ISSN 0216 – 1419

BERKALA

Vol. 36 No. 1 – Mei 2016

Indah Asikin Nurani Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang, Blora

Hendy Soesilo Stabilitas Struktur Tanah Candi : Saat Ini dan Mendatang

Rusyad Adi Suriyanto Arkeologi Forensik: Perkembangan dan Capaiannya di

Sudarti Prijono Artefak Perunggu Prasejarah Situs Pasir Angin Bogor : Hubungannya Dengan Aspek Sumber Bahan

Sofwan Noerwidi Aspek Biokultural Sisa Rangka Manusia dari Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah

T.M. Hari Lelono

Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral –Didaktif Pada Masa Jawa Kuna

BERKALA Volume Nomor Halaman ISSN ARKEOLOGI 36 1 001- 118 Mei 2016 0216 - 1419

Terakreditasi, nomor: 641/AU2/P2MI-LIPI/07/2015

B E R K A L A A R K E O L O G I ISSN 0216 – 1419 Volume 36 Edisi No. 1 – Mei 2016 SK Kepala LIPI tentang Akreditasi Majalah Berkala Ilmiah: 641/AU2/P2MI-LIPI/07/2015

PENGELOLA JURNAL BERKALA ARKEOLOGI

Editor : Mimi Savitri, Ph.D.

Mitra Bestari : Prof. Dr. Sumijati Atmosudiro (Fakultas Ilmu Budaya, UGM) Prof. Dr. Inajati Adrisijanti (Fakultas Ilmu Budaya, UGM) Prof. Ris. Dr. Bambang Sulistyanto (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) Prof. Dr. Yahdi Zaim (Institut Teknologi Bandung) E. Edwards McKinnon, PhD., M.A., FRAS., FSAS. (Aceh-Sumatera Cultural Heritage Conservation)

Pemimpin Redaksi : Sofwan Noerwidi, S.S. Sidang Redaksi : Drs. Gunadi, M.Hum. (Arkeologi Prasejarah) Drs. Muhammad Chawari, M.Hum (Arkeologi Sejarah) Drs. T.M. Hari Lelono (Etnoarkeologi)

Redaksi Pelaksana : Hari Wibowo, S.S. Akunnas Pratama, A.Md. Bayu Saputro, A.Md.

Alamat Redaksi : BALAI ARKEOLOGI D.I. YOGYAKARTA Jl. Gedongkuning 174, Kotagede, Yogyakarta 55171 Telp/fax 0274 – 377913 Website : www.arkeologijawa.com www.arkeologijawa.kemdikbud.go.id E-mail : [email protected] [email protected]

Alamat Jurnal Online : www.berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id

S.I.T : No. 797/SK.DITJEN PPG/STT/1980

Berkala Arkeologi diterbitkan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta 2 x 1 tahun Bulan Mei dan November, dan dalam event ilmiah tertentu menerbitkan EDISI KHUSUS. Penerbitan majalah ini bertujuan untuk menggalakkan aktivitas penelitian arkeologi dan menampung hasil-hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori, sehingga dapat dinikmati oleh para ilmuwan dan masyarakat pada umumnya.

Jurnal BERKALA ARKEOLOGI diterbitkan pertama tahun 1980 oleh Balai Arkeologi Yogyakarta.

Jurnal Berkala Arkeologi mengundang para pakar dan peneliti untuk menulis artikel ilmiah yang baerkaitan dengan kajian arkeologi. Naskah yang masuk disunting oleh penyunting ahli. Penyunting berhak melakukan perubahan/penyuntingan tanpa mengubah isinya.

BERKALA ARKEOLOGI ISSN 0216 – 1419 Volume 36 Edisi No. 1 – Mei 2016

DAFTAR ISI

Daftar Isi i Kata Pengantar ii Abstrak iv Abstract v

Indah Asikin Nurani Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang, Blora (The Technology of Tools and Ornaments Production at Gua Kidang, Blora) 001-024

Hendy Soesilo Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang (Soil Structure Stability Of the Sukuh Temple: Present and Future) 025-044

Rusyad Adi Suriyanto Arkeologi Forensik: Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia (Forensic Archaeology: Its Development and Achievement in Indonesia) 045-070

Sudarti Prijono Artefak Perunggu Prasejarah Situs Pasir Angin Bogor : Hubungannya Dengan Aspek Sumber Bahan (Prehistoric Bronze Artifacts from Pasir Angin Site, Bogor: Its Correlation to their Material Sources) 071-082

Sofwan Noerwidi Aspek Biokultural Sisa Rangka Manusia dari Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah (Biocultural Aspect Of Human Remain from Liangan Site, Temanggung, Central ) 083-098

T.M. Hari Lelono Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral –Didaktif Pada Masa Jawa Kuna (The Relief of Candi as an Effective Media to Deliver Moral-Didactic Message In Ancient Java) 099-116

Biografi Penulis 117-118

Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1/Mei 2016 i

BERKALA ARKEOLOGI ISSN 0216 – 1419 Volume 36 Edisi No. 1 – Mei 2016 SK Kepala LIPI tentang Akreditasi Majalah Berkala Ilmiah: 641/AU2/P2MI-LIPI/07/2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, bahwa jurnal Berkala Arkeologi Vol 36, Edisi Nomor 1, Mei 2016 yang hadir kehadapan pembaca ini, masih terakreditasi dengan SK LIPI nomor 641/AU2/P2MI-LIPI/07/2015. Berkala Arkeologi kali ini total menampilkan enam tulisan, dengan komposisi tiga tulisan hasil penelitian Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta, satu tulisan dari Balai Arkeologi Jawa Barat, dan dua tulisan berupa sumbangan pemikiran dari Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta, dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Artikel pertama dari Indah Asikin Nurani menampilkan hasil penelitian mengenai teknik pembuatan alat dan perhiasan di Gua Kidang. Perkembangan teknologi pembuatan artefak dipengaruhi oleh faktor kecerdasan artisan dan sumber bahan baku yang disediakan lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa teknologi yang diterapkan manusia penghuni Gua Kidang adalah teknologi mesolitik dengan bahan baku kerang dan tulang. Selain itu juga diketahui dinamika perkembangan teknologi alat tulang dari masa awal hingga masa yang lebih kemudian berdasarkan bentuk dan fungsi artefak tulang. Hendy Susilo memberikan sumbangan pemikiran mengenai stabilitas struktur tanah di Candi Sukuh untuk masa kini dan yang akan datang. Candi Sukuh merupakan peninggalan abad 14 Masehi yang mengalami masalah gangguan ekologi karena perkembangan pembangunan dan aktifitas penambangan galian C, sehingga dapat memicu pergeseran tanah berupa longsoran. Hasil penelitian merekomendasikan untuk melakukan tindakan close and fill terhadap lubang-lubang bekas aktifitas penambangan tersebut. Selain itu juga perlu dibuatkan zona penyangga guna konservasi lahan dan pengelolaan air hujan untuk menghindarkan bencana. Sumbangan pemikiran selanjutnya berasal dari Rusyad Adi Suriyanto mengenai arkeologi forensik. Tulisan ini mendiskusikan peran arkeologi dan arkeolog forensik dalam ekskavasi korban-korban kriminal, kemanusiaan dan bencana alam. Keberadaan, kondisi dan perkembangan arkeologi forensik di Indonesia menegaskan pentingnya pengembangan paradigma baru dalam arkeologi Indonesia. Arkeologi sebaiknya tidak hanya melakukan kajian mengenai benda budaya materi peninggalan masa lampau, tetapi juga sebaiknya dapat berkontribusi dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan, kriminal, dan bencana alam. Artikel selanjutnya merupakan hasil penelitian Sudarti Prijono mengenai komposisi kimiawi mineral pada beberapa artefak perunggu dari situs Pasir Angin, Bogor. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat dua macam penyusun logam perunggu yaitu campuran Cu-Sn dan campuran Cu-Sn-Pb. Padahal, sampai saat ini belum ditemukan adanya bukti penambangan logam kuna di kawasan sekitar situs Pasir Angin. Sehingga diperkirakan bahwa artefak-artefak ii perunggu yang ditemukan di situs Pasir Angin, Berkala Bogor Arkeologi didatangkan Vol.36 Edisi dari No.daerah1/Mei lain 2016 melalui pertukaran dan perdagangan. Selanjutnya, Sofwan Noerwidi melakukan penelitian terhadap sisa rangka manusia yang ditemukan di situs Liangan, Temanggung. Situs Liangan adalah situs Bogor. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat dua macam penyusun logam perunggu yaitu campuran Cu-Sn dan campuran Cu-Sn- Pb. Padahal, sampai saat ini belum ditemukan adanya bukti penambangan logam kuna di kawasan sekitar situs Pasir Angin. Sehingga diperkirakan bahwa artefak- artefak perunggu yang ditemukan di situs Pasir Angin, Bogor didatangkan dari daerah lain melalui pertukaran dan perdagangan. Selanjutnya, Sofwan Noerwidi melakukan penelitian terhadap sisa rangka manusia yang ditemukan di situs Liangan, Temanggung. Situs Liangan adalah situs permukiman masa Mataram Kuna yang terkubur oleh lahar Gunung Sindara. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa rangka tersebut berjenis kelamin perempuan dengan umur sekitar 18-22 tahun pada saat meninggal. Individu ini memiliki beberapa ciri populasi Mongoloid yang kuat, dengan campuran karakter Australo-Melanesoid. Rangka ini mengidap beberapa penyakit periodental, dan mengalami modifikasi kultural pada gigi-geliginya yang mungkin terkait dengan aspek estetika atau fungsi sosial lainnya. Terakhir, artikel dari Hari Lelono menampilkan hasil kajian mengenai relief candi sebagai media yang efektif untuk menyampaikan informasi moral- edukasi pada masa Jawa Kuna. Kajian ini mengungkap mengapa relief digunakan oleh nenek moyang kita pada masa lampau untuk menyampaikan pesan moral- edukasi bagi masyarakat. Hal ini disebabkan karena candi merupakan salah satu tempat yang strategis, sebagai tempat melakukan pemujaan dan tempat berkumpulnya masyarakat. Relief candi yang dipahatkan adalah pesan-pesan ideologi, seperti nilai-nilai hidup dan pesan moral-edukatif, yang diharapkan dapat dilaksanakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sekian sedikit pengantar dari redaksi, semoga beberapa tulisan dalam Berkala Arkeologi edisi ini dapat menambah wawasan kita mengenai perkembangan penelitian arkeologi di Indonesia. Selamat membaca.

Redaksi

Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1/Mei 2016 iii BERKALA ARKEOLOGI ISSN 0216 – 1419 Volume 36 Edisi No. 1 – Mei 2016 SK Kepala LIPI tentang Akreditasi Majalah Berkala Ilmiah: 641/AU2/P2MI-LIPI/07/2015 Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya

DDC 930.1 DDC 930.1 Indah Asikin Nurani (Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta) Sudarti Prijono (Balai Arkeologi Jawa Barat) Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang, Blora Artefak Perunggu Prasejarah Situs Pasir Angin Bogor: J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 001-024 Hubungannya Dengan Aspek Sumber Bahan Gua Kidang merupakan hunian prasejarah yang memberikan gambaran secara J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 071-082 lengkap pola hidup dan pengembangan teknologi, serta pola adaptasi manusia dalam Situs Pasir Angin yang terletak di Pulau Jawa bagian barat banyak menyimpan mempertahankan hidupnya. Pengembangan teknologi, didasarkan pada kecerdasan artefak berasal dari bahan logam perunggu.Perunggu di situs ini ditemukan dalam artisan pembuatnya, serta bahan baku yang tersedia di lingkungan alam sekitarnya. konteknya sebagai sarana atau perlengkapan pemujaan arwah leluhur.Konteks tersebut Teknik pengerjaan alat dan perhiasan temuan di Gua Kidang, menunjukkan adanya juga menunjukkan bahwa Perunggu pada pada masa itu dianggap sebagai barang aspek efektivitas dan inovasi tersendiri. Selain itu, temuan artefak kerang dan tulang, mewah, dan diduga komunitas Pasir Angin pertama kalinya mengenal barang dari bahan serta gigi memberikan kontribusi pengetahuan tentang ragam tipe alat dan teknik logam yang merupakan hasil teknologi tinggi.Di situs ini tidak ditemukan sisa-sisa pengerjaan yang tinggi dibandingkan tipe alat temuan dari gua-gua hunian prasejarah di produksi perunggu, sehingga muncul dugaan bahwa artefak perunggu bukan produksi Jawa khususnya, dan Indonesia umumnya. Berdasarkan kajian teknik pembuatan dan lokal melainkan di datangkan dari wilayah yang surplus benda tersebut dan bagaimana aspek geoarkeologi, menunjukkan karakter budaya penghuni Gua Kidang dalam persebarannya.Melalui analisis metalografi dapat diketahui bahwa benda perunggu situs pengembangan teknologi. Tulisan ini menggunakan metode deskriptif – eksplanatif Pasir Angin mempunyai persamaan teknik pembuatan dengan benda perunggu Dong dengan penalaran induktif. Son.Di samping itu adanya jejak-jejak pelayaran dan aktivitas perniagaan yang pernah (Penulis) berlangsung antara Cina dalam hal ini Dong Son dengan Indonesia memperkuat dugaan Kata Kunci: Gua Kidang, Teknologi, Tulang, Kerang, Bahan Baku benda perunggu berasal dari wilayah tersebut.Dengan demikian situs Pasir Angin menjadi wilayah setrategis yang melahirkan peradaban awal pemanfaatan teknologi tinggi. Temuan benda perunggu di situs ini memperkuat dugaan bahwa wilayah Jawa telah masuk jaringan Internasional sejak masa perundagian. (Penulis) Kata Kunci: Perunggu, Sumber Bahan, Persebaran DDC 722.4 DDC 569.9 Hendy Soesilo (Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta) Sofwan Noerwidi (Balai arkeologi D.I. Yogyakarta) Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang Aspek Biokultural Sisa Rangka Manusia Dari Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 025-044 J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 083-098 Penelitian stabilitas struktur tanah Candi Sukuh dilaksanakan untuk mengatasi Pada tahun 2013, Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan sisa rangka manusia di permasalahan geoteknik dan geologi lingkungan candi. Pada saat ini kawasan Candi Kluster F situs Liangan, Temanggung, yang kemudian dinamakan individu Liangan F1. Sukuh yang merupakan situs lingkungan benda cagar budaya peninggalan abad ke 14, Penelitian ini berusaha mengungkap aspek biologis dan kultural yang terekam pada telah mengalami gangguan ekosistem karena adanya perkembangan wilayah individu Liangan F1 dengan menggunakan pendekatan bioarkeologi. Aspek biologis pemukiman, wisata, serta berbagai kepentingan masyarakat lainnya seperti yang diungkap mencakup estimasi usia, penentuan jenis kelamin, afinitas populasi, dan penambangan Gol C yang meninggalkan sisa galian berupa lorong dan gua di dalam patologi atau kondisi kesehatan. Sedangkan aspek budaya mencakup kebiasaan tanah, yang dapat memicu pergerakan tanah berupa longsoran. modifikasi pada saat antemortem yang terkait dengan gigi, dan bukti tafonomi Oleh karena pertimbangan pelestarian maka dilaksanakan penelitian struktur tanah perimortem seperti praktek pemakaman atau tata cara penguburan. Studi sisa rangka yang ada di kawasan Candi Sukuh, terutama mengenai kemungkinan akibat perubahan manusia dari situs permukiman Mataram Kuna-Liangan ini telah membuka cakrawala lingkungan dari kegiatan penambangan. Penelitian dilakukan dengan melaksanakan kita dalam memahami budaya dan pola tingkah laku manusia yang berkembang pada survey terhadap kondisi geoteknik, geologi, dan kemungkinan pengaruh lain misalnya masa Klasik abad 9 - 10 M di Jawa. gempa, terhadap kawasan candi. (Penulis) (Penulis) Kata Kunci : Aspek Biokultural, Rangka Manusia, Mataram Kuna, Liangan Kata Kunci : Candi Sukuh, Perkembangan Wilayah, Kestabilan Lereng. DDC 614.1 DDC 930.1 Rusyad Adi Suriyanto (Universitas Gajah Mada Yogyakarta) T.M. Hari lelono (Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta) Arkeologi Forensik: Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 045-070 Pada Masa Jawa Kuna Arkeologi forensik didefinisikan sebagai penerapan prinsip-prinsip dan teknik- J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 099-116 teknik arkeologis dalam konteks medico-legal dan/atau dalam konteks kemanusiaan Pada masa Jawa Kuna, pendirian bangunan suci Siwa/Hindu-Buddha yang berkaitan dengan bukti-bukti terkubur. Ahli arkeologi forensik berperan sebagai dimaksudkan untuk tempat melakukan pemujaan kepada para dewa. Arsitektur candi ahli yang mampu menemukan benda-benda yang terkubur secara sistematis dan yang indah biasanya dihiasi dengan relief yang berisi pesan moral-edukatif. Relief dapat merekonstruksi apa yang mereka temukan itu. Makalah ini mendiskusikan peran dimaknai sebagai salah satu media informasi/ publikasi yang ditujukan kepada arkeologi dan para arkeolog dalam ekskavasi korban-korban kriminal, kemanusiaan dan masyarakat luas baik dewasa maupun anak-anak. Tujuan tulisan ini, adalah untuk bencana. Makalah ini berusaha melihat apa yang telah mereka kerjakan meliputi mengetahui mengapa relief digunakan oleh nenek moyang pada masa Klasik (Hindu- pembuktian kasus-kasus penyelundupan dan pencurian material-material Budha) sebagai media untuk menyampaikan pesan moral-edukasi bagi masyarakat. paleoantropologis, dan keterlibatan dalam misi-misi kemanusian untuk penyelidikan dan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi terhadap relief cerita pengungkapan korban-korban kubur massal akibat perang, pertikaian politik dan candi-candi di Jawa Tengah dan Timur , analisis, serta interpretasi yang didukung oleh genosida di masa lalu dan masa kini. studi literatur. Keberadaan, kondisi dan perkembangan arkeologi forensik di Indonesia (Penulis) menegaskan pentingnya pengembangan paradigma baru dalam arkeologi Indonesia. Kata Kunci: Relief Candi, Media Informasi, Jawa Kuna. Arkeologi tidak semata berkonsentrasi pada kajian material-material budaya masa lalu, pendidikan dan pengembangan museum, manajemen dan advokasi sumberdaya budaya, namun juga berperan untuk pekerjaan medico-legal. Ahli arkeologi forensik bahkan terlibat dalam disaster victim identification (DVI) yang menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan para korban yang terkubur oleh beragam bencana baik yang diakibatkan oleh alam maupun manusia. (Penulis) Kata kunci: Arkeologi, Bioarkeologi, Arkeologi Forensik, Indonesia.

iv Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1/Mei 2016

BERKALA ARKEOLOGI ISSN 0216 – 1419 Volume 36 Edisi No. 1 – Mei 2016 SK Kepala LIPI tentang Akreditasi Majalah Berkala Ilmiah: 641/AU2/P2MI-LIPI/07/2015 The mentioned keywords are open terms. This abstract page can be copied

without any permit or cost.

DDC 930.1 DDC 930.1 Indah Asikin Nurani (Balai Arkeologi Yogyakarta) Sudarti Prijono (Balai Arkeologi Bandung) The Technology of Tools and Ornaments Production at Gua Kidang, Blora (Org.Ind.) Prehistoric Bronze Artifacts from Pasir Angin Site, Bogor: J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 001-024 Its Correlation to their Material Sources (Org.Ind) Gua Kidang is a prehistoric settlement that provides a complete description on the J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 071-082 life pattern and the development of technology, as well as the adaptation strategy of the Pasir Anginsite is located in the western part of Java Island kept many artifacts dwellers to survive. The development of technology was supported by the intelligence of coming from metal materials bronze. Bronze at the site was found in context as a means the artist and the raw material provided in its neighbourhood. The manufacturing or equipment worship ancestral spirits. The context also shows that Bronze at the time it technique of tools and jewellery, found in Gua Kidang, demonstrated the effectivity was considered a luxury item, and community allegedly Pasir Angin was first exposed to aspect and unique innovation. Artifacts made from clamshell and bone, along with goods of metal materials that are the result of high technology. On this site can not be dental remains provide the insight on the variety of tools type and advance found the remains of bronze production, so it alleged that no local production of bronze manufacturing technique compared to the type found in other prehistoric cave dwelling artifacts, but to come from surplus areas such objects and how spreading. Through in Java as well as Indonesial. Based on the analysis of the manufacturing technique and metallographic analysis showed that bronze objects Pasir Angin site making techniques geoarchaeological aspect, the cultural character of Gua Kidang’s dwellers was shown have similarities with the Dong Son bronze objects. In addition, there were traces of through the development of technology. This paper uses descriptive methods - shipping and commercial activities that have ever taken place between the Chinese in explanatory with inductive reasoning. this case with Indonesia Dong Son bronze objects strengthens the case originated from (Author) the region. Thus the site became Pasir Angin setrategis region that gave birth to early Keyword: Gua Kidang, Technology, Bone, Shell, Raw Material. civilizations utilization of high technology. The findings of bronze objects on this site strengthens the case that Java has entered International network since the perundagian. (Author) Keywords: Bronze, Row Materials, Distribution DDC 722.4 DDC 569.9 Hendy Soesilo (Balai Arkeologi Yogyakarta) Sofwan Noerwidi (Balai arkeologi Yogyakarta) Soil Structure Stability Of the Sukuh Temple: Present and Future (Org. Ind.) Biocultural Aspect Of Human Remain from Liangan Site, J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 025-044 Temanggung, Central Java(Org.Ind.) The research of soil structure stability at Sukuh Temple was carried out in order J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 083-098 to seek the answer to geotechnical and geological issues of the temple’s environment. In 2013, Center for Archaeological Research of Yogyakarta has found a human This National Heritage Site, which,was built around 14th century AD,has some remain in Cluster F, Liangan site, Temanggung, which named as individual of Liangan environment disturbances caused by developing settlement area, tourism, and mining. F1. This study tries to reveals biological and cultural aspects which recorded on this Furthermore, theexistence of mining activity at the site as shown by the tunnels and remain by bioarchaeological approach. Biological aspects are including; age estimation, caves in the underground of the Temple’s area, could makepotentiall triggers for sex determination, population affinity, and pathology or health condition. Meanwhile, landslide in the future of the temple. cultural aspects are including antemortem cultural practice which associated to dental Considering the major influence of mining activity in the area of this site, the soil modification, and perimortem taphonomy as evidence of funeral practices or burial structure study is necessery for focusing to assess the threats caused by this mining procedures. Study on human remains from Liangan settlement site of Ancient Mataram activity in the Temple’s area. Geotechnical survey and geological survey condition have Kingdom has opened our knowledge to understanding culture and human behavior been done to collect data for this study. The survey were also been done for identifying which develop during the historical period of 9th-10th century AD in Java. other aspect such as earthquake in surrounding area of the Temple. (Author) (Author) Keyword : Biocultural Aspect, Human Remain, Old Mataram, Liangan Keyword : Sukuh Temple, Development Area, Slope Stability. DDC 614.1 DDC 930.1 Rusyad Adi Suriyanto (Universitas Gajah Mada) T.M. Hari lelono (Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta) Forensic Archaeology: Its Development and Achievement in Indonesia (Org. Ind) The Relief of Candi as an Effective Media to Deliver Moral-Didactic Message J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 045-070 In Ancient Java (Org.Ind) Forensic archeology is defined as the application of archaeological principles and J. Berkala Arkeologi Mei 2016, vol 36 no.1, hal 099-116 techniques in medico-legal and/or humanity context related to buried evidence. Forensic The establishment of temple as sacred buildings of Shivaism/Buddhism in archaeologist has two roles, as the expert who unearth buried objects systematically and Ancient Javanese Period aimed to worship gods. Temples are, decorated by reliefs reconstruct them. This paper discusses the role of archeology and archaeologists in the contain moral-educational message to support their aim. Stories or non stories depicted excavation of criminal, humanitarian and disaster victims. Archaeologist’s role to reveal on the relief functioned as information/publication medium for adult as well as paleoanthropological materials smuggled and theft is also discussed in this paper. children. This article examines why relief was used in -Buddhism Period to Humanitarian missions to investigate mass grave of victims of war, political strife and deliver moral-educational message to them. Methods used is observation on the relief genocide in the past and the present are other archaeologist’s role discussed in this stories carved on temples in Central and East Jav, analysis, and interpretation based on paper. literature study. The existence, condition and development of forensic archaeology in Indonesia (Author) emphasize the significance of new paradigm in Indonesian archaeology. Forensic Keywords: Temple Reliefs, Media Information, Javanese. archeology not merely focusess on the study of cultural materials of the past, education and museum development, cultural resource management and its advocacy, but it also has role in medico-legal works. Forensic archaeologist also engages in disaster victim identification (DVI) that addresses issues related to victims buried by either natural or human disasters. (Author) Keywords: Archaeology, Bioarchaeology, Forensic Archaeology , Indonesia

Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1/Mei 2016 v

TEKNOLOGI PEMBUATAN ALAT DAN PERHIASAN DI GUA KIDANG, BLORA

THE TECHNOLOGY OF TOOLS AND ORNAMENTS PRODUCTION AT GUA KIDANG, BLORA

Indah Asikin Nurani Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta anikardani@gmail. com

ABSTRACT Gua Kidang is a prehistoric settlement that provides a complete description on the life pattern and the development of technology, as well as the adaptation strategy of the dwellers to survive. The development of technology was supported by the intelligence of the artist and the raw material provided in its neighbourhood. The manufacturing technique of tools and jewellery, found in Gua Kidang, demonstrated the effectivity aspect and unique innovation. Artifacts made from clamshell and bone, along with dental remains provide the insight on the variety of tools type and advance manufacturing technique compared to the type found in other prehistoric cave dwelling in Java as well asIndonesial. Based on the analysis of the manufacturing technique and geoarchaeological aspect, the cultural character of Gua Kidang’s dwellers was shown through the development of technology. This paper uses descriptive methods - explanatory with inductive reasoning.

Keyword: Gua Kidang, Technology, Bone, Shell, Raw Material.

ABSTRAK

GuaKidang merupakan hunian prasejarah yang memberikan gambaran secara lengkap pola hidup dan pengembangan teknologi, serta pola adaptasi manusia dalam mempertahankan hidupnya. Pengembangan teknologi, didasarkan pada kecerdasan artisan pembuatnya, serta bahan baku yang tersedia di lingkungan alam sekitarnya. Teknik pengerjaan alat dan perhiasan temuan di Gua Kidang, menunjukkan adanya aspek efektivitas dan inovasi tersendiri. Selain itu, temuan artefak kerang dan tulang, serta gigi memberikan kontribusi pengetahuan tentang ragam tipe alat dan teknik pengerjaan yang tinggi dibandingkan tipe alat temuan dari gua-gua hunian prasejarah di Jawa khususnya, dan Indonesia umumnya. Berdasarkan kajian teknik pembuatan dan aspek geoarkeologi, menunjukkan karakter budaya penghuni Gua Kidang dalam pengembangan teknologi. Tulisan ini menggunakan metode deskriptif – eksplanatif dengan penalaran induktif.

Kata Kunci: Gua Kidang, Teknologi, Tulang, Kerang, Bahan Baku.

Tanggal masuk : 2 Oktober 2015 Tanggal diterima : 31Mei 2016

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 1 (Indah Asikin Nurani)

PENDAHULUAN dan alat tanduk juga ditemukan dalam penelitian tersebut. Temuan Blora merupakan salah satu alat batu di situs tersebutantara wilayah penting yang memiliki lainadalah: kapak perimbas, kapak potensi arkeologis berupa tinggalan penetak, batu inti, alat serpih, alat budaya sejak kala Plestosen, bilah, dan serut, sedangkan temuan terutama di daerah DAS Bengawan alat tulang adalah dua lancipan dari Solo. Situs-situs Plestosen di daerah tulang dan satu alat dari tanduk. ini antara lain situs Mulyorejo, Jigar, Sebagian besar fosil dan artefak Ngandong, dan Medalem. Balai yang ditemukan dalam survei Arkeologi Yogyakarta telah tersebut sudah ada di permukaan melakukan penelitian situs-situs tanah sebagaihasil dari penggalian Plestosen DAS Bengawan Solo liar yang dilakukan oleh penduduk daerah Blora ini sejak tahun 1977 sekitar situs. Sehubungan dengan dan berhasil mengumpulkan temuan hal tersebut, maka pertanggalan fosil binatang purba seperti mutlak dari fosil-fosil tersebut tidak Stegodon, Elephas, rusa, kura-kura, dapat diketahui dengan pasti, sapi, dan kerbau. Data tersebut namun berdasarkan data geologi, ditemukan satu konteks dengan diketahui bahwa temuan fosil berada tinggalan budaya alat tulang dan pada formasi Kabuh pada endapan tanduk, serta alat dari cangkang teras yang berumur Plestosen kerang (Moeljadi, 1984). Tengah – Plestosen Atas (Hidayat, Beberapa puluh tahun 2007). kemudian, saat penelitian tentang Analisisidentifikasi temuan pola okupasi gua kawasan karst alat, menunjukan bahwa alat-alat Blora tahun 2005, Dinas yang ditemukan di Situs Kuwung Kebudayaan dan Pariwisata merupakan hasil budaya fase Kabupaten Blora meminta Balai Paleolitik yang dihasilkan oleh Homo Arkeologi Yogyakarta untuk erectus pada kala Plestosen. menginventarisasi potensi Identifikasi alat tanduk menunjukkan arkeologis di seluruh Kabupaten bahwa alat tersebut memiliki Blora. Permintaan tersebut ditindak teknologi yang sama dengan alat lanjuti dengan melakukan penelitian tanduk yang ditemukan di situs pada tahun 2006 – 2007 di situs Ngandong, sehingga diduga alat manusia purba di DAS Bengawan tersebut merupakan hasil budaya Solo yaitu Situs Kuwung, yang dari Homo erectus progresif yang secara administratif terletak di berumur Plestosen Atas. Analisis Kecamatan Kradenan. Hasil survei temuan fosil stegodon sp. di situs tersebut berupa sebaran fosil menunjukkan bahwa situs vertebrata dari jenis hewan gajah prasejarah di Kabupaten Blora purba (Elephantidae dan memiliki potensi temuan fosil yang Stegodontidae), banteng (Bos hidup pada kala Plestosen Tengah bubalus sp), kerbau (Bubalus yang masuk pada kategori fauna palaeokarabau), rusa (Cervidae) Trinil (Hidayat, 2007). Terlepas dari babi (Suidae), kura-kura temuan tersebut, sebagaimana (Testudinidae, Chelonidae), badak disebut di atas, fokus penelitianawal (Rhinoceros sp.), kuda nil, serta fosil adalahpola okupasi gua kawasan binatang air seperti ikan hiu dan karst Blora, kehidupan kala kerang (Pelecypodae). Beberapa Plestosen Atas sampai Awal artefak seperti alat batu, alat tulang, Holosen.

2 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

Kebudayaan manusia kala dengan intensitas sinar matahari tersebut, telah meningkat sesuai masuk sekitar 30% membuat gua dengan berkembangnya kecerdasan layak dan nyaman untuk digunakan manusia saat itu. Mereka hidup sebagai tempat tinggal. Ukuran secara semi nomaden atau ruangan yang cukup luas dengan berpindah-pindah dan ketinggian atap gua kurang lebih 18 mengumpulkanmakanan tingkat meter menambah kenyamanan lanjut dengan mengembangkan pemanfaatan lahan gua dalam teknologi mesolitik (Soejono, 2000). melakukan aktivitas sehari-hari Pola hidup mereka tetapsama (Nurani dan Hascaryo, 2011). dengan masa sebelumnya yang Temuan arkeologis di Gua tetap mengandalkan ketersediaan Kidang, antara lain berupa cangkang sumber makanan dan sumber bahan kerang Pelecypoda, Gastropoda, baku untuk peralatan sehari-hari tulang dan gigi binatang, fragmen yang tersedia di lingkungan alam tembikar, rangka manusia, dan batu. sekitarnya. Manusia pendukung Bukti tinggalan tersebutpenting budaya tersebut mulai menempati untuk mengungkapkan aspek-aspek gua atau ceruk sebagai tempat sosio-budaya dan tingkat tinggalnya. Akan tetapi, berdasarkan kepiawaian artisan dalam mengenal survei terhadap seluruh kawasan teknologi yang mereka miliki sebagai karst Blora, diketahui bahwa kesatuan ekosistem masa itu. sebagian besar gua dan ceruk yang Kerang Pelecypoda dan Gastropoda ada, tidak layak huni. Hal tersebut, adalah bukti konsumsi manusia karena morfologi dan temuan prasejarah pendukung Gua Kidang. permukaan gua dan ceruk tidak Kerang atau moluskatampaknya memberikan indikasi hunian. Jenis tidak hanya diperoleh dari sungai gua yang ada adalah jenis gua dan rawa sekitar gua, namun vertikal, sungai bawah tanah, dan keberadaan beberapa cangkang rekahan bukit yang tidak layak huni. menunjukkan adanya eksplorasi Satu-satunya gua yang secara lebih jauh yaitu di laut. Jarak antara arkeologis potensial dan layak huni, gua dengan pantai terdekat yang baruGua Kidangyang terletak di terletak di sebelah utara gua kurang Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, lebih 40 km. Jarak tersebut Kabupaten Blora (Nurani dan merupakan hal yang memungkinkan Susetyo, 2008). Selanjutnya disebut dijangkau dalam jelajah manusia kawasan karst Todanan. kala itu. Pola hidup yang masih semi Pembentukan Gua Kidang menetapmemungkinkan jelajah memakan waktu yang lama. Pada sejauh itu, dalam mencari awalnya merupakan aliran sungai ketersediaan sumber makanan. bawah permukaan, selanjutnya Mereka akan menyiasati mengalami pengeringan dan tidak ketersediaan sumber makanan pada berfungsi lagi, sehingga dasar gua musim tertentu yang menyediakan tertutup oleh endapan agregat flora dan fauna pada daerah tertentu tanah. Material agregat berukuran (Doran, 1999). Selain itu, temuan butir pasir halus sampai lanau tulang dan gigi binatang mengendap bersama air permukaan vertebratadari yang berukuran kecil dan run off yang masuk ke dalam seperti binatang Aves (unggas), gua. Selain itu, proses sedimentasi Cervidae (kijang) hingga binatang juga terbentuk oleh media angin. berukuran besar seperti Bovidae Lahan gua dalam kondisi kering menunjukkan intensitas eksplorasi

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 3 (Indah Asikin Nurani)

manusia terhadap alam yang sangat dari permasalahan tersebut, maka tinggi pada saat itu (Nurani dan tulisan ini diharapkan memberikan Hascaryo, 2011). kontribusi budaya hunian gua di Sisa-sisa makanan, baik Jawa dalam pengembangan berupa cangkang kerang maupun teknologi pembuatan alat dan tulang menunjukkan bahwa sisa-sisa perhiasan. itu tidak begitu saja dibuang sebagai Berdasarkan hasil penelitian di sampah, namun dengan teknologi Gua Kidang dan didukung dengan yang dimiliki, mereka mampu berbagai temuan artefak baik dari mengolah limbah menjadi peralatan kerang maupun tulang, serta batu, sehari-hari. Peralatan sehari-hari maka permasalahan yang akan manusia pendukung Gua Kidang, dipecahkan dalam tulisan ini adalah antara lain berupa lancipan tulang, sebagai berikut. lancipan kerang, serut tulang, gurdi 1. Bagaimana pola adaptasi tulang, gergaji kerang, dan manusia penghuni Gua Kidang perhiasan kerang dan tulang. Hal ini dalam mempertahankan menunjukkan, bahwa mereka hidupnya? dan, mampu beradaptasi pada lingkungan alam sekitar, sehingga 2. Bagaimana perkembangan menghasilkan peralatan yang teknologi pembuatan alat dan mereka butuhkan dengan perhiasan? menggunakan teknik pengupaman serta pengasahan alat. Hal tersebut LANDASAN TEORI membuktikan, tingkat kecerdasan manusia saat itu dalam Kehidupan manusia mengeksploitasi alam. Perapian penghuni gua masa prasejarah yang merupakan prasarana yang masih berpindah-pindah dalam menonjol dalam kehidupan di dalam mempertahankan hidupnya, gua, selain digunakan sebagai dipengaruhi oleh potensi penghangat ruangan, memasak, sumberdaya alam sekitarnya. Cara juga menjadi bagian dari proses manusia mengeksplorasi dan teknik pembuatan alat (Nurani, mengeksploitasi alam sekitarnya, Hascaryo, dan Koesbardiati, 2012). dipengaruhi kemampuan dan tingkat Hal yang tidak berkembang di Gua teknologi yang dikenalnya. Sebagai Kidang adalah, alat batu. Hal ini contoh adalah perkembangan tidak biasa terjadi pada budaya pembuatan alat dengan alur hunian gua, sehingga menjadi perjalanan yang panjang. Alur pertanyaan tersendiri. perjalanan ituberkorelasi dengan Budaya hunian gua di Jawa tingkat kecerdasan manusia khususnya, dikenal dengan sebutan penggunanya dalam memanfaatkan ―Budaya Sampung‖. Budaya sumberdaya alam. Berdasarkan hal Sampung dikenal dengan temuan tersebut, maka data teknomik khasnya berupa industri alat merupakan hal yang mampu tulangterutama sudip (Tanudirjo, berbicara banyak, baik mengenai 1985). Menjadi hal yang menarik aspek teknik maupun tingkat dipertanyakan, apakah seluruh kecerdasan manusia pendukungnya. hunian gua di Jawa satu periode Hal tersebut menunjukkan, bahwa dengan Budaya Sampung, ataukah hasil budaya merupakan adaptasi Gua Kidang merupakan hunian gua manusia terhadap lingkungannya, sebelum budaya Sampung?Terlepas sebab dalam lingkungan alam yang

4 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

berbeda, akan menghasilkan menuju bentuk yang lebih kompleks budaya yang berbeda pula. dan sempurna. Proses Dalam teori sistem, perkembangan tersebut, merupakan kebudayaan merupakan suatu suatu proses evolusi teknologis yang sistem yang terdiri atas beberapa cukup panjang dandikenal dengan subsistem yaitu subsistem teknologi, istilah paleolitik (batu tua), mesolitik sosial, dan ideologi(James, 1977). (batu madya), dan neolitik (batu Pembagian subsistem dalam muda). Peristilahan tersebut tidak kebudayaan tersebut, tidak dapat menunjuk pada konotasi suatu dipisahkan antara subsistem satu periode (masa), tetapi hanya dengan subsistem lainnya. merupakan terminologi teknologis Haltersebut karena subsistem- (Soejono, 2000). subsistem saling berkaitan. Suatu Teknologi pembuatan alat, subsistem dalam kesatuan suatu baik dari bahan baku apapun, pada sistem harus bisa bekerja sama dasarnya dilandasi oleh dua faktor, untuk menghasilkan sesuatu yang yaitu metode dan teknik. Metode tidak dapat dibuat oleh masing- berada pada bentuk fikiran, masing subsistem secara terpisah. sedangkan teknik berada pada Masuknya faktor luar ke dalam suatu kedua belah tangan. Metode sistem kebudayaan akan pembuatan alat, merupakan suatu menyebabkan perubahan- tatanan yang dijalankan secara perubahan (James, 1977). sistematis dan teratur dan bukan Perubahan yang terjadi pada satu merupakan sesuatu yang terjadi subsistem tidak langsung secara kebetulan. Demikian pula menimbulkan perubahan pada halnya dengan ciri-ciri teknologis semua subsistem lain dalam waktu seperti dataran pukul (striking- yang singkat. Perubahan yang platform), bulbus (bulb of terjadi pada lingkungan alam akan percussion), goresan bekas mengandung reaksi terutama dari penyerpihan (bulbar scar), dan alur subsistem teknologi, karena penyerpihan (ripples) merupakan subsistem tersebut yang akibat dari teknologi pembuatan berhubungan langsung dengan yang diterapkan oleh si pembuat flora-fauna dan geografis sekitarnya (Crabtree dalam Widianto, 1983). (Miksic, 1984). Perubahan oleh Teknologi batu yang subsistem teknologi juga dapat berkembang pada masa hunian di terlihat pada jenis-jenis artefak gua adalah teknologi mesolitik. teknomik. Oleh karena itu, dengan Teknologi mesolitik setingkat lebih mengkaji dan menganalisis tentang tinggi daripadateknologi paleolitik artefak dan perubahan permukiman, yang masih sederhana. Teknik dapat diungkap latar belakang pembuatan dan variasi produk pada perubahan pola hidup berpindah- teknologi mesolitik lebih cermat pindah. dibandingkan teknologi paleolitik. Prosesperkembangan Peningkatan lebih lanjut dan cermat teknologi pembuatan alat dan ditujukkan pada pangkasan dan perhiasan, baik di Indonesia maupun menonjolnya penyerpihan kedua di negara-negara lainnya, (secondary-retouched). merupakan hal yang universal sama, Produk teknologi pada khususnya perkembangan teknologi tingkatan ini lebih bervariasi jenis alat batu. Teknik pembuatan alat- alatnya, seperti tipe serpih, bilah, alat batu dari bentuk sederhana dan serut. Tipe lain yang muncul

