Laporan Hasil Penelitian Penelitian Potensi Radikalisme dalam Bahan Bacaan Kelompok Keagamaan di Jateng, Jawa Timur, dan DIY

Oleh Umi Masfiah, Achmad Sidiq, Moch.Lukluil Maknun Samidi, Bisri Ruchani, Ahmad Sodli, Subkhan Ridlo, Roch Aris Hidayat, Nurul Huda, Mustolehudin

KEMENTERIAN AGAMA Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang 2016

i KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, hanya dengan ridlo-Nya Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang pada Tahun Anggaran 2016 telah berhasil menyelesaikan penelitian bidang Lektur dan Khazanah Keagamaan dengan judul “Potensi Radikalisme dalam Bahan Bacaan Kelompok Keagamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta”. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengungkap profil ringkas, dan konsep jihad, al-amru bi al-makruf wa al-nahyu ‘an al-munkar, khilafah, al- wala wa al-barra, takfiri, dan baiat dalam literatur serta penafsiran kelompok keagamaan radikal terhadap konsep-konsep tersebut. Selain itu, diharapkan dapat diketahui keterkaitan antara isi literatur kelompok keagamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta dengan kontselasi kebangsaan mencakup Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Penelitian ini menemukan potensi radikalisme dalam bahan bacaan kelompok keagamaan yang diteliti berupa potensi paham jihad ofensif, potensi penegakan syariat Islam melalui konsep negara Islam dan khilafah serta potensi minimnya penanaman nilai-nilai kebangsaan di lembaga pendidikan tertentu dengan pemberlakuan kurikulum non Diknas atau pun Kemenag RI. Penyelenggaraan penelitian ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini, khususnya kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama kami sampaikan terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada kami untuk menyelenggarakan penelitian ini. Kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar pada penelitian yang akan datang semakin baik. Kepala

Prof. (R) Dr. H. Koeswinarno, M.Hum. NIP. 19631201 198903 1 002

ii Abstrak

Peneltian ini menggunakan metode analisis wacana kritis. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui profil ringkas dan identifikasi literatur kelompok keagamaan radikal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan dan telaah literatur yang didukung dengan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kelompok-kelompok keagamaan yang diteliti menyepakati hukum jihad ada dua, yaitu fardhu kifayah dan fardhu ‘ain dengan berdasar pada dalil ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Saw. Potensi radikalisme kelompok keagamaan berdasar konsep berupa pendapat yang menyatakan bahwa jihad ofensif dapat dilaksanakan meskipun musuh dalam keadaaan tidak menyerang.

Kata Kunci: Kelompok Keagamaan, Radikalisme, Literatur Keagamaan

iii DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ...... i KATA PENGANTAR...... iii ABSTRAK ...... iv DAFTAR ISI...... v

BAB I PENDAHULUAN...... 1

BAB II SEJARAH DAN KONTEKS SOSIAL...... 27

2.1 Sejarah LDII………………………………………………………………. 27

2.2 Sejarah MTA………………………………………………………………. 30

2.3 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)…………………………………………….. 30

2.4 Ma’had al-Furqan Gresik………………………………………………….. 31

2.5 Pondok Ittibaus Sunnah………………………………………… 32

2.6 Pondok Pesantren al-Anshar Sleman………………………………………. 34

2.7 Umar in Khatab Magelang…………………………………………………. 36

2.8 Majelis Mujahidin………………………………………………………….. 38

2.9 Jamaah Ansharus Syariah (JAS) ……………………………………………41

2.10 Front Jihad Islam (FJI)……………………………………………………..43

BAB III LITERATUR DAN JARINGAN PEMIKIRAN…………………. 48

3.1 Identifikasi Pengarang……………………………………………………… 48

3.2 Identifikasi Penerbit………………………………………………………… 50

3.3 Jaringan Pemikiran Tokoh Salafiyah……………………………………….. 51

iv BAB IV DOKTRIN DAN AJARAN

4.1 Doktrin al-Ruju ila Qur’an wa Sunnah……………………………………... 57

4.2 Konsep a-Ruju ila Qur’an wa Sunnah dalam Buku Bacaan ……………… 60

4.3 Jihad dalam Bahan Bacaan Kelompok Keagamaan……………………….. 63

4.4 Konsep Amr Makruf Nahi Munkar………………………………………… 79

4.5 Konsep Bid’ah……………………………………………………………… 83

4.6 Konsep Amir………………………………………………………………..102

4.7 Konsep Bid’ah………………………………………………………………103

4.8 Konsep Khilafah…………………………………………………………….106

4.9 Konsep wala wa al-barra…………………………………………………... 111

4.10 Konsep Takfiri…………………………………………………………….116

4.11 Konsep Dar al-Harbi………………………………………………………117

4.12 Konsep Tathbiqus Syariah……………………………………………….. 118

BAB V ANASIR RADIKALISME DAN RELEVANSINYA DENGAN

PILAR-PILAR KEBANGSAAN ……………………...………….. 122

BAB VI PENUTUP

6.1. Simpulan…………………………………………………………………..140

6.2 Rekomendasi……………………………………………………………… 140

LAMPIRAN

v Bab I: Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Isu utama politik Internasional dan menjadi perhatian dunia sepanjang pada tahun 2015 adalah aksi kelompok Islamic State (IS) dan persoalan imigran dari negara-negara Timur Tengah ke kawasan Eropa serta teror mematikan pada 13 Nopember 2015 di Paris Perancis. Aksi teror bom bunuh diri di Paris tersebut disertai penembakan massal yang menewaskan 130 korban (SM, 17 Desember 2015). Aksi peledakan bom bunuh diri di Indonesia juga belum benar-benar berakhir ketika terjadi peristiwa bom bunuh diri tanggal 14 Januari 2016 di ibu kota, tepatnya di jalan Thamrin Jakarta. Kejadian tersebut merengggut beberapa korban jiwa dan korban luka. Para terduga pelaku bom Thamrin ditangkap pada tanggal 19-20 Pebruari di Desa Ngijo, Kec Karang Ploso, Kab Malang, Jawa Timur (Kompas, 21 Pebruari 2016). Pada saat hampir bersamaan, Kepolisian Resort Temanggung mengamankan 38 orang karena melakukan aktifitas “mencurigakan” seperti latihan militer di lereng gunung Sumbing serta di Desa Lhok Guci, Aceh Jaya, dua anggota kelompok illegal ditembak polisi. Berita- berita tersebut mewarnai media baik cetak maupun elektronik sepanjang awal tahun 2016. Al-Chaidar, dalam satu pernyataanya mengingatkan bahwa peristiwa- peristiwa tersebut menunjukkan makin meluasnya gerakan berbau teror dan radikal (Kompas, 21 Pebruari 2016). Aksi kekerasan di Indonesia telah berlangsung sejak lama sejak peristiwa pertikaian berdarah Muslim – Kristen di Maluku (Indonesia Timur) tahun 1999, pengeboman gereja di 11 kota di seluruh Indonesia pada malam Natal Desember 2000, termasuk serangan bom Bali pada 12 Oktober 2002 di Sari Club dan aksi bom Jimbaran pada Oktober 20031 ditengarai terkait dengan kelompok Jamaah Islamiyah (Ricklefs, 2013: 445). JI didirikan oleh Ustadz Abdullah Sungkar di Malaysia pada tahun 1993 (Hasani, 2012: 40). Abdullah Sungkar mendirikan JI saat melarikan diri ke Malaysia bersama Abu Bakar Ba‟asyir dan bersama

1 Aksi teror bom lainnya terjadi di Hotel JW Mariot, 5 Agustus 2003 menewaskan 8 orang, dan bom Kedubes Australia pada September 2004 menewaskan 11 orang (Mubarak, 2008: 342)

1 keduanya ada Sunarto, A. Mubin Busthami, Fihiruddin Muqthie, dan Agung Riyadi2. Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba‟asyir bertemu dan bergabung melakukan dakwah dengan Abu Jibril di beberapa wilayah Malaysia (Hasani, 2012:35). Setelah Soeharto Lengser, Ustadz Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba‟asyir kembali ke Indonesia namun tidak lama berselang Abdullah Sungkar wafat dan perjuangan diteruskan oleh Abu Bakar Ba‟asyir. JI kemudian identik dengan Abu Bakar Ba‟asyir sebagai pemegang otoritas tertinggi di Indonesia. JI termasuk salah satu gerakan Islam di luar mainstream (nonmainstream) seperti NU, dan sejenisnya di Indonesia. JI pimpinan Abu Bakar Baasyir saat ini terpecah ke dalam 2 kelompok, yakni (JAT) dan Jamaah Ansharus Syariah (JAS). JAT bergerak di bawah tanah dengan pucuk pimpinan masih Abu Bakar Ba‟asyir, sedangkan JAS lebih bersikap terbuka dengan pimpinan Ustad Muhammad Ahwan dan As‟ad Said Ali membagi gerakan Islam nonmainstream ke dalam 2 kelompok, yakni kelompok non Salafi dan kelompok Salafi. Gerakan Islam yang termasuk dalam kelompok non Salafi adalah: Darul Arqam, Jama‟ah Tabligh, Ihwanul Muslimin (IM), Isa Bugis, IJABI (Ikatan Jamaah Ahlu al-Bait Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), DI (), Hizbut Tahrir, dan lainya. Sedangkan kelompok Salafi yaitu MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), , Jamaah Islamiyah, ditambah kelompok informal seperti Abdul Hakim Haddad, Yazid Jawz, Husein As-Sewed dan lainnya (Ali, 2012: 74) Ideologi gerakan yang diusung kelompok Islam tersebut merujuk kepada pemikiran para ulama Timur Tengah, Mesir, Afghanistan, dan untuk kasus JI di Indonesia, dalam hal ini Abu Bakar Ba‟asyir cenderung berkiblat pada pemikiran Kartosuwiryo. Berbeda dengan JI, kelompok Ikhwanul Muslimin berpegang pada pemikiran Hasan al-Bana dan Sayyid Quthub, HTI lebih condong kepada pemikiran Taqiyudin an-Nabhani, sedangkan Salafi awalnya merupakan gerakan

2 Ismail Hasani menjelaskan bahwa: Agung Riyadi ditangkap di Malaysia pada Januari 2002 atas tuduhan menjadi anggota Jamaah islamiyah, sedangkan Fihiruddin Muqthie pada 30 Juni 2011 dengan alasan pernah mengikuti latihan militer di Afghanistan, membahayakan keamanan negara Malaysia, dan menyebarkan pembentukan negara Islam dalam ceramah keagamaannya (Hasani, 2012: 35)

2 yang dibawa oleh Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridlo dan dipopulerkan kembali oleh Nashiruddin al-Bani tahun 1890-an (Ali, 2012: 106). Gerakan pemurnian yang dibawa oleh Nashirudin al-Bani senada dengan gerakan pemurnian Muhammad bin Abdul Wahab pada abad ke-13, yakni sama-sama memprihatinkan segala hal yang menyimpang dari ajaran Islam. Hanya saja Al- Bani mendefinisikan kategori bid‟ah menjadi lebih luas mencakup fenomena perkembangan modern termasuk hasil kemajuan tekhnologi, maupun perilaku serta paham pemikiran dengan semangat tekstualis yang dikatakannya sangat kuat sehingga menjadi lebih radikal (Ali, 2012:107). Sumber radikalisme tersebut bersumber dari prinsip ketaatan yang ketat pada teks al-Qur‟an, al-hadis shohih, dan hanya bertumpu pada praktik Islam murni yang dilaksanakan oleh para salafus shaleh, sehingga ketika terdapat fenomena yang berlawanan dengan teks dan tidak ada pada jaman salafus sholeh akan ditentang dan tidak ada kompromi termasuk demokrasi dan partai politik (Ali, 2012: 107) Corak penafsiran tekstualis yang diterapkan oleh beberapa kelompok nonmainstream sebagaimana telah disebutkan di atas, dalam banyak hal menimbulkan persoalan kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan Pancasila dan demokrasi. Misalnya tentang konsep dar al- Islam atau din wa daulah, khilafah, dan takfiri serta jihad dipandang bertentangan dengan prinsip dasar negara Pancasila. Berdasarkan alasan tersebut, maka Balai Litbang Agama Semarang dengan ini memandang perlu melakukan penelitian mengenai Potensi Radikalisme dalam Literatur Kelompok Keagamaan Radikal. Penelitian ini dilaksanakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta dengan alasan ketiga wilayah tersebut disinyalir menjadi daerah kantong-kantong tumbuhnya kelompok radikal di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalahan Berdasarkan beberapa alasan yang telah dikemukakan di dalam latar belakang pemikiran, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1.2.1 Bagaimana profil ringkas kelompok keagamaan di Jawa Tengah, Jawa

3

Timur, dan DI Yogyakarta 1.2.2 Literatur apa saja yang digunakan oleh kelompok keagamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta 1.2.3 Bagaimana identifikasi literatur kelompok keagamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta 1.2.4 Bagaimana konsep jihad, al-amru bi al-makruf wa al-nahyu „an al-munkar, khilafah, al-wala wa al-barra, takfiri, dan baiat dalam literatur kelompok keagamaan 1.2.5 Bagaimana penafsiran para tokoh keagamaan tentang konsep jihad, al-amru bi al-makruf wa al-nahyu „an al-munkar, khilafah, al-wala wa al-barra, takfiri, dan baiat 1.2.6 Bagaimana keterkaitan antara literatur kelompok keagamaan radikal dengan konstelasi kebangsaan mencakup Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1 Untuk mengetahui profil ringkas kelompok keagamaan radikal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta 1.3.2 Untuk mengetahui literatur kelompok keagamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta 1.3.3 Untuk mengetahui identifikasi literatur kelompok keagamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta 1.3.4 Untuk mengetahui konsep jihad, al-amru bi al-makruf wa al-nahyu „an al- munkar, khilafah, al-wala wa al-barra, takfiri, dan baiat dalam literatur kelompok keagamaan yang ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta 1.3.5 Untuk mengetahui penafsiran tokoh kelompok keagamaan terhadap konsep jihad, al-amru bi al-makruf wa al-nahyu „an al-munkar, khilafah, al-wala wa al-barra, takfiri, dan baiat dalam literatur kelompok keagamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta

4

1.3.6 Untuk mengetahui keterkaitan antara isi literatur kelompok keagamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta dengan kontselasi kebangsaan mencakup Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika 1.4 Kerangka Konseptual 1.4.1 Konsep Potensi Pengertian potensi menurut Endra K Pihadhi adalah suatu energi ataupun kekuatan yang masih belum digunakan secara optimal. Dalam hal ini potensi diartikan sebagai kekuatan yang masih terpendam yang dapat berupa kekuatan, minat, bakat, kecerdasan, dan lain-lain yang masih belum digunakan secara optimal, sehingga manfaatnya masih belum begitu terasa.Sedangkan Sri Habsari juga mencoba menjelaskan arti dari kata potensi, yang mana menurutnya potensi adalah kemampuan maupun kekuatan pada diri yang dapat ditingkatkan dan dikembangkan menjadi lebih baik dengan sarana dan prasarana yang tepat dan baik. Potensi pada umumnya dibedakan atas lima macam yaitu potensi fisik (psychomotoric), potensi mental intelektual (intellectual quotient), potensi sosial emosional (emotional quotient), potensi mental spiritual (spiritual quotient), dan potensi daya juang (adversity quotient). Potensi fisik merupakan kemampuan fisik manusia yang dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk berbagai kepentingan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.Kemampuan fisik ini misalnya mata untuk melihat, kaki untuk berjalan,telinga untuk mendengar dan lain-lain.Potensi mental intelektual ( intellectual quotient ) merupakan potensi kecerdasan yang ada pada otak manusia (terutama otak sebelah kiri). Fungsi potensi tersebut adalah untuk merencanakan sesuatu, menghitung dan menganalisis.Potensi sosial emosional (emotional quotient)merupakan potensi kecerdasan yang ada pada otak manusia (terutama otak sebelah kanan). Fungsinya antara lain untuk mengendalikan amarah, bertanggungjawab, motivasi dan kesadaran diri. Kecerdasan emosi (emotional intelligence) adalah kemampuan orang untuk mengenal dan mengendalikan emosinya, mengenal dan memahami emosi orang lain, serta menunjukkan reaksi emosi yang sesuai dengan tuntutan keadaan.

5

Potensi mental spiritual (spiritual quotient) merupakan potensi kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia yang berhubungan dengan jiwa sadar atau kearifan di luar ego. Secara umum spiritual quotient merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan keimanan dan akhlak mulia. Potensi daya juang (adversity quotient) merupakan potensi kecerdasan manusia yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia yang berhubungan dengan keuletan, ketangguhan dan daya juang tinggi. Melalui potensi ini, seseorang mampu mengubah rintangan dan tantangan menjadi peluang. 1.4.2 Konsep Radikalisme Radikalisme dalam penelitian ini secara bahasa diartikan: (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik (http://kbbi.web.id/radikalisme). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat tahun 2008, menguraikan arti kata radikal adalah secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), contohnya: perubahan yang radikal. Makna radikal yang kedua adalah bermakna amat keras menuntut perubahan (seperti dalam undang-undang dan pemerintahan), selain itu radikal juga bermakna maju dalam berpikir atau bertindak. Terminologi radikalisme agama sampai saat ini belum masuk dalam kamus atau istilah-istilah dalam bahasa Arab. Istilah ini bersumber dari dunia Barat, dan sering dikaitkan dengan fundamentalisme Islam. Dalam tradisi Barat istilah fundamentalisme Islam sering ditukar dengan istilah lain seperti “ekstrimisme Islam” sebagaimana dilakukan Gilles Kepel atau “Islam Radikal” menurut Emmanuel Sivan dan ada juga istilah “integrisme, “revivalisme” atau “Islamisme” (Euben, 2002:41). Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan gejala “kebangkitan Islam” yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang terkadang sangat ekstrim. Dibanding istilah lain, “Islam radikal” yang paling sering dipersamakan dengan “Islam fundamentalis”. Sebab fundamentalisme lebih banyak berangkat dari literalisme dalam menafsirkan teks- teks keagamaan dan berakhir pada tindakan dengan wawasan sempit dan

6 seringkali melahirkan aksi-aksi destruktif dan menyalahkan orang lain, termasuk penggunaan pragmatis terhadap agama. Istilah fundamentalisme pada awalnya ini merujuk kepada gerakan keagamaan Kristen di Barat pada abad 20. Gerakan ini dulunya digunakan untuk menunjuk kepada gerakan keagamaan yang antara lain menolak kritik terhadap Bibel, gagasan evolusi, moralitas patriarkis yang ketat dan lainnnya. Namun kemudian, fundamentalisme ini juga digunakan untuk menyebut gerakan keagamaan lain yang terjadi di beberapa negara lainnya, yakni untuk menunjuk gerakan revivalisme keagamaan di luar Protestan seperti Islam, Yahudi, Budhisme, Hinduisme, dan Sikhisme (Sirry, 2003: 3) Gerakan fundamentalisme ini mempunyai beberapa varian, Abegebriel dan El-Saha (2004) seperti dikutip oleh Ismail (2007) menyebutkan ada dua jenis fundamentalisme yaitu fundamentalisme puritan dan fundamentalisme radikal. Kategori yang pertama, fundamentalisme puritan, merujuk kepada gerakan yang lebih mengedepankan pada aspek eksoterik dan tidak mengusung faham politik. Mereka menekankan batas-batas otentisitas dan kebolehan halal-haram berdasarkan syari‟ah Islam. Kelompok ini cenderung melihat kelompok lainnya sebagai golongan yang telah terjerumus dalam bid‟ah dan khurafat. Sementara itu, fundamentalisme radikal adalah gerakan Islam ekstrim yang menentang tertib sosial dengan mengambil sikap oposisi terhadap penguasa. Kelompok ini merupakan kelompok yang terorganisir bersifat militan dan agresif, serta biasanya memiliki sayap organisasi paramiliter. Mereka juga melawan segala bentuk ancaman terhadap ideologi dan eksistensi mereka. Dalam perjuangannya, mereka menggunakan cara fisik (Ismail, 2007: 236-237). Sementara Martin Riesebrodt seperti dikutip oleh Sirry (2003) mengatakan ada tiga ciri fundamentalisme, meliputi; (a) traditionalisme radikal; kelompok ini muncul karena adanya ketegangan antara tradisi dan modernitas. Fundamentalisme jenis ini bukan merupakan kelompok tradisionalis, tetapi mereka berupaya membentengi tradisi dengan menggunakan kekuatan ideologinya. Dalam perkembangannya, tradisi menjadi tolok ukur bagi kemurnian agama seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang jauh dari tradisi, maka ia

7 diakatakan jauh dari agamanya. (b) milieu kultural; adalah kelompok yang mendasarkan cita-citanya pada rasa kesamaan atas cita-cita sosia-moral dan ekonomi. Gerakan ini bertujuan untuk memerangi masalah-masalah sosial seperti dekadensi moral, konsumerisme, dan lainnya. (c) mobilisasi mayarakat awam; yakni kemampuan kelompok fundalamentalis dalam menggerakkan masyarakat awam dalam jumlah besar dan militan (Sirry, 2003: 7-8). Fundamentalisme Islam sebagai sebuah gerakan sebenarnya mempunyai kaitan sejarah dengan peradaban Islam terutama dalam hal doktrin yang dimilikinya. Menurut Lonard Binder (2001) seperti gerakan Islam lainnya, fundamentalisme ini bertujuan untuk melakukan pembaharuan dan kembali kepada kemurnian ajaran serta bercita cita mewujudkan kebesaran dan kesederhaan zaman Rasulullah. Adapun karakter khusus dari gerakan ini adalah skripturalis (Binder, 2001: 250). Dalam sebuah tulisan disebutkan bahwa di dalam Islam kata fundamentalisme tidak selalu dimaknai negatif, di sini fundamentalisme diartikan sebagai sebuah kebangkitan agama. Kelompok ini menginginkan atau berupaya untuk menjalankan agama sesuai dengan ajaran agama yang tertuang dalam kitab suci. Oleh karenanya, gerakan ini merupakan sebuah gerakan kebangkitan Islam. Namun demikian, pada tataran praktis di masyarakat, sikap mereka kadang-kadang terlihat “eksklusif” dan atau “radikal”, sehingga kelompok ini kadang dinilai negatif oleh masyarakat di luar kelompok tersebut (Nurhakim, 2005: 100-101). Sebagai sebuah gerakan, Sirry (2003) berpendapat, bahwa fundamentalisme mempunyai tiga elemen yaitu; (a) merupakan sebuah gerakan keagamaan, (b) mempunyai sikap penolakan terhadap dunia; ini merupakan respon terhadap perubahan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat, (c) reaksi defensif yakni upaya mempertahankan ajaran dan tradisi dengan merujuk kepada tatanan masa lalu yang ideal dan otentik (Sirry, 2003: 4). Fundamentalisme menurut Bassam Tibi konteksnya jelas lebih politis daripada agama, dan ia mencakup politik domestik dan politik global, sebagaimana dikemukakan dalam pandangan berikut ini.

8

Para fundamentalis menegaskan kembali doktrin-doktrin lama, mereka mengangkatnya secara kaku dari konteksnya yang orisinil, membumbui dan menginstitusionalisasikan, dan menggunakannya sebagai senjata ideologis melawan dunia yang memusuhi…dalam membuat kembali dunia, para fundamentalis mendemonstrasikan afinitas yang lebih dekat kepada modernisme dari pada kepada tradisionalisme”. Pada akhirnya fundamentalisme bukan ekspresi kebangkitan agama, tetapi lebih merupakan pernyataan tentang tatanan baru, karena “ para fundamentalisme berusaha menggantikan struktur-struktur yang ada dengan sistem yang komprehensif yang berasal dari prinsip-prinsip agama dan yang mencakup hukum, politik, masyarakat, ekonomi dan budaya..fundamentalisme di dalamnya berisi dorongan totalitarian (Tibi, 22 -23) Para fundamentalis adalah para modernis, bukan para tradisionalis, karena mereka mengevaluasi tradisi dari sudut pandang modernitas, dan secara selektif menyelamatkan elemen-elemen penting dari keduanya untuk mengemukakan konsep tentang tatanan politik, menjadi domestik sebagaimana dalam kasus Hindustan (Hindu India) atau global (sebagaimana kasus dalam nizam Islami, yang secara retorik diharapkan mencakup seluruh alam (Tibi, 23 – 24) Secara historis, fundamentalisme Islam disinyalir muncul sejak lama, pada periode klasik tercatat ada nama Ahmad Ibnu Hambal (780-855 M) yang dianggap telah membangun dasar gerakan salafi. Kemudian pada abad ke-14 M Ibn Taymiyah dan muridnya Ibn al-Qoyyim al-Jauziyah mengembangkan dasar-dasar filosofis gerakan salafi. Gagasan mereka berdua ini merupakan respon atas kondisi sosial politik umat Islam saat itu yang sedang mengalami kekalahan politik setelah jatuhnya Baghdad. Kemudian, pada abad 18 doktrin salafi dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab al-Hijaz, Al-Kawakibi di Syam, Al-Mahdi di Sudan, Al-Sanusi di Libya, Abdul Qadir Al-Jazair di Maroko, Bin Badis di Al-Jazair, Al-Alusi di Iraq, dan Al-Syaukani di Yaman. Gerakan ini muncul sebagai respon terhadap masalah internal umat Islam, misalnya terjadinya penyimpangan dalam akidah Islam dan praktek keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam (Nurhakim, 2005: 104). Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 muncul gerakan dalam Islam yang dipelopori oleh tokoh-tokoh ternama diantaranya adalah Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo di Mesir. Gerakan mereka merupakan respon terhadap

9 peradaban Barat yang sudah mulai masuk ke dunia Islam. dalam gerakannya mereka menggunakan doktrin Salafi meski pada titik tertentu mereka juga merevis ajaran-ajaran Salafi. Kelompok ini tidak secara total menolak Barat, mereka masih menerima beberapa unsur Barat seperti sains dan teknologi (Nurhakim, 2005: 104-105). Gerakan Salafi (modern) yang terjadi di dunia Islam yang mengusung ajakan untuk kembali kepada al-Qur‟an dan Sunnah serta ajakan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah mempengaruhi gerakan Islam di Indonesia. Misalnya, gerakan salafiyah modern yang dikembangkan oleh Muhammadiyah (1912), Syarikat Islam (1912), Al-Irsyad (1914), Jong Islamiten Bond (1925-1942), Persatuan Islam (1923), dan Partai Islam Indonesia (1938) (Mufid, 2011a: 104-106). Kelompok-kelompok tersebut telah melakukan beberapa perubahan dalam tradisi keberagamaan di masyarakat. Mereka melakukan perubahan melalui berbagai cara, misalnya dengan mendirikan lembaga pendidikan, klinik kesehatan, panti asuhan, lembaga ekonomi, dan lainnya. Pada era yang lebih kini, gerakan Islam global juga tumbuh dan berkembang di Indonesia. Pada tahun sekitar 1970-1980an, sudah mulai ada gerakan Islam global “bawah tanah” dikarenakan sikap represif pemerintahan Orde baru saat itu terhadap umat Islam serta adanya revolusi Iran tahun 1979. Kemudian, gerakan ini muncul ke permukaan setelah runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Misalnya, Hizbut Tahrir Indonesia, Majlis Mujahidin Indonesia, Gerakan Tarbiyah miliknya PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Waljama‟ah yang memiliki sayap paramiliter Laskar Jihad (Rizal, 2011: 3-4). Gerakan Islam global ini juga sering disebut dengan gerakan Islam Transnasional, karena sifat gerakannya yang melintasi batas-batas negara. Selain itu, muncul pula kelompok-kelompok Islam “radikal” yang merupakan metamorfosis dari gerakan Islam yang sudah ada di Indoensia. Di tahun 1980an juga mulai bermunculan kelompok-kelompok pengajian atau diskusi keagamaan di kampus-kampus yang tidak berbasis agama seperti Institute Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI). Para aktifis

10 gerakan ini mempunyai ciri fisik atau berpakaian yang berbeda dengan mahasiswa Islam pada umumnya, contohnya mahasiswi memakai jilbab panjang, mahasiswa memakai celana congklang dan baju gamis. Kelompok-kelompok pengajian ini terus berkembang menjadi gerakan dakwah yang tidak terbatas di lingkungan kampus, namun juga merambah masyarakat luas. Gerakan ini merupakan gerakan tarbiyah yang kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan (PKS, sekarang). Ajaran atau ideologi dari kelompok ini merupakan transmisi dari ajaran Ikhwanul Muslimin yang ada di Mesir yang didirikan oleh Hasan Al-Banna (Qodir, 2009: 44-45) Studi yang dilakukan oleh Tim peneliti Setara Institute Jakarta (2012) menyebutkan bahwa secara historis terdapat tiga fase transformasi gerakan Islam di Indonesia. Pertama, gerakan Islam kebangsaan pada masa kemerdekaan, diskursus yang dikembangkankan adalah wacana politik. Mereka adalah (NU), Muhammadiyah, Persatuan Tarbiyah Islam (Perti). NU bertransformasi ke dalam Partai NU, dan Perti bertransformasi ke Peri. Sedangkan Muhammadiyah tidak masuk ke dalam politik “formal”, namum mereka mampu mewarnai partai Msyumi. Kedua, pada fase ini terjadi metamorfosis dari gerakan politik ke gerakan dakwah yang kemudian melahirkan dua tipe kelompok yaitu; Islam substansialis dan Islam legal formalistik. Pada masa ini terjadi beberapa peristiwa penting dalam dunia politik yaitu digunakannya Pancasila sebagai asas tunggal, dan dilarangnya Masyumi untuk direhabilitasi. Kelompok kedua, legal formalistik, memiliki kecenderungan radikal, namun masih dalam tataran pemikiran bukan pada sikap kekerasan, pada periode ini muncul pula “radikalisme Islam” yang dimotori oleh orang-orang eks-Darul Islam/Negara Islam Indonesia (NII), misalnya Daud Beureueuh, Gaos Taufik, dan Adah Jaelani. Wujud radikalisme yang nampak adalah lahirnya “Komando Jihad” dengan aksi kekerasannya. Contohnya, tahun 1981 terjadi pembajakan pesawat Garuda penerbangan domestik, pengeboman Bank Central Asia di Jakarta dan candi Borobudur di Magelang (Hasani dan Naipospos, 2012: 9-11). Pada periode ini juga terdapat penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal dengan tokoh

11 utamanya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba‟asyir. Kedua figur ini diduga berjejaring dengan Komando Jihad. Fase ketiga, perubahan dari Islam radikal ke Islam Jihadis/teroris. Paska terjadinya peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, yaitu serangan pesawat kamikaze terhadap World Trade Centre (WTC) dan gedung pertahanan di Pentagon, menjadi penanda semakin menguatnya gerakan Jihadis/teroris internasional. Di Indonesia mendapatkan momentumnya setelah peristiwa bom bali pertama tahun 2002. Gerakan Islam Jihadis dibentuk beberapa tahun sebelum rankaian aksi pengeboman dilakukan. Tahun 1993 Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba‟asyir mendirikan Jama‟ah Islamiyah (JI). Anggota dari JI ini banyak yang terlibat dan menjadi terduga teroris, misalnya Imam Samudra, Umar Pathek, Ali Ghufron alias Muchlas. Selain JI, terdapat gerakan yang dikategorikan ke dalam kelompok ini yaitu; Majlis Mujahidin Indonesia yang berpusat di Yogyakarta dan Jamaah Ansharut Tauhid (kelompok yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba‟asyir, merupakan pecahan dari JI) (Hasani dan Naipospos, 2012: 39-40). Kelompok Islam radikal Jihadis yang lebih baru dan menyebar ke berbagai negara termasuk di Indonesia adalah ISIS (Islamic State in Syria and Iraq) yang belakangan disebut dengan Islamic State (IS). Awal mulanya ISIS di Indonesia dibentuk oleh seorang aktivis muda bernama Tuah Febriansyah (alias Muhammad Fachri), ia mempunyai kaitan dengan Al Muhajiroun bentukan Oemar Bakri pada tahun 1983. Al-Muhajiroun merupakan bagian dari organisasi Hizbut Tahrir yang bertujuan menegakkan khalifah Islam dan menerapkan Syariat Islam sebagai hukum negara. Untuk mewujudkan cita citanya, mereka menggunakan cara jihad (dengan kekerasan) dan mengkafirkan orang-orang di luar kelompoknya (takfiri). Dalam penyebaran ajaran dan idiologinya mereka memanfaatkan berbagai cara termasuk menggunakan internet yaitu membuat website untuk menarik anak-anak muda masuk ke ISIS (Hikam, 2016: 10-11). Beberapa paham atau pemikiran yang melandasi orang-orang yang tergabung dalam kelompok radikal-jihadis seperti JI adalah pandangannya terhadap konsep daulah Islamiyah dan Hijrah. (a) daulah Islamiyah menurut mereka adalah negara harus berdasarkan syariat Islam, dalam hal ini khilafah

12

Islamiyah yaitu pemerintah Islam yang mendunia, (b) hijrah, maksudnya sikap menolak hidup keduniawian, meninggalkan keluarga untukberjuang di jalan Allah. Untuk mendukung semangat hijrah ini dilengkapi dengan beberapa doktrin, meliputi; (1) al-wala‟ wal bara‟, solidaritas sesama sehingga mereka tidak bersedia bekerjasama dengan orang yang dianggap kafir, (2) takfir; menganggap orang di luar kelompoknya kafir dan menghalalkan darah dan hartanya, (3) jamaah; seluruh umat Islam di dunia satu kesatuan tidak terbatas negara, (4) Ba‟iah, yaitu sumpah setia di hadapan pemimpinnya untuk berjuang/jihad selamanya (Golose, 2010: 47-49). Jihad mempunyai makna dasar berikhtiar keras untuk mencapai tujuan yang terpuji (Elposito, 2001:63) Kata jihad bisa berarti perjuangan melawan kecenderungan jahat atau pengerahan daya upaya untuk atau demi Islam dan ummah, misalnya mencoba mengimankan orang yang ingkar (kafir atau tak beriman) atau bekerja keras memperbaiki moral masyarakat Islam (jihad lisan dan jihad tulisan) (Elposito, 2001:63). Kata jihad berarti perjuangan bersenjata melawan orang kafir, yang juga merupakan makna umum kata tersebut dalam al- Qur‟an. Konsep Jihad dan perang (qital) merunut pada perang yang dilangsungkan oleh Nabi Muhammad SAW dan landasan pemikiran tertulisnya terdapat dalam al-Quran (Elposito, 2001: 63). Pemaknaan konsep jihad kelompok radikal jihadis (teroris) ini menggunakan term “Jihad”. Menurut mereka jihad adalah kewajiban berperang melawan orang-orang kafir. Musuh dari kelompok ini adalah orang-orang kafir yakni Amerika Serikat dan Yahudi beserta sekutu-sekutunya. Mereka diwajibkan membunuh musuh ini dimanapun mereka berada (Golose, 2010: 50). Dalam pemaknaan Jihad ini telah mengalami pergeseran dari arti yang sebenarnya, bahwa Jihad dalam Islam mempunyai beberapa bentuk dan tidak harus melalui cara kekerasan. Agak berbeda dengan pemikiran lainnya, Zuly Qodir (2009) menjelaskan bahwa terdapat beberapa varian gerakan Islam di Indonesia; (a) gerakan reformasi Islam; sebuah gerakan yang dimotori oleh para pemikiran Islam Indonesia sperti , Nur Cholis Madjid, Djohan Efendi dan lainnya. (b) gerakan

13 retradisionalisasi Islam; yaitu gerakan pribumisasi Islam yang digagas oleh Abdurrahman Wahid, (c) kelompok politisasi Islam; yakni kelompok yang menggunakan “Islam” atau “simbol Islam” untuk tujuan politik. Misalnya, PKS, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PPP (Parta Persatuan Pembangunan) dan lainnya. (d) kelompok borjuasi Islam; merupakan kelompok sufi perkotaan, (e) kelompok Islam progresif yaitu kelompok yang berkomitmen untuk perubahan sosial mendasar di masyarakat, (f) kelompok Islam moderat, ini merupakan kelompok Islam mayoritas yang ada di Indonesia, misalnya NU dan Muhammadiyah. (f) kelompok Islam Radikal/militan (Qodir, 2011: 88-94) Dari pemaparan tentang gerakan kelompok keagamaan yang ada di Indonesia di atas, dapat diketahui bahwa di negara ini terdapat berbagai varian gerakan keagamaan. Namun demikian, tidak semua kelompok keagamaan tersebut menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Kelompok-kelompok keagamaan yang diteliti diindikasikan mempunyai potensi radikalisme dalam ajaran, pemikiran, dan atau dalam sikap dalam kegiatannya. Oleh karena itu, kelompok yang akan menjadi subjek penelitian adalah; kelompok fundamentalisme (puritan dan radikal), gerakan tarbiyah, serta kelompok radikal jihadis. 1.4.3 Kelompok keagamaan di Indonesia Pasca Reformasi Pasca reformasi Abu Bakar Ba‟asyir, salah satu tokoh JI, memiliki gagasan tentang pentingnya penegakan syariat di Indonesia sebagai kelanjutan dari cita-cita NII yang pernah diproklamirkan Kartosuwiryo melalui DI/TII. Ustadz Abu Bakar yang dianggap memiliki kaitan dengan gerakan tersebut, bermaksud mendakwahkan gagasan penegakan syariat Islam di Indonesia secara terang-terangan. Ide Abu Bakar mendapat dukungan dari sebagian pengikut NII dan JI dimana mereka selanjutnya mengundang alumni mujahidin Indonesia, maka terbentuklah konggres pertama Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di Yogyakarta pada tahun 2000. Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2009 Abu Bakar Ba‟asyir merubah sistem kepemimpinan MMI dengan ketentuan bahwa Amir MMI hanya dapat diganti karena meninggal atau mengalami cacad fisik yang menjadikannya tidak bisa menjadi Amir. Gagasan ustad Abu tidak sepenuhnya mendapat

14 dukungan dari seluruh anggota MMI dan JI, sehingga Abu Bakar Ba‟asyir merasa perlu membentuk Jamaah Anshaarut Tauhid (JAT). JAT pecahan MMI mendapat dukungan sekitar 20% anggota MMI (wawancara ustad Puji, 13 Januari 2016). Pada perkembangannya, kelompok ISIS masuk ke Indonesia dipimpin oleh Aman Abdurrahman, dan Abu Bakar Ba‟asyir berbaiat mendukung ISIS. Baiat Abu Bakar mengakibatkan JAT kembali pecah karena 90% anggota JAT tidak mendukung ustad Abu. Mereka kemudian mendirikan Jamaah Ansharus Syariah (JAS) yang dipimpin oleh ustad Muhammad Ahwan. Abu Bakar kemudian membubarkan JAT dan membentuk Jamaah Anshaarud Daulah (JAD) (wawancara ustad Puji, 13 Januari 2016). MMI pasca kepemimpinan Abu Bakar Ba‟asyir berada dibawah komando M Thalib dan Irfan S. Awwas. MMI memiliki akar kuat sebagai bagian dari Darul Islam (DI) era 1950-an dengan agenda utama perjuangannya adalah mendirikan negara Islam (Jahroni (peny.), 2004:47). Hingga kini, MMI masih eksis setelah 15 tahun bergerak dan saat ini bermarkas di Kota Gede Yogyakarta. Peta gerakan kelompok agama radikal pasca reformasi di Indonesia tidak hanya diwarnai oleh JI, JAS, JAD, maupun MMI, muncul pula gerakan Salafi yang merupakan perkembangan lanjut dari gerakan Wahabi di Indonesia. Gerakan Salafi di Indonesia seperti FPI yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1998 oleh Habib Rizieq, Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama‟ah (FKAWJ) pimpinan Ja‟far Umar Thalib, dan Laskar Jihad. 1.4.4 Radikalisme dan Konstelasi Kebangsaan Penelitian ini juga mengkaji tentang radikalisme dan konstelasi kebangsaan. Konstelasi kebangsaan dalam penelitian ini terkait dengan empat pilar kebangsaan sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara yang dihuni oleh banyak penduduk dari bermacam ragam suku, agama, ras, kepercayaan, bahasa, dan sejumlah variasi lainnya, Indonesia memerlukan sesuatu yang dapat menjadi landasan dan tumpuan keberadaannya. Ibarat sebuah rumah, Indonesia sebagai sebuah negara juga harus memiliki saka guru yang akan menjaga kekokohan bangunan yang bernama Indonesia. Selain itu, keberadaan

15 saka guru tersebut juga akan menjadikan penduduk yang tinggal di dalamnya merasa aman, nyaman, dan tenteram (Soeprapto, 2010: 1). Menurut Kaelan (2012) ada empat hal yang dinamakan sebagai pilar kebangsaan, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai salah satu pilar kebangsaan, Pancasila memiliki kedudukan yang sangat penting. Ia bukan sekedar sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai ideologi nsional bangsa Indonesia, serta sebagai pandangan hidup penduduknya. Pancasila sebagai dasar negara dapat kita temukan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam alinea keempat. Dalam linea terakhir tersebut kita mendapati penggalan kalimat “... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: ...” yang kemudian dilanjutkan dengan rumusan kelima sila Pancasila. Menurut Kaelan (2012), walaupun paragraf terakhir Pembukaan UUD 1945 tersebut tidak secara eksplisit menyebut Pancasila sebagai dasar negara, tetapi penggalan “... dengan berdasar kepada” dan diikuti oleh lima prinsip yang kemduian menjadi sila Pancasila menjadi dasar yuridis menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Fungsi dan kedudukan kedua Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan adalah Pancasila sebagai ideologi nasional bangsa Indonesia. Nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah menjadi ideologi bangsa Indonesia bahkan sebelum bangsa Indonesia itu sendiri secara yuridis terbentuk. Fungsi ketiga Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan adalah Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Hal ini karena bilai dan dasar yang ada dalam Pancasila bersumber dan digali dari nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, Pancasila bukan suatu hal yang baru serta bukan suatu hal yang asing bagi kepribadian bangsa Indonesia karena sekali lagi ia bersumber dan digali dari bangsa Indonesia. Dengan demikian, Pancasila dapat dikatakan sebagai national character bagi bangsa Indonesia.

