SUBTITUSI TEPUNG UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas blackie) DAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) PADA PEMBUATAN MIE BASAH

SKRIPSI

RISWAN 13 22 060 012

PROGRAM STUDI AGROINDUSTRI JURUSAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKEP PANGKEP 2017

i

ii

iii

SURAT PENYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini,

Nama Mahasiswa : Riswan NIM : 13 22 060 012 Program Studi : Agroindustri Perguruan Tinggi : Politeknik Pertanian Negeri Pangkep

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini dengan judul “Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas blackie) Dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Pembuatan Mie Basah” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan skripsi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Pangkep, Juli 2017 Yang menyatakan

(Penulis)

iv

SUMMARY

Riswan. “Subtitution Purple Sweet Potato Flour (Ipomoea batatas blackie) and Milkfish (Chanos chanos) in Boiled Formulation”. Supervisors; Nurfitriani and A. Ita Juwita. can be produced using single wheat flour or mixed with other ingredients. The aim of the mixed ingredients is to produce colour variations and nutritional composition. The nutritional value of boiled noodle products in the market is currently lacking due to high carbohydrate content, less protein and vitamin content. Nutritional value of boiled noodles is still very low, especially protein content. Most of the proteins source for boiled noodle has been widely derived from nuts. Milkfish can be a protein source for boiled noodles formulation. This study aimed to determine the quality of boiled noodle with subtitution purple sweet potato flour and milkfish with a different concentration in boiled noodle formulation. The study consisted of several stages, preparation of sweet potato flour and milkfish, boiled noodle formulation, proximate analysis of boiled noodle consisted of moisture content, ash content, protein content, carbohydrate content, Total Plate Count (TPC). In addition, the organoleptic test was performed by 31 panellists. A completely randomized design was applied to the combination treatment of purple sweet potato flour and milkfish with different concentration of 60% flour (A), purple sweet potato flour 20%, 25%, 30% (B), and fish Milkfish 20%, 15%, 10% (C). The results showed that the optimal results were obtained from A2B2C2 treatment with the concentration of 60%: 25%: 15%, respectively 61.6% moisture content, 0.61% ash content, 7.81% protein content, 27.01% carbohydrate content and 2.35 x 103 of total plate count. The preference level of boiled noodle product with the subtitution of purple sweet potato flour concentration and milkfish indicated a good influence in terms of colour, flavour, texture, and taste. The optimal color and flavour were obtained from the treatment of A3B3C3 (60%: 30%: 10%) with 3.54% and 3.38%. In addition, the optimal texture was suggested from the control A0B0C0 (100% wheat flour) of 3.22%, and the taste was from A3B3C3 60%: 30%: 10%) of 3.45%.

Keywords: boiled noodles, flour, milkfish, purple sweet potato.

RINGKASAN

v

RISWAN. “Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas blackie) Dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Pembuatan Mie Basah ”. Dibawah bimbingan Nurfitriani dan A. Ita Juwita. Mie umumnya dibuat dengan menggunakan tepung terigu baik secara tunggal, maupun dalam bentuk campuran dengan bahan lainnya. Pencampuran dengan bahan pangan lain biasanya bertujuan untuk membuat variasi warna dan komposisi gizi. Produk mie basah yang beredar dipasaran saat ini, nutrisinya kurang baik. Hal ini disebabkan karena pada mie basah kandungan karbohidratnya lebih besar, kandungan proteinnya rendah dan kandungan vitaminnya juga rendah. kandungan gizi pada produk mie dan olahannya masih sangat rendah terutama kandungan proteinnya. Protein yang berasal dari tumbuhan selama ini hanya didapatkan dari kacang-kacangan. Selain kacang-kacangan sumber bahan pangan lokal yang bisa digunakan untuk meningkatkan nilai gizi mie basah sebagai sumber protein yaitu ikan bandeng. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu mie basah yang dihasilkan dengan Subtitusi tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng yang berbeda pada setiap perlakuan. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu pembuatan tepung ubi jalar, bandeng lumat, pembuatan mie basah dengan Subtitusi tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng, dan analisa mutu mie basah yang terdiri dari analisa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat, analisa Total Plate Count (TPC), dan uji organoleptik yang dilakukan oleh 31 panelis. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng dengan konsentrasi yang berbeda yaitu tepung terigu 60%, (A) tepung ubi jalar ungu 20%, 25%, 30%, (B) dan ikan bandeng 20%, 15%, 10% (C). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Subtitusi tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng yang dihasilkan diperoleh hasil terbaik pada perlakuan A2B2C2 dengan konsentrasi masing-masing 60% : 25% : 15% dengan jumlah kadar air 61.6%, kadar abu 0.61%, kadar protein 7.81%, kadar karbohidrat 27.01% dan Total Plate Count 2.35 x 103. Tingkat kesukaan produk mie basah dengan variasi konsentrasi tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng yang telah diuji menunjukkan pengaruh baik dari segi warna, aroma, tekstur, dan rasa. Warna dan aroma terbaik berasal dari perlakuan A3B3C3 (60% : 30% : 10%) sebesar 3,54% dan 3.38%, sedangkan tekstur berasal dari kontrol A0B0C0 (100% tepung terigu) sebesar 3.22%, dan rasa berasal dari perlakuan A3B3C3 (60% : 30% : 10%) sebesar 3.45%.

Kata Kunci : ikan bandeng, mie basah, tepung, ubi jalar ungu

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat karunia dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas blackie) Dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Pembuatan Mie Basah”. Penelitian dan penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan Program Studi Agroindustri Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik moril, material, dan spritual sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Nurfitriani Usdayana Attahmid S.Pt, M.Si selaku pembimbing I, dan Ibu A. Ita Juwita S.Si, M.Si selaku pembimbing II, yang telah memberikan arahan maupun bimbingan dalam penyusunan skripsi. 2. Bapak Dr. Ir Darmawan MP, selaku direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep. 3. Bapak Sulkifli S.Pi, M.Si, selaku pembantu direktur bidang kemahasiswan beserta ibu Wahyuni SE, Wahida SE, Bapak Irawan S.Pi, M.Si, Ahmad Daud S.Pi selaku staff bidang kemahasiswan Politeknik Pertanian Negeri Pangkep. 4. Ibu Ir. Nurleli Fattah M.Si, selaku ketua jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. 5. Ibu Zulfitriany Dwiyanti Mustaka SP. MP, selaku ketua prodi agroindustri. 6. Dosen beserta segenap staff jurusan TPHP dan Program Studi Agroindustri. 7. Teknisi workshop pengolahan Ibu Warnida S.Pi, Husniati A.md.Pi, Nur Ahmad Saputra A.md.Pi.

vii

8. Kepada kedua orang tua saya dan segenap keluarga tercinta yang telah memberikan bantuan moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. 9. Seluruh rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Prodi Agroindustri angkatan XXVI atas kebersamaan, kerjasama, dan dukungan selama penulis melaksanakan pendidikan di Politeknik Pertanian Negeri Pangkep. 10. Sahabat tercinta Ayu Dewi Jaya A.md.Pi, Wahyu Idul Fitrah A.md.Pi, Deka Nanda, Citra Wardani, Sukmawi, Sitti Fatimah Paride, Nursiah dan kakak Paramita A.md.Pi. serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan segenap sumbangsinya kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih sangat jauh dari kata sempurna maka dari itu penulis mengharapkan kritikan yang sifatnya membangun untuk perbaikan kedepannya. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat kepada masyarakat secara umum dan kepada penulis secara khusus.

Pangkep, Juli 2017

Penulis

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PENGESAHAN ...... ii HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI...... iii SURAT PENYATAAN KEASLIAN ...... iv SUMMARY ...... v RINGKASAN ...... vi KATA PENGANTAR ...... vii DAFTAR ISI ...... ix DAFTAR TABEL ...... xii DAFTAR GAMBAR ...... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...... xiv

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 3 1.3 Tujuan Penelitian ...... 3 1.4 Manfaat Penelitian ...... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas blackie)...... 4 2.1.1 Klasifikasi Ubi Jalar Ungu ...... 4 2.1.2 Morfologi Ubi Jalar Ungu ...... 5 2.1.3 Komposisi Kimia Ubi Jalar Ungu ...... 6 2.1.4 Antosianin Pada Ubi Jalar Ungu ...... 7 2.2 Tepung ...... 8 2.2.1 Tepung Secara Umum ...... 8 2.2.2 Tepung Ubi jalar Ungu ...... 8 2.3 Ikan Bandeng (Chanos chanos) ...... 11 2.3.1 Deskripsi Dan Klasifikasi Ikan Bandeng ...... 11 2.3.2 Komposisi Gizi Pada Ikan Bandeng ...... 12

ix

DAFTAR ISI (Lanjutan)

2.4 Mie Basah ...... 14 2.4.1 Jenis-Jenis Mie ...... 16 2.4.2 Bahan Pembuat Mie ...... 18 2.5 Sifat Sensori dan kimia...... 22 2.5.1 Sifat Sensori ...... 22 a. Aroma ...... 22 b. Warna ...... 22 c. Tekstur ...... 23 d. Rasa ...... 23 2.5.2 Sifat Kimia ...... 23 a. Air ...... 23 b. Abu ...... 24 c. Protein ...... 24 d. Karbohidrat ...... 24 2.7. TPC (Total Plate Count) ...... 25

