Tortor Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Toba di Kota : Kontinuitas dan Perubahan

TESIS

Untuk memperoleh gelas Magister Seni (M.Sn.) pada Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

OLEH FERNANDUS NIM: 177037011

PROGRAM STUDI MAGISTER PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERNYATAAN

Dengan selesainya tulisan ini, secara sungguh-sungguh saya menyatakan bahwanya dalam tesis yang dibuat ini tidak terdapat karya orang lain yang sama dan juga pernah diajukan untuk memperoleh satu gelar baik itu kesarjanaan, magister, ataupun doktoral di suatu Perguruan Tinggi manapun, kecuali yang sudah diterbitkan dan secara tertulis saya gunakan untuk dijadikan sebagai acuan dalam menyelesaikan tulisan ini, dan nantinya akan disebutkan di dalam referensi.

Medan, Agustus 2019

Fernandus Pakpahan NIM: 177037011

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tortor Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kota Medan : Kontinuitas dan Perubahan

ABSTRAK

Tortor bagi suku Batak Toba disajikan untuk mengungkapkan perasaan dalam situasi apapun, termasuk dalam kegiatan upacara perkawinan. Dalam pelaksanaannya diperlukan tata aturan yang mengikat sesuai dengan sistem adat yang mereka sepakati. Saat ini penyajian tortor sudah mengalami perubahan dalam berbagai aspek dalam tortor. Untuk itu dilakukan penelitian dalam menjawab terjadinya perubahan. Penelitian ini menggunakan teori Kontinuitas dan Perubahan Menurut Herskovitz yang melihat perubahan dari dua titik pandang, yaitu bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut inovasi, dan perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang secara sistematik dan objektif menggambarkan fakta- fakta, sifat, ciri-ciri serta hubungan di antara unsur-unsur yang ada. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca beberapa sumber pustaka, naskah, mengamati video, foto, serta sumber lisan yang didapat dari hasil wawancara. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan etnokoreologi oleh Soedarsono, dengan pendekatan multidisipliner. Hasil penelitian menemukan, kontinuitas penyajian Tortor dilakukan dalam berbagai aktifitas baik sebagai media upacara, hiburan, maupun pertunjukan, yang sampai saaat ini masih di sajikaan. Sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Batak, Tortor juga disajikan dalam acara adat perkawinan. Penyajian Tortor dilakukan pada penyerahan ulos hela dan ulos sinamot yang ditarikan oleh peserta upacara dalam posisi dalihan na tolu. Penyajian tortor mengalami perubahan dengan disertakannya pada prosesi awal acara sebagai penyambutan pada orang tua dan keluarga, menyertakan penari khusus (professional) dalam menarikannya. Perubahan muncul sejak awal tahun 1980 s.d sekarang yang di kaji dari 3 periode. Perubahan tanpak pada penyajian tortor yang dikaji dari bentuk gerak, pola lantai, pelaku, tempat, susunan acara, busana, musik, dan perubahan dari fungsi tortor yang di kaji dari fungsi kesinambungan budaya, ekonomi, komunikasi, hiburan, dan estetik,. Perubahan juga dilihat dari prosesi rangkaian acara yang dipengaruhi sisi internal (suku Batak Toba), dan eksternal.

Keyword: Tortor, Upacara adat perkawinan, kontiniu dan perubahan

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tortor in the Toba Batak Community Marriage Ceremony in Medan City: Continuity and Change

ABSTRACT

Tortor for the Toba Batak tribe is presented to express feelings in any situation, including in the marriage ceremony activities. In doing so, it is necessary to have binding rules in accordance with the custom system they agree on. At present the presentation of tortor has changed in various aspects in tortor. For this reason, research is conducted in response to changes. This study uses the theory of Continuity and Change According to Herskovitz who sees changes from two points of view, namely how it happened in the past and the present. Changes that occur due to internal factors are called innovation, and changes due to external factors are called acculturation. This research is analytical descriptive which systematically and objectively describes the facts, properties, characteristics and relationships among the elements that exist. Data collection is done by reading several sources of literature, manuscripts, observing videos, photographs and oral sources obtained from interviews. This study also uses an ethnochoreological approach by Soedarsono, with a multidisciplinary approach. The results of the study found that the continuity of the presentation of Tortor was carried out in various activities both as a medium for ceremonies, entertainment and performances, which until now are still being served. As part of the Batak community life, Tortor is also presented at a traditional wedding ceremony. Presentation of the Tortor is carried out on the submission of ulos hela and ulos sinamot which are danced by the participants of the ceremony in a be danced position. The presentation of tortor changes with the inclusion in the initial procession of the event as a welcome to parents and family, including special dancers (professional) in the dance. Changes have emerged since the early 1980s and are now reviewed from three periods. Without any change in the presentation of tortor which is examined from the form of motion, floor patterns, actors, place, arrangement of events, clothing, music, and changes in the function of tortor examined from the function of cultural, economic, communication, entertainment, and aesthetic sustainability. Changes can also be seen from the series of events that are influenced by internal side (Batak Toba tribe), and external.

Keyword: Tortor, traditional marriage ceremony, continuous and change

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha

Kuasa, atas segala limpahan nikmat yang telah diberikan, terutama kesehatan dan kesempatan, sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Semoga kita semua tetap dalam lindungan-Nya.

Tesis ini berjudul Tortor Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba di

Kota Medan : Kontinuitas dan Perubahanyang dijadikan sebagai salah satu syarat bagi mahasiswa, untuk menyelesaikan studi dengan jenjang S-2, pada Prodi

Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara, Medan. Hasil penelitian penulis yang berbentuk tesis ini, secara umum membahas tentang bagaimana bentuk penyajian tortor dalam upacara perkawinan masyarakat Batak Toba di Kota Medan serta Kontinuitas dan

Perubahan tortor dalam upacara perkawinan masyarakat Batak Toba di Kota

Medan.

Selesainya tulisan ini, tidak terlepas dari peran beberapa orang yang telah banyak membantu penulis, baik dalam akademik maupun dalam hal di luar akademik. Untuk itu penulis sangat menghargai apa-apa yang telah diberikan kepada penulis, dan penulis hanya dapat membalasnya dengan ucapan terima kasih, yang ditujukan kepada orang-orang sebagai berikut:

Ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya pertama sekali penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Prof Dr Runtung Sitepu, S.H,

M. Hum dan juga seluruh jajarannya, yang secara kelembagaan telah membantu penulis dengan segala kebijakan dalam pengelolaan program studi magister di

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

USU selama ini beserta jajarannya dan Dekan FIB USU Bapak Dr. Budi

Agustono, M.Si, dan juga dengan segenap jajarannya, karena juga telah memberikan bantuan kepada penulis terutama untuk menyelesaikan studi yang dilakukan.

Untuk menyelasaikan studi di Program Magister Penciptaan dan

Pengkajian Seni FIB USU ini, penulis juga telah sangat banyak mendapatkan bimbingan, bantuan dan arahan dari para dosen dan juga pembimbing. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih terutama Bapak Drs. M. Takari, M.

Hum., sebagai ketua jurusan, dan Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., sebagai wakil ketua jurusan, yang telah sangat perhatian untuk memberikan dukungan dan bantuannya, demi selesainya studi yang penulis lakukan. Selain itu, penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Yusnizar Heniwaty, SST, M.Hum,

Ph.D sebagai Dosen Pembimbing I, dan Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Ph.D , sebagai Dosen Pembimbing II, yang juga dengan sangat telaten, konsisten, dan penuh kesabaran memberikan banyak informasi dan bantuan kepada penulis, sehingga segala hal yang penulis dapatkan pada saat penelitian, dapat dijadikan sebagai data untuk menyelesaikan tulisan ini.

Ucapan terima kasih selanjutnya penulis ucapkan kepada seluruh dosen yang telah memberikan bimbingan dan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa di jurusan Penciptaan dan Pengkajian Seni ini, yaitu

Prof. Mauly Purba, M.A. Ph.D.; Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si.; Dr. Asmyta

Surbakti, M.Si.; Dr. Pulumun P. Ginting, M.Sn.; Dr. Muhizar Muchtar, M.S.;

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.; Drs. Fadlin, M.A.dan lain-lainnya.

Spesial kepada Bapak Drs. Ponisan selaku pegawai pada Program studi Magister

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, penulis ucapkan terima kasih sebanyak- banyaknya, karena berkat bantuan yang beliau berikan secara administratif, penulis juga dapat menyelesaikan perkulisahan dan tulisan ini dengan baik.

Secara khusus juga penulis ucapkan terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua penulis. Yang pertama adalah Ibunda yaitu Emmi Heryati Sinaga

B.A (Almarhumah) juga Ayahanda Arsudin Pakpahan S.E (Almarhum) yang telah mendidik penulis sejak sekolah dasar, menengah, kemudian sampai ke Perguruan

Tinggi, dan kini pada Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni,

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Segala pengorbanan, doa restu dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis, telah mengantarkan menjadi orang yang berhasil dalam mencapai cita-cita seperti yang dirasakan sekarang ini.

Hanya Tuhan yang dapat membalas segala pengorbanan yang telah diberikan.

Penulis juga mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga dan spesial kepada seluruh keluarga penulis, Abang-abang terkasih terutama Dedy Pakpahan selalu setia membantu materi dan Binsar Parulian Pakpahan, Sabam James

Pakpahan , Afriando Pakpahan serta Adik Ardian Pakpahan menemani, membantu dan memberikan banyak dukungan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi program magister dan juga tesis ini dengan baik.

Ucapan terima kasih yang paling spesial penulis ucapkan kepada teman- teman angkatan 2017, seperti Sahat T.P. Sinaga, Bapak Lukas Tarigan, Happy

Majesty Waruwu, Agus Maulana, Bambang Afrianto, Ibu Naomi Pasaribu,

Ulfatun Hasanah, Khairuna Anhar, Blessta C. Hutagaol, dan Putri Viona di

Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB USU, karena telah banyak memberikan dorongan, dukungan, dan bantuan kepada penulis, baik

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

selama perkuliahan dan juga penyelesaian tulisan ini, sehingga penulis mampu mendapatkan apa yang menjadi tujuan utama dari studi yang dilakukan. Demikian pula kepada angkatan 2016 dan 2018, yang juga telah memberikan dukungan dan bantuan. Semoga ilmu yang kita peroleh dapat kita gunakan untuk kepentingan

Negara nantinya.

Selain itu, ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada para informan yang telah banyak memberikan bantuan dan informasi yang sangat banyak kepada penulis, yaitu bapak Marsius Sitohang, selaku informan kunci dan

Sianturi Dancer, Sanggar Patria, Divauli Dancer sebagai informan pendukung.

Segala informasi yang telah informan berikan, baik berupa data fisik maupun non fisik telah sangat membantu penulis melengkapi objek yang penulis teliti, sehinga tulisan ini dapat terselesaikan dengan baik. Kepada informan lainnya juga penulis ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya juga sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantun dan dukungan kepada penulis dalam penyelesauan studi dan juga tulisan ini. Dalam hal ini, penulis memohon maaf yang sedalam-dalamnya kepada mereka, dikarenakan penulis tidak dapat menuliskan nama mereka satu persatu. Semoga apa-apa yang telah diberikan, akan menjadi amal baik dan akan dibalas oleh

Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dalam penyajian tulisan ini, penulis mengucapkan beribu-ribu maaf apabila terdapat kekurangan, kesalahan, dan juga kata-kata yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan hati para pembaca, dikarenakan hal ini merupakan kodrat penulis sebagai manusia biasa. Semoga hasil penelitian ini dan segala yang disajikan nantinya dapat berguna bagi dunia penelitian seni pada umumnya dan bagi kebudayaan masyarakat Karo pada khususnya, dan juga bangsa dan Negara.

Medan, Agustus 2019 Penulis,

Fernandus Pakpahan NIM: 177037011

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR ISI

PRAKATA ...... i ABSTRAK ...... ii ABSTRACT ...... iii KATA PENGANTAR ...... iv DAFTAR ISI ...... vii DAFTAR FOTO ...... xiii DAFTAR TABEL ...... xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 13 1.3 Tujuan Penelitian ...... 14 1.4 Manfaat Penelitian ...... 14 1.5 Tinjauan Pustaka ...... 15 1.6 Defenisi Konsep ...... 19 1.6.1 Kontinuitas ...... 19 1.6.2 Perubahan ...... 20 1.6.3 Upacara Perkawinan Masyarakat BatakToba ...... 21 1.6.4 Masyarakat ...... 23 1.6.5 Seni Pertunjukan ...... 25 1.6.6 Tari Kreasi ...... 27 1.6.7 Tortor ...... 28 1.7 Teori ...... 29 1.7.1 Kontinuitas dan Perubahan ...... 29 1.7.2 Makna Simbol ...... 34 17.3 Sejarah ...... 37 1.7.4 Bentuk Seni Pertunjukan ...... 39 1.8 Pendekatan Penelitian ...... 41 1.8.1 Metode Penelitian ...... 42 1.8.2 Observasi ...... 44 1.8.3 Studi Kepustakaan...... 45 1.8.4 Wawancara ...... 45

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.8.5 Dokumentasi ...... 46 1.8.6 Kerja Laboratorium ...... 47 1.8.7 Lokasi Penenlitian ...... 49 1.8.8 Sistematika ...... 50 BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT KOTA MEDAN 2.1 Masyarakat Urban Batak Toba ...... 52 2.2 Gambaran Umum Kota Medan ...... 53 2.2.1 Letak Geografis Kota Medan ...... 60 2.2.2 Penduduk ...... 63 2.2.3 Agama ...... 64 2.2.4 Mata Pencaharian ...... 68 2.2.5 Kesenian di Kota Medan ...... 70 2.3 Gambaran Umum Suku Batak Toba ...... 72 2.3.1 Suku Batak ...... 72 2.3.2 Suku Batak Toba di Kota Medan ...... 75 2.3.3 Sistem Kekerabatan ...... 81 2.3.4 Religi ...... 89 2.4 Upacara Adat ...... 92 2.4.1 Aktifitas Berkesenian ...... 94 2.4.2 Sekilas Tempat Penelitian ...... 102 BAB III UPACARA ADAT PERKAWINAN DAN TORTOR 3.1 Upacara Perkawinan masyarakat Batak Toba ...... 107 3.1.1 Tahapan Upacara...... 110 3.1.2 Pendukung Upacara ...... 116 3.2 Tortor ...... 120 3.2.1 Munculnya Tortor ...... 125 3.2.2 Keberadaan Tortor ...... 128 3.2.3 Aturan dalam Tortor ...... 130 3.2.4 Karakteristik Tortor ...... 133 3.2.5 Jenis Tortor ...... 138 3.3 Deskripsi Tortor Pada Upacara Perkawinan Batak Toba ...... 140 3.3.1 Pola Pertunjukan ...... 141

x

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.4 Aspek Visual Dalam Tortor ...... 146 3.4.1 Gerak ...... 146 3.4.2 Pola Lantai ...... 150 3.4.3 Tempat Pertunjukan ...... 152 3.4.4 Musik ...... 154 3.4.5 Busana ...... 157 3.4.6 Tata Rias ...... 161 3.4.7 Pelaku ...... 162 BAB IV KONTINUITAS DAN PERUBAHAN 4.1 Pandangan Masyarakat Terhadap Tortor ...... 165 4.2 Etika dan Penggunaan penyajian Tortor ...... 167 4.3. Kontinuitas Penyajian Tortor ...... 169 4.3.1 Tortor Dalam Kegiatan Upacara ...... 170 4.3.2 Tortor Dalam Kegiatan Hiburan ...... 172 4.3.3 Tortor Sebagai Pertunjukan ...... 174 4.4 Perubahan Tortor ...... 175 4.4.1 Perubahan Bentuk Penyajian Tortor ...... 178 4.4.1.1 Penyajian Tortor Tahun 1980 – 1990 ...... 181 4.4.1.2 Penyajian Tortor Tahun 1990 – 2000 ...... 183 4.4.1.3 Penyajian Tortor tahun 2000 s/d sekarang ...... 186 4.4.2 Struktur Penyajian ...... 196 4.4.2.1 Gerak ...... 200 4.4.2.2 Penari ...... 208 4.4.2.3 Pola Lantai ...... 209 4.5. Perubahan Fungsi Tortor ...... 212 4.5.1 Kesinambungan Budaya ...... 212 4.5.2 Ekonomi ...... 214 4.5.3 Komunikasi ...... 218 4.5.4 Estetika ...... 220 4.5.5 Integrasi Sosial Budaya ...... 224 4.5.6 Fungsi Sebagai Hiburan ...... 227

xi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan...... 229 4.6.1 Faktor Internal ...... 229 4.6.2 Faktor Eksternal ...... 231 BAB V PENUTUP ...... 234 5.1 Kesimpulan ...... 234 5.2 Saran ...... 236 DAFTAR PUSTAKA ...... 238 GLOSARI ...... LAMPIRAN ......

xii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR FOTO

Foto 2.1: Peta Provinsi Sumatera Utara Foto 2.2: Istana Maimun yang dulu dikenal dengan Kampung Medan Putri dan dikenal cepat perkembangan aktivitas pemerintahan dan perdagangan Foto 2.3: Kantor Walikota sebagai tempat pusat pemerintahan kota Medan yang bersebelahan dengan hotel Paladium, dan hotel Aston Foto 2.4: Kondisi Kota medan tahun 1908 Hari Lahir Kota Medan 1 Juli 1590 dii akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Kota Medan Foto 2.5: Kota Medan menjadi Kota Pusat Pemerintahan yang ditandai terdapatnya Kantor Konsulat Perwakilan Negara dan Perusahaan asing Foto 2.6: Daerah di kora Medan yang banyak dihuni suku Batak Toba. Foto 2.7: Tortor Hatopan dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba. Foto 2.8: Tortor Hapunjungan dalam acara mudai mudi BatakToba Foto 2.9: Suku batak toba menenun kain khas Batak Foto 3.1: Beberapa rangkaian kegiatan adat dalam upacara perkawinan Foto 3.2: Peserta Upacara adat dalam perkawinan etnik Batak Toba Foto 3.2.1 : Tortor terhadap Debata Mula Jadi Na Bolon Foto 3.5: Posisi awal dalam tortor Foto 3.5.1 : Pola Lantai membentuk garis lurus Foto 3.5.2 : Posisi penari laki-laki disebelah kanan Foto 3.6 : Ruangan/Wisma tempat berlngsungnya upacara adat perkawinan Foto 3.7 : Instrumen Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi Foto 3.8 : Busana adat penyambutan pengantin Foto 4.1 : Busana mengenakan baju merah ulos sadum Foto 4.2 : Pemakaian Aksesoris Foto 4.3 : Penari menarikan sambil mengantar ulos pasamot dan ulos hela

xiii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 4.4 : Manortor Bersama yang dilakukan pihak pengantin dan keluarga Foto 4.5 : Modifikasi dalam pemakaian busana seperti longtorso Fotoi 4.6 : Pemakaian Ulos Ragi Idup sebagai rok Foto 4.7 : Modifikasi busana tortor Foto 4.8 : Modifikasi busana tortor menjadikan ulos untuk pakaian keseluruhan Foto 4.9 : Penyerahan ulos hela dan ulos pasamot Foto 4.10 : Pemberian ulos pasamot dan ulos hela Foto 4.11 : Pemberian ulos pasamot dan ulos hela Foto 4.12 : Tortor untuk menyambut suhut ditarikan oleh penari Foto 4.13 : Kedua pengantin manortor menyambut keluarga dan tamu undangan Foto 4.14 : Penari menggunakan variasi dalam gerak meminta berkat Foto 4.15 : Penari mempersilahkan keluarga dan tamu undangan untuk masuk kedalam ruangan acara dengan pola gerak mengajak dengan tortor Foto 4.16 : Gerakan akhir dalam rangkaian upacara adat Foto 4.17 : Pola lantai segitiga dalam penyajian tortor menyambut Foto 4.18 : Pola lantai melengkung Foto 4.19 : Pola lantai berbaris untuk menyambut pengantin memasuki wisma Foto 5.1 : Ruangan Wisma tempat pelaksanaan acara adat perkawinan

xiv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Kecamatan di Kota Medan Tabel 2.2 : Persentase jumlah agama di Kota Medan Tabel 2.3 : Kurva Persentase Penduduk berdasarkan mata pencahrian Tabel 2.4 : Persentase Suku Bangsa berdasarkan Tenaga Profesional Tabel 3.1 : Silsilah Kekerabatan pada Suku Batak Toba Tabel 3.2 : Karakteristik Tortor Upacara berdasarkan Sifatnya Tabel 3.3 : Karakteristik Tortor upacara berdasarkan wataknya Tabel 3.4 :Tahapan Pertunjukan Tortor dalam upacara adat Tabel 3.5: Ragam Dasar dalam Tortor Penyambutan Tabel 4.1: Perubahan dalam Penyajian Tortor

PENGKAJI UNIVERSITAS SUMATERA DAN 2019

xv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara terdiri dari bermacam-macam suku yang tersebar di seluruh nusantara, dengan segala keanekaragaman budayanya. Suku Batak Toba1.

Batak Toba merupakan salah satu etnis di Sumatera Utara, yang masuk dalam sub suku Batak. dan termasuk etnis asli atau masyarakat pribumi. Suku Batak

Toba, mendiami wilayah yang cukup luas dan tersebar di daerah yang ada di

Sumatera Utara. Wilayah-wilayah yang menjadi bahagian dari etnis ini antara lain, Kabupaten Tapanuli Utara, sebahagian wilayah Kabupaten Simalungun

(daerah sepanjang pantai Timur dan Utara Danau Toba), sebahagian wilayah

Kabupaten Asahan (sekitar kaki Gunung Simanuk-manuk sebelah Barat hingga

Selatan), sebahagian wilayah Kabupaten Tanah Karo (pantai Utara Danau Toba, daerah Tongging), dan sebahagian wilayah Kabupaten Pakpak-Dairi (pantai

Timur, daerah asal budaya masyarakat Batak Toba dan khususnya daerah

Silalahi).

Secara wilayah budaya yang cukup luas, dapat diketahui bahwa asal usul masyarakat Batak Toba adalah daerah sekeliling pantai Danau Toba dan Pulau

Samosir. Daerah budaya Batak Toba ini sudah dapat diketahui masyarakat secara umum, berdasarkan pengetahuan yang tersebar dari generasi ke generasi di masyarakat. Secara pelan namun pasti, saat ini masyarakat batak Toba sudah

1 Istilah Batak Toba dan orang Batak mempunyai atau mengandung perbedaan makna kata. Batak Toba mempunyai maksud sebagai salah satu etnis atau suku dari suku bangsa Batak yang terdiri dari lima suku, yaitu Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pak-pak Dairi, dan Batak Toba sendiri.. Sedangkan orang Batak menunjuk pada istilah yang berarti identitas diri suku yang bukan hanya pribadi yang termasuk masyarakat Batak Toba.

1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

banyak yang menyebar kedaerah lain di luar wilayah yang disebutkan di atas, dengan mendiami seluruh daerah di Propinsi Sumatera Utara bahkan sampai ke luar Propinsi Sumatera Utara, termasuk salah satunya Kota Medan.

Apabila dilihat secara Geografis, Suku Batak Toba pada umumnya mendiami wilayah Barat pegunungan Bukit Barisan, wilayah Timur sampai

Selatan Pantai Danau Toba, dan secara umum, daerah asal budaya masyarakat

Batak Toba adalah daerah sekeliling Pantai Danau Toba dan Pulau .

Wilayah ini merupakan daerah yang terdiri dari banyak perbukitan, pegunungan dan lembah dengan iklim tropis. Pada umumnya daerah-daerah ini kaya akan sumber air, misalnya Danau Toba, sehingga sebahagian masyarakatnya hidup sebagai petani di sawah dan ladang.

Meskipun tanah Batak kaya akan sumber air dan merupakan komunitas masyarakat Petani, namun nilai kehidupan perekonomian petani di daerah-daerah kabupaten Tapanuli Utara rendah. Hal ini terutama dikarenakan kondisi alamnya sebagai daerah pertanian tadah hujan, tanah yang sebahagian berbatu-batu dan perbukitan yang jauh lebih tinggi dari sumber air seperti Danau Toba. Kondisi ini menyebabkan tingkat keinginan merantau dan mencari kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Batak Toba menjadi tinggi. Dengan demikian banyaklah terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota maupun dari desa ke desa lain di luar daerah asal mereka.

Masyarakat Batak Toba ini merantau kedaerah-daerah pertanian yang lebih subur dan daerah perkotaan diluar wilayah Batak Toba, seperti daerah kota

Siantar, Padang Sidempuan, dan terutama ke kota Medan yang dianggap kota metropolitan di Sumatera Utara. Mereka meninggalkan kampungnya, bukan

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

hanya satu orang atau satu keluarga saja, tetapi kadang-kadang ada yang merantau satu desa, sehingga ketika mereka berada di tempat yang baru, kegiatan-kegiatan yang selama ini sudah menjadi tradisi bagi mereka tetap dilakukan. Hal ini dikarenakan kuatnya rasa kedaerahan yang mereka miliki dengan segala norma- norma adat budanya. Bagi orang Batak daerah rantau ini menjadi perkampungan kedua dan diyakini sebagai kampung halaman kedua bila menjadi tempat tinggal.

Didaerah perantauan mereka tetap menjalankan segala aktifitas adat budaya dengan berbagai tujuan pelaksanaan sebagai penguat kedaerahannya.

Mereka dengan kuat berupaya menjaga dan mewariskan melalui aktivitas budaya tersebut. Bentuk-bentuk aktivitas budaya dalam pelaksanannya tertuang dalam berbagai kegiatan adat, dengan segala aturannya, dalam hal ini tortor. Aktivitas adat dengan penyertaan tortor, menjadi bagian yang selalu ada, bahkan ada beberapa kegiatan adat yang sebenarnya tidak menyertakan tortor, memunculkan tortor sebagai materi acara. Hal ini tentunya memunculkan format baru dalam pertunjukan tortor dan kegiatan adat, yang akhirnya memunculkan pertanyaan- pertanyaan tentang keberadaannya, apakah fomat baru ini boleh dilakukan atau memang sesungguhnya format ini ada. Demikian juga halnya dengan suku Batak

Toba di kota Medan.

Kota Medan sebagai tempat mereka mencari kehidupan baru, juga menjadi tempat bagi mereka untuk menjalankan aktivitas adat. Dalam menjalani kehidupan kesehariannya, mereka masih tetap memegang teguh norma, dan adat kebiasaan berupa kegiatan-kegiatan yang sudah mereka lakukan cukup lama dari daerah di mana mereka tinggal sebelumnya. Kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan ini merupakan pewarisan secara turun temurun dan berkesinambungan,

3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berupa acara-acara adat yang dilaksanakan untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti upacara perkawinan, memasuki rumah baru, pengobatan, kelahiran anak, pesta muda-mudi, dan lain-lain. Hal ini mereka lakukan sebagai ungkapan wujud rasa terima kasih, penghormatan, dan rasa syukur kepada yang mereka anggap telah membantu kehidupannya.

Perwujudan rasa syukur yang mereka lakukan dengan membuat sebuah rangkaian upacara-upacara yang bersifat pemujaan dengan menyertakan tortor dalam kelengkapan bagian proses upacara. Tortor bagi masyarakat Batak Toba digunakan sebagai bagian dari segala kegiatan yang ada, baik yang dilakukan sebagai media penyampai, ataupun yang disajikan sebagai hiburan pelengkap dalam kegiatan tersebut.

Sebagai kota metropolitan di Sumatera Utara, Kota Medan tidak hanya menjanjikan dalam memperbaiki kehidupan, namun juga memberikan peluang- peluang baru untuk siapa saja, agar dapat mengekspresikan apa-apa yang mereka miliki. Dikarenakan kota Medan memiliki nilai kehidupan ekonomi yang lebih tinggi, kondisi ini, memberikan peluang kepada siapa saja untuk berusaha.

Kota Medan juga merupakan ibukota dari Sumatera Utara, dimana masyarakatnya memiliki beragam kebudayaan, yang terdiri dari beragam suku yaitu Batak, Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya. Unsur seni budaya yang beranekaragam ini dibawa oleh para pendatang dan menjadikan Kota Medan semakin memukau dan memberikan keindahan pada Kotanya. Meskipun masyarakat Medan harus menghadapi berbagai budaya pendatang, tetapi mereka tetap menerima keberagaman ini, dan masyarakat pendatang menyesuaikan diri dengan budaya yang ada dan tetap melestarikan budayanya.

4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Melestarikan kebudayaan menjadi hal penting untuk dilakukan, sebagai wujud sumbangsih masyarakat dalam mempertahankan kepemilikan dari sebuah budaya. Saat ini bangsa Indonesia sudah lebih maju, dengan menjadikan dirinya berkembang dari masyarakat tradisional, ke masyarakat industri. Keadaan ini memberikan pengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan, disebabkan kebudayaan dapat berjalan dengan bimbingan tertentu. Oleh sebab itu peran anak bangsa sangat diharapkan dalam menjaga perkembangan kearah yang lebih baik.

Wujud aktifitas satu kelompok masyarakat, yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi satu budaya, termasuk kesenian. Kesenian memiliki hubungan yang erat dengan keagamaan, bahasa, ekonomi, dan pranata-pranata sosial dalam masyarakat yang tertuang dalam berbagai kegiatan. Keberadaan seni dalam berbagai aktifitas, memiki tempat tersendiri dalam kehidupan masyarakat.

Dia hadir untuk melengkapi aktifitas-aktifitas tersebut, bertujuan sebagai penguat dari rangkaian acara. Di setiap daerah memiliki corak budaya yang berbeda sesuai dengan lingkungannya, karena peranan lingkungan dapat membentuk dan memberi warna kesenian masing-masing daerah sebagai ciri khasnya

Poespowardojo dalam kutipan Daeng (2000: 45) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan “keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia yang disalurkan dari generasi ke generasi untuk kehidupan manusiawi yang lebih jelas “. Apabila kebudayaan dapat tumbuh dengan baik, tradisi juga dapat dikembangkan, akan tetapi kebiasaan yang sudah menjadi tradisi, bukanlah hal mudah untuk dapat dibongkar atau diingkari. Dalam hal ini Murgiyanto menjelaskan bahwa:

5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kita semua berasal dari tradisi, bahkan seseorang yang menolak tradisi sekalipun, sadar atau tidak sadar, mau atau tidak, pada akhirnya akan terbawa mengikuti perkembangan tradisi. Di dalam tradisi memang ditemui aturan-aturan yang ketat dan mengikat, tetapi aturan- aturan itu bukanlah perangkap. Seni tradisi memang tidak melimpah dengan inovasi seperti halnya seni modern, tetapi tidaklah berarti bahwa seni tradisi tidak memberikan kesempatan pada perkembangannya daya kreasi. (2004: 11).

Jika kebudayaan dapat tumbuh dan berkembang, maka tradisi juga berkembang, namun tradisi bukan sesuatu yang dapat dibongkar atau diingkari dengan mudah. Murgiyanto dalam bukunya Tradisi dan Inovasi mengemukakan bahwa: Kita semua berasal dari tradisi, bahkan seseorang yang menolak tradisi sekalipun, sadar atau tidak sadar, mau atau tidak, pada akhirnya akan terbawa mengikuti perkembangan tradisi. Di dalam tradisi memang ditemui aturan-aturan yang ketat dan mengikat, tetapi aturan-aturan itu bukanlah perangkap. Seni tradisi memang tidak melimpah dengan inovasi seperti halnya seni modern, tetapi tidaklah berarti bahwa seni tradisi tidak memberikan kesempatan pada perkembangannya daya kreasi. (2004: 11).

Tradisi sering kali diungkapkan melalui bagaimana cara mewariskan pemikiran, kebiasaan, kepercayaan, budaya dari generasi ke generasi. Seperti sebuah seni tari yang dikenal sebagai ekspresi manusia yang bersifat estetis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia dalam masyarakat yang penuh makna. Seni tari juga merupakan suatu sistem pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai, produk yang tumbuh dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok masyarakat, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, sehingga seni tari sangat berperan dalam kebudayaan.

6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Seni tari dalam kebudayaan mencakup ide, gagasan, aktivitas maupun simbol sejarah, yang menjadi dasar dalam memahami satu kelompok masyarakat.

Seni tari mengapresiasikan kebudayaan secara umum dan mengikuti norma-norma yang digariskan oleh adat istiadat. Berbagai gerak mencerminkan kehalusan budi dan karakter masyarakat pendukungnya yang menjadi bagian integral diri sendiri maupun lingkungan tempat tari tersebut berkembang. Seni tari memiliki gaya yang tidaklah tetap sama bentuknya sepanjang zaman, seni tari berubah melalui proses ketika di mana generasi tua mengajar generasi muda, karena bentuk tari yang diwariskan itu harus diinterpretasikan. Demikian juga dengan seni tari bagi masyarakat kota Medan yang terdiri dari beragam etnik, yang berubah, berkembang sesuai zaman di mana kesenian itu tumbuh dan berkembang.

Pelestarian budaya dalam hal ini tortor, masih dilakukan pemilik budayanya, dalam berbagai aktivitas. Suku Batak Toba telah berimigrasi ke

Medan sejak awal abad ke-19, dan menjadi masyarakat urban. Tradisi merantau bagi suku Batak Toba yang menyebabkan mereka bermigrasi ke daerah lain dan dalam bahasa batak disebut “manombang, mangarantau, marjalang, marlompang, mangombo, mangalului jampalan na lomak, atau masiampapaga na lomak”.

Mereka datang untuk mencari peruntungan dalam memperbaiki kehidupannya kearah yang lebih baik, dengan membawa budaya, adat istiadat yang sudah diwariskan secara turun temurun. Suku Batak terkenal dengan kehidupan yang keras karena wilayah mereka tinggal bukanlah daerah yang subur. Sehingga mereka pergi keluar daerahnya untuk mencari kehidupan baru. Dalam perantauan, mereka harus sigap untuk bersaing dengan etnik lain, namun dalam aktifitas adat budaya, mereka tetap menjaga dengan menjalankannya walau aktifitas tersebut

7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tidak secara utuh dilakukan, bahkan adat budaya yang tidak ada kemudian diciptakan sebagai legitimasi kedaerahan.

Masyarakat Batak Toba dalam menyebut seni tari dan seni musik di dalam bahasa daerahnya biasa disebut dengan tortor2 dan gondang. Tortor merupakan kebudayaan Batak toba yang cukup lama tanpa diketahui siapa penggagasnya, kenapa ada dalam kehidupannya, serta untuk apa tortor itu ada. Dalam tortor banyak memiliki keunikan dan ciri khas yang dapat di lihat baik dari sisi tari secara utuh, maupun dari sisi sosio budaya masyarakat, yang menempatkan tortor sebagai bagian dalam acara-acara adatnya. Sebagai tarian tradisional, tortor merupakan bentuk ungkapan kehendak atau keyakinan untuk tujuan-tujuan tertentu, sesuai dengan fungsi dan tujuan kenapa tortor itu digunakan.

Dalam kondisi sosiologi konteks Tortor adalah bagian dari adat-istiadat masyarakat Batak Toba. Penyajian Tortor dalam kondisi ini memiliki pola-pola gerak tari yang sederhana seperti tubuh tegak kaki mangurdot3 dan tangan dilipat menyembah. Tortor merupakan suatu bentuk tari yang sopan, didalamnya terdapat ragam gerak Somba4, Somba Adat5, Somba Debata6, Satahi Saoloan7, Papungu

Pasu-pasu8, dan Embas9.

2 Kata tortor Secara etimologi berasal dari kata manghutur atau manortor memiliki arti bergetar menurut M. Hutasoit (1976:15) dalam bukunya yang bertajuk Gondang dohot Tortor Batak. Tor- tor merupakan tari yang bersifat sakral dan mengandung nilai-nilai kepercayaan tradisional yang sudah ada. Selanjutnya Menurut Ap. Tambunan, secara leksikal, tortor berarti gerakan tari. Pengertian ini diambil dari kata kerja manortor (menari). Secara etimologi berasal dari kata manghutur atau manortor yang berarti bergetar. Sedangkan asal-usul tortor berasal dari suara “turtur” dari langkah suara orang yang berjalan di atas rumah (rumah suku Batak berbentuk rumah panggung yang lantainya terbuat dari kayu). Kemudian suara langkah tersebut diiringi dengan irama gondang. Semakin lama irama langkah itu menjadi suatu langkah tari yang dikatakan ”manortor” yang kemudian dikenal dengan “tortor” (Marnala) sejak zaman nenek moyang orang Batak dan dilestarikan turun-temurun kepada generasi selanjutnya. 3Mangurdot : Gerakan seluruh badan, dengan fokus geraknya berada pada telapak kaki, tumit dan badan. 44Somba : Posisi tangan menyembah. 5Somba Adat : Menghormati sesama. 6Somba Debata : Sembah kepada Tuhan yang maha kuasa.

8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pertunjukan tortor pada awalnya digunakan dalam pelaksanaan kegiatan- kegiatan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba, seperti, dalam upacara perkawinan, upacara mengobati, upacara Mangokal Holi, upacara mangalahat horbo lae-lae, upacara memasuki rumah baru, upacara kematian

Saur Matua, upacara mangindo udan paremean dan lain-lain. Mereka menempatkan tortor ini menjadi bagian dan media untuk penyampai maksud dan tujuan yang diinginkan. Dalam manortor (menari), ada ketentuan yang harus mereka ikuti, dan taati, seperti tidak boleh manortor dengan sembarang orang, karena hal itu akan melanggar adat, dan ini dilakukan dalam penyajian tortor yang berfungsi dalam upacara-upacara adat masyarakat.

Majunya zaman dan pesatnya perkembangan teknologi, serta adanya globalisasi di segala bidang, membuat perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat, tidak terkeculai perubahan yang terjadi dalam kesenian, dalam hal ini penyajian tortor masyarakat Batak Toba. Saat ini penyajian tortor tidak hanya ditarikan untuk upacara adat saja, melainkan sudah ditarikan untuk tujuan-tujuan yang lain, seperti hiburan, dan pertunjukan yang membutuhkan konsentrasi dalam menciptakan dan melihatnya, serta memerlukan kesiapan dalam pertunjukannya.

Perkembangan dan perubahan yang terjadi pada tortor Batak Toba tidak hanya dari segi fungsinya saja, tetapi dengan terjadinya perubahan fungsi, maka terjadi pula perubahan bentuk penyajian. Perubahan yang terjadi pada bentuk penyajian dapat di lihat dari pola penggarapan, yang dapat dilihat dari sisi gerak, pola lantai, busana, tema, makna tari, property, tempat pertunjukan, dan lain-lain.

7Satahi Saoloan : Senasib sepenanggungan. 8Papungu Pasu-pasu : Mengumpulkan berkat. 9Embas : Gerakkan ini menggambarkan jiwa semangat dan energik masyarakat Batak Toba terlihat dari gerakkan tangan yang dikepal dan kaki yang dihentakkan secara bergantian.

9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Terjadinya perubahan dalam pertunjukan tortor, disambut baik oleh semua pihak seperti, para seniman, pemerintah, tokoh masyarakat, dan masyarakat Batak sendiri. Semua pihak ikut terlibat dengan ikut aktif dalam menyemarakkan setiap even yang dilaksanakan baik oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat, maupun yang dilaksanakan oleh instansi-instansi pemerintan dan non pemerintah. Selain itu perubahan fungsi dan bentuk penyajian ini menjadikan perbendaharaan tari- tarian yang ada pada masyarakat Batak Toba semakin beragam pula. Hal ini dimungkinkan dengan adanya permintaan masyarakat pengguna tortor, yang mengakibatkan munculnya kreatifitas seniman untuk lebih banyak menciptakan bentuk tari baru sebagai jawaban atas pemintaan tersebut. Namun hal ini bukanlah menjadi salah satu faktor utama terjadinya perubahan dalam tortor Batak Toba.

Kemungkinan terjadinya perubahan ini bisa terjadi dari aspek mana saja, bisa dilihat dari kemajuan teknologi yang memungkinkan manusia mendapatkan informasi yang seluas-luasnya, tentang kemajuan tari-tari dari negara sendiri maupun dari negara lain. Bisa pula dilihat dengan terbukanya pemahaman masyarakat akan seni, selain itu kebutuhan akan seni juga menjadi tuntutan bagi masyarakat yang berkecukupan, selain tujuan penyajian seni sebagai pewarisan, pelestarian, dan pengembangan budaya tradisi. Hal ini yang menjadi kemungkinan terjadinya perubahan dalam penyajian tortor.

Perkawinan bagi suku Batak Toba merupakan keterikatan hubungan antara manusia dengan manusia, atau Perjanjian hukum antar pribadi yang menyatukan hubungan kekerabatan dalam suatu pranata budaya satu kelompok masyarakat untuk menyatukan secara ikatan resmi hubungan antar pribadi.

Bersatunya hubungan dalam ikatan perkawinan bukan hanya menjadi urusan

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

orang tua dari kedua calon pengantin tetapi menjadi urusan semua anggota keluarga yang menyakut dalihan na tolu1. Dalihan na tolu sebagai pedoman dalam semua kegiatan adat, berperan dalam seluruh rangkaian adat perkawinan dengan mematui posisi dari masng-masing peserta. Peran ini tergambar pada falsafah dalihan natolu yaitu somba marhulahula (hormat kepada pihak marga orangtua dari istri(mertua)), elek marboru (sayang kepada pihak marga dari pada suami nak perempuan (menantu), manat mardogan tubu (berhati- hati kepada pihak marga dari suami (lelaki bersaudara)). Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari tarian Tortor yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung yang mana Tortor adalah tarian seremonial yang disajikan dengan musik gondang. Secara fisik Tortor merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya menunjukkan Tortor adalah sebuah media komunikasi, di mana melalui gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara.

Tortor dan musik gondang ibarat koin yang tidak bisa dipisahkan. Sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (Hasuhutan) melakukan acara khusus yang dinamakan Tua ni Gondang, sehingga berkat dari gondang sabangunan.

Aktivitas Tortor tersebut memiliki peran dan fungsi dalam setiap bagian tahapan-tahapan upacara yang dilaksanakan. Pelaksanaan upacara perkawinan

Batak Toba dapat dikatakan sebagai kegiatan yang dianggap sakral karena ada hubungannya dengan kepercayaan masyarakat kepada Tuhan. Sedangkan yang menjadi penari disebut dengan panortor. Tortor merupakan tarian, namun makna yang paling dalam dari gerakan - gerakannya menunjukkan bahwa Tortor sebuah media komunikasi (Mauly Purba 1989 : 64).

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tortor adalah seni tari dengan menggerakkan seluruh badan dengan dituntun irama gondang, dengan pusat gerakan pada tangan dan jari, kaki dan telapak kaki, punggung dan bahu. Tortor dalam upacara perkawinan dimulai dengan masuknya pengantin ke dalam gedung tempat dilaksanakannya (adat na gok) atau adat yang sepenuhnya. Pengantin berdiri di pintu masuk bersama keluarga pihak laki-laki. Kemudian dipanggillah terlebih dahulu pihak hulahula

(pihak perempuan) untuk memasuki ruangan diikuti hadirin dan undangan lainnya. Seluruh undangan memasuki ruangan dengan iringan musik dan sambil menyalami pengantin dan keluarganya. Seluruh keluarga akan manortor baik dari pihak hulahula dan pihak boru, boru bahkan dongan sabutuha. Setiap orang yang hadir dalam pesta adat perkawinan harus mengetahui dan mengerti dalam mengambil posisi pada saat kegiatan Tortor dilaksanakan. Dalam upacara adat perkawinan batak toba akan terlihat barisan pihak hulahula dan pihak boru.

Orang-orang yang hadir akan ikut manortor (menari) dalam beberapa kelompok.

Di dalam upacara atau pesta, tortor yang wajib dilakukan adalah tortor mula- mula, tortor somba, tortor mangaliat dan yang terakhir tortor hasahatan/sitiotio.

Kota Medan sebagai tempat bagi masyarakat Batak untuk merubah nasib. sudah tidak memperhatikan lagi makna adat. Hal ini dapat terlihat jelas pada saat pesta perkawinan, dimana tortor diadakan tidak lagi menjadi media komunikasi dengan memperhatikan makna dari setiap simbol gerakan-gerakan yang ada pada tortor, namun tortor diadakan hanya menjadi sebuah seni yang dapat menghibur dan memeriahkan pesta serta ada pula yang memiliki tujuan dapat meningkjatkan ekonomi bagi pihak penyelenggara pesta dengan menunjukkan kedua mempelai di khalayak umum sambil manortor (patortor hon parumaen), dan selanjutnya para

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

undangan atau orang yang akan ikut menari akan memberikan sejumlah uang yang diselipkan di jari-jari pihak penyelenggara dan kedua mempelai. Adanya simbol dalam tiap gerakan dan musik yang mewakili suatu makna pada nyatanya tidak semua peserta dan penonton yang menyaksikan dapat mengerti dan memahami apa makna dalam gerakan dan musik dalam Tortor tersebut, karena keterbatasan sebagian penikmat seni yang memahami dalam proses komunikasi nonverbal yang terjadi tergolong ke dalam klasifikasi bahasa tubuh di mana penyampaian pesan dilakukan hanya melalui isyarat tangan, gerakan kepala, postur tubuh dan posisi kaki, ekspresi wajah, tatapan mata,serta musik pengiring tarian Tortor. Sesuai gejala-gejala diatas untuk mengakaji lebih dalam lagi mengenai perubahan dan kontinuitas yang terjadi dalam Tortor perkawinan di

Kota Medan dan fungsi dari tortor perkawinan itu sendiri. Maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Kontinuitas dan perubahan Tortor Dalam

Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kota Medan”

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat dirangkai dalam mengkaji dan meneliti fenomena perubahan sosial di zaman moderen dalam Upacara Perkawinan, antara lain:

1. Bagaimana Bentuk Penyajian Tortor pada upacara perkawinan suku Batak

Toba di Kota Medan?

