Optimalisasi Sumberdaya Lokal Untuk Pembangunan Pertanian Terpadu dan Berkeadilan ISBN : 978-602-6697-47-9

ANALISIS NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI BERBASIS KETELA POHON DI KECAMATAN ORAL MANYARAN KABUPATEN WONOGIRI Tri Endar Suswatiningsih, Yusi Yuni Astuti, Arum Ambarsari Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian INSTIPER Yogyakarta e-mail: [email protected]

ABSTRAK

enelitian dilaksanakan di Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri bertujuan untuk mengetahui jenis agroindustri berbasis ketela pohon, P menganalisis nilai tambah yang dihasilkan setiap agroindustri yang ada beserta kelayakannya serta kendala-kendala yang dihadapi. Sampel pengrajin diambil menggunakan metode purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan agroindustri dengan bahan baku ketela pohon di Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri antara lain, pembuatan utri, gethuk, manggleng, singkong dan karak gaplek. Nilai tambah agroindustri ketela pohon menurut jenis usahanya diperoleh usaha utri menghasilkan nilai tambah Rp. 12.245/kg bahan baku, usaha gethuk Rp. 14.000/kg bahan baku, usaha manggleng Rp. 10.718,75/kg bahan baku, usaha kripik singkong Rp. 14.895/kg bahan baku dan usaha karak gaplekRp. 8.194,23/kg bahan baku. Semua jenis agroindustri ketela pohon memiliki R/C >1, sehingga agroindustri ketela pohon layak untuk diusahakan. Kendala yang dihadapi pengrajin adalah terbatasnya teknologi pengolahan, pemasaran produk masih di wilayah lokal, dan modal terbatas.

Kata kunci: Agroindustri, Ketela Pohon, Nilai Tambah

ABSTRACT

the study was conducted in Manyaran Subdistrict, Wonogiri Regency, aimed to find out the type of cassava-based agro-industry, analyze the added value A generated by each existing agro-industry and its feasibility and the constraints faced. Craftsman samples were taken using purposive sampling method. The results showed that agro-industry with raw material for cassava in Manyaran District Wonogiri Regency included, among others, making utri, gethuk, manggleng, cassava chips and cassava crackers. The added value of cassava agro-industry according to the type of business obtained by utri business generates added value of Rp. 12,245/kg of raw materials, gethuk business Rp. 14,000/kg of raw materials, manggleng business Rp. 10,718.75/kg of raw materials, cassava chips business Rp. 14,895/kg of raw materials and cassava crackers business Rp. 8,194.23/kg of raw materials. All types of cassava agro-industry have R/C > 1, so that cassava agro-industry is feasible to be cultivated. Constraints faced by craftsmen are the limited processing technology, product marketing is still in the local area, and limited capital.

Key words: Agroindustry, Cassava, Value Added

288 Optimalisasi Sumberdaya Lokal Untuk Pembangunan Pertanian Terpadu ISBN dan : aaa Berkeadilan-ccc-xxxxx -y-z PENDAHULUAN Ketela pohon di merupakan makanan pokok ketiga setelah padi dan jagung. Selain itu, ketela pohon dapat diolah menjadi kripik, tepung tapioka, dan inovasi terbaru yaitu diolah menjadi tepung mocaf (Zulfa, 2015). Potensi singkong untuk dijadikan komoditas tidak boleh dianggap remeh. Pengembangan usaha budidaya singkong sangat terbuka karena banyak jenis agroindustri memanfaatkan singkong sebagai bahan baku. Kurang lebih ada 14 macam turunan dibuat dari produk olahan berbahan dasar singkong, baik gaplek, chips, pellet, maupun tepung tapioka (Kamisi, 2011). Kabupaten Wonogiri berdasar data BPS (2015) merupakan penghasil utama ketela pohon di Provinsi Jawa Tengah, dengan luas panen terbesar yaitu 52.833 ha, serta memiliki produksi ketela pohon terbesar sejumlah 878.580 ton yang tersebar di seluruh desa di 25 kecamatan. Kecamatan Manyaran merupakan sentra produksi ketela pohon dengan luas panen pada tahun 2018 seluas 145 hektar dan jumlah produksinya mencapai 38.378 kuintal. Ketela pohon dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku berbagai agroindustri dalam rangka menambah nilai tambah produk. Pengertian nilai tambah (value added) menurut Tim Kajian Nilai Tambah-Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Kementrian Keuangan (2012) adalah suatu komoditas yang bertambah nilainya karena melalui proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dari pengertian ini definisi nilai tambah adalah selisih lebih antara nilai produk dengan nilai biaya input, tidak termasuk upah tenaga kerja. Nilai tambah merupakan penambahan nilai yang dihasilkan oleh suatu produk dari bahan baku sebelum diproses dengan setelah dilakukan proses produksi. Nilai tambah produk yang dihasilkan berbanding lurus dengan tahapan produksi dan tingkat teknologi yang digunakan. Lebih lanjut Bantacut (2013) menyebutkan bahwa semakin komplek tahapan dan teknologi yang digunakan dalam proses produksi akan menghasilkan nilai tambah produk yang lebih tinggi. Berfluktuasinya harga ketela pohon menyebabkan masyarakat di Kecamatan Manyaran berusaha mengolahnya lebih lanjut menjadi beberapa makanan tradisional yang memiliki nilai jual lebih tinggi dan menjualnya di pasar desa. Penganekaragaman pangan dengan memanfaatkan bahan baku lokal salah satunya ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk. Udayana (2011) menyebutkan bahwa salah satu ciri agroindustri pengolahan hasil pertanian yaitu menghasilkan

