FATWA MUI TENTANG PENENTUAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZÛ AL-HIJJAH (UPAYA REKONSTRUKSI METODOLOGIS)

Fuad Thohari Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta Jakarta Islamic Centre, Kramat Raya Jakarta Utara 14260 E-mail: [email protected]

Abstract: MUI Fatwa on Determination of Early Ramadhan, Syawal, and Dzû Al-Hijjah (Methodological Reconstruction). Muslims in always miss the togetherness before the beginning of Ramadhan and the beginning of Syawal. One of which is the togetherness among Islamic mass organizations which is worthy to be grateful due to the vulnerability of the unity pillars of some the organizations caused by political interests. The dispute on determining the beginning of Rhamadan, Eid al-Fitr and Dzu al-Hijjah may generate new problems and unnecessary polemics. In the past, the method of determining the commencement of Ramadhan dan Syawal was only ilustrated by purely using rukyah al-hilal that needs to be construdted by considering to employ the hisab method. Keywords: determining, beginning of Ramadhan, Eid al-Fitr and Dzu al-Hijjah, method

Abstrak: Fatwa MUI Tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzu Al-Hijjah (Upaya Rekonstruksi Metodologis). Umat Islam di Indonesia setiap menjelang awal Ramadhan dan awal Syawal selalu merindukan kebersamaan. Salah satunya kebersamaan antar ormas yang pantas disyukuri, mengingat semakin rentannya pilar kesatuan beberapa ormas Islam akibat kepentingan politis. Sangat mungkin akan muncul persoalan baru dan mengundang polemik yang tidak perlu, apabila penentuan awal Ramadhan, hari Raya Idul Fitri, dan Dzu al-Hijjah ini tidak seragam. Metode penetapan awal Ramadhan dan Syawal (hari Raya) yang dalam sejarah diilustrasikan hanya menggunakan murni rukyah al-hilal pada gilirannya perlu direkonstruksi dengan memperhatikan dan mempertimbangkan metode hisab. Kata Kunci: penentuan, awal Ramadhan, Syawal, dan Dzû Al-Hijjah, metode

Pendahuluan mengancam pilar kesatuan dan persatuan Diskursus bulan Qamariyah, terutama umat Islam.1 penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Ilustrasi dari sebuah polemik dalam Dzulhijjah merupakan persoalan klasik yang penetapan dan penentuan tanggal 1 (satu) senantiasa aktual. Klasik karena persoalan ini Syawal, tergambar dalam kasus penetapan semenjak masa awal Islam sudah mendapatkan awal Syawal tahun 2009, sebagai berikut: perhatian dan pemikiran cukup serius dari 1. Berdasarkan keputusan Pimpinan Pusat pakar hukum Islam (fukaha) karena terkait pada hari Kamis erat dengan pelbagai ibadah dan melahirkan (23/07/2009) melalui Maklumat Nomor: pendapat yang bervariasi. Disebut aktual karena hampir di setiap tahun terutama menjelang bulan Ramadhan, Syawal, dan 1 Ibrahim Hosen, Tinjauan Hukum Islam terhadap Penetapan Awal Bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Dzulhijjah persoalan ini selalu muncul Makalah Seminar Sehari Tentang Penetapan Awal Ramadhan, dan mengundang polemik sehingga nyaris Syawal, dan Dzulhijjah, (Jakarta: DEPAG RI, 1982), h. 1.

