PERJUANGAN GURU MANSHUR DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN ISLAM DI BETAWI 1900 - 1967

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Syarat Mendapat Gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum)

Disusun Oleh : Humaedi NIM : 1111022000010

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 1439 H / 2018 M

ABSTRAK

Humaedi

Perjuangan Guru Manshur dalam Mengembangkan Pendidikan Islam di Betawi 1900 - 1967

Ketokohan ulama di Betawi tidak hanya bersandar pada keilmuan di bidang agama saja, tetapi turut serta berperan dalam pendidikan, sosial masyarakat dan melawan penjajahan. Seperti KH. Muhammad Manshur,tokoh ulama asal Betawi yang ikut serta berperan memajukan moral masyarakat di Betawi atau yang lebih akrab disebut Guru Manshur. KH Muhammad Manshur merupakan ulama termahsyur dizamannya. Terutama dalam bidang pendidikan, karena dari garis keturunannya Guru Manshur merupakan anak dari KH Abdul Hamid, yang menjadi Imam di Mekkah. Metode yang digunakan untuk membuat skripsi ini adalah metode historis bersifat deskriptif analitis, dan didukung field research (penelitian lapangan), melakukan observasi dan wawancara kepada KH Fatahillah Ahmadi sebagai cicitnya yang masih eksis dengan karya-karya Guru Manshur. Dalam hasilnya, Guru Manshur banyak berperan dalam memajukan pendidikan Islam di Betawi. Hasilnya banyak para murid-muridnya yang belajar kepadanya, di sisi lain Guru Manshur juga alhli di bidang Ilmu Falak, sehingga bisa menjadi runutan para masyarakat terhadap penentuan Hari Besar Islam dan yang lainnya.

Kata Kunci : Ulama Betawi, Guru Mansur, Pendidikan Islam

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur untuk Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan nikmat yang tidak terhitung, dan dengan kasih sayang-Nya kita dapat terus bernapas dan berbuat di dunia ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad Saw. Banyak rintangan dan hambatan yang penulis hadapi dalam merampungkan skripsi yang berjudul: Perjuangan Guru Manshur dalam Mengembangkan Pendidikan Islam di Betawi 1900 - 1967. Namun, semua rintangan dan hambatan itu bisa terlewati sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan dengan usaha dan kerja keras. Oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya kepada: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Syukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 3. Bapak Nurhasan, MA. selaku Ketua Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa dalam beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi universitas sehingga segalanya menjadi mudah. 4. Ibu Sholikatus Sa’adiyah, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulis saat menjadi mahasiswa di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam tercinta ini baik yang berkenaan dengan surat menyurat maupun memberi motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. 5. Bunda Dr. Hj. Tati Hartimah, MA. selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik yang memberikan banyak masukan, saran dan selalu sabar kepada penulis untuk terus mencari sumber primer dalam penulisan sejarah, serta selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi.

ii

6. Seluruh Dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan wawasan yang banyak bermanfaat. 7. Seluruh staff pegawai Fakultas Adab dan Humaniora yang telah membantu segala urusan akedemik dan administrasi. 8. KH. Fatahillah Ahmadi, selaku narasumber dan juga cicit dari Guru Manshur yang bersedia meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk penulis wawancarai dan memberikan sumber otentik untuk melengkapi skripsi penulis. 9. Keluargaku, Ayahanda H. Achmad Sudirman, Ibunda Hj. Khuriyah, adik- adikku tercinta Anita Firdaus dan Ahmad Mahfudin yang selalu memberikan do’a dan dukungan setiap hari baik moril maupun materil yang tak terhingga, serta kasih sayangnya menjadikan penulis menjadi pribadi yang memiliki karakter. 10. Organisasiku, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Adab dan Humaniora (KOFAH) Cabang Ciputat, yang telah menjadi tempat penulis belajar berorganisasi dan belajar banyak hal. Terima kasih kepada senior-junior yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Namun penulis harus berterima kasih kepada Fikri, Naufan, Yudha bengbeng, Ka Fauzan Baihaqi, Bang Johan, Acin, Dyah dan Luthfi Ncek yang telah memberikan semangat kepada penulis. 11. Teman-teman seperjuangan di SPI 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun penulisan harus berterima kasih kepada Firdaus, Taki, Egi, Mulyadin, Ucok, Illham, Indi, Ririn, Fauzi, Ulfa, Rahma, Wilda dan sahabat-sahabat lainnya yang banyak membantu selama masa perkuliahan ini. 12. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ-SPI) Sejarah dan Peradaban Islam, Dewan Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah tempat penulis meluangkan waktu untuk belajar, berproses dan berorganisasi.

iii

13. Teman-teman yang selalu memberi dukungan. Terima kasih kepada Devi, Awanda, Hijbil, Usie, Wati, Yoga, Vivi dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. 14. Teman-teman KKN Pelita, Jaja, Adam, Faiz, Pijoh, Leli, Danty, Isal, Kiki.

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI ...... v DAFTAR LAMPIRAN ...... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 6 D. Metode Penelitian ...... 7 E. Tinjauan Pustaka ...... 8 F. Kerangka Teori...... 9 G. Sistematika Penulisan ...... 9

BAB II BIOGRAFI GURU MANSHUR A. Gambaran Umum Masyarakat Tambora...... 11 B. Riwayat Hidup...... 15 C. Murid-murid Guru Manshur...... 18

BAB III PERAN GURU MANSHUR DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI TAMBORA JAKARTA A. Perkembangan Keilmuan...... 25 B. Pendidikan dan Guru-gurunya...... 27 C. Perjuangannya terhadap Kemerdekaan ...... 28

BAB IV KEISTIMEWAAN GURU MANSHUR A. Ilmu Falak...... 31 B. Perkembangan Ilmu Falak Pacsa Guru Manshur...... 34

v

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 37 B. Saran ...... 37

DAFTAR PUSTAKA ...... 39 LAMPIRAN...... 45

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Hasil wawancara dengan H. Fatahillah Ahmadi...... 42 Lampiran 2 : Koleksi bacaan Guru Mansur...... 46 Lampiran 3 : Milad 300 tahun masjid jami al-mansur...... 48 Lampiran 4 : Haul 50 tahun KH. Muhammad Mansur (Guru Mansur)...... 52 Lampiran 5 : Sanad Guru Mansur terhadap guru timur tengah...... 56 Lampiran 6 : Peta jembatan lima dan sekitarnya...... 57 Lampiran 7 : Foto bersama H. Fatahillah Ahmadi...... 58 Lampiran 8 : Metode penghitungan awal bulan qomariyah (Sullamunnirain)...... 59

vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dalam khazanah keberagamaan masyarakat muslim, tidak dapat dipisahkan dengan ulama, para ulama yang dijadikan rujukan dalam pelaksanaan semua ajaran agama yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian besar dan terhormatnya kedudukan ulama, tidak jarang ulama menjadi tempat bertanya dan ulamalah penentu jalan keluar dari masalah Ijtimaiyyah. Karena ulama dianggap sebagai seorang yang mempunyai pengetahuan luas dan mendalam mengenai berbagai masalah keilmuan wa bil khusus masalah agama. Ulama mempunyai kesalehan sosial dan spiritual yang tinggi, berani menegakkan yang hak dan melawan segala kebathilan, ulama mempunyai murid dan pengikut yang luas dan juga mempunyai nasab atau keturunan yang baik. Seorang ulama merupakan orang-orang yang diakui sebagai cendekiawan atau sebagai pemegang otoritas pengetahuan agama Islam. Mereka adalah para imam masjid-masjid besar (agung), para hakim, guru-guru agama pada universitas (perguruan tinggi Islam), dan secara umum merupakan lembaga kelompok terpelajar atau kalangan cendekiawan yang memiliki hak penentu atas permasalahan keagamaan.1 “Seorang ulama merupakan orang-orang yang diakui sebagai cendekiawan atau sebagai pemegang otoritas pengetahuan agama Islam. Mereka adalah para imam masjid-masjid besar (agung), parahakim, guru-guru agama pada universitas (perguruan tinggi Islam), dan secara umum merupakan lembaga kelompok terpelajar atau kalangan cendekiawan yang memiliki hak penentu atas permasalahan keagamaan. Secara harfiah ulama berarti "orang yang mengetahui" atau ilmuwan. Ulama Islam (disingkat ulama) adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam,

1 Ahmad Fadli, Ulama Betawi : (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontibusinya Terhadap Perkembangan Islam abad 19 dan 20), Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press. 2011, h.183

1

2

bersumber dari Al-Qur'an dan Al-Hadist. Peranan ulama dalam perjalanan penyebaran agama Islam memiliki peran yang sangat penting, sehingga mereka mendapat sebutan sebagai pewaris para Nabi. Peranan mereka sepanjang masa secara garis besar sama, meskipun konsep dan pendekatan yang digunakan mengalami perbedaan.2 Perkembangan Islam di Jakarta berawal dari didudukinya Sunda Kelapa oleh Fatahillah yang kemudian diubah menjadi Jayakarta. Namun saat Jayakarta jatuh ke tangan Belanda, umat Islam mengalami krisis kepemimpinan, diperparah lagi dengan pembakaran kraton dan masjid oleh Belanda. Meskipun demikian masyarakat Jayakarta masih dapat mendirikan masjid dan langgar kecil sebagai pembinaan umat dibawah bimbingan dan tanggung jawab ulama, yang dikemudian hari melahirkan kebudayaan Betawi.3” Dalam pembentukan kebudayaan tersebut, Badri Yatim (mantan dekan Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) membagi ulama menjadi tiga golongan, yaitu : ulama , ulama Haji Betawi, dan ulama Jakarta Asal Arab Hadramaut. Seseorang agar dapat disebut sebagai ulama besar, berpengaruh dan disegani setidaknya harus memiliki beberapa syarat, di antaranya; seorang ulama mempunyai pengetahuan yang luas dan dalam, terutama yang menyangkut pengetahuan agama, tanpa mengabaikan penguasaan pengetahuan umum, memperlihatkan kesalehan yang tinggi, tidak hanya dalam ucapan, tetapi juga dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari, mempunyai keberanian untuk menegakkan segala yang hak dan melawan segala kebathilan. Keberanian ini juga harus diperlihatkan dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari, mempunyai mood dan pengikut yang luas, baik yang berasal dari madrasah atau pesantrennya sendiri, maupun dari luar, termasuk dari lingkungan masyarakat, dan kadangkala popularitasnya dikaitkan pula dengan faktor keturunan. Karena tidak jarang

2 Nasim, Jaringan Ulama Betawi Abad XX Dan Peranannya Terhadap Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta, disertasi Program Pascasarjana, Universitas Ibnu Khaldun (UIK), Bogor, 2010, h.126 3 Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, 1995-2010

3

masyarakat memandang pengaruh seorang ulama dari asal keturunannya. Meskipun hal kelima ini tidak harus mutlak, namun pandangan masyarakat mengenai keturunan ulama, seperti habib, sayid, atau syekh ikut memberi citra tertentu mengenai keulamaan seseorang.4 Pada tanggal 31 Desember 1878 lahir seorang ulama besar dari Betawi bernama Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri bin Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya (Mataram, Jawa) yang kemudian dikenal dengan nama Guru Manshur5. Beliau lahir tepatnya pada tahun 1878 dan wafat pada hari jum‟at 2 Shafar tahun 1387 H bertepatan dengan tanggal 12 Mei 1967. Guru pertamanya dalam menuntut ilmu adalah ayahnya sendiri, KH. Abdul Hamid. Setelah ayahnya meninggal, beliau mengaji kepada kakak kandungnya, KH. Mahbub bin Abdul Hamid, dan kakak misannya yang bernama KH. Thabrani bin Abdul Mughni dan juga kepada Syekh Mujtaba.6 Setelah dewasa, beliau pergi ke Mekkah, Arab Saudi. Beliau berguru kepada sejumlah ulama, antara lain kepada Syekh Mukhtar Atharid Al-Bogori, Syekh Umar Bajunaid Al-Hadrami, Syekh Ali Al-Maliki, Syekh Said Al-Yamani, Syekh Umar Sumbawa, dan Syekh Mujtaba. Untuk ilmu falak, ia belajar kepada Abdurrahman Misri, ulama asal Mesir dan Ulugh Bek, ulama asal Samarkhand.7 Setelah empat tahun di Mekkah, ia kembali ke tanah air dan membuka majlis ta‟lim, yang utama diajarkannya adalah pelajaran ilmu falak. Murid- muridnya yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Betawi adalah KH. Abdullah Syafi‟i (As-Syafi‟iyyah) dan Mu‟alim KH. Abdul Rasyid Ramli (Ar- Rasyidiyyah). Kini yang meneruskan keahlian falaknya adalah KH. Fathahillah Ahmadi yang merupakan salah seorang cicitnya. Sedangkan cicitnya yang lain yang kini dikenal oleh masyarakat sebagai da‟i kondang adalah Ustadz Yusuf Manshur.