289 Optimalisasi Sumberdaya Lokal Untuk Pembangunan Per tanian Terpadu ISBN dan Berkeadilan: aaa-ccc-xxxxx -y-z produk yang memiliki nilai tambah, dan meningkatkan pendapatan bagi produsen. Pengolahan ketela pohon menjadi tepung tapioka menurut Herdiyandi, et al (2016) menghasilkan nilai tambah produk sebesar Rp 662,- perkilogram bahan baku ketela pohon dengan pendapatan sebesar Rp 1.192.463,78 dan R/C sebesar 1,39. Lebih lanjut Imran S., et al.(2014) menyebutkan bahwa agroindustri keripik dengan bahan baku ubi kayu memberikan nilai tambah sebesar Rp 37.555,55 perkilogram bahan baku, dengan total keuntungan Rp 6.115.500 dan R/C 2,2. Ismini (2010) menyebutkan bahwa perkembangan agroindustri di masa datang, akan menuju pada pengembangan kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil-hasil pertanian. Menurut Soekartawi (2000), agroindustri juga akan memperluas penciptaan lapangan kerja. Selain itu, agroindustri akan menjadikan produk-produk pertanian menjadi lebih beragam kegunaannya. Ketela pohon di Kecamatan Manyaran diolah menjadi berbagai olahan makanan tradisional. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengembangan agroindustri ketela pohon sebagai penganekaragaman konsumsi pangan, menganalisis nilai tambah yang dihasilkan di setiap agroindustri yang ada beserta kelayakannya serta kendala-kendala yang dihadapi oleh pengrajin.

METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Desa Punduhsari, Desa Pijiharjo dan Desa Pagutan, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri. Ketiga desa tersebut memiliki pengrajin yang mengolah ketela pohon menjadi makanan tradisional. Responden adalah pengrajin yang mengolah ketela pohon menjadi makanan tradisional yang berbeda-beda jenis usahanya, sebanyak 5 orang secara purposive sampling mengacu pada Martono (2014). Data diperoleh melalui wawancara dan observasi langsung untuk mengikuti proses pembuatan produk hingga pemasaran. Analisis nilai tambah untuk setiap jenis usaha agroindustri ketela pohon dihitung menggunakan metode Hayami dalam Kamisi (2011) seperti tercantum pada Tabel 1. Nilai tambah argoindustri berbahan baku ketela pohon dihitung berdasarkan nilai tambah ouput perkilogram bahan baku ketela pohon. Standar harga yang digunakan adalah standar harga ditingkat produsen. Besarnya nilai tambah karena proses pengolahan didapat dari pengurangan bahan baku dan input lainnya dari nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja

290 Optimalisasi Sumberdaya Lokal Untuk Pembangunan Pertanian Terpadu ISBN dan : aaa Berkeadilan-ccc-xxxxx -y-z

Tabel 1. Perhitungan Analisis Nilai Tambah Produk

No Variabel Notasi 1 Hasil Produksi (Kg/Hari) a 2 Bahan Baku (Kg/Hari) b 3 Tenaga Kerja (Jam/hari) c 4 Faktor Konversi (1/2) a/b = m 5 Koefisien Tenaga Kerja (3/2) c/b = n 6 Harga Produk Rata-Rata (Rp/Kg) d 7 Upah Rata-Rata (Rp/Jam) e 8 Harga Bahan Baku (Rp/Kg) f 9 Sumbangan Input Lain (Rp/Kg) g 10 Nilai Produksi (4x6) (Rp/Kg) mxd = k 11 a. Nilai Tambah (10-9-8) (Rp/Kg) k-f-g = l b. Ratio Nilai Tambah (11a/10) (%) l/k = h 12 a. Imbalan Tenaga Kerja (5x7) (Rp/Kg) nxe = p b. Bagian Tenaga Kerja (12a/11a) (%) p/l = q 13 a. Keuntungan (11a-12a) l-p = r b. Tingkat Keuntungan (13a/11a) (%) r/l = o Sumber : Hayami (1987) dalam Kamisi (2011) Kelayakan agroindustri berbahan baku ketela pohon dihitung menggunakan R/C ratio. Soekartawi (1993) menyebutkan, untuk mengetahui efisiensi atau kelayakan usaha dengan cara menghitung Revenue Cost Ratio (R/C ratio). Nilai R/C menunjukkan kondisi suatu usaha, jika nilai R/C > 1, maka usaha agroindustri berbahan baku ketela pohon layak untuk diusahakan. Sebaliknya jika R/C < 1, usaha agroindustri tersebut tidak layak diusahakan. Jika R/C = 1, maka agroindustri tersebut dalam kondisi impas (tidak memberikan keuntungan maupun kerugian). Nilai R/C ratio dinyatakan dalam rumus sebagai berikut : Total Revenue (TR) R/C ratio = Total Cost (TC) TR = Jumlah produksi dikalikan harga jual produk TC = Total biaya yang dikeluarkan dalam agroindustri ketela pohon

291 Optimalisasi Sumberdaya Lokal Untuk Pembangunan Per tanian Terpadu ISBN dan Berkeadilan: aaa-ccc-xxxxx -y-z

HASIL DAN PEMBAHASAN Agroindustri berbahan baku ketela pohon yang dijumpai di Desa Punduhsari adalah usaha pembuatan tradiosional utri dan gethuk, di Desa Pijiharjo terdapat usaha pembuatan manggleng dan keripik singkong, dan di Desa Pagutan usaha pembuatan karak gaplek. Usia pengrajin berkisar 30-45 tahun, dengan pendidikan SD (20%), SMP (40%) dan SMA (40%), dan semuanya berjenis kelamin perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan juga berperan aktif dalam usaha peningkatan pendapatan bagi keluarga. Anggota keluarga berjumlah 3-4 orang. Agroindustri berbahan baku ketela pohon tersebut mulai dilakukan pada tahun 2015-2016. Tabel 3. Karakteristik Produk Agroindustri Berbahan Baku Ketela Pohon di Kecamatan Manyaran Tahun 2018 No Jenis Bahan tambahan Cara Pembuatan Kemasan Produk 1 Utri Gula merah, gula Ubi kayu diparut dan Daun pasir, kelapa, dikukus pisang garam 2 Gethuk Gula pasir, kelapa, Ubi kayu dikukus dan Daun garam, daun salam dihaluskan, dipotong pisang kotak 3 Manggleng Cabai, bawang Ubi kayu direbus, Plastik dan putih, gula merah, dipotong tipis-tipis, berlabel garam, minyak digoreng, dicampur goreng yang sudah dimasak 4 Keripik Bawang putih, Ubi kayu diiris tipis, Plastik dan singkong garam, gula, cabai, digoreng, dicampur berlabel saus, penyedap bumbu yang sudah rasa, minyak dimasak goreng 5 Karak Bawang putih, Ubi kayu dijadikan Plastik gaplek garam, minyak tepung, diuleni, dikukus, tanpa label goreng dipipihkan, dipotong kotak, dijemur, digoreng Sumber : Analisis Data Primer, 2018 Karakteristik produk hasil olahan dengan bahan baku ketela pohon beserta bahan-bahan tambahan, berikut cara pembuatannya disajikan pada Tabel 2. Utri dan gethuk merupakan makanan tradisional yang tidak tahan lama karena termasuk kue tradisional basah yang dibungkus dengan daun pisang, sedangkan manggleng, keripik singkong dan karak gaplek relatif lebih tahan lama dan dikemas dalam plastik yang sudah berlabel. Hasil olahan tersebut dipasarkan di pasar desa dan kecamatan seperti