179 180| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011

06/MLM/I.0/E/2009, 1 Syawal 1430 H 1430 H. Begitu juga awal Ramadhan tahun jatuh pada hari Ahad Legi tanggal 20 2010/1431, (NU) dan September 2009; Muhammadiyah serempak menetapkan 1 2. PP PERSIS, berdasarkan Surat Edaran Ramadhan 1431 Hijriyah jatuh pada hari bernomor 2015/JJ-C.3/PP/2009 yang Rabu Legi, tanggal 11 Agustus 2010. merujuk kepada Almanak Persis tahun Memang selama sistem penanggalan Islam 1430 H sebagai hasil perhitungan dan dengan muatan waktu ibadah yang disepakati Rukyat Persis, isinya menetapkan: dunia Internasional belum ada, pembicara- ‘Iedul Fithri 1430 H; tanggal 1 Syawal an mengenai penetapan awal bulan Islam 1430 H jatuh pada hari Ahad, tanggal (qamariah) terus akan mengemuka. Diskursus 20 September 2009 M. Ijtima’ akhir ini biasanya terfokus pada penentuan awal Ramadhan 1430 H, hari Sabtu tanggal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Karena 19 September 2009 pukul 01.45’.42” dalam tiga bulan tersebut, terdapat jadwal WIB. Ketinggian Hilal waktu Maghrib di ibadah umat Islam di seluruh dunia. Kondisi Pelabuhan Ratu: 5°24’8,3”, di Jayapura ini acap kali sebagai pemicu beragamnya 3°28’14,0”; pelaksanakan awal Ramadhan dan hari Raya, 3. Keputusan PBNU yang dirilis situs resmi yang dalam praktiknya meng gunakan kalender PBNU, kepastian hari raya Idul Fitri atau bulan Qamariah berdasarkan penampakan tanggal 1 Syawal 1430 H masih menunggu hilal (bulan sabit pertama) sesaat matahari hasil rukyatul hilal yang diadakan pada saat terbenam.2 Matahari terbenam pada 29 Ramadhan atau 19 September 2009. Hasil rukyatul Paradigma Metodologis hilal ini kemudian dilaporkan dalam Sidang Data historis mengenai penetapan awal Itsbat atau penetapan bersama Departemen Ramadhan, sebagaimana diungkap dalam Agama. Data dalam Almanak PBNU be berapa riwayat hadis, diilustrasikan begitu yang diterbitkan Pengurus Pusat Lajnah sederhana sesuai kondisi riil masyarakat Arab Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) yang tidak mengerti ilmu Astronomi dan untuk Markaz Jakarta menunjukkan, posisi Matematika, dan bahkan mayoritas buta hilal atau bulan sabit pada saat diadakan huruf.3 Rasulullah Saw. telah membuat rukyah al-hilal sudah mencapai ketinggian pedoman bagi umat Islam di Madinah pada 5,38 derajat di atas ufuk. Berdasarkan tahun ke-2 Hijrah dan seterusnya, tentang cara kriteria imkan al-rukyah atau visibilitas memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan pengamatan, hilal dalam ketinggian itu yang dilanjutkan dengan hari Raya. Karena sudah mungkin untuk dirukyat. Jika dapat umur bulan Qamariah itu 29 atau 30 hari, dirukyat, dipastikan sidang itsbat akan penentuannya berdasarkan kriteria visibilitas menetapkan umur Ramadhan hanya 29 hilal (rukyah: melihat dengan mata telanjang), hari dan 1 Syawal jatuh pada hari Ahad atau menggenapkan umur bulan Sya’ban tanggal 20 September 2009. Namun atau Ramadhan menjadi 30 hari apabila demikian, berbagai kemungkinan masih hilal tidak bisa dirukyat.4 Hal ini berarti terjadi. Jika hilal tidak terlihat, misalnya Nabi Muhammad tidak pernah menetapkan karena terhalang awan, akan dipakai kaidah istikmal atau penyempurnaan umur 2 Moedji Raharto, Awal Shaum Ramadhan 1418 H bulan Ramadhan menjadi 30 hari sehingga Mengapa Diharapkan Bertepatan dengan Akhir Tahun 1997 ? tanggal 1 Syawal akan jatuh pada hari Republika, 23/12/1997. berikutnya, Senin 21 September 2009. 3 Riwayah sebagai berikut: Akhirnya umat Islam merasa lega, tanggal 1 Ramadhan tahun 1430 H yang lalu, jatuh pada hari Sabtu/tanggal 22 Agustus