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat, Bahan dan Alat ...... 27 3.1.1 Waktu dan Tempat ...... 27 3.1.2 Bahan ...... 27 3.1.3 Alat ...... 27 3.2 Metodologi Penelitian ...... 28 3.2.1 Penelitian pendahuluan ...... 28 3.2.2 Penelitian Utama ...... 30 3.3 Metode Analisis ...... 32 3.3.1 Analisis Sifat Sensori ...... 32 3.3.2 Analisis Sifat Kimia ...... 32 a. Kadar Air ...... 32 b. Kadar Abu ...... 33 c. Kadar Protein ...... 34

x

d. Kadar Karbohidrat ...... 35 3.4 Analisa TPC Metode Cawan Tuang (SNI 2332.3.2015) ..... 36 3.5 Rancangan Penelitian ...... 36 3.6 Analisa Data ...... 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ...... 38 4.2 Pembahasan ...... 39

V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ...... 50 5.2 Saran ...... 50 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP PENULIS

xi

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman 1. Komposisi Kimia Ubi Jalar Ungu Per 100 Gram ...... 7 2. Karakteristik Fisikokimia Tepung Ubi Jalar Yang Dihasilkan Di ...... 9 3. Komposisi Kimia Beberapa Jenis Tepung Ubi Jalar ...... 10 4. Kriteria Mutu Tepung Ubi Jalar ...... 10 5. Komposisi Zat Gizi Per 100 Gram Bandeng Mentah Dan Masak ...... 13 6. Standar Mutu Mie Basah (SNI 2987-2015) ...... 15 7. Komposisi Kimia Tepung Terigu Per 100 Gram Bahan ...... 18 8. Syarat Mutu Tepung Terigu Sebagai Makanan (SNI 01-3751-2006)..... 19 9. Formulasi Mi Basah Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu Dan Ikan Bandeng ...... 30 10. Data Hasil Analisis Persen Mutu Kimia Mie Basah Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu Dan Ikan Bandeng ...... 38 11. Data Hasil Analisis Persen Mutu Sensoris (Organoleptik) Mie Basah Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu Dan Ikan Bandeng...... 38 12. Data Hasil Analisis Rata-Rata TPC ...... 38

12

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman 1. Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas blackie) ...... 5 2. Bentuk Umbi, Daun, Dan Bunga Ubi Jalar Ungu ...... 6 3. Tepung Ubi Jalar Ungu Yang Dihasilkan ...... 9 4. Ikan Bandeng (Chanos chanos) ...... 12 5. Diagram Alir Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Saffiera Karleen 2010) Yang Dimodifikasi ...... 28 6. Diagram Alir Pembuatan Bandeng Lumat ...... 29 7. Diagram Alir Pembuatan Mie Basah ...... 31 8. Grafik Kadar Air Mie Basah Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu Dan Ikan Bandeng ...... 39 9. Grafik Kadar Abu Mie Basah Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu Dan Ikan Bandeng ...... 40 10. Grafik Kadar Protein Mie Basah Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu Dan Ikan Bandeng ...... 40 11. Grafik Kadar Karbohidrat Mie Basah Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu Dan Ikan Bandeng ...... 43 12. Grafik Uji Sensoris Mie Basah Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu Dan Ikan Bandeng Terhadap Warna ...... 45 13. Grafik Uji Sensoris Mie Basah Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu Dan Ikan Bandeng Terhadap Aroma ...... 46 14. Grafik Uji Sensoris Mie Basah Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu Dan Ikan Bandeng Terhadap Tekstur ...... 47 15. Grafik Uji Sensoris Mie Basah Dengan Subtitusi Tepung Ubi Jalar Ungu Dan Ikan Bandeng Terhadap Rasa ...... 48 16. Grafik Analisis TPC Mie Basah ...... 49

13

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Data Hasil Analisis Proksimat Mie Basah ...... 56 2. Data Hasil Uji Sensoris Mie Basah ...... 57 3. Data Hasil Analisis TPC ...... 61 4. Data Hasil Analisis Sidik Ragam dan Uji Tukey Kadar Air ...... 62 5. Data Hasil Analisis Sidik Ragam dan Uji Tukey Kadar Abu ...... 63 6. Data Hasil Analisis Sidik Ragam dan Uji Tukey Kadar Protein ...... 64 7. Data Hasil Analisis Sidik Ragam dan Uji Tukey Kadar Karbohidrat.. 65

14

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak mengimpor tepung terigu dari negara penghasil tepung terigu seperti Turki, Australia, dan Srilangka. Pada tahun 2012 impor gandum di Indonesia mencapai angka 6.3 juta ton dengan nilai 2.3 miliar dolar Amerika Serikat. Menurut Badan Pusat Statistik 2013 jumlah tersebut meningkat pada kuartal I tahun 2013 dimana angka impor gandum tercatat 1,3 juta ton atau senilai 501 juta miliar Amerika Serikat. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, ketergantungan terhadap tepung terigu, dan ketergantungan terhadap impor. Saat ini masyarakat dan pemerintah berupaya mencari alternatif bahan pangan yang bisa digunakan untuk mengurangi penggunaan tepung terigu dalam pengolahan pangan dengan tujuan diversifikasi pangan Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor, meningkatkan nilai ekonomi bahan pangan lokal, dan memperkuat terhadap ketahanan pangan nasional. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber bahan pangan lokal penghasil karbohidrat yang sangat beragam seperti umbi-umbian, buah-buahan, dan sagu. Menurut Anonimous (2007) masing-masing jenis pangan tersebut memiliki karakteristik fisik dan kimia yang berbeda, hal tersebut sangat menentukan jenis pengolahan yang tepat untuk mendapatkan produk pangan yang berkualitas. Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas blackie) merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai bahan pangan sumber karbohidrat pengganti beras dan mengurangi penggunaan tepung terigu. Ubi jalar ungu merupakan salah satu jenis ubi jalar yang banyak ditemui di Indonesia selain yang berwarna putih, kuning, dan merah. Ubi jalar ungu memiliki warna ungu yang cukup pekat dan menarik perhatian. Warna ungu pada ubi jalar tersebut disebabkan oleh adanya pigmen antosianin yang menyebar dari bagian kulit sampai pada daging umbinya. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan karena berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, dan pencegah gangguan fungsi hati (Suda et al., 2003). Ubi jalar ungu juga merupakan sumber antioksidan

15 dan vitamin khususnya vitamin C dan juga merupakan sumber serat dan mineral yang penting dalam menurunkan kadar kolesterol darah dan membantu pencernaan. Kandungan air yang tinggi pada ubi jalar ungu menyebabkan kesulitan dalam proses penyimpanannya. Karena tingginya kandungan air dan tekstur yang lunak tersebut dapat menyebabkan ubi jalar ungu mudah rusak oleh pengaruh mekanis. Kandungan air pada ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki sekitar 67.77% (Widjanarko 2008). Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu pengolahan menjadi tepung. Pengolahan menjadi tepung dapat mengawetkan ubi jalar dengan masa simpan yang lebih lama. Pengolahan ubi jalar ungu menjadi tepung dapat memberikan keuntungan seperti dapat diolah menjadi beraneka ragam produk makanan salah satunya adalah mie basah. Mie merupakan salah satu komoditi makanan penting yang semakin mendunia, dengan jumlah produksi 101.420 juta bungkus di tahun 2012, dan mengalami kenaikan 3% jumlah produksi sejak 2010 (World Instan Noodle 2013). Pada umumnya, mie berbahan baku tepung terigu yang merupakan produk impor. Salah satu cara untuk mengurangi impor terigu yaitu menggunakan bahan baku lokal non terigu dalam pembuatan mie. Produk mie umumnya digunakan sebagai sumber energi karena memiliki sumber karbohidrat yang cukup tinggi (Rustandi, 2011). Menurut Badan Standar Nasional (2000) mie basah adalah produk makanan basah yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan dan berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Produk mie basah yang beredar dipasaran saat ini, nutrisinya kurang baik. Hal ini disebabkan karena pada mie basah kandungan karbohidratnya lebih besar, kandungan proteinnya rendah dan kandungan vitaminnya juga rendah. Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005) kandungan gizi pada produk mie dan olahannya masih sangat rendah terutama kandungan proteinnya. Protein yang berasal dari tumbuhan selama ini hanya didapatkan dari kacang-kacangan. Selain kacang- kacangan sumber bahan pangan lokal yang bisa digunakan untuk meningkat nilai gizi mie basah sebagai sumber protein yaitu ikan bandeng

16

Ikan bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu komoditas yang strategis untuk memenuhi kebutuhan protein yang relatif murah dan digemari oleh konsumen di Indonesia (Pasaribu, 2004). Pamijati (2009) menyatakan bahwa ikan bandeng banyak digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena memiliki kandungan gizi tinggi dan protein yang lengkap dan penting untuk tubuh. Zat gizi utama pada ikan antara lain protein, lemak, vitamin, dan mineral. Berdasarkan permasalahan diatas, dalam penelitian ini akan dilakukan pengolahan ubi jalar ungu menjadi tepung sebagai bahan subtitusi untuk mengurangi penggunaan tepung terigu da ikan bandeng sebagai sumber protein pada pembuatan mie basah. Penelitian ini akan mengetahui konsentrasi terbaik penggunaan tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng yang tepat sebagai bahan subtitusi dengan melihat kadar abu, kadar air, kadar protein, kadar karbohidrat, Total Plate Count, dan sifat sensoris sesuai dengan Standar Nasional Indonesia mie basah (SNI 2987-2015).

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, Bagaimana subtitusi tepung ubi jalar ungu (Ipomoea batatas blackie) dan ikan bandeng (Chanos chanos) pada pembuatan mie basah berdasarkan karakteristik kimia, Total Plate Count, dan sifat sensoris?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui subtitusi terbaik tepung ubi jalar ungu (Ipomoea batatas blackie) dan ikan bandeng (Chanos chanos) pada pembuatan mie basah berdasarkan karakteristik kimia, Total Plate Count, dan sifat sensoris.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai subtitusi terbaik penggunaan tepung ubi jalar ungu (Ipomoea batatas blackie) dan ikan bandeng (Chanos chanos) pada pembuatan mie basah.

