RELIEF NAGA DI PURA SUBAK WASAN, DESA BATUAN KALER, KECAMATAN SUKAWATI, KABUPATEN GIANYAR Dragon Relief at Subak Wasan , Batuan Kaler Village, Sukawati Sub-District, Gianyar Regency

I Wayan Badra Balai Arkeologi Jl. Raya Sesetan 80, Denpasar 80223 Email: [email protected]

Naskah diterima: 28-04-2015; direvisi: 26-08-2015; disetujui: 19-10-2015

Abstract Dragon is used as religious symbols in many parts of the world. In Hindu teaching, dragon as a symbol of gods embodied in many forms. Dragon relief is found at Subak Wasan Temple in Gianyar, which is now placed on piyasan building. This study aims to reveal the form and fuction of the dragon relief at Subak Wasan Temple in the past. The method, including the forms, styles and fuctions. From its form, style and carving tecnic, it is knows that dragon relief in Puseh Wasan came from the same era as the dragon relief in Pusering Jagat Temple in Pejeng. This study showed that the dragon relief in Subak Wasan Temple symbolizes fertility whch is the symbol of land, water and earth. Keywords: dragon relief, form and fuction.

Abstrak Naga banyak dijadikan sebagai perlambangan religi di berbagai belahan dunia. Dalam ajaran Hindu, naga sebagai lambang dewa diwujudkan dalam berbagai bentuk. Relief naga ditemukan juga di Pura Subak Wasan, Gianyar, Bali yang kini ditempatkan pada bangunan palinggih Piyasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dan fungsi relief naga Pura Subak Wasan pada masa lalu. Metode yang diterapkan adalah metode analisis relief, meliputi bentuk, gaya dan fungsi. Dilihat dari bentuk, gaya, teknik pahatan relief naga di Pura Subak Wasan, nampaknya sejaman dengan relief naga di Pura Puseringjagat, Pejeng. Penelitian ini menunjukkan bahwa relief naga Pura Subak Wasan melambangkan kesuburan yang merupakan simbol dari tanah, air dan bumi. Kata kunci: relief naga, bentuk dan fungsi.

PENDAHULUAN yang dipahatkan (Ayatrohaedi et al. 1981, 80). Relief merupakan suatu proyeksi Pendapat yang mirip diungkapkan juga oleh sebuah bentuk pada suatu permukaan bidang, Mulyono (1978, 216) dengan penekanan bahwa tempat bentuk tersebut diwujudkan. Relief relief ini sering dipahatkan pada candi yang juga bisa diartikan sebagai hiasan timbul umumnya mengandung suatu maksud atau yang dipahatkan pada sebuah bidang yang melukiskan suatu peristiwa. Selain pada candi, mempunyai latar belakang dan tidak berbentuk relief juga ditemukan dalam karya arsitektur tiga dimensi (Cayne dalam Pringgodigdo berupa petirtaan, gua-gua, punden berundak, 1986, 940). Berdasarkan ilmu arkeologi, relief gapura, dan lain-lain. Relief merupakan diartikan sebagai hiasan dalam bentuk ukiran bagian dari karya arsitektur yang memiliki