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 5 (Indah Asikin Nurani)

adalah lancipan-lancipan mikrolit dengan tipe deskriptif-eksplanatif. dan mata panah sederhana. Pengamatan teknologi didasarkan Secarateknologis, ciri kuat yang pada teknik pengerjaan dan tampak adalah adanyabulbus-bulbus pangkasan dengan membandingkan negatif pada bagian dorsal, bagian temuan artefak dari situs gua lainnya ventral tanpa faset, dan adanya khususnya di Jawa. Tidak seluruh dataran pukul. Selain ciri-ciri temuan dibahas dalam tulisan ini, teknologis tersebut, hal yang khas namun hanya beberapa sampel pada teknik mesolitik adalah yang signifikan, terutama dari aspek penggunaan teknik penghalusan teknik pengerjaan dan fungsi. Posisi melalui pemangkasan kedua temuan kaitannya dengan lapisan (secondary retouched), untuk tanah juga dideskripsi, untuk membentuk tajaman. menjajagi dinamika teknologi alat. Berbeda halnya dengan Selain itu, dilakukan juga teknologi alat tulang dan kerang. pengamatan geologis sehubungan Sebagian besar alat dan perhiasan dengan keberadaan sumber bahan yang dihasil kurang bervariasi, baku. sedangkan pengerjaannya lebih Diharapkan metode tersebut pada pangkas dan upam. Alat atau dapat memecahkan masalah yang perhiasan dari tulang, biasanya telah dirumuskan. Bagaimana pola memilih bahan dari bagian tulang adaptasi yang diterapkan dengan panjang, salah satu atau dua bagian alam lingkungan sekitarnya melalui dipangkas untuk membuat tajaman. kajian geologis. Selanjutnya akan Selanjutnya diupam atau digosok terjawab mengapa penerapan sampai mengkilap (Webb, 1990). teknologi tertentu yang digunakan Adapun teknik pembuatan alat atau berdasarkan ketersediaan bahan perhiasan dari cangkang kerang, baku yang ada. lebih sederhana lagi dibandingkan alat dari tulang. Hal tersebut TEMUAN ARTEFAK KERANG DAN dikarenakan bahan cangkang TULANG GUA KIDANG kerang merupakan sutura-sutura yang memiliki alur-alur yang mudah Gua Kidang, terletak di Desa dipangkas membentuk tajaman. Tinapan, Kecamatan Todanan, Pangkasan dalam alat kerang, Kabupaten Blora. Merupakan gua di meliputi serpihan mikro bawah permukaan tanah sekitar, (microfracturing), striasi (striations), atau disebut dolina. Luas dolina dan garis-garis lurus (linear Kidang cukup luas, terdiri atas dua features), kilapan (polish), lubang- gua yaitu Gua Kidang A dan Gua lubang kecil akibat hantaman Kidang AA. Luas Gua Kidang A (impact pits), serta penumpulan adalah 36 m x 18 m x 18 m. (edge rounding) (Oakley, 1959). Sedangkan Gua Kidang AA merupakan ceruk yang melebar METODE PENELITIAN mengikuti dinding dolina. Ekskavasi dilakukan pada beberapa kotak gali Berdasarkan pemahaman berukuran 1, 5 m x 1, 5 m dengan teori sistem dan teknologi membuat grid pada seluruh lahan pembuatan alat sebagaimana dolina. Pemilihan kotak ditentukan diuraikan di atas, maka metode pada bagian depan, belakang penelitian dalam tulisan ini (dalam), tengah bagian kiri, dan menggunakan penalaran induktif tengah bagian kanan. Lebih lanjut

6 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

dapat dilihat gambar denah Gua A. Artefak Batu Kidang berikut: Meskipun tidak menonjol, temuan Temuan artefak baik itu artefak batu di Gua Kidang terdiri peralatan maupun perhiasan Gua atasbatu pukul dan alat pengasah Kidang, didominasi oleh bahan alat kerang dan tulang atau disebut cangkang kerang dan tulang. batu asah. Temuan batu pukul Jumlah artefak bahan batu sangat ditemukan di semua kotak gali dari sedikit. Hal tersebut, didasarkan bahan batu andhesit, batugamping, kajian geoarkeologi melalui survei dan beberapa dari batu gamping dan pelacakan temuan ekskavasi silikaan yang memiliki kekerasan di menunjukkan, bahwa bahan baku bawah 5 mohs. Jejak-jejak batu dengan kandungan silikaan pemakaian tampak sangat intentif tinggi tidak ada di sekitar kawasan yang ditunjukkan karst Todanan. Lokasi terdekat (± 10 denganterkelupasnya korteks batu km) sumber bahan baku batu pada berbagai sisi. Indikasi dengan silikaan tinggi, berada di batuasah adalah jejak guratan daerah Dumpil, Sungai Lusi, horisontal pada permukaan batu,

Gambar 1. Denah Gua Kidang A (Sumber: Nurani, 2015) Kabupaten Grobogan dengan aliran sehingga membentuk goresan pada anak-anak sungai di Kecamatan batu tersebut. Dugaan sementara Kunduran, Kabupaten Blora, serta batu asah ini digunakan untuk lokasi terjauh di DAS Bengawan mempertajam alat dari cangkang Solo (± 40 km) yang terletak di kerang dan alat dari tulang dengan Kecamatan Kradenan, Kabupaten cara seperti meraut. Bahan yang Blora (Nurani dan Hascaryo, 2011). digunakan sebagian besar adalah Berikut temuan artefak baik batu rijang merah dan kuning alat maupun perhiasan temuan berukuran krakal dengan tingkat ekskavasi Gua Kidang dari batu, kekerasan skala mohs antara 5-7. kerang dan tulang, serta gigi Temuan batu asah ini ditemukan (Nurani, 2009; 2010; 2011; Nurani, pada semua kotak gali. Hascaryo, Koesbardiati, 2012; 2014; Berdasarkan temuan artefak 2015). batu tersebut, menunjukkan bahwa alat dari batu bukan merupakan alat

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 7 (Indah Asikin Nurani)

utama, namun sebagai alat bawah. Beberapa temuan lain pendukung. Menjadipertanyaan, dari menunjukkan, bahwa pembuatan mana bahan-bahan batuan yang lubang selain sebagai perhiasan tidak terdapat di lingkungan sekitar seperti liontin, anting-anting, juga gua, diperoleh? Mengingat bahan dimaksudkan sebagai tempat bakubatu rijang tersebut tidak mengaitkan seutas tali. terdapat di sekitar gua. Kajian Hal yang perlu diketahui, geologis menunjukkan sumber terdapat dua jenis artefak yang bahanbaku batu tersebut terdapat di berlubang. Apabila artefak sekitar daerah aliran sungai berlubang tersebut, di bagian Bengawan Solo (berjarak sekitar 40 lainnya baik itu di atas atau di km). Jarak sejauh itu, merupakan samping dikerjakan lebih detail hal yang biasapada pola hidup untuk tajaman, maka fungsi dari manusia kala yang masih semi artefak tersebut bukan sebagai perhiasan, namun merupakan alat seperti serut atau sudip. Berikut beberapa temuan kerang dan tulang (gigi) berlubangbaik sebagai perhiasan maupun alat (periksa lampiran tabel temuan artefak Gua Kidang). Artefakkerang dan tulang, serta gigi yang sengaja dibuat lubangselain berbentuk lingkaran,

Gambar 2. Batu pukul dari batu andesit jugaberbentuk bunga. Apakah (Sumber: Nurani, Hacaryo, 2011) artefak ini merupakan manik-manik atau bukan, belum dapat dipastikan mengingat apabila disebut manik- manik, maka tentunya temuan artefak berlubangini berjumlah banyak. Hal tersebut karena pengertian manik-manik berkonotasi dengan untaian/rangkaian dari manik-manik untuk dibuat gelang atau kalung. Untuk itu, dalam hal ini disebut sebagai perhiasan.

Gambar 3. Batu Asah dari batu rijang (Sumber: Nurani, Hacaryo, 2011) menetap.

B. Kerang-Tulang Berlubang Dalam hal ini yang dimaksud kerang atau tulang berlubang adalah perhiasan. Pembuatan lubang dilakukan dengan teknik bor. Penggunaan bor diketahui berdasarkan pada ukuran cangkang bagian atas yang lebih lebar Gambar 4. Serut Cekung berlubang (Sumber: diameternya, dibandingkan bagian Nurani, Hacaryo, 2011)

8 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

Berikut posisi temuan ditemukan serutbergerigi yang diurutkan berdasarkan kedalaman dilubangi dengan pengerjaan yang dari permukaan tanah. intensif. Artefak inididugaberfungsi Temuanartefak berlubang paling ganda bukan sebagai perhiasan dangkal ditemukan pada kedalaman saja, tetapi juga berfungsi sebagai 40 – 50 cm dari permukaan tanah alat. Ukuran dari temuan tersebut sampai pada kedalaman 157 cm adalah4,9 x 2,8 x 0,5 cm. Diameter dari permukaan tanah. Pada lubang1,2 cm pada bagian tengah kedalaman 40 – 50 cm, temuan dari cangkang. Sementara pada bagian kotak T6S1, ukuran 5,2 x 2,4 x 0,2 bawah dikerjakan dengan teknik cm berupa perhiasan darikerang pengerjaan retus untuk membentuk berlubang menyerupai bunga. tajaman runcing secara mikro Selanjutnya pada kedalaman yang seperti gergaji (lihat gambar 5). sama dari kotak U31T49 adalah alat berupa serut yang diberi lubang, sebanyak dua buah. Specimen pertama ukuran alat 4 x 3, 1 cm, tampak pengerjaan dengan pangkasan cekung berukuran mikro pada lateral kiri, bagian bonggol dibuat kaitan seperti paruh burung. Specimenkedua dengan ukuran 3,6 x 2,2 cm, cekungan dibuat pada lateral kiri. Pada bagian bonggol dilubangi bentuk segitiga, Gambar 5. Serut Bergerigi berlubang selanjutnya dipangkasserong ke (Sumber: Nurani, Hacaryo, 2011) arah bawah. Temuan lainnya yang tak Temuan lainnya adalah pada kalah penting adalah temuan pada kedalaman 47 cm dari permukaan kedalaman 122 cm dari permukaan tanah, berupa kerang tanah berupa gigi canineCanidae berlubangdengan ukuran 5,3 x 3 x yang diberi lubang pada bagian akar 0,2 cm terbuat dari cangkang kerang gigi. Tanda kalau artefak ini pelecypoda utuh. Pengerjaan merupakan perhiasan adalah dilakukan pada bagian lateral kanan dibuatnya lubangpada bagian akar dengan membentuk cekungan dan gigi dengan diameter 0,2 cm dengan di bagian tengah dibuat lubang cara melubangi akar gigi yang telah besar berdiameter 1,3 cm. dipangkas terlebih dahulu agar pipih. Pada kedalaman 99 cm dari Bagian gigi yang sudah berbentuk permukaan tanah ditemukan serut runcing, dibiarkan utuh. Ukuran yang dilubangi, ukuran 5,3 x 2,6 x perhiasan adalah 2 x 0,6 cm. 0,3 cm. Cangkang kerang utuh Berdasarkan bentuknya, artefak ini bagian kiri dikerjakan dengan merupakan anting-anting atau pangkasancekung berukuran makro liontin. tiga buah. Pada lateral kiri bawah Artefak tulang berlubang juga dilubangi. Kemungkinan artefak ini ditemukan pada kedalaman 150 cm memiliki fungsi ganda, selain dari permukaan tanah. Merupakan sebagai perhiasan juga sebagai alat cranium binatang yang dilubangi (lihat gambar 4). dengan diameter 0,4 cm, ukuran 3,9 Pada kedalaman 115 – 120 x 3 x 0,7 cm. Kemungkinan artefak cm dari permukaan tanah, ini merupakan perhiasan. Selain itu,

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 9 (Indah Asikin Nurani)

temuan dari kedalaman 157 cm dari untuk kebutuhan praktis. Kebutuhan permukaan tanah berupa praktis dimaksud adalah utamanya artefakmulti fungsi, selain sebagai artefak tersebut merupakan alat perhiasan juga merupakan serut. seperti serut yang dibuat lubang Cangkang ini tampak terbakar. untuk dikaitkan dengan tali. Terbuat dari cangkang kerang Pelecypoda, ukuran 3,7 x 2,1 x 0,5 C. Hiasan cm. Pengerjaan secara intensif dan Temuan pada kedalaman 20 tampak adanya pemakaian yang cm dari permukaan tanahdari intensif juga. Cangkang bagian atas cangkang Gastropoda sub atau terkeras dibiarkan utuh tanpa classOpisthobranchia, ukuran 3,1 x pengerjaan. Pengerjaandilakukan 2,4 cm diduga merupakan hiasan. pada lateral kanan dan kiri, serta Meskipun dari fungsi masih bagian bawah. Bagian tengah dipertanyakan, apakah sebagai cangkang dilubangi serta tampak hiasan saja, ataukah sebagai alat. ada usaha membuat lubanglagi, tapi Dugaan sebagai hiasan, karena tidak berhasil. Pengerjaan pada berbentuk seperti kelopak bunga, bagian lateral baik kanan maupun sedangkan dugaan sebagai alat kiri dilakukan dengan pangkasan adalah jenis lancipan. Pengamatan mikro meruncing yang selanjutnya lebih lanjut terhadap artefak ini dikerjakan lagi dengan retus secara masih diperlukan. Cangkang mikro. merupakan ruas satu bagian atas, Berdasarkan temuan kerang pangkasan dilakukan secara zig-zag dan tulang berlubang di atas, hal yang selanjutnya diretus runcing yang menarik adalah tahap menyudut, sehingga membentuk penggunaan, terutama untuk jenis tiga lancipan. Bagian batas ruas dan artefak multi fungsi. Kemungkinan mulut cangkang dibiarkan tanpa pada awalnya artefak berlubang pengerjaan. sengaja dibuat untuk perhiasan? Ataukah pembuatan lubang tersebut D. Serut Lancipan dibuat setelah artefak tersebut Serut – lancipan merupakan digunakan sebagai alat? Apabila alat multi fungsi yang digunakan dugaan pertama yang benar, maka lebih dari satu fungsi. Alat ini pangkasan yang dikerjakan untuk ditemukan pada kedalaman 0—40 membuat tajaman merupakan alih cm dari permukaan tanah. fungsi artefak. Dalam hal ini dari Pangkasan dilakukan pada bagian perhiasan menjadi alat. Selanjutnya apabila dugaan kedua yang benar, maka pembuatan lubang dikerjakan untuk segi praktis yakni dijadikan gantungan untuk mengaitkan tali. Selain itu, berdasarkan posisi temuan menunjukkan adanya dinamika teknologi artefak dengan lubang. Temuan artefak baik cangkang kerang, tulang maupun gigi pada lapisan atas cenderung Gambar 6. Bilah dari Tulang, pengerjaan teknik alat sebagai perhiasan, sedangkan batu (Sumber: Nurani, Hacaryo, 2011) temuan pada lapisan bawah lateral kiri pada bagian atas dibuat merupakan lubang yang dibuat runcing sementara bagian

10 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

bawahnya diretus mikro dan tampak dari permukaan tanah, kondisi adanya jejak pemakaian. Bagian tulang terbakar dengan ukuran 5,2 x lainnya dibiarkan utuh tanpa 2,9 cm. Teknik pangkas pengerjaan. Temuan lainnya sebagaimana yang diterapkan pada berukuran 4,5 x 3,2 cm memiliki ciri pembuatan alat batutampak jelas yang sama, perbedaannya pada alat tulang ini, yaitu adanya pangkasan dilakukan pada seluruh dataran pukul. Selain itu, bagian bagian secara longitudinal, ventral dan dorsal hanya dipangkas sedangkan runcingan hanya sebuah yaitu pada bagian atas lateral kiri.

E. Serpih - Bilah Tulang Keistimewaan temuan dari Gua Kidang adalah artefak dari tulang dan cangkang kerang yang dibuat dengan teknik pengerjaan alat batu. Beberapa indikasi penerapan teknologi alat batu tampak jelas baik dalam teknik pengerjaan seperti teknik pelepasan Gambar 8. Serpih dari Tulang, pengerjaan dari inti bahan, dataran pukul, teknik alat batu (Sumber: Nurani, Hacaryo, bulbus, retus, serta pangkasan pada 2011) bagian dorsal dan ventral. Beberapa bagian atas saja, sehingga temuan dengan indikasi teknik membentuk lancipan. pengerjaan tersebut antara lain Temuan lainnya dengan sebagai berikut. teknik pengerjaan alat batu adalah Temuan pada kedalaman 40 temuan pada kedalaman 110—120 cm dari permukaan tanah, cm dari permukaan tanah berupa merupakan spatula yang dikerjakan serpih dan bor. Serpih, dengan lagi. Specimen ini menunjukkan ukuran 2,7 x 1,3 x 0,7 cm, teknik bahwa awalnya merupakan spatula, pangkasan menerapkan teknologi selanjutnya dikerjakan lagi, sehingga alat batu, diidentifikasikan dengan menjadi bilah. Tampaknya spatula adanya dataran pukul, dan ini dalam pengerjaannya telah pangkasan pada bagian dorsal dan sempurna, terlihat dari pengupaman ventral. Pada bagian dorsal, dengan hasil yang halus dan licin pangkasan dua sisi kiri – kanan, permukaannya. Pembuatan bilah sehingga bagian tengah menyudut. dengan ciri ukuran panjang minimal Bagian ventral dipangkas pada 2 kali ukuran lebar menunjukkan beberapa arah. Adapun bor dengan teknik pengerjaan alat litik. Setelah ukuran 3,1 x 1,2 x 1 cm, dari tulang. pangkasan yang dipersiapkan dari Tampak bor dari tulang bagian spatula, dengan ukuran 4,2 x 1,6 lekukan atau kanal tulang (tempat cm, selanjutnya diretus mikro sumsum). Salah satu bagian dibuat bergerigi pada satu sisinya (lateral pipih dan dipangkas cekung kanan), sehingga bagian tersebut membentuk paruh burung dengan pipih dan tajam (lihat gambar 6). ujung runcing. Kondisi tulang Temuan-temuan lain, berupa terkonkresi (berlapis batu kapur) serut dari tulang yang menerapkan tingkat lanjut (lihat gambar 7). teknik pengerjaan alat batu juga ditemukan pada kedalaman 72 cm

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 11 (Indah Asikin Nurani)

dengan tongkat atau tali. Berikut temuan jenis serut diurutkan berdasarkan posisi temuan dari lapisan atas ke bawah. Temuan serut cekung dari cangkang kerang laut pada kedalaman 20 – 30 cm dari permukaan tanah, dengan ukuran ukuran alat adalah 3,3 x 3,3 cm. Pengerjaan dilakukan secara intensif pada bagian lateral kanan dan kiri, Gambar 7. Bor dan Serpih dari Tulang, pengerjaan setelah dipangkas vertikal pada teknik alat batu (Sumber: Nurani, Hacaryo, 2015) bagian tengah bidang cangkang. Lateral kanan dipangkas menyudut, Temuan lainnya pada sehingga menghasilkan bentuk kedalaman 110 – 120 cm dari cekungan dalam, selanjutnya diretus permukaan tanah, berupa serpih secara mikro. Bagian lateral kiri dengan ukuran alat 2,9 x 2,1 cm. dikerjakan dengan pangkasan Teknik pengerjaan alat batu yang makro sebanyak 6 pangkasan, tampak jelas pada serpih tulang ini, sehingga bergerigi (lihat gambar 9). adalah adanya dataran pukul, bagian ventral, bagian dorsal, dan pangkasan-pangkasan bagian dorsal (lihat gambar 8).

F. Serut Samping, Serut Cekung, Serut Bertangkai Dari Cangkang Kerang Pengerjaan dengan teknik pengerjaan alat batu juga diterapkan pada alat dari cangkang kerang. Alat kerang jenis serut memiliki tipe alat yang beragam. Penamaan didasarkan dominasi bagian untuk dibuat tajaman, sehingga jenis alat Gambar 9. Serut Cekung, pengerjaan teknik menjadi serut samping karena alat batu (Sumber: Nurani, Hacaryo, 2011)

pembuatan tajaman hanya Artefak serut lainnya adalah dikerjakan pada satu bagian serut bertangkai. Serut berukuran samping saja. Serut cekung, 4,1 x 2,3 cm, dibuat seperti penjepit pangkasan utama sengaja dibuat yaitu dipangkas menjorok ke dalam cekung, selanjutnya dilakukan dengan pengerjaan pada bagian pangkasan sekunder yaitu retus bonggol. Bagian lateral kiri serta untuk mempertajam alat. Adapun lateral kanan dibiarkan utuh. serut tipe bertangkai adalah, serut Terdapat juga pembuatan tangkai yang bagian pangkalnya dikerjakan pada lateral kanan. Ukuran artefak bentuk tangkai. Pengerjaan tangkai adalah 5,2 x 2,7 cm. Serut lain yang dilakukan dengan pangkasan- ditemukan, adalah serut berbentuk pangkasan sekunder dengan lebar segitiga yang sisi-sisinya tampak lebih sempit dari pada bagian alat. jejak pemakaian. Ukuran artefak 4,3 Maksud dibuatnya tangkai pada alat x 2,8 cm. Serut ini tampak ada kemungkinan nantinya dikaitkan

12 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

kesengajaan dipanggang untuk Indikasi awal pengerjaan spatula pengerasan, sehingga seluruh adalah lancipan dan sudip. Indikasi permukaan alat berwarna hitam. alat tersebut merupakan calon Diduga tangkai alat ini akan spatula, pengerjaan untuk diikatkan dengan tali atau dipasang membentuk tajaman seperti spatula, pada tongkat yang selanjutnya diikat yakni pipih dan membundar. Selain tali. Dugaan tersebut perlu itu juga ada beberapa bagian yang pengamatan lebih lanjut. diupam. Selanjutnya, pada lapisan di atasnya, merupakanspatula dengan Serut samping dari cangkang pengerjaan mollusca laut, berukuran 6 x 4,1 cm. sempurna.Seluruhpermukaan tulang Pengerjaan pada lateral kanan diupam dengan tajaman pipih dengan empat pangkasan makro seperti sendok. Terakhir, temuan serong dari lateral kanan ke bawah. spatula pada lapisan atas, tampak Tampak jelas jejak-jejak pemakaian spatula dikerjakan ulang, yang intensif yaitu adanya primping menghasilkan jenis alat yang (Wahyuni, 2014). Temuan serut berbeda, seperti sebagai bilah atau samping lainnya pada kedalaman lancipan. Berikut temuan spatula yang sama, dengan ukuran 3,8 x 2,2 dari lapisan atas sampai lapisan cm. Pengerjaan pada satu bagian bawah. saja, yaitu pada lateral kanan (lihat Temuan spatula pada gambar 10). kedalaman 52 cm dari permukaan tanah, merupakan fragmen spatula yang patah pada bagian panjang, dengan ukuran alat 3,9 x 2,9 cm. Tampak jelas jejak pengupaman yang sempurna. Pada bagian tajaman tampak pemakaian yang intensif dengan indikasi berupa perimping. Bagian lekukan tulang hampir rata, akibat pengupaman. Fragmen spatula lainnya pada kedalaman 53 cm dari permukaan tanah, dengan ukuran spatula 6,2 x 9,2 x 1,2 cm. Spatulalainnya Gambar 10. Serut Samping, pengerjaan teknik ditemukan pada kedalaman 65 cm alat batu (Sumber: Nurani, Hacaryo, 2011) dari permukaan tanah, dengan ukuran spatula 5, 8 x 2,7 cm. Merupakan spatula dengan G. Spatula pengupaman yang dilakukan pada Spatula mulai ditemukan pada bagian tajaman dan tepian. Bagian kedalaman 40 - 50 cm dari lekukan tulang masih tampak jelas. permukaan tanah. Temuan spatula Temuan spatula pada menarik untuk diungkap mengingat kedalaman 66 cm dari permukaan terdapat dinamika teknologi yang tanah, merupakan spatula patah signifikan. Lapisanbawah pada bagian kiri, dengan ukuran (kedalaman lebih dari 100 cm) spatula7,1 x 2,4 cm. Pengupaman menunjukkan temuan spatulabelum telah sempurna terutama pada sempurna atau calon spatula, bagian tajaman, namun bagian meskipun tampak indikasi ventral masih tampak lekukan pengupaman, namun belum halus.

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 13 (Indah Asikin Nurani)

tulang. Pada kedalaman 67 cm dari pemakaian (primping) pada bagian permukaan tanah, temuan spatula distal (Suhari, 2014). dengan ukuran 6,2 x 2,7 cm, Selanjutnya temuan calon menunjukkan pangkasan dilakukan spatula berupa sudip atau belati dengan membelah tulang serta pada kedalaman 138 cm dari melakukan pengupaman pada permukaan tanah. Artefak ini bagian tajaman. Bagian ventral dimasukkan dalam jenis calon datar, kemungkinan karena keropos. spatula, didasarkan karena bagian Pada kedalaman 129 cm dari tajaman yang pipih seperti sendok, permukaan tanah, ditemukan calon serta adanya indikasi diupam. Sudip spatula, dari tulang femur Bovidae, berbentuk seperti belati, dibuat dari dengan ukuran alat: 5,7 x 3 x 0,9 fragmen tulang femur Cervidae, cm. Spatula ini tampak belum dengan ukuran 11,1 x 2,4 x 0,9 cm. sempurna pengerjaannya. Pada Bagian atas atau distal dipangkas bagian permukaan tulang tampak kanan – kiri secara longitudinal. jejak pengupaman yang belum Bagian proksimalujung tajaman sempurna berbentuk pipih. Bagian dipangkas menipis sampai bagian tajaman berupa lancipan, tampak lekukan kanal tulang (sumsum) adanya perimping jejak pemakaian. hilang. Alat ini kemungkinan Pengerjaan dilakukan pada bagian disambung dengan tangkai sehingga atas (distal) danbagian bawah dapat dijadikan tombak atau belati. (proksimal). Bagian distal dipangkas membulat menyerupai sendok/sudip PENGEMBANGAN TEKNOLOGI dan diupam, sementara pada bagian ALAT DAN PERHIASAN, DI GUA proksimal dipangkas membentuk KIDANG dua lancipan, sehingga tampak zig- zag. Berdasarkan uraian bab-bab Temuan calon spatula di atas, temuan artefak baik dari lainnya, adalah pada kedalaman 136 batu, kerang, maupun tulang serta cm dari permukaan tanah, sejumlah gigi, menunjukkan artefak batu dua buah. Specimen pertama merupakan alat pendukung. Hal berupa lancipan dan sebuah adalah tersebut disebabkan bahan baku bilah. Lancipan dari femur Gallidae batu dengan silikaan tinggi seperti dengan ukuran alat 4,3 x 1 x 0,3 cm. batu rijang yang merupakan jenis Pengerjaan tajaman dilakukan batuan yang digunakan membuat secara menyeluruh sehingga peralatan serpih-bilah dan serut, berbentuk segitiga. Bagiandistal tidak tersedia di sekitar Gua Kidang meruncing, sedangkan bagian dan kawasan karst Todanan. proksimal tumpul. Specimen kedua, Selanjutnya, dengan bukti temuan bilah atau pisau dari tulang femur artefak batu di Gua Kidang tersebut, Cervidae, berukuran 4,8 x 1,7 x 0,7 apabila dikorelasikan dengan cm. Kemungkinan merupakan kenampakan slicent slide pada alat spatula yang belum tulang dan kerang, terbukti bahwa sempurnapengerjaannya, sehingga manusia pendukung gua memiliki tampak seperti lancipan. Kedua kekhususan dalam pemakaian calon spatula ini menerapkan teknik batuan silica. Batuan tersebut pengerjaan alat batu, yaitu adanya tampaknya hanya sebagai bahan dataran pukul dengan pangkasan pendukung atau secondary longitudinal pada saat membelah materialpada peralatan dari tulang tulang. Tampak jelas jejak dan kerang, yaitu sebagai batu pukul

14 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

dan batu asah. Hal ini berbeda khususnya. Variasi tipe alat baik dengan pengembangan teknologi kerang maupun tulang produk manusia penghuni gua-gua penghuni Gua Kidang, lebih prasejarah di Indonesia pada beragam dibandingkan tipe alat umumnya. kerang dan tulang temuan dari situs- Berbeda halnya dengan situs gua pada umumnya(Nurani temuan artefak dari tulang dan dan Hascaryo, 2011). Sebagian cangkang kerang, sebagaimana besar temuan alat dari tulang dan telah diuraikan di atas. Pengerjaan kerang di situs-situs gua hunian artefak dari kerang dan tulang baik adalah serut bulan sabit, lancipan, sebagai alat maupun perhiasan, sudip, dan spatula dengan memiliki kekhasan tersendiri. Hal pangkasan yang sederhana. tersebutdisebabkan lingkungan alam Sementara itu, temuan artefak baik berpengaruh besar terhadap hasil itu alat maupun perhiasan dari budaya. Berdasarkan kajian kerang, tulang, dan gigi di Gua perkembangan teknologi, yang telah Kidang lebih bervariasi seperti serut diuraikan di atas melalui posisi samping, serut cekung, serut temuan (vertikal) dengan teknik bergerigi, serut bertangkai, serpih, pengerjaan artefak, maka dapat bilah dari tulang dan kerang. Hal diterapkan konsep teknomik yang membedakan tersebut, sebagaimana yang disampaikan disebabkan Gua Kidang tidak Clarke (1977). Konsep yang berkembang pembuatan alat dengan didasarkan pada data teknomik, bahan batu, karena bahan baku mencerminkan tingkat kecerdasan tidak tersedia di sekitar Gua Kidang, manusia pendukungnya dan dan kawasan karst Todanan. adaptasi manusia terhadap Penerapan teknologi batu lingkungannya. Beberapa hal tampak jelas diterapkan pada penting yang dapat dirumuskan atas pengerjaan alat dan perhiasan dari kajian teknologi temuan artefak dan kerang ataupun tulang, terutama kondisi lingkungan alam sekitar Gua pada teknik pangkas dan struktur Kidang adalah sebagai berikut. pengerjaan. Beberapa alat tulang Manusia dari masa dan kerang dikerjakan dengan prasejarah kala Plestosen Atas pangkasan primer dan sekunder sampai kala Holosen yang tinggal di yaitu retus untuk penyempurnaan gua, memiliki cara yang unik untuk dan mempertajam alat. Dataran mempertahankan hidupnya. Mereka pukul, penyerpihan, pangkasan, dan memberdayakan potensi retus diterapkan pada beberapa sumberdaya alam yang ada di spesimen alat tulang dan kerang. sekitarnya dan itu berkembang di Penyiapanpangkasan pada bagian seluruh dunia. Sebagaimana telah dorsal dan ventral, utamanya dijelaskan di atas, bahwa teknologi tampak pada alat tulang yang yang diterapkan pada pembuatan dikerjakan lagi dari spatula menjadi alat dan perhiasan dari kerang, lancipan, serut, ataupun alat serpih- tulang, dan gigi, sebagian besar bilah. Penerapanteknologi alat batu adalah teknologi batu. Hal ini jelas pada alat kerang, adalah jenis serut berbeda dengan produk artefak cekung, serut samping yang tampak kerang dan tulang lainnya yang jelas pada pengerjaan sekunder ditemukan di situs-situs gua baik di untuk membuat tajaman. Indonesia pada umumnya maupun Di lain pihak, sebagaimana di Jawa (budaya Sampung) pada telah disinggung pada jenis artefak

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 15 (Indah Asikin Nurani)

spatula, menunjukan antara posisi baik dari klas Pelecypoda maupun temuan pada lapisan tanah Gastropoda. (kronologi) dengan teknik Perkembangan teknik pembuatannya, memberikan pengerjaan dari lapisan bawah informasi yang signifikan. Teknik sampai lapisan atas memberikan pembuatan spatula, berdasarkan informasi perkembangan teknologi posisi temuan, dari lapisan bawah baik artefak berlubang maupun sampai lapisan atas memberikan spatula. Temuan artefak berlubang informasi tentang perkembangan menunjukkan dinamika teknologi teknologi. Temuan lapisan terbawah secara kronologis. Pada lapisan (tua) adalah temuan fragmen atas, artefak berlubang merupakan spatula dan beberapa calon spatula artefak jenis perhiasan, sedangkan berupa lancipan dan sudip. pada lapisan bawah, cenderung Selanjutnya, lapisan di atasnya dilubangi untuk kepraktisan ditemukan spatula dengan teknik membawa alat. Adapun temuan upam yang sempurna. Pada lapisan spatula memberikan informasi teratas (muda) temuan spatula dinamika teknologi yang berbeda. dikerjakan ulang dalam upaya Spatula temuan pada lapisan membentuk alat dengan fungsi yang bawah, didominasi oleh temuan berbeda. spatulaberupa lancipan dan sudip yang merupakan calon spatula. KESIMPULAN Selanjutnya temuan pada lapisan di atasnya, didominasi temuan spatula Berdasarkan uraian bab-bab yang sempurna pengerjaannya. sebelumnya, maka dapat Temuan spatula pada lapisan atas disimpulkan beberapa hal berikut. adalah spatula yang dikerjakan lagi, Perkembangan teknologi alat sehingga menjadi jenis dan fungsi dan perhiasan yang diterapkan oleh alat yang berbeda, seperti sebagai manusia penghuni Gua Kidang bilah, serut, atau lancipan. adalah teknologi mesolitik dengan bahan baku kerang dan tulang. Hal Ucapan terimakasih tersebut memberikan informasi Terimakasih diucapkan bahwa manusia penghuni Gua kepada almarhum pak Rokhus Kidang telah mengenal teknologi yang semasa hidupnya sering batu, walaupun lingkungan alam berdiskusi dan memberi sekitarnya tidak tersedia bahan baku masukan dalam analisis batuan dengan silikaan tinggi (bahan artefak baik batu, kerang, baku batu untuk alat, paling rendah maupun tulang. memiliki kekerasan 5 skala mohs). Berdasarkan teori sistem, dan data teknomik yang ada di Gua Kidang, mencerminkan bahwa tingkat budaya didasarkan pada adaptasi manusia kala itu terhadap lingkungan alam sekitarnya. Binatang buruan selain sebagai sumber makanan, juga sebagai bahan baku alat seperti tulang atau gigi dari species Caninidae, Suidae, Cervidae serta cangkang kerang

16 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

DAFTAR PUSTAKA

Doran, Jim, 1999. ―Prospects For Agent-Based Modelling In Archaeology‖ in Archeologia e Calcolatori 10. pp 33-44.

Heekeren, H. R. Van.1972. Stone Age of Indonesia, VK -. The Hague: Martinus Nijhoff -Press.

Hidayat, Muhammad, 2007 ―Laporan Akhir Orientasi Obyek Temuan BCB di Situs Kuwung dan Sekitarnya”Blora: Kerjasama Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora dengan Balai Arkeologi Yogyakarta

James, Hill N. , 1977. Systems Theory and Explanation of Change, Explanation of Prehistoric Change -Albuquerque - University of New Mexico Press.

Miksik, John N. , 1984. ―Perubahan Kebudayaan dan Kronologi Arkeologi di Indonesia‖, Artefak No. I/1984. Bulletin Himpunan Mahasiswa Arkeologi FS – UGM. Hlm. 28 – 43.

Moeljadi, 1984. Sedimentasi dan Posisi Stratigrafi Fosil Elephas pada Formasi Kabuh di Daerah Mulyorejo, Cepu, Blora. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.

Nurani, Indah Asikin dan J. Susetyo Edy Yuwono, 2008. ―Gua Kidang, Pilihan Manusia Prasejarah di Kawasan Karst Blora‖ dalam Berkala Arkeologi Edisi Mei (1). Yogyakarta: Balai Arkeologi. Hlm: 1 - 20

Nurani, Indah Asikin, dan Agus Tri Hascaryo, 2011. LPA Pola Okupasi Gua Hunian Prasejarah Kawasan Karst Blora Tahap V. Tidak terbit

Nurani, Indah Asikin, Hascaryo, Agus Tri, dan Koesbardiati, Toetik. 2012. LPA Pola Okupasi Gua Kidang: Hunian Prasejarah Kawasan Karst Blora. Yogyakarta: Balai Arkeologi. Tidak terbit

------, 2015. LPA Pola Okupasi Gua Kidang: Hunian Prasejarah Kawasan Karst Blora. Yogyakarta: Balai Arkeologi. Tidak terbit

Oakley, K. P. (1959). Man the tool-maker. Chicago: University of Chicago Press.

Soejono, R. P. , 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1. Jakarta: Balai Pustaka

------, 2000. ―Tinjauan tentang Pengkerangkaan Prasejarah Indonesia‖, dalam Aspek-aspek Arkeologi Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Arkeologi.

Suhari, Dita Ayu, 2014. ―Fungsi Alat Tulang dari Situs Gua Kidang, Kabupaten Blora, Jawa Tengah: Kajian Jejak Pakai‖, Skripsi. Jakarta: Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 17 (Indah Asikin Nurani)

Tanudirjo, Daud Aris, 1985. ‖Budaya Sampung Sebagai Budaya Transisi Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut ke Masa Bercocoktanam‖. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Wahyuni, Rindy Gita. 2013. ―Tipologi Alat Cangkang Pelecypoda Situs Prasejarah Gua Kidang, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah‖. Skripsi. Jakarta: Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Webb, C & Allen, J. (1990). ―A functional analysis of pleistocene bone tools from two sites in Southwest Tasmania‖. InArchaeology of Oceania, 25 (2), 75- 78.

Widianto, Harry, 1983. ―Paleolitik Kali Oyo dalam Kronologi Pertanggalan Plestosen‖. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

18 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 19 (Indah Asikin Nurani)

20 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 21 (Indah Asikin Nurani)

22 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

Teknologi Pembuatan Alat dan Perhiasan di Gua Kidang Blora ; 23 (Indah Asikin Nurani)

24 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 001-024

STABILITAS STRUKTUR TANAH CANDI SUKUH: SAAT INI DAN MENDATANG

SOIL STRUCTURE STABILITY OF THE SUKUH TEMPLE: PRESENT AND FUTURE

Hendy Soesilo Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta [email protected]

ABSTRACT The research of soil structure stability at Sukuh Temple was carried out in order to seek the answer to geotechnical and geological issues of the temple’s environment. This National Heritage Site, which,was built around 14th century AD,has some environment disturbances caused by developing settlement area, tourism, and mining. Furthermore, theexistence of mining activity at the site as shown by the tunnels and caves in the underground of the Temple’s area, could makepotentiall triggers for landslide in the future of the temple. Considering the major influence of mining activity in the area of this site, the soil structure study is necessery for focusing to assess the threats caused by this mining activity in the Temple’s area. Geotechnical survey and geological survey condition have been done to collect data for this study. The survey were also been done for identifying other aspect such as earthquake in surrounding area of the Temple.

Keyword : Sukuh Temple, Development Area, Slope Stability.

ABSTRAK Penelitian stabilitas struktur tanah Candi Sukuh dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan geoteknik dan geologi lingkungan candi. Pada saat ini kawasan Candi Sukuh yang merupakan situs lingkungan benda cagar budaya peninggalan abad ke 14, telah mengalami gangguan ekosistem karena adanya perkembangan wilayah pemukiman, wisata, serta berbagai kepentingan masyarakat lainnya seperti penambangan Gol C yang meninggalkan sisa galian berupa lorong dan gua di dalam tanah, yang dapat memicu pergerakan tanah berupa longsoran. Oleh karena pertimbangan pelestarian maka dilaksanakan penelitian struktur tanah yang ada di kawasan Candi Sukuh, terutama mengenai kemungkinan akibat perubahan lingkungan dari kegiatan penambangan. Penelitian dilakukan dengan melaksanakan survey terhadap kondisi geoteknik, geologi, dan kemungkinan pengaruh lain misalnya gempa, terhadap kawasan candi.

Kata Kunci : Candi Sukuh, Perkembangan Wilayah, Kestabilan Lereng.

