BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Sejarah Kesenian Anam Salido

Talempong adalah jenis alat musik perkusi khas berbentuk seperti gong kecil atau bonang pada gamelan jawa yang umurnya sudah tidak bisa dideteksi lagi. Jika dilihat dari tambo Minangkabau, talempong ini telah ada saat orang Minagkabau masih berada di daerah Luhak Nan Tigo atau lebih tepatnya pada luhak Agam. Kala itu talempong digunakan untuk menunggu embun pagi hilang sehingga menandai dimulainya kegiatan bertani dan berkebun. Hal ini disebabkan karena nenek moyang orang Minangkabau dulunya hidup di lereng gunung Merapi di Provinsi Sumatera Barat.

Cerita tambo ini masih dipercaya menjadi referensi wajib dalam setiap penulisan mengenai Minangkabau. Namun, informasi tertulis mengenai tambo selama ini belum detail. Oleh karena itu, diperlukan arsip atau dokumen lain untuk membuktikan kebenaran tambo. Arsip pertama yang ditemukan adalah dokumen proyek pengembangan ASKI Padang Panjang tahun 1983. Dokumen ini menjelaskan masyarakat Minangkabau juga memainkan talempong ketika beristirahat makan siang di perkebunan atau persawahan. Diawali dengan seseorang yang meniup batang padi yang telah matang yang kemudian dinamakan pupuik batang padi. Sementara seorang lainnya memainkan dulang atau nampan sebagai alat musik pukulnya. Selanjutnya beberapa orang memukul piring dengan pola ritem yang berbeda-beda tetapi begitu selaras dan teratur. Inilah yang disebut batalempong oleh orang Minangkabau (Padek & Sulaiman, 1983: 1-2).

65

Setelah musim panen, masyarakat Minangkabau mengadakan pesta sebagai wujud rasa syukur mereka kepada yang maha kuasa atas segala nikmat dan karunianya. Tentunya pesta itu menggunakan talempong sebagai hiburan.

Kegiatan ini berlangsung berabad-abad lamanya, sehingga telah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Minangkabau. Seiring berjalannya waktu, kesenian talempong juga digunakan dalam berbagai upacara adat antara lain upacara perkawinan, upacara batagak penghulu, upacara batagak , upacara panen padi, dan penyambutan tamu dalam acara resmi pemerintahan.

Dokumen itu ternyata masih berlandaskan tambo Minangkabau tentang cerita Pariangan yang dahulu disebut Parhurungan. Pada masa itu nagari mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik sumber daya alam, infrastruktur, maupun manusianya. Niniak Sri Maharaja Diraja beserta bawahannya membuat permainan anak nagari seperti pencak , tari payung, dan berbagai macam alat musik seperti oguang, talempong, gandang, sarunai, rabab, maupun kecapi. Oleh karena nagari ini semakin ramai permainan anak nagarinya, niniak Sri Maharaja Diradja mengubah nama nagarinya menjadi

Pariangan yang berarti periang (Ibrahim, 2018: 11).

Menurut Syeilendra (2010: 5) sejarah alat musik talempong itu dibagi atas dua sumber, yaitu unsur foklor dan unsur sejarah kedatangan talempong. Menurut unsur foklor, talempong bersumber dari “tambo’. Selain cerita nagari pariangan, ternyata terdapat versi yang lain dari unsur foklor ini: talempong dibawa nenek moyang Minangkabau dari India. Hal itu dipercayai sebagai keturunan Sultan

Iskandar Zulkarnain.

66

Mansoer melalui Syeilendra (2010: 6) menyatakan kedatangan nenek moyang orang Minang terbagi menjadi dua temuan. Pertama, bangsa yang pertama kali datang dan mendiami alam Minangkabau adalah bangsa Austronesia

(Melayu Polinesia). Bangsa ini disebut juga sebagai Melayu tua yang datang secara bergelombang dari daratan Asia Tenggara dalam ikatan keluarga menggunakan perahu bercadik. Diperkirakan kedatangan mereka dimulai sejak tahun 2000 SM. Mereka adalah pendukung kebudayaan neolitikum (zaman batu baru), dengan ciri-ciri utama antara lain pertanian, peternakan, dan menganut adat matrilineal. Hal ini diyakini karena adanya talempong batu dari nagarai Talang

Anau di kabupaten lima puluh kota, Sumatera barat.

Kedua, sekitar tahun 500-300 SM, datang sebuah bangsa baru ke

Minangkabau dari daratan Asia Tenggara. Mereka adalah bangsa yang serumpun dengan Austronesia. Bangsa ini disebut Proto Malay atau bangsa Melayu muda.

Mereka merupakan pendukung kebudayaan perunggu. Mereka juga datang secara bergelombang membawa keluarga. Bukti kebudayaan yang mereka bawa adalah dengan ditemukan sebuah bejana perunggu berbentuk periuk besar di daerah

Kerinci. Pencampuran antara Malayu tua dan Melayu muda itu menurunkan keturunan nenek moyang suku bangsa Minangkabau. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pada zaman perunggu inilah talempong dibawa nenek moyang Minangkabau ke daerah Sumatera Barat.

Sementara di Nagari Salido, Kabupaten Pesisir Selatan, menurut Gusman, talempong memasuki daerah Pesisir Selatan sekitar tahun 60-an. Karena pada tahun 60-an ke 70-an sasaran sudah didirikan. Dulu namanya bukan sanggar,

67 melainkan sasaran. Sasaran adalah tempat berkumpul. Sama fungsinya dengan sanggar. Jadi, setiap sasaran itu memiliki kesenian talempong (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1a N3). Pernyataan ini merujuk pada talempong yang digunakan sampai sekarang ini dengan bahan dasar pembuatannya dari logam.

Jauh sebelumnya, pada masa kerajaan-kerajaan rantau Minangkabau di

Pesisir Selatan, kesenian ini dimainkan untuk helatan raja-raja. Bentuk talempong pada masa itu pun berbeda dengan bentuk talempong sekarang. Memang benar di

Kabupaten Pesisir Selatan terdapat sebuah kerajaan suku melayu. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan reruntuhan dan makam raja-raja yang masih terjaga sampai sekarang. Selain itu, sultan dari kerajaan ini juga masih hidup sampai sekarang. Kerajaan ini dikenal dengan kesultanan Indrapura yang terletak di Nagari Muaro Indrapura (Indopuro). Menurut arsip mengenai cagar budaya Pesisir Selatan, kerajaan ini adalah salah satu kerajaan Islam yang ada di

Pulau Sumatera dan pernah menjadi bawahan (vazal) Kerajaan Pagaruyung

(Deskripsi cagar budaya tidak bergerak: 2018). Meskipun demikian, pada sistem pemerintahannya, kerajaan ini berdiri sendiri dan bebas mengatur urusan pemerintahannya.

Sistem birokrasi pemerintahan di Kesultanan Inderapura dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama adalah sistem pemerintahan kerajaan lama yang berlangsung dari abad IX (9) SM hingga abad XVI (16) M. Fase kedua, masa pemerintahan kesultanan sejakabad XVI (16) M hingga abad XIX (19) M. Sedangkan Fase ketiga adalah masa pemerintahan keregenan yang berangsung sejak abad XIX

68

(19) M hingga awal abad XX (20) M. Kesultanan Inderapura sejak dipimpin oleh

Sultan Sekelab Dunia yang bergelar Sultan Iskandar Johan Berdaulat Syah. Pada awal abad ke-16 M resmi berganti menjadi kesultanan. Sebagai kerajaan Islam, terdapat dua raja yang terkenal karena alim: Sulthan Mohammad Arifin Syah

Gelar Sulthan Mohammadsyah (1840-l860), Sulthan Mohammad Bakhi, Gelar

Sulthan Firmansyah Raja Terakhir di Inderapura (1860-1891).

Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Nurival bahwa, pada masa itu seluruh nagari diberi titah untuk menampikan seluruh permainan anak nagari seperti silat

(silek), talempong, , rebab (rabab pasisia), dan tari-tarian. Saat itu bentuk alat musik talempong belum seperti sekarang. Talempong pada saat itu terbuat dari sayak (kulit kelapa) (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1a N5). Artinya dahulu kesenian ini telah ada pada masa kesultanan

Indrapura. Kesenian talempong anam salido menggunakan alat musik yang murni berasal dari alam. Hal tersebut sesuai dengan falsafah orang Minang, yakni “alam takambang jadi guru”.

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa kesenian talempong anam salido sudah sangat tua. Karena bentuk talempong yang digunakan dahulunya bukanlah talempong yang terbuat dari logam atau perunggu seperti saat ini. Jika peradaban perunggu dibawa pada masuk ke Minangkabau sekitar tahun

500-300 SM. Artinya, kesenian ini telah ada sebelum masa peradaban perunggu di

Minangkabau. Sesuai dengan yang diceritakan Gusman, bahwa dulu talempong ini dibawa oleh ayah saya ketika beliau mengawasi padinya. Saat itu saya bertanya kepada beliau: talempong ini siapa yang membuatnya, Pak? Beliau

69 menjawab orang Padang Panjang yang membuatnya di Aua Kuniang.” Kalau sekarang daerah itu disebut Pandai Sikek. Di situlah orang yang pandai membuat talempong kuning ini. Lalu beliau menambahkan, “Sebelum saya lahir pun, talempong ini memang sudah ada. Sedangkan beliau lahir tahun 1925, talempong ini memamang sudah ada. Sementara saya lahir tahun 1970.” (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 7 dengan kode L7 T1c N25 dan L7, T1c, N27).

Pernyataan ini merujuk kepada tambo Minangkabau seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Bahwasanya asal usul seluruh kesenian Minangkabau berasal dari Pariangan. Jika disimpulkan menurut perspektif ini kesenian talempong memang sudah ada sejak orang Minangkabau masih menempati wilayah Luhak Nan Tigo. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan pembagian wilayah Minangkabau: wilayah darek (darat), wilayah rantau, dan wilayah pasisia (pesisir). Wilayah darek merupakan daerah Luhak Nan Tigo, yaitu daerah asal orang Minangkabau. Luhak terbagi tiga antara lain Luhak Tanah Data, Luhak

Agam, dan Luhak Limo Puluah Kota.

