DIASPORA ULAMA YAMAN DI MEKKAH-MADINAH

PADA ABAD 20

Skripsi

Dilaksanakan sebagai Salah Satu Tugas Akademik untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh: Ahmad Rifai Nim: 1110022000029

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M DIASPORA ULAMA YAMAI{ DI MEKKAH.MADINAH PADA ABAD 20

Skripsi

Dilaksanakan sebagai Salah Satu Tugas Akademik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh:

Ahmad Rifai Nim: 1110022000029

Disetujui oleh

Pembimbing,

NIP: 19670119 199403 1 001

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2015 PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi dengan judul DIASPORA ULAMA YAMAN di MEKKAH-MADINAI{ PADA ABAD 20 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Juni 20i5. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam.

Jakarta, l5 Juni 2015 SIDANG MUNAQASYAH

Ketua M Sekretaris Merangkap Anggota

NIP: 1969072419970 1 001 19750417 200501 2007 ANGGOTA

Penguji I Penguji II a). YT /t or. u. auJut. cnar. u.a Dr. H. M.Wuslih L. C. M.A NIP: 19541231 198303 I 030 NIP, 19520903 1986O3 I 001

PEMBIMBING

Pembimbing

t r9670t19 199403 Lembar Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah J akarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya

atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,0S Juni 2015

Ahmad Rifai

UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang

telah memberikan rahmat disetiap hambanya berupa kecerdasan, seperti

memudahkan penulis untuk bisa membuat skripsi ini. Tak lupa penulis

mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang

telah membawa umat Islam dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang

benderang.

Skripsi yang berjudul ”Diaspora Ulama Yaman Di Mekkah-Madinah

Pada Abad 20” merupakan salah satu syarat untuk mencapai Gelar Sarjana

Humaniora (S.Hum). Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi dan

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan

terimakasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A. Selaku pimpinan Fakultas Adab dan

Humaniora yang telah memudahkan penulis dalam mengurus persyaratan

penulisan Skripsi hingga Ujian Munaqosah.

2. Bapak H. NurHasan, M.A. Selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam

(SKI) yang telah membantu dan memudahkan penulis dalam proses terlaksananya

skripsi ini.

3. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. Selaku Sekertaris Jurusan Sejarah Kebudayaan

Islam (SKI) yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan

baik.

i

4. Bapak Dr. Jajat Burhanuddin, MA. Selaku dosen pembimbing, yang telah

menyisikan waktunya guna membimbing penulisan skripsi ini dengan baik. Beliau

juga mengajarkan Penulis untuk lebih teliti dalam menggunakan sumber-sumber.

5. Ibu Dr. Awalia Rahma, M.A. Selaku Dosen Penasehat Akademik, yang selalu

memberikan arahan serta motivasi dalam belajar.

6. Bapak dan Ibu Dosen yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran selama

penulis mengikuti perkuliahan.

7. Ibunda tercinta ibu Rohanah dan juga kepada Ayahanda tersayang Ayah

Muhammad Wildan yang selalu memberikan arahan, doa, dan semangat kepada

Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Penulis yang sedang

mengenyam pendidikan ini bisa bermanfaat dan juga dapat mewujudkan cita-

citanya.

8. Seluruh dosen dan Staf fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan

ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis.

9. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama dan Fakultas Adab dan Humaniora

yang telah menyediakan fasilitas dalam rangka penulisan skripsi ini.

10. Keluarga besar Hj. Muhammad Aidi dan Keluarga Besar H. Muhammad Asnawi

yang selalu memberi motivasi kepada Penulis.

11. Teman seperjuangan SKI 2010, yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang

membantu terselesaikannya skripsi ini, yang selalu memberikan inspirasi,

semangat dan keceriaan. Walaupun kita berpisah, Semoga silaturahim kita tetap

terjalin sampai kapan pun.

12. Teman KKN KOPI 2013, yang saya tidak bisa sebutkan satu per satu, selalu

memberikan kecerian dan inspirasi.

ii

13. Teman BRT yang selalu memberikan support untuk penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf bila ada kesalah dalam

penulisan skripsi ini. Kritik dan saran saya hargai demi penyempurnaan penulisan

serupa dimasa yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat

bermanfaat dan dapat bernilai positif bagi semua pihak yang membutuhkan.

iii

ABSTRAK

Ahmad Rifai

DIASPORA ULAMA YAMAN PADA ABAD 20 DI MEKKAH-MADINAH

(HABIB ZAIN BIN SMITH)

Skripsi ini ingin mengkaji diaspora ulama Yaman dan kontribusinya di

Mekkah-Madinah. Kota Tarim di Yaman merupakan kota pengahasil ulama terbesar di dunia. Selain itu kota ini memiliki banyak masjid dan rubath yang bersejarah. Ditambah kota ini juga memiliki makam-makam ulama Tarim. Pada skripsi ini penulis melihat satu contoh ulama Yaman yang melakukan diaspora yaitu Habib Zain bin Smith. Beliau berdiaspora ke Madinah pada tahun 1985 M, kemudian beliau mengajar di rubath al-Jufri dan diangkat menjadi Mufti disana, ia memiliki banyak murid dari berbagai wilayah di dunia. Karya yang cukup terkenal Al-Manhaj as-Sawiy, Syarh Ushul Thariqah as-Sadah Al Ba’alawi, kitab yang berisi asal-usul Thariqah Alawiyah. Lewat penelaahan penulis terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ulama Yaman berdiaspora ke berbagai wilayah. Pertama melakukan aktivitas perdagangan dan kedua untuk berdakwah atau menyebarkan agama Islam dengan damai.

Keyword : Diaspora, Ulama, Yaman, Tarim, Mekkah-Madinah, Habib Zain bin

Smith.

iv

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMAKASIH ...... i ABSTRAK ...... iv DAFTAR ISI ...... v

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Pembatasan Masalah ...... 5 C. Perumusan Masalah ...... 5 D. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ...... 6 E. Tinjauan Pustaka ...... 6 F. Metode Penelitian...... 7 G. Sistematika Penulisan ...... 9

BAB II TARIM : PROFIL KOTA ULAMA ...... 11

A. Tarim, Kota Sejuta Wali ...... 11 B. Pemakaman di Kota Tarim ...... 17 1. Pemakaman Zambal ...... 17 2. Pemakaman Furaith ...... 18 3. Pemakaman Akdar ...... 19 C. Masjid Bersejarah di Kota Tarim …………………………………… 19 D. Pendidikan di Kota Tarim …………………………………………… 20 1. Rubath Tarim ……………………………………………………. 20 2. Darul Musthafa ………………………………………………….. 23 3. Universitas al-Ahgaff ……………………………………………. 25

BAB III DIASPORA ULAMA HADHRAMI ...... 27

A. Diaspora Ulama Hadhrami : Suatu Penjelasan Umum ...... 27 B. Penyebaran Ulama Yaman ...... 35 1. Diaspora Ulama Yaman di Asia Tenggara ……………………… 35 2. Diaspora Ulama Yaman di Afrika .……………………………… 40 3. Diaspora Ulama Yaman di Asia Selatan ………………………... 41

BAB IV ULAMA YAMAN DI MADINAH ...... 45

A. Disapora Ulama Yaman di Timur Tengah …………………………. 45 B. Habib Zain bin Smith, Biografi dan Karyanya ...... 56 C. Pujian Ulama untuk Habib Zain bin Smith ...... 65

v

BAB V PENUTUP ...... 69 A. Kesimpulan ...... 69 DAFTAR PUSTAKA ...... 71

vi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Yaman memiliki peran penting dalam tradisi keilmuan agama Islam, itu disebabkan karena di Yaman banyak melahirkan ulama yang berkontribusi besar dalam memajukan tradisi tersebut, salah satu bukti yang terpenting berkembangnya mazhab fiqih Syafi‟i, yang tersebar luas ke beberapa wilayah di dunia Muslim seperti,

Hijaz, Afrika Utara, India, dan Asia Tenggara. Mazhab Syafi‟i ternyata memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam bidang pendidikan agama Islam di Yaman. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Rubath yang menggunakan mazhab tersebut dalam kurikulum pendidikan mereka, terutama yang menyangkut ilmu fiqih. Rubath memiliki kesamaan sistem dengan pesantren. Salah satu Rubath terbesar di Yaman terletak di Kota Tarim, dimana siswa yang belajar di sana datang dari berbagai negara di luar Yaman.1

Selain mazhab Syafi‟i, pengaruh tradisi keilmuan agama Islam Yaman lainnya yang tersebar ke berbagai wilayah di dunia adalah Thariqah „Alawiyah. Thariqah ini awalnya dipelopori oleh al-Imam Muhammad bin Ali Ba‟alawi, lahir di Kota Tarim

1Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. Tarim Kota Pusat Peradaban Islam. Malang : Pustaka Basma, 2013, h. 98

1 2

pada tahun 574 H dan wafat disana pada tahun 653 H.2 Ajaran yang dikembangkan oleh Thariqah „Alawiyah mencakup wirid, syair, sastra, tasawuf, fiqih, hadits, dan tarikh. Di luar negara Yaman, seperti di Mesir, Syam dan Hijaz, Thariqah „Alawiyah di samping sebagai metode pengajaran, juga berfungsi sebagai faktor atau sarana bagi tersebarnya agama Islam.3 Thariqah ini berkembang sampai ke Mekkah-Madinah, dengan tokohnya yang terkenal ialah al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf dan

Habib Zain bin Smith. Al-Habib „Abdul Qadir lahir di Kota Seiwun, pada bulan Jumadilakhir 1331H/1913M dan kemudian hijrah ke Kota Mekkah. Di sana beliau mengajar fiqih, tasawuf, tafsir, dan lain sebagainya.4 Ulama Yaman yang berperan dalam tradisi keilmuan agama Islam di Kota Madinah adalah Habib Zain

Bin Smith. Beliau lahir Jakarta pada 1357/1936.5

Al-Habib „Abdul Qadir dan Habib Zain bin Smith merupakan contoh dari sekian banyaknya ulama Yaman yang berpengaruh dalam menyebarkan tradisi keilmuan

Islam di luar Yaman. Ajaran Al-Habib „Abdul Qadir dan Habib Zain bin Smith yang identik dengan Thariqah Alawiyah diterima dengan baik oleh masyarakat Mekkah-

Madinah. Bahkan, mereka memiliki banyak murid yang datang bukan hanya dari

Kota Mekkah dan Madinah saja, melainkan juga dari berbagai Negara di dunia, salah satunya Indonesia.

2Thariqah Alawiyah, Jalan Lurus Menuju Allah terjemahan dari, Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, h. 19. 3Thariqah Alawiyah, Jalan Lurus Menuju Allah terjemahan dari, Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, h. 30 4http://www.banialawi.com/v1/index.php/al-habib-abdul-qadir-al-saggaf/biography 5Thariqah Alawiyah, Jalan Lurus Menuju Allah terjemahan dari, Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, h. 8

3

Sebagai kota suci umat Islam, Ulama Yaman yang berkunjung ke Mekkah-

Madinah bukan hanya untuk tujuan ibadah saja, melainkan juga menuntut ilmu dan menjadi mufti/ulama di sana. Kedua kota tersebut dikenal sebagai pusat kebudayaan dan pusat studi ilmu-ilmu keislaman. Umumnya pendidikan agama Islam dijalankan di Masjid al-Haram, Masjd an-Nabawi, dan Rubath.6

Pertanyaan pokok yang perlu diajukan adalah: bagaimana ulama yang datang dari

Kota Tarim, Ulama Yaman mampu mendapatkan posisi penting dalam pengajaran di madrasah-madrasah di Kota Mekkah-Madinah. Agar diizinkan mengajar di institusi- institusi pendidikan agama di Mekkah-Madinah, Ulama dari Kota Tarim, Yaman dan guru lainya diwajibkan mempunyai ijazah (sertifikasi), yang menjelaskan kredensial akademik pemegangnya. Kredensial terpenting adalah „isnad, yakni mata rantai otoritas yang menunjukan hubungan yang tidak terputus antara guru dan murid dalam transmisi kitab-kitab atau ajaran tertentu. Ijazah biasanya dikeluarkan oleh guru yang diakui kewenangannya kepada muridnya setelah yang terakhir ini belajar dengannya.7

Kota Tarim dikenal sebagai penghasil ulama-ulama terkemuka bermazhab Syafi‟i.

Abdul Qadir dalam bukunya yang berjudul “Tarim Kota Pusat Peradaban Islam” mengatakan dari kota ini, mereka (ulama-ulama Yaman) bermigrasi untuk berdakwah ke berbagai pelosok dunia.8 Mereka memperkenalkan Islam dengan cara dan metode yang sangat mulia (bil hikmah wal mau‟idhah hasanah), tanpa kekerasan, apalagi

6 Belajar Islam di Timur Tengah. Departemen Agama, h. 19 7 Untuk pembahasan tentang ijazah, lihat 7Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 78. 8Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam. Malang : Pustaka Basma, 2013, h. 78

4

terror, sehingga masyarakat setempat merasakan esensi ajaran Islam yang sesungguhnya, dan pada akhirnya Islam dapat diterima oleh semua golongan. Mereka yang notabene imigran pandai menyesuaikan diri dengan adat dan budaya setempat.9

Hingga saat ini, Kota Tarim tetap eksis dalam memperkenalkan pemahaman- pemahaman Islam yang damai. Hal ini terbukti dengan banyaknya pelajar dan mahasiswa mulai dari Asia terutama Indonesia, Afrika, hingga Eropa, yang menimba ilmu di kota yang berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa ini. Di Kota Tarim terdapat tiga pusat ilmu dan dakwah yang tersohor dan terkemuka di dunia yaitu Rubath Tarim,

Darul Mustafa dan Darul Zahra untuk muslimah serta Universitas Al-Ahqaf

(berpusat di tetapi mempunyai cabangnya di Tarim). Ketiga pusat ilmu ini telah memberikan sumbangan yang amat besar dalam melahirkan kader agama yang dengan mereka tersebarlah ilmu dan amalan Islam, selain mengukuhkan tali ikatan antara sadah alawiyyin dengan muhibbin dibelahan dunia.10

Kisah perjuangan para penyebar Islam dan sumbangsih kota keramat inilah yang menginspirasi Organisasi Islam untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan

Kebudayaan (ISESCO), salah satu badan di bawah naungan OKI (Organisasi

Konferensi Islam) menganugrahkan penghargaan bergengsi kepada Tarim sebagai

9, M Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam. Jakata: Garafindo Persada, 2000. hal. 54 10Lihat Philip K. Hitti, Dunia Arab Sejarah Ringkas, Ushuludin Hutagalung, O.D.P. Sihombing (penterjemah), Sumur Bandung, Bandung, Cet.vii, h. 98

5

Pusat Kebudayaan Islam Dunia 2010 M („Ashimah al-Tsaqafah al-Islamiyyah 1431

H).11

Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji Diaspora Ulama

Yaman pada abad 20 di Kota Mekkah-Madinah. Dengan sumber-sumber tertulis yang penulis dapatkan, penulis menelaah bahwasanya diaspora ulama Yaman ke Kota

Mekkah-Madinah pada abad 20 ternyata memiliki kontribusi besar dalam bidang pendidikan agama Islam di kota tersebut. Salah satu ulama tersebut adalah Habib

Zain bin Smith.

B. Pembatasan Masalah

Dengan demikian penelitian ini difokuskan pada wilayah Mekkah-Madinah

pada abad ke-20 di mana pada abad tersebut banyak ulama Yaman berdiaspora ke

Mekkah-Madinah, salah satunya Habib Zain bin Smith.

C. Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas kemudian penulis menentukan rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Apa faktor yang melatarbelakangi diaspora Ulama Yaman?

2. Kontribusi apa saja yang diberikan ulama Yaman di Mekkah-Madinah?

11http://sejarah.kompasiana.com/2011/03/12/sejarah-ringkas-kota-tarim-pusat-kebudayaan- islam-dunia-346076.html

6

D. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan Skripsi ini adalah

a. Mengetahui sejarah diaspora Ulama Yaman ke Kota Mekkah-Madinah pada

abad 20

b. Memahami lebih dalam peranan Ulama Yaman dan kontribusinya di Mekkah-

Madinah di dalam bidang keagamaan.

2. Kegunaan Penulisan

a. Memberikan informasi tentang ulama-ulama Yaman, khususnya ulama yang

berasal dari Tarim, yang dianggap kota penghasil ulama terkemuka.

b. Menambah Khazanah kesejarahan dan pengetahuan tentang sejarah Yaman,

dan kontribusi ulama Yaman di Mekkah-Madinah.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penulisan Skripsi dengan judul ‘Diaspora Ulama Yaman di Mekkah-

Madinah Pada Abad 20 : Habib Zain Bin Smith ’’, dalam pencarian pada repository universitas-universitas lain belum ada yang menggeluti bidang ini

(Diaspora Ulama Yaman di Mekkah-Madinah).