Tanggal masuk : 30 Juni 2015 Tanggal diterima : 04 Mei 2016

Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang ; 25 (Hendy Soesilo)

PENDAHULUAN Belanda. Pemugaran pertama dilakukan oleh Oudheidkundige Candi Sukuh terletak di Dienst in Nederlandsch-Indie lereng barat Gunung Lawu , pada (Jawatan Purbakala Hindia-Belanda) ketinggian 1.186 m dari permukaan pada tahun 1917. Pada akhir tahun air laut dan koordinat 7037’38” LS – 1970 candi Sukuh mengalami 11107’52” BT. Secara administratif, pemugaran kembali oleh candi ini terletak di dusun Sukuh Departemen Pendidikan dan desa Sumberejo, Kecamatan Kebudayaan( Lap. BSKB). Ngargoyoso, Kabupaten Saat ini kawasan sekitar Karanganyar, Jawa Tengah dengan Candi Sukuh telah mengalami jarak sekitar 20 km dari kota perubahan lingkungan akibat adanya Karanganyar dan 36 km dari Kota pengembangan pembangunan Solo. Candi ini merupakan cagar sektor pariwisata dan penambangan budaya peninggalan Kerajaan bahan tambang golongan C yang Majapahit yang dibangun pada abad mengakibatkan lahan hutan semakin 14 Masehi. sempit. Candi Sukuh yang berdiri di

Gambar 1. Peta lokasi Penelitian Candi Sukuh (Dok. BSKB ) Candi Sukuh mempunyai atas tanah residual hasil pelapukan arsitektur yang khas karena adanya mempunyai komposisi kandungan penyimpangan bentuk bangunan humus dan pasir lempungan yang Candi hindu pada umumnya. Situs dominan, yang terletak di atas yang dibangun pada akhir pengaruh batuan dasar satuan breksi andesit Hindu di Jawa ini memiliki bentuk- piroksen yang mulai rapuh. Kondisi bentuk teras berundak tinggi. kandungan tanah pelapukan inilah Keunikan candi ini menyebabkan yang saat ini dimanfaatkan adanya upaya pelestarian Candi masyarakat sebagai bahan tambang Sukuh telah dilakukan sejak zaman golongan C berupa pasir dan batu.

26 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 025-044

Matrial ini merupakanbidang batas Sukuh pada saat ini mulai lapuk kontak dari sisa-sisa gunung api (termasuk batuan dasarnya). Maka kuno (volcanic neck) di Jawa dan perlu diantisipasi permasalahan bersifat impermeable yang dapat daya dukung tanahnya untuk dapat merupakan sebagai bidang gelincir. diketahui kemungkinan- (bidang lapisan satuan yang massif kemungkinan hal-hal yang akan dan mampu melongsorkan batuan timbul akibat adanya pengembangan lainnya). Pada saat ini kerusakan aktifitas manusia. Perencanaan lingkungansekitar kawasan situs pemanfaatan yang tepatguna sudah pada tahapan kondisi rawan diharapkan dapat melestarikan bencana, karena adanya benda cagar budaya yang ada. penambangan galian Cyang Penelitian geoteknik: dilakukan penduduk dengan khususnya stabilitas lereng Candi berbagai alasan ekonomi. Sukuh ini difokuskan pada penelitian Penambangan dilakukan terhadap sifat fisik dan daya dukung dengan tambang terbuka (open pit) candi. Permasalahan daya dukung dari singkapan-singkapan yang tanah kawasan Candi Sukuh yang tererosi yang kemudian dilanjutkan diakibatkan oleh aktivitas dengan aktivitas penambangan penambangan golongan C, baik dengan mengejar jalur lewat batu- berupa tinggalan gua dan lorong batu pasir (breksi andesit piroksin) di bawah tanah yang ada di sekitar dalam tanah dengan menggali kawasan candi tersebut menjadi lorong-lorong (tunnel) dari goa-goa pertimbangan utama dalam rangka yang ada di sekitar kawasan situs. penelitian kerawanan stabilitas Kegiatan penambangan ini lereng kawasan Candi Sukuh yang membahayakan dan akan secara tidak langsung akan mengakibatkan penurunan daya mempengaruhi struktur tanah dukung tanah di Kawasan situs, pendukung situs yang ada, serta yang bilamana tidak diantisipasi dini membahas aspek-aspek analisis dapat menyebabkan terjadinya pengembangan yang tepat guna bencana berupa longsoran dan sesuai dengan kaidah penataan gerakan tanah lainnya. Sehubungan geologi lingkungan dan arkeologi adanya permasalahan tersebut, kawasan candi. maka target pelaksanaan penelitian Lokasi daerah penelitian adalah untuk memperhitungkan terletak pada jalur jalan raya Solo - kemungkinan penyebab paling Tawangmangu lewat Karanganyar, utama dari faktor gerakan tanah, Karangpandan. Sebagian besar yaitu adanya gua-gua dan lorong daerah penelitian dapat dicapai oleh bekas tambang galian pasir dan batu kendaraan roda empat dan sebagian di kawasan situs. dengan jalan kaki. Kondisi geografis Seluruh kegiatan yang bagian Utara merupakan lembah dilakukan di sekitar Candi Sukuh dan punggungan bukit, bagian haruslah memperhitungkan faktor Selatan merupakan punggungan internal dan eksternal dari bukit yang dapat dicapai dengan lingkungan candi, antara lain adanya roda dua, sedang bagian Barat dan kemungkinan perubahan struktur Timur merupakan lereng tubuh tanah akibat perubahan iklim punggungan bukit Batu Jamus yang dan lingkungan serta adanya hanya dapat dicapai dengan jalan gangguan gempa vulkanik maupun kaki. tektonik. Kondisi tubuh tanah Candi

Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang ; 27 (Hendy Soesilo)

Metode penelitian lapangan B. Dasar dan Teori Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Analisa stabilitas lereng metode pemetaan geologi didasarkan pada konsep permukaan (surface geological keseimbangan batas plastisitas, mapping), pengamatan batuan, yang dimaksudkan adalah untuk gejala geologi, pengukuran menentukan faktor aman dari kemiringan lapisan tanah dan lereng, bidang longsor yang potensial. serta pencatatan dan pengambilan Dalam analisis stabilitas lereng contoh batuan. Untuk permasalahan dapat dibuat beberapa khusus (detail), dilakukan metode anggapan yaitu: pengambilan sampel secara - Kelongsoran lereng terjadi sistematis (sistematic sampling di sepanjang permukaan method), yaitu metode pengambilan bidang longsor tertentu dan contoh batuan secara sistematis dapat dianggap sebagai dengan trance, serta dilakukan masalah bidang 2 dimensi. pemetaan stratigrafi dengan metode - Masa tanah yang longsor Measuring Section (MS). dianggap berupa benda yang masif. DATA DAN ANALISIS - Tahanan geser dari masa tanah pada setiap titik A. Gambaran Umum Daerah sepanjang bidang longsor Penelitian tidak tergantung dari Daerah penelitian orientasi permukaan terletak pada lereng sebelah longsoran, atau dengan Barat Gunung Lawu, Kabupaten kata lain kuat geser tanah Karanganyar, Propinsi Jawa dianggap isotropis. Tengah, pada perbatasan - Faktor aman adalah morfologi tubuh gunung dan memperhatikan tegangan kaki gunung. Secara umum di geser rata-rata sepanjang bagian Utara daerah penelitian bidang longsor yang merupakan perbukitan bentang potensial dan kuat geser alam yang bergelombang tanah rata-rata sepanjang sedang dan bagian Selatan permukaan longsoran. Jadi terkena pengaruh struktur yang kuat geser tanah mungkin sangat kuat dapat berupa terlampaui pada titik-titik perbukitan terjal dan dataran tertentu pada bidang bergelombang, dengan longsornya, bilamana faktor sebagian berupa kerucut terjal aman (Save Factor) SF = 1. yang merupakan terobosan - Faktor aman (SF) batuan beku. didefinisikan sebagai nilai Bentang alam di wilayah banding antara gaya yang penelitian yang bergelombang, menahan dan gaya yang terbentuk dari aliran breksi lava menggerakkan (Abramson dan jatuhan piroklastik, yang dkk, 1996) saat ini tingkat pelapukannya tinggi dengan tingkat erosi

sedang. Tumbuhan yang ada berupa tanaman keras, perkebunan, palawija serta Dimana adalah tegangan tanaman padi. geser yang dapat

28 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 025-044

digerakkan oleh tanah dan berat tanah yang akan adalah tegangan geser longsor. yang terjadi akibat gaya

Keterangan :

β = sudut kelerengan α = sudut bidang geser/longsor ϒ andesit porous = 2,6 Jika W = beban tanah dan candi = ½ ϒtanah H2 (cos α – cos β) + ϒbatu {(6,8.1,6)

+ ( } ,

Ta = gaya geser Tr = gaya untuk melawan gaya geser H = tinggi lereng L = panjang bidang longlos

maka : Gaya geser Ta = W sin α

Tahanan geser tanah yang dikerahkan untuk seimbang Tr = L (Cd + σtg Ø d)

= L ( )

= 1/F (Lc + Na tg Ø) Dimana : Na = W cos α S = = H sin α c = kohesi tanah Ø = sudut gesek dalam dari tanah

Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang ; 29 (Hendy Soesilo)

(internal friction) Pada kondisi seimbang Ta = Tr 1/F (Lc + W cos tg Ø) = W sin α, maka :

Pasir padat tidak berkohesi (c = 0) dan punya nilai Ø = 350, maka persamaan menjadi sederhana :

Analisis kestabilan lereng Koefisien gempa dirumuskan seperti yang diuraikan tersebut di sebagai berikut : atas, belum memperhitungkan pengaruh gempa bumi. Apabila pengaruh gempa diperhitungkan maka metode keseimbangan batas dapat dimodifikasi dengan Dimana g adalah percepatan memasukkan pengaruh percepatan 2 gravitasi = 980 cm/detik . gempa untuk menghitung faktor Berdasarkan hal tersebut di aman. atas nilai koefisien gempa, k untuk Gaya gempa diasumsikan daerah Candi Sukuh adalah sebesar proporsional dengan berat tanah k = 0,183. yang berpotensi longsor dikalikan dengan koefisien gempa (Abramson dkk, 1996) C. Keadaan Geologi Daerah Percepatan gempa desain, ad Penelitian dapat dinyatakan dengan rumus : 1) Geomorfik Daerah Penelitian { } Model yang tepat dan

dapat dipergunakan untuk daerah penelitian yang Dimana b1 dan b2 adalah merupakan daerah vulkanik koefisien tanah/batuan. Lokasi Candi adalah model menurut Van Sukuh parameter b1 = 0,87 dan b2 = Zuidam (1983) yang membagi 1,05 (data parameter menjadi empat satuan BGV).Parameter ac adalah geomorfik antara lain : percepatan gempa darat  Satuan geomorfik lereng kaki (gal).Parameter z adalah koefisien gunung api zona bernilai 1 untuk lokasi solo,  Satuan geomorfik perbukitan Jogja dan sekitarnya, dengan gawir sesar mempergunakan periode gempa ulang 100 tahun, nilai ac = 160  Satuan geomorfik depresi gal = 160 cm/detik2. graben

30 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 025-044

 Satuan geomorfik isolated hills 2) Struktur Geologi Daerah Penelitian Berdasarkan model tersebut Berdasarkan geologi di atas, daerah penelitian adalah regional Candi Sukuh terbentuk merupakan kombinasi satuan karena pengaruh pergerakan geomorfik lereng kaki gunung api lempeng Asia, Pasifik, serta dan geomorfik isolated hills. Australia. Pengaruh pergerakan ini yang paling kuat adalah di Koefisien kelerengan : pulau Jawa, yang menimbulkan K = tinggi vertikal / jarak horisontal x aktivitas gunung api serta gaya 100% (Otto,1991) kompresi yang secara umum terjadi dari arah Selatan ke Rata-rata indeks kemiringan Utara. Proses ini mengakibatkan lereng daerah penelitian berkisar terjadinya struktur perlipatan antara 10% sampai 30%. (merupakan suatu perbukitan Pada sisi Utara dan Barat yang memanjang), sesar antara dengan klasifikasi lereng terjal lain berupa graben yang mencapai K = 30%, sebelah Selatan terdapat di sisi Utara dan Barat Candi Sukuh K = 10%, sedang Candi Sukuh ditunjukkan oleh sebelah Timur yang berbatasan adanya lereng yang terjal, dengan daerah Perhutani dengan kemungkinan sebagai gawir kemiringan lereng mencapai K = sesar (faultscrap). 12%. Karakter daerah penelitian yang mempunyai

Gambar 2. Peta Geologi Kawasan Candi) Sukuh (dok. Penulis)

Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang ; 31 (Hendy Soesilo)

kombinasi geomorfik seperti berlapis bersama lapili tuff, tersebut di atas mempunyai dimana singkapan batu pasir potensi bencana yang cukup mempunyai sifat fisik berat jenis besar. Oleh karena itu, 2,51, densitasnya mencapai 2 ancaman-ancaman terhadap gr/cm3, porositasnya mencapai candi Sukuh haruslah 19,8%, dan kuat tekan diantisipasi agar bencana, mencapai 112,4 kg/cm2, misalnya tanah longsor dapat sedangkan komposisi mineral dihindari. fragmen breksi tuff dan lapili menunjukkan jenis sedimen 3) Stratigrafi dan Litologi Daerah piroklastik dengan komposisi Penelitian mineral gelas mencapai 80%, Dari hasil pengamatan mineral lempung 10%, oksida lapangan dan pengukuran besi 3%, homblende 2%, secara measuring section di piroksen 3%, dan plagiokias 1%, lapangan, satuan litostratigrafi mineral opak 1% dengan nama dari yang berumur tua hingga ke batuan vitric tuff. Pada saat ini muda adalah sebagai berikut: telah digali oleh penduduk Pada masa Plistosen setempat dengan membuat atas (700.000 tahun yang lalu) “caving” serta lorong “tunnel” di diendapkan satuan breksi bawah permukaan tanah candi andesit piroksen yang tebalnya menjadi gua-gua. mencapai 125 meter yang Terdapat perlapisan merupakan tubuh batuan dasar pada tuff dengan gelas vulkanik dengan fragmen/ bongkah memperlihatkan ciri dari wellded batuan dasar (basement) massif tuff yang terjadi karena proses yang dapat bersifat impermeabel, namun saat ini batuan tersebut bagian atas/permukaannya telah mengalami pelapukan. Batuan breksi andesit piroksen bersifat masif, sortasi jelek, kemas terbuka dengan terbentuknya retakan-retakan yang ada di dalam gua, bentuk fragmen sub angular, ukuran fragmen relatif seragam, diameter mencapai 25 cm, berat jenisnya mencapai 2,6, densitas 2,2 gr/cm3, porositasnya mencapai 17,6%, dengan kuat tekan mencapai 500 kg/cm2, komposisi andesit piroksen menunjukkan tekstur holokristalin porfiritik, komposisi Gambar 3. Kenampakan perbedaan mineral plagioklas (80%), vegetasi yang tumbuh dan piroksen (10%), mineral opak mencirikan perbedaan litologi yang (3%), yang tertanam pada ada pada sisi lereng utara (dok. massa dasar pasir vulkanik dan Penulis). .

32 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 025-044

aliran piroklastik yang bufferzone). Dengan menumpuk secara cepat kemiringan lereng yang terjal, dengan tingkat suhu yang tak mencapai 30% serta kondisi jauh berbeda / dan mendingin tanah pasir lempungan yang secara bersamaan dengan kohesinya tidak terlalu lekat aliran lava hasil kegiatan serta merupakan komponen gunung api yang bersifat effusif. terurai (unconsolidated detritus), Di atas batuan tersebut material lepas yang bersifat pada masa resen (hingga saat permeabel (1 cm/dt) yang ini) diendapkan material mudah meluluskan air, maka rombakan hasil vulkanisme daerah ini mudah sekali untuk yang terdiri dari batuan tuff lapili terjadi longsoran, sebab terletak dan berlapis berwarna abu-abu di atas batuan dasar andesit kecoklatan, lapuk berwarna piroksen yang lebih coklat, ketebalan mencapai 75 impermeabel dan dapat sebagai cm. Kemudian di atas batuan pemicu bidang gelincir. tuff lapili terdapat lapisan tanah Pada sisi Utara terdapat hasil pelapukan berupa humus, gua-gua hasil tambang oleh pasir lempungan yang berwarna penduduk untuk diambil sebagai kekuningan dan relatif abu-abu, batu lepas/tras dan pasir dari ketebalan mencapai 2 meter. tuff lapili yang telah lapuk, Spesifikasi teknis dari kondisi penambangan ini untuk tanah yang ada di sekitar Candi sementara telah dihentikan, Sukuh, densitas 2,5 - 2,9 gr/cm3, karena kondisi tingkat BJ 2,08, kadar air 92,3%, kerawanan struktur tubuh tanah porositas mencapai 7,4% Candi Sukuh. dengan pH = 5.

D. Analisis Geoteknis Daerah Penelitian

Pada daerah penelitian sisi Utara (zona penyangga/

Tabel 1. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian Umur Tebal Litologi Struktur Keterangan

Tanah pasir lempungan

tidak Resen 2 meter abu-abu dan kekuningan selaras

Plistosen 125 meter tidak tuff lapili atas selaras breksi andesit piroksen

Catatan : tanpa skala

Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang ; 33 (Hendy Soesilo)

Gambar 4. Peta Keletakan Lokasi Gua pada Kawasan Candi Sukuh (dok. Penulis)

Dengan mempergunakan perhitungan secara grafis dan data lokasi dapat dihitung angka aman dari masing-masing gua adalah sebagai berikut :

1). Geoteknik Gua I - Analisis Perhitungan

Candi Sukuh

W = ½ . 2,9 . 252 (0,806 – 0,766) + 209,66 = 300,28 ton Gaya geser = 199,899 ton gaya penahan = 92,788 ton sudut lereng (β) = 240 sudut bidang geser (α) = 180

Dengan memperhitungkan kemungkinan pengaruh gempa, maka analisis perhitungan adalah sebagai berikut :

34 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 025-044

= 1,09 (aman limit)

Gaya geser =147,74 ton Gaya penahan =161,43 ton

- Analisis Pengurugan Kedalaman gua nomor I adalah lebih kurang 8 meter, tinggi lebih kurang 2 meter, lebar lebih kurang 4 meter, bentuk oval terpancung. Prediksi volume = + (8 x 4 x 2) m3 = 32 m3 Koefisien jumlah volume penyusutan untuk pengurangan sirtu sebanyak 1,3. Untuk keamanan diperlukan bahan urugan tanah, pasir dan batu sebanyak: 1,3 x 32m3 = 42 m3

Gambar 5. Lorong pintu Gua I yang sempit, terletak di bawah lereng sisi Utara dan mempunyai SF 2,1 (aman) (Dok. Penulis)

Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang ; 35 (Hendy Soesilo)

2). Geoteknik Gua II - Analisis Perhitungan

Candi Sukuh

W = ½ . 2,9 . 32,52 (0,707 – 0,643) + 209,66 = 296,9 ton gaya geser = 139,4 ton gaya penahan = 183,5 ton sudut lereng = 330 sudut bidang geser = 280

Bilamana pengaruh gempa bumi diperhitungkan :

= 0,7 (resiko longsor)

Gaya geser =193,58 ton Gaya penahan =145,48 ton - Analisis Pengurugan Kedalaman gua nomor II adalah lebih kurang 15 meter, tinggi lebih kurang 2,5 meter, lebar lebih kurang 15 meter, bentuk gua bercabang. Prediksi volume = + (15 x 15 x 2,5 x 0,4) m3 = 250 m3 Untuk kestabilan tanah, maka diperlukan bahan urugan tanah, pasir dan batu sebanyak 250 m3.

36 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 025-044

3). Geoteknik Gua III - Analisis Perhitungan

Candi Sukuh

W = ½ . 2,9 . 37,52 (0,788 – 0,669) + 209,66 = 452,3 ton gaya geser = 198,3 ton gaya penahan = 284,6 ton sudut lereng = 340 sudut bidang geser = 260

Dengan memperhitungkan pengaruh gempa maka analisis menjadi :

= 0,8 (resiko longsor)

Gaya geser =280,88 ton Gaya penahan =226,60 ton - Analisis pengurugan: Dari ketiga gua tersebut analisis Kedalaman gua nomor III total tanah pasir batu yang adalah lebih kurang 18 meter, diperlukan untuk pengurugan 3 tinggi lebih kurang 3 meter, gua adalah sebanyak 660 m3 lebar lebih kurang 17 meter, atau sejumlah 165 truk. bentuk oval terpancung. Permasalahan lereng Candi Sukuh yang terdiri dari Prediksi volume = batu besar berupa breksi ±(18x17x3x0,4) m3 = 368 m3 andesit piroksen serta tuff lapili yang sudah lapuk, kerakal dan Diperlukan bahan urugan pasiran yang menguatkan tanah, pasir dan batu struktur tubuh tanah, sebanyak 368 m3 mempunyai permeabilitas tinggi

Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang ; 37 (Hendy Soesilo)

(1 cm/detik) dan sedikit gua yang ada di Candi Sukuh, lempung, struktur yang demikian baik yang dipengaruhi gempa merupakan tanah dengan daya maupun tidak, maka dapat dukung kecil. diklasifikasikan interpretasi Melihat hasil perhitungan sebagai berikut: analisis kestabilan lereng dan

TABEL 2. STABILITAS TANAH & GUA DI SEKITAR CANDI SUKUH

SF GUA Sudut bidang geser (α) Interpertasi TG DG Aman, limit batas bila I 18° 2,1 1,09 ada gempa Longsor bila gempa II 28° 1,3 0,7 terjadi Dapat longsor bila III 26° 1,4 0,8 terjadi gempa

Keterangan: TG = perhitungan tanpa gempa DG = perhitungan dengan gempa

Gambar 6. Kenampakan lereng Utara yang mengalami longsoran kecil, karena kondisi tanah yang labil (Dok. Penulis)

38 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 025-044

Hal yang mengkhawatirkan memberikan suatu akibat dalam yaitu bila gua tidak diurug, maka air bentuk usaha pencegahan dan yang menetes dari langit-langit gua penanggulangan supaya dapat pasti membawa partikel tanah dari mencapai target untuk mendapatkan atap gua, hal ini akan mengurangi dampak positif semaksimal mungkin, kekuatan struktur tubuh tanah. serta dampak negatif seminimal Pada permukaan gua yang mungkin sehingga kelangsungan mempunyai lereng terjal, saat ini kehidupan kelestarian alam dapat merupakan lahan pertanian, dimana terjaga dan berjalan selaras. tanah tersebut diolah dan dapat Gunung api merupakan membuat tanah semakin gembur, bagian suatu bahaya lingkungan sehingga menyebabkan tingkat erosi maupun sumber alam yang tidak bertambah, pada kondisi lereng terpisahkan dari kehidupan manusia yang terjal akan semakin rawan dan merupakan bagian dari suatu terhadap kelongsoran.Gua yang ada ekosistem. Dibawah ini akan pada saat ini, dari segi dibahas tentang sumber alam di geoarkeologis dan geoteknis tidak daerah penelitian seperti pertanian memungkinkan untuk dibiarkan dan kehutanan bahan galian (C), air seperti apa adanya dan harus tanah dan air permukaan serta segera dilakukan penyelamatan obyek pariwisata dari sudut pandang dengan penimbunan. geologi.

E. Geologi Tata Lingkungan 1). Pertanian dan Kehutanan. Dalam geologi tata Pada daerah penelitian, lingkungan bahwa sifat fisik lahan pertanian hanya dianjurkan merupakan suatu sebab yang akan pada sudut kelerengan di bawah

Gambar 7. Peta Geologi Tata Lingkungan Kawasan Candi Sukuh (dok.Penulis)

Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang ; 39 (Hendy Soesilo)

5% dan biasanya didekat pemukiman penduduk, sedang di 2). Lingkungan Ilmiah sekitar Candi Sukuh yang Kawasan Candi Sukuh mempunyai kelerengan dengan adalah merupakan situs benda klasifikasi terjal (30%) tidak cagar budaya yang penting untuk dianjurkan untuk lahan pertanian, pengembangan studi sejarah dikarenakan kondisi tubuh tanah kebudayaan manusia dan mudah meluluskan air pengetahuan yang lainnya. (permeabel), sehingga bila Daerah ini dengan kondisi terletak di atas satuan tubuh lingkungan serta ekosistem yang tanah yang impermeabel (breksi ada haruslah tetap dipertahankan andesit piroksen) dapat seperti aslinya sehingga warisan menyebabkan terjadinya budaya dan lingkungan tidak longsoran. berubah karena kondisi jaman. Tanah hasil vulkanisme, sangat baik dan subur untuk 3). Bahan Galian (C) tumbuhan bila unsur-unsur yang Bahan galian yang diperlukan lengkap, baik bersifat ditambang berupa pasir vulkanik asam maupun basa. Biasanya sebagai matrik dari breksi. tanah ini dihasilkan oleh batuan Bongkah batuan beku ditemukan dasar yang bersifat intermediate dalam jumlah yang banyak dan akan menghasilkan pH terutama sepanjang sungai dan netral. banyak tersingkap di pinggir jalan. Unsur lain yang tak kalah Bahan galian pasir vulkanik, penting adalah air, daerah berkaitan erat dengan penelitian mempunyai curah pengendapan tuff, dapat hujan yang tinggi, rata-rata curah dipergunakan sebagai tras untuk hujan pada daerah gunung api di Indonesia antara 3.000 mm sampai 6.000 mm per tahun. Daerah perbukitan di sebelah Timur Candi Sukuh, mempunyai kondisi tanah dengan kemungkinan resiko erosi tinggi, namun demikian saat ini kawasan tersebut dalam penguasaan Departemen Kehutanan, akan lebih baik kondisinya tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung. Daerah kehutanan telah melaksanakan konservasi lahan secara baik berdasarkan Gambar 8. Lorong Gua III berupa tunnel, yang digali kondisi tanah dan mengikuti arah retakan dan bahan yang ditambang kepentingannya. baik berupa pasir hasil pelapukan Tuff lapili dan batu Kepentingan lahan hutan, hasil rombakan breksi andesit piroksen. (Dok. adalah untuk daerah resapan air Penulis) dan daerah penyangga (buffer pencampur semen, namun zone)bagi daerah sekitar Candi kondisi mutunya rendah. Sukuh yang terletak pada lereng di bawahnya.

40 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 025-044

4). Air tanah dan Air Permukaan Air permukaan secara umum jernih, tak berwarna, tak berbau dan rasanya tawar dengan debit pengaliran yang besar, sehingga dari segi kualitas dan kuantitasnya baik. Kondisi air limpasan permukaan dengan mempertimbangkan kondisi struktur tubuh tanah serta

kelerengan yang ada jarang Gambar 9.Kegiatan ritual sebagai sumber terjadi limpasan yang deras, budaya, pariwisata dan ilmu pengetahuan secara umum di sekitar (Dok. Penulis) lingkungan dan halaman Candi Sukuh, arah limpasan dominan mempunyai lereng yang terjal. menuju ke arah Utara dan Barat. Hal ini dapat terjadi bilamana Oleh karenanya perlu untuk kondisi lingkungan berubah, dibuat sistem peresapan dan karena kerusakan lahan akibat sistem drainase terbuka dan pemanfaatan yang tidak tepat tertutup yang baik di tempat yang seperti adanya penambangan diperkirakan tersebut di atas. golongan C dan kemungkinan Air bawah tanah di sekitar potensi terjadinya gerakan tanah Candi Sukuh dapat terjadi karena akibat gempa vulkanik maupun adanya zone retakan pada tubuh tektonik. batuan breksi andesit piroksen yang terakumulasi dan terturap KESIMPULAN DAN SARAN sebagai air tanah yang terkadang bersifat asam. A. Kesimpulan 1. Kawasan Candi Sukuh terdiri 5). Obyek Pariwisata dan Budaya dari batuan dasar breksi Daerah penelitian yang andesit piroksen yang mempunyai ketinggian mencapai berumur Plestosen Atas 1.000 meter di atas permukaan (700.000 tahun yang lalu). air laut, dengan udara yang sejuk Lapisan tersebut mempunyai serta terletak pada celah graben ketebalan lebih kurang 125 suatu pegunungan, bagus untuk meter dengan kondisi yang pengembangan daerah sudah rapuh dan merupakan peristirahatan yang dapat penyangga tubuh tanah yang dikombinasi sebagai lingkungan terdiri dari pasir lempungan, budaya. berwarna abu-abu dan kekuningan. Mempunyai 6). Bencana Alam permeabilitas tinggi (1 Untuk daerah penelitian, cm/detik) yang cepat bencana alam yang biasa terjadi meresapkan air, serta rawan dan mempunyai potensi tinggi longsor. berupa longsoran adalah karena 2. Berdasarkan kondisi kondisi tanah yang tidak stabil kelerengan serta struktur dan merupakan zona lemah yang tubuh tanah pendukung

Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang ; 41 (Hendy Soesilo)

Candi Sukuh, dapat diperlukan dapat dilakukan diperhitungkan kestabilan dengan metode “close and fill”. tanah dan batu pada gua I Perlu dilakukan sebesar SF = 2,1 (aman), pembagian daerah penyangga dengan perhitungan (buffer zone), pada sisi Utara pengaruh gempa SF menjadi hanya dimanfaatkan untuk lahan 1,09 (klasifikasi aman, limit tanam yang tidak memerlukan longsor bila terjadi gempa). pengolahan tanah, dalam tata Gua II SF = 1,3 (aman), tanam hendaknya diperoleh dengan perhitungan perbandingan yang seimbang pengaruh gempa SF menjadi antara pemukiman, hutan dan 0,7 (klasifikasi longsor bila tanah pertanian/perkebunan, terjadi gempa). Gua III SF = misalnya dapat ditanami 1,4 (aman), dengan tanaman keras berupa buah- perhitungan pengaruh gempa buahan, tanaman pelindung, SF menjadi 0,8 (klasifikasi dan lain sebagainya. Kondisi longsor bila terjadi gempa). lereng sebelah Barat hendaknya Namun demikian tetap dipelihara seperti kondisi kemungkinan pengaruh saat ini, sedang bagian Selatan adanya rembesan air yang tidak menambah bangunan melalui rekahan batu akan permanen yang dapat membawa material tanah menyebabkan daerah resapan serta mengikisnya, dapat air berkurang, sebelah Timur memicu terjadinya longsoran. yang merupakan milik instansi 3. Melihat kondisi geografis dan Kehutanan bagus untuk potensi geologis kawasan Candi kawasan ekowisata (camping Sukuh hanya dapat ground). dikembangkan sebagai Sistem drainase dibuat daerah tujuan wisata untuk peresapan air dan berwawasan kebudayaan, pengaliran dengan baik, namun tidak untuk sehingga air permukaan dapat pengembangan daerah terkontrol, khususnya untuk sisi penambangan maupun lahan Utara dan Barat. pertanian. UCAPAN TERIMA KASIH B. Saran Berdasarkan keseimbangan Terima kasih disampaikan akan ekosistem yang ada, kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Kabul hendaknya pemeliharaan dan Basah Suryolelono, Dip H.E, D.E.A pengelolaan lahan kawasan Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dilakukan secara menyeluruh UGM sebagai KonsultanTim dan berkesinambungan, Geoteknis Penanganan Kestabilan sehingga kebijakan pencegahan Lereng Candi Sukuh – Jateng. dapat dilakukan sedini mungkin dan tidak dianjurkan untuk meneruskan penambangan golongan C. Untuk pengurugan dan penutupan gua, apabila

42 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 025-044

DAFTAR PUSTAKA

Abramson L.W, Lee, T.S, Sharma S dan Boyce, G.M.. 1996, Slope Stability and Stabilitation Methods - John Wiley and sons. New York.

Amat Suwito. 1989. “Geologi Daerah Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jateng”, Skripsi FT. Geologi UGM, Yogyakarta.

Cliff Ollier, Ollier & Boyd Edinburg. 1991. Weathering - University of Papua and New Guinnea.

Ersin Seyhan. 1977, “Dasar-Dasar Hidrologi”, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Hary Christadi Hardiyatmo. 1994. Mekanik Tanah 2 - Gramedia Pustaka Utama - Jakarta.

Hendy Soesilo dkk, (2000), “Studi Lingkungan Situs Tentang Rembesan Tubuh Tanah di Bawah Bangunan Candi Borobudur”, Laporan Kerja Balai Studi dan Konservasi Borobudur.

Kabul Basah Suryolelono, Nafiri. 1999. Geosintetik – teknik - Yogyakarta

Otto Soemarwoto. 1991. “Analisis Dampak Lingkungan”, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Stabilitas Struktur Tanah Candi Sukuh: Saat Ini dan Mendatang ; 43 (Hendy Soesilo)

44 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 025-044

ARKEOLOGI FORENSIK: PERKEMBANGAN DAN CAPAIANNYA DI INDONESIA

FORENSIC ARCHAEOLOGY: ITS DEVELOPMENT AND ACHIEVEMENT IN INDONESIA

Rusyad Adi Suriyanto11 1Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada [email protected]

ABSTRACT Forensic archeology is defined as the application of archaeological principles and techniques in medico-legal and/or humanity context related to buried evidence. Forensic archaeologist has two roles, as the expert who unearth buried objects systematically and reconstruct them. This paper discusses the role of archeology and archaeologists in the excavation of criminal, humanitarian and disaster victims. Archaeologist’s role to reveal paleoanthropological materials smuggled and theft is also discussed in this paper. Humanitarian missions to investigate mass grave of victims of war, political strife and genocide in the past and the present are other archaeologist’s role discussed in this paper. The existence, condition and development of forensic archaeology in Indonesia emphasize the significance of new paradigm in Indonesian archaeology. Forensic archeology not merely focusess on the study of cultural materials of the past, education and museum development, cultural resource management and its advocacy, but it also has role in medico-legal works. Forensic archaeologist also engages in disaster victim identification (DVI) that addresses issues related to victims buried by either natural or human disasters.

Keywords: Archaeology, Bioarchaeology, Forensic Archaeology , Indonesia

ABSTRAK Arkeologi forensik didefinisikan sebagai penerapan prinsip-prinsip dan teknik-teknik arkeologis dalam konteks medico-legal dan/atau dalam konteks kemanusiaan yang berkaitan dengan bukti-bukti terkubur. Ahli arkeologi forensik berperan sebagai ahli yang mampu menemukan benda-benda yang terkubur secara sistematis dan merekonstruksi apa yang mereka temukan itu. Makalah ini mendiskusikan peran arkeologi dan para arkeolog dalam ekskavasi korban-korban kriminal, kemanusiaan dan bencana. Makalah ini berusaha melihat apa yang telah mereka kerjakan meliputi pembuktian kasus-kasus penyelundupan dan pencurian material-material paleoantropologis, dan keterlibatan dalam misi-misi kemanusian untuk penyelidikan dan pengungkapan korban-korban kubur massal akibat perang, pertikaian politik dan genosida di masa lalu dan masa kini. Keberadaan, kondisi dan perkembangan arkeologi forensik di Indonesia menegaskan pentingnya pengembangan paradigma baru dalam arkeologi Indonesia. Arkeologi tidak semata berkonsentrasi pada kajian material-material budaya masa lalu, pendidikan dan pengembangan museum, manajemen dan advokasi sumberdaya budaya, namun juga berperan untuk pekerjaan medico-legal. Ahli arkeologi forensik bahkan terlibat dalam disaster victim identification (DVI) yang menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan para korban yang terkubur oleh beragam bencana baik yang diakibatkan oleh alam maupun manusia.

Kata kunci: Arkeologi, Bioarkeologi, Arkeologi Forensik, Indonesia.

1 Merupakan makalah yang disempurnakan dari presentasi dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi “Integrasi Pengembangan Arkeologi Indonesia” oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Daerah DI Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 25 Juni 2014, di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta.