Relief Naga di Pura Subak Wasan, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar 155 I Wayan Badra nilai estetika, simbolis-religius dan dapat digunakan sebagai lambang atau simbol di menentukan identitas keagamaan suatu karya berbagai negara, seperti Cina, India, Kamboja, arsitektur (Puslitarkenas 1999, 109). , dan lain-lain. Dalam mitologi Cina, Berdasarkan uraian sebelumnya, naga dianggap sebagai penguasa laut yang dapat diambil batasan bahwa relief adalah bernama Hay-Liong-Ong, sebagai dewa hujan suatu hasil karya seni manusia dalam usaha dan sekaligus sebagai simbol dewa kesuburan menggambarkan sesuatu ide-ide seni yang ada (Smith 1919, 77-78). dalam benaknya yang dicurahkan melalui seni Hiasan naga di Indonesia sering dikaitkan pahat. Dengan demikian, pahatan relief pada juga dengan keagamaan, sehingga sering suatu bidang memperlihatkan ada perbedaan ditemukan pada alat-alat upacara, bangunan kedalaman dan kerendahan, sehingga seolah- suci, dan beberapa tinggalan arkeologi lainnya. olah memperlihatkan demensi dalam yang Selain itu, simbol naga dapat dilihat di daerah sebenarnya. Berdasarkan teknik pahatannya, Sumatera dekat Palembang, yakni pada prasasti relief pada masa klasik di Indonesia secara Telaga Batu. Prasasti tersebut menurut J.G garis besar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu de Casparis diperkirakan sezaman dengan relief tinggi (haut relief), relief sedang (semi prasasti Kota Kapur yang berasal dari abad VII relief) dan relief rendah (bas relief). Relief Masehi (de Casparis dalam Poesponegoro dan tinggi umumnya dipahatkan pada batu yang Notosusanto 1984, 54-57). Relief naga terdapat relatif keras dan seniman dapat memahat juga di kompleks candi , tepatnya figur-figur tokoh dengan kedalaman pahatan di dinding Candi Siwa. Pada arca Siwa di yang diinginkan. Hal ini menyebabkan wujud dalam Candi Siwa tersebut, terdapat pahatan relief terlihat lebih naturalis dan menonjol. mulut naga yang berfungsi sebagai pancuran. Relief sedang adalah relief yang dipahatkan Pahatan tiga ekor naga yang dipahatkan di atas tidak terlalu menonjol, tetapi sisi naturalnya padma juga terdapat pada relief Adiparwa di masih dapat terlihat. Relief rendah umumnya Candi Kidal, Jawa Timur (Poesponegoro dan dipahatkan pada media yang lebih lunak dari Notosusanto 1984. 11). Pada kompleks Candi batu, misalnya bata atau batu kapur yang di Jawa Timur, terdapat salah satu lebih rapuh, sehingga seniman tidak dapat candi yang disebut Candi Naga karena tubuh memahatkan figur-figur relief secara dalam candi tersebut dikelilingi oleh naga (Kempers (Puslitarkenas 1999, 113-114). 1960, 220). Sesungguhnya, naga banyak Naga adalah binatang mitos, tersusun diangkat sebagai simbol keagamaan, khususnya dalam berbagai unsur dan memiliki kemiripan agama Hindu, karena mempunyai peranan yang dengan badan ular, berkepala buaya dan sering sangat penting dan simbol keajaiban pada masa digambarkan berlidah api (Zoetmulder 1977, lalu. Berdasarkan keistimewaan itu, peran naga 103). Pemahaman semacam itu dikaitkan pada masa lalu dan masa kini banyak digunakan dengan karakter naga sebagai ular besar yang sebagai simbol dalam kegiatan agama dan melata. Naga memiliki kemiripan dengan ditempatkan pada bangunan suci. Hal ini dapat bentuk kepala buaya, gigi bertaring, lidah diketahui dari mitologi naga dalam Adiparwa bercabang, barisan sisik di badan, dan ekor yang Kitab Mahabharata yang menceritakan asal- panjang. Dalam filsafat dan mitologi Hindu usul naga. umumnya, kepala naga merupakan bagian yang Dalam ajaran agama Hindu di Bali, paling berbahaya karena terdapat barisan gigi naga banyak diangkat sebagai lambang dan taring yang beracun. Bagian ekor memiliki berfungsi religius. Selain itu, relief naga peran yang penting seperti untuk membelit banyak ditemukan pada bangunan suci di mangsanya, sebagai alat penyeimbang, penanda Bali. Tinggalan arkeologi di Bali masih tetap kekuasaan, dan sumber karismanya. Naga dipuja dan dihormati sampai saat ini karena

