SARI SEJARAH SERDANG

TIDAK DIPERJUALBELIKAN Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara Perpustakaan Nasional, 2011

SARI SEJARAH SERDANG 2

Disusun oleh T E N G K U L U C K M A N S I N A R

Perpustakaan Nasional Balai Pustaka R e p u b l i k I n d o n e s i a Diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah

Hak pengarang dilindungi undang-undang KATA PENGANTAR

Jilid kedua buku Sari Sejarah Serdang ini dimulai dengan Zaman Kolonial Belanda (sebelum tahun 1900) sampai dengan Kebudayaan Melayu. Buku ini disusun oleh Tengku Luckman Sinar seorang putra Serdang dan keturunan bangsawan daerah itu. Dalam jilid kedua ini dapat kita baca antara lain: Mulanya penanaman tembakau di Deli (1863), penanaman kopi, perkembangan tanaman tembakau dan lain-lain. Di samping itu juga diuraikan mengenai Kebudayaan Melayu secara terperinci mulai dari kelahiran, perkawinan, kemati- an, hidup bermasyarakat dan lain-lain. Buku ini baik untuk dipelajari agar diketahui perjuangan rakyat Sumatra Timur melawan penjajah dan juga agar generasi muda mengetahui mengenai kebudayaan Melayu di masa lampau dan mungkin juga masih ada yang berlaku hingga sekarang di- sesuaikan dengan perkembangan zaman. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah meng- harapkan agar buku ini bermanfaat bagi pembaca yang ingin mem- pelajari mengenai Sejarah dan Kebudayaan Sumatra Timur, khususnya Sejarah Serdang. Jakarta, 1986 Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah DAFTAR ISI

BAB 3. ZAMAN KOLONIAL BELANDA (Sebelum tahun 1900) 9 1. Traktat Sumatra 1817 9 2. Mulanya Penanaman Tembakau di Deli 10 3. Soal Perbatasan Deli dan Serdang 15 4. Serdang (Sesudah tahun 1880) 19 5. Deli(Sesudah 1865) 32 6. Perang Sunggal Melawan Belanda 39 7. Sumatra Timur Menjadi Residensi Yang Berdiri Sendiri ...... 46 8. Perkembangan Tanaman Tembakau (1873 — 1884) ...... 49 9. Kepentingan Perkebunan/Pertanian (1873 — 1884) 50 10. Kejadian-kejadian di Sumatra Timur Sejak 1873 54 11. Reorganisasi Pemerintah dan Peradilan (1887) 59 12. Kejadian-kejadian lain antara 1886 — 1900) 60 13. Perkembangan Perkebunan (1884 — 1900) dan Kepen- tingan Pertanaman 69 14. Penanaman Kopi di Serdang 71 15. Politik Belanda Mengenai Konsesi dan Erfpacht 75 16. Kepentingan Perburuhan (1884 — 1900) 78 17. Lalulintas dan Perdagangan 79 18. Perjanjian-perjanjian di Bidang Pemerintahan Menje- lang Awal Abad XX 81 19. Kejadian-kejadian Lain di-Langkat dan Tamiang (1873 — 1900) 84 BAB 4. KEBUDAYAAN MELAYU 92 1. Asal Perpindahan dan Bahasa Bangsa Melayu 92 2. Kepercayaan Zaman Primitif 94 3. Kepercayaan Yang Didapat dari Hindu 95 4. Datangnya Islam 97 5. Sistem Sosial 99 6. Sistem Politik 167 7. Kesusastraan 186 8. Sistem Undang-undang 201

PNRI BAB III "ZAMAN KOLONIAL BELANDA" (Sebelum tahun 1900)

1. TRAKTAAT SUMATRA 1871

Setelah melihat gerakan-gerakan kolonial Belanda berhasil dengan baik, dengan ekspedisi perangnya tahun 1865 itu, maka Inggeris pun mulailah bermain "muka dua". Perundingan-perun- dingan tingkat tinggi lalu diadakan di Eropa antara Inggeris dan Belanda yang akhirnya menghasilkan suatu persetujuan yang se- suai pula dengan keinginan Inggeris dalam bidang perluasan da- gangnya di Sumatra. Traktaat itu disebut "Traktaat Sumatra" yang sebenarnya merupakan perubahan dari "Traktaat London" tahun 1824 itu1). Traktaat itu ditandatangani di tahun 1871 dan antara lain mengandung bunyi:

Pasal - 1: Bahwa Inggeris akan menutup mata saja atas sembarang tin- dakan perluasan daerah oleh Belanda di Sumatra.

Pasal - 2: Bahwa rakyat Inggeris mempunyai hak berdagang yang sama dengan rakyat Belanda di Sumatera. Demikianlah akhirnya pertikaian antara Inggeris dengan Belanda itu diselesaikan dengan semacam pembagian rezeki. Dengan peijanjian itu sebenarnya Inggeris telah mengkhianati apa yang telah dijanjikannya (ditandatanganii oleh Raffles) di tahun 1819 dengan Sultan Aceh, yaitu bahwa Inggeris akan bahu membahu dengan Aceh untuk merubuhkan Belanda di Sumatra2).

1). "Traktaat Sumatra" dibuat tanggal 2 Nopember 1871. Lihat IS. 1872/94. 2). "Aceh Sepanjang Abad" oleh MOHD. SAID.

9

PNRI 2. MULANYA PENANAMAN TEMBAKAU DI DELI

Dalam tahun 1863 SAID ABDULLAH BILSAGIH mulai mengajak pedagang Belanda di Jawa agar berminat membeli dan menanam tembakau di Deli. Said Abdullah bin Umar Bilsagih itu kira-kira di tahun 1855 tinggal di Surabaya. Ia anak seorang pe- dagang kaya tetapi karena kehidupan yang boros dan mata keran- jang maka ia lebih menyenangi kehidupan yang penuh petualang- an dan tiada berapa lama ia mengumpulkan beberapa harta pening- galan ayahnya yang masih bersisa. Lalu dibelinya sebuah perahu dan dimuatnya dengan hasil-hasil dari Jawa seperti kain batik dan lain-lain. Kemudian di sekitar tahun 1863 berlayarlah ia dengan tujuan Singapura — Siak — Kalkuta. Tetapi nasib telah merubah tujuannya, di dekat pantai Deli kapalnya dihantam badai dan ia sendiri kebetulan selamat terdampar di pantai, lalu orang membawanya menghadap SULTAN MAHMUD DELI, yang pada masa itu masih sibuk memikirkan tahtanya yang goyah karena banyaknya intrik-intrik yang ingin merebut kekuasaan dan di samping itu Sultan pun sedang terancam dari serangan Serdang Percut, Denai, dan Senembah. Dapat dilaporkan bahwa pendapat- an Sultan pada masa itu makin berkurang $. 1.000,- tiap bulan, karena seluruh perdagangan telah dialihkan ke Serdang. Malahan Serdang telah menghalangi ekspor lada dari Sungai Deli dengan memasang ranjau-ranjau bambu di hulu Sungai Deli. Paman Sultan Raja Zainal Abidin telah pula bekerjasama dengan Serdang dan mulai mencari pengaruh pada suku-suku Batak di pe- gunungan untuk mengambil alih tahta Deli. Kedatangan Said Abdullah Bilsagih ini tentu merupakan pucuk dicinta ulam tiba. Karena kepandaiannya, sebab ia telah banyak bergaul dengan orang-orang asing di Jawa dan tempat-tempat lain, maka segera Sultan Mahmud tertarik kepadanya malahan ia telah dikawinkan dengan adik Sultan Mahmud sendiri dan diangkat sebagai Orang Besar Deli (Wazir = Grootvizier ). Pada waktu itu Sultan Mahmud masih berusia 30 tahun. Said Abdullah ini sangat berpengaruh besar dalam mensukseskan pembicaraan antara Sultan Mahmud Deli dengan Netscher di tahun 1863 itu1). Pada tanggal 1 Mei I) "De Aarde van Deli" okh WILLEM BRANDT. 10

PNRI 1863 ia telah dapat mempengaruhi pedagang-pedagang tembakau di Jawa untuk menanam tembakau di Deli itu dan dengan kapal "Josephine" dari Firma "Van Leeuwen en Mainz & Co" telah turut Tuan FALK dan ELLIOT dan J. NIENHUYS. Kapten kapal ialah KUIPERS dan tiba di Kuala Deli pada tgl. 7-7-1863. Setibanya di Deli, dari Sultan Deli diperoleh merekalah tanah pertama seluas 4000 bahu di Labuhan Deli, dengan erfpacht 20 tahun. Oleh karena mula-mula perusahaan yang diwakili men- derita kerugian, Nienhuys dipecat dan mulailah ia berusaha sendiri. Kemudian dengan kegigihannya ia berhasil mendapat kredit dari tuan-tuan VAN AREND cs. Dari surat Nienhuys pada Van den Arend tgl. 8 Juli 1863, dilaporkannya bahwa sebenarnya Said Abdullah Bilsagih tersebut bukanlah "Raja Deli" sebagaimana diakui Said itu, dan monopoli tembakau di Deli tidaklah berhasil diperoleh Nienhuys. Firma Van Leeuwen menarik diri dari kongsi dengan Arendsburg dan tiada berapa lama kemudian Said Abdul - lah Bilsagih itupun ditangkap Belanda karena tersangkut perkara pencurian barang-barang kepunyaan Nienhuys ($. 1000,--) dan juga atas pengaduan Sultan Deli, karena Abdullah itu turut pula berkomplot menghasut rakyat melawan kekuasaan Sultan Deli. Meskipun berita-berita kecewa pertama-tama dikirim, Nienhuys tetap tabah tinggal di Deli dan berusaha menanam tembakau terus. Contoh hasil dikirim ke Rotterdam bulan Maret 1864 dan sambutan sangat baik karena "Kualitas baik, hopping dan goed brandend dekblad"1). Kemudian Nienhuys membuka tanah di Martubung dengan 88 orang kuli Cina dan 23 orang Melayu. Sewaktu Residen Netscher mengunjungi Deli tahun 1865, Nienhuys mengusulkan agar dibenarkan Sultan Deli membuat kontrak pemberian tanah guna perusahaan perkebunan besar. Netscher setuju sehingga Nienhuys atas nama Arendbsburg cs. memperoleh kontrak 200 bahu. Untuk pertama kalinya pada tgl. 8 April 1867 tanah di- peroleh dari Sultan dengan erfpacht 99 tahun atas nama Van der

1). "Gedenkschrift van de Tabak Maatschappij Arendsburg" (Ter gelegenheid van haar 50 jarig bestaan 1877-1927) oleh A. HOYNCK v. PAPENRECHT.

11

PNRI Arends dekat Tanjung Sepassai (dekat Titipapan) dan disaksikan Kontelir Van Caest Baron de Raet (peta masa itu diperoleh kemudian dari ALI AJIR, seorang opas Melayu Sultan Mahmud Deli). Kemudian tahun 1869 baru dibuka kebun baru di Sunggal dan dalam tahun 1875 di Sungai Beras dan Kelumpang. Dalam tahun 1868 saja sudah diperoleh keuntungan besar, sehingga ber- duyun-duyu'n maskapai-maskapai asing lainnya menanam tem- bakau di daerah itu. Di dalam tahun 1866 diperbuatlah perkongsi- an antara tuan-tuan JANSSEN - P.W. CLEMEN dan NIENHUYS dengan kapital pertama $. 10.000,-, lalu didatangkanlah kuli- kuli Cina dan India dari Penang dan dibentuknya DELI MAAT- SCHAPPIJ, yang kemudian diperkuat dengan tibanya tuan CREMER. Keadaan Deli telah berubah, sebagaimana yang telah dilapor- kan Kontelir Van Caest Baron de Raet dalam kisah peijalanannya sebagai berikut: "... Lama kelamaan makin banyak orang-orang Cina me- netap di Deli itu, para penanam modal mulai berani membuka perkebunan, dan sejauh 2 a 3 jam peijalanan ke hulu Deli sudah ada 3 perkebunan di antaranya yang menanam tembakau dan 20.000 pokok kelapa, dan yang lain-lain masih menunggu untuk ditanami". Selanjutnya ia menulis, "bahwa telah ada 7 orang Eropa berdiam di sini, di antaranya seorang wanita dan orang-orang Inggeris pun mulai datang ke mari, dan seorang tukang gambar (fotografist) orang Denmark membuka usaha gambar di sini. Orang-orang Melayu, dahulunya dengan denda, pukulan- pukulan rotan dan dirantai untuk diperintah tak sanggup bercocok tanam. Mereka ibarat hamba dan hidup dari mengisap madat dan anak-anak istri mereka tanpa kehidupan yang layak hidup ter- lantar. Akibat dari keadaan itu, saya kemukakan, bahwa setiap malam ada terjadi pencurian, dan seorang yang bernama RAJA AMAN, kemenakan dari Sultan Deli, selama masa dinas saya, karena hal di atas terpaksa dibuang untuk masa 20 tahun di luar residensi Riau dan takluknya". Selanjutnya diceritakannya, "kini

12

PNRI sudah cukup padi ditanam oleh rakyat dan cukup persediaan untuk para kuli yang bekeija, sedangkan dahulu sebahagian ke- butuhan terpaksa diimpor dari Pulau Pinang. Sewaktu kedatang- an saya dahulu untuk $. 1,- dibeli 4 gantang atau 25 kati beras, sedangkan kini sudah dapat 7 gantang dan sekarang ini, karena padi cukup banyak, untuk satu dollar sudah dapat diperoleh 13 gantang padi. Jumlah orang Cina sudah mencapai 1000 orang. Bangsawan-bangsawan yang telah berada lalu mulai memerdekakan hamba-hambanya dan lalu membuat perjanjian dengan mereka dalam sejumlah harga dan jangka waktu tertentu mereka bisa ber- tanam pinang, kelapa dan lain-lain. Dalam 2 tahun terakhir ini, jumlah hamba yang dimerdekakan sudah mendekati 100 orang. Raja Zainal Abbidin dengan cara ini telah menyuruh tanami kepada hamba-hamba yang baru dimerdekakan itu 3000 pohon kelapa dan akan bertambah lagi sampai 10.000. Raja Musa me- nanam 3500 pohon kelapa, 6000 pohon kopi dan 1400 pohon pinang". Oleh karena pemerintah Inggeris melarang didatangkan kuli-kuli bangsa India dari Malaya, maka dialihkanlah mendatang- kan kuli-kuli dari Jawa (mula-mula 150 orang dari daerah Bagelen). Demikianlah akhirnya diperoleh penyelidikan bahwa tembakau Deli sangat baik untuk dekblad dan daerahnya ialah antara Sungai Wampu dengan Sungai Ular (Serdang). Penanaman itu beruntung sekali (di tahun 1872 sudah di- capai untung Fl. 1.000.000,-). Setelah pembukaan perkebunan tembakau datanglah pula pembukaan perkebunan-perkebunan karet kelapa sawit, kopi, dan lain-lain. "Keadaan di Deli sudah berubah. Lampu-lampu jalanan telah ada di ibukota Labuhan, jalan besar telah diperbuat sepanjang 2 jam peijalanan dan dijaga dengan baik dan akan diteruskan hingga Kampung Baru, dahulu dicapai peijalanan 1 hari kini sudah dapat dicapai dalam 4 jam", kata Kontelir Caets de Raet". Juga di Langkat sewaktu saya tiba dahulu, untuk mencapai Kampung Kelambir terpaksa berjalan susah payah di antara belukar, tetapi kini sudah ada jalanan, yang dibuka oleh Laksamana atau Syahbandar Langkat. Juga Serdang tidak mau ketinggalan; sebab jika dahulu terpaksa kita

13

PNRI naik perahu untuk menemui Sultan di Kampung Kelambir, maka kini sudah ada jalan 2 pal panjang dan 35 kaki lebar".1) Bersamaan dengan itu ditandai dengan kedatangan Cetti di tahun 1879 yang pertama ke Deli yaitu MUNAWIAN CHETTI di Labuhan Deli2). Kuli-kuli untuk penanaman tembakau pada mulanya dipakai Nienhuys orang-orang Melayu dan "Batak Karo. Mengenai Suku Karo itu tidak banyak menolong karena mereka tidak biasa bekeija berat dalam lapangan itu. Mengenai suku Melayu, orang-orang Belanda menuliskan kebencian mereka: "Verder vinden wij onder het tjidelijk werkvolk van even genoemden ook de Maleiers, de eigenlijke kustbewoners van Su- matra's Oostkust. Veel valt er niet van hen te zeggen. Hun werk is meestal niet van veel waarde en zij bezorgen menigen Adminis- trates veel zorg en last, zodat zij dan ook zoveel mogelijk voorschot is het enige wat hen aanlokt, om zogenaamd te gaan werken, wat zij meest niet doen, doch met het voorschot wegblij- ven in hun Kampong of elders. Spelen en opium schuiven zijn de hoofdbezigheid van den Maleier. Soms heeft hij geld nodig om een maagd te kunnen kopen. Hij is slim en kan als hij wil zeer goed werken, doch daar de natuur hem alles tot zijn onder- houd levert, zoo gevoelt hij gel behoefte te arbeiden en doet dit dan ook niet anders, dan om de zoeven genoemde, of wel om naar Mekkah te kunnen reizen, tussen geloofsgenoten te kunnen leven, en dus nog meer te luieren. Is de Maleier van hogen rang of hoofd ener afdeling, dan heeft hij steeds geldgebrek, belooft steeds werkvolk te zullen leveren, vraagt steeds voorschot op allerlei materialen, komt ten slotte gene enkele zijner beloften na en vergeet het geleende geld terug te betalen, of liever vraagt nog meer voorschot op nog schoner beloften, die hij nog nimmer denkt na te komen".

Artinya: "Selanjutnya kami menemui di antara pekerja sementara

1) "Vergelijking v.d. vroegeren Toestand van Deli, Serdang en Langkat met den Tegenwoordigen" oleh J.A.M. van Caets Baron de Raet (Febr. 1867) 2). "De Chetti" oleh L.C. Westenenk (KoL Studien).

14

PNRI tadi juga suku Melayu, penduduk pesisir asli Sumatra Timur. Tidak banyak yang dapat diketengahkan dari mereka ini. Kerja merlka biasanya tidak mempunyai nilai dan mereka sering menimbulkan beban kesulitan untuk para Administaatur, sehingga mereka itu akhirnya pun sedapat mungkin dielakkan. Uang persekot adalah satu-satunya yang menarik perhatian mereka, untuk bekerja, tugas apa yang sebenarnyapun tidak akan mereka lakukan, sebaliknya mereka membawa pergi uang persekot tadi ke Kampung mereka atau tempat lain. Berjudi dan mengisap madat adalah keija suku Melayu itu yang terutama. Kadang- kadang ia memerlukan uang untuk membayar uang mahar seorang gadis Ia cerdik, dan jika ia mau ia dapat bekeija dengan baik, tetapi oleh karena alam memberikan semuanya yang diperlukan untuk penghidupannya, maka ia tidak perlu untuk bekerja dan itu- lah yang dilakukannya kecuali untuk alasan-alasan di atas tadi, atau jika untuk pergi ke Mekkah, dan pulang sebagai Haji dan hidup di antara sesama seagama, dan selanjutnya bermalas-malas- an. Jika seorang Melayu itu adalah dari tingkat atas atau Kepala dari sesuatu luhak, maka ia hampir selalu kekurangan wang, makin sering berjanji untuk mencarikan para pekeija, makin sering me- minta persekot untuk berbagai macam bahan-bahan, dan diakhiri tanpa memenuhi janjinya dan lupa untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya, atau lebih jelas lagi menuntut lebih banyak persekot dengan janji yang lebih muluk lagi, yang ia tidak teringat akan memenuhinya"1).

3. "SOAL PERBATASAN DELI DAN SERDANG"

Seperti telah kita lihat di atas bahwa sebagai hukuman ke- pada Sultan Serdang Basyaruddin Sjaiful Alamsyah, oleh Belanda di tahun 1865 itu dirampas dari Serdang daerah-daerah: PER- CUT, (juga kemudian termasuk Sei. Tuan dan Bandar Setia). DENAI, PADANG, dan BEDAGAI. Oleh Belanda, daerah-daerah

1) ' 'De Tabaks Cultuur of Sumatra's Oostkust oleh Willem Westerman.

15

PNRI itu diserahkan dan dimasukkan menjadi bahagian daerah kesultan- an Deli. Tetapi dengan paksaan itu perjanjian di atas kertas itu belum begitu lancar sebagaimana yang dikehendakinya, karena baik kepala-kepala daerah maupun rakyat-rakyat daerah-daerah yang diserahkan itu tidak menyetujui dan di sana-sini timbullah alangan-alangan. Perselisihan-perselisihan yang merupakan alangan- alangan itu ditambah lagi dengan belum terselesaikannya soal batas-batas daerah SENEMBAH1). Seperti telah disinggung di atas, sejak 1863 dengan perantara- an Said Abdullah Bilsagih telah membawa berita ke Jawa dari Deli bahwa tanahnya cukup baik untuk tanaman tembakau. Maka sejak 1863 itulah modal asing (Belanda) dengan dipelopori Nien- huys mulai menetap dan mengusahakan tembakau di Deb. Sampai kira-kira tahun 1872 berbagai maskapai asing telah membuka ber- puluh ribu hektar tanah untuk menanam tembakau itu di Deli dan di daerah Senembah (tanah untuk tembakau dekblad itu yang terbaik ialah antara Sei. Wampu di Langkat sampai Sei. Ular di Serdang). Karena persoalan daerah dan batas-batas di Senembah belum juga selesai-selesainya dan merupakan perselisihan terus-menerus antara kerajaan Deli dan Serdang siapa yang berhak maka peng- usaha kebun itu ribut dan mendesak pemerintah Belanda agar menyelesaikannya secepat mungkin agar ketenangan tercapai. DR. R. BROERSMA dalam bukunya "OOSTKUST VAN SUMA- TRA" (Bhg. I: DE ONTLUIKING VAN DELI) menyatakan bahwa .. . "De Sultan van Serdang was minder verlicht en den amtenaren minder genegen dan de Sultan van Deii, op wien hij zich naijverig toonde. En met eens Sultan gezindheid moest de ondernemings geestdier dagen rekenen . . .". Ketenangan itu baru diperoleh setelah berakhirnya pem- berontakan bersenjata terhadap Belanda oleh rakyat Sunggal, di Langkat dan Serdang Hulu lalu untuk meninjau kembali persoalan itu direvisilah sedikit kontrak "Paksaan" antara Netscher dengan

1). Baru ditetapkan Belanda definitif tahun 1884

16

PNRI Sultan Serdang di tahun 1865 itu. Pada tahun 1871 dan tahun 1882 dibuatlah suatu perjanjian Perdamaian" antara Deli dan Ser- dang oleh Belanda, perjanjian "perdamaian" mana sebetulnya bukan perdamaian, karena pertama-tama hal itu dapat diselesai- kan sendiri oleh kedua belah pihak secara persaudaraan tanpa turut campurnya makelar Belanda dan kedua karena dalam hal itu hanya pihak Serdang sajalah yang dirugikan, sedang Belanda men- dapat keuntungan dari kedua belah pihak. Perjanjian tahun 1871 itu ialah mengenai daerah-daerah Senembah sebagai berikut: 1). Medan Senembah (Kepala daerahnya diangkat Datuk Kolok), 2). Petumbak (Kepala daerahnya diangkat Sulong Ba- har), 3). Sigara-gara (Kepala daerahnya diangkat Sulong Ma- mat) dan 4). Namu Suru (Kepala daerahnya diangkat Sibayak Amat). diberikan oleh Serdang kepada Deli yang selanjutnya disebut SENEMBAH DELI (kecuali Senembah-Tanjong Muda (Tadukan Raga) yang tetap di bawah Serdang. Juga Padang dimasukkan ke wilayah Kerajaan Deli. Karena juga Serdang memprotes "Perdamaian" itu maka diperbuat lagi peijanjian yang kedua di tahun 1882 yang isinya antara lain: 1). Sungai Tuan (dimasukkan ke Percut) dan Sungai Batang Kuis menjadi batas antara kerajaan Deli dan Serdang. 2). Karena menurut pernyataan yang dibuat Serdang di hadapan Netscher tahun 1865 itu bahwa Denai harus diserahkan Serdang kepada Deli, sebagai hukuman melawan Belanda, maka kini Deli menyerahkan kepada Belanda dan Belanda (dengan membayar ganti rugi kepada Deli) menyerahkan Denai kembali kepada Serdang, di tahun 1882 itu.

Sultan Serdang SULAIMAN SYARIFUL ALAMSYAH lalu meng- angkat SUTAN IBRAHIM (putra RAJA MUDA GRAHA) menjadi Kepala Daerah Denai. 17

PNRI S.P.D.J.M.M. Tuanku Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, R.O.N.L.;O.O.O.N. Sultan Serdang (1862-1946)

PNRI 4. SERDANG (SESUDAH TAHUN 1880)

Sultan BASYARUDDIN SYAIFUL ALAMSYAH mangkat dalam tahun 1880 dengan meninggalkan hanya seorang putra tunggal yaitu TENGKU SULAIMAN yang lahir 19 Muharram 1279 H.1), naik tahta tanggal 21 Pebruari 1881 (1881-1946). Ketika itu ia masih muda belia dan baru berumur lebih kurang 18 tahun dinobatkan sebagai penggantinya oleh para Wazir Berempat, dan surat cerai dibacakan oleh Datuk Sunggal sebagai "Ulun Janji", yang menjadi tradisi bagi penobatan Raja-raja anak cucu dari T. Sri Paduka Gocah Pahlawan. Upacara penabalannya secara resmi penuh dengan istiadat diadakan pada tanggal 21 Pebruari 1881, setelah masa berkabung 100 hari dilampaui. Baginda di-"tabalkan" dengan gelar "SULTAN SULAIMAN SYARIFUL ALAMSYAH" di istana TANJUNG PUTRI di Kam- pung Bogak Rantau Panjang. Karena menurut adat masih di bawah umur, Baginda diwakili oleh pamannya T. Mustafa (kemudian diangkat sebagai Raja Muda). Pengakuan secara resmi dari pemerintah Belanda baru diberi- kan setelah 6 tahun kemudian, yaitu di depan Residen SCHERER di Bengkalis dan setelah meneken Akte Van Verband tertanggal 29 Januari 1887. Kelambatan pengangkatan itu tidak lain karena alasan agar Serdang melepaskan tuntutannya atas daerah-daerahnya yang telah dirampas itu, dan alasan kedua karena soal penetapan batas antara Serdang dengan Deli belum jelas dan alasan ketiga ialah Belanda ingin mengikat dan mengurangi hak Sultan lebih banyak lagi. Untuk itu Belanda bergiat mengulur-ulur pengakuannya sampai 6 tahun. Serdang tidak perduli. Maskapai-maskapai Belanda ribut-ribut. Persoalan-persoalan yang belum selesai itu ialah:

1). Bertepatan tgL 17 - 7 - 1862.

19

PNRI 4.a SOAL SENEMBAH

Menurut Schadee, jauh sebelum datangnya Belanda ke mari, antara Serdang dan Deli selalu terjadi pertempuran-pertempuran saling memperebutkan daerah Senembah, Percut, Denai, dan Padang serta Bedagai. Di daerah Senembah, JOHANSYAH meminta bantuan Deli untuk mengusir kekuasaan DEWASYAH, Kejeruan Senembah yang memerintah yang diangkat oleh Serdang di tahun 1857. Deli mengambil kesempatan itu dengan mengirimkan pasukan di bawah pimpinan DATUK HAMPARAN PERAK ke Senembah, tetapi dapat dipukul mundur oleh pasukan Serdang di dekat Bandar Labuhan sekarang ini (Tanjung Perawa). Buru-buru Johan- syah bersama keluarganya lalu mengungsi ke Medan. Di dalam tahun 1870 Johansyah lalu meminta ampun kepada Sultan Serdang dan kemudian diizinkan kembali menetap di Kampung MEDAN SENEMBAH. Di dalam tahun 1871 meninggal- lah Kejeruan Senembah Dewasyah. Kesempatan itu tidak dilewat- kan Deli dengan begitu saja dan mempergunakan Johansyah kem- bali untuk menguasai seluruh Senembah. Keributan timbul kembali. Belanda buru-buru lekas turun tangan dan mengambil alih Senembah untuk sementara waktu dengan alasan "Memulih- kan keamanan dan ketertiban", tetapi yang sebenarnya tidak lain karena desakan Maskapai-maskapai Belanda yang selama itu rupa- rupanya sudah bermain di belakang layar segala keributan itu. Mereka tidak sabar karena tanah-tanah di Senembah sangat baik dan subur untuk penanaman tembakau. Pada tahun 1882, Residen Belanda bernama Schiff, konon sebagai seorang "Penengah'" lalu membagi-bagi Senembah se- bagaimana yang telah kami bentangkan di atas tadi.

4.b. SOAL PERCUT, SEI, TUAN DAN DENAI

Menurut Schadee, Kejeruan Percut pernah minta perlindung- an Serdang untuk mengusir kekuatan Deli yang datang merampas

20

PNRI Percut. Serdang mengirimkan pasukan dan mengusir Deli dari Percut dan Percut berada di bawah Serdang. Itupun dicantumkan dalam pernyataan Belanda yang dibuat Netscher di tahun 1863 dengan Sultan Basyaruddin. Di tahun 1865 Percut dirampas Be- landa dari Serdang sebagai "Hukuman" karena berani menentang Belanda. Kontelir Belanda bernama CAETS DE RAET banyak jasanya dalam mendalangi agar terciptanya hubungan baik dan mesra antara Kejeruan Percut (T.M. DAUD) dengan kesultanan Deli antara lain dengan hubungan perkawinan. Tetapi meskipun demikian soalnya belum selesai mengenai batas-batas Percut yang nantinya merupakan batasnya Serdang dengan Deli. Daerah Sei Tuan dalam penentuan batas itu dimasukkan Belanda ke Deli dan pihak turunan Tengku Panglima Besar Ser- dang dan Tengku Mattakir (Gelar Pangeran Muda Seri Diraja Ser- dang) yang membuka kampung sebelah kanan Sei Batang, kuis masukkan Belanda ke daerah Deli lalu digelari oleh Sultan Deli TENGKU JAYA PAHLAWAN (T.M. Daud atau Raja Sutan). Hasil tanah dari Percut diserahkan di daerah itu kepadanya. Mereka kemudian juga membuka kampung di Kampung Bandar Setia dan Kampung Kolam. Setelah tahun 1823 Denai berada di bawah pemerintahan RAJA GRAHA (cabang dari turunan I. TAWAR KEJERUAN SANTUN), yang nama aslinya ialah MANJA KAYA. Pada mula- nya ia menganggap dirinya merdeka, tetapi kemudian Deli datang menyerang, merampas Denai, mengusir Raja Graha ke Serdang dan lalu mendudukkan seorang wakilnya di Denai. Hal itu agaknya sebagai pembalasan oleh Sultan Osman Deli, karena Raja Graha itu pernah membantu saudaranya, Raja Pulau Berayan (Radin Inu), menentang Deli. Sultan Basyaruddin Serdang tidak merasa senang, dan ber- dasarkan haknya atas Denai (sesuai pula dengan pengakuan Be- landa sendiri di tahun 1863) lalu menduduki Denai dan mengusir wakil Deli (Tan Megah) dari situ. Di dalam tahun 1865 Denai termasuk daerah Serdang yang dirampas Belanda dan kemudian diserahkan kepada Deli. Di tahun 1882 oleh Residen Belanda R.C. KROESEN ditetapkanlah

21

PNRI batas antara Serdang dan Deli yaitu Sungai Tuan dan Sungai Batang Kuis, Kemudian di tahun 1882 itu juga Denai diambil kembali oleh Belanda dari Deli dan diserahkannya kembali kepada Serdang. Di dalam akte peijanjian tanggal 15 — 11 — 1882 itu juga dicantumkan bahwa Sultan Serdang mengangkat sebagai Raja (Het Hoofd van Denai). TENGKU IBRAHIM, putra dari Raja Muda Graha (T. Yaudin). Kemudian Tan Berahim digantikan oleh RAJA MAHMUD (dari cabang turunan Tan Bagus, saudara Raja Graha). Ia turut di dalam perang saudara ,di Selangor dan berdiri di pihak Raja Abdullah (Tengku Kudin) di tahun 1866, dan se- telah peperangan selesai ia dianugerahi jasa oleh Sultan Abdullah Samad Selangor di tahun 1878. Kemudian berdasarkan amanat dari Almarhum Sultan Basyaruddin, maka oleh Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, ia dipanggil pulang dan dilantik menjadi Raja (Het Hoofd van) Denai. Belanda telah mempunyai pengalaman bahwa kekuasaan Sultan yang terlampau besar dapat mengancam kekuasaannya Sultan Basyaruddin tidak diingini Belanda lagi dan kini harus di- pakai politik perimbangan kekuatan (di sini antara Sultan di satu pihak, dengan orang-orang besarnya di lain pihak). di mana sedang diadakan adu domba dan tali ras dipegang Belanda, yang sewaktu- waktu dapat memainkan peranan sebagai "Penengah". Tetapi hendaknya pengurangan kekuasaan Sultan itu bukanlah datangnya lebih baik dari kesukarelaan Sultan sendiri? Untuk itu Belanda memegang tali pancing, yaitu mengulur-ulur pengakuannya kepada Sultan Sulaiman sambil melepaskan issue bahwa ada saja pihak lain yang berambisi jadi Sultan yang datang padanya tetapi rakyat dan Orang-orang Besar kompak umumnya. Situasi tegang seperti itu berlangsung lebih kurang 6 tahun. Seperti telah kita lihat, perlawanan terhadap kolonial Belanda di mana-mana telah terdesak, baik di Aceh, Tamiang, maupun di Asahan dan Sunggal. Akhirnya tiada jalan lain, maka atas anjur- an Orang-orang Besar Kerajaan politik Kontrak dan Acte van Verband ditandatanganilah oleh Sultan Sulaiman Syariful Alam- syah pada 29 Januari 1887. Di dalamnya ada juga dicantumkan secara tertulis bahwa: . . . "Sultan Serdang di dalam setiap hal

22

PNRI yang menyangkut semua urusan Kerajaan, dibantu oleh suatu DEWAN KERAJAAN (Rijksraad) yang terdiri dari RAJA MUDA (kedudukan sebagai Rijksgrote) dan para WAZIR BEREMPAT, sedang para Orang Besar (Kepala-kepala daerah Vazal), apabila dipandang perlu, dapat turut serta menghadiri rapat-rapat Dewan Kerajaan itu" 1). Setelah itu selesai semua, maka akhirnya secara resmi pe- merintah Hindia Belanda mengakui Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sebagai Sultan Kerajaan Negeri Serdang. Sementara itu Raja Muda Seri Maharaja (T. Tan Aman bin Twk. Zainal Abidin) yang telah pensiun (1882) oleh Orang-orang Besar digantikan kedudukannya sebagai T. Raja Muda oleh Tengku Mustafa (adinda dari aim. Sultan Basyaruddin). Di dalam tahun 1885 ada kejadian bahwa sekelompok Lanun (perampok laut) bangsa Cina telah membuat sarangnya di pantai Serdang, di mana mereka menyerang dan merampok establissemen di kantor Cukai, membunuh banyak pachter dan perahu nelayan dan perahu dagang Melayu dirampok di Pantai Cermin (Perbaungan). Lalu merekapun sudah menjadi berani pula menyerang Rantau Panjang (tempat bersemayam Sultan), tetapi akhirnya mereka dapat di- pukul mundur oleh askar Sultan. Mereka melarikan diri ke Malaya, tetapi pun di sana mereka dapat tertangkap oleh penguasa Inggris dan diserahkan kembai ke Serdang. Pada tanggal 21 Maret 1891 Sultan Sulaiman Syariful Alam- syah akad nikah dengan TENGKU DARWISYAH binti Raja Bur- hanuddin (Pagarruyung Sei Tarab) dan saudara seibu Sultan Makmun Alrasyid Deli. Perkawinan diadakan di istana TANJUNG PUTRI (Rantau Panjang) dan dari pihak pengantin perempuan dibawa dari Istana Bahari (Pelabuhan Deli). Di dalam tahun itu juga Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah bersama Permaisuri melawat meninjau Singapura dan Riau. Di dalam tahun 1894 Sultan memindahkan kedudukannya dari Rantau Panjang ke Simpang Tiga Perbaungan, karena Rantau

(1) Schadee "De Geschiedehis van Sumatra's Oostkust" jilid II.

23

PNRI Panjang acap kali digenangi air bah (Belanda membongkar cerocok yang dibuat ke tengah laut untuk pencegah lumpur, dengan alasan bisa menjadi sarang persembunyian lanun, tetapi sebenarnya untuk mematikan pelabuhan Rantau Panjang). Adapun Lijn kereta api D.S.M. baru sampai di Perbaungan di dalam tahun 1894. Sekitar tahun 1887 memang tampak bahwa ada gejala kete- gangan di antara para Orang Besar, di saat-saat Sultan masih ber- usia sangat muda dan masih dijabat oleh Dewan Mangkubumi, diketahui T. Mustafa, tetapi menurut Schadee, baru di tahun 1895 mulai ada komplotan untuk mengadakan coup d'Etat yang dipimpin antara lain oleh salah seorang dari Wazir Berempat. Akhirnya atas desakan-desakan yang tidak tertahankan lagi dari rakyat karena tindakan oknum-oknum tersebut di daerah Rantau Panjang antara lain dengan memaksa para nelayan dan pedagang menyerahkan uang mereka sebagai cukai untuk kepentingan pri- badi oknum-oknum tersebut dan melakukan lain-lain tindak tanduk lagi, maka Dewan Kerajaan bersama-sama rakyat lalu bertindak dan berhasil menggagalkan rencana komplotan itu dan menangkap mereka. Sultan pada waktu itu sedang sakit. Oleh Kerapatan Serdang lalu Wazir Datuk Setia Maharaja tersebut di- hukum buang selama 5 tahun ke Bengkalis (besluit tgl. 17 — 11 — 1895). Ia meninggal dunia tiada berapa lama kemudian di Beng- kalis pada bulan Januari 1896. Sejak itu hubungan di antara se- sama Orang Besar dan antara mereka dengan Sultan berjalan sangat baik 1).

I.e. "TERANG LIANG"

Di dalam tahun 1895 itu juga teijadi suatu perselisihan di antara Perbapaan (Kepala Daerah Dusun) Liang dengan Perbapaan dari Bakbak, di mana yang pertama itu meminta bantuan tenaga dari Tanah Karo yang dipimpin oleh seorang petualang yang ber-

(1) Schadee dalam "De Geschiedenis van Sumatra's Oosthust (Jilid II).

24

PNRI nama PANG MBULGAH, untuk mengusir yang belakangan itu. Perintah Sultan Serdang tidak dihiraukannya, malahan Pang Mbul- gah itu membuat pula benteng-benteng di Tanjung Mulia (Senem- bah) dan kini mulai terang-terangan menghasut rakyat. Maka di dalam bulan Juli 1895 Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sendiri memimpin laskarnya dengan para Panglimanya antara lain SAMAT, SAHMAN bin PANG UMAR (Sei, Bahasa), PADIDIK TARIGAN (Telong Kenas), T.H. MAT SOLAN dan lain-lain menuju Liang. Meletuslah apa yang disebutkan "Perang Liang" itu. Gerombolan yang dipimpin oleh Pang Mbulgah dapat dikalahkan dan dia pun dapat tertangkap serta akhirnya dihukum oleh Kerajaan Serdang. Tindakan yang cepat dan cekatan dari Sultan sendiri dengan memimpin sendiri ekspedisi kecil itu, yang semasa beijalannya operasi itu tanpa mengenal lelah mengurus kepentingan laskarnya dan penduduk daerah itu dan dalam mengadakan pesta-pesta rakyat dengan ongkos sendiri, segeralah mendapat dukungan yang spontan dan berkesan serta simpati yang besar dari rakyat. Sementara itu di dalam tahun 1891, kedudukan Kontelir Belanda di Serdang telah dipindahkan dari Rantau Panjang ke Lubuk Pakam. Tidak salahnya kami sebutkan urutan nama-nama Kontelir di Serdang yang bertugas sampai awal abad XX sebagai berikut: 1. J.J. PH. Cambier ... (1879-1881) kedudukan di Rt. Panjang 2. I. A. Van Rijn V. Alkemade (1881-1882) ,, ,, 3. J.N. Simons (1882-1883) ,, ,, 4. C.H.M. Le Bonk. . . . (1883-1884) ,, ,, 5. I.A. Rijn Van Alkemade (1884-1885) ,, ,, 6. F.A. Heckler (1885-1888) ,, ,, 7. J.J. PH. Cambier ..... (1888-1889) ,, ,, 8. H.CH. Douwes Dekker (1889-1891) ,, ,, 9. H.E. Muller (1891-1893) ,, ,, 10. C.J. Westenberg ...... (1893-1893) ,, ,,

25

PNRI 11. H.E. Muller (1893-1893) ,, ,, 12. J. Ballot (1893-1894) ,, ,, 13. C.J. Westenberg .... (1894-1895) ,, ,, 14. A.L. Kamerlingh ..... (1895-1898) ,, ,, 15. H.J.E. Tendello ..... (1898-1901) ,, ,,

Jelaslah di dalam waktu lebih kurang 20 tahun tidak kurang dari 15 pertukaran Kontelir yang rata-rata 1 tahun, dan beberapa orang hanya paling lama 3 tahun, mengingat hubungan yang selalu dingin dan sering tegang antara mereka dengan Sultan. Di dalam tahun 1898 dengan penuh upacara adat istiadat di- lantiklah T. DARWISYAH menjadi TENGKU PERMAISURI NEGERI SERDANG dan atas permintaan Pemerintah Agung Belanda di Betawi agar Baginda menghadap Ratu Belanda di Nederland, dengan dingin ditolaknya, malahan Baginda beserta T. Permaisuri dan rombongan di dalam tahun itu juga bertolak melawat ke Tiongkok dan Negeri Jepang/waktu itu negeri Asia yang pertama-tama maju dan berani menentang kekuatan militer dan ekonomi Barat). Di sana Baginda diterima beraudiensi oleh Kaisar Jepang, TENNO HEIKA KAISAR MEDIMUTSHUHITO (lambang dari Meiji Restorasi di Jepang). Sekembalinya Baginda dari Jepang diketahuilah bahwa atas kelicikan Belanda diperkecil batas Serdang dengan Bedagai (yang seharusnya sampai dengan Teluk Mengkudu). Tiada berapa lama kemudian T. Raja Muda Mustafa pun mohon berhenti karena hendak menunaikan rukun Haji dan telah lanjut usia. Di antara para Orang Besarpun terdapat perubahan. Sejak berhentinya T. Mustafa (1908), maka fungsi Raja Muda itu tidak pernah lagi diisi (dihapuskan di tahun 1910). Demikian juga hal- nya dengan fungsi wazir Paduka Setia Maharaja. Setelah T. ALAIDIN meninggal dunia di tahun 1889, maka fungsi Wazir SRI MAHARAJA diganti oleh saudaranya T. HAJI AHMAD dan setelah iapun meninggal dunia di tahun 1893, kedudukannya di- jabat oleh iparnya T. DEWA. Di daerah Denai, setelah T. Mahmud meninggal dunia ia digantikan oleh putranya TENGKU SULAIMAN sebagai Hoofd

26

PNRI PNRI PNRI van Denai (yang terakhir). Setelah Kejeruan Ambang minta berhenti karena usia lanjut (1909) maka fungsi Kejeruan Santun Setia Raja dari Serbajadi dijabat oleh T. JAMIL (1909-1916). T. PANGERAN HAJI MAT YASIN yang berkedudukan sebagai wakil Sultan di daerah Batak Timur meninggal dunia, dan kedudukan Hoofd van Perbaungan dipegang oleh TENGKU TAN IDRIS (Tengku Temenggung) dan turunannya selanjutnya. (Kelak di tahun 1930 diangkatlah oleh Sultan Sulaiman Syariful Alam- syah putranya yang tertua, TENGKU RAJIH ANWAR, sebagai TENGKU PUTRA MAHKOTA dan TENGKU MOHAMMAD NUR, putra dari almarhum T. Raja Muda Mustafa sebagai TENGKU PENGERAN BENDAHARA). Tiada berapa lama kemudian Sultan Sulaiman pindah dari Istana lama Kota Galuh ke istana baru, tetapi masih di dalam ling- kungan Kraton juga di tahun 1896. Istana baru itu menurut kisah sangat indah di dalam zamannya, karena diperbuat dalam ukiran dan bent.uk Melayu. Di dalamnya lebih dari 40 kamar dan ber- bagai-bagai ruangan antara lain 12 ruangan ada yang diperbuat menurut gaya Jepang. Istana itu mempunyai mahligai dan semua 6 tingkat. Tingkat pertama dan kedua adalah tempat ruangan menghadap Sultan. Tingkat ketiga adalah tempat menyimpan regalia-regalia dan ber- bagai senjata serta alat-alat kebesaran Kerajaan, sedangkan tingkat keempat tempat bermain para putri dan tempat menyimpan baju- baju kebesaran, tingkat kelima tempat peranginan dengan "Kaca Gila" dan tingkat keenam dinamakan "Pucuk". Jadi istana baru itu semua ada 6 tingkat. Di belakangnya ada lagi istana untuk T. Permaisuri dan bangunan-bangunan pegawai istana lainnya. Di depan istana itu ada terdapat GEDUNG DEWAN, tempat Dewan Kerajaan ber- musyawarah. Di belakang istana itu ada pula terdapat taman ber- nama "TAMAN SARI" dengan aneka bunga-bungaan dan titi-titi ala Jepang, sedangkan di antara istana itu dengan istana lama ter- dapat Kebon Binatang yang pertama dan yang terbesar di Sumatra waktu itu, yang menarik perhatian ribuan pengunjung masyarakat.

29

PNRI Selain itu setiap minggu rakyat dihiburi dengan bermacam-macam permainan dan pertunjukan kesenian. Perangkatan "MAKYONG" dan "MENDU" kepunyaan Sultan yang pemain-pemainnya didatangkan dari Petani (Siam) dan Kedah (Malaya); perangkatan "WAYANG KULIT" yang di- peroleh dari Sultan Yogya lengkap dengan alat-alat, dalang-dalang- nya yang ternama dan anak-anak buahnya. Selain itu Sultan mem- punyai juga rombongan Bangsawan (Opera Melayu) bernama "INDIAN RATU" lengkap dengan alat-alat dan anak buahnya terdiri dari berbagai-bagai bangsa serta mendapat gaji tetap dari Sultan di samping pendapatannya dari tour-tour ke Malaya, Singapura dan Jawa. Dari hasil kunjungan Baginda ke Jepang dan lain-lain, lalu didirikanlah dengan biaya 1.200.000 ringgit, saluran-saluran irigasi (meniru sistem SUBAK di Bali) lengkap dengan adminis- trasi dan polisi-polisinya dapat kelak menghasilkan padi sehingga terkenallah zaman itu Serdang sebagai lumbung padinya. Tempat itu dinamakan "BENDANG" dan dibawalah transmigran suku Banjar menetap di situ (1903 dan 1909). Sebelumnya, di tahun 1892 Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah telah membuka per- sawahan pertama-tama di Sumatra Utara dengan mengeluarkan biaya $. 10.000,- di Rantau Panjang. Tetapi karena kekurangan pekerja yang berpengalaman, proyek irigasi itu gagal. Hal itu baru berhasil dengan pembukaan "BENDANG" di Perbaungan di tahun 1903 dengan biaya 1.200.000 ringgit dan dengan didatang- kannya pekerja-pekeija suku Banjar dari Kalimantan di tahun 1909 1). Di tahun 1932 Tuan Sijzer disuruh Sultan Sulaiman untuk membuat industri belacan poeder dan sabun di perkebunan kelapa Raja (Pantai Labu). Di tahun 1933. oleh Sultan Sulaiman diusaha- kan dibuka Perkebunan Tembakau "Cinta Kasih" dan telah meng- hasilkan untuk dijual berupa cerutu pendek dengan merk dan gambar "Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah Serdang". Di samping

(l) "Oostkust van Sumatera" I (De Ontwikkeling van het Gewest) oleh Dr. R. Broers- ma.

30

PNRI itu baginda pemegang saham terbesar dalam Perkebunan karet Tg. Purba (N.V. "Midden Serdang Landbouw Mij".) Di bidang kesenian Sultan Sulaiman sangat aktip. Ia mempunyai band, musik yang lengkap sendiri dan satu-satunya pemilik biola "Stra- divarius" asli di Sumatra ini. Di samping itu baginda membawa guru-guru terkenal pencak silat seperti "Lintau" dan "Taram" asli dari Minangkabau dan kesenian lainnya berkembang di Serdang. Baginda mempunyai pegawai baik orang Jepang maupun Eropa. Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dikenal sebagaimana ayahandanya, Almarhum Sultan Basyaruddin, sebagai seorang yang anti penjajahan Belanda. Bermacam akal tindakan dilaku- kannya untuk menghalangi hak rakyat dicaplok sedikit demi sedikit oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di dalam laporan pejabat kolonial Belanda penuh kata-kata buruk dan cacian kepadanya. Salah satu laporan, yang dianggap agak sopan dan moderet, ada- lah laporan serah terima jabatan dari Kontelir bahagian urusan Batak (De Kock) sebagai berikut.: ".... De Sultan van Serdang is een zeer eigenaardig persoon, hij heeft een zeer grote dunk van zichzelf en ziet in iederen gou- vernementsambtenaar een geboren vijand. Vooral het nieuwe politieke Contract heeft den Sultan zeer tegen ons ingenomen. Hoogst achterdochtig van aard, zoekt hj achter alles het slechte. Komt men bij hem voor een of andere aangelegenheid, dan zal hij nooit een beslissing willen geven, steeds talmen en krijgt men dan na lang praten eindelijk een antwoord, dan is men er nog niet zeker van, dat hij zal medewerken; men lodpt nog de kans dat men na maanden op eens bemerkt, dat Zijne Hooghpid net doet, of er niets gebeurd is en geen overeenstemming werd verkregen. Ik kan mijn opvolgers na de vroeger verkregen raadgevingen ten zeerste aanraden, en in Serdang zeer voorzichtig te zijn, werkt men in Deli met plezier, in Serdang moet men steeds vrezen, dat er een vreemd iets gebeurd. Een typisch staaltje daarvan ondervond de Controleur van Serdang, de latere Resident. J. Ballot .... ". Kira-kira artinya: Sultan Serdang adalah seorang yang aneh, ia hanya memikirkan dirinya sendiri dan melihat setiap

31

PNRI pegawai pemerintah (Hindia Belanda, pen), sebagai musuh bebu- yutannya. Terutama mengenai politik kontrak yang baru sangat menyakitkan hatinya terhadap kita. Selalu curiga, maka setiap tindakan sesuatu diperhitungkan keburukan-keburukan yang terselubung di belakang layar. Jika kita menemuinya untuk sesua- tu hal, tidak pernah ia mau memberikan keputusan, selalu meng- ulur-ulur waktu dan jikapun setelah bicara panjang akhirnya kita mendapat jawaban, janganlah dengan demikian kita akan merasa pasti, bahwa ia akan mau bekeijasama; kita akan terkejut kelak, bahwa setelah beberapa bulan kemudian ternyata bahwa Baginda Sultan berbuat seolah-olah tidak pernah teijadi sesuatu apa pun dan tidak terdapat persesuaian paham. Saya bisa memperingatkan dengan sangat kepada pengganti saya, akan kebenaran nasihat dari mereka yang terdahulu dari saya, bahwa mereka haruslah sangat berhati-hati di Serdang, jika kita dengan gembira dapat bekerja di Deli, sebaliknya di Serdang kita musti setiap saat berada dalam ketakutan, bahwa setiap saat bisa teijadi sesuatu hal yang aneh. Kejadian yang unik pernah menimpa diri Kontelir Serdang, kemudian Residen J. Ballot". Sultan Sulaiman mangkat di Perbaungan pada tgl. 13 Okt. 1946 dalam usia 84 tahun (MARHOM SIMPANG TIGA) dan diantar dengan penuh upacara militer oleh ribuan rakyat ke makam terakhir di samping mesjid Raya "Sulaimansyah" Per- baungan. Baginda meninggalkan 3 orang putri (yang tertua ialah T. NAZRY glr. Tengku Puteri, istri Aim. Tuanku Mahmud Aceh) dan 5 orang putra: T.R. ANWAR (glr. T. Putra Mahkota), T. SYAHRIAL. T. ABUNAWAR, T. LUCKMAN SINAR (penga- rang buku ini) dan T. ABUKASIM. Lagu Kerajaan Serdang dinama- kan "MAHKOTA NEGARA" dikarang oleh A. KHALIK.