2. Bagaimana Kontinuitas dan Perubahan Tortor pada adat perkawinan suku

Batak Toba di Kota Medan?

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan penulisan ini untuk menganalisis tentang keberadaan tortor Batak

Toba pada kegiatanb adat upacara perkawinan, yang dipengaruhi oleh faktor- faktor tertentu yang menyebabkan Tortor hidup dan berkembang dalam masyarakat pendukungnya. selain itu menganalisis apa saja hal yang masih terjaga dalam pertunjukan Tortor dan hal-hal apa saja yang sudah berubah dan berkembang. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dalam penelitian ini yaitu:

1. Mendeskrifsikan dan Menganalisis Bentuk Penyajian Tortor pada upacara

adat perkawinan

2. Menganalisis Kontinuitas dan Perubahan penyajian Tortor pada upcara

perkawinan

1.4 Manfaat penelitian

Manfaat teoritis penelitian ini, untuk memberikan kontribusi pemikiran, sekaligus pengetahuan tentang proses Kontinuitas dan perubahan Tortor dalam upacara perkawinan masyarakat Batak Toba di Kota Medan, sehingga dapat menjadi Referensi ilmiah bagi penelitian selanjutnya. Sedangkan manfaat praktis penelitian untuk menumbuhkan kesadaran yang benar tentang esensi praktik upacara perkawinan, sehingga dapat diambil solusi terhadap perbedaan pandangan antar kelompok yang sering terjadi.

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.5 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan studi kepustakaan dari kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya yang berkaian tentang tortor maupun kajian dari teori-teori kontinitas dan perubahan sebagai analisis yang dilakukan sebelum penelitian lapangan. Dalam penelitian ini, studi pustaka dilakukan untuk melihat tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Kajian-kajian tentang tortor sebenarnya sudah banyak dilakukan dengan berbagai topik kajian, yang lebih menitik beratkan pada bentuk penyajian yang dilihat secara wujud. Maka dari itu, sebelum melangkah kepada kajian yang dijalankan tahap yang penulis lakukan adalah studi keperpustakaan untuk mempelajari literatur yang berkaitan dengan objek kajian.

Dari hasil studi pustaka, peelitian ini menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan penulisan ini antara lain adalah sebagai berikut:

Pandiangan (2014), yang menulis Tesis di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas yang berjudul “Tortor dalam Upacara Perkawinan Sub

Etnis Batak Toba di Kecamatan Balige “ dalam tulisan ini, dijelaskan bahwa

Tortor merupakan tarian Batak yang mempunyai keistimewaannya sendiri, selain mempunyai keunikan menyampaikan makna dalam tarian, juga menjadi proses pemberian dan penerimaan adat dalam sistem kekerabatan Batak, melalui komunikasi nonverbal, menggunakan simbol-simbol dalam pengungkapannya.

Tarian ini memiliki simbol yang bermakna sesuai dengan ketentuan dalam adat istiadat Batak Toba yang diwujudkan dalam bentuk gerak, busana, pola edar.

Selain gerakan, musik atau Gondang yang digunakan dalam tortor menjadi satu kesatuan dan menguatkan makna dari simbol-simbol yang disampaikan.

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pemahaman tentang pesan makna simbol sangat penting, hal ini dikarenakan pemahaman bukan hanya dilihat dari estetika dalam tarian ini tetapi, bagaimana masyarakat menjadikan tortor dalam keiduapannya. Selain tentunya sebagai wujud dari menjaga kelestarian budaya Batak yang sudah turun temurun.

Penjelasan tortor dalam tulisan ini menjadi data awal dalam topik yang peneliti kaji, untuk melihat bagaimana tortor mengalami perubahan dalam tujuan penyajian, yang mengakibatkan berubahnya struktur bentuk tortor, proses penyajian dalam kegiatan adat, tujuan penyaian dan lain sebagainya.

Selanjutnya Capt. Bonar Victor Napitupulu, M.M., (2012), dengan judul

“Dalihan Na Tolu” menjelaskan bangsa Batak merupakan Trias Manner of Batak lahir pada abad 14 Masehi di Tamiang yang merupakan wilayah migrasi para leluhur Batak dari perantauannya kota Bataha, bekas kerajaan Martaban di

Myanmar sebelum melakukan migrasi ke penjuru daerah migrasi lainnya di wilayah Sumatera Utara, dan kemudian leluhur masyarakat Batak Toba membawanya ke wilayah migrasinya di wilayah Toba, yang kemudian prinsip budaya ini tetap dinamai Dalihan Na Tolu di Toba dan di wilayah migrasi lainnya dinamai Rakut Sitelu, tolu sahundulan, Owuloa Hada.

Penelitian yang dilakukan oleh Sannur dalam tesis berjudul “Tortor dalam

Pesta Horja Pada Kehidupan Masyarakat Batak Toba Suatu Kajian Struktur dan

Makna. Tesis ini menjelaskan tentang makna tortor, fungsi, perkembangan dan perubahan tortor dalam konteks pesta horja marga Gultom. Dijelaskan tortor tetap menjadi bagian dalam kegiatan-kegiatan adat walaupun mereka tidak lagi berada di daerah asalnya, karena pesta horja merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur mereka. Proses pemakaman ini dilaksanakan untuk merayakan

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

atau mengadakan pesta setelah membangun tempat yang menyatukan leluhur ke suatu tempat yang disebut dengan batu napir atau tugu atau monumen yang dibuat dari batu dan semen selesai. Dalam prosesinya banyak tata cara yang harus dipatuhi sesuai dengan kesepatakan mereka dengan sistem adat dalihan na tolu yang menjadi pedoman mereka.

Salah satu acuan yang digunakan dalam jurnal Anthropos ditulis Murni

Eva tentang adat perkawinan Batak Toba yang telah mengalami perubahan.

Dijelaskan bahwa upacara perkawinan tidak lagi menuntut adanya sistem upacara maupun tata cara pelaksanaan upacara tersebut. Hal ini dikarenakan kehadiran modernisasi telah mengubah penilaian masyarakat Batak Toba terhadap tata cara dan kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam upacara adat perkawinan Batak

Toba. Perkawinan marpariban tidak lagi menjadi suatu kewajiban bagi putra/putri

Batak Toba. Pada saat ini upacara adat perkawinan Batak Toba telah berubah seperti tahapan mangalehon tanda hata ( pemberian tanda burju) sudah jarang dilaksanakan, marhori-hori dingding tidak lagi menjadi suatu kewajiban bagi masyarakat Batak, patua hata dan marhusip di Kota Medan dilaksanakan secara bersamaan, maningkir lobu yang biasanya dilakukan setelah acara marhata sinamot sudah ditiadakan/dihilangkan dan tahapan atau acara paulak une dan maningkir tangga telah dilangsungkan bersamaan dengan pesta unjuk. Bentuk upacara perkawinan yang demikian disebut adat ulaon sadari artinya pesta yang dituntaskan selama satu hari. Pelaksanaan upacara adat Batak Toba di Kota

Medan mayoritas dilaksanakan dalam bentuk ulaon sadari (upacara adat yang dituntaskan dalam satu hari). pada tata aturan ini sebagaian masyarakat menyetujui dan sebagian lagi menolak, trutama para raja-raja adat.

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dari hasil yang ditemukan dalam jurnal di atas, terlihat bahwa tata upacara perkawinan sudah mulai menghilangkan format-format adat yang sudah berlaku, termasuk memjnculkan bentuk baru dalam penyajian tortor. Berdasarkan referensi ini, penulis menjadikannya sebagai data penunjang dalam menganalisis perubahan yang terjadi pada penyajian tortor.

Y. Sumandiyo Hadi, Sosiologi Tari: Sebuah Wacana Pengenalan Awal,

Yogyakarta: Pustaka, 2005. Dalam buku ini dijelaskan mengenai keberadaan tari dalam masyarakat serta hubungan antara tari itu sendiri dengan masyarakat pendukungnya. Dari pemahaman akan teori inilah maka peneliti menyadari bahwa klarifikasi tentang keberadaan tari tidak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologinya dan buku ini membantu peneliti dalam mengetahui dan memahami keberadaan tortor suku Batak Toba dalam kaitannya dengan upacara perkawinan, dan hubungan antara tari itu sendiri dengan masyarakat pendukungnya.

Selanjutnya Y. Sumandiyo Hadi, dalam Koreografi: Bentuk-Teknik-Isi,

Yogyakarta: Multi Grafindo, 2012. Buku ini membahas tentang elemen-elemen dasar koreografi yaitu gerak, ruang, dan waktu. Buku ini membantu peneliti yang berkaitan dengan bentuk penyajian. Y. Sumandiyo Hadi, Seni Pertunjukan dan

Masyarakat Penonton, Buku ini membahas secara khusus tentang memperhatikan bagaimana sesungguhnya keberadaan Seni Pertunjukan dengan masyarakat penontonnya. Buku ini membantu peneliti dalam mengetahui dan memahami bahwa seni pertunjukan tidak ada artinya tanpa ada penonton, pendengar, pengamat yang akan memberikan apresiasi, tanggapan atau respond dan dapat

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

membantu peneliti untuk mengetahui bagaimana memberi makna seni pertunjukan dalam hubungannya dengan masyarakat.

Sumaryono, Antropologi Tari Dalam Perspektif Indonesia, Yogyakarta:

Badan Penerbit ISI Yogyakarta, 2011. Buku ini menjelaskan tentang penerapan teori-teori antropologi berkaitan dengan kajian-kajian tari. Kajian bersandarkan kehidupan kebudayaan yang menyangga. Buku ini juga sangat membantu peneliti dalam memahami tari, khususnya fenomena yang hidup dan berkembang dalam penyajian tortor dalam berbagai aktifitas masyarajkat batak Toba.

1.6 Defenisi Konsep

1.6.1 Kontinuitas

Kontinuitas memiliki arti keberlanjutan, keberlangsungan, dan kesinambungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988).

Kontinuitas yang dimaksud di sini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan, dan masih berlanjut hingga pada saat ini. Sebagai bentuk kontinuitas dapat dilihat dari pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Batak

Toba dengan tahapan-tahapan dalam adat yang sesuai dengan system kekerabatan yang dianut yaitu dalihan na tolu sebagai pedoman yang mengatur pelaksanaan adat. Kontinuitas juga dilihat dari keberadaan tortor yang menjadi materi acara dalam kegiatan adat/upacara adat.

Sampai saat ini, tortor masih dilakukan dalama berbagai aktivitas adat suku Batak Toba, dengan berbagai tujuan dan keinginan, bentuk dan format yang berbeda.

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.6.2 Perubahan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change, artinya perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antar kelompok manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83). Perubahan juga merupakan suatu proses dimana suatu keadaan berubah dan bisa juga dikatakan peralihan dari suatu masa/era. Perubahan yang dimaksud dalam konsep ini adalah suatu perubahan/peralihan yang terjadi pada tortor suku Batak Toba yang disajikan pada kegiatan upacara perkawinan, yang tentu saja memberi perubahan pada format pertunjukan.

Kontinuitas dan perubahan adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai -nilai, sikap, dan pola perilaku diantara sekelompok masyarakat. Proses perubahan terjadi karena manusia ialah mahkluk yang berfikir dan bekerja. Manusia juga selalu berusaha untuk memperbaiki nasibnya dan sekurang – kurangnya berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Perubahan berlangsung terus-menerus dari waktu ke waktu, apahkah direncanakan atau tidak direncanakan serta tidak dapat ditahan. Perubahan sosial dalam penelitian ini adalah perubahan dalam pelaksanaan tahapan-tahapan upacara Perkawinan

Masyarakat Batak Toba. Pelaksanaan tahapan-tahapan upacara Perkawinan

Masyarakat Batak Toba di Kota Medan tidak lagi sama pelaksanaannya seperti yang dilaksanakan di daerah asal atau kampung halaman.

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.6.3 Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba

Upacara adalah sistem aktivitas atau rangkaian atau tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1980:140).

Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara penguburan dan upacara pengukuhan kepala suku.

Upacara umumnya memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Dalam pelaksanaannya upacara adat memiliki unsur-unsur: tempat berlangsungnya upacara, waktu pelaksanaan upacara, benda-benda atau alat upacara, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya (Koentjaraningrat, 1980:241).

Upacara adat yang dimaksud disini adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat sebagai penelusuran jejak sejarah masyarakat Batak Toba yang dilakukan secara turun-temurun dengan mengandung adanya unsur-unsur dalam pelaksanaannya yang berlaku di di daerahnya.

Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba adalah salah satu upacara ritual adat Batak Toba. Dalam adat Batak Toba, penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui perkawinan tak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat bersangkutan. Demikianlah keseluruhan rangkaian ritus perkawinan adat Batak Toba mengiyakan pentingnya peran masyarakat, bahkan ia tak dapat dipisahkan dari peran masyarakat.

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Adapun tahapan tahapan dari Upacara Perkawinan Masyrakat Batak Toba antara lain Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan). Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada „suruhan‟ pihak laki-laki pada hari itu juga dan pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang dongan tubu, boru, dan dongan sahuta. Marhusip - Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan). Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya. Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu, boru-tubu, dan dongan-sahuta. Marhata Sinamot, Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari dongan tubu, boru dan dongan sahuta. Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman. Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot. Marpudun Saut, dalam Marpudun saut sudah diputuskan ketentuan yang pasti mengenai sinamot, ketentuan jambar sinamot kepada si jalo todoan, ketentuan sinamot kepada parjambar na gok, ketentuan sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara, tanggal upacara, ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos kepada pihak paranak, dan ketentuan tentang adat.

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.6.4 Masyarakat

Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1993:106-107), yaitu sebagai asosiasi manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya, sehingga direncanakan pembentukan organisasi-organisasi tertentu. Selain itu

Soerjono Soekanto menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tidak mungkin dipisahkan dari kebudayaan dan kepribadian.

Koentjaraningrat dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi menjelaskan bahwa mayarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah socirty yang berasal dari kata latin socius yang berarti kawan. Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa

Arab syarakah yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi). Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah berinteraksi.

Definisi lain masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan suatu kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu : a) interaksi antar warganya; b) adat istiadat; c) kontinuitas waktu; d) rasa identitas kuat yang mengikat semua warga

(Koentjaraningrat, 2002. Hal.115-118)

Berkaitan dengan penjelasan di atas, masyarakat Batak Toba adalah salah satu etnis di Indonesia yang berada di Pulau Sumatera bagian Utara. Dalam ratusan bahkan ribuan tahun masyarakat Batak Toba telah bertumbuh,

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berkembang, dengan memelihara nilai-nilai budaya mereka. Masyarakat Batak

Toba yang penulis maksud di sini, adalah masyarakat yang telah lama ada di Kota

Medan, serta masyarakat Batak Toba yang telah melakukan perpindahan dari daerah asalnya dan menetap ke Kota Medan dengan membawa kebiasaan mereka, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisi mereka. Perpindahan tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti halnya faktor ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Seperti yang juga dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup yang berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa identitas bersama.

Dalam kehidupan keseharian masyarakat memiliki sesuatu kesukaran atau kebosanan dalam hal menjalani kehidupan. Disaat masyarakat memiliki rasa kesukaran dan rasa bosan maka masyarakat mencari suatu hiburan berupa kesenian, baik kesenian modern ataupun kesenian kuno. Kesenian mengobati rasa kesukaran dan rasa kebosanan. Menurut Muhammad Syukri‟ Albani Nasution dalam bukunya Ilmu Sosial Budaya Dasar menuturkan bahwa keseniaan bagian dari kebudayaan.

Kesenian merupakan kelanjutan dari kebudayaan. Masyarakat akan membentuk suatu hiburan berupa karya seni. Karya seni akan memberikan keindahan kepada manusia dan menyuguhkan ide-ide baru yang harus dimengerti dan mungkin direnungkan ataupun ada yang harus dibahas kehebatan isinya.

Kesenian dapat memberikan suguhan bagi kehidupan kejiwaan orang seperti memberikan rasa keindahan atau memberikan tunjangan dan bantuan untuk memberi warna indah dari karya- karya seni (Nasution, 2015. Hal.204).

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

“Kesenian adalah bagian dari kebudayaan. Seni tari adalah salah satu bagian dari kesenian, arti seni tari adalah keindahan gerak anggotaanggota badan manusia yang bergerak, berirama, dan berjiwa atau dapat diberi arti bahwa seni tari adalah keindahan-keindahan bentuk anggota badan manusia yang bergerak, berirama, dan berjiwa yang harmonis (Kussudiarja, 1992. Hal. 1)”.

1.6.5 Seni Pertunjukan

Seni pertunjukan adalah satu bentuk pementasan yang dipertontonkan kepada khalayak umum oleh seniman, dengan tujuan untuk dinikmati oleh orang banyak, dalam kegiatan upacara, hiburan, maupun pertunjukan. Dalam kamus

Besar Bahasa Indonesia, kata pertunjukan diartikan juga sebagai “sesuatu yang dipertunjukan; tontonan (bioskop,wayang, dsb); pameran (barang-barang)” (1999, hlm. 1087). Dijelaskan arti kata ini mengadung pengertian, yaitu:

“(1) Adanya pelaku kegiatan yang disebut penyaji, (2) adanya kegiatan yang dilakukan oleh penyaji dan kemudian disebut pertunjukan, dan (3) adanya orang (khalayak) yang menjadi sasaran suatu pertunjukan (pendengar atau audiens). Berdasarkan makna itu, pertunjukan dapat diartikan sebagai kegiatan menyajikan sesuatu dihadapan orang lain”.

Penjelasan di atas, menjelaskan seni pertunjukan merupakan tontonan hasil kreatifitas seniman, dimainkan oleh penyaji (penari, pemusik, penyair, dll).

Untuk dapat dinikmati oleh penonton. Sehingga seni pertunjukan dapat memberikan hiburan yang bersifat menyenangkan, permohonan, dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Seperti yang diungkapkan oleh Sumardjo (2001, hlm. 2) bahwa Seni pertunjukan adalah kegiatan di luar kegiatan kerja sehari-hari. Seni dan kerja dipisahkan. Seni adalah kegiatan di waktu senggang yang berarti

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kegiatan diluar jam-jam kerja mencari nafkah. Seni merupakan kegiatan santai untuk mengendorkan ketegangan akibat kerja keras mencari nafkah.

Selanjutnya Soedarsono juga menjelaskan bahwa, seni pertunjukan adalah sebuah rumpun seni yang berfungsi sebagai sarana ritual, hiburan pribadi, dan presentasi estetis yang mengajarkan bagaimana selayaknya manusia berprilaku sosial. Menurut Bagus Susetyo (2007:1-23) seni pertunjukan adalah sebuah ungkapan budaya, wahana untuk menyampaikan nilai-nilai budaya dan perwujudan norma-norma estetik-artistik yang berkembang sesuai zaman, dan wilayah dimana bentuk seni pertunjukan itu tumbuh dan berkembang

Berkaitan dengan pendapat Soedarsono, Durachman (dalam Kurniangsih,

2013, hlm. 18) mengungkapkan bahwa

Pada dasarnya seni pertunjukan berangkat, berkembang dan dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu, sehingga kesenian itu tidak pernah bisa dilepaskan dari masyarakat yang menyangga keberlangsungannya, oleh karenanya dalam lingkungan itulah akan tercipta suatu kesepakatan, baik yang meruntut pada bagian adat istiadat, maupun kebutuhan akan hiburan.

Penjelasan di atas, dikaitkan dengan tortor memberikan pemahaman, bahwa tortor adalah seni tradisional, milik satu kelompok masyarakat (Batak

Toba), merupakan sebuah tontonaan yang dilakukan dalam aktifitas upacara, hiburan, maupun pertunjukan. Penyajian tortor menjadi tontonan bagi masyarakat penikmat, dilakukan sesuai dengan tata aturan berdasarkan konsep adat Batak

Toba, dan berkembang dengan tetap mempertahankan format-format dalam penyajiannya.

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.6.6 Kreasi

Istilah tari kreasi dipahami oleh banyak orang, dengan pemahaman berupa bentuk gerak tari baru yang dirangkai dari perpaduan gerak tari tradisional kerakyatan dengan tari tradisional klasik, yang ditata/disusun baru. Pola-pola gerak yang disusun berpijak atau mengambil sumber dari pola gerak tradisi satu etnik di Indonesia. Keseluruhan dalam elemen tarian merupakan hasil modifikasi dari sumber tradisi yang dapat diamati dari bentuk geraknya, irama, rias, dan busanannya. Selain itu tari kreasi adalah tari yang garapannya dilandasi oleh kaidah-kaidah tari tradisi, baik dalam koreografi, musik/karawitan, tata busana dan rias, maupun tata teknik pentasnya. Walaupun sudah dikembangkan, namun tidak menghilangkan esensi ketradisiannya. tari kreasi baru merupakan wujud garapan tari yang hidup relatif masih muda, lahir setelah tari tradisi berkembang cukup lama, serta tampak dalam garapan tariannya itu telah ditandai adanya pembaharuan-pembaharuan.

Pada garis besarnya tari kreasi dibedakan menjadi 2 golongan yaitu :

1. Tari kreasi berpolakan tradisi

Merupakan kreasi yang garapannya dilandasi oleh kaidah-kaidah tari tradisi, baik dalam koreografi, musik/karawitan, tata busana dan rias, maupun tata teknik pentasnya.walaupun ada pengembangan tidak menghilangkan esensiketradisiannya.

2. Tari kreasi baru tidak berpolakan tradisi (non tradisi)

Merupakan tari yang garapannya melepaskan diri dari pola-pola tradisi baik dalam hal koreografi, musik, rias dan busana maupun tata teknik pentasnya.

Walaupun tarian ini tidak menggunakan pola-pola tradisi, tidak berarti sama

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sekali tidak menggunakan unsur-unsur tari tradisi mungkin saja menggunakannya tergantung pada konsep gagasan penggarapannya. tarian ini juga disebut tarian modern yang berasal dari kata ''modo'' yang berarti baru saja.

Berkaitan dengan tortor dalam kajian ini, sesuai dengan penjelasan di atas, memperlihatkan bahwa tortor sebagai materi dalam penyambutan keluarga dan pengantin, dapat dikategorikan sebagai tari kreasi. Dikarenakan perkawinan adat

Batajk toba bioleh tidak menyertakan tortor dalam rangkaian adatnya. Selain itu, tortor yang disajikan dapat ditarikan dalam kegiatan lain yang tidak berhubungan dengan upacara perkawinan.

1.6.7 Tortor

Tortor10 (tari) bagi orang Batak, bukan hanya berarti gerakan yang indah semata, tetapi harus berlandaskan falsapah kehidupan dan ritual serta merupakan bagian dari ritus adat yang digerakkan secara simbolis. Secara harfiah, tortor berarti gerakan tubuh manusia yang teratur, terlatih, yang kemudian menjadi kebiasaan yang diakui dan didukung. Masing-masing sub suku Batak mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Gerakan-gerakan tortor terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna religius.

Dahulu tortor dihubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa magis. Fungsi utama tortor di lakukan untuk memuja dewa- dewa. Akhirnya tarian yang khusus disampaikan kepada dewa, menjadi tarian

10 Menurut Ap. Tambunan, secara leksikal, tortor berarti gerakan tari. Pengertian ini diambil dari kata kerja manortor (menari). Secara etimologi berasal dari kata manghutur atau manortor yang berarti bergetar. Sedangkan asal-usul tortor berasal dari suara “turtur” dari langkah suara orang yang berjalan di atas rumah (rumah suku Batak berbentuk rumah panggung yang lantainya terbuat dari kayu). Kemudian suara langkah tersebut diiringi dengan irama gondang. Semakin lama irama langkah itu menjadi suatu langkah tari yang dikatakan ”manortor” yang kemudian dikenal dengan “tortor” (Marnala)

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang dikenal sebagai bagian seni dari budaya Batak Toba, kemudian tortor tumbuh dan berkembang dalam suatu kegiatan keagamaan ataupun upacara- upacara adat yang menjadi tradisi pada masyarakat Batak

Tortor hingga kini masih dipergunakan dalam pesta adat, dan mempunyai peranan tersendiri bagi masing-masing kelompok pendukungnya, kelompok pemusik, pekerja, dan penonton. Jika memperhatikan peranan tortor pada para pendukungnya yang berdasarkan pada konsep fungsi, maka dapat ditarik suatu gambaran mengenai fungsi tortor itu sendiri. Fungsi yang dimaksud adalah suatu integrasi atau jaringan terkait antara unsur-unsur kebudayaan. Oleh karenya tortor yang berkembang pada masyarakat Batak Toba berfungsi untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan system sosial yang terdapat pada masyarakat itu, di samping fungsi religinya. Hal ini dapat dilihat pada upacara adat, interaksi sosial dalam masyarakat, dan interaksi sosial yang terjadi pada saat manortor

(menari). Semuanya selalu berpedoman pada system kekerabatan yang diatur berdasarkan dalihan na tolu..

7.1 Teori

7.1.1 Kontinuitas dan Perubahan

Kontinuitas dan Perubahan dalam masyarakat akan terjadi, meskipun tidak selamanya mencolok atau sangat berpengaruh secara luas. Ada perubahan yang bersifat cepat dan mencakup aspek-aspek yang luas, ada pula yang berjalan sangat lambat. Kontinuitas dan Perubahan dalam masyarakat merupakan sesuatu yang wajar sehingga segala sesuatu yang ada akan selalu berubah, mencolok atau

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sangat berpengaruh secara luas. Ada perubahan yang bersifat cepat dan mencakup aspek-aspek yang luas, ada pula yang berjalan sangat lambat. Proses perubahan memiliki tahap-tahap tertentu, yaitu: (1). Invention, merupakan proses perubahan dalam masa suatu ide baru diciptakan dan dikembangkan kedalam masyarakat;

(2). Diffusion, merupakan suatu proses dalam mana ide-ide baru tersebut disampaikan melalui suatu sistem-sistem hubungan sosial tertentu; (3).

Consequence, merupakan proses perubahan yang terjadi dalam sistem masyarakat tersebut, sebagai hasil dari adopsi (penerimaan) maupun penolakan terhadap ide- ide baru.

Kontinuitas merupakan perwujudan dari pelestarian dan regenerasi terhadap masalah yang digarap untuk mencapai pengembangan yang diharapkan.

Pada ranah sosiologis, kontinuitas diwujudkan dalam bentuk kesepahaman komunitas untuk melakukan pemberdayaan atas masalah yang diangkat ke dalam penetapan yang diinginkan secara representatif menghasilkan perilaku budaya, respons internalisasi pengembangan yang diharapkan dalam mencapai tujuan yang menjadi komitmennya. Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan.

Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (Merriam 1964:303).

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Menurut Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang.

Berdasarkan titik pandang pertama, mereka selalu mempergunakannya dalam istilah difusi yang didefenisikan sebagai transmisi budaya dalam proses.

Perubahan dapat dipandang dari bagaimana asal-usul sebuah kebudayaan tersebut apakah karena faktor internal atau eksternal. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut inovasi, dan perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi

(1948: 525). Koentjaraningrat (1965:135) juga mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan, yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan.

Kemudian Lauwer juga berpendapat bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi (acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (1989:402).

Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh sejumlah warga masyarakat yang terdapat dalam aturan- aturan atau nomra-norma, nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa. Perubahan kebudayaan bisa mencakup salah satu unsurnya dan mempengaruhi unsur-unsur kebudayaan lainnya, atau juga dapat merubah seluruh unsur-unsur kebudayaan tersebut. (Suparlan, 2004:24).

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat, menurut Ralph

Linton (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22) masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas sedangkan masyarakat menurut Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22) adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.

Menurut Bruner (1961,1973), orang Batak Toba di Medan tidak terasimilasi dengan kultur dan masyarakat kota tetapi tetap memelihara hubungan yang sangat erat dengan famili mereka dikampung. Pertama, dilihat dari segi struktural, komunitas – komunitas Batak Toba dikampung dan kota adalah bagian dari satu sitem dan seremonial. Batak kampung dan urban dihubungkan melalui suatu network komunikasi yang kompleks dimana barang – barang dan pengetahuan baru mengalir dari kota ke kampung, sementara dukungan moral adat mengalir dari arah sebaliknya. Akar dari Batak Toba urban ditemukan di masyarakat kampung. Ketika seorang Batak urban melaksanakan suatu ritus peralihan (rite de passage) penting, bisa kembali kekampung atau anggota famili datang ke Medan. Ritus adat di kota tidak boleh terlalu banyak berbeda dengan yang dilaksanakan di dataran tinggi. Kedua, jarak antar Medan dengan perdalaman Batak tidak terlalu jauh. Orang kampung yang merayakan ritus adat di kota pulang kembali ke kampung halamannya pada hari yang sama. Lancarnya

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

hubungan kampung – kota mengakibatkan semakin banyak orang kampung berpergian ke Medan. Ketiga, komunitas urban makin besar karena arus migran dari kampung semakin banyak. Mereka datang ke kota secara individual atau kelompok untuk tinggal tetap, melanjutkan sekolah atau hanya berkunjung.

Keempat, mereka yang sudah tinggak selama dua atau tiga generasi di medan tetap mempertahankan hak kepemilikannya akan sawah dikampung. Kelima, perkawinan antara Batak Toba kampung dengan kota sering terjadi, sebagai konsekuensi dari seringnya interaksi diantara mereka.

Berkaitan dengan pertunjukan tortor, kontiniu dan perubahan dilihat dari bagaimana masyarakat menempatkan tortor itu dalam kehidupannya, seperti yang dikemukakan oleh Soedarsono dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia di Era

Globalisasi, bahwa hidup matinya sebuah seni pertunjukan disebabkan oleh perubahan yang terjadi dibidang politik, ekonomi, perubahan dari selera masyarakat penikmat, sehingga pertunjukan tersebut tidak mampu bersaing dengan berbagai bentuk-bentuk pertunjukan lainnya, serta dapat dilihat pula dari siapa yang menjadi produsernya. (2002 :. 1). Demikian pula yang dikemukakan oleh Astrid S. Susanto dalam bukunya Pengantar Sosiologi dan Perubahan

Masyarakat, bahwa perubahan masyarakat sebagai fakta dan perubahan masyarakat dapat berarti kemunduran dan kemajuan (1997: 178). Dari teori tersebut dapat diartikan, bahwa pemicu perubahan berbagai hal yang terdapat pada masyarakat termasuk kesenian yang hidup di masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan masyarakatnya, baik dari perkembangan dalam arti kemunduran maupun perubahan perkembangan dalam arti kemajuan dari kesenian tersebut.

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Fenomena tentang berbagai perubahan yang terjadi dan kontinuitas keberlangsungan atau kebersinambungan penyajian tortor sebagai kegiatan adat yang diciptakan untuk kebutuhan adat sangat menarik untuk diadakan penelitian lebih lanjut, mengingat tortor adalah kesenian yang hidup dan berkembang pada suku Batak Toba dan masyarajat Umatera Utara pada umumnya, yang saat ini menjadi kesenian yang banyak ditata untuk berbagai kebutuhan.

1.7.2 Makna Simbol

Untuk membantu dalam menganalisis tortor dari sisi makna simbol, penulis menggunakan teori yang diutip dalam buku yang ditulis oleh I Made bandem dengan udul “Etnologi Tari Bali” I Made Bandem mengikuti teori dari

Allegrra Fuller Snyder. Bandem menyatakan bahwa:

Tari adalah simbol kehidupan manusia dan merupakan aktivitas kinetik yang ekspresif, termasuk aspek dalam adalah stimulus (stimulation), transformasi (transformation) dan suatu kemanunggalan (unity) dengan masyarakat. Adapun aspek luar adalah masyarakat dan lingkungan sekitar tempat si penari hidup dan berproses. Pembahasan dalam halini lebih menekankan pada sebuah tatanan yang harus melewati sebuah proses hingga terbentuk sebuah karya di dalamnya (Bandem, 1996:22)

Teori yang dikemukakan Bandem kiranya tepat untuk menganalis makna yang ada dalam tortor pada upacara perkawinan. Teori tersebut membantu peneliti untuk menganalisis gerak tortor dari sisi masyarakat, dan kebudayaa, mengingat bahwa tortor meruakan produk dari kebudayaan. Makna yang terdapat pada tortor dilihat dariua aspek yaitu aspek dalam dan aspekluar. Aspek dalam terdiri dari 1)

Stimulus, mengungkap istilah dan gerak; 2) Transformasi, mengungkap perubahan; 3) Unity, mengungkap bentuk dan makna dalam tortor. Aspek luar

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

terdiri dari kondisi masyarakat dan lingkungan di kota Medan yang berpengaruh pada penyajian tortor. Penjelasan ini perlu untuk dibahas agar mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh.

Tortor dalam Upacara Perkawinan merupakan tarian Batak yang mempunyai keistimewaannya sendiri, selain mempunyai keunikan menyampaikan makna dalam tarian, juga menjadi proses pemberian dan penerimaan adat dalam sistem kekerabatan Batak melalui komunikasi nonverbal yang menggunakan simbol-simbol. Tarian ini juga mempunyai keunikan di tiap makna simbol yang sesuai dengan ketentuan adat istiadat batak Toba yang mempunyai arti atau nasehat adat yang terkandung dalam makna simbol dalam tarian ini. Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain

(communication is the process to modify the behaviour of other individuals).

Berdasarkan yang dikatakan Hovland bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modify the behaviour of other individuals) dapat dijelaskan bahwa komunikasi dapat mengubah sikap seseorang dalam hal ini diharapkan dapat menyadarkan masyarakat bahkan generasi muda untuk tetap melestarikan tarian Batak dan terus menjaga keeksistensian ditengah perkembangan zaman, mengubah pendapat penonton bahwa tortor bukan sekedar tarian yang selalu ada di kegiatan pesta, mengubah perilaku masyarakat dan mampu memberikan pemahaman tentang tortor.

Selanjutnya pengkajian perubahan dan kontinitas tortor juga mengacu pada teori fungsi yang dikemukakan oleh Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa.

Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya.

Berdasarkan teori fungsi, kemudian mencoba menerapkannya dalam disiplin etnokoreologi, lebih lanjut secara tegas Curt Sachs (1963:5) seorang ahli musik dan tari dari Belanda mengemukakan dalam bukunya yang berjudul World

History of the Dance mengutarakan bahwa fungsi tari secara mendasar ada dua, yaitu (1) Tari berfungsi untuk tujuan magis, dan (2) Tari berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Pakar lainnya Gertrude Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu (1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3) sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana untuk perkawinan atau pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau mata pencaharian, (6) sebagai media untuk sarana kesuburan atas pertanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi peperangan, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13) sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak).

Keempat belas fungsi menurut Sachs menjadi tujuan dari aktifitas yang dilakukan satu kelompok masyarakat. Berdasarkan pendapat ini, maka fungsi torto yang paling utama adalah fungsinya sebagai sarana untuk perkawinan, yaitu memohon diberi-Nya keberkahan dalam mengarungi kehidupan dalam berumah tangga agar mendapatkan kebahagiaan. Namun ketika tari ini dipentaskan dengan

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

perubahan dalam format yang berbeda, maka fungsi utamanya menjadi ekspresi estetis, untuk memperkuat, legalitas dan identitas masyarakat dan kebudayaan.

Anthony V. Shay dalam disertasinya yang berjudul: The Function of

Dance in Human Society, membagi tari dalam 6 fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta ritual keagamaan,

(3) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis, dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi.

Kalau ditinjau dari teori fungsi tari yang dikemukakan Shay ini, maka tortor pada kebudayaan Batak Toba di Kota Medan, adalah sebagai refleksi kelompok sosial masyarakat Batak yang juga berfungsi sebagai ekspresi ritual keagamaan, hiburan, estetik, dan juga ekonomi. Teori fungsi yang dikemukakan

Shay kemudian menjadi bahan analisis dalam melihat kontinuitas dan perubahan dalam tortor.

1.7.3 Sejarah

Secara arti kata, kata sejarah memiliki pengertian "penyelidikan, pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian”. pengertian ini memberikan arti studi tentang masa lalu, khususnya bagaimana kaitannya dengan manusia.

Dalam bahasa Indonesia kata sejarah akan merujuk pada kata babad, hikayat, riwayat, atau tambo yang dapat diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau asal usul (keturunan) silsilah, terutama bagi raja-raja yang memerintah.

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Selanjutnya kata sejarah juga mengacu pada bidang akademis yang menggunakan narasi untuk memeriksa dan menganalisis urutan peristiwa masa lalu, dan secara objektif menentukan pola sebab dan akibat yang menentukan mereka. Ahli sejarah terkadang memperdebatkan sifat sejarah dan kegunaannya dengan membahas studi tentang ilmu sejarah sebagai tujuan itu sendiri dan sebagai cara untuk memberikan "pandangan" pada permasalahan masa kini.

Selanjutnya Kartodirdjo menjelaskan tentant arti dari sejarah yang merupakan gambaran tentang masa lalu manusia dan sekitarnya sebagai makhluk sosial yang disusun secara ilmiah dan lengkap. Meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberikan pengertian pemahaman tentang apa yang telah berlalu (Sartono Kartodirdjo, 1987: 12).

James R. Brandon (1967), salah seorang peneliti seni pertunjukan Asia

Tenggara asal Eropa,membagi empat periode budaya di Asia Tenggara termasuk

Indonesia yaitu:

1. Periode pra-sejarah sekitar 2500 tahun sebelum Masehi sampai 100 Masehi

(M)

2. periode sekitar 100 M sampai 1000 M masuknya kebudayaan India,

3. periode sekitar 1300 M sampai 1750 pengaruh masuk, dan

4. periode sekitar 1750M sampai akhir Perang Dunia II.

Empat masa periode yang dikemukakan Jamees Brandon, menjelaskan tentang keberadaan seni pertunjukan, yang mengalami perubahan dari masa ke masa. Perubahan terjadi diakibatkan berbagai aspek baik dari sisi fungsi, tujuan, estetika, etika, pertunjukan, dan lain sebagainya.

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dari beberapa pengertian sejarah di atas maka dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah ilmu yang mempelajari kejadian-kejadian atau peristiwa pada masa lalu manusia serta merekontruksi apa yang terjadi pada masa lalu. Dengan adanya pembelajaran sejarah, maka dapat membantu kita untuk memahami perilaku manusia pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang

Bertolak dari penjelasan Brandon, kajian tentang tortor dalam upacara perkawinan akan melihat kontinuitas dan perubahan pada pelaksanaan pesta adat perkawinan, yang menempatkaan tarian (tortor) sebagai materti acara. Suku Batak

Toba memberikan ruang dalam penyajian tortor di awal acara, sebagai simbol penghormatan.

1.7.4 Bentuk Seni Pertunjukan

Murgiyanto (1992:36) mengatakan “Bentuk“ merupakan segalanya yang terkait dengan pengaturan. Pada tari, bentuk merupakan sebuah hal yang teramati dan berupa gerakan yang dilakukan oleh fisik. Hoppu (2014:312) menjelaskan bahwa fenomena seni pertunjukan muncul dalam berbagai bentuk yang khas, dan studi tentang hubungan antara pertunjukan sosial dan budaya selalu mengambil konteks budaya yang menjadi penyebabnya.

Bentuk seni pertunjukan tari dan musik memiliki urut-urutan penyajian, yang merupakan bagian dari keseluruhan pementasannya. Ada bagian awal atau pembukaan, yang kemudian dilanjutkan dengan bagian utama, selanjutnya bagian akhir pertunjukan yang masih dalam satu rangkaian pementasan. Pada setiap urutan penyajian dapat diamati waktu yang dibutuhkan oleh masing-masing urutan penyajian (Susetyo 2007:9).

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Seni pertunjukan tradisional merupakan seni yang hidup dan berkembang dalam suatu daerah atas dasar kesepakatan bersama yang dilakukan antara masyarakat pendukungnya. Seni pertunjukan tradisional dilaksanakan secara turun temurun dari generasi ke generasi dalam masyarakat pendukungnya. Seni pertunjukan tradisional pada umumnya memiliki ciri khas yang tetap pada bentuk seninya (Susetyo 2007:11).

Seni pertunjukan memiliki beberapa jenis yaitu seni musik, seni teater, dan seni tari. Utina dan Wahyu Lestari (2006:14) menjelaskan bahwa seni pertunjukan tari meliputi tari rakyat, sendratari, dramatari, langendriyan, langen mandrawanara, langen kusuma dan bentuk tari. Bentuk seni pertunjukan tari sebagai karya seniman, terlahir sebagai ungkapan lewat unsur-unsur seperti tema, gerak, iringan/musik, tata rias dan busana, tata pentas, tata lampu/pencahayaan, tata suara, pelaku, dan penonton. Kerterkaitan yang erat antar unsur-unsur pendukung pertunjukan tari akan menimbulkan sebuah pementasan yang kompleks.

Berkaitan dengan bentuk pertunjukan tortor, teori ini digunakan dalam menganalisis wujud tortor dalam konteks upacara adat, yang diamati dari elemen- elemen pembangun tarian yang saling berkaitan dalam mewujudkan makna tortor.

Melalui pendekatan bentuk, tortor dapat dianalisis bagaimana format yang diciptakan utnuk kebutuhan upacara adat perkawinan, sehingga dapat diketahui apakah format baru tidak menyalahi dari tata aturan dalam format awal.

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.8 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian adalah sebuah pendekatan yang dilakukan untuk mengulas permasalahan dalam topik-topik kajian. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi dalam tinjauan sosio-historis. Dalam buku

Sumandiyo Hadi menjelaskan tentang pemahaman terhadap eksistensi tari di kalangan masyarakat dengan konsep sejarah idealis tentang semangat zaman yang dapat membantu dalam mengulas fenomena dan perkembangan yang ada pada tortor dalam upacara perkawinan. Penjelasan konsep ini menekankan pada keterlibatan peneliti dengan mengikuti, menyaksikan, mengamati, dan mendokumentasikan objek penelitian tortor dengan pembahasan tentang fenomena yang ada, dengan menganalisi pada perkembangan dan perubahan yang dialaminya yang dipengaruhi oleh faktor sosial masyarakat sebagai pendukung utama serta dikaitkan dengan kategori sejarah yang dialami oleh masyarakatnya.

Pendekatan tersebut digunakan untuk mengamati perkembangan tortor terhadap keberadaan seni tari dalam kurun waktu sejarah tertentu bagi masyarakat

Batak di Kota Medan dari berbagai kepentingan sosial. Dalam kasus ini tinjauan tortor pada kegiatan upacara perkawinan.

Selanjutnya penelitian ini juga menggunakan pendekatan koreografi.

Pendekatan koreografi ini membantu peneliti dengan mengkaji objek penelitian dari sudut koreografinya, yang meliputi aspek gerak tari, ruang, waktu, rias dan busana, iringan dan properti yang digunakan, sehingga terbentuk pertunjukan yang merupakan satu kesatuan dari berbagai aspek koreografi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan oleh Y. Sumandiyo Hadi dalam bukunya yang berjudul

Koreografi: Bentuk-Teknik-Isi, bahwa pendekatan koreografi merupakan sebuah

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemahaman melihat atau mengamati sebuah tarian yang dapat dilakukan dengan menganalisis konsep-konsep isi, bentuk dan tekniknya (conten, form, and technique). Ketiga konsep ini sesungguhnya merupakan satu kesatuan dalam bentuk tari, namun dapat dipahami secara terpisah.

1.8 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dimana penelitian dilakukan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dengan cara mendeskripsikan dengan kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2014:9). Dengan menggunakan metode ini hasil penelitian akan dideskripsikan dan dianalisis, dengan focus utama pada bidang budaya dan sosialnya.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang secara sistematik dan objektif menggambarkan fakta-fakta, sifat, ciri-ciri serta hubungan di antara unsur-unsur yang ada dalam tortor. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca beberapa sumber pustaka, naskah, mengamati video, foto, serta sumber lisan yang didapat dari hasil wawancara. Tortor adalah gambaran tentang konsep hidup masyarakat

Batak Toba yang dijadikan pedoman termasuk pada prosesi upacara perkawinan.

Dengan demikian perlu diperhatikan berbagai pendekatan historis, dan psikologi, seperti dikatakan Soedarsono (1999) dalam bukunya “Metodologi Penelitian Seni

Pertunjukan dan Seni Rupa”. Metode ini digunakan untuk menguraikan pertunjukan tari istana khususnya tentanglatar belakang penciptaannya,

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

perubahan-perubahan yang terjadi, penyebab terjadinya perubahan itu, serta tanggapan terhadap perubahan tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan etnokoreologi yang dikemukakan

R.M. Soedarsono, 2007 dalam buku “Etnokoreologi Nusantara” menyebutkan bahwa seni pertunjukan mempunyai bermacam-macam aspek berlapis, sehingga pendekatan-pendekatan yang dipakai juga merupakan sebuah pendekatan multidisipliner. Etnokoreologi merupakan pendekatan yang meminjam teori, konsep, atau disiplin, sistem, atau metode dari disiplin ilmu lain, sehingga bisa dikatakan pendekatan etnokorelogi merupakan pendekatan multidisipliner, atau pendekatan dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu R.M. Pramutomo, 2012 dalam buku “Greget Joged Jogja” menjelaskan bahwa pendekatan etnokoreologi dibentuk dari landasan pemikiran yang dipinjam dari berbagai disiplin, maka pendekatan ini bersifat kualitatif yang mengandalkan data kualitatif dan didominasi oleh studi pustaka dan etnografi tari. Sehingga memberikan apa-apa yang diperlukan dalam proses pengumpulan data untuk mendapatkan periode historis perubahan gaya penampilan, genre tari, ataupun aspek lain seperti penonton, sehingga dapat diperoleh gambaran lebih rinci.