4Badri Yatim, Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos, 2002, h.34 5Rakhmad Zailani Kiki, dkk, Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21), Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre), 2011, cet. Ke-1, h.65 6Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Garafindo, 1994, h.116 7Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos, 2002, h.86

4

Sekembalinya ke tanah air, seperti guru-gurunya, Guru Manshur membuat halaqah di Masjid Jembatan Lima dan mengajar di beberapa tempat halaqah, antara lain di Kenari dan Cikini. Murid-muridnya terutama berasal dari berbagai tempat di Jakarta dan di luar Jakarta, seperti Bekasi.8 Setelah memperdalam ilmu agamanya di Mekah selama empat tahun, kemudian mengajar di Jamiatul Khair dan disinilah beliau berkenalan lebih dekat dengan tokoh-tokoh Islam. Beliau orang yang berhasil menggagalkan pembongkaran masjid Cikini di JI. Raden Saleh tahun 1925. Beliau meninggal hari Jum‟at 12 Mei 1967 dan dimakamkan di halaman masjid Al Mansuriyah Kampung Sawah, Jembatan Lima. Tercatat ada 19 karya yang telah dihasilkannya di antaranya: Kaifiyatul amal ijtima, khusuf wal kusuf, Tajkiratun nafi’ah fisihati’amalissaum wal fitr, Jadwal faraid serta Al lu’lu ulmankhum fi khulasah mabahist sittah ulum. Pada masanya tak ada ulama lain pada yang menguasai ilmu falak selain Guru Manshur. Di samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah dengan tulisan. Beberapa hasil karya tulisnya berkaitan dengan ilmu falak (astronomi islam) antara lain: Sullamun Nayyirain, Khulasatul Jawadil, Kaifiyatul Amal Ijtimak, Khusuf wal Kusuf, Mizanul I’tidal, Jadwal Dawaa’irul Falakiyah, Majmu’ Arba’ Rasa’il Fii Mas’alatil Hilal, Rub’ul Mujayyab, Mukhtashar Ijtima’un Nayyirain. 9 Semua ulama Betawi bergelar kyai atau kyai haji, namun menurut Ridwan Saidi, ada hirarki status di dalam tubuh ulama Betawi yang disebabkan oleh fungsi dan peran pengajaran mereka di tengah-tengah masyarakat. Status tertinggi dalam hirarki keulamaan di Betawi adalah Guru, yang dalam istilah Islam disertakan dengan Syaikhul Masyaikh. Guru merupakan tempat bertanya, tempat umat mengembalikan segala persoalan. Guru mempunyai otoritas untuk

8Rakhmad Zailani Kiki, dkk, Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21), h. 65-66 9Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, Jakarta: PT. Gunara Kata, 2001, Cet. Ke-2, h.125

5

mengeluarkan fatwa agama. Biasanya juga mempunyai spesialisasi dalam bidang keilmuan.10 Guru Manshur terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika Jakarta diduduki Belanda tahun 1946, Guru Manshur memerintahkan agar di menara mesjid Jembatan Lima dikibarkan bendera merah putih. Belanda memerintahkan bendera diturunkan, Guru Manshur menolak. Tentara Belanda menembaki menara masjid. Guru Mansur tidak berubah pendirian. Melihat kekerasan hati Guru Manshur, Belanda bertukar siasat. Belanda menyerahkan hadiah berupa uang kertas satu kaleng biskuit. Guru Mansyur langsung menolak sambil berkata: “Gue kagak mau disuruh ngelonin kebatilan” Guru Manshur pemberani, namun hatinya mulia. Guru Manshur wafat pada tanggal 12 Mei 1967. Jenazahnya dimakamkan di halaman mesjid Jembatan Lima. Orang Betawi senantiasa ingat akan pesannya: “Rempug! Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau sakit berobat. Kalau jahat lekas tobat”.11 Dilihat dari kemunculan ulama Betawi dari satu generasi berikutnya, jelas tidak ada alasan untuk bersikap pesimis tentang masa depan mereka. Mereka terus lahir dan muncul dari waktu ke waktu. Yang diperlukan adalah perubahan dan penyesuaian paradigma konseptual dan sosial tentang definisi keulamaan itu sendiri, serta dapat menjadi stimulan bagi penelitian dan penulisan lebih lanjut. Dengan begitu, kita kian memperoleh pengetahuan komperhensif tentang ulama Betawi dan perannya dalam kehidupan keagamaan masyarakat betawi dan Nusantara secara keseluruhan.12 Dalam melihat hal tersebut, penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi serta mengantarkan bagi pembaca untuk dapat mengetahui salah seorang ulama Betawi yaitu Guru Manshur dalam perjuangannya di bidang pendidikan. Oleh karena itu,

10Ahmad Fadli, Ulama Betawi : Jaringan Ulama Betawi dan Kontibusinya Terhadap Perkembangan Islam abad 19 dan 20, h.128 11Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, : Ar-Ruzz Media, 2007, h.94 12 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, Ed.I, 1992, h.89

6

penulis mengangkat tema skripsi berjudul “Perjuangan Guru Manshur dalam Mengembangkan Pendidikan Islam di Betawi 1900 - 1967”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Penulis membatasi penulisan ilmiah pada pembahasan tentang perkembangan pendidikan, kondisi sosial dan budaya masyarakat Betawi serta karya-karya Guru Mansur yang dikaji oleh muri-muridnya. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana sejarah dan profil Guru Mansur? 2. Bagaimana perkembangan ilmu falak Guru Mansur di Betawi? 3. Apa kontribusi dan pengaruh pendidikan Guru Mansur terhadap masyarakat Betawi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Memberikan wawasan tentang profil Guru Manshur. 2. Memperkenalkan Guru Manshur sebagai sosok ulama yang peduli terhadap keilmuan agama Islam di Betawi dan Kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menambah wawasan penulis dan mahasiswa pada umumnya tentang peran Guru Manshur dalam pendidikan Islam di Betawi. 2. Sebagai bentuk penyebar luasan khazanah keilmuan dan pengembangan sejarah Islam serta penambahan wawasan bagi para pembaca hasil penelitian ini.

7

D. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan di dalam penyusunan skripsi ini adalah metode historis dan bersifat deskriptif analitis. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.13 Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat membantu untuk mengetahui fakta dan data sejarah pada masa lampau. Adapun dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode historis yang meliputi 4 tahapan14, yaitu : Heuristik, yaitu kegiatan atau keterampilan dalam mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah.15 Adapun dalam pengumpulan data- data dan sumber yang akan digunakan dalam membuat skripsi ini penulis menggunakan buku-buku di perpustakaan yang berhubungan dengan judul. Pengumpulan sumber ini dapat ditempuh melalui beberapa langkah, yaitu observasi, dokumentasi, wawancara/interview, maupun kajian literatur. Sumber yang digunakan tidak hanya berasal dari buku melainkan juga berupa surat kabar, majalah serta artikel-artikel yang diperoleh dari internet. Sumber-sumber tertulis tersebut ditemukan di Perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaaan Nasional RI, dan Perpustakaan UI. Untuk memperkaya perbendaharaan penulis, selain itu penulis juga menggunakan berbagai media cetak koleksi pribadi yang berhubungan dengan tema sebagai sumber, baik sumber primer maupun sekunder. Verifikasi, yaitu melakukan kritik sumber. setelah melakukan heuristik atau pengumpulan sumber-sumber maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah kritik sumber. Kritik sumber adalah usaha untuk mendapatkan sumber- sumber yang relevan dangan cerita sejarah yang ingin disusun sesuai dengan judul. Setelah mencari sumber-sumber dari perpustakan atau arsip nasional yang telah disebutkan, penulis akan melakukan verifikasi.

13Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (UI Pers: Jakarta, 1975), h.32 14Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Logos: Jakarta, 1999), h.54 15Imas Emalia, Historiografi Indonesia Sejak Masa Awal SampaiKontemporer, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h.8

8

Interpretasi (penafsiran), seringkali disebut juga dengan analisis sejarah. Tujuannya agar data yang mampu untuk mengungkap permasalahan yang ada, sehingga diperoleh pemecahannya. Historiografi adalah penulisan sejarah, tahap ini adalah tahap yang terakhir dalam melakukan penelitian ini. Setelah melakukan tahap heuristik, verifikasi dan interpretasi, selanjutnya historiografi dengan menulis dalam suatu urutan yang sistematik yang telah diatur dalam pedoman penelitian. Dalam hal ini penulis berusaha menyusun cerita sejarah menurut urutan peristiwa, berdasarkan kronologi waktu dan tema-tema tertentu yang akhirnya isi inti dari penelitian atau klimaks dari penelitian ini.

E. Tinjauan Pustaka Dengan skripsi yang berjudul Perjuangan Guru Manshur dalam Mengembangkan Pendidikan Islam di Betawi 1900 - 1967, maka penulis akan menentukan sumber-sumber yang berkaitan dengan ulama Betawi. Buku kajian komperhensif terkini terdapat silsilah keguruan karya intektual ulama-ulama Betawi dari abad ke-19 sampai abad ke-21. Yaitu buku hasil penelitian dari Rakhmad Zailaini Kiki dkk, Genealogi Intelektual ulama Betawi (Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke- 21). Merupakan hasil dari Halaqah Ulama Betawi yang digelar di Jakarta Islamic Center (JIC) oleh para cendikiawan muslim. Buku tersebut hanya menjelaskan biografi singkat tentang Guru Manshur, sedangkan konsentrasi keilmuannya tidak tampak dalam buku tersebut. Adapun murid-muridnya yang dipaparkan dalam buku tersebut, tetapi sama halnya tidak dijelaskan perkembangan pasca beliau wafat. Buku karangan Ridwan Saidi yang berjudul Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, merupakan sumber penting untuk mencari asal muasal kebudayan dan adat istiadat masyarakat betawi. Buku ini menjelaskan serta menguraikan kehidupan sosial dan budaya di Betawi yang merupakan ada hubungannya dengan pembahasan di skripsi penulis.

9

Ditambah buku dari Badri Yatim yang berjudul Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi, di dalamnya berisi tentang pembagian ulama menjadi tiga golongan, yaitu : ulama Banten, ulama Haji Betawi, dan ulama Jakarta Asal Arab Hadramaut. Serta menjelaskan semua peran dan fungsi ulama tersebut. Menyadari dengan hal di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji, menganalisis, mendeskripsikan kontibusi Guru Manshur, tinjauan buku tersebut memliliki kekurangan data yang rinci untuk Guru Manshur dalam bidang pendidikan secara menyeluruh. Pembahasan yang ingin dikaji di dalam sumber buku tersebut secara mendalam serta merincikan peristiwa tersebut yang belum pernah dikaji oleh penulis lainnya.

F. Kerangka Teori Penulis fokus terhadap kitab karangan Guru Manshur yaitu Kitab Sullamunnairain, karena kitab tersebut menerangkan tentang fokus Ilmu falak yang menghasilkan keterangan hisab, rukyat, hilal, ijtima‟ dan metode penanggalan hijriyah untuk masyarakat Betawi. Yang hasilnya masih diterapkan di beberapa kota. Uniknya, kitab tersebut bisa memprediksi sebab akibat dari perputaran poros edar bumi. Sehingga patut didalami ilmu dari Guru Manshur yang kaya akan pengetahuan di masa depan.