156 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 3, November 2015 (155-164) dianggap memiliki nilai magis. Penggunaan pokok bahasan, seperti kepala, badan, dengan relief naga sering digunakan sebagai pratima ekor naga yang telah sesuai atau tidak. yang memiliki nilai sakral dan sering dijumpai Teori fungsional yang dikemukakan juga pada tempat umum yang bersifat profan. oleh Malinowski berupaya mencari fungsi Relief naga ditemukan di beberapa tempat di kebudayaan bagi masyarakat. Menurut Bali seperti: Pura Pusering Jagat Pejeng, Pura Malinowski, tidak ada kebudayaan yang tidak Taman Sari Klungkung, dan beberapa bangunan mempunyai fungsi. Demikian juga halnya relief suci lain. naga yang ditemukan di Pura Subak Wasan Di Situs Wasan, khususnya di Pura Subak tentu mempunyai fungsi religius dan memiliki Wasan, terdapat relief naga yang kini ditempatkan keterkaitan pada masa lalu dengan masa yang pada sebuah bangunan yang disebut palinggih akan datang. Apabila ada unsur kebudayaan piyasan. Alasan pemilihan relief naga dalam yang kehilangan fungsi, maka kebudayaan itu kajian ini, karena ditemukan di lingkungan pura akan lenyap (Malinowski dalam Soemardjan subak dan memiliki keunikan yakni dua buah 1974, 116). Wujud benda yang diciptakan oleh naga saling berbelitan dan kedua ekor bertemu. leluhur pada masa lalu tentu mempunyai makna Adanya temuan arca dewa-dewa agama Hindu dan simbol tertentu. Dengan demikian, teori ini berupa arca Brahma, yang saat ini ditempatkan bertujuan untuk mengetahui fungsi dari relief di Pura Puseh Watunginte, serta lingga dan naga di pura Subak Wasan dan memberikan yoni dan arca Ganesa yang masih ditempatkan pemahaman kepada generasi mendatang agar di Pura Puseh Wasan. Alasan lainnya adalah tinggalan tersebut menjadi panduan dan tetap terkait dengan peradaban masa lalu berupa lestari. temuan sebuah candi dan kolam di kompleks Teori simbol sebagaimana disebutkan Pura Puseh Wasan. Dengan keberadaan relief Triguna (2000, 7) bahwa simbol merupakan seperti tersebut, timbul permasalahan mengenai suatu pengantar pemahaman terhadap objek. bentuk dan fungsi relief naga yang ada di Pura Penggunaan simbol dalam kaitan dengan Subak Wasan. Tujuan penelitian ini adalah upacara ritual juga dikenal masyarakat Bali untuk mengetahui fungsi dan peranan naga. sejak masa prasejarah, seperti hiasan Nekara Selain itu untuk mengumpulkan data tentang Pejeng. Pada masa klasik, bentuk-bentuk simbol filsafat naga, baik untuk kepentingan data dapat ditemukan dalam bentuk kronogram yang arkeologi maupun budaya Bali. Disamping itu mengandung makna penanggalan dan dalam penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi pahatan relief kuno seperti relief naga di Pura kehidupan masyarakat masa silam terkait aspek Subak Wasan. Simbol seringkali memiliki ideologi. makna mendalam yaitu suatu konsep yang Landasan teori yang digunakan sebagai paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. pijakan untuk membedah permasalahan Bentuk simbol dalam agama Hindu tersebut artikel ini adalah teori struktur, fungsional dapat berupa benda, binatang, manusia, atau dan teori simbol. Teori struktur adalah aspek dewa-dewa. Adanya pahatan relief berupa yang menyangkut tentang bentuk dari suatu naga di Pura Subak Wasan tentu memiliki benda. Yang dimaksud struktur disini adalah simbol tentu tidak lagi dianggap sebagai suatu bagaimana bentuk dari hasil ciptaan manusia. binatang yang biasa, tetapi sesuatu yang hidup, Dalam struktur ada dua unsur yang berperan mengandung daya spiritual dan mengandung yaitu penonjolan dan keseimbangan. Yang nilai magis. Dengan adanya nilai magis tersebut, dimaksudkan penonjolan dalam hal ini adalah muncul pemahaman tentang simbol dan fungsi relief naga yang lebih dominan dari bagian pembuatan relief naga sebagai pemahaman yang lainnya. Adapun, keseimbangan yang agar dapat berfungsi secara ritual. Dengan dimaksud adalah perbandingan ukuran objek demikian, penggunaan dan pemakaian simbol

