PELABUHAN SUNGAI DAN LAUT DI KALIMANTAN SELATAN DARI ERA KERAJAAN SUKU HINGGA KESULTANAN BANJARMASIN 1 Yusliani Noor 2 [email protected] PENDAHULUAN Orang Banjar selalu menyebut zaman lampau dengan sebutan “zaman bahari”. Istilah zaman bahari untuk menyebut masa lampau yang sangat kuno atau jauh dari masa kini. Sering diistilahkan dalam bahasa Banjar yaitu bahari banar . Istilah yang sebenarnya, kata Bahari diperuntukkan bagi sebutan lautan. Kata Bahari diambil dari asal kata bahasa Arab yakni Bahar, artinya Laut. Kata yang mengingatkan kita pada episode aktivitas kehidupan manusia yang sepenuhnya tergantung pada Laut dan Sungai. Mitologi suku-suku bangsa dari etnis Dayak, seperti Bukit, Ngaju, Maanyan, Lawangan, Dusun, selalu menjelaskan mitologi asal muasal nenek moyangnya dari negeri yang jauh. Misalnya, suku Maanyan dan Bukit menyebutnya Negeri Lautan Kabut. Nenek moyang mereka kemudian datang ke Kalimantan. Termasuk ke Kalimantan Selatan. Mereka mempercayai makhluk-makhluk air yang berasal dan kembali ke Lautan. Misalnya, binatang naga dan manglong. Oleh sebab itu, cerita-cerita tentang naga sebagai ular raksasa yang berkaki dengan kemampuan hidup di tanah, air dan udara menunjukkan mereka pada zaman dahulu sangat mengenal laut. Mereka juga sebagai anak sungai, yang hidup dan beraktivitas di sungai. Nama-nama kampung sebagian berasal dari nama sungai. Orang Melayu Banjar yang sebagian besar hasil dari proses mixing generation berbagai suku, mulai dari suku Melayu, Dayak, Jawa, dan Bugis, sangat mengenal mitos tentang naga. Misalnya cerita tentang Naga Si Rintik dan Si Ribut dari Margasari, Batung Badarah dari Kandangan, dan Naga Mencari Lautan Dalam dari Martapura, serta lain sebagainya. Memahami maintifact yang menjadi ingatan kolektif masyarakat di Kalimantan Selatan tentang zaman bahari, sebagai era Maritim, mengharuskan upaya penelusuran * Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kesejarahan, Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat ** Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat. [86] jejak pelayaran sungai kuno di Kalimantan Selatan, terutama pelabuhannya. Setidaknya harus dimulai dari istilah-istilah nama kampung, direkonstruksi dengan kondisi geografis serta sumber-sumber lainnya, termasuk diantaranya temuan-temuan benda arkeologis. Sumber-sumber tertulis diambil dari kroniek , cerita rakyat, hikayat dan tutur lisan. Begitu pula dengan pelabuhan sungai dan laut pada era modern, sejak Kesultanan Banjar hingga zaman kolonial. PELABUHAN KUNO: KERAJAAN-KERAJAAN SUKU 1. Pelabuhan Kerajaan Nan Sarunai Nan Sarunai dikenal sebagai kerajaan etnis Maanyan. Letak Nan Sarunai paling awal adalah kawasan Tanjung Tabalong. Kitab Negara Kretagama Kanto 13, menyebut dengan istilah Tabalung. Dalam Hikayat Banjar, disebutkan adanya Kerajaan Dipa. Nama Dipa diambil dari kata Dwipa yang artinya Pulau. Negara Dipa disebut Pulau Nusa Tanjung Negara. J.J. Ras, menyebutkan letak Negara Dipa awalnya di Tanjung, dengan ibukotanya Tanjung Puri. Sebutan Negara Dipa muncul ketika Nan Sarunai telah ditaklukkan Majapahit. Sebagaimana Nyanyian ( Wadian ) etnis Maanyan, bahwa Kerajaan mereka Nan Sarunai telah ditaklukkan oleh Majapahit. Kerajaan Nan Sarunai pusatnya di Tabalong dengan pelabuhan utamanya di kawasan Murung Pudak. Murung Pudak terletak di kawasan Sungai Tabalong Kiri. Istilah Tabalong dari kata Taba dan Long. Long artinya sungai. Kemungkinan dulunya ada wilayah yang bernama Taba dengan dialiri sebuah sungai besar, yakni Sungai Taba. Pada wilayah ini terdapat istilah Pangkalan. Pangkalan adalah Pelabuhan sungai. Letaknya di tepi sungai Tabalong Kiri. Di tempat ini, masih terdapat kerangka-kerangka kayu ulin tua, yang ditemukan di pinggir Pelabuhan. Sungai Tabalong Kiri menembus kawasan Murung Pudak dan bermuara ke wilayah Pasir Grogot. Sebuah sungai yang dapat dilayari dengan perahu-perahu besar dengan bobot mencapai 25 ton sampai tahun 1900-an. Setelah diserang kekuatan Lambung Mangkurat, Kerajaan Nan Sarunai pindah ke Pudak Satagal di tepi Sungai Kelua. Sebagian lagi, mendirikan Kerajaan Gagalang di hulu Sungai Kelua, dengan tokohnya [87] yang terkenal Datu Kartamina. Sebagian lagi pindah ke kawasan tengah pada kawasan Barito Tengah, yakni di Tamiyang Layang. 2. Kerajaan Surya Abang (Habang) Berdasarkan cerita komunitas etnis Bukit di Penginangan Ratu Batu Licin, Kerajaan Surya Abang (Habang) sebagai Kerajaan etnis Bukit. Kerajaan ini pusatnya di Riam Kiwa-Pengaron. Perbatasan Tanah Bumbu dan Kabupaten Banjar, sedikit ke arah perbatasan Hulu Sungai Selatan. Pelabuhan utamanya di kawasan kaki Pegunungan Meratus di wilayah Batu Licin. Termasuk diantaranya wilayah Kintap dan Asam-Asam di Tanah Laut. Eksistensi wilayah Asam-Asam sudah disebutkan dalam Hikayat Banjar. Khususnya pada masa Kerajaan Negara Daha abad ke-13/14. Dari sisi utara, Sungai Riam Kanan dan Kiwa terhubung dengan Sungai Kusan Hilir di Tanah Bumbu, yang terhubung pula dengan Sungai Pagatan. Kerajaan ini terpecah akibat terpisahnya dua saudara, Dayuhan dan Intingan. Dayuhan atau Datu Ayuh tetap memilih agama lama, yakni Balian, sementara adiknya Intingan memeluk Islam. Menurut M. Idwar Saleh, Gunung Pamaton di Kabupaten Banjar adalah sebuah pelabuhan zaman kuno. Istilah Pamaton dari kata “Pamuatan”. Artinya, pada zaman kuno, kawasan Pamaton adalah tempat pemuatan barang. Lalu, pelabuhan kerajaan apa? Jika dilihat banyaknya komunitas etnis Bukit di Kabupaten Banjar, maka boleh jadi Pamaton adalah satu bagian dari pelabuhan Kerajaan Surya Abang. Di sisi Gunung Pamaton terdapat Sungai Pamaton yang mengalir ke Sungai Banyu Irang, tembus ke Guntung Manggis Banjarbaru sampai ke Lok Baintan. Ke utara, Sungai Pamaton terhubung dengan Riam Kanan. Kedua bersaudara berpisah jalan. Sebagian besar etnis Bukit tercerai- berai, khususnya di kawasan Kalimantan sampai serawak-Malaysia. Pada masa jayanya, mereka sempat berafiliasi dengan Kerajaan Nan Sarunai di Tabalong. Sebagian suku Bukit di kawasan Batang Alai menggunakan pelabuhannya di Batang Alai. Pusatnya di kawasan kampung Labuhan dan Labuhan Amas. Disinilah perahu-perahu besar bertambat sebelum menuju Batang Balangan di Tabalong dan ke Pelabuhan di Murung Pudak, Tanjung. Satu jalur pelayaran sungai di kawasan Barabai adalah di Sungai Palayarum di kawasan kampung Jatuh- Barabai. Sungai ini terhubung dengan [88] Batang Alai dan Sungai Barabai. Legenda Raden Penganten di kampung Pagat, yang kapal layarnya pecah dihantam badai akibat tidak mengakui ibunya, mengisyaratkan adanya jalur pelayaran di kawasan ini. Kawasan ini bagian dari jalur pelayaran etnis Bukit Meratus di kawasan Hulu Sungai Tengah. 3. Kerajaan Pihan (Datu Pihan) Kerajaan ini sebagai kerajaan asal dari etnis Lawangan. Sisa-sisa peninggalan kerajaan ini masih ada di Gunung Pihan, berupa tonggak-tonggak kayu ulin besar bekas bangunan, serta keramik-keramik Cina. Kerajaan Pihan diambil dari tetua etnis Lawangan di Gunung Pihan, Tabalong. Pelabuhannya di sekitar kaki Gunung Pihan, yang bertautan dengan Sungai Tabalong. Kemungkinan besar, kerajaan ini melakukan afiliasi politik dengan Kerajaan Nan Sarunai. Ketika terjadi kekacauan politik di Kerajaan Nan Sarunai, etnis Lawangan sebagian besar pindah ke Kalimantan Tengah kawasan Barito Tengah, Utara dan Selatan. Sebagian lagi, masih ada di kawasan lembah Gunung Pihan sampai sekarang. 4. Kerajaan Kahuripan Kerajaan Etnis Ngaju yang paling kuno, kemungkinan besar di kawasan Pantai Batakan hingga Pantai di Kuala Tambangan Takisung, Tanah Laut. Pelayaran hanya sekitar satu hari dari Muara Barito Kuala, menyebabkan kawasan tersebut dikenal dengan istilah Palayhari (Pelaihari), Tanah Laut. Kontak awal dengan Portugis kemungkinan tahun 1618 M di kawasan Batakan. Sisa-sisa etnis ini ada di Gunung Pamalongan, Tanah Laut. Sebagian lagi, membangun Kerajaan di Kawasan Sungai Bahan dan Kapuas. Pelabuhan lautnya ada di Kuala Tambangan dan Batakan, Tanah Laut. Komunitas etnis Ngaju memiliki sebuah wilayah kuasa di Banua Lawas di Kecamatan Takisung. Pusatnya di kawasan Gunung Sangiang Banua Lawas. Mereka kemungkinan menghuni bagian sungai Panjaratan, Sungai Riam di Kandangan Lama hingga ke Kuala Tambangan, di pesisir Laut Takisung. Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan asal etnis Ngaju di Kalimantan Selatan. Dalam Hikayat Banjar dan Tutur Candi, rajanya bergelar Ratu Kahuripan atau Ratu Huripan. Letak Kerajaan ini di kawasan Kecamatan Kuripan, di Barito Kuala. Posisi awal pelabuhan Kahuripan ada di sekitar Sungai Bahan. Sungai Bahan dan pelabuhan Kuripan tembus ke Sungai Paliwara. Sungai Paliwara [89] termasuk sungai besar. Asal kata Paliwara dari kata Palaywihara, artinya pelayaran ke Wihara. Kerajaan Kahuripan menerima kedatangan Ampu Jatmika, dan membangun afiliasi politik. Keturunan Ratu Kahuripan, yakni Putri Junjung Buih kawin dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit. Mereka membentuk Kerajaan Negara Dipa. Pusatnya di Sungai Malang. Kerajaan Dipa berdiri setelah menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai. Akibat pendangkalan sungai, maka pelabuhan Murung Pudak di Tabalong ditinggalkan, dan membangun pelabuhan baru di kawasan kampung Negara-Tumbukan Banyu. Sisa-sisa ulin besar sebagian kecil masih ada di tepi Sungai Negara, Muara Hulak-Tumbukan Banyu. Kerajaan ini kemudian menambahkan pelabuhannya di Marampiau. Pelabuhan ini dikenal dengan sebutan Pelabuhan Muara Rampiau. Banyak temuan arkeologis keramik Cina di kawasan ini. PELABUHAN KUNO: KERAJAAN HINDU-BUDHA 1. Kerajaan Negara Dipa Kerajaan Hindu ini menempatkan Muara Rampiau sebagai Pelabuhan sungainya, selain dari Tumbukan Banyu.Hulak
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages10 Page
-
File Size-