5. DELI (Sesudah tahun 1865).

Di zaman Sultan Mahmud itu adalah merupakan zaman paci- fikasi dari pengaruh dan meluaskan kekuasaan Deli. Zaman Sultan Mahmud itu ditandai juga dengan mulai ter- kenalnya penanaman tembakau Deli. Ia meninggal dunia pada tgl. 25-10-1873 dan dikebumikan di Labuhan (bergelar "Marhom 32

PNRI Kota Batu"). Di zamannya Deli mulai kaya karena tembakau Pada waktu kedatangan Belanda di tahun 1862 keadaan masih jauli dari pada makmur. "Kampung Labuhan Deli waktu itu terdiri atas dua jalanan yang panjang di mana rumah-rumah terletak di kiri kanan- nya. Kedua jalanan ini membentuk bersama-sama sebuah segi tiga. Hampir seluruh rumah bertiang kayu kira-kira tiga kaki dibangun di atas tanah, dan di bawah atapnya berlantai dan di bawahnya sering terdapat bangku-bangku dari bambu untuk tempat duduk atau tempat barang jualan. Hanya sedikit rumah terbuat daripada kayu, kebanyakan terbuat daripada bambu, nibung, kajang, dan sebangsa bahan-bahan yang ringan. Atapnya terbuat daripada daun nipah, biasanya ada sebuah klep agar asap dapat keluar dan cahaya maupun udara dapat masuk ke dalam rumah. Umumnya rumah-rumah itu kelihatan hampir-hampir rubuh dan di bawahnya dicampakkan berbagai macam kotoran. Jalanan dan parit sepan- jang jalan ituagaknya menunjukkan bahwa orang dahulu berusaha mengatur sesuatu tetapi tidak sanggup mengurusnya selanjutnya. Di ujung Kampung Labuhan Deli terletaklah rumah Sultan dan mesjid. Rumah itu agak lapang, bagus dibangun dari kayu dihu- bungkan satu dengan yang lain dengan gang yang beratap dengan beranda muka dan beranda belakang. Semua bangunan itu ter- letak di atas tiang kayu kira-kira 8 kaki di atas tanah dan atapnya terbuat dari daun nipah. Beranda muka kira-kira 90 kaki panjang- nya dan 30 kaki lebarnya, dan tiang di tengah-tengah, jadi agak baik dan luas kelihatannya, kemudian bubungannya tinggi dan dindingnya pakai jerajak sehingga banyak udara masuk. Banyak manusia bisa masuk ke dalamnya dan sungguh menarik perhatian jika 100 orang penduduk kebanyakan dengan memakai pakaian adat ala Aceh dan bersenjatakan keris dan pedang Aceh yang panjang dengan gagang terbuat daripada perak, duduk di atas hambal. Rumah Sultan itu dikelilingi oleh pagar yang hampir rubuh terbuat daripada kayu. Di samping pintu muka terdapat sebuah rumah mati Batak, di atas empat tiang, dengan atap rumbia dan cantik diukir menurut cara Batak. Rumah itu didirikan oleh

33

PNRI Kepala Suku Batak, yang takluk kepada Deli, jika seorang Sultan meninggal, meskipun mayatnya tidak diletakkan di situ. Mesjid Labuhan diurus baik dan terbuat daripada papan. Pakaian pen- duduk Deli waktu itu terdiri atas celana pendek dan lebar dan baju yang lebar dengan selendang sebuah sarung. Celana dan baju biasanya berwarna putih dan biru, terbuat dari sutra. Orang kelas pertengahan memakai cita buatan Aceh. Orang- orang bawahan sangat jorok dengan pakaian mereka. Perempuan memakai sampai ke dada, dan memakai tudung lingkup. Pakaian sutra itu kebanyakan buatan Eropa dan dibeli dari Pulau Pinang. Hampir tidak ada rumah di Deli di mana tidak ada orang berjualan. Biasanya yang dijual ikan kering, kacu, buah-buahan. Di beberapa buah kedai dapat juga diperoleh kain sutra Inggris atau Aceh, bahan pakaian, barang-barang besar, obat-obatan dan lain-lain. Di depan kebanyakan rumah ada perasan minyak kelapa. Penduduk Deli terdiri atas orang Melayu di pantai-pantai dan orang Batak di pedalaman. Yang pertama itu jumlahnya sedikit, tidak lebih dari beberapa ribu orang. Mereka mendiami daerah pantai yang rendah dan kebanyakan tinggal di Labuhan Deli, juga terdapat 200 orang Cina dan 100 orang Hindu berdarah campuran tinggal di situ. Orang-orang Batak kabarnya sangat banyak jumlah dan dae- rahnya dimulai kira-kira satu hari peijalanan dari pantai sampai ke pegunungan. Perdagangan di Deli waktu itu umumnya hanya dengan Pulau Pinang. Kerajinan tangan tampaknya di Deli sangat rendah mutunya. Sampan-sampan yang dibuat di situ bentuknya buruk. Layarnya terbuat daripada cita. Banyak diperbuat di Deli keris dan pedang-pedang yang cantik-cantik menurut bentuk Aceh, ikatnya adalah buatan Inggeris atau Turki. Biasanya keris itu lurus saja dan duabelah mata dan 8 telempap panjangnya. Kepala pedang itu satu telempap panjangnya terbuat dari perak, kadang-kadang dari suasa dan selalu bersilang empat. Sarungnya terbuat dari kayu atau kulit. Orang Batak di situ mengakui kedau- latan Raja Melayu di pantai-panti. Di Deli mereka tidak membayar belasting, tetapi mesti membantu Sultan dalam peperangan. Mere- ka harus juga, dengan syarat-syarat perjanjian, menanam lada untuk Sultan. Selanjutnya Sultan tidak campur tangan urusan mereka, hanya kadang-kadang diminta campur tangannya memu-

34

PNRI tuskan perselisihan mereka"1). Penggantinya ialah putranya, SULTAN MAKMUN ALRA- SYID PERKASA ALAMSYAH. Karena sementara masih di bawah umur ia masih diwakili oleh Raja Muda Sulaiman (bersama-sama dengan T. Sulong Laut. Raja Sulaiman meninggal kira-kira tahun 1895), dan baru di dalam usia 18 tahun (tgl. 13 Mei 1875) ia ditabalkan di Bengkalis. Di dalam upacara penabalannya itu terdapat sedikit kesalah- pahaman. Schadee menulis, bahwa Sultan Siak menghendaki agar penabalan Makmun Alrasyid itu seperti menurut kebiasaan dahulu, harus meminta izin dari Sultan Siak. Dari tangan Sultan Siaklah ia bakal menerima cap kerajaan. Tetapi hal itu disanggah oleh Residen Netscher dengan alasan keadaan situasi sudah berubah sekarang (padahal dasar hukum Belanda menguasai daerah-daerah di Sumatra Timur adalah karena daerah-daerah itu kononnya daerah takluk Siak). Maka kehadiran Sultan Siak dalam penabalan itu lebih banyak hanya bersifat saksi saja. Pemberian Akte Peng- akuan dan cap Kerajaan dilakukan oleh Residen Belanda dan Sultan Deli itu menyembah Sultan Siak yang hadir di situ hanya- lah karena bersifat penghormatan semata kepada Sultan yang lebih tinggi derajatnya. Sebagai contoh bagaimana tarap raja-raja Sumatra Timur dalam pandangan Siak dapat kita lihat Akte yang ditulis semasa Sultan Ismail Siak bulan Juli 182722), yang menyatakan sebagai berikut: "Di tahun 1244 Hijratul Nabi (14 Juli 1828 - 2 Juli 1829) maka oleh Tengku Besar Pahlawan dibuat perjanjian dan ditanda- tangani dengan 2 orang Raja-raja tertua, yaitu Tengku Pangeran Sumadilaga (juga dinamakan Said Zein) dan Tengku Panglima Besar Siak Seri Inderapura (Mohamad). Ketiga orang bangsawan ini, yaitu orang-orang Besar kemudian menyusul anak-anak Raja Siak dan di antara mereka Kepala Daerah 4 suku Tanah Datar, Iimapuluh, Pesisir, Kampar, dan r -ang-orang Besar Negeri lainnya, telah mengangkat Putra beta TENGKU SULONG BISNU RAJA 1) Togtjes in het Gebied van Riouw en Onderkrigheden " oleh Residen Riau E. Netscher (T.B.G. deel 14 : 1864. 2) Menurut "MALAKA OBSERVER"tanggal 31 Juli 1827. 35

PNRI ISMAIL, cucu dari marhom Kota Tinggi (Sultan Said Ali). Oleh karena baginda itu telah memerintahkan: "Seandainya mungkin teijadi sesuatu terhadap pemerintahan putra beta Sultan Ibrahim. Yang Dipertuan Besar Siak, baik oleh karena kemangkatannya, ataupun oleh karena cacatnya, maka hendaklah dipilih diantara kedua Tengku Sulong Bisnu dan Teng- ku Sulong Laut siapa di antara mereka diangkat menjadi Sultan". Semua Raja-raja di Siak, semua Orang-orang Besar dan semua Raja-raja dari kawasan barat (taklukan dari Siak), yaitu "pertama- tama Raja Langkat, kedua Raja Asahan, yang ketiga Raja Deli, yang keempat Sultan Serdang, yang kelima Raja Perbaungan, dan Raja-raja Bilah dan Panai, juga keempat suku dari Batubara dan Syahbandar Ahmad, mengangkat sebagai Raja putra beta Tengku Sulong Bianu Raja Ismail, sebagai Sultan Yang Dipertuan Besar Siak Seri Inderapura, menurut adat istiadat dan hak turun temu- run. Ia menjadi pemilik Kerajaan Siak dan sungai-sungainya, penghasilan dan cukai-cukai; juga termasuk hamba rakyat. Dan tidak dibenarkan orang menyimpang dari pada kehendak dan titahnya; sebaliknya mestilah ianya dipatuhi". 1) Menurut Siak, Sultan Asahan (Yang Dipertuan Asahan) di- anggap lebih tinggi daripada Raja-raja lain taklukan Siak jadi lebih tinggi juga dari. raja-raja Deli, Langkat, dan Serdang. Derajatnya sama dengan Yang Dipertuan Muda Siak. Kepada Raja Asahan diperkenankan datang menghadap dengan diiringi pengawal- pengawal bersenjata sampai pintu gerbang balairung, sedang ke- pada raja-raja lain tidak diperkenankan demikian itu. Asalnya kehormatan itu oleh karena pernah salah seorang raja Siak, Sultan Raja Alam, berhutang budi dengan salah seorang raja Asahan sehingga dikurniainya gelar Yang Dipertuan, sedang raja-raja lain ianya bergelar Sutan atau Pangeran. Seperti halnya dengan raja- raja Deli, Langkat, dan Serdang maka juga raja Asahan hanya dapat dipanggil Sultan Siak datang ke Siak pada waktu menghadiri pesta famili Sultan Siak saja sebaliknya raja-raja Panai dan Bilah misalnya dan Datuk-datuk dari Batubaia setiap saat dapat dipang- gil.

1) "D0 Nederlanders in Johor en Siak "oleh E.NETSCHER

36

PNRI Apa-apa kewajiban raja-raja Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan kepada Siak tidak begitu diketahui benar. Misalnya Sutan Panai dan Bilah (posisi mereka terhadap Siak diterakan sebagai "Bentara Dalam"), yang setiap tahun mereka harus mempersem- bahkan 400 goni padi masing-masing kepada Sultan Siak. Kemungkinan besar kewajiban-kewajiban raja-raja Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan tersebut di atas membantu Siak dengan balatentara dan senjata jika teijadi peperangan l). Sultan Siak rupa-rupanya dengan tindakan Makmun Alrasyid begitu tadi sudah merasa puas sehingga hubungan tidak terganggu lagi karenanya. Lalu di dalam Akte Pengakuan itu pada tanggal 26 Juli 1876 di hadapan Asisten Residen Deli, ditandatanganilah perjanjian yang menjadi syarat dari pengakuan tadi di mana Belanda memperoleh kesempatan lebih banyak mendapat hak-hak belasting dan peradilan sehingga hak-hak raja dan kerajaan men- jadi berkurang. Sultan Makmun Alrasyid masih berdiam di Labuh- an. Dalam tahun 1880 ia bersama-sama dengan Sultan Siak lalu menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Betawi. Dengan selesainya ditekan Perang Kemerdekaan Rakyat Sunggal (Belanda: "De Batakoorlog") di tahun 1873, Belanda lalu mengatur kembali hubungan-hubungan antara Sultan Deli dengan para Datuk dan Orang-orang Besar lainnya dan menurut Schadee, sebagai akibat pemeriksaan mengenai sebab-sebab timbulnya perang itu, ter- nyatalah bahwa antara lain para Datuk tidak merasa senang me- ngenai cara Sultan membagi-bagikan .begitu saja tanah-tanah konsessi kepada pihak perkebunan Belanda dan Asing dan juga mengenai pembagian rezekinya. Selain itu Sultan menyamarata- kan peraturan-peraturan tanah di daerah Melayu dengan daerah yang didiami suku Karo. Dengan Kejeruan Percutpun (T Mat- Sekti) pemberontakan terhadap Deli dapat diredakan oleh Belanda, dengan diadakannya perkawinan dengan salah seorang keluarga Sultan. Akhirnya Belanda menetapkan bahwa Kerajaan Deli terdiri atas: 1. Daerah Asli Sultan.

1). 'Gerchiedenis van Asahan "oleh C V.KROESEN.

37

PNRI 2. Daerah Datuk-datuk 4 suku: Sunggal (Serbanyaman), Ham- paran Perak, Sukapiring, dan Patumbak. 3. Daerah jajahan: Percut, Sungai Tuan (daerah itu dikeluarkan dari Percut untuk tempat kediaman T.Daud sekeluarga dari Serdang yang pindah ke Deli), Badagai, Padang. Schadee selanjutnya menulis, bahwa mulanya pemerintahan Kerajaan Deli di daerah yang didiami suku Melayu sangat oto- kratis. Sultan hanya menjalankan kekuasaannya bersama-sama Raja Muda dan para pembesar, tetapi rakyat sangat sedikit mem- punyai hak. Ia setelah bermufakat dengan kepala-kepala daerah bersangkutan, lalu mengatur hutan-hutan, menetapkan luas haknya, lalu mengutip cukai dan memerintahkan kerja rodi kepada rakyat. Kepala-kepala daerah di situ jadi merupakan wakil- wakil dari pemerintahan sentral terhadap rakyat. Lainlah halnya didaerah-daerah Batak di mana kedudukan tanah bersifat demok- ratis. Di situ tanah adalah kepunyaan rakyat dan tanpa persetuju- annya tidak dapat dipakai oleh orang asing, sedang peradilan berada di tangan Kepala-kepala Kampung. Kepala-kepala Suku (atau disebut Datuk-datuk) adalah sebenarnya Kepala-kepala Rakyat dan menjadi wakil rakyat pada Sultan yang dianggap opperheer semata-mata, tetapi tidak berhak campur tangan soal dalam daerah-daerah itu. Hanya dalam soal-soal berat (vonnis hukuman mati dan lain- lain) baru diminta izin Sultan. Rupa-rupanya dalam hal itu Sultan kurang meneliti, sehingga antara lain menyebabkan terjadinya Perang Sunggal itu, demikian menurut sumber Belanda itu dengan licik mengadu domba menyalahkan kelemahannya pada pihak lain. Belanda kini mulai memikirkan membuat peraturan- peraturan yang mengurangi dan membagi-bagi hak kekuasaan Sultan, kepada Datuk-datuk dan Orang-orang Besar lainnya serta Penghulu-penghulu (Perjanjian tgl. 24-10-1883 antara para Per- bapaan, Penghulu, Datuk.dan Sultan Deli). Sultan dikenal karena mulai pindah ke Medan dan mendiri- kan istana Maimoon di tahun 1888 dan mendirikan Mesjid Raya A1 Mansun serta kolam ikan di depan Mesjid Raya Medan itu. (Ia mangkat di tahun 1924 dan bergelar "Marhom Makmur").

38

PNRI 6. PERANG SUNGGAL MELAWAN BELANDA 1872-1895

Sejak mula ditanamnya tembakau oleh NIENHUYS tahun 1863 dimulailah penanaman besar-besaran oleh maskapai-maskapai Belanda lainnya, tetapi tiba-tiba penanaman itu, yang tentunya juga memerlukan tanah-tanah yang luas, terancam dengan timbul- nya ketidaksenangan di kalangan penduduk SUNGGAL SERBA- NYAMAN (kesemuanya termasuk daerah Datuk yang masuk Deli). Pemberontakan itu antara lainnya juga disebabkan ketidak- puasan rakyat di situ karena tanah mereka yang baik-baik di- rampas maskapai tembakau Belanda untuk penanaman tembakau besar-besaran, sehingga hanya tanah-tanah yang tidak baik yang tinggal pada rakyat, sedangkan hasil tanahnya diterima oleh Belanda. Pada tahun 1857 dengan meninggalnya Datuk Sunggal, maka diangkat anaknya BADIUZZAMAN SRI DIRAJA menjadi Datuk Sunggal yang baru. Sejak itu sampai pada tahun 1866 yang men- jadi wali pemangkunya ialah pamannya DATUK KECIL. Saudara Datuk Kecil itu ialah DATUK JALIL yang mempunyai seorang anak bernama SULUNG BARAT. Sulung Barat itu telah diangkat oleh Sultan Deli menjadi Kepala TIMBANG LANGKAT. Tetapi Sultan Langkat juga menuntut Timbang Langkat masuk daerahnya dan untuk memperkuat tuntutannya itu ia mengangkat Datu Jalil (bapak Sulong Barat) dengan gelar BENDAHARA, dengan peng- harapan agar Sulong Barat dapat juga dipengaruhinya. Tetapi baik Datuk Jalil maupun Sulong Barat ingin membebaskan Sunggal terlepas dari Langkat maupun dari Deli. Oleh karena rakyat Sung- gal melihat bahwa pemberian tanah-tanah maupun belasting yang diperoleh dari hasil tanah dan keuntungan masuk lcantongnya Belanda dan para maskapai kebun tembakau itu, maka mereka mulai menentang perluasan perkebunan-perkebunan tersebut. Dalam tahun 1870 oleh Sultan diserahkan tanah terletak di Sunggal kepada Maskapai Belanda. Datuk Kecil menentang, yang juga mendapat sokongan dari penduduk Karo di Deli Hulu, karena mereka juga ikut takut tanah-tanah di daerah mereka pun akan diberikan kepada pengusaha-pengusaha Belanda. Maka para pem-

39

PNRI berontak di bawah pimpinan Datuk Kecil, Datuk Jalil dan, Sulong Barat dengan pengikut-pengikut sebanyak kira-kira 1500 orang yang terdiri dari suku Melayu dan Karo, membuat benteng pertahanan di Timbang Langkat pada tahun 1872, lalu mengancam Deli. Belanda lalu mengirimkan pasukan dari Riau. Pasukan ekspedisi Belanda tersebut dipimpin oleh KAPTEN KOOPS, Komandan Militer di Riau. Pasukannya terdiri dari: 1. 111 orang pasukan infantri, 2 buah mortir 12 inci, sebuah houwitser denga 19 orang dari artileri dan ambulans dan 5 orang opsir. 2. Dari kapal perang "Den Briel" dan "Banka" turut memper- kuat dari angkatan laut terdiri dari 82 orang marinir di bawah pimpinan Let. (L) LANGE. 3. Juga itu belum cukup, dan ditambah lagi dengan pasukan laskar dari Sultan Deli dan 200 orang kuli Tionghoa buat mengangkat barang-barang. Juga dari arah Binjai pasukan laskar Pangeran Langkat akan membantu. Setelah mendarat di Labuhan, pasukan segera bergerak menuju perkebunan "Arendsbuig", dan perkebunan "Rotterdam", sedang pasukan laskar Sultan Deli dipaksa Belanda mengepung dari arah Sunggal dan Sapu Iju, sedangkan dari Langkat dipaksa Belanda laskar Pangeran Langkat akan mengepung melalui sepanjang sungai Bingai. Sewaktu malam ditengah-tengah peijalanan di antara kebun-kebun lada, pasukan Belanda ditembaki dan terpaksa bertahan. Pada hari itu juga jatuh korban di pihak pasukan Belan- da: 5 orang sakit dan serdadu Belanda totok nama SCHOON me- ninggal dunia. Keesokannya tgl. 17 Mei pasukan Belanda maju lagi dan sewaktu mau menyeberangi sungai Bingai ditembaki dari seberang oleh pasukan gerilya rakyat. Kemudian pasukan Belanda terperangkap dalam lubang-lubang yang beranjau sewaktu berhasil menyeberangi sungai sambil ditembaki oleh laskar gerilya rakyat. Lagi-lagi jatuh korban di pihak rombongan pasukan Belanda: yaitu 2 orang meninggal seketika kena tembak, seorang di antara- nya serdadu Belanda totok bernama AGELINK dari pasukan meriam, dan Komandan Marinir Belanda sendiri Let. (L) Lange

40

PNRI luka-luka berat dan 5 orang pasukan Belanda luka-luka ringan. Kemudian pasukan Belanda maju lagi ke arah Rantau Betul. Kampung itu tampak ditinggalkan rakyat lalu setelah isinya dirampok kampung tersebut lalu dibakax rata dengan tanah, juga kampung Timbang Langkat dibakar rata dengan tanah oleh Belan- da. Karena takut serangan gerilya rakyat, pasukan Belanda mundur ke arah Sunggal. Kemudian rakyat dan kepala-kepala kampung sekitarnya dikumpulkan Belanda dan diancam harus menyerahkan Datuk-datuk tersebut tetapi tidak dihiraukan mereka. Di dapat kabax bahwa laskar gerilya rakyat Sunggal bermarkas di Tanduk Benua, Belanda lalu memaksa mengirim dahulu sebagai umpan peluru, laskar Sultan Deli di bawah pim- pinan RAJA SULAIMAN (saudara Sultan) dengan 100 orang anak buah, dan di belakangnya baru pasukan Belanda. Tetapi lagi-lagi Belanda kecele, karena pasukan laskar gerilya rakyat Sunggal sudah mengungsi ke pegunungan. Kemudian Belanda memerintahkan lagi Raja Sulaiman dengan laskarnya menuju Kampung Tanduk Benua dan juga menuju Kampung Sapuruk. Sesampainya di sana laskar Deli dan tentara Belanda menemui kampung-kampung tersebut sudah kosong. Lalu diadakan pe- mecahan pasukan dan sebahagian menduduki kampung-kampung tersebut. Kemudian Belanda undur lagi dan meninggalkan laskar Deli di sana. Tetapi sewaktu tgl. 24 Juni tentara Belanda di bawah pimpinan Letnan PONSTIJN menuju Benua kembali di tengah jalan menemui laskar Deli yang mundur. Rupa-rupanya pagi hari itu laskar Raja Sulaiman itu diserang oleh laskar gerilya rakyat Sunggal di bawah pimpinan Sulong Barat dan Tanduk Benua direbut mereka kembali, sedang 'laskar Deli di bawah pimpinan Raja Sulaiman itu dipukul mundur dengan menderita kerugian 2 orang laskar Deli mati dan 8 orang luka-luka. Setelah men- dengar itu dari Raja Sulaiman pasukan Belanda itupun kecut juga rupanya dan memerintahkan bersama-sama mundur kembali ke Sapuruk, dan lalu membikin pertahanan di sana. Tiada berapa lama bantuan Belanda dari Sunggal pun didatangkan. Kemudian pada tanggal 27 Juni sewaktu pasukan Belanda mendekati Tanduk Benua diserang lagi hebat satu hari satu malam suntuk.

41

PNRI Pada tanggal 28 Juni pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Koops dan pasukan artileri dipimpin oleh Letnan Van Meurs sewaktu hendak membantu di tengah jalan menuju Tanduk Benua diserang oleh laskar rakyat Sunggal dan mundurlah Belanda terbirit-birit kembali ke Sapuruk dengan membawa korban 1 orang tentara Belanda mati dan 9 orang luka-luka parah. Oleh karena Sapuruk pun terancam maka pasukan Belanda itu pun pada tgl. 30 Juni mundur lagi meninggalkan Sapuruk ke arah Perkebunan Enterprise, tetapi di tengah jalan dekat kampung Ujung Barat (dekat Sungai Behijong) pasukan Belanda yang mundur diserang lagi hebat-hebatan oleh laskar gerilya rakyat dan terjadilah panik, terlebih-lebih di antara kuli-kuli Tionghoa pengangkut barang- barang yang kesemuanya lari kucar-kacir, dan meninggalkan banyak barang-barang pasukan Belanda yang segera dirampas oleh laskar rakyat. Belanda tidak menyangka pukulan yang hebat yang telah dideritanya, sehingga seluruh orang-orang Belanda dari perkebunan-perkebunan sekelilingnya dan pasukan-pasukan Be- langa dipusatkan keseluruhannya di Sunggal. Lalu dikirim telegram via Penang untuk minta bantuan pasukan lebih banyak lagi. Ke- mudian Komandan pasukan Belanda mendapat lagi berita bahwa menurut kabar dari mata-matanya, perkebunan Enterprice akan di- serang juga, sehingga administratur kebun Tuan OTTZEN dan ke- luarga diungsikan. Pada tanggal 6 Juli Belanda mendapat kabar bahwa perkebun- an-perkebunan "Rundolphsbuig" dan "Siput" telah diserang dan rumah-rumah administratur Tuan PECHUL dan ROMER dibakar dan perkebunan "Padang Bulan" juga terancam. Belanda segera mengirimkan pasukan bantuan dan menduduki kebun-kebun Klumpang dan Helvetia. Sesampainya di perkebunan Padang Bulan lagi diperkuat benteng pertahanan di sekitar rumah admi- nistratur VAN DER SLUIS dan keluarga-keluarga Belanda dari kebun-kebun lainnya diungsikan ke situ. Pada tanggal 8 Juli pagi- pagi, datanglah serangan yang ditunggu-tunggu itu dengan hebat- nya. Dalam waktu yang bersamaan pun perkebunan PAYA BAKUNG diserang hebat juga. Mengingat serangan-serangan gerilya di mana-mana yang dialami Belanda maka para wanita dan

42

PNRI anak-anak Belanda segera diungsikan dengan konvooi ke pelabuh- an Labuhan dan bersama-sama arsip-arsip perkebunan dinaikkan ke kapal "BANKA". Pada tanggal 8 Juli juga perkebunan-perkebunan "Padang Bulan" dan "Perseverance" diserang hebat lagi. Pada hari itu juga berlabuhlah di Belawan kapal "Marnix" mengangkut pasukan bantuan Belanda dari Betawi terdiri dari 74 orang serdadu dan pada tanggal 10 Juli datang lagi bantuan pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel P.F.VAN HOMBRACHT dengan anak buah tediri dari 14 orang opsir, 359 orang pasukan, 1 deta- semen artileri terdiri dari 2 orang opsir dengan 40 orang anak buah, 4 buah meriam gunung, 2 mortir 12 inci, 2 orang opsir kesehatan, pegawai-pegawai hospital dan sebagainya. Pasukan infantri Belanda itu diperlengkapi dengan senapan-senapan KUHN yang terhitung modern pada masa itu. Pada tanggal 12 Juli tiba di Kampung Lalang (Kebun "Enterprice") dan Overste Hombracht lalu mengambil alih pimpinan dari Kapten Koops. Lalu pasukan menuju kampung SEMBAHE dan karena ter- nyata sudah kosong ditinggalkan penduduknya, maka Belanda lalu membakar seluruh kampung itu. Lalu pasukan Belanda yang besar dan dengan senjatanya yang serba modern itu menuju terus ke kampung TANJUNG BALAI, dan karena juga sudah dikosongkan penduduknya, lalu Belanda membakar juga kampung itu, tetapi sewaktu mau menuju kampung HUTA JURUNG dan LAU MAR- GO (dekat sungai Tuntungan), pasukan Belanda itu ditembaki oleh laskar rakyat. Di dekat Kampung Tanjung Balai laskar rakyat membuat pertahanan dan terjadilah pertempuran dengan korban di kedua belah pihak. Juga waktu pasukan Belanda memasuki kampung Sungai Bahilung terjadi petempuran, tetapi dapat di- tangkis Belanda, yang lalu maju menyerang kampung Ujung Barat, tetapi karena sudah ditinggalkan penduduknya, kampung lagi-lagi dibakax Belanda. Lalu karena memperoleh perlawanan bersenjata oleh laskar rakyat di mana-mana dan Belanda tidak dapat bantuan dari rakyat akhirnya diputuskan oleh Komandan Belanda agar pasukan diundurkan saja kembali ke Sungai Bahilung sambil me- nunggu diutusnya orang agar dapat diadakan perundingan dengan

43

PNRI pimpinan laskar gerilya rakyat. Terlebih-lebih setelah Komandan dari pasukan Belanda sendiri, Letnan Kolonel Van Hombracht mendapat luka-luka, dan banyak korban lainnya, maka diputuskan lagi oleh Belanda mundur kembali ke Sunggal. Diaapat kabar bahwa utusan yang dikirim untuk membuka perundingan dengan Datuk Jalil cs. menemui jalan-buntu. Pada tanggal 20 Agustus didapat kabar bahwa Datuk Jalil bermarkas di Kampung Katinam- bunan, lalu Belanda mengirim pasukan sebanyak 160 orang disertai oleh pasukan artileri. Tetapi baru saja sampai dekat Kampung Rimbun pasukan Belanda itu diserang hebat sehingga mundur kembali membawa korban I opsir dan lebih 3 orang mati dan luka-luka. Karena mendapat derita kerugian yang besar itu, ditambah pula musim penghujan yang mempersulit perjalanan, maka Belanda mengundurkan semua pasukan-pasukannya dan dikumpulkan di kota Sunggal. Sebagaimana akal liciknya, jika ia berada dalam pihak kelemahan, Belanda lalu pura-pura mau berun- ding, sambil menunggu tambahan pasukannya dan jika ia merasa sudah kuat maka baru menyerang. Pada tanggal 20 September diberangkatkan lagi dari Betawi pasukan bantuan yang lebih besar lagi, yaitu terdiri dari 3 kompi infantri, 1 detasemen artileri, bahagian kesehatan, keseluruhannya beijumlah 14 orang opsir dan 339 orang anak buah ditambah lagi 105 orang hukuman paksa kesemuanya dikepalai oleh MAYOR H.W.C. VAN STUWE dan sesampainya di Sunggal diadakan timbang terima antara Letnan Kolonel Hombracht (harus kembali ke Betawi karena memperoleh luka-luka berat) dengan Mayor Stuwe tersebut. Kemudian pasukan Belanda yang besar dan serba lengkap senjata modern itu majulah menyerang Kampung Tanjung Balai, tetapi sesampai di Lau Margo diserang oleh pasukan laskar gerilya rakyat, sehingga dalam pertempuran itu jatuh korban di pihak Belanda 1 orang opsir dan beberapa orang serdadu. Kemudian pasukan Belanda maju menyerang Lau Potah dan Sungai Bahilung, juga setelah pertempuran-pertempuran hebat dapat diduduki Belanda Kampung-kampung Katinambunan dan Tanduk Banua. Akhirnya pada tanggal 24 Oktober 1872 dapatlah tertangkap oleh Belanda Datuk Kecil, Datuk Jalil, dan Sulong Barat.

44

PNRI Pada awal tahun 1873 ketiga orang pahlawan rakyat itu lalu dibuang Belanda ke Cilacap seumur hidup. Datuk Sunggal, Badiuzzaman Seri Diraja sendiri wafat di Jawa (1873) pada waktu mempeijuangkan pembebasan Datuk Kecil, cs. Kerugian Belanda dari petempuran-pertempuran itu dari tanggal 14 Mei sampai dengan 6 Nopember 1872 ialah sebagai berikut: Yang mati 3 orang opsir Belanda totok dan 74 orang ser- dadunya; Luka-luka 1 orang opsir dan 21 orang serdadu dan pada hari terakhir tambah lagi luka-luka berat beberapa orang serdadu Belanda. Dari pihak Marinir (tentara Laut Belanda) luka-luka berat 1 orang dan 1 orang serdadu Marinir. Kesemuanya di atas karena pertempuran belum termasuk legi korban-korban Belanda karena sakit dan belum termasuk korban-korban di pihak laskar-laskar Sultan dan kuli-kuli pembawa barang. Sebagai akibat dari pemberontakan Sunggal itu lagi di dalam tahun 1872 itu hampir timbul keruwetan dari rakyat karena ke- kurangan bahan makanan di Deli. Barulah setelah perjanjian pe- makaian tanah-tanah perkebunan dan pemberian hasil tanah kepada rakyat diberikan, ditambah dengan pendudukan pasukan- pasukan Belanda yang besar di Deli, maka perlawanan bersenjata dapat dipadamkan Belanda. Tetapi pasukan pendudukan Belanda itu beberapa bulan kemudian dalam tahun 1873 terpaksa ditarik- nya karena diperlukan memperkuat bantuan tentara agressor Belanda dalam perang Aceh. Seperti kita ketahui pertempuran-pertempuran karena pem- berontakan-pemberontakan rakyat Sunggal itu tidaklah berdiri sendiri tetapi merupakan mata rantai dengan pemberontakan rakyat di Tamiang/Langkat Hulu di bawah pimpinan Komando Panglima Nyak Makam (dari Aceh) bersama-sama dengan Kejeruan Bahorok. Tetapi perlawanan rakyat Sunggal belum reda terhadap Belanda sampai di tahun 1895.

45

PNRI 7. SUMATRA TIMUR MENJADI RESIDENSI YANG BERDIRI SENDIRI (Belanda mengambil alih belasting dan mengatur peradilan dan pemerintahan dari Raja-raja Melayu).

Sejak Belanda datang ke daerah itu, yang waktu itu dianggap- nya sebagai "bahagian" dari Siak, Sumatra Timur terus cepat berkembang. Perkebunan dan Perdagangan serta pelayaran yang tetap telah ada. Banyaklah berdatangan orang-orang asing. Belanda merasa perlu mengatur tata pemerintahan, bea cukai, dan belasting dan setelah itu perlu pula ada peradilan. Mula-mula sudah lama mau melepaskan daerah Sumatra Timur itu dari Riau, tetapi karena masih takut soal perselisihan dengan Inggeris di Malaya belum selesai, Belanda belum berani betul. Selain itu ada pula soal gengsi Residen Netscher (Residen Riau) yang banyak berjasa pada Belanda soal merampas daerah-daerah Sumatra Timur itu.1) Untung datang masa yang baik bagi Belanda. Dengan Inggeris sudah dibuat Traktaat Sumatra, dan Residen Netscher sudah dijadikan pula Residen Sumatra Barat dengan daerah yang luas, sehingga ia tidak malu muka. Lalu pada tanggal 15 Mei 1873 Sumatra Timur, termasuk Siak, dijadikan residensi tersendiri yang berkedudukan di Bengkalis. Memang letak Bengka- lis baik betul dan pelabuhan alamnya juga baik. Belanda lalu me- nekan Sultan Siak yang terpaksa menyerahkan Bengkalis itu kepada Belanda pada tanggal 26 Juli 1873 dengan ganti rugi sebesar F 1.8000.- per tahun. Tetapi meskipun demikian, pendu- duk tetap menganggap Sultan Siak sebagai Ulil Arnri dan kepala adatnya. Residensi itu terbagi atas: Afdeling Deli (dari Tamiang sampai Padang) dengan Kontelir di Labuhan. Afdeling Asahan (termasuk Batubara) dengan Kontelirnya di Tanjung Balai-afdeling

1) ELISA NETSCHER (berdarah Yahudi) lahir di Rotterdam 7-12-1825, Dalam umur 23 thn. sudah jadi Kepala Bahagian Politik di sekretariat umum Gubernur Jenderal di Betawi. Sejak jadi Residen Riau tahun 1861 dengan berbagai akal mendorong agar Belanda menguasai Sumatra Timur via Siak. Ia Lama mempelajari arsip-arsip tentang Riau dan Malaka untuk merubuhkan Aceh. Ia meninggal tahun 1880 di Betawi

46

PNRI Labuhan Batu, dan afdeling Siak. Kontelirnya di Siak, Residen Sumatra Timur yang pertama ialah J.LOCKER DE BRUINE dan asisten Residennya untuk Deli, E.A. HALLEWIJN Pertama-tama yang dikeijakan pembesar-pembesar Belanda itu ialah mengambil alih hak-hak belasting dari Raja-raja. Pertama- tama sekali di tahun 1863 ialah Siak yang menjadi korban, tetapi mendapat protes keras dari Inggeris di Malaya. Akhirnya dengan adanya Traktaat Sumatra, Inggeris sudah dapat disogok Belanda agar jangan ribut-ribut dengan menjanjikan tidak ada perbedaan hak untuk berusaha. Kemudian berturut-turutlah Belanda me- rampas hak-hak belasting dan cukai dengan Siak tanggal 4 Nopem- ber 1875 (ganti rugi F1.28.350.-p/tahun;) Deli tgl. 14 Nopember 1875 (ganti rugi Fl. 123.100.- p/tahun;) Bilah, Panai dan Kota Pinang tgl. 21 Nopember 1875 (ganti rugi masing-masing Fl. 8750.- F1.7750.- F1.7750.-); Serdang tgl. 1 Nopember 1876 ganti rugi Fl.47.500.- p/tahun); Langkat tgl. 28 Nopember 1876 (ganti rugi Fl.49.150.- p/tahun). Dalam tahun 1884 saja sisa keuntungan dalam kas sebanyak Fl. 500.000,- Melihat keuntungan itu, Belanda lebih serakah lagi dan mau memperbesar belasting yang masih ketinggalan pada raja-raja, seperti yang akan kita lihat nanti.

KEKUASAAN PERADILAN

Dengan staatsblad 1873/25Va ditentukanlah bahwa kekuasa- an peradilan mengenai orang-orang Cina dan Timur asing lainnya berada di tangan Asisten Residen Deli, Dengan itu diambillah hak-hak untuk mengadili dari tangan Sultan-Sultan. Memang sejak 1862 belum ada ditentukan dengan Sultan Deli merfgenai hal itu. Tetapi pada masa itu dianggap umum bahwa baik orang-orang Eropa maupun pegawai-pegawainya takluk kepada undang-undang dan kekuasaan polisi Sultan. Mula-mula memang ada kesulitan mengenai perampasan hak itu. Tetapi lagi-lagi Residen Netscher mempunyai jalan keluar. Katanya bahwa menurut pengakuan Sultan Deli tahun 1862 pada Belanda, ia merupakan bagian dari Siak, jadi sebagai bahagian dari Siak, berlakulah di Deli pasal 21

47

PNRI Perjanjian dengan Siak tanggal Pebruari 1858, yang menyatakan bahwa semua orang Eropa dan Timur Asing berada di bawah yurisdiksi pemerintah Hindia Belanda. Pendapat pemerintah Belanda itu disokong dengan rekes oleh segenap Pengusaha asing yang buka perkebunan di situ. Lalu didirikanlah "residen- tiegerecht" untuk "inlanders" dan di atasnya ada lagi "Residen- tieraad" di Bengkalis. Bagaimana dengan orang Eropa? Semua kesalahan mereka diadili di Raad van Yustitie dan harus diangkut ke Betawi dengan ongkos ± F1.1000,- sedang denda misalnya Fl.10,- Jadi karenanya pun mereka itu lama meninggalkan pekerja- an kemungkinan pula diperhentikan oleh atasannya. Karena itu- lah teijadi, setiap kesalahan mereka oleh para ambtenaar ditutup muka dengan jari saja atau dengan istilah "tutupstelsel" atau "tst" saja. Demikian kotornya keadaan, sehingga jika teijadi kesalahan-kesalahan besar maka yang bersangkutan dan kawan- kawannya berusaha agar , saksi-saksi "hilang lenyap begitu saja. Para kuli Cina yang bekeija di perkebunan pun tidak mau kalah. Mereka berombongan lari kembali ke Penang dan lalu terima lagi uang kontrak untuk kedua kalinya ke Sumatra Timur demikianlah seterusnya. Hal-hal demikianlah membuat alasan para pengusaha perkebunan minta kepada pemerintah Hindia Belanda agar mereka sendiri boleh menghukum di perkebunannya; Lalu afdeling Deli dibagi dua lagi yaitu: 1. Onderafdeling Deli dan Serdang langsung di bawah Assisten Residen. 2. Onderafdeling Langkat-Tamiang dengan Kontelir di Tanjung Pura. Lalu kekuatan polisi diperbanyak mengingat sejak Agustus 1876 sering terjadi penyerangan oleh gerilya di perkebunan-per- kebunan daerah Langkat sampai-sampai ke Binjai.. Juga perkebun- an Kuala Begumit di Sei Diski diserang oleh laskar rakyat berasal dari Kampung Sialang Muda. Laskar rakyat daerah itu dipimpin oleh seorang Melayu yang bernama RAJAL. Kepala kampung Sialang Muda, lalu dibuang Belanda dan tiada berapa lama me- ninggal di dalam tawanan Belanda karena siksaan. Juga pada awal

48

PNRI 1877 terjadi penyerangan terhadap perkebunan Belanda di daerah Deli dan Serdang. Juga mengingat banyaknya kuli di perkebunan yang melarikan diri perlu dirasa Belanda menambah kekuatan Polisi dan Militer. Untuk itu selain dari Asisten Residen Deli, juga kepada Kontelir diberi kekuasaan peradilan dinamakan "residentiegerecht" Kemudian di tahun 1881 (Staatsblad No.31 dan No.216) afdeling Deli dibagi atas 6 onderafdeling: Medan, Labuhan Deli, Serdang, Langkat, Timbang Langkat, dan Tamiang. Onderafdeling Medan langsung di bawah Asisten yang berdasarkan besluit Gubernur tanggal 28 Juni 1879 No. 12 telah dipindahkan kedudukannya dari Labuhan ke Medan.

8. PERKEMBANGAN TANAMAN TEMBAKAU (1873-1884)

Adapun masa 1864-1872 merupakan tahap menetapkannya untuk pertama tanaman tembakau di mana-mana pelopornya NIENHUYS tak dapat dipisahkan daripadanya. Lalu tahap 1873- 1884 merupakan tahap perkembangan yang penuh dari tanaman tembakau di mana tuan J.T. CREMER merupakan pribadi yang terkemuka. Sejak perang rakyat Sunggal 1872 telah berjalan dan dibuka 13 perkebunan di Deli, satu di Langkat dan satu di Ser- dang. Kemudian akhir tahun bertambah lagi perkebunan Belanda menjadi 44 buah di Deli, 2 di Bedagai, satu di Padang, 20 di Lang- kat dan 9 di Serdang. Di tahun 1872 tembakau Deli masih jauh di belakang tembakau Jawa, tetapi di tahun 1884 nilai hasilnya telah jauh melampaui tembakau Jawa. Hasil tahun itu .untuk tembakau Jawa sebanyak 122806 pak dan tembakau Deli sejumlah 125 ribu pak sehingga Deli merupakan negeri produsen tembakau yang terpenting dan Amsterdam mulai menjadi pasaran tembakau yang terkemuka di dunia. Di tahun 1873 dibuka perkebunan Annidale dan Kesawan, dalam tahun 1874 perkebunan Petersburg, 1876 kebon Boedra, kesemuanya beralas dari Kontrak Mabar- Deli Tua. Dalam tahun 1877 dibuka perkebunan Timbang Deli dan tasik di Langkat. Dalam tahun 1884 kebon Kuta Limbaru

49

PNRI (Sunggal) dibuka. Jadi di dalam tahun 1884 telah bergerak di daerah itu 12 Maskapai yaitu: Marindal Medan, Petersburg, Tanjung Jati, Bandar Khalipah, Deli Tua, Kuala Begumit, Bekalla, Belawan, Lubuk Dalam, Buluh Cina, dan Kota Limbaru, Dari situ- lah asalnya nam a sebutan Kongsi XII. Di daerah Serdang dibuka oleh "Galang Tobacco Cy Ltd", baik tembakau maupun coklat dan kopi di Tanah Abang, Tuan NAEHER dan GROB membuka Petumbak, Tanjong Morawa-Kiri, Tandukan Raga, dan Sei Bahasa. "Senembah Maatschappij" kemudian melanjutkan usaha Naeher & Grob di Serdang tahun 1871 sebesar 7.588 bahu. Tem- bakau Serdang, baik dan besar daunnya dan bagus warnanya. Pengangkatan Direktur I Senembah Mij. Tuan DR.C.W.YANSSEN, bersamaan pula dengan dibukanya Ijin kereta api Deli Tua-Batang- Kuis (1889). Perkebunan Ramunia dibuka di bawah pimpinan Tuan DE FLORIS dan HORDDK dan perkebunan Esperance (terletak di kota Perbaungan sekarang) oleh Tuan J.VAN DER SLUIS.

9. KEPENTINGAN PERKEBUNAN/PERTANIAN (1873-1884)

Sebagaimana yang telah diberitakan di atas keamanan untuk kepentingan perkebunan bukan saja disebabkan oleh penyerangan- penyerangan gerilyawan-gerilyawan rakyat tetapi juga dalam penyerangan-penyerangan itu turut kuli-kuli pekerja baik kuli- kuli bangsa Indonesia maupun Cina, karena perasaan benci ter- hadap pemerasan dan penindasan yang diderita mereka di per- kebunan Belanda tersebut. Baru di tahun 1876 diutus seorang Hakim Komisaris dari Raad van Yustitie dari Betawi guna meng- adakan penyelidikan terhadap pengaduan dari para pekeija. Akhir- nya dapat ditangkap seorang Administratur bangsa Belanda dan 3 orang opziener bangsa Belanda tetapi salah seorang di antaranya membunuh diri dengan menceburkan diri ke laut dari kapal yang membawanya ke Betawi. Rupanya para pengusaha perkebunan Belanda di situ solider dan menim'pakan pula segala kekacauan

50

PNRI selama itu kepada salahnya pemerintah Belanda dan katanya tidak cukup memberikan perlindungan hukum untuk menjaga keamanan dan ketertiban di perkebunan mereka. Lalu karena takut diserang oleh para wakil-wakil kaum kapitalis Belanda dalam parlemen, maka pemerintah Hindia Belanda cuci tangan dan melemparkan kesalahan semuanya itu kepada ketidakbecusan para Sultan Deli dan Langkat yang dijadikan mereka kambing hitam. Sejak tahun 1872 mulai dibuat peraturan-peraturan untuk memungkin- kan masuknya pekerja-pekeja asing (umumnya Cina dan India) ke Sumatra Timur. Juga berkat mosi MIRANDOLLE dalam parlemen Belanda di tahun 1875 mulai dipikirkan mengenai nasib kuli-kuli dari Jawa. Di bawah pimpinan tuan Cremer maka para pengusaha perkebunan di Deli mengadakan reaksi terhadap mosi Mirandolle tersebut. Mula-mula para pengusaha kebon mengambil kuli-kuli bangsa Cina dari Penang dan Singapura. Tetapi akhirnya yang diperoleh adalah sisa-sisa dari mereka yang sudah tidak digemari lagi di sana. Para pengusaha Cina di Malaya dan para pengusaha Tambang-tambang Timah di sana sedapat mungkin berusaha menyetop pengiriman kuli-kuli yang baik ke Deli dan itu disokong pula oleh pemerintah Kolonial Inggeris. Mereka mulai melarang emigrasi dengan Kontrak dari bangsa India. Segala usaha untuk mendatangkan kuli-kuli langsung dari Cina Selatan tidak berhasil seperti apa yang dilihat sendiri oleh Cremer dalam lawatannya ke Cina di dalam tahun 1874, karena larangan-larangan dari penguasa di sana. Lalu dipakai akal licin yaitu para pengusaha Belanda mengirim taukeh-taukeh (kuli-kuli yang sudah lama tinggal di Deli) vang sudah disogok mereka untuk berangkat ke negeri Cina guna secara kelompok-kelompok merayu bangsanya sendiri untuk dapat diusahakan jadi kuli kontrak ke Deli. Rupa- rupanya usaha seperti itu berhasil baik sehingga berbondong- bondonglah kuli-kuli bangsa Cina datang ke situ. Kepada kuli- kuli tersebut yang meninggalkan keluarga di negerinya diberikan persekot $.25. — $.30,- Sedangkan kepada tauke-tauke tadi di- berikan komisi $.8,- a $.10,- Kuli-kuli itu mendapat gaji kira-kira $.3.50 setiap bulan dari setiap tembakau yang diserahkan mereka dari nilai yang ditaksir oleh pengusaha sendiri. Dengan cara tipu

51

PNRI seperti itu pengusaha Belanda memperoleh keuntungan bersih $.60,- a.$.70.- untuk setiap kuli. Maka tidaklah heran jika banyak kuli yang melarikan diri. Untuk rnenghalangi hal itu maka para pengusaha tembakau Belanda di bawah pimpinan Cremer menulis dalam tahun 1876 yang berjudul "Een Woord uit Deli tot de Tweede Kamer der Siaten Generaal". Di dalam brosur itu ditentang mereka mosi Mirandolle dan dituntut mereka agar pasal 2 No.27 dari Reglemen Polisi agar jangan dicabut setidak-tidaknya untuk daerah Sumatra Timur, kalaupun tidak dapat lebih diperkeras. Tuntutan mereka itu disokong pula oleh Asisten Residen Deli (HALEWIN). Akhirnya pasal tersebut dicabut juga tapi di dalam KUHP (untuk bumi-putra) ditambahkan pasal baru yaitu pasal 328a. Tetapi para pengusaha Belanda tersebut belum merasa kalah dan kemu- dian dapat menggolkan terciptanya peraturan khusus mengenai Sumatra Timur (IS.no. 133/1880). Oleh karena itu dibuat aturan tertulis yang merupakan kuli ordonansi yang pertama buat Suma- tra Timur yang antara lain isinya: Bahwa kuli-kuli tersebut harus teken perjanjian tertulis dalam masa keija 3 tahun dan harus dicatatkan pada pemerintah daerah setempat; bahwa kuli-kuli tidak boleh ke luar dari kebon tanpa ijin tertulis; setiap pemutusan sepihak dari kontrak itu dapat dihukum denda. Pemutusan hubungan keija sepihak oleh seorang kuli dianggap bila ia: a. Melarikan diri. b. Terus menerus membangkang tidak mau kerja.

Jika seandainya seorang kuli melarikan diri, lalu dilaporkan dan dapat ditangkap oleh seorang petugas pemerintah setempat, maka si Administratur kebon mengirim opas atau mandornya untuk menjemput si kuli kembali dan jika seandainya di tengah jalan si kuli mencoba melarikan diri dianggap usaha untuk desersi yang baru yang dapat pula kembali mengakibatkan penahanan baru. Tuan Cremer juga pertama-tama mendirikan Immigranten Asyl yang panjang lebar dibentangkannya dalam brosurnya "De Toekomst van Deli" (1881). Di dalam rapat perkebunan Sumatra Timur yang ke 5 tanggal 14 Pebruari 1883 dikeluarkan pernyataan

52

PNRI itu agar disokong oleh pemerintah. Dalam tahun 1884 Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru O. van Rees, sebelum ke Betawi singgah di Deli, dan disambut hebat oleh para pengusaha kebon Belanda di situ sehingga ia bersimpati terhadap rencana mereka itu. Oleh karena buruknya perlakuan aosial dan kesehat- an maka sejak 1872 sampai 1884 bersimaharaja-lelalah di situ wabah kolera dan banyak di antara kuli-yang mati di samping menderita karena penyakit biri-biri. Pemerintah Kolonial Inggeris di Malaya tidak tinggal diam untuk mengalang-alangi pula pemasukan kuli- kuli Cina ke Deli, dengan mengadakan peraturan-peraturan bahwa setiap kontrak kuli harus disahkan oleh "protector of Chinese" di Penang atau Singapura. Meskipun kuli-kuli dapat diperoleh langsung dari negeri Cina tetapi karena tiada hubungan kapal langsung jadi harus melalui juga Singapura, terpaksalah para peng- usaha kebon Belanda itu tunduk pada peraturan itu yang tentunya mendatangkan keuntungan komisi bagi perantara Cina tersebut. Akhirnya karena alangan-alangan itu oleh Deli Maatschappij dimulailah di tahun 1875 mendatangkan kuli-kuli Jawa dari Bagelen Mula-mula hasilnya kurang memuaskan tetapi dengan adanya kuli ordonansi 1880 lebih banyaklah kuli dari Jawa di- datangkan. Kontrak keija diperbuat di Jawa dengan Akte Notaris yang kemudian mendatangkan banyak penyalahgunaan. Antara tahun 1880 — 1884 banyak terjadi gangguan keamanan yang ditimbulkan oleh kuli-kuli Cina sebab mereka membawa dari negerinya sarikat-sarikat rahasia seperti Gi-Hin dan Hong-Si, sehingga pada waktu panen terpaksa dikerahkan penjagaan polisi dan militer untuk melerai perkelahian antara Kongsi-kongsi Cina itu sesamanya. Mengingat buruknya jalan-jalan di waktu musim hujan penuh lumpur sehingga untuk jalan sepanjang 16 KM. diperlukan waktu 3 jam, membuat Cremer memajukan usul kepada Direksi Deli Maatschappij di tahun 1881 agar meminta konsessi membuka jalan Kereta Api di Deli dan sejak itu didiri- kanlah "Deli Spoorweg Maatschappij" (DSM). Pengangkutan laut secara tetap dengan kapal Belanda baru ada di tahun 1873, sebelumnya dipakai kapal-kapal Inggeris dan Cina maupun Tongkang-tongkang antara Deli dan Penang (14

53

PNRI hari). Sejak tahun itu hubungan tetap mulai dilakukan oleh "Nederlandsch-Indische Stoomboot-Maatschappij" setiap bulan antara Deli, Langkat, Asahan, Panai, Siak, dan Bengkalis dengan kapal "Sunda" (220 ton). Di dalam tahun 1876 lijn itu disambung dari Riau ke Betawi dan Aceh. Selama itu pengapalan tembakau sampai tahun 1873 melalui Penang atau Singapura dengan kapal Inggeris dengan tujuan London dan dari sana baru ke Negeri Belanda. Di tahun 1874 "Stoomboot-Maatschappij Java" menyatakan sanggup dalam pelayaran kembali singgah di Penang guna memuat tembakau Deli.

10. KEJADIAN-KEJADIAN DI SUMATRA TIMUR SEJAK 1873

Di dalam tahun 1873 Sultan Siak menyerahkan Pulau Beng- kalis kepada pemerintah HINDIA BELANDA dan menjadi ibukota Residensi Sumatra Timur. Di sebelah Sei Kampar terdapat keraja- an-kerajaan kecil; Pelalawan, Taratah Buluh, Kampar, Lima Kota dan Delapan Kota. Di dalam tahun 1877 TENGKU BESAR SAID ABUBAKAR dari Pelalawan takluk kepada pemerintah Belanda. Ia meninggal dunia di tahun 1887 dan digantikan untuk sementara oleh putranya yang tertua. TENGKU SENTOL, dan setelah yang belakangan itupun meninggal dunia, oleh Dewan Kerajaan dalam tahun 1894 ditunjuk penggantinya, TENGKU PUTRA SAID HASYIM, putra kedua dari Said Abubakar.

KOTA PINANG: Pada tanggal 4 September 1872 oleh pengganti SUTAN MUSTAFA, yaitu SUTAN ISMAIL, juga dinamakan YANG DIPERTUAN SAKTI, dibuat peijanjian baru dengan pemerintah Belanda. Dalam tahun 1881 ditetapkan batas antara Kota Pinang dengan Langsa (di daerah Padang Lawas Tapanuli), dan di tahun 1887 batas antara Kota Pinang dengan jajahan Siak Tanah Putih dan Kubu. Sutan Ismail sering berselisih dengan orang-orang besar- nya dan di tahun 1894 dengan Kepala Kampung Raja. Di tahun

54

PNRI 1899 terpaksa juga diselesaikan perselisihannya dengan Raja Muda. Ia minta untuk mengundurkan diri agar digantikan oleh anaknya yang masih kecil, tetapi permohonan itu ditolak.

PANAI: SUTAN ABDULLAH digantikan oleh SUTAN GAGAR ALAM, yang di tahun 1878 meminta agar ia dapat digantikan oleh anaknya TENGKU TENGAH (Mohd. Tahir) yang kemudian meng- gantikannya dengan titel SUTAN MANGEDAR ALAMSYAH. Di dalam tahun 1884 Kantor Cukai pemerintah Belanda di Panai diserang dan dirampok oleh serombongan yang datang dari laut. Di dalam tahun 1888 batas antara Panai dan jajahan Siak Kubu ditetapkan dan di tahun 1895 tempat Kontelir Labuhan Batu dipindahkan ke Labuhan Bilik. Peijanjian Pendek dengan Panai serupa dilakukan seperti Kota Pinang dengan pemerintah Belanda.

BILAH: Setelah ekspedisi Kolonial Belanda menuju Gunung Tinggi di tahun 1872 masih terdapat perselisihan-perselisihan antara SUTAN BIDAR ALAM dengan tetangganya Kualuh, yang meng- anggap berhak atas Marbau (1887) atau antaranya dengan Gunung Meriah (1896). Di tahun 1883 Raja Muda Bilah dibuang Belanda tetapi di tahun 1900 dibenarkan kembali ke Bilah. Perjanjian Bilah dengan Belanda (Perjanjian Pendek) serupa dengan Panai dan Kota Pinang.

KUALUH: Pemerintah masih dipegang oleh YANG DIPERTUAN MUDA ASAHAN yang juga memegang pemerintahan dalam jajahan Leidong. Sering terjadi kesulitan dengan daerah-daerah Batak yang masih merdeka. Dalam tahun 1882 meninggal Yang Dipertuan Muda dan digantikan oleh putranya di bawah umur, TENGKU BIUNG. Sebagai walinya dan regen ditunjuk TENGKU AHMAD. Tengku Biung setelah dewasa memakai titel TENGKU HADJI MOHAM- MADSYAH, Raja Kualuh yang mengikat kontrak dengan Belanda

55

PNRI pada tanggal 25 Maret 1886 dan dilantik oleh Residen A.A. Hoos. Dalam akte itu Kualuh dan Leidong terlepas dari Asahan. Kepada Sutan yang Muda itu ditunjuk Belanda sebagai Penasehat seorang bernama DATUK AMAR AMARA. Dalam tahun 1894 ia kawin dengan putri Tengku Pangeran Bedagai. Kontrak dengan Kualuh oleh Belanda serupa isinya dengan Kota Pinang dan lain-lain.

ASAHAN: Sejak meninggalnya Pak Netek perlawanan rakyat Asahan masih bernyala-nyala menentang Kolonial Belanda terutama di tahun 1879 dan 1883 dari arah Dolok. Dalam penyerangan 1883 itu Kampung SI ALANG KELONG dekat Bandar Pulau diserang. Terus menerus Asahan menuntut agar eks Sultan bersama-sama dengan saudaranya yang dibuang Belanda dikembalikan. Di dalam tahun 1885 Belanda terpaksa mengizinkan Sultan Ahmad bersama saudaranya Tengku Adil kembali ke Asahan dengan syarat tidak boleh campur urusan politik. Kemudian tiada berapa lama Tengku Pangeran yang telah dibuang ke Ambon itu dikembalikan lalu Belanda memikirkan untuk pemulihan kerajaan Asahan. Pada tanggal 25 Maret 1886 oleh Tengku Ahmad ditandatangani Akte. Van Verband dengan pemerintah Belanda di Bengkalis. Pada tanggal 27 Juni 1888 tiba-tiba mangkat Sultan Ahmad tanpa meninggalkan turunan. Ia digantikan oleh Tengku Ngah putra dari saudaranya Tengku Adil, yang naik tahta tanggal 6 Oktober tahun itu dan ditetapkan oleh Residen G. SCHERER.

