PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

TESIS

Oleh:

HENDRA LION HUTASOIT 097005094 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

Universitas Sumatera Utara PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

HENDRA LION HUTASOIT 097005094 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

Universitas Sumatera Utara (LEMBAR PENGESAHAN)

JUDUL TESIS : PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

NAMA MAHASISWA : HENDRA LION HUTASOIT

N.I.M. : 097005094

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

MENYETUJUI : KOMISI PEMBIMBING

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H. Ketua

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H. Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum

Universitas Sumatera Utara Telah lulus diuji pada Tanggal 28 Juni 2011

PANITIA PEGUJI TESIS : Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

2. Syafuddin S. Hasibuan, S.H.,MH., DFM

3. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum

4. Dr. Marlina, SH., M.Hum

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Terorisme dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan dalam negeri, stabilitas negara , hilangnya nyawa manusia, pelanggaran terhadap hak-hak hidup manusia. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, terhadap pelaku tindak pidana terorisme harus diberantas untuk mewujudkan perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum terhadap masyarakat. Salah satu peran Polri untuk memberantas terorisme adalah membentuk Deasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai pasukan khusus untuk melakukan pemberantasan. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme? Kedua,bagaimanakah peran Polri dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme? Ketiga, apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan bagaimana solusi mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme? Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu yuridis normatif. Penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kesimpulan dalam penelitian ini, bahwa peran Polri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme melalui berbagai upaya dan langkah-langkah ditempuh, penerapan peraturan-peraturan hukum dan sanksi terhadap pelaku teror, serta menerapkan kebijakan penal dan non penal dengan melakukan pendekatan terhadap akar lahirnya persoalan terorisme dari sudut sosial serta melibatkan peran Detasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai bagian terdepan melakukan penindakan. Hambatan-hambatan ditemui bersifat eksternal, internal, dan yuridis. Diharapkan terhadap Polri dapat mengefektifkan peran Polisi Masyarakat (Polmas) secara terpadu, sebab Polmas penting sebagai deteksi dini terhadap perkembangan masyarakat setempat. Diharapkan metode atau cara harus dimiliki Densus 88 Anti Teror melakukan penangkapan pelaku tidak sampai dengan cara menembak mati teroris secara tidak manusiawi. Diharapkan pula cara yang digunakan adalah gas yang bisa ditembakkan ke arah pelaku sehingga membuat teroris pingsan menghirup gas tersebut, dengan demikian dapat meminimalisir pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Kata Kunci: Peran Polri, Detasemen Khusus 88 Anti Teror, Pemberantasan, dan Terorisme.

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

Terrorism can cause a threat to domestic security, Indonesian stabilization, deaths, and violation against human rights. As a constitutional state, Indonesia is responsible for protecting its people. Through law No.15/2003 on the Combating against Terrorism and law No.15/2002 on the Indonesian National Police Force, terrorists have to be combated in order to realize the protection, shelter, and legal force for the people. One of the Police’s roles in combating against terrorism is by forming Densus 88 (Special Anti-Terrorism Detachment 88) as a special force to carry out the task. The problems which aroused in this research were as follows: First, how was the role of the police force in combating against terrorism? Secondly, what obstacles were faced by the police force and how was the solution of overcoming the obstacles in combating against terrorism? The research used a judicial normative method. This kind of method was referred to the judicial values and norms stipulated in the legal provisions; namely, Law No. 15/2003 on the Combating against Terrorism and Law No. 2/2002 on the Indonesian National Police Force. The results of the research showed that the Police’s role in combating against terrorism was through various efforts and measures, application of legal provisions and sanctions to terrorists, and application of penal and non-penal policy by finding out the root of terrorism problems from the social context, and involving Densus 88 as the avant garde in the operation against terrorism. The obstacles were external, internal, and judicial. It is recommended that the Police Force should make the role of Polmas (Public Police) become effective and integrated because Polmas is able to directly detect the condition in the community. It is also recommended that Densus 88 should have the special method in capturing terrorists without killing them since it is inhuman. The Police can shoot terrorists by gas bullets so that they will fall unconscious, and thus the police can minimize the violation against Human Rights.

Keywords: Police’s Roles, Special Anti-Terrorism Detachment 88, Combating, Terrorism

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Syalooomm...... ,

Segala sembah sujud, puji syukur, dan terimaksih penulis ucapkan kepada

Allah Bapa dan Yesus Kristus atas segala cinta kasih, pertolongan, kemurahan, dan penyertaanNya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dalam bentuk Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis penuhi guna menyelesaikan studi di Magister Ilmu Hukum USU Medan untuk memperoleh gelar Magister Hukum. Tesis ini berjudul: “PERAN POLRI DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME”.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera

Utara Medan, yaitu :

1. Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DMT & H., MSC (CTM).,

Sp.A(K)., Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi

mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan.

Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan sekaligus sebagai Anggota

Komisi Pembimbing II, yang telah membimbing penulis dalam

menyelesaikan studi sampai dengan merampungnya tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum., Ketua Komisi

Pembimbing tesis penulis yang telah memberikan motivasi mulai sejak

awal perkuliahan sampai pada akhirnya meja hijau selalu memberikan

arahan, bimbingan yang sangat membantu penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

5. Syafuddin S. Hasibuan, S.H.,MH., DFM, Anggota Komisi Pembimbing II,

untuk bimbingan yang sangat membantu penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi

Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum USU Medan sekaligus sebagai

dosen penguji yang telah memberikan masukan dan pendapatnya yang

membangun dalam kesempurnaaan tesis ini

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum., selaku Penguji dalam tesis ini

dengan penuh perhatian memberikan bantuan yang sangat besar dengan

segala masukan dan arahan dalam menyelesaikan tesis ini dan

Universitas Sumatera Utara kesabarannya dalam membimbing penulis mulai dari titik awal penulisan

tesis sampai dengan selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya.

8. Buat kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Kalopas Hutasoit dan Ibunda

Arta Lina Simanjuntak, serta kedua mertua Toga Sitorus dan Herta

Simanjuntak atas kasih sayang, pengorbanan, doa yang tulus dan

dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program

Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan semoga kedua orang tua dan mertua

diberikan kesehatan dan umur yang panjang.

9. Kepada seorang wanita yang luar biasa dan yang teristimewa istri tercinta

Junita Sitorus SH.,M.H yang merupakan nafas kehidupanku. Terimakasih

sayang buat segalanya yang tak dapat diucapkan satu persatu atas seluruh

pengorbanan serta doa yang tulus kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan pendidikan Magister Hukum USU. Semoga apa yang

menjadi rencana dan cita-cita kita tercapai,Amin. Shmily.

10. Kepada Keluarga Besar Op. Desi dan Op. Abed/cindy atas segala doa dan

dukungan kepada penulis.

11. Kepada KADEN GEGANA BRIMOB POLDA SUMUT. Kompol

Adarma Sinaga Sik., M.Hum, yang telah memberikan bantuan kepada

penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

12. Kepada DANKI BRIMOB serta seluruh personil Brimob Kompi

Detasemen B Tanjung Balai, yang telah memberikan kesempatan dan

Universitas Sumatera Utara dukungan moril kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

menyelesaikan pendidikan Magister Hukum USU.

13. Kepada sahabat-sahabat, Claudya Eterina Purba, S.H, M.H., dan Melda

Simamora, S.H., Mkn serta seluruh rekan-rekan angkatan XIV Kelas

Hukum Ekonomi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

14. Kepada Bapak, Ibu Dosen, Staf dan Pegawai pada Program Studi Magister

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara, yang telam memberikan bantuan dalam proses perkuliahan sampai

dengan penulis menanamkan kuliahnya di Pasca Sarjana fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan- kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Semoga Tuhan Yesus Kristus memberikan berkat dan kasih karuniaNya kepada kita semua. Amin.

Medan, 28 Juni 2010 Penulis

Hendra lion Hutasoit

Universitas Sumatera Utara DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama Lengkap : Hendra Lion Hutasoit Tempat/Tanggal Lahir : Sidikalang / 25 Juni 1982 Agama : Kristen Protestan Status : Menikah Alamat : Jl. Sei Karang Nomor 1Kecamatan Sei Tualang Raso Tanjung Balai

II. Keluarga

Orangtua NamaAyah : Kaliopas Hutasoit Nama Ibu : Arta Lina Simanjuntak

Mertua Laki-laki : Toga Sitorus Perempuan : Herta Simanjuntak

Istri : Junita sitorus S.H., M.H.

III. Pendidikan

1. SD Inpres 033912 Hutagambir di kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi (1988 – 1994) 2. SLTP Swasta Santu Paulus di Sidikalang Kabupaten Dairi (1994 – 1997) 3. SMU Swasta Santo Thomas-III Medan (1997 – 2000) 4. DIK MA BA POLRI di SPN SAMPALI (2001) 5. S-1 Fakultas Hukum, Universitas Asahan di Kisaran (2004 -2008) 6. S-2 Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2009)

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...... vii DAFTAR ISI ...... viii BAB I : PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Perumusan Masalah ...... 16 C. Tujuan Penelitian ...... 16 D. Manfaat Penelitian ...... 16 E. Keaslian Penelitian ...... 17 F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ...... 18 1. Kerangka Teori...... 18 2. Landasan Konsepsional ...... 30 G. Metode Penelitian ...... 32 1. Jenis dan Sifat Penelitian ...... 32 2. Sumber Data ...... 34 3. Teknik Pengumpulan Data ...... 35 4. Analisis Data ...... 35 H. Jadwal Penelitian ...... 36

BAB II : TINJAUAN TENTANG POLRI DAN TINDAK PIDANA DAN TERORISME ...... 37 A. Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ...... 37 1. Tindak Pidana Secara Umum ...... 38 2. Subjek Tindak Pidana ...... 41

Universitas Sumatera Utara 3. Perumusan Tindak Pidana dan Subjek Dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 ...... 44 B. Pengertian dan Karakteristik Organisasi Terorisme ...... 50 1. Pengertian Terorisme ...... 50 2. Karakteristik Organisasi Terorisme ...... 55

BAB III : PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MELALUI PEMBENTUKAN DENSUS 88 ANTI TEROR ...... 58 i. Polri dan Penegakan Hukum ...... 58 1. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Polri ...... 58 2. Polri Sebagai Penegak Hukum ...... 68 ii. Perkembangan Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ...... 73 1. Perkembangan Peristiwa Terorisme ...... 73 a. Peristiwa Terorisme di Dunia...... 73 b. Peristiwa Terorisme di Indonesia ...... 78 2. Landasan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme... 84 3. Kebijakan Penanggulangan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ...... 89 a. Kebijakan Penal ...... 90 b. Kebijakan Non Penal...... 100 iii. Pembentukan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri ...... 103 1. Sejarah Pembentukan Densus 88 Anti Teror Polri ...... 104 2. Struktur Organisasi, Kemampuan Personil, Peralatan, dan Pembiayaan Densus 88 Anti Teror Polri ...... 108 3. Arti Lambang Densus 88 Anti Teror Polri ...... 113 4. Peran Densus 88 Anti Teror Dalam Memberantas Terorisme . 114

Universitas Sumatera Utara BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI POLRI DAN SOLUSI MENGATASI HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA TERORISME ...... 121 A. Hambatan-Hambatan Dalam Memberantas Tindak Pidana Terorisme ...... 121 1. Hambatan Internal ...... 121 2. Hambatan Eksternal ...... 123 3. Hambatan Yuridis ...... 125 B. Solusi Terhadap Hambatan-Hambatan ...... 131 1. Solusi Internal ...... 132 2. Solusi Eksternal ...... 134 3. Solusi Yuridis ...... 140

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ...... 146 A. Kesimpulan ...... 146 B. Saran ...... 148

DAFTAR PUSTAKA ...... 150

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Terorisme dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan dalam negeri, stabilitas negara Indonesia, hilangnya nyawa manusia, pelanggaran terhadap hak-hak hidup manusia. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, terhadap pelaku tindak pidana terorisme harus diberantas untuk mewujudkan perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum terhadap masyarakat. Salah satu peran Polri untuk memberantas terorisme adalah membentuk Deasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai pasukan khusus untuk melakukan pemberantasan. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme? Kedua,bagaimanakah peran Polri dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme? Ketiga, apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan bagaimana solusi mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme? Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu yuridis normatif. Penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kesimpulan dalam penelitian ini, bahwa peran Polri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme melalui berbagai upaya dan langkah-langkah ditempuh, penerapan peraturan-peraturan hukum dan sanksi terhadap pelaku teror, serta menerapkan kebijakan penal dan non penal dengan melakukan pendekatan terhadap akar lahirnya persoalan terorisme dari sudut sosial serta melibatkan peran Detasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai bagian terdepan melakukan penindakan. Hambatan-hambatan ditemui bersifat eksternal, internal, dan yuridis. Diharapkan terhadap Polri dapat mengefektifkan peran Polisi Masyarakat (Polmas) secara terpadu, sebab Polmas penting sebagai deteksi dini terhadap perkembangan masyarakat setempat. Diharapkan metode atau cara harus dimiliki Densus 88 Anti Teror melakukan penangkapan pelaku tidak sampai dengan cara menembak mati teroris secara tidak manusiawi. Diharapkan pula cara yang digunakan adalah gas yang bisa ditembakkan ke arah pelaku sehingga membuat teroris pingsan menghirup gas tersebut, dengan demikian dapat meminimalisir pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Kata Kunci: Peran Polri, Detasemen Khusus 88 Anti Teror, Pemberantasan, dan Terorisme.

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

Terrorism can cause a threat to domestic security, Indonesian stabilization, deaths, and violation against human rights. As a constitutional state, Indonesia is responsible for protecting its people. Through law No.15/2003 on the Combating against Terrorism and law No.15/2002 on the Indonesian National Police Force, terrorists have to be combated in order to realize the protection, shelter, and legal force for the people. One of the Police’s roles in combating against terrorism is by forming Densus 88 (Special Anti-Terrorism Detachment 88) as a special force to carry out the task. The problems which aroused in this research were as follows: First, how was the role of the police force in combating against terrorism? Secondly, what obstacles were faced by the police force and how was the solution of overcoming the obstacles in combating against terrorism? The research used a judicial normative method. This kind of method was referred to the judicial values and norms stipulated in the legal provisions; namely, Law No. 15/2003 on the Combating against Terrorism and Law No. 2/2002 on the Indonesian National Police Force. The results of the research showed that the Police’s role in combating against terrorism was through various efforts and measures, application of legal provisions and sanctions to terrorists, and application of penal and non-penal policy by finding out the root of terrorism problems from the social context, and involving Densus 88 as the avant garde in the operation against terrorism. The obstacles were external, internal, and judicial. It is recommended that the Police Force should make the role of Polmas (Public Police) become effective and integrated because Polmas is able to directly detect the condition in the community. It is also recommended that Densus 88 should have the special method in capturing terrorists without killing them since it is inhuman. The Police can shoot terrorists by gas bullets so that they will fall unconscious, and thus the police can minimize the violation against Human Rights.

Keywords: Police’s Roles, Special Anti-Terrorism Detachment 88, Combating, Terrorism

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejalan dengan amanat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945,

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas serta tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta turut secara aktif memelihara perdamaian dunia. Oleh sebab itu, pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri. Hal tersebut merupakan tujuan pembangunan nasional.

Mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan atas segala tindak pidana yang mengancam NKRI. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Peran serta Indonesia dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Indonesia mendukung upaya

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Komite Ad Hoc/Komite VI yang dibentuk berdasarkan resolusi 51/210 tentang dua konvensi pemberantasan kejahatan

Universitas Sumatera Utara terorisme.1 Dua konvensi tersebut adalah International Convention for The

Suppression of Terrorist Bombings tahun 1997 (Konvensi Internasional

Pemberantasan Pengeboman Oleh Teroris, 1997) diratifikasi tanggal 5 April 2006 dan

International Convention for The Suppression Financing of Terrorism tahun 1999

(Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) diratifikasi tanggal 5 April 2006.

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama.2 Oleh sebab itu, perang melawan terorisme menjadi komitmen semua negara dan semua agama di dunia. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung. Pemerintah Indonesia telah membangun pusat pelatihan Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation pada tanggal 3 Juli 2004 dapat difungsikan sebagai wadah kerja sama dan saling tukar pengalaman dalam rangka meningkatkan kemampuan negara-negara memberantas kejahatan lintas negara, termasuk terorisme.

Tantangan dan ancaman bagi NKRI biasanya oleh kelompok ekstrim dan radikal. Tindakan ektrim dan radikal dari sekelompok orang inilah yang menurut Ali

1 http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=6080, diakses tanggal 25 Desember 2010. 2 Moch. Faisal Salam., Motivasi Tindakan Terorisme, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 5.

Universitas Sumatera Utara Masyhar dinamakan dengan istilah teror atau terorisme.3 Munculnya kelompok- kelompok radikalisme dan ekstrimisme disebabkan oleh paham yang dianut bahwa

“negara yang tidak adil dan menyebabkan kekecewaan terhadap penguasa (negara)”.4

Hal tersebut senada pula disebutkan oleh Poltak Partogi Nainggolan, bahwa “praktik- praktik kapitalisme ekonomi semakin rentan memunculkan aksi-aksi terorisme sebab diperlukan toleransi dan kompromistik yang dinilai justru sangat merugikan kelompok radikalisme dan ekstrimisme”.5

Terorisme, bukan saja mengancam negara-negara maju bahkan juga terjadi di negera-negara yang sedang berkembang misalnya di Indonesia. Terorisme di NKRI, berkali-kali telah telah terjadi. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan oleh Nasir

Abas dalam bukunya berjudul “Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M.

Top”, yaitu “terorisme ternyata belum mati di Indonesia”.6

Pemikiran yang menyatakan bahwa terorisme belum mati di Indonesia karena telah terjadi beberapa peristiwa teror misalnya: peristiwa Bom di Mesjid Istiqlal pada tanggal 19 April 1999, Bom Malam Natal pada tanggal 24 Desember 2000, Bom di

Bursa Efek Jakarta pada bulan September 2000, penyanderaan dan pendudukan

Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2000, peristiwa Bom

Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta,

3 Ali Masyhar., Baya Indonesia Menghadang Terorisme, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 2. 4 Republika., Tanggal 15 Oktober 2002, hal. 5. 5 Poltak Partogi Nainggolan., Terorisme dan Tata Dunia Baru, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2002), hal. 15. 6 Nasir Abas., Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2009), hal. 13.

Universitas Sumatera Utara Bali, peledakan bom di JW Marriot pada tahun 2003, bom di depan Kantor Kedutaan

Besar Australia pada tahun 2004, bom Bali II pada tahun 2005, dan sekelompok pelatihan teroris di Nangro Aceh Darussalam. Hingga kemudian Detasemen Khusus

(Densus) 88 Antiteror Polri menembak mati Noordin M. Top di Temanggung tanggal

8 Agusutus 2009.7 NKRI kembali diancam dengan aksi peledakan bom yang mengguncang dua hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada tanggal 17 Juli 2009 di

Kawasan Bisnis Kuningan Jakarta.8 Hingga pada akhirnya pada tahun 2010 terjadi peristiwa perampokan terhadap Bank CIMB Niaga di Sumatera Utara pada tanggal 18

Agustus 2010 dimana bahwa pelaku perampokan bank tersebut terkait dengan jaringan organisasi terorisme dalam hal pendanaan operasional terorisme.9

Berdasarkan rangkaian peristiwa pemboman dan aksi-aksi teroris yang terjadi di wilayah NKRI telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban.

Maksudnya korban dari peledakan bom tidak memandang suku, agama, ras kewarganegaraan, semuanya menjadi sasaran sebab umumnya teroris meledakkan bom tersebut di tempat-tempat keramaian bahkan bom juga diledakkan di dalam dalam Mesjid ketika melaksanakan ibadah sholat jum’at di lingkungan Markas

Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat tanggal 15 April 2011.10

7 Noordin M. Top dikenal sebagai tokoh utama dalam terorisme berhasil ditembak mati pada tanggal 8 Agustus 2009 oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri. 8 Nasir Abas., Loc. cit. 9 http://www.antaranews.com/berita/1284997005/kapolri-perampokan-bank-cimb-niaga- terkait-terorisme, diakses tanggal 23 Desember 2010. Lihat juga, Antara News., Tanggal 20 September 2010, hal. 1. 10 http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/04/15/126356/Bom-Bunuh-Diri-di-Masjid- Polresta-Cirebon-Puluhan-Terluka, diakses tanggal 20 Juni 2011.

Universitas Sumatera Utara Hal ini tentu dapat menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Ketakutan itu bukan saja terjadi pada masyarakat umumnya bahkan terhadap kaum muslimin juga menjadi ancaman.

Oleh karena itu, terorisme terkait dengan jaringan internasional, tindakan terorisme ini sebagaimana disebutkan Ali Masyhar merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.11

Hilangnya nyawa manusia karena tindakan sekelompok orang yang tergabung dalam aksi terorisme, dan apapun alasannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.12 Sebab hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights).13 Dengan pengertian lain bahwa hak untuk hidup mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Jadi, hak hidup merupakan hak paling utama dimana setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk menghilangkan hak hidup yang lain melalui tindakan terorisme. Akan tetapi ditentukan sanksi pidana mati (menghilangkan nyawa) pelaku terorisme yang terpidana menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

11 Ali Masyhar., Op. cit., hal. 3. 12 Nasir Abas., Op. cit., hal. 10. 13 I. Sriyanto., dan Desiree Zuraida., Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri, (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001), hal. 1

Universitas Sumatera Utara Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT) bahwa sanksi pidana mati dalam tindak pidana terorisme dibuat karena tindakan terorisme jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan secara luas, martabat, dan norma agama. Terorisme juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia.14

Tindakan terorisme erat kaitannya dengan pelanggaran atas hak-hak hidup manusia. Negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warga negaranya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai melalui

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme (selanjutnya disebut UUPTPT).

UUPTPT merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi sebuah Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

(UUPTPT). Pada bagian konsideran dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

(UUPTPT) disebutkan bahwa:15

Untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, dan aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan terorisme, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti

14 Abdul Wahid., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal. 2. 15 Penegasannya terdapat pada bagian konsideran (menimbang) huruf d Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

Universitas Sumatera Utara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang.

Pasal 1 Angka 1 UUPTPT mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah “segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang ini”. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa ruang lingkup tindak pidana terorisme menurut UUPTPT sangat luas tidak mencakup pada satu aspek saja melainkan banyak hal yang diatur dalam UUPTPT tersebut. Misalnya setiap perbuatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 UUPTPT yaitu:

1. Terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia; 2. Terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri termasuk tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia; 3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; 4. Untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; 5. Di atas kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau 6. Oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia.

Terorisme sebagai suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain.16

Terorisme menurut Muladi adalah penggunaan kekausaan secara tidak sah oleh indiviu-individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, untuk

16 A.C. Manullang., Menguak Tabu Intelijen, Motif dan Rezim, (Jakarta: Panta Rhei, 2001), hal. 151.

Universitas Sumatera Utara kepentingan dalam melawan kekuasaan yang ada.17 Tindakan terorisme adalah sebagai suatu cara penyimpangan politik menggunakan kekerasan dalam merebut kekuasaan.

Terorisme menurut Pasal 6 UUPTPT didefinisikan bahwa tindak pidana terorisme adalah:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Objek-objek vital yang strategis dapat berupa infrastruktur berbasis teknologi informasi, dimana berkemungkinan sangat besar peluangnya untuk diserang kelompok teroris melalui teknologi informasi pula. Sehingga kerusakannya lebih cenderung kepada perangkat lunak (software) dan aplikasinya, namun memiliki dampak politis, ekonomis, keamanan, pertahanan dan ketertiban, serta dampak sosial dan psikologis lainnya.18

Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana yang unik, karena motif dan faktor penyebab dilakukannya tindak pidana terorisme tersebut sangat berbeda dengan motif-motif dari tindak pidana lain. Salahuddin Wahid, menyatakan bahwa terorisme dilakukan dengan berbagai motivasi yaitu karena alasan agama, alasan

17 Muladi., Demokrasi HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hal. 172. 18 Moch. Faisal Salam., Op. cit., hal. 113.

Universitas Sumatera Utara ideologi, alasan untuk memperjuangkan kemerdekaan, alasan untuk membebaskan diri dari ketidakadilan, dan karena alasan kepentingan.19

Pemicu terorisme antara lain adalah pertentangan agama, ideologi, dan etnis, serta semakin melebarnya jurang pemisah antara kaya dan miskin. Selain itu, tersumbatnya komunikasi antara rakyat dengan pemerintah, jumlah penduduk yang tumbuh dan berkembang tajam, semakin meningkatnya jumlah pengangguran, generasi muda semakin banyak frustasi, munculnya orang-orang kesepian, munculnya ideologi fanatisme baru, dan paham paratisme merupakan pemicu munculnya tindakan terorisme.20

Alasan-alasan di atas, berbeda dengan yang disebutkan Moch Faisal Salam, bahwa pemikiran yang bercorak kosmik dalam agama menjadi salah satu penyebab lahirnya pemikiran teror.21 Pemikiran kosmik adalah kecenderungan berfikir dalam memahami suatu masalah spesifik dari sudut pandang yang umum, yang melampaui kehidupan spesifik individu tempat masalah tersebut terjadi dan untuk melandaskan pemahaman pada peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat metafisik.22

Dalam kajian Islam kontemporer, salah satu pemikiran kosmik tersebut, diuraikan oleh Jeurgenmeyer adalah pandangan Sayyid Qutb, seorang ideolog

Ikhwanul Muslimin yang dihukum mati pada tahun 1966 karena ajarannya yang

19 Salahuddin Wahid., dalam Abduh Zulfidar Akaha., Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), hal. 46. 20 A.C. Manullang., Loc. cit., hal. 151. 21 Moch. Faisal Salam., Op. cit., hal. 6. 22 Azis., Avyanti., dan Harijanto., ”Sebuah Dialog Untuk Mengakhiri Mata Rantai Kekerasan: Cara Pandang Baru Tentang Terorisme”, Global Jurnal Politik Internasional, Vol. 5 No. 2, Mei 2003, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara memicu teror. Menurut Qutb adalah “perang bukanlah larangan dalam Islam dalam rangka memerangi semua orang musyrik”.23 Pandangan Qutb ini menjadi semacam legitimasi bagi segelintir kaum Muslimin melakukan tindakan kekerasan, dimana bahwa Qutb juga mencela kaum yang mengaitkan jihad (berjuang atau berperang di jalan Allah) dengan tindakan defensif yaitu melawan apabila diserang.

Pemikiran Qutb di atas, jika dikaitkan dengan perkembangan terorisme saat ini dapat terjawab bahwa sebelum teror terjadi, pelakunya tidak mendapat penyerangan, tidak ada penghinaan, tidak disakiti dan lain-lain, akan tetapi pelaku teror itu sendiri yang memulai dan menjadikan suasana menjadi kacau oleh aksi terorismenya. Pemikiran tersebut, membuat segelintir penganut Islam konservatif menaruh kebencian terhadap dunia barat khususnya Amerika Serikat. Inilah menurut

Moch. Faisal Salam merupakan suatu kedangkalan pengetahuan tentang jihad dalam

Islam.24

Contoh yang dapat diberikan adalah seperti Asmar Latin Sani (peledakan bom di J.W. Marriot) lulusan Pesantren Nguruki telah memiliki semangat jihad sebelum bertemu dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari, demikian juga Heru Gulun

(peledakan bom Kuningan) yang pernah mengikuti pelatihan Negara Islam Indonesia

(NII) di Banten jauh sebelum berkenalan dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari.

