Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya Volume 4, Nomor 1, Juni 2019 DOI: https://doi.org/10.25217/jf.v4i1.470 http://journal.iaimnumetrolampung.ac.id/index.php/jf SOSIO-RELIGIUS PESANTREN: AKTUALISASI NILAI-NILAI AGAMA DALAM RUANG SOSIAL KEMASYARAKATAN DI LOMBOK TIMUR Muhammad War‟i 1 1 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Darussalimin Nahdlatul Wathan Praya, Lombok * CORRESPONDENCE: [email protected] Abstract Article Info This paper discusses the socio-religious attitude of the pesantren which Article History is manifested by the Islamic Boarding School Ma'had Darul Quran wal Hadith Received : 07-05- 2019, Al-Majidiyah As-Syafi'iyah Nahdlatul Wathan in a social context. Through the Revised : 11-06-2019, phenomenology approach, this research will elaborate on this. Islamic boarding Accepted : 12-06-2019 schools are often represented by santri learning places with strict pesantren regulations. The santri stayed in certain locations (dormitories) with 24-hour Keywords: caregiver supervision. This fact often leaves “empty spaces” in the form of Pesantren ; "gaps" that occur between pesantren and society in general. Therefore a Society ; pesantren management model is needed which emphasizes the process of social Socio-Religious; Social Space; interaction in its existence. The conclusion of this paper is the socio-religious Santri; attitude of the pesantren which is manifested in the form of intense social interaction between santri and society. This is because santri lodgings are scattered throughout the community houses in Pancor Village which is the location of the Islamic boarding schools. These socio-religious attitudes can be seen from the concern of santri to the community in helping people around to study the religious sciences and help them in matters of daily living. Abstrak Tulisan ini membicarakan sikap sosio-religius pesantren yang HistoriArtikel termanifestasikan dalam orientasi Pesantren Ma’had Darul Quran wal Hadits Diterima :07-05-2019 Al-Majidiyah As-Syafi’iyah Nahdlatul Wathan dalam konteks sosial Direvisi :11-06-2019 kemasyarakatan. Melalui pendekatan fenomenologi, penelitian ini Disetujui :12-06-2019 mengelaborasi hal tersebut. Pesantren sering kali direpresentasikan dengan tempat belajar santri yang cenderung ketat secara pemondokan. Diinapkan di Kata Kunci: Pesantren; lokasi tertentu (asrama) dengan pengawasan pengasuh selama 24 jam. Masyarakat; Kenyataan tersebut sering kali meninggalkan ruang kosong berupa “gap” yang Sosio-Religius; terjadi antara pesantren dan masyarakat secara umum. Oleh karena itu Ruang Sosial; dibutuhkan model pengelolaan pesantren yang memuat bahkan menekankan Santri; proses interaksi sosial dalam eksistensinya. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sikap sosio-religius pesantren yang termanifestasi dari bentuk interaksi sosial yang intens antara santri dan masyarakat. Hal ini disebabkan karena pemondokan santri disebar di seluruh rumah masyarakat di Kelurahan Pancor yang merupakan lokasi pondok pesantren. Sikap sosio- religius tersebut tampak dari kepedulian santri kepada masyarakat dalam membantu masyarakat sekitar mempelajari ilmu-ilmu agama serta membantu mereka dalam urusan hidup sehari-hari. A. Pendahuluan Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menekankan pada hubungan intens antara kiai dan santri. Biasanya peserta didik di pondok pesantren dipondokkan di tempat khusus (asrama), sehingga diharapkan dari model ini adalah proses pendidikan yang berlangsung 24 jam. Oleh P-ISSN: 2527- 4430 E-ISSN: 2548-7620 Copyright © 2019 Fikri : Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya Muhammad War’i karena itu, pondok pesantren biasanya berada di komplek tertentu dengan pengawasan yang ketat dari para pembimbing asrama. Model pengelolaan pondok pesantren seperti ini menjadi bentuk umum pondok pesantren. Namun demikian, ada “ruang kosong” yang ditinggalkan oleh pola pengelolaan pondok seperti ini, yaitu adanya batas (gap) antara pesantren dan masyarakat umum.1 Gap tersebut pada gilirannya menuai konsekuensi tersendiri baik bagi pondok pesantren maupun masyarakat di sekitar pondok pesantren. Bagi pondok pesantren, gap tersebut bisa memicu konflik horizontal antara pengelola pesantren dan masyarakat sekitar. Di samping itu, menciderai peran pondok pesantren sendiri yang seharusnya menjadi agen perubahan untuk komunitas masyarakat secara umum. Sebagai lembaga sosial keagamaan, pesantren dengan kiainya mau tidak mau harus berhadapan dengan peran penting ini khususnya dalam perbaikan karakter masyarakat. Sungguhpun eksistensi pondok pesantren teramat mengakar sebagai agen perubahan, namun dewasa ini orientasi pesantren juga berhadapan dengan arus deras kapitalisme. Banyak kemudian pesantren terlahir kembali dengan model-model yang luar biasa mewah dengan menawarkan ide-ide pembaharuan yang