This may be the author’s version of a work that was submitted/accepted for publication in the following source: Sawita, Roro, Putra, Gde, & Baulch, Emma (2014) Citra Perempuan Indonesia dalam Iklan Produk Provider. Jurnal Perempuan. This file was downloaded from: https://eprints.qut.edu.au/78970/ c Copyright 2014 Jurnal Perempuan This work is covered by copyright. Unless the document is being made available under a Creative Commons Licence, you must assume that re-use is limited to personal use and that permission from the copyright owner must be obtained for all other uses. If the docu- ment is available under a Creative Commons License (or other specified license) then refer to the Licence for details of permitted re-use. It is a condition of access that users recog- nise and abide by the legal requirements associated with these rights. If you believe that this work infringes copyright please provide details by email to [email protected] Notice: Please note that this document may not be the Version of Record (i.e. published version) of the work. Author manuscript versions (as Sub- mitted for peer review or as Accepted for publication after peer review) can be identified by an absence of publisher branding and/or typeset appear- ance. If there is any doubt, please refer to the published source. http:// www.jurnalperempuan.org/ blog/ archives/ 05-2014 Roro Sawita, Gde Putra, Emma Baulch: Citra Perempuan Indonesia dalam Iklan Produk Provider 30/5/2014 0 Comments Oleh: Roro Sawita, Gde Putra dan Emma Baulch ([email protected] Iklan Provider dan Perempuan Dalam Perebutan Runtuhnya rezim sentralistik Orde Baru mengubah konstelasi sosial politik di Indonesia. Persoalan‐ persoalan perempuan yang ditabukan pada zaman Orde Baru mulai diberikan ruang untuk didiskusikan secara terbuka. Istilah pemberdayaan perempuan, perempuan di parlemen, kuota untuk perempuan, kepemimpinan perempuan, ataupun independensi perempuan mulai sering terdengar. Bukan berarti riuh suara pembebasan itu yang mendominasi lapangan sebab upaya pemenjaraan tubuh perempuan meriah juga di era reformasi. Saat ini upaya kontrol terhadap tubuh perempuan dilakukan oleh sipil berjubah agama. Lihat misalnya di layar TV, sangat terang‐terangan Front Pembela Islam (FPI) terekam menyerbu tempat hiburan malam dan melakukan razia kemaksiatan di tempat mahasiswa indekos. Tidak jarang kelompok sipil mengatasnamakan organisasi agama tertentu mengeluarkan pernyataan dihadapan wartawan dengan mencela beberapa artis dangdut perempuan atau selebriti perempuan lainnya yang dikenal berpakaian “seksi”. Upaya kontrol tubuh perempuan juga terealisasikan pada ranah kebijakan negara. Terbukti dengan disahkannya undang‐undang pornografi. Alih‐alih untuk mengriminalkan pelaku industri pornografi, beberapa pasalnya malah menyudutkan perempuan.[1] Atas nama otonomi daerah, beberapa wilayah di Indonesia melahirkan perda‐perda syariah yang diskriminatif terhadap perempuan.[2] Aksi sensor dan aturan tak ramah perempuan tersebut ingin membuat masyarakat meyakini pandangan bahwa tubuh perempuan bisa berbahaya dan mengganggu tatanan sosial jika tidak diawasi. Karena itu sudah sepantasnya tubuh perempuan didisiplinkan. Walaupun perempuan mulai memegang tampuk pimpinan di beberapa daerah, namun penyepelean terhadap kepemimpinan perempuan masih kuat. Seringkali berhembus isu perempuan menjadi kepala daerah atau anggota dewan karena diuntungkan oleh jaringan politik dari suaminya. Penolakan kepemimpinan perempuan juga muncul baru‐baru ini, seperti kasus penolakan Lurah Susan di Lenteng Agung Jakarta. Lurah Susan ditolak bukan hanya karena tidak beragama islam tetapi juga statusnya sebagai perempuan. Atau lihat ke belakang saat PDIP memenangi pemilu tahun 1999. Isu Megawati Soekarno Putri dijegal sebagai presiden karena dia perempuan. Pemandangan menjadi terbalik jika mata diarahkan ke layar TV disaat iklan provider mengisi jeda acara sinetron, berita atau talk show. Adalah Iklan Simpati dengan Agnes Monica sebagai bintang iklannya.[3] Sosok perempuan single, non Muslim, beretnis minoritas Tionghoa, independent secara ekonomi, kerap berpakaian minim dan hidup di dunia hiburan ini dijadikan sosok utama dalam iklan tersebut. Arahkan juga penglihatan kita ke sosok Anggun C Sasmi di iklan Mentari.[4] Perempuan berdarah Yogyakarta ini adalah sosok artis perempuan yang lama merantau jauh dari kampung halaman dan menikah dengan laki‐laki Prancis. Kedua sosok ini mewakili perempuan yang berani berkarier keluar dari rumah ataupun keluar dari negerinya, serta berani single seperti Agnes ataupun berani memilih pujaan hati beda agama, ras, suku, etnis dan warga negara seperti Anggun. Kemunculan dua sosok artis ini menandakan telepon genggam termasuk kebutuhan perempuan. Dapat dibaca bahwa kehadiran Agnes Monica dan Anggun C Sasmi adalah strategi untuk memperlebar jangkauan profit korporasi provider dengan menjadikan perempuan sebagai bagian dari konsumen mereka. Alat komunikasi tersebut seakan menjadi barang wajib bagi semua orang entah laki‐laki maupun perempuan. Sejumlah 225 juta orang Indonesia pada tahun 2012 menjadi pelanggan seluler. Jumlah ini hampir mencapai 100% dari populasi penduduk Indonesia.