17

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Jalar Ungu (Ipomeoa batatas blackie.)

Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) merupakan tanaman merambat yang sangat banyak variasinya. Variasi ini meliputi warna batang dan umbi serta bentuk daunnya. Warna batang ubi jalar ada yang hijau, kuning, dan ungu. Sedangkan warna umbinya putih, kuning, oranye, ungu, dan kemerah- merahan. Bentuk daunnya ada yang seperti tangan tapi ada pula yang menyerupai jantung dengan warna hijau atau ungu. Menurut Sri Kumalaningsih (2006), ubi jalar ungu (Ipomoea batatas varietas Ayamurasaki) atau biasa disebut Ipomoea batatas blackie karena kulit dan daging umbi yang berwarna ungu kehitaman. Varietas ayamurasaki, ubi jalar ungu introduksi dari Jepang, telah ditanam di beberapa daerah di Jawa Timur, khususnya Malang dan Pasuruan dengan potensi hasil 15-20 ton/ha (Ginting et al. 2006). Ubi jalar ungu mengandung pigmen antosianin yang lebih tinggi daripada ubi jalar jenis lain. Antosianin merupakan kelompok pigmen yang dapat larut di dalam air dan berperan memberi warna ungu, merah atau biru pada buah- buahan dan sayur-sayuran (Plata et al., 2003 dalam Bouvell-Benjamin, 2007).

2.1.1 Klasifikasi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas blackie)

Tanaman ubi jalar dapat beradaptasi luas terhadap lingkungan tumbuh dengan daerah penyebarannya terletak pada 30o LU dan 30o LS. Daerah ini meliputi lingkup Indonesia yang terletak pada 6o LU sampai 11o LS, sehingga ubi jalar cocok tumbuh di Indonesia. Daerah yang paling ideal untuk mengembangkan ubi jalar adalah daerah bersuhu antara 21oC-27oC, mendapat sinar matahari 11-12 jam/hari, curah hujan tinggi 750-1.500 mm/tahun, dan kelembapan udara (RH) 50-60% (Anonim, 2008). Ubi jalar ungu mengandung zat yang disebut antosianin. Total antosianin pada ubi jalar ungu sendiri adalah 519 mg/100 g berat basah (Widjanarko, 2008). Antosianin memiliki fungsi

18 fisiologis seperti antioksidan, antikanker, anti bakteri, kerusakan hati, penyakit jantung dan stroke (Jusuf, dkk., 2008). Klasifikasi tanaman ubi jalar ungu (Andiga, 2012) sebagai berikut :

Gambar 1. Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas blackie)

Kingdom : Plantae Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh) Super divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua) Sub kelas : Asteridae Ordo : Solanales Famili : Convolvulaceae (suku kangkung-kangkungan) Genus : Ipomoea Spesies : Ipomoea batatas poir

2.1.2 Morfologi ubi jalar ungu

Tanaman ubi jalar ungu merupakan tanaman semusim yang menjalar batangnya seperti salur-salur yang menjalar, tipis, hijau gelap hingga coklat dan mengandung getah. Daunnya melekat pada tangkai daun yang panjang dan mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda, tergantung pada varietas. Daun sederhana utuh atau berbagi. Didaerah tropis basah, ubi jalar mudah berbunga, menghasilkan bunga- bungan terompet warna ungu yang muncul pada pangkal tangkai daun. Serangga pengunjung bunga tersebut dapat menyebabkan penyerbukan silang. Buahnya kalau telah kering pecah menghasilkan empat biji kecil yang berwarna hitam. Umbi biasanya dihasilkan dalam tanah lapisan atas setebal 25

19 cm. Umbi ini sangat bervariasi dalam hal ukuran, bentuk, warna dan kualitas atau rasanya karena tergantung pada varietas. Umbi dewasa mengandung getah. Mereka kaya pati dan juga mengandung sejumlah gula, protein, dan lemak. Tipe-tipe ubi jalar yang berwarna ternyata kaya akan vitamin A, dan mengandung sejumlah vitamin B dan C. Berdasarkan warna, kulit, dan daging umbinya, ubi jalar dapat dibedakan menjadi sembilan jenis yaitu putih, krem, kuning, oranye, coklat, jingga, merah, merah muda, merah gelap dan ungu. Warna daging sering digunakan sebagai tanda untuk membedakan jenis ubi jalar karena mewakili sifat fisikokimia sebagai bahan olahan. Perbedaan warna ubi jalar disebabkan oleh perbedaan pigmen yang terkandung (Sugiyono, 2002). Pigmen yang menyusun warna ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki termasuk dalam jenis antosianin yang didominasi oleh sianidin dan peonidin dalam bentuk mono- atau diasilasinya (Kano et al. 2005).

Gambar 2. Bentuk umbi, daun, dan bunga ubi jalar ungu

2.1.3 Komposisi Kimia Ubi Jalar Ungu

Ubi jalar ungu mengandung lisin, Cu, Mg, K, Zn, rata-rata 20% (Widjanarko, 2008). Ubi ungu juga merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi. Karbohidrat yang terkandung pada ubi jalar termasuk dalam kalsifikasi Low Glycemix Index (LGI, 54), artinya komoditi sangat cocok untuk penderita diabetes. Mengonsumsi ubi jalar tidak secara drastis menaikan gula darah, berbeda halnya dengan sifat karbohidrat dengan Glycemix Index tinggi, seperti beras dan jagung. Indeks glikemik menggambarkan efek konsumsi bahan pangan dalam menaikan kadar gula darah. Nilai IG <55 tergolong rendah, 55-70 sedang dan >70 tinggi (Mendosa, 2008). Sumber vitamin yang terkandung dalam ubi jalar antara lain vitamin(A,

20

B1, B2, C, dan E), mineral (kalsium, kalium, magnesium, tembaga, dan seng), serat pangan, serta karbohidrat bukan serat (Suda et al., 2003).

Tabel 1. Komposisi kimia ubi jalar ungu per 100 gram

Sifat kimia dan fisik Jumlah Kadar air (%) 67.77 Kadar abu (%) 3.28 Kadar pati (%) 55.27 Gula pereduksi (%) 1.79 Kadar lemak (%) 0.43 Kadar antosianin (mg/100) 923.65 Sumber : Widjanarko (2008)

Pigmen dominan pada ubi jalar ungu adalah antosianin yang cukup tinggi, sedangkan untuk ubi jalar kuning adalah flavon dan orange adalah betakaroten (Oki et al., 2002). Pigmen warna ungu pada ubi jalar ungu lebih stabil bila dibandingkan antosianin dari sumber lain seperti kubis merah, elderberri, bluberi, dan jagung merah (Kano et al., 2005).

2.1.4 Antosianin Pada Ubi Jalar Ungu

Keberadaan antosianin pada suatu tanaman tidak selalu sama jenis dan komposisinya (Philpott et al., 2004). Namun, pigmen ini umunya terdapat pada bagian epidermis dan sel mesofil periferal suatu bahan pangan (Astawan dan Kasih, 2008). Jenis antosianin pada ubi jalar ungu adalah bentuk mono-atau diasilasi dari jenis peonidin dan sianidin (Terahara et al., 2004). Antosianin dari ubi jalar ungu lebih stabil daripada pigmen yang terkandung di dalam strawbery, kubis merah, dan perilla (Zhang et al., 2009). Bahkan efek free radical seavenging-nya lebih tinggi daripada pigmen yang terkandung dalam kubis merah, kulit anggur, elderberi, dan jagung ungu, serta asam askorbat (Kano et al., 2005, Phillpot et al., 2004). Oleh karena itu, ubi jalar ungu merupakan sumber antosianin yang baik untuk diaplikasikan dan diolah lebih lanjut. Steed dan Truong (2008) mengatakan bahwa total antosianin yang terdapat pada ubi jalar ungu yang ditanam di Carolina, Amerika Serikat mengandung 107.6 mg antosianin/100 g umbi basah. Berbeda halnya dengan

21

kadar antosianin ubi jalar varietas Ayamurasaki yang diteliti oleh Widjanarko (2008) yang menunjukkan hingga 923.65 mg antosianin/100 g umbi basah.

2.2 Tepung

2.2.1 Tepung Secara Umum

Tepung adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus atau sangat halus tergantung proses penggilingannya. Biasanya digunakan untuk keperluan penelitian, rumah tangga, dan bahan baku industri. Tepung biasanya berasal dari bahan nabati misalnya tepung terigu dari gandum, tepung tapioka dari singkong, tepung maizena dari jagung atau tepung hewani misalnya tepung tulang dan tepung ikan. Tepung merupakan padatan yang diperoleh dari proses penggilingan suatu bahan dalam bentuk butiran halus yang mengandung kadar air 10-13%. Tepung dapat diperoleh dari hasil pertanian yang mengandung karbohidrat yang tinggi (Adiono dan Purnomo Hari, 2007). Tingkat kehalusan produk tepung yang umum dipersyaratkan minimal adalah 80 mesh, bahkan beberapa perusahaan swasta maupun eksportir menetapkan standar sebesar 100 mesh untuk mendapatkan tepung dengan tingkat kehalusan tinggi. Tepung dengan tingkat kehalusan dibawah 80 mesh umumnya masih terlihat kasar. Salah satu kriteria kualitas tepung yang baik adalah apabila minimal 95% dari produk tersebut lolos ayakan 80 mesh. Sebagai perbandingan tingkat kehalusan tepung terigu yang diperkenankan oleh SNI 01-3751-2006 adalah minimal 95% harus lolos ayakan 80 mesh. Pada tepung jagung, standar tingkat kehalusan yang dipersayaratkan adalah 99% lolos ayakan 60 mesh dan 70% lolos ayakan 80 mesh (SNI 01-3727-1995).