BATUBARA: Di daerah itu dahulu dipakai adat Minangkabau di mana rakyat terbagi atas suku-suku. Setelah adat kemenakan makin hilang maka kepala-kepala suku itu kemudian beralih menjadi kepala daerah. Dalam tahun 1882 ditetapkanlah batas-batas daerah masing-masing mereka. Penetapan itu belum lagi meng- hancurkan stelsel konfederasi karena di muara Sungai Batubara masih ditetapkan seorang Syahbandar yang membagi hasil-hasil- nya di antara para Kepala daerah. Dalam tahun 1884 hal itu berubah oleh karena pemerintah Belanda mengadakan kontrak

56

PNRI dengan kepala daerah masing-masing untuk mengambil alih dari mereka monopoli dan belasting. Kepada masing-masing mereka diberikan semacam ganti rugi. Pada tgl. 16 Juli 1889, 11 Nopem- ber 1890 dan 25 Oktober 1898 diadakanlah peijanjian antara pemerintah Belanda dengan daerah-daerah di Batubara serupa dengan yang dibuat dengan Kota Pinang. Di daerah Tanjung, Sipare-pare dan Pagurawan pengambil alihan belasting oleh Belanda sudah jauh sebelumnya. Di dalam afdeling Batubara selain dari ke 5 buah Landschap tersebut juga termasuk Landschap Batak seperti Tanah Jawa, Siantar, dan Tanjung Kasau yang meng- akui Pertuanan Belanda di tahun 1888. Di tahun 1894 Raja Pagurawan, DATUK SETIA WANGSA, dibuang selama 5 tahun ke Bengkalis. Ia digantikan oleh putranya yang tertua, DATUK SETIA MAHARAJA LELA. Di tahun 1900 Raja Tanjung Kasau diganti oleh Belanda dengan adiknya RAJA MAHARUDDIN. Adapun gelar-gelar kepala-kepala daerah di Batubara dalam tahun 1900 sebagai berikut: di Tanah Datar - DATUK SERI BIJI DIRAJA, di Bogah - RADJA INDRA MUDA di Limapuluh - DATUK SERI MAHARAJA di Lima Laras - DATUK MAHARADJA SERI INDRA di PASISIR - DATUK SEMU WANGSA di Tanjung - DATUK INDERA SETIA di Sipare-pare - DATUK SUTAN PAHLAWAN, dan di Pagurawan - DATUK SETIA MAHARADJA SELA

DELI DAN SERDANG Di dalam tahun 1884 dibuat lagi peijanjian antara Sultan Deli dengan Sultan Serdang di mana soal-soal Senembah diselesai- kan. Sebagai batas antara kedua kerajaan itu di daerah yang pen- duduknya Batak (Senembah) ditetapkan Belanda Sei Batang Kuis dan kemudian belahan air antara Sei Percut dan Sei Belumai sampai ke hulu. Dalam kesempatan itu ditetapkan tanah dari perkebunan-perkebunan serupa dengan pembahagian di antara Datuk-datuk empat suku di Deli. Di tahun 1883 DR. B. HAGEN melakukan ekspedisi penyelidikan di daerah Timur Batak terutama

57

PNRI daerah Raja tetapi mengingat permusuhan orang Batak terhadap Belanda di mana mereka juga sudah mulai menyerang hulu Bedagai, terpaksa ia angkat kaki kembali. Sultan Deli memecat Maharadja Padang, TENGKU MOHA- MAD NURDIN, dan mendudukkan salah seorang anggota keluarganya sendiri sebagai Kepala pemerintahan di Padang. Raja- raja, TUAN RONDA HAIM, memihak kepada Maharadja Padang yang dipecat itu dengan mengumpulkan pasukannya dan lalu menyerang Padang. Pada mulanya Sultan Deli mempunyai rencana untuk mempersenjatai dan menghasut suku-suku Batak yang lain agar menentang pula Tuan Rondahaim, tetapi hal itu tidak disetujui oleh Residen Belanda karena takut akan menimbulkan pemberontakan besar-besaran di kalangan suku Batak terhadap Belanda. Kontelir Serdang, dalam resortnya mana termasuk juga Padang dan Bedagai, dapat menyabarkan Raja-raja itu. Mengingat keadaan-keadaan keamanan itu terpaksa Belanda meletakkan seorang Kontelir untuk Padang dan Bedagai, Penyerangan Raja- raja terhadap kekuasaan Deli dan Belanda di Padang dan Bedagai masih terus berlangsung sampai tahun 1887 di mana mereka menyerang hulu Padang yaitu Kampung Bandar Bejambu dan kemudian menyerang perkebunan tembakau dekat situ. Belanda mendatangkan pasukan tentaranya sebanyak 60 orang dari Medan di bawah pimpinan Kapten J.C.R. SCHENCK. Pada tanggal 9 Oktober bertemu dan bertempur dengan pasukan gerilyawan Raja di simonai di mana gugur 22 orang gerilyawan dan luka-luka Komandan Belanda itu dengan 2 orang pasukan. Kemudian pertempuran dilanjutkan pada tanggal 12 Oktober di kampung si Barau di mana tewas seorang serdadu Belanda. Pertempuran dilanjutkan lagi di Dolok Segala dan pada tanggal 20 Oktober mara ke Tebingtinggi. Pada tanggal 21 Oktober Belanda menye- rang Dolok Merawan di mana gugur 22 orang pahlawan rakyat Raja. Lalu Belanda membakar Kampung Dolok Kahean. Tetapi perlawanan rakyat Raja masih belum padam di mana mereka menyerang Baja Linggei di bulan Pebruari 1888 dan menawan 21 orang Kolaborator. Sultan Deli di tahun 1888 kembali menye- rahkan pimpinan kepada Maharaja Padang yang telah dipecatnya

58

PNRI itu. Di tahun 1891 Tuan Rondahaim meninggal dunia digantikan anaknya TUAN KAPULTAKAN sehingga terdapat kembali per- damaian dengan orang Raja. Juga di daerah Hulu Deli sering terjadi pcnyerangan. Oleh Belanda telah dilakukan semacam perdamaian dengan kepala-kepala Suku Batak tahun 1886 bertempat di Pagar Batu tetapi ternyata tidak berhasil. Mereka tidak perduli dengan perintah Sultan Deli dan menolak menerima surat-surat dari Kontelir Belanda maupun dari wakil-wakil Sultan yang dihina mereka. Residen Belanda lalu memaksa Sultan Deli membentuk sebuah ekspedisi bersenjata yang berada di bawah pimpinan Kontelir. Ekspedisi itu maju ke Sapuruk di mana terbit kontak dan di dalam pertempuran itu tewas seorang anggota ekspedisi dan seorang luka berat. Ekspedisi kemudian maju ke kampung Beringin yang ternyata kosong ditinggalkan. Mengingat hal-hal semacam itulah maka Belanda di tahun 1888 menempatkan seorang Kontelir khusus urusan tanah Batak yang berkedudukan di Medan.

11. REORGANISASIPEMERINTAHAN DAN PERADILAN (1887)

Pada tahun 1887 kedudukan Residensi Sumatra Timur dipindahkan dari Labuhan dan dari Bengkalis ke Medan. Residensi Sumatra Timur dibagi dalam 5 afdeling, yaitu: a. Afdeling Deli, langsung di bawah Residen, di Medan terbagi atas 7 onderafdeling yaitu masing-masing di bawah Kontelir sebagai berikut: 1. Medan. 2. Labuhan Deli. 3. Langkat Hulu (Timbang Langkat) berkedudukan di Binjai. 4. Langkat Hilir berkedudukan di Tanjung Pura. 5. Serdang berkedudukan di Rantau Panjang.

59

PNRI 6. Tamiang berkedudukan di Seruwai. 7. Padang dan Bedagai berkedudukan di Tebing Tinggi. b. Afdeling Batubara, berkedudukan di Labuhan Ruku. c. Afdeling Asahan, berkedudukan di Tanjung Balai. d. Afdeling Labuhan Batu, berkedudukan di Labuhan Batu. e. Afdeling Bengkalis di bawah seorang Assisten Residen ber- kedudukan di Bengkalis dan terbagi atas 3 onderafdeling: 1. Bengkalis. 2. Tanah Putih. 3. Siak berkedudukan di Siak Seri Indra Pura. Lalu kemudian untuk orang-orang Cina ditetapkan pula kepala-kepalanya sebagai berikut: Seorang Kapiten Cina di Labuhan dan seorang di Bengkalis, 8 orang Letnan Cina di Medan, Labuhan Deli, Binjai, Tanjung Pura, Rantau Panjang, Tanjung Balai, Labuhan Batu dan Tebing Tinggi, 2 orang Wijkmeester di Siak dan Tamiang , 3 orang pen- teijemah di Medan, Rantau Panjang dan Bengkalis. Di Medan dibentuk Landraad dan sebuah lagi di Bengkalis di mana Hakimnya seorang Eropa dan di Bengkalis oleh Assisten Residen. Di samping itu ada lagi Residentiegerecht Pada kontrak pertama dikembalikan kepada Sultan bekas tanah konsessi Madar-Deli Tua yang terletak di dalam batas- batas ibukota Medan. Pada kontrak yang kedua sebahagian dari- padanya diserahkan kembali kepada Deli Maatschappij untuk keperluan sendiri dengan hak sebahagian daripadanya diberikan untuk mengeluarkan erfpacht sendiri pada pihak ketiga (lebih dikenal dengan nama "Grant Deli Mij"). Dari hasil tanah itu sebahagian diberikan untuk gemeentefonds. Dengan cara di atas tadi dapatlah dikeluarkan Akte-akte ertpacht. Di dalam tahun 1891 didirikan pula di Binjai gemeentefonds.

12. KEJADIAN-KEJADIAN LAIN ANTARA 1886 - 1900

Catatan Kontelir-kontelir Padang Bedagai tanggal 14 April

60

PNRI 1887 dapat kita baca bahwa WAN AGUR, Kepala Batak di Sei Karei (hulu Sei Ular dan Sei Serbajadi) berselisih dengan Kepala Batak TUAN SIGEDANGAN dan Tuan SRI ADAM yang berdiam di sebelah kanan hulu Sei Karei, lalu terluka oleh mereka dan kemudian meninggal dunia, setelah dapat juga membalas dengan melukai berat kedua mereka itu dan anak Si Gedartgan. Kini ditakuti oleh yang belakangan itu akan diadakan serangan pem- balasan terhadap Kampung KOTARIH (dengan Sei Buaya) daerah- nya WAN AGUR. Oleh karena Wan Agur takluk di bawah Serdang, maka Sigedangan dan Sri Adam mau tunduk kini ke Bedagai, maka oleh Sultan Serdang diusahakan penyerangan balasan itu dapat dicegah. Sekarang, menurut Kontelir tersebut, sedang diantar utusan pada Raja Batak dari DOLOK PEMATANG, di mana kedua partai yang berselisih itu semua orang Dolok, jadi berada di bawahnya, untuk mencoba dengan perantaraannya soal itu secara damai diselesaikan. Lalu didapat berita dari Kejeruan Serbajadi kepada raja Muda Serdang, yang menyatakan bahwa Wan Agur yang daerah- nya sampai ke Sei Buaya terbunuh, karena tindakannya sendiri dilakukan pembunuhan oleh Tuan Sri Adam dan Tuan Sigedang- an dan putranya yang luka-luka berat, dan bahwa Si RAJUHUM, adik Wan Agur, menantikan serangan balasan dari musuh-musuh- nya termasuk Raja Dolok, ke Kotarih, tempat kedudukan Wan Agur, lalu minta bantuan Kejeruan Serbajadi yang kemudian pula minta bantuan orang dari menantunya SUTAN IBRAHIM (kepala di Denai), untuk menolongnya, Wan Agur tetap mengakui berada di bawah Serdang. Tuan Sigedangan dan Tuan Sri Adam sukunya sama dengan Wan Agur (Dolok), malahan ada pertalian keluarga, tetapi mereka tetap benci pada Wan Agur jadi terhadap Sultan Serdang. Mereka itu pernah dijumpai di bulan Nopember 1885 di Bedagai dengan anak buahnya dan minta supaya jangan dimasukkan ke Serdang. Dengan mengirimkan laskar dari Danai yang jauh itu, lebih baik diminta agar Kejeruan Serbajadi, memobilisasikan rakyatnya sendiri untuk membantu Kotarih. Selanjutnya O.K. Tosa, yang tinggal di Perbaungan yang juga

61

PNRI berasal dari Batak, diutuslah ke Raja Dolok, agar dengan pengaruh- nya perselisihan di antara sesama suku dan keluarga (juga ada hubungan darahnya dengan Raja Dolok) dapat dengan aman diselesaikan. Raja Dolok Pematang itu, yang tempatnya di Pegu- nungan, raja dari suku itu di mana semua Batak dalam suku itu termasuk juga yang dusun, berada di bawahnya. Memang sebenar- nya dapat dipastikan bahwa ia mendapat gelarnya dari Sultan BASYARUDIN SERDANG, dan O.K. Tosa, Waktu itu ia menjadi penyambung lidah dari delegasi Serdang yang datang ke Dolok Pematang. Sejak itu hubungan Dolok Pematang sudah jarang dengan Serdang tetapi tetap baik dan ramah tamah. Lalu di dalam bulan November 1886 terjadi peperangan di daerah Senembah. Sibayak Paria-ria dari Petumbak Deli meng- anggap bahwa daerah dari Sibayak Sarangpua (Senembah Serdang) kepunyaannya dan dipraktekkannya hal itu pada penghulu Ram- bai (Senembah Serdang). Sewaktu diadakan penyelidikan di dalam suatu rapat maka Sibayak Sarangpura hadir tetapi Sibayak Paria- ria tidak hadir. Sewaktu penghulu Rambai menyarankan agar diadakan lagi rapat maka Sibayak Sarangpua menentang. Lalu Sibayak Paria-ria bekerja sama dengan Kota Jurung (Kampung Sibayak Amat) menyerang Sarangpua tetapi dengan ditengahi oleh Penghulu Rambai dapat diadakan penghentian tembak- menembak. Siapa yang kemudian melanggar penghentian tembak menembak itu tidak diketahui tetapi kemudian ternyata bahwa Sibayak Sarangpua dengan bantuan dari Batak Timur dan Senem- bah Serdang, lalu menduduki kampung-kampung yang termasuk bahagian Sibayak Paria-ria termasnk di dalamnya Rambai, Sering- git-ringgit dan lain-lain juga Sibayak Bukum disogok oleh Sibayak Paria-ria dengan bahagian hasil rampasan, turut membantunya dalam peperangan itu. Kemudian semua kampung sebanyak 7 buah dari Sibayak Sarangpua diduduki lawannya dan anak buah- nya tercerai-berai sehingga peperangan berakhir sampai di situ. Menurut Kejeruan Senembah Serdang (Wan Jenal) haruslah diadakan rapat kembali angara Sibayak Paria-ria dan Sarangpua dan Kepala-kepala Batak baik dari daerah-daerah Serdang mau- pun Deli. Bagaimana asal mula sebenarnya kejadian itu agak

62

PNRI gelap. Menurut pihak Deli kejadian dimulai oleh seseorang yang bernama Pengayak, famili dari penghulu Ujong Senembah dan rakyat Sultan Serdang yang pada bulan Juli 1886 dengan bantuan Ujong Senembah menduduki kampung Namu Rindang dalam Senembah Deli. Tetapi menurut penyelidikan Kontelir Serdang pada tanggal 2 Desember 1886 telah dikirim utusan Sultan Serdang guna menemui Pengayak tersebut. Tetapi ternyata ia tidak ditemui dan menurut kabar telah berangkat ke Tanjung Mulia menghadap Sultan Deli. Menurut Wan Jenal Sibayak Paria-ria telah kembali ke Senembah Deli tetapi anak buahnya masih ber- ada di daerah Senembah Serdang terutama masih menduduki Lau Rakit dan Sarangpua. Menurut Wan Jenal adalah anak buah Sibayak Paria-ria yang merebut kampung Lau Rakit (daerah Senembah Serdang) dan kampung Pintu Batu di mana seorang penduduk kampung Pintu Batu ditembak mati oleh mereka. Menurut Wan Jenal penyerangan Sibayak Paria-ria itu tidak ada hubungan dengan perampasan Kampung Namun Rindang oleh Pengayak. Menurut Pangayak yang ada hubungan keluarga dengan Penghulu Udjong Senembah, sejak 6 tahun belakangan ia telah pindah menetap di Senembah Deli dekat Namu Rindang dan kawin di sana. Sejak itu ia telah memutuskan hubungan dengan Senembah Serdang. Juga tidak ada orang-orang dari Senembah Serdang yang membantu Pangayak menyerang Namu Rindang (Senembah Deli). Sibayak Kiduk, adik dari Sibayak Amat, disangka sebagai orang yang menghasut Pangayak untuk menye- rang Namu Rindang. Menurut Wan Jenal asal terjadinya per- musuhan Sibayak Paria-ria di Senembah Serdang tidaklah diketahui. Memang persoalan Senembah itu sebelum pemulihan batas antara Deli dan Serdang agak kalut. Sebagai misal laporan Kontelir tunggal 13 Desember 1882. Bahwa menurut Wan Jenal (Kejeruan Senembah Serdang) 5 kampung di Senembah Serdang telah diduduki oleh laskar Namu Suru di bawah pimpinan Sibayak Amat dan menduduki kampung tersebut serta menangkap 5 orang wanita. Menurut laporan asal kejadian itu karena perselisihan antara

63

PNRI Sibayak Amat dengan Penghulu Rambai, dan semuanya atas kesalahan Sibayak Amat. Oleh karena itu Sultan Serdang menyu- ruh Datuk Setia Maharaja dan Sei Tuan dengan laskarnya meng- usir Sibayak Amat dari Senembah Serdang sehingga Sibayak Amat lari ke Deli. Menurut Wan Jenal asal mula kejadian itu semua ada- lah sebagai berikut: - Kampung-kampung Buluh Beling dan Rambai terletak di daerah Senembah Serdang. Beberapa waktu kemudian beberapa orang Batak dari Kampung Buluh Beling pergi ke Rambai dan mengambil beberapa lembar daun berkat. Peng- hulu Kampung Rambai tidak senang dan lalu menghukum mereka itu. Kemudian mereka itu mengadu pula kepada Penghulu Buluh Beling. Penghulu Buluh Beling membela mereka dan minta bantuan pada Sibayak Amat (dari Namu Suru Senembah Deli). Sewaktu sampai ke Rambai lalu Sibayak Amat memanggil Sibayak Periak, Sibayak Bukum, Sibayak Pagar Batu (semua dari Senembah Deli) dan juga kepala orang Batak tadi yaitu Si Piturung, Sibayak Lela dan Sibayak Kuala untuk membantu Rambai. Penghulu Buluh 4. Beling mendengar hal itu lalu minta bantuan kepada peng- hulu Ujong Senembah sehingga ia mengumpulkan anak buah dan memperkuat kampung-kampung tersebut. Lalu datanglah penyerangan Sibayak Amat dengan sekutunya yang menye- rang Kampung Seringgit, Buk Sigadang, Kota Nalum, Buluh Lidi dan Lubawis, Semua kampung yang berada di bawah Penghulu Ujong Senembah dapat direbut dan diduduki oleh Sibayak Amat. Penduduk semua berlarian dan di Kampung kota Nalum 5 orang wanita ditangkap mereka. Akhirnya laskar Sultan Serdang dapat mengusir Sibayak Amat dan kawan-kawan dari Senembah Serdang. Dalam bulan Mei 1889 menetaplah seorang Pendeta dari Nederlands Zendelinggenootschap Rotterdam di Bulur Aur di Deli Hulu. Oleh tuan Cremer diadakan gerakan untuk membantu pen- deta itu dengan dana secukupnya untuk mengkristenkan suku- suku Batak. Lalu dapat didirikan 5 buah sekolah Kristen dengan

64

PNRI guru-guru dari Minahasa. Baru di tahun 1893 orang Batak pertama- tama memeluk agama Kristen di situ. Seperti telah berkali-kali dikemukakan oleh Sultan Makmun Alrasyid diangkatlah Raja Sulaiman, saudara Sultan Mahmud, menjadi Raja Muda Deli, pangkat mana sebelumnya tidak pernah ada, oleh karena itu ia memperoleh saham dalam ganti rugi yang diberikan oleh peme- rintah Belanda kepada Kerajaan karena pengambilalihan hak-hak dan monopoli. Kepadanya ditetapkan fungsi sebagai wakil Sultan di daerah Sultan langsung (Labuhan Deli). Kepada Pakcik Sultan Makmun yang lain, TENGKU JA'FAR, diberikan gelar TENGKU PANGERAN BENDAHARA dan ditetapkan berkedudukan di Medan. Menurut Schadee selanjutnya, pengangkatan fungsi-fungsi baru itu sering menimbulkan perselisihan antara sesama mereka dan antara mereka dengan para Datuk. Oleh pemerintah Belanda lalu ditetapkan di bulan Juli 1980 ketentuan baru yang membagi hak-hak hukum dan lingkungan keija masing-masing mereka. Pangeran Bendahara kemudian dipecat oleh Residen Belanda di bulan Pebruari 1893. Pada tahun 1895 Raja Muda Sulaiman meninggal dunia. Tidak ada diadakan penggantian oleh Sultan terhadap kedua fungsi itu. Dengan ketetapan Gubernemen tanggal 1 Nopember 1892 No. 28 ditetapkan putra tertua Sultan Deli yaitu TENGKU AMALUDDIN dengan gelar TENGKU BESAR sebagai calon pengganti Sultan kelak. Ia ditabalkan pada tanggal 31 Juli 1893. Menurut Schadee, sering teijadi bentrokan di kalang- an anak raja-raja antara lain tuntutan Sultan Deli terhadap RAJA USUP yang setelah diadakan penyelidikan tidak terdapat alasan bukti untuk dihukum. Akhirnya belakangan diketahui bahwa ada usaha-usaha politik Sultan untuk memperbesar pengaruh di daerah Deli Hulu. Hal itu baru selesai setelah Sultan dipanggil oleh Guber- nur Jenderal bersama-sama dengan Residen Sumatra Timur, Michielsen ke Betawi. Sejak itu diaturlah peraturan mengenai soal pemerintahan di daerah-daerah Dusun Batak baik di Deli maupun di Serdang dan Langkat. Sejak 1886 kembali teijadi pembakaran-pembakaran terhadap perkebunan-perkebunan Belanda oleh rakyat terutama

65

PNRI di daerah Sunggal (Serbanyaman). Nyata bahwa perlawanaq rakyat Sunggal terhadap Belanda sejak 1872 itu belum padam lagi meskipun beberapa pemuka perlawanan rakyat seperti Datuk Kecil, Datuk Jalil dan Sulong Barat telah dapat ditawan dan dibuang Belanda. Di tahun i 894 oleh Belanda (dengan petunjuk- petunjuk dari para pengkhianat) ditangkaplah Datuk Sunggal, SERI DIRAJA, dan adiknya DATUK ALANG yang lalu mereka itu dibuang Belanda ke Betawi, dengan ketetapan Gubernur 20 Januari 1895/3 ditunjuk tempat pembuangan Banyumas. Untuk pemangku selama 5 tahun di Sunggal ditunjuk Belanda saudara mereka, DATUK HAJI, kalau putra tertua dari Datuk Seri Diraja yang dibuang itu telah dewasa, jika dirasa patut oleh Belanda, akan menggantikannya. Guna mengadakan pengawasan di Sunggal ditempatkan Belanda seorang Kontelir untuk masalah Batak. Di Bedagai pemerintahan dipegang oleh TENGKU PANGERAN HAJI ISMAIL SULONG LAUT sampai tahun 1894, sewaktu ia mengajukan permohonan untuk berhenti dan diganti- kan putranya TENGKU RAHMAD, yang selanjutnya memakai gelar "Tengku Bendahara Putra" dari Bedagai. Di daerah Padang pemerintah Belanda menurut Schadee, terpaksa melindungi Tengku Mohamad Nurdin, Maharadja Muda Padang yang kembali diaktifkan dalam tahun 1888, terhadap rong-rongan Sultan Deli, yang lebih menghendaki agar salah seorang anggota keluarganya sendiri memerintah daerah itu. Penyerangan oleh suku Batak dari Teluk Bum di bulan April 1896 masih terus berlangsung yang sangat menggelisahkan Belanda. Kurang lebih 400 orang anggota laskar rakyat menye- rang kampung Tanduk Banua. Residen Belanda lalu mengirim sepasukan Tentara Belanda yang dipimpin oleh 2 orang opsir yang berkekuatan 100 orang pasukan tetapi tidak dapat menemu- kan para gerilyawan rakyat. Dalam tahun 1886 dengan ketetapan Residen Sumatra Timur dibentuklah gemeentefonds untuk Medan dengan seizin Sultan Deli yang memberikan tanah-tanah dengan cara erfpacht untuk toko-toko dan perumahan. Uang-uang dari erfpacht itu maupun belastingnya untuk kepentingan gemeentefonds Medan. Pengurus-

66

PNRI nya diberikan kepada sebuah komisi yang terdiri dari ambtenar Belanda, kepala-kepala dan partikelir. Sering dinamakan fonds dan komisi dengan nama negorijfonds atau negorijraad. Adapun ibu- kota Medan itu asalnya terdiri dari 3 macam tanah yaitu tanah- tanah yang berasal dari kampung; tanah-tanah yang berasal dari kontrak perkebunan Mabar Deli Tua dari Deli Maatschappij dan tanah-tanah yang berasal dari kontrak perkebunan Polonia. Ada- pun tanah-tanah yang berasal dari kampung-kampung batas- batasnya ialah sebelah utara dengan parit di belakang kampemen rumah-rumah militer di Jalan Benteng sekarang, sebelah timur sampai ke Jalan Besar dari Labuhan ke Kesawan, sebelah selatan sampai Mesjid Raya A1 Maksun. Di antara tanah-tanah itu ada sebahagian dekat Kampung Sukamulia yang diserahkan Sultan kepada Belanda untuk kediaman Residen Belanda dan gedung- gedung pemerintahan. Adapun tanah-tanah yang dahulu ter- masuk dalam konsessi Polonia ialah tanah-tanah yang terletak antara Sei Babura dan Sei Deli. Baik tanah-tanah bekas konsessi Mabar-Deli Tua maupun bekas konsessi Polonia yang diserahkan kepada pemakaian gemeente Medan itu haknya sebenarnya masih goyang karena sewaktu-waktu dapat dicabut oleh Sultan dan tidak dapat diberikan Sultan pula hak erfpacht. Karena tidak ada kekuatan jaminan hukum itu, maka atas desakan Deli Maat- schappij lalu pada tanggal 1 Januari 1891 diikat 2 kontrak dengan Sultan Deli. Zending Kristen mengadakan operasinya dari arah barat. di daerah timur (Batak-Timur dan Simalungun) mulai rencana diperbuat untuk industri pertanian. Untuk maksud-maksud itu Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk "Kontelir khusus urusan Batak", di sebahagian Tanah Karo dan Simalungun, hal itu telah dimulai jauh sejak tahun 1892, dalamnya termasuk wewe- nang di daerah-daerah Dusun Batak di Serdang, Padang, dar Bedagai. Di daerah Batak Dusun Deli diadakan kontelir khusus dan karena akan diperbuat kabupaten (Afdelingen) sendiri untuk Simalungun dan Tanah Karo, maka buat sementara urusan Batak itu dipegang rangkap oleh Kontelir Batubara. Di daerah-daerah yang masih belum kuat masuk pengaruh Belanda, pemerintah

67

PNRI Hindia Belanda melarang orang-orang asing memasukinya kecuali dengan risiko keamanan sendiri. Di daerah-daerah Tanah Karo beroperasi pasukan-pasukan gerilya Sultan Aceh (dari Alas) yang tidak membuat aman masuknya pengaruh Belanda di sana. Hal itu berlaku sampai tahun 1898, ketika Belanda dapat kesempatan menengahi dan mendamaikan perselisihan antara 2 orang Raja Karo yang berselisih dan bersaudara tiri yaitu PA PELITA dan PA MELGAH. Atas niat Pa Pelita untuk bekeijasama dengan Belanda, Kepala-kepala Suku Karo lainnya mengadakan per- lawanan, terutama ketika dia memberikan izin kepada pendeta H. GUILLAUME untuk membuka zending di daerah Tanah Karo di tahun 1902. Ternyata kemudian Pa Pelita dan Pendeta di atas terpaksa angkat kaki. Pemerintah Hindia Belanda kemudian men- datangkan tentara dan mengembalikan Pa Pelita dan Pa Melgah di atas singgasananya. Di tahun 1904 kembali teijadi kerusuhan di Tanah Karo, karena Kepala-kepala suku Karo menyangka Pa Pelita dan Pa Melgahlah yang membawa tentara Belanda meng- hantam mereka, karena tampak oleh mereka bahwa kedua ber- saudara itu selalu bersama-sama dengan serdadu-serdadu Belanda. Hal itu terutama terbukti ketika di bulan Juli kedua bersaudara itu bersama-sama dengan kolonne tentara Belanda yang dipimpin oleh LET. KOL. G.C.E. VAN DAALEN, yang baru pulang dari operasinya di daerah Gayo dan Tanah Alas, melewati Tanah Karo- Pakpak Dairi-Tanah Toba, dan Sibolga kembali ke Aceh. Di daerah Pakpak Dairi, sebahagian dari kolonne yang dipimpin De GRAAF dan bermarkas di Sumatra Timur, memisahkan diri dari ekspedisi Van Daalen itu dan ketika melewati Tanah Karo dihadang oleh laskar rakyat Karo sehingga teijadi pertempuran hebat. Di pihak laskar rakyat jatuh korban 10 orang, dan kolonne De Graaf ter- birit-birit lari meninggalkan Tanah Karo. Kemudian kolonne De Graaf itu bertemu dengan kolonnel BLECKMANN yang datang dari arah timur. Setelah kedua kombinasi kolonne militer Belanda itu meninggalkan Tanah Karo, maka semua Kepala Daerah Karo bersatu dan menghantam Pa Pelita dan kawan-kawan yang karena terdesak kemudian meminta bantuan Belanda. Pasukan Belanda didatangkan dari Medan dipimpin oleh Bleckman bersama-sama

68

PNRI Assisten Residen urusan Batak, C.J. WESTENBERG di bulan September. Karena masih ada juga perlawanan rakyat, maka dari Aceh (Gayo) didatangkan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel COLIJN di bulan Oktober1). Di tahun 1908 Belanda merasa perlu membentuk Assisten Residen untuk Tanah Karo dan Sima- lungun dan Kontelir khusus urusan Batak dihapuskan dan tugas- nya tentang urusan Batak dipindahkan ke Arnhemia mencakup urusan Batak di Beli dan Serdang Dusun untuk urusan Batak di Bedagai/Padang ditugaskan kepada Kontelir Padang-Bedagai. Kerajaan Tanah Jawa dan Siantar, yang dulunya masuk Batubara kini dimasukkan dalam Simalungun. Lalu Belanda membuat Peijanjian Pendek dengan Raja-raja Dolok, Purba, Lingga, Barus Jahe, Suka, Sarinembah, Kuta Buluh, Silima Kuta, Panai dan Raja. Sementara itu di tahun 1904 Colonne Colijn sedang mengejar-ngejar Sisingamangaraja di daerah Peraja Dairi, yang baru berhasil ditewaskan oleh Kapten CHRISTOFFEL pada tanggal 17 Juni 1907.

13. PERKEMBANGAN PERKEBUNAN (1884 - 1900) DAN KEPENTINGAN PERTANAMAN

Sejak 1884 sampai 1886 mengingat keuntungan yang besar dari harga tembakau yang diperoleh di pasaran dunia berlomba- lomba orang asing memohon konsessi perkebunan di daerah itu sehingga di daerah Langkat, Serdang, dan Deli sudah tidak ada lagi tanah kosong untuk konsessi perkebunan tembakau. Akhirnya para prospector mulai mengalihkan pandangan ke daerah-daerah Padang, Bedagai, dan Batubara, sampai-sampai ke Asahan, Labuh- an Batu, dan Siak. Juga itu tidak cukup sehingga orang terpaksa lagi mengalihkan pandangan ke Palembang, Kalimantan Barat, Sabah, di mana tembakau Deli dicoba akan ditanam. Di daerah- daerah itu, kecuali di Padang, Bedagai, Batubara, Asahan, dan Sabah, tidak pernah diperoleh hasil tembakau Deli yang memuas-

1) "Nota over Politiek Beleid en Bestuurzorg in de Buitenbezittingen" (III) oleh W. Verbeek. 69

PNRI kan. Di tahun 1881 Amerika Serikat untuk pertama kali me- masuki pasaran tembakau di Amsterdam dan beberapa tahun kemudian sudah merupakan pembeli terkemuka dari tembakau Deli. Perkebunan-perkebunan lama yang mempunyai tanah yang terbaik dan iklim yang baik dan telah mempunyai nama di dalam pasaran tembakau, banyak sekali memberikan keuntungan. Tetapi di pinggir-pinggir pantai tanaman itu sangat spekulatif sifatnya sehingga banyak mendatangkan kerugian. Dari 148 buah konsessi yang dikeluarkan sepanjang pantai di tahun 1891 sudah tinggal 51 buah saja yang masih jalan. Di tanah-tanah yang tidak sesuai ditanami tembakau orang mulai mencoba tanaman lain terutama tanaman kopi sangat terkenal di daerah Serdang Hulu. Juga tanam- an rami di Siak tidak berapa menguntungkan. Sejak krisis tem- bakau 1891 — 1892 tanaman-tanaman tembakau di luar Deli dan Serdang serta Langkat telah banyak yang ditutup. Sekembalinya ke negeri Belanda Tuan Cremer diangkat sebagai Direktur Deli Mij. dan tahun 1897 terpilih menjadi Menteri Jajahan Belanda. Dalam tahun 1903 meninggalkan Tuan P.W. Yansen dalam usia 82 tahun. Untuk keuntungan para personilnya maka Deli Mij mendirikan sebuah sanatorium di gunung Crag (800 meter) dekat ibukota Pulau Pinang di tahun 1890 dan untuk kepentingan air minum kota Medan dibuatlah sumur-sumur air dari gunung dalam tahun 1887 sampai 1889 dengan biaya F. 80.000,- Di tahun 1896 berdirilah di Serdang Senembah Maatschappij dengan perkebunan Tanjung Morawa. Tanjung Morawa Kiri, Sei Bahasa, Batang Kuis dan Gunung Rintih dan kemudian Petumbak. Di dalam Maaatschappij itu dibantu oleh Deli Mij. Tuan Naher dan Grob memegang pimpinan. Di dalam tahun 1891 didirikan pula Serdang Tabak Maatschappij dengan perkebunan- perkebunan Frankfurt, Adolina dan Bengabing dan Esperance. Di tahun 1896 didirikan Ramoenia Cultuur Mij dengan perkebun- an Ramoenia di Serdang dan sejak 1900 Tn. F.A.H. Runge di perkebunan Deli Muda, de Guigne Freres dengan perkebunan tembakau dan kopi di Namu Rambai Serdang, J.H. Marinus dengan kebon-kebon Melati, Simpang Empat, dan Titian Urat, Tuan J.B. Tebel di Sei Tuan dan Tuan-tuan Martin dan Sandel

70

PNRI di perkebunan Sennah ke semuanya di daerah Serdang. Di dalam tahun 1897 untuk pertama kali di daerah Labuhan Batu oleh Deli Bilah Mij dengan perkebunan Pangkatan ditanam Karet (ricus elastica) dan percobaan tanaman karet havea brasi- liensis. Dengan gagalnya penanaman tembakau di Serdang Hulu dan dengan berhasil baiknya tanaman kopi di perkebunan Tanah Abang oleh Anglo Dutch Tobacco Company maka orang mulai beramai-ramai menanam kopi. Tuan F. Ferrand dan E. Elin dengan perkebunan Sei. Galang, Tuan O. Puttfarcken dan C. Rehorst dengan perkebunan Bandar Kuala dan Scweizerische Actien Gesellschaft Sumatra dengan perkebunan Bangun Purba di tahun 1893. Kemudian ternyata bahwa tanah-tanah itu sangat cocok sehingga tanah-tanah di Serdang terkenal tepat untuk tanaman kopi juga sejak 1895 tanaman kopi dicoba di daerah- daerah lain yang tanahnya cocok dengan di Serdang. Kopi yang ditanam kebanyakan jenis Liberia yang tidak memerlukan tanam- an pohon pelindung. Juga oleh Tuan F. Kehding di tahun 1895 ditanam kopi di Sei Karang (Rumbun) dan oleh Tuan A. De Gio- vanni di perkebunan Kotosan (1896) dan oleh Tuan Von Roll dan Baumann di perkebunan Bah Perak (1898). Tetapi meskipun hasil tanaman kopi di daerah Serdang terbaik di dunia, dengan tingginya ongkos produksi karena mendatangkan kuli-kuli dari luar dan dengan jatuhnya harga kopi di pasaran dunia, maka banyak perkebunan kopi ditutup dan diganti dengan tanaman karet, meskipun penanaman kopi diteruskan hanya sebagai tanaman sampingan.

14. PENANAMAN KOPI DI SERDANG

Penanaman kopi di Sumatra Timur tidak akan mempunyai sejarah seandainya penanaman tembakau tidak berhasil. Penanaman kopi secara besar-besaran diadakan di tanah yang penanaman tembakau tidak berhasil baik. Karena masa depan tembakau Deli waktu itu masih belum pasti, orang juga mencari tanaman-tanaman lain sejak 1880 dimulai percobaan-percobaan

71

PNRI kopi Liberia. Di dalam tahun-tahun setelah 1880 telah ada 7 perkebunan yang di sana-sini menanam kopi di samping tembakau yaitu di Serdang 1 dan di Deli St. Cyr dan Mariendal, Gedong Djohor, Bekalla, Padang Bulan. Di Mariendal ditanam 25.000 pokok di mana 15.000 Liberia yang memperoleh penyakit daun. Di tahun 1883 St. Cyr ditanam 46.000 pohon di antaranya 16.000 Liberia dan kesemuanya gagal. Hanya di Serdang penanam- an kopi berhasil. Hanya di Serdang. Pada waktu mulai tahun 1890 dan tahun- tahun kemudiannya teijadi krisis tembakau, banyaklah perkebun- an mulai memperhatikan penanaman kopi di Serdang. Contoh yang terbaik adalah perkebunan Tanah Abang. Seorang Inggeris bernama Smith ada mengusahakan sebidang tanah, usaha yang tertua dalam bidang perkebunan di Serdang di atas perkebunan Tanah Abang, yang diperolehnya seluas 4.000 bahu di tahun 1885 atas nama J.P. Tolson dan A.B. Smith. Sebidang tanah yang diusahakannya tadi beberapa lamanya terlantar dan Tanah Abang beserta beberapa bidang tanah lain juga di tahun 1888 telah dioper kepada Anglo Dutch Tobacco Coy. di London, maskapai mana di Serdang Hulu mempunyai 4 buah perkebunan. Tembakau yang ditanam di sana sama sekali gagal sehingga diderita kerugian yang besar dan di tahun 1891 dikembalikan kepada Sultan Serdang. Seorang yang bernama Giovanni turut mengalami kegagalan tembakau di Tanah Abang. Ia berasal dari turunan baik-baik bangsa Italia, setelah berhenti dari pekeijaan- nya lalu merantau ke Deli untuk mencari nasib baik. Lalu ia menjadi Asisten tembakau tetapi menganggur kembali karena perusahaan tembakau di Tanah Abang tutup. Akhirnya ia dapat hidup dengan berbagai pekerjaan seperti menyewakan kereta- kereta, mengurus dan mengantar pos untuk perkebunan, meng- ajar bahasa asing kepada putra-putra Sultan Serdang. Sementara itu ia melihat di antara lalang-lalang di Tanah Abang kopi tumbuh dan lalu tanah-tanah di sekitar itu dibersihkannya kemudian juga menanam di sana sini. Akhirnya ia mendapat izin dari Sultan untuk mengusahakan sebahagian dari bekas Konsessi Tanah Abang sehingga akhirnya di tahun 1893 kita melihat A. De Giovanni

72

PNRI sudah membuka tanah sebesar 345 bahu dengan menanam kopi Liberia dengan buruh sebanyak 28 orang Jawa. Beberapa orang Perancis membantunya dengan kapital dan dengan demikian diperbaikinyalah tanaman-tanaman kopi di situ, di mana 10 tahun sebelumnya seorang Inggeris pertama-tama kali menanam kopi di Serdang. Di dalam tahun 1894 ia telah memperoleh hasil se- banyak 35 pikul dengan harga 40 Dollar per pikul, suatu harga yang cukup lumayan. Setahun kemudian Giovanni dengan sebaik- baiknya telah menanam 100 bahu dan mengutip hasil di tahun 1895 170 pikul. Setelah serah terima pengurusan Tanah Abang kepada H.J.W. Westenberg maka ia berangkat kembali ke Eropa di mana ia meninggal karena sakit paru-paru di Penang. Giovanni telah menunjukkan dalam waktu yang singkat bahwa dengan pengurusan yang baik di Serdang dapat dihasilkan kopi Liberia dengan baik. Ditambah pula dengan tingginya harga kopi di Singa- pura dan Medan, maka banyaklah orang mengikuti jejaknya. Dalam tahun 1897 saja sudah ada dibuka 7 perkebunan kopi dan di luar Serdang, yaitu di Batubara dan Padang Bedagai telah dicoba pula menanam kopi. Di daerah itu kopi ditanam oleh orang-orang Batak dengan bibit-bibit secara cuma-cuma dengan syarat pohon-pohon itu menjadi kepunyaan perkebunan-perkebun- an setelah 3 tahun dengan ganti rugi 150 sampai 200 Dollar per 1.000 pohon. Dalam tahun pertama mereka boleh menanam padi di antara kopi-kopi tersebut dan merekapun memperoleh pula persekot untuk kehidupan mereka. Di antara para pengusaha kopi, di samping orang-orang Belanda juga orang-orang Perancis, Swis, Jerman, Inggeris. Perkebunan Bagerpang dibuka di tahun 1893, dan perkebunan Petumbukan di tahun 1892 dimulai juga-pe- nanaman kopi terutama di Batu Gingging dan Si Abang dan di Bangun Purba ditanam kopi oleh Maskapai Swis. Selanjutnya juga dibuka di Bandar Kuala, Bandar Maria, Sungai Galang. Greahan, Sungai Karai, Galia, Kotangan, Sungai Putih, Daisy Dale, Kotasan, dan lain-lain yang kesemuanya nanti berpindah kepada tanaman karet. Di tahun 1898 di Serdang saja telah ada 26 perkebunan kopi, di Asahan 6, di Langkat 4, di Padang Bedagai 2 dan 4 di Batubara.

73

PNRI Umumnya penanaman dipakai menurut cara Giovanni: Setelah tanah dibuka dikorek lubang untuk pokok itu dengan hubungan 12 kaki, di mana setelah ditanam pohon-pohon pelindung lalu dimasukkanlah tanaman kopi muda itu. Di dalam tahun ke-4 dapat diperoleh buahnya dan dalam tahun ke 6 atau ke-7 rata-rata per pohon 20 pikul perbahu. Di Serdang telah tampak tanda-tanda bahwa para pengusaha kopi telah berusaha memperbaiki mutu Liberia dan hal itu juga disokong orang perkumpulan mereka yang bernama "Serdang koffieplanters-vereniging". Tetapi sayang tidak ada hubungan antara para pengusaha kopi di situ dengan pengusaha yang di Jawa dalam bidang tukar menukar penemuan baru. Tetapi sungguh sayang sejak 1896 pasaran kopi di dunia makin lama makin turun karena akibat pengaruh banyaknya hasil kopi dari Brazillia di pasaran dunia. Sepuluh tahun lamanya setelah itu para pengusaha kopi di Serdang bertahan tetapi akhirnya terpaksa mengubah usaha mereka kepada tanaman karet. Di Kotangan dan Sei Putih masih ada tanaman kopi Liberia dan Robusta. Peninggalan-peninggalan masa jayanya penanaman kopi.01eh para kritikus ditarik kesimpul- an bahwa kelemahan penanaman kopi di Serdang terletak kepada kekurangan pengalaman para pengusahanya, kekurangan ketekun- an bagi kebanyakan mereka. Tanah-tanah tidak dipupuk, kadang- kadang tanaman sendiri tidak dipelihara dengan baik. Buruh sangat mahal jika dibandingkan dengan di Jawa. Ditambah lagi di dalam tahun 1901 dengan datangnya wabah penyakit kopi pada semua perkebunan-perkebunan kopi di situ. Demikianlah sejarah keemas- an tanaman kopi di Serdang merupakan lembaran hitam di dalam sejarah pertanaman di Indonesia. Apakah penanaman kopi akan kembali beijaya sebagai per- kebunan besar di Sumatra Timur ini?.

74

PNRI 15. POLITIK BELANDA MENGENAI KONSESSI DAN ERFPACHT

Siapakah yang berhak atas tanah-tanah "Wisselgronden"? Model akte 1877 hanya mengeluarkan syarat-syarat bahwa kon- sessionaris tidak boleh mengambil tanah-tanah kampung atau tanah-tanah yang dipakai oleh rakyat. Model akte 1878 menyata- kan bahwa si pemakai tanah harus mencadangkan 4 bahu tanah untuknya. Dengan pemakai-pemakai tanah dimaksud mereka- mereka yang memperoleh tanah di mana terdapat rumah-rumah- nya sendiri. Di dalam model akte 1884 baru dibuat penjelasan- penjelasan siapa sebenarnya mereka yang berhak yang dimaksud dengan "penunggu" itu, di mana dimaksud juga semua kepala keluarga baik yang menetap semasa maupun setelah pemberian tanah-tanah konsessi, yang menurut adat masuk yang berhak atas tanah. Perbedaan antara tiga buah Redaksi itu nyatanya besar sekali. Tidaklah dimaksud asing menetap dalam perkebunan- perkebunan. Raja-raja, yang memberikan konsessi haknya pun dibatasi dengan hak pakai, sesuai menurut adat yang harus dita'ati oleh raja itu. Hal itu menimbulkan reaksi dari para pengusaha kebon. Lebih jelas lagi ialah model akte tahun 1892 yang berlaku untuk seluruh daerah di luar Jawa dan Madura. Untuk itu perlu diketahui ketentuan-ketentuan tanah menurut adat dan pem- bahagian antara daerah Melayu dengan daerah yang penduduknya suku Batak. Di daerah yang penduduknya suku Batak Dusun tanah adalah milik marga yang berkuasa yaitu marga yang mula-mula sekali menetap di tanah itu atau dapat menguasainya dari marga- marga yang lain dan diwakili oleh kepala negeri atau kepala marga. Dalam prakteknya penguasaan atas tanah terletak kepada kepala- kepala kampung sebagai wakil dari kepala marga. Hak pakai di dalam suatu kampung berlaku untuk semua marga Batak yang tinggal menetap di situ dan sebagai bukti daripadanya melaksana- kan tugas-tugas kerahan yaitu tugas-tugas menjaga kampung jika penghuni pergi ke ladang. Mereka haruslah menjadi kepala-kepala keluarga; yang masih lajang tidak mempunyai hak, janda dengan anak-anaknya mempunyai hak pakai. Hak untuk memakai tanah

75

PNRI hanya di sekitar kampung dimana ia menetap. Jika ia pindah ia hanya paling-paling dapat memohon agar ditunjuk sebidang tanah untuknya. Tanah-tanah yang sudah dipakai oleh orang lain tidak dapat diberikan oleh kepala kampung kepada pendatang baru tanpa persetujuan dari pemakai asal. Adat istiadat Batak itu berdasar patriarchaat; wanita-wanita tidak mempunyai hak. Sewaktu kontrak-kontrak tanah pertama-tama dikeluarkan, hak Raja-raja dan Pembesar-pembesar Melayu terhadap tanah-tanah di lingkung- an suku Batak itu masih goyah. Untuk itu para kepala suku Batak di dalam setiap pemberian konsessi haruslah mendapat saham di dalam hasil tanah. Oleh karena mereka dirugikan dengan pemberi- an hak terhadap tanah kosong itu untuk kepentingan penduduk pendatang-pendatang yang baru. Di daerah yang didiami oleh suku Melayu hal itu lebih sulit lagi. Adat yang tetap sejak dahulu belum ada. Di sepanjang pantai orang-orang Melayu itu datang dari luar dan menetap di muara-muara sungai dan di sepanjang tepi-tepi sungai itu. Raja-rajanya berusaha sebanyak mungkin mencari rakyat dan setiap orang diterima dengan 2 belah tangan. Berlainan dengan di daerah Batak, di daerah melayu orang mendapat hak dengan menguasai atau karena kehendak dari raja. Dan di dalam batas- batas kerajaan orang tidak mempunyai batas-batas tentorial yang lain, seperti halnya pada kampung-kampung di daerah Batak. Kadang-kadang batas-batas kerajaanpun sangat sempit. Jika kesatuan-kesatuan tentorial berada dalam satu tangan seperti misalnya Serdang dengan Perbaungan, maka tidak dapat lagi dipisahkan antara masing-masing rakyat. Tetapi orang merasa perlunya ditetapkan suatu peraturan tertentu. Kerapatan Serdang adalah satu-satunya yang mengeluarkan kodifikasi adat yang paling lengkap. Itu dapat dijumpai dalam halaman 53, 54 dan 55 dalam buku Mr.Bool yang beijudul "De Landbouwconcessies in de residentie Oostkust van Sumatra". Kesemuanya itu dapat kita simpulkan sebagai berikut: Untuk mendapat hak atas tanah penunggu orang harus men- jadi kepala keluarga, baik laki-laki ataupun perempuan, tinggal

76

PNRI menetap dalam rumahnya sendiri di daerah konsessi sebelum pem- bahagian. Rakyat-rakyat Sultan dari daerah-daerah lain mem- punyai juga hak tersebut jika mereka setelah pemberian sebagai kepala keluarga tinggal menetap dalam rumah sendiri di daerah perkebunan. Mereka yang bukan kaula swapraja yang tinggal me- netap dalam rumahnya, pemberian konsessi kembali menetap dalam rumah sendiri di sana, juga mempunyai hak demikian di daerah konesi atau setelah pemberian konsessi menjadi kepala keluarga, tanpa adanya orang tua mereka sebelurflnya bertempat tinggal di sana, tidak mempunyai hak atas tanah penunggu. Sebenarnya pendapat itu menurut Belanda tidak sepenuhnya tepat.

GAMBAR. Kesawan Sebelum Tahun 1890

PNRI Seluruh daerah Serdang dijadikan satu kesatuan tentorial. Jauh sebelumnya di Batak Dusun telah dibagi-bagi tanah di antara para marga dan di antara para perbapaan. Juga kurang tepat jika seorang penduduk Denai berhak atas tanah di Serdang. Sebab setiap daerah Melayu merupakan tentorial yang terpisah. Jika raja tidak hendak membuat perbedaan maka ini tidak menjadi alangan selama tidak ada hak orang ketiga yang dirugikan. Seorang kepala kampung Batak tidak perlu memberikan tanah kepada seorang Melayu. Dan seorang pemegang konsessi tidak perlu memberikan tanah dalam perkebunannya kepada seorang yang berasal dari daerah lain misalnya di Perbaungan orang dari daerah Denai, di Sunggal orang dari Percut dan lain sebagainya.

16. KEPENTINGAN PEKBURUHAN (1884-1900)

Kebanyakan dari kaum buruh yang bekerja dengan kon- trak di perkebunan di Sumatra Timur pada akhir abad ke-19 itu terdiri dari bangsa Cina, Keling (India), Jawa, Boyan, dan orang Melayu. Nyatalah bahwa pada mulanya imigrasi yang terbartyak adalah bangsa Cina sebelum Imigrasi besar-besaran dari Jawa didatangkan. Beras untuk makanan mereka pada mulanya diambil dari Asahan sampai tahun 1886 pada waktu gagal panen di Asahan baru diambil dari luar negeri. Setelah kuli ordonansi di tahun 1880 berjalan dengan baik di Sumatra Timur maka di daerah-daeah lain pun dilaksanakan seperti itu dengan perubahan-perubahan di sana-sini meskipun syarat-syarat kontrak tertulis hanya berlaku bagi kuli-kuli asing sedangkan untuk kuli-kuli dari Jawa dengan syarat fakultatip saja. Seperti telah diceritakan di atas karena kesulitan mengambil kuli-kuli dari negeri Cina yang melalui sistem perantara di Singa- pura/Malaya maka oleh Deli Mij diutuslah Dr. J.J.M DE GROOT pergi ke negeri Cina untuk mencoba memperbanyak Immigrasi ke Deli. Akhirnya pada akhir tahun 1887 ia berhasil mendapat kin pembesar-pembesar Cina untuk memasukkan orang Cina secara

78

PNRI bebas dari Swatow Cina ke Deli dan kontrak untuk itu diperbuat pada bulan Pebruari 1888. Tetapi dengan beijangkitnya penyakit pes di Swatow dan banyaknya alangan-alangan yang dihadapi maka dicari kuli-kuli pengganti dari India. Tetapi dari sini pun tidak didapat keija sama dengan pihak pembesar Inggeris sehingga akhirnya lebih banyak didatangkan kuli-kuli dari Jawa.

17. LALU L1NTAS DAN PERDAGANGAN

Seperti telah dibentangkan di atas sewaktu Tuan Cremer pergi ke negeri Belanda di tahun 1881 dapat dipeijuangkannya pembentukan Deli Spoorweg Mij. Konsessi untuk itu diperoleh pada tanggal 4 Juli 1881 dan dimulailah pemasangan jalan kereta api dari Belawan ke Deli Tua, dengan cabang dari Medan ke Timbang Langkat, dan dari Kampung Baru ke Tanjung Morawa. Pada mulanya pembangunan jalan kereta-api itu tidak jauh dari kesulitan besar. Aannemer dan buruh-buruh dan material semua- nya diangkut dan didatangkan dari luar. Banyak buruh terkena penyakit malaria dan wabah kolera. Akhirnya dialami betapa pentingnya jalan kereta-api ini sehingga di tahun 1889 dapat di- peroleh konsessi untuk menyambung jalan kereta-api itu dari Medan via Serdang ke Perbaungan dan dari Medan ke Timbang Langkat sampai Selesai. Lijn kereta-api sampai Perbaungan pada tanggal 8 Pebruari 1890. Dapatlah dibandingkan bagaimana pen- tingnya pembukaan lijn kereta-api it untuk perkebunan-perkebun- an tersebut. Sebagai contoh kita kemukakan bahwa di tahun 1882 ongkos angkut tembakau per kereta lembu di dalam musim kering dari Labuhan ke Medan p-p. adalah P.4.60 sedangkan muatannya hanya sebanyak 600 kg. atau sampai 44 sen per ton/km Di dalam musim hujan sewanya lebih tinggi lagi kadang-kadang.tidak mung- kin dilaksanakan, sedangkan dengan melalui kereta api di tahun 1888 F. 19,5 sen ton/km Untuk kepentingannya sendiri Deli Mij melaksanakan pembukaan lijn telepon di sepanjang lijn kereta-api sehingga akhirnya terpaksa memenuhi permintaan-permintaan dari partikulir dan ambtenar-ambtenar pemerintah. Dari situlah asalnya

79

PNRI Deli Mij. mendapat konsessi daneksploitasi lijn telepon di sepan- jang jalan kereta api, sejak 1885. Juga perbaikan-perbaikan jalan raya mulai diadakan dari Tanjung Balai sampai Medan dan Pangkalan Berandan. Hanya tempat Kontelir urusan Batak yang tidak terletak di sepanjang jalan raya itu. Tetapi para pengusaha kebon di Serdang telah membuat jalan sendiri dari Lubuk Pakam ke Bangun Purba. Denga selesainya jalan kereta-api Medan-Perbaungan di tahun 1890 itu lalu dengan keija sama antara pengusaha kebon dan D.S.M. dibuatlah sambungan jalan raya Perbaungan-Tebing Tinggi. Di tahun 1896 diresmikan titi Sei Silau dekat Kisaran dan selesailah hubungan jalan raya Medan — Asahan. Orang akan berangkat jam 6.00 pagi dengan kereta-sewa dari Tanjung Balai dan tengah hari sampai di Labuhan Ruku dan hampir malam sampai di Tebing Tinggi. Keesokan harinya orang dapat meneruskan perjalanan dan sampai di Perbaungan sore hari- nya, agar dari situ dengan kereta api sampai ke Medan pada sore- nya. Motor oto yang pertama kalinya di Sumatera Timur yaitu masih memakai tenaga uap, ialah kepunyaan TENGKU BESAR DELI yang di-impor ditahun 1900. Mengenai pelabuhan-pelabunan penjagaaannya pada masa itu masih sederhana sekali yaitu Belanda hanya mengambil alih hak- hak cukai dari Sultan-sultan dan Raja-raja. Pada masa itu masing- masing daerah masih langsung mengadakan hubungan dagang dengan Malaya melalui sungai-sungai kecil di mana terletak pegawai-pegawai Duane. Tentu banyak kemungkinan terjadinya perdagangan penyelundupan. Demikian pula para pengusaha kebon yang jauh dari Belawan langsung mengirim hasilnya ke Penang melalui pelabuhan-pelabuhan kecil itu, termasuk impor beras dan lain-lain. Untuk daerah Asahan dan Labuhan Batu hubungan itu ke Singapura. Di bulan April 1896 dibukalah Pelabuhan Sabang sebagai pelabuhan dagang dan stasiun batubara tetapi ternyata tidak dapat mengimbangi Pulau Pinang. Di dalam tahun 1888 didirikanlah Stoomvaaart-Maatschappij Deli dengan kapal api "MEDAN dan "J.NIENHUYS" sebesar 500 ton ber- operasi antara Belawan-Penang tetapi tidak tahan melawan kon-

80

PNRI kurensi Cina sehingga terpaksa dilikwidasi bulan Mei 1892.

