan wilayah yang rentan terhadap perdaimaian. Peacebuilding yang cukup kondusif dimasa konflik sehingga dapat sebagai suatu konsep, mendapatkan banyak definisi. dijadikan role model bagi wilayah lainnya. Bekas Sekjen PBB, Boutros-Ghali, mendefinisikannya sebagai tindakan untuk mengidentifikasi dan mendukung struktur-struktur 2. METODE PENELITIAN yang akan memperkuat dan mempererat perdamaian Penelitian dilakukan sesuai dengan locus supaya dapat menghindari terjadinya konflik kembali penelitian yakni di Kota Langsa, Provinsi Aceh. (An Agenda for Peace, 1995 dalam Sugito 2015). Objek penelitian ini berupa legenda atau dongeng Sayangnya, Pembangunan perdamaian Aceh yang dan mite yang terkait dengan asal usul Kota Langsa selama ini dilakukan masih terfokus pada proses dalam berbagai versi. Penelitian ini menggunakan pembentukan perdamaian dengan imlementasi pendekatan kualitatif dengan desain deskriptif. praksis. Tujuannya berupa perubahan sosial melalui Pendekatan kualitatif digunakan dengan tujuan untuk rekonstruksi politik (Ansori et al. 2015); Zainal mendokumentasikan berbagai versi cerita rakyat asal 2013; Rozi 2016; Kimbal, A. 2016; Usman, U., & usul Kota Langsa yang berkembang di tengah Megawati 2017; Hasyim 2018), ekonomi (Martanto masyarakatnya. Dalam melakukan penelitian 2009) dan sosial (Tjoetra 2018). digunakan teknik wawancara mendalam, pengamatan Pembangunan perdamaian idealnya bukan hanya terlibat, pencatatan dan perekaman ketika bersifat kuratif seperti yang telah banyak dilakukan. pengambilan data. Dalam penelitian kualitatif, Pilihan untuk menjadikan pendidikan sebagai upaya peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain preventif layak dipertimbangkan. Pendidikan merupakan instrumen utama dalam pengumpulan perdamaian lebih diorientasikan untuk menciptakan data (Moleong 2013). Kedudukan peneliti sebagai masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan. human instrument yakni bertugas sebagai

26 Pros. SemNas. Peningkatan Mutu Pendidikan, 1(1): 24-32, Januari 2020

pengumpul, penafsir, pengembang, penganalisis, folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan sekaligus sebagai pelapor data hasil temuan. folklor bukan lisan (non verbal folklore). Ketiganya Subjek penelitian ini adalah penutur/masyarakat/ memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan tokoh masyarakat serta para tetua gampoeng atau manusia (Endraswara 2009). sesepuh desa. Penentuan subjek penelitian didasarkan Istilah folklor dalam keseharian sering dikaitkan atas keyakinan bahwa subjek yang dituju mengenal dengan cerita rakyat yang dituturkan secara lisan dan dan memahami Folklor yang dimaksud. Data bersifat turun temurun. Hal ini disebabkan salah penelitian ini berupa tuturan lisan oleh penutur yang satunya oleh pendefinisian yang ada dalam kamus telah direkam. Selanjutnya dari tuturan lisan tersebut besar bahasa indonesia. Kamus Besar Bahasa didokumentasikan melalu kegiatan penulisan kembali Indonesia (2008) mengartikan folklor sebagai adat- dalam bentuk synopsis. Selain itu dilakukan pula istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan penyertaan dokumentasi lain seperti lokasi penelitian, secara turun-temurun, tetapi tidak dibukukan. dan daftar folklor lisan yang telah didapatkan. Folklor asal-usul kota Langsa memiliki berbagai Sumber data penelitian adalah tuturan asli para versi. hal ini disebabkan oleh sifat folklor yang narasumber dan informan. Setelah melakukan mengalami pewarisan turun temurun secara lisan pengategorian, teknik analisis data yang dilakukan sehingga rentan terjadi interpolasi (Wardhani 2017; adalah menyiapkan data berupa hasil rekaman, Munir 2018; Sukmasara dan Setiari 2019). membuat garis besar kerangka isi cerita atau sinopsis Interpolasi yang sering terjadi yakni berupa dengan tidak mengesampingkan ide asli cerita dan perubahan, pengembangan maupun penyimpangan. pesan moral yang ingin disampaikan, menuliskan Namun yang perlu dipahami bahwa interpolasi nilai-nilai yang menjadi wujud Local Knowledge tersebut tidak serta merta meninggalkan kesamaan untuk mewujudkan pendidikan perdamaian dan dalam pola dasarnya. membuat kesimpulan. Berkembangnya berbagai versi cerita rakyat asal usul kota Langsa pada dasarnya dapat menjadi 3. HASIL DAN PEMBAHASAN indikator apresiasi dan dinamisnya masyarakat. Apresiasi tersebut tertuju pada sejarah kesenian dan Folklor merupakan serapan dari bahasa Inggris budaya khusunya seni sastra dalam masyarakat folklore. Fang (dalam Zaini 2017) menyatakan bahwa pendukungnya. Folklor asal usul Kota Langsa amat folklor sebagai tradisi lisan. Ruang lingkup folklor berhubungan dengan kondisi geografisnya. Dalam menurut Fang mencakup bidang yang cukup luas, beberapa kajian, folkor dikaitkan dengan wawasan seperti cerita rakyat, ungkapan tradisional, geo-space dan geo-culture (Nurwicaksono 2013) peribahasa, nyanyian, tarian, sajak, adat resam, berikut akan disajikan peta Kota Langsa yang dapat undang-undang, dan teka-teki permainan (games). menjadi gambaran dari beberapa versi folklor asal- Jan Harold Brunvard (dalam Danandjaja, 1997) usul Kota Langsa. membagi lebih detail cakupan tersebut dalam tiga golongan besar, yakni folklor lisan (verbal folklore),

