SEMINAR NASIONAL LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

ARSITEKTUR KRATON : WUJUD KOMUNIKASI DENGAN BUDAYABARU

Satrio Hb Wibowo1 )dan Tri Yuniastuti2) Jurusan Arsitektur UniversitasWidyaMataram Yogyakarta Email: [email protected] 1) Email: [email protected])

ABSTRACT

Kraton Yogyakarta is the cultural center of Java and Java as well as the center architecture, there are other forms of Javanese arsisitektur nothing outside the , even the top of Java architecture found in the palace of Yogyakarta.

As the center of Javanese architecture since the court was established (1756), it turns out he was not closed to the outside world culture but rather to open up. This happens especially when ditahun 1921- 1939 reign of Sri Hamengkubuwono VIII. In those days the Palace open to new cultures that brought the Dutch to khsususnya European classical and modern architecture. Communication happens is by accepting and entering into the European Classical architecture Kingdom and subsequently merged to diJawakan. The result is a blend of two styles of architectural unity. Alloy was even used as well in important functions and key at the Palace such as the face in front of the Exhibition hall of the palace, where the inauguration of the king, the king reigns (ward Kencana) and the other elements.

In the study, used methods based on grounded theory is based on empirical research. Results comunication architecture is happening diversity of architectural styles in Yogyakarta Palace, which includes the Java architecture, European Classical architecture, Modern architecture, and a mixture of all three. The diversity of architectural styles are achieved by pooling efforts with Javanese architectural style as the unifying element. The diversity of architecture is eventually form a new identity.

Keyword: Kraton Yogyakarta, Java architecture, European Classical architecture, Modern architecture, Communications and the mix of architecture, identity.

ANTROPOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 204

SEMINAR NASIONAL LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

1. PENDAHULUAN KratonKasultanan Yogyakarta merupakan kraton Jawa yang berdiripadatahun 1755, sebagaihasildariperjanjianGiyantiantaraPangeranMangkubumidanSunanPakuBuwono III (Raja Mataram di Kartosuro) yang diprakarsaiolehpemerintahHindiaBelanda (EkoPuntoHendro G.,2003). Sebagai Kraton yang berbasis Jawa maka tentu saja wujud fisik arsitekturalnyapun juga berdasar pada arsitektur bergaya Jawa sebagai arsitektur utama; dan hingga kini keberadaannya masih eksis. Menurut Tri Yuniastuti dkk (2009,2010) dalam penelitiannya tentang arsitektur Jawa di Kraton Yogyakarta, tipologi arsitektur Jawa yang ada dan berkembang di dalamnya adalah tipologi bangsal dengan jenis atap limasan, dan dengan berbagai variannya.

Melalui proses perjalanan waktu yang panjang, arsitektural kraton Yogyakarta diperhadapkan pada munculnya budaya-budaya baru khsusunya kolonial dan modern yang masuk dan berkembang di Yogyakarta.Keberadaan Budaya Kolonial yang telah lama bercokol di Nusantara membawa arsitektur Klasik Eropa / kolonial (Tri Yuniastuti dan Satrio HB Wibowo, 2007) dan modern membawa arsitektur modern awal. Keberadaan arsitektur-arsitektur baru di Yogyakarta pada akhirnya direspons oleh Kraton Yogyakaarta dengan mengadopsi unsur-unsur arsitektur tersebut menjadi bagian integral Kraton Yogyakarta. Agar terjadi komunikasi yang seimbang antara arsitektur Jawa dan arsitektur baru di lingkungan Kraton Yogyakarta maka dilakukan sistem substitusi terhadap arsitektur baru tersebut. Substitusi ini dilakukan dari berbagai elemen mulai dari bentuk, fungsi, hingga melalui pencampuran dengan elemen- elemen arsitektur Jawa sehingga membentuk arsitektur baru.Proses adopsi dan substitusi tersebut dilakukan secara besar-besaran dan berlangsung selama 18 tahun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII tahun 1921-1939. Efek dari semua itu adalah terjadinya keragaman arsitektur di lingkungan kraton Yogyakarta sehingga memperkaya arsitektur Kraton Yogyakarta.