18. PERJANJIAN-PERJANJIAN DI BIDANG PEMERINTAHAN MENJELANG AWAL ABAD KE-20.

Perubahan yang besar sedikit demi sedikit telah mulai berlaku di Kerajaan-kerajaan. Di dalam kerajaan Melayu menurut adat seorang raja bergelar SULTAN, YANG DIPERTUAN dan sebagai- nya. Lalu seoang RAJA MUDA atau YANG DIPERTUAN MUDA dan sejumlah, biasanya 4, orang-orang Besar atau Datuk atau Wazir. Sebenarnya Sultan itu bukan seorang pengusaha yang absolut, tetapi hanya mewakili kerajaan. Oleh karena itu ia menerima penghormatan yang tertinggi dan pendapatan yang besar tetapi meskipun demikian tugasnya hanya akan jadi senang saja. Tugas pemerintahannya yang sebenarnya terletak pada Raja Muda, yang kadang-kadang sering kekuasaannya menyamai Sultan kadang-kadang melampau kekuasaan Sultan itu. Adapun orang-orang Besar sebenarnya Kepala-kepala rakyat yang langsung. Menurut adat perpatih (adat Minangkabau) rakyat terbagi atas suku-suku, suatu pembahagian menurut hubungan puak, bukan pembahagian tentorial dan setiap kepala suku men- jalankan kekuasaannya terhadap anggota-anggota sukunya dalam keseluruhan dalam kerajaan. Jika berdasarkan adat Temenggung (adat MELAYU) orang-orang Besar merupakan kepala-kepala rakyat di dalam bahagian-bahagian tertentu dari kerajaan, jadi setiap kepala mempunyai suatu daerah tugas tertentu. Di Sumatra Timur terdapat percampur-bauran dari kedua adat itu. Di Siak tinggal menetap banyak orang Minangkabau sejak Siak masih di bawah Johor. Di abad ke-17 orang Minangkabau itu dapaf me- merdekakan diri dari Johor, lalu kepala-kepala rakyat atau Datuk- datuk dari Minangkabau yaitu Suku Lima Puluh, Tanah Datar, dan pesisir menjadilah orang Besar. Kemudian dibentuk lagi suku Kam- par sebagai orang yang ke-4 di bawah kepala suku tersendiri dan juga diakui sebagai orang Besar kepala dari Bukit Batu, suatu daerah yang terletak di depan Pulau Bengkalis, dengan gelar

81

PNRI DATUK LAKSAMANA. Adapun Batubara dahulu dikolonisasikan dari Siak dan juga di situ pemerintahan suku menurut adat Minangkabau dilaksanakan. Seorang Bendahara mewakili di situ Pertuanan Siak. Sewaktu pengaruh Siak makin hilang, terjadilah pembahagian tentorial dan Lima Puluh, Tanah Datar, Pesisir dan Lima Laras, nama-nama dari 4 Landschap dinamai juga suku. Datuk-datuk yang sedemikian rupa ditemui juga sebagai Kepala- kepala daerah (tentorial), Suasana yang sedemikian rupa ditemui juga di tempat-tempat lain. Di Deli Sultan memerintah dibantu oleh seorang Raja Muda dan kepala-kepala dari Empat Suku yaitu Hamparan Perak, Serbanyaman, Sukapiring, dan Senembah. Sudah jelas bahwa suatu pemerintahan dengan sekian banyak kepala dalam Landschap yang kecil itu tidak begitu menyenangkan. Terutama pembahagian keija dan kekuasaan tertinggi antara Raja dengan Raja Mudanya sering mendatangkan kejadian-kejadian yang kurang enak. Oleh karena itulah pemerintah Belanda sering men- coba menyederhanakan sistem pemerintahan di situ dan pertama- tama ialah berusah menghapuskan fungsi Raja Muda. Di Langkat usaha itu tidak perlu lagi sebab Sultan yang terdahulu telah mengangkat dirinya sebagai pemerintah Tunggal dan Raja Muda maupun Orang-orang Besar sebagai anggota dari Kerajaan tidak terdapat di situ. Di Deli Raja Muda telah dihapuskan setelah mangkatnya Raja Muda Sulaiman (1887). Di Asahan Raja Muda beroleh tunjangan tahunan memerintah Kualuh dan Leidong, yang kemudian menjadi merdeka dari Asahan dan sejak itu di Asahan fungsi itu tidak pernah lagi diganti. Di Serdang sejak Raja Muda Mustafa berhenti di tahun 1910 dan meninggal dunia di tahun 1916 juga fungsi itu sudah dihapuskan. Pemerintah Belanda ingin lebih banyak lagi yaitu perlahan- lahan juga berkeinginan untuk menghapuskan instituut Orang- orang Besar. Di Siak pada tanggal 15 Desember 1915 telah dibuat kontrak dengan 4 orang kepala Suku dan Datuk Laksamana di mana mereka mengundurkan diri dari jabatannya selaku orang Besar kerajaan dan serta merta menyerahkan seluruh kekuasaan- nya dan pemerintahan di Siak ke dalam tangan Sultan sendiri. Lalu kemudian mereka diangkat menjadi kepala-kepala Distrik, masing-

82

PNRI masing dengan distriknya sendiri dan mendapat gaji dari kas Landschap (Kas Kerajaan). Juga di Panai dan Bilah berlaku sama di tahun 1915. Juga sedang dipersiapkan oleh Belanda peraturan yang sama untuk Kota Pinang dan Kuluh. Akhirnya akan tercapailah tujuan Belanda di dalam semua kerajaan-kerajaan kecil hanya terdapat seorang yang memerintah saja dan para Orang Besar yang menjadi anggota diubah sebagai pegawai-pegawai kerajaan. Di tahun 1915 suatu daerah terakhir yang masih merdeka di Sumatra telah dimasukkan ke dalam Gubernemen Sumatra Timur. Daerah-daerah itu terdiri dari Landschap Kerajaan N. Sembilan dan Kerajaan Na Sepuluh, 2 Kompleks kampung-kampung Batak di batas hulu Bilah. Setiap mereka menghendaki otonomi sendiri. Akhirnya Belanda menetap- kan daerah-daerah itu dimasukkan ke dalam Kerajaan Bilah. Juga Belanda bermaksud akan melaksanakan politiknya sedikit demi sedikit menyamakan peraturan-peraturan yang berlaku terhadap kerajaan-kerajaan dengan perjanjian Pendek. Juga telah diubah peraturan-peraturan sedemikian rupa sehingga orang Bumi Putera yang berasal dari luar daerah, tetapi menetap di daerah Sultan sejak itu menjadi warga Sultan (Kaula Swapraja). Dahulu diminta syarat bahwa mereka harus dapat menyemendakan diri dengan rakyat kerajaan dan di dalam peraturan diminta agar mereka setidak-tidaknya 8 tahun tinggal menetap di kampung itu atau paling sedikit 5 tahun seandainya mereka kawin dengan wanita dari kampung itu dan mendirikan rumah sendiri di kampung tersebut. Dengan demikian jumlah rakyat Sultan sudah bertambah dan para pengusaha perkebunan tembakau menyerahkan tanah wisselbouw untuk rakyat penunggu. Masa J.Ballot menjadi Resi- den Sumatra Timur di tahun 1906 diadakanlah perubahan besar pada "Lange Politiek Contract" (Kontrak Panjang) antara Belanda dengan Sultan Serdang. Deli Langkat, Asahan, dan Siak. Dengan demikian kekuasaan Raja-raja mulailah jauh berkurang dari "Pro- tektorat" menjadi "Jajahan".

83

PNRI KEJADIAN-KEJADIAN LAIN DI LANGKAT DAN TAMIANG (1873-1900).

Di tahun 1873 Perang Aceh melawan Belanda dimulai. Sementara itu di tahun-tahun 1873 dan 1874 telah dikeluarkan beberapa konsessi-konsessi perkebunan di daerah Tamiang dan di sekitar Teluk Haru a.l. "Kali Anam Maatschappij" (salahaji). Perkebunan Agnieta diserang oleh gerilya orang-orang Gayo dan Aceh. Belanda menyalahkan semua itu atas ketidakbecusan Pangeran Langkat untuk menguasai Tamiang. Akhirnya oleh Belanda dinyatakan bahwa Pangeran Langkat dengan "sukarela" menyerahkan haknya atas negeri-negeri sebelah kanan tetapi sei Tamiang kepada Belanda di tahun 1878 dan demikian juga Siak melepaskan hak-haknya atas Tamiang, dan Tamiang dibuat afde- ling tersendiri berkedudukan di Seruai dan langsung di bawah Asis- ten Residen di Medan (Asisten Residen Deli). Di bulan Nopember 1880 Seruai sendiri diserang gerilya dan sebulan kemudian pos tangsi serdadu Belanda di Bukit Keramat diserang hebat. Sewaktu kejadian-kejadian hebat itu pemerintah di Langkat sedang di- pegang oleh TENGKU SULONG (putra tertua Pangeran Langkat), karena Pangeran Langkat sendiri di tahun 1879 naik Haji ke Mekah. Karena pemerintahan diberikan sementara di tangan Tengku Sulong yang sendirinya pun ingin jadi pengganti raja, maka Pangeran lalu menetapkan putranya yang bungsu dari ibu gahara, TENGKU MUNTIL (alias Abdul Aziz), sebagai gantinya menjadi raja seandainya Pangeran meninggal dunia dalam perjalan- an. Di tahun 1881 Pangeran Langkat pulang dari naik Haji. Sebenarnya dengan pembagian batas dan penempatan seorang kontelir di Seruai, Tamiang praktis dimasukkan dalam daerah Sumatra Timur. Di tahun 1882 di Tamiang teijadi lagi pertempur- an dengan gerilya. Di daeah Langkat sendiri terjadi ketegangan antara Pangeran dengan Kepala-kepala orang Karo. Mengikuti contoh di Deli, lalu didirikan Kerajaan di Binjai (1883) berdasar- kan peraturan-peraturan baru dalam hubungan Kerajaan dengan orang-orang Karo. Di tahun 1884 gerilya menyerang ke dalam daerah Karang, sehingga terpaksa didatangkan bantuan Belanda

84

PNRI dari Medan. Di Aceh sendiri Jenderal Van DerHeijden digantikan oleh Gubemur sipil dan Belanda memakai sikap menunggu kalau- kalau orang Aceh bersedia menyerah sukarela, sambil blokade diperketat, dan pos-pos tentara Belanda di Aceh Besar ditarik dan dikumpulkan di Kotaraja dan di sepanjang daerah pantai. Di tahun 1885 sejumlah orang Aceh di bawah pimpinan NYAK MAKAM masuk Tamiang Belanda lalu memperkuat tangsi militer- nya di Seruai dari Medan. Kebon Tanjung Rubiah dibakar gerilya, Tungkam didudukinya. Belanda mulai main bakar kampung- kampung karena diketahuinya penduduk memberikan bantuan pada gerilyawan. Bulan Februari 1886 gerilyawan menyerang kebon Glen Bervi (Paloh Noradi), sehingga juga kebon-kebon Gebang dan Serapoh diungsikan. Belanda menempatkan tentara- nya di Tanjung Pura. Di bulan Maret 1886 diproklamasikan bahwa KEJERUAN BOHOROK (Abdulrahman) memihak gerilyawan dan mulai menghubungi Kepala-kepala Daerah di Langkat Hulu agar melancarkan perang sabil melawan Belanda1). Tentara Belan- da lalu dikirim ke Bohorok dan menemui Bohorok sudah diungsi- kan dan bertahan di daerah Alas. Kebon Bekiun dikosongkan Belanda dan garnizun didirikan di Binjai. Di bulan Mei 1886 Sungai Sadapan diduduki gerilya dan tanggal 6 Juni 1886 kebon Tamaran (yang dekat dengan pos militer Belanda) diserang dan administraturnya dibunuh. Di tahun itu praktis kegiatan "Kali- Anam Maatschappij" terhenti. Tiada berapa lama terdengar kabar dari Tanah Alas bahwa KEJERUAN BOHOROK TENGKU ABD. RAHMAN telah meningal dunia di dalam perang sabil. Di tahun 1887 Gubernemen memberikan gelar Sultan kepada Pangeran Langkat yang kini bergelar "SULTAN AL HAJI MUSA NAKSABANDIL MUAZZAMSYAH ". Kemudian diperkenankan pula sebagai penggantinya, putra bungsunya, Tengku Muntil. Pada tanggal 17 Juni 1889 gerilyawan menyerang Kampung Lama dekat sungai Balbalan dan dalam pertempuran dekat sungai Besitang, 2 orang pihak Belanda mati. Sejak bulan Juli 1891 gerilyawan dari Aceh, di bawah pimpinan PANGLIMA PERANG UMAR dan

1). Dan beisama-sama adiknya WAN MENTOK menaikkan bendera "merah putih", bendera perjuangan menentang Belanda waktu itu.

85

PNRI NYAK ULIM dari Meuredul mulai menyerang patroli-patroli Belanda di daerah Tamiang, tetapi akhirnya dapat ditewaskan Belanda. Di awal tahun 1893 karena usia yang telah lanjut, Sultan Musa mengadakan abdikasi agar digantikan putranya Tengku Muntil yang masih berusia 18 tahun. Selama masih belum dewasa, ia diwakili oleh 2 orang abangnya: TENGKU SULONG dan TENGKU HAMZAH. Pada tanggal 23-5-1893 setelah menanda- tangani politik kontrak yang baru ia diangkat sebagai SULTAN ABD. AZIZ ABDULDJALIL RAHMATSYAH dan di tahun 1896 ia bebas. TENGKU SULONG menjadi Pangeran Langkat Hulu di Binjai dan TENGKU HAMZAH menjadi Pangeran Langkat Hilir di Tanjung Pura. Pada bulan Mei 1897 mangkatlah Pangeran (kini Sultan) Langkat Musa yang banyak memainkan peranan dalam percaturan politik dan sejarah di Sumatra Timur. Sementara itu di tahun 1883 oleh A. J. ZIJLKER, telah diperoleh dari Pangeran Langkat konsessi untuk eksploitasi minyak sebesar 500 bahu di daerah sungai Lepan, yang kemudian terkenal dengan nama "Telaga Said". Transpor minyak waktu itu sangat sulitnya karena sering dilanda banjir dan kekurangan buruh dan penyakit-penyakit yang menyerang. Di tahun itu dapat lagi minyak yang berkualitas baik di "Telaga Tunggal", tetapi di tahun 1888 terbakar. Untuk membantunya dengan finansil didirikanlah "KONINKLIJKE NEDERLANDSCHE MIJ. TOT EXPLOIT AT IE VAN PETROLEUM-BRONNEN IN NEDERLANDSCH-INDIE" (dipendekkan "De Koninklijke" karena adanya saham pribadi Raja Belanda di dalamnya). Tahun 1892 mulailah buat pertama kali dijual hasil minyak Langkat di dalam kaleng. Yang paling ter- kenal ialah hasil minyak dari Telaga Said. Di tahun 1895 saja telah mencapai produksi 1.851.512 peti (l peti = 2 kaleng a 18 liter). Untuk transpor minyak, terutama bensin via Pelabuhan Pangkalan Berandan sangat sulit karena sangat dangkal dan tidak dapat di- masuki kapal-kapal besar. Lalu di hulu selatan sungai Balbalan itu, di tempat yang tinggi, Pangkalan Susu, didirikan tangki, dan dengan pihak dari Berandan disemburkan ke reservoir di bukit- bukit sekitar Pangkalan Susu dan dari sana dipompa turun ke kapal-kapal tangki di Pelabuhan.Tetapi di tahun 1898 mulai terjadi

86

PNRI kemunduran hasil minyak dan itu teijadi pada bulan Juni tatkala dilakukan pesta penurunan kapal tanker yang baru "Sultan van Langkat". Sementara itu situasi di Tamiang makin berbahaya bagi Belanda sehingga perlu dibentuk mandala baru yang dinamakan "TAMIANG EXPEDITIE". Di bulan Januari 1893 diperoleh Belanda kabar dari spion-spion bahwa Nyak Makam dibantu oleh Kejeruan Karang dan Raja Sei. Ia sedang mempersiapkan pe- nyerangan-penyerangan baru. Belanda lalu menempatkan pos-pos militer di Pangkalan Berandan, Bukit Mas, dan Bukit Kubu. Pulau Kampai sendiri dijaga oleh kapal perang "Sindoro" dan "Ternate". Pada tanggal 25 Januari para gerilya mulai menduduki Kampung Seruai dan membuat benteng di Rantau Pakam dan menembaki kapal-kapal Belanda yang melewati sungai itu. Tanggal 26 Januari mulai tembak menembak antara kapal perang "Sindoro" dengan benteng gerilyawan. Gerilyawan membuat benteng baru di Lubuk Batil kira-kira 1200 meter dari pos militer Belanda. Di bulan Februari mulai datang bantuan Belanda dari Medan di bawah pimpinan KOLONEL VAN DE POL naik kapal "Anna" dan kapal perang "Flores", tetapi di sepanjang sungai ditembaki gerilyawan. Dekat Rantau Pakam melintang di sungai tali besar sehingga kapal terhenti dan ketika itu juga kapal pecah dua kena tembakan meriam gerilyawan. Belanda mundur kembali ke Medan. Lalu dibuatlah persiapan di situ untuk melancarkan perang Tamiang yang dinamakan "Tamiang-Expeditie". Pasukan Belanda akan dibagi 2 yaitu colonne I dari Tanjung Selamat dan kolonne II dari Medan - 2 pucuk meriam 7,5 cm — ambulans dan kereta api. Angkatan Darat itu akan dibantu lagi oleh marinirs dan Seruai akan jadi tempat bahan perbekalan selama 3 bulan. Tanggal 13 Februari 1893 pasukan Belanda sampai di Tamiang. Sudah sampai juga di sana kapal-kapal perang "Ternate", "Condor", "Sindoro", "Madura", "Flores", "Sumbawa", "Slamat", "Jantik"; "Kinta" dan "Marie" ditambah tongkang-tongkang Cina dengan perbekal- an. Komandan pasukan marinir ialah Lettu (L) W.ALLIROL dan angkatan darat di bawah Kapten H.KUYK semua dibawah pimpin- an panglima mandala Kolonel v.d. Pol. Tanggal 15 Februari jam

87

PNRI 9.00 mulai pasukan bergerak di atas kapal-kapal melayari sungai. Sampai di setiap kampung sebagian pasukan turun dan kapal-kapal belayar terus mudik. Di sepanjang jalan kapal-kapal ditembaki dari benteng-benteng sepanjang sungai. Dekat Rantau Pakam terben- tang lagi tali melintang di sungai sehingga kapal-kapal tak dapat maju. Teijadi tembak menembak, kena seorang serdadu Belanda. Para gerilya meninggalkan benteng Rantau Pakam. Malamnya Belanda sampai di Seruai. Dekat mesjid kampung Raja Bendahara dan di Lubuk Batil Belanda ditembaki dari benteng-benteng, dan korban Belanda lagi 2 serdadu totok dan 1 serdadu Inlander. Sesampai di Seruai mati Lettu Marinir COPIUS PERREBOOM. Belanda kembali mundur dan mengangkat serdadu-serdadu yang sudah diturunkan ke darat kembali ke kapal dan balik menuju Tamiang. Sesampainya di hilir didapat kabar bahwa pasukan rakyat gerilyawan Kejeruan Karang dan Kejeruan Muda telah menduduki Salah Haji dan Bukit Kubu serta mengancam Kampung Besitang dan dari sana akan maju ke Langkat. Pada tanggal 4 Maret pasukan mudik naik kapal perang "Sambas" dan dekat Rantau Pakam dan Lubuk Batil kembali Belanda ditembaki gerilya yang sudah menempati kedudukannya yang lama kembali. Tanggal 16 Belanda mencoba kembali mudik dengan kapal "Anna" dan "Madura" tetapi dekat Pasir Putih ditembaki dan Belanda kembali mundur. Belanda lalu memakai kapal perang "Koerier" yang spesial ditutupi dengan perlindungan-perlindungan untuk muatannya, Komando kembali di bawah Kol. v.d.Pol. Tentara Darat dipimpin Mayor MEULEMAN (lengkap dengan artileri dan ambulans), komandan marinir di bawah Lettu D.A. MENSERT dan kapal-kapal perang di bawah pimpinan Kapten (L) H. v.d. PAUWERT. Tanggal 30 Maret mulai mudik ke hulu dan kapal paling muka ialah "Kroerie." Dekat Pasir Putih kapal-kapal itu ditembaki dengan gencar oleh gerilyawan sehingga kapal "Koerier" tersekat di sebelah kiri tepian sungai. Dari sebelahitulah rupanya benteng-benteng gerilyawan tersembunyi yang terkuat, sehingga teijadi pertempuran hebat. Di situ 11 orang korban di pihak Belanda termasuk komandan kapal "Koerier" sendiri. Belanda bertahan di pinggir sungai itu, dan sebagian kapal-kapal

88

PNRI lain maju mudik arah ke Seruai. Dekat itu juga kapal ditembaki. Pada tanggal 2 April 1893 pasukan Belanda mulai dari bertahan berpindah ke offensif pagi-pagi menyerang benteng Tumpuh Tengah yang telah diperkuat para gerilyawan. Pasukan penyerang- an pertama dipimpin Lettu v.d. Schroef dengan marinir dan artileri 7,5 cm. Setelah meriam-meriam ditembakkan maka pasu- kan pun majulah. Tatkala meriam berhenti menembak dan pasu- kan maju, mereka disambut oleh tembakan-tembakan gencar dari gerilyawan. Terutama pasukan marinir yang berbaju putih menjadi sasaran tembakan gerilyawan, sehingga banyak korban di antara mereka. Sewaktu menyerbu benteng mati tertembak komandan penyerang Belanda, Lettu v.d. Schroef dekat pintu benteng lagi- lagi tertembak beberapa orang tentara Belanda totok. Dari seksi lain tertembak komandannya Lettu (L) Mensert dan terpaksa pimpinan berpindah ke wakilnya Letda (L) C.W. BROERS. Korban jatuh lagi di pihak Belanda totok. Akhirnya dapat di- duduki satu benteng. Ternyata masih banyak lagi benteng yang berisi gerilyawan dan pertempuran hebat terjadi mempertahankan benteng-benteng itu. Keesokan paginya para gerilyawan meninggal- kan benteng-benteng itu. Seluruh korban di pihak Belanda hari itu: angkatan darat 25 orang dan marinir 15 orang. Belanda lalu membakar benteng-benteng dan rumah-rumah penduduk di Seruai dan kemudian baru mundur naik ke kapal menghilir. Di antara pahlawan yang gugur di pihak gerilyawan terdapat DATUK INDRA PAHLAWAN dari Damar Condong (Air Masin). Terdengar kabar dari mata-mata bahwa gerilyawan membuat benteng baru di Sungai Iyu. Pasukan Belanda lalu berangkat ke sana dan kampung dibakar tetapi segera ditembaki gerilyawan, sehingga mundur kembali dengan korban 3 orang serdadu. Pada tanggal 16 April 1893 Kolonel V.d. Pol berangkat ke Medan dan menyerahkan pimpinan kepada Mayor Meuleman. Pada waktu Mayor Meuleman sedang asyik-asyik menghadiri pesta penabalan Sultan Abd. Azia di Tanjung Pura, pada malamnya gerilyawan di bawah pimpinan NYAK MOHAMAD menyerang pos Belanda di Bukit Kubu, kebun-kebun Bukit Mas dan Batang Serangan. Kol v.d. Pol sendiri memimpin pasukan ke Bukut Kubu,

89

PNRI tetapi tidak bertemu gerilyawan, mungkin karena takut ia hanya duduk-duduk saja di situ. Pada tanggal 1 Juni 1893 gerilyawan sudah muncul di Pangkalan Berandan dan menembaki instalasi dan emplassemen minyak di tengah tengah kota. Semua buruh minyak pada lari dan beberapa Belanda yang tertinggal di rumah sakit semua dibunuh gerilyawan dan tempat penyimpanan minyak dibakar sebelum mereka undur kembali ke hutan. Dengan terbirit- birit Direktur Perusahaan minyak itu, Kessler, dengan pegawai- pegawai Belandanya dengan naik kapal sampai di Tanjung Pura dan melaporkan kejadian pada Mayor Meuleman. Segera dikerah- kan pasukan ke berbagai jurusan tetapi tidak bertemu dengan gerilyawan. Kol. v.d. Pol lalu mendengar kabar dan berangkat ke Medan minta bantuan baru. Dengan kapal kemudian tiba bantu- an baru sebanyak 6 opsir, 163 orang serdadu dan 200 orang hukuman untuk jadi kuli pengangkat barang. Semua dibawa ke Seruai. Pada tanggal 10 Juni dekat Bukit Mas dapat kabar dari mata-mata, gerilyawan membunuh 3 orang Cina yang bersimpati kepada Belanda. Pada tanggal 25 Juni 1893 komandan mandala "Tamiang-expeditie" dibubarkan, dan sebagian besar pasukannya dikembalikan ke Medan, dan sebagian menjaga Pangkalan Beran- dan, Tanjung Putus, dan Bukit Mas. Pada tanggal 28 pasukan sampai kembali di Medan dan berhenti di "Witte Societeit" dan dibuat pesta-pesta "kemenangan" dan lalu didirikan tugu yang dinamakan "TAMIANG MONUMENT" sebelah Timur Esplanade (Tanah Lapang Merdeka sekarang di muka stasiun besar Medan). Lalu diberikanlah bintang-bintang bagi mereka-mereka yang sudah gugur dan kepada serdadu-serdadu yang turut dalam ekspedisi itu dikeluarkan oleh K.N.L.L-gesper yang diberi naraa "TAMIANG 1893" suatu penghormatan yang tinggi di dalam ketentaraan Hindia Belanda. Dengan bubarnya ekspedisi, bukan berarti perlawanan gerilyawan sudah habis, malahan di mana- mana masih ada. Pada tanggal 1 Juli diterima kabar gerilyawan tampak di Sungai Tungkam, dan Sikundur. Pada tanggal 30 Juli kampung Sei Pandan dekat Pangkalan Susu diduduki gerilyawan. Menurut mata-mata, NYAK MAKAM mengadakan rapat besar pada tanggal 3 Juli 1893 di Upah dengan kepala-kepala daerah di

90

PNRI Tamiang, sewaktu Belanda datang ke sana ternyata musuh sudah tak ada lagi. Kapal Belanda sewaktu mudik pada tanggal 3 Juli ditembaki oleh gerilyawan. Patroli Belanda pada tanggal 19 Juli 1893 naik kapal ke Tanjung Semantoh, tidak bertemu musuhnya, dan rumah RAJA SILANG dan DATUK LAKSAMANA dibakar Belanda. Sewaktu pulang patroli itu dicegat gerilyawan dan 2 orang korban serdadu pribumi. Pada tanggal 2 September satu patroli Belanda mengejar Raja Silang, sewaktu menyeberangisungai ditembaki gerilyawan dan dengan korban 28 orang mati dan 3 luka-luka berat lalu mundur ke Seruai. Panglima Belanda yang baru di Sumatra Timur, Let. KOL. J.W. STEMFOORT lalu mera- bawa pasukan pada tanggal 13 September, dengan 3 kapal mudik ke Seruai tetapi tidak dapat lebih daripada Tanjung Semantoh. Karena tak bertemu musuhnya, Belanda lalu membakar saja rumah-rumah penduduk yang masih tertinggal, dan pasukan kembali pulang, dan memproklamisasikan bahwa TENGKU BIN RAJA, dan keturunan-keturunannya (antara lain RAJA SILANG) dipecat sebagai Kejeruan Karang. Kampung-kampung penduduk di Simpang Kanan dibakar Belanda. Demikian juga kampung- kampung Lubuk Sidup dan Kayu Tanduk. Pada tanggal 6-12-1893 pasukan Belanda maju ke Bukit Paya tempat tinggal Kejeruan Karang dan Raja Silang, tetapi tidak bertemu dan rumah-rumah dibakar Belanda. Di bulan Februari 1894 gerilyawan di bawah NYAK MUHAMMAD menduduki Simpang Kiri dan Simpang Kanan. Pada akhir Oktober 1894 dapat tertangkap TENGKU BINRAJA, RAJA UMAR dan RAJA SILANG dan dibuang ke Bengkalis. Pada tanggal 16 Juni 1896 gerilyawan menyerang Kuala Simpang dan membakar rumah-rumah orang yang bersimpati kepada Belanda. Pada tanggal 25 Maret 1898 KOLONEL J.B.VAN HEUTSZ, menjadi Guberur di Aceh, yang mengadakan serangan besar-besaran menyerang pertahanan Aceh. Bulan April 1899 batas Tamiang (Sumatra Timur dengan Aceh) ditetapkan. Sejak itu keadaan di Tamiang agak reda.

91

PNRI BAB IV (KEBUDAYAAN MELAYU)

1. ASAL, PERPINDAHAN, DAN BAHASA BANGSA MELAYU

Zaman Prasejarah: Menurut Richard Winstedt1) istilah kebudayaan mesolithi- cum tidaklah dipakai oleh para ahli prasejarah di Asia Tenggara untuk menyatakan saling hubungan di dalam evolusi artifack- artifack dalam zaman batu (Pleistocene) sampai zaman neolithi- cum (zaman dibuatnya periuk-periuk tanah liat) sejauh 4000 tahun dalam kebudayaan Melayu. Adapun percampuran kebudaya- an mesolithicum itu sebenarnya masa akhir kebudayaan palaeo- lithicum yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hoabinh atau Backson atau juga dinamakan "Bacson Hoabinh" dari Indo Cina. Di Indo Cina dan Malaya terdapat pula sisa-sisa peninggalan kebudayaan bangsa Australo-Melanesia. Agaknya sebagian dari kelompok bangsa itu meninggalkan lembah-lembah sungai Yangtze, Siam, Sumatra, Jawa, Pilipina, Sulawesi dan Australia, dan merekalah yang menjadi nenek moyang bangsa asli Australia dan Melanesia sekarang ini. Mereka yang pindah dari Indo Cina itu melalui Semenanjung Melayu kira-kira 7000 tahun yang lalu. Agaknya tidaklah asing, jika terdapat persamaan antara orang Melayu yang percaya bahwa segala sesuatu mempunyai "Semangat" dengan kepercayaan orang Melanesia yang dinamakan "Mana". Masih ada tertinggal di sana-sini suku-suku tergolong Australo- Melanesoid yang belum beradab seperti orang-orang Negrito, Sakai, atau Senoi di Malaya dan orang Jakun atau Proto-Malayo atau orang Indonesia Mongoloid. Yang termasuk golongan-golong- an Negrito itu ialah antara lain orang Semang dan orang Pangan di Malaya, orang Aetas di Pilipina dan Mengkopi di kepulauan Andaman. Mereka itu masih di dalam tahap Neolithicum yaitu mereka belum pandai membuat sampan atau rumah tetapi tinggal

1) 'The Malays a cultural History "

92

PNRI di dalam gua-gua atau beratapkan daun-daunan dan makanan me- reka hanyalah buah-buahan hutan, akar-akar dan memburu bi- natang liar dan memancing ikan. Mereka takut kepada guruh dan kilat. Tetapi pada orang Senoi di Malaya terdapat bentuk-bentuk Australoid dan Veddoid (yang terakhir ini dari Sailan dan India Selatan) tetapi umumnya orang Senoi dan Sakai itu digolongkan dalam ras Indonesia seperti orang Batak di Sumatra dan Dayak di Kalimantan. Toraja, dan lain-lain, orang-orang pegunungan di Cina, Indo Cina dan di pedalaman-pedalaman di kepulauan-kepulauan Indonesia. Mereka lebih tinggi dari Negrito dan wanita-wanita mereka membuat cuping yang panjang, telah pandai menanam padi dan ubi, tebu, dan tembakau. Rumah-rumah mereka biasa- nya dibangun di atas tiang-tiang dan biasanya mereka bersifat communaal. Mereka telah pula ada yang tahu membuat motif- motif pada kain-kain dan gendang-gendang dari perunggu. Ke- budayaan itu dinamakan kebudayan "Dongson" dari Annam (Indo Cina). Mereka agaknya telah sampai ke daerah Sumatra kira- kira 500 tahun sebelum Masehi. Yang paling penting lagi adalah perpindahan dari apa yang di- namakan ras Indonesia-Mongol atau PROTO-MELAYU yang ter- sebar di semenanjung Malaya, Indonesia,'Pilipina, dan Formosa (Taiwan). Menurut Dr. Heine-Geldern dan Dr. Van Stein Callenfels agaknya perpindahan itu dari Asia antara 2500 — 1500 S.M. Mereka telah pandai membuat kapal-kapal sehingga mengembara sampai ke Madagaskar. Siapakah kini yang dinamakan orang Melayu yang berkebuda- yaan atau juga disebut DEUTERO-MELAYU atau "MELAYU PE- SISIR" yang mendiami Malaya, Sumatra, Bali, Lombok, Kali- mantan, Sulawesi, Ternate, Tidore, Sumba, dan pesisir-pesisir ke- pulauan lainnya? Orang-orang Melayu itu ialah yang mempunyai bentuk kepala yang agak lebar, bentuk muka Mongol, berkulit coklat sao matang, rambut hitam lurus dan tidak beijanggut lebat, itulah bentuk Proto-Melayu ditambah pengaruh-pengaruh darah asing oleh karena perkawinan dengan orang Cina, India, Arab, dan Siam. Oleh karena berbagai-bagai percampuran di tempat-tempat yang

93

PNRI berbeda-beda lalu menghasilkan pembawaan yang berbeda-beda, sehingga dapatlah secara uraura dibedakan antara seorang Bugis dan seorang Bali atau seorang Minangkabau dengan orang Aceh. Orang-orang Melayu itu yang mendiami daerah-daerah pantai se- panjang selat Malaka baik di Semenanjung Malaya maupun di Sumatra Timur adalah orang yang hidup bukan semata-mata dari bercocok tanam tetapi dari kehidupan di laut dengan perahu-pe- rahu mereka. Keturunan-keturunannya itulah yang dinamai "MELAYU-PESISIR" yang nenek moyangnya dahulu berani me- nyerang kapal-kapal Portugis dan kapal-kapal Belanda di lautan Selat Malaka.

2. KEPERCAYAAN ZAMAN PRIMITIF

Banyak hubungan orang-orang Melayu dengan kepercayaan- kepercayaan di zaman primitif yang masih tinggal dengan suku- suku primitif yang masih ada di Asia Belakang seperti suku Khassi atau suku Moi di Indo-Cina. Misalnya ada kepercayaan bahwa musuh akan lumpuh jika dipacakkan bambu tajam di dalam peijalanannya. Upacara-upacara mengobati orang sakit "Men- jemput Semangat" oleh "Pawang"1) tertentu. Juga misalnya dekat sebuah rumah di mana ada orang mati, tidak boleh me- numbuk beras dan tidak boleh menari atau bermain musik takut kalau roh si mati tahu jalan pulang ke rumah. Dan kebiasaan orang Melayu berpakaian hitam atau memakai perca putih dililitkan di kepala dan berurai rambut bagi wanita dalam upacara kematian orang-orang terkemuka, sehingga roh si mati tidak akan kembali kepada kita. Kini asal kepercayaan itu sudah tidak diketahui lagi dan sekarang berubah sebagai tanda dukacita dan tanda me- muliakan si mati. Juga upacara "Jamu Laut" oleh nelayan-nelayan

1) Pengbubung antara manusia dengan roh halus untuk menemukan basil-basil obat-obat, barang-barang yang dimakan binatang, mengobati orang sakit. Ia tak ada hubungan dengan agama Islam dan berasal dari zaman primitif (serupa "me- dicine-man"). Skeat: "Malay Magic". Lihat juga Clifford: "Hikayat Raja Budiman".

94

PNRI Melayu di pantai-pantai adalah berasal dari persembahan-per- sembahan Dewa-dewa Laut. Biasanya seorang pawang atau dukun mendapat kepandaiannya turun temurun dari pawang atau dukun sebelumnya yang baru timbul jika ia berada di dalam alam mimpi atau tak sadar diri (in trance). Sebenarnya banyak kuburan tua yang dikatakan "KE- RAMAT" adalah kuburan pawang-pawang zaman dahulu. Sering jika seorang pawang atau dukun meninggal dunia, rohnya sulit ke luar dari badannya sehingga perlu atap-atap rumahnya dibuka agar rohnya segera dapat bebas keluar (apa yang dikatakan "Ilmu Saudara Berempat"). Demikian juga tindak tanduk "Dalam Seluk" (histeri) yang kadang-kadang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan Barat, sehingga dalam suasana demikian ia dapat berhubungan dengan orang-orang atau arwah-arwah yang sudah mati dan kadang-kadang pula dengan pujaan-pujaan- nya berupa binatang seperti buaya, harimau, dan sebagainya (Puaka).

3. KEPERCAYAAN YANG DIDAPAT DARI HINDU

Sejak abad V sebelum Masehi sudah ada pengaruh-pengaruh Hindu datang ke daerah itu. Di abad VIII tiba pula pengaruh Budha dari India dengan mendirikan candi-candi di pesisir timur Sumatra. Antara tahun 1338-1365 kerajaan Hindu Majapahit di dalam menaklukkan Sriwijaya dan kerajaan Melayu (Jambi) telah mara ke daerah itu sampai ke Pasai di dalam apa yang di- namakan "Operasi Pamalayu". Banyak kebiasaan dan adat istiadat yang diperoleh suku Melayu dari Hindu Jawa itu. Tetapi dengan datangnya Islam seluruh berhala yang disembah itu dihancurkan. pada pertengahan abad XVII menganjurkan hal itu kepada orang-orang di Sumatra: "Hunus pedang, bakarkan sarung, Ithbatkan Allah, nafikan patung".

Tetapi bagaimanapun banyak adat istiadat resam Hindu yang

95

PNRI masih dipakai sampai kini oleh orang Melayu, baikpun dibawa dahulunya oleh orang-orang India Islam yang nenek moyang- nyapun pernah menganut agama Hindu. Sebagai contoh upacara-upacara asal peninggalan Hindu: (1) Upacara "Mandi Berdimbar". (2) Upacara "Bersulang-sulangan" di depan orang ramai oleh pengantin baru, atau apa yang sering disebut "Makan nasi hadap-hadapan". (3) Mengirimkan sebuah keris atau tengkuluknya jika seorang raja Melayu akan kawin dengan orang kebanyakan sebagai ganti dirinya. (4) Upacara "Melenggang Perut" pada wanita yang hamil. (5) Upacara "Membelah Mulut" bayi yang diperoleh dari upacara zaman Hindu dalam kitab Rig-Veda di mana kepada mulut bayi itu dicecahkan 3 kali madu dan "Ghi" (ayat-ayat dari Kitab Hindu Rig-Veda). (6) Upacara "Turun Ke tanah" di mana di zaman Hindu anak seorang Kasta Brahma untuk pertama kali diperkenalkan melihat matahari dan diperkenalkan kepada ibu tanah dan bapa air. (7) Upacara "Mencukur Rambut" si anak. (8) Seorang anak Hindu jika hendak belajar kepada guru harus- lah membawa tongkat rotan, kain putih, dan limauan-limau- an. Kini pun jika seorang anak Melayu hendak belajar mengaji Qur'an kepada seorang guru hal tersebut dilakukan juga. (9) Mencukur rambut dengan meninggalkan sedikit kucir dan memotong kucir itu sebelum sunat Rasul. (10) Memakai "Pilis" bagi wanita-wanita agar menjauhkan diri dari gangguan hantu. Dan banyak lagi adat-adat sisa peninggalan Hindu yang tidak cukup disebutkan di sini yang masih menjadi adat istiadat orang- orang Melayu. Juga di dalam bidang jampi-jampi dan kesusastra- an masih banyak pengaruh Hindu. Seperti kepercayaan kepada raksasa dan jampi-jampi seperti contoh berikut:

96

PNRI "Bismillahirrahmannirrahim. Bakar-bakar pasir tanah! Aku bakar mati hati jantung (si anu) itu! Bakarku panah Sang Rajuna. Aku bakarkan di gunung, gunung runtuh; Aku bakarkan di batu, batu belah; Aku bakarkan di mata hati jantung hawa nafsu (si anu). Kena hancur luluh panas segala tubuhnya, Gila berahi kepada aku, Tidak boleh senang diam, Seperti pasir ini terbakar, Bencilah (si anu) kepada ibu bapa. Kepada saudara sahabat handainya; Jika dia tidur, terjaga, Jika ia dijaga, bangun berjalan Datang kepada aku Menyerahkan dirinya, Hilang akal, hilang malu, Berkat (si anu) kena bisa panah sang Rajuna Berkat doa, Lailahaillallah Muhammadan Rasulullah". Sekian contoh berasal dari Atharva-Veda untuk membangkit- kan nafsu berahi seorang wanita. Juga adanya "Orang Bertapa", yang tidak makan dan tidak minum dan tidak bertemu wanita, tidak lain agar memperoleh kekuatan supernatuur. Nampak dari jampi-jampi tadi berasal dari zaman Hindu dengan diberi "baju" Islam dengan menempatkan "Bismillah" di muka dan "Lailahail- lallah" di belakangnya.

4. DATANGNYA ISLAM

Marco Polo tahun 1292 telah menemukan adanya pemeluk agama Islam di Perlak (Aceh), Pasai, dan Samudera. Seorang putri raja Perlak mengawini Sultan Pasai yang pertama Islam, Malikul Saleh yang mangkat di tahun 1297. Di abad ke-14 maka Islam

97

PNRI telah berkembang di daerah pesisir timur Sumatra ini. Sejak itu, terlebih-lebih setelah Malaka menjadi pusat perdagangan dan misi Islam maka orang-orang Melayu menjadi penyebar agama Islam ke segenap pelosok Nusantara ini. Tepatlah istilah yang menyama- kan "Masuk Melayu berarti masuk Islam". Selanjutnya menurut Winstedt sampai sekarang suku Melayu 100% pemeluk agama Islam. Tetapi meskipun demikian masih ada juga pengaruh-pe- ngaruh Hindu yang tertinggal di dalam jampi-jampi seperti contoh di bawah ini: "Bukan aku melepaskan bala pustaka, Sang Kaki Batara Guru melepaskan bala pustaka, Bukan aku melepaskan bala pustaka, Dewa kayangan melepaskan bala pustaka Bukan aku melepaskan bala pustaka, Dewa ketujuh melepaskan bala pustaka Dewa kesakti melepaskan bala pustaka. Hai anak Bhatara Kala, cicit buta Singa Gana, Turun lepaskan bala pustaka Turun lepaskan perbuatan manusia Lepaskan bala pustaka, celaka malang Lepaskan pada rumah tangga dan segala anak Adam Perang Bisnu di muka aku Hai jin si Raja Jin, Jin nan memegang tanah air, Jin nan memangku bumi Pulang engkau ke tempat engkau Di pusat tasik tebing runtuh Jangan engkau masuk tapak guru aku Jikalau engkau masuk tapak guru aku Aku sumpahi engkau dengan perkataan Nabi Allah Sulaiman Aku sumpahi engkau dengan perkataan, La Ilaha Illa'llah Muhammadan Rasulullah". Meskipun orang-orang Melayu tergolong kaum Sunnah wal jama'ah dari Mazhab Syafi'i ada terdapat juga pengaruh-pengaruh dari Syi'ah seperti bubur Asyura, tabut Hasan Husin. Meskipun

98

PNRI demikian pengaruh Hindu sulit hilang dari kebiasaan orang Melayu Islam. Kepercayaan akan jimat dengan tulisan-tulisan ayat (parak) sehingga bisa melindungi seorang dari pelor (kebal) dan dibacanya dengan populer hikayat-hikayat pahlawan Hindu seperti "Hikayat Sri Rama", "Laksamana Arjuna" dan kemudian "Iskandar Zul- karnain". Untuk memperkuat keyakinan mereka maka orang- orang Melayu sangat populer membaca "Insanul Kamil". Di abad ke-17 terdapatlah adanya komporomi dan harmoni antara golong- an ortodoks dan golongan Sufi yang pengaruhnya datang dari India. Dalam golongan itu terkenal beberapa ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri dan Sjamsudin Pasai. Kemudian di tahun 1637 dikenal pula ulama, Nuruddin ar Raniri yang mengarang "Bustanus Salatin" dan lain-lain buku. Buku-buku yang disukai oleh orang di daerah Serdang terutama "Masalilal Muftadin", "Mingkat", "Siratal Mustaqim", Usuluddin", "Jarmi Arab, Suratul Kiamat", "Kitabul Asrat". Banyak pula golongan Mazhab yang masuk dalam bidang tasauf (Sufi) terlebih-lebih dalam setiap menuntut pelajar- an diajarkan bersilat dan mengobati orang.

5. SISTEM SOSIAL

Orang Melayu yang telah tinggi peradabannya itu hidup sepanjang abad di bawah raja-raja yang terutama masih memakai beberapa kebiasaan dari zaman Hindu dan mewarisi pangkat atau gelar dari ayah ke anak. Pengaruh Hindu nyata benar masih hidup di dalam berbagai upacara perkawinan. Sebagai contoh ialah istilah "Panjat Angkara"1). Di dalam "Sejarah Melayu" diberi contoh cerita tentang per- kawinan putri Sri Nara Diraja di Melaka dengan seorang Jawa bernama Patih Adam, yang masuk ke rumah gadis itu, mengikat- nya bersama-sama dirinya dan mengumumkan jika ia dibunuh

1) — Dada bidang kulitnya tahan — Mulut bacar emasnya padan — hati berani senjata tajam.

99

PNRI maka gadis itupun pertama-tama akan dibunuhnya kecuali jika mereka dikawinkan1). Ada juga adat Hindu tetapi secara damai menyogok mak inang putri bendahara Pahang oleh Hang Nadim untuk dijadikan istri oleh Sultan Mahmud. Cara itu dinamakan "Panjat Adat". Cara perkawinan Hindu yang ketiga ialah dinama- kan "Silambari". Sang penganten perempuan memilih di antara beberapa orang laki-laki yang meminangnya siapa yang menang di dalam suatu sayembara perkelahian. Adapun adat Melayu me- makai sistem parental, yang lazim disebut "Adat Temenggung" (kebalikannya ialah di Minangkabau yang bersistem matrillineaal, yang disebut "Adat Perpatih"). Biasanya si suami tinggal untuk berapa lama di tempat pihak keluarga istrinya, dan anak-anak yang masih di bawah umur atau gadis, di dalam suatu perceraian, tinggal bersama-sama ibunya, Menurut adat jika si bapa meninggal dunia maka rumah, sawah ladang, barang keperluan rumah tangga, jatuh kepada anak perempuan dan alat-alat perkakas besi dan senjata-senjata menjadi pusaka kepada anak laki-laki. Umumnya itu belum dibagi-bagi selagi ibunya masih hidup. Agaknya sebagai penghormatan terhadap hak-hak wanita karena peninggalan pengaruh daerah hukum Minangkabau yang Matrillineaal. Hal itu teijadi oleh karena di daerah Sumatra Timur itu banyak ber- diam imigran-imigran di zaman dahulu dari Minangkabau, Siak, dan Indragiri. Di abad ke-18 terasa pengaruh Aceh di daerah itu yang membagi adatnya seperti diterangkan mengenai harta peninggal- an tersebut di atas. Wanita-wanita Melayu banyak kebebasannya terutama dalam urusan ekonomi. Tidak saja dia mempengaruhi dan mengawasi keuangan keluarga tetapi juga kadang-kadang turut aktif beijualan ikan dan sayur-sayuran2). Juga mengambil peranan penting dalam menanam padi, membuat minyak makan dan sebagainya di samping mengurus anak-anak dan rumah tangga

1) Perbandingkan Tuanku Hasyim dengan anak gadis Pangeran Langkat Musa, seperti apa yang dikisahkan oleh Schadee dalam "Geschiedenis van Sumatra's Oostkust". 2) J.A.M. Caets Baron de Raet: "Veigelijking van den Vroegeren Toestand van Deli, Serdang en Langkat met den Tegenwoordigen".

100

PNRI serta menjahit. Umumnya sisitem sosial di kalangan Melayu tidak banyak perbedaan antara kedua jenis kelamin itu tetapi ada perbedaan dalam klas. Perbedaan yang penting adalah antara golongan raja-raja dengan orang kebanyakan, tetapi di dalam klas ini pun ada tingkatan-tingkatan pula. Seorang Tengku keturunan Raja dari pihak ayah dan ibu dikatakan "waris benih dan tanah" (atau "Anak Gahara"). Lebih tinggi tingkatnya dari saudaranya yang ibunya orang kebanyakan ("Waris Benih") dan lebih berhak mewarisi tahta kerajaan. Seorang bangsawan Melayu boleh kawin bebas dengan wanita kebanyakan meskipun istri pertamanya biasa- nya seorang bangsawan. Jika ia kawin dengan wanita kebanyakan biasanya dikirimnya saja, sesuai menurut adat Hindu, sebuah krisnya atau tengkuluknya guna mewakili dalam akad nikah. Sebaliknya seorang wanita bangsawan tidak mempunyai kemer- dekaan untuk kawin dengan laki-laki kebanyakan ataupun di bawah statusnya kecuali dengan seorang Said karena dianggap turunan Nabi.1) Seperti dinyatakan di atas menurut adatnya si suami tinggal di tempat keluarga istri. Sangat menarik hati bidal Melayu me- ngenai hal yang mengatakan sebagai berikut: "Jika lelaki tinggal di tempat keluarga istri, jikalau ia cerdik, teman berunding; Jikalau ia bodoh, ia disuruh ke sana ke mari Tinggi banir tempat berlindung, Rimbun dahan tempat bernaung; Ia harus pergi atau tinggal jika disuruh, Jikalau ia malim ia akan berdoa untuk kita, Jikalau ia kaya, kita akan memakai masnya, Jikalau patah, penghalau ay am, Jikalau buta, penghembus lesung, Jikalau pekak, pembakar bedil Masuk kandang kerbau menguak, ke kandang kambing mengembek

1) Mempertahankan sistem status dengan endogamie yang keras. W.F. Wertheim: "Indonesian Society in' Transiton".

101

PNRI Adat tempat semenda dipakai. Ia dengan tempat semenda bagaikan mentimun dengan durian, Bergolekpun luka, kena golekpun luka ..." Di beberapa negeri Melayu jika seorang wanita bangsawan kawin dengan lelaki yang di bawah tarafnya, anak yang lahir dari perkawinan itu bernama "Megat" (dari kata Sangsekerta "Mag- hada", putra dari seorang Vaisya yang kawin dengan wanita kasta Ksatria). Gelar Megat ini turun temurun juga. Di dalam buku "Adat Raja-raja Melayu" dari adat ke-18 di Melaka, terdapat pengaruh Jawa. Di antara peraturan-peraturannya ada disebut; "Jika saudara seorang Megat kawin dengan laki-laki di bawah derajatnya, maka anak-anaknya bergelar turunan "Biduanda". Jika seorang saudara dari Biduanda kawin dengan laki-laki dari orang kebanyakan, anak mereka itu disebut "Ksatria". Jika sau- dara seorang Ksatria kawin dengan orang kebanyakan, anak mereka memakai gelar Jawa "Priayi". Jika seorang saudara Priayi kawin dengan laki-laki kebanyakan putra mereka digelari "Perwira". Jika saudara seorang Perwira kawin dengan laki-laki kebanyakan, putra mereka disebut "Sida". Jika saudara seorang Sida kawin dengan orang kebanyakan, putra mereka disebut "Hulubalang". Demikianlah sistem kasta yang berlaku dahulu di negeri-negeri Melayu sisa dari pengaruh Hindu dan kini sebagian besar telah hapus dengan datangnya pengaruh Islam.

5.a. UPACARA MENJUNJUNG DULI DAN WARNA ISTIADAT

Upacara "Menjunjung Duli" diadakan menghadap Sultan Serdang pada hari Raya Idulfitri, Hari Raya Idul Adha, dan hari- hari kebesaran tertentu lainnya. Sultan duduk di atas "Tahta" ataupun "Peterakna" di dampingi oleh Tengku Suri. Setelah

102

PNRI Sultan duduk, maka yang hadir dalam majelis pun duduk pula semua. Bentara Kanan meminta kepada Bentara Kiri untuk mem- persilakan siapa-siapa yang mulai menghadap sesuai menurut aturan adat istiadatnya. Pertama-tama disilakan untuk menghadap menjunjung duli Raja Muda (atau T. Putra Mahkota), menyusul T. Bendahara kemudian T. Seri Maharaja yang kemudian diikuti masing-masing oleh Pangeran Perbaungan, Raja Denai, Kejeruan Serbajadi, Kejeruan Seri Diraja Senembah dan Tg. Muda. Setelah itu tiba pula giliran para Wazir dimulai oleh Datuk Paduka Maha Menteri, lalu Datuk Paduka Raja, kemudian Datuk Setia Maharaja. Orang besar yang terakhir menghadap ialah Wakil Sultan Batak Timur Dusun. Adapun urutan anak raja-raja dan kaum kerabat menghadap dipimpin oleh Tgk. Penghulu Anak Raja-raja (Bentara Dalam), dimulai oleh putra-putra Sultan yang bukan orang Besar, kemudian para bangsawan lainnya menurut urutan tutur yang tua-tua sampai yang muda-muda. Kemudian upacara ditutup oleh Mufti kerajaan yang membacakan doa (setelah Mufti di- haouskan dieanti oleh Ketua Majelis Sjar'i Kerajaan Serdang).

Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah Serdang bersama T. Suri di atas singgasana dalam Upacara Menjunjung Duli.

103

PNRI Pada hari kedua adalah kesempatan rakyat di daerah-daerah untuk menghadap. Mereka dibawa oleh Datuk-datuk Berlapan (di daerah Melayu) dan para Sibayak dan Perbapaan-perbapaan (untuk daerah-daerah penduduk Karo dan timur/Simalungun) beserta masing-masing penghulunya dan iringan-iringan mereka dibawakan masing-masing Orang Besar daerah-daerah masing- masing. Pertama-tama menghadap ialah Perbaungan (karena Keraton Raja terletak di daerahnya), lalu berturut-turut me- nyusul Lubuk Pakam, Ramunia, Araskabu, Batang Kuis Rantau Panjang, Denai, Serbajadi, Senembah, Tg. Muda, Batak Timur Dusun, dan lain-lain. Bentara Kiri menyambut mereka di tangga "Puri" dan Bentara Kanan (sebagai Paduka Majelis) menyambut di ruangan "Pura". Demikianlah seharusnya istiadat di istana dahulu kala. Warna-warna Pakaian,.Bendera Golongan/Daerah menurut istiadat: Baju: Sampin: Selendang: Jenis: Sultan1) Kuning Kuning Salok Sendang Bertabur Kuning Raja Muda/T.P. Tetampan Ku- ,, ,, Mahkota ning les hitam. Bendahara, Sri idem dasar ku- ,, ,, Maharaja ning. Perbaungan, Denai Hijau Kuning les hitam + hi- Serbajadi jau. Datuk-datuk Wazir idem dasar ku- ,, ,, berempat ning les hitam. Kejeruan Senembah idem dasar hijau ,, ,, Tg. Muda les biru Batak Timur Dusun Merah Hijau idem dasar hijau jambu les kuning.

1) Hanya Raja dalam satu negeri yang boleh memakai semuanya kuning. Swettenham: "Malay Sketches". Pemakaian warna kuning khusus untuk Raja dimulai zaman Sultan Mahmud Syah Malaka. (Sejarah Melayu). Sebelum itu warna Raja adalah Putih.

104

PNRI Baju: Sampin: Selendarig: Jenis: Datuk-datuk Ber- Hijau Hijau Selempang hi- Bertelepok lapan jau mas Penghulu-penghulu Biru Biru tua Telepok (Melayu) tua Perak Panglima Besar Merah Merah Selempang me- Bertabur rah les kuning + hitam Tengku-tengku Hitam Kuning Wan-wan dan Orang Merah Merah Telepok Kaya-kaya jambu jambu mas Panglima-panglima Merah Merah

5.b. ADAT RESAM TATA TERTIB1)

Sebagaimana bangsa-bangsa Asia yang beragama Islam maka pada suku Melayu adat resam tata tertib dalam pergaulan adalah lebih lemah lembut dan sopan santun. Cocoklah asal kata nama "Melayu" yang berarti "Lemah lembut dan merendahkan diri dan tidak mau membesar-besarkan diri jadi datangnya dari kata melayukan diri". Ia hormat-hormat kepada orang tua-tua dan ibu bapanya. Ibu bapaknya di dalam rumah layaknya seperti Raja dan permaisuri yang dihormati dan ditaati sebagaimana mentaati raja dalam suatu negeri. Mereka bukan saja mesti taat setia kepada ibu bapaknya tetapi ditunjukkan dengan amalan yang nyata akan kehormatannya kepada mereka misalnya jika dipanggil atau berada di hadapan mereka. Seorang anak laki-laki yang dipanggil oleh ibu bapaknya hendaklah sebelum ia mendapatkan mereka ia memakai atau kalau sedang mengisap rokok lalu memadamkan apinya,

1) Lihat juga "Adat Resam dan Adat Istiadat Melayu" oleh Syed Alwi Alhadi.

105

PNRI Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah bersama datuk-datuk Ber- lapan dan Para Orang Kay a dan Wan di Istana Serdang. meskipun ia sendiri telah beranak pinak. Kalau duduk mengang- kang atau bersengkelit kaki di atas kaki dan jika duduk di tikar hendaklah ia bersila. Terlebih-lebih hal itu dikehendaki pada anak perempuan. Jika ia duduk di lantai hendaklah bertelimpuh dan tidak berdiri lutut. Jika ada orang yang baru datang pindah atau orang sakit atau ditimpa kemalangan sesama jiran, maka ibu bapak sebagai tuan rumah segera pergi menziarahi jirannya itu dan di mana perlu membantunya. Hendaklah dihindarkan membuat pergaduhan atau tutur kata yang tidak baik di antara sesama jiran. Jika memasuki rumah orang lain hendaklah ia membuka sepatu atau kasutnya dan disenangi jika ia bersongkok serta sebelum masuk mengucapkan "Assalamu'alaikum". Jika datang tamu ke rumahnya sudah diadatkan agar meng- hidangkan secangkir teh atau kopi atau minuman-minuman apa pun atau sekapur sirih tanda menghormati tamu. Jika ia pindah

106

PNRI rumah tinggal di kampung Melayu lainnya hendaklah ia pandai membawakan diri ibarat kata pepatah: — "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". — "Jika masuk kandang kambing hendaklah mengembek". atau kesimpulannya tidaklah "Jual calak" di negeri orang, dan berdiri teguh kepada adat-istiadat seperti kata pepatah: — "Hukum berdiri dengan saksi, — "Adat berdiri dengan tanda".