Wilayah Luhak Tanah Data terdiri atas Pagaruyung, sungai Tarab, Limo kaum, Sungayang, Saruaso, Sumani, Padang Gantiang, Batu Sangkar, Batipuh 10

Koto, Lintau Buo, Sumpur Kudus, Duo Puluah Koto, Koto Nan Sambilan,

Kubang Tigo Baleh, Koto Tujuah, Supayang, Alahan Panjang, dan Ranah Sungai

Pagu. Pada gilirannya, masyarakat daerah Luhak Tanah Data ini menyebar, sehingga membentuk wilayah baru yang disebut wilayah rantau (Sjarifoedin,

2014: 35). Artinya, wilayah rantau adalah wilayah tempat menyebarnya masyarakat luhak.

70

Rantau Luhak Tanah Data terbagai menjadi tiga antara lain Rantau Nan

Kurang Aso Duo Puluah, Rantau Pasisia Panjang, dan daerah Ujuang Darek.

Sementara Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah terdiri atas Lubuak Ambacang,

Lubuak Jambi, Gunuang Koto, Beani, Pangian, Basra, Sitanjua, Kopa, Taluak

Ingin, Inuman, Surantiah, Taluak Rayo, Simpang Kulayang, Ayia Molek, Pasia

Ringgit, Kuantan, Talang Mamak, dan Kualo Touk. Rantau Pasisia Panjang

(Rantau Banda Sapuluah) terdiri atas Batang Kapeh, Kuok, Surantia, Ampiang

Parak, Kambang, Lakitan, Punggasan, Ayia Haji, Painan Banda Salido, Tarusan

Tapan, Lunang, Silauik, Indropuro. Nagari Salido merupakan salah satu nagari dari daerah Rantau Pasisia Panjang.

Berdasarkan data di atas dapat ditegaskan kesenian talempong anam salido telah ada sejak zaman bangsa melayu tua (Melayu Polinesia) di Rantau Pasisia

Panjang, tepatnya pada pada masa kerajaan lama kesultanan Inderapura, Melayu

Air Pura. Setelah memasuki zaman perunggu yang dibawa oleh bangsa Melayu muda (Proto Melayu) dan bercampurnya antara kedua bangsa ini diseluruh wilayah Minangkabau, maka bentuk talempong mengalami transformasi, khususnya talempong dari Nagari Salido. Kulit kelapa yang digunakan sebagai talempong pada kesenian talempong anam salido diganti menjadi alat musik berbentuk gong kecil yang terbuat dari perunggu. Alat musik ini memasuki

Kabupaten Pesisir Selatan melalui persebaran penduduk dari Luhak Nan Tigo tepatnya Luhak Tanah Data. Inilah yang menjadi bentuk talempong yang dikenal oleh orang zaman sekarang.

71

B. Struktur Kesenian Talempong Anam Salido

Struktur kesenian talempong anam salido diciptakan oleh masyarakat

Nagari Salido untuk segala keperluan adatnya. Pada strukturnya terbagi menjadi dua yaitu, struktur luar (surface structure) dan struktur dalam (deep structure).

Struktur luar (surface structure) pada kesenian talempong anam salido adalah unsur-unsur yang terdapat pada pertunjukannya. Unsur-unsur itu terdiri atas alat musik dan pola permainannya. Menurut Gusman alat musik yang digunakan terdiri atas enam talempong yang dibagi menjadi tiga pasang, pupuik katopong dan katindiak kapalo duo (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1c N37). Gusman juga mengatakan pola permainannya terdiri dari pola kacimpuang mandi yang dimainkan oleh talempong satu tigo, pola siamang tagagau yang dimainkan oleh talempong duo tigo, pola lenggang karayia yang dimainkan talempong tigo tigo, pola malangua langua, dan pola katindiak kapalo duo (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 7 dengan kode L7 T1a N1).

Struktur dalam (deep structure) adalah asosiasi yang terkandung dibalik struktur luar dari kesenian talempong anam salido. Struktur dalam pada kesenian talempong anam salido berupa makna, fungsi, dan nilai karakternya.

Hubungan paradigmatik pada struktur kesenian talempong adalah relasi vertikal antar instrumen musik talempong anam salido. Relasi ini adalah representasi dari struktur masyarakat Nagari Salido. Hal itu dikarenakan masing- masing unsur pada struktur alat musik kesenian ini menyimbolkan satu golongan atau satu elemen masyarakat Salido. Sedangkan hubungan sintagmatik pada kesenian ini adalah relasi antar instrumen kesenian talempong anam salido yang

72 bergerak secara horizontal. Hubungan sintagmatik ini juga merupakan representasi sosial budaya masyarakat Nagari Salido. Dengan kata lain, hubungan ini membentuk sebuah dialektika.

. Setiap pola musik itu dibangun oleh beberapa unsur musik yaitu, ritme, melodi, dan harmoni. Ritme membentuk keberaturan, melodi membentuk sebuah lagu, dan harmoni membuat pola-pola dalam kesenian ini menjadi selaras. Relasi pada unsur-unsur musik kesenian talempong anam salido merupakan hubungan sintagmatik pada pola musik talempong anam salido yaitu, hubungan antar not

(kata) pada partitur musik secara horizontal. Relasi sintagmatik pola musik ini berbeda-beda tiap instrumennya. Oleh karena itu, setiap instrumen memiliki rangkaian sintagmatiknya tersendiri. Hubungan sintagmatik pola musik tersebut mengacu kepada konsep adat Nagari Salido. Hubungan paradigmatik pada pola musik ini adalah pemilihan pola pada garapan musik kesenian ini. Dengan kata lain, relasi ini adalah relasi antara pola semua instrumen pada kesenian ini. Relasi inilah yang memberi identitas kesenian talempong dari Nagari Salido. Oleh sebab itu, disebut sebagai kesenian talempong anam salido.

Penamaan nada talempong anam salido menggunakan bahasa Nagari

Salido. Jumlah nadanya terdiri atas enam nada: ciek (satu), duo (dua), tigo (tiga), ampek (empat), limo (lima), dan anam (enam). Nada-nada ini di ukur langsung pada enam talempong menggunakan aplikasi fine cromatic tuner di smartphone.

Berikut hasilnya dipaparkan pada tabel 5.

73

Tabel 5. Hasil pengukuran nada talempong anam salido

Nada Nada pada Frekuensi Interval talempong tuner (Hz) (Cent) anam salido Ciek C 259,4 -34 Duo D 286,2 -32 Tigo D# 317,3 59 Ampek E 334,6 69 Limo F 352,5 65 Anam A# 118,9 68

1. Struktur Luar (Surface Structure) Talempong Anam Salido

a. Pola Kacimpuang Mandi

Pola kacimpuang mandi adalah nama dari pola musik pasangan

talempong pertama pada kesenian talempong anam salido yaitu, talempong

satu tigo. talempong satu tigo menjadi pola dasar dalam ensambel musik

talempong anam salido. “Dasar” dalam ensambel talempong adalah sebuah

landasan bunyi bagi alat musik lainnya. Pola yang dimainkan pada

talempong ini menjadi tumpuan bagi alat musik lainnya. Talempong ini

disebut talempong satu tigo (tiga) karena pada teknik manggua

(memukulnya) dilakukan secara vertikal dari talempong bawah ke

talempong atas (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode

L4 T1c N41). Inilah yang disebut hubungan paradigmatik oleh Levi-Staruss

pada talempong satu tigo, yaitu hubungan antara nada tigo dan nada anam

yang dimainkan secara vertikal.

Penulisan notasi talempong satu tigo menggunakan model notasi

balok musik barat. Namun nada, ritme, dan melodinya disesuaikan dengan

74 rekaman langsung talempong satu tigo. Sehingga penulisan partiturnya tidak mengikuti aturan musik barat.

Gambar 8. Pola kacimpuang mandi

Penentuan nada pada talempong ini berdasarkan pengukuran dengan fine cromatic tuner. Hasilnya nada pada talempong satu tigo (tiga) ini adalah D# (dis) dengan frekuensi 317,3 Hz, 59 Cent pada talempong yang dibawah dan A# (ais) dengan frekuensi 118,9 Hz, 68 Cent. Nada tigo sama dengan D# dan nada anam sama dengan A#. Berdasarkan pengukuran inilah nada pada talempong satu tigo (tiga) bisa ditulis dengan notasi balok musik barat menggunakan software Sibelius 7.

Pada pola talempong satu tigo terdiri dari beberapa unsur nada yaitu dua nada, dua motif dan membentuk frase. Kemudian melakukan repetisi secara terus-menerus, sehingga terbentuklah ritme. Frase pada talempong ini adalah frase antiseden tanpa adanya frase konsekuen. Artinya pada pola permain talempong ini belum sempurna. Inilah yang menjadi hubungan sintagmatik dari beberapa unsur nada inilah yang membentuk sebuah pola yang disebut talempong satu tigo. Hubungan sintagmatik pada talempong satu tigo terdiri dari hubungan antara kata (not) di depan dan dibelakangnya sehingga membentuk sebuah ritme yang disebut “gua kacimpuang mandi”.

75

Yang dimaksud kacimpuang mandi adalah bunyi yang dihasilkan ketika menepuk permukaan air menggunakan telapak tangan saat mandi di sungai.

Sehingga talempong ini disebut juga pupuik mandi atau talempong mandi oleh masyarakat setempat.

Penamaan pada talempong ini adalah simbol dari ekologi alam Nagari

Salido itu sendiri. Alam Nagari Salido diapit oleh pegunungan dan lautan, sehingga terdapat banyak sungai di pegunungannya dan lautan Samudra

Hindia. Maka dari itu sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Salido dan sekitarnya untuk berenang dan mandi di laut dan sungai pada sore hari atau ketika menyambut hari-hari besar. Salah satu tradisi mandi ini seperti yang diberitakan oleh tim redaksi haluan (17 Mei 2018), setiap memasuki bulan suci Ramadan, kegiatan balimau paga masih menjadi tradisi yang unik di

Kabupaten Pesisir Selatan. Sebab, tradisi ini bukan hanya sebagai wadah kekayaan adat dan budaya saja, namun lebih kepada mempererat tali silatuhrahmi antar sesama muslim.

Gambar 9. Tradisi balimau paga (Dokumentasi: Muhammad Irfan, 2018)

76 b. Pola Siamang Tagagau

Menurut Gusman siamang tagagu juga merupakan jenis pola musik yang dimainkan pada pasangan talempong kedua pada kesenian talempong anam salido yaitu, talempong duo tigo (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1c N39). Sama halnya seperti talempong satu tigo, penamaan pada talempong ini berasal dari teknik permainannya juga.

