ISBNISBN : 978-602-8409-65-0978-602-8409-65-0

Mikroba Potensial dalam Pengendalian Biologi Patogen TENTANG PENULIS Tumbuhan

I Ketut Suada. Disamping mengajar, penulis tentunya melakukan kegiatan Tridharma lainnya MENGENAL MIKROBA SAHABAT PETANI termasuk melakukan penelitian dan mensosialisasikan hasil karya maupun pemikiran yang dapat menambah khasanah pengetahuan bagi kita. Untuk tugas itu penulis telah menyusun buku, yang pertama yang ditulis sembari menyelesaikan kuliah pascasarjana. Buku ke dua dan ke tiga disusun bersama teman-teman di Sentral Haki ketika melakukan penelitian budaya Bali yaitu tentang Songket Bali dan Permainan Tradisional Bali bekerja sama dengan Kementeriaan Pariwisata dan Budaya Republik Indonesia. Sementara ini adalah buku ke empat yang disusun untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan tentang pengendalian patogen (penyebab penyakit tumbuhan) menggunakan mikroba antagonistik yang disebut sebagai pengendalian biologi. Penulis telah banyak melakukan penelitian dalam bidang pestisida botani dan pestisida biologi yang memberi ciri terhadap upaya budidaya yang ramah lingkungan. Bebagai seminar terkait telah pula diikuti baik yang bertaraf nasional maupun internasional. Penulis juga menyusun berbagai artikel yang keseluruhannya menyiratkan tentang pengendalian patogen yang ramah lingkungan. Mikroba Potensial dalam Pengendalian Biologi Patogen Tumbuhan MENGENAL MIKROBA SAHABAT PETANI Mikroba Potensial dalam Pengendalian Biologi Patogen Tumbuhan MENGENAL MIKROBA SAHABAT PETANI

I Ketut Suada Edisi I, Cetakan I Pelawa Sari, 2017

Mikroba Potensial dalam Pengendalian Biologi Patogen Tumbuhan MENGENAL MIKROBA SAHABAT PETANI 1. Judul

Hak Cipta 2017, pada pengarang Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan dengan cara apapun juga tanpa ijin tertulis dari penulis.

Diterbitkan pertama, 2017

Hak penerbitan pada Percetakan dan Penerbit Pelawa Sari Dps.

Editor :I Ketut Suada

Desain Sampul : Samsudin Fauzi

ISBN : 978-602-8409-65-0 Gambar Cover Depan diambil dari : http://www.anti-moldchip.com/en/about.asp. Dicetak oleh Percetakan Pelawa Sari Isi diluar tanggung jawab percetakan Mikroba Potensial dalam Pengendalian Biologi Patogen Tumbuhan MENGENAL MIKROBA SAHABAT PETANI

Mengenal mikroba sahabat petani iii Prakata

Prakata

 Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Mahaesa sebab atas perkenannyalah saya dapat menyelesaikan buku ini sesuai jadwal yang telah direncanakan. Demikian pula atas izinnya semoga buku ini bermanfaat untuk kita semua dalam menyosialisasikan upaya-upaya pengendalian biologi terhadap OPT dalam bidang pertanian. Gerakan Revolusi Hijau pada tahun 1970-an, yang lebih mengutamakan penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi, walaupun sementara meningkatkan produksi pertanian, namun untuk jangka panjang menyebabkan kerusakan pada sifat sik, kimia, dan biologi tanah, yang akhirnya bermuara kepada semakin luasnya lahan kritis dan marginal di Indonesia. Revolusi hijau telah berhasil dalam mendorong produksi pertanian melalui berbagai input anorganik dalam budidaya tanaman. Berbagai jenis pestisida telah digunakan untuk pengendalian OPT dan berbagai jenis pupuk kimia telah pula diproduksi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman. Setelah itu banyak masalah yang muncul dalam pertanian seperti pH tanah menjadi turun sehingga banyak nutrisi tidak terserap tanaman walaupun diberi dalam jumlah yang banyak. OPT menjadi sulit dikendalikan akibat munculnya ketahanan OPT sehingga muncul masalah resurjensi, hama sekunder menjadi ganas, hilangnya musuh alami sehingga secara keseluruhan memaksa petani kita meningkatkan dosis pestisida yang akhirnya menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Sejak tahun 1980 muncul kesadaran akibat buruk tersebut, mulailah berbagai lembaga berusaha kembali memperhitungkan kekuatan alam yang sesungguhnya akan memberikan manfaat bagi kita tanpa merusak lingkungan. Beberapa agensia biologi Gliocladium, Trichoderma spp., Pseudomoas uorescens, Streptomyces sp. telah dieksplorasi agar mikroba tersebut dapat bekerja untuk membantu mengendalikan berbagai penyakit pada tanaman seperti rebah kecambah, penyakit akar gada dan sebagainya.  Berbagai informasi pengendalian biologi harus disosialisasian kepada semua pihak yang belum mengetahui keunggulan upaya

Mengenal mikroba sahabat petani iv Prakata biologi dalam bidang pertanian. Para petani, mahasiswa, dan praktisi lainnya yang belum meyakini manfaat upaya biologi ini perlu mendapat gambaran yang baik denganmembaca buku ini agar perubahan motorik dapat terjadi dan akibatnya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Petani sendiri sekarang harus sudah memperhatikan cara berproduksi pertanian yang sehat dan sesuai dengan persyaratan impor negara lain yang telah mulai sadar akan bahaya pestisida. Jika tidak mengindahkan cara budidaya ramah lingkungan maka produk petani kita tidak akan laku di pasaran. Oleh karena itu buku ini akan menjadi pegangan yang penting dalam meningkatkan pengetahuan petani dalam mengupayakan pengendalian patogen tanaman secara ramah lingkungan melalui penerapan cara biologi.  Terakhir, harapan kami buku ini dapat memberikan informasi mengenai banyaknya agensia biologi yang dapat dimanfaatkan dalam budidaya pertanian.

       Salam, Penulis

Mengenal mikroba sahabat petani v Daftar Isi Daftar Isi Halaman

PRAKATA …..……………………………………………...... iv DAFTAR ISI ……………………………………...….……...... vi DAFTAR TABEL ………………………………………..... viii DAFTAR GAMBAR…...... ………………………...……...... …. ix GLOSARI ……………………………………………….. xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ...... …………..……………...... 1 1.1 Pengertian Pengendalian Biologi ..………………...... 1 1.2 Peranan Pengendalian Biologi ……………………...... 2 1.3 Keuntungan Pengendalian Biologi …………………...... 5

BAB 2 JAMUR SEBAGAI AGENSIA PENGENDALI BIOLOGI PATOGEN TUMBUHAN …...... 9 2.1 Jamur adalah Mikroba Eukaryotik yang Memiliki Banyak Peran...... 9 2.2 Jamur sebagai Pengendali Patogen Tumbuhan …...... …… 11 1 Gliocladium sp. ………...... ………………...... 11 2 Phlebiopsis gigantean …………...... ….……...... 14 3 Coniothyrium minitans…...... ……...... 17 4 Arthrobotrys ………………...... ………..... 23 5 Ascocoryne ……………………...... ……...... 27 6 ...... …………………...... ……...... 29 7 Chaetomium globosum .....…………...... …...... …. 31 8 Dactylella ………………...... ….. 32 9 Sphaerellopsis ……………...... …... 34 10 Amphelomyces quisqualis …...... …………...... ….. 35 11 Myrothecium verrucaria ...... ………...... …..……...... ….. 36 12 Penicillium spp. …….……………...... …………...... 37 13 Gliocladium virens …...... ……...... ………...... …… 39 14 Trichoderma spp. …….....……...... …...... 42 15 Trichoderma viridae ……...... ……...... …. 50 16 Trichoderma koningii …...... ………...... ….. 53 17 Pythium oligandrum ………...... …...... 59 18 Talaromyces avus ………...... …...... … 71 19 Pleurotus ostreatus …...... ………...... 73

Mengenal mikroba sahabat petani vi Daftar Isi BAB 3 BAKTERI SEBAGAI AGENSIA PENGENDALI BIOLOGI PATOGEN TUMBUHAN ………...... 74 3.1 Bakteri sebagai Agensia Penghasil Siderofor …...…...…...….... 74 3.2 Rhizobakteria sebagai Agensia Pengendali Biologi...... 77 1 Pseudomonas uorescens …...... ……………...…...... …..... 79 2 Pseudomonas cepacia ……………...... …..…….....…...... 83 3 Pseudomonas chlororaphis ……………...….....……...... 83 4 Streptomyces griseoviridis ………………...... 88 5 Streptomyces violaceusniger …………....………...... 89 6 Bacillus spp. ....…………………………...... 91 7 Bdellovibrio …………………………...………...... 93 8 Agrobacterium radiobacter .....…………...………...... 95 9 Bacillus thuringiensis ………………....………...... 98

BAB 4 VIRUS SEBAGAI PENGENDALI BIOLOGI PATOGEN TUMBUHAN ……………..…...... 106 4.1 Pengelompokan Virus ……………....…….……...... 106 4.2 Virus untuk Pengendali Patogen ……..……....……...... 107 4.3 Proteksi Silang …………………………....……...... 109 4.4 Virus Entomopatogen …………….……..…...... 110

BAB 5 NEMATODA SEBAGAI AGENSIA PENGENDALI SERANGGA HAMA TUMBUHAN ………………...... 114 5.1 Pengelompokan Nematoda …………...……...... …...... 114 5.2 Nematoda Entomopatogen ………………..…....…...... 115 5.3 Mekanisme Patogenisitas Nematoda ……..…..……...... 115

BAB 6 PENGEMBANGAN AGENSIA BIOLOGI DAN KAJIAN RESIKO …………………………...... 117 6.1 Tahapan Pengembangan Agensia Hayati …...... …...... 117 6.2 Kajian Resiko…...…………....…....…...... 119 6.3 Kenapa Pengendalian Secara Biologi ……...…...……...... 121 6.4 Topik Kajian Bidang Biokontrol Patogen Tumbuhan..... 122

KEPUSTAKAAN …………………...... ……...... …... 124 GLOSARI ...... 139 INDEKS ………………………...... 141

Mengenal mikroba sahabat petani vii Daftar Tabel

Daftar Tabel

Nomor Teks Halaman

2.1 Beberapa Mikroba Yang Dapat Digunakan Untuk Agen Biokontrol Terhadap Patogen Tanaman ...... 19 2.2 Keragaman Jamur Nematofagus …………...... 33 3.1 Beberapa Jenis Siderofor Yang Dilepaskan Oleh Berbagai Jenis Mikroba ……………………...... …. 75 3.2 Metabolit Ekstraseluler Dan Enzim Yang Dihasilkan Oleh Pseudomonas Fluorescens Strain Chao ...... 82 3.3 Metabolit Ekstraseluler Dan Enzim Yang Dihasilkan Oleh Pseudomonas Fluorescens Strain Chao ...... 85 3.4 Klasikasi Toksin Bt Pada Tahun 1995 ……...... 103

Mengenal mikroba sahabat petani viii Daftar Gambar Daftar Gambar

Nomor Teks Halaman 2.1 Struktur tubuh buah Gliocladium sp. ……...... ……... 11 2.2 Oidia sebagai spora asexual P. gigantean. P. gigantea pada tunggul pinus merah (Photo: USDA-USFS, atas); Hifa Heterobasidion annosum (sebelumnya disebut Fomes annosus) yang diantagonis oleh hifa Phlebiopsis gigantea (sebelumnya disebut Peniophora gigantea). Agar cawan diberikan neutral red yang diserap oleh hifa H. basidium 15 yang merana (terlihat sebagai hifa yang lebih gelap) ...... 2.3 Jamur Heterobasidion spp. (Het) dan P. gigantea (Pg) (kanan). Suatu pewarna diberikan pada kedua jamur yang ditumbuhkan bersama pada cawan petri. Bagian jamur yang tampak hialin tetap sehat dan yang berwarna merah adalah ujung hifa Heterobasidion spp. yang rusak kena pengaruh antibiosis P. gigantea …………………………. 16 2.4 Gambar mikroskopis dengan SEM morfologi koloni dan piknidia dari nonmutants C. minitans dan mutan ZS- 1TN22803, DCmPEX6-98, CmPEX6-com, dan ZS-1. Strain hasil kultur PDA pada 20°C selama 7 hari. Baris ke tiga menunjukkan morfologi koloni. Baris ke dua menunjukkan piknidia dekat margin koloni. Baris pertama menunjukkan konidia terbentuk di piknidia. Tidak ada piknidia atau konidia terbentuk di koloni ZS-1TN22803 atau DCmPEX6-98 …………………………………..… 17 2.5 Salah satu kemasan fungisida dengan bahan aktif jamur C. minitans ………………………………………………... 18 2.6 Arthrobotrys oligospora FRESENIUS 1850. Jamur ini termasuk Divisi Eumycota, kelas Deuteromycetes (Fungi imperfecti), Ordo: Moniliales (Hyphomycetes), Famili: Moniliaceae, Subfamili: Hyalodidymae, Arthrobotrys CORDA 1839 (Sistem anamorphs menurut SACCARDO,1886) …...... ………...... …………... 24

Mengenal mikroba sahabat petani ix Daftar Gambar

2.7 Mekanisme penjeratan nematoda oleh Arthrobotrys brochopaga. (a–c) jeratan cincin. Penjeratan terjadi sangat cepat (0.1 detik), irreversible, dan dibarengi dengan peningkatan volume sel jerat sampai tingkat jeratan yang sempurna. Bars 5μm. (d-e) nematoda secara kuat terjerat pada cincin. Bar, 10 μm …...... ……………………….. 26 2.8 Jenis-jenis miselium perangkap dari jamur nematofagus (de Barron, 1977): a) nodul berperekat, b) nodul sessei berperekat, c) modikasi nodul berperekat, d) modikasi hifa perangkap yang berkontraksi, e) hifa dapat berkerut, f) hifa berperekat dua dimensi, g) hifa berperekat tiga dimensi...... 27 2.9 Ukuran spora dan bentuk tubuh buah jamur Ascocoryne...... 28 2.10 Molekul ascocorynin …………………………………... 28 2.11 Peritesia dengan seta (rambut) C. globosum (pewarnaan lactophenol cotton blue, 400×) …………………………... 31 2.12 Dactylella sp. sedang memerangkap nematoda. Cincin hifa menjerat tubuh nematoda (kiri) dan hifa tumbuh dan menempel pada permukaan telur nematoda (kanan) ..... 33 2.13 Piknidium Ampelomyces quisqualis melepaskan spora (kiri); Miselium (miselium warna putih) powdery mildew pada labu sedang diparasitisasi oleh Ampelomyces quisqualis yang telah membentuk piknidia (warna coklat).. 35 2.14 Tubuh buah Myrothecium dengan konidiofor (kiri), spora berbentuk globosa (tengah), dan koloni jamur berwarna merah (kanan) ………………………...... ……. 37 2.15 Koloni jamur Penicillium spp. dalam media agar (atas) dan struktur hifa dan tubuh buah jamur Penicillium sp. (bawah) 38 2.16 Jamur Gliocladium roseum: a, b, dan c=konia dan konidiofor, d=koloni jamur dalam media PDA ……….. 40 2.17 T. virens sedang memarasit Rhizoctonia solani (atas) Per- tumbuhan T. virens pada sklerotium dari Sclerotinia minor (bawah) ………………………………………………... 41

Mengenal mikroba sahabat petani x Daftar Gambar

2.18 Scanning elektron mikroskop pada permukaan patogen tular tanah Rhizoctonia solani setelah diparasit Trichoderma sp. Penipisan terjadi pada dinding sel akibat aktivitas enzim yang mendegradasi dinding sel. Lubang yang nampak adalah bekas penetrasi Trichoderma...... ………….. 44 2.19 Kolonisasi rambut akar tanaman jagung oleh strain T. harzianum T22 ……………………………………… 44 2.20 Peningkatan perkembangan akar dari lahan pertanaman jagung (kiri) dan kedelai (kanan) sebagai akibat kolonisasi akar oleh strain rhizosr T. harzianum T22 ……… 45 2.21 Mikoparasitasi Trichoderma terhadap patogen penyebab rebah kecambah Pythium pada permukaan tanaman kacang. Trichoderma diberi pewarnaan orange uorescent, sedangkan Pythium diberi pewarnaan hijau 2.22 Berbagai kemasan fungisida dengan bahan aktif Trichoderma: berupa powder (atas), berupa tablet (tengah), sifat antagonistik Trichoderma (bawah)...... 47 2.23 Diagram pohon jamur Trichoderma yang menunjukkan adanya keragaman spesiesnya ...... 48 2.24 Trichoderma viride. A=percabangan khas jamur; B=koloni jamur...... ………..... 49 2.25 Trichoderma koningii memarasit Sclerotinia sclerotiorum...... …..... 50 2.26 Hifa jamur Pythium oligandrum memarasit Phytophthora infestans (kiri) (Foto dari Dr. Pieter Van West University of Aberdeen Aberdeen Oomycete Laboratory College of Life Sciences and Medicine Institute of Medical Sciences Foresterhill, Aberdeen); hifa jamur P. oligandrum (b) memarasit jamur P. myriotylum (a) (kanan) ...... …...... 59 2.27 Interaksi antara P. oligandrum (Po) dan Ph. parasitica (Ph) dalam uji adu setelah 24 jam inokulasi. (a) Citra mikroskop cahaya. Kemotropisme, seperti diilustrasikan oleh perkembangan hifa P. oligandrum ke arah sel Ph. parasitica. (b) Citra mikroskop elektron. Pelekatan dan

Mengenal mikroba sahabat petani xi

Daftar Gambar

adhesi hifa P. oligandrum pada permukaan sel Ph. parasitica...... …………...... 62 2.28 Ilustrasi kejadian utama dalam interaksi antara P. oligandrum (Po) dan FORL. (1) Kontak awal antara P. oligandrum dan hifa Fusarium yang dimediasi oleh matriks khitin amorphous (Ma). (2) Pelilitan P. oligandrum disekeliling hifa Fusarium. Lilitan tersebut secara kuat mengelilingi hifa inang (panah tebal). Penetrasi melalui struktur menyerupai appressorium terlihat nyata (panah kecil). (3) Penetrasi antagonist dalam hifa inang melalui produksi enzim pendegradasi dinding sel (cell-wall-degrading enzymes). (4) Multiplikasi aktif hifa P. oligandrum dalam hifa Fusarium. (5) Pelepasan hifa P. oligandrum melalui hifa yang hampir mati FORL...... 63 2.29 Reaksi pertahanan Ph. parasitica (Ph) akibat serangan P. oligandrum (Po). (a) Dinding sel hifa Ph. parasitica secara nyata menebal pada saat terjadi kontak dengan antagonis. Setelah adhesi P. oligandrum , enzim selulolitik diproduksi dan kerusakan lapisan dinding sel luar terlihat (panah). (b) Hifa P. oligandrum mulai merusak dinding tebal sel inang dengan mengeluarkan dalam jumlah besar enzim selulolitik (panah). (c) Tahap berikutnya, P. oligandrum berhasil menembus dinding tebal sel hifa Ph. parasitica (panah) dan cepat masuk ke dalam sel mangsanya. Pelabelan dinding sel inang untuk lokalisasi selulosa dilakukan dengan kompleks eksoglukanase-emas...... 66 2.30 Skema peristiwa yang terjadi selama interaksi antara P. oligandrum (Po) dan jaringan akar tomat. (1) dan (2): Setelah inokulasi P. oligandrum, peristiwa pertama meliputi perkembangan antagonis di permukaan sel akar sebelum memasuki epidermis akar dan pertumbuhan miselium menuju pembuluh korteks. Selama 9 jam pasca inokulasi, hifa masuk korteks melalui penetrasi dinding sel inang. Pada saat itu, metabolisme hifa antagonis menjadi aktif yang ditunjukkan oleh sitoplasma yang memadat. (3) Dalam 14 jam pasca-inokulasi, hifa antagonis mengalami perubahan struktural, ditandai dengan meningkatnya vakuola dan disintegrasi sitoplasma. Metabolisme

Mengenal mikroba sahabat petani xii Daftar Gambar

fenilpropanoid dan terpenoid mulai aktif. (4) Dalam waktu 48 jam pasca-inokulasi, sel antagonis terlihat kosong yang dikelilingi oleh oogonium besar (Oo). (5) Dalam 72 jam pasca-inokulasi, perubahan hifa P. oligandrum dalam jaringan akar bertepatan dengan perkembangan respon pertahanan inang, termasuk pembentukan dinding aposisi (WA)...... ……………... 67 2.31 Gambar dari mikroskop cahaya (a, b) dan mikroskop elektron (c, d). Gambar jaringan akar tomat terinfeksi oleh FORL (F). (a) Tanaman kontrol. Hifa patogen (F) multiplikasi epidermis (Ep) dan Korteks (Co), dan mencapai jaringan pembuluh (VS). Jaringan korteks sangat terdegradasi sebagai ilustrasi oleh ketiadaan struktur dinding sel visibel (b–d). Tanaman terinokulasi P. oligandrum dan diserang FORL. Pertumbuhan patogen jamur terutama dihambat oleh epidermis (Ep) dan bagian luar korteks akar (Co). Penghambatan penyebaran patogen berasosiasi dengan penyebaran granula penuh elektron, sepertinya kaya fenol, dalam ruangan interseluler (c, panah putih) dan dengan pembentukan aposisi dinding sel (WA) pada sisi dinding sel inang potensial (HCW) penetrasi oleh patogen (d). …...... 70 2.32 Koloni jamur Talaromyces avus pada media malt- agar membentuk koloni diameter 7 cm dalam 2 minggu pada suhu 25o C ...... ………………………………….... 72

Mengenal mikroba sahabat petani xiii Glosari Glosari

A antibiosis mekanisme penghambatan suatu mikroba terhadap mikroba lain karena mikroba tersebut dapat mengeluarkan senyawa beracun baik berupa enzim maupun zat antibiotik sehingga dapat menekan pertumbuhan lawannya C crown gall disebut sebagai puru mahkota, puru/gall yang terbentuk akibat perbanyakan dan perkembangan sel karena adanya T-DNA bakteri Agrobacterium tumefaciens terintegrasi ke dalam genom sel inang dengan membawa gen yang mengekspresikan hormon yang memacu pertumbuhan sel-sel sehingga menjadi puru

D damping-off penyakit rebah kecambah pada bibit muda yang disebabkan oleh berbagai jenis jamur yaitu antara lain Pithium spp., Rhizoctonia spp. dan Sclerotium rolfsii

E enzim pelisis enzim yang mampu menguraikan/menghancurkan komponen sel sehingga komponen tersebut menjadi rusak epibiont organisme yang hidup menempel pada permukaan organisme lain yang hubungannya bersifat mutualistik atau komensalistik

G gram negative bakteri yang menyerap warna tandingan safranin sehingga warna selnya menjadi merah gram positif bakteri yang ketika diberikan serangkaian pewarnaan Gram tampak berwarna biru/keunguan karena mempertahankan warna kompleks iodium-kristal violet green revolution upaya peningkatan produktivitas pangan yang terjadi sekitar tahun 1970-an dengan menerapkan input kimiawi termasuk pupuk dan pestisida, namun akhirnya bertolak belakang dengan upaya budidaya berkelanjutan, dianggap banyak menimbulkan kerugian lingkungan sehingga diupayakan bertani secara organik

Mengenal mikroba sahabat petani xiv Glosari

H hiperparasit makhluk hidup yang memarasit makhluk hidup yang bersifat parasit (pada tanaman)

I in-vitro di dalam lingkungan buatan sebagai lawan kata in-vivo yang artinya dalam makhluk hidup ICP insecticidal crystal protein suatu protein yang diekspresikan oleh berjenis-jenis gen cry dari Bacillus thuringiensis. Masing- masing memiliki efek mematikan yang spesik terhadap serangga dengan ordo yang berbeda. Protein tersebut dapat bereaksi secara spesik dengan molekul dinding epithel usus serangga sehingga usus menjadi bocor yang mengakibatkan kematian serangga

J jamur antagonistik jamur yang dapat menekan pertumbuhan jamur parasit/pathogen tanaman baik melalui mekanisme kompetisi, parasitisme, maupun antibiosis

K klamidospora struktur istirahat jamur yang bersifat tahan terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan bagi hidupnya kompetisi persaingan untuk mendapatkan bahan makanan/ruang yang status jumlah makanan/ruang yang ada terbatas kanibal organisme yang memangsa organisme jenisnya yang sama

M mode aksi sistem yang berlaku bagi suatu proses sampai pada suatu hasil yang diharapkan

P patogen tumbuhan mikroba yang mampu menimbulkan penyakit pada tumbuhan pengendalian biologi biological control, pengendalian OPT menggunakan mahluk hidup sebagai jawaban atas kekuatiran akan bahaya penggunaan pestisida di bidang pertanian

Mengenal mikroba sahabat petani xv Glosari pgpr plant growth promoting rhizobacteria mikroba yang berasosiasi dengan akar tanaman di daerah rhizosr dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan atau meningkatkan ketahanan tanaman terhadap organisma pengganggu tanaman (OPT) parasitisme makhluk yang mengambil makanan dari makhluk lainnya sehingga merugikan makhluk lain yang diparasitnya pseudobacin siderofor uorescens kuning-kehijauan yang dihasilkan Pseudomonas uorescens yang bermanfaat untuk menekan perkecambahan spora atau pertumbuhan spora atau miselium jamur proteksi silang kekebalan terhadap virus ganas yang didapat tanaman setelah terinfeksi oleh virus lemah (vaksin)

R resurjensi lebih mengganasnya serangan hama sasaran root-knot nematode nematoda puru akar, nematode yang menempel pada akar dan menyerang sel-sel tanaman dan menyebabkan akar tanaman bengkak

S siderofor senyawa yang dikeluarkan oleh Pseudomonas uorescens yang dapat mengkhelat/mengikat zat besi (Fe3+ ) sehingga mikroba lainnya tidak mendapat cukup zat besi sehingga mikroba lain tersebut tidak dapat tumbuh. Contoh senyawa siderofor tersebut adalah pyoverdin dan pseudobacin yang diproduksi pada kondisi lingkungan tumbuh yang miskin ion besi. Ion besi sangat diperlukan oleh spora Fusarium sp. untuk berkecambah sehingga akibat tidak mendapat ion besi yang cukup maka patogen tersebut tidak dapat tumbuh dan menginfeksi tanaman

T tular tanah mikroba patogen yang hidup dalam tanah dan tiba-tiba menyerang tanaman inang

Mengenal mikroba sahabat petani xvi Pendahuluan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Pengendalian Biologi Istilah pengendalian biologi (biological control) sesungguhnya muncul saat upaya pengendalian hama tanaman menggunakan predator (Baker, 1987). Sementara pemanfaatan non- patogenik mikroba untuk menekan patogen tumbuhan yang disebut sebagai pengendalian biologi terhadap patogen tanaman muncul hampir bersamaan namun tidak disebut sebagai pengendalian biologi. Mekanisme penghambatan itu terus diteliti dan sampai tahun 1928 ditemukan penisilin oleh Alexander Fleming yang dihasilkan dari jamur Penicillium dapat menghambat pertumbuhan beberapa mikroba lainnya. Tahun 1920-an terjadi peningkatan publikasi di bidang penggunaan jamur antagonis actinomycetes atau jamur tanah secara umum. Tahun 1921, Hartley memperkenalkan jamur antagonis yang diisolasi dari tanah terhadap damping off. Selanjutnya pengendalian scab (kudis) pada kentang dapat ditekan dengan adanya jamur antagonis yang muncul dari penggunaan pupuk hijau.

Mengenal mikroba sahabat petani 1 Pendahuluan Selama beberapa tahun penelitian pengendalian biologi (biological control) sempat berhenti dan sampai pada akhirnya perhatian itu bangkit kembali ketika di kota Barkley pada tahun 1963 dilaksanakan simposium internasional pengendalian hayati dengan mengambil tema Ecology of Soilborne Plant Pathogen-Prelude to Biological Control. Pengendalian hayati semakin bergairah lagi ketika diterbitkannya buku dengan judul Biological Control of Plant Pathogens pada tahun 1974 yang disusun oleh Baker dan Cook. Sekarang telah pula disadari bahwasanya cara pengendalian secara hayati diyakini memegang peran yang penting di tengah kekuatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan kimia sebagai pestisida.

