Seminar Nasional Sejarah III, 28 Oktober 2017-FKIP Universitas Sriwijaya,

BACAN ZURIAT PALEMBANG YANG “HILANG”

Farida R Wargadalem Faculty of Teacher Training and Education-Sriwijaya University (email: [email protected] )

Abstract This paper aims to explain what caused the displacement of the Palembang zuriat from to Bacan? What is their current condition, and what are their expectations? The results of field research indicate that the displacement was because they wanted to find a new life, apart from the shadow of Dutch colonial control, married to a local woman. When they generally live as fishermen, laborers and a little as employees with economic levels that are less so good. What about their character as Palembang people? It turns out that they generally can not speak Palembang, do not know and use the tradition of Palembang, even they have not used again greeting "yai-nyai" to call grandparents, and other saapan that characterize Palembang. Nevertheless, it turns out they still leave "sambal Palembang", "dabu-dabu Palembang". Also comes “duku” and “kamplang” that is laid out is derived from Palembang, which brought by their luluhur to it. Hope is to visit Palembang as their ancestral land, the existence of associations that can unite them there, and move or change the condition of Palembang's grave cemetery from the current condition that is always hit by flood.

Keywords: Diaspora, Bacan, Zuriat, Economy, Education.

PENDAHULUAN selatan dengan Laut Seram, sebelah timur Kepulauan Maluku memiliki empat dengan Laut , dan disebelah kerajaan yang dinamai Jazirat Al-Mulk barat dengan Laut Maluku. Sejak beberapa atau Jazirah Tuil Jabal Muluk. Istilah tahun lalu ibu kotanya terdapat di Sofifi yang berasal dari Bahasa Arab ini Halmahera. (BPS Provinsi Maluku Utara, bermakna “negeri para raja-raja”. Semua 2016: 9-10). itu disebabkan di sana berdiri kokoh empat Mayoritas kerajaan yang salah satunya adalah pendudukmenggantungkan hidupnya pada Kerajaan Bacan (tiga lainnya adalah produksi rempah-rempah (Pala), Ternate, dan ). Kesultanan menangkap ikan, kerang,dan lainnya. Bacan sendiri memiliki wilayah yang Sebagai kota kecil, otomatis membentang dari Pulau Bacan dan pulau- berbeda dengan Ternate dan Ambon yang pulau di sekitarnya hingga Raja Ampat sama-sama berkedudukan sebagai ibu kota Papua. Saat ini pulau ini menjadi pusat provinsi dan dua kota besar terbesar di pemerintahan Kabupaten Halmahera kepulauan Maluku.Meskipun demikian, Selatan,Provinsi Maluku Utara dengan ibu Bacan sangat terkenal khususnya di kota Labuha. Wilayah provinsi Maluku kalangan penggemar “perbatuan”. Satu- Utara berada pada tiga derajat lintang satunya kota di yang memiliki selatan, dan tiga derajat lintang utara, jembatan yang terbuat dari batu Bacan serta 124 derajathingga 129derajat bujur yaitu jembatan yang membelah sungai di timur. Batas-batas wilayahnya, sebelah sana, batu-batu Bacan disusun utara dengan Samudera Pasifik, sebelah sedemikianrupa dan disemen. Selain itu, 10

