TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12

P-ISSN: 2774-4574; E-ISSN: 2774-4582 TRILOGI, 1(1), Mei-Agustus 2020 (1-12) @2020 Lembaga Penerbitan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP3M) Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo DOI: https://doi.org/

MAJELIS SHALAWAT: Dari Genealogi Suci, Media Baru, hingga Musikalitas Religi*

Syamsul Rijal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, [email protected]

Abstract

Some da'i/mubaligh/celebrity preachers began to emerge in Indonesia with their own distinctive style and approach. This study assumes that habaib, gus, celebrity preachers rely more on entertainment performance than oratorical competence in attracting members of the congregation (followers). The results of this study show that (1) majelis shalawat has utilized new media and technology through the internet for self-promotion; (2) the promotional power possessed by the majelis shalawat is also supported by its leaders who generally have the sacred genealogy of the Hadramaut or Walisongo; (3) Shalawat practice is carried out by combining the dimensions of spirituality and musicality so that it can attract the attention of millennial youth in urban and rural areas.

Keywords: majelis shalawat; new media, sacred genealogy, musicality

Abstrak

Beberapa da’i/mubaligh/penceramah selebritis mulai bermunculan di Indonesia dengan gaya dan pendekatan khas mereka sendiri. Studi ini berasumsi bahwa habaib, gus, penceramah selebriti itu lebih mengandalkan performa hiburan daripada kompetensi oratoris dalam menarik para anggota jamaah (pengikut/followers). Hasil studi ini memperlihatkan bahwa (1) majelis shalawat telah memanfaatkan media dan teknologi baru melalui internet untuk promosi diri; (2) kekuatan promosi yang dimiliki oleh majelis shalawat juga didukung oleh para pemimpinnya yang umumnya memiliki genealogi suci dari jalur Hadramaut atau Walisongo; (3) praktik shalawat dilakukan dengan menggabungkan dimensi spiritualitas dan musikalitas sehingga ia bisa menarik perhatian para kaum muda milenial di perkotaan dan pedesaan.

Katakunci: majelis shalawat; media baru, genealogi suci, musikalitas

* Artikel ini merupakan terjemahan atas beberapa bagian dari artikel penulis berjudul “Performing Arab Saints and Marketing the Prophet: Habaib and Islamic Markets in Contemporary Indonesia,” Archipel, 99, 2020, 189-213. Dipublikasikan ulang untuk tujuan pendidikan.

