365 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro) SENSOR FILM DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH (1945 – 2009) Oleh Heru Erwantoro Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung Jln. Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung Email: [email protected] Naskah diterima: 28 Februari 2011 Naskah disetujui: 29 April 2011 Abstrak Banyak persoalan di dunia perfilman Indonesia, antara lain masalah penyensoran, khususnya periode 1945 – 2009. Penelitian masalah tersebut dengan menggunakan metode sejarah menunjukkan, bahwa penyensoran film yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia didasarkan atas kepentingan politik dan kekuasaan pemerintah. Dalam praktik penyensoran, film masih dilihat sebagai sesuatu yang dapat mengganggu dan merugikan masyarakat dan negara. Film belum dilihat sebagai karya seni budaya, akibatnya, dunia perfilman nasional tidak pernah mengalami kemajuan. Hal itu berarti penyensoran film yang dilakukan pada periode tersebut, pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan masa kolonial Belanda. Pada masa kolonial Belanda, sensor merupakan manifestasi kehendak pemerintah untuk menjaga kredibilitas pemerintah dan masyarakat Eropa di mata masyarakat pribumi. Begitu juga sensor pada periode 1945 – 2009, sensor pun lagi-lagi menjadi ajang perwujudan politik pemerintah, tanpa mau memahami film dari persfektif para sineas. Kondisi itu masih ditambah lagi dengan mudahnya pelarangan-pelarangan penayangan film yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Bagi para sineas, sensor fim hanya menjadi mimpi buruk yang menakutkan. Kata kunci: perfilman, sensor film. Abstract There are many issues in Indonesia’s movie industry. One of them is censorship, especially in the period of 1945-2009. This researh, supported by method in history, shows that censorship done by the government was based on political and governmental interests. The government thought that films could harm the society and the state as well. They do not think films as products of art and culture, ending up Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011 Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 365-383 366 in the stagnancy in Indonesia’s movie industry. This situation more or less is similar to what happened in the time of Dutch colonialism. During that time censorship was manifestation of government policy in showing the credibility of European government and society before native Indonesians. During 1945-2009 censorship was also manifestation of government’s political policy without understanding films from the filmmaker’s point of view. Not to mention the movement to easily ban films by various group in the society. Censorship is a nightmare for filmmakers. Keywords: movie industry, censorship. A. PENDAHULUAN Pada masa Hindia Belanda Dunia perfilman di Indonesia pada masuknya film telah membuat Pemerintah awal abad XXI ini masih diwarnai oleh Hindia Belanda melakukan penyensoran berbagai persoalan yang merupakan melalui “Ordonansi Biooscoope 1916”. warisan abad sebelumnya. Salah satu Penyensoran terhadap film dilakukan persoalan itu adalah masalah sensor film. karena pemerintah Hindia Belanda Masalah sensor film di Indonesia begitu merasa khawatir atas pengaruh film seks kompleks. Sebuah film yang telah lolos dan kekerasan yang dapat mengurangi sensor dari proses lembaga sensor yang kewibawaan bangsa Barat di mata rakyat resmi, belum tentu bisa ditayangkan di pribumi. Sejak saat itulah sampai masa bioskop-bioskop secara “mulus”. Bisa kini sensor terus diberlakukan terhadap saja film itu ditentang oleh kelompok- film yang akan ditayangkan. kelompok masyarakat tertentu (kelompok Berdasarkan uraian di atas, itu bisa dari kalangan yang mewakili permasalahan pokok yang diteliti adalah golongan agama, budaya, pendidik dan sebagai berikut: sebagainya) bahkan dari institusi seperti 1. A p a alasan/pertimbangan pemerintah daerah dan tentara. pemerintahan I n d o n e s i a Ternyata yang digugat bukan melakukan penyensoran terhadap hanya persoalan filmnya, tetapi juga film ? menyangkut lembaga sensornya. “Ketika 2. Bagaimana penyensoran film itu ruang kebebasan imajinatif seseorang dilakukan? harus dikompromikan dan dicampuri 3. Apa dampak dari penyensoran itu, pemerintah melalui sensor film, itu baik terhadap dunia film maupun berarti negara telah turut memengaruhi bagi masyarakat umum? imajinasi masyarakatnya. Dengan melihat Dengan demikian, penelitian perkembangan situasi masyarakat, maka ini dimaksudkan untuk memahami kinilah saatnya untuk membubarkan dan menemukan akar permasalahan Lembaga Sensor Film (LSF) bentukan mengenai penyensoran film di Indonesia. Departemen Penerangan (Deppen) dan Fokus penelitian ditekankan pada mengembalikan sensor tersebut kepada pencarian jawab atas permasalahan masyarakat (“Bubarkan Lembaga yang telah dirumuskan. Dengan kata Sensor Film” dalam Kompas, Jumat 26 lain dimaksudkan untuk mengungkap November 1999). 