Tanggal masuk :10 Mei 2016 Tanggal diterima :31 Mei 2016

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 45 (Rusyad Adi Suriyanto)

PENDAHULUAN sampai Adam Air di perairan Laut dan Indonesia Sebagian dari kita mungkin Airways di Yogyakarta pada tahun tidak asing dengan istilah-istilah 2007. Kecelakaan pesawat terkini dokter (spesialis) forensik, patologi dengan korban seluruh penumpang forensik, kedokteran gigi forensik, dan awak pesawat adalah DNA forensik, entomologi forensik, kecelakaan Sukhoi Superjet 100 psikologi forensik bahkan (SSJ-100) di Gunung Salak pada 9 antropologi forensik. Ada satu Mei 2012. bidang lagi yang berkaitan dengan Musibah juga terjadi di lautan forensik yang masih asing bagi seperti hancur dan tenggelamnya sebagian orang termasuk kapal Senopati di perairan Laut mahasiswa arkeologi, yaitu arkeologi Jawa pada tahun 2007. Kapal Motor forensik. Berkaitan dengan Teratai Prima adalah kapal motor keberadaan bidang ilmu ini ada penumpang yang mengalami beberapa pertanyaan yang sering musibah di perairan Tanjung saya tanyakan kepada para Baturoro, Sendana, Kabupaten mahasiswa saya di Jurusan Majene, Sulawesi Barat, pada 11 Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Januari 2009. Berdasarkan manifes Universitas Gadjah Mada. kapal ini diketahui bahwa kapal ini Pertanyaan tersebut antara lain, apa mengangkut 267 orang penumpang yang saudara ketahui tentang termasuk sejumlah awak kapal dan arkeologi forensik? Apakah ada nakhoda. Musibah tenggelamnya hubungan antara arkeologi dan ilmu- kapal di lautan terjadi pula pada ilmu forensik itu? Bagaimana kapal yang mengangkut 215 imigran hubungan antara antropologi dan gelap asal Timur Tengah yang akan arkeologi forensik tersebut? Dan, menuju ke Australia di Trenggalek, pernahkah anda membaca atau Jawa Timur, pada 18 Desember mendengar bahwa seorang arkeolog 2011. berperan dalam mengungkap kasus- Musibah lain meliputi kasus forensik di Indonesia? bencana tsunami di Aceh, Pulau Pertanyaan-pertanyaan ini saya Nias dan Pulau Simelue pada tahun tanyakan kepada para mahasiswa 2004. Bencana gempa bumi di Pulau tersebut, khususnya sejak setahun Flores pada tahun 1992, Yogjakarta yang lalu, terutama pada saat saya dan Jawa Tengah pada tahun 2006, mengajar mata kuliah dan Sumatera Barat dan Bengkulu Paleoantropologi dan Bioarkeologi di pada tahun 2007. Banjir dan tanah di jurusan tersebut. longsor terjadi di Kabupaten Sama halnya dengan para Karanganyar dan sekitarnya pada mahasiswa arkeologi, masyarakat akhir tahun 2007. umum di Indonesia juga masih Musibah juga terjadi oleh merasa asing dengan forensik tindakan manusia atas manusia sebagai bagian dari ilmu arkeologi. yang lain dengan motif-motif Mereka selalu mengaitkan profesi tertentu. Sebuah contoh dari forensik dengan beberapa bencana musibah ini adalah kasus dahsyat kemanusian yang pernah kriminalitas dengan memutilasi terjadi di negeri kita beberapa waktu bagian-bagian badan korbannya. yang lalu. Sebagai contoh, Kita masih teringat peristiwa kecelakaan pesawat Silk Air pada “korban-korban Ryan”, di mana tahun 1997 di Sumatera Selatan pelaku telah membunuh 11 orang,

46 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

yang satu jasad dimutilasi badannya tinggalan manusia masa lampau, dan dimasukkan dalam dua tas namun juga sisa-sisa hayat manusia besar dan dibuang di Jakarta, serta manusia masa kini. 10 korban lain dan jasad-jasadnya dikubur di belakang rumah orang ARKEOLOGI FORENSIK tuanya di Jombang di antara tahun 2007 – 2008. Arkeologi forensik adalah Musibah yang dapat penerapan prinsip-prinsip dan membunuh secara massal, misalkan teknik-teknik arkeologis dalam kasus pengeboman. Beberapa kali penyelesaian masalah-masalah peristiwa ini terjadi pada selang medico-legal, yakni berkaitan waktu antara tahun 2002 sampai dengan aspek medis dan hukum; 2005, mulai Bom Bali 1 yang terjadi bahkan ada yang menyebut sebagai pada tahun 2002, dan disusul oleh penerapan suatu kombinasi teknik- Bom JW Marriot Jakarta pada tahun teknik arkeologis dan ilmu forensik, 2003, Bom Kedutaan Australia di biasanya dalam kerangka Jakarta pada tahun 2004, serta penegakan hukum (Crist, 2001; terjadi lagi Bom Bali 2 pada tahun Owsley, 2001; Hunter, 2002; Ferlini, 2005. Jika menengok kasus-kasus 2007; Cox et al., 2008; Dupras et al., forensik itu, lalu di mana posisi dan 2012; Litherland et al., 2008; Hunter peran arkeologi forensik? Tentu saja et al., 2013). Dalam konteks ini, tidak semua kasus forensik arkeologi forensik merujuk kepada melibatkan kompetensi arkeologi pendekatan bioarkeologis, yakni forensik dan di situ lah kemudian pendekatan yang penting sebagai arkeologi forensik menjadi istimewa. bagian integratif antropologi biologis Makalah ini akan dan arkeologi untuk merekonstruksi memaparkan batasan arkeologi budaya masyarakat masa lampau. forensik dan peran arkeologi forensik (Crist, 2001; Owsley, 2001; Hunter, untuk penyelidikan-penyelidikan 2002; Hunter & Cox, 2005a; Ferlini, forensik. Selanjutnya, makalah ini 2007; Dupras et al., 2012; Skinner et akan memaparkan sejauh mana al., 2013; Schats et al., 2014). Selain karya disiplin ini mampu membantu antropologi forensik, arkeologi penyelidikan dan mengungkap forensik adalah disiplin yang cepat kasus-kasus penyelundupan dan berkembang dalam bidang pencurian material-material arkeologi, yang dirancang untuk paleoantropologis. Peran arkeologi membantu pihak kepolisian dan forensik dalam misi-misi kemanusian aparat penegak hukum lain dengan untuk penyelidikan dan berbagai keterampilan yang begitu pengungkapan korban-korban kubur khusus (Dirkmaat & Adovasio, 1997; massal akibat perang, pertikaian Hugland, 2001; Owsley, 2001; Scott politik dan genosida di masa lalu dan & Connor, 2001; Hunter, 2002; masa kini juga akan dibahas dalam Skinner et al., 2003; Gould, 2004a; makalah ini termasuk bagaimana Gould, 2004b; Ferlini, 2007; Cox et keberadaan, kondisi dan al., 2008; Litherland et al., 2008; perkembangan arkeologi forensik di Davenport & Harrison 2011; Dupras Indonesia. Makalah ini menegaskan et al., 2012). Keterampilan- pentingnya pengembangan keterampilan ini berkisar dari paradigma baru untuk arkeologi identifikasi sisa-sisa hayat dari Indonesia, yakni arkeologi yang tidak lokasi-lokasi kubur klandestin, terfokus pada kajian benda-benda penggalian dan perekamannya yang

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 47 (Rusyad Adi Suriyanto)

cermat, dan memulihkan profil-profil pengakuan (Scott & Connor, 2001; biologis individu-individunya. Blau & Ubelaker, 2009; Ubelaker, Seorang arkeolog forensik selalu 2009; Byers, 2011; Gowland & memastikan bahwa semua kerjanya Thompson, 2013). Dua windu mengikuti pedoman baku dan memasuki paruh kedua abad ke-20, mempertahankan standar para antropolog forensik profesionalnya selama penyelidikan menganjurkan perlunya informasi peristiwa forensik itu. Secara kontekstual yang dapat disediakan khusus, para arkeolog forensik oleh para arkeolog tentang di mana mampu melakukan rekonstruksi dan bagaimana sisa-sisa rangka terkontrol atas sisa-sisa manusia manusia itu ditemukan dalam dan bukti-bukti lain dalam ranah kerangka untuk membantu forensik. Kepatutan prosedur identifikasi personal (Morse, et al., arkeologis terhadap kebutuhan 1976; Morse, et al., 1983; Sigler- waktu dan perhatian terhadap detail Eisenberg, 1985; Burn, 1999; selalu diutamakan, agar investigasi Larsen, 2000; Scott & Connor, forensik dapat memenuhi kaidah 2001; Owsley, 2001; Hunter, 2002; prosedural dan tuntas. Hasil akhir Dirkmaat et al., 2008; Ubelaker, dari upaya ini adalah kemampuan 2009; Byers, 2011). Kebutuhan untuk merekonstruksi semirip untuk penggalian terkontrol oleh mungkin seluruh adegan yang para profesional terlatih menjadi pernah terjadi sebelum dilakukan makin terbuka sebagai akibat dari penggaliannya. Mereka berperan meningkatnya jumlah kasus yang dalam survei, pencarian dan melibatkan sisa-sisa manusia yang memastikan lokasinya, pemetaan terkubur yang tidak mampu dan penggambarannya, identifikasi dilanjutkan ke pengadilan akibat tulang dan atributnya, penggalian dilakukan oleh mereka dokumentasinya, rekonstruksinya, yang tidak terampil (Owsley, 2001; serta pernyataan dan kesanggupan Hunter, 2002; Dirkmaat et al., 2008; sebagai saksi ahli (Skinner, 1987; Ubelaker, 2009). Hoshower, 1998; Neave, 2000; Berbeda dengan antropologi Hugland, 2001; Owsley, 2001; forensik yang memiliki sejarah Hochrein, 2002; Hunter, 2002; mapan dan telah menjadi semakin Duhig, 2003; Hunter & Cox, 2005a, populer sebagai akibat dari 2005b, 20005c; Jessee & Skinner, pemberitaan di media massa sejalan 2005; Menez, 2005; Tuller & Đurić, dengan makin meningkatnya 2006; Bernardi & Fondebrider, 2007; permintaan lembaga nasional dan Cox et al., 2008; Dirkmaat et al., internasional untuk membantu 2008; Cheetham & Hanson, 2009; identifikasi dalam ranah DVI Holland & Connell, 2009; Barone, (Disaster Victim Identification) untuk 2012; Cabo et al., 2012; Dupras et penegakkan hak-hak asasi manusia al., 2012; Tuller, 2012; Hunter et al., atas konflik dan perang di dalam 2013). suatu negara dan antar negara Aktivitas arkeologi forensik dalam beberapa tahun yang lalu, mula-mula berkembang di Amerika arkeologi forensik sebagai ilmu baru Serikat sebagai cabang dari muncul sebagai konsekuensi atas antropologi forensik pada awal abad penekanan terhadap pilihan untuk ke-19, ketika kepentingan atas sisa- peminatan profesional di Amerika sisa rangka manusia untuk Utara dan Inggris (Morse, et al., identifikasi personal telah mendapat 1976; Morse, et al., 1983; Galloway

48 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

& Simmons, 1997; Black, 2000; et al., 2005; Ellis, 2007; Ferlini, Thompson, 2001, 2003; Cox, 2009; 2007; López & Umańa, 2007; Cox et Skinner & Bowie, 2009; Wright & al., 2008; Blau & Hill, 2009; Blau & Hanson, 2009; Byers, 2011). Ubelaker, 2009; Hochrein, 2009; Berkaitan dengan perspektif historis, Hunter, 2009; Steadman et al., Cox (2009) dan Ubelaker (2009) 2009). Mereka juga telah berperan juga menekankan mengapa untuk menyelidiki genosida dan arkeologi forensik lebih umum di pelanggaran hak asasi manusia Inggris dibandingkan di Amerika sejak pertengahan 1980-an (Connor Serikat. Perspektif lain telah & Scott, 2001; Skinner et al., 2003; dikemukan oleh Scott & Connor Juhl, 2005; Wright et al., 2005; Juhl (2001) yang mengusulkan bahwa & Olsen, 2006; Bernardi & arkeologi forensik itu adalah Fondebrider, 2007; Ballbé & antropologi forensik, dan antropologi Steadman, 2008; Schultz & Dupras, forensik itu adalah osteologi 2008; Blau & Ubelaker, 2009; forensik. Usulan itu merupakan Congram & Sterenberg, 2009; tradisi yang telah berkembang di Flavel & Barker, 2009; Sterenberg, Eropa Timur (Jankauskas, 2009). 2009; Ubelaker, 2009; Blau & Sebelum itu, usulan lain telah Fondebrider, 2010; Mark, 2010; disampaikan oleh Lovis (1992), Cabo et al., 2012; Crossland, 2013). bahwa sebenarnya arkeologi Selama 20 tahun terakhir PBB dan forensik dapat mengembangkan organisasi-organisasi hak asasi aplikasi yang lebih luas sebagai manusia telah merekrut para mortuary anthropology. arkeolog forensik untuk menggali Arkeologi telah membuktikan kuburan individual dan massal yang dirinya untuk menjadi alat ilmu terkait dengan penyelidikan forensik secara efektif, baik lokal, pembunuhan politik, kejahatan regional maupun internasional perang dan genosida di lebih dari dengan penerapan metode-metode dua belas negara di seluruh dunia penelitiannya (Haglund, 2001; (Crossland, 2000; Connor & Scott, Hunter & Cox, 2005a; Blau & 2001; Haglund et al., 2001; Stover & Ubelaker, 2009; Hunter, 2009; Ryan 2001; Hunter & Cox, 2005b; Steadman et al., 2009; Hunter et al., Wright et al., 2005; Skinner, 2007; 2013). Arkeologi forensik telah Steel, 2008; Blau & Ubelaker, 2009; berkembang selama 20 tahun Wright & Hanson, 2009; Blau & terakhir dan sekarang menjadi suatu Fondebrider, 2010; Blau et al., 2011; disiplin yang mantap, yang Tuller, 2012; Kinsella & Blau, 2013). memberikan sumbangsih penting untuk penyelidikan-penyelidikan KETERLIBATAN ARKEOLOGI kriminal. Bukti-bukti dari UNTUK PENYELIDIKAN KASUS penyelidikannya mampu FORENSIK mempengaruhi argumentasi- argumentasi hukumnya di Arkeologi forensik adalah pengadilan. Para arkeolog forensik penerapan teknik dan metodologi, telah membantu dalam penyelidikan yang awalnya dikembangkan untuk kasus pembunuhan domestik dan tujuan penelitian arkeologi, dalam bencana massal (Connor & khususnya untuk membantu Scott, 2001; Haglund, 2001; Gould, penyelidikan hukum. Bahkan 2004a; Gould, 2004b; Hunter & Cox, arkeologi forensik hanya 2005b; Hunter & Cox, 2005c; Wright dimungkinkan dengan penerapan

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 49 (Rusyad Adi Suriyanto)

metode-metode penelitian forensik dan beberapa bidang arkeologis, yakni ekskavasi dan forensik lain. Disiplin ini identifikasi sisa-sisa biologis. menyediakan layanan penting bagi Selama 20 tahun terakhir arkeologi masyarakat dalam mengungkap dan forensik telah memainkan peran menyelesaikan peristiwa dalam penting dalam sistem peradilan situs-situs kejahatan atau lokasi pidana di beberapa negara (Crist, penemuan korban. Mereka akan 2001; Haglund, 2001; Owsley, 2001; memanfaatkan keahlian Hunter, 2002; Hunter & Cox, 2005a; penelitiannya untuk mengidentifikasi Ferlini, 2007; Cox et al., 2008; ; Blau dan menjawab pertanyaan- & Ubelaker, 2009; Hunter, 2009; pertanyaan yang unik untuk setiap Steadman et al., 2009;Dupras et al., target yang dibebankan oleh 2012; Litherland et al., 2008; Hunter kliennya. Sekedar contoh, beberapa et al., 2013). Para arkeolog forensik kemungkinan pertanyaan yang bisa mampu menghadirkan bukti dalam diajukan: bagaimana kubur harus penuntutan pidana dan kompensasi digali, apakah ada material asing atas tuntutan yang diajukan oleh yang terkubur bersama, apakah pemohon yang meminta identitas dari individu yang terkubur, bantuannya. berapa lama tubuh yang terkubur itu Bukti arkeologis pertama kali dan bagaimana kita bisa digunakan dalam UK Crown Court mengetahuinya. Hal ini penting pada tahun 1988 dan sejak itu telah untuk mengumpulkan bukti diakui dalam War Crime Tribunals sebanyak mungkin karena seringkali dan International Criminal Count hanya ada satu kesempatan dan (ICC) di Den Haag (Cox, 2009). waktu terbatas untuk menggalinya. Dalam sejumlah kasus di Inggris, Oleh karena itu, mereka akan keberhasilan penuntutan tidak akan merancang dan memimpin strategi diperoleh, beberapa pelaku tidak khusus untuk mengoptimalkan bukti akan dihukum dan keadilan tidak yang ada, memberi nasihat tentang akan tercapai tanpa pengajuan metode atau urutan metode yang bukti-bukti arkeologisnya (Black, tepat untuk diterapkan dalam 2000; Hunter, 2002; Blau & pencarian dan pemulihannya. Ubelaker, 2009; Cox, 2009; Hunter, Dengan cara ini teknik arkeologi 2009). Di Inggris, para arkeolog dapat digunakan untuk forensik adalah anggota departemen membedakan peristiwa sebelum atau fakultas arkeologi yang dapat atau sekitar waktu kematian korban, diminta untuk bekerja dengan tim mendapatkan informasi tentang pencari yang dibentuk oleh aparat keadaan penguburan, cara kematian penegak hukum atau negara atau dan alat-alat yang digunakan untuk permintaan lembaga swadaya penguburannya, dan dengan masyarakat untuk membantu demikian membantu dalam menemukan dan menggali bukti mengidentifikasi pihak ketiga yang terkubur di tempat kejadian perkara bertanggungjawab untuk (TKP). Mereka juga memainkan kejahatannya. Sebelum peran penting dalam pengembangan arkeologi forensik, mengkoordinasikan dan seperti sudah diungkapkan di muka, mengintegrasikan dengan para ahli seringkali para aparat penegak di bidang forensik lainnya, seperti hukum, khususnya kepolisian, untuk ahli patologi forensik, odontologi menggali situs itu tergesa-gesa dan forensik, entomologi forensik, botani serampangan demi cepat mengejar

50 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

bukti. Mulai di sinilah arkeologi Ahli arkeologi forensik dapat forensik telah berkembang menjadi terlibat untuk peran penting dalam suatu disiplin dan diterima secara proses perdamaian pasca-konflik, luas. masyarakat transisi di mana Para arkeolog forensik juga rekonsiliasi harus menyertakan berperan untuk misi kemanusiaan, penyelesaian atas ketidakpastian yakni membantu menemukan sisa- mengenai nasib beberapa warga sisa korban (dalam peristiwa “yang sengaja dihilangkan” (Ballbé & pembunuhan politis yang sengaja Steadman, 2008; Sterenberg, 2009; ditutup kasusnya) walaupun Mark, 2010; Rudovica et al., 2011; kadangkala di suatu wilayah atau Kinsella & Blau, 2013). negara tidak ada persyaratan hukum Para ahli arkeologi forensik untuk melakukannya, untuk bahkan bersedia untuk memberikan mengembalikannya ke ahli waris pelatihan dalam metode arkeologi atau keluarganya, mulai dari forensik kepada beberapa warga Amerika Latin, Eropa Timur dan Asia lokal yang kompeten dalam bidang (Bernardi & Fondebrider, 2007; forensik untuk melakukan Ferlini, 2007; López & Umańa, 2007; penyelidikan sendiri. Beberapa kali Skinner, 2007; Flavel & Barker, pelatihan-pelatihan ini, yang 2009; Blau & Fondebrider, 2010; dikemas dalam Workshop, telah Mark, 2010; Blau et al., 2011; dilakukan di Indonesia, misalnya Rudovica et al., 2011). Pentingnya Workshop on Disaster Victim arkeologi forensik juga terletak pada Identification pada 24 – 26 pencarian dan penyelidikan situs November 2007 di Surabaya yang kuburan massal oleh pembantaian merupakan kerjasama antara politis, genosida dan kejahatan Universitas Airlangga, Monash perang (Crossland, 2000; Connor & University, the Centre of Human Scott, 2001; Haglund et al., 2001; Identification Victorian Institute of Stover & Ryan 2001; Skinner et al., Forensic Medicine, Health Sciences 2003; Juhl, 2005; Wright et al., 2005; Authority Singapore, Ministry of Juhl & Olsen, 2006; Bernardi & Foreign Affairs Singapore, Fondebrider, 2007; Ballbé & Departemen Kesehatan Republik Steadman, 2008; Schultz & Dupras, Indonesia, Kepolisian Republik 2008; Blau & Ubelaker, 2009; Indonesia dan the Australian Agency Congram & Sterenberg, 2009; for International Development; Flavel & Barker, 2009; Sterenberg, walaupun lebih ditujukan untuk 2009; Ubelaker, 2009; Blau & peristiwa-peristiwa korban terorisme. Fondebrider, 2010; Mark, 2010; Seorang fasilitatornya adalah ahli Cabo et al., 2012; Crossland, 2013). antropologi/arkeologi forensik Dr. Beberapa LSM dan Soren Blau yang sekarang berkarya organisasi internasional di the Centre of Human Identification mempekerjakan mereka dalam Victorian Institute of Forensic pencarian dan penemuan orang- Medicine, Australia. orang hilang atau korban-korban. Arkeologi forensik semakin Organisasi-organisasi ini meliputi berkembang dalam aktivitas Disaster International Commission on Missing Victim Identification (DVI) (Blau & Persons (ICMP), International Hill, 2009). Para ahli arkeologi Committee of the Red Cross (ICRS) forensik membantu mencari dan dan beberapa organisasi semacam. menyelidiki para korban bencana alam seperti tsunami di Asia

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 51 (Rusyad Adi Suriyanto)

Tenggara pada tahun 2004 dan Kepolisian) dan RS Polri badai Katrina yang menghancurkan Bhayangkara. Pihak kepolisian juga Louisiana pada tahun 2005 (Blau & sering melibatkan tenaga profesional Hill, 2009; Blau & Ubelaker, 2009), seperti paramedis di rumah sakit dan dan bencana oleh manusia dalam fakultas kedokteran yang memiliki kasus-kasus teror, seperti tragedi instalasi atau bagian forensik WTC pada tahun 2001 di Amerika (medico-legal), berikutnya DNA Serikat (Gould, 2004b); serta forensik, farmasi-kimia forensik, pertikaian kekuasaan dan genosida sampai antropologi forensik untuk yang terjadi di Eropa Timur, Timur melengkapi berkas penyelidikannya. Tengah dan Asia Selatan sampai Untuk yang terakhir disebut itu pun saat ini (Skinner, 2007; Congram & Indonesia memiliki ahlinya tidak Sterenberg, 2009; Jankauskas, pernah lebih dari jumlah jari-jari di 2009; Sterenberg, 2009; Mark, satu tangan kita. Jumlah yang 2010). DVI Indonesia dibentuk, sangat sedikit itu sebenarnya juga berkembang dan bergaung setelah adalah mereka yang berkarya dalam peristiwa teror Bom Bali (Bali antropologi biologis, oleh karena itu, Bombing) pada tahun 2002 yang tidaklah heran bahwa mereka tidak lalu. Peran DVI ini makin penting bisa berkarya penuh dalam bidang sejak maraknya kasus terorisme dan itu karena konsentrasinya terhadang kecelakaan transportasi udara dan beragam kepentingan kapal (Purwanti, 2013). profesionalnya (Jacob, 1984, 1999, Sebenarnya beberapa 2000; Indriati, 1999, 2003, 2004, aktivitas yang berkaitan dengan 2009; Glinka, 2001; Suriyanto, penyelidikan arkeologi forensik telah 2008). Seringkali para ahli terekam di Indonesia. Sejauh ini, antropologi biologis itu mengerjakan aktivitas ini masih dilakukan oleh aspek penyelidikan arkeologi beberapa tenaga profesional non- forensiknya. arkeologis. Di sini bukan berarti Beberapa aktivitas ekskavasi hasilnya gagal, namun belum berkenaan dengan penyelidikan memenuhi kaidah arkeologi forensik korban-korban kriminal dengan yang ideal yang mampu beragam motif telah dilakukan di menegaskan bukti-bukti yang rinci beberapa tempat di Indonesia dalam dan teguh untuk kelengkapan berkas kurun tahun terakhir ini. Sebagian penyelidikan yang akan diajukan kita masih teringat peristiwa- dalam proses hukum sampai ke peristiwa berikut ini. Mei 1993 terjadi pengadilan. Penyelidikan arkeologi penculikan dan pembunuhan aktivis forensik belum dikenal dalam ranah buruh Marsinah yang mengguncang bukti-bukti penyelidikan forensik kita. dunia peradilan Indonesia. Demi Kita juga belum pernah melihat tuntutan keadilan dan hak-hak asasi kesaksian ahli arkeologi forensik manusia, maka dilakukan dalam persidangan di pengadilan penyelidikan ulang pada tahun 1995, kita. termasuk membongkar makamnya, Porsi terbesar aktivitas oleh Tim Penyelidik Khusus Markas forensik di Indonesia yang berkaitan Besar Kepolisian RI dengan dengan korban biologis manusia mengundang beberapa pakar dari masih di bawah kewenangan pihak Universitas Indonesia, Universitas kepolisian kita, biasanya bernaung Gadjah Mada dan Universitas dalam Pusat Laboratorium Forensik, Airlangga. Kita masih teringat Pusdokpol (Pusat Kedokteran peristiwa “korban-korban Ryan”, di

52 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

mana pelaku telah membunuh 11 dan Pemerintah Indonesia, baik dari orang, yang satu jasad dimutilasi Departemen Luar Negeri, badannya dan dimasukkan dalam Departemen Dalam Negeri dan dua tas besar dan dibuang di Departemen Kesehatan, maupun Jakarta, serta 10 korban lain dan Pemerintah Daerah dan Dinas jasad-jasadnya dikubur di belakang Pariwisata terkait; dan tugas rumah orang tuanya di Jombang di identifikasi dilakukan oleh Untoro antara tahun 2007 – 2008. dan Atmadja (?) selaku dokter Penggalian dan penyelidikannya spesialis forensik. melibatkan ahli antropologi biologis Permintaan penyelidikan ini Dr. Toetik Koesbardiati dari diajukan Jepang dan perwakilan Departemen Antropologi Universitar Lembaga Swadaya Masyarakat di Airlangga. Penggalian pertama 21 Iwate yang membangun museum Juli 2008 dan kedua 28 Juli 2008 untuk peringatan korban Perang masing-masing mendapati lima Dunia II lewat Kedutaan Besarnya di individu korban, yang sebagian Jakarta. Lembaga Swadaya besar telah kehilangan jaringan Masyarakat itu meneruskan aspirasi lunaknya. keluarga korban bala tentara Jepang Pada Februari 2011 telah itu. Seperti tercatat dalam sejarah, terjadi pembongkaran 24 kuburan pada tahun 1944, Jepang mengirim bayi di makam-makam kawasan sekitar 44.000 tentaranya untuk Sedati dan Waru, Sidoarjo; pelaku menduduki Papua Nugini, dan tidak hanya merusak makamnya sekitar 13.000 tentaranya di Papua tetapi beberapa bukti menunjukkan (Papua Barat). Dalam pelayaran bahwa sebagian sisa-sisa jasad dan menuju tempat pendudukannya, kain kafannya diambil dengan mereka berlabuh untuk menyiapkan sengaja oleh pelaku dengan tujuan logistik di Makassar. Naas, saat itu tertentu. Tragedi kubur bayi ini pula kapal selam mereka mendapat dalam penyelidikan pihak kepolisian, serangan rudal dari bala tentara dan melibatkan beberapa ahli dari Amerika Serikat yang dikomando kedokteran forensik dan medico- oleh Jenderal McArthur. Kapalnya legal Fakultas Kedokteran dan tenggelam di sekitar Pulau Departemen Antropologi Universitar Samalona perairan Makassar. Airlangga. Tidak hanya itu saja, Sebagian kapal Jepang yang telah pembunuhan, pemutilasihan, sampai di perairan dan bala tentara pembuangan dan penguburan enam sudah mendarat juga mendapat korban anak-anak dilakukan oleh serangan yang sama; rupanya bala oknum kelompok remaja di Siak dan tentara Amerika Serikat telah sampai Bengkalis pada Agustus 2014. lebih dulu di sana. Mereka yang Untoro & Atmadja (2012) selamat bertahan hidup dan telah melaporkan pengalamannya bermarkas di beberapa gua, salah melakukan pemeriksaan antropologi satunya di Gua Binsari, Biak Numfor. forensik untuk mengidentifikasi sisa- Sebagian mereka mampu bertahan sisa bala tentara Jepang yang gugur hidup sampai beberapa tahun pada masa Perang Dunia II di Papua kemudian, dan sebagian besarnya Barat dan Makassar kurun meninggal karena beragam penyakit penyelidikan tahun 1999 – 2009. tropis. Mereka menyatakan bahwa Penyelidikan itu membawa penyelidikan ini merupakan misi kemanusiaan yang terdiri dari kerjasama pihak Pemerintah Jepang pengumpulan sisa-sisa rangka

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 53 (Rusyad Adi Suriyanto)

mereka setelah diidentifikasi dan dimasukkan ke kantong-kantong pengkremasiannya dalam upacara untuk masing-masing yang diduga sesuai dengan tata cara mereka. sebagai satu individu. Artefak- Abunya kemudian diserahkan artefak yang ditemukan dalam kepada para ahli warisnya. Kegiatan penggalian itu dikumpulkan, selanjutnya adalah membersihkan sebagian dibawa ke Jepang, dan Papua Barat dan Makassar dari sebagian lagi menjadi koleksi sisa-sisa persenjataan dan bom aktif museum yang didirikan di sekitar yang berbahaya bagi penduduk Gua Binsari. setempat. Pemeriksaan dan identifikasi Untoro dan Atmadja (2012) rangka-rangkanya dilakukan oleh tim menuturkan lebih lanjut bahwa Kedokteran Forensik Universitas penyelidikan itu juga menerapkan Indonesia. Aktivitas ini terdiri dari metode arkeologi untuk memeriksa dan mengidentifikasi menghasilkan pemeriksaan sisa-sisa profil biologisnya, memperkirakan rangka manusia yang lebih rinci. periode postmortemnya, dan Sisa-sisa rangka manusia dari menyediakan data yang perairan Makassar yang diangkat berhubungan dengan kematiannya, oleh tim gabungan penyelam TNI termasuk bukti-bukti adanya trauma Angkatan Laut dan sukarelawan yang terjadi selama periode dikumpulkan di Benteng Fort kematiannya. Keseluruhan tulang, Rotterdam Makassar. Sisa-sisa baik utuh maupun fragmentaris, rangka di Papua Barat dikumpulkan yang dikumpulkan sekitar 25.000 dari berbagai pulau yang tersebar di tulang; sejauh ini, yang telah sana oleh pihak Jepang dan berhasil diidentifikasi 605 individu. penduduk lokal yang diminta Peristiwa lain yang bisa membantu. Penduduk lokal ini disebut sebagai ranah arkeologi sebelumnya telah mendapatkan forensik yang berkaitan dengan arahan dan pelatihan. Selanjutnya, temuan paleoantropologis Indonesia, sisa-sisa rangka tersebut disimpan yakni upaya pemulangan fosil Homo dalam lemari-lemari khusus di lokasi erectus Sambungmacan 3 (Sm 3) sekitar Gua Binsani, Biak Numfor. dari sebuah toko barang antik (the Usaha pengumpulan sisa- natural history shop) terkemuka sisa rangka para prajurit Jepang ini Maxilla & Mandible Ltd. di New York, dikerjakan selama beberapa bulan. Amerika Serikat (Broadfield et al., Mereka melakukan 2001; Delson et al., 2001; Laitman & pendokumentasian visual dan Tattersall, 2001; Márques et al., catatan terlebih dulu sebelum 2001). Berita tentang hal ini telah melakukan penggalian di lokasi yang dimuat di halaman muka surat kabar diduga merupakan kuburan massal ternama New York Times dan bala tentara Jepang itu. beberapa media di Amerika Serikat Pendokumentasiannya juga meliputi pada 7 September 1999, termasuk semua artefak yang ditemukan di kasak-kusuk harga di internal sekitarnya, yang diduga sebagai pedagang-pedagang barang antik, barang-barang milik mereka. khususnya yang selundupan, yang Penggalian dilakukan sampai ditawarkan sekitar $ 500.000,00. ditemukan sisa-sisa tulang. Tulang Berkat perjuangan dan diplomasi yang telah terekspos keseluruhan Prof. Dr. T. Jacob, M.S., M.D., D.Sc., akan diangkat dan dikumpulkan, fosil ini telah diserahkan kembali ke selanjutnya sisa-sisa rangka itu Indonesia, dan tersimpan di

54 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

Laboratorium Bioantropologi dan Serikat dan Indonesia, beliau Paleoantropologi Fakultas bersama para kolega itu telah Kedokteran Universitas Gadjah meneliti dan mempublikasikan fosil Mada tanpa mengeluarkan ganti rugi ini dalam serial khusus di jurnal sama sekali. Prof. Dr. T. Jacob, terkemuka The Anatomical Record M.S., M.D., D.Sc mengungkapkan (2001). Artikel-artikel di jurnal bahwa pengembalian ini merupakan tersebut menegaskan bahwa fosil ini upaya atas nama ilmu pengetahuan sangat penting karena morfologinya dan warisan nasional. Fosil tersebut lebih maju secara evolusioner dari merupakan material ilmu Homo erectus erectus, namun belum pengetahuan yang sangat berharga mencapai morfologi Homo erectus bagi sejarah pertumbuhan dan soloensis (Broadfield et al., 2001; perkembangan peradaban umat Delson et al., 2001; Laitman & manusia (Suriyanto, 2012). Tattersall, 2001; Márques et al., Penerimaan kembali fosil ini 2001). disaksikan oleh Drs. Hari Untoro Kesediaan Henry Galiano Drajat, M.A. dari Direktorat Jenderal untuk mengembalikan fosil yang Kebudayaan Departemen telah dikuasai dan diumumkan Pendidikan dan Kebudayaan RI dan keberadaanya sejak 29 Agustus Atase Kebudayaan RI di sana Dr. 1999 menunjukkan keberhasilan dan Yahya Muhaimin, Prof. Eric Delson kesungguhan diplomasi dari pihak dari City University New York, dan Indonesia untuk meminta kembali beberapa kolega ilmuwan di sana, benda yang sangat berharga bagi antara lain dari American Museum of perkembangan sejarah dan budaya Natural History. Sebagai bentuk Indonesia (Boedhihartono, 1998; persahabatan di antara para Suriyanto, 2012). ilmuwan paleoantropologi Amerika

Gambar 1. Henry Galiano menyerahkan kembali fosil Homo erectus (Sambungmacan 3, Sm 3) dari situs Sambungmacan, Sragen, kepada Prof. T. Jacob di New York (koleksi dan sumber foto: Eric Delson untuk Laitman & Tattersall, 2001)

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 55 (Rusyad Adi Suriyanto)

Gambar 2. Fosil Homo erectus (Sambungmacan 3, Sm 3) dari situs Sambungmacan, Sragen (lateral kiri, koleksi foto: Rusyad Adi Suriyanto)

HARAPAN DAN UPAYA antropologi forensik Indonesia PENGEMBANGAN ARKEOLOGI (Jacob, 1984, 1999, 2000; Indriati, FORENSIK INDONESIA 1999, 2003, 2004, 2009; Glinka, 2001; Suriyanto, 2008). Seperti telah diungkapkan di Permasalahan biologi manusia dan muka, Indonesia yang dihuni oleh aspek hukumnya semakin kompleks; banyak populasi dengan variasi bukan saja berhadapan dengan biologisnya yang nyata dari masa konteks yang baru saja dan Pleistosen sampai sekarang hanya berlangsung di masa kini, namun mempunyai sangat sedikit ahli permasalahan itu kadangkala harus antropologi biologis dan ahli dirunut jauh ke belakang. Sebagai paleoantropologi. Jumlah tersebut contoh, tuntutan atas penemuan dan tidak seimbang dengan jumlah pengembalian korban-korban penelitian dan pengembangan perang, genosida, penghilangan biologi manusia yang bermanfaat orang dalam konflik politik dan untuk kedokteran, kehidupan sosial, perbudakan lintas negara di masa politik, kebudayaan, pembangunan lalu, terutama setelah Perang Dunia sumber daya manusia, II. Para praktisi antropologi forensik keanekaragaman hayati, yang ada di Universitas Gadjah perdamaian dan kesejahteraan Mada dan Universitas Airlangga masyarakat (Glinka, 2001; tidak dapat sepenuhnya bekerja Suriyanto, 2008). dalam keahlian itu. Mereka memiliki Keadaan tersebut di atas kewajiban lain seperti mengajar, menjadi semakin memprihatinkan meneliti dan memberikan ketika mengetahui jumlah ahli pengabdian kepada masyarakat

56 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

dalam bidang antropologi biologis. penyelidikan sesegera mungkin Mereka akan bekerja dalam keahlian kepada aparat kepolisian di mana itu jika diminta oleh lembaga terkait, para tersangka dan saksi masih baik kedokteran forensik, kepolisian memungkinkan untuk dikorek dan DVI, untuk membantu keterangannya lebih lanjut. Mereka menemukan, memeriksa dan memeriksa dan mengidentifikasi mengidentifikasi korban-korban atau profil biologisnya, memperkirakan jenazah-jenazah oleh beragam periode postmortemnya, dan bencana. Kadangkala mereka juga menyediakan data yang menjadi tenaga ahli untuk membantu berhubungan dengan kematiannya, penelitian arkeologis yang berkaitan termasuk bukti-bukti adanya trauma dengan temuan-temuan osteologis. yang terjadi selama periode Berdasaran pemaparan di kematiannya. Pemeriksaan itu tidak atas, diketahui bahwa banyak akan sedetail jika para korban itu penyelidikan arkeologi forensik telah berupa rangka-rangka yang telah dikerjakan di Indonesia, namun yang tertimbun tanah bertahun-tahun. menjadi permasalahan apakah kita Perlu untuk diperhatikan memiliki ahli arkeologi forensik yang bahwa pendidikan formal untuk memadai jumlah maupun jenjang sarjana dan pascasarjana keahliannya? Jawaban atas antropologi forensik di Indonesia pertanyaan itu adalah kita belum belum ada. Namun, pendidikan ini memilikinya. Sebagian penyelidikan telah menjadi salah satu minat atau arkeologi forensik itu masih disiplin dalam antropologi biologis, dilakukan oleh ahli antropologi misalnya beberapa mahasiswa biologis, khususnya mereka yang Departemen Antropologi Universitas mendalami antropologi mati Airlangga telah mengerjakan (osteologi) dengan salah satu skripsinya bertema minat tersebut. disiplinnya adalah antropologi Mata kuliah Antropologi Forensik forensik. Hanya ada tiga orang ahli juga telah diberikan bagi mahasiswa antropologi forensik yang aktif pendidikan Magister Forensik. Di sekarang ini di Indonesia. Mereka Universitas Gadjah Mada juga telah tidak hanya bertindak sebagai ahli diberikan kepada jenjang Pendidikan antropologi forensik namun juga Dokter Fakultas Kedokteran; yang mengerjakan pekerjaan yang sekarang melebur ke dalam Block seharusnya dilakukan oleh ahli 4.2. Health System and Disaster. arkeologi forensik. Penyelidikan Perkuliahan dan praktikum mata demikian tidak akan pernah rinci dan kuliah antropologi forensik diberikan tuntas karena seringkali begitu sebagai Forensic Anthropology in banyak rangka korban yang perlu DVI. Untuk jenjang magisternya diidentifikasi dalam waktu yang diberikan kepada minat utama terbatas. Dalam situasi seperti ini, Antropologi Kedokteran. Dalam maka keahlian utama dari aktivitas itu, juga diperkenalkan penyelidik, antropologi forensik, arkeologi forensik. Ini tidak yang lebih dominan menuntun mengherankan karena sebenarnya aktivitas penyelidikan dan antropologi dan arkeologi forensik pelaporannya. selalu beriringan, saling melengkapi Pekerjaan lain yang dan membutuhkan; bahkan banyak dilakukan dalam kaitannya dengan kalangan menyebut arkeologi penyelidikan arkeologi forensik forensik itu adalah bagian dari adalah melengkapi berkas antropologi forensik (Lovis, 1992;

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 57 (Rusyad Adi Suriyanto)

Scott & Connor, 2001; Blau & identifikasi rangka, paleopathologi Ubelaker, 2009; Cox, 2009; dan peranan ahli antropologi biologis Jankauskas, 2009; Ubelaker, 2009; (Kalanjati, 2012). Byers, 2011; Gowland & Thompson, Dorongan untuk 2013). Antropologi forensik di mengembangkan arkeologi forensik Indonesia makin menunjukkan di Indonesia dapat mengambil perkembangan optimis walaupun, pengalaman dari sejarah munculnya seperti telah disebut di muka, masih disiplin ini di beberapa negara memerlukan perhatian dan seperti Amerika Utara, Inggris dan pengembangannya (Indriati, 2009). beberapa negara Eropa. Arkeologi Situasi arkeologi Indonesia forensik telah berkembang selama sekarang berbeda dengan 20 tahun terakhir di negara-negara sebelumnya. Beberapa paradigma tersebut dan sekarang menjadi arkeologi masa kini makin suatu disiplin yang mantap, yang memperkaya khazanah arkeologi memberikan sumbangsih penting Indonesia. Paradigma ini makin untuk penyelidikan-penyelidikan memperkaya metodologi penelitian kriminal dan bukti-bukti arkeologi Indonesia, diantaranya penyelidikannya mampu adalah metode yang dipakai dalam mempengaruhi argumentasi- bidang biologi dan ilmu-ilmu eksakta. argumentasi hukumnya di Lambat namun pasti, beberapa pengadilan serta membantu dalam disiplin ilmu perbatasan terus penyelidikan bencana massal berkembang, antara lain: (Connor & Scott, 2001; Haglund, bioarkeologi, zooarkeologi, 2001; Gould, 2004a; Gould, 2004b; osteoarkeologi, dan arkeologi nutrisi. Hunter & Cox, 2005b; Hunter & Cox, Momentum ini merupakan 2005c; Wright et al., 2005; Ellis, kesempatan baik untuk makin 2007; Ferlini, 2007; López & Umańa, memperkenalkan dan 2007; Cox et al., 2008; Blau & Hill, mengembangkan arkeologi forensik. 2009; Blau & Ubelaker, 2009; Keadaan seperti ini juga Hochrein, 2009; Hunter, 2009; pernah dialami oleh beberapa Steadman et al., 2009). negara, misalnya Australia. Indonesia adalah negeri yang Arkeologi forensik merupakan kajian rawan bencana. Hal ini dipengaruhi dan minat baru yang makin oleh letak negeri kita di antara berkembang di Australia masa kini, lempeng-lempeng geologis Asia dan dan terus diupayakan makin luas Australia, kawasan jalur ring of fire dalam kurikulum perkuliahan Pasifik yang kawasannya banyak arkeologi di universitas-universitas memiliki gunung vulkanik, kawasan Australia pada abad ini (Blau 2004; perubahan musim hujan dan Pate, 2005). Ahli antropologi biologis kemarau, angin dan gelombang di dan paleoantropologi Prof. Maciej antara Asia dan Australia, negeri Henneberg dari Australia pernah yang terdiri ribuan pulau dengan memberikan kursus School of transportasi utama kapal dan Anthropological and Forensic pesawat. Posisi Indonesia Anatomy di Departemen Anatomi sebagaimana disebutkan di atas dan Histologi Fakultas Kedokteran memiliki potensi terjadinya bencana Universitas Airlangga pada baik yang disebabkan oleh alam Desember 2011. Salah satu sesi dari maupun manusia. kursus tersebut membicarakan Penyelidikan dengan tentang arkeologi forensik, menggunakan arkeologi forensik

58 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

juga dilakukan pada periwtiwa- maka perlu diupayakan untuk peristiwa kemanusiaan di masa lalu. menawarkan minat khusus arkeologi Penegakkan hak-hak asasi manusia forensik kepada para mahasiswa menjadi isu, baik teoretis maupun arkeologi Indonesia. Para praktis, yang terus makin mahasiswa ini diharapkan dapat berkumandang seiring seruan berpartisipasi dalam membantu demokratisasi di beberapa negara. aktivitas-aktivitas forensik setelah Penegakkan ini tidak melulu sebagai menyelesaikan studinya. Selama ini urusan nasional, namun seringkali arkeologi forensik masih merupakan menjadi urusan internasional. salah satu topik dalam matakuliah Perlawanan dan protes atas Paleoantropologi dan Bioarkeologi buruknya upaya-upaya itu untuk mahasiswa jenjang sarjana di disuarakan para aktivis dalam negeri Departemen Arkeologi Universitas suatu negara; seringkali pula Gadjah Mada. gerakan itu diilhami dan mendapat Apabila jumlah ahli arkeologi sokongan oleh gerakan-gerakan dari forensik telah mencukupi, maka kita luar negaranya. Beberapa di antara tidak perlu lagi bergantung kepada mereka menyuarakan tuntutan pihak asing pada saat melakukan pengembalian orang-orang yang penyelidikan yang berkaitan dengan dihilangkan dengan paksa oleh arkeologi forensik. Lulusan arkeologi beragam alasan, baik oleh oknum Indonesia yang telah mendalami kelompok atau aparat negara, di arkeologi forensik dapat menjadi mana saat itu dianggap tenaga profesional yang sebenarnya membahayakan kelompoknya atau makin dibutuhkan oleh negara ini negara. Tuntutan ini juga berlaku seturut makin meningkatnya terhadap peristiwa-peristiwa pengakuan atas hak-hak asasi kemanusian seperti genosida, manusia dan harapan atas kejelasan pembunuhan politik, kejahatan nasib para korban yang sengaja perang dan pelanggaran hak asasi dihilangkan oleh oknum-oknum yang manusia (Crossland, 2000; Connor tidak bertanggungjawab, dan & Scott, 2001; Haglund et al., 2001; peristiwa-peristiwa bencana yang Stover & Ryan 2001; Skinner et al., dapat memindahkan dan mengubur 2003; Hunter & Cox, 2005b; Juhl, para korbannya. Para ahli arkeologi 2005; Wright et al., 2005; Juhl & forensik ini juga dapat bergabung Olsen, 2006; Bernardi & dan membantu DVI Indonesia baik Fondebrider, 2007; Skinner, 2007; untuk penanganan para korban Ballbé & Steadman, 2008; Schultz & beragam bencana dari masa kini Dupras, 2008; Steel, 2008; Blau & sampai upaya pencarian para Ubelaker, 2009; Congram & korban pertikaian atau konflik politik Sterenberg, 2009; Flavel & Barker, di masa lalu. Mereka juga dapat 2009; Sterenberg, 2009; Ubelaker, memenuhi permintaan bantuan 2009; Wright & Hanson, 2009; Blau tenaga profesional oleh pihak & Fondebrider, 2010; Mark, 2010; internasional, misalnya untuk Blau et al., 2011; Cabo et al., 2012; melakukan pencarian dan identifikasi Tuller, 2012; Crossland, 2013; para korban peristiwa penembakan Kinsella & Blau, 2013). pesawat penumpang komersial Dengan mempertimbangkan maskapai Malaysia Airline di peran arkeologi forensik dalam kawasan Ukraina pada 17 Juli 2014 penyelidikan-penyelidikan berkaitan lalu yang menewaskan 295 dengan peristiwa-peristiwa forensik, penumpang dan awaknya.

