101 Lampiran SINOPSIS SRI SUMARAH Sri Sumarah merupakan nama asli dari Bu Martokusumo, sebelum menikah dengan seorang Mantri guru bernama Martokusumo. Sri seorang keturunan priyayi meskipun bukan priyayi kaya. Orangtuanya meninggal sejak ia masih kecil, kemudian ia diasuh oleh embahnya sampai dewasa. Embahnya mendidik dan memelihara Sri dengan baik. Sri disekolahkan hingga tingkat Sekolah Kepandaian Putri (SKP), setelah lulus ia dinikahkan. Sebelumnya, ia dibekali embahnya ilmu kesempurnaan berumah tangga dan memberi wejangan supaya membiasakan diri mengkonsumsi kencur dan kunyit mentah serta jamu supaya kesegaran tubuhnya tetap terjaga. Pernikahan Sri dengan Martokusumo dikaruniai satu putri bernama Tun. Beberapa tahun kemudian, saat Tun berumur 4 tahun suami Sri meninggal karena kecapekan mengurusi penderita eltor di desanya. Sejak itulah Sri mulai hidup mandiri, memenuhi kebutuhan keluarga sendiri. Ia berusaha menjadi ibu yang baik dengan tetap mendidik, memelihara, dan berusaha memberikan putrinya yang terbaik. Sri bekerja sebagai tukang jahit, menerima pesanan pisang goreng, dan terakhir menjadi tukang pijit. Pekerjaan-pekerjaan itulah yang menjadi sumber penghasilan Sri dalam menjalani kehidupan. Sri menikahkan Tun, putri tunggalnya dengan Yos, laki-laki yang telah menghamili Tun sebelum menikah. Keduanya dikarunia satu putri bernama Ginuk. Kebahagiaan Sri menjadi lengkap karena ia bisa memangku cucu seperti harapannya dulu. Namun, setelah beberapa lama kebahagiaan itu berkurang setelah Sri mengetahui bahwa menantu dan putrinya terlibat dalam pemberontakan PKI. Yos akhirnya terbunuh dan Tun menyerahkan diri kepada negara untuk mendapatkan hukuman yang setimpal yaitu penjara. Sejak itulah Sri menjadi orangtua bagi Ginuk, cucunya semata wayang. Ia merawat Ginuk dengan baik. Untuk memenuhi kebutuhan Ginuk, Sri bekerja 102 menjadi tukang pijit panggilan, langganannya semakin banyak. Dalam menjalankan pekerjaannya tersebut Sri banyak mengalami godaan dari laki-laki yang dipijitnya. Namun, Sri mencoba untuk tegar dalam menghadapi nasib yang dialaminya. Ia sangat berharap Tun segera bebas dari penjara dan bisa berkumpul dengan putrinya. BAWUK Bawuk adalah putri bungsu onder Karangrandu bernama Tuan Suryo. Ia seorang gadis yang cerdas, mandiri, dan penuh keceriaan. Selain itu, Bawuk sejak kecil suka bercanda, periang, dan baik hati sehingga membuat orangtua, saudara, dan orang-orang yang ada di sekitarnya menaruh simpati. Bawuk menikah dengan Hassan, seorang gembong PKI. Mereka hidup bahagia dengan dikarunia dua anak bernama Wowok dan Ninuk. Namun kebahagiaan itu seakan luntur oleh aktivitas Hassan dalam organisasi PKI yang menyebabkan ia harus berpisah dengan istri dan anaknya. Sejak saat itulah hubungan kekeluargaan mereka menjadi renggang. Situasi saat itu penuh ketegangan karena adanya perseteruan antara pemberontak PKI dengan tentara nasional. Dewan Jendral menangkap dan membunuh setiap anggota PKI yang tertangkap. Untuk itulah, Hassan tidak boleh menampakkan diri menemui keluarganya, hal tersebut dapat membahayakan keselamatan dirinya. Bawuk dan keluarganya hidup dalam pengejaran dan kegelisahan. Bawuk tidak tinggal diam dengan keadaan seperti itu, ia memutuskan untuk menitipkan kedua anaknya kepada Nyonya Suryo, ibunya. Setelah itu, ia akan kembali mencari Hassan sampai ia menemukannya. Ia berpikir bahwa anak- anaknya harus mendapatkan kehidupan yang layak dan kembali sekolah untuk perkembangan jiwa mereka. Saat mengantar mereka ke rumah neneknya, Bawuk bertemu dengan saudara-saudaranya yang telah menunggu kedatangan Bawuk di rumah ibu. Waktu yang singkat perjumpaannya dengan saudara-saudara, digunakan untuk membicarakan keadaan, status dan hubungan Bawuk dengan 103 komunis saat ini. Bawuk tidak sanggup mengatakan statusnya saat ini, karena mereka tidak akan mempercayainya. Namun, Bawuk berusaha mengungkapkannya dalam