Relief Naga di Pura Subak Wasan, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar 157 I Wayan Badra seperti relief naga dalam kehidupan masyarakat tradisi merupakan upaya pendekatan manusia yang menjalankan tradisi merupakan upaya dengan Tuhan. Adanya bentuk maupun pendekatan manusia dengan Tuhan (Herusatoto simbol relief arca naga di Pura Subak Wasan, dalam Geria 1996, 42). dapat dimanfaatkan sebagai media pemujaan Menurut Pelly (1994, 83), simbol dalam dan sekaligus memberikan kontribusi bagi kajian akademis meliputi berbagai bidang, perkembangan ilmu pengetahuan yang memuat terutama literatur, bahasa, kesenian, politik, eksistensi sosok naga di Bali, seperti dalam ekonomi dan agama. Kadang-kadang sebuah ilmu filsafat, agama, budaya, arsitektur, seni simbol yang kompleks memiliki makna yang rupa maupun seni sastra. sangat sederhana. Demikian pula sebaliknya, sebuah simbol yang sederhana memiliki makna METODE yang kompleks (Walanin 1978, 24). Bagi Levi- Situs Wasan terletak di Dusun Blahtanah, Strauss, budaya pada hakikatnya adalah suatu Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, sistem simbolik atau konfigurasi perlambangan. Kabupaten Gianyar dengan batas wilayahnya Untuk memahami sesuatu perangkat lambang adalah Desa Kemenuh di sebelah timur, Desa budaya tertentu, orang harus lebih dulu Sukawati di selatan, Desa Singapadu di barat, melihatnya dalam kaitannya dengan sistem dan Desa Mas di utara. Secara astronomis, keseluruhan tempat perlambangan itu menjadi situs ini terletak pada 8º33′42.51″ BT dan bagian. Namun ketika Levi-Strauss berbicara 115º16′43.14″ LS dengan ketinggian 113 tentang fenomena kultural sebagai sesuatu mdpl (gambar 1). Bentang alammya berupa yang bersifat simbolik, dia tidak memasalahkan dataran rendah yang landai dan merupakan referen atau arti lambang secara empirik. Yang ia hamparan persawahan yang subur. Wilayah perhatikan adalah pola-pola formal, bagaimana ini terletak di antara dua sungai yaitu Sungai unsur-unsur simbol saling berkait secara logis Wos di sebelah barat dan Sungai Petanu di untuk membentuk sistem keseluruhan (Levi- sebelah timur. Lokasi ini berdekatan dengan Strauss dalam Linggih 2001, 39). Gapura Canggi yang terletak sekitar 500 Dibyasuharda (dalam Triguna 2000, 7) meter ke arah selatan. Metode yang digunakan mengatakan bahwa simbol adalah suatu hal dalam penelitian ini adalah pengumpulan data, atau keadaan yang merupakan pengantaraan analisis, dan penafsiran. Pengumpulan data pemahaman terhadap objek yang tidak terbatas dilakukan melalui studi pustaka, observasi, pada isyarat fisik, tetapi juga berwujud dan wawancara. Observasi dilakukan untuk penggunaan kata-kata. Dari teori struktur yang mendapatkan data primer. Dalam meneliti dipaparkan di atas pada dasarnya bermakna bentuk dan makna relief naga di Pura Subak dalam kaitannya dengan bentuk benda hasil Wasan, observasi hanya bisa dilakukan terhadap ciptaan manusia. Demikian pula teori simbol sebagian muka dan punggung. Studi pustaka pada prinsipnya mengandung arti untuk sesuatu bertujuan untuk mendapatkan data sekunder. yang abstrak dan tanda-tanda perlambangan, Wawancara terhadap tokoh masyarakat seperti arca, pratima, atau relief pada sebuah dilakukan untuk mendapatkan informasi bangunan suci. Kendatipun bentuknya sangat yang tidak diperoleh melalui pengamatan. sederhana berupa relief naga yang terbuat Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya dari batu padas, bentuk-bentuk perlambangan adalah analisis data. Kegiatan analisis ini tersebut masih difungsikan dan sangat berharga memperhatikan bentuk dan makna objek bagi masyarakat sekitarnya, khususnya Krama penelitian. Analisis ini dilengkapi juga dengan Subak. Dengan demikian, penggunaan dan studi komparatif terhadap relief naga di tempat pemakaian simbol seperti relief naga dalam lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih kehidupan masyarakat yang menjalankan lengkap.