16

Pilar Kedua kebangsaan adalah Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia. Kedudukan pilar kedua ini juga tidak kalah pentingnya dengan Pancasila, karena Undang Undang Dasar itu sendiri berasal dari terjemahan bahas Belanda, grondwet, yang berarti hukum dasar. Selain itu, dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga terkandung prinsip yang menjadi dasar perumusan batang tubuh konstitusi. Pilar ketiga adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pilar ini terjandung makna negara Indonesia sebagai sebuah kesatuan yang utuh, lengkap dengan penduduknya yang beragam suku, agama, bangsa, dan ras, serta pulau-pulau yang menjadi satu kesatuan wilayah yang utuh dan tidak terbagi-bagi seperti halnya negara serikat. Dengan demikian, NKRI sebagai pilar kebangssaan berarti satu pemerintahan, satu tertib hukum nasional, satu bahasa, serta satu bangsa, yaitu Indonesia. Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan adanya wawasan nusantara sebagai pemersatu bangsa. Menurut Amsia (dalam Cahyanto dkk, 2014) “wawasan nusantara adalah cara pandang Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yaang semua nusantara dan pemikirannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat, di tengah- tengah lingkungan yang semua nusantara yang menjiwa dalam tindak kebijaksanaan untuk mencapai tujuan perjuangan nasional.”

Pilar keempaat kebangsaan kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini merupakan semboyan yang dapat mengikat dan mempersatukan bangsa Indonesia yang berasal dari suku, agama, bangsa, dan ras, serta bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Semboyan ini diambil dari Buku Sotasoma karangan Empu Tantular yang hidup di masa pemerintahan Hayamwuruk. Semboyan ini juga diabadikan dalam cengekaraman kaki burung garuda yang menjadi lambang negara Indonesia. Menurut Cahyanto dkk (2014) terdapat empat prinsip yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Empat prinsip tersebut adalah:

17

1. Dalam rangka membentuk kestuan dari keanekaragaman tidak terjadi pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. 2. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan ekslusif; hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. 3. Bhinneka Tuggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling mempercayai, saling menghormati, saling mencintai, dan rukun. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan bersama. 1.5 Sasaran Penelitian Penelitian ini mengkaji potensi radikalisme dalam bahan bacaan kelompok keagamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta. Kelompok keagamaan tersebut dipetakan ke dalam tiga kategori, yaitu organisasi kemasyarakatan (ormas), pesantren dan komunitas. Kelompok keagamaan dalam kategori ormas ada tiga yaitu: LDII, MTA, dan HTI. Kategori pesantren yang diteliti adalah Pesantren al-Anshar Ngaglik Sleman, Pesantren al-Furqan Gresik, dan Pesantren Ittibaus Sunnah Klaten, sedangkan kategori komunitas adalah UBK, JAS, MM, dan FJI. Literatur atau bahan bacaan yang menjadi data utama penelitian ini adalah: Buku, kitab dan majalah yang diterbitkan atau menjadi rujukan kelompok keagamaan ditambah dengan hasil wawancara para tokoh kelompok keagamaan. Buku, kitab dan majalah tersebut berjudul: Mukhtar al-Adillah min Kitabillah Azza Wa Jalla wa al-Ahadits an-Nabawi jilid 1, 2, dan 3 karya Ti Taujih wa al- Irsyad LDII Kediri, Kumpulan Brosur Kajian Ahad Pagi karya Tim MTA, dan Risalah Sunnah dan Bid‟ah. Buku Manifeto HTI: Indonesi, Khilafah Dan Penyatuan Kembali Dunia Islam terbitan HTI, beberapa majalah al-Furqan yang

18 terdiri atas: Majalah Al Furqon, Edisi 9 tahun ke-13, Rabiul Akhir 1435 H, Majalah Al Furqon, Edisi 10 tahun ke-13, Jumadil Ula1435 H, Majalah Al Furqon, Edisi 11 tahun ke-14, Jumadil Ula 1436 H, Majalah Al Furqon, Edisi 12 tahun ke-14, Rajab 1436 H, Majalah Al Furqon, Edisi 1 tahun ke-15, Sya‟ban 1436 H, dan Majalah Al Furqon, Edisi 2 tahun ke-15, Ramadhan 1436 H. Demikian pula Majalah Asy-Syariah merupakan majalah Ponpes Ittibaus Sunnah. Buku berjudul Yaa Ayyuhal Ladzina Amanu jilid 1 dan 2 karya Jauhari Musthafa Mahfudz, Magelang: Majelis Taklim Uswatun Hasanah dan Pengurus Takmir Masjid Al-Ittihad. Buku-buku karya tokoh-tokoh MM di antaranya berjudul Kutipan Kongres Mujahidin III, Yogyakarta, Koreksi Tarjamah Harfiyah al- Qur‟an Kemenag RI Tinjauan Aqidah, Syari‟ah, Mu‟amalah, Iqtishadiyah. Ma‟had an-Nabawy: Yogyakarta, Muhammad Thalib. 2012. Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah Memahami Makna al-Qur‟an Lebih Mudah, Cepat dan Tepat. Ma‟had an-Nabawy: Yogyakarta, Irfan S. Awwas. 2008. Jejak Jihad SM. Kartosuwiryo Mengungkap Fakta yang Didustakan. Uswah:Yogyakarta, Irfan S. Awwas. 2009. Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler. Uswah: Yogyakarta, Irfan S. Awwas.2015.Kesaksian Pelaku Sejarah Darul Islam (DI/TII). Pro-U Media: Yogyakarta dan beberapa majala Risalah Mujahidin terbitan Majelis Mujahidin. JAS menerbitkan buku berjudul Aqidah dan Manhaj Jamaah Ansharur Syariah hasil karya JAS dan FJI mengumpulkan data utama berupa materi pengajian tokoh-tokoh FJI dengan rujukan kitab karya Muhammad ibn Shalih Utsaimin, Al- Qaulu l Mufid ala Kitab at-Tauhid. Jeddah: Dar Ibnul Jauzi, Muhammad ibn Shalih Utsaimin. Kitab l Kabair lil Imam adz-Dzahabi ma'a Syarh lifadhilatissyaikh Muhammad ibn Shalih l Utsaimin. Lebanon: Dar Al-Kotob al- Ilmiyyah., Muhammad ibn Abdul Wahhab .Al-Ushul ats-Tsalatsah, Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin. Syarh Riyadhus Salihin lil Imam an-Nawawi, Abdullah ibn Abdurrahman ibn Shalih Ali Bassam. Taisir l-Alam Syarh Umdatu l-Ahkam.

19

1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Pendekatan penelitian Penelitian ini menggunakan metode pendekatan analisis isi. Holsti dalam Eriyanto (2011:32) menyatakan: “Analisis isi dipakai untuk menjawab pertanyaan ”what, to whom, dan how” dari suatu proses komunikasi” (Eriyanto, 2011:32)

Uraian dari definisi tersebut bahwa pertanyaan “what” digunakan untuk menjawab pertanyaan apa isi dari suatu pesan, tren, atau pun perbedaan antara pesan dari komunikator yang berbeda. Pertanyaan “to whom” digunakan untuk menguji hipotesis tentang isi pesan yang diajukan untuk khalayak yang berbeda, dan pertanyaan “how” digunakan untuk menggambarkan bentuk dan teknik pesan (Eriyanto, 2011: 33) Bernard Berenson mendefinikan analisis isi sebagai: “ teknik penelitian untuk mendeskripsikan secara obyektif, sistematik, dan kuantitatif isi komunikasi yang tampak (manifest) (Berenson dalam Krippendorf, 1993:18).

Tekanan Berenson adalah menjadikan analisis isi sebagai teknik penelitian yang objektif, sistematis, dan deskriptif kuantitatif dari apa yang tampak dalam komunikasi. (Bungin, 2008 : 155). Analisis isi dapat dipetakan dalam 2 aliran, yakni aliran transmisi dan aliran produksi dan pertukaran makna. Aliran transmisi melihat komunikasi sebagai suatu bentuk pengiriman pesan, sedangkan aliran produksi dan pertukaran makna melihat komunikasi sebagai proses penyebaran pengiriman dan penerimaan pesan (Fiske dalam Eriyanto, 2011:2) Definisi pesan menurut Eriyanto (2011:3) adalah: “Apa yang terlihat (dapat didengar, dirasakan atau dibaca), sebaliknya makna adalah apa yang tersirat, bersifat laten, tidak dapat dilihat atau didengar secara langsung”(2011:3)

Analisis isi (content analysis) ketika mengacu pada konsep ilmu sastra digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra (Endraswara, 2008 : 160). Proses analisis isi melalui langkah-langkah sebagai berikut :

20 a. Inferensi Merupakan langkah awal sebelum menganalisis. Inferensi berupa penarikan simpulan yang bersifat abstrak. Tampilan inferensi biasanya menggunakan model linguistik, berupa abstraksi tematis karya sastra. (Endraswara, 2008 : 164). b. Analisis Penyajian Data Analisis meliputi penyajian data dan pembahasan dilakukan secara kualitatif konseptual. Analisis data diupayakan berkaitan dengan konteks dan konstruk analisis. Sehingga menurut Suwardi Endraswara, konteks berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan struktur karya sastra, sedangkan konstruk berupa bangunan konsep analisis dan menjadi bingkai analisis. (2008 : 164). Sebagai pembanding dapat pula digunakan tahapan analisis isi menurut Krippendorf dengan 4 langkah yang dilakukan, yaitu: 1) Menentukan Unit Analisis: unit analisis yang dikaji dalam penelitian ini adalah konsep jihad, amr ma‟ruf nahi munkar, al-wala dan al-barra, takfir, dan baiat dalam buku literatur kelompok keagamaan/pesantren yang diduga memiliki ideologi radikal 2) Menentukan Unit Sampel (Sampling Units): unit sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua buku-buku literatur yang digunakan oleh kelompok keagamaan/pesantren yang diduga memiliki ideologi radikal. 3) Menentukan Unit Pencatatan (Recording Units); unit pencatatan yaitu unsur-unsur kalimat yang dianggap memiliki makna bermuatan kekerasan 4) Menentukan Unit Konteks (Unit Konteks) Unit konteks yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hal-hal yang terkait dengan kondisi sosio historis melingkupi keberadaan kelompok keagamaan, termasuk jaringan para tokoh dan pemikirannya. Unit konteks perlu dicantumkan untuk membantu pemahaman secara utuh kategori kelompok keagamaan beserta jaringan pemikiran para tokohnya.

21

1.6.2 Analisis Data Analisis data penelitian literatur kelompok keagamaan ini menggunakan Analisis Wacana Kritis (AWK). Dalam pandangan Fairclough & Wodak sebagaimana dikutip oleh Stefan Titscher dkk, dikatakan: Analisis wacana kritis memandang wacana – penggunaan bahasa dalam tuturan dan tulisan – sebagai sebuah bentuk „praktik sosial‟. Menjelaskan wacana sebagai praktik sosial menyiratkan suatu hubungan dialektik antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi-situasinya, institusi-institusi, dan struktur sosial yang mewadahinya. Suatu hubungan dialektik merupakan sebuah hubungan dua jalur: persitiwa diskursif dibentuk oleh situasi, institusi dan struktur sosial, namun juga membentuk ketiganya. (Fairclough & Wodak, 1997: 55 dalam Titscher dkk. ,2000: 240-241)

Secara operasional proses pembentukan bahasa dalam teks yang dibentuk secara sosial diuraikan demikian:“Penggunaan bahasa selalu secara bersamaan tersusun atas ; (i) identitas sosial, (ii) relasi sosial, dan (iii) sistem pengetahuan dan keyakinan “ (Fairclough 1993: 134 dalam Titscher dkk: 243). Secara mudah dapat dikatakan bahwa analisis wacana kritis (AWK) adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor. Selain itu harus disadari pula bahwa dibalik wacana itu terdapat makna dan citra yang dinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan(Darma, 2009: 49) AWK bermaksud untuk menjelajahi secara sistematis keterkaitan antara praktik-praktik diskursif, teks, peristiwa, dan struktur sosial (kelas, status, identitas etnik, zaman, dan jenis kelamin), budaya, dan wacana (bahasa yang digunakan). AWK mencoba mempersatukan dan menentukan hubungan antara (1) teks aktual, (2) latihan diskursif (proses ini melibatkan mencipta, menulis, ujaran, dan menyimak), dan (3)konteks sosial yang berhubungan dengan teks dan latihan diskursif (Fairclough, 2000 dalam Darma, 2009: 54)

22

Van Diyk (2000) mengemukakan bahwa cara untuk melakukan AWK tidak mempunyai kesatuan kerangka teoritis atau metodologi tertentu, tetapi tergantung pada pemusatan pemikiran dan keterampilan-keterampilan yang berguna untuk menganalisis teks yang didasari latar belakang ilmu pengetahuan dan daya nalar. AWK juga dilakukan pada bahasa-bahasa tubuh, ucapan, lambang, gambar visual, dan bentuk-bentuk semiosis lainnya. Karakteristik Analisis Wacana Kritis Ada lima karakteristik dari AWK, yaitu tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi (van Djik, Fairclough, Wodak, dan Eriyanto, 2005 ; 8, Darma, 2009: 61-63) Tindakan Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai suatu tindakan (action). Seseorang berbicara, menulis, dengan menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Dengan pemakaian wacana ini, maka konsekuensinya yaitu pertama wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, membujuk, mengganggu, bereaksi, dan sebagainya. Seseorang membaca atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik maksud besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kehendak atau diekspresikan di luar kesadaran. Konteks AWK mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini diproduksi, dimengerti, dan dianalisis dalam konteks tertentu. AWK juga memeriksa konteks dari komunikasi, siapa yang mengonsumsikan, dengan siapa, dan mengapa, dalam jenis khalayak dan dalam situasi apa, melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe perkembangan komunikasi, dan bagaimana hubungan antara setiap pihak (Guy Cook, 1994: 1) Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana: partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana gender, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal gugat dalam menggambarkan wacana. Misalnya seseorang berbicara dalam pandangan tertentu, karena ia laki-laki, atau karena ia berpendidikan. Kedua, setting sosial

23 tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara, dan pandangan atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Konteks historis Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan pada saat itu seperti itu dengan bahasa yang dipakai seperti itu dst. Kekuasaan AWK mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Seperti kekuasaan laki-laki dan seterusnya. Ideologi Ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted. Ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi, tetapi juga membentuk identitas diri kelompok dan membedakan dengan kelompok lain. Analisis Wacana Kritis dengan tujuan untuk mengungkap ideologi tertentu di dalam sebuah wacana menjadi penting untuk diuraikan secara lebih luas karena ideologi menjadi tema sentral di dalam AWK. Kaitannya dengan pembahasan literatur kelompok keagamaan (FJI), maka ideologi menjadi pintu masuk utama untuk memahami corak penulis ataupun ustadz pengajar di FJI.. Oleh karena itu, pembahasan AWK dan ideologi akan diuaraikan lebih lanjut di bawah ini. AWK dan Ideologi Kata ideologi berasal dari bahasa Yunani yaitu ideadan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat, sedangkan logia bearti science (pengetahuan) atau teori. Ideologi dalam pengertian yang paling umum adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui

24 komunikasi dengan media tekhnologi dan komuniaksi antar pribadi (Sobur, 2009: 64). Kamus sosiologi mendefinisikan ideologi ke dalam 3 pengertian, yaitu:(1) perangkat kepercayaan yang ditentukan secara sosial, (2) sistem kepercayaan yang melindungi kepentingan golongan elit, dan (3) sistem kepercayaan(Sukanto, 1985: 230 dalam Darma, 2009: 56). Kamus antropologi mengartikan ideologi sebagai rangkaian konsep suatu cita-cita yang diemban dan diidam-idamkan oleh sekelompok golongan, gerakan, atau negara tertentu (Ariyono, 1985: 155 dalam Darma, 56). Raymond Wiliams (Aisyah, 2003: 31) mengemukakan batasan ideologi sebagai berikut: (1) sistem nilai atau gagasan yang dimiliki oleh suatu kelompok atau lapisan masyarakat tertentu, (2) kesadaran atau gagasan yang keliru tentang sesuatu, dan (3) proses-proses yang bersifat umum dalam produksi makna dan gagasan. AWK mempelajari tentang dominasi suatu ideologi serta ketidak adilan dijalankan dan dioperasikan melalui wacana. Ideologi menjadi konsep sentral dalam pembahasan AWK. Fairclough (1998) mengemukakan bahwa AWK melihat wacana sebagai bentuk dan praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana menampilkan efek ideologi. Pennycook, 2001 (Alwasilah, 2003: 139-140) mengemukakan delapan prinsip tentang AWK, yaitu (1) AWK membahas problem-problem sosial. Jadi, fokusnya bukan pada pemahaman bahasa semata, tetapi lebih banyak karakteristik dari proses dan struktur kultural. Dengan demikian, AWK akan berspekulasi dalam mengidentifikasi karakteristik linguistik dari proses dan struktur kultural itu sendiri. (2)hubungan kekuasaan bersifat diskursif (berwacana), artinya bahwa fokus wacana sama dengan fokus bagaimana kekuasaan dibahasakan. AWK akan menelusuri sejauh mana penulis cerita akan bermain lewat karyanya. Segala aspek budaya bebas ditelaah oleh berbagai aliran atau disiplin ilmu yang berbeda. (3) wacana berwujud sebagai masyarakat dan budaya, dalam arti wacana tidak sekedar refleksi hubungan-hubungan sosial, tetapi juga merupakan bagian dari

25 relasi itu dan menyelami reproduksi melalui hubungan dialektis. (4) wacana itu berideologi. Ideologi sebagai representasi dan konstruksi masyarakat, yang di dalamnya pasti ada dominasi dan eksploitasi seringkali diproduksi lewat wacana. Tugas AWK, antara lain mengidentifikasi ideologi tersebut, (5)Wacana bersifat historis. AWK seharusnya mengkaji wacana dalam konteks historisnya dengan melihat ketersambungan dengan wacana sebelumnya. Biasanya teks dibandingkan dengan teks sejenisnya yang lebih dulu muncul. (6)AWK perlu menggunakan pendekatan sosiokognitif untuk menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan teks dan masyarakat dijalani dalam proses produksi dan pemahaman. (7) AWK bersifat interpretatif dan eksplanatif serta menggunakan metodologi yang sistematis untuk menghubungkan teks dan konteksnya, dan (8) AWK adalah sebuah paradigma saintifik yang memiliki komitmen sosial yang terus menerus berusaha larut dan mengubah apa yang sedang terjadi dalam sebuah konteks. AWK akan berusaha agar ada perubahan dalam sikap, apresiasi, dan interpretasi pembaca terhadap teks yang dibacanya. (Darma, 2009: 57) Dalam penelitian ini, analisis wacana kritis dipilih dan digunakan karena, analisis ini memiliki lima karakteristik utama yang meliputi: tindakan, konteks, historis, kekuasaaan dan ideologis sebagaimana telah dijelaskan di atas. Lima komponen dalam analisis ini dilihat secara lebih mendalam, misalnya: (1) Bagaimana suatu karya dalam kelompok keagamaan bisa disebut sebagai tindakan yang berupaya mengkomunikasikan pesan dalam teks kepada pembacanya atau masyarakat, (2) konteks yang melingkupi yakni meliputi kondisi sosial di mana teks tersebut diproduksi dan latar dari penulis/ penyunting atau penyalin naskah, (3) literaturtersebut dilihat dari konteks sejarah yang menyertainya. (4) karya literatur tersebut ditulis dalam kondisi kekuasaan yang seperti apa. (5) karya kelompok keagamaan dimaksud ditulis untuk mengusung atau mengukuhkan ideologi tertentu.

26

Bab II Sejarah dan Konteks Sosial

2.1 Sejarah LDII H. Nurhasan al-Ubaidah pendiri Pondok Pesantren Burengan Kediri, lahir di desa Wonomerto Kecamatan Purwosari Bangil, Kediri tahun 1908 Masehi. Nama kecilnya adalah Muhamad Madkhal dengan julukan “Madigol”. Nurhasan al-Ubaidah sejak kecil hingga kelas III SD diasuh dan dididik agama Islam oleh ayahnya sendiri, kemudian ia mengaji di Ponpes Lirboyo Kediri, Pedes, Semelo, Perak Jombang, Balongjeruk, Plemahan Kediri dan Pondok Sampang Madura. Pada tahun 1929, H. Nurhasan al-Ubaidah menunaikan ibadah haji yang pertama disusul haji kedua pada tahun 1933. Nama Nurhasan diambil dari haji yang pertama, sedangkan nama al-Ubaidah diambil dari haji yang kedua di Mekah (wawancara dengan Sunarto, Kediri: 25-3-2016). Pada haji yang kedua ia berangkat dari Sampang Madura menuju Jedah, dan kemudian menetap di rumah kakaknya, H Mahfudz di Rukbat Naksyabandi Mekah. Selama tinggal di Mekah ia mengaji di Masjidil Haram dan mempelajari hadis Bukhari Muslim. Ia berguru kepada Syekh Abu Umar Hamdan dari Magribi (Maroko), dan belajar di Madrasah Darul Hadis yang tidak jauh dari Masjidil Haram. Ia mempelajari tentang cara-cara membaca al-Qur‟an dan cara menafsirkannya. Disamping itu ia juga mempelajari hadis Imam Nasa‟i, Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi dan kitab Hadis lainnya. Semasa belajar di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi H.Nurhasan al- Ubaidah, ia mengikuti kajian Al-Qur‟an dan Hadis, yang dilaksanakan dengan sistem “weton” atau dilakukan setelah salat wajib. Metode yang digunakan yaitu dengan cara guru membacakan hadis sedangkan murid murid menyimaknya. Metode ini kemudian ditetapkan oleh warga LDII dalam setiap pengajiannya (Thohir, 2009:10-21) Setelah kembali ke tanah air dari tanah suci, ia mulai menyampaikan dan menyebarluaskan ilmu dengan berdakwah kepada keluarga dan masyarakat di lingkungannya hingga ia diangkat menjadi Amir LDII melalui baiat pada tahun

27

1941 oleh bapak Sabar (alm) dari dukuh Bangi. bapak Abdul Rasyid (alm) dari dukuh Bangi. H. Achmad dari Burengan Kediri, H. Sanusi dari dukuh Bangi, H Nur Asnawi dari desa Balongjeruk, dan H. Abdul Salam dari dukuh Bangi. Murid-murid Nurhasan al-Ubaidah memberi julukan “lubis” maksudnya luar biasa dalam arti bahwa Allah Swt. telah memberi petunjuk (kepandaian) kepada Nurhasan al-Ubaidah untuk memimpin agama yang benar dan tanggung jawab ini tidak diberikan kepada orang lain. Tahun 1982 Nurhasan al-Ubaidah meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di daerah Cirebon Jawa Barat. Sebelum meninggal Nurhasan al-Ubaidah menunjuk putranya yang pertama bernama H. Abu Dhohir sebagai penerusnya dan dibaiat pada tahun itu juga dihadapan jenazah ayahnya. Abu Dhohir mendirikan LDII pada tahun 1972. Motivasi utama pendirian LDII adalah kondisi Islam Indonesia yang berbeda dengan Arab Saudi dimana banyak masyarakat Indonesia masih melakukan tradisi bid‟ah, dan syirik dan Abu Dhohir ingin membersihkan amalan umat Islam dari tradisi-tradisi tersebut. Masa awal-awal pembentukan LDII, organisasi masyarakat ini pernah mengalami konflik dengan pesantren lainnya dimana pada masa tersebut LDII bersifat tertutup dan baru terbuka setelah Munas tahun 2005, meskipun realitanya masih bersifat ekslusif. Setelah H. Abu Dhahir meninggal, ia digantikan oleh adik kandungnya, H.Abdul Azis hingga sekarang. H. Abdul Azis menduduki jabatan Amir melalui penunjukkan langsung dan disetujui serta dibaiat semua jamaah LDII. Sebagai Amir, dalam struktur organisasi LDII tidak tercantum namanya, namun demikian ia memiliki otoritas mutlak dalam hal-hal penting menyangkut kebijakan- kebijakan khususnya terkait keagamaan jamaah. Menurut MS, salah seorang informan, untuk mengetahui 8 Amir dan bawahannya sampai pada sub sangat sukar karena hal ini dirahasiakan dan sulit dilacak. Menurutnya untuk memilih pengurus LDII ditingkat cabang atau daerah, Kecamatan, desa sampai kelompok pengajian dilakukan dengan musyawarah para anggotanya, kecuali untuk pemilihan Amir itu langsung tunjukan atau dari beberapa pengurus tingkat pusat yang menentukan.

28

LDII mengalami perubahan nama dan perkembangan beberapa kali, yakni th 1851 Nurhasan Ubaidah dan Ahmad Ibrahim mendirikan Pondok Pesantren di desa Burengan, th 1872 KH Nurhasan dalam kondisi sakit-sakitan menyerahkan pengelolaan pesantren kepada organisasi kemasyarakatan bernama LEMKARI. Tahun 1981, LEMKARI merupakan suatu organisasi keagamaan dan Ponpes LDII diserahkan kepada yayasan. Tahun 1990 LDII melakukan Musyawarah Besar di Jakarta dan disepakati melakukan perubahan nama dan organisasi menjadi lebih terbuka, yakni dari nama LEMKARI menjadi LDII. Tahun 2010 Pondok Pesantren LDII Burengan Kediri dirubah namanya menjadi Pondok Pesantren Wali Barokah dengan ketua sekaligus penanggung jawab Drs Sunarto M.S.I. (Wawancara dengan Drs Sunarto M.S.I, Kediri: 24-2- 216). Ponpes Wali Barokah memiliki luas 4.5 Hektar dengan jumlah sebanyak 4000 orang, terdiri dari 3123 laki-laki dan 787 perempuan. Jumlah tenaga pengajar 100 orang, laki-laki 80 orang dan perempuan 20 orang dan jumlah lokal kelas ada 13 dan sebuah masjid 5 lantai. Pesantren Burengan memiliki visi: Mendidik santri menjadi mubaligh dan mubalighat berakhlak karimah, mandiri dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Ditingkat wilayah, daerah kabupaten/ kota, Kecamatan sampai dengan kelompok-kelompok pengajian LDII telah tersusun kepengurusan. Untuk menentukan kepengurusannya mereka melakukan musyawarah dengan para anggotanya. Setelah tercapai mufakat dan disetujui oleh pengurus pusat maka kemudian mereka dilantik dan diberikan Surat Keputusan untuk menjalankan program-programnya. Dintara tugas pokoknya adalah menyelenggarakan pengajian rutin seminggu dua kali dan menghimpun dana dari anggota 10% dari penghasilan setiap bulannya untuk diserahkan kepada pengurus pusat.

Target capaian dari pendidikan Pondok Pesantren Burengan Kediri ialah: (1) Membentuk Karakter Muslim sejati, (2) mencetak generasi unggulan, (3) Terbentuknya Masyarkat Madani dan berbudaya tinggi, (4) mencapai kebahagiaan dunia akhirat (Majelis Taujih Wal Irsyad, 2016: 34). Aktivitas santri di Ponpes Wali Barokah Burengan dimulai sejak jam 03.00 WIB. Para santri masuk ke masjid duduk berjajar rapi sambil membaca kitab suci al-Qur‟an. Masjid saat itu bergemuruh dengan suara bacaan al-Qur‟an

29 yang memenuhi ruangan masjid. Bacaan al-Qur‟an santri beragam posisi dan ragam tingkat bacaan. Mereka ada yang sambil duduk bersila, bersandar di dinding masjid dan ada juga yang sambil berdiri di luar ruangan atau serambi masjid. Jamaah wanita ada di saf bagian belakang laki-laki atau naik ke lantai dua. Demikianlah, aktifitas para santri dimulai sejak fajar belum menyingsing hingga selesai kegiatan-kegiatan berikutnya. Bagi sebagian masyarakat, LDII terkesan eksklusif. Menurut Bapak Sunarto, kesan eksklusif tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain: kurangnya taaruf antara anggota LDII dengan masyarakat terutama pada masa dipimpin oleh alm. KH Hasan Ubaidah. Kesan eksklusif sekarang sudah bisa ditepis dengan cara sering mendatangkan para mubaligh dari luar LDII. LDII pernah menghadirkan Prof.Ali Azis, guru besar UIN Surabaya dalam suatu pengajian yang dihadiri banyak anggota LDII. 2.2 Sejarah Majelis Tafsir al-Qur‟an (MTA) Yayasan MTA adalah sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. MTA didirikan oleh Ustad Abdullah Thufail Saputra (alm), alumni Pondok Pesantren Termas, di Surakarta pada tanggal 19 September 1972. Abdullah Thufail Saputra, seorang mubalig, dan pedagang, yang telah berkeliling hampir ke seluruh Indonesia, kecuali wilayah Irian Jaya. Selama pengembaraannya, ia melihat kondisi umat Islam Indonesia tertinggal. Kondisi umat Islam tersebut disebabkan karena umat Islam Indonesia kurang memahami al-Quran sebagaimana ucapan Imam Malik bahwa umat Islam tidak akan dapat menjadi baik kecuali dengan apa yang telah menjadikan umat Islam baik pada awalnya, yaitu al-Quran. Jika umat Islam mau kembali kepada al- Qur‟an, maka umat Islam Indonesia akan dapat melakukan pembaharuan. Oleh karena itu, kunci utama Abdulah Tufail Saputra mendirikan MTA adalah sebuah rintisan untuk mengajak umat Islam kembali pada al-Qur‟an. 2.3 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Cabang Kota Malang Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari organisasi Trans Nasional bernama Hizbut Tahrir yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1982-1983 dan mulai dirintis sekitar tahun 1990 (Arifin, 2010:97-99). Sesuai namanya yaitu

30

„partai pembebasan‟, Hizbut Tahrir merupakan partai Islam yang mengusung tema khilafah. Tema ini dipilih karena satu alasan: syar‟iat hanya bisa berdaulat jika ditegakkan melalui media yang benar, yaitu khilafah Islam. Karakteristik dari organisasi trans nasional ini adalah “satu komando” atau adanya keseragaman pemahaman (Sya'roni & Suardi, 2016). Sesuai dengan karakteristik HTI tersebut, HTI Kota Malang yang merupakan DPD II (Tingkat Kabupaten) juga memiliki keseragaman pemahaman dengan paradigma HTI secara umum. Untuk merepresentasikan “ruh kewacanaannya” dalam konteks konstruksi paradigma atau konsep kunci pemikirannya tersebut, cara yang efektif untuk menjelaskan pemahaman secara seragam adalah adanya buku-buku acuan yang dapat dibaca oleh setiap anggota Hizbut Tahrir di seluruh penjuru dunia dengan pemahaman kewacanaan yang terus-menerus dijaga, misalnya melalui pengkaderan pelatihan atau lainnya. 2.4 Ma‟had Al Furqon Al Islami Awal mula didirikannya Ma‟had al-Furqon al-Islami Sidayu Gresik ini adalah adanya realita umat Islam yang sudah semakin jauh dari ajaran Rasulullah yang bersumber dari al-Qur‟an. Hal ini sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nabi dalam sabdanya 1400 tahun yang lalu “Kehinaan yang menimpa kaum muslimin tidak lain karena jauhnya mereka dari tuntunan agama yang sebenarnya dan condongnya mereka kepada dunia”. Bentuk kesyirikan, bid`ah dan pemikiran sesat telah meracuni umat Islam saat ini, dan bahan merontokkan sendi-sendi agamanya namun kebanyakan mereka tidak menyadari. Melihat hal itu semua, maka Ustadz Aunur Rofiq Ghufron (62 th) mendirikan Ma‟had al-Furqon al-Islami di tanah kelahirannya, Desa Srowo Sidayu Gresik, pada tahun 1989. Ma‟had al-Furqon berusaha mengembalikan umat kepada kemuliaan dan izzahnya sebagaimana telah didapatkan oleh generasi utama. Sebagai lembaga pendidikan, Ma`had al-Furqon mendidik generasi Islam dengan pendidikan berdasar al-Qur`an dan as-Sunah yang shohihah dengan pemahaman salafus sholih. Menjadikan kitab-kitab karangan ulama` ahlusunah wal jamaah masa dulu dan sekarang sebagai acuannya setelah al-Qur`an dan as Sunah yang sahihah.

31

2.5 Pondok Pesantren Ittibaus Sunnah Ma‟had Ittibaus Sunnah terletak di Dusun Karangwuni RT 08 RW 04 Desa Tanjungan Kecamatan Wedi Klaten. Wilayah Kabupaten Klaten terdiri dari 26 (dua puluh enam) kecamatan. Data BPJS menyebutkan jumlah penduduk berdasarkan pemeluk agama di kabupaten ini berjumlah 1.364.553, terbagi atas, pemeluk Islam 1.261.213 jiwa, Katolik 43.663 jiwa, Kristen 48.335 jiwa, Hindu 10.688 jiwa, dan Budha 654 (BPS, 2014). Data pondok pesantren di Kabupaten Klaten berjumlah 55 buah, termasuk Pondok pesantren Ittibaus Sunnah yang pada mulanya merupakan pengembangan atau cabang dari Yayasan Ittiba‟us Sunnah yang terdapat di Desa Tawang RT 02 RW 1 Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo. Keterangan ini tercantum di dalam dokumen Yayasan Ittiba‟us Sunnah nomor 37/YISS/XI/05 dengan akta notaris Murtini SH, No : 23 tanggal 28 Januari 2003. Perintis berdirinya Pesantren Ittibaus Sunnah di Desa Tanjungan bernama ustad Ganang Widagdo dengan dukungan dari ustad Marwan pengasuh Ittiba‟us Sunnah Weru Sukoharjo mendirikan pondok pesantren Tahfid al-Qur‟an. Selanjutnya dibentuk kepengurusan pesantren dan mengajukan permohonan ijin kepada pengurus RT. Setelah persoalan administrasi selesai, mulai dibuka penerimaan santri dan proses pembelajaran dilakukan di rumah Ibu Partini Wilasno Budiwinoto, ibu ustad Ganang Widagdo. Awalnya santri yang belajar di pondok pesantren ini berjumlah 11 (sebelas) anak laki-laki dan pengajar sebanyak 5 orang ustad, semakin lama jumlahnya bertambah menjadi 20 anak. Santri-santri tersebut berasal dari wilayah Klaten dan sekitarnya termausk Kabupaten Sukoharjo. Seiring bertambahnya jumlah santri, dengan bantuan dari pemerintah dan wali santri, pondok pesantren ini membangun gedung berlantai dua yang nanti digunakan sebagai asrama dan masjid. Secara resmi pondok ini, berdiri sejak tahun 2007. Pendiri pondok pesantren Ittiba‟us Sunnah adalah ustadz Abu Hafsh Marwan dan ustadz Abu Hamzah Abdurrahman. Secara administrasi, pondok pesantren ini telah tercatat di Kementerian Agama Kabupaten Klaten, dengan rekomendasi Departemen Agama No. Kd.11.10/3/PP.007/422/2009. (Profil Ittiba‟us Sunnah 2012).

32

Keadaan santri berdasarkan profil pondok pesantren Ittiba‟us Sunnah 2012 berjumlah 56 anak. Berikut perkembangan santri dari tahun ke tahun. Tabel 01. Data Santri Ponpes Ittibaus Sunnah Tahun masuk Jumlah Santri yang Jumlah santri yang masuk bertahan 2007 18 16 2008 10 9 2009 8 4 2010 11 8 2011 11 11 2012 8 8 Jumlah 66 56 Sumber : Profil Ponpes Ittiba‟us Sunnah 2012. Sistem pendidikan di Ma‟had Ittiba‟us Sunnah berkonsentarsi pada tahfidz al- Qur‟an. Program tersebut terbagi dalam dua kelompok yaitu program Madrasah Tahfidzul Qur‟an wa Tarbiyatul Aulad Awaliyah li Baniin (MTP/LB) yaitu pendidikan anak usia 6 tahun ke atas, dan program ini telah berjalan sejak tahun 2007. Kemudian program usia 4 – 6 tahun yaitu Madrasah Tarbiyatul Aulad lil Shighor (MTA/LS) yang dimulai pada tahun 2010. Pada perkembangan berikutnya, pondok pesantren ini membuka program tingkat lanjutan yaitu Madrasah tahfidzul Qur‟an wustho dan ula, i‟dad lughowi, progam tarbiyatul du‟at (pendidikan dai) serta program tarbiyatun nisa. Sistem pendidikan dan dakwah yang diterapkan pada pondok ini adalah mencontoh metode pembelajaran yang diterapkan salafus shalih (Rasulullah SAW dan para sahabat serta para tabiit, tabiit tabi‟in dan ulama setelahnya). Adapun materi pendidikan yang diberikan kepada para santri adalah penekanan pada hafalan al-Qur‟an dan hadis ditambah materi pendukung lainnya. Adapun materi pendukung lainnya adalah : 1) pelajaran akhlak, 2) pendidikan fikih, 3) pelajaran sirah (sejarah Islam), 4) pelajaran adab dan akhlak, 5) pelajaran Bahasa Arab, 6) pelajaran tajwid, 7) pelajaran Bahasa Indonesia, 8) pelajaran matematika 9) pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, 10) pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, dan pelajaran pengetahuan umum lainnya. Sistem pembelajaran pada ponpes ini dilakukan dengan menerapkan sistem klasikal, setiap ustad membimbing antara 10 sampai 15 santri. Untuk

33 materi al-Qur‟an dan hadis ditekankan pada kemampuan hafalan dan mutqin (kemantapan dan kekuatan hafalan). Penilaian kemampuan hafalan anak dilakukan dengan metode setoran atau sorogan setiap selesai menambah hafalan dan ujian hafalan dilakukan secara berkala. Sedangkan untuk pelajaran diniyah dan umum ditekankan pada kemampuan pemahaman dan penerapan keseharian di pondok. Kemudian untuk menilai kemampuan anak diselenggarakan ujian lisan dan tertulis. 2.6 Pondok Pesantren al-Anshar Sleman Pondok Pesantren al-Anshar terletak di Dukuh Wonosalam, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Para tokoh pendiri pondok Al Anshor merupakan pecahan dari salafi Degolan Jln Kaliurang Km 15. Mereka mufaroqoh atau memisahkan diri dari Degolan di antaranya karena salafi Degolan yang dipimpin oleh Ustadz Ja‟far Umar Thalib dianggap sudah melenceng dari asalnnya, yakni sudah kemasukan unsur politik berupa ketidakcocokan kepada pemerintah, memandang orang selain kelompoknya dipandang sebagai kafir, dan Ja‟far Umar Thalib bergabung dengan kepartaian tertentu. Mereka yang tidak lagi sepakat dengan pandangan tersebut memisahkan diri dari pimpinan Ja‟far Umar Thalib. Tokoh tersebut antara lain adalah Ustad Abdul Mukti, Abdurrahman, dan Ilyas. Setelah Abdul Mukti memisahkan diri dari kelompok Ja‟far Umar Thalib, ia menghimpun jamaah salafi di perumahan veteran pada tahun 2003. Jamaah Veteran ini merupakan cikal bakal kelompok salafi di Wonosalam yang dipimpin oleh ustad Abd Mukti sebagai Mudir Am. Setelah lama di perumahan veteran kemudian pindah di dukuh Wonosalam, Desa Sukoharjo. Lembaga yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Tarbiyatul Aulad pada tahun 2001. Setelah itu baru masjid dan pondok pesantren. Pondok Pesantren al- Anshor secara resmi berdiri pada 12 Nopember 2002 dibawah Yayasan al-Anshar. Dewan pendiri pondok al- Anshar terdiri atas Ir.Ahmad Zuhairi, Bambang Sukmono Budi Atmoko alias Abu Umar Ubadah, Yustanto Dwiyantoro alias Abu Hisyam Ridlwan, Agus Wahyudi alias Abu Khalid

34

Abdurrahman, Sugiyanto alias Abu Muzakki, Sutanto Sinung Nugroho, dan Abu Ali. Lokasi Pondok Pesantren al-Anshor menyatu dengan masyarakat atau ikhwan meskipun tidak semua mengikuti salafi. Sebagian besar masyarakat atau ikhwan adalah pendatang dan hanya sebagian kecil ikhwan merupakan warga setempat. Pondok Pesantren al-Anshar didirikan diatas tanah wakaf dari Bapak Hadi Mulyono, kemudian secara bertahap bangunan bertambah sesuai dengan kebutuhan. Setelah pembangunan tahap awal selesai, dilanjutkan dengan penerimaan santri. Ponpes al-Anshar pertama kali menerima santri sebanyak 38 orang berasal dari anak ikhwan setempat dan santri dari desa lainnya. Salafi al- Anshar pernah mengalami kefakuman selama 2 tahun karena pimpinan pesantren, ustad Abd Mukti melanjutkan belajar di perguruan tinggi. Setelah ustad Safrudin pulang dari belajar Yaman, ia diangkat menjadi pimpinan Salafi al-Anshar. Ponpes al-Anshar juga membuka program pendidikan tahfidzul Quran. Program tahfidzul Quran ini diperuntukkan pada anak usia 7 sampai 12 tahun. Program ini merupakan program pendidikan kelanjutan dari progran tarbiyatul aulad, sekaligus untuk menampung lulusan dari program pendidikan tarbiyatul aulad tersebut. Program ini menargetkan agar anak usia 12 tahun sudah hafal al- Quran dengan bacaan yang baik dan benar dengan dasar-dasar ilmu agama. Program pendidikan ini dibagi menjadi dua, yaitu tahfidzul quran lil banin (tahfidz untuk anak laki-laki) dan tahfidzu quran lil banat (tahfidz anak perempuan). Pada tahun 2010 Ponpes al-Anshar membuka program Mutawasitah (MTS). Program mutawasitah ini untuk menampung lulusan dari tahfidzul Quran, dan program ini hingga saat sekarang telah meluluskan 3 kali angkatan. Pada tahun 2013 dibuka program mu‟allimin. Program mu‟allimin didirikan untuk membekali santri dengan ilmu agama sehingga diharapkan bisa terjun ke masyarakat dan mengajarkan ilmu yang telah diterimanya, sekaligus mempunyai kemampuan untuk menuntut ilmu pada jenjang yang lebih tinggi. Pada awal pendiriannya, tarbiyatul aulad dalam proses pembelajarannya tidak memisahkan antara santri laki-laki dan perempuan, keduanya dijadikan satu

35 kelas. Namun pada tahun ajaran 2014/2015 tarbiyatul aulad mulai memisahkan antara santri laki-laki dan santri perempuan. Dengan pemisahan santri tersebut artinya santri laki-laki menggunaan ruang kelas sendiri demikian juga dengan santri perempuan menggunakan ruang belajar sendiri. Sebagai konsekuensi pemisahan ruang kelas antara santri laki-laki dan santri perempuan maka ustadnya pun sendiri-sendiri, yakni santri tarbiyatul aulad laki-laki diajar oleh ustad dan santri tarbiyatul aulad perempuan diajar oleh ustadzah. Kemudian nama tarbiyatul aulad berubah menjadi Tarbiyatul Aulad Lil Banin dan Tarbiyatul Aulad Lil Banat. 2.7 Umar bin Khatab Magelang Nama Umar Bin Khattab adalah nama sebuah masjid di Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Nama masjid Umar Bin Khattab diambil dari nama salah seorang sahabat Rasulullah saw. bernama Umar Bin Khattab yang dikenal gagah berani dalam memperjuangkan Islam (w. Jauhari Mustafa, 25-2-2016). Nama yang diberikan untuk masjid itu selaras dengan karakter sebagian pendiri masjid itu yang notabene adalah mantan preman yang telah bertaubat. Salah seorang mantan preman yang telah insyaf itu bernama Suryono atau lebih dikenal dengan panggilan akrab Pak No Brewok. Ia dan temannya yang bernama Rahmad Widodo, atau akrab dipanggil Pak Dodo, sebelum bertaubat adalah penguasa dunia preman di terminal Grabag. Mereka berdua memiliki cerita heroik yang menarik untuk disimak dalam kaitannya dengan sejarah pendirian masjid Umar Bin Khattab dan citra masjid Umar Bin Khattab di mata masyarakat sekitar. Pak No Brewok (55 tahun), pria berperawakan tinggi, berbadan kekar dan berjambang lebat itu merupakan sosok preman yang sangat ditakuti oleh preman- preman lain di terminal Grabag dan sekitarnya.Badannya yang kekar dan tinggi besar itu membuat orang ciut nyali bila berhadapan dengannya. Pria asli kelahiran Grabag ini memiliki keahlian luar biasa dalam bermain kartu judi, sehingga dia diberi julukan “King of Gambler”. Karena kepandaiannya bermain judi itu dia mengaku tidak pernah kalah dalam setiap bermain judi (w. Suryono, 2/3/2016).