1.2. Peranan Pengendalian Biologi Pertanian modern di seluruh dunia saat ini dibebani oleh berbagai tuntutan mendesak untuk mengatasi berbagai kemelut dunia. Selain pertanian itu harus memenuhi kebutuhan pangan penduduk, sektor ini harus pula memenuhi tuntutan ekonomi sebagai penghasil devisa. Karena itu berbagai kebijakan di bidang pertanian di negara manapun selalu terkait erat dengan berbagai kebijakan di bidang lainnya termasuk bidang politik. Sebagai usaha untuk mengatasi tuntutan di atas telah menjadi satu keharusan bahwa usaha pertanian harus terus berusaha memproduksi berbagai jenis produk dalam jumlah yang banyak yang melebihi kebutuhan dalam negeri sehingga dapat pula diekspor sebagai penghasil devisa untuk pembangunan ekonomi dan politik suatu negara. Untuk memenuhi keperluan itu berbagai hal dalam budidaya pertanian perlu dipacu dengan memasukkan berbagai jenis input produksi termasuk penggunaan energi berupa pupuk dan pestisida. Tidak dapat

Mengenal mikroba sahabat petani 2 Pendahuluan disangkal lagi bahwa konsep penggunaan pupuk dan pestisida yang telah diterapkan di pertanian modern telah menunjukkan keunggulan produksi seperti tersirat dalam green revolution tahun 1970-an, namun pula tidak dipungkiri adanya berbagai efek samping seperti pencemaran lingkungan di pabrik-pabrik penghasil pupuk dan pestisida maupun di lahan pertanian yang menggunakan bahan kimia ini. Biaya produksi menjadi semakin tinggi akibat mahalnya harga yang harus ditebus petani untuk setiap kebutuhan pupuk dan pestisida per satuan luas atau per satuan produksi karena telah menjadi ketergantungan. Oleh karena itu pertanian modern sekarang dapat dicirikan sebagai usaha biaya tinggi yang menjadi masalah bagi dirinya sendiri. Masalah penggunaan pestisida tidak terbatas pada yang telah disebut di atas. Pestisida telah pula menyebabkan timbulnya strain hama dan penyakit tumbuhan yang resisten (resistensi), hama/patogen sekunder menjadi hama utama (resurjensi), terhadap bahan beracun tersebut, sehingga setiap kali usaha pengendalian terhadap organisme pengganggu ini menemui kegagalannya dan setiap kali itu pula petani ingin meningkatkan dosisnya yang akhirnya pencemaran meningkat serta biaya produksi pertanian terus meningkat. Selanjutnya mesti dihasilkan bahan kimia baru yang memerlukan biaya penelitian yang sangat mahal baik secara ekonomi maupun biaya pencemaran terhadap lingkungan yang tidak terhitung besar kerugiannya. Namun sebagai makhluk berpikir dan berbudaya, manusia berusaha mencari pemecahan masalah yang telah ditimbulkan pertanian modern tersebut yaitu untuk menggali berbagai potensi alam terutama terkait pencarian mikroba dan serangga berguna bagi meningkatkan hasil pertanian. Melalui

Mengenal mikroba sahabat petani 3 Pendahuluan berbagai penelitian, telah dibuktikan bahwa banyak jenis mikroba sangat potensial sebagai pengganti pupuk kimia dan pestisida telah ditemukan dan telah dapat diaplikasikan dengan sukses ke lapangan dalam skala luas (Hasanudin et al., 2000; Matsunaka et al., 2009 ). Sejumlah mikroba telah dilaporkan dalam berbagai penelitian efektif sebagai agen pengendalian hayati hama dan penyakit tumbuhan diantaranya adalah dari jamur yaitu genus Sporidesmium, Trichoderma, Dictyosporium, Gliocladium, Candida, Ampelomyces, Arthrobotrys, Ascocoryne, Bdellovibrio, Chaetomium, Cladosporium, Dactylella, Endothia, Coniothyrium, Clonostachys rosea, Fusarium, Gliocladium, Hansfordia, Laetisaria, Myrothecium, Nematophthora, Penicillium, Peniophora, Phialophora, Pythium, Scytalidium, Sporidesminium, Sphaerellopsiss, dan Verticillium Erwinia, dari kelompok bakteri antara lain dari genus Bacillus, Pseudomonas, Agrobacterium dan sebagainya. Keberhasilan aplikasi antibiotik dalam penanganan penyakit manusia dan binatang mengarahkan penelitian bidang pertanian kepada pengendalian secara biologi. Sangat mungkin untuk mendemonstrasikan banyak mikroba tanah dapat menghasilkan produk metabolik yang bersifat menghambat secara in-vitro. Hal ini memacu aktivitas organisme yang memproduksi antibiotik dalam tanah untuk menginduksi penekanan terhadap patogen tanaman. Faktor yang membatasi antibiosis dalam sistem tanah telah diketahui. Produksi antibiotik biasanya memerlukan karbon (C) dalam jumlah banyak. Parameter lingkungan lainnya seperti potensial matriks, reaksi tanah dalam substrat hidupnya mempengaruhi metabolisma. Ketika diproduksi, antibiotik dapat

Mengenal mikroba sahabat petani 4 Pendahuluan ditahan oleh koloid tanah. Mikroba lain dapat menggunakan antibiotik untuk sumber karbon. Oleh karena itu strategi yang beralasan tepat harus diterapkan untuk aplikasi yang berhasil untuk agen yang memproduksi antibiotik untuk mengendalikan patogen tanaman yang bersifat tular tanah (soil borne). Dalam skrining untuk mengidentikasi potensi agen biokontrol, jamur sangat sering teramati menghasilkan antibiotik dalam media kultur. Pestisida Biologi (Biological Pesticides) adalah pestisida yang diperoleh dari mikroorganisme pengganggu OPT, seperti dari bakteri patogenik, virus, dan jamur. Mikroorganisme ini secara alami memang merupakan musuh OPT, yang kemudian dikembangbiakkan untuk keperluan perlindungan tanaman. Proses pabrikasi dari mikroorganisme ini telah memungkinkan petani memakainya sebagaimana memakai pestisida lainnya dengan cara menyemprotkannya atau menebarkannya seperti Bacilus thuringiensis (Bt).

1.3. Keuntungan Pengendalian Biologi Menurut Van Emden (1976), pengendalian biologi merupakan salah satu pengendalian yang dinilai cukup aman karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1) selektivitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru; 2) mikroorganisme yang digunakan sudah tersedia di alam; 3) mikroorganisme yang digunakan dapat mencari dan menemukan inangnya; 4) dapat berkembang biak dan menyebar; 5) hama tidak menjadi resisten, dan atau kalaupun terjadi sangat lambat; dan 6) pengendalian berjalan dengan sendirinya. Sosromarsono (1993), mengkategorikan pengendalian biologi menjadi dua bagian, yaitu: 1) pengendalian biologi alami, yaitu

Mengenal mikroba sahabat petani 5 Pendahuluan pengendalian hama dengan musuh alami, tanpa campur tangan manusia; dan 2) pengendalian biologi terapan, yaitu pengendalian biologi dengan campur tangan manusia. Serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan salah satu faktor pembatas dalam peningkatan produksi pertanian. Untuk pengendalian OPT, jalan pintas yang sering dilakukan adalah menggunakan pestisida kimia, padahal penggunaan pestisida yang tidak bijaksana banyak menimbulkan dampak negatif, antara lain terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Memperhatikan pengaruh negatif pestisida tersebut, perlu dicari cara pengendalian yang lebih aman dan akrab dengan lingkungan. Hal ini sesuai dengan konsepsi pengendalian hama terpadu (PHT), bahwa pengendalian OPT dilaksanakan dengan mempertahankan kelestarian lingkungan, aman bagi produsen dan konsumen serta menguntungkan bagi petani. Berikutnya disampaikan berbagai jenis mikroba baik itu jamur, bakteri, virus dan sebagainya yang akan dipaparkan dalam buku ini yang mencakup ilustrasi gambar, klasikasi, biologi, serta mode aksi mikroba tersebut dalam menekan mikroba patogen. Mikroba antagonis merupakan suatu jasad renik yang dapat menekan, menghambat atau memusnahkan mikroba lainnya. Dengan demikian, mikroba antagonis berpeluang untuk digunakan sebagai agen hayati dalam pengendalian mikroba penyebab penyakit tanaman. Mikroba antagonis dapat berupa bakteri, jamur/cendawan, actinomycetes atau virus. Berbagai spesies mikroba antagonis telah berhasil diisolasi dan dievaluasi keefektivannya sebagai agen hayati pengendali penyakit tanaman. Bacillus subtilis, misalnya, terbukti efektif mengendalikan penyakit rebah kecambah yang disebabkan

Mengenal mikroba sahabat petani 6 Pendahuluan oleh Rhizoctonia solani pada krisan, sedangkan Pseudomonas uorescens (Pf) efektif untuk penyakit akar bengkak yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae pada caisin. Penggunaan agen pengendali hayati dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) semakin berkembang karena cara ini lebih unggul dibanding pengendalian berbasis pestisida. Beberapa keunggulan tersebut adalah: (1) aman bagi manusia, musuh alami dan lingkungan; (2) dapat mencegah timbulnya ledakan OPT sekunder; (3) produk tanaman yang dihasilkan bebas dari residu pestisida; (4) terdapat di sekitar pertanaman sehingga dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida sintetis; dan (5) menghemat biaya produksi karena aplikasi cukup dilakukan satu atau dua kali dalam satu musim panen. Secara umum mekanisme kerja agen biologi pengendali patogen tumbuhan dapat berupa antibiosis, lisis, kompetisi, dan parasitisme. Antibiosis adalah penghambatan atau perusakan melalui hasil metabolit, termasuk kemampuannya mengeluarkan zat beracun toksin. Lisis adalah destruksi, desintegrasi, disolusi, atau dekomposisi sel atau jaringan inang. Kompetisi adalah usaha untuk memperoleh keuntungan dari substrat/nutrisi inang (karbohidrat, nitrogen, faktor tumbuh) dan tempat (tempat reseptor sel, dan oksigen). Parasitisme terjadi bila organisme yang satu menyerap nutrisi dari organisme lain, bahkan hifa antagonis dapat tumbuh di dalam hifa patogen (hiperparasit). Penyakit pasca panen menyebabkan kehilangan yang banyak dalam panen buah dan sayur selama transportasi dan penyimpanan. Fungisida sintetik adalah yang utama digunakan untuk mengendalikan kehilangan kerusakan pasca panen. Akan tetapi, perkembangan terakhir untuk pengamanan pangan tersebut lebih

Mengenal mikroba sahabat petani 7 Pendahuluan bersahabat secara ekologi sebagai alternatif untuk pengendalian kehilangan pasca panen. Bagi bermacam-macam pendekatan secara biologi, penggunaan mikroba antagonistik menjadi terkenal di seluruh dunia. Beberapa penyakit pasca panen sekarang dapat dikendalikan dengan mikroba antagonis. Walaupun mekanismenya belum diketahui secara utuh, namun kompetisi nutrien dan ruang adalah yang banyak diterima, sebagai tambahan produksi antibiotika, parasitisasi langsung dan kemungkinan ketahanan terinduksi pada komoditas pasca panen adalah cara lain untuk menekan penyakit. Mikroba antagonis diaplikasikan sebelum panen atau setelah panen, tetapi pascapanen lebih efektif dibandingkan sebelum panen. Kultur campuran mikroba antagonis tampaknya memberikan hasil lebih baik dibandingkan aplikasi mikroba tunggal. Cara yang sama, ekasi antagonis dapat sangat dipacu oleh dosis rendah fungisida, garam aditif, dan perlakuan sik seperti air panas, radiasi ultraviolet dan sebagainya. Pada tingkat international, berbagai mikroba antagonis seperti Debaryomyces hansenii Lodder & Krejer-van Rij, Cryptococcus laurentii Kufferath & Skinner, Bacillus subtilis (Ehrenberg) Cohn, dan Trichoderma harzianum Rifai, sedang digunakan. Produk biokontrol seperti Aspire, BioSave, dan Shemer dan sebagainya juga telah dikembangkan dan didaftarkan. Walaupun hasil teknologi cukup baik, masih perlu dilanjutkan untuk mencari potensi pemanfaatan dalam tingkatan komersial di seluruh dunia (Sharma et al., 2009). Berbagai spesies mikroorganisme telah berhasil ditemukan dan dievaluasi keefektivannya sebagai agen pengendali patogen tanaman. Beberapa agen yang telah diteliti diuraikan dalam buku ini.

Mengenal mikroba sahabat petani 8 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

BAB 2 JAMUR SEBAGAI AGEN PENGENDALI BIOLOGI PATOGEN TUMBUHAN

2.1. Jamur adalah Mikroba Eukariotik yang Memiliki Banyak Peran Hanya sekitar 80.000 sampai 120.000 spesies jamur baru dapat dideskripsikan sampai sekarang dari 1,5 miliar spesies yang menghuni bumi ini (Webster dan Weber, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa jamur merupakan bagian biodiversitas makhluk yang paling sedikit persentase spesiesnya diketahui. Jamur sebagai mikroba eukariotik ada yang bersifat menguntungkan atau dapat dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya namun ada pula yang mengganggu manusia. Secara langsung jamur dapat dikonsumsi seperti jamur tiram (Pleurotus spp.), jamur merang (Volvariella volvacea), jamur kuping Auricularia sp.) dan sebagainya. Secara tidak langsung jamur dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan seperti membantu fermentasi seperti jamur tape (Saccharomyces) dan jamur tempe (Rhizopus). Untuk membuat minuman keras dan roti digunakan pula ragi dari Saccharomyces ini. Penicillium notatum sangat berguna sebagai penghasil penisilin sedangkan P. camemberti

Mengenal mikroba sahabat petani 9 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan dan P. roqueforti adalah ragi untuk pembuatan keju. Jamur kelompok lain dapat pula membantu manusia ketika membuat kompos untuk pupuk maupun membantu menekan perkembangan mikroba lain yang mengganggu pertumbuhan tanaman budidaya. Di antara jamur yang bermanfaat membantu memerangi patogen tumbuhan adalah merupakan agen biologi (biocontrol agent) yang dapat berupa jamur antagonis (antagonistic fungi), jamur nematofagus (nematophagous fungi), jamur serangga (insect patogen). Selain bermanfaat bagi manusia tentu di lain pihak ada jamur yang merugikan manusia yang disebut sebagai patogen tanaman, perusak kayu, penghuni kulit manusia dan sebagainya. Beberapa jenis jamur isolat lokal yang telah berhasil dikemas dan diaplikasikan sebagai bahan baku biofungisida tersebut adalah Trichoderma harzianum, Gliocladium sp. dan Aspergillus niger (Purwantisari, 2008). Menurut data dari Balai Penelitian Tanaman Hias yang berada di Cianjur-Jawa Barat tahun 2004, rhizobakteria yang telah dikembangkan sebagai biofungisida di Jawa Barat khususnya antara lain: Bacillus subtilis, Bacillus polymyxa, Bacillus thuringiensis, Bacillus pantotkenticus, Burkholderia cepacia dan Pseudomonas uorescens. Pengembangan rhizobakteria sebagai agen antagonis penghambat pertumbuhan topatogen Fusarium sp. di Indonesia sendiri masih belum optimal.  Jamur patogenik menyebabkan kehilangan hasil yang sangat besar. Petani umumnya menyemprotkan fungisida sintetik sebagai tindakan preventif atau untuk mengendalikan penyakit tanaman. Kurang bijaksana atau kelebihan penggunaan spektrum luas fungisida menyebabkan pencemaran lingkungan dan munculnya patogen yang resisten. Oleh karena itu permintaan produk pertanian organik tanpa menggunakan kimia maupun pupuk kimia meningkat.

Mengenal mikroba sahabat petani 10 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Kejadian ini menyebabkan para ahli melaksanakan penelitian mengenai pengendalian terpadu terhadap penyakit tumbuhan. Termasuk pengendalian biologi menggunakan mikroba antagonis dan zat kimia yang lebih aman seperti pengawet makanan dan produk dari tanaman (Copping & Menn, 2000; Istvan, 2002). Kesempatan kali ini penulis akan kemukakan jamur yang dapat membantu manusia dalam kaitan pengendalian patogen tanaman yang sangat merugikan manusia sebagai pengganti pestisida kimiawi.

2.2. Jamur sebagai Pengendali Patogen Tumbuhan 1. Gliocladium spp. Jamur ini termasuk Kingdom fungi, Division , Subdivisio , Kelas , Ordo Hypocreales, Genus Gliocladium.

Gambar 2.1. Struktur tubuh buah Gliocladium sp. Sumber: http://www. mycology.adelaide.edu. au/images/gliocladium.gif.

Mengenal mikroba sahabat petani 11 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

G. virens adalah jamur saprot yang mudah ditemukan di berbagai jenis tanah. Jamur tanah umum ini mampu menekan patogen asal tanah termasuk Pythium spp., Rhizoctonia solani, dan Sclerotium rolfsii yang menyebabkan damping-off, root rots, dan bermacam-macam patogen bibit berbagai jenis tanaman inang. G. virens merupakan hypomycetes yang tidak membentuk fase seksual. Bereproduksi secara aseksual, menghasilkan konidia bila keadaan lembab, bertahan dalam potongan miselium yang berdinding tebal yang disebut klamidospora yang biasa terdapat pada bahan organik. Sporanya tersebar hanya melalui air, tanah, bahan organik dan tidak pernah sebagai air borne. Jamur ini adalah satu dari jamur yang didaftar sebagai agen biokontrol patogen tanaman. Strain GL-21 adalah yang pertama didaftar sebagai pestisida biologi pada tahun 1990 oleh W.R. Grace & Co. (Columbia, M.D.) untuk mengendalikan penyakit damping-off, terutama terhadap Pythium dan Rhizoctonia, patogen tanaman hias dan tanaman pangan. Formulasi dagang dijual dengan nama GlioGardTM, dalam bentuk alginate (alginate prill formulation) dan nama terakhir adalah SoilGardTM (produk Grace Biopesticides and the Biocontrol of Plant Diseases Laboratory of USDA). Kandungan merek dagang ini adalah spora jamur strain GL-21 dalam bentuk formulasi granula. Cara aplikasi adalah dengan dosis 0,001-0,00125 g/cm3 media paling lambat 3 hari sebelum tanam atau dicampur ke permukaan media tanam di bedengan pada dosis 0,001-1,0075 g/cm3 sebelum tanam. Mode aksi jamur ini adalah parasitisasi, antibiosis, kompetisi, dan eksklusi. G. virens diketahui memarasit patogen tanah seperti R. solani. Gliocladium tumbuh membungkus patogen dan

Mengenal mikroba sahabat petani 12 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan mengeluarkan enzim yang menghancurkan kutikula patogen disamping juga mengeluarkan antibiotik berspektrum luas yang disebut gliotoxin dan viridian yang mampu membunuh banyak jamur dan bakteri patogen tanah. Gliotoxin tidak pernah ditemukan di dalam formulasi, tetapi ketika spora GL-21 mulai tumbuh maka antibiotik tersebut segera terbentuk. Temperatur dan mungkin jenis bahan organik, nutrisi yang ada, dan zat kimia lain dan faktor sik memengaruhi kemampuan dan kapasitas G. virens memproduksi toksin. Membungkus benih dengan spora G. virens GL-3 lebih baik dibandingkan menggunakan fungisida kaptan maupun methyl bromide. Oraganisme yang dapat dikendalikan adalah Pythium dan Rhizoctonia. Nama dagang fungisida ini adalah SoilGard™. Spora jamur Gliocladium sp. dalam formulasi ini adalah 100.000- 10.000.000 spora/g. Bahan pembawa inokulum adalah berupa bahan organik yang berasal dari tanaman. Cara penggunaan fungisida SoilGard™ adalah sebagai berikut: 1) Aplikasi pada benih: untuk 1 kg biji dibutuhkan sekitar 100 g bahan kemasan. Campurkan 100 g inokulum Gliocladium sp. dengan 100 g nasi bubur, aduk hingga rata kemudian campurkan merata adonan tersebut dengan biji yang akan ditanam, didiamkan (inkubasi) selama 24 jam di tempat kering dan terhindar dari sinar matahari langsung. Setelah proses inkubasi selesai, biji siap untuk ditanam, 2) Aplikasi pada saat benih dipindah dari pesemaian ke lahan: campurkan sebanyak 100 g inokulum Gliocladium sp. dengan 1 liter air, kemudian rendam akar tanaman selama 10 menit. Setelah proses perendaman selesai, benih siap untuk dipindah ke lahan penanaman. 3) Aplikasi secara langsung pada tanah: campurkan sebanyak 100 g inokulum Gliocladium sp. dengan 10 kg kompos,

Mengenal mikroba sahabat petani 13 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan didiamkan (inkubasi) di tempat teduh selama satu minggu dan aplikasikan ke lahan. Rekomendasi pemakaian: Antagonis Gliocladium sp. direkomendasikan untuk segala jenis tanaman pada setiap musim untuk mengendalikan penyakit tular tanah dan memacu pertumbuhan.

2. Phlebiopsis gigantean  Phlebiopsis gigantea adalah jamur saprot umum yang menyebabkan busuk putih pada batang dan tunggul kayu konifer (tanaman daun jarum). Jamur ini digunakan sebagai pengendali biologis terhadap busuk akar annosum yang disebabkan oleh Heterobasidion spp. di Eropa Barat. Di Amerika Serikat P. gigantea digunakan sebagai pengendali biologis untuk busuk akar annosum dari tahun 1970 sampai 1995. Saat ini, Badan Perlindungan Lingkungan sedang mengkaji status P. gigantea sebagai pestisida.  Tubuh buah P. gigantea tumbuh mendatar (1 mm tebal atau kurang) di sepanjang permukaan kayu. Permukaannya memiliki rambut kecil (pilose) dan tampak berwarna merah muda atau abu-abu. P. gigantea terdapat di seluruh Amerika Utara, Amerika Tengah, Eropa, Afrika Timur, dan Asia Selatan. Jamur ini memainkan peran penting dalam dekomposisi sampah konifer.  Tubuh buah tahunan P. gigantea menghasilkan spora seksual (basidiospora) yang melayang di udara dan menyebar ke sisa- sisa kayu melalui angin dan hujan. P. gigantea juga memiliki tahap aseksual yang menghasilkan spora (oidia) dari fragmentasi miselium. Spora aseksual mudah diproduksi pada media buatan di laboratorium. Namun, produksi dan peran mereka di alam tidak jelas. Inokulasi

Mengenal mikroba sahabat petani 14 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan buatan tunggul pinus dengan P. gigantea telah terbukti secara signikan mengurangi kehadiran busuk akar annosum dalam beberapa penelitian di Inggris (Rishbeth, 1963; Tubby et al., 2008) dan di Amerika Serikat bagian Selatan (Hodges 1964; Ross & Hodges, 1981). P. gigantea juga efektif dalam menginfeksi tunggul pohon cemara. Meskipun P. gigantea umum di lingkungan, namun secara alami inokulum yang ditemukan terlalu rendah dan bersifat sporadis untuk secara efektif mengontrol Heterobasidion spp. tanpa inokulasi buatan (Rishbeth 1963; Ross 1973).

Gambar 2.2. Oidia sebagai spora asexual P. gigantean. P. gigantea pada tunggul pinus merah (Photo: USDA-USFS, atas); Hifa Heterobasidion annosum (sebelumnya disebut Fomes annosus) yang diantagonis oleh hifa Phlebiopsis gigantea (sebelumnya disebut Peniophora gigantea). Agar cawan diberikan neutral red yang diserap oleh hifa H. basidium yang merana (terlihat sebagai hifa yang lebih gelap) [Deacon, 1998]

Mengenal mikroba sahabat petani 15 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Organisme yang dikendalikan adalah Heterobasidion spp. P. gigantea memiliki mode aksi yang menarik sebagai agen kontrol biologis. Hifa jamur ini mengkolonisasi hifa Heterobasidion spp. (dan beberapa jamur lain) pada sisi kontak. Fenomena tersebut disebut sebagai interference hifa. Setiap hifa dari hifa Heterobasidion yang kontak dengan hifa P. gigantea menunjukkan gangguan lokal yang cepat yaitu protoplasma menjadi tidak teratur dan integritas membran rusak. Hal ini ditunjukkan pada gambar di sebelah kanan. Suatu pewarna diberikan pada kedua jamur yang ditumbuhkan bersama pada cawan petri, bagian jamur yang tampak hialin tetap sehat dan yang berwarna merah adalah ujung hifa Heterobasidion spp. yang rusak kena pengaruh antibiosis P. gigantea.

Gambar 2.3. Jamur Heterobasidion spp. (Het) dan P. gigantea (Pg) (kanan). Suatu pewarna diberikan pada kedua jamur yang ditumbuhkan bersama pada cawan petri. Bagian jamur yang tampak hialin tetap sehat dan yang berwarna merah adalah ujung hifa Heterobasidion spp. yang rusak kena pengaruh antibiosis P. gigantea (Deacon, J.W. 1998. Proles of Microorganisms-Biological Control: Bacillus popilliae. Disiapkan dalam kursus Microbiology 3m, (Biological Teaching Organisation, University of Edinburgh). Nama dagang/Perusahaan: Rotstop/Kemira (Hajek, 2004). Mengenal mikroba sahabat petani 16 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan 3. Coniothyrium minitans  Coniothyrium minitans adalah sebuah mikoparasit terhadap jamur patogen tanaman Sclerotinia sclerotiorum, dapat memarasit dan membusukkan baik hifa maupun sclerotia dari Sclerotinia spp. Jamur ini juga dapat menekan perkecambahan sklerotia dan menghambat infeksi lebih lanjut oleh hifa S. sclerotiorum. Oleh karena itu, keberadaannya di bidang tanaman dapat memainkan peran yang sangat penting dalam menekan penyakit Sclerotinia (Bennett et al., 2006; Boland et al., 1994). Sifat antagonis yang telah membuat C. minitans terkenal sebagai mikroorganisme kontrol biologis, dan beberapa formulasi dengan bahan aktif C. minitans telah dikembangkan dan terdaftar secara komersial (Smith et al., 2008; Yang et al., 2010).

Gambar 2.4. Gambar mikroskopis dengan SEM morfologi koloni dan piknidia dari nonmutants C. minitans dan mutan ZS-1TN22803, DCmPEX6- 98, CmPEX6-com, dan ZS-1. Strain hasil kultur PDA pada 20°C selama 7 hari. Baris ke tiga menunjukkan morfologi koloni. Baris ke dua menunjukkan piknidia dekat margin koloni. Baris pertama menunjukkan konidia terbentuk di piknidia. Tidak ada piknidia atau konidia terbentuk di koloni ZS-1TN22803 atau DCmPEX6-98 .

Mengenal mikroba sahabat petani 17 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

C. minitans adalah jamur coelomycete yang memproduksi konidia di piknidia. Memahami pembentukan konidia C. minitans pada tingkat molekuler, dapat membantu untuk meningkatkan esiensi produksi konidia, yang berguna untuk komersial agen kontrol biologis. C. minitans dapat menekan pertumbuhan jamur patogen tumbuhan seperti Sclerotinia sclerotiorum dengan mekanisme kerja bahwa C. minitans dapat mengeluarkan enzim kitinase dan β-1,3 glucanase yang dapat mendegradasi dinding sel miselium dan sklerotia inang seperti S. sclerotiorum, S. trifoliorum dan Sclerotium cepivorum. Kemasan dengan bahan aktif jamur ini yang telah beredar adalah Contans WG.

Gambar 2.5. Salah satu kemasan fungisida dengan bahan aktif jamur C. minitans (Sumber: Suwahyono, 2010).

Mengenal mikroba sahabat petani 18 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Tabel 1.1. Beberapa mikroba yang dapat digunakan untuk agen biokontrol terhadap patogen tanaman

No Nama Mikroba Organisme yang Nama Tanaman Nama dikendalikan penyakit inang dagang patogen (Perusa- haan) 1 Agrobacterium Agrobacterium kanker, solanaceae radiobacter tumefaciens crown gall/busuk mahkota 2 Bacillus subtilis Rhizoctonia crown rose, apel, solani, Pythium gall/busuk pear sp., Fusarium spp. , Sclerotium sclerotiorum, Sclerotium minor 3 Bacillus amylo- Sclerotium busuk akar, sayuran liquefaciens sclerotiorum layu 4 Bacillus Sclerotium polymyxa sclerotiorum, Sclerotium minor 5 Bacillus cereus Sclerotium busuk akar, sayuran sclerotiorum layu 6 Pseudomonas Rhizoctonia rebah padi, kapas, Intercept cepacia solani, Pythium kecambah, leguminose (Soil sp., Fusarium busuk akar ae technologies) spp. 7 Pseudomonas Fusarium rebah kapas, Cedomon uorescens oxysporum, kecambah, jagung, (BioAgri Erwinia sayuran AB) amilophora 8 Pseudomonas Sclerotium busuk akar, sayuran, Blight Ban chlororaphis sclerotiorum layu, bercak gandum A506 (Plant daun Health Technologies 9 Pseudomonas Sclerotium busuk akar, sayuran putida sclerotiorum layu 10 Pseudomonas patogen lepas patogen lepas apel, pear, Bio-Save 100, syringae panen panen jeruk 110, 1000 (EcoSciences) 11 Pseudomonas sp., patogen tanah brown path, rumput golf Biojet Azospirillum sp. dollar spot (Eco-Soil)

Mengenal mikroba sahabat petani 19 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

12 Staphylococcus Sclerotium busuk akar, sayuran spp. sclerotiorum layu 13 Ralstonia Ralstonia layu dan sayuran solanacearum solanacearum rebah semai (strain avirulen) (strain virulen) 14 Acinetobacter sp. Sclerotium busuk akar, sayuran sclerotiorum, layu Sclerotium minor 15 Pythium Rhizoctonia layu sayuran Polygabdron oligandrum solani, Pythium (tomat, (Plant spp., Fusarium kentang, Production spp., Botrytis mentimun, Institute) spp., kol), buah Phytophtora (stroberi, spp., jeruk, Aphanomyces anggur), spp., Alternaria legume, spp., Tiletia cereal, caries, canola, Pseudocercospo tanaman rella herpotri- hias, bibit choides, tanaman Gaeumanno- hutan myces graminis, 16 Streptomyces Jamur tular busuk akar berbagai Mycostop griseoviridis tanah jenis (Planet (Fusarium spp., tanaman natural, Alternaria spp. Kemira, Rhizoctonia sp., Agro Oy, Phomopsis sp., Rincon Pythium spp., Vitova) Botrytis spp.) 17 Trichoderma Heterobasi- busuk akar, sayuran Trieco viridae dium annosum, busuk leher (Ecosense Sclerotium akar, rebah Labs) sclerotiorum, semai, akar Sclerotium merah, layu minor, Pythium spp., Fusarium spp., Rhizoctonia spp. 18 Trichoderma Fusarium busuk batang, cemara, Trichodex harzianum oxysporum f.sp. busuk akar pisang batatas, Botrytis cinerea 19 Trichoderma Fusarium busuk batang, cemara, Binab harzianum dan oxysporum busuk akar pisang (Biolnivation) Trichoderma f.sp. batatas, polysporum Botrytis cinerea

Mengenal mikroba sahabat petani 20 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan 20 Trichoderma Armilaria sp., busuk akar karet, Trichopel, harzianum dan BotryosPhaeria jambu mete, Trichojet, Trichoderma sp. ketela Trichodowel, viridae pohon Trichoseal (Agrim Technologies) 21 Trichoderma spp. Rhizoctonia busuk bibit Berjenis Promot (J.H. solani, tanaman tanaman Biotech) Sclerotium (pemacu Trichoderma rolfsii, Pythium tumbuh) 2000 spp., Fusarium (Mycontrol spp. Ltd.), Biofungus (De Ceuster) 22 Trichoderma Sclerotium layu kacang pseudokoningii sclerotiorum tanah 23 Trichoderma Sclerotium layu kacang roseum sclerotiorum tanah 24 Peniophora P ultimum, layu fusarium ubi jalar gigantea Rhizoctonia solani 25 Fusarium P ultimum, rebah semai, bunga hias, Biofox oxysporum non- Fusarium busuk batang tomat, (SIAPA), patogenik oxysporum, sayuran Fusaclean Fusarium (Natural moniliforme Plant Protection) 26 Coniothyrium Sclerotium minitans sclerotiorum, Sclerotium minor, Sclerotium trifoliorum 27 Dictyosporium Sclerotium elegans sclerotiorum, Sclerotium minor 28 Fusarium Sclerotium lateritium sclerotiorum 29 Gliocladium Sclerotium layu budaya Primastop catenulatum sclerotiorum, green house (Kimira Pythium sp., agro Oy) Rhizoctonia solani, Botrytis spp., Didymella spp. 30 Gliocladium Sclerotium roseum sclerotiorum 31 Gliocladium Sclerotium virens sclerotiorum 32 Penicillium Sclerotium citrinum sclerotiorum, Sclerotium minor

Mengenal mikroba sahabat petani 21 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

33 Sporidesmium Sclerotium sclerotivorum sclerotiorum, Sclerotium minor 34 Talaromyces Sclerotium busuk akar tomat, Protus WG avus sclerotiorum, mentimun, (Prophyta, Verticillium strawberi Biologischer, dahlia, Panzenschu Rhizoctonia tz) solani 35 Teratosperma Sclerotia oligocladium sclerotiorum, Sclerotium minor, Sclerotium trifoliorum 36 Ampelomyces Powdery powdery tanaman AQ-10 quisqualis mildew mildew hortikultura (Ecogen) 37 Candida Botrytis sp., penyakit semua jenis Aspire oleophila Penicillium sp. lepas panen biji (Ecogen) 38 Coniothyrium Sclerotia layu canola, Contans minitans sclerotiorum, bunga (Prophyta), Sclerotium matahari, KONI minor, kacang (Bioved tanah, Ltd.) kedelai, sayuran 39 Phelbia gigantea Heterobasidion pohon Rotstop annosum cemara (Kemira) hutan 40 Monacrosporium nematoda Juan Li, Jinkui Yang, Lianming Liang, Ke- microscaphoides Qin Zhang. 2008. Taxonimic revision of 41 Arthrobotrys the nematodes-trapping Arthrobotrys multisecundaria multisecundaria . The Journal of Microbiology, 46 (5):513-518. 42 Clonostachys Lianming Liang, Jinkui Yang, Juan Li, rosea Yuanyuan Mo, Li Li, Xinying Zhao, Ke- Qin Zhang. 2011. Cloning and homology modeling of a serine protease gene (PrC) from the nematophagous fungus Clonostachys rosea . Annals of Microbiology 61(3): p 511-516 43 Chetomium rice blast rice blast, wheat leaf rust, tomato late blight globosum (Magnaporthe grisea) and wheat leaf rust (Puccinia recondita), and moderate in vivo antifungal activity against tomato late

Mengenal mikroba sahabat petani 22 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

tomato late blight (Phytophthora infestans). 47 Hirsutella nematofagus rhossiliensis and H. minnesotensis 48 Beauveria entomopathogen bassiana, Metharizium anisopliae, Cordyceps militaris, Verticillium lecani, Spicaria sp, dan lain-lain. 49 Pleurotus Nematoda Bengkak tomat Reference: ostreatus (isolate bengkak akar akar Khun-in, 2015 Poa3)

Sumber: Directory of Microbial Control Product and Services, 1999; Soc. Invert. Path., Rex Dufuor. 2001; Attra J.M. Whipps & Robert D.L. 2001; Fungi is Biocontrol, CAB International, Direk. Pest. Ina., 2000; Suwahyono, U. 2010. Biopestisida: Cara Membuat dan Petunjuk Penggunaan. Penebar Swadaya. Jakarta. 164p.; Saharan, G.S., N. Mehta. 2008. Sclerotinia diseases of crop plants: Biology, Ecology, and diseases management. Springer Science, Business Media B.V.