Berdasarkan hal ini, data etnokoreologi perlu dilengkapi dengan dokumen foto dan video tari yang mendukung elemen visual. Melalui etnokoreologi, berbagai aspek dapat diketahui, seperti, perubahan nilai, pergeseran estetika, nilai etis, filosofis, perubahan bentuk, struktur, perubahan gaya penampilan, dan sebagainya. Untuk mendapatkan data-data yang dibuthkan dalam penelitian ini menggunakan:

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.8.2 Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi merupakan proses yang kompleks dan tersusun dari proses. Teknik proses observasi yang terpenting adalah mengandalkan pengamatan dan ingatan dari peneliti (Husaini 1995: 54-55)

Penelitian ini menggunakan teknik observasi partisipan, dimana observasi partisipan adalah observasi langsung secara aktif dalam objek yang diteliti. Alasan peneliti menggunakan observasi partisipan karena mengamati struktur gerak tortor.

Observasi yang peneliti lakukan terhadap objek memperoleh data di lapangan terhadap analisis bentuk tortor sebagai tempat tercipta dan berkembangnya tari tersebut. Observasi dilaksanakan dengan tujuan untuk mengamati lebih mendalam tentang bentuk pertunjukan tortor.

Observasi partisipan yang dilakukan penulis dengan melihat dan mengikuti latihan penari tortor di sanggar sebagai sampel penelitian ini, agar peneliti mudah dalam menganalisa dan membuat kesimpulan. Peneliti menggunakan digital camera untuk pengambilan foto, dan video saat penelitian. Observasi yang dilakukan memperoleh data tentang struktur tortor seperti ragam gerak tortor, elemen-elemen dasar yang membentuk struktur tortor itu sendiri seperti unsur gerak, motif gerak, sampai gugus gerak. Setelah semua data terkumpul dan data diproses dideskripsikan, diinterpretasikan serta dicari relevansinya antara komponen satu dengan komponen yang lain

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1.8.3 Studi Kepusatakaan

Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data secara tertulis dan memperoleh kajian awal melalui literatur-literatur yang menunjang penelitian yang dapat memberikan panduan dalam membahas fenomena yang ada. Literatur dapat berupa buku, karangan ilmiah, jurnal, dan lainnya yang diperoleh dari

Perpustakan USU (Universitas Sumatera Utara) sebagai tempat melakukan studi pustaka ini, ditambah dari Pemerintah Kota Medan, dan buku-buku milik pribadi yang sesuai dengan kebutuhan pustaka yang digunakan.

Referensi yang diperoleh sebagai penguatan dan pedoman dalam penyusunan analisis hasil penelitian. sehingga ditemukan keterkaitan teori-teori yang dugunakan dengan penelitian yang dilakukan.

1.8.4 Wawancara

Salah satu metode yang digunakan adalah wawancara kepada narasumber.

Wawancara atau interviu‟ adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi11.Wawancara ini semi terstruktur, dengan maksud agar proses wawancara dapat berjalan dengan lebih santai dan terbuka, namun tetap rapi. Data yang berkaitan dengan tortor diperoleh dari beberapa narasumber, antara lain: 1) 3 (tiga) sanggar yang menjadi sampel dalam penelitian ini yang dipilih berdasarkan kuantitas dan kualitas dari pemesanan tortor penyambutan dalam acara perkawinan, 2) 2 orang pemilik wisma, maupun tokoh masyarakat Batak yang ada di Medan, dan seniman.

Wawancara dilakukan dengan bantuan daftar pertanyaan yang telah dibuat oleh peneliti, buku catatan kecil dan ballpoint, serta blangko biodata narasumber

11 S. Nasution, 2004, Metode Research: Penelitian Ilmiah. : Bumi Aksara. p.113.

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang telah dibuat, untuk mempermudah peneliti menggunakan fasilitas perekam suara yang ada dalam handphone. Wawancara dilakukan oleh peneliti terhadap beberapa elemen dan pelaku (seniman, koreografer, tokoh masyarakat Batak, pemilik gedung pelaksanaan pesta perkawinan) baik secara pribadi maupun kelompok.

Wawancara dilakukan untuk pemvalidan data yang diperoleh dari dokumen foto, referensi, maupun pengamatan proses penyajian tortor pada upacara perkawinan di beberapa wisma. Wawancara yang dilakukan berupa pertanyaan tentang pelaksanaan upacara, penyajian tortor, perubahan menyangkit pada elemen-elemen yang mendukun sebuah tarian.

1.8.5 Dokumentasi

Teknik dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau orang lain tentang objek yang diteliti dan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media yang dipilih (Herdiansyah 2000: 143). Data dokumentasi memiliki keabsahan yang paling tinggi serta dapat dipertanggungjawabkan. Macam-macam dokumen yang digunakan adalah bukubuku tentang struktur tari, buku tentang ragam gerak, foto-foto gerak Tortor, video pertunjukan tortor. Berkenaan dengan penelitian ini dokumen tersebut diharapkan dapat memberikan informasi tentang analisis struktur pertunjukan tortor. Dokumen-dokumen yang disertakan dalam penelitian ini antara lain foto,

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

data media, dan pedoman wawancara tentang analisis struktur gerak tortor yang terdapat pada lembar lampiran.

Dokumentasi yang diperoleh peneliti dari narasumber utama, Bapak

Marsius Sihotang, Bapak Irfansyah, Ibu Nela Sianturi, yaitu: foto-foto pertunjukan tortor untuk penyambutan dalam upacara perkawinan di beberapa wisma. Selain itu dokumentasi juga didapat dari nara sumber pendukung yang berasal dari para penari dan pemusik yang turut dalam memeriahkan pesta perkawinan.

1.8.5 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah didapat dari lapangan. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi, aspek struktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai dengan keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang inter- disipliner dan keseluruhannya dikerjakan di dalam laboratorium Etnomusikologi), sehingga permasalahannya yang merupakan hasil laporan penelitian yang disusun dalam bentuk tesis. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang-ulang.

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Miles & Huberman dalam Sugiyono (2015: 330) menyatakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus. Analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verivikasi (Miles & Huberman 1992:16). b. Reduksi data

Reduksi data merupakan proses penyederhanaan, pemilihan data-data hasil dari observasi, dokumentasi, dan wawancara di lokasi penelitian Miles &

Pengumpulan data Reduksi data Penyajian data Kesimpulankesimpulan:

Penarikan/Verivikasi

Huberman 1992:16). Peneliti dapat memilah-milah data penelitian yang akan digunakan dan yang tidak digunakan. Proses pemilihan data-data penelitian disesuaikan dengan topik kontiniu dan perubahan tortor pada upacara perkawinan.

Data data yang melalui proses reduksi data, yaitu: gambaran umum lokasi penelitian, wawancara mengenai sejarah dan latar belakang tortor penyambutan, wawancara dengan para pelaku pertunjukan, deskripsi mengenai bentuk dan perubahannya beserta komponen-komponen yang mendukung. c. Penyajian Data

Penyajian data merupakan proses di mana peneliti dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Penyajian dapat diartikan sebagai sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Miles & Huberman 1992: 17).

Pada proses penyajian data, peneliti meringkas, menyusun, kemudian mengorganisasikan data-data penelitian sesuai dengan kategori sifatnya masing-

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

masing, seperti komponen-komponen pendukung bentuk pertunjukan tortor penyambutan, yaitu: tema; gerak; iringan; tata rias dan busana; tata pentas; tata suara; tata lampu; pelaku pertunjukan dan penonton, dan fungsi-fungsi system kekerabatan pada pertunjukan Tortor penyambutan. d. Penarikan kesimpulan/verifikasi

Penarikan kesimpulan/verivikasi yaitu proses peneliti dalam mencari arti benda-benda dengan mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi- konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi. Kesimpulan- kesimpulan awal peneliti mulanya belum jelas, kemudian meningkat menjadi lebih rinci (Miles & Huberman 1992: 19). Pada proses penarikan kesimpulan/verivikasi, peneliti melakukan tinjauan ulang terhadap data-data penelitian yang didapat di lapangan mengenai bentuk dan fungsi pertunjukan Tari

Opak Abang, dan melakukan uji validitas antara data-data yang didapat dengan observasi, dokumentasi, dan wawancara yang telah dilakukan di lapangan. Data data mengenai bentuk tortor penyambutan selanjutnya diuraikan secara rinci dalam bentuk laporan hasil penelitian.

1.8.7 Lokasi Penelitian

Peneliti memilih lokasi penelitian di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, di antara kota dan kabupaten yang ada di Indonesia, Kota Medan banyak masyarakat Batak Toba. Dari segi tujuan merantau masyarakat Batak Toba, Kota Medan termasuk sebagai tujuan utama disusul Jakarta, Pekan Baru, Batam dan Kalimantan. Kedua, Pelaksanaan upacara perkawinan masyrakat Batak Toba di Kota Medan sudah dilaksanakan secara

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

bersama-sama. Hal ini dapat dilihat dari kebersamaan masyarakat Batak Toba, yakni Samosir, Toba, Silindung dan Humbang membaur menjadi satu dalam pelaksanaan kegiatan adat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Batak Toba di

Kota Medan masih satu paguyuban. Dimana akan diadakan penelitian pada pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Batak Toba di kota Medan

1.8.8 Sistematika

Tulisan ini dibagi ke dalam bab demi bab, dimana setiap bab secara saintifik saling berkaitan. Masing-masing bagian bab akan memberikan gambaran tersendiri, yang bertujuan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi dari tesis ini.

Bagian/bab I berisi tentang latar belakang penelitian, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kajian kepustakaan, konsep dan teori yang digunakan, metode penelitian lapangan (yang diperinci lagi menjadi penelitian lapangan, dan kerja laboratorium) , dan teknik pengumpulan data yang digunakan seperti studi kepustakaan, observasi, wawancara, pendokumentasian, dan kerja laboratorium.

Bab II akan mendeskripsikan tentang tinjauan umum masyarakat Batak

Toba, Bab ini terdiri dari sub bab, tentang masyarakat Batak Toba, organisasi sosial masyarakat, sistem mata pencaharian, sistem agama dan kepercayaan, sistem kekerabat, upacara adat, kesenian, dan penjelasan tentang Kota Medan dan sekitarnya, keadaan masyarakat Kota Medan dan sekitarnya yang dijelaskan berhubungan dengan etnis, upacara adat dan Tortor yang ada.

Bab III akan mendeskripsikan tentang Tortor secara mendalam, mulai dari sejarah munculnya, perkembangannya, dan eksistensinya pada masa sekarang.

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Juga akan dijelaskan pola pertunjukannya, proses penyajiannya, lagu-lagu yang disajikan, instrument yang digunakan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertunjukan yang mereka lakukan. Upacara adat perkawinan dengan tortor sebagai bagian dari pelaksanaannya.

Bab IV akan mendeskripsikan tentang analisis dari kontinuitas dan perubahan tortor yang dilihat dari format pertunjukan, pada Tortor upacara perkawinan dan membahas tortor pada upacara adat perkawinan, yang dilihat dari bagaimana masuayarakat Batak Toba menempatkannya, fungsi tortor pada upacara adat perkawinan, dan Makna simbol dari bentuk tortor yang berkaitan dengan elemen tari.

Bab V adalah bagian penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran. Bagian akhir dari tesis berisi daftar pustaka, daftar informan, daftar gambar, daftar tabel dan lampiran-lampiran lainnya.

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB II TINJAUAN UMUM SUKU BATAK TOBA DI KOTA MEDAN

2.1 Masyarakat Urban Batak Toba

Apabila dilihat secara Geografis, Suku Batak Toba pada umumnya mendiami wilayah Barat pegunungan Bukit Barisan, wilayah Timur sampai

Selatan Pantai Danau Toba, dan secara umum, daerah asal budaya masyarakat

Batak Toba adalah daerah sekeliling Pantai Danau Toba dan Pulau Samosir.

Wilayah ini merupakan daerah yang terdiri dari banyak perbukitan, pegunungan dan lembah dengan iklim tropis. Pada umumnya daerah-daerah ini kaya akan sumber air, misalnya Danau Toba, sehingga sebahagian masyarakatnya hidup sebagai petani di sawah dan ladang.

Meskipun tanah Batak kaya akan sumber air dan merupakan komunitas masyarakat Petani, namun nilai kehidupan perekonomian petani di daerah-daerah kabupaten Tapanuli Utara rendah. Hal ini terutama dikarenakan kondisi alamnya sebagai daerah pertanian tadah hujan, tanah yang sebahagian berbatu-batu dan perbukitan yang jauh lebih tinggi dari sumber air seperti Danau Toba. Kondisi ini menyebabkan tingkat keinginan merantau dan mencari kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Batak Toba menjadi tinggi. Dengan demikian banyaklah terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota maupun dari desa ke desa lain di luar daerah asal mereka.

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Masyarakat Batak Toba ini merantau kedaerah-daerah pertanian yang yang lebih subur dan daerah perkotaan diluar wilayah Batak Toba, seperti daerah kota Siantar, Padang Sidempuan, dan terutama ke kota Medan yang dianggap kota metropolitan di Sumatera Utara. Mereka meninggalkan kampungnya, bukan hanya satu orang atau satu keluarga saja, tetapi kadang-kadang ada yang merantau satu desa, sehingga ketika mereka berada di tempat yang baru, kegiatan-kegiatan yang selama ini sudah menjadi tradisi bagi mereka tetap dilakukan. Hal ini dikarenakan kuatnya rasa kedaerahan yang mereka miliki dengan segala norma- norma adapt budanya. Bagi orang Batak daerah rantau ini menjadi perkampungan kedua dan diyakini sebagai kampung halaman kedua bila menjadi tempat tinggal.

Keadaan di perantauan yang memiliki nilai kehidupan ekonomi yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah kota Medan, membuat kehidupan pertunjukan budaya mengalami perkembangan kearah pertunjukan tradisional yang bersifat hiburan.

Peristiwa-peristiwa pertunjukan tersebut dilakukan untuk kepentingan pesta-pesta yang bukan ritual-kepercayaan. Seperti hiburan pada pesta perkawinan, pesta pembangunan gereja, pesta muda mudi, dan lain-lain.

2.2.Gambaran Umum Kota Medan

Medan merupakan ibu kota di Provinsi Sumatera Utara yang menjadi wilayah ketiga terbesar di Indonesia. Masyarakatnya terdiri dari beragam suku, baik dari suku pribumi (5 puak suku Batak, Melayu dan ), maupun suku pendatang seperti (Minangkabau, Aceh, Jawa, Tionghoa, Tamil, Menado).

Sebagai Kota besar , Medan menjadi pintu gerbang di Indonesia bagian barat, didukung oleh keberadaan Pelabuhan Belawan dan bandar udara Internasional

Kuala Namu. yang juga menjadi kota metropolitan.

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto.2.1 Peta Provinsi Sumatera Utara, beserta nama-nama kabuputen dan kota (sumber: Bada Pusat Statistik Prov. Sumatera Utara)

Berdasarkan dari beberapa sumber, kata Medan berasal dari kata bahasa

Tamil Maidhan atau Maidhanam, yang berarti tanah lapang atau tempat yang luas, yang kemudian teradopsi ke Bahasa Melayu. Medan berawal dari sebuah kampung yang didirikan oleh Guru Patimpus di pertemuan Sungai Deli dan

Sungai Babura. Hari jadi Kota Medan ditetapkan pada tanggal 1 Juli 1590.

Selanjutnya pada tahun 1632, Medan dijadikan pusat pemerintahan Kesultanan

Deli, sebuah kerajaan Melayu. Bangsa Eropa mulai menemukan Medan sejak kedatangan John Anderson dari Inggris pada tahun 1823. Peradaban di Medan terus berkembang hingga Pemerintah Hindia Belanda memberikan status kota dan menjadikannya pusat pemerintahan Karesidenan Timur. Memasuki abad ke-20, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran.

Awal mula kota Medan berasa dari sebuah kampung kecil yang diberi nama

"Medan Putri", bertempat diantara pertemuan sungai Deli dan sungai Babura (saat

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ini terletak tidak jauh dari jalan Putri Hijau). Kampung ini dihuni oleh suku

Melayu dan beberapa suku lainnya, yang hidup dan berinteraksi cukup baik. posisi kedua sungai yang mengapit kampung Medan putri menjadikan kampung ini tempat lintas perdagangan yang cukup ramai. Sesuai dengan posisi kampong

"Medan Putri", yang strategis dengan adanya pertemuan sungai Deli dan sungai

Babura, menjadikan kampong ini berkembang pesat. Dikarenakan ke dua aliran sungai ini merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai oada masa dukunya. Sehingga Kampung "Medan Putri" menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Foto 2.2 : Istana Maimun yang dulu dikenal dengan Kampung Medan Putri dan dikenal cepat perkembangan aktivitas pemerintahan dan perdagangan.

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 2.3: Kantor WaliKota sebagai tempat pusat pemerintahan kota Medan yang berada di jalan...... bersebelahan dengan hotel Paladium, dan hotel Aston . Pesatnya pertumbuhan perdagangan, karena adanya perkebunan-perkebunan tembakau yang menjadikan kota Medan sebagai pusat pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian Barat. Dengan semakin meningkatnya perdagangan tembakau, diperlukan tempat yang leih dekat untuk perkantoran perkebunan, sehingga dipindahlan \kantor perusahaan perkebunan berpindah dari Labuhan ke Kampung “Medan Putri”, yang dilakukan oleh

Nienhuys, dan menjadikan "Kampung Medan Putri" dikenal dan akhirnya berubah menjadi "Kota Medan".

Dijadikannya kota Medan sebagai kota pemerintahan, memberikan keinginan dan kesempatan bagi masyarakat di luar kota Medan untuk datang dengan berbagai alasan, untuk selanjutnya menjadi tempat bagi mereka mencari kehidupan baru. Termasuk bagi suku Batak yang saat ini menjadi kelompok etnik yang banyak setelah suku Jawa dan Padang. Tumpuan masyarakat pendatang

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

termasuk masyarakat Batak Toba, kepada kota Medan sangat besar dalam upaya untuk memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik, sehingga akhirnya kota Medan menjadi tempat tumpuan masyarakat pendatang.

Medan sebagai kota heterogen (berlatar bermacam etnik), penduduknya memiliki budaya dan agama yang beragam. Suku Melayu dan suku Karo menjadi suku yang pertama menghuni kota Medan, kini hidup berdampingan dengan etnis pendatang. Mereka bekerja diberbagai bidang seperti pedagang yang didominasi suku China/Thionghoa, bekerja di pemerintahan dari suku Batak, suku Jawa,

Minang dan lain sebagainya. Namun penduduk kota Medan mayoritas bekerja di bidang penjuakan, yang terlihat banyaknya berdiri took-toko yang merangkap sebagai rumah. di berbagai jalan kota, dan menjaikannya sebagai kota metropolitan dengan keramaian yang ada.

Foto 2.4: Kondisi Kota medan tahun 1908 Hari Lahir Kota Medan 1 Juli 1590 dii akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Kota Medan

Keanekaragaman suku bangsa di Kota Medan terlihat dari jumlah tempat ibadah yang dimiliki masyarakat di kota Medan seperti; mesjid, kuil, vihara, gereja dan tersebar di seluruh desa/kecamatan. Selain beragamnya agama yang

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dianut, kota Medan juga memiliki suku yang beragam, dan saai ini didominasi oleh suku Jawa, dan suku-suku dari Tapanuli (Batak, Mandailing, Karo). Selain itu, kota Medan juga dihuni masyarakat keturunan India dan Tionghoa. Suku

Tionghoa menjadi suku terbesar diIndonesia.

Foto 2.5: Kota Medan menjadi Kota Pusat Pemerintahan yang ditandai terdapatnya Kantor Konsulat Perwakilan Negara dan Perusahaan Asing

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sebagai kota metropolitan di kawasan Sumatera Utara, kota Medan memiliki proses perjalanan sejarah yang cukup panjang. Dibuktikan dengan munculnya “Kota Medan” dan kemudian dijadikannya sebagai kota metropolitan.

Sebagai kota besar dan pusat pemerintahan provinsi Sumatera utara, kota Medan juga terdapat perwakilan dari Negara-negara luar seperti; konsulat perwakilan dari berbagai negara asing seperti Amerika Serikat, Jepang, Malaysia, China, India,

Australia, Jerman, dan lakin sebagainya. Dengan adanya perwakilan dari negara asing ini, tentunya memudahkan bagi masyarakat Indoensia yang ingin mendapatkan informasi tentang segala hal.

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.1.1 Letak Geografis Kota Medan

Foto 2.6: Peta Kota Medan beserta Kecamatan seperti : Medan Tuntungan, Johor, Amplas, Denai, Area, Kota, Maimun, Polonia, Baru, Selayang, Sunggal, Helvetai, Petisah, Barat, Timur, Perjuangan, Tembung, Deli, Labuhan, Marelan dan Belawan

Wilayah geografis kota Medan, ditopang wilayah yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Daerah-daerah seperti Labuhan Batu, Deli Serdang,

Simalungun, Karo, Binjai, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing, dan

Natal. Dengan didukung beberapa daerah kaya yang menopang kehidupan perekonomian, akhirnya Kota Medan secara ekonomi mampu menumbuhkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang berkesinambungan, yang menghasilkan

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dan menyatukan daerah masing-masing. Selain itu juga menjadikan kota Medan sebagai pusat perdagangan, pemerintahan, pendidikan, yang mempermudah masyarakat daerah tingkat II agar melakukan berbagai aktivitas. Posisi geografis

Medan ini telah mendorong per kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

Secara geografis, Medan memiliki peranan yang cukup penting dalam mengembangkan wilayahnya kearah yang lebih baik. Bahkan sebagai Ibukota

Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Secara geografis, Kota

Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat

Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota atau negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia.

Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai

2.712.236 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional. Letak geografis Kota

Medan adalah 3030 – 3043 LU, dan 980 35‟-980 44‟ BT. Luas Kota Medan saat ini adalah ± 265,10 km2. Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah dengan topografi yang cenderung miring ke Utara dan menjadi tempat pertemuan 2 sungai penting, yaitu sungai Babura dan sungai Deli. Di samping itu,

Kota Medan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut

Kota Medan memilki perbatasan yaitu:

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka,

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Deli Tua dan Pancur

(Kabupaten Deli Serdang),

3. Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli

Serdang),

4. Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung

Morawa (Kabupaten Deli Serdang). Kota Medan terbagai dari dua puluh satu

kecamata yaitu:

Tabel 2.1 Kecamatan di Kota Medan 1 Medan Tuntungan 12 Medan Helvetia 2 Medan Johor 13 Medan Petisah 3 Medan Amplas 14 Medan Barat 4 Medan Denai 15 Medan Timur 5 Medan Area 16 Medan Perjuangan 6 Medan Kota 17 Medan Tembung 7 Medan Maimun 18 Medan Deli 8 Medan Polonia 19 Medan Labuhan 9 Medan Baru 20 Medan Marelan 10 Medan Selayang 21 Medan Belawan 11 Medan Sunggal

2.1.2 Penduduk

Kota Medan dihuni masyarakat yang heterogen dengan beragam suku/etnis dan agama, dengan penduduk asli adalah suku Melayu. Keberagaman suku yang ada tidak menjadi satu persoalan, justru menjadi potensi besar dengan beragamnya budaya yang dimiliki masing-masing suku. Dalam kehidupan sehari- hari mereka hidup rukun, saling menjaga, mengharagai, sehingga belum pernah terjadi pertengkaran antar suku maupun agama. Toleransi yang kuat ini dipicu dengan adanya adat budaya yang dipegang teguh masyarakatnya. Saat ini, suku

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang dominan menempati adalah suku Jawa, diikuti oleh suku Minang, Batak,

China, Melayu dan lain sebagainya.

Beragamnya suku yang ada, tanpak dari banyaknya jumlah tempat ibadah yang tersebar di wilayah kota. Tempat ibadah bagi umat hindu terdapat di Jl.

Zainul Arifin yang dikenal sebagai Kampung Keling, yang juga menjadi perkampungan bagi etnis India. Suku keturunan Tionghoa berada di daerah seluruh kota Medan, Etnis Melayu bermukim di sekitar Jl Babura, dan dipinggir kota Medan. Etnis Batak menyebar di beberapa Kecamatan, dengan mayoritas bermukim di Jln Pancing.

Berdasarkan data statistic kota Medaan, penduduk Presentasi penduduk kota Medan sebesar 21 % merupakan suku Batak, dan suku Jawa menjadi suku mayoritas yang berjumlah mencapai 34 %. Mayoritas suku Jawa yang ada disebabkan adanya transmigrasi sebagai upaya kesejahteraan rakyat Indonesia dengan pemerataan penduduk. Sementara itu suku Tionghoa menjadi suku ke tiga dengan 11% jumlah pemduduk. Selanjutnya suku Batak menjadi suku selanjutnya yang terbanyak dengan sekitar 10 %. Berikutnya suku Minangkabau dengan jumlah 9 %, Melayu dengan jumlah 7 %. Dari persebaran dan jumlah suku yang ada, terlihat keragaman suku yang ada dan menjadkan kota Medan sebagai kota yang heterogen dari budaya.

2.1.3 Agama

Sistem kemasyaratan merupakan sistem yang dipunyai setiap suku dan dilakukan dalam mengatr kehidupan masyarakatnya. Sistem masyarakat yang kuat nilai kekerabatannya, tentunya melahirkan sistem religi yang tinggi nilai

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

keyakinannya. Pada awalnya banyak kepercayaan dan keyakinan masyarakat di kotra Medan yang mempengaruhi pandangan hidupnya. Suku Batak Toba yang mendiami wilayah yang cukup luas dan tersebar di Sumatera Utara, seperti di wilayah Tapanuli Utara (Kabupaten Tobasa, Kab. Samosir, Kab. Humbahas), sebahagian wilayah Kab. Simalungun (pantai Timur dan Utara Danau Toba), sebahagian wilayah Kab. Asahan (sekitar kaki gunung Simanuk-manuk sebelah

Barat hingga Selatan), sebahagian wilayah Kab. Tanah Karo (pantai Utara Danau

Toba, Tongging), dan sebahagaian wilayah Kab. Pakpak-Dairi. Wilayah penyebara suku Batak yang cukup luas ini dan cirri khas dari masyarakatnya, menjadikan suku Batak Toba lebih dikenal dari suku Batak lainnya.

Suku Batak Toba yang berada di wilayah perbukitan memiliki kepercayaan yang dapat memberi berkah terhadap segala hasil perkebunan ladang mereka.

Mereka percaya apabila pencaharian mereka semakin berkurang, itu bukan semata-mata karena potensi daerah itu semakin kecil, tetapi akibat dari kekuatan- kekuatan gaib yang datang dan sebagai isyarat dalam memberi tahu kedatangannya.

Selain kepercayan di atas, ada lagi kepercayaan tentang mengusir kekuatan gaib dari dalam tubuh manusia. Apabila seorang anak terus sakit-sakitan atau menderita penyakit yang berkepanjangan, keadaan ini diakibatkan oleh campur tangan kekuatan itu terhadap kehidupan seseorang. Kondisi ini dipercaya harus dilakukan upah-upah, yaitu upacara memanggil semangat anak yang diserang penyakit tersebut dan menghilangkan segala kekuatan yang datang ke dalam tubuhnya. Ada lagi dengan cara memulangkan anak itu kepada orang lain, yaitu memberikan anak itu agar diasuh oleh orang lain selain orangtuannya.

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kepercayaan-kepercayaan itu begitu melekat dalam masyarakat. Kepercayaan- kepercayaan demikian berjalan berdampingan dengan kepercayaan terhadap agama yang mereka peluk yaitu agama kristen.

Adanya kepercayaan-kepercayaan itu pada masyarakat Batak Toba menggambarkan bahwa ada sistem religi yang diturunkan dari orang-orang tua ke generasi yang lebih muda. Cara pewarisannya terkadang melalui lembaga keluarga dengan membuat acara-acara ritual secara berkala. sebelumnya termasuk acara yang dilakukan secara berkala. Meski sekarang sudah mulai jarang dilakukan, tetapi kepercayaan itu masih ada dan menjadi bagian dari sistem religi yang dipegang kuat oleh masyarakat.

Kehidupan keagamaan di kota Medan, memiliki arti penting dalam menjalankan kehidupan yang dijadikan sebagai pedoman dan sistem kontrol, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam agama. Demikian halnya dengan yang berlaku di kota Medan, dari masing-masing agama yang diimani oleh suku-suku yang ada, mereka menjalanakan keimanannya sesuai dengan keyakinannya.

Dalam hal keyakinan, masyarakat kota Medan menganut agama dengan mayoritas memeluk agama lslam sekitar 96,4% yang dianut oleh suku Melayu,

Jawa, mandailing, Mknangkabau, Aceh, penduduk suku bangsa Karo, juga suku

Pakpak. Sementara agama Kristen Katolik, Prostestan, dinut oleh suku Batak

Toba, Karo, Pak-pak Dairi, Nias, dan sebagainya. Agama Budha dan Khonghucu dianut oleh orang-orang Tionghoa Hindu dan Budha. Selanjutnya agama Hindu dianut oleh suku Tamil. Uniknya di Medan, walaupun terdiri dari berbagai suku dan agama, namuan Medan sangat terkenal dengan kerukunan umat beragamanya.

Hampir tidak ada pertikaian agama yang terjadi. Rasa saling menghormati dan

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

menjaga ketika umat lain melaksanakan ibadah sangatlah tinggi, tak jarang ditemukan banyak rumah ibadah yang berdampingan. Toleransi yang tinggi dan rasa kebebasan untuk memeluk agama inilah yang membuat satu sama lain bida hidup rukun dan berdampingan.

Beragamnya etnik yang di kota Medan, juga beragam agama yang dinut, namun mereka tetap menjaga kerukunan walaupun memiliki keyakinan yang berbeda. Berdasarkan data sensus Kota Medan tahun 2015 menunjukan bahwa mayoritas penduduk menganut agama Islam 59.68%, kemudian Kristen

Protestan21.16%, Buddha 9.90%, Katolik 7.10%, Hindu 2.15% dan Konghucu

0.01%.

Pemeluk Agama di Kota Medan

Tabel 2.3: Presentasi jumlah agama di kota Medan (sumber data stataistik kota Meda)

Agama utama di Kota Medan berdasarkan Etnis adalah:

1. Islam: pada umumnya dianut oleh suku Melayu, masrayarakat Melayu

Pesisir, Minangkabau, Jawa, Aceh, Arab, Mandailing, Angkola, sebagian

suku Karo, Simalungun, Pakpak.

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2. Kristen (Protestan dan Katolik): dianut suku bangsa Batak (Toba, karo,

Mandailihg, Simalungun, dan Dairi) dan Tionghoa.

3. Hindu: dianut sebagaian besar suku Tamil.

4. Buddha: terutama suku peranakan dan pencampuran dari etnis yang

mendiami kota Medan.

5. Konghucu : terutama kedalam suku peranakan dan pencampuran dari etnis

yang ada di Medan.

2.1.4 Mata Pencaharian

Medan sebagai kota metropolitan di Sumatera Utara, dan menjadi daerah terbesar setelah Jakarta dan Surabaya, masyarakatnya memiliki mata pencaharian yang beragam. Mata pencaharian, dimana penduduk kota medan adalah Pegawai

Negeri, Pegawai Swasta, TNI/Polri, Petani/Nelayan, Pedagang, Pensiunan, Lain- lain. Persentase Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian 2019

Tabel Kurva 2.4: Persentase Penduduk berdasrkan Mata Pencaharian

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dilihat dari tabel di atas, mata pencaharian sebagai wiraswasta menjadi pilihan yang paling banyak dipilih masyarakat kota Medan, yang kemudian diikuti sebagai pedagang dan pegawai negeri (sektor pemerintahan). pilihan sebagai pekerja di sector wiraswasta (karyawan swasta) dikarenakan ada beberapa kecamatan yang menjadi pusat industry seperti di kecamatan Medan Deli, yang menjadi salah satu kawasan industri yang menyiapkan fasilitas investasi yang relatif lengkap. Kawasan ini dikenal dengan Kawasan Industrui Medan (KIM).

Kawasan ini terletak di Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli.

Kawasan Industri ini memiliki luas lebih kurang 514 Ha. Manajemen KIM menyediakan hampir seluruh fasilitas yang dibutuhkan untuk mendukung proses produksi dan distribusinya seperti jaringan jalan yang menghubungkannya dengan pelabuhan laut Belawan dan Bandara Namu, serta pusat-pusat perdagangan yang ada di Kota Medan, dan terminal antar propinsi. Juga tersedia kebutuhan tenaga listrik, air, telekomunikasi, Oxygen/nitrogen, unit pengolahan limbah besar, termasuk jaminan keamanan berusaha.

Selain itu sektor perekonomian Kota Medan juga dikuasai 4 (empat) bidang usaha yakni; Industri Pengolahan (14,28%), Perdagangan, Hotel dan

Restoran (28,10%), Pengangkutan dan Telekomunikasi (19,38%), serta Keuangan,

Persewaan dan Jasa (14,42%). Lapangan pekerjaan ini memberikan sumbangan besar sekitar 76,18% pada bidang jasa perekonomian.

Keseluruhan bidang perekonomian di atas, menjadi pilihan masyarakat kota Medan dari berbagai etnik. Di bawah ini dijelaskan kelompok etnik dan bidang pekerjaannya.

68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Table 2.4 Komposisi Suku Bangsa Berdasarkan Profesional Suku Bangsa Pengacara Dokter Notaris Wartawan Minanangkabau 36,8 % 20,6 % 29,7 % 37,7 % Mandailing 23,6 % 14,1 % 14,8 % 18,3 % Batak 13,2 % 15,9 % 18,5 % 8,5 % Jawa 5,3 % 15,9 % 11,1 % 10,4 % Karo 5,3 % 10 % 7,4 % 0,6 % Melayu 5,3 % 5,9 % 3,7 % 17,7 % Tionghoa - 14,7 % 4 % 1,2 & Aceh 2,6 % 3,9 % - 3,7 % Sunda - - 3,7% 10,4 % Sumber: IDI, Peradin, Ikatan Notaris Cabang Medan

Biasanya pengusaha di Kota Medan banyak yang menjadi pedagang komoditas perkebunan. Setelah kemerdekaan, sektor perdagangan secara konsisten didominasi oleh suku bangsa Tionghoa dan Minangkabau. Bidang pemerintahan dan politik, dikuasai oleh suku bangsa Mandailing, Batak.

Sedangkan profesi yang memerlukan keahlian dan pendidikan tinggi, seperti pengacara, dokter, notaris, dan wartawan, mayoritas digeluti oleh suku bangsa

Minangkabau, dapat dilihat pada tabel berikut ini :

2.1.5 Kesenian di kota Medan

Kebudayan memiliki 7 unsur utama, dan salah satunya adalah kesenian, dimana keindahan sebagai aspek yang ada di dalamnya berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmakti dan dirasakan dengan indera penglihatan mata ataupun pendengaran. Manusia sebagai mahluk yang dianugerahi kelebihan dan memunyai rasa estetis, maka dapat membuat beragam bentuk hasil karya seni dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

69

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pada awalnya, seni ada dikarenakan untuk kebutuhan dan tujuan tertentu, yang merupakan proses dari kehidupan manusia. Wujud karya dapat dinikmati dalam ekspresi yang tertuang berdasarkan kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu memiliki sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih biasa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik keyakinan, ide, ungkapan atau perasaan dengan cara yang selektif dengan media yang digunakan.

Kesenian di kota Medan, dilakukan di kehidupan sehari-hari, dalam berbagai aktifitas baik upacara, hiburan, maupun pertunjukan, sesuai dengan etnik yang menyelenggarakannya. Dalam kegiatan adat, mereka melakukannya sesuai dengan tata aturan dan format dari struktur keseniannya. Berbagai kegiatan adat menyertakan kesenian seperti tari, musik, Mereka melakukan berdasarkan adat budaya yang berlaku dan Namun banyak pula di antara kita yang secara genealogis, merupakan keturunan dua atau lebih kelompok etnik. Dalam keadaan sedemikian rupa, pilihan kelompok etnik dan budaya menjadi hak dirinya. Tidak jarang pula seseorang itu di Kota Medan dan sekitarnya, mengikuti dua atau lebih kelompok etnik yang menurunkan dirinya. Dengan demikian, ia memiliki etnisitas ganda. Di sisi lain, kelompok-kelompok etnik ini membentuk pola kediaman berdasarkan kelompoknya yang dalam sains sosial lazim disebut enkapsulasi. Di

Medan, misalnya orang Minangkabau bertempat tinggal di kawasan Sukaramai,

70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

orang Batak Toba tinggal di wilayah Martoba, orang Mandailing tinggal di wilayah Kampung Mandailing, orang Jawa di Kampung Kolam, orang Karo di

Padangbulan, orang Tionghoa tinggal di kawasan bisnis Kota Medan, dan seterusnya. Di lain sisi, terjadi pula pembauran antar etnik di kawasan-kawasan tertentu, yang juga pasti mengakibatkan keadaan kebudayaan yang digunakan.

Dengan demikian dapat disebutkan bahwa orang Medan biasa hidup dalam kelompok etnik tertentu, dan secara alamiah menerima kelompok etnik, ras, golongan, dan penganut agama lain, hidup secara berdampingan, dan merasa bersama-sama memiliki Kota Medan tercinta ini. Secara kesejarahan pula, Kota

Medan adalah ikon, simbol, dan indeks budaya Melayu, yang dibuka oleh Guru

Patimpus. Kedudukan istana Kesultanan Deli juga berada di Kota Medan.

Kemudian berbagai ciri kebudayaan Melayu terdapat di Kota Medan, seperti

Mesjid Raya AlManshoon, gapura-gapura, hotel, restoran, dan rumah bertipe arsitektur Melayu, dan lainlainnya. Pola pembentukan kebudayaan yang seperti itu, yaitu antara mempertahankan jati diri etnik dan pembauran antar budaya dalam sebuah komunitas yang heterogen, juga dapat dilihat dari kesenian- kesenian yang dihasilkan oleh masyarakat Kota Medan.

2.2 Gambaran Umum Suku Batak Toba

2.2.1 Suku Batak Toba

Suku bangsa Batak, mendiami wilayah yang cukup luas dan tersebar di

Sumatera Utara, seperti di wilayah Tapanuli Utara (Kabupaten Tobasa, Kab.

Samosir, Kab. Humbahas), sebahagian wilayah Kab. Simalungun (pantai Timur dan Utara Danau Toba), sebahagian wilayah Kab. Asahan (sekitar kaki gunung

71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SImanuk-manuk sebelah Barat hingga Selatan), sebahagian wilayah Kab. Tanah

Karo (pantai Utara Danau Toba, Tongging), dan sebahagaian wilayah Kab.

Pakpak-Dairi. Wilayah penyebaran suku Batak yang cukup luas ini dan cirri khas dari masyarakatnya, menjadikan suku Batak Toba lebih dikenal dari suku Batak lainnya.

Istilah Batak berasal dari tema kebersamaan dalam pengelompokkan diantara suku bangsa yang berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur. Bangsa

Batak terdiri dari sub suku Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak

Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Istilah Batak belum dapat dijelaskan secara pasti dan memuaskan, walau sudah banyak para pakar mencoba untuk menjelaskannya. Ada beberapa pendapat dibawah ini yang menjelaskan arti kata batak. Menurut H.N. Van Dier Tuuk, kata Batak berarti “kafir” tapi J.

Warneck, mengatakan bahwa kata Batak berarti “penunggang kuda yang lincah”,.

Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Batak mempunyai dua arti, yang pertama adalah orang-orang dari sub-etnis yang tinggal di Provinsi

Sumatera Utara dan arti yang kedua adalah (sastra) petualang, pengembara, sedang membatak berarti berpetualang, pergi mengembara, menyamun, merampok dan arti dari pembatak adalah perampok/penyamun.

Pemahaman tentang kata Batak diatas belum dapat memastikan secara pasti arti sebenarnya, yang jelas apabila mendengar kata Batak, maka yang terpikir adalah salah satu suku yang memiliki ciri khas dengan segala ktradisiannya. Dilihat dari asal usul kesukuannya, banyak pendapat yang

72

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

memperkirakan keberadaan dari suku Batak yang berasal dari Hindia Belakang12.

Brahma Putro memastikan berdasarkan kutipan dari beberapa ahli bahwa suku

Bangsa Batak telah lama mendiami wilayah Sumatera Utara, yang melakukan migrasi ke pedalaman Sumatera Utara. Sehingga tidak aneh hingga sekarang kalau bangsa Batak lebih banyak mendiami wilayah pegunungan dan pedalaman.

Silsilah atau Tarombo bagi suku batak adalah suatu sistem aturan dalam berkeluarga yang menjadi penting bagi orang Batak. Suku Batak Toba yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak tidak tahu jalan pulang

(nalilu). Untuk itu mereka diharuskan mengeanl dan memahami silsilahnya dari nenek moyangnya untuk dapat mengetahui marga dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekeluargaan (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat umum dan orang Batak Toba itu sendiri biasanya menyebut orang Batak Toba hanya dengan kata “orang Batak” tanpa memakai nama sub-etnisnya. Suku Batak Toba terkenal dengan karakter yang sangat keras. Suku ini pada umumnya memiliki suara dan intonasi yang tinggi serta memiliki jiwa yang keras dan pantang menyerah, karakter seperti itu tertempa oleh keadaan dimana masyarakat Batak Toba pada awalnya hidup terisolasi dan dan terasing di sekitar dataran-dataran tinggi dan lembah pegunungan Danau Toba secara berkelompok sehingga, membuat masyarakat etnis Batak Toba ini harus melakukan komunikasi satu dengan yang lainnya

12 Brahma Putro menjelaskan “pada zaman batu terjadi perpindahan bangsa Tiongkok Selatan ke Hindia Belakang, dan bangsa-bangsa Hindia Belakang pindah ke selatan, antara lain Campa, Siam, Kamboja. Lalu bertebaran ke Nusantara setelah melalui Malaya, sebahagian dari mereka ini masuk ke Pulau Sumatera termasuk wilayah Sumatera Utara sekarang. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Prof. G. Gerrad dan V.H. Geldem, dan Prof. Dr. Kern tentang perpindahan yang terjadi dari ras Proto Melayu, yang dikutip oleh Brahma Putro.

73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dengan berintonasi tinggi (sedikit berteriak). Selain dari itu masyarakat etnis

Batak Toba juga memiliki kekayaan kesenian, termasuk seni sastra, seni ukir, seni tari, seni patung, dan seni musik,yang termasuk kedalam seni sastra adalah turi- turian (seni bercerita), tonggo-tonggo (mantra), umpasa (seni berpantun) dan umpama (perumpamaan), huling-hulingan (seni berteka teki), seni ukir Batak

Toba yang disebut gorga yang banyak terlihat pada arsitektur rumah adat maupun dalam karya-karya alat musik atau benda-benda seni lainnya. Di samping gorga, ada seni patung yang disebut ganagana. Kedalam seni musik termasuk tradisi musik gondang sabangun, gondang hasapi, gondang bulu maupun tradisi ende

(musik vokal). Kedalam kelompok ende termasuk tradisi mangandung (ratapan), mandideng (lullabi) dan tumba (nyanyian untuk mengiringi tumba). Sementara itu dalam seni tari termasuk tortor tumba yaitu tarian muda-mudi yang biasanya disajikan dengan musik vocal.

2.3.2 Suku Batak Toba di Kota Medan

Masyarakat Batak menjadi suku kedua di kota Medan, mereka banyak tinggal di daerah Martoba, Amplas, Padang Bulan.

74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 2.6 Daerah di kora Medan yang banyak dihuni suku Batak Toba. (dok Fernandus 20019).

Suku Batak sendiri berasal dari daerah Tapanuli, ada beberapa suku

Batak yakni Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Angkola, Batak

75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pakpak, dan Batak Simalungun. Suku inilah yang bahasanya dukenal dengan bahasa Medan. Suku Batak menjadi suku perantau yang diturunkan sejak dulu dan memiliki sifat pekerja keras, berani, tanggungjawab, apa adanya dan tidak gampang berputus asa. Hasrat besar untuk memiliki hidup yang lebih baik selalu ditanamkan kepada turunannya, untuk tercapainya tujuan, keturunan dari suku

Batak baik wanita maupun laki-laki harus bersedia meninggalkan kampung halaman pergi merantau mencari peruntungan ke luar daerahnya. Namun rasa rindu dan kecintaan pada kampung tidak dapat dilupakan. Dengan kerja keras untuk mewujudkan impian, saat ini banyak orang Batak yang berhasil dan sukses serta menyebar di luar daerahnya.

Masyarakat Batak bermigrasi dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi.

Merantau dalam masyarakat Suku Batak Toba merupakan suatu keharusan pada setiap masyarakat khususnya para kaum pemuda pemudi yang akan membangun keluarga, dan diharapkan dapat membangun kerajaan pribadi (sahala harajaon) dan harga diri (sahala hasangapon) yang lebih baik dari daerah asal. Tradisi merantau merupakan penyebab bagi penduduk Suku Batak Toba yang bermigrasi melakukan tradisi yang dalam bahasa Batak disebut manombang, mangarantau, marjalang, marlompang, mangombo, mangalului jampalan na lomak, atau masiampapaga na lomak.

Suku Bangsa Batak seperti yang sudah diuraikan di atas, merupakan suku yang mendiami kota Medan, dengan 5 puak di dalamnya. Batak Toba yang biasa disebut dengan suku Batak, merupakan salah satu suku yang banyak menggantungkan harapan di kota Medan. Mereka datang secara berkelompok dan kemudian menetap, berbaur, serta menjalankan kebiasaan yang sudah turun

76

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

temurun mereka lakukan. Hal ini menunjukkan sikap dari kepatuhan terhadap apa yang sudah dijalankan dan menjadi adat kebiasaan mereka.

Adat kebiasaan ini terbentuk dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga. menghasilkan suatu kebiasaan yang menjadi adat istiadat. Ralph Linton

(dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22) menjelaskan “masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas sedangkan masyarakat menurut Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22) adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.