36

Sosok preman lainnya yang juga sangat ditakuti di terminal Grabag bernama Rahmad Widodo, atau Pak Dodo (60 tahun). Dia dikenal sebagai mandor bis yang masuk di terminal Grabag. Keduanya memperoleh penghasilan yang lebih dari cukup dari pekerjaannya sebagai tenaga pengamanan, penjaga parkir, dan preman terminal.Bahkan dari profesinya sebagai preman di terminal itu, Pak No Brewok bisa menggaet tiga orang perempuan yang sekarang menjadi istrinya. Namun, dari kehidupannya yang bergelimang harta haram itu mereka sama sekali tidak merasakan ketenteraman batin. Hatinya tidak tenang karena selama menjadi preman mereka melakukan pekerjaan yang dilarang oleh Allah Swt. Kedua preman itu kemudian sadar bahwa harta yang diperoleh dari pekerjaan yang dilarang oleh Allah Swt. tidak bisa memberikan ketenteraman dan ketenangan batin. Akhirnya, sekitar tahun 1990-an keduanya bertaubat dan memohon ampunan dari Allah swt. Sejak itu kehidupan keduanya berubah drastis menjadi seorang muslim yang taat beribadah. Mereka menjadi rajin melaksanakan salat berjamaah di masjid, rajin berpuasa Senin Kamis, dan meninggalkan semua pekerjaan yang selama ini dilakukannya. Keduanya rajin menghadiri pengajian untuk memantapkan tekadnya bertaubat kepada Allah Swt. Di antara sekian banyak tempat pengajian yang dihadirinya, pengajian yang diasuh oleh Ustaz Jauhari Mustafa dianggap paling mengena di hatinya.Mereka merasa mendapat siraman batin yang menyejukkan ketika mengikuti pengajian Ustaz Jauhari Mustafa. Sebenarnya ada satu nama lagi yang juga memiliki kisah hidup yang hampir sama. Ia bernama Sunar yang biasa dipanggil Pak Sunar. Dahulu mereka biasa melakukan perbuatan main (berjudi), madon (main perempuan), dan minum (meminum minuman keras). Karena hidayah Allah Swt. mereka berubah menjadi seorang muslim yang taat menjalankan ibadah. Mereka bertiga bersama dengan teman-teman lainnya sepakat untuk mengadakan pengajian. Karena belum ada tempat yang layak, sementara pengajian diadakan di bekas gudang beras milik Ibu Sutidjah di sudut terminal Grabag yang dipinjamkan kepada mereka. Waktu yang dipilih adalah hari Rabu Malam Kamis karena pada malam itu bertepatan dengan awal pembukaan judi

37 togel yang marak di daerah itu.Akhirnya, mereka menyebut pengajian itu dengan Pengajian Malam Kamis disingkat PMK. Pengajian berlangsung rutin bahkan jumlah jamaahnya semakin bertambah banyak. Ustaz Jauhari Mustafa ditunjuk untuk mengisi pengajian para mantan preman itu. Jamaah pengajian itu kemudian sepakat untuk membangun masjid. Meskipun hanya bermodalkan semangat mereka berhasil membangun sebuah masjid yang cukup megah di sudut terminal Grabag.Tanah yang digunakan untuk membangun masjid merupakan tanah wakaf dari seorang janda kaya bernama Sutidjah. Awalnya di atas tanah itu telah berdiri penginapan Rahayu. Kemudian dilakukan tukar guling dengan tanah milik Usman yang posisinya berada di samping penginapan Rahayu. Pada waktu itu tanah tersebut masih berupa kebun kosong yang ukurannya lebih luas sehingga layak untuk dibangun sebuah masjid dengan proses pembangunan masjid dilakukan secara bertahap. 2.8 Majelis Mujahidin Majelisul Mujahidin disingkat MM adalah sebuah istitusi atau perkumpulan yang dilahirkan melalui Konggres Mujahidin I yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 5 -7 Jumadil Ula 1421 H, bertepatan dengan tanggal 5 – 7 Agustus 2000 (Majelis Mujahidin (b), 2001:15). Majelis Mujahidin lahir tidak lama setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru tepatnya pada tahun 2000 dengan dicetuskannya Konggres Pertama Majelis Mujahidin yang diikuti sekitar 1800 peserta dari berbagai daerah. MM dibentuk sesaat pasca berlangsung hiruk pikuk politik negara akibat penurunan paksa presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Saat itu, kran demokrasi baru saja dibuka dan semua elemen masyarakat berlomba-lomba memanfaatkan momentum keterbukaan tersebut untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Pembentukan MM diprakarsai oleh para aktifis pemuda masjid yang notabene para mantan nara pidana dengan tuduhan subversif yang tidak setuju dengan Pancasila dan dianggap ingin mendirikan negara Islam. Para tokoh tersebut di antaranya Irfan S Awwas, Abu Muhammad Jibriel (saudara tua Irfan S Awwas), Shabbarin Syakur, Harun Sardjono dan lainnya. Pada masa-masa tersebut, konflik Ambon, Maluku baru saja reda sehingga tidak mengherankan

38 jika ada masyarakat yang memiliki pandangan bahwa dibentuknya MM bertujuan untuk membentuk kekuatan membalas perlakuan umat Kristen terhadap kaum Muslim di daerah konflik. Era tahun 2000-an, di beberapa kota di Indonesia terjadi kasus peledakan bom atas nama kaum jihadis melawan mereka yang dianggap kafir. Sementara perang Afghanistan belum benar-benar berakhir apalagi setelah terjadi Tragedi WTC, konflik Amerika dan Taliban semakin memanas. Para mantan pejuang Afghanistan dari Indonesia telah kembali ke tanah air, termasuk salah satunya Abu Muhammad Jibril. Dalam konggres MM pertama tersebut terdapat Faksi Afghanist dan fraksi NII. Keduanya bersitegang tentang penggunaan istilah mujahidin di dalam konggres. Faksi Afghanist beranggapan bahwa konggres tidak layak menyandang nama mujahidin karena istilah ini hanya boleh dipakai oleh mereka yang sudah mengalami jihad di Afghanistan dan bukan mereka yang hanya mencari aman di tanah air (Syafi‟i 2007: 126 dalam Putu, 2015: 34). Sedangkan faksi NII menganggap penggunaaan istilah mujahidin sah-sah saja mengingat istilah ini merujuk kepada mereka yang telah berjuang demi Islam tanpa harus berjihad ke daerah-daerah tertentu. Pertentangan tersebut menyebabkan faksi Afghanist memutuskan keluar dari konggres. Hasil konggres pertama MM tersebut menetapkan bahwa tandzim Mujahidin bernama Majelis Mujahidin, atau Majelisul Mujahidin disingkat MM (Majelis Mujahidin (b), 2001: 1414). Pemakaian secara resmi nama MM tetap digunakan hingga sekarang termasuk korp surat menggunakan nama Majelis Mujahidin tanpa kata Indonesia, meskipun media massa lebih popular dengan nama Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Sekjen MM, Bapak Shabbarin Syakur menegaskan bahwa nama Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) disepakati dalam konggres pertama, namun dalam pembahasan rapat Ahl Halli Wa al-Aqdi (AHWA) nama MMI menjadi salah satu pembahasan yang akhirnya pada konggres kedua di Solo disepakati nama MMI menjadi MM saja tanpa kata Indonesia agar tidak terkesan sektarian (wawancara, Shabbarin Syakur 24 Pebruari 2016). Majelis Mujahidin memang secara resmi tidak mencantumkan kata Indonesia di belakangnya, namun penetapan nama tanpa Indonesia tersebut

39 bukan berarti tidak ada unsur pembelaan dari MM terhadap bumi Indonesia, ini hanya karena persoalan agar tidak dianggap sektarian. Pada sisi lain, penegasan kata”bukan berarti tidak ada unsur pembelaan terhadap Indonesia” menurut peneliti mengandung makna bahwa MM sesungguhnya menyadari sepenuhnya akan kewajiban mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia untuk melakukan pembelaan terhadap negara dimana mereka bernaung. MM adalah sebuah institusi yang memiliki sifat tansiq atau aliansi bukan merupakan satu institusi dari satu kelompok tetapi dari berbagai kelompok seperti disebutkan pada hasil konggres pertama: “ majelis ini bersifat tansiq atau gerakan (amal) antara para mujahid berdasarkan ukhuwah, kesamaan aqidah, serta manhaj perjuangan, sehingga majelis ini mampu menjadi panutan ummat dalam berjuang menegakkan agama Allah Swt. dimuka bumi, tanpa dibatasi oleh suku, bangsa, atau negara” (Majelis Mujahidin (a), 2001: 141)

Sifat tansiq terlihat jelas sejak pelaksanaan kongres awal dimana pada saat konggres pertama tersebut, anggota konggres terdiri atas beberapa peserta dari Jawa Timur yang beranggotakan orang NU, peserta dari Jawa Barat beranggotakan Muhammadiyah, peserta dari Jakarta, mereka bukan orang Muhamadiyah dan bukan NU serta dari Yogyakarta diketuai oleh Bapak Suheri dari Penais Kementerian Agama (wawancara dengan Shabbarin Syakur, Rabu, 24 Pebruari 2016). Konsep tansiq agaknya juga sangat dimengerti oleh anggota Majelis Mujahidin seperti yang dikemukakan oleh Ummi Amanah yang menyatakan kalau MM itu sifatnya tansiq jadi para anggotanya meskipun menjadi anggota MM tetap berkecimpung dalam ormas yang telah ia ikuti sebelumnya (wawancara dengan Ummi Amanah, 7 Maret 2016). Ummi Amanah mencontohkan dirinya dan suaminya sebagai anggota MM namun tetap aktif dalam kegiatan ormas Muhammadiyah di kampung dan aktif mengikuti berbagai kajian yang dilaksanakan di masjid selain Ar-Rasul dan ormas selain MM. Ia mengikuti kajian di masjid dan tempat lain, karena ia menyadari betul bahwa kajian di Masjid Ar- Rasul muatan materi yang disampaikan cukup keras, maka ia merasa perlu mengikuti kajian lainnya yang lebih bersifat lunak.

40

Aliansi Majelis Mujahidin sebenarnya dikembangkan ke dalam 3 formulasi, yaitu kebersamaan dalam missi menegakkan Syari‟ah Islam (tansiqul fardi), kebersamaan dalam program menegakkan Syari‟ah Islam (tansiqul „amali), dan kebersamaan dalam satu institusi Penegakan Syari‟ah Islam (tansiqun nidhami) (Majelis Mujahidin (b), 2001: 16). Majelis Mujahidin sejak awal didirikan dengan tujuan Tathbiqus Syariah (Penegakan Syariah Islam) (Majelis Mujahidin, 2001:15). Syariah yang dimaksud dalam hal ini adalah segala aturan hidup serta tuntunan yang diajarkan oleh agama Islam yang bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. yang shahih, sesuai pemahaman para sahabat radiallahuanhum (ulama salafusshalih) (Majelis Mujahidin, 2001:15-16). Latar belakang pemikiran yang melandasi lahirnya MM secara historis yaitu Majelis Mujahidin bermaksud menyatukan segenap potensi dan kekuatan kaum muslimin (mujahidin) dengan tujuan bersama-sama berjuang menegakkan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan terutama aspek pemerintahan sehingga Tauhid menjadi asas dan syariah Islam dan MM menjadi rujukan tunggal bagi sistem pemerintahan dan kebijakan kenegaraan secara nasional maupun internasional (Majelis Mujahidin, 2001:15). 2.9 Jamaah Ansharus Syariah (JAS) Jamaah Ansharut Tauhid terbagi menjadi 2 yakni Jamaah Ansharur Syariah (JAS) dan Jamaah Ansharul Khilafah (JAK). Perpecahan ini terjadi disebabkan adanya perbedaan pandangan antara Abdurrohim Ba‟asyir dengan ayahnya Abu Bakar Ba‟asyir akibat munculnya gerakan ISIS. Abu Bakar Ba‟asyir mendukung gerakan ISIS dengan mendirikan JAK, sedangkan Abdurrohim Ba‟asyir menentang gerakan ISIS (Islamic State in Syria and Iraq) dan secara terang-terangan ia memisahkan diri dari ayahnya sehingga ustad Ba‟asyir menganggap anaknya belum memperoleh hidayah. JAS berdiri tahun 2014 dengan Amir JAS saat ini bernama Ustad Muhammad Ahwan. Ustad Ahwan dan Ketua Majelis Syuro JAS dipegang oleh Abdurrohim Ba‟asyir Lc, putera dari Abu Bakar Ba‟asyir lulusan dari Timur Tengah. Ustad Ahwan merupakan salah satu pengikut senior ustad Abu Bakar

41

Ba‟asyir yang mendukung Abdurrohim Ba‟asyir dan saat ini ia berdomisili di Malang. Ketentuan jabatan Amir JAS ditetapkan seumur hidup selagi tidak melanggar komitmen JAS. Secara organisasi, JAS dalam perekrutan anggota bersikap terbuka sedangkan Jamaah Ansharul Khilafah (JAK) bersifat tertutup dan berupa gerakan di bawah tanah. Saat ini JAS memiliki jumlah anggota sekitar 5 ribu orang tersebar di daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI, Jawa Timur dan NTB.Cara perekrutan anggota melalui pengajian, setelah pengajian selesai peserta pengajian ditawari menjadi anggota JAS. Peserta yang berminat mendaftar dicatat melalui seleksi, pendaftar dianggap ekstrim (keras: diperkirakan bisa menjadi teroris) tidak dapat diterima menjadi anggota. Setelah didaftar maka dibina melalui pengajian khusus selama 6 bulan. Pengajian khusus untuk anggota tersebut waktunya tidak tetap, bisa seminggu, atau 2 minggu sekali. Pembina pengajian adalah para pengurus, di antaranya Abdurrahim Ba‟asyir, dan Fuad al-„Azimi. Setelah menjadi anggota dan dibina kemudian melaksanakan baiat bisa perseorangan maupun berkelompok. Dalam istilah JAS memakai kata mu‟ahadah (perjanjian). Kalau sudah dibaiat, setiap anggota harus tunduk pada Amir untuk menegakkan syariat Islam. Penegakan syarian Islam untuk saat ini dilaksanakan dengan bayan yakni (menerangkan) kepada masyarakat dan pemerintah di Indonesia. Bayan kepada pemerintah dilakukan kepada pejabat secara terang- terangan menasehatinya, seperti masalah penegakan hukum Islam berupa hukum potong tangan, orang yang berzina harus dihukum cambuk dan lainnya. Dalam salah satu ceramahnya, Fuad Hasyimi bilang, ini bumi milik siapa milik Allah Swt. jika saya diusir dari bumi Indonesia maka Anda tidak berhak mengusir saya. Anggota JAS dipungut iuran tetapi tidak ditentukan jumlahnya hanya ditekankan agar sodaqoh harus banyak, jangan pelit karena digunakan untuk pembiayaan organisasi termasuk biaya sidang di Jakarta. JAS memiliki usaha perkebunan di Dieng dan pertokoan di Jakarta. Usaha ini dibiayai oleh JAS dan dikelola oleh salah satu anggota dengan hasil dibagi antara pekerja dan JAS.

42

2.10 Front Jihad Islam (FJI) Latar belakang terbentuknya FJI diawali dari beberapa mantan anggota FPI (kurang lebih 20 orang) yang keluar karena tidak setuju dengan gerakan FPI yang menyimpang. Di FPI dulu terdapat divisi LPI (lasykar pembela Islam), yang bergerak di lapangan. Semangat amar ma‟ruf dari FPI yang dianggap sesuai, oleh beberapa mantan divisi LPI yang keluar ini kemudian diperjuangkan dengan cara yang lebih sesuai syariat. Wadah yang digunakan untuk menandai adalah FJI (wawancara Abdurrahman dan Djoko S pada 4 Februari 2016 dan Wahyu pada 26 Februari 2016). Deklarasi FJI dilakukan pada 2006 setelah gempa Yogya. Saat pendirian FJI, yang mendeklarasikan Ust Abu Bakar Baasyir di masjid Padokan Kasihan Bantul. Menurut pengurus, penunjukan ustadz Abu Bakar Baasyir waktu itu sebagai sepuh karismatik yang dituakan, sama sekali tidak terpengaruh isu dan wacana terorisme (wawancara Abdurrahman dan Djoko S pada 4 Februari 2016 dan Wahyu pada 26 Februari 2016). FJI bukanlah ormas yang terdaftar tersendiri dengan menggunakan nama itu (barangkali belum), tetapi diakui oleh pengurusnya, FJI berada di bawah yayasan Amaliyah Nurus Syahid yang terdaftar oleh Notaris H. Hamdani, SH pada 28 Agustus 2015. Pendirian FJI menurut para pengurusnya sudah lebih dulu berdiri, yaitu pada 2006, dan sejak pendirian sudah langsung aktif mengadakan kegiatan.Adapun perijinan resmi menyusul kemudian,(wawancara dengan Abdurrahman, Djoko S, 04 Februari 2016, Wahyu 26 Februari 206). Hal yang menarik bahwa baik nama FJI maupun yayasan Amaliyah Nurus Syahid belum terdaftar di pemerintahan, baik di Kesbangpol Kab Bantul, Kemenag Kab. Bantul, maupun di Kanwil Kemenkumham DIY.Tidak hanya berdasar informasi lesan, dilihat dari daftar ormas atau yayasan yang sudah terdaftar, FJI dan yayasannya belum masuk dalam daftar.Meskipun belum terdaftar, pemerintah sudah sering mendengar dan mengenal keberadaan FJI (bukan yayasan Amaliyah Nurus Syahid) terutama melalui kiprah aksi-aksi yang dilakukan dan diliput media (wawancara Kasubbag TU Kemenag Kab Bantul

43 pada 2 Februari 2016, Kepala Kesbangpol Kab.Bantul pada 2, 4 Maret 2016, dan Kabag Pelayanan Hukum Kanwil Kemenkumham DIY pada 4 Maret 2016). Terlepas dari temuan bahwa FJI atau Yayayasan belum berbadan hukum secara sah, berikut dipaparkan sekilas profil yayasan Amliyah Nurus Syahid dan FJI.Dalam akta notaris, yayasan ini beralamatkan sama dengan kantor DPP (dewan pengurus pusat) FJI. Beberapa hal di antara isi bab atau pasal dalam akta yayasan juga sama dengan isi bab dan pasal AD ART FJI. Dalam bab maksud dan tujuan dalam akta yayasan disebutkan bahwa yayasan berazaskan Pancasila dan UUD 1945, sedangkan tujuan yayasan ini bergerak di bidang sosial, kemanusiaan, dan keagamaan. Yayasan memiliki tiga organ yang terdiri dari pembina, pengurus, dan pengawas dengan tugas dan kewenangan masing-masing.Beberapa orang yang disebutkan dalam akta notaris sebagai berikut.Pembina: drh. Haris Darmawan dan Darmawan Joko Prasetyo. Pengawas: Puji Hartono, B.BA dan Umar Said. Pengurus terdiri dari ketua: Wahyu Karamus Mendawai, SH dan Darrohman, sekretaris: Endi Maryadi, sekretaris: Djoko Supriyadi, S.Ag. Adapun profil FJI secara sekilas, berdasar pada AD/ART Front Jihad Islam Yogyakarta, yaitu organisasi ini bernama Front Jihad Islam (FJI).Secara umum wilayah kegiatan dakwah di daerah DIY dan sekitarnya.Tidak tertutup kemungkinan FJI juga membuka cabang, perwakilan, di luar teritorial DIY.FJI beralamat di: Jalan Bibis No. 43 Padokan Lor, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul,

44

Daerah Istimewa Yogyakarta. FJI memakai logo sebagai berikut:

Keterangan Logo: 1) Bintang segi delapan melambangkan simbol dari persatuan umat Islam (Ukhuwah Islamiyah). 2) Gambar kitab yang terbuka melambangkan setiap gerakan FJI berpedoman pada Al Qur'an dan hadist. 3) Pedang saling bersilang melambangkan bahwa FJI akan tetap konsisten melaksanakan dakwah serta beramar ma'ruf nahi munkar. 4) Tulisan hidup mulia atau mati sahid (dalam bahasa Arab) melambangkan FJI akan mengawal tegaknya syari'at Islam dengan semboyan hidup mulia atau mati sahid. 5) Warna logo: a) Warna dasar hijau : warna identitas Islam, dasar hijau berarti FJI berdasarkan Islam. b) Emas : kemuliaan c) Hitam : kebijaksanaan FJI berlandaskan syari'ah Islam, falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berlaku.Azas dan tujuan sesuai dengan Anggaran Dasar FJI dan UUD 45 pasal 29 ayat 2. FJI berperan serta secara aktif untuk memperkokoh ukhuwah anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya.FJI melaksanakan prinsip kebersamaan/jama'ah yaitu:keanggotaan

45 bersifat sukarela, tidak ada paksaan, bersifat sosial kemasyarakatan, tidak ada gaji, dan kemandirian. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, siapa saja dapat diterima menjadi anggota dengan syarat: perseorangan yang mempunyai kemampuan penuh untuk melakukan tindakan hukum (dewasa/cakap hukum), memiliki komitmen dengan nilai-nilai yang berlaku di FJI, menyetujui isi AD dan ART serta ketentuan/peraturan FJI lainnya. Anggota FJI terdiri dari:Anggota inti, anggota penuh, anggota biasa, dan Simpatisan. Anggota inti adalah pendiri dan orang-orang yang ditunjuk serta direkomendasikan oleh Dewan Tinggi Tanfidz. Anggota penuh adalah anggota yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang termaktup dalam Anggaran Dasar FJI Bab V pasal 5 Ayat 2 tentang keanggotaan. Anggota biasa adalah anggota yang sudah mendaftar dan telah diterima FJI. Simpatisan adalah yang masyarakat umum yang mendukung kegiatan FJI. Susunan struktur organisasi FJI, yang paling atas adalah Dewan Tinggi Tahfidz yang sejajar dengan Dewan Syariah, kemudian di bawahnya terdapat tujuh departemen terdiri atas departemen Fatwa, Hukum dan HAM, Baitul Mal, Para Komando, Dai dan Diplomat, Annisa, dan Ekonomi. Hubungan antara dewan dan departemen terhubung garis melalui sekretaris. Sebagai penjelasan dari Bab XII Pasal 18 Anggaran Dasar, bahwa dana FJI diperoleh dari: usaha yang dikelola FJI, infak dan shodaqoh adalah pemberian seseorang atau lembaga pada FJI untuk dipergunakan sesuai keperluan, hibah dan wakaf adalah pemberian seseorang pada FJI tanpa ikatan yang besarnya tidak terbatas. Hibah bisa dipergunakan untuk membiayai kegiatan dakwah, dan zakat perorangan anggota atas hasil usaha FJI akan diberikan pada yang berhak menerimanya sesuai dengan syari'ah (mustahiq).

46

BAB III LITERATUR DAN JARINGAN PEMIKIRAN KELOMPOK KEAGAMAAN

Secara keseluruhan literatur yang ditemukan di sepuluh lokasi kelompok keagamaan berjumlah kurang lebih 150 buah literatur dalam bentuk kitab klasik, buku, majalah, dan buletin. Jumlah tersebut belum termasuk artikel atau file pdf buku yang di upload lewat internet. Jenis literatur dari masing-masing kelompok keagamaan tersebut dapat diketahui melalui tabel 01 berikut ini. Tabel 01. Jenis Literatur Kelompok Keagamaan No Kelompok Jenis Literatur Keagamaan Kitab Buku/Ki Klasik Maja e-book buletin Klasik tab dan lah Kontem Kontem porer porer 1 LDII  2 MTA  3 HTI     4 PP Al-Furqan   5 PP Ittibaus    Sunnah 6 PP Al-Anshar  7 UBK  8 MM   9 JAS  10 FJI 

Literatur kitab klasik masih digunakan di Ponpes al-Anshar dan para tokoh FJI. Mereka menggunakan kitab-kitab klasik tersebut secara langsung sebagai bahan rujukan maupun pengajaran dalam proses pengajian atau pengajaran sekolah. LDII, MTA, dan UBK saat ini baru mengandalkan buku kontemporer sebagai media sosialisasi ideologinya. HTI memiliki jenis literatur yang cukup lengkap terdiri atas: kitab klasik dan buku kontemporer, majalah, e-book, dan buletin. PP Ittibaus Sunnah telah menggunakan media kitab klasik dan kontemporer, majalah, dan buletin sebagai wahana mensosialisasikan ideologinya. PP al-Anshar dan FJI hanya menggunakan sumber rujukan kitab klasik, belum menyusun buku tersendiri. UBK dan JAS sudah memiliki buku panduan serta

47

MM selain mengeluarkan buku kontemporer juga menerbitkan majalah Ar- Risalah secara rutin tiap bulan. Data literatur tersebut di atas tidak secara keseluruhan diambil sebagai data utama karena dalam kajian ini dipilih literatur yang membahas konsep- konsep kunci radikalisme yaitu jihad, amr makruf nahi munkar, wala al-bara, bid‟ah, takfiri, khilafah, dan negara Islam kaitannya dengan konstelasi kebangsaan. Data literatur atau bahan bacaan kelompok keagamaan selanjutnya diidentifikasi berdasarkan nama penulis dan penerbit bahan bacaan tersebut. Identifikasi ini penting dikemukakan untuk mengetahui siapa yang menjadi konseptor ideologi kelompok keagamaan serta jaringan para tokoh kelompok keagamaan tersebut. Identifikasi pengarang bahan bacaan merujuk pada literatur buku dan artikel yang menjadi data koding ayat. 3.1 Identifikasi pengarang Identifikasi pengarang buku, kitab, artikel yang menjadi data koding ayat disebutkan dalam tabel berikut ini. Tabel 02. Tabel pengarang No Kelompok Nama Penulis Keagamaan 1 MM Irfan S Awwas, Muhammad Thalib, Abu Muhammad Jibril 2 UBK Ustad Jauhari Musthafa Mahfudz 3 HTI HTI 4 PP al-Furqan Abu Ubaidah Yusuf bin Muchtar as-Sidawi, Sholahuddin Abu Faiz bin Mudasim, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf 5 JAS Tim JAS 6 PP al-Anshar Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin, Muhammad ibn Abdul Wahab an-Najdi 7 PP Ittibaus Syaikh Rabi bin Hadi al-Madkhali, Muhammad ibn Sunnah Shalih al-Utsaimin, Abd Azis bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad ibn Abd Wahab, Syaikh Abd Rahman bin Hasan, Ahmad bin Hajar al-Asqalani, Ibn Qayyim al- Jauziyah 8 MTA Abdullah Sungkar, Tim Penulis MTA (alumni Ponpes Gontor) 9 LDII Tim Taujih wa al-Irsyad LDII (alumni beberapa ponpes) 10 FJI Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin, Muhammad ibn Abdul Wahab, Abdullah ibn Abdurrahman ibn Shalih Ali Bassam

48

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa ada beberapa tipe penyusun atau konseptor bahan bacaan dari kelompok keagamaan, yaitu tokoh diluar kelompok keagamaan, tokoh intern kelompok, dan tim gabungan. Keterangan tentang tipe tersebut dapat diketahui dalam tabel berikut ini. Tabel. 03. Tipe Penyusun Bahan Bacaan No Kelompok Penyusun Keagamaan Tokoh Tokoh Tim ekstern intern gabungan 1 LDII  2 MTA  3 HTI   4 PP Al-Furqan   5 PP Ittibaus   Sunnah 6 PP Al-Anshar  7 UBK  8 MM  9 JAS  10 FJI 

Penyusun bahan bacaan berupa tim gabungan digunakan oleh LDII dan MTA. LDII memiliki tim penyusun yang bernama Majelis Taujih wa al-Irsyad dengan anggota: H. Zainal Muttaqin (Ponpes Langitan), Hafidz Su‟udi Ridwan (Ponpes Jombang), Kholil Fatah (alumni Gontor), H. Kasmudi (alumni Ponpes Kebarongan Banyumas), ditambah ustad Abdullah Mas‟ud dan ustad Ihwan Abdullah, alumni Ma‟had al-Haram. Komposisi tim penyusun bahan ajar LDII menunjukkan bahwa LDII telah memiliki jaringan pemikiran secara ideologis dengan Ponpes Langitan, Ponpes Jombang, Ponpes Gontor, Ponpes Kebarongan dan Ma‟had al-Haram Saudi Arab. MTA memiliki tim penyusun brosur kajian Ahad Pagi sekaligus tim perumus jawaban ustad Sukino ketika berceramah. Tim MTA tersebut terdiri atas 19 orang anggota tim yang merupakan alumni Ponpes Gontor. Tim ini rata-rata berpendidikan sarjana S1 hingga S3. Dengan demikian MTA sesungguhnya telah membentuk jaringan pemikiran ideologis dengan Ponpes Gontor. HTI, Ponpes al-Furqan dan Ponpes Ittibaus Sunnah dilihat dari tipe penyusun bahan bacaan memiliki dua tipe, tim penyusun ekstern dan tim

49 gabungan. HTI memiliki bahan bacaan yang dikarang oleh tokoh-tokoh diluar kelompok HTI Indonesia namun juga memiliki bahan bacaan yang disusun oleh tim dari HTI sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa di kalangan HTI telah ada tim konseptor ideologi HTI dengan tafsir HTI ala Indonesia. Kelompok keagamaan lainnya, yakni PP al-Anshar dan FJI masih mengandalkan sumber ajaran kitab yang berasal dari penulis asli di luar Indonesia, sehingga konsep atau ideologi kedua kelompok keagamaan ini belum dirumuskan secara spesifik corak ideologi ala pemahaman dan sumber pemikiran para tokoh lokal. UBK dan MM telah mengeluarkan beberapa bahan bacaan yang ditulis oleh tokoh-tokoh intern mereka. UBK memiiki buku panduan karangan ustad Jauhari Musthofa, sedangkan MM telah banyak mengeluarkan buku, dan artikel, yang dikarang oleh para petinggi MM. Bahan bacaan tersebut jelas menunjukkan ideologi kedua kelompok keagamaan tersebut melalui para tokoh kuncinya. JAS baru saja mengeluarkan buku hasil karya tim penyusun buku berasal dari para tokoh JAS itu sendiri dan buku tersebut belum dapat disosialisasikan secara terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa JAS sangat berhati-hati mensosialisasikan ideologi keagamaan yang mereka anut. Bentuk kehati-hatian itu tidak saja secara tertulis namun juga secara lisan sebagaimana keterangan para peneliti JAS bahwa kegiatan wawancara terkait JAS hanya dapat dilakukan dengan pimpinan Majelis Syuro JAS, ustad Abdurrohim Baasyir. 3.2 Identifikasi Penerbit Identifikasi penerbit-penerbit buku bermuatan isu-isu keagamaan yang diusung oleh kelompok-kelompok keagamaan yang diteliti menghasilkan data bahwa penerbit-penerbit tersebut bukanlah penerbit terkenal yang sudah akrab bagi masyarakat di Indonesia seperti Gramedia, Republika, Kompas dan lainnya. Namun penerbit buku-buku kelompok keagamaan tersebut adalah penerbit buku dengan nama yang cukup asing bagi sebagian telinga masyarakat. Kondisi ini menunjukkan, meskipun tema-tema yang diangkat oleh kelompok keagamaan tersebut bukan isu utama yang diminati sebagian besar masyarakat Indonesia, namun isu-isu tersebut sudah mulai diminati oleh segmen masyarakat tertentu dan

50 ada dukungan penerbitan dari beberapa penerbit. Identifikasi penerbit disebutkan dalam tabel berikut ini. Tabel. 04. Identifikasi Penerbit Buku No Kelompok Nama Penerbit Keagamaan 1 MM Uswah, Darul Uswah, Wihdah Press, PT al-Mudatsir Media Komunika, Ma‟alimul Usrah Media, Majelis Mujahidin 2 UBK Majelis Taklim Uswatun Hasanah 3 HTI HTI 4 PP al-Furqan Yayasan al-Furqan al-Islami 5 JAS JAS 6 PP al-Anshar Dar al-Syariati, Dar al-Atsar, Darul Ilmi, Darul Akidah, Dar al-Fikr, Madaru al-Wathani lin Nasyar, Muassasah Muh bin Sholih al-Utsaimin al-Khoiriyah, Dar al-Salam, Jami‟u Huququ Mahfudhat, Dar al-Jauzi, Dar Ibnu Abbas, Darul Kutubil Alamiyah, Dar al-Ashimah, Maktabah al- Ghurabak, 7 PP Ittibaus Oase Media, Ma‟had al-Manshurah, Maktabah al-Huda, Sunnah Media Tashfiyah, Qanita Media, Mirots, Media Salafy 8 MTA MTA 9 LDII LDII 10 FJI Dar al-Syariati, Dar al-Atsar, Darul Ilmi, Darul Akidah, Dar al-Fikr, Madaru al-Wathani lin Nasyar, Muassasah Muh bin Sholih al-Utsaimin al-Khoiriyah, Dar al-Salam, Jami‟u Huququ Mahfudhat, Dar al-Jauzi, Dar Ibnu Abbas, Darul Kutubil Alamiyah, Dar al-Ashimah, Maktabah al- Ghurabak

3.3 Jaringan Pemikiran Tokoh Kelompok Keagamaan Jaringan pemikiran tokoh kelompok keagamaan yang diteliti secara umum merujuk pada jaringan pemikiran tokoh gerakan Salafiyah atau Salafi. Sebelum masuk pada pembahasan jaringan pemikiran perlu diuraikan pengertian Salafiyah atau Salafi itu sendiri. Salafiyah sebagai suatu istilah dengan berbagai varian kata lainnya seperti Salafiyyun, Salafiyyin, Salafy, atau Salafi, memiliki kaitan dengan kata Salaf (salaf) dalam bahasa Arab berarti” terdahulu, telah lalu, telah selesai, kaum di masa lalu, dan sebagainya. Secara istilah yang dimaksud dengan Salafiyah adalah golongan Salafus Shâlih, yaitu para pendahulu umat Islam yang saleh yakni tiga generasi pertama Islam, para Sahabat, generasi Tabiin (para

51 pengikut Sahabat) dan Tabiin-Tabiin(para pengikut Tabiin) (Nashir, 2013:148). Secara lebih spesifik arti kata Salafiyah diuraikan berikut ini. Secara sederhana Salafiyah bisa diartikan sebagai khazanah ilmu atau ajaran Salafus Shalih. Sedangkan Salafiyun atau Salafiyin ialah orang-orang yang mengikuti ajaran Salafus Shalih. Adapun Salafy atau Salafi ialah sebutan bagi orang-orang yang mengikuti ajaran Salafus Salih. Salafiyah adalah ajarannya, Salafiyyin adalah para pengikutnya, sedangkan Salafy adalah sebutan bagi mereka. Istilah Salafy juga mencerminkan makna komunitas ideologis. Istilah Salafy juga mencerminkan makna komunitas ideologis. Ia serupa dengan sebutan lain seperti Maliki (pengikut mazhab Imam malik), Hanbali (pengikut mazhab Imam Ahmad), Ikhwani (pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin), Tablighi (pengikut Jamaah Tabligh), Khariji (pengikut paham Khawarij), Aqlani(pengikut paham rasionalisme), dan lain-lain. Seseorang kadang dianggap oleh orang lain sebagai Salafiyah, sebab sikap dan perilakunya menunjukkan kesetiaannya pada ajaran Salafus Shalih, meskipun dia tidak menyebut dirinya Salafy. Tetapi, ada kalanya orang- orang tertentu sering menyebut dirinya sebagai Salafy, meskipun mereka sendiri belum memahami dan mengamalkan ajaran Salafus Shalih itu. Istilah Salafy kemudian menjadi sebutan bagi komunitas yang mengikatkan dirinya dengan ajaran Salafus Shalih, baik dalam ikatan yang bersifat kuat maupun ikatan sangat longgar (Nashir, 2013:148-149).

Sejarah Salafiyah disebutkan oleh Nashir (2013) sebagai aliran paham (mazhab) atau gerakan, muncul pada abad ke-7 Hijriyah, yang dikembangkan oleh para ulama atau pengikut mazhab Hanbali (Ahmad bin Hanbal) yang berpendapat bahwa garis besar pemikiran mereka bermuara pada pemikiran Ahmad bin Hanbal yang menghidupkan akidah ulama Salaf dan berusaha memerangi paham lainnya (Nashir, 2013:149). Aliran Salafiyyah ini selanjutnya gencar disebarkan oleh salah seorang ulama pembaharu Islam bernama Ibn Taimiyah yang dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah. Abad ke-12 pemikiran Salafiyah muncul lagi dan dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Jazirah Arab. Para pengikut Muhammad bin Abd Wahhab mendapat julukan kaum Wahabi. Memasuki era modern, Salafiyah dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849 – 1905), Muhammad Rasyid Ridha (1856 – 1935), Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1838 – 1897), dan Sayyid ahmad Khan (1817 – 1898).