4. Arthrobotrys  Jamur ini dapat menyerang dan membunuh nematoda dengan berbagai cara/proses seperti menangkap, memparasit, menggunakan toksin, dan enzim hidrolisis. Enzim ekstraseluler mencakup serin protease, kitinase, dan collagenase sangat menentukan virulensi yang dapat menghancurkan bahan kimia penyusun kutikula nematode dan cangkang telur. Enzim protease memegang peran yang sangat penting selama infeksi dan merupakan faktor virulensi terpenting pada jamur tersebut. Jamur menggunakan apresorium untuk menembus dinding sel inang yang dibantu dengan

Mengenal mikroba sahabat petani 23 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan enzim protease dan kitinase yang dikeluarkan jamur (Yang et al., 2013). Asam linoleat [(9Z,12Z)-octadeca-9,12-dienoic acid] diketahui sebagai satu-satunya senyawa bioaktif yang terlibat dalam jamur penjerat nematoda. Senyawa tersebut muncul ketika Arthrobotrys conoides Bit 1 menjerat Caenorhabditis elegans dengan dosis letal (LD) 50 sebesar 5-10 μg/ml (Stadler et al., 1993a) .

Gambar 2.6. Arthrobotrys oligospora FRESENIUS 1850. Jamur ini termasuk Divisi Eumycota, kelas Deuteromycetes (Fungi imperfecti), Ordo: Moniliales (Hyphomycetes), Famili: Moniliaceae, Subfamili: Hyalodidymae, Arthrobotrys CORDA 1839 (Sistem anamorphs menurut SACCARDO, 1886).

Mengenal mikroba sahabat petani 24 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Yu et al. (2014) mengusulkan reklasikasi tiga genera jamur nematofagus yaitu Arthrobotrys mencakup 54 spesies, Drechslerella 14 species, dan Dactylellina mencakup 28 species.  Arthrobotrys oligospora adalah jamur yang bersifat umum di tanah, menyebar luas dan merupakan jamur nematofagus yang sangat potensial sebagai agen biokontrol nematoda. Dapat diisolasi dari kompos, pengomposan kayu, sisa binatang dan sebagainya (Drechsler, 1937). Terkait sifat pertumbuhan, hifa yang lengket, perangkap lengket jaring tiga dimensi sangat menyerupai Arthrobotrys superba (Drechsler, 1937). Konidiofor menghasilkan 20-30 kelompok yang mengandung 5-20 konidia bersel 2, ukuran panjang konidia 16-30 µm, dan lebar 8-16 µm, bagian dasar konidia lebarnya setengah kali bagian atas (Haard, 1968). Semua jenis nematode patogen tumbuhan dapat dikendalikan seperti Pratylenchus, Globodera, Heterodera, Rotylenchulus, Tylenchulus, dan Meloidogyne.  Hifa jamur Arthrobotrys mengalami modikasi menjadi seperti simpul yang dapat berkerut dan menjepit nematoda kurang dari 1 detik, hifa jamur kemudian memasuki mangsanya dan mencerna inangnya dengan menggunakan berbagai enzim (Gambar 2.6; 2.7; 2.8).

Mengenal mikroba sahabat petani 25 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

a b

c d e

Gambar 2.7. Mekanisme penjeratan nematoda oleh Arthrobotrys brochopaga. (a–c) jeratan cincin. Penjeratan terjadi sangat cepat (0.1 detik), irreversible, dan dibarengi dengan peningkatan volume sel jerat sampai tingkat jeratan yang sempurna. Bars 5 μm. (d-e) nematoda secara kuat terjerat pada cincin. Bar, 10฀ μm. Gambar di reproduksi dari Nordbring-Hertz et al. (1995a). Budi baik IWF Wissen Und Medien GmbH i.L, Göttingen.

Mengenal mikroba sahabat petani 26 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.8. Jenis-jenis miselium perangkap dari jamur nematofagus (de Barron, 1977): a) nodul berperekat, b) nodul sessei berperekat, c) modikasi nodul berperekat, d) modikasi hifa perangkap yang berkontraksi, e) hifa dapat berkerut, f) hifa berperekat dua dimensi, g) hifa berperekat tiga dimensi.

5. Ascocoryne  Karakteristik jamur ini adalah tubuh buahnya (aphotesia) berwarna pink dan kurang lebih seperti gelatin. Diameter apotesianya berukuran 0,5-1,5 cm, mulai dengan bentuk sperikal kasar, kemudian segera memipih menjadi bentuk mangkok dangkal dengan pinggiran bergelombang dengan permukaan atas halus.

Mengenal mikroba sahabat petani 27 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.9. Ukuran spora dan bentuk tubuh buah jamur Ascocoryne

Tampilan mikroskopis. Sporanya hialin, halus, dan berbentuk elips dengan dimensi ukuran 12-16 x 3-5 µm. Spora mengandung satu atau dua titik minyak. Fase tidak sempurna (conidia) membentuk spora, hialin halus dengan ukuran 3-3.5 x 1-2 µm. Askus sebagai bentuk fase seksual berbentuk silinder dengan ukuran 115-125 x 8-10 µm. Struktur paraphyses (benang steril) berbentuk silinder dengan ujung sedikit membengkak dan beberapa cabang.

Gambar 2.10. Molekul ascocorynin

Mengenal mikroba sahabat petani 28 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Terphenylquinones adalah senyawa kimia yang tersebar luas diantara jamur divisi Basidiomycetes. Ascocoryne sarcoides telah ditunjukkan mengandung terphenylquinone yang disebut ascocorynin-suatu zat kimia turunan benzoquinone. Zat warna ini akan berubah menjadi violet gelap jika berada dalam larutan basa, yaitu warna yang sama dengan tubuh buah jamur. Ascocorynin memiliki daya antibiotic tingkat sedang dan mampu menghambat bakteri Gram-positif, termasuk organisma pada sisa makanan Bacillus stearothermophilus; tetapi tidak berpengaruh pada pertumbuhan bakteri Gram-negatif, dan juga tidak efektif memiliki daya antijamur.

6. Chaetomium  C. globosum mampu menghambat perkembangan Pythium ultimum, Cochliobolus sativus (spot blotch) pada gandum di dalam laboratorium dan rumah kaca, Magnaporthe grisea (rice blast) dan Puccinia recondita (wheat leaf rust), dan Phytophthora infestans penyebab late blight. Antagonisme C. globosum terhadap patogen tersebut terjadi melalui 3 mekanisme yaitu kompetisi, mikoparasitisasi, dan antibiosis. Chaetomium mampu mengeluarkan chaetomin yang dapat menghambat perkembangan jamur lain. C. globosum bersifat endot dalam banyak jenis tanaman. Kolonisasi asimptotik meningkatkan toleransinya terhadap keracunan logam. Logam berat seperti tembaga, menekan pertumbuhan tanaman dan mengganggu proses metabolism seperti fotosintesis. Ketika tanaman jagung diberi C. globosum, tanaman menjadi tidak terganggu dan malah meningkatkan biomassa tanaman (Alhamed & Shebany, 2012). C. globosum juga hidup pada tanaman Ginkgo biloba (Xiang

Mengenal mikroba sahabat petani 29 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan et al., 2013). Tanaman ini menggunakan jamur endot untuk menekan pathogen bakteri. Isolasi askospora menurunkan gejala penyakit bakteri seperti layu, skeb apel, dan hawar biji pada tanaman yang diberi perlakuan (Cullen et al., 1984). C. globosum termasuk Klas Sordariomycetes, Ordo , Family Chaetomiaceae, Genus Chaetomium.  Chaetomium globosum adalah ascomycetes penghuni tanah dan substrat yang mengandung selulosa (Domsch & Gams, 1972). Jamur tersebut dilaporkan sebagai antagonis yang potensial terhadap berbagai patogen tanaman terutama soil borne dan seed borne. Aggarwal et al. (2004) mengemukakan antagonisme jamur ini mengikuti tiga mode aksi: kompetisi, mikoparasitisasi, dan antibiosis. Di Pietro et al. (1992) melaporkan bahwa kemampuan strain C. globosum menghasilkan chaetomin pada kultur cair berhubungan dengan aktivitasnya terhadap damping off gula bit yang disebabkan oleh Pythium ultimum. Produksi antifungal yang tinggi oleh C. globosum merupakan potensi yang tinggi terhadap penekanan spot blotch (Cochliobolus sativus) pada gandum di bawah kondisi rumah kaca (Aggarwal et al., 2004).  C. globosum F0142 yang ditumbuhkan pada kultur cair menunjukkan potensi in-vivo untuk menekan penyakit blast (Magnaporthe grisea) dan wheat leaf rust (Puccinia recondita), dan memiliki aktivitas antijamur in-vivo yang moderat terhadap late blight pada tomato (Phytophtora infestans).

Mengenal mikroba sahabat petani 30 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.11. Peritesia dengan seta (rambut) C. globosum (pewarnaan lactophenol cotton blue, 400×)

7. Chaetomium globosum  Jamur ini mampu memproduksi antibiotik cochliodinol yang telah dimanfaatkan sebagai perlakuan biji untuk mengendalikan busuk bibit fusarium pada jagung. Penggunaan antibiotik ini setara dengan perlakuan bibit menggunakan captan atau thiram. Chaetomium adalah suatu dematiaseus, jamur berbenang- benang yang mencakup genus yang banyak dari ascomycetes saprot

Mengenal mikroba sahabat petani 31 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan yang dapat ditemukan di tanah, udara, sisa tanaman, kotoran hewan, jerami, kertas, bulu burung, dan biji. Lebih dari 100 spesies telah dideskripsikan, yang paling terkenal adalah C. atrobrunneum, C. funicola, C. globosum, dan C. strumarium. C. globosum adalah spesies yang paling sering ditemukan. Beberapa sangat sering ditemukan di dalam rumah (C. elatum, C. globosum, C. murorum). Kebanyakan tumbuh baik pada suhu antara 25 dan 35°C. Kebanyakan spesies menyebabkan kerusakan pada bahan yang mengandung banyak selulosa, seperti beberapa unsur tanah, sisa kayu. Jamur tersebut memerlukan medium kaya selulosa untuk berspora. Pertumbuhan C. globosum sering dipacu jika ada Aspergillus fumigatus, yang mengeluarkan senyawa kompleks sebagai gula fosfat dan asan fosfogliserat. Koloni Chaetomium tumbuh cepat. Jamur ini terlihat seperti kapas, dan mula-mula putih, dan koloni yang tua menjadi abu-abu dan kemudian kemerahan atau kecoklatan. Secara mikroskopik, C. globosum mempunyai askospora coklat kecil yang jelas berwarna coklat berbentuk 'jeruk/lemon' atau 'bola kaki/football'. Spora terbentuk di dalam tubuh buah terlepas ke luar dan tersebarkan oleh angin, serangga, dan percikan air.

8. Dactylella  Dactylella adalah genus yang mencakup 72 spesies pada famili Orbiliaceae yang merupakan jamur penting sebagai agen biokontrol nematode (Ahren et al., 1998). Anggota genus ini membentuk struktur simpul yang berasal dari sel khusus yang memanjang. Ketika terstimulasi oleh nematode yang lewat, sel tersebut membengkak, mengencangkan simpul dan memerangkap.

Mengenal mikroba sahabat petani 32 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan nematoda. Hifanya kemudian tumbuh ke dalam tubuh nematoda dan mengabsorbsi isi sel mangsanya (Doyle, 1970).

Gambar 2.12. Dactylella sp. sedang memerangkap nematoda. Cincin hifa menjerat tubuh nematoda (kiri) dan hifa tumbuh dan menempel pada permukaan telur nematoda (kanan).

 Klasikasi jamur Dactylella: Kerajaan Jamur, Divisio Askomikota, Subdivisio Pezizomycotina, Kelas Leotiomycetes, Ordo Helotiales, Famili Orbiliaceae, Genus Dactylella spp.

Tabel 2.2. Keragaman jamur nematofagus (Webster & Weber, 2007)

No Genus Pertalian taksonomi Mode parasitisasi A Predator Acoulopage, Stylopage Zygomycota Hifa lekat Gamsylella, Dactylellina, Orbiliaceae Tombol lekat, Arthrobotrys (Dactylella, (Ascomycota) jaring dan cincin Dactylaria, Monacrosporium) tak mengencang Drechslerella (Arthrobotrys, Orbiliaceae Cincin Dactylella, Monacrosporium) (Ascomycota) mengencang Nematoctonus Pleurotaceae Tombol lekat dan (Hohenbuehelia), Pleurotus (Basidiomycota) beracun B Endoparasitik Hoptoglossa Plasmodiophoromycota Gun sel/ sel (Oomycota) senapan Myzocytium, Nematophthora Oomycota Zoospora dapat mengkista Catenaria Chytridiomycota Zoospora dapat mengkista

Mengenal mikroba sahabat petani 33 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Harposporium, Drechmeria, Clavisipitaceae Mencerna Verticillium, Hirsutella (Pyrenomycetes, Ascomycota) C Parasit telur Rhopalomyces Zygomycota Kolonisasi hifa Pochoria chlamydosporia Clavicipitaceae Kolonisasi hifa (Pyrenomycetes, Ascomycota)

Dactylella suatu genus dari 30 spesies jamur dalam ordo Helotiales (phylum Ascomycota, kingdom Fungi) yang ada berupa bentuk aseksual (anamorphs ) mengikat dan membunuh nematoda (roundworms ). Sekali mangsa tertangkap, suatu tabung penetrasi tumbuh dari hifa dan masuk ke dalam tubuh mangsa. Hifa kemudian tumbuh dan bercabang membentuk haustoria (special absorbing structures). Enzim yang dikeluarkan jamur membunuh nematoda.

9. Sphaerellopsis  Sphaerellopsis lum adalah mikoparasit terhadap Puccinia graminis subsp. graminicola, suatu jamur karat yang menyebabkan kerusakan pada beberapa tanaman. Saat musim gugur, S. lum ditemukan secara alami mengkoloni sebesar 2% uredinia dari P. graminis subsp. graminicola pada tanaman tahun pertama dan 25% uredinia pada tahun ke dua pada tanaman ryegrass. Pada percobaan pengendalian di rumah kaca dan ruang tumbuh, S. lum diaplikasikan pada karat menurunkan masa produksi spora P. graminis subsp. graminicola menjadi setengahnya yaitu dari 39.000 menjadi 18.000 spora/pustul. Masa lembab, suhu dan umur pustul ketika S. lum diinokulasi memiliki pengaruh yang jelas pada proporsi pustul.

Mengenal mikroba sahabat petani 34 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

10. Amphelomyces quisqualis Ces. (Schlidt)  Ciri-ciri dan Klasikasi. Amphelomyces quisqualis termasuk divisi Ascomycota, klas Dothideomycetes, ordo Pleosporales, family Phaesphaeriaceae dan genus Amphelomyces.   Nama lain jamur ini adalah Cicinobolus cesatii dan termasuk klas Deuteromyces. Piknidium A. quisqualis beragam dalam bentuk tergantung pada bagian yang dibentuknya. Di antara konidiofor, piknidium jamur berbentuk seperti buah pear, diantara hifa seperti gelendong, dan di dalam kleistotesium berbentuk hampi r bulat. Hifa dan konidiofor patogen embu n tepung yang tidak terinfeksi berwar n a bening, tetapi berubah menjadi putih bening segera setelah infeksi.

Gambar 2.13. Piknidium Ampelomyces quisqualis melepaskan spora (Sumber: Paul Bachi, 2007; University of Kentucky Research and Education Center) (kiri); Miselium (miselium warna putih) powdery mildew pada labu sedang diparasitisasi oleh Ampelomyces quisqualis yang telah membentuk piknidia (warna coklat). Sumber: Paul Bachi, University of Kentucky Research and Education center); Sumber: IPM Images (kanan).

Mengenal mikroba sahabat petani 35 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Sekali mikoparasit membentuk piknidium, diameter hifa dan konidiofor patogen membengkak beberapa kali dari normalnya, dan dinding piknidium mikoparasit berwarna putih kekuningan yang diamati melalui dinding sel inang. Kleistotesium yang diparasit khususnya tumpul, berwarna coklat muda, lembut, dan diameternya berkisar antara 64-130 µm. Piknidium mengandung konidium berbentuk silindris sampai gelendong, biasanya lengkung dengan ukuran 7,5-9,0 x 2,5-3,5 µm. Konidium terlepas ketika jaringan yang terparasit dimasukkan ke air bebas atau kelembaban yang mendekati jenuh. A. quisqualis Ces. adalah parasit yang agresif terhadap beberapa spesies jamur powdery mildew, termasuk terhadap Uncinula necator (Schwein) Burrill, Sphaerotheca macularis (Wallr.: Fr.) (Falk et al., 1995) dan Sphaerotheca fuliginea (Schlechtend.: Fr.) (Sundheim and Krekling, 1982; Falk et al., 1995). Mikoparasit tersebut menyerang konidia dan hifa S. fuliginea melalui kombinasi cara mekanis dan enzimatik. Hifanya tumbuh dalam hifa patogen dan menyebabkan kematian sel (Sundheim & Krekling, 1982).

11. Myrothecium verrucaria dan spesies lainnya  Jamur antagonis dengan genus Myrothecium ini mampu memproduksi verrucarin, roridin, myrothecium, dehydroverrucan, dan muconomycin. M. verrucaria telah digunakan untuk menekan penyebaran Rhizoctonia solani penyebab rebah kecambah (damping off) berbagai jenis bibit tanaman.

Mengenal mikroba sahabat petani 36 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

2-334 Myrothecium verrucario P945 F634

10

Gambar 2.14. Tubuh buah Myrothecium dengan konidiofor (kiri), spora berbentuk globosa (tengah), dan koloni jamur berwarna merah (kanan).

12. Penicillium spp. Jamur yang sangat dikenal masyarakat ini dapat menghasilkan antibiotik yang digunakan untuk membungkus biji kacang/pea yang akan digunakan sebagai benih. Penggunaan spora P. oxalicum juga dapat melindungi biji dari serangan kompleks mikroba patogen seperti Aphanomyces, Fusarium, Pythium, dan Rhizoctonia. Genus ini mencakup variasi spesies jamur yang luas sebagai sumber antibiotika. Penisilin merupakan suatu antibiotika yang dihasilkan oleh P. chrysogenum, yang secara kebetulan ditemukan oleh Alexander Fleming tahun 1929. Senyawa tersebut ditemukan mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positive (lihat beta- lactams). Potensinya sebagai antibiotika terealisasi pada akhir tahun 1930-an, dan Howard Florey dan Ernst Boris Chain memurnikannya dan mengentalkan zat kimia tersebut. Obat tersebut berhasil menyelamatkan tentara pada perang Dunia II yang menederita karena lukanya terinfeksi oleh bakteri Fleming.

Mengenal mikroba sahabat petani 37 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Griseofulvin adalah suatu obat antifungal dan berpotensi sebagai agen chemotherapeutic yang dihasilkan oleh P. griseofulvum. Spesies lain yang juga memproduksi senyawa kimia yang dapat menghambat pertumbuahn sel tumor secara in vitro adalah P. pinophilum, P. canescens, dan P. glabrum (Nicoletti et al., 2009).

Gambar 2.15. Koloni jamur Penicillium spp. dalam media agar (atas) dan struktur hifa dan tubuh buah jamur Penicillium sp. (bawah).

Mengenal mikroba sahabat petani 38 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan 13. Gliocladium virens Perkembangan penelitian yang paling intensif terkait pentingnya agen biologi yang bersifat antibiosis dalam tanah adalah ditemukannya agen biokontrol jamur yaitu Gliocladium virens dan Trichoderma spp. T. viridae dapat menghasilkan gliotoksin dalam perlakuan benih, dan P. frequentans menghasilkan frequentin, sementara P. gladioli menghasilkan asam gladiol ketika benih diperlakukan dengan jamur tersebut. Dalam suatu penelitian telah dibuktikan bahwa gliotoksin dapat melindungi biji mustard dari serangan Pythium dan merupakan agen pengendali yang paling efektif. Dalam jerami gandum yang dikubur dalam tanah menurut Wright (1956b) juga ditemukan gliotoksin. Dalam hal ini, konsentrasi antibiotik dalam agregat tanah bersifat tidak umum dan produksinya dibatasi dalam mikroniche yang relatif kaya nutrient. Oleh karena itu calon substrat yang menunjang produksi antibiotik dalam tanah adalah pelapis biji, bahan organik (sisa tanaman), dan eksudat akar. Cara kerja antagonis Gliocladium sp. terhadap patogen tular tanah adalah berupa parasitisme, kompetisi, dan antibiosis. Dilaporkan bahwa Gliocladium sp. dapat memproduksi gliovirin dan viridian yang merupakan antibiotik yang bersifat fungistatik. Gliovirin merupakan senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogen dan bakteri. Sedangkan Trichoderma harsianum dapat menghasilkan enzim kitinase dan β-1.3-glukanase melalui proses antagonis parasitisme. Jamur antagonis Gliocladium sp. dan atau Trichoderma harsianum efektif mengendalikan penyakit layu pada tanaman yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. dan patogen tular tanah lainnya.

Mengenal mikroba sahabat petani 39 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Beberapa keunggulan jamur patogen antagonis Gliocladium sp. dan atau Trichoderma harsianum sebagai fungisida alami, yaitu: (1) tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah, maupun pada aliran air, (2) aman bagi manusia dan hewan piaraan, (3) tidak menyebabkan totoksin (keracunan) pada tanaman, (4) sangat sesuai digunakan sebagai komponen pertanian organik sebagai pestisida yang dicampur dengan pupuk, dan (5) mudah diproduksi dengan teknik sederhana.

a b c

Gambar 2.16. Jamur Gliocladium roseum: a dan b = konia dan konidiofor, c=koloni jamur dalam media PDA.

` Gliocladium roseum yang dikenal sebagai jamur pohon (tree fungus) telah ditemukan dapat menghasilkan gas yang bersifat volatil yang mirip dengan diesel. Jamur tersebut dapat memecah selulosa dari sel tumbuhan dalam keadaan oksigen terbatas, langsung menjadi diesel. Strain yang mampu menghasilkan diesel ini ditemukan oleh Dr Gary Strobel, seorang professor dari Montana State University. Dr Strobel menggunakan istilah "myco-diesel" untuk jamur tersebut yang dapat digunakan sebagai alternatif penghasil etanol.

Mengenal mikroba sahabat petani 40 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.17. T. virens sedang memarasit Rhizoctonia solani (atas). Pertumbuhan T. virens pada sklerotium dari Sclerotinia minor (bawah). Sumber: Frändberg, E. 1997. Senyawa antijamur bakteri kitinolitik dari ekosistem gandum. Agraria 57. Universitas Ilmu Pertanian (SLU). ISBN, ISSN: 1401-6249, 91-576-5275-9.

Mengenal mikroba sahabat petani 41 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan 14. Trichoderma spp.  Jamur Trichoderma banyak spesiesnya yang sudah diketahui bersifat antagonis terhadap jamur patogen. T. harzianum efektif mengendalikan sklerotia dari jamur Sclerotium rolfsii yang banyak menyebabkan penyakit rebah kecambah pada tanaman inang yang diserangnya. T. polysporum efektif terhadap jamur Fomes annosus sedangkan T. viridae dapat memparasit jamur Armillaria mellea. Keunggulan jamur Trichoderma sebagai agensia pengendali hayati dibandingkan dengan jenis fungisida kimia sintetik adalah selain mampu mengendalikan jamur patogen dalam tanah, ternyata juga dapat mendorong adanya fase revitalisasi tanaman. Revitalisasi ini terjadi karena adanya mekanisme interaksi antara tanaman dan agensia aktif dalam memacu hormon pertumbuhan tanaman (Suwahyono & Wahyudi, 2004). Tahun 2002 telah berhasil diproduksi secara massal biofungisida berbahan aktif T. harzianum dalam bentuk butiran dan tepung. Biaya produksinya berkisar Rp12.000/kg (Hanudin et al., 2000). Mikroorganisme dalam satu ekosistem dapat mengadakan berbagai kemungkinan interaksi. Ada yang dapat melakukan sinergisme yaitu satu mikroorganisme dengan yang lainnya saling berinteraksi positif dan menimbulkan penyakit yang lebih parah pada tanaman yang diserangnya. Ada yang bersifat antagonis yaitu satu mikroorganisme menekan mikroorganisme yang lain sehingga kerusakan tanaman dapat dikurangi dan ada juga yang bersifat adaptif yaitu mikroorganisme satu dengan yang lainnya tidak saling mempengaruhi. Mikroorganisme yang bersifat antagonis dapat langsung menghambat patogen dengan sekresi antibiotik, berkompetisi dengan

Mengenal mikroba sahabat petani 42 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan patogen-patogen terhadap makanan atau ruang, menginduksi proses ketahanan dalam inang serta langsung berinteraksi dengan patogen (Wilson, 1991). Trichoderma sp. merupakan satu dari sekian banyak agen pengendali hayati yang telah dikembangkan dan diaplikasikan secara luas. Keberhasilan penggunaan agen hayati ini telah banyak dilaporkan di berbagai penelitian diantaranya untuk mengendalikan penyakit akar putih Rigidoporus micropus di perkebunan karet (Basuki, 1985 dalam Widyastuti et al., 1998) serta perkebunan teh (Rayati et al., 1993 dalam Widyastuti et al., 1998). Kegunaan lain yaitu bahwa agen hayati ini baik mengendalikan patogen penyebab rebah kecambah Rhizoctania solani, busuk batang Fusarium sp., akar gada Plasmodiophora brassicae, dan lain-lain. Jamur ini selain bersifat hiperparasitik terhadap beberapa patogen, diketahui pula dapat menghasilkan antibiotik yang dapat mematikan dan menghambat pertumbuhan jamur lain (Baker & Snyder, 1990 dalam Anggraeni & Suharti, 1994). Mekanisme penekanan patogen oleh Trichoderma sp. menurut Patrich & Tousson (1970) dalam Widyastuti et al., (1998) terjadi melalui proses kompetisi, parasitisme, antibiosis, atau mekanisme lain yang merugikan bagi patogen. Selain itu, jamur ini mempunyai sifat-sifat mudah didapat, penyebarannya luas, toleran terhadap zat penghambat pertumbuhan, tumbuh cepat, kompetitif, dan menghasilkan spora yang berlimpah sehingga mempermudah penyediaan jamur sebagai bahan pengendali hayati (Alan, 1990 dalam Andayaningsih, 2002).

Mengenal mikroba sahabat petani 43 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.18. Gambar menggunakan Scanning electron microscop pada permukaan patogen tular tanah Rhizoctonia solani setelah diparasit Trichoderma sp. Penipisan terjadi pada dinding sel akibat aktivitas enzim yang mendegradasi dinding sel. Lubang yang nampak adalah bekas penetrasi Trichoderma. (Photo courtesy of Ilan Chet, Hebrew University of Jerusalem).

Gambar 2.19. Kolonisasi rambut akar tanaman jagung oleh strain T. harzianum T22 (Harman, 2000. Plant Disease 84:377-393).

Mengenal mikroba sahabat petani 44 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Trichoderma spp. yang diinokulasikan ke dalam tanah dapat mampu memacu pertumbuhan tanaman kedelai, menekan serangan pada akar oleh patogen soil borne, meningkatkan daya tumbuh benih kedelai, dan menurunkan jumlah tanaman terserang patogen. Spesies jamur Trichoderma (T. harzianum dan T. viridae) merupakan jenis- jenis jamur yang berpotensi tinggi sebagai pengendali hayati yaitu menekan R. solani penyebab dumpng off pada bibit kedelai.

Gambar 2.20. Peningkatan volume akar jagung (kiri) dan kedelai (kanan) pada lahan yang diinokulasi T. harzianum T22.