G. Sistematika Penulisan Agar dapat memudahkan dalam penelitian maka penulis akan membagi penulisan ini dalam lima bab. Adapun bagian-bagian dari bab tersebut adalah sebagai berikut: BAB I (Pendahuluan) Menguraikan tentang persoalan yang melatar belakangi penulisan dalam mengangkat tema ini. Rumusan masalah sebagai penjelasan dari latar belakang masalah. Tujuan penelitian merupakan orientasi dan arah penelitian. Manfaat penelitian merupakan harapan bagi penelitian masa selanjutnya. Tinjauan pustaka sebagai referensi awal penulis untuk mengkaji lebih lanjut tentang berbagai kajian yang serupa. Metode penelitian yang merupakan

10

pedoman untuk penulis laksanakan dalam penelitian dan sistematika penulisan sebagai uraian tentang berbagai penjelasan yang tertulis dalam penulisan ini. BAB II menguraikan kondisi lingkungan goegrafis Jakarta, kondisi masyarakat yang tinggal di sekitarnya, biografi KH. Muhammad Manshur dan murid-muridnya. BAB III menguraikan perkembangan keilmuan yang ditumbuh kembangkan Guru Manshur, pendidikan dan guru-gurunya dan perjuangannya dalam masa kemerdekaan Indonesia. BAB IV menguraikan keistimewaan KH Muhammad Manshur dalam bidang Ilmu falak serta menjelaskan pasca KH Muhammad Manshur. Di dalamnya terdapat Masjid Jami Al-Mansur dan sedikit membahas tentang yayasan Al-Mansuriyah. BAB V (penutup) menguraikan kesimpulan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis. Selanjutnya adalah saran sebagai bahan acuan bagi perbaikan untuk berbagai hal yang dirasa kurang sempurna dan menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan.

BAB II BIOGRAFI GURU MANSHUR

A. Gambaran Umum Masyarakat Tambora Wilayah DKI Jakarta merupakan dataran rendah dari bagian pantai utara Jawa Barat. Wilayah ini terletak pada 6o 12‟ Lintang Utara dan 106o 48‟ Bujur Timur. Luas seluruhnya, termasuk pulau Seribu, sebesar 655,76 km2. Sebelah Utara merupakan daerah pantai yang berawa-rawa dengan ketinggian tanah maksimal 7 meter dari titik 0 Tanjung Priok. Pada lokasi tertentu bahkan ada yang letaknya di bawah permukaan laut. Sebeelah Selatan merupakan daerah yang relatif berbukit-bukit dengan ketinggian tanah mencapai kurang lebih 50 meter di atas permukaan laut. Oleh karena itu wilayah Jakarta Selatan, sampai dengan banjir kanala, keadaan tanah agak curam, sedangkan dari banjir kanal ke arah laut keadaan tanah hampir rata. Di atas wilayah Jakarta mengalir banyak sungai (umumnya disebut 10 sungai) yang umumnya mengalir dari selatan ke utara. Sungai yang paling terkenal dan terbesar adalah sungai Ciliwung yang membelah wilayah kota dan membagi wilayah DKI Jakarta menjadi dua bagian, Barat dan Timur. Wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi 5 wilayah administratif, yaitu Jakarta Selatan dengan luas wilayah 146,20 km2; Jakarta Barat dengan luas wilayah 131,45 km2; jakarta Utara dengan luas wilayah 139,58 km2; Jakarta Timur dengan wilayah paling luas, yaitu 184,01 km2 dan Jakarta Pusat dengan wilayah paling sempit, yaitu 54,46 km2.16 Kecamatan Tambora termasuk ke dalam Kotamadya Jakarta Barat. Kecamatan ini memiliki jumlah penduduk sekitar 236.974 jiwa. Aktivitas ekonomi yang sangat menonjol di wilayah ini adalah jasa dan perdagangan. Secara geografis Kecamatan Tambora terletak ditengah di Kotamadya Jakarta Barat, dengan ketinggian di atas permukaan laut kurang lebih 50 meter. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

16 Edi Sedyawati, Sejarah Kota Jakarta 1950 – 1980, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1986/1987, h. 22

11

12

1. Utara : Rel. KA. Kali Angke, Kec. Penjaringan. 2. Timur : Kali Krukut, Kali Besar, Kec. Taman Sari. 3. Selatan : Zainul Arifin, Kec. Gambir. 4. Barat : Kali Banjir Kanal, Kec. Petamburan. Kecamatan Tambora mempunyai luas wilayah 1.388.490 hektar yang terbagi dalam; 96 Rukun Warga (RW), 1.083 Rukun Tetangga (RT), dan 55.784 Kepala Keluarga (KK). Penduduk wilayah Kecamatan Tambora merupakan Potensi Sumber Daya Manusia yang dimiliki wilayah tersebut, tetapi pertumbuhan jumlah penduduk yang tak terkendali akan menjadi salah satu masalah yang menghambat pembangunan. Oleh karena itu diperlukan upaya pengendalian jumlah penduduk dan jumlah pengangguran yang semakin meningkat.17 Kecamatan Tambora merupakan kecamatan terpadat se Asia Tenggara dan merupakan salah satu daerah paling rawan terhadap kebakaran. Terdapat beberapa karakteristik yang dapat dipertimbangkan sebagai faktor yang menjadikan suatu daerah dikategorikan sebagai daerah rawan kebakaran, yaitu: a. Sumber air relatif jauh, sehingga perlu beberapa unit mobil pompa kebakaran untuk menyalurkan dari sumber air ke TKP (Tempat Kejadian Perkara) daerah tersebut. b. Jalan lingkungan relatif sempit dan banyak tikungan tajam yang menyulitkan akses dan manuver unit mobil pemadam. c. Sebagian besar rumah dibuat dengan bahan yang mudah terbakar dan jarak antar bangunan berhimpitan. d. Jumlah dan kepadatan populasi/penduduk cukup tinggi. e. Kesadaran terhadap keamanan dari kebakaran pada warga masyarakatnya yang masih sebagian besar belum tertanam.18

17Data Biro Administrasi Wilayah, Provinsi DKI Jakarta tahun 2006. 18http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Kecamatan_Tambora (diakses 1 Agustus 2017 pukul 03:04 WIB)

13

Peta Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. (Sumber: Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta)

Kota besar masih menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian masyarakat Indonesia. Perkembangan kota besar yang merupakan sentra dari kegiatan ekonomi menjadi daya tarik bagi masyarakat yang dapat membawa pengaruh bagi tingginya arus tenaga kerja baik dari dalam kota itu sendiri maupun dari luar wilayah kota, sehingga menyebabkan pula tingginya arus urbanisasi. Masalah utama yang selalu mengiringi perkembangan perkotaan adalah kepadatan penduduk. Urbanisasi telah menyebabkan ledakan jumlah penduduk kota yang sangat pesat, yang salah satu implikasinya adalah terjadinya penggumpalan tenaga kerja di kota-kota besar di Indonesia. Banyaknya penduduk yang memilih menetap di kota besar menyebabkan semakin banyaknya tumbuh pemukiman- pemukiman baru baik itu legal maupun illegal. Di dalam pemukiman padat penduduk akan banyak dijumpai rumah-rumah yang tidak layak huni. Di kota besar seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya akan banyak dijumpai pemukiman-pemukiman padat yang tidak teratur. Salah satu contoh pemukiman padat penduduk yaitu Tambora, Jakarta Barat. Kawasan Tambora merupakan

14

kawasan terpadat di Asia Tenggara, dalam satu hektar saja ada 737 jiwa yang tinggal di tempat ini. Jakarta merupakan sebuah Ibu Kota yang padat penduduk, berbagai macam suku dan agama ada dalam kehidupan Jakarta, penduduk asli Jakarta maupun yang datang dari luar kota. Rumah atau tempat tinggal sudah menjadi kebutuhan mendasar bagi manusia. Ketika kita membicarakan rumah tentunya tidak lepas dari lingkungan yang ada disekitarnya. Bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung (kota dan desa) yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan disebut sebagai pemukiman. Agar terlaksananya suatu pemukiman bagi penduduk yang aman, nyaman dan tenteram, maka disusunlah peraturan berupa pasal yang tercantum di undang-undang. Hal ini juga memberikan dampak bagi tempat tinggal para warga Jakarta khususnya di Kecamatan Tambora. Pemukiman yang pada merayap menjadi pemandangan sehari-hari bagi masyarakat Tambora, hal ini disebabkan oleh banyak pendatang dari luar kota yang ingin mengadu nasibnya di Ibukota.19 Berbagai masalah dapat timbul dari dalam pemukiman yang padat penduduk ini seperti sampah, banjir, kekurangan air bersih, dan yang paling buruk adalah kebakaran. Dari data yang diperoleh dari Dinas Damkar PB, dalam periode 1 Januari hingga 31 Mei 2011 telah terjadi 304 kali kasus kebakaran di lima wilayah DKI. Sebagian besar kasus kebakaran ini terjadi dipemukiman padat penduduk. Kebakaran merupakan masalah yang paling sering terjadi. Penyebab utamanya adalah kecerobohan masyarakat dalam memakai peralatan listrik hingga menimbulkan hubungan arus pendek. Selain dampak secara fisik, pemukiman yang padat ini juga berdampak secara psikologis terhadap warga yang bertempat tinggal dilokasi tersebut. Yang paling jelas adalah tingginya tingkat agresivitas pada penduduk yang tinggal dikawasan padat penduduk, sehingga sering terjadi peristiwa tawuran antar kampung. Permasalahan pemukiman ini semakin

19https://news.detik.com/berita/d-1719181/perumahan-padat-penduduk-di-depan- kecamatan-tambora-terbakar (diakses 21 Juli 2017 pukul 4:12 WIB)

15

diperparah oleh kondisi warganya yang sebagian besar tidak memiliki pekerjaan yang layak dan kemampuan ekonomi yang cukup rendah. Namun, pada kasus Tambora, jumlah penduduk tidak banyak berkurang karena tambora memiliki nilai tambah. Sejarah mencatat, Tambora pernah menjadi jantung kehidupan Jakarta saat bernama Batavia. Di sana ada kota tua berupa deretan bangunan kantor zaman kolonial, gudang, toko, bahkan pabrik. Seiring waktu, Tambora terus jadi magnet bagi orang-orang untuk meningkatkan kesejahteraannya. “Selama memberi kehidupan, Tambora tidak akan ditinggalkan biarpun kumuh,”ujar salah satu warga Tambora. Di balik masalah sosial tersebut, sejatinya daerah ini memiliki potensi ekonomi yang besar. Tercatat transaksi di kawasan perniagaan ini mencapai belasan miliar rupiah per hari. Angka ini bukan dari mal eksklusif, tapi transaksi dari pedagang grosiran hingga pedagang kaki lima (PKL). Penduduk yang datang dari luar kota biasanya menetap di suatu daerah, dan tinggal bersama dengan kerabat atau orang lain yang berasal dari daerah yang sama. Sama halnya seperti kecamatan Tambora yang mayoritas penduduknya berasal dari Provinsi Banten. Kebanyakan dari penduduk Tambora ini berkerja sebagai wirausaha dibidang tekstil, seperti: Sablon, Konveksi, dan lain sebagainya.20

B. Riwayat Hidup Orang Betawi mengklasifikasikan penganjur agama ke dalam kriteria pertama adalah Guru yaitu ulama yang mempunyai keahlian dalam suatu disiplin ilmu tertentu, mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa dan memiliki kemampuan mengajar kitab. Seorang Guru biasanya menghabiskan seluruh waktuya di masjidnya saja, yang lazimnya di dekat masjidnya itu berdiri kompleks madrasah. Guru tidak keluar dari lingkungannya karena orang-oranglah yang mendatanginya. Kriteria berikutnya adalah Mualim. Seorang mualim itu mempunyai otoritas untuk mengajarkan kitab tetapi belum memiliki otoritas mengeluarkan fatwa. Seorang mualim mendatangi kelompok-kelompok pengajian

20Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, 1995-2010

16

untuk mengajarkan kitab. Kriteria ketiga adalah ustadz. Ustadz mengakarkan ilmu pengetahuan dasar agama termasuk membaca al-Quran.21 KH. Muhammad Mansur Al-Batawi atau biasa disebut Guru Mansur, dilahirkan di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta pada tahun 1295 Hijriyah/1878 Masehi. Beliau wafat pada tahun 1967 Masehi. Ayahnya bernama Kyai Haji Abdul Hamid bin Muhammad Damiri. Pada zaman Haji Abdul Hamid ini banyak pemuda-pemudi betawi yang belajar masalah-masalah agama kepadanya, termasuk Guru Mansur yang banyak belajar dan dididik langsung oleh ayahnya. Guru Mansur juga mempunyai hubungan biologis dengan darah Mataram dari garis ayah dapat ditemukan hubungan tersebut. Guru Mansur adalah putera Imam Abdul Hamid bi Imam Muhammad Damiri bin Imam Habib bin Abdul Mukhit. Abdul Mukhit adalah pangeran Tjokrodjojo Tumenggung Mataram. Sejak kecil Guru Mansur sudah mulai tertarik dengan ilmu hisab atau ilmu falak, disamping ilmu-ilmu agama lainnya. Sesudah ayahnya meninggal, Guru Mansur belajar dari kakak kandungnya Kyai Haji Mahbub dan kakak misannya Kyai Haji Tabrani. Guru Mansur juga pernah belajar kepada seseorang ulama dari Mester Cornelis bernama Haji Mujtaba bin Ahmad sebelum pergi ke Mekah pada usia 16 tahun dan belajar di sana selama empat tahun.22 Pada tahun 1894, Guru Mansur berangkat ke Mekkah Beliau berguru kepada Tuan Guru Umar Sumbawa. Beliau juga berguru kepada Guru Mukhtar, Guru Muhyiddin, Syekh Muhammad Hayyath. Selain itu Guru Mansur juga berguru dengan Sayyid Muhammad Hamid, Syekh Said Yamani, Umar al Hadromy dan Syekh Ali al-Mukri. Setelah mukim selama 4 tahun, Guru Mansur kemudian kembali ke tanah air dengan terlebih dahulu singgah di Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaysia dan Singapura. Sekembalinya di kampung halaman, Guru Mansur mulai

21Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi : (studi tentang jaringan ulama Betawi dan konstribusinya terhadap perkembangan Islam abad ke-19 dan 20), H. 56 22 Tim Peneliti, Ulama-ulama Betawi Alumnus Mekah 1900-1950 dan Kiprah Mereka dalam Penyiaran Islam di Jakarta. Jakarta: Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998, H. 131.