[5] Meskipun mobilephone diciptakan untuk menanggulangi persoalan jarak dan waktu, namun hanya berfungsi jika diisi pulsa. Dalam hal ini, perusahaan Provider yang memiliki wewenang menyediakan pulsa dan internet. Di Indonesia, tercatat 11 perusahaan provider ikut bersaing dengan berbagai macam produk dalam meraih pelanggan.[6] Jika kita menempatkan iklan‐iklan produk provider ke dalam arena perebutan konsepsi keperempuanan ideal pasca Orde Baru, maka kehadirannya seolah‐olah menjadi tandingan kelompok fundamentalis agama. Sekilas ide‐ide feminisme tentang independensi perempuan, kepemimpinan perempuan, dan kebebasan perempuan mengekspresikan serta menggerakkan tubuhnya terwakilkan oleh sosok‐sosok di iklan produk provider ini.[7] Prinsip mobile phone sebagai alat yang memudahkan manusia melangkah, berkomunikasi dan mengakses informasi dapat dimaknai sebagai spirit untuk mendobrak tembok kekangan yang menghambat manusia untuk menjelajah dunia dan berinteraksi. Dalam konteks persoalan perempuan kehadiran benda ini diterjemahkan oleh iklan‐iklan provider sebagai sebuah bentuk dukungan terhadap segala macam upaya pengekangan terhadap perempuan. Namun jika kita menggunakan teori semiotika maka tidak ada tanda yang netral. Selalu ada motif ideologi yang tersiar dalam tanda tersebut. Tulisan ini ingin menelisik mitos‐mitos “pembebasan perempuan” yang tersiar di iklan tersebut, serta melihat bagaimana seharusnya teknologi HP digunakan menurut versi provider dalam konteks persoalan perempuan. Menurut Hermawan membaca iklan televisi tidak ubahnya membongkar praktik ideologis yang bekerja secara manipulatif di dalam sebuah situasi sosial tertentu.[8] Sebelum mengarah pada mitos apa yang berusaha disebarkan oleh iklan‐iklan ini sudah sepantasnya kami menjabarkan sekilas apa itu semiotika. Setelah itu mendeskripsikan iklan‐iklan yang dimaksud dan kemudian menjelaskan nilai‐nilai “pembebasan perempuan” yang berusaha dimitoskan iklan tersebut. Iklan dan Semiotika Dalam lingkungan kebudayaan populer keberadaan iklan di dunia perdagangan menjadi penting. Fungsinya tidak sebatas alat promosi akan barang dan jasa namun termasuk menanamkan citra kepada konsumen mengenai produk yang ditawarkan. Citra yang terbentuk oleh iklan kemudian menggiring setiap pelanggan untuk percaya, loyal dan terus bertahan mengonsumsi produk tersebut. Sehingga pembacaan arti iklan menjadi bermanfaat untuk memahami komunikasi yang ditawarkan oleh sebuah produk. Iklan‐iklan yang muncul diberbagai media memiliki banyak pesan baik secara verbal maupun non verbal dan bersifat komunikatif. Pembacaan sebuah iklan memiliki pertalian kuat dengan semiotika. Semiotika merupakan teori pemikiran filsafat yang berkembang di Eropa dan Amerika. Secara epistimologis Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “semeion” yang artinya penafsir tanda. Semiotika merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang tanda, makna dan cara tanda‐tanda serta makna‐makna tersebut bekerja. Secara luas semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, dan apa manfaatnya bagi kehidupan manusia. Dengan perantara tanda‐tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap sesuatu. Menurut Roland Barthes sebuah tanda memiliki dua pemaknaan yaitu denotasi (makna sebenarnya sesuai dengan kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).[9] Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu kesan hasil interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultur penggunanya. Ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi berkembang menjadi makna denotasi maka akan menjadi mitos. Contoh yang diberikan Barthes dari sampul Paris‐Match adalah seorang pria muda berkulit hitam sedang memberi hormat militer dalam seragam militer. Mata pria muda itu diangkat ke atas, mungkin sedang menatap bendera. Kenyataannya memang ada pria berkulit hitam yang difoto dalam pose dan pakaian itu. Tapi ada makna lain bahwa Prancis adalah kerajaan yang besar, bahwa semua warga negaranya tanpa diskriminasi warna kulit setia melayani dibawah benderanya. Pengertian ini terhadap teks kebudayaan tidak terhindarkan, karena ideologi adalah proses dimana yang bersifat historis dan diciptakan oleh budaya‐budaya tertentu dihadirkan tanpa masa, universal dan alami.[10]
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages18 Page
-
File Size-