158 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 3, November 2015 (155-164) Gambar 1. Peta lokasi Pura Subak Wasan. (Sumber: www.maps.google.com)

HASIL DAN PEMBAHASAN belitannya tampak rapat, mulutnya tertutup, Relief naga di Pura Subak Wasan dan matanya melotot (gambar 2). ditempatkan pada sebuah bangunan yang Terdapat keterkaitan antara relief naga disebut piyasan. Sebelumnya, relief naga di Pura Subak Wasan dengan bangunan ini merupakan temuan lepas yang diduga suci terutama candi yang berdiri megah dan pernah ditempatkan dan menempel pada menunjukkan adanya karakter peradaban suatu bangunan. Relief ini dipahatkan pada masyarakat masa lalu dalam kaitannya dengan batu padas dalam satu panil, hanya saja tidak keyakinan agama yang dianut, yaitu agama tampak barisan sisiknya. Relief ini terdiri atas Hindu. Selain itu, temuan bangunan candi yang dua ekor naga yang saling berbelit dan saling sudah purnapugar, ternyata dapat difungsikan membelakangi. Posisi kedua kepala naga sebagai stana Dewa Siwa dengan perkiraan berada di atas belitan badan dan ekor berada di temuan lingga yoni sebagai simbol Dewa Siwa belakang pundak. Relief ini berada di atas lapik yang ditempatkan di ruang utama candi (Badra yang berhiaskan model huruf T bolak-balik dan Rema 2014, 25-26). Lingga yoni tersebut yang di Bali dikenal dengan istilah ragam hias pada masa lalu dirancang berpasangan, ketika mesir. Kondisi relief agak aus, tetapi masih lingga dilakukan pemujaan dan disiram dengan dapat diamati, seperti bagian kepala, punggung, air, kemudian setelah mengalir melalui yoni, lalu dan sebagian ekor. Ukuran relief naga tersebut airnya ditampung, dipergunakan sebagai . adalah panjang 66 cm, lebar 22 cm, tinggi Air atau tirtha ini digunakan untuk memohon relief 7 cm, dan tinggi lapik 7 cm. Relief ini kesuburan dan dipercikkan ke masing-masing dalam keadaan terlepas sehingga bentuknya sawah milik Subak Wasan (vir Singh 2007, dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu sisi samping 127). Demikian pula, naga sering digunakan kiri, samping kanan, dan atas. Deskripsi sebagai simbol kesuburan atau berhubungan bentuk relief naga ini adalah muka dan belitan dengan air, dan sering dihubungkan juga dengan kedua ekornya saling membelakangi sehingga Dewi Sri sebagai dewi kesuburan (Zimmer

Relief Naga di Pura Subak Wasan, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar 159 I Wayan Badra Gambar 2. Relief naga Pura Subak Wasan. (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar)