17

membantu ayahnya mengajar di madrasah Kampung Sawah. Sejak tahun 1907, beliau mengajar di Jamiatul Khair, Kampung Tanah Abang. Ilmu falak menjadi perhatian khusus bagi sang ulama cerdas ini. Ini timbul karena keprihatinannya melihat masyarakat Betawi di sekitarnya sering tak sama menetapkan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Sebelumnya, masyarakat setempat menggunakan metode melihat bulan (rukyat) dan penghulu menentukan awal bulan dalam penanggalan Hijriyah. Beduk di masjid pun akan dipukul bertalu-talu sebagai penanda bahwa Ramadhan atau Syawal tiba. Cara ini memiliki banyak kekurangan, selain terlalu mendadak, sering kali ia melihat banyak kalangan masyarakat tak mendengar suara beduk dan tidak tahu bulan telah berganti. Akibatnya, mereka ini sering merayakan Idul Fitri pada hari yang berbeda dengan yang lain. 23 Inilah yang membuatnya mempelajari lebih dalam tentang ilmu hisab. Selain bisa memprediksi datangnya bulan Hijriyah lebih awal, juga bisa menyeragamkan awal Ramadhan dan Idul Fitri pada semua masyarakat. Ini adalah harapannya dari dulu. Ketika ia menjabat sebagai penghulu, ia pun selalu mengumumkan lebih awal agar kabar awal bulan Hijriyah yang telah ditentukan bisa tidak terlambat disebarkan. Selain mengenalkan cara baru menentukan awal bulan Hijriyah, ia juga banyak melahirkan karya yang dijadikan pedoman oleh ulama-ulama lain hingga sekarang. Di antaranya, kitab Sullamun Nayyiroin, Khulasatul Jawadil, Mizanul I'tidal, Jadwal Dawaa'irul Falakiyah, Majmu' Arba' Rasa'il Fii Mas'alatil Hilal, Rub'ul Mujayyab, Mukhtashor Ijtima'un Nayyiroin, dan Kaifiyatul Amal Ijtimak, Khusuf, wal Kusuf. Setibanya di kampung halaman, ia mulai membantu ayahnya mengajar di rumah. Bahkan ia sudah ditunjuk seabagai pengganti sewaktu-waktu ayahnya berhalangan. Selain mengajar di tempatnya, beliau juga mengajar di Madrasah Jam‟iyyah Khoir, Pekojan pada tahun 1907 Masehi. Kemudian diangkat menjadi penasehat syar‟i dalam organisasi Ijtima‟-UI Khoiriyah. Pada tahun 1915, Guru

23 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya, H. 200-206

18

Mansur diangkat menjadi penghulu daerah Penjaringan-Betawi dan pernah juga menjabat sebagai Rois Nahdatul Ulama cabang Betawi ketika zamannya Kyai Haji Hasyim Asy‟ari. Cita-cita dan pengalaman Guru Mansur dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama islam telah dibuktikannya dengan jalan berdakwah, mendidik, dan membina pemuda-pemudi harapan bangsa dan agama. Sebagai sasaran penunjang cita-cita tersebut, beliau mendirikan sekolah, madrasah, dan pesantren, serta majlis taklim. Menurut informasi dari Kyai Haji Fatahillah (cicit Guru Mansur), tak ada ulama lain pada masanya yang menguasai ilmu falak selain Guru Mansur. Di samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah dengan tulisan. Guru Mansur terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika Jakarta diduduki Belanda tahun 1946, Guru Mansur memerintahkan agar di menara mesjid Jembatan Lima dikibarkan bendera merah putih. Belanda memerintahkan bendera diturunkan, Guru Mansur menolak. Tentara Belanda menembaki menara mesjid. Guru Mansur tidak berubah pendirian. Guru Mansur wafat pada tanggal 12 Mei 1967. Jenazahnya dimakamkan di halaman mesjid Jembatan Lima. Orang Betawi senantiasa ingat akan pesannya.24

C. Murid-murid Guru Mansur Peran Guru Mansur dalam dunia pendidikan cukup signifikan. Beliau mengajar di Madrasah Jam‟iyyah Khoir, Pekojan tahun 1907. Dalam prosesnya tersebut beliau mendidik beberapa murid secara khusus di antaranya adalah: KH. Mu‟alim Rojiun Pekojan (mendalami ilmu falak darinya dan kemudian diangkat menjadi mantu), Syekh KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dary (Ahli Falak dari Bekasi), Mu`allim Rasyid (KH. Abdul Rasyid, Tugu Selatan, Jakarta Utara), dan Muallim KH. M. Syafi`I Hadzami. Keempat murid tersebut menjadi ulama betawi yang cukup diakui di kalangan masyarakat betawi. 25

24http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/14/01/05/myw1qt-kh- mohammad-mansur-ulama-cerdas-pahlawan-jakarta (diakses, 20 Desember 2017 pukul 23:59) 25 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya., H. 84

19

1. Mu’alim Rojiun Pekojan Nama lengkap Mu`alim Rojiun Pekojan atau Rojiun adalah Mohammad Rojiun bin Abdurrahim bin Muhammad Nafe bin Abdulhalim. Beliau lahir di Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Menghabiskan masa mudanya untuk menimba ilmu dari beberapa ulama Betawi, diantara Guru Manshur Jembatan Lima dan Guru Abdul Madjid Pekojan, sampai pada akhirnya bersama sang adik, Hasanat, pergi ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama. Ia hobi bermain sepak bola. Perkenalannya dengan dunia sepak bola terjadi ketika Perang Dunia II mulai pecah yang memutuskan jalur laut dan otomatis memutuskan kiriman uang dari tanah air. Untuk menyambung hidup, beliau akhirnya menjadi pemain sepak bola di kesebelasan Nejed. Hasil dari bermain bola ini bukan untuk dinikmatinya sendiri tetapi juga dibagikan kepada puluhan teman-teman dan mukimin dari pelosok Nusantara, di antara temannya tersebut yang menjadi ulama Betawi terkemuka adalah KH. Noer Alie, pahlawan nasional dari Bekasi. Setelah belasan tahun di Mekkah, Mu`allim Rojiun kembali ke tanah air dan bergabung dengan beberapa teman serta juniornya di Jam`iyatul Qurro wal Huffazh, organisasi yang menaungi para qori dan penghafal al-Qur`an, antara lain: KH. Tb. Mansur Ma`mun, KH. Shaleh Ma`mun Serang, Banten, KH. Abdul Hanan Said, KH. Abdul Aziz Muslim. Beliau juga aktif di NU (Nahdlatul Ulama). Beliau juga bersahabat karib dengan KH Abdullah Syafi`i (pendiri pergururuan Asy-Syafi`iyyah) dan KH Thahir Rohili (pendiri perguruan Ath-Thahiriyah). Karirnya di birokrasi adalah menjadi Penasihat Ahli Bidang Agama Menteri Utama Bidang Kesra RI yang ketika itu dijabat oleh Dr. KH. Idham Cholid. Mu`alim Rojiun juga memiliki jiwa kewirausahaan yang kuat, karena jika dirunut, beliau memiliki darah keturunan petani dan pedagang kembang di Rawa Belong. Namun usaha jual beli kuda yang basis peternakannya di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat menjadi pilihannya. Sambil berdagang, beliau juga bertabligh hingga ke wilayah Waingapu, Nusa Tenggara Timur yang pengaruhnya masih

20

terasa di sana sampai sekarang. Aktifitas tablighnya juga dilakukan di Jakarta sampai ke Kepulauan Seribu.26 Selain bertabligh, beliau juga mengajar di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang dan di daerah Pekojan, Jakarta Barat. Keberadaannya di Pekojan ini karena beliau memiliki istri seorang syarifah (perempuan terhormat keturunan Arab) dari Pekojan yang bernama Chadidjah, walau tidak dikaruniai keturunan. Beliau memperoleh keturunan ketika menikah dengan R. Hj. Siti Maryam yang salah seorang anaknya meneruskan kiprah keulamaannya, yaitu KH. Prof. Dr. Abdurrahim Rojiun yang juga mengaji kepadanya. Kealiman dan penguasaan beliau terhadap kitab kuning dikenal luas oleh masyarakat Betawi. KH. Zainuddin MZ dan mu`alim KH. Syafi`i Hadzami pun menjadi muridnya. Beliau juga dikenal sebagai ulama yang tawaddu` sebagaimana yang diungkapkan oleh KH. Drs. Saifuddin Amsir dan juga oleh Dr. Habib Sechan Shahab, salah seorang muridnya yang pernah mengaji Kitab Tafsir Jalalain kepada beliau. Relasinya yang kuat dengan berbagai pihak di Timur Tengah juga memberikan manfaat kepada putra-putra terbaik Betawi yang ingin memperdalam ilmu di Timur Tengah, salah satunya adalah KH. Amin Noer, Lc., MA Ketua Umum MUI Bekasi, putra dari KH. Noer Alie, yang dibantu mu`alim Rojiun untuk dapat kuliah di Mesir. Beliau juga tercatat sebagai ulama Betawi yang duduk sebagai anggota Konstituante dan memperoleh kepercayaan untuk menjadi Imam Shalat Jum`at pertama di masjid Istiqlal bersama Presiden RI Ir. Soekarno.27 2. KH. Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary Syaikh KH. Mohammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary dilahirkan di Kampung Baru Cakung, sebuah daerah di pinggir kota Jakarta pada tanggal 10 November 1924. di Kampung Baru inilah ia menghabiskan masa kecilnya dengan belajar mengenal huruf Arab sampai dengan membaca Al-Qur`an. Menurut

26 Jakarta Islamic Center. Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi abad 19-21). Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta, JIC. 2011. H. 65 27 Jakarta Islamic Center, Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi abad 19-21), H. 66

21

penuturan putranya, Ustadz Muhammad A`iz, Nama Ad-Dary diambil dari nama tempat mukimnya di Makkah.28 Menginjak remaja dan selama di tanah air, ia menuntut ilmu kepada kepada banyak guru, yaitu: Guru Asmat (Kampung Baru, Cakung), H. Mukhoyyar, mu`allim H. Ahmad, mu`allim KH. Hasbialloh (pendiri Yayasan Al- Wathoniyah), mu`alim H. Anwar, H. Hasan Murtaha, syekh Muhammad Tohir, Ahmad bin Muhammad murid dari Syekh Mansyur Al-Falaky, KH. Sholeh Ma`mun (Banten), Syeikh Abdul Majid, dan Assayyid Ali bin Abdurrahman Al- Habsyi. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan formalnya di Daarul Ulum Ad- Diniyah, Makkah Al-Mukaromah, Arab Saudi dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1955. Selama di Mekkah, ia juga mengikuti pendidikan di Masjidil Haram dan setiap musim panas di Masjid Nabawi. Sumbangan pemikirannya yang paling berharga adalah dalam hal ilmu falak. Ia membuat teknologi dan tempat rukyatul hilal sendiri untuk melihat penampakan hilal (bulan sabit pertama) sesaat sesudah matahari terbenam sebagai tanda dimulainya hari pertama dari bulan-bulan dalam kalender hijriyah atau untuk menentukan hari raya, seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Pelaksanaan rukyatul hilal dengan alat buatannya, terutama untuk menentukan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha dilakukan bersama rekan-rekannya selama bertahun-tahun bertempat di Gedung Lajnah Falakiyah, Cakung, Jakarta Timur. Hasil pengamatannya lambat laun menjadi rujukan banyak pihak, terutama umat Islam yang berada di sekitar Cakung dan Bekasi. Bahkan pada bulan Februari 2002, penetapan awal bulan Dzulhijah 1422H untuk menentukan Idul Adha pada sidang itsbat yang dipimpin Menteri Agama Prof.Dr.H. Said Agil Husein Almunawar di Departemen Agama, di Jakarta dan dihadiri anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, wakil-wakil dari organisasi massa Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan instansi terkait seperti Badan Meteorologi dan Geofisika, Dinas Hidro Oceanografi Mabes TNI Angkatan Laut, dan Planetarium Jakarta didasarkan pada hasil rukyatul hilal Tim

28Rakhmad Zailani Kiki, Seri Ulama Betawi Mu`allim Radjiun, Tabloid Republika Dialog Jumat. Jum`at, 22 Februari 2008, hal. 15.