Pada teknik permain talempong ini yaitu dengan manggua talempong yang dibawah tiga kali kemudian manggua talempong yang diatas dua kali.

Hubungan paradigmatik pada talempong ini adalah relasi secara vertikal antara talempong dibawah dengan nada duo dan nada limo. Nada duo di jinjiang (ditenteng) di bawah dan nada limo diatas nada duo.

Gambar 10. Cara manjinjiang (menenteng) (Dokumentasi: Muhammad Irfan, 2018)

Gusman menegaskan talempong ini adalah kunci dalam permainan ketiga pasangan talempong pada kesenian talempong anam salido, karan kalau duo tigo salah memasukan bunyinya ke satu tigo, maka tigo tigo tidak bisa dimainkan. Talempong ini bertugas sebagai pa ambek (penghambat) bunyi talempong satu tigo (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4

77 dengan kode L4 T1c N41 dan L4 T1c N7). Talempong ini baru akan dimainkan setelah repetisi pada talempong satu tigo. Sehingga menimbulkan bunyi yang unik karena polanya yang berbeda namun tetap selaras. Dikarenakan perpaduan bunyi yang berbeda tersebut baik dari segi pola maupun nadanya, pola pada talempong ini disebut siamang tagagau.

Siamang tagagau artinya kera berbulu hitam yang ragu. Oleh sebab itu pola ini adalah simbol dari keragu-raguan.

Penulisan notasi pada talempong juga menggunakan notasi balok musik barat dan nadanya disesuaikan dengan rekaman asli bunyi talempong ini. Untuk menentukan nada pada talempong ini juga dilakukan pengukuran dengan menggunakan fine cromatic tuner. Hasil pengukurannya nadanya pada talempong ini adalah F sama dengan nada limo pada frekunsi 352,5

Hz, 65 Cent dan D sama dengan nada duo pada frekuensi 288,2 Hz, -32

Cent.

Gambar 11. Pola siamang tagagau

Pola talempong duo tigo terdiri dari dua nada, dua motif, satu frase.

Selanjutnya melakukan repetisi secara terus-menerus, sehingga terbentuklah ritmenya. Frase pada talempong duo tigo adalah frase konsekuen, yang merupakan frase penyelesaian dari frase anteseden pada talempong satu tigo. Kekurangan frase pada talempong ini berbanding terbalik dengan frase talempong satu tigo. Artinya pada talempong duo tigo tidak memiliki frase

78 anteseden. Jadi pola pada talempong ini juga tidak sempurna. Hubungan sintagmatik pada talempong ini terdiri dari hubungan antara dua kata (not) di depan dengan kata di belakangnya yang membentuk dua motif. Sehingga membentuk sebuah ritme yang disebut gua siamang tagagau. c. Pola lenggang karayia Pola lenggang karayia adalah jenis pola musik yang dimainkan pada pasangan talempong ketiga pada kesenian talempong anam salido yaitu, talempong tigo tigo. Sama seperti talempong satu tigo dan duo tigo penamaan pada talempong tigo tigo berasal dari teknik permainannya yaitu, memukul tiga kali pada talempong yang dibawah dan memukul tiga kali pada talempong bagian atas. Jika dibandingkan dengan dua jenis talempong sebelumnya, permainan talempong ini terbilang paling sukar dipahami, karena polanya bersifat arbitrer. Hal ini disebabkan perannya sebagai paolah (pengolah) bunyi kedua pasangan talempong sebelumnya. Menurut

Gusman jika pemegang talempong duo tigo salah memainkannya maka pemegang talempong tigo tigo tidak bisa dimainkan (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1c N41).

Gambar 12. Pola talempong tigo tigo

79

Struktur talempong tigo tigo terdiri atas dua frase, dua motif, dua nada dan satu repetisi. Nada pada talempong ini adalah nada ciek dan nada ampek. talempong ini adalah frase anteseden dan frase konsekuen. Dengan kata lain frase ini adalah frase tanya dan jawab. Maka dari itu struktur nadanya bisa dikatakan sempurna dibandingkan dua pasangan talempong sebelumnya. Relasi padigmatiknya sama dengan dua talempong sebelumnya yaitu relasi secara vertikal antara talempong dibawah dengan nada ciek

(talempong yang dibawah) dan nada ampek (talempong yang diatas).

Jika di dengar secara langsung, permainan talempong tigo tigo terlihat lambat, namun jika polanya ditulis, nadanya lebih rapat. Oleh sebab itu, talempong ini disebut sebagai talempong pangincuang (penipu). Menurut

Ridanti Ini menjadi salah satu karakter kesenian talempong anam salido

(data wawancara dapat dilihat pada lampiran 3 dengan kode L3 T2 N13).

Gusman juga menegaskan bahwa hubungan sintagmatik pada talempong ini membentuk sebuah ritme yang disebut “gua lenggang karayia” (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 7 dengan kode L7 T1a N3).

Lenggang karayia secara etimologi berarti lenggok kesungai. Penamaan ini juga didasarkan pada tradisi masyarakat dan alam Nagari Salido.

Penulisan partitur pada talempong juga menggunakan notasi balok.

Untuk penentuan nadanya juga dilakukan pengukuran menggunakan tuner.

Hasil pengukurannya, nada pada talempong tigo tigo adalah C pada frekuensi 259,4 Hz, -34 Cent dan E pada frekuensi 334,6 Hz, 69 Cent .

80

Sesuai dengan tabel nada talempong anam salido, nada C sama dengan ciek dan nada E sama dengan nada ampek. d. Pola Kantindiak Kapalo Duo

Katindiak kapalo duo adalah alat musik perkusi yang digunakan pada kesenian talempong anam salido. Katindiak kapalo duo merupakan pembaruan dari alat musik perkusi talempong anam salido yang lama yaitu adok. Adok ini mirip seperti rebana yang dipakai pada kesenian islam qosidah. Perbedaanya terletak pada strukturnya yaitu lubang tempat ruang resonansinya lebih kecil dari pada rebana. Untuk memperkuat membrannya menggunakan rotan yang melingkar dibalik membrannya seperti alat musik babano dari Riau.

Menurut Gusman pada kesenian talempong anam salido, katindiak kapalo duo bertugas sebagai penentu bagus atau tidaknya permainan talempongnya (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode

L4 T1c N42). Artinya gendang ini sifatnya mengiringi permainan ketiga pasang talempong dan pupuik katopong. Oleh karena itu dalam polanya, tidak memiliki variasi nada yang banyak.

Gambar 13. Katindiak kapalo duo (Dokumentasi: Muhammad Irfan, 2018)

81

Struktur musik gendang ini terdiri dari dua motif dan sisanya hanya repetisi saja. Pada motif pertama bisa disebut ini adalah motif dasar. Motif ini diulang secara terus menerus sampai memasuki motif kedua. Inilah hubungan sintagmatik pada struktur pola musiknya, yaitu relasi antar not secara horizontal yang membentuk beberapa motif. Pada motif kedua terjadi sebuah transisi (bridge) yang mengantarkan frase berikutnya pada melodi talempong dan pupuik katopong.

Hubungan paradigmatik pada alat musik ini adalah relasi secara vertikal antara not nya. Namun sebetulnya sedikit berbeda dengan relasi paradigmatik talempong dan pupuik katopong, karena alat musik ini tidak memiliki nada. Relasi paradigmatik pada alat musik ini adalah relasi antar tekstur pola musik.

Gambar 14. Pola katindiak kapalo duo

Menurut Miller tekstur notasi musik seperti ini disebut tekstur non melodis, yaitu sebuah bunyi-bunyian harmonis yang digubah untuk efek- efek khusus sehingga menghilangkan isi/muatan melodis (Sunarto, 2017:

52). Pola musik yang seperti ini disebut timbre atau warna bunyi. Timbre ini menghasilkan sebuah sonoritas yaitu, sebuah atribut pada tekstur notasi yang didasari pada pertimbangan harmonis sehingga menghasilkan sebuah kualitas bunyi seperti ketipisan atau keenceran (thinness). Oleh sebab itu,

82 relasi paradigmatik pada musik alat musik ini adalah relasi antarbunyi

“dung” dan “tak”. e. Pola malangua langua

Pola malangua langua adalah sebutan bagi pola musik pupuik katopong pada kesenian talempong anam salido. Pupuik katopong adalah alat musik tiup tradisional berbentuk kerucut dari Nagari Salido. Pupuik katopong adalah alat musik wajib dalam permainan talempong anam salido.

Datuk Tambijo pupuik katopong adalah sebutan bagi pupuik batang padi dalam bahasa masyarakat Nagari Salido (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 5 dengan kode L5 N24 dan L5 N28). Secara etimologi katopong terdiri dari dua kata yaitu, kato dan pong. Kato berarti kata dalam bahasa

Indonesia, sedangkan pong berarti gema suara.

Alat musik ini terbuat dari daun kelapa dan batang padi yang sudah tua sebagai anak pupuik. Pembuatan alat musik ini terbilang cukup sederhana yaitu bagian pangkal batang padi dibelah sampai membentuk beberapa celah tempat masuknya udara seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 15. Anak pupuik (kiri), dan corong (kanan) (Dokumentasi: Muhammad Irfan, 2018)

83

Celah itu berfungsi sebagai katup udara sehingga ketika meniupnya menghasilkan bunyi. Kemudian batang padi itu dililit menggunakan daun kelapa sehingga membentuk corong seperti terompet. Fungsinya adalah sebagai ruang resonansi bunyi.

Menurut Suhendra (2014: 86), corong tersebut dapat diredam dengan menggunakan jari tangan. Tujuannya adalah untuk menghasilkan variasi nada. Misalnya, kalau ditiup dengan keras sementara jari kita berada di dalam corong, maka bunyi yang dihasilkan menjadi agak bergelombang, sehingga terdapat variasi nada.

Gambar 16. Finger style pupuik katopong (Dokumentasi: Muhammad Irfan, 2018)

Selain menggunakan jari tangan lidah juga dapat digunakan untuk mengatur tinggi rendahnya nada yang dihasilkan, misalnya ingin nada rendah maka ujung lidah ditekankan ke celah udara pada anak pupuik pada bagian ujung. Untuk mendapatkan bunyi rendah, bagian yang ditekan oleh lidah adalah bagian pangkal anak pupuik. Sedangkan untuk mendapatkan bunyi yang tinggi yaitu menekan bagian ujung anak pupuik dengan lidah.