52

Karakter pemikiran Salafiyah di antaranya: Pertama argumentasi pemikiran Islam harus jelas diambil dari al-Qur‟an dan al-hadis. Kedua, penggunaan rasio atau akal pikiran harus sesuai dengan nash-nash yang shahih. Ketiga, dalam konteks akidah harus berdasarkan nash-nash saja (Nashir, 2013: 151) Gerakan Salafiyah dengan karakter gerakan kebangkitan kembali Islam (revivalisme Islam) dan pembaharuan dalam Islam (tajdîd fî al-Islâm, reformisme Islam/modernism Islam) masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan ini muncul dalam bentuk gerakan Padri, Sumatera Thawalib, al- Irsyad, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam dan lainnya. Abi Abdurrahman al-Thalibi, seorang aktivis Salafiyah, sebagaimana dikutip oleh Nashir menyatakan bahwa perkembangan Salafiyah di Indonesia sebagai berikut: Paham Salafiyah yang masuk ke Indonesia bermacam-macam warnanya. Warna yang paling asli ialah dakwah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab r.a. yang dibawa oleh ulama-ulama di Sumatra Barat pada awal abad ke-19. Inilah Salafiyah pertama di Indonesia, dikenal sebagai kaum Padri pada zaman colonial berperang melawan melawan kaum dan Belanda…..Paham Salafiyah juga berpengaruh secara relative terhadap organisasi-organisasi Islam di Indonesia, misalnya Muhammadiyah, Syarikat Islam, Persatuan Islam (Persis), juga al-Irsyad, , A. Hasan, Munawar Chalil dll. Dikenal sebagai tokoh-tokoh gerakan purifikasi di Indonesia yang anti syirik dan bid‟ah (Dikutip Nashir, 2013: 165)

Aktifitas Salafiyyah di Indonesia memiliki beberapa keragaman sebagaimana disebutkan oleh Nashir (2013), yaitu: 1. Sikap ilmiah murni, yaitu mengkaji setiap persoalan berdasarkan landasan al- Qur‟an, hadis-hadis sahih, seyang lurus serta metode yang lurus sebagaimana yang dipegang oleh para ulama Ahlus Sunnah. 2. Membangun jaringan majelis taklim ynag menginduk ke madrasah Salafiyah tertentu di Timur Tengah mellaui para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di madrasah Salafiyah tersebut 3. Bersikap keras dalam mengingkari ahli bid‟ah dan kelompok menyimpang, sikap keras tersebut kadang ditunjukkan dengan bermuka masam, tidak mau menjawab salam, bersikap menjauhi, mencela, membuka aib-aib, menghina, hingga memboikot

53

4. Mengambil khazanah ilmu-ilmu Salafiyah, tetapi juga menerapkan system kejamaahan (organisasi) seperti yang diterapkan di kalangan jamaah-jamaah dakwah Islam pada umumnya 5. Mengambil bab-bab tertentu dari ilmu Salafiyah dan meninggalkan bab-bab lainnya, adakalanya anti terhadap bab-bab tertentu yang tidak memuaskan akal, kebebasan, dan kepentingannya 6. Mengambil khazanah ilmu Salafiyah untuk bab-bab ynag bersifat dasar (elementer), lalu meletakkan di atas dasar-dasar itu pemikiran non Salafiyah seperti doktrin politik, kekerasan, organisasi dan lainnya 7. Mengambil sebagian ilmu-ilmu Salafiyah lalu meramunya dengan ilmu-ilmu dari sumber lain sehingga menghasilkan paduan multiwarna, yang disebut dengan metode thariqul jam‟i (metode kompromis) 8. Berkiprah dalam bidang-bidang teknis, misalnya penerbitan, media, pendidikan, rumah sakit, lembaga sosial, dan lain-lain tanpa mengikatkan diri pada suatu organisasi islam tertentu 9. Berkarya dalam dakwah Salafiyah secara independen dengan tidak mengikatkan diri pada suatu organisasi, jamaah, jaringan, majelsi taklim, lembaga, madrasah, dan lain-lain, baik di dalam maupun di luar negeri, mereka menyebarkan ilmu-ilmu Salafiyah secara mandiri, lokal dan menyesuaikan metode dakwah dengan situasi lingkungan, secara popular mereka kurang dikenal karena terpisah-pisah, tetapi dakwah mereka cukup eksis 10. Mengambil hikmah ilmu Salafiyah secara individu sesuai dengan kebutuhan, keinginan, dan kepentingan masing-masing (Nashir, 2013:165 -167) Gerakan Salafiyah mengalami perkembangan lebih menonjol pada saat reformasi bangsa Indonesia berlangsung. Pada masa ini muncul gerakan Salafiyah Yamani dan Salafiyah Haraki. Salafiyah Haraki masuk ke Indonesia sekitar tahun 1990-an dengan menggunakan metode ḫarakiyyah (harakah, pergerakan, gerakan). Metode harakah, meski tidak sama, mirip dengan metode yang digunakan oleh jamaah-jamaah islam seperti Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Jamaah Tabligh (JT), Jamaah Islamy (JI), Negara Islam Indonesia (NII) dan lainya. Metode ḫarakiyyah ini ditolak oleh Salafiyah Yamani karena

54 dianggap bid‟ah dan menampakkan praktek fanatisme (hizbiyyah), namun bagi Salafiyah Haraki, metode harakah ini dianggap perlu untuk membina dakwah di era modern yang membutuhkan system organisasi (tanzim), sebagai bentuk bid‟ah yang diperbolehkan dalam Islam (Nashir, 2013: 167) Salafiyah Yamani datang ke Indonesia sesudah Salafi Haraki. Salafi Yamani dimotori oleh Ja‟far Umar Thalib (JUT) seorang ustad dari Malang dan kemudian mendirikan Pesantren Ihya us Sunnah di Yogyakarta. Selain itu, JUT pada tanggal 14 Pebruari 1998 mendirikan Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jamaah (FKAWJ) dengan sayap militernya Laskar Jihad yang ikut berperan penting membela kaum Muslim di Ambon. Laskar Jihad dibubarkan pada bulan Oktober 2002. Salah satu pecahan dari kelompok Salafi Yamani saat ini adalah Pesantren al-Anshar yang terletak di Dukuh Wonosalam, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Pesantren ini dimotori oleh Ustad Abdul Mukti, Abdurrahman, dan Ilyas. Awalnya mereka adalah pengikut JUT yang mufaroqoh (memisahkan diri) dari Degolan karena salafi Degolan pimpinan Ustadz Ja‟far Umar Thalib. Setelah Abdul Mukti memisahkan diri dari kelompok Ja‟far Umar Thalib, ia menghimpun jamaah salafi di perumahan veteran pada tahun 2003. Jamaah Veteran ini merupakan cikal bakal kelompok salafi di Wonosalam, desa Sukoharjo yang dipimpin oleh ustad Abd Mukti sebagai Mudir Am. Keberlangsungan pesantren al-Anshar kemudian diperkuat oleh keberadaan ustadz Syafrudin yang sekarang menjadi pimpinan pesantren. Jalur pemikiran Salafi diperoleh karena ia merupakan lulusan dari salh satu perguruan tinggi di Yaman. Gerakan Salafi lainnya di Yogyakarta yang muncul sesudah tahun 2000an adalah Front Jihad Islam yang dideklarasikan pada tahun 2006 oleh Ust Abu Bakar Baasyir di masjid Padokan Kasihan Bantul. FJI dimotori para mantan anggota FPI yang menganggap FPI sudah menyimpang. Selain daerah Yogyakarta, di Jawa Tengah muncul Pesantren Ittibaus Sunnah di Klaten yang secara resmi berdiri sejak tahun 2007. Pendiri pondok pesantren Ittiba‟us Sunnah adalah ustadz Abu Hafsh Marwan dan ustadz Abu Hamzah Abdurrahman. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 2014 berdiri

55

Jamaah Anharus Syariah (JAS) dengan pimpinan Ustad Muhammad Ahwan dan Ketua Majelis Syuro JAS dipegang oleh Abdurrohim Ba‟asyir Lc, putera dari Abu Bakar Ba‟asyir lulusan dari Timur Tengah, sedangkan ustad Ahwan merupakan salah satu pengikut senior ustad Abu Bakar yang memilih jalan berbeda dengan mendirikan JAS. Pesantren salafi di Jawa Timur salah satunya adalah Ma‟had al-Furqon al- Islami di Desa Srowo Sidayu Gresik sejak tahun 1989 yang didirikan oleh Ustadz Aunur Rofiq Ghufron (62 th) alumni Universitas Imam Bin Suud Riyadh KSA. Pesantren ini hingga sekarang tetap eksis dengan mengembangkan lembaga pendidikan serta menyebarkan faham Salafi melalui penerbitkan majalah al- Furqan. Beberapa pesantren dan gerakan keagamaan tersebut di atas memiliki hubungan dengan para tokoh Salafi baik di Timur Tengah maupun Yaman melalui jalur pendidikan. Para alumni inilah yang kemudian menyebarkan paham Salafi melalui pesantren dan gerakan keagamaan, sehingga peta jaringan gerakan Salafiyah di Indonesia saat ini dapat ditelusuri melalui dua bidang bidang tersebut, lembaga pesantren dan gerakan keagamaan.

56

Bab IV

DOKTRIN DAN JARAN

4.1 Doktrin al-Rujû ila Qur‟an wa al-Sunnah Konsep al-rujû ila Qur‟an wa sunnah menjadi doktrin utama sepuluh kelompok keagamaan yang diteliti di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta ini. Makna al-rujû ila Qur‟an wa sunnah dapat diartikan kembali kepada al-Qur‟an dan sunnah Nabi Muhammad Saw atau hadis Nabi Saw. 4.1.1 Konsep LDII Konsep LDII terkait dengan doktrin al-rujû ila Qur‟an wa sunnah tercermin dalam ajaran Paket Lima, yakni lima hal yang merupakan syarat-syarat sahnya mengaji. Paket Lima terdiri atas mengaji al-Qur‟an dan Hadis, mengamalkan al-Qur‟an dan Hadis, membela al-Qur‟an dan Hadis, berjamaah secara al-Qur‟an dan Hadis, taat kepada Allah, taat kepada Rasul dan taat kepada Imam/ Amir. Dalil mereka mengenai mengaji al-Qur‟an dan Hadis ini berdasarkan firman Allah: “...karena itu bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui...(Q.S. an-Nakhl: 43). Setelah mengaji dan paham harus diamalkan isinya bagi yang mampu untuk mengamalkan, dan pengamalan itu tidak mengganggu masyarakat dan menimbulkan adanya larangan Allah Swt. Pengamalan itu dimaksudkan untuk berharap surga dan selamat dari siksa api neraka, sebagaiman firman Allah: “...dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal shaleh yang dahulu kamu kerjakan” (Q.S. Az-Zuhruf: 72). LDII mengartikan: “..itulah surga yang diwariskan kepadamu karena dahulu (sewaktu hidup didunia)” dengan “kamu mengamalkan (al-Qur‟an dan Hadis)”. Mereka memahami pengertian, lillahi ta‟ala dengan mengharap surga dan selamat dari siksa api neraka, yakni “karena Allah, ditujukan kepada Allah semata, bukan karena selain-Nya bukan karena manusia, harta, benda dan sejenisnya”.

Setelah dikaji dan diamalkan dengan lancar, maka harus diadakan pembelaan terhadap al-Qur‟an dan Hadis dengan jalan antara lain: a) yang telah menguasai ilmu al-Qur‟an dan Hadis mengajarkan kepada yang belum memiliki. b) yang belum menguasai, belajar kepada yang sudah menguasai, kemudian

57 secara bersama-sama mengamalkannya. Dakwah atau syiar agama membutuhkan tenaga dan biaya, maka pengorbanan dalam bentuk tenaga, biaya dan pemikiran termasuk pembelaan agama Allah Swt. juga. Hal ini didasarkan atas firman Allah: “...berangkatlah kamu sekalian baik dalam keadaan ringan atau berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah...”(Q.S. al- Taubah: 41).

Tahap selanjutnya adalah berjamaah secara al-Qur‟an dan Hadis, yakni jalan menuju surga dan selamat dari siksa api neraka. Maksudnya bahwa secara jamaah ialah mengaji al-Qur‟an dan Hadis yang diamiri KH Abdul Azis. Pendapat ini didasarkan firman Allah Swt.: “...berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai” (Q.S. Ali Imran: 103). Mereka mngartikan : “...berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah” dengan “berjamaah dan janganlah kamu berfirqah (tidak berjamaah).

4.1.2 Berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah Menurut MTA MTA tidak dapat lepas dari pemikiran Ahmad Sukino, demikian pula dalam memberi makna kembali pada al-Quran dan sunnah perlu melihat pendapat Ahmad Sukino. Ia mengatakan: “mari kita kembali pada yang diwariskan oleh rasulullah yaitu al- Quran dan sunnah karena yang berpegang terhadap keduanya tidak akan tersesat”(wawancara, tgl 25-02-2016).

Pendapat tersebut merujuk pada buku risalah MTA yang berjudul Sunnah dan bida‟ah dengan mengutip kitab Muwatta pada juz 2 yang artinya: “Aku tinggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kamu tidak akan sesat apabila kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu: Kitab Allah dan sunah nabiNya” (Malik, juz 2: 899).

Pengertian Sunnah adalah undang-undang atau peraturan yang tetap berlaku berdasar pada dalil Quran surat al-Isra ayat 77 dan juga surat al-Ahzab ayat 62. Menurut MTA kata sunnah pada kedua ayat tersebut dipahami dengan peraturan atau undang-undang yang berlaku. Sunnah juga berarti cara yang diadakan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim juz 4 halaman 2059 yang artinya barang siapa yang mengadakan suatu cara yang baik di dalam Islam

58 lalu (cara itu) diikuti orang sesudahnya, maka ditulis pahala baginya sebanyak pahala orang-orang yang mengikutinya dengan tidak kurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengadakan suatau cara yang buruk di dalam Islam lalu (cara itu) diikuti orang sesudahnya, maka ditulis baginya sebanyak dosa orang-orang yang mengikutinya, dengan tidak kurang sedikitpun dari dosa mereka. Pengertian lain, Sunnah berarti jalan atau perjalanan yang telah dijalani. Penegertian ini MTA merujuk pada sebuah hadis Ibnu Majah yang artinya:” nikah (kawin) itu dari sunahku, maka barang siapa yang tidak beramal dengan sunnahku, bukanlah ia dari golonganku”. Menurut MTA, bahwa nabi itu bukan orang yang pertama kali menjalani nikah, melainkan hanya mengikuti jalan yang pernah dijalani oleh para nabi yang datang sebelumnya. Hadis nabi yang lain, sebagaimana disebutkan dalam kitab Bukhari (Bukhari, juz 8:39): “Manusia yang paling dibenci Allah ada tiga golongan yaitu: yang melakukan kekufuran di tanah haram dan menghendaki perjalanan jahiliyah di dalam (agama ) Islam dan yang menuntut darah seseorang dengan tidak haq (benar) untuk ditumpahkan darahnya.

Menurut MTA berdasarkan kedua hadis tersebut, bahwa kata sunnah berarti jalan atau perjalanan yang telah dijalani oleh orang yang datang terlebih dahulu. Selain pengertian sunnah tersebut, sunnah juga berarti keterangan. Pengertian tersebut berdasarkan pada ulama lughat, seperti kata sanna pada lafad sannallahu ahkamahulinnas yang artinya Allah Swt. telah menerangkan hukum- hukumnya pada manusia. MTA menerangkan arti sunnah menurut istilah syara‟ dengan dasar yang di definisikan oleh para ulama ahli hadis dan ahli ushul fiqih. Sunnah yaitu: ma jaa „anin-nabi min aqwalihi wa af‟alihi wa taqririhi wa ma hamma bifi‟lihi “apa apa yang datang dari nabi Saw berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan apa-apa yang dicita-citakan untuk mengerjakannya”. Jadi menurut pengertian tersebut MTA memahami Sunnah itu ada empat macam, yaitu: sunnah qauliyah (sunah berupa perkataan nabi), sunnah fi‟liyah (sunnah berupa perbuatan nabi), sunnah aqririyah (sunnah berupa pengakuan nabi), sunnah hamiyah (sunnah berupa

59 keinginan nabi). MTA menyebutkan sunnah juga berarti hukum sunnah, yaitu apa bila melakukan mendapat pahala dan jika meninggalkan tidak berdosa. Pendapat ini sesuai dengan ulama fiqih dan tidak mencantumkan dari mana merujuk pengertian tersebut. Sunnah juga dipakai untuk sinonim hadist. Kata sunnah juga dipakai untuk nama pekerjaan atau perbuatan para sahabat nabi. Pendapat ini berdasarkan pada pendapat Shatibi, baik pekerjaan itu terdapat dalan al-Quran, Sunnah, ataupun tidak. Pekerjaan para sahabat yang dimaksud perbuatan yang sesuai sunnah ataupun hasil ijtihad mereka dengan kesepakatan khalifah mereka, tidak seorang pun membantah kesepakan mereka. Pengertian tersebut bersandar pada hadis Darimi (Darimi, juz 1: 45 nomor 93) artinya: “maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah para khalifah rasyidin yang mengikuti petunjuk”. Makna kembali ke al-Qur‟an menurut tim MTA bahwa meyakini dan berpegang teguh pada ajaran Al-Qur‟an yang telah diturunkan kepada umat manusia yang dibawakan oleh Rasulullah terakhir. Menurut Ahmad Sukino, segala hal harus dikembalikan kepada konsep al-Qur‟an dan sunnah termasuk ketika Presiden Jokowi mencanangkan revolusi mental dengan harapan membentuk akhlak bangsa Indonesia yang baik, maka harus diimbangi dengan menelaah lebih dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Jadi makna revolusi mental adalah dengan cara kembali ke Al-Qur‟an dan Sunnah”. (wawancara, 02-02-2016). 4.2 Konsep al-Rujû ila Qur‟an wa Sunnah dalam Bahan Bacaan Kelompok Keagamaan Konsep al-rujû ila Qur‟an wa sunnah dalam kajian ini akan dilihat berdasarkan hasil koding terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang menjadi dasar rujukan doktrin-doktrin kunci ideologi sepuluh kelompok keagamaan yang diteliti. Koding ayat dilakukan terhadap 57 buku dan kitab yang diterbitkan antara tahun 2002 - 2016 serta 8 artikel yang dimuat dalam majalah. Buku, kitab dan artikel yang dikoding tersebut adalah buku, kitab dan artikel yang bermuatan konsep-konsep kunci radikalisme, dikeluarkan oleh kelompok keagamaan yang diteliti maupun buku atau kitab yang diterbitkan oleh penerbit diluar kelompok keagamaan tetapi

60 buku atau kitab tersebut digunakan atau diajarkan terhadap komunitas keagamaan tersebut. Hasil koding ayat yang memuat isu-isu utama terkait konsep kunci potensi radikalisme dapat diketahui berdasarkan tabel chart berikut ini. Tabel Chat

Keterangan tabel chart. Tabel 05. Keterangan jumlah hasil koding

a. Khalifah 2 4% b. Amar Ma‟ruf Nahi Munkar 8 15% c. Baiat 0 0% d. Jihad 11 21% e Takfir 4 8% f Walla wa al-Barra‟ 1 2% g Jihad dan Qital 3 6% h. Taghut 5 9% i. Imamah, Amir, Khalifah, Wali 5 9% j. Ghanimah, Fai, Anfal, Luqathah 1 2% k. Syu‟ub wa al-Qabail 2 4% l. Hijrah 1 2% m. Syahid 1 2% n. Perang Suci 1 2%

61

o. Pemimpin non Muslim 1 2% p. Syariat Islam 3 6% q. Pemimpin Wanita 1 2% r. Toleransi 2 4% s. Musuh Islam 1 2% Jumlah 53 100%

Hasil koding ayat menyebutkan, lima ayat terbanyak yang banyak dikutip di dalam buku dan majalah adalah: - ayat tentang jihad menjadi ayat yang paling banyak dikutip sebesar 21% ayat - ayat tentang amr makruf nahi mungkar menyusul dengan perolehan sebesar 15% - ayat tentang taghut dan imamah sebesar 9 % - ayat khusus tentang khalifah/khilafah sebesar 8 % - ayat tentang syariat Islam ada 6% Hasil koding terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang konsep kata-kata kunci radikalisme dalam literatur kelompok keagamaan jelas menunjukkan ada lima isu terbanyak yang diusung di dalam literatur kelompok keagamaan yang diteliti, yakni konsep tentang jihad, amr makruf nahi mungkar, taghut dan imamah, khalifah/khilafah, dan syariat Islam. Data ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kajian terhadap konsep-konsep jihad dan lainnya dan kelompok- kelompok keagamaan yang diteliti ini cukup gencar mensosialisasikan konsep- konsep tersebut melalui bahan bacaan yang mereka terbitkan. Untuk mengetahui bagaimana kelompok keagamaan mendefinisikan konsep jihad dan lainnya serta untuk mengetahui fokus kajian masing-masing kelompok keagamaan, pada bab selanjutnya akan dibahas pemaknaan kelompok-kelompok keagamaan terhadap konsep-konsep kunci radikalisme jihad, amr makruf nahi mungkar, taghut dan imamah, khalifah/khilafah, syariat Islam, bid‟ah, Amir, terkait konstelasi kebangsaan.

62

4.3 Jihad dalam Bahan Bacaan Kelompok Keagamaan LDII memiliki konsep jihad sebagaimana dikemukakan di dalam buku Mukhtar al-Adillah Kitabillah Azza Wa Jalla wa al-Ahadits an-Nabawi. Konsep jihad LDII merujuk pada al-Qur‟an lil dalam Al-Qur‟an: Q.S. At-Taubah: 41; dan Q.S.As-Taubah: 111. Firman Allah dalam surat At-Taubah: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu di jalan Allah. Demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S.At-Taubah: 41).

Q.S. At-Taubah: 111.: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. (Q.S. At-Taubat: 111).

Dalil dari Hadis: H.R. Nasa‟i, dalam kitab al-Jihad; H.R. Muslim, dalam kitab Zakat; H.R.Muslim dalam kitab Zakat; H.R. Turmudzi, dalam bab al-Baru wa silah. Hadis:Artinya: “Berjihadlah kamu dengan kekuasaanmu, dengan segala kemampuanmu dan juga hartamu” (H.R. An-Nasa‟i, Kitab Jihad). Berbeda dengan LDII dengan konsep jihad berdasarkan ayat-ayat al- Qur‟an, HTI memulai konsep jihad dengan mengemukakan bahwa hukum jihad adalah fardlu kifayah, namun, jika musuh menyerang maka menjadi fardlu „ain (atas setiap muslim). Pengertian fardlu kifayah dalam memulai jihad adalah melancarkan serangan terhadap musuh, sekalipun musuh belum menyerang. Apabila tidak ada seorangpun di antara kaum Muslim pada kurun waktu tertentu yang memulai jihad, maka seluruh kaum Muslim berdosa karena meninggalkan kewajiban ini. (Tahrir, 2009, hal. 137-138) Kitab Bulughu al-Maram yang menjadi salah satu kitab di Ponpes al- Anshar mendefinisikan jihad berdasarkan pada beberapa pendapat ulama. Ibnu Taimiyah mengartikan jihad bahwa hakikatnya jihad adalah bersungguh-sungguh dalam mencapai sesutu yang dicintai Allah yakni berupa iman, amal saleh, dan menolak sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.3 Dalam hadis nomor 1299 disampaikan bahwa dari A‟isyah ra, Aku

3 Ibnu Taimiyah : Majmu‟ul Fatawa, Juz 10, halaman 91

63 berkata : Wahai Rasulullah, apakah perempuan wajib berjihad ? Beliau menjawab: Ya, jihad tanpa peperangan, yaitu jihad haji dan umrah, hadis riwayat Ibnu Majah diambil dai Sahih Bukhari. Jihad bukanlah merupakan masalah yang mudah akan tetapi merupakan masalah yang perlu dipertimbangkan dengan baik. Dalam satu keluarga apabila terdapat seorang anggota keluarga yang menginginkan berjihad dijalan Allah dan Rasul Nya maka mereka diharuskan meminta ijin kepada kepala keluarga, apabila diijinkan maka berangkatlah berjihad apabila tidak diijinkan maka sebaiknya berhidmad dan berbakti kepada kedua orang tua. Para imam (ulama) mengatakan bahwa jihad pada asalnya adalah fardlu kifayah artinya apabila disuatu daerah terdapat orang yang melakukannya maka gugurlah jihad kepada orang yang lainnya, namun apabila tidak terdapat muslimin yang melakukannya maka berdosalah semuanya.4 Jihad menjadikan suatu keharusan (fardlu „ain) berlaku dalam 3 kondisi. Ketiga kondisi tersebut adalah (1) apabila tentara muslim dan kafir sudah bertemu dan saling berhadapan maka tentara tidak boleh mundur atau berbalik, (2) apabila musuh sudah menyerang dan mengepungnya maka tidak boleh berdiam diri tetapi harus menyerang kembali musuh tersebut. Penyerangan kepada musuh tersebut dalam rangka mempertahankan tanah air, kecuali wanita dan anak-anak. (3) apabila komandan telah menunjuk anggota pasukannya maka segera berangkat, sebagaimana dijelaskan dalam surat at Taubah ayat 38-39. Rasulullah telah sewaktu mengangkat komandan perang berpesan kepada muslimin agar dalam peperangan perlu adanya niatan yang baik. Pesan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Berperanglah atas nama Allah Swt dan dijalan Allah Swt 2. Perangilah orang-orang yang kufur kepada Allah Swt 3. Dalam berperang tidak diperbolehkan berkhianat dan ingkar janji 4. Dalam bererang dilarang sampai memotong-motong anggota badan (mutilasi)

4 Abdullah bin Ahmad Qodir, tt : Al Jihad Fi Sabilillah Haqiqotuhu wa Ghoyatuhu, Jilid I, halaman 56

64

5. Jangan membunuh wanita dan anak-anak 6. Jika bertemu dengan musyrikin ajaklah mereka kepada 3 macam a) Ajaklah mereka untuk memeluk agama Islam, jika mau jangan diapa- apakan (disakiti), dan ajaklah mereka kenegeri kaum muhajirin, jika menolak ajakan maka mereka tidak mendapat ghonimah (rampasan perang) dan fai‟ (rampasan tanpa b) perang) jika ikut berperang. c) Jika menolak masuk Islam maka mintalah mereka agar membayar pajak (upeti), d) Apabila menolak minta perlindungan kepada Allah dan perangi mereka e) Apabila tentara telah mengepung musuh yang berada didalam benteng, janganlah engkau memberikan tanggungan Allah dan Rasul Nya, lakukanlah sesuai dengan kebijakanmu. Jika kamu lakukan dengan memberikan keamanan berdasarkan hukum Allah jangan kau lakukan tetapi lakukanlah dengan kebijakanmu. Dalam hadis yang lain dijelaskan bahwa dalam berjihad (berperang) terdapat etikanya. Etika berperang tersebut antara lain adalah sebagai berikut : 1) Apabila terdapat seorang kafir yang menyerah kepada seorang muslim baik dekat maupun jauh maka ia harus memberikan keamanan atas nama kaum muslimin. 2) Dilarang membunuh wanita dan anak-anak musyrikin 3) Dalam mendapatkan ghonimah (harta rampasan perang) maka dibagi secara adil, tidak boleh berkhianat, tidak boleh ingkar janji. 4) Tidak boleh perang pada siang hari kecuali matahari telah tergelincir (waktu dhuhur). 5) Tidak diperbolehkan menahan utusan musuh dalam sewaktu menyampaikan kabar kepada muslimin. Konsep jihad selanjutnya dikemukakan dalam Majalah Asy Syariah terbitan Ponpes Ittibaus Sunnah. Konsep jihad dalam majalah Asy Syariah yang ditulis oleh ulama-ulama dan ustad Salafy memiliki pandangan yang cukup

65 beragam. Para ulama dari kelompok Salafy dalam menafsirkan teks-teks keagamaan cenderung tekstualis, sehingga pandangan mereka mendapat pertentangan dari kelompok lainnya meskipun sama-sama dari kalangan Salafy. Konsep jihad menurut pandangan ulama Salafyyin, sebagaimana dijelaskan (Askari, 2014 : 36) dalam majalah Asy Syariah (bundel 13-16) adalah mereka yang berjihad melawan hawa nafsu, berjihad melawan kaum musyrikin, dan orang-orang yang senantiasa istiqomah berada di jalan rasulullah dan para sahabatnya. Hal ini didasarkan pada Firman Allah Swt. yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Ankabut: 69). Dalam ayat lain Allah berfirman;”Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya (QS. Al Hajj : 77)

Selanjutnya, jihad menurut Abdullah bin Taslim (seperti tertuang dalam majalah Asy Syariah 2015: 24) menukil hadis at Tirmidzi, bahwa jihad adalah seseorang yang berjihad (untuk menundukkan) nafsunya di jalan Allah Swt. Lebih lanjut (Askari, 2014) menyebutkan bahwa jihad sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dengan sanad dari Ahmad bin Abi al-Hawari, ia berkata, „Abbas al Hamdani Abu Ahmad telah mengabari kami tentang firman Allah ini, beliau mengatakan: Jihad adalah mereka orang-orang yang mengamalkan apa-apa yang mereka ketahui, maka Allah memberi bimbingan terhadap apa yang mereka belum ketahui.

Makna lain dari jihad sebagaimana diungkapkan (Askari, majalah Asy Syariah 2014) adalah mereka bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas Nabi Muhammad SAW bersabda: Orang-orang yang berjihad dalam melaksanakan ketaatan di jalan Kami (yakni jalan Allah) akan kami tunjukkan jalan-jalan untuk mendapatkan pahala. Kemudian, menurut Al Fudhail bin „Iyadh seperti dinukil Askari (2014) jihad memiliki makna mereka yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.

66

Sementara itu, Sahl bin Abdullah menjelaskan jihad adalah mereka yang berjihad dalam menegakkan sunnah, akan kami tunjukkan jalan menuju surga. Pendapat-pendapat di atas sesungguhnya saling menguatkan antara pendapat satu dengan yang lain. Pada intinya bahwa jihad harus didasarkan pada ilmu.Syarat jihad menurut Salafus Shalih adalah harus didasarkan ilmu yang benar-benar sesuai tuntunan Rasulullah dan para sahabatnya. Sebab barang siapa yang berjihad dengan tidak mengikuti petunjuk Rasulullah (tindakannya) akan menjerumuskannya ke dalam kesesatan dan penyimpangan. (Askari, 2014). Dalam tafsir (Al Qurtubi, 13/364-365) Abu Sulaiman ad-Darani berkata: ”bukanlah jihad di dalam ayat ini hanya khusus jihad melawan orang- orang kafir saja.tetapi menolong agama, membantah orang yang berada di atas kebatilan, mencegah orang yang zalim, dan yang mulia adalah beramar ma‟ruf nahi mungkar. Selain itu, melawan hawa nafsu juga merupakan jihad, bahkan ini termasuk jihad yang besar.(Askari, 2014).

Ayat yang menunjukkan tentang jihad harus didasarkan dengan ilmu adalah firman Allah dalam surat al-Isra ayat 36 yang artinya ; ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabnya.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasul pernah bersabda;”Seorang laki-laki datang kepada Nabi sambil menutup wajahnya dengan topi baja lalu berkata, Wahai Rasulullah, aku berperang atau aku masuk Islam? Nabi menjawab, masuk Islamlah kemudian berperang. Laki-laki tersebut masuk Islam dan dalam perang mati terbunuh. Mengenai konsep jihad sebagaimana telah dijelaskan di awal, jihad menurut pandangan Afifudin (pengasuh Ma‟had Al Bayyinah Gresik, wawancara 29-2-2016) harus didasarkan dengan ilmu. Jihad yang dilakukan oleh kelompok teroris yang selama ini menggunakan baju agama dalam berjihad mereka sudah menyimpang dari syariat Islam. Lebih lanjut Afifudin menjelaskan bahwa: Jihad dalam pandangan Salafy memiliki beberapa prinsip. Prinsip jihad itu pertama; Jihad itu tugas pemerintah harus ada komando dari pemerintah atau penguasa yang syah. mereka (para teroris) justru melawan pemerintah, di sini Presiden dibantu TNI Polri, itu penyimpangan yang

67

dilakukan Imam Samudra dan kawan-kawannya. Dalam sahih muslim dijelaskan al imamu junnatun musuh diperangi dibalik perisai jihad dibalik pemerintah. Di kalangan Abu Bakar Baasyir jihad-jihad siapa yang komanda ada ayatnya tapi harus dengan komanda penguasa.Jika ada perintah perang. Kedua, musuh yang diperangi jawabannya adalah orang kafir, tidak boleh menyerang muslim. Orang kafir tidak semua diperangi sikat, pertama kafir dzimmi, non muslim itu tidak boleh diperangi, kedua kafir musta‟mal mereka yang datang dengan visa resmi untuk urusan ekonomi, dubes, turis ini tidak boleh diperangi, ketiga kafir muakhad, yang punya hubungan yang sepakat tidak ada perang.

Berdasarkan penjelasan di atas, (Ruwaifi bin Sulaimi, 2014 : 6) mengklasifikan jihad sebagai berikut: pertama, jihad merupakan amalan mulia yang disyariatkan oleh Allah Swt. dan Rasulnya; Kedua, Jihad merupakan amalan yang bersifat kebersamaan, sehingga dibutuhkan suatu kepemimpinan; ketiga, kepemimpinan yang syar‟i dalam jihad fi sabilillah berada di tangan penguasa dan yang ditunjuk olehnya; keempat, Bila penguasa mengumandangkan seruan jihad fi sabilillah, maka wajib bagi kaum muslimin untuk mentaatinya walaupun ia penguasa yang jahat; kelima, hal itu karena apa yang diperintahkan (dalam hal ini jihad) bukanlah suatu kemaksiatan. Lebih dari itu menentangnya akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar; keenam, gerakan melawan penguasa muslim dengan berbagai macam bentuknya bukanlah bagian dari jihad yang syar‟i bahkan termasuk perbuatan mungkar yang dibenci Allah dan rasulNya. Jihad dalam konteks syariat dan hukum Islam dibagi menjadi dua yaitu; jihad pada masa kenabian dan jihad pada masa setelah kenabian. Para ulama sepakat bahwa disyariatkannya jihad pertama kali ialah setelah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah.Pada masa rasul, jihad menjadi fardhu „ain atas dua thaifah/kelompok (Muhajirin dan Anshor) dan fardhu kifayah atas selain mereka (Askari, 2014 : 11). Kemudian jihad pada masa setelah kenabian sebagaimana dijelaskan dalam majalah As Syariah, bahwa jihad melawan orang kafir menjadi kewajiban atas setiap muslim baik dengan tangan (kekuatan), lisan, harta, atau dengan hatinya (Fathul Bari 6 : 47; al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 13 : 12).

68

Menurut kelompok Salafy ayat-ayat atau hadis yang menjelaskan tentang disyariatkannya jihad adalah sebagaimana diuraikan dibawah ini. Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau berat.Dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah.(QS: at-Taubah ayat 41) Hai nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, serta bersikap keraslah terhadap mereka (QS at Taubah: 73). “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar- benarnya. (QS, al Hajj : 78). Maka janganlah kami mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur‟an dengan jihad yang besar (QS. Al-Furqon : 52) “Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik, serta bersikap keraslah terhadap mereka (QS at Tahrim : 9) Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).Barang siapa yang membelakangi mereka di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka Jahannam.Dan amat buruklah tempat kembalinya (QS. Al Anfal : 15-16). Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kalian, “Berangkatlah untuk berperang pada jalan Allah, “ kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempat kalian? Apakah kalian merasa puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah sedikit. Jika kalian tidak berangkat untuk berperang , nsicaya Allah akan menyiksa kalian dengan siksa yang pedih dan diganti-Nya kalian dengan kaum yang lain, dan kalian tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS at Taubah : 38 – 39).

Adapun hadis-hadis yang menjelaskan tentang jihad adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini. “Tidak ada hijrah setelah (Fathul Makkah), tetapi yang ada ialah jihad dan niat.Apabila kalian diminta untuk pergi atau berangkat berperang, pergilah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Al Imam an Nawawi berkata; Apabila imam (penguasa) memerintahkan kepada kalian untuk berjihad, maka keluarlah. Hal ini menunjukkan bahwa jihad bukanlah fardu „ain, melainkan fardhu kifayah. Apabila sebagian telah menunaikannya gugurlah kewajiban yang lain. Jika tidak ada yang melakukannya sama sekali, berdosalah mereka. Dari kalangan asy-Syafiiyah berpendapat tentang jihad masa sekarang hukumnya fardhu kifayah, kecuali jika orang kafir

69 menyerang kaum muslimin, maka jihad menjadi fardhu „ain atas mereka. Jika mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup, wajib bagi mereka negeri tetangga untuk membantunya (al Manhaj Syarh Shahih Muslim, 12/11 - 12) Jihad menurut pandangan asy Syaikh Ibnu Utsaimin dibagi menjadi tiga yaitu jihadun nafs (menundukkan jiwa), jihadul munafiqin, dan jihadul kuffar. Jihadun Nafs yaitu menundukkan jiwa dan menentangnya dalam bermaksiat kepada Allah Swt., berusaha menundukkan jiwa untuk selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan melawan seruan untuk bermaksiat kepada Allah.Kemudian jihadul munafiqin yaitu, jihad melawan orang-orang munafiq dengan ilmu dan bukan dengan senjata.Karena orang-orang munafik tidak diperangi dengan senjata. Sedangkan jihadul kuffar ialah jihad dengan memerangi orang-orang kafir yang menentang, yang memerangi kaum muslimin, dan yang terang-terangan menyatakan kekafirannya) dan jihad ini dilakukan) dengan senjata. Sementara itu, Ibnu Qayim membagi jihad menjadi empat bagian yaitu Pertama, jihad melawan diri sendiri, kedua, jihad melawan setan, ketiga jihad melawan kaum kafir dan keempat, jihad menghadapi kaum munafikin. Selanjutnya, jihad melawan kezaliman, bid‟ah dan kemungkaran, terdapat tiga tingkatan yaitu: berjihad dengan tangan apabila mampu, jika tidak maka berpindah kepada jihad yang berikutnya. Jihad berikutnya adalah dengan lisan, jika tidak mampu maka berjihad dengan hati. Berdasarkan uraian-uraian di atas baik yang didasarkan pada al Qur‟an dan hadis nabi, bahwa jihad dalam pandangan kelompok Salafy harus didasarkan dengan ilmu. Hal ini adalah sesuai prinsip dasar Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.sesungguhnya adalah penyempurnaan akhlak manusia. Islam hadir untuk membentuk sebuah tatanan kehidupan manusia yang harmonis, damai dan sejahtera.Nilai-nilai dasar inilah yang sesungguhnya menjadikan Islam mempunyai sifat dan watak universal, kosmopolit dan inklusif. Bahkan Nabi Muhammad Saw. diutus untuk menjadi rahmat bagi semua alam (Q.S.Al-Anbiya, 21:107). Prinsip dasar tentang jihad yang diamalkan oleh kelompok Salafy manhaj Ittiba‟us Sunnah Klaten disimpulkan bahwa jihad sesungguhnya menjadi

70 kewajiban bagi penguasa. Apabila kaum muslim di bawah kekuasaan yang sah diperintahkan untuk berjihad, maka wajib melaksanakannya. Namun demikian bahwa jihad dalam konteks ke-Indonesiaan menurut kelompok ini yang wajib melaksanakan adalah tentara nasional Indonesia dan Polri. Pembahasan tentang jihad juga dikemukakan oleh Majelis Mujahidin (MM) terutama dalam buku karya Amir Majelis Mujahidin, Drs Muhammad Thalib dengan judul “Menguak Makna Jihad di Balik Isu Terorisme dan Mati Syahid. 2010. Ma‟alimul Usrah Media:Yogyakarta. Buku ini menguraikan makna jihad baik dari segi bahasa maupun istilah. Makna jihad menurut ustad M. Thalib yaitu, pertama, kata jihad berasal dari kata al-juhd yaitu: upaya dan kesulitan artinya mengerahkan segala usaha dan berupaya sekuat tenaga untuk menghadapi kesulitan guna memerangi musuh dan menahan agresinya (Thalib, 2010: 9). Kedua, jihad berasal dari kata al-jahdu dan al-juhdu yang berarti kekuatan dan kemampuan dengan makna: mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan baik perbuatan maupun perkataan dalam perang (Thalib, 2010:9-10) Selain merujuk definisi jihad berdasarkan asal katanya, M Thalib juga menguraikan makna jihad berdasarkan pendapat para imam madzhab. Imam Hanafi dalam kitab Majma‟ al-Anhar, Syarah Kitab Muntaqal Abhar menyebut kata jihad menurut bahasa adalah mengerahkan segenap kemampuan, baik perkataan maupun perbuatan (Hanafi dikutip oleh Thalib, 2010: 10). Definisi jihad tersebut menurut makna syar‟i adalah: “membunuh orang-orang kafir dan tindakan-tindakan lain yang serupa itu, seperti memukul mereka, menyita harta kekayaan mereka, dan menghancurkan berhala-berhala mereka” (Hanafi dikutip oleh Thalib, 2010: 10).

Maksud dari definisi tersebut yakni: “mengerahkan segala daya untuk menguatkan agama Allah Swt., misalnya memerangi orang-orang kafir harbi dan orang-orang kafir dzimmi (apabila melanggar perjanjian) dan orang-orang murtad sebab mereka adalah orang-orang kafir yang paling buruk karena meninggalkan keimanan yang telah mereka akui serta orang-orang yang membangkang” (Hanafi dikutip oleh Thalib, 2010: 10).

71

Imam Maliki mengemukakan pendapat tentang makna jihad sebagaimana ditulis dalam kitab Balaghatus Salik li Aqrabil Masalaik Ila Madzhabil Malik, bahwa jihad menurut arti bahasa berarti kepayahan dan kesulitan. Sedangkan menurut istilah berarti: “ Memerangi orang kafir yang tidak mempunyai ikatan perjanjian guna meninggikan kalimat Allah Swt. atau karena datangnya orang kafir ke pihak kaum Muslim, atau karena masuknya orang kafir ke negeri Muslim” (Maliki dikutip oleh Thalib, 2010: 11).