22

Cakung (santri-santri binaan KH. Mohammad Muhadjrin Amsar Ad-Dary). Yang mengagumkan, hasil rukyatul hilal Tim Cakung ini sesuai dengan hasil hisab yang dilakukan oleh berbagai lembaga atau ormas Islam, antara lain Almanak Menara Kudus, Almanak Muhammadiyah, Persis dan Al Irsyad, kalender Ummul Quro Makkah, Kalender PBNU, dan Kalender DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia). Setelah beliau wafat pada tanggal 31 Januari 2003, Tim Cakung yang setia mengikuti ajaran falaknya tetap eksis dan masih menjadi rujukan di tingkat lokal maupun nasional. Selain itu, Gedung Lajnah Falakiyah, Cakung diakui sebagai salah satu dari Pos Observasi Bulan (POB) di Indonesia. 3. Mu’alim Rasyyid Nama lengkapnya adalah KH. Abdul Rasyid Ramli, lahir dari pada tahun 1922 di Kampung Mangga, Tanjung Priok dari keluarga sederhana. Ayahnya bernama H. Ramli bin H. Sa`inan dan ibunya bernama Hj. Jahariah binti H. Jahari (dikenal dengan nama Guru Ja`ang). Ayahnya pernah bermukim di kota Makkah, Arab Saudi selama tiga tahun untuk mengaji dan sekembalinya ke tanah air, ia menikah dan pasangan ini menjadi guru mengaji di kampungnya. Di masa kecil, orang tuanya menyerahkan Rasyid “kecil” kepada Tuan Guru Nausin untuk mengaji sampai usia baligh. Selesai mengaji dari Tuan Guru Nausin, ia melanjutkan mengaji sekaligus mondok di Madrasah Islam Wal Ihsan yang dipimpin dan diasuh oleh KH. Abdul Salam bin H. Hasni yang dikenal oleh masyarakat Betawi dengan nama panggilan Guru Salam Rawa Bangke (kini Rawa Bunga), Jatinegara selama 6 tahun. Selesai mondok di Rawa Bangke, Mu`allim Rasyid meneruskan perjalanan ngajinya di Musholla Bapak Ni`ung, Sindang, Tanjung Priok dengan pengajarnya Guru Abdul Madjid Tanah Abang, Kyai Usman Perak dan Mu`allim Thabrani Paseban. Mu`alim Rasyid juga mengaji kepada Mu`alim Arfan Baroja Pekojan, al-Habib Ali Bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, KH. Abdullah Syafi`i, KH. Zahruddin Ustman, KH. Hasbiallah Klender, KH. Noer Alie Bekasi dan Guru Mansur Jembatan Lima.29

29 Jakarta Islamic Center, Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi abad 19-21), H. 67

23

Pada saat ia mengaji di Guru Mansur Jembatan Lima terjadi peristiwa bersejarah yang menjadikannya saksi hidup dan peristiwa ini sering dijadikannya bahan cerita saat berbincang-bincang dengan para kyai dan ustadz, seperti kepada KH. Saefuddin Amsir. Yaitu, berkunjungnya hadratus syeikh KH. Hasyim Asy`ari, pendiri dan tokoh NU, ke kediaman Guru Mansur Jembatan Lima untuk berkonsultasi karena beliau berniat untuk meninggalkan NU. Guru Mansur kemudian memberikan saran agar KH. Hasyim Asy`ari tidak meninggalkan NU. Pada masa tuanya sampai ia sakit pun, ia masih terus mengaji dengan al-Habib Syekh Al-Jufri Al-Fudhola, di Jalan Dobo, Jakarta Utara, Mu`allim KH. Syafi`i Hadzami di Kebon Nanas yang kemudian berpindah tempat di Kali Malang Jakarta Timur, al-Habib Ali Bin Abdurrahman As-Segaf di Majelis Ta`lim Al- Afaf, Tebet, Jakarta Selatan. Selain mencintai ilmu, Mu`alim Rasyid pun peduli akan pendidikan untuk generasi penerus. Di saat mudanya, ia mulai membuka madrasah yang diberi nama sama dengan yang dimiliki oleh Guru Salam, yaitu Madarasah Islam Wal Ihsan. Ia juga membimbing dan mengasuh majelis ta‟lim-majelis ta‟lim untuk kaum ibu dan bapak yang semuanya berjumlah 20 buah dan tersebar di wilayah Tanjung Priok. Kemudian, ia mewakafkan tanahnya seluas 5000 M2 untuk pendidikan formal dengan badan hukum yayasan yang bernama Yayasan Ar- Rasyidiyyah yang resmi berdiri pada tahun 1976 di daerah Kampung Mangga, Tugu Selatan, Jakarta Utara. Pada saat ini, Yayasan Ar-Rasyidiyyah telah menyelenggarakan TK Islam, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Diniyah dan Majelis Ta`lim yang digelar setiap malam Ahad dibawah bimbingan KH. Fachrurrozi Ishaq dan KH. Drs. Saifuddin Amsir.30 Selain berkarya di bidang pendidikan, ia juga seorang penulis yang produktif dalam bidang Ilmu Tajwid dan tulisan-tulisan khutbah yang semuanya di dalam bahasa Arab Melayu. Kini, tulisan-tulisannya yang berupa manuskrip yang berjumlah 30 (tiga puluh) buah tersimpan di Jakarta Islamic Centre (JIC),

30 Jakarta Islamic Center. Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi abad 19-21) H. 67

24

sebagian lagi masih berada di tangan ahli waris. Ia wafat di kediamannya di Kampung Mangga, Tugu Selatan, Jakarta Utara pada hari Sabtu jam 21.05 WIB, tanggal 5 Safar 1427 H atau bertepatan dengan tanggal 4 Maret 2006 di usia 84 tahun dengan meninggalkan seorang istri, 6 orang anak, 16 cucu dan 3 cicit. Kini, perjuangan beliau diteruskan oleh putranya, KH. Achmad Habibi HR, yang sekaligus salah seorang murid Betawinya. 4. Mu`alim KH. M. Syafi`i Hadzami Pada 7 Mei 2006, umat Islam di Ibukota, khususnya masyarakat Betawi, kehilangan sosok ulama besar yang sampai hari ini sulit dicarikan tandingannya. Beliau adalah Mu‟alim KH. M. Syafi‟i Hadzami. Gelar mu‟alim dan juga `allamah yang disandangnya menunjukkan betapa almarhum menempati posisi yang begitu terhormat dalam hirarki keulamaan di Betawi. Gelar-gelar keulamaan yang disandangnya tersebut bukan semata karena beliau pernah menjabat Ketua Umum MUI DKI Jakarta selama dua periode dan rajin mengeluarkan fatwa, tetapi beliau merupakan sedikit ulama yang cukup produktif menulis di bidang qira`at, ushul fiqih, dan fiqih di mana karya-karya beliau diakui kualitasnya sampai ke negeri tetangga. Murid-murid dari Guru Manshur merupakan tokoh berpengaruh di wilayahnya, oleh karena itu betapa berjasanya keilmuan Guru Manshur dalam mengajarkan ilmu yang diberikan kepada murid-muridnya.

BAB III PERAN GURU MANSHUR DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI TAMBORA JAKARTA

A. Perkembangan Keilmuan Seperti yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya, bahwa Guru Manshur adalah seorang yang ahli dalam ilmu falak di kalangan Ulama Betawi. Kata falak sendiri berasal dari bahasa Arab yang mempunyai persamaan dengan kata Madar yang dalam bahasa Inggris disebut ”Orbit” yang bisa diartikan sebagai lingkaran langit atau cakrawala. Kata Falak juga disebutkan dalam Al-Qur‟an sebanyak dua kali, yakni Q. S. Anbiya‟: 33 yang berbunyi: وهى الّذي خلق الليل والنّهار وال ّشمس والقمز م ّل فً فلل يسبحىن Yang artinya : “Dan dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”.31 Dan Q. S. Yaasin: 40 yang berbunyi: ال ال ّشمس ينبغً لها أن تدرك القمز وال الليل سابق النّهار وم ّل فً فلل يسبحىن Yang artinya : “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”.32 Dari kedua ayat di atas jelas bahwa kata Falak secara etimologis diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata garis edar atau orbit. Sedangkan secara terminologi, dapat dikemukakan beberapa rumusan, antara lain: Kamus Besar Bahasa Indonesia; mengartikan bahwa ”Ilmu Falak” adalah: “ilmu pengetahuan mengenai keadaan (peredaran, perhitungan dan sebagainya) bintang-bintang.”33 Sedangkan menurut Badan Hisab Rukyat Departemen Agama dalam bukunya Almanak Hisab Rukyat menyebutkan bahwa Ilmu Falak adalah: “Ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda langit seperti matahari, bulan, bintang-bintang, dan benda-benda langit lainnya dengan tujuan

31 Q. S. Anbiya’, ayat 33 32 Q. S. Yassin, ayat 40 33 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke IV : Kementrian Pendidikan dan Budaya.

25

26

mengetahui posisi benda-benda langit itu serta kedudukannya dari benda-benda langit lainnya.”34 Dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik pengertian bahwa secara umum ilmu falak merupakan cabang ilmu praktis yang mempunyai objek formal benda-benda langit, khususnya matahari, bumi dan bulan dengan objek material berupa garis edar atau orbit masing-masing dan sasaran fungsionalnya adalah mendukung salah satu syarat dalam beribadah kepada Allah SWT. Istilah ilmu falak dapat disejajarkan dengan istilah Practical Astronomu (Astronomi Praktis) yang terdapat dalam dunia astronomi. Dinamakan demikian karena hasil perhitungan dari ilmu ini dapat dipraktekkan atau dimanfaatkan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dinamakan juga Ilmu Hisab karena kegiatan yang menonjol dari ilmu ini ialah menghitung kedudukan ketiga benda langit di atas. Ilmu falak sendiri dipelajari oleh Guru Manshur karena terjadi perbedaan waktu ibadah di masyarakat, seperti perbedaan waktu sholat, perbedaan waktu bulan Ramadhan, dan perbedaan merayakan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada saat itu beberapa masyarakat melaksanakan ibadah puasa dengan waktu yang berbeda-beda, ada yang lebih dahulu, dan ada yang keesokan harinya, hal tersebut tentu berdampak pada hari Idul Fitri, sama seperti melaksanakan puasa ada yang lebih dahulu dan ada yang keesokan harinya, maka dari itu Guru Manshur mempelajari ilmu falak untuk mengurangi tingkat perbedaan waktu ibadah bagi masyarakat Jakarta khususnya masyarakat betawi.35 Manfaat ilmu falak yang dipelajari oleh Guru Manshur masih berpengaruh hingga sekarang seperti salah satu contohnya adalah seorang cucunya, KH Fatahillah Ahmadi, yang menyusun kalender hisab Al-Manshuriyah dimana susunan tersebut bersumber dari hasil pemikiran Guru Manshur. Kini, kalender hisab Al-Mansuriyah masih tetap eksis dan digunakan, baik oleh murid-muridnya maupun oleh sebagian masyarakat Betawi maupun umat Islam lainnya di sekitar

34 Hisab dan Rukyat, Jakarta : Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Departemen Agama). 2013. 35 Tim Peneliti, Ulama-ulama Betawi Alumnus Mekah 1900-1950 dan Kiprah Mereka dalam Penyiaran Islam di Jakarta, H. 132.