Adapun teknik untuk meniup pupuik katopong ini yaitu menggunakan sebuah teknik khusus yang disebut salisiah anggok (selisih nafas). Salisiah

84 angok adalah sebuah teknik meniup sekaligus menghirup nafas. Caranya melakukan pernapasan melalui hidung dan menyimpan udara tersebut di dalam paru-paru. Untuk dapat menyimpan udara adalah dengan membusungkan dada. Selanjutnya udara telah terkumpul tadi ditransfer ke rongga mulut sampai otot pipi membengkak dan langsung ditiupkan secara perlahan ke anak pupuik. Sembari mulut meniupkan udara proses pernapasan juga tetap berlanjut, sehingga pemain pupuik katopong bisa meniup tanpa berhenti sekalipun.

Penetuan nada pada pupuik katopong sangat sukar ditentukan karena bunyi yang dihasilkan dari pupuik tergantung dari lunak dan kerasnya tiupan yang masuk melalui anak pupuik. Semakin keras tiupan semakin tinggi nada yang dikeluarkan dari corong pupuik katopong dan semakin rendah tiupan maka nada yang dihasilkan juga akan rendah. Namun berdasarkan rekaman video permainan talempong anam salido partitur pupuik katopong ini dapat ditulis dengan notasi musik barat.

Gambar 17. Pola malangua langua

85

Berdasarkan notasi yang ditulis permainan alat musik ini memiliki unsur musik yang cukup komplet untuk sebuah permainan musik tradisional. Struktur polanya terdiri dari dua frase yaitu anteseden dan konsekuen, tiga motif, bridge, chorus, empat nada yaitu nada ciek, duo, tigo, anam dan sisanya repetisi. Inilah hubungan sintagmatis pada katopong yaitu relasi secara horizontal antara not didepan dan dibelakangnya sehingga membentuk pola pupuik katopong ini.

Sedangkan hubungan paradigmatiknya adalah relasi secara vertikal antara nada pada notasinya. Menurut Gusman relasi pardigmatik antara nada ciek, duo, tigo dan anam membentuk sebuah pola yang disebut “malangua langua” (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 7 dengan kode L7

T1a N23). Dalam struktur musik pupuik katopong ini terdapat tiga hal yang bisa dikatakan sebagai karakteristik dari musik katopong ini. Karakteristik tersebut adalah “elo, langua, dan pakiak”. “Elo” adalah kondisi di mana perjalanan nada pada katopong itu dalam posisi siap siaga menuju nada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Artinya pada saat melakukan “elo”, satu not dipenggal yang panjang nilainya tergantung kondisi alat musik lain.

Dengan kata lain elo adalah nada tunggu menuju pola berikutnya. “langua”

(lenguh) adalah fase perubahan pada bunyi katopong.

Dalam prakteknya ini diwujudkan dengan bunyi nada yang dipenggal naik setengah dari nada sebelumnya. Artinya “langua” adalah “elo” yang sedang berubah. Selanjutnya “pakiak” (pekik) adalah sebuah teriakan yang dihasilkan dalam permainan katopong sehingga menghasilkan nada yang

86

lebih tinggi dari pada kapasitas nada yang seharusnya dihasilkan. Dalam

ilmu musik barat, ini mirip dengan “feedback picking” pada permainan gitar

elektrik. Feedback picking adalah petikan yang memberi aksen melengking

sehingga menghasilkan nada yang lebih tinggi.

2. Struktur Dalam (Deep Structure) Kesenian Talempong Anam Salido

Struktur dalam (deep structure) adalah struktur yang terdapat di dalam struktur luar pada keseniah talempong anam salido, dimana struktur ini dapat terlihat dari relas-relasi antar seluruh alat musik yang digunakan dalam konstruksi ensambel musik talempong anam salido. Menurut hasil pengamatan setiap instrumen musik pada talempong anam salido memilki relasi tersendiri disamping relasi pada masing-masing pola musiknya. Artinya masing-masing instrumen musik ini memiliki maksud tersendiri dari kehadirannya. Oleh karena itu dalam penyajian talempong anam salido terbagi menjadi dua unsur, yaitu unsur primer dan unsur sekunder.

Unsur primer adalah unsur yang menjadi pondasi dalam penyajian kesenian talempong anam salido. Artinya unsur ini tidak bisa dihilangkan pada penyajian talempong anam salido. Unsur primer ini terdiri dari seperangkat enam talempong dan pupuik katopong. Dalam penyajian kesenian ini kedua alat musik ini adalah unsur pokok yang harus ada. Tapi bukan berarti alat musik lainnya menjadi tidak dipentingkan.

Unsur sekunder adalah unsur pelengkap pada penyajian talempong anam salido. Tanpa kehadiran unsur ini kesenian talempong anam salido tidak bisa disebut talempong anam salido. Karena komponen dalam talempong anam

87 salido tidak lengkap. Katindiak kapalo duo adalah unsur sekunder pada kesenian talempong anam salido. Menurut Nurival kehadiran katindiak kapalo duo bersifat fleksibel dari segi jumlah penggunaannya, terkadang dalam ensambel talempong anam salido menggunakan dua gendang, dan terkadang satu saja (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1c

N32). Hal itu tergantung kondisi dari personilnya, itulah kenapa gendang katindiak pada kesenian talempong anam salido disebut demikian.

Jadi terdapat unsur yang sifatnya dinamis dan statis pada struktur kesenian talempong anam salido. Semua ini berlandaskan pada “adat nan duo”, yaitu “adat babuhua mati” dan “adat babuhua sentak”. Ada hal yang memang tidak bisa dirubah dan ada yang bisa dirubah menyesuaikan keadaan.

Hal inilah yang disimbolkan dalam filosofi Minangkabau “adat salingka nagari”. Selain itu Jika dianalogikan dalam sebuah musyawarah, ketiga talempong melakukan dialog sedangkan pupuik katopong melakukan merangkum hasil dari musyawarah dari ketiga talempong itu. kemudian katindiak kapalo duo mengikuti dan menerapkan hasil dari musyawarah tersebut. Hal ini dicerminkan dalam pepatah adat “syarak mangato, adat mamakai” (Syariat mengatakan, adat menerapakan).

Relasi kedua unsur ini adalah rangkaian sintagmatis pada struktur kesenian talempong anam salido yaitu, talempong satu tigo, talempong duo tigo, talempong tigo tigo, katindiak kapalo duo, dan pupuik katopong. Pola permainan talempong satu tigo menjadi patokan bagi permainan talempong duo tigo. Kedua permainan alat musik ini saling berlawanan sehingga

88 talempong tigo tigo bertugas sebagai penengah untuk menyelaraskan kedua bunyi talempong itu. Berdasarkan bunyi dari ketiga talempong itu, katindiak kapalo duo mengikuti ritmenya dengan memberi bunyi berupa detak atau hentakan.

Dengan adanya adanya ritme dari katindiak kapalo duo maka perpaduan bunyi antar intrumen itu menjadi seimbang (balance). Dalam perseteruan bunyi ini, pupuik katopong berperan sebagai penampung seluruh bunyi talempong dan menyerukannya. Sehingga bunyi pupuik katopong mendominasi

(emphasis) pada ensambel talempong anam salido. Berdasarkan relasi inilah teknik dalam permainan talempong anam salido disebut “bakincuang” artinya dikocok atau diaduk (Bapayuang, 2015: 219). Teknik permainan seperti ini juga menghasikan sebuah kesebandingan (propotion), karena porsi permainan setiap intrumen musik sangat pas dan cocok. Sehingga memberikan efek yang menyenangkan untuk dilihat.

Pada hubungan paradigmatiknya adalah hubungan antar unsur pada kesenian talempong anam salido secara vertikal. Hubungan ini adalah relasi antara instrumen secara vertikal yang menjadi unsur pada kesenian ini.

Pemilihan instumen yang digunakan pada kesenian ini yaitu seperti yang telah disebutkan, adalah simbol dari alam Nagari Salido. Artinya jika pemilihan instrumen musiknya bukan talempong tigo tigo, talempong duo tigo, talempong tigo tigo, pupuik katopong, dan katindiak kapalo duo, maka dari struktur musiknya itu bukan kesenian talempong anam salido.

89

Hubungan paradigmatik pada struktur kesenian talempong ini menciptakan struktur dalam (deep structure) pada kesenian talempong anam salido sehingga struktur talempong anam salido memilki makna, fungsi dan nilai karakter.

a. Makna struktur talempong anam salido

Menurut strukturalisme levi-Srauss sebuah struktur itu memiliki

makna pada relasi antar unsurnya. Kesenian talempong anam salido secara

struktural memiliki beberapa makna yang terkandung didalam strukturnya.

Secara strukturalisme Levi-Strauss struktur ini menghasilkan beberapa

makna positif maupun negative berdasarkan susunan sintagmatik dan

paradigmatic yang disebut oposisi biner.

Oposisi biner yang pertama terdapat pada talempong tigo satu dan

talempong duo tigo. Secara pola musiknya talempong ini saling bertolak

belakang namun tidak bisa dipisahkan, karena disitulah letak dari

“bakincuang” itu sendiri. Menurut gusman kalau dianalogikan terdapat dua

hal, pertama jika dianalogikan kepada kehidupan di dunia (duya), terdapat

dua perkaranya. Dua perkara itu adalah “laki-laki jo padusi” (laki-laki dan

perempuan) (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L7

T1b N7 dan L7 T1b N9). Inilah dua hal yang mendasari pertumbuhan dan

perkembangan makhluk di dunia. Dengan kata lain berdasarkan inilah

terjadinya perkawinan antara makhluk hidup. Itulah kenapa talempong satu

tigo dan talempong duo tigo ini adalah sebuah oposisi biner. Sebuah

90 kontradiksi dalam kehidupan di dunia yang disimbolkan dalam bentuk kesenian musik.