2.2.2 Tepung Ubi jalar Ungu

Tepung ubi jalar merupakan hancuran dari ubi jalar yang dihilangan sebagaian kadar airnya sekitar 7% (Sarwono, 2005). Tepung ubi jalar ungu memiliki bentuk seperti tepung biasa dan berwarna ungu keputihan namun setelah terkena air warnanya menjadi ungu tua. Menurut Murtaningsi dan Suyanti (2011), mengolah ubi jalar ungu menjadi tepung merupakan salah satu

22 cara untuk menyimpan dan pengawetan ubi ungu. Ubi jalar ungu dalam bentuk tepung juga akan mempermudah pemanfaatannya sebagai bahan baku dalam industri pangan maupun non pangan.

Gambar 3. Tepung ubi jalar ungu yang dihasilkan

Nur Richana (2012) menyatakan bahwa tepung ubi jalar merupakan produk setengah jadi yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam industri makanan dan juga mempunyai daya simpan yang lebih lama. Nurdjanah dan yuliana (2013) melaporkan kandungan antosianin pada ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki sebesar 63.15 mg/100 g, hasil penelitian Ningsih (2015) diperoleh total antosianin tepung ubi jalar ungu sebesar 18.1-25.7 mg/100 g tergantung pada lama pendinginan. Menurut Arianingrum (2014) melaporkan umur simpan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian terpanjang yaitu selama 136 hari pada perlakuan pemanasan selama 45 menit dan 60 menit, sedangkan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagaian tanpa perlakuan pemanasan memiliki umur simpan yang lebih rendah yaitu 91 hari. Tepung Tepung ubi jalar ungu dibuat dari sawut atau chip kering dengan cara digiling dan diayak. Kandungan gizi pada tepung ubi jalar ungu tergantung pada faktor varietas ubi jalar dan lingkungannya.

Tabel 2. Karakteristik fisikokimia tepung ubi jalar yang dihasilkan di Indonesia Komponen Mutu Tepung Ubi Jalar Kimia Putiha Putiha Kuningc Unguc Rata-rata Air (%b/b) 10.99 7.00 6.77 7.28 7.94 Abu (%) 3.14 2.58 4.71 5.31 3.94 Lemak (%) 1.02 0.53 0.91 0.81 0.82 Protein (%) 4.46 2.11 4.42 2.79 3.44 Serat kasar (%) 4.44 3.00 5.54 4.72 4.42 Karbohidrat (%) 84.83 81.74 83.19 83.81 83.39

23

Sumber: Susilawati dan Medikasari (2008)

Tabel 3. Komposisi kimia beberapa jenis tepung ubi jalar

Tepung Ubi Jalar Komponen Kimia Putih Kuning Ungu Air (% bb) 6.87-7.70 6.77 7.00 Abu (% bk) 2.79-2.94 4.71 5.31 Lemak (% bk) 0.71-0.81 0.91 0.81 Proten (% BK) 2.3-3.0 4.42 2.79 Serat pangan (% bk) 2.83-3.90 5.54 4.72 Karbohidrat (% bk) 86.1-94.1 83.19 83.81 Pati (%bk) 66.7-70.7 - - Total Gula (% bk) 10.3-15.2 - - Gula pereduksi (%bk) 3.80-10.35 - - Sumber : Susilawati dan Medikasari (2008)

Tabel 4. Kriteria mutu tepung ubi jalar Kriteria Nilai Kadar air Maksimal 15% 4 ml 0,1 N NAOH/100 Keasaman Maksimal gram Kadar pati minimal 55% Kadar serat maksimal 3% Kadar abu 2% Sumber : Medikasari (2008)

Tepung ubi jalar juga memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat disimpan pada waktu yang lama, dapat digunakan sebagai bahan baku industri secara langsung, dan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi berbagai macam produk olahan (Jiang, 2001). Selain itu, tepung ubi jalar memiliki kandungan gula yang cukup tinggi sehingga dalam pembuatan produk olahan berbahan baku tepung ubi jalar, dapat mengurangi penggunaan gula sebanyak 20% (Nuraini, 2004). Keunikan tepung ubi jalar adalah warna produk yang beraneka ragam, mengikuti warna daging umbi bahan bakunya. Proses yang tepat dapat menghasilkan tepung dengan warna sesuai warna umbi bahan. Proses pembuatan tepung ubi jalar ungu secara konvensional yaitu dari sawut atau chip kering yang dibuat dengan proses penggilingan dan pengayakan, masalah utama yang dihadapi yaitu masalah reaksi pencoklatan

24

enzimatik, warna ubi ungu akan menjadi kusam yang disebabkan oleh enzim fenolase. Untuk menghambat reaksi pencoklatan enzimatik, maka ubi ungu perlu dikukus untuk merusak struktur enzim fenolase tersebut dengan rusaknya struktur enzim fenolase tersebut. Maka reaksi pencoklatan enzimatik pada ubi ungu dapat dihambat (Nur Richana, 2012). Enzim umumnya bereaksi optimum pada suhu 30-40oC. Pada suhu 45oC enzim mulai terdenaturasi dan pada suhu 60oC enzim mengalami dekomposisi. Pada pembuatan tepung ubi jalar proses pengeringan harus diperhatikan untuk menghasilkan tepung yang berkualitas. Pada pembutan tepung ubi jalar ungu pengeringan dilakukan pada suhu 60oC. Pengeringan pada suhu 60oC akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan adanya kontak dengan oksigen yang menyebabkan terjadinya oksidasi antosianin. Faktor, lain yang juga penting dalam kestabilan antosianin adalah harus diproses dan diolah pada temperatur rendah dengan sedikit kehadiran oksigen serta cahaya (Vargas dan Lopez, 2003).

2.3 Ikan Bandeng (Chanos chanos)

2.3.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng

Ikan bandeng adalah salah satu jenis ikan yang cukup populer, bukan hanya di Indonesia tetapi juga hampir di seluruh Asia Tenggara. Di Filipina, ikan bandeng dikenal sebagai simbol kenegaraan yang dikenal dengan nama bangus. Dalam bahasa latin, ikan bandeng disebut chanos-chanos sedangkan dalam bahasa inggris disebut milkfish. Disebut demikian karena kulitnya yang hitam keputih-putihan seperti susu. Meskipun kita sering melihatnya dipasar, ikan ini termasuk hewan langka karena merupakan satu-satunya spesies yang masih ada dari keluarga chanidae. Beberapa laporan menunjukkan lebih dari tujuh spesies yang telah punah dari keluarga bandeng ini. Menurut Sudrajat (2008) taksonomi dan klasifikasi ikan bandeng adalah sebagai berikut.

25

Gambar 4. Ikan bandeng (Chanos Chanos)

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subpylum : Vertebrata Class : Osteichthyes Ordo : Gonorynchifomes Family : Chanidae Genus : Chanos Spesies : Chanos chanos

2.3.2 Komposisi Gizi Pada Ikan Bandeng

Ikan bandeng mempunyai kadar lemak yang cukup rendah. Lemak pada ikan ini mempunyai keunggulan khusus dibandingkan dengan lemak hewani lainnya. Keunggulan khusus tersebut terutama terletak pada komposisi asam lemak jenuhnya yang sangat tinggi . Asam lemak tidak jenuh merupakan komponen yang sangat esensial bagi tubuh, terutama untuk proses pertumbuhan tubuh, baik fisik maupun fungsi otak. Pada ikan laut, terdapat kandungan asam lemak omega 3 yang sangat baik bagi tubuh. Omega 3 merupakan salah satu asam lemak yang dibutuhkan oleh tubuh (Astawan, 2008). Sejumlah negara maju seperti kanada, Inggris, Swedia, Australia, Jepang, dan WHO telah menetapkan rekomendasi tentang asupan omega 3 untuk setiap orang, yaitu 0,3-0,5 g/hari. Menurut studi ilmiah yang dilakukan oleh The Scotish Food Drink Omega 3 Group dan The Joint Health Claim Initiative (JHCL), setiap minggu disarankan untuk mengonsumsi omega 3 sebanyak 3 g atau 0.45 g setiap hari. Komposisi zat gizi pada ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 5.

26

Tabel 5. Komposisi zat gizi per 100 gram bandeng mentah dan masak Zat Gizi Bandeng Mentah Bandeng Masak (dry heat)

Energi (kkal) 148 190

Protein (g) 20.53 26.32

Total lemak (g) 6.73 8.63

Kalsium (mg) 51 65

Besi (mg) 0.32 0.41

Magnesium (mg) 30 38

Fosfor (mg) 162 208

Kalium (mg) 292 374

Natrium (mg) 72 92

Seng (mg) 0.82 1.05

Tembaga (mg) 0.034 0.044

Mangan (mg) 0.002 0.026

Selenium (mkg) 12.6 16.2

Thiamin (mg) 0.013 0.016

Riboflavin (mg) 0.054 0.069

Niasin (mg) 6.440 8.256

Asam phanthothenat (mg) 0.750 0.865

Asam folat (mkg) 16 18

27

Vitamin B6 (mg) 0.423 0.488

Vitamin B12 (mkg) 3.40 3.27

Vitamin A (IU) 100 109

Kolesterol (mg) 52 67

Sumber : USDA (2007)

Ikan bandeng juga mengandung sejumlah vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup berimbang. Vitamin yang banyak terdapat pada ikan bandeng adalah vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A dan D, sedangkan mineral yang dominan adalah kalsium, fosfor, iodium, zat besi, dan selenium. Zat-zat gizi tersebut bermanfaat untuk mencegah berbagai macam penyakit degeneratif dan akibat kekurangan zat gizi mikro.