292 Optimalisasi Sumberdaya Lokal Untuk Pembangunan Pertanian Terpadu ISBN dan : aaa Berkeadilan-ccc-xxxxx -y-z pasar Manyaran, Manunggal, Pijiharjo, Pulutan, Kelir dan pasar di Kecamatan Wuryantoro. Tabel 4. Biaya Variabel, Biaya Tetap Dan Total Biaya Berbagai Agroindustri Ketela Pohon Per Sekali Proses Produksi di Kecamatan Manyaran Tahun 2018 Jenis Agroindustri Uraian Utri Gethuk Manggleng Kripik Karak Biaya bahan baku (Rp) 11.000 11.000 20.000 15.000 82.500 Biaya bahan tambahan 27.750 19.000 44.250 36.750 33.250 (Rp) Biaya tenaga kerja (Rp) 15.000 15.000 15.000 15.000 30.000 Total BiayaVariabel (Rp) 53.750 45.000 79.250 66.750 145.750 Total Biaya Tetap 2.902,14 15.438,6 12.969,7 2.736,27 11.075,3 Penyusutan alat (Rp) Total Biaya (Rp) 56.486,27 47.902,14 94.688,6 79.719,7 156.825,3 Sumber : Analisis Data Primer, 2018. Bahan baku ketela pohon rata-rata dibeli di pasar desa dengan harga berkisar Rp 2.200-2.500 perkilogramnya. Tenaga kerja masih menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan pekerjaan pembuatan makanan tradisional tersebut rata-rata selesai tidak sampai setengah sehari. Total biaya terbesar (Tabel 4.) pada usaha pembuatan karak gaplek, hal ini karena pengrajin menggunakan bahan baku tepung gaplek dengan harga Rp 5.500/kg dan lebih lama pembuatannya sehingga biaya tenaga kerja lebih tinggi. Tabel 5. Produksi, Penerimaan, Keuntungan dan Nilai R/C Ratio Berbagai Agroindustri Ketela Pohon Di Kecamatan Manyaran Tahun 2018 Uraian Jenis Agroindustri Utri Gethuk Manggleng Keripik Karak Produksi 200 bks 200 bks 6 Kg 5 Kg 12,5 Kg Penerimaan (Rp) 100.000 100.000 150.000 140.000 250.000 Total Biaya (Rp) 56.486,27 47.902,14 94.688,6 79.719,7 156.825,3 Keuntungan (Rp) 43.513,73 52.097,86 55.311,4 60.280,3 93.174,7 R/C ratio 1,78 2,09 1,58 1,76 1,59 Sumber : Analisis Data Primer, 2018. Penerimaan pengrajin dari sekali proses produksi tergantung pada jumlah produk yang dihasilkan. Usaha utri dan gethuk memproduksi 200 bungkus/hari dengan harga jual Rp 500/bungkus. Usaha manggleng memproduksi 6 kg/hari dengan harga jual Rp 25.000/kg, usaha keripik singkong memproduksi 5 kg/hari dengan harga jual Rp 28.000/kg dan usaha karak gaplek memproduksi 12,5 kg/hari dengan harga jual Rp 20.000/kg. Keuntungan terbesar (Tabel 5) pada usaha pembuatan karak gaplek sebesar Rp 93.174,7. Tetapi semua jenis usaha menghasilkan nilai R/C > 1, sehingga semua jenis agroindustri tersebut layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan.