Secara umum Trichoderma dapat memacu tanaman untuk tumbuh terutama akibat meningkatnya kesehatan perakaran dan meningkatkan kedalaman akar. Dalamnya akar menyebabkan tanaman lebih tahan terhadap kekeringan sebab akar mampu menjangkau sumber air yang berada lebih jauh. Adanya koloni Trichoderma strain T22 pada tanaman jagung hanya membutuhkan sekitar 40% dari kekurangan nitrogen dibandingkan yang tidak terinfeksi Trichoderma (Harman, 1991). Berbagai kemasan fungisida dengan bahan aktif Trichoderma telah banyak diproduksi diantaranya Trieco (Ecosense Labs), Trichodex, Binab (Biolnivation), Trichopel, Trichojet, Trichodowel, Trichoseal (Agrim Technologies), dan Promot

Mengenal mikroba sahabat petani 45 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

(J.H. Biotech) Trichoderma 2000 (Mycontrol Ltd.), Biofungus (De Ceuster) (Directory of Microbial Control Product and Services, 1999. Trichorderma sp. merupakan jamur antagonistik yang sangat mudah diisolasi dari tanah yang mampu menekan pertumbuhan jamur patogen berbagai tanaman (Chet, 1986).  Trichoderma mudah dikenali melalui pengamatan di bawah mikroskop dengan mencocokkan struktur tubuh buah (fruiting body ). Struktur somatik yang menjadi karakteristik jamur ini diantaranya adalah koloni dengan perkembangannya, struktur pendukung konidia (konidiofor dan alid) serta percabangannya dan bentuk konidianya (Rifai, 1969; CMI, 1988. Sementara untuk identikasi yang lebih jelas dan tegas maka diperlukan cara identikasi secara molekuler. Menurut Cook & Baker (1974), umumnya mikroba antagonis hanya aktif pada situasi asam terutama untuk aktivitas T. viridae dalam memarasit miselium jamur lain. Trichoderma dapat memproduksi senyawa toksin seperti viridin, gliotoksin, furanon (3-2- hydoxyprophyl-4-2-hexadienyl-2-5(5H)-furanon (Suwahyono & Wahyudi, 2004) dan enzim kitinase dan β -1,3 glucanase. Oleh karena itu jamur ini memiliki kemampuan menekan pertumbuhan patogen lain baik secara mekanis parasitisasi maupun cara antibiosis melalui racun yang dikeluarkannya. Parasitisasi jamur Trichoderma pada miselium jamur Pythium dapat dilihat Gambar 2.21 dan 2.25.

Mengenal mikroba sahabat petani 46 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.21. Mikoparasitasi Trichoderma terhadap patogen penyebab rebah kecambah Pythium pada permukaan tanaman kacang. Trichoderma diberi pewarnaan orange uorescent, sedangkan Pythium diberi pewarnaan dengan hijau (Hubbard et al., 1983; Phytopathology 73:655-659).

Mengenal mikroba sahabat petani 47 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.22. Berbagai kemasan fungisida dengan bahan aktif Trichoderma: berupa powder (atas), berupa tablet (tengah), sifat antagonistik Trichoderma (bawah).

Mengenal mikroba sahabat petani 48 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.23. Diagram pohon jamur Trichoderma yang menunjukkan adanya keragaman spesiesnya.

Mengenal mikroba sahabat petani 49 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

15. Trichoderma viridae  Trichoderma viride adalah jamur antagonis yang melindungi tanaman dari penyakit seperti busuk akar (root rots), layu (wilt), busuk coklat (brown rot), rebah kecambah (damping off), busuk arang (charcoal rot) dan berbagai penyakit tular-tanah pada berbagai tanaman. Pengendalian ini cocok untuk tebu, kacang-kacangan, kapas, sayuran, pisang, kelapa, cabai, jeruk, kopi, teh, karet, bunga, dan bumbu-bumbuan.

Gambar 2.24. Trichoderma viride. A = percabangan khas jamur; B = koloni jamur.

Di GreenMax AgroTech terdapat ahli yang mampu memproduksi Trichoderma viride dalam jumlah besar. Mereka sanggup memproduksi 10 ton T. viride dengan kualitas sangat baik (minimum 107 CFU per gram) per hari. Merek dagang dengan bahan aktif T. viride adalah Gmax Tricon Product. Secara rinci: formulasi: pembawa produk ini adalah talek. Produk memiliki shelf life minimum satu tahun setelah tanggal diformulasi. Komposisi: Trichoderma viride 1% (w/w). Bahan tidak aktif 98.0% (w/w), kelembaban 35%, talek 63%. Perekat (Sticking agent)-CMC 1%. Produk ini tersedia dalam kemasan menarik 1 kg dilapisi kedap udara.

Mengenal mikroba sahabat petani 50 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Kemasan tahan kerusakan dalam transportasi dan penanganannya. Kemasan juga dalam 50 kg/25 kg dalam kantong HDPE. Deskripsi produk. Trichoderma spp . adalah jamur yang ada di hampir semua jenis tanah dan habitat lainnya. Trichoderma dikenal menghasilkan beberapa enzim lisis dan antibiotik, diantaranya T. viride dan T. harzianum yang telah bersifat komersial. Strains spesies ini secara luas digunakan sebagai agen biokontrol patogen soil-borne yang terdapat pada kebanyakan habitat ekstrim.  Jamur Trichoderma dikenal untuk menekan patogen dan nematoda pada tanaman. Trichoderma mengendalikan penyakit dengan mengeluarkan beberapa enzim lisis dan melalui antibiotika. Trichoderma mengendalikan nematoda pada kondisi nematoda yang infektif, selain itu berkompetisi makanan dan ruang. Jamur ini juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui perkembangan akar yang banyak dan kuat sehingga tanaman menjadi lebih tahan kekeringan. Disamping itu jamur juga dapat melarutkan fosfat dan mikronutrien. T. harzianum menghasilkan enzim protease yang menekan Botrytis cinerea , dapat menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen lain serta menonaktifkan enzim patogen. Perlakuan benih. Untuk 1 kg benih diperlukan 40 g produk Trichoderma. Campurkan jumlah yang diperlukan dengan sejumlah yang sama sekam (rice gruel ). Dengan campuran itu, campurkan benih sejumlah yang diperlukan dan dikeringanginkan tanpa kena sinar matahari dan setelah 24 jam benih disemai. Perendaman akar bibit: campurkan 2 kg Trichoderma dengan 50 liter air. Dalam campuran ini dijaga agar akar bibit dalam keadaan terendam selama 10 menit dan gunakan bibit tersebut untuk ditransplan ke lapang. Aplikasi ke tanah: campurkan kurang lebih 5 kg Trichoderma dengan

Mengenal mikroba sahabat petani 51 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

100 kg pupuk organik, campuran dijaga pada naungan selama 1 minggu kemudian ditaburkan ke tanah. Tanaman yang dianjurkan. Trichoderma viride bersama Pseudomonas uorescens direkomendasikan untuk semua tanaman dalam seluruh musim untuk mengendalikan penyakit dan memacu pertumbuhan tanaman. Klasikasi jamur Trichoderma viride adalah: Kingdom Fungi, Filum Ascomycota, Kelas Sordariomycetes, Sub Kelas Hypocreomycetidae, Orde Hypocreales, Famili Hypocreaceae, Genus Trichoderma, Spesies T. viride Pers. (1794). Sinonim jamur ini adalah: Hypocrea contorta (Schwein) Berk. & M.A. Curtis (1875); Hypocrea rufa (Pers.) Fr., Summa veg. Scand. (1849); Hypocrea rufa f. sterilis Rifai & J. Webster (1966); Hypocrea rufa var. rufa (Pers.) Fr., Summa veg. Scand. (1849); Pyrenium lignorum Tode (1790); Sphaeria contorta Schwein. (1832); Sphaeria rufa Pers. (1796); Trichoderma lignorum (Tode) Harz (1871). T. viride adalah jamur yang menghasilkan spora secara aseksual melalui mitosis dan merupakan anamorf dari Hypocrea rufa yang merupakan teleomorf, yang merupakan fase reproduksi seksual jamur dan menghasilkan tubuh buah. Miselium T. viride dapat menghasilkan berjenis-jenis enzim termasuk selulase dan kitinase yang mendegradasi masing-masing selulosa dan kitin. Jamur tersebut langsung tumbuh di kayu, yang umumnya terbentuk dari selulosa dan pada jamur, dinding sel jamur umumnya terdiri dari kitin. Jamur ini memarasit miselia tubuh buah jamur lain termasuk mushroom yang dibudidayakan, dan telah disebut sebagai the "green mould disease of mushrooms". Jamur yang diparasit mengalami perubahan bentuk dan bentuknya tidak menarik serta hasilnya menurun. Adanya aktivitas fungisida, membuat T. viride berguna untuk

Mengenal mikroba sahabat petani 52 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

agen pengendali biologi terhadap jamur patogenik tanaman. Telah diketahui pula dapat memberikan perlindungan tanaman terhadap serangan Rhizoctonia, Pythium, dan juga Armillaria. Ditemukan secara alamiah di tanah dan efektif untuk seed dressing dalam pengendalian benih dan patogen soil-borne termasuk Rhizoctonia solani, Macrophomina phaseolina, dan Fusarium. Ketika diaplikasikan, T. viride langsung mengkoloni permukaan benih dan tidak hanya membunuh patogen yang berada pada kutikula, tetapi juga menyediakan perlindungan terhadap patogen tular tanah.  Fungisida kemasan dengan bahan aktif Trichoderma harzianum strain T-22 adalah RootShield . T. harzianum menjadi aktif ketika temperatur tanah di atas 10ºC. Pengendalian tidak efektif ketika tanah tetap dingin dan lebih efektif dalam suasana media netral atau asam dibandingkan media alkalin (>pH 8.5). Akan tetapi tidak terjadi proses pengendalian jika tidak ada akar kecuali di tanah dengan bahan organik tinggi. T. harzianum menekan jamur patogenik melalui mekanisme parasitasi. Jamur ini melilit hifa jamur patogenik dan menghasilkan enzim yang menghancurkan dinding sel. Pengamatan secara mikroskopik T. harzianum menunjukkan bahwa jamur tersebut mengoloni seluruh akar dan selalu berada pada permukaan akar. Disamping itu, T. harzianum memproduksi senyawa lain yang berperan terhadap patogen.

1 .6 Trichoderma koningii Gabungan data molekuler dan fenotip mampu membedakan berbagai spesies Trichoderma sehingga dapat ditentukan 12 spesies yaitu: (1) T. koningii dan T. ovalisporum dan spesies baru adalah T. caribbaeum var. caribbaeum, T. caribbaeum var. aequatoriale,

Mengenal mikroba sahabat petani 53 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

T. dorotheae, T. dingleyae, T. intricatum, T. koningiopsis, T. petersenii dan T. taiwanense ; (2) spesies baru lain T. rogersonii dan T. austrokoningii, dan (3) anamorf baru T. stilbohypoxyli . Trichoderma koningii s. str. adalah spesies yang tidak umum yang terdapat hanya di Eropa dan Amerika Utara; T. caribbaeum var. aequatoriale, T. koningiopsis, dan T. ovalisporum berupa endot yang diisolasi dari batang kakao ( Theobroma ) yang ditemukan di Amerika Tropis, dan T. ovalisporum dari liana berkayu (Banisteropsis caapi) di Ekuador; T. koningiopsis adalah umum di Amerika tropis tetapi diisolasi juga dari substrat alami di Afrika Timur, Eropa, dan Canada, dan dari askospora di Amerika Utara sebelah Timur dan sebagai endot pada berbagai spesies Theobroma; T. stilbohypoxyli awalnya dideskripsikan sebagai suatu parasit Stilbohypoxylon di Puerto Rico, juga ditemukan lebih umum di daerah tropis, disamping sebagai endot dari Fagus di U.K. Spesies baru dikenal hampir secara ekslusif dari teleomorfnya. Isolat T. ovalisporum dan T. koningiopsis dapat pula digunakan sebagai agen pengendali biologi.

Gambar 2.25. Trichoderma koningii memarasit Sclerotinia sclerotiorum

Mengenal mikroba sahabat petani 54 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Trichoderma koningii memarasit Sclerotinia sclerotiorum. Konidia T. koningii berkecambah dan miseliumnya tumbuh terbaik pada kondisi asam. Parasitisasi terhadap sklerotia dipicu oleh adanya nutrien eksogenus, dan optimum pada temperatur antara 20-35°C. Pada suhu 20°C, T. koningii memerlukan rata-rata 2 minggu untuk menginfeksi 50% sklerotia; terdapat kaitan yang berlawanan antara infeksi dan viabilitas sklerotia. T. koningii sanggup mempenetrasi sklerotia yang ada pada jaringan empulur (stele). Tidak ada pengaruh terhadap perkecambahan dan perkembangan Phaseolus vulgaris. Mikoparasitisasi adalah nekrotrok dan mencakup disrupsi hifa S. sclerotiorum setelah kontak. Lilitan T. koningii sekitar hifa inangnya adalah umum terjadi. Pertumbuhan yang ekstensif T. koningii dalam hifa S. sclerotiorum dicapai tanpa memproduksi struktur infeksi khusus. Pada saat parasistisasi berikutnya T. koningii bersporulasi pada potongan hifa S. sclerotiorum. Aplikasi T. koningii pada dua uji lapang sebagai perlakuan sebelum semai, pada musim semi dan panas menghasilkan penurunan yang nyata viabilitas spora sklerotia S. sclerotiorum dan meningkat secara signikan jumlah skelrotia terinfeksi T. koningii. Aplikasinya sebagai perlakuan tanah post- harvest pada musim gugur tidak dapat cukup efektif untuk sklerotia yang terlindung di batang. Dapat disimpulkan T. koningii memiliki potensi sebagai agen biokontrol S. sclerotiorum ketika diaplikasikan pada bulan panas atau iklim lebih panas. T. koningii Oudem adalah satu spesies yang paling umum dirujuk dari Trichoderma Pers, sebagai bentuk anamorf genus Hypocrea Fr. (Hypocreales, Hypocreaceae). Secara literatur, ratusan publikasi untuk spesies ini digunakan sebagai agen pengendali biologi jamur patogen tumbuhan. Diantaranya, T. koningii dilaporkan memproduksi 6-pentyl alpha pyrone, suatu senyawa

Mengenal mikroba sahabat petani 55 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan penghambat perkecambahan spora (Worasatit et al. 1994). Song et al. (2006) mengkarakterisasi trichokonins yang memiliki aktivitas antimikrobia pada T. koningii. Sebuah literature mengungkapkan peranan T. koningii pada banyak aktivitas sebagai penyangga pengendalian biologi terhadap jamur yang menyebabkan penyakit tanaman. Sebagai contoh, ltrat kultur dari T. koningii dan T. harzianum membunuh 100% nematoda (root-knot nematodes) di Sri Lanka (Sankaranarayanan et al. 1997). T. koningii juga menguntungkan kesehatan tanaman dan penyerapan nutrisi disamping itu telah dibuktikan pula sangat aktif dalam biomineralisasi kristal kalsium oksalat dalam minyak dalam tanah. Oyarbide et al. 2001) adalah referensi pertama yang menunjukkan spesies ini sebagai agen yang membentuk biomineral.

KEY TO SPECIES OF THE TRICHODERMA KONINGII AGGREGATE SPECIES BASED ON THE PHENOTYPE · 1. 95 % CI L/W of conidia 1.1–1.3...... 2 · 1. 95 % CI L/W of conidia > 1.3...... 3 · 2. 95 % CI L/W of conidia 1.2–1.3; known only from ascospore-derived cultures ...... 6. T. intricatum · 2. 95 % CI L/W of conidia 1.1–1.2; known only as an endophyte of Theobroma species and woody tissue infected with Moniliophthora perniciosa...... 9. T. ovalisporum · 3. 95 % CI L/W of conidia 1.6–1.7; colony radius on PDA after 72 h at 25 °C in darkness 50–60 mm; primarily Europe and North America ...... 7. T. koningii · 3. 95 % CI L/W of conidia L/W ≤ 1.5...... 4 · 4. Colony radius on PDA after 72 h at 25 °C in darkness ≤ 50 mm...... 5

Mengenal mikroba sahabat petani 56 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

· 4. Colony radius on PDA after 72 h at 25 °C in darkness > 50 mm ...... 11 · 5. Europe and North and Central America, Caribbean Region, Thailand; sporulating well on PDA; known from teleomorph and isolated directly from substratum ...... 6 · 5. Australia and New Zealand; often sporulating poorly on PDA; known only from teleomorph ………….... 9 · 6. Colony radius on PDA after 72 h at 25 °C in darkness 33–40 mm; North and Central America, Caribbean Region, West Africa, Europe …...... 7 · 6. Colony radius on PDA after 72 h at 25 °C in darkness > 40 mm; North America, Europe, Taiwan …………….... 8 · 7. North and Central America and Europe; conidia lacking yellow colour at any time, cultures on PDA with several conspicuous concentric rings……….... 10. T. petersenii · 7. Central and South America, Caribbean region, Africa (Ghana), United Kingdom; on stromata of pyrenomycetes, found as an endophyte in woody tissue; PDA cultures often with a diffusing yellow pigment and conidia yellow-green at least at rst ...... 12. T. stilbohypoxyli · 8. Taiwan; distal part-ascospores 3–4 × (2.5–)3.0–3.5(–4.0) μm; proximal part-ascospores (3.0–)3.5–4.5(–5.2) × 2.5–3.0 (–3.2) μm ...... 13. T. taiwanense · 8. Eastern North America and Europe; distal part-ascospores (3.0–)3.5–4.5(–5.2) × (2.5–)3.2–4.0(–5.0) μm; proximal part- ascospores (3.2–)4.2–5.2(–5.9) × (2.5–) 2.7–3.0(–3.2) μm …………………………...... 11. T. rogersonii

Mengenal mikroba sahabat petani 57 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

· 9. Colony radius on PDA after 72 h at 25 °C in darkness ca. 40 mm; 95 % CI of conidia 4.0–4.1 × 2.8–3.0 μm, L/W = 1.2–1.3…...... 5. T. dorotheae · 9. L/W of conidia 1.3–1.4; slower growing ………...... 10 · 10. Colony radius on PDA after 72 h at 25 °C in darkness 33–35 mm, 95 % CI of conidia 3.7–3.9 × 2.5–2.6 μm; cosmopolitan ...... 1. T. austrokoningii · 10. Colony radius on PDA after 72 h at 25 °C in darkness 25–30 mm; 95 % CI of conidia 4.1–4.3 × 3.1–3.2 μm; New Zealand ...... 4. T. dingleyae · 11. Colony radius on PDA and SNA after 72 h at 30 °C in darkness < 10 mm; known only as an endophyte of cacao .....3. T. caribbaeum var. aequatoriale · 11. Colony radius on PDA after 72 h at 30 °C ≥ 30 mm ...... 12 · 12. Colony radius on PDA after 72 h at 25 and 30 °C in darkness 50–60 mm; known only from ascospore isolations made in Puerto Rico and Guadeloupe...... 2. T. caribbaeum var. caribbaeum · 12. Faster growing, colony radius on PDA after 72 h at 25°C in darkness 55-70 mm; known primarily from direct isolations from substrata, rarely from ascospore isolations ...... 8. T. koningiopsis

(Dikutip dari: Samuels, G. J., L.D. Sarah , B.S. Lu, O. Petrini, H.J. Schroers, & I. S. Druzhinina. 2006. The Trichoderma koningii aggregate species. Stud Mycol. 56: 67-133. doi: 10.3114/ sim.2006.56.03, PMCID: PMC2104733).

Mengenal mikroba sahabat petani 58 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

17. Pythium oligandrum P. oligandrum diklasikasikan sebagai Kerajaan Chromalveolata, Filum Heterokontophyta, Klas Oomycetes, Ordo Pythiales, Famili Pythiaceae, Genus Pythium, Spesies P. oligandrum Dreschler. Pythium oligandrum adalah salah satu spesies Pythium yang mampu bersifat sebagai agen biologi yang dapat bertindak sebagai antagonis dari berbagai patogen. Patogen yang dapat dikendalikan oleh agen ini adalah penyebab busuk batang diantaranya: Pythium spp., Fusarium, Botrytis spp., Phytophthora spp., Aphanomyces spp., Alternaria spp., Tiletia caries, Pseudocerosporella herpotrichoides, Gaeumannomyces graminis, dan Rhizoctonia solani (Gambar 2.26).

Gambar 2.26. Hifa jamur Pythium oligandrum memarasit Phytophthora infestans (Gambar sebelah kiri) (Foto dari Dr. Pieter Van West University of Aberdeen Aberdeen Oomycete Laboratory College of Life Sciences and Medicine Institute of Medical Sciences Foresterhill, Aberdeen); hifa jamur P. oligandrum (b) memarasit jamur P. myriotylum (a) (Gambar sebelah kanan) (Ilustrasi C. Drechsler, 1943, Phytopathology 33, p. 288).

Mengenal mikroba sahabat petani 59 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Jamur kanibal ini membantu mengatasi penyakit kulit termasuk psoriasis. Secara kebetulan seorang pekerja laboratorium menemukan sifat-sifat jamur kecil, P. oligandrum terhadap manusia. Tahun 1970-an ilmuwan bernama Dasa Vesely menemukan bahwa mikroorganisme memakan jamur lain dan mulai menerapkannya di bidang pertanian untuk melindungi tanaman dari jamur parasit. Awal tahun 1990-an seorang asistennya secara tidak sengaja menumpahkan sedikit tepung yang mengandung jamur antagonis ke dalam sepatu bootnya. Dia menderita athlete's foot dan tiba-tiba semua gejalanya menghilang atau kembali sembuh seperti semula. Ketika dia sadar apa yang membantunya, dia mencoba jamur tersebut pada kaki suaminya dan ketika tahu itu berhasil juga, maka dia baru melaporkan penemuannya itu ke atasannya.  Sekitar tahun 1993 P. oligandrum untuk pertama kalinya diuji pada manusia untuk mencari apakah itu dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan jamur pada kulit, rambut, kuku jari kaki, dan kuku jari tangan. Dibuktikan bahwa jamur itu dapat pula memakan jamur tersebut dan tidak ada efek samping atau toksisitas terjadi ditemukan dalam proses tersebut dan jamur itu tidak berbahaya terhadap manusia. Akhirnya, perusahaan Czech mulai memformulasi teknik perendaman kaki athlete's foot. Itu semua membantu manusia keluar dari masalah berkeringat, gatal, dan bau busuk akibat jamuran.  Doktor Karel Mencl dari Laboratorium Mikrobiologi di Pardubice ikut dalam uji tersebut. Dia menyebut P. oligandrum sebagai "vampire" jamur sebab ketika jamur tersebut menemukan jamur lain, akan tumbuh serat halus, mempenetrasi sel dan menghisap nutrisi dari dalam sel jamur lainnya. Doktor Mencl mengatakan satu

Mengenal mikroba sahabat petani 60 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan keuntungan P. oligandrum dibandingkan zat kimia umum yang digunakan adalah bahwa jamur yang berbahaya tidak mengembangkan resistensi terhadap jamur antagonis tersebut. Jika mereka berusaha melawan jamur "kanibal", ia selalu menang dan memakan mereka, itu adalah makanan dengan rasa selera tinggi.  P. oligandrum atau yang juga disebut 'clever mushroom' diaplikasikan pada kulit dalam bentuk spora. Ketika spora tumbuh, mereka memproduksi sejumlah besar enzim dan zat lainnya yang membantunya berkembang. Enzim ini mungkin merupakan alasan kenapa jamur tersebut dapat menghilangkan penyakit kulit lain seperti psoriasis, eksim, dan bisul.  Mode aksi P. oligandrum. P. oligandrum dapat menekan patogen akar tanaman termasuk spesies Pythium lain melalui mekanisme parasitisasi (Gambar 2.26). Jamur ini mampu mengeluarkan zat oligandrin yang mengawali untuk memarasit hifa jamur lain dalam satu genus. P. oligandrum mensintesis dua tipe molekul yang berasosiasi dengan mikroba yaitu oligandrin dan protein fraksi dinding sel yang terlibat mengawali aktifasi lintasan metabolisme asam jasmine dan etilen yang akhirnya memacu induksi ketahanan lokal dan sistemik. Selain itu, P. oligandrum mampu memacu pertumbuhan tanaman karena dapat mensintesis senyawa auksin ketika jamur berinteraksi dengan akar tanaman. Senyawa auksin terbentuk melalui proses metabolisme lintasan triptamin yang mampu mengubah triptofan dan indol-3-asetaldehida menjadi senyawa seperti auksin yaitu THN2 (triptamin) yang memacu tanaman tumbuh lebih baik (Floch et al., 2003).

Mengenal mikroba sahabat petani 61 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.27. Interaksi antara P. oligandrum (Po) dan Ph. parasitica (Ph) dalam uji adu setelah 24 jam inokulasi. (a) Citra mikroskop cahaya. Kemotropisme, seperti diilustrasikan oleh perkembangan hifa P. oligandrum ke arah sel Ph. parasitica. (b) Citra mikroskop elektron. Pelekatan dan adhesi hifa P. oligandrum pada permukaan sel Ph. parasitica. Bars, 10 µm (a), 2 µm (b). Bagian (b) telah dipublikasi Picard et al. (2000a) dan diperbanyak atas izin The American Society for Microbiology (ASM).

Mengenal mikroba sahabat petani 62 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.28 Ilustrasi kejadian utama dalam interaksi antara P. oligandrum (Po) dan FORL. (1) Kontak awal antara P. oligandrum dan hifa Fusarium yang dimediasi oleh matriks khitin amorphous (Ma). (2) Pelilitan P. oligandrum disekeliling hifa Fusarium. Lilitan tersebut secara kuat mengelilingi hifa inang (panah tebal). Penetrasi melalui struktur menyerupai appressorium terlihat nyata (panah kecil). (3) Penetrasi antagonist dalam hifa inang melalui produksi enzim pendegradasi dinding sel (cell-wall-degrading enzymes). (4) Multiplikasi aktif hifa P. oligandrum dalam hifa Fusarium. (5) Pelepasan hifa P. oligandrum melalui hifa yang hampir mati FORL. Bars, 0.5 µm (1), 5 µm (2), 1 µm (3), 2 µm (4), 1 µm (5). Gambar 1, 2, dan 4 dipublikasi dalam Benhamou et al. (1999) dan direproduksi atas izin the American Society for Microbiology (ASM).

Mengenal mikroba sahabat petani 63 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Serangan mikoparasit oleh P. oligandrum biasanya mengakibatkan pembentukan beberapa struktur seperti papilla pada tempat masuk. Degradasi enzim pada dinding sel inang memberikan jalan masuk dan mensuplai karbon yang dibutuhkan untuk tumbuh aktif dan perkembangan antagonis. Di akhir proses mikoparasitisasi, hifa patogen tampak seperti kerang kosong dengan perubahan bentuk dinding sel dan melepas sel P. oligandrum dari hifa inang mati sering teramati. Kepentingan enzim pendegradasi dinding sel (cell-wall- degrading enzymes) ditunjukkan dengan baik dalam penelitian cytochemical oleh Benhamou et al. (1999), yang secara jelas menunjukkan kitin terikat dinding sel (wall-bound chitin) dan/atau selulosa banyak diubah saat penetrasi P. oligandrum. Produksi enzim selulolitik oleh P. oligandrum telah lama menjadi perdebatan sebab selulase hampir tidak terdeteksi dalam kultur media mengandung selulosa atau metil-selulosa sebagai substrat. Sebaliknya, pertumbuhan P. oligandrum dalam kehadiran dinding sel oomycetes terisolasi ke produksi masif selulase ditunjukkan pada studi oleh Picard et al. (2000a). Peneliti menunjukkan bahwa hifa Phytophthora (Ph.) parasitica, yang diekspos ke kultur ltrat P. oligandrum dibiakkan dalam media yang mengandung dinding sel Ph. parasitica, menunjukkan secara jelas pengubahan dinding sel. Informasi ini menyarankan bahwa selulase yang disintesis oleh P. oligandrum adalah mekanisme yang diinduksi sebagai respons terhadap signal yang dikeluarkan oleh patogen sendiri. Kepentingan enzim hidrolitik dalam aktivitas mikoparasitik P. oligandrum adalah juga cerminan kehadiran transkrip diduga terlibat dalam degradasi dinding sel (Horner et al., 2012). Sejumlah sekuens dari kepustakaan 

Mengenal mikroba sahabat petani 64 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan cDNA P. oligandrum telah dijelaskan memiliki peran kunci dalam degradasi karbohidrat. Interaksi P. oligandrum dengan akar tanaman. Strain P. oligandrum adalah penghuni rhizosfer, mampu menyebar ke dalam jaringan akar tanpa menimbulkan gejala (Le Floch et al., 2005; Rey et al., 1998a, b). Asosiasi erat ini sangat menguntungkan tanaman karena meningkatkan perlindungan bagi tanaman terhadap berbagai cekaman biotik melalui induksi resistensi lokal dan sistemik serta memacu pertumbuhan melalui produksi tryptamine. Telah dibuktikan bahwa antagonis tumbuh pada permukaan akar dan siap menembus epidermis sebelum menyebar dalam waktu 48 jam pada jaringan akar, termasuk pembuluh konteks.  Hal yang paling menarik dan tidak biasa adalah terjadinya degradasi hifa patogen secara tiba-tiba ketika memasuki jaringan akar tanaman. Integritas struktur hifa menjadi hancur dalam 14 jam pasca inokulasi kemudian sel oomycete perlahan hancur menjadi kosong, sementara oogonia spesik muncul (Gambar 2.29). Reaksi pertahanan tanaman, terutama ditandai dengan pembentukan aposisi dinding (Gambar 2.30), meningkat seiring waktu dengan puncak pada 72 jam pasca inokulasi. Selain itu, jalur fenilpropanoid dan terpenoid diinduksi sehingga terjadi akumulasi rishitin (dikenal sebagai toaleksin), yang terjadi setelah 14 jam pasca-inokulasi (Le Floch et al., 2005). Akibat akumulasi fenolat perubahan struktural di hifa P. oligandrum mulai terlihat, sangat masuk akal untuk mengasumsikan bahwa korelasi positif terjadi antara reaksi pertahanan tanaman dan perubahan hifa P. oligandrum.

Mengenal mikroba sahabat petani 65 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.29. Reaksi pertahanan Ph. parasitica (Ph) akibat serangan P. oligandrum (Po). (a) Dinding sel hifa Ph. parasitica secara nyata menebal pada saat terjadi kontak dengan antagonis. Setelah adhesi P. oligandrum , enzim selulolitik diproduksi dan kerusakan lapisan dinding sel luar terlihat (panah). (b) Hifa P. oligandrum mulai merusak dinding tebal sel inang dengan mengeluarkan dalam jumlah besar enzim selulolitik (panah). (c) Tahap berikutnya, P. oligandrum berhasil menembus dinding tebal sel hifa Ph. parasitica (panah) dan cepat masuk ke dalam sel mangsanya. Pelabelan dinding sel inang untuk lokalisasi selulosa dilakukan dengan kompleks eksoglukanase-emas. Bar, 1, 1,25, dan 1,5 µm, masing-masing dalam (a-c). Bagian (b) dan (c) yang diterbitkan dalam Picard et al. (2000a), direproduksi dengan izin The American Society for Microbiology (ASM ).

