Pustaka Rājya-Rājya i Bhumi Nusāntara [07.33] Transliterasi Teks dan Terjemahan Oleh: Mamat Ruhimat, S.S. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga 2009 Pustaka Rājya-Rājya i Bhumi Nusāntara [07.33] Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Jawa Barat Ketua : Dr. H.I.Syarief Hidayat, M.S. Sekretaris : Tedi Permadi, S.S. M.Hum. Bendahara : Tien Wartini, M.Hum. Peneliti : Mamat Ruhimat, S.S. BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Naskah Naskah yang menjadi objek dalam penelitian ini berjudul Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara Parwwa Kedua Sargah Ketiga (PRRBN 2.3). Kata parwwa sebagaimana dijelaskan oleh Atja dan Edi S Ekadjati (1987:1) berarti bagian. Sedangkan sargah adalah buku. Jadi naskah PRRBN 2.3 yang menjadi objek dalam penelitian ini merupakan buku ketiga dari bagian kedua. Naskah PRRBN 2.3 ini merupakan koleksi Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga” dengan kode koleksi 179.1490/07.33. Naskah ini berukuran 36 x 28 cm dengan ruang tulisan 32 x 22 cm. Jumlah halaman seluruhnya adalah 222 halaman. Bahan naskah dari kertas daluang buatan pabrik yang sangat baik dan licin dengan warna kecoklatan. Sampulnya dibuat dari karton tebal dan kain blacu. Kondisi naskah pada umumnya masih baik, meskipun kertasnya tampaka kusam dan berjamur tulisan masih dapat dibaca. Demikian pula teks masih utuh secara keseluruhan karena tidak ada lembaran yang hilang. Teks PRRBN 2.3 ditulis dengan aksara Jawa Kuna dan berbahasa Jawa Kuna karena masih mengenal vokal eu [ö] yang tidak terdapat pada Jawa Tengahan dan Modern. Tulisan pada umumnya ditulis dengan ukuran besar dengan tipe kuadrat. Walaupun bahan naskah bisa disebut sangat muda, teks yang terdapat di dalamnya menyuratkan bahwa ia disusun pada abad ke-17 tepatnya pada tanggal 8 paro gelap bulan Badra tahun 1604 Saka atau 1682 Masehi. Kolofon pada bagian akhir teks berbunyi: iti pustaka rājya-rājya i bhu- mi nusāntara/ tritya sargah ing 15 dwitya parwa// iti pustaka wu- s kinawruhan mwang hinajengan dé ning duta rājya/ mandala saka nu- sa-nusa i bhumi nusāntara// te- las sinusun mwang sinerat ing car- 20 bon çakakāla// nge- mban suddha rasa samadi ing a- sta kresnapaksa/ bhādramasa/ pun/ Inilah Pustaka Rājya-rājya i Bhumi Nusāntara sargah ketiga 15 parwa kedua. Kitab ini telah diketahui dan disetujui oleh duta-duta kerajaan, wilayah dari pulau-pulau di Bumi Nusantara. Selesai disusun dan ditulis di 20 Carbon pada Tahun Saka ngemban suddha rasa samadi (1604) tanggal delapan paro-gelap bulan Bhadra. Selesai. 1.2 Ejaan Ejaan yang digunakan dalam transliterasi PRRBN 2.3 ini adalah disesuaikan dengan ejaan yang disarankan pada Pedoman Ejaan Bahasa Daerah Bali, Jawa, dan Sunda yang Disempurnakan. Pada dasarnya, baik vokal maupun konsonan yang digunakan dalam naskah PRRBN 2.3 secara umum tidak begitu sulit jika dialihaksarakan ke dalam huruf Latin dengan nilai fonetik yang diperkirakan sama. Hanya saja, ada beberapa lambang yang harus dibedakan dan menggunakan dua lambang untuk satu fonem. Beberapa lambang yang harus dibedakan itu di antaranya adalah: 1) Vokal [e] taling di dalam transliterasi ditulis dengan é. 2) Vokal [ö] di dalam transliterasi ditulis eu. 3) Vokal [a] panjang di dalam transliterasi