Suku Batak Toba sendiri mempunyai budaya yang menjadi pedoman dalam setiap aktifitas disebut dengan Dalihan Na Tolu, yang menjadi pedoman dan dapat menyatukan perbedaan dalam bermasyarakat. Norma-norma adat ini memiliki sembilan belas nilai/norma inti dalam bermasyarakat yaitu : norma adat, norma musyawarah, norma perkawinan, norma pergaulan sehari-hari, norma perceraian, norma pewarisan, norma kekeluargaan, norma integrasi, norma kejujuran, norma keadilan, norma kesejahteraan, norma kemanusiaan, norma kebebasan, norma kepemimpinan, norma ambisi, norma ketelatenan, norma keterbukaan, dan norma kedaulatan takyat, keseluruhan norma ini ini tidak terlepas dari tata cara system dalam unsur sistem Dalihan Na Tolu (Capt. Bonar

Victor Napitupulu, M.M., 2012).

77

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Menurut Bruner (1961,1973), suku Batak Toba di Medan tidak terasimilasi dengan budaya kehidupan perkotaan bersama suku lainnyya, tetapi mereka menjaga hubungan yang baik terhadap saudara famili di kampung. Kita bias mengamati, dengan melihat dari segi struktural, komunitas-komunitas Batak

Toba dikampung dan kota adalah bagian dari satu sitem kemasyarakatah yang komunal. Batak kampung dan masyarakat urban dihubungkan berdasarkan jaringan komunikasi yang dibuthkan dalam kehiduan sehari-hari. Hal ini tanpak dalam kebutuhan sehari-hari (barang-barang) dan ilmu pengetahuan yang baru dan mengalir dari kota ke desa, sedangkan bantuan moral adat dating dari arah berlawanan.

Keadaan ini dapat diamati dari Batak Toba urban yang ditemukan di masyarakat desa. Permasalahan ini dapat di lihat dari‟

1. Pertama seorang Batak urban ketika harus melakukan suatu ritual

peralihan (rite de passage), dapat dilaksanakan di kampung, atau kelurga

yang akam mendatangi ke Medan. Acara ritual adat di perkotaan masih

menggunakan format adat yang sesungguhnya, dan tidak banyak berbeda

dengan yang dilakukan di dataran tinggi.

- Kedua, perbedaan jarak yang tidak terlampau jauh antara Medan dengan

tempat kediaman suku Batak sebelumnya. Orang kampung yang

merayakan ritus adat di kota pulang kembali ke kampung halamannya

pada hari yang sama. Transformasi yang sudah memadai, juga

menyebabkan lancarnya hubungan dan memudahkan untuk suku batak

saling berpergian.

78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

- Ketiga, masyarakat urban makin banyak dikarenakan kedatangan mereka

untuk mencari kehidupan baru semakain besar. Kedatangan masyarakat

urban ini dilakukan secara secara individual atau kelompok untuk menetap

dengan berbagai kepentingan dan tujuan.

- Keempat, suku Batak yang sudah lama menetap secara bergenerasi selama

dua atau tiga generasi, tetap memiliki dan mempertahankan kepemilikan

dari harta warisan.

- Kelima, ikatan perkawinan yang sudah dilakukan antara masyarakat di

kampung dengan masyarakat di perkotaan sering dilakukan, sebagai

konsekuensi dari seringnya interaksi diantara mereka. Hal ini

menyebabkan adat budaya yang mereka miliki tetap terjaga, bahkan

memunculkan produk baru dalam pelaksanaannya, tanpa meninggalkana

format dan aturan yang berlaku.

Orang Batak Toba berusaha keras untuk dapat hidup bertahan (survive) di kota medan beradaptasi membaurkan diri pada kehidupan dan tatanan pada masyarakat setempat yang tinggal di kota medan. Cara ini dilakukan sejalan dengan pembauran yang tetap mempertahanakan budayanya dengan membuat hidup berkelompok dan membentuk perkumpulan komunitas. Kondisi yang dilakukan ini, sebagai upaya dalam pemeliharaan indentitas mereka yang harus terjaga, sebagai bentuk sarana berintraksi dalam kehidupan sosial. Kemudian pembentukan kesatuan dalam satu komunitas hegemonis marga menurut garis keturunan, pembuatan komunitas asal (sahuta) dari tingkat pemuda hingga

79

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

jenjang bagi mereka yang yang sudah menikah. Jalinan komunikasi yang sudah ada di antara mereka terus dijaga melalui sistem hubungan keluarga.

2.3.3 Sistem kekerabatan

Sistem Kekerabatan bagi suku Batak Toba adalah berhubungan dengan pranata hukum bagi manusia dengan manusia lain di dalam kehidupan.

Berdasarkan system ini, suku Batak Toba memiliki dua bentuk kekerabatan, yaitu disdasarkan garis keturunan (genealogi) dan didasarkan kepada sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada. Pola-pola sistem ini berdasarkan pada garis keturunan (genealogi) yang dapat diamati dari silsilah marga mulai dari Si

Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Berdasarkan kekerabatan sosiologis, tanpak di lihat dari terjadi adanya perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, marga ini menjadi jati diri bagi orang Batak dalam hidup bermasyarakat.

Kelompok-kelompok marga ini, menghuni pemukiman pedesaan yang biasa dikatakan dengan huta (kampung). Pada umumnya satu Huta akan dihuni oleh keluarga dari satu marga (satu keturunan). System adat dalam Marga (klan) ini diikat oleh simbol-simbol sesuai dalihan na tolu, seperti contoh nama marga yang terdiri dari kelompok kecil dari satu klan. Kelompok marga secara klan terdiri dari kerabat patrilineal (garis keturunan ayah) yang bertempat tinggal dalam satu kawasan sosial budaya yang tercipta dengan ssendiriya. Berbedea dengan klen besar komunitasnya sudah memiliki anggota yang sudah banyak hidup tersebar, yang menyebabkan ketidaktahuan dan tidak saling mengenal, namun dapat dikenali berdasarkan nama marga yang selalu di berikan dan ada

80

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dibelakang nama kecilnya. Kualifikasi social kehidupan suku Batak Toba berdasarkan empat prinsip yaitu (a) tingkat umur yang berbeda, (b) pangkat jan jabatan yang berbeda, (c) perbedaan sifat keaslian dan (d) status perkawinan.

Biasanya status perkawinan Batak Toba dilakukan secara monogamy, namun apabila laki-laki tidak memiliki keturunan laki-laki, maka posisinya tidak dianggap penting untuk melanjutkan sistem marga atau keturun. Bagi suku Batak, laki-laki akan membawa garis keturunan dari ayahnya, untuk itu ketika ada sebuah keluarga dalam satus perkawinan yang belum memiliki keturunan anak laki-laki, maka dilakukan poligami bertujuan agar garis keturunan tetap berlanjut.

Perkawinan sangat erat kaitannya dengan keluarga, sedang perceraian sangat jarang terjadi dan sejauh mungkin diusahakan jangan sampai terjadi. Apabila terjadi perceraian dan suami yang menceraikan, maka suami pada umumnya mereka tidak akan berhubungan lagi dengan keluarga laki-laki baik pada anaknya, maupun keluarga lain. Melakukan poligami sesungguhnya hal yang tidak diinginkan, dikehidupan mereka bagi yang melakukan poligami biasanyan kurang mendapat tempat dikehidupan sosialnya, status sosialnya sudah ternoda karena perbuatannya tidak baik. Hal ini dikarenakan, penerus dari klan mereka diturunkan dari bapak, yang akan melanjutkan marga dari keturunannya.

Nama belakang dari suku batak Toba atau marga merupakan bagian nama dan dikena menjadi tanda darimana keluarga tersebut berasal. Sehingga marga akan selalu melekat di setaiap nama mereka. Istilah marga didapat berdasarkan keturunan orang tua laki-laki (patrilinear) yang kemudian akan diturunkan kepada anak-anaknya dan berkesinambungan kepada anak laki-laki berikutnya. Turunan marga dalam suku suku Batak Toba adalah mereka yang memiliki Batak kampong

81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

halaman (marbona pasogit) di daerah Toba. Sonak Malela yang mempunyai 3

(tiga) orang putera dan menurunkan 4 (empat) marga, yaitu: Simangungsong,

Marpaung, Napitupulu, dan Pardede, merupakan salah satu contoh marga pada suku bangsa Batak Toba.

Garis keturunan ini menjadi kebanggaan mereka sebagai orang Batak, sehingga suku batak dan keturunannya harus mengetahui tarombo dari silsilah keluarganya, demikian pula mereka juga harus mengetahui tarombo dari keluarga istrinya. Dengan kata lain keluaga dari pihak istrinya yang semarga akan menjadi hula-hula, supaya ia tahu dan memahami di mana kedudukanya. Dikarenakan apabila tidak mengetahui, maka hal-hal yang kurang pantas dan memalukan apabila terjadi kesalahan yang melangar adat, seperti meminta hula-hula dengan memerintah melakukan pekrjaan yang seharusnya dilakukan oleh pohak boru.

Silsilah ini akan turun secara turun-temurun dari oppu/kakek kepada ama/bapak, lanjut ke anak, kepada pahompu/cucu, kepada nini/cicit dan seterusnya. Hal ini dapat dicontohkan marga Simangunsong, kesatuan adatnya adalah Marga simangunsong dan Marga yang berhubungan dengan marganya. Adat-adat atau tradisi Batak ini bersifat dinamis yang menyesuaikan dengan keadaan, kondisi yang akan mempengaruhi pada kebiasaan/tradisi dimanas kebiasaan itu berada.

Sistem kekerabatan mereka dikenal dengan nama Dalihan Na Tolu yang terdiri dari:

1. Somba Marhula-hula

Hula-hula adalah pihak keluarga dari isteri.Hula-hula ini menempati posisi

yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-

82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat

kepada Hulahula (Somba marhula-hula).

2. Manat Mardongan Tubu

Istilah ini disebut juga dengan Dongan Tubu/Hahanggi atau Dongan

Sabutuha merupakan hubungan saudara laki-laki dalam satu marga, atau mereka yang lair satu keturunan atau dari ibu yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan dan saling menopang, sehingga pertengkaran tidak akan dapat memisahkan mereka. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, karena tidak akan dapat terbelah dan tetap menyatu. Sehingga untuk semua tang merasa menjadi orang Batak (berbudaya Batak), agar dapat berprilaku yang baik, bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

3. Elek Marboru

Bagi suku Batak istilah boru atau anak boru merujuk pada pihak keluarga menjadikan keluarga lain tetapi masih satu marga untuk dijadikan istri. Boru ini menempati kedudukan sebagai „parhobas‟ atau pelayan, yang juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam pergaulan.terutama dalam kegiatan adat. Posisi ini bukanlah dianggap rendah, dan dapat diperlakukan tidak baik/semena-mena, tetapi posisi ini memiliki fungsi yang cukup berat dalam mengatur kerja di upacara adat. Sehingga posisi boru ini harusya diambil hatinya, dibujuk, dirayu atau diistilahkan dengan Elek marboru.

Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: “Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul”. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama

83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

Bagi suku Batak, Dalihan na tolu menjadi sistem yang harus dipedomani dan diikuti, karena didalamnya banyak filosofi yang mengajarkan tentang kehidupan. Dalihan na tolu memberikan dan mengatur ikatan seluruh keluarga

Batak baik dari pihak laki-laki maupun wanita yang memiliki keterikatan dalam marga. Masing-masing marga yang ada akan memperlihatkan dimana posisi mereka dalam kegiatan adat, sehingga Dalihan na tolu menjadi filosopi hidup mereka yang dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.1 Silsilah Kekerabatan pada Suku Batak Toba

No Marga keterangan

1 Hulahula Istilah ini untuk mereka yang dirajakan, yaitu marga yang (Parrajaon berasalah dari Bapak mertua pihak laki-laki yang memberinya istri. termasuk Hulahula bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu marga asal nenek (istri kakek)

tulang yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang kandung dari bapak), tulang tangkas (tulang saudara), tulang ro robot (ipar dari tulang),

lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak laki-laki

paraman dari anak laki-laki, termasuk didalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula.

2 Boru Istilah ini memberi pengerian utnuk pihak yang menerima

84

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

anak perempuan sebagai istri, termasuk yang berhubungan engan namboru (bibi) terdiri dari iboto ni ama niba (saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari menantu laki-laki;

amang boru (suami bibi) bagi mereka yang terdiri dari mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan.

Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (anak perempuan kandung), boru ni pariban (anak peremuan kakak atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari tingkat lima. Dongan terdiri dari namarsaompu: bagi seluruh keturunan dari sabutuhan kakek yang sama, dengan pengertian keturunan laki-laki (lahir dari dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat perut ibu yang dalam posisi sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru sama terhadap orang lain. Terhadap hula-hula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan Dongan Tubu.

Perumpamaan dalam kalimat “somba marhulahula, elek marboru, manat mardongan tubu” merupakan kalimat/istilah yang memberikan makna hidup bagi mrereka terermin adanya ikatan dari ketiga sistem yang saling berhubungan.

Pilosofi ini memberikan posisi kepada hulahula untuk ditempatkan dalam posisi yang dihormati diantara ketiga posissi kekerabatan ini. Pihak Boru dalam hal ini

85

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

harus mengikuti dan patuh pada hulahula, serta menghormati, mengikuti, dan menjunjung tinggi keputusan yang ditetapkan.

Philosophy ini dianut oleh mereka yang tanpak dalam ketiga posisi dalam dalihan na toulu. Hulahula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran memberikan pengertian hula-hula menjadi sumber mata air yang tidak pernah kering dan dijaga agar air tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang.

Hulahula disebut juga dengan debata na tarida atau perwujudan dari wakil Tuhan dan dapat dilihat, mereka dianggap menjadi sumber berkat, memberikan perlindungan dan memberikan kedamaian apabila terjadi pertengkaran. Elek marboru memiliki arti hulahula memiliki tanggungjawab kepada borunya untuk mengasihi, menyayangi, dan jangan sampai menyakiti hati dan perasaan boru.

Manat mardongan tubu artinya mereka yang memiliki marga yang sama harus berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai satu saudara dari perut yang sama untuk dapat menghormati satu sama lain

Dalihan natolu memiliki fungsi menjaga keutuhan dari hubungan sosial diantara marga, dengan mengatur, menjaga keutuhan dari seluiruh kebiatan adat untuk menjaga ketertiban pelaksanaan tutur. Memberikan dalam menentukan posisi/kedudukan dan hak serta kewajiban dari ketiga posisi yang lain, juga menentukan pelaksanaan musyawarah musyawarah utnuk mencapai kesepakatan bagi mereka (suku batak toba). Hal ini juga dilakukan dan dipatuhi seluruh suku

Batak yang berada di mana saja, sehingga secara otomatis akan berlaku fungsi dalihan na tolu bagi mereka. Bagi mereka dimanapun mereka berada, semua ang batak tetap mempertahankan kesadaran bermarga, maka selama itu pulalah fungsi dalihan natolu tetap berlaku. Sistem kekerabatan memegang peranan penting

86

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dalam jalinan hubungan berinteraksi yang baik antara individu dengan individu maupun dengan masyarakat lingkungannya.

System kekerabatan ini akan dianut termasuk bagi mereka yang sudah memiliki ikata perkawinaan yang secara otomatis menjadi anggota pemangku adat

Dalihan Na Tolu. Mereka wajib mengikuti seluruh kegiatan adat dala posisinya, dan tidak ada alasan untuk menolak turut menyelesaikan urusan di tengah-tengah masyarakat secara adat Dalihan Na Tolu. Dikareenakan salah satu unsur dalihan natolu ini tidak ada, maka pekrjaan yang membutuhkan adanya kesepakatan, daingap tidak sah tidak kuat.

Dari penjelasan tentang Dalihan Na Tolu di atas, maka kita dapat memahami bahwa sistem ini menjadi penentu dalam mengatur mekanisme integritas dan identitas antar marga di suatu desa. Walupun mereka tidak tinggal lagi di desa, namun konsep dalam norma, dasar, nilai, dasar adat Dalihan Na Tolu tetap berlaku. Hal ini bisa terwujud karena tutur dalam Dalihan Na Tolu amat menjaga adanya etika. Dalihan natolu menjadi panutan bagi suku Batak yang memiliki hubungan adat, sehingga akan muncul, tumbuh harosuan yang menjadi nilai utama dalam kehidupan dan pergaulan. Nilai, norma ini tidak hanya sekedar sebuah teori atau semboyan saja, namun dilakukan dan diterapkan dalam bentuk kehidupan bermasyarakat.

2.3.4 Religi

Dalam kehidupan suku Batak, mereka masih meyakini kepercayaannya yang hidup di tengah-tengah kehidupan, terutama bagi keluarga yang berada di desa, yang terbiasa menjalankan dan mempertahankan kepercayaan tersebut

87

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

secara turun temurun. Orang Batak memiliki konsepsi, bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debata Mula Jadi Na Bolon13. Mereka meyakini bahwa debata berada di atas langit dan memiliki nama-nama sesuai dengan tugas, tanggungjawab, dan posisinya. Saat ini keyakinan atas kepercayaan sebelumnya terganti dengan masuknya agama yang kemudian diimani oelh mereka seperi agama Kristens yang domnat di anut dan agama Islam bagi sebagain kecil suku batak terutama Batak mandailing.

Masuknya agama Kristen pada tahun 1861 dibawa oleh Misionaris yang berasal dari Jerman. Sebelumnya mereka menerbitkan buku tata bahasa dan kamus Batak-Belanda. Dengan tujuan mereka dapat memudahkan penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh orang Kristen Jerman dan Belanda. Sasaran mereka adalah Batak Toba dan Simalungun. Batak Toba pada abad ke-20 agama

Kristen menjadi identitas budaya mereka. Saat Belanda menancapkan kolonialisme Belanda di tanah Batak, masyarakat Batak ini tidak banyak melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip, yaitu perbedaan tigkat umur, perbedaan pangkat dan jabatan, perbedaan sifat keaslian, dan status kawin. Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut Huta. Biasanya satu

Huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Marga tersebut terikat oleh simbol- simbol tertentu misalnya nama marga.

Purba dalam artikelnya “Gereja dan Adat: Kasus Gondang Sabangunan dan Tortor” menjelaskan peradaban Barat sudah ada di tanah Batak sejak masuknya misionaris yang mempengaruhi segala tata cara kehidupan mereka,

13Debata Mula Jadi Na Bolon : Yang maha kuasa.

88

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sehingga menghilangkan ketentuan dan aturan-aturan yang mengatur kehidupan mereka., sehingga kegiatan adat sudah mulai berubah nilainya karena pernghargaan tidal lagi dilakukan. Salah satu dampaknya adalah berubahnya konsepsi atau pemahaman masyarakat Batak Toba tentang tradisi gondang sabangunan, tortor dan adat. Tradisi tersebut mengalami proses pendekontekstualisasi (melepaskan tradisi secara sistematis dari praktek adat dan kepercayaan pra-Kristen), dan perekontekstualisasi (memberikan fungsi dan konteks baru pada tradisi tersebut)14, namun berikutnya sikap masyarakat Batak

Toba mulai menerima kedatangan agama baru (diluar kekristenan). Keadaan ini juga menjadi kesaytuan antara keinginan dan harapan untuk merubah hidup serta kuatnya perkabaran injil disampaikan.

Keyakinan dalam beragama bagi suku Batak Toba dapat dilihat dari penerimaan mereka dengan menerima keyakinan keristen Protestan, Kristen

Katolik, Islam, dan Parmalim, namun pada umumnya suku batak Toba beragama

Kristen Protestan. Pada tahun 1924 agama Kristen masuk ke Indonesia yang dibawa oleh Pendeta Burton dan Ward di kawasan Silindung (sekarang Tarutung).

Yang diterima dengan sangat baik. Masuknya agama kjristen ini, pada awalnya ridak diterima oleh suku Batak Toba, dan setelah bergantian para misionaris datang melakukan pelayangan/penginjilan, maka akhirnya masyarakat Batak menerima. tahun 1862, dipimpin oleh Dr. Ingwer Ludwig Nomensen, penginjilan di tanah Batak betumbuh sangat cepat dan pesat, kemudian mereka melakukan penyebaran lagi dengan memperluasan wwilayah penginjilan pada tahun 1903 ke

14 Mauly Purba, “Gereja dan Adat: Kasus Gondang Sabangunan Dan Tortor,” Jurnal Antropologi Indonesia, No. 62 (Mei-Agustus, 2000), hal 25-41.

89

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

daerah Simalungun dan Tanah Karo. Saat ini mayoritas suku Batak Toba beragama Kristen Protestan.

Agama Kristen Protestan dalam tata cara pelaksanaannya tidak menghilangkan budaya Batak Toba, mereka tetap memasukkan adat budayanya yang sudah tertanam secara turun temurun di kehidupaan mereka, yaitu: adanya

―Buku Ende. Buku Ene ini berisi lagu-lagu pujian dalam bahasa Batak yang secara umum dipakai dalam kebaktian gereja Kristen Batak di Indonesia, juga dalam ritual ritus peralihan seperti kelahiran, pernikahan hingga kematian.

2.4 Upacara Adat

Suku Batak Toba, seperti suku lainnya di Indonesia memiliki adat budaya yang berbeda dan memiliki ciri khas, yang memperlihatkan latar belakang adat- istiadatnya. Dalam menjalankan budayanya, mereka tetap memegang teguh dengan berlandaskan konsep dalihan na tolu. Konsep adat ini sudah mereka lakukan sejak masih dalam kandungan hingga seseorang tersebut meninggal dunia dan menjadi tulang-belulang dalam berbagai rangkaian adat. Ini bukan menunjukkan rumitnya Batak dan adatnya, ini menunjukkan bahwa Dalihan

Natolu (Somba marhula-hula, Elek marboru, Manat mardongan tubu) selalu ditunjukkan dengan perayaan serta syukuran dan Adat digunakan sebagai pertanda, bahwasanya suku Batak Toba adalah suku yang beradat.

Kota Medan yang memiliki suku heterogen, termasuk Batak Toba, walaupu bukan sebagai budaya yang mendominasi, akan tetapi keberadaannya sangat nyata. Kondisi ini dapat diamati dari pesatnya pertumbuhan perekonomian dengan bermunculan gedung serbaguna atau wisma/ godang sebagai tempat

90

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pelaksanaan rangkaian adat. Wisma adat ini menjadi tempat rujukan bagi keluarga yang akan menyelenggarakan kegiatan adat, dan jhampir setiap pekan selalu terisi untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat. Termasuk kegiatan adat dalam upacara perkawinan. Kegiatan adat ini juga menjadi salah satu bentuk hubungan bersoasialisai, berinterksi diantara mereka. Melalui berbagai kegiatan adat, mereka dapat bertemu dan menjaga, sekaligus mewaiskan kepada anak cucunya tentang norma-norma adat warisan leluhur, yang juga menjadi tempat bertemu muka dengan keluarga, sanak saudara semarga yang mungkin sudah lama tidak bertemu.

Kegiatan yang berkaitan dengan adat, sesungguhnya elalu menjadi persoalan dala kehidupan sosial yang selalu diicarakan dan didiskussikan baik para akademis, dan orang biasa, dengan pemahaman yang berbeda dari makna- makna yang ada. Tanggapan yang berbeda seperti ada yang mendefenisikan sebagai norma dan hukum agama, dengan menjdaikan hubungan antara tuhan, manusia, nenek moyang dan keturunan mereka, sebagai yang menjaga. Sementara yang lain menyebutkan adat sebagai sebuah sistem yang memang dibuat untuk mengatur, mengawasi serta menjaga keseimbangan dari kekuatan roh lain yang akan mengganggu kehiduan manusia. Bruner seorang antropolog, melihat fenomena ini dengan menjelasskan bahwa adat tidak hanya mencakup hukum perkawinan, warisan, dan harta benda tetapi juga kemelut kehidupan. Adat menjadi bagaian dalam keseluruhan rangkaian dalam tatanan kehidupan nirma sosial dan religius, serta mengatur kehidupan sosial, kehidupan hubungan manusia

91

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dengan Tuhan-Nya, manusi dengan leluhurnya, serta pelaksanaan upacaraupacara ritual keagamaan15.

Sistem adat menjadi sistem sosial yang terus berubah mengikuti prinsip - prinsip dalam etika dan praktek-praktek agama, juga turut mengatur dalam kehidupan sosial. Termasuk mengatur dalam hal pengolahan lahan, pengelolaan pertanian dan irigasi, sistem pewarisan dan sistem perkawinan. Dalam hal etika sosial adat mengarahkan masyarakat untuk bersikap yang lebih baik lagi terhadap saudara kerabat danlingkungan sekitar. Acara-acara adat merupakan aktifitas kehidupan social masyarakat batak yang \sudah diatur berdasarkan kesepakatan dalam tata aturan dalihan na tolu yang diatus dalam hukum adat. Adat memiliki sifat terukur, terpisah, meiliki arti dan pesan yang resmi, sesuatu sangat terorganisir dan terstruktur, bagian dari kehidupan sosial, namun tidak terjadi setiap saat. Upacara adat berperan dan bertujuan untk kebutuhan dari masyarakatnya, seperti dalam kegiatan perayan pernikahan, kedatangan anggota baru (kelahiran), upacara kematian, untuk membuka kampong baru atau membuat rumah, untuk merayakan rangkaian dalam bercocok tanam (menanam padi, opanen), atau ibadah roh leluhur, dewa, dan kekuatan supranatural lainnya serta yang lebih berkepentingan.

2.4.1 Aktivitas Berkesenian

Dalam budaya Batak, kesenian menjadi ekspresi kejiwaan yang luhur melalui beragam seni, adat istiadat dan kebudayaannya. Sama halnya dengan kesenian moderen, jenis-jenis kesenian tradisional Batak Toba juga mencakup

15 Mauly Purba, “Results Of Contact Between The Toba Batak People, German Missionaries, And Dutch Government Officials: Musical And Social Change,” Jurnal Etnomusikologi, No 2 (September, 2005), hal 118-143)

92

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

seni musik, tari, sastra, tetaer, kerajinan, seni rupa, dan lain sebagainya.

Keragaman seni tersebut melebur dan menyatu dan mendarah daging dalam tatanan kehidupan masyarajat Batak Toba sejak zaman dahulu kala dan sebagian masih lestari hingga saat ini. Seni Batak toba yang popular hingga era digital ini antara lain sastra dan tari, yaitu umpasa dan tortor yang selalu menyertai kegiatan ritual adat istiadat dalam Batak Toba.

Seni Tari dalam budaya Batak Toba disebut juga dengan tortor. Kita bisa menyaksikan penyajian Tortor setiap saat dalam peristiwa-peristiwa adat yang bisa dinikmati dalam kegiatan-kegiatan adat masyarakat Batak Toba, baik dalam acara duka maupun gembira, seperti padapesta perkawinan, kematan pada acara saur matua. Secara filosopis, tortor menjadi media dalam mengungkapkan rasa syukur kepada pencipta (mula jadi na bolon) dan bentuk ekspresi menghoramati bagi peserta yang mengikuti upacara adat dalam posisi dalihan na tolu. Walaupun saat ini, penyajian tortor bajyak disajikan menjadi angkaian acara seremonial untuk kebutuhan adat saja. Pewaris budaya dalam hal ini penerus daru suku Batak

Toba, semakin banyak yang tidak lagi memahami makna yang ada didalamnya.

Ragam tortor dalam Batak Toba sesungguhnya sangat banyak, baik yang mistis maupun yang biasa. Gerak tortor sangat khas dengan penekanan pada henjutan lutut, tangan diangkat ke atas sejajar dada lalu digerak-gerakkan seperti gerakan kaku, dan kaki diinjitkan.

Pada awalnya tortor hanya ada pada upacara adat saja, namun kini tortor sudah berkembang dengan banyak dipentaskan, tak hanya pada upacara adat saja.

Orang medan sendiri banyak yang mempelajari dengan tujuan melestarikan budaya mereka, yaitu dengan bermunculannya sanggar-sanggar tari yang

93

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mengajarkab tortor sebagai materi pembelajaran. Ada dua jenis penyajian dalam tortor yaitu: a. Penyajian totor pada suku batak Toba disajikan dengan diiringi musik

gondang gondang sabangunan, secara umum terlihat seperti hiburan. Akan

tetapi dalam pemikiran yang asli, kedudukan tortor bagi masyarakat Batak

Toba tidaklah merupakan suatu seni hiburan. Pada mulanya tortor bukanlah

peragaan keindahan estetis melainkan suatu sembah kepada yang dipercayai.

kepada Sang Maha Tinggi.16

Dalam pelaksanaannya pola gerak tortor dapat dibagi atas dua bagian:

- Tortor hatopan, suatu pola gerak yang sudah baku dalam setiap upacara.

Antara pria dan wanita memiliki pola-pola tersendiri. Gerakan ini biasanya

dilakukan pada setiap awal penyajian gondang.

Foto 2.7. Tortor Hatopan dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba.

16 A.B. Sinaga, Martutu Aek Sebagai Permandian Orang Batak: Penghampiran Theologis, Kertas Kerja dalam Lokakarya IRAPAS di Universitas HKBP Nommensen Pematang Siantar 16-19 September 1977.

94

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

- Tortor hapunjungan, tortor yang dilakukan sesuai dengan fungsi tortor

yang berhubunan dengan kegiatannya. Penyajian tortor hapunjungan

dilakukan sesuai konteks upacara, dilakukan secara pribadi atau

sekelompok seperti; pada acara muda mudi dalam gondang na poso, atau

dalam acara sukacita, memiliki gerakan tidak terstruktur, setiap penari

bebas melakukan gerakan sesuai dengan ekspresinya denhan mengikuti

tempo gondang.

Foto 2.8; Tortor Hapunjungan dalam acara mudai mudi BatakToba

Secara umum dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat Batak Toba, tortor sangat individual sekali, walaupun dalam tortor Batak yang asli sebenarnya terdapat pola gerakan yang harus dipatuhi, tetapi seringkali mereka mengabaikan hal ini

95

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dalam bentuk tarian, suku Batak Toba juga memiliki Tumba, yaitu suatu tarian bagi anak remaja, biasanya dilakukan malam hari di halaman desa, dan peristiwanya terlepas dari konteks upacara. Tumba mirip dengan joting tetapi semua pemainnya berdiri dan menari bergerak seragam sambil bernyanyi.

Gerakannya didominasi gerakan tortor, tetapi ada kombinasi gerakan hentakan kaki dan mengayun disertai menepuk lutut dengan kedua tangan dilanjutkan dengan bertepuk tangan. Paduan gerak dan nyanyian ini disebut Tumbas.

Sementara dalam syair lagunya ada kata tumba. Tumba adalah syairnya, embas adalah gerakannya. Pemakaian kata tumba dipopulerkan karena embas tortor batak semakin dihilangkan dan telah didominasi budaya joget melayu.

Seni tenun atau seni kerajinan Batak Toba yang paling terkenal adalah bertenun (martonun). Ketrampilan ini biasanya dikuasai kaum prempuan. Mereka disebut partonun (tukang tenun) . hasil tenunan mereka inilah yang disebut engan ulos, atau kain tradisional Batak. Dahulu kaum perempuan Batak menenun engan kemampuan illahi, artinya tisak sembarang perempuan bias menenun, tapi harus memiliki talenta khusus, sangat terakait dengan religi. Peralatannya juga sangat tradisional, namanya sorha, terbuat dari kayu ataupun bamboo, papan dan besi.

H8ngga saat ini partonun masih bias ditemui di pedalaman Tanah Batak. Namun demukian, partonun juga sudah banyak ditemukan di kota-kota dan terorganisasi di sector knomi home industry dan dilakukan dengan peralatan modern yang bias memproduksi banyak ulos dalam waktu relative singkat.

96

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 2.9; suku batak toba menenun kain khas batak (Ulos)

Seni musik dalam tradisi batak Toba, seni musik lazim digunakan dalam pelaksanaan upcara ritual dan adat. Alat music yang paling khas adalah gondang sabangunan dan gondang hasapi (uning-uningan). Di dalam kedua alat musik ansambel ini sebenarnya sudah termasuk sarunei (seruling), ogung, hesek dan taganing. Dalam perkembangannya, taganng sering dipadu dengan alat musik

97

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

modern seperti keyboard atau organ. Ini terutama ditemukan pada acara-acara adat diperkotaan yang mengedapankan kepraktisan.

Berikutnya selain instrument gondang, suku Batak juga memiliki

“Joting”: Joting adalah seni suara dengan syair yang beraturan dipadukan dengan gerakan yang seragam. Permainan joting biasanya ramai pada saat bulan purnama usai panen raya. Dalam menyanyikan joting seseorang bernyanyi dan diikuti banyak suara (respinsorial). Selain itu ada juga “Andung” adalah ratapan bernuansa kesedihan. Bila tangisannya diiringi dengan suara menggelegar dan hempasan tubuh sembarang disebut dengan “angguk bobar”.

Seni rupa pada kebudayaan Batak Toba mencakup seni patung dan seni pahat. Mereka juga memiliki ketrampilan membuat sior dan hujur (panah), losung gaja (lesung besar), dan boneka sigale-gale (boneka mistis dari kayu yang hisa menari) dan parpagaran (alat untuk memangguil kekuartan gaib); tentu, seni rupa

Batak Toba paling luas dikenal dengan gorga, ukiran estetis pada ornament- ornamen rumah adat.

Seni sastra, selain untuk keperluan komunikasi sehari-hari, bahasa Batak

Toba juga dipergunakan dalam seni-seni sastra masyarakat Batak Toba, yang mencakup turi-turian (cerita / hikayat / legenda), tonggo-tonggo (mantra), torsa- torsa (perumpamaan), huling-huling (teka-teki). Kesemuanya disampaikan dalam beberapa bentuk penyajian sastra, yang berfungsi sebagai hiburan, bagian dari adat, hukum dan religi. Bentuk bahasa dalam seni sastra ini yang pokok ada tiga macam, yaitu:

98

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1. Umpasa, suatu bentuk penyajian sastra yang bermaksud sebagai teladan

kebijaksanaan, hukum-hukum lisan, dialog-dialog resmi dalam upacara adat,

misalnya:

- Songon gondang, dobung-dobung soarana, hape rumar do dibagasan.

(Terjemahannya: Seperti gendang, keras suaranya, ternyata kosong di

dalamnya).

- Matek-tek bulung pinasa, matektek tu bona. Tunda ni anakna, dohonan tu

amana (Terjemahannya: jatuh daun nangka, jatuh ke batangnya. Perbuatan

anaknya, ditanggungkan ke ayahnya).17

2. Umpasa, suatu bentuk penyajian sastra yang dari segi bentuknya agak sulit

dibedakan dari umpama. Tetapi dari segi isinya, umpasa lebih terasa berkesan

religius, dalam arti lebih menekankan hal-hal yang bersifat rahmat, kurnia, dan

berkat, contohnya”

- Sahat-sahatni , sai sahatma tu bontean. Leleng hita mangolu, sai sahat

tu pangabean. (Terjemahannya: Perahu melaju sampai ke tepian, semoga

mempunyai umur yang panjang dan mencapai kebahgiaan/kesuksesan).18

3. Tudosan, suatu bentuk penyajian sastra yang berupa perbandingan. Dalam

kaitan ini, berbagai permasalahan dalam alam dijadikan suatu bandingan

terhadap kehidupan manusia untuk menyatakan perasaan hati atau keadaan

sesuatu, misalnya: Togu uratni bulu, toguan uratni padang. Togu hatani

uhum, toguan hatani padan. (Kuat/teguh akar bambu. Lebih kuat/teguh akar

17 Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suata Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), 41 18 H. Billy Situmorang, Ruhut-ruhut Ni Adat Batak, (Medan: Jl. Perjuangan No. 2), 76

99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

rumput (sejenis ilalang). Kuat/teguh aturan hukum, lebih kuat/teguh aturan

janji).

2.4.2 Sekilas Tempat Penelitian a. Sanggar Sianturi Dancer

Sanggar Sianturi Dancer merupakan sanggar yang dikelola oleh Nela

Sianturi bersama teman-teman nya pada awal berdiri. Nela sebagai pemimpin sanggar adalah alumni dari Program Studi Pendidikan Tari, Unversitas Negeri

Medan, yang mengumpulkan teman-temannya sesama alumni untuk membuat sanggar yang pada awalnya berkonsentrasi pada tari-tari Batak saja. Namun dengan semakin banyaknya permintaan untuk turut memeriahkan sebuah acara, perlahan sanggar ini tidak lagi memfokuskan pada materi tari Batak saja.

Sanggar Nela Sianturi sudah berdiri sejak tahun 2013, yang diawali semenjak masih duduk di bangkuk perkuliahan. Pada masa itu, pimpinan sanggar

(Nela) tergabung dalam komunitas Ikatan Mahasiswa Batak Toba Unimed

(Imabato), yang salah satu programnya adalah melestarikan seni tradisional Batak.

Berawal dari mengisi acara dalam rangkaian kegiatan Imabato, Nela kemudian melanjutkannya setelah menamatkan pendidikan, kearah yang lebih profsional dengan mengajak teman-temannya dan adik kelassnya untuk menerima pesanan dari berbagai event, hingga sekarang.

Walaupun masih belum lama bediri, Sanggar Sianturi Dancer, sudah banyak diminta untuk mengisi mengisi berbagai acara, baik dalam acara hiburan, maupun acara dalam rangkaian upacara perkawinan. Dalam mengemas tortor,

Nela banyak melakukan perubahan dalam penyajiannya. Dari sisi gerak, banyak pola-pola gerak baru yang memberikan warna dalam tariannya. Selain itu dari sisi

100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

busana, sanggar ini banyak memodifikasi ulos ke dalam busananya, termasuk mengenakan longthorso menutupi baju kebaya, atau menjadikan ulos sebagai pengganti pakaian dengan model-model yang beragam.

Sebagai orang Batak, Nela dan kelompok sanggarnya, berupaya dalam mempertahankan tradisi yang sudah didapat dan dipelajari baik dari orang tua, bangku kuliah, maupun pengalaman. Namun permintaan pasar, kadangkala membuat kreatifitas yang dihasilkan tampak menyalahi nilai-nilai yang ada.

Dengan segala persoalan, Sanggar Sianturi Dancer, tetap berupaya dengan bijak untuk tidak terlampau jauh menyalahi dari aturan yang ada.

Hingga sekarang, sanggar Sianturi Dancer ini masih aktif, dengan quantitas pementasan semakin bertambah dari tahun ke tahun, dengan berbagai even pementasan. Hal ini juga menjadi persoalan sendiri di sanggar, karena tingginya permintaan pasar, yang tentunya harus memunculkan kreatifitas baru untuk menghindari kebosanan. Kemunculan sanggar baru di kota Medan membuat persaingan menjadi lebih menarik, karena akan banyak kreatifitas yang menghasilkan karya-karya tari baru dalam menunjang permintaan untuk mengisi acara dalam berbagai kegiatan. Sehingga dibutuhkan ide-ide kreatif dari masing- masing sanggar untuk menjawab permintaan, namun jangan sampai permintaan menjadi merosotnya nilai dalam sebuah karya tari b. Sanggar Nusindo

Sanggar Nusindo di bawah kepemimpinan Irfansyah, merupakan salah satu sanggar yang cukup mendapat perhatian dan menjadi sampel serta narasumber dari penelitian ini. Sanggar ini sudah berdiri sejak tahun 2000-an, sebelumnya, irfan sebagai pimpinan sanggar bernaung di sanggar Citra Budaya

101

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang mengambil tempat di Taman Budaya Medan. Setelah pimpinan kelompok sanggar Citra Budaya berpindah pekerjaan ke luar kota Medan, kemudian Irfan membentuk kelompok tari sendiri dengan nama sanggar Nusindo. Sanggar

Nusindo juga mengambil tempat latihan di Taman Budaya, yang bergantian dengan sanggar lain untuk mengatur tempat dan jadwal latihan, 3 x seminggu.

Sanggar Nusindo dalam perjalanannya, telah banyak melakukan pementasan baik dalam kegiatan hiburan maupun pertunjukan, bahkan telah diundang dalam berbagai even nasional maupun internasional. Sebagai sebuah sanggar yang memberikan materi tradisi Umatera Utara sebagai dasar dalam penguasaan tari, mereka juga menciptakan karya tari baru sebagai permintaan dari berbagai penyelenggara kegiatan. Salah satunya dengan menciptakan tortor untuk menyambut tamu maupun menyambut pengantin dan keluarga.

Penciptaan karya tortor penyambutan perkawinan, dikarenakan permintaan dari masyarakat Batak sendiri, yang menginginkan adanya kesenian tradisi Batak dalam pesta perkawinan. Hal ini juga menjadi tantangan bagi sanggar yang menciptakan tarian tradisi yang semula tidak ada pada kegiatan upacara perkawinan masyarakat Batak Toba. Sanggar Nusindo menyikapi banyaknya permintaan, dengan menyiapkan tarian sekalaigus dengan busana yang dikenakan. Sampai saat ini, mereka menampilkan dengan tetap berpijak pada norma aturan dalam tortor.

102

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

c. Sanggar Patria (Lembaga Studi Patria)

Sanggar Patria merupakan sanggar yang ada dan sanggar paling lama berdiri sejak tahun 80-an hingga sekarang. Sanggar Patria dengan Yos Rijal

Firdaus sebagai pimpinan sanggar merupakan seorang budayawan, juga telah turut memberikan andil dalam melahirkan seniman-seniman kreatif dalam mengembangkan kesenian (tari) di kota Medan. Sanggar Patria semula melakukan aktifitas berkesenian di kota Tanjung Morawa, kemudian berpindah tempat latihan di Taman Budaya Medan. Sanggar Patria memberikan pewarisan budaya

Sumatera Utara dalam upaya menjaga dan melestarika kesenian.

Sanggar Patria telah berdiri sejak tahun 1980-an, di daerah Tanjung

Morawa, dengan mempokuskan pada kesenian Sumatera Utara. Pada awalnya sanggar ini mengajarjan materi Melayu, namun seiring perkembangan zaman, materi-materi etnik lain yang ada di Sumatera Utara juga turut diajarkan, termasuk materi dari etnik batak toba. Apalagi kemudian didirikannya Lembaga Studi

Patria dengan Sekolah SMKI (sekolah Menengah Karawitan Indonesia) setingkat

SMA, maka nama sanggar Patria menjadi lebih dikenal. Semakin dikenalnya sanggar ini, juga dikarenakan beberapa dari murid-murid di sanggar dimagangkan pada beberapa kelompok sanggar di Indonesia, seperti sanggar yang dipimpin oleh Bagong Kusudiarjo dari Yogyakarta, seorang tokoh tari yang terkenal di

Indonesia. Selain itu beberapa orang juga di sekolahkan di Akademi Seni

Kaawitan Indonesia (ASKI) Padangpanjang dengan mendapatkan beasiswa dari sanggar.

103

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dalam perjalanannya, Sanggar Patria juga telah mengembangkan karya- karya baru dan tetap mempertahankan karya tradisi Sumatera Utara, seperti tari

Zapin Menjelang Magrib, tari Lenggok Anak dara, dan lain-lain. Selain telah melahirkan karya baru, mereka juga melahirkan seniman-seniman kreatif yang melanjutkan pewarisan dengan membuka sanggar-sanggar baru lainnya. Dalam pengajaran, mereka tetap mengajarkan kesenian tradisi baik tari maupun musik sebagai upaya dalam menjaga dan melestarikan kesenian Sumatera Utara.

Hingga saat ini, Sanggar Tari Patria, menjadi asset budaya yang dimiliki

Provinsi Sumatera Utara, dan menjadi contoh bagi sanggar-sanggar baru dalam pengelolaannya, sebagai salah satu pewaris budaya.

104

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB III UPACARA ADAT PERKAWINAN DAN TORTOR PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI MEDAN

5.1. Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba

Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba adalah peristiwa yang menjadi bagian dalam kehidupan masyarakatnya, merupakan penyatuan dua orang melalui ikatan perkawinan, dengan melaksanakan rangkaian ritual adat. Keseluruhan rangkaian ritual adat dilakukan dengan meletakkan peran masyarakat dalam sistem adat yang mereka yakini. Bagi suku Batak Toba, perkawinan memegang peranan penting untuk mengikat dan meneruskan generasi yang sekaligus sebagai pengikat adat dan sistem kekerabatan. Dalam perkawinan ada tata aturan yang mengatur hak dan kewajiban suami istri, kedudukan orng tua, anak, harta bersama, dan juga mengatur upacara-upacara adat dan keagamaan.

Hukum adat dalam sistem adat Batak Toba mengatur jalannya upacara perkawinan yang dilihat dari resminya perkawinan secara adat berdasarkan syahnya perkawinan dari tata acara agama yang diyakini, dan dilaksanakannya upacara adat yang diakui oleh masyarakatnya sesuai dengan hukum adat Batak.

Dengan meengikuti tata cara sesuai hukum adat, mereka baru boleh masuk dan diakui dalam lingkungan masyarakat adat dan diakui menjadi warga masyarakat adat. Masyarakat Batak Toba pada umumnya menganut perkawinan monogami dan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba adalah patrilineal (pelaksanaan hokum adat yang mengatur garis keturrunan berdasarkan orang tua laki-laki).

Dalam pelaksnaan upacara perkawinan, agama menjadi prosesi awal sebelum pelaksanaan kegiatan adat. Dilaksanakannya tata aturan dala agama, menunjukkan

105

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

bahwa agama menjadu posisi yang utama, dengan adat yang menjadi pengikat kelengkapannya. Adapun tahapan yang biasa dilakukan antara lain: martumpol, kegiatan yang dilakukan dalam tata cara agama Kristen di gereja, dan adat.

Namun tidak semua agama Kristen mengikuti tata cara dengan tahapan awal martumpol.

Pernikahan di dalam kebudayaan Batak idealnya apabila dilakukan antara keluaraga yang disebut juga dengan kawin “marboru nitulang” atau “pariban”

(perkawinan antara laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya).