Mengenal mikroba sahabat petani 66 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.30. Skema peristiwa yang terjadi selama interaksi antara P. oligandrum (Po) dan jaringan akar tomat. (1) dan (2): Setelah inokulasi P. oligandrum, peristiwa pertama meliputi perkembangan antagonis di permukaan sel akar sebelum memasuki epidermis akar dan pertumbuhan miselium menuju pembuluh korteks. Selama 9 jam pasca inokulasi, hifa masuk korteks melalui penetrasi dinding sel inang. Pada saat itu, metabolisme hifa antagonis menjadi aktif yang ditunjukkan oleh sitoplasma yang memadat. (3) Dalam 14 jam pasca- inokulasi, hifa antagonis mengalami perubahan struktural, ditandai dengan meningkatnya vakuola dan disintegrasi sitoplasma. Metabolisme fenilpropanoid dan terpenoid mulai aktif. (4) Dalam waktu 48 jam pasca-inokulasi, sel antagonis terlihat kosong yang dikelilingi oleh oogonium besar (Oo). (5) Dalam 72 jam pasca- inokulasi, perubahan hifa P. oligandrum dalam jaringan akar bertepatan dengan perkembangan respon pertahanan inang, termasuk pembentukan dinding aposisi (WA). Bar: (2 dan 3), 10 µm (kiri), 0,5 µm (kanan); 4,1 µm (kiri), 10 µm (kanan); 5,1 µm. Gambar tersebut menunjukkan peristiwa 2 dan 3 yang diterbitkan dalam Le Floch et al. (2005) Hak Cipta 2001 Elsevier Masson SAS; Hak Cipta dilindungi undang-undang. Gambar kejadian no. 5 diterbitkan Benhamou et al. (1997) dan direproduksi dengan izin dari The American Phytopathological Society (APS).

Mengenal mikroba sahabat petani 67 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Pemacuan pertumbuhan oleh P. oligandrum. Le Floch et al. (2003b ) menjelaskan beberapa mekanisme kunci yang mendasari pemacuan pertumbuhan tanaman oleh P. Oligandrum adalah bahwa jamur ini mampu memproduksi triptopan (Trp), indole-3- asetaldehida (IAAld), dan triptamin (TNH2 ), senyawa seperti auksin. Mekanisme ini dikenal berlangsung di sejumlah jamur non-patogen (Frankenberger & Arshad, 1995) termasuk di P. ultimum dan Pythium kelompok F (Rey et al., 2001). Perbedaannya, bergantung pada kemampuan jamur ini dan Oomycetes untuk mengkonversi TNH2 menjadi asam indole-3-asetat (IAA), sebuah proses yang tampaknya tidak akan berlangsung di P. oligandrum. Menariknya, Le Floch et al.

(2003b) menemukan bahwa TNH2 , yang dibentuk setelah konversi Trp di larutan nutrisi tanaman yang diberi P. oligandrum, itu mudah diserap oleh sistem akar, yang mengakibatkan peningkatan berat akar karena adanya pemacuan pembentukan akar sekunder.

Sebuah jalur triptamin, mirip dengan yang ditemukan pada jamur tertentu, terjadi di tanaman tomat (Cooney & Nonhebel, 1991).

Meskipun TNH2 bukan prekursor endogen utama dari IAA di tunas tomat, ada kemungkinan bahwa masuknya TNH2 moderat asal eksternal dapat memicu sintesis IAA, yang mengarah ke peningkatan pertumbuhan tanaman tomat. Dengan demikian, TNH2 , disekresikan oleh P. oligandrum di rhizosr, kemungkinan diserap oleh sistem akar dan diubah menjadi IAA yang pada gilirannya, meningkatkan pertumbuhan tanaman.

 Induksi ketahanan oleh P. oligandrum. P. oligandrum melindungi tanaman dari infeksi patogen seperti agen pengendali biokontrol lainnya (Veloso & Diaz, 2012). Pemacu resistensi

Mengenal mikroba sahabat petani 68 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan tanaman terinduksi oleh P. oligandrum berkaitan dengan perubahan metabolisme inang yang berpusat pada sejumlah respons biokimia dan sika yang terlibat dalam membatasi penetrasi patogen dan perkembangannya dalam jaringan inang (Benhamou et al., 1997). Selain itu, secara tidak langsung juga melalui penguatan dinding sel tanaman atau secara langsung berupa aktivitas senyawa antimikroba. Seperti ditunjukkan dalam interaksi tomat–FORL, pembentukan de novo suatu kalus (callose-enriched) pada dinding sel adalah sangat esien dalam mencegah serangan patogen menuju pembuluh angkut nutrisi dan mungkin juga dalam melindungi jaringan akar bagian dalam dari senyawa totoksik berupa produk yang dapat terdifusi seperti enzim hidrolitik dan toksin (Gambar 2.30). Pelepasan toaleksin dan sintesis de novo protein lain (i.e. chitinases and β- glucanases) dapat juga terjadi pada hifa FORL dalam jaringan akar. Contoh lain yang menegaskan potensi P. oligandrum untuk menginduksi ketahanan lokal terhadap patogen tular tanah dibuktikan dengan adanya proteksi pada tomat terhadap Ralstonia solanacearum, bakteri patogen akar penyakit layu mematikan pada lebih dari 200 spesies tanaman berbeda (Genin & Denny, 2012). Pada tanaman tomat yang terinfeksi P. oligandrum, bakteri yang menyebar dalam jaringan akar secara tegas dihambat perkembangannya oleh mekanisme pertahanan tanaman struktural (Masunaka et al., 2009).

Mengenal mikroba sahabat petani 69 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Gambar 2.31. Gambar dari mikroskop cahaya (a, b) dan mikroskop elektron (c, d). Gambar jaringan akar tomat terinfeksi oleh FORL (F). (a) Tanaman kontrol. Hifa patogen (F) multiplikasi epidermis (Ep) dan Korteks (Co), dan mencapai jaringan pembuluh (VS). Jaringan korteks sangat terdegradasi sebagai ilustrasi oleh ketiadaan struktur dinding sel visibel (b–d). Tanaman terinokulasi P. oligandrum dan diserang FORL. Pertumbuhan patogen jamur terutama dihambat oleh epidermis (Ep) dan bagian luar korteks akar (Co). Penghambatan penyebaran patogen berasosiasi dengan penyebaran granula penuh elektron, sepertinya kaya fenol, dalam ruangan interseluler (c, panah putih) dan dengan pembentukan aposisi dinding sel (WA) pada sisi dinding sel inang potensial (HCW) penetrasi oleh patogen (d). Bars: 10 µm (a, b), 1 µm (c, d).

Mengenal mikroba sahabat petani 70 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Dalam rangka meningkatkan induksi ketahanan lokal terhadap jamur, oomycete, dan bekteri, P. oligandrum juga sanggup memacu resistensi terinduksi sistemik, seperti teramati dalam anggur dan tomat yang terinfeksi Botrytis cinerea, penyebab grey mould (Le Floch et al., 2003a; Mohamed et al., 2007). Peningkatan β-1,3- glucanase dan stilbene synthase transcripts, yang dibuktikan dengan RT-PCR, menunjukkan potensi P. oligandrum untuk memacu sintesis dan akumulasi dari molekul terkait pertahanan (misalnya proteins PR dan phenol).

18. Talaromyces avus Koloni jamur ini ketika ditumbuhkan pada media agar malt, akan menyebar luas, membentuk koloni dengan diameter 7-8 cm dalam 2 minggu pada pada suhu 25°C. Askus biasanya terdiri dari 8 spora, berbentuk elips sampai subglobus, ukuran askus 8-11 × 7,5-9 μm, sedangkan pada beberapa strain sedikit lebih kecil. Askosporanya berwarna kuning, mengeluarkan pigmen merah dan berwarna kemerahan seiring bertambahnya umur, kurang lebih benbetuk elips dengan ukuran 3,5-5 × 2,5-3,2 μm, kadang-kadang lebih kecil, dinding tebal, dan berduri halus dengan ukuran maksimum 0,5 μm, jarang panjangnya mencapai 1 μm.  Organisme yang dikendalikan adalah Verticillium albo-atrum, V. dahliae, V. albo-atrum, Rhizoctonia solani dan Sclerotinia sclerotiorum (Brunner et al., 2005; Gohel et al., 2006). Jamur T. avus dapat menghasilkan enzim glukosa oksidase yang efektif terhadap beberapa jamur patogen tular tanah (Murrary et al., 1997). T. avus merupakan antagonis yang sangat penting pada V. dahliae dan V. albo-atrum (Wikins et al., 2000; Vidhyasekaren, 2004). Kim & Fravel (1990) menunjukkan bahwa glukosa oksidase

Mengenal mikroba sahabat petani 71 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan yang dihasilkan oleh T. avus menghalangi pembentukan mikrosklerotia V. dahliae. Proksa et al. (1992) menunjukkan bahwa 2-metil asam sorbat yang dihasilkan oleh T. avus menghambat pertumbuhan V. albo-atrum. Disamping itu T. avus juga mampu mengeluarkan enzim kitinase yang dapat menghancurkan dinding kitin berbagai jenis jamur. T. avus ini dapat menekan perkembangan Verticillium dahliae penyebab busuk akar pada tanaman hias, pisang, dan kedelai.

Gambar 2.32. Koloni jamur Talaromyces avus pada media malt- agar membentuk koloni diameter 7 cm dalam 2 minggu pada suhu 25o C.

Mengenal mikroba sahabat petani 72 Jamur sebagai agen pengendali biologi pathogen tumbuhan

Mekanisme penekanan T. avus terhadap paogen adalah melalui mikoparasitisasi sklerotia, dan pengaruh kitinase ekstraseluler dikeluarkannya (Madi et al., 1997). Disamping itu glucose oxidase mengkatalis perubahan glukosa menjadi glukonat dan hydrogen peroksida sebagai mekanisme yang berhasil dalam menekan pathogen Verticillium dahlia Kleb. (Murray et al., 1997). Hydrogen peroxide dan antibiotic yang dihasilkan oleh T. avus menghambat melanisasi sklerotia S. Rolfsii dan V. Dahliae (Madi et al., 1997). Pecegahan sintesis melanin dalam sklerotium menyebabkan struktur istirahat menjadi lebih peka terhadap pengaruh kerusakan oleh sinar ultraviolet atau parasitisme oleh organisme lain (Hawke & Lazarovits, 1994).

19. Pleurotus ostreatus  Satu isolate Pleurotus ostreatus dari Nakhon Pathon Thailand digunakan untuk mengendalikan nematode bengkak akar. Jamur ini dapat bersifat toksik terhadap Meloidogyne incognita pada pengujian secara in-vitro. Jamur ini dapat mengkoloni telur dan memarasit nematoda muda instar 2 (juvenile 2). Filtrate jamur strain Poa3 yang ditumbuhkan pada 1% kaldu ekstrak malt bersifat toksik terhadap massa telur yaitu menurunkan daya tetas telur dan membunuh nematode juvenil 2. Melalui bioassay pada akar tomat di rumah kaca P. oleratus menekan jumlah puru pada akar tomat (Khun- in et al., 2015).

Mengenal mikroba sahabat petani 73 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

BAB 3 BAKTERI SEBAGAI AGEN PENGENDALI BIOLOGI PATOGEN TUMBUHAN

3.1. Bakteri sebagai Agen Penghasil Siderofor Bakteri sebagai agen pengendali mulai banyak dipergunakan oleh petani dalam mengendalikan mikroba patogen tanaman. Mikrosida yang mengandung bahan aktif bakteri banyak dijual di pasaran, salah satunya yang paling banyak dipergunakan adalah baterisida/fungisida yang berbahan aktif mikroba bakteri. Streptomyces dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati penyakit tanaman. Sifat bakteri yang diinginkan dapat menjadi agen pengendali biologi patogen tumbuhan adalah sebagai berikut. Siderofor (siderophore) adalah senyawa pengompleks Fe3+ atau pengkhelat besi spesik yang dihasilkan oleh beberapa jenis mikroba sperti bakteri, jamur maupun tumbuhan untuk menyembunyikan unsur besi di lingkungan rhizosr, sehingga tidak tersedia bagi perkembangan mikroba patogen. Senyawa siderofor memiliki berat molekul rendah dengan anitas yang sangat kuat terhadap besi (III). Unsur besi yang terikat tersebut menjadi tidak tersedia bagi patogen sehingga patogen menjadi tidak tumbuh (Challis, 2005). Selain peranannya sebagai agen pengikat besi (III), siderofor juga aktif sebagai faktor pertumbuhan, dan beberapa diantaranya

Mengenal mikroba sahabat petani 74 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi berpotensi sebagai antibiotik (Neilands, 1981). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa siderofor uoresen kuning-kehijauan yang dihasilkan oleh pseudomonad uorescens disebut sebagai pseudobaktin yang bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman (Neilands & Leong, 1986; Leong, 1986). Pigmen uoresen hijau- kekuningan larut dalam air, dikeluarkan oleh kebanyakan spesies Pseudomonas. Di antara spesies yang banyak diteliti sehubungan dengan pigmen ini adalah P. aeruginosa, P. ovalis, P. putida, P. syringae, P. cepacia, P. mildenbergil, P. reptilivora, P. geniculata, dan P. calciprecipitans (Loper & Buyer, 1991). Berbagai jenis siderofor yang dilepaskan oleh berbagai mikroba disajikan pada Tabel 3.1 berikut. Tabel 3.1. Beberapa jenis siderofor yang dilepaskan oleh berbagai jenis mikroba

Mengenal mikroba sahabat petani 75 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi Pseudobaktin dapat dihasilkan P. uorescens B10 jika dikulturkan pada medium stress besi. Penelitian menunjukkan bahwa pseudobactin hijau-kekuningan efektif menekan pertumbuhan E. carotovora, sementara pseudobaktin merah-kecoklatan tidak menekan pertumbuhan E. carotovora. Menurut Kloepper et al. (1980) secara in vitro, pseudobaktin menekan pertumbuhan mikroba lain karena dapat mengikat besi (III). Perlakuan tumbuhan umbi kentang dengan suspensi sel bakteri strain B10 penghasil pseudoboktin menunjukkan pertambahan pertumbuhan kentang yang berarti. Populasi jamur patogen sekitar akar juga menjadi berkurang karena perlakuan bakteri strain B10 (2,3 unit pembentukan koloni (cfu) per 10 cm akar; atau berkurang 59%) dan dengan perlakuan pseudobaktin (1,4 cfu per 10 cm akar; atau berkurang 74%) berbanding perlakuan dengan air (5,5 cfu per 10 cm akar), sedangkan perlakuan bakteri mutan tak berpendaruor yang tidak menghasilkan siderofor tidak menekan pertumbuhan E. carotovora dan tidak pula mengakibatkan pertambahan pertumbuhan pada umbi kentang meskipun akar terkoloni oleh bakteri (Kloepper et al., 1980). Hasil di atas menunjukkan bahwa pseudomonad dengan pendar uor berperan dalam mempercepat pertumbuhan tanaman karena siderofor yang dihasilkannya esien mengikat besi (III) pada zona akar, menyebabkan besi (III) tidak tersedia bagi mikroorganisme rhizoplane termasuk mikroorganisme patogen tumbuhan (Leong, 1986). Menurut Neilands & Leong (1986) sangat mungkin semua pseudomonad berpendar uor dapat menghasilkan siderofor sejenis pseudobaktin yang masing-masing berbeda dalam hal jumlah dan susunan asam amino dalam rantai peptidanya. Pseudomonad berpendar uor juga banyak diteliti sehubungan dengan kemampuan

Mengenal mikroba sahabat petani 76 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi bakteri ini sebagai perangsang tumbuh tanaman (Plant Growth Promoting Rhizobacteria=PGPR) dan menekan serangan penyakit yang disebabkan Fusarium oxysporum dan penyakit akar oleh Gaeumannomyces graminis. Mekanisme kerja PGPR diketahui sebagai senyawa yang berfungsi sebagai pemasok zat makanan, bersifat antibiosis, penghasil hormon pertumbuhan, atau penggabungan dari berbagai cara tersebut. Menurut Neilands & Leong (1986) jamur-jamur patogen tidak menunjukkan kemampuan menghasilkan siderofor jenis yang sama dengan yang dihasilkan bakteri Pseudomonas spp. sehingga jamur patogen mengalami desit unsur besi dan akibatnya pertumbuhan patogen menjadi terhambat.

3.2. Rhizokteria sebagai agen hayati untuk pengendalian jamur Fusarium sp. Pengendalian hayati khususnya pada penyakit tumbuhan dengan menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1920 sampai dengan 1930 ketika pertama kali diperkenalkan antibiotik yang dihasilkan mikroorganisme tanah. Beberapa percobaan belum berhasil sampai penelitian mengenai pengendalian hayati terhenti selama kurang lebih 20 tahun. Perhatian pakar penyakit tumbuhan terhadap metoda pengendalian hayati bangkit kembali ketika diadakan simposium internasional pengendalian hayati di Barkley pada tahun 1963. Sekarang ini sudah menjadi satu pengetahuan bahwa pengendalian hayati akan memainkan peranan penting dalam pertanian pada masa akan datang (Hasanudin, 2003). Menurut Tilak et al. (2005) dan Botelho et al. (2006), terdapat beberapa rhizobakteria yang secara in vitro terbukti memiliki

Mengenal mikroba sahabat petani 77 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi aktivitas antifungal. Hasil penelitian terkait potensi rhizobakteria tersebut sebagai antifungal melaporkan bahwa beberapa bakteri dari genus Bacillus, seperti B. subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B. megaterium, dan B. pumilus dapat berperan sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan pertumbuhan jamur Fusarium sp. (El- Hamshary & Khattab, 2008; Huang et al., 2004). Bakteri dari genus Bacillus dilaporkan dapat menghasilkan beberapa peptida yang berperan sebagai antibiotik dan antifungi, seperti: subtilin, subtilosin, mycobacillin, subsporin, ituirin, Cerexin, surfactin, bacillomycin, bacilysin, asam sianida, fengycin dan bacilysocin (Katz & Demain, 1977; Tamehiro et al., 2002; Schaechter, 2004; Berkeley et al., 2002). Sintesis antibiotik pada Bacillus dikontrol oleh beberapa gen yang ekspresinya dikontrol sesuai dengan kondisi lingkungan tempat bakteri hidup (Schaechter, 2004). Bakteri ini mampu menghasilkan enzim degradatif makromolekul yang bisa menghancurkan dinding sel jamur, seperti protease (intraseluler) dan beberapa enzim yang disekresikan pada medium seperti levansukrase, _-glukanase, _-amilase, xilanase, kitinase, dan protease (Kunst & Rapoport, 1995; Schaechter, 2004). Dinding sel Fusarium sp. tersusun atas 39% kitin, 29% glukan, 7% protein dan 6% lemak (Webster & Weber, 2007). Kandungan kitin pada dinding sel jamur Fusarium sp. ini akan memicu pembentukan enzim degradatif oleh Bacillus.  Bakteri yang termasuk dalam rhizobakteri sebagian besar berasal dari kelompok Gram negatif dari genus Pseudomonas dan beberapa dari genus Serratia (Kloepper, 1993). Selain kedua genus tersebut, genus dari Azotobacter, Azospirillum, Acetobacter, Burkholderia, dan Bacillus juga termasuk dalam rhizobakteri (Glick, 1995).

Mengenal mikroba sahabat petani 78 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi 1. Pseudomonas uorescens Pseudomonas uorescens termasuk ke dalam bakteri yang dapat ditemukan di mana saja (ubiquitous); sering kali ditemukan pada bagian tanaman (permukaan daun dan akar) dan sisa tanaman yang membusuk, tanah dan air (Bradbury, 1986), sisa-sisa makanan yang membusuk, serta kotoran hewan. Ciri yang mencolok dan mudah dilihat dari P. uorescens adalah kemampuannya menghasilkan pigmen pyoverdin dan atau fenazin pada medium King's B sehingga terlihat berpijar bila terkena sinar ultra violet. P. uorescens telah dimanfaatkan sebagai agens hayati untuk beberapa jamur dan bakteri patogen tanaman. Kemampuan P. uorescens menekan populasi patogen diasosiasikan dengan kemampuan untuk melindungi akar dari infeksi patogen tanah dengan cara mengkolonisasi permukaan akar, menghasilkan senyawa kimia seperti antijamur dan antibiotik, serta kompetisi dalam penyerapan kation Fe. Di samping itu, P. uorescens F113 juga digunakan untuk menghancurkan senyawa-senyawa beracun seperti polychlorinated biphenyls yang sangat beracun dan persisten (The National Forest and Nature Agency, 2000). P. uorescens merupakan mikroba prokariotik berupa basil (batang) termasuk gram negatif yang mudah ditemukan di tanah. Bakteri ini memiliki alat gerak berupa agella yang tersusun secara amtrikus (terdapat agella di kedua ujung). Jenis patogen yang dapat ditekan pertumbuhannya oleh bakteri ini adalah: Erwinia amylovora, Fusarium oxysporum f.sp. cubense, F. oxysporum f.sp. melonis, F. oxysporum f.sp. pisi, Gaemannomyces garaminis var. tritici yang menyebabkan pembusukan pada tanaman gandum dan sorghum. Nama dagang biopestisida dengan bahan aktif Pseudomonas ini adalah Blight Ban A506 dan perusahaan yang mengeluarkan produk ini adalah Plant Health Technologies. Mengenal mikroba sahabat petani 79 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi Klasikasi ilmiah P. uorescens adalah termasuk ke dalam kerajaan Bacteria, lum Proteobacteria, kelas Gamma Proteobacteria, ordo Pseudomonadales, famili Pseudomonadaceae, genus Pseudomonas, nama binomial spesies adalah Pseudomonas uorescens. Tipe turunannya adalah: ATCC 13525, CCUG 1253, CCEB 546, CFBP 2102, CIP 69.13, DSM 50090, JCM 5963, LMG1794, NBRC 14160, NCCB 76040, NCIMB 9046, NCTC 10038, NRRL B-14678, VKM B-894. Sinonim bakteri ini adalah: Bacillus uorescens liquefaciens Flügge (1886), Bacillus uorescens Trevisan (1889), Bacterium uorescens (Trevisan, 1889) Lehmann & Neumann (1896), Liquidomonas uorescens (Trevisan, 1889) Orla- Jensen (1909), Pseudomonas lemonnieri (Lasseur) Breed (1948), Pseudomonas schuylkilliensis (Chester, 1952), Pseudomonas washingtoniae (Pine) Elliott. Patogen/penyakit yang dikendalikan: bercak daun pada tanaman gandum, akar gada pada tanaman kubis (Plasmodiphora brassicae),

Gambar 3.1. Koloni bakteri P. uorescens tampak berpendar pada media King's B (kiri), dan morfologi individu sel bakteri dengan agella amphitrikus (kanan). Tampak crown gall pada jenis tanaman tomat yang disebabkan oleh P. uorescens (Gambar bawah).

Mengenal mikroba sahabat petani 80 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

P. fluorescens adalah bakteri yang sangat berpotensi sebagai agen pengendali hayati penyakit tanaman. P. fluorescens ini kebanyakan berada pada permukaan akar berbagai jenis tanaman. Bakteri ini dapat mengendalikan penyakit bercak daun akibat infeksi P. phaseicola pada buncis, penyakit layu Fusarium oxysporum pada gladiol, serta penyakit layu bakteri Ralstonia solanacearum pada cabai, tomat, dan jahe. Selain itu, P. fluorescens nomor isolat 9 yang ditumbuhkan pada media King's B yang mengandung FeCl3 dan disuspensikan ke dalam larutan 0,1 M MgSO4 dapat menekan serangan penyakit akar bengkak yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae pada tanaman caisin hingga 72,51% dan mempertahankan hasil panen sebanyak 84,15%. P. fluorescens mengeluarkan antibiotik, siderofor, dan metabolit sekunder lainnya yang sifatnya dapat menghambat aktivitas mikroorganisme lain. Contoh ssenyawa siderofor yaitu pyoverdin atau pseudobacin diproduksi pada kondisi lingkungan tumbuh yang miskin ion Fe. Senyawa ini mengkhelat ion Fe sehingga tidak tersedia bagi mikroorganisme lain. Ion Fe sangat diperlukan oleh spora F. oxysporum untuk berkecambah. Dengan tidak tersedianya ion Fe maka infeksi F. oxysporum ke tanaman berkurang. Beberapa jenis antibiotik yang diproduksi oleh P. fluorescens adalah pyuloteorin, oomycin, phenazine-1-carboxylic acid atau 2,4-diphloroglucinol. Antibiotik ini efektif menghambat perkembangan penyakit yang ditimbulkan oleh cendawan Gaeumannomyces tritici, Thielaiopsis basicola, dan Rhizoctonia solanacearum. Disamping menekan perkembangan populasi dan aktivitas patogen tanaman, P. fluorescens dapat memacu ketahanan tanaman terhadap penyakit. P. fluorescens strain G32r dapat memacu aktivitas enzim fenilalanin

Mengenal mikroba sahabat petani 81 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi amoliase, suatu enzim yang terlibat dalam pembentukan gen ketahanan tanaman tembakau.  Bakteri P. uorescens dapat pula mengendalikan penyakit bercak daun akibat infeksi P. phaseicola pada buncis, penyakit layu Fusarium oxysporum pada gladiol, serta penyakit layu bakteri Ralstonia solanacearum pada cabai, tomat, dan jahe. Selain itu, P. uorescens nomor isolat 9 yang ditumbuhkan pada media Kings's B yang mengandung FeCl3 yang disuspensikan dalam larutan 0,1 M

MgSO4 dapat menekan serangan Plasmodiophora brassicae (penyakit akar gada) sebesar 72,51% pada tanaman caisin.

Table 3.2. Metabolit ekstraseluler dan enzim yang dihasilkan oleh P. uorescens strain CHAO

Jenis metabolit atau Sifat Sumber enzim yang dihasilkan 2,4- Antibiotik, herbisida Keel et al. (1990, 1991, 1992); Diacetylphloroglucinola Maurhofer et al. (1992) Indoleacetate Hormon pertumbuhan Oberhansli et al. (1991) HCN Biosida Ahl et al. (1986); Voisard et al. (1989); Keel et al. (1989) Lipase Sacherer, unpublished Monoacetylphlorogluci Antibiotik Defago et al. (1990) nol Proteases Sacherer, unpublished Pyoluteorin3 Antibiotik, herbisida Defago et al. (1990) Pyrrol nitrin Antibiotik Unpublished Pyoverdine Siderofor Keel et al. (1989) Salicylate Penginduksi ketahanan Meyer et al. (1992) aMetabolit ini dideteksi pada rhizosfir gandu yang dikoloni strain CHAO (Maurhofer et al., 1991; Keel et al.,1992).

Mengenal mikroba sahabat petani 82 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

2. Pseudomonas cepacia Bakteri ini juga memiliki nama Burkholderia cepacia. Patogen/penyakit yang dikendalikan adalah jamur tular tanah seperti Rhizoctonia sp., Fusarium sp., Pythium sp. pada tanaman sayuran, gandum, dan kedelai. Berdasarkan urutan 16S rRNA, nilai homologi DNA, lipid seluler, dan komposisi asam lemak, serta karakteristik fenotipik, genus baru Burkholderia diusulkan untuk kelompok RNA homologi II dari genus Pseudomonas. Tujuh spesies dalam kelompok ini ditransfer ke genus baru. Jadi tujuh kombinasi baru yang terbentuk adalah B. cepacia (Palleroni & Holmes, 1981), B. mallei (Zopf, 1885), B. pseudomallei (Whitmore, 1913), B. caryophylli (Burkholder, 1942), B. gladioli (Severini, 1913), B. pickettii (Ralston et al., 1973) dan B. solanacearum (Smith, 1896). Nama dagang yang telah beredar adalah Deny dan perusahaan yang mengeluarkan izin produk adalah Microbial Product didistribusi oleh VILLC, Intercept: Soil Technologies.

3. Pseudomonas chlororaphis  Organisme ini biasanya merupakan heterotrof aerobik, tetapi juga telah terbukti melakukan denitrikasi dalam rhizosfir tanaman Glyceria maxima (Reed mannagrass). Produk akhir dari dentrikasi oleh P. chlororaphis cenderung N2 O (Bodelier et al., 1997). Pertumbuhan P. chlororaphis dirangsang oleh akar G. maxima, tidak hanya di rhizosr langsung, tetapi juga dalam sedimen sekitarnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa P. chlororaphis bersaing dengan Nitrosomonas europaea dalam rhizosr tanaman, tapi persaingan oksigen dikendalikan oleh kinetika oksidasi dari donor elektron, bukan kinetika pengambilan oksigen dari organisme yang

Mengenal mikroba sahabat petani 83 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi bersangkutan (Bodelier & Laanbroek, 1997). Nama dagang produk ini adalah Cedomon dan nama perusahaan yang memperoleh izin adalah BioAgri AB. Patogen yang dikendalikan adalah patogen bercak daun pada tanaman gandum. Pythium aphanidermatum penyebab rebah kecambah pada berbagai jenis bibit tanaman, soft-rot pada daun tembakau Erwinia carotovora (European, 2009). Kelasikasi bakteri ini adalah kerajaan Bakteria, lum Proteobacteria, kelas Gamma Proteobacteria, ordo Pseudomonadales, famili Pseudomonadaceae, genus Pseudomonas, spesies P. chlororaphis, subgroup chlororaph.

Gambar 3.2. Pseudomonas chlororaphis berbentuk batang (rod-shaped), tidak membentuk spora, Gram-negatif dengan satu atau lebih agella polar (Todar, 2006). Flagella ini memungkinkan pergerakan bakteri (Asano et al., 1982).

Mengenal mikroba sahabat petani 84 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

Tabel 3.3. Sifat khusus beberapa jenis Pseudomonas

Mengenal mikroba sahabat petani 85 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

Gambar 3.3. Diagram pohon hubungan Pseudomonas chlororaphis dengan spesies Pseudomonas lainnya.