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 59 (Rusyad Adi Suriyanto)

Di masa yang akan datang, PENUTUP pendirian DVI Indonesia akan terus diupayakan di wilayah-wilayah Penerapan prinsip-prinsip negara kita, agar penanganan para dan teknik-teknik arkeologis telah korban bencana makin cepat dan menjadi keharusan ketika tepat (Kepolisian Republik berhadapan dengan pemulihan Indonesia, 2006). Meskipun temuan-temuan terkubur dan sisa- antropologi dan arkeologi forensik sisa biologis manusia. Penerapan belum diakui secara resmi dalam metode dan teori arkeologis serta proses tahapan DVI (yakni, tidak partisipasi aktual ahli arkeologi adanya ruang yang diberikan untuk terbukti diperlukan untuk membantu rekaman informasinya pada formulir penyelidikan kasus-kasus medico- DVI untuk blanko merah muda legal. Peningkatan kebutuhan akan postmortem), disiplin-disiplin itu ahli arkeologi forensik ini sesuai merupakan bagian penting dari dengan makin meningkatnya pendekatan multidisiplin untuk pengakuan atas hak-hak asasi penyelidikan bencana massal baik manusia dan harapan atas kejelasan dari fase pemulihan sampai nasib para korban yang sengaja analisisnya. dihilangkan oleh oknum-oknum yang Sampai 20 tahun terakhir, tidak bertanggungjawab dan komunitas medico-legal telah mulai peristiwa-peristiwa bencana yang merangkul dan membutuhkan dapat memindahkan dan mengubur sumbangan disiplin-disiplin itu dalam para korbannya. Keahlian ini juga setiap kerja penyelidikan dan penting untuk membantu identifikasi korban. Dalam konteks mengungkap temuan sisa-sisa pedoman untuk proses DVI yang manusia purba dan kuno milik terdiri atas lima tahapan, arkeologi negara ini yang diperjual-belikan dan forensik lebih berperan daripada diselundupkan ke manca negara antropologi forensik, karena tidak untuk mencari keuntungan finansial saja berkonsentrasi utama pada belaka. tahap kedua, yakni phase 2: involves Sehubungan dengan penting the collection of post-mortem data dan mendesaknya kebutuhan from deceased individuals, namun terhadap ahli arkeologi forensik, juga secara proporsional berperan maka perlu upaya untuk menjadikan dalam phase 1: involves the arkeologi forensik sebagai salah investigation of the scene of the satu minat khusus pada Departemen disaster. Tahapan ketiga sampai Arkeologi. Mahasiswa yang kelima adalah phase 3: involves the mengambil minat khusus arkeologi collection of ante-mortem forensik diharapkan dapat information from the community in berpartisipasi dalam membantu relation to persons possibly involved aktivitas-aktivitas forensik setelah in the disaster, phase 4: involves the menyelesaikan pendidikannya. matching of the ante-mortem and Mereka dapat juga menjadi tenaga post-mortem information and profesional dalam arkeologi forensik presentation of the findings to yang keahliannya makin dibutuhkan constituted reconciliation Board, dan oleh negeri ini. phase 5: involves the process of debriefing all personnel involved in the DVI (Kepolisian Republik Indonesia, 2006; Blau & Hill, 2009).

60 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Daerah DI Yogyakarta dan Jawa Tengah yang telah memberikan kesempatan untuk mempresentasikan makalah ini dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi “Integrasi Pengembangan Arkeologi Indonesia” pada 25 Juni 2014, di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta.

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 61 (Rusyad Adi Suriyanto)

DAFTAR PUSTAKA

Ballbé, E.G. & Steadman, D.W. 2008. “The Political, Social and Scientific Contexts of Archaeological Investigations of Mass Graves in Spain”. Archaeologies 4: 429 – 444.

Barone, P.M. 2012. “Archaeology, Geophysics and Forensic: United We Stand, Divided We Fall”. Geophysics 1: 131 – 137.

Bernardi, P. & Fondebrider, L. 2007. “Forensic Archaeology and the Scientific Documentation of Human Rights Violations: An Argentinian Example from the Early 1980s”, dalam R. Ferlini (ed.) Forensic Archaeology and Human Rights Violations. Springfield: Charles C Thomas. Hlm. 205 – 232.

Black, S. 2000. “Forensic Osteology in the United Kingdom”, dalam M. Cox & S. Mays (eds.) Human Osteology in Archaeology and Forensic Science. London: Greenwich Medical Media. Hlm. 491 – 503.

Blau, S. 2004. “Forensic Archaeology in Australia: Current Situations, Future Possibilities”. Australian Archaeology 58:11 – 14.

Blau, S. & Fondebrider, L. 2010. “Dying for Independence: Proactive Investigations into the 12 November 1991 Santa Cruz Massacre, Timor Leste”. The International Journal of Human Rights 15: 1249 – 1274.

Blau, S., Fondebrider, L. & Saldanha, G. 2011. “Working with Families of the Missing: A Case Study from East Timor”, dalam K. Lauritsch & F. Kernjak (eds.) We Need the Truth: Enforced Disappearances in Asia. Guatemala: ECAP. Hlm. 136 – 144.

Blau, S. & Hill, T. 2009. “Disaster Victim Identification: A Review”. Minerva Medico-legale 129: 35 – 36.

Blau, S. & Ubelaker, D.H. 2009. “Forensic Anthropology and Archaeology: Introduction to A Broader View”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 21 – 26.

Boedhihartono 1998. “A New Homo erectus Finding”. Jurnal Antropologi Indonesia 54: 121 – 125.

Broadfield, D.C., Holloway, R.L., Mowbray, K., Silvers, A., Yuan, M.S., Márquez, S. 2001. “Endocast of Sambungmacan 3 (Sm 3): A New Homo erectus from Indonesia”. The Anatomical Record 262: 369 – 379.

Burns, K.R. 1999. Forensic Anthropology Training Manual. Upper Saddle River: Prentice-Hall, Inc.

Byers, S.N. 2011. Introduction to Forensic Anthropology, 4th ed. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

62 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

Cabo, L.L., Dirkmaat, D.C., Adovasio, J.M. & Rozas, V.C. 2012. Archaeology, Mass Graves, and Resolving Commingling Issues Through Spatial Analysis”, dalam D.C. Dirkmaat (ed.) A Companion to Forensic Anthropology. Chichester: Blackwell Publishing Ltd. Hlm. 175 – 195.

Cheetham, P.N. & Hanson, I. 2009. “Excavation and Recovery in Forensic Archaeological Investigations”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 141 – 149.

Congram, D. & Sterenberg, J. 2009. Grave Challenges in Iraq”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 441 – 453.

Connor, M. & Scott, D.D. 2001. “Paradigms and Perpetrators”. Historical Archaeology 35: 1 – 6.

Crossland, Z. 2000. “Buried Lives: Forensic Archaeology and the Disappeared in Argentina”. Archaeological Dialogues 72: 146 – 159.

Cox, M., Flavel, A., Hanson, I., Laver, J. & Wessling, R. 2008. The Scientific Investigation of Mass Graves. Cambridge: Cambridge University Press.

Cox, M. 2009. “Forensic Anthropology and Archaeology: Past and Present – A United Kingdom Perspective”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 29 – 41.

Crist, T. A. J. 2001. “Bad to the Bone? Historical Archaeologist in the Practise of Forensic Science”. Historical Archaeology 35: 39 – 56.

Crossland, Z. 2013. “Evidential Regimes of Forensic Archaeology. Annual Review of Anthropology 42: 121 – 137.

Davenport, A & Harrison, K. 2011. “Swinging the Blue Lamp: the Forensic Archaeology of Contemporary Child and Animal Burial in the UK”. Mortality 16: 176 – 190.

Delson, E., Harvati, K., Reddy, D., Marcus, L.F., Mowbray, K., Sawyer, G.J., Jacob, T. & Márquez, S. 2001. “The Sambungmacan 3 Homo erectus Calvaria: A Comparative Morphometric and Morphological Analysis”. The Anatomical Record 262: 380 – 397.

Dirkmaat, D.C. & Adovasio, J.M. 1997. “The Role of Archaeology in the Recovery and Iinterpretation of Human Remains from An Outdoor Forensic Setting”, dalam W.W. Haglund & M.M. Sorg (eds.) Forensic Taphonomy: the Postmortem Fate of Human Remains. Boca Raton: CRC Press. Hlm. 39 – 64.

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 63 (Rusyad Adi Suriyanto)

Dirkmaat, D.C., Cabo, L.L., Ousley, S.D. & Symes, S.A. 2008. “New Perspectives in Forensic Anthropology”. American Journal of Physical Anthropology 137 (S47): 33 – 52.

Duhig, C. 2003. “Non-forensic Remains: the Use of Forensic Archaeology, Anthropology and Burial Taphonomy”. Science & Justice, 43: 211 – 214.

Dupras, T.L., Schultz, J.J., Wheeler, S.M. & Williams, L.J. 2012. Forensic Recovery of Human Remains: Archaeological Approaches, 2nd ed. Boca Raton: CRC Press.

Ellis, P. 2007. “Archaeology and Forensic Pathologist”, dalam R. Ferlini (ed.) Forensic Archaeology and Human Rights Violations. Springfield: Charles C Thomas. Hlm. 101 – 121.

Ferlini, R. 2007. Human Rights Violations, Past and Present: Concequences and Interventions”, dalam R. Ferlini (ed.) Forensic Archaeology and Human Rights Violations. Springfield: Charles C Thomas. Hlm. 3 – 23.

Flavel, A. & Barker, C. 2009. “Forensic Anthropology and Archaeology in Guatemala”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 426 – 440.

Galloway, A. & Simmons, T. 1997. “Education in Forensic Anthropology: Appraisal and Outlook”. Journal of Forensic Science 42: 796 – 801.

Glinka, J. 2001. “Morphological Variation of Contemporary Indonesians, dalam E. Indriati (ed.) A Scientific Life: Papers in Honor of Prof. Dr. T. Jacob – Proceeding of Conference on Man: Past, Present and Future. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Hlm. 91 – 104.

Gould, R.A. 2004a. “Disaster Archaeology at the West Warwick Rhode Island Night-club Fire Scene”. Archaeological Record 4: 6 – 11.

______2004b. “WTC Archaeology: What We Saw, What We Learned, and What We Did About It”. Archaeological Record 4: 11 – 17.

Gowland, R. & Thompson, T. 2013. Human Identity and Identification. Cambridge: Cambridge University Press.

Haglund, W.D. 2001. “Archaeology and Forensic Death Investigations”. Historical Archaeology 35: 26 – 34.

Haglund, W.D., Connor, M. & Scott, D.D. 2001. “The Archaeology of Contemporary Mass Grave”. Historical Archaeology 35: 57 – 69.

Hochrein, M. 2002. “Polar Coordinate Mapping and Forensic Archaeology Within Confined Spaces”. Journal of Forensic Identification 52: 733 – 749.

64 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

______2009. “Domestic Homicide Investigations: United States”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 351 – 362.

Holland, T.D. & Connell, S.V. 2009. “The Search for and Detection of Human Remains, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 129 – 140.

Hoshower, L.M. 1998. “Forensic Archaeology and the Need for Flexible Excavation Strategies: A Case Study”. Journal of Forensic Science 43: 53 – 56.

Hunter, J.R. 2002. “A Background to Forensic Archaeology, dalam J. Hunter, C. Roberts & A. Martin (eds.) Studies in Crime: An Introduction to Forensic Archaeology. New York: Routledge. Hlm. 7 – 23.

Hunter, J. 2009. “Domestic Homicide Investigations in the United Kingdom”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 363 – 373.

Hunter, J. & Cox, M. 2005a. “Introduction”, dalam J. Hunter & M. Cox (eds.) Forensic Archaeology: Advances in Theory and Practice. New York: Routledge. Hlm. 1 – 26.

______2005b. Search and Location: Case Studies 1 – 13”, dalam J. Hunter & M. Cox (eds.) Forensic Archaeology: Advances in Theory and Practice. New York: Routledge. Hlm. 27 – 61.

______2005c. “The Recovery of Forensic Evidence from Individual Graves: Case Studies 14 – 29”, dalam J. Hunter & M. Cox (eds.) Forensic Archaeology: Advances in Theory and Practice. New York: Routledge. Hlm. 96 – 136.

Hunter, J., Simpson, B. & Colls, C.S. 2013. Forensic Approaches to Buried Remains. Chichester: Wiley Blackwell.

Indriati, E. 1999. “Peran Antropologi Forensik Pada Identifikasi”, dalam R. Soegandhi (ed.) Aplikasi Ilmu Kedokteran Forensik untuk Identifikasi. Yogjakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Hlm. 77 – 89.

______2003. “Mati: Tinjauan Klinis dan Antropologi Forensik”. Berkala Ilmu Kedokteran 35: 231 – 239.

______2004. Antropologi Forensik: Identifikasi Rangka Manusia, Aplikasi Antropologi Biologis dalam Konteks Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

______2009. “Historical Perspectives on Forensic Anthropology in Indonesia”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 65 (Rusyad Adi Suriyanto)

Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 115 – 125.

Jacob, T. 1984. “Bioanthropologi Kematian”, dalam I. Nuhriawangsa (ed.) Kelahiran, Kehidupan dan Kematian. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Hlm. 97 – 105.

______1999. “Identifikasi Manusia”, dalam R. Soegandhi (ed.) Aplikasi Ilmu Kedokteran Forensik untuk Identifikasi. Yogjakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Hlm. 1 – 11.

______2000. “Antropologi Forensik”, dalam E. Indriati (ed.) Buku Bacaan Antropologi Biologis. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI. Hlm. 137 – 148.

Jankauskas, R. 2009. “Forensic Anthropology and Mortuary Archaeology in Lithuania”. Anthropologischer Anzeiger 67: 391 – 405.

Jessee, E. & Skinner, M. 2005. “A Typology of Mass Grave and Mass Grave- Related Sites”. Forensic Science International 152: 55 – 59.

Juhl, K. 2005. The Contribution by (Forensic) Archaeologists to Human Rights Investigations of Mass Graves. Stavanger: Arkeologisk museum i Stavanger.

Juhl, K. & Olsen, O.E. 2006. “Societal Safety, Archaeology and the Investigation of Contemporary Mass Graves. Journal of Genocide Research 8: 411 – 435.

Kalanjati, V.P. 2012. “Program Pendidikan Anatomi Antropologi dan Forensik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia”, dalam M.D. Artaria & F.N. Ariningsih (eds.) Bunga Rampai Antropologi Ragawi: 80 Tahun Prof. Dr. Habil. Jozef Glinka SVD. Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Hlm. 113 – l18.

Kepolisian Republik Indonesia 2006. Disaster Victim Identification: Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal. Jakarta: Departemen Kesehatan RI dan Kepolisian Negara RI. Kinsella, N & Blau, S 2013. “Searching for Conflict-related Missing Persons in Timor-Leste: Technical, Political and Cultural Considerations”. Stability 2: 1 – 14.

Larsen, C.S. 2000. Bioarchaeology: Interpreting Behavior from the Human Skeleton. Cambridge: Cambridge University Press.

Laitman, J.T. & Tattersall, I. 2001. “Homo erectus newyorkensis: An Indonesian Fossil Rediscovered in Manhattan Sheds Light on the Middle Phase of Human Evolution”. The Anatomical Record 262: 341 – 343.

66 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

Litherland, S., Márquez-Grant, N. & Roberts, J. 2012. “Forensic Archaeology”, dalam N. Márquez-Grant & J. Roberts (eds.) Forensic Ecology Handbook: from Crime Scene to Court. Chichester: Blackwell Publishing Ltd. Hlm. 23 – 48.

López, A.M.G. & Umańa, A.P. 2007. “Who Is Missing? Problems in the Application of Forensic Archaeology and Anthropology in Columbia’s Conflict”, dalam R. Ferlini (ed.) Forensic Archaeology and Human Rights Violations. Springfield: Charles C Thomas. Hlm. 170 – 204.

Lovis, W.A. 1992. “Forensic Archaeology As Mortuary Anthropology”. Social Science & Medicine 34: 113 – 117.

Mark, J. 2010. “What Remains? Anti-communism, Forensic Archaeology, and the Retelling of the National Past in Lithuania and Romania”. Past and Present 206 (S5): 276 – 300.

Márquez, S., Mowbray, K., Sawyer, G.J., Jacob, T. & Silvers, A. 2001. “New Fossil Hominid Calvaria from Indonesia – Sambungmacan 3”. The Anatomical Record 262: 344 – 368.

Menez, L.L. 2005. “The Place of A Forensic Archaeologist at Acrime Scene Involving A Buried Body”. Forensic Science International 152: 311 – 315.

Morse, D., Crusoe, D. & Smith, H.G. 1976. “Forensic Archaeology”. Journal of Forensic Sciences 21: 323 – 332.

Morse, D., Duncan, J. Stoutamire, J. 1983. Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Tallahassee: Rose Printing.

Neave, R. 2000. “Forensic and Archaeological Reconstruction of the Human Face Upon the Skull”, dalam M. Cox & S. Mays (eds.) Human Osteology in Archaeology and Forensic Science. London: Greenwich Medical Media Ltd. Hlm. 325 – 333.

Owsley, D.W. 2001. “Why the Forensic Anthropologist Needs the Archaeologist”. Historical Archaeology 35: 35 – 38.

Pate, F.D. 2005. “The Education of Archaeologists for the 21st Century”. Australian Archaeology 61:1 – 6.

Purwanti, S.H. 2013. Dari Bom Bali Hingga Tragedi Sukhoi: Keberhasilan DVI Indonesia dalam Mengungkap Berbagai Kasus. Jakarta: Rayyana Komunikasindo.

Rudovica,V., Viksna, A., Actins, A., Zarina, G., Gerhards, G. & Lusens, M. 2011. Investigation of Mass Graves in the Churchyard of St.gertrude’s, Riga, Latvia”. Interdisciplinaria Archaeologica II: 39 – 46.

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 67 (Rusyad Adi Suriyanto)

Schultz, J.J. & Dupras, T.L. 2008. “The Contribution of Forensic Archaeology to Homicide Investigations”. Homicide Studies 12: 399 – 413.

Schats, R., Kootker, L.M., Hermsen, R., Davies, G.R. & Hoogland, M.L.P. 2014. “The Alkmaar Mass Graves: A Multidisciplinary Approach to War Victims and Gunshot Trauma, dalam C. Knüsel & M. Smith (eds.) The Routledge Handbook of the Bioarchaeology of Human Conflict. New York: Routledge. Hlm. 455 – 472.

Scott, D.D. & Connor, M. 2001. “The Role and Future of Archaeology in Forensic Science”. Historical Archaeology 35: 101 – 104.

Sigler-Eisenberg, B. 1985 Forensic research: expanding the concept of applied archaeology. American Antiquity 50: 650 – 655.

Skinner, M. 2007. “Hapless in Afghanistan: Forensic Archaeology in A Political Maelstrom”, dalam R. Ferlini (ed.) Forensic Archaeology and Human Rights Violations. Springfield: Charles C Thomas. Hlm. 233 – 265.

Skinner, M.F. 1987. “Planning the Archaeological Recovery from Recent Mass Graves”. Forensic Science International 34: 267–287.

Skinner, M., Alempijevic, D. & Djuric-Srejic, M. 2003. “Guidelines for International Forensic Bio-archaeology Monitors of Mass Grave Exhumations”. Forensic Science International 134: 81 – 92.

Skinner, M. Bowie, K. 2009. “Forensic Anthropology: Canadian Content and Contributions”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 87 – 103.

Steadman, D.W., Basler, W., Hocbrein, M.J., Klein, D.F. & Goodin, J.C. 2009. “Domestic Homicide Investigations: An Example from the United States”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 351 – 362.

Steele, C. 2008. “Archaeology and the Forensic Investigation of Recent Mass Graves: Ethical Issues for A New Practice of Archaeology”. Archaeologies 4: 414 – 428. Sterenberg, J. 2009. “Dealing with the Remains of Conflick: An International Response to Crimes Against Humanity, Forensic Recovery, Identification, and Repatriation in the Former Yugoslavia”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 416 – 425.

Stover, E. & Ryan, M. 2001. “Breaking Bread with the Dead”. Historical Archaeology 35: 7 – 25.

Suriyanto, R.A. 2008. “Beberapa Ukuran Antropometris Lengan, Tangan, Tungkai dan Kaki untuk Penduga Tinggi Badan dalam Kasus-kasus

68 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

Forensik: Kajian teoretis dan Rekomendasi Berperspektif Indonesia dalam Antropologi Forensik”. Majalah Biomorfologi XXI: 41 – 56.

Suriyanto, R.A. 2012. “Mengenang Sang Perintis dan Tokoh Paleoantropologi Indonesia Prof. Dr. T. Jacob, M.S., M.D., D.Sc.: Paleoantropologi Indonesia dan Nasionalisme”, dalam T. Koesbardiati & R.A. Suriyanto (eds.) 3 Begawan Antropologi Biologis Indonesia: Ilmu, Aksi, dan Nasionalisme. Surabaya: Airlangga University Press. Hlm. 3 – 84.

Thompson, T. 2001. “Legal and Ethical Considerations of Forensic Anthropological Research”. Science & Justice 41: 261 – 270.

______2003. “Supply and Demand: the Shifting Expectations of Forensic Anthropology in the United Kingdom”. Science & Justice 43: 183 – 186.

Tuller, H. & Đurić, M. 2006. “Keeping the Pieces Together: Comparison of Mass Grave Excavation Methodology”. Forensic Science International 156: 192 – 200.

Tuller, H.H. 2012. “Mass Graves and Human Rights: Latest Development, Methods, and Lessons Learned”, dalam D.C. Dirkmaat (ed.) A Companion to Forensic Anthropology, 1st ed. Chichester: Blackwell Publishing Ltd. Hlm. 157 – 174.

Ubelaker, D.H. 2009. “Historical Development of Forensic Anthropology: Perspectives from the United States”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 76 – 86.

Untoro, E. & Atmadja, D.S. 2012. “Pengalaman Pemeriksaan Antropologi Forensik dalam Mengidentifikasi Sisa-sisa Tulang Belulang Tentara Jepang yang Gugur Pada Masa Perang Dunia ke-2 di Papua Barat dan Makassar, Indonesia (Periode 1999 – 2009)”, dalam M.D. Artaria & F.N. Ariningsih (eds.) Bunga Rampai Antropologi Ragawi: 80 Tahun Prof. Dr. Habil. Jozef Glinka SVD. Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Hlm. 101 – l12.

Wright, R. & Hanson, I. 2009. “How to Do Forensic Archaeology Under the Auspices of the United Nations and Other Larger Organizations”, dalam S. Blau & D.H. Ubelaker (eds.) Handbook of Forensic Archaeology and Anthropology. Walnut Creek: Left Coast Press. Hlm. 468 – 478.

Wright, R., Hanson, I. & Sterenberg, J. 2005. “The Archaeology of Mass Graves”, dalam J. Hunter & M. Cox (eds.) Forensic Archaeology: Advances in Theory and Practice. New York: Routledge. Hal.: 137 – 158.

Arkeologi Forensik : Perkembangan dan Capaiannya di Indonesia 69 (Rusyad Adi Suriyanto)

70 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 045-070

ARTEFAK PERUNGGU PRASEJARAH SITUS PASIR ANGIN BOGOR: HUBUNGANNYA DENGAN ASPEK SUMBER BAHAN PREHISTORIC BRONZE ARTIFACTS FROM PASIR ANGIN SITE, BOGOR: ITS CORRELATION TO THEIR MATERIAL SOURCES

Sudarti Prijono Balai Arkeologi Jawa Barat [email protected]

ABSTRACT Pasir Angin site is located in the western part of Java Island kept many artifacts coming from metal materials bronze. Bronze at the site was found in context as a means or equipment worship ancestral spirits. The context also shows that Bronze at the time it was considered a luxury item, and community allegedly Pasir Angin was first exposed to goods of metal materials that are the result of high technology. On this site can not be found the remains of bronze production, so it alleged that no local production of bronze artifacts, but to come from surplus areas such objects and how spreading. Through metallographic analysis showed that bronze objects Pasir Angin site making techniques have similarities with the Dong Son bronze objects. In addition, there were traces of shipping and commercial activities that have ever taken place between the Chinese in this case with Indonesia Dong Son bronze objects strengthens the case originated from the region. Thus the site became Pasir Angin setrategis region that gave birth to early civilizations utilization of high technology. The findings of bronze objects on this site strengthens the case that Java has entered International network since the perundagian.

Keywords: Bronze, Row Materials, Distribution

ABSTRAK Situs Pasir Angin yang terletak di Pulau Jawa bagian barat banyak menyimpan artefak berasal dari bahan logam perunggu.Perunggu di situs ini ditemukan dalam konteknya sebagai sarana atau perlengkapan pemujaan arwah leluhur.Konteks tersebut juga menunjukkan bahwa Perunggu pada pada masa itu dianggap sebagai barang mewah, dan diduga komunitas Pasir Angin pertama kalinya mengenal barang dari bahan logam yang merupakan hasil teknologi tinggi.Di situs ini tidak ditemukan sisa-sisa produksi perunggu, sehingga muncul dugaan bahwa artefak perunggu bukan produksi lokal melainkan di datangkan dari wilayah yang surplus benda tersebut dan bagaimana persebarannya.Melalui analisis metalografi dapat diketahui bahwa benda perunggu situs Pasir Angin mempunyai persamaan teknik pembuatan dengan benda perunggu Dong Son.Di samping itu adanya jejak-jejak pelayaran dan aktivitas perniagaan yang pernah berlangsung antara Cina dalam hal ini Dong Son dengan Indonesia memperkuat dugaan benda perunggu berasal dari wilayah tersebut.Dengan demikian situs Pasir Angin menjadi wilayah setrategis yang melahirkan peradaban awal pemanfaatan teknologi tinggi. Temuan benda perunggu di situs ini memperkuat dugaan bahwa wilayah Jawa telah masuk jaringan Internasional sejak masa perundagian.

Kata Kunci: Perunggu, Sumber Bahan, Persebaran

Tanggal masuk : 27 Februari 2016 Tanggal diterima : 31 Mei 2016

Artefak Perunggu Prasejarah Situs Pasir Angin Bogor :; 71 Hubungannya dengan Aspek Sumber Bahan (Sudarti Prijono)

PENDAHULUAN Nguyen akhir, yang mana periode ini merupakan transisi dari Neolitik ke Soegondo dan Aziz (1988: Jaman Perunggu (Kempers 305-324) dalam Rapat Evaluasi 1988:268). Jaman tersebut Hasil Penelitian Arkeologi III kemudian berlanjut pada jaman menyatakan bahwa hasil ekskavasi Perunggu tengah (1120 ± 100 SM), di Situs Prasejarah Pasir angin, yaitu periode Dong Dau. Pada jaman Kabupaten Bogor yang dilaksanakan ini alat-alat batu mulai digantikan oleh Pusat Penelitian Arkeologi dengan alat-alat berbahan campuran Nasional dan Ditlinbinjarah pada tembaga dan timah dengan tahun 1971-1975 menemukan data perbandingan 80 % Cudan 20 % Sn. arkeologi berupa artefak hasil Adapun jaman perunggu akhir di teknologi logam perunggu. Adapun Vietnam pada pertanggalan artefak perunggu yang dimaksud di radiokarbon 1095±120 SM, yaitu antaranya kapak, candrasa, boneka, tatkala jaman kebudayaan Go Mun. hiasan, bandul kalung (liontin), Periode ini juga disebutkan sebagai mangkuk serta temuan sisa logam perkembangan tingkat lanjut dari lain berupa terak besi. Keragaman tradisi pertukangan logam. Tradisi ini bentuk artefak tersebut, merupakan ditandai oleh berbagai jenis sebagian hasil teknologi yang peralatan perunggu berupa mata dianggap sebagai mekanisme pancing, mata lembing, mata panah, kultural manusia dalam upaya kalung, sabit, bejana, nekara, kapak, penyesuaian diri terhadap dan gelang (Soejono, 1992: 243). lingkungan alam. Dengan demikian, Perunggu Dong Son mulai muncul maka keragaman bentuk artefak saat ini atau disebut pula sebagai juga merupakan hasil budaya akibat jaman permulaan munculnya adanya penyesuaian terhadap pertukangan besi, namun perunggu lingkungan alam. Hal ini sesuai masih digunakan pada jaman-jaman dengan sebutan yang diberikan para berikutnya. Benda-benda perunggu ahli kepada komunitas Pasir Angin khususnya nekara yang ditemukan masa lalu sebagai kelompok di Indonesia menunjukkan manusia yang telah memiliki tingkat persamaan dengan temuan-temuan budaya yang tinggi. Kelompok di Dong Son baik bentuk maupun masyarakat ini telah memiliki pola hiasnya. Persebaran nekara keahlian untuk mengubah, perunggu secara geografis di menyebarkan, dan menggunakan Indonesia sangat luas antara lain di sumberdaya alam khususnya bijih , Jawa, Bali, dan Indonesia logam besi menjadi sarana hidup Timur (Bintarti, 1987: 20-30). sehari-hari, di samping alat-alat dari Periode awal logam di logam perunggu.Dalam kaitannya Indonesia disebut sebagai masa dengan tulisan ini logam perunggu perundagian. Dalam masa ini digunakan sebagai pokok bahasan. teknologi berkembang pesat dimulai Sementara itu, dengan penemuan-penemuan baru perkembangan teknologi logam berupa teknik peleburan, khususnya perunggu di Indonesia pencampuran, penempaan, tidak terlepas dari budaya perunggu pencetakan jenis-jenis logam. di Asia Daratan. Di Vietnam budaya Namun sebelumnya juga sudah perunggu telah berkembang sekitar dikenal adanya logam tembaga dan awal tahun 2000 SM, yaitu pada emas (Soejono, 1992: 218-226). periode Go Bang atau Phung Kedua jenis logam ini sangat mudah

72 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 071-082

dilebur. Titik lebur emas murni 1063 arterfak logam kususnya perunggu oC dan titik lebur tembaga 1083 oC adalah situs Pasir Angin. Terdapat keduanya merupakan logam lunak beberapa penyebutan mengenai dengan kekerasan sekitar 2,5-3 situs ini di antaranya berdasarkan skala mohs dan elastisitas dari pertanggalan radiokarbon yang kedua logam tersebut sekitar 27 dihasilkan situs berasal dari periode kg/cm2 sehingga mudah dibentuk. 4370 ± 1190 BP dan termuda 1050 ± Sifat lunak logam ini tidak 160 BP (Soegondo dan Aziz, 1988: mendukung untuk digunakan 311). Selanjutnya R.P Soejono sebagai senjata atau perkakas (1992) meletakkan Situs Pasir Angin logam yang bersifat keras. dalam periode Prasejarah Indonesia Perkembangan selanjutnya baru sebagai situs masa perundagian. beberapa ribu tahun kemudian Situs ini telah digunakan oleh setelah ditemukan teknik komunitas masa perundagian pembakaran, dan penuangan logam. dengan pola hidup menetap Sekitar tahun 4000 SM pengrajin (sedenter) dan menggunakan logam di Timur Tengah dan Asia teknologi logam yang lebih maju Tenggara berhasil memperbaiki sifat untuk memenuhi kebutuhan hidup. tembaga dengan mencampurkan Kemudian berdasarkan hasil unsur logam kedua yaitu arsenikum penelitian terhadap data artefak atau timah menjadi perunggu berupa manik-manik, tempayan dan (Hodges, 1968: 69). periuk dengan pola hias jala, tali, Kemahiran teknik atau serta duri ikan yang berada pada undagi logam di Indonesia satu kontek dengan artefak berlangsung beberapa abad perunggu berupa kapak seriti tipe sebelum Masehi dan dibuktikan Soejono IIA dan IIB, candrasa, melalui penemuan benda-benda tongkat disimpulkan bahwa artefak- perunggu dan benda logam lainnya artefak tersebut merupakan sarana yang oleh Van Heekeren (1958: 12- upacara (Anggraeni dan Due Awe, 20) dikenal dengan “Masa Perunggu 1988: 343). Selanjutnya mengacu dan Besi” (Bronze-Iron Age). pada monolit yang ada dipuncak Sejarah perkembangan bukit dan data artefak dari dalam logam menyebutkan bahwa tanah, yang konteks keletakan perunggu merupakan logam membujur atau menghadap ketimur campuran tertua yang telah arah bidang datar utama monolit, digunakan manusia (Hodges, maka situs Pasir Angin 1968:70-76). Campuran logam dikelompokan sebagai tempat tembaga dan timah ini ternyata pemujaan atau tempat upacara menghasilkan benda-benda yang pengagungan arwah leluhur lebih keras dan kuat. Surdia dan ( Sukendar, 1988: 368). Chiijiwa (1986: 40-43) menyatakan Teknologi logam masa bahwa perunggu adalah paduan perundagian di Situs Pasir Angin logam tembaga timah, dan biasanya merupakan suatu peningkatan ilmu kandungan timah kurang dari 15 %. pengetahuan manusia tentang Perunggu dengan timah kurang dari pemanfaatan teknologi. Hal ini 5 % berwarna kekuningan, diketahui dari hasil penelitian sedangkan kadar timah di atas 15 % yangmenunjukkan bahwa situs ini menjadi warna kuning-merah. memiliki artefak hasil teknologi yang Salah satu situs prasejarah di beragam dari jenis logam perunggu, Indonesia yang menghasilkan

Artefak Perunggu Prasejarah Situs Pasir Angin Bogor :; 73 Hubungannya dengan Aspek Sumber Bahan (Sudarti Prijono)

besi, alat batu, keramik, gerabah, 32) terhadap perunggu dari Situs dan logam lainnya (emas). Non Nok Tha dan Situs Ban Chiang Komunitas pendukung situs di Thailand. Melalui analisis tersebut Pasir Angin menggunakan perkakas jejak-jejak kegiatan proses logam perunggu, dan besi namun pembuatan artefak logam dapat tampaknya hanya artefak berbahan diketahui. Jejak-jejak tersebut besi yang diproduksi di situs ini. Hal tersimpan di dalam mikrostruktur ini dibuktikan dengan adanya dari artefak logam yang dianalisis, di temuan terak besi. Sedangkan antaranya berupa jejak proses artefak perunggu yang ditemukan pemanasan dan perlakuan teknik diduga bukan produksi lokal. Pada lainnya seperti penuangan, kondisi demikian masyarakat akan penempaan, pelunakan mendatangkan artefak perunggu dari (penganilan), penggilasan, dan daerah yang surplus komoditi gabungan dari perlakuan-perlakuan tersebut. tersebut yang telah digunakan oleh Untuk mengetahui sumber manusia (Fagan, 1991: 301-308; komoditi artefak perunggu dapat Prijono, 2006: 41). dilakukan dengan mempelajari teknologi pembuatan yang masih Analisis Gambar. 1 tersimpan di dalam artefak. Dalam Berasal dari sampel tangkai hal ini analisis metalografi dan kapak perunggu tipe Soejono IIA komposisi unsur logam dapat (seriti) merupakan hasil ekskavasi menjelaskan mengenai proses tahun 1972 di sektor LPXXII, kotak produksinya (Hodges,1968: 206- J5-H5, diperoleh gambar 218; Prijono, 2006:41). mikrostruktur yang diperbesar 350 kali, dan etsa menggunakan ANALISIS METALOGRAFI DAN campuran H2O2 (hydrogen KOMPOSISI UNSUR PERUNGGU peroksida), NH4OH (ammonium hidroksida), FeCl3 (ferry clorida). a. Analisis Metalografi Tampak pertumbuhan dendritis hasil Dalam sejarah metalurgi, proses penuangan pada suatu perunggu merupakan logam cetakan. Bundaran bulat berwarna campuran tertua yang pernah digunakan oleh manusia. Gambaran secara menyeluruh dari teknologi dan komposisi logam perunggu situs Pasir Angin diperoleh dari hasil pengujian metalografi. Analisis metalografi menurut Thomsons dalam “Science in Archaeology”, seperti dikutip oleh Prijono (2006: 39-54) menjelaskan Gambar 1. Hasil analisis metalografi kapak bahwa, mikroskop dapat digunakan perunggu tipe Soejono IIA (seriti) untuk mempelajari struktur logam situsPasir Angin dengan bentuk dendritis purba, dan secara bersamaan dalam fase-α. Sumber: dikutip dari Sudarti dalam mikrostruktur yang sama juga Forum Arkeologi No. 11. Th. 2006 memperlihatkan perlakuan baik Balai Arkeologi Denpasar pendinginan maupun penempaan coklat tua adalah molekul Pb (timbal) benda logam. Metode ini telah yang terdapat dalam campuran dipraktekkan oleh Smith (1973: 21- perunggu.

