JILID VI

SUBTEMA VI DINAMIKA ANTAR DAERAH DAN NEGARA

DIREKTORAT SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROSIDING KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Persepektif Sejarah , 7 – 10 November 2016

Pengarah Hilmar Farid (Direktur Jenderal Kebudayaan) Triana Wulandari (Direktur Sejarah)

Penanggung Jawab Amurwani Dwi Lestariningsih

Penyusun Tirmizi Isak Purba Esti Warastika Budi Harjo Sayoga

Pengelola Tata Letak Haryanto Bariyo Maemunah Dwi Artiningsih

Desain Sampul Dirga Fawakih

Gambar Sampul KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde)

Diterbitkan oleh Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2016

ISBN

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah Kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yan tekah memudahkan kami dalam menghimpun makalah-makalah yang disajikan dalam Konferensi Nasional Sejarah X yang diselenggarakan oleh Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Indonesia pada tanggal 7-10 November 2016.

Makalah-makalah tersebut berasal dari 60 Pemakalah yang telah lolos seleksi abstrak dan 40 pemakalah ditunjuk oleh panitia pengarah. Makalah merupakan hasil penelitian ilmiah yang orisinal dan belum pernah dipublikasikan. Selain mempertemukan para sejarawan dan berbagai yang menaruh minat dalam kesejarahan, Konferensi menjadi forum diskusi yang dinamis di antara mereka untuk mempertajam dan menyempurnakan konsep, metode dan metodelogi.

Himpunan makalah berisi 7 subtema: Jaringan Pelayaran Nusantara; Sistem Pengetahuan dan Tradisi Bahari; Laut dalam Dinamika Kekuasaan; Laut dalam Historiografi Sastra dan Seni; Berita Asing tentang Alam Nusantara dalam Peralihan Zaman; Dinamikan Antardaerah dan Negara; dan Pemikiran Pendidikan dan Pengajaran Sejarah. Subtema-Subtema ini disatukan dalam tema besar konferensi, yaitu ―“Budaya Bahari dan Dinamika KehidupanBangsa dalam Perspektif Sejarah”.

Karena keterbatasan teknis, himpunan makalah ini jauh dari lengkap. Untuk itu, kami mohon maaf. Pada akhirnya dengan dihimpunnya makalah hasil Konferensi Nasional Sejarah X ini diharapkan dapat mendorong upaya melakukan pengkajian dan evaluasi terhadap berbagai aspek kesejarahan dan penulisan sejarah nasional baik dalam kaitannya dengan pembangunan karakter bangsa maupun dalam pengembangan ilmu sejarah itu sendiri dan mencermati perkembangan pengajaran sejarah

Jakarta, Desember 2016 Panitia Konferensi Nasional Sejarah X

Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X i | P a g e

LAPORAN KEGIATAN

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dalam Konferensi Nasional Sejarah X Jakarta, 7 November 2016

Yth. Ibu Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Yang Kami hormati Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; Yang Kami hormati Prof. Dr. Taufik Abdullah, sejarawan senior Indonesia; Yang Kami hormati Dr. Hasjim Djalal, diplomat senior kita; Yang Kami hormati Prof. Dr. Anthony Reid; Yang Kami hormati Prof. Dr. Leonard Y. Andaya; Yang Kami hormati Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Dr. Muklis PaEni; Yang Kami hormat Persatuan Sejarawan ; Yang Kami hormati Historian of Philipine; Yang Kami hormat Direktur Jenderal Kebudayaan; Para sejarawan dari seluruh Indonesia dan para undangan yang berbahagia.

Assalamualaikum Warahmatullah hiwabarokatuh, Selamat siang, Salam sejahtera bagi kita semua, Om suastiastu Salom…

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan barokah-Nya, kita dapat bertemu dalam suasana yang berbahagia ini, dalam Konfrensi Nasional Sejarah X.

Ibu Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang kami muliakan, Kami sampaikan, bahwa setiap lima tahun sekali Konfrensi Nasional Sejarah diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia. Konferensi Nasional Sejarah ini diikuti dari berbagai kalangan profesi. Baik dari kalangan dosen-dosen sejarah, guru-guru sejarah, komunitas pengiatan sejarah, maupun mereka yang mempunyai minat dan tertarik untuk mengembangan sejarah itu sendiri.

Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X ii | P a g e

Konferensi yang diikuti dari berbagai ragam kalangan ini mencerminkan dari tujuan diselenggarakan kegiatan ini, yaitu ingin mendekatan sejarah bukan saja sebagai sebuah ilmu yang jauh di masa lampau, akan tetapi sejarah juga merupakan titik tolak pendidikan karakter bagi generasi mendatang.

Bapak/Ibu hadiri yang berbahagia, Pada tahun ini Konferensi Sejarah Nasional X mengambil tema ―Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Prespektif sejarah‖. Sebagai bangsa yang mempunyai lautan dengan bertaburan pulau-pulau, sudah waktunya kita kembali melihat laut sebagai penghubung diantara pulau-pulau itu. Bukti-bukti telah menunjukkan betapa bangsa kita pernah berjaya di laut. Apakah kita hanya ingin mengenang romantisme itu sebagai sebuah kenangan lama saja? Kita punya modal sejarah yang dapat mencermati dan memaknai ―masa lalu‖ itu, modal sejarah inilah yang perlu kita gunakan sebagai titik tolak membangun kembali sebagai ―bangsa yang jaya di laut‖. Peran pendidikan amatlah relevan untuk mendekatkan pada seluruh masyarakat pentingnya budaya bahari dan negara maritim. Baik itu melalui pendidikan formal maupun non formal. Untuk itu dinamika pemikiran dan model- model pembelajaran sejarah mempunyai peran sangat penting dalam rangka mewujudkan bangsa yang kuat di bidang maritim. Kita juga berharap peran serta masyarakat juga penting untuk memberikan pemahaman tentang laut sebagai masa depan. Penguatan karakter bangsa melalui pendidikan sejarah perlu terus didorong agar pemahaman visi kelautan dapat dipahami generasi muda.

Bapak/Ibu hadirin yang berbahagia, Kali ini konferensi mengangkat tujuh subtema, yaitu 1) Jaringan Pelayaran Nusantara; 2) Sistem Pengetahuan dan Tradisi Bahari; 3) Laut Dalam Dinamika Kekuasaan; 4) Laut Dalam Historiografi Tradisional, Sastra, dan Seni; 5) Berita Asing tentang Alam Nusantara dalam Peralihan Zaman; 6) Dinamika Antardaerah dan Negara; 7) Pemikiran Pendidikan dan Pengajaran Sejarah.

Untuk itu kami mohon kepada Ibu Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, berkenan untuk membuka konferensi ini.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh Om Santi---Santi ---Santi Om Salom

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi

Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X iii | P a g e

SAMBUTAN PEMBUKAAN

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Dalam Konferensi Nasional Sejarah X Jakarta, 7 November 2016

Yth. Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan; Yang Kami hormati Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; Yang Kami hormati Prof. Dr. Taufik Abdullah, sejarawan senior Indonesia; Yang Kami hormati Dr. Hasjim Djalal, diplomat senior kita; Yang Kami hormati Prof. Dr. Anthony Reid; Yang Kami hormati Prof. Dr. Leonard Y. Andaya; Yang Kami hormati Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Dr. Muklis PaEni; Yang Kami hormat Persatuan Sejarawan Malaysia; Yang Kami hormati Historian of Philipine; Yang Kami hormat Direktur Jenderal Kebudayaan; Para sejarawan dari seluruh Indonesia dan para undangan yang berbahagia.

Assalamualaikum Warahmatullah hiwabarokatuh, Selamat siang, Salam sejahtera bagi kita semua, Om suastiastu Salom…

1. Pertama-tama ijinkanlah saya memanjatkan puji syukur kepada Tuhan YME atas segala rahmat dan hidayahnya kita senantiasa diberi kesehatan dan kesempatan sehingga kita dapat bertemu dalam Konferensi Sejarah Nasional X. Injinkanlah pula saya dalam kesempatan ini mengucapkan selamat kepada para sejarawan dari seluruh Indonesia atas terselenggaranya acara ini . 2. Dalam kehidupan kita sehari-hari sejarah adalah sesuatu yang penting, tidak saja untuk mengenang masa lalu, tetapi sejarah juga untuk mengingat peristiwa yang dapat memupuk rasa persatuan dan mempertajam visi kedepan.

Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X iv | P a g e

3. Walaupun saya bukan seorang sejarawan, tetapi saya tahu juga kenangan-kenangan yang masih hidup pada bangsa kita. Orang Aceh membanggakan hasil pujangganya seperti Hamzah Fanzuri, Abdullah Al-singkili, maupun Araniri. Pujangga-pujangga itu tidak saja mengembangkan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia, tetapi juga pengetahuan tentang agama, filsafat, juga sejarah.

4. Di satu saat, ketika Kesultanan Malaka menjadi pusat perdagangan kedua terbesar setelah Konstanstinopel banyak orang-orang Jawa, Sumatera berdagangan di negeri ini. Ketika Kesultanan Malaka jatuh, maka muncullah kerajaan-kerajaan baru. Kesultanan Aceh berdiri, disusul kemudian Kesultanan Demak, serta kerajaan-kerajaan lain di sepanjang pantai utara Jawa. Perluasan pengaruh juga oleh tentara-tentara Kesultanan Pantai Utara Jawa. Pada abad ke-18, kita hidup dalam naungan Negara maritim.

5. Bila kita bicara sasra klasik itu, saya juga akan diingatkan pada karya-karya sastra Jawa yang diajarkan oleh guru sejarah saya dulu, yaitu tentang Negara Kartagama—tentang yang menguasai lautan dan pengaruhnya yang luas dari Sumatera hingga Papua, yang menambah keakraban kita.

6. Satu karya klasik yang sempat saya baca dan masih saya ingat adalah naskah klasik Tufat Hanafis. Naskah ini juga sangat menarik bercerita tentang berdirinya Kesultanan Melayu Riau. Aliansi Melayu dengan Bugis di Kepulauan Riau. Bagi saya naskah ini sangat menarik, dari naskah ini pula saya mengerti kehebatan Raja Haji pada pertengahan abad ke- 18 dapat mengalahkan armada Belanda dan dua kapal besar Belanda ditenggelamkan. Kemudian Raja Haji menyerbu Malaka pada waktu bersamaan Raja Belanda datang. Diceritakan dalam kitab Raja Haji, bahwa saat itu Raja Haji memegang keris di tangan kanan dan kitab agama di tangan kiri. Pada saat itulah Raja Haji tertembak saat diserang oleh Belanda dan gugur dalam serangan itu. Maka diberilah gelar Raja Haji dengan ―Raja Haji Fisabililah‖. Saat ini Raja Haji telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

7. Bukan saja masa lampau kita yang ditandai dengan kebesaran-kebesaran Negara Maritim, tetapi kita juga diingatkan pada kehidupan suatu bangsa yang tradisi kesehariannya tidak lepas dari dunia bahari. Suatu tradisi kemaritiman yang saat itu masih memandang laut sebagai pemisah. Bila sudah begini saya jadi teringat, bahwa laut bukan saja sebagai pemisah bagi kita, akan tetapi laut juga merupakan pemersatuan antara satu pulau dengan pulau yang lainnya.

8. Kalau kita mengunjungi daerah di pulau-pulau di Indonesia, saya teringat seorang sejarawan kita dengan ―Jaringan Memori Kolektif‖. Orang Bugis – Makasar akan diingatkan dengan Gowa-Tallo-Makasar. Orang Banjar diingatkan dengan Demak, bahkan orang Minangkabau mendapat kedalaman Islamnya dari Aceh. Orang -- akan diingatkan dengan Tuban. Orang-orang Bima diingatkan oleh Riau. Orang Papua diingatkan oleh Ternate. Jaringan memori kolektif ini dibangun dengan tradisi maritim yang kuat. Hubungan antara guru-murid, -umarah, dan jaringan Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X v | P a g e

perkawinan yang sulit untuk lupakan. Jaringan memori kolektif inilah yang telah lama membangun hubungan antarpulau di Nusantara. 9. Pada awal abad ke-19, kehidupan maritim kita mulai merosot. Pada saat itulah kita memulai babakan baru. Kita mulai berpindah menjadi Negara yang berorentasi pada dunia pertanian, sebagai Negara Agraris. Suatu kehidupan Negara bertumpu pada budaya darat.

10. Sudah waktunya kita memahami perjalanan kita, modal sejarah kita setidaknya dapat kita maknai sebagai titik tolak untuk membangun visi kedepan kita sebagai bangsa bahari yang tangguh. Laut sebagai penghubung adalah modal dasar untuk memperkuat jaringan ekonomi, budaya, politik, dan sosial bangsa Indonesia sebagai Negara Maritim yang disegani oleh Negara-negara tetangga dan dunia di masa-masa mendatang.

11. Akhirnya saya mengucapkan selamat menjalankan Konferensi Nasional Sejarah. Saya menunggu hasil kongkrit Konferensi ini sebagai sebuah kerja nyata dalam membangun budaya bahari dan negara maritim baik di bidang budaya, pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh Om Santi---Santi ---Santi Om Salom

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani

Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X vi | P a g e

RUMUSAN KONFERENSI NASIONAL SEJARAH KE-10 HOTEL GRAND SAHID, JAKARTA 7-10 NOVEMBER 2016

Konferensi Nasional Sejarah ke-10 dengan tema : ―Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Perspektif Sejarah‖, berlangsung dari tanggal 7-10 November 2016, bertempat di Hotel Grand Sahid. Konferensi ini diikuti 300 orang peserta yang berasal mulai dari Aceh hingga Papua. Ikut juga sebagai bentuk utusan Persatuan Sejarawan Malaysia (PSM) dan Philippine Historical Association (PHA), dan sejumlah pengamat dari kalangan penggiat kajian sejarah. Konferensi membahas 100 makalah tentang berbagai aspek dari dinamika budaya bahari, sejak masa silam, sampai sekarang. Berbagai wacana yang diharapkan untuk masa depan juga disampaikan.

Salah satu daya tarik akademis Konferensi Nasional Sejarah ini ialah empat keynote addres yang disampaikan oleh tiga ilmuan terkemuka di dunia akademis internasional. Setelah mengikuti acara dengan cermat dan seksama, serta sambutan dari Presiden Republik Indonesia, yang diwakili oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta wacana yang berkembang dalam diskusi, maka Konferensi Nasional Sejarah ke-10 menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Sejarah adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang memberikan gambaran peristiwa dan kejadian dalam perjalanan waktu. Sejarah bukanlah sekedar romantisme masa lalu, tetapi wawasan yang bisa juga memberikan perspektif ke depan dengan lebih arif tanpa harus mengulang kesalahan yang pernah terjadi. 2. Tema utama Konferensi Nasional Sejarah disesuikan dengan cita-cita pembangunan kembali budaya maritim bangsa sebagaimana yang ditekankan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, tonggak utama kebijakan bangsa menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang terkemuka. 3. Dalam wawasan dunia kemaritiman tanah dan laut adalah satu kesatuan. Adaptasi kehidupan manusia yang bijaksana dalam lingkungan kemaritiman akan menciptakan masyarakat maritim di satu kawasan yang dikenal dengan ―sistem laut‖ atau ―mikro region‖ yang saling terhubung dalam membentuk jaringan yang saling bertautan. 4. Negara maritim dan pemupukan budaya bahari adalah wawasan bangsa yang melestarikan dan mengembangkan nilai dan semangat yang menempatkan laut sebagai basis perjuangan bangsa. Dengan semangat merdeka inilah etos kebaharian dari berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia harus selalu sekayuh. 5. Menekankan pentingnya peningkatan peran sejarah dalam penguatan karakter bangsa Indonesia melalui pemikiran pembelajaran sejarah yang dapat mendorong daya aktifitas, kritis dan kemampuan dalam mengelola resiko. Pengajaran sejarah dilakukan dengan mengajak siswa bermain peran lebih efektif dibandingkan mendengar ceramah tentang sejarah. Dengan begini anak-anak dapat menghayati,

Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X vii | P a g e

meresapi berbagai macam kejadian sejarah baik dalam konteks sejarah nasional Indonesia maupun dalam konteks mengisi perjuangan di era sekarang. 6. Dalam jalur pelayaran dunia yang menghubungkan Timur dan Barat, muncul pusat- pusat pertumbuhan sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik yang mempertautkan lautan dan daratan melalui pelabuhan dan perkembangan kota-kotanya. Dinamika kehidupan masyarakat pun menjadi lebih kompleks dengan berbagai aspek dan karakter yang terbentuk sehingga mewujudkan peradaban baru di kota-kota pelabuhan. Karena itulah bisa dikatakan juga betapa pentingnya memahami aspek geografis untuk menguasai pelayaran dan perdagangan. Dalam sejarah pelayaran dan perdagangan, masa keemasan atau ‖kurun niaga‖ berlangsung selama abad 15 – 18 Masehi memposisikan Indonesia dalam ―Poros Maritim Dunia‖, di mana rempah- rempah menjadi daya tarik utama. 7. Sistem pengetahuan dan tradisi kebaharian yang dimiliki bangsa Indonesia seperti ilmu astronomi sebagai penunjuk arah, teknologi perkapalan, organisasi pelabuhan, sistem budaya, kepercayaan kelembagaan bahari, tradisi lisan, lembaga budaya serta sistem-sistem budaya dengan kepercayaan masyarakat bahari yang menjadi khazanah kearifan lokal pengetahuan tradisi bahari perlu ditumbuh kembangkan. 8. Laut adalah ajang pergulatan nasib manusia demi peningkatan harkat kemanusiaan melalui pergumulan di laut sepanjang abad dengan berbagai motif dan kepentingannya. 9. Laut adalah pula sumber inspirasi, tidak hanya dalam bidang ekonomi dan sosial- politik, akan tetapi juga dalam corak dan dinamika pemikiran intelektual menjadikan pedoman bagi kehidupan masyarakat bahari, seperti yang termuat dalam historiografi tradisional, sastra dan seni. 10. Berita asing tentang alam Nusantara dalam peralihan zaman yang dibawa oleh para pelawat dari berbagai belahan dunia-pusat-pusat perdagangan, kekuasaan dan penyebaran agama serta kekuasaan menjadi sumber penting dalam rekontruksi sejarah, khususnya sejarah maritime Indonesia. Karena itulah pemerintah diharapkan dapat memberi perhatian terhadap perlunya sebuah program khusus menyangkut sumber-sumber informasi asing tersebut. 11. Salah satu ciri penting dari dinamika pelayaran laut adalah cairnya wilayah kekuasaan, yang ditunjukkan dalam jaringan . Adanya jaringan memori kolektif ditunjukkan oleh hubungan guru dengan murid, di antaranya para ulama yang menyatukan Nusantara. Integrasi ranah peradaban Nusantara dimungkinkan terutama karena ranah ini adalah sebuah ‗benua maritim‘ yang cair dan mengalir sehingga mendekatkan dan mengintegrasikan tradisi Islam lokal daerah menjadi Islam Nusantara yang distingtif. 12. Budaya maritim dan negara maritim hanya bisa dipahami oleh seluruh masyarakat jika melibatkan institusi pendidikan baik melalui pendidikan formal maupun informal. Untuk itu perlu dilakukan perubahan kurikulum, yang berbasis pada karakter bidang maritim.

Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X viii | P a g e

Rekomendasi:

1. Perlunya pembangunan budaya bahari sebagai landasan dari sebuah Negara maritim yang telah menyatakan laut sebagai pemersatu bangsa. 2. Perlunya paradigma baru dalam merumuskan visi kelautan Indonesia untuk pembangunan manusia. Dinamika laut tidak hanya pada permukaannya tetapi juga kekayaan yang terdapat di dalamnya. 3. Perlunya pemupukan tradisi historiografi Indonesia yang melihat laut sebagai dimensi baru dalam dinamika pembangunan. 4. Perlunya penguatan pendidikan karakter bangsa melalui perubahan dalam proses dalam pembelajaran sejarah dengan menampilkan drama, film dokumenter dan dalam bentuk-bentuk lainnya 5. Perlunya melakukan ‗revolusi mental‘ bangsa melalui kebijakan penataan kembali sistem pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan sejarah, seperti rekontruksi kreatif sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, serta semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia. 6. Perlunya strategi kebudayaan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara poros maritim. 7. Menghidupkan kembali kegiatan nyata untuk menumbuh kembangkan semangat dan cinta laut seperti Arung Sejarah Bahari (AJARI) yang diikuti generasi muda khusunya mahasiswa dari seluruh Indonesia.

Tim Perumus:

Ketua - Prof. Dr. Taufk Abdullah

Sekretaris - Dr. Restu Gunawan

Anggota - Hilmar Farid, Ph. D - Dra. Triana Wulandari, M.Si - Dr. Mukhlis PaEni - Dr. Anhar Gonggong - Prof. Dr. , M.A - Dr. Saleh As‘ad Djamhari - Dr. Mohammad Iskandar - Prof. Dr. Said Hamid Hasan Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X ix | P a g e

- Prof. Dr. Susanto Zuhdi - Prof. Dr. Oman Fathurahman - Drs. Agus Santoso, M.Hum - Dr. Didik Pradjoko - Nurni Wahyu Wuryandari, Ph. D - Dr. Achmad Syahid - Amurwani Dwi Lestariningsih, M.Hum

Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X x | P a g e

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Laporan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sambutan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Rumusan Konferensi Nasional Sejarah X

Subtema 6: Dinamikan Antardaerah dan Negara

1. Dinamika Antar-Daerah Melayu Nusantara: Kuasa Islam, Politik, Ekonomi dan Intelektual

2. Revitalisasi Nilai-Nilai Sosial Budaya Bahari dalam Pembangunan Ekonomi Kelautan Menuju Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia

3. Senjakala Peran dan Fungsi Panglima Laot di Aceh

4. Bentuk-Bentuk Konflik Nelayan Pantura sampai Era Otonomi Daerah

5. Pembangunan Inklusif Kota-Kota Pesisir di Jawa dalam Kontelasi Dinamika Hubungan Antardaerah dan Negara: Studi Kasus Kota Pesisir Solo, dan Semarang

6. Kampung Tidore di Pulau Sangihe dan Pulau Lembeh: Dinamika Antar Wilayah dan Agama Pada Abad ke -17 dan 18

7. Hubungan Dagang dan Politik antara Kota Pelabuhan Kaimana dengan Kesultanan Tidore sebelum Penegakan Pemerintah Kolonial Belanda di Papua

8. Buah Simalakama Bagi Kesultanan

9. Masyarakat Nelayan Pada Masa Desentralisasi: Dinamika Hubungan Antar Etnis di Karangmutu

10. Angin Segar dari Pesisiran: Pengaruh Semarang dan Gresik terhadap Perkembangan Kota Surabaya pada Paruh Kedua Abad XIX

11. Laut sebagai Penyambung Ikatan Sosial Masyarakat Lamalohot (Lembata dan Flores Timur)

12. Pelayaran Laut dan Masyrakat Arab di Nusantara: Perubahan Ruang Identitas Sosial- Budaya dan Politik Pada Abad ke-19

13. Dinamikan Antar Negara Border Sea: Hubungan Muslim Moro-Nusantara dan Pembentukan Identitas Bangsa Indonesia-Filipina Abad XIX – XX

Prosiding: Konferensi Nasional Sejarah X xi | P a g e

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Subtema 6: Dinamika Antardaerah dan Negara

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Dinamika Antar-Daerah Melayu Nusantara: Kuasa Islam, Politik, Ekonomi dan Intelektual Prof. Dr. Azyumardi Azra

1

DINAMIKA ANTAR-DAERAH MELAYU NUSANTARA: Kuasa Islam, Politik, Ekonomi, dan Intelektual

Azyumardi Azra, CBE

Sebagian besar sarjana dan peneliti yang mengkaji Islam di Dunia Melayu, atau Nusantara sependapat, sejak era formatif pada masa awalnya, melewati masa penjajahan yang penuh kepedihan, dan masa kemerdekaan yang membukakan berbagai tantangan dan peluang sampai masa kini, Islam memainkan peran penting dalam perjalanan sejarah, sosial budaya, intelektual, politik, dan ekonomi antar-daerah Nusantara, Dunia Melayu-Indonesia (Malay-Indonesian World) atau kini Asia Tenggara. Sepanjang perjalanan sejarah itu, peradaban Melayu-Nusantara telah mengalami pasang naik, turun, dan naik kembali di masa pasca-kemerdekaan sekarang dan ke depan. Mengingat pentingnya posisi dan peran Islam dalam dinamika antar- daerah itu, Judith Nagata, ahli Islam Asia Tenggara, khususnya Malaysia menyimpulkan: "It is almost impossible to think of Malay without reference to Islam" (1986). Begitu juga Ernest Gellner yang menyatakan Islam telah menjadi cara hidup dan merupakan „high culture‟ oleh masyarakat Muslim pribumi, termasuk di Dunia Melayu-Nusantara ini (1983). Perlu ditegaskan, meski Nusantara terdiri dari belasan ribu pula dan semenanjung yang terpisah-pisah oleh selat, laut dan samudera, tetapi berkat Islam khususnya wilayah ini terbentuk sebuah ranah peradaban yang menyatu. Ranah peradaban Islam Nusantara adalah salah satu dari delapan ranah peradaban Islam. Kesatuan ranah peradaban Islam Nusantara yang terdiri dari berbagai daerah itu terlihat dari distingsi pemikiran, pemahaman dan praksis Islam yang terbentuk dalam perjalanan sejarah panjang. Dinamika di satu daerah dengan segera berkembang dan mempengaruhi dinamika di daerah lain. Integrasi ranah peradaban Islam Nusantara dimungkinkan terutama karena kenyataan bahwa ranah ini adalah sebuah „benua maritim‟. Kenyataan sebagai „benua maritim‟ ini membuat ranah ini menjadi sangat fluid, cair dan mengalir, sehingga mendekatkan dan mengintegrasikan beragam tradisi Islam lokal daerah menjadi „Islam Nusantara‟ yang distingtif. Distingsi Islam Nusantara ini bertumpu pada tiga aspek: pertama, kalam (teologi) Asy‟ariyah-Jabariyah; kedua, mazhab Syafi‟i; dan ketiga, tasawuf Ghazalian. Dalam tiga kerangka ortodoksi ini, setiap daerah dengan 2 suku bangsanya juga mengembangkan tradisi sosial-budaya yang khas, yang pada gilirannya memperkaya tradisi Islam Nusantara.

Rekonstruksi Sejarah Dunia Melayu-Nusantara Berbagai bukti dan temuan, termasuk hasil penelitian penulis sendiri, memberikan petunjuk sangat kuat, dalam berbagai level Islam menjadi faktor determinan dan kontributor yang sangat penting dalam dinamika antar-daerah yang menuju pada pembangunan dan kebangkitan peradaban Islam Nusantara. Islam menjadi bagian sangat penting dalam dinamika antar-daerah pada berbagai bidang kehidupan, sejak dari politik, ekonomi, intelektual, pendidikan dan sosial budaya, kesenian, arsitektur, dan sebagainya sepanjang sejarah. Kajian tentang sosio-intelektualisme dan peradaban Islam di berbagai daerah yang terintegrasi dalam Dunia Melayu, khususnya pada masa awal dan kolonial mestilah memerlukan berbagai sumber sejak dari sumber Eropa (Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda), China, Arab dan Persia. Semua sumber asing ini memerlukan treatment khusus karena adanya berbagai masalah di dalamnya, sejak dari persepsi yang bias terhadap etnis atau suku bangsa dan Islam yang eksis di berbagai daerah, atau Islam Nusantara secara keseluruhan sampai kepada penyebutan nama yang sulit diidentifikasi. Karena itu, sumber- sumber asing harus tidak dipandang sebagai paling akurat; sebaliknya mesti ditangani secara kritis. Sumber-sumber lokal yang ada di berbagai daerah dalam bentuk „traditional historical accounts‟ seperti „sejarah‟, hikayat, „babad‟, tambo dan semacamnya pasti juga merupakan sumber penting dalam rekonstruksi sejara dinamika sosio-intelektual Islam di daerah tertentu yang kemudian memiliki benang merah yang menyatukan Nusantara. Dinamika sejarah sosial- intelektual memperlihatkan kemunculan peradaban Islam yang khas vis-à-vis ranah peradaban Islam lainnya seperti Arab, Persia/Iran, Turki, Anak Benua India, Sino-Islamic, Afrika Hitam dan belahan dunia Barat (Western hemisphere. Sama seperti sumber-sumber asing, sumber-sumber lokal juga memerlukan penanganan dan pendekatan khusus, karena ia juga mengandung problem tertentu semacam akurasi data, mitologisasi dan semacamnya yang mesti ditapis secara cermat. Yang tidak kurang pentingnya dalam pelacakan dan rekonstruksi sejarah sosial intelektual Islam Melayu-Indonesia adalah naskah-naskah—baik yang sudah diedit dan dicetak maupun belum tercetak. Reproduksi dan produksi naskah-naskah keislaman itu ternyata masih terus berlanjut sampai sekarang ini. Karena itu, Islam Melayu-Nusantara sangat kaya dengan naskah- naskah yang dalam banyak hal mengungkapkan berbagai aspek dan dinamika 3 intelektualisme Islam Nusantara; naskah-naskah tersebut tersedia dalam berbagai aksara, dan bahasa lokal daerah tertentu yang digunakan komunitas- komunitas Muslim di berbagai daerah ranah Islam kawasan ini. Kebanyakan naskah ini belum disunting dan dikaji; dan karena itu memerlukan peningkatan minat, usaha, dan kesungguhan para peneliti untuk mengedit, mengkaji dan menerbitkannya, sehingga akhirnya kita dapat memiliki peta lebih lengkap dan akurat mengenai intelektualisme Islam Melayu-Indonesia. Orang sepatutnya tidak meremehkan naskah-naskah tersebut—apalagi dalam kaitannya dengan intelektualisme Islam Melayu-Indonesia. Dalam kajian saya—khususnya dengan mengunakan naskah-naskah lokal di berbagai daerah yang dikombinasikan dengan naskah-naskah Arab di Tiur Tengah— intelektualisme Islam Nusantara tidaklah inferior dibandingkan wilayah- wilayah Muslim lain. Para ulama dan intelektual „tradisional‟ Muslim Melayu- Indonesia tidaklah sama sekali hanya menjadi „konsumen‟ dari intelektualisme di tempat-tempat lain. Tetapi, sebaliknya mereka secara kreatif mengembangkan intelektualisme Islam sembari melakukan kontekstualisasi dengan realitas sosial, budaya dan keagamaan berbagai masyarakat Muslim Nusantara. Berkat kontekstualisasi itu Islam menjadi embedded, terintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat antar-daerah yang membentuk Dunia Muslim Melayu-Nusantara. Dan proses inilah yang membuat Islam Dunia Melayu-Indonesia distingtif dibandingkan Islam di tempat-tempat lain.

Kuasa Politik dan Perdagangan Tidak berlebihan mengatakan, sejarah Islam awal di Dunia Melayu Nusantara menunjukkan adanya beberapa faktor utama dalam pembentukan masyarakat dan peradaban Islam di berbagai daerah kawasan ini yaitu; yang terpenting adalah terbentuknya kuasa politik dalam bentuk negara kerajaan atau kesultanan di berbagai daerah Nusantara. Kuasa politik ini memiliki peran sangat krusial dalam dinamika politik, budaya, ekonomi dan perdagangan yang pada gilirannya mengakselerasi kesejahteraan warga, Islamisasi dan intelektualisasi. Jika diringkas faktor-faktor terpenting tersebut ialah Islam, politik dan ekonomi. Berbagai sumber sejarah mengungkapkan, pada periode awal berdirinya kerajaan Islam Melayu-Indonesia yaitu Samudra Pasai dan Melaka masing-masing pada abad ke 13 dan 14. Selanjutnya, berdiri pula sejumlah kerajaan Islam lainnya di berbagai daerah Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam ini berfungsi strategis tidak hanya sebagai entitas politik, tetapi juga sebagai "social and political agents" bagi proses Islamisasi secara lebih intensif dan menyeluruh di berbagai daerah Dunia Melayu-Indonesia. 4

Peran para penguasa kerajaan Islam Melayu-Nusantara juga sangat penting tidak saja dalam aktualisasi politik Islam, tetapi juga dalam akselerasi dan intensifikasi proses Islamisasi sehingga Islam benar-benar bisa diterima secara luas oleh masyarakat, dan mewarnai berbagai aspek kehidupan di berbagai daerah. Hal ini bisa terlihat antara lain dalam penuturan Hikayat Raja-raja Pasai yang antara lain menyebutkan, misalnya, peran Malik al- Saleh dalam menggalakkan konversi ke dalam Islam (A.H.Hill, 1960). Hal serupa juga disebutkan dalam Sejarah Melayu, tentang proses konversi ke dalam Islam yang terjadi di Kerajaan Melaka; periwayatan ini kemudian juga diperkuat misalnya oleh catatan perjalanan pengembara Portugis, Tome Pires, pada abad 16. Yang juga penting digarisbawahi ialah bahwa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara tersebut memainkan peran penting dalam perdagangan maritim; mereka terlibat dalam perdagangan bebas internasional (international free trade). Ekonomi perdagangan bebas berbasis maritim ini sangat penting dalam meningkatkan kemakmuran ekonomi masyarakat-masyarakat daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam di Asia Tenggara, yang pada gilirannya memberi kontribusi besar dalam pengembangan dan penguatan masyarakat Islam. Tidak berlebihan juga dikatakan, keterlibatan kerajaan-kerajaan Islam dalam perdagangan bebas internasional memberikan peluang bagi kedatangan para pedagang Muslim internasional untuk dapat melakukan transaksi bisnis di seluruh pusat kekuasaan Islam. Memang, perdagangan maritim ini menjadi andalan utama ekonomi kerajaan. Karena itu pihak kerajaan atau kesultanan Islam Nusantara sangat berkepentingan memfasilitasi, mengatur kegiatan hubungan perdagangan Muslim secara nasional dan internasional. Untuk kepentingan itu, para penguasa kerajaan mengadopsi fiqh perdagangan Islam yang dikombinasikan dengan ketentuan lokal. Hal ini antara lain tergambar dari catatan perjalanan Tome Pires, dan juga dalam teks Undang-undang Melaka (Liaw Yock Fang, 1976) dan teks Undang-undang Laut Melaka (Josselin de Jong dan R.O.Winstedt, 1938). Tidak kurang pentingnya, sejauh menyangkut pengembangan dan dinamika intelektualisme Islam Nusantara, kerajaan dan penguasa memainkan peran sangat penting. Raja, sultan dan sultanah menjadi patron bagi para ulama yang merupakan client; mereka tidak hanya menarik ulama ke lingkungan kerajaan dan istana, tetapi juga memberikan ruang bagi mereka untuk berkarya dengan menyediakan berbagai fasilitas yang memungkinkan mereka menghasilkan karya-karya besar. Hal ini terlihat dari pengalaman ulama-ulama besar Nusantara sejak dari al-Sinkili, al-Raniri, al-Makassari di Kesultanan Aceh abad 19. Hal sama juga bisa ditemukan di berbagai daerah 5 lain di , , Jawa, dan seterusnya di mana para penguasa merekrut ulama ke lingkungan keraton, sehingga mereka dapat menghasilkan berbagai karya intelektual. Perpaduan faktor-faktor politik, ekonomi dan Islam tersebut di atas mendorong kemunculan Dunia Melayu Nusantara menjadi sebuah wilayah yang, menurut istilah Taufik Abdullah, menampilkan "tradisi integratif" (1989). Berkat Islam, wilayah Asia Tenggara yang terfragmentasi secara geografis—seperti sudah dikemukakan di atas—menjadi kesatuan ranah sosio- intelektual dan peradaban Islam (cultural sphere of Islam) dari delapan ranah budaya Islam (Arab, Persia, Turki, Afrika Hitam, Anak Benua India, Nusantara, Sino-Islamic, Western hemisphere). Kesatuan Melayu-Nusantara tersebut juga jelas memungkinkan terwujudnya berbagai bentuk hubungan internasional yang terus berkembang secara intens. Kegiatan ekonomi perdagangan di berbagai daerah juga berkembang berkat dukungan penuh pihak kerajaan atau penguasa Muslim umumnya; semangat urbanisme dan kosmopolitanisme berkembang dengan pesat; aktifitas sosial keagamaan dan juga intelektualisme Islam semakin meningkat, yang selanjutnya menemukan momentumnya sejak akhir abad 16, yang pada gilirannya memunculkan keterlibatan para murid Jawi yang datang dari berbagai daerah Nusantara dalam jaringan ulama internasional. Karena itu, sekali lagi, aktor pembentuk sistem sosial dan budaya masyarakat Muslim Nusantara ketika itu ialah penguasa (raja) Muslim, para ulama dan sufi pengembara, dan kaum saudagar. Melalui mereka kebangkitan masyarakat Muslim dan peradaban Islam Nusantara dengan elemen-elemen keislaman yang kian tersubstantifikasi menjadi terus semakin nyata sejak masa-masa itu dan selanjutnya. Proses substantifikasi kebangkitan masyarakat Nusantara ini jelas juga dipengaruhi berbagai kecenderungan dan perkembangan Islam secara internasional. Dalam bidang politik misalnya entitas dan pemikiran politik Nusantara mengadopsi sistem dan pemikiran politik yang berkembang di berbagai bagian lain dunia Islam. Dalam naskah-naskah politik Nusantara dapat ditemukan banyak bukti adanya pengaruh kuat tersebut, antara lain menyangkut konsep tentang daulat, musyawarah, pola hubungan antara raja dengan rakyat, dan sebagainya. Semua ini terungkap misalnya dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sejarah Melayu dan teks-teks lain. Penting dicatat, kerajaan atau kesultanan di berbagai daerah Dunia Melayu-Indonesia—dengan restu dan kontekstualisasi pemikiran ulamanya— tidak mengadopsi keseluruhan konsep pemikiran politik Islam klasik yang berkembang di ranah Islam Arab dan ranah Islam Persia. Contoh paling mencolok adalah ketiadaan penerapan pembagian dunia menjadi Dar al-Islam, 6

Dar al-Harb, dan Dar al-Ahd. Memang beberapa kerajaan atau kesultanan menyebut diri sebagai Kesultanan Aceh Dar al-Salam misalnya; tetapi pada sisi lain tidak ada adopsi Dar al-Harb. Agaknya karena alasan inilah kenapa tidak ada kerajaan atau kesultanan di berbagai daerah Nusantara yang memberlakukan konsep dan praktek Ahl al-Dzimmah yang harus membayar jizyah, pajak kepala untuk perlindungan yang mereka terima dari kuasa Islam. Dengan demikian, membaca konsep dan praktek politik Islam yang berlaku di berbagai kerajaan atau kesultanan Nusantara, yang jelas adalah bahwa konsep dan praksis politik Islam Nusantara mendorong bagi terjadinya transformasi ideologi politik sangat penting; dari semula bercorak Hinduistik- Budhistik menjadi Islamik. Islam selanjutnya menjadi sumber utama dalam merumuskan etika dan bahkan juga dalam membangun sistem politik/kekuasaan menggantikan paradigma lama Hindu-Budha. Gambaran singkat di atas sekaligus menjelaskan dinamika internal masyarakat Muslim Nusantara dan hubungan-hubungan internasional yang telah terjalin saat itu, yang memberikan peluang besar bagi para penguasa muslim dan ulama Nusantara mengakses sumber-sumber intelektualisme Islam secara luas sekaligus mengembangkan satu bentuk intelektualisme Islam Nusantara yang cukup distingtif. Demikianlah, sumber-sumber sejarah dan naskah-naskah yang penulis temukan dan teliti secara cermat, misalnya membuktikan adanya jaringan intelektualisme yang kompleks, terjalin erat dan intens antara murid-murid yang kemudian menjadi ulama Nusantara dan Timur Tengah sejak abad 17 dan ke 18, yang terus berlanjut pada abad 19 dan 20. Banyak ulama Dunia Melayu-Indonesia yang datang dari berbagai daerah secara intensif berhubungan dengan berbagai sumber intelektual Islam sekaligus melakukan pembaharuan pemikiran dan praksis Islam di Nusantara sepanjang sejarah (Azra, 1998). Tidak sedikit kitab yang sebagian masih berupa naskah dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama Nusantara tersebut. Di samping itu juga muncul berbagai pusat pendidikan dan intelektualisme Islam di ranah peradaban Islam ini, dari daerah yang mencakup antara lain Pasai, Melaka, Aceh, Palembang, Banjarmasin, Minangkabau, Jawa, dan seterusnya. Perkembangan dan kebangkitan intelektualisme Islam melalui berbagai karya ulama maupun lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tersebar di berbagai daerah memperoleh dukungan dari para penguasa Islam, seperti dikemukakan di atas. Sekali lagi, tidak berlebihan disimpulkan, para penguasa kerajaan Islam menjadi patron bagi para ulama untuk melakukan dan mengembangkan kegiatan keislaman dan intelektual mereka. 7

Pertumbuhan atau perkembangan intelektualisme Islam Nusantara menjadi bagian dari upaya memperkuat lembaga politik, sosial keagamaan dan lembaga-lembaga keislaman lainnya. Karena itu, tema-tema pemikiran yang dikembangkan dan berbagai kitab dan naskah, dalam berbagai tingkat, memberikan arah bagi perkembangan sosial, keagamaan dan politik tertentu. Karena itu peradaban Islam Nusantara antara lain juga ditandai wacana atau perdebatan intens di antara berbagai kecenderungan/arus atau mazhab pemikiran Islam yang ada; dan semuanya ikut mewarnai paradigma dan praksis sosial keagamaan, budaya dan politik umat. Islam memberikan landasan sangat penting dalam pembentukan sosial budaya dan intelektualisme masyarakat Muslim Nusantara. Islam dan Muslim memainkan peran sangat penting dalam menemukan (inventing) dan mengembangkan peradaban Nusantara.

Modernisme Politik Islam Nusantara Sepanjang abad 19 dan 20, Islam terus memberikan berbagai kontribusi penting dalam perjalanan sejarah Dunia Melayu-Indonesia. Dinamika Islam pada level internasional sejak awal abad 20 yang ditandai dengan kebangkitan modernisme Islam, juga mempengaruhi perkembangan Islam Nusantara sejak dari Indonesia, Semenanjung Malaya, Singapura dan wilayah Asia Tenggara lainnya. Wacana dan gerakan modernisme Islam di Indonesia tidak hanya memunculkan Islam yang lebih reformis, tetapi yang juga terlibat dalam perdebatan wacana politik moderen seperti nasionalisme, „nation-state‟, demokrasi dan seterusnya; periode ini menandai munculnya modernisme politik Islam Nusantara. Secara ringkas, ada beberapa peran penting yang dimainkan umat Islam Nusantara dalam modernisme politik, yaitu : Pertama, modernisme politik Islam mendorong kemunculan dan penguatan nation-state di Indonesia. Melalui banyak pemikirnya seperti Tjokroaminoto, Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Natsir, dan lain-lain, Islam menjadi bagian penting bagi terbentuknya negara bangsa yang berdaulat setelah melalui proses panjang: mulai dari perlawanan fisik terhadap kolonialisme di berbagai daerah Nusantara, perdebatan tentang Islam dan nasionalisme hingga terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Kedua, memperkokoh proses integrasi bangsa. Hal ini terutama melalui berkembangnya organisasi-organisasi yang bercakupan nasional, baik dari segi prinsipnya, wilayah keanggotaannya, kepemimpinannya yang multi etnis, dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi besar seperti SI, , NU yang menyebar di berbagai daerah Indonesia, jelas memberikan kontribusi penting dalam menumbuhkan dan memperkuat integrasi bangsa di Indonesia. 8

Ketiga, mendorong, mempermatang dan memperkaya konsep tentang demokrasi. Khususnya di Indonesia, para pemikir Islam terlibat dalam wacana dan perdebatan tentang demokrasi. Secara umum, mereka menerima kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Sebaliknya, secara mencolok wacana tentang negara Islam, khilafah dan sebagainya tidak mendapatkan tempat signifikan dalam wacana publik umumnya, seperti di lingkungan organisasi dan pemikir NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Meskipun demikian, pada periode ini berbagai tantangan dan kesulitan fundamental juga dihadapi oleh Islam baik secara konseptual maupun secara praktis. Karena itu, Islam, antara lain yang direpresentasikan oleh berbagai gerakan Islam dan pemikiran Islam kontemporer berupaya mendefenisikan ulang peran-peran strategis Islam, sehubungan dengan perubahan-perubahan cepat dalam kehidupan dan peradaban bangsa ini. Kemunculan kelompok- kelompok yang cenderung memahami Islam secara literal, yang bertujuan untuk mengubah bentuk dan dasar negara merupakan gejala yang perlu dicermati dan diantisipasi. Inilah salah satu agenda penting Islam Nusantara dalam menghadapi masa depan. Selain itu, dengan semakin menguatnya peran negara-bangsa setelah Perang Dunia II dan masa-masa selanjutnya, batas-batas politik di antara negara-bangsa Muslim di Dunia Melayu-Indonesia dan seterusnya semakin menguat. Kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi masing-masing negara-bangsa dalam kurun tertentu bahkan dapat mengancam kehidupan umat. Mempertimbangkan kecenderungan ini, hubungan-hubungan non- politis, seperti keagamaan, sosial-budaya dan pendidikan di antara berbagai komponen, segmen dan lembaga-lembaga Muslim Indonesia dan negara- negara lain di Dunia Melayu harus senantiasa dipelihara dan diperkuat. Hanya melalui hubungan seperti ini kerjasama seiman, seislam, sepuak, dan regional dan internasional bisa dikembangkan lebih erat untuk menuju masa depan lebih damai yang memungkinkan bagi pengembangan intelektualisme dan peradaban Islam Melayu-Nusantara yang cemerlang.

Tantangan ke Depan Kuasa politik Islam Melayu pernah berjaya di Nusantara pada masa kejayaan kerajaan dan kesultanan dalam mengembangkan intelektualisme dan peradaban Islam sebelum datangnya kolonial Belanda. Tantangan di masa kini dan masa depan adalah terus memperkuat intelektualisme dan peradaban Islam Dunia Melayu-Indonesia. Banyak harapan yang ditumpahkan para ahli luar baik di kalangan Muslim sendiri maupun di kalangan Barat, seperti Fazlur Rahman, John Esposito, dan lain-lain, tentang kemunculan kebangkitan Islam dari Dunia Melayu-Nusantara, khususnya melalui Indonesia dan Malaysia. 9

Dengan dinamika intelektual yang vibrant dan progresif, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar memiliki potensi luar biasa mewujudkan berbagai harapan tersebut. Tetapi aktualisasi potensi itu sangat tergantung pada kemampuan kaum Muslimin sendiri untuk terus meningkatkan kualitas berbagai kelembagaannya yang merupakan warisan (heritage) dan perbendaharaan (treasures) luar biasa. Pada saat yang sama, kaum Muslimin Dunia Melayu- Indonesia mestilah secara khusus juga meningkatkan kualitas pendidikan; karena hanya dengan cara itu dapat lahir generasi muda Muslim yang memiliki keunggulan dalam membangun paradaban Islam Melayu-Nusantara lebih maju lagi.

Bibliografi

Abdullah, Abdul Rahman Haji, 1997, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran, Jakarta: Gema Insani Press. Abdullah, Abdul Rahman Haji, 1990, Pemikiran Umat Islam di Nusasntara: Sejarah dan Perkembangannya hingga Abad 19, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Abdullah, Firdaus Haji, 1985, Radical Malay Politics: Its Origins and Early Development, Petaling Jaya: Pelanduk Publication. Abu Bakar, Ibrahim bin, 1994, Islamic Modernism in Malaysia: The Life and Thought of Sayid Syekh al-Hadi 1867-1934, Kuala Lumpur: University of Malaya Press. Azra, Azyumardi, 2007, Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation, : Mizan Pustaka. Azra, Azyumardi, 2006, Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context, Jakarta and : Solstice Publishing of Equinox, The Asia Foundation, and ICIP. Azra, Azyumardi, 2004, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay- Indonesian and Middle Eastern `Ulama’ in the 17th and 18th Centuries, Crows Nest: AAAS & Allen-Unwin; Honolulu: University of Press; Leiden: KITLV Press. Azra, Azyumardi, 2000, “Syi`ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas”, introduction to A. Rahman Zainuddin & Hamdan Basyar (eds.), Syi`ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian, Bandung: Mizan. Azra, Azyumardi, 1999, „The Transmission of al-Manar’s Reformism to the Malay-Indonesian World: The Cases of al-Imam and al-Munir‟, Studia Islamika, 6:3, 79-111, reprinted in Stephane A Dudoignon, Komatsu Hisao and Kosugi Yasushi (eds.), 2006, Intellectuals in the Modern Islamic World: Transmission, Transformation, Communication, London & New York: Routledge, 143-158. Azra, Azyumardi, 1996, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina. Azra, Azyumardi, 1988, “The Rise and Decline of Minangkabau : A Traditional Islamic Educational Institution in during the Dutch Colonialism”, M.A. thesis, Columbia University, New York. Burhanudin, Jajat, 2007, „Islamic Knowledge, Authority and Political Power: The „Ulama in Colonial Indonesia‟, PhD diss, Leiden University. Eliraz, Giora, 2002, “The Islamic Reformist Movement in the Malay-Indonesian World in the First Four Decades of the 20th Century: Insights Gained from a Comparative Look at Egypt”, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, 9, I. 10

Feillard, Andree, 1999, NU Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, : LkiS. Gullick, J.M, 1992, Rulers and Residents: Influence and Power in the Malay States 1870-1920, Oxford: Oxford University Press. Gullick J.M., 1987, Malay Society in the Late Nineteenth Century, Singapore: Oxford University Press. Hamzah, Abu Bakar, 1981, Al-Imam: Its Role in Malay Society 1906-1908, Kuala Lumpur: Media Cendekiawan. Ishak, Md. Sidin Ahmad & Mohamad Redzuan Othman, 2000, The in the Middle East, Kuala Lumpur: University of Malaya Press. Laffan, M.F., 2003, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Winds, London: RoutledgeCurzon. Milner, A., 1995, The Invention of Politics in Colonial Malaysia: Contesting Nationalism and the Expansion of the Public Sphere, Cambridge: Cambridge University Press. Mutalib, Husin, 1993, Islam in Malaysia: From Revivalism to Islamic State, Singapore: Singapore University Press. Nakamura, Mitsuo, 1983, The Crescent arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nasution, Harun, 1987, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Noer, Deliar, 1973, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Kuala Lumpur: Oxford University Press. Peletz, M.G., 1997, “Ordinary Muslim” and Muslim Resurgent in Contemporary Malaysia: Notes on an Ambivalent Relationship”, in R.W. Hefner & P. Horvatich (eds.), Islam in an Era of Nation-States, Honolulu: University of Hawaii Press. Roff, W.R, 1970, „Indonesia and Malay Students in Cairo in the 1920s‟, Indonesia, 9: 73-87. Roff, W.R., 1967, The Origins of Malay Nationalism, Kuala Lumpur: University of Malaya Press. Shamsul A.B., 1997, “Identity Construction, Nation Formation, and Islamic Revivalism in Malaysia”, in R.W. Hefner & P. Horvatich (eds.), Islam in an Era of Nation-States, Honolulu: University of Hawaii Press. Van Bruinessen, M, 1994, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKIS.

*AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955 di Lubuk Alung Sumatera Barat, adalah gurubesar sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah; dan pernah menjabat Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta sejak Januari 2007 sampai April 2015. Ia juga pernah bertugas sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April 2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya diaadalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006). Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari Columbia University, New York (1992) with distinction. Pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Dia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu juga anggota Dewan Penyantun International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-12); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC), International Aga Khan University (London, 2005-2010).

Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-9). Dia juga anggota Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP, , 1999-2001); Asian Research Foundation-Asian Muslim Action Network (ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-sekarang); Ford Foundation International Fellowship Program (IFP-IIEF, 2006-12); Asian Scholarship Foundation (ASF, Bangkok, 2006-10); Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-2014); anggota 11

Selection Committee Senior Fellow Program AMINEF-Fulbright (2008); dan Presiden International Association of Historians of Asia (IAHA, 2010-12).

Selain itu, dia anggota Dewan Pendiri Kemitraan—Partnership for Governance Reform in Indonesia (2004- sekarang); Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-13); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-14); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-sekarang); LibforAll, USA (2006-sekarang); Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne, 2005- 7); Tripartite Forum for Inter-Faith Cooperation (New York, 2006-sekarang); anggota World Economic Forum‟s Global Agenda Council on the West-Islam Dialogue (Davos 2008-sekarang); dan Presiden Asian Muslim Action Network (AMAN, Bangkok, 2014-sekarang).

Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies (Jakarta, 1994- sekarang); Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London, 2006-sekarang); Journal of Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2005- sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-sekarang); IAIS Journal of Civilisation Studies (International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-sekarang); Journal of Royal Asiatic Society (JRAS, London, 2009-sekarang); Journal Islamic Studies (Islamic Research Institute, Islamabad, 2010-sekarang; Jurnal Akademika (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2010-sekarang); dan Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies, 2013-16).

Dia telah menerbitkan lebih dari 36 buku, termasuk Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008); Varieties of Religious Authority: ¨Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010); contributing-editor, Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid III, Kedatangan dan Peradaban Islam, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan & Ichtiar Baru-Van Hoeve, 2012; dan contributing editor, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jilid III, 2015; Lebih 30 artikel dan bab buku berbahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.

Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun The Asia Foundation atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam moderat; pada September 2010, ia mendapat penghargaan gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of British Empire) dari Elizabeth, Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan peradaban. Kemudian pada 28 Agustus 2014 ia mendapat penghargaan „MIPI Award‟ dari Masyarakat Imu Pemerintahan Indonesia (MIPI). Selanjutnya, pada 4 Agustus 2014, ia dianugerahi „Commendations‟ dari Kementerian Luarnegeri Jepang atas jasanya memperkuat saling pengertian antara Jepang dan Indonesia; dan 18 September 2014 dia terpilih sebagai salah satu dari tiga penerima anugerah bergengsi Fukuoka Prize 2014 Jepang atas jasa dan kontribusi signifikannya pada peningkatan pemahaman masyarakat internasional terhadap budaya Asia. Pada 25 Juni 2015 dia mendapat penghargaan „Cendekiawan Berdedikasi‟ dari Harian Kompas; pada 20 Agustus 2015 dia terpilih menyampaikan „LIPI Sarwono Memorial Lecture‟ dalam rangka ulang tahun ke-48 LIPI; dan pada 21 Agustus 2015 dia terpilih menerima „Penghargaan Achmad Bakrie‟ dalam Pemikiran Sosial.

Selain itu, pada 2009 dia terpilih sebagai salah satu di antara „The 500 Most Influential Muslim Leaders‟ dalam bidang Scholarly (kesarjanaan/keilmuan) oleh Prince Waleed bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University, Washington DC dan The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Amman, Yordania di bawah pimpinan Prof John Esposito dan Prof Ibrahim Kalin. Dia dapat dikontak melalui [email protected] / [email protected]

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Revitalisasi Nilai-Nilai Sosial Budaya Bahari dalam Pembangunan Ekonomi Kelautan Menuju Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

1 REVITALISASI NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA BAHARI DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN MENUJU INDONESIA SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA

Oleh Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia; Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan; Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI); Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen; dan Duta Besar Kehormatan Provinsi Jeju Islands, Korea Selatan

I. Latar Belakang

Seorang industriawan humanis berkebangsaan Perancis, Charles Fourier (1772 – 1837 M) mengatakan bahwa ”Dengan kemerdekaan, kita ingin membangun sebuah dunia dimana setiap orang bisa merasa bahagia” (Nous voulons batir un monde ou tout le monde soit heureux). Demikian juga kita bangsa Indonesia, bahwa para founding fathers dan seluruh rakyat menyatukan diri bergabung dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan satu tujuan mulia, yakni ingin mewujudkan Indonesia yang maju, adil-makmur dan berdaulat.

Indonesia sejatinya memiliki modal dasar sangat lengkap untuk menjadi bangsa besar yang maju, sejahtera, dan berdaulat. Indonesia memiliki jumlah penduduk 255 juta jiwa, yaitu terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok (1.390 juta jiwa), India (1.252 juta jiwa) dan AS (318,9 juta jiwa)1. Jumlah penduduk yang berusia produktif lebih banyak daripada yang berusia tidak produktif (merupakan bonus demografi), dengan jumlah kelas menengah (middle-income class) yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini tentu saja merupakan human capital dan potensi pasar domestik yang luar biasa besarnya. Selain itu, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah dan beragam, baik yang terdapat di wilayah darat maupun lautan serta posisi geoekonominya yang sangat strategis. Indonesia mampu menjadi jantung pusat perdagangan global, yang menghubungkan benua Asia dengan Australia dan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik dimana sekitar 45 persen dari seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 trilyun dolar AS per tahun diangkut melalui tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (UNCTAD, 2012). Sekedar untuk perbandingan, nilai APBN Indonesia tahun 2015 sebesar Rp 2.771,9 trilyun atau sekitar 213 milyar dolar AS2, dan besaran

1 Sumber : CIA World Factbook Tahun 2015 2 Asumsi dolar Rp 13.000/ dolar AS 2 ekonomi (PDB = Produk Domestik Bruto) berdasarkan harga berlaku Indonesia sebesar Rp 11.540,8 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp 45,2 juta atau setara dengan US $ 3.377,1 (BPS 2015).

Namun, sudah 71 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berkembang berpendapatan menengah bawah (low-middle income country, dengan pendapatan per kapita 4.000 dolar AS) dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, kesenjangan antara kelompok kaya vs miskin kian melebar, disparitas pembangunan antar wilayah sangat tinggi dan daya saing ekonomi yang rendah. Tingkat kemajuan dan kemakmuran Indonesia pun jauh di bawah negara-negara tetangga yang modal dasar pembangunannya terbatas. Seperti: Singapura, Korea Selatan dan Jepang yang sudah menjadi negara industri maju sejak tahun 1990-an dengan pendapatan (GNP) per kapita di atas 30.000 dolar AS. Sementara itu, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia tahun 2014, yang merupakan indikator tingkat kemajuan di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi suatu bangsa, pun hanya menempati peringkat-6 di kawasan ASEAN di bawah Singapura, Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Philipina (Human Development Report 2015).

Saat ini jumlah pengangguran terbuka sebanyak 7,5 juta orang atau sekitar 6,19 persen total angkatan kerja (121 juta orang) dan pengangguran semi-terbuka (setengah menganggur) mencapai 36 juta orang. Berdasarkan pada garis kemiskinan versi BPS (2015) yakni pengeluaran sebesar Rp 344.706/orang/bulan, jumlah penduduk miskin saat ini sekitar 28,5 juta orang (11 persen total penduduk Indonesia). Akan tetapi, bila mengacu pada garis kemiskinan versi Bank Dunia (pengeluaran sebesar 2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS/orang/bulan), maka jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 120 juta jiwa atau sekitar 45 persen dari total penduduk. Artinya hampir separuh rakyat Indonesia hingga saat ini masih bergulat dengan derita kemiskinan. Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan tentu sangat bertolak belakang dengan amanah konsititusi. Sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa salah satu dari empat tugas pemerintah (penyelenggara negara) adalah memajukan kesejahteraan umum dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

Selain tidak mampu mengatasi pengangguran dan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2015 hanya 4,67 persen dalam sepuluh tahun terakhir juga telah membuat kesenjangan antara kelompok warga negara kaya vs miskin semakin melebar. Kondisi ini terkonfirmasi oleh Koefisien Gini3, yang pada 2004 sebesar 0,31 menjadi 0,41 di tahun 2015 (BPS, 2015). Semakin

3 Koefisin Gini adalah ukuran (angka) yang mencerminkan kesenjangan antara kelompok kaya vs miskin di suatu negara. Angkanya berkisar dari 0 – 1. Koefisien Gini sebesar 1 berarti pendapatan suatu negara hanya dinikmati oleh seorang warga (satu perusahaan) dalam negara tersebut. Sedangkan, Koefisien Gini sebesar 0 berarti pendapatan semua warga negara sama besarnya. 3 curamnya jurang antara penduduk kaya vs miskin bukan hanya telah mencederai rasa keadilan, tetapi juga sangat membahayakan kehidupan bangsa. Pasalnya, seorang kepala keluarga yang tanpa pekerjaan atau bekerja dengan penghasilan yang pas-pasan tentu sangat berat atau bahkan tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan) keluarga dan anak-anaknya secara layak. Apalagi untuk memenuhi keperluan biaya transportasi dan rekreasi keluarga. Oleh sebab itu tidak heran, bila tahun lalu sekitar 37,2 persen total anak-anak usia di bawah lima tahun (balita) menderita kekurangan gizi kronis (gizi buruk). Yang lebih menyedihkan, jumlah anak yang mengalami pertumbuhan terhambat (stunted growth) sebesar 8,8 juta anak atau terbanyak kelima di dunia. Gizi buruk dan pertumbuhan terhambat akan mengakibatkan cacat permanen pada fisik dan kecerdasan para penderitanya (UNICEF, 2014). Dengan perkataan lain, jika tidak ada perbaikan gizi yang signifikan bagi anak-anak balita, niscaya kita hanya akan mewariskan generasi yang lemah dan kurang cerdas. Sungguh suatu ironi yang menyedihkan sekaligus memalukan, kondisi ini terjadi di negara yang konon alamnya subur, bak zamrud mutu manikam yang tersebar di sepanjang garis Khatulistiwa.

Kondisi geografis Indonesia sangat luas, yaitu dengan wilayah perairan sebesar 6.315.222 km2 (mencapai dua per tiga dari total luas wilayah Indonesia). Selain itu panjang garis pantai Indonesia merupakan yang terpanjang nomor 2 setelah Kanada, yaitu sepanjang 99.093 km serta memiliki jumlah pulau yang bernama dan berkoordinat sebanyak 13.466 pulau. Kondisi geografis tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara maritim. Sebagai negara maritim banyak sekali keuntungan yang dimiliki Indonesia, baik berupa sumberdaya terbarukan, sumberdaya tidak terbarukan, pariwisata, jasa transportasi maupun jasa lingkungan. Dengan potensi yang dimiliki sudah seharusnya dapat menjadikan maritim sebagai tulang punggung untuk mendorong Indonesia mengatasi permasalahan yang telah disebutkan di atas dan menjadi bangsa yang maju. Namun Indonesia cukup terlambat menyadari bahwa identitas bangsa ini adalah negara maritim, sehingga sangat dibutuhkan percepatan untuk mendorong pertumbuhan seperti yang diharapkan, sehingga rencana program dan cita-cita Presiden Joko Widodo untuk membuat Indonesia menjadi poros maritim dunia dapat diwujudkan.

II. Sejarah Maritim Indonesia

Sejak zaman prasejarah, bangsa Indonesia merupakan pelayar yang tangguh dalam mengarungi lautan lepas. Laut dan selat yang membentang di hadapan tidak dipandang sebagai penghalang, namun justru sebagai penghubung antar pulau di Nusantara. Adanya hubungan antara Indonesia dengan daratan Asia Tenggara diketahui dari adanya peninggalan sejarah yang menunjukkan hubungan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Salah

4 satu buktinya ialah dengan ditemukannya nekara (semacam gendang) perunggu di Indonesia yang jenisnya sama dengan nekara perunggu di daratan Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa sejak jaman prasejarah, bangsa Indonesia telah melakukan perdagangan dan pelayaran melalui laut.

a. b.

Gambar 2.1 a) Sejak abad ke-1 kapal dagang Indonesia telah berlayar jauh, bahkan sampai ke Afrika. Sebuah bagian dari relief kapal di candi Borobudur yang dibangun sekitar 800 M; b) Nekara dari perunggu ditemukan tim peneliti dari Balai Arkeologi Ambon saat melakukan penelitian di Desa Aruda, Pulau Yamdena, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) (berusia 2.500 tahun)

Perjalanan panjang sejarah maritim bangsa hampir sama tuanya dengan perkembangan peradaban suku anak bangsa di Nusantara dan perjalanan panjang sejarah itu pula yang telah memperkaya hasanah bahasa dan mewarnai budaya bangsa Indonesia. Perjalanan panjang sejarah maritim bangsa menunjukkan bahwa ada dua negeri yang pernah dikunjungi bangsa India dan China pada eksodus pertama pada tahun 264 hingga 195 SM. Pendatang asing ini umumnya telah memiliki keahlian dalam bidang kelautan, pertanian dan lain sebagainya. Bahkan jauh sebelum itu, dalam kitab Taurat (600 SM) dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman pernah memerintahkan pelaut Phoenisia berlayar ke seluruh penjuru alam untuk mencari emas. Kisah pencarian emas ini juga tertuang dalam kitab Hindu di Hindhustan, pada syair Ramayana berbahasa Sansekerta yang ditemukan pada tahun 72 Masehi atau 106 tahun setelah kelahiran Nabi Isa as.

Peta pelayaran kuno yang dibuat berdasarkan tulisan geograf Starbo (63 SM – 21 M) merupakan peta jalur pelayaran dari Eropa ke China, yang menyebutkan adanya rute pelayaran dunia melintasi Selat Sunda (Indonesia) untuk sampai ke negeri China. Sebutan kata “Indonesia” diambil dari terjemahan bahasa Eropa, yaitu Indus dan Nesos (Indus berarti Hindhustan, dan kata Nesos berarti Pulau). Kata Nesos berakar dari asal kata Sansekerta (India), yaitu kata Nusa (Negeri). Wilayah yang terbentang melingkar di khatulistiwa ini pernah pula disebut oleh bangsa

5 asing dengan istilah “Insulinde”, artinya pulau-pulau disebelah timur Indus (Insula = Pulau, Hindhustan).

Gambar 2.2 Peta Dunia VErsi Strabo (25 SM)

Setidaknya hingga saat ini “Sejarah Maritim Indonesia” mencatat tidak kurang dari 10 kerajaaan pada masa lalu yang berbasiskan maritim. Kerajaan ini membangun kekuatan maritimnya dipesisir pantai dan sungai-sungai seperti kerajaan Hindu Tarumanegara di Tanjung Priok, Jakarta, Kerajaan Budha Sriwijaya di Palembang, Kerajaan Hindu Ph‟a-mnala‟-yu Cr‟i-Indrapura Minangatamvan di Riau, Kerajaan Gowa di Sulawesi, kerajaan Ternate, Tidore dan Maluku, kerajaan Hindu-Budha Kalingga di Jawa Tengah, kerajaan Hindu-Budha Medang di Jawa Timur dan beberapa kerajaan lainnya diseluruh Nusantara. Sementara pada abad ke-XIII hingga ke-XVI M kerajaan Islam Samudera Pasai bangkit bersama kerajaan Malaka sebagai pusat perdagangan dan mampu menguasai Selat Malaka sebagai kunci pintu masuk rute pelayaran menuju Nusantara. Dua kerajaan ini semakin lengkap dengan berdirinya kerajaan Islam Banten pada abad ke-XIV hingga ke XV yang juga mampu menguasai Selat Sunda. Tiga kerajaan Islam ini selanjutnya disebut sebagai “Segitiga Emas” pelayaran di Nusantara pada abad ke-XV karena mampu menguasai tiga pintu masuk utama Nusantara. Kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara tidak hanya mampu membuat kapal laut (perahu layar) untuk berlayar dan berdagang, akan tetapi juga mampu mengawasi perairan laut dan rute pelayaran.

2.1 Kerajaan - Kerajaan Maritim Nusantara Kerajaan-kerajaan di Nusantara ini timbul dan tenggelam bagaikan gelombang di Samudera Hindia. Sejarah maritim kebangkitan bangsa kita diawali dari kerajaan Tarumanegara, karena

6 kerajaan ini merupakan kerajaan besar pertama di Nusantara yang berorientasi maritim. Keberadaan kerajaan Tarumanegara pada awal abad ke II Masehi di Chalava (Jakarta) merupakan salah satu bukti sejarah awal kebangkitan peradaban maritim bangsa Indonesia karena dari sinilah diawalinya kebangkitan era maritim Nusantara yang selanjutnya berkembang dan terus dikembangkan. Bentuk dari tata perkotaan kerajaan Tarumanegara sudah memiliki pola pembangunan maritim yang sangat teratur. Hal ini terlihat dari pembagian wilayah yang sudah tidak mencampuradukkan antara pusat pemerintahan kerajaan yang banyak dihuni oleh hulubalang kerajaan dan rakyat, dengan ibukota yang berfungsi sebagai tempat penasehat orang- orang kerajaan. Sedangkan tatakota untuk pusat maritim sebagai industri perkapalan dan perniagaan terletak di pesisir sungai bukan di tepi laut.

Gambar 2.3 Kerajaan Tarumanegara

Letak pelabuhan laut (bandar) Tarumanegara yang sangat strategis terlindung itu telah membuat kenyamanan kapal-kapal dagang asing yang berlabuh di kerajaan ini. Setiap tindakan perompakan (bajak laut) dengan mudah dapat ditumpas dan diatasi oleh laskar Tarumanegara. Beberapa pembangunan yang berhasil dan sangat menonjol pada masa itu ialah pembangunan irigasi, membuat tapal batas di sembilan titik dalam wilayah kekuasaan, pembangunan armada laut, pertanian dan peternakan, serta pembangunan sosial kemasyarakatan di bidang keagamaan. Bentuk perkotaan Tarumanegara sangat strategis pertahanan dan keamanannya, sehingga sangat sulit diterobos oleh musuh-musuh yang akan menyerang.

7

Gambar 2.4 Peta wilayah Kerajaan Tarumanegara

Namun pada tahun 690 M kerajaan Tarumanegara mengalami kehancuran akibat bencana tektonik dan vulkanik yang sangat dahsyat yang berasal dari gunung berapi yang berada diantara Selat Sunda dan Laut Jawa. Setelah kerajaan Tarumanegara runtuh pada tahun 690 M, kerajaan- kerajaan kecil di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, dan Sulawesi mulai berkembang dengan pesat seperti kerajaaan Molo-yeu Cri Indrapura, kerajaan Tulang Bawang, kerajaan Sriwijaya, dan kerajaan Gowa.

Kerajaan maritim lainnya yang sangat termasyhur dalam sejarah bangsa ialah kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya pada dasarnya merupakan suatu kerajaan pantai, dimana negaranya menguasai lautan dengan keseluruhan aktivitasnya. Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang pernah tumbuh menjadi kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara. Letak geografis Sriwijaya yang berhasil menguasai daerah strategis merupakan suatu modal yang baik untuk turut serta dalam perdagangan internasional yang mulai berkembang antara India dengan daratan Asia Tenggara. Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya juga menggunakan politik lautnya dengan mewajibkan kapal-kapal untuk singgah di pelabuhannya. Pada abad ke-13 posisi Sriwijaya sebagai kerajaan maritim sangat kuat. Hal ini terbukti dengan adanya buku “Chu-fan-chi” yang ditulis pada tahun 1225 oleh Chau-ju-kua yang menceritakan bahwa di Asia Tenggara ada dua kerajaan yang terkemuka dan kaya, yang pertama ialah Jawa dan yang kedua ialah Sriwijaya.

Wilayah kekuasaan Sriwijaya meliputi Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganau), Ling- ya-ssi-ka (Lengkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lu-ti‟ng (Jelutong), Ts‟ien-mai, Pa-ta‟ (Batak), Tan-ma-ling (Tamralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi di Utara Semenanjung Malaka), Pa- lin-fong (Palembang), Sin-t‟o (Sunda), La-wu-li (Lamuri, Aceh), Si-lan, termasuk negara Sunda di Jawa Barat, Nilakant. Sriwijaya sangat mengandalkan sektor perdagangan dan pelayaran. Dengan demikian jika suatu negara hidup dari perdagangan, berarti penguasanya harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan tempat barang ditimbun untuk diperdagangkan. 8 Penguasaan jalur perdagangan dan pelabuhan ini dengan sendirinya memerlukan pengawasan langsung dari penguasa. Berkat armadanya yang kuat ia berhasil menguasai daerah yang potensial dapat menjadi saingannya. Dengan cara inilah ia menyalurkan barang dagangannya ke pelabuhan yang dikuasainya. Pada masa pemerintahan raja Balaputra, kerajaan Sriwijaya meningkatkan pembangunan galangan kapal (perahu layar ukuran besar) secara besar-besaran, bahkan hampir di seluruh wilayah kekuasaan Sriwijaya.

(a)

(b) Gambar 2.5 (a) Kerajaan Sriwijaya dan (b) wilayah kekuasaannya

Kerajaan Sriwijaya mulai merosot beberapa waktu sesudah abad ke-14. Pada tahun 1125 kerajaan ini masih menguasai daerah Palembang, Malaka, Sailan dan Sunda (Jawa Barat). Setelah itu, timbul persengketaan dengan raja di Chola (di pantai Coromandel di India Selatan) yang mengejar kekuasaan laut di Teluk Benggala. Pada kurang lebih tahun 1325 peranan Sriwijaya sebagai suatu pusat internasional sudah berakhir. Bahkan ditahun 1365 kerajaan ini menjadi daerah yang

9 berhasil ditaklukan oleh Jawa. Demikianlah keadaannya pada kurang lebih tahun 1400, dan ini pulalah akhir riwayat kerajaan Sriwijaya yang mengharukan sesudah berdiri tujuh abad lamanya.

Gambar 2.6 Kerajaan Majapahit dan wilayah kekuasaannya

Di Jawa Timur, pada kurang lebih tahun 1300, muncul kerajaan Majapahit yang melebarkan sayap kekuasaannya dengan cepat dan mencapai puncak kemegahannya pada tahun 1365. Selain sebagai negara agraris, kerajaan Majapahit juga merupakan kerajaan perdagangan yang memiliki angkatan laut yang cukup besar dan kuat. Sebagai contoh, pada saat bagian barat Kalimantan dikacaukan oleh bajak laut dari Sulu, Filipina, dan dibantu oleh Tiongkok pada tahun 1369, segera saja armada laut Kerajaan Majapahit muncul di lautan Tiongkok Selatan sehingga daerah tersebut terhindar dari pengacauan lebih lanjut. Masa pemerintahan Hayam Wuruk merupakan masa keemasan kerajaan Majapahit. Daerah-daerah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Jawa (kecuali tanah Sunda), sebagian besar Pulau Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur hingga Irian Jaya. Kemunduran utama kerajaan Majapahit disebabkan oleh terjadinya perang saudara dalam silsilah keluarga raja. Selain itu, hilangnya kekuasaan pusat di luar daerah sekitar Ibukota Majapahit, penyebaran agama Islam yang sejak 1400 yang berpusat di Malaka serta timbulnya beberapa kerajaan Islam yang menentang kedaulatan Majapahit juga merupakan beberapa peristiwa yang menandai runtuhnya kerajaan Majapahit. Meskipun entitas politik nasional di Nusantara hancur sejalan dengan hancurnya Majapahit pada abad XV namun jaringan dagang semakin berkembang justru karena proses diaspora kekuatan politik ini.

Sejarah beberapa kerajaan di atas menunjukkan bahwa pada masa lalu, Indonesia merupakan negara yang memiliki pengaruh sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui

10 kekuatan maritim yang besar di bawah Kerajaan , Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit.

Gambar 2.7 Kapal-kapal Kerajaan Majapahit

Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones) yang tersebar di berbagai negara. Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatra. Kedua, jaringan perdangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan laut Cina Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.

Robert Dick peneliti sejarah asal Inggris berpendapat bahwa zaman dahulu pelaut-pelaut Nusantara merupakan pelaut yang handal melebihi Columbus dan Ceng-Ho. Jauh sebelum bangsa Eropa menjelajah ke Afrika dan Bangsa Arab berlayar ke Zanzibar, bangsa Indonesia yang mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari. Selain itu, Robert Dick Read, melalui bukunya yang berjudul “Penjelajah Bahari, Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika”, memaparkan bahwa pelaut-pelaut Nusantara menjadi tumpuan para pedagang China di abad ke-5 hingga ke-7 M untuk mengantarkan barang-barang mereka hingga ke Eropa. Tidak ada bangsa mana pun di bumi kala itu yang mampu membuat kapal-kapal tangguh yang dapat menerobos ganasnya Samudera Hindia kecuali pelaut bahari dari Nusantara.

Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of The Royal Society B:Biological Science, 21 Maret 2012, penyebaran orang Indonesia ke wilayah Madagaskar diperkirakan terjadi saat zaman perdagangan Kerajaan Sriwijaya yang mencapai wilayah Afrika.

11 Selain itu, pada kongres Indonesia Muda pertama 1930, dikutip dari R.E Elson dalam The Idea of Indonesia, tokoh pergerakan Kuncoro Prabopranoto mengatakan ,”Indonesia merupakan satu negeri dengan satu bangsa, dari Madagaskar hingga Filipina, dengan satu sejarah, sejarah Sriwijaya dan Majapahit ...”

Gambar 2.8 penyebaran orang Indonesia ke wilayah Madagaskar diperkirakan terjadi saat zaman perdagangan Kerajaan Sriwijaya yang mencapai wilayah Afrika

Begitu banyak sejarah yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara maritim yang sangat besar hingga terkenal dan ditakuti di seluruh penjuru dunia. Laut Indonesia merupakan aset sumber daya alam terbesar di dunia. Kebesaran laut bukan hanya dijelaskan pada hasil-hasil pengamatan para ilmuwan, tetapi hal itu sudah diterangkan dalam Al . Fakta-fakta yang berkaitan dengan laut ternyata diisyaratkan dalam Al Quran, seperti kata yang mengandung arti “lautan” disebutkan sebanyak 32 kali dan kata yang mengandung arti “daratan” disebut sebanyak 13 kali. Jika laut ditambah darat yaitu 32+13 maka menjadi 45. Persentase lautan adalah 32/45 x 100 persen yang hasilnya 71,1persen. Sedangkan persentase daratan adalah 13/45 x 100 persen yang hasilnya 28,9 persen dan jumlah persentasenya adalah 100 persen. Subhanallah, hal ini telah dibuktikan oleh ilmuwan, bahwa bumi diisi oleh air 71,1 persen dan sisanya adalah daratan 28,9 persen.

Sayangnya, setelah mencapai kejayaan budaya bahari, Indonesia terus mengalami kemunduran terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara kolonialis Belanda dengan Raja dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda. Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan pergeseran nilai budaya bahari ke budaya daratan. Namun demikian, budaya bahari Indonesia tidak akan hilang karena secara alamiah

12 Indonesia adalah negara kepulauan yang terus menginduksi dan membentuk budaya bahari bangsa Indonesia secara utuh.

2.2 Awal Kemerdekaan RI Belum banyak yang dapat dikerjakan dalam pembangunan maritim di awal kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam bidang transportasi laut antar pulau, misalnya bangsa Indonesia masih menggunakan kapal-kapal layar (kapal kayu yang berukuran besar), sedangkan untuk hubungan dagang luar negeri masih menggunakan jasa-jasa kapal dagang asing seperti Belanda, Jepang, Inggris, India, Prancis maupun Amerika. Indonesia baru memiliki kapal bermesin diesel pada tahun 57-an, demikian juga dengan kapal-kapal perang yang sangat dibutuhkan untuk mengamankan perairan laut Indonesia.

Pembangunan maritim sejak kemerdekaan Republik Indonesia 1945 hingga tahun 1957 diatur berdasarkan Ordonnatie dan teritorial tiga (3) mil. Namun pada tahun 1957 pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat dan ketentuan secara sepihak, yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dan sejak itu teritorial Indonesia berubah menjadi dua belas (12) mil laut. Sejak diterbitkannya deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 dan diperkuat dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Undang- Undang No.19 tahun 1961 tentang persetujuan atas tiga Konvensi Jenewa tahun 1958 mengenai Hukum Laut, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.103 Tahun 1963 tentang Lingkungan Maritim.

Selain itu, Bung Karno, pada saat pembukaan Lemhanas tahun 1965, mengatakan bahwa Geopolitical Destiny dari Indonesia adalah maritim. Melalui suatu perjuangan panjang dan bersejarah di forum internasional, pada tahun 1982, gagasan Negara Nusantara yang dipelopori Indonesia berhasil mendapat pengakuan Internasional dalam konvensi PBB tentang hukum laut. Pada 18 Desember 1996 di , Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai Menristek membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan pembangunan “Benua Maritim Indonesia”. Pada tahun 1998 Presiden BJ Habibie juga mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam Deklarasi Bunaken. Inti dari deklarasi tersebut adalah laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia. Selanjutnya, pada tahun 1999 Presiden menyatakan komitmennya terhadap pembangunan kelautan dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut pada tanggal 26 Oktober 1999 dan menunjuk Sarwono Kusumaatmadja sebagai menteri pertama. Pada bulan Desember nama departemen ini berubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan,

13 dan sejak awal tahun 2000 berubah lagi menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKELAUTAN DAN PERIKANAN) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 dan berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKELAUTAN DAN PERIKANAN) sesuai dengan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009.

Demi menggemakan semangat pembangunan nasional berdasarkan kelautan, Presiden KH Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara dan memperingatinya untuk pertama kali di Istana Negara di Jakarta pada 1999. Visi pembangunan kelautan yang telah dicanangkan oleh Gus Dur, kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara berdasarkan Keppres No.126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, dan menjadikan hari tersebut sebagai hari resmi perayaan nasional. Salah satu kebijakan yang sangat penting yang dibuat oleh Presiden Megawati dalam bidang maritim ialah pada tahun 2001, dalam Seruan Sunda Kelapa, Presiden menyatakan penerapan asas cabotage sebagai suatu keharusan. Hal ini disebabkan, penerapan asas cabotage merupakan kebijakan fundamental bagi pembangunan industri maritim nasional. Aturan pelaksanaannya berupa Inpres tentang Pengembangan Industri Pelayaran Nasional yang akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa Inpres No. 5 tahun 2005. Akan tetapi, penerapan Inpres ini berjalan lamban, terutama karena dukungan Kementerian Keuangan dalam hal kebijakan keuangan dan perpajakan untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal.

Harapan pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia kembali mencuat pada saat pemilihan Presiden Indonesia tahun 2014. Presiden terpilih Joko Widodo dan wakil presiden terpilih Jusuf Kalla kembali berkeinginan untuk memajukan Indonesia melalui pembangunan sektor kelautan dan perikanan dengan konsep “Poros maritim”nya. Salah satu langkah yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo ialah dengan membentuk Kementerian Koordinator Kemaritiman. Tugas utama Kemenko Kemaritiman ialah mensinergikan empat kementerian, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pariwisata dan Kementerian ESDM. Langkah-langkah ini dilakukan untuk mengembalikan identitas bangsa Indonesia sebagai negara maritim maritim yang maju, mandiri, hebat dan berdaulat, sehingga akan menjadi poros maritim dunia. Jalesveva Jayamahe, di laut kita berjaya.

14 III. Potensi Pembangunan Kemaritiman

Di wilayah pesisir dan laut Indonesia terkandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa SDA terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut dan produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean Thermal Energy Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah. Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non- konvensional. Total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu diperkirakan mencapai 1,33 trilyun dolar AS/tahun, dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang. Sampai sekarang, potensi ekonomi yang luar biasa besar, ibarat „Raksasa Yang Tertidur‟ itu belum dimanfaatkan secara produktif dan optimal.

Dari 11 sektor ekonomi kelautan tersebut, yang menjadi domain tanggung jawab, kewenangan atau tupoksi (tugas pokok dan fungsi) ekonomi Kementerian Kelautan dan Perikanan selama ini adalah: (1) perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) garam; (6) pembangunan pulau-pulau kecil; dan (7) sumber daya kelautan non-konvensional yakni SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di wilayah pesisir dan laut Indonesia, namun karena alasan teknis maupun ekonomis belum bisa kita manfaatkan, seperti industri air dari laut dalam (deep sea water industry), deep sea mining, industri farmasi dan kosmetik dari laut, dan sebagainya. Perlu dicatat, bahwa perikanan tangkap bukan hanya mencakup usaha perikanan tangkap di laut, tetapi juga di Perairan Umum Darat (PUD) seperti sungai, danau, waduk (bendungan), dan perairan rawa. Demikian juga perikanan budidaya (aquaculture) dan industri bioteknologi, bukan hanya di laut, tetapi juga di perairan payau (tambak, coastal aquaculture), PUD, sawah (minapadi), saluran irigasi, kolam air tawar, dan akuarium. Ringkasan potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan dan perikanan budidaya disajikan pada Tabel berikut.

15 Tabel 3.1 Potensi Produksi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan dan Perikanan Budidaya Indonesia

Luas MSY Produksi Tingkat Jenis Kegiatan Perikanan Perairan (juta 2014 (juta Pemanfaatan (juta km2) ton/tahun) ton) (persen) A. Perikanan Tangkap 6.48 1. Laut 5.8 9.93 6.03 60.72 2. Perairan Umum 0.54 0.9 0.45 50.00 B. Perikanan Budidaya 14.35 1. Laut 0.24 42.0 9.03 21.5 2. Tambak (Payau) 0.02 10.0 2.42 24.2 3. Perairan Umum dan Tawar 0.02 5.7 2.90 50.87 TOTAL 6.62 68.53 20.83 30.39

Sementara itu, potensi ekonomi industri bioteknologi perairan diperkirakan empat kali lipat nilai ekonomi industri TI (Teknologi Informasi). Potensi ekonomi pulau-pulau kecil, dan sumber daya alam serta jasa-jasa lingkungan non-konvensional yang terdapat di wilayah pesisir dan laut Indonesia juga luar biasa besarnya. Sampai sekarang, tingkat pemanfaatan ketiga sektor ekonomi kelautan ini sangat rendah, kurang dari 10 persen.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan ekonomi kelautan (marine economy) adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia (Dahuri, 2003). Sementara, ekonomi maritim (maritime economy) hanya mencakup trasnportasi laut (sea transportation), industri galangan kapal dan perawatannya (ship building and maintenance), pembangunan dan pengoperasioan pelabuhan (port construction and operations) beserta industri dan jasa terkait (Stopford, 2004). Semangat poros maritim diharapkan dapat mengembalikan kejayaan maritim Indonesia seperti pada zaman Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pengelolaan 11 sektor ekonomi kelautan yang mampu menghasilkan US$ 1,33 triliun/tahun atau setara dengan 7 kali lipat APBN 2013 (Rp 1.600 triliun) atau sama dengan 1,2 kali PDB nasional saat ini. Selain itu, 11 sektor kelautan tersebut mampu menyerap tenaga kerja hingga 40 juta orang atau 1/3 dari total angkatan kerja Indonesia.