2.4 Mie Basah

Mie merupakan salah satu jenis makanan yang sangat populer di Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara. Menurut catatan sejarah mie dibuat pertama kali di daratan Cina sekitar 2000 tahun yang lalu pada masa pemerintahan Dinasti Han. Dari Cina, mie berkembang dan menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan, dan negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Bahan baku mie berasal dari gandum yang telah digiling. Sesungguhnya seni menggiling gandum ini telah berkembang terlebih dahulu di Timur Tengah, seperti Mesir dan Persia. Produknya berupa lembaran tipis yang menyerupai mie. Pembuatan produk tersebut dilakukan secara manual. Pada tahun 700-an, sejarah mencatat terciptanya mesin mie yang digerakan oleh alat mekanik. Mie berkembang pesat setelah T.Masaki berhasil membuat mesin pembuat mie mekanik secara massal pada tahun 1854. Tidak hanya itu, mie menjadi populer di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Selanjutnya, mie berkembang di Cina dengan berbagai produk, diantaranya mie instan yang dikenal dengan nama chiken . Di Indonesia, mie banyak digunakan sebagai salah satu bahan baku dalam berbagai masakan daerah, antara lain mie dan taoge goreng, empek-empek, , mie juhi, mie

28 jawa, dan masakan lainnya. Di Malaysia, mie juga digunakan sebagai makanan pokok, seperti nasi. Ada beberapa jenis mie yang dikenal di Malaysia, antara lain mihon, kwetiau, mie instan, cantonese, dan mie hookien. Menurut Standar Industri Indonesia (SII) defenisi mie yaitu makanan yang dibuat dari tepung gandum atau tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, bentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah masak. Menurut badan standar nasional (2000) mie basah adalah produk makanan basah yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan dan berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Standar mutu mie basah dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Standar mutu mie basah (SNI 2987-2015) No Kriteria uji Satuan Persyaratan

Mie basah Mie basah mentah matang

1. Keadaan

Bau - Normal Normal

Rasa - Normal Normal

Warna - Normal Normal

Tekstur - Normal Normal

2. Kadar air Fraksi massa, Maks. 35 Maks. 65 %

3. Kadar protein Fraksi massa, Maks. 9.0 Maks. 6.0 (Nx6.25) %

4. Kadar abu tidak Fraksi massa, Maks. 0.05 Maks. 0.05 larut dalam asam %

5. Bahan berbahaya

29

Formalin (HCHO) - Tidak Boleh Tidak Boleh Ada Ada

Asam borat - Tidak Boleh Tidak Boleh

(H3BO3) Ada Ada

6. Cemaran logam

Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1.0 Maks. 1.0

Kadmium (Cd) mg/kg Maks.0.2 Maks.0.2

Timah (Sn) mg/kg Maks. 40.0 Maks. 40.0

Merkuri (Hg) mg/kg Maks.0.05 Maks.0.05

7. Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 0.05 Maks. 0.5

8. Cemaran mikroba

Angka lempeng koloni/g Maks. 1x106 Maks. 1x106 total

Escherichia coli APM/g Maks. 10 Maks. 10

Salmonella sp. - Negtif/25 g Negtif/25 g

Staohylococcus koloni/g Maks. 1x103 Maks. 1x103 aureus

Bacillus cereus koloni/g Maks. 1x103 Maks. 1x103

Kapang koloni/g Maks. 1x104 Maks. 1x104

9. Deoksinivalenol µg/kg Maks.750 Maks.750

Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2015

2.4.1 Jenis-Jenis Mie

Pembuatan mie secara tradisional dapat dilakukan dengan bahan utama tepung terigu dan bahan pembantu seperti air, telur, dan bahan tambahan pangan. Adapun proses pembuatan mie meliputi beberapa tahapan yaitu

30 pencampuran, pembuatan adonan, pembuatan lembaran, pencetakan, perebusan, pendinginan, dan penirisan (Suyanti, 2006). Mie pada prinsipnya dibuat dengan cara yang sama, akan tetapi dipasaran dikenal beberapa jenis mie, diantaranya mie segar/mentah (raw chinese noodle), mie kering (steam and fried noodle), mie basah (boiled noodle), dan mie instan (instan noodle).

1. Mie kering Mie kering adalah mie segar yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10%. Pengeringan umumnya dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan oven. Karena bersifat kering maka mie ini mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan mudah penanganannya. Mie kering sebelum dipasarkan biasanya ditambahkan telur segar atau tepung telur sehingga mie ini dikenal dengan nama mie telur. Penambahan telur ini merupakan variasi sebab secara umum mie oriental tidak mengandung telur (Suyanti, 2010). Di Amerika Serikat, penambahan telur merupakan suatu keharusan karena mie kering harus mengandung air kurang dari 13% dan padatan telur lebih dari 5.5%.

2. Mie basah Mie basah adalah mie yang sebelumnya dipasarkan mengalami perebusan dalam air mendidih lebih dahulu. Mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar airnya dapat mencapai 52% sehingga daya tahan simpannya relatif singkat yaitu 40 jam pada suhu kamar (Astawan, 2008). Adapun kerusakan pada mie basah ditandai dengan ciri berbintik putih atau hitam karena pertumbuhan kapang, berlendir, berbau asam, dan berwarna lebih gelap. Di Indonesia, mie basah dikenal sebagai mie kuning atau mie .

3. Mie instan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3551-1994, mie instan didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan

31

makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie dan siapa dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mie instan umunya dikenal sebagai ramen. Mie ini dibuat dengan penambahan beberapa proses setelah diperoleh mie segar. Tahap-tahap tersebut yaitu pengukusan, pembentukan, dan pengeringan. Kadar air mie instan umumnya mencapai 5-8%. Sehingga memiliki daya simpan yang lama. Berdasarkan proses pengeringan, dikenal dua macam mie instan. Pengeringan dengan cara menggoreng menghasilkan mie instan goreng (instan fried noodle), sedangkan pengeringan dengan udara panas disebut mie instan kering (instant dried noodle). Mie instan goreng mampu menyerap minyak hingga 20% selama penggorengan (dalam proses pembuatan mie) sehingga mie instan goreng memiliki keunggulan rasa dibandingkan mie jenis lain. Namun demikian, mie instan goreng disyaratkan agar pada saat perebusan tidak ada minyak yang terlepas ke dalam air dan hasilnya mie cukup kompak dan permukaanya tidak lengket (Astawan, 2006)

4. Mie segar Mie segar atau mie mentah adalah mie yang tidak mengalami proses tambahan setelah pemotongan dan mengandung air sekitar 35%. Oleh karena itu, mie ini cepat rusak. Penyimpanan dalam refrigrator dapat mempertahankan kesegaran mie hingga 50-60 jam. Setelah masa simpan tersebut, warna mi akan menjadi gelap. Mie segar umumnya dibuat dari tapung terigu yan teksturnya keras untuk mempermudah penanganannya. Mie segar ini umumnya digunakan sebagai bahan baku (Astawan, 2006)

2.4.2 Bahan Pembuat Mie

Pada proses pembuatan mie, dibutuhkan bahan utama dan bahan tambahan. Masing- masing bahan memiliki fungsi tertentu seperti menambah bobot, volume, memperbaiki mutu, cita rasa, dan warna. Kadar pencampuran

32 berbagai bahan tambahan tersebut sangat bervariasi disesuaikan dengan permintaan konsumen atau perhitungan ekonomis. Misalnya, harga tepung terigu terlalu tinggi maka penggunaanya dapat dikurangi dan digantikan dengan tepung lainnya. Bahan baku pembuatan mie adalah sebagai berikut.

1. Tepung terigu Tepung terigu menurut SNI 01-3751-2006 adalah tepung yang terbuat dari endosperma biji gandum Triricum Asditivun L dan atau Triticum Compactum Host atau campuran keduanya dengan penambahan Fe, Zn, Vitamin B1, Vitamin B2, dan asam folat sebagai fortifikasi. Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan diantara serealia lainnya adalah kemampuannya membenuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan ini menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada saat proses pencetakan dan pemasakan. Komposisi kimia dan syarat mutu tepung terigu sebagai makanan dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.