2009 M, dimana umat Islam di Indonesia Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shǎhih, Juz. serempak memulai ibadah puasa Ramadhan IV, (Bayrut: Dar Ibn Katsir al Yamamah, 1987), hadis nomor 1814. 4 Riwayat sebagai berikut: Fuad Thohari:Fatwa MUI Tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzû Al-Hijjah |181 awal Ramadhan dan Idul Fitri jauh sebelum 2. Metode hisab astronomi dipakai waktunya. Prosedur penetapannya diputuskan Muhammadiyah, Persis, dan Singapura; setelah menerima berita rukyah. Menurut Ibn 3. Perpaduan metode rukyah dan metode Abbas, Rasulullah Saw. pernah memulai puasa hisab astronomi digunakan di , Ramadhan hanya karena informasi seorang Majelis Ulama Indonesia (MUI, dan badui setelah disumpah.5 Kementerian Agama Repulbik Indonesia Beberapa ayat Alquran menyatakan, (KEMENAG RI). peredaran bulan dan matahari bisa dijadikan pedoman untuk menentukan awal bulan Hisab Menggantikan Rukyah? Qamariah. Dalam perkembangannya, fukaha Saat ini ternyata penentuan awal Ramadhan berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat dan hari Raya tidak lagi dikatakan mudah tersebut dikaitkan dengan teks hadis, laju dan sulit diterapkan di masyarakat, karena sains dan teknologi, serta kondisi riil terbentur perbedaan mazhab hukum (misalnya, 6 masyarakat disekitarnya. ada yang menganggap tidak sah cara hisab), Silang pendapat prosedur penetapan dan kepercayaan kepada pemimpin umat yang awal Ramadhan dan hari Raya itu bermuara tidak tunggal. Untuk mewujudkan kesatuan pada tiga paradigma metodologis, yaitu: pelaksanaan awal Ramadhan dan hari Raya di 1. Prosedur penentuan awal Ramadhan dan seluruh dunia perlu adanya ijma’ (konsensus) hari Raya cukup menggunakan rukyah, ulama. Suatu hal yang mungkin terjadi tetapi 2. Penentuan awal Ramadhan dan hari Raya perlu usaha besar. cukup dengan hisab astronomi; dan Secara teoritis, ada beberapa langkah yang 3. Penentuan awal Ramadhan dan hari disarankan untuk menuju kesatuan, yaitu: Raya berdasarkan rukyah yang didukung 1. Pemakaian hisab global (cara pemecahan hisab astronomi, dan hisab Astronomi yang memberikan kepastian dan keseragam- yang didukung rukyah. an keputusan bagi semua negara); Bagaimana dengan umat Islam di 2. Mengkonfirmasikan setiap kesaksian Indonesia dan di negara tetangga? Tampaknya rukyah al-hilâl, yang kriterianya tidak tiga paradigma metodologis di atas dijumpai cukup sekedar sumpah; dan di sini dan negara tetangga. Dengan beberapa 3. Mengadakan lembaga antar pemerintah bukti sebagai berikut: sebagai otoritas tunggal yang ditaati.7 1. Metode rukyah dikonsumsi NU dan Gagasan ini secara teoritis amat baik,8 Brunei Darussalam; tetapi bila dicermati lebih jauh, ternyata secara substansial akan terbentur pada tiga kendala, yaitu: 1. Pengikut prosedural rukyah atau istikmal dalam menetapkan awal Ramadhan dan hari Raya merasa yakin sudah benar menjalankan syari’at Islam. Rukyat Muslim ibn Hajjaj Al-Nisabury, Shahih Muslim, (Bayrut: atau istikmal merupakan satu-satunya Dar Ihya’ al-Turas Al-‘Araby, t.th.), hadis nomor. 1081. 5 Riwayat sebagai berikut: pedoman yang diajarkan Rasulullah Saw. Konsekwensinya keyakinan tidak bisa dirubah agar mengikuti dasar hisab astronomi. 2. Kendala internal ilmu hisab astronomi. Menurut data historis, disiplin ilmu ini

Muhammad ibn ‘Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, Al- Mustadrak ‘Ala Al-Shahihaini, Juz. I, (Bayrut: Dar Al-Kutub Al- 7 T. Djamaluddin, Sifat Ijtihadiyah Penentuan Awal ‘Ilmiyah, 1990), hadis nomor 1104, h. 437. Ramadhan dan Hari Raya, Republika/23/ 12/1997. 6 Q.s. Al-An’am [6]: 96, Yasin [36]: 39, Al-Baqarah [2]: 187 8 Sebagai pembanding, lihat. Moh. Rodhi Sholeh, dan 189. Rukyatul Hilal, (Jakarta: Pustaka Annizomiyah, 1992), h. 52-62. 182| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011

