(Printed) ISSN 2598-3202 (Online) ISSN 2599-316X

RESISTANSI PENGARANG MELALUI KONSTRUKSI PEREMPUAN TIMUR DALAM “” KARYA PUTU WIJAYA

Apri Damai Sagita Krissandi1, Anggitya Alfiansari2, Kelik Agung Cahya Setiawan3 [email protected], [email protected], [email protected]

Program Studi PGSD Universitas Sanata Dharma Yogyakarta1, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta2,3

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menyelami konstruksi diri perempuan Timur serta untuk mengetahui posisi pengarang dalam wacana kolonialisme. Citra diri perempuan Timur masih menjadi topik yang layak diteliti melalui kehadiran karya-karya sastra. Terlebih jika berhubungan dengan perpanjangan tangan akan kolonialisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan sudut pandang feminisme pascakolonial untuk mengungkap konsep diri perempuan. Penelitian ini menemukan adanya konstruksi perempuan ideal yang merdeka secara pikiran tanpa perlu menginduk pada konstruksi tradisional yang menggunakan aksesori tertentu untuk memperempuankan perempuan. Posisi pengarang sendiri merupakan wakil dari si terjajah yang menyuarakan resistansinya dengan cara ambivalensi.

Kata kunci: kartini, kolonialisme, konstruksi perempuan, pengarang, resistansi.

Abstract

This study aims to explore the construction of Eastern women themselves and to find out the position of the author in the discourse of colonialism. Eastern women's self-image is still a topic worthy of research through the presence of literary works. Especially if it is related to the extension of colonialism. This study uses a descriptive qualitative approach with the perspective of postcolonial feminism to uncover women's self-concept. This study found the existence of the construction of ideal women who are free in mind without needing to be in the traditional construction that uses certain accessories to feminize women. The position of the author himself is representative of the colonized who voices his resistance by means of ambivalence.

Keywords: Kartini, construction of women, author, resistance, colonialism.

PENDAHULUAN 255). Bahwa Timur sebagai dramawan sedangkan kaum orientalis sebagai Karya sastra Indonesia, baik dari zaman sutradara (Said, 2010:xi). Bahwa perjajahan maupun era modern ini, orientalisme merupakan suatu cara untuk merupakan wujud sastra yang terindikasi memahami dunia Timur yang didasarkan memiliki dampak-dampak kolonialisme, pada keeksotikannya di mata orang Eropa atau merupakan wujud pascakolonial. (Said, 2010:2). Berbicara tentang pascakolonial tidak Warisan peradaban kolonial tersebut terlepas dari pengertian kolonialisme salah satunya adalah terlegitimasinya maupun imperialisme. Terlebih Indonesia R.A.Kartini sebagai tokoh pejuang hak- pernah dan/atau masih terbelenggu oleh hak wanita atau yang lebih akrab disebut kedua peristilahan tersebut. Adapun dengan emansipasi. Berangkat dari kolonialisme terkait dengan penjajahan warisan tersebut, muncullah beberapa secara fisik atau perilaku. Sedangkan tanggapan dalam karya sastra, baik yang imperialisme merupakan penjajahan secara menerima subjek penjajah, resistansi ideologi. Dengan demikian, dapat dilihat terhadap subjek penjajah, dan ada pula secara harfiah bahwa pascakolonial yang ambivalensi dalam berlaku-sikap merupakan penjajahan yang pernah terhadap subjek penjajah. Salah satu karya berlangsung, sedang berlangsung, maupun sastra modern yang merupakan bentuk setelah berlangsungnya penjajahan respon terhadap keadaan tersebut adalah tersebut. Said menyebutkan bahwa cerita pendek berjudul “Kartini” yang kekuatan kolonial Barat menghadirkan ditulis oleh Putu Wijaya. Tokoh Kartini wilayah atau “dunia yang lain” yang dalam cerpen tersebut memberi pelukisan disebut dengan Timur (Susanto, 2012: baru tentang sosok Kartini yang sangat