16 Tabel 3.2 Sebelas Sektor Ekonomi Kelautan

NILAI EKONOMI NO SEKTOR EKONOMI (MILYAR DOLAR AS/TH)

1. Perikanan Tangkap 12

2. Perikanan Budidaya 210

3. Industri Pengolahan Hasil Perikanan 100

4. Industri Bioteknologi Kelautan 180

5. ESDM 210

6. Parawisata Bahari 60

7. Transportasi Laut 30

8. Industri dan Jasa Maritim 200

9. Coastal Forestry 8

10. Sumber Daya Wilayah Pulau Kecil 120

11. Sumber daya No-Konvensional 200

Total 1.330

Walaupun demikian, kontribusi sektor perikanan dan kelautan terhadap PDB nasional masih sangat rendah bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Pada tahun 1998 sektor perikanan dan kelautan hanya mampu menyumbang 20,06 persen terhadap PDB, itupun sebagian besarnya (49,78 persen) disumbangkan oleh subsektor pertambangan minyak dan gas bumi di laut. Saat ini, kontribusi total sektor-sektor ekonomi kelautan baru mencapai 22 persen terhadap PDB nasional. Sementara itu negara-negara lain yang luas wilayah laut dan potensi ekonomi kelautannya jauh lebih kecil seperti Singapura, Thailand, Jepang, Korea Selatan, China, Islandia, Denmark dan Norwegia mampu membuat sektor ekonomi kelautan berkontribusi lebih dari 30persen terhadap PDB nasional mereka saat ini. Selain itu, mayoritas masyarakat pesisir, nelayan dan pulau-pulau kecil masih miskin. Bahkan 45 persen nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan (KKP, 2012).

17 Dengan melihat kenyataan seperti ini, sudah saatnya Bangsa Indonesia membangkitkan kembali kesadaran bahwa laut harus dipandang sebagai kesatuan wilayah, pemersatu dan penghubung antar pulau, sumber kehidupan, sumber kekuasaan, media perhubungan utama dan laut juga merupakan jiwa dari bangsa Indonesia. Potensi kelautan dan perikanan Indonesia sangat besar dan berlimpah. Apabila potensi ini dapat digunakan dengan baik dan benar, maka akan dapat menjadi salah satu pilar ekonomi nasional yang kompetitif, sedangkan pengelolaan yang baik dan benar sangat ditentukan oleh konsepsi pembangunan maritim yang dicanangkan, mulai dari persepsi, misi, kebijakan dan strategi yang tepat dalam penerapan.

IV. Dinamika Wilayah dalam Pembangunan Kemaritiman

4.1 Dinamika Antar Daerah Secara kewilayahan (spatial), pola pembangunan selama ini juga telah menghasilkan distribusi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) yang sangat tidak merata (proporsional) antar wilayah di Nusantara ini. Betapa tidak, Pulau Jawa dan yang luas lahannya hanya 7 persen dari total luas lahan Indonesia (1,9 juta km2) menyumbangkan 58,85 persen terhadap perekonomian (PDB) nasional. Pulau Sumatera menyumbangkan sebesar 23,17 persen, Pulau Kalimantan 8,71 persen, wilayah NTB dan NTT 1,41 persen, Pulau Sulawesi 5,65 persen, wilayah Maluku dan Maluku Utara 0,52 persen, dan wilayah Papua dan Papua Barat 1,70 persen (BPS 2016) (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Indikator kesenjangan ekonomi antar wilayah

18 Secara ekonomi maupun ekologis, disparitas pembangunan antar wilayah yang sangat timpang ini bukan hanya tidak sehat, tetapi juga tidak efisien dan akan mengakibatkan pembangunan ekonomi tidak berkelanjutan (unsustainable). Sebab, wilayah Pulau Jawa dan Bali menerima beban ekologis (eksploitasi sumber daya alam dan pencemaran) yang sangat besar, bahkan di beberapa daerah seperti DKI Jakarta telah melampaui daya dukung lingkungannya. Bayangkan, saat ini luas hutan dan kawasan lindung di Pulau Jawa hanya sekitar 12 persen dari total luas wilayahnya. Sedangkan, supaya fungsi hidro-orologis4 ekosistem hutan (kawasan lindung) di suatu pulau bisa bekerja optimal, maka luasnya minimal harus 30 persen dari total luas wilayah pulau tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan bencana banjir dan kekeringan dengan besaran (magnitude) yang semakin dahsyat sering melanda Pulau Jawa. Besarnya jumlah penduduk yang tinggal di Pulau Jawa (sekitar 140 juta jiwa atau 55 persen total penduduk Indonesia) dan relatif tingginya intensitas pembangunan (industrialisasi), yang tidak diimbangi dengan implementasi tata ruang wilayah dan pengelolaan lingkungan yang baik, juga telah mengakibatkan pencemaran (pollution) tanah, perairan dan udara serta degradasi fisik ekosistem alam lainnya (danau, sungai, kawasan pesisir dan laut) pada tingkat yang telah melampaui daya dukung lingkungannya, terutama di wilayah perkotaan dan Pantura (Pantai Utara Jawa).

Sementara itu, kekayaan alam dan potensi pembangunan lainnya yang terdapat di luar Jawa dan Bali, khususnya di wilayah timur Indonesia (Papua, Maluku, Nusa tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan) belum didayagunakan secara produktif, efisien, dan berkelanjutan, alias mubazir. Atau, melalui kerjasama dengan oknum penguasa dan pengusaha Indonesia yang kurang/tidak memiliki jiwa nasionalisme (komprador), SDA (Sumber Daya Alam) kita berupa minyak dan gas bumi, bahan tambang, mineral, hutan, ikan, dan lainnya diambil secara ilegal atau merugikan kita (dicuri) oleh pihak asing.

Lebih dari itu, disparitas pembangunan antar wilayah ini telah mengakibatkan pergerakan orang dan barang antar wilayah di tanah air pun menjadi sangat lambat dan kurang efisien, serta membuat biaya logistik di Indonesia menjadi yang termahal di dunia, sekitar 26 persen PDB. Hal ini sangat jauh berbeda dengan biaya logistik di negara-negara industri maju dan emerging economies (seperti Malaysia, Thailand, Tiongkok, Vietnam, Turki, Afrika Selatan, Meksiko, dan Brazil), yaitu kurang dari 15 persen PDB mereka. Implikasi negatif lainnya dari disparitas pembangunan antar wilayah adalah harga-harga barang yang sangat berbeda antara di Jawa dan luar Jawa. Contohnya, harga satu liter minyak solar di Pulau Jawa sekarang rata-rata Rp 7.500,

4 Fungsi hidro-orologis adalah kemampuan ekosistem hutan untuk menyerap dan menyimpan air pada saat musim penghujan lalu kemudian mengeluarkan (release) nya ketika kemarau, dan untuk mengendalikan erosi tanah.

19 sementara di Pulau Miangas dan pulau-pulau terpencil lainnya mencapai Rp 17.000. Harga satu kantong semen di Pulau Jawa Rp 60.000, sedangkan di Papua bisa mencapai Rp 500.000.

Apabila, disparitas pembangunan antar wilayah ini tidak segera dikoreksi, maka dikhawatirkan laju urbanisasi dan brain drain (perpindahan orang-orang cerdas dan capable) dari luar Jawa, khususnya wilayah timur, ke Pulau Jawa akan semakin masif dan meningkat. Selanjutnya, produktivitas, efisiensi, dan daya saing ekonomi Indonesia pun bakal semakin menurun. Disparitas pembangunan antar wilayah yang terlalu timpang ini pun bisa menimbulkan kecemburuan bagi wilayah-wilayah (provinsi, kabupaten, dan kota) yang kemajuan ekonomi dan kesejahteraan penduduk nya lebih rendah, jauh tertinggal. Jika tidak dikelola secara tepat dan benar, hal ini dapat memicu gerakan separatisme yang menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa.

Alasan Tren Pendatang baru ke DKI Perubahan Jakarta Pasca- Pendatangstatus perkawina dalam 10 Tahun n 1,79persen BaruLainya ke TerakhirTren Pendatang 7,15persenLainya PerubahanIkut Suami 7,15persen /Istri/Orangtua/Keluargastatus 19,64persenIkut Suami baru ke DKI jakarta Pasca- JakartaAlasa/Istri/Orangtuaperkawina n 1,79persen Lebaran dalam 10 Tahun Pekerjaan 28,57persenn Pendatang Bekerja Pendidikan 28,57persen 10,71persenPendidikan Terakhir Baru ke

JakartaMencari pekerjaan 32,14persenMencari kerja Keterangan: Merujuk kepada survei Bdan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI jakarta pada juli 2013, Pendatang baru yang akan menetap di DKI Jakarta diprediksi sebanyak 33.599 orang (61,36persen dari 54.757 orang). Sisanya 16.181 orang (29,55persen) tidak menetap dan sebanyak 4,977 orang (9,09persen) menyatakan akan menetap Sumber: Pemprovdi DKI/B luar DKI JakartaPS JakartaKeterangan: Grafis Merujuk kepada survei Bdan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gambar 4.2 Tren PendatangDKI Barujakarta di padaProvinsi juli 2013,DKI Jakarta Pendatang baru yang akan menetap di DKI Jakarta Muara dari semua dampak negatif akibatdiprediksi tingginya sebanyak angka 33.599 kemiskinan orang , pengangguran, kesenjangan kaya-miskin yang semakin melebar,(61,36 danpersen disparitas dari pembangunan54.757 orang). antar Sisanya wilayah yang 16.181 orang (29,55persen) tidak menetap sangat timpang itu adalah menjadi rendahnyadan daya sebanyak saing ekonomi 4,977 orang dan (9,09IPM persenIndonesia) . Saat ini, Indonesia memiliki tingkat daya saing yangmenyataka terus menn akangalami menetap penurunan di luar DKIdari tahun-tahun Jakarta sebelumnya. Tahun 2014-2015 Indonesia menempati peringkat ke-34 dari 139 negara yang disurvei atau hanya menempati urutan-4 di kawasan ASEAN. Kondisi saat ini lebih parah (menurun) dari tahun sebelumnya yang berada pada posisi ke-41 dan bahkan, Indonesia masih berada dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand. 20 Tabel 4.1 Indeks daya saing global

Tahun No Negara 2012-2013 2013-2014 2014-2015 2015-2016 2016-2017 1 Switzerland 1 1 1 1 1 2 Singapore 2 2 2 2 2 3 United States 7 5 3 3 3 4 Malaysia 25 24 20 18 25 5 Thailand 38 37 31 32 34 6 Indonesia 50 38 34 37 41 7 65 59 52 47 57 8 Brunei darussalam 28 26 n/a n/a 58 9 Vietnam 75 70 68 56 60 10 Laos n/a 81 93 83 93 11 Cambodia 85 88 95 90 89 12 Myanmar n/a 139 134 131 n/a 13 Chad 139 148 143 139 136 14 Guinea 141 147 144 140 n/a

Sumber : Global Competitiveness Report 2012-2013; 2013-2014; 2014-2015, 2015-2016, 2016- 2017

Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia, bahkan di Asia Tenggara. Ranking IPM Indonesia pada tahun 2014 hanya menempati urutan ke- 110 di dunia, atau ke -5 di Asia Tenggara di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand. Kondisi semacam ini tentu sangat membahayakan posisi Indonesia di tengah era globalisasi yang ciri utamanya adalah perdagangan bebas (free trade) dan persaingan antar bangsa yang kian tajam, khususnya menghadapi ASEAN free trade (pasar tunggal ASEAN) sudah dimulai pada Januari 2016.

21 Tabel 4.2 Indeks pembangunan manusia 2011-2014

Year No Countries 2011 2012 2013 2014 1 Norway 1 1 1 1 2 Australia 2 2 2 2 3 3 4 4 5 4 Singapore 26 18 9 11 5 Brunei Darussalam 33 30 30 31 6 Malaysia 61 64 62 60 7 Thailand 103 103 89 91 8 Philippines 112 114 117 115 9 Indonesia 124 121 108 110 10 Vietnam 128 127 121 117 11 Lao People's Democratic Republic 138 138 139 141 12 Cambodia 139 138 136 144 13 Myanmar 149 149 150 148 14 Niger 186 186 186 152 15 Congo, Democratic Republic of the 187 186 187 176 Sumber: Human Development Report 2011, 2011, 2013, 2014

Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia masih menjadi Negara tertinggal, sehingga belum mampu menjadi negara yang maju, makmur, dan berdaulat. Mulai dari sistem dan mekanisme kerja politik (political institution) yang menyuburkan budaya instan, premanisme, politik uang, dan korupsi; rendahnya etos kerja bangsa; sampai lemahnya penguasaan dan penerapan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dalam berbagai bidang kehidupan bangsa ini. Salah satu hal terpenting penyebab utama ketertinggalan Indonesia adalah karena kita belum punya visi pembangunan yang tepat dan benar serta dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan. Visi pembangunan Indonesia sejak zaman penjajahan hingga sekarang sangat dominan berorientasi pada daratan. Padahal, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki luas wilayah laut mencapai 75 persen dari luas seluruh wilayahnya. Paradigma pembangunan berorientasi darat itu jelas bertentangan dengan jati diri (fitrah) fisik-geografis Indonesia, dan diyakini yang telah menyebabkan ekonomi Indonesia menjadi kurang efisien dan

22 rendah daya saingnya. Ingat, kondisi dan konstelasi geografi suatu negara menentukan maju- mundurnya suatu bangsa (Geography is Destiny) (Isard, 1972).

Dengan melakukan reorientasi pembangunan nasional, dari yang selama ini berbasis daratan (land-based development) ke basis kelautan (ocean-based development) alias menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, maka diyakini bahwa kita tidak hanya akan mampu mengatasi sejumlah permasalahan bangsa (pengangguran, kemiskinan, kesenjangan kaya vs miskin, disparitas pembangunan antar wilayah, dan rendahnya daya saing serta IPM), tetapi juga dapat mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, adil-makmur, dan berdaulat dalam waktu yang tidak terlalu lama, tahun 2025, insya Allah.

4.2 Dinamika Antar Negara Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia berbatasan dengan 10 negara tetangga terutama di wilayah perairan. Kesepuluh Negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia tersebut antara lain: India, Thailand, Malaysia, Singapura, Republik Rakyat Tiongkok, Filipina, , Papua Nugini, Timor Leste dan Australia (Gambar 4.3).

Gambar 4.3 Perbatasan Indonesia dengan Negara Tetangga

Batas wilayah kekuasaan negara sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan negara serta memanfaaatkannya secara optimal berkelanjutan agar dapat memberikan pendapatan bagi negara. Dalam perjalanan berbangsa dan bernegara, Indonesia tidak jarang mengalami sengketa wilayah kekuasaan, terutama dengan negara-negara tetangga. Beberapa Negara tetangga yang pernah mengalami sengketa dengan Indonesia terkait daerah perbatasan adalah, sebagai berikut :

23 1. Sengketa Indonesia-Malaysia

Beberapa sengketa perbatasan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia adalah sebagai berikut : a. Pulau Sipadan dan Ligitan, yaitu pulau yang terletak di Selat Makassar. Sipadan membentang seluas 50.000 m2 dengan koordinat 46′52,86″LU 11837′43,52″BT. Sedangkan Ligitan memiliki luas 18.000 ribu m2 dengan koordinat 49′LU 11853′BT. Sengketa pulau yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia ini pada tahun 1988 dibawa ke Mahkamah Internasional (MI). Pada 17 Desember 2002, MI memutuskan lewat voting di lembaga tersebut bahwa Malaysia memenangkan perkara sengketa dengan hasil 16 berbanding satu. Artinya, hanya satu hakim yang memenangkan Indonesia, yaitu hakim pilihan Jakarta. b. Blok Ambalat adalah kawasan perairan di Laut Sulawesi, tepatnya di sebelah timur Pulau Kalimatan. Tahun 1969, Malaysia dan Indonesia menanda-tangani Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia-Malaysia dan sekaligus diratifikasi pada tahun itu pula. Kurang dari setahun sejak penanda-tanganan perjanjian itu, kedua negara kembali meneken Perjanjian Tapal Batas Laut Indonesia-Malaysia pada 17 Maret 1970. Namun tahun itu pula Malaysia secara sepihak membuat peta baru tapal batas kontinental, dan memasukan Ambalat ke dalam wilayahnya dengan memajukan kordinat 4 10′ arah utara melewati Pulau Sebatik. c. Camar Bulan dan Tanjung Datu, adalah daratan yang menjorok ke laut di ujung barat Pulau Kalimatan, yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Tanjung Datu memiliki luas 4.750 kilometer persegi, dan dihuni 493 kepala keluarga. Hal ini terjadi karena Malaysia membangun mercusuar di daerah Tanjung Datu.

2. Sengketa Indonesia-Singapura Sengketa yang timbul antara Indonesia dengan Singapura disebabkan adanya reklamasi yang dilakukan oleh Singapura. Reklamasi Singapura ini menyebabkan wilayah Singapura bertambah, yang awalnya 580 km2 menjadi 699 km2 pada tahun 2005. Hal ini dikhawatirkan akan merubah batas wilayah yang telah disetujui Indonesia-Singapura pada tahun 1973, akibat majunya daratan Singapura sekitar 12 km.

3. Sengketa Indonesia-Filipina Sengketa yang terjadi antara dua Negara tersebut terkait dengan Pulau Miangas yang letaknya memang dekat dengan Filipina dan diklaim sebagai wilayah Filipina. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898.

24 Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982). Sedangkan berdasarkan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928, dinyatakan bahwa Pulau Miangas adalah milik Indonesia.

4. Sengketa Indonesia-Republik Rakyat Tiongkok Pada pertengahan November 2015, Republik Rakyat Tiongkok menyebutkan secara sepihak bahwa seluruh kepulauan yang terletak di Laut Cina Selatan adalah miliknya. Hal ini memancing reaksi dari beberapa Negara yang memiliki wilayah di Laut Cina Selatan, salah satunya Indonesia terkait Pulau Natuna. Hal ini disebabkan jalur Laut Cina Selatan yang sangat ramai dilalui pelayaran dan Republik Rakyat Tiongkok, bermaksud untuk mendirikan yang menghubungkan Cina – India – Afrika.

Selain permasalahan sengketa perbatasan, pada perbatasan yang jelas-jelas merupakan wilayah NKRI sering juga menjadi sasaran pencurian sumberdaya perikanan. Peristiwa ini sering terjadi terutama di daerah pulau-pulau kecil terluar yang jaraknya sangat jauh dari pulau induk. Hal ini mengindikasikan kurangnya penegakan hukum serta pengawasan pertahanan dan keamanan untuk menjaga wilayah kekuasaan Indonesia.

Kasus pencurian ikan yang paling sering terjadi diantaranya dilakukan oleh Negara Thailand, Vietnam dan Republik Rakyat Tiongkok di sekitar Laut Cina Selatan yaitu daerah Natuna dan sekitarnya. Hal ini disebabkan kurangnya pengawasan di daerah-daerah terluar, sehingga memudahkan bangsa asing untuk masuk dan mencuri sumberdaya perikanan yang ada. Selain itu juga terjadi banyak pencurian ikan di daerah Miangas yang dilakukan oleh nelayan Filipina.

Hal-hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa Indonesia harus memperbaiki sistem penegakan hukum dan pengawasan hankam di daerah terluar Indonesia terutama yang berbatasan dengan negara tetangga. Karena hal tersebut sangat rentan kaitannya dengan keamanan dan stabilitas negara. Indonesia harus mengingat bahwa awal terjadinya penjajahan adalah dimulai dengan perdagangan pada tahun 1595 dan keinginan pihak asing untuk menguasai sumberdaya yang ada di Indonesia pada saat itu, yaitu rempah-rempah.

25 V. Kebijakan dan Program

Berdasarkan pada sejarah masa lalu bangsa, potensi pembangunan kelautan dan perikanan, permasalahan sektor kelautan dan perikanan, permasalahan nasional, dan tantangan dari dinamika wilayah yang telah disebutkan di atas, maka pembangunan sektor kelautan dan perikanan di masa mendatang harus ditujukan untuk mencapai delapan tujuan berikut secara proporsional: (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat kelautan lainnya; (2) menghasilkan produk dan jasa kelautan dan perikanan yang berdaya saing tinggi; (3) menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata diatas 7 persen per tahun) dan berkualitas (banyak menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan rakyat) secara berkelanjutan; (4) meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan bagi perekonomian nasional (PDB) dari yang sekarang hanya 3,5 persen PDB menjadi 7 persen PDB dalam 5 tahun mendatang; (5) turut meningkatan kesehatan dan kecerdasan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan (seafood); (6) berkontribusi dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan energi nasional; (7) memelihara daya dukung dan kualitas sumber daya kelautan dan perikanandan eksositem perairan tawar, pesisir, dan laut supaya pembangunan kelautan dan perikanan berlangsung secara berkelanjutan (sustainable); dan (8) meningkatkan budaya dan etos kerja bahari (maritim) bangsa dengan meminimalisir dinamika wilayah yang bersifat negatif serta memperkokoh kedaulatan NKRI. Untuk merealisasikan delapan tujuan tersebut, maka sejumlah kebijakan dan program berikut perlu kita implementasikan ke depan.

Dengan mewujudkan kedelapan tujuan pembangunan kemaritiman (Kelautan dan Perikanan) diatas, maka kita akan dapat menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, sejahtera, kuat, dan berdaulat. Sehingga, dalam waktu yang tidak terlalu lama (tahun 2025 insya Allah) Indonesia bisa menjadi Poros Maritim Dunia. Sebuah negara maritim yang besar, maju, adil- makmur, dan berdaulat yang menjadi rujukan masyarakat dunia dalam hal: (1) kemajuan, penguasaan, dan aplikasi IPTEK kelautan; (2) pembangunan kemakmuran ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat berbasis ekonomi kelautan yang inovatif sekaligus inklusif; dan (3) pengembangan tata kelola pemanfaatan ruang dan sumber daya kelautan (ocean governance) bagi kesejahteraan seluruh umat manusia di dunia secara produktif, adil, dan berkelanjutan (sustainable).

Konstruksi dan arsitektur (wujud) negara maritim Indonesia tidak hanya mencakup dimensi ekonomi, tetapi juga hankam, lingkungan (environment), IPTEK, budaya, dan kelembagaan. Pada intinya dimensi ekonomi mencakup empat kelompok kebijakan dan program pembangunan. Pertama adalah penguatan (revitalisasi) sektor-sektor ekonomi kelautan yang selama ini sudah

26 berjalan (existing marine economic sectors), seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pertambangan dan energi (ESDM), pariwisata bahari, transportasi laut, dan industri dan jasa maritim. Revitalisasi yang dimaksud adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, keadilan (inclusiveness), dan keberlanjutan (sustainability) dari sektor-sektor ekonomi kelautan tersebut. Program ini sangat krusial, karena kecuali sektor ESDM, sektor- sektor ekonomi kelautan lainnya masih kalah produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability nya dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, China, dan Vietnam; apalagi dengan Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Kendati sektor ESDM di wilayah pesisir dan laut Indonesia telah menghasilkan produktivitas, efisiensi, dan daya saing ekonomi yang sejajar dengan negara-negara industri maju, tetapi sebagian besar keuntungannya dinikmati oleh kontraktor asing (Multi National Corporations). Masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dimana kegiatan ESDM itu berlangsung, sebagian besar masih miskin. Yang lebih memprihatinkan, wilayah-wilayah pesisir, pulau kecil, dan laut bekas kegiatan pertambangan dan energi sebagian besar mengalami kerusakan lingkungan yang parah. Sehingga, setelah kegiatan eksploitasi bahan tambang dan mineral selesai (pasca tambang), masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil hanya mewarisi kondisi lingkungan yang rusak dan kemiskinan.

Kedua adalah pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan yang baru, seperti industri bioteknologi kelautan; industri air laut dalam (deep sea water industry); budidaya perikanan di perairan laut dalam atau laut lepas (offshore aquaculture) seperti yang dilakukan di Jepang, Norwegia, dan Amerika Serikat; produksi energi terbarukan dari laut (pasang surut, gelombang, biofuel dari algae laut, dan OTEC/Ocean Thermal Energy Conversion); dan sumber daya kelautan non-konvensional lainnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sumber daya kelautan non-konvensional adalah semua sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan yang belum bisa dimanfaatkan untuk kehidupan dan kesejahteraan umat manusia, karena belum tersedia teknologi pemanfaatannya atau karena secara ekonomi belum menguntungkan, biaya eksplorasi dan eksploitasi lebih mahal ketimbang pendapatan (revenue) nya.

Supaya revitalisasi dan pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan tersebut berhasil (sukses), yakni dapat menghasilkan produk dan jasa (goods and services) kelautan yang berdaya saing (competitive), menciptakan banyak tenaga kerja, meningkatkan kontribusi sektor-sektor ekonomi kelautan bagi perekonomian nasional (PDB), dan mensejahterakan rakyat Indonesia secara berkeadilan dan berkelanjutan. Maka, setiap unit (satuan) usaha (bisnis) di sektor-sektor ekonomi kelautan harus memenuhi skala ekonomi (economy of scale) nya. Skala ekonomi adalah besarnya (ukuran) unit usaha dengan tingkat teknologi tertentu, yang keuntungan bersih (net profit) nya

27 cukup untuk mensejahterakan seluruh pelaku usahanya. Misal, skala ekonomi dalam bisnis tambak udang dengan tingkat teknologi intensif adalah 1 hektar, sedangkan untuk tingkat teknologi semi-intensif adalah 2 hektar. Dalam setiap bisnis kelautan juga harus menerapkan sistem manajemen rantai suplai secara terpadu (intergrated supply chain management system), yang mengintegrasikan mulai dari subsistem pra produksi (pemilihan lokasi, penyediaan sarana produksi, dan lainnya); subsistem produksi; subsistem pasca panen (handling and processing); sampai ke pemasaran. Kemudian, di setiap mata rantai suplai, kita harus menggunakan teknologi yang mutakhir (state of the art technology). Dan, yang tak kalah pentingnya, setiap usaha dan pembangunan kelautan haruslah ramah lingkungan.

Ketiga, pengembangan pusat-pusat (clusters) pertumbuhan ekonomi baru berbasis industri yang inovatif dan ramah lingkungan di kawasan-kawasan pesisir di sepanjang ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan untuk meningkatkan peran Indonesia sebagai bangsa produsen dan pemasok barang dan produk dalam sistem rantai suplai global (the Global Supply Chain System), bukan hanya sebagai bangsa konsumen (pasar) beragam produk dan jasa dari bangsa-bangsa lain, seperti yang berlangsung selama ini. Lebih dari itu, dengan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa-Bali ini, maka akan mengurangi secara signifikan disparitas pembangunan antar wilayah (Jawa-Bali vs luar Jawa-Bali, dan Kawasan Barat Indonesia vs Kawasan Timur Indonesia) yang sangat timpang, yang membuat perkonomian Indonesia kurang efisien dan kurang kompetitif. Dengan demikian laju urbanisasi, brain drain, beban (bencana) ekologis dan sosial terhadap Pulau Jawa dan Bali akan terkurangi, dan perekonomian Indonesia akan lebih produktif, berdaya saing, serta berkelanjutan. Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru yang tersebar di sepanjang wilayah pesisir ALKI (I, II, dan III), pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan akan menjelma sebagai sabuk kemakmuran (prosperity belt) yang sekaligus sebagai sabuk pengaman (security belt) yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan NKRI.

Keempat, penguatan dan pengembangan konektivitas kelautan (’Tol Laut’) yang mencakup pengembangan armada kapal penumpang dan barang, pelabuhan, industri galangan dan reparasi kapal. Rute transportasi laut utama dari wilayah barat ke wilayah timur akan dibangun dengan menggunakan kapal-kapal besar (ibarat jalan tol), yang secara reguler dan tepat waktu berlayar dari Pelabuhan Kuala Tanjung (Barat) – Batam – Tanjung Priok – Tanjung Perak – Makassar – – Sorog (Timur) pulang – pergi (Gambar Peta). Ketujuh pelabuhan utama tersebut dihubungkan dengan Short Sea Shipping (kapal-kapal berukuran lebih kecil) dengan seluruh pelabuhan di wilayah NKRI. Setiap pelabuhan harus dihubungkan dengan wilayah darat (hulu) melalui berbagai moda transportasi, baik sungai, darat maupun udara.

28

Gambar 5.1 Peta Rute Tol Laut

Dalam jangka pendek sampai menengah (2015 – 2020), kita mesti merevitalisasi dan mengembangkan sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan (laut), industri bioteknologi kelautan, ESDM, pariwisata bahari, dan industri dan jasa maritim supaya lebih efisien, produktif, berkeadilan, dan berkelanjutan (sustainable).

1. Perikanan Tangkap: (1) membangun sekitar 2.000 armada kapal ikan modern berbobot diatas 100 GT dengan alat tangkap (fishing gears) yang efisien, tepat dan ramah lingkungan yang dioperasikan oleh nelayan dan pengusaha nasional di wilayah-wilayah perairan laut yang masih underfishing atau yang selama ini ikannya dicuri oleh nelayan asing, seperti Laut Natuna, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura, perairan laut di wilayah perbatasan, dan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia); (2) secara bertahap (gradual) mengurangi intensitas penangkapan di wilayah-wilayah perairan laut yang sudah overfishing, seperti Pantura, Pantai Selatan Sulawesi, dan lainnya supaya stok ikannya pulih, sehingga hasil tangkapan ikan dan pendapatan nelayan di wilayah ini meningkat; (3) kelebihan kapal ikan (nelayan) dari wilayah-wilayah overfishing dipindah- usahakan ke wilayah-wilayah perairan laut yang masih underfishing, wilayah-wilayah perairan laut yang menjadi ajang pencurian ikan oleh nelayan asing, atau usaha-usaha kelautan dan perikanan lainnya seperti usaha budidaya ikan dan industri pengolahan hasil perikanan; (4) selama nelayan tidak melaut karena cuaca buruk atau musim paceklik ikan

29 (biasanya sekitar 3 bulan dalam setahun) akan disediakan mata pencaharian substitusi berupa usaha budidaya perikanan dan lainnya sesuai potensi ekonomi setempat; (5) BBM, alat tangkap, mesin kapal, beras, lauk-pauk dan sarana produksi lainnya akan disediakan di seluruh pelabuhan perikanan dan lokasi pendaratan ikan lain/pemukiman nelayan di seluruh wilayah NKRI dalam jumlah mencukupi dan harga relatif murah; (6) perbaikan cara-cara nelayan menangani (handling) ikan hasil tangkapan sejak dari kapal ikan sampai ke pelabuhan perikanan/lokasi pendaratan ikan supaya kualitasnya tetap baik, sehingga harga jualnya tinggi (menguntungkan nelayan); (7) revitalisasi pelabuhan-pelabuhan perikanan yang ada dan membangun yang baru sesuai kebutuhan sebagai kawasan industri perikanan terpadu, sehingga fungsi pelabuhan tidak hanya sebagai tempat tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai penyedia sarana produski, industri pengolahan hasil perikanan, dan pasar yang menjamin ikan hasil tangkapan nelayan dengan harga sesuai nilai keekonomian setiap saat; (8) pemberantasan IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported) fishing practices sampai tuntas dengan memperkuat dan mengembangkan sistem MCS (Monitoring, Controlling and Surveillance) yang sudah ada, termasuk penggunaan drone; dan (9) menerapkan regulasi manajemen perikanan tangkap yang bertanggung jawab (Responsible Fisheries) secara konsisten dan berkesinambungan supaya stok ikan dan usaha perikanan dapat berlangsung secara menguntungkan dan berkelanjutan.

2. Perikanan Budidaya: (1) peningkatan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan (sustainability) semua usaha perikanan budidaya yang ada (existing) baik yang di perairan laut, payau, PUD, kolam air tawar, saluran irigasi, sawah, akuarium maupun wadah (media) lainnya dengan mengaplikasikan Best Aquaculture Practices (bibit dan benih unggul, pemberian pakan berkualitas secara benar, pengendalian hama & penyakit, pengelolaan kualitas air dan tanah, pond engineering, dan biosecurity); (2) penguatan dan pengembangan usaha budidaya komoditas unggulan: udang Vanammei, udang Windu, udang galah, kerapu, , bandeng, bawal bintang, nila, gurame, emas, patin, lele, kepiting bakau dan kepiting soka, rumput laut, dan kerang mutiara dengan menerapkan Best Aquaculture Practices. Contoh dalam 5 tahun kedepan akan dikembangkan 700.000 ha tambak (58 persen total potensi tambak), yang alokasinya 200.000 ha tambak udang Vanammei intensif; 100.000 ha tambak udang Windu semi-intensif; 100.000 ha tambak bandeng; 100.000 ha tambak kepiting, nila saline dan kerapu lumpur; dan 100.000 ha tambak rumput laut jenis Gracilaria spp. Ini akan menghasilkan total nilai ekonomi (gross revenue) sekitar 40 milyar dolar AS (Rp 440 trilyun) per tahun dan lapangan kerja sekitar

30 8 juta orang; (3) pengembangan usaha budidaya untuk spesies-spesies baru (diversifikasi) seperti teripang, abalone, lobster, ikan tuna, ikan gobia, ikan belida, dan ikan hias jenis baru; (4) penguatan (revitalisasi) industri pakan existing dan pembangunan baru baik dengan basis protein tepung ikan, micro algae, magot maupun sumber protein lainnya supaya pasok pakan berkualitas dengan harga relatif murah mencukupi kebutuhan secara berkelanjutan di seluruh wilayah NKRI; (5) penguatan unit pembenihan (hatchery) existing dan pembangunan unit pembenihan supaya bisa menghasilkan benih unggul (SPF, SPR) dengan harga relatif murah dan jumlah yang mencukupi kebutuhan di seluruh wilayah NKRI; dan (6) pengembangan produksi vaksin, growth hormone, obat-obatan, dan lainnya yang ramah lingkungan untuk mendukung produktivitas, efisiensi, dan sustainability usaha perikanan budidaya.

3. Industri Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan dan Kelautan: (1) Memastikan bahwa seluruh produk industri pengolahan hasil kelautan dan perikanan memenuhi standar mutu dan keamanan pangan nasional maupun internasional; (2) pengembangan produk industri olahan ikan baru sesuai dinamika konsumen (pasar) domestik maupun global; (3) penguatan dan pengembangan karantina ikan dan biota periaran lainnya; (4) penguatan dan pengembangan pasar domestik; dan (4) penguatan dan pengembagan pasar ekspor.

4. Industri Bioteknologi Kelautan dan Perikanan: (1) ekstraksi senyawa bioaktif (natural product) dari organisme (biota) perairan laut maupun PUD sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, film, cat, dan berbagai jenis bioindustri lainnya; (2) pengembangan biofuel dari algae dan biota perairan lainnya; (3) rekayasa genetik (genetic engineering) dan aplikasi nanoteknologi untuk menghasilkan bibit dan benih unggul; dan (4) pengembangan industri bioremediasi.

5. Pengembangan tambak dan industri garam menuju Indonesia bukan hanya swasembada tetapi juga pengekspor garam konsumsi dan industri.

6. Pembangunan Pulau-Pulau Kecil sebagai pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru yang produktif, efisien, inklusif, dan ramah lingkungan secara berkelanjutan melalui investasi oleh BUMN, swasta, BUMR (Badan Usaha Milik Rakyat) setempat, dan skema investasi lainnya.

7. Pengembangan usaha ekonomi SDA dan Jasa-Jasa Lingkungan non-konvensional, seperti deep seawater industries, energi kelautan (gelombang, pasang surut, dan OTEC), dan lainnya.

31 8. Pengembangan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut supaya pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan dapat berlangsung secara berkelanjutan (sustainable): (1) implementasi tata ruang wilayah pesisir dan laut secara terpadu, (2) pengendalian pencemaran, (3) konservasi biodiversity baik in situ maupun ex situ, (4) design and construction with nature, dan (5) mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global (termasuk pengembangan energi baru dan terbarukan untuk kapal ikan dan kapal pengangkut ikan), tsunami, dan bencana alam lainnya.

9. Pengembangan kapasitas dan etos kerja SDM Kelautan dan Perikanan melalui program DIKLATLUH (Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan) secara sistematis dan berkesinambungan.

10. Penguatan dan pengembangan Research and Development (Penelitian dan Pengembangan) supaya kita berhenti sebagai bangsa konsumen dan menjadi bangsa produsen teknologi. Selain itu, supaya ekonomi KELAUTAN DAN PERIKANAN Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain.

11. Penciptaan iklim investasi dan bisnis kelautan dan perikanan yang kondusif: (1) kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung kinerja sektor KELAUTAN DAN PERIKANAN; (2) penyediaan kredit perbankan dengan bunga yang lebih murah dan persyaratan lebih lunak seperti di negara-negara maju dan emerging economies lainnya; (3) perizinan dan pembebasan lahan; (4) ketenaga kerjaan; (5) perpajakan; (6) keamanan berusaha; dan (7) konsistensi kebijakan pemerintah.

Untuk mendukung pembangunan ekonomi kelautan semacam itu, diperlukan lembaga perbankan khusus untuk pembiayaan sektor-sektor ekonomi kelautan dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan pinjam yang relatif lunak seperti halnya di negara-negara ASEAN dan emerging economies lainnya. Peningkatan kualitas dan pengembangan SDM kelautan, baik melalui jalur pendidikan formal (PAUD, Dikdasmen sampai Perguruan Tinggi) maupun jalur non-formal atau DIKLATLUH (Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan). Kelembagaan dan aktivitas Research and Development terkait kelautan dalam arti luas harus ditingkatkan dan dikembangkan, supaya Indonesia menjadi bangsa yang mampu menguasai, menghasilkan, dan menerapkan teknologi dalam kiprah kehidupan dan pembangunannya. Dengan demikian, segenap produk dan jasa kelautan yang dihasilkan akan memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi secara berkelanjutan.

32 Akhirnya, kita mesti melalukan perubahan paradigma (paradigm shift) pembangunan nasional, dari land-based development menjadi ocean-based development. Dengan begitu, seluruh kebijakan publik, infrastruktur, dan sumberdaya finansial secara terintegrasi diarahkan untuk menunjang pembangunan kelautan. Dalam hal ini bukan berarti kita melupakan pembangunan di darat. Namun justru secara sinergis dan proporsional harus mengintegerasikan pembangunan sosial-ekonomi di darat dan di laut. Melalui reorientasi pembangunan dari basis daratan ke lautan, maka pelabuhan, armada pelayaran (transportasi laut) akan lebih maju dan efisien, yang selanjutnya akan membuat semua produk dari ekonomi daratan (pertanian tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, kehutanan, peternakan, bahan tambang dan mineral, dan manufaktur) akan lebih berdaya saing, karena biaya logsitik akan lebih murah dan pergerakan barang bakal lebih cepat.

VI. Peran Pemimpin dalam Pembangunan Kelautan Berkelanjutan Menuju Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Untuk mengimplementasikan cetak biru pembangunan kelautan seperti diuraikan diatas (Bab V), diperlukan kepemimpinan yang memiliki komitmen dan dedikasi untuk mengawal cetak biru itu dari tahap perencanaan hingga pengawasan. Yang dimaksud kepemimpinan dalam era otonomi daerah (demokrasi dan desentralisasi) seperti di Indonesia, bukan hanya top decision makers di tingkat pemerintahan nasional yakni Presiden dan Wapres, para Menteri, dan DPR; tetapi juga para Kepala Daerah dan DPRD di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Peran kepemimpinan yang diperlukan meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

Pertama adalah memastikan bahwa cetak biru pembangunan kelautan (pesisir dan lautan) dari tingkat pusat sampai ke daerah harus berdasarkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Suatu paradigma pembangunan yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan seluruh rakyat secara berkeadilan, dengan tetap menjaga kelestarian (sustainability) dari ekosistem pesisir dan lautan. Dengan demikian, pembangunan kelautan bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, nilai ekspor, dan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang tinggi tanpa batas; tetapi juga menjamin bahwa „kue pertumbuhan ekonomi‟ dapat mensejahterakan seluruh komponen masyarakat secara berkeadilan. Selain itu, untuk menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan lautan, para pemimpin juga haru mengimplementasikan tata ruang wilayah darat – pesisir –lautan secara terpadu, melakukan pengendalian pencemaran, merehabilitasi ekosistem pesisir dan lautan yang terlanjur rusak, melakukan konservasi keanekaragaman hayati (genetik, spesies, dan ekosistem), dan

33 melaksanakan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global (Global Climate Change), tsunami, dan bencana alam lainnya.

Kedua, bahwa seluruh proses perencanan dan pengambilan keputusan pembangunan haruslah berdasarkan pada ilmu pengetahuan (science-based development process).

Ketiga, memperkuat dan mengembangkan aktivitas dan kelembagaan Research & Development (Penelitian dan Pengembangan) untuk menyediakan data dan informasi ilmiah sebagai dasar dalam proses perencaan dan pengambilan keputusan, menguasai IPTEKS, dan menghasilkan serta menerapkan inovasi IPTEKS.

Keempat melakukan peningkatan kapasitas (capacity building) bagi SDM kelautan yang ada saat ini, dengan memberikan DIKLATLUH (Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan) dalam hal teknologi, manajemen, dan etos kerja. Selain itu, segenap asepek kelautan harus menjadi prioritas sistem pendidikan nasional dari tingkat PAUD hingga Perguruan Tinggi.

Kelima, pembangunan infrastruktur dan penyediaan energi (khususnya energi terbarukan) untuk mendukun pembangunan kelautan secara produktif, efisien, adil, dan ramah lingkungan secara berkelanjutan.

Keenam, bahwa kebijakan makro (politik-ekonomi) seperti fiskal dan moneter, iklim investasi, dan proses politik harus kondusif bagi pembangunan kelautan menuju Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas, Insya Allah Indonesia tidak hanya bakal menjadi negara maritim yang besar, kuat, maju, makmur dan berdaulat, tetapi juga akan menjadi poros (kiblat) maritim dunia dalam waktu tidak terlalu lama, 2025.

34 BAHAN RUJUKAN

Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. p. 125.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustakatama, Jakarta p. 412.

Dahuri, R., T. Kusumastanto, A. Hartono, P. Anas and P. Hartono. 2009. Enhancing Sustainable Ocean Development: An Indonesian Experience. Center for Coastal and Marine Resource Studies, Bogor Agricultural University and Partnership for Government Reform. Kreasi Warna Publishing, Jakarta. p. 224.

Stopford, M. 2004. Maritime Economics. 2nd Edition. Routledge Publishing Co., London. p. 562

35

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Senjakala Peran dan Fungsi Panglima Laot di Aceh Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH

SENJAKALA PERAN DAN FUNGSI PANGLIMA LAOT DI ACEH

Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH UIN Ar Raniry, Banda Aceh

Abstrak Keberadaan nelayan Aceh di bawah pimpinan Panglima Laot, memiliki tradisi lokal yang khas yang telah berjalan turun temurun selama berabad-abad. Tradisi ini tampak terpelihara dan dahulu memperkuat solidaritas, kebersamaan dan motivasi hidup para nelayan. Pengawalan berbagai hukom laot Aceh ini dilakukan sendiri oleh komunitas nelayan melalui Peradilan Hukom Adat Laot di bawah pimpinan Panglima Laot. Para nelayan juga memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan dan memasukkan hal itu dalam aturan hukom adat laot yang baru, misalnya larangan pemboman, penglistrikan dan pengambilan terumbu karang yang merusak lingkungan hidup dan biota laut lainnya. Akan tetapi perkembangan budaya dan teknologi masa kini tampaknya mulai menggerus posisi Panglima Laot dengan Peradilan Adat Laotnya yang dahulu cukup kuat menjaga norma-norma kehidupan para nelayan di Aceh. Oleh karena itu perlu ada upaya advokasi dan penguatan peran Panglima Laot agar lembaga Adat yang menyimpan potensi besar bagi kemajuan dunia nelayan dapat lebih terjaga. Kata kunci: panglima laot, hukom adat laot

I. Mukaddimah Dalam sejarah Aceh terdapat berbagai macam Lembaga Adat yang berfungsi mengatur norma-norma keadilan dan menjaga tata tertib kemasyarakatan. Pada masa kini ada tigabelas Lembaga Adat di Aceh yang diakui secara formal melalui Undang- undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Lembaga Adat tersebut adalah: Majelis Adat Aceh, Imuem Mukim (Kepala kemukiman), Imeum Chik (Imam Mesjid kemukiman), Keuchik (kepala desa), Tuha Peuet (anggota dewan musyawarah utama desa), Tuha Lapan (anggota dewan musyawarah besar desa), Imeum Meunasah (Imam desa), Keujruen Blang (petugas adat tali air), Panglima Laot (pemimpin adat nelayan), Pawang Glee (pawang gunung), Peutua Seuneubok (pemimpin adat perkebunan), Haria Peukan (juru cukai adat pasar rakyat) dan Syahbanda (pemimpin adat pelabuhan rakyat). Lembaga-lembaga adat tersebut seyogianya juga berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan pada bidangnya masing-

2 masing. Selain itu juga dibentuk guna menghargai dan memupuk kekhasan dan kearifan lokal di samping memelihara kebanggaan dan memperkuat motivasi diri sebagai anak bangsa yang memiliki akar tradisi yang berharga. Dalam kenyataan tidaklah semua lembaga adat tersebut benar-benar berperan, bahkan di banyak tempat eksistensinya pun antara ada dan tiada. Salah satu yang paling kuat berperan, setidaknya sampai sekitar sepuluh tahun terakhir ini, adalah lembaga Panglima Laot terutama dalam memfasilitasi hubungan antara para nelayan lokal dengan pemerintah dan menyelesaikan sengketa kelautan antara para nelayan sendiri. Perlu diingatkan, meskipun bergelar ”Panglima”, lembaga ini sama sekali tidak berkait dengan militer ataupun senjata. Panglima Laot adalah pemimpin lembaga adat kaum nelayan yang bertugas menjaga dipatuhinya tata cara hukum adat laut (customary marine law) serta memimpin persidangan adat laut jika terjadi konflik antar nelayan, yang dikembangkan dari serat-serat Hukum Islam dan Hukum Adat (DY. Witanto, 2007:201).

II. Sejarah Lembaga Hukom Adat Laot Dilihat dari sejarahnya, jabatan Panglima Laot sudah ada sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke 14 dan kemudian dipertegas oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1637). Pada saat itu posisi Panglima Laot lebih sebagai perpanjangan tangan Sultan dalam rangka mengerjakan dua tugas utama, yaitu memungut cukai dari kapal-kapal dagang yang berlabuh di pelabuhan dan memobilisasi rakyat untuk kepentingan perang (Adli Abdullah dkk, 2006:60). Pada kenyataannya lembaga Panglima Laot ini selama berabad-abad itu terus berjalan sendiri tanpa campur tangan pemerintahan. Masyarakat nelayan yang sehari- hari bergelut dengan badai dan gelombang memang membutuhkan adanya solidaritas dan pemimpin yang dapat mengayomi mereka termasuk jika sewaktu-waktu terjadi musibah misalnya. Pada masa konflik mendera Aceh para Panglima Laot, terutama Panglima Laot Lhok sebagai ujung tombaknya, haruslah pandai-pandai mengayuh perahunya di antara dua karang tajam yang sedang bertikai di Aceh. Barulah sejak tahun 2000 para Panglima Laot seluruh Aceh mempersatukan diri dalam sebuah organisasi yang cukup kuat dengan struktur organisasi yang baik dengan nama Lembaga Hukom Adat Laot. Organisasi ini dibentuk dengan semacam hirarki melalui pemilihan seorang Panglima Laot tingkat Propinsi dan di tingkat Kabupaten/kota dipilih seorang Panglima Laot Kabupaten. Organisasi ini juga telah

3 membuat Buku Rencana Strategis Panglima Laot Aceh 2005-2015 dan Ketentuan-Ketentuan Hukom Adat Laot. Perlu disebut bahwa sebenarnya yang memiliki peran aktual kepada para nelayan adalah Panglima Laot Lhok, yang secara struktur paling rendah. Adapun Panglima Laot Kabupaten berfungsi menyelesaikan sengketa antar nelayan yang berada pada wilayah Panglima Laot Lhok yang berbeda. Panglima Laot Provinsi, berfungsi lebih sebagai simbolik dan koordinasi serta menjadi jurubicara organisasi dalam hubungan keluar pada tingkat daerah (Lihat Buku Renstra Panglima Laot Aceh, 2005:8). Baik juga dicatat bahwa Organisasi Lembaga Hukom Adat Laot ini pada awalnya telah berkembang sebagai salah satu lembaga yang cukup kuat di Aceh. Mereka mempunyai berbagai program, tidak hanya berkaitan dengan dunia nelayan, juga pernah memiliki program pendidikan dan pemberdayaan anak-anak nelayan yang pada umumnya masih terbelenggu kemiskinan. Untuk itu mereka mendirikan Yayasan Pangkai Meuruno Aneuk Nelayan dengan kekayaan milyaran rupiah dan mampu memberi beasiswa kepada 2000an anak nelayan seluruh Aceh. Kekayaan Yayasan ini awalnya berasal dari dana penjualan sejumlah kapal penangkap ikan asing yang disita Negara, kemudian hasil penjualan itu diberikan sebagai semacam Trust Fund kepada Panglima Laot Aceh (Umardi, Sekretaris Panglima Laot Aceh, Wawancara, 25 Agustus 2016).

III. Peradilan Sengketa Adat Laot

Salah satu yang paling menarik dari Lembaga Panglima Laot Aceh adalah peranannya sepanjang sejarah Aceh dalam melakukan penyelesaian sengketa kelautan antar nelayan selama ini dalam bentuk dua tingkatan yaitu:

1. Panglima Laot Lhok dengan wilayah ”yurisdiksi” pada masing-masing wilayah lhok yang bersangkutan (biasanya sebuah teluk atau pantai tempat pendaratan perahu, kurang lebih seukuran tingkat kecamatan).

2. Panglima Laot Kabupaten/Kota jika terjadi sengketa antar nelayan dalam beberapa wilayah hukum adat lhok dalam satu kabupaten.

Pada prinsipnya kewenangan penyelesaian sengketa Adat Laot hanyalah ada pada Panglima Laot Lhok sendiri, karena sebenarnya tidak dikenal adanya peradilan banding di sini. Kewenangan Panglima Laot Kabupaten/kota hanyalah dalam hal:

4

a. Jika pihak-pihak yang bersengketa berada atau berdomisili dalam dua wilayah lhok yang berbeda.

b. Jika perkara yang diperiksa oleh pengadilan adat lhok dianggap terlalu berat sehingga perlu dilimpahkan untuk diselesaikan oleh pengadilan laot kabupaten/kota.

Penyelesaian Sengketa antar nelayan oleh lembaga adat dengan berbasis hukum adat dapatlah dianggap sebagai bagian dari alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengakui adanya beberapa metoda penyelesaian sengketa di luar pengadilan, salah satunya adalah Mediasi. Peradilan adat laot di Aceh agaknya lebih mendekati sistem mediasi karena sama-sama menggunakan asas musyawarah mufakat serta akan menghasilkan putusan yang mengikat secara sosial dan secara moral. (Rusjdi Ali Muhammad, 2008: 12).

Susunan lembaga persidangan pada tingkatan hukôm adat laôt lhôk terdiri dari beberapa unsur yaitu: (a) Tiga orang penasehat; (b) Satu orang Panglima Laôt sebagai ketua; (c) Satu orang wakil ketua; (d) Satu orang sekretaris bukan anggota; (e) Tiga orang staf lembaga (anggota).

Adapun susunan lembaga persidangan pada tingkatan hukôm adat laôt Kabupaten dan Kota terdiri dari: (a) Tiga orang penasehat/pembina (yaitu: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten dan Kota; Ketua Majelis Adat Aceh Kabupaten/Kota; dan Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten/Kota); (b) Satu orang Panglima Laôt sebagai ketua; (c) Satu orang wakil ketua; (d) Satu orang Sekretaris bukan anggota dan seluruh Panglima Laôt Lhôk sebagai anggota, kecuali Panglima Laôt Lhôk dari daerah sengketa merupakan staf lembaga. (Lihat Hasil Musyawarah Lembaga Hukôm Adat

5

Laôt / Panglima Laôt Se-Aceh, Banda Aceh, 6-7 Juni tahun 2000, lihat juga D.Y.Witanto, 2007:226)

Dalam menjalankan tugasnya, persidangan ini memiliki kewenangan untuk:

a. Mendamaikan para pihak dipersidangan.

b. Menyatakan bebas atau menghukum seseorang yang melanggar aturan adat

c. Menjatuhkan sanksi jika berdasarkan penilaian penasehat persidangan orang yang disangka melanggar aturan adat ternyata bersalah.

d. Menyatakan pihak mana yang harus melakukan sesuatu, membayar sesuatu dan mengganti sesuatu dalam sengketa perdata adat berdasarkan kesepakatan para pihak dan seluruh komponen persidangan.

Keunikan dalam persidangan adat laot di sini adalah keberadaan penasehat persidangan yang fungsinya mirip dengan juri dalam sistem peradilan Anglo Saxon. Penasehat persidangan ini ditunjuk oleh panglima laot dari kalangan tokoh masyarakat atau tokoh adat atau seseorang yang dianggap ahli dan netral dalam persoalan yang disidangkan. Misalnya terhadap perkara yang objeknya menyangkut pukat maka yang dijadikan ahli adalah pawang pukat yang berpengalaman sehingga dia bisa menilai kesalahan yang terjadi dalam perkara tersebut.

Dalam perkara perselisihan, biasanya penasehat persidangan diambil dari tokoh agama yang berpengaruh sehingga dia dapat diharapkan berperan memberikan petuah-petuah yang bernafaskan Syari‟at Islam untuk mendinginkan suasana para pihak yang sedang berselisih. Penasehat persidangan dalam perkara pelanggaran memberikan pendapat tentang ada tidaknya pelanggaran terhadap ketentuan adat yang di tuduhkan. Sedangkan dalam sengketa adat laot sang penasehat memberikan pendapat tentang pihak mana yang bersalah.

Pimpinan sidang peradilan adat laot adalah sekaligus dijabat oleh Panglima Laot. Ada beberapa persyaratan untuk menjadi Panglima Laot, sebagai dirangkum Sanusi M.Syarif (2003:47):

a. Pernah menjadi Pawang;

6

b. Taat beragama;

c. Punya pengetahuan luas, terutama yang berkaitan dengan adat laot;

d. Bijaksana, artinya dapat mengatasi jika terjadi kesulitan yang mendadak dan dapat mengambil keputusan;

e. Jujur dan adil, sehingga tidak memihak jika mengambil keputusan

Penelitian Sulaiman Lubis (1978:16) menemukan lima syarat juga yang sedikit berbeda untuk menjadi Panglima Laot:

a. Mengerti seluk beluk hukum adat laot;

b. Mengerti tata cara penangkapan ikan di laut;

c. Telah berpengalaman sebagai pawang;

d. Berwibawa, dalam arti perintahnya dipatuhi;

e. Memiliki kebijaksanaan.

Bedanya Sulaiman Lubis tidak mendapatkan adanya persyaratan taat beragama yang secara eksplisit disebut sebagai syarat Panglima Laot, meskipun persyaratan berwibawa dan memiliki kebijaksanaan agaknya juga mengandung makna ketaatan beragama. Seorang pemimpin yang jelas-jelas fasiq misalnya tidak akan berwibawa dan dipatuhi oleh masyarakat di Aceh. Selain itu rangkuman Sanusi M.Syarif (tahun 2003), 25 tahun lebih baru dibanding penelitian Sulaiman (tahun 1978). Gagasan pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh semakin vokal diteriakkan oleh seluruh unsur masyarakat Aceh, termasuk kaum nelayan dengan Panglima Laotnya.

IV. Tata Cara Persidangan

Cukup menarik pula kiranya untuk diketahui bahwa persidangan adat laot ini ternyata mempunyai semacam kaidah hukum acara tersendiri. Berikut ini dipetik sebagaimana ketentuan yang telah disepakati para Panglima Laot : a. Setiap orang/pawang yang mengajukan perkara pada Lembaga Persidangan Hukôm Adat Laôt harus membayar uang meja sebesar Rp15.000,- (lima belas ribu rupiah). b. Pengajuan perkara tidak boleh lewat hari Kamis. Sidang diadakan pada jam 09.00 WIB sampai dengan selesai setiap hari Jumat.

7

c. Biaya sidang dipungut 10 persen dari uang hasil diperkarakan. d. Penggugat sudah harus menghadirkan saksi-saksi pada saat sidang dibuka. Saksi-saksi dari pihak yang berperkara disyaratkan harus mengangkat sumpah. e. Sidang baru boleh dilaksanakan apabila dihadiri minimal 3 (tiga) orang anggota sidang. Anggota sidang ditambah 1 (satu) orang dari unsur Dinas Perikanan dan Kelautan. f. Apabila penggugat atau tergugat tidak menghadiri sidang sampai dengan 2 (dua) kali persidangan, maka majelis akan mengambil keputusan. g. Apabila pada sidang ketiga penggugat atau tergugat tidak hadir, perkara dapat ditolak dan lembaga hukum akan mengambil biaya sidang 10 persen dari uang yang diperkirakan. h. Penggugat diberi waktu selama 2 x 24 jam untuk membawa pengaduan kepada Panglima Laôt sejak terjadinya perkara. Lewat dari waktu 2 x 24 jam, pengaduan dari penggugat, tidak dapat diterima atau menjadi batal.

Adapun kewenangan peradilan adat laot terdapat tiga jenis perkara yang bisa diselesaikan (D.Y.Witanto, 2007:228; Yayasan Pemada, 2007):

1) Perkara Perselisihan (Pidana Ringan)

Yang dimaksud dengan perkara perselisihan adalah persoalan dalam hubungan kemasyarakatan antara sesama nelayan atau antara nelayan dengan bukan nelayan, berupa perbedaan pendapat yang menimbulkan ketegangan, pertengkaran, pertikaian, perkelahian dan bentuk-bentuk lain yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Kehidupan nelayan yang keras memang sering berpengaruh pada watak dan karakter mereka yang khas dan kadang-kadang memicu pertikaian sampai perkelahian. Persoalan-persoalan semacam ini dapat menjadi kewenangan peradilan adat dalam menyelesaikannya. Penyelesaian perkara perselisihan ini dilakukan dengan metode persidangan secara musyawarah mufakat dengan tujuan utama mendamaikan para pihak yang berselisih untuk saling memaafkan sehingga persidangan tersebut dapat menghubungkan kembali tali silaturahmi yang sempat merenggang.

Sebenarnya ada sedikit batas abu-abu tentang masalah kewenangan peradilan adat laot dengan kewenangan polisi sebagai lembaga penyidik resmi dalam beberapa

8 hal menyangkut hal yang disebut perkara perselisihan ini. Yakni dalam menentukan mana perkara perselisihan yang tergolong kriminal murni sebagai kewenangan polisi atau perkara pidana ringan yang dapat diselesaikan oleh sidang adat laot. Peradilan adat laot hanya menyelesaikan sengketa nelayan yang bersifat non kriminal misalnya pelanggaran area penangkapan, pelanggaran hari-hari pantang laot, ketentuan tentang jarak laboh, leun pukat dsb. Seorang pawang laot mendeskripsikan bahwa menyangkut “perkara tabrak boat atau koh pukat (memotong pukat) sehingga terjadi perkelahian antar nelayan di darat, itu kriminalitas dan bukan lagi tanggung jawab Peradilan Adat Laot. Peradilan Adat Laot khusus menangani sengketa di laut, bukan di darat”. (Pawang Yusuf Sulaiman, Panglima Laot Kab. Aceh Utara dalam Muttaqin, 2008:54).

Sebenarnya kini cukup mengemuka gagasan bahwa perkara pidana biasa pun sepatutnya dapat diselesaikan melalui Alternative Dispute Resolution, termasuk misalnya melalui peradilan adat laot. Di Aceh sendiri sejak tahun 2008 telah diterbitkan Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang Kehidupan Adat dan Adat Istiadat yang menetapkan ada 18 (delapan belas) perkara/sengketa yang dapat diselesaikan oleh peradilan adat, yaitu:

a. Perselisihan dalam rumah tangga b. Sengketa antara keluaarga yang berkaitan dengan faraidh c. Perselisihan antar warga d. Khalwat/mesum e. Perselisihan tentang hak milik f. Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan) g. Perselisihan harta sehareukat h. Pencurian ringan i. Pencurian ternak peliharaan j. Pelanggaraan adat tentang ternak, pertanian, dan hutan k. Persengketaan di laut l. Persengketaan di pasar m. Penganiayaan ringan n. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat) o. Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik p. Pencemaran lingkungan (Skala ringan)

9

q. Ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman), dan r. Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.

2). Perkara Sengketa Adat Laot

Adapun sengketa hukum adat laot adalah persoalan pelanggaran ketentuan tentang peraturan dan tata cara penangkapan ikan di laut. Tata cara tersebut sebagiannya telah dibuat tertulis sebagai hasil kesepakatan Musyawarah Panglima Laot Aceh (Musyawarah terakhir tgl. 6-7 Juni 2000). Dalam kesepakatan tersebut diatur antara lain tentang tata aturan cara penangkapan ikan (meupayang), pembagian hasil tangkapan ikan antara boat, perahu Aceh, tata aturan pemasangan tuasan, rumpon dan bubu serta tentang aturan penangkapan benur dan nener. Perselisihan yang terjadi dalam hal-hal semacam inilah yang disebut sengketa adat laot.

Termasuk juga di sini perselisihan dalam perjanjian bagi hasil yang telah dilakukan pada saat akan berangkat melaut, namun setelah diperoleh ikan tangkapan ternyata pembagian hasilnya tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Pihak yang merasa dirugikan ini dapat mengajukan perkaranya ke peradilan adat laot. Contoh lain yang sering juga terjadi adalah perselisihan dalam hubungan pemasaran antara nelayan tangkap dengan toke bangku (nelayan pemasar), inipun dapat menjadi objek sengketa di bawah kewenangan peradilan adat laot.

2) Perkara Pelanggaran

Selain dari kedua jenis perkara tersebut di atas, peradilan hukom adat laot juga berwenang untuk melakukan penyelesaian atas perkara pelanggaran, yaitu tindakan menyalahi ketentuan hukum adat laot berlaku. Pelanggaran semacam ini sering sekali terjadi, misalnya pelanggaran terhadap ketentuan adat pantang laot. Dengan demikian, barang siapa yang melakukan pelanggaran adat jika terbukti tanpa alasan yang dapat membenarkan, maka sipelanggar akan dikenakan sanksi adat. Namun demikian karena persidangan adat mengedepankan prinsip penyelesaian secara kekeluargaan maka penjatuhan sanksi akan disesuaikan dengan kemampuan sipelanggar.

V. Lingkup Kewenangan Peradilan Adat Laot

10

Terdapat sejumlah ketentuan hukom adat laot yang asalnya merupakan tradisi lokal turun temurun dalam masyarakat Aceh. Namun kini setelah lahirnya organisasi Panglima Laot, ketentuan tersebut telah dibuat menjadi panduan tertulis sebagai hasil Musyawarah Panglima Laot Aceh. Pelanggaran yang dilakukan para nelayan terhadap hukom adat laot inilah yang menjadi kewenangan Peradilan Adat Laot.

Beberapa ketentuan adat laot tersebut adalah:

1) Ketentuan tentang Hari Pantang Laot.

Para Panglima Laot telah menyepakati beberapa hari untuk pantang melaut di Aceh. Hari-hari tersebut adalah:

a. Hari Raya ’Idul Fithry selama dua hari dihitung sejak tenggelamnya matahari pada hari meugang (hari memotong hewan besar satu hari sebelum hari raya) hingga terbenamnya matahari pada hari kedua hari raya.

b. Hari Raya ‟Idul Adhha tiga hari terhitung sejak tenggelamnya matahari pada hari meugang hingga terbenamnya matahari pada hari ketiga.

c. Setiap hari Jum’at selama satu hari. terhitung sejak tenggelamnya matahari hari Kamis hingga terbenamnya matahari hari Jum‟at.

d. Khanduri adat laôt. Khanduri adat dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sekali atau tergantung kesepakatan dan kesanggupan nelayan setempat, dinyatakan 3 (tiga) hari pantang laôt pada acara khanduri laôt dihitung sejak terbit matahari pada hari khanduri hingga tenggelamnya matahari pada hari ketiga.

e. Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus, dilarang melaut satu hari.

f. Hari Tsunami 26 Desember. Ini merupakan hari pantang laot baru hasil kesepakatan Dewan Meusapat Panglima Laot se Aceh pada tanggal 9-12 Desember 2005. Dimulai sejak terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari tanggal 26 Desember.

Sanksi terhadap pelanggaran berbagai ketentuan adat laot di atas ada bermacam-macam bentuknya tergantung dari jenis pelanggaran yang dilakukan. Untuk pelanggaran terhadap hari pantang laot misalnya (Keputusan Musyawarah Panglima Laot (2005:26; lihat juga T. Muttaqin, 2008:48-9) dapat berupa :

11

a. Seluruh hasil tangkapan disita dan kemudian dijual dan hasilnya 25 % untuk Panglima Laot dan 75 % untuk kepentingan sosial/rumah ibadah;

b. Nelayan yang bersangkutan dilarang melaut antara tiga hari sampai paling lama tujuh hari.

c. Ganti rugi

d. Tindakan administratif melalui pejabat yang berwenang

Sanksi Hukum Adat untuk pelanggaran terhadap tata cara penangkapan ikan dapat berupa hukuman larangan melaut selama tiga hari dan seluruh hasil tangkapan dapat disita oleh Panglima Laot. Sanksi adat lain juga dapat berupa denda, penyitaan alat tangkap perikanan atau penahanan sarana transportasi perikanan (boat/perahu) (Yayasan Pemada, 2007:24).

2). Ketentuan Adat Sosial

Ketentuan yang disebut sebagai Adat Sosial dalam operasional dan kehidupan nelayan peraturannya adalah sebagai berikut: 1. Pada saat terjadinya kerusakan kapal/boat atau alat penangkapan lainnya di laut, yang bersangkutan memberikan suatu isyarat yaitu menaikkan bendera sebagai tanda meminta bantuan. Bagi boat yang melihat aba-aba tersebut langsung datang mendekati untuk memberikan bantuan. 2. Jika terjadi musibah tenggelam nelayan di laut, seluruh boat mencari mayat tersebut minimal satu hari penuh dan jika ada boat yang mendapatkan mayat tersebut, boat yang bersangkutan berkewajiban mengambil dan membawa mayat tersebut ke daratan. Adat sosial para nelayan ini ditetapkan sebagai upaya saling membantu antara mereka jika terkena musibah yang sebenarnya setiap saat mengancam jira mereka sendiri. Kesamaan nasib inilah yang membuat para nelayan dan pelaut biasanya memiliki rasa solidaritas yang tinggi lebih-lebih di kalangan nelayan tradisional.

3). Ketentuan Adat Pemeliharaan Lingkungan

12

1. Dilarang melakukan pemboman, peracunan, pembiusan, penglistrikan, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lainnya yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota laut lainnya. 2. Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir pantai seperti pohon arun/cemara, pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya yang hidup di pantai. 3. Dilarang menangkap ikan/biota laut lainnya yang dilindungi (lumba- lumba, penyu dan lain sebagainya). Adanya ketentuan semacam ini dari Panglima Laot Aceh memperlihatkan betapa lembaga tradisional dapat bersinergi dengan program pemerintah yang sering tidak mudah diterima oleh rakyat. Jika biasanya program pemerintah cenderung turun sepihak dari atas, dengan memberdayakan lembaga tradisional ia justru dapat muncul dari bawah dan di Aceh terlihat jelas lembaga Panglima Laot bergerak atas inisiatif sendiri sebagai pengawal program pemeliharaan lingkungan.

4). Ketentuan Adat Khanduri Laot

Mengenai adar khanduri laot dalam Keputusan Musyawarah Panglima Laot Aceh dinyatakan bahwa: “Adat kenduri di masing-masing daerah tingkat II dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai ciri khas tersendiri dan bervariasi satu dengan yang lainnya menurut keadaan masing-masing daerah, dan tetap memperhatikan nilai-nilai yang Islami”. Dapat dicatat di sini bahwa frasa terakhir keputusan tersebut, agar khanduri laot tetap memperhatikan „nilai- nilai yang Islamy’, tampaknya adalah jawaban para Panglima Laot Aceh untuk menepis sanggahan dari beberapa Ulama ketika melihat dulunya khanduri laot agak bercampur dengan khurafat dan bid‟ah, misalnya dengan melarung kepala kerbau ke tengah laut guna mengharap berkah agar hasil nanti bertambah- tambah.

5. Ketentuan Adat Barang Hanyut

13

Setiap barang (termasuk perahu, boat panglong, dan lain-lain) yang hanyut di dan diketemukan oleh seorang nelayan, harus diserahkan kepada Panglima Laôt setempat untuk pengurusan selanjutnya. Ketentuan ini juga sebagai perlindungan bagi sesama nelayan yang mungkin saja telah terhanyut bahkan tenggelam, tetapi boat atau perahunya sebagai barang modal utama mereka sedapat mungkin harus diselamatkan.

VI. Hukom Adat Laot Tentang Tata Cara Penangkapan Ikan. Mengenai tata cara penangkapan ikan di laut ini para Panglima Laot Aceh menetapkan 19 pasal ketentuan yang cukup rinci. Untuk ilustrasi beberapa ketentuan yang dipetik dari Hasil Musyawarah Panglima Laot tahun 2005 ditampilkan di sini: 1. Pembagian Hasil Kerja Perahu dan Boat. Bila sebuah kawanan ikan di krah oleh sebuah perahu pukat Aceh dan dikejar oleh pukat-pukat lain untuk melaboh kawasan ikan tersebut, sedangkan cuaca/keadaan alam tidak mungkin bagi pukat Aceh yang mengejar tadi akan berhasil melaboh kawanan ikan tersebut. Dan apabila ada sebuah boat yang membantu melaboh kawanan ikan tersebut dengan seizin pawang pukat yang mengejar tadi, jika berhasil dilaboh kawanan ikan itu, maka pembahagiannya adalah dibagi tiga yaitu satu bahagian bagi pukat yang krah, satu bahagian bagi yang mengejar tadi, dan satu bahagian untuk boat yang membantu melaboh tersebut dengan ketentuan sanggup mencapai umbai pukat boat. 2. Pembagian Hasil Kerja Sama beberapa Pukat dan Boat Pukat Aceh sedang laboh, lantas datang sebuah boat dan sebuah pukat Aceh lainnya serta sampai di tempat pukat yang sedang laboh tadi bersama-sama mereka membantu pukat yang sedang laboh itu, maka jerih payah atas bantuan boat dan pukat Aceh yang membantu adalah hasil dari laboh itu dibagi dua. Dan antara pukat dengan pukat Aceh yang membantu tadi mereka ini hasil bagi dua tadi mereka bagi dua lagi, berarti mereka semuanya mendapat hasil. 3. Perolehan Hasil Antara Boat dengan Boat Sebuah kawanan ikan dilihat oleh beberapa boat dan boat itu sama-sama mengejar kawanan ikan tersebut. Sesampai di tempat kawanan ikan itu salah satu dari pukat boat itu yang posisinya tepat untuk laboh ikan tersebut. Bagi

14 boat yang laboh kawanan ikan ini hasilnya ½ bagian dari hasil seluruhnya, dan bagian yang setengah lagi dibagi untuk beberapa boat yang sama-sama dapat mempertahankan kedudukannya. 4. Pemasangan Tuasan, Rumpon dan Bubu a. Tuasan, rumpon dan bubu dipasang di harus diberi tanda pengenal berupa pelampung bulat besar atau bambu yang dipasang sedemikian rupa sehingga mudah dilihat. b. Bila terjadi tabrakan antara tuasan, rumpon, bubu dengan pukat atau alat penangkapan ikan lainnya tidak dengan sengaja, maka kerusakan tuasan, rumpon, dan bubu tidak diganti. c. Tetapi kerusakan tuasan, rumpon, dan bubu ditabrak oleh pukat atau alat tangkapan ikan lainnya dengan sengaja, maka harus diganti rugi sebesar 100 persen dari harga tuasan, rumpon dan bubu tersebut. d. Pemasangan tuasan, rumpon dan bubu harus mengambil surat izin dari Dinas Perikanan dan Kean Tingkat II setempat. Apabila tidak mempunyai surat izin dari Dinas Kean dan Perikanan Tingkat II, maka kerusakan tuasan, rumpon dan bubu tersebut tidak berhak mendapat ganti rugi. e. Tuasan, rumpon dan bubu yang tidak diberi tanda pengenal bila terjadi tabrakan tidak akan diganti dan dia harus mengganti kepada yang menabraknya. f. Pukat , pukat langgar, dan jenis pukat lainnya boleh menangkap ikan di malam hari dengan jarak ± 500 meter dari tuasan/unjam dan lain-lain alat pengumpul ikan. 5. Mengambil Ikan di Tuasan Kapal Lain Mengambil ikan di tuasan milik kapal lain, ketentuannya adalah: a. Jika satu kapal mengambil ikan di tuasan milik kapal lain, kepada kapal tersebut supaya memohon izin terlebih dahulu jika ada pemiliknya. Hasil yang didapat dari tuasan tersebut harus dibagi dua, sesudah terlebih dahulu dipotong ikan cucuk 20 persen untuk kapal yang melabuh pukat tersebut. b. Jika kapal mengambil ikan di tuasan milik kapal lain, sedangkan pemiliknya tidak ada, maka kepada juragan kapal itu dimohon kesadaran sesampai di darat untuk melapor kepada pemiliknya.

15

Hasil yang didapat tersebut tetap harus dibagi dua setelah dipotong ikan cucuk sebanyak 20 persen atau dalam hal tersebut bisa dilakukan toleransi antara juragan dengan juragan pemilik tuasan. c. Jika suatu kapal mengambil ikan, di tuasan yang milik kapal lain sedangkan pemiliknya tidak ada dan sesampai di darat tidak juga melapor pada pemiliknya. Sedangkan di ada juragan kapal lain yang melihat kejadian tersebut, dan mereka melapor kepada pemilik tuasan, pemilik tuasan dapat menuntut kapal yang mengambil ikan di tuasannya. d. Walaupun hasil melabuh tidak ada, tetapi sewaktu pulang kapal tersebut ada membawa pulang ikan yang didapat dari tuasannya sendiri, ini bisa dianggap ikan tersebut berasal dari tuasan kapal lain. Panglima Laôt (tokoh masyarakat), segera untuk melapor kepada penguasa untuk menyita sementara hasil yang dibawa oleh kapal tersebut sambil menunggu hasil sidang yang diadakan oleh Panglima Laôt. e. Bila dalam sidang ternyata hasil yang diperdebatkan tersebut berasal dari tuasan kapal lain, maka pembagian bagi hasil tersebut adalah sebagai berikut: a) Potong harga es yang digunakan untuk ikan. b) Potong komisi pengurus. c) Potong hak sidang 10 persen dan hak saksi 20 persen. d) Untuk ikan cucuk tidak berlaku pemotongan. e) Sisa yang tinggal setelah pemotongan, baru dibagi dua, sebagian untuk penggugat dan sebagian lagi kembali untuk tergugat. f. Bagi pukat langgar atau pukat banting yang mengambil ikan di tuasan kapal nelayan jaring, hasil yang didapat dibagi tiga, dua bagian untuk kapal yang melaboh pukat dan satu bagian lagi kembali untuk pemilik tuasan.

Dalam kenyataannya ketentuan adat laot yang terinci seperti ini sebenarnya jarang diterapkan. Salah satu yang pernah terjadi sebagai contoh ialah kasus pada bulan Agustus 2003, yakni sengketa antara nelayan wilayah Panglima Laot Lhok

16

Teungku Laweueng Kecamatan Muara Tiga dengan nelayan Panglima Laot Lhok Gunteng Kecamatan Batee keduanya sama-sama di Kabupaten Pidie. Ketika itu boat pukat siang (untuk menangkap ikan tongkol) milik nelayan lhok Gunteng melihat sekawanan ikan lalu mendekat untuk melakukan laboh. Kebetulan pada saat yang sama lewat boat pukat malam (boat untuk menangkap ikan kecil) milik nelayan Lhok Teungku Laweueng yang sebenarnya sedang mencari posisi untuk laboh ikan malam. Namun mereka pun melihat kawanan ikan yang sedang di laboh nelayan Lhok Gunteng. Nelayan Lhok Laweueng ikut membantu dengan melakukan peh ie (memukul air, teknik mengarahkan kawanan ikan). Menurut adat laot Pidie jika terdapat dua boat yang sama-sama dekat dengan sekawanan ikan, pada dasarnya ikan itu belum ada pemiliknya. Peraturannya, kalau pukat A telah me laboh ikan tersebut tetapi belum dapat umbai kemudian datang boat B membantu dengan melakukan peh ie dan berdiri pada tampuk umbai, maka itu termasuk hukum kongsi dengan pembagian 20 % untuk yang melakukan laboh dan sisanya 80 % harus dibagi dua. Namun nelayan lhok Gunteng tadi tidak memberikan hak kongsi tersebut dengan alasan boat nelayan Lhok Laweueng bukan mencari ikan pada siang hari, hanya kebetulan saja lewat. Karena kasus ini terjadi antara nelayan dari wilayah lhok yang berbeda, kasus ini diselesaikan melalui Peradilan Panglima Laot Kabupaten Pidie. Keputusan sidang akhirnya menetapkan bahwa apa pun alasannya dan apa pun alat tangkap yang dimiliki, jika sama-sama bekerja tetap dianggap kongsi. Sebab boat malam pun punya alat untuk menangkap ikan. Putusan Peradilan Adat Laot ini kemudian diterima oleh kedua belah pihak ( Lihat: T.Muttaqin, 2008:50-51).

VII. Asas-Asas Peradilan Adat Laot

Dalam peradilan hukom adat adat laot Aceh terlihat adanya asas-asas tertentu yang berlaku sebagai pedoman dalam proses peradilan adat laot yang beberapa di antaranya mungkin tidak kalah dari dengan asas peradilan modern (DY.Witanto, 2007:229-232; Sanusi M. Syarif, 2003:28. Lihat juga T.Djuned, SH, 1991:11):

1. Prinsip Musyawarah Untuk Mufakat

Dalam sistem peradilan adat ini ciri khas yang paling menonjol adalah prinsip musyawarah mufakat yang dilandasi dengan sifat kekeluargaan. Putusan

17 persidangan adat laot didasarkan atas kesepakatan semua pihak termasuk pihak-pihak yang berperkara.

Dengan metode musyawarah ini kemudian akan lahir penyelesaian perkara yang bersifat win-win solution. Hanyalah dalam keadaan sangat terpaksa persidangan bisa juga diputus dengan tehnik pemungutan suara. Demikian juga dalam menentukan sanksi terhadap sipelanggar aturan adat, sanksi dijatuhkan berdasarkan kesepakatan antara semua komponen persidangan termasuk kesepakatan si pelanggar sendiri.

2. Persidangan Terbuka Untuk Umum.

Persidangan proses peradilan adat dilakukan dengan prinsip terbuka sehingga siapa saja boleh menyaksikannya. Tentu saja posisinya hanyalah sebagai pengunjung biasa. Adapun anggota persidangan adalah para nelayan dan pawang laot yang memang diundang untuk menjadi anggota persidangan dengan jumlah biasanya kurang lebih 5 orang.

Walaupun pada prinsipnya persidangan dilakukan secara terbuka untuk umum terdapat juga pengecualian berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya dapat merusak harga diri atau mempermalukan seseorang. Misalnya jika terjadi perselisihan antar nelayan yang menyangkut persoalan kesusilaan. Dalam hal ini persidangan dapat dilakukan secara tertutup.

3. Asas Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah ini tampaknya juga cukup diserap oleh masyarakat nelayan Aceh. Seseorang yang disangka telah melanggar aturan adat akan ditangkap oleh petugas keamanan adat yang bertugas di masing-masing wilayah adat lhok yang bersangkutan. Sipelanggar akan diajukan ke persidangan adat, namun selama dalam proses sampai dengan kemudian si pelanggar dinyatakan bersalah oleh persidangan adat dan diputuskan oleh pemimpin sidang maka orang yang diduga melanggar aturan adat tersebut harus dianggap belum bersalah.

Ketentuan ini di anut untuk memberikan hak kepada orang yang disangka melanggar untuk membela dirinya, yaitu dengan mengemukakan alasan maupun dengan mengajukan bukti-bukti yang dapat menguntungkan dirinya.

18

Memang biasanya penangkapan atas pelanggaran hanya dilakukan dalam hal tertangkap tangan. Namun tidak semua yang tertangkap tangan pasti bersalah. Sebab beberapa kemungkinan dapat terjadi: a. Terhadap pelanggaran adat pantang laot seseorang tidak dapat dipersalahkan jika ia benar-benar tidak tahu bahwa pada saat itu sedang pantang laot dan hal itu dibuktikan dengan alasan yang kuat. b. Pelanggaran adat laot dilakukan karena keadaan darurat atau karena menjalankan tugas Negara.

4. Putusan Pengadilan Adat Bersifat Final dan Mengikat

Tidak adanya upaya hukum dalam adat pengadilan adat mengisyaratkan bahwa pihak-pihak yang berperkara wajib tunduk dan patuh pada hasil keputusan persidangan adat. Sebab proses persidangan adat itu sendiri merupakan hasil musyawarah dan kesepakatan dari pihak-pihak yang berperkara. Dengan demikian putuan Peradilan Adat Laot ini bersifat “final” yang bermakna tidak ada upaya hukum lain dalam sistem peradilan adat ini

5. Asas Pelaksanaan Putusan Secara Sukarela

Seperti telah disebut sebelumnya dalam hukom adat laot ini memang tidak dikenal adanya lembaga eksekusi yang dapat mengambil tindakan paksa untuk pelaksanaan putusan. Putusan senantiasa dilaksanakan secara sukarela. Pertanyaannya benarkah setiap putusan akan selalu di laksanakan secara sukarela? Jawabannya terpulang kepada sejauh mana proses persidangan adat itu bekerja. Jika semuanya dilaksanakan melalui prosedur yang benar dengan alat-alat bukti yang terpercaya, tentu para pihak akan mematuhinya. Sampai sejauh ini belum tercatat adanya nelayan Aceh yang tidak mematuhi hasil persidangan adat laot.

Jikapun terdapat seorang bebal yang tetap membangkang tidak melaksakan putusan adat laot, sanksi moral dan sanksi sosial masyarakat laot pasti akan bekerja. Sanksi ini biasanya lebih ditakuti karena nelayan yang bersangkutan akan dikucilkan dari pergaulan dan akan mempersulit dirinya sendiri untuk memperoleh pekerjaan dan bantuan dari sesama nelayan. Penelitian T. Muttaqin Mansur (2008: 37) membuktikan sejak tahun 1999 di Kabupaten Pidie dan Kabupaten Aceh Utara misalnya, tidak ada satu pun putusan

19

Peradilan Adat Laot Lhok dan Peradilan Adat Laot Kabupaten/Kota yang tidak dipatuhi, baik putusan berupa sanksi adat maupun putusan yang berupa perdamaian.