Tabel 7. Komposisi kimia tepung terigu per 100 gram bahan No Komposisi Jumlah

1. Kalori (kal) 365

2. Protein (g) 8.9

3. Lemak (g) 1.3

4. Karbohidrat (g) 77.3

5. Air (g) 12.0

6. P (mg) 106

7. Kalsium (mg) 16

8. Fe (mg) 1.2

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1996

33

Tabel 8. Syarat mutu tepung terigu sebagai makanan (SNI 01-3751-2006) No Jenis uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan

Bentuk - Serbuk

Bau - Normal (bebas dari bau asing)

Warna - Putih, khas terigu

2. Benda asing - Tidak ada

3. Serangga dalam semua - Tidak ada bentuk stadia dan potongan- potongan yang tampak

4. Kehalusan, lolos ayakan µm % Min. 95 No. 70(b/b)

5. Kadar air (b/b) % Maks. 14.5

6. Kadar abu (b/b) % Maks. 0.6

7. Kadar protein (b/b) % Min. 7.0

8. Keasaman Mg Maks. 50 KOH/100 gr

9. Falling number (atas dasar detik Min. 300 kadar air 14%)

10. Besi (fe) mg/kg Min. 50

11. Seng (Zn) mg/kg Min. 30

12. Vitamin B1 (Thiamin) mg/kg Min. 2.5

13. Vitamin B2 (Riboflavin) mg/kg Min. 4

14. Asam folat mg/kg Min. 2

15. Cemaran logam

Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1.00

34

Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05

Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10

16. Cemaran arsen mg/kg Maks. 0.50

17. Cemaran mikroba

Angka lempeng total koloni/g Maks. 106

E.coli APM/g Maks. 10

Kapang koloni/g Maks. 104

Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2006

Tepung terigu mengandung protein sebesar 7-22% yang terdiri dari jenis protein albumin, globulin, gliadin, glutenin, dan gluten. Gluten terbentuk apabila glutenin dan gliadin tercampur air. Gluten merupakan senyawa yang dapat membentuk sifat kohesif dan viskoelastis sehingga dapat membentuk tekstur elastis pada mie (Koeswara, 2009). Selain protein, tepung terigu juga memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi sekitar 70-75% yang komponen utamanya amilosa dan amilopektin. Komposisi tepat kedua komponen tersebut dapat mempengaruhi kualitas dari mie dan mempercepat proses pengembangan pada temperatur yang rendah (Yu, 2003). Berdasarkan kandungan gluten (protein), tepung terigu yang beredar di pasaran dapat dibedakan menjadi 3 macam.

a. Hard flour, tepung ini memiliki kualitas paling baik. Kandungan proteinnya 12-13%, tepung ini biasanya digunakan untuk pembuatan roti dan mie berkualias tinggi. Contohnya, terigu cakra kembar. b. Medium hard flour, terigu jenis ini mengandung protin 9.5-11%. Tepung ini banyak digunakan untuk pembuatan roti, mi, macam-macam , dan biskuit. Contohnya, terigu segitiga biru.

35 c. Soft flour, terigu ini mengandung protein sebesar 7-8.5%. Penggunaannya cocok sebagai bahan pembuatan kue dan biskuit. Contohnya, terigu kunci biru.

2. Garam dapur Garam adalah benda padat berwarna putih berbentuk kristal yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Clorida, (>80%) serta senyawa lainnya, seperti Magnesium Clorida, Magnesium Sulfat, dan Calsium Chlorida. Sumber garam yang di dapat di alam berasal dari air laut, deposit dalam tanah, tambang garam, sumber air dalam tanah (Burhanuddin, 2001). Penambahan garam dapur dalam pembuatan mie, berfungsi untuk memberi cita rasa, memperkuat tekstur mie, meningkatkan fleksibilitas, dan elastis mie, serta untuk mengikat air. Selain itu, garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan. 3. Air Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat (akan mengembang), melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Makin tinggi pH air maka mie yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorbsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan harus air yang memenuhi persyaratan sebagai air minum, diantaranya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Sutrisno, 2002). Jumlah air yang ditambahkan pada umumnya sekitar 28-38% dari campuran bahan yang akan digunakan. Jika lebih dari 38%, adonan akan menjadi sangat lengket dan jika kurang dari 28%, adonan akan menjadi rapuh sehingga sulit dicetak.

4. CMC (Carboxy methyl cellulose) Carboxy methyl cellulose (CMC) memiliki sifat higroskopis, mudah larut dalam air, dan membentuk larutan koloid. Dalam pembuatan mie, CMC berfungsi sebagai pengembang. Bahan ini dapat mempengaruhi sifat adonan, meperbaiki ketahanan terhadap air, dan

36

mempertahankan keempukan selama penyimpanan. Selain CMC bahan pengembang lain yang dapat digunakan adalah natrium algenik, natrium kaseinat, gum arab, dan guar gum. Jumlah bahan pengembang yang ditambahkan berkisar antara 0.5-1.0% dari berat tepung terigu, tergantung dari jenis terigu. Penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan tekstur mie yang terlalu keras dan daya rehidrasi mie menjadi berkurang (Astawan, 2006)

5. Minyak goreng Lemak atau minyak adalah senyawa yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik atau pelarut non hewan, seperti ether, benzena, dan kholoroform (Imas dan Tati, 2008). Minyak goreng atau minyak kacang digunakan untuk memperhalus tekstur mie dan mencegah kelengketan antar pilinan adonan.

2.5 Sifat Sensori dan Kimia

2.5.1 Sifat Sensori

a. Aroma Aroma dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang dapat diamati dengan indera pembau. Untuk menghasilkan bau, zat-zat bau harus dapat menguap, sedikit larut dalam air dan sedikit dapat larut dalam lemak. Di dalam industri pangan, pengujian terhadap bau dianggap penting karena dengan cepat dapat memberikan hasil penilaian terhadap produk tentang diterima atau tidaknya produk tersebut. Selain itu, bau dapat dipakai juga sebagai indikator terjadinya kerusakan pada produk misalnya sebagai akibat cara pengemasan atau cara penyimpanan yang kurang baik. Menurut taylor dan roberts (2004), flvor dihasilkan dari kombinasi dari rasa (dirasakan oleh reseptor pada lidah), aroma (dirasakan pada hidung) dan iritation (dirasakan pada permukaan mukosa). Aroma merupakan salah satu parameter dalam pengujian sifat sensori (organoleptik) dengan menggunakan indera penciuman. Aroma dapat diterima apabila bahan yang dihasilkan mempunyai aroma spesifik (Kusmawati, dkk.,

37

2000). Konstituen yang dapat menimbulkan aroma adalah senyawa volatile yang dapat diisolasi dari bahan pangan biasanya kurang dari 100 ppm (Santoso, 2006). b. Warna Warna merupakan suatu sifat bahan yang dianggap berasal dari penyebaran spektrum sinar. Warna bukan merupakan suatu zat/benda melainkan suatu sensasi seseorang. Oleh karena itu, adanya rangsangan dari seberkas energi radiasi yang jatuh ke indera mata/retina. Timbulnya warna dibatasi oleh faktor terdapatnya sumber sinar. Pengaruh tersebut terlihat apabila suatu bahan dilihat di tempat yang suram dan di tempat yang gelap, akan memberikan perbedaan warna yang mencolok (Setyaningsih D, dkk., 2010).

c. Tekstur Tekstur merupakan salah satu parameter dalam pengujian sifat sensori (organoleptik) dengan menggunakan indera perabaan (tangan) yang dinyatakan dalam keras atau lunak. Tekstur bisa diterima bila bahan yang dalam keadaan normal dan tergantung pada spesifik bahan (Kusmawati, dkk., 2000).

d. Rasa Rasa pada suatu bahan pangan dapat berasal dari bahan pangan itu sendiri tetapi apabila telah mendapat perlakuan atau pengolahan maka rasanya dapat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang ditambahkan selama proses pengolahan (Harijono, dkk., 2000).

2.5.2 Sifat Kimia

a. Air Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah digantikan oleh senyawa lain. Air berperan

38 sebagai pembawa zat-zat makanan dan sisa-sisa metabolisme, media reaksi yang menstabilkan pembentukan biopolymer, dan sebagainya (Winarno, 2004). Air didalam bahan pangan terdapat didalam tiga bentuk yaitu : (1) air bebas yang terdapat dipermukaan benda padat dan mudah diuapkan, (2) air terikat secara fisik yaitu air yang terikat menurut sistem kapiler atau air absorpsi karena tenaga penyerapan, dan (3) air terikat secara kimia yaitu misalnya air kristal dan air yang terikat dalam suatu dispersi. Kadar air bahan pangan dapat dinyatakan dalam dua cara yaitu berdasarkan bahan kering dan bahan basah. Berat bahan kering adalah berat bahan asal setelah dikurangi dengan berat airnya. kadar air secara “wet basis” adalah perbandingan antara berat air didalam bahan tersebut dengan berat bahan mentah (Winarno, 2004)

b. Abu Abu adalah zat organik sisa pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Penentuan abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan yaitu untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan, untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan penentuan abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukan adanya pasir atau kotoran yang lain. Semakin tinggi kadar abu semakin buruk kualitas prouk dan sebaliknya semakin rendah kadar abu semakin baik kualitas produk. Hal ini tidak berhubungan dengan jumlah atau kualitas protein (Anonim, 2008). c. Protein Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Protein memiliki struktur yang mengandung N, disamping C, H, O, S, dan kadang-

39

kadang P, Fe, Cu. Seperti senyawa polimer lain misalnya selulosa dan pati atau senyawa-senyawa hasil kondensasi beberapa unit molekul misalnya trigliserida maka protein juga dapat dihidrolisa atau diuraikan menjadi komponen unit-unitnya oleh molekul air. Hidrolisa pada protein akan melepas asam-asam amino penyusunnya (Sudarmadji, 2003).

d. Karbohidrat Karbohidrat adalah polihidroksi keton dan meliputi kondensat polimer-polimernya yang terbentuk. Nama karbohidrat dipergunakan pada senyawa-senyawa tersebut, mengingat rumus empirisnya yang berupa

CaH2nOn atau mendekati Cn(H2O)n yaitu karbon yang mengalami hidratasi. Secara alami, ada tiga bentuk karbohidrat yang penting yaitu : monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida (Sudarmadji, 2003). Monosakarida merupakan suatau molekul yang terdiri dari lima atu enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10 monosakarida, dan pada umunya polisakarida merupakan polimer yang terdiri dari 10 monomer sakarida (Winarno, 2004).