Setelah berjumpa dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari, mereka menganggab

23 Jeurgenmeyer., dalam Moch. Faisal Salam., Loc. cit., hal. 6. 24 Ibid.

Universitas Sumatera Utara bahwa cita-citanya untuk jihad akan tercapai. Hal ini disebabkan karena kedangkalan pemahaman mereka tentang arti jihad yang sebenarnya dalam Islam.25

Terorisme telah mengalami perkembangan modus operandinya dimana para pelaku teror, telah mahir memanfaatkan Teknologi Informasi (TI). Dalam perkembangannya pelaku terorisme bahkan telah memanfaatkan teknologi melalui media internet sebagai sarana untuk menjalin komunikasi antar sesama teroris yakni situs www.anshar.net yang dibuat oleh Agung Setyadi, dosen salah satu perguruan tinggi di Semarang, dan M. Agung Prabowo Max Fiderman alias Kalingga alias

Maxhaser, mahasiswa salah satu universitas di kota Semarang, dipakai untuk menyampaikan informasi terorisme atas pesanan Noordin M. Top sebagai media informasi perjuangannya.26

Dampak kejahatan terorisme ini sangat besar, dimana teroris dapat memanfaatkan dan menggunakan perkembangan teknologi mutakhir yang sangat maju di bidang alat peralatan, komunikasi, transportasi, bahan peledak dan senjata dalam kegiatan operasinya maka dampak aksi terorisme berskala sangat besar, luas dan kompleks dalam bentuk kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan, baik yang berbentuk fisik maupun non fisik. Dampak yang ditimbulkan tindakan terorisme adalah:27

1. Bidang politik, hukum, pemerintahan, antara lain: a. Gangguan terhadap kehidupan demokrasi;

25 Nasir Abas., Op. cit., hal. 108. 26 Pengadilan Negeri Semarang dengan Perkara: 84/PID/B/2007 PN SMG.. 27 http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=12&mnorutisi=10, diakses tanggal 26 Desember 2010.

Universitas Sumatera Utara b. Hukum dan tata tertib terganggu; c. Roda Pemerintahan tidak berjalan lancar; d. Pada tahap tertentu isu terjadi vaccum of power; e. Suatu pemerintahan yang lemah bisa jatuh. 2. Bidang ekonomi, antara lain: a. Gangguan terhadap mekanisme ekonomi: kegiatan produksi, distribusi barang dan jasa, harga saham jatuh; b. Investasi/penanaman modal menurun drastis; c. Kehancuran sarana prasarana ekonomi; d. Timbul pengangguran dalam jumlah besar. 3. Bidang psikologi, antara lain: a. Timbul rasa takut dalam masyarakat; b. Akibat trauma, masyarakat bersikap apatis dan bereaksi tidak wajar. 4. Bidang sosial, antara lain: a. Hubungan dalam masyarakat terganggu; b. Bisa menimbulkan perpecahan dalam masyarakat; c. Bisa menyebabkan terjadinya perubahan nilai dan pergeseran norma dalam masyarakat. 5. Bidang keamanan, diantaranya: a. Kemanan dan ketertiban masyarakat terganggu; b. Ruang gerak anggota masyarakat terganggu. 6. Bidang hubungan internasional, yaitu hubungan antar negara bisa terganggu.

Dampak terorisme mencakup berbagai aspek kehidupan. Oleh sebab itu, pemberantasan terorisme telah menjadi prioritas utama pemerintah dalam kebijakan politik dan keamanan secara global dan terorisme digolongkan kepada kejahatan luar buasa (extra ordinary crime) dan penangangannya pun harus dilakukan secara luar biasa pula. Oleh sebab, Pemerintah Indonesia bertekad melakukan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah kebijakan dalam pemberantasan yang serius dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Perpu Nomor 2 Tahun

2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002. Landasan hukum tersebut di atas diikuti dengan penetapan Skep Menko Polkam Nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Hampir semua negara

Universitas Sumatera Utara telah menaruh perhatian dan telah memberikan dukungan kongkrit dalam upaya pengungkapan para pelaku teror dan mengajukan para pelaku teror ke sidang pengadilan serta mengungkap jaringannya.

Perubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2002 menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diperlukan karena tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime) dan dibutuhkan pula penanganan yang luar biasa (extraordinary measures).28 DalamUUPTPT selain mengatur aspek materil juga diatur mengenai aspek formil. Sehingga, UUPTPT merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh karenanya, negara Indonesia harus memberantas tindak pidana terorisme ini melalui

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak

Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Kepolisian Republik Indonesia merupakan ujung tombak dalam memberantas pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia, menangkap pelaku, mencegah, melakukan penyelidikan dan penyidikan, bahkan menembak mati para pelaku teror, membentuk Tim Khusus yaitu Densus 88 Antiteror yang berada pada garis terdepan

28 T. Nasrullah., ”Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Makalah Disampaikan Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, diselenggarakan: Indonesia Police Watch bekerjasama dengan Polda Metropolitan Jakarta Raya, Selasa, 29 Maret 2007, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara memberantas terorisme tersebut. Dapat dipastikan, peranan Polri untuk pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut tidak terlepas dari tiga fungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dimana bahwa Polri harus melindungi masyarakat dari tindakn-tindakan yang mengancam jiwa warga negara Indonesia. Hal ini Polri melalui Densus 88 Antiteror harus berpedoman kepada undang-undang yang mendasari yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonsia (selanjutnya disebut UU Kepolisian).

Memberantas pelaku terorisme di Indonesia, Polri mendapat pujian dari masyarakat dunia internasional dan bukan merupakan suatu rekayasa akan tetapi sesuai dengan bukti forensik hasil pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang cermat dan penyidikan kriminal secara ilmiah (scientific crime investigation). Bahkan

Polisi-Polisi asing datang ke Indonesia setidaknya menjadi saksi bahwa Polri bekerja secara profesional dengan standar internasional.29

Tugas dan wewenang Polri sebagaimana ketentuan Pasal 13 UU Kepolisian, ditentukan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. Menegakkan hukum; dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Tindak pidana terorisme mengancam stabilitas keamanan masyarakat dan bahkan menjadi tolok ukur bagi negara-negara di dunia untuk menjalin hubungan

29 Wawan H. Purwanto., Kontroversi Seputar Hukuman Mati Amrozi Cs, (Jakarta: Cipta Mandiri Bangsa Press, 2008), hal. 39.

Universitas Sumatera Utara internasional dengan negara Indonesia apabila tindakan-tindakan teroris tersebut tidak segera dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Hal tersebut sangat erat kaitannya jika dikaitkan dengan fungsi Kepolisian Negara Indonesia dalam Pasal 2 UU Kepolisian disebutkan bahwa “fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Berdasarkan Pasal 2

UU Kepolisian tersebut, jelas bahwa tindakan terorisme mengancam NKRI dan Polri memiliki tugas dan fungsi serta wewenang memberantas dan menanggulangi terorisme berada pada garda terdepan.

Tindak pidana terorisme umumnya memiliki jaringan terorganisir dan dilengkapi dengan persenjataan layaknya alat persenjataan yang dimiliki oleh TNI dan Polri. Apabila tindakan teroris seperti ini dihubungkan dengan peranan Polri merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Karena selain Tentara Nasional

Indonesia (TNI), Polri juga diberikan hak dan wewenang oleh Negara atas persenjataan lengkap untuk menjaga stabilitas keamanan di dalam negara Indonesia termasuk ancaman dari aksi-aksi teroris yang mengancam keselamatan jiwa warga negara Indonesia.30 oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian tentang

”Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, sebagai judul dalam penelitian ini.

30 Awaloedin Djamin., Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, (Jakarta: PTIK Press, 2006), hal. 493.

Universitas Sumatera Utara B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok permasalahan, yaitu:

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang

Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme?

2. Bagaimanakah peran Polri dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak

pidana terorisme?

3. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan bagaimana solusi

mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan pemberantasan tindak

pidana terorisme?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mendalami peranan Polri dalam melakukan

pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan

bagaimana solusi mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan

pemberantasan tindak pidana terorisme.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:

Universitas Sumatera Utara 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir

dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya

pemahaman tentang sejauhmana peranan Polri dalam penanggulangan dan

pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Selain itu, penelitian ini

dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti selanjutannya

serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga

sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak

pidana terorisme di Indonesia;

2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum

khususnya aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri), agar dapat lebih

mengetahui dan memahami tentang peranan lembaga Kepolisian sebagai

institusi yang diharapkan berada pada garda terdepan dalam penanggulangan

dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Peranan Polri tersebut meliputi

pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam praktik di lapangan.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan

Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum USU. Hasil penelusuran ditemukan judul tesis: “Kedudukan

Pembuktian Kode Wibe Site Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Oleh:

Symon Morrys, NIM: 077005122, dengan topik pembahasannya adalah: Pertama,

Universitas Sumatera Utara kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum acara pidana di

Indonesia, Kedua, kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme, Ketiga, kendala-kendala dalam pembuktian kode wibe site dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme.

Judul penelitian di atas jika dibandingkan dengan judul dalam penelitian ini, jauh berbeda baik dari judul maupun dari permasalahan yang dibahas, dimana fokus pembahasan dalam penelitian ini dititikberatkan pada: “Peranan Polri Dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme”. Oleh karena itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dapat dikatakan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Pemberantasan tindak pidana terorisme melalui optimalisasi peranan Polri merupakan suatu kebijakan.31 Oleh sebab itu, teori-teori mengenai kebijakan hukum pidana sangatlah relevan untuk dijadikan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.

Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana terorisme di Indonesia termasuk tindak pidana khusus, dimana bahwa pengaturannya berbeda dengan tindak pidana pada umumnya, terdapat hal-hal yang dikecualikan misalnya pidana mati bagi pelaku,

31 Ali Masyhar., Baya Indonesia Menghadang Terorisme, Op. cit., hal. 26.

Universitas Sumatera Utara pembuktian alat-alat bukti, bahkan Polri membentuk tim khusus pemberantasan tindak pidana terorisme yaitu Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.

Pemerintah Indonesia bertekad melakukan perang melawan terorisme dan mengambil kebijakan dalam pemberantasan dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1

Tahun 2002, Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002. Landasan hukum tersebut di atas diikuti dengan penetapan Skep Menko Polkam Nomor Kep-

26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Koordinasi Pemberantasan

Terorisme. Kemudian Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002 telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme (UUPTPT).

Pembentukan Densus 88 dan tekad pemerintah mengundangkan Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut merupakan langkah-langkah atau kebijakan penanggulangan kejahatan terorisme. Menurut Amara Raksasataya, kebijakan

(policy) adalah sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Taktik atau strategi menurut Andi Hamzah diartikan sebagai suatu metode, rencana untuk mencapai tujuan tertentu.32 Penanggulangan kejahatan terorisme, diperlukan taktik atau strategi dan kebijakan tertentu untuk dapat memberantas

32 Andi Hamzah., Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 550.

Universitas Sumatera Utara terorisme, setidaknya dapat mengurangi dan menghambat perkembangannya. Suatu kebijakan (policy) memuat tiga elemen penting yaitu:33

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai; 2. Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; dan 3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

Kejahatan merupakan perilaku menyimpang yang akan senantiasa ada dan melekat pada setiap individu dalam masyarakat .34 kejahatan senantiasa membayangi kehidupan manusia karena kejahatan tersebut merupakan masalah sosial dan akan tetap menjadi urusan manusia sepanjang masa. Sebagai masalah sosial, kejahatan merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang dinamis yang selalu tumbuh dan terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks.

Oleh sebab itu, kejahatan harus ditanggulangi dan diberantas karena apabila tidak ditanggulangi dan diberantas, kejahatan tersebut dapat membawa akibat-akibat sebagai berikut:35

1. Mengganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan

2. Mencegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional.

Upaya strategis yang dilakukan dalam penanggulangan dan pemberantasan kejahatan adalah upaya membuat kebijakan hukum. Meskipun senantiasa digunakan sebagai sarana untuk mengatur kehidupan sosial, namun satu hal yang menarik adalah

33 Amara Raksasataya., dalam M. Islam Irfany., Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), hal 17-18. 34 Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 148. 35 Barda Nawawi Arief., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000), hal. 4.

Universitas Sumatera Utara bahwa hukum itu selalu tertinggal di belakang obyek yang diaturnya.36 Hukum dimaksud dalam arti hukum positif. Hukum selalu tertinggal jauh dibelakang obyek yang diaturnya, maka sangat diperlukan kebijakan membuat pengaturan-pengaturan baru/ulang dalam menanggulangi kejahatan.

Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum.37 Sebagai masalah kebijakan secara politis, maka penggunaan hukum pidana untuk mengatasi masalah sosial tidak dapat dilakukan secara absolut. Tidak ada absolutisme dalam membuat kebijakan, karena pada hakikatnya, orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.38 Karena memang politik hukum dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu politik hukum dan politik kriminal. Politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.39 Politik hukum itu sendiri merupakan kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan dalam masyarakat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.40

Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang lebih efektif dalam usaha penanggulangan dan

36 Satjipto Rahardjo., Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hal. 99. 37 Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Op. cit., hal. 149. 38 Ibid. 39 Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., (Bandung: Alumni, 1981), hal. 159. 40 Soedarto., Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 93.

Universitas Sumatera Utara pemberantasan kejahatan,41 tidak hanya disesuaikan dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu, namun juga untuk masa-masa yang akan datang.42 Soedarto, mendefinisikan kebijakan kriminal dalam tiga pengertian yaitu:43

1. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari rekasi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara-cara dari pengadilan dan Polisi; dan 3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk mengeakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Menurut Soedarto, kebijakan kriminal (politik kriminal) adalah usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan.44

Kebijakan kriminal dapat diaplikasikan melalui dua jalur yaitu jalur penal dan nonpenal.45 A. Mulder, menyebutkan bahwa politik hukum pidana atau strafrechtspoliiek adalah garis kebijakan untuk menentukan:46

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; 2. Apa yang perlu diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan 3. Dengan cara bagaimana penyidikan, penyelidikan, penuntutatan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilakukan.

41 Soedarto., Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 114. 42 Soedarto., Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Loc. cit., hal. 93 43 Soedarto., Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. cit., hal. 113-114. 44 Ibid. 45 G. Peter Hoefnagels., The Other Side Of Criminology, (Holland: Klower-Deventer, 1969), hal. 57. 46 A. Mulder., dalam Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 25-26.

Universitas Sumatera Utara Definisi Mulder di atas bertolak dari Marc Ancel mengenai sistem hukum pidana yang menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari:47

1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya;

2. Suatu prosedur hukum pidana; dan

3. Suatu mekanisme pelaksanaan hukum pidana.

Barda, menyebutkan bahwa operasionalisasi dan fungsionalisasi dari kebijakan hukum pidana (penal policiy) dilaksanakan melalui tiga tahap pertama tahap kebijakan formulatif, yaitu penetapan atau perumusan hukum oleh badan pembuat undang-undang, atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto; kedua tahap kebijakan aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat pengak hukum mulai dari Kepolisian sampai kepada Pengadilan; ketiga tahap kebijakan eksekutif, yaitu pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksanaieksekusi pidana.48

Keseluruhan proses tahap penegakan hukum pidana, maka tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling penting strategis dari keseluruhan kebijakan untuk mengoperasionalisasikan sanksi pidana.49 Hal ini karena pada tahap legislasi inilah dirumuskan konsep atau asas yang menjadi garis besar dan dasar recana di

47 Ibid., hal. 26 48 Barda Nawawi Arief., Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 75. 49 Ibid.

Universitas Sumatera Utara dalam penegakan hukum,50 sekaligus menurut Barda, menjadi landasan legalitas bagi dua tahap berikutnya.51 Kebijakan legislatif (formulatif) dalam penanggulangan kejahatan meliputi:52

1. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan; 2. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapannya; dan 3. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.

Barda, menyebutkan bahwa kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), berpusat pada dua masalah sentral yaitu masalah penentuan:53

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau digunakan kepada si pelanggar.

Membicarakan teori-teori mengenai kebijakan kriminal khususnya melalui upaya penal, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi, yang mengatur baik ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum (actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea), maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment).54 Soedarto, menyebutkan

50 Nyoman Serikat Putra Jaya., Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2001), hal. 49. 51 Barda Nawawi Arief., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Op. cit., hal. 3. 52 Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 158. 53 Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 29. 54 Muladi., “Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Strategi Penanggulangan Kejahatan Dalam Bidang Telematika Diselenggarakan oleh Universias Semarang Bekerjsa Sama Dengan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI, Semarang Tanggal 23 Juli 2002, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara bahwa ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan sebelum memberi ancaman pidana

(kriminalisasi) tersebut yaitu:55

1. Tujuan hukum pidana;

2. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki;

3. Perbandingan antara sarana dan hasil; dan

4. Kemampuan badan-badan penegak hukum.

Penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana merupakan suatu kebijakan, maka upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan kebijakan tersebut mengandung arti adanya keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial melalui upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan nonpenal. Soedarto, menekankan bahwa apabila hukum pidana digunakan, perlu dilihat berdasarkan politik kriminalnya sebagai bagian terintegral dari rencana pembangunan nasional.56

Menurut Barda, hukum pidana memiliki keterbatasan dalam menanggulangi kejahatan, misalnya sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal tidak bersifat struktural/fungsional, keterbatasan jenis sanksi pidana, sarana pendukung yang bervariasi menuntut biaya tinggi, dan lain-lain.57 Karena keterbatasan hukum pidana tersebut, maka dalam rangka penanggulangannya secara terpadu, pendekatan penal bukanlah satu-satunya pendekatan yang dapat dipakai

55 Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., Op. cit., hal. 44-48. 56 Ibid., hal. 104. 57 Barda Nawawi Arief., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 46-47.

Universitas Sumatera Utara untuk menanggulangi kejahatan. G.P. Hoefnagels, mengatakan upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:58

1. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan

melalui media massa;

2. Penerapan hukum pidana; dan

3. Pencegahan tanpa pidana.

Pendekatan kebijakan secara non penal sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan saran lain selain hukum pidana. Dikategorikan dalam pendekatan non penal ini adalah pendidikan, pengajian atau kerohaniaan, dan lain- lain yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan melalui penal lebih menitikberatkan pada sifat pemberantasan (repressive) sedangkan non penal lebih menitikberatkan pencegahan atau penangkalan

(preventive).59

Upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan dengan cara non penal merupakan penanggulangan yang bersifat mendasar. Karena pencegahan atau penanggulangan terhadap kejahatan tidak menjadi optimal dan tidak menyelesaikan akar masalah, apabila tanpa diiringi dengan menghapus hal-hal yang menjadi penyebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan, namun hal ini bukan berarti upaya penal tidak penting dapat dikesampingkan begitu saja.

58 G.P. Hoefnagels., dalam Ali Masyhar., Op. cit., hal. 28. 59 Ibid., hal. 29.

Universitas Sumatera Utara Upaya penal merupakan sarana sangat vital dalam proses penegakan hukum

(law inforcement) dalam menanggulangi kejahatan. Muladi dan Barda menyebutkan bahwa, ”Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat pidana tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat”. 60

Penggunaan jalur penal seharusnya hanya sebagai alternatif terakhir setelah alternatif-alternatif lain telah ditempuh. Hal ini berarti bahwa setelah upaya preventif/pencegahan (nonpenal) tidak berhasil maka tumpuan terakhir atau social defence adalah hukum pidana. Menurut Muladi, jenis-jenis tindakan pencegahan tindak pidana tersebut dapat berupa:61

1. Pencegahan primer, yaitu diarahkan kepada masyarakat sebagai korban potensial maupun kepada para pelaku kejahatan yang masih belum tertangkap atau pelaku masih potensial. Kegiatan dalam hal ini dapat berupa penyehatan mental masyarakat yang bersifat abstrak dan dapat pula bersifat fisik serta teknologis; 2. Pencegahan sekunder, yaitu tindakan diarahkan kepada kelompok pelaku atau pelaku potensial atau sekelompok korban potensial tertentu. Sebagai contoh dalam kaitannya dengan korban kejahatan perampokan nasabah bank, kejahatan perbankan, kejahatan pencurian kenderaan bermotor, dan lain-lain. Dalam hal ini bentuk-bentuk prevensi baik abstrak seperti penamaan etika profesi bagi tenaga-tenaga profesional maupun fisik dan teknologis juga dapat dilakukan; dan 3. Pencegahan tertier, pencegahan diarahkan kepada jenis pelaku tindak pidana tertentu dan juga korban tindak pidana tertentu, misalnya pelaku residivis, pelaku kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime) yang memakan banayk korban jiwa, dan lain-lain.

60 Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Op. cit., hal. 92. 61 Muladi., Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Undip, 2002), hal. 100.

Universitas Sumatera Utara Jenis pencegahan dalam bentuk lain, dapat pula dirumuskan sebagai berikut:

Pencegahan individual, yaitu bentuknya antara lain dapat membuat alarm keenderaan, alarm rumah, pengawal pribadi, dan lain-lain; dan Pencegahan masyarakat, dapat berupa siskamling, siskamtibmas swakarsa sebagaimana dikembangkan oleh Polri, dan lain-lain.

Pendekatan kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, maka pendekatan kebijakan non penal merupakan pendekatan kebijakan yang mendasar, karena diorientasikan pada upaya penanggulangan faktor-faktor kondusif penyebab kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan itu sendiri.62

Faktor-faktor kondusif yang menimbulkan kejahatan oleh Kongres

Perserikatan Bangsa-Bangsa (Kongres PBB) ke-8 dalam dokumen A/CONF.144/L.3 mengidentifikasikannya sebagai berikut:63

1. Kemiskinan, pengangguran, buta huruf (kebodohan), ketiadaaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi; 2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimbangan- ketimbangan sosial; 3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 4. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan;

62 Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 42. 63 Ibid., hal. 45-46.

Universitas Sumatera Utara 6. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga; 7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan kelaurga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya; 8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas; 9. Meluasnya kativitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius, dan penadahan barang-barang curian; 10. Dorongan-dorongan khususnya medua massa mengenai ide-ide dan sikap- sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap- sikap yang tidak toleran.

Faktor-faktor kondusif tersebut tidak dapat semata-mata diatasi dengan kebijakan penal (kebijakan kriminal dengan jalur penal), oleh karena itu harus ditunjang dengan kebijakan nonpenal. Upaya non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat (secara material dan immaterial) dari faktor-faktor kriminogen

(faktor-faktor yang mendorong timbulnya tindak pidana). Hal ini berarti, masyarakat dengan sejumlah potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor ”anti kriminogen” yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik kriminal.64

Kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, nampaknya jalur penal menjadi pilihan utama dari pengambil kebijakan. Jalur penal merupakan langkah maju bila dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya, tetapi jalur penal memiliki keterbatasan, lebih-lebih dalam menghadapi tindak pidana terorisme yang

64 Ibid., hal. 49.

Universitas Sumatera Utara notabene merupakan transnational organized crime. Oleh sebab itu, harus ditunjang dengan kebijakan non penal misalnya pendidikan, economic prevention, pendekatan moral, social walfare, dan sebagainya.

Berdasarkan sisi sosial makro, maka terorisme muncul justru bersamaan dengan gencarnya isu-isu pembangunan. Jauh sebelum Kongres PBB mengenai The prevention of crime and the treatment of offenders dalam laporannya Sixth UN

Congress 1981.65 Mensinyalir bahwa pembangunan itu sendiri dapat bersifat kriminogen apabila pembangunan itu: pertama, tidak direncanakan secara rasional atau direncenakan secara timpang, tidak memadai/tidak seimbang; kedua, mengebaikan nilai-nilai kultural dan moral; dan ketiga, tindak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruh atau tidak terintegral.

2. Landasan Konsepsional

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut:

1. Terorisme adalah perwujudan dari sifat perbuatan dalam penggunaan atau

upaya kekerasan untuk mengintimidasi atau menyebabkan kepanikan

masyarakat dan pemerintah dan mengakibatkan dampak politik.66

65 Ibid., hal. 47. 66 Bryan A. Graner., Black’s Law Dictionary Eighth Edition, (diterjemahkan oleh Ahmad Zakaria UI 2007), (St. Paul: West Thomson, 2004), hal. 15.

Universitas Sumatera Utara 2. Tindak pidana terorisme adalah segala bentuk perbuatan yang memenuhi

unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.67

3. Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan

perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan barang siapa yang melanggar

peraturan-peraturan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.68

4. Kebijakan hukum pidana adalah suatu upaya penanggulangan dan

pemberantasan tindak pidana dengan memadukan antara politik kriminal dan

politik sosial melalui upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal

dan nonpenal.69

5. Peranan adalah serangkaian tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu

posisi tertentu.70

6. Peranan Kepolisian adalah serangkaian tindakan oleh aparat Kepolisian

(Polisi) Republik Indonesia sesuai dengan fungsi dan wewenangnya sebagai

institusi negara dalam bidang keamanan dan penegakan hukum berdasarkan

undang-undang.71

67 Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT). 68 Andi Hamzah., Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 53. 69 Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., Loc. cit. 70 Indria Samego., Reformasi Berkelanjutan: Institusi Kepolisian Republik Indonesia, Bidang Sumber Daya Manusia, Kemitraan, (Jakarta: LMUI dan Kepolisian Negara RI, 2006), hal. 7. 71 Sanoesi., Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol. B/394/IX/Dislitbang, (Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987), hal. 342.

Universitas Sumatera Utara 7. Pemberantasan adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan melalui penal

dan lebih menitikberatkan pada sifat membasmi, memusnahkan, mematikan,

membunuh, menghapus, mempunahkan suatu peristiwa tindak pidana yang

sudah terjadi dengan kata lain yakni pemberantasan bersifat repressive.72

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.73 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.74 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.75 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum

72 Ali Masyhar., Op. cit., hal. 28. 73 Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106. 74 Soerjono Soekanto., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1. 75 Bambang Waluyo., Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.

Universitas Sumatera Utara yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau disebut juga sebagai penelitian doktrinal.76

Alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif ini adalah pertama, didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan;77 kedua, data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir; ketiga, sifat dasar dari data yang dianalisis bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam (indepth information).78

Berdasarkan ketiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif di atas, maka dalam penelitian ini, alasan yang digunakan adalah alasan yang petama yakni didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

76 Bismar Nasution., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1, penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. Penelitian hukum normatif ini bersifat kualitatif. 77 Ibid., hal. 38. 78 Ibid., hal. 7.

Universitas Sumatera Utara 2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek yang ditelaah dalam penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, karya ilmiah, makalah dan karya lainnya.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi:

1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme (UUPTPT) dan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia;

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah hasil-hasil

seminar atau hasil pertemuan ilmiah lainnya, majalah dan jurnal ilmiah,

artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar, majalah mingguan, dan

dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan

dengan objek telaahan dalam penelitian ini;79

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus umum (ensiklopedia) dan kamus hukum.

79 Ronny Hanitijo Soemitro., Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.

Universitas Sumatera Utara 3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam UUPTPT yang mengandung kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini.80

4. Analisis Data

Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan dengan permasalahan. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deduktif, untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.

80 Bambang Sunggono., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.

Universitas Sumatera Utara H. Jadwal Penelitian

Waktu yang diperlukan melakukan penelitian ini adalah 8 (delapan) bulan, yaitu dari bulan Nopember 2010 sampai dengan Juni 2011, dengan jadwal sebagaimana tabel sebagai berikut:

Uraian Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun

Pengajuan judul akhir awal Persiapan bahan teng awal Pengajuan konsep akhir proposal Bimbingan teng Kolokium akhir Pembuatan/bimbingan teng awal tesis Pengajuan konsep tesis teng Seminar hasil penelitian awal Ujian tesis/meja hijau teng

Universitas Sumatera Utara BAB II

TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA TERORISME

A. Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

Pasca peledakan gedung World Trade Center (WTC) di Amerika pada tanggal 11 September 2002, peristiwa terorisme membuka mata dunia

Internasional betapa sebuah konstruksi hukum mutlak diperlukan untuk melakukan perlawanan terhadap aksi terorisme.81 Peristiwa Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002, Indonesia diingatkan akan adanya ancaman terhadap perdamaian dan keamanan di depan mata. Langkah preventif dari peristiwa dimasa mendatang, pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian diundangkan menjadi

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme (UUPTPT).

Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan dalam memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.82 Pemerintah Indonesia menyadari terhadap bahaya aksi terorisme yang telah menjadi isu internasional dan

81 Jeffrey Record, “Bounding The Global War On Terrorism,” Journal Strategic Studies Institute, December 2003, hal. 2. 82 Penjelasan umum Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

Universitas Sumatera Utara negara lain seperti Australia dan Amerika Serikat begitu fokus dalam upaya memerangi terorisme,83 untuk itu perlu dikaji mengenai terorisme menurut UUPTPT.

Bagian konsiderans dalam UUPTPT menimbang bahwa terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkah pemberantasan sehingga UUPTPT mutlak diperlukan. Tujuannya adalah menjadikan terorisme sebagai suatu tindak pidana di

Indonesia dan terorisme dikategorikan sebagai tindak pidana yang harus diberantas.

4. Tindak Pidana Secara Umum

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) merupakan produk hukum Indonesia yang isinya dibuat oleh

Pemerintahan Kolonial Belanda, sehingga KUHP yang ada saat ini tidak lain adalah hasil alih bahasa yang dilakukan beberapa sarjana Indonesia.84 Hukum pidana menggunakan istilah strafbaar feit dalam menyebut tindak pidana.85 Simons merumuskan strafbaar feit yaitu, ”Strafbaar feit adalah suatu handeling

(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu

83 Ibid. 84 Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, cet. 21, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hal. 10. 85 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hal. 172.

Universitas Sumatera Utara bertanggung jawab”.86 Profesor van Hattum berpendapat bahwa strafbaar feit adalah tindakan yang membuat seseorang menjadi dapat dihukum.87 Kedua pendapat tersebut merujuk kepada penggunaan istilah tindak pidana dalam merumuskan strafbaar feit. Berbeda dengan Moeljatno yang mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangannya. Moeljatno merujuk istilah “perbuatan pidana” untuk merumuskan strafbaar feit.88

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dipahami mengenai tindak pidana, yaitu:89

a. Suatu perbuatan yang melawan hukum. b. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan itu sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian. c. Subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras.

Terorisme diklasifikasikan sebagai tindak pidana, maka harus melekat dalam terorisme yaitu unsur melawan hukum dalam arti melawan hukum secara formal dan secara materil.90 Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Misalnya dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan

86 S.R. Sianturi., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1989), hal. 205. 87 P.A.F. Lamintang., Op. cit., hal. 175. 88 Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidanai, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 54. 89 Ibid. 90 J.M. van Bemmelen., Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan (tanpa tempat: Bina Cipta, 1984), hal. 102-103.

Universitas Sumatera Utara bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum.91

Unsur yang kedua yaitu unsur kesalahan (schuld) dipersamakan dengan kesengajaan (opzet) atau kehendak (voornawen). Geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan) berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah.

Kesalahan mengandung dua pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan

(dolus/opzet) yakni berbuat dengan hendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui atau willen en wetens, sedangkan dalam arti luas berarti dolus dan culpa.92 Culpa sendiri berarti kealpaan, dimana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri. Agar dapat dipidana, dalam diri subjek atau pelaku pidana tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf. kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.93

Terdapat suatu istilah dalam UUPTPT yang menunjukan peristiwa terorisme merupakan kejahatan, yakni istilah “tindak pidana”. Istilah tersebut telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah strafbaar feit dalam hukum pidana sebagaimana telah

91 Ibid. 92 Jan Remmelink., Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003), hal. 173. 93 S.R. Sianturi., Op. cit., hal. 192.

Universitas Sumatera Utara dijelaskan di atas. Istilah strabare feit sendiri telah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia sebagai perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.94

5. Subjek Tindak Pidana

Awalnya dalam hukum pidana, sebagai subjek tindak pidana hanyalah orang sebagai natuurlijke persoonen, sedangkan badan hukum atau rechts persoonen tidak dianggap sebagai subjek,95 pada perkembangannya terjadi perluasan terhadap subjek tindak pidana. Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik sering memperhitungkan kenyataan manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya, muncul sebagai satu kesatuan dan karena dari itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum/korporasi.96 Subjek dalam hukum pidana saat tidak lagi terbatas pada manusia sebagai pribadi kodrati (natuurlijke persoonen) tetapi juga mencakup manusia sebagai badan hukum (rechts persoonen).

Manusia atau orang sebagai subjek hukum pidana menyebabkan pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Artinya, barang siapa melakukan tindak pidana, maka orang itulah yang harus bertanggung jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana. Konsep penyertaan (deelneming)

94 Ibid., hal. 204. 95 Ibid., hal. 219. 96 Jan Remmelink., Op. cit., hal. 97.

Universitas Sumatera Utara dikenal dalam hukum pidana yakni ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan atau melakukan tindak pidana.

Dalam hukum pidana, ragam bentuk pernyertaan diatur dalam Pasal 55-56

KUHP. Dalam KUHP terdapat terdapat lima bentuk penyertaan, yaitu sebagai berikut:

a. Mereka yang melakukan (dader). Yaitu satu orang atau lebih yang melakukan

tindak pidana. Pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai atau

dihargai sendiri-sendiri atas segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan.

Masing-masing pihak berdiri sediri dan masing-masing pihak memenuhi

seluruh unsur.97

b. Menyuruh melakukan (doen plegen). Penyuruh tidak melakukan sendiri

secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain. Orang

yang mau disuruh melakukan tindak pidana adalah orang-orang tidak normal,

yaitu anak-anak dan orang gila, orang yang berada di bawah ancaman atau

kekerasan tidak dapat dipidana karena ada dasar penghapus pidana bagi yang

disuruh. Dalam hal ini yang bisa dipidana hanyalah penyuruh, karena yang

mempunyai niat adalah orang yang menyuruh; walaupun yang memenuhi

unsur tindak pidana dan harus diminta pertanggungjawabannya adalah

penyuruh.98

97 H.A.K. Moch. Anwar., Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHP, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 39. 98 Sudikno Mertokusumo., Hukum Acara Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hal. 121.

Universitas Sumatera Utara c. Mereka yang turut serta (medeplegen). Yakni seseorang yang mempunyai niat

sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai

kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang diinginkan. Pihak yang

terlibat adalah satu pihak yang dapat terdiri dari banyak orang. Niat dimiliki

semua orang dalam satu pihak yang memenuhi unsur. Pidana dana

pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada semuanya orang yang terlibat

di dalamnya. Sebab, kerja sama yang dilakukan secara bersama-sama dan

sadar.99 d. Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai uitlokking

diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Setidaknya ada dua pihak dalam

uitlokking, yaitu pihak yang membujuk dan pihak yang terbujuk, dimana

pihak yang membujuk melakukan penggerakan dengan cara-cara yang telah

ditentukan dalam Pasal 55 Ayat (1) ke-2 KUHP untuk melakukan sesuatu

perbuatan yang melawan hukum. Menurut H.A.K. Moch. Anwar,

penggerakan adalah:100

1) Setiap perbuatan menggerakan atau membujuk orang lain untuk

melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang atau diancam dengan

hukuman;

2) Dalam membujuk itu harus digunakan cara-cara atau daya upaya

sebagaimana disebutkan dalam pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.

99 P.A.F. Lamintang., Op. cit., hal. 588-589. 100 H.A.K. Moch. Anwar., Op. cit., hal. 32.

Universitas Sumatera Utara e. Pembantuan (medeplichtigheid). Pihak yang membantu (pembantu)

mengetahui akan jenis kejahatan yang akan dibantunya. Niat dari pelaku

(pembantu) adalah memberikan bantuan untuk melakukan kejahatan pelaku

utama. Pertanggungjawaban pidana pembantu hanya sebatas pada kejahatan

yang dibantunya saja.101 Wirjono Prodjodikoro membagi pembantuan menjadi

dua golongan yakini, pembantuan pada waktu tindak pidana dilakukan, dan

pembantuan sebelum pelaku utama bertindak. Bantuan itu dilakukan dengan

cara memberikan kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan pada

golongan pertama tersebut sering dipersamakan dengan turut serta, sedangkan

pembantuan golongan kedua sering dipersamakan dengan penggerakan.102

Uraian mengenai tindak pidana dan subjek tindak pidana di atas, berkaitan dengan tindak pidana dan subjek tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

6. Perumusan Tindak Pidana dan Subjek Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

Perumusan tindak pidana dalam UUPTPT terbagi menjadi dua, yaitu tindak pidana terorisme yang diatur dalam BAB III, dan tindak pidana lain yang terkait dengan tindak pidana terorisme yang diatur dalam BAB IV. Terdapat tiga macam cara dalam membuat suatu rumusan tindak pidana yaitu pertama, perumusan

101 Loebby Loqman., Percobaan Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta: Universitas Tarumanagara UPT Penerbit, 1995), hal. 80. 102 Wirjono Prodjodikoro., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, cet. 3, (Bandung: PT. Rafika Aditama, 2003), hal. 126.

Universitas Sumatera Utara dilakukan dengan cara merumuskan unsur-unsurnya saja, dan tidak disebutkan kualifikasinya, kedua, perumusan dilakukan dengan merumuskan kualifikasinya saja, tidak dengan perumusan unsur-unsur, dan ketiga, perumusan dilakukan dengan merumuskan unsur-unsur dan juga diberikan klasifikasi atau nama dari tindak pidana tersebut.103

Perumusan tindak pidana terorisme dalam UUPTPT menggunakan cara perumusan baik itu perumusan dengan cara merumuskan unsur-unsurnya saja maupun menggunakan cara perumusan dengan menguraikan unsur-unsur dan memberikan klasifikasi terhadap tindak pidana tersebut. Contoh dari pasal yang menggunakan cara perumusan tindak pidana dengan menguraikan unsur-unsurnya saja tanpa memberikan kualifikasi tindak pidananya adalah Pasal 6 UUPTPT, yang isinya sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

103 Ewit Soetriadi., Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Dengan Hukum Pidana, Tesis, (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2008), hal. 93.

Universitas Sumatera Utara Secara rinci Pasal 6 UUPTPT di atas, diuraikan berdasarkan unsur subjektif dan unsur objektifnya sebagai berikut.104

a. Unsur subjektif. 1) Setiap orang; 2) Dengan sengaja; dan 3) Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal. b. Unsur objektif. 1) Merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; 2) Atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis; 3) Atau lingkungan hidup atau fasilitas publik; 4) Atau fasilitas internasional.

Pasal 6 UUPTPT tersebut hanya menguraikan unsur-unsur dari tindak pidana terorisme, tetapi tidak memberikan klasifikasi tindakan tersebut sebagai tindakan terorisme. Hal yang sama juga terdapat dalam Pasal 7 UUPTPT, yaitu:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan BERMAKSUD untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

Pengaturan unsur-unsur dalam Pasal 7 UUPTPT tersebut menyerupai ketentuan dalam Pasal 6 UUPTPT, akan tetapi terdapat perbedaan, yaitu adanya unsur

“bermaksud”. Unsur ini menandakan Pasal 7 UUPTPT merupakan pasal tindak

104 J.M. van Bemmelen., Op. cit., hal. 109-110. Unsur subjektif adalah unsur yang berkaitan dengan si pelaku itu sendiri, sedangkan unsur objektif adalah unsur yang berkaitan dengan tingkah laku dan dengan keadaan di dunia luar pada waktu perbuatan itu dilakukan.

Universitas Sumatera Utara pidana tidak selesai atau percobaan tindak pidana.105 Sehingga yang harus dibuktikan dalam Pasal 7 UUPTPT adalah adanya maksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, walaupun ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan. Syarat suatu percobaan tindak pidana adalah sudah ada niat, permulaan pelaksanaan, dan gagalnya atau tidak selesainya perbuatan pelaku tindak pidana adalah di luar kehendak pelaku tindak pidana.106

Pasal 7 UUPTPT sebagai contoh pasal dalam yang cara perumusannya hanya menguraikan unsur tindak pidananya tanpa memberikan klasifikasi namanya. Kedua pasal tersebut juga menggunakan pendekatan secara umum, yaitu menjadikan serangkaian tindak pidana menjadi tindak pidana terorisme. Pasal yang menggunakan cara perumusan dengan menguraikan unsur dan memberikan klasifikasi tindak pidana, terdapat dalam Pasal 8 UUPTPT yang terdiri dari delapan belas tindak pidana yang dikategorikan tindak pidana terorisme, Pasal 8 huruf a UUPTPT berbunyi:

Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang: (a) Menghancurkan,

membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu

lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut.

Terdapat unsur-unsur dalam Pasal 8 UUPTPT di atas, yaitu menghancurkan membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas

105 F. Budi Hardiman dkk., Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi (Jakarta: Imparsial, 2005), hal. 68. 106 J.M. van Bemmelen., Op. cit., hal. 246.

Universitas Sumatera Utara udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan, hal mana perbuatan tersebut diklasifikasikan sebagai tindak pidana terorisme. Pasal 8 UUPTPT menggunakan pendekatan spesifik, yaitu menjadikan tindak pidana biasa sebagai atau disamakan dengan tindak pidana terorisme.

BAB III UUPTPT diatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme. Contohnya dalam hal intimidasi terhadap aparat penegak hukum yang sedang memeriksa atau mengadili kasus terorisme, kesaksian, barang bukti, dan alat bukti palsu sebagaimana dalam Pasal 21 UUPTPT, menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan Pasal 22 UUPTPT mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme.

Pasal yang termasuk tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana teroris pada dasarnya merupakan tindakan yang terkait dalam upaya atau proses hukum dalam kasus tindak pidana terorisme dan tidak berkaitan langsung dengan tindak pidana terorisme itu sendiri.

Subjek dari tindak pidana terorisme yang termaktub dalam UUPTPT sebagaimana dalam hukum pidana awalnya hanyalah manusia sebagai naturelijk persoonen, namun dalam perkembangannya badan hukum atau korporasi juga dapat menjadi subjek hukum. Sehubungan dengan itu, ketentuan Pasal 1 angka 2 UUPTPT dinyatakan, “setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 di atas, dapat dipahami mengenai subjek dari tindak pidana terorisme yaitu tidak hanya terbatas pada manusia sebagai

Universitas Sumatera Utara pribadi, tetapi juga meliputi badan hukum atau korporasi. Hal ini berarti, UUPTPT telah melakukan penafsiran secara ekstensif mengenai subjek hukum. Selain itu, dalam UUPTPT ini juga terdapat pengaturan mengenai konsep penyertaan. Hal ini terlihat dalam Pasal 13 UUPTPT, sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan: 1) Memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme; 2) Menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau 3) Menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme.

Pasal 13 UUPTPT di atas, mengatur hukuman terhadap tindak pidana dalam hal terjadi penyertaan berbentuk perbantuan (medeplichtigheid).107 Bentuk penyertaan yang lainnya juga terlihat dalam Pasal 14 UUPTPT yang mengatur bentuk penyertaan penggerakan (uitlokking). Pasal 14 UUPTPT berbunyi, “setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,

Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup”.

Hal lain terkait ketentuan pidana materil yang tidak diatur dalam UUPTPT tetap merujuk kepada KUHP, dengan berdasarkan penafsiran a contrario terhadap aturan penutup KUHP dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan ketentuan dalam

107 Pengaturan hukuman terhadap pembantuan dalam Pasal 57 Ayat (2) KUHP tidak ditentukan batas minimum pemidanaan. Berbeda dengan Pasal 13 UUPTPT yang menentukan batas minimun dan batas maksimum pemidanaan.

Universitas Sumatera Utara KUHP berlaku juga bagi undang-undang lain kecuali jika oleh undang-undang lain ditentukan lain (asas lex specialis derogat legi generalis).

B. Pengertian dan Karakteristik Organisasi Terorisme

Asas hukum yang menyatakan nullum crimen sine poena yang artinya adalah tiada kejahatan yang boleh dibiarkan begitu saja tanpa hukuman,108 demikian terorisme harus ada suatu instrumen hukum yang mengaturnya. Terorisme telah lama dianggap sebagai kejahatan, tetapi hingga saat ini tidak ada definisi mengenai terorisme yang dapat diterima secara universal. Kesulitan memberikan suatu definisi terhadap terorisme terkait dengan sensitifitas ditambah juga banyaknya pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap terorisme, baik itu orang perorang, organisasi, bahkan suatu negara.109

3. Pengertian Terorisme

Banyak pihak yang berkepentingan mengenai terorisme terutama terkait dengan politik, telah melahirkan berbagai opini yang berpengaruh terhadap definisi terorisme, salah satunya opini dari Peter Rosler Garcia, seorang ahli politik dan ekonomi luar negeri dari Hamburg (Jerman) yang menyatakan tidak ada suatu negara di dunia ini yang secara konsekuen melawan terorisme.110 Sebagai contoh, Amerika

108 Moeljatno, Op. cit., hal. 10. 109 Abdul Wahid., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum., Op. cit., hal. 22. 110 Peter Rosler Garcia., ”Terorisme, Anak Kandung Ekstremisme”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/15/opini/tero30.htm, diakses 12 Juli 2010.

Universitas Sumatera Utara Serikat sebagai negara yang paling gencar mempropagandakan isu “Perang Global

Melawan Terorisme”, membiayai kelompok teroris “IRA” di Irlandia Utara atau gerakan bersenjata ”Unita” di Angola.111 Politikus Uni Eropa mendukung bermacam kelompok teroris di Afrika, Asia, Amerika Latin termasuk gerakan teroris di Uni

Eropa. Ada juga negara Uni Eropa yang secara resmi melindungi kewakilan kelompok teroris tersebut di wilayahnya dan yang lain menerima kegiatan kelompok itu secara diam.112

Banyaknya kepentingan berlatar belakang politik, menyebabkan pemahaman mengenai pengertian terorisme juga terbias akibat perbedaan sudut pandang.

Perbedaan sudut pandang ini terlihat dalam kasus invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003. Amerika Serikat melegitimasi tindakannya menginvasi Irak karena menganggap Irak sebagai teroris sebab Irak memiliki senjata pemusnah masal, namun disisi lain, banyak negara yang menyatakan Amerika Serikat lah yang merupakan negara teroris (state terrorist), karena telah melakukan invasi ke negara berdaulat tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan PBB.113

Terlepas dari banyaknya pengaruh kepentingan politik dalam mendefinisikan terorisme, ada hal lain yang mempengaruhi sulitnya memberikan definisi yang objektif. Kesulitannya terletak dalam menentukan secara kualitatif bagaimana suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai terorisme. Teror merupakan kata dasar dari

111 Adjie Suradji., Terorisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 249. 112 Peter Rosler Garcia., Loc. cit. 113 Abdul Wahid., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum., Op. cit., hal. 23.

Universitas Sumatera Utara terorisme bersifat sangat subjektif. Artinya, setiap orang memiliki batas ambang ketakutannya sendiri, dan secara subjektif menentukan apakah suatu peristiwa merupakan teror atau hanya peristiwa biasa.114 Akibatnya, suatu perisitwa teror bagi seseorang belum tentu merupakan teror bagi orang lain. Jason Burke dalam bukunya

Al-Qaeda: The True Story of Radical Islam, juga menyatakan, ”There are multiple ways of defining terrorism, and all are subjective. Most define terrorism as the use or threat of serious violence to advance some kind of cause. Some state clearly the kinds of group (sub-national, non-state) or cause (political, ideological, religious) to which they refer”.115

Hingga saat ini tidak ada definisi mengenai terorisme yang digunakan secara universial, namun guna memperoleh pemahaman terhadap terorisme yang konsisten, perlu adanya suatu definisi tentang terorisme. Definisi pertama diberikan oleh

Encyclopedia of Britanica, yaitu, “Terrorism is the systematic use of violence to create a general climate of fear in a population and thereby to bring about a particular political objective”.116 Terlihat dari definisi di atas, terorisme masih erat kaitannya dengan kondisi kekerasan dalam hubungan politik. Definisi terorisme oleh

United State Departement of Defense (Departemen Pertahanan Amerika Serikat) yaitu, “Calculated use of unlawful violence to inculcate fear; intended to coerce or

114 Paul Wilkinson., Terrorism and the Liberal State (London: The Macmillan Press Ltd., 1977), lihat juga, F. Budi Hardiman dkk., Op. cit., hal. 5. 115 Jason Burke., Al-Qaeda: The True Story of Radical Islam, (London: TB. Tauris & Co. Ltd), hal. 22. 116 http://www.britannica.com/eb/article-9071797/terrorism, diakses 23 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara intimidate governments or societies in pursuit of goals that are generally political, religious, or ideological”.117

Definisi yang diberikan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat di atas masih menekankan tindakan terorisme pada motifnya, cakupan motif lebih luas yaitu tidak hanya aspek politik tetapi juga termasuk aspek keagamaan dan ideologi. Terkait penggunaan teror dalam kepentingan politik, maka teror menjadi salah satu bentuk apresiasi kepentingan politik yang paling serius untuk menekan lawan politik dengan memanfaatkan kelemahan negara menjalankan fungsi kontrolnya.118 Kondisi kevakuman kekuasaan (vacum of power) yang menjadi tujuan akhirnya.

Definisi berikutnya menurut Kamus hukum Black’s Law yang juga mendefinisikan terrorism dalam kaitannya dengan politik yaitu “The use or threat of violance to intimidate or cause panic, esp as a means of affecting political conduct”,119 akan tetapi jika merujuk pada definisi terroristic threat terlihat kalau pendefinisian terorisme dalam Black’s Law yang mengacu pada Model Penal Code

211, tidak hanya terpaku pada motif melainkan juga proses serta tujuan dari terorisme tersebut. Hal ini terlihat dalam definisi berikut, “Terroristic threat is a threat to commit any crime of violence with the purpose of (1) terrorizing another, (2) causing

117 Jason Burke., Al-Qaeda: The True Story of Radical Islam, Op. cit., hal. 23. 118 F. Budi Hardiman., dkk., Op. cit., hal. 38. 119 Bryan A. Graner., Op. cit., hal. 15.

Universitas Sumatera Utara serious public inconvenience, or (4) reclessly disregarding the risk of causing such terror or inconvenience”.120

Secara bebas, definisi tersebut dapat diartikan suatu ancaman teror untuk melakukan kejahatan dan kekerasan dengan tujuan meneror orang lain, menimbulkan ketidaknyamanan atau gangguan terhadap publik, dengan mengabaikan akibat yang timbul dari teror tersebut. Dilihat dari tujuannya yaitu menimbulkan gangguan terhadap publik, terdapat kesamaan antara kejahatan biasa, peperangan, dan terorisme.121

Suatu peristiwa dapat dirumuskan menjadi suatu deskripsi tentang terorisme yang paling mendekati nilai objektifitas. Terorisme perlu pula dipandang dari dua pendekatan, yaitu pendekatan secara spesifik dan pendekatan secara umum.

Pendekatan spesifik mengklasifikasikan kejahatan biasa yang telah ada sebagai terorisme, contohnya adalah mengklasifikasikan sebuah pembajakan pesawat atau penyanderaan yang semula sebagai kejahatan biasa menjadi terorisme.122 Pendekatan ini dibuat tanpa perlu mendefinisikan atau menguraikan secara umum tindakan terorisme, dengan kata lain, dalam definisi ini peristiwa umum dijadikan hal khusus, sehingga pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan induktif.

Pendekatan secara umum berusaha memberikan penjelasan umum mengenai terorisme, berdasarkan suatu kriteria seperti intensi, motivasi dan tujuan. Pendekatan

120 http://myweb.wvnet.edu/~jelkins/crimlaw/basic/mpc.html, diakses terakhir tanggal 23 Maret 2011. 121 William G. Cunningham et. al., Terrorism: Concepts, Causes, and Conflict Resolution (Virginia: Defense Threat Reduction Agency Fort Belvoir, 2003), hal. 7. 122 Ben Golder., dan George Williams., “What is Terrorism? Problems of Legal Definition,” UNSW Law Journal, Vol. 27, February 2003, hal. 2.

Universitas Sumatera Utara ini merupakan upaya penjabaran peristiwa khusus terorisme ke dalam peristiwa umum (metode deduktif).123 Dalam praktiknya, pendekatan ini bisa digunakan keduanya (dikombinasikan).

4. Karakteristik Organisasi Terorisme

Upaya untuk mencari karakteristik, pola operasi, dan sitem organisasi terorisme memiliki tingkat kesulitan yang sama. Hal ini dipengaruhi sifat dan kegiatan terorisme yang selalu berubah dari masa ke masa. Meskipun demikan, secara umum ada 3 (tiga) karakteristik dari organisasi terorisme.124

Pertama: Nonstate suported group. Organisasi teroris semacam ini merupakan organisasi terorisme yang paling sederhana. Organisasi ini tidak didukung oleh salah satu negara melainkan sebagai kelompok kecil yang memiliki kepentingan khusus, seperti kelompok anti korupsi, kelompok anti globalisasi, dan lainnya. Hanya saja dalam menjalankan aksi kelompok ini menggunakan cara teror seperti pembakaran, penjarahan, dan penyanderaan. Terlihat dari isu terornya, organisasi ini merupakan organisasi teror yang menekankan pada aspek perjuangan ideologi dengan menciptakan kekacuan ideologi (ideology disorder) dalam tatanan masyarakat.125

Kelompok organisasi teroris dalam kategori ini, memiliki kemampuan terbatas dan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang diperlukan untuk memberikan dukungan demi kelangsungan kelompoknya pada periode waktu tertentu.

123 Ibid. 124 Adjie Suradji., Op. cit., hal. 16-17. 125 Ali Khan., “A Legal Theory of International Terrorism,” Journal Connecticut Law Review, 1982, hal. 6.

Universitas Sumatera Utara Kedua, state sponsored groups. Organisasi terorisme jenis ini memperoleh dukungan baik berupa dukungan logistik, pelatihan militer, maupun dukungan administratif dari negara asing. Berbeda dengan jenis yang pertama, kelompok ini bersifat profesional, artinya memiliki struktur organisasi yang jelas meskipun bersifat rahasia atau tertutup. Cara yang digunakan dalam melakukan teror lebih terorganisir dan terencana. Contoh kelompok teroris yang termasuk dalam kategori ini antara lain,

Provisional Irish Republican Army (PIRA) yang dibentuk pada tahun 1970 dengan jumlah anggota dua ratus hingga empat ratus yang memiliki daerah operasi di Irlandia

Utara. PIRA merupakan kelompok teroris yang bertanggung jawab atas pembunuhan

Robert Bradford, anggota Parlemen Inggris di Belfast dan juga pada peristiwa peledakan bom dipintu belakang Royal Courts. Kelompok ini mendapatkan sponsor dari Libya berupa pasokan senjata, tempat pelatihan, dan logistik dalam menjalankan aksinya. Contoh yang teraktual dari kelompok dalam kategori ini adalah kelompok teroris yang diberi nama Jamaah Islamiyah yang memiliki hubungan erat dengan kelompok Al-Qaeda dan bertanggung jawab atas peledakan bom di Bali Keberadaan kelompok Jamaah Islamiyah sesunguhnya belum bisa dibuktikan secara tepat, terutama kaitan kelompok ini dengan kelompok teroris internasional Al-Qaeda.

Penggunaan nama Jamaah Islamiyah pada kelompok ini menuai kritik dari beberapa kalangan intelektual muslim, karena penggunaan istilah Jamaah Islamiyah pada kelompok tersebut berarti “kumpulan umat islam”, yang berarti merujuk pada seluruh orang yang menganut agama Islam.