1

TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12

1. Pendahuluan apa yang disebutnya ‘Manajemen Qalbu'; almarhum Arifin Ilham memiliki keterampilan Pasca lengsernya Soeharto, Indonesia dalam memimpin pertemuan massa telah memperlihatkan menjamurnya para membacakan doa dan nyanyian; penceramah muda Hadhrami Arab bersama memiliki gaya dakwah yang mengedepankan dengan kelompok khotbah mereka (majelis kekuatan filantropi, khususnya sedekah untuk taklim dan majelis dzikir). Mereka populer mencapai kesejahteraan; almarhum Uje telah disebut habib (singular) atau habaib (jamak) terampil dengan menggunakan 'street talk' menunjukkan hubungan silsilah mereka dengan (bahasa gaul) dan menyanyikan lagu-lagu Nabi. Habaib umumnya memakai sorban putih Islami (Fealy 2008: 25-26); sementara (imamah) dan jubah panjang, sebagian ada penceramah lain, seperti Maulana Nur dan yang berjalan memegang tongkat di tangan Abdul Somad mempekerjakan humor dalam meniru penampilan Nabi. Mereka biasanya khotbah mereka. Sebuah studi oleh Hew Wai menyampaikan ceramah di atas panggung Weng juga menunjukkan adanya kebangkitan bersama sejumlah kiai, habaib, dan mubaligh para penceramah Muslim Tiongkok yang lokal lainnya didampingi sekelompok penampil memanfaatkan bahasa Cina mereka sambil musik tradisional Arab (hadrah). Mubaligh menggunakan campuran gaya pertunjukan populer seperti Habib Hasan b. Ja'far Assegaf, yang berbeda untuk mengangkat almarhum Habib Munzir b. Fuad Al-Musawa, popularitasnya (Hew 2018: 120-158). Habib Syech b. Abdul Qadir Assegaf, dan Habib Beberapa studi juga memperlihatkan Noval b. Muhammad Alaydrus telah adanya pergeseran dari para penceramah yang mendapatkan profil tinggi di kalangan muslim dilatih secara tradisional kepada para tradisionalis di perkotaan, terutama di Jakarta, penceramah awam yang telah menciptakan apa Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ceramah yang disebut Hoesterey sebagai ‘klaim inovatif mereka biasanya menarik ribuan orang dan otoritas agama’ (Hoesterey 2008: 97). Menurut sering menciptakan kemacetan lalu lintas saat Julian Millie, meningkatnya televangelists orang-orang dan pedagang barang dagangan Muslim di Indonesia, yang sebagian besar tidak agama berkerumun ke jalan-jalan terdekat. memiliki kualifikasi agama formal, telah Fenomena ini menunjukkan dua aspek penting: ‘mengubah wajah ulama klasik dengan popularitas budaya Arab- sayyid dalam tradisional’ (Millie 2012: 123). Jika banyak studi ceramah agama dan meningkatnya permintaan yang memperlihatkan bahwa para penceramah untuk ceramah agama di kalangan Muslim selebriti itu memang sengaja menjaga jarak Indonesia. dari tradisi, maka buku ini justru ingin Beberapa da’i/mubaligh/penceramah menunjukkan bahwa penceramah tersebut selebritis mulai bermunculan di Indonesia justru sedang ‘menata diri’ mereka menjadi dengan gaya dan pendekatan khas mereka ulama tradisionaliss dan orang-orang kudus sendiri. Banyak penceramah, seperti Abdullah (wali) yang populer. Dalam beberapa tahun Gymnastiar (Aa Gym), almarhum Jefrie al- terakhir, ada semakin banyak penceramah Buchori (Uje), Yusuf Mansur, almarhum Arifin tradisionalis di daerah perkotaan, terutama di Ilham, Maulana Nur, Mamah Dedeh, Abdul Jakarta, berkat berbagai teknologi media baru Somad, dan Adi Hidayat telah berubah menjadi dan strategi pemasaran. Berfokus seorang selebriti karena peran mereka di televisi sosok penceramah sekaligus kelompok nasional dan media sosial. Karena tuntutan majelisnya bernama Majelis Syubbanul hiburan dan informasi, banyak stasiun TV Muslimin, buku ini mengambil kasus Gus menawarkan lebih banyak peluang bagi Hafidzul Hakam Nur, Ketua Majelis Shalawat penceramah yang memiliki literasi media dan Syubbanul Muslimin, dan menganalisis keterampilan komunikasi massa yang baik bagaimana majelisnya mampu menjadi populer (Muzakki 2008: 210). Setiap da’i selebriti dengan gaya performa dakwahnya dan memiliki ciri khas kewirausahaan agama branding keagamaannya. sendiri: Aa Gym menggunakan bahasa sehari- hari sederhana dalam khotbahnya yang berkonsentrasi pada 'perkembangan hati' atau

2

TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12

2. Metode hotel, perkantoran, atau area umum. Banyak penceramah atau penyelenggara majelis Studi ini berasumsi bahwa habaib, gus, shalawat biasanya menyediakan area khusus di penceramah selebriti itu lebih mengandalkan halaman rumah dengan terop (Abaza 2004: performa hiburan daripada kompetensi oratoris 179). dalam menarik para anggota jamaah Belum ada sejarah yang jelas mengenai (pengikut/followers). Daya tarik mereka asal usul majelis shalawat di Indonesia, namun terletak pada penampilan khas mereka, yang akarnya bisa kita lacak pada perkembangan menggabungkan simbol tradisionalisme, musik (i) di Indonesia. Sebagaimana kesucian, dan kearab-araban (Arabness). diketahui, musik telah lama digunakan di Habaib, penceramah, bahkan kiai muda (Gus) berbagai komunitas kebudayaan. Musik pun tampil sebagai cendekiawan tradisionalis diciptakan untuk mengekspresikan emosi dan orang-orang suci ala Arab, dengan gaya terdalam manusia mengenai kehidupan, klasik yang membuat mereka terlihat merasakan kehadiran keilahian, merayakan karismatik dan berwibawa bagi penonton. berbagai ritus sosial, menidurkan anak, dan Studi ini mengkonfirmasi analisis Hilary lainnya. Sebagai contoh, Tarekat Maulawiyah Kalmbach tentang intelektual agama baru di yang didirikan oleh Jalaludin Rumi di Konya, Mesir bahwa "performa memainkan peran kunci Turki pada abad ke-13, menggunakan musik dalam legitimasi otoritas Islam" (Kalmbach, untuk mengungkapkan rasa cinta hamba 2015, hal. 163). Gagasan ini menyiratkan dengan Tuhan. Mereka berzikir sambil bahwa memiliki pendidikan tradisional dan melakukan tarian berputar-putar yang diiringi modal keagamaan (sebagai habib) tidak akan oleh gendang dan suling. memadai untuk mendapatkan popularitas; Tidak hanya itu saja, musik terus seorang penceramah juga perlu tampil sebagai mengalami perkembangan yang signifikan. Ada cendekiawan tradisionalis dan orang alim untuk beragam genre musik, mulai dari pop, metal, memenuhi harapan audiensnya. rock, jazz, keroncong, dan sebagainya.