VIII. Senjakala Peran Panglima Laot Aceh Masa Kini

Apa yang digambarkan di atas adalah sebagian dari contoh betapa fungsi dan peran lembaga Panglima Laot yang ideal, yang sebenarnya sepanjang sejarah telah berjalan dengan segala dinamikanya. Namun demikian, setidaknya setelah Tsunami besar melanda Aceh tahun 2004 yang lalu, telah terjadi gejala pasang surut yang semakin nyata pada posisi Panglima Laot ini. Beberapa hal yang menjadi penyebab kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut ini:

a. Persoalan Kesejahteraan Persoalan utama masyarakat nelayan sesungguhnya adalah kesejahteraan ekonomi. Salah satu yang sering terulang dihadapi misalnya masalah pasokan bahan bakar minyak (BBM) untuk kebutuhan melaut. Kelangkaan BBM tersebut telah menyebabkan ratusan nelayan tidak bisa melaut. Hal ini berdampak negatif bagi nelayan tanpa usaha sampingan yang terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Selain itu tidak tersedianya cold storage, masih tingginya angka pencurian ikan di laut serta susahnya akses permodalan bagi nelayan juga merupakan penyebab terjadinya kemiskinan para nelayan sampai saat ini. Dalam masalah semacam ini Lembaga Panglima Laot di Aceh lemah sekali perannya, bahkan mereka sendiri pun seringkali, sama juga ikut menderita. Itulah agaknya yang dimaksud oleh Ilham Zulfahmi, ketika menulis artikel tentang nelayan Aceh yang “Melarat di Darat, Meukarat (=megap-megap) di Laut” (Serambi Indonesia, Selasa, 14 Juni 2016)

b. Penggunaan Alat Tangkap yang Berbahaya

Masih tingginya penggunaan alat tangkap ikan tidak ramah lingkungan merupakan salah satu permasalahan kultural yang dihadapi saat ini. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya trawl (pukat harimau) yang beroperasi di perairan Aceh Utara dan Lhokseumawe (Harian Serambi Indonesia, 7 April 2016), serta masih maraknya penggunaan bahan peledak untuk bom ikan di perairan Simeulue (Harian Serambi Indonesia, 17 Maret 2016). Kultur nelayan Aceh yang masih menggunakan alat

20 tangkap tidak ramah lingkungan seperti ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan perairan, yang berdampak terhadap menurunnya stok ikan di masa yang akan datang. Selain itu rusaknya terumbu karang tentu saja akan berdampak terhadap menurunnya hasil tangkapan para nelayan. Sebenarnya ketentuan hukum adat laot sendiri sudah mengatur larangan untuk menangkap ikan dengan melakukan pengeboman, peracunan, pembiusan, penglistrikan, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lainnya yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota laut lainnya. Namun faktanya masih banyak juga terjadi pelanggaran di lapangan, dan peradilan adat laot yang dulu kuat dan dipatuhi kini tampak tak berdaya membendungnya.

c. Kemunculan Era Teknologi Baru yang Menurunkan Pamor Para Panglima Laot

Kemunculan teknologi baru nan canggih kini juga sudah masuk ke dalam masyarakat nelayan, tak terkecuali di Aceh. Misalnya yang marak digunakan sekarang adalah alat-alat teknologi modern semacam Global Positioning System (GPS) atau Fish Finder yaitu alat pendeteksi ikan dan penentu arah. Dengan alat ini nelayan bisa mengetahui koordinat lintang bujur, arah dan kecepatan angin misalnya. GPS sangat bermanfaat untuk nelayan untuk mengetahui posisi saat di laut, menentukan rute perjalanan, menandai tempat-tempat penting, seperti tempat yang banyak ikan, tempat kapal karam, tempat yang dangkal dan sebagainya.

Tanpa menggunakan alat ini diyakini nelayan harus menghabiskan solar hingga ratusan liter. Jadi mereka bisa melakukan penghematan biaya operasional yang besar dengan alat ini. Bahkan dengan menggunakan alat itu, nelayan bisa menentukan dan melacak posisi kerumunan ikan, sehingga mereka bisa langsung melakukan aktivitas penangkapan. Jika turun hujan dan cuaca mendung, alat itu juga bisa menunjukkan arah mata angin, sehingga tidak ada nelayan yang kesasar. (Muchtaruddin Cut Adek, Wakil Sekretaris Panglima Laot Aceh, Wawancara, tanggal 20 September 2016). Akibat langsungnya adalah posisi sosial para Panglima Laot tradisional yang dominan selama ini, misalnya dengan kemampuan membaca arah angin atau cuaca melalui rasi bintang yang seringkali sifatnya spekulatif, tentu saja makin terdesak oleh tenaga-tenaga muda yang lebih melek teknologi.

d. Keterbatasan Sarana dan Prasarana

21

Ironi lain yang dihadapi nelayan Aceh masa kini adalah ikan hasil tangkapan melimpah tapi nasib nelayan tetap susah. Banyaknya hasil tangkapan tidak berbanding lurus dengan tingkat penghasilan nelayan. Di sejumlah pelabuhan, nelayan terpaksa membuang sebagian ikan hasil melaut, termasuk di pelabuhan Lampulo, kota Banda Aceh sebuah pelabuhan yang telah ditabalkan kata „internasional‟ oleh pemerintah Aceh. Masalahnya adalah belum adanya cold storage baik di darat maupun di kapal laut seperti yang dimiliki banyak kapal-kapal ikan luar negeri. Tentu saja masalah semacam ini jauh di luar kemampuan para Panglima laot, bahkan mereka sendiri pun menjadi korban dari kenyataan ini.

e. Pergeseran Budaya Salah satu contoh pergeseran budaya yang mulai terlihat adalah tingkat kepatuhan masyarakat nelayan kepada ketentuan hukum adat laot sendiri. Pada masa lalu tidak pernah terdengar adanya sanggahan terhadap putusan Peradilan Adat laot. Tetapi lambat laun tingkat kepatuhan ini tampak kian menurun, terutama di kalangan nelayan yang berdekatan dengan perkotaan. Sebagai contoh pada awal tahun 2016 yang lalu, terjadi pelanggaran oleh beberapa kapal tangkap yang me-laboh pukat di wilayah konservasi adat Uleelheu, Banda Aceh. Padahal di wilayah tersebut aturan adat dari Panglima Laot setempat hanya membenarkan untuk memancing dan dilarang untuk memakai jaring, apalagi pukat. Contoh berbeda terjadi di wilayah Idi, Aceh Timur. Di sini putusan Panglima Laot Lhok setempat yang dianggap berlebihan oleh sebagian nelayan. Yakni menambah hari pantang melaut menjadi dua hari seminggu yaitu hari Kamis dan Jumat, dengan alasan banyak kapal ikan yang sengaja berangkat Kamis malam dan baru kembali dua atau tiga hari kemudian, sehingga para anak kapalnya akan kehilangan shalat Jumat. Putusan ini diprotes para nelayan kecil, yang biasa berangkat Kamis pagi, malamnya atau Jumat pagi sudah mendarat kembali. (Umardi, Sekretaris Panglima Laot Aceh, Adli Abdullah, mantan Sekretaris Panglima Laot Aceh, Wawancara, tanggal 20 September 2016).

XI Penutup Dunia nelayan Aceh di bawah pimpinan figur Panglima Laot, sesungguhnya memiliki tradisi lokal yang khas yang telah berjalan turun temurun selama berabad- abad. Tradisi lokal ini tampak terpelihara dan dahulu memperkuat solidaritas,

22 kebersamaan dan motivasi hidup para nelayan Aceh. Pengawalan berbagai hukom adat laot Aceh ini dilakukan sendiri oleh komunitas nelayan melalui Peradilan Hukom Adat Laot di bawah pimpinan Panglima Laot. Para nelayan juga memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan dan memasukkan hal itu dalam aturan hukom adat laot yang baru, misalnya larangan pemboman dan peracunan ikan termasuk pembiusan, penglistrikan dan pengambilan terumbu karang yang merusak lingkungan hidup dan biota laut lainnya. Akan tetapi perkembangan budaya dan teknologi masa kini tampaknya sedikit demi sedikit menggerus pamor Panglima Laot dengan Peradilan Adat Laotnya yang dahulu cukup kuat menjaga norma-norma kehidupan para nelayan di Aceh. Oleh karena itu perlu ada upaya advokasi dan penguatan peran Panglima Laot agar lembaga Adat yang menyimpan potensi besar bagi kemajuan dunia nelayan dapat lebih terjaga.

KEPUSTAKAAN

Adli Abdullah, M., dkk., Selama Kearifan adalah Kekayaan; Eksistensi Panglima Laot dan Hukom Adat Laot di Aceh, Penerbit Lembaga Hukom Adat Laot Aceh dan Yayasan KEHATI, Cet. I, tahun 2006. Lukman Munir (Ed.), Menuju Revitalisasi Hukom dan Adat Aceh, diterbitkan oleh Yayasan Rumpun Bambu bekerjasama dengan CSSP Jakarta, tahun 2003. Muttaqin Mansur, T., Kedudukan Putusan Peradilan Adat Laot dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Penelitian di Kabupaten Pidie dan Kabupaten Aceh Utara, Tesis S2 (tidak diterbitkan), Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, tahun 2008. Nurdin MH, dkk., Peranan Hukom Adat laot Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Menurut UU No. 22/1999 dan Konvensi Hukum 1982, Laporan Penelitian, Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, 2003. Rusjdi Ali Muhammad, Prof., Dr., SH, Alternatif Perdamaian Dalam Penyelesaian Perkara Pidana: Upaya Reaktualisasi Kearifan Lokal dalam Hukum Pidana Indonesia, Artikel dalam Buku ”Dinamika Pemikiran dan Budaya Islam Malaysia-Indonesia”, Ed. Abdul Rahman Mahmood dkk., Proceeding Seminar Antara Bangsa Kerjasama IAIN Aceh-UKM Malaysia, 2008.

23

Sanusi M. Syarif, Riwang U Laot, Leuen Pukat dan Panglima Laot dalam Kehidupan Nelayan di Aceh, diterbitkan oleh Yayasan Rumpun Bambu bekerjasama dengan CSSP Jakarta, tahun 2003. Sekretariat Lembaga Hukom Adat Laot Aceh, Buku Rencana Strategis Panglima Laot Aceh 2005 – 2015 dan Ketentuan-ketentuan Hukom Adat Laot, Panglima Laot Aceh, 2005.

Teuku Djuned dkk., Pengelolaan Lingkungan oleh “Panglima Laot”, Laporan Penelitian, Universitas Syiah Kuala Darussalam B. Aceh: Lembaga Penelitian, 1995.

------, Panglima Laot dan Tanggung Jawabnya Terhadap Lingkungan di Aceh, Laporan Penelitian, Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, 1991.

Yayasan PEMADA, Implementasi Alternative Dispute Resolution (ADR) Berbasis Hukum Adat pada Lembaga Adat Panglima Laot di Kota Sabang, artikel Laporan Assessment, kerjasama Yayasan PEMADA dengan Satker Sarpras Hukum BRR NAD-Nias, tahun 2007. Witanto DY., Hukum Adat Sabang, diterbitkan oleh Pemda Kota Sabang dan Lembaga Adat Hukum Kota Sabang, tahun 2007.

24

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Bentuk-Bentuk Konflik Nelayan Pantura sampai Era Otonomi Daerah Sutejo K. Widodo

BENTUK-BENTUK KONFLIK NELAYAN PANTURA SAMPAI ERA OTONOMI DAERAH1

Oleh : SUTEJO K. WIDODO2

I. PENDAHULUAN.

1. Latar Belakang.

Dari hasil kajian terhadap masyarakat nelayan Pantai Utara Jawa yang telah dilakukan sampai saat ini terdapat temuan yang menarik, bahwa konflik antar sesama nelayan berupa perampasan, pemalakan, pembakaran, penyanderaan perahu dan alat tangkap, yang seringkali pula dilakukan penahanan terhadap nelayan, merupakan fenomena baru.

Sebagaimana laporan Mindere Welvaart Commissie tahun 1905, khususnya mengenai masyarakat nelayan, terdapat gambaran yang cukup lengkap mengenai jumlah nelayan, jenis alat tangkap dan perahu serta cara-cara mengusahakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Jawa dan Madura. Dalam laporan tersebut tidak ada daerah yang memberikan laporan mengenai adanya tindak kekerasan berupa konflik antar nelayan. Laporan memberikan rekomendasi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, salah satunya perlunya mengadopsi cara-cara penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dari Eropa dan Jepang.

Kemudian laporan tentang nelayan di pantai utara Jawa adari tahun 1905 terdapat dalam de Indische Gids (1905, 1915, 1933), Kolonial Tijdschrift (1913, 1915, 1920, 1926, 1930, 1935, 1037), Kolonial Studien (1916, 1917, 1921, 1940), antara tahun 1949 sampai tahun 1959 dalam majalah Berita Perikanan (1949-1959), dan antara tahun 1963 sampai tahun 1970 dalam majalah Gemah Ripah (1963-1970), tidak diketemukannya tindak kekerasan berupa konflik nelayan.

Hasil penelitian yang mengangkat tema konflik pada masyarakat nelayan Muncar disampaikan oleh Emmerson (1977), merupakan karya awal tentang konflik nelayan. Kemudian makalah Gondhokoesoemo (1979) yang membahas mengenai konflik sosial nelayan modern dan tradisonal merupakan makalah yang dapat menandai perhatian akademisi terhadap konflik nelayan. Dengan demikian dapat dipertegas bahwa kemunculan

1 Disampaikan dalam Konferensi Sejarah Nasional X, tgl 7-10 November 2016 di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, Jalan Jenderal Kav. 86, Tanah Abang, Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10220.

2 Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. konflik pada masyarakat nelayan baru muncul pada sekitar pertengahan tahun 1970-an. Puncak konflik antara nelayan kecil-tradisional dengan nelayan besar-modern diusahakan untuk diakhiri dengan dikeluarkannya Keppres No. 39/1980 tentang penghapusan trawl atau pukat hariamau. Namun konflik dan kekerasan setelah itu masih juga muncul dalam skala lokal-vertikal, antar nelayan pemakai jaring cotok, arad dan semacamnya dengan nelayan pemakai jenis alat tradisional sebagimana terjadi di Rembang (Widodo, 1997), dan setelah reformasi konflik nelayan bukan mereda akan tetapi melebar menjadi konflik horisontal (Semedi, 2001). Pada masa belakangan ini protes nelayan bergeser kepada regulasi pemerintah yang menolak penghapusan penggunaan jaring cantrang (Widodo, 2014).

2. Masalah. Berdasarkan pada latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: 1. Bagaimana bentuk “embrio” konflik nelayan Pantura sampai dengan tahun 1960-an ketika kegiatan penangkapan ikan masih dapat dikelompokan ke dalam masyarakat berburu, yaitu masyarakat yang prinsip kerjanya berkisar menangkap dan mengumpulkan.

2. Bagaimana bentuk konflik nelayan Pantura sekitar tahun 1970-an dimana dalam pengkapan ikan bersaing memperebutkan sumber kekayaan laut yang merupakan common property yang bersifat open acces yang sudah menggunakan teknologi mekanik.

3. Bagaimana bentuk konflik nelayan Pantura setelah penghapusan trawl tahun 1980 dimana penerapan regulasi pemerintah yang mengatur penangkapan memperoleh reaksi dari sebagian nelayan.

3. Metode dan Sumber Penulisan.

Penelitian sejarah dengan pendekatan sosiologis menelusuri tindak kekerasan berupa konflik inter dan antar nelayan pantai utara Jawa yang berlangsung sampai otonomi daerah era reformasi, dengan langkah-langkah sbb: (1) pengumpulan sumber (heuristik), yaitu mencari sumber tercetak berupa laporan, artikel, hasil penelitian dan sebagainya sebagai bahan informasi terkait dengan topik tindak kekerasan nelayan pantai utara Jawa, (2) mempelajari secara kritis terhadap informasi dari sumber yang telah terkumpul, diseleksi untuk memperoleh informasi yang valid dan kredibel, (3) melakukan interpretasi yaitu dengan mencari keterkaitan antar informasi ke dalam penjelasan argumentatif faktual, (4) membuat deskripsi ke dalam uraian penjelasan terhadap muncul dan berkembangnya tindak kekerasan nelayan pantai utara Jawa, sebagai gambaran yang mengikuti unsur kronologis yang berlangsung dalam hubungan kausal. Sejumlah artikel, makalah, laporan, naskah sebagai sumber disertakan dalam lampiran3.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN.

Berdasarkan pada tipe konflik nelayan di Pantura dapat dikelompokkan ke dalam tiga tipe periode sebagai berikut.

1. Bentuk “embrio” konflik nelayan Pantura sampai dengan tahun 1960-an.

Sebagaimana dikemukakan oleh Masyhuri, bahwa kegiatan usaha perikanan pada akhir abad XIX ditandai dengan bergesernya usaha penangkapan dari perairan laut-dalam lepas pantai ke perairan dekat pantai sebagai akibat berkurangnya jumlah perahu berukuran besar jenis dan tidak adanya pembuatan perahu baru. Kemunduran tersebut disebabkan oleh perubahan mendasar dalam sistem investasi, sehingga penanaman modal di sektor perikanan tidak memberikan prospek yang menguntungkan (1996: 121). Kondisi itu dan kemunduruan kesejahteraan penduduk yang meluas telah mendorong adanya perubahan politik kolonial liberal ke politk etis, sebagaimana pidato Ratu Belanda di hadapan parlemen pada tahun 1901; yang kemudian ditindaklanjuti dengan suatu kebijakan yang berorientasi kepada upaya mengatasi kemunduran kesejaheraan atau kemiskinan yang terjadi pada kaum pribumi (Ge Prince dalam Linblad, 1992: 166) merupakan faktor penting yang mewarnai perjalanan usaha perikanan di Jawa pada masa kemudian.

Sejalan dengan pelaksanaan politik etis, dibentuk komisi yang disebut Mindere Welvaart Onderzoek dengan tugas menyelidiki sebab-sebab terjadinya kemunduran kesejahteraan / kemiskinan terhadap penduduk di Jawa dan Madura, serta mencari solusi pemecahannya. Komisi yang dibentuk pada tahun 1902, dan mulai melakukan penyelidikan pada bulan Juli 1904, kemudian melaporkan berbagai hal berkaitan dengan faktor-faktor yang terkait khususnya dengan penopang kegiatan perekonomian nelayan, seperti jumlah dan jenis alat tangkap, perahu dengan segala ukurannya, jumlah nelayan, pedagang, pengolah, perdagangan ikan, dsb. (Cribb, 1992: 309). Kerja komisi menghasilkan laporan disertai

3 Lihat tulisan penulis dalam Daftar Pustaka. dengan sejumlah saran yang dimaksudkan sebagai langkah untuk dapat meningkatkan kehidupan nelayan. Telah dirumuskan 33 saran yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. Sebelas saran penting berkaitan dengan perbaikan dan pembangunan kehidupan ekonomi perikanan secara langsung, yaitu: 1. Pemberian pinjaman uang oleh pemerintah melalui bank khusus nelayan kepada nelayan pribumi tanpa beban bunga; 2. Mengatur pengadaan kayu untuk pembuatan perahu dengan harga murah; 3. Pembebasan ongkos pembuatan garam murah; 4. Perlunya suatu organisasi penyelidikan secara ilmiah; 5. Memberikan ketrampilan kepada nelayan; 6. Perbaikan pengangkutan ikan; 7. Perbaikan pelabuhan-pelabuhan kecil dan melakukan pengerukan muara sungai; 8. Membangun tempat pendaratan ikan, tempat pengeringan ikan dan pabrik pengolahan ikan; 9. Perlunya perluasan daerah pemasaran dengan suatu pusat usaha penjualan dengan menghubungkan dengan daerah luar; 10. Membangun pasar ikan Tanjung Priok, pasar ikan di Jakarta; 11. Perlunya dicoba mengadopsi teknik penangkapan ikan seperti di Eropa atau model Jepang dengan motor dan perahu motor (Onderzoek naar de .... , 1906, vi, 1a: 65,73; 1b: 2-38)

Pelaksanaan dari salah satu saran tersebut yaitu dilakukannya adopsi teknik penangkapan. Pada tahun 1907 dilakukan penelitian dan percobaan penggunaan jaring tangkap yang lebih besar dan modern. Percobaan dilakukan di beberapa tempat, terutama di Laut Jawa dan Selat Madura. Dipilihnya tempat tersebut untuk percobaan didasarkan pada pertimbangan bahwa di tempat ini kegiatan penangkapan telah berlangsung lama. Percobaan telah memperoleh perhatian yang luas, akan tetapi di sisi lain juga menimbulkan kekhawatiran bagi nelayan setempat. Oleh karena itu, pada tahun 1913 percobaan penggunaan jaring modern dihentikan. Walau percobaan dihentikan tetapi terdapat pengaruh inovasi kepada nelayan lokal berupa usaha merapatkan mata jaring pada kantong, sehingga jaring dapat menangkap keseluruhan ikan, termasuk ikan kecil yang belum dewasa yang belum bernilai untuk dipasarkan.

Akibat dari penangkapan dengan mata jaring yang makin rapat tersebut, kemudian menimbulkan kekhawatiran terhadap deposit sumber ikan. Atas kenyataan tersebut, Roosendal mengusulkan beberapa alternatif agar ikan layang di kawasan Laut Jawa tetap terpelihara; yaitu dengan pembatasan waktu penangkapan. Perlu dilakukan larangan penangkapan ikan secara besar-besaran ketika ikan layang memasuki masa perkawinan, bertelur, dan berkembang hingga masa dewasa pada bulan Mei sampai September. Alternatif lainnya yaitu dengan menjarangkan mata jaring sehingga ikan muda dapat lolos dari tangkapan (Roosendal, Mededeelingen .....:40-41). Perkembangan yang kemudian adalah adanya perhatian terhadap sektor perikanan yang lebih sungguh-sungguh, tercermin dengan dibentuknya Afdeeling Visschery (Bagian Perikanan) di lingkungan Departement van Nijverheid en Handel pada tahun 1914. Kebijakan ini juga merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Komisi Mindere Welvaart. Adapun cakupan tugasnya menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan perkreditan, penyuluhan perikanan, penyaluran garam, pendirian pusat-pusat pengasinan ikan, pembangunan, dan perbaikan pasar ikan, serta pembangunan pelabuhan pendaratan ikan. Dalam perkembangan kemudian, secara kelembagaan instansi yang menangani masalah perikanan diorganisasikan pada tahun 1928, dan dalam tahun 1934 dibentuk het Instituut voor Zeevisscherij (Lembaga Perikanan Laut). Lembaga ini menerima anggaran keuangan, bertugas mengembangkan penangkapan perahu mayang dan peralatan pendukungnya ke dalam sistem yang modern (ENI, 1927: 1735).

Adapun mengenai penangkapan ikan di sepanjang pantai diatur dalam Staatsblad 1937 No. 570. Dalam ketentuan disebutkan bahwa penangkapan ikan oleh nelayan tidak boleh lebih dari 3 mil lepas pantai. Usaha penangkapan yang melebihi dari 3 mil lepas pantai harus memperoleh izin dari pemerintah.

Perkembangan kemudian pada masa pendudukan Jepang, semua perkumpulan penangkapan ikan yang pernah ada dilebur ke dalam organisasi bernama Gyoo Gyoo Kumiai. Kumiai perikanan tersebut mempunyai tugas utama dalam pengumpulan ikan dan pengadaan ikan untuk keperluan balatentara Jepang (Gunseikanbu, 2605/1945: 63-65)

Memasuki Indonesia merdeka, urusan perikanan laut disatukan dengan perikanan darat. Namun mulai bulan Januari 1949 kedua jawatan tersebut dipisahkan kembali. Instituut voor de Zeevisscherij yang dibentuk pada tahun 1934 diubah menjadi Yayasan Perikanan Laut (YPL). YPL mulai tahun 1959 diubah menjadi PT Usaha Pembangunan Perikanan Indonesia (PT UPPI). Untuk mendukung usaha tersebut didirikan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Negara Perikanan Negara (BPU PN Perikani). Pada sektor perkreditan telah didirikan PT Bank Tani Nelayan (BKTN) yang pada tahun 1959 telah mengeluarkan kredit sektor perikanan sebanyak Rp. 15.000.000,-. Kemudian dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia, BKTN telah memberikan kredit sebanyak Rp. 265.500.000,- yang digunakan untuk kepentingan penampungan produksi perikanan (Gemah Ripah, 1968. No.1-2. Th. VI: 15).

Kebijakan penting di sektor perikanan ditetapkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1961, yaitu dengan tidak memberikan izin impor ikan dari Vietnam Selatan, Siam, Malaya, dan Singapura sebagaimana berlangsung pada masa sebelumnya. Kebijakan tersebut telah membantu dan berpengaruh terhadap pengembangan dan peningkatan produksi ikan yang dilakukan oleh nelayan bangsa Indonesia (Gemah Ripah, 1970, No. 9: 14-22). Penghentian impor ikan sejalan dengan pelaksanaan ekonomi Berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Walau disadari sektor perikanan mempunyai peran penting dalam menopang ekonomi masyarakat, namun sektor ini belum dikelola oleh departemen tersendiri.

Berdasar Keputusan Presiden RI No. 141 dan No. 215 tahun 1964, dibentuk Departemen Perikanan Darat-Laut sebagai dekonsentrasi Departemen Pertanian dan Agraria. Departemen Perikanan Darat-Laut dibentuk pada masa Kabinet Kerja IV Soekarno, berlangsung dari 13 November 1963 sampai 2 September 1964. Umur Departemen Perikanan Darat-Laut yang hanya sekitar umur bayi dalam kandungan tersebut tidak memberi waktu cukup untuk dapat mengimplemantikan program depertemen yang telah dirumuskan dalam Rapat Dinas Departemen Perikanan Ke I di Cibogo tahun 1964.

Bentuk kebijakan lain adalah menjadikan perkumpulan koperasi yang ada ke dalam koperasi perikanan. Munculnya kebijakan tersebut disebabkan sebagian besar pemasaran ikan masih dikuasai oleh kelompok kecil pedagang besar dari etnis Cina yang tergabung dalam organisasi dagang Ek Hoo Goan. Terbentuknya dominasi kelompok dagang ikan ini sebagai akibat dari kebijakan pemerintah kolonial di masa lampau yang mengatur monopoli impor dan perdagangan ikan dalam negri melalui sistem lelang. Distribusi ikan sejak dari pelabuhan kedatangan sampai ke pengecer di kota-kota kecil dikuasai oleh jaringan pedagang Cina. Demikian pula perdagangan ikan dalam negri mulai hasil pembelian dari nelayan penangkap sampai pedagang pengecer juga dikuasainya. Sejalan dengan perubahan politik, nama Ek Hoo Goan diganti dengan nama Persatuan Pengusaha Hasil Perikanan Indonesia atau Perapin (Eddiwan, 1963: 9).

Dari uraian tentang nelayan dalam hubungan dengan sesama nelayan dan nelayan dengan pemerintah sebagai pengendali kekuasaan sampai tahun 1960-an belum terlihat secara jelas adanya laporan dan diskusi yang berisi konflik atau pertentangan terbuka. 2. Bentuk konflik nelayan Pantura sekitar tahun 1970-an

Memasuki Orde Baru, masalah perikanan ditangani secara sungguh-sungguh dan sistematis sebagai bagian kegiatan pembangunan di bidang pertanian. Usaha di bidang ini berkembang agak cepat setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kegiatan penangkapan oleh penanaman modal asing di sektor perikanan pada awalnya belum ada ketentuan yang bersifat membatasi, sehingga mereka juga melakukan penangkapan di daerah dekat pantai yang mempunyai potensi ikan, terutama udang. Sementara sampai batas 3 mil dari pantai telah dilakukan perikanan rakyat, sehingga usaha penangkapan oleh pemodal asing telah mendesak perikanan rakyat. Perikanan rakyat dengan alat tangkap tetap dan alat tangkat sederhana seperti sero, , pukat, jermal telah berlangsung , dan sebagian telah dapat beroperasi lebih dari tiga mil dari pantai, dan bahkan dengan perahu dan kapal yang dimiliki telah mencapai 50 mil sampai 60 mil dari pantai. Konsekuansi lain dari masuknya modal asing adalah dioperasikannya alat-alat tangkap modern yang telah padat penangkapan. Dengan demikian, persaingan antara usaha perikanan oleh rakyat yang menggunakan alat tangkap sederhana dengan nelayan pemodal asing yang menggunakan peralatan modern tidak dapat dihindari, karena kedua jenis alat tangkap terswebut bergerak dalam daerah operasi yang sama.

Sejalan dengan lahirnya Undang Undang No. 1/1967 tentang PMA dengan segala fasilitas, kelonggaran, dan keringanan yang disediakan, menimbulkan perhatian yang cukup menarik bagi usaha modal asing di sektor perikanan. Sebagaimana aturan yang tertulis, kegiatan penangkapan ikan oleh penanam modal asing kemudian bersifat membatasi, sehingga mereka tidak melakukan penangkapan di daerah 3 sampai 5 mil dari pantai. Di kawasan pantai tersebut telah berlangsung kegiatan perikanan rakyat, sehingga usaha penangkapan oleh pemodal asing tidak mendesak perikanan rakyat (Laporan Tahunan Departemen Maritim 1967: 58).

Pada tahun 1976 telah terdapat 17 buah perusahaan asing yang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia dengan jumlah investasi sebesar US$45 juta. Nilai ekspor hasil perikanan mencapai US$131 juta, yang pada tahun 1968 masih sekitar US$2,8 juta. Tanggapan masyarakat terhadap penanaman modal asing, pada dasarnya menyetujui dan memberikan harapan yang baik. Namun demikian, dalam pelaksanaannya terdapat tiga pendapat. Pertama, golongan yang menyetujui sepenuhnya kebijaksanaan dan ingin melihat hasil pelaksanaan terlebih dahulu. Kelemahan atau hal yang merugikan dari suatu persetujuan akan dapat diusahakan perbaikannya dikemudian hari. Kedua, golongan yang melihat bahwa dalam surat persetujuan terdapat kelemahan-kelemahan yang mungkin akan menimbulkan kerugian kepada negara dan masyarakat nelayan kemudian hari. Untuk itu ingin adanya jaminan yang cukup bagi perkembangan perikanan rakyat Indonesia sendiri. Ketiga, golongan yang berpendapat, bahwa harus ada keseimbangan dalam kebijaksanaan antara perusahaan perikanan modal asing dengan pembangunan perusahaan perikanan rakyat Indonesia, karena perikanan bangsa Indonesia sangat terbelakang dan membutuhkan pembinaan yang lebih serius dan dinamis (Eddiwan “Mematangkan Nelayan Menerima” Gemah Ripah, No. 1-2, Th VI/1968, hlm. 4) Akan tetapi pesatnya pengembangan usaha perikanan tersebut telah menimbulkan dampak negatif, yaitu nelayan-nelayan kecil hampir tersisih terutama dengan beroperasinya kapal-kapal pukat harimau (trawl). Untuk melindungi nelayan kecil pada tahun 1976 dikeluarkan ketentuan tentang alur-alur penangkapan (fishing belt) di seluruh perairan dan penataan kegiatan penangkapan bagi kapal-kapal pukat harimau. Namun kapal pukat harimau masih tetap melakukan penangkapan ikan besar dan kecil di perairan yang biasanya menjadi tempat nelayan-nelayan kecil beroperasi, sehingga acapkali menimbulkan konflik. Sejak tahun 1970-an, volume hasil tangkap mengalami peningkatan yang mengesankan. Namun demikian, kenaikan tersebut diikuti oleh kerusakan lingkungan hayati laut dan makin terdesaknya penghidupan nelayan kecil, sehingga kemudian muncul paraturan tentang pembinaan kelestarian kekayaan yang terdapat dalam sumber perikanan Indonesia (SK MENTAN No. 01/Kpts/Um/75, dan ditindaklanjuti dengan penetapan jalur-jalur penangkapan ikan dengan SK MENTAN No. 607/Kpts/Um/9/76) sebagaimana sudah disebut. Dalam Surat Keputusan MENTAN No. 01/Kpts/Um/75 tertanggal 2 Januari 1975 tentang Pembinaan Kelestarian Kekayaan yang Terdapat dalam Sumber Perikanan Indonesia berupa pembatasan dan pengendalian, dalam bentuk:

1. Penutupan daerah-daerah perairan laut tertentu bagi salah satu, beberapa atau semua jenis kegiatan penangkapan;

2. Penutupan musim tertentu atas sebagian atau seluruh daerah penangkapan bagi salah satu, beberapa atau semua jenis kegiatan penangkapan.

Kemudian pengendalian kegiatan penangkapan berupa: 1. Penentuan jenis, ukuran dan jumlah kapal yang akan dioperasionalkan; 2. Penentuan lebar mata jaring dan jenis peralatan pengkapan lainnya;

3. Penentuan kuota hasil penangkapan. Keputusan tersebut ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Surat Keputusan MENTAN No. 607/Kpts/Um/9/76 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan, dengan perincian:

1. Jalur penangkapan I, adalah perairan pantai selebar 3 mil laut yan g diukur dari titik terendah pada waktu air surut;

2. Jalur penangkapan II, adalah perairan selabar 4 mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan I; 3. Jalur penangkapan III, adalah perairan selebar 5 miil laut yang diukur dari garis luar penangkapan II, dan 4. Jalur penangkapan IV, adalah perairan di luar jalur penangkapan III.

Pengaturan dan pembatasan beroperasinya kapal dan alat tangkap ikan sebagaimana diatur dalam SK tersebut, pengawasannya tidak dapat dilakukan sepenuhnya. Pelanggaran penggunaan alat dan daerah operasi telah menimbulkan keresahan dan bentrokan dengan nelayan kecil setempat, sehingga kemudian dikeluarkan ketetapan yang melarang beroperasinya jaring trawl (Keppres RI No. 39/1980; Kepmen Pertanian No: 503/Kpts/Um/7/1980; dan untuk Jawa Tengah Keputusan Gubernur Jateng No. 523.4/200/1980). Dalam hal ini, pemerintah mempunyai kepentingan politik menciptakan suasana tenang menjelang Pemilihan Umum tahun 1982. Adapun batas akhir penghapusan trawl tanggal 30 September 1980, dan untuk perairan Jawa dan Bali mulai tanggal 1 Oktober 1980 trawl harus sudah hilang. Penetapan tanggal 30 September dan 1 Oktober dapat dikonotasikan dengan peristiwa G30’S/PKI dan 1 Oktober sebagai hari Kesaktian (Widodo, 2005: 198).

Mulai periode masuknya kapal-kapal besar dengan menggunakan mata jaring yang lebih rapat sebagai pelaksanaan PMA di sektor perikanan telah mendorong kegairahan usaha. Di sisi lain, kegiatan yang awalnya belum dibatasi telah menimbulkan keresahan di kalangan nelayan tradisional kecil disebabkan beroperasinya kapal-kapal besar tersebut masuk laut tepi pantai yang telah menjadi daerah tangkapan nelayan kecil-tradisional. Untuk mengatasi masalah dikeluarkannya SK MENTAN No. 01/Kpts/Um/75 tentang pembinaan kelestarian kekayaan yang terdapat dalam sumber perikanan Indonesia, dan ditindaklanjuti dengan penetapan jalur-jalur penangkapan ikan dengan SK MENTAN No. 607/Kpts/Um/9/76. Meski demikian, pengawasan terhadap pelaksanaannya tidak dapat dilakukan sehingga menimbulkan bentrok terbuka antara nelayan kecil-tradisonal yang menggunakan alat tangkap sederhana dengan nelayan besar-modern yang menggunakan alat tangkap dengan mata jaring rapat seperti trawl atau pukat harimau dan sejenisnya.

3. Bentuk konflik nelayan Pantura setelah tahun 1980 sampai era otonomi daerah sejak reformasi.

Dengan Keppres Nomor 39 Tahun 1980 trawl dilarang beroperasi di seluruh perairan teritorial Indonesia. Meski demikian, beberapa sumber menyebut bahwa pukat-pukat besar seperti trawl, apung dan gandeng masih beroperasi di wilayah tangkapan nelayan tradisional. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap peraturaan yang telah ditetapkan. Bagi nelayan tradisional, pukat-pukat besar merupakan “tsunami” mengerikan yang memorak-porandakan segala sistem dan lini kehidupan mereka. Syamsul Bahri Bakal Calon Wakil Bupati Segai dari jalur perseorangan menyikapi keluhan nelayan tradisional terhadap masih maraknya pukat-pukat besar menyatakan bahwa “Semua kembali kepada pemerintah dan penegak hukum agar tegas mengeksekusi peraturan yang berlaku”. (sumber: Analisa)

Demikian juga di kawawan Cilacap pantai selatan Jawa, pencurian ikan dan penggunaan trawl menjadi penyebab utama penurunan hasil tangkapan ikan tuna. Akibatnya, ekspor produk laut tersebut ke Jepang dan sejumlah negara Eropa turun hingga 50 persen. “Kami semakin kesulitan mendapatkan tangkapan ikan tuna,” kata salah seeorang pengusaha kapal penangkap ikan tuna di Cilacap, Atai Hartono, Jumat (12/2-2010). Atai menyatakan sulitnya mencari ikan tuna membuat pemilik kapal mengalihkan tangkapannya di daerah sekitar Sumatera. Beberapa faktor penyebab turunnya ekspor tuna di Cilacap yakni, ada konspirasi aparat dengan nelayan asing (“Ekspor Tuna Merosot Gara-gara Pukat Harimau”, Tempo, 12 Februari 2010). Ikan tuna memang makin sulit diperoleh karena berbagi macam sebab, di antaranya adalah adanya pencurian ikan di wilayah Indonesia yang dilakukan nelayan asing. Selain itu, nelayan pantura juga banyak yang menggunakan pukat cincin di Samudera Indonesia. Penggunaan pukat cincin atau trawl membuat segala jenis ikan tertangkap, merupakan salah satu alat tangkap ikan yang telah dilarang di wilayah perairan Indonesia, namun pada kenyataannya masih banyak nelayan yang melanggar dan mengoperasikan alat tersebut. Di daerah dimana nelayan menggunakan trawl untuk menangkap ikan, karang mati, atau sulit bertahan hidup. Keberadaan nelayan trawl sangat merugikan nelayan tradisional, banyak alat tangkap bubu yang hilang setiap malam dan rusaknya alat tangkap lainnya seperti bagan dan sero karena tertabrak oleh kapal trawl, sehingga nelayan tradisional merugi karena hasil tangkapan kurang, akibat alat tangkap mereka raib di perairan.

Penggunaan trawl telah berulangkali menimbulkan perselisihan antara nelayan trawl dengan nelayan tradisional; bahkan di beberapa tempat sudah mengarah ke tingkat anarkis. Upaya melakukan perdamaian sudah sering dilakukan melalui pembagian jalur tangkapan, tetapi selalu dilanggar oleh nelayan trawl, bahkan HNSI sebagai wadah seluruh nelayan justru memperparah permasalahan ini, sehingga nelayan tradisional semakin tertindas. Pembiaran terhadap kondisi ini, menjadi penyebab timbulnya konflik antara nelayan trawl dengan nelayan tradisional.

Penegakan terhadap tindakan yang berorientasi pada keberlanjutan sumber daya ikan mendapat dukungan dari nelayan tradisional yang dirugikan praktik kapal pukat hela dan variasinya. Ada sejumlah dampak positif pelarangan pukat ini. Pertama, dampak terhadap pemulihan sumber daya ikan. Menurut WWF Hongkong, diperkirakan dalam lima tahun setelah pelaksanaan larangan trawl di Hongkong, populasi cumi-cumi bisa meningkat hingga 35 persen, ikan karang 20 persen, dan ikan yang lebih besar, seperti kerapu, bisa 40-70 persen. Hongkong juga menerapkan larangan tersebut secara bertahap. Kedua, menurunnya konflik nelayan. Pengoperasian trawl dan sejenisnya sering menimbulkan konflik nelayan. Hal ini karena trawl sering beroperasi di wilayah nelayan tradisional.

Namun, upaya pelestarian tangkap lestari mendapat reaksi dalam bentuk demonstrasi nelayan cantrang di Jawa. Suara pendemo tersebut lebih keras terdengar daripada suara nelayan kecil tradisional yang mendukung penegakan peraturan. Memang harus diakui adanya dampak negatif berupa potensi hilangnya mata pencarian nelayan. Apalagi, sebelumnya ada Permen No 42/Permen-KP/2014 yang sifatnya hanya membatasi penggunaan pukat. Baik permen lama maupun permen baru sama-sama melarang penggunaan kapal cantrang ukuran di atas 30 gross tonnage (GT). Hanya saja, sering ditemukan fenomena mark down ukuran kapal menjadi kurang dari 30 GT agar bisa beroperasi. Jadi, sebenarnya permen baru ini bukan hal baru untuk kapal cantrang besar tersebut.

Tindakan pemerintah dengan menjalankan fungsi pemerintah sebagai ”rem” atau menurut Bryant (2000) adalah pelindung lingkungan. Fungsi ini penting dilakukan agar kedaulatan dan keberlanjutan bisa terjaga untuk bisa tercapainya kesejahteraan. Dalam fungsi ”rem”, kesejahteraan bersifat tidak langsung dan jangka panjang. Ketika kebijakan ini diterapkan, sumber daya lambat laun pulih dan akhirnya dapat dinikmati nelayan secara berkelanjutan. Untuk mengimbangi fungsi ”rem”, perlu tindakan yang tujuannya adalah kesejahteraan secara langsung dan jangka pendek. Di sinilah fungsi pemerintah sebagai ”gas” atau menurut Bryant sebagai agen pembangunan. Fungsi ”rem” dan ”gas” harus dimainkan dengan tepat. Langkah untuk memainkan ”gas” dan ”rem” kebijakan perikanan dalam situasi saat ini sebagaimana dikemukakan oleh Arif Satria (Harian Kompas. 7 April 2015 Halaman 6), adalah:

Pertama, harus ada solusi jangka pendek terhadap nelayan yang terkena dampak Peraturan Menteri. Solusi bisa berupa pembukaan akses permodalan untuk perubahan alat tangkap, pelatihan pengoperasian alat tangkap baru, dan penyediaan mata pencarian alternatif. Juga ada masa transisi untuk penyesuaian alat tangkap. Demikian pula, kerja sama pusat dan daerah penting untuk solusi ini.

Kedua, proyek padat karya, seperti rehabilitasi kawasan pesisir. Ada 2.200 desa pesisir rawan rob yang harus diatasi dan perlu banyak tenaga kerja. Ketiga, pengembangan 100 sentra perikanan dan akselerasi gerakan kemandirian perikanan budidaya. Keempat, menciptakan iklim investasi yang lebih baik agar armada nasional bisa mengisi kekosongan alokasi izin yang ditinggalkan kapal eks asing. Dengan kombinasi ”gas” dan ”rem” yang baik bisa menjadi babak baru perikanan Indonesia yang berkedaulatan, berkelanjutan, dan menyejahterakan.

Konflik nelayan berdasarkan pada faktor penyebabnya dapat dikelompokkan ke dalam empat macam (Satria, et.al. 2002). Pertama, konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground). Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital. Seperti, konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisional.

Kedua, konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antara nelayan yang memiliki kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek).

Ketiga, konflik agraria, merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan fishing ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan. Ini juga bisa terjadi antara nelayan dengan pihak lain non-nelayan, seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata, pertambangan, yang oleh Charles (2001) diistilahkan sebagai external allocation conflict.

Keempat, konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik ini menggambarkan betapa kompleksnya konflik nelayan.

Setiap konflik nelayan memiliki kekhasan dan melibatkan banyak pihak yang memiliki kepentingan dan motivasi yang berbeda-beda. Tidak semua konflik yang terjadi disebabkan oleh perbedaan teknologi penangkapan dan atau perebutan daerah penangkapan ikan yang potensial, dan atau faktor lainnya. Bahwa konflik nelayan yang terjadi penyebabnya beragam, bisa saja faktor yang menyebabkannya berdiri sendiri, atau dapat pula merupakan kolaborasi antara beberapa faktor.

Sebagaimana didapat dalam berita di berbagai daerah di sekitar pantai utara Jawa, muncul konflik antara nelayan yang menggunakan trawl dengan nelayan tradisional yang menggunkan peralatan tangkap sederhana seperti rawai, dogol, dan cantrang. Untuk menghindari konflik nelayan yang lebih besar, melindungi daerah penangkapan nelayan kecil dan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan, pemerintah menerbitkan kepres no. 39 tahun 1980 tentang pelarangan pengoperasian trawl di seluruh wilayah Indonesia. Dalam kasus ini banyak faktor yang menyebabkan konflik terjadi, namun penyebab utamanya adalah perbedaan alat tangkap, sehingga pelarangan salah satu alat tangkap dapat ”menyelesaikan” konflik yang terjadi.

Konflik lainnya terjadi antara nelayan purse seine Jawa Tengah dengan nelayan lokal Kotabaru Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Nelayan yang berasal dari Propinsi Jawa Tengah: Pati, Pekalongan dilarang melakukan kegiatan penangkapan ikan di Selat Makassar oleh nelayan Kotabaru Kalimantan Selatan dan Balikpapan Kalimantan Timur. Konflik yang telah berubah menjadi kekerasan fisik tersebut ditenggarai disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ketimpangan teknologi penangkapan ikan, pelanggaran jalur penangkapan ikan serta perebutan daerah penangkapan. Masih banyak konflik nelayan yang terjadi diberbagai perairan di Indonesia. Konflik nelayan dapat terjadi antar nelayan dalam satu kabupaten/kota, antar kabupaten/kota, antar propinsi atau bahkan antar negara.

Konflik antarnelayan di perairan Jawa Timur sebenarnya telah berlangsung lama, sejak tahun 70-an. Kejadian di Muncar misalnya, berawal dari kalahnya bersaing antara nelayan tradisional dan nelayan purse seine. Pertikaian akibat kecemburuan ini berlangsung hingga tahun 1980-an. Namun sejak tahun 1990-an keadaan konflik bergeser tidak hanya antara tradisional dan nelayan modern seperti kejadian pembakaran purse seine di Masalembu dan Sumenep, tapi juga antarnelayan tradisional.

Sebagaimana identifikasi Ibrahim Ismail, konflik dapat dikelompokkan menjadi dua permasalahan pokok yakni eksternal dan internal. Konflik terjadi akibat terusiknya kelangsungan usaha masyarakat setempat karena beroperasinya kapal-kapal besar dari daerah sehingga aktivitas keseharian nelayan setempat terganggu. Sedang kasus yang diakibatkan faktor internal adalah konflik penggunaan alat penangkap ikan. Masalah ini yang sering terjadi dibanyak daerah, dimana alat tradisional akan terlindas oleh nelayan yang menggunakan alat yang dimodifikasi dan aktif seperti dogol, cotok dan cantrang Konflik tersebut melibatkan dua kelompok nelayan yang berbeda teknologi untuk memperebutkan daerah dan target penangkapan yang sama.

III. KESIMPULAN.

Sebelum berlangsungnya otonomi daerah pada era reformasi, konflik antar nelayan telah berlangsung. Meski demikian dapat dibedakan berdasarkan pada era jamannya, konflik nelayan tersebut sebagai berikut.

Konflik nelayan Pantura sejak awalnya sampai dengan tahun 1960-an ketika kegiatan nelayan masih dapat digolongkan ke dalam masyarakat berburu yang prinsip kerjanya menangkap dan mengumpulkan ikan dengan menggunakan teknologi manual, konflik yang berlangsung masih dalam kategori “embrio” masih samar-samar dan dilaporkan sekitar pengaturan masa penangkapan di suatu wilayah dan pelarangan penggunaan jaring dengan merapatkan ukuran mata jaringnya. Sebagian nelayan berhadapan dengan otoritas pemegang kekuasaan, dan penegakan itu relatif dapat dilaksanakan. Nelayan Pantura memasuki tahun 1970-an telah mulai menggunakan teknologi mekanik untuk memperebutkan sumber kekayaan laut yang bersifat terbuka dan menjadi milik bersama. Terdapat nelayan tradisional kecil dengan menggunakan teknologi sederhana dan sebagian manual dengan nelayan modern besar dengan menggunakan teknologi mekanik dengan penggunaan jaring yang lebih besar luas dan panjang. Pada awal belum ada pengaturan wilayah tangkapan, nelayan modern juga menangkap di laut dekat pantai dimana di laut tersebut adalah wilayah kegiatan penangkapan nelayan tradisional. Konflik berlangsung antar nelayan yang disebabkan oleh perbedaan tingkat teknologi yang digunakan.

Akibat konflik tersebut dikeluarkan Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan trawl. Mulai saat itu secara resmi trawl dilarang beroperasi di seluruh Indonesia. Teknologi penangkapan bergeser ke purse seine dan sebagian nelayan memodifikasi alat tangkap ke dalam bentuk mini trawl seperti pukat, dogol, cantrang dan sejenisnya. Disisi lain telah ada ketentuan yang mengatur tentang penggunaan alat tangkap. Setelah tahun 1980, konflik nelayan Pantura diwarnai oleh keterlibatan pemerintah yang berupaya untuk menjaga penangkapan lestari yang sejalan dengan kepentingan nelayan tradisonal berhadapan dengan nelayan dengan alat tangkap modifikasi trawl. Kondisi konflik ini di masa era otonomi daerah menjadi lebih komplek dengan adanya kepentingan daerah.

IV. DAFTAR PUSTAKA.

Bailey. C., 1987. Indonesia Marine Capture Fisheries. Indonesia: Marine FisheriesReseach Institute, Ministry of Agriculture.

Bailey, C., 1988. “The Political Economy of Marine Fisheries Development in Indonesia”, Indonesia, No. 46: 25-38.

Broersma, 1909. Langs Midden-’s Noordkust. Semarang: van Dorp.

Butcher, John G. 1996. “The Salt Farm and The Fishing Industry of Bagan Si Api Api”, Indonesia, No. 62. hlm. 90-120.

Dahuri, Rokhmin. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.

Delsman, H.C., 1939. Fishing and Fish Culture in the Nederlands Indie, Bulletin of the Colonial Institut of Amsterdam, Vol. II Published in Callaboration with the Nederlands Pacific Institut, Amsterdam-Holland.

Eddiwan 1963, “Prinsip Integrasi Dari Usaha Koperasi Perikanan” dalam Kapita Selekta Perikanan Laut. Jakarta: Peringatan Dwi-Windu Induk Koperasi Perikanan Laut. Emmerson, Don. 1977. “Tingkat-Tingkat Makna: Memahami Perubahan Politis Dalam Suatu Masyarakat di Indonesia” dalam Cakrawala No. 2 Th X, UKSW: Salatiga.

Handenberg, J.D.F., 1960. Perikanan Laut Indonesia. Djakarta: Balai Buku Indonesia. Het Zoutmonopolie, 1932. Batavia: Volkslectur / Monopoli-Garam, 1932. Jakarta: Balai Poestaka Horridge, G.A., 1981. The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Kampen, van P.N., 1909. Hulpmiddelen der Zee Visscherij op Java en Madoera in Gebruik, Batavia: Kolff. Kampen, van P.N., 1922. Visscherij en Vischteelt in Nederlandsch Indie, Haarlem, HD Tjeluk Willink & Zoon.

Kantor Pengajaran / Naimubu, Atoeran-Atoeran Seinendan, 2605 (1945).

Koloniaal Tidschrift, Tahun 1828 dan Tahun 1937. Masyhuri. 1995. Pasang Surut Usaha Perikanan Laut: Tinjauan Sosial Ekonomi Kenelayanan di Jawa dan Madura, 1850-1940. Disertasi Vrije Universiteit, Amsterdam.

Mededeelingen van de Onderafdeling Zeevisscherij No. 8 “Verlag van de Vischeilingen aan de Noordkust van Java over 1940”. Mededeelingen van het Visscherij Station te Batavia No. 2 dan No. 5.

Mubyarto dkk, 1984. Nelayan dan Kemiskinan, Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: Rajawali.

Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap Kedua Sektor Pertanian/Sub Sektor Perikanan 1974/1975-1978/1979: Strategi Operasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. Rencana Regional Pembangunan Perikanan dalam Repelita II, Strategi Dasar, Buku I, Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. Rinkes, A.D., et.all. 1925. Het Indische Boek der Zee. Weltevreden. Roosendal, van . Mededeeligen van het Visscherij-Station te Batavia.

Satria Arief. 2002. Politik Perikanan.

Sukarno, 1965. Berdiri diatas Kaki Sendiri (Berdikari). Jakarta: Prapantja. Tijdscrift voor Economische Geographie I, 1910.

Welvaartcommissie, 1905. Der Inlandsche Bevolking op Java en Madoera, I. Samentrekking van de Afdeelingsverlagen over de Uitkoomsten der Buitenbezittingen naar de Vischteelt en Visscherij, Batavia: Landsdrukkerij. Welvaartcommissie, 1905. Der Inlandsche Bevolking op Java en Madoera, Ia, Overzicht van de Uitkomsten der Gewestelijke Onderzoekingen naar de Vischteelt en Visscherij en Daaruit Gemaakte Gevolgtrekkingen, 1e deel, Teks, Batavia: Landsdrukkeerij.

Welvaartcommissie, 1905. Der Inlandsche Bevolking op Java en Madoera, Ib, Overzicht van de Uitkomsten der Gewestelijke Onderzoekingen naar de Vischteelt en Visscherij en Daaruit Gemaakte Gevolgtrekkingen, 2e deel, Bijlagen, Batavia: Landsdrukkeerij. Welvaartcommissie, 1905. Der Inlandsche Bevolking op Java en Madoera, Ic, Voorstellen der Welvaart Commissie in Zaken Vischteelt en Visscherij, Batavia: Landsdrukkerij.

Widodo, Sutejo K., 1994. Teknologi dan Status Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Desa Ujungbatu Kabupaten Jepara, Universitas Padjadjaran Bandung (Tesis)

------, 1997 “Identifikasi terhadap Konflik Terbuka pada Masyarakat Nelayan di Desa Pasarbanggi – Rembang” artikel dalam Majalah Penelitian Undip. No. 15/IX/1997.

------, 2001. “Pekalongan Harbour: The Change from Trade Harbour, 1940- 1990” makalah dipresentasikan pada 15th International Workshop on Southeast Asia Studies: Ports, Ships and Resources, Maritime in the Age of Transition, 1870 until Present. Leiden, 22-26 Januari.

------, 2005. Ikan Layang Terbang Menjulang: Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan 1900-1990. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro dan The Toyota Foundation.

Sumber tercetak dan Majalah

Analisa, 12 Februari 2010. Gemah Ripah, 1968. No. 1-2 Th. IV: hlm. 15. 1970, No. 9: 14-22. Indisch Verslag, 1931: 285

Jaarsverslag van de Visschersvereeniging “Mino-Sojo” te Wonokerta, District Wiradesa, Regentschap Pekalongan met Filialen over 1938. Kompas, 7April 2015.

Laporan Dinas Perikanan Laut Jawa Tengah, Laporan Tahunan 1969

Laporan Tahunan Departemen Maritim, 1967. Lembaran Negara No. 82/1957 ttg Penghapusan Monopoli Garam

Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1959 ttg pembatasan pedagang kecil/eceran yang bersifat asing yang berada di luar ibu kota Daswati I dan Daswati II, serta Keresidenan

Stadblad, Tahun 1941 No. 357 dan 388; 1924 No. 417, 1929 No.

Suara Merdeka, “Konflik Antarnelayan Sangat Memprihatinkan”, 25 Januari 2006, hlm. 26. Suara Merdeka, “Pedagang Ikan dan Nelayan Mengeluh Omzet Turun”, 25 Januari 2006, hlm 17 dan 20.

Tempo, 12 Februari 2010.

Visserijnieuws, 1949 / No. 3. 1950 / No. 9, II. “Bibliografie Indonesische Visserij”.

Warta Ekonomi, 1957.”Penghapusan Monopoli Garam”, Th ke 10 No. 44/45, 9 November.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Pembangunan Inklusif Kota-Kota Pesisir di Jawa dalam Kontelasi Dinamika Hubungan Antardaerah dan Negara: Studi Kasus Kota Pesisir Solo, Surabaya dan Semarang Prof. Dr. Henny Warsilah, DEA

PEMBANGUNAN INKLUSIF KOTA-KOTA PESISIR DI JAWA DALAM KONTELASI DINAMIKA HUBUNGAN ANTAR DAERAH DAB NEGARA: STUDI KASUS KOTA PESISIR SURABAYA DAN SEMARANG

Henny Warsilah Pusat Peneliti Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Abstrak

Setengah dari populasi dunia (54%) tinggal di daerah perkotaan dan pada tahun-tahun mendatang di proyeksikan akan meningkat menjadi 66%. Wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya yang besar, baik berupa sumberdaya manusia maupun sumberdaya lainnya. Dari sisi sumberdaya manusia, wilayah pesisir pada umumnya dihuni oleh penduduk dengan mayoritas bermatapencaharian nelayan. Mereka ini merupakan sumberdaya potensial pendukung pembangunan kawasan pesisir. Wilayah pesisir dapat dikembangkan menjadi wilayah perkotaan yang potensial sejauh pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir tersebut terkait dengan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan dikelola secara berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan pembangunan berkelanjutan inklusif yang menyertakan partisipasi masyarakat dan daerah dalam suatu bingkai negara. Pada posisi ini dinamika antar daerah akan mampu mendorong perkembangan dan pengelolaan kawasan pesisir ke arah yang inklusif. Perkembangan kota pesisir di Indonesia berawal dari pelabuhan dan kawasan pesisir yang menjadi pusat kegiatan perdagangan dan pemerintahan kota. Sebagian besar kota-kota pesisir di Indonesia menjadi bagian rute dan pintu gerbang perdagangan internasional, merupakan area pertukaran budaya bangsa sehingga memainkan peran penting dalam aspek ekonomi, sosial dan budaya yang penting dalam perkembangan budaya bangsa. Kawasan pesisir juga menjadi pusat aglomerasi ekonomi kawasan sekitar dalam bentuk pelabuhan, sebagai pusat perdagangan, jasajasa industri dan pariwisata. Namun demikian, kawasan kota pesisir juga memliki kerentanan bencana yang besar, misal banjir rob. Dari aspek kesejarahan, pembentukan kota pesisir sangat terkait dengan aktivitas manusia, mulai dari aktivitas sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.

Kota pesisir terbentuk berawal dari permukiman desa yang dipenuhi berbagai aktivitas, berkembang menjadi sebuah kota yang merupakan “pusat kegiatan baru” dari penduduknya. Kemudian terjadi perpindahan penduduk manusia dari pedesaan menuju pusat- pusat kegiatan baru di perkotan sehingga membawa perubahan besar karena penduduk yang berpindah ini membawa peradaban. Kebudayaan di kota bisa disebut merupakan campuran antara budaya desa dengan budaya campuran (Soemarwoto: 1983). Pembangunan inklusif sebuah pendekatan yang mencoba memasukkan kelompok-kelompok, komunitas-komunitas, individu-individu, daerah-daerah, yang tidak terakses oleh proses pembangunan atau mengalami proses eksklusi sosial selama dekade proses pembangunan sebelumnya, yang memfokuskan pembangunan pada pembangunan ekonomi untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi semata dengan mengabaikan kesejahteraan penduduk. Sehingga terjadi transformasi dari sebuah kondisi eksklusi sosial menuju inklusi sosial. Jika kita

1 mampu membangun kawasan pesisir serta laut serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara produktif, efisien dan inklusif serta berlandaskan ekologi wilayah pesisir, maka berbagai permasalahan bangsa yang terkait dengan pengelolaan kawasan peisisr dapat diselesaikan dengan baik, terlebih presiden Joko Widodo saat ini telah memiliki perhatian besar terhadap isu-isu kelautan yang dituangkan pada visi presiden di bidang kemaritiman. Ada lima kelompok kebijakan dan program utama yang dikerjakakan yang tercantum dalam visi tersebut, yakni : (1) penegakan kedaulatan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), (2) penuntasan batas wilayah laut; (3) pemberantasan illegal fishing dan kegiatan ilegal lainnya; (4) pembangunan ekonomi kelautan; (5) memelihara kelestarian sumber daya kelautan; dan pengembangan kapasitas iptek kelautan dan peningkatan budaya maritim bangsa (Warsilah, Henny: 2015; www.lingkunganhidup.co wilayah pesisir-indonesia).

Kata Kunci: Pembangunan Inklusif; Wilayah/Kawasan Pesisir, Dinamika Antar Daerah dan Negara.

I.PENDAHULUAN: Problematika Pembangunan Negara Maritim VS Wilayah Pesisir

Problem utama di kawasan pesisir, baik di perkotaan maupun pedesaannya adalah masih besarnya disparitas antar-wilayah dalam hal pembangunan dan masih tingginya tingkat kemiskinan dan kekumuhan di wilayah pesisir. Implikasi dari kondisi demikian, taraf hidup dan ekonomi penduduk pesisir seringkali berada pada posisi lemah dan bersikap tidak peduli terhadap upaya konservasi lingkungan dan ekosistem pesisir. Masyarakat dari berbagai lapisan cenderung mengeksploitasi kawasan pesisir secara tidak bertanggung jawab. Pada kenyataannya memang, di masa lalu wilayah pesisir dan laut belum menjadi prioritas utama bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Padahal Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup berlimpah.

Wilayah pesisir juga mengalami pergeseran pada kegiatan utamanya, dari awal masa sejarah nusantara hingga ke masa modern saat ini. Seiring dengan perubahan zaman terjadi pergeseran antara keterkaitan kota pesisir tersebut dengan peranannya sebagai pelabuhan. Efek samping dari terjadinya pelepasan kegiatan masyarakat kota pesisir dengan laut ini adalah terjadinya pergeseran nilai dari pandangan kawasan pesisir sebagai „beranda depan‟ menjadi kawasan pesisir sebagai „kawasan belakang‟. Pergeseran pandangan tersebut mengakibatkan penataan ruang kawasan pesisir menjadi terbengkalai dan luput dari perhatian. Selain itu, terlihat masih tingginya migrasi dari desa ke kota-kota pesisir yang diakibatkan oleh ketimpangan pembangunan di kawasan desa-kota. Migrasi penduduk dan perkembangan penduduk ke wilayah pesisir makin sering terjadi, menjadikan permukiman di

2 wilayah pesisir cenderung menjadi kumuh dan miskin, dan kurang mempedulikan konservasi lingkungan pesisir. Memicu berkembangnya perbedaan kualitas hidup dan kesempatan peningkatan kesejahteraan antara perdesaan dan perkotaan. Selain itu, terjadi Urban sprawling (pertumbuhan kawasan perkotaan pesisir yang meluas, kepadatan rendah, boros lahan/memakan lahan pertanian) yang sudah menggejala tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga kota sedang/menengah.

Terdapat sekitar 60 persen penduduk Indonesia bermukim di wilâyah pesisir, maka wilayah pesisir berpotensi memiliki problematika dalam pelayanan dasarnya, terutama dalam bidang kebijakan publik dan partisipasi warga kota, perekonomian dan ketenagakerjaan, kependudukan dan perumahan, migrasi-urbanisasi, pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan dan livelihoods berkelanjutan. Aktivitas ekonomi masyarakat yang bermukin di wilayah pesisir terkait secara langsung dengan laut, dan kegiatan ekonomi secara umum di kawasan pesisir masih memberikan kontribusi secara signifikan secara nasional. Diperkirakan aktivitas di kawasan pesisir menyumbang 25 persen dan Pendapatan Domestik Bruto dan menyerap 15 persen tenaga kerja secara nasional (MoE dalam Tumiwa, 2010).

Meski telah dibuat berbagai peraturan-perundangan, seperti: RTRWN (PP 26/2008); KSNP-Kota (Permen 494/…/2005), Rancangan RTR-Pulau dll, serta dilakukannya berbagai studi terkait (NUDS 1985, 2000, LIPI, 2000-2016) dll., akan tetapi kondisi kota-kota pesisir di Indonesia pada umumnya masih memprihatinkan. Rentan terhadap bencana alam dan bencana yang diciptakan manusia. Dalam konteks kebencanaan alam, telah di proyeksikan akan terjadi kenaikan permukaan air laut setinggi 1,1 meter pada tahun 2100, dan kondisi tersebut akan mengakibatkan hilangnya 90.260 Km2 kawasan pesisir dengan potensi kerugian ekonomi sebesar US$ 25,56 Milyar (Susandi dalam Tumiwa, 2010). Data KKP (2013) menyebutkan bahwa jumlah nelayan yang ada di Indonesia sekitar 2.265.213 jiwa. Dari 2,2 juta jiwa nelayan, mayoritas merupakan nelayan miskin. Nelayan dikenal dengan kemiskinan endemik, artinya apapun yang dikerjakan oleh nelayan, mereka tetap miskin (Bailey, 1998 dalam Muflikhati, 2010). Perlu adanya kegiatan bersama antara nelayan (masyarakat) dan pemerintah, serta pihak terkait untuk memperbaiki kondisi nelayan beserta lingkungannnya, salah satunya adalah konservasi, limgkunagn pesisir.

Era pelaksanaan otonomi daerah saat ini haruslah mampu merubah paradigma lama bahwa pembangunan wilayah pesisir selama ini hanya dilihat seperti pembangunan wilayah terestrial lainnya dengan kondisi yang analogi dengan wilayah perdesaan. Padahal , wilayah

3 pesisir menurut RUU Pesisir memiliki beberapa karakteristik yang khas, yaitu: 1. Wilayah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan udara, sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; 2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan; 3. Wilayahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4. Memiliki gradian perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan; 5. Tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi internasional. Perbedaan yang mendasar secara ekologis sangat berpengaruh pada aktivitas masyarakatnya. Kerentanan perubahan secara ekologis berpengaruh secara signifikan terhadap usaha perekonomian yang ada di wilayah tersebut, karena ketergantungan yang tinggi dari aktivitas ekonomi masyarakat dengan sumberdaya ekologis tersebut. Jika sifat kerentanan wilayah tidak diperhatikan, maka akan muncul konflik antara kepentingan memanfaatkan sumber daya pesisir untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan pembangunan ekonomi dalam jangka pendek dengan kebutuhan generasi akan datang terhadap sumber daya pesisir.

Poin-poin Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi), tentang pembangunan negara maritim sesungguhnya identik dengan pembangunan wilayah pesisir. Pembangunan wilayah pesisir jika disusun dengan sebuah tata kelola yang tepat akan dapat membuka jalur perdagangan antar kawasan, dan mendukung terciptanya sebuah kota/kawasan baru yang menjadi daya tarik bagi iklim investasi. Oleh karema itu seperti yang dikehendaki oleh presiden Jokowi, bahwa visi maritim kedepan harusnya dapat menjadi acuan dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan perekonomian Indonesia dan sumber daya manusianya di perkotaan pesisir. Pengembangan sosial ekonomi yang selama ini lebih berorientasi ke darat perlu juga dikembangkan dengan mengkaitkannya terhadap kawasan- kawasan andalan di laut Indonesia. Hal ini perlu didukung dengan penguatan infrastruktur yang menunjang pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia di sektor maritim. Pembangunan di bidang fisik, sosial dan ekonomi kawasan maritim, seperti pengembangan sektor transportasi yang terintegrasi antara sektor darat, laut dan udara beserta pengembangan kluster-kluster industri baru harus ditunjang oleh adanya perubahan pola pikir orientasi pembangunan dari daratan ke maritim (revolusi biru). Revolusi biru ini merupakan salah satu bentuk nyata dari pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan melalui peningkatan

4 produksi kelautan-perikanan dengan peningkatan pendapatan rakyat yang adil, rata, dan sesuai. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir menurut Dahuri (Dahuri, Rokhmin: 2002) mencakup dua hal: (1) pengaturan pemanfaatan ruang yang adil bagi masyarakat (warga umum, nelayan dan petani), dan (2) adanya kemitraan kerja yang saling mendukung dan tetap memelihara kualitas ruang. Untuk itu dalam pelaksanaannya, pengembangan kota di wilayah maritim dengan konsep apapupun haruslah mengedepankan kesejahteraan masyarakat pesisirnya. Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Balitbangsos-nya telah memperhatikan faktor-faktor di atas, sehingga menggariskan bahwa pembangunan dan pengembangan kota- kota di wilayah pesisir harus memperhatikan hal berikut: 1).Pertama adalah faktor ekologis yang dapat diidentifikasi melalui eksisting fisik, kondisi eksisting struktur tata ruang dan lingkungan juga ekosistem pesisir. 2).Faktor kedua adalah kondisi sosial, dimana segala komposisi demografi penduduk, adat-budaya, proses sosial (kerjasama/konflik) hingga peran lembaga masyarakat/pemerintah, perlu diidentifikasi apakah menimbulkan suatu potensi ataupun masalah. Identifikasi keadaan sosial ini perlu diprioritaskan agar mampu mengetahui kebutuhan dasar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Seringkali aspek sosial ini sangat sensitif dalam metode pendekatan pengembangannya. Terutama yang berkaitan dengan adat-budaya. Karena begitu beragamnya kultur yang ada di Indonesia ini, diharapkan peran lembaga pemerintahan daerah bisa lebih berperan aktif dalam memahami karakter sosial masyarakat setempat. Tiap-tiap Bappeda sebaiknya konsisten dalam pengkoordinasian pemanfaatan ruang antar sektor. Sementara itu perlu dibentuk dinas teknis yang khusus bertanggung jawab terhadap pengaturan teknis sektor tersebut. 3). Terakhir harus mempertimbangkan faktor ekonomi. Perlu dilakukan identifikasi pada proses koleksi- distribusi dalam kegiatan ekonomi lokal/regional sumber daya pesisirnya. Selain itu domain serta persebaran kegiatan ekonomi di suatu kawasan yang ingin dikembangkan dengan konsep Minapolitan perlu ditelusuri (Departemen Kelautan dan Perikanan:2002). Pengembangan sumberdaya manusia di sektor maritim, harus bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan penduduk di wilayah maritim. Namun pada kenyataannya, pembangunan kota-kota di wilayah pesisir selama masa pemerintahan Orde Baru termarjinalkan dan kurang diperhatikan, sehingga wilayah pesisir menjadi terbelakang. Mestinya, perkembangan kota pesisir ini bergantung pada kebijakan ekonomi nasional dengan memanfaatkan laut dengan sebagai jalur konektivitas dengan perekonomian global. Karena, tantangan utama di dalam perencanaan pembangunan kota pesisir adalah peran dan fungsi pemerintah sebagai regulator kebijakan, sekaligus penjamin keadilan dan efisiensi

5 dalam pembangunan daerah, berserta kontribusi para pelaku usaha untuk menggerakkan kegiatan ekonomi sehingga tercapai pertumbuhan dan pemerataan ekonomi yang berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Sebagain kota-kota pesisir dapat dijadikan center of excellence di bidang pembangunan infrastruktur berkelanjutan dalam rangka mempercepat realisasi pembangunan infrastruktur Indonesia, dan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Pembangunan kota pesisir dirumuskan sebagai sistem pengembangan perkotaan dan kawasan kepulauan, yang memperlihatkan fungsi dari hirarki kota, pola prasarana kawasan yang meliputi transportasi, prasarana distribusi yang mengacu pada kondisi geografis wilayah serta pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya yang dikelola secara berkesinambungan. Tujuan utama dalam pengembangan dan pengelolaan di pesisir adalah memanfaatkan segenap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan secara berkelanjutan. Menurut Dahuri (2001), pembangunan berkelanjutan yang merupakan strategi pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasinya, memiliki dimensi ekologis, sosial- ekonomi dan budaya, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan. Dari dimensi ekologis, agar pembangunan kawasan pesisir dapat berlangsung secara berkelanjutan, maka harus memenuhi tiga persyaratan utama. Pertama, bahwa setiap kegiatan pembangunan hendaknya ditempatkan di lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai dengan persyaratan biofisik dari kegiatan pembangunan tersebut. Dengan perkataan lain, perlu adanya tata ruang pembangunan kawasan pesisir dan lautan. Untuk keperluan penyusunan tata ruang ini, dibutuhkan informasi tentang karakteristik biofisik suatu wilayah dan persyaratan biofisik dari setiap kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan. Selain itu, perlu juga informasi tentang tata guna lahan pesisir yang ada saat ini (eksisting). Kedua, bahwa laju pembuangan limbah ke dalam kawasan pesisir dan lautan hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi kawasan tersebut. Artinya, perlu pengendalian pencemaran. Untuk itu diperlukan informasi tentang sumber dan kuantitas limbah dari setiap jenis limbah yang masuk ke dalam kawasan pesisir dan lautan, tingkat kualitas perairan pesisir dan lautan, dan kapasitas asimilasi perairan tersebut. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya alam kawasan pesisir dan lautan, khususnya yang dapat pulih, hendaknya tidak melampaui kemampuan pulihnya (potensi lestari) dalam kurun waktu tertentu. Artinya, perlu pemanfaatan sumber daya alam secara optimal. Untuk itu diperlukan informasi tentang potensi lestari dari setiap sumber daya alam pulih yang ada di wilayah

6 pesisir dan lautan, dan permintaan (demand) terhadap sumber daya alam tersebut dari waktu ke waktu. Dalam hal pemanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat pulih, seperti minyak dan gas serta mineral, perlu dilakukan secara cermat dan dampak negatif yang mungkin timbul ditekan seminimal mungkin. Untuk itu diperlukan informasi tentang dampak lintas kegiatan (sektoral) dan integrasi antar ekosistem. Pembangunan dari dimensi sosial ekonomi perkotaan mensyaratkan laju perkembangan pembangunan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga permintaan total atas sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan tidak melebihi kemampuan ekosistem pesisir dan lautan untuk menyediakannya. Dimensi sosial politik, mensyaratkan bahwa perlu diciptakan suasana yang kondusif bagi segenap lapisan masyarakat untuk dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan sumber daya pesisir dan lautan. Untuk itu diperlukan informasi tentang pola dan sistem perencanaan serta proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya tersebut oleh segenap lapisan masyarakat yang terlibat. Pembangunan di ruang kota sejauh ini menghasilkan kesejahteraan untuk sebagian kecil warga kota, dan kondisi deprivasi sosial untuk sebagian besar warganya. Kondisi demikian disebabkan penetapan paradigma pembangunan yang terlalu bertumpu kepada pembangunan ekonomi dengan capaian pertumbuhan ekonomi. Kapitalisasi ruang kota telah menyebabkan rusaknya tatanan sosial masyarakat kota, masyarakat menjadi asing satu sama lain dan kehilangan kontak dengan tetangga di sebelah, apalagi dengan saudara-sebangsa di pulau lain, padahal transportasi dan telekomunikasi sudah semakin modern. Ikatan-ikatan sosial yang inklusif dan kebhinekaan telah diganti oleh pengelompokan ekslusif berdasarkan kaidah-kaidah yang dangkal dan untuk kepentingan individu. Dan, uang telah menggantikan ucapan salam yang kita sampaikan ketika berjumpa sesama. Fasilitas material menggantikan jabat tangan hangat antara orang-orang yang bekerja bersama. Keanggotaan sebuah klub eksklusif menjadi lebih penting daripada kewarga-negaraan (citizenry).

II.FOKUS KAJIAN A.Konteks Mikro Daerah-daerah pesisir diproyeksikan setiap saat mengalami banjir pasang surut dan kebencanaan banjir rob ini secara dramatis akan meningkatkan risiko lingkungan perkotaan pesisir di masa depan karena kenaikan permukaan laut di sepanjang pantai, perubahan iklim dan pemanasan global. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (2007) memperkirakan bahwa kenaikan permukaan laut akan secara global meningkat 18 cm sampai

7

59 cm di tahun 2100. Dengan kata lain, kenaikan telah meningkat setiap tahun oleh 0,21 cm / tahun untuk 0,68 cm / tahun . Masih belum terbangunnya secara baik wilayah pesisir dan belum adanya kerjasama antar daerah pesisir.

B.Konteks Umum. Kebanyakan daerah perkotaan yang strategis di Indonesia terletak di pesisir Jawa, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Sementara kota-kota pesisir di luar Jawa, Sulawesi dan pulau Maluku misalnya, berlokasi di Makassar, dan Ternate. Karakteristik daerah perkotaan pesisir terutama dilihat dari berbagai keanekaragaman ekosistem, kekayaan dalam sumber daya alam dan keindahan alamnya yang menghasilkan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Namun, daerah ini belum dikelola dengan baik, belum terlihat kerjasama antar daerah pesisir dalam pembanguan tata kelola wilayah pesisirnya, dan rentan dari bencana alam, terutama banjir pasang surut.

C.Tujuan Tujuan makalah ini untuk menyelidiki proses pelaksanaan pembangunan inklusif di kota-kota pesisir di Jawa .Makalah ini menggarisbawahi pendekatan sosial dan budaya sebagai bagian dari proses pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, daerah-daerah pesisir memiliki karakteristik yang kontras, yakni kemiskinan dan sumberdaya alam belum diamnfaatkan dengan baik, dan cenderung memiliki kesadaran rendah, dimana masyarakat kurang memiliki kepedulian terhadap lingkungan sehingga berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan. Selain itu, bias budaya urban telah mengakibatkan perubahan perilaku orang, misalnya kurangnya perhatian pada kerusakan lingkungan, kurangnya kepercayaan kepada orang lain dan kurangnya penyiapan bencana banjir pasang surut. Maka penting untuk mendorong kerjasa antar daerah pesisir untuk meningkatkan pembangunan inklusif.

D.Relevansi Kertas Kerja ini Tulisan ini relevan untuk memperkuat konsep Pembangunan Inklusif di Kota-kota Pesisir, tidak hanya berkorelasi dengan aspek fisik dari kerentanan (bencana), tapi juga mencakup aspek sosial, budaya, dan kerentanan ekonomi secara paralel dengan pengukuran kerentanan fisik. Pembangunan perkotaan cenderung memprioritaskan aspek fisik, daripada aspek sosial-ekonomi yang akan menempatkan kota menjadi kurang tangguh dan menempatkan masyarakat pada posisi rentan. Masyarakat kurang dilibatkan dalam proses

8 pembangunan, dan kerjasama antara daerah pesisir kurang ditingkatkan, terutama kerjasama dalam hal kebencanaan.

E.Implikasi Lebih Luas Implikasi yang lebih luas dari kertas kerja ini difokuskan pada perencanaan pesisir perkotaan pesisir di Jawa dan secara luas akan mengacu pada pembangunan perkotaan di seluruh kota yang terletak di wilayah pesisir. Hal ini juga mempertimbangkan berbagai aspek pelaksanaan, seperti ekologi, ekonomi, dan aspek sosial yang akan menguraikan ketahanan jangka di kota-kota pesisir. Faktor kunci dari implementasi pembangunan inklusif adalah partisipasi masyarakat yang akan terlibat proses pengambilan keputusan pada perencanaan kota dan pembangunan perkotaan (pembangunan infrastruktur perkotaan). Proses interaksi dalam pengambilan keputusan adalah faktor yang sangat penting di tengah-tengah para pemangku kepentingan sebelum program dimasukkan ke dalam tindakan untuk memberikan pendekatan budaya untuk masyarakat. Dua jalur pendekatan social dan budaya menggarisbawahi peran pemerintah daerah untuk mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakat pesisir dan untuk mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kebijakan tunggal.

F.Metodologi Metode pengumpulan data dari penelitian ini adalah kualitatif dengan melakukan rekaman wawancara, produksi video, observasi, dan wawancara mendalam untuk mengeksplorasi secara mendalam titik pandang responden, Focus Group Discussion dilakukan secara bertingkat (dari kabupaten ke kecamatan dan dengan masyarakat terkait dengan masalah lingkungan, termasuk sektor swasta dan LSM serta universitas). Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif untuk menguraikan Focus Group Discussion pengumpulan data, yang penting dan relevan dengan topik. Penelitian ini merupakan bagian Penelitian DIPA KOTA-P2KK, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2015- 2016.

III.Pembangunan Kawasan Pesisir Dalam Paradigma Otonomi Daerah

Luasnya wilayah pesisir yang dimiliki Negara Indonesia dalam upaya pengembangan dan pembangunannya membutuhkan suatu kerjasama antar daerah pesisir, karena secara faktual wilayah pesisir itu saling terkait dan tersambung, dan kebijakan tentang otonomi daerah secara syah telah diundangkan dan diberlakukan secara menyeluruh. UU Otonomi

9

Daerah Nomor 22 Tahun 1999, dan diperbarui sebagai Undang-Undang No 32 Tahun 2004, di dalamnya terkandung pasal yang mengatur kerjasama antar daerah yakni pasal 195 . Kerjasama antar daerah merupakan upaya yang dilakukan oleh dua atau lebih daerah untuk mencapai tujuan bersama. Dalam kontelasi pengembangan atau pembangunan daerah, kerjasama antar daerah bertujuan untuk mengatasi kesenjangan antar wilayah secara sinergis.

Namun dalam praktiknya, otonomi daerah ternyata telah dipersepsikan dan disikapi secara variatif oleh beberapa Pemerintah Daerah, misalnya otonomi dianggap sebagai momentum untuk memenuhi keinginan-keinginan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang lebih luas yaitu kepentingan daerah lain yang berdekatan dan kepentingan negara secara keseluruhan. Akibatnya, muncul beberapa gejala negatif yang meresahkan antara lain berkembangnya sentimen primordial, konflik antar daerah, berkembangnya proses KKN, konflik antar penduduk, eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan munculnya sikap “ego daerah sektoral” yang berlebihan. Sentimen daerah biasanya mulai berkembang bersamaan dengan dilakukannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) , yakni berlakunya kecenderungan umum untuk mengangkat “putera daerah” menjadi Orang Nomor saru di daerah, dan implikasinya membawa gerbong pegawai negeri sipil daerah yang berasal dari konstituennya atau keluarganya. Kekhawatiran terhadap melemahnya kohesitas serta kesatuan wilayah menjadikan pemerintah membuat sebuah mekanisme penyeimbang atau penyaluran agar dampak negatif yang ditimbulkan tidak berakibat kontra produktif terhadap cita-cita dari otonomi daerah (Warsilah, 2011 ).

Kesadaran terhadap berkembangnya dampak negatif ini kemudian di respon oleh pemerintah dengan menyematkan pengaturan sebuah kerjasama antar daerah di dalam UU no 22 tahun 1999 yang kemudian di revisi melalui UU no 32 tahun 2004. Substansi dari peraturan kerjasama antar daerah dilakukan dalam rangka :1.) Meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang sidasarkan pada pertimbangan efesiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. 2.) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat di wujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur berdasarkan keputusan bersama. 3) Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerjasama dengan pihak ketiga. 4.) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan masyarakat. (Yeremias T. Keban, “Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Daerah: Isu Strategis, Bentuk Dan Prinsip” (diakses dari

10 http://www.bappenas.go.id/node/48/2258/kerjasamaantar- pemerintah-daerah-dalam-era- otonomi-oleh-yeremias-t-keban-/ pada 29 September 2011).

Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 195 ayat 1 yang berisikan bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan, Implementasi kerjasama daerah pada era otonomi daerah merupakan suatu kebutuhan bagi daerah, karena dalam mengembangkan memberdayakan dan memanfatkan sumberdaya / potensi suatu daerah memerlukan kerjasama dengan daerah lain karena adanya keragaman potensi dari setiap daerah. Melalui kerja sama daerah diharapkan dapat mengurangi kesenjangan daerah dalam penyediaan pelayanan publik. Selain itu diharapkan dengan terjalinnya kerjasama antar daerah didapatkan solusi atas berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah guna peningkatan mutu pelayanan terhadap masyarakat.

Seperti telah ditulis oleh Tatag Wiranto (Bappenas:2004), hubungan antara otonomi daerah dengan desentralisasi, demokrasi dan tata pemerintahan yang baik memang masih merupakan diskursus. Banyak pengamat mendukung bahwa dengan dilaksanakannya otonomi daerah maka akan mampu menciptakan demokrasi atau pun tata pemerintahan yang baik di daerah. Proses lebih lanjut dari aspek ini adalah dilibatkannya semua potensi kemasyarakatan dalam proses pemerintahan di daerah. Pelibatan masyarakat akan mengeliminasi beberapa faktor yang tidak diinginkan, seperti: 1. Akan memperkecil faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang telah diputuskan. Ini dapat terjadi karena sejak proses inisiasi, adopsi, hingga pengambilan keputusan, masyarakat dilibatkan secara intensif. 2. Akan meringankan beban pemerintah daerah (dengan artian pertanggungjawaban kepada publik) dalam mengimplementasikan kebijakan daerahnya. Ini disebabkan karena masyarakat merasa sebagai salah satu bagian dalam menentukan keputusan tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah. 3. Pelibatan masyarakat akan mencegah proses yang tidak fair dalam implementasi kebijakan daerah, khususnya berkaitan dengan upaya menciptakan tata pemerintahan daerah yang baik.

Pelibatan masyarakat tentu harus dibingkai dalam suatu kerjasama antara daerah dalam konteks pembangunan daerah, karena sangatlah penting untuk mensinergikan potensi

11 antar daerah dan potensi masyarakatnya, atau potensi dari pihak ketiga melalui peningkatan pertukaran pengetahuan, teknologi, dan kapasitas fiskal guna mensejahterakan masyarakat. Terlebih, mengingat daerah-daerah memiliki keterbatasan dalam hal kapasitas. Kerjasama antar daerah ini akan sangat bermanfaat terlebih ketika, Negara Indonesia dihadapkan dengan globalisasi yang cenderung membentuk global village yang mensyaratkan tingkat kompetisi dengan negara lain begitu terbuka dan tanpa batas, mau tidak mau daerah harus berfikir strategis untuk meningkatkan nilai keunggulan. Masyarakat MEA sudah di depan mata, jika daerah tidak mempersiapkan dengan baik potensi sumberdaya manusia dan potensi sumberdaya alam dan sistem tata kelola kawasan daerah pesisir, maka tidaklah mustahil jika daerah-daerah pesisir akan tersubordinasi oleh kawasan regional ASEAN.

Kerjasama antar daerah pesisir saat ini begitu dibutuhkan sejalan dengan makin diutamakannya pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir sesuai dengan nawacita presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden Jokowi saat ini telah memiliki perhatian besar terhadap isu-isu kelautan yang dituangkan pada visi presiden di bidang kemaritiman. Ada lima kelompok kebijakan dan program utama yang dikerjakakan yang tercantum dalam visi tersebut, yakni : (1) penegakan kedaulatan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), (2) penuntasan batas wilayah laut; (3) pemberantasan illegal fishing dan kegiatan ilegal lainnya; (4) pembangunan ekonomi kelautan; (5) memelihara kelestarian sumber daya kelautan; dan pengembangan kapasitas iptek kelautan dan peningkatan budaya maritim bangsa (Warsilah, Henny: 2015).