5.c. PERUMAHAN

Rumah suku Melayu, karena dekat di tepi-tepi pantai dan sungai yang selalu digenangi air, tinggi dan tiang-tiangnya 2 meter di atas tanah. Di halaman rumah orang Melayu di kampung-kam- pung penuh dengan pohon-pohon kelapa dan buah-buahan, meski- pun tidak dipagari bukanlah kepunyaan masyarakat kampung tetapi masing-masing keluarga dan dilindungi sebagai milik pri- badi1). Atap rumah terbuat daripada daun nipah dan rumbia, kadang-kadang ijuk atau daun pohon Serdang dan bentuknya mirip bentuk tanduk tetapi agak ke dapur diibaratkan "Gajah Minum" seperti belalai gajah yang naik ke atas kira-kira seperti tanduk. Dari muka tampak sebagai berikut: (Lihat gambar). Di samping anak tangga muka yang pertama terdapat tempayan atau guci berisi air untuk mencuci kaki sebelum orang naik ke rumah. Anak tangga muka selalu tiga tingkat. Kemudian ada pelataran sedikit dan kembali beberapa anak tangga yang jumlah- nya ganjil sampai ke sebuah pintu di serambi muka. Serambi muka ruangan tempat menerima tamu biasa (dahulu di atas tikar atau hambal). Di situ penuh jendela dan jeijak dengan ukiran-ukiran dan pahatan-pahatan yang baik. Sesudah serambi muka kita masuk ke serambi tengah, lebih tinggi dari serambi muka. Kedua serambi itu kadang-kadang tidak terpisah oleh

1) Cameron: "TROPICAL POSS".

107

PNRI dinding. Di situpun terdapat beberapa jendela. Ruangan itu untuk menyambut orang-orang yang disegani atau tempat makan bersama atau tidur bersama. Pada suatu sudut ruang itu ada anak tangga menuju ke atas yang dinamakan tempat itu "Para", yaitu tempat anak dara berdiam di rumah itu yang letaknya persis di atas serambi tengah seakan-akan sebuah loteng. Dari atas para itu, melalui jerjak-jerjak itulah para anak dara dapat mengintip tetamu-tetamu ataupun apa yang teijadi di luar. Di sebelah se- rambi tengah ada serambi belakang yang lebih rendah sedikit tanpa dinding pemisah dengan serambi lainnya. Serambi itu tempat para wanita menyambut tamu atau menyelesaikan kerja sehari-hari. Di samping kiri serambi itu ada pintu menuju "Selang" dan tangga turun ke bawah. Juga di tanah dekat tangga bawah ada tempat air untuk mencuci kaki. Melalui sebuah pintu kita masuk ke dapur yang lantainya agak jarang-jarang tempat orang memasak, sehingga dari celah- celah lantai itu, segala kotoran dapur dibuangkan dengan senang. Di samping dapur sebelah kanan ada lagi satu "Selang" yang ber- lantai jarang dan tidak beratap dan ada tangga di situ turun ke bawah. Di dekat tangga itu terdapat lagi tempayan berisi air untuk mencuci kaki. Ruangan di bawah rumah (kolong) diguna- kan untuk menyimpan padi dan tambatan hewan-hewan pelihara- an. Sebelum rumah didirikan disuruhlah orang "Meramu Kayu" ke hutan yaitu memilih dan menebang kayu-kayu yang baik untuk dibuat rumah kelak dan selama ia bekeija segalanya ditanggung yang menyuruh. Letak rumah pun disesuaikan dengan tempat nujum yang baik dan jika telah diperdapat lalu ditepungtawari untuk mengusir hantu-hantu dan syetan-syetan. Ketika mendirikan tiang tengah diadakan kenduri dan te- pung tawar serta di atasnya digantungkan setandan pisang emas, sebiji kelapa tumbuh, sebuah kundur, dan ikatan rincisan tepung tawar. Semua benda itu tetap tergantung sampai rumah selesai seluruhnya. Jika seluruh tiang telah berdiri maka di atas tiang

108

PNRI diletakkanlah perca merah, kuning, dan hitam sebagai bungkusan kayu tutup tiang, yang mana berarti tiap-tiap tiang itu telah diberkati sebagai pendukung rumah dengan kekuatan gaib. Setiap rumah mukanya menghadap ke matahari terbit. Setelah rumah siap di empat penjuru rumah ditanam pohon kalinjulang sebagai tangkaf dan tahi besi sebagai pengusir hantu tanah. Jika hendak memakai rumah dilalui beberapa upacara adat. Si pemilik rumah harus naik ke rumah tersebut pada hari yang telah diramalkan sebelum matahari turun. Yang dibawa pindah satu kendi air dan Al-Qur'an, sedang di dalam rumah dekat tiang tengah telah disediakan terlebih dahulu sesumpit beras, setandan pisang emas, tepung tawar dan telur sebuah. Di tangga muka naik ditaburkanlah ramuan penabur oleh bakal si penghuni dan para keluarga handai tolan. Setelah semua duduk ditepungtawarilah penghuni rumah maupun setiap ruangan dan tiang-tiang. Pada hari ketiga beras, pisang dan lain-lain itu disedekahkan.

Model Rumah Melayu

109

PNRI 5.d. TEPUNG TAWAR, BALAI DAN RAMUAN

RAMU AN SIRIH: Bagi orang Melayu sirih dengan alat-alat tambahannya me- rupakan suguhan yang paling utama. Tepak sirih beserta sirih, kacu, pinang yang dibelah-belah, kapur dan tembakau sedikit adalah suguhan yang tetap disorongkan baik menyambut tamu maupun sehari-hari serta di dalam upacara-upacara. Bentuk tepak adalah empat segi dan jika tempatnya bulat dan berkaki dinamai "Puan". Semua alat-alat pengiring daun sirih yang telah dipetik tangkainya ialah seperti di atas tadi dan dimasukkan ke dalam cembol terbuat dari logam. Kebiasaan makan sirih itu mungkin didapat dari pengaruh Hindu, tetapi kegunaan sirih kemungkinan telah ada di zaman Animisme oleh karena sirih selalu diperbuat sebagai "Penangkal" yaitu di kala mengusir hantu yang diletak- kan di persimpangan jalan atau untuk menambah semangat dan keberanian seseorang yang memakannya. Sifat sirih jika dimakan bersama gambir berwarna merah yang melambangkan keberanian, kapur yang putih bersih menyatakan kesucian, gambir (kacu) rasanya kelat melambangkan keuletan, pinang karena pohonnya lurus dan di dalam buahnya (pulurnya) berwarna putih melambangkan hati yang terbuka lurus sedangkan tembakau yang sifatnya memabukkan dapat melambangkan buruk atau baik. Jadi dari situlah diperoleh istilah "Sekapur Sirih". Sekapur Sirih itu bisa dimakan untuk menjadi perangsang, penangkal setan, obat yang disemburkan dan untuk jampi-jampi1).

TEPUNG TAWAR: Tepung Tawar juga adalah salah satu kebiasaan adat yang paling utama di dalam suku Melayu. Dipergunakan hampir di dalam segala upacara baik pada perkawinan, khitanan, "Upah- Upah" (orang yang selamat dari mara bahaya, atau perjalanan), jika orang mendapat sesuatu rezeki, dan sebagai obat dan lain-

1) Tengku Lah Husny dalam penjelasannya.

110

PNRI lain. Di dalam upacara Tepung Tawar tetap ada seperti di bawah ini: (I). Ramuan Penabur: Di atas pahar (dulang tinggi) terletaklah di dalam tempat- tempat kecil terpisah-pisah, beras putih, beras kuning, bertih bunga rampai, dan tepung beras. Beras putih berarti kesuburan, beras kuning = suatu kemaju- an yang baik, bunga rampai = keharuman nama dan tepung beras = kebersihan hati, demikian menurut sementara pen- dapat1).

(II). Ramuan Perincis: Terdiri dari semangkok air, segenggam beras putih dan dicampur dengan sebuah jeruk purut yang diiris-iris. Kawan- nya sebagai perincis ialah satu genggam yang 7 macam ikatan daun-daunan yaitu: 1. Daun Kalinjuhan. 2. Daun Pepulut. 3. Daun ganda rusa. 4. Daun jejerun. 5. Daun Sepenuh. 6. Daun sedingin. 7. Pohon sambau dan akarnya.

(III).Perdupaan: Di dalam sebuah dupa yang terbuat dari bahan logam di- masukkan kemenyan atau setanggi yang dibakar. Pedupaan itu berasal dari Zaman Hindu untuk meminta doa atau me- muja kepada Yang Maha Kuasa supaya yang diminta terkabul hendaknya.

(IV).Cara-cara penepung tawaran: Yang ditepungtawari duduk dan dibentangkan di atas kedua

1) Tengku Lah Husny.

1ll

PNRI pahanya kain dengan menampungkan tangannya. Si pe- nepung tawar mengambil sedikit-sedikit dari alat-alat tepung tawar yaitu beras putih, beras kuning, bertih bunga rampai, dan tepung beras lalu disebarkan kepada yang ditepung- tawari. Kemudian diambillah ikatan ramuan perincis dengan mencercahkan ke air yang bercampur beras putih dan jeruk purut kepada yang ditepungtawari ataupun di atas dua tapak tangan yang ditepungtawari, kemudian barulah diletakkan di tapak tangannya sedikit tepung beras. Jumlah yang menepung tawari tetap ganjil jumlah orangnya biasanya 7 orang dan jika tak ada yang berpangkat, didahulu- kanlah yang tertua dari yang hadir. Setelah ditepungtawari, maka orang yang ditepungtawari itu mengangkat kedua tangannya (menyembah) kecuali jika yang menepung tawari lebih muda atau lebih rendah pangkat atau tuturnya maka si penepung tawarlah yang terlebih dahulu mengangkat sembah. Kemudian sembah harus dibalas oleh yang ditepung- tawari tanda terima kasih atas penghormatannya itu.

BALAI: Balai dinamakan juga "Pulut Balai" yaitu pulut (ketan) yang sudah dimasak. Balai berkaki ampat seperti meja dan tingkat- nya sampai 3 atau 7. Setiap tingkat berisi pulut kuning dan di tingkat yang paling atas diisi dengan meletakkan seekor panggang ayam ataupun kelapa parut yang telah dimasak dengan gula aren ("Inti"). Di atas pulut itu pada setiap tingkat dipacakkanlah "Bunga Telur" beberapa buah yang semuanya berisi telur yang telah direbus. Bunga balai ditanamkan di atas panggang ayam. Bunga Balai itu ataupun dinamakan juga pulut balai tetap di- pergunakan di dalam upacara-upacara penting. la diletakkan di tengah-tengah majelis. Bila selesai upacara, diberikan kepada orang-orang yang menepung tawari, biasanya dinamakan "berkat".

5.e. PERKAWINAN Jikalau di dalam keluarga terdapat sudah seorang anak gadis

112

PNRI tiba-tiba kena siraman air tidak dibenarkan marah menurut adat tetapi boleh membalas dengan menyiram siapa saja yang dijumpai. Sementara itu pengantin pun bertukar pakaian basahan dengan pakaian yang dihiasi dan memasuki kamar pengantin yang juga dihiasi dengan bagus. Keesokan harinya maka kedua mempelai lalu dibawa meng- hadap mertua (orang tua pengantin perempuan) dan famili kerabat yang rapat-rapat dari mempelai perempuan. Pada waktu itu diberi- lah bermacam-macam hadiah cemetuk. Upacara menghadap beraturan menurut tutur dari yang tertua sampai yang usianya muda, kecuali tutur adik dan kemenakan di bawah dari pengantin perempuan.

"LEPAS HALANGAN": Keesokan harinya (atau setelah beberapa hari kemudian) terdapatlah apa yang dinamakan "Halangan" telah lepas. Pada waktu itu diedarkanlah dalam kain putih bersih "tanda" ke- gadisan (perawan) sang istri kepada mertua perempuan dari sang istri dan famili akrab wanita-wanita lainnya sebagai bukti. Setelah lepas dari "Halangan" dengan selamat itu maka datanglah puang- puang dan ibu bapa kedua pengantin menepung tawari kedua pengantin tersebut, cukup dalam kamar saja. Maka oleh pihak pengantin laki-laki (jika selamat segala sesuatunya) diantarkan ke rumah pengantin perempuan satu talam yang berisi makanan-makanan yang belum dimasak yaitu: a. Tiga Buah kelapa yang tidak berlubang (yang menanda- kan bahwa sang istri benar perawan sejati) b. Seekor ikan kering besar (daing) c. Sepiring pulut kuning dengan juadah-juadahnya. Selanjutnya pihak pengantin perempuan mengirimkan pula hidangan-hidangan balasan yang serupa.

"MANDI SELAMAT" (MANDI BERDIMBAR II):

Pada sore hari atau malamnya di Serdang keramaian mandi

129

PNRI berdimbar itu diulangi karena lepas halangan yang dinamai "Mandi Selamat". Di zaman Kerajaan Melaka dahulu juga dinamakan itu "MANDI TOLAK BALA" atau "MANDI DI AIR SELAMAT"'). Acara serupa dengan mandi berdimbar ke-1 dan dihadiri juga oleh segenap ahli famili kedua belah pihak. Selepas itu pengantin laki-laki memberikan lagi "Cemetuk" II kepada pengantin perem- puan. Setelah 7 hari kawin maka pengantin perempuan "me- nanggalkan subangnya" (kerabu yang juga tanda kegadisan). Ada kalanya pada kawin, janda juga subang itu tetap dilekatkan saja dan tidak dimasukkan ke lubang tindik di telinga seperti pada gadis).

MEMINJAM PENGANTIN: Pada hari yang sudah ditentukan maka oleh orang tua pe- ngantin laki-laki dipinjamlah kedua mempelai untuk dirayakan di rumahnya pula. Kedua pengantin itu dijemput oleh anak- anak beru (baik pria maupun wanita) dari pihak laki-laki dan dengan diiringi anak-anak beru (perempuan dan laki-laki) dari pihak pengantin perempuan ke rumah ibu bapa pengantin laki- laki. Rombongan yang datang dan yang mendampingi ganjil jumlahnya. Bila rombongan sampai ke rumah mertua si pengantin perempuan, maka kedua pengantin mencuci kakinya di dalam talam dekat pintu masuk hendak naik ke rumah dan membawa kue-kue untuk mertua. Lalu secara simbolik tuan rumah me- nyerahkan kepada menantunya (pengantin perempuan) asam, garam, beras, lesung, dan lain-lain alat memasak dengan pengertian agar sang pengantin jangan segan-segan datang dan memasak sendiri. Malamnya dengan kelingking berkait kedua mempelai dengan berhias dan berpakaian yang indah-indah dinaikkan ke pelaminan. Dilakukanlah kembali upacara "Bersanding dan tepung tawar" oleh ahli famili dan undangan sebagaimana yang telah diceritakan serupa di atas. Kemudian pengantin dipimpin oleh

1) Skeat: "Malay Magic". 2) Skeat: "Malay Magic".

130

PNRI bidan masuk kamar. Bersiap keduanya dan diadakanlah meng- hadap dan sembah keliling kepada para ibu bapak, puang-puang dan ahli kerabat lainnya sedang sebaliknya kedua pengantin menerima pula hadiah-hadiah (cemetuk) dan nasehat-nasehat dari mereka. Lalu keesokan harinya kedua mempelai mendatangi rumah famili-famili akrab yang pangkat tertua tuturnya dengan diiringi oleh anak-anak beru beberapa orang beserta bidan untuk "Meng- hadap" (paling pertama ialah Raja). Setelah tiga malam kurang lebih (atau menurut lamanya perjanjian) maka kedua mempelai baru itu diantarkan kembali pulang ke rumah orang tua pengantin perempuan dengan diiringi para anak beru sebagaimana. men- jemput dahulu dengan pengantin perempuan menerima dari mertua: pakaian selengkapnya, piring mangkuk. Dengan itu pada umumnya selesailah upacara perkawinan. Di kalangan kaum bangsawan proses upacara bersanding dan meminjam itu kadang- kadang berbulan-bulan diiringi oleh keramaian-keramaian setiap malam. Menurut adat dahulu kala pengantin laki-laki berdiam di rumah mertuanya kira-kira 2 tahun (untuk bangsawan ± 44 hari) sebelum ia membawa istrinya ke rumahnya sendiri1).

5.f. LARI KAWIN

Ada juga kejadian di mana dua orang muda remaja telah hercinta-cintaan dan mengikat janji sehidup-semati tetapi per- kawinan mereka dirasa kemungkinan besar akan ditolak ataupun telah ditolak pinangannya, oleh orang tua si gadis dan diatur sedemikian rupa dengan dua macam cara: a. Si gadis lari ke rumah tuan Kadi dan tidak mau turun jika tidak dinikahkan dengan sang pemuda pujaan hati- nya. b. Putus wali karena mereka berdua melakukan pernikahan di depan tuan Kadi di tempat yang jaraknya dua merhalla

1) Skeat: "Malay Magic".

131

PNRI (± 100 km) dari rumah orang tua si gadis. Di zaman dahulu jika tidak diadakan peminangan terlebih dahulu, lalu si gadis dilarikan saja, maka jika mereka kembali sang suami yang baru dikenakan denda 10 tahil oleh sang mertua. Jika si ayah dari gadis berkeras tidak hendak mengawinkan kedua pasangan itu meskipun si gadis meminta maka teijadilan "Putus Wali" atau "Di-enggankan" maka tuan Kadilah yang menjadi wali. Jika orang kebanyakan melarikan kawin gadis bangsawan per- kawinan dipasah sebab tidak kufu.

5.g. PERKAWINAN JANDA

Seseorang perempuan dikatakan "janda" jika terjadi atas dirinya salah satu sebab yaitu: 1. Karena telah diceraikan oleh suaminya sebab teijadi per- selisihan yang tidak dapat didamaikan di antara kedua suami istri itu. Mulailah ia janda selepas idah (3 bulan 9 hari) sejak ia dijatuhkan talak oleh suaminya. 2. Karena suaminya telah meninggal dunia ("Janda Balu") maka jandalah ia selepas idahnya itu. 3. Karena lamanya minta pasah dari suaminya sebab di- tinggalkan demikian lamanya tanpa memberi nafkah selama 100 hari atau lebih. Sejak ia janda bolehlah ia kawin kembali dengan laki-laki lain atau rujuk kembali dengan bekas suaminya (3 kali kawin cerai dengan suami yang sama sesudah itu jika hendak kawin lagi harus "Cina Buta" yaitu harus kawin dengan orang lain terlebih dahulu).

MEMINANG JANDA: Meminang janda jauh lebih mudah dan ringkas daripada per- aturan meminang anak dara demikian juga upacara perkawinannya. Laki-laki yang mengingininya cukup menyampaikan risikan melalui "Penghulu Telangkai", langsung pada si tuan badan, kecuali jika janda itu masih muda benar usianya, dalam hal itu

132

PNRI dihubungilah terlebih dahulu ibu bapaknya atau walinya. Bila persetujuan telah diterima maka ditetapkanlah segala syarat mengenai uang antaran dan sebagainya serta peralatan-peralatan menurut perkawinan biasa. Mas kawin bagi seorang janda agak kurang besarnya jika dibandingkan dengan mas kawin seorang anak dara. Biasanya upacara tidak begitu besar seperti perkawinan anak dara, cukup dengan jamuan kecil saja dan setelah itu (setelah akad nikah) kedua suami istri itu segera dipersatukan.

PERKAWINAN JANDA BERHIAS: Peraturan "Janda Berhias" dijalankan oleh ibu bapaknya karena sebab-sebab sebagai berikut: 1. Anak mereka, si janda itu masih sangat muda umurnya, 2. Perkawinannya yang semula dahulu sangat singkat masa- nya, 3. Kedua ibu bapak tiada mempunyai anak perempuan yang lain selain janda tersebut, 4. Anaknya yang janda itu terpuji rupawan, 5. Ibu/bapak si janda itu adalah orang yang berada. Peraturan perkawinannya adalah seperti perkawinan anak dara (tetapi mandi berdimbar tidak ada), cuma agak kurang peralatannya.1)

5Jh. KELAHIRAN

Setelah kandungan berusia 7 bulan maka oleh pihak mertua sebelah laki-laki yang didampingi oleh orang tua si istri, diadakan upacara "Menempah Bidan" (kalau upacara itu tidak dilakukan maka bidan itu dinamakan "Bidan Teijun"). Lalu dipilih seorang bidan beranak yang pandai. Dalam hal wanita yang hamil adalah istri raja, maka bidan istana adalah sebanyak 7 orang (melambang- kan 7 semangat kepercayaan) yang diketuai oleh Tok Bidan.

1) "Adat resam dan Adat Istiadat Melayu" oleh Syed Alwi bin Sheikh Al-Hadi.

133

PNRI Zaman dahulu jikalau putra raja yang lahir mati di dalam tangan- nya sewaktu bersalin itu, bidan ada kemungkinan dihukum bunuh. Oleh mertua si hamil disorongkan tepak dan sehelai kain putih 1 yard kepada bidan sebagai tanda agar yang hamil minta diurus- nya selama masa "berdapur". Maka sejak itu wanita yang hamil tadi berada di bawah pengawasannya selama 44 hari dan bidan menyediakan segala jamu obat-obatan, mengurut, membedaki dan lain-lain selama masa berdapur itu. Di zaman sebelum masuknya Islam jika bidan tidak dibayar, menurut adatnya ia boleh membawa anak (bayi) itu dan "di- jajakannya" keliling negeri1). Setelah itu kedua mempelai itu pun ditepungtawari oleh famili yang akrab kedua belah pihak.

MELENGGANG PERUT: Upacara itu adalah sisa-sisa adat masa Hindu bercampur animisme dan shamanisme guna memohonkan kelahiran seorang putra untuk melanjutkan keturunan dan memotong rambut wanita yang hamil itu sedikit. Dalam upacara itu 7 helai kain panjang yang lain-lain warnanya dikembangkan dan wanita yang hamil itu digolekkan di atasnya. Kemudian 2 orang bidan menarik masing-masing sehelai kain itu sampai semuanya habis tertarik. Kemudian diadakan sedikit kenduri. Oleh seorang lebai dibacakanlah doa selamat dan juga bacaan-bacaan atas 2 buah labu air, air mana kemudian dimandi- kan oleh wanita yang hamil tadi. Sering pula suami dan mertua- nya membawanya makan-makan ke laut dan selama masa hamil itu sedapat mungkin keinginannya dipenuhi. Jika teijadi gerhana matahari, maka wanita hamil tadi adatnya mandi gerhana di bawah tangga rumah. Kalau teijadi gempa bumi wanita yang sedang hamil itu menyuruk di bawah dapur.

ANAK LAHIR: Di saat sampai waktunya akan melahirkan, di bawah rumah

1) Skeat: "Malay Magic".

134

PNRI dibakarlah api unggun dan beberapa benda-benda buruk (bekas payung, perca-perca, dan lain-lain) dibakar dan digantung purih mergat dalam rumah konon guna mengusir hantu-hantu jahat. Setelah anak lahir dan selesai dibersihkan dan dikerat pusatnya, bayi lalu "Digunggum" (dibungkus) dan diserahkan kepada handai famili yang mempunyai sifat baik-baik dengan pengharapan si bayi dapat mewarisi kelak sifat-sifat baik dari yang menyambut- nya. Di dalam pangkuan jika anak itu laki-laki lalu diazankan dan jika perempuan lalu di Qamatkan dan mukanya dihadapkan ke arah kiblat. Beigeler-gelerlah berganti-ganti ia diraba oleh orang- orang tua dan ahli kerabat lainnya. Kemudian dibayar "Kekah" jika bayi itu anak laki-laki dan "kurban" jika anak perempuan.

MEMBELAH MULUT: Di atas sebuah talam kecil diletakkan sebuah cincin emas tak bermata, garam, beras, dan madu. Upacara itu berasal dari upacara Hindu di mana "Ghi" diberikan bagi anak yang lahir. Bayi tersebut diletakkan di muka pintu oleh salah seorang anggota keluarga sebagai "penyambut" supaya ia kelak menjadi orang baik-baik. Salah seorang famili yang tua mengambil cincin emas tadi dicecahkannyalah garam, beras, dan gula (madu) sedikit ke bibir bayi dengan pengharapan supaya segala tutur sapanya manis bak madu dan bibirnya mulia bagai emas dipandang orang. Kemudian salah seorang anggota keluarga meletakkan bayi di atas sebuah pahar yang berisi uang dan beras di dalamnya. Pahar dengan isi-isinya kemudian diserahkan sebagai sedekah kepada bidan. Kira-kira sampai 44 hari diadakanlah beijaga-jaga oleh orang ramai keluarga dan sahabat-sahabat si suami pada malam hari, konon menjaga si ibu dan si bayi agar jangan di- ganggu hantu pelesit. Uri si bayi disimpan dalam periuk tanah bercampur asam limau purut, cekur, kunyit, halia, bawang putih, bawang merah, dan merica. Bahan-bahan itu merupakan obat- obatan untuk uri (saudara si bayi) yang juga obat-obatan si bayi. Kalau uri anak perempuan dimasukkan bekas sulaman tua dan jarum dengan maksud semoga si bayi kelak menjadi gadis yang tahu menjahit. Uri itu kemudian ditutup dengan kain 7 atau 3

135

PNRI warna dan lalu ditanamkan oleh bidan. Oleh bidan diuruslah kepentingan si ibu dan si bayi selama dalam berdapur (belum habis nifas) dan diberilah si ibu obat jamu pagi dan sore dan disuruh "Bergang-gang" (diasapi dengan setanggi). Setiap hari ia dipilis (disapukan obat ramuan di kening dan sendi-sendi), dibedaki agar ia awet muda. Pada si ibu diberi makanan: Sekol, nasi lada dengan pindang atau ikan bakar, atau ikan daing. Dipantangkan memakan telur kecuali ketika bayi mula-mula lahir si ibu diberi makan telur sebuah, tidak boleh berminyak dan yang basah-basah. Minuman selain jamu ialah air teh atau air nira. Kira-kira seminggu biasanya lepaslah tali pusat si bayi dan sering pula ia dijuluki nama Kecil1) yang kadang-kadang lekat sampai tuanya. Setelah hari yang ke 40 diadakan sedikit kenduri kue apam sebagai isyarat si ibu setelah "Lepas Berdapur".

UPACARA "TURUN KE SUNGAI/KE TANAH": Upacara ini juga adalah peninggalan dari Hindu. Bagi se- orang anak kasta Hindu Brahmana, ia diperkenalkan untuk me- lihat matahari, sebelum diayun pertama kalinya, dan diperkenal- kan dengan "Ibu" tanah dan "Bapak" air. Juga upacara men- cukur rambut adalah sama halnya. Pada hari ke-44 maka diadakanlah upacara "turun tanah" atau "Turun ke sungai" atau "mencukur rambut"2). Ia dicukur, dimandikan, dicecahkan kakinya ke tanah untuk pertama kali- nya dan diayun. Diletakkanlah ia di atas dulang. Di Serdang di kalangan Bangsawan si bayi diletakkan di atas pelaminan, di- sediakan sebuah kelapa muda yang diukir-ukir untuk tempat rambutnya kelak dan dihiasi pula dengan emas-emasan, kain putih, gunting, benang, dian, alat-alat tepung tawar lengkap. Semua alat tersebut diletakkan di halaman rumah atau di tepi sungai yang tempatnya khusus telah disediakan dengan gaba- gaba dan bunga-bungaan. Maka berganti-ganti ahli famili yang

1) Nama timang-timangan. 2) Juga dinamakan "Balik Juru" (Selangor).

136

PNRI terdekat dari kedua belah pihak orang tuanya menepung tawari sambil menggunting sedikit rambut si bayi yang ditaruh dalam kelapa muda (kelongkong) tersebut. Rambut-rambut itu beserta kelapa muda tadi ditanam di tempat yang tertentu agar tumbuh dengan subur1). Setelah upacara "Mencukur Rambut" si bayi selesai maka ia dimandikan di dalam tempat yang telah dihiasi dan kakinya pun dicecahkan ke tanah. Lalu selesai dibawa pulang dengan taburan beras putih, beras kuning, dan bertih. Maka di- serukanlah bahwa segala sesuatu "selamat"

UPACARA "BERAYUN": Setelah selesai upacara "Turun ke tanah" dan "Mencukur Rambut" maka diadakan upacara "Berayun". Si anak ditempatkan di dalam buaian yang dihiasi dengan baik dan sambil diayun lalu dilagukan "Marhaban" dan dibaca "Berzanzi". Upacara bercukur dan turun ke tanah di atas dilakukan ketika matahari naik. Setelah semua selesai diadakan jamuan kenduri dan dibacakanlah doa minta keselamatan dan kebahagiannya, di masa depan. Biasanya pada hari itu ditetapkanlah nama resmi si bayi, setelah ditanyakan terlebih dahulu kepada para ulama nama yang mana yang serasi untuk dirinya.

5.i. ADAT KEBIASAAN LAINNYA

UPACARA BERKHATAM QUR'AN: Biasanya setelah mencapai umur 15 tahun anak-anak Melayu di Serdang sebelum berkhitan (Sunat Rasul) terlebih dahulu bagi anak laki-laki itu harus pandai dan telah selesai khatam membaca Qur'an. Dibuatlah upacara di depan orang ramai dan didudukkan- lah ia di atas tilam dan dengan berpakaian Arab lalu ditepung-

1) Jika ada orang pergi naik Haji ice Mekkah, kadang-kadang diminta ia agar mem- bawa guntingan-guntingan rambut si anak untuk dimasukkan di telaga Zam-zam dan kepada orang itu diberikanlah sejumlah uang. Pembayaran untuk anak laki- laki dinamakan "Kekah" dan untuk anak perempuan dinamakan "Korban".

137

PNRI tawari dan membaca Qur'an. Jika 2 orang atau lebih anak-anak itu yang berkhatam maka lazimnya dibaca surah-surah itu dengan bergiliran, yaitu sehabis satu orang berganti yang lainnya membaca surah berikutnya. Sangat terpuji jika ia dapat mengaji Qur'an itu dengan suara yang kuat, fasih, dan berlagu. Selesai mengaji didudukkanlah ia di atas pelaminan maka ditepungtawarilah dan balai warna putih dengan bunga telur yang telah diperbuat khusus untuk itu dibagikanlah kepada yang menepung tawari setangkai seorang. Bagi guru yang mengajar anak itu, didampingi oleh ibu bapaknya, dihadiahkan selengkap satu persalinan pakaian serta balainya dan kemudian pada penutup upacara ia pun mencium tangan gurunya dan bersalam-salaman dengan hadirin lalu di- edarkanlah jamuan diakhiri dengan doa selamat. Jika hendak menyerahkan anak untuk mengaji Qur'an pada seorang guru diserahkanlah anak itu di bawah pengawasan guru dengan syarat membawa rotan sebilah (untuk memukul bila si 1 anak nakal), kain putih sebanyak 2 /2 yard dan sebuah Qur'an.

BELAJAR BERSILAT: Kira-kira berumur 10 tahun maka anak laki-laki itu diserah- 1 kan kepada seorang guru silat bersama-sama dengan 2 /2 yard kain putih, sebilah pisau atau sepucuk jarum, semangkuk berisi limau purut atau jeruk nipis. Pada akhir pelajarannya kelak ada juga upacara khatam silat yang dinamakan "Mendapat Keputusan" biasanya ditambah dengan mantera-mantera atau ilmu batin. Pada hari itu di hadapan khalayak ia bersama guru atau sida (pembantu) bersilat yang biasanya dikeluarkan tidak yang bahaya-bahaya.

BERTINDIK TELINGA: Pada waktu berumur 5—10 tahun seorang anak perempuan ditindiklah cuping telinganya. Upacara itu pun dengan kenduri adat juga. Tukang tindik cuma menebuk kedua cuping telinga si anak perempuan itu dengan sejenis duri. Lalu dimasukk'anlah benang di lubang cuping telinga itu dan segera diobati dengan kunyit yang telah dimasak dengan minyak (kemudian ditaruh minyak kayu putih sebagai pemantannya). Setelah kering barulah 138

PNRI dimasukkan kerabu cincin emas yang dinamakan "Sunting".

5.j. BERKHITAN

Sesuai dengan adat Melayu bersendi Syarak oleh karena se- tiap orang Melayu haruslah beragama Islam, maka dikhitankan jika seorang anak perempuan telah berumur kira-kira 1 tahun, atau anak laki-laki bila telah berumur kurang lebih 10 tahun. Dahulu di Serdang agak lama yaitu kira-kira berumur 16 tahun baru di- lakukan upacara berkhitan atau "Buang Malu", menurut John Anderson dalam bukunya "Mission to the Eastcoast of Sumatera" dalam tahun 1823. Upacara itu penting di dalam keluarga Malayu yang biasanya dilakukan di bulan Sya'ban, Syawal, atau bulan Haji. Pertama-tama dibuatlah "Jamu Sukut" (memanggil sanak famili terdekat dan anak-anak beru) untuk menentukan hari ber- khitan dan tugas-tugas peralatan lainnya. Ditempah seorang "MU- DIM" (pawang tukang menyunatkan yang ahli) untuk pekeijaan itu. Cara-cara menempah mudim itu hampir kira-kira sama dengan menempah bidan yaitu dengan upacara sedikit dan dilafaskan. Khitan biasanya dilakukan pada pagi hari. Dipanggillah pada suatu malam seluruh kerabat handai tolan dan dinaikkan si anak ke atas pelaminan dengan pakaian yang bagus-bagus. Lalu diadakan upacara tepung tawar oleh sanak famili. Setelah itu diadakan upacara "Mandi Berdimbar". Keeso- kan harinya si anakpun diarak sekeliling kampung biasanya dengan didahului oleh sepasukan pemukul rebana dan pencak silat. Ke- mudian sesampai di rumah dinaikkan ke atas pelaminan dan di- tepungtawari lagi lengkap dengan nasi balai dan bunga telur. Sebelum berkhitan dimulai di kampung-kampung dahulu si anak laki-laki disuruh dulu berendam beberapa jam dalam air dan di- suruh meminum rendaman air rambut ibunya. Lalu ia didudukkan di atas batang pisang yang dibawahnya ada terdapat abu dapur untuk menampung darah. Agar jangan orang jadi panik mendengar jeritannya waktu disunat dipukullah gendang kuat-kuat sehingga jeritan si anak tidak terdengar.

139

PNRI Pada ketika pisau dipotongkan disuruhlah dahulu si anak mengucapkan doa Dua Kalimah Syahadat. Mudim segera memberi obat bersamaan dengan doa pemantan darah dan obatnya biasanya sarang labah-labah yang ditumbuk halus. Jika sianak adalah anak Sultan, maka di kiri kanan mudim berdiri dua orang panglima dengan pedang dan tombak bercabut yang konon adatnya jika si Mudim salah potong maka ia dibunuh seketika itu. Kalau si anak takut diberilah sekapur sirih untuk dimakannya guna penenang diri dan membangkitkan keberanian. Selesai berkhitan si anak di- angkat ke tempat tidur yang dihiasi dengan diberi "Berkelambu Rusa", yang hanya menutupi kaki sampai pusat saja. Ia kemudian diberi makan bertih, pisang emas, dan telur rebus. Guna penghibur hati baik sebelumnya maupun setelah berkhitan dilakukan, kepada si anak diberikan oleh para ahli famili dan tamu-tamu uang, dan hadiah-hadiah lainnya. Selama luka belum sembuh ia tidak dibenarkan memakan makanan yang pedas-pedas dan ikan atau hasil-hasil laut yang gatal-gatal seperti udang dan sebagainya, dan makanannya umum- nya pindang serta sembam ikan saja.

5.k. K E M A T IA N

Jika didapat berita bahwa salah seorang anggota masyarakat Melayu meninggal dunia maka adalah menjadi tugas sosial anggota- anggota masyarakatnya menziarahi keluarga yang mendapat ke- malangan itu. Pada waktu berkunjung itu dibawalah sedikit "Per- tukaman" (uang bantuan atau sedekah) untuk meringankan beban keluarga yang ditimpa kemalangan. Adalah diadatkan bahwa banyaklah kaum keluarga yang menangis dan meratap-ratap ter- utama kaum wanita yang menyebut kerinduan dan kebaikan serta kesayangan kepada si mati. Jika yang mangkat adalah seorang raja atau orang Besar maka dibuatlah upacara sebagai berikut : — Wanita-wanita bekerbang rambut (rambut terurai lepas) — Semua yang laki-laki memakai ikat kepala yang berwarna putih atau secarik kain putih

140

PNRI — Rombongan-rombongan yang meratap (biasanya yang mem- punyai keahlian sambil bersyair meratap memuji-muji dan mengeluarkan kata-kata hiba terhadap si mati) — Badan-badan dari si mayat dan sendi-sendinya diminyaki — Mayat dinaikkan ke atas "Kelemba" (tempat tidur khusus upacara untuk orang mati) yang dihiasi. — Semua badan dan muka ditutupi dengan kain bertabur dan diletakkan sebilah keris (atau benda-benda dari besi) di atas perut si mayat gunanya agar supaya yang camar-camar yaitu najis-najis yang ketinggalan dapat keluar lekas). — Mayat pantang ditinggalkan sendiri. Berganti-gantilah orang membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an dan semerbaklah bau kapur barus, air mawar, dan asap setanggi. — Sementara itu dikerjakanlah beramai-ramai membuat keranda dan "Rahap" yaitu penghias di atas keranda.

MEMANDIKAN MAYAT :

Untuk keperluan memandikan mayat digunakan kain putih, sugi-sugi air limau, sabun, kapas, daun bedara, sikat, bedak, minyak atar, kapur barus, cendana. Semua alat itu dimasukkan ke dalam dua mangkuk limau dan empat piring dan satu talam dan satu sangai serta dua buah labu. Mayat dimandikan menurut ajaran Islam. Memangku mayat sebaiknya menantu atau kerabat akrab, gunanya supaya rahasia yang kurang baik jangan tersiar. Setelah mayat selesai dimandikan (jika raja biasanya baru dimandikan se- telah lebih dari dua hari) maka diberikanlah "Sedekah memandi- kan mayat" yaitu : 1 a) Kain putih 2 /2 yard + (baju dan kain) kepada yang memang- ku si mayat. 1 b) Kain putih 2 /2 yard kepada "Penyandar" (di mana si pemang- ku mayat menyandarkan dirinya pada waktu memandikan mayat). c) Semua alat mangkok limau seperangkat + sebentuk cincin + 1 kain putih 2 /2 yard dihadiahkan kepada "Peruang" yaitu bilal

141

PNRI yang mencuci anggota-anggota tubuh si may at (jika telah selesai 7 hari baru diserahkan berisi serabai).

MENGKAFANI MAY AT :

Jika mayat telah dimandikan lalu dikafani dengan kain putih, diberi kapas dan kayu gaharu atau cendana serta kapur barus dan wangi-wangian lainnya, kemudian dimasukkanlah ke dalam keranda. Maka untuk penghabisan kalinya semua keluarga, ahli waris, kerabat, handai tolan melihat si mayat. Setelah itu mayat lalu disembahyangkan (sebaiknya lebih dari 40 orang). Jika Raja mangkat, maka setelah siap itu, keranda almarhum dinaikkanlah dengan mayatnya ke atas "Kelemba" agar dimulai upacara men- junjung duli yang terakhir sebelum upacara penabalan Raja yang baru dapat dimulai, karena penabalan dilakukan di depan mayat raja yang telah mangkat, sesuai dengan adat Melayu "Raja mang- kat, Raja menanam".

RAHAP :

Untuk Raja dan para bangsawan serta Orang-orang Besar yang mangkat di Serdang, diadakan juga "Rahap" yaitu sungkup (tutup) di mana di dalam diletakkan keranda. Rahap tadi diberi hiasan dan tingkatan-tingkatan sesuai menurut hak tingkatan yang meninggal. Ada 2 macam jenis rahap di Serdang, yaitu dinamakan : - "Rahap Raja Diraja", adalah khas untuk raja yang mangkat (8 tingkat). - "Rahap Raja Dipaksi", untuk Raja Muda/Putra Mahkota (4 tingkat) dan anak bangsawan (2 tingkat). Di atas bubungan rahap di sebelah tengah tampak "selembayung" (lihat gam- bar). Semua tingkat rahap harus genap (dukacita). Di luar istana dikibarkanlah "Tonggol" (semacam panji-panji tetapi 4 persegi kecil dan berwarna hitam).

142

PNRI WARNA-WARNA ISTIADAT PADA RAHAP :

Jika yang meninggal dunia : SULTAN, warna rahap semuanya kuning, juga payung-payungnya. PUTRA-PUTRA SULTAN dan TENGKU-TENGKU yang bergelar (Raja Muda/T. Putra Mahkota/T. Bendahara) wama rahapnya dasar kuning dengan les hitam. TENGKU-TENGKU LAINNYA warna rahap dasar putih dengan renda kuning. ENCIK-ENCIK istri Tengku, warna rahap semuanya putih. DATUK-DATUK WAZIR BEREMPAT, warna rahap dasar putih dan renda-renda di payung hijau dan di puncak payungnya ber- warna kuning. PANGERAN PERBAUNGAN, RAJA DENAI, SRI MAHARAJA, warna rahap dasar kuning, les hitam, dan hijau. KEJERUAN SENEMBAH, dasar putih dengan rena biru. KEJERUAN SERBAJADI, dasar putih dengan renda biru dan ku- ning. DATUK-DATUK BERLAPAN, warna dasar putih dengan renda hijau.

SELEMBAYUNG: Selembayung adalah tanda jenis kelamin orang yang mening- gal dunia terletak di atas bubungan (rabung) dari rahap. Selem- bayung tanda laki-laki berbukit di tengah-tengah dan tanda pe- rempuan melekuk di tengah. Semua selembayung, termasuk Encik-encik istri Tengku-tengku, berwarna kuning (lihat gambar bawah).

PAYUNG PADA TINGKATAN RAHAP : Jika Raja, setiap tingkat rahap terdapat 9 buah payung yang kadang-kadang bertingkat 3 pula di berbagai penjuru. Payung yang bertingkat itu makin ke atas makin kecil. Di atas usungan rahap berdiri pembawa payung kebesaran turun temurun (pihak Datuk Paduka Maha Menteri), beserta pejawat-pejawat dan dayang-da- 143

PNRI yang penabur bunga rampai, tilam-tilam yang akan disedekahkan dan lain-lain. Usungan seperti di atas terdiri dari kayu nibung dan ditandu oleh beratus orang dari setiap daerah berganti-gantian. Pada ketika mangkatnya raja semua wanita berkerbang rambut, berpakaian, dan berkerudung putih. Laki-laki berpakaian putih dan melilit- kan secarik kain putih di kepala.

Usungan Rahab Raja di Raja

Setelah selesai segala sesuatunya, maka mayatpun disembah- yangkanlah. Kemudian setelah mengucapkan Al-Fatihah 3 kali tiap-tiap disebut sekali pemikul keranda maju selangkah ke muka dan setelah tiga kali baru bawa terus menuju pemakaman. Pada raja yang mangkat selesai' upacara penobatan atas perintah raja yang baru ditabalkan barulah mayat dapat diberangkatkan. Beserta mayat ada pula pengantar membawa air satu labu untuk disiram- kan ke atas makam, payung sebuah, tikar untuk tempat duduk orang membaca Talqin, bunga rampai setalam untuk ditebarkan di sepanjang jalan dan di atas makam, uang kecil yang dibungkus untuk disedekahkan kepada orang yang mengantar, tilam-tilam dan bantal baru untuk disedekahkan kepada ulama yang mem-

144

PNRI baca Talqin, demikian juga sebuah tepak (Tepak Penalkin) lengkap berisi uang di dalamnya (orang-orang kebanyakan F. 2,50; Raja Muda dan Tengku-tengku F. 8,— dan Sultan F. 16). Sebelum da- tangnya agama Islam ke daerah Melayu, juga dimasukkan ke dalam kuburan bersama-sama mayat "Beras seperiuk, asam, garam" dan model senjata terbuat daripada kayu (jika yang mati adalah laki- laki).1) Semua barang-barang tikar, labu, dan sebagainya itu disede- kahkan kepada bilal, lalu 3 malam berturut-turut di rumah yang mendapat kemalangan dibacakan tahlil dan kenduri pada hari yang ketiga, dan kepada undangan diberikan pula berkat berisi pulut yang dinamakan "Kembam". Ada juga kenduri dilakukan pada hari yang ketujuh, atau yang ke 40, dan yang keseratus hari matinya. Wanita yang mati karena melahirkan anak, kuburan anak yang mati lahir itu dijaga oleh keluarganya karena takut digali oleh orang yang jahat untuk mengambil sesuatu keperluan ilmu klenik dari mayat sibayi dan si ibu yang mati itu ditakuti pula sebagai puntianak (langsuwir), yang dalam tempat dan waktu- waktu tertentu suka mengganggu terutama kaum laki-laki. Pada kenduri menujuh hari maka dibuatlah kenduri serabai. Juga serabai dimasukkan ke dalam mangkok untuk pak Bilal me- nurut jumlah harinya dan demikian juga kepada ahli famili lain- nya. Batu Qulhuallah dibacakan pada kenduri 3 hari tiap-tiap satu Qulhuallah 1 batu, batu putih itu diserakkan nanti di atas kuburan si mayat.

MELETAKKAN BATU NISAN :

Setelah genap 40 hari orang itu meninggal dunia diletakkan- lah batu-batu gunung yang dinamakan batu nisan. Batu nisan itu jika laki-laki berbentuk bulat dan jika perempuan berbentuk pipih dan diletakkan sebuah di bagian kepala dan sebuah di bagian kaki. Sebelum meletakkan batu nisan itu diadakan sedikit upacara. Di-

1) Skeat: "MALAY MAGIC".

145

PNRI sediakan "Palemba" yang dihiasi, batu nisan itu dilimau di atas palemba itu dengan dibungkus dengan kain putih dan ditutupi dengan kain bertabur. Di dalam 1 malam batu nisan itu di atas palemba (ibarat mayat layaknya) diadakanlah kenduri dan ke- esokan harinya diturunkanlah dengan dipayungi dan digendonglah oleh salah seorang famili akrab lalu kemudian batu nisan itu di- tepungtawari. Kemudian dibawalah ke kuburan dan dipancakkan- lah secara khidmat.

5.1. BERCOCOK TAN AM

Apabila sampai musim di mana terlihat bintang "Sandaran Lemang" maka orang-orang Melayu mulai menanam padi turun ke ladang. Sebelum datang perahu-perahu suku Jawa, Banjar, dan lain-lain orang Melayu di daerah pantai Serdang khususnya dan di pantai Sumatra Timur umumnya menanam padi dengan cara la- dang bukan sawah. Setelah sebidang tanah (hutan) dekat kam- pungnya ditebang, lalu tanah dibakar. Kemudian tanah tersebut ditugal dengan memakai kayu yang diruncingi agar di dalam lo- bang tugalan itu dimasukkan padi bibit. Kemudian dilakukan pekerjaan merumput dan menyisip. Menyisip ialah padi yang besar rumpunnya dibelah dan dipindahkan ke tempat yang kosong. Sebelum padi dipotong, sedang saat-saat padi bunting diada- kanlah upacara "menjamu padi" dengan menepung tawari dan di- buatlah makanan rujak dan bubur merah putih yang lalu ditabur- kan di sekeliling padi-padi itu sebagai sajian-sajiannya. Jika padi kurang subur dibuat tangkal yaitu dicacakkan daun pinang di atas sebuah kayu di antara padi-padi tersebut. Sewaktu padi masih muda beberapa di antaranya diketam dengan ani-ani untuk dibuat emping. Suasana mengetam untuk membuat emping itu adalah suasana yang meriah di kampung- kampung dan dilakukan oleh anak-anak gadis. Kemudian padi-padi muda itu ditumbuk oleh 6 orang anak gadis yang masing-masing memegang 2 buah antan (alu) dan menumbuknya dengan ber- tingkah sambil menyanyi dengan pantun-pantun sindiran yang di-

146

PNRI balas pula oleh pemuda-pemuda jejaka yang datang ke situ. Masa itulah masa pemuda-pemudi mencari jodoh. Ketika tiba masa mengetam padi disediakanlah sebuah rumah sederhana tempat mengirik padi yang dinamakan "Penganjaian". Lantai rumah ter- sebut jarang-jarang dan terdiri atas kayu banitan, sejenis kayu yang sifatnya seakan-akan per tetapi tidak mudah patah jika diinjak. Yang mengirik padi adalah pemuda. Mengetam dan mengirik di- kampung-kampung Melayu dilakukan secara bergotong royong yang dinamakan "Menyeraya". Orang-orang yang mengangkat gemalan dari tempat padi, yang dinamakan "Berandang", ke pe- nganjaian ialah laki-laki yang tua. Dari bawah penganjaian itu, oleh karena berada di tempat yang lapang, maka padi-padi yang hampa dapatlah bebas dihembus angin sehingga padi yang bersih tinggal tersisa. Padi yang bersih itu lalu disukat dan dimasukkan ke dalam "Kepok" (lumbung padi).

5.m. MENANGKAP KAN LAUT

Adalah merupakan pantangan bagi nelayan-nelayan Melayu di daerah Serdang jika menaiki sampan memakai alas kaki seperti sepatu, terompah, selop dan lain-lain. Jenis-jenis cara mengambil ikan oleh nelayan-nelayan Melayu an- tara lain :

1) B E L A D :

Untuk ke belad cukup nelayan memakai sampan kecil ber- muatan 2 orang. Belad tempatnya tidak sampai 1 mil jauhnya dari pantai. Belad adalah terbuat dari bambu yang berjerjak- jerjak, dinamakan "Bilah", yang dijalin-jalin dan panjangnya kadang-kadang sampai berpuluh meter. Jerjak-jerjak yang pertama adalah jarang yang disebut "Jajar". Ia seakan-akan merupakan pintu dari belad. Makin lama makin kecil, sampailah ke bagian belad yang rapat terkurung dengan sebuah pintu besar tempat masuk ikan dan sebuah lain pintu tertutup yang dinamakan "Pintu Pembunuh". Jika air surut barulah ikan-ikan yang masuk ke dalam belad itu ditangguk. 147

PNRI 2) A M B A I Letak ambai kira-kira tiga mil dari pantai. Dipasanglah 4 buah kayu nibung empat penjuru dan kayu itu diruncingkan untuk dipergunakan sebagai tiang dan ditariklah ke laut dengan sampan. Sesampai di tempat yang dituju di tengah laut, seperti yang ditunjuk oleh pawang laut, lalu dicucukkan dan ditanamlah kayu itu empat penjuru ke dasar laut. Pawang lalu terjun ke dasar laut dan mengikat satu batang dengan batang yang lain dengan sejenis rotan benang. Di atas batang-batang kayu tadi didirikanlah sebuah pondok. Setengah jam kira-kira sebelum air laut pasang, dipasanglah jaring ambal yang berbentuk seperti kaus kaki yang dinama- kan "Keroncong" dan lalu ditenggelamkan ke dasar laut. Jika dirasa telah cukup banyak ikan yang masuk, maka oleh nak- hoda sampan ambai lalu diangkat dan ikan-ikan dimasukkan ke dalam sampan.

3) J E R M A L : Pada jermal tiang-tiang kayu nibung yang ditanam ke dasar laut lebih banyak dari ambai. Tempat jermal diperbuat lebih jauh ke tengah laut daripada ambai yaitu kira-kira 4 mil dari pantai. Di atas tiang-tiang dibangunlah sebuah rumah yang lebih besar daripada di atas ambai dan di dalam rumah ter- sebut tinggallah sekeluarga yang empunya jermal. Jaring jermal berbentuk seperti tikar terbuat dari rotan getah yang dijalin dan bertali diikat di empat pernjuru. Jika ikan dirasa telah banyak maka jaring ditarik ke atas pada ketika air laut mulai pasang.

4) B U B U : Berbentuk seperti kandang yang besarnya 1x3 meter terbuat dari buluh tebal yang diracip dan dijalin. Mempunyai sebuah pintu masuk untuk ikan tetapi arah ke dalam pintu masuk ada buluh-buluh tajam sehingga ikan tidak berani keluar lagi. 148

PNRI Di dalam bubu ditaruhlah umpan untuk ikan yaitu kelapa busuk dan lain-lain. Bubu ditenggelamkan ke dasar laut dengan diberati batu-batu. Dekat pintu bubu ada tali yang diikat sampai ke atas permukaan laut. Ujung tali ditandai dengan ikatan bambu atau daun kelapa. Meletakkan bubu ialah pada malam hari oleh pawang laut dan ia berpedoman pada bintang "Pari" tanda-tanda di daratan, arus dan dari mana arah angin. Meskipun udara dan cuaca gelap gulita pa- wang tetap dapat menemukan bubu seseorang. Demikianlah keahlian pawang-pawang Melayu. Tempat bubu diperbuat ialah di sekitar dalam laut 12 meter lebih.

PUKAT TANGKUL : Tempatnya di tengah-tengah lautan yang dalam laut kira-kira 12 depa lebih. Pukat terbuat dari benang panjang dan mem- punyai keroncong (uncang tempat ikan seperti kaus kaki). Pertama-tama dibuatlah "Tuasan", yaitu tempat di mana ikan bermain-main. Tuasan itu diisi pasir segoni dengan diberi tali lalu ditenggelamkan. Tali itu, sebelum sampai ke permukaan air laut, diikatkan daun-daun kelapa. Lalu datanglah sampan besar dengan menggandeng sebuah sampan kecil yang di- namakan "Dopi". Dopi itu dikemudikan oleh juragan sendiri lalu mendatangi tuasan tadi sambil juga membawa daun-daun kelapa. Juragan lalu memain-mainkan daun kelapa tadi untuk menarik perhatian ikan-ikan yang sedang bermain-main di tuasan, supaya mau mengikuti daun yang dipegangnya. Jika itu berhasil maka ia mengisyaratkan kepada awak-awak yang berada di sampan besar agar melingkungi tempat yang dituju- nya itu dengan jaring-jaring pukat. Setelah juragan berhasil memancing ikan-ikan itu dengan daun masuk jaring pukat, pukat pun ditarik dan ikan-ikan dimasukkan ke dalam keron- cong.

149

PNRI 5.n. UPACARA MENJAMU SAWAH

Kira-kira di awal bulan Juli, pada waktu para petani akan me- nanam padi di sawah, oleh para petani diadakanlah upacara "Men- jamu Sawah". Pertama-tama dimintalah kepada "Pawang Bendang" untuk memimpin upacara dan menentukan bila hari yang baik upacara dimulai. Pada hari yang ditentukan oleh pawang berkum- pullah di suatu tempat orang-orang yang hendak ke sawah itu. Setiap petani membawa masing-masing : — perangkatan tepung tawar lengkap — bibit padi satu sumpit — bertih satu pinggan — pulut kuning satu pinggan — pisang sesisir.

Selain itu secara bergotong royong dibelilah bersama-sama seekor kerbau ataupun kambing untuk kelak disembelih bersama- sama, di tempat itu. Pawang bendang sendiri ada pula membawa bahan-bahan ramuannya berupa : 1 tempayan air-buah kundur-umbut pisang, abu telor-telor masak dan telor-telor mentah, seperangkat tepung tawar lengkap, dan se- buah limas. Setelah pawang duduk di belakang alat-alat yang di- bawanya tadi, maka petani masing-masing yang datang meletakkan di sekeliling pawang barang-barang yang dibawanya seperti ter- cantum di atas. Pawang lalu mengambil sedikit-sedikit saja sebagai syarat masing-masing bawaan dari setiap petani tadi dan dimasuk- kannya ke dalam limasnya. Air tempayan dimanteranya dan se- telah selesai dengan mantera-mantera yang dibacanya lalu setiap benih dan semua orang ditepungtawarinya dan disebarkannya. Kemudian masing-masing mengambil benda-benda yang dibawanya tadi kembali, sedang pawang sendiri membawa benda-benda yang di dalam limas ke suatu tempat (yang dirasanya ada kuat "pe- nunggu"nya berupa hantu-hantu jembalang tanah), lalu membakar kemenyan dan membacakan mantera-manteranya. Kemudian baru- lah benih diturunkan ke sawah, yaitu benih-benih yang sudah di- tepungtawari dan dimanterai pawang tadi. Jika berjumpa dengan

150

PNRI binatang-binatang di sekitar sawah itu (kecuali binatang-binatang yang akan dijadikan kurban) tidak boleh dibunuh pada waktu itu. Lalu kemudian kerbau atau kambing-kambing yang dibawa untuk kurban dipotonglah dan darahnya disemakkan ke segenap penjuru tali air. Daging binatang-binatang yang dipotong tadi lalu dimasak dan dimakan bersama-sama oleh yang hadir di tempat itu, tidak boleh ada yang dibawa pulang, atau pergi meninggalkan tempat itu. Kecuali daripada itu ialah kepala kerbau yang akan di- persembahkan kepada Raja, jika kebetulan beliau tidak hadir, tetapi jika hadir kepala kerbaupun harus dimasak di tempat itu. Selain daripada kepala kerbau juga dipersembahkan oleh para penghulu kepada raja yaitu lemang. Mungkin dari persembahan lemang itulah datang istilah "bintang sandaran" (?). Juga pada waktu tiba saat memotong padi, pawang menentukan kapan waktu-waktu harus memotong padi supaya jangan lewat masa "buka bendang" yaitu masa di mana pawang tidak lagi ber- tanggung jawab jika padi-padi diserbu oleh tikus dan lain-lain.

5.o. UPACARA MENJAMU LAUT

Adapun upacara "Jamu Laut" di kalangan suku bangsa Melayu baik di Sumatra ini maupun yang ada di , sudah ada sejak masa sebelum agama Islam dianut oleh suku Melayu di sekitar abad ke-13 Masehi. Upacara ini juga dikenal di Seantero daerah-daerah Nusantara kita di mana berdiam suku-sukii Melayu di pesisir pantai-pantai. Upacara itu erat asalnya dengan kepercaya- an animisme yang dibawa nenek moyang kita dalam perpindahan- nya dari Asia Belakang dan Indo-Cina beratus-ratus tahun yang silam. Upacara itu dipimpin oleh "Pawang" (atau dalam bahasa asing sering disebut dengan istilah "Medicine-Man") yang tugas untuk "menjemput semangat" (atau "Mana") dan sebagai pe- rantara dalam persembahan-persembahan terhadap "dewa laut".1)

1) Hal ini dapat juga dibaca dalam literatuur-literatuur asing hasil riset seperti: Ri- chard Winstedt dalam bukunya 'The Malays a Cultural History". Skeat dalam "Malay Magic "dan Clifford: "Hikayat Raja Budiman.