Seminar Nasional Sejarah III, 28 Oktober 2017-FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang terdapat pula bongkahan batu seberat 1.5 utama semakin bersemangat untuk juga ton, yang ditempatkan di halaman istana mendapat “jatah” dari kemakmuran itu. sultan Bacan. Diharapkan batu besar itu Upaya itu mendapatkan jalan dengan dapaticon kota Bacan. pendudukan atas Batavia 1811, diikuti Bacan mempunyai hubungan menduduki Palembang pada 1812. khusus dengan zuriat Palembang di Pendudukan itu membawa dampak negatif Maluku, sebab di pulau ini terdapat yang berakibat fatal bagi kesultanan ini beberapa keturunan Palembang yang telah yaitu menganganya permusuhan antara dua mukim dari generasi ke generasi. saudara yaitu Sultan Mahmud Badaruddin Membahas zuriat Palembang di Bacan II dan adiknya Sultan Ahmad Najamuddin menemukan sesuatu yang unik. Ada II. Konflik ini terus berlarut dengan kondisi yang minus, namun dibalik itu ada melibatkan Belanda dan Inggris yang kekuatan yang membuatnya menjadi plus. justru menjadi pion dalam konflik tersebut. Dikatakan minus karena terlihat adanya Turun naiknya penguasa seolah menjadi perbedaan yang nyata jika dibandingkan hal yang lumrah di Kesultanan Palembang, dengan zuriat lainnya (Ternate dan hingga akhirnya Sultan Najamuddin II Ambon), yang sama-sama berfungsi dibuang ke Batavia 1818. Meskipun sebagai “penampung” zuriat Palembang demikian, Sultan Badaruddin II masih yang dibuang ke sana sejak abad 19, dihadapkan pada dominasi Belanda yang sebagai akibat dari perjuangan heroik yang makin mencengkeram, sehingga muncul telah dilakukan dalam tiga kali peperangan upaya untuk melepaskan diri. Semua itu antara Kesultanan Palembang dan berujung pada dua kali peperangan pada Belanda. tahun 1819 yang semuanya dimenangkan Kesultanan Palembang (abad 17- oleh Palembang. Atas kekalahan tersebut, 19) muncul sebagai pelanjut dari kerajaan Belanda bersiap diri dengan sungguh- Palembang yang telah sirna, akibat sungguh menuntut balas dalam peperangan serangan dan peperangan yang berujung Juni 1821. Peperangan ini merupakan dengan dibimuhanguskannya pusat peperangan terbesar dan terakhir dalam kekuasaan rajanya yang terakhir yaitu sejarah Kesultanan Palembang. Palembang Pangeran Sido Ing Rajek (1659). akhirnya harus mengakui kekuasan Kesultanan Palembang dikibarkan oleh Belanda, meskipun secara formal penguasa pertamanya yaitu Sultan Abdul keberadaan Sultan Ahmad Najamuddin Rachman Khalifatul Mukminin Sayyidul Prabu Anom masih diakui hingga akhirnya Imam (1659-1702). Pada masanyalah dihapuskan pada penghujung 1825. Palembang mengibarkan kemandirian (Wargadalem, 2017). lepas dari , dan pengakuan agama Bagaimana dengan Sultan Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari Badaruddin II yang dibuang ke Ternate? kerajaan ini. Sejak itu, Palembang terus Sebagai orang buangan, Sultan dan menapak menjadi salah satu kerajaan yang kerabatnya ditempatkan di dalam benteng diperhitungkan, dan posisi itu semakin Oranye, yang merupakan benteng tertua strategis dengan penemuan dan milik Belanda di sana. Selanjutnya, pengembangan timah awal abad 18. dipindahkan ke luar benteng dan Pengembangan timah menjadikan menempati sebuah lokasi yang ekonominya semakin kuat dari sebelumnya bersebelahan langsung dengan benteng, yang hanya bertumpa pada lada, dan yang bertujuan untuk memudahkan produk hutan lainnya. Keadaan tersebut pengawasan. Kondisi itu terus berlangsung juga berdampak pada hubungan yang hingga Sultan Badaruddin II wafat pada semakin “intens” dengan Belanda. Kondisi tahun 1852, genap tiga puluh tahun Sultan itu membuat Inggris sebagai pesaing hidup di pengasingan, sebuah kurun waktu