Dari segi pola musiknya, yaitu gua kacimpuang mandi pada talempong satu tigo adalah sebuah tanda untuk mengajak mandi bersama disungai. Sedangkan gua siamang tagagau pada talempong duo tigo adalah simbol keraguan-raguan. Jika dihubungkan ketika talempong satu tigo dimainkan maka orang-orang akan segara menuju sungai untuk mandi bersama. Namun tentu tidak semudah itu, bagi mereka yang tugas atau pekerjaan yang belum selesai pasti hatinya akan menjadi ragu-ragu untuk mengikuti rekan-rekannya. Jadi makna dari kedua pasangan talempong ini adalah sesuatu yang terlihat berlawanan namun dibalik itu terdapat sebuah hubungan yang saling tarik menarik seperti halnya hubungan laki-laki dan perempuan.

Disinilah talempong tigo tigo berperan sebagai penyatu kedua unsur tersebut. Tapi meskipun disebut penyatu bukan berarti bisa disebut baik namun bisa juga sebaliknya. Artinya talempong tigo tigo adalah sebuah unsur yang tak berpihak (non block). Dengan kata lain sebuah unsur yang bisa mempengaruhi unsur yang lain atau tidak sama sekali. Secara struktur talempong ini tidak memiliki oposisi biner, namun dilihat dalam sifatnya sendiri terdapat sebuah pertentangan. Sehingga disebut unsur bebas (free element) dalam struktur talempong anam salido.

Sementara katindiak kapalo duo dimaknai sebagai pengontrol karena mengatur keharmonisan pada ensambel musik talempong anam salido.

91

Selain itu katindiak kapalo duo adalah simbol dari kekonsistennan masyarakat Salido dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Sedangkan pupuik katopong dimaknai sebagai simbol semangat dari masyarakat nagari

Salido. Oleh karena itu Katindiak kapalo duo adalah oposisi biner dari pupuik katopong. Katindiak kapalo duo adalah instrumen musik pukul dari keluarga membranofon yang dimainkan dengan menggunakan kedua tangan sehingga menghasilkan bunyi yang khas.

Sedangkan pupuik katopong adalah instrumen musik tiup dari keluarga aerofon yang dimainkan dengan bantuan mulut dan tangan sehingga menghasilkan suara yang merdu. Seperti halnya siang dan malam, makna dari siang terbentuk karena ada lawannya yaitu malam. Begitupun dengan katindiak kapalo duo, makna atau persepsi terhadap katindiak kapalo duo terbentuk karena ada lawannya yaitu pupuik katopong. Jika dianalogikan pada struktur pemerintahan katindiak kapalo duo adalah lembaga eksekutif sedangkan pupuik katopong adalah lembaga legislatif.

Selain instrumen musiknya, pada teknik manggua (memukul) talempong pun juga mengandung makna. Cara manggua talempong pada kesenian talempong anam salido adalah secara vertikal dari bawah ke atas.

Hal ini adalah simbol dari ajaran untuk saling menjaga keharmonisan dalam hidup bermayarakat dan cara mencapai tujuan hidup dengan benar. Dalam menjalani hidup bermasyarakat tentu kita bertemu dengan berbagai macam tipe orang, ada yang lebih tua, sebaya, dan lebih muda. Artinya setiap

92 menghadapi pergaulan dengan orang-orang tersebut tentu caranya tidak sama.

Hal ini disebutkan dalam ajaran adat Minangkabau, yaitu kato mandaki, kato mandata, kato manurun, kato maleriang (Kata mendaki, kata mendatar, kata menurun dan kata melereng). Maksudnya, kata mendaki adalah tata cara untuk bergaul dengan orang yang lebih tua, kata mendatar adalah cara bergaul dengan orang yang seumuran, kata menurun adalah cara bergaul dengan yang lebih muda dan kata melereng adalah cara bergaul dengan orang disegeni. Selain itu dalam mencapai tujuan hidup pun tentu harus melewati tahap-tahap tertentu. Tujuannya agar ketika kita telah berada ditingkat yang lebih tinggi dari orang lain, kita tidak menjadi orang yang sombong, angkuh dan arogan, karena kita telah melewati tingkat bawah dulu untuk menuju ketingkat yang lebih tinggi. Hal ini disebutkan dalam pepatah “bajanjang naiak, bataggo turun” (berjenjang naik, bertangga turun).

Terlepas dari hal itu, kesenian talempong anam salido memiliki makna lain yaitu sebagai reperesentasi konsep kepemimpinan adat

Minangkabau dan representasi kepercayaan orang masyarakat Nagari

Salido. Berikut akan dijelaskan secara detail.

1) Representasi Konsep Kepemimpinan Adat Minangkabau dalam Kesenian Talempong Anam Salido

Sistem kepemimpinan adat Minangkabau dikenal dengan tungku

tigo sajarangan. Konsep ini diambil dari cara memasak orang memasak

orang Minangkabau yaitu menggunkan tiga buah tungku untuk

93 meletakan wadah memasak diatasnya. Berdasarkan hal itu konsep ini di aplikasikan kepada sistem pemerintahan adatnya.

Secara garis besar konsep ini dterapkan pada setiap nagari di

Minangkabau. Namun pada sistem kepemimpinan dalam sebuah kaum konsep ini dipecah lagi menjadi urang nan ampek jinih (empat jenis pemimpin). Keempat pemimpin kaum ini adalah penghulu dan panungkek, bundo kanduang, malin, manti, dan dubalang. Penghulu dan panungkek adalah satu kesatuan pemimpin dan keduanya diberi gelar datuk. Dan yang lainnya memiliki tugas dan peranan yang berbeda-beda.

Oleh karena para pemimpin dalam sebuah kaum disebut urang nan ampek jinih. Kemudian kedua konsep ini direpresentasikan dalam struktur penyajian talempong anam salido. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai hubungan kedua konsep ini dengan kesenian talempong anam salido.

a) Konsep Tungku Tigo Sajarangan Dalam Struktur Penyajian Talempong Anam Salido

Tungku tigo sajarangan adalah simbol dari sistem adat

Minangkabau. Hal telah menjadi sebuah konsep dalam pemerintahan

suku, nagari maupun ada secara keseluruhannya. Gusman

menyebutkan tungku tigo sajarangan terdiri atas, adat, syara’ dan

Indang (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode

L4 T2 N46). Adat dipimpin oleh para niniak mamak, syara’ diajarkan

oleh para alim ulama dan dikelola oleh para cadiak pandai.

Konsep ini terus digunakan sampai saat ini khusunya bagi masyarakat

94 nagari Salido. Pada kesenian talempong anam salido konsep ini diterapakan pada tiga pasang talempong yaitu talempong satu tigo, talempong duo tigo dan talempong tigo tigo. Menurut Gusman secara paradigmatik jika pengunaan talempong kurang atau lebih dari tiga pasang, maka itu bukan lagi kesenian talempong anam salido (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T2 N44 dan

L4 T2 N46). Karena itulah prinsip ini telah menjadikan identitas tersendiri bagi kesenian talempong dari Nagari Salido ini.

Gambar 18. Tungku tigo sajarangan dalam struktur talempong anam salido b) Struktur Talempong Anam Salido Sebagai Representasi Urang Nan Ampek Jinih

Di Nagari Salido dalam sistem pemerintahan sebuah kaum disebut urang nan ampek jinih. Menurut Datuk Tambijo urang nan ampek jinih itu adalah bundo kanduang, malin, manti, dubalang (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 5 dengan kode L5 T1 N40).

Sedangkan penghulu dan panungkek (wakil penghulu) adalah pemimpin dari keempat orang ini. Oleh karena itu keempat orang ini disebut juga perangkat penghulu.

95

Pada pola permainan talempong anam salido memperlihatkan sebuah dialektika para pemimpin dalam kaum di Nagari Salido. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan pesan bahwasanya, dibutuhkan kata mufakat dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Artinya jangan sembarangan mengambil keputusan dalam hidup. Perlu pertimbangan yang matang dengan raso jo pareso (hati dan akal).

Sebab jika itu keputusan yang salah yang akan malu bukan hanya diri sendiri, tapi juga berimbas pada orang-orang disekitar kita. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama untuk menjalani setiap tantangan kehidupan.

Dengan kata lain, perbedaan pendapat bukanlah halangan untuk maju menuju hidup yang lebih baik. Pesan ini adalah dasar dalam sistem adat Nagari Salido inilah yang ditujukan dalam talempong anam salido. Oleh karena itu seperti yang dikatakan Irmun bahwa bermain talempong menggunkan raso (rasa) (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 2 dengan kode L2 T1 N19). Dialektika yang terjadi dalam pola permainan talempong anam salido dinyatakan sebagai representasi urang nan ampek jinih. Dalam prakteknya pun dapat dilihat pada posisi talempong dalam alek malewakan penghulu di Nagari Salido.

Menurut Datuk Sutan Sinaro rombongan talempong anam salido berada dibelakang rombongan pemuka adat dan rombongan induak bako (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 6 dengan kode L6

96

T1 N36). Rombongan talempong menjadi penengah antara rombongan

pemuka adat dan rombongan alim ulama. Posisi seperti ini bertujuan

agar rombongan arak-arakan yang berada paling dibelakang sekali

tidak terputus dengan rombongan yang pemuka adat yang berada di

depannya. Oleh karena itu rombongan yang berada dibelakang

mengikuti talempong. Dalam hal ini jelas bahwa kesenian talempong

anam salido merepresentasikan rombongan pemimpin kaum yang

berada dibarisan paling depan.

Gambar 19. (a) rombongan penghulu dan perangkat, (b) rombongan talempong, dan (c) rombongan keluarga dan para alim ulama mengikuti talempong Menurut Gusman percakapan bunyi dalam kesenian talempong

anam salido jika dibahasakan adalah “utang nan katumbua” artinya

hutang yang akan tumbuh, ini bunyi talempong satu tigo. Bunyi

talempong duo tigo “gulai cubadak nan ka di idang”, artinya gule

97 nangka yang akan dihidangkan. Pada talempong tigo tigo “abih la abih la”, artinya habis la maka habis. Dan sambung oleh katindiak kapalo duo, pecah lah yang akan pecah. Dilajutkan oleh pupuik katopong “Malangua la ka malangua” artinya melenguh la maka melenguh (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 7 dengan kode

L7 T1b N13, L7 T1b N15, L7 T1b N17, L7 T1b N19, dan L7 T1a

N23).