293 Optimalisasi Sumberdaya Lokal Untuk Pembangunan Per tanian Terpadu ISBN dan Berkeadilan: aaa-ccc-xxxxx -y-z

Tabel 6. Frekuensi Produksi Dan Keuntungan Perbulan Berbagai Agroindustri Ketela Pohon di Kecamatan Manyaran Tahun 2018 No Jenis Agroindustri Frekuensi produksi per Keuntungan bulan (kali) (Rp/bulan) 1 Utri 8 348.109,84 2 Gethuk 8 416.782,88 3 Manggleng 16 884.982,40 4 Keripik Singkong 16 964.484,80 5 Karak Gaplek 8 745.397.60 Sumber : Analisis Data Primer, 2018 Frekuensi produksi pada berbagai agroindustri yang beragam menyebabkan keuntungan yang beragam pula yang diterima oleh pengrajin. Agroindustri keripik singkong dengan frekuensi produksi 16 kali dalam sebulan menghasilkan keuntungan tertinggi yaitu Rp 964.484,80. Meskipun keuntungan yang diperoleh tidak terlalu besar, pengrajin tetap menjalankan usahanya. Kecilnya keuntungan yang diperoleh menjadi salah satu penyebab sulitnya agroindustri berbahan baku ketela pohon di Kecamatan Manyaran berkembang lebih lanjut. Tabel 7. Analisis Nilai Tambah Berbagai Agroindustri Ketela Pohon Di Kecamatan Manyaran Tahun 2018 Jenis Agroindustri No Variabel Utri Gethuk Manggleng Keripik Karak 1 Hasil Produksi ( Kg/ Hari ) 4 4 6 5 12,5 2 Bahan Baku ( Kg/ Hari ) 5 5 8 6 16,5 3 Tenaga Kerja ( Jam/ Hari ) 3 3 4 4 12 4 Faktor Konversi ( 1/2) 0,8 0,8 0,75 0,84 0,76 5 KoefisienTenaga Kerja ( 3/2 ) 0,6 0,6 0,5 0,67 0,73 6 Harga Produk Rata-Rata 25.000 25.000 25.000 28.000 20.000 (Rp/Kg) 7 Upah Rata-Rata ( Rp/ Jam ) 5000 5.000 3.750 3.750 2.500 8 Harga Bahan Baku ( Rp/ Kg ) 2.200 2.200 2.500 2.500 5.000 9 Sumbangan Input Lain ( Rp/Kg ) 5.555 3.800 5.531,25 6.125 2.005,77 10 Nilai Produksi ( 4x6 ) ( Rp/Kg ) 20.000 20.000 18.750 23.520 15.200 11 a. NilaiTambah (10-9-8) 12.245 14.000 10.718,75 14.895 8.194,23 (Rp/Kg) b. Ratio Nilai Tambah (11a/10) 61,22 70,0 57,17 63,33 53,9 (%) 12 a. Imbalan Tenaga Kerja (5x7) 3.000 3.000 1.875 2.512,5 1.825 (Rp/Kg) b. BagianTenaga Kerja 24,50 21,43 17,49 16,87 22,27 (12a/11a) (%) 13 a. Keuntungan (11a-12a) 9.245 11.000 8.843,75 12.382,5 6.369,23 (Rp/Kg)

294 Optimalisasi Sumberdaya Lokal Untuk Pembangunan Pertanian Terpadu ISBN dan : aaa Berkeadilan-ccc-xxxxx -y-z b. Tingkat Keuntungan 75,5 78,57 82,5 83,13 77,72 (13a/11a) (%) Sumber : Analisis Data Primer, 2018

Nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan ketela pohon menjadi beberapa makanan tradional selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Usaha keripik singkong memberikan nilai tambah terbesar yaitu Rp 14.895 perkilogram bahan baku yang digunakan, sedangkan gethuk memberikan nilai tambah sebesar Rp 14.000/kg bahan baku. Bila diperhatikan dari cara pembuatannya kedua jenis usaha tersebut relatif mudah dan membutuhkan sedikit tenaga kerja maupun modal. Untuk usaha gethuk perlu ditingkatkan frekuensi pembuatannya perbulan diperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Mengingat gethuk adalah kue basah, perlu diperhatikan pemasarannya karena harus langsung habis. Berdasarkan tingkat keuntungannya keripik singkong memberikan tingkat keuntungan terbesar yaitu 83,13 % dengan ratio nilai tambah 63,33%, dan keripik singkong dipasarkan hingga ke kecamatan lain. Kendala yang dihadapi pengrajin antara lain modal yang terbatas dan teknologi pengolahan yang masih sederhana sehingga kualitas produk yang dihasilkan belum mampu bersaing. Gethuk yang diproduksi oleh pengrajin di Kecamatan Manyaran masih belum terdeferensiasi jenisnya, belum menarik bentuknya karena hanya dipotong- potong kotak dan dibungkus daun pisang. Sementara produk gethuk di pasaran sudah mulai berkembang, baik dari varian rasa, kemasan hingga perluasan jangkauan pasar. Begitu juga untuk keripik singkong, karak gaplek maupun manggleng yang sederhana pengemasannya dan masih tergantung pada sinar matahari untuk penjemurannya. Soekartawi (2000) menyebutkan bahwa permasalahan khusus agroindustri di Indonesia adalah keterbatasan pasar, kurangnya fasilitas permodalan, kualitas produksi dan prosesing yang belum mampu bersaing serta kurangnya perhatian terhadap penelitian dan pengembangan. Mengingat usaha berbagai jenis agroindustri ketela pohon di Kecamatan Manyaran merupakan bagian dari program penganekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal, maka perlu terus didukung agar keberadaannya bisa lebih eksis dan lebih berkembang serta memberika keuntungan bagi pelaku usahanya.