74 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 071-082

Analisis Gambar. 2 154-169). Metode ini dilaksanakan Berasal dari sampel Nekara berdasarkan kepada prinsip-prinsip perunggu tipe Heger I yang diketahui dasar absorbsi atau penyerapan merupakan hasil kebudayaan cahaya oleh atom-atom dari Dongson (Vietnam) dan ditemukan senyawa unsur logam yang di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat diperiksa. diperoleh gambar mikrostruktur yang Atom-atom bebas ini diperbesar 350 kali dari hasil analisis dihasilkan dari suatu senyawa atau metalografi, dan etsa menggunakan unsur-unsur logam yang terurai H2O2 (hydrogen peroksida), NH4OH ketika diberi energi (panas) akan (ammonium hidroksida), FeCl3 (ferry terserap. Cahaya yang diserap oleh clorida). Tampak hasil proses atom bebas dari unsur logam ini pemadatan menghasilkan dendritis berhubungan erat dengan tenaga larutan fase-α (warna coklat) yang dibutuhkan oleh suatu atom berukuran kecil, dan beberapa fase- untuk mencapai tingkat tenaga δ coklat keputihan) terisolasi. tertentu (Eo), dan pada panjang Partikel bulat dan bersudut berwarna gelombang tertentu (λ). Selanjutnya coklat tua berasal dari Pb (timbal). dengan menggunakan prinsip- Mikrostruktur yang sama juga prinsip hukum Lambert dan Beer, ditemukan pada hasil analisis yaitu apabila suatu cahaya metalografi sampel perunggu Heger monokromatis dilewatkan melalui IV dari Waleri dan tongkat perunggu suatu media yang transparan atau dari situs Pasir Angin. tembus pandang, maka menurunya intensitas cahaya yang dipancarkan sebanding dengan bertambah tebalnya dan kepekatan dari media yang digunakan, serta dirumuskan menjadi sebagai berikut: Absorbansi (A) = KLC K : koefisien tetap L : panjang media C: konsentrasi (banyaknya) atom dari unsur logam atau Gambar 2. Hasil analisis metalografi senyawa yang ditentukan. artefak perunggu dari nekara tipe Heger Dalam prakteknya, besaran K dan L I (Kuningan) dengan bentuk dendritis selalu tetap, sehingga cara fase-δ, terbentuk sebagai akibat adanya segregasi/pemisahan pada saat termudah dalam penggunaan pembekuan, umumnya ditemukan pada metode ini adalah dengan jalan bentuk perhiasan dan benda cetakan mengukur absorbansi larutan Sumber: dikutip dari Sudarti dalam tesis standar yang diketahui jumlah S2 Arkeologi FIB, UI. Th. 1999.Hal: 119. kepekatan (persentase) unsurnya, sehingga menghasilkan kurva standard. Selanjutnya absorbansi b. Analisis Komposisi Unsur Penentuan komposisi unsur sampel yang belum diketahui perunggu dilakukan dengan analisis komposisinya dibandingkan dengan absorbansi standard. Pelaksanaan kimiawi melalui metode spektrofoto- metri serapan atom (Atomic analisis ini dilakukan di Laboratorium Absosrption Spectrophotometries) Kimia Mineral, Pusat Penelitian disingkat AAS (Bassett dkk (1979: Pengembangan Teknologi Mineral, Departemen Pertambangan dan 810-813 ; Aziz dan Sudarti, 1998 :

Artefak Perunggu Prasejarah Situs Pasir Angin Bogor :; 75 Hubungannya dengan Aspek Sumber Bahan (Sudarti Prijono)

Energi, memperoleh data komposisi (insol) dan CuO (tembaga oksida) = unsur perunggu masa perundagian 47,48 %. Dilihat dari tingginya dari artefak tongkat dan kapak tipe kandungan timah putih dapat Soejono IIA dari Pasir Angin, nekara dikategorikan perunggu ini sangat Heger I dari Kuningan dan Heger IV keras diduga digunakan sebagai dari Waleri seperti tabel berikut ini. sarana yang bersifat profan atau

Tabel 1. Komposisi Artefak Perunggu Situs Pasir Angin N Nama Unsur Tongkat Kapak Lempen Heger-I Heger-1 Heger-IV o Tipe IIA g Bogor Kuningan Waleri 1 Cu (tembaga) 19, 31 % 35, 70 % 45,70 % 87, 20 % 67,15 % 76,14 % 2 Sn (timah) 7, 49 % 15, 21 % 13,42 % 3,76 % 12,65 % 13, 36 % 3 Pb (timbal) 42, 19 % 1, 26 % 21,33 % 8,53 % 12,50 % 9,91 % 4 Zn (seng) 0, 07 % 0, 216 % 0,07 % 0,01 % 0,02 % 0,06 % 5 Fe (besi) 0, 63 % 0, 20 % 0,34 % 0,17 % 2,01 % 0, 23 % 6 Co (cobalt) Tt tt 0,16 % tt Tt tt 7 Bi (bismut) Tt 0, 042 % 0,15 % tt Tt tt 8 Ni (nikel) tt tt tt 0,13 % 0,01 % 0, 01 % 9 SiO2 insol 30, 31 % 47, 37 % 12,94% 0,20 % 5,66 % 0, 29 % Jumlah 100,00 % 99,998 % 100 % 100 % 100 % Sumber: dikutip dari Sudarti, 1999

Berdasarkan hasil analisis untuk memenuhi kebutuhan hidup metalografi diperoleh simpulan sehari-hari, namun jika dilihat dari bahwa pada dasarnya teknologi kandungan SiO2 (insol) dan CuO pembuatan artefak perunggu situs yang tinggi memberikan gambaran Pasir Angin dilakukan dengan teknik bahwa perkakas perunggu ini sudah penuangan pada cetakan. Adapun mengalami perusakan lanjut. untuk artefak berupa kapak Berlatar pada temuan dilanjutkan dengan teknik tersebut diperoleh gambaran bahwa penempaan. Untuk artefak nekara artefak dibuat dengan cara yang perunggu Dongson dihasilkan sederhana dengan cetakan yang melalui teknik penuangan pada terbuat dari campuran tanah liat dan cetakan tanpa dilanjutkan dengan pasir, serta artefak terkubur di dalam teknik penempaan. Adapun jika tanah dengan tingkat keasaman ditinjau dari komposisi unsurnya yang tinggi. Namun dapat pula perunggu nekara Dongson berasal dari bahan baku yang mempunyai tiga unsur logam digunakan bukan berasal dari penyusun utama, yaitu Cu campuran tembaga, timah, dan (tembaga), Sn (timah), dan Pb timbal siap pakai, melainkan berasal (timbal),demikian pula perunggu dari batuan mineral alam yang situs Pasir Angin juga tersusun dari dicampur dan dilelehkan, atau tiga unsur utama, tembaga, timah, berasal dari bahan daur ulang untuk timbal kecuali kapak IIA yang hanya dijadikan barang baru (Sudarti, tersusun dari dua unsur utama. 1998).Terkait dengan hasil analisis Besaran komposisi unsur perunggu tersebut permasalahan yang muncul Pasir Angin mengandung unsur insol adalah mengenai keberadaan SiO2 insol yang sangat besar, artefak perunggu di situs Pasir misalnya pada artefak kapak IIA Angin. Sementara sisa-sisa produksi dengan komposisi, campuran SiO2 logam tersebut tidak ditemukan, dan

76 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 071-082

cadangan tembaga di Jawa baru mekanisme pelayaran dan ditemukan setelah PT Aneka perdagangan di laut Jawa, sudah Tambang pada tahun 1974 meneliti dimulai sekitar awal abad ke-3 SM. deposit tembaga dengan kadar 0,34 Waktu itu Indonesia () % Cu (tembaga), 1,99 % Pb (timbal), telah mengadakan hubungan dan 4,05 % Zn (seng)yang terletak di dengan Asia Tenggara. Gunung Limbung, Kabupaten Ditemukannya artefak perunggu di Sukabumi (Supiyem, 1985: 30). situs Pasir Angin juga memberikan Berdasarkan data tersebut maka gambaran bahwa benda-benda dapat dikatakan bahwa artefak tersebut bukan produksi lokal perunggu didatangkan dari daerah melainkan telah dibawa dari tempat yang surplus komoditi tersebut atau asalnya ke wilayah situs. Dalam hal sebagai komoditi yang ini apakah sebagai cinderamata diperdagangkan, serta dari mana (persembahan) oleh pendatang berasal. asing atau merupakan komoditi yang Hal tersebut dapat dibuktikan diperdagangkan (barter) dengan melalui beberapa sumber. Diketahui barang yang dihasilkan oleh bahwa sebaran nekara perunggu masyarakat lokal. Untuk membahas tipe Heger I di Indonesia sangat luas permasalahan tersebut diperlukan mulai dari Sumatra hingga Indonesia suatu pendekatan. Dalam hal ini Bagian Timur. Nekara perunggu pendekatan yang digunakan adalah yang ditemukan di Jawa umumnya pendekatan ekonomi yang pernah nekara tipe Heger I, kecuali dua berlangsung pada masa prasejarah buah yang ditemukan di Banten dan di situs Pasir Angin. Waleri tipe Heger IV. Hal ini Mengacu kepada Soni menimbulkan dugaan tentang Wibisono (1991: 21-32), bahwa adanya hubungan budaya yang tindakan ekonomi bersumber pada berkembang di Dong Son dengan di problem untuk memenuhi kebutuhan Indonesia (Soejono, 1992: 234). dasar dan problem meraih kepuasan atas keinginan. Apabila pengertian KERANGKA PEMIKIRAN tersebut dijabarkan, akan diperoleh jenis kebutuhan, yaitu untuk Dalam ilmu ekonomi dikenal memuaskan dorongan biologis yang dua kegiatan, yaitu ekonomi bersifat material (makan, tempat subsistensi dan ekonomi pasar. tinggal), dan kebutuhan yang Ekonomi subsisten ialah ekonomi bersifat psikologis (keagamaan, yang terselenggara dengan pengakuan), serta kebutuhan untuk melakukan produksi untuk mendapatkan keuntungan. Dalam kebutuhan sendiri, sedangkan hal ini lingkungan menjadi fisik yang ekonomi pasar terjadi sebagai akibat dipandang sebagai sumber pertama terciptanya hubungan antara dua untuk memenuhi kebutuhan material pihak karena adanya penawaran (makan, sandang, papan, dan (supply) dan permintaan (demand) peralatan). Kecenderungan ini sehingga terjadilah kebutuhan dan menyebabkan lingkungan akan transaksi (Wibisono, 1991: 23). dipandang sebagai suatu yang Proses tersebut dapat ditelusuri terbatas meskipun menyediakan melalui bukti-bukti arkeologi. segalanya, dan sampai pada suatu Sumber-sumber sejarah dan saat tidak dapat memenuhi etnografi menggambarkan bukti- keinginannya. Manakala terjadi bukti arkeologi mengenai ketaktersediaan barang yang

Artefak Perunggu Prasejarah Situs Pasir Angin Bogor :; 77 Hubungannya dengan Aspek Sumber Bahan (Sudarti Prijono)

diinginkan, maka manusia akan pelayaran dan perdagangan di Asia berbuat sesuatu yang ekonomis. Di yang dibuktikan dengan ditemukan sini akan terlihat bahwa proses adanya kapal-kapal dagang yang ekonomi diikuti dengan aktivitas tenggelam dengan barang komoditi manusia, sehingga dapat diartikan sebagai muatannya seperti keramik cara manusia sebagai individu asal Cina, Thailand, dan Vietnam, dalam memecahkan masalah ada serta logam yang diidentifikasi batasnya, dan apabila untuk sebagai benda berbahan emas, mendapatkan barang tidak terpenuhi perunggu, besi, tembaga, dan timah di lingkungannya, manusia (Widiati, 2007: 21). memerlukan pasokan dari manusia Sementara Santoso lain baik berasal dari dalam maupun Soegondo (1991: 33-42) dalam luar kelompoknya. Dalam kaitannya Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II, dengan pernyataan tersebut jilid 1, bahwa kehidupan ekonomi kemudian muncul bentuk masyarakat prasejarah bersangkut perekonomian yang saling paut dengan segala keperluan atau bergantung satu sama lain. Problem kehidupan sehari-hari, serta kelangkaan dalam pemenuhan tergantung pada keadaan kebutuhan atau keinginan ini lingkungan, teknologi, dan sistem menempatkan manusia untuk bertempat tinggal. Oleh karena itu melakukan tugas-tugas dan kegiatan uraian tentang kehidupan ekonomi pokok, yaitu memproduksi barang masyarakat prasejarah meliputi a) dan jasa, dan mengatur kehidupan ekonomi masyarakat pendistribusiannya. Melalui cara- yang masih berada dalam taraf cara tersebutlah manusia memenuhi kehidupan berburu dan kebutuhannya. Dengan kata lain mengumpulkan makan; b) ekonomi berhubungan erat dengan kehidupan ekonomi masyarakat aspek-aspek kehidupan manusia yang telah mengenal cara-cara memproduksi barang dan jasa, serta bercocok tanam; c) kehidupan pendistribusiannya (Heilbroner, ekonomi masyarakat yang berada 1982: 16-19). dalam taraf kemajuan teknologi. Berkaitan dengan pokok bahasan PEMBAHASAN dalam tulisan ini maka hanya butir c) yang akan digunakan untuk Timbul Haryono (1994: 175) menguraikan mengenai hubungan seperti dikutip oleh Sudarti antara artefak perunggu dan (1999:138), bahwa perdagangan perekonomian masyarakat Pasir logam timah, perak, dan tembaga Angin pada masa prasejarah. telah menjadi salah satu aspek Sebagian besar artefak penting dalam kegiatan logam ditemukan pada waktu perekonomian sejak jaman kegiatan ekskavasi di situs dengan perunggu di Asia Barat Daya karakteristik penguburan atau setidak-tidaknya sejak millennium pemujaan, sehingga memberikan ke-3 dan ke-2 SM. Para ahli gambaran bahwa pada masa itu menduga bahwa timah yang perunggu mempunyai peranan yang digunakan di wilayah tersebut di penting dalam kehidupan sosial datangkan dari daerah Asia masyarakatsebagai sarana untuk Tenggara, dan sampai di situs memenuhi kebutuhan hidup pada bagaimana pendistribusiannya. Di masa itu. Sementara lain nekara perairan Nusantara melengkapi

78 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 071-082

diketemukan dalam kontek ditemukan di Nusantara, baik perniagaan. berasal dari dalam maupun luar Pernyataan tersebut dapat Nusantara. Sejak era prasejarah dibuktikan dengan ditemukannya peradaban telah tumbuh di berbagai sejumlah nekara di wilayah Maluku belahan dunia dan seiring dengan yakni di kepulauan Gorom dan tumbuhnya pusat-pusat peradaban wilayah Kei Kecil, yang merupakan muncul jaringan perdagangan untuk komoditi niaga atau mungkin memenuhi kebutuhan terhadap sebagai alat tukar (Handoko, 2010: berbagai komoditi (Olson, 2004:140; 69). Keberadaan nekara di wilayah Handoko, 2010:70). Kehadiran ini diduga berkaitan dengan nekara dan bejana perunggu perdagangan rempah-rempah. Sejak Dongson di wilayah Jawa Barat masa silam Maluku sudah dikenal seperti di Kuningan, Bogor, dan sebagai penghasil rempah-rempah Subang. Sebaran nekara Dongson dan kayu cendana. Komoditi ini juga ditemukan di berbagai wilayah menarik bagi pedagang-pedagang Nusantara, ini menegaskan bahwa asing di antaranya yang datang dari sejak masa prasejarah terutama Dong Son. Sementara pendagang pada tingkat perundagian, ribuan dari Dong Son membawa produk tahun lalu telah ada aktivitas niaga budaya mereka, yaitu nekara. dan benda berbahan perunggu Nekara, sebagai barang hasil merupakan suatu komoditi yang teknologi tinggi dan dianggap diperdagangkan dan mempunyai sebagai barang mewah dan tinggi nilai ekonomi tinggi pada masa nilainya. Temuan nekara di pulau tersebut. Hal ini diperjelas dengan inimenegaskan bahwa kontak pernyataan Soejono, bahwa budaya pernah berlangsung sejak hubungan antara Cina khususnya masa itu. Vietnam dan kawasan Nusantara Untuk memenuhi kebutuhan telah terjadi sejak sebelum abad hidup alam menyediakan pertama Masehi (Soejono (1992 : sumberdaya yang dapat 243). dimanfaatkan, tetapi kemudian Untuk menjelaskan hal meluas menjadi kebutuhan sosial, tersebut di antaranya melalui hasil karena manusia tidak pernah puas analisis metalografi terhadap artefak menikmati hasil produksinya sendiri. perunggu kapak dan tongkatsitus Adanya aktivitas tersebut mulailah Pasir Angin, ternyata diketahui sama apa yang disebut produksi dengan teknologi yang digunakan kebutuhan barang-barang untuk untuk membuat nekara tipe Heger I memenuhi fungsi sosial, sehingga dari Dong Son, yaitu melalui teknik menimbulkan permintaan yang penuangan dan pencetakan. didukung adanya keahlian dan Perbedaan terletak pada komposisi bahan (Prijono, 2013: 137). Apabila unsur logam penyusun, yaitu cara tersebut tidak terpenuhi, perunggu dari Pasir Angin manusia berusaha mendatangkan mempunyai kandungan timah (Sn) dari wilayah yang surplus barang dan timbal (Pb) yang tinggi. Hal ini tersebut. disebabkan karena adanya Distribusi barang dari tempat perbedaan fungsi dari benda produksi ke tempat pemakainya perunggu tersebut, serta adanya dapat ditelusuri melalui bukti-bukti dugaan sebagai produksi daur arkeologi. Berbagai tinggalan ulang. Sehingga memerlukan budaya bercirikan komoditi penambahan timah (Sn) sebagai

Artefak Perunggu Prasejarah Situs Pasir Angin Bogor :; 79 Hubungannya dengan Aspek Sumber Bahan (Sudarti Prijono)

pengeras, dan timbel untuk posisi geografisnya melahirkan mempermudah proses penuangan. suatu peradaban awal pemanfaatan Bukti lainnya adalah teknologi tinggi, di mana hubungan ditemukannya jejak-jejak pelayaran kultural di antara bangsa bertemu. kuna melalui berbagai bentuk Melalui perantara pelayaran visualisasi perahu baik pada seni antar pulau di Nusantara (Indonesia) lukis yang diterapkan pada dinding- menumbuhkan subsistem yang dinding cadas di pantai maupun menopang tumbuhnya pelabuhan- pada dinding-dinding gua. pelabuhan transito sehingga nekara Ditemukannya pahatan dan lukisan dan benda perunggu lainnya berbentuk perahu di dinding gua-gua menyebar dan menjadi sumber purba di Sulawesi Tenggara dan bahan baku perunggu di beberapa Selatan, serta Papua pulau di Nusantara. menggambarkan perahu sebagai Adanya penemuan artefak sarana transportasi (Sukendar, perunggu di situs Pasir Angin 1998/1999: 21-23; Liebner, 2005: dengan teknik pembuatan yang 53-58). Ini memberikan gambaran, sama dengan perunggu Dong Son bahwa perahu memegang peranan memperkuat bukti bahwa sumber penting pada masa itu terutama artefak perunggu berasal dari sebagai sarana transportasi, dan wilayah tersebut. Di samping itu juga tidak tertutup kemungkinan adanya merupakan sebagian bukti yang benda-benda komoditi berupa bahan memperkuat dugaan bahwa wilayah makanan, hasil pertanian, gerabah, Jawa telah masuk dalam struktur perunggu, dan lain-lain telah dibawa Jaringan perdagangan Nusantara dalam pelayarannnya. dan Internasional. Bukti lain adanya perdagangan antara Indonesia dan Catatan: Tulisan ini merupakan Cina juga ditemukan dalam pahatan pengembangan dengan perbaikan perahu di sebuah dinding kubur batu judul dan sebagian isi makalah yang dari Dinasti Han abad pertama disampaikan pada Seminar Forum masehi. Demikian pula pada masa Peneliti Kementerian Pendidikan dan Dinasti Han tampaknya perahu- Kebudayaan di Balikpapan tahun perahu Cina sudah hilir mudik dari 2013, dan belum diterbitkan. Cina ke Indonesia, yang dibuktikan dengan ditemukanya keramik masa Han di Sumatera. Ini membuktikan bahwa pada masa itu sudah ada aktivitas perdagangan antara Cina dan Indonesia (Bellwood, 1985: 272- 289). Peluang ini tidak menutup kemungkinan, bahwa perunggu juga merupakan salah satu komoditi yang diperdagangkan.

KESIMPULAN

Situs Pasir Angin, sejak masa prasejarah khususnya perundagian ribuan tahun lalu, telah menjadi wilayah setrategis dengan

80 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 071-082

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Nies dan Rokhus Due Awe, 1988. “Unsur Budaya Pasir Angin” dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 339-355 Aziz, Fadhilla Arifin dan Sudarti. 1997/1998. “Komoditi Pertukaran Bahan Baku ada Awal Masehi di Bali” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII. Jilid I. Jakarta: Proyek Penelitian Arkeologi. Hlm. 154-169. Bassett, Jet all, 1979. Vogel’s Textbook of Quantitative Inorganic Analysis - Beccles and London - Willian Clowea & Sons Limited. Bellwood, Peter. 1985. Prehistory of The Indo-Malaysian Archipelago - Australia: Academic Press. Bintarti, D. D. 1987.Bronze Kattledrums in Burial Contex in Indonesia, XVII Pasific Science Congress, Seoul, Korea. Fagan, Brian. 1991. In The Begining, An Introduction - New York - R. R. Dennelley & Sons Company. Handoko, Wuri. 2010. “Jejak Perdagangan Internasional Maluku Masa lampau Dalam Perspektif Ekonomi dan Politik”. Proceeding. Perdagangan, Pertukaran dan Alat Tukar Di Nusantara dalam Lintasan Masa.Bandung, 22-24 Juni 2010.Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Hlm. 69-78. Haryono, Timbul. 1994. Aspek Teknis dan Simbolis Artefak Perunggu Jawa Kuno abad XII-X. Disertasi, untuk Memperoleh Derajat Doktor dalam Ilmu Sastra pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hodges, Henry. 1968. Artifact. An Introduction to Early Materials and Tecnology. Third Impression. Pall Mall London: John Bakar Publishers. Heekeren, H. R. Van.1958. The Bronze-Iron Age of Indonesia, S. Cravenhage- Martinus, Nijhoff. Heilbroner, Robert. L. 1982. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi. terjemahan Sutan Dianjung. Jakarta: Ghalia Indonesia. Kempers, Bernet. A. J. 1988. The Kattledrum of Southeast Asia. G. J. Barstra (editor). AA Balkena/Rotherdam/Bookfield: Modern Quarternary. Liebner, Horst H. 2005. “Perahu-Perahu Tradisional Nusantara Suatu Tinjauan Sejarah perkapalan dan Pelayaran”. Eksplorasi Sumberdaya Budaya Maritim. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia bekerja sana dengan Universitas Indonesia. Olson. Steve. 2004. Mapping Human History: gen, Ras dan Asal-Usul Manusia . Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Prijono, Sudarti. 2006. Pemaanfaatan Analisis Metalografi Dalam Identifikasi Perunggu Masa perundagian.Dalam Forum Arkeologi No.II/Oktober 2006. Hal 39-54 Prijono, Sudarti. 2013. “Sumberdaya Alam Situs Keramat Teluk, Kecamatan Blambangan Pagar Kaitannya Dengan Aspek Perdagangan”. Prosiding

Artefak Perunggu Prasejarah Situs Pasir Angin Bogor :; 81 Hubungannya dengan Aspek Sumber Bahan (T.M. Hari Lelono)

Seminar Nasional Dalam Rangka 100 Tahun Purbakala. Bandung 26-28 Agustus 2013. Jatinangor: Alqaprint. Hlm. 135-146. Smith, Cyril Stanley. 1973. Bronze Tecnology in the East: Amettalurgical Study of Early Thai Bronzes with Some Specullations on the Cultural Transformation of Tecnology. In M. Teich and R. Young (ed). Changed Perspectives, in the History of Science. Essay in Honor of Joseph Needam. Soegondo, Santoso dan Budi Santoso Aziz. 1988. “Pasir Angin dan Hubungannya Dengan Situs Prasejarah di Jawa Barat”. Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 305-325 Soegondo, Santoso. 1991. “Kehidupan Ekonomi Masyarakat Prasejarah di Indonesia”. dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm : 33-42. Soejono. R.P (ed). 1992. Sejarah Nasional Indonesia, jilid I, Jakarta: Balai Pustaka

Sudarti. 1999. Teknik Pembuatan Artefak Perunggu Prasejarah Masa Perundagian di Jawa dan Bali. Tesis S2. Program Pascasarjana. Jakarta: Universitas Indonesia Sukendar, Haris.1998/1999. Pustaka Wisata Budaya Perahu Tradsional Nusantara. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Supiyem, Ir (ketua). 1985. Kajian Tembaga, Bandung, Pusat Pengembangan Teknologi Mineral, Direktorat Jenderal Petambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi. Surdia, Tata dan Kenji Chiijiwa.1986. Teknik Pengecoran Logam, Cetakan Kelima. Jakarta: Pt. Pradnya Paramita Wibisono, Soni. Crh, 1991. “Subyek dan Obyek Studi Arkeologi Ekonomi”. Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II. Jilid 1. Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 21-32 Widiati, 2007. Ragam Temuan Dari Situs Kapal Tenggelam Perairan Cirebon, Jawa Tengah.Dalam Jurnal Arkeologi Bawah Air. Vol. 1/2007. Hlm. 16-25

82 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 071-082

ASPEK BIOKULTURAL SISA RANGKA MANUSIA DARI SITUS LIANGAN, TEMANGGUNG, JAWA TENGAH

BIOCULTURAL ASPECT OF HUMAN REMAIN FROM LIANGAN SITE, TEMANGGUNG, CENTRAL JAVA

Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta [email protected]

ABSTRACT In 2013, Center for Archaeological Research of Yogyakarta has found a human remain in Cluster F, Liangan site, Temanggung, which named as individual of Liangan F1. This study tries to reveals biological and cultural aspects which recorded on this remain by bioarchaeological approach. Biological aspects are including; age estimation, sex determination, population affinity, and pathology or health condition. Meanwhile, cultural aspects are including antemortem cultural practice which associated to dental modification, and perimortem taphonomy as evidence of funeral practices or burial procedures. Study on human remains from Liangan settlement site of Ancient Mataram Kingdom has opened our knowledge to understanding culture and human behavior which develop during the historical period of 9th-10th century AD in Java.

Keyword : Biocultural Aspect, Human Remain, Old Mataram, Liangan

ABSTRAK Pada tahun 2013, Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan sisa rangka manusia di Kluster F situs Liangan, Temanggung, yang kemudian dinamakan individu Liangan F1. Penelitian ini berusaha mengungkap aspek biologis dan kultural yang terekam pada individu Liangan F1 dengan menggunakan pendekatan bioarkeologi. Aspek biologis yang diungkap mencakup estimasi usia, penentuan jenis kelamin, afinitas populasi, dan patologi atau kondisi kesehatan. Sedangkan aspek budaya mencakup kebiasaan modifikasi pada saat antemortem yang terkait dengan gigi, dan bukti tafonomi perimortem seperti praktek pemakaman atau tata cara penguburan. Studi sisa rangka manusia dari situs permukiman Mataram Kuna-Liangan ini telah membuka cakrawala kita dalam memahami budaya dan pola tingkah laku manusia yang berkembang pada masa Klasik abad 9 - 10 M di Jawa.

Kata Kunci : Aspek Biokultural, Rangka Manusia, Mataram Kuna, Liangan

Tanggal masuk : 11 Januari 2016 Tanggal diterima : 31 Mei 2016

Aspek Biokultural Sisa Rangka Manusia dari Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah 83 (Sofwan Noerwidi)

PENDAHULUAN tersebut situs Liangan seperti “dilupakan” oleh para peneliti. Situs permukiman Mataram Penelitian intensif di situs Kuna di Liangan secara administratif Liangan baru dimulai sejak tahun terletak di Dusun Liangan, Desa 2008, setelah ditemukan struktur Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, talud, komponen batu candi, dan Kabupaten Temanggung. Secara arca akibat aktivitas penambangan geografis, situs ini terletak di lereng yang terletak lebih ke sebelah hulu, tengah sebelah timur laut Gunung tidak jauh dari lokasi penemuan Sindoro pada ketinggian di antara pada tahun 2000. Signifikansi situs 1.100-1.200 meter dpl. Indikasi Liangan semakin jelas setelah keberadaan situs Liangan pertama ditemukannya bangunan candi pada kali dilaporkan oleh seorang warga tahun 2009. Secara umum kepada Balai Arkeologi Yogyakarta berdasarkan hasil penelitian Balai pada tahun 2000, yang menemukan Arkeologi Yogyakarta, dapat susunan memanjang balok-balok diketahui bahwa situs Liangan batu (Rangkuti dan Tjahjono, 2000). merupakan situs permukiman yang Namun, setelah berita penemuan kompleks dan menempati area luas

Gambar 1. Lokasi Penemuan Sisa Manusia di Situs Liangan, Kluster F (Dok. Tim Penelitian, 2013)

84 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 083-098

yang terdiri atas; area peribadatan, perlapisan pengendapan batuan di area hunian, dan area pertanian. sekitarnya yang didominasi oleh Berdasarkan bukti-bukti pasir krikilan, materi hasil pertanggalan relatif dan absolut, sedimentasi lahar dingin gunung api situs Liangan ditempatkan pada Sindoro (Gambar 2). Berdasarkan kerangka kronologi masa Mataram konteksnya, fitur (kubur ?) manusia Kuna, sekitar kurun abad 9 – 10 ini berkedudukan pada ketinggian Masehi (Riyanto, 2011). yang sama dengan tanah Pada tanggal 5-6 Juli 2013 permukaan pondasi bangunan yang telah dilakukan kegiatan ada di sebelahnya. Hal ini penyelamatan sisa rangka manusia mengindikasikan bahwa fitur di situs permukiman Mataram Kuna, tersebut berasal dari rentang budaya Liangan yang dilakukan oleh yang sejaman dengan permukiman Siswanto dan Sugeng Riyanto dari Mataram Kuna Liangan, sekitar abad Balai Arkeologi Yogyakarta. 9-10 Masehi. Kegiatan ini berhasil mengumpulkan, Hingga saat ini masih sedikit untuk kemudian menyelamatkan temuan rangka manusia dari periode satu matrik sisa rangka manusia klasik (Hindu-Buddha) di Indonesia. yang kemungkinan besar berasal Dengan penemuan ini membuat sisa

Gambar 2. Penemuan Individu Liangan F1 di Lokasi Penambangan Pasir (Dok. Tim Penelitian, 2013) dari suatu fitur penguburan. Untuk manusia dari situs Liangan memiliki kepentingan identifikasi, maka sisa kedudukan yang cukup penting rangka tersebut diberi nama individu untuk mengungkap aspek biokultural “Liangan F1”, yang berarti rangka kehidupan masyarakat pada masa manusia dari situs Liangan, Jawa Kuna. ditemukan di Kluster F (lihat Gambar 1), dengan nomer urut individu 1. METODE DAN TEKNIK ANALISIS Sisa manusia ini ditemukan dalam suatu matrix tanah lempung Penelitian ini menggunakan pasiran berwarna coklat kehitaman, metode bioarkeologi, yaitu studi yang merupakan ciri tanah organik mengenai sisa rangka manusia yang (paleosol). Matrix tersebut berasal dari konteks arkeologi membentuk suatu fitur yang (White dan Folkens, 2005). Metode bentuknya tidak selaras dengan ini dipilih karena rangka manusia

Aspek Biokultural Sisa Rangka Manusia dari Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah 85 (Sofwan Noerwidi)

yang dipelajari berasal dari situs diamati adalah endocranial, arkeologis permukiman Mataram sedangkan bagian ectocranial masih Kuna – Liangan. Sifat penelitian terbungkus matrix (Gambar 3). dalam tulisan ini adalah deskriptif Terdapat dua tulang yang dapat analitis, yang berusaha diamati yaitu fragmen bagian mendeskripsikan karakter morfologi superior tulang occipital dan fragmen dan morfometri yang masih tersisa bagian posterior tulang parietal dari rangka manusia Liangan untuk kanan yang keduanya masih kemudian dianalisis dengan disatukan dengan lamdoidal suture. pendekatan-pendekatan dalam bioarkeologi. Aspek-aspek yang dibahas dalam tulisan ini adalah aspek biokultural, yang meliputi aspek biologis dan aspek kultural. Pembahasan aspek biologis mencakup estimasi usia, penentuan jenis kelamin, afinitas populasi, dan patologi atau kondisi kesehatan. Pembahasan konteks budaya akan Gambar 3. Kondisi pada saat Penemuan fokus pada modifikasi budaya pada Fragmen Tengkorak saat antemortem yang terkait (Dok. Tim Penelitian, 2013) dengan gigi, dan bukti budaya perimortem seperti praktek a. Occipital pemakaman atau tata cara Karakter yang dapat diamati penguburan (White dan Folkens, pada bagian endocranial dari tulang 2005). Proses tafonomi postmortem occipital ini adalah cerebral fossa tidak akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu jejak perlekatan jaringan otak, karena spesimen Liangan F1 dan transversal sulcus yaitu ditemukan pada suatu lokasi cekungan lokasi tonjolan tulang penambangan pasir yang lokasinya occipital. kini telah hancur, sehingga sejarah b. Parietal kanan tafonomi yang terekam pada Pada bagian endocranial stratigrafi tidak memungkinkan untuk tulang parietal, jejak cerebral fossa dilakukan analisis tafonomi kubur agak sulit diamati karena kondisi secara detil. tulang yang sangat rapuh, dan terbungkus lapisan treatment DESKRIPSI SISA MANUSIA penguat yang diaplikasikan pada Secara umum, kondisi sisa saat proses pengangkatan tulang. manusia individu Liangan F1 sangat rapuh sehingga menyulitkan proses 2. Gigi-geligi identifikasi. Secara garis besar, sisa Sampai saat ini telah manusia ini terdiri dari fragmen ditemukan sebanyak 16 gigi lepas tulang cranium (tengkorak) dan post- yang berasal dari individu Liangan cranium. Berikut ini adalah deskripsi F1. Kondisi umum gigi geligi tersebut sisa manusia tersebut, yaitu: sangat rapuh khususnya pada bagian akar gigi (Gambar 4). 1. Tengkorak Berdasarkan hasil identifikasi dapat Sisa tengkorak kondisinya diketahui bahwa sebagian besar sangat rapuh, bagian yang dapat gigi-geligi yang ditemukan tersebut merupakan gigi maxilla (rahang

86 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 083-098

atas), dan hanya satu canine yang masuk hingga bagian sebelah kiri yang berasal dari dentin. mandible (rahang bawah). Hasil j. M2 sup dex: Bagian enamel identifikasi pada material tersebut sedikit aus pada tonjolan cuspic- antara lain adalah: nya, selain itu juga terdapat a. I1 sup dex: kondisinya cukup rekahan awal terbentuknya baik, banyak diselimuti karang karies gigi di lembah antara gigi (dental calculus). cone. Kemungkinan juga terdapat k. M3 sup sin: Bagian enamel utuh, jejak pangur pada bidang namun bagian dentin telah occlusal, palatal dan labial. hancur. Kemungkinan belum Pada bidang tersebut mungkin erupsi karena sama sekali juga terdapat jejak perforasi. belum menunjukan tanda-tanda b. I2 sup dex: kondisinya cukup penggunaan. Selain itu, akar baik, banyak diselimuti karang gigi juga menunjukan gigi (dental calculus). pertumbuhan yang belum Kemungkinan juga terdapat sempurna. jejak pangur pada bidang palatal l. M3 inf sin: Bagian enamel utuh. dan labial, namun tidak Kemungkinan belum erupsi ditemukan pada bidang karena sama sekali belum occlusal. menunjukan tanda-tanda c. I1 inf sin dan dex: kondisinya penggunaan. Akar gigi sudah cukup baik, banyak diselimuti mulai menunjukan karang gigi (dental calculus). pertumbuhan, walaupun Kemungkinan juga terdapat nampaknya belum sempurna. jejak pangur hanya pada bidang occlusal saja. d. C sup dex: terdapat primping gigi, dan patah pada bagian akar gigi e. C inf sin: kemungkinan terdapat jejak pangur miring, dan patah pada bagian akar gigi f. PM3 sup sin dan dex: kondisinya cukup baik, namun patah pada bagian akar gigi g. PM4 sup sin dan dex: kondisinya Gambar 4. Gigi-geligi Individu Liangan F1 cukup baik, namun patah pada (Dok. Tim Penelitian, 2013) bagian akar gigi h. M1 sup sin dan dex: Bagian Setelah dilakukan deskripsi enamel telah aus hingga berdasarkan pengamatan umum, meratakan tonjolan cuspic-nya. juga dilakukan observasi karakter- Juga terdapat lubang karies gigi karakter khusus pada gigi individu pada bidang cone yang masuk Liangan F1 yang berguna sebagi hingga bagian dentin. bahan acuan penilaian afiliasi individu tersebut dengan populasi i. M1 inf sin: Bagian enamel telah aus hingga meratakan beberapa manusia di kawasan sekitarnya. 15 tonjolan cuspic-nya. Juga variabel gigi-geligi (Tabel 1) yang terdapat lubang karies gigi yang digunakan dalam penelitian ini cukup lebar pada bidang cone mengacu pada Matsumura dan Oxenham (2014).

Aspek Biokultural Sisa Rangka Manusia dari Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah 87 (Sofwan Noerwidi)

Tabel 1. Karakter Gigi-geligi Individu Liangan F1 berdasarkan variabel Non- Metrik No. Karakter Gigi Referensi Individu Liangan F1 1. Dental shoveling I1 dan I2 Hanihara, et.al., 1970 Kedua gigi Incisive memiliki shovel shape yang cukup nyata 2. Double shoveling I1 dan I2 Suzuki dan Sakai, Tidak dapat diamati karena 1973 ablasi pada bagian labial 3. Dental tubercle I1 dan I2 Turner, et.al., 1991 I2 memiliki dental tubercle yang kurang nyata 4. Dental Spine I1 Dahlberg’s P-plaque Tidak memiliki dental Spine 5. Interruption I2 Turner, et.al., 1991 Sulit diamati karena tertutup groove oleh dental kalkulus 6. Dental winging I1 Enoki dan Dahlberg, Tidak dapat diamati karena 1958 telah lepas dari maxilla 7. De Terra’s P1 Saheki, 1958 Tidak memiliki De Terra’s Tubercle Tubercle 8. Double roots P1 dan P2 Turner, et.al., 1991 Berdasarkan pengamatan pada pulpa, kemungkinan memiliki double roots 9. Carabelli’s trait M1 Dahlberg’s P-plaque Tidak memiliki carabelli’s trait 10. Hypocone M2 Dahlberg’s P-plaque Terdapat indikasi reduksi reduction hypocone 11. Sixth cusp M1 Turner, et.al., 1991 Terdapat sixth cusp yang sangat nyata 12. Seventh cusp M1 Turner, et.al., 1991 Nampak jejak seventh cusp yang tidak terlalu nyata 13. Protostylid M1 Dahlberg’s P-plaque Tidak memiliki protostylid 14. Deflecting wrinkle M1 Turner, et.al., 1991 Kemungkinan memiliki deflecting wrinkle, namun jejaknya tersamar oleh atrisi pada bidang occlusal 15. Groove pattern Y M1 Jørgensen (1955) Memiliki pola berbentuk Y pada bidang occlusal Sumber: Matsumura dan Oxenham, 2014

Selain dilakukan studi posisi anatomis, dalam morfologi seperti yang telah millimeter dilakukan di atas, kemudian b. BL: pengukuran jarak maksimal dilakukan studi morfometri pada gigi- buccal – lingual pada posisi geligi individu Liangan F1. Studi ini anatomis, dalam millimeter berguna untuk menguatkan Pengukuran tersebut diaplikasikan penilaian afiliasi individu tersebut pada seluruh gigi-geligi yang tersisa, dengan populasi manusia di baik gigi atas maupun gigi bawah. kawasan sekitarnya. Dua variabel Berikut ini adalah hasil pengukuran yang digunakan untuk studi tersebut : morfometri tersebut adalah : a. Gigi Atas Liangan F1 (Tabel 2) a. MD : pengukuran jarak maksimal mesial – distal pada

88 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 083-098

Tabel 2. Hasil Pengukuran Gigi-geligi Rahang Atas Individu Liangan F1 (dalam Milimeter) I1 I2 C PM3 PM3 PM4 PM4 M1 M1 M2 M3 dex dex dex sin dex sin dex sin dex dex sin MD 6.55 6.00 8.00 7.93 7.95 7.40 7.35 12.13 11.55 9.85 11.95 BL 7.40 6.70 8.35 9.75 9.68 8.00 9.55 11.45 11.80 11.50 10.00 Sumber : Analisis Penulis b. Gigi Bawah Liangan F1 (Tabel 3)

Tabel 3. Hasil Pengukuran Gigi-geligi Rahang Bawah Individu Liangan F1 (dalam Milimeter) I1 sin I1 dex C sin M1 sin M3 sin MD 5.70 5.75 7.50 11.65 11.80 BL 6.30 6.25 7.70 10.70 10.50 Sumber : Analisis Penulis Variable yang didapat dari telah hancur sehingga menyulitkan pengukuran morfometri tersebut di identifikasi. Pada bagian anterior atas kemudian diolah dengan medial terdapat jejak tafonomi menggunakan analisis multivariate berupa deformasi yang terjadi statistik, yang akan dibahas dalam diantara post mortem dan proses bagian selanjutnya (Afinitas retrieval (penemuan kembali). Perlu Populasi). Perangkat lunak yang pengamatan lebih lanjut untuk digunakan untuk mengolah data mengetahui penyebab tafonomi morfometri dalam tulisan ini adalah tersebut, apakah karena faktor biotis PAST (PAleontological STatistic atau abiotis. software package for education and Pada bagian posterior data analysis) versi 2.13, yang proximal beberapa karekter yang merupakan perangkat lunak bersifat masih dapat diamati, antara lain tanpa bayar (open source) khusus adalah: pectineal line, gluteal line, dikembangkan untuk mengolah data dan linea aspera yang cukup nyata, statistik dalam arkeologi (Hammer sedangkan nutrient foramen tidak et.al., 2011). dapat diamati karena kondisi preservasi yang kurang baik. 3. Tulang panjang Kemudian pada bagian posterior Dari materi tersisa terdapat distal karekter yang dapat diamati empat tulang panjang, namun satu adalah: nutrient foramen, serta diantaranya belum dapat dipisahkan bagian flat (dataran) di atas karena masih berada dalam matrik, epiphysis distal atau disebut dengan dan menempel dengan tulang popliteal surface yang dibatasi oleh tengkorak. Keempat tulang panjang medial dan lateral supracondylar tersebut terdiri dari dua femur, dan 2 line. tulang yang tidak dapat diidentifikasi b. Femur kanan karena keterbatasan karakter yang Femur kanan kondisinya terkonservasi sebagai parameter tidak sebaik femur kiri. Tulang ini pengamatan. Dua tulang panjang hanya tersisa bagian diaphysis saja yang dapat diidentifikasi tersebut dan patah menjadi dua bagian pada adalah: bagian medial-nya. Sama seperti a. Femur kiri femur kiri, tulang ini juga telah Femur kiri tersisa hanya kehilangan kedua epiphysis proximal bagian diaphysis saja, sedangkan dan distal-nya. Pada bagian anterior kedua epiphysis proximal dan distal