Seperti dijelaskan di atas, Environmental Protection Agency Amerika Serikat (EPA) menyatakan bahwa beberapa strain P. chlororaphis bertindak sebagai fungisida yang efektif bila ditemukan in-situ, serta bila digunakan dalam inokulasi tanah. Bakteri dapat diterapkan secara langsung ke biji serealia sebelum menabur, yang telah terbukti bertindak sebagai agen biokontrol yang efektif di lebih dari 11 negara Eropa (Tombolini et al., 1999). Organisme tersebut melindungi akar dengan memproduksi antibiotik dan dengan mengikat besi yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur

Mengenal mikroba sahabat petani 86 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi patogen. P. chlororaphis juga memproduksi sitokinin dan faktor pertumbuhan tanaman lain yang membantu tanaman tumbuh dan berkembang (EPA, 2009). Khasiat P. chlororaphis sebagai agen antijamur tergantung pada karakteristik masing-masing strain, dengan demikian, beberapa perusahaan (seperti Lantmannen BioAgri AB dari Swedia) telah melakukan penelitian yang luas, membandingkan strain dan metode inokulasi (Tombolini et al., 1999).  P. chlororaphis juga telah digunakan dalam produksi akrilamida industri. Strain tertentu secara aktif menghasilkan hydrases nitrile yang menghidrasi nitril ke amida (Yamada & Kobayashi, 1996). Teknik produksi akrilamida enzimatik mengkonsumsi 30% lebih sedikit energi dan menghasilkan 7% lebih sedikit CO2 dari produksi akrilamida konvensional (termasuk uap, listrik, dan bahan baku) (OECD, 2001). Penggunaan umum dari akrilamida adalah perekat, koagulan, cat, kertas, dan penambah (ammendments) tanah (Yamada & Kobayashi, 1996). P. chlororaphis adalah bakteri heterotrok, bakteri tanah yang dapat ditemukan di rhizosr, losr, dan sekitar sedimen (Bodelier & Laanbroek, 1997). Bakteri ini bersifat mesolik dengan temperatur optimum 20-28°C (Selin et al., 2010; Bardas et al., 2009) dan tumbuh baik pada pH 6,3-7,5 (Rij ET, 2004). Beberapa strain P. chlororaphis telah ditunjukkan sebagai mikroba penghuni akar (Bloemberg et al., 2001); dapat menghasilkan beberapa jenis substansi antifungi seperti phenazine-1-carboxamide (PCN), hydrogen cyanide, enzim chitinase, dan protease (Bloemberg et al., 2001); keefektivannya sebagai agen biokontrol menjadikannya menarik dalam bidang pertanian (Selin et al., 2010); merupakan bakteri non-patogenik; aman bagi manusia dan lingkungan (EPA,

Mengenal mikroba sahabat petani 87 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

2009); sedikit laporan mengenai sifatnya dapat sebagai toksin ikan (Hatai, 1975).

4. Streptomyces griseoviridis Streptomyces griseoviridis Strain K61 adalah bakteri antagonis yang pertama diisolasi dari humus Sphagnum dari Finlandia (Tahvonen, 1982) yang efektif mengendalikan penyakit layu Fusarium pada carnation, rebah kecambah kubis, dan busuk akar pada mentimun (Tahvonen, 1988). Mikroba yang dapat berkolonisasi dengan akar tanaman sangat cocok untuk agen biokontrol terhadap patogen tular tanah. Bakteri terutama yang bersifat Gram negatif memiliki kemampuan mengkoloni akar tanaman lebih besar pada tanah alami dibandingkan agensia dari jamur. Kolonisasi S. griseoviridis tidak dapat terjadi pada seluruh jenis tanaman. Tanaman yang paling disukai menjadi simbiosisnya adalah turnip sebesar 72% dan hanya sebesar 1% pada akar wortel. Efektivitasnya sangat baik terhadap patogen berupa jamur melalui dua cara: mengkoloni akar tanaman sebelum patogen berada di sekitar akar, dan mereka mengambil ruang dan nutrisi. Bakteri ini juga dapat memproduksi beberapa jenis senyawa streptomisin yang dapat menekan pertumbuhan jamur patogen tanaman. S. griseoviridis aktif antara suhu 15-30ºC, dan dapat aktif pada kisaran pH luas yaitu 5,0-8,5 dan menjadi tidak aktif pada suhu di atas 45ºC dan di bawah 5ºC. S. griseoviridis tidak menggunakan sel tanaman hidup untuk nutrisinya dan oleh karena itu tidak berbahaya bagi tanaman, tetapi memerlukan kehadirannya untuk tumbuh secara aktif dan mengendalikan jamur patogen. Antagonis ini hanya tumbuh lambat ketika tidak ada akar yang hidup. Mikroba tersebut

Mengenal mikroba sahabat petani 88 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi tumbuh di permukaan akar dan menggunakan eksudat akar dan sel mati sebagai sumber nutrisi organik. Pengaruh antagonistik S. griseoviridis berdasar pada beberapa mekanisme yaitu kompetisi nutrisi dengan patogen, dan parasitisasi dengan menghasilkan enzim yang memecah dinding sel patogen. Disamping terhadap Pythium, S. griseoviridis juga mampu menekan Fusarium, Phytophthora, dan patogen lain. Mikroba antagonis S. griseoviridis telah dikemas dengan nama dagang Mycostop. Cara aplikasi biofungisida tersebut adalah dengan menyiramkan atau menyemprotkan kemasan tersebut dalam media air. Bakteri dalam Mycostop berkecambah dan akan tumbuh di sekitar akar tanaman. Dalam keadaan seperti itu bakteri tersebut mengadakan pertahanan biologi terhadap jamur patogen penyebab layu dan busuk akar. Para petani menggunakan Mycostop untuk mengendalikan penyakit yang diakibatkan oleh jamur Pythium, Fusarium, Botrytis, Alternaria, Phomopsis, Rhizoctonia, dan Phytophthora. Mycostop telah menunjukkan dapat meningkatkan vigor tanaman dan hasil walaupun ketidakhadiran aktivitas patogen akar yang nyata. Penjelasannya adalah Streptomyces memproduksi hormon pemacu pertumbuhan akar (yang telah didemonstrasikan di laboratorium) atau Streptomyces mengendalikan patogen akar minor.

5. Streptomyces violaceusniger strain YCED-9 Jamur ini dapat menghasilkan senyawa antibiotika yang efektif dapat menekan pertumbuhan jamur diantaranya: AFA (Anti Fusarium Activity), suatu kompleks fungisidal polyene yang menyerupai guanidylfungin A dan aktif terhadap kebanyakan jamur kecuali oomycetes; nigericin, suatu fungistatik polieter.

Mengenal mikroba sahabat petani sahabat mikroba Mengenal 89 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

Geldanamycin, a benzoquinoid polyketide yang sangat menghambat pertumbuhan miselium Pythium dan Phytophthora spp. Enzim hidrolitik kitinase dan β-1,3-glukanase yang diproduksi di bawah induksi oleh masing-masing kitin koloidal dan laminarin. Dinding sel jamur menginduksi produksi kedua enzim tersebut. Bakteri strain YCED-9 potensial untuk pengendalian biologi penyakit yang disebabkan oleh P. infestans.

Gambar 3.4. Metabolit sekender dari Streptomyces griseoviridis adalah albocycline, antibiotik tipe macrolide, menunjukkan aktivitas in- vitro, terutama terhadap Staphylococci.

Mengenal mikroba sahabat petani 90 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

6. Bacillus spp.  Kelompok bakteri yang telah banyak diteliti dan digunakan untuk agen pengendali hayati (APH) adalah genus Bacillus, di antaranya B. polimyxa, B. subtilis, dan B. thuringiensis. Bakteri- bakteri ini diketahui secara luas sebagai bakteri saprot, tidak menyebabkan penyakit pada tanaman, dapat hidup dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen), bersifat gram positif, dan membentuk spora (Bradbury, 1986). Bakteri ini mampu menghasilkan beberapa jenis senyawa antimikroba seperti basitrasin, basilin, basilomisin B, disidin, oksidisidin, lesitinase, dan subtilisin (EPA, 1997).  Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium dan rumah kaca, B. subtilis nomor isolate BHN 13 yang disolasi dari perakaran tanaman amarilis di Cibadak, Sukabumi, dapat mengendalikan penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh R. solani pada tanaman krisan. Diduga antibiotik yang dikeluarkan bakteri tersebut dapat menekan pertumbuhan dan perkembangan R. solani (Nasahi, 2010). Seperti dilaporkan oleh Baker pada tahun 1991 dan Sitepu tahun 1993, mekanisme penekanan suatu mikroba antagonis terhadap bibit penyakit dapat terjadi melalui kompetisi ruang dan hara serta antibiosis. Untuk genus Erwinia, ternyata Erwinia carotovora yang tidak menimbulkan penyakit dapat menekan spesies Erwinia lainnya. Di Jepang, mikroba antagonis ini telah diformulasikan dalam bentuk tepung untuk mengendalikan penyakit busuk lunak pada kubis dan petsai. Tahun 2002 telah berhasil diproduksi secara massal biofungisida berbahan aktif T. harzianum dalam bentuk butiran dan tepung yang bernama Naturalindo. Biaya produksinya berkisar Rp12.000/kg. Cendawan lain yang berpotensi sebagai agen pengendali penyakit

Mengenal mikroba sahabat petani 91 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi tanaman adalah F. oxysporum nonpatogenik (Fo-NP). Beberapa peneliti melaporkan, Fo-NP efektif mengendalikan penyakit layu Fusarium pada ubi jalar dan strawberi. Fo-NP strain 10-AM dapat memacu pembentukan ketahanan pada setek panili terhadap infeksi penyakit busuk batang panili (BBP) dan lebih efektif dibanding fungisida yang biasa digunakan oleh petani. Dengan demikian, untuk memperoleh setek panili bebas penyakit BBP, Fo-NP sangat berpotensi menggantikan fungisida sintetis atau teknologi lainnya yang biasa digunakan untuk itu.  Salah satu kelompok actinomycetes yang telah diteliti dan digunakan sebagai agen pengendali penyakit tanaman adalah Streptomycetes. Mikroba antagonis ini mengandung antibiotik, efektif mengendalikan cendawan R. solani dan F. Oxysporum pada kapas, dan sebagai perlakuan benih pada tomat untuk mengendalikan penyakit layu bakteri R. solanacearum. Biakan Streptomyces spp. nomor isolat A20 efektif menekan serangan Sclerotium rolfsii pada tanaman paprika.  Potensi antagonis bakteri patogen jamur untuk mengontrol akar- simpul nematoda Meloidogyne incognita dalam kondisi rumah kaca secara signikan dapat mengurangi jumlah puru dan massa telur dibandingkan dengan kontrol. Bakteri Bacillus subtilis isolat Sb4-23, MC5-Re2, dan mc2-Re2, memiliki efek langsung melalui metabolit bakteri atau repellents, serta efek mediasi tanaman. Aplikasi isolat tersebut secara signikan mengurangi 62% jumlah kelompok telur yang dihasilkan oleh M. incognita pada tomat dibandingkan dengan kontrol. Semua strain biokontrol diuji induksi resistensi sistemik terhadap M. incognita pada tanaman tomat. Efek mediasi terhadap tanaman adalah alasan utama antagonisme dibandingkan mekanisme

Mengenal mikroba sahabat petani 92 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi langsung. Kesimpulannya, bakteri yang dikenal memiliki potensi antagonis terhadap jamur patogen juga mampu menekan M. incognita (Adam et al. 2007). 8. Bdellovibrio Bdellovibrio dapat hidup di berbagai habitat di alam: air laut, air tawar, bahkan di tanah. Namanya sendiri mencerminkan cara hidupnya yang mirip vampir. Bdellovibrio adalah bahasa Yunani untuk lintah atau penghisap. Bentuk bakteri ini seperti batang yang sedikit melengkung dan panjangnya hanya sekitar 1 mikrometer. Ia bergerak menggunakan agella (alat gerak seperti ekor) untuk mencari mangsanya dengan kecepatan sekitar 160 mikrometer per detik atau lebih dari 100 kali panjang selnya, atau kecepatan geraknya setara dengan 0,576 m/jam. Spesies bakteri ini ditemukan 2 jenis yaitu Bdellovibrio starrii dan Bdellovibrio stolpii, dan keduanya dimasukkan ke dalam genus Bacteriovorax.  Bdellovibrio bukan satu-satunya bakteri yang menjadi predator bakteri lain. Vampirococus misalnya, juga hidup dengan cara yang serupa. Namun predasinya dilakukan dengan penempelan pada sel mangsanya. Ia akan menempel pada dinding sel bakteri lain lalu bereproduksi sembari menggunakan nutrien dari mangsanya. Karena hidupnya seperti ini maka ia disebut epibiont (epi: di atas, biont: hidup). Daptobacter juga merupakan bakteri predator. Ia menghabiskan nutrien sel mangsanya dengan langsung menerobos masuk ke dalam sitoplasma sel dan membelah diri di dalamnya.  Mode aksi bakteri Bdellovibrio. Serangan pertama yang dilakukan adalah penempelan pada membran plasma bakteri mangsanya. Lalu ia akan masuk ke dalam ruang periplasma yaitu ruang di antara membran bagian luar dan membran bagian dalam

Mengenal mikroba sahabat petani 93 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi bakteri mangsanya. Periplasma hanya dimiliki bakteri Gram negatif, karena itu mangsa Bdellovibrio juga hanya bakteri tipe ini. Dari sini ia membentuk struktur yang disebut bdelloplast dan memulai menggunakan nutrien dari sitoplsma bakteri mangsanya untuk hidup dan berkembang. Setelah menguras habis nutrien tersebut, Bdellovibrio akan terbagi menjadi beberapa Bdellovibrio baru, yang kemudian mengalami maturasi dan akan memecah sel bakteri mangsanya untuk keluar dan mencari mangsa baru. Keseluruhan siklus hidupnya itu dapat terjadi dalam 1 sampai 3 jam dan menghasilkan keturunan rata-rata 3-6 sel baru dari satu sel Escherichia coli atau mencapai 90 sel dari mangsanya yang lebih besar seperti lamentous E. coli (Strauch et al., 2007).  Selain untuk mendalami siklus hidupnya yang unik, riset Bdellovibrio juga mungkin membawa dampak aplikasi positif. Kadouri dan O'Toole pada tahun 2005 menemukan bahwa Bdellovibrio dapat digunakan menyerang biolm. Biolm merupakan kumpulan berbagai bakteri yang membentuk struktur protektif sehingga mereka lebih sulit diberantas. Di alam, biolm dapat ditemukan di berbagai tempat, mulai dari permukaan bebatuan di sungai, permukaaan pipa air, permukaan alat medis bahkan permukaan gigi sendiri manusia. Pembentukan biolm terutama pada alat medis seperti cateter jantung, dapat mengancam kesehatan pasien, karena itu penemuan Kadouri dan O'Toole tersebut memiliki potensi aplikasi langsung (Kadouri & O'Toole, 2005; Guerrero et al., 1986).

Bakteri ini dikenal sebagai bakteri vampire. Siklus hidupnya disajikan pada Gambar 3.5 berikut ini.

Mengenal mikroba sahabat petani 94 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

Gambar 3.5. Siklus hidup Bdellovibrio. Mula-mula bakteri Bdellovibrio menempel pada bakteri Gram negatif dan masuk ke dalam ruang periplasma mangsanya. Setelah berada di dalam, bakteri memanjang dan akhirnya sel turunannya akan terbentuk dan ke luar dalam 4 jam (Madigan, 2011).

9. Agrobacterium radiobacter Bakteri ini memiliki klasikasi sebagai berikut: kerajaan Bakteri, lum Proteobacteria, kelas Alphaproteobacteria, ordo Rhizobiales, famili Rhizobiaceae, genus Rhizobium/Agrobacterium. A. radiobacter merupakan bakteri Gram negatif berbentuk basil ditemukan di tanah rhizosfir yang mengandung bahan organik. Bakteri ini adalah organisme saprot yang berarti mampu

Mengenal mikroba sahabat petani 95 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi menggunakan bahan tanaman mati untuk sumber nutrisinya (Detrait et al., 2008). A. radiobacter strain K-84 dimanfaatkan kemampuan perilaku kompetitifnya terhadap A. tumefaciens yang merupakan penyebab penyakit puru mahkota (crown gall) pada tanaman. A. radiobacter mensintesis dan mengeluarkan zat yang disebut agrocin- 84 yang menghambat kemampuan A. tumefaciens untuk mereplikasi DNA-nya, secara efektif menghentikan kemampuannya untuk bereproduksi (Thompson et al., 1979). Strain A. radiobacter J14 berguna dalam mendegradasi atrazin, suatu herbisida pertanian (Vivader et al., 2004).  A. radiobacter dapat diisolasi dengan metode gores pada agar- darah kuda. A. radiobacter telah diakui sebagai patogen oportunistik pada manusia, meskipun virulensinya relatif rendah (Detrait et al., 2008). Kehadiran bakteri pada manusia dianggap nosokomial, yang berarti didapat di rumah sakit. Kasus infeksi Agrobacterium ini paling sering terjadi dalam hubungannya dengan kehadiran kateter atau lensa implan. A. radiobacter juga menjadi penyebab satu kasus psuedobakteremia, di mana 15 sampel darah yang terkontaminasi dengan air dihuni oleh A. radiobacter. Rogues & Anne (1999) lebih lanjut menunjukkan bahwa bakteri tersebut ditularkan dari rumah sakit ke manusia. Genom A. radiobacter telah sepenuhnya diurutkan melalui metode shotgun. Genom ini berisi 7,2 juta pasangan basa dengan komposisi G+C sebesar 59,9% (Caspi & Altman, 2012). Bahan genetik ini disusun dalam satu kromosom melingkar yang berisi 4.005.130 pasangan basa, serta memiliki empat plasmid.  Lima spesies Agrobacterium dibagi berdasarkan patogenisitas mereka terhadap tanaman. A. radiobacter berbeda karena menjadi

Mengenal mikroba sahabat petani 96 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi satu-satunya anggota dari genus Agrobacterium yang tidak memiliki kecenderungan sebagai patogen tanaman. Ini sesungguhnya tidak selalu tepat untuk kategorisasi karena plasmid yang bertanggung jawab untuk patogenisitas mudah ditransfer antar anggota dari genus (Caspi & Altman, 2012).  Sebuah sistem klasikasi alternatif membagi Agrobacterium menjadi tiga biovarians berdasarkan organisasi materi genetik mereka. Biovar I berisi dua kromosom dan dua plasmid. Biovar III mengandung dua kromosom dan lima plasmid. Biovar II, yang mencakup A. radiobacter hanya berisi satu kromosom dan empat plasmid (Caspi & Altman, 2012). Plasmid terbesar A. radiobacter mengandung 2.650.913 pasangan basa yang merupakan lebih dari 33% dari total bahan genetik organisme. Namun, karena tidak mengandung gen yang mengkode untuk fungsi metabolisme penting, maka masih diklasikasikan berdasarkan plasmid (Slater & Steven, 2009). Organisme yang dikendalikan adalah: Agrobacterium tumefaciens penyebab puru mahkota (crown gall) pada berbagai jenis tanaman. A. radiobacter K-84 digunakan untuk mengendalikan dua anggota lain dari genusnya: A. tumefaciens dan A. rhizogenes. Kedua organisme tersebut menyebabkan puru mahkota dan puru akar rambut pada banyak spesies tanaman pertanian. Proses penyakit melibatkan transfer DNA yang disebut T-DNA ke dalam tanaman inang sehingga DNA tanaman berubah dan mensintesis senyawa karbon yang disebut opines yang kemudian dimetabolisme oleh bakteri patogen.

Mengenal mikroba sahabat petani 97 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

Gambar 3.6. Individu bakteri A. radiobacter (kiri); koloni bakteri (tengah); koloni bakteri (kanan).

A. radiobacter pertama kali diisolasi dari tanah di Australia (Kim & Junk-Gun, 2006). Bakteri ini merupakan Gram negatif berbentuk batang yang bergerak ke arah nutrisinya melalui mekanisme kemotaksis, dan menggunakan agella peritrichus. A. radiobacter membentuk biolm di akar pohon yang dikolonisasi dengan mengeluarkan amplop sel berupa polisakarida yang lengket. Di laboratorium strain ini membentuk koloni bulat (Abarca-Grau & Ana, 2012).

10. Bacillus thuringiensis B. thuringiensis ditemukan pertama kali pada tahun 1911 sebagai patogen pada ngengat (our moth) dari Provinsi Thuringia, Jerman. Bakteri ini digunakan sebagai bahan aktif produk insektisida komersial pertama kali pada tahun 1938 di Perancis dan kemudian di Amerika serikat (1950). Tahun 1960-an, bahan aktif produk tersebut diganti dengan galur bakteri yang lebih patogenik dan efektif melawan berbagai jenis insekta (Deacon, 1998).

Mengenal mikroba sahabat petani 98 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

Keberadaan inklusi paraspora dalam B. thuringiensis telah ditemukan sejak tahun 1915, namun komposisi protein penyusunnya baru diketahui pada tahun 1915. Tahun 1953, Hannay, mendeteksi struktur kristal pada inklusi paraspora yang mengandung lebih dari satu macam protein kristal insektisida (insecticidal crystal protein, ICP) atau disebut juga delta endotoksin. Berdasarkan komposisi ICP penyusunnya, kristal tersebut dapat membentuk bipiramida, kuboid, romdoid datar, atau campuran dari beberapa tipe Kristal (Deacon, 1998). Berbagai macam spesies B. thuringiensis telah diisolasi dari serangga golongan koleoptera, diptera, dan Lepidoptera, baik yang sudah mati ataupun dalam kondisi sekarat. Bangkai serangga sering mengandung spora dan ICP B. thuringiensis dalam jumlah besar. Sebagian subspesies juga didapatkan dari tanah, permukaan daun, dan habitat lainnya. Dalam keadaan kondisi lingkungan yang baik dan nutrisi cukup, spora bakteri ini dapat terus hidup dan melanjutkan pertumbuhan vegetatifnya (WHO, 1999). B. thuringiensis dapat ditemukan pada berbagai jenis tanaman, termasuk sayuran, kapas, tembakau, dan tanaman hutan. B. thuringiensis termasuk kerajaan Eubacteria, lum Firmicutes, kelas Bacilli, ordo Bacillales, famili Bacillaceae, genus Bacillus. B. thuringiensis dibagi menjadi 67 subspesies (hingga tahun 1998) berdasarkan serotipe dari agella. Ciri khas dari bakteri ini yang membedakannya dengan spesies Bacillus lainnya adalah kemampuan membentuk kristal paraspora yang berdekatan dengan endospora selama fase sporulasi III dan IV. Sebagian besar ICP disandikan oleh DNA plasmid yang dapat ditransfer melalui konjugasi antar galur B. thuringiensis, maupun dengan bakteri lain

Mengenal mikroba sahabat petani 99 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi yang berhubungan. Selama pertumbuhan vegetatif terjadi, berbagai galur B. thuringiensis menghasilkan bermacam-macam antibiotik, enzim, metabolit, dan toksin, yang dapat merugikan organisme lain. Selain endotoksin (ICP), sebagian subspesies B. thuringiensis dapat membentuk beta-eksotoksin yang toksik terhadap sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia dan insekta (WHO, 1999). Sifat-sifat B. thuringiensis adalah gram positif, aerob, tetapi dapat bersifat anaerob fakultatif (Steinhouse, 1976 dalam Prabowo, 1990). Bakteri-bakteri tersebut mempunyai sel berbentuk batang dengan ukuran lebar 1,0-1,2 mikron dan panjang 3-5 mikron, membentuk endospora, suhu untuk pertumbuhan minimum 10-15o C dan maksimum 40-45o C (Holt, 1972 dalam Prabowo, 1990). B. thuringiensis membentuk spora yang berbentuk oval, terletak di dekat ujung sel, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1-1,3 mikron. Pembentukan spora terjadi dengan cepat pada suhu 35-37o C. Spora ini mengandung asam dipikolinin, yaitu suatu komplek senyawa Ca dan peptidoglikan. Spora ini relatif tahan terhadap pengaruh sik dan kimia (Pelczar, 1978 dalam Prabowo, 1990). Beberapa larva Lepidoptera yang mempunyai pH saluran makanan di atas 9, spora yang berkecambah tidak dapat hidup dan sel vegetatifnya cepat hancur. Namun jika pH saluran turun, bekteri yang bertahan pada spesies tersebut dapat tumbuh dan menginfeksi inang (Burgenjon dan Martouret, 1971 dalam Prabowo, 1990). Lepidoptera yang mempunyai pH tetap di bawah 9, dan tidak terdapat penghambat pada saluran pencernaanya, spora berkecambah dan memperbanyak diri dengan kecepatan yang berbeda tergantung spesies inang (Heimpel & Harshbarger dalam Prabowo, 1990). Dalam kondisi tertentu, B. thuringiensis mampu membentuk kristal. Kristal tersebut

Mengenal mikroba sahabat petani 100 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi merupakan kompleks protein yang mengandung toksin dan dikenal dengan nama δ-endotoksin (Heimpel, 1971 dalam Prabowo, 1990). Kristal protein tersusun dari subunit protein, berbentuk batang atau halter, berukuran sekitar 4,7-11,8 mm dan mempunyai berat molekul sekitar 200.000 (Gambar 3.7). Subunit kristal ini dibangun dari rantai polipeptida yang dihubungkan dengan ikatan kovalen oleh disulda (Cookey, 1971 dalam Prabowo, 1990).

Gambar 3.7. Kristal protein B. thuringiensis (kiri). Struktur gen Cry2Aa (kanan): Bt-Toxin Cry2Aa, domain alfa heliks (biru), domain II (hijau), domain III (merah). Gambar diambil dari Protein Database. Public Domain PDB ID: 1I5P (Morse et al., 2001).

Menurut laporan WHO pada tahun 1999, sebanyak 13.000 ton produk B. thuringiensis diproduksi setiap tahunnya melalui teknologi fermentasi aerobik. Sebagian besar produk tersebut mengandung ICP dan spora hidup, sedangkan sebagian lainnya mengandung spora yang telah diinaktivasi. Produk B. thuringiensis konvensional hanya dibuat untuk mengatasi hama lepidoptera yang menyerang tanaman

Mengenal mikroba sahabat petani 101 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi pertanian dan perhutanan. Namun sekarang ini, banyak galur B. thuringiensis yang diproduksi untuk mengatasi serangga golongan Coleoptera dan Diptera (perantara penyakit yang diakibatkan parasit dan virus). B. thuringiensis komersil juga telah diformulasikan sebagai insektisida untuk dedaunan, tanah, lingkungan perairan, dan fasilitas penyimpanan makanan. Contoh penggunaan B. thuringiensis pada lingkungan perairan adalah mengontrol nyamuk, lalat, dan larva serangga pengganggu lain pada waduk penampung air minum. Setelah diaplikasikan ke suatu ekosistem tertentu, sel vegetatif dan spora akan bertahan pada lingkungan sebagai komponen alami mikroora dalam hitungan minggu, bulan, atau tahunan perlahan- lahan populasi serangga akan berkurang jumlahnya. Namun, ICP secara biologis akan inaktif dalam hitungan jam atau hari (WHO, 1999). Aplikasi produk B. thuringiensis dapat menyebabkan pekerja lapangan terpapar secara aerosol ataupun melalui kontak dermal, serta mengkontaminasi makanan dan minuman pada lahan pertanian. Namun hingga tahun 1999, belum ada laporan yang menunjukkan efek parah dari kontaminasi B. thuringiensis pada manusia, kecuali terjadinya iritasi mata dan kulit. Namun, sel vegetatif B. thuringiensis berpotensi memproduksi racun yang mirip dengan yang dihasilkan oleh Bacillus cereus dan belum diketahui apakah dapat menyebabkan penyakit manusia atau tidak. Penggunaan produk B. thuringiensis juga diketahui menimbulkan resitensi pada sebagian insekta, seperti Plodia interpunctella, Cadra cautella, Leptinotarsa decemlineata, Chrysomela scripta, Spodoptera littoralis, Spodoptera exigua, sehingga penggunaan produk tersebut untuk tujuan pengendalian hama harus lebih diperhatikan (WHO, 1999).

Mengenal mikroba sahabat petani 102 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

Tabel 3.4. Klasikasi toksin Bt pada tahun 1995 (Deacon, 1998)

Bentuk Bobot Insekta yang Gen Kristal Protein (kDa) dipengaruhi cry I [several subgrup:A(a), A(b), bipiramida 130-138 larva Lepidoptera A(c), B, C, D, E, F, G] Lepidoptera dan cry II [subgrup A, B, C] kuboid 69-71 Diptera datar/tidak cry III [subgrup A, B, C] 73-74 Coleoptera teratur cry IV [subgrup A, B, C, D] bipiramida 73-134 Diptera berbagai cry V-IX 35-129 berbagai macam macam

Menurut penelitian Wainhouse (2005), protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi lisis dinding sel. Ketika termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk (Hoffmann & Frodsham, 1993). Toksin Cry sebenarnya merupakan protoksin, yang harus diaktifkan terlebih dahulu sebelum memberikan efek negatif. Aktivasi toksin Cry dilakukan oleh protease usus sehingga terbentuk toksin aktif dengan bobot 60 kDa yang disebut delta-endotoksin. Delta-endotoksin ini diketahui terdiri dari tiga domain. Toksin tersebut tidak larut pada kondisi normal sehingga tidak membahayakan manusia, hewan tingkat tinggi, dan sebagian insekta.

Mengenal mikroba sahabat petani 103 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi

Namun pada kondisi pH tinggi (basa) seperti yang ditemui di dalam usus Lepidoptera, yaitu di atas 9,5, toksin tersebut akan aktif (Deacon, 1998). Selanjutnya, toksin Cry akan menyebabkan lisis (pemecahan) usus lepidoptera (Wainhouse, 2005) B. thuringiensis dapat memproduksi dua jenis toksin, yaitu toksin kristal (Crystal, Cry) dan toksin sitolitik (cytolytic, Cyt). Toksin Cyt dapat memperkuat toksin Cry sehingga banyak digunakan untuk meningkatkan efektivitas dalam mengontrol insekta. Lebih dari 50 gen penyandi toksin Cry telah disekuens dan digunakan sebagai dasar untuk pengelompokan gen berdasarkan kesamaan sekuens penyusunnya. Tabel di bawah ini merupakan klasikasi toksin Bt pada tahun 1995 (Deacon,1998). Menurut Burgenjon & Martouret (1971) dalam Sastrosiswojo (1997), toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga tergantung pada galur bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor yang ada pada bakteri yang mempengaruhi toksisitas adalah jenis kristal proteinnya, sedangkan pada serangga adalah perbedaan keadaan dalam saluran pencernaan larva, seperti pH dalam saluran pencernaan bagian tengah yang dapat mempengaruhi kelarutan kristal protein. Faktor lainnya adalah kemampuan enzim protease yang ada pada saluran makanan serangga untuk mencerna kristal protein menjadi molekul toksik dan adanya reseptor khusus yaitu aminopeptidase-N dalam saluran pencernaan serangga yang mengikat toksin (Burgenjon & Morturet, 1991 dalam Sastrosiswojo, 1997). Kristal protein saluran yang termakan oleh larva serangga akan dipecah oleh enzim protease di dalam saluran pencernaan bagian tengah menjadi molekul yang toksik (Hoe & Whiteley, 1989 dalam Prabowo, 1990). Toksin tersebut akan mempengaruhi permeabilitras sel, mikroli pada

Mengenal mikroba sahabat petani 104 Bakteri sebagai agensia pengendali biologi sel-sel epithelium menyebabkan paralisis saluran makanan dan berubahnya keseimbangan pH hemolimfa, akhirnya menyebabkan kematian (Dubois & Lewis, 1981, Aronson, Beckman & Dunn, 1986 dalam Prabowo, 1990). Heimpel (1967) dalam Prabowo (1990) berpendapat bahwa B. thuringiensis toksik terhadap 137 spesies serangga yang meliputi ordo Diptera, Lepidoptera, Hymenoptera, Orthoptera, dan Coleoptera. Kebanyakan larva Lepidoptera mempunyai pH saluran pencernaan bagian tengah sekitar 9,0 dan dengan aktivitas toksin selama 24 jam, pH-nya turun menjadi ± 6,62 (Heimpel, 1967 dalam Prabowo, 1990). Penurun pH antara 1,0 sampai 1,5 dapat menyebabkan kerusakan sel-sel membran epitelium saluran pencernaan. Gejala serangan B. thuringiensis pada larva Lepidoptera ditandai dengan kehilangan selera makan dan berkurangnya mobilitas larva dengan cepat beberapa jam setelah aplikasi. Larva kurang tanggap terhadap sentuhan. Setelah larva mati, larva makin kelihatan mengkerut dan perubahan warnapun menjadi jelas terlihat. Tubuh serangga yang mati menjadi lunak dan mengandung cairan kemudian akhirnya membusuk (Sandoz, 1974 dalam Prabowo, 1990). Keadaan sakit pada larva Lepidoptera karena infeksi B. thuringiensis disebabkan oleh infeksi endospora dan infeksi racun δ- endotoksin. Pupa dan imago mungkin terbentuk meskipun terinfeksi B. thuringiensis, tetapi umumnya pupa atau imago itu berukuran kecil, cacat atau mandul (Sandoz, 1974 dalam Prabowo, 1990).