Definisi jihad lainnya dikemukakan oleh Imam Syafi‟i sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Majmu‟ karya Imam Nawawi, syarah kitab Muhadzdzab As-Syirazi dalam bab pembahasan jihad bahwa jihad menurut arti harfiahnya adalah pecahan dari kata al-jahdu (kesukaran) dan matsaqqah (kesulitan) (Nawawi dikutip oleh Thalib, 2010: 12). Pendapat Imam Nawawi lainnya disebutkan dalam kitab al-Minhaj dengan mengemukakan pendapat bahwa jihad pada masa Rasulullah hukumnya fardhu kifayah, namun ada yang mengatakan fardhu „ain. Adapun sepeninggal beliau, maka orang-orang kafir berada pada salah satu dari dua keadaan, pertama mereka yang berada di negeri kafir maka hukum jihad melawan mereka adalah fardhu kifayah. Kedua, mereka yang berada di negeri kita, maka wajib bagi kaum muslimin yang berada di negeri Islam untuk mengusir mereka, jika mampu dan jika memungkinkan untuk memerangi mereka, maka wajib bagi orang yang mampu untuk melakukannya bahkan bagi orang-orang fakir, anak-anak, orang yang berhutang dan budak juga harus ikut tanpa meminta ijin tuannya lebih dahulu” (Nawawi dikutip oleh Thalib, 2010: 13). Imam madzhab lainnya, yakni Imam Hambali mendefinisikan jihad dalam kitab Majma‟ Az-Zawa‟id bahwa jihad adalah memerangi orang kafir saja dan hukumnya fardhu kifayah. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah menguraikan tata cara jihad dengan mengatakan:” kemudian Allah Swt. mewajibkan perang melawan mereka, dan selanjutnya kepada orang-orang yang memerangi kaum

72

Muslim saja. Adapun orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum Muslim, tidak boleh diperangi” (al-Jauziyah dikutip oleh Thalib, 2010: 14). Macam-Macam Jihad Jihad menurut Imam Malik terbagi menjadi empat macam yaitu: 1. Jihad dengan hati, 2. Jihad dengan lisan, 3 jihad dengan tangan, dan 4. Jihad dengan perang. Jihad dengan hati, yaitu jihad melawan setan dan mengekang hawa nafsu dari melakukan hal-hal yang haram sebagaimana disebutkan di dalam surat an- Nazi‟at ayat 40 -41: “Dan orang yang mengekang hawa nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya” Jihad dengan lisan, yaitu melakukan amal ma‟ruf dan nahi munkar, termasuk perintah Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. untuk melawan golongan munafik. Perintah Allah Swt. ini disebutkan di dalam surat at-Taubah ayat 73: “ Wahai nabi, berjihadlah melawan kaum munafik dan bertindak keraslah kepada mereka, dan jahanamlah tempat tinggal mereka serta merupakan seburuk-buruknya tempat tinggal”

Berdasarkan ayat tersebut, M Thalib memaknai bentuk jihad terhadap golongan orang-orang kafir dilakukan dengan pedang sedangkan jihad terhadap golongan munafik adalah dengan lisan (Thalib, 2010: 18). Pengertian jihad dengan tangan yaitu tindakan para penguasa mencegah para pelaku kemunkaran agar tidak berbuat munkar, kebatilan, dosa-dosa besar, dan merusak segala kewajiban dengan hukuman pukulan yang keras untuk mencegahnya (Thalib, 2010: 18). Contoh hukuman yang dianggap sebagai manifestasi dari pelaksanaan jihad dengan tangan yaitu pidana terhadap pelaku zina, penuduh orang lain berbuat zina tanpa dapat menghadirkan bukti yang sah, dan para peminum khamr. Jihad dengan pedang dilakukan untuk memerangi golongan musyrik karena melawan Islam (Thalib, 2010: 18). Pengertian jihad melawan hawa nafsu dengan berpayah-payah demi mentaati perintah Allah Swt. memang dapat dianamakan jihad, akan tetapi maksud jihad secara umum adalah melawan golongan kafir dengan pedang, sampai orang kafir tersebut masuk Islam atau

73 membayar uang jaminan sebagai tanda mereka telah tunduk (Imam Malik sebagaimana dikutip oleh Thalib, 2010: 18-19). Jihad dalam pandangan Imam Husain bin Muhammad ad-Damaghani ada tiga macam, yaitu jihad dengan ucapan, jihad dengan senjata, dan jihad dengan amal. Jihad dengan ucapan merujuk pada ayat al-Qur‟an surat al-Furqan ayat 52: “Dan berjihadlah menghadapi mereka (kaum musyrik Quraisy) secara sungguh-sungguh dengan (menyampaikan) al-Qur‟an” Jihad dengan senjata disebutkan di dalam QS surat An-Nisa ayat 95; “ Allah Swt. lebihkan orang-orang yang berjihad dengan senjata dengan kelebihan yang sangat besar di atas orang-orang yang duduk tinggal di rumah mereka”

Ada pula makna jihad dengan beramal shalih sebagaimana termaktub dalam al-Qur‟an QS al-Ankabut ayat 6 dan ayat 69 secara umum berarti bahwa siapa saja yang beramal shalih maka sesungguhnya ia telah berbuat baik bagi dirinya sendiri dan siapa saja yang berjihad dalam arti beramal shalih Allah Swt. akan memberi petunjukNya. M Thalib selanjutnya menggaris bawahi bahwa pengertian jihad sebagaimana dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Husain ad-Damaghani mengandung makna bahwa kata jihad dalam al-Qur‟an secara khusus bermakna perjuangan menegakkan Islam dengan senjata dan secara umum bermakna melakukan amar makruf nahi munkar serta amal-amal shalih yang diperintahkan dalam Islam (Thalib, 2010:20). Termasuk amal sholih bagi perempuan adalah ibadah haji dimana pahala ibadah haji tersebut setara dengan pahala seorang laki- laki muslim berperang di jalan Allah Swt. Sementara jihad dalam makna berperang melawan kaum kafir untuk menegakkan Islam tidak dapat dinomorduakan dengan alasan ada banyak amal shalih yang bisa dilakukan. Pendapat yang menyatakan lebih utama melakukan amal shalih dibanding berjihad dalam arti khusus memerangi orang kafir dianggap oleh M Thalib lebih dekat kepada kaum munafik (Thalib, 2010: 21) Selain Amir Majelis Mujahidin, wakil Amir Majelis Mujahidin yakni Abu Muhammad Jibril mengemukakan konsep jihad dalam artikel Jihad Fie Sabilillah

74

Jalan Kejayaan Islam. Risalah Mujahidin Edisi 23 Dzulqa‟dah 1429 H/Okt – Nov 2008 M Abu Jibriel menegaskan bahwa misi Majelis Mujahidin sejak dideklarasikan pada tanggal 7 Agustus 2000 M, adalah penegakan Syariat Islam melalui jalan Da‟wah dan Jihad sebagaimana manhaj yang telah ditempuh oleh Nabi dan para sahabat, para tabi‟in dan tabi‟ut tabi‟in (Jibriel, Risalah Mujahidin edisi 23 Dzulqa‟dah 1429 H/Okt – Nov 2008: 75). Dasar dari perjuangan ini adalah sabda nabi Saw. sebagai berikut: “ Akan senantiasa ada di antara umatku sekelompok orang yang tampil membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan (tidak menolong) mereka, sehingga datang ketetapan Allah, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian. (HR. Muslim:3544, dari Tsauban) Hadis nabi Saw. lainnya: “ Akan senantiasa ada di antara ummatku sekelompok orang yang berperang membela kebenaran, menang atas orang-orang yang memusuhi mereka, sehingga orang terakhir di antara mereka memerangi al-Masih Dajjal. (HR Abu Dawud: 2125).

Ajaran jihad merupakan kebenaran yang sudah dapat ditawar dan bagi siapa saja yang menolak dan meniadakan ajaran jihad dalam Islam, dalam pandangan Abu Jibriel orang tersebut bagaikan seorang yang terkena penyakit sipilis dan yang menganggap para penegak syariah sebagai pelaku bid‟ah, khawarij, dan terporis, ia adalah seorang pendusta dan akna mendapatkan laknat hingga hari kiamat (Jibriel, Risalah Mujahidin edisi 23 Dzulqa‟dah 1429 H/Okt – Nov 2008: 76). Pendapat Abu Jibriel ini berdasarkan riwayat dari Salamah bin Nufail al-Kindi bahwa: ” Ketika aku sedang duduk di dekat Rasulullah Saw, tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya:” wahai Rasulullah, orang-orang sudah tidak algi mengurus kuda mereka dan meletakkan senjata mereka, dan mereka mengatakan:” Tak ada lagi jihad, perang sudah usai!” Rasulullah Saw. menghadapkan wajahnya dan berkata: “Mereka dusta!! Sekarang telah datang masa perang, dana kan senantiasa ada di antara umatku sekelompok orang yang berperang membela kebenaran, dan Allah Swt. memalingkan hati banyak kaum pada mereka dan member rizki mereka dari (harta musuh) mereka hingga kiamat tiba, sehingga janji Allah Swt. datang. Kuda

75

itu tertambat pada ubun-ubunnya kebaikan hingga hari kiamat” (HR. An- Nasa‟i:3505)

Abu Jibriel selanjutnya menyatakan bahwa jihad merupakan puncak amalan tertinggi dalam Islam dan para pelaku jihad diberikan derajat tertinggi di surga seperti sabda nabi Saw.: “Puncak ketinggian Islam adalah al-jihad, tidak akan mencapainya melainkan yang lebih afdhal dari mereka (HR. Thabrani dari Abu Dzar bab al-Jihad, Ibnu al-Mubarak 1/153 – no: 15). Hadis lainnya menyatakan: “Pokok urusan ini adalah Islam, dan barang siapa yang telah Islam, maka selamatlah ia, penegak atau pendukungnya adalah salat dan puncak ketinggiannya adalah jihad, tidak akan mencapainya melainkan yang lebih afdhal dari pada mereka.” (HR. Thabrani dalam Mu‟jam al-Kabiir 20/55 – no: 96)

Syarat-Syarat Jihad Fie Sabilillah Syarat bagi kesempurnaan jihad seseorang adalah harus dibarengi dengan hijrah, dan tidak sempurna hijrah kecuali dengan adanya iman (Jibriel, Risalah Mujahidin edisi 23 Dzulqa‟dah 1429 H/Okt – Nov 2008: 77). sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 218 berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah (2): (218)

Syarat hijrah kepada Allah Swt. adalah dengan tauhid, ikhlas, inabah (kembali), tawakkal, takut, harap, cinta dan taubat ((Jibriel, Risalah Mujahidin edisi 23 Dzulqa‟dah 1429 H/Okt – Nov 2008: 77) Perjuangkan hijrah kepada Rasul-Nya dengan mengikutinya, patuh terhadap perintahnya, membenarkan apa yang disampaikannya, mengutamakan perintah dan khabar atas perintah dan khabar selainnya. Sabda nabi Saw.: “Siapa yang hijrahnya karena (ingin) mendapatkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang ia niatkan (HR Muslim).

76

Syarat jihad dalam pandangan Muhammad Abu Jibriel, bahwa pertama haruslah murni di jalan Allah Swt. dan meninggikan kalimat-Nya, bukan karena riya‟ atau sum‟ah (ingin didengar) atau syirik atau nifak dan hanya dalam rangka beribadah kepada Allah Swt. (Jibriel, Risalah Mujahidin edisi 23 Dzulqa‟dah 1429 H/Okt – Nov 2008: 78). Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Saw. “Sesungguhnya Allah Swt. tidak menerima suatu amal kecuali jika amal itu ikhlas (dikerjakan untuk-Nya, dan untuk mencari wajah-Nya” (HR. An- Nasa‟i;3089)

Ketentuan jihad Islam selalu disertai dengan fie sabilillah seperti disebutkan dalam firman Allah Swt.: “Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah Swt. Barang siapa yang berperang di jalan Allah Swt., lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (QS. An- Nisa (4):74)

Firman Allah lainnya: “Orang-orang beriman berperang di jalan Allah Swt dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itulah perangilah kawan-kawan syaithan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaithan itu adalah lemah.” (QS. An-Nisa (4):76).

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa: “Seorang Arab Badui datang menemui Nabi lalu bertanya:”Ya Rasulullah, ada seseorang yang berperang untuk mendapatkan ghanimah dan ada seseorang yangberperang supaya disebut-sebut orang, dan ada seorang yang berperang agar dilihat kedudukannya” dalam riwayat lain dikatakan “Berperang karena berani dan berperang karena semangat”, dalam riwayta lain dikatakan;” berperang karena karena marah.” Siapa di antara mereka yang berperang di jalan Allah Swt. ?” Maka Rasulullah Saw. menjawab:”Barang siapa yang berperang agar kalimat Allah Swt. menjadi tinggi, maka dia berada di jalan Allah Swt. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Saw. bersabda: ” Sesungguhnya manusia yang pertama kali diambil perhitungannya di hari kiamat adalah orang-orang yang mati syahid. Maka didatangkanlah dia, lalu Allah Swt. mengenalkan dia akan nikmat-Nya sehingga dia

77

mengetahuinya.Lalu Allah Swt. bertanya: “Apa yang dahulu engkau kerjakan?” Dia menjawab:” Aku berperang di jalan-Mu sehingga mati syhaid” Allah Swt. berfirman:” Engkau dusta, akan tetapi engkau berperang agar dikatakan, “Dia pemberani.” Kemudian Allah Swt. memerintahkan malaikat untuk menindaknya. Maka diseretlah orang tersebut dengan wajah tertelungkup di bawah dan akhirnya dilemparkan ke dalam api nâr (neraka). (HR. Muslim:3527)

Oleh karenanya seorang mujahid di jalan Allah Swt. mestilah memurnikan niatnya dari setiap tendensi pribadi atau tujuan duniawi atau keinginan diri atau kecondongan daerah supaya mendapat kemuliaan yang setinggi-tingginya (Jibriel, Risalah Mujahidin edisi 23 Dzulqa‟dah 1429 H/Okt – Nov 2008: 79). Syarat jihad yang kedua bahwa; Seseorang tidak melakukan peperangan kecuali setelah menyampaikan Dienul Islam kepada orang-orang kafir dan menyeru mereka untuk beriman. Jika mereka tetap bersikukuh mempertahankan kekafiran mereka dan menolak Dienul Islam, barulah mereka diperangi, supaya mereka tahu atas dasar apa mereka diperangi. Dan jika mereka belum kesampaian dakwah, maka haram memerangi mereka (Jibriel, Risalah Mujahidin edisi 23 Dzulqa‟dah 1429 H/Okt – Nov 2008: 79).

Konsep jihad lainnya dikemukakan oleh tokoh Jamaah Ansharus Syariah (JAS), ustad Abdurrohim Ba‟asyir. Menurut ustad Abdurrahim, para jamaah JAS diharuskan berjuang atau berjihad untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia, karena di akherat nanti akan ditanya oleh Allah Swt. sejauh mana umat Islam berjuang, berjihad menegakkan syariat Islam. Lebih lanjut dikatakan bahwa: “Berjihad ada tahapannya dan ada waktunya dengan syarat berjuang sesuai dengan kemampuan. Tahapan menegakkan syariat Islam pertama-tama mengajak umat Islam untuk menegakkan syariat Islam secara menyeluruh tidak sepotong-potong. Umat Islam harus menegakkan syariat Islam dari segi ibadah, hukum, politik, sosial dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah Swt.: “udkhulu fissilmi kâffâh” masuklah kamu semua ke dalam agama Allah Swt. secara menyeluruh, totalitas. Kedua, mengajak kepada penguasa negeri ini untuk menegakkan syariat atau hukum-hukum Islam.”

Persoalan apakah ajakan yang telah kita lakukan diterima atau tidak, hal itu adalah persoalan lain karena kewajiban bagi seorang muslim adalah berjihad dalam arti menyampaikan kebenaran. Nabi Saw. dalam berjihad dan berdakwah

78 tidak selalu berhasil, karena keberhasilan atau hidayah adalah milik Allah Swt., kewajiban umat Islam hanya menyampaikan.

4.4 Konsep Amr Makruf Nahi Munkar Kelompok Keagamaan 4.4.1 Paradigma Dakwah dan Amar Makruf Nahi Munkar HTI Isu atau tema dakwah dan amar ma‟ruf nahi munkar dalam konsep khilafah Hizbut Tahrir ini merupakan konsep dasar atau tema yang mendasari isu atau tema selain amar ma‟ruf nahi munkar. Bangunan struktur tema tersebut diwujudkan oleh sebagian umat Islam melalui pendirian Partai Islam yang bernama Hizbut Tahrir yang pembentukan dan aktivitasnya adalah bagian terpenting dari pelaksanaan amar ma‟ruf nahi munkar. Antara tujuan, gerakan, dan tema yang diusungnya memiliki keterkaitan yang sama dengan tema tersebut. Artinya, aktivitas politik Hizbut tahrir adalah aktivitas siyasah syar‟iyyah yang berintikan pada penegakan Syari‟at yang untuk menjalankannya mensyaratkan Daulah Khilafah Islamiyah, sehingga seruan dan pencegahan hal-hal yang melanggar syariat yang secara struktur kekuasaan berpusat pada penguasa, dapat dijalankan lebih baik (Tahrir, 2009, hal. 1-7). Sifat revolusioner paradigm ini terletak pada keterkaitannnya dengan paradigm penerapan ideologi partai yang substansinya adalah penerapan amar ma‟ruf nahi munkar. Gerakan inilah (interaksi) yang menggerakkan umat di bawah pimpinan partai menuju tahapan ketiga, yaitu tahap penerapan ideologi secara revolusioner, melalui sebuah pemerintahan yang dikuasai oleh kelompok politik tersebut. Karena pemerintahanlah satu-satunya jalan untuk menerapkan fikrahnya. Dengan kata lain, keberadaan pemerintahan merupakan bagian dari ideologi partai (An- Nabhani, 2013, hal. 63-64) 4.4.2 Dakwah Amr Makruf Nahi Munkar Ponpes Ittibaus Sunnah Dakwah amar makmur dan nahi munkar dipahami sebagai dakwah dengan menggunakan cara-cara kekerasan dalam memberantas apa yang dilihat dan dipersepsikan bertentangan dengan agama Islam (Zuly Qadir, 2003: 14). Sebagai paradigma baru di era global dan perkembangan politik praktis, maka dakwah

79 berbasis multukulturalisme memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan dakwah konvensional. Selanjutnya mengenai konsep al-amru bi al-makruf wa al-nahyu „an al- munkar dalam pandangan kelompok Salafy yang diikuti oleh Ma‟had Ittiba‟us Sunnah dan yang sepaham atau seideologi dengan mereka termasuk prinsip pokok ahlus Sunnah wal jamaah. Amar ma‟ruf nahi munkar sebagaimana dijelaskan Muhammad Harits Abrar (2014: 123) adalah salah satu wasilah utama yang Allah perintahkan.Ayat- ayat yang menjelaskan tentang amar ma‟ruf nahi munkar adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. (QS an Nahl : 90)

Dalam ayat lain Allah berfirman yang artinya : “yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma‟ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (QS. Al-A‟raf : 157).

Ayat di atas menerangkan tentang kesempurnaan risalah nabi Muhammad. Karena Allah Swt. memerintahkan semua kebaikan dan melarang semua kemungkaran melalui lisan nabi, menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang keji. Ayat lain yang menerangkan amar ma‟ruf nahi munkar adalah surah Ali Imran 110 yang artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‟ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Dalam ayat lain Allah berfirman; “Dan orang-orang yang beriman , laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar (at Taubah: 71).

Berdasarkan ayat di atas, Allah menerangkan bahwa umat ini adalah umat terbaik, paling bermanfaat dan paling besar kebaikannya kepada sesame manusia,

80 karena mereka menyempurnakan urusan (kehidupan) manusia dengan memerintahkan mereka kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Mereka telah menjalankannya secara sempurna, bahkan menegakkan dengan jihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Bahasan tentang amar ma‟ruf dan nahi munkar sebagaimana dijelaskan Ibnu Taimiyah adalah menganjurkan manusia agar berpegang teguh dan mengikuti as Sunnah serta mencegah jangan sampai bid‟ah muncul dan tersebar adalah amar ma‟ruf nahi munkar.Amalan amar ma‟ruf nahi munkar merupakan amal saleh yang paling mulia, sehingga seharusnya hal ini betul-betul dijalankan dengan penuh keikhlasan dengan hanya mengharap rahmat Allah. Dalil yang menguatkan perintah untuk melaksanakan amar ma‟rud nahi munkar adalah sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah di bawah ini. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar- benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa kamu kerjakan. (QS. An-Nisa : 135).

Berdasarkan dalil di atas, bahwa amar ma‟ruf nahi munkar menjadi kewajiban semua muslim. Mengenai hal ini kelompok ahlus Sunnah yaitu Ma‟had Ittiba‟us Sunnah Klaten dalam melakukan dakwah benar-benar ingin menegakkan amar ma‟ruf nahi munkar. Hal yang dilakukan oleh kelompok ini adalah dengan dakwah Islam.Dakwah yang dilakukan adalah dengan menyelenggarakan daurah- daurah di musala-musala dan masjid di wilayah Klaten dan sekitarnya. Untuk di pondok pesantren Ittiba‟us Sunnah sendiri, daurah dilakukan setelah ibadah salat maghrib dan salat subuh. Semua santri mengikuti kegiatan ini, mulai santri tingkat usia SD, SMP dan ustad-ustad pengajar di pondok pesantren tersebut. Kemudian untuk daurah di tempat lain, biasanya diikuti oleh beberapa ustad, dan ustad yang akan mengisi pada pengajian tersebut. Hal ini sebagaimana daurah yang diselenggarakan di pondok pesantren tersebut materi yang disampaikan terkait dengan ideology keagamaan.Seperti

81 materi yang disampaikan ustad Afifuddin adalah terkait keutamaan majelis ilmu. Sebagai contoh adalah amar ma‟ruf dalam jual beli. Dalam Islam, jual beli diatur dalam al Qur‟an dan as Sunnah. Bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, gadai, utang piutang, dan lain- lain.Semua itu telah di atur dalam ajaran Islam.Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini. Sempurnakanlah takaran dan janganlah kalian termasuk orang – orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. (QS. Asy Syu‟ara : 181-183).

Selain contoh di atas, Rasulullah pernah menerangkan tentang pentingnya amar ma‟ruf nahi munkar. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam sahih Bukhari dan Muslim dari an Nu‟man bin Basyir berikut ini. “Perumpamaan orang yang menjaga batas-batas hukum yang ditetapkan Allah SWT dan orang yang terjerumus ke dalamnya adalah seperti suatu kaum yang menumpang sebuah kapal. Sebagian ada yang di sebelah atas, yang lain di bawah. Kemudian yang berada di bawah, apabila ingin minum melintasi orang-orang yang yang ada di atas mereka. Maka mereka (yang di bawah itu) berkata,”Kalau kita lubangi bagian kita di dasar (kapal) ini, tentulah kita tidak akan mengganggu orang-orang yang di atas kita. Seandainya orang-orang yang di atas membiarkan orang-orang yang di bawah melakukan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka akan binasa (tenggelam) semuanya. Namun kalau mereka (yang di atas) menahan (mencegah) orang-orang yang berada di bawah mereka, maka mereka selamat dan selamatlah semuanya.

Sehubungan dengan dalil-dalil di atas, baik dalil yang bersumber dari al- Qur‟an dan dalil yang bersumber as-Sunnah, merupakan amar ma‟ruf nahi munkar dari kelompok Salafy. Amaliah kelompok ini didasarkan pada aqidah, manhaj, dan dakwah salaf. Manhaj salaf secara bahasa seperti dijelaskan Afifuddin (2016) adalah mereka yang menisbatkan kepada salafyyyin. Mereka adalah Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabiin, tabiit tabiin serta ulama-ulama yang bermanhaj salaf. Demikian pula mereka yang memegang teguh keyakinan dengan cara salaf, dan berdakwah dengan cara nabi Muhammad Saw.

82

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang konsep amar ma‟ruf nahi munkar, pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan prinsip sebelumnya yakni bahwa Ma‟had Ittiba‟us Sunnah dalam amaliahnya mentaati Allah dan rasulnya, yang terdapat dalam kitab-kitab pokok dan yang disebarluaskan (dakwah) melalui majalah Asy Syariah. 4.4.3 Amr Makruf Nahi Mungkar JAS Al-Qur‟an memerintahkan kepada Nabi Saw. agar melakukan dakwah dengan bijaksana dan perkataan yang lembut, sebagaiman firman-Nya:”Ajaklah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan perkataan yang baik serta berdiskusilah dengan cara yang baik pula.” Nabi Saw. dalam mengajak manusia untuk beriman kepada Allah Swt. dengan tingkah laku dan kata-kata yang sangat lembut. Dengan begitu, banyak orang-orang Arab yang masuk Islam. Beberapa pendapat ustad Abdurrahim tentang amr makruf nahi munkar di antaranya: a. Dalam mengajak kepada kebenaran, tidak perlu mengadakan sweeping, menghancurkan tempat-tempat maksiat dan unjuk kekuatan b. Hanya saja apabila kita berdakwah kemudian ada sekelompok orang menghalang-halangi, maka kita pun akan menghadapinya. Umpama kita berdakwah, kemudian ada preman-preman yang menantangnya, kita harus melawannya. Disinilah perlunya ada lascar untuk melindungi para mubaligh atau para dai dalam mengajak kepada kebenaran. c. Adanya laskar ini dimanfaatkan untuk membantu kemanusiaan seperti membantu korban gempa bumi, tanah longsor atau banjir. Laskar ini bekerja sama dengan umat Islam yang lain dalam membantu kemanusiaan seperti dengan Anshar atau pemuda Muhammadiyah. 4.5 Konsep Bid‟ah 4.5.1 Konsep Bid‟ah LDII dan MTA Bid‟ah menurut pendapat LDII dan MTA menyebutkan dalil yang sama bahwa perkara yang diada-adakah adalah bid‟ah dan para ahli bid‟ah tempatnya di neraka. Secara spesifik MTA dalam buku risalah Sunnah dan bid‟ah

83 menyebutkan, tiap perkara yang diada-adakan dalam urusan agama itu bid‟ah (MTA, tt:28). Pengertian bid‟ah ala MTA merujuk pada hadis-hadis berikut ini: a. Hadis riwayat Nasai, juz 3 pada halaman 177 yang artinya : dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, sesungguhnya sebenar-benar perkataan ialah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad, dan sejelek-jelek perkara itu yang diada-adakan, dan tiap-tiap yang diada- adakan itu bid‟ah, dan tiap-tiap bid‟ah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu neraka. b. Hadis yang diriwayatkan oleh Jabir dalam kitab muslim, juz dua, halaman 592 yang artinya, dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah bersabda, “adapun sesudah itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah Swt., dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid‟ah adalah sesat. c. Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, juz enam, halaman 83, artinya:” dari Irbad bin Syariyah RA. Ia berkata: Rasulullah bersabda: saya berpesan kepapada kamu sekalian, hendaklah kamu sekalian bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat, sekalipun yang menjadi pemimpin budak Habsyi, karena sesungguhnya orang yang hidup diantara kamu sekalian sesudahku akanmelihat perselisihan yang banyak, makadari itu hendaklah kamu sekalian (berpegang) pada suanahku dan sunnah para khalifah yang lurus lagi menetapi petunjuk yang benar, berpegang teguhlah padanya dan gigitlah dengan gigi geraham. Dan jauhkanlah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya tiap-tiap perkara yang diada- adakan itu bid‟ah, dan tiap-tiap bid‟ah itu sesat. d. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah pada juz 1, halaman 18, nomor empat puluh enam yang artinya: “dari Abdullah bin mas‟ud bahwasanya rasulullah Saw. Bersabda: bahwasanya ada dua perkara yang penting, perkataan dan

84

petunjuk, maka sebaik-baik perkataan ialah firman Allah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad. Ketahuilah, jauhkan kalian dari perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya sejelek-jelek perkara itu yang diada-adakan, dan tiap yang diada-adakan itu bid‟ah, dan tiap-tiap bid‟ah itu sesat. Berdasarkan hadis-hadis tersebut di atas, MTA memahami bahwa sebenar- benar perkataan ialah yang tersebut dalam kitab Allah Swt. (al-Quran) dan sebaik- baik petunjuk ialah petunjuk Nabi Muhammad, dan sejelak-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan, dan tiap perkara yang diada-adakan dalam urusan agama itu bid‟ah, dan tiap bid‟ah itu sesat. Oleh karena itu, MTA menganjurkan agar umat Islam dalam mengerjakan agama haruslah mengikuti sunnah Nabi Saw dan menjauhi perbuatan-perbuatan bid‟ah ( MTA, tt.:28). Jadi bid‟ah adalah sesuatu perkara agama yang tidak sesuai sunah nabi. MTA juga menggunakan ketetapan para sahabat sebagai dasar rujukan pada urusan agama. semisal dua azan pada waktu salat Jumat yang dilakukan pada masa sahabat Usman, salat tarawih berjamaah yang dilakukan pada masa sahabat Umar bin Khatab. Berdasarkan keterangan tersebut, menurut Sukino, yang menjadi dasar agama Islam ada tiga, yaitu al-Quran, sunnah, dan ijma sahabat. (wawancara, 02-02- 2016) Bid‟ah dilarang karena ada beberapa bahaya bid‟ah sebagaimana disebutkan di dalam hadis: a. Hadis yang diriwayatkan oleh muslim, yang artinya: dari Aisyah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “barang siapa yang melakukan suatu amalan yang bukan perintah kami, maka ia tertolak (muslim, juz 3, 1344, tt). b. Hadis yang diriwayatkan oleh muslim pada juz tiga , halaman 1343, yang artinya Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bersabda: barang siapa mengada- adakan dalamperintah kami ini, apa-apa yang bukan dari padanya, maka ia tertolak.

85

c. Hadis yang diriwayatkan Abu Daud, juz empat, halaman 200, yang artinya : Ibnu Isa berkata, Nabi Saw bersabda, :barang siapa yang berbuat sesuatu urusan selain dari perintah kami, maka ia tertolak d. Dari Anas RA,ia berkata: rasulullah bersabda, Barang siapa yang membenci Sunahku, maka ia bukan dari golonganku (Muslim, Juz 2, 1020: tt). Berdasarkan hadis tersebut di atas tentang bahaya bid‟ah, dapat dipahami bahwa amalan bid‟ah ditolak selagi itu bukan dari perintah nabi, begitu juga orang yang membenci pada sunah nabi maka orang tersebut bukan termasuk golongannya. Nabi Saw. sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi Saw. dari Abdullah bin Abbas, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, Allah tidak mau menerima amal orang ahli bid‟ah sehingga ia meninggalkan bid‟ahnya. Hal-hal yang dianggap bid‟ah oleh MTA seperti membacakan tahlil bagi orang yang sudah mati, , dan yasinan. Tahlilan bagi orang yang sudah meninggal merupakan tradisi Hindu, dan di dalam Islam tidak ada landasannya menurut sunnah. Sukino mengatakan : ”MTA itu tidak pernah melarang orang tahlilan, yasinan, selametan dsb. Tapi ada juga bertanya bagaimana dengan yasinan dan tahlilah itu? yasinan itu adalah ayat dari Al-Qur‟an jadi boleh aja dibaca, begitupun dengan tahlilan. Ajaran itu sangat dianjurkan hanya saja, kaum muslimin umumnya melakukan tahlilan itu untuk orang yang sudah mati, seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari itu ditahlilkan. Sedangkan menurut hadis Nabi orang itu ditahlilkan sebelum ia meninggal dunia, hadis yang artinya berbunyi; talkimkanlah orang yang akan mati dengan membaca Laailahaillallah. Nabipun bernah bersabda: Jika ada orang membaca laailahaillallah kemudian mati maka ia akan masuk surga. Maka dianjurkan jika ada orang yang sakaratul maut itu harus ditahlilkan. Kalau sudah mati kita sebagai orang Islam sesuai dengan anjuran Nabi kita mempunyai 4 kewajiban terhadap orang mati tersebut, yaitu dimandikan, dikafani, disholatkan dan dikuburkan, udah selesai. Perkara didoakan setiap saat orang Islam itu dapat didoakan setiap saat. Ternayata ajaran didoakan 7 hari, 40 hari, 100 hari itu adalah ajaran Hindu. Ini cerita dari Abdul Aziz yang merupakan pendeta Hindu memeluk Islam. Beliau kemudian memaparkan ajaran Hindunya dulu yang ternyata sama dengan ajaran Islam yang saat ini dipeluknya. Sehingga dapat ia simpulkan bahwasanya Islam itu mengamalkan ajaran Hindu. Ketika dicari dalam Islam tidak dapat diketemukan dalilnya, tetapi di kitab Weda ada landasan dalam

86

mengamalkan ajaran tersebut. Sebelum saya kenal dengan Abdul Aziz itupun tidak ada Sunnah yang menjadi landasan atas amalan tersebut, tetapi kamipun juga tidak melarangnya. Dan kalaupun ada yang menyebarkan bahwa MTA menentang keras itu hanya ulah orang-orang fasik yang ingin menjatuhkan citra MTA di masyarakat.”

Mengenai ganjaran (pahala) yang dikirimkan untuk orang yang sudah meninggal Sukino mengatakan: “Mendoakan orang muslim lainnya terutama pada orang tua kita sendiri itu adalah wajib hukumnya. Dalam hal ini mendoakan itu tidak terbatas oleh waktu seperti 7 hari, 40 hari dsb. Melainkan mendoakannya itu setiap saat dan setiap waktu. Tetapi mengenai mengirim ganjaran (pahala) kepada orang lain itu merujuk pada kitabullah Azhari tidak ada anjurannya. Doa itu bukan mengirim, tetapi permohonan. Ada orang yang mati lalu kita memohonkan kepada Allah Swt. agar diampuni dosanya. Kalau Allah Swt. mengabulkan doa kita berarti Allah Swt. mengampuni dosanya. Mengenai pengiriman pahala untuk orang lain itu Allah Swt. telah berkata bahwa siapa yang bertindak bisa dipindah tangankan, kalau berbuat jahat yang akan menanggung dosanya itu juga diri sendiri. Ayat yang menyatakan; walaatazirotuwizroukhroo yang artinya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain sehingga seorang juga tidak bisa mendapatkan pahala dari orang lain pula.” (wawancara 02 02 2016)

Pendapat MTA tentang bid‟ah tentu ada kesamaan dengan bid‟ah oleh Muhamadiyah, persis, salafi. Namun ada yang berbeda dengan pendapat MTA, seperti NU dan al-Hidayah. Menurut al-Hidayah bahwa bid‟ah itu tidak semuanya sesat, menurutnya bid‟ah itu ada dua, yaitu bid‟ah hasanah dan sesat. Kenapa bid‟ah ada dua? Hal ini yang menjadi pemikiran dan harus dibantu dengan ilmu lain, tidak seperti MTA yang diwakili oleh Sukino yng memahami teks hanya berdasarkan terjemahan atau tektualis. Menurutnya ketika memahmi teks hadis “kullu bid‟atin dalalah” juga harus tahu tentang bahasa arab dan juga kaidah- kaidah sebagaimana dalam ilmu balagah, jadi tidak setiap lafad kullu diartikan setiap,karena lafad kullu disandarkana pada lafad nakiroh maka lafad kullu diartikan sebagian (wawancara 26 02 2016). “(melafalkan hadis bid‟ah), bid‟ah itu tidak semuanya sesat. Jika dimaknai apabila Kanjeng Nabi tidak melakukan berarti orang yang pertama melakukan bid‟ah adalah para sahabat, yaitu Sayyidina Umar bin Khatab. Pembagian bid‟ah menurut Imam Syafi‟i ada dua mahmudah (baik) dan mazmumah (buruk). Sedangkan menurut Imam Nawawi pembagian bid‟ah

87

mahmudah ada dua yaitu bid‟ah wajib dan sunnah. Sedangkan bid‟ah mazmumah dibagi menjadi dua yaitu bid‟ah makruh dan haram. Selain itu ada juga bid‟ah tidak haram dan tidak sunnah yaitu bid‟ah makruh.” (wawancara 26 02 2016)

Buku yang berjudul dalil amalan Ahlussunnah wal-Jama‟ah di Indonesia menurut peneliti merupakan salah satu buku pegangan bagi orang-orang NU, karena ketika peneliti melakukan pengumpulan data buku ini di dapat dari orang NU. Di dalam buku ini disebutkan, bahwa di dalam firman Allah Swt. yang berbunyi “waja‟alna minal ma‟i kulla syai‟in hayyin”. Lafad kulla pada ayat tersebut diartikan dengan “sebagian”, maka ayat tersebut diartikan sebagai berikut: kami ciptakan dari air mani sebagian mahluk hidup, karena dalam ayat lain Allah berfirman yang menceritakan tentang kejadian jin dan iblis, sebagaimana al-Quran menyatakan: “halaktani min narin”, yang artinya: engkau Allah Swt. telah menciptakan aku (iblis) dari api. Oleh karena itu lafad “kullu” tidak boleh diartikan secara mutlak dengan arti setiap/semua sebagaimana ditemukan dalam kamus arab, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian hadis yang berbunyi “inna kulla bid‟atin dalalah” mempunyai arti “sesungguhnya sebagian dari bid‟ah itu sesat”. Lafad kullu di dalam hadis tersebut tidak dapat diartikan setiap, karena hadis tersebut muqayyad/terikat dengan hadis nabi Saw. yang berbunyi “man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajruman „amila biha”. Artinya barang siapa memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengikutinya. Hadis tersebut dipahami bahwa perbuatan baru yang diciptakan oleh orang sekarang, tapi menurut nabi baik dan pahala bagi sipembuatnya, serta tidak dikategorikan bid‟ah dalalah. Hal tersebut dicontohkan dengan Hajjaj bin Yusuf yang mempunyai ide al-Quran berharokat, pembagian juz, ruku‟, maqra sehingga al-Quran mudah dipelajari oleh umat Islam hingga sekarang. Bagi orang NU sebagaimana dikemukakan oleh Nur Hidayat Muhammad bahwa yasinan merupakan tradisi membaca surat yasin secara berjamaah. Tujuan membaca yasin dikelompokan menjadi tiga, ada yang niat murni mencari pahala,

88 menghadiahkan pahala bacaan yasin bagi si mayit atau sebagai tawasul dengan amal salih mendoakan bagi mayit agar doanya terkabul. Menurutnya, dalil membaca al-Quran sudah sangat maklum, adapun dalil atau pendapat ulama tentang memberikan pahala bacaan surat yasin atau al-Quran disebutkan di dalam hadis yang telah disahihkan oleh al-Hafid as-Suyuti dalam Jami Sagir no 8937, yang artinya: barang siapa membaca surat yasin karena Allah Swt., maka diampuni dosa-dosanya yang telah lampau, bacalah surat itu disamping orang yang akan meninggal, mengirimkan pahala membaca al-Quran hukumnya boleh menurut mayoritas ulama, anggapan hadis-hadis yang berkaitan dengan yasinan berderajat lemah, pendapat ini telah ditolak. dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hafid as-Suyuti. Hadis tentang yasinan sangat banyak, antara satu dengan lainnya saling menguatkan sehingga derajatnya menjadi hasan lighairihi. Dalam Muhtasah Kurtubi (25) Syeh Abdul Wahab asy-Sya‟rani mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hambal yang artinya: jika kalian masuk ke kuburan, maka bacalah surat al-Fatihah, al-mu‟awidatain, dan qulhuwallahu ahad dan jadikanlah pahalanya untuk penghuni kuburan tersebut, karena sesungguhnya pahala bacaan tersebut bisa sampai kepada mereka. Ini terjadi setelah imam Ahmad menerima cerita dari orang-orang yang dapat dipercaya dalam riwayat hadis tentang Abdullah bin Umar bin Khattab yang pernah berwasiat agar setelah meninggal dibacakan surat al-Fatihah dan akhir surat al-Baqarah dibagian arah kepalanya, kemudian Imam Ahmad menarik pendapatnya yang semula menolak. Dalam kitab at-Tahdir an al-Igtirar (82) dijelaskan bahwa Ibn Taimiyah mendukung pendapat Imam Ahmad melegalkan membaca al-Quran disamping makam. Ibn Taimiyah juga mendukung dalam kitabnya, ar-Ruh (10) menuturkan segolongan ulama salaf yang berwasiat agar dibacakan al-Quran setelah mereka dimakamkan. Selain tradisi membaca surat Yasin ada tradisi selamatan. Muhammad, dalam bukunya menyebutkan bahwa selamatan merupakan tradisi jawa yang berisi bacaan tahlil, yasinan, dan sedekah makanan untuk tamu. Ia berpendapat memberi sedekah makanan pada hari pertama sampai ke tujuh pasca kematian hukumnya boleh karena ada hadis yang menjelaskan tentang memberi makanan

89 saat hari kematian, sebagaimana hadis yang artinya: Muhammad bin al-Ala menceritakan dari Abdullah bin Idris dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari seorang laki-laki Anshar, ia berkata: aku keluar bersama Rasulullah bertakziyah ke salah satu jenazah, selanjutnya aku melihat Rasulullah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur. Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala. Setelah Rasul hendak pulang, tiba-tiba seorang pesuruh wanita datang menemui beliau dan mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita itu), Rasulullah pun datang dan disana diberi jamuan makanan. Kemudian rasulullah mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para sahabat lalu memakannya. Ayah-ayah kami melihat rasulullah mengunyah sesuap makanan di mulut kemudian beliau berkata: Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil tanpa seizin pemiliknya. kemudian wanita itu berkata: wahai rasulullah , sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi, tapi tidak ada, kemudian aku menyuruh untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga kambing tersebut untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya menyuruh untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu kambing itu dikirimkan kepadaku. Rasulullah kemudian menjawab: berikan makanan ini kepada para tawanan. (HR. Abu Daud) Selain hadis tersebut ia juga berargumentasi dengan hadis yang sama kandungannya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori yang artinya: dari Aisyah, istri Rasulullah ketika salah satu keluarganya meninggal, para wanita berkumpul dan kemudian pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Lalu ia memerintahkan untuk dibawakan periuk berisi sup dari terong yang dicampuri madu lalu di masak. Lalu dibuatlah bubur sari dan sup tadi dimasukan ke dalamnya. Lalu beliau berkata: makanlah makanan ini sebab aku mendengar Rasulullah bersabda: sesungguhnya sup dapat melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan (HR. al-Bukhari) Selain berargumentasi dengan kedua hadis tersebut di atas, ia juga berargumen berdasarkan Atsar al-Ahnaf bin Qais, yang artinya: dari al-Ahnaf bin Qais, dia berkata, ketika Umar menjelang wafat karena ditikam dengan pisau (oleh Abu Lulu‟ah al-majusi) beliau memerintah Suhaib melakukan shalat dengan

90 orang-orang sebanyak tiga kali dan memerintah agar menyajikan makanan untuk mereka.5 Dari Sufyan, ia berkata Imam Tawus berkata: sungguh orang yang meninggal akan diuji didalam kubur selamatujuh hari, karena itu mereka senang besedekah makanan yang pahalanya bagi keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut.(Al-Hawi lilfatawa juz II, 178)6 Untuk menguatkan pendapatnya, ia berargumentasi dengan pendapat Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan dalam kitab Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah (XXIV/323) menurut Ibnu Taimiyah pernah di tanya tentang pahala tahlil yang pahalanya dihadiahkan pada mayyit, menurutnya bermanfaat bagi si mayyit. Sebagaimana percakapan dibawah ini: Ibnu Taimiyah ditanya tentang membaca tahlil 70.000 kali dan dihadiahkan kepada si mayit, supaya diselamatkan oleh Allah dari api neraka, apakah hal itu berdasarkan hadis sahih atau tidak? dan bila seseorang membaca tahlil kemudian dihadiahkan kepada mayit, apakah pahanya sampai atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab: apabila seseorang membaca tahlil 70.000 kali baik lebih atau kurang, lalu pahalanya dihadiahkan kepada mayit, maka hal itu bermanfaat bagi si mayit, dan ini bukan hadis sahih dan bukan hadis daif. Dalil sedekah hari ke-40 dan ke -100 pasca kematian. Tidak ada dalil yang menganjurkan dan melarang sedekah di hari ke-40 dan 100 pasca kematian, namun dengan dasar dalil memberi makan dalam masa tujuh hari di atas sama- sama dibolehkan. Namun berdasarkan tuduhan bahwa itu adalah tradisi budaya Hindu, maka boleh balik bertanya, apakah dalam tradisi Hindu ada sedekah karena Allah? apakah dalam tradisi Hindu ada bacaan salawat, al-Quran, zikir, dan doa? Kalau tidak ada, yang menjadi pertanyaan, kenapa disamakan dengan Hindu? Dan jika mengatakan bahwa amalan itu tidak ada dalam hadis nabi, maka, apakah setiap hal yang tidak dilakukan rasulullah haram? Dalam hal ini perlu melihat tentang dalil tarki. Dalil tarki adalah melakukan amalan yang tidak pernah dilakukan atau ditinggalkan Rasulullah atau khulafaurrasidin seperti tahlilan, yasinan, dan salawatan. Dalil amalan seperti itu disebut dengan istilah dalil tarki,