151

PNRI Pawang-pawang itulah yang merupakan penghubung antara manu- sia dengan roh-roh halus itu tadi. Setelah agama Islam dianut oleh suku Melayu itu, upacara tadi kehilangan sifat-sifat asal animisme itu dan berubah menjadi salah satu upacara adat saja yang kemudian diselaraskan dengan "tolak bala" memohon ke hadirat Allah SWT, semoga segala se- suatu dijauhkan dari mala petaka. Upacara "Menjamu Laut" itu diadakan oleh nelayan-nelayan yang mendiami sungai di tepi-tepi pantai sekurang-kurangnya 3 tahun sekali, jika dirasa laut sudah kurang menghasilkan ikan dari biasanya, atau akhir-akhir ini sudah banyak nelayan mendapat ke- celakaan di laut sewaktu mencari nafkahnya. Maka sejak dari dahulu kala, para nelayan itu secara gotong royong menurut hik- mah permusyawarahan, ditemuilah orang yang dikenal sebagai "Pawang Laut" untuk memimpin upacara kuraban itu. Di setiap kuala oleh setiap pawang laut, dipakai syarat-syarat yang berlain- an. Jika kita ambil misalnya Pawang Laut di kuala Pantai Labu (Serdang) dengan pawangnya PAWANG MAT YASIN bin PA- WANG LABA bin DATUK SIDDIK RHU GEMUK, syarat-syarat adalah sebagai berikut : Setelah para nelayan meminta kepada pawang, maka pawang akan berpuasa dan bersemedi untuk persiapan selama 6 hari yaitu ia "memanggil" sebanyak "99 rakyat di laut". Setelah lewat masa itu pawang meminta 1 meter kain putih untuk bendera yang di- pacakkan di darat dan 1 meter kain kuning untuk bendera yang di- pacakkan kelak di tengah laut. Kemudian dibuatlah balai pulut dan dicacakkan di situ kertas- kertas warna hitam (7 helai), kertas putih (7 helai), kertas hijau (7 helai) dan kertas kuning (7 helai). Adapun balai dan warna ku- ning teruntuk MAMBANG KUNING RAJA DI LAUT (Nabi Allah Chaidir?). Selain itu untuk pengiring balai ada lagi 7 macam lepat, kepala kerbau atau kepala kambing (berwarna hitam dan harus jantan), lauk-pauknya yang dimasak dan yang mentah-mentah. Binatang yang jadi kurban harus 2 ekor karena seekor untuk sajian untuk Raja yang di darat. Di samping balai dan lauk-pauk tadi

152

PNRI ada lagi pulut merah, nasi putih, beras kunyit, beras basuh, bertih, bunga rampai dan 5 hasta kain kuning untuk dijadikan pelambai. Lalu semua itu dibawalah oleh pawang naik sampan ke tengah laut yang ditemani oleh 2 orang sidanya. Juga dibawa ke laut di dalam limas darah kurban yang dipotong. Sebelumnya bendera kuning sudah dipacakkan di tengah laut yaitu kira-kira 1 km, dari pantai atau di kedalaman air 3 depa. Sewaktu melewati kuala sajian- sajian harus diberikan sedikit kepada penjaga kuala yang disebut LAKSAMANA HEMPANG KUALA. Setelah itu maka pawang beserta sidanya sampailah berlayar di tempat di mana sudah dipacakkannya sebelum bendera kuning. Rupa-rupanya disitulah tempat yang ditunjuk oleh Mambang Ku- ning Raja Di laut. Lalu setelah dibacakan mantera-mantera balai dengan pengikut-pengikutnya dan segala lauk-pauknya dibuang- kanlah di situ. Perlu ditambahkan bahwa pada waktu memotong binatang untuk kurban (ikan tidak boleh sebagai kurban tetapi ayam boleh) tidak boleh dilangkahi kepala binatang itu. Jika di kuala Serdang, bendera kuning bagi Mambang Kuning Raja Dilaut, bendera hitam untuk PANGLIMA HITAM BALAI, dan warna hijau untuk MAMBANG DIHALUS (dewa perempuan), dan lain-lain. Ada juga berbagai macam penjaga "tali arus pun- tung", penjaga "tali arus melintang" dan lain-lain, di samping atas- annya DATUK PANGLIMA DATU, DATUK BETALA GURU (keijanya sebagai pengajar) dan NENEK GEMPA DILAUT dan sebagainya. Setelah upacara "menjamu laut" selesai, 3 hari lamanya nelayan- nelayan tidak dibenarkan mengambil ikan ke laut. Semua binatang yang dipotong untuk kurban di tepi pantai tadi, tidak boleh di- bawa pulang, dan harus dimasak dan dimakan beramai-ramai di situ juga. Di kuala Pantai Cermin itu ada 8 orang kumpulan "Pawang Laut" yaitu bapak-bapak: DORANI, DUSLAM, JUNAN, SU- LUNG PENGKOL, GANTANG, DORANI PEMATANG, DOL- LAH dan SAHAR.1) ) 1Ini diceritakan oleh 8 orang kumpulan pawang: Dorani, Duslam, Junan, Sulung Pengkol, Gantang, Dorani Pematang, Dollah dan Sahar (Pantai Cermin 29-2-1970).

153

PNRI Mereka itu dapat bekeija sama dengan baik sehingga memudahkan bagi masyarakat nelayan di sini. Menurut kisahnya ada yang berkuasa di laut dinamakan RIJAL RHAIB, yang menjaga 4 penjuru alam dan mempunyai anak-anak buah (pemimpin ikan-ikan) termasuk "sanai" (di laut) dan "Mambang Bulang" (jika di darat). Mereka, kekuatan-kekuat- an gaib itulah yang dijamu. Cara-cara menjamu seperti yang ter- sebut di bawah ini : Masing-masing nelayan membawa tepung tawar selengkapnya dan oleh pawang ditepungtawarilah semua nelayan dan "pekarang- annya" (alat-alat yang dipergunakan mereka untuk menangkap ikan di laut), supaya semuanya dijauhkan Tuhan dari bencana dan penyakit. Lalu dipotong kerbau di tepi pantai. Kepala kerbau beserta tulang belulangnya itu dibungkus dengan kulit kerbau itu kembali dan inilah yang dibuangkan ke tengah laut. Isi (daging) kerbau itu di- makan beramai-ramai di tepi pantai dan tidak boleh dibawa pu- lang. Kemudian pawang membawa kepala dan tulang-tulang kerbau yang dibungkus dengan kulitnya itu tadi, ke tengah laut antara bendera hijau dan merah, di tempat yang telah ditentukan pawang berdasarkan firasat baiknya. Sampan pawang itu diikuti oleh sampan lainnya. Lalu dipakai tiang atau benda-benda dan kepala kerbau tadi diberati dengan batu agar tenggelam ke dasar laut. Sewaktu kerbau akan dipotong ditempatkanlah bendera- bendera di tempat masing-masing yaitu dipasang bendera-bendera putih (di darat), kuning, dan hitam (di pinggir pantai), hijau (agak ke tengah laut) yang merupakan tanda "Nabi Chaidir", pelindung para nelayan, dan di tengah laut bendera Merah, tempat di mana ditenggelamkan kepala kerbau tadi. Pada waktu upacara dimulai dijauhkanlah suasana daripada permainan-permainan dan bunyian- bunyian. Jika pawang laut itu dan rombongan terpaksa melewati kuala hendak berlayar ke tengah laut, rombongan pawang mem- beri "Salam" kepada penjaga-penjaga" kuala. Setelah "menjamu laut" itu diadakan, ada pantangan bagi para nelayan selama 3 hari tidak boleh mengambil hasil laut sampai batas kuala. Di masa

154

PNRI lampau, pada waktu "menjamu laut" dan kerbau dikurbankan, hadir pembesar Negeri (dahulu Sultan atau wakilnya). Di dalam upacara itu para pawang memakai tengkuluk dan atau selempang beraneka warna menurut warna-warna yang telah dinujumkan sebelumnya. Pawang laut itulah yang dianggap "se- mangat". Sewaktu memakan daging kerbau yang telah dikurban- kan tidak dibenarkan ada lauk-pauk yang bercampur ikan dari laut pada ketika dilakukan "menjamu laut" di situ.

5.p. GELAR-GELAR KEBANGSAWANAN Banyak sekali gelar yang dipakai oleh Raja-raja Melayu se- telah Islam masuk. Gelar yang umum ialah "SULTAN" dan "RA- JA" bagi kerajaannya yang kecil (misalnya : "Raja Denai" sering diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dahulu "Het Hoofd van)". Ada juga Raja-raja yang memakai gelar "MAHARAJA" (seperti Maharaja van Padang) dan "YANG DIPERTUAN" atau disingkat YAMTUAN (seperti yang dipertuan Kualuh dan Leidong: Yang Dipertuan Besar Siak dan lain-lain). Ada pula yang sekedar me- makai "SUTAN" (Sutan Panai, Kota Pinang, dan lain-lain). Adapun gelar kebangsawanan banyak pula. Sebelum 1860 di sini belum begitu dikenal gelar "TENGKU" (mungkin kemudian ditiru dari Aceh atau Malaya). Menurut Anderson dalam lawatan- nya ke daerah itu di tahun 1823 masih dipakai gelar bangsawan "TUANKU" dan "WAN" bagi kalangan bangsawan kadang-kadang gelar itu dikombinasikan seperti: "Tuanku Wan Kumbang". Di sekitar tahun 1860 lazim di daerah Deli dan Serdang, titel "TAN" (kependekan dari "Sutan" seperti "Tan Aman"), mungkin pe- ngaruh dari Minangkabau. Mari kita tinjau kini pemakaian gelar "TENGKU" seperti pertanyaan dari Gubernur Ezerman tanggal 3 Nopember 1932 tertuju kepada ambtener-ambtenar Belanda di daerah-daerah Melayu di Sumatra Timur dan Riau. Gunanya ko- misi itu agar dapat dihindari pemakaian gelar secara tidak sah yang melanggar pasal 507 K.U.H.P. dan juga serupa hukumnya di dalam hukum adat.1) Hasil-hasil penyelidikan tersebut adalah me- ngenai "TENGKU" :

1) "XLII ADAT RECHTBUNDELS". 155

PNRI (1) Dari surat Tuanku Sulaiman Syariful Alamsyah, Sultan Ser- dang, termaktub di Istana Perbuangan 8 Nopember 1933: "Menurut adat Negeri Serdang, Yang berhak memakai gelar "TENGKU", ialah mereka yang dari pihak laki-laki berke- turunan dari Raja Negeri Serdang, baik yang sudah-sudah, yang sekarang atau yang akan datang, dengan tiada membeda- kan, apakah ibunya Tengku atau tidak. Selain daripada itu boleh memakai gelar Tengku yaitu orang yang berketurunan dari Raja negeri lain, yang di negerinya ia memakai gelar Tengku. Dan orang yang berketurunan dari Raja negeri lain, yang di negerinya memakai gelar yang lain, dan gelar itu tiada kurang tarapnya dari gelar Tengku, misalnya "SUTAN" yang berketurunan dari Raja Pagaruyung (Minangkabau) dan se- bagainya serta ia bersemenda ke negeri Serdang, maka ke- padanya boleh diberikan oleh kerajaan memakai gelar "TENGKU".

(2) Dari surat Assisten Resident Asahan tanggal 13 Januari 1933: Di beberapa Kerajaan dalam afdeling ini teijadi kesimpang- siuran keadaan sedangkan mengenai hak memakai gelar "Tengku" juga terdapat keterangan yang berbeda-beda, se- hingga menurut pendapat saya akibat dari fakta bahwa ke- rajaan-kerajaan yang memang diakui mereka tidaklah begitu mengetahui dalam hal ini. 1) Tetapi yang nyata bahwa anak-anak yang ayah dan ibunya Tengku juga memakai gelar Tengku. Jika teijadi keadaan- keadaan lain misalnya yang laki-laki Tengku dan istrinya tidak bergelar, maka anak-anak mereka di Labuhan Batu juga mendapat gelar Tengku; di Asahan mengenai hal ini terdapat keragu-raguan. Jika seorang laki-laki tanpa gelar kawin dengan wanita Tengku maka anak-anak mereka di Labuhan Batu kehilangan gelar Tengku dan mereka memperoleh gelar "WAN"; di Asahan mereka-mereka itu memperoleh gelar "JAJA". l) Menurut M. Hamerster dalam "Bijdxage tot de kennis van de afdeling Asahan", 1926. 156

PNRI Di samping gelar Tengku ada lagi gelar "Raja". Sebahagian mengatakan bahwa gelar itu berbeda sangat dari Tengku, yang lain mengatakan ada hubungannya. Bagaimanapun gelar Tengku dipandang lebih tinggi. Juga mengenai itu belum ter- dapat kepastian. Mengenai asalnya gelar Tengku tidak seorang pun dapat memberikan keterangan yang sempurna di dalam afdeling di sini tidak terdapat Tengku, yang bukan keturun- annya dari Sultan, tetapi yang mana yang duluan, Raja atau Tengku, dengan kata lain apakah Raja berasal dari Tengku- famili sehingga cabangnya tinggal satu-satunya di situ atau keturunan dari Raja yang memperoleh gelar Tengku. Menurut Kontelir Batubara seyogianya asalnya sebagai berikut : Gelar yang biasanya di sana ialah RAJA, DATUK, WAN, dan TENGKU. Gelar yang pertama di atas di Sumatra di antara suku Bangsa Melayu merupakan gelar sebutan untuk Kepala- kepala Daerah, sedangkan "Datuk", dan "Wan" berasal dari Minangkabau. Gelar Tengku lebih banyak merupakan gelar sopan santun daripada gelar kehormatan. Bagaimanapun gelar melengket kepada orang-orang yang dahulu berasal dari Riau, di mana gelar itu serupa "TONGKU" adanya dan dipakai untuk turunan dari Sultan. Di Labuhan Batu tidak terdapat pemakaian gelar Tengku secara tidak sah dan jarang teijadi penyalahgunaannya.

(3) Tengku Mahmud, Sultan Langkat, menjawab pertanyaan itu tanggal 27 April 1933 dari kota Darul Aman sebagai berikut: " Bersama ini kita maklumkan bahwa di dalam kerajaan ada bermacam-macam gelaran yang dipakai oleh anak-anak bangsawan yaitu, TENGKU, RAJA, WAN, ORANG KAYA, dan ENCIK. Oleh karena sudah lama tidak diperhatikan gelar- an itu sudah centang perenang benar dan menjadi tiada berapa tentu susunannya, sehingga banyak orang memakai gelaran yang menurut adat tiada boleh dipakainya. Akan te- tapi hal itu tiada boleh disalahkan kepada mereka semata- mata, sebab kerajaan belum ada menetapkan peraturan ten- tang susunan memakai gelaran bangsawan itu. Jika peraturan

157

PNRI itu sudah diadakan barulah boleh dituntut orang-orang yang memakai gelaran yang bukan haknya. Oleh karena itu telah kita dirikan suatu komisi yang kita kepalai sendiri dan anggo- ta-anggotanya terdiri dari beberapa saudara dan orang besar- besar kita, buat menyusun suatu "Peraturan tentang memakai gelaran bangsawan di dalam negeri Langkat". Sesudahnya di- perbuat peraturan itu akan kita kirimkan rancangannya ke- hadapan paduka sehabat kita adanya. 1)

(4) Tengku Amaluddin, Sultan Deli termaktub di Kota Maimun tanggal 23 - 2 - 1933 : Bahwa sebenarnya menurut adat di sini adalah derajat ke- bangsawanan terbagi atas 5 bahagian yaitu: 1. TENGKU, 2. RAJA, 3. WAN, 4. DATUK, 5. ORANG KAYA, 6. INCIK. 1. Yang berhak memakai nama 'Tengku" ialah putra putri dari SULTAN dan keturunannya dari laki-laki, yakni selagi ayahnya memakai nama Tengku maka sekalian anak-anaknya berhaklah memakai nama atau derajat itu, karena nama Tengku itu dipandang menjadi suatu ke- bangsawanan yang mengambil nasaf turunan dari ayah.

2. Yang dikatakan "RAJA" seperti yang pernah ada ber- nama "Raja Buang" berasal dari Inderagiri, yaitu yang berketurunan dari negeri lain yang bukan berasal ke- turunan Sultan tetapi pada negeri itu telah ada adatnya yang memakai nama "Raja". Begitu juga suatu bangsa atau keturunan bangsawan dari negeri yang datang ber- kediaman di sini menurut adat hanya memakai nama ke- turunan menurut haknya yang ada terpakai di negeri asalnya. Misalnya seperti "Raden" dari Tanah Jawa "Su- tan" dari Westkust, dibenarkan dan dipanggilkan juga di sini Raden atau Sutan. Maka jika seumpamahya

1) Surat kabar 'Ddi Courant" tanggal 2-10-1933 Sultan Langkat sedang memper- timbangkan untuk merobah titel 'Tengku" menjadi "Wan". Hanya anak-anak landsgroten dan rijksbestuurders yang boleh memakai gelar 'Tengku".

158

PNRI itu berkawin di sini dengan seorang perempuan dan pe- rempuan itu ada berketurunan Tengku, maka anak yang terbit dari perkawinan itu hanya berhak memakai nama Raja jikalau nyata ditetapkan keturunan Sutan itu ke- turunan raja-raja di Westkust.

3. Yang dikatakan "WAN" yaitu jika seorang laki-laki dari- pada Datuk atau Orang Kaya atau Incik ataupun Orang Kebanyakan kawin dengan seorang perempuan keturun- an Tengku, maka anak yang lahir dari perkawinan itulah yang dikatakan Wan, sehingga turun-temurunnya me- ngambil nasaf bapak. 4. Yang dikatakan "DATUK" ialah Datuk-Datuk Empat Suku yaitu Kepala-kepala Urung dan turunannya yang laki-laki. Selain dari itu juga mereka yang dibesarkan dengan dikurniakan oleh Raja (Sultan) akan pangkat datuk dan anak atau keturunan yang laki-laki dari Datuk yang dibesarkan itu dipanggilkan "Orang Kaya". Ada- pun "Incik-Incik" yaitu adalah boleh dikatakan suatu panggilan yang memuliakan seorang laki-laki maupun perempuan daripada orang kebanyakan dengan sebab ada kalanya oleh Raja dan adakalanya oleh orang ba- nyak saja menurut peijalanan yang sudah teradat. Be- gitulah rasanya susunan peijalanan kebangsawanan yang seharusnya tetapi ada juga sebenarnya daripada mereka itu yang tiada mengetahui telah memakai-makaikan juga yang tiada hak baginya. Mereka yang demikian itu jang memakai nama kebangsawanannya dengan tiada haknya menurut adat, maka sudah tentu menurut adat juga boleh dilarangkan baginya sambil ditetapkan atas hak- nya yang sebenarnya. Sesungguhnya hal keadaan yang bersalahan itu tiadalah diperhatikan b£nar melainkan pada masanya yang perlu saja yaitu dengan kebetulan bersangkutan dengan sesuatu urusan memberikan hak- nya yang terbentang sepanjang adat atau peraturan negeri seperti misalnya jika ada mereka itu perlu di-

159

PNRI timbang tentang memberi kebebasannya atau Kerahan Negeri atau pada masa perkawinan mereka menjadi per- selisihan atas "Kufunya" atau tiada. Di atas kesalahan itu tiada pernah dilakukan hukuman, tetapi boleh di- larang atau diperingatkan dan manakala tiada mengin- dahkan olehnya yang dilarangkan dan diperingatkan itu maka barulah ianya dapat dihukum sekira-kira kesalahan tiada mengindahkan larangan dan peringatan itu. Bahwa adapun yang Seri Paduka Tuan Besar Gubernur berke- hendak kepada suatu daftar atau pangkat dari mereka itu Tengku-Tengku pada pikiran kita jika pangkat Teng- ku-Tengku itu diperbuatkan maka haruslah pula pangkat dari yang lainnya itupun akan diperbuatkan juga yang mana hal pekerjaan itu menjadikan satu pekeijaan yang sukar dikerjakan berhubung dengan siasat yang musti dilakukan atas keturunan tiap-tiap seorang daripada me- reka itu; oleh sebab mana kita rasa biarlah keadaan itu ditinggalkan sebagaimana keadaan pada masa ini; tetapi manakala tumbuh sesuatu halnya atau pendakwaan atas seseorang daripada mereka itu wajiblah diambil ketetap- an dengan mengingat sebagaimana yang telah kita urai- kan di atas ini.

Dari surat Tengku Regent Asahan tertanggal 5 Januari 1933: Di Kerajaan Asahan, ada rupa-rupa gelar, yang asal-asal turunan dari Tengku-tengku, tetapi semakin lama, turun-temurunnya sudah berubah namanya. Da- lam kerajaan Asahan ada: 1. Gelar TENGKU, 2. Gelar RAJA, 3. Gelar JAJA, 4. Gelar TAK. Yang bagaimana turunannya atau asalnya, yang berhak memakai Tengku, Raja, Jaja, dan Tak, akan disusul lagi lebih lanjut: Buat mengetahui itu, akan dipanggil orang- orangnya yang dipikir faham akan hal itu, baharu bila dapat asal-usul yang sebenarnya. Jadi diminta supaya

PNRI bersabar dahulu, menunsgu teratur hal ini adanya.1) 6. Dari surat Kontelir Batubara tertanggal 4 Januari 1933: ... Dari jawaban-jawaban para Zelfbestuurders di sini yang tiba, ternyata bahwa tiada seorang pun yang dapat menge- mukakan asal usul Tengku. Sebahagian beranggapan bahwa misalnya antara Raja dan Tengku hanya sedikit perbedaan tingkat saja. Yang lain beranggapan pula bahwa Tengku adalah turunan dari Sultan, yang lain menyatakan pula bahwa gelar itu datangnya dari Tanah Seberang dan oleh sebab itu sama nilai dan artinya dengan titel Raja dan Datuk. Titel Raja atau Tengku dipakai campur aduk. Misalnya beberapa turunan laki-laki dari famili datuk Tanjung Kasau dahulu dipanggil Raja, yang lainnya dipanggil Tengku dan beberapa turunan dari pihak wanita juga Tengku tetapi toh semua orang-orang ini saudara dan saudari rapat. Dari sini dapatlah diambil kesimpulan bahwa penduduk sendiri tidak ada memandang perbedaan-perbedaan tertentu mengenai hal ini. Menurut pendapat saya yang mendekati kenyataan ialah perbedaan ini berasal dari perbedaan asal usul si pe- makai. Di Batubara gelar yang dipakai ialah Raja, Datuk, Wan, dan Tengku. Gelar yang pertama di atas di Sumatra ini di antara suku-suku Melayu merupakan gelar sebutan untuk Kepala-kepala Daerah, sedangkan Datuk dan Wan berasal dari Minangkabau Melayu asal usulnya. Gelar yang belakangan ini lebih banyak merupakan gelar sopan santun daripada gelar kehormatan. Selanjutnya Tengku adalah dari orang-orang yang dahulu datang dari Riau, di mana gelar di sana juga disebut Tengku dan dipakai oleh keturunan- keturunan Sultan.

7.. Surat dari Assisten Residen Bengkalis tertanggal 2 Maret 1933: I. SIAK: Di Kerajaan ini anggota-anggota dari keturunan

1) Tengku Regent Asahan memberikan pula mengenai hal ini penjelasan lisan: TENGKU adalah turunan dari garis laki-laki dari almarhum Tuanku Sultan Husin Syah, Sultan Asahan ke-8. Keturunan yang lain dari Raja bernama RAJA, JAJA dan TAK. Noot (catatan) dari commisie.

161

PNRI Sultan, dari mana hubungan famili dalam garis wanita dan garis laki-laki berasal dari Sultan-sultan yang me- merintah, semuanya berhak memakai gelar Tengku. Menurut Sultan Siak alam pikiran ini asalnya murni dan tidak dipakai oleh anggota famili-famili yang lain di luar itu. Tetapi peraturan ini tidak selalu dipegang dan dipertahankan dan sekarang secara diam-diam disetujui gelar Tengku ini dipakai oleh anak-anak yang lahir dari perkawinan antara turunan laki-laki langsung dari salah seorang Sultan dengan wanita yang bukan Tengku. Menurut Sultan Siak mereka ini dinamai "Bastaard Tengku" sebab anak-anak yang lahir dari perkawinan antara "Bastaard Tengku" dengan wanita yang bukan Tengku juga memakai gelar Tengku. Jadi di Siak ada 2 (dua) macam golongan yang memakai gelar Tengku: A. Yang menurut adat lama berhak memakainya, yang ada famili relasi garis lurus baik pihak ibu maupun dari pihak Bapak diusut ke atas sampai ke salah satu Sultan di Siak: B. Mereka-mereka, meskipun menurut garis laki-laki langsung keturunan salah seorang Sultan, dari berbagai istri atok-atok mereka, yang tidak se- benarnya berhak memakai gelar Tengku. Mereka dinamakan "Bastaard Tengku".

PELALAWAN: Serupa Siak karena sejarah kerajaan ini adalah berasal dari tahun 1761 di mana Sultan Siak, Raja Alam, meminjamkan daerah Pelalawan kepada Putra Said Abdul Rahman, dari menantu laki-laki Raja yaitu Said Usman. Di tahun 1791 Said Ali merebut tahta Siak dan meng- hadiahkan Pelalawan sebagai kerajaan merdeka di tahun 1811 kepada saudaranya Said Abdul Rahman. Jadi turunan raja-raja Siak dan Pelalawan adalah berasal sama dan beradat sama.

PNRI III. KAMPAR KIRI DAN SENGINGI: Di Kampar Kiri mereka-mereka yang baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu dalam garis lurus berasal dari salah satu raja dalam kerajaan itu berhak memakai gelar Tengku. "Bastaard Tengku" dibenarkan memakai gelar Tengku dengan izin raja. Di kerajaan Singingi tidak dikenal Tengku.

IV. ROKAN: Di dalam 5 landschap di Rokan ini terdapat kesulitan mengenai pemakaian gelar Tengku. Mereka yang menurut adat boleh menyebut dirinya Tengku adalah: a. Mereka yang ayah dan ibunya langsung berasal dari salah seroang raja di kerajaan itu. Ini dinama- kan Tengku dan di samping itu ada pula "Bastaard Tengku". b. Mereka-mereka yang ayahnya langsung berasal dari salah seorang raja-raja yang memerintah, tetapi ibunya "Orang Kebanyakan", "Anak Raja" (Bas- taard Tengku) atau anak Mendeling. Si wanita dengan melalui "Salin-Kawin" dapat dibuat setarap dengan suaminya. Hanya seorang wanita dari suku "Nan Seratus" (Suku Hamba) tidak bisa dipersamakan melalui upacara "Salin Kawin" dengan suaminya dan anak- anak mereka pun tidak bisa menjadi Bastaard Tengku. Di dalam suatu perkawinan antara seorang raja yang memerintah dengan wanita yang bukan tergolong "Bangsa Raja" (Tengku Asli), jadi misal- nya tergolong "Anak Raja" (Bastaard Tengku), "Orang Kebanyakan" atau anak Mendeling, yang dapat menaikkan statusnya dengan "Salin Kawin", putra-putra dari perkawinan ini boleh memakai gelar Tengku tetapi dapat mewariskannya kepada anak-anak mereka kecuali anak-anak itu lahir dari suatu perkawinan dari anak raja itu dengan se-

163

PNRI orang wanita yang tergolong "Bangsa Raja". Di sini pun tidak terdapat perbedaan antara Teng- ku Asli dengan "Bastaard Tengku".

Kesimpulan: 1. Bahwa di daerah-daerah yang termasuk afdeling Beng- kalis gelar Tengku hanya diteruskan melalui garis laki-laki, sehingga anak-anak dari perkawinan seorang wanita Tengku dengan laki-laki tidak Tengku tidak boleh memakai gelar itu maupun gelar Wan atau Jaja. Perkataan "Wan" menunjukkan di daerah itu akan asal orang Arab dan kata "Jaja" tidak diketahui. 2. Bahwa di daerah-daerah itu terdapat 2 jenis Tengku yaitu Tengku Asli dan "Bastaard Tengku". 3. Bahwa banyak orang yang berhak memakai gelar Teng- ku, lekas berkembang biak sehingga nilai dari tingkat adat itu akan menurun. 4. Bahwa tidak mungkin dipakai tindakan-tindakan untuk mencatut gelar Tengku dari "Bastaard Tengku". 8. Surat dari Sjarif Kasim, Sultan Siak termaktub Siak Sri Inderapura tertanggal 10 — 8 — 1933: ... Dari usul akan mengatur gelar Tengku yang berasal itu adalah adat di dalam Kerajaan Siak, apabila seorang bangsa- wan yang berketurunan darah Sultan. Maka mereka diadat- kan pada rakyat wajib bertutur kata kepada darah Sultan atau Raja itu dengan perbahasaan Tengku. Sebutan Tengku tidak boleh dipersamakan dengan suatu gelaran. Tetapi ialah diadatkan kepada keturunan dari Raja atau Sultan yang bertahta di Kerajaan Siak. Walaupun Tengku-tengku yang bukan anak halal, diadatkan juga diperbahasakan Tengku tidak boleh dicabut adat perbahasaan Tengku itu karena bukan gelar seperti gelaran "Wira Pahlawan", yang itu ada gelar (titel) yang berpangkat dalam kerajaan negeri. Tetapi Tengku bukanlah gelaran yang dikurnia dan boleh dicabut. Hanya disebabkan asal keturunannya dari Sultan

164

PNRI atau Raja. Begitu juga sebutan Encik-encik berasal daripada "Orang Besar Raja" (Wakil-wakil). Oleh sebab itu tak ada jalan yang patut kepada kita mengadakan suatu adat yang baru. Demikian adanya. Selain daripada gelar-gelar yang di atas kita dapati pula gelar "AJA" yang khusus untuk wanita keturunan Wan di daerah Senembah. Gelar "MEGAT" adalah untuk pria yang ibunya Tengku tetapi bapaknya bukan Tengku (lihat juga Wan). "RAJA PO' " adalah gelar keturunan dari Raja Tamiang Hulu yang ibunya Gahara (permaisuri). Jika ibunya bukan Gahara disebut "Raja". Gelar "PUCUT RAJA" serupa di atas untuk daerah-daerah Tamiang Hilir dan Kerajaan Bendahara. Gelar "RAJA TAN" serupa di atas untuk daerah Kerajaan Karang. Gelar "POCUT" untuk wanita bangsawan di Kerajaan Benda- hara. Gelar "PUTI" serupa di atas tetapi ibunya permaisuri. Sebutan "TUANKU" adalah untuk Sultan atau Raja yang memerintah di suatu Kerajaan (di Perak sebutan Tuanku untuk 7 orang) dan di Selangor untuk 2 orang (Sultan dan Raja Muda). Di Malaya maupun di Deli sering dipakai gelar "TUANKU AMPUAN" atau "TENGKU PERMAISURI" dan di Langkat "TENGKU MAHSURI" atau "TENGKU SURI" (di Perak TENGKU SURI gelar untuk istri Raja yang bukan Tengku). Mengenai budak-budak ada pembagian di dalam masyarakat Melayu. Perbudakan telah ada dalam masyarakat adat di setiap daerah di Indonesia sebelum zaman Hindu. Jenis-jenis perbudakan ialah: 1. Perbudakan disebabkan tertangkap (tertawan) oleh musuhnya dalam suatu peperangan. 2. Orang-orang pedalaman yang ditangkap dan dijadikan hamba sahaya.

165

PNRI 3. Nara Pidana yang tidak bisa membayar "Wang Darah" kepada famili korbannya, tetapi menyerah kepada Raja minta ampun, maka mereka dengan keluarganya menjadi budak. Anak-anaknya yang lahir dalam perbudakan dinamakan "Alar" dan mereka sendiri "Ulor". 4. Anak-anak dari seorang wanita jadi budak jika tidak diakui oleh si laki-laki (bapak anak tersebut) sebagai anaknya. Di dalam kategori-kategori ini termasuk juga budak-budak yang dibawa oleh para haji dari Mekah yang biasanya mereka adalah orang-orang Negro. Budak-budak itu dinamakan "Hamba" atau "Abdi" dan budak-budak oleh karena belum membayar hutangnya dinamakan "Orang Berutang". Budak- budak seorang raja istimewa kedudukannya sebab jika mereka kita pukul bukan karena kesalahannya, kita dapat dihukum atau menggantikan (jika ia meninggal) dengan 14 orang hamba yang semutu dengannya. Jika seorang gadis kawin, menjadi hamba, suaminya turut padanya sebagai hamba juga. Yang paling unik di antara sistem ini ialah sistem "Perbudak- an karena berhutang", suatu sistem yang asing di dalam Hukum Islam tetapi banyak di dalam bentuk-bentuk variasi di antara orang Hindu. Menurut hukumnya seorang budak karena berhutang bisa menjadi orang merdeka dengan mem- bayar kira-kira 100 bidar di dalam teorinya. Juga menurut undang-undang istri dan anak-anak dari seorang budak yang berhutang tidaklah turut bertanggung jawab untuk hutang- hutang suaminya, kecuali jika hal tersebut diketahuinya dan janda seorang budak yang berhutang tidaklah dipaksa membayar lebih daripada sepertiga dari hutang-hutang mendiang suaminya, tetapi sering di zaman dahulu teijadi penyimpangan-penyimpangan. Para kreditur sering me- nahan istri dan keluarga mendiang budak berhutang sebagai jaminan sampai matinya. Sering juga dahulu teijadi gadis- gadis dari seorang budak berhutang dikawinkan oleh si kreditur, yang lalu mengambil uang antarannya untuk peng-

PNRI angsur hutang dan menahan pengantin laki-laki sampai ia melunasi hutang mertuanya.

ORANG KERAHAN: Sistem perbudakan ini telah menjadi studi mendalam di tanah Melayu oleh Sir William Maxwell di tahun 1884. Hamba (abdi) ini disuruh berladang, membuat jalan dan jembatan, urusan-urusan umum, menjaga sampah-sampah, mengantar surat-surat dan pesanan-pesanan, mendampingi tuannya ikut berperang, menjadi pemusik dari raja, men- jadi pelayan dan penjaga anak-anak tuannya. Biasanya dikumpulkan oleh Kepala Kampung atas perintah atasannya menurut jumlah tertentu penduduk kampung tersebut (misalnya istilah "orang seratus"). Tetapi bisa juga orang kampung tidak turut dalam kerahan asal membayar sejumlah uang. Mereka selalu dikerjakan untuk urusan- urusan umum (membuat dan membetulkan benteng-benteng, jalan-jalan) dan jika raja-raja membuat keramaian.

6. SISTEM POLITIK

Kepala dari suatu negeri Melayu (negeri = Nagara, Sansekerta) adalah menurut konsepsi Hindu memerintah, Yang Dipertuan, Raja menurut kebiasaan Hindu, atau Sultan untuk menyelaraskan diri dengan Islam. Menurut konsepsi Hindu Raja-raja Melayu itu dialiri oleh darah putih dari seorang Dewa Hindu atau Bodhisatwa. Di dalam kata-kata pun Raja-raja Melayu ada mempunyai istilah- istilah tersendiri seperti "Bersiram" = mandi, "Gering" = sakit, "Ulu" = kepala, "berangkat" = beijalan, "titah" = perintah, "mangkat" = meninggal dunia, "murka" = marah, "kurnia" = pemberian, "anugerah" = hadiah, dan sebagainya. Dari istilah- istilah itu nyata bahwa seorang Raja Hindu tidak boleh mencecah- kan kakinya ke tanah dan rakyatnya harus menganggapnya bahwa ia tidak mati-mati (mangkat = berangkat). Suatu sya'ir Keling, "Manimekalai", menceritakan tentang 2 orang Raja Melayu

167

PNRI keturunan dari Dewa Indra, oleh sebab itu Indra selalu dipuja- puja di masa Hindu itu seperti nama-nama "Indra Pura" (Kota Indra), Indra Pahlawan dan sebagainya. Raja-raja Majapahit gemar menyamakan dirinya sebagai Wisnu dan istrinya sebagai Parwati. Aditiawarman, Raja Minangkabau di abad ke-4 dan istrinya di- manifestasikan sebagai bhairawa dan sakti yang merupakan mani- festasi pula dari Dewa Ciwa dan istrinya Maha Dewi. Surga di mana Indra memerintah terletak di gunung Meru, dan oleh sebab itulah menurut riwayat Raja-raja Melayu berasal dari Gunung Bukit Siguntang Mahameru. Di museum Jakarta ada patung Meru yang dibawa dari India ke Jawa. Demikian pendapat Winstedt. Dalam bidang pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu selalu memakai orang-orang besar dalam jumlah-jumlah astrologi (juga pengaruh Hindu) yaitu: 4, 8, 16, dan kadang-kadang sampai 32 orang. Di Kedah, Perak, dan Pahang ada 4 orang Besar dan 8 Orang Besar bawahannya. Struktur pemerintahan di Serdang dan negeri-negeri Melayu lainnya di Sumatra Timur, berdasarkan asalnya struktur perkembangan pemerintahan mula-mula sangat sederhana sekali. Kita dapat membuat hipotese bahwa perkam- pungan-perkampungan kecil di sepanjang pesisir Selat Malaka yang hampir-hampir tak berpenghuni itu, mempunyai kepala-kepala kaum di mana penghuni-penghuni kampung-kampung itu meng- anggap dia sebagai raja mereka, yang kadang-kadang pemerintah- annya bersifat lalim dan otokratis, yang kadang-kadang dengan atau tanpa persemupakatan bersama-sama mengambil saja sesuatu gelar untuk dirinya, dan lalu juga memberikan gelar-gelar kepada kaum lainnya yang dengan sukarela menetap di daerahnya atau- pun yang dapat ditaklukkannya dengan peperangan1). Kadang- kadang guna memperkuat kekuasaannya itu ia mengangkat pula anggota-anggota keluarganya atau orang-orang kepercayaannya untuk memegang fungsi-fungsi penting tertentu seperti: Panglima perang, Syahbandar, dan lain-lain. Sering pula pemberian gelar- gelar itu tidak mempunyai arti apa-apa, dan kadangkala pula itu

1) "Nota over de landsgioten van Deli".

168

PNRI hanya sebagai "politiknya", untuk mengikat persahabatan atau guna menjaga "gengsi" nya terhadap raja-raja lain. Penghasilan yang diperoleh raja-raja tersebut umumnya dari peradilan, cukai= cukai hasil-hasil di muara-muara sungai, persembahan-persembah- an yang diterima, barang larangan, pancong alas, bea masuk orang asing yang lewat di daerahnya, dan berhampiran dengan daerah-daerah kediaman suku-suku Batak biasa dari keuntungan yang diperolehnya dari monopoli garam dan candu, dan sering juga dari ekspor budak-budak (biasanya orang-orang kafir) yang dijual oleh pedagang-pedagang bangsa Cina ke Malaya (daerah- daerah pertambangan timah di Perak dan Selangor) seperti apa yang dikisahkan oleh Anderson dalam lawatannya ke Asahan di tahun 1823,1) yang kadang-kadang dapat mencapai harga $. 70,— per orang laki-laki dewasa, dan transpornya diurus oleh Nakhoda Mohammad Arif dari Penang dan dibeli dari Raja Budak di Tanjung Balai yang dikenal dengan nama Lim Kioe seperti apa yang diceritakan oleh Schadee2). Di daerah-daerah yang ditaklukkannya, raja-raja itu umumnya tidak pernah meninggalkan pasukan tetapnya tetapi mengambil salah seorang anak raja yang dikalahkan atau pengganti raja untuk dididik di daerah istananya, seperti halnya dengan Langkat, di mana putra-putra raja Langkat diambil Siak sebagai sandera. Kadang-kadang pula ia hanya menunggu saja datangnya utusan, memberi upeti ("Bunga Emas") dan menerima saham-saham dari hasil-hasil cukai dari raja-raja yang ditaklukkannya. Di dalam masa peperangan atau apabila ia mengadakan perlawatan dan melalui daerah taklukannya itu, kepala-kepala daerah taklukan itu harus menyediakan sesuatu. Campur tangannya dalam bidang pemerin- tahan di daerah-daerah jajahannya, hampir-hampir tidak ada. Biaya-biaya pemerintahannya, baik di daerah sendiri maupun di daerah-daerah taklukannya ditanggung bersama-sama oleh Kepala- kepala daerah taklukannya; biaya peperangan ditanggung sebahagi- an oleh mereka.

1) "Mision to the Eascoast of Sumatra". 2) "Geschiedenis van Sumatra's Oostkust".

169

PNRI 6.a. ORANG-ORANG BESAR KERAJAAN, GELAR, DAN FUNGSLNYA

Orang-orang Besar kerajaan atau "Rijksgroten" adalah di- maksud para fungsionaris yang menjadi Kepala-kepala Daerah di dalam bahagian daerah kerajaan, dan atau juga mereka-mereka yang berfungsi kepala daerah di dalam daerah Sultan langsung (atau Rechtstreeks Sultansgebied). Bahwa susunan Dewan Ke- rajaan umumnya hampir sama berdasarkan pengaruh kerajaan Melayu Raya di Malaka dan kemudian di Johor, Riau, dan Siak. Adapun Menteri yang Utama (Perdana Menteri atau Patih di Jawa) ialah yang bertindak sebagai Mangkubumi adalah BENDA- HARA FADUKA SERI MAHARAJA, pengapit Raja Muda. Dialah Menteri tunggal yang sangat berkuasa dan merupakan Kepala Pemerintahan harian dan di bawahnya adalah TEMENG- GUNG (jaksa merangkap Kepala Polisi), LAKSAMANA (Pang- lima Angkatan Laut dan merangkap Panglima Angkatan Perang), HULUBALANG atau PANGLIMA PERANG (adalah Panglima perang di darat), SYAHBANDAR (urusan cukai-cukai pelabuh- an, orang-orang asing dan perdagangan), BENTARA KANAN (ajudan Sultan) dan BENTARA KIRI (Penghulu istana dan peng- hulu orang-orang Bangsawan), sering juga disebut "Bentara Da- lam" dan "Bentara Luar". Adapun asal kata "Bendahara" itu ialah karena ia tempat perbendaharaan segala rahasia Raja dan mem- berikan kebajikan atas bumi yang dilingkari raja itu (asal katanya "Mangkubumi"). Mereka-mereka itulah di bawah pimpinan Men- teri Utama (Bendahara) yang mengurus jalannya pemerintahan sehari-hari di dalam negara. Di samping itu ada lagi DEWAN KERAJAAN atau DEWAN MENTERI yang terdiri dari Orang Besar Berempat yang merupakan "Inner Council" diketuai oleh Bendahara dan masing-masing Orang Besar Berempat mempunyai pula menteri-menteri di bawahnya (Menteri Delapan), 16 dan 32. Adapun Orang Besar Berempat itu adalah:1) 1) Di kerajaan Riau - Johor sampai tahun 1810 ada 8 orang Besar yaitu Bendahara Pahang. Temenggong Johor, Raja Indra Bungsu, Laksamana. Kemudian orang- orang asal Bugis yakni Raja Muda, Raja Tua, Datuk Soliwatang dan Datok Peng- gawa. 170

PNRI 1. BENDAHARA PADUKA SERI MAHARAJA, 2. SERI MAHARAJA, 3. PADUKA MAHAMENTERI, 4. PADUKA RAJA. Adapun gelar-gelar orang-orang masing-masing jelas pula me- nunjukkan tingkat kedudukan masing-masing pula yaitu: 1. PADUKA, 2. SERI, 3. MAHA, 4. RAJA. Pada Bendahara, yang merupakan Menteri Utama dan Ketua Dewan Kerajaan segala gelar itu lengkap dipunyai yaitu "BEN- DAHARA PADUKA SERI MAHARAJA" (gelar bakal Benda- hara yang belum dilantik ialah "Bendahara Paduka Raja"). Di masing-masing kerajaan tentu terdapat beberapa variasi pula seperti di Serdang, gelar Orang Besar Berempat adalah: 1. DATUK PADUKA SETIA MAHARAJA, 2. TENGKU SERI MAHARAJA, 3. DATUK MAHA MENTERI, 4. DATUK PADUKA RAJA. Mereka-mereka inilah yang membantu raja dalam pemerintahan- nya, penentuan pengganti-pengganti raja dan penabalan-penabalan raja-raja baru, perjanjian-perjanjian, penentuan perang dan damai dan lain-lain hal yang penting-penting. Di tahun 1930 Kerajaan Serdang hanya mempunyai 7 orang Besar (Landsgroten), yang bergelar "Wakil Sultan". Empat daripadanya menjadi "Wazir". Mereka ini belakangan tidaklah lagi menduduki tempat yang begitu terkemuka dibandingkan dengan lain-lain "Wakil", karena Wazir Kampung Baru dengan delapan, Wasir yang di Kampung Besar dengan 10 dan yang di Kampung Durian dengan 3 kampung, tidaklah lagi begitu berarti. Wazir-wazir ini hanya ornament (hiasan) dari Raja, yang menurut dasar sejarah- nya seharusnya dikelilingi oleh Wazir-wazir. Orang-orang Besar (Landsgroten) yang utama ialah:

171

PNRI (1). "TENGKU PANGERAN" PERBUANGAN, sebuah kerajaan yang tua dahulu di bawah seorang raja bergelar "YAM- TUAN". Ia ini di antara rakyatnya masih dipanggil dengan "kita punya raja", yang bukanlah dimaksud di sini Sultan Serdang. (2). "KEJERUAN" SENEMBAH - TG. MUDA, dua buah bekas kerajaan kecil, yang berasal dari sebuah kerajaan tua Batak Karo, lebih tua dari Serdang sendiri. Kejeruan ini dipanggil oleh rakyatnya dengan "Tengku Kejeruan" dibandingkan dengan "Tuanku Sultan Serdang". Sebenarnya Kejeruan adalah gelar lebih rendah daripada "TUANKU".

(3). "KEJERUAN" SERBAJADI, bergelar Santun Setia Raja, "Wakil Sultan" adalah di daerah kesatuan hukum Serbajadi yang lama. Sebutan terhadapnya menurut adat berbunyi "Raja atau Aja", kini disebut "Tengku Kejeruan". (4). "WAZIR DAN WAKIL SULTAN", di distrik Lubuk Pakam, bukan suatu kesatuan hukum adat yang sudah tua, tetapi terdiri atas daerah-daerah dan kesatuan hukum yang lama dari Tanjung Merawa dan daerah Senembah yang diambil "Raja Muda" Serdang bapak dari kepala distrik yang se- karang, menduduki daerah ini, yang lebih besar dari Serdang asal.

Sewaktu Kerajaan Serdang yang masih kecil melebarkan sayap- nya dari Sampali ke sungai Serdang, keempat orang "Wazir" waktu itu belum mempunyai daerah tertentu sendiri. Mereka adalah "Kawan Raja Musyawarah" untuk hubungan-hubungan politik. Kemudian (terutama setelah tahun 1887) mereka men- dapat daerah sendiri-sendiri. Di zaman dahulu ada juga lagi "MANGKU BENDAHARA", "TEMENGGUNG" dan seorang "SYAHBANDAR", yang hanya merupakan ornament (penghias) tetapi pangkat adat demikian telah dilupakan sekarang. Menurut peraturan yang dikeluarkan Sultan Serdang pada tanggal 1 Agustus 1886 mengenai daerah dan ruang kerja para Orang Besar terdapat

172

PNRI 9 buah yaitu: 1. TENGKU RAJA MUDA (tanpa daerah).1) 2. TENGKU SERI MAHARAJA (dengan daerah). 3. DATUK PADUKA SETIA MAHARAJA (dengan daerah, kemudian distrik Lubuk Pakam). 4. DATUK PADUKA RAJA. 5. DATUK PADUKA MAHA MENTERI. 6. KEJERUAN SANTUN SERI DIRAJA SENEMBAH. 7. HOOFD VAN DENAI (kini telah disatukan dengan distrik Ramunia). 8. PANGERAN PERBAUNGAN. 9. TENGKU KEJERUAN SANTUN SETIA RAJA SEBA JADI. Nomor 1 dan 2 telah dihapuskan, 7 sampai dengan 9 masih dalam fungsi. Mengenai nomor 2 daerahnya dibagi di antara nomor 3 dan 4. "Raja Muda" mempunyai fungsi-fungsi segagai berikut: a. Mengambil keputusan-keputusan atas nama Sultan mengenai semua hal tentang Batak Dusun, sepanjang Wakil Sultan di Batak timur atau Kejeruan Senembah tidak dapat menjelas- kannya; b. Kepala Kantor dan Kepala Polisi Raja; c. Pejabat Ketua Kerapatan; d. Hakim tunggal mengenai perkara-perkara yang tidak begitu penting; e. Kepala Peradilan mengenai keturunan-keturunan Raja atau Orang-orang Besar; f. Juga sama mengenai penghuni-penghuni istana atau Keraton. Ia boleh menghukum 10 tahil dan dalam bidang Perdata, jika nilai yang dipersengketakan sebanyak tidak lebih dari 100 gulden. Ke- tujuh Orang Besar lainnya mempunyai hak memberikan tanah kepada rakyat Raja. Kerajaan Serdang berasal sebagai berikut:

1) Raja Muda biasanya saudara muda dari Sultan yang dahulu telah mangkat, C. Van Vollenhoven: "Het Adatrecht van Ned. Indie".

173

PNRI DATUK SUNGGAL (Ulun Janji) berdasarkan perintah Senembah sebagai "Anak Beru" dari Senembah berdasarkan mengangkat (nenek moyang dari Sultan Serdang menjadi "KEJERUAN UJONG (JUNJUNGAN)", yang akhirnya menjadi suatu kerajaan yang besar. Datuk Sunggal ini mengangkatnya menjadi "Raja" (Kepala Dae- rah) dan kemudian menjadi Sultan Serdang. Senembah sendiri tetap dapat mempertahankan dia punya "Kesadaran Hukum Loco Nasional". Kejeruan Serbajadi dahulu disebut dengan gelar "Wan" atau "Raja". Wazir Berempat ialah: a. Kepala Distrik Kampung Besar dengan gelar: "Wazir dan Wakil Sultan" di Araskabu, bergelar Datuk Paduka Maha Menteri. b. Kepala Distrik Ramunia juga dengan gelar: "Wazir dan Wakil Sultan" di Kampung Durian (dan kemudian dirangkap dengan Denai), bergelar Seri Maharaja. c. Kepala Distrik Kampung Baru, "Wazir, dan Wakil Sultan" di Batang Kuis, bergelar Datuk Paduka Raja. d. Kepala Distrik Lubuk Pakam, "Wazir dan Wakil Sultan" di Lubuk Pakam bergelar Bendahara. Keempat orang Wazir Berempat itu dahulu bergelar sebagai ber- ikut: Wazir Setia Maharaja, Wazir Paduka Maha Menteri, Wazir Seri Maharaja, dan Wazir Paduka Raja. Selanjutnya ada lagi Kepala Distrik Batak timur dengan gelar "Wakil Sultan" oleh karena pemerintahan di tangan Sultan sen- diri di sana. Ia ini bukanlah seorang Orang Besar1). Memang dari bahan-bahan adat istiadat sangat sedikit ditemui di daerah ini yang dapat menjadi pegangan dalam penentuan fungsi adat seterusnya. Seperti apa yang dibentangkan oleh PROF. VAN VOLLENHOVEN dalam bukunya "ADATRECHT VAN NE- DERLAND INDIE".

1) "Aantekeningen uit de nota betreffende de landsgxoten van Serdang.

174

PNRI Hal ini mungkin diakibatkan oleh beberapa foktor bahwa sejak ratusan tahun dahulu di daerah Deli dan Serdang ini: 1. Masih sangat jarang penduduknya dan tanpa tercatatnya penduduk yang agak padat yang menetap, sangatlah kurang kemungkinan lahirnya pembentukan adat kuat dalam suatu daerah yang luas. 2. Oleh karena terus menerus di dalam situasi peperangan sesamanya atau oleh karena kecilnya tidak dapat memper- tahankan diri terhadap serangan-serangan mendadak dari Kerajaan-kerajaan yang lebih besar dan kuat seperti Aceh dan Siak, sangatlah sulit berkembang suatu pembentukan hukum (Rechtsvorming), dan di dalam situasi di atas itu hanya dapat dicapai suatu pembentukan kekuasaan saja (Machtsvorming). 3. Kebanyakan daerah kerajaan Melayu di pesisir itu tadi mendapat pengaruh dari lingkungan adat Batak (Bataksche Rechtekring). 4. Sebagai akibat pengaruh perkembangan ekonomi yang sangat cepat berkembang. 5. Kemudian setelah pembukaan besar-besaran perkebunan- perkebunan besar di daerah ini, dengan datangnya menetap buruh dari Jawa bersama keluarganya, suku-suku pendatang dari daerah-daerah lain, bangsa-bangsa Asing yang lebih kuat di dalam bidang ekonomi.1) Kemudian dapat pula ditandai, bahwa dengan makin kuatnya pengaruh kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda di daerah itu, nyata makin terpusatnya kekuasaan di tangan Sultan, dan makin lemahnya kekuasaan Orang-orang Besar dan Dewan Kerajaan tadi, seperti di Deli dengan ditandai makin hilangnya fungsi institut (lembaga) "Ulun Janji". Seperti telah kita ketahui, Deli tidak pernah berhasil menaklukkan keempat daerah Urung yaitu Sunggal (Serbanyaman), Sukapiring, Hamparan Perak, dan Senembah dengan peperangan, sehingga

1) "In these regions the Malays proper are often reduced to a vinishing minority". W.F. Wertheim: "Indonesian Society in Transition".

175

PNRI basis semula dari bentuk Federasi itu tadi makin hilang, dengan datangnya Belanda maka desentralisasi kekuasaan pada Sultan, sehingga baik institut "Ulun Janji" (maupun "Raja datang, Orang Besar menanti") dengan demikian lambat laun makin hilang. Dari penuturan secara skematis di atas tadi tentu terdapat di sana sini variasi. Sering pula teijadi di mana mulai datangnya Kolonialisme itu (1823 — 1865) kekuasaan-kekuasaan seorang raja kadang-kadang masih ada yang menuntutnya, kadang-kadang ada sampai 3 atau 4 orang calon-calon raja yang saling memperebutkan tahta, dan jika hal itu teijadi, maka itu merupakan pula saat bagi campur tangan- nya kerajaan lain yang tidak jarang pula mengakibatkan hilangnya kedaulatan daerah itu dan menjadi jajahan kerajaan lain yang membuat salah satu pihak sebagai hadiah "proteksi"nya. Tetapi jikapun hal sedemikian tidak teijadi, sering pula "kekuasa- an" raja itu hampir-hampir tidak kelihatan, seperti misalnya teijadi di keempat buah Urung di Deli di tahun 1886, di mana pernah tejadi penghulu kampung saling serang menyerang, dan meskipun di dalam tahun itu juga mereka disuruh berkumpul dan bersumpah untuk tidak lagi melakukannya, tetapi ternyata kemudian hasilnya tidak banyak membantu. Demikian juga halnya tatkala Maharaja Muda dari Padang me- ninggal dunia, ternyata bahwa semasa hayatnya ia terpaksa mem- berikan "pinjaman" kepada hampir setiap orang penduduk Batak di daerahnya guna mempertahankan keseimbangan kekuasaan. Adapun faktor yang penting dalam penambahan daerah atau guna jalan mencapai cita-citanya tidak jarang seorang raja mengadakan kawin "politik" dengan mengawini adik perempuan dari raja lain yang daerahnya diincer-incernya. Jika iparnya itu meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan laki-laki atau putranya masih kecil lagi, maka sang ipar raja lalu mempergunakan kesempatan untuk mengambil alih tahta dan di- akui sebagai raja di daerah itu. Di dalam bidang hukuman? menyinggung hak-hak raja dapat dihukum berat. Tetapi sebaliknya seorang pembunuh bisa tidak dihukum jika memohon ampun kepada raja dan menjadi hamba

176

PNRI raja. Setelah masuk Islam, -maka gelar Raja-raja Melayu yang diperoleh dari Sriwijaya, yaitu Sri Maharaja, ditukar dengan gelar "Sultan", tetapi masih tetap mewarisi gelar Hindu "Sri Paduka". Pengganti seorang Raja Melayu biasanya ialah anaknya yang ter- tua, tetapi adat menghendaki seorang putra dari permaisuri se- bagai penggantinya (Putra Gahara). Biasanya putra yang tertua dari raja selalu berdarah bangsawan penuh karena istri raja yang pertama sering wanita bangsawan yang setingkat. Tetapi guna menghindari perselisihan setelah mangkatnya seorang raja, selalu diangkat seorang "Raja Muda" atau "Putra Mahko'ta" selagi raja masih hidup. Yang mengangkat dan menunjuk Raja Muda/Putra Mahkota ini ialah Orang Besar Berempat. Di kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatra di samping Putra Mahkota sering ada pula Raja Muda yang menjadi wakil Sultan (biasanya paman Sultan) jika Putra Mahkota masih di bawah umur itu digelari "Tengku Besar". Serdang sendiri pernah mempunyai 4 orang Raja Muda yaitu: Pangeran Sabjana, Pangeran Raja Muda Sri Diraja Moha- mad Thakir, Raja Muda Sri Maharaja Tan Aman dan Raja Muda Mustafa. Di Deli Sultan Osman pertama sewaktu ayahandanya masih hidup, ia bergelar "Sultan Muda". Orang yang juga paling penting di samping Sultan dan Raja Muda itu ialah "Bendahara" (dari kata Sansekerta "Bhandargarika"), biasanya mamanda dari Sultan dan keluarga rapat. Dialah yang sebenarnya mengepalai Orang-orang Besar dan bertindak sebagai Perdana Menteri. Di bawah Bendahara ada lagi Orang Besar yang bergelar "Temeng- gung". Gelar itu juga dikenal di masa pemerintahan Majapahit di Jawa. Serdang sendiri pernah punya 2 orang Temenggung. Tugas Temenggung umumnya mendirikan penjara, menangkap penjahat-penjahat dan menjalankan eksekusi (jadi kira-kira tugas jaksa bercampur Kepala Polisi). Di samping Temenggung ada Iqgi "Syahbandar" (urusan mengutip bea cukai dan pedagang-pe- dagang asing), "Laksamana" (Panglima Angkatan Laut), "Pang- lima Besar" yang mengepalai bala tentara darat dan "Mufti" atau "Imam Paduka Tuan". Selain itu, yang bukan Orang Besar, tetapi menjadi pembantu

177

PNRI raja ialah para "Bentara" (kiri dan kakan) dan dikepalai oleh "Bentara Paduka Majelis". Bagaimana kebesaran tugas-tugas raja dapat kita lihat dari pepatah sebagai berikut: "Raja sekeadilan; Penghulu seundangan; Tali pengikat daripada lembaga; Keris penyalang daripada undang; Pedang memancung daripada Ke- adilan, tikam tak bertanya, pancung tak berkhabar". Selain daripada itu di Serdang dahulu di bawah Orang-orang Besar (Datuk) Berlapan ialah penghulu-penghulu. Setiap Peng- hulu di masa negeri dalam perang menyediakan 12 atau lebih Panglima. Panglima-panglima itu tidak menerima gaji tetapi bebas dari kewajiban kerahan dan membayar pajak. Mereka berhak memakai pakaian warna merah darah dan di pangkal senjata mereka diikatkan ekor kuda yang dicat merah. Jumlah panglima itu yang terakhir sebanyak 44 orang. Panglima itu dikepalai oleh Tengku Panglima Besar. Sebelum Perang Dunia II fungsi "Panglima-panglima" itu turun menurun dan hanya ber- sifat kehormatan saja lagi1).