Gambar 1. Peta Administratif Kota Langsa Sumber: https://infonusa.wordpress.com/2015/04/17/Kota-Langsa/

Riyani et al. Pemanfaatan Folklor Asal Usul Kota Langsa 27

Dari hasil penelusuran di lapangan, di dapati menamakan wilayah baru tersebut dengan ada delapan versi folklor asal usul Kota Langsa kata Langsa. yang berkembang di masyarakat sebagai 3. Versi ketiga, di sekitar Langsa ada dua berikut. buah alur yakni Lueng Sa (Gampong Sungai Lueng, Kec. Langsa Timur) dan 1. Folklor versi pertama. Langsa sendiri Lueng Dua (Gampong Alur Dua, Kec. sudah ada pada abad ke 15. Pada abad Langsa Baro). Disebutkan pada masa itu tersebut diceritakan ada seorang Pangeran Langsa hanyalah sebuah kerajaan kecil dari Kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat dan dengan persetujuan Ulee Balang, yang berlayar melalui selat Malaka dan Belanda membuka lahan perkebunan karet berlabuh di sekitar wilayah yang kini di wilayah Langsa, Julok dan Pulo Tiga. disebut Titi Kembar (Sungai Lueng, angsa Dengan dibukanya lahan pertanian, Timur). Pangeran itu membuka hutan Belanda mengirimkan Transmigran dari belantara yang berada di daerah tersebut pulau Jawa untuk bekerja di perusahaan untuk dijadikan lahan pemukiman dan karet ini. Kemungkinan dengan masuknya perdagangan. Pada saat yang sama suku Jawa dan perubahan wilayah ini, datanglah seekor burung elang besar yang pengucapan kata Lueng Sa perlahan berputar-putar di wilayah tersebut. Secara menjadi kata Langsar setelah itu menjadi harfiah, kata Langsa berasal dari gabungan Langsa. Perkebunan karet ini sekarang kata Elang dan Sa (penyebutan angka satu telah menjadi PT. Perkebunan Nusantara I dalam bahasa Aceh) menjadi ELangsa. yang berkantor di Kota Langsa (Ponidi Jika kata tersebut secara cepat diucapkan Sanjaya dalam Siregar 2017). akan terdengar seperti Langsa (Dr. Alwi 4. Versi keempat, Langsa pada masa lalu Isfahan dalam Siregar 2017). Tempat direncanakan oleh Kolonial Belanda untuk berlabuh tersebut pernah menjadi salah dibangun dengan memakai master plan satu pelabuhan yang ramai dengan seperti Kota Bogor, sehingga Kota ini aktivitas perdagangan hasil laut. Saat ini merupakan satu-satunya Kota dengan masih digunakan untuk sandar kapal bentuk tata ruang awal yang relatif sangat nelayan dan menghubungkan dengan baik di Aceh. Langsa sendiri dimasa awal peabuhan-pelabuhan kecil di Aceh berdirinya telah diperuntukan suatu lahan Tamiang. Jika diamati, cerita rakyat ini di Gampong Paya Bujok Seulemak untuk banyak kemiripan dengan sejarah asal-usul dijadikan suatu kawasan seperti Kebun Kota Langsa, khususnya mengenai Raya Bogor, yang sekarang dinamakan keberadaan dinasti Pagaruyung sebagai Hutan Kota Langsa (Hutan Lindung). pembangun Kota (Menelusuri Jejak 5. Versi kelima, disebutkan nama Kota Sejarah Langsa 2014). Langsa sendiri berasal dari salah satu 2. Versi kedua, cerita ini berasal dari mulut burung, yang konon burung tersebut ke mulut. Disebutkan bahwa pada masa memiliki ukuran besar. Burung itu datang lalu terdapat dua buah kerajaan di ke salah satu wilayah di daerah Langsa. Ia sekitaran Langsa. Adapun kedua kerajaan membuat sarangnya di salah satu pohon tersebut adalah Kerajaan Elang yang yang terletak di Lapangan Merdeka Kota berada di sekitaran Kuala Idi di kawasan Langsa. Hingga kini dipercayai Aceh Timur dan Kerajaan Angsa yang bahwasannya sarang burung tersebut berada di kawasan Aceh Tamiang. Suatu masih ada pada salah satu pohon yang ketika kedua kerajaan tersebut mengalami berada di lapangan merdeka Kota Langsa. krisis makanan. Mereka terpaksa untuk 6. Versi keenam, disebutkan dulu Kota mencari sumber makanan di kawasan lain. Langsa ini merupakan wilayah yang Langsa pada saat itu merupakan kawasan sangat lapang dan luas, wilayah Langsa yang masih memiliki sumber makanan dahulu belum memiliki perumahan- yang berlimpah, khususnya di daerah perumahan warga saat ditemukan daerah sekitar Kuala Langsa. Maka terjadilah ini. Daerah ini hanya memiliki ladang atau peperangan antara kedua kerajaan tersebut kebun tanaman yang sangat luas. Kata untuk memperebutkan wilayah tersebut. Langsa sendiri berawal saat ditemukan Setelah peperangan berakhir, kedua daerah ini yakni Lhang Sa dalam pimpinan dari kerajaan tersebut sepakat penyebutan bahasa Aceh yakni satu daerah untuk membagi wilayah ini dengan yang luas dan lapang (Drs. H. Mursyidin, pembagian lima hari untuk wilayah Budiman, Ketua Majelis Adat Aceh Kota Kerajaan Angsa dan dua hari untuk Langsa, Wawancara tanggal 13 Mei Kerajaan Elang. Mereka sepakat untuk 2019).