Belakangan ini, pesatnya perkembangan musik 3. Diskusi dan Pembahasan tentu tidak bisa dilepaskan dari keberadaan 3.1. Majelis Shalawat: Pasar dan industri media. Perkembangan musik juga Media Baru menjadi bagian dari industri media yang Majelis shalawat adalah tempat berkumpul potensial secara ekonomis dan politis. yang saat ini sedang trend bagi umat Islam Akhirnya, musik pun mampu membangun Indonesia untuk menyelenggarakan relasi-relasi baru dan berkembang menjadi pembacaan shalawat. Biasanya, dalam majelis berbagai genre, satunya melalui genre ini pula mereka mendengarkan seorang tradisi shalawatan. penceramah tunggal atau beberapa Shalawatan merupakan salah satu bentuk penceramah berceramah dan memimpin aktivitas keagamaan yang lazim ditemui di shalawat. Abaza mendefinisikannya sebagai Indonesia. Shalawat secara terminologi berasal “pertemuan, duduk atau berkumpul di mana dari kata “shala” yang bisa berarti berdoa atau proses shalawat dan ta'lim berlangsung” (Abaza selamat. Akan tetapi pada praktiknya, umat 2004: 179). Majelis shalawat sering dikaitkan Islam, khususnya Nahdliyin memahami dengan kelompok anggota jamaah tertentu, shalawatan sebagai “mendoakan keselamatan dengan beberapa atribut tertentu, untuk kepada Nabi”. Ada beragam praktik shalawatan kegiatan penyelenggaraan shalawat, terkadang di berbagai daerah di Indonesia. Biasanya, juga ada pertemuan dakwah, dengan berbagai tradisi ini dilakukan pada bulan kelahiran Nabi, variasinya (Winn 2012). Dalam dunia Islam, yakni Rabi’ul Awal. Sehingga bulan ini sering majelis shalawat hampir mirip dengan majelis disebut “Maulid” atau Mulud di Jawa. Di daerah taklim atau halaqah, yang merujuk pada Probolinggo, pada mulanya juga berkembang sekelompok umat Muslim tertentu dengan tradisi shalawatan, tepatnya di Kalikajar, tujuan keagamaan tertentu. Akan tetapi, istilah Paiton, Probolinggo. Di dalam acara tersebut, majelis shalawat unik dan hanya ditemukan di biasanya warga-warga di sekitar Probolinggo, Indonesia. Meskipun bersifat informal dan termasuk Paiton, Pakuniran, Kotaanyar, datang terbuka untuk umum, majelis biasanya berduyun-duyun untuk merayakan hari dilaksanakan di masjid, perumahan, ruang kelahiran Nabi Muhammad. Mereka datang