27

Jabotabek, Pandegelang, Tasikmalaya, bahkan sampai ke Malaysia. Kitab karangannya yang terkenal sampai sekarang ini adalah Sullamunnairain.36 Kitab falak yang menjadi rujukan dan dipelajari di sebagian pesantren di tanah air, bahkan sampai di negara tetangga. Ustadz Djabir Chaidir Fadhil, muballigh Betawi yang sering diundang ke beberapa negara bagian di Malaysia, mengatakan bahwa kitab Sullam An-Nayrain sampai hari ini masih dipelajari di majelis di negara bagian Terengganu, Malaysia bahkan dijadikan rujukan oleh ulamanya melihat hilal untuk menentukan awal puasa, `Idul Fitri, dan 1 Dzulhijjah.37

B. Pendidikan dan Guru-gurunya Guru Manshur mendapat didikan pertama kalinya dari orangtuanya langsung yang seorang ulama, beliau sangat taat sekali dengan kedua orang tuanya. Sejak mulai belajar telah tampak hasrat dan keinginan yang keras untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya, maka ia datangi sendiri beberapa orang guru antara lain kakaknya sendiri Haji Imam Mahbub, Imam Thabrani dan Imam Mujtaba Mester. Semasa mudanya sudah sangat tertarik dengan ilmu hisab dan falak. Ketika usia beliau 16 tahun tepatnya pada tahun 1894 M/1311 H beliau pergi bersama bundanya ke Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima dan bermukim disana selama 4 tahun. Selama bermukim di Mekkah beliau berguru kepada sejumlah ulama, anta lain Syekh Mukhtar Atharid Al-Bogori, Syekh Umar Bajunaid Al-Hadrami, Syekh Ali Maliki, Syekh Said Al-Yamani dan Syekh Umar Sumbawa. Gurunya yang terakhir ini pernah mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi, karena dianggap cakap dan rapi serta tertib tulisannya. Dalam hal

36 Jakarta Islamic Center, Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi abad 19-21), H. 69 37 JIC pernah mengadakan Seminar “Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Hisab dan Rukyat (Guru Manshur Jembatan Lima dan KH. Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary)” di Aula Serba Guna JIC, 11 September 2007. Pada kesempatan tersebut, Dr. T. Djamaluddin selaku astronom modern dari LAPAN (Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional), Bandung, selaku pembicara, memberikan apresiasi kritis terhadap kitab Sullamunnairain.

28

menuntut ilmu, Guru Manshur dikenal sebagai orang yang sangat mementingkan silsilah intelektual. Ilmu yang dipelajari Guru Manshur merupakan ilmu standar dunia Islam saat itu dengan referensi yang juga standar. Beliau mendalami ilmu Al-Qur‟an dengan memperoleh mandat untuk mengajarkan tiga jenis bacaan (qiraat), yakni bacaan Al-Qur‟an versi Hafsh, Warasy dan Abi Amr. Beliau juga mendalami ilmu Fikih (yurisprudensi Islam) ilmu Ushulul Fikih (legal maxims) beberapa cabang ilmu bahasa arab, Tafsir Al-Qur‟an, Hadist, serta ilmu falak (Hisab) sehingga di tanah air kelak beliau dikenal sebagai ahli ilmu ini.38 C. Perjuangannya Terhadap Kemerdekaan Indonesia Pada tahun 1946 pusat negara dan pemerintahan telah dipindahkan ke Yogyakarta karena ibukota diduduki oleh pasukan Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration (NICA)39 yang ingin berkuasa lagi setelah bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945. Namun, tidak semua pejuang telah meninggalkan Jakarta. Masih ada sejumlah tokoh berpengaruh yang bertahan, termasuk demi harga diri dan martabat masyarakat Betawi meskipun setiap saat harus menghadapi risiko tinggi. Salah satunya adalah KH. Muhammad Manshur atau yang lebih akrab disapa dengan nama Guru Manshur. Guru Manshur adalah sosok ulama berpengaruh yang berdiri mantap di belakang panji-panji republik. Menjelang kemerdekaan Indonesia, ia menaikkan bendera merah putih, lalu menganjurkan kepada masyarakat Betawi dan umat Islam untuk melakukan hal serupa. Persatuan umat demi menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia menjadi salah satu fokus utama Guru Mansur saat itu. Ia terkenal dengan slogan atau seruannya yang melegenda “rempug”.

38 H. Fatahillah Ahmadi, Metode Perhitungan Awal Bulan Qomariyah (Sistem Sullamunnairain KH. Muhammad Mansur), Lembaga Falakiyah-Hisab Al-Mansuriyah, Jakarta 2010, H. 3 39 NICA merupakan organisasi semi militer yang dibentuk pada 3 April 1944 yang bertugas mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum pemerintah Hinda Belanda selepas kapitulasi pasukan pendudukan Jepang di wilayah Hindia Belanda seusai Perang Dunia II.

29

Rempug merupakan kata dalam bahasa Betawi yang bermakna “kompak”, “berkumpul”, atau “bersatu”. Untuk mengobarkan semangat umat Islam, bangsa Indonesia khususnya masyarakat Betawi yang memang menjadi barisan utama pendukung perjuangannya. Guru Manshur tidak hanya bertahan, melainkan terus berusaha sebagai wujud perlawanannya terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1948, ia dengan memasang dan menaikkan bendera merah putih di menara Masjid tempatnya bermukim, Masjid Jami Al-Mansur di Kampung Sawah. Hal ini membuat pemerintah kolonial Belanda melakukan sebuah tindakan keras. Setelah hal tersebut Guru Manshur harus berurusan dengan aparat kepolisian atas perbuatan nekatnya tersebut. Sang ulama tetap bergeming, tidak ingin menurunkan bendera kebesaran Indonesia di bawah ancaman senjata hingga akhirnya ditahan, Setelah sempat menahan Guru Manshur, pemerintah kolonial Belanda sebenarnya harus berpikir panjang sebelum mengambil tindakan yang lebih tegas terhadapnya. Apabila itu dilakukan, kemungkinan besar akan memicu perlawanan yang besar dari masyarakat Betawi dan umat Islam. 40 Oleh karena itu pemerintah kolonial Belanda mencoba segala cara untuk membujuk Guru Manshur agar bersikap kooperatif dan bersedia bekerjasama. Pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda menawarkan imbalan berupang uang, dan ditolak dengan tegas oleh Guru Manshur. Tak hanya di era kemerdekaan saja Guru Mansur menentang Belanda. Jauh sebelumnya, ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda masih berkuasa penuh di Indonesia, berkali-kali Guru Mansur melakukan tindakan yang tidak berkenan bagi kaum penjajah. Pada tahun 1925, pemerintah kolonial di Batavia bermaksud membongkar Masjid Cikini. Rencana itu tentu saja mendapat reaksi keras dari umat Islam. Guru Manshur menjadi motor perjuangan untuk menggagalkan pembongkaran masjid tersebut.41 Gerakan protes yang digalang Guru Manshur ternyata berhasil. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek, rencana dibongkarnya Masjid Cikini oleh pemerintah kolonial Belanda itu pun

40 Alwi Shihab, Betawi Queen of The East. Jakarta : Republika, 2004, H. 43 41 Tawalinudin Haris, Kota dan Masyarakat Jakarta : Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (Abad XVI-XVIII), Jakarta: Wedatam Widya Sastra, 2007. H. 103

30

akhirnya tidak dilakukan. Pada periode waktu yang sama atau masa yang disebut sebagai era pergerakan nasional, Guru Manshur juga gencar mendesak pemerintah kolonal agar hari Jumat ditetapkan sebagai hari libur bagi umat Islam.42 Di dalam melaksanakan dakwah tidak terlepas pula hambatan dan rintangan Guru Manshur, sekaligus dalam melaksanakan dakwahnya yaitu “ketidak mampuan ulama-ulama betawi terdahlu yang ingin memberikan pengajaran kepada masyarakat selama penjajahan berlangsung secara menyeluruh dan keterbatasan waktu”.

42 Ridwan Saidi. Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya. H. 84

BAB IV KEISTIMEWAAN GURU MANSHUR

A. Ilmu Falak Imu faka atau yang disebut juga dengan ilmu hisab43, merupakan ilmu yang berperan penting dalam kehidupan umat Islam. Karena dengan mempelajari ulmu falak umat Islam dapat memastikan kemana arah kiblat suatu tempat di permukaan bumi, dengan ilmu falak umat Islam juga dapat memastikan awal waktu sholat dan dengan ilmu falak dapat mempermudah orang yang sedang melakukan Rukyah al-Hilal untuk mengetahui dimana posisi hilal berada sebagai penanda mulai masuknya awal bulan qamariyah. Mempelajari Ilmu falak pada dasarnya mempunyai dua kepentingan yang saling berkaitan, Pertama untuk penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, untuk keperluan yang berkaitan dengan ibadah sehari-hari umat Islam, mulai adri penentuan arah kiblat, pembuatan jadwal waktu shoalat, pembuatan kalender hijriyah, penentuan awal bulan qamariyah, seperti awal Ramadhan dan awal Syawal maupun Idul Adha (10 Dzulhijjah) bahkan sampai prediksi kapan waktu terjadinya gerhana saat umat muslim diperintahkan untuk melaksanakan sholat gerhana ( Kusuf dan Khusuf ). Begitu pula yang dilakukan KH. Muhammad Manshur dalam menerapkan metode Ilmu falak. Karena Guru Manshur memiliki dasar kelimuan tersebut dari ayahnya. Menurut bahasa, falak artinya orbit atau perdearan/lintasan benda-benda langit, sehingga ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit khususnya bumi, bulan dan matahari pada orbitnya masing-

43 Hisab mempunyai arti menghitung. Karena kegiatan yang paling menonjol dalam ilmu ini adalah menghitung. Namun, menurut Ahmad Izzudin ilmu ini lebih tepat jika disebut dengan imu husab rukyah, karena pada dasarnya Ilmu falak menggunakan dua pendekatan kerja ilmiah yaitu pendekatan hisab (menghitung) dan pendekatan rukyat (observasi). Lihat Ahmad Izzudin, Ilmu Falak Praktis, Semarang; Komala Grafika, 2006, h 1

31

32

masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit tersebut antara satu dengan yang lainnya agar dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi.44 Bahasan Ilmu Falak yang dipelajari dalam Islam adalah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah, sehingga pada umumnya Ilmu Falak ini mempelajari 4 bidang, yaitu45 : 1. Arah kiblat dan bayangan arah kiblat 2. Waktu-waktu sholat 3. Awal bulan hijriyyah 4. Gerhana matahari dan bulan Ilmu falak membahas arah kiblat pada dasarnya adalah menghitung besaran sudut yang diapit oleh garis meridian yang melewati suatu tempat yang dihitung arah kiblatnya dengan lingkaran besar yang melewatu tempat yang bersangkutan dengan Ka‟bah, serta menghitung jam berapa matahari itu memotong jalur menuju Ka‟bah. Sedangkan Ilmu falak membahs waktu-waktu sholat pada dasarnya adalah menghitung tenggang waktu antara ketika matahari berada di titik kulminasi atas46 dengan waktu ketika matahari berkedudukan pada awal waktu-waktu sholat. Pembahasan awal bulan dalam Ilmu falak adalah menghitung waktu terjadinya ijtima‟ (konjungsi) yakni posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi, serta menghitung posisi bulan ketika natahari terbenam pada hari terjadinya konjungsi itu. Analisa tentang Ilmu falak pada hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping sebagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Pengetahuan merupakan

44 Muhyidin Khazin, Ilmu Falak Toeri dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta : 2004, h 3 45 Ibid, h 4 46 Kulminasi : melintasnya sebuah benda langit di garis yang menghubungkan titik utara dan selatan. Kulminasi terdiri atas dua jenis, kulmunasi atas yaitu ketika benda langit melintasi garis yang menghubungkan titik utara, zenith, dan titik selatan (berada di atas horison) dan kuminasi bawah yaitu ketika benda langit melintasi garis yang menghubungkan titik utara, nadir, dan titik selatan (berada di bawah horison).