sudah dikenal lebih dari seribu tahun lalu Ramli, Syarwani, dan Imam Qalyubi. sebelum Nabi Isa lahir yang dicangkok b. Menerima pendapat itu, asalkan dari India, Yunani, Cina, dan Mesir. di berita kan oleh orang yang adil. Penulisannya dimulai sejak buku Sidhanta Pen dapat ini dipelopori Ibn Qasim (berbahasa India) diterjemahkan Al-Fazari dan dipakai mayoritas fukaha empat ke bahasa Arab di Baghdad pada tahun 771 mazhab. Alasannya, karena Nabi M. Selanjutnya dilakukan penterjemahan Muhammad Saw. setiap menerima dari daftar Pahlevi yang disusun sejak berita visibilitas hilal tidak pernah periode Sasania. Setelah itu, barulah me libatkan ilmu hisab. Bahkan beliau diterjemahkan buku Yunani Almagest menerima berita orang awam (baca: karangan Ptolomeus.9 Pada akhirnya, ‘Arabi) dan dijadikan dasar untuk me- tabel ilmu hisab ini kalau dikumpulkan netapkan awal atau akhir Ramadhan. dari dulu sampai sekarang, jumlahnya Kemungkinan riwayat inilah yang mencapai ribuan eksemplar yang dapat dipedomani pemerintah Saudi Arabia dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: dalam menetapkan awal Ramadhan, a. Ilmu hisab haqîqî taqrîby; Hari raya, dan wuquf di Arafah. Bagi b. Ilmu hisab haqîqî tahqîqy; orang Indonesia yang merasa ahli c. Ilmu hisab kontemporer. hisab, sebaiknya memahami riwayat Ironinya hasil perhitungan hisab dari hadis ini, sehingga bila sewaktu- tabel yang banyak jumlahnya itu, satu waktu pemerintah Arab Saudi sama lain tidak sama persis. Arabia menetapkan hari wuquf di Arafah tidak sesuai dengan kalkulasi 3. Hambatan terletak pada perbedaan hisab-nya, bisa berpedoman kepada prinsip pakar hisab dalam menetapkan riwayat hadis tersebut. Kalau dalam ketinggian hilal atau waktu ijtima’ konteks ini ahli hisab tersebut tetap (konjungsi) yang dipakai dasar untuk bersikukuh berpedoman dengan menetapkan awal bulan. kalkulasi data hisab dan hatinya Perbedaan dalam menetapkan ketinggian menolak ketetapan pemerintah Arab hilal atau waktu ijtima’ (konjungsi) me- Saudi, maka dikhawatirkan ibadah lahirkan lima kelompok, yaitu: hajinya tidak sah. 1. Ahli hisab yang memposisikan ilmunya 2. Ahli hisab yang menggunakan kalkulasi sekedar pelengkap hukum syara’. Mereka hisab-nya untuk mengganti dasar rukyah berpendirian, sekalipun menurut hisab atau istikmal, tetapi masih mengaitkan hilal pada malam ke-30 tinggi di atas dengan dasar rukyat tersebut. Karenanya, ufuq, tetapi tidak bisa dilihat dengan ia mensyaratkan hasil hisab bisa meng- mata telanjang, maka malam itu belum gantikan rukyat apabila menurut per- ditetapkan sebagai bulan baru dan harus hitungan hisab, hilal berada di atas mundur sehari (istikmal). Sebaliknya ufuq dan mungkin di-rukyah, misalnya apabila ada berita visibilitas hilal pada ketinggian 3 derajat. malam ke-30, sementara menurut pakar 3. Ahli hisab yang menggunakan hisab-nya hisab hal itu mustahil terjadi, karena untuk mengganti rukyah dengan syarat masih di bawah ufuq atau di atasnya hasil perhitungannya menunjukkan hilal tetapi masih teramat kecil, misalnya berada di atas ufuq walaupun tidak kurang dari 1 derajat, dalam hal ini mungkin dirukyat karena sangat rendah. ada dua pendapat ulama, yaitu: Ahli hisab ini sudah meninggalkan dasar a. Menolak berita itu. Pendapat ini rukyah istikmal berpindah ke dasar lain, dikemukakan muta’akhirin mazhab yaitu dari dilihatnya hilal menjadi wujud- Syafi’i, antara lain al-Subki, Imam nya hilal. Jadi apabila saat matahari terbenam menurut hisab sudah ada 9 Musyrifah Sunanto, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: hilal—walaupun tidak mungkin di- Perkasa, 1991), h. 61. rukyah—malam itu sudah dikatagorikan Fuad Thohari:Fatwa MUI Tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzû Al-Hijjah |183