Universitas Sumatera Utara Ketiga, state directed groups. Organisasi kelompok teroris ini berupa organisasi yang didukung langsung oleh suatu negara. Berbeda dengan state sponsored groups, negara memberikan dukungannya secara terang-terangan, bahkan negara membentuk organisasi teroris, meskipun negara tersebut tidak pernah mengklaim organisasi bentukannya merupakan organisasi teror. Contoh dari organisasi ini adalah organisasi special force yang dibentuk Iran pada tahun 1984, untuk tujuan penyebaran paham Islam fundamentalis di wilayah Teluk Persia dan

Afrika Utara.

Universitas Sumatera Utara BAB III

PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MELALUI PEMBENTUKAN DENSUS 88 ANTI TEROR

A. Polri dan Penegakan Hukum

1. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Polri

Menyangkut tugas, fungsi, dan wewenang, berkaitan dengan teori tentang peranan (role theory), peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu. Menurut teori ini, peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku atau tata kerja yang berbeda pula. Peran mengandung implikasi lakon yang harus dijalankan sehubungan dengan atribut yang melekat pada individu maupun institusi. Peran yang diberikan kepada Polri mencakup fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan aturan yang diamatkan dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.126 Sehubungan dengan peranan tersebut setiap orang, lembaga, institusi dan lain-lain mempunyai peran pada masing-masing kedudukannya, lembaganya, atau institusinya. Polri berperan dalam sistem keamanan nasional, menjaga stabilitas keamanan, menciptakan kondisi negara dalam keadaan tidak kacau sehingga tujuan pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik.127

126 Indria Samego., Peranan Polri Dalam Kerangka Kerja Sistem Keamanan Nasional, (Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006), hal. 1. 127 http://indonesia.heartnsouls.com/cerita/d/c370.shtml, diakses tanggal 16 Juni 2011.

Universitas Sumatera Utara Setelah orde baru, paradigma Polri berbeda dengan sebelumnya dimana bahwa Polri tidak lagi dijadikan sebagai instrumen dalam rejim pembangunan bangsa

Indonesia saat ini, maka dikenal sebagai pengemban Tri Brata melakukan perubahan mulai dari paradigmatik sampai ke empirik.128 Tanpa semangat yang demikian, kepercayaan publik atas perubahan peran yang dimaksud akan terus merosot. Apabila hal tersebut terjadi, maka terhadap institusi Polri tidak dapat dikatakan sebagai

Kepolisian Republik Indonesia, melainkan Kepolisian yang jauh dari rakyat yang harus dilindungi dan dilayani yakni rakyat Indonesia.

Plato, menyebutkankan ada 3 (tiga) kekuatan sosial yang sangat mempengaruhi stabilitas suatu negara. Tiga kekuatan sosial tersebut adalah: Militer

(Angkatan Bersenjata); Kaum intelektual; dan Kaum Interpreneur (pengusaha).129

Apabila ketiga kekuatan sosial ini dapat dijalankan sesuai dengan peranan dan fungsinya masing-masing, dapat dipastikan bahwa pembangunan nasional di

Indonesia dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 beserta amandemennya. Teori Plato tersebut dibenarkan dan diterapkan dalam tubuh Polri sejak Sanoesi diangkat menjadi Kapolri pada tahun

128 Awaloedin Djamin., Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, Op. cit., hal. 493. Sesuai dengan tuntutan reformasi, Tri Brata pun mendapatkan pemaknaan baru. Bila sebelumnya menggunakan bahasa Sangskerta, sejak Sarasehan Sespimpol tanggal 17-18 Juni 2002 di Lembang, dasar dan pedoman moral Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam bahasan Indonesia maknanya adalah: pertama, berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketaqwaan kepada tuhan Yang Maha Esa; kedua. menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; dna ketiga senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. 129 Plato, dalam Sanoesi., Op. cit., hal. 342.

Universitas Sumatera Utara 1987 dijadikannya sebagai strategi dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat di Indonesia.130

Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Polri yang selanjutnya menyebabkan pula munculnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya.131

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Kepolisian) didasarkan kepada paradigma baru sehingga dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Polri sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD

1945.132

130 Ibid. 131 Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. 132 Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun,

Universitas Sumatera Utara Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap Polisi memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.133

Diharuskan komitmen para pejabat Polri terhadap pelaksanaan tugasnya dan juga komitmen masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam mewujudkan Polri yang mandiri, profesional, dan memenuhi harapan masyarakat. Fungsi Kepolisian dalam Pasal 2 ditegaskan sebagai fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pemaknaan fungsi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat bisa beragam dan berbagai tinjauan, namun kesamaan persepsi dan langkah tindak dari pemaknaan peran itu mengandung makna bahwa pelindung adalah kemampuan Polri memberikan perlindungan terhadap masyarakat sehingga terbebas dari rasa takut, bebas dari ancaman atau bahaya serta merasa tenteram dan damai. Pengayom dimaknai kemampuan Polri memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, dorongan, dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi. 133 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 mengatur pula pembinaan profesi dan kode etik profesi agar tindakan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, moral, maupun secara teknik profesi dan terutama hak asasi manusia.

Universitas Sumatera Utara ajakan, pesan, dan nasehat yang dirasakan bermanfaat bagi masyarakat guna tercapainya rasa aman dan tenteram. Pemaknaan pelayan adalah kemampuan Polri dalam setiap langkah pengabdiannya dilakukan secara bermoral, beretika, bermoral, sopan, ramah, dan proporsional.134

Polri sebagai pelaksana fungsi pemerintahan harus berprinsip dan berpijak pada etika, dan melakukan pengawasan atas birokrasi yang bertanggung jawab melaksanakan kebijaksanaan dan program. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah harus pula mengedepankan kemauan politik untuk menjaga tata kelola pemerintahannya selalu bersih (good governance). Sebab Polri salah satu penopang pemerintahan pada dasarnya memiliki tugas pokok yaitu melayani publik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang meliputi: Partisipasi masyarakat;

Tegaknya supremasi hukum; Transparansi; Peduli pada stakeholder; Berorientasi pada konsensus; Kesetaraan; Efektivitas dan efisiensi; Akuntabilitas; dan Visi strategis. Agar berjalan good governance semua prinsip-prinsip Good Governance harus diupayakan oleh Birokrasi Pemerintah. Oleh karena itu, prinsip-prinsip tersebut harus menjadi pedoman birokrasi Polri dalam melaksanakan tugas, dan wewenangnya untuk melindungi, mengayomi, dan melayani publik.135

Dalam Bab III UU Kepolisian Republik Indonesia, terdapat 7 (tujuh) ketentuan yang menentukan mengatur tentang tugas dan wewenang Polri dalam

134 Dadang Garnida, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri Di Lapangan, (Jakarta: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2005), hal. 10. 135 Sofyan Nasution, “Upaya Mendorong Birokrasi Pemerintah Berlandaskan Prinsip-Prinsip Good Governance”, Makalah Disampaikan pada Seminar tentang Diseminasi Policy Paper, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara, hal. 1-5.

Universitas Sumatera Utara mewujudkan pengayoman, perlindungan, dan pelayanannya terhadap masyarakat, yaitu: Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19. Dalam

Pasal 13 UU Kepolisian, disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah: Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; Menegakkan hukum; dan Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas, namun ketiga-tiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas pokok mana yang akan dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan. Di samping itu, dalam pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma agama, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Pasal 14 ayat (1) UU Kepolisian ditentukan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

Universitas Sumatera Utara f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15 ayat (1) UU Kepolisian ditentukan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14

Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan; b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti; j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Universitas Sumatera Utara Sementara itu dalam Pasal 15 ayat (2) UU Kepolisian ditentukan pula bahwa

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:

a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Tugas dan wewenangnya dalam bidang pidana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) ditentukan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik

Indonesia berwenang untuk:

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

Universitas Sumatera Utara g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l di atas adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.

Sehubungan dengan tugas dan wewenang Kepolisian di atas, dalam hal pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut dalam Pasal 17 disebutkan bahwa Pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan wewenangnya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hubugan antara tugas dan wewenang dengan keadaan darurat mengenai suatu hal tertentu, maka untuk mengantisipasi keadaan darurat tersebut, dalam Pasal 18 disebutkan pula tindakan yang perlu diambil dan dianggap perlu. Katentuan Pasal 18 berbunyi:

Universitas Sumatera Utara a. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Polri tidak dibenarkan bertindak dengan sewenang-wenang dalam menangani setiap perkara atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Namun harus berpedoman kepada ketentuan dalam

Pasal 19 yang menyebutkan bahwa Polri harus mengindahkan norma-norma yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat, selengkapnya ketentuan dalam Pasal 19 dinyatakan sebagai berikut:

a. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. b. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.

Dengan tugas dan wewenang yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Polri dapat mengemban amanah undang-undang sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku khususnya pasal-pasal yang berhubungan dengan kejahatan misalnya kejahatan terorisme. Sebagaimana Indria Samego, menyebutkan bahwa Polri dalam sangat diharapkan dalam memberantas kejahatan secara mandiri dan profesional.136

136 Indria Samego., Reformasi Berkelanjutan: Institusi Kepolisian Republik Indonesia, Bidang Sumber Daya Manusia, Kemitraan, (Jakarta: LMUI dan Kepolisian Negara RI, 2006), hal. 7.

Universitas Sumatera Utara Sedemikian rincinya disebutkan peranan Polri dalam UU Kepolisian sebagaimana tersebut di atas, menurut Awaloedin Djamin, menjadikan Polri memiliki tugas mulai dari proses pre-emptif, preventif, dan refresif. Keseluruhan tugas dan wewenang tersebut, merupakan fungsi Polisi yang bersifat universal. Namun, dalam konteks di Indonesia, Polri lebih ditekankan kepada fungsi preventif dan refresif.137

Untuk menjalankan fungsi tersebut, UU Kepolisian sebagai acuan legalitas Polri dalam memberantas dan menanggulangi semua tindak pidana termasuk tindak pidana terorisme yang sangat membahayakan NKRI.

2. Polri Sebagai Penegak Hukum

Polri sebagai penegak hukum merupakan sub sistim dari Sistim Peradilam

Pidana (SPP) harus melibatkan peran struktur hukum masing-masing institusi terkait dalam sistim hukum (legal system). Teori legal sistim (legal system theory) merupakan tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.138 Sudikno Mertokusumo, mengatakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.139

137 Awaloedin Djamin., Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan: Dulu, Kini, dan Esok, (Jakarta: PTIK Press, 2007), hal. 54. 138 R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169. 139 Ibid.

Universitas Sumatera Utara Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, mengatakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain.. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.140 Tiga komponen legal system menurut

Lawrence M. Friedman, yaitu:141

a. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya, dan lain-lain; b. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan; c. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan- keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Hukum akan mampu dan efektif di tengah masyarakat, apabila instrumen- instrumen pelaksananya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum atau sub sistim sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.

140 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 151. 141 Lawrence M. Friedman, dalam Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.

Universitas Sumatera Utara Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, yakni sub sistim Polri.142

Struktur hukum Polri merupakan elemen atau sub sistim dalam penegakan hukum, jika elemen Polri dari tiga kompenen sistim hukum di atas, tidak bekerja dengan baik, berimplikasi kepada terganggunya elemen yang lain dalam sistim hukum tersebut, hingga pada gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak efektif. Komponen-komponen sistim hukum di atas dipertegas oleh Soerjono

Soekanto143, yang merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.

Terkait dengan bekerjanya ketiga elemen dalam Sistim Peradilan Pidana

(SPP), Pasal 14 ayat (1) UU Kepolisian ditentukan ditegaskan norma-norma yang mengatur tentang penegakan hukum oleh Polri. Diantaranya adalah:

b. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; c. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; d. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; e. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

142 Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204. 143 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

Ada empat tugas Polri tentang penegakan hukum menyangkut SPP sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (1) di atas. Sementara Pasal 15 ayat (1)

UU Kepolisian ditentukan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Kepolisian Negara Republik

Indonesia secara umum berwenang:

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan; b. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; c. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; d. Mencari keterangan dan barang bukti; e. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat.

Menurut ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Kepolisian terdapat lima norma yang mengatur penegakan hukum bagi Polri terkait dengan SPP. Dalam Pasal 15 ayat (2)

UU Kepolisian hanya ada ditentukan wewenang Polri menyangkut penegakan hukum yakni terdapat dalam huruf h yaitu melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional. Hal ini terkait wewenang Polri untuk menjalin kerjasama dengan pihak Interpol antara negara apabila tersangka melarikan diri ke negara lain terkait dengan tindak pidana.

Penegakan hukum dalam bidang pidana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) ditentukan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di bidang proses pidana, wewenang tersebut menyangkut:

b. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; c. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

Universitas Sumatera Utara d. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; e. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; f. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; k. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; l. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan m. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Keentuan dalam Pasal 16 ayat (1) UU Kepolisian di atas erat kaitannya dengan penegakan hukum oleh Polri dalam Sistim Peradilan Pidana. Dalam penegakan hukum, Polri melakukan tugas ketika terjadinya suatu perkara mulai dari penyelidikan, penyidikan, pembuatan Berita Acara Pemeriksaan, hingga pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan. Tugas tersebut harus dilakukan Polri dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika profesi yang diatur dalam Kode Etik

Kepolisian. Sebab, dalam pelaksanaan tugas di lapangan menyangkut dengan manusianya yakni terbuka peluang besar bagi Polisi melakukan pelanggaran- pelanggaran hukum. Itulah sebabnya, Robert B. Seidman, mengatakan bahwa oknum

Universitas Sumatera Utara itu mereka yang membuat, melaksanakan hukum, justru terkena sasaran peraturan perundang-undangan karena melanggar hukum.144

B. Perkembangan Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

1. Perkembangan Peristiwa Terorisme

a. Peristiwa Terorisme di Dunia

Terorisme sesunggunya bukanlah fenomena baru karena terorisme telah ada sejak abad IX dalam percaturan politik internasional. Terorisme pada awalnya bersifat kecil dan lokal dengan sasaran terpilih dan berada dalam kerangka low intensity conflict, pada umumnya berkaitan erat dengan domestik suatu negara.145

Ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tirani. Pembunuhan terhadap individu ini dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah Terorisme modern.146

Manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh abad IX, meskipun terorisme di abad VIII sudah ada,

144 Robert B. Seidman, dalam Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru Utama, 2005), hal. 84. 145 Moch. Faisal Salam., Motivasi Tindakan Terorisme, Op. cit., hal. 1. 146 http://buletinlitbang.dephan.go.id/, diakses tanggal 15 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Terorisme pada abad IX menjelang terjadinya Perang Dunia I terjadi hampir di seluruh belahan dunia.

Pertengahan abad IX, terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan

Amerika. Pelakunya percaya bahwa terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. Pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada

Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.

Terorisme sebelum Perang Dunia II, dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 1950-an, dilakukan oleh sekelompok orang yang memopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Pada tahun 60-an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Bentuk terorisme di tahun 1960-an berkembang melalui tiga sumber, yaitu:147

1) Kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM. 2) Pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalis setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.

147 Muladi., Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hal. 168.

Universitas Sumatera Utara 3) Kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.

Pasca Perang Dunia II tidak pernah mengenal “damai”. Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur dan Barat. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara-negara di dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak negara berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya Terorisme.

Terorisme dewasa ini berkembang dengan dimensi gaya baru meliputi sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya. Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:148

1) Adanya maksimalisasi korban secara sangat mengerikan. 2) Keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin. 3) Serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.

Terorisme dewasa ini telah berdimensi luas berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan dan melampaui batas-batas antar negara sehingga tidak dapat dikategorikan lagi sebagai low intensity conflict. Teorisme tidak lagi menjadikan kehidupan politik menjadi sasarannya sebagaimana pada awal kemunculannya, tetapi telah merambah dan merusak serta menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia,

148 http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_terorisme, diakses tanggal 25 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara seperti menurunnya kegiatan ekonomi dan terusiknya kegiatan kemanusiaan dan budaya masyarakat yang beradab sehingga terorisme digolongkan sebagai salah satu trans national crmie. Sebab terorisme telah membangun organisasi global dimana kelompok-kelompok terorisme yang beroperasi di berbagai negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme internasional serta memiliki hubungan dan mekanisme kerja sama satu sama lain.149

Peristiwa pada tanggal 11 September 2001 mengejutkan dunia. Dua pesawat berpenumpang dibajak menabrak Menara Kembar World Trade Center di New York.

Peristiwa ini secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi dunia yang membesarkan nama Osama bin Laden sebagai pelakunya dari jaringan Al-Qaeda dituduh pemerintah Amerika Serikat sebagai dalang dari semua peristiwa tersebut.

Penuduhan itu tanpa bukti yang jelas, sehingga pada tanggal 13 Desember

2001 pemerintah Amerika Serikat menyebarluaskan bukti atas rekaman video yang memperlihatkan Osama bin Laden berbincang-bincang dalam jamuan makan dengan beberapa pembantunya dan seorang Syeikh Yahudi yang tak dikenal, pemerintah

Amerika Serikat dengan lantang mengatakan Osama bin Laden berada di belakang semuanya dan kemudian mengultimatum pemerintah Afganistan yang selama ini melindungi Osama agar menyerahkannya dan pengikut-pengikutnya yang berlindung

149 Moch. Faisal Salam., Motivasi Tindakan Terorisme, Loc. cit.

Universitas Sumatera Utara di Afganistan. Tanggal 7 Oktober 2001, Amerika Serikat memulai serangannya dengan menjatuhkan bom di atas Afganistan.150

Peristiwa tanggal 11 September 2001 menimbulkan pro dan kontra, bahkan cenderung menjadi sentimen Muslim dan non-Muslim. Ternyata peristiwa 11

September memiliki dampak global terhadap perang melawan terorisme yang dipelopori Amerika Serikat. Walaupun peristiwa tanggal 11 September 2001 masih perlu dipertanyakan, namun peristiwa tanggal 11 September 2001 di New York mengubah pandangan dunia akan pentingnya perang melawan terorisme.

Tindakan terorisme sebagai cara (means) atau senjata bagi kelompok yang lemah atau tertekan terhadap yang pihak yang kuat seperti dilakukan oleh kelompok

IRA di Irlandia, Red Army di Jepang, Palestina di daerah pendudukan Israel, gerilyawan NPA di Philipina, Harakat Al-Anshar (dikenal juga sebagai Harakat Al-

Mujahidin) di Pakistan, Gerilyawan Laskar Jhangvi di Kasmir, Jama’at Ulemai-

Islami dan Sephai-Sahaba di Pakistan, Macan Tamil di Srilanka, Aum Shinrikyo di

Jepang. Hal paling terkenal karena mempunyai jaringan luas secara global dan mempunyai akses ke berbagai kelompok teroris atau kelompok radikal militan dan dengan dukungan dana yang besar adalah organisasi Al-Qaeda pimpinan Osama bin

150 http://oldposts.binsarspeaks.net/?p=90, diakses tanggal 27 Maret 2011. Peristiwa Penabrakan Menara Kembar World Trade Center di New York tanggal 11 September 2001 masih dipertanyakan.

Universitas Sumatera Utara Laden. Organisasi ini mempunyai infrastruktur operasional (operational infrastructure) dan infrastruktur pendukung (support infrastructure).151

b. Peristiwa Terorisme di Indonesia

Terkait dengan peristiwa tanggal 11 September 2001 di New York yang mengubah pandangan dunia akan pentingnya perang melawan terorisme belum membawa dampak apa-apa terhadap cara pemerintah Indonesia untuk melawan terorisme. Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya Bom

Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan

Peddy’s Club, Kuta, Bali. Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi terorisme di

Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada tanggal 19 April 1999, Bom Malam

Natal pada tanggal 24 Desember 2000, Bom di Bursa Efek Jakarta pada September

2000, serta penyanderaan dan pendudukan Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh

Merdeka pada tahun yang sama.

Peristiwa-peristiwa tindakan terorisme di Indonesia pada tahun 1981, Garuda

Indonesia atas penerbangan 206, pada tanggal 28 Maret 1981. Sebuah penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan dengan pesawat DC-9 Woyla berangkat dari Jakarta pada pukul 8 pagi transit di Palembang dan akan terbang ke

Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55 di Medan. Pesawat tersebut dibajak oleh 5 orang teroris yang menyamar sebagai penumpang pada saat penerbangan. Teroris bersenjata senapan mesin dan granat dan mengaku sebagai

151 Bahtiar Marpaung., “Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia”, Jurnal Equality, Vol. 12, No. 2 Agustus 2007, hal. 5.

Universitas Sumatera Utara anggota Komando Jihad. Dalam insiden ini satu orang kru pesawat tewas, satu orang tentara komando tewas, dan 3 orang teroris tewas.152

Bom Kedubes Filipina tanggal 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina di Menteng, Jakarta Pusat.

Dua orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina,

Leonides T Caday. Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Peristiwa ini tidak ada korban jiwa. Bom Bursa Efek Jakarta tanggal 13 September 2000. Ledakan mengguncang lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta, 10 orang tewas, 90 orang luka-luka, 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan. Bom malam Natal tanggal 24

Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malam Natal di beberapa kota di

Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.153

Bom Gereja Santa Anna dan HKBP tanggal 22 Juli 2001. Peristiwa ini terjadi di Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, 5 orang tewas. Bom Plaza Atrium Senen

Jakarta tanggal 23 September 2001 mengakibatkan 6 orang luka-luka. Bom restoran

KFC di Makassar tanggal 12 Oktober 2001, ledakan bom mengakibatkan kaca, langit- langit, dan neon sign KFC pecah, namun tidak ada korban jiwa. Bom sekolah

152 http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5070643, diakses tanggal 27 Maret 2011. 153 http://ayodonkbaby.blogspot.com/2009/07/bom-lagi.html, diakses tanggal 27 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara Australia di Jakarta tanggal 6 November 2001 yakni tepatnya di halaman Australian

International School (AIS) di Pejaten, Jakarta.154

Bom Tahun Baru tanggal 1 Januari 2002 meledak di depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta, mengakibatkan satu orang tewas dan seorang lainnya luka- luka. Peledakan bom di Palu (Sulawesi Tengah) terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja tidak ada korban jiwa. Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 (Bom Bali

I) terjadi tiga ledakan mengguncang Bali mengakibatkan 202 korban yang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan di

Manado (Sulawesi Utara) bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa. Bom restoran McDonald’s di Makassar tanggal 5 Desember 2002 mengakibatkan 3 orang tewas dan 11 luka-luka.155

Bom Bali I direncanakan pada tangal 11 September 2002, bertepatan dengan peringatan setahun tragedi di Gedung World Trade Center di New York. Peristiwa tanggal 11 September 2002 mengawali “perang global” terhadap terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Kebijakan Amerika Serikat yang berat sebelah seperti memunculkan “jihad adalah terorisme” khususnya di kalangan umat Islam. Perang melawan terorisme menjadi alasan beberapa kelompok teroris untuk melakukan perlawanan, salah satunya dilakukan oleh Ali Imron, Ali Gufron, dan Amrozi.156

154 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2002/10/21/LUmbm.20021021.LU81897.id.ht, diakses tanggal 27 Maret 2011. 155 http://seputar-bali.blogspot.com/2007/11/tragedi-bom-bali-2002.html, diakses tanggal 27 Maret 2011. 156 http://www.hudzaifah.org/PNphpBB2-viewtopic-t-117.phtml, diakses tanggal 27 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara Bom meledak di Kompleks Mabes Polri Jakarta tanggal 3 Februari 2003. Bom rakitan ini meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta dan tidak ada korban jiwa. Bom meledak di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta pada tanggal 27 April

2003 tepatnya di area publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-

Hatta, Cengkareng, Jakarta mengakibatkan 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan. Bom meledak di Hotel JW Marriott pada tanggal 5 Agustus 2003 menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott mengakibatkan 11 orang meninggal dan

152 orang lainnya mengalami luka-luka.157

Bom meledak di Palopo pada tanggal 10 Januari 2004 yang menewaskan 4 orang. Bom meledak di depan kantor Kedubes Australia pada tanggal 9 September

2004, ledakannya mengakibatkan 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka, juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89,

Menara Grasia, dan Gedung BNI. Dua Bom Tentena meledak di Ambon pada tanggal

21 Maret 2005 mengakibatkan 22 orang tewas. Bom meledek di Pamulang

(Tangerang) tanggal 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan

Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M. Iqbal di

Pamulang Barat tidak ada korban jiwa.158

Bom Bali pada tanggal 1 Oktober 2005 ( Bom Bali II) sekurang-kurangnya 23 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan mengenai R. AJA’s Bar dan

157 http://mafiaindonesia.blogspot.com/2008/11/catatan-serangan-teroris-indonesia.html, diakses tanggal 27 Maret 2011. 158 http://arulalmy.wordpress.com/2009/07/22/teror-ledakan-bom-jw-marriot-dan-ritz-carlton/, diakses tanggal 27 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara Restoran, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Cafe Jimbaran. Bom meledak di Pasar Palu (Sulawesi Tengah) tanggal 31 Desember 2005 menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang. Peledakan bom terhadap Kedutaan Besar RI

(KBRI) di Kabul-Afghanistan pada bulan Juli 2008, mengakibatkan lima orang petugas keamanan KBRI tewas dan dua orang diplomat luka-luka dan 60% kaca dan pintu hancur, serta bangunan KBRI di Kabul rusak parah.159

Peristiwa peledakan bom oleh kelompok teroris sepanjang tahun 2000 sampai dengan 2009 terhitung sudah 28 kali terjadi.160 Bom meledak di Jakarta tanggal 17

Juli 2009 mengakibatkan dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-

Carlton. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB. Kemudian aksi penembakan warga sipil di Aceh pada bulan Januari 2010. Sepanjang bulan Maret

2011 tiga paket bom buku ditujukan kepada aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil

Abshar Abdalla, Ketua Umum Pemuda Pancasila (PP) Yapto S. Soerjosoemarno, dan

Kepala Pelaksana Harian BNN Komjen Pol. Gorries Mere, dan Musisi Ahmad

Dhani.161

Hasil investigasi kasus bom Bali dan Makassar telah mengungkapkan fakta- fakta yang jelas tentang keterkaitan antara para pelaku dari kelompok radikal militan lokal dengan jaringan terorisme internasional Jamaah Islamiyah pimpinan Abu Bakar

Ba'asyir. PBB telah menetapkan Jamaah Islamiah sebagai organisasi terorisme

159 http://www.austlii.edu.au/au/legis/cth/consol_act/cca1995115/, diakses tanggal 26 Maret 2011. 160 Galih Priatmodjo., Densus 88 The Undaercover Squad-Mengungkapkan Kesatuan Elit “Pasukan hanut” Anti Teror, (Yogyakarta: Narasi-Anggota IKAPI, 2010), hal. 9. 161 http://karodalnet.blogspot.com/2011/03/teror-bom-buku-marak.html, diakses tanggal 28 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara internasional dan merupakan bagian dari jaringan Al-Qaedah. Al-Qaeda memulai infiltrasinya melalui orang-orang radikal Indonesia yang berada di Malaysia. Pada tahun 1992 Abdulah Sungkar mendirikan Jamaah Islamiah setelah ia bertemu dengan

Osama bin Laden di Afganistan dan menetapkan secara resmi bahwa Jamaah

Islamiah adalah Assosiate Group dari Al-Qaeda. Selama di Malaysia Al-Qaeda mengembangkan Jamaah Islamiah menjadi suatu Pan Asia Network. Jamaah Islamiah kemudian mengkumandangkan suatu perjuangan jihad untuk membentuk Qaulah

Islamiah yaitu suatu Republik Islam yang mencakup Thailand Selatan, Malaysia,

Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam dan Philipina Selatan.162

Abu Bakar Ba'asyir menjadi pimpinan Jamaah Islamiah dimulai pada tahun

1998 yaitu suatu organisasi regional dan mengikuti model organisasi Al-Qaeda dengan Amir sebagai kepala (Abu Bakar Ba’asyir) dibantu oleh suatu shura regional yang terdiri atas Ridwan Isamudin alias Hambali (Operation Head), Muhammad

Iqbal dan Fais Abu Bakar Bafana. Shura regional ini berpusat di Malaysia (termasuk

Singapura), shura Indonesia dan shura Philipina Selatan. Shura regional berpindah ke

Indonesia pada tahun 2000 berpusat di Surakarta.163 Peledakan bom di Indonesia yang digolongkan sebagai serangan teroris telah dimulai pada tahun 1998, yaitu peledakan bom di gedung Atrium Senen, Jakarta. Sejak saat itu, rangkaian peledakan bom terjadi di berbagai wilayah Indonesia dengan berbagai target atau sasaran yang berbeda-beda hingga sampai saat ini.