IV.Kerjasama Antar Daerah: Kasus Kota Pesisir Semarang, Surabaya dan Solo

1.Kota Pesisir Semarang Dengan Kota lain

Sampai saat ini, sudah ada bebarapa daerah pesisir di pulau Jawa yang telah melakukan kerjasama antara daerah yakni: Kota Semarang dan Kabupaten Purwodadi, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap Dan Kebumen meski beragam bentuk kerjasama dan tujuannya. Kota pesisir Semarang dan Purwodadi melakukan kerjasama untuk mengatasi kebencanaan banjir, banir rob (tidal flood), dan ini akan efektif jika pembangunan waduk (Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur) selesai dilakukan. Sementara kota pesisir Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen kerjasama antara daerahnya lebih mengarah kepada kerjasama dalam hal pengembangan pariwisata di kawasan pesisir.

12

Kerjasama antar kota Semarang dengan dengan daerah hinterland-nya dinamakan KEDUNGSEPUR, yang meliputi Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Ungaran (Kabupaten Semarang), Kota Salatiga dan Purwodadi (Kabupaten Grobogan) bersepakat membentuk kerjasama antar daerah yang disebut Kedungsepur. Kerjasama ini merupakan komitmen bersama yang tertuang dalam Keputusan Bersama No. 30 Tahun 2005, No. 130 / 0975, No. 130 / 02646, No. 63 tahun 2005, No. 130.1/A.00016, No. 130.1/4382 tanggal 15 Juni 2005 tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur, dan telah diperbarui dengan Kesepakatan Bersama No.146/199.c/2011, No.130/07/2011, No.415.4/03.3/KJS/2011, No.MOU-6/Perj-III/2011, 130/049, 130/1131/I/2011 tentang Kerjasama Bidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan di Wilayah Kedungsepur.

Program kerjasama ini bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan yang serasi dan selaras antara daerah kota/kabupaten di wilayah Kedungsepur, serta menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan antar Pemerintah Daerah di wilayah Kedungsepur dalam rangka meningkatkan kesejahteran masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat mengurangi ketidakseimbangan pertumbuhan masing-masing daerah, disamping juga dalam rangka mensinergikan penyelenggaraan pemerintahan, programprogram pembangunan dan kemasyarakatan di wilayah Kedungsepur. Kesepakatan kerjasama antar daerah di wilayah Kedungsepur mencakup berbagai aspek, meliputi: 1. Pendidikan; 2. Kesehatan; 3. Pekerjaan umum; 4. Perumahan rakyat; 5. Penataan ruang; 6. Perencanaan pembangunan; 7. Lingkungan hidup; 8. Pertanahan; 9. Kependudukan dan catatan sipil; 10. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 11. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 12. Sosial; 13. Ketenagakerjaan; 14. Koperasi dan usaha kecil dan menengah; 15. Penanaman modal; 16. Kebudayaan; 17. Kepemudaan dan olah raga; 18. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;. Otonomi daerah,pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian; 20. Ketahanan pangan; 21. Pemberdayaan masyarakat dan desa/kelurahan; 22. Statistik; 23. Kearsipan; 24. Komunikasi dan informatika; 25. Perpustakaan; 26. Pertanian; 27. Kehutanan; 28. Energi dan sumber daya mineral; 29. Pariwisata; 30. Kelautan dan perikanan; 31. Perdagangan; 32. Industri; 33. Ketransmigrasian; 34. Bidang lain yang dianggap perlu.

Penyelenggaraan kegiatan kerjasama antar daerah Kedungsepur diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang strategis, pertama, dengan orientasi pada upaya-upaya untuk mengakomodir dan optimalisasi potensi wilayah Kedungsepur, sehingga pembangunannya

13 dapat dilakukan secara sinergis, khususnya dalam skala regional Kedungsepur. Kedua, Penyelesaian sengketa antar daerah, khususnya di wilayah Kedungsepur, penanganan masalah perbatasan, air bersih, sampah, rob dan banjir, termasuk menyangkut masalah- masalah sosial seperti gepeng, dan masalah-masalah sosial lainnya. Sejak tahun 2012 Sekretariat Bersama berada di Kabupaten Kendal yang sebelumnya berada di Kota Semarang. pada tahun 2013 Kerjasama Kedungsepur memprioritaskan kerjasama di bidang pariwisata dengan mengemas paket wisata yang terkoneksi antar daerah perbatasan. (http://beta.semarangkota.go.id/content/image/files/6.%20BAB%206%20Tugas%20Umum% 20Pemerintahan%20Draft%20LKPJ%202013.pdf_diakses tagl 6 September 2016.

Sementara, kerjasama kota Semarang dengan APEKSI, antara lain dalam bidang tata ruang bertujua untuk: 1) Mendorong pemerintah pusat agar meninjau kembali peraturan per- UU-an mengenai tata ruang (Perpres No. 54 Tahun 2008) karena memberatkan daerah dengan tipologi wilayah yang berbeda-beda dan berimplikasi sebagai pelanggaran pidana dengan memperhatikan perencanaan bottom up. 2) Mendorong pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah agar mengimplementasikan kerjasama terkait tata ruang wilayah dan transportasi. 3) Mendorong pemerintah pusat dan/atau daerah untuk mengembangkan rencana infrastruktur daerah.

2.Kerjasama antar Kota Solo Dengan Kota Sekitarnya

Kota Solo (pesisir Bengawan Solo) melakukan kerja sama antar daerah, yakni dengan wilayah sekitarnya. Kerjasama di kota Solo termuat dalam bentuk BKAD SUBOSUKAWONOSRATEN, yakni: salah satu bentuk badan kerjasama. Badan kerjasama antara daerah ini lahir atas semangat bersama beberapa daerah yang merupakan wilayah bekas karesidenan Surakarta. Kerjasama kota Solo dan wilayah sekitarnya memposisikan aktivitas ekonomi sebagai semangat awal di dalam pembentukannya, walaupun pada pelaksanaanya kemudian sektor yang terkait langsung pada pelayanan publik seperti pengelolaan bersama asset daerah dam kekayaan sumberaya alampun mulai dirintis.

Keberhasilan pembangunan inklusif di kampung Pesisir Bengawan Solo Semanggi juga merupakan keberhasilan pembangunan inklusif di kota Solo, sehingga telah menjadikan kota Solo sebagai magnit pertumbuhan bagi kota-kota di sekitarnya, dan menjelma menjadi pusat pertumbuhan dari daerah-daerah hinterland. Penataan pembangunan di kota Solo secara besar disebut sebagai “Solo Raya”. Banyak penduduk hinterland yang bekerja mencari

14 nafkah di Kota Solo, mereka bekerja sebagai buruh konstruksi, perdagangan dan sektor jasa. Pada awalnya mereka tetap bermukim di daerah asal hinterland, namun secara perlahan mereka menetap di kota Solo, terutama di daerah pingiran kota (peri-peri). Sehingga daerah pinggiran berkembang menjadi tak terkendali dan menjadi permukiman kumuh.

Gambar . Kota Solo sebagai Pusat dan Daerah Hinterlandnya (Subosuka Wono Klaten)

KARANG SUKOHARDJO ANYAR

Wilayah Subosuka Wono Klaten meliputi enam wilayah kabupaten (Sragen, Wonogiri, Sukohardjo, Klaten, Karang Anyar dan Boyolali) dan satu kota Solo atau Surakarta. Rendahnya pertumbuhan ekonomi pada masa pemrintahan Orde Baru, berimbas kepada ekonomi regional. Perekonomian Solo berada pada posisi rendah pertumbuhannya, dikarenakan kurang berkembangnya investasi terutama disebabkan oleh masih tidak stabilnya kondisi sosial politik dalam negeri. Dalam hal ekspor, sejak 2000, nilai ekspor non- migas Indonesia terus merosot dari 62,1 miliar dollar AS menjadi 56,3 miliar dollar As tahun 2001, dan tahun 2002 menjadi 42,56 miliar dollar AS. Kota Solo/Surakarta tahun 2012 memiliki penduduk sebesar 545.653 jiwa. pertumbuhan ekonomi Kota Surakarta pada tahun 2014 berada pada kisaran 5,5 – 6,0, sedang tahun 2015 mengalami sedikit peningkatan pada kisaran 5,2 – 6,2. Selama tahun 2014, di antara kabupaten/kota di wilayah eks Karesidenan Surakarta (Soloraya), pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sragen yang tertinggi, yakni mencapai 6,2 – 6,7% year on year (yoy). Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di wilayah pheri-pheri kota Solo sebagai berikut, Kabupaten Boyolali pada tahun 2014, ekonomi tumbuh antara 5,0 – 5,5, sedang tahun 2015 antara 5,2 – 5,7. Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2014, pertumbuhan ekonomi antara 4,6 – 5,1, sedang tahun 2015 antara 4,9 – 5,4. Untuk kabupaten Karanganyar, tahun 2014 pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,9 – 5,4 , sedang tahun 2015 berada pada kisaran 5,3 – 5,8. Kabupaten Wonogiri tahun 2014, perekonomian tumbuh antara 3,9 – 4,4, sedang tahun 2015 antara 4,3 – 4,8. Sedang

15 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Klaten tahun 2014 antara 5,4 – 5,9, sedang tahun 2015 diperkirakan antara 5,5 – 6,0. Tingkat kesejahteraan masyarakat kota Solo dapat dilihat melalui menurunnya angka kemiskinan di Solo yang berdasarkan data BPS warga miskin Solo sebesar 70.000 jiwa (BPS,Solo Dalam Angka:2000-2014). Beberapa capaian dari kerjasama antar daerah yang dapat dijadikan pembelajaran dapat dilihat pada dari disertasi tentang “Analisis Kinerja Lembaga Kerjasama Antar Daerah Dalam Meningkatkan Skala Ekonomi Daerah: Kajian Aspek Kelembagaan Studi Kasus Kerjasama Antar Daerah”, yang dibuat oleh Bambang Tri Harsanto (disertasi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan – IPB, 2012). Salah satunya dengan cara memasukkan anggaran untuk kebutuhan kegiatan promosi pariwisata bersama di masing-masing SKPD Kab/Kota. Di duga ada peningkatnya kesadaran masyarakat secara internal dan eksternal Solo Raya dengan dibuatnya branding wilayah SOLO dengan tema “The Spirit of Java”. Terbentuknya Forum Pariwisata Solo Raya yang secara rutin melaksanakan aktivitas promosi bersama, dan tersedianya jaringan informasi kerjasama antar daerah berbasis IT. Selain itu, diselenggarakannya koordinasi penyelenggaraan administrasi pembangunan dan administrasi pemerintahan (misal: koordinasi kependudukan, koordinasi perencanaan pembangunan, koordinasi trayek angkutan umum, dll). Tersedianya sarana untuk promosi/aktivitas bersama Solo Raya: (GRHA SOLO RAYA) yang dibangun Pemerintah Prov. Jateng. Terjalinnya kerjasama antar pelaku swasta melalui fasilitasi BKAD (misal, konsorsium ASITA Solo dengan RSI Yarsis dalam pengembangan paket wisata kesehatan), Meningkatkan nilai tambah (value added) UKM di sektor mebel rotan dan susu sapi perah. Meningkatnya kerjasama diantara pelaku usaha di sektor mebel dan pariwisata. Kehadiran berbagai lembaga kerjasama antar daerah ini tidak disangkal merupakan petanda positif bagi perkembangan pelaksanaan otonomi daerah. Namun, hasil evaluasi menunjukkan bahwa badan-badan kerjasama antar daerah masih belum mampu memberikan kontribusi signifikan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik di daerah.

3.Kerjasama antar Kota Surabaya denga Kota Lain

Kerjasama antar kota Surabaya dengan provinsi Jawa Timur dilakukan untuk pencapaian program kependudukan dan keluarga berencana secara maksimal di provinsi Jawa Timur, khususnya kota Surabaya, terutama daerah pesisir; mengembangkan dan memberdayakan kinerja pengelola kependudukan dan keluarga berencana; mencapai indikator kinerja program tersebut; dan peningkatan akses dan kualitas peserta KB.

16

Kerjasama antara kota Surabaya dan Tebing Tingi, Sumatera Barat dalam bidang jaringan lintas perkotaan, yang meliputi aspek: 1. kebersihan, pertamanan dan lingkungan hidup; 2.teknologi informasi; 3.pertanian; 4.bidang-bidang yang dipandang sesuai dengan kebutuhan dan relevan untuk dua kota tersebut.

Serupa dengan kerjasama di atas, kerjasama antar daerah kota Surabaya dengan Kota Batam dalam jaringan lintas perkotaan, meliputi kerjasama dalam bidang berikut: a.teknologi informasi; b.manajemen perkotaan; c.penanganan trafficking perempuan dan anak, d.promosi perdaganagan, industri dan investasi; e.kebudayaan dan parawisata; dan f.pengelolaan potensi pangan masyarakat serta g. bidang-bidang yang dipandang sesuai dengan kebutuhan dan relevan untuk dua kota tersebut. Sementara itu, kerjasama antar daerah kota Surabaya dan Depok dilakukan dalam bentuk kerjasama jaringan lintas perkotaan dilakukan untuk mensinergika sumberdaya yang dimiliki. Ruang lingkup ke dua kota itu meliputi: a).Peningkatan kapasitas e-government; b).Peningkatan aparatur dalam pelayanan publik berbasis teknologi informasi; c).Pendampingan teknis dalam mewujudkan kota cyber yang berbasis komunitas; dan d).Bidang-bidang lain yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Pembiayaan kerjasama antara Surabaya dan Depok ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing kota yang bersangkutan. Sementara kerjsama antar daerah kota Surabaya dan kota Pakab Baru, Riau dalam rangka menciptakan keterpaduan pembangunan antar kawasan perkotaan dan dalam rangka mewujudkan efisiensi, efektifitas dan sinergitas dalam penyediaan pelayanana umum kepada masyarakat. Tujuan kerjasama antar dua kota ini untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Sedang ruang lingkup kerjasama meliputi: teknologi informasi, lingkungan hidup, penataan perkotaan, promosi daerah , dan bidang-bidang lain yang sesuai dengan kebutuhan dan dipandang relevan oleh para pihak. Dua kota lain yang melaukan kerjasama antar daerah dengan kota Surabaya adalah kota Bantul, Jawa Tengah dan kota Waringin Timur, Kalimantan Tengah dalam bidang serupa.

V.Mendorong Kerjasama Antar Daerah Dalam Bingkai Pembangunan Inklusif Sebagai Dasar Pengembangan Wilayah Pesisir

Dari 94 kota otonom di Indonesia, 47 di antaranya memiliki karakteristik geografis berupa kawasan pesisir. Dominasi jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat wajar mengingat morfologi NKRI yang berupa kepulauan dengan sekitar 17.480 pulau

17 dan dengan 95.181 Km bentang garis pantai dari seluruh pulau tersebut. Tantangan urbanisasi ke kota-kota pesisir sebagai negara urban adalah kebutuhan ruang kota dan kelengkapan fisik-sosial-ekonomi dan kelembagaannya. Selain itu kota pesisir juga menghadapi globalisasi dimana kota-kota sebagai “driver” pertumbuhan ekonomi, sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat dan berperan dalam pengentasan kemiskinan. Tantangan dalam bidang desentralisasi dan demokratisasi di kota pesisir, adalah terjadinya perubahan peran dan penentuan arah di dalam tata-kelola pembangunan dan penyelenggaraan kota sesuai dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah, namun harus berpegang pada prinsip pembangunan inklusif, pembangunan yang mengedepanan pelibatan publik, memajukan ekonomi pesisir dan konsrvasi lingkungan pesisir.

Gambar Kota Pesisir

Pentingnya Pembangunan Ikklusif diterapkan di kota-kota pesisir karena merupakan sebuah pendekatan pembangunan sosial yang secara luas menganalisa suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat, kawasan atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dalam bentuk pembangunan inklusif. Inklusi sosial merupakan salah satu pendekatan pembangunan kota yang mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka, dengan pendekatan ini secara riil hak ekosob warga diakomudir dalam proses pembangunan dengan mengikutsertakan semua orang tanpa melihat perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya. Tujuan Pembangunan Inklusif untuk pelibatan partisipasi masyarakat, meningkatkan-Kesejahteraan dan perbaikan kualitas hidup masyarakat, serta mencapai inklusi sosial.

18

Gambar Permukiman Kumuh di Pesisir

Gambar rumah-rumah cantik di kawasan pesisir yang ditata dan di cat warna-warni yang menginspirasi Ibu Reima ketika menata Kota Pesisir Kenjeran dan Bulak, Surabaya.

Jika kita mampu membangun kawasan pesisir serta laut serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara produktif, efisien dan inklusif serta berlandaskan ekologi wilayah pesisir, maka berbagai permasalahan bangsa yang terkait dengan pengelolaan kawasan peisisr dapat diselesaikan dengan baik. Paradigma Pembangunan Inklusif merupakan solusi untuk membenahi, menata ulang dan merencanakan ulang kota-kota pesisir di Indonesia. Ini sesuai dengan visi presiden Joko Widodo, dimana terdapat lima kelompok kebijakan dan program utama yang dikerjakakan yang tercantum dalam visi tersebut, yakni: (1) penegakan kedaulatan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), (2) penuntasan batas wilayah laut; (3) pemberantasan illegal fishing dan kegiatan ilegal lainnya; (4) pembangunan ekonomi kelautan; (5) memelihara kelestarian sumber daya kelautan; dan pengembangan kapasitas iptek kelautan dan peningkatan budaya maritim bangsa .

Selain itu telah dibentuk berbagai lembaga atau forum aksi kerjasama antar daerah di Indonesia., misalnya Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Badan Kerjasama DPRD Provinsi Se-Indonesia, Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia

19

(BKKSI), Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia. Tentunya keberadaan lembaga-lembaga ini mempermudah proses pembangunan dan pengembangan kerjasama antar daerah.

Ke depan harus lebih di khususkan kerjasama khusus antar daerah/kota pesisir, disebabkan hal-hal berikut ini:

1. Permasalahan kota pesisir berbeda dengan permasalahan di wilayah daratan. 2. Daerah/kota pesisir sangat rentan kebencanaan, baik dalam bentuk perubahan iklim, banjir rob, banjir, kelangkaan sumberdaya air bersih 3. Ekosistem pesisir cenderung dieksploitasi oleh masyarakat, perusahaan, institusi formal, serta umum. 4. Sumberdaya alam pesisir sangat kaya tetapi cenderung tidak dikelola dengan baik. 5. Pembangunan perekonomian daerah, terutama yang didasarkan pada sumberdaya wilayah pesisir dan laut dapat dilakukan dengan lebih baik dan memperhatikan kelestarian lingkungan 6. Potensi kebaharian dan pariwisata sangat tinggi. 7. Daerah pesisir memiliki karakteristik kurang berkembang, miskin dan kumuh.

VI.Penutup: Raw Model Pembangunan Inklusif Sebagai Rekomendasi Kebijakan Pembangunan dan Kerjasam Antar daerah Pesisir

Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam kerangka pengembangan wilayah, akan lebih efektif bila dilaksanakan secara bersama-sama dari seluruh stakeholder yang terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Otonomi daerah telah membuka peluang desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Ini penting karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan banyak memiliki daerah terisolasi, miskin alat transportasi dan komunikasi, masih lemah sistem administrasi pemerintahannya, masih kurangnya kapasitas SDM, serta begitu banyaknya masyarakat yang menmggantungkan kehidupan dan nafkahnya pada sumberdaya pesisir dan laut. Dengan demikian, antara pemerintah dan masyarakat akan semakin dekat dan terpetakan berbagai masalah yang dihadapi sebagian besar masyarakat. Pembangunan perekonomian daerah, terutama yang didasarkan pada sumberdaya wilayah pesisir dan laut dapat dilakukan dengan lebih baik dan memperhatikan kelestarian lingkungan, sehingga didapat konsep pembangunan yang

20 berkelanjutan yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembangunan yang berkelanjutan juga mengusahakan agar hasil pembangunan terbagi secara merata dan adil pada berbagai kelompok dan lapisan masyarakat serta antar generasi karena pembangunan berkelanjutan ini berwawasan lingkungan. Wilayah pesisir dan laut dengan segala karakteristiknya menjadi satu potensi yang patut dijaga dan dikembangkan sebagai sumber perekonomian daerah, sehingga dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Perencanaan tata ruang kawasan pesisir agar diterima oleh masyarakat, terutama komunitas nelayan dan buruh disosialisasikan secara berulang-ulang melalui pimpinan wilayah, yakni Camat dan Lurah dengan mengundang berbagai komunitas yang ada. Sosialisasi melalui interaksi sosial menghasilkan suatu proses sosial yang berkelanjutan, sehingga mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat secara luas untuk mendukung implementasi pembangunan kawasan pesisir. Yang utama untuk menumbuhkan partsisipasi masyarakat adalah kemudahan terhadap akses informasi, seperti aliran informasi yang tidak tersumbat antara masyarakat dengan masyarakat lain dan antara masyarakat dengan pemerintah. Informasi meliputi ilmu pengetahuan, program dan kinerja pemerintah, hak dan kewajiban dalam bermasyarakat, ketentuan tentang pelayanan umum, perkembangan permintaan dan penawaran pasar, program pemberdayaan masyarakat, dsb. Selain keterbukaan akses informasi juga dibutuhkan kapasitas organisasi lokal, sebagai wadah masyarakat untuk bekerja bersama, mengorganisasikan perorangan dan kelompok-kelompok yang ada di dalamnya, memobilisasi sumber-sumber daya yang ada untuk menyelesaikan masalah bersama. Pada umumnya, masyarakat yang organized, lebih mampu membuat suaranya terdengar dan kebutuhannya terpenuhi, contoh terbentuknya kelompok nelayan sangat penting dalam konteks ini. Kemudian, profesionalitas pelaku pemberdaya adalah kemampuan pelaku pemberdaya, yaitu aparat pemerintah seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bappermas), universitas atau LSM, untuk mendengarkan, memahami, mendampingi dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk melayani kepentingan masyarakat. Pelaku pemberdaya juga harus mampu mempertanggungjawabkan kebijakan dan tindakannya yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Partisipasi itu sendiri akan tumbuh jika, kemudahan atas akses informasi, kelembagaan sosial sudah bukan merupakan kendala. Pada tulisan kami yang membahasa pembangunan inklusif di kota Solo, dijelaskan jika partisipasi masyarakat miskin dalam menetapkan prioritas pembangunan pada tingkat daerah bahkan tingkat nasional seungguhnya sangat diperlukan guna menjamin bahwa sumber daya pembangunan (dana,

21 prasarana/sarana, tenaga ahli, dan lain sebagainya) yang terbatas secara nasional maupun pada tingkat daerah dialokasikan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat miskin tersebut. Itu tentu saja peran partisipasi dalam bentuk yang ideal, kenyataannya pada masa lalu, seperti di kota Solo, Semarang dan Surabaya seperti halnya kota-kota lain keikutsertaan penduduk miskin dalam Musrenbang baru pada tingkatan kehadiran fisik, jika mereka berpendapat dan mengajukan berbagai proyek atau kegiatanpun sulit diakomodir oleh Pemkot karena keterbatasan anggaran tadi. Sebetulnya, seperti yang dikatakan Darwanto (2014) ada berbagai bentuk partisipasi, yaitu: partisipasi secara langsung, melalui perwakilan (yaitu memilih wakil dari kelompok-kelompok masyarakat/ kelompok), secara politis (yaitu melalui pemilihan terhadap mereka yang mencalonkan diri untuk mewakili mereka/misal LSM, atau CSO), berbasis informasi (yaitu dengan data yang diolah dan dilaporkan kepada pengambil keputusan), berbasis mekanisme pasar yang kompetitif (misalnya dengan pembayaran terhadap jasa yang diterima). Partisipasi secara langsung oleh masing-masing anggota masyarakat dianggap kurang realistik, kecuali pada masyarakat yang jumlah penduduknya sedikit. Yang umum dilakukan adalah partisipasi secara tidak langsung, melalui wak il-wakil masyarakat atau berdasarkan informasi dan mekanisme pasar melalui Musrenbang. Organisasi berbasis masyarakat seperti lembaga riset, LSM, organisasi keagamaan, dll. mempunyai peran yang penting dalam membawa suara masyarakat miskin untuk didengar oleh pengambil keputusan tingkat nasional dan daerah. Mereka berperan sebagai “kelas antara”, seperti kasus di Kota Pesisir Surabaya. Mereka mediator antara Pemkot Solo dan Masyasarakat miskin, bahkan mereka bekerja bersama masyarakat miskin kota. Upaya melibatkan masyarakat dalam pengertian yang benar adalah memberi masyarakat kewenangan untuk memutuskan sendiri apa-apa yang menurut mereka penting dalam kehidupan mereka (Warsilah,2015, 83-84). Kemudian, dari perspektif budaya, meski memiliki beberapa keunggulan, namun demikian wilayah pesisir dan laut yang terkandung didalamnya sering tidak mempunyai kepemilikan yang jelas (open access), terkecuali di beberapa daerah yang telah memiliki kelembagaan tradisional atau kearifan lokal seperti di Ambon-Maluku dengan kelembagaan Sasi, dan NTB dengan kelembagaan awig-awig, dan Sangir Talaud dengan kelembagaan maneeh. Di Surabaya, kelembagaan tradisional yang dikembangkan nelayan dari kawasan pesisir adalah media “Cangkruan”, yakni ajang pertemuan dan diskusi secara informal dalam keseharian nelayan, dan belum dibakukan secara formal, tetapi saat ini sedang dalam upaya mengidentifikasi aturan-aturan yang berlaku untuk dibuatkan Peraturan Desa. Kearifan lokal “cangkrukan”, adalah media berkumpul dan bertukar pikiran di antara sesama nelayan,

22 antara nelayan dengan aparat Pemerintahan Desa, bahkan dengan aparatur negara di berbagai Dinas terkait. Awalnya hanyalah sebuah kebiasaan dari masyarakat kampung pesisir yang sering ngobrol, nongkrong di mulut gang kampung , atau di pos ronda, kemudian atas inisiatif lurah baru, Lurah Kedhung Cowek bapak..., cangkruan yang hanya sekedar ngobrol bareng di rubah menjadi ngobrol tentang permasalahan kampung dan mencarikan solusinya. Oleh karena itu, cangkruan sering mengundang Camat, atau Dinas-dinas untuk memecahkan masalah-masalah yang muncul. Cangkruan menjadi media efektif bagi masyarakat dan dinas- dinas terkait untuk berinteraksi, berdiskusi dan melakukan sosialisasi sehingga berkembang dengan pesat. Kondisi ini menjadikan kampung-kampung pesisir menjadi pusat perhatian, dan dari pihak warga kampung ada perasaan dihargai dan dilibatkan dalam proses pembangunan. Mereka tidak lagi hanya menjadi penonton, dan ujung-ujungnya termaginalkan dari kampung, tetapi kondisinya sekarang berbeda, warga kampung terlibat aktif dan terlibat dalam proses pembelajaran dan penyadaran secara budaya jika mereka dapat menjadi mitra pemerintah dalam pembangunan kawasan pesisir.

Bagan Draft Model Untuk Rekomendasi Kebijakan Pentaan Kawasan kota Pesisir berbasis Partisipasi Warga

Akademisi, NGO’s & LSM

23

Draft model diatas mensyaratkan dilakukannya suatu fragmentasi hasil-hasil penelitian di kawasan pesisir, seperti pembangunan inklusif, urban resilient, resilient city, suatainable development dan lain-lain, untuk dikemas dalam bentuk brief policy atau policy paper sehinga bisa dibaca oleh para teknokrasi dan di sebarkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai bahan informasi dan koleksi pengetahuan. Pragmentasi hasil penelitian tersebut mengupas tentang partisipasi masyarakat, atau pelibatan publik dalam pembangunan daerah atau wilayah pesisir, membuka akses bagi masyarakat, rekomendasi tentang konservasi lingkugan dan ekosistem pesisir dan rekomendasi tentang proses demokrasi di tingkat daerah yang mensyaratkan keterbukaan, kesetaraan dan keadilan melalui keterlibatan para akedemisi, NGO‟s dan LSM. Berdasarkan brief policy itu dapat dibuat rekomendasi kebijakan tentang perencanaan dan pembangunan kota, khususnya yang berbasis inclusive development dan urban resilient.

24

DAFTAR PUSTAKA:

Raditya.J, http://pasca.ugm.ac.id/v3.0/promotion/id/113, diakses tgl 17 feb 2016.)

(https://didiekprasetyo.wordpress.com/2011/08/29/masyarakat-pesisir-yang-termarjinalkan/, diakses tgl 14 april 2016).

Selayang Pandang Kota Semarang, Kantor Informasi Dan Komunikasi Kota Semarang, 2005

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah tahun 2014. http://coastalareadevelopment.blogspot.co.id/2012/12/kondisi-ruang-kawasan-pesisir- semarang.html, diakses tgl 17 feb 2016.

(http://www.semarang.go.id/cms/index.php?option=com_content&task=view&id=55&Item id=72 diakses pada tgl 2 Juni 2010).

SK Walikota Semarang tentang Penetapan Warga Miskin Kota Semarang, Hasil Identifikasi verifikasi tahun 2009, 2011, 2013. Dalam : “Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Kota Semarang (Gardu Kempling)” Tahun 2014, hal 8 (Tim Koordinasi Penanggulanhgan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kota Semarang.

(http://tarilembayung.blogspot.co.id/2013/05/fenomena-rob-di-semarang-dalam.html, diakses tanggal 1 Agustus 2016.

Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Wijaya Kusuma, Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, tahun 2015.

BPS Kota Semaran, Semarang Dalam Angka, Tahun 2014

Laporan dari Rencana Aksi Perbaikan Lingkungan (RAPL-NUAP) 2015, dan data PKK tahun 2015.

Monografi Bps Kota Semarang, Kota Semarang Dalam Angka 2013.

Etty Soesilowati, Kebijakan Perumahan Dan Permukiman Bagi Masyarakat Urban , Journal Ekonomi dan Manajemen, Dinamika, vol 16.1, hal 116-117. Dalam http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jd/article/view/1479/1604, diakses tgl 26 juli 2016) http://zafiraafriza.blogspot.co.id/2013/06/karakteristik-masyarakat-pesisir-di.html, diakses tgl 29 juli 2016

25

(http://krisbudi.blogspot.co.id/2011/11/inovasi-kota-semarang-untuk-pengentasan.html, diakses tgl 12 agust 2016)

Buku Saku Kota Semarang 2014, Bappeda Kota Semarang dan BPS Kota Semarang, 2015

Buku Kerja Pendamping PKH (Program Keluarga Harapan), Direktorat Jaminan Sosial, Direktorat Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementrian Sosal RI, 2013.

Statistik Daerah Kota Semarang Tahun 2012, BPS, Kota Semarang

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan http://slideplayer.info/slide/4069205/, diakses tgl 8 agust 2016)

LKPJ- Laporan Pertanggung Jawaban Jabatan Walikota Semarang, tahun 2015.Akil, Sjarifuddin. 2002. Kebijakan Kimpraswil Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Makalah Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan perikanan Tahun 2002. Jakarta.

Nurmalasari, Y. Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisr Berbasis Masyarakat. www.Stmik- im.ac.id/userfiles/jurnal%20yessi.pdf.

Asosiasi Pemeritah Kabupaten Seluruh Indonesia (APAKASI). 2001. Permasalahan dan Isu Pengelolaan dan Pemanfaatan Pesisir Di Daerah. http://aplikasi.or.id/modules.php?name=news&files=article&sid=106

Tatag Wiranto, MURP,2004. Pembangunan Wilayah Pesisir dan laut Dalam Kerangka Pembangunan Perekonomian Daerah. Disampaikan pada Sosialisasi Nasional Program MFCDP, 22 September 2004 di Bappenas, Jakarta.

Yeremias T. Keban, “Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi Daerah: Isu Strategis, Bentuk Dan Prinsip” (diakses dari http://www.bappenas.go.id/node/48/2258/kerjasamaantar- pemerintah-daerah-dalam-era- otonomi-oleh-yeremias-t-keban-/ pada 29 September 2011.

Depatemen Kelautan dan Perikanan. Pokok-Pokok Pikiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP).

26

BIODATA NAMA :Prof.Dr.Henny Warsilah,DEA PENDIDIKAN : S3 AGAMA : Islam PEKERJAAN : Peneliti Sosial Budaya INSTITUSI : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) ALAMAT : Jln.Jend.Gatot Subroto 10 Jakarta Selatan ALAMAT EMAIL : [email protected] TILPUN : 081290442588 PENGALAMAN PENELITIAN :-Resilient City (Kota Tangguh Bencana) Kawasan Kota Pesisir Semarang, Surabaya dan Makassar. -Pembangunan Inklusif Kota Pesisir Surabaya, Jawa Tengah -Pemberdayaan Masyarakat Perbatasan Badau, Kapuas Hulu Kalbar dengan Malaysia. -Dampak Sosial Dari Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir Indonesia. -dll. Sub Tema Yang Dipilih: Dinamika Antardaerah dan Negara

27

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Kampung Tidore di Pulau Sangihe dan Pulau Lembeh: Dinamika Antar Wilayah dan Agama Pada Abad ke-17 dan 18 Dr. Achmad Syahid

KAMPUNG TIDORE DI PULAU SANGIHE DAN PULAU LEMBEH: Dinamika Antar Wilayah dan Agama pada Abad ke-17 dan 18

Achmad Syahid Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, korespondensi [email protected]

Arthur Gerung Dosen dan mahasiswa Program Doktor Teologi STAKN , korespondensi [email protected]

Deyvi Tumundo Mahasiswa Program Doktor Teologi STAKN Manado, korespondensi [email protected]

Menurut Surat Endom bahwa pada 27 Ferbruari 1770, Pulau Lembeh, yang kini terletak Kota Bitung, Sulawesi Utara, dihadiahkan pemerintah kolonial Belanda kepada Xaverius Dotulong – selanjutnya disebut Dotulong. Yang dimaksud dengan Surat Endom adalah kumpulan 8 surat bukti korespondensi antara Gubernur Belanda dengan Dotulong. Hadiah itu dikarenakan Dotulong sukses melakukan penghadangan terhadap ekspedisi Kerajaan Tidore agar tidak sampai mendarat di Kema (kini di Bitung) dan juga Manado. Penghadangan juga dilakukan kepada seluruh armada laut lain, termasuk perompak-perompak dari Mindanau, Ternate, Tidore, dan di sekitar pulau itu karena dianggap tidak pro VOC. Apalagi Dotulong memang sejak awal menjaga Pulau Lembeh untuk mengamankan kepentingan Belanda berkaitan dengan sarang Burung Lelayang (dikenal juga dengan Burung Walet) dari para perompak. Demikian menurut versi bahasa lisan yang dituturkan turun-temurun pada anak turun Dotulong. Ekspedisi Kerajaan Tidore itu harus digagalkan oleh Belanda, bukan karena semata- mata faktor agama, tetapi karena faktor kepentingan ekonomi perdagangan. Karena faktor yang disebut terakhir, pasca Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, sisa-sisa keturunan Malaka membuka ke wilayah Johon dan Riau Kepulauan 1 . Pedagang yang dulu singgah di Malaka membuka jalur pelayaran hingga ke Maluku dan Asia Tenggara melalui laut Sulawesi dan laut Maluku, demikian juga Portugis. Sejak abad ke-15, telah banyak umat Islam dan pemimpin Muslim di luar jazirah Arab sehingga dikenal Maluku dikenal dengan

1 Achmad Syahid, Pemikiran Politik dan Tendensi Kuasa Raja Ali Haji (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, 2009)

2 Jazirat al-Muluk – dari sinilah nama Maluku diambil 2 . Maluku seperti Malaka, wilayah ini pada abad ke-16 dan ke-18 menjadi tidak stabil, karena faktor perebutan pengaruh perdagangan rempah-rempah antar negara-negara kolonial dari Eropa: Spanyol, Portugis, Inggris, terakhir Belanda juga antar kerajaan pribumi. Perjanjian Saragosa antara Spanyol dengan Portugis pada 22 April 1529 membuat tenang kawasan ini untuk sementara, tetapi tidak selamanya. Belanda dapat menguasai Minahasa3 – sebutan populer Sulawesi Utara saat itu – dan Manado pada 1679 dengan merebutnya dari kontrol negara-negara Iberia: Spanyol dan Portugis4. Dalam perebutan pengaruh antar bangsa tersebut, agama memang bukan faktor penentu, namun ia dapat menjadi variabel fasilitator bagi lancar tidaknya komunikasi untuk konsolidasi antar daerah kekuasaan dan di bawah tekanan pengaruh asing yang kuat tersebut, baik bagi Tidore dan Ternate juga bagi Belanda. Ekspedisi Tidore harus dicegah masuk Manado, bukan saja karena Belanda sudah berdiam di Manado dan berusaha menangkal masuknya pengaruh Islam yang menempel pada kekuatan Tidore dan Ternate di wilayah yang telah menjadi koloni Belanda tersebut. Taulu menulis bahwa garis pantai utara Sulawesi mulai dari , Bolaang Mongondow, Sangir Talaud, Manado, hingga Minahasa adalah sebagian wilayah berdiam penduduk yang memeluk Islam sebelum Belanda datang, hingga kini5. Masuknya Islam ke wilayah ini pada awalnya memang karena ekpedisi pedagang asing, terutama dari Arab dan India, dalam mengembangkan misi dagang dan syiar Islam di Indonesia Bagian Timur, seperti Ternate dan sekitarnya 6 . Catatan Pigafeta yang melakukan ekspedisi pada 1821 menyebut bahwa Islam masuk ke Maluku sejak abad ke-9, bahkan lebih lama dari itu, namun catatan itu menyebut Islam masuk Ternate sekitar 50 tahun sebelumnya7. Namun Islam secara resmi masuk ke Tidore pada abad ke-15,

2 Tim Hannigan, A Brief History of Indonesia: Sultans, Spices, and Tsunamis: The Incredible Story of Southeast Asia’s Largets Nation (Indonesia: PT Java Books Indonesia, 2015), p. 67 3 N. S. Kalangi, “Kebudayaan Minahasa” dalam Koenjaraningrat (ed), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1976) 4 Hannigan, A Brief History of Indonesia, p. 149 5 HM Taulu, Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi Utara dengan Perkembangan dalam Ikatan Kebudayaan Hukum Adat Daerah Terutama Minahasa (1525-1977) (Manado: Penerbit Yayasan Manguni Rondor, 1977) 6 MC Riklefts, A History of Modern Indonesia since C.1200 (London: Palgrave MacMillan, 2001) 7 M Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara XVI-XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), p. 53

3 sekitar 80 tahun sebelum lawatan itu dilaksanakan8. Tentu saja catatan ini terlalu terlambat, karena Islam telah masuk ke wilayah ini pada pertengahan abad ke-15. Berbeda dengan sejarah Islam masuk ke Minahasa dan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, yang disebut sejak 1525. Pada 1590, saudagar berkebangsaan Arab dari Ternate, Said Welas Rais memasuki Pelabuhan Belang. Pelabuhan ini terletak di pesisir pantai wilayah Minahasa Tenggara, yang merupakan kota pelabuhan pertama di Minahasa yang mengenal agama Islam. Sebelum kedatangan Belanda, disebutkan bahwa pada Ponosokan, dengan Ibukota Pelabuhan Belang itu telah dijumpai pemeluk agama Islam. Paeni menulis Islam masuk ke Sulawesi Utara disebarkan oleh seorang mubaligh, Syarif Mansyur, seorang dari Magindanau, Philiphina Selatan. Pada pertengahan abad ke-16, Syarif Mansyur menjadi Raja Kandahe, menggantikan Wagama, penguasa sebelumnya yang bergelar Kulano. Pada saat Syarif Mansyur menjadi Raja Kanhade, dia juga menggunakan gelar Kulano, dan kemudian mengislamkan rakyat Kandahe, Tawalide, dan Sangir-Talaud9. Di wilayah Bolaang Mangondow, Islamisasi telah berlangsung pada 1580-1660, berlangsung pada masa Kerajaan dipimpin oleh Datu’ Binangkang atau Raja Loloda’ Mokoagow oleh mubaligh Batu Da’a Suwawa Gorontalo. Sejak masa Islam, kemudian memeluk Katolik, wilayah ini dikenal anti VOC. Sultan Hairun Jamil, raja Kesultanan Ternate ke-23 yang memerintah pada 1534-1570 beserta puteranya Sultan Baabullah (memerintah 1570-1583) telah sering melakukan hubungan dagang antar pulau dengan wilayah di pesisir utara Sulawesi. Tidak hanya Sultan Hairun dan Sultan Baabullah yang anti Portugis, tetapi kemudian juga anti Belanda. Pada masa kejayaannya, kekuasaan kesultanan Ternate membentang mencakup wilayah Maluku; Sulawesi bagian Utara, Timur, dan Tengah; bagian selatan Kepulauan Filipina dan Kepulauan Marshal di Pasifik. Hubungan dagang menjadi isu utama di sini, mengingat baik Tidore dan Ternate merupakan dua kerajaan yang sangat berpengaruh di wilayah itu sebagai penghasil rempah-rempah. Islamisasi pada wilayah ini pada periode-periode belakangan karena Belanda mendatangkan tenaga buruh dari Makassar dan dari Pulau Jawa yang sampai di

8 Yahya, Kerajaan Islam Nusantara XVI-XVII, p. 5 9 Mukhlis Paeni, Edward Poelinggomang, Abdul Madjid Kallo, Bambang Sulistyo, Anwar Thosibo, Andi Maryam, Sejarah Kebudayaan Sulawesi (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), p. 92

4 Pelabuhan Manado pada 1684. Kedatangan buruh dari Makassar, Bali, Jawa, Ternate turunan Portugis, Spanyol, dan China, pada 1684 hingga akhir abad ke-17 untuk membuat barikade atau benteng dari kayu membuat populasi penduduk pendatang meningkat di wilayah ini. Populasi pemeluk Islam dari Ternate dan Makassar meningkat di pesisir utara Sulwesi, sementara pemeluk Hindu Bali menyebar di Gorontalo dan wilayah lain di Sulawesi Utara. Islam sendiri berkembang di pesisir pelabuhan Manado, Bitung, Kema, Amurang dan lain-lain, yang dibawa oleh para pedagang dan nelayan muslim asal Gorontalo, Bugis, Makassar, Ternate, Banjar, Arab dan lain-lain. Mereka kemudian hidup menetap sekitar abad 17 dan 18, seperti di Manado terdapat perkampungan umat Islam seperti Kampung Ketam, Kampung Ternate dan Kampung Islam 10 . Bagi Belanda, penyebaran Islam pada wilayah ini dapat berarti dua hal. Pertama, dapat memudahkan Sultan Tidore yang sejak Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689) mengembangkan pengaruhnya pada wilayah ini, dan itu berarti ancaman bagi Belanda. Dapat disebut di sini bahwa wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore meliputi Pulau Seram, sebagian , Raja Ampat, Kai, dan sebagian Papua. Dengan kekuasaan yang luas dan kuat, Tidore sejak saat itu berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18. Pengganti Sultan Sultan Syaidul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mab’us Kaicil Paparangan Jou Barakati Nuku (memerintah 1797-1805), adik Sultan Zainal Abidin (memerintah 1805-1810) juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali Kepulauan Maluku. Kedua, juga berarti hambatan bagi Belanda untuk menguasai perdagangan internasional atas komoditi rempah-rempah melalui jalur laut dari dan ke Maluku. Sebelum menaklukkan Ternate dan Tidore, menjadi strategis bagi Belanda untuk menguasai wilayah di sekitarnya. Dalam hal ini termasuk kepulauan di sekitar Sulwesi Utara, Gorontalo dan sekitarnya. Jika Belanda meminta bantuan Dotulong melakukan penghadangan terhadap ekspedisi Tidore, kemudian misi itu berhasil, itu merupakan bagian agenda besar Belanda untuk menguasai wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore dan Ternate secara pelan, pasti dengan organisasi VOC yang rapi dan sistematis. Tidak jelas benar mengapa Dotulong adalah pihak yang dipilih untuk membantu Belanda. Tidak ada informasi dari pihak Belanda tentang hal itu. Belakangan diperoleh informasi dari luar Belanda bahwa tokoh ini dapat dijelaskan dari latar posisi kultural, letak strategis geografis dan kosmopolitanismenya. Diperoleh penjelasan bahwa dia adalah putera Runtukahu Lumanauw yang tinggal di Kema dan merintis pembangunan tempat itu. Runtukahu Lumanauw adalah generasi keempat dari Suku Tonsea. Sehingga Dotulong adalah salah satu pemimpin suku generasi kelima dari Suku Tonsea yang didirikan oleh We’enas yang kini berkedudukan di Kema. Dengan demikian, Dotulong dipilih karena kedudukan dia sebagai pemimpin

10 A. E. Rompas dan A. Sigarlaki, Sejarah Masuknya Islam di Kota Manado (1982), p. 14 dikutip dari Sejarah Islam di Sulawesi Utara - Part1 http://artfalsafah.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-islam-di- sulawesi-utara-part1.html

5 Kema. Kini Kema merupakan salah satu kecamatan di Minahasa Utara yang berbatasan dengan Bitung di bagian utara, sebelah Timur dengan Laut Maluku, sebelah selatan dengan Kecamatan Kombi, Kabupaten Minahasa, dan sebelah barat dengan Kecamatan Kauditan. Kema merupakan Ibukota Kecamatan Kema dan kota pelabuhan ikan di Minahasa Timur sejak dibangun sejak Runtukahu Lumanauw. Tinggal di daerah yang berhadapan langsung dengan Laut Maluku, tempat lalu lintas internasional, membuat Dotulong menjadi seorang yang terpelajar. Ketika berkorespondensi sebanyak delapan kali dengan Gubernur Belanda Maluku di Ternate, Robertus Padtbrugge, Dotulong menggunakan bahasa Melayu yang sudah banyak digunakan sebagai bahasa pengantar oleh pedagang-pedagang pada jalur dagang di dan ke wilayah nusantara saat itu. Bukan hanya Dotulong sendiri yang mahir berbahasa Melayu, tetapi juga keluarga besar Dotulong. Keluarga masih menyimpan bukti bahwa surat Catharina Dotulong – keturunan perempuan tertua – kepada D. H. de Vries – Direktur Residen Manado – juga dalam bahasa Melayu. Menurut keturunan Dotulong, patut diduga, faktor ini yang melatarbelakangi Belanda akrab dengan keturunan Dotulong11. Pada abad ke-17, Belanda memantapkan kehadirannya di Sulawesi Utara. Gubernur Padtbrugge melakukan ekspedisi perjalanan ke Sulawesi Utara pada 1677- 1679, hampir satu abad sebelum Belanda meminta Dotulong melakukan penghadangan terhadap ekspedisi Tidore. Fort Rotterdam didirikan di Manado sebagai pangkalan utama Belanda, kemudian Kepulauan Sangir Talaud ditaklukkan. Gorontalo dan Limboto membuat perjanjian dengan Gubernur Padtbrugge, yang isinya, kedua kerajaan tersebut telah menyerahkan hak-haknya kepada VOC. Terdapat 24 wilayah di Minahasa yang menanda-tangani perjanjian dengan VOC pada 1679. Negeri-negeri ini diwajibkan mengirimkan bahan makanan ke pos-pos penjagaan Belanda di Manado dan Ternate. Negeri-negeri kecil ini kemudian menjadi basis penanaman kopi secara paksa di Indonesia pada awal abad-18. Meski demikian, Banggai dan Tabungku di Sulawesi Tengah bagian timur tetap merupakan wilayah kekuasaan Ternate sampai pada 1900. Dengan gambaran di atas menjadi terlihat, VOC Belanda meminta bantuan melakukan penghadangan terhadap Tidore – yang didahului dengan korespondensi Dotulong dengan Gubernur Jenderal Belanda di Ternate – tentu saja sebagai dari proses akuisisi dari Belanda atas Sulawesi Utara12.

Pulau Lembeh Lembeh merupakan bahasa Tonsea, dari kata “dembe” yang berarti tersaku, tersendiri, terpisah dan terpencil. Pulau ini terpisah dari daratan Malesung atau Minahasa dan terpencil dari peradaban daratan di Kema. Dotulong ditakdirkan memenuhi tugasnya. Kepadanya dihadiahkan Pulau Lembeh, pulau terpencil, yang kini masuk bagian wilayah Kota Bitung. Bukti yang mereka miliki adalah Surat Endom yang menyatakan penyerahan kepemilikan pulau itu dari Belanda kepada mereka. Sampai kini tidak ada masyarakat di Pulau Lembeh yang tidak mendengar

11 Wawancara dengan keturunan Keluarga Besar Xaverius Dotulong di Treman, Kauditan, Minahasa Utara, pada 27 Oktober 2016 12 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 112

6 atas klaim ahli waris anak turun Dotulong ini. Penelitian dengan jalan rekonstruksi sejarah oleh Widhiana H. Puri, Akur Nurasa, dan Wahyuni, atas kebijakan pertanahan disebutkan bahwa klaim atas tanah Pulau Lembeh yang diajukan oleh keluarga waris Dotulong adalah bahwa tanah itu mereka miliki sejak 1770 berdasarkan ketentuan yang berlaku di zaman kolonial Belanda, yakni: a. Extract Resolutie in Rade van Politic te Ternate, 27 Februari 1770 – yang berisi: izin tinggal di Pulau Lembeh dari Polisi di Ternate; b. Aldus Gedaan en Verleend te Ternate in’t Casteel Oranje den 17 April 1770 de Gouverneor der Moluren (WG) Hermanus Munnik - yang berisi: pengesahan izin tinggal di Pulau Lembeh dari Hermanus Munnik dengan pengajuan resmi ke Gubernur Maluku di Ternate di Castel Oranye pada 17 April 1770; c. Extract Uit net Register der Handelingen in Besluiten Van Der Resident van Manado No. 37 – yang berisi: intisari dari daftar kisah para rasul yang tinggal dan memberikan pelayanan di Manado - yang dikenal dengan Beslit Residen Manado Nomor 37 tanggal 2 Februari 1897; d. Diakui oleh S. P. J. M. M. Gouberneur Djenderal di Batavia, dan dikuatkan oleh pihak Kanjeng Goevernement Tanah Hindia Belanda oleh S. P. T. Bangsawan Residen Menado menurut Surat Putusan Nomor 59 tertanggal 23 Februari 1897 bahwa Pulau Lembeh milik Dotulong13. e. Akte Notaris Hendri Geraard van Os van Delden tertanggal 30 September 1908 tentang pembagian tanah pusaka warisan Dotulong di Pulau Lembeh dan Minahasa daratan; f. Akter Notaris GJFP Kairupan Nomor 16 tertanggal 16 April 1950 tentang Pembagian Tanah Pusaka di Pulau Lembeh. Bagian Utara milik Watok dan Lumolinding, anak perempuan Dotulong. g. Register Tanah Lembeh Utara/Tengah Peta Pembagian Tanah Warisan Pulau Lembeh kepada anak cucu Watok dan Lumolinding tertanggal 13 Agustus 1951 yang ditanda-tangani Hukum Besar Tonasea H. C. Mantiri. h. Surat Keterangan Hak Milik Nomor Register 01 Folio 01 Tahun 1958 yang ditanda-tangani oleh 3 (tiga) Hukum Tua di Pulau Lembeh: Hukum Tua Pulau Lembeh Utara, Hukum Tua Pulau Lembeh Tengah, dan Hukum Tua Pulau Lembeh Selatan, bahwa tanah Pulau Lembeh atas tanah Pasini Hak Milik Dotulong14. Lebih dari itu, gabungan keturunan Dotulong dari Waldo dan Rusdo menyebut bahwa jauh sebelum terbitnya Demien Verklaring/STBLD 1870 Nomor Jo 118 ordenantie 8 Maret 1877, Pulau Lembeh sesungguhnya merupakan miliki Dotulong yang merupakan warisan dari orang tuanya. Karena tanah warisan, maka posisi hukum

13 Widhiana H. Puri, Akur Nurasa, Wahyuni, “Rekonstruksi Sejarah dan Kebijakan Pengelolaan Pertanahan di Pulau Lembeh”, Laporan Monografi Penelitian Strategis Tahun 2014 (Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2014), p. 13 14 Bukti dan kepemilikan Pulau Lembeh ini telah juga dimuat dalam Harian Komentar: Hanya Satu Untuk Semua, Rabu, 14 September 2011

7 Demien Verklaring/STBLD 1870 Nomor Jo 118 ordenantie 8 Maret 1877 dapat dibaca sebagai pengajuan sertifikasi tanah dari pemilik pribadi kepada pemerintah. Pada 1981 buku karya Bonnie Lengkong, yang menyebut bahwa Pulau Lembeh merupakan milik keluarga Dotulong, antara lain berdasarkan bukti di atas. Pada buku tersebut juga diceritakan bahwa pada awalnya Dotulong diberi kepercayaan sebagai ukung-ukung atau penjaga pulau yang dipandang menyeramkan itu karena tempat perompak dari Mangindano, Ternate, Tidore, dan kerajaan-kerajaan utara lainnya demi melindungi sarang Burung Lelayang – sarang burung yang sangat berharga. Ciri-ciri Burung Lelayang itu pendek, kecil, lebih menggemuk, berparuh kecil, pipi hitam, dengan warna biru gelap dan berekor pendek. Pada 1680-1880 belum terdapat tanaman yang berharga di pulau tersebut, kecuali Burung Lelayang, di mana pada 1765-1785, harga satu pon sarang Burung Lelayang adalah dua ringit emas 15 . Kemudian Dotulong meminta pengesahan dari Gubernur Ternate agar dapat memiliki keseluruhan pulau tersebut 16 . Atas dasar pemikiran itu, wajar ahli waris Dotulong menuntut kepemilikan seluruh pulau. Namun karena telah terlanjur banyak penghuni lain di Pulau Lembeh yang berasal dari Sangihe Talaud, maka mereka menuntut tanah seluas 300 ha 17 sebagai hak kelakeran keluarga dengan merujuk pada Keputusan Kemendagri Nomor 170 Tahun 1984. Tanah kelakeran keluarga atau famili adalah

15 Grey Tumulewo, Hikayat Pulau Lembe (30-31 Mei 2006) 16 Bonnie Lengkong, Sejarah Kepemilikan Pulau Lembeh (Manado: Jajasan PAXKDO, 1981) 17 Jumlah luas 300 ha ini disangkal oleh Keluarga Besar Dotulong yang lain. Menurut mereka, keluarga besar Dotulong tidak pernah mengusulkan/menuntut kepemilikan hanya 300 ha, tetapi selalu mengklaim 5.040 ha. Klaim 300 ha ini terjadi di zaman Gubernur Sulawesi Utara (Periode 2 Maret 1967-21 Juni 1978), Hein Victor Worang, dianggap sebagai akal-akalan Bonnie Lengkong yang mengatasnamakan keluarga Dotulong. Surat kepada Gubernur Worang ini ditandatangai oleh Bonnie Lengkong, Gubernur Worang, Lucky Sondak (ayah Angelia Sondakh) dan lain. Namun pada saat itu juga ada surat bantahan dari keluarga XD terhadap Kementerian Dalam Negeri tentang hal ini.

8 tanah dengan hak ulayat yang diberikan kepada kepala suku kepada seseorang karena ia yang pertama kali membuka tanah tersebut untuk kemudian dapat diwariskan kepada keturunannya. Disebut sebagai tanah kelakeran adalah karena mereka yang berasal dari Suku Tonsea – puak suku Dotulong juga – yang kali pertama membuka lahan dan menggarap tanah pulau tersebut18. Namun klaim yang kali pertama sebagai pembuka lahan ini juga segera dibantah oleh Johan Rahasia yang menulis bahwa Pulau Lembeh ini telah berpenghuni sejak abad ke-15 oleh aneka suku bangsa seperti Sangir Talaud, Ternate, Tidore, Batjan, Bolaang Mongondow – terutama Suku Loloda19. Pada masa awal- awal tidak ditemukan suku Minahasa di pulau ini. Dengan demikian, jika betul Gubernur Belanda memberikan hak kepemilikan Pulau Lembeh kepada Dotulong kuat dugaan bahwa Dotulong menguasai pulau ini dengan tetap berdiam di Kema, tidak berdomisili di pulau yang diklaimnya tersebut pada saat dan setelah Belanda mengesahkan kepemilikannya. Ditemukan bukti bahwa dalam beberapa waktu ada ahli waris Dotulong yang mendiami Pulau Lembeh, namun kemudian pada saat isu kepemilikan tanah mencuat ke permukaan, mereka mengalihkan status kepemilikan tanahnya kepada pihak lain dan kembali ke Bitung20. Selain klaim yang dipersoalkan, kesulitan lain yang muncul adalah dalam konteks pembagian tanah ahli waris, komplikasi kepemilikan tanah di Pulau Lembeh diperumit tentang siapa ahli waris Dotulong yang sebenarnya. Di dalam tubuh internal ahli waris terpecah menjadi tiga kelompok: PAKXDO, WALDO, dan RUSDO. Meski ketiga ahli waris tersebut mengaku berada di bawah koordinasi PAKXDO, namun ketiganya memiliki pendapat dan kebijakan masing-masing, terutama pengakuan Waldo dan Rusdo terhadap PAKXDO21. Peneliti dan sejarahwan muda Minahasa, Grey Tumulewo, menulis bahwa Pulau Lembeh termasuk wilayah kekuasaan Belanda. Dalam rangka melindungi sarang Burung Lelayang yang merupakan habitat alami di pulau itu, ditetapkan Dotulong sebagai penjaga atau pengawas pulau tersebut. Buku ini juga menceritakan bahwa penduduk awal Pulau Lembeh berasal dari keturunan Malesung 22 dan Bolaang Mongondow.

18 Lengkong, Sejarah Kepemilikan Pulau Lembeh. Bandingkan dengan wawancara dengan keturunan Keluarga Besar Xaverius Dotulong di Treman, Kauditan, Minahasa Utara, pada 27 Oktober 2016 19 Johan Rahasia, Menjingkap Tabir Pulau Lembe (1967) 20 Lengkong, Sejarah Kepemilikan Pulau Lembeh, p. 14 21 Puri, Nurasa, Wahyuni, “Rekonstruksi Sejarah dan Kebijakan Pengelolaan Pertanahan di Pulau Lembeh”, p. 13-14 22 Malesung adalah sebutan Minahasa tempo dulu

9 Penduduk Malesung ada sejak zaman purba, mereka dinamakan Punten Ni Rumajomprong, karena pertama-tama menempati pulau ini adalah Rumojomprong23. Menurut Belanda pulau itu penting karena terdapat banyak habitat Burung Lelayang, karena itu, menyerahkan penjagaan pulau tersebut kepada Dotulong pada 1760. Status kepemilikan Pulau Lembeh akhirnya diberikan kepada Dotulong oleh Gubernur Maluku, Hermanus Munnik, yang berkantor di Castel Oranye24. Terlepas dari kontroversi klaim dan status kepemilikan Pulau Lembeh, dengan lalu lintas laut yang padat di antara Pulau Lembeh dengan Bitung dari dan menuju Pelabuhan Bitung, pulau ini merupakan tempat yang favorit bagi para pedagang, pengembara maritim dan barangkali juga para perompak. Karena tempatnya tidak jauh dari Bitung, pada kasus PRRI – Permesta, pulau ini juga merupakan tempat pengembaraan bagi orang yang terkena dampak politik dari peristiwa itu25. Bitung adalah kota pelabuhan tersibuk di Sulawesi Utara, dan kini masuk jalur Tol Laut yang menghubungkan pulau-pulau di seluruh nusantara. Dilihat dari peta lokasi Pulau Lembeh, dia berhadapan langsung dengan kekuasaan Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore di Maluku Utara. Strategis jika Belanda menghadiahkan Pulau ini kepadanya, di samping sebagai penghargaan juga terkandung maksud sebagai aliansi Belanda untuk menangkal pengaruh Tidore dan Ternate ke wilayah itu.

Tempat Buangan Pejuang Begitu kekuasaan Tidore dan Ternate telah dibendung, wilayah ini telah di bawah pengaruh Belanda, wilayah ini kemudian menjadi wilayah pengasingan para pejuang anti kolonial yang kebetulan beragama Islam. Mereka ini pada umumnya beragama Islam dan beberapa di antara mereka adalah penganjur agama Islam yang berasal dari Aceh, , Palembang, Jawa dan Kalimantan yang datang di Minahasa26. Pada 1790 menyusul rombongan tawanan para pejuang kemerdekaan dari Banten yang dipimpin oleh Tubagus, Abussalam, Abdul Rasyid, dan Abdul Wahid tiba di Minahasa. Perlawanan yang gagal terhadap Belanda oleh Pangeran Abdurrahman dan Pangeran Jayadiningrat pada 22 November 1821, juga oleh Sultan Ahmad Najamuddin, merupakan babak akhir kesultanan Palembang. Ayah sultan ditawan Belanda dan diasingkan ke Batavia, sementara Sultan Ahmad Najamuddin meneruskan perlawanan di hulu Sungai Musi. Setelah melakukan perlawanan selama delapan bulan, sultan ditawan dan diasingkan di Manado di mana ia meninggal pada 1844. Meninggalnya sultan ini sekaligus menandai berakhirnya dinasti Palembang27. Pasca Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), pada 1831, KH Muhammad Ghazali Modjo – paman Pangeran Diponegoro – bersama 63 pejuang pria yang berasal dari Yogyakarta, Solo, Demak, Cirebon, dan kota-kota lain di Jawa dibuang

23 Grey Tumulewo, Hikayat Pulau Lembe (30-31 Mei 2006) 24 Grey Tumulewo, Hikayat Pulau Lembe (30-31 Mei 2006) 25 B Harvey, Permesta: A Half of Rebellion (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1977), monograph series, publication no 57 26 N Graafland, Minahasa: Negeri, Rakyat dan Budayanya (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991) 27 M Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara XVI-XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), p. 51

10 Pemerintah Kolonial Belanda di wilayah melalui Pelabuhan Kema. Di tempat pengasingan ini mereka tetap memegang teguh agama dan praktek ibadah mereka, dan di Tondano melahirkan Jawa Tondano28. Selain Kiai Modjo dan istrinya, para pengikut Mojo yang terdiri dari 63 pria itu pengikutnya bukan laki-laki biasa. Mereka adalah pemuka agama dan disebut penganut tarekat, yang antara lain disebut bernama Kiyai Imam Ngarib Baderan, Kiyai Tumenggung Pajang, Kiyai Tumenggung Reksonegoro, Kiyai Maulana, Kiyai Demak, Kiyai Urawan, Kiyai Dadapan, Kiyai Hasan Besari, Kiyai Wonopati, Haji Ngali, Haji Mohamad Tayib, Haji Kasaniman, Haji Imam Maraji, dll29. Mereka berdiam di Desa Tegal Rejo, nama desa seperti desa asal kediaman Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa. Mereka bersosialisasi dan bercocok tanam sebagai petani seperti pekerjaan mereka di Jawa, dan itu mempengaruhi bagaimana kuliner wilayah ini pada periode belakangan sebagai bagian dari identitas Minahasa30. Pada dimensi kemasyarakatan mereka berjalan dengan adaptasi, tanpa menanggalkan ajaran yang mereka anut. Mereka meramu rukun Islam dan tarekat dengan kalimat Jawa “sedulur papat limo pance” yang berarti kombinasi antara tahapan konsep tasawuf – syari’at, tarikat, hakikat, dan ma’rifat dengan rukun Islam yang jumlahnya lima – syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Ditempat pengasingan ini mereka menikahi wanita-wanita suku Minahasa 31 , dari keluarga Karinda, Tombokan, Supit,

28 Timothy George Babcock, Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity (Yogyakarta: UGM Press, 1981). 29 JV Lisangan, Perjuangan Pemuda Indonesia Minahasa Manado (Manado: Yayasan Wongken Werun, 1995), p. 182-183 30 Gabriele Weichart, “Identitas Minahasa: Sebuah Praktek Kuliner”, Antropologi Indonesia, No. 74 (2004) 31 N. Graafland, Minahasa: Negeri, Rakyat dan Budayanya (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991). Kinayati Djojosuroto, “Ikon Tradisi Ba’da Ketupat Sebagai Refleksi Kebudayaan Masyarakat Jaton Sulawesi Utara”, al-Harakah, Vol 15 No. 2 (2013), p. 219

11 Sahelangi, Rondonuwu, Ratulangi, Tombuku, Tumbelaka, Malonda, Kotambunan, dan Rumbayan32. Pernikahan ini, menurut Babcock33 karena dua hal: para pemuda lokal banyak yang dikirim ke luar Tondano ke Makassar sebagai prajurit, sementara perawakan mantan prajurit Jawa ini juga menawan. Tujuh tahun setelah Perang Jawa berakhir, pada 1837 di Jawa Tondano juga menjadi tempat pembuangan Kyai Hasan Maolani yang berasal dari Desa Lengkong, Garawangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kyai Hasan pada awalnya diasingkan ke Ternate. Kemudian dibawa ke Pelabuhan Kema, dan seratus hari kemudian dia dipindahkan ke Kampung Jawa Tondano, tinggal bersama pasukan Kyai Modjo. Di Kampung Jawa ini Kyai Hasan melanjutkan pengajaran sisa-sisa pasukan Kyai Modjo, termasuk warga sekitar dengan membuka Rama Kyai Lengkong34. Pada tahun itu juga, tepatnya pada 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol ditaklukkan setelah sekian lama dikepung. Namun belum tertangkap. Pada Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh, Agam, Sumatera Barat, untuk berunding. Begitu Tuanku Imam Bonjol tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, Sulawesi Utara. Di tempat pengasingan terakhir inilah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia dan dimakamkan pada 8 November 186435. Djamil menulis Kyai Ahmad Rifa’i Kalisalak, Kendal, merupakan salah satu tokoh yang dianggap melawan dan kemudian diasingkan Belanda ke Tondano. Pada 1856 dianggap sebagai permulaan krisis hubungan antara gerakan tarekat rifa’iyyah yang dipimpin oleh Kyai Rifa’i dengan Belanda. Seluruh kitab karya tulis tangan tokoh ini disita Belanda, di samping itu para murid-muridnya mendapat tekanan mental. Puncaknya, Kyai Rifa’i ditangkap dan dipenjara di Kendal, Semarang, dan kemudian Wonosobo. Pada 1859 Kyai Rifa’i diasingken ke Ambon, kemudian pada 1861 diasingkan ke Tondano, bergabung dengan Kyai Modjo. Dengan kedatangan Kyai Rifa’i ini, tarekat Kyai Modjo mendapat tambahan nuansa, antara lain karena Kyai Rifa’i menciptakan kesenian rebana dengan mengiringi lagu-lagu, syair, nadzaman yang diambil dari kitab yang dikarangnya. Ini peran Kyai Rifa’i hingga akhir hayat pada 1872 pada usia 86 tahun dan dikebumikan dikomplek makam Kyai Modjo36. Di perkampungan Jawa Tondano juga ditemukan orang-orang Arab dan keturunan. Disebut bahwa ini merupakan peran Sayid Abdullah Assagaf yang diasingkan Belanda ke Tondano pada 1880, karena dianggap telah menghasut masyarakat Palembang, Sumatera Selatan, untuk melawan Belanda. Ia menikah

32 Kinayati Djojosuroto, “Dialek dan Identitas Jawa Tondano di Minahasa: Suatu Kajian Historis”, https://eprints.uns.ac.id/1298/1/66-227-2-PB.pdf 33 Yusno Abdullah Otta, “Dinamisasi Tradisi Keagamaan Kampung Jawa Tondano di Era Modern”, Jurnal Penelitian Keislaman IAIN Mataram, Vol. 6 No. 2 (Juni 2010), p. 394 34 Babcock, Kampung Jawa Tondano, p. 41 35 Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual Islam Di Minangkabau 1784-1832 (Padang: Esa, 1988) 36 Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH Ahmad Rifa’i Kalisalak (Yogyakarta: LKiS, 2001)

12 dengan wanita Kampung Jawa Tondano, demikian keturunannya yang melahirkan generasi famili Assagaf dan famili Catradiningrat di Tondano. Tokoh nasional lain yang diasingkan ke daerah ini adalah Gusti Pangeran Purbatasari dari Banjarmasin yang tiba pada 1884 dan Teuku Muhammad/Umar dari Aceh yang tiba pada 189537.

Non Cousa Pro Cousa Berdiri di puncak Bukit Langeneng Pulau Sangihe akan tampak menakjubkan pemandangan Teluk Tahuna. Kampung Muslim Tidore di Pulau Sangihe berada diujung teluk, seakan menyongsong siapapun pedagang dan pengelana maritime lain. Mendengar cerita penghadangan ekspedisi Tidore oleh Dotulong, orang mudah menduga bahwa kampung itu terbentuk oleh sebagian peserta ekspedisi yang tinggal di sana sementara waktu sambil menunggu kesempatan kedua. Sangkaan ini keliru. Ia bukan sebab yang dikira sebab, yang menjelaskan asal mula Kampung Muslim Tidore di Teluk Tahuna itu. Kampung Tidore di Teluk Tahuna dapat dipastikan bukanlah berasal dari sisa-sisa ekspedisi Tidore yang gagal masuk Bitung dan Manado, setelah peristiwa penghadangan oleh Dotulong. Komunitas ini terbentuk karena sebab-sebab selisih paham dalam internal umat Islam sendiri, bukan berasal dari unsur luar. Sangihe dikenal sebagai sangir atau sanger. Malukow menyebut penggunaan nama sangihe berhubungan dengan kata sangi’ berarti sumangi, sasangi, sasangitang, makahunsangi, mahunsangi, masangi, semua kata ni merujuk pada arti tangis dan sedih. Kata Sangihe dapat pula berasal dari dua kata yang diartikan secara harafiah yaitu sangi dari kata sangiang yang berarti putri khayangan, ihe atau uhe berarti emas38. Pulau ini berada di antara gugusan pulau kecil, di Kepulauan Sulawesi Utara, yang penduduknya disebut Lapian sebagai “orang dalam perjalanan” melalui laut dengan menggunakan berbagai transportasi yang ada39. Di antara orang yang dalam perjalanan itu kerap menemukan pulau-pulau yang tenggelam, dan tinggal di pulau- pulau itu untuk sementara waktu atau dalam waktu yang terbatas. Pulau Mangahetang (Pulau Siau di daerah Sangihe dan Talaud) konon dahulunya menyatu dengan Pulau Mindanau40. Sebagian dari orang yang tinggal di pulau-pulau tersebut adalah orang- orang yang terdampar, yang merupakan bagian dari kisah akibat bencana gunung meletus – dalam hal ini gunung berapi Awu-Tahuna-Kolongan atau pemanasan global41.

37 Yuniarti Sugio Rahayu, “Masyarakat Jawa Tondano Abad ke-XX: Sejarah Sosial Budaya Kecamatan Tibawa”, ttps://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=NHsdWK- 0KcqMvQSl373ADA#q=Sayid+Abdullah+Assagaf+yang+diasingkan+Belanda+ke+Tondano+pada+1 880.+pdf 38 Alfian Malukow, Kebudayaan Sangihe (Lenganeng: ttp, 2009), p. 11-12 39 A. B. Lapian, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1992), p. 4 40 Lapian, “Sejarah Nusantara Sejarah Bahari”, p. 19-20 41 Susanto Zuhdi, Budaya Maritim, Kearifan Lokal, dan Diaspora Buton”, https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/0609082010_18.pdf, p. 117

13 Pulau Sangihe didiami oleh suku-suku lain di Sulawesi Utara itu telah terbagi- bagi menjadi kerajaan kecil yang mandiri. Di antara kerajaan di Sangihe adalah Malahasa, Manganitu, dan Kandahe. Jika melihat peta Pulau Sangihe, ketiga kerajaan tersebut merupakan kerajaan kecil yang memanfaatkan teluk: Tahuna, Manganitu dan Kandahe. Selain kepercayaan lokal, Islam adalah agama pertama yang ada di Sangihe. Muncul komunitas agama yang kini dikenal dengan Islam Tua 42 . Sugiharto menyebutnya dengan himpunan penghayat kepercayaan Masade, karena pertama kali disebarkan oleh Mawu Masade 43 . Karena tidak dianggap sebagai agama, namun sebagai penganut kepercayaan, Walandungo menyebut Islam Tua di Sangihe disebut tidak mendapat perlindungan yang semestinya 44 . Mereka mempraktekkan puasa, shalat berjamaah tiap jum’at, dan merayakan beberapa hari raya Islam. Mereka tidak mengenal kitab suci al-Qur’an, menjadi wajar sekiranya pemeluk Islam Tua tinggal di Bukit Lenganeng ini berbeda dengan praktek Islam di Kampung Tidore, di Lembah Teluk Tahuna. Yamin menulis Pulau Sangihe sebagai daerah kekuasaan Kesultanan Ternate sampai 1677 sebelum diserahkan ke VOC45. Di samping meruntuhkan kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal ini, pengaruh VOC dan berbagai pedagang internasional lain membuat penduduk pulau ini menganut Katolik dan Kristen Protestan. Mata pencaharian Kampung Tidore – Kelapa, Pala, dan Cengkeh, Nelayan, mengapa orang-orang Tidore tinggal di Sangihe46, antara lain, karena selaras dengan sikap Raja Manganitu, Bataha Santiago (memerintah 1670-1675), yang anti Belanda. Pada 1675 Raja Bataha Santiago tewas ditiang gantungan di Tanjung Tahuna. Pada nisan Bataha Santiago disematkan kata-kata semboyannya: “Biar Saya Mati Digantung, Tidak Mau Tunduk kepada Belanda”.

Negeri Maritim, Berkebudayaan Laut Paeni dkk.47, menyebut bahwa kebudayaan Sulawesi pada abad ke-16 dan ke-17 adalah kota pantai. Maka, kerajaan-kerajaan yang muncul di wilayah itu, meskipun berada di daratan, namun berbasis maritim. Berhadapan langsung dengan pantai, seperti mengambil manfaat dari lalu lintas perdagangan yang bertumpu pada laut. Pola ekonomi dan kehidupan sosial-politiknya tergantung pada lalu lintas dagang ini, sehingga, besar dan kuat sebuah kerajaan akan ditentukan oleh seberapa besar

42 Alfian Malukow, Kebudayaan Sangihe (Lenganeng: ttp, 2009), p. 11-12 43 Wakhid Sugiharto, “Dinamika Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Masade di Langeneng di Tabukan Utara, Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara”, Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol. X, No. 3 (Juli-September 2011) 44 Don Javirius Walandungo, “Islam Tua Terpasung dan Merana: Pendekatan Sosiologis Historis terhadap Sebuah Kehidupan Keagamaan di Kepulauan Sangihe”, thesis Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, (2002) 45 Muhamad Yamin, Atlas Sejarah (Jakarta: Djambatan, 1956) 46 Sangihe kerap disebut Sangir terdiri dari dua kata Sang dan Ihe atau Sang dan Ira yang berartti Sang Air. Lihat, Maria E. Tangkilisan, Budaya Masyarakat Suku Bangsa Sangihe – Talaud Kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud (Manado: Balai Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Utara, 2001), p. 1 47 Mukhlis Paeni, Edward Poelinggomang, Abdul Madjid Kallo, Bambang Sulistyo, Anwar Thosibo, Andi Maryam, Sejarah Kebudayaan Sulawesi (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), p. 40-67

14 kerajaan itu memanfaatkan jalur dagang lokal dan internasional dari dan ke wilayah perairannya. Struktur kerajaan berkembang yang fungsinya, antara lain, adalah mengakomodasi laut. Paeni menulis: “Pada kerajaan-kerajaan yang memiliki wilayah perairan seperti Kerajaan-kerajaan di Sangihe-Talaud (Kerajaan Tabukan, Kandahe, Tahuna, Siau, dan Tagulandang) memiliki jabatan kapitan laut. Jabatan ini pada wilayah itu bukan hanya menunjuk pada kedudukannya sebagai raja laut, orang yang memiliki kekuasaan dalam kegiatan armada di laut tetapi juga mengurus masalah ketertiban dan kepolisian. Dan kadang merujuk pula kegiatan sebagai bajak laut. Pada umumnya, seluruh jabatan ini diembankan kepada salah seorang kerabat raja”48. Tradisi lisan dan kelembagaan di Nusantara juga meneguhkan adanya tradisi pantai. Kelembagaan lokal muncul di berbagai tempat. Seperti Panglima Laot di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), awig awig di Nusa Tenggara Barat (NTB), rompong di Sulawesi Selatan, Sasi di Maluku dan Maluku Utara, pele karang di Papua. Di Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, tradisi ini dikenal dengan malombo49. Wahyono menyebut, malombo adalah tradisi dalam menangkap ikan tude (selar) dilakukan secara massal dengan alat tangkap jala. Hari apa yang dipilih melakukan malombo bisanya tiga kali dalam satu minggu secara berselang-seling pada saat musim ikan tude - yang umumnya antara Juni-Agustus tiap tahunnya. Pelaksanaan malombo lazimnya diawali dengan katebile, yaitu memancing ikan tude dengan umpan ikan udang di perairan antara manoru (laut dalam) dan nyare (laut dangkal), dengan maksud merangsang ikan tude masuk ke wilayah nyare sehingga mudah ditangkap secara masal. Mereka yang menangkap ikan tude, bukan hanya masyarakat setempat, tetapi juga masyarakat luar pulau tersebut. Meskipun terdapat hak individu menangkap ikan tude, namun pemegang otoritas tradisi malombo adalah para tonaas – pemimpin tradisional ritual malombo50. Tak jauh dari kepulauan Sangihe Talaud, desa-desa pesisir di daerah Maluku dan Maluku Utara yang memiliki daerah laut yang memiliki daerah petuaan desa, terdapat tradisi sisi. Dalam tata kelola petuaan desa laut, laut dikuasai dan dikelola oleh pemerintahan desa, tidak seperti darat yang dapat dikuasai oleh individu. Meski dikuasai desa, dan menjadi hak ulayat laut bagi desa, ia untuk kemakmuran bagi rakyatnya. Luas laut dibagi secara imajiner, terutama antara laut putih (laut dangkal) dan laut biru (laut dalam) sebagaimana daratan ada batas luasnya. Melalui penguasaan laut oleh desa petuaan inilah diberlakukan sasi, yakni, larangan untuk mengeksploitasi wilayah laut tertentu, hingga petuaan desa memerintahkan adanya “buka sasi”. Tujuan sesi adalah menjaga keseimbangan antara manusia, alam (laut dan darat) dengan dunia spiritual51.

48 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 54 49 Hidayat, “Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Nelayan”, Jurnal Sejarah Citra Lekra, Vol. XVII, No. 1 (Februari 2013) 50 Ary Wahyono, dkk., Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000). p. 44 51 Wahyono, dkk., Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, p. 46-47

15 Dalam reglement sesi Negeri Paperu 191352 disebutkan: “sesi itoe satoe larangan jang diperountoekkan dengan daoen-daoen kelapa moeda dan jang ditaroeh pada watas-watas tanah dan djoega pada permoelaan djalan-djalan dari negeri ke doesoen-doesoen”. Maksud dan tujuan peraturan sesi adalah: Pertama: “soepaja tanah dan laout bahagian jang termasoek kepada kepoenjaan negeri terpelihara dan itoe diempoenyakan pendoedoek negeri”. Kedua, “soepaja hal bertanam-tanaman dipertambahkan dan hal nyamannja didjagalah”. Hanya, dan ini catatan, semua tradisi maritime pada desa-desa pesisir di sepanjang namun komoditi yang senantiasa menjadi primadona adalah produk hasil bumi darat: rempah rempah, pala, lada, kopra, beras, cengkeh, dll., di samping hasil tambang seperti emas, perak, intan, minyak, batu bara, dll., oleh karena itu belum tumbuh tradisi maritime dengan produk laut, seperti pengolahan ikan laut. Infrastruktur ekonomi laut sangat tertinggal dan gaya hidup berbasis laut juga belum tumbuh.

De-Kristenisasi Sejak tahun-tahun pertama kawasan Minahasa jatuh dibawah kontrol VOC, penguasa saat itu mulai sangat serius membenahi kerja kaum misionaris. Kerja-kerja kaum misionaris telah membuat penguasa kolonial putus asa mengatasi wilayah di mana Islam telah mendominasi itu. Belanda menempuh seperti kebijakan Inggris di India, Belanda yang secara resmi cenderung melihat misionaris Kristen sebagai orang yang suka mencampuri urusan orang lain di mana dakwah yang dijalankannya dapat memicu permusuhan antara penduduk lokal. Namun akan lain seperti Minahasa di mana penduduknya dianggap masih menganut agama asli dan belum beradab, sementara penduduk yang telah memeluk agama Kristen pada zaman itu justru bersyukur dengan kebijakan yang dirancang oleh penguasa kolonial. Misionaris Kristen Protestan diberi banyak kelonggaran. Oleh karena itu, pada pertengahan abad ke-19, lebih separuh penduduk Minahasa telah dibaptis. Tidak ada satupun penduduk pada wilayah lain di Nusantara yang memiliki kedekatan hubungan dengan bangsa- bangsa Eropa53. Pada abad ke-18, penganut agama Kristen di Sulawesi Utara berkembang pesat. Pada 1705 penganut agama Kristen berkembang pesat di Manado, Bolaang Itam, Kaidipan, Buol, Attingola, Siau, Sangir Talaud, dan Minahasa. Statistik penduduk pada 1771, pemeluk Kristen di Manado berjumlah 500 orang, di Siau mencapai 3.300 orang. Jumlah tertinggi adalah di Minahasa dan Sangir Talaud yang mencapai angka 12.396 orang. Pada abad ke-19, pemeluk Kristen di wilayah ini terlantar, antara lain, karena mereka tidak lagi mendapatkan bimbingan dari para pendeta yang digaji oleh pemerintah kolonial. Orang-orang Kristen di wilayah ini dibimbing oleh para zending dan pendeta masuk anggota Nederlandsh Zendeling Genootschap (NZG) yang

52 Dikutip dari Wahyono, dkk., Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, p. 48 53 Hannigan, A Brief History of Indonesia, p. 149

16 didirikan pada 1797. Para zending dan pendeta datang dalam perintah London Missionary Society (LMS). Mengikuti jejak LMS, NZG cenderung merangkum aliran ajaran agama dan cenderung bertujuan mengeleminasi perbedaan antar agama yang menyebabkan perang antar pemeluk agama54. Peran dan aktivitas zending banyak yang ditentukan oleh dukungan dan campur tangan pemerintah kolonial. Berdasarkan keputusan Raja Belanda pada 5 September 1815, lembaga gereja di bawah Departemen van Koophandel en Kolonial (Kementerian Negara Koloni). Departemen ini menunjuk komisi yang disebut Maagsche Commisie sebagai badan penasehat menteri jajahan yang bertugas menguji dan melantik calon-calon pendeta yang diangkat raja dan dipekerjakan pada gereja55. Hingga pada 1935, komisi ini dijadikan perwakilan De Protestantcshe Kerk in Nederlandsch-Indie (Gereja Protestan di Hindia Belanda) atau GPI. Seluruh aktivitas gereja, secara finansial dan administratif tergantung pada pemerintah. Seluruh pendeta diberi tugas oleh Gubernur Jenderal. Tugas gereja hanya memelihara kepentingan agama Kristen, menambah pengetahuan agama dan menyuburkan cinta kasih kepada pemerintah dan tanah air56. Cengkeraman pemerintah terhadap gereja ini kemudian dikritik sebagai kebijakan yang berlawanan dengan semangat Revolusi Perancis yang memisahkan negara dan agama. Joseph Kam yang membangkitkan spirit Kristiani, dikenal sebagai Rasul Maluku57, pada 1817 datang ke Minahasa untuk melakukan pembinaan jemaat. Pada 1822 NZG mengutur penyiar injili ke Minahasa, dan atas usaha pemerintah kolonial Belanda, dikirim Melledoorn yang menjabat pendeta pada 1827-1839. Penduduk Tondano dari Jawa dan Islam yang selalu memberontak melawan pemerintah kolonial Belanda dapat menjadi pemeluk Kristen, dan bahkan pada 1826 telah didirikan sekolah Kristen di daerah ini. Kam menempuh jalan yang berbeda dari para missionaris Portugis yang melakukan pembabtisan massal, dia hanya membaptis mereka-mereka yang telah memiliki iman Kristen. Namun data menyebutkan bahwa pada abad ke-19, umat Kristiani berkembang pesat di Sulawesi Utara. Pada 1850, terdapat 70% dari jumlah penduduk di Tondano telah di baptis. Di Minahasa, pada 1880 terdapat 80.000 pemeluk Kristen, sementara sisanya berjumlah 17.000 menganut kepercayaan tradisional58. Meskipun Islam dan Kristen berhimpitan dan berebut pengaruh, juga berbeda pilihan dalam menjalin aliansi, Manuhutu menulis bahwa di dalam kebudayaan Minahasa terdapat unsur-unsur yang harmonis dan mendamaikan 59 . Para zending Kristen Protestan pada zaman Belanda yang bekerja di Minahasa dan di pulau-pulau

54 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 100 55 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 100 56 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 101 57 Tentang tokoh ini, baca Susan Nivens, Joseph Kam: Moravian Heart in Reformed Clothing”, http://www.wheaton.edu/~/media/Files/Graduate-School/Degrees/Intercultural-Studies/Gallagher- homepage/Articles/Student%20Additions%2012_2014/Joseph%20Kam_Moravian%20Heart%20in%2 0Reformed%20Clothing.pdf 58 Paeni, dkk., Sejarah Kebudayaan Sulawesi, p. 102 59 E Manuhutu, “Timbulnya Kombinasi Yang Harmonis Antara Unsur-Unsur Kebudayaan Minahasa dan Jawa sejak Abad XV”, Yapenra, Nomor II Tahun III (Februari 1976)

17 Sulwesi Utara, termasuk di Pulau Sangihe dan Talaud, dilanjutkan oleh berbagai macam sinode seperti Munculnya sinode GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa) sejak 193460, GMIST (Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud) sejak 1947, GMIBM (Gereja Masehi di Bolaang Mongondow) sejak 1950, dan sinode gereja di Sulawesi Utara yang menurut data Kanwil Kementerian Agama Propinsi Sulawesi Utara pada 2010 berjumlah 68 badan pekerja, yang merupakan bagian dari GPI (Gereja Protestan Indonesia) keseluruhannya merupakan aliran Kristen yang moderat, berbeda dengan aliran Kristen yang radikal lain.