1972, 59). Disebutkan dalam Sudamani, bahwa kesuburan. Demikian juga fungsi Pura Subak lingga itu adalah sebagai lambang pemujaan nampaknya mempunyai keterkaitan dengan terhadap Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu, dan memohon kesuburan, terutama pertanian, Siwa, serta yoni-nya adalah lambang bhumi khususnya tanaman padi yang merupakan atau dunia materi. Temuan sekitar Pura Subak sumber kehidupan petani, karena padilah yang Wasan menunjukkan adanya relevansi dengan memberikan kemakmuran. Rupanya relief temuan lainnya seperti candi, yang ternyata naga di Pura Subak Wasan sangat berkaitan dapat difungsikan sebagai stana Dewa Siwa. dengan kesuburan, mengingat naga sebagai Dalam kaitannya dengan pendirian bangunan simbolisasi tanah, air dan bumi. Selain itu suci, terutama di Situs Wasan, sumber mata sumber-sumber bahan makanan berasal dari air atau tirtha adalah syarat mutlak dari suatu bumi. Untuk mendapatkan gambaran yang bangunan suci (Kramrisch 1946, 5). Dengan lebih luas tentang keberadaan relief naga di demikian, adanya kolam di Situs Wasan Pura Subak Wasan, maka dilakukan komparasi mengacu juga pada konsep tersebut, selain dari dengan relief lainnya seperti relief bejana di situasi Situs Wasan sekarang yang lokasinya Pura Puseringjagat, Pejeng, Gianyar. Bejana ini berdekatan dengan sumber air. Kolam tersebut terbuat dari batu padas yang berbentuk silinder. merupakan tempat penampungan air, sekaligus Pada sisi luar bejana dipahatkan delapan ekor difungsikan dalam proses penyelesaian upacara naga sedang membelit gunung Mandara dan di pura bersangkutan. Rupanya tanpa air atau muka bertemu muka dan ekor bertemu ekor tirtha, upacara belum bisa terlaksana dalam dalam satu panil. Sebagimana diketahui relief ini persembahyangan. Apabila belum diperciki adalah penggalan dari cerita Mahabharata yang air suci, rasanya pikiran belum merasa damai, sangat terkenal, tetapi yang ditampilkan adalah bersih, atau suci. Dengan demikian, air kolam bagian khusus, yaitu cerita tentang usaha para tersebut mempunyai peranan sebagai pembersih dewa untuk mendapatkan air kehidupan atau dan penyucian lahir batin. Keberadaan relief tirtha amerta. Cerita ini lebih dikenal dengan naga di Pura Subak Wasan tidak terlepas juga sebutan pemuteran Mandara Giri. Masyarakat dengan tanah, air, dan bumi, karena dari bumi setempat menamakannya Sangku Sudamala. segala sesuatu lahir karena bumi diyakini Sesungguhnya, wadah yang disebut Sangku sebagai sumber kesuburan. Karena itulah naga Sudamala adalah sebuah wadah air suci atau juga sebagai simbolisasi bumi dan simbol tirtha yang terbuat dari tembaga untuk ritual

160 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 3, November 2015 (155-164) ruwatan yang pada bagian luarnya terdapat dan Sang Hyang Naga Taksaka (gambar 3). relief yang menceritakan kisah Sudamala. Ketiganya memiliki tempat suci tersendiri di Secara rinci, relief naga yang ditemukan Pura Besakih. Perwujudan ketiga naga tersebut di Pura Puseringjagat digambarkan sebagai didasari atas sumber-sumber tertulis sastra berikut. Masing-masing pertemuan ekor ular agama Hindu dan tradisi lisan yang berkembang naga terdapat asana dan di atasnya duduk di Bali. Sang Hyang Naga Anantabhoga ber- seorang tokoh dewa. Badan naga itu dipikul stana di Pura Bangun Sakti, Sang Hyang oleh delapan dewa dan kakinya melangkah di Naga Basuki ber-stana di Pura Besikian, dan dalam air laut, seolah-olah memutar gunung. Sang Hyang Naga Taksaka ber-stana di Pura Bagian bawah dari bejana ini dihias dengan Pengubengan. Ketiga Naga ini kemudian bunga teratai dan di antara dari daunan bunga bertemu di Pura Goa Raja (Redig 2012, 44-45). itu ada bingkai dengan pahatan candrasengkala Lontar Siwagama menceritakan bahwa Bhatara yang memiliki arti angka tahun 1251 Saka atau Siwa dan Dewi Uma menciptakan alam semesta 1329 Masehi (Kempers 1960, 61-63). Bentuk dengan segala isinya seperti tumbuh-tumbuhan, relief Sangku Sudamala ini sangat baik dan binatang, dan manusia. Manusia memanfaatkan unik karena mengandung nilai-nilai pendidikan isi alam, kemudian dalam perkembangannya dan nilai filsafat yakni tentang pencarian air menjadi semakin serakah dan mengeksploitasi kehidupan atau tirtha amerta yang didasarkan isi alam sehingga terjadi kerusakan alam rasa gotong yorong dan kebersamaan untuk yang parah. Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa kepentingan kesuburan. yang disebut dengan Trimurti sangat prihatin Selain itu, terdapat tiga arca naga yang dengan keadaan ini sehingga Dewa Brahma disebut dengan nama Sang Hyang Naga Tiga turun ke bumi dengan menjelma sebagai Naga di Pura Goa Raja Besakih, yaitu Sang Hyang Anantabhoga yang tinggal di dalam tanah. Naga Anantabhoga, Sang Hyang Naga Basuki Penjelmaan Dewa Brahma menjadi Naga