6.b. ADAT ISTIADAT PENOBATAN RAJA

Di muka telah kami tuturkan tentang konsepsi Hindu me- ngenai Raja. Di daerah Melayu di pesisir pantai Sumatra Timur, adat penobatan raja dan institut yang sehubungan dengan itu mengambil dari 2 jurusan yaitu dari Siak dan kemudian di sana sini ditambahkan dengan pengaruh Aceh, dua buah kerajaan yang sering berkuasa dan menjadi pertuanan di daerah-daerah pesisir Sumaara Timur ini. Terkenallah istilah di sini: "BERAJA KE ACEH, BERTUAN KE SIAK". Baik Siak maupun Aceh memperoleh adat-istiadat raja-raja dan istananya dari Undang-undang Negeri Malaka. Dari Siak mem- perolehnya dari Kerajaan Imperium Riau Johor (sebagai kelanjut- an dari Kerajaan Imperium Melaka Raya) di mana Siak merupa- kan bahagian dari Imperium itu; di samping itu Siak memperoleh

1) Lihat juga Begbie P.J.: "The Malayan Peninsula" (1834).

178

PNRI banyak adat-istiadat dari Minangkabau. Seperti telah kita ketahui di Siak sebagian penduduknya berasal dari Minangkabau. Sultan-sultan Siak pun pernah ada yang berdarah Raja-raja Paga- ruyung. Hal ini diperkuat lagi dengan masa berkuasanya dinasti Raja kecil di Siak di masa-masa mana daerah-daerah pesisir Sumatra Timur berada di bawah pengaruhnya. Dalam hal ini belum lagi dikira pengaruh emigran-emigran Minangkabau yang pindah ke daerah-daerah ini dan sampai-sampai ke Aceh Barat dan menyeberangi Selat Malaka ke Negeri Sembilan dan daerah Selangor sekarang ini di Malaysia. Di pertengahan abad ke-19, Kerajaan Serdang dan Deli banyak pula mengambil perpaduan dengan adat daerah-daerah Batak Karo yang bersemenda dengannya, seperti Instituut "Ulun Janji" itu. Sebagai contoh yang paling umum dan menonjol, biar bagaimana sekalipun sifat otokratis atau lalimnya raja-raja di daerah itu, seperti yang selalu digambarkan di dalam tulisan-tulisan dan laporan-laporan peijalanan orang-orang Barat, tetapi penobatan seorang raja baru, atau pemakzulan raja yang zalim atau ca- cat, atau mengikat sesuatu perjanjian atau penentuan pe- rang dan damai, tetap dengan turut serta dan persetujuannya "Orang-orang Besar" yang lazimnya 4 orang (Datuk Berempat atau di Serdang dinamakan "Wazir Berempat"). Tidak ada salahnya kami tuturkan sepintas lalu seperti apa yang didapati antara lain di dalam "Sejarah Melayu" di dalam kumpul- an kitab DR. P.H.S. Van Ronkel dan di dalam kitab "Undang- Undang Negeri Melaka" itu. Adapun seorang raja jika ia mangkat di zaman dahulu berkumpullah Orang Besar Berempat untuk menetapkan dan menobatkan Raja yang baru. Tiada jarang karena syarat-syarat calon pengganti itu harus demikian teliti, sehingga sering dibiarkan jenazah Raja yang mangkat beberapa hari ke- mudian ditanam, karena syarat adat Melayu "Raja Mati, Raja Menanam", yaitu oleh Raja yang baru dinobatkan, haruslah ditinjau dahulu beberapa syarat di antara calon-calon yaitu syarat- syarat sifat, dan syarat-syarat syarak. Syarat-syarat darah ibu ialah: 1. Putra laki-laki Raja yang mangkat yang ibunya adalah per-

179

PNRI maisuri (Gahara) dan jika itu tiada (biasanya istri Raja ialah seorang wanita yang setingkat keturunan bangsawannya, sehingga lumrah anak pertama biasanya anak permaisuri yang menjadi pengganti raja), maka jika itu tidak ada, 2. Putra laki-laki Raja yang mangkat yang ibunya adalah wanita bangsawan tetapi tidak permaisuri; jika itupun tiada ada juga, 3. Putra laki-laki Raja yang mangkat yang ibunya adalah istri (bukan bangsawan). Kecuali jika syarat-syarat 1 dan 2 tidak ada, maka dipilihlah putra- putranya dari golongan 3 yang tertua; atau ada putra-putranya dari golongan 1 dan 2 tetapi sebelum ia lahir, putra dari golongan 3 telah akil balig dan telah ditabalkan oleh Orang Besar sebagai "Bekal atau Pengganti Raja" semasa Raja (ayahandanya) masih hidup lagi. Maka tidak salah lagi tepatlah ia harus dinobatkan men- jadi Raja dengan upacara Raja Mati, Raja Menanam itu oleh para Wazir Berempat. Jika seorang "Bekal Pengganti Raja" mati se- belum mangkat Raja (ayahanda), atau ia mati sebelum sempat dinobatkan menurut adat oleh Orang Besar Wazir Berempat, maka hak atas tahta sebagai pengganti Raja yang mangkat ber- pindahlah calon-calonnya kepada saudara-saudara (bekal peng- ganti Raja tadi yang telah meninggal) yang masih hidup (zijlinie), dengan memperhatikan juga di antara mereka syarat-syarat darah ibu tersebut di atas maupun syarat-syarat lainnya seperti perangai dan badaniah (kelakuan, kecakapan, dan lengkap pancaindra).

Syarat-syarat sifat: Sekurang-kurangnya mahir atas 4 perkara yaitu: 1. Tua Hati. 2. Bermuka manis. 3. Beriidah fasih. 4. Bertangan murah.

Syarat-syarat Hukum: 1. Hukum yang adil. 2. Mempunyai sifat hukum yang mengasihani.

180

PNRI 3. Hukum kekerasan. 4. Berani.

Kemudian sejak penaklukkan Sultan Aceh Mah- kota Alam, aturan syarak kepada fatwa dari yang bermakam di Kuala (yaitu Syekh Abdurrauf Singkel). Syarat-syarat itu ada 8 perkara yaitu: 1. Selalu ingat kepada Allah; meneguhi janji sekalian wazir, hulubalang, dan rakyat. 2. Jangan menghina alim ulama dan para cerdik cendekiawan. 3. Jangan percaya pada apa yang datangnya dari musuh begitu saja. 4. Memperbanyak alat-alat senjata, membeli kesayangan rakyat, wazir dan sepahi (tentara), guna menghalau musuh. 5. Pemurah, mengingat jasa dan kesetiaan para wazir, ulama, sepahi, dan rakyat dan membalas jasa-jasa mereka dengan tertib. 6. Menjalankan Hukum dan Hukum Kitab Allah, Sunnah Rasul (Qur'an, Hadist, Ijma, Qias) Adat, Kanun, dan Resam. 7. Jangan Raja duduk dengan orang-orang yang jahat budi dan jahil. 8. Memelihara hati mereka yang berbuat baik kepada raja dan negeri; memeriksa mereka yang tidak mengikuti kanun Kerajaan; menghukum sesuai dengan dosa setelah diperiksa tertib agar jangan zalim; tidak bergaul dengan orang tamak atau yang suka memuji-muji dan yang magzui.

Teori mengenai Raja sebagai Orang Suci sangat mendalam di daerah-daerah Melayu sebagaimana juga di bahagian-bahagian dunia lainnya, yang merupakan suatu kenyataan di dalam mani- festasi; "memancung dengan sesuka hati tanpa bersalah dalam kejahatan". Bukan hanya pribadi raja itu saja yang dianggap berdaulat, tetapi juga kesucian dari tubuhnya dianggap ada hu- bungannya dengan regalianya dan dapat memancung mereka- mereka yang melanggar hukum (larangan-larangan) raja ini. Oleh sebab itu sepenuhnya dipercayai jika seseorang yang sangat meng-

181

PNRI hina pribadi raja, orang yang memegang (meskipun sebentar) atau meniru-niru (meskipun dengan persetujuan raja) obyek- obyek yang penting dari regalia, atau orang yang secara salah mempergunakan setiap tanda-tanda atau hak-hak istimewa raja, akan kena daulat, yang menurut orang Melayu berada di dalam diri raja. Oleh karena itu kita lihat misalnya jika raja bersumpah ia meminum air rendaman keris pusaka kerajaan. Sebagai tambah- an dari kesucian regalia kerajaan, raja, sebagai orang yang ber- daulat, mempunyai berbagai-bagai macam hak istimewa di dalam segala segi kehidupannya sehingga ia sepenuhnya terpisah dari keadaan manusia biasa. Sebagai misal Sultan Mahmudsyah dari Malaka adalah yang per- tama-tama yang melarang orang lain kecuali raja sendiri yang boleh memakai pakaian yang berwarna kuning di muka umum, juga tidak saputangan, sarung bantal, kain jendela, tirai, tengkuluk dan lain-lain. Selain daripada itu ada beberapa "larangan raja" seperti telur penyu, gading gajah dan lain-lain yang harus terlebih dahulu dipersembahkan kepadanya. Adalah merupakan suatu kesalahan besar memberikan keterangan yang salah kepada raja. Jika ia meninggal dunia (mangkat) maka ia diberi gelar "Marhom" dengan nama yang sehubungan dengan tempatnya mangkat (contoh "Marhom mangkat di Jambu") atau berdasarkan pe- kerjaan-pekerjaan besar yang telah dilaksanakannya ("Marhom Mesjid" seperti gelar Sultan Osman II Deli yang mendirikan mesjid Labuhan). Dahulu keturunan orang tertentulah yang boleh memegang atau memainkan regalia (alat-alat kebesaran kerajaan) seperti: Gong1), Nafiri, Pedang "Bawar", Keris "Rajawali" di kerajaan Serdang. Di sekeliling raja tetap ada serombongan orang Pertikaman. Panglima-panglima Handalan yang menjaga pribadi raja sebagai bodyguard biasanya putra-putra atau kerabat-kerabat dari anak- anak bangsawan, anak-anak Kepala Daerah dan anak-anak orang- orang baik-baik (di Melaka dinamakan dahulu "Budak-budak Raja").

1) Bernama "GONG SEMBOYAN".

182

PNRI Raja juga menerima sebagai pendapatannya monopoli atas tam- bang-tambang, menerima persembahan-persembahan dan denda- denda, cukai-cukai dari setiap perahu-perahu dagang yang men- jual barang-barang dagangannya1). Di dalam upacara penobatan di Serdang adalah sebagai berikut, yang kami ketahui pada waktu penobatan almarhum Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah di Istana Tanjung Puri (Rantau Panjang Serdang) yang diceritakan oleh Datuk Paduka Raja (yang diperoleh beliau dari cerita atuknya Datuk Rasyid Paduka Raja yang turut menabalkan). Pertama-tama jenazah almarhum Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (Marhom Kota Batu) ditempatkan di atas "Kelemba" yang bertingkat sembilan. Semua orang harus memakai kain putih yang dililitkan di kepala dan wanita-wanita dengan rambut terurai lepas. Jenazah pada hari ke-3 telah siap agar dapat dimulai upacara nobat yang baru. Pada tingkat yang teratas di belakang jenazah berdiri 2 orang saudagar yang bergelar Orang Kaya Sau- dagar Raja yaitu pada masa itu bernama HAJI MAULANA dan HAJI ABUKASIM. Mereka menurut adatnya digelari itu dengan tanggung jawab penuh yaitu jika raja atau di dalam kesulitan keuangan merekalah menanggungkan seluruh harta bedanya. Pada waktu Datuk Sunggal, sebagai Ulun Janji terhadap turunan Tengku Sri Paduka Gocah Pahlawan yang bekal menjadi raja, menyampaikan kepada majelis bahwa upacara Menjunjung Duli terhadap jenazah dan nobat tabal yang baru dapat dimulai, maka semua yang duduk tersebut turun dan berdiri di kiri kanan Sing- gasana. Para Bentara Dalam membawa iringan regalia kerajaan

1) Ada yang mengatakan kekuasaan Raja-raja Melayu adalah absolut, tetapi tidak berarti ia tidak harus mengindahkan putusan Wazir. Berlainan di kerajaan Minang- kabau, Pagarruyung di zaman yang Dipertuan Raja Alam, ia adalah koordinator saja dari 2 raja di bawahnya yaitu Raja Adat di Buo (adat d»n lembaga) dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus (bidang agama). Dan kedua isntansi Raja-raja ini me- mutuskan perkara-perkara yang tak bisa diselesaikan bawahannya yaitu dari BASA AMPEK BALAI yang ada di 4 Nagari. Jika kedua Raja di atas tak dapat memberikan putusan barulah dipersembahkan pada yang Dipertuan di Paga- ruyung dan putusan baginda final dan menentukan. Lihat "Sejarah Minangkabau" oleh Drs. M.D. Mansur dan rekan-rekannya.

183

PNRI seperti Gong Semboyan, Nafiri, Pedang Bawar, dan Keris Rajawali ke depan Singgasana. Kemudian Datuk Setia Maharaja dan Datuk Paduka Maha Menteri mengiringkan Tengku Sulaiman ke depan Singgasana. Lalu semua para Orang Besar mengikuti Tengku Sulaiman menjunjung duli ke arah jenazah almarhum. Lalu setelah selesai maka Datuk Sunggal selaku Ulun Janji menjunjung duli ke arah jenazah almarhum dan kemudian meminta kepada Datuk Paduka Raja (yang mewakili Wazir Berempat) agar dapat me- nobatkan raja yang baru. Datuk Paduka Raja membacakan "Surat Ceri" pengangkatan lalu Datuk Paduka Maha Menteri menyerah- kan keris Rajawali dan Datuk Setia Maha Raja menyerahkan Pedang Bawar dan Tengku Sri Maha Raja meletakkan Gong Semboyan dan Nafiri di hadapan Raja yang baru tersebut. Lalu Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah mencabut dan mencium. Pedang Bawar dan Tengku Panglima Besar mencabut pedang menyerukan 3 kali "Daulat Tuanku" yang disambut dengan gemuruh oleh seluruh yang hadir dan hamba rakyat. Lalu semua yang hadir menurut tingkatannya menjunjung duli pula pada raja yang baru. Raja yang baru memerintahkan kepada Bentara Dalam agar memulai penurunan jenazah almarhum untuk dikebumikan. Pengakuan pemerintah Hindia Belanda baru ter- jadi pada Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah 6 tahun kemudian (1886)1).

6.c. SYARAT-SYARAT ADAT PADA PENGHULU

Di dalam pemerintahan dalam Kerajaan-kerajaan/Daerah- daerah Melayu, fungsi Penghulu adalah sangat penting sekali, karena ialah yang langsung berhubungan erat dengan rakyat

1) Di antara sebab-sebab lain tak terlepas kemungkinan ditakuti Belanda bahwa Sultan Serdang ini akan meneruskan kontak-kontak dengan elemen-elemen anti Belanda seperti: Kepala-kepala Suku Batak yang masih merdeka di pedalaman atau dengan bantuan kongsi-kongsi Cina yang melarikan diri dari kebun-kebun untuk bekerja di perkebunan-perkebunan tembakau di Deli. Lihat juga: "Early Chinese Migration into North Sumaera" oleh: Anthony Reid.

184

PNRI sehaii-hari. Oleh karena itu ada kata-kata adat teruntuk Penghulu itu dan pantangan-pantangannya sebagai berikut: (1). Adapun Penghulu: Kayu besar di tengah padang, tempat berteduh di hari hujan, tempat bernaung di hari panas, uratnya boleh tempat duduk, batangnya boleh tempat bersandar. (2). Penghulu ialah kaya, bukan kaya karena emas, kaya karena adat pusaka, kaya karena undang dahulu kala. (3). Pantangan Penghulu: Memerahkan rupa di muka rapat menggertak menghantam tanah, menyingsing lengan baju, memanjat pohon, men- junjung barang yang berat, berlari, mengait. (4). Penghulu (berdiri) di pintu adat, Malim di pintu Agama, pegawai di pintu susah, hulubalang di pintu mati. (5). Kata Raja melimpahkan, kata Penghulu menyelesaikan, kata Malim kata Hakikat, kata Menteri kata berulang, kata Hulubalang kata mengeras, kata banyak kata bercampur, adat di atas tumbuh, pusaka di atas tempat, adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung.

6.d. PAGAR NEGERI, PERHIASAN NEGERI DAN KEBESARAN NEGARA

Pagar Negeri ialah: — Peralatan — Parit — Mufakat — Berpenghulu — Senjata — Kawan Perhiasan Negeri ialah: — Sawah ladang — Emas perak — Rumah tangga — Beras padi — Lumbung lonjong. Kebesaran Negara: Bersawah berladang, berteratak berpenyabungan, beritik ber- ayam, beranak berkemanakan, berkerbau berkambing, bertebat bertanam-tanaman, berkurung berkampung, bercupak bergantang, beradat berlembaga, berteratak berkepala kota, berbalai ber- 185

PNRI mesjid, berlabuh bergelanggang, bertepian tempat mandi. Jika negeri hendak selamat pagarlah dengan syarak dan adat, antara Datuk dengan Datuk, antara Bentara dengan Bentara, antara Hulubalang dengan Hulubalang, antara Rakyat dengan rakyat, semua seia bersatu hati. Sultan memegang adat yang kanun, Adat pusaka turun temurun, Adil pengasih arif bersusun, Bijak menilik zaman beralun.

Rumah sekata tengganai, Kampung sekata tua, Luhak sekata penghulu, Berpucuk bak jala, berumpun bak manau, Ke atas sepucuk ke bawah seurat, seraja sedaulat, seundang se- pusaka, seutang sepiutang, teijemur sama kering, terendam sama basah, luhak berpenghulu, negeri beraja, jauh segala silang seng- keta, di sana baru kita berdiri, berdiri takkan bergoyang lagi.

7. KESUSASTRAAN

Lebih kurang 1000 tahun suku-suku Melayu menganut ajaran Hindu dan Budha. Dari penggalian-penggalian dan pe- ninggalan-peninggalan patung-patung di daerah Melayu didapat kesan bahwa mereka mempunyai tulisan Hindu yaitu aksara "Kawi" atau kadang-kadang juga aksara "Nagari". Oleh sebab itu pengaruh dari kebudayaan dan kesusastraan Hindu itu masih banyak sisa-sisanya dan belum lenyap begitu saja meskipun telah datang Islam. Cerita-cerita dan hikayat-hikayat yang berasal dari Hindu yang digemari ialah misalnya "Hikayat Sri Rama" (dari Ramayana); "Hikayat Perang Pandawa Jaja" dan "Hikayat Sang Boma" (dari Bharata Yudha). Di samping itu juga digemari "Hi- kayat Raja-raja Pasai", "Sejarah Melayu" dan "Hikayat Hang Tuah".

186

PNRI Juga sangat digemari cerita-cerita Panji seperti "Hikayat Galoh digantung", "Panji Semirang", "Hikayat Ken Tabuhan", "Hi- kayat Pelanduk Jenaka", yang menceritakan putri Gunung Le- dang; "Hikayat Indra Bangsawan" (pemuda yang menyelamat- kan putri dari Negeri yang diganggu oleh Garuda Wisnu); "Hi- kayat Nakhoda Muda"; "Hikayat Indra Putra"; "Hikayat Iskandar Zulkarnain". Yang bersifat keagamaan seperti: Mingkat, Siratal Mustaqim, Masalilal, Badaijah, Usui, Jermi Arab, Tadjuid, Suratul Kiyamat. Hikayat Raja Badar, Muhammad Hanafiah, Sejarah Nabi Isa, Hamzah. Syair-syair Johar Cinta Berahi dan Bidasari. Hikayat dan cerita-cerita Hasan-Husin, Hikayat Raja Lahat, Hikayat Bayan Budiman (dari Parsi), Kalilah dan Daminah; Hi- kayat Puspa Diraja; Hikayat Gulam dan lain-lain dari Seribu Satu Malam. Juga buku-buku dari Aceh seperti "Tajus Salatin", "Bus- tanus Salatin"; "Kitab 1000 Masalah", Roman-roman dan sejarah seperti "Misa Melayu"; "Hikayat Merang Mahwangsa". Silsilah Melayu dan Bugis serta "Tuhfat A1 Nafis" karangan Raja Ali Riau. Alangkah terkenalnya lukisan mengenai datangnya subuh seperti di dalam versi Ramayana:

"Tengah malam sudah terlampau, Dinihari belum lagi tampak, Budak-budak dua kali jaga, Orang Muda pulang bertandang, Orang tua berkalih tidur, Embun jantan rintik-rintik, Bunyi kuang jauh ke tengah, Sering lanting riang di rimba, Mendenguh lembu di padang, Sambut menguak kerbau di kandang, Bertepuk mendung, merak mengigal Fajar sidik menyingsing naik, Kicak kicau bunyi murai, Tabtibau melambung tinggi, Menguku balam di ujung bendul Mendengut puyuh panjang bunyi, Puntung sejengkal tinggal sejari, 187

PNRI Itulah alamat hari hendak siang".1)

Dan kini dari cerita Bangsawan "Cempaka Biru"; gambaran laju- nya kapal berlayar, "Adapun jalan petala ini sedikit tidak berbelok haluan, ditiup angin selatan tok panji angin deras bergambar orang, mencabut cekur tumbuh di laman, mencabut malai-malai di lumpur, me- rebahkan kerbau hewan di padang, menyapu nyiur dara di laman, angin berkursi karang tembaga, belanak bermain ditinjau karang, iyu bermain di pintu kurung, tiang agung angguk mengangguk, tiang tupang imbas mengimbas, gada-gada cemuk mencemuk, ulai-ulai lilit melilit, liang kumbang sembur menyembur, tidak terpada lajunya kapal laju bagai pucuk dilancar, sampai kumbang putus tali jikapun tidak serupa burung, burung bersayap kapal berlayar". Dan sekarang di dalam Hikayat Malim Deman:

"Suaranya berlagu-lagu, Kera di dahan jatuh mendengar, Burung yang terbang terhenti-henti, Air vane hilir berbalik mudik". 7.a. SENI DAN UKIR

1) R. Winstedt.

188

PNRI "TUMBUK LADA": kira-kira mendekati pisau yang terbuat dari perunggu 1000 SM. yang berasal dari Anyang yang menyerupai pula pisau perunggu yang dipakai di Mongolia. "KERIS": keris telah ada disebut-sebut sejak abad IX Masehi dalam salah satu inskripsi dari zaman Syailendra: Menurut pe- nyelidikan Raffles, keris berasal dari Hikayat di Jawa, keris ini sampai di Jawa dari Malaya sewaktu daerah-daerah fii Semenan- jung Malaya takluk kepada Majapahit di abad ke-14. Tetapi kemasyhuran "Keris Majapahit", menunjukkan ke daerah Jawa sebagai negeri asal keris meskipun prototipenya dapat dicari sampai ke zaman kebudayaan Dongson dan mungkin didapati orang Jawa pertama-tama di Malaya. Pisau yang bermata dua itu bukanlah senjata Indonesia juga tidak pernah kelihatan di antara senjata-senjata India di ukiran-ukiran dinding Borobudur atau dalam permainan Ramayana. Jadi keris bukan berasal dari Indo- nesia atau India. Tipe itu mulai muncul sekitar abad ke-14 di candi Panataran, yang bentuknya mendekati senjata "Sundang" orang Bugis atau pedang pendek. Bentuk sempurna yang paling tua dari keris adalah keris besi dari Majapahit, di mana seperti juga halnya dengan pisau perunggu zaman Dongson, daun mata dan gagang- nya seakan-akan senyawa. Daun mata dari keris yang terdahulu mempunyai liuk-liuk tetapi liuk-liuk itu hampir-hampir tidak kelihatan dan lucu kelihatan sehingga orang menganggapnya sebagai model dari jari-jari si pandai besi. Tipe yang pertama, seperti juga pisau-pisau Dongson, terdiri dari bentuk sebuah figuur berdiri dengan tangannya terletak di pahanya. Tipe yang kedua dari gagang keris Majapahit adalah bersatunya gagang dengan daun mata, tetapi mengemukakan sebuah figuur dengan membungkukkan sikunya ke bawah dan tangannya di lutut, sebuah figuur yang masih populer di bawah pengaruh Dongson dan dalam bentuk tubuh orang Indonesia tetapi di- pinjam artinya dari mitologi Hindu. Mengenai hubungan antara bentuk Indonesia beijongkok dan iconografi Hindu, Saijana Von Heine-Geldern menunjuk kepada bentuk setengah duduk dan jongkok dari raksasa dalam suatu monumen di Singosari dan yang terkenal dari Garuda dari belahan

189

PNRI yang jongkok itu untuk membantu raja Erlangga dalam inkarnasi- nya sebagai Wishnu. Dan mengenai bukti masanya perubahan dari senjata yang bersenyawa kepada bentuk keris di mana gagangnya yang terbuat dari emas, gading atau kayu, terpisah dengan daun mata, ia menunjuk kepada salah satu syair dari Ramayana, yang menyimpulkan bahwa perubahan itu teijadi di akhir abad ke-13 atau lebih dahulu dari itu. Daun mata keris juga bergelombang melambang naga, yang di dalam mite Hindu garudalah yang menjadi pembunuhnya. Jadi gagang keris biasanya melambangkan burung dari Wishnu yaitu Garuda atau seorang raksasa atau kadang-kadang Hanuman. Menurut Von Heine Geldern gagang bentuk raksasa menunjuk- kan setan yang makan orang yang bernama Khalmasapada. Ketiga-tiga bentuk mite di atas mempunyai kekuatan supernatur, tidak terkalahkan dan bisa terbang serta menggelapkan dunia dalam penerbangan mereka. Jadi pendeknya semua ketiga-tiga tokoh tadi dipilih untuk diukir di gagang keris supaya ia mem- punyai mutu yang magis dan bahwa mereka melambangkan kekuatan kepada si pemilik keris itu. Kadang-kadang ada bentuk variasi yaitu tubuh manusia tetapi kepala berbentuk burung garuda. Bentuk keris Melayu berasal dari utara Malaya bernama keris "Pekaka" juga meniru liuk keris Jawa dan pembuatannya pun dinamai "Pandai besi" jadi ini tentu pengaruh Majapahit di abad ke-14 itu. Lain tipe kepala keris ialah yang umum dipakai di negeri-negeri Melayu, adalah yang berasal dari Bugis. Ciri-ciri- nya ialah kepala tunduk, tangan memeluk badan sehingga bentuk itu masyhur dinamakan keris "Jawa Demam" meskipun sebenar- nya kepalanya itu tetap berbentuk burung. Umumnya semua gagang keris berbentuk variasi-variasi raksasa atau tipe garuda meskipun keris-keris dibuat setelah masuknya Islam. Memang hampir semua daerah-daerah dan suku-suku bangsa di Indonesia ini bersenjatakan keris, tetapi keris Melayu ada beda- nya dengan keris-keris Jawa/Bali dan sebagainya. Ada keris Melayu yang pendek dan ada pula yang panjang. Nama-nama keris ber- macam-macam pula seperti "Jawa Demam" di atas, keris "Sapu Hawar", "Beruk Berayun" dan lain-lain lagi. Kepala atau hulu

190

PNRI keris itu (gagangnya) umumnya diperbuat dari kayu berukir cantik atau dari gading dan kadang-kadang dibubuhi pula dengan perak, emas, atau permata mutu manikam. Setiap keris atau senjata Melayu haruslah ada tuahnya oleh sebab itulah menempa keris haruslah oleh tukang tempa yang ber- keturunan dan terkenal. Sebelum menempa si pandai besi itu berpuasa dahulu dan bersamadi dan besinya kadang-kadang O'ika tempahan benar) terdiri atas campuran 7 macam logam, dan dikeijakan dengan tangan sendiri. Setiap lekuk atau liuknya adalah ganjil dan mempunyai syarat-syarat mantera tersendiri. Keris Panjang dinamakan jika lebih dari 2 jengkal. Orang Melayu memakai keris disisipkan di sebelah muka pinggang kiri. Kepala sarungnya biasanya berbentuk sampan. Keris dipelihara dengan cermat. Tiap malam Jumat diasapi dengan kemenyan, dilimau dan diminyaki dengan bau-bauan, biasanya minyak athar. Di samping keris orang Melayu juga mempunyai berbagai-bagai senjata khusus seperti "Tumbuk Lada", "Kerambit" yaitu beng-

191

PNRI PNRI kok bentuknya dan bermata dua sedang di ujung gagangnya ada lubang tempat jari. Mempergunakan kerambit itu harus pandai pula jika tidak, dapat menjadi bumerang bagi si pemakai. Keris ada yang berliuk (lok) sembilan (keris panjang). Selain itu ada lagi "Boling", "Gula Rambau", "Sindit", "Bawar", "Sentiabu", "Cenangkas", '"Pisau Rincang Mata" dan "Badik" (berasal Bugis). Jenis-jenis pedang dan lembing, seperti "Lancong", "Golok Rimbau", "Gedubang", "Tombang Baderang", "Kelasim". Keris- keris yang termasyhur ialah "Keris Sempana" dan keris "Cerita Lok Sebelas". Di samping itu ada jenis-jenis senapang seperti "Setenggar" dan "Pemburas Naga". Jenis-jenis perisai atau lem- bing dan meriam-meriam seperti "Lela" dan "Rentaka", (brass atau iron swivels). "Bawar" dan "Semumu" adalah sejenis pedang panjang. "Serampang" adalah sejenis tombak tetapi ujungnya bercabang seperti kail, ada cabang dua atau tiga dan sebagainya. Berhubung menurut kepercayaan orang-orang Melayu sifat-sifat senjata terutama keris haruslah sesuai dengan watak dan sifat dari si pemakai maka oleh karena itulah ditenungkan terlebih dahulu kepada pawang keris apakah sesuatu keris itu cocok untuk si pemakainya. Pengaruh-pengaruh Hindu banyak dalam segala bidang tetapi sangat sedikit di dalam bidang pertenunan. Nyata bahwa pe- ngaruh dari India dalam lapangan pertenunan sangat sedikit, mungkin pula karena kemudian sering datang kain-kain dari India dalam lapangan pertenunan sangat sedikit, mungkin pula karena kemudian sering datang kain-kain dari India yang dekat itu yang dibawa oleh saudagar-saudagar sehingga kain-kain dengan motif dari India itu disukai untuk pakaian dalam kalangan istana. Misal- nya kata "Sutera" berasal dari kata Sangsekerta. Sampai hari ini menenun sutera hanya dilakukan di dalam daerah-daerah yang tertentu di pesisir pantai, di istana-istana dan kota-kota besar. Terkenal "Kain Limau" tenunan Trengganu, "Palembang" dan "Batubara" serta "Kain Telepok" dari Pahang, Kedah, dan Se- langor. Yaitu kain katun dengan motif yang kecil di atas dasar hijau tua atau biru tua disapukan dan dicap dengan sebuah blok kayu yang sudah diukir serta sudah disemir dengan lem dan

193

PNRI kemudian ditutupi pula dengan daun emas yang dilengketkan kepada motif-motif yang sudah dilem tadi. Satu cara yang lain ialah "Kain Sungkit". Caranya ialah kain tenun terletak di atas bangku tenun lalu disungkit dengan kalam mergat barulah dimasukkan benang emas, lalu dipijaklah karab, barulah dimasukkan benang itu dipukul dengan sisir. Setelah 10 helai disungkit lagi dengan kalam tadi dan dimasukkan lagi benang emas dan dipijak lagi karabnya. Kalam tadinya penyungkit untuk menentukan bunga besar atau kecilnya motif. Sisir harus sama memukul dan jika tidak rata memukul, benang dapat putus. Sumber-sumber Cina dalam abad ke-10 menceritakan kepada kita bagaimana raja-raja di Sumatra yang memakai gelar Hindu me- ngenakan pakaian kain sutra yang berbunga dan dilekatkan mutiara di atasnya. Mereka juga menceritakan bagaimana maharaja-maharaja Cina

194

PNRI Kendi tempat air, dalung gebok tempat air, cembul pinang dan kacu/gambir, pending kepala bengkung (tali pinggang) cembul cengkih, cembul kapur, puan, balai.

PNRI di awal ke 15 mengirimkan kepada raja Malaka sutra-sutra yang terhias dengan gambar-gambar naga. Juga di negeri Melayu masy- hur menyulam benang emas pada bantal-bantal dan permadani- permadani. Terkenal tempat duduk raja seperti "Tikar Ciau" yaitu permadani yang terbuat dari pandan berkerawang ber- bentuk 4 segi makin ke atas makin kecil tingkatnya, semua tingkat tujuh lapis. "Tikar panjang beropok" yaitu alas tempat tidur raja berkerawang yang terbuat juga dari pandan. "Bantal Seraga" adalah bantal yang digunakan untuk sandaran tempat duduk raja. "Senggora" yaitu kain yang bertekad dan bersulam dengan emas yang digunakan untuk alas pahar/dulang, dan "Sahap" ialah tutup dulang, juga kain yang disulam dengan benang emas. Di dalam bidang kerajinan tangan membuat ukir-ukiran pada perak ada 2 cara yaitu masing-masing sebelum Islam dan pe- ngaruh-pengaruh Hindu. Didapati tali pinggang dan "Pending" yang terbuat daripada emas atau perak dan diukir serta di tengah- nya ada bunga lotus (teratai) sebagai simbol Budha. Di daerah pesisir timur Sumatra perahu-perahu bentuk ukirannya ada bentuk Pallawa dan ukiran India lainnya dengan motif-motif daun-daunan dan bunga-bungaan; dan misalnya pada cembul tempat pinang terdapat motif-motif bunga chrisanthemum. Terkenal bermacam benda ukiran yang terbuat daripada perak atau emas seperti "Ogok" (tempat menyimpan azimat), "Dokoh" (rantai panjang yang bertelepok), kerabu emas yang bulat besar, ikat keris yang terbuat dari emas atau perak. Kesemua itu mengingatkan kita akan pengaruh-pengaruh India Selatan dan mungkin dibawa oleh orang Tamil (Keling) langsung ke Sumatra. Raffles menulis bahwa biasanya orang Jawa tidak mengeijakan emas menjadi alat-alat ukiran yang indah itu yang biasa di antara pekeijaan tangan orang Melayu di Sumatra". Berapa alat-alat Raja-raja Melayu yang terdapat di istana Serdang seperti: "Dulang" atau "Pahar" yaitu suatu bentuk seperti talam (lihat gambar Dalung) terbuat dari tembaga dan pinggirnya berukir tetapi berkaki tinggi gunanya tempat hidangan makanan. "Dalung" yang bentuknya seperti di atas cuma kakinya agak pendek. "Semberit" yang bentuknya seperti talam juga, tetapi di atasnya dapat diletakkan

196

PNRI pinggan makanan terbuat dari tembaga berukir. "Bokor" terbuat daripada tembaga gunanya untuk alas (tempat meletakkan) pe- riuk nasi, yang turut dihidangkan. "Ketur" terbuat daripada tembaga adalah tempat tadahan air pencuci tangan, karena biasa- nya air disiramkan untuk mencuci tangan. "Kendi" maupun "Gebok" adalah tempat air yang terbuat daripada tembaga atau tanah liat. "Batil" adalah tempat air minum yang terbuat dari- pada tempurung dan diukir bertatah emas atau perak. "Gangsa" terbuat daripada tembaga atau perunggu ialah kancing baju pe- rempuan yang bentuknya seperti salib. Benda-benda yang terbuat dari gelas (porselin) biasanya buatan Tiongkok, banyak diper- niagakan sejak dahulu kala di negeri-negeri Melayu baik dari zaman Ming (1368 — 1644) atau zaman dinasti Sung (960 -127) atau Yuan (1 260 - 1368) maupun zaman Han. Umum di pesisir Timur Sumatra ialah tempat air guna penyimpan air atau tempat basuh kaki terbuat dari sebangsa tanah liat (tem- payan). Juga tikar-tikar yang dianyam indah telah dikenal oleh pelawat- pelawat Cina 300 tahun yang lalu di daerah itu'

7.b. HUBUNGAN KEKELUARGAAN

Urutan pertalian darah ke bawah ialah: Anak - cucu - cicit - piut dan 2 generasi ke bawah lagi disebut "Oneng-Oneng" atau "Antah-antah". Hubungan pertalian darah ke atas ialah: Ayah — atok (nenek) moyang. Ipar kadim = Saudara kandung dari istri atau suami. Biras = Suami dari saudari istri/istri dari saudara si suami. Besan = Hubungan antara orang-orang tua si istri dengan orang-orang tua si suami. Besan sebantal = Suami dan istri masing-masing mem- punyai anak dari perkawinan mereka terdahulu sebelumnya, dan anak-anak

197

PNRI mereka itu kawin pula satu dengan yang lain. Berbaka = Menunjukkan asal sebelah ayah dan sebelah ibu. Tua Kandong = Atok perempuan. Gaek kandong = Saudara dari atok perempuan (di Malaya ini dipanggilkan "Wan"). Sebutan-sebutan nomor berturut dalam saudara : Disebut "Sulong" atau "Ulong" atau Anak pertama "Long". : Disebut "Ngah" (jika hanya 3 anak Anak kedua maka anak yang kedua disebut Ngah juga atau "Acik") atau "Awang". Anak ketiga : Disebut "Alang" atau "Lang". Anak keempat : Disebut "Uda". Anak kelima : Disebut "Andak". Anak keenam : Disebut "Uteh". Anak ketujuh : "Disebut "Itam" atau "Tam". Anak kedelapan : Disebut "Acik" atau "Cik". Anak penghabisan : Disebut "Ucu" atau "Bungsu". Saudara sewali = Jika ayah dengan ayah bersaudara, anak-anak mereka sewali. Saudara impal = Jika ayah kita dengan ibunya ber- saudara. Ini adalah perkawinan yang ideal di kalangan anak-anak mereka pada suku Melayu (impal larangan = sudah tempatnya untuk saling kawin. Jika si pemuda atau si gadis kawin dengan orang lain yang bukan impal larangan, biasanya pada waktu akad

198

PNRI nikah, impal larangan dijauhkan dari tempat itu). Anak beru Ipar laki-laki atau wanita yang kawin ke pihak kita. Puang Pangkat ayah atau pakcik atau makcik atau lebih tua tingkatnya lagi dari seorang calon pengantin. Saudara sepupu Jika ibu kta dengan ibunya ber- saudara. Kelangkahan Jika pengantin perempuan mempu- nyai seorang kakak perempuan yang belum kawin. Kepada kakaknya itu harus diberikan "Upah-upah" (kain dan sebagainya) dan ditepungtawari agar jangan sial. Aban (bangsawan) Abang Akang (bangsawan) Kakak (perempuan). Entu (bangsawan) Bapak Kandung. Ende (bangsawan) Ibu atau tutur ibu.

I.e. SENI MUSK DAN TARI

Penduduk Melayu di daerah pesisir Timur Sumatra khusus- nya sangat gemar akan musik. Ini kita peroleh dari penyelidikan yang didapat John Anderson tatkala melawat ke daerah-daerah itu. Lagu-lagu yang disukai ialah: Lagu Dua, Cantik Manis Gunong, Mas Mawar, Amboi Sayang, Air Pasang, Hati Raja Gunong, Ti- mang-timang, Beranyut, Kuda Lengkong, Raja Beradu, Timbang Kelantan, Anak Mambang, Dadong, dan lain-lain lagi menurut- nya sangat populer di tahun 1823 itu. Tetapi banyak di antara komponis-komponis Melayu yang menciptakan lagu-lagu tidak memperkenalkan diri sehingga hampir semua lagu-lagu Melayu yang populer tidak diketahui siapa yang menciptakannya. Ini

199

PNRI merupakan pertanda kekurangan pencatat-pencatat sejarah di daerah itu. Banyak pula komponis di daerah itu yang mencipta- kan lagu-lagu daerah Melayu yang diilhami oleh lagu-lagu Arab, irama India dan Cina (seperti misalnya lagu-lagu Khazal, Gambus, Hindustan, Senandong Cina) dan juga dari daerah-daerah suku lain di Indonesia seperti Jawa, Batak, (patam-patam) dan lain- lain. Alat-alat musik yang tertua sepanjang diketahui di daerah itu ialah: Suling Bambu, Gendang ronggeng (menyerupai rebana tetapi lebih besar), Gendang silat (berbentuk panjang dan bulat dan tertutup kulit di kedua sisinya dengan sebuah lubang kecil di kayu tengah) Bio la (diambil dari orang Barat — Portugis), Rebana (pengaruh Arab), Serunai (semacam "Obu"), Nahara (gendang yang sebelah dikuliti), Nafiri (trompet), Kecapi se- macam biola yang digesek seperti cello (mungkin pengaruh Cina), Gong, Telempong (gong-gong kecil yang berbeda nadanya), Keracap (bambu yang dibelah-belah yang kemudian dipukul- pukulkan) untuk irama, Kopok-kopok (semacam cymbal kecil), dan bangsi. Tari-tarian yang digemari di daerah itu ialah: Tari ronggeng, di mana pasangan laki-laki dan wanita berhadap-hadapan menari menurut irama tempo lagu, sambil bergantian berpantun, tetapi tidak bersentuh-sentuhan. Irama tari itu ialah: Senandung (pe- lan), Tari Lagu Dua (irama besar kemungkinan diambil dari pe- ngaruh Portugis), Irama Mak Inang, Irama Cek Minah Sayang (lebih cepat dari irama Mak Inang), Pulau Sari (Tari Lagu Dua yang dilipatgandakan kecepatan temponya) dan Patam-patam, seperti irama lagu silat (pengaruh Batak). Di akhir abad ke 19 oleh Sultan Sulaiman Syariful Serdang di- bawalah ke daerah itu rombongan penari-penari "Makyong" dari Perlis (Malaya) dan sejak itu mulailah populer tarian itu di daerah ini. "Tari Gambus" (atau ghazal) adalah pengaruh Arab dengan instrumen-instrumen "oudh" dan gendang kecil Arab, ditarikan oleh laki-laki. "Tari Ahoi-Ahoi" untuk mengisahkan pada waktu menumbuk

200

PNRI padi di kampung-kampung ditarikan oleh laki-laki berkeliling mengitari sambil memijak padi dan seorang di antaranya me- nyanyi syair, terkenal di daerah Sunggal. Kemudian ada tari-tarian perang dan ketangkasan seperti: Randai, (silat tari pengaruh Minangkabau untuk menyongsong tamu-tamu ditarikan serentak bersama-sama); Silat Lintau dan Taram. Tari Perang dengan perisai dan pedang (pengaruh dari Bangkahulu dan Kerinci). Perkembangan tari-tari Melayu sangat pesat, yang mulanya ber- pusat di istana-istana raja-raja dan kemudian menjadi tarian rakyat umum, sangat populer sampai waktu ini di seluruh Indonesia seperti "Pulau Sari" (kini dikenal dengan nama "Serampang Duabelas"), sebagai tari pergaulan muda-mudi.1)

8. SISTEM UNDANG-UNDANG

Winstedt selanjutnya menulis, undang-undang di dalam kerajaan Melayu biasanya bercampur dengan Hukum Adat kebiasa- an ditambah pengaruh-pengaruh Hindu dan Islam. Hukum Adat Melayu disebut oleh pengarang-pengarang asing dengan nama "Adat Temenggung" guna memisahkannya dengan "Adat Per- patih" yang dipakai di negeri-negeri Minangkabau2). Banyak pula Adat Melayu di daerah ini di dalam melaksanakan undang-undang dan hukuman yang diperoleh dari Aceh dan Siak

1) Di sekitar tahun-tahun 1954 dikenal di Sumatra Utara penggerak-penggerak/ pencipta-pencipta pembaharuan tari-tari Melayu seperti almarhum T. Radjih Anwar dan almarhum Sauti ("Serampang XII). 2) Meskipun beberapa gelar diambil dari Minangkabau akibat pengaruh emigran emigran Minangkabau sejak zaman Raja Kecil berkuasa di Siak (dan pengaruh di daerah ini 1717) maupun sebelumnya, yaitu tatkala perang saudara di Ke- rajaan Pagaruyung (sejak ± 1680 Sultan Ahmadsyah Pagaruyung mangkat) se- hingga Kerajaan Pagaruyung terpecah dua yaitu: yang bercabang di Suruaso dan yang di Sei Tarab. Kerajaan-kerajaan tersebut lenyap di zaman perang Padri. Hanya Raja Pagaruyung yang terakhir di Tanah Datar yang sempat luput dari peristiwa penjegalan berdarah oleh pihak Padri di dalam rapat di Koto Tangah (1809) dan lari ke Kuantan. Lihat buku "Sejarah Minangkabau".

201

PNRI (Siak memperolehnya pula dari Kerajaan Riau — Johor dan yang belakang ini mewarisi pula dari kerajaan Malaka). Adapun pepatah adat di dalam menjalankan hukuman sebagai berikut: "Adat bertanda, hukum bersaksi; Adat yang tiba kegelap menjala, Bersurih bak sipasin, Berlondar bak lengkitang, Berbau bak mancang, Ke hulu tak tentu kuangnya, Ke hilir tak tentu kuala. Di mana anjing menyalak Di situ biawak memanjat.

Di dalam Hukum Adat Melayu suami istri bisa masing-masing membawa apa yang disebut "Harta pembawaan" dan "Harta Pendapatan" yang dibawa oleh seorang wanita janda dari men- diang suaminya. Di samping itu ada pula "Harta Pencaharian", yaitu harta yang diperoleh atas jerih payah bersama-sama selagi sebagai suami istri. Jika terjadi perceraian atau salah seorang meninggal dunia, maka harta pencaharian ini dibagi dua dahulu, dan baru sebahagiannya itu menjadi harta warisan (dalam hal salah seorang meninggal dunia). Adapun undang-undang Melaka seperti yang tersebut di atas dinamakan juga "Risalat Hukum Kanun", antara lain menuliskan tentang larangan-larangan me- makai pakaian-pakaian tertentu, larangan memakai baju warna kuning yang hanya boleh dipakai oleh Raja, hukuman-hukuman mati terhadap pembunuh, menikam, memukul, perampokan, menuduh seorang yang tidak benar, berdusta di muka Hakim, menjual titah Raja (mengatakan seakan-akan Raja menitahkan demikian). Tiada ubahnya juga hukuman-hukuman yang dijalan- kan di Deli seperti yang diberitakan oleh John Anderson1) dalam lawatannya dalam tahun 1823: "Pencurian dikenakan hukuman bunuh; juga jika terdapat pencuri di rumah dapat dihukum mati

1) "Mission to the Eastcoast of Sumatra".

202

PNRI di tempat. Demikian juga halnya jika orang diketemukan di bawah rumah Sultan, dapat dibunuh segera. Pembunuh, memakai atau memalsukan nama Raja, mengambil iStri orang, dapat di- hukum bunuh. Tetapi jika seorang pencuri lari menjumpai raja, menyatakan salahnya terus terang dan minta ampun dan mohon perlindung- an, ia dapat ampunan tetapi harus menjadi hamba raja seumur hidup. Cara eksekusi hukuman sangat keras. Tethukum dimasukkan dalam sebuah lubang, kedua tangannya diikat dan ia disuruh membungkuk, algojo lalu menikam lambung kirinya dengan tombak, lalu ikat tangannya dibuka, dan algojo menerkamnya dan menekankannya ke dalam lubang lalu menutupi lubang tersebut dengan tanah. Jika 2 orang berkelahi, salah seorang kena luka di kepala men- cucurkan darah, imbangannya haruslah membayar $. 8.—, se- ekor kambing, sekabung kain putih dan sekecak sirih dan lalu diadakanlah kenduri. Jika yang berdarah adalah bahagian badan denda cuma $. 5.—, anak kambing, beras putih dan sirih. Pelanggaran-pelanggaran kecil-kecil lainnya dihukum dengan pukulan-pukulan rotan".

8.a. HARTA PENINGGALAN

Pembahagian harta peninggalan adalah menurut Hukum Islam (Faraid) yang berlaku untuk umurtmya. Tetapi sangat jarang, jika seseorang meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi-bagi oleh para ahliwarisnya, paling-paling penentuan porsi tentang pembahagian hasil sesuatu bidang usaha harta itu, dengan legalisasi dari Orang Besar setempat atau Kerapatan. Malahan semacam "pantangan" jika harta peninggalan itu segera. dibagi- bagi di antara ahliwarisnya. Oleh karena itu "Harta Pusaka Tinggi" masih uraum kedapatan di antara suku Melayu di Serdang, ter- utama sebelum perang dunia II. Yang memegang pimpinan pe- ngurusan harta peninggalan itu biasanya adalah putra yang tertua

203

PNRI dari pewaris, dan jika ahli waris masih di bawah umur, dipegang oleh paman mereka yang tertua (saudara laki-laki dari pewaris). Jika istri atau. ibu pewaris masih hidup, terutama jika masih mempunyai anak-anak di bawah umur atau gadis-gadis yang belum kawin, hasil dari harta peninggalan diberikan untuk ke- hidupan mereka itu tadi. Harta pusaka yang berbentuk barang- barang perhiasan terserah kepada anak-anak perempuan, dan benda-benda pusaka lainnya seperti alat-alat senjata: keris, pedang, dan sebagainya jatuh ke tangan anak laki-laki dan jika hanya sebuah saja misalnya, itu jatuh kepada anak laki-laki yang sulung. Mengenai "Harta Pencaharian Bersama" (atau di Serdang di- kenal dengan nama "HARTA SYARIKAT") baik kita lihat contoh adat yang tertulis, keputusan Kerapan Besar Serdang tanggal 2 Maret 1932 mengenai perkara Tengku Syamsuddin dengan Incik Gadih1). "Adapun wanita waktu bercerai ia bukan sama-sama Tengku, tidak mendapat Harta Syarikat, tetapi Tengku itu wajib meme- lihara jandanya itu dengan sepatutnya yaitu mengadakan rumah kediamannya, membelanjainya sampai ia kawin lagi. Di dalam perkara ini, Incik Gadih, tidak berlaku Harta Syarikat atau gaji selama perkawinan (11 tahun), tetapi setelah yang terdakwa Tengku Syamsuddin menceraikan Incik Gadih itu (sesudah 18 bulan)".

8.b. ADAT TANDA-TANDA LARANGAN

SERDANG2).

I. Kait-kait: Yaitu tanda mengambil hutan akan ditebas. Pada tiap-tiap

1) Adatrechtbundels XXIX". 2) "Adatrechtbundels" (XXVI: Maleisch Gebied en Borneo). Pepatah adat: "Pinang nan gaya "Sehelai akar puntung Nyiur yang saka Sebingkah tanah terbalik Jerat yang panjang Sebatang kayu yang rebah Nenek moyang saja yang Saya yang empunyanya" membuka"

204

PNRI satu kait berarti luasnya segantang benih (padi). Maka hen- daklah pula tebasan pada dekat kait-kait itu lebih kurang sedepa empat persegi luasnya.

II. Salib t (a): Dipergunakan akan menjadi tanda berapa kait bagi seorang. Salib ini didirikan di kanan kiri kait-kait itu; maka tanah yang di antara dua salib yang didirikan di kanan kiri kait-kait itu, jadi hak orang yang menandai itu. Lamanya kedua tanda itu terpakai lebih kurang empat bulan, yaitu selapuknya tanda itu.

III. Salib t (b) atau X (c): Tanda pelarangan untuk belantik, suda (ranjau) dan sebagai- nya. Salah satu salib itu didirikan pada tiap-tiap penjuru tempat yang berbahaya itu, dan pada antara-antaranya di- dirikan juga salib (a). Tanda-tanda itu masih berarti, selagi ada tanda itu.

IV. Bulan-bulan (O) atau panca empat (X) yaitu pada pohon: Tanda pelarangan pada pohon supaya jangan diambil orang lain. Tanda itu ditambahi lagi dengan tebasan sekeliling pohon yang ditandai itu sekira-kira sedepa. Lamanya pelarangan, sampai hilang tanda itu, dan kalau dipaku pada tengah tanda itu, sampai setahun. Buat kam- pung Melayu di sebelah Hilir akan menguatkan sah tanda itu, diserahkan pada pangkal itu, kulit kerang dan sebagainya.

V. Panji-panji dan batu nisan : Yaitu tanda-tanda keramat dan pekuburan.

VI. Lambai-lambai: Tanda pelarangan masuk ke dalam kampung, halaman (pe- karangan), sungai, dan lain-lain. Tanda itu dipakai juga oleh kerajaan. Pada tiap-tiap penjuru tempat yang dilarang itu, 205

PNRI didirikan salib (a) dan direntangkan lambai-lambai itu. Lambai-lambai itu terbuat daripada jenis dan daun kelambir yang muda, dan boleh juga daun-daun yang lain yang ditali.

VII. Kulang-kulang rotan (pada pohon); Pelarangan untuk lebah yang bersarang pada pohon itu, supaya jangan diambil oleh orang lain. Tanda itu ditambah lagi dengan tebasan sekeliling pohon itu sekira-kira sedepa serta didirikan pada tepi tebasan itu beberapa salib (b). Tanda itu, hanya tertentu untuk pelarangan atas pohon yang baru dinaiki (di tempat) lebah. Adapun pohon-pohon yang sudah dipating orang, maka pating itu jadi tanda larangan juga buat orang lain.

VIII. Arehan (aruhan): Tanda anak-anak sungai atau alur, untuk mengambil ikan, yaitu pada ujung pangkal atau hulu hilirnya dibuat salib dan pada tempat mengambil ikan itu dibuatnya "batur- batur" (Bahasa Batak), yaitu diaturnya beberapa buah batu hingga tampak tyentara.

IX. Pelarangan lubuk: Di seberang menyeberang lubuk itu didirikan salib, dan dari salib itu direntangkan tali, yaitu pangkal tali terikat pada satu salib itu dan ujungnya terikat pada satu lagi. Maka pada lubuk itu digantungkanlah jagung pada tali itu, disebut namanya "pinah-pinahan".

X. Larangan pada qungai-sungai dan rantau: Direntang tali dari seberang ke seberang; pada tali itu di- gantungkan beberapa daun yang seumpama daun kelambir; tali itu dua rentang, serentang di hilir serentang di hulu, maka pada antara dua tali yang terentang itu, di situlah larangan itu. Tanda larangan ini hanya tertentu buat raja. Tanda-tanda yang tersebut dari V sampai X berlaku selama

206

PNRI belum hilang tanda itu.