Selain itu perkawin yang ideal juga apabila dilakukan antara anak perempuan dengan anal laki-laki saudara perempuan bapak (maranak ninamboru) disebut juga kawin “pariban”. Pernikahan antara keluarga ini, pada awalnya dimaksudkan untuk menjaga menjaga warisan, agar tidak terjatuh kepada orang lain, dan hanya jatuh pada keluarganya endiri, selain untuk memperkuat hubungan persaudaraan dengan keluarga ayah/ibu yang tetap terjaga. Perkawinan dengan pariban ini juga dituangkan dalam lagu “ tabo na marpariban ” bercerita tentang baiknya memiliki pariban.

Dalam hokum adat batak, juga mengatur perkawinan yang dilarang yaitu, menikahi putri dari saudara perempuan bapak atau boru ni namboru. Pelarangan ini diatur dalam adat dalihan na tolu yang menjelaskan hanya boru yang dapat menjadikan istri dari posisi hula-hula. Apabila hal ini dilakukan, maka dilakukan hukuman berat dengan meninggalkan desa, dan kehilangan haknya dalam marga, serta tidak boleh mengikuti upacara adat. Peraturan dalam hal ini juga tertuang dalam ungkapan: “dang tarpaulak aek tu julu” atau tidak dapat dialirkan kembali ke hulu. Berkaitan dengan hal ini, pihak hula-hula (keluarga mempelai

106

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

perempuan) adalah sumber asal boru. Dengan demikian, boru sebagai ibu dan inti dari jalannya kehidupan (sumber keturunan) yang diartikan juga “pohon kehidupan” bagi hula-hula. Keyakinan suku Batak tentang hal ini, menganggap, bahwa hula-hula menjadi personifikasi atau titisan dewata Batara Guru dan banua ginjang (dunia atas), dan boru adalah personifikasi/titisan dewata Balabulan dan banua toru (dunia bawah). Sehingga posisi ini memberikan kedudukan yang tinggi pada posisi hula-hula dan tidak bias diputar balikkan. Secara realigi hal ini tidak diperbolehkan dan tidak dimungkinkan.

Sistem kekerabatan dalihan na tolu dari kedua pihak mempunyai peranan penting dalam upacara perkawinan, seperti mengatur dalam tata cara penerimaan tuhor

(uang mahar), di mana orangtua pengantin wanita harus didampingi dalam menerima tuhor dari keluarga laki-laki, dan mendatangi kerabat dalam dalihan natolu untuk pembagian tuhor sesuai aturan adat. Emikian juga di pihak pengantin laki-laki, untuk membayar sinamot bersama kerabat dalihan na tolu. Selain itu pihak perempuan memberikan ulos secara lengkap sesuai pembahasan di dalam adat. Tata cara ini bertujuan mengikat hubungan antara dalihan na tolu dengan menantu baru atau keluarga baru di kedua belah pihak, sekaligus sebagai simbol kerukunan dan harmonisan (Maria, 1995:18)

Tata aturan dalam rangkaian pelaksanaan pacara perkawinan, memperlihatkan tanggungjawab dari semua posisi dalam dalihan antolu, seingga pelaksanaan ini menjadi tanggungjawab kelompok social masyaraka. Seluruh perangkang dalihan na tolu bertanggung jawab penuh menjalankannya sesuai posisi dalam adat. Hal ini memperlihatkan bahwa kerja besar ini tidak hanya

107

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dilakukan oleh keluarga pengantin saja, tetapi juga dilakukan dan ditanggungjawabi setiap unsur dalam dalihan na tolu kedua keluarga.

5.1.1. Tahapan Upacara

Adapun tahapan-tahapan dari Upacara Perkawinan Masyrakat Batak Toba antara lain:

1. Mangaririt

Di masa lalu, pemuda yang sudah cukup umur akan mencarai seorang gadis untuk dinikahi (mangaririt), bahkan sampai di luar kampong. Namun seiring zaman, kebiasaan itu kian pudar sedikit demi sedikit

2. Mangariska atau mangarisik

Mangariska diartikan sebagai kunnungan tidak resmi keluarga mempelai pria ke kediaman calon mempelai wanita. Apabila kedatangan disambut dengan pintu terbuka keluarga pria akan memberikan tanda mau (tanda holong) dan sebaiknya mempelai wanita member tanda mata. Bunda yang diberikan dapat berupa kain, cincin emas atau barang berharga lainnya.

3. Pabangkit Hata/paranakkon hata (melamar)

Menjajaki tahap lebih resmi lagi, keluarga pria kembali datang ke rumah keluarga wanita untuk membuktikan keseirusan dari hubungan tersebut. Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak laki-laki) kepada parboru

(pihak perempuan). Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada

„suruhan‟ pihak laki-laki pada hari itu juga dan pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang dongan tubu, boru, dan dongan sahuta.

108

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4. Marhori-hori Dingding

Dilaksanakan secara tertutup, prosesi ini juga melibatkan saudara perempuan orang tua pria dan juga saudara perempuan orang tua wanita. Pertemuan ini dilakukan dengan tuuan mempertemukan keinginan dari pihak keluarga wanita dengan kemampuan dari keluarga pria dalam penyelenggraan pesta adat.

5. Patua Hata

Setelah mencapai iesepakatan pada marhori-hori dingding, dilanjutkan dengan patua hata yang membahas waktu pernikahan, marhusip, jumlah undangan, tempat pesta, jumlah sinamot, bentuk ulaon dan sebagainya. Pembicaraan tersebut akan kembali dibahas pada marhusip.

6. Marhusip

Pada kegiatan ini, dibicarakan sama seperti patua hata, namun dalam marhusip akan lebih dimatangkan lagi. Di samping itu, ketika marhusip pula akan dibicarakan tenang sinamot yang akan dibicarakan secara khusus pada marhata sinamot, pembahasan perihal uang jujur atau tuhor lebih terbuka disbanding marhusip yang m,asih dirahasiakan atau hanya berbisik-bisik. membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan). Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya. Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu, boru-tubu, dan dongan-sahuta.

7. Marhata Sinamot, Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-

3 orang dari dongan-tubu, boru dan dongan-sahuta. Mereka tidak membawa

109

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman. Yang dibicarakan

hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot. Selain itu bagi masyarakat

Batak, seorang gadis yang akan dinikahi akan diboyong oleh suaminya kelak.

Keluarga wanita berhak mendapatkan uang tuhor sebagai gantinya. Besarnya

uang tuhor yang diberikan pun berpengaruhpada seberapa berharganya

mempelai wanita. Di dalam marhata sinamot, kedua pihak keluarga akan

membicarakannya hingga tercapai kesepakatan.

8. Pudun Huta

Kedatangan keluarga pria tanpa didampingi hula-hula untuk mengantarkan sumpit yang berisi nasi dan lauknya yanag diterima oleh pihak parboru. Makanan tersebut yang dibawa akan disantap bersama, dan dilanjutkan pembagian jambar juhut kepada hula-hula, dongan tubu, boru, serta pariban, acara pun ditutup dengan pudun saut dimana kedua pihak telah bersepakat mengenai waktu martumpol dan pemasu-masuon

9. Marpudun Saut, tahapan ini merupakan kerja dalam menentukan sinamot

yang berisi ketentuan dalam ketentuan jambar sinamot kepada si jalo todoan,

ketentuan sinamot kepada parjambar nagok, ketentuan sinamot kepada

parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara, tanggal upacara,

ulos yang akan digunakan, serta ulos-ulos yang akan diberikan kepada kepada

pihak paranak, serta tata cara rangkaian adat yang dilakukan, yang dapat

dijelaskan di bawah ini:

a. Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam Paranak

Hata, Marhusip, dan marhata sinamot.

110

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

b. Musyawarah yang sudah dilakkan sebelumnya yang dibicarakan pada

ketiga tingkat pembicaraan sebelumnya dipudunsaut (disimpulkan,

dirangkum) menjadi satu untuk selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat.

Itulah yang dimaksud dengan dipudun saut.

c. Kemudian hasil kesepakatan yang sudah di dapat kemudian diputuskan

dan ditetapkan oleh pihak paranak dan parboru, selanjutnya adalah

menyerahkan bohi ni sinamot (uang muka maskawin) kepada parboru

sesuai dengan yang dibicarakan. Setelah bohi ni sinamot sampai kepada

parboru, barulah diadakan makan bersama dan padalan jambar

(pembagian jambar).

d. Tahapan berikutnya adalah marpudun saut yang menjelaskan tidak ada

pembahasan tentang sinamot, hal ini disebabkan kesepakatan langsung

diumumkan kepada hadirin, selanjutnya parsinabung parboru mengambil

alih pembicaraan. Pariban adalah pihak pertama yang diberi kesempatan

untuk berbicara, disusul oleh simandokkon, pamarai, dan terkakhir oleh

Tulang. Setelah selesai pembicaraan dengan si jalo todoan maka

keputusan parboru sudah selesai; selanjutnya keputusan itu disampaikan

kepada paranak untuk melaksanakan penyerahan bohi ni sinamot dan bohi

ni sijalo todoan. Sisanya akan diserahkan pada puncak acara, yakni pada

saat upacara perkawinan nanti.).

10. Martonggo raja dan Marria Raja

Kedua prosesi ini dilakukan sesudah martumpol dan biasanya dua minggu sebelum pesta adat atau pesta unjuk. Fungsi dilaksanakannya prosesi ini untuk semakin mempermatang persiapan pernikahan, serta memberitahukan adanya

111

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pesta pernikahan agar dihari yang sama diharapkan pihal lain tidak mengadakan pesta pernikahan juga. Seremonial ini diadakan juga untuk memohon izin pada masyarakat sekitar.

11. Unjuk, Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman

pihak perempuan (alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan,

berikut adalah tata geraknya:

a. Memanggil liat ni Tulang ni boru muli menjelaskan penentuan posisi

tempat duduk. Mengenai tempat duduk di dalam upacara perkawinan

diuraikan dalam system kekerabatan Dalihan Na Tolu.

b. Persiapan makanan:

 Pemberian Na Margoar Ni Sipanganon dari parjuhut horbo oleh

paranak.

 Parboru memberikan makanan lauk pauk berupa dengke (ikan,

biasanya ikan mas)

12. Selanjutnya pembacaan Doa makan

13. Pembagian Jambar: pada tahapan ini, kegiatan manortor dilakukan, karena

tahapan ini masuk dalam rangkaian upacara pada hari pelaksanaannya

14. Marhata adat, tahapan ini berupa tanggapan oleh parsinabung ni paranak;

dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru; tanggapan parsinabung ni

paranak, dan tanggapan parsinabung ni parboru.

112

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 3.1: Beberapa rangkaian kegiatan adat dalam upacara perkawinan (dok Fernandus 2019)

15. Pasahat sinamot dan todoan

16. Mangulosi dan Padalan Olopolop

17. Tangiang Parujungan, tahapan ini merupakan iringan doa penutup sebagai

akir dari pelaksnaan seluruh rangkaian upacara perkawinan adat Batak

Toba.

Keseluruhahn rangkaian kegiatan perkawinan ini dilaksanakan satu hari yaitu pada awalnya kedua mempelai diberkati atau disyahkan secara agama yang biasanya dimulai dari pukul 09.30- 11.00. Pelaksanaan ini belum merupakan bagian dari upacara adat, tetapi merupakan bagian dari sistem kepercayaan yang dimiliki oleh suku Batak Toba dan setelah selesai dari pemberkatan atau

113

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dinyatakan sah secara agama selanjutnya dimulailah upacara adat dimana mempelai laki- laki memakai baju jas dengan menggunakan ulos ragi hotang dan mempelai wanita memakai sortali, ulos sadum. Kemudian kedua mempelai digiring masuk ke dalam rumah untuk diberi boras tenger (diberi beras keatas kepala kedua mempelai), selanjutnya setelah selesai acara boras tenger semua kerabat baik kedua mempelai dibawa keluar rumah untuk memulai manortor

(menari bersama) dan menyambut dongan tubu yang datang. Setelah selesai manortor, diadakanlah acara yang disebut dengan mangulosi dimana keluarga dekat memberi ulos kepada kedua mempelai pada penghujung acara selesai.

5.1.2. Pendukung Upacara

Upacara perkawinan Batak Toba didukung oleh oleh banyak pihak, dari awal perencanaan, pelaksanaan, sampai pada akhir kegiatan. Pendukung pelaksanaan upacara tersebut yaitu:

1. Musik: musik menjadi satu bagian penting dalam keterlaksanaan upacara

perkawinan, yang diciptakan dengan kompoisisi dari musik tradisional Batak

Toba. Penggunaan musik dimainkan dalam beberapa tahapan rangkaian acara

adat,, yang juga menjadi hiburan bagi seluruh peserta upacara. Music menjadi

bagian dai seluruh tindakan yang dilakukan oleh para seniman untuk

kebutuhan masyarakat dan acara adat penggunanya. Dalam kaitan topic ini,

music dilihat dari kontinuitas dan perubahan yang terjadi pada penyertaannya

dalam rangkaian adat upacara perkawinan.

114

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Penyajian gondang yang dimaksud dalam upacara adat ini artinya merujuk pada instrument musik tradisional Batak Toba, yang dijadikan sebagai pengiring tortor. Istilah gondang juga dipakai untuk komposisi lagu, serta jenis tarian/tortor yang dibawakan dalam upacara adalah:

a. Instrumen musik

b. Komposisi dan repertoar (untaian komposisi lagu)

Penggunaan musik iringan dalam upacara perkawinan Batak Toba, saat ini sudah mengalam mengalami perubahan. Pada awalnya musik iringan menggunakan gondang sabangunan (musik tradisional batak) yaitu taganing, sarune, gordang, ogung ihutan, ogung oloan, ogung panggora, ogung doal dan hesek. Namun pada perkembangan selanjutnya dalam penggunaan musik iringan, saat ini sudah dimasukkannya beberapa alat musik modern seperti keyboard, saxophone, atau terompet. Berdasarkan dari fenomena tersebut, terlihat perubahan yang diberikan pada penggunaan alat music, yang memberikan sentuhan warna baru dalam penyajiannya. Perubahan ini memberikan dampak pada pelaksnaan upacara adat, hadirnya akat-alat music modern memberikan kemeriahan pesta, yang juga sekaligus menghibur sseluruh peserta, baik keluarga, kerabat maupun para undanan.

2. Martumpol adalah acara pertunangan bagi orang Batak Toba, namun secara

harafiah martumpol adalah acara kedua pengantin di hadapan pengurus jemaat

gereja yang diikat dalam janji untuk melangsungkan perkawinan. Martumpol

dihadiri oleh orang tua kedua calon pengantin dan kerabat mereka beserta para

undangan. Martumpol biasanya diadakan di gereja, karena sebagian besar

masyarakat Batak Toba beragama Kristen. Martumpol juga di lakukan di

115

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

gereja pihak perempuan sehingga diketahui dari pihak gereja perempuan

bahwa jemaatnya akan melakukan pernikahan.

3. Acara pemberkatan pernikahan, acara ini terbagi dua yaitu:

a. Waktu pelaksanaan acara pemberkatan dilakukan setelah proses

martumpol dilaksanakan. Pada umumnya pelaksanaan pemberkatan

dilakukan beberapa bulan atau 2 (dua) minggu paling lama setelah

dilakukan proses martumpol dilaksanakan. Tergantung waktu dari

kesiapan kedua pengantin. Pemberkatan dilakukan digereja pihak laki-

laki dengan membawa bukti yaitu surat perjanjian di martumpol yang

sudah disah kan oleh gereja pihak perempuan, sehingga ke dua gereja

mengetahui bahwa jemaat sudah melakukan pernikahan. Pemberkatan di

gereja diadakan sebelum berlangsungnya proses upacara adat namun

masih dilakukan pada hari yang sama. Acara pemberian berkat

/pemberkatan dilaksanakan pagi hari iasanya pada pukul 09.00 WIB

sampai dengan selesai.

b. Tempat berjalannya acara pemberkatan kedua pengantin dilaksanakan di

gereja – gereja yang digunakan, merupakan gereja yang keluarga

pengantin merupakan jemaatnya, atau dapat juga menyewa gereja didekat

lokasi pesta diselenggrakan, namun masih dalam lembaga / institusi yang

sama.

4. Pemimpin Upacara dalam acara pemberkatan pernikahan di gereja yaitu

pendeta, tetapi bisa juga dilakukan oleh pengurus gereja seperti guru jemaat

116

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(voorhanger), yang dibantu oleh pengurus gereja lainnya, seperti penatua

gereja, tim musik gereja, biblepro, dan lain-lain.

5. peserta upacara pemberkatan yaitu kedua calon pengantin, keluarga dari kedua

pengantin, saudara dari kedua pengantin, dan kerabat dari kedua pengantin

serta organisasi-organisasi kekerabatan dan kemasyarakatan dari kedua

pengantin.

6. Proses Upacara Adat terbagi dua

a. Waktu Proses upacara adat perkawinan berlangsung setelah selesai

upacara pemberkatan pernikahan secara agama di gereja.

b. Tempat diadakan proses pesta pada umumnya dilaksanakan di tempat

kediaman pengantin pihak laki- laki, yang dilaksanakan di gedung atau

wisma dekat dari rumah pengantin dan dekat dari tempat (gereja)

pernikahan dilakukan. Apabila tuan rumah adalah pihak laki-laki (dialap

jual) maka pelaksanaan pemberkatan di gereja serta tempat pesta

diupayakan dekat dari kediaman mempelai laki-laki.

7. Pemimpin Upacara dalam upacara adat yaitu penatua-penatua adat, tokoh-

tokoh adat, raja parhata dari masing-masing pihak pengantin laki-laki dan

perempuan. Parhata disebut dengan protokol (pembawa acara untuk

mengikuti struktur acara adat yang telah disusun sehingga teratur) di sebuah

acara adat perkawinan.

8. Peserta Upacara

Peserta upacara perkawinan ini adalah kedua calon pengantin, orang tua dari pihak kedua calon pengantin, sanak saudara, kerabat, termasuk para undangan.

117

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 3.2: Pihak keluarga, sahabat, dan tamu undangan Sebagai peserta upcara adat perkawinan suku Batak Toba (dok: Fernandus 2019)

5.2.Tortor

Tari atau tortor bagi suku batak Toba, merupakan jenis tarian yang sudah lama ada, seiring dengan adanya suku Batak Toba yang menyertakan tortor sebagai media dalam berbagai tujuan. Tortor dapat dijumpai di daerah Tapanuli Utara,

Humbang Hasundutan, Toba Samosir dan Samosir. Gerakan tarian ini seirama dengan iringan musik yang dimainkan menggunakan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain. Tor-tor juga mengalami pengaruh dari luar yaitu India. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh pengaruhnya bisa tercatat hingga ke Babilonia.

Pada awalnya penyajian tortor disajikan dalam kegiatan ritual keyakinan dalam penyampaian batin kepada roh-roh leluhur. Ritual dilakukan dengan menyiapkan beberapa patung terbuat dari batu sebagai media untuk masuknya roh-roh gaib.

Setelah patung-patung batu tersebut dimasuki roh, kemudian patung-patung tersbut bergerak seperti menari dengan pola gerakan yang kaku. Pola-pola gerak

118

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang dilakukan dengan menginjitkan kaki dan menggerakkan tangan. (dikutip dari www. kebudayaanindonesia.net) (diakses 20 November 2014).

Penyajian tortor di atas memberikan semangat pada suku Batak dalam melaksanakan acara adat, dikarenakan tortor memberi semangat kepada mereka untuk mewujudkan keinginan dan harapan. Pada perkembangan selanjutnya, tradisi dalam menyelengarakan acara yang menyertakan tortor dimulai dengan masuknya agama Kristen di Tanah Batak. Tata aturan dalam penyertaan tortor menjadi bagain yang diatur dalam gereja, dengan misionaris Kristen membuat batasan untuk penyajian Tortor dan gondang sabangunan. Hal ini diberlakukan pada masyarakat Batak Toba yang telah beralih ke agama Kristen. Batasan yang diberlakukan oleh gereja, bahwa Tortor hanya bisa disajikan pada acara-acara tertentu yang berkaitan dengan kegiatan sosial, misalnya dalam upacara adat, perkawinan dengan seizin pihak gereja. Pembatasan ini dilakukan untuk menghindari penyalahan dari kegiatan yang masih menganut kepercayaan untuk menghindarai pertentangan dalam ajaran Kristen.

Penyajian Tortor, diawali dengan adanya paminta gondang dari salah satu panortor. Paminta gondang berperan sebagai pemimpin kelompok Tortor yang juga adalah orang yang meminta gondang (lagu) untuk dimainkan. Dalam Tortor, paminta gondang, adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang gondang dan tentunya adat yang dilakukan, mereka harus mengetahui dan menguasai umpasa

(pantun, petatah-petitih). Sehingga tidak semua orang mampu untuk menjadi paminta gondang.

Penyajian Tortor diiring musik gondang sabangunan atau gondang hasapi, dan biasanya jenis gondang yang dimainkan adalah sama dengan nama Tortor yang

119

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

akan ditarikan. Contohnya apabila music yang dimainkan adalah Gondang Mula- mula, maka nama tortor yang ditarikan adalah Tortor. Begitu juga dengan tortor somba, mangaliat hasahatan dan sitio-tio. Dalam menyajikan Tortor, posisi dalam dalihan natolu akan menentukan pola gerak yang dilakukan. Mereka dengan patuh dan memegang teguh dalam manortor, sesuai dengan posisinya.

Sehingga akan tanpak jelas bahwa sisem dalam dalihan natolu menjaddi pedoman bagi kebidupan mereka.,

Dalam manortor, Dalihan Na Tolu akan mengatur posisi peserta upacara untuk manortor. Posisi pertama Hula-hula, adalah kelompok yang posisinya berada "di atas", untuk itu tortor yang disajikan disebut Somba Marhula Hula yang bermakna penghormatan kepada keluarga pihak istri harus diberikan sebagai upaya dalam pemberian keberkahan untuk keselamatan dan kesejahteraan. Posisi

Kedua, Tubu atau Sanina, kelompok ini menjadi posisi yang disebut juga dengan

"sejajar". Posisi tersebut yaitu teman/saudara semarga, sehingga disebut Manat

Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.

Ketiga, Boru yaitu kelompok orang yang posisinya "di bawah". Posisi tersebut yaitu saudara perempuan dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut Elek Marboru artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.

Adapun jenis permintaan jenis lagu yang akan dibunyikan adalah seperti :

Permohonan kepada Dewa dan pada roh-roh leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan acara diberi keselamatan kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah ruah, dan upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber

120

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berkat bagi suhut dan seluruh keluarga, serta para undangan. Setiap penari tortor harus memakai ulos dan mempergunakan alat musik/gondang (Uning-uningan).

Ada banyak pantangan yang tidak diperbolehkan saat manortor, seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas, bila itu dilakukan berarti si penari sudah siap menantang siapa pun dalam bidang ilmu perdukunan, atau adu (moncak), atau adu tenaga batin dan lain-lain.

121

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 3.2.1: Tortor dalam yang berhubungan pada Debata Mula Jadi Na Bolon, dipercayain bahwa Tortor sebagai alat komunikasi hubungan antara manusia dengan sang pencipta

Tortor digunakan sebagai sarana penyampaian batin baik kepada roh-roh leluhur dan maupun kepada orang yang dihormati (tamu-tamu) dan disampaikan dalam bentuk tarian menunjukkan rasa hormat.

Dalam hal ini, konsep margondang pada masa sekarang dapat dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu :

1. Margondang pesta

Acara ini merupakan kegiatan dengan penyertaan gondang sebagai ungkapan kegembiraan masyarakat dalam berbagai tujuan. seperti: pada acara gondang pembangunan gereja, gondang naposo, gondang mangompoi jabu (memasuki rumah) dan sebagainya. Kegiatan ini menjadikan tortor dan gondang sebagai hiburan.

122

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2. Margondang adat

Kegiatan yang menyertakan gondang, merupakan aktualisasi dari sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, misalnya : gondang mamampe marga (pemberian marga), gondang pangoli anak (perkawinan), gondang saur matua (kematian), kepada orang di luar suku Batak Toba, dan sebagainya.

3. Margondang Religi

Margondang religi merupakan upacara yang dilakukan oleh kelompok organisasi agama dengan berdasar kepada kepercayaan batak purba. Misalnya parmalim, parbaringin, parhudamdam Siraja Batak. Setiap pelaksanaan acara adat, mereka mengikuti konsep adat dan religi yang mempunyai hubungan erat dengan kepercayaan mula jadi na bolon dengan berdasar pada hukum dan tata aturan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan dengan apa yang sudah digariskan oleh

Raja Sisingamangaraja XII sebagai wakil mula jadi na bolon..

5.2.1. Munculnya Tortor

Menurut pemahaman masyarakat batak Toba, penyajian tortor dilakukan dalam kegiatan ritual yang berhubungan dengan roh gaib leluhur, yang kemudian menjadi tortor dalam berbagai aktofitas dan tujuan. Adapun jenis Tor-tor antara lain:

1. Tortor Pangurason (tari pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat

pesta besar. Sebelum pesta dimulai, tempat dan lokasi pesta terlebih dahulu

dibersihkan dengan menggunakan jeruk purut agar jauh dari mara bahaya.

123

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2. Tortor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat

pengukuhan seorang raja. Tari ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang

mandi di sebuah telaga di puncak gunung pusuk buhit bersamaan dengan

datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh sarung).

3. Tortor Tunggal Panaluan yang merupakan suatu budaya ritual. Biasanya

digelar apabila suatu desa dilanda musibah. Tunggal panaluan ditarikan oleh

para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah

tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian Debata

Natolu yaitu Benua atas, Benua tengah, dan Benua bawah.

124

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Durasi tortor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Pada masyarakat

Batak, hal ini tergantung permintaan rombongan atau kelompok yang ingin menyampaikan sesuatu hal ke rombongan lain. Dimintalah gondang (musik) terlebih dahulu sebelum memulai suatu acara atau pelaksanaan adat. Di zaman modern, meski tortor sudah hiburan semata, namun acara atau pesta adat baik pernikahan dan pemakaman, masyarakat Batak selalu mengggelar tortor. Pesta atau acara adat yang tidak diiringi tortor akan terasa kurang terhormat dan bisa menjadi pergunjinganan.

125

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5.2.2. Keberadaan Tortor

Adapun keberadaan Tortor dalam kegiatan adat antara lain:

1. Tortor pada masa Pra Kristen

Dalam kehidupan sehari-hari pada masa pra-kristen, kegatan adat diwujudkan dalam bentuk dan praktek. Misalnya mamele (pemujaan roh nenek moyang), pesta bius (upacara korban), mangongkal holi (upacara pengangkatan tengkorak).

Praktek ini diwariskan secara oral dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai bagian dari adat.

Pada zaman pra-kristen Tortor Batak Toba merupakan tarian purba dari Batak

Toba yang berasal dari Sumatera Utara yang meliputi daerah Tapanuli Utara,

Humbang Hasundutan, Toba Samosir dan Samosir. Dahulunya tari Tortor digunakan sebagai ritual penyampaian batin kepada roh-roh leluhur yang berhubungan dengan dunia lain. Ritual dilakukan dengan menggunakan beberapa patung yang terbuat dari batu. Roh tersebut dipanggil dan “masuk” ke patung- patung batu, kemudian patung-patung tersebut bergerak seperti menari, tetapi dengan gerakan yang kaku. Gerakan tersebut berupa gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan. Tarian tortor ini biasa digunakan pada upacara ritual yang dilakukan oleh beberapa patung yang terbuat dari batu yang sudah dimasuki roh, kemudian patung batu tersebut akan “menari”. Namun bertolak belakang dengan ajaran kristen.

126

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2. Tortor pada masa Kristen

Sejak adanya agama Kristen di Tanah Batak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa pihak gereja melalui misionaris Kristen, telah membuat putusan dalam untuk penggunaan tortor dan gondang sabangunan. Hal ini diberlakukan pada masyarakat Batak Toba yang telah beralih ke agama Kristen. Tata aturan memberlakukan penyajian tortor dan gondang hanya untuk kebutuhan acara-acara dalam kegiatan sosial, misalnya dalam upacara adat, perkawinan dan ini dilakukan harus seizin pihak gereja atau terlebih dahulu dibuka atau dimulai pihak gereja.

Artinya kegiatan ini akan terhindar dari kegiatan kepercayaan lama masyarakat

Batak Toba yang menurut paham kekristenan bertentangan dengan ajaran Kristen.

3. Tortor pada masa Modern (sekarang)

Sekarang ini tortor sudah memiliki fungsi yang beragam dengan menyajikannya pada kegiatan yang tidak berhubungan dengan dunia roh. Karena seiring berkembangnya zaman, Tortor menjadi warisan dan budaya masyarakat Batak.

Dalam hal tata busana Tortor sangatlah sederhana. Seseorang yang ingin manortor dalam sebuah kegiatan adat, maka mereka cukup dengan memakai ulos, sebagai ciri bahwa kegiatan yang dilakukan adalah dari suku batak. Ulos yang digunakan ada dua macam, ulos untuk ikat kepala dan ulos untuk selendang, dengan motif yang berbeda sesuai pesta adat yang diikuti. Seiring perkembangan zaman motif ulos yang diikuti beraneka ragam corak warna dan gambarnya tetapi tidak menghilangkan nilai estetis tradisinya.

Busana yang sederhana juga diikuti dengan gerakan Tortor yang juga sederhana, dengan gerakan tangan dan kaki yang memiliki ciri berupa henjutan kaki yang disebut engan “urdot”. Hentakan kaki dari penari bergerak mengikuti iringan

127

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

magondangi. Magondangi sendiri terdiri dari berbagai alat musik tradisional yaitu gondang, tagading, suling, terompet batak, ogung (doal, panggora, oloan), sarune, odap gordang dan hesek. Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa gerak Tortor Batak berbeda dalam setiap jenis musik yang diperdengarkan dan berbeda pula gerak Tortor laki-laki dan gerak Tortor perempuan. Menurut para pemerhati Tortor, bahwa Tortor yang dilakonkan juga dibedakan antara Tortor

Raja dengan Tortor Natorop. Sementara perangkat lain dalam acara Tortor Batak biasanya harus ada orang yang menjadi pemimpin kelompok Tortor dan pengatur acara/juru bicara (paminta gondang), untuk yang terakhir ini sangat dibutuhkan kemampuan untuk memahami urutan gondang dan jalinan kata-kata serta umpasa dalam meminta gondang.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa Tortor Batak adalah perwujudan dari kehidupan suku Batak dalam menjalankan aktifitas sehari-hari yang menjadi identitas masyaerakatnya. Tortor Batak mengandung nilai-nilai etika, moral dan budi pekerti yang perlu ditanamkan kepada generasi muda. Dan ini merupakan tugas kita bersama sebagai warga negara Indonesia agar tidak ada lagi seni budaya asli peninggalan nenek moyang bangsa kita yang diklaim oleh negara lain.

3.2.3 Aturan dalam Tortor:

Tortor disajikan dalam berbagai aktifitas adat maupun hiburan, dengan penggunaanya yang berbeda sesuai dengan posisi dalam unsur Dalihan Na Tolu.

Aturan dalam manortor menyesuaikan posisi dan peran mereka dalam kegiatan adat. Seperti: dalam gerakan yang me nunjukkan mereka dalam posisi hulahula makam pihak boru tidak boleh melakukannya, demikian sebaliknya akan tetapi meskipun tortor itu berbeda menurut kedudukannya masing-masing dalam unsur

128

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dalihan Na Tolu, tortor juga memiliki unsur dasar gerak yang hampir sama satu dengan yang lainnya.

Gerakan tortor posisi hulahula dilakukan dengan mengarahkan kedua telapak tangan ke kepala boru dan menyentuh pundak bagian kanan dan kiri kepada pihak sabutuha sambil berkeliling. Pemaknaan dari pola gerak ini adalah mamasu-masu

(memberkati dan merstui dengan doa-doa kepada boru dan menyapa untuk dongan sabutuha). Sementara pihak boru manotor dengan gerak posisi kedua telapak tangan dirapatkan di depan dada seperti menyembah. Gerakan ini diberikan kepada hulahula sehingga ada pepatah menyatakan (Ditortorina so gondang) artinya (apabila manortor tidak sesuai dengan aturan, maka posisinya di dalam adat dapat menimbulkan pembicaraan yang tidak baik).

Penyajian tortor pada acara hiburan maupun adat dilkaukan berbeda baik dari sisi pola gerak, maupun dari susunan penyajiannya, termasuk dengan jusik gondang sebagai pengiring tarian. Pada acara religi, memulai tortor selalu dilakukan dengan mangelek pargonsi (membujuk pemain musik), mengido tuani gondang

(tujuannya agar kegiatan upacara berjakan lancar), menyajikan sesuai tata susunan tortor dengan repertoar sipitu gondang, melakukan tortor sesuai dengan upacara yang diadakan. Cara manortornya lebih sopan dan terkesan kaku. Pada acara adat, misalnya dalam perkawinan, penyajian tortor lebih bebas, meskipun tetap dalam keterikatan unsur kekerabatan. Penyajian tortor tiak dilakukan dengan sesuka hati, namun ada aturann yang harus diikuti sesuai dengan format dari penyajiannya.

Penyajian tortor dalam upacara adat biasanya yang umum dilakukan dalam aktivitas manortor adalah:

129

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1. Gondang Mula-mula dengan Tortor Mula-mula

2. Gondang Somba-somba, dengan Tortor Somba-somba

3. Gondang Sampur Marmeme dengan Tortor Sampur Marmeme

4. Gondang Sampur Marorot dengan Tortor Sampur Marorot

5. Gondang Saudara dengan Tortor Saudara

6. Gondang Sitiotio dengan Tortor Sitio dilanjutkan dengan

7. Gondang Hasahatan dengan Tortor Hasahatan

Atau

1. Gondang Mula-mula

2. Gondang Somba-somba

3. Gondang Sibane-bane

4. Gondang Simonang-simonang

5. Gondang Didang-didang

6. Gondang Hasahatan Sitio-tio

130

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.2.4 Karakteristik Tortor

Tabel 3.1 Karakteristik Tortor Upacara berdasarkan Sifatnya No Sifat Keterangan Contoh Tortor 1 Ritual Pada suatu upacara, Tortor Tortor pangurason menjadi salah satu bagian Tortor pangurason adalah dalam upacara yang sangat Tortor yang digunakan mempengaruhi upacara dalam upacara pengobatan tersebut. Apabila Tortor tidak masyarakat Toba. Tortor dihadirkan maka acara tersebut ini dilakukan oleh dukun tidak akan berlangsung. atau si Baso utuk pengobatan. Sebenarnya tortor ini bukanlah tortor melainkan gerakan yang dilakukan si baso dalam keadaan tiak sadarkan diri (kemasukan mahluk gaib). Sehingga bentuk penyajian tidak sama dengan tortor adat. Artinya tortor yang ada tortor mula-mula, tortor somba. Penyusunan ini dikarenakan si baso memmohon pada debata untuk kesembuhan. Pada upacara ini, saat ini, upacara pengobatan sudah jarang dilakukan. 2 Pemujaan Lewat Tortor para masyarakat Tortor Mangido udan akan melakukan pemujaan Tortor ini merupakan terhadap seseorang yang Tortor yang digunakan mereka percayai sebagai sang oleh masyarakatToba pencipta. Tanpa Tortor maka disaat terjadi bencana proses pemujaan tidak akan ada kekeringan sehingga di dalam suatu upacara. dibuatlah upacara . memohon turunnya hujan. Dalam pelaksanaannya diperlukan musyawarah dari dalihan natolu dan perangkat desa untuk semua kelengkapan dari upacara.

3 Sakral Tortor upacara dianggap sangat Tortor dalam upacara saur sakral ataupun sangat suci, matua. Pada upacara ini sehingga tidak boleh diakukan tortor menjadi bentuk sembarangan. Banyak aturan ungkapan penghormatan,

131

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dalam penyajiannya mengikuti terimakasih, syukur pada penyajian tortor adat. Aturan orang tua yang sudah ini harus diikuti (sipitu membesarkan dan gondang) peraturan-peraturan mengajari tentang tersebut harus dipatuhi dan kehidupan. tidak boleh dilanggar sama sekali.

5 Magic Tortor upacara selalu mengandung hal-hal magis atau mistik yang identik dengan hal- hal gaib seperti kepercayaan terhadap roh-roh halus. Roh- roh halus tersebut dipercaya dapat menyembuhkan penyakit, mengusir hal-hal buruk dan lain sebagainya.

Tabel 4.2 Karakteristik Tortor Upacara berdasarkan wataknya

No Watak Keterangan Contoh Tortor 1 Tegas, tenang Tortor upacara memiliki Ketegasan ada pada watak yang tegas, tenang, setiap penyajian tortor, sesuai dengan prinsip hidup yang menunjukkan sikap masyarkat Batak yang masyarakatnya yang menyampaikan apa adanya berkata apa adanya dan tanpa ditutupi walau berat menjunjung untuk dilakukan. tinggikejujuran. Salah satu contoh Tortor 2 Suci Tortor upacara digunakan pangurason merupakan dalam kegiatan yang Tortor yang digunakan berhubungan dengan sang dalam suatu upacara pencipta, sehingg Tortor pengobatan. Tortor ini upacara ini dianggap sangat biasanya ditarikan oleh suci. Tidak boleh ada unsur dukun atau si Baso. kejahatan atau keburukan Bentuk penyajian terdiri pada saat berlangsungnya dari gerak-gerak yang Tortor upacara. Apabila ada dilaikan si baso dalam unsur kejahatan atau keadaan tidak sadar,. keburukan maka dipercaya Dalam melangsungkan sesuatu yang buruk akan Tortor mangido udan ini terjadi kepada masyarakat. semua masyarakat, termasuk orang yang manortor harus memiliki niat yang baik, sehingga

132

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kegiatan ini akan berjalan dengan baik. Tortor tersebut harus suci, tanpa ada niatan buruk di dalam hati orang-orang yang manortor, sehingga sang pencipta akan mengabulkan permintaan mereka.

3 Tenang Tortor upacara harus Tortor mangido udan dilakukan dengan tenang, Tortor ini merupakan tanpa ada perasaan gelisah Tortor yang digunakan sedikitpun. oleh masyarakat Batak Toba disaat musim 4 Khidmat Tortor harus dilakukan secara kemarau untuk khidmat yang artinya setiap memanggil hujan. Tortor orang yang manortor harus mendeskripsikan terfokus terhadap Tortor bagaimana pemujaan upacara tersebut. Mereka yang dilakukan harus melakukan masyarakat Batak Toba transformasikan antara tubuh kepada sang pencipa agar mereka dengan Tortor sang pencipta mau upacara tersebut. memberikan hujan ke desa mereka yang mulai kekeringan. Pada pelaksanaan Tortor mangido udan ini terjalin komunikasi dan interaksi antara masyarakat dengan sang pencipta. Komunikasi dan interaksi tersebut tidak terlihat oleh mata, karena terjalin lewat perasaan.

Sesuai dengan sifat-sifat Tortor yang telah dipaparkan oleh peneliti diatas, sifat- sifat Tortor tersebut dapat ditinjau dari fungsi Tortor dalam kegiatan upacara.

Tortor berfungsi sebagai upacara, yang artinya Tortor upacara memiliki kekuatan magic dan nilai sakral, yang mengharuskan Tortor menjadi bagian utama dalam

133

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kegiatan, sehingga Tortor tersebut harus dilaksanakan secara khidmat, tenang dan suci.

Tortor upacara menjadi wadah untuk mengungkapkan perasaan yang ingin disampaikan pihak yang mengadakan upacara, serta juga mengungkapkan pesan- pesan sebagai reaksi dari orang-orang yang menghadiri upacara tersebut, sehingga terjalin komunikasi dan interaksi di dalam Tortor upacara tersebut. Hal yang paling identik dari Tortor upacara adalah dalam Tortor upacara terdapat ritual pemujaan terhadap suatu hal yang dianggap perlu dipuja untuk mendapatkan suatu tujuan atau agar terhindar dari hal-hal buruk. Pemujaan, nilai-nilai yang sakral, kekuatan magis dan kepercayaan menjadi satu dasar dalam terciptanya Tortor upacara yang kemudian dimunculkan masyarakat Batak Toba lewat kesenian, yaitu Tortor upacara. Masyarakat Batak percaya bahwa kesenian akan menjadi salah satu ciri khas dari etnis mereka yang membuat mereka jauh lenih bernilai.

Faktor keindahan bukan merupakan faktor yang paling utama dalam Tortor upacara, namun bagaimana ungkapan jiwa dalam tari ini dapat disampaikan dengan penuh hikmat karena Tortor tersebut muncul secara alamiah. Tortor upacara dalam setiap kegiatan upacara menjadi media atau penghubung yang menghubungkan antara manusia dengan sang penciptanya sesuai dengan kepercayaannya dan menghubungkan manusia dengan lingkungan sekelilingnya sesuai dengan garis kekerabatannya. Ada banyak Tortor yang tergolong kedalam

Tortor upacara dengan memiliki perberbedaan makna antara masing-masing

Tortor, namun Tortor upacara selalu terikat pada hal-hal yang sakral, pemujaan serta garis kekerabatan yang mengikat. Pada umumnya Tortor upacara pada masyarakat Batak bertujuan untuk beberapa hal, yaitu :

134

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

a. Mengucapkan syukur kepada pencipta atau kepada seseorang yang diyakini

telah membawa kebahagiaan dan kedamaian di dalam hidup mereka, seperti

Tortor dalam upacara mangido udan . b. Memohon kepada pencipta atau seseorang yang diyakini berhubungan dengan

musibah yang diterima, agar musibah tersebut secepatnya dapat dilewati c. Memohon kepada sang pencipta atau seseorang yang diyakini berhubungan

denga kepergian salah seorang kerabat, agar kerabat tersebut ditempatkan

dalam tempat yang sangat baik, seperti Tortor dalam upacara saur matu, sari

matua d. Menyampaikan rasa hormat kepada pihak keluarga atas keberhasilan yang

telah didapatkan, karena keberhasilan tersebut juga atas bantuan para

keluarga, seperti Tortor pada upacara memasuki rumah baru. e. Memohon kepada sang pencipta atau kepada seseorang yang diyakini dapat

mengabulkan permintaan serta merubah suratan takdirnya, seperti Tortor

pada tongkat panaluan. f. Memanggil roh dari keluarga yang sudah meninggal dunia agar dapat masuk

kedalam jiwa dari salah satu keluarga yang masih hidup

Penari dalam Tortor upacara ini biasanya sudah ditentukan berdasarkan aturan- aturan dalam penyajian upacara. Tidak boleh sembarangan dalam penentuan penari dalam Tortor upacara tersebut, karena Tortor sangat menentukan keberhasilan suatu upacara dalam masyarakat Batak Toba. Panortor yang manortor pada umumnya adalah perempuan. Perempuan dianggap sebagai simbol yang sangat suci dan dapat membawa kedamaian.

135

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tempat pelaksanaan atau pentas pada Tortor upacara biasanya tergantung pada upacara apa Tortor tersebut dilaksanakan, bisa di wisma, balai desa, rumah, tanah lapang, bukit, bahkan di sungai sesuai dengan kebutuhan dari upacara. Orang yang manortor atau panortor akan mengikuti atau tetap berinteraksi dengan lingkungannya. Panortor tidak boleh merasa terganggu dengan tempat pelaksanaan upacara, karena panortor harus benar-benar berkonsentrasi dalam manortor, sehingga orang-orang yang manortor haruslah orang-orang yang benar- benar sudah terbiasa dalam melaksanakan Tortor upacara

3.2.5 Jenis Tortor merupakan sendratari yang mengisahkan turunnya 7 putri kahyangan ke Gunung

Pusuk Bukhit untuk mandi. Tortor Tunggal Panaluan adalah tari tortor yang dipentaskan para dukun dalam upacara ritual yang digelar setelah sebuah desa terkena musibah. Jenis tortor ini merupakan sarana permohonan petunjuk atas musibah yang telah dihadapi.

Tabel 3.3 Tahapan Pertunjukan Tortor dalam upacara adat No Tahapan Susunan penyajian Keterangan 1. Awal Parhata meminta gondang unuk memulai acara Ragam 1/Sombah mula-mula Sombah kepada debata menjadi Gerak sombah dengan awal manortor dengan iringan menangkupkan kedua tangan somba mulamula sebagai sejajar kepala, dengan kepala ungkapan penghormatan. ditudukkan menjadi awal manortor Somba Dalam sebuah penghormatan Tortor somba, merupakan tidak hanya dilkaukan untuk susunan kedua dalam struktur yang dipercayai (debata mula penyajian tortor jadi nabolon), somba juga diberikan kepada sesama

136

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

manusia. Mangaliat Pola gerak ini merupakan pola pada tahapan ini, bentuk keterkaitan dianatara penyajian tortor dilakukan masyarakat Batak, karena pola sesuai dengan tujuan kegiatan, ini dibuat dalam bentuk namun dengan melakukan lingkaran . gerak yang sama. Gerak yang dilakukan adalah gerak somba, gerak dongan sabutuha, 2. Isi Tortor Sampur Marmeme Pada tahapan ini, bentuk tortor adalah doa permohonan menyesuaikan dengan tujuan. supaya keluarga yang belum Paparan tahapan penyajian mempunyai keturunan segera tortor mendapatkan keturunan. Tortor Sibane-bane (dengan iringan Gondang Sibane- bane) yaitu tarian memohon kedamaian. Tortor Simonang-monang dengan iringin Gondang Simonang-monang, yaitu doa memohon kemenangan 3. Penutup Tortor Hasahatan Sitiotio tortor hasahatan sitiotio (dengan iringan Gondang dikatakan juga dua tortor yang Hasahatan Sitio-tio) dengan disatukan dan merupakan akhir harapan segala sesuatu yang dari penyajian. . diharapkan akan terkabul Catatan: Keseluruhan susunan/tahapan penyajian tortor pada dasarnya sama, hanya tujuan dari pelaksanaan kegiatannya berbeda, sehingga isi dari penyampaiannya yang 106 menyesuaikan dengan tujuan pelaksanaan.