KESIMPULAN DAN SARAN Agroindustri berbahan baku ketela pohon yang ada di Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri antara lain usaha pembuatan utri, gethuk, manggleng, keripik

295 Optimalisasi Sumberdaya Lokal Untuk Pembangunan Per tanian Terpadu ISBN dan Berkeadilan: aaa-ccc-xxxxx -y-z singkong, dan karak gaplek. Nilai tambah agroindustri ketela pohon menurut jenis usahanya diperoleh usaha kripik singkong Rp. 14.895/kg bahan baku, usaha gethuk Rp. 14.000/kg bahan baku, usaha utri menghasilkan nilai tambah Rp. 12.245/kg bahan baku, usaha manggleng Rp. 10.718,75/kg bahan baku, dan usaha karak gaplek Rp. 8.194,23/kg bahan baku. Semua jenis usaha agroindustri ketela pohon memiliki R/C Ratio > 1, sehingga agroindustri ketela pohon layak untuk diusahakan. Kendala yang dihadapi pengrajin adalah terbatasnya teknologi pengolahan, pemasaran produk masih di wilayah lokal, dan modal terbatas. Untuk mengembangkan agroindustri berbasis ketela pohon perlu pelatihan dan pendampingan bagi pengrajin agar lebih bisa menghasilkan produk yang inovatif dan mampu bersaing di pasar. Pengrajin sangat membutuhan bantuan fasilitas permodalan yang mudah diakses dan tidak memberatkan. Pemasaran produk perlu lebih diperluas hingga ke luar Kecamatan Manyaran.

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS), 2015. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Ubi Kayu Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri

Bantacut, T, 2013. Pembangunan Ketahanan Ekonomi Dan Pangan Perdesaan Mandiri Berbasis Nilai Tambah. Pangan. Vol.22 No. 2. Juli 2013. Hal. 397-406

Herdiyandi, Yus Rusman, dan Muhamad Nurdin Yusuf, 2016. Analisis Nilai Tambah Agroindustri Tepung Tapioka di Desa Negara Tengah Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH Volume 2 Nomor 2, Januari 2016. Hal 81-86

Imran, Supriyono, Amelia Murtisari, Ni Ketut Murni, 2014. Analisis Nilai Tambah Keripik Ubi Kayu di UKM Barokah Kabupaten Bone Bolango. Jurnal Perpekstif Pembangunan dan Pembiayaan Daerah. Vol. 1, No. 4. April-Juni 2014. Hal. 207-212

Ismini, 2010. Analisis Nilai Tambah Dan Strategi Pemasaran Keripik Singkong di Perusahaan Mickey Mouse, Agrika. Vol. 4 No.2 November 2010. Hal. 119-129

Kamisi, Haryati La, 2011. Analisis Usaha dan Nilai Tambah Agroindustri Kerupuk Singkong. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (Agrikan UMMU- Ternate), Volume 4 Edisi 2 Oktober 2011. Hal. 82-87

Martono, Nanang., 2014. Metode Penelitian Kuantitatif. Biruni Press. Yogyakarta

Soekartawi, 1993. Agribisnis. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

296 Optimalisasi Sumberdaya Lokal Untuk Pembangunan Pertanian Terpadu ISBN dan : aaa Berkeadilan-ccc-xxxxx -y-z Soekartawi, 2000. Pengantar Agroindustri. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Tim Kajian Nilai Tambah-Pusat Kajian Ekonomi Makro, 2012. Kajian Nilai Tambah Produk Pertanian. Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta Udayana, G.B., 2011. Peran Agroindustri Dalam Pembangunan Pertanian. Jurnal Sighadwala. Edisi 44. Februari 2011. Hal 3-8 Usada, Hanifah Erma Ratnasari, Dwidjono H. D. dan Jangkung H.M., 2011. Analisis Nilai Tambah dan Profitabilaitas Agroindustri Rumah Tangga Etanol di Kabupaten Sukaharjo. Jurnal Agro Ekonomi. Vo. 18. N0. 1. Juni 2011 . Hal 33- 42

Zulfa Anindita, Kusnandar, dan Wiwit Rahayu, 2015. Strategi Pengembangan Agroindustri Mocaf (Modified Cassava Flour) di Kabupaten Wonogiri. UNS. Surakarta.

297