2011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 367 Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya ... (Heru Erwantoro) pola-pola penyensoran film di Indonesia membangun fondasi yang kokoh agar selama kurun waktu 1945 sampai 2009. dunia perfilman Indonesia nantinya dapat Sebagaimana penelitian sejarah berkembang sebagaimana mestinya. umumnya, penelitian ini menggunakan Dasar yang kokoh itu terdiri atas dua metode sejarah. Metode ini terbagi ke hal yaitu kebijakan pemerintah di bidang dalam 4 tahap, yaitu: (1) Heuristik, perfilman dan pembentukan lembaga menghimpun bukti sejarah; (2) Kritik, sensor. menguji dan menilai bukti-bukti sejarah; Untuk maksud itulah, Pusat (3) Interpretasi, memahami makna yang Peredaran Pilm Indonesia (PPPI) sebenarnya atas bukti-bukti sejarah yang mengadakan pertemuan dengan telah dinilai itu; dan (4) Historiografi, Pemerintah Republik Indonesia menyajikan pemikiran-pemikiran baru (RI) pada tanggal 9 Januari 1946 berdasarkan bukti-bukti sejarah yang di Yogyakarta. Pertemuan yang telah dinilai itu ke dalam bentuk tertulis diselenggarakan di Gedung PPPI itu (Abdurahman, 2007: 54). dihadiri oleh: Wakil Menteri Penerangan, Mr. Ali Sastroamidjojo, pimpinan PPPI Yogyakarta, Soebroto, dan 20 utusan PPPI dari Jakarta, Surabaya, Malang, B. HASIL DAN BAHASAN Semarang, Yogyakarta, dan Tasikmalaya 1. Masa Perang Kemerdekaan (Hastuti, 1992: 47). (1945 – 1949) Dalam pertemuan itu, sikap Proklamasi kemerdekaan yang pemerintah atas perfilman terlihat dari dideklarasikan secara tertulis oleh keterangan sebagai berikut: Soekarno-Hatta mendapat sambutan dari seluruh komponen bangsa. Dengan Mr. Ali Sastroamidjojo, adanya kemerdekaan itu, muncullah sebagai wakil pemerintah, definisi tentang bangsa Indonesia yang menerangkan bahwa film pada perkembangannya berpengaruh haruslah merupakan alat pada dunia perfilman. Artinya, pendidikan yang sehat bagi kemerdekaan tidak hanya disikapi dengan rakyat, guna memperluas upaya kelompok pribumi menguasai paham-paham masyarakat. perusahaan-perusahaan film tetapi lebih S e l a i n i t u , A l i jauh diisi oleh tekad untuk membangun Sastroamidjojo menganjurkan dunia perfilman itu sendiri berdasarkan PPPI melakukan reorganisasi, kehendak bebas sebagai bangsa yang sifat kapitalis dari suatu merdeka. perusahaan juga dianjurkan Oleh sebab itu, meskipun bangsa dihilangkan diganti dengan Indonesia masih disibukkan dengan sistem kedaulatan rakyat. suasana perang kemerdekaan, insan Pendeknya, pemerintah RI perfilman Indonesia berusaha untuk ingin menjadikan film bukan membangun dunia perfilman. Dalam sebagai sarana ekonomi semata, rangka membangun dunia perfilman, melainkan juga sebagai salah para insan perfilman berusaha untuk satu komponen perjuangan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung 2011 Patanjala Vol. 3, No. 2, Juni 2011: 365-383 368 secara ekonomis maupun moral 2. Masa Survival (1950 – 1959) (Hastuti, 1992: 47). Pada masa survival ini yang Delapan bulan kemudian, tepatnya bertanggung jawab dalam hal penyensoran pada tanggal 10 September 1946, film adalah Panitia Pengawas Film (PPF). pertemuan antara PPPI dengan pemerintah Dalam menjalankan tugasnya, PPF sejak berlangsung kembali. Pertemuan itu tanggal 4 April 1950 mengeluarkan diadakan untuk membentuk komisi Dasar-dasar Pedoman Sensor Film. pemeriksaan film. Dalam pertemuan Dalam aturan itu, kriteria sensor film itu, terbentuk Komisi Pemeriksaan Film meliputi unsur-unsur sebagai berikut: (KPF) dengan anggota 9 orang, yaitu Ali (a) tidak melanggar kesusilaan, (b) tidak Sastroamidjojo, Ki Hadjar Dewantoro, mengganggu ketentraman umum, (c) Mr. Soebagio, R.M. Soetarto, Usmar cukup pantas dan atau tidak memberi Ismail, Soemardjo, Andjar Asmara, pengaruh buruk kepada masyarakat. Djajeng Asmara, dan Roeseno. Pada PPF mempunyai 30 orang anggota. pertemuan itu, ditegaskan lagi oleh Ketua Mereka direkrut dari berbagai kalangan Komisi Film bahwa film adalah satu alat dengan tujuan dapat mewakili semua politik dan harus dipelihara dengan baik golongan dalam masyarakat Indonesia. agar jangan sampai bertentangan dengan Dalam mekanisme kerjanya, untuk paham rakyat. Untuk itulah, film harus menyensor sebuah film dibentuklah bersifat mendidik. Panitia Kecil yang terdiri atas tiga orang. Dari kedua pertemuan itu jelaslah Personil panitia kecil itu dipilih oleh bahwa pemerintah RI dan para insan Pengurus Harian PPF. Pemilihan anggota perfilman telah memberikan arahan Panitia Kecil, didasarkan atas dasar film yang jelas mengenai peran perfilman yang akan disensor. Sebagai contoh, dalam kehidupan berbangsa, yaitu untuk film yang berkaitan dengan militer sebagai salah satu komponen
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages19 Page
-
File Size-