bulan baru. Lebih lanjut kata, syahida daerah lain; dekat maupun jauh; pada Q.s. Al-Baqarah [2]: 185, mereka 2. Rukyah bisa diberlakukan secara inter- tafsirkan dengan aiqana, walaupun nasional (global), dan mayoritas ahli tafsir memberi makna 3. Rukyah hanya berlaku lokal (setempat), hadhara (berada di rumah, tidak musafir). dan daerah lain yang berdekatan.10 4. Ahli hisab yang menggunakan hisab- Dalam menentukan awal Ramadhan dan nya untuk mengganti rukyah. Dengan Syawal—terlepas ada argumen kuat atau yang syarat, hasil hisab tersebut menunjukkan dinilai lemah—masih ditolerir menggunakan telah terjadi ijtima’ (konjungsi) sebelum salah satu dari tiga pendapat di atas. Tetapi matahari terbenam. Walaupun—setelah apakah hal ini bisa dianalogikan dengan usaha matahari terbenam—di atas ufuq tidak penyeragaman hari Raya Nahar (hari raya ada hilal sama sekali. Ahli hisab ini Kurban: 10 Dzulhijjah) secara internasional, sudah meninggalkan dasar rukyat semata-mata berangkat dari asumsi bahwa istikmal berpindah ke dasar lain, yaitu mathla’ bisa berlaku global? Tentu saja hal pendapat yang menyatakan bahwa ini tidak boleh terjadi hanya sekedar berdalih ketentuan antara satu hari dengan hari untuk mempersatukan persepsi umat Islam. berikutnya dibatasi dengan terbenamnya Ijma’ para ulama bahwa pelaksanaan Idul matahari. Dan perpindahan satu bulan Adha dikenai teori mathla’ lokal (negara dengan bulan berikutnya dibatasi dengan Islam setempat). Atas dasar ini, pelaksanaan ijtima’. Kalau terjadi ijtima’ sebelum salat Idul Adha di Indonesia, misalnya tidak matahari terbenam, maka setelahnya dibenarkan mengikuti negara lain yang sudah masuk hari dan bulan baru. berbeda mathla’-nya. Ibn Abidin dalam Mereka mendasarkan pendapatnya itu kitab nya Hasyiah Raddu al-Mukhtar telah dengan Q.s. Yasin ayat 39. menjelaskan masalah ini panjang lebar. Dari 5. Ahli hisab yang menggunakan hisab-nya substansi pendapatnya, dapat disimpulkan untuk mengganti rukyah. Dengan syarat, bahwa persoalan Idul Adha tidak sama dengan hasil kalkulasinya menunjukkan telah penetapan awal Ramadhan, dan Syawal. Sebab terjadi ijtima’ sebelum terbit fajar. Ahli dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal hisab ini sudah meninggalkan dasar rukyat masalahnya puasa, sedang dalam Dzulhijjah istikmal berpindah ke dasar lain, yaitu (Idul Adha) masalahnya salat dan kurban pendapat yang mengatakan, perpindahan (nahar). Untuk itu ketentuannya harus satu bulan ke bulan berikutnya limit- kembali pada mathla’ lokal sebagaimana nya ijtima’, dan puasa itu dimulai dari berlaku dalam salat maktubah.11 muncul nya fajar. Sehingga kalau terjadi ijtima’ sebelum fajar, maka waktu fajar Rekonstruksi Metodologis dan setelahnya telah masuk bulan baru, Upaya mempersatukan umat Islam dalam baik untuk puasa Ramadhan maupun hari memulai puasa Ramadhan dan Hari Raya Raya. Mereka mengaitkan pendapatnya memang perlu. Sehingga konflik yang terjadi dengan Q.s. Al-Baqarah [2]: 187. di tengah-tengah umat Islam bisa direduksi Perbedaan ahli hisab dari nomor satu atau dihilangkan sama sekali. Metode pe- sampai lima di atas merupakan hambatan netapan awal Ramadhan dan Syawal (hari besar untuk menyeragamkan prosedur me- Raya) yang dalam sejarah diilustrasikan ngawali awal bulan Ramadhan, hari Raya, hanya menggunakan murni rukyah al-hilal dan Dzul Hijjah. Di samping itu, ide ini pada gilirannya perlu direkonstruksi dengan juga berhadapan dengan kesulitan lain, yaitu memperhatikan dan mempertimbangkan masalah mathla’. Ulama dalam masalah ini, tidak bisa keluar dari wilayah kontroversi, yang substansi pendapatnya bermuara pada 10 Bakry, Hasyiyah ‘Iyanat Thalibin, Juz. II, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 219. Ibrahim Hosen, Tinjauan Hukum tiga kelompok, yaitu: Islam, h. 7. 1. Setiap daerah mempunyai mathla’ sendiri 11 Ibn ‘Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Juz. II, (Bayrut: dan rukyat-nya tidak berlaku untuk Dar al Fikr, t.th.), h. 393. 184| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011 metode hisab. Hanya saja, rasanya terlalu pengambilan keputusan dan bukan sekedar berlebihan kalau metode hisab dijadikan alat bantu lalu meninggalkan metode rukyah dasar pengambilan keputusan dan bukan al-hilal yang diajarkan Rasulullah SAW., hanya sekedar alat bantu lalu meninggalkan metode karena anggapan semakin akuratnya hisab rukyah al-hilal yang diajarkan Rasulullah astronomi. Saw., hanya karena anggapan semakin Sebagaimana hasil keputusan Majelis akuratnya hisab astronomi. Ulama Indonesia (MUI) dalam ijtima’ Ulama Bertitik tolak dari sebuah paradigma, ke-1 tahun 2003, yang sangat mengakomodir rukyah yang benar tidak akan kontradiksi aspirasi ormas-ormas dan umat Islam di dengan kalkulasi hisab, dan begitu sebaliknya. Indonesia. Namun demikian, semua pihak Atas dasar ini, menyoal metode penetapan diharapkan terus melakukan telaah, kajian, awal Ramadhan dan hari Raya dengan dan penelitian ulang secara mendalam dan merekonstruksi metodologinya merupakan obyektif dalam mencari kebenaran dan suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar kemaslahatan. Sehingga setiap legislasi lagi. Tampaknya, penetapan awal Ramadhan, hukum Islam dapat dipahami secara tepat Syawal, dan hari Raya Qurban (dzul hijjah) dan mendudukkannya secara proporsional yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia sejalan dengan prinsip syariah. (MUI) dan Kementerian Agama Republik Indonesia (KEMENAG RI) berupa peng- Pustaka Acuan gabungan antara metode hisab dan rukyah ‘Abidin, Ibn, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Juz. layak diterima semua pihak. II, Bayrut: Dar al Fikr, t.th. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Bakry, Sayyid, Hasyiyah ‘Iyanat Thalibin, Juz. keputusan Ijtima’ Komisi Fatwa se-Indonesia II, Bairut: Dar al-Fikr, t.th. ke-1 tahun 2003, telah menetapkan metode Bukhari, al-, Muhammad ibn Isma’il, Al-Jami’ penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan al-Shâhih, Juz. IV, Bayrut: Dar Ibn Katsir Dzul Hijjah, sebagai berikut: 12 al Yamamah, 1987. 1. Penetapan awal Ramadhan, Syawal, Djamaluddin, T, Sifat Ijtihadiyah Penentuan dan Dzul Hijjah dilakukan berdasarkan Awal Ramadhan dan Hari Raya, metode rukyah dan hisab. Republika/23/ 12/1997. 2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib Hajjaj Al-Naisaburi, Muslim ibn, Shahih Muslim, mentaati ketetapan pemerintah Republik Bayrut: Dar Ihya’ al-Turas Al-‘Araby, t.th. Indonesia tentang penetapan awal Hosen, Ibrahim, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ramadhan, Syawal, dan Dzul Hijjah. Penetapan Awal Bulan Ramadhan, Syawal, 3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, dan Dzulhijjah, Makalah Seminar Sehari Syawal, dan Dzul Hijjah Menteri Agama Tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, wajib berkonsultasi dengan Majelis dan Dzulhijjah, Jakarta: DEPAG RI, 1982. Ulama Indonesia (MUI), ormas-ormas Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Islam, dan instansi terkait. Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta: Sekretariat MUI, 2010. Penutup Naisaburi, al-, Muhammad ibn ‘Abdullah al- Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Al-Shahihaini, Metode penetapan awal Ramadhan dan Syawal Juz. I, Bayrut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, (hari Raya) yang dalam sejarah diilustrasikan 1990. hanya menggunakan murni rukyah al-hilal Raharto, Moedji, Awal Shaum Ramadhan pada gilirannya perlu direkonstruksi dengan 1418 H Mengapa Diharapkan Bertepatan memperhatikan dan mem pertimbangkan dengan Akhir Tahun 1997 ? Republika, metode hisab. Hanya saja, rasanya terlalu 23/12/1997. berlebihan kalau metode hisab dijadikan dasar Sholeh, Moh. Rodhi, Rukyatul Hilal, Jakarta: Pustaka Annizomiyah, 1992. 12 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Sunanto, Musyrifah, Sejarah Kebudayaan Islam, Indonesia (MUI), (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h. 724. Jakarta: Perkasa, 1991.