BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya industri makanan dan minuman di Indonesia terjadi peningkatan produksi makanan dan minuman yang beredar di pasaran sehingga penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) khususnya pemanis buatan tidak dapat dihindari lagi. Secara garis besar, pemanis dalam makanan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu, pemanis berkalori dan pemanis yang tidak mengandung kalori. Pemanis berkalori memiliki fungsi memberi rasa manis, sekaligus energi pada produk makanan. Kelompok yang termasuk pemanis berkalori adalah pemanis alami. Pemanis alami biasanya berasal dari tanaman, tanaman penghasil pemanis yang utama adalah tebu (Saccharum officanarum L) dan bit (Beta vulgaris L). Bahan pemanis yang dihasilkan dari kedua tanaman tersebut dikenal sebagai gula alam atau sukrosa. Sedangkan pemanis nonkalori adalah pemanis buatan (Anwar & Khomsan, 2009). Dampak dari era modernisasi kita harus dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) akan semakin meningkat tak terkecuali pada jajanan tradisional yang dijual di pasar tradisional. Jajanan tradisional merupakan jajanan pilihan bagi para konsumen karena memiliki harga yang relatif murah serta cita rasa yang sesuai dengan masyarakat. Aneka jajanan tradisional yang biasanya dijual oleh pedagang kaki lima atau industri rumahan dipasar tradisional seperti nogosari, pukis, getas, donat, gethuk, apem, onde-onde, thiwul, jemblem, cenil, mendhut, kicak, bikang, klepon, madumongso dan jajanan tradisional lainnya. Data hasil survey Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (1999) menunjukkan bahwa presentase pengeluaran rata – rata per kapita per bulan penduduk perkotaan untuk makanan jajanan meningkat dari 9,19% pada tahun 1996 menjadi 11,37% pada tahun 1999 (Cahanar & Suhanda, 2006). 1 Makanan jajanan atau street foods sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Konsumsi makanan jajanan diperkirakan terus meningkat mengingat terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengelola makanan sendiri. Makanan jajanan atau street foods adalah jenis makanan yang dijual kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat pemukiman, serta lokasi yang sejenis. Jenis makanan dibedakan menjadi empat kelompok yaitu, makanan utama atau main dish contohnya nasi remes, nasi rawon, nasi pecel, dan tahu telur, kelompok yang kedua adalah panganan atau snacks contohnya kue, onde-onde, pisang goreng, dan lain-lain, kelompok yang ketiga adalah minumam contohnya es teler, es buah, teh, kopi, dawet, jenang gendul, dan lain-lain. Berikutnya kelompok buah-buahan segar contohnya durian, mangga, dan sejenisnya (Winarno, 2004). Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan atau restoran, dan hotel (KEPMENKES No. 942/2003). Menariknya makanan jajanan kaki lima menyumbangkan asupan energi bagi anak sekolah 36%, protein 29%, dan zat besi 52% (Judarwanto, 2004). Meskipun makanan jajanan memiliki keunggulan-keunggulan tersebut, ternyata makanan jajanan memilki resiko terhadap kesehatan karena penanganannya sering tidak higenis, yang memungkinkan makanan jajanan terkontaminasi oleh mikroba beracun maupun penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) yang tidak diizinkan atau melewati batas penggunaan yang diizinkan (Cahanar & Suhanda, 2006). Peraturan pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan memberikan wewenang kepada Badan POM untuk melakukan pengawasan keamanan, mutu, dan gizi pangan yang beredar. Keamanan makanan jajanan penting diperhatikan untuk menjaga agar tubuh tetap sehat dimana makanan bukan saja harus mempunyai nilai gizi tinggi, tetapi juga harus bebas dari bahan kimia berbahaya dan mikroorganisme pathogen dalam makanan E.coli dan total cemaran mikroba yang dalam batas aman (Winarno, 2004). 2 Di dalam kategori produk pangan, pemanis termasuk ke dalam golongan bahan tambahan makanan yang diizinkan selain bahan-bahan lainnya seperti antioksidan, pemutih, pengawet, pewarna dan sebagainya. Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi (Peraturan Menkes RI No.722/1988). Pada dasarnya pemanis buatan merupakan senyawa yang secara substansial memiliki tingkat kemanisan lebih tinggi, yaitu berkisar antara 30 sampai dengan ribuan kali lebih manis dibandingkan sukrosa. Karena tingkat kemanisannya yang tinggi, penggunaan pemanis buatan dalam produk hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit hingga dapat dikatakan rendah kalori atau tidak mengandung kalori. Di Indonesia ada 13 jenis pemanis buatan yang diizinkan ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu. Ketigabelas jenis jenis pemanis buatan tersebut adalah alitam, asesulfam – K, aspartam, isomalt, laktitol, maltitol, manitol, neotam, sakarin, siklamat, silitol, sorbitol, sukralosa (BPOM 2004). BPOM RI mengungkapkan, di Indonesia masih banyak permasalahan terkait dengan penggunaan pemanis buatan. Meskipun sudah ada ketentuan batas maksimum yang diizinkan penggunaan pemanis buatan masih sering melebihi batas maksimum yang diperbolehkan. Produk-produk yang melanggar ketentuan ini umumnya dibuat oleh para pedagang makanan jajanan serta industri rumah tangga yang belum mendapat pembinaan dan penyuluhan. Pada penelitiannya selama tahun 2011 BPOM telah melakukan pengambilan sampel dan pengujian laboratorium sejumlah 20.511 sampel pangan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 2.902 (14,15%) sampel tidak memenuhi persyaratan keamanan dan mutu yang salah satunya adalah 416 sampel mengandung pemanis buatan (siklamat/sakarin/aspartam/asesulfam) yang penggunaannya melebihi batas yang diizinkan, dan atau tidak memenuhi syarat label karena tidak mencantumkan jenis pemanis yang digunakan dan jumlah Acceptable Daily Intake (ADI). Seperti yang diteliti oleh BPOM Pontianak pada tahun 2012 yang menemukan 26 sampel makanan jajanan yang tidak higienis dan 3 diantaranya mengandung pemanis buatan yang melebihi ketentuan pada sejumlah pasar Juadah di Kota Pontianak. 3 Penelitian lainnya yang dilakukan oleh lembaga Konsumen Jakarta (2005), setidaknya terdapat 47 produk makanan jajanan yang mengandung bahan pemanis buatan. Sedangkan di Yogyakarta, dari semua sampel makanan jajanan 40 – 50% sampel terbukti mengandung pemanis buatan jenis sakarin dan siklamat yang melebihi batas, serta penelitian yang dilakukan pada jajanan tradisional yang dijual di pasar Besar Kota Malang dari semua sampel yang diteliti terbukti mengandung pemanis sintetis sakarin, walaupun sebagian dari sampel mengandung sakarin dalam batas yang diizinkan. Seperti yang dikemukan oleh Bayu Cahyono staf BAPPENAS, penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan karena jumlah yang diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan. Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah penggunaan pemanis buatan khusus untuk diet (sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh makanan jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis buatan yang melebihi batas. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, jajanan tradisional yang menjadi sampel penelitian diantaranya kue lapis, kue bikang, bolu pandan kukus, bolu gulung, kue thok, dan klepon. Sedangkan untuk jenis jajanan tradisional yang dijual di Kota Malang sangat beraneka ragam sehingga untuk jenis jajanan tradisional lainnya masih banyak yang harus diteliti tentang keamanannya dalam menggunakan bahan tambahan makanan (BTM) khususnya sakarin. Berdasarkan informasi dari Dinkes Kota Malang, diketahui bahwa Dinkes Kota Malang belum pernah melakukan penelitian tentang penggunaan sakarin dalam jajanan tradisional khususnya yang dijual di pasar Blimbing Kota Malang. Setalah melakukan survey di pasar Blimbing Kota Malang peneliti telah menentukan sampel yang akan diteliti yaitu kue pukis, donat, getas, klepon, madumongso, dan onde-onde. Makanan jajanan ini merupakan makanan yang paling sering dibeli dan dikonsumsi oleh para konsumen, selain itu karena rasa dari makanan jajanan ini sesuai dengan selera masyarakat dan memiliki rasa manis yang cukup tinggi. 4 Dari hasil survey ini, penulis menduga adanya penggunaan pemanis buatan dalam jajanan tradisional tersebut. Oleh karena itu, untuk membuktikan adanya penggunaan serta melakukan penetapan kadar zat pemanis sintetis sakarin dalam makanan jajanan, penulis akan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT) dan densitometri. Metode KLT lebih sederhana, cepat, selektif, penggunaan fase diam dan fase gerak yang luas, sampel yang ditotolkan sedikit (Fried & Sherma, 2003). Kromatografi juga merupakan analisis yang dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida-lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas (Gandjar dan Rohman, 2007). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah dalam jajanan tradisional yang dijual di pasar Blimbing Kota Malang mengandung pemanis sintetis sakarin? 2. Apakah kadar pemanis sintetis sakarin yang terkandung dalam jajanan tradisional yang dijual di pasar Blimbing Kota Malang telah memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Permenkes : 722/MEN/PER/IX/88 tentang bahan tambahan makanan? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages6 Page
-
File Size-