124 | Jurnal Kredo Vol. 3 No. 1 Oktober 2019

berlawanan dengan apa yang telah menjadi cerita pendek karya Putu Wijaya yang dogma di masyarakat selama ini. Putu berjudul “Kartini”. Sementara objek Wijaya telah merombak R.A. Kartini— formal dalam penelitian ini adalah yang “disembah” masyarakat Indonesia— konstruksi perempuan dan posisi melalui pengisahan tokoh Kartini pengarang dalam wacana pascakolonial kontemporer yang kebarat-baratan. yang terilustrasi dalam “Kartini”. Data Tujuan penelitian ini adalah untuk yang dikumpulkan dalam penelitian ini mengetahui citra diri konsep perempuan adalah segala hal yang berhubungan Timur melalui cerpen “Kartini” serta untuk dengan topik penelitian, antara lain data mengetahui posisi pengarang dalam teks maupun konteks tentang Kartini wacana kolonial. Putu Wijaya, sang sebagai perwakilan ikon perempuan ideal pengarang, yang sekaligus juga bagian dari di Indonesia. si terjajah tidak dapat dipungkiri secara Cara penyelesaian masalah dalam psikososial seperti yang disebutkan oleh penelitian ini adalah pendasaran terhadap Bhabha tentang gejolak resistansi si teori yang digunakan, yakni feminisme terjajah terhadap sang penjajah. Eksplorasi pascakolonial. Pengungkapan akan tersebut tepatnya mempertanyakan tekstual yang dihadirkan pengarang secara kembali pada si terjajah akan konstruksi dekonstruktif sangat mendukung sebagai perempuan yang selama ini telah menjadi bentuk eksplorasi dalam penelitian ini. dogma di masyarakat. Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai wujud HASIL DAN PEMBAHASAN rekonstruksi akan pemaknaan terhadap konsep perempuan yang selama ini telah Konstruksi Perempuan Timur kabur karena wacana sang penjajah yang “Kartini”, sesuai dengan judul, meleburkan diri dengan keadaan si pengisahan cerita terkait dengan tokoh penjajah, baik secara kebudayaan maupun emansipasi Indonesia, Ibu Kita Kartini. ideologi. Secara dekonstruktif, Putu Wijaya telah Teori ini menggunakan gagasan melakukan perombakan ikon R.A. Kartini feminisme pascakolonial. Perempuan yang menjadi sosok yang kontemporer dan dekat dengan konteks feminisme, dalam cenderung dipandang negatif oleh orang- era postmodern tidak lagi menitikberatkan orang Indonesia—yang terlanjur pada bagaimana perempuan bisa tertindas menggagahkannya sebagai seorang tokoh oleh konstruksi budaya patriarki. Akan penting. Tokoh Kartini dalam cerpen tetapi, lebih mempertanyakan bagaimana “Kartini” oleh Putu Wijaya digambarkan kita mengonstruksi konsep perempuan. dengan perawakan dan penampilan ala Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa Barat serta pemikiran ala Barat pula. postmodernisme tidak menawarkan “Kostum” tradisi Jawa pada Kartini yang jawaban atas pertanyaan fundamental selama ini melekat dalam dirinya, oleh keilmuan feminis, yaitu “Dan bagaimana Putu Wijaya diubah menjadi sosok Kartini dengan para perempuan?” yang lebih modern. Kartini pada awalnya Postmodernisme justru meresponsnya memang dikisahkan mengenakan dengan balik bertanya, “Bagaimana Anda “kostum” kebesarannya, selanjutnya mengonstruksi kategori atau konsep dikisahkan Kartini berganti pakaian dan „perempuan‟?” (Ritzer dan Goodman, aksesoris yang tidak lagi tradisional. Cara 2010:520). berpikir Kartini pun, oleh Putu Wijaya dipertahan dengan gaya Barat yang penuh METODE PENELITIAN kebebasan dalam menentukan pilihan- pilihan. Penelitian ini merupakan penelitian Berbicara tentang kebebasan dalam secara kualitatif dengan objek material menentukan pilihan yang menjadi main

RESISTANSI PENGARANG MELALUI KONSTRUKSI PEREMPUAN TIMUR | 125 DALAM “KARTINI” KARYA PUTU WIJAYA Apri Damai Sagita Krissandi1, Anggitya Alfiansari2, Kelik Agung Cahya Setiawan3