5 Al Hafid ibn Hajar menyebutnya dalam Matalib al-Aliyah juz 1 halaman 199 dan ia berkata sanadnya hasan. 6

91 karena ketidakadanannya dalail yang menyebutkan haram, wajib, sunnah, ataupun makruh. Apakah dalil tarki dapat dijadikan hujjah atad keharaman sesuatu? Dalil tarki tidak dapat dijadikan dalil, karena: dalam firman Allah surat al-Hasr ayat 7. Allah menyebut kata Naha (rasul melarang) bukan Taraka (Rasul Meninggalkan). Artinya haram adalah jika dilarang, sedangkan sesuatu yang ditinggalkan Rasul, belum pasti haram, kecuali ada dalil yang mengharamkan atau menyelisih kaidah agama secara umum. Dan berdasarkan hadis Rasulullah bersabda: apakah yang aku larang atas diri kalian, maka jauhilah, dan apa yang aku perintahkan, maka lakukanlah semampu kalian (HR. Muslim danIbn Majah). Rasul menggunakan kata Nahaitu (aku melarang) bukan taraktu (aku meninggalkan). Ulama Ushul mendefinisikan as-Sunnah sebagai Sabda, perilaku, dan persetujuan Rasulullah, dan tidak memasukkan dalil tarki dalan definisinya, karena dalil tarki bukan merupakan dalil menurut kesepakatan ulama. Hukum syariat adalah firman Allah Swt. dan ulama sepakat bahwa firman Allah Swt. terwujud dalam al-Quran, as-Sunnah, ijma dan qiyas. Sedang dalil tarki tidak termasuk salah satu dalil syariat,karena bukan dalil. Dalil tarki bisa saja dibuat dalil, namun saat ada dalil lain yang menyatakan haram atau tidaknya. Sehingga status dalil tarki dapat mendukung atau menguatkan. Dalil tarki tidak bisa dijadikan hujjah dengan sendirinya (Muhammad, 2013:80). Terkait masalah tahlilan, Muhammad menyatakan: tahlil merupakan susunan dikir yang terdiri dari bacaan al-Quran, zikir, salawat, tasbih, istigfar, dan doa. Kalau tahlil seperti itu, pasti orang yang beragama Islam akan menilai bahwa semua bacaan yang ada dalam tahlil tidak dilarang, bahkan dianjurkan. Warga MTA tidak melakukan tahlil, karena tahlil dianggap tidak ada tuntunan dari rasulullah atau para sahabat. Kenapa masyarakat pada umumnya dan warga NU khususnya giat dalam melaksanakan tahlilan? Karena tidak ada larangan tentang bacaan tahlil, sebuah larangan harus mempunyai dalil. Membaca al-Quran, salawat, dan dikir adalah anjuran agama, sedangkan tahlil tersusun dari bacaan tersebut. Menurut mayoritas ulama, hadiah bacaan al-Quran dan zikir sampai kepada mayit. Termasuk Ibn Qayyim dan Ibn Taimiyah. Oleh karena itu tahlil termasuk bid‟ah hasanah yang

92 dibolehkan, dan bid‟ah hasanah diakui oleh Imam Syafi‟i, Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Syaukani, Imam Syuyuti (Muhammad, 2013: 105). Sampaikah doa, pahala yasinan, dan tahlil bagi mayyit? Jika doa tidak bermanfaat bagi si mayyit, mengapa agama menyuruh harus mensalatinya? Di dalam mensalati mayyit ada doa bagi mayyit. Disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidi, Abu Daud dengan sanad sahih. Yang artinya: Tatkala Rasulullah mensalati mayyit, beliau berkata: Wahai Allah Swt., berilah ampunan kepada yang hidup dari kami, yang mati dari kami, yang hadir dari kami, yang gaib dari kami, yang masih kecil dari kami, yang sudah dewasa dari kami, laki-laki dari kami, perempuan dari kami. (HR. Ahmad, Tirmidi, Abu Daud). Redaksi hadis tersebut jelas, bahwa rasulullah mendoakan mayyit. Al- Quran surat al-Hasyr ayat 10 menyebutkan: dan orang yang datang sesudah mereka (muhajirin dan anshar), mereka berdoa, ya Tuhan kami beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami (QS. Al-Hasyr:10). Surat Al-Najm ayat 39 menyebutkan bahwa seseorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusakannya. Menurut Fahruddin az-Zaila‟I dalam kitab Kanz ad-Daqaiq menyatakan, menurut Abdullah bin Abbas bahwa ayat tersebut telah dimansuh dengan surat al- Tur ayat 21. Dalam hadis sahih disebutkan, yang artinya: dari Aisyah seorang lelaki mendatangi nabi,kemudian berkata: ibu saya meninggal secara mendadak dan tidak sempat berwasiat, saya menduha jika dapat berwasiat, tentu ia akan berwasiat untuk bersedekah atas namanya, nabi menjawab: ya. (HR. Muslim) Apakah pahala bacaan al-Quran dan lainnya bisa sampai pada mayyit? Menurut pendapat Suyuti, ini masalah khilafiyah. Sebagaimana pendapat imam Suyuti yang dikutip oleh Mulla Ali al-Qari dalam Mirqah al-Mafatih juz 5 halaman 465. Diperselisihkan tentang pahala bacaan al-Quran sampai kepada mayit. Mayoritas ulama salaf dan imam tiga (Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal) berpendapat bisa sampai. Imam Syafi‟i berselisih, mereka berdalil atas sampainya pahala kepada mayyit dengan diqiaskan pada do‟a, sedekah, puasa, haji, dan memerdekakan budak (untuk mayyit). Tidak ada perbedaan dalam hal

93 memindah pahala antara apakah dari haji, sedekah, wakaf, do‟a atau bacaan dengan hadis-hadis yang sudah disebutkan. Hadis-hadis yang dimaksud adalah: Barang siapa melewati kuburan dan membaca Qulhuwallahu Ahad 11 kali dan memberikan pahalanya bagi yang sudah mati, maka ia akan diberi pahala sejumlah orang yang mati tersebut. Barang siapa masuk kuburan lalu membaca surat alfatiah, Qulhuwallahu ahad, dan alhakumuttakasur, kemudian berdo‟a: sungguh aku jadikan pahala kalamku yang aku baca untuk penghuni kuburan dari mukminin dan mukminat, maka mereka akan mejadi juru syafaat baginya kepada Allah Ta‟ala.

Abdul Aziz, karib Imam al-Khalal, mentahrij hadis dengan sanad dari Anas bahwa Rasulullah berkata: barang siapa yang masuk kuburan, lalu membaca suarat yasin, maka Allah akan meringankan beban mereka dan dia mendapatkan kebaikan sejumlah mayyit yang berada di dalam kuburan tersebut. Bacalah yasin disamping orang yang akan mati dari kalian. Hadis-hadis tersebut meskipun da‟if, namun menunjukan jika membaca al-Quran untuk mayit ada dasarnya. Sungguh muslimin disetiap kota dan masa tidak pernah berhenti berkumpul membaca al- Quran untuk mayit-mayit mereka tanpa ada pengingkaran. Maka hal itu menjadi ijma (Muhammad, 2013:109). Dalam al-Jami‟, al Khalal meriwayatkan dari imam asy-Sya‟bi, ia berkata: salah satu sahabat Ansar meninggal, maka mereka berbondong-bondong menuju kuburan untuk membacakan Alquran. Imam Ahmad berkata: jika kalian masuk ke kuburan, maka bacalah surat al-fatihah, al-mu‟awidatain dan qurhuwallahu ahad dan jadikanlah pahalanya untuk penghuni kuburan itu, karena sesungguhnya pahala (bacaan Alquran) sampai kepada mereka. Ibnu Qayyim dalam al-Fiqh al-Wadhih berpendapat bahwa dalil-dalil tersebut tidak bertentangan dengan firman Allah Swt. dalam surat an-Najm ayat 39: bahwa seseorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Sebab hadiah yang dikirimkan kepada ahli kubur merupakan bagian dari usahanya sendiri, sebab seandainya ketika masih hidup ia tidak berbuat baik kepada mereka, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan memberi hadiah pahala kepadanya. Karena itu sejatinya apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayyit semasa hidupnya.

94

3.4.2 Bid‟ah Menurut Manhaj dan Aqidah Ponpes al-Furqan Majalah al-Furqan Edisi 7 Tahun ke-15 membahas seputar perayaan- perayaan yang dilarang oleh agama Islam yang ditulis oleh Ustadz Fadlan Fahamsyah Lc. Setiap umat beragama memiliki perayaan, ritual, dan hari-hari besar. Mereka memperingati hari besar itu dengan cara berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang memperingatinya dengan bergembira, bersukacita, menyalakan kembang api, dan membakar petasan. Sebaliknya, sebagian lagi justru ada yang memperingatinya dengan pati geni (memadarnkan api dan cahaya), dan ada pula yang memperingatinya dengan kesedihan dan ratapan. Ritual atau perayaan hari besar bagi umatnya harus diniatkan sebagai ibadah, maka tentunya ibadah yang dijalankan tersebut harus berdasarkan dalil dan wahyu. Jika tidak maka sia-sialah apa yang telah diusahakan, rugilah tenaga yang dikeluarkan, dan tidak berpahala harta yang diinfakkan. Lantas apakah boleh bagi umat Islam memperingati hari raya umat non Islam, atau tradisi dan ritual menyirnpang yang diselipkan ke dalarn Islam? Maka tentunya jawabnya tidak diperbolehkan. Kaidah mengatakan: "Hukum asal dari ibadah adalah batal (terlarang), hingga tegak dalil yang memerintahkannya."? "Orang-orang jahiliyah dahulu merniliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrajan) pada setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi tiba di Madinah, beliau mengatakan, “Dahulu, kalian merniliki dua hari untuk bersenang-senang didalamnya. Sekarang Allah telah mengganti bagi kalian dua hari yang iebih baik yaitu hari idul Fitri dan idul Adha”. Para ulama menjelaskan bahwa dua hari raya terlarang di atas adalah Nairuz dan Mihrajan. Nairuz adalah perayaan tahun baru bangsa Persia yang beragama Majusi, yang kemudian diadopsi oleh sebagian bangsa Arab dan mereka pun ikut merayakannya. Kemudian Rasulullah pun melarang hal ini dan menghararnkannya. Allah Swt mengganti semua perayaan-perayaan jaman jahiliyah dengan dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha.

95

Al-Imam Ibnu Qayyim al-jauziyah menukil perkataan Abdullah bin Arnru bin Ash, beliau berkata, "Barang siapa melewati negeri asing (Persia), kernudian ikut merayakan perayaan Nairuz dan Mihrajan, jika ia meninggal dalam kondisi ikut merayakannya maka ia akan dikumpulkan pada Hari Kiamat bersama mereka (orang-orang majusi kafir)". Dari penjelasan di atas kita simpulkan bahwa hari raya umat Islam hanya ada dua, idul fitri dan idul adha. Dan setiap perayaan-perayaan yang disandarkan kepada Islam selain dua hari raya tersebut maka terkategorikan sebagai perayaan, hari besar atau ritual yang dilarang dan menyimpang. Menurut Ustadz Fadlan Fahamsyah, perayaan yang dilarang oleh syar‟i diantaranya: 1. perayaan natal, tahun baru masehi, dan valentine‟s day. 2. Perayaan haul (peringatan kematian para wali, kiai atau orang-orang yang dianggap shalih setiap tahunnya). 3. Perayaan slamatan (selamatan kematian 1-7 hari. 40-1000 hari dan seterusnya. 3. Perayaan Maulid Nabi. 5. Ritual doa bersama dan kirim pahala kepada mayit. 6. Peringatan Asyura (10 Muharam) yang dilakukan oleh orang Syiah. 7. Perayaan ulang tahun. Di samping perayaan-perayaan ini termasuk bid' ah yang tidak ada asalnya dalam syariat, juga mengandung tasyabbuh (menyerupai) kaum yahudi dan nasrani yang biasa menyelenggarakan peringatan hari kelahiran. Sementara itu, Nabi telah memperingatkan agar tidak meniru dan mengikuti cara mereka, sebagaimana sabda beliau yang artinya: 'Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika mereka masuk ke Iubang dhabb (kadal gurun) pasti kalian pun akan mengikutinya.' Kami (para sahabat) berkata,'Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah yahudi dan nasrani?' Beliau menjawab, 'Lantas siapa Iagi?' (HR al-Bukhari dan Muslim)." Berdasarkan rubrik Akidah dan Manhaj Majalah Al-Furqon, nampak dengan jelas bahwa persoalan tentang bid‟ah selalu menjadi pembahasan yang utama. Menurut pemimpin redaksi majalah Al Furqon, Ustadz Abu Ubaidah as- Sidawi, pada saat ini sedang banyak terjadi perilaku masyarakat yang cenderung Bid‟ah, oleh sebab itu salah satu misi diterbitkannya majalah ini adalah untuk

96 meluruskan akidah umat. Seperti tujuan utama pendirian Pondok Pesantren Al Furqon Al Islami Gresik ini. Sudah banyak diketahui bahwa tema bid‟ah identik dengan ajaran dakwah Muhammadiyah pada masa-masa awal. Pada akhir-akhir ini tema bid‟ah sering dikemukakan dalam ajaran Salafiyah Wahabiyah, yang bertujuan ingin mengembalikan kembali pemahaman umat Islam kepada Al-Qur‟an dan As- Sunnah, serta menyerukan kemurnian tauhid setelah masa kemunduran pasca zaman Rasulallah. Pondok Pesantren al-Furqon al-Islami sebagai pengikut ajaran Salafi Wahabi bertujuan untuk menegakkan syariat Islam yang murni dan bebas dari penambahan, pengurangan dan perubahan. Salafi Wahabi bukanlah partai politik atau madzhab baru, tetapi dakwah Islam dan totalitasnya, yang menuntun semua manusia apapun budaya, ras, atau warna kulitnya. Ia merupakan manhaj (metode) yang lengkap dan sempurna dalam memahami Islam dan melaksanakan tindakan sesuai dengan ajaran-ajaranya. Menurut ulama‟ bid‟ah berarti segala sesuatu yang diada-adakan yang belum ada sebelumnya tanpa ada landasan syari‟at, ada juga para ulama‟ yang berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‟ah. Imam Syafi‟i mengatakan bahwa bid‟ah adalah segala hal baru yang terdapat setelah masa Rasulullah Saw., dan khulafa ar-rasyidin. Ibnu Rajab al-Hanbali seorang fuqoha al-Hanbali mendefinisikan bid‟ah sebagai sesuatu yang baru yang tidak ada dasar syari‟atnya, Sedangkan al-Syatibi, seorang fuqoha Maliki menyatakan bahwa yang disebut bid‟ah adalah suatu thariqoh atau metode yang diciptakan yang menyerupai syari‟at dalam ajaran agama untuk dkerjakan sebagai ibadah kepada Allah SWT (Aziz, 2007:57). Ajaran Salafi dan Wahabi merupakan gerakan yang sama yaitu berusaha mengembalikan agama Islam yang bebas dari pemurnian sesudah wafatnya Rasulallah. Muhammad bin Abdul Wahab sebagai salah satu tokoh pendiri dari ajaran Wahabi, berusaha membersihkan Islam dari kerusakan yang dipercayainya telah merasuk agama. Dia menerapakan literalisme yang ketat yang menjadikan teks sebagai satu-satunya sumber otoritas yang syah dan menampilkan

97 permusuhan ekstrim kepada intelektualisme, mistisme, dan semua perbedaan sekte (ajaran) yang ada dalam Islam (Rahmat, 2005:66). Ajaran Wahabi oleh jamaahnya menganggap bahwa segala bentuk ajaran sangatlah penting kembali pada kemurnian (tidak menginginkan penambahan dan hanya menggunakan rujukkan dari Al-quran dan Hadist), keserdahan, dan kelurusan Islam yang dapat sepenuhnya diperoleh kembali dengan penerapan perintah Nabi secara harfiyah dan dengan ketaatan penuh terhadap praktik ritual yang benar. Wahabisme menolak semua upaya untuk menafsirkan hukum Allah secara historis (cerita) dan kontekstual (teks) dengan kemungkinan adanya penafsiran ulang ketika kondisi berubah. Wahabisme menganggap sebagian besar sejarah umat Islam merupakan perusakan terhadap Islam yang benar dan autentik (asli). Selain itu Wahabisme mendefinisikan sempit dan sangat tidak toleran terhadap semua kepercayaan yang bertentangan dengan kepercayaanya. Negara-negara di Timur Tengah khususnya Arab Saudi saat ini merupakan rujukan atau tempat menimba ilmu pendidikan Islam bagi negara lain, sehingga mengakibatkan meningkatnya jumlah para pelajar Indonesia di Timur Tengah dari waktu ke waktu, demikian juga dengan para ustadz atau pengasuh Ma‟had al- Furqon al-Islami Gresik ini. Keberadaan para penuntut ilmu di Timur Tengah membuat mereka dapat secara langsung mengikuti, bahkan terlibat dalam berbagai dinamika yang terjadi di sana. Berbagai pengalaman di Timur Tengah pada giliranya mempengaruhi keyakinan, ideologi, pemikiran, cara pandang, sikap dan tindakan mereka. Ustadz Aunur Rofiq selaku pengasuh Ma‟had al-Furqon Al-Islami, telah bersentuhan langsung dengan pemikiran dan gerakan yang berada di Timur Tengah (Saudi Arabia), yang kemudian mengembangkan manhaj (metode) nya ke tanah air. Pasca kepulangan dari Timur Tengah, banyak diundang pada acara- acara pengajian dan latihan-latihan keislaman di pondok pesantren, kampus Perguruan Tinggi, maupun lembaga-lembaga tertentu. Melalui forum inilah Ustadz Aunur Rofiq mensosialisasikan manhaj (metode) baru dan memperoleh

98 sambutan baik dari masyarakat, dan kemudian mendirikan sebuah pondok pesantren dan lembaga pendidikan. Organisasi-organisasi yang di dirikan oleh para alumni Timur Tengah memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam terdahulu yang berada di Indonesia. Mereka ditengarai berhaluan puritan (orang yang hidup saleh serta menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa), memiliki karakter yang lebih militan (kuat), radikal (keras), dan ekslusif (tanpa ada percampuran). Ormas tersebut memang memiliki platform (cap) yang beragam, tetapi pada umumnya memiliki kesamaan visi, yakni pembentukan “negara Islam” (daulah islamiyah) dan mewujudkan penerapan syariat Islam, baik dalam wilayah masyarakat maupun negara. Namun pada kenyataanya keberadaan aliran salafi Wahabi di Indonesia khusunya pulau Jawa menjadi fenomena tersendiri baik di suatu daerah ataupun wilayah baik positif maupun negatif, itu dikarenakan Indonesia bukanlah negara yang hanya beraliran dalam satu gerakan ataupun dokrin tetapi juga terdapat ormas Islam yang ada lebih dulu seperti golongan pertama, golongan yang selalu menjaga tradisi lama dan berpegang kepada formalitas-formalitas yang sudah ada sebelumnya (NU), dan golongan kedua, golongan yang menerima perubahan dan perkembangan (dinamika) kehidupan, sebagai bentuk optimisme dan hajat manusia yang dinamis (Muhammadiyah) (Al-Buthi, 2005:17-18). Fatwa-fatwa ulama Wahabi tentang bid'ah yang disebarluaskan itu seringkali berbenturan dengan adat istiadat atau tradisi keagamaan umat Islam di suatu daerah, padahal tradisi mereka itu telah berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu dan telah dijelaskan kebolehan atau keutamaannya oleh para ulama ahlus-Sunnah wal-jama'ah, khususnya para ulama Nahdlatul Ulama (NU). Tradisi keagamaan yang sering dianggap bid'ah dan sesat itu di antaranya: 1. Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, merupakan tradisi yang sudah kental dan memasyarakat di kalangan kaum muslimin di Indonesia. Tradisi yang jatuh setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam Hijriah itu juga dikenal sebagai hari untuk memperingati kelahiran Rasulallah SAW dan

99

bernilai sunnah, yaitu mendapatkan pahala jika kita mau melakukanya dan tidak berdosa apabila ditinggalkan. 2. Tahlilan Kematian, suatu rutinitas yang dilakukan oleh masyarakat jawa untuk mendoakan keluarga yang meninggal dunia. Tahlilan kamtian tersebut dilakukan dengan tujuan keluarga yang meninggal diampuni dosa- dosanya selama hidup di dunia. 3. Ziarah Kubur adalah suatu kegiatan mengunjungi makam keluarga, kerabat ataupun makam para ulama yang telah berjasa dalam proses perkembangan agama Islam. 4. Do'a dan Zikir Berjama'ah adalah suatu kegiatan yang dilakukan seorang muslim sebagai tanda dan cara seorang hamba yang meminta atau beribadah kepada tuhanya. 5. Tawassul adalah mendekatkan diri atau memohon kepada Allah Swt. dengan melalui perantara yang memiliki kedudukan baik di sisi Allah. 6. Bacaan Qunut, yaitu merupakan bacaan atau doa ketika sedang menjalankan sholat subuh dan dibaca pada saat tumaninah ruku‟ pada rokaat yang kedua. Bacaan qunut ni biasanya hanya dibaca oleh ajaran Nahdiyyin atau NU saja karena ajaran lain menganggapnya adalah bid‟ah. Masing-masing memiliki dasar di dalam agama. Jelasnya, keresahan itu muncul karena fatwa-fatwa para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) tersebut bertentangan dengan fatwa-fatwa mayoritas ulama yang dijadikan pedoman oleh mayoritas umat Islam di pulau Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pondok Pesantren al-Furqon al-Islami memiliki peran yang sangat penting dalam menerapkan ajaran salafinya di masyarakat Sidayu dan Gresik pada umumnya, di tengah-tengah dua ormas besar NU dan Muhammadiyah. Dalam aktifitas sehari-hari terdapat korelasi yang cukup signifikan antara ketiga aliran keagamaan tersebut, di mana aliran yang berhaluan Ahlusunnah Waljamaah (NU) merasa cemas karena dari tahun ke tahun jamaahnya semakin berkurang dan memilih untuk menikah dengan aliran Salafiyah Wahabiyah, selain itu perbedaan aliran antar ketiganya yang berbeda membuat intraksi antar ketiga aliran di rasa

100 kurang harmonis, di mana Ajaran NU dalam berdakwah masih mempertahankan ajaran-ajaran lama dan masih memegang teguh dakwah (penyebaran) Islam seperti manhaj Walisongo di tanah Jawa. Mereka lebih mengedepankan nilai-nilai santun dan penuh etika menghadapi berbagai macam karakter dan budaya yang ada bagi bangsa Indonesia. Kearifan dan kecerdikan Walisongo yang dalam dakwahnya bisa memposisikan budaya sebagai jembatan dakwah. Ajaran Muhammadiyah di desa Srowo lebih cenderung ke ajaran Salafiyah Wahabiyah dan keduanya cenderung haromis dan terintergrasi dengan baik dikarenakan keduanya memiliki doktrin atau ajaran yang hampir sama meskipun keduanya bukanlah ajaran ataupun aliran yang sama. Adanya kerja sama di bidang ekonomi, sosial dan pendidikan antar kedua aliran tersebut juga menambah catatan akan keharmonisan antar kedua aliran, yaitu Muhammadiyah dan Wahabiyah di desa Srowo kecamatan Sidayu kabupaten Gresik. Mereka berkeyakinan berpegang teguh pada pendapat ijtihad tertentu dan mempertahankanya serta menganggap kurang benar orang-orang yang berada di luar golongan mereka. Bahkan, menisbatkan mereka sebagai pelaku Bid‟ah, baik tentang hal-hal yang berkenaan dengan masalah-masalah it‟ikad, perilaku keagamaan, praktek peribadatan maupun hukum-hukum fiqih. Gerakan Wahabi secara tidak langsung menerapkan Fundamentalisme (kembali kepada ide-ide dan praktik-praktik dasar yang menjadi ciri Islam pada masa permulaan sejarahnya), yang berpedoman kepada teks-teks keagamaan serta ulama-ulama terdahulu. Dalam gerakan Wahabiyah sering di jumpai adanya keinginan yang kuat untuk kembali kepada yang benar-benar di anggap murni dari zaman Rasulullah dan sahabat. Keinginan kepada kesederhanaan ini mendorong mereka untuk betul-betul mencontoh yang otentik (asli). Mereka berusaha memanjangkan jenggot, mencungkur kumis, memasang hijab (vesil atau cadar) untuk wanita, menolak penamuan-penemuan modern karena menganggapnya sebagai bid‟ah. Dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat Sidayu Gresik, ajaran Wahabi yang dikembangkan oleh Ma‟had al-Furqon al-Islami saat ini sudah tidak dipermasalahkan dan dipertentangkan lagi. Itu dikarenakan hampir sebagian besar

101 masyarakatnya adalah jamaah Muhammadiyah. Untuk jamaah NU sendiri hanya sebagian kecil saja, sehingga dalam melakukan interaksi maupun kerja sama lebih banyak dilakukan dengan jamaah Muhammadiyah. Akhwat (jamaah wanita) dalam melaukukan transaksi jual beli maupun tolong menolong dengan masyarakatnya pun tidak merasa kesulitan karena memakai cadar yang tertutup, itu dikarenakan masyarakat sekitar sudah hafal betul gerak, postur tubuh, dan suara dari setiap ikhwan sehingga saat berkomunikasi maupun saling sapa sudah tidak mengalami kesulitan. Masyarakat sekitar memandang ajaran Salafi Wahabi bukanlah ajaran yang keras ataupun radikal tetapi memandang ajaran yang sudah diyakini setiap pemeluknya yang tidak perlu lagi dipertentangkan maupun disalahkan, karena pada keyakinan mereka semua ajaran itu sama yaitu menyembah Allah SWT. Dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit masyarakat atau jamaah Muhammadiyah yang mengikuti pengajian dari para ustadz ataupun mengikuti pengajian rutinan untuk menimbah ilmu agama dan ada juga yang ikut sholat berjamaah di masjid al-Furqon. Seperti halnya saat salat tarawih maupun salat hari raya, banyak masyarakat yang memilih untuk bergabung dengan jamaah Salafi al- Furqon daripada ke masjid-masjid. Jika dilihat dalam kacamata sosial proses interaksi maupun komunikasi berjalan dengan baik dan akrab, namun proses tersebut terlihat berat sebelah karena dalam kenyataanya banyak dilakukan dengan jamaah Muhammadiyah, karena mayoritas masyarakat Desa Srowo Sidayu adalah jamaah Muhammadiyah sedangkan warga NU hanya segelintir saja. 4.6 Konsep Amir 4.6.1 Konsep Amir Menurut LDII LDII menganggap seorang Amir merupakan suatu keharusan. Amir pertama LDII disandang oleh KH Nurhasan al-Ubaidah, kemudian sepeninggalnya digantikan oleh anaknya yang pertama bernama Abu Dhohir. H. Abu Dhohir atau Amir kedua yang menggantikan ayahnya, tidak lama kemudian meninggal dunia dan digantikan oleh adiknya bernama KH Abdul Azis sampai dengan sekarang. Menurut penjelasan dari Sunarto, Amir LDII sekarang ini, yakni KH Abdul Azis pendidikan keagamaannya hanya mengaji di Ponpes Wali

102

Barokah Burengan yang diasuh sendiri oleh ayahnya. Ia tidak seperti mendiang ayahnya yang banyak menimba ilmu agama dari berbagai pesantren salaf di Jawa, Madura dan bertahun-tahun mengaji di Masjidil Haram Mekah dan Masjid Nabawi Madinah, Saudi Arabia. Hal demikian juga berpengaruh terhadap kewibawaan maupun dalam setiap penampilannya. Seperti yang peneliti saksikan ketika ada acara pembukaan kajian Kitab Sarah Asma‟ul Husna 5 Maret 2016 yang dihadiri pejabat teras Kota kediri seperti Walikota, Kapolres dan Ketua Umum LDII Pusat serta undangan lainnya di Pondok Pesantren Wali Barokah Burengan Kediri, KH Abdul Azis duduk di deretan kursi belakang berbaur dengan undangan kebanyakan. Demikian juga dalam acara seremonial tersebut ia tidak memberi sambutan maupun menutup acara/ do‟a selayaknya sebagai seorang Amir atau pemimpin jamaah tertinggi di LDII. 4.7 Konsep Bai’at. 4.7.1 Baiat menurut LDII Menurut Setiawan (2008), tokoh yang dianggap sebagai pemimpin spiritual LDII menganggap Amir adalah pemimpin spiritual, dan keberadannya untuk mengesahkan Islam atau keislaman seseorang. Tugas Amir berkaitan dengan acara ritual internal jamaah, seperti memimpin salat dan memberi , dan membaiat jamaah harus melalui Amir. BS, bukan nama sebenarnya, menyebutkan bahwa baiat masih dan harus dilakukan oleh setiap calon jamaah LDII. Apabila sang calon anggota tempatnya jauh, maka untuk sementara baiat diwakilkan kepada Ketua LDII di Cabang atau daerah. Setelah ada kesempatan datang ke Kota Kediri maka mereka akan dibaiat langsung oleh Amir (Wawancara dengan BS, mantan pengurus LDII, Kediri: 22-2-2016). Untuk saat ini khususnya bagi para santri LDII ketika akan belajar/ masuk Pesantren disaratkan untuk menandatangani “Janji Bakti”, yang redaksinya sebagai berikut: Kami siswa siswi pondok WALI BAROKAH Kediri. Dengan ini berjanji: a. Menjunjung tinggi perintah agama Islam

103

b. Horamat dan patuh kepada orang tua dan guru, serta orang-orang yang berhak dihormati c. Mentaati peraturan-peraturan pondok d. Bersungguh-sungguh menjalankan tugas kami, sebagai siswa siswi pondok, dan sangat menjaga nama baik pondok. e. Tetap menjaga budi luhur-luhuring budi, semuanya kami kerjakan dengan niat karena Allah. Janji bakti ini menurut keterangan dari Suparjo, Ketua LDII Kota Kediri dibaca setiap siswa siswi yang mengikuti apel bendera yang dilaksanakan setiap hari Minggu pagi dari jam 06.00-07.00 di halaman komplek Pondok Pesantren Burengan Kediri. Dalam upacara itu juga dilaksanakan pengibaran dan hormat bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya serta lagu wajib lainnya. Para santri yang tidak terkena tugas lain yang lebih penting wajib mengikuti upacara setiap seminggu sekali itu (Wawancara dengan Suparjo, Ketua LDII Kota Kediri, Kediri 22-2-2016). Suparjo menambahkan bahwa bai‟at sekarang tidak menjadi persaratan mutlak, hanya berupa janji setia dan komitmen seorang agar tetap konsisten dengan jamaah serta Amir atau pemimpinnya. Ustadz Azis membenarkan hal tersebut, ia pun mengatakan bahwa para sahabat juga berbai‟at kepada Nabi, berjanji setia dan membelanya. Bahkan dalam satu amalan saja ia juga berbaiat untuk secara sungguh berjanji untuk mengamalkan amalan itu. Prinsipnya tidak boleh sampai mengkultuskan seseorang, baik itu seorang guru atau pemimpin sekalipun. Bentuk ketaatan terhadap Amir bagi LDII adalah merupakan bagian dari bentuk taat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, sehingga taat disini ialah mentaati semua perintah-perintahnya Allah, Rasul-Nya dan taat kepada pemimpin/Amir dan menjauhi semua yang dilarangnya berdasarkan dalil Q.S.An-Nisa‟: 13-14, yang artinya: “..Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukannya kedalam surga..(Q.S.An-Nisa‟ 13). “Barangsiapa yang mendurhakai Allah Swt. dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan- ketentuannya, niscaya Allah memasukannya kedalam api neraka (Q.S.An-Nisa‟ 14).

104

Di dalam hadis juga disebutkan bahwa: “Barangsiapa menaati saya (Nabi Muhamad) maka mentaati Allah, dan barangsiapa mengkhianatiku maka mengkhianati Allah dan barangsiapa mentaai Amir (pemimpin) maka ia mentaati saya (Nabi Muhamad SAW), barangsiapa mengkhianati Amir (Pemimpin) maka mengkhianati saya”. (H.R. Muslim, dalam kitab Imarat).

Ust. Abdul Azis (2016) menjelaskan bahwa yang dimaksud taat kepada Allah Swt., taat pada Rasul dan taat pada Imam Amir, penasehat/ penata agama adalah taat yang diwajibkan oleh Allah Swt. dengan merujuk kepada ayat al- Qur‟an: “..hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu...Q.S.An-Nisa: 59).

Dengan dasar ini mereka tidak membedakan antara ketaatan kepada Allah, Rasul-Nya atau Amirnya. Semua perintah harus dilakukan dan semua larangan harus ditinggalkan, tidak terbatas pada perintah dan larangan Allah dan Rasul- Nya, melainkan perintah dan larangan Amirnya juga harus ditaati sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan Hadis. Ayat al-Qur‟an dan Hadis diatas menunjukkan bahwa Amir merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah al-Qur‟an dan Hadis Nabi. Aturan-aturan di atas dikembangkan dalam doktrin “sistem 354” (3= al-Qur‟an, hadis, jamaah) (5=Program 5 bab berisi janji/ sumpah bai‟at kepada Amir: 1. Mengaji, 2. Mengamal, 3. Membela, 4. Sambung jamaah, dan 5. Taat kepada Allah, Rasul, Amir) dan (4=Tali pengikat Imam yang terdiri dari: 1. Syukur pada Amir, 2. Mengagungkan Amir, 3. Bersungguh-sungguh, 4, Berdo‟a). Menjadi Amir karena Allah, selama nasehat-nasehat Amir itu dalam kondisi tidak maksiat dan tidak menimbulkan kerugian serta kerusakan bagi masyarakat dan negara, adalah merupakan ibadah agama, dan sekali-kali bukanlah suatu kultus individu (pemujaan pribadi). 4.7.2 Baiat Menurut JAS

105

Baiat adalah membuat perjanjian setia antara individu dengan pimpinan. Apabila si A dan si B berbaiat akan melaksanakan salat Subuh di masjid, setiap hari berjamaah, maka baiat itu disebut baiat shugra (kecil). Baiat Kubra adalah baiat yang dilakukan oleh seseorang kepada pimpinan (khalifah). Baiat tidak harus dilakukan dengan tatap muka, boleh baiat satu persatu atau rombongan (jamaah). Dalam berbaiat boleh dilakukan dengan berjabat tangan atau tidak berjabat tangan, itu hanya masalah teknis. JAS memiliki konsep baiat yang ditujukan untuk para anggotanya dan disebut dengan mu‟ahadah (perjanjian). Apabila ada anggota baru dalam JAS, maka dilakukan bai‟at atau mu‟ahadah terhadap orang tersebut yang dinamakan dengan bai‟at shugra. Dalam bai‟at tersebut anggota JAS berjanji akan menegakkan syariat Islam secara bersama-sama. Apabila seseorang melanggar bai‟at, maka ia harus membayar kafarat bai‟at, apabila dalam bai‟at tersebut disebut nama Allah Swt. Sebagai contoh ia berbaiat:”saya berjanji demi Allah (wallahi) akan melakukan dan memperjuangkan syariat Islam di dalam negara Indonesia. Apabila di dalam bai‟at tersebut tidak menyebut nama Allah Swt. , ia tidak dikenai membayar kafarat. Contoh bai‟at yang tidak memerlukan pembayaran kafarat: “Saya berjanji akan melakukan dan memperjuangkan syariat Islam di dalam negara Indonesia”. Pada hakekatnya bai‟at sama dengan sumpah apabila dilakukan atas nama Allah Swt. 4.8 Konsep Khilafah 4.8.1 Khilafah Menurut Ittibaus Sunnah Khilafah dalam pandangan ulama salaf murni (yang sepaham dengan Ma‟had Ittiba‟us Sunnah) seperti dijelaskan Luqman Ba‟abduh; sebuah khilafah yang didirikan di atas tauhid dan dakwah menuju kepada tauhid, ditegakkannya Sunnah Rasulullah serta dakwah menuju kepada as Sunnah. Kemudian memerangi kemusyrikan dengan berbagai bentuknya, sehingga tidak ada lagi peribadatan yang diberikan kepada selain Allah. Diperanginya segala bentuk bid‟ah baik dalam akidah, ibadah, maupun muamalah. Ditegakkannya syariat Islam oleh setiap muslim sebelum ditegakkan oleh pemerintahnya. Kondisi masyarakatnya senantiasa mengutamakan dan mementingkan ilmu syar‟i, jauh

106 dari kungkungan filsafat dan pengagungan rasio. Masyarakatnya taat dan patuh kepada pemerintah serta menegakkan jihad syar‟i bersama pemerintah. Dalil-dalil yang dijadikan landasan pemikiran oleh kelompok ini adalah QS Al Baqarah: 30, QS. Shad : 26, QS. Al An‟am : 165, QS Yunus : 14, 73, QS. QS Fathir: 39, QS Al A‟raf : 74, QS An Naml : 62, QS an Nur : 55, QS Al Anbiya : 25, QS Yunus : 32, QS An An‟am : 153, dan ayat ayat lain. Dalam sebuah yang dikutip Luqman Ba‟abduh yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Hudzaifah Nabi bersabda:” Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat atau menghilangkannya kalua Allah menghendaki. Lalu aka nada masa khilafah di atas manhaj nubuwah selama Allah menghendaki, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki.Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat selama Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya selama Allah kehendaki.Lalu akan nada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki.Lalu aka nada lagi masa kekhalifahan di atas manhaj nubuwah.Kemudian beliau diam. Konsep khilafah Islamiyah akan dapat terwujud apabila sebab-sebab utama dapat diwujudkan. Pertama, kembalinya umat Islam secara menyeluruh kepada bimbingan Al Qur‟an dan as Sunnah, sesuai dengan apa yang telah dipahami dan diamalkan oleh Salaful Ummah. Sehingga dengan itu mereka selamat dari berbagai macam bentuk bid‟ah dan kesesatan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya : “ Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku. Keduanya tidak akan berselisih sampai keduanya mendatangiku di Al Haudh. Kemudian sebab utama kedua yaitu, terealisasinya keimanan yang murni dan benar dalam semua perkara yang telah Allah wajibkan untuk dipercayai secara kaffah (menyeluruh). (Luqman, 2014 : 316). Ketiga, merealisasikan dakwah tauhid dan pembenahan akhlak umat. Hal ini sebagaimana telh dijelaskan dalam al Qur‟an surat an Nahl 36 dan Al Anbiya 25. Kemudian keempat, kesungguhan di dalam menuntut ilmu Dinul Islam dari sumbernya yang asli dan referensinya yang terjamin, yaitu para ulama Ahlus Sunnah wal jamaah.