menjanjikan. Namun demikian inovasi pesantren yang cenderung menitikberatkan aspek sarana-prasarana dan pemikiran secara ilmu pengetahuan semata, membawa terhadap keringnya nilai-nilai spiritualitas tradisional yang sejatinya merupakan ruh dari pesantren itu sendiri. Parahnya, model pesantren yang cenderung ekslusif secara bangunannya, juga seringkali ekslusif dalam pemikiran. Akhirnya, pesantren sering kali menjelma sebagai bangunan mewah di tengah pemukiman masyarakat umum. Keberadaannya seperti menara gading yang tak terjangkau masyarakat sekitar. Terpotong dari dunia sosial dan menjadi independen dengan modelnya sendiri, sehingga peran sosial pesantren menjadi luntur. Kegelisahan semacam ini juga pernah dikemukakan oleh Profesor Nadirsyah Hosen. Dalam pengantarnya pada sebuah buku berjudul Peradaban Sarung, dia mencoba menyinggung model pesantren yang dewasa ini banyak terjebak justru dalam praktik yang hanya berbau eksistensi semata dan melupakan nilai-nilai esensial di dalamnya. Amaliah pesantren seperti kharisma kiai, hubungan sosiologis antara pesantren dan masyarakat sekitar, serta berbagai aspek-aspek sosio-spiritual banyak yang hilang pada diri pesantren masa kini.2 Dengan beranjak dari beberapa pertimbangan di atas, maka upaya mengkaji pola pengembangan pesantren yang berbasis kemasyarakatan dipandang perlu diangkat dalam kajian ilmiah untuk memberikan warna pada model-model pengelolaan pesantren. Harapan penulis, kajian ini mampu memberikan gambaran tentang hubungan pesantren dengan sosialnya, sehingga mampu menjadi inspirasi dalam pengelolaan Pondok Pesantren. Memang apa yang dikemukakan pada pendahuluan tulisan ini tidaklah mengeneralisir bahwa kenyataan pesantren dewasa ini semuanya sebagaimana yang disebutkan di atas, ada banyak pondok pesantren yang mungkin masih memegang prinsip sosio-religiusnya sehingga relasi pesantren dengan masyarakat sekitar masih tetap terjalin. Umumnya pola interaksi antara pesantren dan masyarakat sekitar dapat dilihat pada majelis ta’lim yang diadakan oleh pesantren, khusus untuk masyarakat sekitar. Biasanya kegiatan tersebut berlangsung sekali dalam seminggu. Hal ini merupakan pola umum model relasi pesantren dan masyarakat sekitar. 1 Ronald Lukens-Bull, “MADRASA BY ANY OTHER NAME: Pondok, Pesantren, and Islamic Schools in Indonesia and Larger Southeast Asian Region,” JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM 4, no. 1 (June 1, 2010): 1-21–21, https://doi.org/10.15642/JIIS.2010.4.1.1-21. 2Ach Dhofir Zuhry, Peradaban Sarung: Veni, Vidi, Santri (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2018), viii. 2 Copyr ight © 2019 Fikri : Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya P-ISSN: 2527- 4430 E-ISSN: 2548-7620 Fikri : Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya Muhammad War’i Kajian tentang pesantren lebih banyak berbicara pada sejarah dan model pendidikan yang dijalankan. Herman DM misalnya, mengangkat tentang sejarah pesantren di Indonesia.3 Di sisi lain, Suryawan meneliti tentang pola pendidikan yang dikembangkan pada salah satu pesantren di Jawa Barat.4 Sejalan dengan itu, Asmad Hamisy dan Abdul Tolib memaparkan tentang berbagai pola manajemen pondok pesantren5 dan model pendidikan pesantren modern.6 Kemudian ada juga tulisan dengan pendekatan filosofis tentang pesantren yaitu tulisan Muhammad Munadi yang mengkaji tentang integrasi keilmuan pada pendidikan pesantren.7 Selain itu, tulisan I‟anatut Thoifah tentang model Pesantren Rakyat Al-Amin yang berada di Kabupaten Malang. Penelitian mengungkap model orientasi Pesantren, di mana masyarakat dijadikan sebagai santri pesantren.8 Demikian pula berbagai kajian tentang pesantren yang sangat banyak. Namun demikian, sebagaimana yang peneliti singgung sebelumnya, kajian-kajian tersebut lebih berbicara pada sejarah dan pola pendidikannya. Untuk Pesantren Rakyat Al-Amin di atas, menurut peneliti unik secara pola relasi sosiologisnya. Pesantren yang dipimpin oleh Kiai Abdullah Sam itu menjadikan masyarakat sekitarnya langsung sebagai santrinya. Artinya santri asuhannya melingkupi semua masyarakat di sekitar pondok pesantren. Seperti namanya, pesantren tersebut benar-benar mengorientasikan eksistensinya terkait dengan keberadaan rakyat. Patologi-patologi yang sifatnya sosiologis menjadi titik perhatian pesantren tersebut, seperti: kemiskinan, kebiasaan amoral masyarakat, minuman keras, narkoba yang marak terjadi di masyarakat sekitar pondok pesantren.9 Namun demikian, pesantren tersebut tidak menunjukkan pola interaksi yang timbal balik. Posisi pesantren lebih sebagai sentrum perubahan untuk setiap persoalan sosial kemasyarakatan. Adapun tulisan ini lebih melihat pada pola relasi pesantren dengan sosialnya. Objek penelitian adalah pesantren yang menempatkan santri-santriwatinya justru
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages14 Page
-
File Size-