Maksud dari percakapan ini adalah suka cita yang terjadi dalam sebuah pesta (alek). Gulai cubadak adalah masakan favorit bagi masyarakat Salido dan menjadi hidangan utama dalam setiap pesta nagarinya. Harganya pun lumayan mahal bagi masyarakat Salido, sehingga menimbulkan kepanikan bagi si tuan rumah penyelenggara pesta. Namun yang hidangan itu harus dihabiskan dalam sekali pesta, jika tidak tuan rumah itu sendiri akan rugi pada bahan makanannya.

Oleh karena itu sering terjadi perseteruan dipihak tuan rumah ketika akan mengadakan sebuah pesta dalam masalah anggaran pengeluaran.

Artinya dalam struktur penyajian talempong anam salido, juga mennyimbolkan cara memperhitungkan pengeluaran dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Dan semua ini dikelola oleh urang nan ampek jinih. Oleh karena itu masing-masing isntrumen musik pada struktur penyajian talempong anam salido merepresentasikan setiap jenis petinggi dalam suatu kaum di Nagari Salido.

98

Gambar 20. Representasi urang nan ampek jinih pada struktur penyajian talempong anam salido

2) Kesenian Talempong Anam Salido Sebagai Representasi Keislaman Masyarakat Minangkabau

Putra (2017: 123) mengatakan dalam tatanan kajian budaya,

Minangkabau merupakan salah satu suku yang dikenal sebagai masyarakat yang unik karena memadukan nilai-nilai tradisi dengan agama Islam dalam kehidupan bermasyarakatnya. Nurival mengatakan bahwa hal ini tertuang dalam filosofi adat yang berbunyi “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai”.

Adat menurut syarak, syarak berdasarkan kitab Allah SWT, syarak mengatakan, adat menerakan (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T2 N47). Falsafah ini pun juga berlaku dalam kesenian terutama pada kesenian talempong anam salido. Irmun menegaskan kesenian talempong bukan hanya sekedar permainan segelintir alat musik saja, tetapi juga sejalan dengan adat Minangkabau

99 dan ajaran agama islam (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 2 dengan kode L2 T1 N15).

Selain dilihat dari falsafah adat, hubungan talempong anam salido dengan islam juga terlihat dari relasi dalam struktur kesenian ini. Gusman mengungkapkan, kalau dihubungkan dengan ajaran islam terdapat tiga perkara. Tiga perkara yang dimaksud adalah Allah SWT, nabi Adam AS, dan nabi Muhammad SAW. Allah menitipkan roh ke sebuah batang tubuh, maka jadilah Adam AS. Setelah diturunkan ke dunia nabi Adam

AS terus berkembang hingga manusia menjadi sebanyak sekarang ini sampai akhirnya nabi Muhammad SAW terlahir di dunia. Kemudian nabi

Muhammad SAW menyempurnakan ajaran agama Allah SWT sampai menjadi islam seperti sekarang ini (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 7 dengan kode L7 T1b N7 dan L7 T1b N9). Ajaran itu disebarkan keseluruh dunia dan sampai ke alam Minangkabau. Hal ini sangat dipercaya orang Minangkabau sehingga falsafah adatnya pun mengikuti kitab suci Al-Qura’an.

Ini menjadi alasan kenapa instrumen musik talempong pada talempong anam salido dibagi menjadi tiga pasang talempong. Ternyata itu melambangkan tiga perkara antara dunia dan akhirat (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 7 dengan kode L7 T1b N11). Dengan demikian kesenian talempong anam salido adalah wadah historis tentang sejarah evolusi manusia menurut ajaran agama islam. Selain itu kesenian ini ternyata juga merupakan representasi dari rukun islam dan rukun

100 iman dilihat dari relasi antara unsur-unsur dalam struktur pola talempong anam salido. Seperti yang diketahui rukun Islam terdiri dari lima macam dan rukun iman terdiri dari enam macam. Oleh karena itu, jumlah talempong di Minangkabau ada yang menggunakan lima talempong dan enam talempong. Talempong anam salido dari Pesisir Selatan merupakan salah satu kesenian talempong yang menggunakan enam talempong.

Namun terdapat persaman pada kedua jenis talempong tradisional ini, yaitu pembagian pasangannya tetap tiga.

Menurut Irmun talempong dasar dan talempong paningkah masing-masing sejalan seperti rukun islam yang pertama sampai yang keempat (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 2 dengan kode L2

T1 N8). Pada kesenian talempong anam salido talempong dasar adalah talempong satu tigo. Sedangkan talempong paningkah adalah talempong duo tigo. Pada talempong dasar menggunakan dua talempong.

Talempong dasar disebut dasar karena ritme permainan pada talempong dasar itu hanya satu dan tidak boleh dirubah atau melakukan improvisasi.

Sifat dari talempong dasar itu seperti syahadat, memiliki pola tersendiri yang bersifat mutlak dan tak akan bisa dipengaruhi. Prinsip seperti inilah terkandung talempong dasar. Irmun mengatakan jika dasar memainkan pola cak din din ,maka sampai musiknya selasai pola dari talempong dasar itu akan tetap cak din din (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 2 dengan kode L2 T1 N11). Begitu pula pada talempong satu

101 tigo yang memainkan pola pupuik mandi sampai permainan talempong anam salido selesai.

Pada rukun iman yang pertama terdapat iman kepada Allah SWT, yang kedua iman kepada malaikat. Seseorang yang hendak memeluk agama islam harus memliki keimanan kepada Allah SWT terlebih dahulu, setelah itu barulah ia pantas mengucapkan kalimat syahadat.

Selanjutnya apabila seseorang yang telah memeluk Islam maka, adalah suatu kewajiban bagi dia untuk mendirikan shalat. Karena shalat adalah tiang utama dalam mendirikan agama islam. Agar shalatnya bisa sempurna, maka seorang umat islam juga harus beriman kepada malaikat.

Karena malaikat bertugas memantau segala aktivitas manusia di dunia dan tidak ada manusia yang bisa menipunya. Berdasarkan penjelasan ini dilihat dari relasi antar unsur-unsur yang terdapat dalam rukun iman yang pertama dan kedua, rukun islam yang pertama dan yang kedua dengan pasangan talempong yang pertama. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam konsep pasangan talempong pertama ini berlandaskan pada rukun iman dan rukun islam. Menurut Irmun Inilah yang membuat pasangan talempong pertama itu menggunakan dua talempong (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 2 dengan kode L2 T1 N6).

Selanjutnya pada pasangan talempong kedua juga menggunakan dua talempong. Pada talempong anam salido disebut talempong duo tigo dan pada talempong yang menggunakan lima talempong disebut paningkah. Paningkah pada kesenian talempong adalah simbol dari

102 rintangan dalam kehidupan. Jadi yang dikatakan paningkah oleh irmun adalah benturan-benturan dalam kehidupan (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 2 dengan kode L2 T1 N13). Dilihat dari rukun islam yang ketiga dan keempat yaitu, berpuasa di bulan suci Ramadhan dan membayar zakat. Setelah menegakkan pondasi dalam agama islam yaitu dua kalimat syahadah dan shalat, maka selanjutnya ada sebuah keharusan atau kewajiban diluar rukun islam yang pertama dan kedua tadi yang akan memperkuat dasar dari agama dengan membayar zakat dan berpuasa di bulan suci ramadhan. Rukun islam yang ketiga dan keempat ini merupakan sebuah bentuk penanggulangan dari benturan-benturan kehidupan di dunia agar terjalin suatu silahturahmi yang baik antara sesama manusia dalam menjalani hidup di dunia.

Hal itulah yang membangun keselarasan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Untuk memenuhi rukun islam yang ketiga dan keempat itu, tentunya seornag umat islam harus beriman kepada kitab suci Al-qur’an dan beriman kepada nabi dan rasul. Karena segala tatacara, prinsip-prinsip dasar dalam berpuasa dan membayar zakat telah tertulis di dalam kitab-kitab Allah SWT. Keselarasan ini ditunjukan dalam pasangan talempong kedua. Meskipun telah menjalankan persyaratan yang ketiga dan yang keempat, namun manusia masih memiliki keragu-raguan dalam hatinya untuk menjalankannya. Karena pada rukun iman dan rukun islam yang kedua dan ketiga ini terbilang cukup berat untuk dipenuhi. Khususnya bagi masyarakat yang

103

ekoniminya menengah kebawah. Proporsi inilah yang disimbolkan dalam

struktur pola talempong duo tigo pada kesenian talempong anam salido.

Kemudian pada pasangan talempong yang terakhir adalah

talempong tigo tigo dalam ensambel talempong anam salido dan

talempong anak pada kesenian talempong yang menggunakan lima

talempong. Dilihat pada rukun islam yang kelima adalah naik haji. Naik

haji kan hanya bagi yang mampu saja. Meskipun demikian bagi seorang

muslim rukun islam yang kelima ini tidak boleh disepelekan. Karena

kesempurnaan agama islam itu terletak pada rukun islam yang terakhir

ini.

Namun waktu hidup bagi di makhluk hidup di dunia itu juga

terbatas dan setiap manusia telah memilki nasib dan takdirnya sejak

mereka lahir. Seperti yang dikatakan dalam rukun iman yang kelima dan

enam. Oleh karena itu setiap muslim akan berusaha untuk bisa

menunaikan ibadah haji selagi mereka hidup. Hal inilah yang

disimbolkan dalam talempong anak atau talempong tigo tigo. Meskipun

pola yang dimainkannya bisa dinyatakan sebuah pola bebas, namun

keseimbangan permainan ketiga pasangan talempong itu terletak pada

talempong ini. Dengan kata lain kolaborasi antar talempong itu tidak

akan sempurna tanpa kehadiran pasangan talempong ini. b. Fungsi Kesenian Talempong Anam Salido

Sebagai kesenian tradisional talempong anam salido memiliki fungsi- fungsi tertentu ditengah masyarakat pendukungnya. Di Nagari Salido

104 kesenian ini hampir berperan pada setiap kegiatan masyarakat. Di Nagari

Salido kesenian musik tradisional talempong digolongkan kepeda permainan anak nagari. Artinya kehadiran ensambel musik talempong setara dengan silek (silat), qosidah rabana, randai dan rabab. Oleh karena itu talempong anam salido berfungsi sebagai sarana upacara adat, hiburan, tontonan, dan sebagai media pendidikan. Sebagai mendia pendidikan kesenian talempong anam salido diajarkan melalui sanggar daerah setempat untuk dipertunjukan di sekolah seperti yang ditunjukan pada gambar 21.