11

Seminar Nasional Sejarah III, 28 Oktober 2017-FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang yang sangat panjang. Dua belas tahun seolah menjadi “ciri” sebagian dari mereka kemudian pemerintah Belanda memberi yaitu menjadi pengacara di ibu kota. peluang pada sebagian dari keturunan Faktor yang juga sangat menentukan Sultan untuk kembali ke Palembang. adalah pendidikan. Banyak para pelajar ke Sebagian menerima tawaran itu, namun kota-kota besar di Pulau Jawa untuk sebagian lainnya menolaknya karena menuntut ilmu. Hasil penelitian yang mereka telah mempunyai kehidupan yang dilakukan oleh Lembaga Demografi UI baru. Kurun waktu 42 tahun telah (1998), terdapat beberapa faktor terjadi melahirkan beberapa generasi. Dalam perpindahan suatu kelompok masyarakat perjalanannya sebagian dari mereka di Indonesia yaitu ekonomi, konflik, menetap di Banyuwangi, sebagian lainnya bencana alam, kebijakan politik menetap di Mentok Bangka, dan daerah pemerintah.Dalam kaitan dengan Sultan lainnya, serta ada pula yang mampu Badaruddin II dan keturunannya, maka mencapai tanah leluhur Palembang. faktor yang mengemuka hanya satu yaitu (Wawancara dengan Bapak R Rachmat pembuangan, akibat melakukan Mas Agus, 27 September 2016). perlawanan terhadap pemrintah kolonial Membahas tentang perpindahan Belanda ketika itu.Uniknya, ternyata sebuah kelompok bangsa, baik yang pembuangan itu tidak hanya sekali terjadi terpaksa atau atas kemauan sendiri yaitu tahun 1821, namun juga tahun 1825 menjadi menarik unruk ditelusuri. ketika Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Diaspora orang-orang Arab (Hadramaut) Anom menyerahkan diri, sehingga dibuang di Nusantara, memunculkan sebuah teori ke Banda Maluku, untuk selanjutnya bahwa para pendatang tersebut berbaur dibuang lagi ke . Tahun 1881 dengan masayarakat setempat, agar untuk yang terakhir kalinya juga terjadi kehadirannya diterima. Meskipun pembuangan, sebagai akibat upaya demikian, mereka masih mempertahankan memberontak oleh zuriat Sultan di sebagian kultur mereka yang mereka bawa Palembang telah Belanda ketahui sebelum dari tanah leluhurnya sebagai sebuah pemberontakan itu meletus. Akibatnya upaya mempertahankan identitas. Identitas diasingkan ke , , Ambon, yang dimaksud antara lain, adat istiadat, Ternate, Kajaeli (Pulau Buru), Banda, pola pemukiman, kuliner, pakaian, juga Manado dan lainnya. adanya larangan bagi kaum perempuan Diaspora yang terjadi pada untuk menikah dengan lelaki bukan masyarakat Palembang ini, disebabkan keturunan Arab dalam rangka faktor politik. Di mata pemerintah kolonial mempertahankan darah dan budaya. Belanda mereka adalah orang yang Padahal jelas secara etnik mereka berbeda membahayakan, sehingga harus dengan penduduk asli Nusantara (Berg, diberangus, dan diasingkan ke daerah- 1997). daerah yang sangat jauh. Dalam kondisi Penelitian yang berkaitan dengan demikian, tidak mungkin mereka dapat diaspora yang berhubungan dengan kembali ke tanah leluhur mereka. Di masalah ekonomi terjadi hampir disemua pengasingan, komunitas masyarakat perpindahan penduduk di Indonesia. Hal Palembang ini juga hidup berbaur dengan ini jelas terlihat pada suku Minang, Bugis, masyarakat sekitar, sehingga terjadilah Jawa, Buton, Batak dan lainnya. Khusus akulturasi bahkan asimilasi. Bagaimana untuk suku Jawa, yang banyak berperan dengan masyarakat zuriat Palembang di adalah pemerintah dengan adanya program Kepulauan Maluku? Apakah mereka tetap Transmigrasi semasa Orde Baru. mempertahankan budaya keraton sebagai Sedangkan suku Batak, selain disebabkan tradisi asal mereka, atau telah berubah oleh faktor ekonomi juga ada hal yang sama sekali menyesuaikan diri dengan

