G. Budi Subanar, SJ 1 Soegija: Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan Penerjemah & Transliterasi : G. Budi Subanar, SJ Penyunting : Among Pulung Perancang Sampul : Teguh Prastowo Perancang Isi : Lintang Kajineman Foto Cover Depan : Nirwan Dewanto dalam filmSoegija (dok. Puskat Pictures). Fotografer: Erik Wirasakti Gambar-Gambar Diambil dari : Majalah St. Claverbond 1946, 1949, 1954 & Majalah Missienieuws der Nederlandse Jezuieten 1956 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Cetakan I, 2012 Penerbit Galangpress (Anggota Ikapi) Gedung Galangpress Center Jln. Mawar Tengah No. 72, Baciro, Yogyakarta - 55225 Telp. (0274) 554985, 554986; Faks. (0274) 556086 Email: [email protected] www.galangpress.com Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Subanar, G. Budi Soegija: Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan Yogyakarta; Penerbit Galangpress Cet. I, 2012; 14 x 21 cm; 553 halaman ISBN: 978-602-8174-81-7 I. Sejarah II. Judul III. Pulung, Among Dicetak oleh: Percetakan Galangpress Gedung Galangpress Center Jl. Mawar Tengah No. 72, Baciro, Yogyakarta - 55225 Telp. (0274) 554985, 554986; Faks. (0274) 556086 Email: [email protected] 2 Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, uskup agung Semarang sekaligus uskup pribumi per tama di Indonesia, lahir di Surakarta 25 November 1896. 3 Semangat juang Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ menjadi inspirasi kaum muda karena semasa remaja, dirinya sering terlibat perkelahian dengan anak-anak keturunan Belanda yang sering menindas anak-anak pribumi. 4 Kata Pengantar engan membaca buku harian ini, maka kita sesungguhnya Dmembaca sejarah besar dari kerja kepemimpinan yang berbasis pada satu nilai sederhana. Sederhana namun sangat prinsipil, yakni pelayanan. Nilai pelayanan menjadi nilai keutamaan dalam kepemimpinan. Dengan nilai keutamaan pelayanan itulah, Soegijapranata bisa mendengar dan membaca peta situasi. Karena itulah, bisa dimengerti bahwa dalam sejarahnya, Soegijapranata mampu melakukan panduan-panduan nilai yang menggerakkan umat dan masyarakatnya. Dibarengi kemampuannya berorasi, berorganisasi, serta menulis. Oleh karena itu, kerja keras Romo Banar menyusun kembali buku harian Soegijapranata ini menjadi sangat penting karena dalam buku hariannya tercermin tiga hal utama: sejarah kerja Soegijapranata, sejarah sosial politik, dan spirit kebangsaan dalam semangat religiusitas yang dibangunnya. Salam Garin Nugroho, sutradara film Soegija 5 Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara. Orangtuanya bekerja sebagai abdi dalem keraton Surakarta. Kakeknya adalah seorang kyai yang terkenal di Yogyakarta, yakni Kyai Soepa. 6 PENDAHULUAN ejarah perjuangan menegakkan kemerdekaan Republik SIndonesia pada tahun-tahun awal kemerdekaan seakan meru pa kan sejarahnya para pejuang militer dengan berbagai laskar rakyat pendukungnya, dan sejarahnya para pemimpin pemerintahan sipil. Kedua kelompok tersebut giat melakukan usahanya karena ada faktor tertentu yang melatarbelakanginya. Para pejuang militer beserta laskar rakyat melakukan perang gerilya untuk menghadapi aksi polisionil yang dilakukan pihak militer Belanda. Sedangkan para pemimpin pemerintahan sipil menjalankan aksi diplomasi untuk berhadapan dengan pihak-pihak asing, di satu sisi pihak pemerintah Belanda yang bermaksud mengembalikan kekuasaan kolonialnya di wilayah Hindia Belanda, dan di pihak lain sejumlah negara asing yang tergabung dalam lembaga internasional PBB. Sebagai pihak yang terlibat untuk menengahi dan mencarikan jalan keluar atas pertikaian antara pemerintah Belanda serta pemerintah RI. Ada sedemikian banyak kajian sejarah dalam literatur yang diwarnai perspektif sejarah politik dan militer baik dari para pelakunya 7 maupun dari kalangan sejarawan1. Di samping itu terdapat pula sejumlah kajian lain yang mengetengahkan tokoh tertentu yang terlibat dalam salah satu dari kedua usaha tersebut di atas2. Sosok Mgr. Soegijapranata dan kiprahnya Soegija nama kecil dari Mgr. A. Soegijapranata, SJ terlahir di Surakarta pada tanggal 25 November 1896 sebagai anak ke- lima dari sembilan bersaudara dari keluarga Karijosoedarmo. Karijosoedarmo semula merupakan abdi dalem di Kraton Sura- karta yang kemudian pindah domisili ke Yogyakarta. Alasannya Karijosoedarmo sering sakit-sakitan. Di Yogyakarta, mereka tinggal di kampung Ngabean, sebuah kampung di sebelah barat kompleks Kraton. Kebetulan Bapak Karijosoedarmo memang berasal dari Yogyakarta, sedangkan ibu dari Surakarta. Kakek Soegija adalah seorang kyai, bernama Kyai Soepa, seorang kyai yang cukup dikenal di Yogyakarta. Jadi keluarga Karijosoedarmo kembali kepada trah bapak, keluarga besar dari garis keturunan dari pihak bapak. Berhubung situasi jaman pada waktu itu ang ka kematian bayi masih tinggi, dari sembilan anak tersebut hanya beberapa saja yang selamat. Soegija termasuk salah satu di antara yang selamat. Sebagaimana adat kepercayaan 1. Beberapa di antaranya: Ide Anak Agung Gde Agung, Renville, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1991; G. Mc T. Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta, Sebelas Maret University Press-Pustaka Sinar Harapan, 1995 A.H. Nasution, Pokok-pokok Strategi Perang Gerilya...; T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran 2. Rudolf Mrazek, Sjahrir. Politics and Exile in Indonesia, New York, Cornell South east Asia Program, 1994. 8 pada masa itu agar seorang anak dapat selamat dan tumbuh sehat, seorang bayi yang baru lahir juga menjalani ritus ‘pembuangan’ di tempat sampah, Soegija kecil pun mengalami hal tersebut. Dalam jalur pendidikan formal, Soegija menempuh Sekolah Rakyat-nya di dua tempat. Mula-mula Soegija bersekolah di Seko lah Rakyat (SR) Ngabean, sebuah sekolah yang berada di dekat­­ rumah nya, suatu seko lah yang diselenggarakan pada siang hari. Ketika ada SR di Wirogunan yang diselenggarakan pada pagi hari, Soegija pindah sekolah ke tempat baru. Untuk perjalanan menuju sekolahnya di Wirogunan, setiap hari Soegija harus melintasi daerah depan kraton kasultanan dan kompleks perkantoran kemudian menyeberang Sungai Code untuk mencapai daerah Wirogunan dekat­­ istana Paku Alam. Pendidikan di SR tersebut hanya berlangsung sampai kelas tiga. Ketika di Lempuyangan mulai dibuka Hollandsch Inlandsche School (HIS), suatu sekolah tingkat pendidikan dasar tetapi mulai diper- kenalkan penggunaan bahasa Belanda, Soegija melanjutkan ke sekolah tersebut. Lempuyangan berada di sebelah utara daerah Wirogunan. Dengan demikian perjalanan ke sekolah rutenya diperpanjang dari lintasan sebelumnya: Ngabean, Wirogunan, kemudian Lempuyangan. Suatu rute yang tak kurang dari ½ jam jalan kaki. Praktis Soegija sudah sejak kecil terbiasa menjelajah daerah Yogya untuk mencapai sekolah tempatnya belajar. Pendidikan Soegija selanjutnya dijalani di Muntilan. Ber- kaitan dengan sekolah di Muntilan yang dirintis oleh Rama van Lith, Soegija mengalami pengalaman lewat dua kontak. Kontak 9 pertama, ketika Soegija sudah berada pada kelas tertinggi di SR Wirogunan, Soegija bertemu dengan Rama van Lith yang ber- kunjung ke sana. Selain mendatangi sekolah-sekolah, Rama van Lith kerap mengadakan kunjungan ke keluarga-keluarga pe- tani di sekeliling tempat tinggalnya di Muntilan, mengadakan penyadaran pentingnya pendidikan untuk anak-anak. Kontak kedua dialami Soegija melalui cerita tentang sekolah tersebut lewat seorang mantan gurunya. Guru tersebut telah diangkat pe merintah dan diperbantukan mengajar di sana. Bekas guru ter sebut menceritakan pengalamannya mengajar di Muntilan melalui beberapa surat yang dikirimkan kepada para muridnya yang berada di Yogyakarta. Di dalam suratnya, mantan bapak gurunya tersebut bercerita tentang pengalamannya, tentang ting ginya mutu yang diajarkan di sekolah Muntilan, dan tidak memaksakan agama. Kedua hal itulah yang mulai mengesan pada diri Soegija. Sejak masa awal saat memasuki pendidikan yang dikelola van Lith, Soegija menyatakan tidak ingin menjadi Katolik. Ia menyatakannya tidak hanya kepada ayahnya juga kepada Rama Mertens, Rama pamongnya di Muntilan. Bahkan ia mengejek Rama Belanda datang ke Jawa hanya untuk mengeruk kekayaan setelah itu akan pulang ke negeri Belanda. Setelah setahun tinggal di Muntilan, Soegija kemudian mengikuti pelajaran magang un­­­tuk agama Katolik, mulanya lebih didorong oleh keinginantahunya. Namun toh kemudian ia minta dibaptis 10 Rama van Lith menciptakan keakraban sehat di antara mu- rid-muridnya. Dengan gaya kebapakannya, ia ikut duduk bersila di tengah rerumputan bersama gerombolan anak-anak yang ra- mai mengerumuni. Rama van Lith memancing dengan cerita- cerita lucu yang mengundang gelak. Atau melontarkan ejekan yang mengundang protes dan pertentangan. Anak-anak pun akan membalasnya. Rama van Lith menciptakan suasana agar anak berusaha untuk saling membela diri. Dengan demikian se- ka ligus juga untuk membangun kesadaran sebagai suatu bangsa yang mempunyai harga diri. Lain lagi yang diajarkan Rama van Drieesche. Ia mengajarkan tentang sepuluh Perintah Allah. Yang masih dikenang anak-anak asrama seperti Soegija dan I.J. Kasimo yakni tafsir tentang perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, “Hormatilah ibu bapamu”. Perintah singkat tersebut merupakan penyederhanaan yang ada dalam Kitab Suci, “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu”. Rama van Drieesche mengartikan kata ‘ayah-ibu’ tidak dalam arti sempit saja yakni orangtua yang melahirkan,­­­­­ menghidupi dengan mencukupi sandang pangan dan mendidik anak-anaknya. Olehnya, ayah-ibu sebagai pemberi makan juga diartikan secara lebih luas yakni mencakup bumi, tanah
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages553 Page
-
File Size-