Gambar 21. Anak-anak sekolah latihan kesenian talempong di sanggar seni nan gombang (Dokumentasi: Muhammad Irfan, 2018)

Sebagai sarana upacara adat khususnya di Nagari Salido, kesenian talempong anam salido digunakan hampir pada setiap upacara adat.

Menurut Irmun talempong dulunya digunakan pada upacara panen padi

(data wawancara dapat dilihat pada lampiran 2 dengan kode L2 T2 N19).

Pada upacara ini talempong anam salido berfungsi sebagai penghibur para petani ketika mereka menunggui padi yang akan panen disawah. Selain itu

Gusman juga mengatakan bahwa talempong anam salido juga berfungsi sebagai musik pengiring tari di Nagari Salido pada saat upacara adat seperti

105 upacara pernikahan dan upacara batagak penghulu (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1b N13).

Gambar 22. Talempong anam salido mengiringi tari pada upacara pernikahan (Dokumentasi: Muhammad Irfan, 2018)

Talempong anam salido menjadi musik iringan tari tidak hanya pada satu jenis tarian saja, namun hampir segala bentuk tarian yang lahir di

Nagari Salido menggunakan musik iringan talempong anam salido. sehingga kesenian ini menjadi menarik untuk ditonton bagi masyarakat setempat. Dalam upacara perkawinan talempong anam salido berperan untuk ma arak marapulai dan anak daro (iring-irigan mempelai pria dan wanita) keliling kampung. Menurut Ridanti di Nagari Salido kegiatan ini disebut pararakan (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 3 dengan kode L3 N18 dan L3 N8). Hal ini dilakukan untuk memberitahu dan mengajak masyarakat setempat untuk berpartisipasi merayakan pernikahan kedua mempelai.

Ini juga dinyatakan dalam pepatah adat Nagari Salido “tumbuah karajo baiak baimbauan, tumbuah karajo buruak ba ambauan”, artinya jika ada sebuah hajatan baik ataupun buruk seperti pernikahan, khitanan, akikah, atau pun mendapat musibah seperti kematian, maka hendaklah memberitahu

106 kepada saudara dan karib kerabat kita agar saling tolong menolong untuk menanggulanginya. Kegiatan pararakan pada pesta perkawinan ini lebih tepatnya terletak pada sesi babako. Menurut Gusman dan Nurival, dalam pesta pernikahan pada saat arak-arakan yang seharusnya mereka berjalan 1 km malah serasa berjalan 2 km, karena suasananya terasa hampa tidak seperti selayaknya pesta penikahan. Jadi sekecil apapun pesta pernikahan itu, dengan kehadirannya talempong maka acaranya pasti meriah (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1b N11, L4 T1b

N54, dan L4 T1b N55).

Selanjutnya talempong anam salido juga digunakan dalam upacara batagak penghulu. Batagak penghulu adalah mendirikan sebuah kaum baru dalam suatu suku dengan memilih penghulu baru sebagai pemimpin dari kaum itu. Batagak penghulu adalah salah satu acara besar dari seluruh alek

(pesta) nagari. Prosesi upacara batagak penghulu disesuaikan dengan adat di nagari tempat upacara itu dilaksanakan. Oleh sebab itu prosesi batagak penghulu di Sumatera Barat tidak memiliki standar. Menurut Datuk Sutan

Sinaro hal itu dikarenakan“pusako salingka kaum, adaik salingka nagari” artinya pusaka dalam ruang lingkup kaum saja, adat berlaku dalam ruang lingkup Nagari saja (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 6 dengan kode L6 T1 N6).

Datuak Sutan Sinaro juga menjelaskan bahwa pepatah itu juga berepengaruh kepada prosesi kesenian yang mengiringi batagak penghulu itu sendiri. Maka dari itu kesenian yang dipertunjukan pada upacara

107 batagak penghulu itu sesuai dengan kesenian yang ada di nagarinya.

Meskipun demikian, masih terdapat kesamaan dalam perbedaan prosesi batagak penghulu ditiap-tiap Nagari di Minangkabau. Keseragaman itu ada pada administrasinya saja, misalnya setiap penghulu yang akan dilantik harus memiliki “sapakek kaum”. Kemudian yang memutuskan adalah KAN dengan pemberian SK (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 6 dengan kode L6 T1 N12). Puncak dari upacara batagak penghulu adalah alek malewakan penghulu.

Berdasarkan peran dan fungsi kesenian talempong anam salido inilah

Nurival mengatakan wajar jika masyarakat Nagari Salido dulu mengatakan jika suatu alek nagari khususnya pada pesta pernikahan tidak dibunyikan talempong, maka kelak anaknya akan bisu (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1b N18 dan L4 N20). Karena tujuan dari dihadirkannya mitos itu tidak lain adalah sebagai peringatan agar kesenian ini tidak dilupakan oleh generasi penerusnya. c. Nilai Karakter pada Struktur Talempong Anam Salido

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa talempong anam salido adalah kesenian tradisional dari Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera

Barat. Karena sifatnya yang tradisional itulah terdapat kandungan nilai dan norma budaya. Seperti yang dikatakan Hajizar (2014), tradisi merupakan adat-istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai- nilai, aturan-aturan prilaku, dan sebagainya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Dt. Sutan, sinaro di Nagari Salido berlaku “rajo alim

108 rajo di sambah, rajo lalim rajo disanggah”. Arti ungkapan itu ialah raja yang alim wajib ditiru, raja yang lalai wajib disanggah. Maksudnya jika hal itu mengandung nilai-nilai yang positif perlu diterima. Sebaliknya, jika hal itu mengadung hal-hal yang sifatnya negatif, perlu dibuang (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 6 dengan kode L6 T2 N45).

Falsafah ini tercermin dalam bakincuang. Nilai-nilai dalam struktur talempong anam salido pada alek malewakan penghulu dapat dijadikan sebagai manifestasi pendidikan karakter. Melalui kesenian talempong anam salido, nilai karakter yang dapat diberikan kepada peserta didik, misalnya, nilai moral, nilai religius, dan nilai estetis. Sebagai manifestasi pendidikan karakter, nilai-nilai tersebut dapat membimbing perilaku manusia tentang kebaikan. Niza (2014: 3) juga mengatakan bahwa nilai karakter dapat membimbing perilaku seseorang tentang nilai-nilai yang baik. Nilai karakter tersebut juga terinternalisasi dalam strukutur polanya dan struktur penyajiannya. Bedasarkan hasil observasi ketika pertunjukkan talempong anam salido mengenai alek malewakan penghulu didapatkan hasil wawancara dari tetua talempong, penghulu pucuak suku Melayu Salido, ketua KAN Salido pemain pemilik Sanggar Seni Nan Gombang, dan beberapa dokumen terkait. Nilai karakter yang terkandung dalam kesenian terrsebut antara lain nilai religius, kedisiplinan, gotong-royong atau peduli sosial, toleransi, dan kemandirian.

109

1) Nilai Religius

Nilai religius adalah perilaku yang mematuhi dan melaksanakan ajaran agama yang dianut oleh seseorang (Jalal et al, 2011: 49). Nilai ini terlihat pada penyajian talempong anam salido yang menggunakan tiga pasang talempong. Ketiga pasang talempong ini adalah representasi dari tungku tigo sajarangan. Menurut Gusman Tungku tigo sajarangan pada talempong anam salido adalah adat, syara’, dan indang (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T2 N46). Nurival juga mengatakan bahwa konsep tersebut mengacu kepada Falsafah adat

Minangkabau yaitu Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T2 N47).

Artinya penciptaan kesenian ini memang berlandaskan ajaran agama

Islam masyarakat Salido.

Gambar 23. Konsep tungku tigo sajarangan pada talempong anam salido (Dokumentasi: Muhammad Irfan, 2018)

2) Nilai Kedisiplinan

Kedispilinan adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan (Jalal et al, 2011: 49). Nilai ini dapat dilihat dari struktur polanya. Hal itu dikarenakan pola pada

110 setiap instrumen musiknya berbeda satu sama lain. Selain itu, saat latihan, para seniman tidak menggunakan alat bantu apa pun seperti partitur atau rekaman talempong anam salido.

Menurut Gusman dan Nurival memainkan talempong itu menggunakan raso (rasa), mandanga (mendengar) dan kiek (kiat) (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 N34 dan L4

N35). Maka dari itu praktik berkesenian tidak hanya soal melatih teknik saja, tetapi juga melatih pengendalian diri. Ketiga aspek demikian merupakan kunci permainan talempong anam salido. Penyatuan aspek- aspek dalam diri pemainlah yang membangun bakincuang. Jadi, memang membutuhkan latihan yang serius dan disiplin untuk dapat menyatukan jiwa pada permainan talempong.

3) Nilai Gotong Royong atau Peduli Sosial

Gotong royong adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan

(Jalal et al, 2011: 50). Tindakan tersebut memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Nilai ini terlihat pada pola permainan talempong anam salido yang menekankan kepada dialektika. Hal tersebut juga menunjukkan karakter masyarakat Salido yang mana mereka perlu bermufakat dalam pengambilan keputusan dan mengatasi masalah kehidupan sehari-sehari. Kebiasaan ini tanpa disadari telah dicurahkan dalam kesenian oleh seniman dan tetua. Oleh karena itu,

111 kesenian tersebut telah mendarah daging bagi pelaku seni dan masyarakat pendukungnya.

Kebiasaan demikian telah terjaga hingga saat ini dan menjadi suatu tradisi bagi masyarakat setempat. Senada dengan kondisi itu, terdapat pepatah “barek sapikua, ringan sajinjiang” yang artinya beban berat atau ringan ditangung bersama-sama (Navis, 1996: 61). Maka dari itu, kesenian ini membawa kenangan tersendiri bagi masyarakat Salido.

Gusman dan Nurival juga mengatakan demikian bahwa, kesenian ini adalah penjaga kebersamaan kami (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 N49 dan L4 N52).

4) Nilai Toleransi

Toleransi merupakan nilai yang sangat menonjol dalam kesenian talempong anam salido. Karena nilai ini terlihat sangat dominan. Nilai toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya (Jalal et al, 2011: 60).