Mengenal mikroba sahabat petani 105 Virus sebagai agensia pengendali biologi BAB IV

BAB 4

VIRUS SEBAGAI AGEN PENGENDALI BIOLOGI PATOGEN TUMBUHAN

4.1. Pengelompokan Virus  Virus untuk pengendalian patogen tumbuhan sampai saat ini belum begitu banyak diteliti jika dibandingkan dengan jamur maupun bakteri, salah satu penyebabnya adalah kecilnya partikel virus sehingga memerlukan peralatan yang lebih canggih untuk mempelajarinya. Virus umumnya adalah berupa DNA ataupun RNA yang dibungkus oleh selubung protein yang disebut kapsid. Patogen tumbuhan sebagai target pengendalian oleh virus juga belum banyak berkembang. Namun demikian pemanfaatannya terhadap serangga cukup banyak dipelajari oleh karena itu pada buku ini penulis lebih banyak mengungkapnya untuk pengendalian hama tanaman.  Virus dapat dikelompokkan menjadi Iridoviridae, Parvoviridae, Poxviridae, Reoviridae, dan Baculoviridae. Anggota masing-masing virus ini dapat menyerang berbagai makhluk hidup termasuk vertebrata, serangga, dan tanaman. Sebagian besar

Mengenal mikroba sahabat petani 106 Virus sebagai agensia pengendali biologi BAB IV kelompok ini juga memiliki anggota yang dapat menginfeksi tidak hanya serangga, tetapi juga vertebrata, dan bahkan tanaman. Virus baculovirus sejauh ini hanya diisolasi dari inang arthropoda. Saat ini, sekitar 1200 virus telah diketahui dapat menginfeksi serangga (Martignoni & Iwai, 1986). Lebih dari 60% dari semua virus serangga yang dikenal saat ini termasuk ke dalam keluarga/kelompok ini baculovirus. Beberapa baculovirus telah ditemukan di udang dan tungau, tetapi kebanyakan dari mereka telah terisolasi dari serangga Lepidoptera.

4.2. Virus untuk Pengendali Patogen  Penggunaan virus sebagai agen pengendali penyakit tanaman biasanya menggunakan strain virus yang dilemahkan yang diinokulasikan pada tanaman. Cara ini biasa disebut dengan perlindungan/proteksi silang (cross protection) atau imunisasi sehingga tanaman menjadi kebal. Virus yang telah dilemahkan yang disebut dengan nama Carna-5 telah dinyatakan efektif mengendalikan penyakit virus mozaik yang disebabkan oleh cucumber mozaic virus (CMV) pada tanaman tomat dan cabai. Berdasarkan penelitian, efektivitasnya dapat mencapai hingga 96,17%. Produk ini telah dilepas di pasaran dengan nama dagang BiaRiv-3 (Hanudin et al., 2000).

Mengenal mikroba sahabat petani 107 Virus sebagai agensia pengendali biologi BAB IV Polymerate Enpelove

Attachment protease

Hemagglutaris protein

SS negative RNA Capsid

Gambar 4.1. Berbagai struktur virus (http://micro.magnet.fsu.edu)

Mengenal mikroba sahabat petani 108 Virus sebagai agensia pengendali biologi BAB IV 4.3. Proteksi Silang Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah hanya sedikit menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain yang dilemahkan antara lain dapat dibuat dengan pemanasan in-vivo, pendinginan in-vivo dan dengan asam nitrit. Virus lemah dapat menjadi agen pengendali bagi virus sejenis yang disebut sebagai proteksi silang (cross-protection). Virus lemah adalah virus yang hanya mampu menurunkan produksi sebanyak 5- 10% tanpa mengurangi kualitas sehingga nilai jualnya tidak menurun (Hull, 2002). Proteksi silang terhadap virus yang patogenik dapat terjadi pada tanaman seperti proses imunisasi pada manusia. Berbagai virus dapat menimbulkan imunitas terhadap strain suatu virus jika diinjeksikan terlebih dulu strain lain dari virus yang sama. Strain virus lemah yang diinokulasi selanjutnya melindungi tanaman dari strain patogenik lainnya. Namun masih ada pendapat yang berlawanan yang diperkirakan menjadi masalah mengenai hal ini yaitu: 1) strain lemah tadi dapat mengalami mutasi menjadi ganas/virulen, 2) dua strain lemah dari virus berbeda dalam suatu tanaman secara berbarengan dapat berinteraksi untuk membentuk gejala yang berat, 3) secara mendasar tidak diinginkan untuk menyebar secara luas. Walaupun demikian, suatu usaha pengendalian biologi dengan cara ini telah berhasil pada perkebunan anggur di Australia. Bibit anggur di pembibitan mula-mula diinfeksi secara buatan dengan strain lemah virus Tristeza dan setelah ditanam menjadi tahan terhadap strain lain yang ganas di lapang. Berbagai upaya lainnya yang sama telah sukses terhadap penyakit virus tristeza pada jeruk, tembakau mosaic virus (TMV) pada tomat dan markisa.

Mengenal mikroba sahabat petani 109 Virus sebagai agensia pengendali biologi BAB IV Upaya lain yang telah berhasil adalah untuk tanaman yang bersifat semusim yaitu pada tomat. Setiap musim, virus lemah yang diseleksi di Belanda telah berhasil melindungi tanaman tomat setelah ditanam di lapang. Virus tersebut diinokulasikan ke bibit tomat pada awal penanaman. Virus tersebut diperoleh dari hasil mutasi virus menggunakan mutagenesis asam nitrat yang diikuti dengan melakukan seleksi strain.

4.4. Virus Entomopatogen Virus sebagai biokontrol sudah banyak digunakan oleh petani. Pengendalian dengan menggunakan virus memiliki beberapa keunggulan yakni: 1) hampir tidak terjadi pengaruh samping bagi musuh alami hama sasaran, manusia, dan lingkungan, 2) Hama yang telah tahan terhadap insektisida tetap dapat terpengaruh oleh agensia virus, 3) Virus dapat menyerang hama keturunannya karena virus dapat bersifat persisten dalam tubuh serangga, 4) Tidak meninggalkan residu beracun di alam (Mawikere et al., 1990). Beberapa jenis virus yang telah terdokumentasi sebagai agensia biokontrol diantaranya adalah Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV), Phthorimae operculella Granulosis Virus (PoGV), Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV), dan Spodoptera exigua Nuclear Polyhedrosis Virus (SeNVP). Secara lengkap, berbagai jenis kemasan insektisida dengan bahan aktif virus yang telah dilepas di pasaran disajikan pada tabel berikut.

Mengenal mikroba sahabat petani 110 Virus sebagai agensia pengendali biologi Tabel 4.1. Sediaan Baculovirus untuk pengendalian hama tanaman yang terdaftar di dunia Nama kemasan Serangga sasaran Negara tempat Tahun pendaftaran pendaftaran Granulosis virus Cavex Adoxophyes orana Cekoslowakia 1989 Agrovir Agotis segetum German 1990 Madex Cydia pomonella Cekoslowakia 1987

Nuclear polyhedrosis virus Biotrol VHZ and Heliothis spp. USA 1973 Virion H Elcar Heliothis spp. USA 1975 Gypcheck Lymantria dispar USA 1978 Mamestrin Mamestra Finlandia 1988 brassicae Lecont-virus Neodiprion USA/Kanada 1982/1983 lecontei Biocontrol-1 and Orgyia USA 1976 Virtuss tseudotsugata Tabel 4.2. Nuclear polyhedrosis virus yang ditemukan di India

Hama Tanaman Heliothis armigera Buncis (chickpea) dan tanaman lainnya Spodoptera litura Tembakau dan tanaman lainnya

Spodoptera exigua Tomat dan tanaman lainnya Amsacta moorei Pulses Agrotis ipsilon, A. segetum Kentang dan tanaman lainnya Anadividia peponis Labu (Gourds)

Trichoplusia ni Kentang dan lainnya

Tabel 4.3. Perkembangan Baculovirus yang direkayasa secara genetika

Virus Gen asing Serangga inang BmNPV Toksin dari Andractomus Bombyx mori australis zHPV Toksin 34 dari Pyemotes Heliothis zea tritici AcMNPV dan Toksin 21 A dari Trichoplusia ni Pyemotes tritici HvJHE Neurotoksin dari Laba- Spodoptera frugiperda laba

Mengenal mikroba sahabat petani 111 Virus sebagai agensia pengendali biologi BAB IV Mekanisme kerja pengendalian GV ( Granulosis Virus) maupun NPV ( Nuclear Polyhedrosis Virus) terhadap serangga hama pada umumnya relatif sama. Virus dapat mengganggu pencernaan serangga ketika polihedra atau virion dimakan bersama ptongan daun yang telah terkontaminasi, yang bertindak sebagai racun perut. Dalam usus serangga pada kondisi alkalis (pH lebih dari 9), selubung protein akan larut dan virion akan dibebaskan dan bereaksi dengan molekul dari sel-sel epitel usus tengah. Inti sel yang terinfeksi virus akan bereplikasi sehingga virion baru akan terbentuk dan sebagian akan meninggalkan sel tersebut dan menginfeksi sel-sel lain disekitarnya. Virion terus menggandakan diri dengan mengambil bahan dari sel tubuh serangga sehingga terjadi peristiwa cell-lysis . Larva serangga akan mati dalam beberapa saat setelah banyak jaringan terinfeksi virus. Larva yang terinfeksi NPV akan menunjukkan gejala yang khas, yaitu daya makan berkurang, gerakan menjadi lamban, warna pucat kekuningan, tubuh membengkak, dan lemah. Sebelum mati, integumen menjadi sangat rapuh, tubuhnya mengeluarkan cairan haemolimpa berisi jaringan yang rusak dan terdapat banyak sekali polihedra. Kematian larva terjadi setelah sebagian besar jaringan tubuhnya terinfeksi. Kematian sejak virus menginfeksi, bervariasi antara empat hari sampai dengan tiga minggu. Hal ini tergantung dari strain virus, jenis inang, stadia inang, jumlah partikel virus, dan temperatur lingkungan. Ulat yang mati kadang menggantung pada daun. Penularan virus dapat terjadi melalui makanan yang terkontaminasi dan melalui kontak antara individu ulat. Penularan virus dapat pula melalui perantara serangga predator dan parasit larva. Virus dapat ditularkan dari induk betina ke keturunannya. Virus tahan

Mengenal mikroba sahabat petani 112 Virus sebagai agensia pengendali biologi BAB IV terhadap faktor abiotik seperti kekeringan, kelembaban, tekanan, dan keasaman, tetapi aktivitasnya akan berkurang apabila terkena sinar ultraviolet (Jaques, 1985 dalam Smits, 1987). Menurut Okada (1977), polihedra dalam tanah akan tetap mempertahankan aktivitas biologisnya selama lebih dari lima tahun, sedangkan menurut Jaques (1985) dalam Smits (1987), polihedra akan bertahan selama lebih dari 10 tahun. Kontaminasi virus dimungkinkan juga melalui percikan air hujan yang mengenai daun (Cunningham, 1982 dalam Smits, 1987).

Mengenal mikroba sahabat petani 113 Nematoda sebagai agensia pengendali biologi

BAB 5 NEMATODA SEBAGAI AGEN PENGENDALI BIOLOGI SERANGGA HAMA TANAMAN

 Pemanfaatan nematoda yang telah banyak diteliti adalah untuk mengendalikan hama yang berupa serangga. Nematoda untuk menekan mikroba patogen lain sangat sedikit dilakukan, oleh karena itu dalam buku ini akan disampaikan mengenai pengguaan nematoda dalam mengendalikan hama tanaman. Hal ini kami sampaikan semata-mata untuk menyampaikan kepada pembaca bahwa nematodapun telah banyak dimanfaatkan di bidang pertanian.

5.1. Pengelompokan Nematoda Di antara lebih dari 26.000 spesies nematoda yang diketahui, sebanyak 8000 spesies bersifat parasit pada vertebrata (Hugot et al., 2001), sementara 4.100 spesies sebagai parasit tanaman dan kebanyakan sebagai patogen akar soil borne (Nicol et al., 2011). Hampir 100 spesies pada kelompok terakhir memiliki nilai penting sebagai patogen tanaman. Nematoda dapat merusak semua bagian tanaman sesuai dengan tingkat hidupnya, dapat merusak batang, daun, bunga, atau biji. Nematoda akar dapat dibagi menjadi subdivisi

Mengenal mikroba sahabat petani 114 Nematoda sebagai agensia pengendali biologi lebih lanjut menjadi ektoparasit hidup bebas, migratori, dan endoparasit sedentari (Dowe, 1987). Grup terakhir menyebabkan kerusakan yang paling tinggi terhadap tanaman (Jansson & López- Llorca, 2004). Kelompok itu mencakup root-knot nematode (Meloidogyne spp.) dan cyst nematodes (Heterodera dan Globodera spp.), beet cyst nematode (Heterodera schachtii), stem and bulb nematode (Ditylenchus dipsaci), dan golden potato cyst nematode (Globodera rostochiensis).

5.2. Nematoda Entomopatogen Patogen serangga dari golongan nematoda ada dua genus yang telah dikenal yaitu Steinernema dan Heterorhabditis. Kedua genus tersebut memiliki beberapa keunggulan sebagai agensia pengendalian biologi serangga hama dibandingkan dengan musuh alami lain, yaitu daya bunuhnya sangat cepat, kisaran inangnya luas, aktif mencari inang sehingga efektif untuk mengendalikan serangga dalam jaringan, tidak menimbulkan resistensi, dan mudah diperbanyak. Nematoda Steinernema spp. memiliki kisaran inang yang cukup luas, tetapi aman bagi vertebrata dan jasad bukan sasaran lainnya (Shapiro et al., 1996). Pada kondisi laboratorium yang optimal Steinernema spp. dapat menginfeksi 200 spesies serangga dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Hymenoptera, Diptera, Orthoptera, dan Isoptera (Chaerani, 1996).

5.3. Mekanisme patogenisitas nematoda Mekanisme nematoda entomopatogen terjadi melalui simbiosis dengan bakteri patogen Xenorhabdus untuk Steinernema dan bakteri Photorhabdus untuk Heterorhabditis. Infeksi dilakukan oleh stadium larva instar III atau juvenil infektif yaitu melalui mulut, anus, spirakel, dan penetrasi langsung membran intersegmen yang

Mengenal mikroba sahabat petani 115 Nematoda sebagai agensia pengendali biologi lunak. Setelah mencapai haemocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan ke dalam haemolimpa untuk berkembangbiak dan memproduksi toksin yang mematikan. Terbentuknya toksin ini menyebabkan nematoda entomopatogen mempunyai daya bunuh yang sangat cepat. Serangga yang terinfeksi dapat mati dalam waktu 24-28 jam setelah infeksi. Faktor penentu patogenisitas nematoda entomopatogen terletak pada bakteri mutualistiknya yaitu dengan diproduksinya toksin intraseluler dan ekstraseluler oleh bakteri (Kaya & Gaugler, 1993). Patogenesitas Xenorhabdus spp. bergantung pada kemampuan masuknya nematoda ke haemocoel serangga inang, juga kemampuan dari bakteri itu sendiri untuk memperbanyak diri di haemolimpa serta kemampuannya untuk melawan mekanisme pertahanan serangga inang (Akrust & Boemare, 1990). Kompetisi nutrisi dan ruang, produksi antibiotika, parasitisasi, dan ketahanan terinduksi pada bahan panen merupakan mode aksi yang baik terutama akan lebih baik ketika diaplikasikan pada bahan setelah panen, bukan sebelum panen. Antagonis campuran lebih efektif dibandingkan tunggal. Efektivitas antagonis akan menjadi lebih baik ketika dikombinasikan dengan pemberian fungisida. Contoh mikroba antagonis lainnya adalah Debaryomyces hansenii Lodder & Krejer-van Rij, Cryptococcus laurentii Kufferath & Skinner, Bacillus subtilis (Ehrenberg) Cohn, dan Trichoderma harzianum Rifai. Produk biokontrol seperti Aspire, BioSave, dan Shemer dan lainnya juga telah dilepaskan ke pasar.

Mengenal mikroba sahabat petani 116 Tahapan pengembangan agensia biologi

BAB 6

PENGEMBANGAN AGENSIA BIOLOGI DAN KAJIAN RESIKO

6.1. Tahap Pengembangan Agensia Biologi Faktor yang menjadi peting dalam pengembangan agensia hayati adalah pemilihan agensia yang mencakup jenis, kesesuaian lingkungan, dan kemampuan adaptasinya. Mikroba introduksi biasanya memerlukan adaptasi di tempat yang baru sehingga tidak jarang agensia tersebut sangat menyusut populasinya setelah beberapa lama di tempat baru. Mikroba agensia pengendali yang berasal dari luar rhizosr ataupun luar daerah merupakan mikroba introduksi yang perlu adaptasi di daerah baru sehingga sering tidak dapat efektif sebagai agensia pengendali biologi semestinya. Umumnya agen antagonis diperbanyak dalam media buatan sehingga agensia tersebut terbiasa dalam kondisi nyaman oleh karenanya daya kompetisinya sangat lemah. Di satu sisi bakteri sangat cepat berubah mengalami mutasi sehingga daya antagonisnyapun dapat berubah cepat. Mikroba introduksi dapat dominan di tempat baru selama beberapa minggu,

Mengenal mikroba sahabat petani 117 Tahapan pengembangan agensia biologi namun pada akhir musim tumbuhnya akan menyusut populasinya mejadi kurang dari 2%. Bahkan agen biologi yang mengalami modikasi genetikpun mengalami hal yang sama yaitu populasinya akan menyusut secara drastis sehingga pada masa selanjutnya agen biologi tersebut tidak lagi efektif (Weller, 1983).

6.1.1. Tahap Pertama Hal pertama yang perlu dilakukan dalam mendapatkan agen hayati adalah melakukan seleksi agensia dari populasi alaminya. Pengujian ini umumnya dengan melihat adanya zona bening yang merupakan daya hambatnya terhadap mikroba target yang dilakukan dalam media buatan di cawan petri. Populasi tersebut dapat berupa mikroba saprot, non patogenik, endot, maupun eksot baik dari bahan organik, tanah, maupun tanaman itu sendiri. Keefektivan agen menjadi prioritas dalam kondisi yang alami sehingga benar-benar dapat diharapkan dalam pengendalian patogen. Berbagai mikroba telah diidentikasi untuk mengendalikan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada berbagai jenis tanaman seperti Escherichia sp., Bacillus spp., Burkholderia glume, Pseudomonas aeruginosa, Corynebacterium sp., P. uorescens, Streptomyces mutabilis, dan Actinomycetes (Sadler, 2005).

6.1.2. Tahap ke Dua Tahap ini perlu dilakukan pengujian dalam kondisi terbatas yaitu umumnya dilakukan pengujian secara in-vitro di laboratorium terhadap patogen target. Bila keefektivannya masih bertahan maka segera dilanjutkan dengan membuat formulasi sederhana yaitu menentukan bahan pembawa yang bersifat sinergis atau setidaknya tidak mempengaruhi potensi antagonis. Pengujian segera dilakukan

Mengenal mikroba sahabat petani 118 Tahapan pengembangan agensia biologi di rumah kaca dengan memberikan bahan pembawa sehingga aplikasinya menjadi lebih mudah disamping daya hidupnya akan lebih stabil. Bila pada pengujian ini daya antagonisnya juga dapat dipertahankan maka dilanjutkan dengan uji lapang dalam skala terbatas dengan melibatkan bahan pembawa yang lebih kompleks sehingga dapat melindungi mikroba dari berbagai faktor yang mempengaruhi stabilitas daya antagonistiknya. Pada tahap ini perlu diperhatikan keamanannya terhadap tanaman target, mikroba bukan sasaran, maupun lingkungan abiotik termasuk manusia. Setelah semua pengujian tersebut dapat terlewati maka pengujian dalam skala yang lebih luas dalam rangka komersialisasi perlu dilaksanakan.

6.1.3. Tahap ke Tiga Tahap ini merupakan tahap akhir dari proses munculnya suatu agensia pengendali biologi. Peran industri sangat peting karena tahap komersialisasi ini memerlukan sentuhan manajemen yang mampu memberikan kelayakan sebagai suatu usaha. Upaya memperbanyak agen ini termauk memformulasinya secara lebih baik dalam bentuk yang standar sehingga diterima pasar menjadi hal yang sangat penting. Tahap ini maka data tentang analisis/kajian resiko suatu agensia hayati perlu dilengkapi agar memperoleh izin pengembangan dari institusi terkait.

6.2. Kajian Risiko Agensia Biologi Setiap agen hayati memiliki peluang untuk berubah baik secara genetik maupun sisi penotifnya. Hal ini terjadi karena mudahnya bakteri menerima DNA luar sehingga terjadi perubahan sifat yang tidak dikehendaki. Perubahan itu dapat menjadi merugikan

Mengenal mikroba sahabat petani 119 Tahapan pengembangan agensia biologi bagi tanaman, hewan, maupun manusia. Oleh karena itu kajian kelayakannya harus digali sehingga dapat dikenali kemungkinan terjadinya masalah. Sesuai pedoman yang ditetapkan oleh FAO (1997, 1988) syarat-syarat pengajuan izin suatu agen hayati harus memenuhi informasi sebgai berikut.

1. Bahan aktif formulasi harus jelas Kejelasan informasi yang ditetapkan harus mencakup sifat agensia biologi yang meliputi a) sifat sik dan kimia, b) tata nama yang meliputi nama umum, dan nama ilmiah mikroba, c) habitat alaminya, d) proses produksi dan perbanyakannya, e) populasi agens hayati dalam setiap unit, f) komposisi bahan pembawa (formulasi), dan g) metode analisis yang diterapkan.

2. Sifat-sifat biologi Sifat biologi yang perlu adalah tentang: a) asal agensia hayati dan cara penyebarannya pada cuaca berbeda, b) spektrum target agensia (sempit atau luas), c) konsentrasi dan dosis efektif, d) cara kerja agensia terhadap sasaran, e) kekerabatan dengan mikroba sasaran, f) jenis tanaman target, dan f) cara penggunaan.

3. Data toksisitas Toksisitas bahan aktif harus diperhitungkan terhadap keamanan lingkungan mencakup tumbuhan, hewan, dan manusia. Kriteria itu harus mencakup: a) toksisitas akut oral, dermal, dan pernafasan, b) iritasi pada mata, dan c) alergi yang ditimbulkannya. Data toksisitas akut dermal dan iritasinya pada mata diuji khusus untuk bahan pembawa atau bahan yang digunakan pada proses

Mengenal mikroba sahabat petani 120 Tahapan pengembangan agensia biologi produksi. Disamping itu kriteria yang diperlukan juga adalah mencakup toksisitas subkronis (persistensi), pengaruh terhadap reproduksi, penurunan kekebalan, dan infektivitas terhadap primata/mamalia untuk parasit intraseluler.

4. Data residu dan efeknya pada lingkungan Agensia biologi yang cara kerjanya dengan mengeluarkan racun/toksin, maka evaluasi sisa racun pada bagian tanaman yang dikonsumsi perlu diteliti secara tepat untuk mengetahui ambang batas toleransi sesuai aturan yang ada. Potensi kerusakan lingkungan yang diakibatkannya termasuk pengaruh keracunan terhadap lingkungan, seperti terhadap ikan, tanaman, burung dan sebagainya perlu dipaparkan secara jelas.

6.3. Kenapa Pengendalian Secara Biologi Selama 15 tahun ke belakang, telah terjadi usaha riset yang dramatis mengenai pengendalian biologi. Persepsi yang sekarang bahwa pengendalian biologi akan memiliki peran penting dalam pertanian yang bersifat komersial di masa depan bertentangan secara jelas bahwa pengendalian biologi sangat tidak konsisten dan memiliki spektrum yang sangat sempit, dibandingkan dengan aplikasi pestisida. Minat baru dalam pengendalian biologis adalah sebagian dari tanggapan kekhawatiran yang meluas tentang potensi dampak negatif dari pestisida kimia pada kesehatan masyarakat dan lingkungan. Selanjutnya, teknik biologi molekuler telah merevolusi bidang ini dengan memfasilitasi identikasi secara molekuler penekanan patogen dan dengan menyediakan sarana untuk mengunggulkan agen biokontrol. Agen biokontrol terbaru yang dihasilkan dari penelitian intensif perlahan-lahan menjadi tersedia Mengenal mikroba sahabat petani 121 Tahapan pengembangan agensia biologi

untuk pertanian, dan trennya sangat cepat sepanjang dekade ini. Salah satu contoh adalah Gliocladium virens, yang telah dipasarkan untuk mengontrol Pythium dan Rhizoctonia (Lumsden & Walter, 2003).

6.4. Topik Kajian Bidang Biokontrol Patogen Tumbuhan Beberapa topik penelitian bidang biokontrol dan pengembangannya dirangkum dalam permasalahan sebagai berikut: 1. Ekologi mikroba yang berasosiasi dengan tanaman, mencakup: bagaimana patogen dan antagonisnya tersebar di lingkungannya; dalam kondisi apa suatu agensia dapat bertindak sebagai agen yang supresif; bagaimana agen indigenus dan introduksi dapat aktif pada sistem budidaya yang diterapkan; faktor apa yang menentukan kolonisasi dan ekspresi suatu agen biologi; komponen dan dinamika tumbuhan yang bagaimana mampu menginduksi proses biokontrol tersebut. 2. Strategi aplikasi agensia, mencakup: dapatkah variasi strain lain ditemukan sebagai agensia efektif; apakah rekayasa genetik mikroba dan tanaman dapat meningkatkan efektivitas agen biokontrol; bagaimana pula formulasi yang dipakai dapat meningkatkan kemampuan agensia. 3. Penemuan strain baru dan mekanisme kerja, mencakup: apakah mikroba yang belum dikarakterisasi dapat bertindak sebagai agen biokontrol; gen apa dan produk gen lain apa yang dapat terlibat dalam penekanan patogen; kombinasi strain baru yang bagaimana yang bekerja lebih efektif dibandingkan agensia individu; molekul sinyal yang bersumber dari tanaman dan mikroba yang mana mengatur ekspresi sifat biokontrol oleh agensia berbeda.

Mengenal mikroba sahabat petani 122 Tahapan pengembangan agensia biologi

4. Integrasi yang bersifat praktis ke dalam sistem pertanian, mencakup hal seperti berikut: sistem produksi agensia mana yang lebih menguntungkan untuk manajemen penyakit; strategi biokontrol mana yang paling cocok dengan komponen sistem manajemen pengelolaan hama terpadu; dapatkah kombinasi kultivar dengan agen biokontrol dikembangkan oleh pemulia tanaman.

Mengenal mikroba sahabat petani 123 Kepustakaan

Daftar Pustaka

Abarca-Grau & Ana M. 2012. Role for Rhizobium rhizogenes K84 cell envelope polysaccharides in surface interactions. Appl. Environ. Microbiol.78(6):16441651. [19/01/2016]. Abbott SP, Sigler L, McAleer R, McGough DA, Rinaldi MG, & Mizell G. 1995. Fatal cerebral mycoses caused by the ascomycete Chaetomium strumarium. J Clin Microbiol 33(10):2692-8. Abdel-Hafez SI, Moubasher AH, Shoreit AA, & Ismail MA. 1990. Fungal ora associated with combine harvester wheat and sorghum dusts from Egypt. J Basic Microbiol 30(7):467-79. Abou Alhamed M & Shebany Y. 2012. Endophytic Chaetomium globosum enhances maize seedling copper stress tolerance. Plant Biology 14(5): 859-863. Adam M, Heuer H, & Hallmann J. 2007. Bacterial antagonists of fungal pathogens also control root-knot nematodes by induced systemic resistance of tomato plants. Afzal M & Mehdi FS. 2002. Atmospheric Fungi of Karachi City, Pakistan. J Biol Sciences 5(6):707-9. Ahren D, Ursing BM, & Tunlid A. 1998. Phylogeny of nematode- trapping fungi based on 18S rDNA sequences. FEMS Microbiology Letters 158 (2): 179-184. doi:10.1016/s0378-1097(97)00519- 3Anandi V, John TJ, Walter A, Shastry JC, Lalitha MK, Padhye AA, Ajello L, & Chandler FW. 1989. Cerebral phaeohyphomycosis caused by Chaetomium globosum in a renal transplant recipient. J Clin Microbiol 27(10):2226-9. Aru A, Munk-Nielsen L, & Federspiel BH. 1997. The soil fungus Chaetomium in the human paranasal sinuses. Eur. Arch. Otorhinolaryngol 254(7):350-2.

Mengenal mikroba sahabat petani 124 Kepustakaan

Asano Y, Yasuda T, Tani Y, & Yamada H. 1982. A new enzymatic method of acrylamide production. Agricultural Biology and Chemistry 46(5):1183-1189. Aspiroz C, Gené J, Rezusta A, Charlez L, & Summerbell RC. 2007. First Spanish case of onychomycosis caused by Chaetomium globosum. Med Mycol. 45(3):279-82. Ayanbimpe GM, Wapwera SD, & Kuchin D. 2010. Indoor air mycoora of residential dwellings in Jos metropolis. Afr Health Sci 10(2):172-6. Bagy MM & Gohar YM. 1988. Mycoora of air-conditioners dust from Riyadh, Saudi Arabia. J Basic Microbiol 28(9-10):571-7. Balai Penelitian Tanaman Hias. 2004. Mikroba Antagonis sebagai Agen Hayati Pengendali Penyakit Tanaman. BPTH, Cianjur. Beezhold DH, Green BJ, Blachere FM, Schmechel D, Weissman DN, Velickoff D, Hogan MB, & Wilson NW. 2008. Prevalence of allergic sensitization to indoor fungi in West Virginia. Allergy Asthma Proc 29(1):29-34. Bennett AJ, Leifer C, & Whipps JM. 2006. Survival of Coniothyrium minitans associated with sclerotia of Sclerotinia sclerotiorum in soil. Soil Biol. Biochem. 38(1):164-172. Bloemberg G & Lugtenberg B. 2001. Molecular basis of plant growth promotion and biocontrol by rhizobacteria. Current Opinion in Plant Biology 4(4):343-350. Benhamou N. 2009. La résistance chez les plantes: principes de la stratégie defensive et applications agronomiques. Paris: Lavoisier, Tec & Doc. Benhamou N & Chet I. 1997. Cellular and molecular mechanisms involved in the interaction between Trichoderma harzianum and Pythium ultimum. Appl Environ Microbiol 63, 2095-2099. Benhamou N, Rey P, Chérif M, Hockenhull J, & Tirilly Y. 1997. Treatment with the mycoparasite Pythium oligandrum triggers induction of defense-related reactions in tomato roots when challenged with Fusarium oxsporum f. sp. radicis-lycopersici. Phytopathology 87:108-122.