2.7 TPC (Total Plate Count)

Total bakteri/Total Plate Count (TPC) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah mikroba dalam bahan pangan. Metode hitungan cawan (TPC) merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam analisa, karena koloni dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Untuk menghitung total bakteri dengan metode cawan digunakan Nutrient Agar (NA). Bentuk koloni bakteri dan warna-warninya mudah sekali dikenali dengan media ini dengan cara mengubah komposisi nutrien atau menambahkan indikator (Achmad, 2007). Peran utama nutrien adalah sebagai sumber energi, bahan pembangun sel, dan sebagai aseptor elektron dalam reaksi bioenergetik (reaksi yang menghasilkan energi). Oleh karenanya bahan makanan yang diperlukan terdiri dari air, sumber energi, sumber karbon, sumber aseptor elektron, sumber mineral, faktor pertumbuhan, dan nitrogen. Selain itu, secara umum nutrient dalam

40 media pembenihan harus mengandung seluruh elemen yang penting untuk sintesis biologik organisme baru (Jawetz, 2001). Menurut Purnomo (2011), standard plate count dipergunakan untuk menentukan kerapatan bakteri aerob dan anaerob fakultatif heterotrop dari air. Penentuan dengan cara ini merupakan pengukuran empiris saja, oleh karena tiap spesies bakteri membentuk koloni tersendiri dalam pertumbuhannya. Semua bakteri dari sampel akan tumbuh pada media tertentu dan setiap golongan bakteri akan tumbuh menjadi satu koloni yang spesifik, sehingga jumlah bakteri dapat diketahui dengan menghitung jumlah koloni. Media adalah suatu substrat untuk menumbuhkan bakteri yang menjadi padat dan tetap tembus pandang pada suhu inkubasi (Pelczar et al.,2008). Prinsip pengujian Angka Lempeng Total menurut metode analisis mikrobiologi yaitu pertumbuhan mikroorganisme aerob (psikofilik, mesofilik, dan termofilik) setelah contoh diinkubasi dalam media agar pada suhu 35oC ± 1oC selama 24 jam – 48 jam ± 1 jam setelah mikroorganisme ditumbuhkan pada suatu media agar, maka mikroorganisme tersebut akan tumbuh dan berkembang biak dengan membentuk koloni yang dapat langsung dihitung. Penentuan angka lempeng total dapat dilakukan dengan dua cara (Mukhlis, 2008). Pertama, metode cawan agar tuang/pour plate yaitu dengan menambahkan contoh ke dalam cawan petri terlebih dahulu kemudian ditambahkan media agar. Kedua, metode cawan agar sebar/spread plate yaitu dengan menuangkan terlebih dahulu media agar ke dalam cawan petri kemudian contoh diratakan pada permukaan agar dengan menggunakan batang gelas bengkok. Keuntungan dari metode pertumbuhan agar atau metode uji Angka Lempeng Total adalah dapat mengetahui jumlah mikroba yang dominan. Adapun kelemahan metode ini adalah kemungkinan terjadinya koloni yang berasal dari satu sel mikroba, seperti pada mikroba yang berpasangan, rantai atau kelompok sel, kemungkinan akan memperkecil jumlah sel mikroba yang sebenarnya dan kemungkinan adanya jenis mikroba yang tidak dapat tumbuh karena penggunaan jenis media agar, suhu, pH atau kandungan selama masa ingkubasi, kemungkinan adanya jenis mikroba tertentu yang tumbuh menyebar

41

diseluruh permukaan media agar sehingga menghalangi mikroba lain. Hal ini mengakibatkan mikroba lain tersebut tidak terhitung. Bakteri akan bereproduksi pada medium agar dan membentuk koloni setelah 18-24 jam inkubasi. Untuk menghitung jumlah koloni dalam cawan petri digunakan alat colony counter (Rukmi, dkk., 2008).

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu Dan Tempat, Bahan, Dan Alat

3.1.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Workshop Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan dan Laboratorium Biokimia Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

3.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua bagian yaitu bahan untuk membuat tepung ubi jalar dan bahan untuk analisis. Bahan yang digunakan untuk membuat tepung ubi jalar yaitu ubi jalar ungu yang diperoleh dari pasar tradisional Kabupaten Barru. Bahan yang digunakan untuk membuat mi basah dengan subtitusi tepung ubi jalar ungu dan ikan

42

bandeng yaitu tepung ubi jalar ungu, tepung terigu protein tinggi, ikan bandeng, air, garam dapur, CMC (Carboxy Methyl Cellulose) dan minyak goreng. Sedangkan bahan kimia yang digunakan untuk analisis kimia dan uji

TPC, yaitu aquades, larutan luff schoorl, larutam KI 20%, H2SO4, amilum,

N2S3O3 0,1 N, media PCA, H3BO3, Hcl, dan H2O2.

3.1.3 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Alat untuk membuat tepung, yaitu pisau, baskom, panci pengukus, talenan, timbangan digital, mesin grinder, oven pengering, ayakan, dan mesin penepung. Alat untuk membuat bandeng lumat yaitu baskom, pisau, talenan, grinder, dan food processor. 2. Alat untuk analisa kimia dan TPC, yaitu oven, blender, cawan porselin, alat penjepit, desikator, timbangan analitik, tungku pengabuan, erlenmayer, buret, pipa volumetri, pipet ukur, labu alas bulat, pemanas listrik, pendingin condensor, waterbath, dan inkubator. 3. Alat untuk analisa sensori, yaitu piring, sendok, dan kertas label. 3.2 Metodologi Penelitian

Penelitian yang dilakukan terdiri atas 2 tahap yaitu pembuatan tepung ubi jalar ungu dan bandeng lumat dan tahap pembuatan mie basah dengan subtitusi tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng.

3.2.1 Penelitian Pendahuluan

a. Proses pembuatan tepung ubi jalar ungu

Proses pembuatan tepung ubi jalar ungu ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Saffiera Karleen (2010). Diagram alir proses pembuatan tepung ubi jalar ungu dapat dilihat pada Gambar 5.

Ubi jalar ungu

Pengupasan

Pemotongan 43 Ketebalan 5 cm

Pengukusan 15 menit suhu 60oC

Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung ubi jalar ungu (Saffiera Karleen 2010) yang dimodifikasi b. Proses pembuatan bandeng lumat

Proses pembuatan bandeng lumat dilakukan berdasarkan trial and error dimana proses diawali dengan pemilihan bahan baku dimana ikan yang digunakan dalam keadaan segar tidak berbau dan warna pada mata ikan tidak merah, selanjutnya ikan ditimbang, difillet, dicuci menggunakan air es yang berfungsi untuk mempertahankan suhu dan kesegaran ikan selama proses pengolahan, selanjutnya penggilingan tahap pertama menggunakan mesin grinder untuk menghancurkan tulang ikan yang masih tersisah, tahapan kedua ikan dihancurkan menggunakan food processor untuk mendapatkan daging ikan yang yang lebih lumat. Diagram alir proses pembuatan bandeng lumat dapat dilihat pada Gambar 6.

44

Ikan bandeng

Pencucian 1

Fillet

Pencucian 2 (menggunakan es batu)

Penggilingan 1 (Grinder)

Penggilingan 2 (food processor)

Bandeng lumat

Gambar 6. Daigram alir pembuatan bandeng lumat

3.2.2 Penelitian utama : Proses pembuatan mi basah dengan subtitusi tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng.

Pada penelitian ini, dilakukan proses pembuatan mie basah (boiled noodle) dengan subtitusi tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng untuk menggantikan sebagian tepung terigu. Dalam penelitian ini ada dua variabel yang digunakan yaitu tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng. Penentuan formulasi kedua variabel tersebut dihitung berdasarkan basis penggunaan tepung terigu (100%) begitupun dengan bahan tambahan pangan yang digunakan. Formulasi Bahan tambahan pangan yang digunakan dalam peneltian ini berdasarkan pada batas penggunaan yang diperbolehkan.

45

Formulasi mie basah dengan subtitusi tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Formulasi mie basah dengan subtitusi tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng Bahan Subtitusi Subtitusi Subtitusi

20% dan 20% 25% dan 15% 30% dan 10%

Tepung terigu protein 60 60 60 tinggi

Tepung ubi jalar ungu 20 25 30

Ikan Bandeng 20 15 10

CMC 1 % 1% 1%

Garam 1.5% 1.5% 1.5%

Minyak Goreng 5 % 5% 5%

Air 28% 28% 28%

Mie basah dalam penelitian ini dibuat dengan mencampur bahan kering terlebih dahulu, setelah tercampur rata kemudian air dan minyak ditambahkan untuk membentuk adonan yang kalis, homogen, dan mempermudah dalam poroses pembentukan lembaran adonan. Menurut Sunaryo (1980) dalam Ratnawati (2003), pada awal pencampuran terjadi pemecahan lapisan tipis air dan tepung. Makin lama, semua bagian tepung teraliri air dan menjadi gumpalan-gumpalan adonan. Air akan menyebabkan serat-serat gluten mengembang karena gluten menyerap air. Dengan pemanasan, serat-serat gluten akan ditarik, disusun bersilang, dan membungkus pati sehingga adonan menjadi lunak, kaku, dan elastis. Sebelum pembentukan lembaran adonan didiamkan selam 15 menit untuk pembentukan gluten dan penyerapan air kedalam adonan secara sempurna. Tahapan selanjutnya adonan digiling membentuk lembaran tipis menggunakan rooler noodle mechine. Pembentukan lembaran dengan roll pengepres menyebabkan pembentukan serat-serat gluten yang halus dan ekstensibel (Anonim, 2003). Tahapan

46

selanjutnya mie dibentuk kemudian dimasak selama 2 menit, dan ditambahkan minyak sebanyak 25 ml yang berfungsi mencegah lengketnya antarpilinan adonan dan membuat tekstur mi menjadi lebih lembut. Tahapan pembuatan mie basah subtitusi tepung ubi jalar ungu dan ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 7.