Namun terdapat beberapa journal penelitian tentang diaspora, dengan judul

“Peranan Arab Hadhrami di dalam mempengaruhi politik Istana Kerajaan Johor pada awal abad ke 20M” yang ditulis oleh Nurulwahida Fauzi. Jurnal antarabangsa kajian Asia Barat tahun 2012. Penelitian tersebut hanya berfokus tentang tradisi

7

keagamaan di Yaman dan pengaruh Hadhrami di bidang politik, ekonomi di

Malaysia.

Leif Manger, dengan karyanya yang berjudul The Hadrami Diaspora Community-

Building on the Indian Ocean Rim (New York: Berghahn Books. 2010) merupakan salah satu sederet yang membahas Diaspora Hadhrami. Secara umun karya Manger mengupas tentang diaspora Hadhrami, dan tradisi keagamaan di Yaman, namun sayangnya dalam buku ini tidak membahas Diaspora Hadhrami di Mekkah-Madinah, buku ini hanya membahas Diapora Hadhrami di wilayah Afrika, India, dan Asia

Tenggara.

Selain itu penulis menemukan karya Badri Yatim dalam disertasinya yang berjudul Perubahan Sosial Politik di Hijaz 1800 S/D 1925 Dan Pengaruhnya

Terhadap Lembaga Dan Kehidupan Keagamaan (Prespektif Sejarah Sosial),

(Jakarta: 1998) yang menjelaskan tentang kehidupan ulama di Hijaz, namun dalam disertasi ini hanya membahas ulama dari Turki dan Mesir, tidak membahas ulama dari Yaman.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukannya dengan model penelitian kepustakaan (Library Reseach) dan diperkaya melalui pendekatan sosial keagamaan.

Dalam usaha mendapatkan data dengan metode ini penulis melakukan kunjungan ke beberapa perpustakaan antara lain: Perpustakaan Umum UIN dan Fakultas Adab dan

Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpusnas, Jamiathul Khair, Rabitha

8

Alawiyah, Perpustakaan Imam Jama, e-resources milik PNRI, serta tempat-tempat lain yang dapat penulis manfaatkan untuk mencari sumber-sumber yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini di perpustakaan digital.

Jenis tulisan yang banyak diambil adalah buku yang banyak mengusung tema- tema tentang Yaman dan diaspora hadhrami, selain itu ada juga beberapa artikel dari

Jurnal dan Majalah. Sementara itu, sumber utama yang dirujuk oleh penulis adalah buku karangan Habib Zain bin Smith. Habib Zain merupakan salah satu ulama

Yaman yang melakukan diaspora pada abad 20, selain itu penulis memakai buku

Engseng Ho, yang menjelaskan detail diaspora Hadhrami dari pelabuhan Aden ke berbagai wilayah di dunia.

Mengkaji tulisan tidak hanya dengan membaca tetapi dibutuhkan cara dan metodelogi yang nantinya akan bermanfaat untuk menggali ideology tulisan tersebut.

Untuk itu penulisan skripsi ini selain dengan memakai metode deskrptif – analitis juga menggunakan metodelogi Hermeunetika. Metode deskriptif – analitis dipakai untuk menggambarkan proses, sebab musabab terjadinya peristiwa secara kronologis.

Sedangkan hermeunetika dipakai untuk menambah khazanah informasi sejarah.

Berbagai informasi yang didapat, dikumpulkan dan diinterpretasikan faktanya. Hasil interpretasi fakta ini diwujudkan dalam bentuk penulisan atau lazimnya disebut historiografi.

Metode hermeunetika juga akan menemukan titik urgensinya untuk melihat serta menafsirkan kata - kata dan fakta – fakta yang dari sumber – sumber tulisan yang

9

didapat penulis untuk kemudian direkontruksi ulang sesuai dengan maksud dan tujuan penulis.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan terdiri ke dalam lima Bab pembahasan.

Bab Pertama, membahas tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan rumusan masalah, landasan teori, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika pembahasan.

Bab Kedua, Kota Tarim : Simbol Kota Ulama.

a. Tarim, Kota Sejuta Wali

b. Pemakaman di Kota Tarim

c. Masjid-masjid Bersejarah di Kota Tarim

d. Pendidikan di Kota Tarim

Bab Ketiga, Diaspora Ulama Yaman.

a. Teori Diaspora Hadhrami

b. Penyebaran Ulama Yaman

1. Afrika

2. Asia Tenggara

3. Asia Selatan

Bab Keempat, Diaspora Ulama Yaman di Mekkah-Madinah (Habib Zain Bin

Smith).

10

a. Diaspora Ulama Yaman di Timur Tengah (Mekkah-Madinah)

b. Biografi Habib Zain Bin Smith

c. Karya-karya Habib Zain Bin Smith

Bab Kelima, Merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan dari seluruh isi tulisan.

BAB II

TARIM : PROFIL KOTA ULAMA

A. Tarim, Kota Sejuta Wali

Suasana kota-kota Hadhramaut cukup menyenangkan. Walaupun jalanannya banyak yang terbuat dari batu, namun rata-rata bersih karena angin sahara sering turut menyapu jalan-jalan kota itu. Di setiap rumah penduduk Hadhramaut, jarang sekali kita jumpai kursi tamu. Yang ada adalah qatifah,1 tempat menampung dhuyuf.2

Fungsi permadani disini menjadi serba-guna, selain untuk menerima tamu,3 namun juga digunakan untuk tempat makan. Tak jarang tempat yang sama ini juga dibuat untuk aktivitas ibadah, seperti shalat, rauhah4 maupun dzikir. Bahkan jika ruangan kamar tak cukup untuk menerima tetamu yang tidur, qatifah menjadi alternatif sebagai tempat tidur cadangan. Sisa-sisa tradisi semacam ini masih sering kita jumpai dalam keturunan Hadrami di Nusantara.5

Diantara pelabuhan yang cukup penting di Pantai Hadhramaut adalah Syihir dan

Mukalla. Syihir merupakan bandar penting yang melakukan perdagangan dengan pantai Afrika Timur, Laut Merah, Teluk Persia, India dan pesisir Arab Selatan

1Permadani. 2Bentuk dari jamak yang berarti tamu. 3Istiqbaal adh-Dhuyuf. 4Pengajian yang bersifat ringan 5Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. Tarim Kota Pusat Peradaban Islam. Malang: Pustaka Basma, 2012, h. 43.

11 12

terutama Moskat, Dzafar dan Aden serta perdagangan dengan Bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lainnya. Kota Syibam merupakan salah satu kota penting di negeri itu.6 Di kota ini terdapat lebih dari 500 bangunan rumah yang dibangun rapat, bertingkat empat atau lima.7 Kota tua ini telah menjadi ibukota Hadhramaut sejak jatuhnya Syabwah pada abad ke-3 H sampai abad ke-16 H. karena di bangunnya wadi atau lembah yang agak tinggi, kota ini rentan terhadap banjir, seperti yang dialaminya pada tahun 1532 M dan 1533 M.

Kota-kota besar di sebelah Timur Syibam yang merupakan ibukota Hadhramaut ini adalah Ghurfah, Seiwun, Taribah, Gharaf, al-Sawari, Tarim, Inat dan Qasam.

Seiwun merupakan kota terpenting di Hadhramaut pada abad ke-19 H, kota terbesar ini yang terletak 320 km dari Mukalla, Seiwun juga sering dijuluki ‘Kota Sejuta

Pohon Kurma’. Hal ini dikarenakan luasnya perkebunan kurma yang terdapat di sekitarnya. Kota Tarim terletak sekitar 35 km di Timur Kota Seiwun. Di satu sisi kota ini terlindungi oleh bukit-bukit batu terjal, di sisi lain dikelilingi oleh perkebunan kurma. Sejak dahulu Tarim merupakan pusat Madzhab Syafi’i. Antara abad ke-17 dan abad ke-19 telah terdapat lebih dari 365 masjid. Kota Tarim atau biasa dibaca

Trim termasuk kota lama.

Nama Tarim menurut satu riwayat diambil dari nama seorang raja yang bernama

Tarim bin Hadhramaut. Dia diyakini hidup tiga ribu tahun sebelum agama Islam diwahyukan. Kota tersebut juga disebut dengan Tarim al-Ghanna atau Kota Tarim

6Syibam merupakan kota Arab terkenal yang di bangun menurut gaya tradisional. 7Orang Barat menjulukinya „Manhattan of the Desert‟.

13

yang rindang, dikarenakan banyaknya pepohonan dan sungai. Kota tersebut juga dikenal dengan Kota ash-Shiddiq. Hal ini karena gubernurnya Ziyad bin Lubaid al-

Anshari ra ketika menyeru untuk membai’at Sayyidina Abubakar ash-Shiddiq ra sebagai khalifah. Maka penduduk Tarim adalah yang pertama mendukungnya dan tidak ada seorang pun yang membantahnya. Hingga pada waktu itu, Sayyidina Abu

Bakar ash-Shiddiq ra mendoakan penduduk Kota Tarim dengan tiga doa yang masyhur: Doa pertama, agar kota tersebut makmur. Doa kedua, agar airnya melimpah dan berkah. Doa ketiga, agar Kota Tarim ini dihuni oleh banyak orang-orang saleh.

Oleh karena itu, Syeikh Muhammad bin Abu Bakar Ba’abad berkata bahwa

Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq akan memberikan syafa’at kepada penduduk Tarim secara khusus.8

Menurut catatan kitab al-Ghurar yang dikarang oleh Syeikh Muhammad bin Ali bin Alwi Khirid, keluarga Ba’alawi pindah dari Desa Bait Jubair ke Kota Tarim sekitar tahun 521 H.9 Setelah kepindahan mereka, Kota Tarim dikenal dengan kota budaya dan ilmu. Diperkirakan, pada waktu itu ada sekitar 300 orang ahli fiqih, bahkan pada barisan yang pertama di Masjid Agung Kota Tarim dipenuhi oleh ulama fiqih. Adapun orang yang pertama dari keluarga Ba’alawi yang hijrah ke Kota Tarim adalah Syeikh Ali bin Alwi Khali Qasam dan saudaranya Syeikh Salim, kemudian disusul oleh keluarga pamannya yaitu Bani Jadid dan Bani Basri.10 Diceritakan Kota

Tarim terdapat tiga keberkahan : pertama, keberkahan pada setiap masjidnya, kedua,

8Al-Syilli, al-Masra al-Rawi, h. 252. 9Al-Syilli, hal. 251. Pada kitab al-Ghuror halaman 70, tertulis tahun 521 H. 10Al-Khirid, al-Ghuror, hal. 77.

14

keberkahan pada tanahnya, ketiga, keberkahan pada pegunungannya. Keberkahan masjid itu bisa dilihat dari banyak ulama yang lahir dari kota tersebut.11

Selain itu, Kota Tarim juga terkenal dengan banyaknya orang saleh. Bahkan bukan menjadi keanehan apabila seorang penyapu jalanan di Hadhramaut telah menghafal al-Qur’an 30 juz. Telah dijelaskan dibeberapa kitab klasik, diantaranya

Kitab Qiladatun an-Nahri fii Wayaat A‟ya an-Naddhari, karya al-‘Allamah asy-

Syeikh Muhammad Thayyib Abu Mahramah ra mengatakan : “Ketika Imam al-

Muhajir sampai ke Hadhramaut, mereka mengakui keagungan al-Imam Muhajir ra serta kemuliannya. Sedangkan di Kota Tarim pada saat itu tidak kurang dari 300 mufti.12

Maka tidak mengherankan jika pada saat itu, tepatnya mulai tahun 461 H, Kota

Tarim yang subur, semakin semarak dan bersinar dengan cahaya ilmu, sehingga banyak berdatangan pelajar dari berbagai penjuru dunia ataupun orang yang sekedar berziarah memperoleh berkah. Sehingga, muncul pengakuan dari berbagai pihak,

Kota Tarim dikenal sebagai tempat tinggal as-Saadah al-‘Alawiyin, diantaranya adalah Assegaf, al-Aydrud, al-bin Syihab, al-Haddad, asy-Syathiri, al-Attas, al

Muhdhar, bin Hafidz, al-Habsyi, bin Smith dan lain sebagainya.

Bangunan-bangunan di Kota Tarim penuh dengan seni. Yang lebih mengagumkan adalah, mereka membangun rumah tanpa menggunakan bahan-bahan layaknya sebuah bangunan kokoh. Mereka cukup menggunakan bahan baku tanah liat dan

11Al-Syilli, al-Masra al-Rawi, h. 262. 12 Ulama yang memilik hak prerogative untuk mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan.

15

kayu-kayu serta batu, namun dapat membentuk rumah sampai lantai lima. Di kota ini juga terdapat sebuah menara masjid yang menjadi keajaiaban dunia, yang tingginya mencapai 45 meter. Karena bahan bakunya hanyalah dari tanah liat, maka tidak bisa dipungkiri bahwa keistimewaan inilah yang menjadi daya tarik bagi turis dari berbagai macam negara yang datang hampir setiap hari, yang berekreasi hanya sekedar melihat bangunan di Kota Tarim atau mengadakan penelitian. Benteng dan istana paling menonjol di Kota Tarim adalah Benteng Najeer, yang terletak 6 km di sebelah timur Kota Tarim dan Benteng Al-Irr yang terletak di samping Al Sawm, 15 km sebelah timur dari Tarim.13

Kaum Alawiyin di Kota Tarim pada khusunya dan di Hadhramaut pada umumnya tetap dalam kebiasaan mereka menuntut ilmu agama. Mereka lebih menonjolkan akhlak serta budi pekerti luhur, hidup dengan zuhud terhadap hal-hal duniawi, tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi, mereka juga menghindar dari popularitas.14

Dalam hal ini, al-Imam al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra berkata: “Syuhrah bukan adat kebiasaan kami, Kaum Alawiyin.”

Imam asy-Syeikh Abdurahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah ra beliau seorang ulama yang cukup terkenal di Yaman. Beliau menauladani cara hidup para leluhurnya, baik dalam usahanya menutup diri agar tidak dikenal orang lain maupun hal-hal yang lain. Imam asy-Syaikh Abdurahman Assegaf bin Muhammad

Mauladdawilah ra selalu beribadah, bertafakur dengan menyendiri di sebuah syi’ib15

13Ikpm Hadhramaut 14Syurah. 15Lembah/Wadi

16

pada setiap sepertiga terakhir setiap malam. Setiap malam ia membaca al-Quran hingga dua kali tamat dan setiap siang hari ia membacanya hingga dua kali tamat.

Makin lama kesanggupannya tambah meningkat hingga dapat membaca al-Quran empat kali tamat di siang hari dan empat kali tama di malam hari. Bahkan disebutkan, ia hampir tak pernah tidur.

Menjawab pertanyaan mengenai itu ia berkata: “Bagaimana orang dapat tidur jika miring ke kanan melihat surga dan jika miring ke kiri melihat nereka?” Selama satu bulan beliau beruzlah16 di syi’ib tempat pusara Nabi Allah Hud as, selama sebulan itu ia tidak makan kecuali segenggam roti yang terbuat dari terigu.

Demikianlah cara mereka bermujahadah di jalan Allah Swt. Semuanya itu adalah mengenai hubungan mereka dengan Allah Swt. Adapun mengenai amal perbuatan yang mereka lakukan dengan sesama manusia, para Sayyid Kaum Alawiyin itu tidak menghitung-hitung resiko pengorbanan jiwa maupun harta dalam menunaikan tugas berdakwah menyebarluaskan Agama Islam.

Mengenai kesalehan orang-orang Tarim, Sultan Abdullah bin Rasyid bin Abi

Qathan al-Himyariy berkata, “Di negeriku ini (Tarim), ada tiga perkara yang aku banggakan kepada raja-raja terdahulu: pertama, tak ada barang haram beredar di sini. Kedua, tak ada maling berkeliaran. Ketiga. Tak ada orang meminta-minta.”

Semua itu berkat sikap saling kasih di antara penduduk Kota Tarim.17

16 Menyendiri 17 Sultan Abdullah al-Himyariy adalah seorang raja yang pernah memerintah Tarim. Ia adalah sosok yang arif, takwa dan berpengatahuan fiqih yang dalam, ia wafat pada tahun 612 H. Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. Tarim Kota Pusat Peradaban Islam. Malang: Pustaka Basma, 2012, h. 127.

17

Tarim adalah kota yang unik. Lain dari yang lain. Bila kota-kota lazimnya dikunjungi karena keindahan panoramanya, Kota Tarim diminati penziarah karena penduduknya yang dikenal shaleh, dan banyaknya makam-makam para ulama di kota itu, disana terdapat beberapa pemakaman yang terkenal di Kota Tarim.

B. Pemakaman di Kota Tarim

Pusat pemukiman Kaum Alawiyin di Hadhramaut adalah Kota Tarim. Di kota nenek moyang Wali Songo ini terdapat pemakaman yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Zambal, Furaith dan Akdar. Di pemakaman Zambal, para Sayyid terkemuka dari Kaum Alawiyin dimakamkan. Di tempat ini banyak dimakamkan para auliya

Allah Swt dan orang shaleh yang masih keturunan Baginda Rasulullah Saw, selain para habaib juga terdapat masyaikh. Sedangkan di pemakaman Furaith terdapat pemakaman para masyaikh dan Akdar merupakan pemakaman umum.