concept atas pemikiran Kartini yang sejarah. Tentunya, sejarah bergantung pada terpengaruh Barat, mengingatkan akan siapa yang memiliki kuasa. penulisan ulang Declaration of Berbicara sedikit tentang sejarah, Independence yang oleh penandatangan kehidupan di sekitar Kartini memang didapati bunyi sebagai berikut. terkuasai oleh praktik-praktik patriarkat, “Kita berpegang teguh pada keyakinan ini yakni sistem sosial yang memberikan sepenuhnya: bahwa seluruh laki-laki dan posisi dominan bagi laki-laki sebagai perempuan [„dan perempuan‟ adalah sebuah kelompok untuk mengendalikan tambahan] diciptakan setara; bahwa hak- perempuan. Laki-laki berposisi sebagai hak tersebut antara lain hak hidup, superior, sedangkan perempuan sebagai kebebasan, dan hak untuk mencapai inferior. Itu mengapa Kartini pada kebahagiaan; bahwa untuk menjamin hak- akhirnya memberanikan diri untuk hak ini dibentuk pemerintahan [„di mengusung emansipasi sebagai tanda kalangan laki-laki‟ dihapuskan], yang kebebasan pikir kaum perempuan. Dalam mendapatkan kekuasaannya atas kasus ini yang dititikberatkan adalah sepersetujuan yang diperintah” (Ritzer; perihal pendidikan. Feminisme liberal Goodman, 2010:499). melihat perubahan dengan optimis melalui Hal tersebut merupakan bentuk protes pembukaan lapangan pekerjaan, atau sebut saja pemberontakan kaum kesempatan pendidikan, hingga posisi perempuan yang tergolong dalam jenis politik formal bagi perempuan (Walby, feminisme liberal. Feminisme liberal hadir 1990:32). dalam diri Kartini, baik tokoh Kartini Disebutkan oleh Lewis dan Mitts dalam “Kartini” maupun tokoh Kartini (2003:2) dalam jurnal Susanto bahwa sebagai pahlawan emansipasi Indonesia, hubungan antara pascakolonial dan feminis keduanya tidak bisa terlepas dari dapat menjadi suatu sintesis, yakni cengkraman pascakolonial. persatuan antara keduanya untuk Feminisme liberal berargumen bahwa memasuki berbagai isu tentang gender. perempuan dapat mengklaim kesetaraan Atau dengan kata lain, resituasi antara dengan laki-laki berdasarkan kemampuan feminis dan pascakolonial menghasilkan hakiki manusia untuk menjadi agen moral feminis. Pascakolonialisme masih yang menggunakan akalnya, yakni bahwa menekankan pada arus utama teori ketimpangan gender adalah akibat dari pascakolonialisme. pola pembagian kerja yang seksis dan Dalam feminisme pascakolonial atau patriarkal dan bahwa kesetaraan gender dapat pula disebut dengan feminisme dapat dihasilkan dengan Dunia Ketiga, feminis ini lahir sebagai mentransformasikan pembagian kerja wacana tanding feminis yang dicanangkan melalui pemolaan ulang institusi-institusi oleh Barat sebagai produt kapitalisme kunci hukum, kerja, keluarga, pendidikan, dan/atau kolonialisme dengan dalih dan media (Ritzer; Goodman, 2010:498). membentuk konstruksi perempuan Timur Feminisme liberal menekankan pada sesuai yang dikehendaki oleh mereka. kuasa rasionalitas perempuan, yakni Sehingga, dapat disebut bahwa gerakan kebebasan dan persamaan berakar pada feminis yang digalakkan oleh R.A.Kartini rasionalitas, atau dengan kalimat lain juga bagian dari feminisme sebagai agen bahwa perempuan adalah makhluk kolonialisasi. rasional. Perempuan harus dididik bersaing Kartini telah disalahartikan oleh merebut kesempatan maskulinitas. Di luar kebanyakan masyarakat Indonesia dengan negeri pada abad ke-18 marak dengan perayaan mereka yang tidak masuk akal. tututan pendidikan yang sama. Sementara Dalam kasus tersebut Putu Wijaya hadir baru ketika Kartini muda mulai dalam “Kartini”-nya untuk menegaskan tersuarakan kesetaraan yang dicatat oleh

126 | Jurnal Kredo Vol. 3 No. 1 Oktober 2019

bahwa Kartini adalah sewujud konsep, seperti yang digaungkan oleh feminisme bukan sekadar seremoni. Konstruksi citra pascakolonial dan bukannya berkutat pada perempuan Timur yang terwakili melalui pertanyaan-pertanyaan perihal kesetaraan, tokoh Kartini pun ia hadirkan secara secara eksplisit yang diterangkan melalui dekonstruktif, yakni dengan perawakan ala dialog antartokoh, Putu Wijaya memberi Barat yang ironisnya lebih berterima di alternatif akan citra diri perempuan Timur masyarakat. yang cerdas secara intelektual tanpa perlu Saya berpaling. Seorang wanita cantik membatasi tubuhnya dengan aksesoris berdiri menyemburkan parfum yang segar. tertentu sehingga menunjukkan Ia memakai T-shirt ketat yang terlalu eksistensinya sebagai perempuan. pendek sehingga perutnya tak tertutup. Perempuan dalam kaca mata pengarang Blue jean yang melilit pinggangnya be