12

Seminar Nasional Sejarah III, 28 Oktober 2017-FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang budaya masyarakat setempat, apalagi Kepulauan Maluku (Ternate, Bacan dan keberadaan mereka di sana karena Ambon), dapat dipastikan bahwa hampir terpaksa, dibuang oleh kolonial Belanda. disemua pulau-pulau di Maluku (Maluku Pendapat tersebut akan coba dihubungkan dan Maluku Utara, bahkan hingga dengan permasalahan berikut yaitu “apa Kaimana Papua) terdapat orang-orang yang melatarbelakangi terjadinya Palembang yang telah menetap di berbagai perpindahan zuriat Palembang di Bacan? lokasi itu secara turun temurun. (Rosmaida Selain itu, juga untuk melihat kondisi dan Wargadalem, 2014). terkini masyarakat Palembang di Bacan? Beberapa faktor yang menyebabkan mereka pindah, salah PEMBAHASAN satunya adalah mencari kehidupan baru, 1. Perpindahan ke Bacan dan menemukan jodoh ditempat yang baru, Sebagaimana awal pembuangan hingga beranak pinak di sana. Faktor lain mereka di Ternate, maka dari sinilah yang tidak kalah pentingnya adalah mereka memandang laut di sekitarnya, dan keinginan untuk hidup bebas lepas dari meniru kebiasaan penduduk setempat bayang-bayang pengawasan Belanda. Hal mengarungi pulau-pulau terdekat ini dapat dibuktikan dengan “enggan” nya (Halmahera). Pada perkembangannya mereka memakai gelar “Raden” untuk komunitas ini mulai menyebar ke pulau- kaum lelaki dan “Raden Ayu” untuk pulau lain di seantero Maluku, diantaranya perempuan di depan nama mereka, seolah ke Pulau Bacan. Di wilayah baru mereka ingin membuang semua memori tentang bersosialisasi, dan terjadi akulturasi asal usul mereka. Hal initelah terjadi sejak bahkan asimilasi dengan masyarakat zaman kakek mereka yang merupakan setempat. Kapan terjadinya perpindahan orang-orang awal yang pindah dari Ternate pertama kali terjadi? Belum dapat ke Bacan. (Wawancara dengan Ibu diketahui, berbagai sumber lisan Tjenti,24 Juli 2017). menyebutkan telah terjadi perpindahan Mereka juga “melupakan” tradisi sejak zaman kakek-nenek mereka, keraton yang selama ini melekat, seperti sedangkan yang berbicara saat ini usianya upacara perkawinan dengan segala pakaian dalam kategori “kakek dan nenek” pula kebesarannya, tidak menggunakan Bahasa yaitu usia enam puluhan. Dengan Palembang dalam berkomunikasi, kuliner demikian, dapat disimpulkan bahwa dan lainnya. Seolah mereka “mengubur” perpindahan ke Bacan telah terjadi pada semua kenangan dan identitas sebagai akhir abad 19. Bisa jadi generasi pertama bangsawan Palembang, tidak sedikit dari dan kedua dari pembuangan 1881, atau mereka yang menekuni agama Islam, malah generasi sebelumnya yaitu menjadi guru ngaji. Bahkan sebagian dari pembuangan 1822. Hal ini diketahui dari mereka jika ditanya “orang mana?”, maka keterangan ibu Zubaidah yang telah mereka menjawabnya bahwa mereka orang berusia 80 tahun. Beliau menuturkan Bacan. Uniknya semua orang Bacan bahwa ia lahir di Pulau Bacan. Ayahnya mengetahui bahwa mereka orang bernama R. Arsad menikah, sedangkan Palembang, tidak jarang nama Palembang ibunya yang asli Bacan bernama Maryam. dilekatkan oleh penduduk setempat di (Wawancara dengan Ibu Zubaidah, 25 Juli belakang nama mereka. Kondisi itu sudah 2017). lama terjadi yaitu sejak zaman kakek atau Pulau Bacan hanya satu diantara yai mereka (ketika yai nya wafat Bu Tjenti pulau-pulau yang menjadi incaran mereka masih kecil, kini usianya 60 tahun). Hal ini untuk mencari kehidupan baru. masih berlangsung hingga kini pada Berdasarkan penelitian lapangan 20 Juli sebagian zuriat Palembang di sana hingga 2 Agustus 2017 di tiga lokasi di (wawancara dengan Bu Tjenti, 24 Juli

13

Seminar Nasional Sejarah III, 28 Oktober 2017-FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang

2017; Wawancara dengan Bapak R. dari sultan Bacan1. Selain itu, guru Rachmat Mas Agus, 21 Juli 2017). spiritual Sultan Bacan ke-8 yaitu Sultan Sebagaimana dijelaskan di atas Muhammad Usman Syah adalah Habib bahwa salah satu yang mengikat mereka Ahmad bin Abdullah bin Umar Assegaf pindah dan menetap di Bacan adalah (wafat tahun 1936, dimakamkan di pernikahan dengan perempuan setempat. kompleks pemakaman sultan-sultan Bacan Dalam tradisi Palembang kawin campur di belakang masjid sultan), yang hanya diperbolehkan bagi kaum lelaki, tapi merupakan cicit dari Sultan Badaruddin II. tidak untuk perempuan, mereka harus Habib Ahmad menikah dengan adik Sultan menikah dengan laki-laki zuriat bernama Boki Nur’aini. Pernikahan itu Palembang. Anak gadis zuriat Palembang melahirkan anak bernamaHabib Husein umumnya harus menikah dengan sesama bin Ahmad bin Abdullah Assegaf, wafat zuriat (kelompok “Raden Ayu” hanya tahun 1970-an (makamnya terdapat di menikah dengan dengan golongan kompleks pemakaman zuriat Palembang di “Raden” demi menjaga darah, harus satu Bacan). Bukti lain, hingga kini rumah- keturunan. Kondisi ini sebagian telah rumah mereka berada di sekitar kompleks berubah saat ini, yakni dibebaskannya istana Sultan Bacan. (Wawancara R. anak gadis mereka menikah dengan suku Ahmad, R A. Tjenti, dan R. Ibrahim, 24 lain (Wawancara dengan Ibu Tjenti, Ibu Juli 2017). Zubaidah, 24 Juli 2017) Jika ditilik lebih lanjut, kondisi mereka saat ini juga tidak dapat dilepaskan 2. Kondisi Terkini Zuriat Palembang dari kondisi umum penduduk di Labuha di Bacan yaitu nelayan. Namun, jika sebagian Zuriat Palembang di Bacan lainnya sudah menggeliat mengembangkan umumnya berada pada posisi ekonomi ekonomi sebagai pedagang, pengusaha menengah ke bawah, dengan tingkat hotel dan penginapan, rumah makan di pendidikan para orang tua tidak tamat pinggir-pinggir jalan, pasar dan lokasi Sekolah Menengah Pertama (SMP). strategis di pinggir pantai (lokasi yang Pekerjaan yang mereka geluti sangat indah dan mulai berkembang umumnyanelayan, tukang batu, buruh sebagai objek rekreasi bagi penduduk bangunan, dan sedikit bekerja sebagai setempat dan pendatang atau wisatawan). Pengawai Negeri Sipil (PNS). (Wawancara Hal ini tampaknya tidak atau belum dengan dengan Ibu RA. Nursanti, 21 Juli terpikir oleh mereka untuk bergerak di 2017; Bapak R. Ahmad Bachtiar, 24 Juli bidang yang sama, padahal lokasi rumah 2017). Dari data di atas, jelas bahwa mereka sebagian dekat dengan pantai yang kondisi ekonomi zuriat Palembang di begitu indah. Rendahnya pendidikan Bacan menunjukkan sebagian besar berada seolah tidak memberi mereka “peluang” tingkat ekonomi yang relatif rendah. Saat lain selain beberapa pekerjaan yang telah ini generasi mudanya mulai bersekolah mereka geluti turun temurun. Contoh lain (sekolah menengah, dan tengah menempuh adalah Muhammad Sadiq (namanya sama pendidikan strata satu). Jika dirunut ke dengan kakeknya, yang namanya belakang, ternyata keberadaan zuriat

Palembang di Bacan menduduki posisi 1Sultan Sultan Muhammad Usman Syah (1901- yang cukup terpandang. Banyak dari zuriat 1935), menikahi Raden Ayu Aini Khadijah. Nama Palembang yang menikah dengan ningrat aslinya adlah Raden Ayu Khadijah, tapi Sultan Kesultanan Bacan, bahkan terdapat puteri menambahkan kata “aini” karena matanya sangat keturunan Palembang yang menjadi istri indah, sehingga namanya menjadi Boki Raden Ayu Aini Chadijah. Dari pernikahan itu lahir Muhammad Sadik/Dede Baba menikah dengan Tatale Iskandar Alam/Shaleha (Wawancara dengan Bapak Ibnu Tufail, 24 Juli 2017). 14