Tepung ubi jalar Ikan bandeng Tepung terigu ungu (20%, 15%, (20%, 25%, dan 60% dan 10%) 30%)

Pencampuran

Pengulenan adonan Pengulenan adonan

Pembentukan lembaran Pembentukan lembaran

Pencetakan Pencetakan

Pemasakan (2 menit)

Perendaman menggunakan air dingin

Mie basah

Gambar 7. Diagram alir pembuatan mie basah

47

3.3 Metode Analisis

3.3.1 Analisis Sifat Sensori

Analisis sifat sensori Merupakan pengujian yang dilaksanakan dengan metode indera panelis terhadap suatu produk untuk mengetahui suatu kualitas yang dimiliki produk tersebut, serta bagaimana mengetahui daya terima konsumen, yang meliputi penglihatan, penciuman, pengecapan, serta tekstur. Pada 3 komponen dasar yaitu bau yang berhubungan dengan indera pencium (olfactory), rasa yang berhubungan dengan indera pengecap (gustatory) dan cita rasa yang berhubungan dengan perasaan (tactual) (Malaka, 2010). Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini yaitu aroma, tekstur dan warna dengan parameter sebagai berikut : 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 = agak suka, 2 = tidak suka, dan 1 = sangat tidak suka.

3.3.2 Analisis Sifat Kimia

a. Kadar Air (SNI -01-2354.2-2006)

Contoh dilumatkan dengan blender dan sejenisnya hingga partikelnya dapat melewati saringan 20 mesh. Oven dikondisikan pada suhu yang digunakan hingga mencapai kondisi stabil. Cawan kosong dimasukan ke dalam oven minimal 2 jam. Cawan kosong dipindahkan ke dalam desikator sekitar 30 menit sampai mencapai ruang dan bobot kosong ditimbang (Ag). Contoh yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak ± 2 g ke dalam cawan (Bg). Cawan yang telah diisi contoh dimasukan ke dalam oven vakum pada suhu 95oC-100oC, dengan tekanan udara tidak lebih dari 100 mmHg selama 5 jam atau dimasukan ke dalam oven tidak vakum pada suhu 105oC selama 16 jam - 24 jam. cawan dipindahkan dengan menggunakan alat penjepit ke dalam desikator selama ± 30 menit kemudian ditimbang (Cg). Pengujian dilakukan minimal duplo dua kali.

48

Penetapan kadar air berdasarkan perhitungan :

B − A % 푘푎푑푎푟 푎𝑖푟 = 푥 100 % B − C

Dimana : A = Berat cawan kosong dinyatakan dalam g B = Berat cawan + contoh awal (g) C = Berat cawan + contoh kering (g) b. Kadar Abu (SNI 01-2354. 1-2006)

Contoh dilumatkan dengan blender dan sejenisnya hingga partikelnya dapat melewati saringan 20 mesh. Contoh dimasukan dalam wadah plastik atau gelas yang bersih dan bertutup. Cawan abu porselin kosong dimasukan ke dalam tungku pengabuan. Suhu dinaikan secara bertahap sampai mencapai suhu 550oC. Dipertahankan pada suhu ± 5oC selama 1 malam. Suhu pengabuan diturunkan menjadi sekitar 40oC, cawan abu porselin dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian berat cawan abu porselin kosong ditimbang (A g). Sebanyak 2 g contoh yang telah dihomogenkan dimasukan ke dalam cawan abu porselin kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100oC selama 24 jam. Cawan abu porselin dipindahkan ke tungku pengabuan dan temperatur dinaikan secara bertahap sampai suhu mencapai 550oC ± 5oC, dipertahankan selama 8 jam/semalam sampai diperoleh abu berwarnah putih. Setelah selesai, tungku pengabuan diturunkan suhunya menjadi sekitar 40oC, cawan porselin dikeluarkan dengan menggunakan penjepit dan dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit. Bila abu belum putih benar harus dilakukan pengabuan kembali. Abu dibasahi (lembabkan) dengan aquades secara perlahan, dikeringkan pada hot plate dan diabukan kembali pada suhu 550oC sampai berat konstan. Suhu pengabuan diturunkan menjadi ± 40oC, kemudian cawan abu porselin dipindahkan ke dalam desikator selama 30 menit kemudian beratnya ditimbang (B g) segera setelah dingin. Pengujian dilakukan minimal duplo dua kali.

49

Penetapan kadar abu berdasarkan perhitungan :

B − A % 푘푎푑푎푟 푎푏푢 = 푥 100 % Berat Contoh (g)

Dimana : A = Berat cawan porselin, dinyatakan dalam g B = Berat cawan dengan abu, dinyatakan dalam g c. Kadar Protein (SNI 01-2354. 4-2006)

Contoh dilumatkan dengan blender dan sejenisnya hingga partikelnya dapat melewati saringan 20 mesh. Sebanyak 2 g contoh ditimbang dan dihomogenat pada kertas timbang, dilipat-lipat dan dimasukkan ke dalam labu destruksi. duua buah tablet katalis ditambahkan serta beberapa butir batu didih.

Sebanyak 15 ml H2SO4 pekat (95%-97%) dan 3 ml H2O2 secara perlahan-lahan ditambakan dan didiamkan 10 menit dalam ruangan asam. Didestruksi pada suhu 410oC selama ± 2 jam atau sampai larutan jernih, didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan ditambahkan 50-57 ml aquades. Erlenmeyer berisi

25 ml larutan H3BO3 4% yang mengandung indikator sebagai penampung destilat. Labu yang berisi hasil destruksi pada rangkaian alat destilasi uap dipasang. Tambahkan 50-75 ml larutan natrium hidroksida–thiosulfat. Destilasi dilakukan dan destilat ditampung dalam erlenmeyer tersebut (6.5) hingga volume mencapai minimal 150 ml (hasil destilat akan berubah menjadi kuning). Hasil destilat dititrasi dengan HCl 0.2 N yang sudah dibakukan sampai warna berubah dari hijau menjadi abu-abu netral (natural gray). Pengerjaan blanko dilakukan seperti tahapan contoh. Pengujian contoh dilakukan minimal duplo dua kali.

50

Penetapan kadar protein berdasarkan perhitungan :

(VA − VB) HClx N HCl x 14.007 x 6.25 x100 % 푘푎푑푎푟 푝푟표푡푒𝑖푛 = W x 1000

Dimana : VA = ml HCl untuk titrasi contoh

VB = ml HCl untuk titrasi blangko N = Normalitas HCl standar yang digunakan 14.007 = Berat atom nitrogen 6.25 = Faktor konversi protein untuk ikan W = Berat contoh (g) Kadar protein dinyatakan dalam satuan g/100 g contoh (%) d. Kadar Karbohidrat (SNI-01-2370-2006)

Contoh ditimbang sebanyak 5 gr, dimasukkan ke dalam gelas beaker 100 ml, kemudian ditambahkan aquades sampai 100 ml. Dicampur hingga rata, sebanyak 5 ml dipipet ke dalam erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan 25 ml reagen luff Schoorl dengan pipet volumetrik. Dipanaskan di atas waterbath yang sudah mendidih selama 10 menit tepat, jika reagen berwarna merah contoh harus diencerkan. Didinginkan dengan cepat di bawah air kran dan ditambahkan 15 ml KI 20% dan 25 ml larutan H2SO4 4N dengan hati-hati, jika terlalu cepat larutan akan tumpah keluar. Dititrasi dengan larutan

Na2S2O3.5H2O 0,1N sampai warna kuning muda, 2 ml indikator amilum 1% ditambahkan dan titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang. Pengerjaan blangko dilakukan. Penetapan kadar karbohidrat berdasarkan perhitungan :

A x B x C x F x 100 푘푎푑푎푟 푘푎푟푏표ℎ𝑖푑푟푎푡 = g contoh x 1000

Keterangan : A = vol (ml) tio (contoh-blangko) B = Faktor Normalitas, N tio yang digunakan C = Angka konversi dalam tabel F = Faktor pengenceran

51

3.4 Analisa TPC Metode Cawan Agar Tuang (SNI 2332.3.2015)

Sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran 10-2 sampai 10-4 dipipet dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Setiap pengenceran dilakukan secara duplo. Sebanyak 12 ml-15 ml PCA yang sudah didinginkan ditambahkan ke dalam waterbath hingga mencapai suhu 45oC ± 1oC ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi sampel. Supaya sampel dan media PCA tercampur sempurna dilakukan pemutaran cawan ke depan ke belakang dan ke kiri ke kanan. Setelah menjadi padat, cawan-cawan diinkubasikan dalam posisi terbalik dalam inkubator selam 48 jam ± 2 jam pada suhu 35oC. Kontrol dilakukan tanpa sampel dengan mencampur larutan pengencer dengan media PCA. . Penetapan TPC berdasarkan perhitungan :

Σc 푁 = [(1 x n1) + (0.1 푥 푛2)] 푥 (푑)

Keterangan : N = Jumlah koloni produk (g/ml) n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung d = Pengenceran pertama yang dihitung

3.5 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

A0B0C0 = Tepung terigu 100% A1B1C1 = 60% : 20% : 20% A2B2C2 = 60% : 25% : 15% A3B3C3 = 60% : 30% : 10%

Keterangan : A = Tepung Terigu B = Tepung Ubi Jalar Ungu C = Ikan Bandeng

52

3.6 Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan perlakuan yang berpengaruh nyata diuji beda nyata dengan menggunakan uji tukey serta dianalisis dengan menggunakan bantuan program SPSS 16.0.

53