Mengenal mikroba sahabat petani 125 Kepustakaan

Benhamou N, Rey P, Picard K, & Tirilly Y. 1999. Ultrastructural and cytochemical aspects of the interaction between the mycoparasite, Pythium oligandrum and soilborne pathogens. Phytopathology 89:506-517. Bodelier P & Laanbroek H. 1997. Oxygen uptake kinetics of Pseudomonas chlororaphis grown in glucose- or glutamate-limited continuous cultures. Research Microbiology. 167:392-395. Boland GJ & Hall R. 1994. Index of plant hosts of Sclerotinia sclerotiorum. Can. J. Plant Pathol. 16:93–108. Bokhary HA & Parvez S. 1995. Fungi inhabiting household environments in Riyadh, Saudi Arabia. Mycopathologia 130(2):79- 87. Brozova J. 2002. Exploitation of the mycoparasitic fungus Pythium oligandrum in plant protection. Plant Prot Sci. 38:29–35. Brunner K, Zeilinger S, Ciliento R, Woo S, Lorito M, Kubicek CP, & Mach RL. 2005. Improvement of the fungal biocontrol agent Trichoderma atroviride to enhance both antagonism and induction of plant systemic disease resistance. Applied Environmental and Micro- biology 71, 3959-3965. Caspi R & Altman T. 2012. The metaCyc database of metabolic pathways and enzymes and the BioCyc collection of pathway/Genome Databases. Nucleic Acids Research 40 (Database issue): D742-D753. PMID: 22102576. Challis GL. 2005. A widely distributed bacterial pathway for siderophore biosynthesis independent of nonribosomal peptide synthetases. ChemBioChem 6(4):601-611. Cooney TP, Nonhebel HM. 1991. Biosynthesis of indole-3-acetic acid in tomato shoots: measurement, mass spectral identication and 2 2 incorporation of H from H2 O into indole-3-acetic acid, D- and L- tryptophan, indole-3-pyruvate and tryptamine. Planta 184, 368-376. Cullen D, Berbee F, & Andrews J. 1984. Chaetomium globosum antagonizes the apple scab pathogen, Venturia inaequalis, under eld conditions. Can J Bot 62:1814-1818.

Mengenal mikroba sahabat petani 126 Kepustakaan

Deacon J. Tahun (?). The Microbial World: Bacillus thuringiensis. Institute of Cell and Molecular Biology, The University of Edinburgh. [23/01/2016]. De Carli L, Larizza L. 1988. Griseofulvin. Mutation Research 195(2):91-126. doi:10.1016/0165-1110(88)90020-6. PMID 3277037. Detrait M, Hondt LD, André M, Lonchay C, Holemans XJP, Maton, & Canon JL. 2008. Agrobacterium radiobacter bacteremia in oncologic and geriatric patients: presentation of two cases and review of the literature. International Journal of Infectious Diseases 12(6) e7-e10. Dewi I R. 2007. Bakteri Pelarut Fosfat. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Douglas DR, Jumper CA, & Straus DC. 2007. Growth and mycotoxin production by Chaetomium globosum. Mycopathologia 164(1):49-56. Doyle WT. 1970. Nonseed Plants: Form and Function. Wadsworth Pub. Co. p. 39. Drechsler C. 1943. Two species of Pythium occurring in Southern States. Phytopathology 33:261-299. Druzhinina IS, Seidl-Seiboth V, Herrera-Estrella A, Horwitz BA, Kenerley CM, Monte E, Mukherjee PK, Zeilinger S, & Grigoriev IVCP. 2011. Trichoderma: the genomics of opportunistic success. Nat Rev Microbiol 9:749–759. El-Maghraby OM, & Abdel-Sater MA. 1993. Mycoora and natural occurrence of mycotoxins in tobacco from cigarettes in Egypt. Zentralbl Mikrobiol1 48(4):253-64. EPA. 2009. Pseudomonas chlororaphis strain 63-28 (006478) Fact Sheet. Fogle MR, Febré N, Silva V, Medeiros EA, Godoy P, Reyes E, Halker E, & Fischman O. 1999. Contamination of peritoneal dialysis uid by lamentous fungi. Rev Iberoam Micol 16(4):238-9.

Mengenal mikroba sahabat petani 127 Kepustakaan

Floch GL, Rey P, Benizri E, Benhamou N, & Tirilly Y. 2003. Impact of auxin-compounds produced by the antagonistic fungus Pythium oligandrum or the minor patogen Pythium group F on plant growth. Plant and Soil 257(2):459-470.

Frankenberger WT & Arshad M. 1995. Phytohormones in Soil: Microbial Production and Function. Edited by Dekker M. New York: Taylor & Francis. Freire FC, Kozakiewicz Z, & Paterson RR. 2000. Mycoora and mycotoxins in Brazilian black pepper, white pepper and Brazil nuts. Mycopathologia 149(1):13-9. Freire FC, Kozakiewicz Z, & Paterson RR. 1999. Mycoora and mycotoxins of Brazilian cashew kernels. Mycopathologia 145(2):95- 103. Friedman AH. 1998. Cerebral fungal infections in the immunocompromised host: A literature review and a new patogen- Chaetomium atrobrunneum: Case report-Comment. Neurosurgery 43:1469. Genin S & Denny TP. 2012. Patogenomics of the Ralstonia solanacearum species complex. Annu Rev Phytopathol 50:67-89. Gohel V, Singh A, Vimal M, Ashwini P, & Chhatpar HS. 2006. Bioprospecting and antifungal potential of chitinolytic microorganisms. African Journal of Biotechnology 5:54-72. Gravesen S, Nielsen PA, Iversen R, & Nielsen KF. 1999. Microfungal contamination of damp buildings-examples of risk constructions and risk materials. Environ. Health Perspect 107 Suppl 3:505-8. Guarro J, Soler L, & Rinaldi MG. 1995. Patogenicity and antifungal susceptibility of Chaetomium species. Eur. J. Clin. Microbiol Infect Dis. 14:613-8. Guerrero R, Pedros-Alio C, Esteve I, Mas J, Chase D, Margulis L. 1986. Predatory prokaryotes: predation and primary consumption evolved in bacteria. Proc. Natl Acad Sci. USA 83:2138-2142.

Mengenal mikroba sahabat petani 128 Kepustakaan

Guppy KH, Thomas C, Thomas K, & Anderson D. 1998. Cerebral fungal infections in the immunocompromised host: a literature review and a new patogen-Chaetomium atrobrunneum: case report. Neurosurgery 43(6):1463-9. Hajek A. 2004. Natural Enemies: An Introduction to Biological Control. New York: Cambridge University Press. 378 pp. Hanudin, Sutarya E, Mihardja S, & Sanusie I. 2000. Mikroba Antagonis sebagai Agen Hayati Pengendali Penyakit Tanaman. Balai Penelitian Tanaman Hias. Jawa Barat. Hasanudin. 2003. Peningkatan peranan mikroorganisme dalam sistem pengendalian penyakit tumbuhan secara terpadu. [19 Mei 2010]. Hatai K. 1975. Pseudomonas chlororaphis as a sh pathogen. Bulletin of the Japanese Society of Scientic Fisheries 41(11):1203 Hawke MA & Lazarovits G. 1994. Production and manipulation of individual microsclerotia of Verticillium dahlia for use in studies of survival. Phytopathology 84: 883-890. Hayashi R. 2002. Trends in High Pressure Bioscience and Biotechnology 19:303. (Progress in Biotechnology). Elsevier Science. ISBN 978-0-444-50996-3. Hodges CS. 1964. The effect of competition by Peniophora gigantea on the growth of in stumps and roots. Phytopathology 54:623. Hoffmann MP & Frodsham AC. 1993. Natural Enemies of Vegetable Insect Pests. Cooperative Extension, Cornell University, Ithaca, NY. p. 63. Hoppin EC & McCoy EL, 1983. Rinaldi MG. Opportunistic mycotic infection caused by Chaetomium in a patient with acute leukemia. Cancer 52(3):555-6. Hoppin EC & McCoy EL, 1983. Rinaldi MG. Opportunistic mycotic infection caused by Chaetomium in a patient with acute leukemia. Cancer 52(3):555-6.

Mengenal mikroba sahabat petani 129 Kepustakaan

Hull R. 2002. Matthew's Plant Virology. Academic Press. San Diego 428-431. Jarvis BB & Miller JD. 2005. Mycotoxins as harmful indoor air contaminants. Appl. Microbiol. Biotechnol 66(4):367-72. Jinkui Y, Liang L, Juan Li, & Ke-Qin Zhang. 2013. Nematicidal enzymes from microorganisms and their applications. Applied Microbiology and Biotechnology. 97(16): 7081-7095. Jones JD & Dangl JL. 2006. The plant immune system. Nature 444:323–329. Juanda I F. 2004. Potensi rhizobakteria sebagai agen biofungisida untuk pengendalian jamur topatogen Fusarium. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Bandung, Jawa Barat. Kadouri D & Toole GAO. 2005. Susceptibility of biolm to Bdellovibrio bacteriovorus attack: Appl. Environ. Microbiol. 71:4044-4051. Khun-in AS, Sukhakul, Chamswarng C, Tangkijchote P, & Narukkit AS. 2015. Culture ltrate of Pleurotus ostreatus isolate Poa3 effect on egg mass hatching and juvenile 2 of Meloidogyne incognita and its potential for biological control. J. ISSAAS 21(1):46-54. Kim & Junk-Gun. 2006. Bases of biocontrol: Sequence predicts synthesis and mode of action of agrocin 84, the Trojan horse antibiotic that controls crown gall. Proc Nat Aca Sci U.S.A. 103(23):8846- 8851. . [19/01/2016]. Lambert CKA, Morenhouse CY, Chang RE, & Sockett. 2006. Bdellovibrio: Growth and development during the predatory cycle. Curr opin. Microbiol 9:639-644. Larone DH. 1995. Medically Important Fungi-A Guide to Identication, 3rd ed. ASM Press, Washington, D.C. Latha R, Sasikala R, Muruganandam N, & Shiva Prakash MR. 2010. Onychomycosis due to ascomycete Chaetomium globosum: A case report. Indian J Pathol Microbiol 53(3):566-7.

Mengenal mikroba sahabat petani 130 Kepustakaan

Le Floch G, Vallance J, Benhamou N, & Rey P. 2009. Combining the oomycete Pythium oligandrum with two other antagonistic fungi: Root relationships and tomato grey mold biocontrol. Biol Control 50:288–298. Lesire V, Hazouard E, Dequin PF, Delain M, Thérizol-Ferly M, & Legras A. 1999. Possible role of Chaetomium globosum in infection after autologous bone marrow transplantation. Intensive Care Med 25(1):124-5. Li GQ, Huang HC, Miao HJ, Erickson RS, Jiang DH, & Xiao YN. 2006. Biological control of Sclerotinia diseases of rapeseed by aerial applications of the mycoparasite Coniothyrium minitans. Can. J. Plant Pathol. 114:345–355. Liu ZH, Yang Q, Hu S, Zhang JD, Ma J. 2008. Cloning and characterization of a novel chitinase gene (chi46) from Chaetomium globosum and identication of its biological activity. Appl Microbiol Biotechnol 80(2):241-52. Liu ZH, Yang Q, & Ma J. 2007. A heat shock protein gene (hsp22.4) from Chaetomium globosum confers heat and Na2 CO 3 tolerance to yeast. Appl Microbiol Biotechnol 77(4):901-8. Loper JE & Buyer JS, 1991. Siderophores in microbial interactions on plant surfaces. Molecular Plant-Microbe Interactions 4(1):5-13. Lumsden, R.D. & Walter, J.F., 1995. Development of the biocontrol fungus Gliocladium virens: risk assessment and approval for horticultural use. In: Hokkanen HMT, Lynch JM. (Eds.), Biological Control: Benets and Risks. Plant and Microbial Biotechnology Research Series. Cambridge University Press, New York, pp.263- 269. Madi L, Katan T, Katan J, & Henis Y. 1997. Biological control of Sclerotinia rolfsii and Verticillium dahlia by Talaromyces avus is mediated by different mechanisms. Phytopathology 87:1054-1060. Madigan MT. 2011. Brock Biology of Microorganisms: Global Edition. Pearson Education. ISBN 9780321735515.

Mengenal mikroba sahabat petani 131 Kepustakaan

Malik AF. 2011. Metode isolasi jamur agen hayati dari sampel tanah. [17/01/2016]. Masunaka A, Nakaho K, Sakai M, Takahashi H, & Takenaka S. 2009. Visualization of Ralstonia solanacearum cells during biocontrol of bacterial wilt disease in tomato with Pythium oligandrum. J Gen Plant Pathol 75:281–287. Mohamed N, Lherminier J, Farmer MJ, Fromentin J, Béno N, Houot V, Milat ML, & Blein JP. 2007. Defense responses in grapevine leaves against Botrytis cinerea induced by application of a Pythium oligandrum strain or its elicitin, oligandrin, to roots. Phytopathology 97:611–620. Moharram AM, Abdel-Mallek AY, & Abdel-Hafez AI. 1989. Mycoora of anise and fennel seeds in Egypt. J Basic Microbiol 29(7):427-35. Mohovic J, Gambale W, & Croce J. 1988. Cutaneous positivity in patients with respiratory allergies to 42 allergenic extracts of airborne fungi isolated in Sao Paulo, Brazil. Allergol Immunopathol (Madr) 16(6):397-402. Morse RJ, Stroud RM, & Yamamoto T. 2001. Structure of Cry2Aa. Structure 9(5):409-417. Miller JD, Laamme AM, Sobol Y, Lafontaine P, & Greenhalgh R. 1988. Fungi and fungal products in some Canadian houses. International Biodeterioration 24:103-20. Murray FR, Llewellyn DJ, Peacock WJ, & Dennis ES. 1997. Isolation of the glucose oxidase gene from Talaromyces avus and characterisation of its role in the biocontrol of Verticillium dahlia. Curr. Genet. 32:367–375. Nasahi C. 2010. Peran mikroba dalam pertanian organik. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung. (Tidak dipublikasikan). Nicoletti R, Manzo E, & Ciavatta ML. 2009. International Journal of Molecular Sciences 10(4):1430–44. doi:10.3390/ijms10041430. PMC 2680625. PMID 19468317.

Mengenal mikroba sahabat petani 132 Kepustakaan

Nicoletti R, Buommino E, De Filippis A, Lopez-Gresa M, Manzo E, Carella A, Petrazzuolo M, & Tufano MA. 2009. Bioprospecting for antagonistic Penicillium strains as a resource of new antitumor compounds. World Journal of Microbiology 24(2):185-95. doi:10.1007/s11274-007-9455-y. Niedoszytko M, Chelminska M, Jassem E, & Czestochowska E. 2007. Association between sensitization to Aureobasidium pullulans (Pullularia sp.) and severity of asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 98(2):153-6. Oyarbide F, Osterrieth ML, & Cabello M. 2001. Trichoderma koningii as a biomineralizing fungus agent of calcium oxalate crystals in typical Argiudolls of the Los Padres Lake natural reserve (Buenos Aires, Argentina). Microbiological Research 156: 113-119. Picard K, Tirilly Y, & Benhamou N. 2000. Cytological effects of cellulases in the parasitism of Phytophthora parasitica by Pythium oligandrum. Appl. Environ. Microbiol. 66:4305-4314. Pitt JI, Hocking AD, Bhudhasamai K, Miscamble BF, Wheeler KA, & Tanboon-Ek P. 1993. The normal mycoora of commodities from Thailand: Nuts and oilseeds. Int J Food Microbiol. 20(4):211-26. Pratomo A. 2008. Prinsip Pengendalian Hayati. Rey P, Benhamou N, & Tirilly Y. 1998a. Ultrastructural and cytochemical investigations of asymptomatic infection by Pythium spp. Phytopathology 88, 234–244. Rey P, Benhamou N, Wulff E, Tirilly Y. 1998b. Interactions between tomato (Lycopersicon esculentum) root tissues and the mycoparasite Pythium oligandrum. Physiol Mol Plant Pathol 53:105–122. Rifkind D & Freeman G. 2005. The Nobel Prize Winning Discoveries in Infectious Diseases. London, UK: Academic Press. pp. 43-46. ISBN 978-0-12-369353-2. Retrieved 2013-02-03. Rey P, Leucart S, Desilets H, Bélanger RR, Larue JP, & Tirilly Y. 2001. Production of auxin and tryptophol by Pythium ultimum and minor patogen, Pythium group F. Possible role in pathogenesis. Eur J Plant Pathol 107:895–904.

Mengenal mikroba sahabat petani 133 Kepustakaan Rij ET, Wesselink M, Chin-A-Woeng TF, & Bloemberg-Lugtenberg GV. 2004. Inuence of environmental conditions on the production of phenazine-1-carboxamide by Pseudomonas chlororaphis PCL1391. Molecular Plant-Microbe Interactions. 17(5):557-566. Rishbeth J. 1963. Stump protection against Fomes annosus. III. Inoculation with Peniophora gigantea. Ann. App. Bio. 52:63-77. Rogues & Anne M. 1999. Agrobacterium radiobacter as a cause of Pseudobacteremia. Infection Control and Hospital Epidemiology 20(5):345-347. . Ross EW. 1973. Fomes annosus in the Southeastern United States: Relation of environmental and biotic factors to stump colonization and losses in the residual stand. Washington DC: U.S. Department of Agriculture Forest Service Technical Bulletin No. 1459. Ross EW & Hodges CJr. 1981. Control of Heterobasidion annosum colonization in mechanically sheared slash pine stumps treated with Peniophora gigantea. Asheville, NC: U.S. Department of Agriculture Southeast For. Expt. Stn. Res. Paper SE-229. Sankaranarayanan C, Hussaini SS, Kumar PS, & Prasad RD. 1997. Nematicidal effect of fungal ltrates against root-knot nematodes. Journal of Biological Control 11:37-41 Selin C, Habibian R, Poritsanos N, Athukorala S, Fernando D, & de Kievit T. 2010. Phenazines are not essential for Pseudomonas chlororaphis PA23 biocontrol of Sclerotinia sclerotiorum, but do play a role in biolm formation. FEMS Microbiology Ecology. 71(1):73-83. Sharma RR, Singh D, & Singh R. 2009. Biological control of postharvest diseases of fruits and vegetables by microbial antagonists: A review. Biological Control 50(3):205–221. Sigler L, & Verweij PE. 1995. Aspergillus, Fusarium, and other opportunistic moniliaceous fungi. In: Murray et al. (eds). 2003. Manual of clinical microbiology 8th ed. American Society for Microbiology, Washington. 1726-60. Smith SN, Prince M, & Whipps JM. 2008. Characterization of Sclerotinia and mycoparasites Coniothyrium minitans interaction by

Mengenal mikroba sahabat petani 134 Kepustakaan

Song XY, Shen QT, Xie ST, Chen XL, Sun CY, & Zhang YZ. 2006. Broad-spectrum antimicrobial activity and high stability of trichokonins from Trichoderma koningii SMF2 against plant patogens. FEMS Microbiology Letters 260:119-125. [PubMed]

Stadler M, Anke H, & Sterner O. 1993b. New biologically active compounds from the nematode-trapping fungus Arthrobotrys oligospora Fres. Z Naturforsch 48c:843–850. Straus DC. 2011. The possible role of fungal contamination in sick building syndrome. Front Biosci. (Elite Ed.) 3:562-80. Stiller MJ, Rosenthal S, Summerbell RC, Pollack J, & Chan A. 1992. Onychomycosis of the toenails caused by Chaetomium globosum. J. Am. Acad. Dermatol 26:775-6. Singh P, Rathinasamy K, Mohan R, & Panda D. 2008. Microtubule assembly dynamics: an attractive target for anticancer drugs. IUBMB Life 60(6):368-75. doi:10.1002/iub.42. PMID 18384115. Strauch, Beck S, & Appel B. 2007. Bdellovibrio and like organisms: Potential sources for new biochemicals and therapeutic agents?. Predatory Prokaryotes. Microbiology Monographs 4. p. 131. doi:10.1007/7171_2006_055. ISBN 978-3-540-38577-6. Sukorini H. 2006. Pengaruh mikroba antagonis terhadap penyakit- penyakit utama tanaman apel manalagi. Laporan penelitian. UMM. Summerbell R. 1998. Health effect of Stachybotrys, known and inferred. Ontario Ministry of Health. Supriadi. 2003. Analisis risiko agens hayati untuk pengendalian patogen pada tanaman. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BPTRO), Bogor. Sutton DA, Fothergill AW, & Rinaldi MG. 1998. Guide to Clinically Signicant Fungi, 1st ed. Williams & Wilkins, Baltimore. Strauch E, Beck S, & Appel B. 2007. Bdellovibrio and like organisms: Potential sources for biochemicals and therapeutic agents. Predatory Prokaryotes. Microbiology Monographs 4. P. 131. Doi: 10.1007/7171_2006_055. ISBN 978-3-540-38577-6.

Mengenal mikroba sahabat petani 135 Kepustakaan

Slater & Steven C. 2009. Genome sequences of three Agrobacterium biovars help elucidate the evolution of multichromosome genomes in bacteria. Journal of Bacteriology. doi: 10.1128/JB.01779-08:2501- 2511. Teixeira AB, Trabasso P, Moretti-Branchini ML, Aoki FH, Vigorito AC, Miyaji M, Mikami Y, Takada M, & Schreiber AZ. 2003. Phaeohyphomycosis caused by Chaetomium globosum in an allogeneic bone marrow transplant recipient. Mycopathologia. 156(4):309-12. Thomas C, Mileusnic D, Carey RB, Kampert M, & Anderson D. 1999. Fatal Chaetomium cerebritis in a bone marrow transplant patient. Hum Pathol 30(7):874-9. Thompson, Hamilton, & Pootjes. 1979. Purication and Isolation of Agrocin-84: Antimicrob Agents Chemother 16(3):293-296. . [15/01/2016]. Tomsikova A. 2002. Causative agents of nosocomial mycoses. Folia Microbiol (Praha) 47(2):105-12. Todar & Kenneth. Pseudomonas. 2 0 0 6 . [19/04/2010]. Tombolini R, Gerhardson GDJ, Berndt, & Janet J. 1999. Colonization Pattern of the Biocontrol Strain Pseudomonas chlororaphis MA 342 on barley seeds visualized by using green uorescent protein. Applied and Environmental Microbiology 3674- 3680. Tubby KV, Scott D, & Webber JF. 2008. Relationship between stump treatment coverage using the biological control product PG Suspension, and control of Heterobasidion annosum on Corsican pine, Pinus nigra ssp. laricio. For. Path. 38:37-46. Veloso J, Diaz J. 2012. Fusarium oxysporum Fo47 confers protection to pepper plants against Verticillium dahliae and Phytophthora capsici, and induces the expression of defence genes. Plant Pathol 61:281–288.

Mengenal mikroba sahabat petani 136 Kepustakaan

Vesper S, McKinstry C, Ashley P, Haugland R, Yeatts K, Bradham K, & Svendsen E. 2007. Quantitative PCR analysis of molds in the dust from homes of asthmatic children in North Carolina. J Environ Monit 9(8):826-30. Vivader AK, Lambrecth, & Patricia A. 2004. Bacteria as plant patogens. The Plant Health Instructor. . [15/01/2016]. Von Arx JA, Guarro J, & Figueras MJ. 1986. The ascomycete genus Chaetomium. Beih. Nova Hedwigia 84:1-162. Wainhouse D. 2005. Ecological methods in forest pest management. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-850564-8. p.128-129. WHO. 1999. Microbial Pest Control Agent: Bacillus thuringiensis, World Health Organization, Geneva. Webster J & Weber RWS. 2007. Introductory to Fungi. Third Edition. Cambridge University Press. Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, São Paulo. 841p. Worasatit N, Sivasithamparam K, Ghisalberti EL, & Rowland C. 1994. Variation in pyrone production, lytic enzymes and control of Rhizoctonia root rot of wheat among single-spore isolates of Trichoderma koningii. Mycological Research 98:1357-1363. Xiang L, Tian Y, Yang S, Zhang Y, & Qin J. 2013. Cytotoxic azaphilone alkaloids from Chaetomium globosum TY1. Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters 23:2945-2947. Yamada, Hideaki, & Kobayashi M. 1996. Nitrile hydratase and its application to industrial production of acrylamide. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 60(9). Yang L, Li GQ, Long YQ, Hong GP, Jiang DH, & Huang HC. 2010. Effects of soil temperature and moisture on survival of Coniothyrium minitans conidia in central China. Biol. Control 55:27-33. Yeghen T, Fenelon L, Campbell CK, Warnock DW, Hoffbrand AV, Prentice HG, & Kibbler CC. 1996. Chaetomium pneumonia in patient with acute myeloid leukaemia. J Clin Pathol 49(2):184-6.

Mengenal mikroba sahabat petani 137 Kepustakaan

Yu J, Yang S, Zhao Y, & Li R. 2006. A case of subcutaneous phaeohyphomycosis caused by Chaetomium globosum and the sequences analysis of C. globosum. Med Mycol 44(6):541-5.

Mengenal mikroba sahabat petani 138 Glosari

Glosari patogen tumbuhan mikroba yang mampu menimbulkan penyakit pada tumbuhan pengendalian biologi pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) menggunakan makhluk hidup yang merupakan musuh alaminya damping-off penyakit rebah kecambah pada bibit muda yang disebabkan oleh berbagai jenis jamur yaitu antara lain Pithium spp., Rhizoctonia spp. dan Sclerotium rolfsii green revolution upaya peningkatan produktivitas pangan yang terjadi sekitar tahun 1970-an dengan menerapkan input kimiawi termasuk pupuk dan pestisida, namun akhirnya bertolak belakang dengan upaya budidaya berkelanjutan, dianggap banyak menimbulkan kerugian lingkungan sehingga diupayakan bertani secara organik in-vitro di dalam lingkungan buatan sebagai lawan kata in-vivo yang artinya dalam makhluk hidup hiperparasit makhluk hidup yang memarasit makhluk hidup yang bersifat parasit (pada tanaman) jamur antagonistik jamur yang dapat menekan pertumbuhan jamur parasit/pathogen tanaman baik melalui mekanisme kompetisi, parasitisme, maupun antibiosis klamidospora struktur istirahat jamur yang bersifat tahan terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan bagi hidupnya kompetisi persaingan untuk mendapatkan bahan makanan/ruang yang status jumlah makanan/ruang yang ada terbatas parasitisme makhluk yang mengambil makanan dari makhluk lainnya sehingga merugikan makhluk lain yang diparasitnya antibiosis mekanisme penghambatan suatu mikroba terhadap mikroba lain karena mikroba tersebut dapat mengeluarkan senyawa beracun baik berupa enzim maupun zat antibiotik sehingga dapat menekan pertumbuhan lawannya

Mengenal mikroba sahabat petani 139 Glosari siderofor senyawa yang dikeluarkan oleh Pseudomonas uorescens yang dapat mengkhelat/mengikat zat besi (Fe3+) sehingga mikroba lainnya tidak mendapat cukup zat besi sehingga mikroba lain tersebut tidak dapat tumbuh. Contoh senyawa siderofor tersebut adalah pyoverdin dan pseudobacin yang diproduksi pada kondisi lingkungan tumbuh yang miskin ion besi. Ion besi sangat diperlukan oleh spora Fusarium sp. untuk berkecambah sehingga akibat tidak mendapat ion besi yang cukup maka patogen tersebut tidak dapat tumbuh dan menginfeksi tanaman pseudobacin siderofor uorescens kuning-kehijauan yang dihasilkan Pseudomonas uorescens yang bermanfaat untuk menekan perkecambahan spora atau pertumbuhan spora atau miselium jamur proteksi silang kekebalan terhadap virus ganas yang didapat tanaman setelah terinfeksi oleh virus lemah (vaksin) gram positif bakteri yang ketika diberikan serangkaian pewarnaan Gram tampak berwarna biru/keunguan kar

Mengenal mikroba sahabat petani 140 Indeks

Indeks

Agrobacterium 4 Agrobacterium radiobacter 95 Amphelomyces quisqualis 35 Arthrobotrys 23 Ascocoryne 27 Aspergillus 32 Bacillus 8, 78, 91 Bacillus subtilis 116 Bacillus thuringiensis 98 Baculoviridae 106 Bdellovibrio 93 Chaetomium 29 Chaetomium globosum 31 Coniothyrium minitans 17 Cryptococcus laurentii 116 Dactylella 32 Debaryomyces hansenii 116 Ditylenchus dipsaci 115 Gliocladium 11, 12, 13 Gliocladium virens 39 Globodera rostochiensis 115 Globodera spp. 115 Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) 110 Heterodera 115 Heterodera schachtii 115 Heterorhabditis 115 Iridoviridae 106 Meloidogyne spp. 115 Myrothecium verrucaria 36 Parvoviridae 106

Mengenal mikroba sahabat petani 141 Indeks

Penicillium spp. 37 Phlebiopsis gigantean 14 Photorhabdus 115 Phthorimae operculella Granulosis Virus (PoGV) 110 Pleurotus ostreatus 73 Poxviridae 106 Pseudomonas aeruginosa 118 Pseudomonas calciprecipitans 75 Pseudomonas cepacia 83 Pseudomonas chlororaphis 83 Pseudomonas uorescens 79 Pseudomonas geniculata 75 Pseudomonas mildenbergil 75 Pseudomonas ovalis 75 Pseudomonas putida 75 Pseudomonas syringae 75 Pseudomonas reptilivora 75 Pythium oligandrum 59 Reoviridae 106 Sphaerellopsis34 Spodoptera exigua Nuclear Polyhedrosis Virus (SeNVP) 110 Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) 110 Steinernema 115 Streptomyces 89 Streptomyces griseoviridis 88 Streptomyces violaceusniger strain YCED-9 89 Talaromyces avus 71 Trichoderma 4 Trichoderma koningii 53 Trichoderma spp. 42 Trichoderma viridae 50 Xenorhabdus 115

Mengenal mikroba sahabat petani 142