Gambar 3. Arca Naga Anantabhoga, arca Naga Basuki dan arca Naga Taksaka, di Pura Goa Raja, Besakih. (Sumber: Dokumen Paramadhyaksa)

Relief Naga di Pura Subak Wasan, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar 161 I Wayan Badra Anantabhoga menyebabkan tanah kembali pembuatan meru tersebut dijiwai oleh falsafah menjadi subur. Selanjutnya, Dewa Wisnu yang terdapat dalam cerita Samudramanthana menjelma menjadi Naga Basuki dan tinggal di (gambar 4). Dengan demikian relief naga di laut yang menggerakkan laut sampai menguap Pura Taman Sari berasal dari cerita Adiparwa menjadi mendung, kemudian menjadi hujan. yaitu parwa pertama dari Mahabarata. Adiparwa Dewa Iswara yang dikenal sebagai dewa angin yang menceritakan pencarian Tirtha Amertha menjelma menjadi Naga Taksaka yang bersayap atau air kehidupan dan kesuburan. dan tinggal di angkasa sebagai udara (Wiana Di kompleks Candi Penataran, yakni 2004, 134-135). Dari ketiga naga tersebut pada halaman tengah, terdapat bangunan yang merupakan simbol dari tiga unsur alam, yaitu disebut dengan Candi Naga. Candi ini hanya tanah, air, dan udara. Meskipun ketiga naga tersisa pada bagian kaki dan badannya saja. yang dijadikan perbandingan memiliki bentuk Nama Candi Naga digunakan untuk menamakan berbeda dan berukuran lebih besar, ketiganya bangunan ini karena tubuh candi dililit oleh relief mempunyai kesamaan fungsi dengan relief naga dan disangga oleh tokoh-tokoh berbusana naga di Pura Subak Wasan. Dengan demikian, raya, seperti raja sebanyak sembilan buah. keberadaan tiga naga di Pura Goa Raja, Besakih Masing-masing tokoh ini berada di sudut-sudut memiliki fungsi sebagai simbolisasi tanah, air, bangunan, bagian tengah ketiga dinding, serta di bumi, dan sekaligus sebagai simbol kesuburan. sebelah kiri dan kanan pintu masuk. Salah satu Penggambaran naga ditemukan juga pada tangan tokoh ini memegang genta atau lonceng meru bertingkat 11 yang terdapat di Pura Taman upacara dan tangan yang lainnya menopang Sari Klungkung. Pura ini terletak di Desa tubuh naga yang melingkar di bagian atas Sengguan, Kecamatan Klungkung, Kabupaten bangunan, dalam keadaan berdiri, serta menjadi Klungkung. Badan meru tersebut dibelit oleh pilaster bangunan. Tokoh-tokoh dan relief naga seekor naga dengan posisi kepala dan ekornya yang ditampilkan di Candi Penataran, terutama berada di depan pintu masuk bilik meru, serta Candi Naga, mengingatkan dengan mitologi bagian kaki meru dikelilingi oleh kolam. Dengan Samudramanthana. Candi tersebut diibaratkan adanya hiasan seperti tersebut, dapat diduga Gunung Mahameru atau Gunung Mandara

Gambar 4. Arca Naga di Pura Taman Sari Klungkung. (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar)