Kesimpulan Tidak bisa dipungkiri bahwa tradisi maritime dan laut melekat pada sejarah terbentuknya bangsa-bangsa di Nusantara dan melalui laut, nusantara dihubungkan. Melalui laut dan air terkonsolidasi kekuasaan berbasis laut dan kekuasaan berbasis darat juga memanfaatkan jaringan antar daerah dan antar negara juga melalui laut. Laut masih menjadi harapan bagi masa depan, tidak saja pada konteks dinamika budaya dan agama, tetapi juga hubungan ekonomi, perdagangan dan politik. Dalam konteks dinamika antar daerah, yang menyisakan kita ke depan adalah bagaimana memanfaatkan laut, tidak saja sebagai jalur transportasi tetapi juga sebagai masa depan ekonomi. Selama ini manusia, dan juga di Indonesia terlalu fokus ke isu daratan. Kita gemar mengeksploitasi daratan untuk mengeruk hasil bumi dan hasil tambang. Laut kemudian tertinggal, tidak diperhatikan dan dirawat dengan baik. Konsentrasi ke darat ini membuat bukan saja laut yang tidak dikelola dengan baik tetapi juga kita mengabaikan para pelaut, budaya laut dan transportasi laut. Seiring dengan upaya negara untuk membangun tol laut, dan kemudian hendak membuat Indonesia menjadi poros maritime dunia, maka laut adalah alternatifnya. Gambar di atas menunjukkan kepada kita, bahwa masih banyak yang harus dilakukan, untuk membuat Indonesia menjadi poros maritime dunia itu.

60 Lintong DM, Sejarah GMIM: Apakah Engkau Mengasihi Aku? (: BPS GMIM, 2004)

18

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Hubungan Dagang dan Politik antara Kota Pelabuhan Kaimana dengan Kesultanan Tidore Sebelum Penegakan Pemerintahan Kolonial Belanda di Papua Dr. Rosmaida Sinaga

HUBUNGAN DAGANG DAN POLITIK ANTARA KOTA PELABUHAN KAIMANA DENGAN KESULTANAN TIDORE SEBELUM PENEGAKAN PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA DI PAPUA

Oleh Rosmaida Sinaga Staf Pengajar Pada Jurusan Pend. Sejarah FIS Universitas Negeri

Di wilayah Semenanjung Onin Pantai Barat Papua terdapat tiga pelabuhan alami yaitu Kaimana, Kokas dan Fakfak. Penduduk di ketiga kota pelabuhan tersebut telah menjalin hubungan dagang dengan penduduk di wilayah sebelah baratnya jauh sebelum penegakan Pemerintahan Kolonial Belanda di Papua. Hubungan dagang Kaimana dengan wilayah sebelah baratnya menyebabkan migrasi ke Kaimana. Letaknya yang di pesisir menyebabkan Kaimana relatif terbuka dan mudah untuk didatangi. Mayoritas pedagang adalah kaum pendatang dari Maluku (Gorom dan Seram) dan Sulawesi (Makassar dan Buton) serta pedagang asing seperti Cina dan Arab. Perpindahan penduduk melibatkan perpindahan ide dan atribut sosial seperti agama dan atribut politik seperti gelar bangsawan. Para pendatang tidak hanya datang untuk berdagang, akan tetapi juga melakukan pergaulan sosial. Perkawinan antara pendatang dengan penduduk setempat seringkali terjadi. Kawin campur yang sudah sedari dahulu dilakukan, melahirkan anak-anak yang tidak hanya memiliki tipe khusus seperti umumnya penduduk Papua yang berambut keriting dan berkulit hitam, melainkan kulitnya agak terang dan rambutnya ikal atau bahkan lurus. Perkawinan campur itu menyebabkan banyak dari penduduk setempat yang menganut agama Islam. Identitas agama yang berbeda di antara penduduk Kaimana tidak membuat jarak. Identitas keluarga atau kekerabatan tetap menjadi pemersatu. Di wikayah ini ada istilah agama keluarga yaitu sebutan untuk sebuah keyakinan penduduk di daerah Kaimana, Fakfak dan sekitarnya yang menyatakan bahwa meskipun berbeda agama, mereka tetap satu kleuarga. Mereka beranggapan bahwa orang dapat berpindah-pindah agama tapi tak mungkin pindah keluarga. Hubungan dagang dan politik antara Kaimana dan dengan penduduk di wilayah sebelah barat umumnya dan khususnya Kesultanan Tidore membuktikan wilayah Kaimana khususnya dan pantai barat Papua umumnya memiliki simpul- simpul sejarah dengan wilayah Indonesia lainnya.

Kata kunci: Kota Pelabuhan Kaimana, Hubungan Dagang dan Politik, Kesultanan Tidore.

1

1. Pendahuluan Kaimana adalah nama suatu kawasan yang terletak di bagian barat-laut Papua. Pantainya yang melengkung menghadap ke laut Banda, berhadapan dengan rangkaian pulau-pulau kecil: Kei, Banda, Gorom, dan Seram. Letak geografisnya menjadikan Kaimana terkenal dengan pemandangan senjakala yang indah dan mempesona kala menjelang matahari terbenam pada saat cuaca cerah.1 Sejak tahun 2002, Kaimana diresmikan sebagai sebuah kabupaten di Provinsi Papua Barat.. Kaimana sebagai sebuah kota pelabuhan telah menjalin hubungan dagang dan politik dengan wilayah di sebelah baratnya jauh sebelum penegakan Pemerintahan Kolonial Belanda di Papua. Perdagangan relatif tumbuh pesat terutama di kota-kota pelabuhan yang terdapat di pantai barat Papua seperti Kokas, Fakfak, dan Kaimana. Pertumbuhan perdagangan itu di ketiga kota pelabuhan tersebut disebabkan tersedianya pelabuhan yang baik dan memadai, sehingga kapal-kapal dagang dapat berlabuh dengan baik. Mayoritas para pedagang adalah para pendatang dari Maluku seperti Gorom, Seram serta para pedagang asing seperti Cina dan Arab. Iklim perdagangan yang relatif baik, menyebabkan wilayah Kaimana tak hanya didatangi para pedagang tapi juga pendatang lain yang mencari nafkah disana. Ada yang bekerja sebagai kuli, tukang kayu maupun nelayan. Orang Kei bekerja sebagai tukang kayu yang handal, orang Seram dan Gorom sebagai nelayan dan kelasi kapal, orang Buton bekerja sebagai nelayan dan kuli Cina.2 Orang Arab selain berdagang juga menjadi juru dakwah di Kaimana. Hubungan dagang Kaimana dengan wilayah sebelah baratnya menyebabkan migrasi ke Kaimana. Kehadiran kaum migran di Papua pada umumnya dan Kaimana khususnya bertalian dengan tujuan untuk mendapatkan hasil bumi dari wilayah itu. Kekayaan alam wilayah Kaimana berdampak pada kemajuan perdagangan di wilayah itu.

1 Keindahan pemandangan senjakala di Kaimana mengilhami seorang penyanyi, Alfian, menciptakan lagu yang berjudul “Senja di Kaimana”. 2 J. Seijne Kok, Memorie Van Overgave Afdeeling West Niew Guinea, Fakfak 1919

2

Kemajuan perdagangan di Kaimana ditandai dengan kehadiran para pedagang dari luar daerah itu. Kegiatan dagang dilakukan oleh orang Cina, kemudian disusul oleh orang Seram dan Buton. Barang-barang dagangan yang dibawa oleh para pedagang adalah kain, barang pecah belah dan damar. Mereka membeli lola, teripang dan kayu masohi dari penduduk setempat. Orang-orang Cina, Seram dan Buton berdagang dan menetap di Kaimana. Mereka juga membentuk perkampungan sendiri, sehingga di Kaimana ditemukan Kampung Cina, Kampung Buton dan Kampung Seram. Penduduk yang bermigrasi membawa serta berbagai atribut sosial yang menjadi identitas kulturalnya masing-masing. Keberadaan penduduk setempat yang beragama Islam di Kaimana merupakan bukti dari proses perjumpaan antar budaya antara penduduk setempat dengan para pendatang yang membawa ajaran agama Islam. Perjumpaan kelompok-kelompok yang memiliki identitas kultural yang berbeda menyebabkan “percampuran” berbagai identitas kultural di Kaimana. Selain itu, perpindahan penduduk melibatkan perpindahan atribut politik seperti gelar bangsawan. Dalam memori serah terima jabatan Asisten Residen Afdeeling West Nieuw Guinea, J.C.C. Haar disebutkan bahwa setiap kampung di wilayah Semenanjung Onin memiliki pimpinannya sendiri yang disebut Kapiten. Setiap Kapiten dibantu oleh wakilnya yang disebut Letnan. Kapiten memimpin sejumlah orang kuat yang suka berperang dan pandai berperang. Kapiten tunduk kepada pimpinan seorang kepala suku yang disebut Mayor.3 Hubungan dagang tersebut berdampak terhadap terjalinnya hubungan sosial di antara penduduk pantai barat Papua dengan wilayah di sebelah baratnya yaitu Kepulauan Maluku. Hubungan sosial tersebut meningkatkan kekerabatan di antara mereka. Kekerabatan itu semakin meningkat dengan adanya perkawinan di antara mereka. Dalam memori serah terima jabatan A.L. Vink dituliskan bahwa leluhur dari raja Namatote dari Kaimana berdarah campuran. Raja Namatote Mooi Buserau

3Aanvullende Memorie van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea J.C.C. Ter Haar, Fakfak, 1 Juli 1940, hal 133.

3 merupakan keturunan campuran Goram.4 Berdasarkan hasil penyelidikan Kontrolir Fak-Fak A. Vesseur diketahui bahwa raja-raja di Semenanjung Onin semuanya berdarah campuran. Keturunan ini termasuk dari pihak bapak, sehingga umumnya orang mengakui sebagai orang Papua. Pada umumnya raja-raja di Semenanjung Onin tetap mempertahankan tradisi untuk menikah dengan wanita Seram/Buton atau berdarah campuran.5 Kisah raja-raja di Semenanjung Onin semuanya berdarah campuran adalah sebuah bukti sejarah yang paling otentik tentang“percampuran” berbagai identitas kultural di wilayah itu. Hal ini membuktikan wilayah Kaimana khususnya dan pantai barat Papua umumnya memiliki simpul-simpul sejarah dengan wilayah Indonesia lainnya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji hubungan dagang dan politik Kota Pelabuhan Kaimana dengan Kesultanan Tidore sebelum penegakan Pemerintahan Kolonial Belanda di Papua.

2. Hubungan Dagang dan Politik antara Kota Pelabuhan Kaimana dengan Wilayah Maluku Sebelum penegakan pemerintahan kolonial Belanda di Papua, wilayah Semenanjung Onin telah memiliki hubungan politik dan hubungan dagang dengan Seram Laut dan Gorom. Seram Laut dan Gorom merupakan pulau-pulau yang berada di sebelah barat laut Papua. Seram Laut dan Gorom merupakan wilayah Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore memiliki koloni di Seram dan melakukan pelayaran perompakan sampai wilayah Semenanjung Onin. Hubungan dagang dan politik antara wilayah Semenanjung Onin dan Kesultanan Tidore bertalian dengan eksistensi kerajaan-kerajaan yang terdapat di wilayah Semenanjung Onin. Para raja dari wilayah tersebut menjalankan kekuasaan atas nama Sultan Tidore. Sebab, Sultan Tidore yang

4ANRI, Nota Omtrent het Inlandsch Hoofden Bestuur in de Onderafdeeling West Nieuw Guinea, Afdeeling West Nieuw Guinea, Gouv. Nieuw Guinea, A.L. Vink, 1932, Reel No. 38, MvO Serie 1e, hal. 9-10. 5 ANRI, Memorie van Overgave Onderafdeeling Fak-Fak Controleur A. Vesseur, September 1951- April 1952, Reel No. 39, MvO Serie 1e, hal. 5-6.

4 memberi gelar raja kepada para raja tersebut.6 Di Semenanjung Onin terdapat beberapa kerajaan yaitu Kerajaan Arguni, Sekar, Wertuwar, Patipi, Rumbati, Ati-ati, Fatagar, dan Namatota. Adapun persebaran wilayah kerajaan dimaksud sebagai berikut: 1) Di Kokas terdapat Kerajaan Arguni, Sekar, Wertuwar, Patipi, dan Rumbati. 2) Di Fakfak terdapat Kerajaan Ati-ati dan Fatagar 3) Di Kaimana terdapat Kerajaan Namatota. Hubungan dagang dan politik telah berlangsung sejak lama antara sultan- sultan di Maluku dengan “wilayah-wilayah kekuasaannya” yang membentang sepanjang pantai barat Papua. F.H. Dumas dalam memori serah terima jabatannya juga menyebutkan bahwa di Semenanjung Onin terdapat beberapa kerajaan yaitu: Kerajaan Rumbati, Kerajaan Namatota, Kerajaan Atiati, Kerajaan Fatagar, Kerajaan Arguni, dan Kerajaan Sekar. Salah satu dari kerajaan yang terdapat di Semenanjung Onin itu terdapat di wilayah Kaimana yaitu Kerajaan Namatota. Keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut bertalian dengan pengaruh Kesultanan Tidore di wilayah itu. Para raja di wilayah tersebut menjalankan kekuasaan atas nama Sultan Tidore.7 Lebih lanjut S.J. van Geuns menceritakan dalam memori serah terima jabatannya bahwa yang memberi gelar raja kepada para raja di daerah pantai barat Papua adalah Sultan Tidore. Meskipun diberikan gelar raja, kenyataannya mereka hanyalah agen dagang dan pemungut pajak di wilayah kekuasaannya atas perintah dari Sultan Tidore.8 Hal ini berarti para raja di wilayah itu berperan sebagai makelar dagang antara penduduk setempat dan Sultan Tidore. Dengan demikian, fungsi raja yang terutama bukan di bidang politik, melainkan di bidang ekonomi untuk

6F.H Dumas, “ Nota van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea, Fakfak, 22 Januari 1911”, J. Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-No. 2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992), hal. 10. 7F.H Dumas, “ Nota van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea, Fakfak, 22 Januari 1911”, J. Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-No. 2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992), hal. 10. 8F.H Dumas, “ Nota van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea, Fakfak, 22 Januari 1911”, J. Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-No. 2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992), hal. 10-13.

5 menunjang kepentingan Sultan Tidore. Hal senada juga dinyatakan A.L. Vink bahwa Sultan Tidore membangun hubungan dagang dengan para raja di daerah pantai barat Papua melalui perantaraan raja Lilintah (Misool). Sultan Tidore berupaya menjalin hubungan dagang dengan orang-orang yang dianggap menonjol di daerah itu. Mereka diangkat menjadi kepala adat oleh atau atas nama Sultan Tidore. Setelah pengangkatan itu, para kepala adat itu dimanfaatkan untuk memperluas pengaruh kekuasaan dan menambah penghasilan Sultan Tidore.9 Penjelasan A.L. Vink senada dengan penjelasan S.J. van Geuns dalam memori serah terima jabatannya masing-masing. Pengangkatan para raja itu berkaitan dengan kepentingan ekonomi dari Sultan Tidore. Setelah Sultan Tidore mengangkat raja-raja di Semenanjung Onin, para raja tersebut dan penduduknya ditempatkan di bawah kekuasaan Sultan Tidore. Konsekuensi dari pengangkatan para raja itu, penduduk di Semenanjung Onin diwajibkan membayar upeti kepada sultan. Setiap tahun para raja harus mengantarkan upeti kepada Sultan Tidore. Demikian sebaliknya, Sultan Tidore secara rutin mengirimkan utusannya ke daerah itu untuk mengingatkan kewajiban para raja tersebut untuk menyerahkan upeti dan mengawasi pengutipan upeti. Pengawasan pengutipan upeti itu dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah upeti yang disetorkan kepada Sultan Tidore. Upeti ini dibayar dalam bentuk benda-benda penting seperti budak, burung cenderawasih, gong, meriam dan sebagainya.10 Pengangkatan para kepala adat di Semenanjung Onin, baik pengangkatan pertama maupun pengangkatan penggantinya, memberikan keuntungan bagi Sultan Tidore. Sebab, dengan pengangkatan tersebut, raja harus membayar sejumlah uang dan sejumlah benda-benda penting sebagai upeti kepada Sultan Tidore. Raja yang mempunyai hak untuk mencalonkan keturunannya sebagai raja hanyalah raja-raja yang berangkat ke Tidore untuk mempersembahkan upeti kepada Sultan Tidore.

9A.L. Vink, “Memorie-(Vervolg) van Overgave van de (Onder)Afdeeling West Nieuw Guinea, 1932”, J. Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-No. 2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992), hal. 47-48). 10A.L. Vink, “Memorie-(Vervolg) van Overgave van de (Onder)Afdeeling West Nieuw Guinea, 1932”, J. Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-No. 2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992), hal. 48-49.

6

Raja-raja yang memenuhi persyaratan itu menerima jabatan raja dari Sultan Tidore secara langsung. Adapun raja-raja yang memenuhi persyaratan tersebut adalah raja Namatote, Ati-Ati, Fatagar, Rumbati dan Arguni.11 Dengan demikian raja Namatote dari Kaimana merupakan salah satu raja yang diakui oleh sultan Tidore. Eksistensi kerajaan-kerajaan di Semenanjung Onin bertalian dengan pengakuan Kesultanan Tidore. Kekuasaan Sultan Tidore atas wilayah raja-raja di Semenanjung Onin itu mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial Belanda sebelum penegakan pemerintahan di wilayah itu. Ketika Pemerintah Kolonial Belanda menegakkan kekuasaannya di Papua pada 1898, di Semenanjung Onin terdapat beberapa kerajaan. Menurut Asisten Residen Afdeling West Nieuw Guinea, S.J. van Geuns bahwa keberadaan raja-raja di Semenanjung Onin bertalian dengan hubungan dagang antara Sultan Tidore dengan penduduk Papua yang bermukim di daerah pantai Barat Papua. Sebagaimana diketahui bahwa sejak abad XVI Sultan Tidore telah menerapkan hak atas kepemilikan Pulau Papua. Kekuasaan raja-raja di wilayah itu diberikan oleh Sultan Tidore dalam rangka mempertahankan monopoli dagang dan pemungutan pajak. Oleh karena itu, kekuasaan raja-raja yang diangkat oleh Sultan Tidore hanya terbatas di daerah pantai. Para raja-raja di wilayah Semenanjung Onin menjalankan kekuasaannya atas nama sultan. Sultan Tidore mengangkat orang-orang dari keturunan bangsawan sebagai raja. Dengan demikian, para raja-raja di wilayah itu memperoleh gelar raja dari sultan Tidore. Meskipun mereka diberi gelar raja, tetapi kenyataannya mereka hanyalah agen dagang dan pemungut pajak di wilayah kekuasaannya atas perintah dari Sultan Tidore.12 Hal senada juga dilaporkan oleh Asisten Residen Afdeeling West Nieuw Guinea F.H.

11A.L. Vink, “Memorie-(Vervolg) van Overgave van de (Onder)Afdeeling West Nieuw Guinea, 1932”, J. Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-No. 2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992), hal. 48-49.

12S.J. van Geuns, “Vervolgmemorie op de Algemeene Memorie van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea, Fakfak, 31 Desember 1925”, J. Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-No.2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992), hal. 135.

7

Dumas bahwa semua raja dan para bangsawan di wilayah Semenanjung Onin mengelola perdagangan di wilayah kekuasaannya.13 Sebelum kehadiran orang Eropa di Papua, hubungan antara Papua dan Maluku telah berlangsung sejak lama, antara 10 ribu sampai 15 ribu tahun. Hubungan Papua dan Maluku terbukti dari penggunaan bahasa-bahasa di Halmahera dan yang mirip dengan bahasa-bahasa yang dipakai di Papua. Demikian juga sebaliknya, mobilitas penduduk antara Maluku dan Papua terbukti dari dipakainya bahasa-bahasa “non-Austronesian” di pulau-pulau seperti Timor, Alor dan Pantar (Upton, 2009: 82). Lebih lanjut Upton (2009: 84). menyatakan bahwa kelompok migran sebelum abad ke-20, adalah orang Sulawesi yang datang dengan perahu-perahu dalam perjalanan menuju ke Australia Utara. Secara geografis jarak antara Australia utara dengan Papua sangatlah dekan. Oleh karena itu, tidak mustahil orang Sulawesi berlabuh di pantai-pantai sebelah barat Papua. Selain itu, pedagang dan nelayan dari Cina dan Semenanjung Malaya diduga telah berlabuh di pantai barat Papua, sebelum kehadiran Orang Eropa di Papua. Demikian juga orang-orang dari Kesultanan Tidore telah melakukan kontak dengan Papua. Penduduk di daerah Kowiai sangat maju dan terbuka terhadap kehadiran pedagang asing. Di antara penduduk daerah Kowiai banyak ditemukan yang mampu berbahasa Melayu dan mengenakan busana Melayu. Hal itu diduga sebagai akibat percampuran penduduk wilayah itu dengan para pedagang asing yang menetap di tengah-tengah mereka. Penduduk asli wilayah itu dikenal sangat mencintai perdamaian dan mempunyai sifat yang tenang serta tidak lagi melakukan pelayaran hongi.14

13F.H. Dumas, “Nota van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea, Fakfak, 22 Januari 1911”, J. Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-No. 2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992), hal. 10-13. 14 F. H. Dumas, “ Nota van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea, Fak-Fak 1911”, J. Miedema dan W.A. L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-no.2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992), hal.

8

Kehadiran para migran ke Kaimana membawa serta berbagai atribut sosial yang menjadi identitas kulturalnya masing-masing. Keberadaan penduduk setempat yang beragama Islam di Kaimana merupakan bukti dari proses perjumpaan antar budaya antara penduduk setempat dengan para pendatang yang membawa ajaran agama Islam. Perbedaan agama dalam keluarga tidak dapat memisahkan hubungan keluarga. Mereka berpendapat bahwa agama yang dianut dapat berganti, akan tetapi keluarga tidak dapat diganti. Meskipun dalam perkembangannya masyarakat kaimana berbeda agama dalam satu keluarga, akan tetapi mereka dapat hidup rukun dan saling toleransi. Kerukunan umat beragama di Semenanjung Onin telah terjalin sejak dahulu. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang dalam pergaulan hidup sehari- hari. Dalam membangun tempat ibadah, mereka saling membantu antara umat beragama. Misalnya, bila saudaranya yang beragama Kristen atau Katolik membangun gedung gereja, maka saudaranya yang beragama Islam turut membantu baik secara materi maupun nonmaterial. Demikian juga sebaliknya, apabila saudaranya yang beragama muslim membangun masjid maka saudaranya yang beragama Kristen juga menyumbang dalam pembangunan masjid tersebut.

3, Dampak Hubungan Dagang dan Politik antara Kaimana dengan Kesultanan Tidore Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan dagang dan politik antara kota pelabuhan Kaimana dengan kesultanan Tidore mempunyai dampak yang luas dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Kaimana. Salah satu dampak dari hubungan tersebut adalah dalam bidang politik. Dalam masyarakat Kaimana ditemukan gelar kebangsawanan sebagai dampak hubungan politik dengan Kesultanan Tidore. Sebutan raja untuk kepala adat masyarakat Kaimana merupakan penganugerahan dari Sultan Tidore atas kesetiaan dalam menyetorkan upeti kepada sultan. Kapiten. Gear lainnya yang merupakan dampak dari hubungan dagang dan politik Kaimana dengan Kesultanan Tidore adalah ditemukannya gelar kapiten, letnan dan mayor dalam

9 masyarakat Kaimana. Setiap Kapiten dibantu oleh wakilnya yang disebut Letnan. Kapiten memimpin sejumlah orang kuat yang suka berperang dan pandai berperang. Kapiten tunduk kepada pimpinan seorang kepala suku yang disebut Mayor. Dampak berikutnya adalah dalam bidang sosial budaya. Pertemuan penduduk setempat Kaimana dengan para migran dari kesultanan Tidore menyebabkan ditemukannya penduduk setempat yang menganut agama Islam. Agama Islam merupakan agama yang paling awal masuk ke wilayah itu. Agama Islam diduga masuk ke wilayah itu bersamaan dengan adanya kontak dagang dengan Maluku. Orang Seram diduga sebagai penyebar pertama Agama Islam di Pulau Adi, Namatota, Kayu Merah, dan Aiduma. Pada awalnya penyebaran agama Islam itu dimulai di daerah pantai Kaimana, kemudian melalui Teluk Arguni masuk ke daerah Boroway. Persebaran Agama Islam mengalami perkembangan yang pesat di Teluk Arguni. Di daerah itu terdapat 12 kampung Islam.15 Penyebaran agama Islam di Kaimana diikuti dengan pembangunan sarana ibadah di wilayah itu. Adapun sarana yang dibangun di wilayah itu adalah mesjid. Penyebaran agama Islam dan agama Kristen di Kaimana melahirkan kearifan lokal dalam hal toleransi antara umat beragama yang dikenal dengan sebutan agama keluarga. Agama keluarga adalah sebutan untuk sebuah keyakinan dari orang-orang di daerah Kaimana, Fakfak dan sekitarnya yang menyatakan bahwa meskipun berbeda agama mereka tetap satu keluarga. Di wilayah ini, anggota dalam satu keluarga dapat menganut agama yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari fam-fam (marga) yang ada di Kaimana, misalnya keluarga Feneteruman, Werfete, Farisah, Amirbai, Nanggawe mempunyai anggota keluarga yang agamanya berbeda-beda. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang teguhnya persaudaraan di antara mereka. Ikatan kekerabatan menjadi hal yang paling utama dan paling kuat dalam mempersatukan mereka. Mereka beranggapan bahwa orang bisa berpindah-pindah

15 ANRI, Memorie van Overgave de Betrefende de Onderafdeeling Kaimana van de Controleur F.H. Peters, Reel No. 40, MvO Serie 1e.

10 agama, akan tetapi tak mungkin pindah keluarga atau mengganti keluarga. Misalnya ada orang dari marga Warfete berpindah agama, orang tersebut tidak mungkin mengganti identitas keluarganya dengan mengganti marga jadi Feneteruman. Di kalangan masyarakat Kaimana, identitas keluarga merupakan identitas yang paling sebagai pemersatu keluarga, lebih kuat dari identitas agama. 16 Dari konsep agama keluarga inilah lahir praktek toleransi beragama. Misalkan saat pembangunan gereja. umat Islam dan Kristen bergotong royong dalam membangun rumah ibadah tersebut.Demikian sebaliknya, saat pembangunan mesjid, umat Islam dan Kristen juga saling bergotong royong dalam membangun mesjid tersebut. Masyarakat Kaimana sangat toleran dan saling menghormati keyakinan yang berbeda dengan keyakianan agama yang dianutnya. Hal ini terbukti dari tradisi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya di kampung-kampung Kristen setiap keluarga mempunyai peralatan masak dan makan yang disediakan khusus untuk saudaranya beragama Islam. Peralatan makan dan masak tersebut hanya dipakai saat keluarganya yang beragama Islam datang berkunjung ke rumahnya. Peralatan tersebut disimpan secara terpisah dari peralatan makan dan masak yang digunakan mereka sehari-hari, karena sehari-hari mereka yang beragama Kristen sering masak daging babi atau hal-hal yang diharamkandalam ajaran agama Islam. Dengan demikian saudaranya yang beragama Islam tidak perlu khawatir untuk mengkonsumsi makanan yang disajikan keluarganya yang beragama Kristen. Dampak berikutnya adalah terciptanya etnisitas yang heterogen. Di Kaimana bermukim berbagai ras dan etnis. Migran yang masuk ke Kaimana terdiri dari berbagai suku bangsa yang berasal dari Kepulauan Maluku dan Sulawesi bahkan dari luar negeri seperti Cina dan Arab. Orang-orang Buton sebagian besar bekerja sebagai tukang kebun atau pekerja bangunan. Sebagian kecil orang Buton merupakan pekerja

16 Wawancara Rosmaida Sinaga dengan Bupati Pertama Kabupaten Kaimana,. Hasan Achmad, , Selasa 7 September 2010 di Kaimana.

11 upah pada toko-toko Cina. Demikian juga orang Seram dan orang Timor pada awalnya tinggal di Kaimana sebagai pekerja upah pada para pemilik toko Cina. Orang-orang Cina bermukim di Kaimana, Susunu dan Teluk Etna (Nanesa Semimi). Perdagangan dikuasai oleh orang Cina.17 Dampak selanjutanya adalah lahirnya generasi masyarakat Kaimana yang berbeda dari tipe khusus penduduk Papua. Kehadiran kaum migran di Kaimana mendorong terciptanya pergaulan sosial antara penduduk setempat dengan kaum migran Perkawinan antara pendatang dengan penduduk setempat seringkali terjadi. Kawin campur yang sudah sedari dahulu dilakukan, melahirkan anak-anak yang tidak hanya memiliki tipe khusus seperti umumnya penduduk Papua yang berambut keriting dan berkulit hitam, melainkan kulitnya agak terang dan rambutnya ikal atau bahkan lurus. Lahirnya generasi muda yang memiliki darah campuran adalah sebagai bukti sejarah yang paling otentik tentang percampuran berbagai identitas cultural di Kaimana. Hal ini merupakan simpul-simpul sejarah yang menghubungkannya dengan sejarah Indonesia.

4 Penutup Kaimana sebagai kota pelabuhan telah menjalin hubungan dagang dan politik dengan Kesultanan Tidore jauh sebelum penegakan Pemerintahan Kolonial Belanda di Papua. Kekayaan hasil bumi Kaimana menjadi daya tarik para pedagang untuk mendatangi wilayah itu. Hubungan dagang dan politik tersebut ditunjang oleh keberadaan pelabuhan Kaimana yang memungkinkan kapal untuk berlabuh. Hubungan dagang dan politik Kaimana dengan Kesultanan Tidore mempunyai dampak yang sangat luas dalam aspek kehidupan masyarakat Kaimana. Kaum pedagang yang mendatangi Kaimana juga menjadi juru dakwah, sehingga di antara penduduk setempat Kaimana ada yang menganut agama Islam. Perbedaan agama yang dianut masyarakat Kaimana melahirkan kearifan lokal dalam hal

17 ANRI, Memorie van Overgave Betrefende de Odnerafdeeling Kaimana van de Controleur F.H. Peters, Reel No. 40, MvO Serie 1e.

12 toleransi antara umat beragama yang dikenal dengan sebutan agama keluarga. Perbedaan agama di Kaimana tidak berpotensi untuk memecah belah persaudaraan, karena ikatan keluarga lebih kuat dari ikatan agama. Masyarakat Kaimana mengenal dan memakai gelar kebangsawanan Kesultanan Tidore seperti gelar raja, kapiten, letnan, dan mayor. Dampak lainnya adalah terciptanya etnisitas yang heterogen dalam masyarakat Kaimana, lahirnya generasi muda memiliki tipe yang berbeda dari tipe umum penduduk Papua yang berambut keriting dan berkulit hitam. Generasi muda Kaimana ada yang berambut ikal atau bahkan rambut lurus dan kulit yang agak terang atau kulit yang eksotis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan dagang dan politik antara Kaimana dan dengan penduduk di wilayah sebelah barat umumnya dan khususnya Kesultanan Tidore membuktikan wilayah Kaimana khususnya dan pantai barat Papua umumnya memiliki simpul-simpul sejarah dengan wilayah Indonesia lainnya.

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Arsip ANRI, Aanvullende Memorie van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea J.C.C. Ter Haar, Fakfak, 1 Juli 1940.

ANRI, Nota Omtrent het Inlandsch Hoofden Bestuur in de Onderafdeeling West Nieuw Guinea, Afdeeling West Nieuw Guinea, Gouv. Nieuw Guinea, A.L. Vink, 1932, Reel No. 38, MvO Serie 1e.

ANRI, Memorie van Overgave Onderafdeeling Fak-Fak Controleur A. Vesseur, September 1951-April 1952, Reel No. 39, MvO Serie 1e.

ANRI, Memorie van Overgave de Betrefende de Onderafdeeling Kaimana van de Controleur F.H. Peters, Reel No. 40, MvO Serie 1e.

2. Arsip yang dicetak F.H Dumas, “ Nota van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea, Fakfak, 22 Januari 1911”, J. Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-No. 2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992),

A.L. Vink, “Memorie-(Vervolg) van Overgave van de (Onder)Afdeeling West Nieuw Guinea, 1932”, J. Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-No. 2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992).

S.J. van Geuns, “Vervolgmemorie op de Algemeene Memorie van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea, Fakfak, 31 Desember 1925”, J. Miedema dan W.A.L. Stokhof, Irian Jaya Source Materials No. 3 Series A-No.2: Memories van Overgave van de Afdeeling West Nieuw Guinea (Leiden: DSALCUL/IRIS, 1992).

3 Buku Leirissa, R.Z. 1996. Halmahera Timur dan Raja Jailolo. Jakarta: Balai Pustaka.

Sinaga, Rosmaida. 2013. Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962. Jakarta: Komunitas Bambu.

14

Upton, Stuart, 2009, “The Impact of migration on the people of Papua. Indonesia: A historical demographic analysis”. Unpublished PhD thesis, Department of History and Philosophy, University of New South Wales.

Usmani, Desy Polla, 2014. Kerajaan Fatagar Dalam Sejarah Kerajaan di Fakfak Papua Barat. Yogyakarta: Kepel Press.

Widjojo, Muridan. 2013. Pembrontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di Maluku Papau Sekitar 1780-1810. Depok: Komunitas Bambu

4 Informan Bupati Kabupaten Kaimana Drs. Hasan Achmad, M.Si.

15

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Bangka Buah Simalakama Bagi Kesultanan Palembang Dr. farida

Bangka Buah Simalakama Bagi Kesultanan Palembang

Abstrak Oleh: Dr. Farida, M.Si (Dosen Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya)

Tulisan ini bermaksud mengurai posisi Pulau Bangka Belitung (khususnya Bangka) bagi Kesultanan Palembang. Keberadaan pulau ini sangat penting bagi Palembang, khususnya sejak awal abad XVIII ditandai dengan ditemukannya timah. Eksplorasi timah yang dipelopori oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Kramo membawa keuntungan yang luar biasa bagi Kesultanan Palembang. Kondisi itu terus berlangsung hingga awal abad 19. Komoditas yang sangat “seksi” menjadi bumerang bagi kerajaan ini. Produk yang dihasilkan oleh pulau ini (timah dan lada) terutama timah menjadi sumber konflik bagi kerajaan terbesar di Melayu pada masanya. Bangka menjadi faktor penting dalam konflik intern dalam tubuh Kesultanan Palembang, selain juga menjadi pemicu konflik antara Palembang dan Inggris - Belanda, serta antara Belanda dan Inggris. Bermula dari Inggris ingin menguasai Palembang dengan timahnya, maka Pangeran Adipati (adik kandung Sultan Mahmud Badaruddin II) memanfaatkan peluang dengan membuat “deal” dengan panglima perang Inggris Kolonel Gillespie. Akibatnya Palembang jatuh ke tangan Inggris dengan konsekuensi Pulau Bangka- Belitung jatuh ke tangan Inggris. Sejak itu konflik di dalam tubuh kesultanan tak pernah reda. Dalam rangka mereguk “madu” timah Bangka, Inggris dan Belanda pun terlibat dalam pertingkaian, yang tentunya tak dapat dilepaskan dari Palembang. Terjadilah bertalikelindan satu sama lain yang membawa Kesultanan Palembang pada kehancurannya (1821), dengan didudukinya Kesultanan Palembang, dan pemerintahan Sultan Palembang sejak itu hanya simbol hingga 1825.

Kata Kunci: Konflik, timah, Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Ahmad Najamuddin II, Belanda, dan Inggris.

1. Pendahuluan Jika memandang dari kejauhan di atas Gunung Manumbing, maka akan terlihat dengan mata telanjang adanya tiga muara di seberang sana, dengan Selat Bangka yang menjadi pemisah sekaligus penyatu pesisir timur Sumatera Selatan dengan Pulau Bangka. Selat yang sangat ramai bagi pelayaran dari barat (Eropa) ke timur (Cina dan Jepang) atau sebaliknya. Muara paling tengah adalah Sunsang yang merupakan pintu masuk ke Sungai Musi. Inilah yang dimaksud oleh Wolters bahwa Gunung Manumbing dijadikan sebagai patokan jika ingin memasuki Palembang melalui muaranya. Sesuai dengan letak geografisnya, maka Pulau Bangka berada pada posisi paling dekat dengan pantai timur Sumatera Selatan, Dengan demikian. Sejak awal Pulau Bangka khususnya Mentok memiliki ikatan batin yang sangat kuat dengan Palembang. Hubungan batin tersebut dapat diruntut pula melalui beberapa legenda yang melekat pada ingatan masyarakat setempat. Tersebutlah dua orang Arab yang menjadi leluhur penduduk Bangka, namanya “Ake Anta dan Ake Benu”, keduanya bertubuh sangat besar sehingga Pulau Bangka tak mampu menampung beban yang begitu berat. Akibatnya, salah satu dari kedua kaki mereka ditempatkan di Palembang. Cerita dari Bangka tersebut, coba disandingkan dengan legenda lain, yaitu tentang asal muasal pulau Bangka adalah dari kapal yang Arab yang tenggelam, dan dari kapal tersebut muncul Pulau. Pada saat kapal tenggelam semua awaknya tidak ada yang selamat, kecuali pemimpinnya yang berhasil dengan cara berdayung menggunakan perahu kajang dan berlabuh di Bukit Siguntang (tanah paling sakral dan tertinggi di Palembang). (Clerq, 1895; Heidhues, 2008). Dari berbagai cerita itu menyiratkan betapa hubungan antara Palembang dan Bangka sangat erat. Bukti tertulis berupa Prasasti Kota Kapur (abad VII) merupakan bukti tertua menandai hubungan antara Sriwijaya (Palembang) dan Bangka. Bukti lain menyebutkan bahwa sejak awal abad XVI Pulau Bangka telah berada di bawah kendali penguasa Palembang (Stibbe, 1932). Sekitar satu setengah abad kemudian, kedudukan Palembang atas Bangka makin kuat, dengan terjadinya pernikahan antara sultan pertama Palembang (Sultan Abdulrakhman) dan puteri Bangka (Kielstra, 1892). Dengan demikian, jelas sekali bahwa abad VII, XVI dan XVII adalah rangkaian pondasi awal tegaknya kekuasaan Palembang atas pulau tersebut. Dengan modal tersebut, hubungan antara kedua kawasan tersebut makin berkembang di segala bidang, dan memperoleh bentuk khusus dengan ditemukannya timah apada awal abad XVIII. Timah menjadi produk unggulan dari Kesultanan Palembang, dan keberadaan timah menjadi perantara yang menyebabkan Bangka begitu menarik untuk diperebutkan oleh berbagai bangsa khususnya Belanda dan Inggris. Inilah yang akan dibahas pada tulisan ini. Bagaimana perebutan itu menjadikan Kesultanan Palembang berada pada posisi yang sulit, dan harus berjuang menegakkan marwah sebagai bangsa yang berdaulat. Kesulitan makin konpleks dengan munculnya adik Sultan yang berambisi duduk sebagai penguasa di kerajaan ini. Saling memanfaatkan dan menghancurkan menjadi drama yang tak bersesudahan, yang akhirnya harus menerima kekalahan dan kehilangan kedaulatan. Semua bermula dari produk seksi kerajaan ini yaitu timah Bangka.

2. Timah Bangka dan Konflik

Penemuan timah tertua di Pulau Bangka adalah di daerah Belo pada tahun 1709/1710. Sebelum timah ditemukan, Pulau Bangka bukanlah daerah yang diperhitungkan oleh banyak pihak. Produk yang dihasilkan Bangka adalah damar, dan minyaknya, serta madu. Nantinya dihasilkan pula lada. Hasil yang tak seberapa itu tidak menarik bagi Kesultanan Palembang maupun pihak-pihak lainnya termasuk organisasi dagang Belanda yaitu Vereenigde OostIndische Compagnie (VOC) (Heidhues, 2008).

Sejak abad XVII masyarakat Bangka telah mengenal dan mengembangkan besi, dan sebagian dari produksinya dipersembahkan sebagai upeti kepada Sultan Palembang. Dari pengolahan besi tersebut, mereka juga dapat mengolah timah yang banyak terdapat di berbagai kawasan di pulau itu. Hal ini dapat juga dikaitkan dengan kedatangan para pendatang yang telah terlebih dahulu mengenal teknik pengolahan timah, sehingga timah sebagai produk pertambangan dapat dikembangkan1 (Heidhues, 2008).

Penambangan timah berjalan lambat, hingga tahun 1730-an penambangan baru dilakukan di sekitar Mentok2 (Heidhues, 2008). Salah satu kendala dalam pengebangan timah pada awalnya adalah wabah penyakit cacar yang menyerang penduduk. Akibatnya penduduk meninggalkan lokasi tempat tinggal mereka, yang juga merupakan lokasi penambangan. Namun, lambat tapi pasti penambangan timah makin berkembang di seluruh pulau itu. Langkah yang diambil oleh Sultan Palembang untuk meningkatkan produksi timah adalah dengan cara mendatangkan banyak penambang timah orang-orang Cina, dan melengkapi berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Akibatnya produksi meningkat tajam pada tahun 1740 mampu menghasilkan sebesar 4.704 pikul, dan sesuai dengan kontrak, maka semua itu diserahkan kepada VOC. Penjualan itu naik terus mencapai angka 18.483 pikul pada tahun 1748, enam belas tahun kemudian sudah mencapai angka 33.395 pikul. Perkembangan yang

1Sebelum berkembangnya timah Bangka, beberapa daerah di Nusantara sudah mengembangkan tambang jenis ini diantaranya daerah Senanjung Malaya (Kedah, Perak, Selangor, Rembau), dan Sumatera (Singkep, Karimun, Bintan, Asahan, Batubara, Patakpahan, Kuok, kawasan Sungai Siak dan Sungai Rokan) (Erman, 2009). Penambangan timah Bangka dan pengembangannya di lakukan oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayokramo. Pengetahuan tentang timah tidak dapat dilepaskan dari keberadaannya selama pelarian di Johor Kepulauan Riau, yang ketika itu merupakan pusat perdagangan timah. (Heidhues, 2008). 2 Meskipun pada awalnya timah yang dapat diolah jumlahnya sangat terbatas, namun pihak kolonial Belanda meyakini bahwa timah akan berkembang dan menjadi komoditas prima. Untuk itu, pada tahun 1722 disepakati kontrak yang merupakan pembaharuan dari kontrak sebelumnya (Kontrak-kontrak lain setelah 1722 adalah 1755, 1763, 1775 dan 1791). Isi kontrak secara jelas menyebutkan bahwa VOC adalah pemegang hak monopoli atas perdagangan timah dan lada milik Kesultanan Palembang (Paulus, 1918; Kielstra, 1892).

sangat pesat ini menjadikan Bangka menjadi salah satu penghasil timah terbesar di dunia (Stapel. 1940; Erman, 2009).

Jelang penghujung abad XVIII terjadi perubahan pola perdagangan, seiring dengan makin lemahnya VOC. Di satu sisi daya beli VOC makin lemah, bahkan memasuki awal abad XIX jadi terhenti sama sekali. Di sisi lain, Palembang memanfaatkan kondisi tersebut dengan mengeruk keuntungan yang besar melalui “perdagangan bebas”. (ANRI, Bundel Palembang No.49; Veth, 1869; Kieltra, 1892). Perdagangan bebas yang dimaksud adalah menjual timah kepada pihak manapun yang mampu memberikan penawaran tertinggi, tanpa mengindahkan kontrak dengan VOC/Belanda. Sementara itu, pihak kolonial ini tidak mampu berbuat banyak, karena VOC makin lemah hingga dilikuidasi, sedangkan perubahan dari VOC ke pemerintah Hindia Belanda belum mampu membuat pihak kolonial ini bangkit sebagai kekuatan yang kuat, yang mampu memaksa Palembang mentaati isi kontrak.

Berbagai keuntungan yang diperoleh dari perdagangan, membawa Kesultanan Palembang pada posisi yang diperhitungkan baik dari kestabilan politik pemerintahan maupun dari segi ekonomi. Jadi, wajar jika Raffles menempatkan Kesultanan Palembang sebagai sebagai salah satu kerajaan yang paling makmur di antara raja-raja Melayu ketika itu, sekaligus posisinya sangat strategis. Inilah yang mendorong Raffles menempatkan Palembang sebagai kerajaan pertama yang didekatinya dalam rangka menggantikan posisi Belanda di Nusantara. Dalam strateginya, paling tidak para raja Melayu tidak berpihak pada Belanda ketika Inggris menyerangan Belanda, atau mengusir Belanda dari daerahnya masing- masing (Kielstra, 1892; Kemp, 1900).

Strategi yang ditempuh Raffles dalam mendekati Palembang adalah mengirim utusan. Melalui surat-suratnya Raffles membujuk Sultan Mahmud Badaruddin II mengusir Belanda, menyampaikan adanya ancaman dari Belanda (armada telah mendekati muara Sungai Musi, dan ancaman militer Belanda yang telah berada di daerah perbatasan Palembang dan Lampung. (Bastin, 1953; Kaiser, 1857). Dalam kondisi darurat sebagaimana yang digambarkan Raffles, maka ia menawarkan bantuan dan mengirimkan senapan, peluru, musiu dan lainnya, bahkan siap mengusir Belanda dari Palembang jika Sultan mengizinkan. Janji lain yang tak kalah hebatnya adalah Palembang bebas dari berbagai konsekuensi dari perjanjian dengan Belanda, jika berhasil mengusir Belanda sebelum mereka menduduki Batavia. Namun, Sultan Badaruddin II menolak tawaran-tawaran tersebut, yang diinginkannya adalah lepas dari kedua bangsa tersebut. (ANRI, Bundel Palembang No. 67; Baud, 1853; Bastin, 1853; Wutrzburg, 1949).

Kesempatan yang dinanti-nanti Sultan tiba, ketika mengetahui dengan pasti bahwa Batavia telah diduduki Inggris, tapi perjanjian serah terima belum dilakukan. Sultan mengerahkan para pembesar kesultanan untuk menduduki loji Belanda pada 14 September 2016, dan membawa sebagian besar penghuni ke muara Sungsang, dan ternyata di sana semua penghuni perahu ditenggelamkan. Selanjutnya membongkar loji dan meratakannya dengan tanah, serta menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan seolah-olah kondisi tersebut sudah lama terjadi. (Baud, 1853; Kielsra, 1892; Wurtzburg, 1949).

Sebagai pemenang Inggris tidak tinggal diam terhadap Palembang. Langkah pertama yang diambil adalah mengirim utusan berdasarkan Surat Perintah No. 1, 3 Nopember 1811. Sesuai sikap awalnya, Sultan menolak permintaan pihak Batavia untuk menerima kehadiran mereka, sebagai pihak yang akan menerima Palembang yang terikat dengan kontrak dengan Belanda. Alasan yang dikemukakan Sultan adalah bahwa rakyat Palembang telah mengusir Belanda sebelum perjanjian serah terima dari Belanda kepada Inggris (Perjanjian Tuntang, 18 September 1811), sedangkan pengusiran dan pendudukan loji terjadi empat hari sebelumnya. Sultan berpatokan pada janji Raffles bahwa jika mengusir Belanda sebelum menguasai Jawa, maka berarti Palembang bebas dari semua perjanjian dengan Belanda. Tuntutan utama mereka agar Sultan menyerahkan Pulau Bangka juga dengan tegas di tolak oleh Sultan Badaruddin II. Penolakan tersebut menimbulkan kemarahan dari pihak Inggris (Raffles dan Gubernur Lord Minto), yang berujung pada ekspedisi militer tahun 1812, karena Bangka dengan timahnya yang menjadi tujuan utama mereka mendekati Palembang (Java Gouvernement Gazette, 30 Mei 1812).

Menyadari konsekuensi dari kegagalan perundingan di atas, Sultan Badaruddin II menyiapkan diri sejak awal. Namun, semua persiapan itu seolah tak ada artinya, karena benteng Borang yang merupakan benteng terbesar saat itu, sama sekali tidak melalukan perlawanan atas perintah panglima perangnya yaitu Pangeran Adipati. Pangeran Adipati membuat kesepakatan dengan panglima perang Inggris Gillespie. Benteng telah berada di tangan musuh, maka tidak ada jalan lain dari Sultan Badaruddin II kecuali mundur ke uluan (Bailangu). Sepeninggal sultan, maka Gillespie melantik adik sultan dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II. Konsekuensi dari pelantikan tersebut adalah Palembang harus menyerahkan “emas hitamnya” kepada Inggris. Menguasai Bangka adalah cita-cita utama Raffles dan Gubernur Jenderal Lord Minto. Penguasaan tambang timah terbesar bermakna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. (ANKL, House of Lord, vol. 109, 1819).

Pendudukan atas Palembang, sekaligus penguasa pulau penghasil timah, dengan imbalan adik sultan naik tahta menggantikan sultan yang sah yaitu Sultan Mahmud Badaruddin II. Inilah tali kelindan dari masing-masing pihak yang berkepentingan. Ini pula awal pertikaian yang tak berujung dari dua saudara kandung3, yang membawa Kesultanan pelan tapi pasti menuju pada kehancuran. Selama lebih dari empat tahun pendudukan Inggris, mereka memusatkan pemerintahannya di Mentok Bangka. Dalam masa pendudukan tersebut, Inggris berhasil memproduksi timah sebanyak 61.650 pikul, (167%). Dari produkti tersebut diperoleh total pendapatan sebesar 3.209.009.60, dikurangi pengeluaran yang mencapai 1.729.335,48, maka total keuntungan adalah 1.480.674,04 (Kaiser, 1857; Hoek, 1862). Keuntungan yang yang begitu besar membuat Inggris enggan meninggalkan Bangka, meskipun Traktat London (1814) mengamanatkan agar mereka segera meninggalkan Kesultanan Palembang dengan Pulau Bangkanya. Dalam Pasal 2 Traktat itu secara khusus disebutkan bahwa “Pulau Bangka diserahkan sepenuhnya kepada Belanda, sebagai penggantinya Belanda memberikan Cochin dan sekitarnya di pantai Malabar kepada Inggris (Bataviaasch Courant, 26 Juni 1819, Nomor 26). Penguasa Inggris menolak pasal 2 tersebut dengan berpatokan bahwa secara de jure Sultan Ahmad Najamuddin II yang kala itu berstatus merdeka telah menyerahkan Bangka kepada Inggris tahun 1812 (ANKL, The Asiatic Journal, 1819 Volume 7). Upaya menahan Pulau Bangka dilakukan oleh penguasa Inggris di Batavia John Fendall (1816) dengan cara menunda pengembalian Pulau Bangka. Dalih yang dipakai adalah “menunggu keputusan dari pusat kekuasaan Inggris di Asia yaitu India”. Tarik ulur terjadi dan berlarut hingga akhirnya penyerahan betul-betul terwujud dengan diangkatnya Residen Belanda untuk Bangka-Palembang pada 22 Oktober 1816 yaitu Klaas Heynis (Hoek, 1862). Kedudukan Heynis di Mentok melanjutkan tradisi yang telah dibangun sejak Inggris berkuasa. Ini menunjukkan bahwa Bangka menjadi lokasi yang tak tergantikan oleh wilayah manapun di Palembang, termasuk ibu kotanya sendiri.

Penyerahan Bangka kepada Belanda seolah pertikaian antara Inggris dan Belanda telah usai. Ternyata tidak sederhana yang diperkirakan. Di kesultanan masih bercokol sultan

3 Pada masa pemerintahan Residen Robison, terjadi upaya untuk merangkul Sultan Mahmud Badaruddin di uluan. Keputusan itu diambil karena usaha mengalahkan Sultan Badaruddin II melalui perang tidak berhasil. Oleh sebab itu, Robison menaikkan Sultan Mahmud Badaruddin II kembali sebagai penguasa Palembang pada 13 Juli-14 Agustus 1813. Namun, keputusan tersebut ditolak Raffles, sehingga Sultan Badaruddin II kembali diturunkan, hanya sekitar satu bulan berkuasa, dan Ahmad Najamuddin II kembali menjadi sultan (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Bastin, 1953). yang diangkat oleh Inggris yaitu Ahmad Najamuddin II. Di mata Belanda Najamuddin II tidak lebih dari kaki tangan Inggris. Kurun waktu sekitar dua tahun sejak dikembalikan pemerintaha kepada Belanda, situasi dan kondisi di Kesultanan Palembang penuh gejolak. Semua bermuara pada konflik antara dua bersaudara, yang menjalar pada para pengikut mereka (Kemp, 1900; Stapel, 1940). Kondisi tersebut harus segera diatasi, maka dalam rangka menyelamatkan situasi, pemerintah di Batavia mengirimkan orang kuat yaitu Komisaris Muntinghe. Ia memasuki Palembang pada 1 Juni 1818 dengan kapal perang. Sultan Najamuddin II yang sejak awal kedatangan Belanda kembali merasa tidak nyaman, dan diperlakukan bagai “tawanan” dengan ketentuan tidak boleh berkomunikasi dengan pihak luar khususnya Inggris yang berada di Bengkulu. Kebijakan awal yang dibuat oleh Muntinghe adalah membagi kekuasaan di Palembang antara Sultan Najamuddin II dan Badaruddin II. Badaruddin II menerima pembagian kekuasaan tersebut dengan baik (20 Juni 1818), sedangkan Najamuddin II menolaknya, namun dengan paksaan ia terpaksa menerimanya (ANRI, Bundel Palembang No 5.1 dan No. 67).

Apa yang diharapkan oleh Belanda yaitu tercapainya perdamaian dengan dibaginya kekuasaan, faktanya tidak semudah itu. Permusuhan antara kedua sultan telah berurat berakar sejak 1812. Kondisi Najamuddin II semakin terjepit, dan upaya yang dilakukannya adalah meminta bantuan kepada Inggris yang sejak Maret 1818 di bawah kendali Raffles. Najamuddin II menuntut janji Raffles yang akan selalu melindunginya, sementara itu, Raffles adalah orang yang tidak pernah rela Palembang lepas dari tangan Inggris. Atas dasar permintaan tersebut, Raffles mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Kapten Salmond pada 20 Juni 1818. Kehadiran pasukan Inggris pada awal Juli di ibu kota Palembang memantikkan bara permusuhan antara Belanda dan Inggris. Hampir terjadi insiden, namun dapat diatasi setelah terjadi negosiasi antara Salmond dan Muntinghe. Akibat peristiwa itu, maka Najamuddin II diturunkan dari tahta, dan dibuang ke Batavia (ANRI, Bundel Palembang, No. 5.1; Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819, No. 26; The Asiatic Journal, Februari 1819).

Setelah diturunkannya Najamuddin II dari tahta, otomatis kekuasaannya jatuh ke tangan Badaruddin II, kekuasaan Sultan Badaruddin II seolah telah kembali sebagaimana kondisi sebelum ekspedisi Inggris 1812, namun faktanya sultan berada dalam pengawasan Muntinghe. Sementara itu, Muntinghe asyik dengan menhadapi ancaman dari Inggris dan mengejar musuh hingga uluan dan perbatasan. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Sultan Badaruddin II menyusun kekuatan, dalam usaha mengusir Belanda dari bumi Palembang. Ini yang kurang disadari oleh Muntinghe, ternyata ia mempunyai musuh di dalam negeri yang berada di bawah kendalinya. Setibanya di ibu kota pada Mei 1819, suasana sudah berubah. Kini siap berhadap-hadapan pasukan Belanda dan laskar Palembang yang telah disiapkan Sultan Badaruddin II dengan matang. Pada Juni 1819 perang pun pecah. Peperangan dahsyat itu dimenangkan oleh pihak Palembang dengan banyak jatuh korban dari kedua belah pihak. Kekalahan itu mempermalukan Belanda dan bersiap untuk menuntut balas. Peperangan kembali berkobar pada Oktober 1819. Peperangan terjadi di Bangka dan ibu kota Palembang. Dalam peperangan kedua itu, kembali Kesultanan Palembang memetik kemenangan (ANRI, Bundel Palembang No. 67; No. 5.1; Bataviaasche Courant, 4 Agustus 1921).

Dua kali kalah perang melawan Palembang sungguh sesuatu yang sangat memalukan bagi Belanda. Kehilangan Palembang berarti kehilangan Pulau timah Bangka. Inilah yang menjadi alasan utama Belanda yaitu mengembalikan supremasi, sekaligus menikmati kembali emas hitam yang selama ini telah memberikan keuntungan yang sangat besar.

3. Bangka jadi Pusat Pijakan

Pascamundur dari ibu kota Palembang, Belanda menutup pintu keluar masuk bagi Palembang yaitu Sungsang. Diharapkan penutupan itu akan membawa Palembang pada kesulitan besar karena perekonomiannya akan bangkrut, sambil mempersiapkan serangan balasan dari Batavia, dengan pijakan di Pulau Bangka. Sekalipun Pulau Bangka adalah pulau yang sangat diidamkan, namun kekuasaan Belanda di sana tidak akan permanen jika tidak menduduki induknya yaitu Palembang. (ANRI. Bundel Palembang No. 66.10).

Sepanjang pendudukan Belanda di Bangka hingga memasuki 1821, terjadi banyak pergolakan di hampir seluruh pulau itu. Beberapa penyebab sulitnya penaklukan Pulau Bangka, adalah pulau itu sangat luas yang otomatis sulit ditaklukkan. Langkah yang diambil adalah membagi wilayah atas beberapa distrik untuk memudahkan pengawasan, padahal mereka tidak memiliki serdadu yang cukup, begitu pula dengan peralatannya, serta armada. Di sisi lain, penduduk Bangka yang jumlahnya jauh lebih banyak, dan mengenal medan pertempuran dengan baik, didukung pula dengan sarana transportasi yang memadai4. Itulah sebabnya berkali-kali pemimpin Belanda di Bangka meminta penambahan personil, dan armada. Strategi yang dikembangkan antara lain melakukan serangan gabungan, dan

4 Pada perkembangannya Belanda lebih unggul dalam peperangan-peperangan di darat, namun jalur laut tetap berada di bawah kendali pejuang Bangka yang mendapat sokongan para bajak laut. (ANRI, Bundel Palembang No. 67). berulang-ulang dengan konsekuensi membutuhkan tenaga, dana yang tidak sedikit. Cara lain yaitu mengawasi gerak gerik penduduk, hingga masalah sensitif yaitu mengawasi kegiatan pengajian. Mereka juga mengajukan permohonan tambahan pasukan yang terdiri dari orang serdadu Ambon, dan Madura untuk dijadikan pasukan pengawal pribumi (kelompok ini juga dikerahkan untuk membuat jalan baru dan memperluas jalan-jalan di Pulau Bangka). (ANRI, Bundel Palembang No. 66.10; No. 67; Waey, 1875).

Semua cara ditempuh untuk memenangkan banyak peperangan yang terjadi di Pulau Bangka, sebuah perjuangan yang sangat berat. Di sisi lain, rakyat Bangka di bawah para pemimpinnya juga gigih mempertahankan setapak demi tanah milik mereka. Sementara itu, meskipun dalam kondisi yang tertutup dari dunia luar, Sultan Badaruddin II juga berupaya terus membantu perjuangan rakyat Bangka. Tercatat Sultan berhasil mengirimkan sebanyak lima puluh perahu pada akhir November 1820 dibawah pimpinan Raden Badar. Bersama- sama Raden Ali dan Batin Ganing mereka mengobarkan perlawanan pada akhir 1820. Mereka juga mendapat dukungan dari rakyat Lingga dan pulau-pulau sekitarnya untuk meminta dukungan penduduk setempat. (ANRI, Bundel Palembang No. 67). Demikian gigih perjuangan rakyat Bangka, dan itu terus mereka lakukan hingga Kesultanan Palembang berhasil dilumpuhkan oleh Belanda 1821.

4. Akhir Konflik dan Kehancuran

Persiapan penuh dilakukan Belanda untuk menuntut balas dan menaklukkan Palembang. Selain kekuatan armada berupa puluhan kapal perang dan pengangkut. Selain itu, ditambah pula ratusan perahu lengkap dengan persenjataannya, dan jumlah serdadu yang sangat besar untuk ukuran saat itu. Mereka juga menempuh cara lain yaitu melibatkan Najamuddin II5 dan puteranya Ahmad Najamuddin Prabu Anom. Keduanya diambil dari pengasingan dalam upaya mengambil hati rakyat Palembang agar tidak menolak, bahkan mendukung penyerangan terhadap Palembang, ditambah pula dengan hadiah berupa garam dan beras kepada rakyat. Politik mengadu domba terus dikobarkan. Peperangan antara Palembang dan Belanda berkecamuk. Palembang telah menyiapkan diri dengan baik, berupa benteng- benteng pertahanan (Borang, Tambakbayo, dan lainnya), memperkokoh tiang-tiang kayu yang menutup Sungai Musi dari muara Sungai Komering hingga Pulau Gombora, dan

5 Dilibatkannya Najamuddin II yang dibuang ke Cianjur Jawa Barat dalam upaya mendapatkan dukungan dari rakyat, sekaligus menyiapkan “penguasa” Palembang pascapenaklukan, sebagaimana perjanjian yang telah mereka tandatangani di Bogor pada April 1821. (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Bataviaasch Courant, 4 Agustus 1821) persenjataan lainnya. Menyiagakan pula perahu-perahu bersenjata di sepanjang Sungai Ogan dan Sungai Musi. Faktanya perahu-perahu bersenjata mampu membalas gempuran dari armada Belanda, sehingga mereka memilih mundur sementara guna mempersiapkan strategi lainnya. Langkah selanjutnya sudah bisa ditebak adalah pihak Belanda melakukan serangan total guna menguasai benteng terkuat yaitu benteng Gombora. Berhasilnya pendudukan atas benteng tersebut membawa peluang penaklukan benteng-benteng lainnya hingga keraton pun dapat dikuasai pada 26 Juni 1821 (ANRI, Bundel Palembang No. 5.1; Bataviaasche Courant,11 Juli 1821). Pendudukan keraton membawa konsekuensi Sultan Badaruddin II harus menerima kekalahan dan harus diasingkan. Sejak itu didudukan mereka Pangeran Prabu Anom sebagai sultan yang hanya sebagai simbol hingga 1825.

5. Penutup

Inilah akhir drama panjang dari Kesultanan Palembang yang tragis. Sultan Badaruddin II dan kerabatnya dibuang ke Ternate (1822-1852) hingga akhir hayatnya. Sementara itu kekuasaan Sultan Najamuddin Prabu Anom tak lebih hanya simbol, sementara ayahnya bertindak selaku Susuhunan. Perebutan antardua bersaudara kandung berakhir tragis dengan hilangnya semua kekuasaan, dan Kesultanan Palembang mengakhiri sejarahnya dengan tragis.

Semua berawal dari kekayaan timah Bangka milik Kesultanan Palembang yang membawa kerajaan ini pada kejayaannya. Namun, posisi itu sangat menggiurkan bagi Inggris dan Belanda, sehingga kedua bangsa ini melakukan berbagai cara agar tujuan tersebut berhasil. Inggris memulainya dengan tuntutan atas Pulau Bangka sebagai konsekuensi logis dari kemenangan mereka atas perang melawan Belanda dan menduduki Batavia (1811). Sementara itu, adik Sultan Badaruddin II yaitu Pangeran Adipati melihat adanya “peluang” berkuasa, dan Belanda seolah merasa pemilik “sah” Bangka dan Kesultanan Palembang. Inilah awal krisis demi krisis di kerajaan itu yang akhirnya membawa pada kehilangan kedaulatan dan dihapuskan (1825).

Daftar Pustaka

ANRI, Dagverhall Wegens de Expeditie na Palembang 21 Juli 1819, Bundel Palembang No.66.10.ANRI, Nota rapporten betreffende Palembang over 1811 tot 1821, Bundel Palembang No. 5.1

ANRI, Verhaal van de politieke en militaire gebeurtenissen te Palembang gedurende 1811, 1821 en eiland Banka door A. Meis, kapitein der arteleerie, 1840, Bundel Palembang No. 67.

Paulus,J., 1918, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, „s Gravenhage, Martinus Nijhoff.

Stibbe, D.G., 1932, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, eerste deel, „s Gravenhage, Martinus Nijhoff.

Veth, P.J., 1869, Aardrijkskundig Woordenboek van Nederlandsch Indie, Amsterdam, P.N. van Kampen.

Bataviaasche Courant, 26 Juni 1819, nomor 26

Bataviaasche Courant, Sabtu, 4 Agustus 1821

Java Gouvernement Gazette, Sabtu, 30 Mei 1812

Erman, Erwiza, 2009, Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap, Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung, Jakarta, Ombak.

Heidhuis, Mary F. Somers, 2008, Timah Bangka dan Lada Mentok, Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII s/d Abad XX (Bangka Tin and Mentok Pepper), Jakarta, Yayasan Nabil.

Kaiser, F., 1857, De Britsche Heerschappij over Java en Onderhoorigheden (1811-1816), „s Gravenhage, Gebroeders Belinfante.

ANKL, 1819, House of Lords The Seasonal Papers 1801-1833, vol. 109.

Bastin, John A., 1953, Palembang in 1811 and 1812, Bijdrage van Koloniaal Instituut, Jilid 109.

Baud, J.C., 1853, Palembang in 1811 en 1812, Bijdrage van Koloniaal Instituut,Jilid I.

Clercq. F.S.A.de, 1895, Bijdrage tot de Geschidenis van Ieland Bangka, Bijdrage van Koloniaal Instituut, Jilid XLV

Hoek, I.H.J., 1862, Het Herstel van het Nederlandsch Gezag op Java en Onderhoorigheden 1816-1819, „s Gravenhage, De Gebroeders van Cleff. Kemp, P.H, van der, 1900, Palembang en Banka in 1816 – 1820, Bijdrage van Koloniaal Instituut, Jilid LI.

Kielstra,E.B., 1892, De Ondergang Van Het Palembangsche Rijk, de Gids, 1892

The Asiatic Journal and monthly register for British India and its dependencies, 1819, volume 7.

The Asiatic Journal and monthly register for British India and its dependencies, Pebruari 1819, volume 7.

Waey, H., van, 1875, Palembang 1809-1819, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, I.

Wurtzburg, C.E., 1949, Raffles and the Massacre at Palembang, JMBRAS.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Masyarakat Nelayan Banten Pada Masa Desentralisasi: Dinamika Hubungan Antar Etnis di Karangamtu Dr. Yanwar Pribadi

MASYARAKAT NELAYAN BANTEN PADA MASA DESENTRALISASI: DINAMIKA HUBUNGAN ANTARETNIS DI KARANGANTU

Dr. Yanwar Pribadi IAIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

Abstrak Makalah ini mengeksplorasi dinamika hubungan masyarakat nelayan antaretnis di bekas pelabuhan utama Kesultanan Banten dengan studi kasus di Pelabuhan Karangantu, Kota Serang, Provinsi Banten pada masa desentralisasi (pasca Orde Baru). Fokus utama adalah hubungan sosial-ekonomi-budaya antara pendatang, yaitu orang-orang Bugis, Lampung dan Cirebon dengan orang Banten dan dengan sesama mereka. Makalah ini secara lebih luas menginvestigasi kebijakan pemerintah mengenai sektor kelautan dan perikanan pasca diterapkannya otonomi daerah sejak tahun 2000. Pokok-pokok permasalahan yang dibahas adalah latar belakang sebagai pusat kekuasaan maritim terkemuka; kedatangan dan interaksi pedagang dan nelayan mancanegara dan Nusantara dengan masyarakat Banten; kebijakan desentralisasi; pola dan bentuk hubungan antaretnis di Banten; dan pengaruh serta dampak kebijakan desentralisasi terhadap perkembangan dunia maritim Banten. Pendekatan penelitian dan penulisan dalam makalah ini adalah antropologis-historis. Penelitian lapangan digabungkan dengan penggunaan sumber-sumber tertulis, sedangkan alur penulisan menggunakan pendekatan sinkronik. Analisis yang ditawarkan di makalah ini adalah bahwa di satu sisi, hubungan antaretnis di daerah pesisir Banten adalah hubungan sosial-ekonomi- budaya yang telah telah terjalin lama dan dapat dijadikan sebagai bentuk hubungan multikulturalisme yang ideal. Namun, di sisi lain kebijakan desentralisasi dan kebijakan pemerintah pusat dalam masalah kelautan dan perikanan belum mampu memberikan solusi yang tepat dalam meningkatkan kehidupan perekonomian dan memberdayakan masyarakat nelayan Banten, seperti yang terjadi pada abad ke-16 dan 17. Kata kunci: Karangantu, Banten, Nelayan, Desentralisasi, Hubungan antaretnis

Pendahuluan Kesultanan Banten pernah menjadi pusat kekuasaan maritim terkemuka di Asia pada abad ke–16 dan 17. Kekuasaannya meliputi beberapa daerah di Nusantara, dan hubungan diplomatiknya terjalin hingga ke Arab Saudi melalui permintaan gelar sultan. VOC bahkan mengalami kesulitan menguasai Banten hingga akhir abad ke-17. Secara umum, Banten adalah kerajaan dengan budaya bahari yang kuat. Di sana terdapat beberapa pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan internasional. Di antaranya adalah Karangantu, Pontang dan Tanara. Ketiganya berhasil menarik perhatian pedagang dan nelayan mancanegara dan daerah–daerah lain di Nusantara. Pada masanya, Banten adalah salah satu daerah yang paling kosmopolis di Nusantara dengan kedatangan dan menetapnya pedagang, nelayan dan kelompok–kelompok profesi lainnya seperti orang-orang dari Tiongkok, India, Semenanjung Melayu, Jazirah Arab, Turki, Portugal, Belanda, Inggris,

1

Prancis, dan daerah–daerah di Nusantara seperti orang–orang Bugis, Lampung, Madura, Ternate, Makassar, dan Cirebon. Pasca kemerdekaan Indonesia, Banten mengalami kemunduran yang signifikan. Secara administratif Banten menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Daerah pedalaman Banten yang pada masa kesultanan adalah daerah tertinggal, pada masa kemerdekaan keadaannya tidak menjadi lebih baik. Lebak bahkan menjadi daerah paling tertinggal di Jawa Barat. Keadaan di pesisir pun merefleksikan hal yang serupa. Karangantu, Pontang dan Tanara kehilangan reputasinya sebagai pelabuhan yang pernah memainkan peran penting dalam sistem pelayaran dan perdagangan Nusantara, dan sebagian besar masyarakat nelayannya hidup di lingkaran kemiskinan. Namun, ketiganya, terutama Karangantu, tetap memiliki peran penting sebagai pelabuhan perikanan di Banten. Masyarakat Karangantu tetap mempertahankan „reputasinya‟ sebagai daerah kosmopolis yang tetap menarik perhatian nelayan dari daerah–daerah lain di Indonesia, terutama pada musim melaut. Selain itu, kelompok etnis Bugis, Lampung dan Cirebon bahkan memiliki perkampungan sendiri di sana dan hingga kini sebagian besar tetap mempertahankan budaya dan tradisinya masing–masing sambil berakulturasi dengan budaya dan tradisi Banten. Makalah ini mengeksplorasi dinamika hubungan masyarakat nelayan antaretnis di bekas pelabuhan utama Kesultanan Banten dengan studi kasus di Pelabuhan Karangantu, Kota Serang, Provinsi Banten pada masa desentralisasi (pasca Orde Baru). Fokus utama adalah hubungan sosial-ekonomi-budaya antara pendatang, yaitu orang-orang Bugis, Lampung dan Cirebon dengan orang Banten dan dengan sesama mereka. Makalah ini secara lebih luas menginvestigasi kebijakan pemerintah mengenai sektor kelautan dan perikanan pasca diterapkannya otonomi daerah sejak tahun 2000. Pokok-pokok permasalahan yang dibahas adalah latar belakang sejarah Banten sebagai pusat kekuasaan maritim terkemuka; kedatangan dan interaksi pedagang dan nelayan mancanegara dan Nusantara dengan masyarakat Banten; kebijakan desentralisasi; pola dan bentuk hubungan antaretnis di Banten; dan pengaruh serta dampak kebijakan desentralisasi terhadap perkembangan dunia maritim Banten. Pendekatan penelitian dan penulisan dalam makalah ini adalah antropologis-historis. Penelitian lapangan digabungkan dengan penggunaan sumber-sumber tertulis, sedangkan alur penulisan menggunakan pendekatan sinkronik. Analisis yang ditawarkan di makalah ini adalah bahwa di satu sisi, hubungan antaretnis di daerah pesisir Banten adalah hubungan sosial-ekonomi- budaya yang telah telah terjalin lama dan dapat dijadikan sebagai bentuk hubungan multikulturalisme yang ideal. Namun, di sisi lain kebijakan desentralisasi dan kebijakan pemerintah pusat dalam masalah kelautan dan perikanan belum mampu memberikan solusi

2 yang tepat dalam meningkatkan kehidupan perekonomian dan memberdayakan masyarakat nelayan Banten, seperti yang terjadi pada abad ke-16 dan 17.

Banten sebagai pusat kekuasaan maritim terkemuka Keresidenan Banten pada masa Orde Baru terdiri dari tiga kabupaten: Serang, Pandeglang dan Lebak. Secara umum, Banten memiliki dua karakteristik geografis yang berbeda. Bagian selatan ditandai dengan banyaknya dataran tinggi dan memiliki kepadatan penduduk yang lebih rendah dibandingkan bagian utara. Sementara itu, bagian utara memiliki dataran rendah yang luas dan jumlah penduduknya pun lebih banyak. Penduduk Banten yang utama berasal dari etnis Sunda yang menetap di bagian selatan, sedangkan etnis Jawa yang pada mulanya berasal dari Demak dan Cirebon kebanyakan menetap di bagian utara. Orang Kanekes atau Baduy1, yang mengembangkan kebudayaan mereka sendiri, tinggal di pegunungan di bagian selatan.2 Secara umum, daerah pedalaman Banten lebih subur. Bagian utara, terutama daerah pesisir, memiliki karakter lanskap persawahan yang tidak teririgasi dengan baik, tingkat kegagalan panen yang tinggi, dan hampir tidak adanya tanaman lain selain sawah (Williams, 1990: 2-4). Namun, Sartono Kartodirdjo memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Ia mengatakan bahwa tanah persawahan yang paling teririgasi ditemukan di lereng gunung dan dataran di utara, dan oleh karena itu wilayah kekuasaan Sultan ditemukan di dataran utara. Sementara itu, daerah pegunungan dan perbukitan di selatan adalah daerah di mana budidaya padi kering dipraktikkan. Lebih jauh, ia menunjukkan bahwa daerah ini kering dan tidak teririgasi (Kartodirdjo, 1966: 31). Penjelasan terbaik mengenai adanya perbedaan antara pendapat Williams dan Kartodirdjo mengenai kesuburan daerah Banten terletak pada adanya perubahan bentuk persawahan yang sering berubah sepanjang waktu. Selain itu, juga menarik jika kita melihat pendapat Heriyanti O. Untoro yang menyebutkan bahwa ada perubahan

1Untuk mengetahui kedudukan orang Baduy di antara masyarakat Jawa Barat lainnya, lihat Robert Wessing, “The Position of the Baduj in the Larger West Javanese Society”, Man, New Series, Vol. 12, No. 2 (August 1977), h. 293-303. 2Sartono Kartodirdjo menunjukkan bahwa perbedaan antara Banten utara dan selatan harus dilihat dari unsur lingkungan, faktor ekologis, sekaligus perbedaan dalam asal-usul sosial-budaya dan asal-usul historis (Kartodirdjo, 1966: 30). Kedua kelompok etnis tersebut menunjukkan perbedaan dalam hal bahasa dan adat- istiadat. Sebagai contoh, bagi orang Belanda, orang Banten utara terkenal karena fanatisme religius mereka, sikap agresifnya, dan semangat memberontaknya. Selain itu, dalam melihat perbedaan dalam hal bahasa, Mikihiro Moriyama berpendapat bahwa kesadaran perbedaan dalam hal bahasa, budaya dan etnisitas tidak terindikasi di Jawa Barat sebelum abad ke-19. Pemerintah kolonial dan para sarjanalah yang memaksa orang Jawa Barat untuk mengidentifikasi diri mereka secara bersebrangan dengan orang Jawa dan orang Melayu (Moriyama dalam Atsushi, 2006: 174). 3 lingkungan yang disebabkan oleh eksploitasi tanah liat di Banten untuk pembuatan gerabah selama ratusan tahun (Untoro, 2006: 129). Kesultanan Banten yang berdiri pada tahun 15253 memiliki teritori hingga ke daerah- daerah yang meliputi Jasinga, Tangerang dan Lampung. Pada masa kejayaannya, Kesultanan Banten melakukan aktivitas perdagangan yang seimbang dengan orang asing dan membuat perjanjian dengan orang Portugis, Inggris dan Belanda. Banten adalah sebuah pelabuhan, kota perdagangan dan pusat pemerintahan sekaligus. Selain itu, ia adalah sebuah kota yang sangat sibuk. Kemunculan perdagangan lada dan komoditas lain berjalan beriringan dengan perkembangan Banten. Perdagangan lada dimonopoli oleh keluarga Sultan dan penguasa lainnya, dan oleh karena itu, sejumlah besar bangsawan bekerjasama dengan pedagang- pedagang asing. Perdagangan tersebut memberikan penghasilan utama bagi kesultanan. Sebagai tambahan, pajak dari ekspor barang dan bea pelabuhan juga berkontribusi secara signifikan bagi kemajuan Banten (Meilink-Roelofsz, 1962: 76 & 392). Barang-barang dagangan yang menjadi komoditas utama adalah bahan makanan berupa beras dan hasil bumi lainnya seperti sayur-mayur dan buah-buahan serta hasil ternak. Melalui perdagangan, keuntungan ekonomi yang diperoleh Banten bukan hanya berasal dari jual-beli semata. Barang yang masuk ke pelabuhan dikenakan bea cukai yang besarnya ditentukan oleh syahbandar. Sebagai gambaran, pada tahun 1608 Syahbandar Banten menarik bea cukai dan pajak terhadap Kapal “Banten” milik VOC yang akan mengekspor 8.440 karung lada sebesar fl 11.533 (Lubis, 2004: 78). Namun, setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal dunia, prestise Banten merosot tajam karena perebutan kekuasaan di antara keluarga Sultan yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperluas pengaruh mereka dalam mengintervensi kesultanan.4 Kesultanan yang besar tersebut akhirnya runtuh pada tahun 1808 ketika ia akhirnya berada di bawah kekuasaan Belanda di bawah perintah Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811).5

Interaksi pedagang dan nelayan mancanegara dan Nusantara dengan orang Banten Tomé Pires, seorang ahli obat-obatan dari Lisbon yang menghabiskan waktunya di Malaka dari tahun 1512 hingga 1515, mengunjungi Jawa dan Sumatera dan dengan sangat giat

3Kartodirdjo mengatakan bahwa ia berdiri pada tahun 1520 (Kartodirdjo, 1966: 53), sedangkan Atsushi secara berhati-hati menyebutkan bahwa Kesultanan Banten berdiri antara tahun 1522 dan 1527 (Atsushi, 2006: 16). 4Peristiwa tahun 1682 di mana Belanda mengirim pasukan ke Banten pada bulan Maret telah lama dianggap sebagai titik krusial dalam sejarah Banten karena hilangnya kemerdekaan diplomatik kesultanan dan basis kemakmuran ekonominya (Atsushi, 2006: 18 & , 2001: 5). 5Namun Williams berpendapat bahwa walaupun kesultanan dianeksasi oleh Belanda pada tahun 1808, mereka tetap mempertahankan sultan sebagai penguasa boneka hingga tahun 1832 (Williams, 1990: xxvii). 4 mengumpulkan informasi dari orang-orang mengenai seluruh daerah Malaya-Indonesia. Menurut Pires, daerah Jawa Barat yang berbahasa Sunda belum menganut agama Islam, bahkan malah memusuhinya. Daerah tersebut adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, termasuk Banten (Ricklefs, 2010: 11-12). Namun, Pires tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana kondisi Banten saat itu sebagai sebuah pelabuhan yang berada di bawah Kerajaan Sunda. Di sebagian besar wilayah luar Jawa, kerajaan-kerajaan terbentuk di daerah pantai yang cocok untuk pertanian padi. Namun, jalur komunikasi yang terpenting bagi negara- negara seperti itu menuju ke luar, ke arah laut. Hal itu pulalah yang membuat etnis Bugis dari Sulawesi Selatan memulai emigrasi besar-besaran pada abad ke-17 dan 18. Mereka tidak bergerak ke utara di dalam pulau mereka sendiri, tetapi justru memilih perahu untuk melakukan pelayaran. Bagi pulau-pulau luar Jawa, lautan adalah jalan raya mereka. Orang- orang Bugis ini memilih Banten sebagai salah satu wilayah tujuan emigrasi mereka (Riclefs, 2010: 29-30). Tidak ada sumber sejarah yang secara jelas menyebutkan kapan pertama kalinya orang-orang Bugis datang ke Banten. Diperkirakan mereka datang dalam rombongan besar ketika Banten menjadi kesultanan besar di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, mungkin bersamaan dengan masa ketika ulama terkemuka Sulawesi Selatan, Syaikh Yusuf mulai menetap di Banten di paruh pertama abad ke-17. Seorang penulis, Abu Hamid, berpendapat bahwa reputasi Syaikh Yusuf mampu menarik perhatian orang-orang dari luar Jawa, termasuk orang Bugis untuk menuntut ilmu agama kepadanya. Selain itu, merujuk kepada sumber- sumber Belanda, Hamid juga menyebutkan bahwa setelah Sultan Ageng Tirtayasa wafat, perang gerilya antara Kesultanan Banten dan VOC dilanjutkan oleh Syaikh Yusuf, Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul. Syaikh Yusuf memimpin kurang lebih 5.000 tentara, termasuk lebih dari 1.000 tentara yang berasal dari Makassar, Bugis dan Melayu. Penjelasan ini menunjukkan bahwa etnis Bugis dan juga Makassar sudah banyak yang menetap di Banten dan menjadi tentara Kesultanan Banten serta berperang melawan VOC pada waktu itu (Hamid, 2005: 103). Namun, dalam masa-masa sesudahnya tidak ada lagi catatan sejarah yang menyebutkan sepak-terjang orang Bugis di Banten. Sebuah penelitian terkini tentang etnis Bugis di Banten menyebutkan bahwa orang-orang Bugis yang kini menetap di Kampung Bugis, Kelurahan Karangantu, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten pertama kali datang pada tahun 1965. Berdasarkan memori kolektif mereka, disebutkan bahwa pada mulanya hanya ada enam orang saja yang datang ke Banten, yaitu Aras, Gala, Siri, Made,

5

Merali dan Bedu. Mereka datang ke Banten sebagai nelayan. Setelah merasa nyaman tinggal di sana, mereka mulai hidup menetap dan membawa serta sanak keluarga mereka. Menetapnya mereka di Banten menunjukkan kesesuaian dengan tradisi mereka bahwa jika ada suatu daerah yang dapat mendatangkan rezeki, mereka akan menetap dan tinggal selamanya di sana. Kedatangan orang-orang Bugis selanjutnya terjadi dalam beberapa gelombang, yaitu pada tahun 1972, 1974 dan 1975. Hingga kini, berdasarkan data dari kelurahan setempat, pada tahun 2013 tercatat populasi orang Bugis di Karangantu berjumlah 4.324 jiwa, terdiri dari 2.112 jiwa laki-laki dan 2.212 jiwa perempuan (Wazin dkk, 2015: 34-43). Sama halnya dengan kedatangan orang Bugis ke Banten, kedatangan orang Lampung dan Orang Cirebon juga tidak terdokumentasi dengan baik. Walaupun pernah menjadi daerah koloni Banten dan merupakan salah satu daerah penghasil lada utama bagi Kesultanan Banten (Kartodirdjo, 1966: 112 & Tjandrasasmita, 1981/1982: 323), sumber-sumber tertulis tentang hubungan Banten dan Lampung tidak banyak diketahui, terlebih lagi tentang keberadaan orang-orang Lampung di Banten, terutama di Karangantu. Kini sebagian besar orang Lampung di Banten menetap di Kampung Cikoneng, Kampung Bojong, Kampung Tegal dan Kampung Salatluhur di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang. Orang-orang Lampung di Banten ini bisa dikatakan memiliki identitas ganda. Salah satu indikasinya adalah bahwa pada gerbang/gapura kantor Kepala Desa Cikoneng ada tulisan yang berbunyi “Kami orang Banten, kami menjunjung tinggi leluhur kami, Lampung”. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menyadari bahwa mereka beretnis Lampung, tetapi mereka bukan orang Lampung (secara geografis), karena mereka adalah orang Banten. Mereka pun menolak dikatakan sebagai pendatang (Musaddad dkk, 2015: 14 & 35). Sementara itu, sejak awal berdirinya Kesultanan Banten, orang-orang Cirebon bersama-sama dengan orang-orang asing lainnya dari Gujarat, Mesir, Turki, dan Tiongkok memiliki perkampungan sendiri di sebelah barat Pasar Karangantu dan di sebelah barat Masjid Banten. Dalam tradisi Cirebon, peranan Sunan Gunung Jati sebagai pendiri Kesultanan Banten sangat menonjol. Selain itu, orang-orang Cirebon juga membantu Banten dalam menaklukkan Kerajaan Sunda pada tahun 1579. Pada masa Maulana Yusuf (1570-1580) perdagangan Banten sangat maju dan bahkan Banten dapat dianggap sebagai sebuah kota pelabuhan emporium tempat barang-barang dagangan dari berbagai penjuru dunia digudangkan dan kemudian didistribusikan. Situasi di Karangantu sangat ramai. Pedagang dari Tiongkok membawa barang dagangan berupa porselen, sutra, beludru, benang emas, jarum dan lain-lain. Pedagang Persia dan Arab menjual permata dan obat-obatan. Pedagang dari Gujarat menjual kain dari bahan kapas dan sutra. Sementara itu, pedagang Portugis membawa barang dagangan

6 berupa kain dari India. Para pedagang dari Nusantara, seperti dari Cirebon, Makassar, Sumbawa, Palembang, Maluku dan lain-lain membawa barang dagangan dari daerahnya masing-masing, seperti garam, gula, beras, ikan kering, rempah-rempah dan lain-lain (Michrob dan Chudari, 1993: 82-83). Kondisi ini menunjukkan bahwa sejak lama Banten telah menjadi daerah kosmopolitan yang mempertemukan pedagang dari berbagai penjuru dunia untuk mengadu nasib di sana. Pada masa sekarang, pelabuhan Karangantu tidak lagi menjadi pelabuhan kosmopolitan seperti pada masa kesultanan. Namun, setelah Indonesia merdeka, setidaknya orang-orang „asing‟ dari berbagai daerah di Indonesia masih ada yang menetap dan bergantung sepenuhnya pada pelabuhan yang pernah sangat termasyhur pada abad ke-17 dan 18 tersebut. Bagaimana kondisinya kini pada masa desentralisasi yang seharusnya diharapkan pemberian otonomi daerah bagi Banten sebagai sebuah provinsi yang berdiri pada tahun 2000 dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi Pelabuhan Karangantu? Bagaimana pula dinamika antaretnis yang terjadi di sana yang kini tidak sekosmopolis pada masa Kesultanan Banten? Untuk menjawabnya, di bawah ini akan dijelaskan kondisi desentrasasi di Indonesia secara umum.