Perilaku ini terlihat dari struktur pola talempong anam salido yang berlawanan satu sama lain. Meskipun demikian, bunyi yang dihasilkan tetap selaras. Maka dari itu, nilai inilah yang membangun dialetika pada struktur penyajian talempong anam salido.

5) Nilai Kemandirian

Nilai kemandirian adalah sikap tidak selalu bergantung pada orang lain dalam menjalani kehidupan sehari-seharinya (Jalal et al, 2011: 61).

112

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, masing pola tiap instrumen

musik yang digunakan memiliki satu pola. Masing-masing pola ini

tidaklah sama karena pola permainan talempong anam salido tidak

menggunakan sistem unisono.

Artinya, dibutuhkan kemandirian tiap pemainnya. Oleh karena itu,

Kesenian ini bisa mengajarkan kemandirian bagi para pemain. Jika tidak

terdapat kemandirian, maka bakincuang tidak bisa diwujudkan. Dengan

kata lain, pemain itu bisa dikatakan gagal dalam memainkan ensambel

(data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1c

N41).

C. Struktur Alek Malewakan Penghulu

Alek malewakan penghulu adalah menghimbaukan kepada masyarakat tentang pengangkatan seseorang yang akan memakai gelar kebesaran kaumnya

(Sjarifoedin, 2014: 171). Dalam strukturnya alek malewakan penghulu memiliki beberapa unsur yang mana salah satu dari bagian unsurnya adalah kesenian. Hal ini disebutkan oleh Datuak Tambijo dalam hasil wawancara yaitu, disinilah segala bentuk permainan anak nagari dipertunjukkan, seperti talempong, silek (silat), tari, randai dan sebagainya (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 5 dengan kode L5 T2 N36). Datuk Sutan Sinaro juga menegaskan bahwa hampir seratus persen pada setiap alek malewakan penghulu diseluruh Nagari Minangkabau mempertunjukan kesenian talempong dari daerahnya masing-masing (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 6 dengan kode L6 T2 N28).

113

Menurut Dt. Sutan Sinaro, kalau di Salido alek malewakan penghulu itu setelah dia mengisi adaik limbago dituang (menyetujui peraturan lembaga adat), persyaratan sebagai penghulu sudah dilengkapi dan SK pun sudah ditangan penghulu, barulah dilewakan gelarnya (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1b N16). Selain itu beliau juga menjelaskan terdapat dua tipe dalam alek malewakan penghulu yaitu, dilewakan dari kantor KAN ke rumah penghulu dan dilewakan dari rumah penghulu ke kantor KAN kembali lagi ke rumah penghulu (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 6 dengan kode

L6 T1 N24). Hal ini disebabkan karena mempertimbangkan jarak yang akan ditempuh antara rumah gadang dengan kantor KAN.

Struktur alek malewakan penghulu terdiri dari tiga unsur pokok yaitu, penghulu dan perangkatnya, sepakaik kaum (kesepakatan kaum), dan Kerapatan

Adat Nagari (KAN). Calon penghulu dan perangkatnya disebut “urang nan ampek jinih” yaitu bundo kanduang, malin, manti dan dubalang. Sepakaik kaum

(kesepakatan kaum) adalah sebuah kesepakatan yang dihasilkan dari rapat kaum penghulu. Kesepakatan kaum itu berisi sebuah ranji atau silsilah keluarga dari penghulu terdahulu sampai ke penghulu baru yang akan diangkat.

114

Gambar 24. Ranji kesepakatan kaum (Dokumentasi: Muhammad Irfan, 2018)

Kerapatan adat nagari (KAN) adalah lembaga adat yang mengurus bidang keadatan dalm ruang lingkung suatu nagari, salah satunya adalah meresmikan penghulu baru. Menurut datuk Tambijo dalam meresmikan seorang penghulu baru terlebih dahulu KAN harus memeriksa identitas dari calon penghulu itu yakni dilihat berdasarkan dari hasil kesepakatan kaumnya. kesepakatan kaum itu ditulis oleh kaum penghulu baru itu dalam bentuk proposal (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 5 dengan kode L5 T1 N6 dan L5 T1 N4). Hal ini disebutkan dalam pepatah “ma angkek panghulu sakato kaum” yang bermakna mengangkat penghulu itu berdasarkan kesepakatan kaum.

1. Persyaratan pengangkatan penghulu

Persyaratan pertama dalam pengangkatan seorang penghulu adalah

kesepakatan kaum. Persyaratan yang kedua, untuk orang yang akan diangkat

menjadi penghulu itu, haruslah memiliki Sako. Menurut Datuk Tambijo sako

merupakan bukti bahwa dia keturunan datuk sebelumnya. Sako adalah warisan

berupa gelar “warih nan bajawek, pusako nan batolong” yang berarti artinya

115 menerima warisan, dan menjaganya (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 5 dengan kode L5 T1 N9, L5 T1 N11, dan L5 T1 N13). Kemudian dilanjutkan dengan sidang paripurna di kantor KAN.

Gambar 25. Sidang pelantikan penghulu (Dokumentasi: Muhammad Irfan, 2018)

2. Prosisi Alek Malewakan Penghulu

Menurut Datuk Tambijo prosesi alek malewakan penghulu dilaksanakan setelah penghulu baru dilantik kemudian “dilewakan dirumah nan gadang dilabuah nan golong” yang artinya berjalan bersama-sama menuju rumah gadang penghulu baru. Jadi rumah gadang adalah tempat pelaksanaan alek malewakan penghulu (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 5 dengan kode L5 T1 N17, L5 T2 N32, dan L5 T1 N34). Di sanalah nantinya gala

(gelar) penghulu baru ini dilewakan oleh ketua KAN. Prosesi ini disebut pararakan yaitu arak-arakan rombongan penghulu baru beserta kaumnya dari tempat pelantikan menuju rumah gadang. Tujuannya adalah untuk

116

memberitahukan kepada seluruh warga daerah setempat bahwa telah lahir

seorang penghulu baru seperti yang telihat pada gambar 26.

(2) Persiapan ma arak oleh para (1)Para pemimpin kaum Rajo Melayu, induak bako (saudara perempuan bersiap untuk pararakan. dari pihak kaki-laki) membawa

persembahan.

(3) Pararakkan penghulu mulai ditandai dengan mulainya permainan talempong anam salido.

Gambar 26. Mulainya pararakan alek malewakan penghulu ditandai dengan mulainya permainan talempong (Dokumentasi: Muhammad Irfan, 2018)

Berdasarkan Gambar 26, mulainya prosesi alek malewakan penghulu

ditandai dengan masuknya permianan talempong anam salido. Artinya,

keberadaan kesenian talempong anam salido simbol kelahiran penghulu baru

di Nagari Salido. Karena kesenian yang mengiringi pararakan malewakan

penghulu hanya talempong. Ini sesuai dengan yang dikatakan Datuk Tambijo

yaitu, meskipun masih terdapat kesenian musik lain di Nagari Salido seperti

117 qosidah rabana dan rabab pasisia, namun tradisi pararakan adat tetap menggunakan talempong anam salido (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 5 dengan kode L5 T2 N20 dan L5 T2 N22). Beliau juga menegaskan oleh Ketua KAN Salido. Kalau dikaji perannya, talempong berperan untuk memeriahkan suatu alek nagari. Jika tidak memainkan talempong dalam iring- iringan itu, tentu para personilnya tidak ceria karena suasananya hening saja, sehingga otomatis tidak terlihat tanda-tanda sebuah alek (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 5 dengan kode L5 N37). Oleh karena itu dalam alek malewakan penghulu talempong juga berfungsi sebagai penyemangat masyarakat untuk melaksanakan kegiatan adat.

Kemudian rombongan pararakan penghulu disambut oleh silat dan tari galombang di depan rumah gadang. Musik talempong pun masih digunakan untuk iringan tari galombang. Menurut Nurival biasanya musik talempong terus dimainkan mengiringi tari galombang (data wawancara dapat dilihat pada lampiran 4 dengan kode L4 T1b N15 dan L4 T1b N16). Hal ini juga ditegaskan oleh Ridanti bahwa apa saja kegiatan kampung itu tetap memakai talempong

(data wawancara dapat dilihat pada lampiran 3 dengan kode L3 N8).

Gambar 27. Penyambutan oleh silek (silat) dan tari galombang

118

Selanjutnya penari membawakan carano berisi siriah (sirih) kepada

rombongan niniak mamak. Sirih diambil dan digigit oleh para niniak mamak

sebagai tanda bahwa alek malewakan penghulu telah direstui oleh para niniak

mamak. Dan diakhiri dengan pemberitahuan oleh ketua KAN kepada seluruh

para tamu undungan alek malewakan penghulu.

Gambar 28. Rangkaian akhir dari alek malewakan penghulu

D. Keterbatasan Penelitian

Hasil penelitian ini belum sepenuhnya mengungkapkan secara keseluruhan tentang struktur kesenian talempong anam salido. Hal tersebut disebabkan beberapa keterbatasan. Keterbatasan penelitian yang bisa diungkap sebagai berikut.

1. Data Penelitian

Data yang digunakan untuk menyusaun hasil penelitian ini meliputi hasil

wawancara, foto, dan dokumen lama yang ditemukan di lokasi penelitian.

119

Keterbatasan data penelitian juga terjadi pada data wawancara. Hal ini disebabkan ketika melakukan wawancara, sering terjadai miss komunikasi dengan para informan. Oleh karena itu, terjadi kesulitan ketika melakukan pengolahan data, sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menyelesaikan penulisan hasil penelitian.

2. Tempat Penelitian

Pengambilan data awalnya bertempat di Sanggar Seni Nan Gombang.

Namun, penerapan nilai karakter di sana belum terlaksana dengan baik. Yang diajarkan kepada anak-anak sanggar baru sebatas praktik bermain talempong.

Padahal, nilai karakter pada struktur talempong anam salido berpedoman kepada delapan belas pilar pendidikan karakter menurut Kemendikbud.

3. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini mengungkap struktur kesenian talempong anam salido di Kecamatan IV Jurai. Oleh karena itu, hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan dengan talempong yang berada di kecamatan lain dalam

Kabupaten Pesisir Selatan. Namun temuan penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan informasi bagi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sanggar-sanggar seni lainnya di Kabupaten Pesisir Selatan, maupun peneliti lain untuk melakukan studi lebih lanjut mengenai struktur kesenian talempong anam salido.

120