Aspek Biokultural Sisa Rangka Manusia dari Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah 89 (Sofwan Noerwidi)

proximal juga terdapat jejak berdasarkan observasi pada tafonomi. pertumbuhan dan atrisi (derajat Pada bagian posterior penggunaan) gigi-geligi, serta proximal tidak dapat diamati karena perlekatan tulang-tulang tengkorak kondisi konservasi yang sangat dan tulang-tulang panjang. buruk (Gambar 5). Sedangkan pada Berdasarkan masih terbukanya bagian posterior distal masih suture pada tulang-tulang tengkorak, terdapat beberapa karakter yang dan tidak terpreservasinya bagian dapat diamati, antara lain adalah: epiphysis proximal dan distal tulang- nutrient foramen, serta popliteal tulang panjang, maka diperkirakan surface yang dibatasi oleh medial bahwa individu Liangan F1 berusia dan lateral supracondylar line. muda. Karena kondisi Penentuan usia berdasarkan konservasinya yang sangat buruk, pada tingkat perkembangan dan maka tidak mungkin untuk dilakukan atrisi gigi-geligi melalui metode studi morfometri segmen-segmen Lovejoy (1985) dapat diketahui pada fragmen kedua tulang femur bahwa gigi maxilla individu Liangan tersebut. Sehingga tidak dapat F1 menunjukkan perkembangan dijadikan acuan untuk tingkat C, yaitu berusia sekitar 18-22 memperkirakan tinggi badan individu tahun. Pada tahap ini mahkota gigi Liangan F1. molar terakhir (ke-3) telah berkembang dengan lengkap, namun belum menunjukkan jejak pemakaian, atau ada kemungkinan belum erupsi dengan sempurna (Gambar 6). Di lain pihak gigi molar pertama telah mengalami abrasi cukup signifikan sehingga meratakan cuspic-nya, sedangkan gigi molar kedua baru menunjukkan Gambar 5. Kondisi Diaphysis Femur Kanan derajat pemakaian tingkat awal. Individu Liangan F1 yang Sangat Fragmentaris (Dok. Balai Arkeologi Yogyakarta)

ASPEK BIO-KULTURAL MANUSIA LIANGAN Berdasarkan hasil observasi karakter morfologi dan morfometri yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis bioarkeologi guna mengidentifikasi aspek-aspek Gambar 6. Gigi Molar ke 3 individu Liangan biokultural yang dimiliki oleh individu F1 yang belum menunjukan jejak Liangan F1. Berikut ini adalah penggunaan (Dok. Balai Arkeologi pembahasan aspek-aspek tersebut: Yogyakarta)

2. Determinasi Sex 1. Estimasi Usia Jenis Kelamin dari individu Estimasi usia individu waktu Liangan F1 belum dapat diketahui meninggal dapat dilakukan

90 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 083-098

secara maksimal karena keterbatasan data yang dapat diobservasi, khususnya karena bagian-bagian tengkorak yang rapuh dan tidak adanya sisa tulang pelvis (pinggul) yang sangat signifikan bagi penentuan jenis kelamin. Berdasarkan pada ukuran gigi geligi yang kecil, jejak insersi otot-otot pada tulang panjang yang lemah, serta tonjolan tulang occipital pada Gambar 7. Dental caries pada gigi Molar bagian endocranial yang kurang individu Liangan F1 (Dok. Balai Arkeologi nyata sehingga terkesan feminin, Yogyakarta) maka ada kemungkinan bahwa individu Liangan F1 berjenis kelamin 4. Afinitas Populasi perempuan. Namun, hipotesis ini Penilaian kedekatan populasi masih harus dikonfirmasi oleh data dari individu Liangan F1 dapat pendukung lainnya yang lebih kuat dilakukan berdasarkan hasil seperti misalnya analisis genetika observasi karakter morfologi pada untuk membuktikan ada tidaknya Y gigi incisive atas, premolar atas, chromosome yang hanya diwariskan molar atas dan molar bawah. pada garis keturunan laki-laki. Afinitas populasi individu Liangan F1 berdasarkan penilaian pada karakter 3. Patologi morfologi tersebut memiliki ciri rasial Kondisi kesehatan dan campuran yaitu karakter Mongoloid patologi (penyakit) yang dapat yang kuat dengan beberapa karakter diamati pada individu Liangan F1 Australo-Melanesid. Berikut ini adalah terutama pada gigi-geliginya. beberapa komparasi karakter Sebagian besar gigi tersebut, morfologi gigi individu Liangan F1 terutama gigi incisive mengalami dengan data dari kawasan penyakit dental calculus atau sekitarnya yang pernah penumpukan karang gigi. Penyakit dipublikasikan oleh Matsumura dan ini juga dapat memicu karies gigi Oxenham (2014). (keropos), seperti yang ditunjukan Pengamatan pada gigi oleh lubang pada molar atas incisive medial dan lateral atas pertama dan kedua (Gambar 7). dengan menggunakan metode Scott Penyakit ini berhubungan dengan (1973) dapat diketahui bahwa pola makan yang banyak individu Liangan F1 memiliki ciri ras mengandung gula, seperti biji-bijian Mongoloid, yang ditunjukan oleh (padi-padian) yang ekofaknya juga shovel shape (bentuk sekop) yang ditemukan di situs Liangan. Selain sangat nyata pada bagian bucal gigi patologi dental caries dan dental tersebut (Gambar 8, kiri). Di lain calculus, juga terdapat jejak bruxism pihak, karakter shovel shape tidak pada gigi canine atas yaitu ditemui pada populasi Australo- perimping yang disebabkan karena Melanesid (Matsumura dan kegiatan mengunyah yang terlalu Oxenham, 2014). Karakter double keras. shoveling dan dental winging banyak ditemui pada populasi Mongoloid khususnya Amerindian, tidak dapat diamati pada individu Liangan F1

Aspek Biokultural Sisa Rangka Manusia dari Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah 91 (Sofwan Noerwidi)

karena sifat gigi yang isolated dan dan bucco-lingual gigi P3-M2 saja mengalami ablasi pada bagian yang dianalisis, karena biasanya labial. Pada individu ini terdapat ukuran gigi-geligi tersebut memiliki jejak dental tubercle yang kurang perbandingan khas yang dapat nyata. Biasanya jejak tersebut menunjukan perbedaan antar banyak dimiliki oleh populasi populasi (Noerwidi, 2012). Analisis Australo-Melanesid. statistik yang digunakan dalam studi Interruption groove yang ini adalah Cluster Analysis (CA), biasanya dimiliki oleh populasi yaitu metode statistik yang berguna Mongoloid sulit diamati pada individu untuk merangkum probabilitas Liangan F1 karena tertutup oleh utama dalam pengelompokan dental calculus. De Terra's tubercle populasi (Holland, 2006). Pada dan Carrabelli's trait yang biasanya cluster analysis ini digunakan dijumpai pada populasi Mongoloid metode euclidean distance karena khususnya di kawasan Asia Timur data yang digunakan adalah pada

Gambar 8. Shovel shape incisor mewakili ciri Mongoloid (Kiri) dan Double root premolar mewakili ciri Australo-Melanesoid (Kanan). (Dok. Balai Arkeologi Yogyakarta)

Laut tidak dimiliki oleh individu raw data pengukuran gigi geligi Liangan F1. Hypocone reduction mesio-distal dan bucco-lingual gigi yang biasanya terdapat pada P3-M2. populasi Mongoloid khususnya dari Berdasarkan hasil kawasan Sub Arctic juga sedikit pengelompokkan cluster analysis, dimiliki oleh individu Liangan F1. dapat dikethui bahwa individu Karakter sixth cusp dan deflecting Liangan F1 berada di percabangan wrinkle pada M1 yang merupakan ciri antara populasi Mongoloid di Asia khusus populasi Mongoloid cukup Tenggara Kepulauan dan Daratan, jelas ditemukan pada individu dengan populasi Australo- Liangan F1. Di lain pihak, Melanesoid di Pasifik dan Asia kemungkinan double root pada Tenggara Kepulauan (Gambar 9). Premolar individu Liangan F1 Berdasarkan pada kedua teknik biasanya ditemukan pada populasi analisis tersebut, baik berdasarkan Australo-Melanesid (Gambar 8, karakter morfologi maupun kanan). morfometri gigi-geliginya, dapat disimpulkan bahwa individu Liangan Selain analisis berdasarkan F1 memiliki karakter populasi karakter morfologi, juga dilakukan Mongoloid yang kuat dengan analisis terhadap morfometri gigi- campuran beberapa karakter geligi. Pada studi ini dipilih hanya Australo-Melanesoid. pengukuran maksimum mesio-distal

92 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 083-098

Gambar 9. Cluster Analysis Individu Liangan F1 Berdasarkan Morfometri PM3-M2

5. Pola Hidup Selain pangur pada bidang Aspek kultural yang dapat occlusal, hal yang sangat menarik diobservasi pada individu Liangan adalah ditemukannya pangur gigi F1 adalah tradisi pangur gigi yang incisive pada bidang buccal dan ditunjukan oleh ablasi yang cukup lingual, sehingga gigi terlihat ekstrim pada bidang occlusal, buccal meruncing pada bidang occlusal. dan lingual yang ditemukan pada Belum dapat diketahui fungsi praktis empat gigi incisive atas dan bawah dari pangur pada bidang buccal dan (Gambar 10). Dalam pengamatan lingual ini. Kemungkinan besar, dapat diketahui bahwa pangur pada kedua jenis pangur ini berhubungan bidang occlusal hanya ditemukan dengan aspek estetika yaitu agar pada gigi incisive medial atas, pemilik gigi terlihat cantik menurut sedangkan gigi incisive lateral atas ukuran masyarakat Mataram Kuna di yang berada di sebelahnya tidak Liangan. terdapat jejak pangur pada bidang Kebiasaan pangur semacam yang sama. Berdasarkan komposisi ini pernah dijumpai pada masyarakat ini diperkirakan bahwa pangur pada Jawa resen hingga beberapa puluh bidang occlusal bertujuan untuk tahun yang lalu. Biasanya orang meratakan tinggi mahkota gigi yang dipangur adalah perempuan sehingga terlihat sejajar. remaja yang menginjak dewasa dan disertai dengan upacara atau ritual

Aspek Biokultural Sisa Rangka Manusia dari Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah 93 (Sofwan Noerwidi)

inisiasi. Berdasarkan pada analogi 6. Prosesi Penguburan dengan data etnografi tersebut maka Sampai saat ini hanya interpretasi ini juga memperkuat ditemukan satu individu dari suatu dugaan determinasi sex individu konteks yang diduga kubur di situs Liangan F1 yang diperkirakan Liangan. Berdasarkan data yang memiliki jenis kelamin perempuan diperoleh maka diperkirakan bahwa dan termasuk dalam rentang usia individu Liangan F1 ditemukan remaja mendekati dewasa muda. dalam konteks kubur sekunder (penguburan kembali), karena dalam matriks tersebut hanya ditemukan tulang-tulang utama saja yaitu tengkorak dan tulang-tulang panjang. Hal yang menguatakan sebagai kubur sekunder adalah kondisi rangka yang berada dalam sebuah fitur dengan anggota tulang belulangnya tidak berada dalam suatu susunan anatomis. Tradisi penguburan berulang atau sekunder Gambar 10. Gigi incisive yang dipangur sisi di Kepulauan Indonesia paling tidak buccalnya hingga bagian dentin (Dok. Balai telah dikenal sejak masa akhir Arkeologi Yogyakarta) prasejarah (Soejono, 1977).

Selain itu, adanya penumpukan kapur pada bagian email yang merupakan patologi jenis dental kalkulus mungkin juga berhubungan dengan kebiasaan mengunyah sirih pinang yang dilakukan oleh individu Liangan F1. Kebiasaan mengunyah sirih pinang memang ditemukan di Jawa paling tidak sejak 3.200 tahun yang lalu hingga masa belakangan ini (Noerwidi, 2012). Biasanya, individu yang selama hidupnya memiliki kebiasaan mengunyah sirih pinang memiliki jejak warna merah pada bagian buccal dan lingual yang disebabkan oleh zat alkaloid (Rooney, 1993). Namun, dengan tidak adanya warna merah yang signifikan pada bagian email gigi individu Liangan F1 menyebabkan Gambar 11. Pertanggalan Fitur Kubur Individu Liangan F1 dugaan kebiasaan mengunyah sirih Berdasarkan Sampel Paleosoil (Dok. Tim Penelitian, pinang perlu dibuktikan dengan 2014) analisis yang mendalam pada Berdasarkan hasil timbunan kapur tersebut. pertanggalan yang diperoleh dari

fitur kubur Liangan F1 diperoleh

angka tahun 2231 ± 25 BP, atau

94 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 083-098

sekitar abad 2-3 Sebelum Masehi (Gambar 11). Pertanggalan ini menggunakan metode karbon konvensional (C14) dengan sample berupa paleosol (sedimen) dari dalam fitur kubur tersebut. Sampel dianalisis pada laboratorium pertanggalan PATIR-BATAN, Jakarta. Hasil pertanggalan ini jauh berbeda dengan hasil pertanggalan situs Liangan yang sebagian besar Gambar 12. Buli-buli masa Dinasti T’ang, menunjukan angka tahun sekitar bekal kubur individu Liangan F1 (Dok. Balai abad 9 – 10 Masehi atau masa Arkeologi Yogyakarta). kerajaan Mataram Kuna (Tim Penelitian, 2014). Adanya matriks PENUTUP tanah berumur 200-300 SM yang Di Indonesia, hingga saat ini menyelimuti rangka manusia dari belum banyak temuan rangka masa Klasik awal, memunculkan manusia dari periode klasik (Hindu- dugaan tentang tata cara Buddha) abad V – XV Masehi. penguburan. Ada kemungkinan Sedikitnya temuan rangka manusia bahwa angkota tulang-tulang utama dari masa ini mungkin disebabkan individu Liangan F1 dikuburkan oleh proses tafonomi kultural yang kembali pada sebuah lubang kubur kurang mendukung terpreservasinya setelah melewati proses penguburan data tersebut. Dengan penemuan pertama. Lubang kubur sekunder ini Balai Arkeologi Yogyakarta tahun digali dengan menginvasi lapisan 2013 ini membuat sisa manusia dari tanah yang yang lebih tua di situs Liangan memiliki kedudukan bawahnya, sehingga ketika individu yang cukup penting untuk Liangan F1 dari abad 9 – 10 M mengungkap aspek biokultural dikuburkan kembali bercampur kehidupan masyarakat pada masa dengan tanah berumur dari abad 2 - Mataram Kuna di Jawa. 3 SM. Berdasarkan hasil analisis Selain itu, pada kubur bioarkeologi yang telah dilakukan tersebut juga ditemukan sebuah dalam penelitian ini dapat diketahui bekal kubur berupa buli-buli bahwa rangka Liangan F1 adalah berukuran kecil (lebar 25 mm dan individu perempuan yang berumur tinggi 26 mm), berwarna putih yang sekitar 18-22 tahun. Individu ini berdasarkan hasil analisis memiliki ciri rasial Mongoloid yang keramologi berasal dari masa kuat dengan beberapa campuran Dynasti T’ang (Gambar 12) (Tim karakter Australo-Melanesoid. Penelitian, 2014). Kondisi ini sangat Perempuan muda tersebut menarik karena menunjukan bahwa mengidap beberapa penyakit pada masa Mataram Kuna yang periodontal dan mengalami telah terpengaruh budaya India modifikasi gigi yang berhubungan (Hindu-Buddha), masih terdapat dengan aspek estetika. Individu tradisi penguburan sekunder yang di Liangan F1 dimakamkan pada suatu Jawa telah muncul sejak periode konteks kubur sekunder yang hanya prasejarah. melibatkan beberapa anggota tulang utamanya saja.

Aspek Biokultural Sisa Rangka Manusia dari Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah 95 (Sofwan Noerwidi)

Analisis bioarkeologi pada sisa rangka manusia Liangan F1 belum dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh sifat temuan yang sangat fragmentaris dan keterbatasan penguasaan beberapa teknik analisis yang saat ini tidak dapat dilakukan oleh instansi arkeologi. Analisis yang signifikan untuk dilakukan pada masa mendatang adalah direct dating melalui teknik AMS dengan pengambilan sampel langsung pada tulang belulang individu tersebut. Teknik pertanggalan langsung ini berguna untuk mengkonfirmasi kronologi budaya individu Liangan F1 yang berada pada konteks situs permukiman masa Mataran Kuna. Selain itu analisis genetik juga signifikan untuk dilakukan guna mengungkap lebih dalam keterkaitan antara individu Liangan F1 dengan populasi kuna dan resen di Jawa serta kawasan di sekitarnya yang relevan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Drs. Sugeng Riyanto, M.Hum, selaku ketua Tim Penelitian Arkeologi di situs permukiman Mataram Kuna - Liangan, Kab. Temanggung, Jawa Tengah atas izin yg diberikan untuk menganalisis sisa rangka manusia tersebut. Penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada dua orang rekan di Balai Arkeologi Yogyakarta: Z. Dekon Suyanto atas bantuannya selama penulis melakukan pekerjaan laboratorium, dan kepada Andreas Eka Atmaja atas bantuannya dalam membuat beberapa dokumentasi foto yang digunakan dalam tulisan ini.

96 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 083-098

DAFTAR PUSTAKA

Enoki K., Dahlberg A.A. 1958. “Rotated maxillary central incisors”, Orthod J Jpn 17, pp. 157.

Hanihara K., Tanaka T., Tamada M. 1970. “Quantitative analysis of the shovel- shaped character in the incisors”, J Anthropol Soc Nippon 78, pp. 90–93.

Holland, S.M. 2006. Cluster Analysis. University of Georgia

Jørgensen K.D. 1955. “The Dryopithecus pattern in recent Danes and Dutchmen”, J Dent Res 34, pp. 195–208.

Lovejoy, C.O. 1985. “Dental wear in the Libben population: Its functional pattern and role in the determination of adult skeletal age at death. American Journal of Physical Anthropology 68. pp. 47-56.

Matsumura, H. dan Oxenham, M.F. 2014. Demographic Transitions and Migration in Prehistoric East/Southeast Asia Through the Lens of Nonmetric Dental Traits,

Noerwidi, Sofwan. 2012. “The significant of the Holocene human skeleton Song Keplek 5 in the history of human colonization of Java: A comprehensive morphological and morphometric study”, International Master Thesis in Quaternary and Prehistory, Paris: MNHN

Rangkuti, Nurhadi. dan Tjahjono, Baskoro. D. 2000. “Laporan Peninjauan Situs Liyangan, Temanggung, Laporan Penelitian, Yogyakarta: Balai Arkeologi Riyanto, S. 2011. “Integrasi Data, Gambaran Rekonstruktif, dan Kronologi Situs Liyangan”, Berita Penelitian Arkeologi No. 25, Yogyakarta: Balai Arkeologi, pp. 45-61

______. 2012. “Kawasan Situs Liyangan: Luasan, Bentuk, Ragam Komponen Permukiman, serta Hubungan Fungsional antar Komponen dan Ruangnya”, Berita Penelitian Arkeologi No. 25, Yogyakarta: Balai Arkeologi, pp. 60-72

Rooney, D.F. 1993. Betel Chewing Traditions in South-East Asia, Oxford: University Press

Saheki M. 1958. “On the heredity of the tooth crown configuration studied in twins”, Acta Anat Nipponica 33, pp. 456–470.

Scott, G.R. 1973. “Dental morphology: A genetic study of American White families and variation in living Southwest Indians”. PhD dissertation, Arizona State University

Soejono, R.P. 1977. “Sistem-sistem penguburan pada akhir masa prasejarah di Bali”, Doctoral Thesis, University of Indonesia

Aspek Biokultural Sisa Rangka Manusia dari Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah 97 (Sofwan Noerwidi)

Suzuki M. dan Sakai T. 1973. The Japanese dentition, Matsumoto: Shinshu Univ Press.

Tim Penelitian. 2013. “Laporan Penelitian Arkeologi: Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah”, Laporan Penelitian Arkeologi, Yogyakarta: Balai Arkeologi

______. 2014. “Laporan Penelitian Arkeologi: Situs Liangan, Temanggung, Jawa Tengah”, Laporan Penelitian Arkeologi, Yogyakarta: Balai Arkeologi

Turner CG II, Nichol CR, Scott GR. 1991. “Scoring procedures for key morphological traits of the permanent dentition: The Arizona State University dental anthropology system”, dalam Kelly M.A., Larsen C.S., eds., Advances in dental anthropology, New York: Wiley-Liss, pp. 13–31.

White, T.D. dan Folkens, P.A. 2005. The Human Bone Manual. United Kingdom: Elsevier, Inc.

98 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 083-098

RELIEF CANDI SEBAGAI MEDIA EFEKTIF UNTUK MENYAMPAIKAN INFORMASI MORAL-DIDAKTIF PADA MASA JAWA KUNA

THE RELIEF OF CANDI AS AN EFFECTIVE MEDIA TO DELIVER MORAL-DIDACTIC MESSAGE IN ANCIENT JAVA

T.M. Hari Lelono Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta [email protected]

ABSTRACT The establishment of temple as sacred buildings of Shivaism/Buddhism in Ancient Javanese Period aimed to worship gods. Temples are, decorated by reliefs contain moral- educational message to support their aim. Stories or non stories depicted on the relief functioned as information/publication medium for adult as well as children. This article examines why relief was used in Hinduism-Buddhism Period to deliver moral-educational message to them. Methods used is observation on the relief stories carved on temples in Central and East Jav, analysis, and interpretation based on literature study.

Keywords: Temple Reliefs, Media Information, Javanese.

ABSTRAK Pada masa Jawa Kuna, pendirian bangunan suci Siwa/Hindu-Buddha dimaksudkan untuk tempat melakukan pemujaan kepada para dewa. Arsitektur candi yang indah biasanya dihiasi dengan relief yang berisi pesan moral-edukatif. Relief dapat dimaknai sebagai salah satu media informasi/ publikasi yang ditujukan kepada masyarakat luas baik dewasa maupun anak-anak. Tujuan tulisan ini, adalah untuk mengetahui mengapa relief digunakan oleh nenek moyang pada masa Klasik (Hindu-Budha) sebagai media untuk menyampaikan pesan moral-edukasi bagi masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi terhadap relief cerita candi-candi di Jawa Tengah dan Timur , analisis, serta interpretasi yang didukung oleh studi literatur.

Kata Kunci: Relief Candi, Media Informasi, Jawa Kuna.

Tanggal masuk : 15 Maret 2016 Tanggal diterima : 31 Mei 2016

Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif; 99 Pada Masa Jawa Kuna (T.M. Hari Lelono)

PENDAHULUAN kebudayaan di dunia dan menyebabkan tercapainya suatu Masa klasik di Indonesia keharmonisan antara alam (flora- atau dikenal dengan masa Hindu- fauna) dengan manusia. Cerita Buddha ditandai dengan adanya rakyat juga berkembang dengan tinggalan tangible maupun pesat di Jawa dan sering intangible. Tinggalan tangible berupa didongengkan pada anak-anak bangunan-bangunan monumental menjelang tidur. Pada masa sekitar religius seperti candi-candi tersebar tahun 1960 – 1980-an masih sering di Pulau Sumatera, , Bali didengarkan dongeng menjelang dan Jawa. Tinggalan lain yang tidur, dari para orang tua kepada intangible dalam bentuk adat dan anak-anaknya tentang cerita fabel tradisi juga masih tetap ada dalam yang lucu dan penuh simbol-simbol, kehidupan sehari-hari masyarakat. seperti cerita Kancil dengan Seruling Kedatangan agama Hindu-Buddha Bambu: Kancil dengan Harimau, beserta segala aturannya sebagai Bangau dengan Kura-Kura. budaya India tidak melenyapkan Kebiasaan yang turun-temurun budaya/ tradisi asli Indonesia yang tersebut, tentunya ada sumbernya telah ada, namun bercampur atau entah berupa naskah-naskah yang saling mempengaruhi. Percampuran diwariskan, melalui oral atau yang tersebut memunculkan budaya baru terdapat di dalam relief candi. yang kini diwarisi oleh bangsa Kebiasaan tersebut, apakah Indonesia. dilakukan oleh para nenek moyang Cerita rakyat di berbagai pada masa Jawa kuna? belum belahan dunia, selalu dikaitkan diketahui secara pasti. Namun, relief dengan kebudayaan yang fabel pada dinding candi tentu bukan dialaminya. Cerita rakyat dari sekadar hiasan, tetapi merupakan Polinesia menggambarkan bahwa media untuk menyampaikan mereka masih mempunyai cerita infomasi yang mengandung mitos yang sarat Sebelum masuknya akan muatan filosofis. Mitos-mitos pengaruh India di Indonesia, nenek mereka menunjukkan adanya moyang kita telah mengenal budaya perilaku budaya yang sangat tinggi yang diantaranya adalah berupa dari kelompok suku tertentu yang ragam hias dari zaman prasejarah berguna untuk penguatan identitas serta berbagai benda keperluan generasi berikut. Cerita rakyat upacara seperti nekara, kapak tersebut juga berisi tentang nilai-nilai perunggu, dan wadah-wadah mayat pendidikan, usaha untuk (Atmosudiro, dkk. 2008: 155). menggalang solidaritas yang disertai Kontak percampuran ataupun dengan cerita yang menghibur. sintesa dengan kebudayaan lain, Dengan demikian maka cerita rakyat dalam hal ini budaya India memberikan inspirasi bagi para mencetuskan kebudayaan dan pemeluk suatu kebudayaan untuk kesenian yang harmonis, dinamik, memiliki perasaan bangga atas suku dan unik sesuai dengan jiwa bangsanya (Liliweri, 2007: 126). masyarakat lokal. Kebudayaan lokal Nilai-nilai moral, didaktif dan yang pada mulanya ditujukan filosofis yang ada dalam cerita sebagai bentuk pemujaan terhadap rakyat yang menggambarkan nenek moyang tersebut kemudian kehidupan manusia dan hewan. lambat laun bercampur dengan Cerita ini hidup dalam setiap pengaruh kebudayaan baru yang

100 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 099-116

datang1 menjadi kreasi seni berupa aslinya. Orang Jawa memilih budaya ornamen-ornamen candi. yang sesuai untuk dapat diterima Selanjutnya, muncullah ragam- dalam budayanya. Dalam konteks ragam hias berupa penggambaran tersebut, relief adalah salah satu manusia, tumbuh-tumbuhan, dan bentuk dari kearifan lokal (local binatang. Gambar-gambar tersebut genius). dibuat sedemikian rupa sehingga Local genius dapat dianggap terwujud suatu bentuk tertentu. sama dengan apa yang saat ini Bentuk alam asli, seperti misalnya terkenal dengan istilah cultural gambar-gambar tumbuh-tumbuhan identity atau identitas budaya karena merambat/ menjalar menghiasi menunjukkan kemampuan suatu bidang batas/ frame relief, atau bangsa dalam menyerap serta penggambaran binatang yang mengolah pengaruh kebudayaan sesuai dengan fauna yang ada. asing, sesuai dengan watak dan Khususnya gambar flora merambat kebutuhan pribadinya. Pada distilir terlebih dahulu sesuai dengan penekanan aspek lain,2 kemampuan bakat dan kemampuan seniman, itu dinamakan „ketahanan‟, terutama maupun digambarkan berdasarkan ketahanan di bidang budaya, atau ragam-ragam yang bersifat turun yang kini disebut ketahanan bangsa. temurun. Pengaruh Hindu-Buddha Ketahanan ini menyebabkan suatu juga mendorong perkembangan bangsa lebih mampu untuk motif-motif hiasan dan relief-relief „bertahan‟ menghadapi „ancaman‟ yang dipahat pada candi-candi. kebudayaan yang datang dari luar. Selain memiliki nilai estetika, relief Akibat adanya ketahanan ini adalah yang dipahatkan pada bidang datar kemampuan untuk menyerap hal baik di bagian kaki, badan atau atap yang sesuai dengan kebutuhan candi, juga memiliki nilai simbolis– mereka, dan menolak apa yang religius yang dapat digunakan untuk tidak sesuai bagi mereka (Subadio, menentukan identitas keagamaan 1986: 18). candi (Istari, 2011: 1-2). Suatu hal yang menarik pada Panel-panel relief yang relief adalah penggambaran cerita dipahatkan di dinding candi, bermuatan pesan-pesan moral merupakan salah satu bentuk kepada masyarakat, khususnya bagi kearifan lokal masyarakat Jawa, pendidikan anak. Jenis cerita yang dalam mengadopsi dan mengatasi banyak digambarkan pada relief pengaruh budaya asing. Mereka adalah fabel 3 dengan makna bukanlah orang yang tertutup simbolis, jenaka, tetapi penuh pesan sifatnya, namun terbuka terhadap moral serta mudah dicerna bagi hal-hal yang dianggap baik dan siapa saja yang melihatnya, masih relevan dengan budaya terutama anak-anak. Berkaitan dengan local-genius, relief dapat

1 Akulturasi dan asimilasi, mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok 2 Seperti misalnya; unsur-unsur budaya manusia dengan suatu kebudayaan tertentu berupa nilai-nilai yang hidup dalam adat- dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu istiadat dan tradisi masyarakat, berdasarkan kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, pada lingkungan dan budaya yang bisa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu mempengaruhi perilaku sehari-hari. lambat laun diterima dan diolah kedalam 3 Fabel, cerita yang menggambarkan watak kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan dan budi manusia yang pelakunya hilangnya kebpribadian kebudayaan itu diperankan oleh binatang , berisi pendidikan sendiri (Koentjaraningrat, 1980: 262). moral dan budipekerti. (KBBI, 2012:386)

Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif; 101 Pada Masa Jawa Kuna (T.M. Hari Lelono)

digunakan untuk ketahanan bangsa. tergantung isi pesan yang akan Relief digambarkan atas ide-ide disampaikan. Relief non-cerita seniman dengan mengacu pada bergambar flora (tumbuhan), fauna kaidah-kaidah religius dan adat (binatang) memiliki makna simbolis kebiasaan masyarakat sesuai yang berhubungan dengan dengan alam dan budaya dengan bangunan suci. Penelitian ini mengacu pada bahan materi yang menggunakan alur penalaran berasal dari lingkungannya. induktif dengan tipe deskriptif. Keterbatasan media yang dapat Salah satu tujuan penelitian digunakan untuk menyampaikan deskriptif ini adalah untuk pesan-pesan, kemungkinan dipilih menyajikan gambaran mengenai candi sebagai media yang strategis fenomena masyarakat Jawa kuna, dan dapat bertahan lama. Tentu tentang bagaimana cara bentuk-bentuk komunikasi lainnya menyampaikan informasi dalam telah dilakukan, misalnya secara oral bentuk pesan-pesan kultural dari orang ke orang. Namun, melalui edukatif dalam bentuk visual (relief relief candi informasi tersebut akan candi) kepada masyarakat. bertahan sampai berabad-abad. Hal Berdasarkan hal tersebut, makalah tersebut merupakan usaha dari para ini bertujuan untuk menjawab penguasa masa Jawa Kuna untuk permasalahan, sejauh mana „relief membuka wawasan dan candi berperan sebagai media pengetahuan rakyatnya dalam hal komunikasi/ informasi‟. religi dengan menggambarkan Jenis data yang digunakan dongeng dalam relief. Sehubungan berupa relief cerita candi Siwa/- dengan hal tersebut, maka Hindu-Buddha yang terdapat pada pertanyaan yang diajukan dalam dinding-dinding candi. Seluruh tulisan ini adalah: Mengapa perolehan data hasil observasi penguasa menggunakan relief berupa relief cerita fabel yang berisikan cerita-cerita moral-didaktif berhasil dikumpulkan, kemudian untuk menyampaikan pesan- dianalisis secara kualitatif dan pesannya kepada rakyatnya? Oleh akan diuraikan secara deskriptif. sebab itu tujuan paper ini ingin Sebagai hasil dari pembahasan mengungkapkan bahwa relief tersebut, disusun kesimpulan- merupakan salah satu media kesimpulan interpretatif yang dapat informasi yang efektif untuk memberikan gambaran tentang menyampaikan pesan moral-didaktif. peran relief sebagai „media Dalam relief, diungkapkan magna- informasi/ komunikasi‟ yang efektif magna simbolis yang di perankan untuk menyampaikan pesan moral oleh para „tokoh binatang‟ dalam kepada masyarakat pada masa unsur cerita yang dikemas secara lampau. dinamis sebagai salah satu unsur pendidikan yang mudah dicerna dan RELIEF: PERPADUAN BUDAYA dipahami. ASLI DAN ASING

METODE PENELITIAN Agama Buddha dan Hindu berasal dari India, masuk Relief memiliki bermacam- bersamaan dengan datangnya para macam bentuk dan makna pedagang. Pengaruh agama simbolis yang terkandung di tersebut berkembang pesat setelah dalamnya. Hal tersebut bercampur dengan kepercayaan asli

102 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 099-116

Indonesia yang sudah ada binatang lokal yang biasa mereka sebelumnya, yaitu pemujaan ketahui. Selain dalam bentuk fauna- terhadap roh leluhur (megalitik). flora, diduga tidak kalah penting Pengaruh „asing‟ tersebut tidak adalah unsur cerita yang mereka serta-merta diterima dengan mudah, rancang, tentunya unsur budaya unsur-unsur yang sesuai bahkan lokal menjadi pertimbangan utama terjadi percampuran, dan agar tidak menimbulkan persepsi/ memunculkan budaya baru dalam salah tafsir dalam cerita yang akan konteks religi tersebut. Hal tersebut, dipahatkan dalam relief candi. sesuai apa yang dikatakan oleh Edy Cerita-cerita dengan pesan Sedyawati, bahwa kebudayaan yang moral tersebut perlu disampaikan sudah ada pada suatu bangsa dengan suatu sistem yang efektif seringkali terbawa unsur-unsurnya dan efisien dengan sarana ketika bertemu dan beradopsi prasarana yang dimiliki. Pada masa dengan budaya asing. Aspek itu, salah satu media untuk budaya terpilah ke dalam sejumlah melakukan komunikasi yang efektif wujud dan unsur. Pertama dapat adalah candi sebagai tempat untuk disebutkan konsep-konsep dan nilai- berkumpul dan melakukan ibadah. nilai. Sebuah agama yang baru Komunikasi sangat berhubungan diperkenalkan dapat memasok dengan bentuk-bentuk isyarat atau sebuah konsep dan nilai baru dan simbol yang berupa gerakan- dengan demikian turut mengubah gerakan jasmani, tanda gambar citra budaya suatu bangsa. suara yang mengungkapkan Demikian pula dalam tata laku, tata pengertian tambahan salah satu ruang, serta penggunaan dan atau komunikasi yang tertua dan paling pembuatan benda-benda tertentu, sederhana ialah isyarat dan bahasa. pasokan kaidah dari agama dapat Mula-mula perkembangan bahasa pula berperan dalam perubahan citra berasal dari gambar, kemudian budaya. Namun sebaliknya juga, berkembang menjadi bahasa wujud-wujud budaya lama dapat berdasarkan uraian di atas maka pula memberi „warna lokal‟ kepada manusia dapat berkomunikasi agama baru yang diperkenalkan, dengan cara: a) Menggunakan melalui suatu proses asimilasi isyarat dan simbol; b) Menggunakan (Sedyawati, 2009: 208). bahasa lisan; c) Menggunakan Dalam perkembangan bahasa tertulis (Prabukusumo, 2009: percampuran dan „saling pengaruh‟ 92). Dalam konteks penyampaian kepercayaan dari „luar‟ dan asli pesan moral melalui candi, pada Indonesia tersebut, salah satu masa Jawa Kuna, media yang contoh diwujudkan dalam digunakan sangat terbatas, sehingga penggambaran relief cerita. Unsur relief yang dipahatkan dicandi utama berasal dari mitologi Hindu- merupakan sarana yang tepat untuk Buddha yang diadoptasikan dengan menyampaikan informasi dengan unsur-unsur mitos lokal dan menggunakan gambar/ simbol- digambarkan dari bentuk-bentuk simbol flora-fauna. fauna/ flora asli Indonesia, seperti Dalam proses pertemuan dua misalnya kancil, harimau, kepiting atau lebih unsur budaya, biasanya (ketam), angsa, kura-kura, dan yang terjadi unsur-unsur asli yang lainnya. Di India, mungkin memiliki bersifat substansional akan tetap beberapa jenis binatang yang sama, tampak dalam percampuran tetapi para seniman memilih tersebut. Salah satu unsur asli

Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif; 103 Pada Masa Jawa Kuna (T.M. Hari Lelono)

Indonesia tampak dalam Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa karakteristik relief Jawa Timur Tengah dan Jawa Timur, ditemukan mengkaitkan antara air, kesuburan relief-relief candi yang memuat dan kemakmuran, seperti di Teras unsur cerita maupun non-cerita. Pendapa Candi , begitu Beberapa buah relief candi yang pula relief Jawa Tengah di Candi mengandung unsur cerita, berfungsi Mendut dan Sojiwan (Klokke, 1993: sebagai sumber informasi resmi 153). Hal ini dikarenakan unsur- yang dikeluarkan oleh seorang raja unsur asli diyakini dapat akan dibahas dalam tulisan ini. menenangkan kehidupan mereka. Relief sebagai sumber informasi Adapun unsur-unsur baru yang yang berisi cerita fabel, merupakan masuk/ bercampur, diselaraskan dan bahan untuk disebarluaskan kepada dipadukan sehingga memperoleh seluruh anggota masyarakat/ rakyat, keharmonisan dalam pergaulan melalui komunikasi di antara sosial dan religiusnya. Perpaduan mereka. Cerita yang secara antara budaya asli dengan budaya langsung berkaitan dengan konteks asing, dapat kita lihat pada gaya keagamaan, seperti misalnya arsitektural bangunan candi dengan Bubuksah-Gagang Aking hiasan relief-reliefnya yang juga kemungkinan berbeda cara berfungsi sebagai media menyampaikannya, karena komunikasi. cenderung untuk dikonsumsi orang dewasa. Tetapi cerita tentang Belibis RELIEF SEBAGAI MEDIA dan Kura-Kura yang ditujukan KOMUNIKASI kepada anak-anak, tentunya cara penyampaiannya berbeda, yaitu Relief sebagai media dengan lelucon, dan kejenakaan. komunikasi, merupakan karya seni Namun, kedua unsur cerita tersebut, yang mengandung pesan religius tetap bersumber pada kaidah-kaidah yang dibuat atas perintah raja keagamaan yang berkembang pada dibantu oleh para pendeta. masa itu. Pengerjaan relief diserahkan kepada Penggambaran relief pada seniman pahat, sentuhan jiwa seni dasarnya berisi tentang keadaan untuk diekspresikan dalam bentuk alam, manusia dan lingkungannya, relief tersebut ditentukan oleh daya sehingga melalui relief dapat imajinasi seniman. Candi dengan diungkap fenomena-fenomena alam, hiasan relief, merupakan karya flora-fauna dan sosial masyarakat budaya material yang masih dapat pada masa Jawa Kuna. Kondisi dilihat hingga sekarang. Keindahan sosial masyarakat pada waktu itu arsitektural bangunan suci tersebut dapat diketahui dari berbagai membuktikan kemampuan budaya macam bentuk pakaian yang nenek moyang yang tinggi. Mereka dikenakan, bentuk-bentuk arsitektur bukan saja mampu mengadopsi dan rumah tinggal, bentuk pengaruh budaya asing (India) tetapi permukiman sebagai lanskap mampu mengembangkan sendiri budaya, bahkan jenis komoditas local genius (kearifan lokal) yang perdagangan/ pasar dapat dilihat sudah dimiliki sejak masa prasejarah pada bermacam bentuk dan dengan budaya perunggu/ metalurgi „muatan‟ isi relief tersebut. yang bernilai tinggi. Dalam tulisan ini, akan dipilih Berkaitan dengan tinggalan beberapa relief yang ada di Candi candi-candi di Jawa, khususnya di Mendut, Jawa Tengah, Candi

104 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 099-116

Penataran dan , Jawa Menurut Krom, nama lama Candi Timur, berkaitan dengan fungsi dan Penataran adalah „Palah‟. Hal ini peran relief sebagai „media diketahui dari prasasti berangka informasi‟. Pertama, adalah tahun 1119 Ç yang ditemukan di menentukan cerita apa yang sesuai sebelah selatan candi induk. dengan tujuan membuat relief Prasasti ini berasal dari raja tersebut. Pemilihan cerita untuk Çrengga, Kediri yang dipahatkan pada dinding sebuah menyebutkan pendirian candi bukan suatu kebetulan, namun Bhatara di Palah, jika dilihat pada melalui sebuah pemikiran yang angka tahun pada prasasti yang

Gambar 1. Pendopo Candi Penataran: Harimau jelmaan dewa menemui Bubuksah. Di latar tampak Gagang Aking yang memberitahu harimau agar memangsa Bubuksah. (Sumber: Balar D.I. Yogyakarta) serius . Hal yang menjadi ditemukan di belakang candi pertimbangan diantaranya berkaitan induk tersebut, diketahui bahwa dengan fungsi candi, maupun sistem Candi Penataran kira-kira kepercayaan masyarakat pendukung didirikan sekitar tahun 1119 Ç candi. Dengan demikian, pemilihan atau 1197 M. Namun, dalam cerita untuk dipahatkan pada dinding kenyataannya candi-candi di candi memiliki alasan tertentu, di dalam kompleks Candi Penataran samping cerita itu sendiri yang itu dibangun tidak dalam waktu cenderung merupakan cerita yang bersamaan. Hal ini dapat terkenal pada masa bersangkutan dibuktikan dari beberapa prasasti (Sulistyanto, 2000: 2). berupa angka tahun yang Pemilihan cerita relief terdapat di dinding-dinding ditentukan oleh para penguasa dan bangunan yang tersebar di pendeta. Mereka kompleks percandian. Seperti mempertimbangkan kepada siapa misalnya pada dinding batur cerita dalam relief itu ditujukan. Di Candi Pendopo terdapat angka bawah ini adalah cerita-cerita yang tahun 1297 Ç (1375 M), pada ada pada relief beberapa candi: arca Dwarapala Candi Bentar berangka tahun 1337 Ç (1415 M), A. Relief Candi Penataran pada dinding Candi Angka tahun Candi Penataran terdapat tulisan tahun 1291 Ç merupakan kompleks percandian (1369 M), sedangkan pada yang terbesar di Jawa Timur. dinding kolam bagian barat

Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif; 105 Pada Masa Jawa Kuna (T.M. Hari Lelono)

kompleks percandian, terdapat Relief Bubuksah-Gagang pahatan angka tahun 1337 Ç Aking: (1415 M). Berdasarkan data-data  Harimau mendatangi seorang tersebut di atas dapatlah pria sedang bersila memakai diperoleh gambaran bahwa jubah/ gelungan di kompleks Candi Penataran sudah kepalanya, berbadan gemuk. ada sejak 1119 Ç atau tahun  Sementara itu, di latar 1197 M dan mengalami  tampak seorang laki-laki perkembangan terus hingga bertubuh kurus dengan tahun 1337 Ç atau 1415 M. rambut digelung/ ke (Sulistyanto, 2000: 13). Relief cerita yang mengelilingi candi tentu awalnya hanya diketahui oleh para orang tua, kemudian diceritakan kepada orang lain/ anak-anaknya, karena mengandung nilai-nilai filosofi keagamaan. Sebagai contoh cerita Bubuksah dan Gagang Aking yang dipahatkan di relief Candi Pendopo Penataran (Blitar), Jawa Timur. Ke-dua tokoh digambarkan sebagai seorang penganut/ pendeta Siwa (Gagang Aking) dan Buddha

(Bubuksah). Cerita yang Gambar 2. Candi Surawana: digambarkan tersebut berlatar Gagang Aking menunjukkan arah filosofi keagamaan, antara dua keberadaan Bubuksah kepada Harimau agama aliran Siwa dan Buddha. (Sumber: Sumber: Balar D.I. Secara substansial, inti ajaran Yogyakarta). dan tujuannya sama-sama benar. Hanya berbeda dari sudut belakang sedang berjalan di pandang cara mengaplikasikan tengah hutan. ajaran tersebut, sesuai karakter kedua tokoh. Berikut ini, gambar B. Relief Candi Surawana relief dari Candi Penataran, Candi Surawana terletak gambar yang ditampilkan adegan di Desa Canggu, Kecamatan pada saat harimau mendatangi Pare, Kediri, Jawa Timur. kedua orang kakak-beradik Mengenai masa pendirian candi, tersebut. Relief di Penataran dihubungkan dengan terletak di sisi timur bagian peristiwa Çradha 4 . Berdasarkan belakang Candi Pendopo. Bahan

yang digunakan untuk candi dari 4 jenis batu andesit yang di pasang Çradha: Perkataan çradha (sraddha) dalam bahasa Sanskerta berarti selamatan dengan menggunakan teknik bagi orang yang telah meninggal (Williams, kaitan/ kancingan pada bagian 1963: 197). Upacara ini juga di kenal di Bali sisi dalam, sehingga saling sebagai pengorbanan atau selamatan bagi mengikat dan kokoh. orang yang telah meninggal. Pada masa Jawa Kuna-pun peringatan ini dikaitkan dengan pendirian bangunan pemujaan/ candi.