107

Dalam pandangan kelompok ini, khilafah Islamiyah yang didambakan oleh kelompok lain dengan cara-cara yang bathil adalah menyalahi manhaj salafy. Seperti khilafah Islamiyah yang diperjuangkan kelompok HTI untuk mendirikan daulah Islamiyah. (Luqman, 2014 : 320). Berikut adalah cara-cara sesat yang dilakukan oleh kelompok diluar manhaj salafy.Pertama, penyelesaian problem umat melalui jalur politik dengan ikut terjun langsung atau tidak langsung dalam panggung politik dengan berbagai macam alasan membenarkan tindakan mereka.Kedua, melalui tindakan atau gerakan kudeta atau revolusi terhadap penguasa yang sah, dengan alasan mereka telah kafir karena tidak menerapkan hukum atau syariat Islam dalam praktik kenegaraannya.Cara-cara tersebut adalah tidak sesuai dengan manhaj salaf, hal ini telah dipraktikkan oleh kelompok- kelompok radikal seperti Jamaah Islamiyah, dan kelompok-kelompok yang sepaham dengan dengan khawarij dan yang sudah keluar dari manhaj salaf. Tokoh-tokoh yang dianggap telah keluar dan dianggap sesat dari Ahlus Sunnah wal jamaah adalah Abul A‟la al Maududi dan Sayyid Qutub.Sebab menurut kedua tokoh ini, terutama al Maududi dalam pernyataannya bahwa tujuan kita yang paling tinggi adalah mengadakan regakan penggulingan kepemimpinan.Lebh lanjut al Maududi berkata, “Jika seseorang ingin membersihkan bumi ini dan menukar kejahatan dengan kebaikan, tidak cukup bagi mereka hanya dengan berdakwah mengajak manusia kepada kebaikan dan mengagungkan ketakwaan kepada Allah serta menyuruh mereka berakhlak mulia.Akan tetapi, mereka harus mengumpulkan beberapa unsur (kekuatan) manusia yang saleh sebanyak mungkin, kemudian dibentuk sebagai suatu kekuatan untuk merebut kepemimpinan dunia dari orang-orang yang kini sedang memegangnya dan mengadakan revolusi. (Luqman, 2014 : 323). Pemikiran al Maududi di atas, memiliki kesamaan dengan Sayyid Qutub bahwa untuk membentuk pemerintahan yang berdasarkan daulah Islamiyah salah satu caranya dengan cara kudeta. Pemikiran-pemikiran tersebut adalah tidak sesuai dengan tujuan utama dakwah para nabi. Ulama salaf al-Imam Abu Hasan al Mawardi sebagaimana dinukil oleh Luqman Ba‟abduh (2014 : 324) berpendapat bahwa khilafah

108

Islamiyah hukumnya fardhu kifayah. Jika telah pasti tentang wajibnya penegakan al Imamah (kepemimpinan/kepemerintahan), tingkat kewajibannya adalah wajib kifayah, seperti kewajiban jihad dan menuntut ilmu. Ulama lain asy Syaikh Rabi‟ bin Hadi al Madkhali menjelaskan bahwa masalah al Imamah adalah tergolong dalam masalah furu‟, demikian pula pendapat Imam Haramain.Al Imamah tidak lebih dari sebatas wasilah (sarana) yang berfungsi sebagai pelindung terhadap agama dan politik di dunia.Dalil tentang hal ini masih diperselisihkan di antara para ulama. Sementara itu, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kelompok yang memiliki pendapat bahwa al Imamah merupakan fadrhu „ain merupakan perbuatan kufur, sebab masalah iman kepada Allah dan Rasulnya adalah permasalahan yang jauh lebih penting dari pada masalah al Imamah. Demikian pula asy Syaikh Rabi‟ bin Hadi al Madkhali menyatakan bahwa sesungguhnya permasalahan yang terpenting yang di bawah para nabi adalah permasalahan tauhid dan iman. Hal ini sebagaimana firman Allah di bawah ini. “ Dan sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap umat seorang rasul (dengan tugas menyeru) beribadahlah kalian kepada Allah (saja) dan jauhilah oleh kalian thagut ”. (QS. An-Nahl: 36)

Dengan demikian bahwa tujuan utama dari agama yang paling hakiki dan tujuan penciptaan jin dan manusia, serta tujuan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah peribadatan kepada Allah (tauhid) serta pemurnian agama. Dalam konteks ke-Indonesiaan, khilafah Islamiyah tidak menjadi tujuan utama dari manhaj salafy (Ma‟had Ittiba‟us Sunnah dan yang sepaham dengan ma‟had ini).Tujuan utama dari kelompok salafy ini adalah berdakwah sesuai dengan salafy, menanamkan akidah salafy, dan manhaj salafy. Hal ini berbeda dengan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia yang memiliki tujuan untuk mendirikan negara Islam. Hal ini sebagaimana dijelaskan (Suhaimi, 2014 : 304) bahwa HTI bermaksud mewujudkan kembali daulah khilafah Islamiyah di muka bumi, merupakan tujuan utama yang melatarbelakangi berdirinya HT dan segala aktifitasnya. Yang dimaksud khilafah adalah kepemimpinan umat dalam suatu

109 daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khilafah) yang dibai‟at oleh umat. Dengan demikian telah jelas bahwa kelompok salafy tidak mempunyai cita-cita untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Mengenai hal ini, kelompok salafy melarang umat muslim melakukan aksi kudeta terhadap penguasa yang sah. Hal ini sebagaimana penjelasan sebuah hadis di bawah ini: “Dari„Arfajah al-Asyja‟i berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul atau bersatu dalam satu kepemimpinan, kemudian dia ingin memecahkan persatuan kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka perangilah/bunuhlah orang tersebut. HR Muslim. Melalui penjelasan ayat dan hadis di atas, menurut (Abu Ishaq, 2014 : 333 – 334) telah jelas bahwa hukum orang yang memecah belah urusan muslimin dalam keadaan mereka telah berkumpul atau bersatu pada perkara tersebut adalah wajib diperangi. Makna hadis di atas dalam lafadz yurīdu an yasyuqqa „aṣākum berarti dia ingin memecahkan tongkat kalian. Dalam lafadz ini maknanya ia (mereka) ingin memecah belah jamaah kalian sebagaimana tongkat dibelah-belah. Hal ini merupakan ungkapan berselisihnya kalimat dan menjauhi jiwa-jiwa. Lafal selanjutnya dari hadis ini adalah faqtulūh (maka bunuhlah orang-orang tersebut). Kelompok-kelompok yang ingin memberontak terhadap pemerintahan yang sah sebagaimana penjelasan ayat dan hadis di atas, hukumnya wajib diperangi.Seperti kelompok-kelompok yang menisbahkan dirinya atau kelompoknya pada Islam atau agama yang mulia ini, sementara agama yang mulia ini berlepas diri dari hal tersebut. Karena itu agama tidak mengajarkan pemberontakan dan tidak ridha terhadap pemberontakan kepada pemerintah kaum muslimin (Abu Ishaq, 2014 : 337). Mengenai hal ini, Afifuddin (28-2-2016) menjelaskan bahwa aksi bom yang dilakukan kelompok Imam Samudra dan teman-temannya adalah bukan jihad karena itu sudah melenceng dari akidah tauhid.Dengan terjadinya aksi bom tersebut, terjadi opini di masyarakat. Lebih lanjut Afifuddin menjelaskan :

110

Masyarakat mengkait-kaitkan tindakan terror, anarkis, bom dengan Salafy.Masyarakat menduga bahwa pelaku terror, gerakan radikal dilakukan oleh salafy, mereka yang memiliki pandangan Salafy, mereka yang berdakwah dengan salafy. Pembicaran tentang Salafy menarik di kalangan muslim di Indonesia. Terbentuk sebuah opini bahwa salafy tidak jauh dari radikalisme, aksi, anarkisme dan tindakan-tindakan terror. Ujung-ujungnya adalah teroris. Saat ini banyak kelompok yang mengklaim sebagai salafy di dunia ini termasuk di Indonesia. Aksi-aksi bom tersebut adalah sangat jauh dari ajaran salafy, ajaran kelompok salafy menitikberatkan kepada akidah tauhid yang berdasarkan salaf, manhajnya adalah salafy, dan dakwah salafy.

Penjelasan di atas, menurut (Abu Ishaq, 2014 : 337) merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Penegakan syariat Islam dan khilafah Islamiyah yang ingin mereka lakukan adalah sekedar isapan jempol semata-mata dan mereka telah membuat huru-hara, mengacaukan keamanan, dan menyudutkan Islam serta kaum muslimin. Konsep khilafah yang diusung oleh kelompok salafy murni (dalam hal ini Ma‟had Ittiba‟us Sunnah dan kelmpok yang sepaham dengan kelompok ini), mempunyai konsep yang berbeda dengan kelompok salafy Ikhwani yang mempunyai cita-cita mendirikan khilafah islamiyah. Kelompok salafy murni, menurut (Binder, 2001 : 250) meskipun mereka cenderung skripturalis, akan tetapi dalam hal ketaatan kepada pemerintah, mereka tidak akan melakukan kudeta. Kelompok ini akan mentaati pemerintah meskipun dipimpin oleh seorang pemimpin yang jahat. 4.9 Konsep Wala wa al-Bara 4.9.1 Menurut Ittibaus Sunnah Menurut kelompok Ahlus Sunnah (Ma‟had Ittiba‟us Sunnah dan yang seideologi) dengan mereka, salah satu hak yang harus ditunaikan dalam prinsip al- Wala‟ wal Bara‟ adalah amar ma‟ruf nahi munkar yang juga merupakan penyempurnaan seluruh prinsip pokok Ahlus Sunnah wal jamaah. Kata al Bara‟ secara Bahasa berasal dari Bahasa Arab yang mempunyai banyak arti, antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri, dan

111 memusuhi. Hal ini diterangkan dalam al Qur‟an surat at Taubah ayat 1 yang artinya : “Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan rasulNya kepada orang-orang musyrik yang kamu (kaum muslimin) mengadakan perjanjian (dengan mereka).

Maksud ayat di atas, menurut kelompok salafy artinya membebaskan diri dengan peringatan tersebut. Dalam terminologi Islam, al Bara‟ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan mereka. Dengan demikian, ciri utama al bara‟ adalah membenci apa yang dibenci Allah secara terus menerus dan penuh komitmen. Menurut (Muhammad Harits Abrar, 2014: 123), Amar ma‟ruf nahi munkar adalah salah satu wasilah utama tentang al Wala wal Bara‟ yang Allah perintahkan.Mengenai hal ini, bahkan Allah menjadikannya sebagai karakter para nabi dan rasul, sebagai tanda bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, sekaligus sebagai bukti kebaikan dan kesuksesan mereka di dunia dan akhirat.Dalil yang menjelaskan tentang hal ini adalah sebagaimana ayat di bawah ini. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. (QS. An-Nahl : 90)

Ayat lain yang menjelaskan tentang hal ini adalah surah al-A‟raf : 157, 159, Ali Imran 110, at Taubah 47, 71, an Nisa 135, al-Anfal 25, an-Nahl 125, Thaha 43-44, at-Tahrim 9, al Hujurat 9, dan al Mujadilah 22. Dalam penjelasan ayat-ayat tersebut, secara umum menjelaskan tentang berbuat kebajikan dan mencegah kepada kemungkaran. Mengenai al Wala‟ wal Bara‟, Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukil (Muhammad Harits Abrar, 2014: 124) menjelaskan, bahwa amar ma‟ruf nahi munkar adalah kritik terhadap berbagai kesalahan atau penyimpangan dan menjelaskannya kepada manusia. Lebih lanjut Ibnu Taimiyah menyatakan; “Dai yang mengajak kepada satu bid‟ah berhak menerima hukuman, menurut kesepakatan kaum muslimin.

112

Hukuman itu kadang berupa hukuman mati atau hukuman yang lebih ringan, sebagaimana salafus salih menghukum mati Jahm bin Shafwan, Ja‟d bin Dirham, Ghailan al Qadari dan lain-lain. Seandainya dia dianggap tidak berhak dihukum atau tidak mungkin dihukum seperti itu, maka menjadi sebuah keharusan untuk diterangkan kebid‟ahannya dan men-tahdzir (memperingatkan) manusia supaya menjauhinya. Penjelasan al Wala‟ wal Bara‟ menurut Afifuddin (28-2-2016) bahwa penyimpangan yang terjadi di tubuh kelompok salafy di Indonesia, terjadi sekitar tahun 1990-an. Saat itu mulai terjadi fitnah. Awal terjadinya persimpangan dengan sesama Salafy terjadi pada tahun 1995 jauh sekali sebelum Ambon. Di Yogya Bin Baz, al-Furqon, Bogor Jawas. Itu generasi awal. Sekarang yang muda-muda, TV Roja radio Roja. Secara dhohir sama, tapi sesungguhnya berbeda. Bahwa yang membedakan antara satu Salafy dengan yang lain adalah ideologinya. Karena masalah muamalah dengan orang yang menyimpang yayasan menyimpang, dakwah menyimpang, dana menyimpang. Itu terjadi karena terkait penyandang dana As Sofwa, Haramain, Darul Quro, Kuwait, Darul Birr dan lain. Tidak semata-mata mengucurkan dana. Sebagian pihak ada yang menolak ini ada udang dibalik batu. Umar Syewed itu mantan.Ja‟far Umar Tholib itu mantan guru saya.Kita dalam Islam ada prinsip al wara wal barra.Itulah pada saat itu muncul adanya al wara wal barra cinta dan benci.Muslim-muslim tapi mereka menyimpang kita menjauh.Teroris jauh itu kita jauhi, syiah kita jauhi kenapa pemahaman berbeda. Awalnya urusan dana akhirnya berimbas ke ideologi. Mulai terjadi fitnah sekitar tahun 1990-an. Muhammad bin Surur. Ada yang namanya pemahaman Sururiyah.Mengkafirkan penguasa itu ideologi sururiyah. Dunia dakwah rata-rata ikut dengan yang menyimpang tadi .generasi satu liting menerima dana semua yang tidak mau Saat itu terjadi penyimpangan antara Ja‟far Umar Thalib dan Muhammar Umar as Syewed Cirebon. Pada kasus jihad ditengah-tengah perjalanan terjadi persimpangan dengan panglima Ja‟far Umar Thalib yang luar biasa.Itu pergulatan berupaya.Pertengkaran dengan panglima luar biasa.Dari para ustad.Keterkaitan dengan penguasa pasca peristiwa Ambon.Ja‟far Umar Thalib sendirian anak buahnya para preman.Dulu guru saya, dulu sama-sama jawa timurnya.Gak pernah bertemu.Keras permusuhan dengan kita.Karena saya tahu kartu ASnya.Mereka sudah semakin jauh.Kelompok Abu Abu Bakar di Ambon mereka lari kita yang maju.Di antara yang paling mereka musuhi adalah kelompok salafy kita.Di persimpangan jalan mereka di awal dengan salafy.Ini awalnya mulai terjadi perbedaan.Dengan kelompok Abu Bakar Ba‟asyir yang menyimpang juga benci dengan kelompok kita salafy murni.Fatwa dari Timur Tengah. Jamaah Tabligh beda dengan kita. Ada kelompok mereka ulfah kecenderungan hati.PKS masuk IM Sayid Qutub,

113

lewat jalur parlemen.Wajahnya banyak dhohir mirip-mirip.Yang membedakan ideologinya.Kelompok mereka datang silatrurrahim tidak ada sejarahnya.

Menurut (Abu Ihsan al-Atsari, 2014 : 32) fitnah terjadi karena kelompok- kelompok tersebut sudah melampaui batas (ghulūw). Sikap (ghulūw) [melampaui batas atau radikal], dalam agama adalah melampaui batas yang dikehendaki oleh syariat, baik dalam keyakinan maupun amalan. Sikap ini oleh kelompok salafy dilarang dan tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Sikap berlebih- lebihan tidak membuahkan hasil yang baik dalam semua urusan, terlebih lagi dalam urusan agama. Demikian pula tindakan makar terhadap pemerintah termasuk penyimpangan seperti yang dilakukan sekelompok orang dengan melakukan aksi bom bunuh diri, dan ini bukan termasuk bagian dari ajaran Islam, karena Imam Samudra dan kelompoknya sudah melampaui batas dalam berjihad dengan menisbahkan kepada agama. Dalil yang menguatkan tentang larangan bersikap (ghulūw) adalah firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 77. Katakanlah “hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum) kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.

Sikap berlebih-lebihan dalam beragama menurut Imam Syatibi termasuk bid‟ah.Lebih lanjut dijelaskan tentang hakikat bid‟ah adalah metode baru dalam agama yang diada-adakan dan bentuknya seolah-olah seperti ibadah padahal bukan, serta tujuan pelaksanaannya adalah berlebih-lebihan dalam mendekatkan diri kepada Allah.(Abu Ihsan al-Atsari, 2014 : 33). Terdapat beberapa istilah tentang sikap (ghulūw).Pertama, tanaṭu‟ (sikap berlebihan tak karuan); kedua, tasyaddud (memberat-beratkan diri); ketiga, i‟tidā (melampaui ketentuan syariat); dan takalluf (memaksa-maksa diri). Terkait dengan barra (berlepas diri kepada yang lain [kafir]), (Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, 2015 : 44 - 48) menjelaskan bahwa propaganda-propaganda sesat telah mendangkalkan umat Islam tentang kebenaran Islam. Propaganda tentang semua agama baik, kebersamaan antar agama, perhimpunan agama

114 samawi, persatuan agama-agama tingkat nasional, persatuan antar agama-agama internasional, dialog antar agama, dan istilah-istlah lain, adalah menyesatkan umat Islam. Oleh karena itu, menurut kelompok salafy bersikap Bara‟ hukumnya wajib, akan tetapi dalam hal muamalah hukumnya boleh selama dibenarkan dalam syariat Islam. Kelompok yang harus disikapi dengan sikap Bara‟ (berlepas diri dari kekufuran) adalah; 1) membenci syirik dan kufur beserta penganutnya; 2) meninggalkan negeri-negeri kafir dan tidak bepergian ke sana; 3) tidak menyerupai orang-orang kafir; 4) kaum muslimin diperintahkan untuk menyemir rambut dan menyemir uban (dengan warna selain hitam) karena orang yahudi tidak menyemir rambut dan tidak mengubah warna uban; 5) tidak mendukung, memuji dan membantu orang-orang kafir; 6) tidak menjadikan orang-orang kafir sebagi wali; 7) tidak tinggal bersama orang kafir; 8) tidak meminta bantuan kepada orang kafir; 9) tidak terlibat dengan mereka dalam hari raya; dan 10) tidak mengucapkan salam kepada mereka. Berdasarkan penjelasan Afifuddin, dan tokoh-tokoh di atas mengenai al Wala wal Bara‟ dapat ditarik benang merah bahwa, bahwa mereka yang tidak seideologi dengan mereka meskipun muslim namun mereka sudah menyimpang maka menurut salafy murni mereka wajib diselisihi (ditahdzir) dalam hal ideologi. Demikian pula seorang muslim harus bersikap Bara‟ kepada orang kafir. Perselisihan yang terjadi dikalangan kelompok salafy, jika dianalisis lebih lanjut karena persoalan dunia. Mereka yang menerima bantuan aliran dana dari At Turats, As Sofwa, Darul Birr, dan aliran dana lain adalah sudah menyimpang dari kelompok salafy. Dalam teori sosial, sebagaimana dijelaskan (Golose, 2010: 47-49) bahwa mereka yang tidak sepaham dengan kelompoknya meskipun sama-sama salafy, mereka mempunyai sikap bara‟ yaitu mereka solidaritas sesama sehingga mereka tidak bersedia bekerjasama dengan orang yang dianggap keluar dari salafy dan mereka yang telah kafir. Dengan demikian konsep-konsep yang ditulis oleh kelompok salafy murni, mereka bara‟ dan mentahdzir mereka yang meskipun awalnya salafy tapi kemudian keluar dari salafy maka perintahnya tidak wajib ditaati, bahkan menurut

115 kelompok ini meskipun awalnya merupakan guru mereka, jika dianggap sudah tidak sesuai dengan salafy murni hukumnya wajib ditinggalkan. Tindakan kelompok ini dalam teori sosial termasuk radikal secara ideologi. 4.10 Konsep Takfiri Umat Islam tidak diperkenankan mengkafirkan umat Islam yang lain, selagi umat Islam yang lain masih jelas ke-Islamannya. Janganlah mudah mengkafirkan orang Islam meskipun orang itu bersikap ekstrim dan memusuhi umat yang lain. Pada zaman Rasulullah Saw. orang-orang seperti itu sudah ada. Hal itu terjadi ketika Rasulullah Saw. membagi harta rampasan dari peperangan (ghanimah) kepada sahabat Muhajirin diberi lebih banyak dari pada sahabat Anshar. Para sahabat Anshar sudah taat kepada Rasulullah Saw. dan menerima bagian itu. Tetapi datang seseorang dan mengatakan:”Ya Rasulullah, takwalah kamu kepada Allah Swt. berbuat adillah kamu.” Mendengar perkataan tersebut Rsaulullah Saw. marah dan bersabda:” kalau bukan saya yang bertakwa kepada Allah Swt. maka siapa yang lebih takwa kepada Allah Swt. dari pada saya?.” Inilah benih-benih orang yang keras, ekstrim dan selalu menyalahkan kepada umat Islam yang lain. Orang-orang ekstrim ini timbul lagi pada zaman khalifah Ali r.a yang kemudian terkenal dengan nama kaum Khawarij. Kaum Khawarij ini selalu memerangi umat Islam yang lain dan menganggap mereka kafir. Khalifah Ali ketika ditanya tentang mereka, apakah mereka sudah kafir? Khalifah Ali r.a menjawab; “ Mereka adalah saudara kita kaum muslimin, hanya saja mereka terlalu keras dan nakal.” Pada saat sekarang ini, ISIS termasuk kaum muslimin yang mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka, memerangi dan membunuh umat lain yang tidak tunduk dan bergabung dengan mereka. JAS tidak memiliki paham bahwa orang-orang diluar JAS adalah kafir, tetapi mereka kaum muslimin dan JAS selalu bekerja sama dengan mereka dalam menegakkan dan memperjuangkan berlakunya syariat Islam di Indonesia. JAS mengikuti imam madzhab yang empat dan salat bersama umat Islam. Menghadapi orang-orang yang ekstrim seperti yang telah disebutkan, JAS mengedepankan dialog, menyadarkan mereka, tidak diperkenankan mengkafirkan orang yang lain

116 selagi umat Islam itu masih teguh memegang Islam. Karena ada umat Islam yang batal ke-Islamannya karena perbuatannya sendiri, seperti orang Islam yang mengatakan kepada orang Islam lain kafir, maka perkataan kafir ini akan berbalik kepada dirinya. Demikian pula orang Islam yang tidak mengakui kewajiban melakukan salat padahal shalat itu wajib, maka ia termasuk orang Islam yang sudah keluar dari Islam dengan sendirinya. Untuk negara Indonesia tidak ada kafir dzimmi (orang kafir yang dilindungi) karena Indonesia bukan negara Islam. Dengan begitu secara hukum diperbolehkan (halal) diambil harta mereka untuk perjuangan. Tetapi apabila menimbulkan fitnah, dan menimbulkan persangkaan seperti merampok, mencuri dan lain-lain hal tersebut janganlah dilakukan. 4.11 Konsep Dar al-Harbi (Darul Harbi) Darul Harbi adalah suatu daerah atau negara yang secara hukum tidak berdasarkan syariat Islam. Negara semacam ini disebut pula Darul Kufri walaupun penduduknya mayoritas beragama Islam. Darul Harbi ada 2 macam, darul harbi secara status dan darul harbi secara wilayah. Darul Harbi secara status seperti negara Indonesia ini, karena negara tidak berdasar syariat Islam, maka kita harus jihad, menegakkan syariat Islam. Darul harbi secara wilayah adalah ketika di wilayah tersebut sedang terjadi peperangan antara umat Islam dengan umat kafir, maka kita wajib ikut berperang melawan orang-orang kafir sampai titik darah penghabisan menjadi syahid. Pada saat ini, darul harbi secara wilayah adalah negara Suriah. Kemudian yang disebut negara Islam adalah suatu negara yang berdasarkan syariat Islam serta menjalankan berlakunya hukum-hukum Islam, dan para penguasanya beragama Islam, walaupun penduduknya mayoritas bukan beragama Islam, tetapi tunduk keapada hukum Islam. Mereka para penduduk yang tidak beragama Islam ini disebut kafir dzimmi yang harus dilindungi hak-hak mereka, baik dalam hukum maupun harta miliknya.

117

4.12 Konsep Tathbiqus Syariah Islam (penegakan Syariat Islam) 4.12.1 Tathbiqus Syariah dalam pandangan Irfan S Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah MM Irfan S Awwas pernah diwawancarai oleh oleh Majalah Saksi pada tahun 2000, dan hasil wawancara tersebut dimuat dalam buku terbitan Majelis Mujahidin yang berjudul Konggres Mujahidin I dan Penegakan Syariah Islam. Beberapa pendapat Irfan S Awwas tersebut menjadi kutipan dari bab pembahasan konsep Tathbiqus Syariah ini. Sejak awal Majelis Mujahidin telah menetapkan gagasan Tathbiqus Syariah sebagai misi utama berdirinya Majelis Mujahidin berdasarkan keterangan berikut ini. Pertama menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk memberlakukan syariah Islam dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan juga negara. Kedua, mengimbau kepada seluruh ummat beragama supaya masing- masing kembali kepada ajaran agamanya (Majelis Mujahidin (a), 2001:224)

Penjelasan tentang makna syariat bahwa secara lughawi syariat berarti saluran air (di bawah tanah), sebuah mata air, sumber kehidupan (Awwas, 2015:141). Irfan menjelaskan makna syariat secara istilah berdasarkan pendapat para ahli ushul fikih, bahwa syariat berfungsi mengayomi dan menjamin keselamatan manusia, yang mencakup lima tuntutan pokok, yaitu pertama hifzhuddin, menjamin kemerdekaan untuk beragama (surat al-Baqarah (2) ayat (256) kedua hifzhul „aql, melindungi akal dari pengaruh yang merusak fungsi akal dalam kehidupan manusia (surat al-Maidah (5) ayat 90) ketiga, hifdzunnasl menjaga keturunan agar jelas nasabnya dengan orang tuanya (surat an-Nisa (4) ayat 3 dan al-Isrâ‟ (17) ayat 32. keempat hifdzunnafs, mengayomi dan menjamin keselamatan hidup manusia, baik sebagai hak pribadi maupun hak bersama dan kelima, hifdhulmâl, menjamin dan melindungi hak kebendaan manusia, baik sebagai hak pribadi maupun hak bersama. (Awwas, 2015: 141 -142) Bagi Irfan S Awwas, ajaran dan syariat Islam sebagai wahyu dari Allah Swt. sudah sempurna sehingga akan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan umat manusia dari jaman dahulu hingga sekarang. Sejarah telah mencatat bukti

118 nyata dari keyakinan tersebut yakni Islam pernah menjadi penguasa sejak zaman Nabi Saw. hingga masa Turki Utsmani berakhir tahun 1924 (Majelis Mujahidin (a), 2001:224) Dasar penetapan kembali syariat Islam di Indonesia adalah kenyataan sejarah terbentuknya bangsa Indonesia. Penerapan syariat Islam di Indonesia pernah dilakukan meskipun hanya berumur 1 hari dengan diberlakukannya Piagam Jakarta () beserta 7 kata keramat yang kemudian dihapus. Sejarah bangsa ini mencatat tentang awal mula perumusan Pancasila berasal dari terbentuknya panitia kecil dengan tugas merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan isi pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, dan dokumen pidato tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia merdeka (Awwas, 2009: 124). Panitia kecil selanjutnya dipilih kembali menjadi 9 orang yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Mudzakkir, Hjai , Ahmad Subarjo, K.H. A. Wakhid Hasjim dan Muh. Yamin. Panitia kecil itu menyetujui rancangan Preambule (pembukaan) yang disusun oleh Soekarno dan kawan-kawan. Preambule inilah yang kelak dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta atau The Jakarta Charter. Bunyi rancangan naskah Piagam Jakarta yaitu: “ …maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari‟at Islam bagi bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Piagam Jakarta yang telah disepakati oleh tim 9 tersebut ternyata diprotes pada sidang kedua BPUPKI tertanggal 11 Juli 1945 oleh Latuharhary seorang penganut Protestan yang merasa keberatan dengan kalimat:”…dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…”(Awwas, 2009: 125). Pendapat dan usulan dari Latuharhary dimentahkan oleh Soekarno dengan menyatakan bahwa piagam tersebut merupakan hasil kompromi golongan Islam dan kebangsaan.

119

Soekarno selanjutnya membentuk Panitia Kecil Perancang Undang- Undang Dasar yang beranggotakan 7 orang, di antaranya: Supomo, Ahmad Subarjo, Wongsonegoro, dan lainnya. Panitia kecil ini mulai bekerja pada tanggal 14 Juli 1945. Sidang panitia kecil menyepakati Piagam Jakarta sebagai Mukaddimah UUD atau Preambule UUD Negara Republik Indonesia yang akan diproklamirkan (Awwas, 2009: 126) 4.10.2 Penerapan Tathbiqus Syariah dalam Masyarakat Konsep penerapan Tathbiqus Syariah diformulasikan dalam 3 bentuk yaitu kebersamaan dalam missi menegakkan Syari‟ah Islam (tansiqul fardi), kebersamaan dalam program menegakkan Syari‟ah Islam (tansiqul „amali), dan kebersamaan dalam satu institusi Penegakan Syari‟ah Islam (tansiqun nidhami) (Majelis Mujahidin (b), 2001: 16). Menurut Humas MM, Harun Sardjono (wawancara, 2 Pebruari 2016) konggres MM pertama telah merumuskan perlunya sosialisasi tentang UUD 1945 sesuai syariat. Langkah-langkah yang dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: a. Mensosialisasikan syariat Islam bagi pemeluknya b. Mensosialisasikan hukum pidana yang sesuai dengan syariat Islam c. Mensosialisasikan bagaimana tata cara bernegara menurut syariat Islam d. Mensosialisasikan bagaiamana membangun perekonomian menurut syariat Islam. Bapak Harun selanjutnya mengemukakan bahwa keempat langkah sosialisasi syariat Islam tersebut hingga kini yang baru bisa diwujudkan adalah poin a dan b, sedangkan poin c dan d belum terbentuk rumusannya. Sosialisasi penegakan syariat sudah dilaksanakan dan sebagian masyarakat sudah tahu misi penegakan syariat Islam yang diusung oleh MM. Demikian pula draf mengenai hukum pidana sesuai dengan hukum Islam saat ini sudah tersusun meskipun belum disosialisasikan secara menyeluruh. Sedangkan kategori bagaimana tata cara bernegara dan membangun perekonomian masyarakat berdasar syariat Islam belum disusun rumusan yang baik.

120

Kini, setelah 15 tahun berlalu dari pembentukan institusi MM, beberapa langkah sosialisasi penegakan Syariat Islam yang dilakukan oleh MM mulai merambah pada lembaga negara. Sosialisasi tersebut di antaranya: 1. Membuat terjemahan al-Qur‟an versi MM berupa terjemah tafsiriyah MM. Terjemah tafsiriyah ini mengoreksi terjemahan versi Depag sebanyak 3600-an ayat terjemahan yang dianggap keliru. 2. Mengirim surat terbuka Menggugat Rezim Jokowi –JK terkait kebijakan menaikkan harga BBM dan TDL, menggunakan Pancasila 1 Juni 1945, ada indikasi presiden memarginalkan peran agama dalam bernegara dengan usulan mencabut UU Penodaan Agama, dan adanya kebijakan dan waacana Kabinet Kerja peemrintahan Jokowi – JK hendak menumbuhkan komunisme di Indonesia. Surat terbuka ini ditandatangani di Yogyakarta, 19 Shafar 1436 H/11 Desember 2014 3. Surat Terbuka tentang Perayaan Natal Bersama yang ditujukan kepada Presiden RI dan lembaga-lembaga di bawahnya. Di antara isi surat tersebut adalah mendukung MUI menetapkan keharaman mengikuti upacara Natal. Surat terbuka ini ditandatangani di Yogyakarta pada 13 Desember 2015.

121

Bab V ANASIR RADIKALISME DAN RELEVANSINYA DENGAN PILAR-PILAR KEBANGSAAN

Anasir-anasir potensi radikalisme berdasarkan literatur atau bahan bacaan didukung hasil wawancara serta observasi dari para peneliti terhadap sepuluh kelompok keagamaan yang diteliti diuraikan dalam keterangan berikut ini. 1. LDII Pembahasan tentang LDII ini bersumber pada buku pedoman LDII berjudul Mukhtar al-Adillah min Kitabillah Azza Wa Jalla wa al-Ahadits an- Nabawi jilid 1 ,2,dan 3. Buku ini disusun oleh Majelis Taujih wa al-Irsyad LDII dan menjadi pedoman bagi para santri LDII. Secara umum, sumber hukum LDII berkiblat pada al-Qur‟an, Sunnah dan jamaah yang diartikan sebagai ketaatan terhadap Amir. Implikasi dari penerapan sumber hukum ini adalah menjadikan LDII sebagai gerakan dakwah bercorak pemurnian atau pembersihan ajaran Islam murni dengan merujuk pada ketaatan terhadap Amir setelah ketaatan terhadap al-Qur‟an dan hadis. Ketaatan terhadap Amir memunculkan ajaran keabsahan beragama melalui belajar bacaan al-Quran manqul terhadap Amir, baiat terhadap Amir, imam salat sah berdasarkan baiat (komunitas), dan orang Islam yang belum berbaiat tidak sah menjadi imam, serta doktrin infak 10% penghasilan anggota untuk organisasi. Kewajiban infak 10% menjadikan LDII memiliki basis dana yang kuat meskipun pengelolaan dana dilakukan secara tertutup. LDII taat terhadap pemerintahan sehingga terkait konstelasi kebangsaan tidak ada indikasi radikalisme, konsep jihad LDII bersandar pada al-Qur‟an dan hadis bahwa jihad adalah dengan harta dan jiwa. LDII memiliki konsep ke- Amiran dan baiat beserta implikasi dari konsep-konsep tersebut yang memberikan beberapa pemahaman karakteristik LDII terutama jika dikaitkan dengan hasil wawancara dan observasi. Beberapa karakteristik LDII disebutkan sebagai berikut:

122

a. LDII mengusung gerakan dakwah dengan tema pemurnian akidah dari kemusyrikan, dan bid‟ah b. Tidak toleran terhadap berbagai adat dan budaya yang berkembang di masyarakat termasuk penggunaan sarung bagi laki-laki c. Ketaatan terhadap Amir menjadi kewajiban setelah taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya d. Kewajiban terhadap Amir berdasarkan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya e. Baiat menjadi pengikat anggota untuk taat terhadap Amir f. Ketaatan terhadap Amir berpengaruh terhadap keabsahan beragama karena bacaan dan pemahaman terhadap al-Qur‟an sah jika manqul terhadap bacaan dan pemahaman Amir g. Amir yang berhak menjadi imam salat dan memberi tausiyah keagamaan h. Baiat berimplikasi pada pemahaman bahwa muslim yang tidak berbaiat belum dianggap sah menjadi imam salat 2. MTA MTA menjadi salah satu kelompok keagamaan yang mengusung tema dakwah dengan berprinsip pada kembali ke al-Qur‟an dan sunnah. Makna kembali ke al-Qur‟an dan Sunnah menurut tim MTA bahwa meyakini dan berpegang teguh pada ajaran Al-Qur‟an yang telah diturunkan kepada umat manusia yang dibawakan oleh Rasulullah terakhir. Sedangkan menurut Ahmad Sukino, segala hal harus dikembalikan kepada konsep al-Qur‟an dan sunnah termasuk isu-isu aktual seperti konsep revolusi mental sebagaimana yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi. Revolusi mental bangsa dengan harapan membentuk akhlak bangsa Indonesia yang baik, maka harus diimbangi dengan menelaah lebih dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Maka cara mewujudkan konsep revolusi mental adalah dengan cara kembali ke Al-Qur‟an dan Sunnah. MTA berideologi anti bid‟ah dengan menyebarkan dalil bahwa perkara yang diada-adakan adalah bid‟ah dan para ahli bid‟ah tempatnya di neraka. Dasar penetapan bid‟ah MTA adalah beberapa hadis Nabi Saw. Secara spesifik MTA dalam buku risalah Sunnah dan bid‟ah menyebutkan, tiap perkara yang diada-adakan dalam urusan agama itu bid‟ah (MTA, tt:28). Pengertian bid‟ah

123 ala MTA merujuk pada hadis-hadis sebagaimana disebutkan pada pembahasan bid‟ah pada bab 3 di atas. Berdasarkan hadis-hadis tersebut di atas, MTA memahami bahwa sebenar-benar perkataan ialah yang tersebut dalam kitab Allah Swt. (al-Quran) dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Nabi Muhammad, dan sejelak-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan, dan tiap perkara yang diada-adakan dalam urusan agama itu bid‟ah, dan tiap bid‟ah itu sesat. Oleh karena itu, MTA menganjurkan agar umat Islam dalam mengerjakan agama haruslah mengikuti sunnah Nabi Saw dan menjauhi perbuatan-perbuatan bid‟ah ( MTA, tt.:28). Jadi bid‟ah adalah sesuatu perkara agama yang tidak sesuai sunah nabi. MTA juga menggunakan ketetapan para sahabat sebagai dasar rujukan pada urusan agama. semisal dua azan pada waktu salat Jumat yang dilakukan pada masa sahabat Usman, salat tarawih berjamaah yang dilakukan pada masa sahabat Umar bin Khatab. Berdasarkan keterangan tersebut, menurut Sukino, yang menjadi dasar agama Islam ada tiga, yaitu al-Quran, sunnah, dan ijma sahabat. (wawancara, 02-02- 2016) Bid‟ah dilarang karena ada beberapa bahaya bid‟ah sebagaimana disebutkan di dalam hadis: 1. Hadis yang diriwayatkan oleh muslim, yang artinya: dari Aisyah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, “barang siapa yang melakukan suatu amalan yang bukan perintah kami, maka ia tertolak (muslim, juz 3, 1344, tt). 2. Hadis yang diriwayatkan oleh muslim pada juz tiga , halaman 1343, yang artinya Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bersabda: barang siapa mengada-adakan dalam perintah kami ini, apa-apa yang bukan dari padanya, maka ia tertolak. 3. Hadis yang diriwayatkan Abu Daud, juz empat, halaman 200, yang artinya : Ibnu Isa berkata, Nabi Saw bersabda, :barang siapa yang berbuat sesuatu urusan selain dari perintah kami, maka ia tertolak

124

4. Dari Anas RA,ia berkata: rasulullah bersabda, Barang siapa yang membenci Sunahku, maka ia bukan dari golonganku (Muslim, Juz 2, 1020: tt). Berdasarkan hadis tersebut di atas tentang bahaya bid‟ah, dapat dipahami bahwa amalan bid‟ah ditolak selagi itu bukan dari perintah nabi, begitu juga orang yang membenci pada sunah nabi maka orang tersebut bukan termasuk golongannya. Nabi Saw. sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi Saw. dari Abdullah bin Abbas,ia berkata: Rasulullah Saw bersabda, Allah tidak mau menerima amal orang ahli bid‟ah sehingga ia meninggalkan bid‟ahnya. Hal-hal yang dianggap bid‟ah oleh MTA seperti membacakan tahlil bagi orang yang sudah mati, slametan, dan yasinan. Tahlilan bagi orang yang sudah meninggal merupakan tradisi Hindu, dan di dalam Islam tidak ada landasannya menurut sunnah. Mengenai ganjaran (pahala) yang dikirimkan untuk orang yang sudah meninggal Sukino berpendapat bahwa mendoakan orang muslim lainnya terutama pada orang tua kita sendiri itu adalah wajib hukumnya, tetapi persoalan mendoakan itu tidak terbatas oleh waktu seperti 7 hari, 40 hari dsb. Melainkan mendoakannya itu setiap saat dan setiap waktu. Dan mengirim ganjaran (pahala) kepada orang lain itu merujuk pada kitabullah tidak ada anjurannya. Pendapat MTA tentang bid‟ah tentu ada kesamaan dengan bid‟ah oleh Muhammadiyah, persis, salafi namun konsep tersebut berbeda dengan tradisi NU sehingga terkadang menimbulkan keresahan di lingkungan masyarakat NU, apalagi dakwah MTA disiarkan menggunakan radio dengan tema utama pembahasan bid‟ah. 3. HTI Paradigma HTI terpengaruh gerakan pemikiran trans nasional dengan doktrin sebagaimana tercantum di dalam buku Manifesto HTI untuk Indonesia dan buku-buku lain yang terkait, memiliki pandangan/paradigma tentang perlunya khilafah Islam dan syariat Islam ditegakkan di muka bumi. Paradigma tersebut yakni penerapan prinsip dakwah amar makruf nahi munkar yang revolusioner, jihad ofensif terhadap orang kafir sebagai fardhu kifayah, pengambilalihan kekuasaan suatu negara secara revolusioner dan adanya pandangan pengkafiran

125 terhadap sistem di luar khilafah Islam. Keempat kunci pemikiran tersebut jika dikaitkan dengan konteks keindonesiaan atau yang terkait dengan empat pilar kebangsaan, termasuk dalam kategori radikal dalam arti membentuk perlawanan terhadap kebhinekaan, demokrasi pancasila, NKRI, dan UUD 1945 yakni gagasan atau gerakan kenegaraan HT tampak berseberangan dengan empat pilar kebangsaan. Dengan demikian, HTI dapat dikategorisasikan sebagai kelompok keagamaan yang mengandung potensi radikal dalam bentuk radikal gagasan. Ciri yang dapat dikemukakan tentang potensi radikal gagasan HTI adalah sebagai berikut: Gagasan tentang empat paradigma yaitu Paradigma Dakwah dan Amar Makruf Nahi Munkar yang Revolusioner, Paradigma Jihad Ofensif terhadap Orang Kafir Sebagai Fardlu Kifayah, aradigma Pengambilalihan Kekuasaan Suatu Negara Secara Revolusioner, Paradigma Pengkafiran terhadap Sistem di luar Khilafah Islam, pembentukan satu khilafah di muka bumi dan pemberlakukan syariat Islam dalam semua aspek kehidupan membawa implikasi potensi peniadaan terhadap keberadaan empat pilar kebangsaan negara Indonesia yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.

4. PP al-Furqan Pondok Pesantren Al Furqon Al Islami, sebagaimana tertulis dalam rubrik akidah dan manhaj majalah Al Furqon, maka tidak ada indikasi adanya radikalisme yang berkaitan dengan kebangsaan. Mereka tidak memiliki konsep khilafah, qital, al-wala wa la-bara‟, takfiri, baiat, thaghut, balad, al-mulk, su‟ub, qabail, qaryah, hub al-wathan, darul harb, darussalam, darul aminah wa syahadah, mantiqi, wali, atau amir. Pondok pesantren Al Furqon al-Islami mengikuti paham Salafi yang berkiblat pada Saudi Arabia dengan slogan dakwahnya kembali kepada Al Qur‟an dan As Sunnah dan gerakan pemurnian akhidah Islam. Ma‟had al-Furqon memulai gerakannya dari sektor pendidikan, yayasan, penerbitan buku, majalah, dan publikasi melalui Sosial Media (Sosmed). Berdasarkan wawancara dan observasi, ma‟had al-Furqan memiliki karakteristik: a. merupakan gerakan dakwah yang berusaha mengusung tema pemurnian akidah dari kemusyrikan, bid‟ah, khurafat, takhayul, menyembah kubur, tawassul atau meminta kepada selain Allah Swt.

126

a. Tidak toleran terhadap berbagai adat dan budaya yang berkembang di masyarakat. b. Adat dan budaya masyarakat dianggap tidak memiliki sandaran dalil atau nash, dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. c. Menganggap segala sesuatu yang tidak pernah dicontohkan oleh nabi adalah bid‟ah, dan setiap bid‟ah adalah sesat. 5. PP Ittibaus Sunnah Dalam pandangan kelompok salafy murni, cinta tanah air tidak harus diwujudkan dalam bentuk tanda tangan di atas materi yang berisi pernyataan setia kepada negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Menurut keterangan tokoh Desa Tanjungan (Margono, 1 Maret 2016) menjelaskan bahwa Ma‟had Ittiba‟us Sunnah dalam hal kesetiaan kepada NKRI termasuk baik. Hal ini ditunjukkan bahwa mereka para ustad yang menjadi pengajar di pondok tersebut melapor kepada desa, mereka juga berkumpul bersama warga untuk kerja bakti bersih desa. Dalam hal kependudukan mereka juga mengurus kartu tanda penduduk kepada desa. Salah ciri utama salafy murni adalah tidak mencela pemerintah. Menurut Afifuddin (1 Maret 2016) bahwa semua muslim wajib tunduk dan taat kepada pemerintah. Mengenai pemilu atau demokrasi, ia tidak sependapat tentang suara rakyat adalah suara tuhan. Bahwa kelompok ini ketika ada pesta demokrasi tidak melakukan pencoblosan, akan tetapi ketika pemimpin sudah terpilih mereka taat kepada pemerintah selagi sesuai dengan syariat Islam. Ketaatan kelompok salafy terhadap perintah pemerintah, mereka akan taat salah satunya tentang konsep jihad, bahwa jihad dengan perang merupakan kewajiban pemerintah dalam hal ini adalah kewajiban TNI, dan polri dalam hal memberantas kemaksiatan, seperti perjudian, minuman keras dan yang lain. Pendapat yang menguatkan tentang pentingnya ketaatan kepada pemerintah adalah perkataan Al Hafids Ibnu Hajar :”Di dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang wajibnya mentaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan

127 kesatuan (kaum muslimin), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.Hal ini juga dikuatkan perkataan Ali bin Abi Thalib : ”Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad. (Sulaimi, 2014 : 4).