hati, dibenaknya ia merasa telah menjelaskan tentang statusnya dengan bijaksana kepada kakak-kakaknya. Setelah semalaman berbincang-bincang, Bawuk segera berkemas untuk pergi mencari suaminya tercinta. Nyonya Suryo mengasuh dan mendidik kedua cucunya dengan baik dan penuh kasih sayang. Ia mencarikan guru mengaji untuk mereka supaya guru tersebut dapat memberi pemahaman kepada kedua cucunya tentang agama, serta mengajari mereka mengaji dan beribadah. Beberapa waktu setelah kepergian Bawuk, Nyonya Suryo membaca koran dan mengetahui tentang kematian salah satu gembong PKI yang tak lain adalah Hassan. Nyonya Suryo sangat sedih mengetahui kenyataan tersebut. Ia memikirkan dan mengkhawatirkan keadaan Bawuk saat ini, yang tidak diketahui keberadaan dan kabarnya sekarang. 104 BIOGRAFI UMAR KAYAM Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur tanggal 30 April 1932. Dia adalah anak pertama dari seorang guru bernama Sastrosoekoso yang pernah menjadi tenaga pengajar HIS Wonogiri. Orangtua Umar Kayam tinggal di Solo maka ia menghabiskan masa kecilnya di kota itu hingga tamat SMP. Setelah tamat SMP, Umar Kayam pindah ke Yogya dan bersekolah di sana hingga lulus SMA. Ia melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra UGM yang waktu itu bernama Fakultas Sastra Paedogogik dan Filsafat. Umar Kayam mendapatkan gelar sarjana muda tahun 1955. Setahun kemudian ia bekerja di Yayasan Badan Usaha Penerbitan Universitas Departemen PTIP di Jakarta. Tiga tahun berikutnya (1959) Umar Kayam menikahi Roosliana Hanoum, gadis asal Medan, teman sekampusnya di UGM yang kemudian akrab disapa dengan Yus Kayam. Mereka memiliki dua putri bernama Sita Aripurnami dan Wulan Anggraini. Pada tahun 1963, Umar Kayam menyandang gelar Master of Art (MA) dari New York University. Dua tahun kemudian (1965) ia berhasil meraih gelar Ph.D dari Cornell University Amerika dengan desertasinya yang berjudul Aspect of Interdepartemental Coordination Problems in Indonesia Community Development. Keberhasilan Umar Kayam sebagai intelektual dan tenaga edukatif semakin lengkap ketika ia dianugerahi gelar Profesor sebagai Guru Besar di Fakultas Sastra UGM pada 19 Mei 1989 dengan menyampaikan pidato pengukuhan yang berjudul “Transformasi Budaya Kita”. Umar Kayam telah banyak menulis berbagai tulisan, baik itu berupa sastra (fiksi) seperti cerpen, esei, novel, skenario film, ataupun karya nonfiksi. Karyanya berupa cerpen yang terkenal diantaranya Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Sri Sumarah, dan Bawuk. Eseinya yang terkenal berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, dan Madep Ngalor Sugih Madep Ngulon Sugih. Novelnya yang terkenal berjudul Para Priyayi dan Jalan Menikung. Ia juga menulis skenario film, diantaranya Bulu-Bulu Cenderawasih, Yang Muda Yang Bercinta, Si Jago, Frustasi Puncak Gunung, dan Paimin dan Gimin. Karya Umar 105 Kayam yang berupa nonfiksi antara lain “Seni, Tradisi, dan Masyarakat”, “Semangat Indonesia”, dan “Transformasi Budaya Kita”. Perjalanan karir Umar Kayam sebagai berikut: . Penulis cerpen, esei, novel, dan pemain film . Karyawan Departemen P&K (1956 - 1959) . Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Deppen (1966 - 1969) . Ketua Dewan kesenian Jakarta, merangkap Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1969 - 1972) . Dosen UGM . Direktur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (1975 - 1976) . Direktur Pusat penelitian kebudayaan Universitas Gadjah Mada Sekarang Umar Kayam sudah istirahat di Karet, di makam itu pula Chairil Anwar dikuburkan. Ia sudah membayangkannya sejak dua tahun yang lalu dalam cerita pendeknya yang berjudul Lebaran di Karet. Umar Kayam yang rileks dan penuh humor, tetapi gagasannya cemerlang akan terus dikenang sebagai inspirasi dan bahan diskusi yang tidak habis-habisnya. 106.
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages6 Page
-
File Size-