E-PAPER PERPUSTAKAAN DPR-RI http://epaper.dpr.go.id Judul : Gerak Cepat Kereta Listrik Indonesia Tanggal : Senin, 15 Februari 2021 Surat Kabar : Kompas Halaman : 0 Kehadiran KRL turut berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya di wilayah yang terdapat layanan moda kereta. Oleh ALBERTUS KRISNA Peresmian kereta rel listrik Yogyakarta-Solo menjadi tonggak sejarah baru di dunia perkeretaapian Indonesia karena merupakan KRL pertama di luar Jabodetabek. Pengoperasian KRL tersebut diharapkan mampu menawarkan alternatif transportasi yang cepat, murah, dan modern. Penggunaan transportasi massal berbasis rel merupakan salah satu ciri khas pembangunan negara maju dan modern. Negara-negara berwilayah dan berpenduduk besar, seperti China, Rusia, dan Amerika Serikat mendasarkan jangkauan geografis wilayahnya menggunakan moda kereta api. Indonesia saat ini memiliki 6.000 kilometer jalur kereta api yang diproyeksikan akan menjadi 13.000 pada 2030 mendatang. Di Jabodetabek, hingga tahun 2019 PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menjalankan 980 perjalanan KRL per hari dengan jumlah penumpang harian yang mencapai lebih dari 1 juta orang per hari pada hari kerja. Jumlah penumpang tersebut terus naik dan telah menjadi andalan kalangan pekerja komuter Ibu Kota yang berasal dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kini, dengan tersedianya KRL Yogyakarta-Solo, para komuter dari kedua kota akan menikmati sarana transportasi massal modern yang secara bertahap akan mengubah pola mobilitas moda transportasi sebagian warga kedua kota. Melayani rute sejauh 59,34 km dari Stasiun Yogyakarta hingga Stasiun Solo Balapan, KRL ini memiliki total 20 perjalanan per hari. Keberangkatan paling awal dimulai pukul 05.05 dari Solo dan pukul 05.15 dari Yogyakarta. Sementara jadwal paling akhir KRL berangkat pukul 19.10 dari kedua stasiun itu. Secara umum, KRL ini memiliki kemampuan layanan dan performa yang lebih baik dibandingkan dengan KA Prambanan Ekspres (Prameks) yang ditenagai mesin diesel. Dari segi stasiun singgah, total terdapat 11 lokasi atau bertambah empat stasiun baru dari layanan KA Prameks sebelumnya. Sementara dari segi waktu tempuh, sekali perjalanan KRL Yogyakarta-Solo membutuhkan sekitar 68 menit, lebih cepat dari KA Prameks yang menghabiskan sekitar 75 menit. Kehadiran KRL Yogyakarta-Solo ini juga menambah warna-warni KA lokal yang dimiliki PT Kereta Api Indonesia (KAI). KA lokal adalah KA penghubung beberapa stasiun di daerah operasi (daop) atau divisi regional (divre) yang sama. Sifat perjalanannya ulang-alik untuk kebutuhan penumpang dari sub-urban menuju pusat kota atau sebaliknya. Hingga tahun 2020, sedikitnya ada 30 KA lokal di Indonesia. Mereka tersebar di sejumlah daop di Jawa dan divre di Sumatera. Di Jawa paling banyak terdapat di Daop 1 Jakarta dan Daop 8 Surabaya. Di Daop 1, contohnya, ada KA Pangrango dengan rute Bogor-Sukabumi (PP), KA Merak (Rangkasbitung-Merak), KA Walahar Ekspres (Tanjung Pirok-Purwakarta), KA Jatiluhur (Tanjung Priok-Cikampek), hingga KA Siliwangi (Sukabumi-Ciranjang). Sementara itu, rute KA lokal di Sumatera terdapat di Divre 1 Sumatera Utara dan Divre 2 Sumatera Barat. Contohnya KA Sri Lelawangsa rute Medan-Binjai, KA Siantar Ekspres (Medan-Pematang Siantar), dan KA Cut Mutia (Krueng Geukueh-Krueng Mane di Aceh Utara). Ketiganya berada di bawah tanggung jawab operasi Divre 1. KA lokal itu beroperasi dengan beberapa jenis model penarik daya. Mulai dari kereta rel diesel (KRD), yaitu kereta penumpang yang memiliki penggerak sendiri berbahan bakar solar, contohnya KA Kedung Sepur di Daop 4 dan KA Jenggala di Daop 8. Selain itu, banyak juga dalam bentuk gerbong penumpang yang ditarik lokomotif diesel, seperti KA Bandung Raya, KA Dhono, dan KA Pandanwangi. Baca