Kebijakan desentralisasi Demokratisasi dan desentralisasi adalah dua proses yang terus berjalan dan berkembang di Indonesia. Keduanya muncul karena adanya ketidakpuasan terhadap kebijakan sentralisasi dan proses demokrasi yang tidak berfungsi dengan baik pada masa Orde Baru. Keduanya adalah konsep yang perlu dipahami dalam menjelaskan dinamika antaretnis di Karangantu. Edward Aspinall dan Greg Fealy menjelaskan aspek-aspek hubungan antara pusat dan daerah pada masa pasca Orde Baru dan menunjukkan bahwa kemunculan kekuatan lokal telah mempengaruhi seluruh aspek politik, ekonomi dan masyarakat Indonesia (2003: 2). Proses desentralisasi di Indonesia tidaklah sama dengan proses demokratisasi. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken menginvestigasi peranan elit daerah, terutama dalam bidang birokrasi, ekonomi, dan politik identitas pada masa pasca Suharto. Argumen utama dalam karya mereka adalah bahwa desentralisasi tidak serta-merta berujung pada demokratisasi, tata laksana pemerintahan yang baik dan penguatan masyarakat madani di tingkat daerah. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa yang lazim terjadi adalah desentralisasi korupsi, kolusi dan kekerasan politik yang dulunya hanya umum terjadi pada masa Orde Baru, dan sekarang dialihkan kepada pola-pola patrimonial di tingkat daerah (2007: 18).

7

Setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru, sebuah era desentralisasi menggantikan periode sentralisasi lama yang mengabaikan otonomi daerah. Menurut Schulte Nordholt dan Van Klinken, ciri khas identitas etnik dan keagamaan adalah sifat provinsi di Indonesia yang paling menonjol setelah runtuhnya Orde Baru. Etnisitas telah menjadi ideologi dalam perjuangan politik dan di saat yang bersamaan, ia juga telah membangkitkan perasaan yang mendalam (Schulte Nordholt & Van Klinken, 2007: 21). Presiden Habibie menghasilkan dua undang-undang yang sangat penting dalam proses desentralisasi di Indonesia: UU No. 22/1999 yang berhubungan dengan pendelegasian kewenangan politik dan UU No. 25/1999 yang mengatur urusan keuangan yang menguntungkan daerah yang pada akhirnya memulai era baru desentralisasi yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2001 (Schulte Nordholt & Van Klinken, 2007: 12 & Aspinall & Fealy, 2003: 3). Di bawah suasana politik baru, pemerintah pusat diharuskan menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam semua bidang, kecuali bidang hubungan luar negeri; pertahanan dan keamanan; kebijakan keuangan; hukum; dan agama (Aspinall & Fealy, 2003: 3-4 & Mietzner, 2010: 176). Bupati dan walikota pada masa Orde Baru dipilih secara formal oleh DPRD II, sedangkan keputusan yang sebenarnya dibuat (direstui dalam rhetorika politik Indonesia) oleh pemerintah pusat. Ketika Orde Baru runtuh, pada mulanya DPRD II lah yang memilih bupati dan walikota. Namun, dalam perkembangan selanjutnya ketika pemilihan langsung diperkenalkan, rakyatlah yang memilih pemimpinnya. Kebijakan desentralisasi ini telah membuat „putra daerah‟ memiliki peran penting dalam menduduki posisi birokrat yang strategis. Kini telah hampir dua dekade Indonesia memasuki masa pasca Orde Baru, dan ada banyak perubahan dramatis dalam konstelasi politik Indonesia. Pada masa transfer kekuasaan tersebut, bangsa Indonesia telah berusaha memformulasikan dan mengimplementasikan reformasi menyeluruh yang berusaha mendemokratisasikan dan memperbaiki sistem pemerintahan, sekaligus menyembuhkan luka-luka yang ditinggalkan oleh Orde Baru pada masyarakat di daerah yang sering termarjinalisasi. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan desentralisasi fungsi pemerintahan. Ironisnya, ketika proses reformasi terus berjalan, sebuah “fitur patologis” pemerintahan sebelumnya, yaitu patronase, nampak telah menjadi karakter era pasca Orde Baru (Mackie, 2010: 82-83). Pola patronase tersebut tidaklah statis karena ia telah dipengaruhi oleh proses „state-building‟ dan oleh hal yang sama, ia telah mempengaruhi proses tersebut. Dalam beberapa hal, patronase diwariskan dari Orde Baru, sedangkan akarnya dapat dilacak hingga masa pra-kolonial. Apa yang kita lihat di sini adalah

8 sebuah „changing continuity‟ (kesinambungan yang berubah) yang akan membantu menjelaskan masalah-masalah yang terhubung dengan desentralisasi dan pembentukan otonomi daerah (Schulte Nordholt, 2004: 30-31).

Pola dan bentuk hubungan antaretnis di Banten Pada masa Orde Baru, rezim Suharto menegaskan pembagian etnis antara yang berkuasa dan yang dikuasai di Banten. Orang Sunda banyak memegang jabatan penting dalam bidang administratif dan juga militer, termasuk bupati, sekretaris daerah dan komandan militer. Namun, kebijakan pemerintah Orde Baru ini sebenarnya meniru kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengangkat pejabat di Banten yang berasal dari luar Banten (Pribadi, 2008: 1). Orang Bugis, Lampung dan Cirebon di Karangantu yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan masih mempertahankan adat-istiadat dan tradisi mereka. Mereka menyadari asal-usul mereka sebagai orang yang berasal dari luar Banten. Namun, setelah sekian lama menetap di Banten dan memiliki keturunan, mereka menganggap bahwa Banten adalah tempat tinggal mereka yang harus dijaga, dipertahankan dan dijadikan sebagai pembentuk identitas mereka. Hal yang agak sedikit berbeda berlaku bagi orang Cirebon di mana hubungan dengan daerah asal mereka masih tetap dipertahankan secara intensif. Gambaran Banten sebagai daerah dengan corak Islam yang kuat membuat orang Bugis, Lampung dan Cirebon mengidentifikasi diri mereka dengan kebudayaan Banten. Penerimaan syariat Islam menjadi salah satu bagian penting dalam panngaderreng, sistem kebudayaan Bugis yang menjadikan Islam sebagai salah satu simbol identitas penting kebudayaan Bugis. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika orang Bugis pada umumnya menganggap bahwa secara normatif orang Bugis haruslah beragama Islam. Karena itu, jika ada orang Bugis yang tidak beragama Islam maka ia dianggap menyalahi kecenderungan umum, dan dianggap bukan lagi sebagai orang Bugis dalam arti yang sesungguhnya. Pandangan ini dipegang teguh secara umum di kalangan orang Bugis di Karangantu sebagai konsekuensi dari penerimaan syariah dan sebagai bagian integral dari panngaderreng. Oleh karena itu, agama non-Islam kurang berkembang di kalangan orang Bugis di manapun (Said dalam Wazin dkk, 2015: 3). Bagi orang Bugis, adat menempati posisi sentral dalam kehidupan sehari-hari. Adat yang tercermin dalam kebiasaan hidup orang Bugis membentuk pandangan serta pola hidup sehari-hari yang mencakup proses-proses sosial seperti hubungan antarindividu dan kelompok, hak-hak dan kewajiban individu dalam masarakat, pola-pola interaksi sosial, kepemimpinan dan lain sebagainya.

9

Dalam tradisi orang Bugis di Banten, orang yang sudah berhaji mendapatkan kedudukan yang terhormat di masyarakat, meskipun tampilan rumahnya sederhana. Hal tersebut dapat dilihat, misalnya, dalam upacara-upacara pernikahan di mana orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji berada di barisan paling depan. Selain itu, kebiasaan orang Bugis juga menempatkan perempuan yang belum menunaikan ibadah haji untuk mengurus makanan atau bertugas di dapur pada acara pesta pernikahan. Oleh karena itu, ada kecenderungan bagi perempuan Bugis di Banten untuk segera menunaikan ibadah haji agar tidak lagi ditempatkan di dapur dalam upacara pernikahan (Wazin dkk, 2015: 52-53). Selain dalam hal persamaan mata pencaharian sebagai nelayan, ada beberapa tradisi di kalangan orang Bugis di Banten yang seringkali berhubungan dengan orang Banten dan orang- orang dari etnis lainnya. Salah satunya adalah ritus siklus hidup sejak mengandung hingga melahirkan. Tidak seperti orang Banten, orang Bugis di Banten tidak melaksanakan tradisi tujuh bulanan (nujubulan) karena mereka menganggap hal tersebut tidak terlalu penting. Setelah melahirkan, sang anak biasanya akan diaqiqahkan, dan ini berarti sebuah pesta besar yang melibatkan banyak orang, tidak hanya dari etnis Bugis saja, melainkan dari etnis lain. Dalam ritus pernikahan, tidak sedikit orang Bugis yang menikah dengan etnis lainnya, terutama dengan orang Banten. Biasanya ketika ada pernikahan beda etnis, kedua belah pihak tidak terlalu mempermasalahkan tentang upacara adat pernikahan mana yang akan dilaksanakan. Dalam ritus kematian, berbeda dengan orang Banten, orang Bugis di Karangantu tidak melaksanakan tahlilan. Mereka hanya melaksanakan pengajian pada malam hari setiap sesudah magrib. Ada yang mengatakan bahwa pengajian tersebut dilakukan selama satu minggu dan harus hingga tamat membaca Quran. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa pengajian tersebut harus tamat membaca Quran tiap malamnya selama satu minggu (Wazin dkk, 2015: 135-145). Sebagai penganut agama Islam, keberadaan orang Lampung di Banten juga sering menimbulkan interaksi sosial dengan orang Banten. Mayoritas orang Lampung di Banten menyekolahkan anak-anak mereka di madrasah atau pesantren di sekitar rumah mereka. Dalam perayaan Idul Fitri, Idul Adha dan perayaan hari-hari besar keagamaan Islam lainnya, orang Lampung sering mempertunjukkan kesenian mereka, seperti Tari . Orientasi ke daerah asal masih tetap ada, dan ditunjukkan melalui adanya komunitas Lampung Banten yang bernama Lampung Say (Lampung Satu). Organisasi ini bertujuan untuk mempersatukan orang Lampung dan untuk mempertahankan serta melestarikan adat dan tradisi orang Lampung dan orang Banten. Organisasi ini menunjukkan bahwa ada bentuk akulturasi yang kuat antara orang Lampung dan daerah di mana mereka tinggal. Selain itu, dalam hal bahasa sehari-hari,

10 selain menggunakan bahasa Lampung, mayoritas orang Lampung di Banten juga menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan orang Banten (Musaddad dkk, 2015: 72-74). Dalam beberapa ritus siklus hidup, seperti ritus kematian, orang Lampung juga seringkali berinteraksi dengan orang Banten. Tidak seperti orang Bugis yang tidak melaksanakan tahlilan, orang Lampung di Banten melaksanakan tahlilan dan riungan (kumpulan). Acara tahlilan tersebut biasanya dilaksanakan pada hari pertama hingga hari ketujuh dengan mengundang tetangga terdekat dari etnis manapun. Sementara itu, adat-istiadat dan tradisi yang hampir sama antara orang Banten dan orang Cirebon membuat keduanya hampir tidak dapat dibedakan. Mayoritas orang Banten di Karangantu berbahasa Jawa dialek Serang, dan dialek ini juga hampir sama dengan bahasa Jawa dialek Cirebon yang dipraktikkan oleh orang Cirebon. Tidak seperti orang Bugis dan orang Lampung yang mungkin tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah leluhur mereka, orang Cirebon yang menjadi nelayan di Karangantu seringkali mengunjungi tanah leluhur mereka. Seringkali ketika mereka kembali lagi ke Banten, mereka membawa serta sanak saudara mereka untuk menjadi nelayan musiman di Karangantu. Keberadaan mereka yang mengelompok, sama dengan orang Bugis dan orang Lampung, sangat jelas menunjukkan bahwa mereka juga memperlihatkan identitas mereka. Namun, hal tersebut tidak lantas berarti bahwa mereka menunjukkan eksklusivitas mereka. Dalam banyak hal, orang Cirebon menunjukkan tingkat penerimaan yang tinggi terhadap adat dan tradisi orang Banten dengan salah satu indikasinya adalah pernikahan antara mereka dengan orang Banten. Orang Bugis, Lampung maupun Cirebon yang sudah lama atau baru saja menetap di Karangantu memiliki sebuah tradisi bersama yang dilakukan dengan orang Banten pada waktu-waktu tertentu. Tradisi tersebut bukanlah tradisi ritus siklus hidup, melainkan tradisi ruwatan laut atau nadran. Tradisi ini mempersatukan komunitas nelayan yang ada di Karangantu. Nadran atau pesta laut diadakan setahun sekali dan diikuti oleh seluruh nelayan tanpa melihat perbedaan asal-usul. Acara ini adalah bentuk ucapan syukur atas hasil panen yang melimpah atau sebagai bentuk doa bersama agar para nelayan diberikan keselamatan ketika melaut. Latar belakang etnis yang berbeda dapat dikatakan tidak lagi menjadi perbedaan ketika acara ritual masyarakat maritim ini dilaksanakan setiap tahunnya. Dalam kondisi khusus, ritual ini bahkan dapat dilaksanakan lebih dari setahun sekali, terutama ketika kondisi cuaca di laut sedang buruk dan oleh karena itu para nelayan membutuhkan perlindungan dari penguasa alam untuk keselamatan mereka.

11

Secara umum, hampir tidak pernah ada perselisihan besar yang mempertentangkan etnis-etnis yang mencari nafkah sebagai nelayan di Karangantu. Jikapun ada perselisihan, maka itu adalah perselisihan antarindividu, bukan perselisihan antaretnis. Dalam hal ini, dinamika antaretnis di Karangantu pada masa desentralisasi merefleksikan apa yang terjadi pada masa Kesultanan Banten ketika menjadi daerah kosmopolitan yang mempertemukan bangsa-bangsa dari berbagai penjuru dunia. Namun, tidak seperti pada masa kesultanan ketika Pelabuhan Karangantu adalah sebuah pelabuhan perdagangan besar, kini ia hanya menjadi tempat pelabuhan ikan dan menjadi kampung nelayan saja. Selain itu, kini tidak ada lagi kehadiran pedagang mancanegara yang membawa barang-barang dagangan dari seluruh dunia.

Kebijakan desentralisasi dan perkembangan dunia maritim Indonesia dan Banten Hubungan antardaerah di Indonesia pasca diberlakukannya otonomi daerah memperlihatkan sisi yang berbeda dibandingkan pada masa Orde Baru. Pada masa kekuasaan Suharto, daerah diminta untuk mensukseskan program-program pembangunan pusat, dan oleh karena itu daerah yang satu dengan daerah yang lain tidak diharapkan untuk saling bersaing. Namun, sejak era desentralisasi dimulai, dinamika hubungan antardaerah memasuki babak baru. Daerah diberikan kewenangan yang besar untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dirinya sendiri untuk kepentingan daerah itu sendiri. Namun, nampaknya pemerintah pusat tidak berkaca pada sejarah. Dalam pidato pengukuhan guru besar tetapnya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada tahun 2006, Susanto Zuhdi merujuk pada karya John Tucker tentang usaha pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam mempersatukan kepulauan dari Sabang sampai Merauke melalui kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) yang berlayar dari ujung barat dan timur ke segenap penjuru wilayah yang disebut Pax Neerlandica. Jika pemerintah kolonial begitu menganggap penting transportasi laut sebagai upaya menyatukan pulau-pulau di Nusantara, mengapa pemerintah Indonesia tidak? Justru dengan membiarkan pelayaran nasional dikuasai asing, pemerintah hanya akan melihat pada akhirnya kapal asing merajai angkutan laut Indonesia. Sebagaimana AB Lapian, “nahkoda” sejarawan maritim Asia Tenggara memandang konsep archipelago Indonesia dari pengertian dasarnya sebagai “laut yang ditaburi sekumpulan pulau”, maka pemerintah perlu melihat jika acuan lama bangsa Indonesia tentang archipelago tidak lagi merujuk kepada negara kepulauan, melainkan sebagai sebuah negara maritim. Dengan cara pandang yang membuat laut adalah yang terpenting bagi Indonesia, maka dapat dipastikan cara pandang “daratan” akan tergantikan. Konsekuensi logisnya, laut

12 dijadikan sebagai sebuah sistem. Ini membuat suatu jaringan yang mengintegrasikan pulau- pulau di Indonesia. Laut bukan lagi sebuah penghalang, tapi sebuah pemersatu, sehingga secara otomatis, pelayaran dan dunia maritim nasional akan bangkit kembali. Hal tersebut mungkin dapat dihindari jika pemerintah pusat dan daerah berkaca pada Inggris atau bahkan Amerika Serikat yang berorientasi maritim dan mementingkan perdagangan ke daerah seberang laut. Amerika Serikat begitu tertarik dengan ide brilian Afred Thayer Mahan (1840-1914) yang menulis tentang The Influence of Sea Power upon History 1660-1783 (1890), sehingga pada akhir abad ke-19 mereka mulai membangun angkatan lautnya. Politik ekspansi menyeberangi lautan yang mulai dianut Amerika Serikat waktu itu dapat dicocokkan dengan teori kekuatan laut Mahan, sehingga pemerintah mendapat dukungan rakyat untuk melaksanakan politik ini. Bahkan, pengaruh Mahan ini berlanjut ke negara- negara lain. Di Jerman, Jepang, Prancis, Italia, Rusia, dan Spanyol terjadi dorongan yang kuat untuk membangun kekuatan lautnya. Contoh lain berasal dari daerah di antara Eropa, Asia dan Afrika. Mediterrania adalah bukti kompleksitas laut. Ia bukanlah laut tunggal, it is a complex of seas; and these seas are broken up by islands, interrupted by peninsulas, ringed by intricate coastlines. Demikianlah yang dikatakan Fernand Braudel dalam pengantar bukunya yang terkenal itu, The Mediterranean; and The Mediterranean World in the Age of Philip II (1972). Kebudayaan Mediterrania begitu maju, termasuk tentunya kehidupan perekonomiannya, karena dianggap sebagai pemersatu tiga benua dan beberapa negara di sekitarnya, bukan dianggap sebagai penghalang yang memisahkan mereka. Mungkin itu pula pandangan para pelaut Bugis yang lebih dulu menyentuh Australia sebelum James Cook, atau para pelaut Aceh yang sering “singgah” di India, sehingga dapat dikatakan sebagai penelusuran pelayaran masa lalu. Selain itu,menurut Azyumardi Azra (2003), kemakmuran kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, terutama sebagai hasil perdagangan internasional lewat laut, telah memberikan kesempatan kepada masyarakat Muslim Melayu untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah. Atau menurut Anthony Reid (1992) perkembangan kota-kota emporium Nusantara di pantai utara Jawa menduduki tempat penting dalam hubungan dengan perkembangan perekonomian Nusantara. Kota-kota pelabuhan tersebut telah berperan sebagai pelabuhan perantara internasional yang menghubungkan Jawa dan daerah produsen rempah- rempah di daerah Kepulauan Maluku yang ada di ujung timur Nusantara dan daerah Nusantara yang ada di ujung barat. Periode ini disebut oleh Reid sebagai masa “kurun niaga” Asia Tenggara.

13

Selain itu masih banyak contoh kejayaan masa lalu Indonesia yang berasal dari dunia maritim. Untuk hal tersebut, perlu ditanyakan bagaimana peranan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan yang ada di setiap daerah. Apakah konsep “pinggiran” dan “pusat” yang memandang laut sebagai pinggiran masih terus dijalankan, sehingga laut dan budaya maritimnya selalu terpinggirkan? Nampaknya ini yang tetap terjadi pada kebijakan dan sistem kelautan yang ada di Banten dan Indonesia secara umum. Di satu sisi, hubungan antaretnis di daerah pesisir Banten adalah hubungan sosial-ekonomi-budaya yang telah telah terjalin lama dan dapat dijadikan sebagai bentuk hubungan multikulturalisme yang ideal. Namun, di sisi lain kebijakan desentralisasi dan kebijakan pemerintah pusat dalam masalah kelautan dan perikanan belum mampu memberikan solusi yang tepat dalam meningkatkan kehidupan perekonomian dan memberdayakan masyarakat nelayan Banten, seperti yang terjadi pada abad ke-16 dan 17. Walaupun kini Pelabuhan Karangantu tidak lagi menjadi pelabuhan besar seperti pada masa Kesultanan Banten, tetapi pelabuhan ini masih tetap menjadi melting pot bagi beberapa etnis Nusantara. Keberadaan orang Bugis, Lampung dan Cirebon yang berinteraksi dengan sesamanya dan dengan masyarakat setempat menunjukkan bahwa Pelabuhan Karangantu masih tetap menarik perhatian orang-orang dari luar Banten untuk mencari nafkah di sana. Ini adalah sebuah kondisi yang sejatinya dapat membuat pemerintah pusat dan pemerintah daerah merumuskan kebijakan bersama tentang pentingnya pelabuhan ini, tidak hanya bagi perekonomian Banten dan Indonesia, tetapi juga sebagai sebuah penanda eksistensi keberagaman budaya Nusantara. Kebijakan desentralisasi sesudah tahun 2000 juga adalah sebuah keuntungan bagi pemerintah daerah untuk lebih serius memikirkan dan merumuskan kebijakan yang dapat merevitalisasi Pelabuhan Karangantu menjadi pelabuhan kosmopolis seperti pada masa kesultanan.

Penutup Peninggalan sejarah berupa bangunan-bangunan besar dapat dengan mudah ditemui dan dikenal dengan baik oleh orang Banten. Situs Banten Lama atau bahkan Banten Girang tidaklah asing bagi orang Banten. Orang dari luar Banten pun banyak yang mengenalnya. Keraton, masjid, benda pusaka, tradisi, dan juga kepercayaan yang ada pada orang Banten adalah bukti bahwa Banten tidak bisa lepas dari sejarahnya dan menjadi bagian yang integral dari sejarah nasional Indonesia. Orang Banten biasa hidup dengan tradisi dan tradisi mungkin merasa bersyukur karena di Banten hal itu dipelihara dengan baik, bahkan bagi sebagian orang, dijadikan pedoman

14 hidup. Terlepas dari sinkretisme atau mungkin hal-hal yang berada di luar jangkauan manusia, tradisi telah menemukan tempatnya di Banten dan dapat hidup hingga kini. Namun, upaya untuk menghadirkan kearifan masa lalu tampaknya belum bergeser dari wacana romantisme. Pemerintah daerah belum mampu menguak masa lalu itu sendiri menjadi sebuah pembelajaran bagi masyarakat. Banten yang pernah menjadi daerah kosmopolitan hingga kini sebenarnya masih memperlihatkan ciri tersebut. Keberadaan orang Bugis, Lampung dan Cirebon di Karangantu memperlihatkan bahwa tradisi multikulturalisme masih dapat ditemukan di Banten. Namun, keberadaan mereka di Banten seringkali tidak dapat berkontribusi secara positif dalam pemberdayaan masyarakat. Faktor-faktor penyebabnya sudah dijelaskan di atas. Namun, yang juga perlu diingat adalah faktor sejarah. Sejarah tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi saja atau diinterpretasi secara tunggal. Sejarah itu untuk suatu kepentingan, tetapi bukan untuk pembenaran atau legitimasi rezim siapa atau kelompok mana, melainkan untuk bangsa Indonesia. Sejak awal pun, pendiri Indonesia sudah menghayati negeri ini. Indonesia adalah bangsa besar dengan jumlah penduduk yang besar dan sumber daya alam yang terbatas dan akan habis. Itu sebabnya mengelola negeri ini dengan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya sejarah, adalah solusi. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang melarikan diri ke masa lalu karena kita takut menghadapi masa depan. Sejarah harus menjadi alat untuk mereorientasi sistem kelautan Indonesia dan jalan untuk membangun kembali budaya maritim, sehingga unsur-unsur yang bermata pencaharian hidup dan masyarakat pendukung budaya maritim akan kembali menemukan kejayaannya.

Bibliografi Aspinall, Edward and Greg Fealy. “Introduction: Decentralisation, Democratisation and the Rise of the Local”. In Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation, edited by Edward Aspinall and Greg Fealy. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003. Atsushi, Ota. Changes of Regime and Social Dynamics in West Java: Society, State and the Outer World of Banten 1750-1830. Leiden and Boston: Brill, 2006. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana, 2003. Braudel, Fernand. The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II. New York City: Harper Collins, 1972. Hamid, Abu. Syaikh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Kartodirdjo, Sartono. The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course, and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. „s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1966. Lubis, Nina. Banten dalam Lintasan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: LP3ES, 2004.

15

Mackie, Jamie. “Patrimonialism: The and Beyond”. In Soeharto’s New Order and Its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch, edited by Edward Aspinall and Greg Fealy. Canberra, ANU E Press, 2010. Mahan, Alfred Thayer. The Influence of Sea Power upon History: 1660–1783. New York City: Little, Brown and Co., 1890. Meilink-Roelofsz, M.A.P. Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1600. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962. Michrob, Halwany and Mudjahid Chudari. Catatan Masalalu Banten. Serang: Saudara, 1993. Mietzner, Marcus. “Indonesia‟s Direct Elections: Empowering the Electorate or Entrenching the New Order Oligarchy”. In Soeharto’s New Order and its Legacy, edited by Edward Aspinall and Greg Fealy. Canberra, ANU E Press, 2010. Musaddad, Endad dkk. Etnis Lampung di Banten. Serang: LP2M IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2015. Pribadi, Yanwar. “Jawara in Banten: Their Socio-Political Roles in the New Order Era 1966-1998”, M.A. thesis, Leiden University, 2008. Reid, Anthony. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2010. Schulte Nordholt, Henk. “Decentralisation in Indonesia: Less State, More Democracy?” In Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratisation, edited by John Harriss, Kristian Stokke, and Olle Törnquist. Basingstoke [etc.]: Palgrave Macmillan, 2004. Schulte Nordholt, Henk and Gerry van Klinken. “Introduction”. In Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia, edited by Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken. Leiden: KITLV Press, 2007. Suharto. Banten dalam Masa Revolusi 1945-1949: Proses Integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ph.D. Thesis, Universitas Indonesia, 2001. Tjandrasasmita. Sultan Ageng Tirtayasa. Jakarta: Depdikbud, 1981/1982. Untoro, Heriyanti O. Kebesaran dan Tragedi Kota Banten. Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006. Wazin dkk. Etnis Bugis di Banten: Kajian tentang Orang Bugis di Kampung Bugis Karangantu. Serang: LP2M IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2015. Wessing, Robert. “The Position of the Baduj in the Larger West Javanese Society”, Man, New Series, Vol. 12, No. 2, August 1977. Williams, Michael. Communism, Religion and Revolt in Banten. Athens: Ohio University Center for International Studies, 1990. Zuhdi, Susanto. Perspektif Tanah-Air dalam Sejarah Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar tetap FIB UI. Depok: UI, 2006.

16

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Angin Segar dari Pesisiran: Pengaruh Semarang dan Gresik terhadap Perkembangan Kota Surabaya Pada Paruh Kedua Abad XIX Susanto

Angin Segar dari Pesisiran: Pengaruh Semarang dan Gresik terhadap Perkembangan Kota Surakarta pada Paruh Kedua Abad XIX1 oleh: Susanto2

A.Pendahuluan Hubungan antara Surakarta dan Semarang telah berlangsung sejak lama, setidaknya sejak 1745 ketika Kota Surakarta didirikan sebagai pusat kebudayaan Mataram (1745-1755). Akan tetapi hubungan di antara keduanya berproses dalam posisi yang selalu berubah. Pada saat kejayaan Kerajaan Mataram, Semarang merupakan bagian dari wilayah kerajaan yang berada di pesisiran – wilayah pantai. Dari sudut pandang budaya posisi Semarang dianggap lebih inferior dibandingkan dengan Surakarta yang berposisi sebagai ibukota kerajaan yang otomatis pula dianggap sebagai pusat budaya. Istilah Joglosemar singkatan dari Jogja, Solo (nama lain dari Surakarta), Semarang yang menempatkan kata Semarang di belakang kata Solo, serta branding kota Solo the Spirit of Java, setidaknya telah membuktikan pernyataan di depan. Akan tetapi beberapa sumber kolonial abad XIX mengindikasikan adanya gudang garam dan gudang kopi di Boyolali telah membuktikan pentingnya kota itu sebagai kota tempat transit barang komoditas dari Semarang ke Surakarta atau sebaliknya. Lama kelamaan diketahui betapa Semarang semakin berperan penting dalam perkembangan kota Surakarta. Terdapat indikasi pula bahwa pengaruh seperti Semarang terhadap Surakarta dilakukan oleh kota pesisiran lain yaitu Gresik. Fakta di atas menunjukkan ibarat angin segar dari pesisiran, betapa pentingnya kedua kota pelabuhan itu berpengaruh terhadap perkembangan kota Surakarta abad XIX. Pada kenyataannya terdapat hubungan antara Semarang-Surakarta, dan Surakarta-Gresik yang bersifat timbal balik. Akan tetapi harus diakui bahwa pengaruh Semarang dan Gresik sangat dominan terhadap Surakarta. Tulisan ini berupaya menguraikan hubungan antara Surakarta-Gresik dan Semarang-Surakarta dengan menggunakan sumber-sumber Surakarta. Sebelum diuraikan perihal hubungan kota-kota pantai dengan Surakarta, kiranya perlu

1 Makalah dipresentasikan pada KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X, “ Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Perspektif Sejarah”, Jakarta, 7-10 November 2016. 2 Penulis adalah Staf Pengajar pada Prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta. 1 dikemukakan terlebih dahulu beberapa hal terkait dengan Surakarta seperti faktor geografis serta demografi. Wilayah Surakarta merupakan wilayah kerajaan Kasunanan Surakarta yang berpusat di ibukota yang bernama Surakarta. Pusat kota ini secara umum juga disebut Solo, sebuah sebutan yang mengacu pada tempat pengganti ibukota kerajaan Mataram Kartasura yaitu Desa Sala. Dalam perkembangannya sebutan Sala tidak banyak dipergunakan, melainkan orang lebih senang melafalkan nama tempat itu dengan sebutan Solo.3 Kota Surakarta terletak di sebelah tenggara kota Semarang. Kota ini dahulu kala merupakan ibukota kerajaan Mataram. Pada tahun 1755 Kerajaan Mataram mengalami perpecahan menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sejak saat itu istilah Mataram tidak banyak dipergunakan. Setelah itu istilah baru untuk menyebut bekas wilayah Mataram ialah . Dalam perkembangannya baik Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta mengalami pengurangan wilayah setelah Perjanjian Salatiga pada 1757 dengan berdirinya Istana Mangkunegaran di wilayah Surakarta, serta di wilayah Yogyakarta pada 1813. Di Surakarta, baik Kasunanan maupun Mangkunegaran mempunyai peran penting dalam perkembangan kota sekalipun masing-masing mengekspresikan karakter budaya yang berbeda. Sejak berdirinya Surakarta pada awal 1746, kota ini ditempati oleh berbagai macam etnis seperti pribumi Jawa, Eropa, Cina, Indo maupun Arab. Komposisi etnis yang khas ini kemudian saling berinteraksi dalam bentuk masyarakat dan kebudayaan Indisch. Khusus bagi Surakarta, kota ini telah mengalami perkembangan sejak zaman Daendels dan Raffles pada paruh pertama abad XIX. Akan tetapi perkembangan Kota Surakarta secara signifikan terjadi pada paruh kedua abad XIX. Perkembangan ini terjadi karena adanya interaksi yang intensif antara kota Surakarta di pedalaman dengan kota-kota pantai di Utara dan Timur Pulau Jawa.

3 Sebutan Surakarta atau Solo sering digunakan secara bersama. Penyebutan Surakarta biasanya menyangkut konteks pemerintahan atau wilayah yang lebih luas, sementara kata Solo sering dikaitkan dengan konteks budaya atau pusat kota. Tentang hal ini lebih lanjut baca, “Soerakarta of Solo”, D.G. Stibbe, Encyclopaedie van Nederlandsch Indië, vierde deel (‘s- Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1921),hlm.36. 2 B.Hubungan Surakarta dengan Wilayah Pantai.

Hubungan antara wilayah Surakarta dengan pantai Utara Jawa sesungguhnya telah berlangsung cukup lama. Hal ini terjadi ketika Kerajaan Pajang, yang terletak di Surakarta bagian Barat, diperintah oleh Aria Pangiri, yang mempunyai latar belakang bukan keturunan penguasa Pajang, karena campur tangan kuat dari . Aria Pangiri merupakan keturunan raja di Demak. Untuk menjaga keamanan, ia terpaksa dikelilingi oleh pejabat-pejabat istana yang dibawa dari Demak, termasuk sejumlah tentara bayaran yang terdiri dari laskar Bali, Bugis, Makasar, dan golongan peranakan yaitu orang-orang Cina yang berdarah campuran.4 Sejak Kerajaan Mataram pindah ke Surakarta pada 1746 hingga setelah pembagian Kerajaan Mataram melalui Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, serta pada abad XIX hubungan Surakarta dengan daerah pantai tampak semakin intensif. Hubungan penting antara Surakarta dengan daerah pantai umumnya terjadi berkaitan dengan aktivitas ekonomi.

Gambar 1 : Pulau Jawa dengan Pembagian Administrasi (Sumber: George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Kraton Dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1990),hlm.xii)

4 Berkaitan dengan adanya tentara bayaran ini Graaf berkesimpulan bahwa transaksi menggunakan uang telah lazim dilakukan di daerah pesisiran di sekitar Demak. Lihat, H.J. De Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram ( Jakarta: Grafiti Press, 1989 ), hlm. 273.

3 Gambar 2 : Vorstenlanden (Sumber: George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Kraton Dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1990),hlm.xiii)

B.1.Gresik sebagai Pintu Pesisiran bagi Surakarta. Aktivitas ekonomi Surakarta terjadi secara intensif pada paruh kedua abad XIX melalui pelayaran sungai dengan kota di wilayah pantai Timur Pulau Jawa yaitu Gresik. Pendukung aktivitas ekonomi Surakarta yang sangat vital itu adalah Bengawan Solo.5 Sungai ini merupakan urat nadi perdagangan yang berfungsi menghubungkan kota pedalaman Surakarta dan wilayah hilir Gresik maupun Surabaya. Bengawan Solo sangat berperan penting untuk jalur perdagangan terutama pada saat musim hujan. Pada musim semacam ini volume air cukup banyak, sehingga untuk mencapai daerah pantai mampu digunakan perahu besar yang berkapasitas 15 koyang. Perahu-perahu Solo yang terbaik dengan nahkoda yang terlatih dapat berlayar sampai Gresik. Jarak antara Solo hingga Gresik biasanya ditempuh dalam waktu enam sampai 10 hari. Komoditi

5 Bengawan Solo beberapa abad sebelumnya lebih dikenal sebagai Bengawan Semanggi. Sungai ini mempunyai fungsi penting sejak zaman Majapahit. Dinamakan demikian karena sungai ini alirannya melewati suatu wilayah bernama Semanggi, tempat seorang raja yang konon masih mempunyai hubungan dengan Maha Patih Gajah Mada. Raja itu bernama Andayaningrat. Ia yang juga dikenal sebagai Jaka Sengara kemudian memindahkan kerajaannya ke Pengging. Sejak itu ia dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging. Sejak abad XVIII Sungai Semanggi lebih dikenal sebagai Bengawan Solo. Tentang sumber ini lihat, H.J. de Graaf, op.cit., hlm. 259-260.

4 yang dibawa dari Solo biasanya berupa gula dan kopi, 6 Sementara dari wilayah Surabaya biasanya dibawa barang yang paling dibutuhkan penduduk Karesidenan Surakarta yaitu garam. Selain garam biasanya didatangkan pula rotan, ikan kering, terasi udang, barang-barang dari tembaga dan tembikar, barang-barang produk Eropa, Cina, dan dari Kepulauan Hindia lainnya. Keberadaan barang-barang konsumsi semacam ini telah menunjukkan bahwa setidaknya hingga pertengahan abad XIX Kota Solo telah berkembang menjadi kota modern. Dalam perkembangannya ini tidak boleh dilupakan peran dari pelabuhan sungai Beton. Bahkan untuk mendukung aktivitas ekspor-impor, di Beton terdapat tempat pergudangan untuk garam dan kopi.7

Gambar 3 : Bengawan Solo 1855 (Sumber: J.Noorduyn,” Further Topographical Notes on the Ferry Charther of 1358, with Appendices on Djipang and Bojanegara”, BKI 124 (1968) no.4, bagian lampiran dengan

6 Produk kopi dari Solo merupakan hasil perkebunan milik Mangkunegaran. Penanaman kopi di daerah Mangkunegaran tampaknya sudah lama berlangsung. Kira-kira sudah terjadi sejak 1814. Perkebunan kopi Mangkunegaran arealnya berada di wilayah Bulukerto. Untuk mendukung penjualan kopi ini pihak istana Mangkunegaran sengaja membangun gudang kopi di pintu gerbang dagang di Beton dan Boyolali. Tentang hal ini secara rinci baca Opkomst der Mangkoenegorosche cultuurbelangen, hlm. 15, Arsip Koleksi Reksopustoko Mangkunegaran. 7 Algemeen verslag van der Residentie Soerakarta 1855. Bundel Solo, No. 383.1. ANRI. 5 modifikasi)

Kemajuan Beton sebagai Bandar sungai menyebabkan tempat itu mempunyai fasilitas kota yang memadahi. Fasilitas kota yang dimiliki oleh Beton yang menjadikan Surakarta lebih tampak sebagai kota modern adalah adanya sebuah panti sosial. Lembaga ini selain berfungsi sebagai tempat penampungan orang miskin juga sebagai tempat pelayanan kesehatan. Pada 1855 panti sosial di Beton menampung sejumlah 169 orang penderita lepra, kebutaan, serta penyakit fisik lain. Dana kesehatan dari pati sosial ini berasal dari sumbangan beberapa pihak yaitu dari kerajaan, beberapa pangeran, dan warga Eropa. Panti ini telah dikelola secara teratur. Di sini semua pekerjaan dikoordinasikan oleh seorang pensiunan militer. Dalam hal pengelolaan seperti perawatan bangunan, pengadaan pakaian untuk para penghuni panti, jika terdapat kekurangan pihak Kasunanan bersedia menanggungnya. Selain menampung para penderita penyakit tertentu, panti sosial ini juga menampung para pengemis yang biasanya berasal dari luar kota. Dengan adanya panti sosial ini, jalanan di kota Surakarta menjadi nyaman dan terbebas dari pengemis.

Fenomena sosial Beton menunjukkan betapa masyarakat sipil di Surakarta telah mampu menangani beberapa persoalan seperti kesehatan dan kemiskinan di kota. Namun perkembangan

Beton mulai surut ketika dibangun jalur kereta api antara Solo – Madiun pada 1872. Sejak itu pengangkutan sungai dari Surakarta menuju Gresik mulai dikurangi. Dipindahkannya gudang kopi dari Beton ke stasiun kereta api Jebres menunjukkan pengurangan arti bagi Beton sebagai simbol kekuatan angkutan sungai di Surakarta melalui Bengawan Solo. Selain gudang kopi pada tahun 1872 ikut pula dipindah Panti Sosial Beton menuju tempat baru di bagian Barat kota yaitu

Wangkung.8

8 Algemeene Verslag der Residentie Soerakarta 1872, Bundel Solo 136, ANRI.

6 B.2.Pintu Gerbang Semarang

Pada 1855 Solo juga mempunyai pintu gerbang perdagangan lain selain berupa pelabuhan sungai yang menghubungkan Gresik, kota dibagian timur Pulau Jawa. Pintu gerbang itu berperan untuk menghubungkan kota pantai di sebelah utara Jawa yaitu Semarang. Berbeda dengan perhubungan ke Gresik yang telah didukung oleh fasilitas pelabuhan Beton yang cukup memadahi, hubungan transportasi ke Semarang tampaknya belum lancar, sekalipun volume perdagangan sudah semakin ramai. Alat transportasi untuk barang antara Karesidenan Surakarta dan Semarang masih menggunakan alat angkut berupa hewan seperti kuda dan sapi. Hewan- hewan penarik pedati itu sekalipun telah dianggap sebagai alat transportasi yang tidak lagi memadahi, akan tetapi masih cukup mendukung arus dagang dari Surakarta ke Semarang yang tampak semakin meningkat. Untuk komoditi ke Semarang umumnya diangkut sebagian besar berupa kopi dan gula. Sementara ke Solo pedati-pedati itu memuat kain yang semakin banyak dibutuhkan. Komoditi ini pemasarannya sebagian besar dikuasai oleh orang Cina. Selain kain didatangkan pula sejumlah barang dagangan seperti besi, gambir, kain untuk celana, serta berbagai jenis minuman dan makanan Eropa. Selanjutnya terdapat pula teh, ikan kering, terasi, serta barang-barang produk Cina. Kota penghubung transaksi perdagangan antara Surakarta dan

Semarang adalah Boyolali. Di kota ini terdapat pula gudang kopi yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan kopi di luar kota yang semakin banyak.9

Potensi Semarang juga menentukan perkembangan Solo selanjutnya. Memasuki dekade

1860-an kota Solo semakin mengalami kemajuan di bidang perekonomian. Dalam mendukung kemajuan ini tidak boleh dilupakan peran istana Mangkunegaran. Salah satu cara yang ditempuh

9 Ibid. 7 istana sebagai bentuk modernisasi ekonomi adalah melakukan penghapusan sistem apanage pada tahun 1862.10 Langkah sebelumnya adalah inisiatif istana untuk mendirikan sebuah pabrik gula.

Untuk realisasi ini pada tahun 1861 Mangkunegara IV mengajukan rencana mengenai berdirinya sebuah pabrik gula kepada Residen Nieuwenhuysen. Beberapa waktu sebelumnya ia telah memilih tempat yang tepat pendirian pabrik itu yaitu di daerah Malangjiwan. Tempat itu sangat baik karena didukung oleh tanah, dan sistem pengairan yang baik serta masih dilingkupi hutan.

Pabrik itu kemudian diberi nama Colomadu. Peletakan batu pertama untuk Colomadu dilakukan pada 8 Desember 1861. Bangunan dan pelaksanaan industri ini di bawah pimpinan seorang ahli dari Eropa bernama Willem Kamp. Produksi gula ini dilakukan dengan mesin bertenaga uap yang didatangkan dari Eropa. Dana operasional Colomadu didukung oleh pinjaman pemerintah dan dibantu oleh seorang Mayor Cina dari Semarang bernama Be Biau Coan. Perusahaan ini rupanya dapat memenuhi semua persyaratan yang diajukan untuk pengelolaan sebuah pabrik gula yang baik. Dalam tahun 1863, tahun panen yang pertama, dengan 95 hektar luas perkebunan walaupun cuaca kurang mendukung telah mampu menghasilkan gula sebanyak 3.700 kwintal.

Seluruh panen kemudian dijual pada Firma Cores de Vries dengan harga ƒ. 32 per kwintal.

Dalam waktu singkat pabrik ini telah menjadi sumber pendapatan istana yang baik.11 Dengan munculnya Colomadu tampak betapa pentingnya peranan lembaga istana dalam bidang ekonomi.

Perkembangan ekonomi di Surakarta pada dekade 1860-an selanjutnya menarik kehadiran lembaga keuangan penting di Jawa yaitu De Javasche Bank Agentschap Soerakarta (

DJBAS ). DJBAS merupakan kantor cabang De Javasche Bank, sebuah bank swasta yang

10 Kebijakan Istana Mangkunegaran ini didukung oleh Residen Nieuwenhuyzen. Tentang data pencabutan apanage di Mangkunegaran baca, Opkomst der Mangkoenegorosche cultuurbelangen, op.cit.,hlm.11. 11 Ibid., hlm. 19-20.

8 didirikan di Batavia pada tahun 1828. Pada tahun 1853 De Javasche Bank merupakan satu- satunya lembaga keuangan yang melayani kebutuhan kredit jangka pendek di sektor perdagangan swasta pada masa Cultuurstelsel.12

Pada mulanya De Javasche Bank hanya membuka cabang di kota-kota besar di pantai utara Jawa seperti Semarang dan Surabaya. Namun melihat perkembangan ekonomi Surakarta yang cukup dinamis pada paruh kedua abad XIX, maka dibukalah kantor cabang De Javasche

Bank di Surakarta pada 25 November 1867. Kantor cabang itu diberi nama De Javasche Bank

Agentschap Soerakarta (DJBAS). Pembukaan DJBAS kemungkinan didirikan selain karena melihat prospek ekonomi di Surakarta, juga karena kedekatan hubungan antara Semarang dan

Surakarta. Pada saat beroperasi untuk pertama kali DJBAS menempati kantor yang berada di sebuah losmen.13 Dua bulan kemudian tepatnya pada 1 Januari 1868 DJBAS menempati kantor baru di sebuah bangunan milik Ny. De Kock van Leeuwen yang berada di depan Benteng

Vastenburg.14

12Tentang pendirian De Javasche Bank ada pula yang menyebut tahun 1827. Hal ini karena beberapa alasan. Jika didasarkan pada surat perintah Raja Willem I tercatat 29 Desember 1826. Akan tetapi jika menurut hak oktroi yang ditetapkan oleh Komisaris Jenderal Hindia Belanda Du Bus de Gesiegnis tertulis tanggal 11 Desember 1827. Tentang hal ini bandingkan Peter Creutzberg (ed.) Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1981), hlm., 341 dan Dawam Raharjo (et al.),Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 29-30.

13 Losmen yang dimaksud di sini kemungkinan adalah sebuah bangunan yang nantinya berubah fungsi menjadi gedung pertemuan dan hiburan yang bernama Societeit Harmonie yang terletak di ujung timur belakang Benteng Vastenburg. Dalam Peta Surakarta 1859 nama Societeit Harmonie belum ada. Pada tempat itu di peta hanya disebut logement. Pada waktu itu tempat itu merupakan satu-satunya bangunan logement di Surakarta. Sementara Societeit Harmonie baru berdiri pada 1874. Tentang informasi ini lihat, Soerakarta 1859, serta Staatsblad 1874 no. 288 tentang dasar hukum pendirian Societeit Harmonie.

14 Pilihan kantor DJBAS di rumah milik Ny. De Kock van Leeuwen yang terletak di Residentielaan bukanlah suatu kebetulan. Pemilik rumah itu adalah seorang isteri dari 9 Di samping DJBAS di Surakarta terdapat pula lembaga keuangan lain yaitu

Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). Tujuan NHM pertama kali adalah memberikan fasilitas pelayanan di bidang urusan ekspor khususnya untuk produksi milik pemerintah. Namun dalam perkembangannya NHM juga memberikan pelayanan kredit kepada individu swasta tertutama untuk kalangan pengusaha perkebunan. Di Surakarta letak kantor cabang NHM berada di sebelah utara Benteng Vastenburg. NHM didirikan di Batavia pada 1824. Sayang sekali informasi untuk operasional NHM di Surakarta sangat minim, kecuali untuk cabangnya di

Semarang.15

Peranan bank lain dari Semarang yang berhasil membantu perkembangan ekonomi Surakarta adalah Dorrepaal Bank. Bank ini milik seorang pengusaha kaya, Georgeus Leonardus Dorrepaal. Di Semarang G.L. Dorrepaal merupakan orang yang ahli dalam hal pengumpulan modal dagang. Bank miliknya di Semarang mempunyai klien 22 pengusaha perkebunan gula, 38 superintendant De Kock van Leeuwen, seorang administrator yang mempunyai reputasi tinggi di bidang keuangan perusahaan. De Kock van Leeuwen dilahirkan di Kartasura. Ia mempunyai hubungan keluarga dengan Gubernur Jenderal C.H.A. van der Wijck. Karirnya mencapai masa gemilang ketika diangkat sebagai superintendant yang bertugas mengawasi keuangan Istana Mangkunegaran di masa krisis ekonomi pada akhir abad XIX terutama yang berkaitan dengan usaha perkebunan. Pekerjaan ini dijalani selama 12 tahun ( 1887-1899 ) hingga mengantarkan Istana Mangkunegaran mampu menangani keuangannya sendiri sejak 1 Juni 1899. Selain itu ia adalah putera dari J.F. van Leeuwen seorang pengusaha terkenal di Surakarta di bidang barang impor pada abad XIX. Pada bagian lain J.F. van Leeuwen dikenal mempunyai hubungan yang cukup erat dengan C.F.W. Wiggers van Kerchem, presiden De Javasche Bank. Dengan demikian pilihan tempat dan alasan pembukaan cabang De Javasche Bank di Surakarta tidak lepas dari pertimbangan bisnis yang mempunyai prospek baik di Surakarta pada pasca paruh kedua abad XIX. Tentang informasi ini bandingkan, Dawam Raharjo, op.cit., hlm.333; Handboek voor Cultuur-en Handelsodernemingen in Nederlandsch-Indie ( Amsterdam: De Bussy, 1889 ), hlm. 437, dan Mansfeld, Geschiedenis der eigendommen van het Mangkoenagorosche Rijk, koleksi Rekso Pustoko No. 103., hlm.267 dan 271.

15 Untuk informasi ini lebih lanjut baca, Pieter Creutzberg, op.cit., hlm 344, dan Alexander Claver, “ Commerce and Capital in Colonial Java: Trade, Finance, and Commercial Relation between Europeans and Chinese 1820s-1942”, Disertasi Vrije Universiteit Amsterdam, 1 Desember 2006, hlm.46.

10 usaha kopi dan 53 usaha tembakau atau indigo yang kebanyakan beroperasi di Surakarta dan Yogyakarta. Ia juga memiliki serta ikut mengembangkan 20 perkebunan di wilayah kerajaan. Berkat peranan aktif Dorrepaal, juga karena persetujuan dari Sultan dan Sunan, jalan kereta api pertama di Jawa dibangun untuk menghubungkan Kota Pelabuhan Semarang dengan wilayah kerajaan terutama Surakarta pada tahun 1870. Ketika di Surakarta rel kereta api mendorong berkembangnya perkebunan – perkebunan baru ( tercatat 192 pada 1855-1875; kemudian merosot menjadi 133 pada 1900 ), perkembangan di Yogyakarta tetap stabil ( sekitar 43 – 60 ), karena di Yogyakarta wilayah perkebunan sempit. Selama menjadi banker Dorrepaal banyak mengambil alih perusahaan perkebunan di Surakarta dan hanya empat di Yogyakarta. Dari apa yang dilakukan Dorrepal terbukti bahwa jalan kereta api mempunyai peranan penting dalam pengembangan industry gula yaitu sebagai alat mengangkutan produksi gula ke Semarang. Perkebunan tebu di wilayah kerajaan mempunyai peranan cukup penting. Tercatat pada awal 1880-an, 27 pabrik gula di wilayah kerajaan menghasilkan 17 % produksi gula di Jawa. Untuk menjaga kestabilan produksi dan sistem perdagangan gula mereka sengaja mengikat diri dalam organisasi pabrik gula.16 Bukti nyata dari sumbangan Dorrepaal Bank di Surakarta adalah keberhasilan pengusaha yang bernama Dezentje. Johannes Augustines Dezentje adalah seorang penyewa tanah yang paling kaya dan terkenal di wilayah Surakarta. Ayahnya adalah mantan tentara Prancis di era Daendels, yang kemudian menikah dengan seorang wanita Jawa. Ia mempunyai 1/3 perkebunan kopi di wilayah kerajaan. Kemudian ia juga mengelola tanaman gula dan tembakau. Ia membangun rumahnya di Ampel dengan model rumah istana mewah, termasuk di situ ditempatkan seperangkat komplit. Dalam kehidupan sehari – hari ia digambarkan tidak pernah pergi tanpa didampingi pengawal Prajurit Jawa. Penampilannya juga memberi kesan ia seorang yang perduli pada para pembantunya. Selain itu ia juga dikenal sebagai orang yang mempunyai orientasi pada Budaya Timur, setelah ia pada 1835 menikahi Puteri Sunan Surakarta, serta mempunyai pengetahuan mendalam tentang bahasa dan adat – istiadat Jawa. Dezentje adalah usahawan yang cerdik. Ia mampu memanfaatkan tenaga kerja dari wilayah pegunungan yang jarang penduduknya di mana ia berkebun kopi. Ia juga merupakan orang pertama di wilayah kerajaan yang mampu mengembangkan produksi gula dalam skala

16 Informasi lebih lanjut tentang Dorrepaal Bank, baca Alexander Claver, ibid., hlm. 130 11 besar. Melalui partner dagangnya Gillian MacLain ia menandatangani suatu kontrak selama tiga tahun senilai £ 1.181.000, yang sebagian dari dan kontrak itu senilai £ 840.000 dipakai untuk investasi produksi gula. Sampai dengan paruh kedua abad XIX keturunan Dezentje masih menekuni bisnis gula.17

17 Untuk memahami lebih detail tentang Dezentje dan keluarganya baca, Louis Couperus, De Stille Kracht. www.dbnl.org, 2005 12 Gambar 4: Peta Surakarta Tahun 1859 (Sumber: www.kitlv.nl)

Awal 1870 terjadi perkembangan ekonomi yang semakin signifikan. Penentu perkembangan itu adalah dibukanya jalan kereta api yang menghubungkan Solo dan Semarang.

13 Pembukaan itu terjadi pada 18 Februari 1870.18 Munculnya alat transportasi darat modern ini semakin menambah banyak kesempatan perdagangan antar kedua kota, di samping karena adanya panen yang berlimpah serta keamanan kota yang lebih terjamin. Barangkali tahun 1870 merupakan tahun penuh berkah bagi kota Solo. Pada tahun ini terjadi pertambahan penduduk karena penyakit cacar yang mematikan bisa diatasi. Tercatat jumlah penduduk Solo tahun ini sebanyak 736213. Dari jumlah itu terdapat kenaikan penduduk sebesar 13914 orang.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika orang Cina memegang peranan penting dalam bidang perdagangan, pada tahun ini perdagangan kebutuhan sehari-hari lebih banyak dikuasai oleh orang Eropa. Lebih-lebih sejak hubungan dengan Semarang didukung oleh jalan kereta api, jumlah toko yang dikelola oleh orang-orang Eropa semakin meningkat. Sejak itu pula orang Eropa semakin menekuni aktivitas ekonomi di kota yaitu menjadi pedagang kebutuhan sehari-hari.19

Memasuki tahun ini pula Surakarta betul-betul telah menapak sebagai kota modern dan penuh aktivitas. Dalam kaitan ini, sebuah harian lokal berbahasa Belanda bernama De

Vorstenlanden mencatat tentang kebiasaan konsumsi di Wilayah Surakarta pada 1870 dengan sangat rinci. Pada 1870, di Surakarta sudah terdapat empat buah toko di mana orang dapat membeli barang – barang mewah seperti daging kemasan dengan merek Parmesan, dan keju

18 Pembangunan jalur ini berlangsung cukup lama. Pada awalnya dibangun jalur dari Semarang menuju Kedungjati. Pada jalur ini pembangunannya berlangsung secara bertahap, pertama dari Semarang – Tanggung yang mulai dibuat pada 1864 dan selesai pada 1867. Selanjutnya dari Tanggung menuju Kedungjati diselesaikan pada 1870. Bersamaan dengan jalur Tanggung – Kedungjati dikerjakan pula jalur Kedungjati – Surakarta. Jalur yang terakhir ini selesai dikerjakan pada 1870. Untuk informasi tentang ini bandingkan Politiek Verslag der Residentie Soerakarta 1870. Bundel Solo No. 401, ANRI dengan Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900 (Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, 1989),hlm.111.

19 Politiek Verslag der Residentie Soerakarta 1870. Bundel Solo No. 401, ANRI. 14 Edam. Juga tercatat dua toko pakaian dan penjahit untuk kalangan militer yang juga melayani masyarakat sipil. Di kota ini terdapat pula sebuah apotek dan seorang dokter praktik, dan kadang

– kadang berkunjung pula seorang dokter gigi. Unsur penunjang gaya hidup yang lain di kota ini adalah keberadaan juru foto dan foto yang diwarna. Pada waktu itu di Surakarta sudah terdapat pula sebuah pabrik es. Secara umum toko–toko di kota dikelola oleh orang Eropa dan Cina.

Terdapat pula di kota ahli pembuat jam merek Fritchi dari Swiss. Di samping itu di kota juga diuntungkan dengan Toko Lobato yang pemiliknya berkebangsaan Italia sehingga mempunyai jaringan untuk barang – barang impor buatan Italia. Di antara beberapa toko di Surakarta yang terbesar adalah Bazar Soerakarta milik Harloff. Nama pemilik toko ini cukup dikenal di seluruh kota. Di toko ini terdapat barang apa saja. Selain menjual barang – barang mewah seperti arloji, dan peralatan makan model Eropa, juga terdapat layanan untuk makan malam.

Sementara itu di bidang rekreasi, Hotel Soerakarta selalu disibukkan dengan kedatangan para pengusaha perkebunan yang menjadi tamu reguler di kota. Mereka datang untuk pertemuan di club , istilah yang lazim untuk menyebut Societeit, atau untuk menyaksikan pertunjukan kelompok teater lokal Utile Dulci. Kelompok teater dari luar juga hadir di Surakarta, misalnya pada Oktober 1870, opera keliling pimpinan Signor Pompei mementaskan karya Verdi,

Nabucodonosar. Selain karya Verdi kelompok ini juga mementaskan karya Donizetti, Lucia Di

Lammermoor dan Lucrezia Borgia. Setiap pementasan teater Pompei ini selalu dipadati penonton dan mendapat sambutan antusias.20 Dalam mendukung kebutuhan modern yang lain terdapat pula di kota ini percetakan milik Ph. F. Voorneman serta studio foto milik E.A. Vogel yang

20 Ulbe Bosma and Remco Raben, Being Dutch in the Indies: a history of Creolisation and empire 1500-1920 ( Singapore:NUS Press, 2008), hlm.130.

15 terletak di wilayah Mangkunegaran, tepatnya di belakang Gereja Gereformeerd.21

Indikasi peningkatan ekonomi di Surakarta selama tahun 1870 tampaknya tidak terjadi secara menyeluruh. Memang diakui bahwa aktivitas ekonomi semakin maju terutama yang terjadi di ibukota. Akan tetapi pelaku utama ekonomi yang dominan hanyalah kaum Eropa dan

Cina. Untuk sebagian kaum pribumi Jawa ternyata belum dapat memanfaatkan peluang ekonomi di kota. Kecuali kaum bangsawan tinggi, kelompok pribumi yang terpinggirkan diindikasikan telah menimbulkan kerawanan di kota.

Memasuki tahun 1871 perkembangan ekonomi berlangsung secara normal dalam arti bahwa kebutuhan hidup utama dapat diperoleh dengan harga yang sama seperti tahun sebelumnya. Namun yang cukup mengejutkan justru dalam kondisi semacam ini di wilayah

Surakarta terjadi tindak kejahatan yang serius. Pada tahun ini banyak terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh gerombolan kecu dan koyak. Menurut catatan pemerintah pada 1871 terjadi 12 kali gangguan kecu dan tujuh kasus koyak. Dugaan semula tindak kejahatan ini disebabkan oleh kemiskinan. Namun kemudian menjadi jelas bahwa penggunaan candu di kalangan umum yang semakin meluas dianggap sebagai pendorong utama tindak kejahatan. Lebih dari itu diketahui bahwa pada sebagian kaum pribumi terdapat gaya hidup yang buruk. Selain kebiasaan memakai candu, di kalangan bangsawan rendah yang jatuh miskin juga diketahui mempunyai kebiasaan memelihara selir dan suka berjudi. Gaya hidup buruk semacam ini pada saat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan utamanya akan cenderung menyimpang melakukan pencurian atau perampokan. Menurut laporan disinyalir para bangsawan pribumi ikut berperan dalam kasus-

21 De Vorstenlanden, 19 Februari 1870.

16 kasus perampokan.22

Lepas dari banyaknya tindak kejahatan pada tahun 1871 tercatat adanya perkembangan di bidang kerajinan dan perdagangan. Jalur kereta api Solo - Semarang semakin memacu perkembangan itu. Pihak yang cukup diuntungkan dengan jalur baru itu adalah kalangan kaum kulit putih. Pada komunitas ini dijumpai kemajuan di bidang investasi yang berarti. Pada tahun ini terdapat dua apotek yang dikelola kaum Eropa. Usaha di bidang ini sangat maju. Dijumpai pula di kota tiga pengusaha bengkel besi, dua penyamak kulit dan pembuat sepatu, semuanya milik orang Eropa. Sejak inilah tampak beberapa toko Eropa bersaing dengan pemilik toko Cina.

Pada sisi lain dua pabrik es yang mulai didirikan pada 1870 telah berhasil memproduksi 300 -

400 pound setiap hari. Di kalangan pribumi juga dijumpai perkembangan yang menggembirakan terutama dalam hal industri kerajinan . Bidang kerajinan ini banyak memberi peran pada wanita pribumi Jawa.

Perkembangan ekonomi kota di Surakarta memungkinkan beberapa fasilitas hiburan kota dibangun seperti Pesanggrahan Langenharjan (1871), Societeit Harmonie (1874), Paheman

Radya Pustaka (1890), serta sarana transportasi seperti tram kota (1892). Semua fasilitas ini semakin melahirkan gaya hidup kota seperti rekreasi ke kebun binatang, taman kota, serta gedung pertunjukan. Aktivitas ini semua menambah gaya hidup lama yang sudah berkembang di kalangan elite yaitu membaca surat kabar. Kebiasaan membaca surat kabar sebagai penanda modernitas itu terjadi karena kehadiran surat kabar. Di Surakarta atas peranan Carl Friedrich

Winter terbit koran lokal berbahasa Jawa pada 25 Januari 1855 yaitu Bromartani. Selain Winter hadirnya koran ini sudah barang tentu tidak dapat melupakan peranan Sunan Paku Buwana VII atas izin dan bantuannya. Koran ini pada awalnya ditujukan untuk kebutuhan bacaan kalangan

22 Politiek Verslag der Residentie Soerakarta 1871. Bundel Solo No. 410, ANRI. 17 bangsawan. Di samping berisi artikel pengetahuan, berita ekonomi, berita kelahiran dan kematian di dalam Bromartani juga dimuat iklan. Dengan demikian melalui kehadiran koran itu muncul gaya hidup baru yaitu berupa aktivitas membaca koran di kalangan , serta melalui iklan pembaca mulai diajak secara perlahan membangun budaya tampilan.23 Terkait dengan munculnya gaya hidup membaca, bentuk modernitas ini didukung oleh aktivitas dan sarana pendidikan. Khusus untuk komunitas kulit putih sangat memikirkan pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka. Pada awal 1860-an di Surakarta muncul lembaga pendidikan privat yang dikelola oleh Miss Claessens. Saat itu ia mempunyai 12 murid yang berasal dari orang kaya.24 Bersamaan dengan lahirnya surat kabar Bromartani, terdapat pula surat kabar berbahasa

Belanda, bernama De Vorstenlanden.

C.Kesimpulan.

Sejak 1855 tanpa disadari jalur kereta api Solo-Semarang telah mengubah peta jalur perdagangan. Pada satu sisi kereta api telah membuat arus barang komoditi dari kedua kota menjadi lancar, tetapi pada sisi lain jalur baru itu telah mengakibatkan mundurnya transportasi sungai sehingga menyurutkan peran Beton sebagai pelabuhan transit komoditi di tepi Bengawan

Solo yang mempunyai fasilitas penggudangan yang memadahi. Menurunnya aktivitas pelayaran sungai telah menimbulkan pula kerugian cukup serius yang dirasakan oleh pembuat kapal, pengusaha dan nahkoda. Khusus para nahkoda profesi mereka tidak lagi dibutuhkan dengan

23 Tentang adanya hubungan antaran C.F. Winter dan Sunan Paku Buwana VII dalam proses penerbitan koran pertama di Surakarta baca, Ulbe Bosma, op.cit., hlm.,118, dan Ahmat Adam, “ The Vurnacular Press and the Emergence of National Conciousness in Indonesia”, jurnalarticle.ukm.my/496/1/1, hlm.1.

24 Untuk hal ini periksa, Ulbe Bosma, op.cit., hlm.131.

18 munculnya sistem pengangkutan hasil bumi perkebunan dengan kereta api. Selain itu yang pasti adanya jalur itu telah membuat mundur moda pengangkutan melalui sungai dari Solo.25 Pada bagian lain kemajuan di bidang investasi dan perdagangan di Surakarta yang telah memberi peran pada komunitas Eropa, Cina, dan pribumi melalui kemampuan ekonomi mereka secara nyata dapat dilihat sebagai momen munculnya potensi penggunaan waktu luang di Surakarta yang kemudian akan mendasari lahirnya aktivitas gaya hidup yang semakin luas, setelah fasilitas gaya hidup kota semakin memadahi.

25 Ibid.

19 DAFTAR PUSTAKA

“Soerakarta of Solo”, D.G. Stibbe, Encyclopaedie van Nederlandsch Indië, vierde deel .‘s- Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1921.

Ahmat Adam, “ The Vurnacular Press and the Emergence of National Conciousness in Indonesia”, jurnalarticle.ukm.my/496/1/1.

Algemeen verslag van der Residentie Soerakarta 1855. Bundel Solo, No. 383.1. ANRI.

Algemeen Verslag der Residentie Soerakarta 1872, Bundel Solo 136, ANRI.

Bosma, Ulbe and Remco Raben, Being Dutch in the Indies: a history of Creolisation and empire 1500-1920. Singapore:NUS Press, 2008.

Claver, Alexander, “ Commerce and Capital in Colonial Java: Trade, Finance, and Commercial Relation between Europeans and Chinese 1820s-1942”, Disertasi Vrije Universiteit Amsterdam, 1 Desember 2006.

Couperus, Louis, De Stille Kracht. www.dbnl.org, 2005

Dawam Raharjo (et al),Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa . Jakarta: LP3ES, 1995.

De Vorstenlanden, 19 Februari 1870

Djoko Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900 (Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, 1989.

George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912- 1942. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1990.

Graaf, H.J. De, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Press, 1989.

Handboek voor Cultuur-en Handelsodernemingen in Nederlandsch-Indie. Amsterdam: De Bussy, 1889.

Mansfeld, Geschiedenis der eigendommen van het Mangkoenagorosche Rijk, koleksi Rekso Pustoko No. 103

Noorduyn,” Further Topographical Notes on the Ferry Charther of 1358, with Appendices on Djipang and Bojanegara”, BKI 124 (1968) no.4

Opkomst der Mangkoenegorosche cultuurbelangen. Arsip Koleksi Reksopustoko Mangkunegaran.

20 Peter Creutzberg (ed.) Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1981. Politiek Verslag der Residentie Soerakarta 1870. Bundel Solo No. 401, ANRI.

Politiek Verslag der Residentie Soerakarta 1871. Bundel Solo No. 410, ANRI

21

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Laut sebagai Penyambung Ikatan Sosial Masyarakat Lamalohot (Lembata dan Flores Timur) Kristoforus Boro Making, S.IP, MAP

Sedangkan pada bagian ketiga, penulis akan menggambarkan dinamika pengembangan keselarasan sosial masyarakat Lamaholot, khususnya hubungan antara masyarakat dan daerah pasca otonomi daerah, dimana masyarakat Lamaholot tersebar pada dua Kabupaten kepulauan yang saling bertetangga, yaitu ; Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Posisi Kabupaten yang bersifat kepulauan dengan laut sebagai lahan utama mata pencaharian masyarakat pesisir di kedua wilayah tersebut, tentunya memiliki irisan-irisan kepentingan terkait pengelolaan bersama ekonomi berbasis kelautan. Diharapkan dengan pemaparan makalah ini, kita dapat menemukan nilai-nilai local yang mungkin bisa diakomodasikan dalam pendekatan pembangunan antar daerah, khususnya bagaimana perspektif kebudayaan memberikan sumbangsih dan warna baru bagi pendekatan pembangunan berbasis maritim.

Mengenal Masyarakat Flores-Lamaholot, Dalam Lintasan Sejarah dan Struktur Sosial Budaya

Dalam sumber-sumber Eropa, Flores dan Kepulauan Solor-Alor sudah selalu disinggung sejak Abad 16. Pigafetta, penulis laporan pelayaran Magelhaess mengelilingi dunia memberikan gambaran singkat tentang pulau- pulau yang terletak di sebelah barat daya kepulauan Maluku, yang disinggahi oleh kapal “Victoria” yang dinakhodai oleh Kapten Elcana. Penelitian yang seksama atas sumber ini menyimpulkan bahwa mungkin yang dimaksud adalah pulau-pulau Alor, Pantar, dan Lembata.3 Hal ini mempertegas temuan para pelaut Eropa sepuluh tahun sebelumnya, bahwa sesudah menaklukkan Malakka, wakil raja Alfonso de Albuquerque mengirim sebuah armada kecil di bawah pimpinan Antonio de Abreu untuk mencari jalan laut menuju pulau- pulau rempah-rempah.4 Para anggota ekspedisi ini yang memberikan nama kepada pulau ini.

3 Ernst Vatter, Feestbundel, diterbitkan oleh Koninklijke Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, 1929, dell II, hlm. 1-70. 4 Ruth Barnes, The Ikat Textiles of Lamalera, A Study of an Eastern Indonesian Weaving Tradition, Leiden, New York et al.,1989.hlm. 123.

2 Gambar 1 Kepulauan Nusa Tenggara Timur

Catatan hasil penelusuran sejarah yang dilakukan oleh dua orang misionaris Katolik, P. Theodorus Verhoeven, dan P.J. Maringer menunjukkan bahwa sebelum penemuan Pulau Flores oleh bangsa Portugis dan Spanyol, Pulau Flores telah dihuni oleh penduduk asli beberapa ribuan tahun sebelumnya. Berbagai peninggalan arkeologis berupa peralatan dari batu, sisa- sisa makanan manusia dan kerangka manusia yang menunjukkan bahwa Flores sudah didiami oleh manusia sejak zaman paleolitikum.5 Hal ini menunjukkan bahwa telah terbentuk kebudayaan local penduduk asli Flores yang tersebar pada beberapa wilayah, yang kemudian berkembang menjadi ciri khas kebudayaan masyarakat setempat.

Kontur wilayah Pulau Flores yang bergunung-gunung, menyulitkan hubungan dengan daerah pedalaman dan memisahkan dataran-dataran tinggi satu dengan yang lain, juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan penduduk di pulau flores.6 Keadaan geografis yang khusus ini menyulitkan komunikasi antar berbagai kelompok penduduk selama beratus tahun dan menyebabkan bahwa sampai pada masa sekarang ini Flores masih dapat mempertahankan beberapa daerah kebudayaan dengan bahasa otonom yang luas. Di bagian barat terdapat Manggarai, Ngada, Riung, dan Nagekeo, di

5 Theodore Verhoeven, “Neue Funde praehistorischer Fauna in Flores”, dalam : Anthropos 53 (1958): hlm. 264-265. 6 Karl Heinz Kohl, “Raran Tonu Wujo, Aspek-aspek inti sebuah budaya lokal di Flores Timur”, Penerbit Ledalero, 1988, hal. 20.

3 bagian tengah wilayah Ende, Lio, dan Sikka. Di bagian timur terdapat wilayah dan bahasa dan kebudayaan Lamaholot, termasuk kebanyakan kelompok penduduk dari pulau-pulau di sebelah timur, yakni Adonara, Solor, Lembata, dan Pantar.7

Kondisi topografi pulau Flores mempengaruhi cuaca dan vegetasi antar berbagai bagian daerah di pulau itu. Di wilayah barat yang kaya akan hujan,8 cuacanya berbeda dari di bagian timur, yang dipengaruhi oleh angin padang gurun Australia yang panas. Oleh karena struktur alamnya demikian, maka Masyarakat Flores di bagian barat lebih mengandalkan hasil pertanian untuk kelangsungan hidup mereka. Sedangkan masyarakat di Flores bagian timur lebih mengandalkan perikanan tangkap/nelayan sebagai mata pencaharian utama mereka.

Sebagai Kabupaten yang bersifat kepulauan di ujung timur Pulau Flores, masyarakat di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata lebih mengandalkan laut sebagai sumber utama mata pencaharian mereka. Masyarakat yang mendiami wilayah Flores Timur, Solor, Adonara, dan lembata dikenal dengan sebutan masyarakat Lamaholot. Lamaholot merupakan identitas budaya yang mengikatsatukan masyarakat di keempat wilayah tersebut. Hal tersebut dapat terlihat dari tatanan kehidupan sosial yang khas yang dimanifestasikan dalam system kehidupan budaya seperti mata pencaharian, kekerabatan, perkawinan, kematian dan lain sebagainya. Kekhasan identitas sosial-budaya yang dimilki oleh masyarakat Lamaholot, tidak terlepas dari periodisasi sejarah yang mewarnai proses bertumbuh dan berkembangnya kebudayaaan Lamaholot.

Gambar 2

7 Pembagian administratif Flores tahun 1980-an banyak sedikitnya mengikuti batas-batas kesatuan etnis-linguistik. Manggarai (ibukota Ruteng), Ngada (yang mencakup wilayah Nage dan Riung dengan ibukota Bajawa), Ende ( termasuk wilayah Lio dengan ibukota ende), Sikka (termasuk wilayah Tana Ai dengan ibu kota Maumere), dan Flores Timur (termasuk Pulau Solor, Adonara, dan Lembata dengan ibukota Larantuka). Ibid. hal. 20. Pasca penerapan desentralisasi dan otonomi daerah tahun 1999, telah terjadi pemekaran wilayah, dimana Manggarai telah menjadi tiga kabupaten (Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur), Ngada telah menjadi dua Kabupaten (Ngada dan Nagekeo), dan Flores Timur menjadi dua Kabupaten (Flores Timur dan Lembata). 8 Maribeth Erb, “When Rocks were Young and Earth was soft: Ritual and Mythology in NorthEastern Manggarai”, Disertasi 1987, State University of New York at Stony Brook, Ann Arbor, hlm. 14.

4 Wilayah Lamaholot Lembata dan Flores Timur

Jauh sebelum ekspansi para pedagang Jawa abad ke 14, serta kedatangan Bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda yang mencari rempah-rempah, masyarakat Lamaholot telah ada dengan struktur sosiologis yang telah terbentuk dan saling melengkapi. Sebagai contoh; hasil uraian Vatter mengenai penduduk Lamaholot yang mendiami wilayah Ile Mandiri di Kabupaten Flores Timur, dimana hampir setiap kampung terdapat empat suku inti yang bernama “Koten”, “Kelen”, “Maran,” “Hurit”.9 yang tidak hanya berperan dalam imam kurban, tetapi juga menjalankan fungsi membentuk dan menjalankan “pemerintahan” di setiap kampung. Ketua suku Koten dalam ritual pengurbanan hewan bertugas memegang kepala hewan kurban, dan dalam pemerintahan bertugas mengatur urusan dalam kampung, Ketua suku Kelen bertugas memegang kaki belakang kurban, dan bertanggung jawab atas hubungan keluar, berhak mengambil keputusan tentang perang dan perdamaian, serta juga bertanggung jawab dalam hubungan dengan

9 Ernst Vatter, “Ata Kiwan”, Penduduk pedalaman yang tidak dikenal di Belanda Tropis. Sebuah Laporan Perjalanan, Leipzig 1932, hlm. 81.

5 pemerintah colonial Belanda. Ketua suku Maran dan Hurit memberikan pertimbangan pada pengambilan keputusan dan jika ada perbedaan pendapat, mereka berperan sebagai perantara.10

Kemiripan struktur sosial tersebut, juga dapat dilihat pada masyarakat Lamalera di Kabupaten Lembata11, dimana terdapat tiga suku yang tidak hanya besar jumlahnya tetapi besar juga pengaruhnya di dalam kehidupan masyarakat Lamalera. Ketiga suku tersebut adalah suku Blikolollo, suku Bataona, dan suku Lefotuka.12 Dalam memimpin dan mengatur masyarakat Lamalera, ketiga suku ini senantiasa bekerja sama dan mempunyai pengaruh yang masih sangat kuat dalam masyarakat adat Lamalera hingga saat ini. Disamping ketiga suku besar tersebut, ada juga suku tertentu yang memiliki otoritas khusus karena fungsi serta perannya tidak dapat tergantikan oleh suku lain. Suku Lango Fujjo, yang berwenang memimpin upacara adat kegiatan awal turun ke laut, dan dalam pembagian ikan paus suku Lango Fujjo mendapat bagian kepalanya. Disamping itu juga, ada suku Lamanudek yang berperan khusus sebagai arsitek dalam pembangunan perahu yang disebut Atamola.13

Sistem pengaturan sosial masyarakat tersebut, menurut Vatter (1932) demikian efisien. Sehingga pemerintah Kolonial Belanda membiarkannya bertahan dan menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri. Selain itu, mereka malah menyebarkannya ke daerah-daerah tetangga sebagai bagian dari strategi politik penguasaan tidak langsung pemerintah colonial Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa system kekerabatan pada masyarakat Lamaholot yang tersebar pada beberapa wilayah di Fores Timur dan Lembata masih memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Ikatan sosial yang terjalin pada masyarakat Flores Timur dan Lembata hingga saat ini masih mudah dijumpai dalam beberapa kegiatan yang bersifat budaya maupun religi, tata cara perkawinan, adat-istiadat, tradisi penguburan orang mati, maupun bentuk kearifan local lainnya.

10 Bdk. Ibid. 11 Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten induk Flores Timur pasca penerapan UU nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. 12 Ambrosius Oleona & Pieter Tedu Bataona,”Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus”, Lembaga Gelekat Lefo Tanah, 2001, hal. 26. 13 Ibid.

6 Laut Sebagai Penyambung Ikatan Sosial Masyarakat Lamaholot, Tinjauan Khusus Masyarakat Nelayan Lamalera.

Masyarakat Lamalera merupakan salah satu contoh rumpun masyarakat Lamaholot di Kabupaten Lembata yang menggantungkan hidupnya pada laut. Laut adalah spirit dan jiwa yang tidak terpisahkan dalam dinamika perkembangan kehidupan sosial masyarakat nelayan Lamalera. Nelayan Lamalera menangkap ikan paus dengan cara yang tradisional. Nilai- nilai tradisional yang dipegang teguh oleh masyarakat nelayan Lamalera dimanifestasikan dalam berbagai ritual budaya-religius oleh masyarakat nelayan Lamalera. Tradisi religius-kultural yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Lamalera sebelum berburu paus yang biasanya terjadi pada bulan Mei-Oktober diawali upacara seremonial baik secara adat maupun secara agama. Seremonial dilakukan dengan harapan agar memperoleh hasil yang memuaskan serta mendapat dukungan moril dari para leluhur. Misa Lefa merupakan perayaan misa/kurban misa dalam tradisi Katolik. Misa Lefa dimaksud agar pembersihan diri dan saling memaafkan bagi seluruh elemen masyarakat nelayan Lamalera terutama melindungi mereka dalam proses perburuan ikan paus.

Laut merupakan ibu bagi masyarakat nelayan Lamalera, Tradisi Baleo (perburuan ikan paus) bagi masyarakat nelayan Lamalera dilakukan secara tradisional dengan seremonial dan tata upacara yang juga diikuti oleh suku- suku yang berperan dalam proses tersebut. Adapun dalam tata kelola hasil tangkapan, masyarakat nelayan Lamalera menggunakan system pembagian hasil yang telah ditetapkan sejak jaman nenek moyang dulu. Sistem pembagian hasil tangkapan tersebut, juga memperkuat ikatan sosial internal karena diperuntukkan juga bagi para janda miskin dan para yatim piatu.

Masyarakat bahari Lamalera dalam perburuan ikan paus terikat pada serangkaian tradisi dan tata cara yang berkaitan dengan kehidupannya sebagai nelayan. Penggunaan perahu khusus yang dikenal dengan sebutan peledang (bahasa setempat tena lamafaij) serta hasil tangkapan dibagi menurut tata aturan sosial-budaya setempat menunjukkan bahwa masyarakat nelayan Lamalera memiliki konsepsi sendiri terkait pengelolaan wilayah lautan.

7 Menjadi sebuah kekeliruan apabila kita memandang konsepsi pembangunan wilyah perairan tanpa memperhatikan kearifan local masyarakat nelayan setempat.

Dinamika Hubungan Sosial Antara Masyarakat Lamaholot Dalam Pemanfaatan Laut

Masyarakat Lamaholot khususnya yang bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Lembata dan Flores Timur sejak lama memiliki ikatan sosial dan budaya yang kuat. Dinamika relasi sosial yang terjadi tidak hanya antar masyarakat pesisir, namun juga antara masyarakat pesisir dan masyarakat pedalaman. Dalam keseharian aktifitas mereka yang terjadi sejak dahulu hingga saat ini, adalah interaksi ekonomi dalam bentuk pertukaran dan perdagangan barang kebutuhan yang dihasilkan. Masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan, menukarkan atau menjual hasil tangkapannya dengan masyarakat petani yang mendiami wilayah pedalaman. Kontak sosial yang terjalin ini tidak dilembagakan melalui struktur formal kelembagaan pasar, tetapi melalui kontak langsung antar pedagang yang dapat terlihat pada system barter di pasar Wulandoni Kab. Lembata.14

Model kontak sosial yang terjadi seperti di wilayah Wulandoni ini juga menjadi sarana tukar-menukar informasi dan sarana asmilasi kebudayaan. Masyarakat nelayan yang berada dipesisir pantai memiliki relasi sosial yang erat dengan masyarakat yang berada di pedalaman. Modal sosial seperti ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Pada masyarakat pesisir di wilayah Lembata dan Flores Timur hubungan sosial berupa kesamaan mata pencaharian dan kesamaan pola menggantungkan hidupnya pada wilayah lautan berpotensi untuk menimbulkan gesekan-gesekan oleh karena perebutan sumber daya. Seperti yang dirilis dalam media massa tribun news (16/08/2011), dimana diberitakan bahwa terjadi penangkapan empat warga nelaya asal Adonara, Kabupaten Flores Timur oleh aparat gabungan Kepolisian Kabupaten Lembata,

14 Masyarakat mengenalnya dengan pasar barter Wulandoni, di Desa Wulandoni, Kec. Wulandoni Kab. Lembata. Aktifitas yang terjadi dipasar ini adalah menggunakan system barter dimana hasil tangkapan para nelayan di wilayah pesisir ditukarkan dengan bahan kebutuhan pokok hasil perkebunan seperti ubi, jagung, ketela, dll yang dimiliki oleh para petani di wilayah pegunungan dengan pola dan tata cara yang telah disepakati bersama.

8 DKP Kab. Lembata, dan TNI AL, karena melakukan pengeboman ikan di wilayah perairan Laut Kabupaten Lembata. Tindakan yang dilakukan oleh para nelayan pengeboman ikan asal Kab. Flores Timur tersebut, berdampak pada rusaknya ekosistem perairan di Kab. Lembata dan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan local. Tindakan hukum yang dilakukan secara kelembagaan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata, berdampak pada hubungan kelembagaan antara Pemda yang saling bertetangga.