106 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 099-116

Kitab Pararaton, Raja Wengker karena beberapa bagian sudah meninggal pada tahun 1388 Ç mulai aus, sehingga gambar dengan demikian Candi menjadi kurang jelas. Gambar Surawana didirikan sekitar tahun relief ini di dalam etnografi 1400 Ç atau 1478 M. Sementara masyarakat Jawa dan Bali sangat itu, di dalam Nagarakretagama dikenal sampai sekitar tahun 62: 2 disebutkan, bahwa pada 1970-an, kemudian saat ini jarang tahun 1361 M. Raja Hayam yang mendongengkan lagi. Wuruk telah berkunjung dan Adegan: bermalam di “curabhana  Burung belibis 5 berjambul/ sudharma”. Jika benar yang mahkota, berdiri di sebuah dimaksudkan dengan curabhana telaga yang penuh dengan sudharma di dalam ikan. Nagarakretagama itu adalah Candi Surawana sekarang, maka dapat diperoleh gambaran bahwa candi ini harus sudah ada pada tahun 1361 M (Sulistyanto, 2000: 17). Dua buah relief yang berbeda cerita akan diuraikan, pertama relief Bubuksah-Gagang Aking, dan kedua relief Burung Belibis dengan ikan. Relief Gambar 3. Candi Surawana: Bubuksah-Gagang Aking terletak Burung belibis dengan ketam di leher dan di sudut Timur Laut. Sedangkan Ikan-ikan di sebuah telaga. relief Burung Belibis terletak di (Sumber: Balar D.I. Yogyakarta ). sisi timur atau bagian belakang  Seekor kepiting menggantung candi. dileher burung tersebut.

Relief Bubuksah-Gagang Jalannya cerita: Aking: Belibis menyamar sebagai  Seorang laki-laki dengan pendeta berdiri di tepi telaga, rambut digelung/ diikat bagian berpura-pura sedih. Sekelompok belakang, sedang berbicara ikan mengerumuninya dan dengan seekor harimau. bertanya, mengapa ia bersedih?  Laki-laki tersebut tangannya Belibis menjawab bahwa ia menunjuk ke suatu arah. bersedih, karena telaga ini akan kering dan seluruh penghuninya Relief Burung Belibis akan mati. Diantara ikan-ikan ada Relief candi lain yang seekor kepiting (yuyu) menaruh menarik, adalah Candi Surawana, curiga terhadap belibis, karena ia perlu teliti untuk melihatnya, adalah pemangsa ikan telaga tersebut. Himbauan Sang

Upacara çradha, pernah dilakukan di Majapahit setelah 12 tahun meninggalnya 5 Belibis (latin= dendrocyna arcuata), nama Gayatri, isteri Krtarajasa Jayawardhana latin. Sejenis bebek tetapi bisa terbang, salah (Raden Wijaya) dalam prasasti tembaga satu makanan utama tumbuhan dan ikan Sukamrta yang bertarikh 1296 M (Istari, kecil, biasa hidup di rawa-rawa. Dalam relief 1982: 33). digambarkan memiliki jambul/ mahkota, karena ia berpura-pura menjadi pendeta.

Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif; 107 Pada Masa Jawa Kuna (T.M. Hari Lelono)

Kepiting tidak dipercaya oleh para Dahulu kala hiduplah dua ikan. bersaudara kakak-adik yang hidup Satu persatu ikan rukun, setelah berguru pada seorang dipindahkan ke suatu tempat resi, keduanya berniat ke hutan/ yang agak jauh, sebuah batu gunung untuk mencari besar untuk dimangsa, kini tiba kesempurnaan hidup sebagai giliran si kepiting yang akhirnya pertapa. Sang kakak bernama mau dipindah dengan Bubuksah berbadan besar dan berpegangan/ menyapit leher gemuk, sedangkan adiknya belibis. Betapa terperanjatnya berpostur kurus kering dan kecil Sang Kepiting melihat tumpukan bernama Gagang Aking. Setelah duri di atas batu padas. Pasti sampai di hutan, masing-masing sahabat-sahabatku dimakan mencari gua untuk bertapa. Belibis, lalu ia mengancam minta Bubuksah berada di sisi timur sungai diantar kembali ke tempat menghadap ke barat, sedangkan semula. Sampai di telaga, lalu Gagang Aking berada di gua sisi dicapit sampai putuslah leher barat sungai menghadap ke timur. belibis tersebut hingga menemui Keduanya menjalani kehidupan ajalnya. berdasarkan pengetahuan/ Dongeng tersebut pencerahan yang mereka peroleh memberikan pelajaran yang dari seorang resi. Sesuai dengan berharga, bagaimana kita pemahaman masing-masing, mengendalikan diri dan Bubuksah dalam kehidupan sehari- mewaspadai pada karakter orang hari selalu memakan dan minum apa yang berperingai jahat/ buruk, saja yang dapat ia makan, termasuk tiba-tiba menjadi santun. segala binatang, tumbuhan yang Biasanya mempunyai niat yang ada di sekitarnya dan badanya kurang baik, dengan berpura-pura menjadi semakin gemuk. Sementara menolong tetapi justeru itu, Gagang Aking lebih banyak menjerumuskan. Dalam menjalani melakukan puasa dengan tidak hidup sehari-hari, harus waspada memakan apapun, sehingga terhadap tipu daya seseorang. badannya menjadi semakin kurus- Dengan berperilaku sabar, dan kering. Pertapaan kedua saudara ini, berpikir sebelum bertindak untuk menimbulkan keperihatinan Dewa mengambil suatu keputusan, Indra. Ia melapor kepada Dewa Siwa tentu akan menyelamatkan kita. tentang niat kedua pertapa tersebut. Akhirnya diutuslah Sang Kalawijaya Isi Cerita relief Bubuksah–Gagang 6 Aking Candi Penataran dan Surawana. Contohnya adalah cerita Bubuksah-Gagang Aking merupakan kearifan lokal nenek moyang, dengan tujuan memberikan contoh- 6 Cerita ini ada berbagai versi yang contoh kebenaran dan kekekalan ajaran substansinya kadang cenderung Siwa-Buddhis dan Kepercayaan asli membenarkan salah satu agama tertentu. Indonesia. Adapun mengenai pakaian yang Hemat kami hal itu perlu diluruskan. Pada dikenakan ke-dua tokoh sebagai tanda untuk masa Jawa Kuna Siwa-Buddhis adalah satu, membedakan antara keduanya yang berbeda sama-sama saling menghormati dan berjalan pandangan/ tentang konsepsi religius. Oleh beriringan. Bahkan keduanya memunculkan karena itu, dua alian tersebut ‘berbaur’ sinkritisme utamanya dalam cerita, mitos- menjadi satu berkat kearifan lokal bangsa mitos dan dalam bentuk relief candi, yang kita yang menyatukan dua konsep/ kemudian muncul pada waktu itu. pandangan tersebut menjadi satu keyakinan.

108 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 099-116

turun ke dunia dengan menjelma yang bersifat duniawi. Artinya, dalam menjadi harimau putih. menjalani kehidupan ini, masih Pertama kali harimau putih memperhitungkan pamrih/ pahala mendekati Gagang Aking, sambil (untung-rugi) yang diinginkan. Tidak mengaum keras, ia berkata ...”Hai melakukan ajaran kehidupan secara manusia, aku sakit dan hanya akan total/ pasrah kepada „Kuasa Alam‟, sembuh jika makan daging sehingga hanya memperoleh surga manusia...” Dengan rasa takut dan yang kedua (simbolis dari ekor badan gemetar ia menjawab, harimau). ...”percuma kamu makan dagingku yang kurus dan sedikit, tak akan C. Candi Mendut membuatmu kenyang. Datanglah ke Cerita yang mengandung nilai- gua di seberang sungai itu, ada nilai edukatif, biasanya diperankan saudaraku gemuk dan sehat...” oleh binatang (fabel), seperti di Sang harimau putih, segera Candi Mendut di Magelang, Jawa mendatangi Bubuksah sambil Tengah, mengisahkan tentang menyampaikan permintaan yang persahabatan kura-kura dengan sama. Sungguh tidak disangka, burung bangau. Pesan yang Bubuksah mempersilahkan disampaikan dalam relief tersebut menyantap dirinya kalau memang sangat menarik untuk anak-anak bisa menyembuhkan penyakit dan sebagai bagian dari edukatif kultural. kelaparannya. ...”Aku sudah lama Candi Mendut terletak di hidup di dunia dan memakan segala Kecamatan Mungkid, Kabupaten yang ada, kalau memang aku harus Magelang, Jawa Tengah, kamu makan, sudah takdirku mati diperkirakan candi ini dibangun oleh untuk menolongmu...” Harimau putih Wangsa Syailendra pada tahun 824 mengakui bahwa dirinya adalah M, berdasarkan pada isi Prasasti Kalawijaya, yang di utus oleh Dewa Karangtengah (824 M), yang Siwa. Kemudian kedua bersaudara menyebutkan bahwa Raja Indra itu diajak ke Swargaloka, Bubuksah telah membuat bangunan suci duduk di punggung dan Gagang bernama Wenuwana (hutan bambu). Aking bergelantungan pada ekornya. Candi menggunakan bahan batu Keduanya memperoleh ganjaran, andesit dan bersifat keagamaan karena telah melakukan pertapaan Buddha. Candi ini sampai sekarang yang berat, lalu diantar oleh masih digunakan sebagai tempat Kalawijaya naik ke surga. ritual umat Budha dan pusat Makna dari cerita tersebut, perayaan Waisak. Bubuksah melakukan kegiatan ritual dan kehidupan sehari-harinya Relief Candi Mendut dengan tanpa pamrih dan Adegan : menyerahkan seluruh hidup-matinya  Dua ekor burung bangau pada Kuasa Alam, suatu sedang terbang penyerahan diri (jiwa-raga) secara menggenggang ranting. total. Totalitas itulah yang  Ditengahnya seekor kura-kura menyelamatkan jiwa, sehingga bergelantungan menggigit memperoleh kebahagiaan abadi ranting itu. (simbolis duduk di punggung  Sekawanan gembala harimau). Sementara itu, Gagang meneriaki sambil memanah Aking dalam memaknai ajaran kura-kura. tersebut, masih „diikat‟ oleh hal-hal

Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif; 109 Pada Masa Jawa Kuna (T.M. Hari Lelono)

 Kemudian, kawanan tersebut kura-kura di tengahnya. Mereka menyantap kura-kura. berteriak-teriak nyaring sambil melempar, dan memanahnya, Jalannya cerita: karena daging kura-kura sangat Persahabatan antara lezat. Menggunakan batu dan anak sepasang bangau dan kura-kura panah percuma, karena jangkauannya terlampau jauh, mereka mulai mengejek, ...”Hei kawan-kawan, lihatlah ada binatang yang sangat bodoh, menerbangkan kotoran kerbau kering (tlethong garing) 7 ”... Sambil bersorak-sorai dan mengejek, itulah yang membuat kura-kura menjadi naik pitam (emosi), karena dirinya dikatakan „kotoran kerbau kering‟. Saking marah dan dongkolnya, lalu berniat Gambar 3. Candi Mendut: menjawab ...”aku bukan kotoran Bangau menolong kura-kura untuk dipindahkan. kerbau, aku raja kura-kura”... Belum Melewati kelompok pengembala kerbau. sempat kata-kata tersebut (Sumber: Balar D.I. Yogyakarta). diucapkan, Sang kura-kura sudah melayang, karena gigitan pada sudah berlangsung lama. Sampai ranting lepas dan jatuh ke tanah, pada suatu ketika, bangau sedih kemudian dimasak oleh para karena telaga tersebut akan kering gembala dan disantap bersama- akibat musim kemarau yang sangat sama. panjang. Hal tersebut ia ceritakan Cerita di atas ingin kepada sahabatnya, lalu mereka menyampaikan, bahwa pesan dari sepakat untuk memindahkan pada sahabat/ orang tua harus diingat dan telaga yang bermata air dan tidak dituruti, tidak boleh emosi, bersabar akan kekeringan. Sebelum sampai setelah mencapai tujuan. memindahkan, bangau berpesan Gangguan dan godaan adalah ujian kepada kura-kura, selama terbang terberat, karena itu harus tetap fokus menggigit ranting tersebut tidak pada prinsip/ pendirian, agar boleh membuka mulut atau berkata tercapai tujuan yang sesungguhnya sepatah kata-pun. Kura-kura (kehidupan). menyanggupinya, lalu mereka Empat buah panil relief cerita terbang mengangkasa melewati dari tiga buah candi, memberikan sungai-sungai dan telaga kecil yang gambaran bahwa relief berperan kering airnya. penting dan dimanfaatkan oleh Sampailah mereka, ketika penguasa, sebagai salah satu melewati padang rumput yang luas, sumber informasi. Berkaitan dengan tampaklah sekawanan anak-anak konsep-konsep religius dalam sedang mengembalakan sapi/ bentuk simbol-simbol cerita dan kerbau sambil bersendau-gurau. dongeng untuk disebar-luaskan Mereka memandang ke angkasa, kepada masyarakat. Dalam proses dilihatnya ada suatu bayangan yang sosialisasinya, terjadi komunikasi aneh. Ketika semakin dekat, tampak antara anggota masyarakat satu jelas yang dilihatnya, ternyata dua ekor bangau sedang mengangkat 7 Bahasa Jawa, Tlethong = kotoran sapi, kerbau, dan kuda, garing = kering.

110 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 099-116

dengan lainnya, namun tetap untuk memperindah candi, selain mengacu pada apa yang dilihat dan memiliki makna simbolis, berperan diketahui dalam gambar relief pula sebagai media informasi. Pesan tersebut. Unsur cerita yang yang disampaikan berhubungan ditampilkan di depan, terdapat dua dengan nilai-nilai religius dan sosial. versi yang agak berbeda, tetapi Sebuah candi belum tentu didirikan mengacu pada konsep-konsep dipusat pemerintahan, tetapi bisa di keagamaan yang sama: Pertama, desa-desa (wanua) yang dianggap cerita Bubuksah-Gagang Aking berperan dan berjasa pada raja. kemungkinan ditujukan bagi Desa berperan penting dalam kalangan orang dewasa, karena mendukung struktur birokrasi mengandung nilai-nilai filosofis pemerintahan raja. Menurut keagamaan yang berkembang pada Soesanti (1986), satuan wilayah waktu itu; Sedangkan yang Kedua, terkecil adalah wanua, dan data dongeng tentang Kura-Kura Bangau prasasti mencatat bahwa setiap dan Belibis Kepiting, ditujukan bagi wanua dipimpin oleh beberapa anak-anak. Dalam versi fabel, orang rãma yaitu dewan pimpinan kehidupan manusia baik watak dan wanua. Kemudian beberapa wanua tingkah laku sehari-harinya (desa) bersekutu membentuk suatu diperankan oleh binatang-binatang kelompok yang disebut watak dan yang lucu, cerdik dan pandai, bergantung pada pimpinan seorang sehingga mudah diingat oleh anak- pejabat tinggi yang disebut rakai anak. Proses komunikasi tersebut (Soesanti, 1986: 305). Hal ini merupakan transfer pengetahuan berkaitan dengan pendirian Candi dari satu orang keorang yang lain Penataran dan Surawana yang dan jumahnya dapat tidak terbatas. belum tentu didirikan di pusat Penyampaian pengetahuan tersebut pemerintahan, tetapi kemungkinan merupakan materi pendidikan moral justeru di daerah wanua/ watak. berdasarkan pada konsep Sampai saat ini, pusat-pusat keagamaan. Sehingga lambat-laun pemerintahan (keraton) masih belum masyarakat akan mengikuti, pernah ditemukan artefak maupun menirukan pesan-pesan moral- indikator-indikator yang didaktif tersebut di dalam kehidupan menunjukkan secara jelas. sehari-hari. Pendirian Candi Penataran Tahun 1375 M dan Candi Surawana RELIEF CANDI PENATARAN, tahun 1361 M, membuktikan bahwa SURAWANA DAN MENDUT cerita/ mitos tersebut telah SEBAGAI MEDIA INFORMASI berkembang pesat atau dianggap penting untuk disosialisasikan Pendirian bangunan suci, kepada rakyatnya. Informasi dengan bentuk bangunan yang tersebut, diharapkan dapat menjadi megah, tentunya diprakasai dan inspirasi, pandangan dan pedoman diperintahkan oleh seorang raja hidup. Sementara itu, untuk melakukan pemujaan kepada penggambaran relief yang berkaitan para dewa. Sebagai bangunan suci, dengan dongeng kemungkinan merupakan tempat berkumpulnya sasaran ditujukan untuk anak-anak. orang-orang dari seluruh penjuru Digambarkan Kura-Kura dengan untuk melakukan ritual. Sementara Bangau (Candi Mendut), dan Belibis itu, candi juga dilengkapi dengan dengan Kepiting (Candi Surawana). hiasan-hiasan relief yang berfungsi Kedua candi letaknya berjauhan, di

Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif; 111 Pada Masa Jawa Kuna (T.M. Hari Lelono)

Jawa Tengah (abad ke-8 M) dengan dikenal sejak abad ke-8 sampai Candi Surowono di Jawa Timur dengan ke-14 Masehi. Cerita (abad ke-14 M). Kronologi waktu dan tersebut dapat menambah jarak yang relatif jauh tersebut, pengetahuan masyarakat akan soal membuktikan pentingnya dongeng/ keagamaan dan tuntunan moral- cerita tersebut untuk diinformasikan didaktif. Oleh karena itu, pendirian dan dipahami oleh masyarakat Jawa bangunan suci di luar pusat kerajaan Kuna. salah satu fungsinya untuk Berkaitan dengan pendapat penyebaran, media komunikasi/ Soesanti di depan, maka Casparis informasi agar „mengakar‟ pada memberikan penjelasan rakyatnya. Komunikasi mempunyai berdasarkan sumber prasasti dapat arti penting dalam penyebaran diketahui, bahwa setiap wanua informasi kepada masyarakat, memiliki sejumlah pejabat wanua dengan adanya komunikasi, yang mengurusi kehidupan sehari- komunikator sebagai pencetus ide- hari penduduk desa. Kemudian ide, dapat menanamkan idenya watak sebagai wilayah otonom juga secara perlahan-lahan untuk mempunyai organisasi pemerintahan mencapai persesuaian dengan sendiri; sedangkan pusat kehidupan dan tujuan masyarakat pemerintahan terdiri atas raja (Prabukusumo, 2009: 26). sebagai pucuk pemerintahan dibantu Dalam setiap bentuk oleh para pejabat tinggi kerajaan. pemerintahan, monarkhi, demokrasi Jadi, raja adalah tempat tertinggi maupun republik tentu diperlukan yang membawahi para pejabat tinggi suatu alat komunikasi untuk kerajaan, pejabat-pejabat watak dan menjembatani antara pemerintah pejabat-pejabat wanua (Casparis, pusat, daerah dengan 1983: 7). Adanya struktur masyarakatnya. Hal tersebut juga pemerintahan yang jelas dari terjadi pada masa Jawa Kuna, pusat/kerajaan sampai ke paling teknologi media yang dikenal waktu bawah (wanua), hirarki tersebut itu, barulah dalam bentuk relief tentunya mempermudah jalur-jalur candi, prasasti, lontar untuk komunikasi dan informasi sampai ke menyampaikan pesan. Prasasti dan masyarakat. lontar merupakan barang bergerak Pendirian bangunan suci, baik yang mudah rusak atau hilang, di pusat kerajaan (core) maupun di sedangkan pesan yang disampaikan luar kerajaan (periphery) tentu dalam bentuk relief di candi-candi berkaitan dengan masalah strategi tetap abadi kalau tidak dirusak oleh pemerintahan dan politik. Pendirian manusia/ alam. Bedanya dalam candi bisa dilakukan dengan relief digambarkan dalam bentuk kemungkinan sebagai peringatan cerita atau simbolis flora-fauna, upacara 12 tahun meninggal sedangkan prasasti dan naskah (Cradhha), atau berkaitan dengan lontar berupa tulisan. Relief cerita politik yaitu penghargaan terhadap pada dinding candi, salah satu kepala daerah yang telah berjasa sumber asli tentang konsep-konsep terhadap raja. Dalam konteks ini, keagamaan/ moral-etika, sebagai penguasa ingin membangun pusat informasi penting. Kemudian komunikasi agar tetap terjaga informasi yang digambarkan pada dengan baik antara core dan relief berupa cerita tersebut, periphery. Melalui cerita fabel dan disebarluaskan kepada masyarakat Bubuksah Gagang Aking yang telah dalam suatu proses pendidikan dan

112 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 099-116

pengajaran secara oral untuk tersebut memunculkan bentuk- menanamkan nilai-nilai luhur dan bentuk mitos, cerita/ dongeng dalam budi pekerti. Sebenarnya, makna relief cerita yang sarat dengan informasi relief tidak terbatas pada muatan edukatif dan budi pekerti. konteks religius saja, tetapi dapat Hal tersebut merupakan sebuah dikaitkan dengan nilai-nilai hidup komponen yang sangat penting bermasyarakat secara luas, seperti dalam rangka membentuk tentang saling menghargai, toleransi kepribadian bangsa, dalam rangka dan kebersamaan. pembangunan mental dan ideologis. Relief candi merupakan KESIMPULAN sebuah media yang digunakan oleh penguasa, sebagai media Para penguasa Jawa Kuna, komunikasi dan informasi dalam mendirikan bangunan suci berupa membentuk moral yang sangat candi-candi tentu bertujuan untuk efektif. Sampai saat ini masih menunjukkan kekuasaannya dan terdengar dongeng maupun cerita memberikan kesejahteraan ,spiritual tersebut dalam kehidupan beberapa bagi masyarakatnya. Candi-candi kelompok masyarakat yang tersebar yang dibangun pada abad ke-8 di Jawa. Oleh sebab itu, nilai-nilai sampai dengan ke-14 Masehi, yang terkandung dalam cerita meninggalkan bentuk budaya yang tersebut tetap relevan dan dapat bernilai tinggi, baik budaya materi menjadi model, serta memberikan maupun berupa nilai-nilai. Candi kontribusi dalam materi pendidikan dengan hiasan reliefnya merupakan anak/ sekolah, khususnya satu kesatuan yang tidak dapat pendidikan budi-pekerti. Sebagai dipisahkan, sebagai pusat religi, harapan ke depan, budi-pekerti pengetahuan dan edukatif yang menjadi pilar penting dalam diwakili oleh cerita-cerita yang membentuk karakter Bangsa dimuat di dalam panil-panil relief. Di Indonesia, supaya tidak kehilangan antara cerita tersebut yang cukup jatidirinya sebagai bangsa yang dikenal hingga sekarang, khusunya: besar dan santun. di Candi Mendut cerita Angsa dengan Kura-Kura; Candi SARAN Penataran cerita Bubuksah-Gagang Internal: Aking; Candi Surawana cerita  Selama ini, kajian lembaga- Bubuksah-Gagang Aking dan Belibis lembaga arkeologi tentang dengan Kepiting. percandian belum terintegrasi Candi sebagai salah satu dengan baik, masyarakat masih pusat religi dan simbol-simbol banyak yang belum mengetahui kekuasaan raja, merupakan salah secara jelas makna dan fungsi satu tempat atau media untuk pada masa lalu, dan menyebar-luaskan „pengaruh‟ yang manfaatnya masa kini. Selama diinginkan oleh penguasa. Para ini, pandangan masyarakat nenek moyang dengan kearifan masih pada tahap budaya lokalnya memadukan pengaruh materi/ material culture yang „asing‟ secara harmonis dengan dapat menimbulkan perbedaan alam lingkungannya yang tentu saja persepsi. Oleh sebab itu, perlu memilih hal-hal yang tidak dipikirkan penjelasan- bertentangan dengan budaya/ adat penjelasan dari sudut pandang istiadat setempat. Perpaduan budaya intangible yaitu berupa

Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif; 113 Pada Masa Jawa Kuna (T.M. Hari Lelono)

pandangan mengenai nilai-nilai dan aspek-aspek yang hidup dalam konteks masyarakat pendukung budaya/ candi tersebut. Sehingga antara keterangan (budaya materi) dan penjelasan (budaya non-materi) berupa nilai-nilai tersebut dapat saling melengkapi, dan dimengerti secara utuh oleh masyarakat luas.

Eksternal:  Bagi stakeholder, lembaga/ dinas pariwisata, dan pemandu wisata/ guide untuk lebih mendalami dan mengerti candi yang tidak hanya dilihat unsur fisik arsitektural, melainkan „roh‟ dan hubungan emosional antara masyarakat dengan candi pada masa lalu.  Mari kita jaga cagar budaya yang merupakan jatidiri bangsa dengan ikut merawat dan melestarikan, karena candi adalah salah satu „identitas dan wajah budaya kita‟.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih yang sebesar- besarnya kepada mitra bestari yang dalam kesibukannya berkenan meluangkan waktu, memberikan arahan, bimbingan dan sumbang- saran dalam penyelesaian tulisan. Diharapkan tulisan sederhana ini, dapat bermanfaat bagi para pembaca yang ingin mengetahui, tentang peran relief candi sebagai media komunikasi/ informasi masa Jawa Kuna.

114 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 099-116

DAFTAR PUSTAKA

Atmosudiro, Sumijati (editor) dkk. 2008. Jawa Tengah sebuah Potret Warisan Budaya - Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Yogyakarta - Universitas Gadjah Mada.

Casparis, J.G. de. “The Evolution of the Socio-economic Status of the East Javanese Village and its Inhabitante”, Papers of the fourth Indonesian- Dutch History Conference. Yogyakarta 24-29 July 1983. Volume One: Agrarian History. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Istari, Rita. 2011. “Ragam Hias Candi-Candi di DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur”, Laporan Penelitian Arkeologi (LPA), Yogyakarta: Balai Arkeologi.

------. 1982. “Upacara Sraddha dan Kaitannya dengan Upacara Kematian Lainnya pada Masyarakat Indonesia”, Skripsi Sarjana Muda. Yogyakarta: Fakultas Satra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.

Koentajaraningrat, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi - Aksara Baru - Jakarta.

Liliweri, Alo, M.S. 2007. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (cetakan ke-3) - Yogyakarta - Pustaka Pelajar.

Prabukusuma, Pantiyo Nugroho, 2009. Komunikasi dan Transformasi Sosial - Yogyakarta - B2P3KS Press.

Sedyawati, Edi, 2009. Saiwa dan Buddha di Masa Jawa Kuna - Departemen Agama RI, Ditjen Bimas Hindu Tahun Anggaran 2009 - Denpasar : Widya Darma.

Soesanti, Ninie, 1986. ”Mekanisme Birokrasi di Jaman Raja Balitung (898-910 M)”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) IV, Cipanas 1986. Jawa Barat. hlm. 305

Subadio, Haryati. 1986. Kepribadian Bangsa - Penyunting Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius) - Pustaka Jaya - Fak. Ekonomi, Bandung. Jakarta: diterbitkan atas kerjasama dengan Ikatan Ahli Arkeologi dengan PT Dunia Pustaka Jaya.

Sulistyanto, Bambang. 2000. “Mitos Bubuksah Kajian Struktural dan Maknanya”, Berita Penelitian Arkeologi (BPA), Yogyakarta: Balai Arkeologi.

Williams, M. Monier, 1963. “A Sanskrit English Dictionary”, Oxford: University Press.

Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral-Didaktif; 115 Pada Masa Jawa Kuna (T.M. Hari Lelono)

.Klokke, J Marijke, 1993. “Tantri Reliefs on Javanese Candi” KITLV Press, Leiden.

Departemen Pendidikan Nasional 2012: Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat - Gramedia Pustaka Utama

116 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1 Mei 2016: 099-116

BIODATA PENULIS

Hendy Soesilo

Lahir di Madiun pada tanggal 20 Desember 1959. Menyelesaikan pendidikan Sarjana pada bidang Teknik Geologi di Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta pada tahun 1989. Mulai bekerja di Balai Konservasi Borobudur pada tahun 1991 hingga tahun 2010, sebelum akhirnya berkarier di Balai Arkeologi Yogyakarta hingga saat ini. Minat penelitiannya adalah Geohidrologi dan Geoteknik, khususnya kajian yang berhubungan dengan aspek kelestarian bangunan cagar budaya. Beberapa pengalaman penelitiannya adalah; ikut menangani pemugaran gapura barat di Candi Phimeanakash, komplek Angkor Wat, Kamboja selama enam bulan pada tahun 1996. Selain itu juga pernah menangani bencana longsor yang menimpa candi Selogriyo, Magelang pada tahun 2001. Terakhir ikut menangani kerusakan bangunan-bangunan candi di JawaTengah dan Yogyakarta, paska terjadinya Gempa,27 Mei 2006.

Indah Asikin Nurani

Lahir di Yogyakarta pada tanggal 8 September 1964. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Arkeologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 1990 dan pendidikan Magister Museologi di Universitas Padjajaran, Bandung pada tahun 2008. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Madya di Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta. Minat penelitiannya adalah arkeologi keruangan (spatial archaeology), khususnya kajian mengenai hunian gua pada masa prasejarah. Beberapa pengalamannya adalah melakukan penelitian hunian gua di Kabupaten Jember, Ponorogo, Bojonegoro dan Blora. Beberapa publikasi ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal terakreditasi nasional belakangan ini adalah ”Pola Okupasi Gua Kidang, Hunian Prasejarah Kawasan Karst Blora” (2014), ”Sistem Kubur Penghuni Gua Kidang, Blora” (2014), ”Gua Kidang, Hunian Gua Kala Holosen di DAS Solo” (2015), ”Jelajah Ruang dan Waktu Manusia Penghuni Gua Kidang” (2015).

Rusyad Adi Suriyanto

Aktif sebagai salah satu pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Namanya sudah tidak asing lagi bagi para penggiat ilmu paleoantropologi di Indonesia. Setelah mendapatkan gelar Sarjana dari Universitas Airlangga pada Agustus 1993, pada bulan Juli 2005, Beliau melanjutkan pendidikannya dengan menempuh program Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada. Program tersebut diselesaikannya pada bulan Mei 2007. Dalam perjalanan kariernya Beliau telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, beberapa diantaranya adalah: Kajian Perbandingan Karakteristik Epigenetis Populasi Tengkorak Manusia Paleometalik Gilimanuk (Bali) dan Liang Bua, Lewoleba, Melolodan Ntodo Leseh (Nusa Tenggara Timur), yang ditulis bersama S. Aswin dan Etty Indriati; Perbedaan Karakteristik Epigenetis Neurokranium Populasi

Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1/Mei 2016 117

Tengkorak Australomelanesid Liang Bua (Pulau Flores), Lewoleba (Pulau Lembata), Melolo (Pulau Sumba) dan Ntodo Leseh (Pulau Komodo) di Nusa Tenggara Timur dan Mongolid Gilimanuk (Pulau Bali) Sekitar zaman Paleometalik; dan Etnografi untuk Arkeologi: Suatu Upaya Membangun Model Penelitian Cara Pemenuhan Diet Prasejarah (Paleonutrisi).

Sofwan Noerwidi

Lahir di Kebumen pada tanggal 23 Februari 1980. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Arkeologi, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003, dan Master di bidang Prasejarah Kuarter di L’Institut de Paléontologie Humaine, Paris pada tahun 2012. Mulai bekerja di Balai Arkeologi Yogyakarta sejak tahun 2008, dan berminat pada bidang penelitian Prasejarah Kuarter, khususnya Paleoantropologi. Saat ini terlibat aktif dalam penelitian beberapa situs Plestosen di Semedo (Tegal), Bumiayu (Brebes), Patiayam (Kudus), (Sragen), dan Gunungsewu (Pacitan).

Sudarti Prijono

Lahir di Purwokerto pada tanggal 25 September 1954. Menyelesaikan pendidikan Sarjana bidang Kimia dari Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1979, dan Magister Arkeologi dari Universitas Indonesia pada tahun 1999. Beliau mulai aktif di Balai Arkeologi Jawa Barat (dulu, Laboratorium Paleoekologi dan Radiometri) sejak tahun 1988. Jabatan saat ini adalah Peneliti Utama di institusi tersebut. Minat kajiannya adalah arkeologi kurun proto-sejarah atau periode perundagian, sekitar abad 5 SM – 5 M. Saat ini masih aktif meneliti, khususnya di situs Candi Karang, dan sekitar kawasan Buahdua, kabupaten Sumedang.

T.M Hari Lelono

Lahir di Jogjakarta, pada tanggal 11 Agustus 1958. Sarjana Antropologi Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada. Bekerja di Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta, sebagai peneliti sejak tahun 1991 hingga sekarang Peneliti Madya. Selain bertugas sebagai peneliti, juga mengikuti pelatihan-pelatihan dan seminar di bidang arkeologi, termasuk salah satunya arkeologi bawah air. Beberapa karya tulis pernah diterbitkan dalam beberapa berkala ilmiah. Tulisan-tulisan berkaitan dengan bidang etnoarkeologi; Kajian Etnoarkeologi: Teknologi Pembuatan Arca Logam di Bejijong, , Jawa Timur sebagai Bahan Analogi; Kehidupan Nelayan Masa Majapahit di Daerah Aliran Sungai dan Pantai Utara Jawa Timur: Kajian Etnoarkeologi Tahap II. Permukiman dan Rumah Tengger; Tradisi Megalitik dalam Upacara Mayu Dusun Tengger.

118 Berkala Arkeologi Vol.36 Edisi No.1/Mei 2016

PANDUAN PENULISAN

I. PETUNJUK UMUM 1. Artikel belum pernah dipublikasikan oleh media lain dan tidak ada unsur plagiasi. 2. Artikel dapat berupa hasil penelitian (laboratorium, lapangan, kepustakaan), gagasan konseptual, kajian, atau aplikasi teori. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan ragam bahasa akademis. 4. Judul, abstrak dan kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. 5. Naskah diketik dalam huruf Arial ukuran 11 dengan spasi satu pada kertas ukuran A4 dengan batas atas-kanan 3 cm serta batas bawah-kiri 4 cm. Naskah terdiri dari 12-20 halaman termasuk daftar pustaka, tabel dan/atau gambar.

II. STRUKTUR ARTIKEL Artikel disusun meliputi unsur-unsur berikut: 1. Judul 2. Nama dan alamat penulis 3. Abstrak dan kata kunci 4. Pendahuluan 5. Metode penelitian (opsional) 6. Sub-sub Bab pembahasan 7. Penutup 8. Ucapan terima kasih 9. Daftar pustaka 10. Lampiran

III. JUDUL 1. Judul diketik dengan huruf Arial ukuran 14 kapital cetak tebal. 2. Judul ditulis dalam bahasa yang sama dengan naskah artikel dan diikuti dengan judul bahasa lainnya di bawahnya, ditulis dengan huruf Arial ukuran 14 kapital cetak tebal miring.

IV. NAMA DAN ALAMAT 1. Nama ditulis lengkap tanpa gelar. 2. Jika penulis lebih dari satu maka dipisahkan dengan tanda koma (,) dan kata „dan‟. 3. Nama ditulis dengan huruf Arial ukuran 11. 4. Alamat adalah instansi asal penulis. Jika penulis lebih dari satu maka diberi nomor urut dengan format superscript. 5. Alamat ditulis dengan huruf Arial ukuran 10. 6. Alamat pos-el ditulis dengan huruf Arial ukuran 10.

V. ABSTRAK DAN KATA KUNCI 1. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia (75 – 200 kata) dan bahasa Inggris (75 - 150 kata). 2. Kata-kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (3 – 5 kata). 3. Abstrak dan kata kunci ditulis dengan huruf Times New Roman ukuran 10. 4. Penempatan abstrak dengan bahasa selain bahasa naskah artikel diletakkan pertama, ditulis dengan huruf cetak miring.

VI. TABEL 1. Setiap tabel diberi penomoran huruf arab (Tabel 1., dst). 2. Setiap tabel diberi judul yang ditulis dalam huruf Arial ukuran 11. 3. Isi tabel ditulis dalam huruf Arial ukuran 10. 4. Pada bagian bawah tabel diberi keterangan tentang sumber tabel.

VII. GAMBAR 1. Seluruh ilustrasi dalam naskah dimasukkan dalam kategori gambar dan diurutkan dengan nomor arab (Gambar 1., dst.). 2. Keterangan gambar ditulis di bawah masing-masing ilustrasi dengan menyertakan sumbernya. 3. Keterangan gambar ditulis dalam huruf Calibri ukuran 10.

VIII. DAFTAR PUSTAKA 1. Daftar pustaka ditulis secara alfabetis. 2. Format buku: Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese – English Dictionary Part I A-O. Leiden: S – Gravenhage – Martinus Nijhoff. 3. Format artikel: Cooper, Chris. 1991. “The Technique of Interpretation” dalam S. Medlik (ed.) Managing Tourism. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd. Hlm. 224-229.

IX. LAIN-LAIN 1. Artikel dikirim sebanyak dua eksemplar (hard copy) disertai file (soft copy) artikel tersebut dalam cakram (compact disk) dengan menggunakan pengolah kata Microsoft Word atau melalui e-mail: [email protected] atau [email protected] 2. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel diberitahukan secara tertulis melalui pos dan/atau pos-el. Karena itu, penulis dimohon mencantumkan pos-el di dalam artikel. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. 3. Bagi penulis yang artikelnya dimuat akan diberikan 2 (dua) eksemplar cetak lepas.