LANGKAT1): 1. Pada umumnya dilarang merusak atau memotong "Pohon Tualang", karena pohon-pohon itu dipakai oleh lebah untuk membuat sarangnya, dan madu juga lilinnya dipakai oleh penduduk. Tanda-tanda larangan tertentu tidak perlu diberikan oleh karena setiap' orang tahu akan pohon-pohon itu. 2. Juga tidak dibenarkan memotong pohon-pohon yang ter- letak di tempat-tempat tertentu yang lebih tinggi pohonnya dari belukar atau pohon-pohon yang lain, karena perlu untuk rakyat buat menemukan kembali tempat itu. Juga kepada tempat seperti itu selalu diberikan nama pohon tertentu, misalnya "Tanjong Beringin". 3. Dilarang memotong pohon-pohon besar dekat kuburan keramat. 4. Jika seseorang di dalam hutan menemukan sebuah pohon besar, yang ingin dipergunakannya kayunya, untuk mem- buat sampan atau lain-lain, tetapi jika ia belum segera mem- punyai waktu untuk memulainya, maka ia menakik dengan pisau kulit pohon itu dengan tanda bulat, dengan lebar kira- kira dua jari dan dalamnya menurut dalam kulit pohon itu. Selagi tanda larangan ini belum hilang, selama itu orang lain tidak boleh mempergunakan pohon itu. 5. Pohon-pohon besar yang menurut rakyat dihuni oleh hantu- hantu (umumnya pohon-pohon "Merbau", "Beringin" atau "Ara") hanya boleh dipotong jika ia dekat dengan kampung. 6. Jika orang ingin membuka ladang dalam hutan, maka di- buatnyalah tanda dekat dengan sebuah sungai atau jalan tikus. Tanda itu dinamakan "Lambai" dan terbuat daripada kayu.

1) Lihat juga "Adatrechtbundels XXII".

207

PNRI Ia terdiri daripada dua buah tongkat berjauhan satu dengan yang lain, setinggi kira-kira tiga hasta, dan di atasnya diikat dengan tongkat silang di mana digantungkan tongkat-tongkat kecil. Banyaknya tongkat kecil yang tergantung menunjuk- kan berapa gantang bibit yang akan dipakai untuk menanam padi. Jika ia akan memakai 5 gantang maka digantungkannya lima buah tongkat kecil. Orang pun tahulah kira-kira berapa luas tanah harus dikosongkan dan tidak boleh dipakai oleh orang lain. 7. Juga selalu didirikan tanda-tanda tertentu di hutan; 2 tongkat berbentuk salib dimaksudkan memberitahukan rakyat bahwa di hutan ada perangkap untuk menangkap binatang liar. Jika ada penyakit-penyakit menular digantungkan juga berbagai tanda-tanda.

DELI: Tanda larangan pada pohon-pohon tidak terdapat di negeri ini; menurut penyelidikan adat di sini tidak pernah tahu tentang tanda-tanda tersebut. Memang ada beberapa cara dibuat untuk memberitahukan sesuatu, bahwa di atas sebidang belukar ada hak membukanya, misalnya membuat parit di sekeliling pohon-pohon yang terletak di titik-titik sudut, memotong-motong sampai tinggi tertentu dan mematahkan pucuk ranting, sehingga titik-titik itu dapat kelihatan dari jauh; tetapi cara ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan adat, dan diperbuat meniru cara-cara yang diperbuat oleh orang Eropa.

LABUHAN BATU: "Bulan-bulan" adalah: Tanda panca empat pada pohon yang sudah tumbang atau masih hidup di dalam hutan di mana seseorang yang menemukannya ingin memilikinya. Dengan parangnya dipotongnya tanda kulit kayu dan pada pohon yang masih hidup sampai kepada kayunya (amis). Kemudian sesampainya ia di rumah lalu pergi menghadap Kepala Kampung atau Raja dan melaporkan di mana tempat pohon itu dan apa jenis pohonnya.

208

PNRI Hak ini dipakai baik untuk pohon Sialang (di mana lebah sering bersarang) juga untuk pohon-pohon yang lain. Daerah sekeliling pohon-pohon yang hidup mestilah dibersihkan sekelilingnya kira- kira selebar 3 depa. Setelah itu si pemilik membuat tanda pohon itu di dalam bentuk sebuah batu atau kulit kerang. Umumnya hak seseorang pemilik pada pohon itu diakui selama tanda-tanda takikan pada batang pohon masih jelas tampak. Jika tanda-tanda itu hilang maka hak-pun gugurlah. Mengenai hak terhadap pohon- pohon yang mati atau yang telah dipotong lamanya hak berbulan- bulan diakui selama tidak ada tumbuh belukar di dekat pohon itu, menjadi besar dan begitu rupa sehingga dengan pohon muda yang baru tumbuh itu orang dapat mematahkan batang pohon yang pertama tadi. Sejak 1917 banyak hak dari Sultan yang dihapuskan oleh Belanda seperti "Barang Larangan", "Tapaklawang" dan "Pancong Alas'"). Barang Larangan = alat-alat yang dikumpulkan oleh siapa saja yang tidak dipersembahkan menurut adat sebagai penghormatan kepada raja. Sultan memberi sebagai gantinya kurnia sebuah "Persalinan" terdiri atas seprangkat pakaian. Dalam Barang La- rangan ini termasuk antara lain gading gajah, sumbu badak, guliga, gaharu merupa, dan lain-lain termasuk kapur barus. Dari setiap gajah jantan yang ditangkap atau dibunuh mestilah salah satu gadingnya disembahkan kepada raja dan yang satu lagi untuk si pemburu kecuali raja menghendakinya kedua-duanya, maka baginda membayar dengan harga pasar. "Sumbu badak" ter- kenal sebagai penawar bisa dan obat jika terjadi kecelakaan. "Gaharu merupa" adalah sepotong kayu gaharu di mana sese- orang masuk hutan pasti dapat menemukan pohon gaharu. Tapak Lawang = hasil tanah yang dipungut melalui penghulu kepada penduduk-penduduk asing di daerah mana mereka ingin bertanam (10 gantang padi perladang). Pancong Alas = hasil yang dipungut penghulu dari orang asing

1) "Adatrechtbundels" XVIII.

209

PNRI di daerah mana mereka ingin mengumpulkan hasil-hasil hutan sampai sejumlah 10% dari hasil nilai.

8.c. TENTANG MENGAMBIL SARANG LEBAH

Pohon Sialang, di mana lebah selalu membuat sarangnya, adalah kepunyaan yang pertama-tama menemukannya, dengan syarat berada di dalam kawasan daerah kampungnya. Jika pohon tersebut berada di daerah kawasan kampung lain, maka si penemu tadi berhak mengambil seluruh sarang lebah yang ada di pohon itu untuk satu kali saja dan selanjutnya ia berhak pula meng- ambil selama umur hidupnya, semua sarang lebah" dari sebuah cabang di pohon itu. Setelah ia meninggal dunia, maka pohon tadi menjadilah ke- punyaan kampung di daerah mana pohon itu tumbuh. Jika lilin dipungut dari sebuah pohon umumnya dibagi di antara 3 orang yaitu 1/3 kepada pemilik pohon, 1/3 kepada orang yang me- manjat, 1/3 kepada orang yang menjaga di bawah pohon. Selain itu ada lagi jenis lebah yang tidak bersarang di pohon tetapi di dalam lubang-lubang, yang dinamakan "lebah neruan". Mengenai lebah neruan ini semua orang bebas mencarinya di mana dan bilamana saja ia suka1).

8.d. TENTANG PAROHAN DALAM PEMBIAKAN TERNAK

Anak yang lahir dari perkawinan ternak (kerbau-lembu, kambing) di dalam bagi hasil adalah masing-masing kepunyaan separuh untuk si pemilik dan separuh lagi untuk si pemelihara; nilai dari anak ternak tadi ditaksir dan setiap mereka berhak atas 50% masing-masing daripadanya. Biasanya si pemelihara menerima anak ternak yang lahir itu dan si pemilik cukup puas menerima uangnya saja seharga bahagiannya. Jika ternak itu mati maka ke-

1) JMBRAS (17:1886) tentang "Siak" oleh KEHDING.

210

PNRI rugiannya ditanggung bersama-sama, kecuali dapat dibuktikan bahwa ternak itu bukan mati secara wajar tetapi karena kesalahan dari si pemelihara. Umumnya pun mengenai hal ini kerugian ditanggung sendiri oleh si pemilik. Di sementara daerah Malayu di pesisir Timur Sumatra ini ada kemungkinan-kemungkinan lain. Pada waktu peijanjian akan diperbuat (biasa dalam masa 2 tahun) nilai dari ternak-ternak yang akan dibagi hasil itu ditaksir dahulu dan jika rugi atau untung dibagi rata, kecuali di dalam rugi atas kealpaan pemelihara, maka dalam hal ini pemeliharalah yang bertanggung jawab. (Bengkalis). Di daerah Rokan, jika induk ternak mati, maka bahagian dari si pemelihara atas anak yang bakal lahir diserahkannya pada si pemilik atau jika tak mungkin lagi lahir anak, maka ia menyerah- kan kepada si pemilik anak lembu umur 3 bulan atau uang seharga itu. Jika si pemelihara ingin mengambil anak-anak ternak tadi, maka dibayarnya 50% dari nilainya kepada si pemilik dan demikian pula sebaliknya1).

8.e. UKURAN/TAKARAN

Alat-alat ukuran dan pembayaran orang Melayu zaman dahulu adalah sebagai: 1. Gemal = 1 Kecak padi (dalam tangan). 4. Cupali 1 gantang (kira-kira 1 gallon) = 4,549 liter. 16. Gantang = 1 Nali 19. Nali, atau 160 gantang 1 Konca. 5. Konca atau 800 gantang = 1 Koyan (umumnya dikirakan lebih dari 1 ton). 1. Koyan = 40 pikul = 800 gantang = 533 1/3 lbs.

1) Uit de Regeringsrapporten 1920.

211

PNRI 1 Depa 1,50 m. 1 Cupak 4 kal 1 Gantang 4 cupak = 6,25 kati. 1 Kati 16 tahil =11/3 puod. 1 Pikul 100 kati = 61,76 kg. Untuk ukuran tanah ada lagi "orlong" (11/3 acre), rantai 8 bahu. 1. Bahu 7096 m2 25. Rantai 1 HA. 1. Bungkal 32 Mayam. 1. Mayam 3,3 gram. 1. Pal 1 mil laut = 1851,85 m.

8 f. HUKUM LAUT ORANG MELAYU

Undang-undang ini diambil dari undang-undang negeri Melaka yang disusun semasa pemerintahan Sultan Muhammad- syah, Sultan Melaka yang pertama masuk Islam (kejadian kira- kira tahun 1276); Menurut Raffles1). Undang-undang itu disusun atas permintaan Datuk Bendahara Sri Maharaja yang mengumpul- kannya bersama-sama Nakhoda Zainal (kemudian digelar Sang Yahi Diraja), Nakhoda Dewa (gelar Sang Utama Diraja), dan Nakhoda Ishak (gelar Sang Setia Diraja). Undang-undang ini harus dituruti di setiap kapal, tongkang dan perahu-perahu Melayu yang tunduk di bawah kerajaan Malaka. Kami merasa bahwa undang-undang itu juga dipakai dahulunya sampai abad ke 19 sebelum pejajahan Belanda di daerah pesisir Timur Sumatra termasuk Serdang. Menurut undang-undang itu Nakhoda adalah ibarat raja jika di lautan oleh karena itu kekuasaan di laut itu dilimpahkan raja kepada Nakhoda agar mereka dapat mengatur

1) D.C. Boulger: "The life of Stamford Raffles" (1897). Menurut Asiatick Re- searches; Vol ke-12 (1818).

212

PNRI hukum di atas kapal masing-masing. Siapa yang melanggar ke- kuasaan itu berarti melanggar undang-undang.

Istilah-istilah: Nakhoda atau kapten kapal, menggaji seorang juru tulis untuk mengurus surat menyurat dan pembukuan. Kiwi-kiwi = barang muatan atau orang-orang yang mengikuti kapal di mana sebahagian dari muatan adalah kepunyaannya. Orang menumpang = pe- numpang dari satu bandar ke bandar yang lain.

Opsir dan Awak kapal Malim (Mualim) = kepala. Umumnya ada 2 orang mualim yaitu Mualim Besar (Superior) dan Mualim Kecil (Inferior), yang be- lakangan ini juga disebut Mualim Ang., yang tugasnya mengurus layar-layar sesuai menurut arah angin. Mualim Besar mengatur arah tujuan perahu. Juru Mudi = orang yang mengemudikan perahu. Juru Batu = orang yang mengatur jangkar dan bahagian muka perahu. Tukang = pekeija opsir rendahan dengan pembahagian kerja masing-masing, seperti "Tukang Petak" yang mengurus gudang; "Tukang Agung", opsir yang mengurus bahagian kiri kapal; "Tukang kanan", opsir yang mengurus bahagian kanan kapal. "Awak Perahu", pekeija biasa yang mungkin terdiri atas orang merdeka, orang berhutang atau hamba.

Tingkatan dan kekuasaan Nakhoda dan Opsir Nakhoda adalah ibarat orang tua dan raja di dalam perahu. Juru Mudi sebagai bendaharanya dan Juru Batu sebagai temanggung. Merekalah yang mengatur semua di dalam kapal dan menentukan baik salahnya di dalam perahu. Tukang Kanan dan Tukang Kiri harus mempunyai pengaruh yang terhormat dan melaksanakan tugas bersama-sama Tukang Agung, Juru Batu kiri, Gung Tang, dan Sinawe dan tukang-tukang berada langsung di bawah perintah Nakhoda; dan semua awak perahu di bawah perintah tukang-

213

PNRI tukang. Mualim adalah hakim di laut karena tugasnya mengatur arah dari kapal.

Tugas Opsir dan anak buah dan hak-hak mereka Tidak ada dituliskan tentang mereka-mereka yang menerima gaji di atas kapal kecuali jika mencari penggantinya kalau se- seorang dipaksa meninggalkan perahu karena sakit dan sebagai- nya. Setiap orang di atas perahu turut serta di dalam suatu spe- kulasi perdagangan dan seluruh kegiatannya tergantung dari pelayaran itu. Nakhoda adalah kadang-kadang pemilik perahu, memberikan kepada setiap orang yang turut serta sesuai me- nurut adat yang dinamakan "Tolong-toiongan" yaitu membantu atau mendahulukan, dalam hal ini mendahulukan ada dua hal yaitu bahagian dari muatan atau meminjamkan uang.

Mualim Ia memperoleh sebahagian daripada muatan kemudian mem- peroleh bantuan dari nakhoda sampai satu setengah Tahil (12 dollar)., kira-kira sama dengan Mualim Besar. Adalah tugasnya mengingat arah tujuan kapal yang benar dan mengetahui lautan dan pulau-pulau, arah angin, dan gelombang, arus, dalam dan dangkal, bulan dan bintang-bintang, tahun-tahun, dan musim- musim, teluk-teluk, dan tanjung, pulau-pulau dan pantai-pantai, batu-batu karang dan dangkal, pergunungan dan bukit-bukit dan mengetahui di mana perahu berada pada suatu waktu. Jika sebuah perahu berada di lautan, Mualim Ang mengurus semua mengenai mengatur arah dan persiapan-persiapan. Ia juga me- merintahkan hal ini kepada Tukang Agung, yang bertugas agar awak perahu melaksanakan apa yang diharapkan dari mereka. Tukang kiri dan Tukang kanan harus juga membantu mengawasi awak perahu.

Juru-mudi Adalah tugas dari Juru mudi, jika ia bebas dari tour of duty di atas, ia lalu mengawasi dan mengatur semua senjata-senjata

214

PNRI dalam perahu; dan di saat-saat jika perahu diserang oleh bajak laut, maka mereka haruslah berperang dengan gagah berani oleh karena itulah tugas mereka.

Opsir rendahan dan awak kapal Jika perahu lebarnya 3 sampai 4 depa, maka awak kapal diboleh- kan dibantu atau mendapat bahagian dari muatan, sapai sejumlah Satu Koyan, dan orang-orang lain (bukan hamba) mendapat 1 2 Koyan. "Jika perahu itu lebarnya 2 /2 depa, maka awak perahu memperoleh 300 gantang, dan yang lain-lain yang bukan hamba, memperoleh 600 gantang".

Kiwi (Mala Kiwi = saudagar) "Ini adalah undang-undang yang berhubungan dengan para Kiwi; mereka harus membayar sebesar tonnage yang mereka punyai kecuali jika mereka membantu Nakhoda di dalam urusan per- niagaannya sejauh 3 atau 4 Tahil (24 atau 30 dollar), dalam hal mana Nakhoda akan memberi mereka 2 a 3 Koyan per tonnage, atau sebahagian dari isi kapal, seandainya dipertimbangkan bahwa keuntungan sebesar 3 tahil itu cukup kompensasi. Para Kiwi boleh mendapat 7 a 8 bahagian dari isi, tetapi mereka tidak akan membayar buat 4 bahagian, selama mereka di bawah peijanjian membayar cukai jika kembali ke pelabuhan menurut muatan dagangan mereka dengan harga 4 dari setiap 13. Mala Kiwi berhak memperoleh setengah dari bahagian dari isi kapal dalam mana beras atau bahan makanan dimasukkan (Petah Gan- dang), oleh karena ia penghulu dari semua Kiwi. Mengikuti cukai dari negeri 8 bahagian, dari isi dan juga terhadap layar-layar, inilah undang-undangnya, sehingga para Kiwi harus menghadiah- kan 8 helai kain dan 1 ikat rotan. Para Kiwi yang menghadiah- kan itu bebas dari membayar cukai di dalam negeri karena itu sudah cukup. Itu adalah kebiasaan, terhadap semua kejadian yang mungkin timbul buruk atau baik bahwa Nakhoda harus minta advis dan berunding dengan Mala Kiwi dan para Kiwi lain-lain- nya".

215

PNRI Istiadat Hukum Undang-undang Bahwa semua Nakhoda dan Mualim dan Tukang dan Muda dan Awak Perahu dan setiap orang harus mengikuti apa yang menjadi istiadat.

Pembahagian dari dalam perahu Ini adalah undang-undang mengenai Balai Lentang. Seorang pun tidak boleh pergi ke sana kecuali di dalam waktu jika ada ke- pentingan yang sangat, dan itu adalah tempat guna berkumpul untuk memberi nasehat dan berkonsultasi. Jika seorang awak perahu pergi ke Balai Bujur dan tinggal di sana maka ia akan dihukum tiga kali cambuk. Tiada seorang pun dibenarkan tinggal dalam Putaran Lawang atau tempat di mana tali temali disimpan, kecuali Nakhoda, Muda-muda dan Tukang Agung; jika awak kapal ada yang pergi ke sana maka ia akan dihukum 6 kali cam- buk. Alang Muka (tempat di muka kabin Nakhoda) hanya untuk Tukang Tengah, Tukang Kanan, dan Tukang Kiri. Jika ada awak kapal pergi ke sana ia akan dihukum 3 kali cambuk.

Peraturan untuk keamanan perahu Jika sebuah perahu berangkat ke lautan semua orang di atas kapal takluk di bawah perintah Nakhoda. Pada waktu perahu sudah membentangkan layarnya, Mualim akan memberitahukan Tukang-tukang mengenai hal itu, yang segera memerintahkan orang-orang berjaga (orang berkopong) bahwa segala tali temali harus dalam keadaan baik dan mencegah terjadinya kecelakaan kebakaran adalah bencana berbahaya di lautan. Adalah tugas dari Muda-muda mengawasi mereka yang berjaga- jaga dan mereka haruslah berhati-hati dalam menjalankan tugas. Sebab jika sebuah kapal hanyut atau sakat di sesuatu pantai atau tanjung adalah karena akibat dari Muda-muda alpa mengawasi mereka yang berjaga-jaga, menurut undang-undang dalam perahu hal itu Muda-muda itu harus dihukum dan didenda menurut kesanggupannya. Jika itu teijadi oleh karena kesalahan orang-orang yang berjaga,

216

PNRI mereka harus dihukum cambuk 20 kali. Jika sebuah perahu hanyut dari jangkarnya dan menuju pantai sedang mereka yang berjaga-jaga tidak mengetahui tentang hal itu maka mereka akan dihukum cambuk delapan kali. Jika orang yang berjaga-jaga membiarkan perahu-perahu lain lewat tanpa memberikan isyarat kepada mereka, mereka akan dihukum cambuk 7 kali. Adalah tugas penjaga untuk mengawasi para budak hamba di dalam perahu agar dicegah mereka lari. Menjadi tugas juga untuk semua orang di bawah pimpinan pengawasan Muda-muda. Jika seorang hamba meloncat dari perahu menjadilah kewajiban Muda-muda mencari siapa orang yang bersalah dan orang itu harus dihukum cambuk 60 kali. Adalah menjadi tugas setiap orang yang berjaga- jaga melihat bahwa perahu jangan oleng; jika oleh karena itu banyak air masuk, mereka yang beijaga-jaga pada waktu itu akan dihukum 15 kali cambuk. Jika mereka yang berjaga-jaga tidak benar-benar memperhatikan keadaan sekeliling, dan jika ada se- suatu yang dicuri dari perahu, mereka akan dihukum dua kali cambuk oleh setiap orang yang ada dalam perahu. Adalah men- jadi kebiasaan bahwa orang yang sedang berjaga-jaga masing: masing diperkenankan mengisap candu agar mereka jangan ter- tidur pada waktu jaga dan itu perlu untuk mereka agar tetap melek. Jika waktu berjaga sudah habis mereka-mereka itu harus timbang terima dengan rombongan penjaga-penjaga yang baru untuk menggantikan mereka dan melaporkan segala sesuatunya kepada setiap orang dan kepada Muda-muda. Adalah menjadi tugas orang Bertopi menjaga terhadap kebakaran jika kapal sedang berlayar di laut, setelah Orang Bertopi memakai pakaiannya maka api dengan hati-hati harus dipadamkan dan jika orang alpa melaku- kan itu dan tempat masak terbakar menjadi undang-undang bahwa, jika semua penghuni telah dapat memadamkan kebakaran itu, orang yang alpa tadi harus dihukum 2 kali cambuk dari setiap penghuni perahu dan tuannya harus diberitahukan supaya berhati-hati di masa depan agar pelayannya itu jangan lagi alpa membuat kesalahan seperti itu. Jika orang yang berasal itu adalah seorang hamba, maka tuannya akan didenda 4 Paku Petis Jawa.

217

PNRI Jika si tuan menolak membayar denda maka hambanya itu akan dihukum 4 kali cambuk".

Undang-undang mengenai Membuang Muatan ke Laut Jika terbit badai dan perlu sekali membuang sebagian dari muatan ke laut untuk keselamatan perahu, harus diadakan konsultasi umum mengenai harta di dalam perahu, dan mereka-mereka yang mempunyai banyak dan mereka-mereka yang mempunyai sedikit harus setuju membuangnya ke laut dengan perbandingan. Jika Nakhoda alpa mengumpulkan orang-orang itu dan ia membuang saja muatan ke laut tanpa pilih bulu, kesalahan berada di tangan Nakhoda perahu dan itulah kebiasannya.

Jika Perahu Saling Berlanggar Jika sebuah perahu berlanggar dengan kapal perang (di mana orang yang di perahu bisa tewas), kesalahan itu harus dibayar oleh semua orang yang ada dalam perahu itu sebagai jaminan jiwanya, setiap orang membayar sama banyak, baik hamba maupun yang tidak, kaya atau miskin, anak-anak atau orang dewasa atau wanita; tiada seorang pun lebih dari yang lain. "Jika perahu melanggar karang, sewaktu teijadi ombak besar, angin ribut, atau tersekat di laut dangkal atau ke pantai, atau bersenggol dengan perahu lain, di mana salah satu tenggelam, maka menurut undang-undang kejadian itu tidak merupakan insiden kecelakaan tetapi sebagai kesalahan, sebab, walaupun terjadi angin ribut, perahu seharus- nya mesti diselamatkan untuk menjauhi dari kecelakaan itu. Undang-undang menyatakan, baik rombongan itu kaya atau miskin, kerugian itu atau karamnya perahu itu, haruslah ditang- gung dan dibagi dalam 3 bahagian, 2/3 bagian mana harus di- tanggung orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan atau kerugian itu, dan 1/3 lagi oleh pemilik perahu tadi.

Memasuki Pelabuhan Dan Cara Berdagang Jika Nakhoda ingin singgah pada suatu bandar pelabuhan, atau pulau atau pesisir, ia seharusnya mengadakan musyawarah umum,

218

PNRI dan jika disetujui, maka perahu bisa menuju ke tempat yang dikehendakinya. Tetapi jika ia singgah tanpa melaksanakan mu- syawarah seperti di atas, nakhoda adalah salah. Dalam hal di atas tadi, jika nakhoda akan memasuki sesuatu bandar atau dari suatu pantai ke pantai lain, ia harus pertama-tama berkonsultasi; ke- mudian jika disetujui, tali temali harus dikemasi dengan sebaik- baiknya dan jika tali temali dan layar-layar selesai, berkonsultasi lagi dengan Juru Mudi dan Juru Batu, dan Tukang Agung, supaya perahu dapat berjalan sebagaimana mestinya. Jika sebuah perahu tiba di suatu bandar pelabuhan, maka Nakhoda dibenarkan per- tama-tama berdagang untuk 4 hari, kemudian baru menyusul para Kiwi untuk masa 2 hari, akhirnya barulah dibenarkan semua orang dalam perahu bemiaga. Jika Nakhoda pergi ke darat ia harus ditemani oleh Muda-muda, yang kemudian kembali ke perahu melaksanakan tugasnya. Setelah semua masa yang di- tentukan untuk berdagang itu habis, dan nakhoda ingin meng- adakan pembelian, maka tiada seorang pun yang ikut dalam perahu dibenarkan menawar harga lebih tinggi, jika ada sese- orang yang mau membeli barang dagangan dari Mala Kiwi, atau orang-orang yang lain, adalah menjadi hukum bahwa nakhoda pertama-tama harus diberitahukan tentang harganya. Jika se- seorang di atas perahu akan membeli seorang hamba wanita, tanpa sepengetahuan nakhoda adalah undang-undang, bahwa nakhoda bisa mengambilnya tanpa ganti rugi pada pembeli. Demikian juga hukumnya mengenai hamba-hamba yang lari, yang mungkin dibeli.

Mengenai Penahanan "Menurut hukum, jika hampir berakhir musim Kassis, dan nak- hoda perahu lalai berlayar, para Kiwi akan menunggu, dengan ongkos sendiri selama 7 hari lewat itu, jika nakhoda tidak juga berlayar, dan musim sudah berakhir, harga yang dibayar untuk dibagi-bagikan mengenai muatan akan dikembalikan kepada para Kiwi. Jika para Kiwilah yang menjadi sebab kelambatan itu, dan musim sudah hampir berakhir, maka nakhoda akan me- nunggu perahunya selama 7 hari atas biaya mereka, dan sehabis

219

PNRI itu berhak berlayar tanpa mereka (jika mereka belum selesai), dan tidak ada yang dibayar atau diperbuat mengenai hal itu. Jika musim tidak berapa jauh lagi, dan nakhoda sangat ingin untuk segera berlayar, ia harus memberitahukan hal itu kepada para Kiwi dan haruslah berunding dengan mereka untuk ber- layar dalam masa 7 atau 15 hari, dan jika para Kiwi belum ber- siap waktu itu, maka Nakhoda berhak meninggalkan mereka di belakang dan segera berlayar".

Mengenai Orang-orang Yang Meninggalkan Perahu Jika seorang Kiwi meninggalkan perahu (atas kehendaknya sen- diri) di tempat mana pun selama pelayarannya, ia akan menanggal- kan harga yang dibayar untuk bahagiannya dalam ruangan, dan tidak akan menuntut lagi kepada nakhoda. Jika karena ketidak- sesuaian dan atau perselisihan maka ia ingin meninggalkan perahu 1 itu (dan untuk mengelakkan hal-hal yang tidak enak), 1 /2 dari uang yang dibayar untuk bahagiannya dari barang akan dikembali- kan kepadanya. Tetapi jika seorang Kiwi bertabiat tukang rusuh, dan menimbulkan banyak kesulitan dan perpecahan, sudah tepat supaya nakhoda mengirimnya kembali sebagai bagian dari milik- nya. Undang-undang mengenai penumpang perahu ialah, jika mereka meninggalkan perahu sembarang waktu sebelum mereka sampai ke tempat tujuannya, meskipun peijalanan baru setengah jalan, samalah halnya seakan-akan mereka akan dikembalikan. Jika salah seorang dari awak perahu sakit, layaklah menunggu- nya sampai 5 atau 7 hari; dan jika selama itu ia belum sembuh, dan semua anak buah akan mengatakan "Mengapa kita harus mengistirahatkan perahu tanpa bantuannya?", mereka akan diperintahkan mencari orang yang mau digaji, karena tidak ada seorang pun yang bisa mengeijakan tugas 2 orang. Jika nakhoda tidak berhasil memperoleh pengganti, uang gaji yang tersedia itu akan berada di tangannya, dan ia akan membagi-bagikannya bagian dari awak yang sakit itu dari muatan milik dalam kapal, antara sesama awak kapal yang ada.

220

PNRI Mengenai Orang-orang Yang Dalam Kesusahan Dan Orang Yang Karam "Ini adalah undang-undang mengenai orang-orang yang berada di dalam kesulitan, atau menderita karena kelaparan, sebagai akibat kesulitan beras dan padi di negerinya. Jika pada suatu ketika, sebagai akibat timbulnya peperangan dalam. negeri, akan timbullah malapetaka di sesuatu negeri itu karena kekurangan makanan, orang-orang miskin dan cacat akan berkata kepada yang kaya-kaya, "Ambillah kami sebagai hamba-hamba tuan, asal kami diberi makan", dan seandainya orang yang menyelamat- kannya itu kemudian ingin menjual mereka, sedang negeri-negeri telah sembuh dari malapetakanya, adalah undang-undang bahwa mereka harus memberitahukan hal itu kepada Orang Besar, atau kepala-kepala negeri, dan hakim akan mengatur bahwa hamba- hamba itu tidak akan dijual, sebab mereka dahulu dalam ke- malangan sewaktu perjanjian diadakan. Hakim akan memerintah- kan kepada orang yang mengusahakan makanan itu akan mem- punyai claim atas mereka-mereka yang menerima itu, sampai sejumlah satu setengah dari jumlah nilainya. Jika seorang hamba tidak diberi makan oleh tuannya maka hakim akan mengutus- nya bekerja pada orang yang mengurusnya selama 4 musim; dan setelah itu ia dikembalikan kepada tuannya. Jika si hamba tadi mati pada waktu bekerja pada orang yang mengurusnya tadi, dan keadaan itu dilaporkan kepada pejabat-pejabat maka ia tidaklah bertanggung jawab; tetapi jika si hamba mati tetapi orang tadi tidak melaporkannya, maka ia akan dipertanggungjawabkan kepada tuan dari hamba tadi setengah dari nilai jumlah. Begitu jugalah halnya dengan orang yang karam di lautan. Ia akan ber- kata "Ambillah, tolonglah kami dan juallah kami daripada di- biarkan kami mampus di sini", lalu nakhoda mengambil mereka, tetapi ia hanya dapat mengharapkan jerih payah mereka selama perahu belum sampai ke pelabuhan, jika nakhoda ingin menjual hamba tadi, adalah tugasnya melaporkan hal itu kepada Syah- bandar, supaya hakim kelak dapat memutuskan bahwa nakhoda tadi tidak mempunyai hak bela karena mereka di dalam celaka. Jika orang yang karam ditemui sedang berenang tanpa harapan

221

PNRI untuk dapat mencapai daratan dengan selamat, dan atas per- mintaan mereka ditolong oleh nakhoda perahu, maka nakhoda berhak menuntut, setibanya di pelabuhan, uang sejumlah 1 Pahar (± $ 2,—), jika mereka-mereka itu tadi bukan hamba; dan jika hamba, setengah dari jumlah nilainya, tak lebih dari itu. Jika orang-orang yang karam itu ditemui berlindung di sebuah pulau untuk berlindung karena gelombang besar dan atau angin ribut, dan mereka dalam kesulitan, hak menuntut setiap mereka, jika bukan hamba ialah 5 Mas ($. 2,50) masing-masing dan jika hamba 7 Mas ($. 3,50) seorang". Mengenai "Gantung Layar" dikatakan sebagai berikut: "Terhadap semua orang yang karam ditemui di laut dan ditolong, maka nakhoda berhak menuntut berdasarkan Gantung Layar 1 Tahil seorang; dan jika orang itu perlu pula diperlengkapi, maka nakhoda pun berhak menuntut 1 Pahar lagi.

Tentang Orang Pengail Ini mengenai orang yang mengail, dengan kail dan bila mereka kehilangan perahunya, dan ditolong oleh nelayan-nelayan lain, mereka. menuntut hak 1 Pahar tiap orang. Tetapi jika orang mengail tadi masih ada perahunya tetapi kehilangan layar dan pengayuh, maka yang menolong berhak menuntut 2 Mas.

Tentang Harta Karun di Laut Itu boleh berbentuk emas, perak, hamba-hamba yang lari atau lain-lain. Siapa yang menemukannya adalah kepunyaan dari nakhoda perahu yang akan membayar ganti rugi kepada yang menemukannya. Jika harta ini didapat oleh orang yang pergi ke darat dari perahu untuk mengambil kayu atau air, juga ke- punyaan nakhoda karena orang itu berada di bawah kekuasaan- nya dan bertugas untuk kepentingan perahu. Tetapi jika seorang Kiwi mendarat, bukan untuk kepentingan, atau melaksanakan perniagaannya nakhoda, tetapi semata-mata untuk kepentingan- nya sendiri, apa yang didapatnya itu, akan dibagi duanya dengan nakhoda.

222

PNRI Jika sebuah perahu hanyut dari pantai tanpa alat-alat me- nangkap ikan maka orang-orang yang menemukannya dan yang membawanya ke pantai berhak menuntut setengah dari nilainya sebagai hadiah. Tetapi ada 2 perkara mengenai ini yang tidak diberikan hadiah yaitu: 1). Jika tali pengikat perahu tadi dipotong orang dan perahu hanyut dibawa arus. 2). Jika perahu itu dicuri orang dan kemudian dihanyut- kan. Perahu-perahu kepunyaan Raja atau Orang-orang Besar tidak dikenakan peraturan tadi. Tetapi perahu-perahu kepunyaan orang-orang yang kaya akan memberikan kepada yang menye- lamatkan perahu itu hadiah. Jika diketemukan sampan atau perahu-perahu kecil hanyut di sungai dan ada barang di dalamnya, dan si pemiliknya menuntutnya kembali, maka nilai barang akan dibagi 3 dan si penyelamat akan memperoleh 1/3.

Kejahatan dan Hukumannya di Atas Perahu Ada 4 perkara yang dikenakan hukuman mati di atas perahu yaitu: 1). Orang yang mengadakan pemberontakan terhadap Nakhoda. 2). Orang-orang yang mengadakan komplotan untuk rnembunuh Nakhoda. 3). Jika seseorang memakai keris, yang bertentangan dengan adat, sedang orang-orang lain di perahu tak ada yang me- makainya, dan nampak gayanya ingin berbuat sesuka hati- nya, maka berhaklah setiap orang, dengan bukti-bukti bahwa orang tadi bemiat melakukan sesuatu kejahatan dengan kerisnya, untuk tanpa tedeng aling-aling lagi rnembunuh orang itu, untuk menghindarkan bahaya. 4). Jika teijadi perkosaan dan perzinahan.

Pemerkosaan dan Perzinahan dengan Wanita di Atas Perahu Jika seseorang melakukan hal itu dengan istri nakhoda, maka

223

PNRI orang tersebut harus dihukum bunuh. Jika pasangan tadi bukan hamba, dan wanitanya sudah kawin, berhak nakhoda menyuruh bunuh mereka kepada awak-awak kapal. Jika pasangan itu bukan hamba, dan mereka itu belum kawin, mereka akan dihukum cambuk masing-masing 100 kali, dan kemudian disuruh nikah. Jika seorang laki-laki merdeka bersetubuh dengan wanita hamba selir tuannya, maka laki-laki itu harus membayar kepada yang empunya hamba nilai hamba itu, dengan pengertian wanita itu tidak hamil, dan terakhir bersetubuh dengan tuannya; tetapi jika ia sudah hamil, dan sudah lama dan sering bersetubuh dengan tuannya, maka laki-laki tadi harus dihukum bunuh. Juga si wanita dihukum bunuh. Jika seorang merdeka bersetubuh dengan istri salah seorang awak kapal, si suami berhak membunuh orang itu tanpa ada akibat apa-apa dan ia pun berhak membunuh istrinya itu; tetapi jika tidak dibunuhnya istrinya yang berlaku serong tadi, maka istrinya itu menjadi hamba dari nakhoda; tetapi jika nakhoda merasa perlu dapat juga menyuruh bunuh wanita tadi. Jika si suami ingin mencari istri baru, maka nakhoda harus men- carikannya, supaya ia senang dan sedia melaksanakan tugasnya dalam perahu. Jika laki-laki dan wanita sama hamba bersetubuh, maka mereka akan dihukum cambuk oleh seluruh awak kapal di bawah pimpinan Tukang Agung. Jika seorang laki-laki meng- ganggu kesopanan dengan wanita hamba kepunyaan orang lain di depan orang banyak, maka ia dapat dikenakan denda sebesar harga hamba itu.

Perkelahian, Perselisihan, dan Keributan dalam Perahu Jika seseorang berkelahi dengan yang lain di atas perahu dan dengan maksud melukainya atau memukulnya tetapi tidak kena tujuannya, dan kena ke perahu, ia kena denda 4 Pahar Petis Jawa. Jika mereka berkelahi di bahagian muka perahu dan ada keris yang dicabut, dan menyerang sampai ke tempat di mana ada layar di mana yang diserang berada, berhaklah pada penyerang dikenakan hukuman mati. Tetapi jika ia dapat dihalangi ia akan didenda sebaliknya sejumlah 1 Laksa, 5 Pakar Petis Jawa. Jika mereka itu berkelahi dan mengejar sampai ke pintu kamar nak-

224

PNRI hoda, meskipun ia tidak mencabut kerisnya, menurut hukum ia berhak dihukum mati; tetapi jika ia ditahani, sebaliknya ia aidenda sampai sejumlah 2 Laksa Pakar Petis Jawa. Jika seorang Kiwi berkelahi dengan nakhoda, dan men- dekatinya di daerah belakang perahu, ia boleh dihukum bunuh; tetapi jika ia minta ampun, itu dapat dibenarkan jika ia mem- bayar denda 4 Pakar Petis Jawa, dan memotong kerbau untuk pesta nakhoda.

Tentang Pencurian dalam Perahu Jika seorang laki-laki bukan hamba mencuri di atas perahu, baik emas, perak, atau barang-barang berharga lainnya, ia dihukum sesuai dengan hukuman yang ada di darat. Jika seorang hamba bersalah mencuri, pertama-tama ia harus dikonfrontasikan dengan tuannya; dan jika ternyata tuan- nya tahu tentang pencurian itu, dan tidak memberitahukannya kepada Nakhoda atau Tukang Agung tentang hal itu, tetapi telah sampai kepada Nakhoda melalui informasi-informasi lain, maka hukumannya ialah potong tangan hamba itu, dan si Tuan akan diharuskan membayar denda.

225

PNRI DAFTAR PUSTAKA

1. "Geschiedenis van Sumatra's Oostkust" (deel I & II) oleh W.H.M. SCHADEE (1918). 2. "Aceh Sepanjang Abad" oleh Muhammad Said. 3. "Sumatra Timur masa lampau" oleh Prabudi Parameswara (Harian "Waspada" Medan 1957). 4. "Deli Dahulu dan Sekarang" oleh MOHD. SAID (1937). 5. "Mission to The Eastcoast of Sumatra" JOHN ANDERSON (1826). 6. "History and Discription of the Eastcoast of Sumatra" (Between Diamond Point and Siack) oleh JOHN ANDER- SON (1826). 7. "Sari Sejarah Serdang" oleh TENGKU LUCKMAN SINAR (Brosure 1960). 8. "Riwayat Kerajaan Serdang" oleh TENGKU FACHRUD- DIN (Mahkota Courant). 9. "Nota over de Landsgroten van Serdang" oleh Kontelir Serdang A.S.L. SPOOR. 10. "Nota over de Landsgroten van Deli" Oleh Kontelir Deli. 11. "Nota over de Landsgroten van Langkat" oleh Kontelir Boven, Langkat (1930). 12. "Pesaka Selangor" oleh WAN MOHD. AMIN glr. DATOK AMAR DIRAJA. 13. "Sejarah Kedatangan dan peranan orang Cina di Sumatra Timur" oleh MOHD. SAID (Waspada) 1967. 14. "Dagboek en Reisverhaal" Kontelir J.A.M. van Caets Baron de Raet (Afd. Deli 1865 - 1866). 15. "Vergelijking v.d. Vroegeren Toestand van Deli, Serdang en Langkat met den Tegenwoordigen" oleh JAM van CAETS BARON de RAET (Reisverhaal van Februari 1867; dalam T.B.G. deel 23: 1876).

226

PNRI 16. "Tochtjes in het Gebiedvan Riouwen Onderhoorigeheden" ^oleh'Residen Riau E. NETSCHER (T.B.G. deel 14 : 1864). 17. "Geographische en Etnographische gegevens betreffende he Rijk van Deli" oleh E.A. HALLEWIJN (T.B.G. deel 23 : 1876). 18. "Nota Betreffende het Landschap Batoebara" oleh Kon- telir E. DE SCHEEMAKER (T.B.G. deel 17 : 1869). 19. "Geschiedenis van Asahan" oleh C.A. KROESEN Kontelir Asahan 20. "Tabal Mahkota Asahan". 21. "The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, The Portuguese" oleh HENRY LOGAN (London 1891). 22. "50 Tahun Kotapraja Medan" oleh Jawatan Penerangan Kotapraja Medan. 23. "Circulair No. 778/4 tfl. 19-2-1907" oleh Res. Sum. Timur J. BALLOT. 24. "Omtrent de Raja Muda van Serdang": Laporan Kontelir Serdang C.J. Van KEMPEN (6-3-1910) 25. Kumpulan "Oostkust van Sumatra Instituut KRONIEK 1916- 1930". 26. Kumpulan "Oostkust van Sumatra Instituut DELI-DATA 1863 - 1951". 27. "Over de Audientie verzoek van Tengkoe Fachruddin" (geheim) oleh Kontelir Serdang A.S.L. SPOOR (19—4— 1930). 28. Kumpulan "Perkara Datoek Setia Maharaja" (1895) dan "Orang Kaya Kobat" (1880). 29. Kumpulan "Sejarah Serbajadi" oleh Kontelir Serdang A.S.L. SPOOR (tgl. 23-1-1930). 30. Kumpulan "Sejarah Batak Timur Dusun Serdang" oleh Jaksa Koepang Nasution tgl. 5—9—1921 (wakil Sultan di Batak Tumur Dusun).

227

PNRI 31. "Memorie van Overgave Afcs. Res. Deli-Serdang (1908). 32. "Journaal" Kontelir Serdang C.J. Van KEMPEN (1910). 33. Kumpulan "Tuntutan Serdang atas Pulau Berhala" oleh SULTAN SERDANG No. 48/Rah. tgl. 11 Mei 1939. 34. "Atcheen and the ports of the Nort and Eastcoast of Sumatra", oleh JOHN ANDERSON (london 1840). 35. "De Aarde van Deli" oleh WILLEM BRANDT. 36. "Oostkust van Sumatra" (deel II: De Ontwikkeling van he Gewest) oleh DR. R. BROERSMA. 37. "Het Landschap Deli op Sumatra" oleh Prof. P.J. VETH (TBG. 1877). 38. "De Nederlanders in Johor en Siack 1602 - 1865" oleh E. NETSCHER. 39. "Chinesche immigratie naar Deli" oleh MR. H.J. BOOL. 40. "Memorie van Overgave Batak Doesoen Zaken" oleh Kon- telir De KOCK. 41. "Sejarah Alam Melayu" (I dan II) oleh ABD. HADI bin HAJI HASSAN. 42. "J.M. BRAS VOL. XXX. Part 3 (No. 179" 1824 - 1871). 43. "J.M. BRAS Vol. XXVIII. Part 2" (1511 - 1641). 44. "Tarikh Aceh dan Nusantara" oleh H.M. ZAINUDDIN. 45. "Singa Aceh" oleh H.M. ZAINUDDIN. 46. "Gajah Mada" oleh PROF. MOHD. JAMIN, SH. 47. "History of Malaya and her Neighbours" (I dan II) oleh F.J. MOORHEAD MA. 48. "History of Kedah" oleh G. MOHD. Khan A.C.P. 49. "Sejarah Melayu" (cetakan Balai Pustaka). 50. "Peninggalan Purbakala di Tapanuli Selatan" oleh M. DJA- FAR DAULAY (Majalah GENTA BUDAYA Medan). 51. "" oleh MANGARAJA ONGGANG PAR- LINDUNGAN. 228

PNRI 52. "De Landbouw Consessie in de Residentie ter Oostkust. van Sumatra" oleh MR. H.J. BOOL. 53. "Dari Perbendaharaan Lama" oleh DR. H. . 54. "De Invloed van de Westersche Cultures Op de Authoch- tone Bevolking ter Oostkust van Sumatra" oleh Kontelir Serdang DR. J. De RIDDER (Proefschrift Leiden 1939). 55. "Wat Indie ontving en schonk" oleh DR. C.W. WORMSER. 56. "De Inheemsche Rechtspraak in de Zelfbesturende Lands- chappen ter Oostkust van Sumatra" oleh DR. H.D. VON MEYENFELDT (Proefschrift). 57. "Aceh" oleh ZENTGRAAFF. 58. "Sumbangan untuk mempelajari pertentangan antara golongan-golongan di Sumatra Utara" oleh HALIMAN, SH. (Skripsi 1957). 59. "Sejarah Kebudayaan Batak" oleh N. SIAHAAN B.A. (1964). 60. "Hikayat Abdullah" (cetakan penerbit Djembatan Ja- Jakarta). 61. "The British Empire and Commonwealth" oleh J.A. WIL- LIAMSON. 62. "Singamangaraja XII" oleh MOHD. SAID. 63. "Adat Resam dan Adat Istiadat Melayu" oleh SYED ALWI ALHADI (Dewan Bahasa dan Pustaka) 1965. 64. "De Staatkundige Organisatie van Sumatra's Oostkust en die van de Federated Malay States" oleh F.H. VISHAM (koloniale Studien Aug. 1930). 65. "Americans in Sumatra" oleh JAMES W. GOULD (Cla- remont University). 66. "The Malays (a Cultural History)" oleh RICHARD WINS- TEDT. 67. "Adatrecht van Nederlands-Indie" oleh PROF. DR. VAN VOLLENHOVEN. 229

PNRI 68. "Adat Raja-raja Melayu" oleh T. HADIDJAJA. 69. "An Anecdotal History of Old Times in Singapore" (1819 — 1866) oleh CHARLES BURTON BUCKLEY. 70. "Uit het mondaine leven te Batavia onder Gouverneur Generaal van der Capellen, naar een Maleische Kroniek" oleh DR. PH. S. VAN RONCKEL (Ind. Gids 1930). 71. "A Short History of Malaya" oleh PROF. C. NORTCOSE PARKINSON. 72. "Kesusasteraan Lama" oleh DRS. ZUBER USMAN. 73. "Geschiedenis van Java" oleh W. FRUIN MEES. 74. "Aids to the Study of Empire History" oleh A. RAFFLES COLLEGIAN.

75 "Srikandi Aceh" oleh H.M. ZAINUDDIN. 76. "Nota over Politiek Beleid en Bestuurszorg in de Buiten- bezittingen" (III) oleh W. VERBEEK (Referendaris Alg. Seer. Gouv. Generaal). 77. "Grantrechten in Deli" oleh Gerrard Jansen (1925). 78. "Verslag over het 25 tjidvak (1869 - 1894) uitgebracht in de Buitengewone Algemeene Vergadering der Deli Maats- chappij") (1 Nop. 1894). 79. "Gendenkboek 50 jarig bestaan van de D.P.V." oleh P.W. MODDERMAN. 80. "The Imperialist" oleh ARNOLD J. TOYNBEE (The ASIA MAGAZINE 1968). 81. "Dwars door Sumatra" oleh Ir. J.W. IJZERMAN (tocht van Padang naar Siak). 82. "Senembah Maatschappij" 1889 - 1914). 83. "Bijdragen Kon. Instituut" (Den Haag 1904). 84. "Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia" (Panitia Risalah Seminar Medan - Maret 1963). 85. "The Early History of Penang" (1592 - 1872) oleh CUL-

230

PNRI LIN & ZEHNDER. 86. "Bijdragen tot de kennis van Sumatra" oleh SALOMON MULLER (Leiden 1846). 87. "Malaya in History" MHS) No. 1 Jan. 1958. 88. "History of Malaya" (1400 - 1959) oleh JOGINDER SINGH JESSY, BA. 89. "Monografi daerah Perkebunan Besar Sekitar Medan" oleh IR. ROCHIM WIRJOMIDJOJO (penerbitan RISPA Medan). 90. "Sejarah Singkat Peijuangan Bersenjata Bangsa Indonesia" oleh MAY. JENDERAL A.J. MOKOGINTA (Redaksi oleh Universitas Indonesia). 91. "Bustanus-Salatin" oleh NURUDDIN AR'RANIRI (cetakan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia). 92. "Malaya trought four century" (An Anthropology 1500 — 1900) oleh N.J. RYAN B.A. 93. "De Singamangaraja-Figuur" oleh Joustra (Kon Inst. v.d. Taal- Land-en Volkenkunde v. Ned. Ind. Juni 1926). 94. "De Permaliemsekten van Oeloean Toba en Habinsaran" oleh D.W.N. De BOER (T. voor het Bin. Bestuur Maart 1915). 95. "Enkele opmerkingen in verband met de reorganisatie van he Inlandsche bestuur in de Bataklanden" oleh H.J. KOH- LER (T. Voor het Vin. Bestuur 1915). 96. "Taken from beginning of Postwar Migration of the Toba- Bataks to East Sumatra" oleh CLARK E. CUNNINGHAM. 97. "Indische Mercuur" (12 Mei 1888) oleh NIENHUYS. 98. "Gedenknummer Sumatra Post" (5 Mei 1913). 99. "Deli in Woord en Beeld" oleh A.W. NANDIN ten CATE (1905). 100. "Kisah Turunan Raja-raja Deli dan Serdang serta Kepala- kepala Daerah Pecut, Denai dan Mabar" oleh T. PANG- 231

PNRI LIMA BESAR DELI (manuskrip). 101. "Deli Gids" (1938). 102. "Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya Negara- negara Islam di Nusantara" oleh PROF. DR. SLAMET MULJANA. 103. "De Hikayat Malem Dagang" oleh H.K.J. COWAN. 104. "The History of Sumatra" oleh WILLIAM MARSDEN. 105. "Gedenkschrift van de Tabak Maatschappij Arendsburg" (Ter gelegenheid van haar 50 jarig bestaan 1877 — 1927) oleh HOYNCK VAN PAPENRECHT. 106. "Senembah Maatschappij (1889 - 1939) - 50 Jarig bes- taan". 107. "Singapore Old Strait & New Harbour" (1300 - 1870) oleh C.A. GIBSO^HILL. M.A. 108. "J.M. BRAS 20 u /, 2947(" oleh W. LINEHAN. 109. "Penentuan Arti Sejarah dan Pengaruhnya dalam metode- logi Sejarah Indonesia" oleh R. MOHD. ALI S.S. 110. "Oudheidkundige Vondsten in Padang Lawas" oleh DR. F.M. SCHNITGER. 111. "Adatrechtbundels" V. 112. "Adatrechtbundels" VI. 113. "Adatrechtbundels" VII. 114. "Adatrechtbundels" X. 115. "Adatrechtbundels" XVIII. 116. "Adatrechtbundels" XXVI. 117. "Adatrechtbundels" XXVII. 118. "Adatrechtbundels" XXVIII. 119. "Adatrechtbundels" XXIX. 120. "Adatrechtbundels" XXXIII. 121. "Adatrechtbundels" XXXVIII. 232

PNRI 122. "Adatrechtbundels" XLII. 123. "The life of Sir Stamford Raffles" oleh D.C. BOULGER (1897). 124. "Forgotten kingdoms in Sumatra" oleh F.M. SCHNITGER. 125. "Batakspeigel" oleh M. JOUSTRA. 126. "Nota over de betrekkingen van Nederland tot het Rijk van ATSJIN sinds 1824" ('S Gravenhage 1873). 127. "Beschrijving van een gedeelte der Residentie Riouw" oleh E. NETSCHER (Bat. Gen. deel II 1854). 128. "Genealogie van het Vorstenhuis van Siak Sri Indrapura" oleh E. NETSCHER. 129. "Syair Putri Hijau" (suatu cerita yang benar terjadi di tanah Deli) oleh RAHMAN A (Weltevreden 1924). 130. "De Indische Zelfbesturende landschappen. Hun mate van zelfstandigheid" oleh DR. H.J. SPITS (Proefschrif Leiden 1911). 131. "Oud en Nieuw Oost - Indien" oleh F.R.A. VALLENTIJN. 132. "Mededelingen van de afdeeling Bestuurzaken der Buitenge- westen van het Departement van Binnenlandsch Bestuur" (Serie-A no. 3 - 1929). 133. "Bijdragen tot de kennis van Sumatra" oleh S. MULLER. 134. "Sumatra in 1818" oleh P.H. VAN DER KEMP. 135. "De tabakscultuur op Sumatra's Oostkust" oleh WILLEM WESTERMAN. 136. "Malay Magic" oleh SKEAT. 137. "Syair Perang Siak" disusun oleh TENAS EFFENDI (Badan Pembina Kesenian Riau). 138. "Catatan tentang Lancang Kuning" oleh TENAS EFFENDI (Badan Pembina Kesenian Daerah Riau). 139. "Volkenkunde van Nederlandsch-Indie" oleh B. ALKEMA & T.J. BEZEMER.

233

PNRI 140. "Takhta Kerajaan Negeri Sembilan" oleh ABD. SAMAD IDRIS. 141. "Adat Minangkabau menghadapi Revolusi" oleh DR. HAMKA. 142. Nota Kontelir Deli Hulu W.B. HOLLMANN: "Inlandsche Rechtgemeenschappen en inheemsche rechtspraak in de DELI en SERDANG DOESOEN" (1932). 143. "Bijdrage tot de Geschiedenis der Karo Batak stammen" oleh J.H. NEUMANN. (Bijdragen K.I. 1926). 144. "Pustaha taringot tu tarombo ni bangsa Batak" oleh W.M. HUTAGALUNG. 145. "Adattrechtspraak en Adatrechtspleging der Karo Batak" oleh C.W. WESTENBERG (Bijdragen K.I. 1914). 146. "Sriwijaya" oleh Prof. Dr. SLAMET MULJANA. "Tuanku Tambusai Pahlawan yang terlupakan" oleh 147. MOHD. SAID (Harian Waspada 1969). "" oleh MOHD. SAID (Harian Was- 148. pada 1969). "Sumatra Utara Di abad XIX" (dari Bijbelgenootschap 149. sampai Politik Tembakau) oleh MOHD. SAID (harian Waspada 1970). 150 "The Contest For North Sumatra" (Acheh, The Netherlands and Britain 1858 - 1859) oleh ANTHONY REID. 151 "Sejarah Semenanjong Tanah Melayu" oleh N.J. RYAN. 152 "Almanak Sumatra 1969" (KOANDA SUMATERA). 153 "De Chetti (Sumatra's Oostkust)" oleh L.C. WESTENENK (Kol. studien). 154 "Riwayat Hamparan Perak" (1916). 155 "Indonesian Sociological Studies" oleh B. SCHRIEKE. 156 "Indonesian Society in Transition" oleh PROF. W.F. WERTHEIM.

234

PNRI 157. "Beginselen en stelsel van het Adatrecht" oleh MR. B. TER HAAR BZN. 158. "De Atjehers" oleh PROF. DR. SNOUCK HURGRONJE. 159. "Stories and sketches by Sir Frank Swettenham" oleh WILLIAM A. ROFF. 160. "Mededeelingen van het Bureau voor de Bestuurszaken der Buitenbezittingen". 161. "BRIEVEN over Bencoolen, Padang, Het Rijk van Menang- kabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo Pinang oleh NIENHUIJS. 162. "ATCHIN en zijne betrekkingen tot Nederland" oleh P.J. VETH. 163. "A History of Malaya" oleh J. KENNEDY. 164. "Seminar Tanah Jaluran dalam tata hukum sekarang" (Medan September 1968). 165. "Agama-agama di Gugusan pulau-pulau Melayu" oleh P.E. DE JOSSELIN DE JONG. 166. "Inleiding tot de ETHNOLOGIE v.d. Indonesische Archi- pel" oleh DR. J. PH. DUYVENDAK. 167. "Hak hidup Propinsi Otonomi Sumatera Timur" oleh JUSUF ABDULLAH PUAR. 168. "Meninjau Soal Tanah Adat di Sumatera Timur" oleh K.S. DEPARI (harian "Waspada Medan Sept. 1970). 169. "British Intervention in Malaya" oleh C. NORCOTE PAR- KINSON. 170. "De Volken van Nederlandsch Indie" (I) oleh PROF. J.C. VAN EERDE. 171. "Indentikkah Kerajaan Pagaruyung dengan Kerajaan Mi- nangkabau" oleh DRS. M.D. MANSOER (Harian "WAS- PADA" 1970). 172. Lembaga "Rajo nan Limo" dan "Basa nan Ampek Balai" sebagai Konsep Balance of Power oleh DRS. M.D. Mansoer (harian WASPADA 1970). 235

PNRI 173. "6 Abad dinasti Singosari di Minangkabau" oleh DRS. M.D. Mansoer (harian WASPADA 1970). 174. "Masuknya Islam ke Bandar Barus" oleh Dada Meuraxa (harian "Waspada" 1970).

******

236

PNRI PNRI PNRI