2. AKAR ARSITEKTUR KRATON YOGYAKARTA Akar dari arsitektur Kraton Yogyakarta adalah arsitektur Jawa; hal tersebut sesuai dengan keberadaannya yang berada di wilayah Jawa. Berbagai nara sumber memperkuat hal tersebut (Anonim, 1991; Eko Punto Hendro, 2001; Jo Santoso, 2008; Satrio HB Wibowo, 2010, Tri Yuniastuti dkk, 2009-2010). Ciri utama dari arsitektur Jawa yang terdapat pada bangunan- bangunan Kraton Yogyakarta adalah adanya tipologi bentuk atap berjenis limasan, joglo dan tajug dengan berbagai variannya. Ciri penting lainnya adalah bahwa penggunaan tipologi tersebut diikuti dengan tipologi bangunan yang berupa pendapa atau bangunan terbuka dan gedhong (bangunan tertutup)(Satrio HB Wibowo, 2010).

Pada tipologi pendapa, bangunan bersifat terbuka tanpa partisi dengan struktur utama rangka; dan oleh karenanya bentuk bangunan tipologi pendapa ini terbentuk atas komposisi lantai bersusun di bagian bawah-rangka (kolom dan balok) di bagian tengah (badan) dan atap di bagian atas. Dilihat dari sisi eksterior maka bentuk bangunan tipologi pendapa akan terlihat sederhana/bersahaja seperti halnya kebersahajaan masyarakat Jawa. Kemewahan estetis justru akan diperoleh dalam interior bangunan. Di sini eternit mengikuti garis atap sehingga volume bangunan menjadi besar dan luas. Disamping itu setiap rangka bangunan di hiasi oleh ornamen relief gaya mataraman (Jawa) dengan penuh simbolik sehingga menambah kesemarakan ruangan bangunan.

ANTROPOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 205

SEMINAR NASIONAL LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

Disisi lain, dari hasil penelitian Tri Yuniastuti dkk, (2009-2010) ditemukan adanya kekhasan yang berupa adanya regulasi dalam olah arsitektur. Regulasi tersebut adalah adanya: 1) hirarki; 2)kesamaan; 3)orientasi dan 4)perletakan. Dari sisi hirarki bangunan, terdapat regulasi hirarki yang didasarkan bukan pada besar kecilnya bangunan namun pada lengkap tidaknya ornamen dalam bangunan. Keberadaan ornamen Jawa di pendapa akan memberikan simbol penting tidaknya suatu bangunan mengemban fungsi. Semakin lengkap dan banyak ornamen yang ada pada pendapa maka bangunan itu merupakan bangunan sangat penting yaitu bangunan untuk Raja; misalnya bangsal Manguntur Tangkil yang penuh ornamen berfungsi sebagai tempat pelantikan raja. Dan demikian sebaliknya, pendapa yang minim hingga tidak ada ornamen maka bangunan tersebut hanya mengemban fungsi sederhana; misalnya seperti bangsal Pecaosan (tanpa ornamen) berfungsi sebagai ruang jaga/pendukung.

Dari sisi kesamaan, terdapat banyak bangunan yang memiliki kesamaan (kembar). Keberadaannya senantiasa saling berhadapan, mengapit, dan berdampingan. Bangunan- bangunan yang “berhadapan”, “mengapit”, dan “berdampingan” selalu dipisahkan oleh garis Utara-Selatan sebagai Poros utama Kraton Yogyakarta. Poros itulah yang menjadi orientasi bangunan-bangunan yang saling “berhadapan”, “mengapit”, dan “berdampingan” baik langsung maupun tidak langsung.

Sedangkan dari sisi peletakannya, bangunan-bangunan pendapa berada di garis poros dan di samping poros. Bangunan pendapa yang berada di garis poros memiliki nilai atau derajat tinggi dan penting (bangunan utama) seperti bangsal Manguntur Tangkil, Witono, dan Ponconiti. Sedangkan bangunan di samping kanan-kiri poros dianggap sebagai bangunan pendukung seperti bangsal Trajumas, Pengapit, Kori, maupun Srimanganti.