162 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 3, November 2015 (155-164) yang dipakai untuk mengaduk lautan susu atau Badra, I Wayan dan I Nyoman Rema. 2014. ksirarnawa untuk mendapatkan amerta atau air “Ekskavasi Arkeologi Situs Wasan, Dusun kehidupan (Sedyawati et al. 2013, 238). Blahtanah, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Cerita dan filosofi naga yang disebutkan Sukawati, Gianyar Tahap XXI.” Laporan di atas dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk Penelitian Arkeologi, Balai Arkeologi Denpasar, Denpasar mendapatkan air kehidupan atau tirtha amerta. Geria, I Made. 1996. “Ganesa dalam wujud simbol Penafsiran ini tidak terbatas pada aspek-aspek di Bali.” Forum Arkeologi 00 (2): 00-00. fisik saja, tetapi juga melalui penggunaan karya- Kramrisch, Stella. 1946. The . karya sastra dan mitologi. Dari paparan tersebut Calcutta: University of Calcutta. di atas, ketiga relief naga yang dijadikan Kempers, A.J. Bernet. 1960. Bali Purbakala: perbandingan, tampaknya memiliki kesamaan Petunjuk Tentang Peninggalan-Peninggalan fungsi, yaitu untuk memohon kesuburan dan Purbakala di Bali. Djakarta: P.T. Penerbit kesejahteraan. Meskipun masing-masing dan Balai Buku Ichtiar. relief naga di Pura Taman Sari Klungkung, Linggih, I Nyoman. 2001. “Patung Dewa Ruci Candi Naga, relief naga pada bejana di Pura Dipersimpangan Jalan Anteri - Puseringjagat, Pejeng, Gianyar, dan Situs : Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna.” Tesis, Program Pascasarjana, Wasan memiliki bentuk yang berbeda, tetapi Universitas Udayana. memiliki peran dan fungsi yang sama, yaitu Mulyono, Sri. 1979. Wayang, Asal-usul, Filsafat untuk memohon kesuburan dan kesejahteraan. dan Masa Depannya. Jakarta: P.T. Gunung Agung. KESIMPULAN Pelly, Usman. 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Pahatan relief naga di Pura Subak Wasan Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud. digambarkan berupa dua ekor naga yang saling Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto. berbelit, saling membelakangi, dan berada 1984. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: dalam satu lapik. Berdasarkan bentuknya, Balai Pustaka. pahatan relief naga tersebut tidak dalam, Pringgodigdo, A.G. 1986. Ensiklopedi Umum. sederhana, pipih, dan memanjang. Relief Bandung: NV. Van Haves Gravenhage. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas). tersebut memiliki nilai-nilai simbolis, identitas, 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: jati diri, dan religius. Selain nilai tersebut, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. relief naga di Pura Subak Wasan diyakini Redig, I Wayan. 2012. “Pemaknaan Tinggalan memiliki simbol tanah, air, dan bumi karena Arkeologi Pura Besakih dalam Kontek dari ketiga unsur ini menghasilkan kesuburan. Penguatan Jati Diri Bangsa.” Dalam Dengan demikian, relief naga di Pura Subak Arkeologi Untuk Publik, disunting oleh Wasan memiliki fungsi untuk kepentingan Supratikno Rahardjo, Widiati, Lien D.R., kesuburan dan kesejahteraan. Hal ini dapat Isman Pratama N., Ali Akbar, dan Shalihah terlihat dari area kompleks Pura Subak Wasan S.P, 41-59. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. yang dikelilingi oleh beberapa pepohonan dan Sedyawati, Edi, Hariani Santiko, Hasan Djafar, tanaman persawahan yang sangat subur, serta dan Ratnaesih Maulana. 2013. Candi Indonesia Seri Jawa. Jakarta: Direktorat air yang berlimpah. Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. DAFTAR PUSTAKA vir Singh, Dharam. 2007. Hinduisme: Sebuah Ayatrohaedi A.S, Wibowo, Edhi Wurjantoro, Hasan Pengantar. Alih bahasa oleh I. G. A. Dewi Djafar, Nurhadi Magetsari, dan Sumarti Paramitha. Surabaya: Penerbit Paramita. Nurhadi. 1978. Kamus Istilah Arkeologi I. Smith, G. Elliot. 1919. The Evolution of The Dragon. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan London: Longmans, Green & Company. Bahasa Depdikbud.

Relief Naga di Pura Subak Wasan, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar 163 I Wayan Badra Triguna, Ida Bagus Gede Yuda. 2000. Teori Tentang Zoetmulder,P.J. 1982. Kalangwan: Sastra Jawa Simbol. Denpasar: Widaya Dharma. Kuno Selayang Pandang. Jakarta: PT. Walanin, Adam SJ. 1978. Ritus Ritual Symbol and Gramedia. Their Interpretation In The Writings Of W. Zimmer, Heinrich. 1972. Myths and Symbols in Tunerner. Phenomenological Study. Roma: Indian Art and Civilization. Disunting oleh Typis Pontificae University Gregorianae. Joseph Campbell. New Jersey: Princeton Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yajna Dalam University Press. Agama Hindu. Jilid II. Surabaya: Penerbit Paramita.

164 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 3, November 2015 (155-164)