Dinamika kasus serupa juga terjadi seperti dirilis dalam tribun news ( 21/03/2011) dimana diberitakan bahwa DPRD bersama DKP Kabupaten Flores Timur mengajukan protes kepada Pemerintah Kabupaten Lembata alam hal ini DKP Kabupaten Lembata karena menangkap dan mengenakan denda kepada 16 kapal nelayan pencari ikan asal Kab. Flores Timur, karena menangkap ikan di perairan wilayah Kabupaten Lembata dengan bobot kapal yang melebihi batas toleransi yang diatur. Tata kelola pengaturan wilayah lautan yang berbeda antar daerah, ditambah dengan belum terlaksananya kerjasama antar daerah dalam pengelolaan wilayah lautan membuat gesekan dan konflik antar daerah dalam dinamika klaim wilayah kekuasaan terus terjadi. Hal ini menjadi preseden buruk bagi pembangunan di era otonomi daerah karena Laut dipandang menjadi alat pemisah dalam hubungan antar daerah dan wilayah.

Hubungan antara masyarakat bahari Lamaholot-Lamalera dengan Pemerintah Pusat dalam era otonomi daerah khususnya dalam pengelolaan wilayah lautan juga mengalami pasang surut. Seperti contoh, Kasus penolakan warga Nelayan Lamalera atas rencana konservasi wilayah laut sawu merupakan salah satu contoh bahwa kebijakan yang dilakukan dari atas, perlu memperhatikan dengan kearifan local masyarakat setempat. Penolakan masyarakat nelayan Lamalera tersebut didasari oleh pertimbangan sosio- kultural bahwa dengan berburu paus, selain sebagai mata pencaharian juga merupakan sarana kebudayaan untuk saling membangun komunikasi antar suku dalam tradisi kehidupan nelayan Lamalera. Kebijakan tersebut, bagi sebagian masyarakat nelayan Lamalera justru akan membatasi tradisi mereka dalam berburu ikan paus yang telah mereka jalani berabad-abad yang lalu.

9 Penutup

Bahwa masyarakat Flores-Lamaholot yang menempati Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata memiliki kemiripan budaya yang dapat terlihat jelas dari bahasa, adat-istiadat, maupun tata hubungan sosial lainnya. Kemiripan tersebut mengandung implikasi bagi perlunya membangun kesepahaman bersama terkait pengelolaan sumber daya khususnya di wilayah perairan. Hal ini tidak dapat dipungkiri, bahwa dengan kontur Kabupaten Kepulauan dengan laut sebagai penyambung ikatan sosial, maka konsepsi penggunaan sumber daya bahari secara bersama perlu untuk dilestarikan.Maraknya kasus konflik antar nelayan dan saling tuding wilayah perairan seperti digambarkan terdahulu merupakan dinamika yang perlu dikelola untuk mendukung proses pembangunan daerah.

Kerjasama antar daerah baik yang dilegalkan dalam bentuk formal maupun non-formal dapat dijadikan pintu masuk pengelolaan bersama wilayah Lautan. Kebijakan terkait pengelolaan wilayah lautan perlu diselaraskan dengan kondisi sosial-budaya masyarakat. Masyarakat nelayan Lamalera yang telah hidup berabad-abad dari perburuan ikan paus, tentunya memiliki cara pandang sendiri terkait pengelolaan wilayah bahari. Perlu sinergitas dalam pengelolaan kebijakan, agar laut dapat menjadi berkah dalam pembangunan daerah menuju kemakmuran bersama.

10 Referensi :

Buku

Kohl, Heinz, Carl. 1988. Raran Tonu Wujo, Aspek-Aspek Inti Sejarah Budaya Lokal di Flores Timur. Penerbit Ledalero : Sikka.

Oleona, Ambros & Bataona T.Pieter, 2001, Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus, Lembaga Gelekat Lefo Tanah : Jakarta.

Vatter, Ernst, 1932, Ata kiwan; Penduduk Pedalaman Yang Tidak Dikenal di Belanda Tropis, Sebuah Laporan Perjalanan, Leipzig.

Verhoeven, Theodore, 1958, Neue Funde praehistorischer Fauna in Flores, Anthropos.

Majalah/Surat Kabar :

Tempo, edisi 20 November-22 November 2010

Internet : http://kupang.tribunnews.com/2011/03/21/dkp-lembata-diduga-pungli http://www.tribunnews.com/regional/2011/08/16/nekat-gunakan-bom- empat-nelayan-ditangkap

11

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Pelayaran Laut dan Masyarakat Arab Di Nusantara: Perubahan Ruang Identitas Sosial-Budaya dan Politik Pada Abad ke- 19 Ahmad Athoillah, M.A.

PELAYARAN LAUT DAN MASYARAKAT ARAB DI NUSANTARA: PERUBAHAN RUANG IDENTITAS SOSIAL-BUDAYA DAN POLITIK PADA ABAD KE-19

Ahmad Athoillah, MA. Program Studi Doktoral Ilmu-Ilmu Humaniora, FIB UGM

Abstrak Penelitian ini merekonstruksi dinamika pelayaran laut antar daerah dan negara yang dilakukan oleh para pedagang Arab dari abad ke-18 sampai akhir abad ke-19 di Nusantara. Pengambilan topik tersebut dilatar belakangi oleh eksistensi masyarakat Arab yang selalu berhubungan dengan peran laut terutama dalam pembentukan ruang identitas sosial-budaya dan politik yang terlihat seperti pada proses asimilasi “menjadi pribumi” serta diaspora perdagangan dan pelayaran di Nusantara sejak abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-19. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sejauh mana dinamika pelayaran laut antar daerah dan negara yang dipengaruhi oleh peralihan dari otoritas lokal Islam yang bersifat “lokalitas” menuju kekuasaan pemerintah kolonial yang bersifat “globalitas” tersebut berpengaruh pada pembentukan ruang identitas sosial- budaya dan politik pada masyarakat Arab di Nusantara pada abad ke-19. Guna memperoleh jawaban atas permasalahan utama tersebut dipakai metode kritis dengan menggunakan berbagai sumber sejarah dan telaah referensi yang relevan untuk mengungkap dinamika yang terjadi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa dinamika pelayaran laut antar daerah dan negara yang terjadi sepanjang abad ke-17 sampai awal abad ke-19 tersebut kemudian menentukan perubahan pada bentuk sosialisasi masyarakat Arab pada abad ke- 19. Perubahan bentuk sosialisasi masyarakat Arab terlihat pada pergeseran identitas sosial-budaya dan politik sebagian dari mereka yang awalnya mengandalkan “ruang eksistensi laut” yang identik dengan “penguasa politik ekonomi dan perdagangan lokal pesisir” kemudian berubah menjadi bentuk masyarakat yang mengandalkan “ruang daratan” yang identik dengan “kapitalisme masyarakat pedalaman” pada akhir abad ke- 19. Realitas yang kemudian terjadi adalah bahwa masyarakat Arab kemudian dipandang menjadi “pihak lain” oleh pribumi yang sangat identik dengan “etnisitas Arab” sebagai kelompok elit yang hidup dalam ruang modernitas, khususnya pada identitas sosial- budaya dan politik di Nusantara pada akhir abad ke-19.

Kata kunci : Pelayaran Laut, Masyarakat Arab, Perubahan Ruang

1

Pengantar Dalam realitas historis, AR. Priyono menyebutkan bahwa kekuatan Islam telah menjadi agen perubahan sejarah terpenting di Nusantara sejak abad ke-14 sampai pertengahan abad ke-15 melalui peran pedagang Arab dalam “diaspora perdagangan”. 1 Dalam pendapatnya, Lombard mengemukakan bahwa diaspora tersebut pada awalnya terbentuk oleh hubungan perdagangan antara Timur Tengah dengan Cina dengan rute seperti melalui kepulauan Nikobar ke Lampuri kemudian menuju ke Fansur (Aceh) dan Barus yang dilanjutkan ke Takuapa (Palembang). Dari Palembang, rute pelayaran Arab kemudian diteruskan sampai ke Kanton (Guangzou) dengan melalui Pulau Tioman dan Campa. 2 Beberapa hal penting yang menjadi faktor pendukung pelayaran niaga bangsa Arab ke Nusantara diungkapkan oleh Priyono dan Fajrie sebagai berikut: Pertama, pengaruh Islam di Timur Tengah yang berkembang pada abad ke-7 atas perkembangan sosial dan politik di Eropa. Kedua, kemunduran kekuasaan birokrasi pribumi Syiwa-Budha seperti Majapahit di Nusantara pada akhir abad ke-14. Ketiga, munculnya Malaka sebagai “enterpost-state” yang memungkinkan interaksi pedagang pribumi dengan pedagang Arab. Keempat, posisi Nusantara yang menghubungkan jalur perdagangan laut antara Timur tengah dengan Cina dan kelima adalah jaringan intelektual keagamaan antara Hijaz dan Nusantara, dimana India menjadi tonggak penting dalam jaringan aliran sufi pada akhir abad ke-15.3 Hadirnya peran Islam dan pedagang Arab di Nusantara tersebut disoroti oleh Priyono dan Sedyawati sebagai pengaruh utama dalam perubahan struktural dari sistem agraris- patrimornial pedalaman berganti menjadi kapitalisme-politik pesisir di Nusantara. Cetak biru politik ekonomi di atas telah membentuk para saudagar pribumi menjadi kelas pedagang muslim dengan dukungan basis material perdagangan pesisir untuk membentuk pelembagaan politik lokal yang baru seperti kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.4 Para pedagang

1 AE. Priyono, Periferalisasi , Oposisi, dan Integrasi Islam di Indonesia (Menyimak Pemikiran DR. Kuntowijoyo), ed. Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Penerbit Mizan, 1991), hlm. 26.

2 Sayid Alwi menambahkan bahwa bangsa Arab telah melakukan pelayaran perdagangan sampai ke berbagai wilayah seperti: Kalimatan, Sulawesi (Sila), Maluku, Kepulauan Fak-Fak, Sulu, Mangindanau dan Zambuanga serta Pulau Silindung Besar (Luzon). Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya II: Jaringan Asia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2008, hlm 22-23 ; Sajed Alwi b. Tahir Al-Haddad, Sedjarah Perkembangan Islam di Timur Djauh, (Jakarta : Al-Maktab Addaimi, 1957), hlm. 15-16.

3 Ismail Fajrie Alatas, “Menjadi Arab: Komunitas Hadrami, Ilmu Pengetahuan Kolonial dan Etnisitas”, pengantar dalam LWC. Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2010), hlm. xxxi.

4 Edi Sedyawati, M.PB. Manus, Supratikno Rahardjo, Tuban : Kota Pelabuhan di Jalan Sutra, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm. 40 ; AE. Priyono, log.cit.

2

Arab dan kelas menengah pribumi muslim tersebut menurut Ibrahim Alfian kemudian berusaha membangun bandar-bandar niaga dan menampilkan Islam sebagai elemen integratif yang menginkorporasikan kekuatan ekonomi, politik dan agama dalam wadah negara.5 Dari realitas di atas dapat dikatakan bahwa para pedagang Arab tersebut kemudian berhasil mensosialisasikan identitas asli mereka sebagai “orang Arab” menjadi bagian dari kekuasaan politik lokal Islam di Nusantara yang identik “menjadi pribumi”. Pada perkembangan abad ke-18, Berg dan beberapa penulis lainnya menyatakan bahwa pedagang Arab di Nusantara didominasi oleh kelompok Alawiyin dari kaum Arab Hadrami. Identitas kelompok Alawiyin sebagai keturunan nabi (ahlul bait) lebih memudahkan proses asimilasi mereka dengan para birokrat lokal dan masyarakat pribumi muslim, sehingga jumlahnya semakin bertambah sampai akhir abad ke-18 di Nusantara.6 Dalam proses asimilasi tersebut, Fajrie menyatakan bahwa mereka kemudian terintegrasi dengan jaringan kekerabatan lokal kelas menengah muslim di Nusantara dan menghasilkan keturunan dengan identitas baru yaitu sebagai “kelompok pribumi-hibrida”. Sehingga dengan identitas yang baru di atas, maka mereka menduduki berbagai posisi seperti : menjadi penguasa (sultan), bangsawan lokal, penasihat sultan, ulama, saudagar, produksi galangan kapal bahkan bajak laut.7 Pembentukan ruang identitas sosial-politik dan budaya komunitas Hadrami di Nusantara sebagai bagian dari masyarakat perdagangan pesisir selalu berhubungan dengan lautan. Realitas di atas tersebut dinyatakan oleh Fajrie dengan penjelasan bahwa struktur kekerabatan antara individu Arab dengan penguasa lokal pada abad ke-18 ditopang oleh sistem perdagangan dan pelayaran sebagai pilar perekonomian utama komunitas Hadrami di

5 Bandar niaga yang dimaksud Ibrahim Alfian adalah seperti Pasai, Malaka, Aceh dan beberapa bandar di daerah pantai utara Jawa seperti Tuban dan Gresik yang akhirnya menjadi pusat kesultanan Islam pada abad 13 sampai abad 18. Lihat Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian, MA, Kontribusi Samudra Pasai terhadap Studi Islam Awal di Asia Tenggara, (Yogyakarta : Ceninnets Press, 2005), hlm. 26.

6 Kelompok Alawiyin adalah bagian dari kaum Hadrami dari Hadramaut, Yaman yang merupakan keturunan Sayid Alwi bin Ubaidilah bin Ahmad bin „Isa Al-Muhajir yang tersambung silsilahnya dengan Fatimah putri Nabi Muhammad SAW. Para Alawiyin tersebut bergelar “sayid”, “syarif”, “”, “tunkoe besar atau tuwanku” yang umum digunakan di Melayu. Lihat LWC. Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta: INIS, 1989), hlm. 80; Drs. Zainal Abidin bin Segaf Aseggaf, Silsilah Keturunan Sayyidina Hasan dan Sayidina Husein: Cicit Nabi Muhammad SAW (Bekasi: Penerbit Yasrim, 2007), hlm. 4, 64, 123; Mr. LWC van den Berg, De Moehammedaansche Vorsten in Nederlandsch-Indie (t.k.: t.p., t.t.), hlm, 19, 23-24,27.; Ali bin Ahmad Assegaf, Wasoya :Al-Ithrah An-Nabawiyyah (Jakarta : M.B. Offset, 1982), hlm. 32-33.

7 Otta Atsushi, “Pirates or Interpreneurs?” The Migration and Trade of Sea People in southwest Kalimantan, c.1770-1820, Indonesia, 90, October 2010, hlm. 73, 85., Fajrie Alatas, op.cit., hlm. xxxiii-xxxiv.; Berg (1989), op.cit. hlm. 80.

3

Nusantara sampai tahun 1870-an. 8 Ruang identitas sosial-politik dan budaya komunitas Hadrami yang berhubungan dekat dengan penguasa lokal tersebut menjadikan mereka muncul sebagai “dominator ruang perdagangan dan pelayaran laut antar pulau serta antar negara” di Nusantara sampai akhir abad ke-18. Perubahan penting yang terjadi adalah ketika mereka terlibat dalam kontestasi perdagangan dan pelayaran dengan bangsa Eropa, Cina dan pribumi yang dimenangkan oleh pelayaran Eropa pada abad ke-19. Perubahan secara bertahap ruang politik perdagangan dan pelayaran di Nusantara sepanjang abad ke-18 dan abad ke-19 tersebut kemudian sangat berpengaruh terhadap perubahan ruang identitas sosial-politik dan budaya bangsa Arab pada akhir abad ke-19. Dengan pendekatan identitas menurut Ahimha-Putra yang dikutip dari Goodenough, maka identitas atau jati diri dalam tulisan ini diartikan sebagai kumpulan simbol atau tanda pada fisik, material maupun perilaku dimana kemudian seorang individu atau sekumpulan individu terlihat berbeda dengan individu atau sekumpulan individu lain dengan berbagai macam skala dan bentuk yang dalam hal ini adalah masyarakat Arab di Nusantara. 9 Implikasi dari pendekatan di atas adalah bahwa identitas sosial-budaya dan politik masyarakat Arab kemudian akan dilihat dari cara mereka mensosialisasikan identitasnya tersebut melalui perilaku dan aktivitas yang membentuk keanekaragaman sosial-budaya dan politik di Nusantara pada akhir abad ke-19. Dari latar belakang dan permasalahan di atas, maka penelitian ini akan melihat sejauh mana dinamika pelayaran laut antar daerah dan negara dari otoritas yang bersifat “lokalitas kepulauan” menjadi yang bersifat “global-kolonial Hindia Belanda” pada abad ke-19 berpengaruh dalam proses pembentukan ruang identitas sosial- budaya dan politik pada masyarakat Arab di Nusantara ?

Pedagang Arab dan Masyarakat Pesisir di Nusantara sampai Abad ke-17 Dalam pengertian umum yang dimaksud komunitas pedagang Arab di Nusantara adalah mereka yang datang dari jazirah Arabia dan melakukan aktivitas perdagangan di Nusantara. Halim Barakat memberikan definisi khusus tentang “orang Arab” yaitu seseorang

8 Fajrie Alatas, op.cit. hlm. xxx-xxxiii.

9 Simbol atau tanda pada fisik, material dan perilaku merupakan pembeda dengan yang lainnya, sehingga simbol adalah “sesuatu yang dimaknai” dan sebagai makna dan proses dalam memberikannya, bukan hanya sekedar pada simbol atau tanda. Dengan dasar pendapat Lounsbury tersebut, Ahimha-Putra menyatakan bahwa keanekaragaman terjadi karena proses sosialisasi tentang pembelajaran nilai-nilai, pandangan hidup kelompok, komunitas atau masyarakat di sebuah wilayah dimana mereka tinggal. Lihat Heddy Shri Ahimsa- Putra, “Budaya Bangsa, Jati Diri dan Integrasi Nasional : Sebuah Teori, Jurnal Sejarah dan Nilai Budaya : Jejak Nusantara, Edisi I, Th.1, 2013, hlm. 8, 11-12.

4 yang lahir dengan suku bangsa Arab yang tinggal di kawasan jazirah Arabia.10 Pada masa abad ke-9, yang dimaksud pedagang Arab menurut Lombard dan Sayid Alwi adalah mereka yang datang dari Oman dan Basra yang melintasi wilayah barat Nusantara menuju ke Kanton, Cina.11 Bukti yang mendukung pernyataan Lombard di atas adalah pendapat yang diungkapkan oleh Ambari tentang penemuan bukti arkeologis peninggalan abad ke-8 sampai abad ke-11 seperti kronik Arab ataupun Timur Tengah di Palembang dan Labuhan Batu, Medan yang menyiratkan kehadiran pedagang Arab sejak masa Sriwijaya. Peran perdagangan Arab tersebut kemudian semakin berkembang ketika kekuasaan lokal Islam seperti Samudera Pasai, Aceh, Malaka, Demak dan Banten mulai menghegemoni pelayaran dan perdagangan di wilayah barat Nusantara pada abad ke-13. 12

Gambar. 1 Rute Pelayaran Arab Hadrami di Laut Hindia Sumber: Eng Seng Ho (2006) hlm. xvi

10 Jazirah Arabia adalah wilayah Timur Tengah dengan batasan dari Teluk dan Pegunungan Zagros di sebelah barat perbatasan Iran hingga sebelah timur Samudera Atlantik serta membentang dari daratan tinggi Taurus di selatan perbatasan Turki hingga Afrika Tengah melewati gurun Sahara dan tanduk Afrika Selatan. Lihat Halim Barakat, Dunia Arab : Masyarakat, Budaya, dan Negara, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm. 35- 36

11 Denys menyatakan bahwa pedagang Arab dari Oman dan Basra serta pedagang Iran dari Siraf telah menyerang kota Kanton pada tahun 758 dan berhasil dihalau oleh pemberontak Huang Chao pada tahun 879. Lihat Lombard, op.cit, hlm. 22-23; Sayid Alwi, op.cit.,hlm. 15-16.

12 Hasan Muarif Ambary, “Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad 7-16 M dalam Jalur Jalan Sutra Melalui Lautan”, Seminar Sejarah Nasional, Semarang, 27-30 Agustus 1990, hlm. 12-13.

5

Sampai abad ke-17, identitas tentang asal-usul dan suku bangsa para pedagang Arab di Nusantara belum secara detail diketahui, kecuali hanya yang diterangkan oleh van den Berg bahwa mereka berasal dari Maskat (Oman) dan Teluk Persia pada masa abad pertengahan (6-15 M).13 Untuk melihat hubungan antara Arab dan Nusantara, Ayzumardi Azra membagi menjadi tiga bagian penting diantaranya adalah: Pertama untuk akhir abad 8- 12 yang merupakan fase hubungan perdagangan yang didominasi oleh Arab dan Persia. Kedua, sampai akhir abad ke-15 adalah fase penyebaran agama Islam oleh pengembara sufi, bangsa Arab dan Persia dan ketiga, sejak abad ke-16 sampai paruh kedua abad ke-17 adalah fase hubungan politis dimana muncul kontestasi antara dinasti Usmani dan Portugis di Lautan India.14 Berdasar tahapan di atas, beberapa sumber menyatakan bahwa peran pedagang Arab yang muncul sebelum abad ke-17 adalah mereka yang berasal dari kaum Hadrami, khususnya kaum Alawiyin yang telah berasimilasi dan terintegrasi dengan kekuasaan lokal Islam di Nusantara seperti di Palembang, Sulu, Cermin, Siak dan Pontianak. 15 Kaum Alawiyin tersebut dikatakan oleh Sayid Alwi telah menguasai jaringan pelayaran di Nusantara, hal tersebut menurutnya terlihat ketika para pemuka Alawiyin di Johor pada umumnya telah memiliki banyak kapal layar untuk kegiatan perdagangan menuju Palembang, Banjar, Kuren, Tempasuk, Brunei, Sulu, Malabang, Tubuk dan Mindanau pada abad ke-16. Ia juga menyampaikan bahwa pada masa tersebut, para penguasa Alawiyin dari keluarga keturunan Syarif Abu Bakar di Sulu telah membuat regulasi hukum Islam tentang penumpasan para

13 Berg (1989), op.cit., hlm. 67.

14 Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII : Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta, Kencana, 2005), hlm. 49-50.

15 Pendapat Sayid Alwi yang mengutip karya Nihajatul Arab fi Funuril Adab dan Al Chumatul Magriziah menyatakan bahwa kaum Alawiyin sudah bermigrasi dan berasimilasi di Kepulauan Sila pada abad ke-7 karena tekanan kekuasaan Bani Umayah. Beberapa nama penguasa wilayah dan perdagangan serta pelayaran dari kalangan Alawiyin menurut Sayid Alwi dan Syamsu adalah seperti Syarif Zainul Akbar dan Syarif Jamaludin Agung di bandar Palembang, Syarif Zainal Abidin Ali Al-Baqir (pendiri kesultanan Sulu), Sayid Abdulah Al-Qudsi, Sayid Muhammad bin Ahmad Alaydrus, Sayid Usman bin Shahab (ayah Sultan Siak ke-VII), Sayid Husein Al-Gadri (ayah pendiri kesultanan Pontianak pada tahun 1773) dan pendatang dari Taif bernama Syarif Barakat (Sultan Cermin ke-III) yang dijuluki “ragam” karena armada lautnya yang kuat serta membuat jembatan dari istananya menuju pulau Cermin dengan landasan 40 perahu yang ditenggelamkan. Umar Ibrahim juga berpendapat bahwa Syarif Jamaludin Al-Husein Al-Akbar yang wafat di Bugis, klan Al- Jamalulail dari Alawiyin yang bergelar sidi di Sumatera Barat, tokoh agama di Aceh seperti Syarif Ahmad bin Abu Bakar As-Syili, Syarif Abu Bakar bin Husein dan Syarif Muhamad bin Ahmad As-Syatiri dan Syarif Husein di Bugis yang memiliki keluarga besar di Kalimantan dan Ceylon semuanya adalah kalangan Alawiyin pertama kali di Nusantara. Ia juga menyatakan bahwa kaum Alawiyin sudah eksis di Nusantara sejak abad ke-12 dengan gelar “sayid” atau “syarif” yang dimiliki oleh walisongo di Jawa dan raja Siak sebagai gelar keturunan Nabi yang identik dari kaum Alawiyin di Hadramaut maupun Gujarat. Lihat Sayid Alwi, op.cit., hlm. 48, 56, 59 ; Drg. H. Muhammad Syamsu, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Penerbit Lentera, 1996), hlm. 28,108 ; Umar Ibrahim, Thariqah ‘Alawiyyah: Napak Tilas dan Studi Kritis atas Sosok dan Pemikiran Allamah ‘Abdullah Al-Haddad Tokoh Sufi Abad ke-17, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 3-4.

6 perompak dan bajak laut yang mengancam kapal-kapal perdagangan mereka yang mengarungi laut Sumatera, Malaka, Jawa dan lain-lain. 16 Realitas historis lainnya juga disampaikan oleh Tjandrasasmita tentang berdirinya kampung Arab di Banten pada tahun 1596 yang berdampingan dengan pemukiman pedagang Eropa, Asia dan pribumi. Menurut Tjandrasasmita bahwa kapal milik pedagang Arab merupakan jumlah terbanyak yang berlabuh di pelabuhan Banten pada masa tersebut. Hal itu terjadi dikarenakan hubungan baik yang terjalin antara Sultan Banten dan Sultan Mekah, seperti yang diungkapkan oleh Pudjiastuti dimana pada masa abad ke-17 mereka mengadakan hubungan pada bidang politik dan keagamaan.17 Pada tahun 1648, Taylor juga memberitakan bahwa banyak pedagang Arab dan Persia yang menjadi penjual kuda untuk kepentingan transportasi para pejabat VOC di Jakarta.18 Dalam pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Suryawati dan Suwita bahwa pada pertengahan abad ke-17, para pedagang Arab dari kalangan Alawiyin Hadrami telah berperan aktif dalam perdagangan di wilayah Singaraja dan Loloan Timur di pulau Bali.19 Proses sosialisasi pedagang dan pelayar Arab sebelum abad ke-17 di Nusantara menurut Poelinggomang sangat ditentukan oleh sistem “prinsip laut bebas” (mare liberium) yang berlaku sampai paruh pertama abad ke-16. Hal itu berpengaruh terhadap kebebasan pedagang Arab dalam memasarkan komoditi perdagangan di berbagai kota pantai Asia Tenggara tanpa tergantung pada “dominasi” kekuatan politik. Dalam keterangannya yang rinci, Poelinggomang menyebutkan beberapa ciri-ciri utama identitas pedagang Arab dalam proses sosialisasinya pada paruh pertama abad ke-16 di Nusantara, diantaranya seperti: (a)

16 Sayid Alwi, op. cit., hlm. 48,56,59.

17 Laporan Tjandrasasmita dibuat berdasarkan laporan kunjungan Willem Lodewyck ke Banten pada tahun 1596, sedangkan Pudjiastuti menambahkan bahwa pada tahun 1638 Pangeran Abdul Qadir mengirim utusan kepada Sultan Syarif Zahid di Mekah untuk mendapatkan gelar “sultan” bagi Raja Banten. Lihat Uka Tjandrasasmita, “Perkembangan Kota Banten Lama hubungannya dengan Jalan Sutera”, Jakarta, 25 Agustus 1990, Seminar Sejarah Nasional, Semarang , 27-30 Agustus 1990, hlm. 6, 8, 24, 26 ; Uka Tjandrasasmita, “Pasang Surut Antar Bangsa di Banten Abad XVI-XIX”, Konggres Nasional Sejarah 1996: Sub Tema Dinamika Sosial Ekonomi III, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1997, hlm. 165; Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan : Surat-Surat Sultan Banten, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 256-257, 267.

18 Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia, (Jakarta: Masup , 2009), hlm. 66.

19 Cokorda Istri Suryawati , “Singaraja : Kota Perdagangan pada Belahan Kedua Abad XIX”, Seminar Sejarah Nasional IV, 16-19 Desember 1985 di Yogyakarta, Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta , 1985 hlm. 3,14.; I Putu Gede Suwita, “Loloan, Bandar Laut, dan Hubungan antara Budaya, Manusia Kawasan Timur Indonesia”, Konggres Nasional Sejarah 1996, Sub Tema Dinamika Sosial Ekonomi III, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1997, hlm. 173,176.

7 menganut prinsip laut bebas dan perdagangan bebas; (b) giat dalam usaha perdagangan; (c) selalu menjalin hubungan baik dengan penguasa dan ulama seperti sering memberikan hadiah; (d) konsistensi tinggi dalam jalinan niaga; (e) penilaian harga yang layak dari produksi penduduk; (f) menjadikan bandar niaga yang ditempati sebagai pusat kegiatan ekonomi karena menghindari resistensi formalitas administrasi birokrasi.20 Beberapa cirikhas pedagang Arab lainnya juga diterangkan oleh Lombard sebagai bentuk proses sosialisasi pedagang Arab pada abad ke-17 yaitu bahwa mereka mengagungkan model budaya khas tentang kemurnian agama Islam di kota-kota besar perdagangan yang terpusat ke dunia usaha, walaupun dengan jumlah mereka yang sedikit di Nusantara. Lombard juga menyatakan bahwa para pedagang Arab juga bersifat kosmopolitan, sehingga mudah berasimilasi dengan berbagai etnis dan masyarakat pribumi serta inilah yang membedakan mereka dengan pedagang asing (vreemdelingen) lainnya di Nusantara dalam “jaringan perdagangan Asia” pada abad 17 dan 18.21

Komunitas Arab Hadrami di Nusantara pada Abad ke-18: “Menjadi pelaut, pedagang dan birokrat lokal”

Pada abad ke-18, kaum Hadrami secara bertahap mulai berdatangan ke Nusantara khususnya mereka dari kelompok Alawiyin. Musa Kazhim menyatakan bahwa pada tahun 1737 telah datang seorang pedagang Alawiyin bernama Sayid Alwi yang menetap di Jakarta dan seorang agamawan bernama Sayid Husain bin Abu Bakar Alaydrus yang wafat pada tahun 1798 di Luar Batang, Jakarta.22 Tentang identitas mereka di atas sebagai pelayar tidak diketahui dengan pasti, namun pada umumnya identitas kelompok Alawiyin terintegrasi menjadi bagian dari penguasa, birokrat dan masyarakat pesisir lokal yang memiliki jaringan perdagangan maritim antar pulau dan antar negara di Nusantara sebelum abad ke-18.23 Dalam perkembangannya, aktifitas pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh kelompok

20 Edward L. Poelinggomang, “Perdagangan Maritim : Sumber Daya Ekonomi dan Manusia Kawasan Timur Indonesia”, Konggres Nasional Sejarah 1996 : Sub Tema Dinamika Sosial Ekonomi III, (Jakarta: CV Putra Sejati Raya, 1997), hlm. 148, 151.

21 Kosmopolitan dalam masyarakat Arab oleh Lombard diartikan sebagai sesuatu yang tidak berorientasi pada ke-etnisan karena mereka banyak yang terlahir dari perkawinan campur di Nusantara dan menguasai bahasa, lingkungan dengan aneka ragam dan sinkretis, terbuka dengan segala kebudayaan dan menerima ideologi-ideologi yang universalis. Lihat Denys Lombard, op.cit.,hlm. 28, 71, 83.

22 Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah Alawiyin dan Perannya dalam Dakwah Damai di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan” dalam karya Marzuki Alie, et al. Peran Dakwah Damai Habaib/Alawiyin di Nusantara, (Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2013), hlm.17 ; Berg, op. cit., hlm. 130.

23 Sayid Alwi, op. cit., hlm. 48,56,59.

8

Alawiyin di Nusantara semakin meningkat pada abad ke-18 seiring bertambahnya jumlah kedatangan para imigran Hadrami ke Nusantara. Realitas ini sangat berbeda dengan identitas awal mereka di Hadramaut yang menurut Van den Berg disebutkan bahwa pada awalnya mereka sebenarnya bukan bangsa pelaut dan ahli dalam pelayaran, namun lebih pada masyarakat pedalaman yang menekuni profesi non-agraris seperti perdagangan pedalaman, industri dan budaya intelektual keagamaan.24 Pendapat Berg tersebut disanggah oleh Sayid Alwi yang menyatakan bahwa memang kelompok syarif keturunan Sayidina Hasan di Mekah jarang yang bekerja di lautan, namun banyak dari keturunan Sayidina Husein terutama bangsa “Ghuz” dan “Charidji” di Hadramaut yang bekerja di lautan.25 Identitas sosial-budaya dan politik kaum Hadrami ditentukan oleh pembagian jenis ras Arab yang sangat berpengaruh pada pembagian tingkatan golongan sosial mereka di Hadramaut. Kelompok Alawiyin yang berasal dari ras Muta’aribah merupakan golongan tertinggi di atas kelompok suku dan menengah yang pada umumnya berasal dari ras Aribah serta kelompok budak pada masyarakat Hadrami.26 Ketidakpastian ekonomi yang disebabkan oleh faktor geografis di Hadramaut, menyebabkan mereka kemudian melakukan migrasi secara berkelompok dengan jumlah yang besar sampai akhir abad ke-18 ke berbagai daerah seperti di pantai Afrika, India dan kawasan Asia Tenggara khususnya ke Nusantara. Secara rinci, Fajrie menyebutkan beberapa faktor utama yang mendorong kaum Arab Hadrami

24 Berg secara umum menyatakan bahwa kaum Hadrami bukanlah seorang pelaut, namun sebagian kecil masyarakat di Hadramaut juga melakukan perdagangan laut dengan menggunakan kapal menuju pantai timur Afrika, Laut Merah, Teluk Persia, India jajahan Inggris dan pantai selatan Arab seperti di Maskat, Zafar dan Aden. Masyarakat bahari Hadrami terbentuk di sekitar pelabuhan Asy-Syihr sebagai pintu gerbang pedalaman Hadramaut dan pelabuhan Mokala serta beberapa desa nelayan seperti di Borum, Qosai‟ar dan Saihut yang merupakan kawasan pembangunan kapal layar, sistem navigasi, alat nelayan dan pembuatan ikan asin. Lihat Berg (1989), op.cit., hlm. 8, 21, 29, 49-50, 53.

25 Sayid Alwi mengutip pendapat Dhamin bin Shadgam dan Syaikh Abdullah bin Umar Al-Katiri yang menyatakan bahwa Bait Djubair merupakan kota perdagangan di Hadramaut dengan nama pedagang besar dan pelindung perdagangan antara Bait Djubair ke Marbat yaitu Imam Muhamad bin Ali yang bergelar “Sahib Mirbath”. Lihat Sayid Alwi, op. cit., hlm. 37-38, 43.

26 Golongan Alawiyin bergelar “sayid” tersusun dari berbagai keluarga (qabilah) yang dipimpin oleh seorang bergelar munsib, sedangkan golongan suku-suku juga tersusun dari beberapa keluarga (qabail) yang menyandang senjata dan golongan menengah dipenuhi oleh para pedagang, pengrajin, petani, pembantu yang bukan dari golongan sayid dan anggota suku yang menyandang senjata. Golongan budak adalah mereka yang dibawa dari Somalia atau Nubia tanpa nama suku atau keluarga. Beberapa klan dalam golongan sayid diantaranya adalah seperti: bin Yahya, Al-Muhdar, Al-Haddad, Aqil bin Salim, Al-Jufri, Al-Habsyi, bin Ismail, Al-Aidrus, Syaikh Abu Bakar bin Salim, Al-Atas dan lainnya. Nama suku-suku di Hadramaut adalah seperti suku Yafi‟, „Amud, Kasir, Awamir, Jabir, Bajarai, Nahd, Tamim dan suku-suku Badui yang tidak menetap (nomad) seperti suku Kasir dan Awamir di Lembah bin Rasyid serta suku Homum dan Akaribah di utara Mokala dan asy-Syihr. Golongan menengah di Hadramaut yang ahli agama bergelar syaikh seperti yang disandang oleh suku Baraik dan „Amud serta beberapa keluarga seperti Bafadl, Baharmi, Bawazir, Basyoaib, Bamozahim, Ba‟abad, Bin Khatib dan Zabdah serta Bahomaid dan Baraja yang asli dari Madinah. Lihat Berg (1989), op. cit., hlm. 23, 24, 28-29, 33, 47.

9 melakukan migrasi dari Hadramaut ke Nusantara, diantaranya adalah: (1) adanya jaringan perdagangan dan jaringan intelektual keagamaan antara Nusantara dan Timur Tengah ; (2) keahlian dalam penguasaan bahasa dan sastra Arab serta (3) karakter kosmopolitan dan konsep genealogi (silsilah) ahlul bait yang dianggap penting bagi budaya Melayu. Faktor seperti konsep genealogi di atas, kemudian menjadi struktur basis kekerabatan dalam proses asimilasi dan pembentukan jalinan kultural hibrida yang menyebabkan para Arab asli (wulaiti) dan Arab keturunan (muwalad) kemudian mengadopsi bahasa, gaya hidup dan tata cara Melayu pada abad ke-18.27 Dengan identitas kultural hibrida di atas, maka mereka kemudian memiliki status dan peran sosial seperti: sebagai seorang sultan, birokrat lokal tradisional, tokoh keagamaan, penasihat, duta atau mediator, pedagang, pengusaha pelayaran dan lain-lainnya. Status dan peran sosial mereka tersebut didukung oleh basis material perekonomian dari perdagangan dan pelayaran sebagai pilar kekuasaan politik Islam di Nusantara pada abad ke-18. Pentingnya usaha perdagangan yang didukung usaha pelayaran bangsa Arab Hadrami tersebut dikatakan oleh Fajrie mengalami kemajuan pada paruh kedua abad ke-18. Hal tersebut diperlihatkan oleh Fajrie dengan angka prosentase pelayaran dari periode tahun 1774-1777, dimana 2% dari jumlah kapten kapal di pelabuhan Jawa adalah orang Arab yang mengoperasikan kapal besar dengan jangkauan luas. Pada pertengahan dekade 1750-an, Fajrie menyatakan bahwa para pengusaha pelayaran Hadrami telah menyediakan jasa pelayaran dengan rute Jawa-Palembang-Malaka untuk ukuran kapal dengan berat maksimal 50 ton. Realitas di atas menggambarkan bahwa pada paruh pertama abad ke-18, bangsa Arab telah mencapai puncak kejayaan perdagangan dan pelayaran antar pulau dan antar negara dengan “usaha penyediaan jasa pelayaran” di Nusantara sampai tahun 1870-an.28 Kemajuan usaha pelayaran bangsa Arab pada abad ke-18 ini telah membuat posisi para pengusaha pelayaran pada kalangan sayid Alawiyin menjadi kompetitor utama untuk perdagangan dan pelayaran VOC di Nusantara yang berada pada masa ambang kebangkrutannya. Kemajuan pelayaran Arab yang kental dengan nuansa kekuatan politik lokal tersebut telah menjadikan bandar niaga seperti Palembang dan Pontianak tumbuh menjadi pelabuhan

27 Menurut Fajrie Alatas integrasi para Alawiyin dengan jaringan kekerabatan lokal telah membentuk jalinan kultural hibrida dimana mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai “bukan etnis Arab” namun “menjadi pribumi” dalam konteks sebuah hibriditas baru yang dalam konsep Melayu adalah sebuah kompleks kultural bukan etnisitas atau ras. Dengan mengikuti pendapat Engseng Ho, Fajrie menyatakan bahwa mereka adalah individu-individu “kosmopolitan lokal” (local cosmopolitans). Lihat Fajrie Alatas, op. cit., hlm. xxxi- xxxiv .

28 ibid., hlm. xxxiv.

10 besar bagi bangsa Arab setelah Aceh dan Singapura pada abad ke-18. Kemajuan di Palembang itu terlihat ketika Sultan Palembang bernama Ahmad Najamudin (1758-1776) dengan alasan keagamaan memberikan izin kepada para pedagang Arab untuk mendirikan bangunan dari tembok batu yang awalnya hanya diperbolehkan untuk kalangan keluarga raja.29 Dalam kitab Rihlatur Asfar juga disebutkan beberapa nama pedagang dan pengusaha kapal di Palembang pada akhir abad ke-18 seperti diantaranya adalah Syaikh Said bin Naum, Syaikh Abdurahmad Al-Habsyi dan Sayid Muhamad bin Abdurahman Al-Munawar yang memiliki beberapa kapal layar untuk perdagangan.30 Berg juga memberikan gambaran bahwa pada abad ke-18, Palembang merupakan bandar niaga terbesar milik orang Arab dimana kejayaan itu masih terlihat pada abad ke-19 ketika di Palembang masih tersisa 20 kapal layar yang melayani rute ke Pontianak dan Gresik. 31 Selain di Palembang, kota besar perdagangan dan pelayaran Arab adalah Pontianak. Kota ini menjadi pusat perdagangan dan pelayaran Arab dikarenakan usaha Sultan Arab di Pontianak yang sejak paruh kedua abad ke-18 telah mengajak para imigran Arab Hadrami dan lainnya untuk tinggal dan berdagang di Pontianak. Ajakan tersebut dimaksudkan oleh sultan untuk mengimbangi perdagangan Cina di Pontianak yang semakin besar. Oleh karenanya, maka banyak pedagang Arab Hadrami yang mengusai perdagangan dan usaha pelayaran di pedalaman Kalimantan dan mereka menjadi kaya raya.32

Kapitalisme Pelayaran Arab pada Awal Abad 19: Dari ruang lokalitas ke globalitas pada masa kolonial Hindia Belanda.

Pada awal abad ke-19 beberapa kesultanan Islam sebagai representatif dari kekuasaan lokal di Nusantara mulai terikat kontrak perjanjian dagang dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai pewaris kekuasaan VOC di Nusantara. Beberapa kekuasaan lokal yang jatuh dalam kontrak kekuasaan pemerintah kolonial tersebut menurut Lombard adalah kesultanan Palembang pada tahun 1825, Kesultanan Banjarmasin pada tahun 1860 yang diikuti kesultanan pada 1901 dan kesultanan Aceh pada tahun 1903 serta kesultanan

29 Silverio R. Lilik Aji Sampurno, “Struktur Birokrasi Kesultanan Palembang Abad XIX : Pada Masa Pemerintahan Sultan Mahmud Badarudin II, 1803-1821”, Skripsi, Fakultas sastra UGM, 1992, hlm. 51

30 Syaikh Said bin Naum awalnya tinggal di Palembang kemudian pindah ke Jakarta dan pendiri masjid Tanah Abang dan langgar tinggi Pekojan. Lihat Sayid Abu Bakar bin Ali bin Abubakar Shahabudin , Rihlatul Asfar , Manuskrip, (t.t). hlm. 55, 57, 84.

31 Berg (1989), op. cit., hlm. 96-97.

32 Monique Zaini–Lajoubert, Karya Lengkap : Abdullah bin Muhammad Al-Misri (Jakarta : Komunitas Bambu, 2008), hlm. 11-12.

11

Riau pada tahun 1911. Jatuhnya kekuasaan lokal tersebut juga diikuti dengan keluarnya kebijakan baru pemerintah seperti peraturan pelayaran yang bersifat konservatif, lokalitas dan protektif khususnya pada masa awal pembentukan pemerintah kolonial sejak tahun 1816. Beberapa regulasi pemerintah tersebut diantaranya adalah seperti: Pertama, memberlakukan izin pelayaran kapal-kapal Eropa, Amerika, koloni Eropa di Asia dan Afrika untuk bersandar di Batavia, Semarang dan Surabaya. Kedua, izin berlayar dan ekspor dari pelabuhan- pelabuhan tertentu di wilayah perairan Nusantara sebelum berangkat ke negara lain. Ketiga, memberlakukan kebijakan tentang tarif diferensial (differentieele terief) atas nilai barang yang diangkut oleh kapal sejak 1 November 1818 dan keempat, adalah peraturan pelayaran (scheepvaartwet) pada tahun 1850 yang menyatakan bahwa semua kapal yang berpangkal di Hindia Belanda harus meminta surat laut (zeebrief) dari pemerintah dan wajib dilengkapi sesuai standar kapal Eropa untuk mendapat surat jalan tahunan (jaarpass).33 Ruang identitas sosial-budaya dan politik komunitas Arab kemudian juga mulai dibatasi oleh pemerintah kolonial Belanda dengan adanya pendirian koloni Arab sesuai ras dengan status warga Timur Asing (vreemde oosterlingen) disamping bangsa Asia lainnya yang berimplikasi pada perkampungan etnis (wijken stelsel).34 Keterangan yang disajikan oleh Mona Lohanda di atas, menurut Lombard juga merupakan momentum besar bagi perubahan identitas kosmopolitan para pedagang Arab di Nusantara sejak identitas vreemdelingen pada abad ke-17 dan 18 dirubah menjadi vremde oosterlingen pada abad ke- 19 yang hanya dirumuskan oleh minoritas Eropa. Oleh karena itu, pedagang Arab kemudian mengalami “keterasingan identitas” diantara mereka sendiri maupun bangsa asing lainnya dan mayoritas pribumi, khususnya dalam batasan ruang sosial dan budaya yang sebenarnya tidak mereka inginkan.35 Perubahan di atas menurut Lombard menyebabkan orientasi usaha pelayaran Arab kemudian hanya di wilayah Pulau Sumatera dan Jawa saja karena sisa-sisa dukungan basis politik lokalitas Islam dan kultural Melayu yang masih sedikit berpengaruh di perairan barat Nusantara.36 Beberapa hal yang masih mendukung pelayaran Arab di Nusantara pada berbagai jenis pelayaran seperti pelayaran antar-Asia (global), pelayaran lepas dan pelayaran lokal

33 Indische Staatsblad tahun 1850, no. 47; Lombard, op. cit., hlm. 78.

34 Mona Lohanda, The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1994), hlm. 2.

35 Lombard, op.cit. hlm. 83.

36 ibid., hlm. 102.

12 adalah usaha pembukaan protektif pelayaran pemerintah yang dimulai pada tahun 1828. 37 Pendapat Indriyanto di atas diperjelas oleh Sulistiyono dengan pernyataan bahwa pembukaan beberapa pelabuhan di Nusantara sepanjang abad ke-19 tersebut dikarenakan sikap pemerintah kolonial Belanda dalam mengimbangi usaha pelayaran kolonial Inggris yang mulai membuka perdagangan bebas di Singapura pada tahun 1819.38 Beberapa faktor lainya adalah dukungan pemerintah kolonial Hindia Belanda agar bangsa Arab membuka usaha pelayaran komersial yang resmi daripada menjadi perompak laut pada periode tahun 1800 sampai tahun 1825 yang selalu menjadi pengawasan otoritas kolonial Belanda dan Inggris. Menurut Berg, langkah mereka menjadi perompak laut tersebut karena dipicu oleh pembatasan pelayaran yang dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai regulasi yang dikeluarkan. Dukungan selanjutnya adalah jumlah para imigran Hadrami yang terus berdatangan dan masih setia mengikuti usaha pendahulunya dalam menekuni sektor pelayaran sebagai sumber penghasilan utama dalam pembangunan beberapa koloni Arab seperti di Palembang, Pontianak, Gresik, Surabaya dan Singapura. Oleh karena beberapa faktor di atas maka pelayaran Arab masih dapat bertahan dalam menguasai bandar niaga lokal, jumlah kapal, komoditi perdagangan, wilayah pantai dan jaringan perdagangan dengan dukungan jumlah modal yang dimiliki. 39 Dalam realitas itulah, Berg menyatakan bahwa usaha pelayaran Arab kemudian secara bertahap mulai berkembang dengan mendapat keuntungan yang besar pada periode tahun 1845-1855. Dalam gambarannya, Berg menyatakan bahwa pada periode tahun 1800- 1850 masih banyak kapal milik orang Arab di Nusantara berlabuh di Laut Merah dan Teluk Persia sebagai indikasi bertahannya pelayaran antar negara milik bangsa Arab di Nusantara. Oleh karena hal tersebut wajar jika Indriyanto kemudian menyebutkan bahwa pelayaran Arab masih menempati urutan kedua di bawah bangsa Eropa dan di atas etnis Cina serta pribumi.40

37 Beberapa pelabuhan di Nusantara yang akhirnya dibuka oleh pemerintah kolonial Belanda adalah seperti Batavia, Semarang, Surabaya, Sambas dan Pontianak pada tahun 1833, kemudian disusul oleh pelabuhan Sukadana (1837), Lampung (1839), Makasar (1846), Menado dan Kema (1848), Ambon, Ternate dan Kaili (1853). Lihat Singgih Tri Sulistiyono, “Di bawah Bayang-Bayang Ekonomi Agraris : Dinamika Sektor Pelayaran Pribumi di Jawa Memasuki Abad XX”, Konggres Nasional Sejarah 1996, Sub Tema Dinamika Sosial Ekonomi III, (Jakarta : Depdikbud, 1997), hlm. 209-211.

38 Sulistiyono juga menyatakan bahwa pemerintah Kolonial Hindia Belanda bersaing dengan kolonial Inggris yang membuka pelabuhan Singapura menjadi pelabuhan Internasional. Oleh karenanya pemerintah Belanda kemudian melibatkan jung-jung Cina maupun Arab untuk membawa aset perdagangan kolonial Belanda ke Singapura. Lihat Singgih, op.cit., hlm. 209-211.

39 Berg, (1989), op. cit., hlm. 95, 96-97.

40 Tentang pembagian jenis pelayaran di Nusantara menurut Indriyanto adalah (1) pelayaran antar-Asia atau pelayaran global yang beroperasi di luar kepulauan dan berhubungan dengan Eropa dengan menggunakan

13

Dengan dibukanya proteksi pelayaran oleh pemerintah kolonial Belanda, maka banyak pedagang dan pengusaha pelayaran Arab dengan modal dan izin pemerintah mulai keluar dari “dominasi lokalitas” di bandar niaga lokal. Hal tersebut di atas terlihat pada seorang pedagang Arab dari Mesir bernama Syaikh Abdulah al-Masri yang awalnya menetap di Kedah kemudian pindah ke Pontianak untuk bekerjasama dengan Sultan Syarif Kasim dari tahun 1808 sampai tahun 1819 dan beberapa pengusaha Arab lainnya.41 Dalam keterangan selanjutnya, Lajoubert dan beberapa sumber lainnya juga menyebutkan nama–nama pengusaha Arab dengan modal besar yang mulai meninggalkan unsur lokalitas di Jawa seperti diantaranya adalah Sayid Hasan bin Umar Al-Habsyi dan Sayid Abdullah Hanijman serta Syaikh Awad bin Umar Bahanan di Surabaya, Sayid Alwi bin Syaikh Al-Jufri di Gresik, Sayid Muhsin Al-Yamani dan seorang pedagang dan penyedia angkutan laut dengan rute Sumenep-Palembang bernama Sayid Salim bin Bahsan.42 Beberapa nama pengusaha Arab lainnya juga disebutkan oleh Clarence-Smith dan Tanwir yaitu seorang penyedia angkutan kuda dan beras antara kepulauan Sunda kecil dengan pesisir utara Jawa sejak tahun 1850-an yang bernama Sayid Abdurahman Al-Jilani dan Sayid Abdullah Syahab yang beraktifitas antara Bali dan Lombok sejak tahun 1845. 43 Bertahannya pelayaran bangsa Arab pada awal abad ke-20 di atas digambarkan oleh Lombard dengan jumlah angka prosentase tonase kepemilikan kapal dari tahun 1820 sampai

kapal spiegelschip (kapal bertiang persegi) dan bobot mencapai 100 ton serta pelayaran antar-Asia yang memakai kapal scheeepje (kapal kecil) seperti wangkang (junk) yang berbobot antara 200-600 ton ; (2) pelayaran lepas dari Pulau Jawa, namun tidak meninggalkan batas-batas kepulauan Indonesia-Malaya seperti pelayaran antar Pulau dengan kapal brigantjin (kapal tiang dua) chialoup/ shallop; gonting dengan bobot 20-200 ton ; (3) pelayaran lokal (pantai) yang hanya beroperasi di dalam perairan Jawa dengan kapal pancalang; cune dan mayang dengan tonagenya 8 sampai 20 ton. Lihat Indriyanto, “Pelayaran di Pelabuhan Rembang Abad XIX”, Konggres Nasional Sejarah 1996, Sub Tema Dinamika Sosial Ekonomi III, (Jakarta : CV. Putra Sejati Raya, 1997), hlm. 227, 230-231; Berg (1989), log.cit.

41 Beberapa nama pengusaha di Pontianak yang disebutkan oleh Lajoubert adalah seperti Sayid Usman bin Abdurahman, Pangeran Umar bin Muhamad, Sayid Syaikh bin Hamid Ba‟bud, Sayid Abdullah bin Muhammad As-Saqqaf. Lihat Lajoubert, op.cit., hlm. 11-12.

42 Sayid Hasan bin Umar Al-Habsyi bersama Syaikh Abdullah Al-Masri pernah menjadi duta pemerintah atas perintah Gubernur Jenderal Van der Capellen (1816-1826) ke Siam, Brunei, Bali, Surakarta dan Sambas. Nama Hanijman dan Bahanan tersebut dilaporkan oleh koran Bintang Timor, 30 Mei 1877 sebagai pemenang lelang f 5001 atas pembelian kapal So-ootban pada 30 Mei 1877. Lihat Lajoubert, op.cit., hlm. 13, 37,47-48.

43 William Gervase Clarence-Smith, “Horse Trading : The Economic Role of Arabs in the , c.1800 to c.1940” (ed.) Huub de Jonge and Nico Kaptein, Transending Borders : Arab, Politics, Trade and Islam in Southeast Asia, (Leiden : KITLV Press, 2001), hlm.152 ; Mohammad Tanwir, “Pemberontakan Rakyat Sasak terhadap Kerajaan Bali di Lombok tahun 1891-1894”, Skripsi, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2007, hlm. 82-83.

14 tahun 1850, dimana bangsa Arab memiliki separuh dari 20% dari tonase total yang dimiliki bangsa Eropa. Kapal-kapal milik orang Arab Hadrami tersebut bercirikan kapal model Eropa yang terkadang dinahkodai oleh para perwira Eropa dan dibuat oleh produksi lokal seperti Fait Allam yang luar biasa besarnya dengan berat mencapai 560 last (=lebih dari 1.100 ton) serta diproduksi di dekat hutan tepian Bengawan Solo sekitar 80 mil dari Laut Jawa. Banyaknya jumlah kapal milik pengusaha Arab tersebut dikatakan oleh Lombard sebagai awal ancaman bagi usaha pelayaran bangsa Eropa di Nusantara pada abad ke-19. 44

Tahun 1820 1830 1840 1850 Tonase total (dalam last) 1 last=2 10.844 17.361 17.779 15.503 ton Indeks 100 160 164 143 Belanda 25,6 % 20,9% 21,2% 9,6 % Inggris 22,6 20,6 15,7 9,3 Bangsa Eropa Lainya 5,2 0,5 0,9 - Arab 21,8 32,5 31,4 50,7 Cina 16,7 11,6 25,7 28,7 Jawa, Sunda, Madura 7,3 10,0 4,6 3,1

Tabel. 1 Prosentase kepemilikan kapal bangsa asing dan pribumi antara tahun 1820-1850

Jumlah tonase kepemilikan kapal masyarakat Arab tersebut juga tidak terlepas dari perkembangan usaha produksi galangan kapal yang dilakukan oleh pengusaha Arab pada paruh pertama abad ke-19. Salah satu contoh pelaku usaha produksi galangan kapal dari bangsa Arab adalah “dua bersaudara” dari kelompok Alawiyin yaitu klan-Al Habsyi di Surabaya. Mereka adalah Sayid Hasan Al-Habsyi dan Sayid Alwi Al-Habsyi yang awalnya memulai usaha pelayarannya pada tahun 1820 dengan satu kapal yang dinahkodai oleh orang lain. Tiga puluh tahun kemudian, mereka berdua telah memiliki separo dari tonase di pelabuhan Surabaya, dimana tujuh kapal dengan bobot 2000 ton semuanya diproduksi di pabrik mereka di Surabaya. Nama mereka berdua kemudian dikenal sebagai “rajanya pedagang pantai” dimana mereka hampir terlibat semua transaksi perdagangan di Nusantara. Beberapa pengusaha Arab dengan modal besar lainnya juga telah mempertahankan bisnis pelayaran koloni Arab di Gresik dan Surabaya pada tahun 1850, khususnya produksi

44 Tabel di atas dikutip Lombard dari karya EJ. A Broeze yang disusun berdasarkan Regeringsalmanak tahun 1820-1850. Lihat Lombard, op .cit., hlm. 96.

15 galangan kapal layar yang mencapai angka total 46% dari angka total seluruhnya di Nusantara. 45

Gambar. 2 Pejabat Kolonial dan para tokoh Arab di Pelabuhan Surabaya pada Awal abad ke-19. (Sumber : KITLV no. 94369 )

Atas realitas di atas maka, perubahan pada awal abad ke-19 yang paling terlihat adalah bahwa dukungan politik lokal menjadi hal yang tidak penting lagi dikarenakan kekuatan politik lokal yang semakin melemah. Pada masa awal abad ke-19, dukungan yang penting bagi bertahannya eksistensi pelayaran Arab di Nusantara adalah kebijakan pemerintah yang memberikan ruang “kooperatif” bagi pengusaha pelayaran Arab dan jumlah modal yang besar yang dapat mereka sediakan. Pada masa awal abad ke-19 dapat dikatakan bahwa unsur-unsur ruang identitas sosial-budaya dan kekuatan politik lokal seperti identitas kultural hibrida, sifat kosmopolitan lokal, model khas ekonomi-keagamaan mengalami periferalisasi atau “tidak menjadi penting lagi” bagi usaha pelayaran Arab di Nusantara. Oleh

45 Denys Lombard menyatakan bahwa kota Gresik memiliki angka sebesar 28,4% dari tonase yang terdaftar dan diikuti oleh Batavia sebesar 22,6% lalu Surabaya sebesar 17,6 % dan Semarang sebesar 10,1% serta Rembang yang terendah karena menurunnya produktifitas kayu jati sebagai bahan baku kapal yaitu sebesar 7,8 % dari tonase total yang masih terdaftar. Lombard juga menerangkan lokasi produksi kapal layar besar milik Sayid al-Habsyi di Surabaya yang berada di selat Madura yang ramai dengan kapal internasional dan penjelajah yang bersauh dilaut lepas dengan keran-keran tinggi yang terseret di dermaga-dermaga di dekat dok-dok kapal. Lokasi produksi kapal Al-Habsyi tersebut juga berdekatan dengan gudang-gudang senjata milik pemerintah dan perintisan kapal uap dari besi oleh WFA. Cores de Vries pada tahun 1859. Lihat ibid., hlm. 99.

16 karena dukungan modal besar dan sikap kooperatif para pengusaha Arab terhadap kebijakan pemerintah, maka Berg menyebut para pengusaha pelayaran Arab sebagai kelompok “kapitalisme Arab” di Nusantara pada paruh kedua abad ke-19.46 Kapitalisme pelayaran Arab di atas dapat dikatakan suatu bentuk atau cara mereka untuk mempertahankan eksistensi pelayaran pada paruh pertama abad ke-19, walaupun mereka hanya bertahan pada pelayaran lokal di sekitar Jawa dan Sumatera dengan rute-rute pendek antar pulau seperti di Palembang, Singapura, Jakarta, Gresik, Surabaya, Pontianak dan pelayaran transit antar negara. 47

“Kapal Layar vis-à-vis Kapal Uap” : Hegemoni pelayaran kolonial pada paruh kedua abad ke-19

Pada paruh kedua abad ke-19 aktifitas pelayaran di Nusantara mengalami kemajuan yang pesat dikarenakan banyaknya kapal uap yang beroperasi seiring dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 yang mempercepat hubungan Asia dan Eropa. Akibat dari realitas di atas kontestasi pelayaran antara maskapai Eropa di daerah koloni Asia Tenggara juga semakin meningkat. Pemerintah kolonial Hindia Belanda kemudian meningkatkan usaha pelayarannya dengan meningkatkan jumlah kapal-kapal dan mulai mengadakan hubungan kerjasama pelayaran dengan maskapai pelayaran Eropa seperti maskapai Rotterdamsche Lloyd, Amsterdamsche Lloyd dan Ocean, Cores de Vries, KPM, SMN dan sebagainya.48 Usaha peningkatan pemerintah tersebut mulai terlihat sejak tahun 1860 dimana pemerintah secara perlahan mulai mengoperasionalkan kapal uap (kapal api) yang menurut Clarence-Smith memiliki berbagai kelebihan yaitu tidak tergantung dengan musim angin tahunan seperti yang dialami oleh kapal layar pada umumnya. 49 Pemerintah juga kemudian membentuk pelayaran resmi haji dengan mendirikan “kongsi tiga” yang menghegemoni hampir seluruh pelayaran haji di berbagai wilayah Nusantara. 50 Puncak dari hegemoni pelayaran pemerintah kolonial Belanda di Nusantara adalah ketika mereka kemudian mendirikan Koninklijke Paketvaart

46 Berg (1989), op.cit., hlm. 77.

47 Lombard, op.cit., hlm. 96.

48 Sulistiyono, op.cit., hlm. 211.

49 Clarence-Smith, op.cit., hlm. 154

50 “Kongsi Tiga” adalah kerjasama antara tiga maskapai yaitu Rotterdamsche Lloyd, Amsterdamsche Lloyd dan Ocean yang selalu dibayangi oleh armada haji swasta milik Eropa seperti Company Limited, De Lloyd, Firma Gellaty Henkey Sewell & co, Firma Aliste, Jawa & co yang dikontrak oleh pemerintah Inggris, Arab dan Cina. Lihat MGS, 9 Januari 1897, no.33 (Renvooi 27 November 1896) 993 geh.; MGS, 16 Agustus 1893 ; MGS, 4 November 1983 no. 2811.

17

Maatschappij (KPM) pada tahun 1888 yang menguasai seluruh jalur lalu lintas pelayaran di Nusantara. 51 Lombard menyebutkan bahwa KPM kemudian menguasai seluruh jaringan pelayaran yang kuat dengan berbagai hal seperti : jadwal pelayaran yang teratur, pengoperasian kapal besar untuk rute pelabuhan besar dan pengoperasian kapal kecil untuk rute antar pulau. Pembangunan pelayaran pemerintah tersebut semakin kuat karena juga diiringi oleh jumlah produksi komoditi pedalaman yang dikembangkan dengan pembangunan jaringan rel kereta api, tanah partikelir untuk perkebunan dan pendirian pabrik gula.52 Pada akhir abad ke-19, pelayaran Arab yang mengandalkan kapal layar dengan rute pendek antar pulau di kawasan barat Nusantara dapat dikatakan “kalah bersaing” dengan banyaknya jumlah kapal uap milik pemerintah yang dioperasionalkan secara terorganisir. Mundurnya pelayaran Arab karena kontestasi pelayaran yang ketat ini secara signifikan terjadi pada perempat akhir abad ke-19, namun indikasi kemunduran tersebut menurut Berg sudah mulai terlihat sejak tahun 1869. Indikasi kemunduran pelayaran bangsa Arab tersebut terlihat seperti pada transit utama pelayaran Hadrami di Aceh yang mulai digantikan oleh pelayaran kapal uap dengan rute Arab-Singapura milik bangsa Eropa. Indikasi lainnya terlihat ketika pusat produksi galangan kapal di Gresik mulai pindah ke Surabaya dan diikuti menurunnya angka investasi modal pengusaha Arab dalam pembelian kapal layar sebelum tahun 1884. Beberapa indikasi kemunduran pelayaran Arab semakin terlihat pada tahun 1884, dimana beberapa kapal uap milik pengusaha Arab dengan rute Jakarta-Surabaya mengalami kebangkrutan sehingga hanya tinggal seorang Arab di Palembang dan Ambon yang masing- masing memiliki sebuah kapal api. Pada tahun yang sama, di Gresik dan Pontianak hampir tidak ada lagi pengusaha pelayaran Arab, sementara di Palembang masih bertahan sekitar 20 orang dan 9 orang Arab di Surabaya. Oleh karenanya, Berg kemudian menyebutkan bahwa hanya tinggal di Palembang dan Surabaya yang masih terlihat sebagai pusat pelayaran Arab pada akhir abad ke-19 di Nusantara.53

51 Clarence-Smith, log.cit.

52 Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas-Batas Pembaratan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 51.

53 Padahal Berg menyatakan bahwa di Singapura yang dikuasai oleh Inggris, masih ada empat kapal api milik dua orang Arab yang salah satunya duduk sebagai direktur usaha bersama yang membawahi orang-orang Arab dan Cina di Surabaya dengan bendera perusahaan Inggris dan semuanya dijalankan oleh nahkoda Eropa. Lihat Berg (1989), op.cit.,hlm. 96-97.

18

Gambar. 3 Orang Arab dan Kapal Uap di Surabaya tahun 1924, Sumber : KITLV, koleksi no. 94378.

Pada tahun 1884, hampir tidak ada lagi kapal layar Arab yang beroperasi di daerah jajahan Inggris seperti di semenanjung Malaka karena pendeknya rute pelayaran dan jasa angkutan pelayaran dengan jenis muatan bertarif rendah seperti hewan ternak dan kuda serta melayani jalur perdagangan sepi antar pulau terpencil seperti di kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan. Sementara pada jalur dan jenis muatan yang strategis seperti di Palembang, para pelayar Arab dikalahkan dengan kapal uap milik pemerintah sehingga selama 35 tahun mereka hanya tinggal memiliki 22 buah kapal layar buatan Eropa pada tahun 1884 dari jumlah 60 kapal pada tahun 1849. Pada tahun 1885, pengusaha pelayaran Arab yang berada di bawah perusahan pelayaran Belanda hanya tinggal membawahi 75 buah kapal layar buatan Eropa dengan 38 kapal bertiang utama tiga dan 37 kapal bertiang utama dua dengan bobot seluruhnya sebesar 16.000 ton. 54 Sementara dalam pelayaran global antar negara, Berg dan Dien Madjied juga menjelaskan tidak ada kapal milik orang Arab yang singgah lagi di Laut Merah dan Teluk

54 ibid., hlm. 72, 75, 88, 95-97.

19

Persia pada akhir abad ke-19, kecuali kapal api milik orang Arab di Singapura yang melayani rute dari Nusantara ke Cina. Dalam pelayaran haji, orang Arab hanya tinggal memiliki beberapa kapal dengan rute dari Singapura ke Jedah dengan agen penjual karcis di Nusantara yang bersaing ketat dengan armada haji pemerintah kolonial Belanda dengan rute dari Jakarta ke Jedah untuk jama‟ah haji dari pulau Jawa dan pantai barat Sumatera. 55 Beberapa nama pengusaha pelayaran Arab yang masih bertahan pada pelayaran antar-Asia sampai awal abad ke-20 tinggal Basalamah dan Salim bin Thalib seperti yang disebutkan oleh Sayid Usman yang diwarnai dengan persaingan harga tiket untuk jalur rute dari Jakarta ke Mokala dengan mengontrak kapal dari Rotterdam.56

“Dari Maritim ke Perkotaan”: Kaum elit Arab dan modernitas pada akhir abad ke-19.

Menurunnya usaha pelayaran Arab pada akhir abad ke-19 juga diikuti dengan bertambahnya jumlah imigran Hadrami khususnya dari kalangan non-Alawiyin (kelompok Syaikh) karena kemudahan transportasi kapal uap akibat dibukanya terusan Suez tahun 1869.57 Jumlah besar para imigran Hadrami tersebut tidak lagi terpusat pada usaha pelayaran dan perdagangan antar pulau, namun berubah dalam usaha jasa dan perdagangan kota dan daerah pedalaman khususnya pada kawasan pengembangan tanah partikelir yang sedang berkembang di Nusantara. Dorongan ini kemudian mengalihkan modal besar pengusaha Arab dari bidang pelayaran menjadi pengusaha di kota pesisir dan pinggiran maupun pedalaman. Perubahan tersebut telah memunculkan profesi baru bangsa Arab pada akhir abad ke-19 seperti pedagang perantara, mendirikan toko, pedagang grosir, penyedia modal usaha, menjadi pegawai kolonial, penyewaan rumah dan lahan, pengajar dan agamawan di berbagai kota koloni Arab di Nusantara. Lombard menyebutkan pada akhir abad ke-19 semua kehidupan perekonomian masyarakat Arab hampir dipusatkan pada redistribusi komoditi

55 Berg mengatakan bahwa walaupun pelayaran merupakan sarana kehidupan utama bangsa Arab, namun sangat sedikit orang Arab sendiri yang menjadi kelasi, nahkoda, mualim dan kerani kapal-kapal besar maupun awak kapal. Kebanyakan orang Arab menjalankan kapal milik orang Arab dan jarang kapal mereka dinahkodai oleh orang asing maupun mereka menjadi nahkoda kapal milik bangsa asing. Lihat Dr. M Dien Madjied, Berhaji dimasa Kolonial (Jakarta : CV Sejahtera, 2008), hlm. 71,130 ; Berg (1989), op. cit., hlm. 72, 75, 88, 95-97.

56 Surat Sayid kepada Snouck Hurgronje tanggal 25 Juli 1909, kode Or.8952 A.1024.

57 Berg (1989), op.cit.,hlm. 72.

20 perdagangan di perkotaan dengan tetap memelihara jalinan interaksi dengan Hadramaut dan jaringan intelektual keagamaan dengan Mekah dan Kairo.58 Dalam ruang yang baru tersebut, identitas sosial-budaya yang terbentuk pada masyarakat Arab adalah seperti yang diberitakan oleh beberapa koran yaitu tentang kemajuan perekonomian bangsa Arab karena usaha jual-beli dan persewaan lahan serta rumah di kota dan penyediaan jasa modal dalam jumlah yang besar.59 Keberhasilan tersebut oleh Berg juga dikatakan sebagai hasil beralihnya usaha maritim bangsa Arab ke perdagangan grosir yang menjadikan mereka kelompok kapitalis terkaya di Palembang dan tidak tertandingi di Nusantara pada masanya. 60 Pemuka agama Arab di Jakarta seperti Sayid Usman juga menyebutkan bahwa masyarakat Arab pada masa tersebut, sebagian menjadi golongan kaya- raya yang terdiri dari para pengusaha, tuan tanah dan pemilik modal besar.61 Lombard juga mengemukakan bahwa golongan sosial bangsa Arab yang tertinggi pada akhir abad ke-19 adalah mereka yang memiliki modal besar, tanah lahan dan gedung-gedung yang menghasilkan uang serta memiliki kapal angkutan. Hal tersebut dinyatakan oleh Lombard bahwa pada tahun 1887 ada 79 orang Arab yang memiliki modal besar di Nusantara dan 80 orang Arab di Singapura dengan nilai lebih dari 1000 gulden. Beberapa nama pengusaha Arab yang dimaksud diantaranya seperti Sayid Abdullah bin Umar Balsagih yang mengembangkan sistem budidaya penanaman tembakau di Jawa, pantai timur Sumatera, Karo yang dibantu dengan modal pemerintah. Nama lainnya adalah seperti seorang kapiten Arab di Solo bernama Syaikh Awab Soengkar yang bekerja sama dengan Aloermi Concern, Alidroes Shahab dan bin Basri Assagaf yang sejak akhir abad ke-19 sampai tahun 1940 merintis berbagai usaha seperti produksi pembuatan Batik di Solo, pabrik tenun, perusahan ekspor-impor, perkebunan teh dan karet di Jawa Barat serta sejumlah gedung yang disewakan.62

58 Redistribusi perdagangan tersebut untuk komoditi seperti cita katun, batu mulia, parfum, kitab-kitab Arab dan berbagai barang buatan Eropa serta peminjaman uang. Lihat Lombard (II), op. cit., hlm. 72.

59 Bintang Timor, 17 Januari 1877, 30 Mei 1877, 6 Juni 1877.

60 Berg (1989), op.cit., hlm. 77.

61 Sayid Usman bin Yahya, Bermula ada Empat Fasal ini Kepada yang Suka Membaca Padanya, plano 53. F1, no. 38.

62 Sayid Abdullah bin Umar Balsagih (mungkin “bafaqih atau bilfaqih”) adalah pedagang yang kapalnya mengalami karam di dekat Deli dan kemudian menjadi menantu Sultan Deli, sedangkan Syaikh Awab Soengkar adalah individu non-Alawiyin yang datang dari Hadramaut pada tahun 1877. Lihat Lombard (II), op.cit., hlm. 71, 103, 117.

21

Beberapa nama pengusaha besar Arab juga muncul di Jakarta pada akhir abad ke-19 seperti yang disebut oleh Blackburn, Jonge dan Alwi Shahab serta beberapa sumber koran. Salah satu yang terbesar dari meraka adalah pengusaha properti dan importir kuda bernama Sayid Abdullah bin Alwi Alatas yang dikenal sebagai “saudagar Baghdad dari Betawi” yang memiliki tanah seluas 5000 ha di Jakarta sebagai representatif dari elitnya keluarga Alatas di Jakarta. Beberapa orang Arab lainya di Jakarta dan Surabaya yang dikenal sebagai tuan tanah dan pelaku jual beli lahan adalah seperti Sayid Ali Al-Habsyi, Syaikh Umar bin Yusuf Mangusy, Syaikh Muhamad bin Salim Bahasuan, Syaikh Ja‟far bin Umar Bilfas, Sayid Ali bin Syahab, Basalamah dan Syaikh Abu Bakar bin Ahmad seorang agen jual-beli lahan serta Syaikh Said bin Awal bin Muhamad Bopsaid di Surabaya. Sampai tahun 1904, secara khusus Jonge menyebutkan bahwa sebanyak 10 orang Arab kaya di Jakarta telah memiliki 22 tanah partikelir dipinggiran kota yang semuanya mencapai luas 50 km².63 Dengan kepemilikan modal besar dalam usaha jasa dan perdagangan di perkotaan, maka banyak orang Arab di kota-kota pantai utara Jawa menjadi kaya raya dan dipandang oleh masyarakat pribumi sebagai “pihak lain”. Mereka juga kemudian lekat dengan istilah “Arabieren” atau “orang Arab atau keturunan Arab”.64 Dalam sebuah koran yang terbit di Jakarta dinyatakan bahwa karena kekayaannya, maka banyak orang Jawa memanggil orang Arab baik Alawiyin maupun non-Alawiyin dengan istilah “tuwan” dan sangat ingin menikahkan anak mereka dengan pria Arab bukan karena faktor genealogis-keagamaan lagi, namun lebih pada alasan ekonomi.65 Dengan gambaran di atas, maka proses sosialisasi pada masyarakat Arab semakin mudah diterima oleh kalangan atas seperti para pejabat Eropa, pengusaha asing dan elit pribumi. Bentuk gambaran kerjasama pengusaha Arab dengan pengusaha asing tersebut terlihat pada usaha bersama antara Sayid Usman Aseggaf di Tangerang dan pengusaha Cina bernama Kee Kim Hong dalam kongsi dagang p/a

63 Nama Sayid Abdullah bin Alwi Alatas disebutkan oleh Alwi Shahab sebagai pengusaha dengan tanah terluas di Jakarta yaitu meliputi perkebunan palawija miliknya di Pondok Betung, Bintaro sampai ke Pondok Cabe, Ciputat Tangerang. Susan Blackburn juga menyebutkan bahwa pada masa akhir abad ke-19, keluarga Alatas adalah salah satu kaum elit di Jakarta karena sukses dalam menginvestasikan kekayaanya dalam bidang properti. Sementara tentang Syaikh Said bin Awal bin Muhamad Bopsaid diberitakan oleh koran Bintang Timor, 17 Januari 1877 telah menjual aset berupa 4 rumah sekaligus di Surabaya pada tanggal 18 Januari 1877. Lihat Alwi Shahab, Saudagar Baghdad dari Betawi (Jakarta: Republika, 2004), hlm. 6; Susan Blackburn, Jakarta : Sejarah 400 Tahun (Jakarta: Komunitas Bambu 2011), hlm. 88; Huub de Jonge, “A Divided Minority The Arab of Batavia” (ed.) Kees Grijns and Peter J.M. Nas, Jakarta-Batavia, (Leiden: KITLV,2000), hlm. 146; Pemberita Betawi, 5 Juni 1901, 2 Desember 1901; Bintang Timor, 16 Januari 1878.

64 Mr. , C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, (Jakarta : Penerbit Sinar Harapan, 1984), hlm. 19, 21.

65 Pemberita Betawi, 6 Januari 1914.

22

Nederlandsch Indie, Escompto-Maatschappij yang memperjual belikan lahan di afdeeling Tangerang pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.66 Snouck Hurgronje dan Sayid Usman berpendapat bahwa dengan kekayaaan tersebut, beberapa masyarakat Arab kemudian tampil sebagai pemuka dan pejabat Arab serta menerima modernitas dalam kehidupan sosial-budayanya yang direpresentatifkan dalam kemajuan pendidikan modern dan perkumpulan sosial sebagai bentuk perubahan kesadaran kolektif mereka.67 Beberapa nama pejabat Arab menengah di Jakarta pada akhir abad ke-19 yang berangkat dari kalangan pengusaha adalah seperti Syaikh Ali bin Abdul Wahab (2e Wijkmeester di kampung Jaagpad tahun 1877) dan Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Bamusbah (luitenant adjunkt kepala Arab). Beberapa nama kapten Arab di Jakarta adalah Syaikh Muhamad Babeheir, Sayid Umar al-Aidid, Syaikh Umar Mangusy dan wakil kaptennya adalah Syaikh Said Ali Bahasoan, Syaikh Ali bin Aun. Pejabat lainnya adalah Sayid Usman bin Yahya (adviseur voor Arabische zaken) dan Pangeran Sayid Abdulah bin Mansyur Alaydrus (inlandsch ceremoniemeester). 68 Proses sosialisasi masyarakat Arab pada kehidupan sosial-budaya yang modern tersebut terlihat juga dalam aspek material seperti gaya bangunan rumah dan bentuk pakaian di perkotaan yang cenderung bergaya Eropa. Dalam aspek perilaku dan gagasan kolektif yang nampak adalah masyarakat Arab mulai berinteraksi secara terbuka dengan berbagai kalangan etnis pada masyarakat kolonial dalam kehidupan sehari-hari. Banyak dari mereka yang kemudian membuka sekolah Arab modern, mengkonsumsi informasi melalui media cetak dan menyalurkan ide maupun gagasan individu dan kolektif melalui perkumpulan- perkumpulan sosial bangsa Arab. Perkumpulan masyarakat Arab yang paling besar adalah yang sebagaimana diterangkan oleh Sayid Usman dan Edrus Al-Masjhoer diawali oleh perkumpulan para donatur Arab pada bulan Januari 1888 dengan tujuan

66 Bataviaasch Nieuwsblad, 17 Mei 1913.

67 Plano 53, F1 No. 34 ; Surat Sayid Usman kepada Snouck Hurgronje, 8 Agustus 1888, Or. 8952. A. 1023 ; Surat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Jenderal, tanggal 26 Maret 1899 dalam E. Gobee dan C. Andriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 seri IX, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 1639-1640.

68 Sayid Usman bin Yahya (1822-1914) adalah di Betawi dan penasihat pemerintah kolonial Hindia Belanda di kantor inlandsche zaken. Lihat Regeering Almanaak II, tahun 1893, hlm. 152 ; Regeering Almanaak II tahun 1899, hlm. 157-158; Regeering Almanaak II, tahun 1912, hlm. 157, 158 ; Surat Snouck Hurgronje kepada MJ. de Goeje, 4 November 1899, Or. 8952, B. 42 ; MGS, No. 2474-5, 9 November 1899 ; Surat Menteri Koloni (ministerie van kolonien) kepada Gubernur Jenderal, 12 September 1899. no. 64. (8 lembar) ; Surat Pemberitahuan Tertulis Menteri Koloni (Geschrift), 29 Agustus 1899, no. 12 ; Besluit (BT) no. 11, 9 November 1889 , Daftar B, (Lijst B) Bintang Timor, 17 Februari 1877, 9 Juni 1877.

23 menumbuhkan kepedulian sosial internal bangsa Arab di Jakarta.69 Beberapa perkumpulan sosial bangsa Arab yang diikuti oleh orang Arab pada akhir abad ke-19 adalah seperti : Daja Oepaja, Makarimul , , Moeroeatoe’lichwan, di Surabaya dan “Batavia Al-Chairiah” yang berpusat di Gang Petasan, Krukut, Jakarta. 70 Perkumpulan sosial masyarakat Arab di atas dapat diartikan sebagai sebuah ruang baru bagi sebuah proses sosialisasi gaya hidup modern mereka yang mencerminkan ruang identitas sosial-budaya dan politik yang baru pada masyarakat perkotaan di Nusantara pada akhir abad ke-19. Mereka secara tidak langsung telah memposisikan identitas mereka sebagai golongan menengah ke atas dalam struktur sosial masyarakat kolonial di Nusantara dengan ciri menjadi bagian ruang kehidupan modernitas pada masa tersebut. Pada kehidupan masyarakat Arab yang modern tersebut, maka identitas dalam ruang sosial-budaya dan politik mereka semakin memperlihatkan identitas ke-Arab-annya (Arabieren) atau “etnis keturunan Arab” sesuai yang dikemukakan oleh Hamid Al-Gadri. 71 Realitas historis tersebut terbentuk karena perubahan ruang identitas sosial-budaya dan politik yang terpengaruh oleh peralihan dari bidang perekonomian maritim lokal menuju bidang usaha perekonomian di pedalaman kolonial pada abad ke-19 di Nusantara.

Simpulan Dari uraian di atas diketahui bahwa pelayaran antar daerah dan negara yang dilakukan oleh masyarakat Arab mengalami kemajuan pesat di Nusantara karena dukungan kekuasaan

69 Beberapa donatur yang dimaksud di atas adalah Sayid Muhammad bin Alwi Alaydrus, Sayid Abdulah bin Husein Alaydrus, Syaikh Abdulah bin Aqil Bajiri dan Syaikh Said bin Ahmad Juas. Dalam pertemuan selanjutnya, Al-Masjhoer dan Deliar Noer menyatakan bahwa Sayid Usman adalah orang Arab pertama kali yang mensosialisasikan ide-ide penting untuk mendirikan maderasah bagi anak-anak Arab pada tahun 1898 dan akhirnya menjadi dasar perkumpulan Jamiat Kheir yang berdiri pada 17 Juli 1905. Lihat Sayid Usman bin Yahya, Perihal Kumpul Uang Buat bikin Sinuman, Plano 53, F1; Plano 53 F1 No. 32; Edrus Alwi Al-Masjhoer, Jamiat Kheir : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: t.p., t.t.), hlm. 26 ; Adnan Al-Mecky, Abou Guecha : Politik Satirisch Blad, (t.k. : t.p, t.t.), hlm. 9.; Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 68.

70 Dalam koran pemberita Betawi yang terbit pada 4 April 1913 dan 10 Mei 1913 disebutkan nama pemuka Arab yang tergabung dalam perkumpulan Daja Oepaja (D.O), mereka diantaranya adalah Sayid Ali Al- Habsyi, Sayid Abdulah Alatas , Sayid Muhamad Syahab, Achmad Al-Anshori, Sayid Hasyim Alatas, Sayid Abdurahman Al-Habsyi, Sayid Abubakar bin Syahab, Sayid Abdurahman Alaydrus, Sayid Ahmad bin Umar, Sayid Abubakar Al-Habsyi, Sayid Syaikhan bin Syahab, Sayid Muhamad bin Tahir dan Sayid Husain Al- Habsyi. Untuk informasi organisasi Batavia Al-Chairijah dapat dilihat di koran Pemberita Betawi tanggal 22 Januari 1913, sedangkan dari Algemeen Rijksarchief didapatkan informasi bahwa ketua pergerakan Moeroeatoe’lichwan, adalah Sayid Ahmad bin Muhamad Al-Musawa seseorang pendukung pan-Islamisme dan Sarekat Islam di Surabaya. Lihat Algemeen Rijksarchief, inv. nr. 131; Pemberita Betawi, 17 Oktober 1901, 4 April 1913, 10 Mei 1913; Surat Sayid Usman kepada Snouck Hurgronje, 1 Desember 1906, Or. 8952. A. 1023 ; Surat Sayid Usman kepada Snouck Hurgronje, 25 Juli 1909, Or. 8952. A. 1024 ; Pemberita Betawi.

71 Hamid Algadri, op.cit., hlm. 21.

24 lokal Islam pesisir pada abad ke-17 dan 18. Pelaku pelayaran Arab di Nusantara pada abad ke-18 sampai abad ke-19 adalah kelompok Alawiyin dan kelompok lainnya yang merupakan bagian dari kaum Arab Hadrami. Pada masa peralihan dari kekuasaan lokal Islam menuju awal pembentukan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-19, usaha pelayaran Arab masih bertahan dibawah regulasi kolonial dengan kepemilikan modal dan sikap kooperatif mereka dengan pemerintah kolonial. Usaha pelayaran Arab mulai menurun drastis ketika pemerintah mulai menghegemoni pelayaran antar daerah dan negara dengan mengoperasionalkan kapal uap dan mendirikan KPM pada akhir abad ke-19. Dinamika pelayaran laut antar daerah dan negara sepanjang abad ke-17 sampai dengan abad ke-19 di atas telah berpengaruh terhadap perubahan ruang identitas sosial- budaya dan politik masyarakat Arab di Nusantara. Pada abad ke-17 dan 18, bentuk ruang identitas sosial-budaya dan politik masyarakat Arab di Nusantara bersifat lokalitas dengan ciri-ciri kosmopolitan dan berorientasi keagamaan (religious-oriented), sedangkan pada abad ke-19 ruang identitas sosial-budaya dan politik masyarakat Arab berubah menjadi yang bersifat globalitas atau meluas dengan ciri-ciri “etnisitas Arab” yang berorientasi pada kapitalisme. Perubahan ruang identitas masyarakat Arab pada abad ke-19 di atas, juga berpengaruh pada perubahan proses sosialisasi atas identitas sosial-budaya dan politik mereka. Pada sebelum abad ke-19, proses sosialisasi pada aspek sosial-budaya dan politik masyarakat Arab sangat identik dengan kehidupan elit-birokrat tradisional Islam pesisir, sedangkan pada akhir abad ke-19 proses sosialisasi mereka identik dengan kehidupan elit- kapital modern perkotaan. Dengan realitas di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dinamika pelayaran Arab yang terjadi pada sepanjang abad ke-19 telah berpengaruh penting dalam transformasi identitas sosial-budaya dan politik masyarakat Arab di Nusantara pada akhir abad ke-19.