Bangsal Witono Interior BangsalWitono MangunturTangkil

BangsalSrimanganti BangsalKsatriyan BangsalPengrawit

ANNTROPOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 206

SEMINAR NASIONAL LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

BangsalKencana Interior BangsalKencana BangsalKori

BangsalKemandungan BangsalKemagangan Interior BangsalKemagangan

Bangsal Trajumas Interior bangsal Pengapit Bangsal Pengapit Wetan

Gambar 1 : Karakteristik Arsitektur Bangsal/Pendapa Kraton Yogyakarta

Berbeda dengan bangunan bangsal yang bersifat terbuka, bangunan gedhong bercirikan tertutup dengan penutup utama berupa dinding dari bahan batu bata yang diplester. Pada umumnya bangunan gedhong ini menggunakan tipologi jenis atap limasan dan tajug.

Masjid Panepen Interior Masjid Panepen GedhongSarangbaya

ANTROPOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 207

SEMINAR NASIONAL LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

BangunanPendukungGedhong BangunanPendukungGedho GedhongBalaPecah siliran ngsiliran

Gambar 2: Karakteristik Arsitektur Gedhong Kraton Yogyakarta

3. WUJUD KOMUNIKASI DENGAN BUDAYA BARU

Proses perjalanan panjang Kraton Yogyakarta, telah melintasi berbagai jaman atau kebudayaan yaitu kebudayaan Jawa, Kolonial dan Modern. Pertemuan dengan berbagai budaya tersebut terjadi terutama pada jaman kerajaan dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (1921), dimana budaya kolonial dan modern yang dibawa Belanda mulai berkembang di Yogyakarta khususnya berupa bangunan-bangunan berarsitektur Klasik Eropa. Pertemuan dua model kebudayaan yang berbeda tersebut membentuk komunikasi dimana Kraton berinisiatif berkomunikasi dengan cara adaptif, adopsi dan substitusi. Proses pembentukan perwujudan komunikasi tersebut berlangsung selama 18 tahun (1921-1939) yang diwujudkan dalam pengolahan arsitektur Kraton yang berbasis Jawa untuk selanjutnya dikombinasikan dengan arsitektur Klasik Eropa dan Modern.

Elemen-elemen dari arsitektur Klasik Eropa yang diadopsi adalah kesatuan order Yunani yang meliputi kolom (dorik-korintian)-entablature-pedimen; lengkungan Romawi hingga Kristen Awal. Hasil adopsi tersebut selanjutnya di substitusi sesuai dengan pola dan konsepsi yang diinginkan. Agar hasil pengolahan tersebut dapat adaptif dan terjadi komunikasi dengan arsitektur Jawa maka banyak elemen jawa khususnya ornamen yang dimasukkan untuk dilebur menjadi satu kesatuan bentuk arsitektural. Demikian juga yang terjadi dengan sistem komunikasi dengan arsitektur modern; hal ini ditunjukkan dengan penggunaan bahan-bahan besi dan baja mulai dari besi baja polos, baja I hingga besi baja berornamen.

Hasil dari semua itu adalah hampir semua bangunan yang ada di Kraton ditemukan adanya ciri elemen-elemen arsitektur Klasik Eropa dan Modern tak terkecuali bangunan-bangunan penting/utama Kraton seperti bangsal Kecana, Ksatriyan, Srimanganti, Gedhong Jene, Sitihinggil, hingga Pagelaran. Unsur-unsur dari arsitektur Klasik Eropa dan Modern yang diadopsi dalam bangunan di Kraton adalah mulai dari kolom besi polos dan berornamen, pagar besi, struktur atap besi, bentuk order Yunani dan kelengkapannya hingga fasad dari arsitektur Kristen awal.Sekalipun diupayakan penjawaan terhdap unsur-unsur dari arsitektur luar namun masih banyak juga adopsi secara utuh tanpa dilakukan kombinasi; oleh karenanya agar terjalin kesatuan maka terdapat regulasi penyatuan bangunan-bangunan berarsitektur yang beragam. Konsep penyatuan dilakukan melalui beberapa sistem yaitu: 1)pencampuran; 2)penyandingan frontal; 3)menganekaragamkan di zoning halaman.

ANTROPOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 208

SEMINAR NASIONAL LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

ELEMEN ARSITEKTUR MODERN DAN KLASIK EROPA DALAM BANGUNAN DI KRATON

BangsalPagelarandenganKol Bangsal Siti Hinggil Lor Bangsal Kotak dengan omBesiTuang dengan Kolom Besi Tuang Kolom Besi Tuang dan Struktur Atap Besi

SelasarBangsalSrimanganti Gedhong Gangsa dengan TarubAgungdenganKolo denganKolomBesiTuang Kolom dan Pagar dari Besi mdariBesiTuang

GerbangHidupdenganLengkungan Kesatuan hasil substitusi GubahanPedimendanPedimen Romawi, Pintuhidup, jendelamati, Pedimen, Entablature dan Order padaGedhongJene molding, &pedimen pada Gerbang Danapratapa

GerbangMatidenganJendelamat Entablature KolomDorikpadaOmah i, MoldingdanPedimen padabangsalSitihinggilLor Bangunan

ANNTROPOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 209

SEMINAR NASIONAL LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

RuangJagadenganUnsurPedime KolomDorik di GedhongKopo Entablature n, Molding &Lengkung danPedimen di G

RanadenganunsurPedime KolomDorik di WajahBangunanGedhongRant n, Molding, danPintuMati GedhongPurworetno amArtodenganPedimen,cornic e dan Molding

Gambar 3: Hasil Komunikasi Arsitektur Kraton terhadap Arsitektur Lain.

Gambar 4: Sistem Penyatuan dengan Pencampuran

ANNTROPOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 210

SEMINAR NASIONAL LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

Bangunan Gedhong Bangunan Gedhong Rantam Arto, Patehan, didominasi didominasi oleh oleh unsur-unsur unsur-unsur arsitektur arsitekturTadisional Klasik Eropa Jawa.

Gambar 5: Sistem Penyatuan dengan PenyandinganBerjejer Linier

4. PENUTUP Komunikasi yang telah dilakukan oleh arsitektur Jawa di Kraton Yogyakarta terhadap arsitektur Klasik Eropa dan Modern telah membentuk identitas baru. Bila identitas lama berkarakter Jawa maka identitas baru berkarakter campuranyang disatukan yaitu kesatuan arsitektur Jawa-Klasik Eropa-Modern.

5. DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 1991, Kraton of Java, American Express Foundation. 2. Eko Putro Hendro, 2001, Kraton Yogyakarta Dalam Balutan Hindu, Semarang. 3. J Groneman, 1805, De Garebeg’s Te Ngajogyakarta, Martinus Nijhoff. 4. Jo Santoso, 2008, Arsitektur Kota Jawa, Kosmos, Kultur dan Kuasa, Centropolis, UniversitasTarumanegara, Jakarta. 5. John W. Creswell, 1998, Qualitative Inquiry and Research Design, Sage Publications. 6. Satrio HB Wibowo, 2010, Arsitektur Kraton Yogyakarta: Paduan Gaya Arsitektur Tradisional Jawa dan Modern, Jurnal Ilmiah Padma Sri Kresnha, Vol. 1, No. 14, Universitas Widya Mataram Yogyakarta. 7. Tri Yuniastuti, Sukirman, Satrio HB Wibowo, 2009-2010, Studi Dokumentasi Bangunan Tradisional Jawa Bangsal Kraton Yogyakarta, Penelitian (belum dipublikasikan). 8. Tri Yuniastuti dan Satrio HB Wibowo, 2009, Gaya ArsitekturKlasikEropa: YunanidanRomawiPadaBangunanKratonKasultanan Yogyakarta, JurnalIlmiah Padma Sri Kreshna Vol.1, No. 13, UniversitasWidyaMataram Yogyakarta. 9. YuliantoSumalyo, 2003, ArsitekturKlasikEropa, GadjahMada University Press.

ANTROPOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 211

SEMINAR NASIONAL LIFE STYLE AND ARCHITECTURE (SCAN#2:2011)

10. YuliantoSumalyo, 1997, Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX, GadjahMada University Press. 11. Yvonna S. Lincoln dan Egon G.Guba, 1985, Naturalistic Inquiry, Sage Publications.

ANTROPOLOGI DAN ARSITEKTUR II. 212