33

khsaanah kekayaan mental yang secara garis besar patut diamalkan kepada orang lain. Ilmu falak sebagai sebuah disiplin ilmu, bisa dilihat dari dua sisi, sisi pertama ilmu falak sebagai ilmu pengetahuan, yang secara epistimologi menggunakan metode ilmiah dalam penyusunan, dengan kata lain metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun mpengetahuan yang benar. Di sisi lain Ilmu falak sebagai sebuah ilmu rumpun syari‟ah, dimana dalam pembahasannya menyangkut masalah-masalah hukum yang ada kaitannya dengan peribadatan umat muslim, seperti waktu-waktu sholat, waktu pelaksanaan puasa wajib, waktu pelaksanaa haji dan lain-lain yang bersumber dari Al-Qur‟an dan As-Sunah. Para ulama berbeda pendapat tentang definisi As-Sunah menurut syara karena perbedaan disiplin ilmu mereka dan perbedaan objek pembahasannya,47 diantaranya adalah : 1. Menurut ulama hadits As-Sunah adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, sahabat, tabi‟in, baik berupa ucapan, perbuatan, pengakuan maupun sifatnya. 2. Menurut ulama ushul, As-Sunah adalah semua yang dikaitkan dengan Nabi saw, selain Al-Qur‟an bak berupa ucapan, perbuatan ataupun pengakuannya yang berkaitan dengan dalil syar‟i, sebab yang menjadi objek pembahasan mereka dalah dalil-dalil syara. 3. Menurut ulama fiqh As-Sunah adalah suatu yang telah terbukti dari Nabi saw, bukan termasuk pengertian fardhu atau wajib dalam agama, dan bukan pula bersifat taklif atau pembenaran, melainkan berupa anjuran. Sebab yang menjadi objek pembahsan mereka adalah : a. Menyelidiki hukum-hukum syara, seperti fardhu, wajib, sunah, haram, makruh b. Memberi pengertian kepada setipa individu tentang setiap hukum.

47 Muhammad „Alawi alMaliky alHasai, Mutiara Pokok Ilmu Hadits, Trigenda Karua, Bandung : 1995, h 14

34

4. Menurut ulama dakwah, As-Sunah adalah Ikhwan dari al Bid‟ah, sebab pembahasan mereka adalah memperhatikan perindah dan larangan syara. Dengan demikian, Ilmu falak atau Ilmu hisab dapat menumbuhkan keyakinan dalam melakukan ibadah, sehingga ibadah lebih khusyu‟. Adapun cara memperdalaminya, hampir sama dengan ilmu pengetahuan lain yaitu harus menguasai standar kompetensi dan kompetensi dari Ilmu falak, sedangkan peran As-Sunah dalam Ilmu falak ini sebagai landasan teologi yang melandasi semua bagian-bagian dari bahasan Ilmu falak.

B. Perkembangan Ilmu Falak Pasca Guru Manshur Setelah Guru Manshur wafat pada tahun 1967, maka perkembangan Ilmu falak dilanjutkan kepada murid-muridnya yang terdapat keterangannya di atas. Namun yang lebih mendalami Ilmu falak adalah keturunannya sendiri KH. Fatahillah Ahmadi. Beliau yang melanjutkan perjuangan Guru Manshur untuk menumbuhkembangkan Ilmu yang sudah diwarisinya. Banyak sudah kajian-kajian yang diikuti KH. Fatahillah Ahmadi, dari halaqah, sidang isbat, sampai memasukkan Ilmu falak ke dalam kurilkulum pendidikan di yayasan Madrasah Chairiyah Mansuriyah. Pelajaran Ilmu falak merupakan ilmu yang sangat penting bagi yayasan Madrasah Chairiyah Mansuriyah. Disamping menjadi ilmu langka, sekaligus melestarikan Ilmu yang diciptakan oleh Guru Manshur. Salah satu tenaga pengajarnya yakni H. Naksabandi, selalu berpesan kepada murid-muridnya untuk tidak bosan-bosan menelaah dan mempelajarinya. Karena sudah tidak ada lagi madrasah yang mempelajari Ilmu falak selain di yayasan Chairiyah Mansuriyah. 1. Masjid Jami Al-Mansur Berdiri pada abad 18 tepatnya tahun 1717 M/1130 H datang seorang pangeran dari Mataram bernama Abdul Malik putra dari Pangeran Cakrajaya. Beliau merupakan pendiri masjid Jami Al-Mansur (sebelumnya bernama Masjid Jami Kampung Sawah). Beliau datang ke Batavia untuk berjuang melawan penjajahan Belanda. Hingga dua abad kemudian perjuangan dakwahnya

35

dilanjutkan oleh Imam Muhammad Habib dan ulama-ulama perantau seperti Imam Muhammd Arsyad Banjarmasin yang berperan juga membenarkan arah kiblat masjid Jami Al-Mansur pada tanggal 2 Rabiul Akhir 1181 H atau 11 Agustus 1767 M.48 Arsitektur bangunan masjid tersebut merupakan akulturasi budaya jawa, cina, arab dan betawi. Masjid dengan bentuk atap joglo (limas), dua tingkat dan ditopang empat pilar besar berdiameter 1,5meter. Jendelanya berbahan kayu dan berlubang segi empat berteralis kayu profil gada pada setipa sisi tembok. Model pintunya berdaun dua dengan profil pahatan bulian. Ruang utama masjid Al- Mansur yang sekaligus bangunan tertua, bersegi empat dengan diameter 12 x 14.40 meter. Unsur yang mencolok adalah empat sokoguru yang kokoh dan tampak kekar di tengahnya. Bagian bawah tiang-tiang ini bersegi delapan dan diatasnya terdapat pelipit penyangga, pelipit genta serta rata. Batang utama (di bagian tengah) berbentuk bulat dan dihiasi pelipit juga. Bagian teratas berbentuk persegi empat dan dibatasi pelipit. Pada ketinggian setengah diantara keempat sokoguru terdapat balok-balok kayu antara lain untuk menopang ke dua tangga yang menuju ke loteng. Di atas balok-balok selebar 55 cm itu di sisi kan dan di kiri dipsang pagar setinggi 80 cm. Pola pagar ini dibentuk belah ketupat. Kontruksi ini dan bentuk sokoguru bergaya barat. Atap masjid ini bertumpang tiga dan berbentuk limasan. Menara yang terletang di ruang baru di depan masjid lama, berbentuk silinder setinggi 12 meter. Pada bagian keempat dan kelimadari menara itu terdapat terasyang berpagar besi serta atap menara berbentuk kubah. Dua abad berikutnya, tanggal 25 Sya‟ban 1356 H/1937 M dibawah pimpinan KH. Muhammad Mansur bin H Imam Muhammad Damiri diadakan perluasan bangunan masjid. Dikarenakan untuk menjaga dan terpeliharanya tempat suci serta makam-makam para ulama (di depan kiblat) maka disekitar masjid dibuatkan tembok (sekarang berpagar besi). Di masa awal pasca proklamasi kemerdekaan, masjid ini digunakan untuk memobilisasi pejuang

48 Republika Online, Masjid Jami Al-Mansur – Jembatan Lima (1717), JIC, 3 Nopember 2006

36

sekitar Tambora untuk melawan Belanda. Sebuah pertempuran frontal pernah terjadi di halaman masjid. Terjadi baku tembak antara pejuang Republik Indonesia yang berlindung di dalam masjid dengan tentara NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) yang kala itu masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa bergeser ke selatan menuju ke arah Kota (Beos) lalu menyebar ke sekitar tambora. Baku tembak itu dipicu karena keberanian Guru Mansur memasang bendera merah putih di atas menara kubah masjid ini. Sesudah peritiwa tersebut Guru Mansur lalu dipanggil ke Hofd Bureau (meja pengadilan Belanda) untuk diadili dan ditahan atas tindakannya itu. Sebagai bentuk penghargaan kepada Guru Mansur, pemerintah Republik Indonesia kemudian mengabadikan nama beliau sebagai nama masjid tempat beliau berjuang ini, dan menjadi nama jalan persis didepan jalan Sawah Lio kelurahan Jembatan Lima Jakarta Barat sekaligus masjid Jami Al-Mansur menjadi cagar budaya di Jakarta pada tahun 1980.49

49 Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik Pemprov DKI Jakarta 1995 – 2018, Al- Mansur, Masjid.

37

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan KH. Muhammad Manshur adalah salah seorang ulama betawi dan juga pejuang kemerdekaan Indonesia seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab-bab sebelumnya ketika beliau memperjuangkan masyarakat betawi atas penjajahan yang dilakukan pada masa kolonial. Di samping itu KH. Muhammad Manshur juga berperan dalam perkembangan keilmuan, khususnya ilmu falak. Dapat penulis simpulkan bahwa KH. Muhammad Manshur merupakan salah seorang yang berpengaruh bagi perkembangan ilmu falak di Indonesia khususnya pada masyarakat betawi di Jakarta. Perkembangan kelimuan KH. Muhammad Manshur diawali di kota Mekkah saat beliau berusia 16 tahun. Setibanya di tanah air, beliau belajar pula kepada ayahnya untuk memperdalam Ilmu falak. Sebab ayahnya merupakan Imam di Mekkah yang ahli di bidang Ilmu falak. Untuk meneruskan ilmu falak yang telah dipelajarinya Guru Mansur mempunyai beberapa murid untuk meneruskan perjuangannya, di antaranya adalah: Mu’alim Rojiun Pekojan, Syaikh KH Muhadjirin Amsar Ar-Dary, Mu’alim Rasyid dan Mu’alim KH M. Syafi’i Hadzami. Hasil karangan dari KH Muhammad Manshur tidak luput dari pencermatan penulis untuk memperdalam dan bisa mengaplikasikannya sehari- hari. Oleh karena itu penulis menggambarkan kiprah Guru Manshur di berbagai bidang yang telah ditulis dalam skripsi ini. Semoga banyak membawa manfaat bagi penulis maupun para pembaca agar menambah wawasan tentang ulama di Betawi khususnya di bidang keilmuan dan cara Guru Manshur memperjuangkan negara Indonesia.

B. Saran Menurut penulis pembahasan mengenai Guru Mansur sangat menarik khususnya pada ilmu falak dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, memang

37

38

pembahasan mengenai ulama betawi sudah banyak, namun masih jarang mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam membahas tentang ilmu falak yang penulis buat dalam karya berjudul Perjuangan Guru Manshur dalam Mengembangkan Pendidikan Islam di Betawi 1900 - 1967. Penulis menemukan beberapa sumber terkait penulisan di atas, namun sumber tersebut adalah sekunder, oleh karena itu penulis melakukan wawancara langsung terhadap cicit dari Guru Manshur yaitu KH. Fatahillah Ahmadi untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Menurut penulis ilmu falak seharusnya bisa lebih dikenal lagi oleh mahasiswa-mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam, agar mahasiswa sekarang dapat mengetahui bagai mana proses dan cara menentukan bulan Ramadhan serta Hari Raya Idul Fitri. Jadi tidak hanya sekedar menjalankan ibadah puasa saja, namun dapat mengetahui bagaimana proses penentuan bulan Ramadhan. Penulis merasakan bahwa apa-apa yang disampaikan dalam skripsi ini masih begitu kurang, dan masih diperlukan data-data yang lebih banyak lagi, juga memberikan kesempatan kepada penulis lain yang ingin mengangkat tentang ulama betawi khususnya ilmu falak. Karena dengan kritik dan saran yang membangun diharapkan dalam penulisa sejarah ulama betawi khususnya tentang ilmu falak menjadi sempurna dengan masukan-masukan, ide-ide didukung dengan data-data yang lebih banyak lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Abdurrahman, Dudung, 1999, Metode Penelitian Sejarah, Logos: Jakarta.