162 Bahtiar Marpaung., Op. cit., hal. 5. 163 Ibid.

Universitas Sumatera Utara 2. Landasan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Peristiwa-peristiwa terorisme di atas, jika tidak diberantas akan membawa dampak besar terhadap stabilitas perekonomian suatu negara, memperburuk citra negara itu, menimbulkan ketakutan warga negara sehingga pembangunan nasional pun dapat terganggu. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia terus melakukan upaya dan langkah-langkah memberantas tindakan-tindakan.

Pasca serangan teroris terhadap WTC dan Pentagon pada tanggal 11

September 2001 dan serangan teror bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 organisasi teroris Al-Qaeda dan kelompok-kelompok teroris yang terkait dengan Al-

Qaeda termasuk Jamaah Islamiah di Asia Tenggara telah dijadikan prioritas dan target utama dalam perang melawan terorisme. PBB telah mengeluarkan resolusi

Majelis Umum PBB No.A/Res/56/1 tanggal 12 September 2001 mengenai serangan teroris terhadap WTC dan Pentagon dan resolusi Dewan Keamanan PBB No.1438 tanggal 14 Oktober 2002 tentang peristiwa peledakan bom di Bali. Masyarakat internasional telah sepakat untuk bekerjasama memerangi terorisme. Pada tingkat nasional tanggal 18 Oktober 2002 pemerintah RI telah mengeluarkan Perpu No.1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diikuti Inpres No. 4

Tahun 2002 tentang Penunjukan Instansi Pemerintah yang Berwenang untuk

Mengkoordinasikan Tindakan Memerangi Terorisme. Kemudian dilanjutkan dengan penetapan Perpu No.1 Tahun 2002 menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

Universitas Sumatera Utara Kepolisian Republik Indonesia berada di garda terdepan melakukan perlawanan terhadap terorisme untuk melakukan pemberantasan. Peran Kepolisian sebagaimana telah didasarkan dan diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh

Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dibentuknya Detasemen Khusus 88 bersamaan dengan pemisahan tugas dan peran sektor keamanan antara TNI dan Polri di awal tahun 2000 membawa dampak sosial politik yang tidak sederhana. Hal ini berimplikasi pada pengendalian sektor keamanan dalam negeri yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Polri dan keamanan negara secara umum menjadi porsi TNI bersama Departemen Pertahanan.

Ada tiga badan yang bertugas dalam bidang-bidang tertentu berada di bawah struktur organisasi Mabes Polri yaitu Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam), Badan

Resesre Krminal (Bareskrim), Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam), dan Korps

Brigade Mobil (Korbrimob). Bareskrim Polri merupakan unsur pelaksana utama Polri pada tingkat Markas Besar yang berada di bawah dab bertanggung jawab kepada

Kapolri. Bareskrim Polri dipimpin oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Polri

(Kabareskrim Polri) yang bertanggung jawab kepada Kapolri dan dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari di bawah kendali Wakapolri. Susunan Organisasi Bareskrim

Universitas Sumatera Utara Polri berdasarkan Lampiran Keputusan Kapolri No. Pol.: KEP/22/VI/2004 tanggal 30

Juni 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-Satuan Organisasi Pada Tingkat

Markas Besar, terdiri dari tiga unsur:

a. Unsur Pimpinan. Yaitu: Kepala Bareskrim Polri (Kabareskrim Polri) dan

Wakil Kabareskrim Polri (Wakabareskrim Polri).

b. Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf. Yaitu: Biro Perencanaan dan

Administrasi (Rorenmin) dan Biro Analisis (Roanalisis).

c. Unsur Pelaksanaan Staf Khusus/Teknis. Yaitu: Pusat Laboratorium Forensik

(Pus Labfor), Pusat Identifikasi (Pus Ident), Bidang Koordinasi dan

Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Bidkorwas PPNS), Unsur

Pelaksana Utama Direktorat Bareskrim Polri (Ditbareskrim Polri) terdiri dari

5 (lima) Direktorat dan 1 (satu) Detasemen Khusus sebagai berikut:

1) Direktorat I (Dit I) yang menangani tindak pidana terhadap keamanan

Negara dan tindak pidana umum.

2) Direktorat II (Dit II) yang menangani tindak pidana dalam bidang

ekonomi dan keuangan/perbankan serta kejahatan khusus lainnya.

3) Direktorat III (Dit III) yang menangani tindak pidana korupsi, kolusi, dan

nepotisme.

4) Direktorat IV (Dit IV) yang menangani tindak pidana narkoba.

5) Direktorat V (Dit V) yang menangani tindak pidana tertentu yang tidak

ditangani oleh Dit I sampai dengan Dit IV.

Universitas Sumatera Utara 6) Detasemen Khusus 88/Anti Teror (Densus 88/AT) yang menangani

kejahatan Terorisme.

Badan Polri yang secara khusus menangani kriminal pada tahun 1997 masih bernama Korps Reserse Polri dipimpin oleh Komandan Korps Reserse dengan pangkat Mayor Jenderal Polisi berdasarkan Skep Panglima ABRI No:

Kep/10/VII/1997 tanggal 7 Juli 1997 tentang Validasi Organisasi di lingkungan Polri membawahi: Direktorat Serse Umum; Direktorat Serse Ekonomi; Direktorat Serse

Narkoba; Direktorat Serse Udpal; Direktorat Korwas PPNS dan Tipiter; Direktorat

Tipikor; dan Pusat Informasi Kriminil.

Korps Reserse Polri pada tanggal 30 Juni 2004 berganti nama menjadi Badan

Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) dipimpin oleh Kabareskrim dengan pangkat

Komisaris Jenderal Polisi berdasarkan Keputusan Kapolri No Pol: Kep/22/VI/2004 tanggal 30 Juni 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Bareskrim. Bareskrim membawahi: Biro Renmin; Biro Analis; Pus Labfor; Pus Ident; Bid Korwas PPNS;

Direktorat I Trannas; Direktorat II Eksus; Direktorat III Pidkor; Direktorat IV

Narkoba; Direktorat V Tipiter; dan Densus 88/AT.

Densus 88 Anti Teror dibentuk melalui Surat Keputusan (Skep) Kapolri pada masa Jenderal Da’i Bachtiar, Nomor: 30/VI/2003 tanggal 30 Juni 2003. alasan utama pembentukan Densus 88 Anti Teror adalah untuk menanggulangi meningkatnya kejahatan terorisme di Indonesia, khususnya aksi teror dengan modus peledakan bom.

Densus 88 Anti Teror dibentuk tiga bulan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

Universitas Sumatera Utara Pengenaan undang-undang menyangkut dengan kejahatan peledakan bom, selama ini dijerat berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan

Bahan Peledak, namun sekarang, jenis kejahatan peledakan bom termasuk tindak pidana terorisme dijerat melalui UUPTPT sebagai pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1963 tentang Subversi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian, kemudian dibentuknya Densus 88 Anti Teror melalui Surat Keputusan

(Skep) Kapolri Nomor: 30/VI/2003 tanggal 30 Juni 2003 yang berada di bawah

Bareskrim Polri, maka dengan demikian Densus 88 Anti Teror memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia.

Densus 88 Anti Teror merupakan unit pelaksana tugas penanggulangan teror dalam negeri oleh Polri yang memiliki keterkaitan yang erat dengan substansi dalam

UUPTPT. Pembentukan Densus 88 di tingkat Kepolisian Daerah (Polda) pertama kali duputuskan melalui Surat Perintah (Sprint) Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Firman

Gani, Nomor 883/VIII/2004 tanggal 24 Agustus 2004. Densus 88 Polda Metro Jaya awalnya memiliki 75 orang anggota terdiri dari perwira dan bintara. Hingga sampai saat ini anggota Densus 88 di tingkat Polda diberlakukan di seluruh Indonesia.

Universitas Sumatera Utara 3. Kebijakan Penanggulangan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan istilah yang tepat digunakan untuk menyebutkan langkah-langkah menanggulangi suatu kejahatan. Sebab, menurut

Mahmud Mulyadi, kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut Criminal Policy kurang tepat digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang artinya ”kebijakan kriminal” karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan (kriminal).164

Penanggulangan berbeda dengan pemberantasan. Penanggulangan tindak pidana dititikberatkan pada kebijakan-kebijakan mencegah, mengantisipasi terjadinya tindak pidana. Pemeberantasan tindak pidana dititikberatkan pada kebijakan- kebijakan dalam penerapan dan pelaksanaan hukum terhadap suatu tindak pidana yang telah terjadi. Penanggulangan dan pemeberantasan tindak pidana dilakukan setidaknya dapat mengurangi dan menghambat perkembangan tindak pidana. Upaya pemberantasan tindak pidana diperlukan: penerapan peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; penerapan prosedur hukum pidana; dan suatu mekanisme pelaksanaan hukum pidana.165

Upaya pemberantasan tindak pidana melalui penerapan peraturan-peraturan hukum dan sanksi, penerapan prosedur hukum pidana, dan suatu mekanisme pelaksanaan hukum pidana di atas merupakan upaya dalam kebijakan penal. Upaya

164 Mahmud Mulyadi., Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 50. 165 A. Mulder., dalam Barda Nawawi Arief., Op. cit., hal. 26.

Universitas Sumatera Utara penanggulangan, di samping menciptakan produk hukum pidana juga dilakukan langkah-langkah di laur dari hukum pidana (non penal). Kebijakan demikian diperlukan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana terorisme di

Indonesia.166

Integrasi pendekatan penal dan non penal disyaratkan dan diusulkan dalam

United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang dilatar belakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat dengan mengandalkan hukum pidana semata, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan dari sudur sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan.167 Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan non penal (pendekatan di luar hukum pidana).

a. Kebijakan Penal

Kebijakan penal dilakukan dalam dua tahap pertama tahap legislatif yakni pada tahap pembuatan undang-undang, dan kedua, tahap aplikatif yakni penerapan undang-undang. Tahap yang pertama (tahap legislatif) mencakup pembenaran atau melegalisasi asas-asas, norma-norma, sanksi, dan ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang yang akan dibuat, sedangkan pada tahap aplikatif yaitu meliputi

166 Ali Masyhar., Baya Indonesia Menghadang Terorisme, Op. cit., hal. 28-29. 167 Daniel Murdiyarso., Protokol Kyoto: Implikasinya Pada Negara-Negara Berkembang, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara penerapan asas-asas, norma-norma, dan ketentuan-ketentuan, sanksi-sanksi di dalam undang-undang terhadap perkara-perkara terkait dengan tindak pidana.168

Kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme melalui sarana penal dimaksud dengan mengoptimalkan hukum pidana. Mengoptimalkan hukum pidana mencakup hukum formil maupun materil dengan tujuan untuk melakukan pemberantasan tindak pidana karena tindak pidana itu telah terjadi. Konteks pemberantasan lebih tepat digunakan dalam pendekatan sarana penal (undang- undang) yang bersifat represif (menekan, mengekang, menahan, atau menindas) dan bersifat preventif (mencegah).

Salah satu penal yang dimaksud di sini adalah Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2003 yang pada awalnya hanya sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti

(Perppu) Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

Berdasarkan hal ini dapat dipahami telah ada suatu langkah atau kebijakan penal dari pemerintah dalam memberantas tindak pidana terorisme di Indonesia dengan menetapkan Perppu Nomor 1 tahun 2002 menjadi undang-undang dengan demikian tindak pidana terorisme diperlukan pengaturannya dikarenakan tergolong suatu tindak pidana yang sangat membahayakan dan mengancam seluruh aspek.

168 Ewit Soetriadi., Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Dengan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 89.

Universitas Sumatera Utara Kebijakan penal yang bersifat represif dalam arti hukum materiil, sebagaimana Pasal 1 angka 1 UUPTPT memberikan batasan pengertian tindak pidana terorisme adalah suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subyektif dalam strafbaar feit, yaitu:169

1) Unsur Objektif dari strafbaar feit, adalah: a. Perbuatan orang; b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu; dan c. Keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. 2) Unsur Subyektif dari Strafbaar feit adalah: Orang yang mampu bertanggung jawab; dan Adanya kesalahan (dolus atau culpa).

Unsur-unsur tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam UUPTPT mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 19, dan unsur-unsur tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme diatur mulai dari Pasal 20 sampai dengan

Pasal 24. Ketentuan pasal-pasal dalam UUPTPT dapat dipahami unsur-unsur tindak pidana terorisme menurut Pasal 6 UUPTPT disebutkan:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atua mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUPTPT di atas, unsur-unsur tindak pidana terorisme dalam Pasal 6 adalah sebagai berikut:

169 Sudarto., Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 41.

Universitas Sumatera Utara 1) Dengan sengaja;

2) Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan;

3) Menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau

menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas

kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; atau

4) Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang

strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas

internasional.

Rumusan Pasal 6 yang berbunyi: ”...... dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal...... dst”, menunjukkan bahwa pasal tersebut dirumuskan secara ”materil”, yang dilarang adalah ”akibat” yaitu timbulnya suasana teror atau rasa takut atau timbulnya korban yang bersifat massal. Perumusan sebagai delik materiil, perlu dibuktikan”akibat” yaitu:

1) Suasan teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau

2) Korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau

hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau

3) Kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau

lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

Pasal 5 dari UUPTPT mengatur hal yang menarik dan bersifat khusus, yaitu tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang

Universitas Sumatera Utara berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 5 tersebut dimaksudkan agar tindak pidana terorisme tidak dapat berlindung di balik latar belakang, motivasi, dan tujuan politik untuk menghindarkan diri dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan penghukuman terhadap pelakunya. Kebijakan penal dalam ketentuan UUPTPT juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik (Mutual Legal Assistance-MLA) dalam masalah pidana antara

Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain.

Menurut UUPTPT perbuatan-perbuatan yang melanggar dan berhubungan dengan tindak pidana terorisme dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: Tindak pidana terorisme, diatur dalam Bab III, dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 19, dan Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, diatur dalam Bab III, dari

Pasal 20 sampai dengan Pasal 24.

Kelompok pertama memuat 35 (tiga puluh lima) perumusan tindak pidana terorisme dari Pasal 6 (termasuk juga percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat). Kelompok kedua mengatur tindak pidana yang berkaitan dengan proses penyidikan penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh orang-orang yang mencegah, merintangi atau menggagalkan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme.

Universitas Sumatera Utara Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, misalnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 UUPTPT berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Unsur-unsur tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme menurut Pasal 20 UUPTPT di atas mencakup:

1) Menggunakan kekerasan; atau

2) Ancaman kekerasan; atau

3) Dengan mengintimidasi;

4) Penyelidik; penyidik; penuntut umum; penasihat hukum; dan/atau hakim yang

menangani tindak pidana terorisme;

5) Sehingga proses peradilan menjadi terganggu.

Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 20 dikategorikan ke dalam unsur-unsur tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme adalah menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu. Berkaitan dengan kebijakan penal dalam menghadapi terorisme di Idonesia, Barda Nawawi Arief, mengatakan:170

Kebijakan strategis dalam penanggulangan kejahatan terletak pada kebijakan penanggulangan yang sensitif. Inilah yang tidak dipenuhi oleh kebijakan penal

170 Barda Nawawi Arief., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 183-184.

Universitas Sumatera Utara dalam menanggulangi kejahatan, karena kebijakan penal merupakan kebijakan parsial, represif dan simptomik. Walaupun kebijakan penal bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik atau kejahatan diharapkan ada efek pencegahan atau penangkalnya (deterent effect). Di samping itu kejahatan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan ”ketidaksukaan masyarakat (social dislike) atau ”pencelaan atau kebencian sosial” (social disaproval/social abhorence) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana ”perlindungan dengan sosial” (social defence), oleh karena itulah sering dikatakan bahwa kebijakan penal merupakan bagian integral dari social defence policy.

Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indoensia, Polri melakukan strategi yang merupakan kebijakan penal melalui upaya yang bersifat represif (yakni: menekan, mengekang, menahan, atau menindas) dan bersifat preventif (mencegah) sebagai berikut:

1. Upaya refresif dilakukan Polri sebagai berikut:

a. Mengoptimalkan peradilan dan perundang-undangan.

1) Mengoptimalkan UUPTPT yang ditujukan untuk pengenaan sanksi

terhadap pelaku terorisme;

2) Penelusuran aliran dana jaringan terorisme dengan mengenyampingkan

rahasia bank;

3) Pelaksanaan undang-undang pencucian uang secara konsisten;

4) Pembekuan aset organisasi terorisme dan kelompok yang berkaitan

dengan terorisme;

5) Pertukaran informasi dengan negara-negara lain melalui Mutual Legal

Assistance (MLA);

Universitas Sumatera Utara 6) Mengefektifkan konvensi-konvensi internasional dan melaksanakan

resolusi Dewan Keamanan PBB yang telah diratifikasi Pemerintah

berkaitan dengan upaya melawan terorisme;

7) Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara lain;

8) Pemberian perlindungan saksi;

9) Mempercepat proses peradilan khususnya peran Polri pada saat menyusun

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka terorisme, karena perkara

terorisme termasuk perkara yang harus dipercepat dalam proses peradilan; b. Investigasi.

1) Polri melakukan pengolahan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) secara

profesional;

2) Melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, pemeriksanaan

sesuai ketentuan hukum dengan menghindari terjadinya pelanggaran

HAM;

3) Melakukan kerja sama internasional dalam penyelidikan dan penyidikan

termasuk kerja sama penggunaan teknologi mutakhir dalam penyidikan;

4) Melakukan kerja sama internasional di bidang teknis seperti laboratorium,

cyber forensic, communication forensic, surveillance, Informasi dan

Teknologi, identifikasi dan dukungan teknis lainnya;

5) Memperbanyak dan mengintensifkan informan;

6) Pembebasan sandera;

Universitas Sumatera Utara c. Mengupayakan kekuatan bersenjata yakni dengan melakukan serangan ke

markas teroris atau ke tempat-tempat persembunyian teroris untuk dilakukan

penangkapan melalui pengoptimalan peran Densus 88 Anti Teror Polri yang

didukung oleh CRT di tingkat Polda di seluruh Indonesia;

2. Upaya preventif (pencegahan) oleh Polri dengan melakukan hal-hal berikut ini:

a. Melakukan peningkatan pengamanan dan pengawasan melalui operasi-operasi

khusus misalnya Patra Brimob siang dan malam hari terhadap penggunaan

senjata api; terhadap sistim transprotasi; terhadap sarana publik; sistim

komunikasi; terhadap sarana VIP; terhadap fasilitas diplomatik dan

kepentingan asing; terhadap fasilitas internasional; dan siaga menghadapi

serangan teroris secara tiba-tiba;

b. Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan kimia yang dapat dirakit

menjadi bom; pengawasan perbatasan dan pintu-pintu keluar dan masuk;

pengawasan dalam pemberian dokumen perjalanan (paspor, visa, dan

sebagainya); pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah pada aksi teror;

pengawasan pengeluaran Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan administrasi

kependudukan.

c. Intensifikasi pengamanan pemberian visa dengan negara tetangga;

d. Intensifikasi kegiatan pengamanan swakarsa;

e. Kampanye anti terorisme melalui media meliputi:

1) Peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap aksi terorisme;

2) Sosialisasi bahaya terorisme dan kerugian akibat tindakan teror;

Universitas Sumatera Utara 3) Penggunaan public figur terkenal untuk mengutuk aksi terorisme;

4) Pemanfaatan eks pelaku terorisme yang telah sadar dengan

mengikutkannya berkampanye anti terorisme;

5) Penggunaan wanted poster dan publikasi;

6) Pemanfaatan mantan korban aksi terorisme untuk menggugah empati dan

solidaritas masyarakat agar bangkit melawan terorisme; f. Penyelenggaraan pelatihan pers yang meliputi berita tentang terorisme; g. Melakukan latihan-latihan simulasi dari satuan-satuan anti teror TNI dan Polri

dalam penanganan terorisme; h. Pembentukan Kepolisian Khusus (Polmas) yang berada di setiap kelurahan

(kota) dan di desa-desa untuk melakukan pendataan terhadap warga

masyarakat berkaitan dengan penduduk yang menetap dan pendatang. Polmas

tidak efektif dikarenakan Pertama, setiap desa atau kelurahan hanya

ditempatkan 1 (satu) orang Polisi, Kedua, tidak ada pengawasan riil

(lapangan) oleh atasan terhadap petugas Polmas sehingga Polmas yang

bertugas tersebut tidak menjalankan tugasya sesuai dengan aturan, Ketiga,

Polmas-Polmas umumnya hanya bersifat meminta data dari Kepala Desa atau

Kepala Keluharan tanpa secara langsung turun ke lapangan melakukan

pendataan terhadap warga. i. Pelarangan penyiaran langsung wawancara dengan teroris karena dapat

berpengaruh negatif terhadap orang yang melihat dan/atau mendengarnya

melalui media;

Universitas Sumatera Utara j. Pelarangan publikasi naskah-naskah dan pernyataan-pernyataan para teroris;

k. Melakukan intelijen atau pengintaian, yang meliputi:

1) Melakukan pemantauan (surveilance) melalui penggunaan teknologi

mutakhir;

2) Melakukan penyusupan ke dalam organisasi teroris;

3) Melakukan pengembangan sistim deteksi dini; misalnya deteksi dini

terhadap provokasi permusuhan bernuansa SARA dan kebencian terhadap

kelompok agama atau negara tertentu; dan

4) Melakukan pertukaran informasi intelijen dengan negara lain;

l. Penetapan secara tegas organisasi teroris dan organisasi terkait sebagai

organisasi terlarang dan membubarkannya.

b. Kebijakan Non Penal

Mahmud Mulyadi mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal lebih bersifat tindakan (matregel) pencegahan sebelum terjadinya kejahatan.171 Oleh karena itu sasaran utamanaya adalah membuat kebijakan-kebijakan menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan itu. Barda Nawawi

Arief, mengatakan bahwa jika dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka

171 Mahmud Mulyadi., Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Op. cit., hal. 55.

Universitas Sumatera Utara usaha-usaha non penal mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.172

Peran Polri dalam memberantas tindak pidana terorisme dilakukan melalui kebijakan non penal yaitu hal-hal yang bersifat preemptif, resosialisasi, dan rehabilitasi serta pengembangan infrastruktur pendukung, diuraikan sebagai berikut:

1. Upaya preemtif Polri melakukan:

a. Pencerahan ajaran agama oleh tokoh-tokoh kharismatik dan kredibilitas tinggi

di bidang keagamaan untuk mengeliminir ekstrimisme dan radikalisme dalam

hal pemahaman ajaran agama oleh kelompok-kelompok fundamentalis garis

keras;

b. Melakukan politik pemerintah sebagai berikut:

1) Merespon tuntutan politik teroris dengan kebijakan politik yang dapat

mengakomodir aspirasi kelompok radikal;

2) Pelibatan kelompok-kelompok radikal yang potensial mengarah pada

tindakan teror dalam penyelesaian konflik secara damai melalui dialog,

negosiasi, dan sebagainya;

3) Penawaran konsesi politik bagi kelompok-kelompok non formal terlarang

menjadi gerakan formal secara konstitusional;

4) Pelibatan partai politik dan organisasi kemasyarakatan atau lembaga

swadaya masyarakat yang memiliki kemiripan visi dan ideologi dalam

dialog dengan kelompok-kelompok radikal;

172 Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 33.

Universitas Sumatera Utara 2. Upaya resosialisasi dan rehabilitasi dilakukan oleh Polri yaitu:

a. Redukasi terhadap para pelaku teroris yang telah mengalami “cuci otak”

dengan ideologi ekstrim/radikal sehingga eks pelaku dapat diresosialisasikan

dan direintegrasikan ke dalam cara-cara berfikir normal dalam kehidupan

masyarakat;

b. Perbaikan sarana dan prasarana serta fasilitas publik yang telah rusak;

c. Normalisasi pelayanan publik dan kegiatan masyarakat;

3. Pengembangan infrastruktur pendukung dilakukan oleh Polri meliputi:

a. Menerima dukungan melalui bantuan internasional untuk pengadaan peralatan

dan teknologi canggih untuk melawan terorisme khususnya bagi Densus 88

Anti Teror Polri;

b. Peningkatan kualitas SDM satuan-satuan pelaksana lapangan Polri misalnya

SDM intelijen, SDM anggota Densus 88, penyelidik dan penyidik Polri;

c. Bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan

Keamanan (Menkopolhukam) dalam pembangunan kapasitas organisasi

lembaga koordinasi agar efektif, tujuanya untuk mengantisipasi

perkembangan ancaman terorisme agar tidak terus beranjut misalnya

pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).173

Berdasarkan uraian di atas, keberhasilan penanggulangan dan pemberantasan kejahatan khususnya tindak pidana terorisme disyaratkan pada integritas berbagai pendekatan yang secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua kebijakan yaitu

173 http://www.rakyatmerdeka.org/news.php?id=368, diakses tanggal 5 Juni 2011.

Universitas Sumatera Utara kebijakan penal dan kebijakan non penal. Kebijakan penal lebih bersifat penerapan peraturan yang berlaku baik materil maupun formil dengan demikian kebijakan penal lebih dekat dengan makna ”pemberantasan” sebab pemberantasan mengandung arti bahwa kejahatan atau tindak pidana itu sudah terjadi sehingga diperlukan pemberantasannya. Kebijakan penal dalam memberantas tindak pidana terorisme dilakukan melalui pendekatan represif dan preventif.174

Berbeda halnya dengan kebijakan non penal lebih bersifat antisipatif terhadap kejahatan melalui upaya mengoptimalkan kebijakan-kebijakan dengan memperhatikan faktor-faktor kondusif yang berkemungkinan menimbulkan embrio terorisme. Kebijakan non penal menitikberatkan kepada pengkondisian terhadap hal- hal yang bisa menimbulkan kriminogen dengan melakukan pendekatan sosial.

Kebijakan non penal ini dapat meliputi preemptif, resosialisasi, dan rehabilitasi serta pengembangan infrastruktur pendukung.175

C. Pembentukan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri Sebelum Densus 88 Anti Teror Polri dibentuk, sudah ada 3 satuan anti teror yang dimiliki oleh TNI (AD, AL, AU) ditambah dengan BIN. Satuan khusus Polri awalnya diperankan oleh Detasemen Gegana Brimob yang dalam perkembangannya tugas peran Detasemen Gegana Brimob dipandang masih memiliki kelemahan. Hal

174 Pendekatan melalui preventif digolongkan kepada kebijakan penal dengan merujuk kepada referensi yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa pendekatan preventif terkadang dilakukan sebagai langkah dalam kebijakan penal dan sebahagiannya adalah kebijakan non penal. Barda Nawawi Arief., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Loc. cit. 175 Ibid., hal. 185.

Universitas Sumatera Utara ini terutama karena tugasnya masih bersifat upaya refresif belum mengembangkan upaya preventif sehingga Detasemen Gegana Brimob kurang memiliki kriteria sebagai unit anti teror karena hanya berfungsi sebagai satuan penindak (striking force).176

1. Sejarah Pembentukan Densus 88 Anti Teror Polri

Pemerintah Indonesia merespon perang global terhadap terorisme dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Terorisme yang kemudian dipertegas dengan diterbitkanya paket Kebijakan Nasional terhadap pemberantasan terorisme dalam bentuk Peraturan Pengganti Undang-undang

(Perpu) Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2002. Kementerian Koordinator Politik dan

Keamanan membentuk pula Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme yang langsung berada di bawah koordinasi Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan.