5.3. Deskripsi Tortor Pada Upacara Perkawinan Batak Toba

Tortor dalam Upacara Perkawinan merupakan tarian Batak yang mempunyai keistimewaannya sendiri, walaupun sesungguhnya tidak ada materi tortor dalam pelaksanaan upacara perkawinan. Hal ini justru menunjukkan keistimewaan dalam penyampaian makna tarian, juga menjadi proses pemberian dan penerimaan

137

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

adat dalam sistem kekerabatan Batak melalui komunikasi nonverbal dalam simbol-simbol tortor. Tortor juga memiliki keunikan di tiap makna simbol yang sesuai dengan ketentuan adat istiadat batak Toba yang mempunyai arti atau nasehat adat yang terkandung dalam makna simbol dalam tarian ini.

Perkawinan adat masyarakat Batak Toba merupakan penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui perkawinan, yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakatnya. Di samping mengenalkan Tortor perkawinan, fungsi Tortor dalam perkawinan adat Batak Toba di Kota Medan merupakan ritual adat yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Kristen, di mana fungsi Tortor sebagai sarana upacara adat dalam pesta perkawinan Batak

Toba sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa kegembiraan dan sebagaai sarana hiburan. Dalam upacara adat perkawinan yang disebut horja haroan botu (pesta kedatangan penngantin di kediaman laki-laki), manortor baru boleh ditarikan setelah selesai penyampaian pidato adat (maralok-alok). Manortor dalam suatu pernikahan adat tidak boleh dilakukan berpasangan laki-laki dan perempuan, kecuali saat tortor dalam acara gondang naposo (tortor muda-mudi), namun dengan syarat penari berasal dari marga yang berbeda. setiap manortor, tidak terdapat penari (panortor) khusus, semua orang bisa menari bersama, sehingga terkesan meriah dan intim. Namun, setiap orang yang hadir dalam pesta pernikahan adat harus mengetahui posisi yang tepat saat tortor berlangsung.

Apabila mengamati jalannya upacara adat pernikahan Batak Toba, maka kita akan melihat barisan kelompok yang manortor berbaris pihak hulahula dan pihak boru.

Sedangkan tamu undangan yang hadir akan ikut manortor dalam beberapa

138

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kelompok. Dalam upacara atau pesta, tortor yang wajib dilakukan adalah tortor mulamula, tortor somba, tortor mangaliat dan tortor hasatan/sitiotio.

3.3.1 Pola Pertunjukan

Sebagai tarian yang dipentaskan untuk penyambutan dan digunakan atau ditampilkan pada saat menyambut pengantin, maka penampilan tortor, dilakukan pada saat pertama kali tamu kehormatan tersebut datang atau sebelum rangkaian acara dimulai. Pada saat tarian tersebut dilakukan, kemudian diakhiri dengan penari melakukan gerakan mengajak dengan mengayunkan kedua tangan seperti mempersilahkan masuk sebagai penghormatan, bahwa pengantin sudah diterima dalam keluarga dan dipersilahkan untuk masuk ke dalam rumah.

Tortor Penyambutan memiliki banyak perbedaan di setiap sanggar, mulai dari ragam gerak, properti, busana, jumlah penari, serta cara menerima tamu dengan mengajak melalui simbol gerak, maupun memberikan ulos sebagai tanda bahwa tamu sudah diterima. Penyuguhan simbol-simbol ini disesuaikan dengan aturan yang diciptakan oleh sang penata tari, juga disesuaikan dengan latar belakang budaya dan adat istiadatnya. Adanya perbedaan dalam pola garapan tidak menjadikan berubahnya fungsi dalam tujuan penyambutan. Dengan beragamnya karya tortor penyambutan yang ada, maka perbendaharaan tortor Batak Toba bertambah banyak. Selain itu berubahnya format aturan dalam upacara perkawinan, namun tortor penyambutan tidak menjadikannya berubah fungsi, masyarakat tetap mengatakannya dengan tortor penyambutan, apabila tarian mengikuti aturan, struktur dan konsep tarian.

139

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Penyajian tortor dalam acara perkawinan di bagi dalam 3 tahapan yaitu 1) tahapan awal, 2) tahapan isi, dan 3) tahapan penutup. Ke tiga tahapan ini bisa dilakukan secara berbeda oleh masing-masing kelompok atau sanggar, namun tetap mengikuti kebiasaan yang sudah dilakukan sejak awal tari ini diciptakan. Masing- masing tahapan memiliki aturan dalam penyajiannya yang disesuaikan dengan tujuan dalam pertunjukan. Awal penyajian, isi, dan penutup merupakan rangkaian yang ada dalam tortor penyambutan. Tahapan pertunjukan tortor penyambutan ditarikan di hadapan pengantin dan keluarga kedua pengantin yang dilakukan di dalam gedung, di istana atau balai-balai pertemuan.

Tahapan awal berupa somba kepada tamu menjadi format yang selalu ada dalam tortor penyambutan, somba dengan melakukan gerak menangkupkan kedua tangan di depan dada dan diayun ke atas bawah serta ditarik ke depan dada, kepala ditundukkan hingga hitungan delapan ketuk atau menyesuaikan dengan musik.

Selanjutnya melakukan gerak somba kearah kanan delapan hitungan dan kiri delapan hitungan. Berikutnya kembali ke gerak awal somba. Pola gerak somba ini menjadi pola yang sangat umum dan menjadi pola dasar dalam gerak tortor.

Gerak somba dilakukan dalam keadaan berdiri, dan biasanya tidak ada somba yang dilakukan dalam tortor penyambutan, berbeda somba yang dilakukan pada kegiatan adat.

140

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 3.4 Ragam Dasar dalam Tortor Penyambutan No Nama Keterangan Photo Ragam 1. Somba Menangkupkan kedua tangah di depan dada merupakan wujud penghormatan kepada yang dipercayai “debata mula jadi na bolon” gerak ini menjadi gerak dominan dalam tortor penyambutan

2. Mangaliat Ragam gerak mangaliat Pola gerak ini merupakan pola keterkaitan dianatara masyarakat Batak, karena pola ini dibuat dalam bentuk lingkaran

141

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3. Marsantab Artinya bahwa laki- i di bohina laki atau suami harus jadi pelindung bagi keluarganya dan suami adalah yang memegang kekuasaan dalam keluarga

4. Margolom Gerakan ini -golom menggambarkan masak seorang ibu yang mengumpul harta (bekal kehidupan) sesuai dengan nilai- nilai dalam unsur dalihan nitolu. Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba disebut dengan hamoraon, hagabeon dohot hasangapon

Pada gerak laki-laki, tangan kanan ditekukkan di samping bahu, dan tangan kanan serong kiri ke bawah 8 hitungan dan bertukar arah ke kiri delpan hitungan.

Ada perbedaan gerak laki-laki dan perempuan pada ragam ini.

142

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

5. Ampe di Gerakan ini bermakna abara tanggung jawab seorang istri lebih berat dari suami. Gerakan ke kiri dan ke kanan menunjukkan sikap mengalah seorang istri kepada suami.

Gerak laki-laki: kedua tangan ditekuk di sampung bahu, dengan ujung jari tangan kanan ke baah, tangan kiri ke atas. Dilakukan secara bergantian.

3.4 Aspek visul dalam Tortor

3.4.1 Gerak

Banyak para pakar tari yang menjelaskan tentang defenisi tari, salah satunya adalah Coory Hartong bahwa, “Tari adalah gerak”, defenisi ini merupakan pernyataan pakar tari dari Amerika. Defenisi ini mengungkapkan bahwa gerak menjadi unsur utama dalam sebuah karya tari. Demikian juga dengan tortor penyambutan yang menjadikan gerak sebagai unsur utama, selain unsur pendukung lainnya. Gerak dalam tortor penyambutan ini mengambil repertoar gerak tradisi Batak Toba, seperti gerak urdot, gerak somba, gerak embas, gerak dongan sabutuha, dan lain sebagainya, yang selalu ada dalam setiap gerak Batak

Toba dan menjadi dasar pada gerak tortor. Gerak-gerak ini dilakukan secara berulang-ulang, menyesuaikan dengan musik iringan yang dipilih. Geraknya

143

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

masih bersifat sederhana. Untuk gerakan tangan dan kaki dilakukan berubah-ubah tidak terpaku pada satu pola gerakan. Adapun gerak tangan menyesuaikan dengan aturan dari format gerak tortor, dengan gerakan kepala yang sedikit menunduk gerakan kaki yang menjinjit dengan menekukkan kaki satu hitungan 2 tekukan, kemudian melakukan gerak dengan fokus. Hal ini dikarenakan gerak tortor diciptakan untuk menyambut pengantin beserta keluarga, walaupun sesungguhnya pada upacara perkawinan tidak ada manortor. Pengadaan ini dikarenakan keinginan masyarakat untuk mempertahankan budaya tradisi dan sebagai bentuk kepatuhan.

Gerak sebagai media utama dalam sebuah tarian, memberikan penguatan dalam pertunjukan untuk menyampaikan pesan dari tujuan pelaksanaan. Gerak dalam tortor, terdiri dari penggunaan gerak kaki yang menjadi tumpuan dan posisi yang dilakukan oleh penari dari awal hingga akhir tarian. Gerak kaki yang disebut dengan urdot merupakan dasar dalam manortor, diikuti dengan gerakan tangan somba. Gerakan tangan mengikuti gerak urdot kaki, tangan merupakan bagian tubuh yang paling penting dan lebih banyak melakukan gerakan utama maupun gerakan variasi. Setiap gerakan tangan menunjukkan arti dan makna setiap aktivitas tortor. Sinaga mengatakan bahwa gerakan tangan menunjukkan ciri-ciri kehidupan orang Batak Toba itu sendiri (1991: 28) dan yang paling banyak menunjukkan bagaimana adat Dalihan Na tolu dilakukan.

Hal itu dapat dilihat dari awal memulai manortor, bahwa kedua telapak tangan harus diletakkan di atas perut dengan cara tangan kanan menimpa tangan kiri (tangan kanan di atas tangan kiri).

144

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 3.5 Posisi awal dalam tortor, penari laki-laki dengan meletakkan kedua tangan disamping kiri kanan, dan penari wanita menangkupan kedua tangan di depan perut. Ini menjadi pola dasar dalam tortor.

145

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tangan kanan dan tangan kiri adalah lambang suami dan istri (tangan kanan adalah lambang suami dan tangan kiri adalah lambang istri). Artinya suami harus senantiasa melindungi istrinya. Dan dalam posisi manortor laki-laki harus selalu berada di sebelah kanan perempuan (hal ini berlaku juga dalam segala aktivitas kehidupan orang Batak Toba), misalnya dalam upacara adat perkawinan ataupun berdiri di hadapan khalayak ramai.

Gerakan tortor yang dilakukan laki-laki maupun perempuan adalah berbeda, Sinaga (1991: 29) menyatakan:

“Sian falsafah, pardijabu do anggo ina jala parbalian ianggo ama. Boima berengon bonsir ni perbedaan ni tortor ni baoa dohot tortor ini boru-boru. Lobi bebas jala „riar‟ do tortor ni baoa sian tortor ni boru-boru. Hira na holan humaliang jabuna (jaha: pamatangna) do ianggo tortor ni ina, hape ianggo tortor ni baoa tung luas jala mangerbang huhut mangebangi. Parpantunna pemansai andul. Hombar tu ngolu siapari, agresif (mungka ni pangaririton) do tortor ni baoa, hape ianggo tortor ni boru-boru hira manjalo laos marpaima”.

Artinya: Berdasarkan pandangan hidup (Dalihan Natolu), bahwasanya seorang istri (ina) sudah seharusnya tinggal di rumah, sedangkan seorang suami (ama) harus bekerja ke luar rumah. Itulah yang mendasari perbedaan tortor laki-laki dan tortor perempuan.

Gerakan tortor pada laki-laki dilakukan lebih bebas dan lincah, dengan mengayunkan badan sambil mengibaskan tangan, sehingga kelihatan lebih santai.

Untuk gerakan tortor perempuan dilakukan lebih halus walau bentuk gerak sedikit tajam atau tegas, etika dalam menarikan juga berbeda. Perbedaan ini merupakan perwujudan dari kehidupan sehari-hari, yanag memperlihatkan sisi maskulin dari seorang laki-laki yang agresif (diperlihatkan dari awal pencarian pasangan hidup atau jodohnya), itulah tortor laki-laki, kenyataannya tortor perempuan

146

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

menunjukkan sikap menerima dan menunggu. Pemaknaan ini berhubungan dengan tanghungjawab dari masing-masing pengaantin.

3.4.2 Pola Lantai

Seperti pada umumnya pola-pola dalam tari tradisi, pola lantai yang ada dalam tortor hanya menggunakan pola sejajar, berbaris dan melingkar. Pola-pola ini merupakan pola lantai yang umumnya terdapat pada tari-tari tradisi, dengan masing-masing pola memiliki makna berdasarkan tujuan dari pertunjukkan tarian.

Pola-pola yang ada pada tortor Penyambutan juga memberi makna selain untuk memperindah tarian, dengan tetap penonjolan pada keceriaan, krikhlasan dalam menerima tamu kehormatan. Komunikasi dalam tortor antara panortor dengan pengantin dan keluarga disimbolkan dengan gerakan kedua tangan mengayun untuk mengajak pengantin dan keluarga masuk ke dalam rumah/gedung.

Komunikasi itu sendiri terdiri dari beberapa unsur yaitu:1) sumber (komunikator),

2) pesan (message), saluran (chanel), 4), penerima (komunikan), serta 5) akibat yang ditumbulkannya (Kinchaid 1983:99). Dari apa yang dikemukakan Kinchaid, terlihat jelas komunikasi yang disampaikan dalam tortor penyambutan, penari sebagai pembawa pesan, tarian sebagai komnikan, tamu sebagai penerima, yang akhirnya menjadikan tujuan dari penyambutan dapat dilakukan.

Dalam tortor penyambutan, tidak ada pola lantai tertentu atau khusus yang diharuskan dalam penggarapannya. Masing-masing kelompok/group bebas untuk menyusun pola lantai berdasarkan kreatifitas koreografernya. Mereka biasanya membuat dengan memanfaatkan jumlah penari yang disertakan dan juga berdasarkan penari perempuan dan laki-laki, menyesuaikan dengan acara yang

147

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dilaksanakan, pemakain busana, serta tempat pertunjukan. Namun pola lantai berbaris, dan lingkaran menjadi pola yang paling umum digunakan. Hal ini juga berkaitan dengan durasi penyambutan yang hanya 3 sampai 5 menit.

Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ Ọ

Gambar 3.1 posisi penari membentuk Gambar 3.2 posisi penari laki Garis lurus dengan penari di sebelah kanan laki-laki di belakang

Penggunaan pola-pola lantai seperti di atas, bermaksud memberi penegasan dari isi tarian, selain sebagai memperkuat bentuk pertunjukan. Untuk itu, masing- masing group dapat membuat dan megembangkan pola-pola yang sudah dibuat pada awalnya, hal ini juga yang memperkaya dari tortor penyambutan yang suda ada. Hal ini juga yang menjadikan beragamnya bentuk tortor penyambutan dengan ciri masing-masing kelompok. Hal ini dikarenakan tidak ada ketentuan untuk music iringan, penggunaan property maupun busana yang dikenakan.

3.4.3 Tempat Pertunjukan

Tempat pelaksanaan atau pentas pada Tortor upacara biasanya tergantung pada upacara apa Tortor tersebut dilaksanakan, bisa di wisma, balai desa, rumah, tanah lapang, bukit, bahkan di sungai sesuai dengan kebutuhan dari upacara.

Orang yang manortor atau panortor akan mengikuti atau tetap berinteraksi dengan lingkungannya. Panortor tidak boleh merasa terganggu dengan tempat pelaksanaan upacara, karena panortor harus benar-benar berkonsentrasi dalam

148

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

manortor, sehingga orang-orang yang meTortor haruslah orang-orang yang benar- benar sudah terbiasa dalam melaksanakan Tortor upacara.

Menurut tata cara dalam penyambutan tamu, penyajian tortor juga ditarikan untuk menyambut pengantin dan dihadapan para tamu baik keluarga, maupun tamu undangan. Bisanya penyambutan dengan menyertakan tari dilaksanakan di dalam gedung, sopo, atau balai-balai pertemuan, atau ditarikan di luar gedung. Setelah tortor ditampilkan, kemudian pengantin, keluarga, dan tamu undangan akan memasuki ruangan pesta.

Penunjukan tempat penyambutan, biasanya ditentukan oleh penyelenggara pesta (tuan rumah), dan sebelum acara dimulai, maka penari akan melakukan gladi bersih untuk adaptasi panggung. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan ketika acara dilakukan, selain itu gladi bersih dilakukan untuk melihat suasana serta menyesuaikan tarian yang sudah dupersiapkan sebelumnya.

149

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 3.5. Ruangan/wisma tempat berlangsungnya upacara adat perkawinan suku Batak Toba (dok:Fernandus 2019)

Pada tortor penyambutan tidak ada pemberian sirih sebagai ucapan selamat datang, penerimaan dari tuan rumah kepada keluaraga pengantin seperti pada tari- tari penyambutan dalam suku lain. Penyambutan dalam tortor disimbolkan dengan pola gerak dan membawa/mengajak pengantin serta keluarega memasuki ruangan, yang disebut juga dengan “tarik” (istilah yang sering dugunakan oleh seniman/koreografer).

3.4.4 Musik Iringan musik pada Tortor upacara menggunakan musik tradisional Batak Toba yaitu gondang hasapi dan gondang sabangunan yang sangat khas, karena tidak hanya Tortor yang menjadi media ntuk menyampaikan pesan kepada sang pencipta sesuai dengan kepercayaan yang dianut, namun musik yang mengiringi

Tortor tersebut juga memiliki fungsi yang sama pentingnya dengan Tortor. Musik

150

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tersebut menguatkan batin para panortor untuk dapat masuk kedalam wilayah upacara tersebut secara khidmat.

Iringan Pertunjukan tortor diiringi dengan tetabuhan seperangkat alat musik tradisional Sumatera Utara yang bernama Mangondangi. Mangondangi terdiri dari 9 buah gondang, tagading, terompet khas batak, suling, sarune kalee, hesek, odap gordang, ogung, doal, oloan, dan panggora. Semua alat musik ini dimainkan senada seirama seperti paduan sebuah orkestra. Selain itu musik tradisional Batak Toba gondang sabangunan dan gondang hasapi, juga menjadi musik iringan dalam penyajian tortor. Kedua gondang1920. ini selalu ada dalam setiap upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba, dan disajikan dengan menyertakan tortor maupun yang disajikan tanpa tortor. Alat-alat yang ada dalam seperangkat gondang ini antara lain:

I. Seperangkat Gondang Sabangunan

1. Taganing

2. Gordang

3. Sarune bolon

4. Ogung

5. Odap

6. Hesek

19 Istilah gondang bagi masyarakat Batak Toba memiliki beberapa pengertian, di samping sebagai kata yang berdiri sendiri maupun kata majemuk (berimbuhan atau diikuti kata lainnya) dan sebagai kata-kata yang dipakai dalam kehidupan sehari- hari di luar peristiwa musical. Istilah gondang dapat berarti 1) Seperangkat alat musik yang disebut tataganing atau gondang Batak, 2) alat musik gendang yang disebut taganing, 3) ensambel musik, yaitu gondang sabangunan dan gondang hasapi, 4) komposisi atau lagu . 5) beberapa komposisi lagu yang termasuk “satu keluarga” gondang berdasarkan perbedaan kecepatan atau irama lagu, 6) suatu repertoar misalnya si pitu gondang dan panjujuran gondang, 7) nama upacara seperti gondang mandudu, gondang saoan, dan 8) nama bagian dari upacara atau tingkatan kekerabatan, misalnya gondang datu, pangurason, gondang hula-hula atau gondang nihasuhuton. (Dalam Hutasuhut 1990:3-7)

151

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

II. Seperangkat Gondang Hasapi

1. Sarune Etek

2. Sulim

3. Hasapi

4. Garantung

152

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 2.1: Instrumen gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi sebagai instrumen tradisional yang mengiringi tortor

Musik maupun repertoar yang dimainkan sudah lebih mendominasi lagu- lagu yang lagi tren (populer). Dalam upacara religi alat musik dan teknik manortor masih menggunakan tata cara dahulu (tidak ada penggabungan ataupun dipengaruhi musik atau tarian zaman sekarang), tetapi dalam upacara adat sudah mulai dipengaruhi unsur-unsur masa kini, hal ini karena kehidupan masyarakat

Batak Toba sudah banyak dipengaruhi kekristenan yang melarang melakukan upacara-upacara religi yang berhubungan dengan kepercayaan nenek moyang.

Sedangkan dalam upacara hiburan, unsur religi maupun adat sudah hilang sama sekali.

3.4.5 Busana Sejak ditemukannya pakaian dalam kehidupan manusia, semula masyarakat menggunakannya untuk menutupi tubuh dari kedinginan, kepanasan, cuaca buruk, dan lain-lain. Kemudian selanjutnya, masyarakat menggunakanya dalam penyajian tari untuk kegiatan-kegiatan adat, dan upacara. Busana merupakan bagian yang paling penting dari sebuah tarian.

Busana pada tari Penyambutan merupakan unsur penting dalam menyiapkan kelengkapan sebuah tarian. Busana yang dipakai para penari pada tari

Penyambutan ini adalah busana yang sering dipakai oleh wanita Batak dalam kehidupan sehari-hari seperti: Kain sarung/songket: Kain sarung/songket dikenakan dengan posisi kepala kain berada di depan. Biasanya dipakai kain sarung pelekat atau songket Batubara, dengan warna merah, hijau dan kuning yang lebih dominan. Penggunaan ketiga warna ini merupakan warna khas suku

153

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Melayu, dengan warna merah berarti berani sepeti kesatria yang bertanggungjawab dalam menjaga dan membela keluarga, adat, negara, dan agama. warna kuning berarti megah, bangsawan yang berderajat tinggi, dan warna hijau adalah warna dari komunitas muslim sesuai dengan gama yang dianut oleh suku Melayu. Selain itu pemakaian kain sarung dan songket juga memiliki makna tersendiri bagi suku Melayu. Saat ini untuk pemakaian kain sudah dimodifikasi dengan menjadikannya dalam bentuk rok, sehingga memudahkan penari dalam mengenakannya. Hal ini juga dikarenakan, dalam satu pementasan dengan durasi

2 jam pertunjukan tentunya memerlukan materi yang banyak, sehingga untuk memudahkan penari berganti pakaian, maka dibuatlah kain sarung/songket diganti dengan rok yang berbagai modifikasi.

- Baju kebaya panjang/baju kurung: Baju kurung/kebaya dibuat dalam pola

menyesuaikan dengan bentuk tubuh. Baju kurung/kebaya dibuat panjang,

sampai betis dengan bahan dibuat dari kain lembut dan jatuh di badan,

biasa bermotif bunga, tetapi ada juga yang dibuat dengan kebaya pendek

sebatas paha. Dalam penggunaan warna baju, biasanya menyelaraskan

dengan warna kain yang dipakai, dan warna ulos, namun lebih banyak

menggunakanb warna merah sesuai denghan warna dasar Batak Toba yang

memiliki arti dan makna tertentu. Pemakaian baju tari Batak, saat ini

sudah semakin berkembang dengan berbagai pola, mode dan bahan yang

beragam, mengikuti trend yang berkembang, menyesuaikan dengan

kemegahan yang dinginkan dari tujuan pesta perkawinan.

- Ulos menjadi simbol utama dalam busana Batak. Pemakaian ulos

menyesuaikan dengan tata aturan pemakaian untuk laki-laki dan

154

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

perempuan. Selain digunakan untuk memperuindah busana, ulos juga

memiliki makna dan symbol yang dapat dilihat dari bentuk, motif, warna,

dan tujuan dari pemakaian.

Biasanya pemakaian ulos dikenakan sebagai selempang yang disampirkan di bahu sebelah kanan, atau diselendangkan di leher seperti kalung, atau dibuat bentuk menyilang di depan dada. Pemakaian ulos ini juga menyesuaikan dengan pemakaian ulos yang dikenakan laki-laki.

Pakaian dalam tari sendiri mempunyai simbol-simbol di dalam penggunan dan cara pemakaiannya, serta tujuan dari pelaksanaan kegiatan yang diadakan. Pada masyarakat Batak Toba, pakaian yang digunakan dalam tari juga mempunyai arti.

Pakaian laki-laki tentu berbeda dengan pakaian perempuan, namun yang paling dominan dalam busana tari Batak Toba adalah penggunaan Ulos. Ulos yang dikenakan penari laki-laki berbeda dengan ulos yang dikenakan oleh perempuan, dan nama, motif dari ulos-ulos tersebut juga berbeda.

155

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 3.6: Beberapa busana yang dipakai pada penyambutan pengantin yang dilaksanakan di dalam gedung.

156

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dalam photo di atas, terlihat pemakaian warna merah menjadi pilihan yang menyesuaikan dengan warna yang dimiliki masyarakat Batak, yang dikenakan dalam busana laki-laki dan perempuan. Warna merah menunjukkan penghormatan kepada debata yang memiliki kekuatan dan menjaga masyarakat untuk kedamaian. Warna merah juga menjadi lambang keberanian, serta dari sisi estetika warna merah memberikan nuansa kemeriahan.

3.4.6 Tata Rias

Untuk memberi kesan terbaik kepada seorang adalam sebuah tari Penyambutan tidak hanya gerak tarinya yang serentak, kostum yang seragam akan tetapi wajah juga menjadi faktor pendukung. Untuk itu diperlukan rias wajah (make up), rias wajah yang digunakan pada tortor Penyambutan ini adalah jenis rias wajah cantik, dengan merubah dirinya berbeda dari biasanya. Tidak ada make up khusus atau make up karakter pada penari. Dengan penggunaan alat-alat rias yang sesuai, maka penataan dari kelengkapan penyambutan menjadi sempurna.

Rias wajah menjadikan seseorang menjadi berbeda dan menarik, dalam tari

Penyambutan rias wajah ditambah dengan rias rambut, sehingga akan menjadi rangkaian yang seiring sejalan. Pada zaman dahulu para penari diwajibkan mempunyai rambut panjang agar dapat disanggul langsung terbuat dari rambut sendiri. Dengan perubahan zaman, sanggul sudah siap untuk dipakai, tidak lagi menggunakan rambut sendiri, dan. terpisah serta dapat dibongkar pasang praktis.

Bentuk-bentuk sanggul yang ada terdiri dari berbagai bentuk dan dipakai sesuai dengan keinginan dari kelompok menyesuaikan dengan even. Kadangkala ada satu kelompok yang menarikan tortor Penyambutan dalam berbagai even

157

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mengenakan sanggul yang berbeda. Tata rias wajah dan rambut cantik adalah cerminan dari wanita Batak dalam menari.

3.4.7 Pelaku

Dalam penyajian tortor diperlukan sejumlah pelaku yang mendukung terlaksananya kegiatan. Pelaku yang berperan dalam acara yang menyertakan tortor sebagai materi meliputi (1) Pelaksana acara; (2) penari dan (3) penonton

(tamu yang diundang). Berikut penjelasan ketiga pelaku yang berperan dalam setiap acara penyambutan.

a. Pelaksana Upacara

Dalam setiap acara, pelaksana atau tuan rumah menjadi satu unsur yang harus ada, karena acara tidak bisa terlaksana apabila pelaksana/tuan rumah tidak ada.

Tuan rumah dalam pelaksanaan upacara adat, disesuaikan dengan kegiatan, dalam hal ini, apabila kegiatan berupa adat kegiatan satu kominitas/satu keturunan, maka perangkat dalihan na tolu lah yang berperan. Namun apabila kegiatan di selenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat, maka harus ada musyawarah antara kelompok adat dan pemerintah.

Pelaksana upacara/tuan rumah menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan dalam acara, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga akhir dari acara. Penyiapan segala perangkat dalam upacara (perencanaan), penyelenggara/tuan rumah menyiapkan persiapan acara seperti, tempat acara, materi acara, transportasi dan akomodasi, siapa yang diundang, siapa yang akan disambut, pembawa acara, dan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam acara.

158

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Persiapan sebelum acara sangat penting dilakukan sebagai upaya acara dapat terlaksana dengan baik dan tujuan dari acara dapat tercapai.

Pada tahap pelaksanaan, semua yang terlibat dalam acara harus sudah bersiap ditempat masing-masing dengan tugas dan tanggungjawab yang sudah diberikan.

Pada tahapan ini, peran panortor (masyarakat yang menjadi unsur daliha na tolu) dan pargonsi menjadi penting. Penari dan pemusik harus saling bekerjasama agar pertunjukan dapat dilakukan dengan baik, tidak boleh ada yang mendahului dari aturan yang sudah ditetapkan dari masing-masing peran. Panortor memulai tarian dengan terlebih dahulu diawali dari paminta gindang kepada pargonsi untuk memulai acara dengan memainkan gondang mula-mulani b. Panortor

Dalam kegiatan adat, yang menjadi panortor adalah kelompok masyarakat yang masuk dalam kelompok dalihan na tolu. Pada pelaksanaan upacara, tidak ada penari khusus, karena penari merupakan kelompok masyarakat yang menyelenggarakan acara. Para penari/panortor dalam manortor harus tahu posisi status kelompoknya, sehingga tidak akan terjadi kesalahan dalam manortor yang nantinya akan membuat malu. Akhirnya penyelanggara dianggap tidak memiliki moral dan adab dalam bermasyarakat.

Dalam penggunaan gerak pada penari laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan, walaupun beberapa gerak dasar dilakukan sama. namun masih menggunakan gerak-gerak sederhana dari gerak dasar dalam tortor. Tortor memiliki beberapa macam ragam gerak, seperti: gerak, somba, somba debata, gerak mangaliat, gerak embas, gerak dongan sabutuha, dan lain sebagainya.

159

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Bentuk gerak panortor laki-laki dilakukan secara tegas dengan kewibawaan seorang kepala yang memiliki tanggungjawab besar. Posisi panortor laki-laki dalam perannya sama dengan posisi panortor perempuan, hanya saja gerak yang berbeda. Masyarakat Batak harus bisa manortor baik laki-laki maupun perempuan, karena kegiatan adatyang mereka lakukan menjadikan tortor sebagai materi acara yang diharuskan. c. Penonton (tamu)

Unsur pelaku yang tidak kalah penting adalah “penonton”. Penonton pada kegiatan adat adalah tamu yang diundang oleh penyelenggarakan untuk turut merasakan kebahagian maupun duka cita, sukacita yang dirasakan penyelenggara.

Penyajian tortor tidak diikuti oleh tamu, namun pada beberapa kegiatan tamu bisa manortor dengan memasukkan mereka kedalam komunitas, dan dianggap sebagai bagaian dari keluarga

160

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB IV KONTINUITAS DAN PERUBAHAN TORTOR

4.1 Pandangan Masyarakat Terhadap Tortor

Tortor pada awalnya dilakukan dalam kegiatan upacara adat dan religi, sebagai bentuk permohonan dan rasa syukur kepada debata mula jadi na bolon (Pencipta alam semesta dan manusia, arwah leluhur, maupun masyarakat sekeliling sesuai kedudukannya dalam dalihan na tolu). Permohonan dan rasa syukur diwujudkan dalam aktifitas keseharian seperti; mencari nafkah, pengobatan, anak lahir, perkawinan, kematian, dan lain sebagainya. Materi tortor menjadi bagian dalam rangkaian aktifitas sebagai media melalui pengolahan tubuh yang memberikan simbol dan pesan dalam penyampaiannya.

Menurut masyarakat Batak Toba, tortor dapat menjadi sarana interaksi hubungan antar sesama manusia sesuai dengan kedudukannya dalam unsur Dalihan Na Tolu

(sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba). Masyarakat dalam prosesi adat, mengikuti tata aturan yang berlaku dan sesuai posisi mereka, termasuk pada saat manortor.

Tortor juga dapat menjadi sarana menumpahkan isi hati si panortor itu sendiri baik dalam keadaan sedih maupun gembira. Dalam keadaan gembira kegiatan manortor sampai melompat dan tangan dilambai-lambaikan di kedua sisi paha panortor, gerakan ini dinamakan “marembas”. Namun “marembas pun” dapat dilakukan dalam suasana hati sedih dan sering dikatakan dengan

“mangondas”. Berbeda pula pada kegiatan dalam manortor untuk muda-mudi yang disebut juga dengan tortor naposo (muda-mudi). Tortor ini dapat menjadi

161

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tempat bertemunya pemuda-pemudi Batak untuk berkenalan yang biasanya menuju perjodohan dan perkawinan.

Ada pepatah Batak Toba mengatakan “Indada tartangishon, tumagonanina tinortor hon” (tiada tertangiskan kejadian yang sudah lalu, lebih baik aku menari). Kalau sudah demikian, hilanglah rasa duka yang dideritanya.

Artinya “manortor” juga dapat membuat suasana hati gembira dan sedih.

Bagi masyarakat Batak yang sudah tua, penyajian tortor bagi mereka sudah tidak lagi sama dengan ketika mereka masih muda. Artinya penyajian tortor dan penggunaannya sudah banyak mengalami perubahan. Perubahan ini diakibatkan salah satunya dengan masuknya agama Kristen di tanah Batak, yang memberikan pelarangan dalam penggunaan tortor dan gondang. Dalam ajaran agama kristen, menjelaskan bahwa kepercayaan sipelebegu yang diyakini oleh masyarakat Batak tidak sesuai dengan ajaran yang mereka dapatkan. Sehingga pelarangan penggunaan tortor dan gondang ditetapkan.

Selain itu, pada masa lalu ada kepercayan bahwa kematian merupakan kutukan dan malapetaka, tetapi dengan masuknya ajaran kristen telah merubah pandangan masyarakat Batak yang mempercayai bahwa malapetaka tidak ada dalam kematian. Untuk itu tortor menjadi jarang dilakukan dalam tujuan untuk memuja roh-roh dan kekuatan-kekuatan alam seperti yang dilakukan sebelum era kekristenan. Walaupun agama sudah masuk dalam kehidupan suku Batak, namun sampai saat ini masih ada pemeluk aliran kepercayaan yang melakukan kegiatan ritual dengan menyertakan tortor.

162

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pandangan masyarakat Batak Toba dengan adanya penyajian tortor saat ini, merupakan sebuah ekspresi mereka dalam mengungkapkan keinginan dan harapan, dengan tidak menyampingkan agama yang mereka yakini. Tortor menjadi bahagian dalam kehidupan, yang berbaur menjadi kekuatan bagi mereka dalam menanamkan nilai-nilai, norma dan tata aturan dalam bersikap. Tortor sebagai hasil dari budaya, berdampingan dengan ajaran agama untuk membentuk masyarakat Batak yang memiliki agama dan menjaga adat yang merupakan warisan secara turun temurun.

4.2 Etika Penggunaan dan Penyajian Tortor

Tortor dilakukan dalam setiap kegiatan adat maupun hiburan bagi masyarakat Batak Toba. Dalam setiap kegiatan itu, tortor memiliki penggunaan dan penyajian yang berbeda-beda sesuai dengan kedudukannya dalam unsur

Dalihan Na Tolu. Peserta upacara tidak boleh manortor kalau bukan menjadi bagian dari diri dan posisinya. Hal ini bisa kita amati dalam penyajiannya yang dapat dicontohkan. Apabila seseorang berada dalam posisi hulahula, maka pola- pola gerak manortor tidak boleh dilakukan oleh boru, demikian pula sebaliknya dalam posisi adat lainnya.

Pola-pola gerak tortor, sesungguhnya memiliki perbedaan menurut kedudukannya dalam unsur Dalihan Na Tolu, walau secara umum bentuk gerak tortor Batak

Toba adalah sama. Hanya pada beberapa bentuk gerak yang menunjukkan perbedaan posisi dari panortor. Dalam bentuk gerak untuk posisi hulahula, gerakan dilakukan dengan mengarahkan kedua telapak tangan ke kepala boru dan menyentuh pundak kepada dongan sabutuha sambil berjalan berkeliling. Tujuan

163

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dari gerakan ini adalah mamasu-masu (memberikan berkat kepada boru dan menyapa untuk dongan sabutuha). Sebaliknya pihak boru melakukan gerakan tortor dengan posisi kedua telapak tangan dirapatkan posisi menyembah kepada hula-hula sehingga ada pepatah menyatakan Ditortorina so gondang artinya (dia manortor tidak sesuai dengan kedudukannya di dalam unsur Dalihan Na Tolu dan hal ini dapat menimbulkan cemoohan dari orang lain). Tortor yang dilakukan ataupun yang digunakan pada saat upacara religi, adat maupun hiburan berbeda penyajiannya dan repertoar lagu yang mengiringinya pun berbeda juga.

Dalam upacara religi memulai tortor selalu dilakukan dengan mangelek pargonsi (membujuk pemain musik), mengido tuani gondang (tujuannya supaya upacara berjalan tanpa hambatan), melakukan urutan tortor dengan repertoar sipitu gondang, melakukan tortor sesuai dengan upacara yang diadakan. Cara manortornya lebih sopan dan terkesan kaku. Pada acara adat, misalnya dalam perkawinan, penyajian tortor lebih bebas, meskipun tetap dalam keterikatan unsur

Dalihan Na Tolu.

Musik maupun repertoar yang dimainkan sudah lebih mendominasi lagu- lagu yang lagi tren (populer). Dalam upacara religi alat musik dan teknik manortor masih menggunakan tata cara dahulu (tidak ada penggabungan ataupun dipengaruhi musik atau tarian zaman sekarang), tetapi dalam upacara adat sudah mulai dipengaruhi unsur-unsur masa kini. Hal ini karena kehidupan masyarakat

Batak Toba sudah banyak dipengaruhi kekristenan yang melarang melakukan upacara-upacara religi yang berhubungan dengan kepercayaan nenek moyang.

Sedangkan dalam upacara hiburan, unsur religi maupun adat sudah hilang sama

164

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sekali. Lagu-lagu yang dimainkan sudah beragam dari irama pop, dangdut, dan lain-lain.

Penyajian tortor dalam setiap kegiatan mempunyai gerakan yang sama, misalnya gerak dalam tortor mula-mula, tortor somba, tortor mangaliat, dan seterusnya. Begitu pula posisi tangan, badan, dan kaki (selalu sama dalam setiap kegiatan manortor). Perbedaan dalam tortor terletak pada tujuan dari keterlaksanaan kegiatan, termasuk dengan perbedaan pada beberapa pola gerak dalam penyajian adat.

4.3. Kontinuitas Penyajian Tortor

Penyajian tortor pada masyarakat Batak Toba, sudah menjadi rutinitas dalam kehidupan sehari-hari mereka. Rutinitas ini dilakukan sebagai upaya dalam menjaga keberlangsungannya bagi masyarakatnya. Keberlangsungan atau kontinuitas itu sendiri memiliki arti “ada” “secara terus menerus dan tetap hidup”.

Beberapa pakar menjelaskan, bahwa kontinuitas sebuah kesenian adalah, jika kesenian tersebut, dari awal mulai diciptakannya, sampai saat ini masih tetap dilakukan dan tetap hidup. Keberlangsungan atau kontinuitas kesenian ini akan terjadi jika pendukung dari kesenian ini tetap ikut andil dan mendukung keberadaannya (James R Brandon : 2003,. 231-232).

Keberlanjutan yang dimaksud ialah sesuatu yang dipelihara sebagai warisan dari masa lalu, sehingga menjadi bagian yang tradisional dalam kehidupan suku Batak

Toba saat ini. Mereka merasa sesuatu yang dilanjutkan itu sebagai milik bersama dan oleh karena itu substansi atau entitasnya berada dalam bingkai budaya yang mereka junjung. Sebaliknya adalah perubahan, ialah sesuatu apa saja yang

165

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dipandang merupakan bagian dari sistem religi atau agama yang dianut moyang mereka sebelum beragama Kristen, mereka tinggalkan dan diubah pada sesuatu yang tidak berlawanan atau dibolehkan dalam ajaran Kristen

Keberadaan toror bagi suku Batak Toba, memperlihatkan bagaimana masyarakatnya menempatkan tortor dengan memberikan ruang dalam setiap acara. Mereka menempatkan dan menyajikannya dengan tata aturan yang memiliki norma, nilai, bagi tujuan dari pelakasanaanya. Dalam penyajiannya,

Setiap orang akan dapat melakukan tortor, tanpa mempelajari secara khusus dari para pelatih ataupun guru. Pembelajaran tortor dilakukan melalui kegiatan- kegiatan adat, yang memposisikan mereka sesuai posisi dalam sistem adat dalihan na tolu. Sehingga tanpa disadari keberlangsungan dari tortor tetap terjaga melalui pewarisan dalam acara-acara baik sebagai hiburan, upacara, maupun pertunjukan.

4.3.1 Tortor Dalam Kegiatan Upacara

Apabila ditelusuri awal dari penyertaan tortor, maka yang dipahami bahwa, masyarakat sudah melakukannya menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Tortor menjadi sarana dalam berbagai ekspresi untuk mencapai tujuan, mereka menampatkannya beriringan dengan kelengkapan kegiatan sebagai pendukung maupun sebagai media utama.

Aktivitas menari bagi suku Batak Toba, sudah menjadi bagian dalam hidup mereka, terlihat dengan penggunaannya yang dilakukan pada berbagai kegiatan baik sebagai hiburan, upacara, maupun pertunjukan. Mereka menempatkan tortor sebagai media ungkap dalam menyampaikan keinginan dengan format dan bentuk

166

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang sudah ditentukan dan disepakati berdasarkan sistem kekerabatan dalihan natolu sebagai pedoman.

Dalam konteks studi ini, contoh kasus yang dibicarakan dan menonjol keberadaannya dalam kehidupan budaya masyarakat-masyarakat Batak Toba pada umumnya, adalah budaya seni pertunjukan tortor. Tortor menjadi media dalam penyampaian kehendak, maksud, dengan menyertakan ulos sebagai media ungkapan rasa kasih sayang dari orang tua kepada kedua pengantin. Dengan demikian tortor menjadi penting dalam pelaksanaan kegiatan adat suku Batak

Toba.

Berdasarkan aktivitas yang menuntut adanya tortor, penciptaan tortor pun dilakukan untuk memenuhi pelaksanaan akivitas adat. Masyarakat dengan berpatokan pada sistem adat, kemudian menyusun/menata pola-pola gerak dengan ketentuan yang disesuaikan. Sebagai sebuah media dalam penyambutan, tortor tidak muncul begitu saja, suku Batak Toba telah menyertakan tortor dalam semua kegiatan adat, tidak terkecuali pada upacara perkawinan. Disertakannya tortor pada setiap aktivitas adat suku Batak Toba, dikarenakan adanya kepentingan dari berbagai aktivitas adat yang menjadikan tortor sebagai kelengkapan. Kesepakatan dalam penyertaan ini, ditentukan oleh sistem kekerabatan (dalihan na tolu), dengan melihat tujuan dari aktivitas tersebut.

Dalam kajian tortor, tortor menjadi materi rangkaian acara perkawinan, dilakukan sudah cukup lama sejalan dengan adanya kegiatan ini. Sistem dalihan na tolu sudah mengatur tata acara penyajiannya, yang meletakkannya di tengah- tengan proses acara pada acara penyerahan ulos sinamot dan ulos hela dari masing-masing pihak keluarga. Penyajiannya ditempatkan sesuai aturan dalam

167

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sistem adat, dimana masing-masing posisi dalam dalihan na tolu akan manortor, untuk memberikan umpasa berupa kata-kata nasihat sambil mengalungkan ulos kepada pengantin.

4.3.2 Tortor Dalam kegiatan Hiburan

Tortor tidak hanya disajikan dalam kegiatan upacara saja, namun tortor juga disajikan sebagai hiburan bagi masyarakatnya. Suku Batak Toba dimanapun berada, mereka tetap menjalankas aktivitasnya dengan meyertakan tortor. Karena tortor sudah mendarah daging bagi kehidupan orang Batak Toba. Ada ungkapan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang mengatakan: “Dang tartangishon, tumagonma tinortor hon” artinya bila ada masalah yang sudah tidak mampu kita tangisi, lebih baik kita menari (manortor) saja.

Berdasarkan umpasa di atas, Tampak jelas bahwa tortor selalu ada, dan menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Suku Batak menghibur dirinya dengan melakukan tortor, dan hal ini akan berlangsung bila orang Batak mendengar bunyi gondang, secara sadar ataupun tidak, bunyi gondang tersebut dapat menggerakkan tubuh si orang Batak sendiri.

Manortor tidak hanya dilakukan oleh orang-orang tua saja, namun tortor juga dilakukan oleh muda-mudi sebagai bentuk penyampaian hasrat hati kepada lawan jenisnya, dan pada awalnya tarian ini dilakukan pada malam bulan purnama.

Masayarakat Batak Toba, selain menempatkan tortor sebagai bahagian dari upacara-upacara adat maupun upacara keagamaan, mereka juga menjadikan tortor sebagai hiburan dalam pesta-pesta adat, seperti pada pesta perkawinan, pesta pembangunan gereja, pesta muda-mudi, dan lain sebagainya. Posisi tortor di sini

168

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sebagai hiburan bagi masyarakat yang datang menghadirinya. Di sini tidak terdapat aturan-aturan khusus yang harus diikuti, seperti pada upacara-upacara adat ataupun upacara keagamaan. Dalam penyajiannya para peserta atau undangan tidak membutuhkan izin dari natua-tua ni huta, karena merupakan pertunjukan hiburan untuk kaum muda-mudi. mereka boleh manortor sesuai keinginannya, namun ada batasan-batasan yang tetap harus mereka jaga.