28 Pros. SemNas. Peningkatan Mutu Pendidikan, 1(1): 24-32, Januari 2020

7. Versi ketujuh dari folklor asal usul Kota plural. Nama Langsa bahkan dalam salah satu Langsa yakni, disebutkan dahulu Langsa versi diambil dari pengucapan masyarakat migran dijadikan sebagai Pos Komando Militer yang kurang cakap menyebutkan kata dalam Elang satu, beberapa posko muncul di bahasa setempat. Dengan demikian hal ini daerah Langsa. Sehingga pada saat menjadi indikasi bahwa masyarakat setempat melaporkan suatu hal, posko Elang Satu sebagai masyarakat asli memahami perbedaan disingkat menjadi Lang Sa, yakni elang etnis dan menjauhkan diri dari sikap satu, dan sekarang menjadi Langsa (Ratna berprasangka buruk pada masyarakat pendatang. Dewi, S.Pd, Kabid Kebudayaan Disdik Kota Langsa, wawancara tanggal 17 Juni 2. Pemahaman Terhadap Konflik dan Proses 2019 ). Perdamaian 8. Versi kedelapan yakni Langsa berasal dari kata ‘Langsir’ yang bermakna tempat Pertempuran antara kerajaan elang dan angsa memindah atau transit (barang). Dulu yang disebutkan dalam salah satu versi berakhir Langsa merupakan salah satu daerah yang dengan kesepakatan damai dan persatuan untuk dijadikan tempat transit barang dari luar membangun kerajaan bersama. Dalam versi ini Kota melalui pelabuhan yang ada di Kota nilai dasar perdamaian seperti memahami konflik Kota Langsa (Racmadsyah, S.Pd.,M.Pd, sebagai aspek perkembangan, memilih berdamai wawancara). dan menolak kekerasan. Proses perdamaian antara kerajaan Elang dan kerajaan Angsa tentu dapat Interpolasi yang terjadi dalam folklor asal usul terjadi jika kedua belah pihak dapat mengakui Kota Langsa dalam perspektif ilmu pada dasarnya kesalahan dan sama-sama berbesar hati untuk menunjukan kecerdasan dan pengetahuan lokal atau memberi maaf. indogenous knowledge. Yakni, mencerminkan gagasan tradisional masyarakat untuk hidup selaras Dua kesadaran utama ini merupakan modal untuk dengan diri mereka sendiri dengan alam dan membangun 12 nilai dasar perdamaian yang kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup yang dapat dikembangkan dalam pendidikan perdamaian. Erik mereka temukan dan dipetik oleh komunitas lincoln dan irfan Amalee dalam Modul Peace masyarakat lainnya (Bar-On 2015). Indigeneous Generation: 12 Nilai Dasar Perdamaian (Lincoln, knowledge merupakan bentuk kearifan lokal yang dan Amalee 2010).) Merumusakan 12 nilai dasar dapat dimanfaatkan untuk menanamkan karakter perdamaian sebagai berikut : dan pemahaman multikulturalisme (Fajarini 2014; 1. Menerima diri (proud to be me) Amirin 2012) yang juga diperlukan dalam pendidikan perdamaian. 2. Prasangka (no suspicion no prejudice) 3. Perbedaan etnis (different culture but still Wagiran (2012) menjelaskan bahwa kearifan friends) lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan 4. Perbedaan agama (different faiths but not sebagai kebijakan setempat (local wisdom), enemies) pengetahuan setempat (local knowledge) atau 5. Perbedaan jenis kelamin (male and female kecerdasan setempat (local genius). Kearifan lokal both are human) juga dapat dimaknai sebuah pemikiran hidup. 6. Perbedaan status ekonomi (rich but not Pemikiran tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang proud, poor but not embarrassed) baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal 7. Perbedaan kelompok atau geng (gentlemen dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, don’t need to be gangsters) perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan 8. Keanekaragaman (the beauty of diversity) anjuran untuk memuliakan manusia. Penguasaan atas 9. Konflik (conflict can help you grow) kearifan lokal akan mengusung jiwa mereka semakin 10. Menolak kekerasan (use your brain not your berbudi luhur. Berdasarkan berbagai versi folklor brawn) asal usul Kota Langsa dapat diambil beberapa nilai 11. Mengakui kesalahan (not too proud to admit yang mencerminkan local wisdom dan local genius mistakes) masyarakatnya. Nilai yang paling utama berupa 12. Memberi maaf (don’t be stingy when kesadaran terhadap: forgiving others) 1. Peran Migran dalam Pembentukan Kota Dari ke-12 nilai dasar perdamaian diatas intinya adalah berdamai dengan diri, memahami hambatan Pada beberapa versi di atas menggambarkan menjaga perdamaian, dan jalan menuju perdamaian. bahwa migran yang datang ke Langsa memiliki Penerima dirinya sendiri, pendidikan perdamaian andil cukup besar dan tidak dipungkiri oleh memberikan bimbingan untuk mengindari prasangka masyarakatnya. Migran dari kerajaan buruk, perlu dibangun pengertian dan sikap yang Pagaruyuang, migran dari Jawa dan wilayah lain meng-hargai keragaman etnis, perbedaan agama, turut mewarnai folklor asal usul Kota Langsa. perbedaan jenis kelamin, status sosial seperti kaya Kondisi ini menunjukan bahwa masyarakat miskin, dan perbedaan kelompok, dalam upaya Langsa menerima diri sebagai masyarakat yang membangun jalan menunju perdamaian maka murid