Terkait hubungan rakyat dan penguasa Abu Asma Kholid (2004: 16 – 21) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat empat hak dan kewajiban yang harus dipatuhi; 1) ikhlas, nasihat dan mendoakannya; 2) menghormati dan memuliakannya, serta tidak menghinakanya; 3) mematuhi dan mentaati perkara yang bukan maksiat; 4) membela dan menolongnya. Dalil yang menjelaskan tentang ikhlas, masehat adalah hadis di bawah ini:”Agama adalah nasihat. Kami bertanya, “Untuk siapa? Beliau menjawab, Untuk Allah SWT, kitabNya, rasulNya, pemimpin dan umumnya kaum muslimin (HR Muslim). Dalil yang menguatkan tentang menasehati penguasa adalah sebagaimana hadis Muslim dalam kitab Al-Aqdhiyah yang artinya: “Sesungguhnya Allah meridhai tiga perkara pada kalian: (yaitu) menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya, berpegang teguh kepada tali Allah dan tidak berpecah-belah, dan menasihati orang yang Allah menjadikan (sebagai) penguasa atas kalian. Kemudian terkait dalil yang menjelaskan tentang menghormati dan memuliakan pemimpin, serta tidak menghinakanya adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya di bawah ini. Barangsiapa memuliakan sulthan Allah (penguasa) di dunia, maka Allah akan memuliakannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menghinakan sulthan Allah di dunia, maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat.

Terkait ketaatan kepada pemerintah Luqman Ba‟abduh (2014: 314), menjelaskan bahwa meskipun suatu negara atau pemerintah tidak termasuk khilafah, baik itu berbentuk kerajaan, republik, parlementer, maupun yang hanya lainnya, selama masih memenuhi kriteria dan definisi sebagai negara Islam, maka statusnya tetap sebagai negara Islam. Sehingga kewajiban mendengar dan taat tetap berlaku dan tidak boleh memberontak kepadanya, bahkan meskipun pemerintah yang zalim dan korup terhadap rakyatnya sekalipun.

128

Berpijak dari penjelasan-penjelasan di atas, mengenai sikap kelompok salafy murni terhadap negara kiranya telah sangat jelas. Sesungguhnya kelompok ini memiliki loyalitas (bara‟) kepada penguasa sekalipun pemimpin itu zalim. Kelompok salafy murni, sesungguhnya tujuan dakwah mereka adalah tergolong kepada gerakan tarbiyah yakni untuk memurnikan ajaran tauhid dan menjauhi bid‟ah. Kelompok salafy murni jika dilihat dari teorinya Kaelan (2012) yaitu bahwa nasionalisme adalah mereka yang setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, belum sepenuhnya setia kepada NKRI. Indikasi ketidaktaatan kelompok ini adalah 1) dalam pemilihan umum mereka tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih penguasa, 2) dalam pelaksanaan pendidikan dan dakwah buku dan kurikulum yang digunakan tidak mengacu kepada kurikulum pemerintah. Namun demikian dalam hal tertentu mereka taat kepada pemerintah Indonesia, diantaranya ketika pelaksanaan Idul Fitri mereka mengikuti pemerintah. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam majalah Asy Syariah yang memuat berbagai tulisan dari para tokoh salafy murni, rujukan utama dari majalah ini adalah merujuk kepada kitab-kitab klasik karya ulama Timur Tengah. Penafsiran dan pemikiran ulama-ulama tersebut dalam konteks ke-Indonesiaan memiliki bibit-bibit radikalime. Hal ini disebabkan mereka yang tidak seideologi dengan salafy yang murni sudah menyimpang dan kelompok yang menyimpang ditahdzir (diperingatkan) dari penyimpangan mereka. Kelompok yang menyimpang memiliki perbedaan dalam hal ideology salafy, manhaj salafy, dan dakwah salafy.Tentang konsep kebangsaan, menurut kelompok ini pemerintah wajib ditaati selama berada pada syariat Allah dan tidak mengajak kepada kemaksiatan. Akan tetapi ketaatan salafy murni belum sepenuhnya terhadap nasionalisme. Potensi radikalisme PP Ittibaus Sunnah; a. Mengidentifikasi sebagai salafi murni dengan ciri tidak mencela pemerintah

129

b. Merupakan gerakan tarbiyah untuk memurnikan ajaran tauhid dan menjauhi bid‟ah c. Memiliki loyalitas pada pemerintah meskipun tidak mengikuti pemilu dan kurikulum pemerintah d. Makar terhadap pemerintah termasuk penyimpangan seperhti bom bunuh diri e. Jihad dengan perang merupakan kewajiban pemerintah dalam hal ini adalah kewajiban TNI, dan polri dalam hal memberantas kemaksiatan, seperti perjudian, minuman keras dan yang lain f. Konsep al Wala wal Bara‟ membawa implikasi bahwa muslim yang seideologi dalam hal ideologi keluar dari salafy maka perintahnya tidak wajib ditaati, meskipun awalnya merupakan guru mereka, jika dianggap sudah tidak sesuai dengan salafy murni hukumnya wajib ditinggalkan. g. Merujuk pada pendapat Ibnu Taimiyah yakni menganjurkan manusia agar berpegang teguh dan mengikuti as Sunnah serta mencegah jangan sampai bid‟ah muncul dan tersebar h. Dai yang mengajak kepada satu bid‟ah berhak menerima hukuman menurut kesepakatan kaum muslimin berupa hukuman mati atau hukuman yang lebih ringan untuk diterangkan kebid‟ahannya dan men-tahdzir (memperingatkan) manusia supaya menjauhinya. 6. PP al-Anshar PP An Anshar menyebarkan ajaran Salafi Ahl Sunnah wa al-jamaah, bersifat puritan, bertujuan mengembalikan amalan-amalan sebagaimana para salafus sholih. Tampilan fisik para pengurus, anggota maupun santri dengan memakai cadar dan jubah sebagian besar berwarna putih, celana cungkrang atau bersarung. Konsep amar makruf nahi munkar PP al-Anshar terhadap pemerintah bahwa selama pemerintah tidak mengajak kepada kekufuran maka wajib menaati, dan jika pemerintah mengajak kekufuran maka wajib menasehati secara langsung tidak boleh dengan khutbah,demo dan lainnya. PP al-Anshar melarang civitas

130 pesantren memiliki dan melihat televisi, namun radio diperbolehkan termasuk ajaran poligami juga diperbolehkan. Pendapat PP al-Anshar tentang jihad merujuk pada muatan materi jihad dalam kitab Bulughu al-Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Kitab tersebut mendefinisikan jihad berdasarkan pendapat para ulama yang mengatakan bahwa hukum jihad pada asalnya adalah fardlu kifayah artinya apabila disuatu daerah terdapat orang yang melakukannya maka gugurlah jihad kepada orang yang lainnya, namun apabila tidak terdapat muslimin yang melakukannya maka berdosalah semuanya (Qadir, tt.:56). Hukum jihad menjadikan suatu keharusan (fardlu „ain) berlaku dalam 3 kondisi ketika terjadi 3 kondisi, yaitu (1) apabila tentara muslim dan kafir sudah bertemu dan saling berhadapan maka tentara tidak boleh mundur atau berbalik, (2) apabila musuh sudah menyerang dan mengepung tanah air maka tidak boleh berdiam diri tetapi harus menyerang kembali musuh tersebut. (3) apabila komandan telah menunjuk anggota pasukannya maka segera berangkat, sebagaimana dijelaskan dalam surat at Taubah ayat 38-39. Konsep amar makruf nahi munkar dan konsep jihad PP al-Anshar secara umum sama seperti pandangan kelompok mainstream lainnya yang mengusung ideologi rahmatan lil‟alamin, belum memperlihatkan indikasi konsep kearah radikalisme. Menurut keterangan Ka Kanwil Kementerian Agama Provinsi DI Yogyakarta bahwa pesantren al-Anshar yang berada di bawah pimpinan Bapak Syarifudin ini mengkhususkan program pengajaran cukup dengan mengaji dengan kurikulum berbasis kitab. Ponpes al-Anshar menggunakan kitab-kitab dari Madinah dengan guru-guru pengajar merupakan alumni Madinah bergelar Lc sehingga jarang ditemui kitab-kitab karya Imam Syafi‟i sebagaimana kitab yang digunakan pesantren pada umumnya. Lulusan pesantren ini tidak mendapakan legalitas ijazah dan Ponpes al- Anshar hingga sekarang masih menolak segala bentuk bantuan dari pemerintah termasuk bantuan dana BOS untuk para siswa yang berjumlah sekitar 300 siswa/siswi. Sebagian besar siswa, yakni sebesar 80% siswa berasal dari luar Jawa.

131

Pengaduan tentang Ponpes al-Anshar yang belum lama ini disampaikan masyarakat adalah adanya siswa di ponpes yang dikeluarkan dari sekolah di bawah naungan ponpes tersebut dikarenakan orang tua wali siswa melakukan hal- hal yang tidak sesuai dengan aturan ajaran agama Islam. Upaya pendekatan dan dialog telah dilakukan oleh berbagai pihak seperti BIN, Kepolisian, dan Kemenag tentang pentingnya bekerjasama dengan pemerintah bagi masa depan para santri/siswa di Ponpes al-Anshar. Pendekatan lain juga dilakukan melalui pembinaan terhadap para santri dengan sosialisasi nilai-nilai kebangsaan bahwa negeri ini direbut melalui jihad oleh para kiai di masa lalu. Para santri diberi pengertian bagaimana upaya meledani para pejuang yang telah membangun bangsa Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal terkait ideologi pesantren al- Anshar yang disarikan dari konsep literatur, hasil wawancara dan observasi, di antaranya: a. Merupakan pesantren berbasis ideologi salafi b. Setiap tahun, PP al-Anshar menjadi pusat kegiatan Daurah Salafi se- Indonesia dengan pembicara mengundang dari ulama Timur Tengah (Yaman, Mesir, Arab, Libanon, dan Syria) c. Konsep jihad dan amar makruf nahi munkar yang diusung Ponpes al- Anshar belum mengindikasikan potensi radikal secara nyata, meskipun menolak dana bantuan pendidikan dari pemerintah dan PP al-Anshar telah menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah terkait program pembinaan kebangsaan. d. Kemandirian PP al-Anshar bukan hanya dari segi pendanaan, namun juga aspek kurikulum dan penetapan literatur pembelajaran dengan menggunakan kitab-kitab dari Timur Tengah e. Pemerintah melalui Kementerian Agama perlu terus melakukan kerjasama karena kurikulum pesantren yang hanya mengacu pada kitab- kitab karya ulama Timur Tengah menyebabkan minimnya materi kebangsaan dan kuatnya dukungan ideologi Salafi Wahabi dapat

132

berpotensi membentuk paham radikal jika pemerintah tidak membangun komunikasi lebih baik dan intensif

7. UBK Literatur yang menjadi rujukan dan digunakan oleh kelompok Umar Bin Khattab di Magelang terdiri atas al-Qur‟an, Hadis/ Sunnah, kitab-kitab klasik, dan buku-buku kontemporer. Salah satu buku kumpulan bahan pengajian yang disusun secara tematik berjudul “Ya Ayuhalladzina Amanu” karya ustaz Jauhari Musthafa Mahfudz menjadi rujukan penting dalam pengajian yang diselenggarakan oleh ustaz Jauhari Musthafa, pimpinan UBK. Buku ditulis berdasarkan sumber buku tafsir “Al-Muyassar” yang merupakan karya para ulama dan diterjemahkan oleh ustaz Hawin Murtadlo dan ustaz Salafuddin Abu Sayyiddan diterbitkan oleh Penerbit Al-Qowam Solo. Identifikasi terhadap literatur kelompok keagamaan Umar Bin Khattab di Magelang ditemukan tema-tema yang berkaitan dengan radikalisme di antaranya tema tentang jihad, al-amru bi al-makruf wa al-nahyu „an al-munkar, al-wala‟ wa al-barra‟, takfiri dan imamah.Tema-tema itu pada tataran wacana keislaman berpotensi dapat ditafsirkan secara radikal, baik pada ranah pemikiran maupun ranah perilaku.Tema-tema itu mengandung ayat-ayat yang menjadi rujukan dan menjadi bahan pembahasan dalam pengajian, diskusi, dan sebagainya.Pada tataran implementasi biasanya UBK mengikuti tafsir yang moderat dan kompromistik dan tidak semua tema itu direalisasikan dalam bentuk perilaku nyata. Pada wacana keislaman konsep jihad ditafsirkan menyeru dengan sungguh-sungguh kepada iman, petunjuk jihad, dan segala yang ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Jadi, jihad tidak harus ditafisrkan sebagai seruan untuk berperang mengangkat senjata. Konsep al-amru bi al-makruf wa al-nahyu „an al-munkar merujuk pada ayat-ayat yang mengadung tema anjuran berbuat kebaikan dan memberantas kemaksiatan. Implementasi atas ayat itu UBK gencar melakukan sweeping terhadap warga masyarakat yang melakukan kemaksiatan di antaranya berjudi, mabuk-mabukan, pemalakan, dan lainnya. Konsep takfiri dalam literatur kelompok keagamaan Umar Bin Khattab di

133

Magelang ditafsirkan sebagai mengkafirkan orang lain. Pada tataran implementasi, kelompok UBK tidak setuju terhadap orang atau kelompok yang mudah mengkafirkan orang lain apabila orang itu sudah mengucapkan dua kalimat syahadat karena berarti dia sudah muslim. Orang lain tidak berhak untuk menghakimi seseorang itu kafir.Orang dikatakan kafir apabila memang sudah disebutkan di dalam al-Qur‟an. Penafsiran para tokoh Umar Bin Khattab tentang konsep jihad, al-amru bi al-makruf wa al-nahyu „an al-munkar, al-wala wa al-barra, dan takfiri secara umum tidak berbeda dengan tafsir yang ada. Namun demikian, kelompok UBK lebih bersifat moderat dalam memilih tafsir yang ada. Keterkaitan antara isi dan tafsir isi literatur yang digunakan kelompok keagamaan Umar Bin Khattab dengan konstelasi kebangsaan di Indonesia mencakup Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika secara umum mengarah pada sikap kompromistik dan mengakui eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Selama tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah, kelompok UBK tetap mengikuti ketentuan yang ada, misalnya menghormat bendera, melaksanakan upacara, dan lainnya. Berdasarkan uraian di atas, potensi radikalisme UBK bisa dikategorisasikan dengan radikal kultural lokal baik secara pemikiran maupun aksi. Hal ini didasarkan pada beberapa anasir, yakni: a. Sumber hukum al-Qur‟an, sunnah b. Memiliki loyalitas terhadap pemerintah selama pemerintah menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan ajaran Islam. c. Jihad ditafsirkan menyeru dengan sungguh-sungguh kepada iman, petunjuk jihad, dan segala yang ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. d. Konsep al-amru bi al-makruf wa al-nahyu „an al-munkar merupakan anjuran berbuat kebaikan dan memberantas kemaksiatan, implementasi UBK gencar melakukan sweeping terhadap warga masyarakat yang melakukan kemaksiatan di antaranya berjudi, mabuk-mabukan, pemalakan, dan lainnya.

134 e. Konsep takfiri sebagai mengkafirkan orang lain, namun tidak setuju terhadap orang atau kelompok yang mudah mengkafirkan orang lain apabila orang itu sudah mengucapkan dua kalimat syahadat karena berarti dia sudah muslim. f. Peringatan 7 hari dan seterusnya berasal dari tradisi Hindu sehingga merupakan amalan bid‟ah g. UBK memiliki pandangan bahwa hukum Islam tidak harus diterapkan secara formal dalam bentuk sebuah institusi negara, akan tetapi yang lebih penting adalah substansi dari penerapan hukum Islam tersebut dilaksanakan. 8. Majelis Mujahidin Dasar bagi ketentuan anasir-anasir radikalisme MM adalah bentuk-bentuk pemikiran dan sikap para tokoh Majelis Mujahidin terhadap konsep-konsep kebangsaan. Di antara anasir-anasir berdasarkan aspek sikap para tokoh MM dapat diketahui dari hasil wawancara seperti yang dikemukakan oleh Bapak Harun, Humas MM. Bapak Harun pada masa mudanya sama sekali tidak mau hormat terhadap bendera bahkan terhadap lampu lalu lintas ia tidak mentaatinya. Ia lebih suka menyiapkan uang damai jika terkena tilang polisi daripada harus mentaati tanda lampu lalu lintas tersebut (wawancara, 28 Pebruari 2016). Bentuk lain penentangan terhadap konsep kebangsaan dikemukakan oleh Bapak Abbas, salah satu pengurus MM, menyatakan ia memprotes nyanyian berjudul “ Padamu Negeri” saat acara pertemuan guru-guru. Bagi ustad Abbas lirik lagu Padamu Negeri mengandung kesyirikan, dan tidak sesuai dengan ajaran Syariat Islam karena yang berhak untuk diberi pengabdian hanyalah Allah Swt. (wawancara, Senin, 7 Maret 2016). Selain bentuk anasir radikalisme terkait konsep kebangsaan dari aspek perilaku, beberapa pemikiran radikal yang dikemukakan para tokoh MM di antaranya: 1. Pemikiran tentang Pancasila Ustad Irfan S Awwas menganggap Pancasila bukanlah dasar negara dengan mempertanyakan “apakah ada lembaran negara yang menyebut Pancasila sebagai dasar negara?”. Bagi Irfan S Awwas dasar negara adalah BerKetuhanan Yang Maha Esa, Republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan

135

Yang Maha Esa meskipun kemudian Pancasila menjadi sila pertama (wawancara, tanggal 3 Pebruari 2016). Kalimat yang berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pembukaan UUD 1945 dalam pandangan Irfan menjadi dasar bagi pemikiran bahwa penetapan Syariat Islam sudah sesuai dengan undang-undang tersebut dan tidak ada alasan bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pancasila. Kalimat “Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa” juga menjadi dasar bagi penetapan hukum berdasarkan hukum Tuhan, yakni melibatkan Tuhan dalam aspek penetapan hukum dalam bernegara dan bermasyarakat. Pendapat ini sekali lagi menegaskan perlunya Syariat Islam diberlakukan karena telah sesuai dengan undang-undang. Pada intinya, dasar negara adalah berketuhanan Yang Maha Esa bukan Pancasila. Argumen berikutnya terkait dasar negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa bahwa semua pasal diberi pasal penjelas sedangkan pasal 29 tidak ada pasal penjelasnya dan jika pasal ini tidak perlu penjelas, maka sudah jelas, hukum Tuhan berlaku (wawancara, tanggal 3 Pebruari 2016).). oleh karen itu, penjelasan terhadap dasar negara sebagaiamna telah disebutkan tidak boleh atas dasar berdasarkan persepsi perorangan karena nantinya dapat kembali ke jamannya Soeharto lagi. Sistem yang dibangun negara harus jelas dan saat ini bangsa Indonesia. Sistemn nda jelas sehingg apada akhirnya kesulitan menentukan problem masyarakat melalui apa (wawancara dengan Irfan S Awwas, 3 Pebruari 2016) 2. Nasionalisme M Thalib menyatakan: “ nasionalisme adalah sebuah ideologi diluar Islam yang ditolak oleh Allah Swt. dan merupakan kekafiran” (Thalib, 2015: 142). Lebih lanjut dikatakan bahwa kaum nasionalis adalah bencana besar yang mengancam keselamatan syariat Islam karena kaum nasionalis bisa disisipi dan disusupi oleh musush-musush Islam (Thalib, 2015: 143). 3. Tidak ada yang ada hanyalah Islam Arab Ada anggapan Islam Nusantara berbeda dengan Islam Arab, dimana Islam Nusantara banyak mengadopsi unsur kultural sedangkan Islam Arab

136

menumbuhkan radikalisme. Menurut Irfan S Awwas, umat Islam jangan tertipu dengan istilah-istilah seperti Islam Nusantara tersebut, karena itu adalah hasil dari deradikalisasi, HAM, toleransi dan sebagainya (wawancara dengan Irfan S Awwas, 3 Pebruari 2016) Berdasarkan uraian pemikiran dan pendapat tiga orang tokoh Majelis Mujahidin (MM) dapat digaris bawahi bahwa MM memiliki potensi radikalisme gagasan dan sikap dimana potensi tersebut bisa jadi dipengaruhi sejarah para tokoh terutama yang pernah mengalami hukuman penjara dengan tuduhan subversif. Saat ini, radikalisme gagasan MM mulai diarahkan untuk mengkritisi kebijakan lembaga-lembaga negara. 9. Jamaah Ansharus Syariah (JAS) Tokoh utama JAS adalah Ustad Moh Ahwan dan Abdurrohim Ba‟asyir putera Abu Bakar Ba‟asyir. Rujukan ideologi JAS adalah pemikiran Ibn Taymiyah dalam hal aqidah dan Hasan al-Bana. JAS merupakan pecahan dari JAT. Bagi JAS, Negara Indonesia itu negara kafir karena tidak berdasarkan syariah Islam tetapi berdasarkan demokrasi padahal syariat harus dari Tuhan, sedangkan demokrasi berdasarkan suara rakyat bukan Tuhan. Selain itu, Indonesia masih menghalalkan khamr, dan WTS masih diberi ijin dan diperbolehkan beroperasi. Dengan kondisi seperti ini, orang Islam harus berjuang untuk menegakkan syariah. Berjuang menegakkan syariat harus dilakukan secara bertahap, dan sekarang ini JAS berada pada periode bayan yakni menerangkan kepada orang- orang dengan dakwah termasuk para pejabat, dan pemimpin harus muslim. JAS tidak memiliki pandangan takfiri, yaitu pandangan tidak mengkafirkan Islam yang lain. Terkait pandangannya terhadap konsep negara, JAS menganggap negara tidak harus khilafah tetapi boleh menggunakan sistem apa saja asalkan dasar negara harus syariah. Bagi JAS, masyarakat tidak harus taat pada pemimpin. JAS menolak tindakan radikalisme termasuk menolak ISIS. Abu Bakar al- Baghdadi sebagai pemimpin ISIS tidak bisa dianggap sebagai khalifah karena tidak memenuhi 3 syarat khilafah yaitu harus ada AHWA, memiliki kemampuan

137 untuk memenej sebuah negara dan memiliki wilayah. Abu Bakar al-Baghdadi tidak memenuhi ketiga syarat khilafah tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, JAS dapat dikategorisasikan memiliki potensi radikal dalam hal pemikiran. 10. Front Jihad Islam (FJI) FJI berada dibawah naungan Yayasan Nurus Syahid dengan visi fokus pada di bidang sosial, kemanusiaan, dan keagamaan, serta pendidikan yang hingga saat ini belum dapat diwujudkan semuanya. Dilihat dari referensi yang digunakan sebagai bahan kajian di FJI, terlihat bahwa kelompok ini condong pada ajaran salafi, yaitu dengan merujuk pada karya tokoh-tokohnya seperti Muhammad ibn Abdul Wahhab, Muhamamad ibn Shalih Al-Utsaimin,dan Abdullah ibn Abdurrahman ibn Shalih Ali Bassam. Hara tokoh FJI baru sebatas menyampaikan konsep-konsep ajaran dalam kitab tersebut namun belum membuat karya tulis baik sebagai penerjemah ataupun pensyarah dari kitab tersebut. Kegiatan FJI saat ini terlihat lebih fokus melakukan aksi dalam bentuk demo, dan penggerebekan terhadap kegiatan kristenisasi, kemaksiatan, dan bentuk lain pelanggaran yang dianggap tidak melanggar ajaran Islam. FJI dianggap sebagai gerakan radikal berdasarkan beberapa aksi yang telah mereka lakukan, diantaranya: a. FJI bukan bagian dari FPI meskipun ada beberapa anggota FJI mantan anggota FPI b. Hubungan FJI dengan MUI bahwa pada dasarnya baik namun pernah terjadi sedikit gesekan menyikapi persoalan Syiah c. FJI menggerebeg seminar Irsyad Manji dan meminta MUI mengeluarkan fatwa Syiah haram namun MUI tidak berani d. FJI tidak setuju ketika ada orang MUI Kota mempelopori pendirian PP waria e. FJI bukan berasal dari Muhammadiyah meskipun sesekali berselisih dengan seperti untuk kasus Irsyad Manji yang dilindungi NU, demo pembangunan tempat ziarah goa Maryam di Wonosari yang dilindungi oleh Banser, dan melindungi ustad Abdul Azis yang menyinggung persoalan peringatan kematian 3, 7 dan 40 hari menyamai adat Hindu

138 f. FJI juga aktif mengembangkan dakwah Islamiyah melalui pengiriman ustadz dan imam tarawih ke beberapa pelosok daerah, menggelar kegiatan syawalan, dan pembagian daging kurban ke daerah pelosok serta kegiatan kemanusiaan seperti peemriksaan mata gratis, memberi dan menyalurkan dana bantuan bencana, pelatihan perawatan dan pengurusan jenazah serta penyaluran air bersih ke daerah Wonosari. g. FJI telah dikenal sebagai gerakan aksi yang condong ke radikal tingkat provinsi karena meskipun pusatnya di Bantul, tetapi dapat melingkupi aksi di berbagai daerah di Yogya, termasuk Sleman. h. Alasan aksi FJI lebih banyak dipengaruhi faktor ideologi keagamaan karena yakni ketidaktegasan aparat dalam menindak perilaku maksiat bahkan mendukung kemaksiatan tersebut, ormas lainnya tidak bergerak melakukan amr makruf nahi munkar dan banyak terjadi kasus jual beli akidah dan perilaku maksiat.

139

Bab VI PENUTUP

5.1 Simpulan Kesimpulan dari hasil penelitian tentang Potensi Radikalisme dalam Bahan Bacaan Kelompok keagamaan bahwa latar belakang lahirnya sepuluh kelompok keagamaan tersebut di atas didasari semangat kembali kepada al- Qur‟an dan hadis (al-ruju ila Qur‟an wa Sunnah) dengan mengedepankan gerakan pemurnian ajaran Islam. Semangat kembali kepada ajaran al-Qur‟an dan hadis tanpa mempertimbangkan aspek moral dan sosial masyarakat pada satu sisi menimbulkan benih-benih konflik ketika berbenturan dengan beberapa tradisi keagamaan yang dipraktekkan oleh masyarakat di beberapa wilayah penelitian, misalnya Sukoharjo. Secara umum kelompok-kelompok keagamaan yang diteliti menyepakati hukum jihad ada dua, yaitu fardhu kifayah dan fardhu „ain dengan berdasar pada dalil ayat al-Qur‟an dan hadis Nabi Saw. Syarat jihad harus dilaksanakan dengan ilmu dan dilaksanakan berdasar komando dari pemerintah. Jihad dapat dilaksanakan dengan hati, fisik, harta, dan kekuasaan termasuk jihad adalah mencegah kebodohan, beramar makruf nahi munkar, melawan hawa nafsu dan jihad wanita dengan melaksanakan haji dan umrah. Potensi radikalisme kelompok keagamaan berdasar konsep berupa pendapat yang menyatakan bahwa jihad ofensif dapat dilaksanakan meskipun musuh dalam keadaaan tidak menyerang. Selain hal tersebut di atas, beberapa anasir potensi radikalisme kelompok keagamaan misalnya tidak mau menghormat bendera, menyanyikan lagu berjudul Padamu Negeri, penegakan syariat Islam di bumi Nusantara serta penegakan negara Islam. 5.2 Rekomendasi Potensi radikalisme dapat mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu merupakan tantangan bersama seluruh bangsa. Oleh karena itu rekomendasi yang ditawarkan adalah:

140

1. Kepada DPR RI Komisi VIII, agar: Mendukung program Kontra Narasi Radikalisme dalam bentuk penguatan implementasi UU Antiterorisme 2. Bimas Islam Kementerian Agama, agar: a. Memperkuat fungsi pembinaan terhadap kelompok-kelompok keagamaan melalui dialog intensif b. Mengembangkan konsep amar makruf nahi mungkar berwawasan multikulturalisme dalam bentuk penguatan ideologi Islam moderat c. Memasukkan ideologi kebangsaan dalam sertifikasi dai 3. Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama RI, agar: a. Memperkuat kajian tentang upaya deradikalisasi bagi kelompok-kelompok keagamaan Islam b. Mengintensifkan diklat bagi penyuluh tentang wawasan kebangsaan sebagai bahan penguatan upaya deradikalisasi 4. Kementerian Komunikasi dan Informatika, agar: Memperkuat pengawasan terhadap media massa yang berpotensi menimbulkan konflik melalui penguatan implementasi undang-undang penyiaran 5. Kementerian Hukum dan HAM, agar: Lebih intensif melakukan penguatan wawasan kebangsaan melalui kegiatan penyuluhan 6. Kementerian Dalam Negeri, agar: Melakukan penguatan pengawasan terhadap kegiatan kelompok-kelompok keagamaan khususnya yang diindikasikan berpotensi radikal 7. BNPT, agar: Mendukung program kontra narasi radikalisme melalui pendekatan kemitraan dengan lembaga lain, terutama dengan Kementerian Agama 8. Balai Litbang Agama Semarang memprogramkan: a. Penyusunan bibliografi konsep toleransi menurut pandangan Islam b. Penyusunan ensiklopedi konsep jihad berdasarkan tafsir karya ulama Indonesia

141

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟anul Karim, 2016. Ditaskhih oleh Lembaga Lajnah Kementerian Agama Republik Indonesia Abdurrahman, H. (2016, Januari 1-31). Bagaimana Thariqah dan Uslub Meraih Kekuasaan Demi Menegakkan Islam. al-wa'ie , 28-32. Ali-Bassam, Abdullah ibn Abdurrahman ibn Shalih. 2006. Taisir l Alam Syarh Umdatu l-Ahkam. Kairo: Maktabah At-Tabi‟in. Adz-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman. 1997. Al- Kabair. Damaskus: Maktabah Dar l-Bayan. An-Najdi, Muhammad ibn Abdul Wahhab. 2008. Kitab t-Tauhid. Mesir: Maktabah Ibadurrahman. Al-Utsaimin, Muhammad ibn Shalih. Tt. Al-Qaulu l-Mufid ala Kitab t- Tauhid (juz 1-3). Darul Asimah. ------.1461 H. Al-Qaulu l-Mufid ala Kitab t-Tauhid. Jeddah. Dar Ibn l- Jauzi. ------. 1426 H. Syarh Riyadlu s-Shalihin min Kalami Sayyidi l- Mursalin. Riyadh: Dar l-Wathan li n-Nasyr. ------.2008. Kitab l Kabair lil Imam adz-Dzahabi ma'a Syarh lifadhilatissyaikh Muhammad ibn Shalih l Utsaimin. Lebanon: Dar Al-Kotob Al- ilmiyyah. Al-Buthi, Said Ramadhan, 2005, Salafi sebuah Fase Sejarah Bukan Madzhab Jakarta: Anggota IKAPI. Aziz, Aceng Abdul, 2007, Islam Ahlussunnah Waljama‟ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran dan dinamika Nahdhotul Ulama, Jakarta: Pustaka Ma‟arif NU Abdurrahman Muhamad Usman, Sunan Tirmidzi. Jami‟us Sahih, Juz III. Anam, M. C. (2015). Cinta Indonesia Rindu Khilafah. Semarang: Dakwah Media. An-Nabhani, T. (2014). Kepribadian Islam. (Z. Ahmad, Penerj.) Jakarta: HTI. Dipetik Februari 25, 2016, dari http://www.hizbut-tahrir.or.id

142

An-Nabhani, T. (2009). Konsepsi Politik Hizbut Tahrir. (M. S. Al-Jawi, Penerj.) Jakarta: HTI Press. Dipetik Februari 25, 2016, dari http://www.hizbut- tahrir.or.id An-Nabhani, T. (2013). Pembentukan Partai Politik Islam. (Zakaria, Labib, et al., Penerj.) Bogor: HTI. Dipetik Februari 25, 2016, dari http://www.hizbut-tahrir.or.id An-Nabhani, T. (2013). Peraturan Hidup dalam Islam. Jakarta: HTI Press. Dipetik Februari 25, 2016, dari http://www.hizbut-tahrir.or.id An-Nabhani, T. (2004). Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah. (Yasin, Penerj.) Jakarta: HTI. Dipetik Februari 25, 2016, dari http://www.hizbut- tahrir.or.id An-Nabhani, T. (2007). Sistem Pergaulan dalam Islam. (M. Nashir, et al., Penerj.) Jakarta: HTI Press. Dipetik Februari 25, 2016, dari http://www.hizbut- tahrir.or.id An-Nabhani, T. (2011). Syakhsiyyah Islam Jilid II. (A. Wijayanto, et al., Penerj.) Jakarta: HTI. Dipetik Februari 25, 2016, dari http://www.hizbut- tahrir.or.id Arifin, S. (2010). Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb Al-Tahrir Indonesia. Malang: UMM Press. Bagir, Zaenal Abidin, et.all. 2012. Laporan tahunan kehidupan beragama di Indonesia. Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada. Barton, Greg. 2004. Indonesia‟s struggle, and the soul of Islam. Sydney: University of New South Wales Press. Binder, Leonard. 2001. Islam liberal, kritik terhadap ideologi-ideologi pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Crouch, Harold. 2005. Radical ; some misperceptions. In Vicziany, Marika and Neville, David Wright.(eds). Islamic terrorism in Indonesia; myths and realities. Clayton: Monash Asia Institute.

143

Cahyana, Ludhy, 2003. Islam Jamaah Dibalik Pengadilan Mdia Massa, Suatu Analisis mengenai Pembunuhan Karakter terhadap Lemkari/LDII, Penerbit Benang Merah, Jakarta. Dijk, T. A. (2006). Discourse, Context and Cognition. Discourse Studies , VIII, 159-177. Eka Yani Arfina, tt, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia DIlengkapi Dengan EYD dan Singkatan Umum, Surabaya : Tiga Dua. Euben, Roxanne L. 2002, Musuh Dalam Cermin, Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern, Jakarta: Serambi. Faishol, Abdullah. 2016. “Jaringan Pesantren Radikal di Surakarta”, Makalah Pengayaan Teori “Penelitian Kolaboratif Kelompok Keagamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D.I. Yogyakarta” yang diadakan di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, 18Februari 2016. Fealy, Greg. 2005. Half a century of violent jihad in Indonesia: a historical and ideological comparison of Darul Islam and Jema‟ah Islamiyah. In Vicziany, Marika and Neville, David Wright.(eds). Islamic terrorism in Indonesia; myths and realities. Clayton: Monash Asia Institute. Feilard, Andree and Madinier. 2011. The end of innocence? Indonesian Islam and the temptation of radicalism. Honolulu: University of Hawai‟i Press. Fuad, A Jauhar dkk. 2015. Waspada Penetrasi Neo salafi Wahabi di Madrasah NU, Kediri. Penerbit Al-Maktab Hasani, Ismail dan Naipospos, Bonar Tigor (ed). 2012. Dari radikalisme menuju terorisme, studi relasi dan transformasi organisasi Islam radikal di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. Hasan, Noorhaedi. 2016. “Panduan Penelitian: Narasi Islamisme dan Politik Identitas, Pola Penyebaran dan Penerimaan Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”, Makalah Pengayaan Teori “Penelitian Kolaboratif Kelompok Keagamaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D.I. Yogyakarta” yang diadakan di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, 22 Januari 2016. Hikam, Muhammad AS. 2016. Deradikalisasi, peran masyarakat Sipil Indonesia membendung Radikalisme. Jakarta: Kompas

144

HTI. (2016, Januari 29). Menuntaskan Masalah Gafatar dan Aliran Sesat. Buletin Dakwah Al-Islam , 1-3. https://www.facebook.com/groups/www.frontjihadislam.or.id/ http://www.frontjihadislam.or.id/ https://id.wikipedia.org Indonesia, H. T. (2009). Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah, dan Penyatuan Kembali Dunia Islam. HTI. Ishak, M. (2015, Desember 1-31). Freeport: Simbol Penjajahan Kapitalisme di Indonesia. al-wa'ie , 9-12. Jones, Sidney. 2005. Terrorism and „radical Islam‟ in Indonesia. In Vicziany, Marika and Neville, David Wright.(eds). Islamic terrorism in Indonesia; myths and realities. Clayton: Monash Asia Institute. Kingsbury, Damien and Fernandes, Clinton. 2005. Terrorism in archipelagic Southeast Asia. In Kingsbury, Damien. (ed). Violence in between, conflict and security in archipelagic Southeast Asia. Clayton and Singapore: Monash Asia Institute and Institute of Southeast Asian Studies. Kompas.2010. Jasad Dulmatin dipulangkan; Warga Aceh Kembali dicekam Kondisi Konflik.Published on Friday, 12 March 2010. Mufid, Ahmad Syafi‟i. 2010a. Paham dan pemikiran Islam radikal pasca Orde Baru dalam dimensi baru. Dalam Sugiyarto, Wakhid (Ed). Direktori kasus- kasus aliran, pemikiran, paham dan gerakan keagamaan di Indonesia. Jakarta: Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Muhamadiyah, Hilmi. 2013. LDII Pasang Surut Relasi Agama dan Negara, Penerbit e LSA, Depok Jawa Barat. 2013. Muhammad ibn Abdul Wahhab. Tt. Al-Ushul s-Tsalatsah Majelis Taujih Wal Irsyad LDII, Syarah Asmaulllah Al-Husna, tt. Kediri. Majelis Tujih Wal Irsyad LDII. Al-Mnhaj Tarbiyah Ma‟had Wali Barokah, (Kurikulum Pendidikan Ponpes Wali Barokah) Kediri Jatim. Majelis Taujih Wal Irsyad LDII, Pedoman Ibadah Jillid I , LDII Kediri Jatim.

145

Majelis Taujih Wal Irsyad LDII, Kumpulan Materi Kelas, LDII Kediri Jatim. Majelis Taujih Wal Irsyad LDII, Muhtarul Adilah Min Kitabillah Aza Wajalla Wal Ahadis An-Nabawiyah. Jillid: I. II. III. Kediri Jatim. Majalah Al Furqon, Edisi 9 tahun ke-13, Rabiul Akhir 1435 H Majalah Al Furqon, Edisi 10 tahun ke-13, Jumadil Ula1435 H Majalah Al Furqon, Edisi 11 tahun ke-14, Jumadil Ula 1436 H Majalah Al Furqon, Edisi 12 tahun ke-14, Rajab 1436 H Majalah Al Furqon, Edisi 1 tahun ke-15, Sya‟ban 1436 H Majalah Al Furqon, Edisi 2 tahun ke-15, Ramadhan 1436 H Disaster Medicine. 18 (2): 100. Nashir, Haedar. 2013. Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Yogyakarta: Ma‟arif Institut Qodir, Zuly. 2009. Gerakan sosial Islam; manifesto kaum beriman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. …………... 2011. Sosiologi Agama Esai-esai Agama di ruang publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ramakrishna, Kumar and Seng Tan, See. 2003. Is Southeast Asia a “terrorist haven”?. In Ramakrishna, Kumar and Tan, See Seng.(eds). After Bali the threat of terrorism in Southeast Asia. Singapore: World Scientific and Institute of Defence and Strategic Studies. Rizal, Syamsu. 2011. Jaringan Hisbut Tharir Indonesia di Kota Makassar Sulawesi Selatan. Dalam Mufid, Ahmad Syafi‟I (ed). Perkembangan paham keagamaan transnasional di Indonesia. Jakarta: Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Singh, Bilveer. 2003. ASEAN, Australia and the management of Jemaah Islamiyah threat. Canberra: Strategic and Defence Studies Centre the Australian National University. Sukma, Rizal. 2003. Indonesia and the challenge of radical Islam after October 12. In Ramakrishna, Kumar and Tan, See Seng.(eds). After Bali the threat of terrorism in

146

Southeast Asia. Singapore: World Scientific and Institute of Defence and Strategic Studies. Viva news. 2011. Kenapa Teroris Pilih Cirebon dan Solo? "Strategi teror dimodifikasi. Jangkauan teror diperluas." Published 27 September 2011. Accessed, 10 May 2014 from: Error! Hyperlink reference not valid. Majelis Taujih wal Irsyad. 2016. Kurikulum Pendidikan Ponpes Wali Barokah. Kediri:LDII Qodir, Abdullah bin Ahmad. tt . Al Jihad Fi Sabilillah Haqiqotuhu wa Ghoyatuhu, Jilid I As Suyuthi, tt : Nazhm Al Uqiyan Fi A‟yani al A‟yan Sadik, M. K. (2015, Desember 1-31). Penjarahan Freeport Wajib Dihentikan. al-wa'ie , 13-16. Sunjandari, P. J. (2016). Wanita Indonesia 2015: Masih Dijajah Isu Jender. al-wa'ie , 58-60. Sya'roni. (2016, Maret 1). Wacana Khilafah HTI dalam Konteks Keindonesiaan. Sya'roni, & Suardi. (2016, Maret 1). Kepustakaan dan Kewacanaan HTI di Kota Malang. Setiawan, Habib dkk. 2008. After New Paradigm Catatan Para Ulama Tentang LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Penerbit Pusat Studi Islam Madani Institut, Jakarta Tahrir, H. (2004). Benturan Peradaban Sebuah Keniscayaan. (A. Faiz, Penerj.) Jakarta: HTI. Dipetik Februari 25, 2016, dari htt://www.hizbut-tahrir.or.id Tahrir, H. (2009). Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. (A. Afif, & N. Khalish, Penerj.) Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. Tahrir, H. (2008). Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi). (Y. AR, Trans.) Jakarta: HTI. Retrieved Februari 25, 2016, from http://www.hizbut-tahrir.or.id Thohir. Mundzir. 2009. Islam Jamaah dan LDII, STAIN Kediri. Yasin, A. (2007). Strategi Pendidikan Negara Khilafah. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

147

Yusanto, M. I. (2015, Desember 1-31). Tambang Freeport Milik Rakyat! al-wa'ie , 17-20.

148