„Alawi alMaliky alHasai, Muhammad, Mutiara Pokok Ilmu Hadits, Trigenda Karua, Bandung : 1995

Aziz, Abdul, 2002, Islam dan Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos.

Data Biro Administrasi Wilayah, Provinsi DKI Jakarta tahun 2006

Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, 1995- 2010.

Emalia, Imas, Historiografi Indonesia Sejak Masa Awal Sampai Kontemporer, 2006, Jakarta: UIN Jakarta Press.

Fadli, Ahmad, Ulama Betawi : Jaringan Ulama Betawi dan Kontibusinya Terhadap Perkembangan Islam abad 19 dan 20. Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press. 2013.

Fatahillah Ahmadi H., Metode Perhitungan Awal Bulan Qomariyah (Sistem Sullamunnairain KH. Muhammad Mansur), Lembaga Falakiyah-Hisab Al- Mansuriyah, Jakarta 2010

Gottschalk, Louis, 1975, Mengerti Sejarah, UI Pers: Jakarta.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Garafindo, 1994.

39

40

Haris, Tawalinudin. Kota dan Masyarakat Jakarta : Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (Abad XVI-XVIII). Jakarta: Wedatam Widya Sastra. 2007.

Hisab dan Rukyat, Jakarta : Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Departemen Agama). 2013

Huda, Nor, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.

Jakarta Islamic Center. Geneologi Ulama Betawi (Melacak jaringan ulama betawi abad 19-21). Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta, JIC. 2011

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke IV : Kementrian Pendidikan dan Budaya

Khazin, Muhyidin, Ilmu Falak Teori dan Praktik, Buana Pustaka, Yogyakarta : 2004

Kiki, Rakhmad Zailani, dkk, Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21), 2011, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre), cet. Ke-1.

Nasim, Jaringan Ulama Betawi Abad XX Dan Peranannya Terhadap Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta, disertasi Program Pascasarjana, Universitas Ibnu Khaldun (UIK), Bogor, 2010

Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, Ed.I, 1992.

41

Peneliti, Tim. Ulama-ulama Betawi Alumnus Mekah 1900-1950 dan Kiprah Mereka dalam Penyiaran Islam di Jakarta. Jakarta: Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1998

Q. S. Anbiya’, ayat 33 Q. S. Yassin, ayat 40

Saidi, Ridwan, 2001, Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, Jakarta:PT. Gunara Kata, Cet. Ke-2.

Sedyawati, Edi, Sejarah Kota Jakarta 1950 – 1980, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1986 / 1987

Shihab, Alwi. Betawi Queen of The East. Jakarta : Republika. 2004

Yatim, Badri, Peran Ulama dalam Masyarakat Betawi, Jakarta: Logos, 2002.

Sumber Internet/media

Republika Online, Masjid Jami Al-Mansur – Jembatan Lima (1717), JIC, 3 Nopember 2006 http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Kecamatan_Tambora https://news.detik.com/berita/d-1719181/perumahan-padat-penduduk-di-depan- kecamatan-tambora-terbakar http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/14/01/05/myw1qt-kh- mohammad-mansur-ulama-cerdas-pahlawan-jakarta

LAMPIRAN

Lampiran no 1

Narasumber : KH. Fatahillah Ahmadi

Pewawancara : Humaedi

Bagaimana profil dan sejarah guru mansur? Ya artinya ketokohan Guru Mansur itu bagimana ulama-ulama sebelumnya ya, karena beliau ini satu keturunan dengan KH. Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan. Artinya pada saat itu kegemaran intelektual semuanya terfokus kepada perjuangan bangsa. Makanya ulama-ulama pada zaman dulunya itu tidak sekedar fisik tapi juga intelektual. Artinya, mereka berjuang menggunakan intelektualitas, seperti memberikan semangat, seperti KH. Hasyim Asyari dari jawa timur KH. Ahmad Dahlan di Jawa Tengah. Dan mereka ini memberikan spirit, mereka cenderung bersatu, kalau Guru Mansur lebih kepada pendidikan, beliau lebih fokus ke pendidikan. Atau tadi ente menilai dari profil satu kurun dengan para peneliti ormas Islam tadi, memang kita membaca beliau sama-sama belajar di Mekkah. KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan dan Guru Mansur juga. Mereka pulang ke tanah air. Nah umumnya pada saat beliau itu ulama betawi yang mereka lebih banyak mengajar ditempatnya, dikampungnya, mereka lebih banyak didatangi bukan mendatangi, kadang-kadang mendatangi. Mereka didatangi oleh santrinya, muridnya. Mereka kadang-kadang pulang pergi tidak mukim pada saat itu. Jadi ketika Guru Mansur ikuti muktamar NU pertama kali di Surabaya, karena beliau ini pernah menjadi Rois cabang Betawi dibawah tahun 40an. Beliau diangkat menjadi pengurus 1907 tapi dalam organisasi Ijtimaul Khaeriyah Jamiatuil Khoir menjadi ketua (dulu di Pekojan sekarang di Tanah abang). Artinya sekolah formal yang pertama yang tertua di Indonesia. Yang pertama ngadain Jamiatul khoir. Dulu yang ngajar KH. Ahmad Dahlan, KH Mas Mansur, kalo Mas Mansur orang Surabaya Jawa Timur, kalo Guru Mansur orang Betawi, kadang-kadang orang salah kaprah. Tidak jauh dari tahun 1907an, ya artinya latar belakang pendidikan

42

43

beliau sebelum belajar di Mekkah ya beliau belajar sama orangtuanya, dan kebetulan memang artinya lingkungan keluarganya lingkungan ulama. Ya ayahnya KH Abdul Hamid kemudian salah seorang guru Syekh Nawawi Albanteni, Junaedi Albatawi itu uwanya (paman) Guru Mansur, beliau Syaikhul Masaikh di Masjidil Haram. Ya artinya ulama-ulama Betawi masih keluarga beliau. Ya jadi pembentukan intelektual Guru Mansur itu tidak lepas daripada lingkungan keluarga yang memang intelektualitasnya tinggi. Karena memang beliau itu dari keturunan ningrat/keturunan darah biru.

Jenjang pendidikan keluarga? Umumnya dari keluarga, karena pada saat itu belum ada yang banyak muncul dari orang-orang biasa, artinya kalau ulama dulu kalo tidak kuat modal kan tidak jadi ulama gitu istilahnya, mau beli kitab aja boro-boro karena zaman susah. Ente liat aja itu, kitab-kitab peninggalan Guru Mansur kitab-kitab gede semua itu, jarang artinya kalo bukan sekaliber ulama yang bener-bener ulama tidak akan punya gitu. Kalo ulama dulu itu kudu kuat modal, artinya ga mikirin lagi makan sehari-hari. Malah dia yang kasih makan santrinya kalo dulu tuh, semiskin-miskinnya ulama dulu ya ga makan dr santri, bukan kaya sekarang cari makan dari santri. Untuk membeli kitabnya aja bisa jutaan, jadi ga semua orang bisa membeli kitab itu pada saat itu, hanya orang- orang tertentu. Jadi masih sedikit kalo kita katakan guru mansur bisa belajar diluar, karena dipihak keluarga sendiri udah intelektual semua. Satu bukti bahwa 3 ulama; Syekh Arsyad Banjar pengarang kitab Sabilal Muhtadin, kemudian Abdus Somad al-Palimbani, kemudian Syekh Abdurrahman Misri, itu ulama- ulama kaliber semua itu, pembawa tarekat Sammaniyah, beliau membawa tarekat ini dari Mekkah ke Indonesia. Ke Indonesia itu mereka berkunjung/singgah di masjid Al-Mansur, yang membetulkan arah kiblat masjid itu Syekh Arsyad Banjar melalui lengan bajunya. Kalo ente liat kan itu bangunan mengarah ke arah barat, itu yang membetulkan Syekh Arsyad Banjar. Ini ga bener arah kiblatnya, ini mengarah ke mata angin, dibetulkanlah oleh Syekh Arsyad banjar tuh arah kiblatnya, nah itu keliatan dari lengan bajunya. Ulama dulu kan lebar-lebar jubah/gamisnya. Kalo tidak salah antara 2-3tahun yang lalu itu ya, ketua

44

pengadilan agama jawa timur pernah datang mengukur melalui satelit/kompas mutakhirlah, itu sama ukurannya tepat. Ingin mencoba waktu ribut-ributnya itu tuh, yang MUI dan mesjid-mesjid di Indonesia pada salah arah kiblatnya. Dia mencoba mesjid Al-Mansur, tidak kurang tidak lebih, pas.

Lalu pemikiran ilmu falaknya darimana? Ya dari keluarganya, Guru Manshur ga pernah belajar ke yang lainnya Jadi belajar di mekkah untuk apa? Paling belajar yang standar Islam, kaya fiqih, qiroat dan tajwid. Kalo falakiyahnya dari bapaknya langsung, KH. Abdul Hamid. Untuk menggali lebih dalam KH. Abdul Hamid, asalmuasal ilmu falaknya darimana? Kan bapaknya Imam, Imam Damiri. Secara intelektualitas ga bisa diragukan lagi, Syekh Junaedi aja Syekh Guru Masyaikh di Mekkah anaknya Imam Damiri. Itu bapaknya orang sini. Banyak orang yang tidak tau semacam tokoh-tokoh betawi, itu tidak tau Syekh Junaedi itu orang mana. Itu di dalam kesejarahan Syekh Junaedi itu orang Pekojan, padahal orang sini (Jembatan Lima). Ente baca Syekh Junaedi itu siapa, itu jarang yang mengkorek sebenarnya, itu juga keluarga kehilangan jejak karena beliau di mekkah dari umur 25 tahun beliau berangkat ke Mekkah sampai meninggalnya, kita kehilangan jejak.

Peran Guru Mansur di sekitar sini apa? Ya buktinya satu-satunya madrasah kan ada disini, beliau yang bangun. Artinya peranan beliau tidak bisa dinafikan, ya disamping adanya madrasah kemudian nama jalan, itukan artinya kiprah beliau terhadap masyarakat diakui keberadaan beliau. Dan bukan masyarakat jembatan lima saja, bahkan masyarakat betawi. Siapa yang ga kenal Guru Mansur, bahkan artinya seluruh nusantara mengenal beliau sebagai ulama yang mumpuni dibidang astronomi/falak.

Untuk pembuatan kalender, masih distribusikah? Saya udah tidak buat lagi. 1. Yang mengedarkan kalender itu udah pada meninggal. 2. Saya amati, ketika kita berbeda dengan yang lain ya mereka tidak menggunakan kalender kita, saya percuma. Alesannya mereka malulah, mereka takutlah, ya untuk apa sebagai pengetahuan ilmu tanpa praktek. Sejak kapan? Ya 3 tahun ini, yang jelas artinya

45

distributornya yang udah pada tidak ada/meninggal. Penyebarannya dimana saja? Hampir seluruh jawa barat, bahkan ke malaysia, pandeglang, serang, tasikmalaya dan di jawa timur, khususnya di pondok pesantren salafiyah, mereka menggunakan kitab kita. Terus kalo ente mau ngedalemin kitab Sullamunirain ini penuh keunikan, kitabnya sederhana, bisa mengetahui gerhana, gerhana matahari. Maka kita akan lebih salut terhadap penemuan ulama. Itu bukan ramalan, semacam dukun atau semacam lotre, tapi itu matematik tingkat tinggi dan itu ditemukan oleh ulama kita.

Demikianlah wawancara penulis kepada KH. Fatahillah Ahmadi. Bagi penulis, Guru Mansur adalah ulama yang patut ditiru prilakunya, dari belajar, mengajar, berbakti kepada orangtua, berhubungan baik sesama manusia sampai membantu memerdekakan negara Indonesia. KH. Fatahillah Ahmadi atau biasa dipanggil Pak Haji Fatah ini merupakan cicit yang masih eksis menekuni Ilmu falak. Perjuangannya melanjutkan ilmu yang diajarkan dari keluarganya masih terus dilakukan hingga sampai saat ini, hanya saja kondisi Pak Haji Fatah yang sedang sakit membuatnya mengurangi jam mengajarnya kepada masyarakat atau kerabat didekatnya.

46

Lampiran no 2

47

48

Lampiran no 3

49

50

51

52

Lampiran no 4

53

54

55

56

Lampiran no 5

57

Lampiran no 6

58

Lampiran no 7

59

Lampiran no 8

60

61

62

63

64

65

66

67

68

69

70

71