Riyani et al. Pemanfaatan Folklor Asal Usul Kota Langsa 29 perlu memahami adanya keragaman, memahami Maka dalam konteks pembangunan perdamaian konflik, membangun sikap menolak kekerasan, di Aceh, Pendidikan Perdamaian dapat diarahkan adanya kerelaan untuk memulai mengakui kesalahan, pada aktivitas merubah mindset peserta didik dan kerelaan untuk memberi maaf. Secara terhadap narasi konflik, stereotipe yang muncul konseptual, jejaring antara nilai dasar perdamaian akibat konflik dan aktor-aktor yang terlibat dan nilai dalam folklor Kota Langsa disajikan dalam disalamnya. Berikutnya yakni membekali Tabel 1. ketrampilan bersikap pada siswa sesuai 12 nilai dasar Pendidikan perdamaian yang diterapkan dapat perdamaian serta terus mendorong promosi budaya diarahkan pada diformulasi dari beberapa aktivitas. damai. Mengutip persetujuan Sukendar (2011:275-276) Secara tidak disadari, nilai-nilai dalam folklor terhadap pendapat Gabriel Solomon. Ia asal usul Kota Langsa sebenarnya telah menunjukan menyimpulkan bahwa aktivitas pendidikan memiliki potensinya dalam kehidupan masyarakat Aceh empat kategori, antara lain: (1) pendidikan damai Postkonflik. Meskipun belum seperti yang yang semata-mata dilakukan sebagai ‘aktivitas diharapkan, Langsa masih dapat dinilai sebagai perubahan mindset’; (2) pendidikan damai yang wilayah yang relatif kondusif dibanding dengan semata-mata dilakukan sebagai ‘penanaman wilayah lainnya. Hal ini dapat diamati melalui data seperangkat kecakapan atau skill’; (3) pendidikan konflik yang dirilis oleh Kesbangpolinmas Aceh damai sebagai ‘promosi hak asasi manusia, serta (4) tahun 2017 mengenai konflik di Aceh Tahun 2016 pendidikan damai sebagai aktivitas pengelolaan (Tabel 2). lingkungan hidup, pelucutan senjata dan promosi budaya damai.

Tabel 1. Keserasian Nilai Dasar Perdamaian dan Nilai dalam Folklor

12 Nilai Dasar Perdamaian Nilai dalam Folklor Penerimaan Diri Langsa sebagai masyarakat plural, peran migran dalam pembetukan Kota Prasangka Keterbukaan dan penerimaan terhadap migran, baik untuk kepentingan ekonomi, perdagangan Perbedaan Etnis Langsa merupakan wilayah yang multietnis sejak pendiriannya Perbedaan Agama Perbedaan Etnis membawa serta perbedaan agama yang tidak menjadi penghalang perdamaian Perbedaan Jenis Kelamin Tidak disebutkan secara jelas dalam folklor mengenai peran gender, namun didalamya juga tidak mengandung bias gender Perbedaan Status Ekonomi Status migran sebagai pekerja perkebunan, migran dari latar belakang kerajaan dan kebiasaan berdagang/melaut masyarakat setempat menunjukan perbedaan status ekonomi yang disadari sebagai kewajaran Perbedaan Kelompok Perbedaan kelompok (etnis maupun status sosial dan ekonomi) tidak menjadkan masyarakat tersegmentasi dan saling serang Keanekaragaman Prinsip beauty of diversity telah menjadi bagian dari identitas Kota Langsa Konflik Kemampuan mengelola konflik ditunjukan dalam folklor pada beberapa versi Menolak Kekerasan Kehadiran migran tidak ditanggapi dengan kekerasan begitupula perselisihan antara kerajaan Elang dan Angsa tidak dibiarkan berlarut-larut dalam konflik kekerasan Mengakui Kesalahan Dalam proses perdamaian, mengakui kesalahan merupakan itikad untuk memperbaiki keadaan Memberi Maaf Perdamaian akan dimulai dengan saling memebri maaf sehingga terjadi kesepakatan atau kesepemahaman Sumber: diolah oleh peneliti

30 Pros. SemNas. Peningkatan Mutu Pendidikan, 1(1): 24-32, Januari 2020

Tabel 2. Konflik Aceh yang terjadi Tahun 2016

Sumber: Kesbangpolinmas Aceh, 2017 (dalam Putra et al. 2018)