Seminar Nasional Sejarah III, 28 Oktober 2017-FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang dilekatkan pada nama bandara Labuha hanya berjumpa ketika ada acara Bacan), sebagai satu-satunya berdarah perhelatan pernikahan atau kematian. bangsawan Bacan dari zuriat Palembang Beberapa faktor yang menyebabkan terlihat tidak ubahnya dengan penduduk “seolah” budaya Palembang hilang tidak Bacan lainnya yang sederhana. mereka kenali lagi. Sapaan khusus yang Berdasarkan penjelasan sekretaris Sultan ditujukan kepada kakek yaitu “Yai” dan Bacan saat ini Bapak Ibnu Tufail bahwa “Nyai” untuk nenek, serta “Mang” untuk berdasarkan Peraturan daerah (PERDA) saudara yang lebih tua masih dipakai pada tahun 2010, Sultan Bacan ke-21 Ou generasi yang usianya kini sekitar empat Abdulrahman M. Gery Ridwan tengah puluhan, sedangkan anak-anak mereka memperjuangkan “Hak Ulayat”. Upaya tidak memakainya lagi, semuanya tersebut tidak dapat dilepaskan keinginan menggunakan sapaan “tete” dan “nene” untuk mendapatkan kembali tanah-tanah yang artinya kakek dan nenek, serta Kesultanan Bacan yang berpindah tangan “kaka” sebagai pengganti “Mang”. dalam kurun waktu yang panjang setelah Namun, hingga kini generasi orang tua kemerdekaan. Pada masa perang, Kedaton masih menggunakan nama-nama pertama sultan termasuk yang menjadi panggilan “Tji/Tje”, yang menandakan korban pemboman sekutu (kini lokasi itu mereka orang Palembang. (Wawancara menjadi bangunan kantor Pengadilan dengan Nurbaiti, 28 Juli 2017; Ibu Tjenti, Negeri Kabupaten Halmahera Selatan). 24 Juli 2017) Setelah kemerdekaan Sultan Bacan Generasi orang tua (Ibu menjadi Residen di Ternate, selanjutnya Tjenti dan Ibu Nona), cenderung menjaga menjabat Menteri Dalam negeri dari NIT “darah dan budaya” dengan menikahkan (Negara Indonesia Timur). Perjuangan anak perempuan dengan sesama zuriat yang kini tengah diusahakan tidak terlepas Palembang, kini budaya itu telah hilang. dari bukti sejarah bahwa tanah-tanah di Anak-anak gadis mereka bebas menikah pulau Bacan sebagian besar adalah milik dengan etnis manapun asalkan sama sultan. Sebagian tanah-tanah itu dibagi- agamanya. Terjadi kelonggaran dan ini bagikan kepada putera-puteri sultan yang tampaknya hanya berlaku di Bacan, di umumnya memiliki banyak istri. Ternate justru terjadi sebaliknya. Sebagian Contohnya Sultan Muhammad Usman dari mereka ingin agar anak-anak mereka Syah memiliki sembilan istri. Boki Raden menikah dengan sesama zuriat Ayu Aini Khadijah adalah istri yang Pakembang, sebab berdasarkan ketujuh. Jadi, wajar jika pembagian harta pengalaman mereka menikah dengan kekayaan tidak dapat diandalkan untuk sesama zuriat justru pernikahan mereka hidup “mewah” sebagai keturunan sultan, lebih langgeng dan tetap menjaga adat apalagi setelah kemerdekaan kekuasaan kesopanan sebagai keturunan bangsawan, sultan harus tunduk pada kekuasaan bahkan menjunjung tinggi semangat negara, sehingga secara bertahap kejayaan kepahlawanan Sultan Badaruddin II. menurun, dan tinggal kenangan. Meskipun demikian, pada generasi muda “Sibuknya” mereka zuriat Palembang di Bacan yang memperjuangkan hidup, sehingga berpendidikan contohnya Jafar usia 30-an membawa mereka seolah menjadi bagian dengan latar pendidikan S1 mulai ada tak terpisahkan dari komunitas mereka kesadaran untuk terus mempertahankan sebagai nelayan orang “asli” Bacan. budaya Palembang sebagai identitas Mereka seolah lupa siapa jati diri mereka. (Wawancara dengan Jafar, 24 Juli 2017; Bahkan mereka tidak memiliki sarana wawancara dengan Ibu Nurbaiti, 28 Juli pertemuan khusus sesama kerabat 2017). Palembang seperti arisan di sana. Mereka

15

Seminar Nasional Sejarah III, 28 Oktober 2017-FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang

Meskipun demikian, ada beberapa maka “Sambal Cengek atau Sambal hal yang menarik jika berbicara budaya Palembang” tetap merupakan penganan dan produk yang masih ada hingga kini favorit sebagai pendamping nasi hangat, dan menjadi bagian dari kehidupan zuriat ikan bakar dan sayur-mayur yang dimasak Palembang dan masyarakat Bacan yaitu atau cukup direbus saja. (Wawancara penganan yang terkenal namanya dengan Ibu R.A. Tjenti, dan Ibu R.A. “Kamplang/Amplang”. Kamplang ini Nona, 25 Juli 2017) sangat mirip dengan kemplang Palembang. Disamping itu di Bacan ada pula Bahan bakunya sama-sama terbuat dari sejenis tanaman yang juga tumbuh di sagu dan garam. Bentuknya mirip, Palembang yaitu duku. Bahkan buah ini bedanya Amplang berwarna agak gelap pun di Bacan disebut Duku. Menariknya (coklat) sesuai bahan dasarnya tepung dari buah ini tidak tumbuh diluar pulau Bacan. pohon sagu dan lebih tipis. Sedangkan Menurut cerita turun-temurun, Kemplang Palembang umumnya terbuat diperkirakan bahwa tanaman ini dibawa dari tepung tapioka, ikan dan garam. oleh leluhur mereka langsung dari Bentuknya lebih tebal dan berwarna Palembang, dan oleh sebab itu hanya bisa kekuningan. Namun, setelah ditelusuri tumbuh di Bacan saja (Wawancara dengan lebih jauh, Kamplang tidak hanya dibuat R. Ahmad dan R. Ibrahim, 24 Juli 2017). oleh orang Palembang, tetapi juga oleh Sayangnya ketika kesana, buah duku orang Bajo. Orang-orang Bacan meyakini Bacan tersebut sedang tidak berbuah, jadi Kamplang itu milik suku Bajo, sedangkan penulis yang berasal dari Palembang tidak zuriat Palembang berpendapat bahwa dapat merasakan duku Bacan. Jika leluhur merekalah yang memperkenalkan diperhatikan bentuk, warna kulit pohon, penganan itu kepada orang Bacan dan dan daunnya, maka duku Bacan mirip Bajo. (Wawancara Bapak Ibnu Tufail dan sekali dengan duku Palembang. Ibu R.A. Tjenti, 26 Juli 2017). Kehidupan zuriat Palembang di Di Bacan juga terkenal ada sambal Bacan. Di sana, di samping faktor lokal yang disebut dengan sebutan “Sambal (tinggal di kota kecil Bacan menyebabkan Palembang”. Sambal ini terbuat dari cabai, jenis pekerjaan yang mereka geluti tidak gula jawa, asam jawa, bawang merah dan beragam, umumnya jadi nelayan), tingkat putih, di tumis untuk lauk sehari hari. pendidikan dan kemampuan ekonomi Selain itu, terdapat pula lauk yang berpengaruh terhadap perhatian di bidang dinamakan “dabu-dabu Palembang”. budaya. Tampak bahwa ke dua faktor di Bahan-bahannya terdiri dari cabai digiling, atas menjadi penentu lunturnya budaya ditambahkan bawang merah, bawang asal. Jarak yang jauh dari Ternate yang putih, terasi, dan jeruk lemon. Selanjutnya merupakan pusat pembuangan dan makam ditumis. Makanan ini berpengaruh Sultan Mahmud Badaruddin II, sehingga terhadap penduduk Bacan. Menurut membutuhkan waktu dan biaya yang mereka bahwa generasi orang tua mereka cukup besar, menyebabkan mereka sulit (responden berusia 60-an) menyukai untuk menjalin silaturrahim dengan makanan pedas, lebih memilih makan nasi, kerabat mereka di sana(berbeda kota). suka lauk bersantan dan goreng-gorengan. Jarangnya bergaul dengan sesama zuriat Pola makan seperti ini hanya dimiliki oleh juga berkontribusi terhadap “lupa” mereka orang Palembang, karena berbeda dengan terhadap jati diri. Dengan demikian, beban tradisi kuliner Bacan. Jenis sambal ini kerja dan faktor ekonomi, serta kurangnya cukup familiar di Palembang, dikenal kesadaran menyebabkan “seolah” dengan nama “sambal cengek” yang terabaikannya budaya leluhur bahan-bahannya sama dengan Sambal (Palembang). Palembang di Bacan. Apapun namanya

16

Seminar Nasional Sejarah III, 28 Oktober 2017-FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang

Kondisi di atas tentunya tidak 2017; wawancara dengan Bapak R. terjadi pada generasi pertama Hussein, 28 Juli 2017). pembuangan, pastinya masih merasakan kentalnya budaya Palembang. Akan tetapi, PENUTUP pada perkembangannya, budaya tersebut Keberadaan zuriat Palembang di mulai luntur. Orang tua sepertinya enggan Bacan memiliki corak yang berbeda jika untuk menceritakan hal-hal yang berkaitan dibadingkan dengan yang ada di Ternate dengan masa lalu kepada generasi penerus, dan Ambon. Di sana seolah “wajah begitu seterusnya. Sepertinya kurang atau Palembang” telah sirna. Hal ini disebabkan tidak terjadinya penurunan cerita ke tidak terjadinya penurunan dari generasi generasi berikutnya, juga tak dipakainya sebelumnya. Secara bertahap budaya budaya Palembang (bahasa, adat istiadat, Palembang hilang seiring dengan kuliner, busana dan lainnya) dalam hidup terjadinya regenerasi. Jika sebelumnya keseharian. Akibatnya, ibarat cahaya yang “sengaja” dihilangkan dalam rangka makin redup jika jauh dari sumbernya melepaskan diri dari pengawasan pihak (jauh dari Palembang secara fisik, jauh kolonial, sebagai keturunan pembangkang pula secara batin). Itulah yang terjadi pada terhadap Belanda yaitu leluhur mereka sebagian zuriat Palembang di Bacan. Sultan Mahmud Badaruddin II. Namun, Pendidikan yang baik, akan berpengaruh pada perkembangannya sepertinya sulit pada perekonomian. Kondisi ini akan melacak tradisi Palembang dalam membawa pada “rasa penasaran” pada diri keseharian mereka. Bisa jadi semua itu sendiri. Akan muncul pertanyaan siapa ditopang oleh rendahnya tingkat saya? mengapa bergelar Raden? Mengapa perekonomian dan pendidikan mereka, leluhurnya dipindahkan kesini? Dan masih sehingga seperti mereka disibukan dengan banyak lagi pertanyaan yang berseliweran berbagai aktifitas memenuhi kebutuhan yang membutuh jawab. Jadi, pendidikan hidup sehari-hari. Jarak yang jauh juga menjadi kunci untuk kembali pada jati menyebabkan sulit mereka untuk saling diri. mengunjungi, dan ini juga memperparah Demikian gambaran selintas kondisi, karena mereka seolah berada tentang zuriat Palembang di Bacan saat “diluar” komunitas zuriat Palembang di ini. Meskipun demikian, ada asa yang Ternate. mereka jaga, yaitukeinginan untuk menginjak tanah leluhur “Kota DAFTAR PUSTAKA Palembang”. Belum satupun diantara BPS Provinsi Maluku Utara. 2016. Maluku mereka yang pernah ke Palembang. Utara Dalam Angka 2016. Mereka juga menginginkan adanya Maluku Utara: CV. Andhika. semacam perkumpulan yang menjadi media menjalin silturrahim yang lebih erat Berg, L.W.C.,van den, 2010, Orang Arab diantara sesama mereka, minimal satu di Nusantara, , Komunitas tahun sekali.Sesuai dengan kondisi saat Bambu. ini, maka mereka sangat menginginkan Lembaga Demografi FEUI. 1998. Dasar- adanya kompleks pemakaman khusus dasar Demografi. Jakarta: UI Press. zuriatPalembang di sana, mengingat kondisi pemakaman yang ada saat ini Sinaga, Rosmaida & Farida RWD. 2014. kurang layak, akibat berada di dataran Raden Soelaiman Hasanoesi, The rendah (di pinggir jalan dan bukit) Disseminator of Islam in Kaimana sehingga mudah banjir. (Wawancara Papua: A Review of The Role of dengan Bapak R. Ahmad, Jafar, Ibu Tjenti, The Sultan Mahmud Badaruddin II R. Ahmad, Mukhtar R. Mansur, 24 Juli

17

Seminar Nasional Sejarah III, 28 Oktober 2017-FKIP Universitas Sriwijaya, Palembang

in The Isolation Area. Disampaikan Wargadalem, Farida R. 2017. Kesultanan pada seminar internasional SULE Palembang dalam Pusaran Konflik IC, Universitas Sriwijaya (1804-1825). Jakarta: KPG.

Nara Sumber:

No. Nama Alamat Pekerjaan Keterangan 1. R Rachmat MA Ternate PNS Ketua Zuriat Plg 2. Zubaidah Bacan Ibu Rumahtangga 3. Tjenti Bacan Sda 4. RA. Nursanti Ternate PNS 5. R. Achmad Bacan Nelayan 6. Ibnu Tufail Bacan Sekr. Sultan Bacan 7. R. Ibrahim Bacan Nelayan 8. RA. Nurbaiti Ambon Ibu RT 9. RA. Nona Bacan Ibu RT 10. R. Jafar Bacan Honor Pemkab Bc 11. R. Hussein Ambon Pengrajin

18