Dalam manortor, gerak-gerak yang dilakukan merupakan ungkapan hasrat mereka, dengan melakukan motif-motif gerak dasar yang disebutkan diatas dan meiliki cirri-ciri khas, antara lain:. sikap tubuh yang berdiri tegak kaku seperti patung yang disebut tol-tol, yang diikuti bersaman dengan urdot21 dan somba, kemudian gerak serser, yang dilakukan cenderung berulang-ulang. Jika diamati tortor akhirnya terkesan monoton dan sangat sederhana. Namun sebenarnya dibailk kesederhanaan itulah muncul nilai estetiknya. Sebelum manortor, biasanya gondang dimainkan terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh tortor yang diminta kepada pargonci. Dalam gerak tortor sudah ada ciri khas musiknya, seperti gerak somba dilakukan dengan memainkan gondang elek-elek, untuk gerak embas- embas dimainkan gondang didang-didang, untuk gerak ondas dimainkan gondang andung-andung, untuk gerak ser-ser dimainkan gondang didang-didang, untuk gerak injak atau manginjak dimainkan gondang habonaron, dan gerak monsak dimainkan gondang haro-haro.

21 Urdot adalah sikap gerak yang penting dalam manortor, yang merupakan kunci gerakan tortor. Gerakan urdot ini dilakukan dengan menggerakkan lutut turun-naik bersamaan dengan mengangkat ujung kaki atau hanya mengangkat tumit kaki saja., dan dilakukan bersamaan dengan gerak tangan somba, yang menggunakan hitungan somba 1 ketuk dan urdot dua ketuk.

169

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.3.3 Tortor Sebagai Pertunjukan

Massyarakat Batak Toba tidak hanya menyajikan tortor dalam kegiatan upacara maupu hiburan sosial. Penyajian tortor juga disajikan sebagai muatan untuk tujuan tertentu dalam hal ini penyajian dalam konteks seni pertunjukan.

Penyajian tortor ini diawali dengan kemunculan pertunjukan opera Batak22 sekitar tahun 1930-an dan berkembang hingga pertengahan tahuan 1980-an, di mana salah satu materi selingan dalam pertunjukannya adalah tortor saoan. Tortor saoan diciptakan Tilhang Gultom berdasarkan gerak-gerak yang dilakukan oleh sibaso (dukun) ketika sedang mengobati dalam keadaan tidak sadar. Sambil membawa mangkuk (saoan/cawan) di atas kepalanya sambil sesekali memercikkan air yang ada di mangkuk kepada si sakit. Gerak-gerak yang dilakukan si baso ini, kemudian menjadi sumber dalam penciptaan tortor saoan.

Tilhang menciptakan tarian ini dengan menggunakan 1 mangkok, tetapi pada perkembangan selanjutnya ibu Tangsi (istri dari Bapak Tilhang Gultom), mengembangkan pemakaian 3 mangkok menjadi 7 mangkok untuk kebutuhan pertunjukan sebagi bagian dari keibdahan yang ingin disajikan dalam pementasan

Opera batak.

Pada perkembangan selanjutnya, tortor kemudian disajikan dalam beberapa peristiwa. seperti penyajian tortor pada saat upacara perkawinan yang diadakan di gedung mewah. Penyajian tortor tidak lagi tarikan oleh peserta upacara, namun sudah memasukkan oenari khusus dalam penyajiannya. Pola-pola gerak yang

22 Opera Batak merupakan teater tradisi masyarakat etnik Batak dengan materi pertunjukan berakar dari tradisi masyarakat Batak Toba. Akhir tahuan 1980-an sampai saat ini, keberadaan pertunjukan opera Batak dapat dikatakan tidak ada lagi.hal ini dikarenakan majunya ilmu pengetahuan dan pesatnya kemajuan teknologi. Namun begitu materi-materi yang dulunya dilakukan sebagai selingan, saat ini menjadi materi yang dipertunjukan secara tunggal seperti petunjukan tortor saoan. (Marnala, Skripsi tentang Analisis Hubungan Gondang Saoan (Komposisi Musik) dan Tortor saoan (koreografer Gerak tari) di dalam Pertunjukan Opera Batak, hal 14-15.

170

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ditarikan memiliki banyak variasi sesuai dengan ide pencipta dari tortor itu sendiri, busana yang dikenakan juga sudah banyak dimodifikasikan. Disini terlihat masyarakat atau seniman sudah lebih kreatif dalam menjawab kebutuhan- kebutuhan penyajian seperti ini.

Penyajian tortor yang berbeda juda dilakukan dalam even-even yang tertentu, sepeeti dalam perlombaan tari kreasi daerah, temu seniman yang menciptakan tari-tari ciptaan baru yang berpijak pada tari daerah. Di sini akan terlihat kreatifitas yang lebih beragam dari hasil ciptaan para koreografer, mereka menciptakan dengan nenassukkan kreatifitas dan ilmu dan pengalaman yang dimiliki. Sehingga batas-batas atau aturan yang ada dalam adat, nilai-nilai norma masyarakat tidak diperhitungkan. Akhirnya banyak terjadi pro dan kontra di masyarakat akan perubahan ini.

Tidak dipungkiri, terjadinya perubahan dari hasil penciptaan ini, memberikan warna baru dalam tari-tari tradisi batak Toba. Dengan berbagai pro dan kontra, keberlangsungan dari tortor tetap berjalan dengan segala dinamikanya.

Masyarakat Batak Toba tetap menjalankan ritual adat dengan penyajian tortor sesuai fornatnya, dan disisi lain melakukan penyajian tortor dengan kreatifitasnya.

Sehingga terlihat rutinitas dari penyajian tortor dalam berbagai aktivitas yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

4.4. Perubahan Tortor

Berpijak dari rutinitas yang dilakukan dalam rangkaian upacara adat, sebagai hiburan, maupun pertunjukan, penyajian tortor kemudian mengalami perubahan.

Berkaitan dengan topik dalam tesis imi, penyajian tortor pada upacara perkawinan

171

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

disajikan pada acara adat. Penyertaan tortor pada awal acara memberikan perubahan baru dari semua sisi dalam konteks upacara adat perkawinan.

Masyarakat kemudian menyertakannya, dan menjadi format baru dalam rangkaian adat perkawinan. Kemunculan yang dimulai pada tahun 1980-an, terus berkembang dan mengalami perubahan hingga sekarang dengan berbagai format, namun tetap memegang format yang sudah ada.

Di Kota Medan, terdapat beragam budaya yang dimiliki berbagai suku, dengan bentuk dan ciri yang berbeda. Dalam perbedaan budaya, mereka saling menghargai dan membangun keutuhan budaya secara bersama-sama, untuk kemudian saling memiliki dan menjaganya. Ini penting untuk memberdayakan keanekaragaman seni dalam konteks integrasi sosial dalam rangka membentuk

Medan menjadi kota metropolitan.

Berkaitan dengan bentuk tortor, tortor adalah identitas suku Batak Toba yang sudah diperkenalkan pada setiap upacara-upacara adat maupun hiburan, sejak kanak-kanak, hingga dewasa. Disamping itu, orang tua juga berupaya memperhatikan keberadaannya untuk keberlangsungannya, dengan mengajak anak-anak dan keluarga dalam peristiwa-peristiwa adat tersebut. Seperti yang dikemukakan Ihromi (1981), kebudayaan menjadi milik bersama warganya melalui proses belajar, demikian juga dengan tortor. Tortor bagi suku Batak Toba tidak dapat dipisahkan, mereka sudah menjadikannya bagian dari kehidupannya, sehingga tarian ini begitu merakyat dan menjadi milik mereka selamanya, dengan perkembangannya.

172

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sebagai kesenian yang menjadi milik bersama, tortor disajikan dalam berbagai kepentingan untuk melengkapai materi acara yang dilakukan. Mereka mengadakannya dengan dukungan dari masyarakatnya sendiri, yang dikordinir oleh ketua adat, sistem kekerabatan dalihan na tolu, dan kelompok-kelompok masyarakat. Tortor juga menjadi perhatian pemerintah sebagai warisan budaya milik mereka, yang penggenerasiannya melalui kegiatan adat salah satunya upacara perkawinan.

Dalam mendukung keberadaan budaya, dalam hal ini tortor sebagai sebuah karya seni, mengalami perubahan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor internal dan faktor eksternal, seperti yang dikemukakan oleh

Alvin Boskoff Perubahan adalah suatu proses terjadinya peralihan atau pertukaran rupa pada sebuah objek atau bentuk, dimana peralihan atau pertukaran rupa ini dapat terjadi berangsur-angsur atau perlahan-lahan (evolusi) dan dapat terjadi secara besar-besaran dan cepat (revolusi) dengan tidak meninggalkan bentuk aslinya. (1981 : 45). Demikian pula dalam teorinya, Soedarsono (2002 : 5) yang mengemukakan tentang perubahan pada sebuah objek biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor internal (disebabkan oleh pelaku dan kondisi objeknya, yang disebabkan karena adanya penemuan-penemuan baru) maupun faktor eksternalnya, (kondisi atau keadaan masyarakat yang melingkupi diantaranya ekonomi, prestise, politik atau kepentingan baik individu maupun kelompok, dan budaya masyarakat yang mengalami perkembangan). Faktor- faktor tersebut akan memiliki dampak terhadap perubahan yang terjadi pada objeknya, yaitu tortor. Dalam hal ini adalah perubahan bentuk yang terjadi pada tortor dengan pembatasan kurun waktu tahun 1980 sampai dengan tahun 2017

173

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dengan alasan, bahwa pada tahun 1990 penggunaan tortor dalam upacara perkawinan mulai diadakan.

4.4.1 Perubahan Bentuk Penyajian Tortor

Suatu tradisi dikatakan hidup, atau eksis oleh karena mampu disiasati dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika kehidupan sosial masyarakatnya23. Masyarakat Batak Toba mempunyai peranan penting terhadap kehidupan dan perkembangan kesenian tradisi yang dimilikinya; baik peranannya sebagai penikmat maupun sebagai seniman yang terlibat dan hidup berkesenian. Mereka inilah yang kemudian secara bersama-sama saling mendukung kesenian yang dimiliki dan menjadi tonggak penyokong keberadaan kesenian tersebut. Salah satu bentuk kesenian itu adalah tortor. Masyarakat sebagai pranata merupakan salah satu aspek sosial utama yang memegang peranan dalam pembentukan dan pelestarian tortor.

Dalam penyelenggaraan upacara adat perkawinan Batak Toba, menjadi bahagian dalam prosesi adat, yang disajikan oleh perangkat dalihan na tolu dengan posisinya. Penyajian tortor menjadi materi pelengkap dalam pemberian/penyampaian ulos dari perangkat dalihan na tolu kepada pengantin maupun kepada keluarga. Rangkaian acara ini sudahlah pasti dan dilakukan secara turun temurun, dengan format yang sudah disepakati.

Berkembangnya zaman, terjadi perubahan dalam pelaksanaan kegiatan adat dan penyajian tortor. Perubahan ini terjadi diakibatkan banyak faktor yang mendukung terjadinya perubahan, baik dari sisi masyarakatnya maupun dari

23 Sumaryono, 2011, Antropologi Tari Dalam Perspektif Indonesia. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta. p.135

174

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pengaruh luar. Sebagai salah satu suku yang sudah ada di kota Medan sejak lama, dan sudah beradaptasi dengan lingkungannya, tentunya memberikan banyak pengaruh dalam segala aspek khidupan mereka. Di satu sisi mereka ingin mengekalkan budaya yang sudah tertanam dengan cukup lama, tetapi kemampuan dan pemahaman terhadap budaya itu sendiri sangat mempengaruhi keberadaannya dengan format yang baku. Di lain pihak, banyaknya bentuk-bentuk budaya baru yang menarik dan dapat diaplikasikan dalam kebudayaan mereka, menjadi tantangan sendiri dalam mempertahankannya, selain faktor lain, seperti aturan agama yang tidak memperbolehkan adanya seni dalam rangkaian adat.

Perubahan ini juga dapat dilihat dari kedinamisan dan perkembangan dari faktor perubahan zaman, seniman pendukung, masyarakat, dan pemiliki budaya itu sendiri. Kesemua faktor-faktor tersebut merupakan hal penting yang mendukung keberadaan dan keberlangsungan tortor, namun faktor utama terletak pada suku

Batak sendiri untuk menjaga kelangsungan dari tortor. Hal ini dikarenakan tortor diciptakan sebagai wujud kreatif dari masyarakat pendukungnya dan sebagai bentuk ekspresi budaya mereka. Dengan demikian dapat diketahui aspek kontekstual masyarakat pemilik kesenian tersebut, berdasarkan wujud dari keberadaan tortor.

Keberlangsungan tortor, juga tanpa sebab, tortor sebagai kesenian tradisional disajikan pada setiap aktivitas keseharian mereka, walau saat ini, bentuki penyajiannya sudah mulai hilang nilai sakralnya. Kehidupan pertunjukan seni bagi mereka, sudah mengalami perkembangan kearah pertunjukan tradisional yang bersifat hiburan. Peristiwa-peristiwa pertunjukan tersebut dilakukan untuk kepentingan pesta-pesta yang bukan ritual-kepercayaan. Seperti hiburan pada

175

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pesta perkawinan, pesta pembangunan gereja, pesta muda mudi, dan lain-lain.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perubahan pada tortor seperti:

- Banyaknya aktivitas yang menyertakan tortor sebagai materi acara, yang

dengan berbagai tujuan dan kepentingan.

- Masyarakat Batak Toba menerima terjadinya perubahan dalam format

acara perkawinan

- Pesta adat perkawinan yang memasukkan tortor pada awal acara dengan

menjadikannya sebagai tarian penyambutan.

- Menyebarnya suku Batak Toba ke luar daerah dalam berbagai kesempatan

(pekerjaan, sekolah, perkahwinan).

- Dipelajarinya tortor oleh suku lain, untuk menunjang perekonomian

(seniman).

- Mudahnya informasi dari kecangihan teknologi untuk melihat petunjukan

dari berbagai fungsi yang dimiliki etnik lain

- Seniman yang berpeluang dalam mengembangkan kreatifitasnya, dengan

permintaan menyusun tortor untuk kebutuhan adat perkawinan

- Status sosial penyelenggara acara (orang tua dan keluarga) di masyarakat

dengan menyertakan tortor dalam penyambutan pengantin.

Faktor-faktor inilah dianggap menyebabkan tortor berubah ke dalam format baru, baik dalam susunan penyajian maupun dalam unsur-unsur yang membangun keutuhan tarian.

176

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.4.1.1 Penyajian Tortor Tahun 1980 - 1990

Perubahan penyajian tortor, sudah dimulai sejak tahun 1980-an, yang dilaksanakan pada upacara adat perkawinan oleh sebuah keluarga Batak Toba di kota Medan. Berdasarkan keterangan dari Bapak Marsius Sitohang, pada waktu itu beliau diminta untuk mengiringi tortor dalam acara perkawinan adat yang membuat format tortor menyambut, dilaksanakan di dalam gedung.

Penyelenggara pesta meminta tortor dalam menyambut tamu, dikarenakan kepedulian dan kecintaannya sebagai orang Batak, yang menginginkan anaknya menikah dengan memakai acara adat Batak. Penyajian tortor hanya dilakukan pada awal acara, tanpa memakai penyajian tortor pada acara mangulosi.

Penyertaan tortor di awal acara, bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada keluarga pengantin, termasuk kepada seluruh undangan.

Pelaksanaan pesta perkawinan tentunya akan dihadiri oleh banyak orang dari keluarga ke dua belah pihak, sahabat, dan undangan lainnya. Dari penyelenggaraan pesta ini, kemudian memberikan inspirasi tidak hanya kepada suku batak Toba saja, para seniman yang turut hadir dalam mengisi acara mendapat kan ide-ide baru untuk menata pada kesempatan lainnya. Bagi suku batak Toba sendiri, format baru adanya tortor penyambutan, memberikan nilai baru dalam hal penghormatan yang sudah dimulai dari awal acara. Mereka menganggap bahwa format baru ini menjadi kebaikan untuk semua. Selain sebagai kenangan bagi orang Batak yang merantau, dan menjadi pelajaran tentang adat bagi anak-anaknya yang tidak mengenal budayanya.

177

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Penyajian tortor pada acara penyambutan masih sederhana, hanya menggunakan ragam gerak somba mula-mula, gerak somba, mangaliat, dan hasahatan, tanpa memberikan variasi gerak yang dinamis. Berawal dari penyajian ini, suku batak

Toba kemudian menjadikan tortor penyambutan sebagai salah satu materi acara dalam perkawinan.

Pada masa ini, penyajian tortor menyambut tamu (tortor penyambutan) belum sebanyak seperti sekarang ini. Hanya dari keluarga yang memiliki dana lebih (berkecukupan) dan satus sosial di masyarakat (penjabat dan lain sebagainya), yang dapat memyelenggarakan dengan format baru ini. Hal ini dikarenakan penyajian tortor membutuhkan penari khusus sebagai yang mewakili dari pihak keluarga. Penyertaan kelompok seni, membutuhkan dana besar untuk membayar jasa yang sudah diberikan, sehingga hanya dari kalangan tertentu saja yang mampu untuk menyelenggarakan pesta adat dengan format baru.

Dalam penyajian tortor untuk upacara penyambutan masih tetap menggunakan format tortor adat dengan menarikan pola-pola gerak, somba, embas, mangaliat, dan meminta berkat. Pola-pola gerak ini ditata oleh para koreografer yang memberikan sedikit variasi dalam tataannya. Perubahan tortor tidaklah jauh dari format adat, koreografer tetap bertahan dengan tortor adat, walau sesungguhnya secara filosofi pemahaman tentang nilai gerak tortor belum dikuasai. Namun koreografer maupun sanggar berupaya menjadikan tortor untuk penyambutan menjadi terkenal dan mengharapkan akan menjadi format yang harus ada dalam acara perkawinan.

178

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Keinginan para seniman dengan hadirnya kembali tortor dalam acara adat perkawinan, ternyata disambut baik oleh suku Batak Toba sendiri. Perlahan penyelenggaraan pesta perkawinan suku Batak, menyertakan tortor dengan keragaman dari pentaan para koreografer. Penyelenggaraan pesta adat dengan kelengkapan tortor, juga dilakukan di Sumatera Utara, dengan kota Medan sebagai tempat awal penyajiannya, yang biasanya bertempat di wisma atau gedung

4.4.1.2 Penyajian Tortor tahun 1990-2000

Pada masa tahun 1990-an hingga tahun 2000-an, penyajian tortor untuk acara perkawinan, perlahan mulai diminati. Suku Batak Toba yang memiliki dana lebih, dan berkedudukan secara sosial di mata masyarakat, meminta jasa seniman untuk turut menyemarakkan pelaksanaan acara adat perkawinan keluarganya. Para koreografer maupun kelompok-kelompok sanggar sudah mulai menyusun/ menata atau menciptakan tortor untuk penyambutan dengan memberikan variasi dalam gerak. Variasi dalam pola gerak dengan memberikan variasi diantara motif-motif dasar tortor, selaijn meberikan komposisi pola latai yang lebih beragam.

Perubahan penyajian tortor juga dapat di amati dari elemen pendukung tarian yaitu, musik iringan dengan memasukkan irama lagu yang lebih cepat, dan berbeda pada setiap penyajian, dengan pola ketukan gondang menjadi patokan untuk membuat tarian. Hanya saja penggunaan musik iringan dengan musik yang direkam pada CD atau kaset recorder. Dalam pemakain busana, penyajian tortor untuk penyambutan sudah mulai memodifikasi dari bahan pakaian, model pakaian, aksesoris untuk kepala yang lebih menunjukkan keindahan. Pemakaian

179

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sortali sebagai ikat kepala untuk perempuan tetap menggunakan sortali yang ditenun. Namun pada beberapa sanggar sudah mulai memodifikasi hiasan kepala dengan memberi sunting yang lebih beragam bentuknya, ditambah dengan pemakaian bunga.

180

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 4.1 Busana mengenakan baju kebaya warna merah, ulos sadum, rok ditutupi ulos sadum, sortali dan ikat pinggang. (dok, Fernandus 2019)

Foto 4.2. Penggunaan asesoris untuk kepala, pemakain kalung dan bros baju disamping ikat pinggang (dok; Fernandus 2019)

181

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pada masa ini, perubahan juga belum begitu besar, seniman/koreografer maupun kelompok sanggar tetap memegang format tata aturan dalam pola gerak, pemakaian ulos, musik iringan, pola gerak dan lain-lain. Namun mendekati tahu

2000-an, penari laki-laki sudah mulai disertakan dalam format manortor untuk penyambutan. Pada masa ini manortor untuk mangulosi tidak ada. Penari dalam rangkaian adat perkawinan akan menarikan tari Batak kreasi yang ditata sesuai dengan tujuan pesta. Biasanya tarian ini lebih menonjolkan sisi kemeriahan dengan penggunaan busana yang lebih wah.

Masa tahun 1980-an sampai tahun 2000-an penyajian tortor untuk penyambutan masih tetap dalam format adat, dengan memberikan sedikit variasi tanpa merusak dari format awalnya. Perubahan yang ada dapat diamati dari elemen pendukung, terutama pada pola gerak, busana, dan musik iringan.

4.4.1.2 Penyajian Tortor Tahun 2000 – Sekarang

Penyajian tortor pada masa tahun 2000-an hingga sekarang, memiliki banyak perubahan. Pada masa ini, penyajian tortor untuk penyambutan tidak saja ditarikan untuk menyambut pengantin dan keluarga, tetapi penyajian tortor disajikan pada berbagai acara lainnya. Prinsipnya setiap ada penyelenggaraan acara, apakah itu acara adat ataupun acara pemerintahan dan lainnya, menyertakan tortor penyambutan sebagai bentuk penghormatan kepada tamu. Tortor untuk menyambut tamu menjadi sajian yang menarik, karena terlihat jelas bentuk penghormatan yang diamati dari pola gerak melambaikan tangan ke arah samping penari, seperti mengajak. Pola gerak ini terinspirasi dari bentuk penyajian tari

182

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

persembahan pada suku Melayu, yang memang menjadikan tari persembahan sebagai sebuah tarian yang ada di setiap kegiatan adat.

Pola gerak mengajak menjadi ciri dalam tortor untuk menyambut, yang kemudian dimodufikasi lagi sesuai kebutuhan dari acara dan koreografernya. Perubahan pada pola gerak juga diikuti pada perubahan tortor dalam prosesi adat pemberian ulos kepada sukut yang menyertakan tortor dalam rangkaiannya. Pada prosesi ini, penari membantu penyelenggara dengan membawa ulos sambil manortor dan menyerahkannya kepada keluarga untuk diberikan kepada sukut dalam acara penyerahan ulos sinamot dan ulos hela.

Foto 4.3: Penari manortor pada acara penyerahan ulos hela dan ulos sinamot (dok: Fernandus, 2019).

183

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 4.4: Pengantin manortor bersma keluarga dalam rangkaian acara penyerahan cendramata (dok: Fernandus, 2019).

Foto 4.4: Manortor bersama yang dilakukan pengantin dan keluarga (Dok: Fernandus 2019)

184

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pada tahapan ini, manortor juga dilakukan oleh pengantin, dan seluruh keluarga dalam posisi dalihan natolu baik dari pihak laki-laki maupun peremapuan. Manortor ini dilakukan setelah acara penyerahan ulos yang menyertakan penari khusus selesai dilakukan. Dari pelaksnaan upacara adat ini, terlihat dan pemberian ruang kepada kemeriahan suasana pesta dengan penyertaan penari khusus. Walau penyertaaan penari khusus memerlukan dana, tetapi mereka dengan ikhlas melakukannya. Namun sekali lagi yang dapat menyertakan panyajian acara dengan format ini hanyalah keluarga yang memiliki dana lebih.

Perubahan pelaksanaan upacara perkawinan dengan fomat ini, tidak hanya pada penyertaan tortor saja, perubahan juga dilakukan pada variasi pola gerak yang lebih beragam, pemakaian dan modifikasi dari busana, serta penyertaan penari laki-laki.

Variasi pola gerak yang beragam dengan memasukkan unsur-unsur gerak yang menata gerak utama dengan pengolahan ruang, waktu, dan tenaga sebagai elemen gerak. Pengolahan elemen gerak ini memberikan variasi yang menarik didukung dengan penggunaan elemen komposisi (ilmu mencipta tari) seperti keserempakan, kesimbangan, selang-seling, bergantian, dan level. Elemen dalam komposisi ini apabila dipadu dengan elemen gerak, maka tercipta pola-pola gerak yang menarik, namun tetap berpijak pada tatanan tradisi Batak.

Perubahah juga tampak pada pemakaian busana dengan model-model yang lebih beragam, memanfaatkan ulos yang dimodifikasi menjadi rok atau baju dengan model kekinian. Modifikasi busana tari ini, menciptakan busana baru dalam tarian

Batak, yang sesusungguhnya akan menambah koleksi dari busana tari Batak.

Masing-masing sanggar menciptakan busana sesuai dengan keinginan pemimpin

185

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sanggar maupun berdasarkan kesepakatan dari seluruh anggota sanggar. Sehingga busana menjadi satu komoditi yang diperhitungkan dan menjadi mata pencaharian baru bagi penggiat seni.

Foto 4.5: Modifikasi dalam busana memakai longthorso menjadi pakaian luar dengan memberikan aksen berupa masink-manik, dan kain yang dijadikan rok, (dok; Fernandus 2019)

Foto 4.6: Ulos ragi idup yang biasa diberikan pada orang tua yang sudah meninggal dalam acara saur matua dijadikan sebagai rok (dok, Fernandus 2019)

186

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 4.7: Ulos sadum yang juga dijadikan sebagai pemanis di jahitan rok, dan model baju kebaya yang berlengan pendek.(dok, Fernandus 2019)

Foto 4.7: Modifikasi busana tortor, terutama penggunaan mahkota

187

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dalam memodifikasi busana ada beberapa sanggar yang menempatkan busana yang keluar dari koridor kesopanan apabila dilihat dari nilai adat, dengan menjadikan pakaian dalam (longthorso) dipakai menutupi baju, sehingga bentuk tubuh terlihat jelas. Selain itu pemakaian ulos yang tidak sesuai dengan penggunaannya. Ulos digunakan lebih pada faktor keindahan dan menunjukkan ciri tortor Batak Toba, sehingga pengetahuan yang minim tentang penggunaan ulos menjadi penyebab dari kesalahan pemakaian ulos. Kelompok-kelompok sanggar menyertakan ulos untuk tujuan lain dan dipakai pada upacara perkawinan yang tentunya dilarang. Untuk itu diperlukan kehati-hatian dan pembelajaran dalam nilai-nilai adat dari tortor Batak dengan elemen pendukungnya agar tidak menghilangkan nilai adatnya. Dikarenakan pemakain yang salah, walau dari sisi penampilang sangat bagus, namun akan menjadi tidak baik karena tidak ssuai dengan norma dan pemakaian.

188

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 4.8: Modifikasi busana tortor, dengan menjadikannya sebagai busana baik secara keseluruhan, mauupun sebahagian, (Dok: Fernandus 2017)

189

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Modifikasi yang di berikan pada ragam busana tarian, satu sisi memberikan dampak pada perkembangan fashion, terutama dalam pertunjukan tari. Namun di sisi lain busana, yang dikenakan banyak memberikan sisi negative, dengan model yang lebih terbuka, sehingga kesopanan yang menjadi salah satu nilai dalam tortor, terkurangi. Sesungguhnya modifikasi menjadi point penting dalam perubahan penyajian tortor. Suku Batak Toba akan memiliki dokumen busana beragam dan menarik, selain itu juga menjadi penambahan inventaris dalam tarian yang dimiliki suku Batak. Namun perubahan perlu disikapi untuk menjaga kelestarian, agar nilai yang menjadi pelajaran bagi generasi Batak Toba dapat diteruskan dengan baik.

Tabel 4.1 Perubahan dalam Penyajian Tortor

No Unsur Tari Tahun 1980-1990 Tahun 1990-2000 2000 s.d sekarang 1. Struktur Memasukkan tortor Memasukkan tortor Memasukkan tortor Penyajian untuk menyambut untuk menyambut untuk menyambut pengantin dengan pengantin dengan pengantin dengan mengundang penari mengundang penari mengundang penari khusus khusus khusus

Tidak mengikutkan Tidak mengikutkan mengikutkan tortor tortor dalam rangkaian tortor dalam rangkaian dalam rangkaian adat adat mangulosi adat mangulosi mangulosi dengan penari khusus

Peserta upacara adat Peserta upacara adat Peserta upacara adat turut manortor dengan turut manortor dengan turut manortor mengikuti para penari mengikuti para penari dengan mengikuti para penari 2. Gerak Mengikuti dasar gerak Mengikuti dasar gerak Mengikuti dasar gerak dalam format tortor dalam format tortor dalam format tortor

Belum ada variasi Membuat pola gerak Membuat pola gerak gerak, lebih dominan mengajak/membawa mengajak/membawa pada gerak somba, masuk tamu masuk tamu dengan embas, mambuka roha pola lantai yang beragam

Gerak sudah bervariasi Gerak sudah bervariasi

190

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dengan memberikan transisi dalam perpindahan pola gerak 3. Busana Memakai baju kebaya, Memakai baju kebaya, Memakai baju kebaya, kain songket, ulos kain songket, ulos kain songket, ulos sadum dan sortali sadum dan sortali sadum maupun ulos ragi idup

Warna baju banyak Warna baju sudah Warna baju sudah menggunakan warna bervariasi, model dan bervariasi, model dan merah bahan bahan

Belum ada modifikasi Sudah ada modifikasi Modifikasi busana, busana busana dengan dengan mengenakan menjadikan ulos longthorso di luar sebagai pengganti baju kebaya Ulos sebagai pengganti baju kebaya

Mengenakan ikat Mengenakan ikat pinggang dari pinggang dari tembaga, ulos, atau tembaga, ulos, atau kain lainnya kain lainnya 4. Penari Penari biasanya Penari biasanya Sudah menyertakan perempuan perempuan penari laki-laki dan perempuan

Jumlah penari genap, Jumlah penari genap, Jumlah penari tidak biasanya 4 s/d 8 orang. biasanya 4 s/d 8 orang dibatasi boleh genap ataupun ganjil. 5. Musik Tortor diiringi dengan Tortor diiringi dengan Lebih banyak diiringi musik gondang musik live gondang dengan musik CD sabangunan yang sabangunan, namun dimainkan secara live, ada juga dengan musik namun ada juga CD dengan musik yang di rekam dalam CD

Tidak ada Tidak ada Tidak ada pengkhususan untuk pengkhususan untuk pengkhususan untuk iringan tortor iringan tortor iringan tortor

Lagu iringan … Lagu iringan ….. Lagu iringan …..

6. Pola Lantai Hanya memakai pola Hanya memakai pola Pola lantai sudah lantai 2 baris berbanjar lantai 2 baris berbanjar beragam dengan dan baris bersyaf membuat pola segi tiga, berbaris, melengkung, jajaran genjang dan lain-lain

191

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sesuai kebutuhan dan kreatifitas koreografer 7. Aksesoris Untuk hiasan kepala Untuk hiasan kepala Untuk hiasan kepala hanya menggunakan menggunakan sortali, menggunakan sortali, sortali, memakai memakai anting dan sunting, bunga hidup anting dan kalung kalung dengan atau bunga plastik, yang masih sederhana berbagai model memakai anting dan kalung

4.4.2. Struktur Penyajian

Struktur penyajian tortor, sesungguhnya masih tetap menggunakan format dalam tortor adat, dengan menjadikan pola gerak somba mulamula sebagai gerak awal.

Namun dalam upacara perkawinan adat Batak Toba, tortor tidak hanya disajikan pada saat pemberian ulos hela dan ulos pasamot dari orang tua perempuan

(parboru) yang mangulosi paranak, dan ulos pasamot yang diberikan untuk orang tua laki-laki. Namun penyajian tortor dilakukan pada awal acara, dengan menyambut kedua pengantin dan orang tua beserta keluarga (sukut) ke dalam wisma (gedung acara). Selain itu pemberian ulos ini dengan menyertakan penari khusus yang membawa ulos untuk diberikan ke pada peserta adat yang kemudian diserahkan kepada yang menerima (sukut dan paranak). Posisi penari sebenarnya tidak ada dalam acara ini, namun sebagai penyemarak pesta, maka disertakan penari dengan membawa ulos untuk kemudian diserahkan kembali.

192

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 4.9: Penyerahan ulos hela dan ulos pasamot yang dibawa penari untuk diserahkan kepada parboru.(dok: Fernandus 2019)

193

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 4.10: Pemberian ulos pada hela dan ulos pasamot (dok Fernandus 2019)

194

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 4.11: Pemberian ulos hela dan ulos pasamot

195

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Perubahan format ini tidak menggangu format acara adat, dan biasanya penyertaan tortor untuk menyambut pengantin disajikan apabila pelaksanaan di dalam wisma. Penyambutan juga dilakukan setelah selesai acara pernikahan di

Gereja. Namun tidak demikian apabila pesta perkawinan diadakan di rumah saja, maka tidak ada tortor penyambutan, dan tortor pada acara mangulosi akan langsung diberikan tanpa melalui penari, dengan peserta upacara yang terkait dengan posisi dalihan na tolu.

4.4.2.1 Gerak

Perubahan tortor, sudah dimulai sejak tahun 1980-an, walau sebelum pada tahun tersebut, tortor sudah banyak dikembangkan oleh para seniman. Upacara perkawinan yang merupakan acara adat penuh kebahagiaan, kemuliaan yang menjadi dasar dalam penciptaan tortor untuk penyambutan, menjadikan peristiwa adat ini menjadi penting. Tortor menjadi bagian dalam rangkaian adat, sebagai media bagi mereka untuk menunjukkan ekspresi kebahagiaannya, bahwa tarian ini merupakan wujud ungkapan masyarakat dalam menerima tamu yang datang.

Sehingga tortor dimunculkan pada awal kegiatan adat.

Rasa sukacita juga menjadi dasar bagi para seniman dalam hal ini para koreografer untuk menciptakan garapan baru dengan berbagai ide, tanpa menghilangkan konsep tortor adat. Sehingga banyak bentuk tortor untuk penyambutan maupun tortor pada acara mangulosi yang berkembang dengan berbagai pola dan bentuk garapan, serta menambah ciri keBatakan dari perbendaharaan tortor Batak Toba. Dengan demikian aktifitas adat yang menjadi bagian dalam kehidupan suku Batak Toba, menempatkan berbagai kesenian sebagai materi/sajian baik utama maupun hiburan. Tortor disajikan sebagai

196

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

penghormatan pada keluarga dan tamu yang datang sebagai wujud pola persaudaraan. Hal ini dapat diamati dari keseluruhan proses pertunjukannya, dari awal penciptaan hingga terselesainya pelaksanaan acara.

Adapun ragam tortor pada saat upacara perkawinan adalah sebagai berikut:

1. tortor mulamula, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada tortor

mula-mula yang akan terlihat menari hanya ada pihak hasuhuton (pihak

penyelenggara pesta), kerabat semarga dan kedua mempelai. Makna dari

gerakan tortor mulamula ini adalah menjelaskan bahwa segala yang ada di

dunia ini diawali dengan segala kebaikan. Format pada sajian tortor pada

somba mulamula menunjukkan permohonan keberkahan dari yang dipercayai

dengan menangkupkan ke dua tangan di depan dada. Permohonan keberkahan

harus dilakukan sebagai wujud manusia yang beragama dan ditopang dalam

tata acara adat, untuk mengajarkan ketakwaan dan kecintaan pada yang

diyakini/dipercayai.

Selain rasa ketaqwaan, format tortor dengan somba mulamula, merupakan penghormatan pada sukut selaku posisi yang tinggi dalan sistem kekerabatan.

Sukut menjadi pemberi berkah kepada pengantin yang dilihat dari pola gerak tangan mangayapi (menggoyangkan kedua tangan di depan dada, dengan telapak tangan menghadap bawah). Sukut menjadi pemimpin, yang dituakan dari ketida posisi, karena melalui posisi sukut, maka kesepakatan dapat diputuskan

197

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 4.12: Tortor untuk menyambut suhut ditarikan oleh penari, merupakan bentuk penghormatan (dok Fernandus 2019)

198

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2. Tortor somba, berdasarkan hasil penelitian dari beberapa sanggar yang

menjadi sampel, penyajian tortor pada tahapan awal tarian dengan format

tarian tortor somba, penyelenggara pesta akan menuntun kedua pengantin

untuk melakukan penghormatan atau menyembah mulai dari penghormatan

kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai keimanan yang diyakini oleh mereka,

pihak Hulahula, tulang, dan seluruh tamu yang hadir. Pengantin wajib

melakukan penghormatan ini sebagai prosesi utama dalam upacara adat

perkawinan. Mereka manortor dengan pola gerak somba, yang memberi arti

penghormatan pada yang dituakan, dan seluruh rombongan beserta amu

undangan.

Foto 4.13: Kedua pengantin turut manortor menyambut keluarga dan tamu undangan (Dok: Fernandus 2019) 3. Tortor mangaliat, berdasarkan hasil penelitian bahwa gerakan antara hulahula dan boru akan sangat terlihat jelas berbeda dari simbol gerakan tangan, apabila

199

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

hulahula akan memberikan berkat maka posisi tangan akan diarahkan ke kepala atau ke pundak si boru sedangkan apabila boru akan menerima berkat maka posisi tangan akan terbuka dan keadaan kepala akan menunduk. Pada kesempatan ini maka boru akan menyelipkan beberapa lembar uang kepada pihak hulahula sebagai bentuk penghormatan.

Foto 4.14: Penari melakukan variasi dalam gerak mendapatkan berkat dari hulahula (Dok: Fernandus 2019)

200

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4. Tortor hasahatan/sitiotio, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tortor hasahatan/sitiotio merupakan gerakan tortor yang terakhir pada saat upacara adat perkawinan. Gerakan tortor ini hanya akan manortor di tempat, setelah hitungan bunyi dari seruling (sarune) 2 x 8 maka seluruh peserta tortor akan memegang ujung kedua ulos sambil menyerukan horas sebanyak 3x yang menandakan tortor telah selesai.

201

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Foto 4.15: Penari mempersilahkan keluarga dan tamu untuk masuk ke dalam ruang acara dengan pola gerak mengajak yang menjadi variasi tortor (Dok: Fernandus 2019)

202

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Susunan penyajian tortor di atas tetap dilakukan hingga sekarang, dengan penambahan variasi dalam pola-pola geraknya berdasarkan koreografer atau sanggar. Gerak-gerak yang diciptakan tetap berpola pada gerak dasar Toba, dengan pola gerak somba, embas, dari gerak tortor dalam upacara perkawinan.

Susunan acara pada penyerahan ulos

203

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

[

Foto 4.16: Gerakan akhir dalam rangkaian upacara dalam penyerahan ulos yang dibawa oleh penari untuk diserahkan kepada sukut. Pola lantai yang dibuat tidak beraturan (tidak jelas). (dok Fernandus, 2019)

4.4.2.2 Penari

Penentuan bagi siapa saja yang boleh menjadi penari dalam penyajian tortor untuk penyambutan, ditentukan oleh koreografer atau ketua sanggar . pemilihan ini dilakukan berdasarkan kemampuan dalam menarikan tari-tari Batak secara kualitas yang baik, serta memahami nilai-nilai yang ada dalam tortor. Namun tidak seluruh penari mampu melakukan gerakan tortor dengan baik.

Untuk menjadi seorang penari sebenarnya diperlukan kemampuan dalam mengkordinir dirinya sendiri dan kelompoknya, terutama dengan tarian etnik yang memiliki tata aturan dalam menarikannya. Tetapi pada umumnya sanggar-sanggar tari yang ada, dalam menarikan tarian etnik, terutama tortor belum dapat melakukannya secara maksimal. Dikarenakan mereka menari berdasarkan

204

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pesanan, tanpa melihat teknik gerak tortor Batak. Selain itu pada umumnya para penari banyak yang bukan suku Batak, dan mereka belajar tortor hanya pada pola gerak saja, tanpa memahami nilai dari pola-pola gerak tersebut. Sehingga teknik yang mereka bawakan, belum dapat memberi pesan dari penyajian tortor.

Persoalan ini terletak pada ketidakpahaman dan ketidaktahuan dari seluruh perangkat acara dalam pelaksanannya dengan tortor sebagai materi acara.

Berdasarkan hal ini, kemampuan seorang penari sangatlah penting dalam menyampaikan pesan, untuk dapat memberikan pemahaman kepada penonton tentang apa-apa yang mau disampaikan. Walau dalam tortor, gerak sebagai simbol komunikasi non verbal sudah memberikan bentuk-bentuk gerak yang dapat dibaca dan dipahami. Hal ini tentunya juga tidak terlepas pada kemampuan koreografer dalam menterjemahkan keinginan penyelenggara pesta dan tujuan acara.

Apabila diperhatikan, kedudukan seorang penari sangatlah penting, untuk menyampaikan pesan dalam acara, terutama penari-penari yang khusus untuk menyemarakkan kegiaran, hal ini akan berbeda pada peserta dalam posisi dalihan na tolu, yang manortor sebagai bagian dari tangungjawab dalam perangkatnya.

4.4.2.3 Pola Lantai

Perubahan pada penyajian tortor pada acara penyambutan pengantin, merupakan upaya koreografer dalam membuat tarian semakin menarik, salah satunya dengan membuat pola lantai dengan garis edar, arah hadap, yang menambah keindahan tarian. Pola lantai yang digunakan biasanya masih menngunakan format tradisi dengan meletakkan penari dalam pola lantai berbaris

205

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berhadapan, lingkaran, dan pola lantai berbaris bersyaf. Pola lantai ini menjadi pola lantai yang umum dilakukan oleh koreografer, yang sesungguhnya dalam nilai adat, ketiga pola lantai ini memiliki makna yang menjelaskan tata cara kehidupan suku Batak Toba.

Dalam perkembangan penyajian tortor, pengunaan pola lantai sudah lebih beragam seperti dengan membuat pola U, melengkung, huruf V, segitiga dengan formasi diagonal. Bentuk-bentuk pola lantai dibuat didasarkan pada keindahan dan adanya kontak antara penari. Sisi estetik lebih ditonjolkan, sehingga pola lantai banyak dengan pola melengkung, berkelompok membuat segi empat, atau bahkan tidak jelas. Beberapa contoh pola lantai yang sering dilakukan:

1. Pola lantai segi tiga dengan tiga orang penari:

Foto 4.17: Pola lantai segi tiga dalam penyajian tortor menyambut

206

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Penggunaan pola lantai yang beragam dikarenakan, posisi menari berada di luar gedung/wisma, sehingga dengan pola lantai yang terbuka, akan membuat ruang dalam menari akan terlihat luas, walaupun jumlah penari tidaklah banyak. Selain itu pengunaan pola lantai yang beragam akan memberikan rasa estetis yang lebih menarik, karena adanya pergantian dari pola gerak 1 dan berikutnya. Biasanya koreografer akan mempertimbangkan bentuk pola lantai yang digunakan dengan menyesuaikan tempat upacara, jumlah penari, dan pola-pola gerak.

2. Pola lantai melengkung

Foto 4.18: Pola lantai melengkung sebagai tanda penerimaan suku Batak kepada sukut dan seluruh keluarga, juga termasuk tamu undangan (dok, Fernandus 2019)

207

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3. Pola lantai 2 baris

Foto 4.19. Pola lantai berbaris sebagai pola lantai utama dalam pola gerak mengajak pengantin untuk memasuki ruangan pesta (Dok: Fernandus 2019)

4.5 Perubahan Fungsi Tortor

4.5.1 Kesinambungan Budaya

Tortor Batak Toba dilakukan sebagai bagian dari kegiatan adat suku Batak, dilakukan sebagai bentuk kepatuhan mereka pada yang diyakini, sekaligus sebagai kegiatan hiburan bagi mereka disela-sela kesibukan, yang secara otomatis telah menjadi kesinambungan budaya Suku Batak Toba. Secara sadar ataupun tidak,

208

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kegiatan adat ini telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi kegenerasi hingga sekarang. Walaupun penyajiannya tidak dilakukan oleh suku Batak sendiri. Namun hal ini dapat membuat dan menjadikan generasi muda untuk ikut dalam kegiatan belajar dari peristiwa adat, yang akan menggantikan generasi tua yang sudah tidak mampu lagi melakukan aktifitas adat. Tetapi generasi tua tetap terlibat sebagai pembimbing dalam pewarisan segala peraturan dan norma yang ada pada tortor.

Penyajian tortor dalam acara adat perkawinan, telah menjadi sebuah upaya dalam pelestarian budaya Suku Batak Toba, yang dilakukan dalam bentuk penyajian dalam format lama ataupun format baru dengan penerimaan suku Batak yang tidak menolah adanya pem baharuan. Komposisi yang berbeda dengan format lama adalah satah satu unsur pemeliharaan dan kesinambungan budaya, dengan menayajikannya beriringan dengan aturan adat pelaksanaannya. Adanya penerimaan suku Batak dengan perubahan penyajian tortor dari segala aspek, sesungguhnya telah mengajak dan memacu generasi suku Batak Toba untuk lebih mengenal, menjaga dan mempelajari yang kemudian mewariskannya. Melalui kegiatan adat, generasi penerus suku Batak Toba dapat mempelajari tata aturan, nilai, norma adat, dengan berpedoman pada simtem adat dalihan natolu.

Demikian pula halnya dengan tortor penyambutan pada upacara perkawinan, sedikit banyak telah menunjukkan nilai-nilai adat tradisi yang masih terkandung di dalamnya.