Pentingnya diskusi ini membuktikan pandangan jangka panjang dapat memutus siklus konflik di bahwa pendidikan merupakan salah satu pilar utama Aceh. Analisis potensi serupa dapat pula dilakukan bagi transformasi dalam masyarakat postkonflik. pada wilayah-wilayah lain di Aceh. Penulis Pendidikan bertugas menjadi media transformasi meyakini, setiap lokalitas memiliki potensi Folklor nilai-nilai dan pembentukan karakter. Demikian pula yang dapat didorong untuk kepentingan-kepentingan nilai-nilai dan budaya damai. didaktis, sehinga tidak menutup kemungkinan penelitian serupa diterapkan pada wilayah lain di 4. SIMPULAN Aceh. Folklor asal-usul Kota Langsa potensial untuk 5. UCAPAN TERIMAKASIH dijadikan wahana pendidikan Perdamaian. Nilai-nilai didalamya dapat diselaraskan dengan nilai-nilai dasar Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada LPPM perdamaian seperti yang diajukan oleh Erik Lincoln & PM Universitas Samudra yang telah membiayai dan Amalee. 2 Nilai kesadaran utama yang mampu penelitian ini melalui skema Penelitian Dosen Muda mendorong nilai Perdamian adalah kesadaran dimana Tahun 2019. Rekan-rekan diskusi dari berbagai Langsa dibangun bersama identitas pluralnya afiliasi yang tergabung sebagai Mahasiswa Doktoral bersama kaum migran yang multietnis, bahkan ras IPS Universitas Negeri Semarang. Informan dan dan agama. Kesadaran kedua yakni kesadaran akan narasumber, khususnya Majelis Adat Aceh dan konflik yang bersifat membangun dan proses jajarannya, Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan perdamaian yang mencakup fase-fase dalam proses Kebudayaan Kota Langsa, Kepala Pustaka Kota perdamian. Perbedaan versi sebagai interpolasi Langsa, Bapak Rachmadsyah, S.Pd., M.Pd selaku menunjukan kekayaan khasanah Knowledge senior dan rekan diskusi. indigenous dan bukan berarti pengaburan pada versi asli atau non asli. Jika serius dikembangkan dalam kebijakan pendidikan di daerah setempat. Langsa dapat menjadi model Pendidikan Perdamaian yang