25

DAFTAR PUSTAKA

Manuskrip Abu Bakar bin Ali bin Abubakar Shahabudin, Sayid, Rihlatul Asfar , Manuskrip, t.t.

Surat Sayid Usman kepada Snouck Hurgronje, 8 Agustus 1888, 1 Desember 1906, koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Or. 8952. A. 1023.

Surat Sayid Usman kepada Snouck Hurgronje, 25 Juli 1909, koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Or. 8952. A. 1024.

Surat Snouck Hurgronje kepada MJ. de Goeje, 4 November 1899, koleksi Perpustakaan Universitas Leiden Or. 8952, B. 42.

Arsip dan Sumber Resmi Tercetak Algemeen Rijksarchief, inv. nr. 131, koleksi Nationaal Archief (NA) Den Haag.

Besluit Gouverneur Generaal (BT), 9 November 1889 , no. 11 (Lijst B) .

Missive Gouvernements Secretaris (MGS), 4 November 1983 no. 2811., 16 Agustus 1893., 16 Agustus 1893 (renvooi 27 November 1896) 993 geh., 9 November 1899, no. 2474- 5.

Regeering Almanaak voor Nederlandsch Indie II, tahun 1893, 1899, 1912.

Surat Menteri Koloni (ministerie van kolonien) kepada Gubernur Jenderal, 12 September 1899. no. 64. (8 lembar) .

Surat Pemberitahuan Tertulis Menteri Koloni (Geschrift), 29 Agustus 1899, no. 12 .

Staatsblad van Nederlandsc-Indie tahun 1850, No. 47, Batavia: Landsdrukkerij, 1899.

Usman bin Yahya, Sayid, Perihal Kumpul Uang Buat bikin …, koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Plano 53, F1.No…

_____, Faqaad Ijta’ rai Jama’ah min Wujuhi al-Arab wahim Sayadh’u Shahmith tahta Hadzal al-Masthur Ba’da ma Atadzkaru, koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Plano 53 F1. no. 32.

_____, Maa Qoulakum fii ma’naa ‘ibaroh Hasyiyah as-Syaikh Muhammad bin Abil Qasim al-Fajiji ‘alaa Matanan Umm al-Barhin as-Syaikh Sanuusi fimaa Yulzim maa Dukhul min al-‘Aqaid, koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Plano 53, F1, no. 34.a

_____ , Bermula ada Empat Fasal ini Kepada yang Suka Membaca Padanya, koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Plano 53 F1, no. 38.

26

Koran, Foto dan Majalah

Adnan Al-Mecky, Abou Guecha : Politik Satirisch Blad.

Bataviaasch Nieuwsblad, 17 Mei 1913.

Bintang Timor, 17 Januari 1877, 17 Februari 1877, 30 Mei 1877, 6 Juni 1877, 9 Juni 1877, 16 Januari 1878.

Pemberita Betawi, 5 Juni 1901, 17 Oktober 1901, 2 Desember 1901, 22 Januari 1913, 4 April 1913, 10 Mei 1913, 6 Januari 1914.

Arabische gemeentschap bij de aankomst van assistent-resident C.J.A.L.T. Hilje in Tandjoengperak te Soerabaja, Koleksi Foto KITLV no. kode. 94369.

S.M. Bin Saleh Bin Agil (links) met twee jongeren op de kade bij schip Johan de Witt in Tandjoengperak te Soerabaja, Koleksi Foto KITLV no. kode. 94378.

Buku dan Karya Tercetak Ali bin Ahmad Assegaf, Wasoya : Al-Ithrah An-Nabawiyyah , Jakarta : M.B. Offset, 1982.

Alwi Shahab, Saudagar Baghdad dari Betawi , Jakarta: Republika, 2004.

Alwi b. Tahir Al-Haddad, Sajed, Sedjarah Perkembangan Islam di Timur Djauh, Jakarta : Al-Maktab Ad-Daimi, 1957.

Azyumardi Azra, Prof. Dr., MA, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII : Akar Pembaharuan Islam Indonesia , Jakarta, Kencana, 2005.

Berg, LWC. Van den, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989.

Blackburn, Susan, Jakarta : Sejarah 400 Tahun , Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.

_____, De Moehammedaansche Vorsten in Nederlandsch-Indie , t.k.: t.p., t.t.

Clarence-Smith, William Gervase, “Horse Trading : The Economic Role of Arabs in the Lesser Sunda Islands, c.1800 to c.1940” (ed.) Jonge, Huub de and Kaptein, Nico, Transending Borders : Arab, Politics, Trade and Islam in Southeast Asia, Leiden : KITLV Press, 2001.

Dien Madjied, Dr. M, Berhaji dimasa Kolonial , Jakarta : CV Sejahtera, 2008.

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980.

Edi Sedyawati, M.PB. Manus, Supratikno Rahardjo, Tuban : Kota Pelabuhan di Jalan Sutra, Jakarta : Departemen pendidikan dan Kebudayaan, 1977.

Edrus Alwi Al-Masjhoer, Jamiat Kheir : Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: t.p., t.t.

27

Eng Seng Ho, The Graves of Tarim : Genealogy and Mobility Across The Indian Ocean, London: University of California Press, 2006.

Gobee, E dan Andriaanse, C, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 seri IX, Jakarta: INIS , 1994.

Halim Barakat, Dunia Arab : Masyarakat, Budaya, dan Negara, Bandung: Nusa Media, 2012.

Hamid Algadri, Mr., C. Snouck Hurgronje: Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, Jakarta : Penerbit Sinar Harapan, 1984.

Ibrahim Alfian, MA., Prof. Dr. Teuku, Kontribusi Samudra Pasai terhadap Studi Islam Awal di Asia Tenggara, Yogyakarta : Ceninnets Press, 2005.

Ismail Fajrie Alatas, “Menjadi Arab: Komunitas Hadrami, Ilmu Pengetahuan Kolonial dan Etnisitas”, pengantar dalam LWC. Van den Berg, Orang Arab di Nusantara, Jakarta : Komunitas Bambu, 2010.

Jonge, Huub de, “A Divided Minority The Arab of Batavia” (ed.) Grijns, Kees and Nas, Peter J.M. Jakarta-Batavia, Leiden: KITLV, 2000.

Konggres Nasional Sejarah 1996 : Sub Tema Dinamika Sosial Ekonomi III, Jakarta: CV Putra Sejati Raya, 1997.

Lombard, Denys, Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas-Batas Pembaratan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008.

_____, Nusa Jawa : Silang Budaya II: Jaringan Asia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Mona Lohanda, The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1994.

Musa Kazhim, “Sekapur Sirih Sejarah „Alawiyin dan Perannya dalam Dakwah Damai di Nusantara: Sebuah Kompilasi Bahan” dalam karya Marzuki Alie, et al. Peran Dakwah Damai Habaib/Alawiyin di Nusantara, Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2013.

Priyono, AE., “Periferalisasi, Oposisi, dan Integrasi Islam di Indonesia (Menyimak Pemikiran DR. Kuntowijoyo)” (ed.) Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi Untuk Aksi, Bandung : Penerbit Mizan, 1991

Syamsu, Muhammad, Drg. H., Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya , Jakarta: Penerbit Lentera, 1996.

Taylor, Jean Gelman, Kehidupan Sosial di Batavia, Jakarta: Masup , 2009.

Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan : Surat-Surat Sultan Banten, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

28

Umar Ibrahim, Thariqah ‘Alawiyyah: Napak Tilas dan Studi Kritis atas Sosok dan Pemikiran Allamah Sayyid ‘Abdullah Al-Haddad Tokoh Sufi Abad ke-17, Bandung: Mizan, 2001.

Zainal Abidin bin Segaf Aseggaf, Drs., Silsilah Keturunan Sayyidina Hasan dan Sayidina Husein: Cicit Nabi Muhammad SAW , Bekasi: Penerbit Yasrim, 2007.

Jurnal, Artikel dan Karya Ilmiah Atsushi, Otta, “Pirates or Interpreneurs?” The Migration and Trade of Sea People in Southwest Kalimantan, c.1770-1820, Indonesia, 90, October 2010.

Cokorda Istri Suryawati , “Singaraja : Kota Perdagangan pada Belahan Kedua Abad XIX”, Seminar Sejarah Nasional IV, 16-19 Desember 1985 di Yogyakarta. Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta .

Hasan Muarif Ambary, “Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad 7-16 M dalam Jalur Jalan Sutra Melalui Lautan”, Seminar Sejarah Nasional, Semarang, 27-30 Agustus 1990.

Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Budaya Bangsa, Jati Diri dan Integrasi Nasional : Sebuah Teori”, Jurnal Sejarah dan Nilai Budaya : Jejak Nusantara, Edisi I, Th.1, 2013.

Lilik Aji Sampurno, Silverio R., “Struktur Birokrasi Kesultanan Palembang Abad XIX : Pada Masa Pemerintahan Sultan Mahmud Badarudin II, 1803-1821”, Skripsi, Fakultas sastra UGM, 1992.

Tanwir, Mohammad “Pemberontakan Rakyat Sasak Terhadap Kerajaan Bali di Lombok tahun 1891-1894”, Skripsi, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2007.

Uka Tjandrasasmita, “Perkembangan Kota Banten Lama hubungannya dengan Jalan Sutera”, Jakarta, 25 Agustus 1990, Seminar Sejarah Nasional, Semarang , 27-30 Agustus 1990.

29

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Konferensi Nasional Sejarah X Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta 7-10 November 2016

Dinamika Antar Negara Border Sea: Hubungan Muslim Moro-Nusantara dan Pembentukan Identitas Bangsa Indonesia-Filipina Abad XIX-XX Muhammad Nur Ichsan A. S.Hum

DINAMIKA ANTAR NEGARA BORDER SEA: HUBUNGAN MUSLIM MORO-NUSANTARA DAN PEMBENTUKAN IDENTITAS BANGSA INDONESIA-FILIPINA ABAD XIX-XX

Muhammad Nur Ichsan A. Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara

Abstrak Muslim Moro adalah salah satu kelompok masyarakat yang aktif sejak abad ke-13 M dalam percaturan perdagangan di Nusantara, paska jatuhnya kekhalifaan Umayyah di Andalusia. Mereka menjadi petunjuk jalur pelayaran bagi Spanyol dalam jalur rempah ke Maluku. Dalam pelayarannya, Spanyol bersama orang Muslim Moro dari Spanyol, sebagai navigator, menemukan sebuah daratan di wilayah Pasifik yang kemudian diberi nama Filipina. Sumber sejarah menyatakan bahwa Nusantara dan Moro telah menjalin hubungan yang tidak hanya sebatas hubungan dagang dan pelayaran ke Maluku, namun Nusantara juga sebagai daerah transito bagi para pedagang rempah-rempah dari daratan Filipina, termasuk kapal-kapal yang dinahkodai oleh orang Moro. Hubungan ini berlanjut hingga abad ke-20 yang menghasilkan jalur nenek moyang di Laut Sulawesi dan sampai sekarang masih dipertahankan. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan hubungan antara dua bangsa; Nusantara dan Moro Filipina pada periode perdagangan maritim abad ke-19 hingga 20, sampai terbentuknya identitas bagi keduanya, melalui jalur maritim. Pengumpulan data primer, sekunder dan tersier dianggap penting sebelum adanya interpretasi yang dituangkan dalam sebuah tulisan, historiografi, komprehensif dan holistik. Agar data kredible, penjelasan dalam tulisan ini bersifat deskriptif-analitis dengan menggunakan data kualitatif untuk menunjukkan proses dan hubungan antara Nusantara dan Moro, serta pembentukan identitas kedua bangsa tersebut. Hasil kajian ini memaparkan bahwa proses terbentuknya masyarakat Nusantara tidak hanya terfokus pada Jawa dan Sumatera, melainkan juga peran masyarakat di sekitar Laut Sulawesi juga memberi kontribusi bagi kemajuan Nusantara melalui hubungan Nusantara-Moro. Jalinan ini terus berlanjut sampai terbentuknya kelompok Muslim Sangihe-Muslim Moro di kawasan perbatasan maritim Indonesia-Filipina. Demikian pula, kontribusi dari kedua bangsa ini mempengaruhi pembentukan identitas masyarakat perbatasan maritim di kedua negara; Indonesia-Filipina.

Kata Kunci: Muslim Moro, Nusantara, Perdagangan Maritim, Pembentukan Identitas

1

Abstract

Muslim Moro is one of the active communities since the 13th century AD in the trading arena in the archipelago, after the fall of the Umayyad caliphate in Andalusia. Muslim Moro was a good guide for Spanish cruise line in the path of spices to the Moluccas. In his voyage, Spain along the Moro Muslims in Spain, as navigator, discovered a land in the Pacific region which later was named the Philippines. Some sources stated that the archipelago and the Moro history had a relationship that is not just limited to trade and shipping to the Moluccas, but as a transit area for the spice merchants from the Philippine, including ships was droven by the Moros. This relationship continued until the 20th century that resulted in lane ancestors in the Celebes Sea still maintained. This paper aims to show the relationship between the two nations; Indonesia-Moro Philippine in the maritime trade at 19th -20th, until the establishment of identity for both of them, through the maritime route. The collection primary, secondary data as well considered essential before comprehensive and holistic interpretation set forth in writing, historiography. To make the data credible, explanation in this paper is descriptive-analytic using qualitative writing to show the process and the relationship between the archipelago and the Moro, as well as the formation of the identity of the nation. The results of this study explained that the process of formation of the archipelago society is not only focused on Java and Sumatra, but also the role of communities around the Sulawesi Sea not contribute to the progress of the country through relationship-Moro archipelago. The relationship continued until the formation of Sangihe-Filipino Muslim groups in the border area of maritime Indonesia and the Philippines. Similarly, the contribution of both these countries affects the formation of the identity of the maritime border between the two countries; Indonesia and the Philippines.

Key Words: Muslim Moro, Nusantara, Maritime trade, Identity Build

2

Pendahuluan Kebangkitan bangsa Eropa paska Perang Salib1 yang berkepanjangan menjadi babak baru dalam sejarah dunia, terutama bagi Portugis dan Spanyol di Eropa. Mereka secara tidak langsung memberikan pengaruh bagi dunia bagaikan dua sisi mata uang yang saling berkaitan dan melengkapi, terutama dalam peta perdagangan dunia. Peristiwa inipun tidak terlepas dari fase keberhasilan Reconquista (Hitti: 2010) penaklukan kembali, orang Eropa terhadap dunia Islam. Penaklukkan dan keberhasilan merebut tanah leluhur mereka adalah awal dari ekspansi Bangsa Eropa yang diprakarsai oleh Portugis dan Spanyol dengan tujuan mencari sumber rempah-rempah dunia. Pada akhirnya, mereka berhasil menemukan daerah penghasil rempah melalui perjanjian Tordesillas dan Zaragoza2mereka membagi dua dunia melalui jalur perdagangan dunia dengan menciptakan daerah anti-meridian sepanjang 297,5 liga atau 17° ke timur dari Maluku, melewati kepulauan Las Velas dan Santo Thome milik Spanyol dan selebihnya milik Portugis (Blair: 1906). Akibatnya, India dan Filipina menjadi dua negara pertama yang menjadi sasaran dari bangsa Eropa untuk mendekati dan menemukan daerah penghasil rempah dunia, Maluku. Portugis di bawah komando Alberqueque merintisnya di Afrika, Mesir, kemudian melalui Mesir, menuju ke Goa, India, hingga menemukan Malaka, sedangkan Spanyol yang dipimpin oleh Meghellan merintisnya melalui Amerika, melalui Meksiko, Amerika Latin hingga menemukan Filipina. Keduanya kemudian bertemu di tengah-tengah titik di mana dalam sejarah peradaban dunia mengenalnya dengan perebutan hegemoni Maluku pada abad ke-16. Tidak lama berselang, Maghellan harus menemui ajalnya di Filipina di tangan seorang kepala suku bernama Lapu-Lapu dan meninggal di Mactan (Blair: 1906; Ulaen: 2002). Hanya

1 Meilink-Roelofz masih meragukan bahwa pengaruh perang salib berdampak pada pendorong ekspansi orang Eropa ke Asia, terutama kepada umat Islam. Namun di sisi lain, Hitti memberikan interpretasi lain bahwa semangat Perang Salib memiliki pengaruh panjang terhadap kebangkitan bangsa Eropa. Dia memberikan penjelasan mengenai keberhasilan Napoleon Bonaparte, melalui bukunya History of the Arabs, ketika mendarat di Iskandaria, tempat dimana Portugis juga untuk pertama kalinya memulai perjalanannya ke Asia, di tahun 1798. Hitti mempertegas bahwa kedatangan Napoleon Bonaparte ke Mesir karena sisa-sisa romantisme sejarah dari Perang Salib. Baca Meilink-Roelofz, Persaingan Eropa dan Asia Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara: Sejarah Perniagaan 1500-1630, terj. Tim Komunitas Bambu, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2016), hlm 116., dan bandingkan dengan P. K. Hitti, History of the Arabs, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm. 924. 2 Dua perjanjian ini merupakan traktat yang disepakati oleh Portugis dan Spanyol di abad XV dan XVI yang berhasil menguasai jalur perdagangan rempah di dunia. Tordesillas adalah salah suatu perjanjian yang ditandatangani oleh Spanyol dan Portugis di pada 7 Juni 1494. Isi dari perjanjian itu ialah membagi dunia di luar Eropa menjadi dua bagian jalur pelayaran, Timur dan Barat, dimana pelayaran ke Timur milik Portugis dan Barat milik Spanyol. Sedangkan Zaragoza perjanjian yang mnekankan kembali wilayah kekuasaan dari keduanya di mana dunia dibagi menjadi dua antara sepanjang meridian 1550 km di mulai dari Tanjung Verde (lepas pantai barat Afrika), sekitar 39°53'BB. Spanyol mendapat bagian sebanyak 370° liga milik Spnayol dan sebanyak 284° milik Portugis.

3 satu kapal yang berhasil kembali ke Spanyol, Victoria, yang berhasil membawa rempah- rempah. Maghellan dan orang-orang yang bersamanya memberikan nama bagi para penduduk lokal yang dijumpainya di Filipina sebagai Moro3. Kedatangan para pedagang menjadi titik balik bagi Asia Tenggara yang telah menjadi bagian dari sejarah panjang peradaban dunia. Dalam catatan tertua, para pedagang dari Arab, Persia, Cina, dan Eropa melalui Selat Malaka (Hodgson: 1974) dikenal melalui cerita dan kronik Nusantara serta laporan Pemerintah Hindia Belanda (Vaelntijn: 1724). Kekayaannya, terutama rempah-rempah menjadi komuditas buruan bagi pedagang Arab dan Cina. Selain rempah-rempah, komuditas dagang lain seperti barus, emas, besi, tembaga, dan cendana, menjadi salah komuditi buruan oleh para pedagang. Ibnu Batutah4 pernah membahas mengenai hubungan antar benua Asia-Afrika-Eropa ketika melakukan perjalanan hingga ke India. Dia melihat bahwa India menjadi kawasan penghubung ke daerah Malaka dan Maluku serta Cina berdasarkan laporan para pedagang Arab, India, dan Persia. Oleh karena itu, tidak heran apabila Asia Tenggara begitu terkenal di dunia, meskipun hanya dikenal sebagai bagian dari wilayah Timur Jauh dan masyarakatnya termasuk pedagang aktif dalam kegiatan perdagangan kuno. Kawasan Nusantara5 menjadi salah satu primadona di kawasan Pasifik pada masa lalu. Daerah ini memiliki letak strategis sebagai daerah penghubung yang kemudian memiliki peran peran besar di abad ke-17 sebagai kawasan penghasil rempah-rempah dunia. Di masa

3Sejarah mencatatkan bahwa kelompok Moro mulai dikenal ketika umat Islam menjadi penguasa di tanah Andalusia. Istilah Moro berasal dari kata “Moriscos” ketika umat Islam di Andalusia mulai membaur dengan masyarakat setempat yang mayoritas beragama Kristen dan Yahudi. Moriscos disebutkan untuk pertama kalinya setelah Granada benar-benar ditaklukkan oleh Ferdinand dan rakyatnya. Moriscos berasal dari penyebutan orang Romawi, Phoenix, terhadap bangsa Mauritania yang mereka sebut “Mauri”. Isitilah ini kemudian bertahan dalam bahasa Spanyol menjadi Moro, dan Moor untuk bahasa Inggris, dan orang Spanyol memasukkan mereka sebagai kelompok “Berber” Muslim, dan pada akhirnya penyebutan Moro masih bertahan di sebagian daratan Filipina hingga sekarang. El Ultimo Suspiro del Moro, “Desahan Terakhir Sang Moro” adalah istilah yang semakin menguatkan identitas Moro di Spanyol. Lihat Hitti, History of the Arab…..., hlm. 706. Andaya dan Amal membedakan istilah antara Moro dan Moor. Keduanya memberikan interpretasi berbeda mengenai Moro dan Moor dimana Moro lebih dikenal dengan nama sebuah pulau dan kelompok masyarakat yang hidup di Pulau Moro yang berada di sebelah utara Maluku. Lebih spesifik lagi ketika seorang rahib Spanyol, Xavier, dikirim untuk melakukan kristenisasi di Nusantara dengan tujuan Pulau Moro. Lebih lanjut baca Leonard Y. Andaya, Dunia Maluku Indonesia Timur Pada Zaman Modern Awal, terj. Septian Dhaniar Rahman, (Yogyakarta: Ombak, 2015) dan M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku, ( Jakarta: Komunitas Bambu, 2010). 4 Baca Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutah: Seorang Musafir Muslm Abad Ke-14, terj. Amir Sutaarga, Cet. Ke-2, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015). 5 Istilah Nusantara diperkenalkan semasa Gajah Mada menjadi patih di Kerajaan Majapahit. Nusantara yang dimaksudkan oleh Gajah Mada adalah daerah taklukkan di luar pusat kerajaan Majapahit. Di abad ke-20 sebutan Nusantara kembali diperkenalkan oleh dengan alasan leksikal dan penafsiran yang ambigu. Sederhananya Nusantara berasal penyatuan dua frasa Nusa (kepuluan) dan Antara (penyambung). Lebih jelasnya baca Jerry H. Bentley, Renate Bridenthal, Kären E. Wigen (éds.), Seascapes: Maritime Histories, Littoral Cultures, and Transoceanic Exchanges (Honolulu: University of Hawai'i Press, 2007).

4 kedatangan bangsa Eropa dengan berburu rempah-rempah dan rasa penasaran mereka terhadap rempah-rempah semakin kuat, maka mereka berusaha menemukan jalan ke kawasan tersebut. Salah satu yang menjadi point dari pembukaan jalur ke Nusantara adalah bantuan dari pedagang muslim yang ditemui oleh armada Portugis di Afrika, Bandar Iskandariah, dapat mengantarkan mereka ke Asia Tenggara untuk mencari rempah-rempah. Pemimpin Armada Portugis pada saat itu, Alberqueque, meminta bantuan bantuan dari seorang navigator Muslim yang ditemuinya di Mesir untuk mengantarnya ke pusat rempah-rempah dunia. Navigator tersebut bernama Ibnu Madjid seorang pedagang sekaligus navigator untuk armada Portugis hingga akhirnya berhasil menduduki Goa, India. Alberqueque telah membuka jalan ke Malaka dengan mengikuti jalur perdagangan orang Muslim di Pantai Coromandel dan India. Di sisi lain kemunculan Maghellan di daratan Filipina menjadi polemic bagi penduduk setempat, hingga akhirnya Maghellan harus meninggal di tangan Lapu-Lapu. Kematian Maghellan memunculkan cerita baru kira-kira setengah abad kemudian dimana ketika penakluk baru, Legazpi, memasuki daratan Filipina, sehingga penduduknya meminta maaf terhadap kejadian di masa silam dan mengakui pengaruh politik Spanyol di Filipina (Love, 2006: 91; Andaya, 2015: 26-27). Pengakuan ini dilaksanakan melalui perjanjian perdamaian yang dilakukan Legazpi dengan penduduk lokal dan berdampak pada terbukanya jalur menuju jepang melalui Pasifik. Di Filipina, Legazpi tidak hanya menemukan penduduk pribumi, namun dia juga melihat penduduk yang memiliki kebiasaan serupa ketika berada di Spanyol. Kelompok tersebut adalah kelompok Muslim Moro yang terbentuk di Eropa sekitar abad ke-14, dan Afika di abad ke-10, ketika umat Muslim melanjutkan penaklukkan ke Andalusia. Dia juga melaporkan dalam perjalanannya bahwa pernah melihat seorang pedagang Muslim berdagang, yang menurutnya adalah agen dari Sultan Brunei, juga beberapa saudagar Muslim, pedagang China dan juga Jepang yang saling berhubungan (van Leur, 2015: 236). Ketertarikan Legazpi di Asia Tenggara semakin menguat termasuk ambisinya untuk menaklukkan Ternate (Andaya, 2015: 27). Legazpi yang pernah berkuasa di Meksiko, tidak pernah melihat komiditas dagangan yang menjanjikan di Asia sebelumnya, hingga akhirnya dia berhasil menemukan komuditas tambang Asia Tenggara dengan nilai jual yang menjanjikan. Berdasarkan komuditi tersebut, agaknya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Nusantara dan daerah sekitarnya menjadi satu-satunya destinasi utama pedagang dari Eropa dan Asia yang tidak hanya mencari rempah namun juga hasil tambang. Kegiatan saling

5 bertukar barang dan komuditi semakin hari semakin bertambah meningkat. Di samping rempah-rempah semakin mudah ditemukan, hasil tambang juga dijadikan sebagai bahan ekspor ke para pembeli dari Eropa dan Cina. Kawasan Laut Sulu dan Laut Sulawesi menjadi bagian penting bagi para pencari rempah dari Eropa. Keadaan ini melahirkan beberapa kelompok pedagang dan pola perdagangan di sekitar Laut Sulawesi dan sekelilingnya, termasuk Moro dan Nusantara. Mereka bertindak sebagai pedagang, paddler bahkan perompak yang paling sering disebut oleh para pencari rempah-rempah dalam setiap laporannya di sekitar kawasan tersebut. Mereka juga bertindak sebagai kelompok perompak yang berada di beberapa daerah penghubung jalur ke Maluku, Laut Sulu, Laut Sulawesi dan selat Makassar sebagai tempat perompak melakukan tindakan perompakan. Berdasarkan data di atas, kita dapat melihat pengaruh Moro di masa perdagangan rempah dunia, terutama di akhir abad ke-16 hingga ke- 18 yang berdampak pada terbentuknya kelompok Muslim Moro di beberapa daerah di Nusantara, terutama di Filipina. Di masa kemudian, Muslim Moro di Filipina juga memiliki kontribusi signifkan dalam proses penyaluran rempah-rempah ke Eropa. Mereka, Muslim Moro, menjadi perantara perdagangan hingga perompak di beberapa wilayah perairan Nusantara. Oleh karena itu, data di atas yang menunjukkan proses perjalanan kelompok masyarakat Moro menarik untuk dikaji. Karena dari hubungan tersebut memunculkan hubungan baru yang didasari oleh “identitas”, meskipun hanya sekedar penyebutan semata, namun dari penyebutan itulah berimplikasi panjang hingga di masa sekarang. Dengan demikian, melihat bahwa kajian mengenai kelompok masyarakat Moro yang “sesungguhnya” masih minim, bahkan kurang, terutama yang berkaitan dengan pembentukan identitas Bangsamoro itu sendiri, menjadi salah satu daya tarik untuk dikaji. Di samping itu pula, istilah “Moro” yang dikenal pada masa sekarang diterima begitu saja tanpa mencari asal- usulnya terlebih dahulu, meskipun diawali berdasarkan penilaian negatif orang Spanyol terhadap “Moro” di Andalusia, akan tetapi hal itulah yang menjadi salah satu fokus perhatian dalam tulisan ini termasuk hubungannya dengan Nusantara, khususnya di abad ke-19 dan ke- 20. Berdasarkan dari asumsi tersebut, tulisan ini berusaha menjawab beberapa permasalahan mengenai pembentukan identitas Moro di Filipina dan juga hubungan Moro dengan Nusantara, karena dalam beberapa sumber menyebutkan bahwa Moro dan Nusantara memiliki keterikatan kuat, terutama pada proses penyaluran rempah-rempah dari Maluku. Mereka dikenal sebagai salah satu “perompak menakutkan” yang tersebar di sekitar laut Nusantara hingga terbentuknya sebagai kelompok masyarakat yang hidup secara komunal di beberapa daerah di Filipina sebagai Bangsamoro. Masuknya Amerika di masa kemudian

6 memperkuat identitas Bangsamoro sebagai kelompok yang ingin melepaskan diri dari pengaruh kekuatan asing. Tidak hanya sampai di situ hubungan Bangsamorodengan penduduk Indonesia pasca kemerdekaan menunjukkan kedekatan sejarah di antara dua bangsa ini. Tujuan dari kajian ini adalah untuk melihat proses pembentukan identitas Muslim Moro, Bangsamoro, dan hubungannya dengan Nusantara di abad ke-19 dan ke-20, hingga proses terbentuknya Nusantara sebagai negara merdeka yang dikenal sebagai Indonesia, sehingga menghasilkan dua bangsa, dua identitas dari arena dan proses sejarah yang sama. Bangsamoro dan Indonesia adalah dua identitas yang terbentuk dan terpisahkan oleh laut dan “border sea” dalam pembentukan negara modern di abad ke-20.

METODE

Tulisan ini adalah tulisan sejarah yang berusaha mengungkap hubungan Muslim Moro dan Nusantara di abad ke-19 dan ke-20, dengan menggunakan metode penulisan sejarah dalam proses penulisannya. Di dalam tulisan ini, penulis berusaha menyatukan dua metode pendekatan yakni sejarah-sosial yang berusaha medeskripsikan kondisi sejarah terbentuknya identitas Muslim Moro dan Nusantara, serta kehidupan sosial masyarakat Muslim Moro dan Nusantara di abad ke-19 dan ke-20 dengan bantuan metode sejarah. Dalam penulisan ini data primer, sekunder dan tersier dipilah dan diverifikasi, sebelum melakukan interpretasi serta historiografi agar data terlihat objektif, kredibel, reliable dan faktual. Data diolah dengan cara deskriptif-analitif dengan menggambarkan data yang telah disunting dan kemudian dianalisa menggunakan sudut pandang sejarah, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam penulisan sejarah sosial, proses perubahan kehidupan masyarakat menjadi titik tekan dalam penulisan ini. Adanya faktor internal dan eksternal menjadi salah satu pendukung terjadinya perubahan tersebut. Salah satunya dalam proses “penciptaan” masyarakat Nusantara dan Muslim Moro di Asia Tenggara di abad ke-19 dan 20 yang mengakibatkan terciptanya identitas masyarakat modern. Perubahan ini karena begitu massifnya aktivitas masyarakat, terutama dalam proses perniagaan dan politik. Akibatnya, terbentuk kelompok masyarakat kecil berdasarkan identitas, seperti terbentuknya kesukuan, kebangsaan, hingga kegamaan dengan pola kebiasaan dan alur berfikir yang dimilikinya. Dampak yang lebih nyata dari perubahan di masyarakat adalah terbentuknya kelompok

7 berdasarkan identitas negara dan kelompok kesukuan. Mereka terbentuk karena kebutuhan, di mana mereka hidup dalam pola pembentukan kelompok yang dipaksakan. Sebagaimana Gaspare Nevola (2011: 24-25) menawarkan bahwa kesatuan wilayah mempengaruhi keberadaan sebuah kelompok masyarakat yang dibalut dalam satu sistem politik. Dari sudut pandang lain, territorial juga mempengaruhi pembentukan identitas masyarakat. Salah satu contohnya adalah kawasan heartsea (Hall: 2011; Lapian: 2009) yang menempatkan kawasan laut menjadi penghubung pembentukan identitas masyarakat maritim. Kawasan heartsea dijadikan sebagai daerah melting point di Nusantara sebagai salah satu wilayah yang paling banyak dilalui oleh para pelaut. Laut Sulawesi adalah heartsea bagi wilayah Sulawesi dan daratan Filipina serta Maluku. Kawasan ini sebagai salah satu daerah strategis di abad ke-19 sebagai faktor terbentuknya identitas dan komunitas masyarakat. Oleh karena beberapa kesamaan itulah, para antropolog dan pengkaji menyatukannya sebagai sebuah identitas sosial yang pada akhirnya menjadi bibit identitas dalam cakupan lebih luas. Jalinan inilah yang menjadikan adanya entitas-entitas kebangsaan di tengah-tengah kelompok sehingga terbentuk kelompok masyrakat dengan ciri khas tertentu, termasuk Muslim Moro- Nusantara. Pada akhirnya kelompok Muslim Moro-Nusantara menjadikan laut sebagai daerah perantara dalam membangun peradaban dan kebudayaan. Sebagai mana isitilah orang laut, sea nomads, (Sopher: 1977) yang tersemat pada kelompok pelaut dari Selatan Filipina, Bajau, Samal, Balangingi, dan Ilanun, menjalin hubungan dengan pedagang Nusantara di beberapa bandar besar. Salah satu jalur terbaik bagi orang laut tersebut adalah Laut Sulu-Laut Sulawesi-Selat Makassar-Selat Maluku- hingga Malaka dan Maluku. Dan hampir semua daerah di lauatan Nusantara menjadi wadah untuk menjalin komunikasi dan pertukaran budaya antara pedagang Muslim Moro dan Nusantara, hingga abad ke-20.

PEMBAHASAN

Moro-Nusantara Sebelum Abad XIX

Jarang sekali ditemukan sumber yang membahas secara spesifik keberadaan Moro di Filipina. Dari data yang terkumpul, istilah Moro lebih banyak digunakan oleh para akademisi orientalis yang memfokuskan kajiannya di kawasan Andalusia, Afrika, dan Timur Tengah (Fitzgerald: 1905; Meakin: 1899; Hitti 2010). Kemudian, penyebutan istilah “moro” kembali digunakan di daerah Filipina setelah kedatangan Maghellan (Saleeby: 1905; M.Non: 1993;

8

Blair: 1906). Selanjutnya, komunitas Moro dikenal sebagai kelompok aktif dikawasan Asia Tenggara hingga abad ke-20. Kelompok ini semakin dikenal di Asia Tenggara bahkan telah menjalin hubungan dengan berbagai etnis antar negara. Pigafetta (1875) dan Forrest (1879) pun menguatkan laporan bahwa Maghellan menemui etnis yang mirip dengan Moro di Andalusia dan di saat bersamaan telah berkembang di Filipina. Walaupun hanya sepintas persamaan yang diberikan oleh keduanya, istilah Moro tetap melekat bagi penduduk Filipina hingga masa sekarang. Tidak mengherankan apabila etnis Moro tumbuh dan bertahan di kawasan niaga Asia Tenggara. Keberadaan mereka dikarenakan relasi dagang yang telah terjalin sebelum kedatangan Bangsa Eropa. Komunitas Moro di Filipina lebih identik dengan pengaruh ajaran agama Islam. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang berhasil dikonversikan menjadi Muslim setelah masuknya pengarus Islamisasi dari Malaka dan Sumatera. Berdirinya kekuatan politik yang disatukan dalam pola pemerintahan Kesultanan semakin memperjelas hubungan Moro- Nusantara. Misalnya saja ketika Kesultanan Mindanao dan Sulu menjalin relasi dengan pedagang dari Melayu dan Makassar. Proses Islamisasi ini terjadi melalui jalur pedagangan, dan kemudian sebagai salah satu cara pola untuk mengidentifikasi kelompok etnis di Asia Tenggara, termasuk kalangan pedagang yang disebutkan oleh Maghellan di Filipina sebagai etnis Moro. Bahkan sebelum berdirinya Kesultanan bercorak Islam di Mindanao dan Sulu, pengaruh Minangkabau telah mencapai daratan tersebut, hingga akhirnya mampu melakukan konversi ajaran animisme-dinamisme di Filipina Selatan. Dua utusan dari Minangkabau, Syarif Maulana dan Rajah Baginda disebut sebagai pembawa ajaran Islam untuk pertama kalinya di daratan selatan Filipina (Saleeby, 1908: 158). Hingga akhirnya pengaruh mereka dapat diterima oleh penguasa dan masyarakat lokal. Karena pengaruh Kesultanan Islam ini cukup besar di Filipina, maka Islamisasi terus mengalami perkembangan hingga berhasil mengislamkan suku-suku lokal di Filipina seperti Samal, Tausug, Mindanao, dan Maranao dan sekarang dikenal dengan Bangsamoro atau komunitas Muslim Moro Filipina. Begitupun dengan Azra (2013: 11) juga memberikan informasi bahwa jaringan ulama sempat berpengaruh di ke-Datu-an Sulu. Dia menyebutkan bahwa seorang ulama bernama Syarif Awliya’ Karim al-Makhdum di tahun 1380 pernah mengunjungi dan melakukan Islamisasi di bagian Selatan Filipina dan dirrekam sebagai leluhur dalam silsilah Kesultanan Sulu. Olehnya itu, hubungan Muslim Moro dan Nusantara bukanlah sebuah kebetulan, melainkan kesengajaan yang terjalin melalui dua proses: Islamisasi dan Perdagangan. Di sisi lain, sebutan “negeri bahari” untuk wilayah Asia Tenggara, terutama

9

Nusantara, adalah data awal untuk menunjukkan hubungan antara panjang Moro-Nusantara. Wilayah perairan Nusantara menjadi daerah yang paling sering dikunjungi oleh para pedagang Moro; Sulu dan Badjao. Aktifitas utama keduanya adalah membawa komuditas dagangan ke kawasan Selat Maluku untuk dibarter dengan rempah-rempah. Jaringan niaga di masa perdagangan rempah menjadi kunci keberhasilan diaspora orang-orang Moro ke Nusantara. Lalu lintas niaga yang ramai dan kebudayaan dari etnis Moro-Nusantara alat penyambung bagi keduanya. Di saat masa perdagangan rempah mencapai puncaknya daerah pheriferi Nusantara menjadi ladang terbuka bagi para pelaku niaga. Dan yang paling mudah untuk mendapatkan jejaknya adalah kelompok pelaut Bajau dari Filipina Selatan yang sampai sekarang mampu bertahan dan membentuk nukleus di sepanjang garis pantai Indonesia. Penyebaran mereka tidak terlepas dari gaya hidup mereka sendiri dan kemudian didukung dengan pola pelayaran serta perniagaan. Ketika jalur Islamisasi masih aktif hingga abad ke-19, mereka juga termasuk sebagai salah satu kelompok Muslim yang memperkenalkan ajaran Islam secara tidak langsung di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau oleh para muallim. Keaktifan mereka menjadi antiklimaks ketika terbentuk masyarakat yang aktif dalam melakukan diaspora, hingga memunculkan istilah baru sebagai kelompok “sea nomads”. Tema perompakan di Nusantara memiliki hubungan dengan perdagangan komuditas budak yang terjadi di abad XIX. Pemerintah Eropa menilai bahwa kapal pribumi yang berlayar dan membawa senjata dianggap sebagai “perompak”. Anggapan ini cukup tendensius bagi kalangan pelaut pribumi, terutama kelompok Moro. Walaupun demikian, perompakan tetap menjadi momok menakutkan di wilayah perairan Nusantara terutama bagi para pelaut Eropa. Masih bertahannya etnis Moro di sekitar wilayah Nusantara juga tidak terlepas dari kebutuhan Eropa akan budak. Budak merupakan komuditas baru yang diperdagangkan di abad ke-19. James Warren (1981) pernah melaporkan bahwa budak merupakan komuditas yang diperjual-belikan sejak abad ke-18 hingga akhir abad ke-19. Budak-budak tersebut diperoleh dari hasil perompakan yang dilakukan oleh para perompak di sekitar Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Keberadaan Kesultanan Sulu dan pergolakan politik antar penguasa lokal di Nusantara menjaga ketersediaan budak. Sulu yang terkenal sebagai golongan perompak di abad XIX menjadi salah satu daerah yang menyediakan komuditas budak untuk Eropa. Bahkan ketika budak menjadi komuditas buruan, para perompak Sulu tetap meninkgatkan perburuan budak dengan cara merompak. Budak menjadi salah satu pehubung jalinan antara

10

Moro-Nusantara. Perompak Moro menjadi penyedia budak utama bagi pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Budak-budak yang terkumpul kemudian dijual ke pasar internasional, terutama ketika pemerintah Eropa semakin membutuhkan tenaga untuk keperluan pembukaan lahan baru di sebuah daerah. Selain perompakan, Moro juga memperoleh budak dari penaklukkan daerah baru. Jadi dalam sejarah hubungan Moro-Nusantara terciptanya hubungan ini dikarenakan faktor sosial, ekonomi dan politik. Kawasan laut hanyalah sebagai wadah untuk menjalin hubungan yang ditunjukkan dalam keaktifan para pelaut dari Moro-Nusantara di jalur perdagangan rempah. Sebuah relasi yang yang pada kenyataanya menciptakan hubungan kebudayaan yang terbalut dalam memeory collective dua etnis ini hingga terbentuknya identitas kebangsaan di antara mereka. Dengan demikian, jika kita ingin menelisik lebih jauh lagi kita akan menemukan kesamaan sejarah dan hubungan genealogis yang cukup erat antara komunitas Moro dan masyarakat Nusantara di masa sekarang ini. Sebuah hubungan yang tidak dapat dipungkiri terbungkus rapi dalam relasi niaga dan kebudayaan seperti yang terjadi di daerah kawasan Laut Sulawesi sampai sekarang ini.

Moro-Nusantara: Sang Navigator dan Perantara Ulung

Moro pertama kali dikenal di daerah Andalusia sebagai orang laut yang berani menyebrangi wilayah Carthagena melalui Selat Gibraltar (Fitzgerald, 1905: 179). Salah seorang navigator ulung dari Mesir bernama Ibn Madjid (Meilink-Roelofz, 2016: 115) adalah orang Moro pertama yang memperkenalkan jalur pelayaran kepada Eropa melalui bandar Iskandariah, Mesir. Anggapan Eropa bahwa orang Moro adalah kelompok navigator ulung terus berlanjut hingga abad XVII dan XVIII. Mereka dianggap mampu memanfaatkan jalur laut dan darat sebagai jalur kuno untuk berdagang ke daerah-daerah lain yang dianggap memberikan keuntungan secara ekonomis bagi Eropa untuk menemukan daerah penghasil rempah. Akan tetapi pada kenyataanya, tidak hanya daerah penghasil rempah yang ditemukan oleh Eropa, mereka juga melihat keunggulan lain dari para pelaut Moro, termasuk di bidang perdagangan. Meskipun demikian, di masa awal pelayaran bangsa Eropa, tidak banyak catatan yang melaporkan bahwa keunggulan para pelaut Moro tidak hanya menjadi navigator, namun juga sebagai perantara perdagangan yang baik. Sebagaimana yang sempat terekam dalam catatan Emma Helen Blair dan James Alexander Robertson (1906: 14-15), The Philippine Island, vol. XVI, mengakui bahwa Etnis Moro di Filipina tidak hanya sebagai

11 kelompok yang pasif dalam perdagangan, tapi juga adalah kelompok paling aktif dalam dunia maritim, bahkan memiliki hubungan dengan masyrakat Nusantara Blair dan Robertson kemudian mengungkapkan keaktifan hubungan Moro-Spanyol- Belanda dalam bukunya:

“………. The Pirates of the Moros endanger the islands, and allow the Dutch to hope for alliance with them against the Spaniard; and the importance of the island to Spain is urged forcibly. ………. The Dutch fleet there sets out for Manila, and hearing in Mindanao of Silva’s death, they concert plans with the Moros for ravaging the Philippines…,” (Para perompak Moro membahayakan pulau-pulau yang ada di sekitarnya dan menjalin aliansi politik dengan pemerintah Belanda untuk melawan Spanyol; bahkan wilayah yang dikuasai direbutnya secara paksa…. Belanda membangun kekuatan di Manila dan mendengar kematian gubernur Silva di Mindanao dan kemudian berusaha menguasai Filipina secara utuh dari tangan Moro)

Data dari Blair ini sebenarnya menunjukkan kedudukan etnis Moro di Filipina yang cukup superioritas. Sebagai kelompok yang aktif pada pelayaran maritim, Moro juga menjadi penghubung politik antara Belanda dan Spanyol. Di samping itu juga, secara implisit Blair memperlihatkan bahwa etnis Moro di Filipina adalah ancaman tersendiri bagi pemerintah Eropa di Asia Tenggara, khususnya di Filipina dan Nusantara. Walaupun polemik dengan etnis Moro masih berlanjut, pemerintah Belanda dan Spanyol juga fokus pada komunitas pedagang baru yang berusaha masuk ke kawasan niaga Asia Tenggara. Inggris menjadi rival terberat bagi Belanda untuk memperkuat hegemoninya di Asia Tenggara. Laut Sulu, dan rute perdagangan dari Sulawesi menuju Maluku berusaha diperebutkan oleh keduanya karena kawasannya yang cukup strategis. Adanya celah kebijakan mare liberium yang pernah ditawarkan oleh Belanda dijadikan sebagai senjata untuk membangun hegemoni Inggris di Nusantara. Akibatnya, Inggris berhasil membuka Penang (1786) dan Singapura (1819) sebagai pelabuhan bebas, sedangkan Belanda membuka Makassar dan Tanjung Pinang (Singgih, 2012: 76), sebagai bandar bebas dalam rute perdagangan Nusantara. Namun pada hakikatnya justru Inggris-lah yang mendapatkan keuntungan lebih besar dari kebijakan mare liberium Belanda, karena Bandar yang dibangun oleh Inggris mampu meningkatkan pemasukan bagi mereka. Tercatat dari laporan Knapp menunjukkan adanya peningkatan aktivitas pelayaran antar pulau di akhir abad XIX hingga awal abad XX. Pelayaran antar pulau ini meningkat sebesar lima puluh persen dari pelayaran antar pulau di awal abad ke-19 yang hanya mencapai 5,5%, dan pada tahun 1911 laporan tersebut menjadi 7,6% (Gerrit Knapp dan Heather Sutherland, 2004: 22).

12

Data di atas pernah diformulasikan oleh Kobayashi (2013: 449) dalam sebuah tabel:

Tabel tersebut menunjukkan bahwa perdagangan antar pulau, intra-region, di abad ke-19 di antara kawasan Laut Sulu dan Nusantara cukup meningkat pesat. Selama 24 tahun terjadi peningkatan perniagaan yang memberikan cukup banyak keuntungan bagi Inggris. Namun di sisi lain Belanda mengalami kerugian yang cukup berarti. Keuntungan tersebut diterima dari bebasnya perdagangan antar pulau dan secara tidak langsung mengajak para pedagang pribumi untuk meningaktkan aktivias perniagaanya. Puncaknya ketika distrubusi komuditas terjadi di tahun 1852 dimana Inggris melalui Penang berhasil meningkatkan suplai komuditas ke Eropa hingga 20%. Perebutan hegemoni keduanya justru memberikan ruang gerak bagi pedagang pribumi di Nusantara. Dengan terbukannya empat Bandar bebas di perairan Sulu, Penang dan Singapura, aktifitas perdagangan dari bangsa Moro semakin meningkat pula. Begitu pula dengan para pedagang Nusantara ketika Makassar dan Tanjung Pinang dibuka oleh Belanda. Terbukanya empat Bandar ini secara tidak sengaja dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pelaut pribumi. Bagi kalangan pribumi yang tidak terlalu terikat dengan relasi politik, mereka dengan bebas menjalani kehidupan sesuai dengan kebiasaannya, seperti yang dilakukan oleh orang laut yang tersebar di Nusantara. Keberadaaan kelompok masyarakat yang hidup di pesisir laut adah bentuk diaspora daerah pembukaan pelabuhan baru oleh pemerintah Eropa.

13

Di sudut pandang lain ketika mare liberium berhasil diterapkan, pelayaran antar pulau memiliki efek positif bagi pelaku dagang di Nusantara. Para pedagang Nusantara memiliki peran ganda dalam proses perdagangan maritim ini. Mereka bisa berperan menjadi navigator bagi kapal-kapal asing, namun ada pula yang menjadi pedagang penjaja, paddler, untuk ketersediaan komuditas rempah. Kelompok yang paling sering menjadi navigator dan pedagang penjaja adalah pedagang dari etnis Bugis-Makassar. Middle man digunakan sebagai salah satu alat untuk mempermudah distirbusi komuditas dagangan ke bandar baru atau kawasan niaga lainnya di Asia Tenggara. Dari sistem ini hubungan antar etnis terlihat ketika terjadi komunikasi untuk membentuk sebuah jejaring baru. Salah satu contoh dari penggunaan middle man yang berhasil adalah ketika kelompok etnis Bajau yang telah menetap di pesisir Barat Sulawesi Selatan mampu memperkuat posisinya. Mereka kemudian berbaur dengan penduduk setempat yang kemudian memunculkan istilah turijene6. Begitupun dengan pedagang Bugis-Makassar yang menjadi middle man di beberapa bandar besar di Nusantara yang juga melakukan hal serupa.Kedua etnis ini menjadi contoh kecil yang menyukseskan sistem lain di masa niaga yakni commenda. Lapian (2009: 80) kemudian menunjukkan benang merah antara middle man dan commenda dengan penggunaan kapal sederhana untuk mengantarkan komuditas barang dagangan ke daerah Bandar besar di Jawa dan Sumatera. Peran pedagang perantara cukup terasa di sekitar laut Sulu dan Sulawesi. Cina pernah membawa beberapa pedagang dengan sistem commenda ke Sulu melalui jalur Laut Sulu dan Laut Sulawesi yang meningkatkan aktivitas perdagangan di kedua daerah tersebut. Tercatat di tahun 1811, sebuah junk kecil mampu melakukan ekspor beras dan beberapa kebutuhan pokok ke Sulu (Warren, 1981: 57) melalui jalur pelayaran laut Sulu dan Sulawesi, bahkan mereka juga melakukan pertukaran peralatan senjata. Akan teteapi pada tahun 1836, perdagangan tersebut meningkat menjadi perdagangan yang menghubungkan Maluku-Jolo- Manila yang melakukan transaksi beberapa komuditas penting yang dibutuhkan (Warren, 2007: 306-308). Tembakau, Gula, beras, kopra, kelapa, dan minyak menjadi barang yang tidak terpisahkan dari hubungan dagang tersebut. Menariknya, tembakau, kopra dan kelapa serta minyak yang dijadikan sebagai alat transaksi diperloleh dari hasil kerja orang-orang yang berasal dari daratan Sulawesi. Pelayaran dan perdagangan dari kelompok etnis Melayu, Jawa, Makassar, dan Bugis yang dapat membangun pemukiman sementara di sekitar pesisir selatan Sumatera, sedangkan

6 Turijene atau Turijene artinya sekelompok orang yang menggantungkan hidupnya di laut.

14 para pedagang Bugis-Makassar membentuk komunitas yang berpengaruh di Kalimantan, Ternate, hingga Nusa Tenggara, serta pedagang Melayu yang aktivitas perdagangannya cukup tinggi memiliki komunitas-komuntas kecil di sepanjang garis pantai di Indonesia. Tidak terkecuali dengan masyarakat Moro di Filipina yang di wakili oleh suku-suku laut mereka. Bajau, Illanus, Balangingi, dan Sangil pun memanfaatkan jalur yang sama untuk menyebar ke beberapa daerah yang di wilayah pesisir Nusantara. Akibatnya, terciptanya kampung-kampung yang beridentitas etnis di abad ke-20 pun semakin menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok aktif melakukan pelayaran antar pulau hingga aktivitas perdagangan. Walaupun demikian diaspora mereka tidak terlepas dari pengaruh politik orang Eropa yang berusaha menemukan daerah baru di abad ke-18 dan ke-19. Keadaan ini disadari betul oleh pemerintah Eropa sebagai sebuah kerugian besar karena para pedagang dan pelaut pribumi tetap menjalin relasi. Karena tidak ingin menerima kerugian yang cukup besar, kekuatan Eropa mampu memanfaatkan pengetahuan orang-orang laut untuk melakukan perdagangan antar pulau. Pemerintah Eropa mulai merekrut pelaut pribumi yang diperoleh dari hubungan politik dengan penguasa lokal maupun dari pembelian budak. Tindakan ini untuk menjaga ritme perdagangan Eropa di perairan Nusantara, sehingga pelayaran antar pulau bahkan pelayaran internasional mampu memberikan keuntungan secara ekonomis. Di kawasan Sulu, daerah ini telah memberikan cukup banyak keuntungan kepada Inggris. Pedagang Cina dan Bugis mendirikan gudang kecil di kawasan tersebut sebagai tempat menyimpan komuditas dagang yang kemudian dijual kembali kepada Inggris. Komuditas yang terkumpul ditukarkan dengan tekstil milik Inggris, terutama dari hasil penangkapan tripang, kerang, kelapa, dan rotan (Warren, 1981: 42-43). Pedagang Moro dan Nusantara kemudian dihubungkan dengan relasiberdasarkan identitas kesukuan yang terjalin. Moro diwakili oleh para pedagang dan perompak dari Sulu dan Badjao, sedangkan Nusantara diwakili dengan pelaut dan penyuplai rempah-rempah dari Bugis-Makasar dan Melayu. Tujuan ini dilakukan oleh imprealis Eropa agar terjadinya pengkotak-kotakan identitas. Padahal masyarakat Moro-Nusantara yang dulunya hanya dikenal dengan pelaut Nusantara oleh para pedagang Arab, Persia dan Cina. Hal ini jelas terasa bagi komunitas Moro dan Nusantara. Komunitas Moro harus terpecah menjadi tiga belas7 etnis yang mendiami daratan Filipina. Dan Komunitas Nusantara

7Ketiga belas kelompok tersebut adalah Kalagan (Davao); Sanguil (Cotabato dan Davao del Sur); Manguindanao (Cotabato); Iranus (Coastal Area of Cotabato, Lanao del Sur, Zamboanga del Sur); Maranaos (Lanao); Kolibugans (Zamboanga); Yakans (Basilan); Tausug, Samas, dan Badjaos (Sulu Archipelago,

15 yang aktif di masa perniagaan dan perdagangan harus terpecah menjadi beberapa kelompok etnis yang didasarkan pada letak geografis dan kebudayaan yang mempengaruhinya.Akan tetapi mereka kemudian disatukan pada satu isitlah seanomads oleh Sopher hal inilah yang dapat dijadikan sebagai pengantar bahwa terciptanya kelompok identitas di Asia Tenggara, khususnya di Filipina, berimplikasi pada hubungan pembentukan sejarah Filipina-Indonesia dimana Laut Sulawesi menjadi penghubungnya, namun pada masa modern menjadi daerah border untuk kedua negara.

Border Sea: Arena pertemuan Moro-Nusantara di abad XX

Hubungan Moro-Nusantara di Laut Sulu semakin jelas ketika penduduk suku laut, seanomads, mulai dapat diidentifikasi persebarannya pada abad ke-20 (Sopher: 1977). Para akademisi memulai dengan folklore dan kebudayaan yang berkembang. Hubungan saling mempengaruhi dan dipengaruhi adalah kunci dari terjalinnya sebuah relasi antar bangsa. Kebudayaan dan tradisi adalah salah satu langkah awal untuk menunjukkan pola persamaan antara etnis, khususnya di Asia Tenggara. Salah satu langkah yang paling mendekati adalah identifikasi bahasa dan tradisi lisan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.8 Misalnya saja ketika penggalian panjang mengenai sejarah terbentuknya masyarakat Badjao yang tersebar di kawasan Nusantara. Mereka tidak sekedar sebagai pendatang ke daerah baru, namun juga ikut berbaur dengan penduduk lokal sebagai bagian dari cara hidup mereka. Perubahan pola hidup mereka terlihat ketika memunculkan pemukiman-pemukiman sederhana atau dari kehidupan nomaden ke sedentary di beberapa daerah sepanjang garis pantai Nusantara (Sopher, 1977: 363). Dalam proses sejarah, keaktifan mereka sebagai pelaut di abad ke-18 berdampak positif dengan menjadi komunitas yang dibutuhkan oleh para pelaut asing. Menjelang abad ke-19, relasi semakin menguat antara pelaut Moro dan Nusantara di beberapa bandar di Asia Tenggara. Keahlian dua komunitas ini dalam berlayar secara silih berganti menjadi pilihan kapal asing untuk mengarungi lautan Nusantara. Mereka tidak hanya digunakan sebagai kelasi kapal, namun beberapa di antara mereka dijadikan sebagai navigator dan nahkoda kapal milik kekuatan asing. Di saat budak menjadi komuditas baru, dua komunitas ini

Zamboanga, South Palawan, Davao); Jama Mapung (Cagayan de Sulu, South Palawan); The Palawanons; dan Molbogs (Southern Palawan). Macapado A. Muslim, “The Moro Armed Struggle in the Philippines: the Nonviolent Autonomy Alternative”, (Hawaii: University of The Hawaii, 1990), hlm 61-62. 8 Misanya ketika Folklore mengenai hubungan masyarkat Bajo yang tersebar di daerah pesisir Pulau Sulawesi. Kedatangan Bajo di Sulawesi, terutama di Sulawesi Selatan dan Gorontalo sekarang, dipercaya berasal dari hilangnya puteri raja hingga para tentara kerajaan mencarinya sampai ke Pulau Sulawesi.

16 menjadi pemasok budak untuk keperluan pemerintah Eropa, walaupun budak yang dipasok adalah orang-orang mereka sendiri. Namun pada akhirnya mereka harus terpisah karena adanya pembentukan negara modern oleh pihak asing yang memaksa untuk “menciptakan” identitas baru. Penciptaan identitas ini kemudian tidak menjadi persoalan untuk memutuskan hubungan di antara Moro- Nusantara, karena mereka tetap menjalin hubungan di daerah “border sea” dengan ketentuan yang diberikan oleh pihak kolonialis Eropa. Heartsea yang ditawarkan oleh Hall (2011) dan Lapian (2009) menjadi titik baling hubungan antar daerah dan pulau di masa pelayaran dan perdagangan di Nusantara. Heartsea bermanfaat sebagai jalur penghubung efektif sebagai kawasan untuk mengembangkan proses perniagaan dan perdagangan rempah. Bagi kawasan timur Nusantara, Laut Sulawesi digunakan sebagai kawasan heartsea (Lapian: 2009). Pendapat di atas bukanlah sebuah hal yang melebih-lebihkan jika peniliaian batas wilayah maritim sebuah daerah ditentukan oleh seberapa besar pengaruh kawasan perniagaan di masa lalu. Bahkan terbentuknya aturan archipel state principle yang dikeluarkan oleh Belanda terpengaruh atas penetapan kawasan heartsea di wilayah Asia Tenggara hingga pertengahan abad ke-20. Terlepas dari hegemoni kapal uap milik Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschapij (KPM), Laut Sulu dan Laut Sulawesi merupakan dua derah terbuka yang menampung semua aktivitas perdagangan masyarakat dari berbagai daerah, terutama Moro- Nusantara. Kawasan Laut Sulu dan Sulawesi semacam daerah pheriferi yang menciptakan pola pelayaran kecil antar pulau-pulau kecil di sepanjang jalur Moro-Nusantara. Pelayaran ini menggunakan perahu sederhana milik pribumi yang mudah menjangkau setiap daerah yang tidak dapat dilalui oleh kapal uap dan motor pabrikan eropa. Di samping itu, kapal sederhana tersebut juga sangat fleksibel untuk digunakan, karena hanya menggunakan tenaga angin dan alam untuk menemukan sebuah daerah. Kapal layar sederhana di atas masih digunakan oleh pelaut pribumi sebagai alat transportasi pengangkut komuditas barang dagangan dengan muatan kecil. Namun kekurangan dari kapal layar adalah pada pemanfaatan teknologi yang masih menggunakan alam sebagai alat penggeraknya, di samping tenaga manusia. Perahu-perahu sederhana milik pribumi berlayar sesuai keadaan cuaca dan musim angin. Di kawasan Indonesia timur misalnya, ketika angin timur tiba maka lalu lintas perdagangan di sekitar laut Sulu dan Laut Sulawesi ramai diisi oleh perahu pribumi, namun ketika angin barat tiba, perahu-perahu tersebut harus beristirahat hingga menunggu cuaca angin timur tiba. Mansvelt pernah mencoba untuk mengklasifikasikan perbedaan keuntungan dari

17 pemanfaatan kapal pribumi dengan kapal uap milik pemerintah Hindia Belanda. Dari data yang telah dikumpulkannya dia sendiri berkesimpulan bahwa kapal uap dan motor bukanlah ancaman bagi pedagang pribumi untuk tetap mendapatkan keuntungan dari perdagangan komuditas, di satu sisi keberadaan kapal uap tidak menyurutkan aktifitas niaga pribumi di Nusantara (Mansvelt, 1926: 10). Justru dari keberadaan kapal layar peningkatan hubungan yang terjalin lama melalui perdagangan bebas antar pulau semakin terlihat ketika daerah- daerah yang tidak dapat dijangkau oleh kapal uap dan bermotor dapat dijangkau oleh kapal sederhana. Jangkauan ini tidak hanya sebatas yang hanya perpindahan komuditas rempah semata, namun juga menjalin dan hubungan lintas etnis dan negara. Di saat negara-negara Eropa berusaha memperkuat posisinya di Nusantara pada awal abad ke-19, justru rencana tersebut harus berubah. Gejolak identitas lokal untuk memerdekakan diri mulai terlihat. Karena mereka berfikir dengan kedatangan bangsa eropa, memberikan efek negatif, salah satunya dengan eksplorasi hasil alam secara besar-besaran (Hall, 1988: 682). Tindakan perompakan kapal milik pemerintah asing adalah salah satu cara penolakan penduduk pribumi. Sebagaimana yang dilakukan oleh komunitas Balangingi dan Ilanun di kawasan Laut Sulu dan Laut Sulawesi, walaupun tidak secara langsung menunjukkan benih-benih kesadaran nasional, namun tindakan ini cukup berhasil untuk melepaskan diri dari pengaruh kolonialisme Eropa yang selama ini menjajah daerah-daerah di Asia Tenggara. Di awal tahun 1900-an kapal-kapal pribumi di antara Laut Sulu dan Laut Sulawesi semakin intens dalam pelayaran. Salah satu sub-etnis Moro, Balangingi, masih menjadi pelaut aktif hingga abad ke-20 yang beroperasi di kawasan Teluk Tomini dan Laut Sulawesi bagian Selatan hingga ke kawasan Laut Banggai. Lintasan niaga etnis Balangingi, dan juga Badjao, tidak pernah berubah di sekitar Laut Sulu dan Laut Sulawesi, karena daerah tersebut adalah kawasan yang ramai untuk melakukan perompakan dan penangkapan budak (Warren, 1981: 41). Selain Balangingi yang aktif, terdapat juga kawanan pelaut Sanguil yang menjalankan aktivitas pelayaran di kawasan laut Sulawesi dan lebih memfokuskan pada kawasan selatan Filipina, hingga daratan Sangihe dengan tujuan pulau-pulau kecilnya yang belum tereksplore. Kawasan laut Sulawesi memang menjadi primadona tersendiri untuk penduduk Filipina Selatan. Hal ini terlihat dari hubungan Filipina dengan wilayah terdekat dengannya, Kepulauan Sangihe-Talaud, di mana hubungan interaksi dua arah terjadi. Menurut tradisi lisan keberadaan masyarakat di daratan Sangihe tidak terlepas dari pengaruh yang berasal dari daratan selatan Filipina, begitupun sebaliknya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

18 seorang informan yang pernah lama menetap di daerah General Santos menyatakan bahwa orang-orang Sanguil di Filipina Selatan mempercayai bahwa terdapat hubungan kekerabatan dengan masyarakat Sangihe.9 Pola patronase juga terlihat dari hubungan Filipina Selatan dan Sangihe dimana masyarakat Sangihe, perbatasan Indonesia-Filipina, beranggapan bahwa pemerintahan pertama di daratan Sangihe dipercaya berasal dari salah seorang keturunan Datu di Filipina. Terungkapnya hubungan kekerabatan antara masyarakat di Kepuluan Sangihe dan Filipina Selatan tidak terlepas dari memory collective masyarakat Sangihe yang mempercayai bahwa Gumansalangi, Madellu, disebut-sebut sebagai salah satu keturunan Datu di Filipina Selatan (Hayase dkk.: 1999).

Indonesia-Filipina: Kisah Sejarah Yang Tak Terlupakan

Hubungan di abad ke-20 lebih kompleks lagi antara masyarakat Nusantara dan Moro di Filipina. Relasi yang terjalin lama kini telah menjadi bagian dari kisah sejarah untuk Moro dan Nusantara. Istilah “negeri bahari” di kawasan Asia Tenggara adalah arti penting untuk menggali kembali kisah-kisah sejarah untuk masyarakatnya. Persamaan sejarah yang terekam jelas dari memory collective masyarakat sampai sekarang pun masih teringat dan sering dihubungkan dengan kondisi di masa lampau. Di saat Nusantara dan Filipina berusaha melepaskan diri dari belenggu kolonialis dan imprealis Bangsa Eropa, perjuangan mengangkat senjata tidak cukup untuk mengalahkan mereka.Namunketika kebijakan politk etis dikumandangkan oleh pemerintah Hindia Belanda di Nusantara pada awal abad ke-20, dan pecahnya perang Moro, Moro Rebllion, 1898-1903 menjadi awal balik pergerakan masyarakat Asia Tenggara, terutama Nusantara dan Filipina. Munculnya kesadaran penduduk pribumi untuk memperjuang tanah mereka adalah salah satu bukti bahwa kesewanang-wenangan imprealis asing merupakan tindakan yang memarjinalkan. Di saat Filipina berhasil diakuisisi oleh Amerika dari tangan Spanyol, terjadi kesenjangan yang meningkat di Filipina, sedangkan di Indonesia Pemerintahan Belanda justru memberikan ruang gerak kepada penduduk pribumi yang terpelajar. Pecahnya identitas Moro menjadi tiga belas kelompok etnis Moro yang mendiami daratan Filipina adalah akibat dari kesenjangan sosial dan ketimpangan sejarah. Dan di Indonesia gerakan kalangan terdidik

9 Data ini diperoleh dari wawancara yang dilakukan kepada salah seorang mantan petinju dari Sangihe, Indonesia, yang berkarir di Balut-Sanranggani dan General Santos, Filipina Selatan yang berinisial FRS pada akhir tahun 2014.

19 menjadi titik balik untuk memerdekakan diri. Jika di Filipina pengaruh Datu kuat untuk melepaskan diri dari kekuatan asing, di Indonesia kalangan terpelajarlah yang memulainya. Persamaan lain juga terjadi di daerah pheriferi antara Indonesia-Filipina. Kisah sejarah Moro-Nusantara berlanjut pada aspek sosial-kultural dan politik di masyarakatnya. Mereka yang telah mendapatkan kemerdekaan kembali menjalin relasi melalui pembentukan Negara modern dan batas-batas wilayah kekuasaan. Di tahun 1939, muncul undang-undang Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie1939, pasal 1 ayat 1 (Staatblad, 1939: 422) yang bertujuan membatasi wilayah geografi laut Nusantara yang di klaim oleh Belanda. Undang-undang tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena wilayah belanda sebelum adanya kemerdekaan “tidak jelas” batasannya. Peraturan ini kemudian diperbarui kembali pasca kemerdekaan melalui Zona Ekonomi Ekslusif di tahun 1946 oleh dewan PBB, UNCLOS. Zona ini terbit karena daerah yang pernah menjadi daerah jajahan kolonial telah merdeka, hingga hak-hak pencaplokan wilayah tidak lagi berlaku. Oleh karena itu, tapal batas memang sengaja “diciptakan” untuk kepentingan negara yang telah merdeka dan mendapatkan pengakuan dari PBB. Akibatnya memunculkan daerah tapal batas atau border yang membatasai wilayah teritorial sebuah Negara modern. Di masa-masa pelayaran niaga lintas batas semakin ramai melalui jalur nenek moyang, masyrakat yang menetap di daerah border sea memanfaatkan keadaan tersebut. Pertumbuhan usaha industri perkebunan kopra semakin meningkat dan diikuti dengan industri perikanan terutama di daerah daratan Minahasa, Sangihe, dan Talaud yang terkenal dengan salah satu penghasil kopra terbaik di Nusantara. Sejalan dengan peningkatan indsutri perkembangan kopra inilah, di Selatan Filipina, terutama setelah pembukaan daerah kawasan General Santos, kopra-kopra Minahasa, Sangihe, dan Talaud di ekspor ke sana untuk diolah. Kebutuhan akan bahan makanan pokok menjadi salah satu faktor penghubung terciptanya kembali hubungan antara penduduk Indonesia-Filipiana. Masyarakat di perbatasan Laut Sulawesi masih menggunakan sistem barter dimana tripang dan hasil laut yang diperoleh ditukarkan dengan sagu atau beras serta ubi untuk lebih menghemat pengeluaran lagi (Sopher, 1977: 132). Pertukaran ini melibatkan dua etnis, Sangihe, Indonesia, dan Filipina. Tidak hanya sampai di situ, tumbuh pula pabrik-pabrik pengolahan kopra di Selatan Filipina yang mampu menarik tenaga kerja dari Minahasa, Sangihe, dan Talaud. Terbukti ketika beberapa pedagang, dan bahkan pemilik modal, dari Mindanao Selatan berusaha datang ke Sangihe dan Talaud untuk menemukan perkebunan kopra demi kepentingan usaha mereka di Mindanao. Mereka juga diantar oleh para pekerja yang berasal dari Sangihe dengan

20 membawa kebutuhan pokok, beras dan jagung, untuk dibarter dengan kopra dan hasil laut (Ulaen, 2002: 161-165). Akan tetapi paska kemerdekaan, lalu lintas niaga tradisional ini semakin terbatasi. Pemerintah Indonesia membuat kebijakan dengan menerbitkan undang-undang wilayah tapal batas antara pemerintah Filipina untuk meminimalisir terjadinya tindakan illegal. Pemerintah Indonesia dan Filipina menandatangi sebuah kesepakatan Border Crossing Area atau daerah lintas-batas yang menyebabkan semakin surutnya penggunaan jalur nenek moyang tersebut. Seteah kesepakatan Border Crossing Area terjadi, muncul kesepakatan baru lagi bagi masyarakat yang ingin melintas dari Sangihe ke Filipina Selatan, begitupun sebaliknya. Mereka harus melewati check point penjagaan untuk diperiksa terlebih dahulu sebelum menyebrang ke Filipina atau masuk ke daerah Indonesia. Pengecekan ini bertujuan agar barang-barang terlarang tidak mudah memasuki daerah Indonesia, dan juga untuk kepentingan kepabeanan. Lalu lintas perniagaan antara masyarakat Indonesia yang diwakilkan dengan penduduk Sangihe masih terjadi di Filipina, begitupun sebaliknya. Mereka beranggapan tidak ada “batas” yang dapat memisahkan kedua wilayah ini. Hubungan yang terjalin cukup lama antara masyarakat Sangihe dan Filipina Selatan menciptakan sebuah jalur yang menghubungkan Indonesia-Filipina. Sebuah jalur tradsional yang dapat ditempuh dengan perahu sederhana oleh orang Sangihe dan Filipina Selatan. Mereka menyebutnya sebagai “jalur nenek moyang”. Jalur ini merupakan jalan penghubung yang masih terjaga sampai pertengahan abad ke-20, bahkan masih digunakan sebagai jalur niaga yang mengantarkan kopra. Puncaknya ketika terjadi pejanjian Border Crossing Agreement, perjanjian lintas batas, antar Indonesia dan Filipina paska kemerdekaan di tahun 1965. Setelah adanya perjanjian tersebut, segala aktivitas perdagangan yang terjadi di Laut Sulawesi yang tercipta sejak lama harus dikatakan sebagai sebuah tindakan illegal. Dan apabila memenuhi persyaratan yang tertuang dalam perjanjian lintas batas, maka aktivitas dikatakan legal. Tetapi masyarkat pheriferi tidak mempersoalkan mengenai “legal dan illegal” yang mereka tahu hanyalah relasi yang telah diwariskan oleh nenek moyang tetap terjalin dan berlanjut, hingga pada akhirnya tercipta istilah “jalur nenek moyang”. Jalur yang sampai sekarang masih terjaga keberadaanya karena kedekatan memory collective dan pewarisan sejarah turun temurun. Di tahun 1971, perjanjian lintas batas kembali diperkuat dengan perjanjian lainnya yang mengatur perdagangan antar daerah perbatasan. Pengaturan ini bukan tanpa sebab, namun pengaturan ini lahir karena pertukaran barang tidak lagi sebatas barter semata, melainkan sudah menggunakan uang sebagai alat tukar modern. Produk perdagangan tidak

21 lagi hanya sebatas pertukaran hasil bumi, namun telah menjadi transaksi jual-beli barang yang diproduksi secara missal oleh sebuah perusahaan. Hubungan yang terjadi melalui aktivitas perdagangan sederhana berubah menjadi sistem jual-beli antara pembeli dan penjual mengakibatkan “bocornya” beberapa barang yang harusnya melalui proses bea-cukai, seperti rokok. Tidak hanya sampai di situ, ketika memasuki tahun 1990-an ekspor-impor sederhana ini menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat di perbatasan Indonesia-Filipina yang secara tidak sadar mempengaruhi dan merugikan pendapatan kedua negara. Meskipun demikian, praktek perjanjian ini tidak menyurutkan aktivitas perniagaan yang dianggap “illegal” di daerah border sea Indonesia-Filipina. Memasuki akhir abad ke-20, hubungan Indonesia-Filipina semakin menguat. Kelompok komunitas marginal setelah berdirinya Negara modern cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah kedua Negara Indonesia-Filipina, lebih khusus lagi bagi kalangan Moro. Kelompok-kelompok marginal yang mayoritas berasal dari Filipina Selatan mendirikan sebuah pergerakan yang didasari pada pemikiran politik keagamaan dengan membentuk MNF, Moro National Federation. Pada awalnya gerakan ini untuk mengembalikan kebebasan bangsa Moro setelah hilangnya pengaruh Amerika dari Filipina. Namun pada kenyataanya, MNF tidak dapat menjadi wadah baik bagi kalangan Moro yang berorientasi pada keagamaan penuh, dan pada akhirnya terpecah menjadi dua kubu MNLF, Moro National Liberation Front, dan MILF, Moro Islamidc Federation Front. Kedua kubu ini memiliki orientasi berbeda dengan subjek yang sama yakni dukungan dari penduduk Moro. Manifesto kedua gerakan ini hanyalah sebagai wadah untuk bangsa Moro, akant tetapi menjelang akhir abad ke-20, MILF bentukan Hashim Salamat, justeru menjadi kelompok “pemberontak” yang menginginkan Negara Islam berdiri di Filipina.Kelompok MILF ini kemudian menjalin kerjasama dengan beberapa gerakan Islam lainnya yang tersebar di Asia Tenggara, terutama Jamaah Islamiyah yang didirikan oleh Abu Sungkar. Batasan wilayah laut menjadi permasalah utama dalam pembentukan batas-batas daerah di Asia Tenggara, terutama Indonesia dan negara tetangganya. Batas-batas wilayah yang disetujui berdasarkan kontrak perjanjian menyebabkan polemik yang cukup panjang untuk sebuah negara modern. Beberapa perjanjian yang dilakukan oleh bangsa asing di koliniaisme untuk wilayah Asia Tenggara setelah terbentuknya negara modern. Salah satu perjanjian yang berakibat panjang di wilayah perairan Asia Tenggara adalah Traktat London yang terjadi sebanyak empat kali selama masa kolonialis Eropa di Asia Tenggara. Sebuah hasil nyata dari traktat London adalah hegemoni jalur niaga strategis di Malaka, Singapura, Aceh, dan Bandar-bandar ramai yang menjadi daerah “batas” wilayah kekuasaan Inggris dan

22

Belanda yang kemudian Amerika Serikat memiliki pengaruh pada awal abad ke-20. Sepotong kisah di atas dapat menunjukkan kepada kita bahwa hubungan Moro- Nusantara telah terjalin begitu lama. Laut Sulu dan Laut Sulawesi menjadi kawasan penghubung yang diakui oleh kelompok penduduk lokal di sangihe. Bahkan istilah Sulu Zone yang diperkenalkan oleh warren dan Kawasan laut Sulawesi oleh Lapina menunjukkan persamaan pola yakni tradisi maritime. Lebih jauh lagi, warren menyebutkan bahwa dua kawasan daratan yang ada di Laut Sulawesi, Sangihe dan Talaud, merupakan zona perdagangan dan pengumpulan budak yang dilakukan oleh perompak Sulu. Dengan demikian, hubungan Indonesia-Filipina, yang pada awalnya adalah hubungan niaga di masa perdagangan maritime, kini telah berubah sejak terciptanya daerah Border. Sebuah daerah yang diciptakan untuk memisahkan dua identitas bangsa yang sebenarnya memiliki sejarah yang sama, bahkan dari satu kisah sejarah. Kisah sejarah yang berawal dari kebudayaan dan negeri bahari dan berkembang menjadi hubungan bilateral dua negara bangsa. Padahal warisan sejarah yang terjadi antara Indonesia dan Filipina merupakan satu-kesatuan yang terikat dalam wacana negeri bahari dan memory colletive.

Kesimpulan

Keberadaan Moro di perairan Nusantara tidak terlepas dari proses perdagangan rempah dunia di masa lalu. Meskipun tidak ada yang mengetahui tahun pasti kedatangan etnis Moro di kawasan niaga Nusantara, namun mereka dipercaya telah eksis lebih dahulu melalui jalur perdagangan kuno. Etnis Moro semakin terkenal ketika Andalusia menjadi daerah taklukkan umat Islam, terutama di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah II. Mereka adalah salah satu kelompok yang setia pada ajaran Islam hingga kehancuran Andalusia di tahun 1492. Moro menjadi salah satu etnis yang aktif di Nusantara di masa perniagaan maritim. Ketika kekuataan Eropa berusaha mendominasi jalur perdagangan, salah seorang muallim Muslim dari etnis Moro, Ibnu Madjid, dijadikan sebagai navigator kapal untuk Portugis ke Timur Jauh. Puncaknya ketika perebutan hegemoni Portugis-Spanyol di perairan Nusantara yang memperebutkan Maluku di abad ke-16. Di abad ke-17, ketika kekuatan Eropa sudah berdiri kokoh di kawasan niaga Asia Tenggara, etnis Moro menjadi salah satu kelompok yang memegang pengaruh untuk hubungan kekuatan Eropa di kawasan Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Proses Islamisasi menjadi salah satu penghubung antara komunitas Moro dan

23

Nusantara. Proses ini berjalan karena faktor perdagangan dan politik yang berkembang. Penguasa-penguasa lokal di kawasan Asia Tenggara yang berusaha menanamkan pengaruhnya melalui konversi agama secara massal ternyata memberikan hasil positif, terutama bagi Moro. Berdirinya Kesultanan Sulu tidak terlepas dari hubungan pengaruh ulama dan utusan dari Sultan Minangkabau, Nusantara, untuk memperluas wilayah kekuasaanya. Ternyata hubungan ini berdampak panjang pada jalinan komunitas pedagang Moro-Nusantara. Tidak hanya sampai di situ, keberadaan Moro di sekitar kawasan niaga perairan Nusantara juga mempengaruhi pola peniagaan dan pelayaran para pedagang Nusantara. Salah satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah terbentuknya etnis-etnis kecil yang merupaka pecahan dari komunitas Moro di Filipina. Mereka adalah etnis Badjao dan Balangingi yang termasuk dalam salah satu kelompok aktif dalam pelayaran di abad ke-19. Memasuki abad ke-20 di saat negara-negara modern mulai tercipta hubungan etnis Moro-Nusantara semakin menguat. Kawasan perbatasan yang tercipta akibat dari terbentuknya negara modern Moro-Nusantara atau Filipina-Indonesia dijadikan sebagai melting point, lebih khusus di kawasan Laut Sulawesi. Kawasan perbatasan laut, bordersea, antara Indonesia-Filipina menjadi daerah “perantara” yang menghubungkan kembali Moro- Nusantara di masa lalu. Salah satu penghubung keduanya adalah collective memory dimana seorang tokoh bernama Gumansalangi menjadi aktor penyambung antara Indonesia-Filipina di kawasan perbatasan Laut Sulawesi.

24

DAFTAR PUSTAKA

Staatblad. 1939 No. 422.

Amal, M. Adnan, 2010. Portugis dan Spanyol di Maluku, Jakarta: Komunitas Bambu.

Andaya, Leonard Y., 2015. Dunia Maluku Indonesia Timur Pada Zaman Modern Awal, terj. Septian Dhaniar Rahman, Yogyakarta: Ombak.

Ayyad, Ahmad. 2016. Moors in Madrid, UK: London School of Economics.

Aza, Azyumardi, 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana.

Basit, T., 1997. Eastern Values; Western Milieu: Identities and Aspirations of Adolescent British Muslim Girl, Aldershit: Ashgate.

Blair, Emma Helen dan James Alexander Robertson, 1906. The Philippine Islands 1493- 1898, Vol. XVI 1620-1621, Cleveland, Ohio: The Arthur H. Clarck Company.

Dunn, Ross E., 2015. Petualangan Ibnu Batutah: Seorang Musafir Muslm Abad Ke-14, terj. Amir Sutaarga, Cet. Ke-2, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Fitzgerald, Sybil, 1905. Track Of the Moor: Sketch in Spain an Northern Africa (London: J. M. Dent & Company).

Forrest, Thomas. 1879. AVoyage to New Guinea and the Moluccas, from Blambangan Including an Account of Magindanao, Sooloo and others Islands, Dublin: Printed by for Meffirs, Price W. and H. Whitstone etc.

Hall, D. G. E., 1975. Sejarah Asia Tenggara, Surabaya: Usaha Nasional.

Hall, Kenneth R., 2011. A History of Early Southeast Asia: Maritime Trade and Societal Development, 100-1500, United Kingdom: Rowman and Littlefield Publisher, Inc.

Hitti, Philip K., 2006. History of the Arab, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta

Jerry H. Bentley, Renate Bridenthal, Kären E. Wigen (éds.), 2007. Seascapes: Maritime Histories, Littoral Cultures, and Transoceanic Exchanges Honolulu: University of Hawai'i Press.

Knapp, Gerrit dan Heater Sutherland, 2004. Monsoon Traders: Ship, Skipper and Commodities in eighteenth-Century Makassar, Leiden: KITLV.

Lapian, A. B., 2009. Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Jakarta: Komunitas Bambu.

25

Love, Ronald S., 2006. Maritime Exploration in the Age if Discovery, 1500-1800, USA: Greenwood Publishing Group. van Leur, J. C., 2015. Perdagangan dan Masyarakat Indonesia: Esai-esai Tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia, Terj. Bondan Kanumoyoso, Yogyakarta: Ombak.

Mansvelt, W. M. F., 1926. Geschidenis van de Nederlandsche Handel-Maatschappij 1824- 1924, Amsterdam: Nederlandsche Handel-Maatschappij.

Meakin, Budget, 1899. The Moorish Empire a Histrical Epitome, London: Swan Sonnenschein& Co., Lim.

Meilink-Roelofz, M. A. P., 2016. Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara: Sejarah Perniagaan 1500-1630, terj. Tim Komunitas Bambu, Jakarta: Komunitas Bambu.

Muslim, Macapado A., 1990. “The Moro Armed Struggle in the Philippines: the Nonviolent Autonomy Alternative”, Hawaii: University of the Hawaii.

M. Non, Domingo, 1993. “Moro during Spanish Period and Its Impact” dalam South Asian Studies, Vol. 30. No. 4.

Nevola, Gaspare, 2011. Politics, Identity, Teritory: The “Strength” and Value of Nation- State, the Weakness of Regional Challenge, Dipartimento Di Sociologia E Ricerca Sociale.

Pigafetta. 1875. First Voyage Round the World by Magellan, Boston: The Hakluyt Society.

Saleeby, Najeeb M., 1908. The History of Sulu, Manila: Bureau of Printing.

Saleeby, Najeeb M., 1905. Study in Moro History, Law, and Religion, Manila: Bureau of Public Printing.

Sopher, David E., 1965. The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Asia, Singapore: National Museum.

Sulistiyo, Singgih Tri, 2012. “Pasang Surut Jaringan Makassar Hingga Masa Akhir Dominasi Kolonial Belanda”, dalam Indonesia dalam Arus Sejarah, jil IV, Kolonialisasi dan Perlawanan. Taufik Abdullah dan A. B. Lapian (eds.), Jakarata: PT. Ichtiar Baru van Hoeve bekerjasama dengan Kemendikbud.

Ulaen, Alex J., 2002. Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan, Jakarta: Sinar Harapan.

Warren, James F., 1981. The Sulu Zone 1789-1898: The Dynmaics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State, Singapore University Press.

Warren, James F., 2007. “The Port of Jolo and the Zulu Zone Slave Trade: An 1845 Report” dalam The Journal of Sophia Asian Studies No. 25.

26