ditulis dengan ā. 4) Vokal [i] panjang di dalam transliterasi ditulis dengan ī. 5) Vokal rangkap [ai] di dalam transliterasi tetap ditulis ai. 6) Vokal [u] panjang di dalam transliterasi ditulis dengan ū. 7) Semivokal [ŗ] di dalam transliterasi ditulis dengan re. 8) Konsonan dental [dh] dan [th] tetap ditulis dh dan th. 9) Konsonan labial [bh] dan [ph] tetap ditulis bh dan ph. 10) Konsonan velar [gh] tetap ditulis dengan gh. 11) Konsonan sibilant [ç] tetap ditulis ç. Tanda baca yang digunakan di dalam transliterasi bukanlah tanda baca yang biasa dalam pungtuasi. Karena di dalam naskah hanya ada dua tanda baca yaitu \ dan \\ maka di dalam transliterasi lambang itu diganti dengan / dan //. Sedangkan di dalam terjemahan, kedua bentuk itu kadang- kadang bisa bernilai koma atau titik atau tidak bernilai apa-apa sama sekali dan harus disesuaikan dengan konteks kalimatnya. 1.3 Penyusun Teks PRRBN 2.3 ini disusun oleh kelompok kerja yang dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta yang bergelar Abdulkamil Mohammad Nasaruddin sebagai Panembahan Carbon atau Panembahan Ageung Gusti Carbon atau Panembahan Tohpati. Dalam hal pelaksanaan penyusunan PRRBN 2.3 ini Pangeran Wangsakerta dibantu oleh tujuh orang jaksa yang masing-masing memiliki tugas tersendiri untuk mendukung lancarnya penyusunan teks tersebut. Ketujuh orang jaksa ini adalah: 1) Ki Raksanagara, sebagai penulis dan pemeriksa naskah 2) Ki Anggadiraksa, sebagai bendahara 3) Ki Purbanagara, sebagai pengumpul bahan tulisan dari berbagai tempat di Nusantara 4) Ki Singhanagara, sebagai pengawal keamanan keraton selama pertemuan para mahakawi 5) Ki Anggadiprana, sebagai duta dan jurubicara 6) Ki Anggaraksa, sebagai pemimpin dapur dan perjamuan 7) Ki Nayapati, sebagai penyedia akomodasi dan transportasi. Teks PRRBN 2.3 disusun berdasarkan hasil pemilihan terhadap naskah-naskah kuna dari berbagai tempat di Nusantara lalu disusun lagi menjadi sebuah cerita yang runtut dan objektif serta hasilnya disetujui oleh para utusan dari tiap kerajaan yang hadir dalam pertemuan di keraton Cirebon. BAB II RINGKASAN ISI 2.1 Manggala Sastra Manggala sastra dari PRRBN 2.3 ini merupakan pembukaan terhadap isi cerita yang sesungguhnya. Bagian ini memuat laporan tentang nama-nama penyusun naskah. Tujuan dan pemrakarsa penyusunan PRRBN 2.3, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama penyusunan PRRBN 2.3 dari awal sampai selesai. Penyusun naskah PRRBN 2.3 sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 1.3 adalah Pangeran Wangsakerta yang dibantu oleh tujuh orang jaksa. Pangeran Wangsakerta yang pada waktu itu menjadi Panembahan Cirebon mendapat perintah dari Sultan Banten (Sultan Ageung Tirtayasa) dan Sultan Sepuh Martawijaya untuk menyusun sebuah riwayat besar (bhretkatha) yang nantinya dapat digunakan oleh masyarakat dan para peneliti sejarah sebagai bahan rujukan sejarah. Dengan demikian, dapat didimpulkan bahwa pemrakarsa penyusunan PRRBN 2.3 adalah Sultan Ageung Tirtayasa atau Sultan Abdulfath Abdulfatah dan Sultan Sepuh Martawijaya. Selama penyusunan PRRBN 2.3 ini dijelaskan di dalam pembukaan bahwa terjadi perdebatan sengit di antara para utusan kerajaan dari seluruh Nusantara. Hal ini terjadi karena banyak para mahakawi dan utusan tersebut yang