Riyani et al. Pemanfaatan Folklor Asal Usul Kota Langsa 31

DAFTAR PUSTAKA development. International Negotiation, 12(1), 111-143 Ansori, M. H., Putra, R. P. A., Efendi, j., Peranto, S., Nurwicaksono, B. D. (2013). Folklor Lapindo Sukandar, R., Cholid, S., ... & Hutagalung, V. sebagai Wawasan Geo-Culture dan Geo- (2015). Demokrasi Pasca-Konflik, Kekerasan Mythology Berbasis Kearifan Lokal dalam Dan Pembangunan Perdamaian Di Aceh dan Pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Maluku. The Habibie Center. Asing (BIPA). Jurnal Pendidikan Bahasa dan Amirin, T. M. (2012). Implementasi pendekatan Sastra, 13(1), 62-68. pendidikan multikultural kontekstual berbasis Puspitasari, A. S. (2012). Kajian Folklor Tradisi kearifan lokal di indonesia. Jurnal pembangunan Merti Dhusun di Dusun Tugono Desa Kaligono pendidikan: fondasi dan aplikasi, 1(1). Kecamatan Kaligesing Kabupaten Aspinall, E. (2005). The Helsinki Agreement: A Purworejo. ADITYA-Pendidikan Bahasa dan More Promising Basis For Peace In Aceh?. Sastra Jawa, 1(1). Bar-On, A. (2015). Indigenous knowledge: Ends or Putra, H. S., Fadhil, S., & Saputra, E. (2018). means?. International Social Work, 58(6), 780- Pembangunan Provinsi Aceh: Kebutuhan 789. Sinergitas Dan Pemetaan Ancaman. Jurnal Czaika, M., & Kis-Katos, K. (2009). Civil conflict Transformasi Administrasi, 8(2), 192-213. and displacement: Village-level determinants of Rozi, S. (2016). Nasionalisme, Demokratisasi, dan forced migration in Aceh. Journal of peace Sentimen Primordialisme di Indonesia: research, 46(3), 399-418. Problematika Identitas Keetnisan versus Darmawan, I. P. A. (2019). Pendidikan Perdamaian Keindonesian pada Studi Kasus Aceh, Papua, Dengan 12 Nilai Dasar Perdamaian. BIA': Jurnal Bali, dan Riau. Jurnal Penelitian Politik, 6(1), Teologi dan Pendidikan Kristen 75-84. Kontekstual, 2(1), 55-71. Sugito, S. (2015). Analisis Terhadap Misi Endraswara, Suwardi. (2009). Metodologi penelitian Peacebuilding United Nations Transition folklor. Media Pressindo. Administration in East Timor (Untaet). Jurnal Fajarini, U. (2014). Peranan kearifan lokal dalam Hubungan Internasional, 2(1), 48-55. pendidikan karakter. SOSIO-DIDAKTIKA: Social Sukendar, S. (2011). Pendidikan damai (peace Science Education Journal, 1(2), 123-130. education) bagi anak-anak korban Gloriani, Y. (2016). Kajian Nilai-nilai Sosial dan konflik. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Budaya pada Kakawihan Kaulinan Barudak Keagamaan, 19(2), 271-286. Lembur serta Implementasinya dalam Sukma, R. (2012). Resolving the Aceh conflict: The Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Helsinki peace agreement Berbasis Multikultural. LOKABASA, 4(2). Sukmana, E. (2018). Aspek Sosial Budaya dalam Hasyim, S. (2018). Peran Partai Aceh Dalam Upaya Cerita Rakyat Enyeng di Desa Cipancar. Deiksis: Mensejahterakan Mantan Inong Balee Kabupaten Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Pidie suatu penelitian di kecamatan Kembang Indonesia, 5(1), 18-23. Tanjong; The role of acehnese political party in Siregar, R. K. I. (2017). Bangunan Peninggalan the effort of giving financial support to the ex Kolonial Belanda di Kota Langsa (Doctoral Inong Balee (the free Aceh movement's women dissertation, UIN Ar-Raniry ). berigade) in Pidie regency. Jurnal Ilmiah Tim Penyusun, K. B. B. I. (2008). Kamus Besar Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. Politik, 3(3). Tim Penulis. 2014. Menelusuri Jejak Sejarah Kasriadi, K. (2018). Penerapan 12 Nilai Dasar Langsa. Pemko Langsa Perdamaian Organisasi Mahabbah Institute for Usman, U., & Megawati, C. (2017). DINAMIKA Peace and Goodness (Islam dan POLITIK; SOLUSI AKHIR EKSISTENSI Kristen) (Doctoral dissertation, Universitas Islam KONFLIK DAN PENGARUHNYA Negeri Alauddin Makassar). TERHADAP MASYARAKAT PASCA Kimbal, A. (2016). Pembangunan Demokrasi Pasca PERDAMAIAN DI ACEH BESAR. Jurnal Konflik di Aceh. Jurnal Ilmiah Society, 3(20), Humaniora: Jurnal Ilmu Sosial, Ekonomi dan 153-159. Hukum, 1(2), 79-86. Lincoln, E., & Amalee, I. (2010). Modul peace Zainal, S. (2013). Transformasi Politik dan Prospek generation: 12 nilai dasar perdamaian. Bandung: Bagi Perdamaian Positif Berkelanjutan di Pelangi. Aceh. Jurnal Transformasi Administrasi, 3(2), Martanto, U. (2009). Lingkungan dan Pembangunan 553-566. Perdamaian: Refleksi Kasus Aceh. Jurnal Ilmu Zaini, M. (2017). Cerita Lisan “Yong DOllah”: Sosial dan Ilmu Politik, 13(1), 31-47. Pewarisan dan Resistensi Budaya Orang Melayu Moleong, J. (2013). Lexy.(2010): Metodologi Bengkalis. Madah: Jurnal Bahasa dan Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Sastra, 5(1), 1-14. Cetakan ke-28. Remaja Rosdakarya. Sumber Gambar: Morfit, M. (2007). The road to Helsinki: The Aceh https://infonusa.wordpress.com/2015/04/17/Kota- agreement and Indonesia's democratic Langsa/

32 Pros. SemNas. Peningkatan Mutu Pendidikan, 1(1): 24-32, Januari 2020

Sumber Wawancara: 1. Drs. H. Mursyidin beserta pengurus (Majelis Adat Aceh Kota Langsa) 2. Rachmasyah, S.Pd, M.Pd (Dosen Sejarah FKIP Unsam) 3. Ratna Dewi, S.Pd (Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Langsa.