Desk tersebut memiliki legitimasi dengan adanya Surat Keputusan (Skep) Menko

Polkam yang saat itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono dengan Nomor Kep.

26/Menko/Polkam/11/2002.

Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme menegaskan bahwa kesatuan Anti

Teror Polri yang lebih dikenal dengan Detasemen Resimen IV Gegana Brimob Polri bergabung dengan tiga organisasi anti terror angkatan (yakni AD, AU, AL) dan intelijen. Institiusi anti teror tersebut kemudian melebur menjadi Satuan Tugas Anti

Terror di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. Penggabungan Detasemen

176 Galih Priatmodjo., Densus 88 The Undaercover Squad-Mengungkapkan Kesatuan Elit “Pasukan hanut” Anti Teror, Op. cit., hal. 39.

Universitas Sumatera Utara Gegana Brimob dengan AD, AU, AL, dan Intelijen tersebut tidak berjalan efektif, selain karena eskalasi ancaman terror sejak Bom Bali I dan konflik komunal yang memaksa masing-masing kesatuan anti terror akhirnya berjalan sendiri-sendiri.177

Eskalasi terorisme yang begitu cepat, Polri mengkhususkan permasalahan anti terror pada satuan tugas khusus dan akhirnya dibentuklah Satuan Tugas (Satgas) Bom

Polri yang tugas pertamanya adalah mengusut kasus Bom Natal tahun 2001 dilanjutkan dengan tugas-tugas terkait ancaman bom lainnya. Satgas Bom Polri ini menjadi begitu terkenal publik saat menangani beberapa kasus peledakan bom yang terkait dengan kalangan luar negeri misalnya Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, dan Bom di Kedubes Australia. Satgas ini berada di bawah Badan Reserse dan

Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dan dipimpin oleh perwira polisi bintang satu.178

Dengan demikian Polri memiliki satuan anti terror Gegana Brimob Polri, Satgas Bom

Polri, Polri juga memiliki organisasi sejenis dengan nama Direktorat VI Anti Teror di bawah Bareskrim Mabes Polri.

Keberadaan Direktorat VI Anti Teror Polri bertumpu dan memiliki peran yang sama sebagaimana yang diemban oleh Satgas Bom Polri, di samping itu dinamika

177 Densus 88 Anti Teror Polri merupakan salah satu dari unit anti teror di Indonesia, di samping: a. Detasemen Gegana Brimob Polri; b. Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD atau Grup 5 Anti Teror; c. Detasemen 81 Kopasus TNI AD (Kopasus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan anti teror); d. Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL; dan e. Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU dan satuan anti-teror BIN. 178 Kepala Satgas Bom Polri yang pertama adalah Brigadir Polisi Gories Mere , dan kemudian digantikan oleh Brigjen Polisi Bekto Suprapto, dan yang ketiga adalah Brigjen Polisi Surya Dharma Salim Nasution. Bekto dan Surya Dharma berturut-turut menjabat sebagai Komandan Densus 88 AT yang pertama dan kedua.

Universitas Sumatera Utara yang sangat cepat perihal ancaman dan teror, Mabes Polri akhirnya melakukan reorganisasi terhadap Direktorat VI Anti Teror dimana kemudian secara resmi pada masa Kapolri Jenderal Da’I Bachtiar dengan menerbitkan Skep Kapolri Nomor

30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 menandai terbentuknya Detasemen Khusus 88

Anti Teror Polri (Densus 88 AT Polri).179

Keberadaan Skep Kapolri Nomor 30/VI/2003 merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya UUPTPT yang mempertegas kewenangan Polri sebagai unsur utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, sedangkan TNI (AD, AU, AL) dan

BIN menjadi unsur pendukung dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.

Kondisi tersebut sesungguhnya sejalan dengan Inpres dan Perpu yang diterbitkan pemerintah sebelum UUPTPT disahkan menjadi undang-undang.

Ada tiga alasan hingga akhirnya Polri diberikan kewenangan utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, yakni:180 Pertama, pemberian kewenangan utama pemberantasan tindak pidana terorisme merupakan strategi pemerintah untuk dapat berpartisipasi dalam perang global melawan terorisme yang salah satunya adalah mendorong penguatan kesatuan khusus anti terorisme yang handal dan profesional dengan dukungan peralatan yang canggih dan SDM yang berkualitas.

Kedua, kejahatan terorisme merupakan tindak pidana yang bersifat khas, lintas negara (borderless) dan melibatkan banyak faktor yang berkembang di

179 Al-Arif & Anton Ali Abbas., TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik, (Bandung: Program Magister Studi Pertahanan Institut Teknologi Bandung, 2008), hal. 34. 180 Galih Priatmodjo., Densus 88 The Undaercover Squad-Mengungkapkan Kesatuan Elit “Pasukan hanut” Anti Teror, Op. cit., hal. 39-40.

Universitas Sumatera Utara masyarakat. Terkait dengan itu terorisme dalam konteks di Indonesia dianggap sebagai domain kriminal karena cita-cita separatism sebagaimana konteks terorisme di masa dulu tidak lagi menjadi yang utama, tetapi mengedepankan aksi terror yang mengganggu keamanan dan ketertiban serta mengancam keselamatan jiwa dari masyarakat. Karenanya terorisme dimasukkan ke dalam kewenangan Polri.

Ketiga, untuk menghindari sikap resistensi masyarakat dan internasional perihal pemberantasan terorisme jika dilakukan oleh TNI dan intelijen. Sebagaimana diketahui sejak mantan Presiden Soeharto dan rejimnya tumbang, TNI dan BIN dituding sebagai institusi yang mem-back up kekuasaan Soeharto. Sehingga pilihan mengembangkan kesatuan anti terror yang professional akhirnya berada di institusi

Polri dengan menitikberatkan pada penegakan hukum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Kepolisian.

Oleh karena alasan tersebut di atas, keberadaan Densus 88 AT Polri harus menjadi kesatuan professional yang mampu menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagaimana ditegaskan pada awal pembentukan.

Bila merujuk pada Skep Kapolri Nomor 30/VI/2003 tertanggal 30 Juni 2003 maka tugas dan fungsi Densus 88 AT Polri secara spesifik untuk menanggulangi dan memberantas meningkatnya kejahatan terorisme di Indonesia, khususnya aksi terror dengan modus peledakan bom. Densus 88 AT Polri adalah unit pelaksana peran Polri dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme sebagaimana tertuang dalam

UUPTPT.

Universitas Sumatera Utara Densus 88 Anti Teror Polri dibentuk setelah bom Bali tahun 2002 dan mulai beroperasi pada tahun 2003. Densus 88 Anti Teror berada di bawah perintah Badan

Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) dipimpin oleh Kabareskrim dengan pangkat

Komisaris Jenderal Polisi berdasarkan Keputusan Kapolri No Pol: Kep/22/VI/2004 tanggal 30 Juni 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Bareskrim yang sebelumnya

Bareskrim ini bernama Korps Reserse Polri pada pada tahun 1997. Korps Reserse

Polri berganti nama menjadi Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) pada tanggal 30 Juni 2004.181

2. Struktur Organisasi, Kemampuan Personil, Peralatan, dan Pembiayaan Densus 88 Anti Teror Polri

Struktur organisasi Densus 88 Anti Teror Polri memiliki empat pilar pendukung operasional setingkat Sub Detasemen (Subden) yakni: Subden Intelijen,

Subden Penindakan, Subden Investigasi, dan Subden Perbantuan. Subden-subden

Densus 88 Anti Teror Polri memiliki unit-unit yang menjadi pondasi pendukung bagi operasional Densus 88 Anti Teror Polri, seperti pada Subden Intelijen terdapat Unit

Analisa, Deteksi, Unit Kontra Intelijen, pada Subden Penindakan terdapat Unit

Negoisasi, Pendahulu, Unit Penetrasi, dan Unit Jihandak. Sedangkan pada Subden

Investigasi membawahi Unit Olah TKP, Unit Riksa, dan Unit Bantuan Teknis, pada

Subden Bantuan terdapat Unit Bantuan Operasional dan Unit Bantuan Administrasi.

181 Densus 88 Anti Teror Polri diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Firman Gani pada tanggal 26 Agustus 2004 yang pada awalnya beranggotakan 75 orang dan dipimpin oleh Ajun Komisaris Besar Polisi Tito Karnavian yang pernah mendapat pelatihan di beberapa negara.

Universitas Sumatera Utara Oleh karena struktur Densus 88 Anti Teror Polri yang memiliki subden-subden ini dapat dipahami bajwa Polri khususnya Densus 88 dalam memberantas tindak pidana terorisme di Indonesia dilakukan berbagai kebijakan baik kebijakan secara penal maupun non penal.182

Salah satu prasyarat dari rekruitmen bagi anggota dan personil Densus 88 Anti

Teror Polri dari negara pemberi bantuan dana mempersyaratkan pembentukan kesatuan khusus anti teror adalah anggota dan personil Polri yang belum pernah ditugaskan di Aceh, Papua, maupun Timor-Timur yang banyak melakukan pelanggaran HAM, akan tetapi agak sulit untuk direalisasikan persyaratan tersebut karena banyak dari personil Densus 88 Anti Teror Polri berasal dari Brimob Polri

(kesatuan khusus yang memiliki kualifikasi tempur). Sehingga permintaan tersebut diperlonggar dengan pola pendekatan keterampilan yang layak sebagai anggota kesatuan khusus. Selain unsur Brimob khususnya dari Gegana, unsur lain yang menjadi pilar pendukung Densus 88 Anti Teror adalah dari Badan Intelijen

Keamanan (Baintelkam) Polri dan Bareskrim. Selain itu, rekrutimen personil Densus

88 Anti Teror Polri juga dapat berasal dari Akademi Kepolisian (Akpol), Sekolah

Polwan, dan unsur sekolah kekhususan yang ada di lingkungan Polri.

Secara organisasi, Densus 88 Anti Teror Polri berada di bawah Mabes Polri dan Polda, untuk yang di Mabes Polri berada di bawah Badan Reserse Kriminal

(Bareskrim) Mabes Polri yang dipimpin oleh Kepala Densus 88 AT Polri dengan

182 Galih Priatmodjo., Densus 88 The Undaercover Squad-Mengungkapkan Kesatuan Elit “Pasukan hanut” Anti Teror, Op. cit., hal. 47.

Universitas Sumatera Utara pangkat Brigadir Jenderal Polisi. Pada tingkat Mabes Polri, Kepala Densus 88 Anti

Teror baru terjadi pergantian pimpinan dua kali, yakni yang pertama Brigjen Polisi

Bekto Suprapto, kedua Brigjen Polisi Surya Dharma Salim Nasution hingga sekarang.

Pada tingkat Polda, Densus 88 AT Polri berada di bawah Direktorat Serse (Ditserse) yang dipimpin oleh perwira menengah polisi, tergantung tipe Poldanya, untuk Polda

Tipe A Densus 88 Anti Teror Polri dipimpin oleh perwira menengah berpangkat

Komisaris Besar Polisi, sedangkan di Polda Tipe B dan Persiapan dipimpin oleh perwira menengah berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi. Fungsi Densus 88 di tingkat Polda adalah memeriksa laporan aktifitas teror di daerah. Melakukan penangkapan kepada personil atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara Republik Indonesia.

Jumlah personil Densus 88 Anti Teror Polri saat ini di tingkat pusat tidak lebih dari 400 orang dengan kualifikasi anti teror terbaik, sedangkan di tingkat Polda, personil Densus 88 Anti Teror Polri berkisar antara 50 hingga 75 personil. Sebelum direkrut dan menjadi anggota Densus 88 AT Polri, para anggota Polri tersebut terlebih dahulu dilatih di Pusat Pendidikan (Pusdik) Reserse Polri di kawasan Mega

Mendung (Jawa Barat) dan di Pusat Pendidikan Anti Teror Nasional atau Platina

(Kompleks Akademi Kepolisian Semarang). Selain dari internal Polri, para pengajar dan pelatih berasal dari instruktur CIA, FBI, National Service dari Australia, dan jaringan organisasi intelijen Barat lainnya.

Universitas Sumatera Utara Dukungan persenjataan dan peralatan pendukung lainnya sangat canggih misalnya senapan serbu jenis Colt-M4 5,56 mm, jenis Steyr-AUG (senapan penembak jitu), Armalite AR-10, dan Shotgun model Remington-870 yang ringan buatan AS. Setiap personil Densus 88 Anti Teror Polri dilengkapi dengan peralatan personal maupun tim misalnya alat komunikasi personal, GPS, kamera pengintai malam, alat penyadap dan perekam mikro, pesawat interceptor, mesin pengacak sinyal, dan lain-lain. Densus 88 Anti Teror Polri juga bekerja sama dengan operator telepon seluler, dan internet untuk mendeteksi setiap pergerakan kelompok terorisme dalam berkomunikasi. Sementara untuk unit penjinak bom juga diperlengkapi dengan peralatan pendukung misalnya pendeteksi logam terbaru, sarung tangan dan masker khusus, rompi dan sepatu anti ranjau darat, serta kendaraan taktis peredam bom.183

Densus 88 Anti Teror Polri juga dilengkapi dengan robot penjinak bom yang disebut dengan Morolipi VI,0 didesain seringkas mungkin dengan fungsi optimal.

Morolipi VI,0 memiliki dua ruas lengan yang dapat bergerak bebas bergerak kelima arah, berputar 360 derajat, mampu menekuk, terdapat gipper sebagai alat penjepit dan pemotong kabel berukuran 2 mm yang mengalir arus listrik sebelum sampai ke bahan peledak. Morolipi VI,0 didukung dengan kamera pengintai, sensor infra merah, pengontrol artikulator yang bisa mengirim detail gambar ke komputer.184

183 Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri). 184 Galih Priatmodjo., Densus 88 The Undaercover Squad-Mengungkapkan Kesatuan Elit “Pasukan hanut” Anti Teror, Op. cit., hal. 74-75. Robo Morolipi VI,0 dikembangkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak tahun 2004.

Universitas Sumatera Utara Dukungan anggaran untuk membentuk Densus 88 Anti Teror Polri berasal dari pemerintah Amerika Serikat melalui Jasa Keamanan Diplomatik (US Diplomatic

Security, State Department). Pembentukan Densus 88 Anti Teror Polri pada awal pembentukannya memiliki dana tidak kurang dari Rp.150 Milyar pada tahun 2003, sedangkan tahun pada tahun 2004 dana operasional yang dimiliki Densus 88 Anti

Teror Polri hanya Rp.1,5 Milyar hal ini disebabkan karena alokasi anggaran pembentukan di pertengahan tahun 2003 berlebih. Pada tahun 2005 anggaran yang digunakan membesar menjadi Rp.15 Milyar dan pada anggaran tahun 2006 meningkat fantastis menjadi Rp.43 Milyar. Dana di tahun 2006 tersebut belum untuk pembentukan Densus 88 Anti Teror Polri di daerah karena pada kenyataannya para

Kapolda yang bersangkutan kreatif dalam mencari bantuan anggaran untuk pengembangan Densus 88 AT Polri di wilayahnya.185

Perlu untuk dipahami bahwa Densus 88 Anti Teror akan diubah menjadi sebuah Korps 88 di institusi Polri dan akan dipimpin oleh perwira tinggi polri dengan pangkat inspektur jenderal yang level bintang dua. Mabes Polri berencana akan memisahkan Densus 88 dari jajaran Bareskrim Polri. Dijadikannya Densus 88 sebagai

Korps 88, maka institusi itu akan langsung berada di bawah kendali Mabes Polri.

Satuan Densus 88 di daerah ditiadakan, haya ada Crisis Respon Time (CRT) Anti

185 Gatra., tanggal 19 November 2005, hal. 2, lihat juga Tempo., tanggal 28 November 2005, hal. 2-3. Sebagaimana yang dilakukan oleh Irjen Pol. Firman Gani ketika menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya mampu membangun gedung Densus 88 Anti Teror atas bantuan Swadaya. Meski dilarang sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian, namun dengan keterbatasan anggaran negara, maka proses tersebut menjadi satu pembenaran bagi Polda-Polda lain untuk mengikuti jejak Polda Metro Jaya. Sumber: Mabes Polri 2006. Lihat: http://densus88-antiteror.blogspot.com/p/densus-88-at-dan- pemberantasan.html, diakses tanggal 27 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara Teror Polda sebagai pemukul yang sudah dididik di Amerika dan satuan Brimob.

Itulah sebabnya saat ini sudah dimulai penarikan anggota Densus 88 Anti Teror ke pusat. Direktorat Lalu Lintas pun juga akan diganti nama menjadi Korps Lalu Lintas

Polri dengan level naik bintang dua.

3. Arti Lambang Densus 88 Anti Teror Polri

Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/756/X/2005 tentang

Pengesahan Pemakaian Logo Densus 88 Anti Teror, tanggal 18 Oktober 2005, maka logo yang digunakan adalah LOGO DENSUS 88 ANTI TEROR. Logo dapat dideskripsikan berupa desain lingkaran dengan garis warna hitam dengan tulisan

“DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR” dengan latar belakang warna merah marun dan di tengah-tengah lingkaran terdapat gambar burung hantu warna hitam dan abu-abu dengan latar belakang warna kuning terang.

Filosofi dari gambar burung hantu karena kemampuan penglihatan yang tajam, pendengaran yang kuat karena “radar” yang ada pada wajahnya, kemampuan bergerak tanpa bersuara di malam hari, dan kecepatan terbang yang tinggi akan memburu tikus (yang dimanapun selalu mengganggu dan merusak) kemanapun bersembunyi secara cepat dan akurat. Tikus dapat diartikan sebagai teroris yang selalu mengganggu umat manusia. Kemampuan burung hantu tersebut dapat melambangkan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dapat bergerak dengan sangat rahasia digunakan sebagai logo Detasemen Khusus 88 Anti Teror untuk memburu teroris kemanapun berada.

Universitas Sumatera Utara Angka 88 sebenarnya berasal dari kata ATA (Anti Terror Act), yang jika dilafalkan dalam bahasa Inggris berbunyi Ei Ti Ekt. Pelafalan ini kedengaran seperti

Eighty Eight (yang memiliki fonem atau bunyi ucapan 88. Arti angka 88 bukan seperti yang selama ini beredar bahwa 88 adalah representasi dari jumlah korban bom bali terbanyak (88 orang dari Australia), juga bukan pula representasi dari borgol.186

4. Peran Densus 88 Anti Teror Dalam Memberantas Terorisme

Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No.30/VI/2003 tertanggal 20 Juni

2003 untuk melaksanakan amanah UUPTPT dan UU Kepolisian yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun sesuai dengan ketentuan Pasal 26 UUPTPT. Pasal 26

UUPTPT berbunyi sebagai berikut:

a. Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. b. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. c. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.

186 Arti angka 88 pada tulisan Detasemen Khusus 88 menyerupai dua buah borgol selama ini direpresentasikan bahwa angka 88 merupakan representasi dari korban peristiwa bom Bali pada tahun 2002 dari warga asing yang mengalami korban terbanyak yaitu Australia. Makna “88” berikutnya adalah, angka “88” tidak terputus dan terus menyambung. Ini artinya bahwa pekerjaan Detasemen 88 Antiteror ini terus berlangsung dan tidak kenal berhenti. Angka “88” juga menyerupai borgol yang maknanya polisi serius menangani kasus ini. Meski sudah terjadi ratusan pengeboman di Indonesia sejak tahun 1999, pemerintah Republik Indonesia belum menyadari akan adanya aktivitas terorisme di Indonesia. Kasus pengeboman di Bali tanggal 12 Oktober 2002 telah membuka mata pemerintah Republik Indonesia dan dunia pada umumnya bahwa di Indonesia benar telah terjadi aktivitas terorisme yang sangat serius. Representasi ini adalah salah menurut data yang diperoleh langsung dari Markas Besar Polri dan dari Bareskrim Polri.

Universitas Sumatera Utara d. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.

Berdasarkan bukti awal tersebut Penyidik Polri dapat melakukan penangkapan terhadap teroris dan diproses selama 7 x 24 jam. Ketentuan terdapat dalam Pasal 28

UUPTPT disebutkan bahwa “Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.

Umumnya pelaku terorisme menggunakan senjata dan bom bahkan melakukan perlawanan ketika Densus 88 Anti Teror Polri berusaha menangkapnya hidup-hidup. Berdasarkan pertimbangan demikian, atas dugaan oleh Densus 88 Anti

Teror Polri terhadap pelaku terorisme semakin kuat dan meyakinkan. Itulah sebabnya

Densus 88 Anti Teror pun menembak mati para pelaku. Hal ini bukan berarti anggota

Densus 88 Anti Teror Polri tidak memperingatkan pelaku untuk menyerahkan diri, sebelumnya telah disampaikan himbaun ketika pengepungan dilakukan, namun orang yang diduga sebagai pelaku terorisme tersebut bahkan melakukan perlawanan dengan menggunakan senjata dan bom.187

Densus 88 Anti Teror Polri sejak tahun 2003 berperan aktif dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, sebagaimana amanat dari UU Kepolisian dan

UUPTPT. Pada tahun 2005 Densus 88 Anti Teror Polri langsung menghadapi

187 Galih Priatmodjo., Densus 88 The Undaercover Squad-Mengungkapkan Kesatuan Elit “Pasukan hanut” Anti Teror, Op. cit., hal. 50.

Universitas Sumatera Utara peristiwa serangan bom mobil di Hotel J.W. Marriot (hotel milik Amerika Serikat),

13 orang warga tewas. Seminggu kemudian, jaringan pengebom di Hotel J.W.

Marriot tersebut ditangkap oleh Densus 88 Anti Teror Polri.

Masa persidangan para pelaku bom di Hotel J.W. Marriot belum selesai hingga pada tanggal 9 September 2004, Jakarta dikejutkan dengan ledakan bom mobil berkekuatan besar di depan Kedutaan Besar Australia, Jl. Rasuna Said,

Kuningan Jakarta. Peledakan bom ini menewaskan puluhan orang yang tidak terkait dengan Kedutaan Besar Australia, dalam waktu satu bulan kemudian, Densus 88 Anti

Teror Polri bersama Australia Federal Police (AFP) berhasil menangkap para pelakunya.

Pada tahun 2005 terjadi peristiwa peledakan bom di Bali dengan kekuatan besar (bom Bali II), meskipun tidak sebesar kekuatan bom Bali I (tahun 2002), namun ledakan tersebut menewaskan 23 orang warga dan melukai ratusan lainnya. Tiga bulan kemudian Densus 88 Anti Teror Polri dapat membongkar dan menangkapi para pelakunya. Bom Bali II ini mendekatkan penyelidikan Densus 88 Anti Teror Polri dengan gembong terorisme yang paling dicari di Indonesia yaitu Dr. Azahari. Satu bulan setelah Bom Bali II, Densus 88 Anti Teror Polri menyerbu kediaman buronan teroris Dr. Azahari di Batu Malang Jawa Timur dan menewaskannya. Densus 88 Anti

Teror Polri Dalam waktu bersamaan berhasil menangkap pelaku peledakan bom di

Universitas Sumatera Utara Pasar Tradisional Kota Palu dan pelakunya merupakan salah satu dari kelompok yang bertikai di Poso.188

Densus 88 Anti Teror Polri hampir menangkap salah satu gembong teroris lainnya; yaitu Noordin M. Top pada tahun 2006 dalam penggrebekan yang dilakukan di Dusun Binangun Wonosobo Jawa Tengah karena Noordin M. Top dapat meloloskan diri dari kejaran personil Densus 88 Anti Teror Polri, namun Densus 88

Anti Teror Polri berhasil menangkap dua orang dan menembak mati dua tersangka lainnya. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Maret 2007, Densus 88 Anti

Teror Polri melakukan penggerebekan terhadap kelompok terorisme di Jawa Tengah dan berhasil membongkar jaringan persenjataan dan bom terbesar sejak 30 tahun terakhir di kawasan Sleman, Yogyakarta, dan menangkap tujuh tersangka yang diduga pemilik, penyimpan, dan perakit bahan peledak. Dalam penyergapan tersebut,

Densus 88 Anti Teror Polri berhasil menembak dua orang pelaku yang berupaya melarikan diri. Terbongkarnya jaringan kelompok terorisme di Jawa Tengah, Densus

88 Anti Teror Polri berhasil menangkap Abu Dujana alias Ainul Bahri Komandan

Sayap Militer Jama’ah Islamiyah (JI) dan Zarkasih (Amir atau pimpinan JI).

Peran Densus 88 Anti Teror Polri dalam berbagai peristiwa peledakan bom dan berhasil menangkap para pelaku, merupakan prestasi yang makin melambungkan nama Densus 88 Anti Teror Polri dan membuat Densus 88 AT Polri dapat membuktikan bahwa Indonesia memiliki kesatuan anti terror yang handal dan

188 Tim Medpress., Petualangan Teror Dr. Azahari, Berkawan Dengan Bom, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2005), hal. 52.

Universitas Sumatera Utara professional. Peran yang melekat pada Densus 88 Anti Teror Polri sesungguhnya mempertegas komitmen Polri dan pemerintah Indonesia dalam berperan aktif melakukan perang global melawan aksi-aksi terorisme.189

Peran Densus 88 Anti Teror Polri menjadi penegas bahwa komitmen Polri dan pemerintah dalam memberantas tindak pidana terorisme tidak main-main. Bahkan dalam perjalanannya, Densus 88 Anti Teror Polri juga tidak hanya terfokus pada identifikasi dan pengejaran aksi teror dan bom, melainkan juga ikut membantu unit lain di Polri dalam menindak pelaku kejahatan lainnya seperti illegal logging, narkotika dan lain sebagainya. Bahkan Densus 88 Anti Teror Polri juga ikut membantu mengidentifikasi permasalahan kewilayahan sebagaimana yang pernah terjadi pada kasus pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) pada acara kenegaraan di Maluku di tahun 2010.190

Meskipun diketahui dalam berita di media terfokus pada pemberantasan tindak pidana terorisme dengan melakukan pengejara dan penangkapan pelaku terorisme, namun sesungguhnya Densus 88 Anti Teror Polri juga memiliki tiga peran dan fungsi yang melekat yakni: Pertama, karena Densus 88 Anti Teror Polri berada di bahwa Bareskrim Mabes Polri dan Ditserse Polda, maka personilnya juga merupakan personil dengan kualifikasi seorang reserse yang berprestasi baik, sehingga apabila setiap aktivitas yang melibatkan Bareskrim dan Ditserse, hampir selalu menyertakan personil Densus 88 Anti Teror Polri di lapangan, khususnya

189 http://www.polri.go.id/, diakses tanggal 29 Maret 2011. 190 http://www.malukunews.com/?p=3111, diakses tanggal 28 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara terkait dengan kejahatan khusus, seperti; narkoba, pembalakan liar, pencurian ikan, pencucian uang dan lain-lain. Salah satu contohnya adalah kasus pembalakan liar di

Riau dan Kalimantan Barat yang diduga melibatkan perwira Polisi, Densus 88 Anti

Teror Polri bersama dengan Brimob Polda melakukan perbantuan kepada Bareskrim

Mabes Polri dan Ditserse Polda.

Kedua, personil Densus 88 Anti Teror Polri juga merupakan anggota Polri yang memiliki kualifikasi sebagai anggota intelijen keamanan dalam melakukan pendeteksian, analisis, dan melakukan kontra intelijen. Keterlibatan anggota Densus

88 Anti Teror Polri dalam kerja-kerja intelijen kepolisian juga secara aktif mampu meningkatkan kinerja dari Mabes Polri ataupun Polda setempat, sebagaimana yang dilakukan Polda-Polda yang wilayahnya melakukan Pilkada dan rawan konflik lainnya.

Ketiga, personil Densus 88 Anti Teror Polri juga negoisator yang baik.