1. Pemakaman Zambal

Di pemakaman Zambal, para Saadah al-Asyraf, ulama al-amilin, auliya dan salihin yang tidak terhitung jumlahnya dimakamkan di sana. al-Iman asy-Syeik

Abdurahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah ra berkata: “Lebih dari seribu ribu auliya al-akbar, delapan wali quthub dari keluarga Alawiyin dimakamkan di pemakaman Zambal.”18

18Al-Syilli, al-Masra al-Rawi, h. 279.

18

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh asy-Syeikh Sa’ad bin Ali ra: “Di pemakaman Zambal, dimakamkan beberapa para sahabat Rasulullah Saw. Mereka wafat ketika menunaikan tugas untuk memeramgi ahli riddah. Mereka banyak yang wafat di Tarim dam tidak diketahui dimana mereka dimakamkan.

2. Pemakaman Furaith

Selain pemakaman Zambal, terdapat pula pemakaman Furaith.19 Di tempat tersebut dimakamkan para ulama auliya, shalihin yang tak terhitung jumlahnya.

Mengenai hal ini, al-Imam asy-Syeikh Abdurahman Assegaf bin Muhammad

Mauladdawilah ra berkata: “Di tempat itu dikuburkan lebih dari sepuluh ribu wali.”

Beberapa ulama ahli kasyaf20 menyaksikan, sesungguhnya rahmat Allah Swt yang turun pertama kali di dunia ini adalah pemakaman Furaith. Asy-Syekh Abdrahman

Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah, al-Imam Abdullah bin Ahmad bin

Abubakar bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan sebagian ulama di kota

Mekkah menceritakan dibawah tanah pemakaman Furaith terdapat taman-taman surga.21

19Dalam kamus Bahasa Arab arti Furaith adalah gunung kecil. 20Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. Tarim Kota Pusat Peradaban Islam. Malang: Pustaka Basma, 2012, h. 135. 21 Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. Tarim Kota Pusat Peradaban Islam. Malang: Pustaka Basma, 2012, h. 136.

19

3. Pemakaman Akdar

Pemakaman ketiga yang terkenal di kota Tarim adalah pemakaman Akdar.

Dipemakaman Akdar ini banyak dimakamkan para ulama, auliya, al-Arifin dari keluarga al-Bashri, keluarga Jadid, keluarga Alwi, keluarga Bafadhal, keluarga

Baharmi, keluarga Bamashun, keluarga Bamarwan, keluarga Ba’Isa, keluarga

Ba’Ubaid serta beberapa keluarga habaib dan masyaikh lainnya.

C. Masjid bersejarah di Kota Tarim

Selain pemakaman yang makmur akan aulianya, di Kota Tarim juga terkenal dengan bangunan masjidnya, yang selalu rama digunakan ibadah oleh para penduduknya. Banyaknya masjid di kota Tarim merupakan bukti bahwa penduduk kota Tarim termasuk masyarakat yang gemar melaksanakan shalat berjama’ah serta mencantai ilmu pengetahuan. Karena khususnya di Kota Tarim atau umumnya di

Negara-negara Arab, masjid digunakan sebagai tempat belajar dan mengajar.

Menurut beberapa sumber, di Hadhramaut terdapat sekitar 365 jami. Jumlah ini sama dengan jumlah hari dalam setahun. Rata-rata masjid yang ada sudah makmur.22

Sesudah kepindahan keluarga Ba’alawi masjid menjadi tempat pendidikan yang melahirkan ulama-ulama terkenal pada masanya. Masjid-masjid di Tarim tidaklah semewah masjid di Indonesia, masjid disana hanya tersusun dari batu-batu sederhana dan beralaskan sederhana, dengan desain yang sangat sederhana. Meskipun demikian,

22Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. Tarim Kota Pusat Peradaban Islam. Malang: Pustaka Basma, 2012, h. 141.

20

setiap waktu masjid-masjid di kota Tarim tidak pernah sepi dan I’tikaf, orang berdzikir, shalat, membaca al-Qur’an, mengkaji hadits serta mengadakan majelis ta’lim.23

Umumnya masjid yang berada di kota Tarim terbuat dari tanah, dengan campuran rumput kering dan batu kerikil dan batu kerikil untuk dijadikan bahan baku bangunan. Walaupun terbuat dari tanah, masjid-masjid tersebut berdiri dengan kuat dan kokoh hingga berumur mencapai sekitar 700 tahun. Beberapa masjid yang berada di kota Tarim antara lain adalah Masjid Ba’alawi, Masjid Assegaf, Masjid Jami al-

Mudhar, Masjid al-Aydrus, Masjid asy-Syeikh Ali bin Abibakar as-Sakran dan

Masjid al-Imam al-Haddad.

D. Pendidikan di Kota Tarim

Di kota Tarim sendiri banyak terdapat lembaga pendidikan yang sudah terkenal menghasilkan da’i-da’i yang selalu mengedepankan akhlak dan hikmah dalam berdakwah, jauh sekali dari sikap radikalisme dan kekerasan. Beberapa institusi atau lembaga pendidikan tersebut diantaranya adalah:

1. Rubath Tarim

Berdirinya Rubath Tarim merupakan hasil pertemuan para ulama Tarim dari

keluarga al-Haddad, as-Sry, al-Junaid dan al-Arfan untuk mendirikan sebuah

23Abdurrahman Baraqbah. Hadhramaut Bumi Sejuta Wali. Surabaya: Data Mustafa Press, h. 51.

21

Rubath,24 yang kemudian dinamakan Rubath Tarim. Persyaratan bagi calon pelajar juga dibahas pada kala itu. Kriteria utama diantaranya calon santri adalah penganut salah satu madzhab dari empat madzhab fikih terkemuka dalam Ahlusunnah Wal

Jama’ah25 dan dalam akidah berkiblat al-Asy’ariyah ataupun al-Maturidiyyah.

Setelah membuat kesepakatan tersebut, maka dimulailah pembangunan Rubath

Tarim. Untuk keperluan ini, al-Habib Ahmad bin Umar asy-Syathiri26 mewakafkan rumah dan pekarangannya yang berada di sebelah pasar di halaman masjid jami kota

Tarim dan masjid Babthainah.27 Selain itu, wakaf juga datang dari al-Muhaddis

Muhammad bin Salim as-Sry.28

Al-Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri29 menambahkan bahwa pedagang- pedagang dari keluarga al-Arfan juga mewakafkan tanah yang mereka beli di bagian

Timur, mereka kemudian dijuluki tujjaru ad-dunya wa al-akhirah.30 Datang pula sumbangan melalui wakaf rumah, kebun, dan tanah milik keluarga-keluarga habaib di luar Yaman, di antaranya dari Mekkah, Madinah, Indonesia, Singapura, Bombosa

Afrika, serta beberapa Negara lainnya.

Akhirnya selesailah pembangunan Rubath Tarim di bulan Dzulhijjah tahun 1304

H dan secara resmi pada 14 Muharram 1305 H. keluarga al-Attas tercatat sebagai santri pertama yang belajar di Rubath Tarim, baru kemudian datang keluarga al-

24Ma’had atau institusi pendidikan yang berbasis pondok pesantren klasik. 25Madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’I dan Hambali. 26Wafat di Kota Tarim pada tahun 1306 H. 27Yang sekarang menjadi masjid Rubath Tarim. 28Lahir di Singapura pada tahun 1264 H dan wafat di Kota Tarim pada tahun 1346 H. 29Pengasuh Rubath Tarim sekarang. 30Pedagang dunia dan akhirat.

22

Habsyi, begitu selanjutnya berdatangan para pelajar, baik dari Hadhramaut sendiri maupun dari luar Hadhramaut bahkan dari luar negeri Yaman, hingga dari berbagai penjuru dunia.

Mufthi Dhiyar al-Hadramiyah al-Imam al-Habib Abdurrahman bin Muhmmad al-

Masyhur,31 merupakan pengasuh pertama Rubath Tarim. Beliau lahir di kota Tarim tahun 1250 H. Beliau mengasuh Rubath Tarim hingga tahun 1320 H, dengan dibantu ulama-ulama lain yang ada pada masa itu. Kemudian dilanjutkan oleh al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Masyhur, lahir di kota Tarim pada tahun 1274 H. Beliau mengasuh Rubath Tarim sejak wafatnya sang ayah yakni al-Habib Abdurrahman bin

Muhammad al-Masyhur, hingga tahun 1344 H ketika beliau berpulang ke rahmatullah pada tahun itu pada tanggal 9 Syawal.

Al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syatiri,32 yang kemudian diberi mandat oleh pemuka kota Tarim untuk menjadi pengasuh ketiga yang semula menjadi wakil al-

Habib Ali bin Abdurrahman al-Masyhur sejak tahun 1341 H, jika beliau berhalangan dan telah menjadi pengajar di Rubath Tarim sejak datang dari kota Mekkah pada tahun 1314 H. Dan di lanjutkan al-Habib Mahdi bin Abdullah bin Umar asy-Syatiri sebagai pengasuh keempat, al-Habib Hasan bin Abdullah bin Abdullah bin Umar asy-Syatiri sebagai pengasuh kelima, dan yang terakhir atau sampai saat ini al-Habib

Salim bin Abdullah bin Umar asy-Syatiri.

31Penulis Kitab Bugyatul Mustarsyidin. 32Lahir di Kota Tarim pada bulan Ramadhan tahun 1290 H.

23

Sejak berdiri hingga sekarang atau sekitar kurang lebih 125 tahun, pengajian di

Rubath Tarim dilaksnakan dengan sistem halaqah yang dibimbing oleh para masyaikh.33 Klasifikasi ini disesuaikan dengan tingkatan masing-masing pelajar.

Tiap halaqah mengkaji disiplin keilmuan. Tak kurang dilaksanakan dengan sistem halaqah sejak pagi hingga malam mengkaji ilmu-ilmu agama dan diikuti oleh para pelajar dengan disiplin dan khidmat.

2. Darul Musthafa

Darul Musthafa merupaka sebuah bukti benteng Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan madzhab Syafi’I di negeri Yaman. Dari Darul Musthafa inilah telah bermunculan kader da’i-da’I muda yang berdakwah dengan mengusung semboyan bil hikmah wal mauidzah hasanah „ala Thariqah Ba‟alawi.34

Darul Musthafa yamg terletak di Kota Tarim, Hadhramaut ini, didirikan oleh seorang habib muda yang memiliki semangat dakwah tinggi, yaitu al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz. Darul Musthafa ini mula-mula berdiri pada akhir tahun 1414 H yang bertepatan dengan tahun 1993 M di belakang kediaman al-

Habib Umar bin Hafidz di kota Tarim, Hadhramaut. Al-Habib Umar menyewa sebuah rumah di bagian belakang rumah miliknya untuk menampung sekitar 35 murid.

Awal mulanya, murid itu terdiri dari lima murid yang berasal dari Yaman dan selebihnya berasal dari Indonesia, diantaranya al-Habib Jindan bin Novel bin

33Bentuk jama dari syeikh, yang berarti guru-guru. 34Dengan santun dan bijak, serta berjalan di atas Thariqah Alawiyah.

24

Jindan,35 al-Habib Munzir bin Fuad al-Musawa,36 serta masih banyak lagi angkatan

pertama yang berasal dari Indonesia. Para murid yang berasal dari Indonesia

tersebut belajar di Darul Musthafa atas kehendak dan permintaan al-Habib Umar

sendiri ketika ia berkunjung ke Indonesia pada kali pertama atas undangan al-Habib

Anis bin Alwi bin Ali al-Habsyi, di Solo. Setelah beberapa persyaratan dipenuhi,

para santri awal dari Indonesia tersebut berangkat ke Tarim pada sekitar awal tahun

1994 M.

Menginjak delapan bulan belajar di Darul Musthafa, terjadi peperangan antara

Yaman Utara dan Yaman Selatan. Meskipun begitu, para santri Darul Musthafa tetap

tekun belajar dalam kesederhanaan. Al-Habib Umar pun tetap mengajar para

muridnya mulai pagi hingga larut malam. Makanan yang dimakan al-Habib Umar

dan keluarganya sama dengan apa yang dimakan oleh murid-muridnya. Pada waktu

itu memang betul-betul hidup penuh kesederhanaan. Bahkan saat itu tidak ada aliran

listrik. Mereka belajar dengan menggunakan penerangan lampu ala kadarnya.

Setelah jumlah murid bertambah, ruangan yang digunakan untuk belajar pun tidak

mencukupi. Sehingga kemudian para murid pun dipindahkan ke masjid at-Taqwa

yang letaknya tidak jauh dari rumah al-Habib Umar bin Hafidz. Dengan

bertambahnya murid yang ingin belajar ke al-Habib Umar, maka dipindahkan ke

35Da’I muda yang memiliki mobilitas tinggi dalam berdakwah dan sebagai pengasuh pesantren al-Fachiriyyah al-Habib Salim bin Jindan, Ciledug, Tangerang. 36Pengasuh Majelis Rasulullah Saw, Jakarta.

25

masjid Maula Aidid, hingga pesantren Darul Musthafa yang indah nan megah itu

selesai dibangun pada tahun 1417 H yang bertepatan pada bulan Mei 1997 M.37

Metode pendidikan di Darul Musthafa tidak jauh berbeda dengan sistem

pendidikan pesantren salaf yang berada di Indonesia pada umumnya. Hanya saja ada

beberapa inovasi yang berbeda untuk mencapai efisiensi pendidikan. Salah satunya

adalah pembelajaran tentang Thariqah Alawiyah. Dalam pesantren ini para murid

belajar kitab-kitab fikih, tarikh, nahwu, akidah, tahfidz Al-Qur’an, tafsir, matan,

hadits, serta tasawuf. Perlu diketahui bahwa di Darul Musthafa ini dakwah keluar

lebih ditekankan kepada setiap muridnya.

Lama belajar setiap murid rata-rata selama empat tahun, tanpa menganut sistem

kenaikan kelas. Para murid belajar secara berjenjang dengan cara memahami

beberapa kitab dibawah bimbingan para guru pengajar yang ahli dan memiliki sanad

keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Setelah diuji dan lulus, mereka baru

bisa melanjutkan ke kitab yang lebih sulit, jika tidak lulus dalam ujian, maka harus

mengulanginya kembali.

3. Universitas al-Ahgaff

Universitas al-Ahgaff didirikan oleh al-Habib Mahfuz bin Abdullah al-Haddad

dan resmi berdiri serta mulai membuka proses pendidikannya setelah mendapatkan

izin resmi dari pemerintah Yaman melalui ketetapan Menteri Pendidikan Yaman

37Abdurrahman Baraqbah. Hadhramaut Bumi Sejuta Wali. Surabaya: Data Mustafa Press, h. 179.

26

nomor 05 tahun 1994 M. dan telah terdaftar sebagai anggota persatuan universitas

Arab.38 Dan sebagai pimpinan atau rector Universita al-Ahgaff yang sekarang adalah

Prof. Dr. al-Habib Abdullah Baharun. Universitas al-Ahgaff berpusat di kota

Mukalla, Ibu kota provinsi Hadhramaut.

Metode pengajaran yang diterapkan oleh Universitas al-Ahgaff selama ini adalah sistem semester, jenjang pendidikan yang terdiri dari sepuluh semester dan bisa ditempuh minimal lima tahun dan maksimal selama tujuh tahun untuk Fakultas

Syariah Wal Qanun, Fakultas Sastra. Serta Fakultas kajian Islam dan delapan tahun untuk Fakultas Tekhnik, Fakultas Ekonomi, serta Fakultas Ilmu dan Tekhnologi.

Waktu kuliahnya adalah setiap hari selain hari Jum’at. Dimulai pukul delapan pagi sampai jam satu siang dari paket mata kuliah yang sudah ditentukan oleh pihak kuliah. Dan terkadang jadwal kuliah membengkak sampai sore hari atau malam hari menurut kondisi.

38Ittihad al-Jami al-Arabiyyah.

BAB III

DIASPORA ULAMA HADHRAMI

A. Diaspora Ulama Hadhrami : Suatu Penjelasan Umum

Diaspora adalah persebaran bangsa atau etnis ke berbagai dunia, dan perkembangannya yang di hasilkan karena penyebaran dan budaya.1 Diaspora Arab lebih khusus lagi Hadhrami telah menjadi bidang kajian sangat menarik. Dalam satu dasawarsa terakhir, sejumlah karya (disertasi maupun artikel) telah ditulis untuk menyoroti pergumulan komunitas ini di negara-negara tempat mereka mengembara.

Bangsa yang baik adalah bangsa yang punya tradisi tulis-menulis (diantaranya, tradisi menulis silsilah, wilayah yang pernah mereka datangi dan sebagainya) yang kuat. Hadhrami, salah satu suku dari bangsa Arab, merupakan sebuah suku yang mempunyai tradisi tersebut. Karena Hadhrami memiliki hal tersebut, orang-orang zaman sekarang mudah untuk mengetahui identitas nenek moyang mereka.