juga: KRL Yogyakarta-Solo, Era Baru Transportasi Antarkota Indonesia Penumpang meningkat Kehadiran kereta api lokal telah menjadi bagian dari andalan moda transportasi warga masyarakat sehari-hari. Menurut data Kementerian Perhubungan, sepanjang tahun 2015 jumlah penumpangnya mencapai 39,4 juta orang. Angka ini lebih banyak dari penumpang KA utama jarak jauh yang ”hanya” 29,7 juta orang. Meski sempat menurun hingga empat tahun kemudian, tahun 2019 penumpang KA lokal kembali melonjak menjadi 43,4 juta orang. Jumlah ini bahkan masih sangat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan KA Jabodetabek yang mayoritas sudah dilayani KRL. Pada 2015 jumlahnya sudah 257,5 juta penumpang, kemudian terus meningkat hingga tahun 2019 mencapai 332,1 juta. Banyaknya penumpang KRL ini menjadi cerminan betapa KA lokal sudah menjadi andalan transportasi warga Jabodetabek. Banyaknya jumlah penumpang kereta ini secara tidak langsung turut berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi atau PDRB, khususnya di wilayah yang terdapat layanan moda kereta. Hal ini dibuktikan dalam sebuah penelitian Balitbang Kementerian Perhubungan berjudul Peran Infrastruktur Kereta Api terhadap Perekomian Daerah (Atik S Kuswati dkk, 2011). Terdapat tiga variabel yang digunakan Atik S dkk, di antaranya jumlah lintas atau rute pelayanan, frekuensi lintas, dan jumlah stasiun. Dari permodelannya, diketahui penambahan rute pelayanan akan menaikkan pertumbuhan PDRB daerah sebesar 0,069 persen, sedangkan penambahan frekuensi lintas menaikkan pertumbuhan ekonomi 0,005 persen. Infrastruktur KA meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena dapat menstimulus perbaikan pendapatan rumah tangga dan pendapatan dunia usaha. Di dalam rumah tangga didorong dari peningkatan kesejahteraan dan pengembangan pasar. Hal serupa terjadi di dunia usaha melalui pengembangan pasar dan pengurangan biaya karena logistik berbasis kereta api menjadi lebih murah. Meski demikian, pertumbuhan ini dapat terwujud jika infrastruktur KA yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal. Atau dalam kata lain banyak warga sekitar yang datang ke stasiun dan mengandalkan moda KA untuk bermobilitas. Sementara itu, mencapai kondisi ideal yang dimaksud bukanlah pekerjaan mudah karea sebagian warga masih menggunakan kendaraan pribadi. Dari penelitian yang sama disebutkan alasan sejumlah responden berpindah menggunakan moda KA atau KRL. Setidaknya ada tiga hal utama yang memengaruhi, di antaranya tarif yang terjangkau, waktu tempuh yang lebih cepat, dan lebih mudah aksesnya. Dari tiga alasan tersebut, dua alasan pertama sudah ditemukan di layanan KRL, termasuk rute Yogya-Solo. Fasilitas penunjang Dengan pengoperasian KRL Yoga-Solo, kini penambahan fasilitas penunjang untuk kemudahan akses menjadi pekerjaan rumah bagi PT KCI dan pemda setempat. Hal ini dapat diwujudkan jika kemudahan warga menggapai stasiun sudah tercipta sejak dari gerbang rumah. Perlu disediakan sejumlah pilihan moda transportasi menuju stasiun. Contohnya melalui fasilitas park and ride di stasiun bagi pengguna kendaraan pribadi, baik sepeda, sepeda motor, maupun mobil. Sementara bagi pengguna kendaraan umum perlu disiapkan kendaraan pengumpan (feeder) yang terintegrasi dengan KRL, baik dari segi jadwal maupun sistem pembayarannya. Terlepas dari masih ada PR itu, KRL Yogyakarta-Solo menjadi bukti keseriusan pemerintah mewujudkan moda transportasi yang efektif dan efisien di Indonesia. Upaya ini diharapkan menjadi awal pembangunan moda transportasi serupa di kota-kota lain sehingga gerak cepat moda transportasi massal yang modern berbasis kereta listrik semakin menjadi kenyataan bagi masyarakat. (LITBANG KOMPAS) .
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages2 Page
-
File Size-