Seorang negoisator dibutuhkan tidak hanya oleh Densus 88 Anti Teror Polri, tetapi juga oleh organisasi Kepolisian secara umum. Artinya seorang negoisator dibutuhkan untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa yang lebih besar, semisal kasus penyanderaan oleh anggota terorisme, ataupun mengupayakan berbagai langkah agar prosesnya meminimalisir risiko dengan tetap menegakkan hukum yang berlaku sebagai pilar utama tugas Kepolisian secara umum.

Universitas Sumatera Utara Negoisasi pernah dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror Polri dengan pihak Dr.

Azahari dan Noordin M. Top.191 Pada tanggal 2 Januari 2007, Densus 88 Anti Teror

Polri turut membantu dalam operasi penangkapan 19 dari 29 orang warga Poso yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang di Kecamatan Poso Kota. Pada tanggal 9 Juni

2007, Yusron Al-Mahfud, tersangka jaringan teroris kelompok Abu Dujana, ditangkap di desa Kebarongan Kemrajan Banyumas Jawa Tengah. Pada tanggal 8

Agustus 2009 Densus 88 Anti Teror Polri menggerebek sebuah rumah di Jati Asih,

Bekasi dan menewaskan 2 tersangka teroris. Tanggal 8 Agustus 2009 Densus 88 Anti

Teror Polri mengepung dan akhirnya menewaskan tersangka teroris di Temanggung.

Tanggal 17 September 2009 Densus 88 Anti Teror Polri melakukan pengepungan teroris di Solo dan menewaskan 4 tersangka teroris salah satu diantaranya adalah tokoh teroris yang paling dicari yaitu Noordin Mohammed Top.192

191 http://asaborneo.blogspot.com/2009/07/sejarah-dan-kiprah-detasemen-khusus.html, diakses tanggal 29 Maret 2011. Namun keduanya tidak dapat ditangkap, karena Dr. Azahari memilih meledakkan bom pada dirinya dan Noordin M. Top berhasil lolos. Prosedur dan langkah yang dilakukan oleh negoisator dari Densus 88 Anti Teror Polri relatif berhasil karena tidak sampai melukai ataupun berdampak negative pada masyarakat sekitarnya. 192 http://ekojuli.wordpress.com/2009/08/08/akhirnya-nurdin-m-top-ditembak-mati/, diakses tanggal 29 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara BAB IV

HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI POLRI DAN SOLUSI MENGATASI HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA TERORISME

A. Hambatan-Hambatan Dalam Memberantas Tindak Pidana Terorisme

Seluruh hal-hal baik bersifat abstrak maupun konkrit yang berlawanan dengan maksud dan tujuan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia melalui upaya mengoptimalkan peran Polri khususnya Densus 88 Anti Teror Polri dikategorikan sebagai hambatan-hambatan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi.

Hambatan-hambatan yang dihadapi Polri dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bahagian yaitu hambatan internal, hambatan eksternal, dan hambatan dari sisi perundang- undangan yang berlaku, diuraikan sebagai berikut:

1. Hambatan Internal

Hambatan-hambatan yang dihadapi Polri dari sisi internal dimaksud merupakan hambatan yang berada pada institusi Polri itu sendiri. Hambatan- hambatan tersebut adalah sebagai berikut:193

a. Penggunaan kode rahasia Densus 88 Anti Teror Polri antara pusat dan daerah

sering membingungkan CRT di daerah;

193 Wawancara dengan Kaden Gegana Brimob Polda Sumut, tanggal 10 s/d 11 Juni 2011. Lihat juga: Bekto Suprapto., “Pengalaman Investigasi Kasus Terorisme di Indonesia dan Permasalahannya”, Makalah disampaikan pada Seminar Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, tanggal 28 Juni 2001, hal. 4. Lihat juga: Abdul Gani Abdullah., “Undang- Undang Terorisme dan Penerapannya di Indonesia”, Makalah sebagai bahan diskusi dalam Forum Diskusi Masalah Hukum dan Terorisme, tanggal 18-19 Februari 2005 di Novotel Bogor, hal. 20-22.

Universitas Sumatera Utara b. Hasil akhir penyerbuan teroris umumnya menghasilkan kematian bagi teroris

bukan dilakukan penangkapan hidup-hidup; c. Jenjang struktur organisasi Densus 88 Anti Teror berada di bawah Bareskrim

tidak berada langsung di bawah Mabes Polri merupakan suatu faktor

penghambat misalnya kurangnya pengawasan dan kontrol dari mabes; d. Oleh sebab Densus 88 Anti Teror Polri berada di bawah Bareskrim Polri,

maka tidak hanya urusan terorisme, urusan Bareskrim yang lain pun menjadi

urusan Densus 88 Anti Teror misalnya masalah narkoba, pembalakan hutan

(illegal logging), dan lain-lain. Sebenarnya tujuan utama pembentukan

Densus 88 Anti Teror Polri dikhususkan untuk masalah terorisme sehingga

dengan berperannya Densus 88 Anti Teror dalam urusan tindak pidana khusus

lainnya dapat menimbulkan persepsi seolah Densus 88 Anti Teror adalah

pasukan elit yang serba bisa segalanya; e. Hambatan dari aspek kemajuan teknologi bahwa bagi teroris menjalin

komunikasi dengan dunia luar melalui internet, merupakan sarana utamanya,

melalui komunikasi email dan tidak sembarangan orang masuk ke dalam

kelompok teroris maka komunikasi lintas negara dapat dilakukan dengan

leluasa tanpa diketahui siapa, apa dan bagaimana, kecuali hanya kelompok

jaringannya sendiri. Polri mengalami kesulitan dalam menghadapi kejahatan

yang menggunakan teknologi, belum memiliki pegangan security

management, termasuk peralatan pengamanannya;

Universitas Sumatera Utara f. Hambatan lain yaitu belum adanya konsistensi dan keseriusan dalam

mencegah terjadinya aksi terorisme oleh semua pihak. Sinergitas instansi

lainnya seperti bea cukai, imigrasi, perhubungan dan keuangan/perbankan

sangat diperlukan guna pencegahan terorisme di Indonesia.

g. Masih kurangnya personil Densus 88 Anti Teror baik pusat maupun daerah.

h. Kemampuan yang dimiliki Densus 88 Anti Teror di tingkat pusat berbeda

dengan di tingkat daerah.

2. Hambatan Eksternal

Hambatan-hambatan yang dihadapi Polri dari sisi eksternal (dari luar intitusi

Polri) dapat berupa sebagai berikut:

a. Munculnya mispersepsi dan tudingan bahwa perang melawan terorisme

adalah perang melawan Islam;194

b. Adanya kesan bahwa negara maju (AS) menerapkan standar ganda dalam

menghadapi terorisme;195

c. Adanya kesan cukup kuat dari masyarakat bahwa langkah-langkah

operasional penindakan terhadap aksi teror merupakan skenario yang

dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam bidang

politik, ekonomi, militer, dan teknologi;196

194 http://www.voa-islam.com/counter/liberalism/2011/04/01/13979/memerangi-syariat-islam- berkedok-perang-melawan-terorisme/, diakses tanggal 12 Mei 2011. 195 http://m.inilah.com/read/detail/132268/teror-bom-ji-dan-dunia-barat, diakses tanggal 12 Mei 2011. 196 Ibid.

Universitas Sumatera Utara d. Adanya asumsi publik yang beredar bahwa suasana teror yang terjadi di

Indonesia ada kaitannya dengan Polri demi untuk memperbaiki citra Polri;197

e. Adanya trauma di masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan

dan sistim hukum yang berlaku untuk menangani terorisme hanya merupakan

alat kekuasaan otoriter militeristik untuk kepentingan mempertahankan

kekuasaan yang anti demokrasi dan melanggar hak asasi manusia,

membungkam hak-hak politik masyarakat dan memasung kreativitas serta

menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses

politik;198

f. Penempatan Densus 88 Anti Teror Polri sebagai garda terdepan menimbulkan

kecemburuan bagi pasukan-pasukan khusus anti teror lainnya misalnya dari

pihak TNI199 dan BIN200. Kondisi ini bahkan bisa mengarah kepada konflik

terbuka antara kesatuan anti teror di lapangan khususnya terkait dengan

penanganan separatism di Aceh, Papua, konflik komunal di Poso dan Maluku,

dimana Densus 88 Anti Teror Polri dan CRT Polda, karena berada di bawah

Ditserse Polda, maka disertakan juga pada operasional kasus-kasus tersebut

197 http://abisyakir.wordpress.com/2011/04/22/terorisme-dan-kemunafikan-orangindonesia/, diakses tanggal 12 Mei 2011. 198 Ibid. 199 TNI memiliki pasukan khusus anti teror yaitu: f. Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD atau Grup 5 Anti Teror; g. Detasemen 81 Kopasus TNI AD (Kopasus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan anti teror); h. Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL; dan i. Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU. 200 Badan Intelijen Negara (BIN) juga memiliki desk gabungan yang merupakan representasi dari kesatuan anti teror.

Universitas Sumatera Utara padahal apabila mengacu kepada UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

dan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI separatism menjadi titik temu TNI

dan Polri dimana TNI sebagai unsur utama dan Polri sebagai unsur

pendukung, akan tetapi pada praktiknya di lapangan dilakukan oleh Densus 88

Anti Teror bekerja sama dengan unit Wanteror dari Gegana Brimob Polri.201

g. Munculnya Persepsi publik bahwa matinya teroris merupakan suatu

pelanggaran HAM, maka Polri harus dituntut berdasarkan Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.202

h. Adanya anggapan masyarakat bahwa dalam pemberantasan terorisme adalah

tugas dari Densus 88 Anti Teror Polri. Sehingga masyarakat kurang peduli

atau tertutup untuk bekerja sama dengan pihak aparat.203

3. Hambatan Yuridis

Hambatan yang dihadapi Polri apabila dikaji dari sisi yuridis atau perundang- undangan yang berlaku, maka hambatan difokuskan kepada penanganannya di lapangan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, sedangkan dalam hal penegakan hukumnya tetap dilakukan oleh Polri. Hambatan tersebut diuraikan sebagai berikut.204

201 http://muradi.wordpress.com/2007/06/15/reformasi-brimob-polri-antara-tradisi-militer- dan-kultur-polisi-sipil/, diakses tanggal 8 Juni 2011. 202 Yakub Adi Kristanto, ”Mengatasi Kekerasan: Penegakan Hukum Ala Densus 88 Anti Teror”, Lihat di: http://hukum.kompasiana.com/2011/02/11/mengatasi-kekerasan-penegakan-hukum- ala-densus-88/, diakses tanggal 8 Juni 2010. 203 Wawancara dengan Kaden Gegana Brimob Polda Sumut, tanggal 10 s/d 11 Juni 2011. 204 http://www.hilman.web.id/posting/blog/918/densus-88-bin-brimob-dan-koppasus-pasukan- elit-untuk-sipil-dan-militer.html?idv=199, diakses tanggal 8 Juni 2011. Pemberantasan terorisme pasca pemerintahan Soeharto semakin kisruh karena aparat keamanan yang seharusnya melakukan koordinasi yang efektif justru bersaing dan berkompetisi satu dengan yang lainnya. Tidak jarang

Universitas Sumatera Utara UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian diundangkan pada tanggal 8 Januari

2002 sementara UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI diundangkan pada tanggal 16

Oktober 2004. Fungsi kepolisian menurut Pasal 2 UU Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan, dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian dalam Pasal 13 UU Kepolisian juga diatur substansi dalam

Pasal 2 ini. Bedanya, dalam Pasal 2 UU Kepolisian, substansi tersebut merupakan fungsi kepolisian, sementara dalam Pasal 13 UU Kepolisian disebut sebagai tugas pokok kepolisian. Jadi, antara fungsi dan tugas pokok kepolisian pada prinsipnya adalah sama.

Oleh sebab itu, mengenai tugas pokok kepolisian sebagaimana dalam Pasal 13 diturunkan cakupannya dalam Pasal 14 UU Kepolisian yang terdiri dari 12 tugas kepolisian yakni:

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

terjadi konflik dan bentrok antar aparat keamanan tersebut khususnya TNI dan Polri. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena kedua institusi tersebut telah berpisah, sehingga bentrok dan persaingan tidak sehat tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pemberantasan terorisme di Indonesia. Sehingga proses pemberantasan terorisme tidak dapat berjalan dengan efektif. Kondisi ini disadari oleh masing-masing pimpinan aparat keamanan baik TNI, Polri, maupun BIN, hanya saja praktik di lapangan masih terjadi ketidaksinkronan satu dengan yang lain.

Universitas Sumatera Utara f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan tugas-tugas kepolisian menurut Pasal 14 di atas tidak ada tugas kepolisian berkaian dengan penanganannya terhadap ancaman terorisme ataupun kelompok separatism melainkan tugas kepolisian umumnya digambarkan sebagai institusi yang menjaga, menjamin keamanan, ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 15 ayat (1) UU Kepolisian pun tidak diatur menyangkut kewenangan kepolisian dalam menangani ancaman terorisme sehingga dibentuknya Densus 88

Anti Teror Polri, sementara dalam ayat (2) huruf h ditegaskan kewenangan kepolisian berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya, yakni: ”melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional”. Ayat (2) ini dijelaskan dalam penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan ”kejahatan internasional” adalah kejahatan tertentu yang disepakati untuk

Universitas Sumatera Utara ditanggulangi antar negara, antara lain kejahatan narkotika, uang palsu, terorisme, dan perdagangan manusia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf h UU Kepolisian di atas, ada ditegaskan mengenai kewenangan Polri untuk menangani terorisme yang dapat dilihat pada bagian penejalasannya di atas. Khusus pengaturan ini apabila dipahami penegasannya substansinya adalah berkaitan dengan kerja sama internasional dalam hal penyidikan kejahatan internasional. oleh karena itu, UU Kepolisian masih jauh mengatur baik tugas, fungsi, maupun kewenangannya dalam hal menangani terorisme di Indonesia. Analisis ini dilakukan untuk menjawab persoalan perdebatan substansi pengaturan yang memberikan kewenangan utama dalam menangani terorisme antara

Polri dan TNI. Bahkan dalam praktiknya, Polri seolah-olah dikhususkan wewenangnya dan teramat diistimewakan baik dari segi peralatan, sarana, dan prasaran dalam menangani terorisme yakni dengan membentuk Densus 88 Anti Teror

Polri.

Persoalan itu membawa dilema ditubuh TNI sehingga menjadi perdebatan antara Polri dan TNI saat ini bahkan juga menjadi perdebatan di kalangan masyarakat

Indonesia mengapa Densus 88 Anti Teror Polri yang selalu muncul setiap ada terorism ataupun separatism di Indonesia.205 Penting ditekankan dalam hal ini, peran

TNI berdasarkan UU TNI dalam Pasal 5 berperan dalam mempertahankan negara menurut keputusan politik negara. Fungsi TNI dalam Pasal 6 UU TNI mencakup:

205 Wawancara dengan Kaden Gegana Brimob Polda Sumut, tanggal 10 s/d 11 Juni 2011.

Universitas Sumatera Utara a. Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; b. Penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan c. Pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.

Masalah terorisme bukan lagi masalah nasional tetapi sudah menjadi masalah internasional karena hampir di seluruh negara-negara di dunia terancam oleh pelaku- pelaku kejahatan terorisme. Sangat wajar danmasuk akal ketiga-tiga fungsi sebagaimana dalam Pasal 6 UU TNI di atas, tepat digunakan sebagai landasan TNI sebagai institusi utama dalam menangani terorisme karena masalah terorisme jika dikaitkan dengan tugas pokok TNI dalam Pasal 7 ayat (1) UU TNI yakni menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah

Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Terorisme dapat dikatakan saat ini sudah mengancam keutuhan wilayah NKRI dampaknya adalah memperkecil atau bahkan dapat menghilangkan kepercayaan negara-negara lain terhadap keamanan dalam negeri Indonesia.

Tugas pokok TNI sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) UU TNI dilakukan dengan operasi militer untuk perang. Selain itu, dilakukan operasi militer selain perang, yaitu untuk:

a. Mengatasi gerakan separatisme bersenjata; b. Mengatasi pemberontakan bersenjata; c. Mengatasi aksi terorisme;

Universitas Sumatera Utara d. Mengamankan wilayah perbatasan; e. Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; f. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; g. Mengamankan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya; h. Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; i. Membantu tugas pemerintahan di daerah; j. Membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; k. Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; l. Membantu menaggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; m. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.

Ketentuan Pasal 7 ayat (2) sebagaimana menurut Pasal 7 ayat (3) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Perlu digarisbawahi di sini mengenai “keputusan politik negara”. Berangkat dari “keputusan politik negara”, dapat dipahami bahwa tiga poin tugas TNI (pada angka 1, 2, dan, 3 di atas) yakni:

Mengatasi aksi terorisme; Mengatasi gerakan separatisme bersenjata; Mengatasi pemberontakan bersenjata, dimaksud adalah gerakan terorisme yang terjadi saat ini di

Indonesia. Sementara UU Kepolisian sedikit sekali substansi di dalamnya yang mengatur Polri dalam hal terorisme. Sementara praktiknya di lapangan Densus 88

Anti Teror Polri dibentuk berasal dari Polri itu sendiri dan bukan dari anti teror TNI,

BIN, bahkan tidak pula dari Wanteror Gegana Brimob Polri melainkan Densus 88

Anti Teror Polri dibentuk berdasarkan Skep Kapolri Nomor 30/VI/2003 tertanggal 20

Juni 2003 adalah berbeda dengan anti teror lainnya.

Universitas Sumatera Utara Mengenai ancaman sanksi bagi pelaku yang “ikut serta” atau “penyertaan” dalam ketentuan Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 UUPTPT terdapat ketentuan yang menggariskan ancaman minimal dan maksimal misalnya ancaman minimal 3 (tiga) tahun sampai 15 (lima belas) tahun. Ketentuan sanksi demikian pada aplikasinya, terbuka peluang bagi terdakwa untuk menerima putusan yang ringan misalnya diputuskan 4 (empat) atau 5 (lima) tahun dan lain-lain. Kemudian dalam hal sanksi denda sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) UUPTPT, “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah)”. Pidana denda paling sedikit tidak ditentukan dalam UUPTPT sehingga dengan demikian penjatuhan sanksi denda kepada terdakwa, kurang mencerminkan rasa keadilan kepada masyarakat sebab hal ini tidak dapat menimbulkan efek jera kepada pelaku. Setiap jenis tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme seharusnya dicantumkan sanksi denda maksimal dan minimal sehingga jelas pengaturan sanksi denda dimaksud.

B. Solusi Terhadap Hambatan-Hambatan

Polri dan institusi selain Polri melakukan langkah-langkah terhadap solusi atas hambatan-hambatan baik dalam hukum formil maupun hukum materil. Solusi tersebut juga dilakukan sebagai kebijakan yang diapandang tepat demi kepentingan umum dan hak asasi manusia. Solusi terhadap hambatan-hambatan ini menyangkut upaya Polri dan institusi lain

Universitas Sumatera Utara (Kejaksaan, Kehakiman, dan Pemerintah) melalui pendekatan penal dan non penal.

1. Solusi Internal Solusi terhadap hambatan-hambatan yang bersifat internal di tubuh Polri sebagaimana di atas, dapat di atasi dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:206

a. Terhadap hambatan dalam penggunaan kode rahasia Densus 88 Anti Teror

Polri antara pusat dan daerah sering membingungkan CRT di daerah.

Solusinya, CRT di Polda dan Densus 88 Anti Teror pusat dapat saling

melakukan komunikasi dengan baik, adanya keterbukaan informasi, adanya

kepercayaan dari pusat kepada CRT di tingkat daerah. Dengan kerahasiaan

itulah operasi-operasi penting dapat dijalankan dan kode rahasia hanya

diketahui oleh pimpinan dan anggota Densus 88 Anti Teror Polri.

b. Hasil akhir penyerbuan teroris umumnya menghasilkan kematian bagi teroris

bukan dilakukan penangkapan hidup-hidup. Ini menjadi persoalan di tubuh

institusi Polri sebab proses penegakan hukum melalui peradilan pidana tidak

dapat dijalankan. Solusi terhadap permasalahan ini, Densus 88 Anti Teror

memperkuat latihan di bidang penyergapan tanpa harus menembak mati.

c. Terhadap hambatan dalam struktur organisasi Densus 88 Anti Teror yang

masih berada di bawah Bareskrim, maka pada tahun 2010 Kapolri

206 Wawancara dengan Kaden Gegana Brimob Polda Sumut, tanggal 10 s/d 11 Juni 2011. Lihat juga: Bekto Suprapto., Op. cit., hal. 4-5.

Universitas Sumatera Utara mengusulkan kepada Presiden untuk menempatkan Densus 88 Anti Teror

langsung di bawah Mabes Polri agar pengawasan dan kontrol dari markas

besar dapat dilakukan dengan cepat terhadap Pimpinan Densus 88 Anti Teror. d. Secara otomatis apabila Densus 88 Anti Teror Polri tidak lagi berada di bawah

Bareskrim, maka urusan Bareskrim yang lain misalnya masalah narkoba,

pembalakan hutan (illegal logging), dan lain-lain tidak lagi menjadi urusan

Densus 88 Anti Teror melainkan mengkhususkannya kepada masalah-masalah

yang menyangkut terorisme saja. e. Hambatan dari aspek kemajuan teknologi dan informasi, maka untuk dapat

mengetahui melalui komunikasi email tersebut, Polri menjalin kerja sama

dengan pihak perusahaan google Indonesia, perusahaan Yahoo Indonesia, dan

Facebook di Indonesia yang umumnya digunakan sebagai sarana

komunikasinya selain itu juga dilakukan kerja sama dengan pihak telkomsel

untuk mendeteksi komunikasi melalui telepon seluler. f. Kemampuan yang dimiliki Densus 88 Anti Teror di tingkat pusat berbeda

dengan di tingkat daerah. Solusinya adalah Polri melakukan pelatihan-

pelatihan bersama mengenai strategi penanganan terorisme baik antara CRT

di daerah maupun dengan Densus 88 Anti Teror di pusat. g. Masih kurangnya personil Densus 88 Anti Teror baik pusat maupun daerah.

Solusinya adalah dengan mengupayakan Tim Wanteror Brimob Polri dan

bantuan dari Detasemen Gegana.

Universitas Sumatera Utara h. Solusi terhadap hambatan dalam hal sinergitas instansi lainnya seperti bea

cukai, imigrasi, perhubungan dan keuangan/perbankan adalah Polri

meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan menempatkan personil Polri

di setiap objek-objek vital sehingga selain perannya untuk mengamankan

objek tersebut juga untuk menampung informasi-informasi penting khususnya

terorisme.

2. Solusi Eksternal

Persepsi publik sebagaimana disebutkan dalam poin a, b, c, d, dan e pada hambatan eksternal di atas, maka perlu dilakukan tinjauan dari berbagai aspek atas pentingnya memberantas tindak pidana terorisme di Indonesia. Dikaji dari aspek politik bahwa aksi teroris tidak mengenal diskriminatif target, membuat keharusan membangun sistem keamanan terhadap manusia dan obyek vital baik militer maupun non militer di banyak negara. Dampak terorisme di bidang politik, misalnya:

Gangguan terhadap kehidupan demokrasi; Roda pemerintahan tidak berjalan lancar; dan Pemerintah yang lemah bisa jatuh.

Berbagai kerja sama internasional dikembangkan untuk mendesak langkah kooperatif dalam melawan terorisme. Perang melawan terorisme, upaya membangun sistem keamanan dengan pembatasan kebebasan di satu sisi dan antara sistem keamanan nasional dengan multi nasional di sisi lainnya. Terlepas dari pertarungan politik dalam dan luar negeri, sentimen baru melawan terorisme membuka babak baru perkembangan arah politik dunia. Indonesia perlu mewaspadai dan harus ada upaya

Universitas Sumatera Utara pencegahan adalah ketika para teroris internasional memanfaatkan kondisi politik atau sosial budaya, masih rentan terhadap SARA, keniscayaan kebhinekaan NKRI terancam. Perdebatan tentang adanya bahaya terorisme berlangsung diwarnai nuansa politis dari Polri. Hal demikian masih dalam kewajaran, karena masyarakat Indonesia sedang dalam transisi perubahan menuju masyarakat yang demokratis, bebas menyatakan pendapatnya. Wacana politik apapun yang terjadi yang penting adalah politik kontrol tidak membiarkan peredaran bahan peledak, pengawasan keimigrasian dan kepabeanan merupakan langkah politik praktis yang tepat pada saat ini dan di masa datang.

Tinjauan dari aspek ekonomi, bahwa jaringan teroris sangat memerlukan sumber dana maupun sumber daya manusia untuk melakukan aksinya. Dana merupakan satu hal penting, bukan hanya untuk pembelian senjata, alat-alat penghancur bahan peledak untuk bom, tetapi juga untuk mempertahankan hidup sel- sel pengikutnya. Dana didapatkan dari kegiatan ilegal perdagangan, prostitusi, judi dan sebagainya. Melalui pencucian uang hasil kejahatan komersial, penyelundupan dan korupsi, dana menjadi bersih asal usulnya, sah dan sulit ditelusuri. Mengingat sangat kompleksnya masalah pencucian uang karena terkait dengan pendeteksian dini dan harus dilakukan secara tertutup, maka peran Densus 88 Anti Teror Polri sangat diperlukan dalam perumusan pencegahan terhadap kejahatan terorganisir.

Tinjauan dari aspek sosial budaya dan agama, bahwa aksi terorisme belum dapat dihentikan, artinya sekalipun perang melawan terorisme sedang dilaksanakan dan agenda hubungan internasional untuk komitmen bersama melawannya, serangan

Universitas Sumatera Utara terorisme terus berlangsung. Terorisme tegas dinyatakan tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, karena semua agama mengutuk terorisme, itulah sebabnya untuk menghadapi terorisme dilakukan kebijakan non penal (di luar undang-undang) menggunakan metoda lain yaitu antara lain mengikut sertakan tokoh-tokoh agama dalam upaya menetralisir pembibitan dan peneyebaran ajaran radikalisme.

Keberhasilan Indonesia dalam membongkar sejumlah aksi teror selama ini, tidak berarti pada kesimpulan akhir bahwa penganut agama Islam memiliki pemikiran sama terhadap pemahaman terorisme yang berkembang di Indonesia. Perang melawan terorisme harus dilihat sebagai perang gagasan yang mengarah pada memenangkan pikiran dan hati masyarakat untuk tidak simpati dan tidak mendukung gagasan para teroris. Solusi terhadap hal demikian dilaksanakan Polri secara serempak dengan memusatkan faktor-faktor terkait seperti kemiskinan, pendidikan dan masalah sosial lainnya.

Tinjauan dari aspek kebijakan bahwa untuk melawan terorisme membutuhkan sebuah kebijakan penanggulangan terorisme yang bersifat komprehensif bersifat umum dan menyeluruh, maka diperlukan kebijakan di luar ketentuan (undang- undang) yakni mencari akar permasalahan dan melakukan pendekatan-pendekatan terhadap pelaku. Kebijakan utama yang merupakan pencegahan untuk menghilangkan peluang bagi tumbuh suburnya terorisme di dalam sendi kehidupan masyarakat pada aspek keadilan, demokrasi, kesenjangan, pengangguran, kemiskinan, budaya KKN, kekerasan dan sebagainya. Kebijakan yang melahirkan aturan-aturan untuk mempersempit peluang terjadinya aksi teror dalam artian mempersempit ruang

Universitas Sumatera Utara maupun sumber daya teroris. Kebijakan dititikberatkan pada aspek penindakan diwujudkan dalam deteksi dini dan respon cepat terhadap indikasi aksi-aksi teror.

Penindakan dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi regulasi mengenai code of conduct atau rule of engagement, sehingga apapun tindakan yang dilakukan melawan terorisme akan terbebas dari persoalan pro dan kontra dalam opini masyarakat.