Oleh karenanya, kita dapat mengetahui rekam jejak sejarah orang-orang

Hadhrami yang melakukan diaspora. Dari tradisi tulis-menulis tersebut paling tidak dapat mengetahui alasan detail mereka melakukan diaspora. misalnya ketika para

Hadhrami terpaksa meninggalkan tanah air mereka yang mana tanah yang miskin dan

1Diaspora (Lihat Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, KBBI, ed.3, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h. 342.

27

28

gersang menjadi alasan kuat mereka pindah untuk mencari keberuntungan di kawasan

Samudera Hindia yang lebih luas dan subur.

Begitu pula dengan sayyid (keturunan Nabi Muhammad),2 mereka juga termasuk yang ikut melakukan disapora. Nantinya para imigran ini banyak yang menjadi pedagang, beberapa guru agama (ulama) dan ahli hukum, lainnya menjadi tentara bayaran, beberapa bahkan mendirikan dinasti lokal melalui perkawinan.

Para imigran Hadhrami tersebut biasanya bepergian ke wilayah baru tanpa istri dan seringkali menikahi perempuan pribumi dimana mereka tinggal.3 Keturunan mereka dikenal sebagai muwwalad (istilah dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari walada atau lahir, kalimat ini memiliki bentuk pelaku walad yang artinya anak sedangkan bentuknya jamaknya adalah awlad atau anak-anak), istilah yang juga diterapkan pada setiap Hadhrami yang lahir di luar negeri.4

Terlepas dari hal diatas, penting untuk dipahami bagaimana awalnya para Sayyid bermigrasi dari Kota Tarim, yang awalnya dipelopori Sayyid Ahmad bin Isa Al

Muhajir. Ia beserta pengikutnya, datang dari Iraq dan mendirikan Rubath di Kota

Tarim. Kehadiran keturunan Nabi Muhammad di Kota Tarim tentu saja tidak terlepas dari latar belakang sejarah hidup mereka, yang akhirnya membawa mereka untuk

2Di Hadhramaut, kata Syarif sering digunakan sebagai kata sifat dengan makna „agung‟. Dalam pengertian itulah kata itu ditambahkan pada gelar Sayyid, yaitu as-Sayid asy-Syarif atau „sayyid yang agung‟. Kata sifat itu tidak ada kaitannya dengan gelar Syarif. Lihat L.W.C van den Berg. Orang Arab di Nusantara. Jakarta : Komunitas Bambu, 2010, h. 33. 3Para pendatang (Sayyid) yang datang dari Hadhramaut menikah dengan perempuan lokal. Lihat Ho, Engseng, The Graves of Tarim: Genealogy and Mobility Across the Indian Ocean. Berkeley : University California Press. 2006, h. 235. 4Gavin, R. J. Aden under British rule, 1839–1967. London: Hurst. 1975, h. 198

29

datang ke Hadhramaut.5 Meskipun para Hadhrami meninggalkan wilayah Kota

Tarim, namun mereka tetap memilih berkunjung dan mendatangkan sejumlah barang dagangan ke wilayah tersebut. Anak-anak, kerabat dan lain sebagainya yang dilahirkan di luar Kota Tarim, mereka tetap datang ke wilayah asalnya.6

Kedatangan para Hadhrami yang dilahirkan di luar Kota Tarim pada dasarnya memiliki dua tujuan utama, pertama, mengajarkan kepada mereka tempat di mana mereka sesungguhnya berasal, dan kedua, mengajarkan kepada mereka bagaimana kehidupan lokal di tempat mereka berasal. Dalam hal ini, mereka yang datang ke

Tarim menyesuaikan diri dengan lingkungan asal mereka, dari luar ke dalam, sebagaimana mereka beradaptasi di wilayah yang mereka tempati, dari daerah tujuan ke daerah asal. Tarim tidak lagi dilihat sebagai wilayah tujuan, sebagaimana dilakukan oleh para sayyid pada abad dua belas, namun sebagai wilayah asal.7

Para Hadhrami yang melakukan diaspora ke berbagai wilayah, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, tidak lah datang secara berbondong-bondong dengan seluruh keluarga mereka. Seringkali mereka datang dalam kelompok-kelompok kecil. Pada umumnya mereka datang bersamaan dengan para pedagang yang datang dari wilayah lain. Dengan begitu penulis berasumsi bahwa kedatangan mereka adalah untuk keperluan perdagangan daripada menyiarkan agama Islam. Selain itu tujuan

5Hadhramaut sendiri konon diambil dari ucapan Nabi Hud ketika akan meninggal, yakni „Hadara al Maut”, yang artinya telah datang maut (baca: malaikat maut), sehingga nama wilayah tersebut dikenal dengan Hadhramaut. Lihat. Abdurrahman Baraqbah. Hadhramaut Bumi Sejuta Wali. Surabaya: Data Mustafa Press, hal. 28. 6Ho, Engseng, The Graves of Tarim: Genealogy and Mobility Across the Indian Ocean. Berkeley : University California Press. 2006, h. 22 7Ho, Engseng, The Graves of Tarim: Genealogy and Mobility Across the Indian Ocean. Berkeley : University California Press. 2006, h. 23

30

kedatangan mereka melewati samudera adalah untuk memperluas jaringan perdagangan. Dan kemudian melalui jalur perdagangan inilah mereka juga menyebarkan agama Islam. Oleh karena itu sebagian besar Hadhrami bisa dikatakan sebagai ulama.

Sebuah contoh yang luar biasa dari diaspora Hadrami adalah kemampuan orang

Hadrami mempertahankan rasa bangga dengan tanah air sekaligus rasa kesukuan mereka, sementara beradaptasi dan berkembang di wilayah yang mereka tempati.

Para Hadhrami ini, dapat diumpamakan dengan seseorang yang berpijak pada dua tanah, satu kaki berada di tanah asal mereka dan satu kaki lainnya berpijak di wilayah baru. Mereka yang kemudian menikah dan membangun keluarga, tetap mempertahankan identitas mereka. Mereka mengirimkan uang untuk keluarga mereka di Hadhramaut, sering pula mengirim anak-anak mereka yang lahir di luar

Hadhramaut untuk kembali ke sana menuntut ilmu, bahkan sampai kembali menetap di Yaman

Meskipun mereka telah berasimilasi dengan penduduk lokal, para Hadhrami ini tetap menjalin hubungan dengan daerah asal mereka dan sedapat mungkin mempertahankan hubungan genealogis serta gaya hidup dengan wilayah asal mereka.

Sementara pengetahuan yang di dapat melalui perjalanan, menjadikan mereka sebagai lokal kosmopolitan. Kaum kosmopolit lokal ini tentunya berbeda dengan penduduk

31

lokal. Perbedaan ini muncul sebagai akibat dari keterkaitan erat dengan wilayah asal mereka, sebagaimana terlihat dari nama-nama dan marga yang digunakan.8

Engseng Ho sendiri merujuk pada dua teks yang dibuat di Gujarat dan Mekkah.

Salah satu teks berjudul “The Traveling Light: Account of the Tenth Century”, karya

Abdul Qadir al-Aydrus dan “, karya Muhammad bin Abi Bakr al-Shilli. Dalam teks- teks tersebut cukup banyak memberikan informasi mengenai genealogis keturunan

Nabi Muhammad, kehidupan sosial orang-orang Hadhrami, dan bagaimana mereka bertahan dalam suatu lingkungan. Teks-teks ini menjadi contoh dari hibridisasi, dikarenakan isi dari teks ini yang sangat beragam. Teks ini tidak semata-mata hanya membicarakan kehidupan para keturunan Nabi yang didasarkan pada bukti-bukti historis, namun juga cerita-cerita sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya.9

Marga bagi para Hadhrami menjadi salah satu penanda penting identitas mereka, khususnya dikalangan para Sayyid, disamping itu mereka juga mempergunakan nama-nama yang memiliki hubungan dengan akar genealogisnya, di mana nama- nama yang digunakan seringkali berulang dalam sebuah siklus, maupun kesamaan dengan saudara-saudara mereka di luar sana. Persoalan nama adalah persoalan yang penting, sebagaimana persoalan mengenai hubungan genealogis. Jika nama menunjukkan hubungan genealogis, bahkan dengan nama pula menunjukkan posisi dirinya ketimbang masyarakat lokal. Para Hadhrami ini sejak dahulu gemar

8Idrus Alwi al-Mansyhur. Sejarah Silsilah Dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad Saw. Jakarta: Sanaz Publishing. 2002, h. 39. 9Ho, Engseng. The Graves of Tarim: Genealogy and Mobility Across the Indian Ocean. Berkeley : University California Press. 2006, h. 117.

32

melakukan perjalanan dengan tidak membawa istri dan anak-anak mereka, oleh karenanya tidak sedikit dari mereka yang memiliki istri lebih dari satu dan setiap anak yang lahir dari rahim perempuan lokal yang dibuahi oleh laki-laki Hadhrami akan memiliki hubungan genealogis yang sama dengan ayahnya. Dengan begitu anak-anak ini memiliki dua tipe hubungan yang saling terpaut: mereka sebagai anak-anak lokal karena dilahirkan oleh ibu yang lokal pula, sekaligus menjadi kosmopolit karena ayah mereka.

Para Hadhrami yang melakukan perjalanan tidak hanya membawa agama mereka, namun juga kebudayaan yang mereka miliki. Perjalanan mereka tidak hanya berpengaruh pada ruang dan waktu, namun juga merubah konsepsi mengenai ruang dan waktu.10 Sejarah mencatat, masyarakat Hadhrami merupakan individu-individu penting dalam usaha menyebarkan agama Islam pada awal abad ke 7 M melalui diaspora ke berbagai negara diantaranya; ke Afrika Timur (Kenya, Somalia,

Tanzania), India, dan Kepulauan Nusantara.11

Kemudian, sebagian besar diaspora Hadhrami disebabkan faktor perdagangan dan motivasi dakwah Islam serta beberapa tekanan utama yang memaksa kepindahan mereka, diantaranya; disebabkan keadaan demografi Hadhramaut yang tidak

10Ho, Engseng. The Graves of Tarim: Genealogy and Mobility Across the Indian Ocean. Berkeley: University California Press, 2006, h. 32. 11Noryati Abdul Samad, Hadhrami Arab di Asia Tenggara: Sebuah Pengantar. Hadhrami Arab di Asia Tenggara Dengan Referensi Khusus ke Singapura: Sebuah Catatan Bibliografi. Singapore National Library Board, h. 8.

33

menyokong kelangsungan hidup masyarakatnya, kondisi cuaca yang tidak menentu dan keadaan politik di dalam negeri yang tidak stabil.12

Sumber-sumber penulisan Arab kontemporer menjelaskan, bahwa masyarakat

Hadhrami melakukan Islamisasi melalui perdagangan dengan cara menjual hasil bumi seperti; ikan kering, batu permata, besi yang berkualitas dan kulit binatang. Istilah

Hadhrami digunakan untuk menjelaskan masyarakat Arab yang menetap di luar

Provinsi Hadhramaut, Negara Yaman. Hadhramaut yang menjadi tempat asal masyarakat Arab ini mempunyai sejarah yang panjang, letaknya yang berdekatan dengan Laut Merah berfungsi menghubungkan kapal-kapal perdagangan dari negeri- negeri yang ada di sebelah Timur dan Barat daerah tersebut.13

Keahlian masyarakat Arab Hadhrami dalam urusan perdagangan internasional juga didukung oleh jati diri mereka yang dibentuk oleh kehidupan sehari-hari sewaktu berada di Hadhramaut. Para peneliti sejarah mengenai pola dan budaya bisnis Arab

Hadhrami menemukan, bahwa setiap kelas masyarakat memonopoli bisnis masing- masing. Bagi golongan menengah misalnya, mata pencaharian hidup mereka sehari- hari mengandalkan perdagangan dan industry. Adapun bagi golongan sayyid dan suku-suku yang menetap, mata pencaharian mereka mengandalkan pertanian, sementara suku Badui menghidupi diri dengan berburu dan berternak. Hasil pertanian dan produk industri untuk diperdagangkan ini kemudian dijual di Seiwun, sebuah kota yang memiliki pasar serta dibuka setiap kali setelah shalat Jumat di dekat

12Omar Khulaidi, The Arabs of Hadramawt in Hyderabad in Mediaeval Deccan History. Bombay: Popular Prakashan. 1996, h. 65. 13Mahyuddin Hj. Yahya. Sejarah orang Syed di Pahang. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 1942 , h. 4.

34

lapangan besar di depan masjid. Lokasi yang strategis di tanah lapang yang terbesar dan fasilitas prasarana yang baik, membuat pasar itu tersohor di kalangan pedagang yang hadir dengan berbagai urusan.

Meskipun demikian, perdagangan darat dengan masyarakat luar dilakukan hanya di daerah Hadhramaut sampai ke negeri Yaman di sebelah Barat dan Oman di sebelah

Timur. Perdagangan melalui jalan laut pula lebih aktif ketika dilakukan dengan kapal- kapal buatan Eropa dan kapal-kapal buatan Arab. Semua ini dilakukan di sepanjang

Pantai Timur Afrika, Laut Merah, Teluk Persia, India dan pantai selatan Arab khususnya pelabuhan Maskat, Zafar dan Aden. Hasil bumi yang diperdagangkan diantaranya; gandum, madu, kurma. Dibandingkan dengan barang dagangan lain, kurma dan kapas menjadi komoditas ekspor terpenting di laut.14

Melalui isu-isu yang telah dibahas, penulis menemukan bahwa keahlian masyarakat Arab Hadhrami terhadap ilmu perdagangan dan agama menjadi faktor yang mendorong mereka untuk bermigrasi keluar. Migrasi yang dilakukan Arab

Hadhrami tercatat lebih banyak tersebar di wilayah kepulauan Nusantara,15 L. Van

Rijck Vorsel dalam bukunya, “Riwayat Kepulauan Hindia Timur” menjelaskan, orang-orang Arab hadir terlebih dahulu ke wilayah Nusantara dibandingkan orang- orang Belanda. Bukti kongkritnya yakni, risalah Islam yang dibawa telah dilihat bertapak dibeberapa Kesultanan di Nusantara, diantaranya; seorang Sayyid dari

14Abdurrahman Baraqbah. Hadhramaut Bumi Sejuta Wali. Surabaya: Data Mustafa Press, h. 23 15Muzafar Dato Hj Mohamad. Peranan Ahlul Bayt dalam Pemerintahan Islam di Nusantara. Kertas Kerja Seminar Majlis Ijtimak Ulama Pondok Senusantara Ke-2 di Kampung Baru Jenderam Hilir, Selangor, 12 – 14 April 2007, h. 5-6.

35

keluarga Jamalulayl pernah menjadi sultan di Kerajaan Aceh, seorang bangsawan

Arab dari keluarga al-Shihab berhasil mendirikan Kesultanan Siak pada tahun 1782

M, dan seorang dari keluarga al-Qadri mendirikan berhasil Kesultanan Pontianak pada tahun 1771.16

Jumlah migrasi masyarakat Arab Hadhrami semakin bertambah pada abad ke-

18M. tentunya kehadiran mereka mampu memberikan dampak yang besar terhadap pekembangan Islam di wilayah baru yang mereka huni. Dibawah ini penulis akan menjelaskan mengenai penyebaran Hadhrami (Ulama Yaman) di beberapa wilayah.

B. Penyebaran Ulama Yaman

1. Di Asia Tenggara

Awalnya kedatangan Hadhrami di Asia Tenggara sudah berlangsung lama, yaitu sejak awal abad ke-12, sejak kedatangan Ulama Ba‟alawi dari marga Shihab ke Siak yang kemudian menjadi sultan di sana; ulama dari nasab Balfaqih ke Mindanau,

Filiphina; ulama nasab Jamal al-Lail ke Perlis, yang salah satu keturunannya pernah menjabat di Kerajaan Malaysia. Kehadiran mereka di masyarakat Asia Tenggara, di terima dengan tangan terbuka bahkan mendapat tempat yang khusus dalam masyarakat, seperti buku yang ditulis Van Den Berg.17

Khususnya di Nusantara pada abad ke- 15, waktu berakhirnya kejayaan Kerajaan

Majapahit, di Jawa Tengah sudah ada penduduk Hadhrami. Orang Hadhrami pada

16A. Shihabuddin. Membongkar Kejumudan Menjawab Tuduhan-Tuduhan Wahhabi Salafi. Jakarta: PT Mizan Publika. 2013, h. 480. 17Van den Berg, L.W.C. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Jakarta: INIS (INIS Series Volume III). 1989. h., 6

36

masa itu sudah bercampur dengan penduduk setempat, bahkan sebagian di antaranya banyak menduduki jabatan tinggi di kerajaan.18

Dengan kedudukan itu mereka sudah terikat dengan tata cara pergaulan dan kekerabatan, bahkan banyak petinggi Hindu yang sudah meniru adat istiadat kebiasaan orang Arab, yang mereka terima begitu saja karena yakin kebiasaan itu berasal dari keturunan Rasulullah Saw. Pada waktu itu orang-orang Arab

Hadhramaut, sudah berhasil menanamkan pemikiran baru kepada orang Hindu yang kemudian diteruskan kepada keturunannya secara berkesinambungan, yang dikemukakan Van Den Berg diatas adalah gambaran masa kehadiran walisongo di

Pulau Jawa, yang merupakan kedatangan orang Hadhramaut gelombang pertama.19

Disamping itu menurut Ambarak A. Bazher dalam bukunya Sejarah Masuk dan

Berkembangnya Islam di Timor Timur, “Orang Arab Hadhramaut sudah lebih dulu tinggal di Timur Leste jauh sebelum kedatangan orang-orang Portugis di sana. karena menurut Haji Abdullah Basyrewan, rakyat yang menyambut kedatangan kapal kolonial tersebut pada tahun 1512 dipimpin oleh seorang Arab Hadhramaut yang bernama Abdullah Bal Afif”.20

18Natalie Mobini Kesheh. Kebangkitan Hadhrami di Indonesia. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2007, h. 38 19Berdasarkan catatan Naqoba; Asyrof Al Kubro, kecuali Sunan Kali Jaga yang masih kontroversi, seluruh walisongo berasal dari keturunan Alawiyin dari nasab Abdul Malik atau Azmat Khan. 20Ambarak A. Bazher. Islam Timor Timur. Jakarta: Gema Insani Press. 1995, h. 28.

