
Discovering the Sociocultural Function of the Lexicon of “Water Resources” to Develop a Better Sense of Environment in West Java: A Study in Ecolinguistics Nani Sunarni Universitas Padjadajaran [email protected] Abstract Water is essential for human life. No human beings can survive without water. Historically and geographically, the people of West Java have lived near areas where water resources are available. This is reflected in the significant number of places with prefixes seke- (spring) and ci- (shortened form of cai ‘water’), for example Sekelimus, Cihanjuang, Cikaso, and Cidurian. The fact that there are many places that are named in this manner indicates that West Java is an area that is rich with water resources. However, the province is currently facing a serious water crisis. In the north Bandung are itself, the number of springs has decreased from 300 to only 44. These remaining 44 springs are, in fact, are located in privately-owned lands (Pikiran Rakyat, 20 March 2016). One of the causes of the water crisis in West Java is the lack of awareness among its people of the sociocultural meaning and function of the “water resources” lexicon. In this respect, a linguistic study that is related to ecology is important to undertake. The data for this study are Sundanese lexicon of “water resources”. The data were analysed using Crystal’s theory (2008). The results of the analysis indicate that in the Sundance lexicon of “water resources” there are names of places that reflect the philosophy and traditional wisdom of the Sundanese people and that from a sociocultural perspective, knowledge about this lexicon can develop a sense of environment. The study adds more theoretical information about ecolinguistics. In addition, it can also be used as a reference to develop a better sense of environment among Sundanese people. Key words: ecolinguistics, Cai, West Java, water resources, Seke 1. Pendahuluan “Dan Kami jadikan dari air segala yang hidup “(QS al-Anbiya:30). Berdasarkan ayat di atas bahwa Alloh menciptakan segalanya dari air. Manusia dan makhluk lainnya tidak akan terlepas dari air. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak memiliki zat yang disebut air atau cairan. Manusia sangat bergantung pada air. Air merupakan bagian daripada bumi. Tiga perempat bumi diliputi air dan seperempatnya berupa daratan. Kebergantungan manusia terhadap air, dapat dibuktikan ketika pada zaman dahulu manusia hidup nomaden, mereka berkumpul dan hidup di tempat yang ada sumber air. Maka bukan suatu yang aneh bila setiap daerah terdapat nama tempat yang terkait dengan air sesuai dengan budaya bahasa masyarakat tersebut. Secara geografis, wilayah Jawa Barat yang terkenal dengan sebutan Tatar Sunda merupakan daerah pegunungan yang disebut Gunung Sunda (Sudrajat, 2010:42). Gunung Sunda meletus dan lama-kelamaan debunya membendung sungai Citarum sampai terbentuk danau Bandung dan bermunculan gunung lainnya diantaranya gunung Tangkuban Perahu (Sudrajat, 2010:45). 207 Bendungan dan pegunungan tidak akan terlepas dengan keberadaan air. Dengan adanya air tumbuhlah pepohonan yang hijau merupakan sumber air, bahkan sebagai hulu sungai yang mengalirkan air ke hilir dan tidak sedikit yang membelah pemukiman penduduk. Seperti yang tertulis di atas, bahwa manusia hidup dan berkehidupan dekat dengan sumber air atau aliran air. Oleh karena itu, secara toponimi nama-nama di Jawa Barat banyak yang menggunakan kata air atau sumber air. Air dalam bahasa Sunda disebut cai. Dalam penamaan tempat kata cai mengalami penghilangan vocal /a/ sehingga menjadi ci. Selain kata cai, adapula kata yang menjadi sumber air, dalam bahasa Sunda disebut seke, contoh Ciseke. Ciseke terdiri atas dua kata yaitu ci kependekan dari cai ‘air’ dan seke ‘sumber air’. Ciseke maksudnya air yang keluar dari sumber air (dalam bahasa Sunda disebut Cinyusu). Cinyusu merupakan sumber air yang keluar tidak jauh dari rumpun bamboo atau kekayuan lain yang bukan bersumber dari aliran sungai. Bambu merupakan tanaman yang sangat efektif untuk menyimpan air hujan. Contoh kata di atas merupakan salah satu bahasa lingkungan (ecological language). Kesalingtergantungan (interdependensi), kesalinghubungan (interelasi), dan interaksi antara masyarakat Sunda dengan lingkungan hidup disekitarnya dalam keharmonisan yang memberi ruang kreasi simbolik masyarakat tersebut telah menghasilkan kebudayaan yang ditandai dan direkam secara verbal sehingga terbentuk nama-nama tempat yang didalamnya terdapat kata ci – atau seke-. Ilmu yang mempelajari baik interaksi antarmakhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya disebut ekologi. Penelitian ini mengkaji tentang bahasa atau bentuk verbal yang mengandung makna tentang lingkungan yang disebut bahasa lingkungan (ecological language) sebagai produk budaya masyarakat Sunda khususnya leksikon “keairan” dari toponimi yang ada di Jawa Barat. 2. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data yang digunakan berupa toponimi berstruktur {ci-} atau {seke-} dan {jenis flora}. Data dikumpulkan secara acak berupa toponimi yang ada di sekitar Bandung Jawa Barat dengan metode lapangan yang dilanjutkan dengan teknik catat, yaitu mencatat nama-nama tempat berstruktur {ci/seke} dan {jenis flora}. Hasil dari proses ini, terkumpul 17 data. Dari data yang telah terkumpul diklasifikasikan berdasarkan jenis dan kelompok floranya, yaitu jenis sayuran, daun merambat, rerumputan, tanaman perdu, tanaman keras, dan umbi. Kemudian data dideskripsikan dengan mempertimbangkan lingkungan (environment) dari tempat tumbuh flora tersebut. Selanjutnya diidentifikasi kesalingterhubungan (interrelationship) nya. Toponimi “keairan” sebagai produk budaya di dalamnya terdapat fungsi utilitas (utility function), sehingga terdapat dimensi fungsi untuk toponimi “keairan” tersebut. Untuk memaknai fungsi tersebut, dalam penelitian ini difokuskan pada aspek makna (meaning) yang berdimensi emotif, empiris, pengetahuan, kontekstual, fungsi, penilaian, dan kultural. Dari uraian tersebut terakhir ditarik simpulan. 3. Diskusi dan Pembahasan 3.1 Toponimi berstruktur {ci} atau {seke} dan {nama jenis flora} Secara geografis bumi Jawa Barat merupakan bagian dari kepulauan Sunda (Sunda islands). Wilayah ini bagian dari palau Jawa yang terjadi setelah munculnya Benua Asia. Dataran- 208 dataran tinggi di Jawa Barat termasuk dataran Bandung, diperkirakan pertama kali muncul dari dasar laut pada akhir zaman Miosen, yaitu bagian dari zaman Tertier (Iskandar, 1997:1). Dataran Bandung ini sekarang disebut wilayah Bandung. Secara etimologis kata Bandung berasal dari kata bendungan, yaitu waduk atau bendungan yang berasal dari Situ Hyang atau disebut pula Telaga Bandung. Telaga ini konon terbentuk dari debu-debu vulkanik letusan pegunungan Sunda yang membendung sungai Citarum. Pada akhir zaman Neolitikum air telaga ini mulai surut namun masih banyak tersisa. Di daerah sumber-sumber air itu manusia hidup dan menetap sehingga nama–nama tempat di wilayah Jawa Barat khususnya Bandung didasarkan pada fenomena alam yang terkait dengan “keairan” atau hidrologis, yaitu kata yaitu Ci- kependekan dari cai ‘air atau seke- ‘sumber air’. Air membuat tanah menjadi subur dan hiduplah tumbuh-tumbuhan yang sesuai dengan kondisi alam sekitar Bandung. Oleh masyarakat setempat keterhubungan (interrelasi) antara air dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di tempat tersebut dijadikan nama tempat. Sehingga terwujudlah nama tempat di Bandung berdasarkan fenomena alam “keairan”. Tata nama atau toponimi nama-nama tempat khususnya di Bandung - Jawa Barat mengadaptasi dua konsep menjadi kata atau satu konsep. Kata atau satu konsep ini berupa kata benda atau nomina yang secara morfologis terdiri atas morfem {ci-} atau {seke-} dan morfem {nama flora}. Kedekatan kedua morfem ini secara alamiah merupakan adanya interrelation (kesalingberhubungan) antara air dan tumbuhan serta manusia pembuat kode verbalnya .Toponimi tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1. Toponimi “Keairan” di Wilayah Bandung, Jawa Barat Nama No. Konsep 1 Konsep 2 Keterangan Tempat 1 Ciseke Ci~ ~seke (sumber air) Sumber air 2 Cisaladah Ci~ ~saladah (Nasturtium officinale) Sayuran 3 Ciseureuh Ci~ ~seureuh (Piper betle) Tanaman merambat 4 Cikaso Ci~ ~kaso (Saccharum spontaneum) Rumput 5 Cilameta Ci~ ~lameta (Ishaemum timorense)) Rumput 6 Cilampeni Ci~ ~lampeni (Ardisia elliptica) Pohon 7 Cihanjuang Ci~ ~hanjuang (Cordyline) Pohon 8 Cibintinu Ci~ ~bintinu (Melochia umbellate) Pohon 9 Cimuncang Ci~ ~muncang (Aleurites moluccana) Pohon 10 Sekeloa Seke~ ~loa (Ficus racemosa) Pohon 11 Sekemirung Seke~ ~m(s)irung ‘tunas’ Tunas 12 Cilember Ci~ ~lember (Auricularia auricula) Jamur 13 Cilimus Ci~/ Seke~ ~limus (Ficus benyamina) Buah 14 Cidurian Ci~ ~durian (Durio zibethinus) Buah-buahan 15 Cinangka Ci~ ~nangka Artocarpus heterophyllus Buah-buahan 17 Cigadung Ci~ ~gadung (Dioscorea hispida) Umbi 209 Kata Ciseke berasal dari ci- kependekan dari cai ‘air’ dan seke’sumber air’ (selanjutnya untuk nama yang lain tidak diulang) . Adanya tempat yang bernama Ciseke menunjukkan bahwa sumber air yang ada di lingkungan tatar Sunda ada yang berasal dari air sungai yang mengalir dari hulu sungai yang berasal dari pegunungan dan ada pula yang berasal dari sumber air hasil endapan air hujan yang meresap ke dalam tanah, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an “dan Kami turunkan air dari langit dengan jangka tertentu, maka Kami endapkan dia dalam bumi. Dan Kami pun berkuasa menghabiskannya.” (QS Al –Muminun:18). Maksud dari ayat tersebut Tuhan turunkan
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages100 Page
-
File Size-