Kebijakan, strategi, metoda, teknik, taktik dan pendekatan untuk mengatasi terorisme yang diterapkan tentunya akan berbeda dari satu negara dibanding negara lainya, sebab kelompok teroris disebabkan oleh adanya motif-motif seperti separatis, anarkhis, dissidents, nasionalis, marxist revolusioner, dan religius. Perbedaan penanganan juga disebabkan oleh perbedaan kondisi daerah, budaya, adat istiadat, hukum, sumber daya serta kemampuan satuan anti teror yang tersedia. Polri dalam memerangi terorisme tetap mempertimbangkan kondisi yang berlaku terutama bidang hukum, sosial dan budaya bangsa, bila tidak justru akan menciptakan kondisi yang kontra produktif.

Impelementasi memerangi aksi terorisme dilakukan melalui upaya-upaya reprsif, preventiv, preemtif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infrastruktur pendukung. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa hambatan-hambatan dalam pemberantasan terorisme bahwa pertama, langkah-langkah operasional penindakan terhadap aksi teror di Indonesia dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat merupakan skenario yang dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam bidang politik, ekonomi, militer dan teknologi. Kedua, adanya trauma masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan dan sistem hukum

Universitas Sumatera Utara untuk menangani terorisme untuk kepentingan kelompok penguasa dalam rangka mengembalikan kekuasaan otoriter seperti sebelumnya.

Kedua hal tersebut menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik memerangi terorisme, maka Polri melakukan resosialisasi, reintegrasi dan sekaligus keteladanan bahwa pertama, langkah-langkah yang dilakukan Polri dan Pemerintah adalah tidak diskriminatif, kedua, perang melawan terorisme adalah kebutuhan mendesak untuk melindungi warga negara Indonesia sesuai tujuan nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan ketiga, kerja sama dengan pihak asing dalam memberantas terorisme adalah keharusan agar tidak timbul korban yang tidak berdosa dan mengingat bahwa kemampuan Polri dalam bidang teknik dan perlatan canggih masih kurang. Melengkapi kemampuan- kemampuan yang harus dimiliki oleh Pemerintah dan Polri khususnya Densus 88

Anti Teror dalam perang melawan terorisme perlu dilakukan secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional, lintas internasional dan secara simultan bersifat represif, preventif, preemtif maupun rehabilitasi.

Terhadap persepsi yang bernuansa kecemburuan dalam hal penempatan

Densus 88 Anti Teror Polri sebagai garda terdepan dalam memerangi terorisme di

Indonesia dengan pertimbangan bahwa TNI pada masa pembentukan pasukan anti teror di Indonesia yang dibiayai oleh negara-negara barat, masih dalam keadaan diembargo dari segi peralatan persenjataan pada tahun 2005 sementara tuntutan untuk

Universitas Sumatera Utara memberantas terorisme di Indonesia pada tahun 2001 hingga saat ini merupakan keadaan yang sangat mendesak.207

BIN melakukan penangkapan terhadap salah satu pelaku kunci jaringan

Jamaah Islamiah di Indonesia, langsung mengirimkannya ke Amerika Serikat tanpa berkoordinasi dengan Polri sebagai institusi yang berwenang melakukan penangkapan. Hal ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara Indonesia. Oleh karena itu, institusi Polri dianggap sebagai lembaga yang mampu mengembangkan institusi anti terror mengingat bahwa selain melakukan pelayanan, pengayoman, dan melindungi masyarakat, Polri berwenang dalam hal sistim peradilan pidana dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, Densus 88 Anti Teror Polri dibentuk sebagai garda terdepan merupakan tuntutan yang mendesak dan langkah tepat namun tetap mengikutsertakan unsur TNI dan BIN melalui koordinasi antara institusi.

Terhadap persepsi publik yang beranggapan bahwa matinya teroris merupakan suatu pelanggaran HAM. Polri bersikap tegas dan nyata bahwa apapun yang dilakukan demi untuk menciptakan keamanan rakyat banyak yakni keamanan dan kenyamanan bagi seluruh rakyat Indonesia. Densus 88 Anti Teror Polri bukan tidak memberikan seruan kepada pelaku terorisme ketika dilakukan pengepungan, namun seruan itu tidak dihiraukan teroris bahkan melakukan perlawanan dengan menggunakan senjata dan bahan peledak. Pertimbangan ini mewajibkan Densus 88

207 http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?show=script&cmd=loadnews&newsid=2133, diakses tanggal 28 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara Anti Teror Polri memaksa teroris untuk menyerah bahkan menembak mati pelaku yang berusaha menembak dan meledakkan bom.

3. Solusi Yuridis

Berdasarkan hambatan yuridis di atas, maka dibentuklah Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT bukanlah bentukan dari Polri melainkan bentukan pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik Hukum dan

Keamanan (Menkopolhukam) namun Polri tetap dapat bekerja sama dengan

Menkopolhukam. Meskipun memiliki deputi penindakan dan pelatihan, BNPT tidak bisa melakukan penindakan. BNPT bukan super body, karena ranah penegakan hukumnya tetap dilakukan oleh Polri. Tugas BNPT adalah merumuskan kebijakan penanggulangan terorisme dan upaya operasionalnya. Penanggulangan masalah terorisme tidak cukup hanya dengan tindakan hukum, tetapi juga perlu pencegahan hingga penanganan setelah penangkapan teroris. Oleh sebab itu, BNPT melibatkan

Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, lembaga- lembaga swadaya masyarakat, dan Perguruan Tinggi. Pemerintah membentuk BNPT untuk meningkatkan kapasitas Desk Koordinator Penanggulangan Terorisme di bawah Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. BNPT dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 untuk menjawab salah satu kontoversi penanganan terorisme antara Polri dan TNI. Sebelumnya cikal bakal BNPT adalah Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Secara lebih jelas menurut PP No.46 Tahun 2010, BNPT mempunyai tugas:

Universitas Sumatera Utara a. Menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang

penanggulangan terorisme;

b. Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan kebijakan

di bidang penanggulangan terorisme;

c. Melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan

membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi

pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-

masing. Bidang penanggulangan terorisme meliputi pencegahan,

perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan

nasional.

Terkait dengan tugas BNPT pada huruf b di atas, untuk menjawab kontroversi

TNI dan Polri dalam menangani terorisme sebagaimana penegasan dalam Pasal 5 ayat

(1) UU Kepolisian menegaskan, ”Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”, maka dalam hal memberantas terorisme yang membahayakan stabilitas dalam negeri

Indonesia harus dilaksanakan oleh Polri. Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 1 UU No.34

Tahun 2004 tentang TNI (UUTNI) ditentukan bahwa untuk ”mengatasi gerakan separatisme bersenjata” (teroris) menjadi tugas pokok TNI. Inilah yang menjadi persoalan di kedua institusi tersebut. Sebenarnya dalam Pasal 7 ayat (3) UU TNI sangat jelas disebutkan bahwa ”Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

Universitas Sumatera Utara dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”. Perlu dipahami makna yang terkandung di dalam Pasal 7 ayat (3) UU TNI bahwa dalam hal memberantas terorisme ada kaitannya dengan ”kebijakan dan politik negara”.

Menjawab persoalan mengapa Densus 88 Anti Teror Polri berada di garda terdepan dalam menangani terorisme di Indonesia, jika dirujuk pada ketentuan Pasal

7 ayat (2) huruf b angka 10 UU TNI, menjadi dasar hukum bekerjanya Densus 88

Anti Teror Polri sebagai bagian terdepan menangani terorisme yakni, TNI

“Membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang”. Dalam hal “…yang diatur dalam undang-undang” inipun tidak ditemukan pengaturan khusus intitusi mana yang lebih berwenang menangani terorisme bahkan di dalam UUPTPT pun pengaturan itu tidak ditemukan.

Menyikapi persoalan antara Polri dan TNI, hal ini merupakan salah satu hambatan yang bersifat yuridis dimana Polri dan TNI harus dikoordinasikan dan diharmonisasikan mengenai tugas, fungsi, dan wewenangnya mengangi terorisme di

Indonesia. Solusi terhadap hambatan yuridis ini, antara TNI dan Polri dapat menyelaraskan peran dalam praktiknya berdasarkan koordinasi antar instansi sehingga tidak menimbulkan persoalan yang mendalam pada kedua institusi tersebut.

Secara politik, bahwa ketika dibentuknya Densus 88 Anti Teror Polri setelah peristiwa Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 yang mengakibatkan banyak korban sehingga pada tahun 2003 oleh Negara Amerika Serikat dan Australia berupaya membantu negara Indonesia dalam memberantas aksi-aksi terorisme baik

Universitas Sumatera Utara dari aspek dana, sarana-prasarana, keahlian, persenjataan, dan lain-lain diprioritaskan oleh Amerika Serikat adalah kepada pasukan-pasukan anti teror yang ada di bawah naungan departemen pertahanan Republik Indonesia, namun pada tahun 2003, TNI masih dalam keadaan diembargo pemerintah Amerika Serikat khususnya persenjataan militer sementara Wanteror Gegana Brimob Polri kurang diakui pemerintah Amerika mengenai kredibilitasnya baik dari segi keahlian (skil), fisik, maupun saran dan prasarana. Sehingga Amerika Serikat lebih memilih pasukan yang khusus dibentuk untuk menangani terorisme yakni dengan membentuk Densus 88 Anti Teror Polri berdasarkan Skep Kapolri Nomor 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003.208

Hambatan dalam hukum acara juga dialami Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan menyangkut masa lamanya penahanan, meskipun dalam

UUPTPT telah memuat masa penahanan selama 6 (enam) bulan dan penangkapan selama 7 (tujuh) hari, hal tersebut masih dirasa kurang memadai. Berdasarkan pengalaman Densus 88 Anti Teror Polri, menangkap jaringan teroris dengan cara biasa yang mengacu pada KUHAP akan mempersulit proses penangkapan selanjutnya.209 Hal ini dapat dibuktikan dengan jarak waktu penangkapan kelompok satu dengan kelompok lainnya memerlukan waktu 2 (dua) bulan atau lebih dan waktu proses penangkapan selanjutnya memerlukan waktu yang lebih lama lagi karena jaringan tersangka teroris juga mempelajari pola penangkapan rekan-rekannya.

208 Lilik Mulyadi., Pengadilan Bom Bali, Perkara Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron, dan Ali Imron alias Alik, (Jakarta: Djambatan, 2007), hal. 1. 209 Bekto Suprapto., Op. cit., hal.5.

Universitas Sumatera Utara Proses investigasi terhadap organisasi rahasia terorisme yang sulit dilakukan adalah memperoleh kesaksian di antara para tersangka. Para tersangka sering menyangkal apa yang sudah pernah disampaikan sebelumnya sehingga yang terjadi kemudian adalah perlakuan Polisi terhadap para tersangka pelaku teror bom dalam proses investigasi dapat berbeda-beda, seperti misalnya: tempat penahanan, cara pemeriksaan, penentuan tempat sidang, bantuan penasehat hukum, penangguhan penahanan, dan perlindungan saksi.210

Keterbatasan waktu dalam penyusunan berita acara interogasi dapat berakibat semua informasi yang diperoleh tidak tertampung dalam berita acara. Untuk itu pengungkapan jaringan terorisme banyak dibantu oleh rekaman dan data elektronik dari hubungan telepon maupun email, namun dalam berkas berita acara kasus-kasus terorisme yang diungkap selama ini belum disertakan sebagai alat bukti sesuai

UUPTPT karena alasan kerahasiaan. Pelacakan terhadap keberadaan dan jaringan terorisme dilakukan dengan menggunakan data elektronik namun data elektronik tersebut belum dipakai sebagai alat bukti.211

Berdasarkan uraian di atas, maka BNPT yang dibentuk oleh pemerintah tersebut sebagai salah satu wada bertemunya antara instansi terkait dalam memberantas terorisme sehingga kerja sama dapat dilakukan dengan Polri, TNI,

Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, lembaga-

210 Ibid. 211 Ewit Soetriadi., Op. cit., hal. 192.

Universitas Sumatera Utara lembaga swadaya masyarakat, dan Perguruan Tinggi, Imigrasi, Bea Cukai, dan lain- lain yang bekerja sama dengan Menkopolhukam.212

212 Wawancara dengan Kaden Gegana Brimob m Polda Sumut, tanggal 10 s/d 11 Juni 2011.

Universitas Sumatera Utara BAB V

K/ESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terhadap permasalahan dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa:

1. Pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT)

merupakan sebuah konstruksi hukum mutlak diperlukan untuk melakukan

perlawanan terhadap terorisme. UUPTPT diundangkan setelah terjadinya

peristiwa Bom Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 yang sebelumnya diatur

dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002. Pengaturan tindak

pidana terorisme dalam UUPTPT mengecualikan satu asas yaitu asas legalitas

yang melarang pemberlakuan hukum secara non retroaktif (tidak berlaku

surut). Sedangkan UUPTPT diterapkan secara retroaktif (berlaku surut)

terhadap kasus-kasus terorisme yang sudah berlalu sebelum munculnya

UUPTPT yang mengaturnya. Pengaturan demikian sebagai konsekuensi

bahwa tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa (extra

ordinary crime), terorisme bersifat internasional, banyaknya pihak yang

menjadi korban dan kejahatannya yang terorganisasi sehingga pengaturan dan

penangannya dilakukan secara luar biasa yakni memberlakukan undang-

undang secara surut.

Universitas Sumatera Utara 2. Peran Polri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme dengan

berbagai upaya dan langkah-langkah ditempuh melalui penerapan peraturan-

peraturan hukum dan sanksi dalam UUPTPT, serta menerapkan prosedur

hukum pidana (kebijakan penal). Selain itu, Polri juga melakukan kebijakan

non penal (di luar hukum pidana) dengan melakukan pendekatan terhadap

akar permasalahan lahirnya persoalan terorisme dari sudut sosial. Densus 88

Anti Teror bentukan Polri diupayakan sebagai bagian terdepan melakukan

penindakan, intelijen, dan investigasi terhadap jaringan terorisme untuk

menghadapkan pelaku teroris ke dalam persidangan dalam sistim peradilan

pidana.

3. Hambatan-hambatan Polri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana

terorisme khususnya hambatan yang bersifat eksternal tidak semuanya dapat

dilakukan solusi, namun untuk menjawab hambatan eksternal tersebut, Polri

khususnya Densus 88 Anti Teror tetap melakukan tugasn dan fungsinya

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap

menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hambatan yang bersifat internal dan

hambatan dari sisi perundang-undangan, Polri dapat mengatasinya dengan

melakukan koordinasi internal dan koordinasi antar instansi terkait lainnya.

Universitas Sumatera Utara B. Saran

Saran yang diharapkan sebagai kontribusi pemikiran terhadap permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Diharapkan penerapan asas Retroaktif terhadap kasus-kasus tindakan pidana

terorisme tidak melanggar Hak Asasi Manusia sebab retroaktif rentan dengan

pelangaran Hak Asasi Manusia namun kebutuhan terhadap pemberlakuan

retroaktif sangat dikehendaki, dewasa ini mengingat dampak tindak pidana

terorisme sangat luas dan sistemik.

2. Diharapkan kepada institusi Polri agar mengoptimalkan Polisi Masyarakat

(Polmas) secara terpadu, sebab Polmas selama ini berjalan tidak maksimal.

Perlu diketahui bahwa dengan peran Polmas ini dapat dilakukan deteksi lebih

dini terhadap perkembangan masyarakat setempat untuk mendata penduduk

tetap dan pendatang pada suatu daerah tertentu. Langkah pemberantasan tidak

menjadi berarti apabila penanggulangan melalui upaya preventif tidak

dilakukan dari akar permasalahan yang paling mendasar dan akar itu berada di

dalam masyarakat.

3. Diharapkan kepada institusi Polri khususnya Densus 88 Anti Teror Polri, agar

berupaya menemukan cara lain dalam melakukan penyergapan teroris di

tempat-tempat persembunyiannya dengan tidak menggunakan senjata untuk

menembak mati teroris setelah diperingatkan sebelumnya untuk menyerah.

Misalnya dengan menggunakan gas atau lainnya yang bisa membuat teroris

pingsan menghirup gas tersebut, sehingga dengan demikian, Hak Asasi

Universitas Sumatera Utara Manusia lebih terjaga dibandingkan dengan mematikan pelaku teror. Bahkan, proses peradilan pun dabat dijalankan kepadanya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, citra Polri untuk menangkap pelaku terorisme hidup-hidup menjadi lebih berarti di mata dunia, jaringan teroris lainnya pun bisa terbongkar melalui pelaku yang sudah ditangkap.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku Abas, Nasir., Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2009. Akaha, Abduh Zulfidar., Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2002. Al-Arif & Anton Ali Abbas., TNI-Polri Di Masa Perubahan Politik, Bandung: Program Magister Studi Pertahanan Institut Teknologi Bandung, 2008. Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2009. Anwar, H.A.K. Moch.., Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama KUHP, Bandung: Alumni, 1981. Arief, Barda Nawawi., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000. ______Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. ______Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. ______Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. Basuki, Wishnu, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta: Tatanusa, 2001. Bemmelen, J.M. van., Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan (tanpa tempat): Bina Cipta, 1984. Burke, Jason., Al-Qaeda: The True Story of Radical Islam, London: TB. Tauris & Co. Ltd. Cunningham, William G., Terrorism: Concepts, Causes, and Conflict Resolution Virginia: Defense Threat Reduction Agency Fort Belvoir, 2003. Djamin, Awaloedin., Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, Jakarta: PTIK Press, 2006. Djamin, Awaloedin, Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan: Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta: PTIK Press, 2007. Garnida, Dadang, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri Di Lapangan, Jakarta: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2005.

Universitas Sumatera Utara Graner, Bryan A., Black’s Law Dictionary Eighth Edition, (diterjemahkan oleh Ahmad Zakaria UI 2007), St. Paul: West Thomson, 2004. Hamzah, Andi., Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi Jakarta: Sinar Grafika, 2001. ______Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Hardiman, F. Budi., dkk., Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi Jakarta: Imparsial, 2005. Hoefnagels, G. Peter., The Other Side Of Criminology, Holland: Klower-Deventer, 1969. Irfany, M. Islam., Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 2002. Jaya, Nyoman Serikat Putra., Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2001. Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990. Loqman, Loebby., Percobaan Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Jakarta: Universitas Tarumanagara UPT Penerbit, 1995. Manullang, A.C., Menguak Tabu Intelijen, Motif dan Rezim, Jakarta: Panta Rhei, 2001. Masyhar, Ali., Baya Indonesia Menghadang Terorisme, Bandung: Mandar Maju, 2009. Mertokusumo, Sudikno., Hukum Acara Pidana Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002. Moeljatno., Kitab Undang Undang Hukum Pidana, cet. 21, Jakarta: Bumi Aksara, 2001. ______Asas-Asas Hukum Pidanai, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Muladi., Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002. ______Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Undip, 2002. ______Demokrasi HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002. ______dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984.

Universitas Sumatera Utara ______dan Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992. Mulyadi, Mahmud., Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non- Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008. Mulyadi, Lilik., Pengadilan Bom Bali, Perkara Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron, dan Ali Imron alias Alik, Jakarta: Djambatan, 2007. Murdiyarso, Daniel., Protokol Kyoto: Implikasinya Pada Negara-Negara Berkembang, Jakarta: Kompas, 2003. Nainggolan, Poltak Partogi., Terorisme dan Tata Dunia Baru, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2002. Priatmodjo, Galih., Densus 88 The Undaercover Squad-Mengungkapkan Kesatuan Elit “Pasukan hanut” Anti Teror, Yogyakarta: Narasi-Anggota IKAPI, 2010. Prodjodikoro, Wirjono., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, cet. 3, Bandung: PT. Rafika Aditama, 2003. Purwanto, Wawan H., Kontroversi Seputar Hukuman Mati Amrozi Cs, Jakarta: Cipta Mandiri Bangsa Press, 2008. Rahardjo, Satjipto., Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980. Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, 2003. Remmelink, Jan., Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003. Salam, Moch. Faisal., Motivasi Tindakan Terorisme, Bandung: Mandar Maju, 2005. Samego, Indria, Reformasi Berkelanjutan: Institusi Kepolisian Republik Indonesia, Bidang Sumber Daya Manusia, Kemitraan, Jakarta: LMUI dan Kepolisian Negara RI, 2006. ______Peranan Polri Dalam Kerangka Kerja Sistem Keamanan Nasional, Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006. Sanoesi, Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol. B/394/IX/Dislitbang, Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987. Sianturi, S.R., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1989. Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., Bandung: Alumni, 1981.

Universitas Sumatera Utara ______Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung: Sinar Baru, 1983. ______Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981. Soemitro, Ronny Hanitijo., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Soekanto, Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990. ______Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali, 1983. ______dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001. Soetriadi, Ewit., Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Dengan Hukum Pidana, Tesis, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2008. Sudarto., Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981. Suradji, Adjie., Terorisme, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005. Sunggono, Bambang., Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Sriyanto, I., dan Desiree Zuraida., Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001. Syahrani, H. Ridwan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Tim Medpress., Petualangan Teror Dr. Azahari, Berkawan Dengan Bom, Yogyakarta: Media Pressindo, 2005. Wahid, Abdul., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2004. Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Warassih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama, 2005. Wilkinson, Paul., Terrorism and the Liberal State London: The Macmillan Press Ltd., 1977.

Universitas Sumatera Utara B. Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme (UUPTPT). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Kepolisian). C. Makalah, Jurnal, dan Artikel Abdullah, Abdul Gani., “Undang-Undang Terorisme dan Penerapannya di Indonesia”, Makalah sebagai bahan diskusi dalam Forum Diskusi Masalah Hukum dan Terorisme, tanggal 18-19 Februari 2005 di Novotel Bogor. Azis., Avyanti., dan Harijanto., ”Sebuah Dialog Untuk Mengakhiri Mata Rantai Kekerasan: Cara Pandang Baru Tentang Terorisme”, Global Jurnal Politik Internasional, Vol. 5 No. 2, Mei 2003. Bahtiar Marpaung., “Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme di Indonesia”, Jurnal Equality, Vol. 12, No. 2 Agustus 2007. Ben Golder., dan George Williams., “What is Terrorism? Problems of Legal Definition,” UNSW Law Journal, Vol. 27, February 2003. Khan, Ali., “A Legal Theory of International Terrorism,” Journal Connecticut Law Review, 1982. Muladi., ”Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Strategi Penanggulangan Kejahatan Dalam Bidang Telematika Diselenggarakan oleh Universias Semarang Bekerjsa Sama Dengan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI, Semarang Tanggal 23 Juli 2002. Nasution, Bismar., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003. Nasution, Sofyan, “Upaya Mendorong Birokrasi Pemerintah Berlandaskan Prinsip- Prinsip Good Governance”, Makalah Disampaikan pada Seminar tentang Diseminasi Policy Paper, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara. Nasrullah, T., ”Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Makalah Disampaikan Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, diselenggarakan: Indonesia Police Watch bekerjasama dengan Polda Metropolitan Jakarta Raya, Selasa, 29 Maret 2007.

Universitas Sumatera Utara Record, Jeffrey., “Bounding The Global War On Terrorism,” Journal Strategic Studies Institute, December 2003. Suprapto, Bekto., “Pengalaman Investigasi Kasus Terorisme di Indonesia dan Permasalahannya”, Makalah disampaikan pada Seminar Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, tanggal 28 Juni 2001. D. Surat Kabar Republika., Tanggal 15 Oktober 2002. Gatra., tanggal 19 November 2005. Tempo., tanggal 28 November 2005. E. Internet http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=6080, diakses tanggal 25 Desember 2010. http://www.antaranews.com/berita/1284997005/kapolri-perampokan-bank-cimb- niaga-terkait-terorisme, diakses tanggal 23 Desember 2010. Lihat juga, Antara News., Tanggal 20 September 2010, hal. 1. http://indonesia.heartnsouls.com/cerita/d/c370.shtml, diakses tanggal 16 Juni 2011. http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=12&mnorutisi=10, diakses tanggal 26 Desember 2010. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/15/opini/tero30.htm, diakses 12 Juli 2010. http://www.britannica.com/eb/article-9071797/terrorism, diakses 23 Maret 2011. http://myweb.wvnet.edu/~jelkins/crimlaw/basic/mpc.html, diakses terakhir tanggal 23 Maret 2011. http://buletinlitbang.dephan.go.id/, diakses tanggal 15 Maret 2011. http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_terorisme, diakses tanggal 25 Maret 2011. http://oldposts.binsarspeaks.net/?p=90, diakses tanggal 27 Maret 2011. http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5070643, diakses tanggal 27 Maret 2011. http://ayodonkbaby.blogspot.com/2009/07/bom-lagi.html, diakses tanggal 27 Maret 2011. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2002/10/21/LU/mbm.20021021.LU81897 .id.ht, diakses tanggal 27 Maret 2011. http://seputar-bali.blogspot.com/2007/11/tragedi-bom-bali-2002.html, diakses tanggal 27 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara http://www.hudzaifah.org/PNphpBB2-viewtopic-t-117.phtml, diakses tanggal 27 Maret 2011. http://mafiaindonesia.blogspot.com/2008/11/catatan-serangan-teroris-indonesia.html, diakses tanggal 27 Maret 2011. http://arulalmy.wordpress.com/2009/07/22/teror-ledakan-bom-jw-marriot-dan-ritz- carlton/, diakses tanggal 27 Maret 2011. http://www.austlii.edu.au/au/legis/cth/consol_act/cca1995115/, diakses tanggal 26 Maret 2011. http://karodalnet.blogspot.com/2011/03/teror-bom-buku-marak.html, diakses tanggal 28 Maret 2011. http://www.polri.go.id/, diakses tanggal 29 Maret 2011. http://www.malukunews.com/?p=3111, diakses tanggal 28 Maret 2011. http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?show=script&cmd=loadnews&newsid=2133, diakses tanggal 28 Maret 2011. http://ekojuli.wordpress.com/2009/08/08/akhirnya-nurdin-m-top-ditembak-mati/, diakses tanggal 29 Maret 2011. http://asaborneo.blogspot.com/2009/07/sejarah-dan-kiprah-detasemen-khusus.html, diakses tanggal 29 Maret 2011. http://www.rakyatmerdeka.org/news.php?id=368, diakses tanggal 5 Juni 2011. http://hukum.kompasiana.com/2011/02/11/mengatasi-kekerasan-penegakan-hukum- ala-densus-88/, diakses tanggal 8 Juni 2010. http://www.voa-islam.com/counter/liberalism/2011/04/01/13979/memerangi-syariat- islam-berkedok-perang-melawan-terorisme/, diakses tanggal 12 Mei 2011. http://m.inilah.com/read/detail/132268/teror-bom-ji-dan-dunia-barat, diakses tanggal 12 Mei 2011. http://abisyakir.wordpress.com/2011/04/22/terorisme-dan-kemunafikan- orangindonesia/, diakses tanggal 12 Mei 2011. http://muradi.wordpress.com/2007/06/15/reformasi-brimob-polri-antara-tradisi- militer-dan-kultur-polisi-sipil/, diakses tanggal 8 Juni 2011. http://hukum.kompasiana.com/2011/02/11/mengatasi-kekerasan-penegakan-hukum- ala-densus-88/, diakses tanggal 8 Juni 2010. http://www.hilman.web.id/posting/blog/918/densus-88-bin-brimob-dan-koppasus- pasukan-elit-untuk-sipil-dan-militer.html?idv=199, diakses tanggal 8 Juni 2011.

Universitas Sumatera Utara http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=7242, diakses tanggal 8 Juni 2011. http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?show=script&cmd=loadnews&newsid=2133, diakses tanggal 28 Maret 2011. http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/04/15/126356/Bom-Bunuh-Diri-di- Masjid-Polresta-Cirebon-Puluhan-Terluka, diakses tanggal 20 Juni 2011.

Universitas Sumatera Utara