37

Pada awal abad ke-18, terjadi kedatangan orang Hadhramaut gelombang kedua, yang terdiri dari marga Assegaf, al-Habsyi, Alaydrus, Alatas, al-Jufri, Syihab,

Syahab, Jamalulail, al-Qadri, Basyaiban, Bin Yahya.

Salah seorang ulama Hadhramaut yakni Sayyid Abdurrahman bin Muhammad

Basyaiban yang tiba di Cirebon dan kemudian menikah dengan puteri Sultan Cirebon.

Dari pernikahannya tersebut lahir dua orang putera yaitu, Sayyid Sulaiman bergelar

“Kyai Mas Mojo Agung” dan Sayyid Abdurrahim yang bergelar Kyai Mas”.Semula keduanya tinggal di Surabaya namun kemudian pindah ke Krapyak Pekalongan.

Di Kerajaan Jambi dan Aceh juga terdapat banyak keturunan nasab Baraqbah, al-

Jufri dan Jamal al-Lail. Namun seiring dengan berjalannya waktu, nasab-nasab ini hilang karena banyak yang tidak menggunakannya lagi. Pendiri Kesultanan Siak adalah Sayyid Ali bin Utsman bin Syihab, dan Kesultanan Pahlawan didirikan oleh

Sayyid Abdurrahman bin Utsman bin Syihab.

Pada gelombang pertama dan kedua mayoritas golongan Habaib atau Sayyid yang misi utamanya dakwah menyebar luaskan agama Islam, maka kedatangan gelombang ketiga mayoritas non Habaib yang disebut Ghabili21, yang lebih banyak bertujuan sosial ekonomi disamping agama.

Van Den Berg dalam bukunya Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (1989), mengatakan bahwa orang Hadhramaut non Habaib, sudah mulai menetap di Pulau

Jawa pada tahun 1820. Sekalipun demikian, sebelum tahun 1859 data jumlah

21Dari kata Qaba’il, Kabilah yang berarti suku.

38

Hadhrami di Nusantara tidak jelas, karena sering keliru dengan orang India dan orang asing lainnya yang beragama Islam.

Asosiasi Singapura dengan bangsa Arab dapat ditelusuri pada tahun 1819, ketika mereka pertama kali tiba. Sebagian besar orang Arab yang menetap di Asia Tenggara berasal dari Hadhramaut terletak di selatan ujung Semenanjung Arab (sekarang

Yaman), dan dikenal sebagai Hadhrami. Pengaruh budaya Arab dan adat istiadat melayu lokal telah banyak bercampur.Banyak orang Melayu keturunan migran Arab yang datang selama waktu Raffles.

Keturunannya membentuk berbagai Hadhrami Arab keluarga dengan nama keluarga yang yang disegani di wilayah Asia Tenggara - misalnya Alattas, Aljunied,

Alhaddad, Alkaff dan Alsagoff. Oleh karena itu di Singapura, seperti pada negara- negara Asia Tenggara lainnya, hampir semua migran Arab ke pulau tersebut itu berasal dari Hadhramaut.22 Salah satunya adalah Syekh Omar Aljunied.

Syekh Omar Aljunied lahir di Kota Tarim, Hadhramaut.Tidak ada catatan untuk mengkonfirmasi tahun kelahirannya yang pasti, tetapi beberapa sejarawan memperkirakan terjadi pada akhir abad ke-18. Dia mempunyai dua saudara, Ahmad dan Abdullah.Ia menikah dengan seorang wanita dari keluarga Alkaff, Sharifah

'Alwiyah binti Abdullah dan mereka memiliki dua anak perempuan dan lima anak laki-laki. Semua dari mereka lahir di Singapura.

22F. Ulrike, Pedagang Arab di Singapura. Leiden: KITLV Press, 2002, h. 113.

39

Sebelum Sir Stamford Raffles memimpin Singapura, paman Syekh Omar yakni

Syekh Mohamad bin Haroon Aljunied telah membuktikan dirinya sebagai pedagang yang sukses di Palembang. Mendengar berita tersebut, Raffles mendorong mereka untuk mendirikan bisnis di Singapura dan memberikan modal baru yang dibutuhkan.

Tertarik dengan berita ini Syekh Mohammad berlayar dari Palembang ke Singapura, ia memilih Singapura karena pada saat itu Indonesia dijajah oleh Belanda yang membatasinya untuk berdagang, ia membawa keluarga dan keponakannya pada tahun

1819.23

Ketika Syekh Mohamad meninggal di Singapura pada tahun 1824, keponakannya yakni Syekh Omar mengambil tanggung jawab untuk menjaga bisnisnya dan mengelola kekayaannya serta merawat putranya yang masih kecil, yakni Syekh Ali

Aljunied yang kemudian menjadi menantu Syekh Omar.

Selama dua dekade terakhir, penelitian mengenai diaspora Hadrami di sekitar

Samudera Hindia telah menghasilkan penelitian yang menarik dari sejarah, posisi, dan peran Hadramaut dalam situasi berbeda yang membentang dari Afrika Timur ke

Selatan dan Tenggara Asia.24

Secara bersama, penelitian ini menunjukkan bahwa migran dari wilayah Arab

Selatan Hadramaut telah membentuk komunitas translokal yang relatif kecil,

23C. M. Turnbull, A History of Singapore 1819-1988. New York: Oxford University Press, 1996, h. 14. 24 Linda Boxberger, On the Edge of Empire Hadhramaut, Emigration and the Indian Ocean 1880s – 1930s. New York: State University of New York Press, 2002, h. 19.

40

fleksibel, dan tangguh dalam berbagai periode dan telah terbukti sukses di arena perdagangan, agama, dan politik.

2. Diaspora Ulama Yaman Di Afrika

Pengaruh ulama Yaman di kawasan Timur Afrika utamanya terdapat di Somalia,

Tanzania, Kenya, Zanzibar dan Kepulauan Comoros. Aliran pemikiran fiqih dan tasawuf Islam kawasan tersebut banyak dipengaruhi oleh saudagar dan Sayyid

Ba‟alawi Hadhramaut.

Golongan ini amat terkenal sebagai pembawa risalah Islam di kota-kota pesisir, termasuk Kepulauan Melayu sendiri. Penguasaan mereka dalam bidang agama maupun pelayaran dan perdagangan wajar diteladani, merekalah yang memimpin pelaksanaan undang-undang Syariah di bawah Kesultanan Zanzibar. Ulama yang terkenal di pulau Zanzibar dan tanah semenanjung Afrika ialah Syekh Ahmad bin

Smith (qadi Zanzibar) dan Syekh Abdullah Bin Kathir (pengasas Madrasah Ba

Kathir). Madrasah-madrasah pimpinan ulama Hadramaut ini menyediakan alternatif terbaik kepada sistem pendidikan sekular penjajah British pada zaman tersebut.25

Sayangnya, tidak ditemui uraian mengenai amalan tariqat golongan-golongan awal ini.Yang tercatat hanyalah generasi baru yang berhijrah setelah kemunculan

Kesultanan Oman dan Zanzibar seperti Syekh Ahmad bin Smith sendiri.26

25August H. Nimtz, Islam and Politics in East Africa. The Sufi Order in Tanzania. University of Minnesota Press, 1980. h. 90 26Anne K. Bang, Sufis and Scholars of the Sea. Family Networks in East Africa 1860- 1925. Library of Congress Cataloging in Publication Data, 2003. h,. 81

41

Posisi mereka sangat berpengaruh walaupun bukan penduduk asal Afrika Timur.

Antara faktor penguasaan mereka terhadap institusi-institusi pendidikan dan undang- undang di Afrika Timur ialah penekanan mereka terhadap pendidikan agama dan amalan-amalan bersanad dari Nabi yang diwarisi secara turun-temurun dalam ruang lingkup tradisi Sunni. Selain itu, mereka menguasai ekonomi melalui jaringan perdagangan yang dipermudah dengan adanya ikatan kekeluargaan antar golongan sayyid. Hal ini dilihat melalui usaha mencatat genealogi yang teliti dan dijaga rapi, dengan nasab keluarga maupun sanad ilmu.

Selesainya, dakwah Islam di Afrika Timur dipimpin oleh ulama sufi Alawiyyin dari Hadramaut seperti juga yang terjadi di Tanah Melayu suatu ketika dahulu. Situasi di Afrika Timur sedikit berbeda dengan sebelah barat kerana Islam sudah lama berkembang di sini. Kehadiran ulama Alawiyyin memperkokoh lagi pegangan Sunni

Syafi‟i dan aplikasinya dalam undang-undang negara dan sistem pendidikan madrasah.

Diaspora Ulama Yaman di Asia Selatan

Sayyid Abdul Malik dikenal dengan gelar "Al-Muhajir Ilallah", karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke India untuk berda'wah, sebagaimana kakek beliau, Sayyid

Ahmad bin Isa, digelari seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut untuk

42

berdakwah. Sayyid Abdul Malik Bin Alwi lahir di Kota Qasam, sebuah kota di wilayah Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah.27

Ayah dari Al-Imam Abdul Malik Azmatkhan adalah Al-Imam Alawi Ammul

Faqih bin Muhammad lahir di Tarim. Beliau adalah seorang ulama besar, pemimpin kaum Arifin, hafal al-Qur‟an, selalu menjaga lidahnya dari kata-kata yang tidak bermanfaat, dermawan, cinta kepada fakir miskin dan memuliakannya, banyak senyum. Imam Alwi bin Muhammad dididik oleh ayahnya dan belajar kepada beberapa ulama, di antaranya Syaikh Salim Bafadhal, Sayid Salim bin Basri, Syaikh

Ali bin Ibrahim al-Khatib. Beliau wafat pada hari Senin bulan Zulqaidah tahun 613 hijriyah di Tarim dan dimakamkan di perkuburan Zanbal.

Beliau meninggalkan Hadhramaut hijrah ke India bersama jama'ah para Sayyid dari kaum Alawiyyin. Di India, beliau bermukim di Kota Nashr Abad. Beliau mempunyai beberapa anak laki-laki dan perempuan, di antaranya ialah Sayyid Amir

Khan abdullah bin Sayyid Abdul Malik, yang lahir di Kota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir di sebuah desa di dekat Kota Nashr Abad.

Beliau adalah putra kedua dari Sayyid Abdul Malik". Nama putra Sayyid abdul Malik adalah "Abdullah", penulisan "Amir Khan" sebelum "Abdullah" adalah penyebutan gelar yang kurang tepat, adapun yang benar adalah Al-Amir Abdullah Azmat Khan.

Al-Amir adalah gelar utuk pejabat wilayah. Sedangkan, Azmat Khan adalah marga

27Al-Husaini, H.M.H. Al-Hamid, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. Jakarta: Pustaka Hidayah. 2013, h. 32

43

beliau mengikuti gelar Ayahanda.Istri dari Imam Abdul Malik Azmatkhan adalah

Putri Raja Kesultanan Islam Nasarabad India Lama, yang bernama Ummu Abdillah.

Sebagian orang ada yang menulis "Abdullah Khan", mungkin hanya akan mengingat "Khan" nya saja, karena marga "khan" (tanpa Azmat) memang populer sebagai marga bangsawan di kalangan orang India dan Pakistan. Maka penulisan

"Abdullah Khan" itu kurang tepat, karena "Khan" adalah marga bangsawan Pakistan asli, bukan marga beliau yang merupakan pecahan dari marga Ba'alawi, atau Al-

Alawi Al-Husaini. Ada yang berkata bahwa di India, mereka juga menulis Al-Khan, namun yang tertulis dalam buku nasab Alawiyyin adalah Azmat Khan, bukan Al-

Khan, sehingga penulisan Al-Khan akan menyulitkan pelacakan di buku nasab.28

Sayyid Abdullah Azmat Khan pernah menjabat sebagai Pejabat Diplomasi Kerajaan

India, beliau pun memanfaatkan jabatan itu untuk menyebarkan Islam ke berbagai negeri.

Sejarah mencatat bagaimana beliau bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina, persaingan itu tidak lain adalah persaingan di dalam memperkenalkan sebuah budaya.

Sayyid Abdullah memperkenalkan budaya Islam dan Marcopolo memperkenalkan budaya barat.Sampai saat ini, sejarah tertua yang didapat tentang penyebaran Islam di

Cina adalah cerita Sayyid Abdullah. Maka, bisa jadi beliau adalah penyebar Islam

28Penelitian Sayyid Zain bin Abdullah Alkaf yang dikutip dalam buku Khidmatul „Asyirah karangan Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf; membenarkan nasab jalur Azmatkhan.

44

pertama di Cina, sebagaimana beberapa anggota Wali Songo yang masih cucu-cucu beliau adalah orang pertama yang berda'wah di tanah Jawa. 29

Sayyid Abdullah Khan mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu'azhzham

Syah Maulana Ahmad". Nama beliau adalah Ahmad, adapun "Al-Amir Al-

Mu'azhzham" adalah gelar berbahasa Arab untuk pejabat yang di agungkan, sedangkan "Syah" adalah gelar berbahasa Urdu untuk seorang raja, bangsawan dan pemimpin, sementara "Maulana" adalah gelar yang dipakai oleh muslimin India untuk seorang Ulama Besar.30

29Menurut Ad-Dawudi dalam Kitab Umdatut Thalib berkta, “”Al-Azmatkhan adalah fam yang dinisbatkhan kepada Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin „Alawi „Ammil Faqih, dan keturunannya masih ada sampai sekarang ini melalui jalur Walisongo di Jawa” 30Al-Husaini, H.M.H. Al-Hamid, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. Jakarta: Pustaka Hidayah. 2013, h. 65

BAB IV

ULAMA YAMAN DI MADINAH

A. Diaspora Ulama Yaman di Tmur Tengah (Mekkah-Madinah)

Kombinasi antara Mekkah-Madinah dengan ajaran Al-Qur‟an serta Hadis Nabi dalam konteks studi keislaman tak diragukan lagi keabsahannya. Alasannya, kedua kota tersebut merupakan tempat dimana Islam pertama kali muncul dan berkembang dalam bentuknya yang paling awal. Sehingga, ilmu yang diperoleh di Mekkah-

Madinah dipandang lebih tinggi nilainya daripada ilmu yang diperoleh di pusat-pusat keilmuan lain yang ada di dunia.

Lebih jauh lagi, kedatangan dan kepergian jamaah haji setiap tahunnya membuat

Mekkah dan Madinah menjadi melting pot terbesar umat muslim dari berbagai penjuru dunia saat itu. Selain itu, Mekkah-Madinah adalah pusat intelektual dunia

Islam. Para ulama, sufi, filusuf, penyair, pengusaha dan sejarawan Muslim bertemu dan saling menukar informasi.1

Tradisi keilmuan di kalangan ulama sepanjang sejarah Islam berkaitan erat dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan dan pendidikan, seperti masjid, madrasah, rubath, dan bahkan di rumah syekh. Hal ini jelas terlihat khususnya di

1 Belajar Islam di Timur Tengah. Departemen Agama, h. 25.

45

46

Mekkah-Madinah, di mana tradisi keilmuan berhasil menciptakan jaringan-jaringan ulama ektensif.

Tidak ragu lagi kedua masjid suci di Mekkah dan Madinah merupakan kiblat utama bagi para ulama yang terlibat dalam jaringan ulama sejak dasawarsa terakhir abad ke-15. Selain itu, jumlah madrasah dan rubath terus meningkat setelah madrasah pertama dan kedua di Mekkah dibangun pada 571/1175 dan 579/1183. Selain itu, kedua masjid utama tersebut tetap menjadi pelengkap yang vital bagi dunia keilmuan di Tanah Suci.

Ditegaskan bahwa madrasah diorganisir secara lebih formal. Madrasah-madrasah mempunyai guru-guru, qadhi-qadhi dan pegawai-pegawai lain yang diangkat resmi.

Madrasah-madrasah itu juga mempunyai kurikulum sendiri, dan bahkan kuota murid- murid dan alokasi waktu belajar sesuai dengan mazhab masing-masing. Buktinya dapat dilihat dari kasus madrasah-madrasah yang mempunyai empat bagian sesuai dengan jumlah mazhab hukum Sunni. Madrasah al-Ghiyatsiyah, misalnya, mempunyai kuota sebanyak 20 murid untuk setiap mazhab. Murid-murid Syafi‟i dan

Hanafi belajar pada di pagi hari, sementara murid-murid Maliki dan Hanbali belajar pada sore hari. Pengaturan yang sama juga diterapkan pada madrasah-madrasah

Sulaymaniyah.2

Lalu, ulama yang mengajar di masjid suci Mekkah dan Madinah juga sering diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang dari berbagai tempat di Dunia

2Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 76. 47

Muslim. Biasanya mereka mengadakan majelis (session) untuk membahas masalah yang ditanyakan. Dalam banyak kasus mereka mengutarakan fatwa-fatwa secara tertulis, tetapi tidak jarang pula mereka menulis buku yang berusaha menjawab persoalan secara terperinci. Ditambah, terdapat juga jenis-jenis ceramah yang sifatnya dialog. Misalnya seperti kasus Jamal al-Din al-Zhahinah yang menerima ratusan pertanyaan dari berbagai tempat di Timur Tengah.3

Peranan penting yang dimainkan ulama al-Masjid al-Haram dan al-Masjid al-

Nabawi dalam hubungannya dengan kaum Muslim juga menjadi ciri yang cukup menonjol pada masa-masa belakangan, ketika jaringan ulama semakin berkembang.

Beberapa ulama terkemuka Haramayn pada abad ke- 17 menulis buku-buku untuk memecahkan masalah-masalah keagamaan yang muncul di kalangan Muslim

Indonesia-Melayu. Kemudian menjelang akhir abad ke- 17, Kepala Qadhi Mekkah mengeluarkan fatwa penurunan Sultanah Kamalat Syah dari Singgasana Kesultanan

Aceh dengan alasan bahwa sebuah Negara Islam haruslah tidak diperintah seorang perempuan.4

Paling tidak terdapat satu pertanyaan yang perlu diajukan dalam kasus ini. Yaitu, bagaimana ulama yang datang dari berbagai tempat di Dunia Muslim mampu mendapatkan posisi-posisi pengajaran di madrasah-madrasah Haramayn, dan di al-

3Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 78. 4 Lihat R.H. Djajadiningrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan yang terdapat dalam Karya Melayu, terj. Teuku Hamid, Banda Aceh: Depdikbud, 1982-3, 60. Lihat pula D. Crecellius dan E.A. Beardow, “A Reputed Sarakata of the Jamal al-Layl Dynasty”, JMBRAS, 52, II (1979), h.54. Lihat Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 79. 48

Masjid al-Haram dan al-Masjid al-Nabawi. Agar diizinkan mengajar di institusi- institusi ini, setiap guru diwajibkan mempunyai ijazah (sertifikasi), yang menjelaskan kredensial akademik pemegangnnya. Kredensial terpenting adalah isnad, yakni mata rantai otoritas yang menunjukan hubungan yang tidak terputus antara guru dan murid dalam transmisi kitab-kitab atau ajaran tertentu. Ijazah biasanya dikeluarkan oleh guru yang diakui kewenangannya kepada murid setelah yang terakhir ini belajar dengannya.5

Pengangkatan ulama pada posisi-posisi pengajaran di masjid suci Mekkah dan

Madinah ditetapkan sejalan dengan birokrasi keagamaan yang bertanggung jawab tidak hanya pada pengelolaan kedua masjid suci, tetapi juga atas kehidupan keagamaan di Haramayn secara keseluruhan. Pemegang kedudukan tertinggi dalam birokrasi itu adalah Qadhi sering pula disebut Qadhi al-Qudha (Kepala Qadhi) yang bertanggung jawab atas hokum-hukum agama dan kepemimpinan empat Qadhi masing-masing mewakili mazhab Sunni. Kelihatan sebelum masa Utsmani, Qadhi al-

Qudha juga memegang kedudukan Mufti. Di bawah posisi ini adalah dua Syeikh al-

Haramayn, yang masing-masing memimpin al-Masjid al-Haram dan al-Masjid al-

Nabawi. Di Mekkah dan Madinah terdapat pula Syekh al-Ulama yang bertugas mengawasi seluruh ulama di setiap kota ini6.

Proses ulama melakasanakan kelilmuan pada abad ke-17 di Mekkah-Madinah, yang mana pada waktu itu Ibn Jubayr di Mekkah pada 579-80/1183-4, dia

5 Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 79. 6 Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 80. 49

menyaksikan berbagai kegiatan keilmuan di al-Masjid al-Haram. Di sana terdapat para pembaca Al-Qur‟an dan penyalin kitab-kitab keislaman. Murid-murid duduk dalam halaqah mengelilingi guru dan orang berilmu lainya. Sayangnya Ibn Jubayr tidak menyinggung kegiatan keilmuan di madrasah-madrasah yang sedang tumbuh di

Mekkah.7

Ibn Bathuthah mengamati hal serupa ketika ia berada di Mekkah-Madinah pada

728/1326. Setiap malam ia menyaksikan banyak orang terlibat dalam kegiatan keilmuan dan keagamaan, sebagian mereka membentuk halaqah dengan kitab-kitab keagamaan dan Al-Qur‟an sebagai bahan kajian, sementara sebagian lainnya melakukan ibadah.

Ibnu Bathuthah yang mengunjungi Mekkah dan melaksanakan haji tiga kali dalam rentang tahun 728/1326 dan 756/1355, memberi gambaran lengkap tentang dunia keilmuan di Mekkah. Dengan mengagumkan, dia menggambarkan diskursus keilmuan dan sketsa biografi sejumlah ulama terkemuka di kota ini. Selama di

Mekkah, pada mulanya dia tinggal di Ribath al-Muwaffaq yang terletak di sisi barat daya atau Pintu Ibrahim, al-Masjid al-Haram. Belakangan, dia pindah ke kompleks

Madrasah Muzhaffariyah, di sebelah selatan masjid. Jadi, Ibn Bathuthah mampu mengamati lebih dekat kegiatan keilmuan yang diselenggarakan disitu, dalam musim haji sekalipun.8

7 Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 82. 8Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 82. 50

Walau Ibn Bathuthah memberikan informasi dengan catatan biografi beberapa ulama terkemuka yang memegang berbagai pos di al-Masjid al-Haram, dia tidak mengungkapkan bagaimana proses keilmuan berlangsung di masjid itu sendiri.

Catatan-catatan lebih belakangan tentang al-Masjid al-Haram, seperti yang di berikan al-Fasi, menggambarkan bahwa halaqah tetap dipertahankan sebagai metode proses belajar mengajar yang digunakan ulama. Halaqah biasanya diselenggarakan di pagi hari, setelah salat Subuh, Asar, Magrib, dan Isya. Selama siang hari kegiatan pendidikan pindah ke madrasah-madrasah di sekitar masjid.9

Al-Fasi sebagai sejarawan dan sekaligus Qadhi Maliki di Mekkah dalam autobiografinya menyatakan, dia mengafiliasikan dirinya dengan Madrasah A‟zham

Syah sebagai qadhi dan mengajar mazhab Maliki.10 Terdapat beberapa ulama terkemuka Mekkah yang pernah belajar di madrasah ini. Di antaranya adalah Qadhi al-Qudha Hanafi di Mekkah, Ahmad bin Muhammad al-Saghani (749-825/1348-

1422), yang pernah belajar doktrin mazhab Hanafi di Madrasah A‟zham Syah dan

Madrasah Zanjili, dan kemudian di Masjid al-Haram.

9Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 83. 10 Al-Fasi terutama dikenal sebagai sejarawan terkemuka di Mekkah, tetapi ia juga alim. Dia belajar hampir di seluruh pusat pengajaran di Timur Tengah, termasuk Kairo, Baghdad, Damaskus, dan beberapa kota di Yaman. Jumlah syekh atau gurunya mencapai dilaporkan hampir mencapai 500 orang.Di antara guru dan temannya di Kairo adalah muhadis besar Ibn Hajar al-Asqalani dan Syihab al-Din al-Ramli.Ada yang mengatakan al-Fasi bertemu dengan sejarawan Ibn al-Khaldun dan Taqi al- Din al-Maqrizi Mesir.Lihat autobiografinya dalam al-Iqd al-Tsamin, I, 331-63. Lihat pula Ibn Fahd, Akhbar Umm al-Qura, III, 485; W.G Milward, “Taqi al-Din al-Fasis Sources for the History of Mecca from the fourth to Ninth Centuries A.H.”, dalam Sources for the History of Arabia, Riyadh: Riyadh University Press, 1979, Bagian 2,37-49. Lihat Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 84. 51

Ibn Bathuthah menyebutkan dalam catatannya, mengenai perkembangan jaringan ulama di Mekkah-Madinah, ia mencatat bahwa perbandingannya adalah mayoritas ulama di Mekkah Arab non-Hijaz, dan hanya seorang yang berasal dari wilayah timur

Dunia Muslim, yakni Anak Benua India. Dari hal tersebut dapat kita asumsikan bahwa Ibn Bathuthah mengenal hanya ulama yang terkenal dan kebetulan bertemu dengannya, karena dia tinggal di Mekkah dalam masa singkat saja.

Segmen ulama di Madinah kelihatannya tidak begitu berbeda dengan Mekkah.

Kebanyakan dari mereka bukan penduduk asli Hijaz. Menengok sekali lagi ke catatan-catatan Ibn Bathuthah, dari 15 ulama yang disebutkannya, tak seorang pun penduduk asli Madinah. Kebanyakan mereka (lima orang) berasal dari Mesir, dan

Yaman. Sisanya datang dari Andalusia dam wilayah-wilayah lain di Timur Tengah.

Tak seorang pun datang dari wilayah Timur. Perlu diingatkan kembali, Ibn Bathuthah di Madinah hanya selama empat hari, karenanya, dia tidak dapat diharapkan bisa menggali informasi lebih banyak tentang keilmuan di kota ini.

Kontras dengan catatan Ibn Bathuthah, al-Sakhawi dalam kamus biografinya, yang mengemukakan sketsa biografi ulama dan tokoh-tokoh terkemuka lain di

Madinah sejak awal Islam. Tetapi daftar ulama yang ia catat lebih banyak lagi ulama non Hijaz yang bermukim dan mengajar di Madinah pada abad ke-15. Kebanyakan mereka datang dari wilayah-wilayah lain di Semenanjung Arab, seperti, Yaman 52

Mesir, Afrika Utara, Andalusia, Anatolia, Persia, Suriah, dan Irak. Kita hanya menemukan enam ulama yang berasal dari wilayah Hindi.11

Beberapa nama ulama Madinah yang berasal dari Yaman yang pertama adalah

Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad bin Abdullah bin Thaha Abdullah bin Umar bin

Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar Abu Thahir Alawi asy-

Syarif al-Huseini, yang lahir di Hadhramaut pada tahun 14 Syawal 1301 H (30

Agustus 1884).12

Sejak kecil beliau memang sudah bercita-cita menjadi ulama. Itu sebabnya beliau sangat teguh dan rajin menuntut ilmu serta berguru kepada para ulama besar juga, sehingga mampu menguasai berbagai ilmu naqli (berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah) dan aqli (berdasarkan akal). Beliau bahkan mampu melakukan istinbat13dan ijtihad

(penggalian hukum syari'at yang belum tertera dalam Al-Qur'an dan Sunnah) yang sangat cermat.14

Selain mengaji kepada keluarganya, semasa remaja di Hadhramaut beliau juga berguru kepada para ulama seperti Habib Ahmad bin Hasan Al-Aththas, Habib

Thahir bin Umar Al-Haddad dan Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad.

Disamping itu, beliau juga berguru kepada Sayyid Alwi Al-Haddad, Habib Thahir bin Abi Bakar Al-Haddad, masih banyak guru yang mewariskan ilmu kepadanya,

11Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, h. 88. 12 Al-Kisah No.24 / Tahun IV / 20 November-3 Disember 2006 13 Proses penggalian hukum islam 14 Al-Kisah No.24 / Tahun IV / 20 November-3 Disember 2006 53

seperti Al-Mu'ammar Sirajuddin Umar bin Uthman bin Muhammad Ba Uthman Al-

Amudi ash-Siddiq al-Bakari dan Sayyid Abdur Rahman bin Sulaiman Al-Ahdal.15

Setelah itu beliau pindah ke Mekkah-Madinah untuk belajar dan mengajar disana, beberapa tahun disana beliau berpindah-pindah ke berbagai wilayah seperti Somalia,

Kenya, Indonesia, dan terakhir Malaysia. Pada 14 November 1962 (1382 H) Habib

Alwi bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad wafat. Jenazahnya dikebumikan di kompleks Pemakaman Mahmudiah, Johor Bahru, Malaysia.16

Ulama Yaman yang kedua adalah Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar, beliau lahir di desa „Azzah, dekat Kota Baidha di utara Yaman, pada tahun 1340

H/1921 M. Ayah beliau adalah al-Habib Abdullah dan ibu beliau adalah Hababah Nur binti Abdullah Ba Sahi, seorang wanita shalihah yang dikenal karena amal dan ibadahnya. Ibunya sangatlah dermawan hingga sering membantu orang-orang yang kelaparan, terutama pada saat bencana kelaparan di Yaman selama Perang Dunia

Kedua.

Pada masa kecilnya, Habib Muhammad al-Haddar belajar al-Quran dan ilmu-ilmu dasar agama dari ayahandanya sendiri dan para ulama Baidha. Semangat dan haus akan pencarian ilmu mendorongnya untuk melakukan perjalanan ke Tarim pada usia

17 tahun. Setelah melakukan perjalanan dengan perahu layar dari pelabuhan Aden ke al-Mukalla, dengan terpaksa beliau harus menghentikan langkahnya. Karena masa itu di tempat yang akan dituju beliau sedang terjadi pertikaian politik dan dihimbau

15Al-Kisah No.24 / Tahun IV / 20 November-3 Disember 2006. 16Al-Kisah No.24 / Tahun IV / 20 November-3 Disember 2006. 54

untuk kembali ke rumah. Namun dengan semangatnya yang tinggi, beliau pun tidak patah arang untuk tetap melanjutkan pengembaraannya. Lalu, beliau melanjutkan perjalanan melalui darat. Ayahnya turut serta menemaninya dalam perjalanan.

Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar menghabiskan 4 tahun untuk belajar di Rubath Tarim dengan usaha yang sangat gigih. Kegigihan itu tergambarkan setiap sebelum dimulainya pelajaran. Beliau juga selalu mempersiapkan pelajaran- pelajaran itu dengan membacanya. Diantara guru-guru beliau, Habib Alwi bin

Abdullah Shihabuddin, Habib Ja‟far bin Ahmad Alaydrus, Asy-Syaikh Mahfudz bin

Salim az-Zubaidi.

Pada tahun 1375 H/1955 M, beliau melakukan haji untuk yang kedua kalinya, setelah melakukannya yang pertama pada tahun 1365/1945 M. Disamping berhaji, tak lupa beliau mengambil ilmu dari para ulama Hijaz. Diantaranya beliau belajar kepada al-Muhaddits as-Sayyid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani. Kemudian, Pada tahun

1370 H/1950 M, beliau melakukan perjalanan ke Somalia dan menjadi imam Masjid

Mirwas di Mogadishu. Akhirnya beliau menetap di sana selama satu tahun setengah.

Selain itu, kesibukan beliau di sana adalah istiqamah mengajar dan mengawasi pembentukan ribath (pesantren) di Kota Bidua.

Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar sempat mengunjungi Kenya, Suriah,

Irak, dan akhirnya beliau pindah ke Mekkah. Beliau juga sering ke Jeddah untuk menghadiri pertemuan dari Habib `Abd al-Qadir al Saqqaf dan juga akan menghadiri pertemuan Habib` Attas al-Habashi di Mekah. Pada tanggal 8 Rabiul Akhir, beliau 55

wafat pada tahun 1418/1997, jenazahnya dimakamkan di pemakaman Muallah, tepat di samping ibu nya.

Ulama Yaman yang ketiga al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin „Abdurrahman bin „Ali bin „Umar bin Saqqaf bin Muhammad bin „Umar bin Thoha as-Saqqaf.

Beliau dilahirkan di kota , Hadhramaut pada bulan Jumadil akhir 1331H/Mei

1911. Namun, ketika rezim Sosialis di Yaman Selatan mulai menganiaya ulama beliau meninggalkan Yaman pada 1393 H, Beliau pertama kali hijrah ke Singapura dan kemudian ke Indonesia. Kemudian beliau menuju Hijaz, dan seterusnya beliau menetap di Jeddah. Beliau mendirikan halaqah di rumahnya di Jeddah, dihadiri oleh banyak ulama dan pengunjung. Habib Abdul Qadir as-Saqqaf wafat pada tanggal 19

Rabi 'Thani 1431/4 April 2010 dan di makamkan di Kota Mekkah.17

Ulama Yaman yang keempat dan kelima adalah Habib Salim bin Abdullah asy-

Syathiri Habib Zain bin Smith, mereka berdua mengajar di rubath di Madinah selama dua belas tahun.18 Kemudian Habib Salim asy-Syathiri kembali ke Tarim untuk mengurus rubath Tarim setelah dibuka kembali. Sedangkan Habib Zain tetap mengajar dan memberikan bimbingan di rubath Madinah. Dalam hal ini penulis tertarik untuk lebih jauh membahas Habib Zain bin Smith profil dan kontribusinya di

Madinah.

17 http://www.banialawi.com/v1/index.php/al-habib-abdul-qadir-al-saggaf/biography 18Al-Kisah No. 15/25 Juli-7 Agustus 2011. 56

B. Habib Zain bin Smith, Biografi, Dan Karyanya

Nama dan nasab Habib Zain bin Smith19 adalah al-„Allamah al-Muhaqqiq al-

Faqih al-Abid az-Zahid al-Murabbi ad-Da‟i iallah, as-Sayyid al-Habib Abu

Muhammad Zain bin Ibrahim bin Zain bin Muhammad bin Zain bin Abdurrahman bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Salim bin Abdullah bin Muhammad

Sumaith (Smith) bin Ali bin Abdurrahman bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin

Abdurrahman bin Alwi („Ammul Faqih al-Muqaddam)20 bin Muhammad Shahib

Mirbath bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-

Muhajir Ilallah bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Jafar ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal „Abidin bin Sayyidina al-Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah az-Zahrah binti Rasulullah.

Jadi beliau adalah seorang sayyid dari Ahlulbait, keturunan al-Husain, cucu

Rasulullah Saw, dari keturunan Alwi, cucu Imam al-Muhajir.21 Beliau bermadzhab

Syafi‟I, beraqidah Sunni, dan beraliran salafi (yang dimaksud adalah mengikuti as-

Salafush-Shalih, bukan pengikut ajaran Ibnu Taimiyah yang terkadang juga disebut salafi, penj), dengan mengikuti thariqah pada datuknya di Hadhramaut dari keluarga

Sadah Ba‟alawi.

19Sumber-sumber riwayat hidupnya adalah Qabasat an-Nur karya al-Habib Abu Bakar al- Mayhur halaman 189-196, riwayat hidup singkat beliau yang ditulis oleh putranya, Sayyid Muhammad dalam mukadimah kita al-Fuyudhat ar-Rabbaniyyah min Anfas as-Sadah al-Alawiyyah karya pengarang halaman 8-9, catatan sanad-sanad dan guru-guru beliau. Selain dari sumber-sumber tersebut, riwayat hidup beliau diperoleh dari putranya, Sayyid Muhammad bin Zain secara langsung. 20Semua sadah di Hadhramaut sekarang adalah keturunan al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam atau dari keturunan Ammul-Faqih (paman al-Faqih al-Muqaddam), yakni Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Pengarang adalah keturunan „Ammul-Faqih sebagaimana tersebut dala nasab di atas. 21Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (wafat 345 H). Mauladdawilah, Abdul Qadir Umar, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam. Malang : Pustaka Basma, 2013, h. 63 57

Habib Zain bin Smith dilahirkan tahun 1357 H bertepatan dengan 1936 M di kota

Jakarta, dalam sebuah keluarga yang menjalankan agama dengan baik dari kedua orang tua yang dikenal kesalehannya.22 Di waktu beliau masih kecil, ayahnya suka membawanya ke majelis Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad, pemuka kalangan

Sadah Alawiyyin di Bogor.23 Beliau menghadiri maulid yang biasa diadakan oleh

Habib Alwi di rumahnya setiap Asar di hari jum‟at. Habib Alwi terhitung guru pertama dalam kehidupan beliau. Terkadang beliau menghadiri pelajaran yang diberikan oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi yang diadakan setiap minggu pagi di tempatnya, Kwitang, Jakarta Pusat. Maka beliau mendapatkan keberkahan menghadiri majelis-majelis mulia.

Di madrasah-madrasah setempat, beliau belajar membaca, menulis, mempelajari

Al-Qur‟an, dan ilmu tajwid. Pada tahun 1371 H (1950 M), dalam usia sekitar 14 tahun, beliau berangkat bersama ayahnya ke Hadhramaut. Beliau tinggal di rumah ayahnya di Tarim

Berkat kesungguhannya, di Kota Tarim beliau menanjak dengan cepat. Beliau dengan sepenuhnya menerima pelajaran dan menuntut ilmu, berpindah-pindah di antara madrasah-madrasah di kota itu dan peninggalan-peninggalannya. Di sana beliau membaca berbagai kitab-kitab ringkas (mukhatsar) dalam ilmu fiqih kepada al-

Allamah al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafizh. Pada gurunya ini, beliau juga

22Ayahanda Habib Zein adalah seorang yang saleh dan bertaqwa, memiliki ketenangan, dan akhlak yang mulia. Di akhir umurnya, ia menjadi imam di masjid Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas di Bogor. 23Wafat di Bogor tahun 1373 H. lihat riwayat hidupnya dalam Idam al-Qut, karya Ibnu Ubadillah as-Saqqaf. 58

menghafal kitab Shafwah az-Zubad karya Imam Ibnu Ruslan dan kitab al-Irsyad karya asy-Syaraf Ibnu al-Muqri yang beliau hafal sampai bab Jinayat. Beliau juga membaca kitab-kitab gurunya dalam ilmu faraidh dan masalah nikan, sebagian dari kitab al-Minhaj, sekumpulan kitab-kitab tasawuf, dan sebagian ilmu falaq. Beliau juga menghafal Nazham Hadiyyah ash-Shadiq karya Habib Abdullah bin Husain

Thahir.

Habib Zain bin Smith belajar ilmu nahwu, ilmu ma‟ani, dan ilmu bayan dari

Habib Umar bin Alwi al-Kaf. Kepadanya beliau juga membaca kitab Mutammimah al-Ajurumiyah, menghafal kitab Alfiyah karya Ibnu Malik. Beliau juga menimba ilmu fiqih dari al-Allamah asy-Syeikh Mahfuzh bin Salim az-Zubaidi dan dari seorang syeikh yang faqih, Mufti Tarim, Syeikh Salim Sa‟id Bukkayir Baghistan. Beliau juga membaca kitab Mulhah al-I’rab karya al-Hariri dengan Habib Salim bin Alwi Khird.

Dalam ilmu ushul, beliau mengambil dari Syeikh Fadhl bin Muhammad Bafadhl dan

Habib Abdurrahman bin Hanid ash-Sirri. Kepada mereka berdua, beliau juga membaca kitab matan al-Waraqat. Beliau pun menghadiri majelis-majelis Habib

Alwi bin Abdullah bin Sihabuddin dan raubahnya, juga pelajaran-pelajaran di Ribath, dan majelis Syeikh Ali bin Abu Bakar as-Sakran.

Beliau juga menimba ilmu dari Habib Ja‟far bin Ahmad al-Aydarus dan sering pulang pergi ke tempatnya. Beliau mendapatkan banyak ijazah darinya. Beliau juga menimba ilmu dari Habib Ibrahim bin Umar bin Aqil dan Habib Abu Bakar Aththas bin Abdullah al-Habsyi. Kepadanya beliau membaca kitab al-Arba’in karya Imam al-

Ghazali (bukan al-Arba’in karya an-Nawawi, penj), dan kepada guru-guru yang lain. 59

Guru-gurunya memuji karena kelebihannya dibanding teman-temannya, juga karena adab, perilaku, dan akhlaknya yang baik.

Habib Zain juga banyak meminta ijazah dari para guru kalangan Sadah Alawiyyin dan para ulama di dunia Islam, seperti al-Allamah al-Habib Muhammad bin Hadi as-

Saqqaf, al-Allamah al-Habib Ahmad bin Musa al-Habsyi, al-Allamah Alwi bin Abbas al-Maliki, al-Allamah al-Habib Umar bin Ahmad bin Sumaith, al-Habib Ahmad

Masyhur bin Thaha al-Hadda, al-Habib Abdulqadir bin Ahmad as-Saqqaf, al-Habib al-Murabbi Hasan bin Abdullah asy-Syathiri, asy-Syeikh Umar Haddad, al-Allamah as-Sayid Muhammad bin Ahmad asy-Syathiri, dan lain-lain. Riwayat hidup mereka disebutkan secara rinci dalam catatan sanad beliau dan guru-gurunya.24

Beliau menuntut ilmu di kota Tarim kurang lebih delapan tahun. Yang diisi dengan penuh kesungguhan dan mengambil bekal dari sumber-sumber yang murni di kota yang dikenal keberkahannya, banyaknya ulama, dan orang-orang saleh.

Ditambah lagi di kota ini terdapat makam para wali, peninggalan para salaf, dan tempat-tempat yang diberkahi yang membuatnya menjadi mulia.

Setelah delapan tahun mengabiskan waktu di kota Tarim, Habib Muhammad bin

Salim bin Hafizh, gurunya, menyuruhnya untuk pindah ke kota Baidha, yang terletak di Yaman bagian seletan yang terjauh, untuk mengajar di rubath kota ini dan agar turut serta dalam aktivitas dakwah di sana. Perintah gurunya ini setelah diminta oleh

Mufti Baidha, Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar.

24Thariqah Alawiyah, Jalan Lurus Menuju Allah terjemahan dari, Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, h. 19. 60

Beliau menuju ke sana melalu kota Adan, tempat tinggal Habib Salim bin

Abdullah asy-Syathiri, salah seorang teman seangkatannya dan orang yang dicintainya. Ketika itu Habib Salim menjadi khatib dan imam di daerah Khaur

Maksar, yang termasuk wilayah Adan. Ia memiliki perpustakan yang penuh dengan kitab-kitab, yang selalu dikajinya dengan sungguh-sungguh. Diskusi ilmiah sering berlangsung antara Habib Salim dan Habib Zain. Mereka juga sering melakukan muthala’ah (mengkaji) kitab-kitab di perpustakaan ini.25

Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya dari Khaur Maksar ke kota Baidha.

Beliau disambut oleh Habib Muhammad al-Haddar yang sangat senang dengan kedatangannya. Sejak kedatangannya beliau mengajar murid-murid, siang dan malam. Kemudian Habib Muhammad al-Haddar menikahkannya dengan putrinya.

Beliau juga mengijazahkan riwayat-riwayatnya. Habib Zain pun menghadiri pelajaran-pelajaran dan majelis umumnya.

Habib Zain merupakan tangan kanan Habib Muhammad al-Haddar, dan dimintai bantuannya untuk mengajar karena Habib Muhammad sering pergi berdakwah, menghadiri majelis-majelis umum. Beliau pun terkadang menggantikan berkhutbah jika gurunya sedang melakukan perjalanan. Beliau juga menggantikan dalam member jawaban atas permintaan fatwa dalam masalah fiqih.

Habib Zain tinggal di kota Baidha lebih dari dua puluh tahun sebagai pelayan ilmu dan para penuntutnya, dan menjadi mufti dalam madzhab Syafi‟i. Banyak yang

25Thariqah Alawiyah, Jalan Lurus Menuju Allah terjemahan dari, Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, h. 19. 61

mengambil manfaat darinya. Sejumlah siswa yang menonjol, para ulama, dan da‟I26 menyelesaikan pelajarannya pada beliau. Bersama beberapa muridnya, beliau pun suka berdakwah ke banyak desa yang tersebar di sekitar kota Baidha.

Selama di rubath Baidha, beliau benar-benar berjuang, beribadah, dan menempa diri dengan kesungguhan dan keseriusan dalam muthala’ah (mengkaji) kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, dan lain-lain, juga membaca kitab-kitab salaf. Beliau memiliki semangat yang tak kenal jemu dalam mengajar, mendidik murid-murid, dan membimbing mereka yang kurang pandai.

Beliau memiliki kedudukan tersendiri di sisi Habib Muhammad al-Haddar.

Sehingga bila suatu persoalan ilmiah diajukan kepada Habib Muhammad dan dijawab oleh Habib Zain maka Habib Muhammad mengatakan “Jika Habib Zain telah menjawab maka tak perlu lagi ada komentar.” Begitulah penilaian Habib

Muhammad, karena beliau sangat percaya dengan ilmu Habib Zain. Di tengah-tengah masa ini, beliau sempat melakukan beberapa perjalanan di musim haji dan musim- musim ziarah yang mempertemukan beliau dengan banyak ulama dan orang-orang saleh, sehingga dapat menimba ilmu dan meminta ijazah dari mereka.

Setelah dua puluh satu tahun berjuang secara terus-menerus di majelis-majelis ilmu, dakwah, dan menmpuh para jalan salaf, Habib Zain pindah ke negeri Hijaz.

Kemudian beliau diminta untuk membuka rubath Sayyid Abdurrahman bin Hasan al-

Jufri di Madinah. Beliau berangkat ke Madinah pada bulan Ramadhan tahun 1406 H.

26Sebagian di antara mereka akan disebutkan ketika berbicara tentang murid-murid Habib Zein. 62

bersama Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiri, beliau mengelola rubath al-Jufri.

Mereka berdua melakukan itu dengan sebaik-baiknya selama dua belas tahun.

Kemudian Habib Salim asy-Syathiri pindah ke Tarim untuk mengurus rubath Tarim setelah dibuka kembali. Sedangkan Habib Zain tetap mengajar dan memberikan bimbingan di rubath Madinah.27

Rubath tersebut didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai negeri Islam, dan banyak di antara mereka yang dapat menyelesaikan pelajarannya. Selain itu beliau memiliki peran penting dalam penyebaran Thariqah Alawiyah dan mazhab

Syafi‟i. Beliau tidak menghilangkan keinginannya untuk mengambil ilmu dari sejumlah ulama terkemuka di kota Madinah, meskipun murid beliau banyak dan terus bertambah, sibuk mengajar dan mendidik, dan bertambah usia. Beliau menimba ilmu ushul dari Syaikh Muhammad Zaidan asy-Syanqithi al-Maliki, seorang alim dan ahli ushul. Kepadanya beliau membaca at-Tiryaq an-Nafi ‘ala Masail Jam’ul-Jawawi karya Imam Abu Bakar bin Syahab, Maraqi as-Su’ud karya Syarif Abdullah al-

„Alawi asy-Syantiqhi yang merupakan matan lanjutan dalam ilmu ushul.

Beliau juga senantiasa menyibukan diri dengan al-Allamah an-Nihir Ahmadu bin

Muhammad Hamid al-Hasani asy-Syanqithi salah seorang imam masa itu dalam ilmu bahasa dan usuluddin. Kepadanya beliau membaca Syarh al-Qathr, sebagian Syarh

Alfiyyah karya Ibnu Aqil, Idha’ah ad-Dujunnah karya Imam al-Maqqari dalam aqidah, as-Sullam al-Munauraq karya al-Imam al-Akhdhari, Isabuji karya al-Imam

27Thariqah Alawiyah, Jalan Lurus Menuju Allah terjemahan dari, Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, h. 19. 63

al-Abhari, Itmad ad-Dirayah li Qurra an-Nuqayah karangan as-Suyuthi, al-Maqshur wa al-Mamdud dan Lamiyah al-Afal, keduanya karya Ibnu Malik, jild pertama dari kitab Mughni al-Labib karya Ibnu Hisyam, dua kitab dalam ilmu shorof, Jauhar al-

Maknun dalam ilmu balaghah. Syaikh Ahmadu memuji Habib Zain karena semangatnya yang besar dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu. Dan kebanyakan membaca kepadanya di Masjid Nabawi.

Selama masa ini Habib Zain melakukan perjalanan-perjalanan yang diberkahi ke sejumlah negeri Islam untuk berdakwah serta menjumpai para ulama dan para wali.

Beliau mengunjungi Syam, Indonesia, sejumlah tempat di Afrika, dan lain-lain.28

Habib Zain memiliki pengaturan khusus dalam wirid dan dzikirnya sepanjang siang dan malam, di samping melaksanakan tugas mengajar. Beliau selalu didapati sedang berdzikir kepada Allah ketika melakukan ibadah malam, dan menunaikan shalat Subuh di Masjid Nabawi. Beliau berada di sana hingga matahari terbit, kemudian menuju rubath untuk mengajar. Setelah Asar diadakan majelis rauhah sampai waktu Magrib tiba. Lalu beliau melanjutkan mengajar hingga menjelang Isya.

Setelah itu, pergi ke Masjid Nabawi untuk melakukan shalat Isya dan berziarah ke tempat datuknya yang paling agung, Rasulullah Saw. Habib Zain senantiasa melakukan itu pagi dan sore selama tinggal di Madinah. Beliau selalu mengerjakan kegiatan rutin hariannya, baik mengajar maupun berdzikir, kecuali jika sedang dalam

28Thariqah Alawiyah, Jalan Lurus Menuju Allah terjemahan dari, Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, h. 19. 64

perjalanan atau karena sakit parah. Setelah Isya, beliau mengajar dan mengadakan majelis di berbagai tempat sesuai dengan harinya.

Semua ini dapat berlangsung meskipun beliau tetap melakukan muthala’ah dan mudzakarah, mengajar dan mendidik murid-muridnya, menemui orang-orang yang datang berkunjung, melakukan perjalanan dakwah, dan member petunjuk.

Karya-karya Habib Zain bin Smith

Diantara karya-karya Habib Zain bin Smith, diantaranya:

1. Al-Manhaj as-Sawiy, Syarh Ushul Thariqah as-Sadah Al Ba’alawi, adalah

kitab yang berisi asal-usul Thariqah Alawiyyin, kitab ini termasuk kitab

terpenting di antara karya beliau. Kitab ini merupakan penjelasan yang luas

tentang prinsip-prinsip dan adab menuju Allah dalam Thariqah Sadah Al Ba

„Alawi. Kitab ini sudah tersebar ke beberapa negara termasuk Indonesia,

banyak yang memakai rujukan untuk mengetahui asal-usul Thariqah

Alawiyah.

2. Al-Fuyudhat ar-Rabbaniyah Min Anfas as-Sadah al-Alawiyyah. Kitab ini

adalah tafsir maknawi yang tipis dan menghimpun ucapan as-Sadah al-

Alawiyyin dalam kumpulan ayat Al-Qur‟an dan hadits Nabi. Kitab ini terdiri

dari satu jilid, dan telah dicetak.

3. Al-Fatuhat al-Aliyyah Fi al-Khuthab al-Minbariyyah. Terdiri dari dua jilid.

Kitab ini merangkum ceramah-ceramah beliau ketika menggantikan al-Habib

Muhammad al-Haddar di kota Baidha. Telah dicetak. 65

4. Syarh Hadits Jibril yang diberi judul: Hidayah ath-Thalibin fi Bayan

Muhimmat ad-Din. Dalam buku ini beliau menjelaskan perbincangan antara

Jibril dan Nabi Muhammad Saw, tentang makna Islam, iman, dan ihsan, lalu

menjadikannya sebagai kitab yang ringkas membahas aqidah, fiqih, dan

tasawuf. Telah dicetak.

5. Al-Ajwibah al-Ghaliyah Fi Aqidah al-Firqag ab-Najiyah. Buku ini

membantah keyakinan orang-orang yang menyimpang dalam bentuk tanya

jawab. Telah dicetak berulang kali dan menyebar, serta menjadikan kalangan

khusus dan awam mendapatkan manfaat.

6. Hadayah az-Zairin ila Adiyah az-Ziyarah an-Nabawiyyah wa Masyahid as-

Shalihin, merupakan kumpulan doa para salaf yang diucapkan ketika

berziarah Nabi dan kuburan-kuran yang terletak di Haramayn dan

Hadhramaut. Telah dicetak.

7. Majmu, dari beberapa manfaat yang bertebaran dalam hukum, doa, adab.

Berupa naskah

8. Kumpulan besar “Fatawa al-Fiqhiyah” ini dihimpun dan diatur secara baik

oleh murid-murid utamanya.

9. Tsabat Asanidah wa Syuyukhah. Berupa naskah.

C. Pujian Para Ulama Untuk Habib Zain bin Smith

Pujian pertama datang dari seorang da‟i dan intlektual, Sayyid Abu Bakar bin Ali al-Masyhur dalam kitabnya Qabasat an-Nur halaman 189, ketika menyebutkan riwayat hidup Habib Zain, menggambarkannya sebagai seorang alim yang faqih. 66

Seorang yang sangat hafal persoala-persoalan dalam mazhab Syafi‟I, ahli nahwu, dan yang terlibat dalam berbagai ilmu.

Seorang ahli ilmu kalam, peneliti, yakni Syeikh Muhammad Namr al-Khathib yang tinggal di Madinah, dalam ijazahnya untuk Habib Zain menyebutnya Shahib al-

Fadilah (seorang yang memiliki keutamaan, al-Allamah adz-Dzaiq (seorang yang alim lagi peka, ar-Rabbani al-Faiq (seorang yang memiliki derajat makrifat dan yang memiliki kesadaran).

Kemudian seorang alim dan muhaddits kota Makkah, Syeikh Abdullah bin Sa‟id al- Lahji al-Hadhrami (wafat 1410), dalam ijazahnya kepada beliau menulis, “Ijazah dari orang uanh di bawah kepada orang yang paling atas,” dan menyebutnya sebagai

Sayyidi al-‘Alim al-Fadhil (junjunganku yang alim dan memiliki keutamaan).

Dr. Muhammad Hasan Hitu, seorang alim dan faqih, menyebut Habib Zain sebagai as-Sayyid an-Nabil al-Kamil (seorang sayyid yang cerdas dan sempurna) dan al-Alim al-mutawadhi al-Amil (seorang alim yang rendah hati dan mengamalkan ilmunya). Sedangkan Sayyid Yusuf ar-Rifa‟i al-Kuawaiti dalam ijazahnya, menyebut al-Allamah al-Amil, al-Faqih al-Murabbi (seorang yang alim dan mengamalkan ilmunya, seorang faqih dan pendidik).

Sedangkan gurunya, Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar memujinya sebagai as-Sayyid al-Allamh ad-Dai Ilallah asy-Syab an-Nasyifi Tha’atillah as-Salik an-Nasik al-Mhbub al-Makhtub Sayyidi wa Dzuhri, wa ‘Umdari wa ‘Uddati (seorang sayyid yang sangat alim, seorang yang selalu mengajak ke jalan Allah, penuda yang 67

selalu mengajak ke jalan Allah, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, seorang penempuh jalan Allah dan selalu beribadah kepadaNya, seorang yang dicintai, junjuganku dan bekalku, sandaranku, dan kelengkapanku).

Habib yang menjadi teladan, Sayid Ibrahim bin Aqil menggambarkannya sebagai seorang Salil al-Akabir Jami al-Mafakhir, Zain asy-Syamail, Rabib al-Fadhail, al-

Habib al-Mahbub, as-Sayydi as-Sanad (keturunan orang-orang besar, penghimpun sifat-sifat utama, habib yang dicintai, dan sayyid yang menjadi sandaran). Sedangkan orang yang menjadi teladan, Habib Abdulqadir bin Ahmad as-Saqqaf dalam ijazahnya menyebutnya, “As-Sayyid al-Abarr, ar-Raqhib fima kana alaihi ahluhu min karim as-Siyar al- Allamah Zein bin Ibrahim (Sayyid yang sangat baik, seorang yang menyenangi sirah yang mulia dari keluarganya di masa lalu, yang sangat alim, Zain bin Ibrahim) dan ia termasuk orang mengenalku dan aku kenal, seorang yang mencintaiku dan aku cintai.29

Meskipun dalam kedudukannya yang terpuji serta perhatiannya terhadap ibadah kepada Allah dan mengingat hari kemudian dengan semangat yang tinggi, Habib Zain masih tetap mengajar, membantu, dan membimbing murid-murid. Memberikan petunjuk kepada para salik (orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah, pengamal tasawuf), mendidik para murid, dan menyusun fatwa masalah-masalah fiqih yang datang kepadanya dari berbagai negeri. Dari waktu ke waktu, ia juga

29Semua pernyataan, pengakuan, dan sebagainya. Terdapat dalam catatan sanad-sanadnya dan guru-gurunya. 68

melakukan perjalanan dakwah dan mengamati kaum muslimin serta memberikan ceramah-ceramah agama.30

Salah satu murid Habib Zain yang cukup terkenal adalah Habib Abdullah bin

Ba‟abud, beliau pemimpin pondok pesanteren di Malang, beliau memberikan pengajaran kepada para santrinya, seperti apa yang di ajarkan oleh Habib Zain, beliau mengajarkan tentang thariqah alawiyah.31

30Thariqah Alawiyah, Jalan Lurus Menuju Allah terjemahan dari, Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, h. 19. 31 Thariqah Alawiyah, Jalan Lurus Menuju Allah terjemahan dari, Al-Manhaj As-Sawiy Syarh Ushul Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi, karangan: Al-Habib Zain bin Sumaith, h. 16.

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Pola diaspora Hadhrami bila dilbandingkan dengan diaspora orang Yahudi memiliki perbedaan yang signifikan. Bila Hadhrami berdiaspora dengan cara yang damai, maka Yahudi dengan cara peperangan. Dalam hal ini paling tidak terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Hadhrami melakukan diaspora antara lain:

1) Perdagangan merupakan salah satu faktor Hadhrami melakukan diaspora,

dengan letak Pelabuhan Aden yang berbatasan langsung dengan Samudera

Hindia dan Laut Merah yang merupakan jalur starategis bagi Hadhrami untuk

berdiaspora dan berdagang ke wilayah Afrika, Timur Tengah, India dan

Nusantara.

2) Melakukan dakwah, juga merupakan faktor yang paling utama dalam diaspora

yang dilakukan oleh Hadhrami, mereka berdagang sekaligus menyebarkan

agama Islam, mereka menyebarkan agama Islam di tempat yang mereka tuju

dengan budaya asal yang mereka bawa dan mencampurnya dengan budaya

setempat sehingga masyarakat setempat mudah menerimanya.

Yaman memiliki kontribusi besar di Mekkah-Madinah dengan perkembangan

Mazhab Syafi’i, mazhab ini memberikan pengaruh dalam bidang pendidikan,

kemudian thariqah alawiyah, memberikan pengaruh dalam syair, wirid, sastra dan

69

70

tasawuf .Salah satu kota di Yaman yang banyak menghasilkan ulama yaitu Kota

Tarim. Dari Tarim lah ulama-ulama Yaman berasal, di kota tersebut terdapat rubath-rubath yang cukup terkenal di Yaman, dan Universitas, beberapa ulama kota Tarim hijrah ke luar Yaman untuk mengajar, menjadi hakim, mufti dan lainya, salah satunya Habib Zain bin Smith, yang hijrah ke Madinah. Beliau memiliki kontribusi yang cukup besar di Madinah, salah satunya yaitu menyebarkan ajaran Thariqah Alawiyah. Ajarannya mencakup wirid, syair, sastra, tasawuf hadits, fiqih, dan tarikh. Thariqah ini dikembangkan oleh Habib

Zain di Madinah dan disampaikan oleh murid-muridnya di berbagai dunia, hingga sampai ke Indonesia. Selain itu beliau memiliki banyak karya tulis, diantaranya

Al-Manhaj as-Sawiy, Syarh Ushul Thariqah as-Sada Al-Ba’Alawi, yaitu kitab yang berisi tentang sejarah Thariqah Alawiyah, ini merupakan karya terpenting beliau; karya selanjutnya Hadayah az-Zairin ila Ad’iyah az-Ziyarah an-

Nabawiyyah wa Masyahid as-Shalihin, yang isinya merupakan doa para salaf yang diucapkan ketika berziarah ke makam Rasulullah dan makam-makam yang terletak di Haramain dan Hadhramaut. Sampai saat ini, Habib Zain masih tetap mengajar, membantu, dan membimbing murid-muridnya. Beliau juga memberikan petunjuk kepada para salik (orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah, pengamal tasawuf), mendidik para murid, dan menyusun fatwa masalah-masalah fiqih yang datang kepadanya dari berbagai negeri. Ditambah beliau juga melakukan perjalanan dakwah dan mengamati kaum muslimin serta memberikan ceramah-ceramah agama Islam.

Daftar Pustaka

Abdul Samad, Noryati, Hadhrami Arab di Asia Tenggara. Hadhrami Arab di Asia

Tenggara Dengan Referensi Khusus ke Singapura. Singapura: Singapore National

Library Board, 2010.

Abubakar al-Adni bin Ali Al-Mansyur, Biografi ulama Hadhramaut. Jakarta :

MA’RUF, 2011.

Attas. Keterangan Awal Pada Teori Umum Islamisasi di Tanah Melayu dan

Kepulauan Nusantara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969.

Aydrus, MH, Ashraf Hadhramaut and the Role They Spread of Islam in Asia

Southeast. Tejemahan Ali Yahya. Jakarta: PT Lantern Basritama, 1995.

Alwi al-Masyhur, Idrus, Sejarah Silislah Keturunan Nabi Muhammad SAW Di

Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika. Jakarta : Saraz

Publishing, 2002.

Arnold, Thomas W, Sejarah Dakwah Islam. Dari judul asli The Preaching of Islam, terjemahan oleh A. Nawawi Rambe. Bandung : Widjaya 198.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.

Bang, Anne K. Sufis and Scholars of the Sea. Family Networks in East Africa 1860-

1925. Library of Congress Cataloging in Publication Data, 2003.

71 72

Baqir, Muhammad. Pengantar Tentang Kaum Alawiyyin. Bandung: Mizan, 1996.

Boxberger, Linda. On the edge of empire: Hadhramaut, Emigration, and the Indian

Ocean 1880-1930. New York: State University of New York Press. 2002.

Burhanudin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah

Indonesia. Jakarta : Mizan Publika, 2012.

Departemen Agama. Belajar Islam di Timur Tengah.

Dudung, Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

2009.

Espostio, John L. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern. Bandung: Penerbit

Mizan, 2001.

Engseng, Ho. The Graeves of Tarim: Genealogy and Mobility Across the Indian

Ocean. Berkeley: University California Press, 2006.

Freitag, Ulrike. Arab merchants in Singapore: Attempt of a collective biography. In

Hubb de Jonge and Nico Kaptein (Eds.), Transcending borders Arabs, politics, trade, and Islam in Southeast Asia. Leiden: KITLV Press, 2002.

Haddad, Al-Habib Alwi bin Thahir. Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Jakarta:

Penerbit Lentera, 2001.

Haddad, Mohammed Yahia. The General History of . Beirut: Al Madina

Publications, 1986.

73

Hari, Syamsul, Hadhramaut Bumi Sejuta Wali. Surabaya: Data Mustafa Press.

Hoeve, Van, Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru

Husaini, H.M.H. Al-Hamid, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. Jakarta: Pustaka

Hidayah. 2013..

Husayn, Abdullah al-Amri. The Yemen in the 18th and 19th centuries a political and intellectual history London; Ithara Press, 1985

Ibrahim bin Smith, Habib Zain bin. Thariqah Alawiyah Jalan lurus Menuju Allah.

Dari Judul Asli Al-Manhaj as-Sawiy, Syarh Ushul Thariqah as-Sadah Al-Ba’alawi, tejemahan oleh Ali Yahya dan Husin Nabil. Tangerang : Penerbit Nafas, 2009.

Hitti, Philip K, History Of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.

Lapidus, M Ira, Sejarah Sosial Umat Islam. Jakata: Garafindo Persada, 2000.

Mahyuddin, Haji Yahya. Sejarah Orang Syed di Pahang. Kuala Lumpur: Dewan

Bahasa dan Pustaka, 1942.

Mahyuddin, Haji Yahya. Latar Belakang Sejarah dan Keturunan Sayyid di Malaysia.

Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998.

Manfred W. Menner, The Yemen Arab Republic. Amerika; Westview Press, 1991.

Mauladdawilah. Abdul Qadir Umar, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam. Malang:

Pustaka Basma, 2013.

74

Mobini Kesheh, Natalie. Kebangkita Hadhrami di Indonesia. Jakarta: Akbar Media

Eka Sarana, 2007.

Muzafar, Haji Mohammad. Peranan Ahlul Bayt dalam Pemerintahan Islam di

Nusantara. Seminar Majlis Ijtima Ulama Pondok Senusantara ke-2 di Kampung Baru

Jenderam Hilir, Selangor, 12-14 April 2007.

Nimtz, August H. Islam and Politics in East Africa. The Sufi Order in Tanzania.

University Minnesota Press, 1980.

Turnbull, C.M. A History of Singapore 1819-1988. New York: Oxford University

Press, 1996.

Van den Berg, L.W.C. Orang Arab di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.

Van den Berg, L.W.C. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Jakarta: (INIS

Series Volume III) INIS. 1989.

Web http://www.banialawi.com/v1/index.php/al-habib-abdul-qadir-al-saggaf/biography http://sejarah.kompasiana.com/2011/03/12/sejarah-ringkas-kota-tarim-pusat- kebudayaan-islam-dunia-346076.html https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/8-profil-syaikhuna/al- habib-zain-bin-ibrahim-bin-smith

75

http://pecintahabibana.wordpress.com/2013/01/04/al-habib-zein-bin-ibrohim-bin- smith-pengurus-rubath-di-madinah/

Majalah

Al-Kisah No.24 / Tahun IV / 20 November-3 Disember 2006.

Al-Kisah No. 15/25 Juli-7 Agustus 2011.