209

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Banyaknya permintaan menyertakan tortor untuk penyambutan dalam upacara perkawinan ataupun kegiatan lainnya, telah mendorong seniman/koreografer, maupun kelompok sanggar untuk berkreatifias dengan tetap mempertahan nilai tradisi dalam pengembangannya. Dengan demikian kelangsungan budaya akan berjalan sesuai yang diharapkan, dan budaya Batak Toba dapat dipertahankan.

4.5.2 Ekonomi

Masalah ekonomi sangat mempengaruhi kehidupan kebudayaan. Christianto

Wibisono dalam kesempatan seminar di Taman Budaya Surakarta tahun 1991' mengatakan, “seminar harus berani memasang harga karya seninya dalam transaksi dengan masyarakat penikmat seni dan juga dengan kalangan bisnis”. Ia mengatakan terus terang bahwa seni tradisional kita sudah layak dijual.

Berdasarkan pernyataan ini, tidak heran komoditi tarian menjadi komoditi yang menjanjikan untuk ditekuni, dan seni tradisi menjadi sumber yang paling banyak untuk mengunkapkan kretaifitas seniman.

Sedangkan di sisi lain kadang-kadang seniman mengakui dirinya sendiri harus realistis. Mereka sudah punya kecenderungan untuk menjual kesenian dengan berdasarkan nilai-nilai ekonomis. Hasil karya seninya menjadi barang komoditi yang mudah ditawar, dipesan, sekaligus dapat dibeli. Akibatnya, muncul istilah- istilah seperti seni pop, seni hiburan, seni bisnis (dagangan), seni vulgar, dan sebagainya, yang semuanya ini dinamakan dengan bisnis entertainment.

Konsep dagang kesenian ini ternyata menimbulkan dampak serius terutama kepada para seniman yang tak loyal terhadap peta kesenian kita. Mereka yang tak

210

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

memiliki komitmen terhadap keutuhan simbolisme seni itu tentu tergerus oleh arus bisnis. Hal ini diharapkan sampai terjadi pada seniman dalam menciptakan karya baru untuk tujuan bisnis.

Penyajian tortor untuk upacara penyambutan sesungguhnya merupakan seni yang dibuat dan dijual muntuk kebutuhan bisnis. Namun disisi lain konsep ekonomi ini telah memberikan berkah untuk banyak orang, terutama pada para seniman

(penari, pencipta) yang telah turut memeriahkan acara sekaligus turut menglangsungkan sebuah budaya. Penyajian tortor yang membutuhkan dana, tentunya menuntuk bagi keluarga-keluarga yang mampu saja untuk dapat menyelenggarakannya, karena penyertaan tortor dengan penari khusus memerlukan dana untuk hasil keringatnya

Secara ekonomi, penyajian tortor akan membawa kebaikan dan keburukan kepada seniman maupun kepada bentuk penyajian tortor. Pada tahapan ini, terjadi perputaran uang dari satu oang kepada orang lain, yang terlibat dalam pelaksanaanya. Perputaran uang akan diberikan pada pemilik tempat/wisma dilaksankannya pesta, selain itu kebiasaan suku Batak Toba dalam menyelenggarakan pesta akan mengundang keluarga yang termasuk dalam dalihan natolu, berserta keluarga dan jerabatnya, juga akan mengundang tamu undangan lainnya. Dengan demikian tempat yang besar/luas sangat dibutuhkan untuk menampung seluruh tamu.

Selain tempat, penyelenggara pesta juga akan meminta jasa untuk menghias pengantin dan keluarga, sekaligus tempat duduk pengantin yang perlu dihias.

Apabila pesta dilakukan di gedung yang megah tentunya tempat duduk pengantin

211

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dan keluarga harus dipertimbangkan baik pesta di gedung besar atau di sopo, jasa pelaminan sangat dibutuhkan. Dibawah ini beberapa foto tempat berlangsungnya acara penyerahan ulos yang dilakukan di dalam ruangan wisma.

212

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Phot Foto 4.8: Ruangan wisma tempat pelaksanaan acara adat perkawinan

213

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Permintaan jasa untuk mengabadikan peristiwa adat juga diperlukan sebagai dokumentasi untuk pengantin, keluarga, dan generasi penerusnya. Dokumentasi ini berupa kelengkapan memfoto dan merekan dalam video peristiwa adat tersebut. Selain jasa ini, yang disiapkan oleh penyelenggara adalah iringan musik sebagai penyemarak suasana, dan penyertaan tortor, untuk lebih memeriahkan suasana pesta adat perkawinan.

Fungsi ekonomi ini akan memberikan dampak positif pada banyak orang yang terlibat, tetapi fungsi ekonomi ini juga memberikan dampak negatip terutama pada penyajian tortor. Diharapakan penciptaan tortor penyambutan tetap berpedoman pada aturan adat, sehingga faktor ekonomi dapat dilakukan dan kelangsungan budaya juga dapat berjalan.

4.5.3 Komunikasi

Komunikasi yang digunakan dalam tarian adalah komunikasi non verbal yang dihadirkan melalui simbol-simbol dalam gerak. Simbol-simbol gerak disajikan untuk menyampaikan ungkapan hasrat pemmasyarakaatnya. Dari komunikasi ini terdapat dua faktor komunikasi iaitu faktor seniman/pencipta dan faktor manusia sebagai penikmat, serta penyelenggara. Dua faktor manusia ini menegaskan bahawa keistimewaan seni sebagai ekspresi manusia akan memperhalusi dan memperluaskan komunikasi menjadi persentuhan rasa, dengan menyampaikan kesan dan pengalaman yang subjektif, yakni pesan dan pengalaman si pencipta kepada penonton (Sumandiyo Hadi: 2006).

Komunikasi seni ini merupakan dialog yang disampaikan melalui hasil karya dari si pencipta kepada penonton, yang merupakan pengalaman berharga yang berpunca dari imaginasi kreatif dan bermakna yang dapat diresapkan dan

214

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mempunyai pesan yang komunikatif. Tinggi rendahnya kualiti estetik ditentukan pada tahap yang paling awal oleh kemampuan komunikatif, dan oleh sebab itu pula seni sering berfungsi sebagai perangkul "makna umum masyarakat"

(Abdullah, 1980/1981). Dengan pemahaman ini, maka penciptaan seni tidak terlepas daripada tradisi yang akan membolehkan meneruskan pesan yang komunikatif.

Bersasarkan hal ini. Tortor dalam penyambutan menjadi komunikasi antara penyelenggara dengan keluarga dan tamu undangan yang dapat dipahami dari tortor. Pemahaman ini didapat dari bentuk tortor yang dilihat dari gerakan- gerakan, busana, pola lantai, musik iringan, dan umpasa dalam penyampaian narasi tarian. Kesemua elemen dalam tari ini semata-mata bukan hanya melambangkan sesuatu saja, tetapi merupakan penjelmaan ekspresi keseluruhan yang terlibat dalam rangkaian penyajian tortor. Dengan pengertian komunikatif ini, komunikasi penyajian tortor dalam upacara adat perkawinan, terdapat: 1) adanya interaksi atau gerak-gerak untuk mengukuhkan suasana upacara, 2) kata- kata pengantar yang disampaikan melalui umpasa pada penyambutan pengantin, dan penyerahan ulos.

Dengan demikian komunikasi tortor merupakan ungkapan atau ekpresi imaginasi dalam proses diaologis. Seperti diketahui bentuk penyajian tortor dengan susunan penyajiannya adalah perjumpaan dan komunikasi antara manusia sesame manusia, antara manusia dengan Tuhan-Nya, dalam bentuk tanda atau simbol. Melalui umpasa akan tampak jelas informasi, komunikasi, pesan, ajakan, yang disampaikan Seluruh isi yang disampaikan adalah simbol ketaatan, kepatuhan mereka dalam menjalankan semua perintahnya.

215

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kesemua ini menjadi komunikasi yang diolah, disusun, tidak hanya sebagai sesuatu yang menawan untuk penonton, dengan menambah unsur estetika, namun sebuah persembahan yang memberikan pesan-pesan moral untuk menjadikan manusia lebih mengenal dirinya dan aturan-aturan dalam adat istiadat dan Tuhan-

Nya. Komunikasi ini menjadi penting, selain komunikasi pada yang dimaksud tetapi juga enjadi komunikasi dalam menjaga hubungan terhadap sesama agama dan antara agama.

4.5.6 Estetika

Manusia secara lahiriah membutuhkan akan hal-hal yang indah dalam hidupnya, sebagai penyeimbang otak kanan dan otak kiri. Seni sebagai perwujudan budaya, menjadi bagian dalam mewujudkan rasa indah yang diinginkan setiap manusia.

Berkenaan dengan kajian tentang keindahan seni yang merupakan ranah estetika dapat dipilah dua hal yang terhubung, yaitu hal-hal mengenai konsep atau aspek pengetahuan dan hal-hal bersifat perwujudan (nature) atau aspek ontologis.

Permasalahan ini dapat dikaji dari pemikirian pemikiran yang ditempatkan pada ranah estetika itu sendiri, sedangkan permasalahan berikutnya ditempatkan pada ranah artistika, yaitu perwujudan seni yang dapat dicerna melaui panca indera.

Dua kategori ini, menjadi Penghubung dan senantiasa terhubung dalam suatu tindakan, yaitu kesadaran konseptual (mental aspect) yang diwujudkan dalam bentuk tindakan (behavioral aspect) dan dapat terlahir dalam berbagai bentuk kemungkinan objek ontologis. Bahkan berdasarkan pandangan fenomenologis, kesadaran konseptual berupa pengetahuan itulah yang menjadi ukuran dalam rangka mewujudkan suatu tindakan. Dua aspek yang melekat pada perwujudan

216

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

seni, yaitu aspek konseptual dan wujud lahiriah adalah karya seni, yang tidak dapat dipisahkan.

Kedua aspek ini harus diamati sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari bagian kehidupan masyarakat (pelaku), atau masyarakat pendukung. Estetika dapat diartikan sebuah keindahan yang dapat dinikmati oleh penikmat dengan pandangan yang berdasar pada tujuan penyajiannya. Didasarkan pada konsep estetik, penyajian atau hasil dari sebuah karya merupakan proses menyampaikan dan mengungkapkan keinginan pada tahap keindahan, berkenaan dengan kasil karya yang diciptakan. Penilaian merupakan proses/cara memberi nilai. Menurut

Sumardjo (1999) "nilai adalah masalah mendasar yang biasa dijumpai dalam bidang etika (kebaikan), kebenaran (logik), dan estetika (keindahan), disamping keadilan, kebahagiaan, dan kegembiraan". Hadi (2005)menyatakan bahawa :

“Sebagaimana keindahan „kesenangan‟ juga merupakan sifat relatif bagi manusia. Kesenangan terletak pada hubungan yang terdapat antara objek dengan manusianya. Orang merasa senang kerana obyek keindahan dapat ditangkap memenuhi seleranya. Bilamana obyek dapat menimbulkan kesenangan bagi akal, yaitu satu-satunya sarana langsung yang dapat ditangkap oleh intuisi jiwa, maka objek tersebut merupakan sesuatu yang indah. Keindahan adalah sesuatu yang ada dalam objek, yang dapat menimbulkan “kesenangan” bagi akal, dan semata mata karena keadaanya sebagai objek tangkapan akal.”

Dari paparan di atas, dikaitkan dengan tortor, maka rasa indah dan keindahan tanpak pada karya tari yang dapat memberikan pengalaman estetika berupa wujud kebahagiaan, rasa suka, rasa senang, yang memberi penghiburan bgi siapapun yang menyaksikannya. Akan tetapi keindahan pada tortor sebenarnya tidak hanya dinilai dari sesuatu yang menimbulkan rasa senang saja. Tetapi bagaimana suku batak menghasilkan dan menempatkan tortor dalam kehidupan mereka.

217

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Keindahan pada tortor boleh juga dinilai dari berbagai pihak seperti pendapat

Khant dalam Dharsono (2007) ada dua macam nilai estetika iaitu:

a. Nilai estetis atau nilai murni. Oleh kerana nilainya murni, maka bila ada keindahan, dikatakan keindahan murni. Nilai estetis yang murni dalam seni rupa terdapat pada garis, bentuk dan warna, dalam seni tari terdapat pada gerak, tempo dan irama, dalam seni musik terdapat pada suara metrum, dan irama, dalam seni drama pada dialog, ruang dan gerak. b. Nilai ekstra estetis atau nilai tambahan. Nilai ekstra estetis atau (nilai luar estetis) yang merupakan nilai tambahan terdapat pada: bentuk-bentuk manusia, alam, binatang, gerak lambaian, sembahan dan lain-lain. Keindahan yang dapat dinikmati penggemar seni yang terdapat pada unsur-unsur tersebut, disebut keindahan luar estetis atau tambahan.

Penjelasan di atas menjadikan tortor sebagai sebuah penghayatan berdasarkan etika masyarakat Batak Toba. Nilai estetika berdasarkan etika yang digariskan berdasarkan norma-norma agama dan norma adat yang berlaku pada masyarakat, dan nilai estetika berdasarkan kebenaran (logik) yang tuangkan melalui gerak, musik, syair, pola dalam penciptaan tari. Tortor diekspresikan melalui penghayatan estetika. Musik dan gerakan-gerakan dalam tortor dilakukan dengan penghayatan secara estetika untuk tujuan yang diharapkan bahwa segala sesuatu yang diinginkan, akan dapat dikabulkan Penghayatan estetika tampak dari struktur penyajian yang harus memili ketertiban, kesopan, dan kesantun.

Ketertiban dalam penyajian tortor yang dilakukan pada upacara perkawinan, memberikan pemaknaan bahwa dalam susunan penyajian tortor dilakukan dengan memenuhi tata aturan masyarakat yang berlaku dalam hal ini sistem adat kekerabatan dalihan na tolu. Sistem ini mengatur pada kebenaran dalam melakukan tortor sesuai posisinya, serta berpijak pada aturan norma yang

218

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berlaku. Aturan norma ini dapat dilihat dari tahapan penyanjian dengan yang dimulai dari format permohinan kebaikan dari Tuhan yang dipercayai, dengan melakukan pola gerak somba mulamula sebagai awal tarian. Somba mulamula merupakan somba yang diberikan pada Tuhan sebagai bentuk ketakwaan sebagau manusia yang diciptakan untuk mematuhi segala peruntahnya. Hal ini dilakukan agar jalannya upacara perkawinan tidaak akan mendapat kendala/cobaan yang mungkin terjadi.

Tertib juga dapat dilihat dari proses rangkaian upacara yang berdasar pada dalihan natolu, dimana masing-masing posisi harus patuh melakukannya.

Pada tahapan ini, status sosial seseorang dimasyarakat tidak berlaku, ketika pelaksanaan adat dilakukan. Hal ini juga memberikan pemaknaan ketenteraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan harga menghargai secara timbal balik, bebas tapi terikat dalam bermasyarakat.

Sopan dalam kesenian ini, bermakna semua tingkah laku yang ada, berlandaskan pada norma yang berlaku dikehidupan mereka, yang kesemuanya terkandung dalam tortor dalam adat upacara perkawinan. Gerak yang tidak menyalahi peraturan dan norma adat, busana yang tidak menonjolkan bentuk tubuh dan juga memudahkan dalam bergerak, menjadi kesopanan yang perlu dijaga. Sopan dalam tortor juga terihat dari irama musik yang dijadikan iringan tarian, dipilih sesuai dengan tujuan upacara. Lagu-lagu yang dimainkan tertuang kata-kata yang penuh dengan nasihat yang menjelaskan tentang sikap manusia dalam melaksanakan kewajiban. Kewajiban tertuang pada sikap dalam hubungan antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Sehingga

219

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kesopanan dengan menjaga sikap diri sesuai aturan dari dari awal persembahan hingga akhir penyajian tortor.

Santun dalam tortor, memberikan pemaknaan, segala ucapan yang terkandung dalam umpasa ketika pemberian ulos dalam acara mangulosi diucapkan dengan kata-kata yang tidak menyakitkan atau menghina orang lain. Ungkapan perasaan yang muncul adalah kegembiraan yang mempunyai kesopanan melalui pernyataan-pernyataan yang menghargai, permohonan, yang menunjukkan keikhlasan dari masyarakat terhadap tamu maupun para penonton. Santun juga dilakukan dalam bersikap ketika para penari memulain tarian, dengan wajah penuh senyuman, melakaukan gerak somba mengkupkan kedua tangan, memberi pemaknaan penghormatan kepada seluruh keluarga dan tamu undangan.

Dari penyajian tortor, kita dapat belajar adat, norma, sopan santun dan memahami bagaimana kehidupan masyarakat Batak Toba. Akhirnya bila segala aktivitas penyajian ini dilakukan dengan penghayatan estetik yang baik, maka segala keinginan yang diharapkan tentunya dapat dikabulkan dan pelaksanaan upacara adat perkawinan dengan penyertaan tortor dapat disajikan dengan baik.

4.5.6 Integrasi Sosio budaya

Pemahaman tentang integrasi merupakan kesadaran dalam menyatukan pandangan, berdasarkan pada pemahaman sebagai sebuah sistem yang menjadi satu kesatuan utuh. Kesatuan ini untuk menyatukan pemahaman dalam satu kelompok masyarakat yang mereka miliki. Pemahaman yang disepakati bersama dapat dimulai dari kesamaan ajaran yang mereka yakini (agama), ataupun kebiasaan yang menjadi tradisi, dan membreikan sumbangan terhadap kesadaran

220

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kebudayaannya. Di mana sumbangan keyakinan maupun adat kebiasaan terhadap kebudayaan dilakukan berdasarkan kepentingan mereka, yaitu sesuatu yang mentransendensikan pengalaman (rujukan transcendental); sesuatu yang berada di luar dunia empiris (O'Dea, 1995).

Berdasarkan pandangan seperti itu maka kesedaran dalam meyakini sesuatu dalam realitas sosial ini difahami dengan konsep fungsional dari kerangka fungsionalisme struktural. Teori ini memandang bahawa masyarakat sebagai sistem sosial, terdiri daripada bagian-bagian yang satu dengan yang lain saling berkaitan dan saling menyatu dalam kesombongan. Perubahan dari salah satu bagian akan mempengaruhi keadaan sistem keseluruhan (Ritzer, 1980). Dalam hal ini agama termasuk ritual di dalamnya sebagai salah satu bentuk prilaku manusia yang telah terlembaga, adalah bagian daripada keseluruhan sistem sosial, dan berfungsi bagi masyarakat khususnya sebagai pengintegrasi. Sehingga sistem ini akan menghasilkan pola kehidupan masyarakatnya yang memiliki keserasian fungsi.

Tortor sebagai sebuah kesenian yang dimiliki suku Batak Toba dengan sistem adat yang menyatukan kesemua massyarakatnya, berfungsi sebagai integrasi masyarakat Batak Toba secara keseluruhan. Integrasi sangat penting dalam penyatuan kesamaan pemahaman, sehingga kebiasaan yang terjadi pada satu kelompok masyarakat, maka akan menjadi milik kelompok tersebut. Melalui tortor, integrasi dapat menjadi sumbangan dalam penyatuan masyarakat Batak

Toba dan suku Batak secara keseluruhan. Berkaitan dengan fungsi seni sebagai sumbangsih untuk integrasi masyakarakat, merriam menjelaskan seperti yang dijelaskan berikut ini:

221

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Music, the, provides a rallying point around which the members of society gather to engage in activities which require the cooperation and coordinationm of the group. Not all music in thus performed, of course, but every society has occasions signalled by music which draw its members together and reminds them of their unity (merriam: 1964).

Berdasarkan pendapat Meriam, salah satu fungsi musik adalah sebagai media berkumpulnya para anggota masyarakat. Bentuk-bentuk Musik yang dimainkan biasanya mengajak para warga masyarakatnya untuk turut serta melakukan aktifitas. Berhubungan dengan konteks itu, mereka saling memerlukan kerjasama dan koordinasi kumpulan. Walaupun demikian, Merriam juga tidak menyatakan bahawa semua musik berfungsi sebagi sumbangan untuk integrasi, tetapi setiap kelompok masyarakat mempunyai musik seperti yang digambarkannya itu. Melalui musik itu para anggota masyarakatnya diajak untuk menikmati bersama acara yang ditunjukkan, dan mengingkatkan akan pentingnya mereka sebagai satu kesatuan kelompok.

Penggambaran konsep yang dikemukakan Merriam, sangat tepat untuk menggambarkan salah satu fungsi yang ada dalam tortor. Dari sisi fungsi tortor, fungsi yang utama adalah memberi sumbangan kepada integrasi masyarakat.

Masyarakat Batak Toba, memiliki kesamaan dalam menjalankan adat budaya dengan berpedoman pada dalihan na tolu. Mereka menjalankannya dengan kepatuhan sesuai posisi dan peran dalam sistem tersebut. Sistem ini akan menghilangkan perbedaan, status sosial dan golongan. Mereka hidup berkelompok berdasarkan marga-marga yang didapat dari garis keturunan laki- laki. Namun di dalam proses kehidupan mereka, akan muncul permasalahan yang akan menjadi konflik sosial, dan akhirnya terbawa dalam aktivitas-aktivitas keseharian mereka, termasuk kesenian. Pada wakti yang bersamaan, di sisi lain,

222

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mereka juga menyadari, akan bahaya yang diakibatkan apabila konflik-konflik sosial tersebut tidak diselesaikan sehingga pada tahap harmoni sosial. Oleh kerana itu mereka perlu berintegrasi, yang dilandasi oleh semangat sosial, berbeda-beda dalam satu kesatuan.

Perlunya integrasi itu didukung pula oleh keadaan mereka yang berada dalam satu negara bangsa, wilayah, yang menginginkan adanya kerjasama sosial dalam berbagai kegiatan, dalam hal ini tentunya termasuk kesenian Batak (tortor).

Tortor menjadi penyatu bagi seluruh orang Batak, dengan turut manortor dalam mengungkapkan keinginamn. Tortor juga mampu memberikan sumbangan bagi terciptanya integrasi massyarakat Batak dengan sesama kelompok mereka sendiri, amupun dengan suku lainnya.

Tortor juga mampu memberikan, sumbangan yang besar terhadap integrasi sosial yang terkait erat dengan identitas suku, dan kelenturan masyarakat

Batak Toba. Selain itu juga didukung oleh faktor keadaan suku Batak yang terdiri dari sub suku Batak lainnya, serta suku di luar suku setempat di Sumatera Utara.

Sehingga tortor juga menjadi identitas dan ciri suku Batak. Apabila keadaan integrasi ini terjadi dalam lingkup yang lebih luas, maka akan terasa kebersamaan dan saling memerlukan antara manusia di dunia ini, sebagai makhluk sosial.

4.5.7 Fungsi Sebagai Hiburan

Tortor merupakan salah satu materi acara yang disajikan tidak hanya sebagai bagian upacara saja, tetapi tortor dapat dijadikan sebgai hiburan yang disajikan.

Dikatakan hiburan dikarenakan penyaji dan penontonnya dapat menikmati penyajian tari yang dilakukan, sehingga akan menimbulkan perasaan tertentu,

223

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

terutama perasaan hiburan. Dalam kajian ini, tortor digolongkan kedalam jenis tari upacara, walau sesungguhnya, pelaksanaan upacara dapat dilangsungkan walau tidak ada penyajian tortor. Sebagai salah satu cabang seni, Tortor diciptakan untuk merayakan suatu upacara yang bersifat keramaian dalam hajatan tertentu agar suasananya menjadi meriah. Sebagai hiburan, tortor dinikmati dengan kesenangan dan kenikmatan. Kesenangan terletak pada hubungan yang terdapat antara objek dengan manusianya. Sementara kenikmatan adalah ketika seseorang menikmati hasil karya dan mendapatkan kenikmatannya (Sumandiyo:

2006). Rasa nikmat didapati berdasarkan dari sentuhan rasa sehingga dia bersifat subjektif yang tidak dapat diterima akal, dan nikmat bersangkutan dengan keindahan seni itu yang dinikmati, namun rasa ini dapat memberikan manfaat dan nilai "kebaikan.

Tortor pada upacara perkawinan yang dilakukan oleh suku Batak Toba, pada hakikatnya juga merupakan suatu bentuk hiburan bagi keluarga pihak pengantin pria, serta para tamu dan undangan. Namun, oleh karena fungsi ini ditutupi oleh tujuan utama tortor yaitu sebagai materi untuk pelegalan dari keterlaksanaan upacara dan juga adat pada masyarakat Batak Toba, maka fungsi hiburan ini tidak terlalu terlihat. Hanya saja, pada kelompok-kelompok tertentu, melakukan tortor, ini merupakan hiburan bagi mereka yang akan ditinggal oleh salah satu anggota keluarganya, dan juga merupakan bentuk hiburan yang ditujukan kepada kedua pengantin, karena mereka akan meninggalkan keluarga masing-masing untuk membina keluarganya sendiri.

224

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Rasa senang yang ditangkap dari rasa bahagia terhadap yang dinikmati, membuat suku Batak Toba meletakkan tortor sebagai hiburan yang mempunyai nilai kebaikan dan keindahan. Sebagai kebaikan, tortor memberikan arti melalui pola gerak yang sarat akan makna, sehingga penyajian tortor yang mereka mainkan tidak hanya sekadar hiburan sahaja, peraturan dalam susunan penghormatan dan lain-lain. Adanya nilai kebaikan dan keindahan dalam tortor, membuat tortor menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Batak

Toba.

4.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi 4.6 1 Faktor Internal Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam penyajian tortor, juga disebabkan faktor internal oleh pelaku dan kondisi objeknya karena adanya penemuan-penemuan baru. Dalam hal ini perubahan yang terjadi pada penyajian tortor dalam acara adat perkawinan suku Batak Toba, dikarenakan pemilik budaya (suku Batak), menghendaki terjadinya perubahan dengan memasukkan unsur format baru dalam prosesi acara.

Berdasarkan observasi dan wawancara dengan informan, diketahui, legitimasi dalam kehidupan sosial masyarakat menjadi salah satu terjadinya perubahan pada penyajian tortor. Suku Batak memiliki konsep dalihan natolu yang mengatur sendi-sendi kehidupan mereka, sehingga status sosial di masyarakat yang sebelumnya tinggi, akhirnya tidak kelihatan, dikarenakan pada peristiwa adat, status sosial mereka tersebut tidak berlaku. Pangkat, jabatan yang tinggi, latar belakang pendidikan, tidak diakui ketika mereka dalam prosesi menjalankan adat.

Sebagai suku Batak yang menjungjung adat, tentunya tidak menginginkan

225

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kelompoknya menyalahi aturan dalam adat, dengan menolak posisi dalam dalihan natolu, karena status sosial tadi,

Selain faktor legitamasi, perubahan tortor juga dikarenakan kepedulian mereka dalam mempertahankan budaya, namun tidak memiliki pemahaman dan kemampuan yang cukup. Persoalan ini dapat terlihat dari keengganan generasi muda dalam mempelajari budayanya, dan mereka juga sudah mulai enggan untuk turut mengikuti peristiwa adat. Sehingga perlahan format baku dari aturan-aturan budaya (kesenian) mulai bergeser atau bahkan hilang dengan tergantikannya budaya dengan format baru.

Faktor agama juga menjadi salah satu faktor terjadinya perubahan dalam penyajian tortor. Beberapa keinginan yang ditangkap peneliti dari hasil wawancara informan, bahwa ajaran agama yang melarang kegiatan adat dengan segala rangkaiannya, karena tidak sesuai dengan tata aturan agama. Sehingga pemeluk dari keyakinan tersebut, tidak lagi mengadakan acara adat dengan segala atribut kedaerahan. Pelarangan ini juga menjadi salah satu terjadinya perubahan dalam penyajian tortor, dikarenakan peristiwa adat yang sudah jarang dilakukan, sehingga bentuk-bentuk kesenian yang ada sebagai materi acara juga tidak lagi dilakukan.

226

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.6.2 Faktor Eksternal:

Banyaknya permintaan menyertakan tarian dalam berbagai rangkaian acara, menjadi salah satu faktor keberlangsungan sebuah budaya. Penyajian tortor dalam rangkaian adat juga termasuk salah satu bentuk kesenian yang mengalami perubahan. Para seniman sebagai pelaku seni yang menghasilkan sebuah karya berdasarkan imajinasi yang diungkapkan melalui media tubuh dalam tari, adalah pelaku seni yang turut menyumbang perubahan pada sebuah budaya.

Pekerjaan seorang seniman yang menuntut untuk profesional di bidangnya, tentunya akan bersikap profesional pula dalam tanggungjawabnya.

Perubahan tortor adalah permintaan dari penyelenggara untuk memeriahkan acara-acara yang dikelolanya. Sementara seniman menyanggupi permintaan tersebut dengan mendapatkan imbalan dalam hasil kerjanya. Dalam penuangan ekspresi berdasarkan pesanan, biasanya faktor-faktor nilai, tata aturan, norma, yang ada dalam tarin etnik akan terabaikan. Hal ini dikarenakan hasil karya diciptakan sesuai dengan keinginan penyelenggara, sehingga terjadi perubahan dalam format sajian. Begitu juga dengan pemiliki sanggar yang mengorganisir kelompoknya pada pesanan yang bersifat hiburan, dan pemberian materi yang diajarkan di sanggar tidak menyertakan pemahaman pada latar belakang tarian.

Tortor sebagai sebuah karya dari hasil tangan-tangan trampil masa lalu, turut tergeser fungsinya, dengan adanya perubahan berdasarkan permintaan dari pemesan. Perubahan dalam tortor tampak jelas dari elemen-elemen yang membangun keutuhan tari, seperti pemakaian busana dengan berbagai kelengkapan asesoris yang beragam, pengolahan gerak yang lebih menonjolkan sisi estetis, nilai rasa penari yang tidak dapat menarikan dengan baik sesuai nilai-

227

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

nilai yang ada pada tortor. Namun banyaknya permintaan untuk mengisi acara adat perkawinan dengan penyajian tortor menyambut tamu, akan memberikan penghasilan yang bisa memenuhi kebutuhannya. Sehingga saat ini profesi sebagai penari, koreografer, pelatih tari, menjadi pilihan bagi pelaku seni yang ingin menjadikan seni sebagai mata pencaharian.

Keadaan ini didukung dengan dibukanya perguruan tinggi yang mengelola program-program seni, baik yang melahirkan profesi guru seni ataupun profesi kesenimanan, yang memungkinkan peluang lebih besar memberikan perubahan pada karya tari-tari etnik. Perubahah tortor juga salah satu hasil karya dari para pelaku tari yang memunculkan bentuk baru dengan segala persoalannya.

Terjadinya perubahan tidaklah selalu salah, perubahan dalam penyajian tortor akan memberikan warna baru dalam karya tari Batak Toba dalam berbagai aktifitas adat maupun hiburan. Hanya saja yang perlu diingatkan, dalam menciptakan karya tari baru berdasarkan etnik, hendaknya para pelaku seni untuk mendalami tari etnik yang akan menjadi olahan ke sebuah karya baru.

Pendalaman pada materi tari tradisi penting untuk dipelajari, karena materi tradisi menjadi sumber yang kaya untuk dieksplore kedalam sebuah karya baru.

Perubahah tortor dalam format baru menjadikan tarian Batak tetap hidup dan berlangsung secara terus menerus. Keberlangsungan ini berkat adanya beberapa dukungan yang diberikan seni tradisi Batak, seperti

1. Adanya dukungan pemerintah, dengan membuat even budaya yang

menyertakan totor sebagai materi acara dengan perubahannya,

2. Adanya dukungan komersil yang didapatkan pada saat terselenggaranya

acara-acara adat Batak Toba baik perorangan maupun instansi.

228

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3. Dukungan masyarakat yang turut mempromosikan tortor dalam

menyambut tamu dengan, menginformasikan pada suku Batak, untuk

melakukan hal yang sama dalam mengadakan upacara adat perkawinan

dengan menyajikan tortor dalam menyambut tamu dan prosesi mangulosi.

4. Informasi melalui internet yang memudahkan setiap orang untuk

mengakses kesenian yang ada di etnik lain, menjadi sumber bagi

kreatifitas seniman

Faktor-faktor di atas memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan tortor bagi suku Batak Toba, terutama dalam aktifitas adat, yang sekaligus memberikan peringatan kepada masyarakatnya untuk menjaga keberlangsungan budayanya. Keberlangsungan sebuah budaya tentunya ditentukan oleh masyrakatnya sendiri, dengan menempatkan dan menjaganya dalam berbagai aktifitas mereka.

229

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB V

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Tortor menjadi bagian yang selalu ada dalam setiap aktivitas adat masyarakat Batak Toba, baik di tempat asal mereka, maupun di luar daera asal.

Mereka menjalankan aktivitas adat ini sebagai wujud kepatuhan pada tata aturanbyang mereka yakini.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa kontiniutas penyajian tortor dilakkan pada setiap kegiatan maupun tujuan dari pelaksanaan yang mereka inginkan untuk mendapatkan keinginan dan harapan. Aktifitas adat ini dilakukan secara turun temurun, secara terus menerus, yang sekaligus menjadi penjagaan dalam pewarisan budaya yang mereka miliki. Aktifitas adat yang menyertakan tortor yaitu 1) dalam upacara adat, 2) dalam kegiatan hiburan, 3) dan sebagai seni pertunjukan.

Ketiga aktifitas ini, menjadikan tortor sebagai materi utama maupun pendukung dalam pelakaksanaannya. Tortor juga digunakan sebagai hiburan bagi mereka dan hiburan bagi kelompok muda, sebagai bentuk penghargaan dengan memberikan ruang bagi mereka untuk bersosialisai, dalam kegiatan gondang naposo. Dalam kegiatan pertunjukan. Tortor dipersiapkan dengan penciptaan berdasakan koreografer untuk tujuan-tujuan khusus, yang membutuhkan tata aturan khusus dan berbeda dengan aturan dalam adat.

230

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Perubahan sebagai topic ke dua dalam kajian ini, mberdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa tortor telah mengalami perubahan sesuai dengan tujuan pelaksanaannya. Pada upacara perkawinan, tortor dimunculkan pada awal, dan pada saat penyerahan ulos. Tata aturan yang ssebelumnya tidak menempatkan tortor di awal acara, kemudian diciptakan sebagai bentuk pengukuhan/legitimasi mereka tentang adat budaya Batak, dan kepemilikan mereka sebagai orang Batak.

Penyajian tortor ini kemudian dikenal dengan tortor penyambutan. Saat ini penyajian tortor dengan konsep penyambutan dilakukan dalam berbagai kegiatan, yang berfungsi sebagai penghormatan, kemeriahan suasana acara, kelaangsungan budaya, ekonomi, maupun hiburan. Fungsi tortor ini menjadikan tortor sebagai identitas budaya masyarakat Batak Toba.

Perubahan tortor dalam berbagai fungsi juga merubah bentuk penyajiannya yang dilihat dari sisi struktur penyajian, pola gerak, busana, penari, dan tempat penyajian. Perubahan ini membawa banyak manfaat, walau tidak menutup kemungkinan terdapat sisi negatifnya, namun tanpa disadari terjadinya perubahan membuat kelangsungan tortor teap terjaga, dan diwariskan melalui penyajian dalam upacara adat.

Perubahan tortor juga membawa dampak pada suku Batak Toba sendiri, terutama bagi generasi muda yang mulai memahami budanya melalui kegiatan adat, dan mereka sebagai peserta yang terlibat dalam konsep dalihan natolu

231

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

7.2. Saran

Sesuai dengan tujuan dan temuan penelitian tortor dalam upacara adat perkawinan, kontinuitas dan perubahan tortor, maka dapat disampaikan saran- saram sebagai berikut.

1. Penelitian ini terbuka untuk dikeritik para peneliti yang tertarik dengan

Tortor pada upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba atau

penelitian yang sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda.

Selain itu, juga terbuka untuk penelitian ini dilanjutkan, dikaji secara

mendalam dan mendapatkan pemahaman yang lebih kritis mengenai

fungsi dan perubahan tortor dalam upacara adat perkawinan.

2. Penelitian ini dapat dijadikan penambahan wawasan dan informasi

terhadap perkembangan budaya, sanggar seni, seniman, budayawan,

praktisi seni dalam melestarikan dan mempertahankan kebudayaan

tradisional pada masyarakat Batak Toba secara meluas.

3. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi perkembangan kajian

budaya. Kajian ini juga sebagai sumber rujukan dalam pengembangan

budaya kreativitas kesenian masyarakat Batak Toba khususnya,

masyarakat Indonesia pada umumnya.

4. Diharapkan pada generasi muda, khususnya muda-mudi Batak Toba

disarankan untuk terus melestarikan Tortor

5. Diharapkan masyarakat Batak Toba dapat mempertahankan budaya

dengan cara membuat tulisan-tulisan ilmiah, hal tersebut dapat juga

memberi informasi tentang kebudayaan masyarakat Batak secara

meluas.

232

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

6. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini terdapat keterbatasan-

keterbatasan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut,

mendalam, luas, dan komprehensif

233

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR PUSTAKA

Anya, Peterson. 2007. The Antropology of Dance. Terjemahan F.X. Widaryanto. Bandung : STSI Press.

Avena Matondang.2011. Tek-tek Ni Gondang Somba Mula Ni Tor-tor, visual etnograf musical Batak-Mandailing

Bogdan, R.C. & Biklen. 1982. S.K. Qualitative Research for Education: An Etrocdution To Teory and Methods. USA.: Allin and Bacon

Brandon . James. 1967. Theatre Southeas Asia. Harvard University Press

Brandon. R. James. 2003. Seni Pertunjukan Asia Tenggara; terj. Soedarsono. Yogyakarta

Bandem.I. Made. 1996. Etnologi Tari Bali. Kanisius. Yogyakarta.

Dillistone, F.W. 2002. The Power of Symbols. Yogyakarta: Kanisius.

DJ. Gultom Raja Marpodang. 1987. “Dalihan Na Tolu”. Medan Durkheim. Emile. 1964. The Elementary Form of the Religious Life. transl. By J. W. Swain. London: Allen & Unwin

Gilbert J. Garraghhan, A Guide To Historical Method, (New York, Fordham University Press, 1957).

Hadi. Y. Sumandiyo. 2005. Sosiologi Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta. Pustaka

Hadi. Y. Sumandiyo. 2012, Seni Pertunjukan dan Masyarakat Penonton. BP Isi Yogyakarta. Yogyakarta

Hadi. Y. Sumandiyo. 2012. Koreografi: Bentuk-Teknik-Isi, Yogyakarta: Multi Grafindo.

Hutajulu, Ritha Ony. 1991. “Turisme Etnik: Dampak Turisme Terhadap Upacara Tradisional Pada Masyarakat Batak Toba.” Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Hutajulu,Rithaony dan Irwansyah Harahap. 2005. Gondang Batak Toba. Bandung : PAST UPI

Hawkins, Alma. (1990). Mencipta Lewat Tari, Terj. Sumandiyo Hadi. ISI, Yogyakarta

234

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Heddy Shri Ahimsa. 2009. Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta. Kepel Press

Hoppu, Peter. 2014. “Folk Dancers Cross-Dressed: Performing Gender in the Early Nordic Folk Dance Movement”. Journal of Folklore Research. 51 (3): 311-335. USA: Indiana University Press. (diunduh pada Jumat, 13 Januari 2017)

Kayam, Umar, 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Koentjaraningrat, 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Antroplogi. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat, 2002. Pengantar Antroplogi, Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka

Kraus. Richard. 1969. History of the Dance in Art and Education. New Jersey; Prantice-Hall. Inc. Englewood Cliffs

Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia baru: 1.200-1.900: Dari Kolonialisme Sampai nasionalisme. Gramedia. Yogyakarta.

Langer, Susanne K. 1953. Problems Of Art. New York, Charles Sribner‟s Son‟s

Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology Of Music. United States Of America: University Press

Moleong,Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Murgianto, Sal, 1996. "Cakrawala Pertunjukan Budaya: Mengkaji Batas dan Arti Pertunjukan." dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia th. VII. Yogyakarta: MSPI dan Yayasan Benteng Budaya.

Murgiyanto, Sal. 1992. Koreografi. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Millees, Matthew B. & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI-Press

Murni Eva Rumapea dan Dini Afrianti Simanungkalit. 2015. “Dampak ModernisasiterhadapUpacara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba di Kota Medan”. Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya. 1(2) (2015): 167-174. Medan

235

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Nasir, 2005. Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia

Peterson, Anya, Royce, Terj F.X Widaryanto, 2007, “Antropologi Tari”, Sunan Ambu Press, STSI Bandung

Soedarsono, RM. 1970. Drama Tari Ramayana Gaya Yogyakarta. Laporan Seminar Sendratari Ramayana Nasional. Yogyakarta: Panitia Penyelenggara Seminar Sendratari Ramayana Nasional.

______. 1999 Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: MSPI (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia).

______. 2007. Etnokoreologi Nusantara. Surakarta: ISI Press (Institut Seni Indonesia) Surakarta.

______, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi: Jakarta. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Soedarsono. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Soekanto, Soerjono. 1993. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Revisi.. Jakarta: Rajawali Pers

Sumaryono, 2011, Antropologi Tari Dalam Perspektif Indonesia. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.

Susanto. S. Astrid. 1997. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Yogyakarta

Susetyo, Bagus. 2007. Pengkajian Seni Pertunjukan Indonesia. Semarang: Sendratasik FBS UNNES

Sinaga. Sannur. 1997. “Mangalahat Horbo Sebagai Seni Pertunjukan untuk Konsumsi Wisata di Huta Bolon Desa Simanindo Kecamatan Simanindo”, Skripsi Sarjana, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sinaga Sannur, 2014. “Tortor dalam Pesta Horja Pada Kehidupan Masyarakat Batak Toba Suatu Kajian Struktur dan Makna”. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukkan. Jakarta. Sinar Harapan

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Tindakan Komprehensif. Bandung: Alfabeta

236

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sutrisno, Mudji Verhaak, Christ. 1993. “Estetika Filsafat Keindahan”, Kanisius, Yogyakarta.

Utina, Usrek Tani dan Wahyu Lestari. 2006. “Efektivitas Pergelaran Tari bagi Mahasiswa Sendratasik Unnes”. Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Jurusan Sendratasik. 7 (1) :14-22. Semarang: Universitas Negeri Semarang. (diunduh pada Sabtu, 25 April 2015)

237

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GLOSARI/ISTILAH

Amangboru : Suami dari adik atau kakak perempuan ayah dalam keluarga Boru : Panggilan ayah kepada putrinya, terkhusus kepada yang belum menikah Bona Tulang : Kepada semua hulahula dari yang kita panggil Ompung Bona Niari : Tulang dari opung kita Bere : Keponakan Dongan Sabutuha : Saudara kandung Dongan Sahuta : Kekerabatan Akrab karena tinggal dalam satu daerah Elek Marboru : rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih Gorga : ukiran/seni lukis Batak Tob Hulahula : kelompok marga istri mulai dari istri kita, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga istri opung Hela : Menantu laki-laki Huta : Kampung Marboru nitulang : Pariban/perkawinan antara laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya. Maranak ni Namboru : Anak perempuan dengan anal laki-laki saudara perempuan bapak Boru ni Namboru : Anak perempuan dari saudara perempuan bapak Dang tarpaulak aek : tidak dapat dialirkan kembali ke hulu tu julu Banua Toru : Dunia Bawah Banua Ginjang : Dunia Atas Tuhor/Sinamot : Mas kawin(dalam bentuk uang) Martumpol : Acara pertunangan bagi orang Batak Toba, namun secara harafiah martumpol adalah acara kedua pengantin di hadapan pengurus jemaat gereja yang diikat dalam janji untuk melangsungkan perkawinan

238

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dialap jual : Tuan rumah adalah pihak laki-laki Raja Parhata : Pimpinan/Penatua adat dalam memimpin acara adat Paminta Gondang : Orang yang memiliki pengetahuan tentang gondang dalam pelaksanaan adat Umpassa : Nasihat/Kata Bijaksana Moncak : Pencak Silat/perdukunan Manortor : Orang yang menari Parmalim : Kepercayaan masyarakat Batak Toba dahulu Dalihan Natolu : Sistem Kekerabatan dalam Adat Masyarakat Batak Gondang : Alat music dalam adat Sortali : Busana ikat kepala yang dipakai perempuan Iboto : Saudara laki-laki dar iperempuan Lae : Ipar, suami saudari, juga saudara laki-laki isteri, juga sapaan orang yang marganya lain (ipar dalam marga Martarombo : Bertutur; membahas silsilah marga-marga Batak Marga : Marga, suku, klan. teman samarga, Mangarantau : Perginya seseorang dari tempat asal dimana ia ia Tumbuh besar ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman. Manjalang : Bersalaman didalam kegiatan adat Marbona pasogit : Satu kampung/satu wilayah Martonun : Melakukan kegiatan tenun ulos Namboru : Panggilan kita terhadap saudara perempuan ayah kita, panggilan terhadap perempuan yang merupakan keturunan semarga kita yang urutannya setingkat dengan ayah kita. Pasamot : Kain tenunan untuk orangtua pengantin aki-laki Dari orangtua pengantin perempuan Pamasu-masu : Pemberkatan Pargonsi : Pemain music

239

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Paraman : Sapaan perempuan kepada anak laki-laki dari Saudara. Parrajaon : Kelompok dari hulahula dan tulang kita Pariban : Sepupu/semua anak perempuan dari tulang kita Sukut : Tuan rumah, penyelenggara pesta. hasuhuton, Bertindak sebagai tuan rumah, pimpinan, pemimpin, penanggung jawab Sipitu gondang : 7 gendang alat msuik Batak Toba Tulang : Saudara laki-laki ibu, paman Tulang rorobot : Tulang/paman dari isteri Tulang tangkas : Tulang/paman dari adik orangtua mamak Tumba : Kesenian Batak Toba didalamnya terdiri bernanyi Sambil bertepuk tangan dan melompat sambil diiringi musik Ulos : Pakaian/Selendang yang berharga dalam adat Batak Toba

240

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA