Serambi Akademica Vol. 9, No. 4, pISSN 2337–8085 Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora Mei 2021 eISSN 2657- 0998 Analisis Eksitensi Partai Politik Lokal Di Aceh Pasca Perdamaian Usman Universitas Abulyatama [email protected] ABSTRAK Artikel ini membahas tentang eksistensi Partai Aceh, sebagai kekuatan politik lokal pada pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, pasca perdamaian. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui eksistensi Partai Politik Lokal Aceh sebagai kekuatan sosial politik lokal, dan berbagai dinamika baik konflik internal, hingga turunnya kekuatan politik lokal dan suara pemilih setiap pelaksanaan pemilihan umum legislataf dan pemilihan kepala daerah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif meliputi pengumpulan data melalui buku, jurnal, media massa dan dokumen lainnya. Teknik penelitian yang di gunakan adalah teknik penelitian studi literatur. Tahapan yang di lakukan dalam penelitian ini yaitu kritik atau analisis sumber, dan interpretasi (menafsirkan sumber). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis. Dari serangkaian proses penelitian yang dilakukan, penulis memperoleh kesimpulan bahwa pasca damai Aceh telah terjadi transisi politik, dari kekuatan perlawanan senjata, ke perjuangan melalui Partai Politik Lokal. Eksistensi partai politik lokal salah satu partai mantan kombatan adalah Partai Aceh (PA). Sejak pemilu dan pilkada selama tiga periode, Partai Aceh (PA) mampu mendapatkan suara mayoritas, namun dalam tiga dekade tersebut terjadi penurunan suara pemilih yang sangat sinifikan, hilangnya kursi baik di DPRA, DPRK dan kekuasaan eksekutif diberbagai daerah. Ini diakibatkan telah terjadi konflik internal Partai Aceh dan banyak kader yang tidak mampu merealisasikan janji politik, sehingga pemilih/simpatisan kecewa, akhirnya pemilih memilih partai nasional. Keywords : Eksistensi, Partai Politik Lokal, Masa Transisi, Konflik Internal, Pemilih PENDAHULUAN Konflik Aceh yang meluluh-lantakkan sosial ekonomi, budaya, harta benda, korban jiwa dan trauma, akhirnya selesai secara demokratis dengan kesepakatan damai melalui Memorandum of Understanding (MOU) kedua belah pihak yang bertikai, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indoensia. Dengan hasil dan kesepakatan tersebut, Propinsi Aceh memasuki fase transformasi politik, terjadi perubahan perjuangan dari gerakan senjata berubah ke perjuangan jalur politik untuk mewujudkan percepatan pembangunan sosial politik, ekonomi, agama, dan budaya sesuai dengan diberikan kewenangan yang tertuangkan dalam Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA) No.11 Tahun 2006 tentang Otonomi Khusus kepada Aceh. Hasil kesepakatan damai tentu saja dapat dimaknai sebagai kemenangan bagi demokratisasi, yaitu menyelesaikan konflik Aceh, selesai diatas meja perundingan tanpa menggunakan kekuatan senjata. 520 Serambi Akademica Vol. 9, No. 4, pISSN 2337–8085 Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora Mei 2021 eISSN 2657- 0998 Dalam pembangunan politik, kesepakatan politik yang dicapai merupakan bagian dari proses pembangunan politik dan demokratisasi. Pokok masalahnya adalah bagaimana kedua hal tersebut dapat memberikan implikasi yang luas terhadap sistem politik nasional, dan secara khusus terhadap pembangunan politik lokal. Secara teoritis, penyelesaian konflik Aceh dapat memberikan inspirasi untuk menguji dan mengembangkan konsep teori dalam konteks hubungan pemerintah pusat dan daerah yang khas di dunia ketiga, khususnya bagi Indonesia. Sesuai fakta sejarah, rakyat Aceh melakukan perlawanan Pemerintah Republik Indonesia, telah terjadi sejak awal kemerdekaan, kekecewaan pada pemerintah pusat yang tidak merealisasikan janji politik, sehingga Aceh saat tersebut bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953 dengan tujuan adalah untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (El Ibrahimy, 1982:46). Selanjutnya, setelah berakhirnya pemberontakan DI/TII pada tahun 1962, pada 4 Desember 1976 Aceh kembali melakukan pemberontakan baru dibawah pimpinan Tgk. Hasan Tiro mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (AM) yang kemudian menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Adapun tujuan pemberontakan tersebut adalah ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hingga Pemerintah Republik Indonesia melakukan operasi penumpasan pemberontakan tersebut dan menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sejak tahun 1989 hingga 1998. Pertikaian Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menimbulkan banyak jatuh korban jiwa. Berbagai upaya perundingan gagal diwujudkan dalam perdamaian di Aceh. Dari Jeda Kemanusiaan I dan II tahun 2000 dan 2001 di era Presiden Abdurrahman Wahid, hingga Perjanjian Penghentian Permusuhan (COHA) tahun 2002-2003 di masa Presiden Megawati Sukarnoputri. Setelah gagal menghasilkan kesepakatan damai dan penghentian pemusuhan RI- GAM tanggal 9 Desember 2002 di Swedia, Aceh dinyatakan dalam keadaan Darurat Militer tanggal 18 Mei 2003. Keputusan tertuang dalam Keppres No. 28 Tahun 2003 yang menetapkan seluruh Provinsi Aceh dalam keadaan dengan status Darurat Militer dan digelarnya Operasi Terpadu tahap I dan II masing-masing 6 bulan (Farhan Hamid, 2006:98). Setelah tsunami menerjang Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berupaya kembali melakukan kontak secara personal dengan pemimpin GAM di luar negeri. Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan agar Pimpinan GAM di Swedia bersedia bertemu untuk membahas kesepakatan damai. Tercapainya kesepakatan damai RI-GAM tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia memberi harapan baru bagi masyarakat Aceh menuju kehidupan yang lebih baik. Kemudian pada tanggal 15 Juli 2006, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menyepakati Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUUPA), yang terdiri atas 40 Bab dan 273 Pasal, disahkan menjadi Undang-Undang Pemerintahan Aceh oleh DPR-RI pada 11 Juli 2006 dan ditetapkan oleh Presiden SBY tanggal 1 Aguatus 2006. 521 Usman Beberapa aspek penting yang diamanahkan dalam UUPA antara lain; Syariat Islam diberlakukan sesuai tradisi dan norma yang hidup di Aceh, diberikan izin berdirinya partai politik lokal, pengelolaan minyak dan gas bersama, Syariat Islam, dan lainnya yang diatur secara khusus, sesuai dalam kesepakatan MOU Helsinki. Selanjutnya sayap militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibubarkan dan kemudian di bentuk Komite Peralihan Aceh (KPA) sebagai wadah transisi para mantan kombatan GAM ke masyarakat sipil. Komite tersebut diketuai Mantan panglima militer GAM Muzakir Manaf (Hamid Awaludin,2008:22). Produk hukum sebagai implementasi butir di atas adalah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2007 tentang partai politik lokal di Aceh. Respon masyarakat Aceh tentang keberadaan partai politik lokal positif. Survei Lembaga Suvei Indonesia (LSI) pada 28 Juli – 2 Agustus 2005 dan Maret 2006 menunjukkan manyoritas masyarakat Aceh mendukung pembentukan partai politik lokal. Keberadaan partai lokal pernah dilontarkan pakar politik Indonesia dari Ohio State University, Prof William Liddle yang berpendapat: bahwa partai lokal tidak dibolehkan di Indonesia, tetapi kalau ada kemauan pasti ada cara Aceh damai. Setidaknya beri kesempatan GAM ikut bersaing dalam pemilihan umum di Aceh. (Koran Acehkita, Edisi 025/TH Ke-3, 8-14 Oktober 2007). Berdasarkan Pasal 76 UUPA bahwa partai politik lokal yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum oleh kantor wilayah departemen di Aceh yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia, melalui pelimpahan kewenangan dari menteri yang berwenang. Pengesahan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Negara. Untuk perubahan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, nama, lambang, tanda gambar, dan kepengurusan partai politik lokal didaftarkan pada kantor wilayah departemen di Aceh yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. Partai politik lokal di Provinsi Aceh adalah lahir dari bagian kompromi politik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam rangka sebagai salah satu solusi perdamaian di propinsi tersebut, dengan persetujuan, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) meninggalkan mengakhiri cara-cara kekerasan, dalam mencapai tujuan mereka di bawah payung hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberhasilan dalam mencapai kompromi politik, patut dihargai mengingat konflik yang berkepanjangan berakibat pada penderitaan rakyat Aceh, dengan kekerasan bersenjata yang sudah terjadi puluhan tahun. Langkah-langkah kompromi yyang disepakati dengan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjaga nama baik Republik Indonesia dapat dianggap sebagai keberhasilan dalam penyelesaian konflik Aceh. Munculnya partai politik lokal melalui Perjanjian Perdamaian Helsinki menutup kemungkinan bagi para pimpinan Gerakan Aceh Merdeka untuk menuntut berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Partai politik lokal yang dipimpin oleh mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka meraih kemenangan dalam pemilu di Provinsi Aceh adalah peluang besar untuk mewujudkan pembangunan Aceh berkelanjutan. Semangat membangun Aceh berdasarkan otonomi khusus merupakan keinginan manyoritas rakyat Aceh dan diinginkan juga oleh mantan pertinggi Gerakan Aceh Merdeka. Perjanjian Helsinki merupakan sikap banting setir para petinggi Gerakan 522 Serambi Akademica Vol. 9, No. 4, pISSN 2337–8085 Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora Mei 2021 eISSN 2657- 0998 Aceh Merdeka
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages18 Page
-
File Size-