lebih mementingkan kisah secara subjektif untuk mengagungkan negerinya sehingga terjadi perbantahan dari utusan yang lain. Para utusan yang berbeda pendapat itu bahkan saling mencaci dan hampir saja terjadi perkelahian di dalam ruang pertemuan di keraton Cirebon pada saat itu. Namun karena kebijaksanaan dan pengetahuan Pangeran Wangsakerta yang sangat luas terhadap kisah-kisah timbul dan tenggelamnya sebuah kerajaan maka para utusan yang berbantahan itu akhirnya terdiam. Mereka mengaku kalah dengan pengetahuan Pangeran Wangsakerta yang sangat luas akan riwayat-riwayat kuna dari berbagai pustaka di Nusantara. Selain itu, ada pesan dan nasihat dari Sultan Sepuh Martawijaya bagi para utusan yang datang ke Cirebon untuk keperluan penyusunan PRRBN 2.3 ini. Isi dari nasihat itu antara lain adalah agar para utusan selalu berlapang dada dalam menemukan perbedaan pendapat, dan saling menghargai sesama duta kerajaan, sehingga penyusunan karya besar ini dapat terlaksana dengan baik dan sempurna. 2.2 Rangkuman Isi Kisah dimulai dengan meriwayatkan kerajaan Kediri pada tahun 1103 Saka di bawah perintah Raja Sri Gandra yang bergelar Sri Kroncayyahanda Buwanapalaka Parakramanindita Digjayottunggadewa meperluas kerajaan untuk menjadi penguasa di Nusantara. Namun, cita- citanya tidak terlaksana karena di bagian barat (Sumatera) telah berdiri kerajaan Sriwijaya. Raja Sriwijaya mengirimkan duta kepada sahabatnya yaitu Maharaja Cina untuk meminta bantuan dari kemungkinan serangan Kediri. Maharaja Cina menyarankan agar kedua negeri itu bersahabat saja dan harus mengadakan pertemuan yang bertempat di Sundapura. Pada tahun 1104 Saka dibuatlah kesepakatan antara Kediri dan Sriwijaya yang isinya menyatakan bahwa Sriwijaya menguasai negeri-negeri di wilayah barat, sedangkan Kediri menguasai wilayah timur Nusantara. Pada masa itu di Sumatera bagian utara telah berdiri kerajaan Islam Parlak dengan rajanya Sultan Alaiddin Syah (1083-1108) Saka. Di samping itu juga berdiri kerajaan Islam Paseh pada tahun 1050 Saka dengan raja pertama Sultan Abud Almalik. Kedua kerajaan ini sebenarnya berada di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya, namun pada masa pemerintahan Sultan Makhdum Abdulmalik Syah (1189-1197) Saka, Sultan Parlak ini mencoba melepaskan diri dari Sriwijaya. Akan tetapi usaha ini sia-sia karena kerajaan Sriwijaya segera menyerang dan menghancurkan kerajaan Parlak pada tahun 1197 Saka. Bab III Transliterasi dan Terjemahan 3.1 Pengantar Transliterasi 3.2 Transliterasi /1/ //purwa wakya// iti/ pustaka rājya rājya i bhūmi nusā- ntara// 5 tritiya sargah ri dwitiya parwa/ pina- ka pustaka rājya warnnana i bhūmi nu- santara/ cirakāla 10 lawan sarwwa kramanya// sinusun mwang pinustaka dé ni mami/ samyu ta pirang puluh siki sang mahākawi/ sang 15 pinakadi/ mantri pa- tih/ rāja bhretya pi- naka duta rājya mandala/ prana raja sa- /2/ kéng prāja mandala/ dang accaryāgama/ mwang sakwéh ing mantri-mantri raja carbon sapina- 5 suk dyaksa pipitu/ lawan ninaya dé ni mami pinaka panghu- luning sang manurat yatiku// 10 mwang pangéran wangsakre- ta namaçidam abdu- l kamil mohammad na- sarudin pinaka pa- nembahan carbon a- 15 thawa panembahan a- geung gusti
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages164 Page
-
File Size-