3

TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12 untuk bershalawat bersama dan dilanjutkan benar atau tidaknya ajaran tersebut. Supani pengajian oleh ulama-ulama besar. Dari tradisi (2007) menjelaskan, mereka yang menolak inilah, acara-acara shalawatan berkembang peringatan Maulid menganggap bahwa menjadi cukup masif di berbagai daerah, peringatan Maulid yang dilakukan dengan cara seperti acara “Pakuniran Bershalawat..”, membaca kitab tadi adalah perbuatan tercela “Karanganyar Berdzikir…”, “Menjemput Mata (bid’ah dhalalah). Selanjutnya, mereka Batin Bersama Gus Hafidz”, dan sebagainya. munuduh kalangan yang Sebenarnya, studi mengenai tradisi Maulid mempertahankan tradisi Maulid berarti telah di Indonesia sudah banyak yang melakukan, mengesahkan amalan yang dicela Islam. Alasan salah satunya adalah Tsauri (2015). Dia yang mereka kemukakan adalah pujian-pujian menjelaskan, tradisi Maulid mulai di dalam tiga kitab tersebut telah melanggar diperkenalkan pada tahun 909-117 M oleh batasan puji-pujian yang digariskan oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah. Sejak syari’ah. Menurut mereka, materi pujian yang kemunculannya, tradisi Maulid sudah banyak menggambarkan Nabi sebagai pemberi menimbulkan kontroversi di kalangan ulama syafa’ah, ampunan, dan keselamatan adalah dan pemuka agama. Pada saat itu, maulid perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan). masih dalam taraf uji coba. Banyak pihak yang Maksudnya, mereka menempatkan Nabi dalam menilai, tradisi ini tidak lebih dari sebuah kapasitas sebagai pemberi keselamatan, kegiatan pemborosan dan penyimpangan padahal itu sebuah hak mutlak Tuhan saja. ajaran Rasulullah SAW. Sebagian berpendapat, Penulis sendiri sepakat dengan John R. Bowen tradisi Maulid tidak diperintahkan dalam al- (1989), perbedaan ini pada dasarnya dan tidak pula dicontohkan oleh disebabkan sebagian besar muslim mengklaim Rasulullah. Sumber lain menyebutkan, bahwa: perayaan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang Gubernur …the distinctive characteristic of Islam is Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan precisely this concern for correctness in Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Pada ritual practice (orthopraxy) based on awalnya, perayaan Maulid bertujuan untuk conformity to the historical precedent of membangkitkan kecintaan kepada Nabi the Prophet. But local understandings of Muhammad SAW dan meningkatkan semangat ritual are as much shaped by social and juang kaum muslimin yang sedang terlibat cultural context as by scriptural dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen disputations. (Bowen, 1989: 601) Eropa. Tradisi shalawatan ini kemudian Meskipun demikian, perdebatan tersebut berkembang di Jawa dengan istilah “”. masih ada sampai sekarang, seperti yang Ritus ini merupakan ritus inti dalam masyarakat diyakini oleh Afrida. Menurutnya, perdebatan Jawa yang digunakan untuk melanjutkan, itu sesekali akan muncul dalam skala yang memelihara atau meningkatkan tatanan. Doa- berbeda. Bahkan di kalangan pesantren pun, doa dilangsungkan dalam setiap telah banyak dilakukan upaya untuk penyelenggaraan dan pada perayaan-perayaan meluruskan tradisi ini dengan mengarahkannya komunal demi menjamin “kesinambungan yang ke tradisi membaca tiga kitab Maulid, yaitu al- mulus” (Mulder 2001: 136). Lebih lanjut, agar Barzanji, al-Diba'i, dan al-Burdah (Bowen, sebuah slametan menjadi ritual yang efektif, 1989). Dari informasi ini memperlihatkan ada para tetangga juga harus disertakan, bahkan sumber utama dari beragamnya praktik jika acara yang diselenggarakan dimaksudkan shalawatan, yakni membaca tiga kitab sejarah untuk mengamankan kesejahteraan pribadi Nabi. seseorang. Dengan demikian, acara shalawatan Tradisi membaca kitab al-Barzanji kurang lebih sama dengan praktik ritual (umumnya karangan Sayyid Ja’far ibn Hasan slametan orang Jawa. Bershalawat pada ibn Abdul Karim ibn Muhammad) biasa dasarnya tidak untuk diri pribadi, tetapi dilakukan di bulan Rabi’ul Awal dari tanggal 1- dilakukan secara komunal. 12. Sementara itu, kitab al-Diba’i (umumnya Di Indonesia pernah terjadi perdebatan karangan Al-Imam Wajihuddin Abdur Rahman mengenai peringatan maulid ini pada tahun bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin 1970an. Perdebatan tersebut adalah seputar Ahmad bin Umar ad-Diba`i Asy-Syaibani Al-

4

TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12

Yamani Az-Zabidi Asy-Syafi`i) dilaksanakan pedagang. Bahkan dalam sebuah cover buku tiap malam Jum’at di berbagai pesantren. telah ditunjukkan bagaimana seorang Terakhir, membaca kitab Burdah dilakukan tiap pedagang kelontong setempat memasang malam Jum’at dan Selasa. Berdasarkan banner bertuliskan “maasya Allahu laa haula wa penjelasan informan, maksud dari membaca la quwwata illa billah, different kinds of Islamic kitab Burdah tiada lain sebagai “pagar”, cassettes are on sale here”. (Allah telah perlindungan. Sehingga membaca kitab ini berkehendak akan hal itu , tidak ada daya dilakukan sambil mengelilingi pondok kekuatan selain Allah, berbagai macam kaset pesantren. Sampai sekarang, tradisi ini tetap sekarang dijual di sini). Tidak dapat dipungkiri, dilakukan di pesantren atau desa-desa yang praktik-praktik keagamaan telah mengalami sebagian besar warganya adalah nahdliyin. proses komodifikasi di hampir setiap aspek Tradisi shalawatan ini kemudian ekonomi dan sosial budaya, khususnya praktik berkembang sedemikian pesat semenjak konsumsi. Sebagaimana yang pernah reformasi di Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ivan Illich (dalam Sita Hidayah, ditunjukkan oleh Bart Barendregt dan Wim van 2004: 44), “The myth of unending consumption Zanten (2002). Mereka melakukan studi has taken the place of the belief in life mengenai popular music, khususnya tentang everlasting”. perkembangan musik islam di Indonesia. Maraknya popularitas gus/kiai/habaib Mereka berpendapat, musik di Indonesia pasca muda yang memimpin majelis shalawat di reformasi mengalami pertumbuhan pesat kalangan muslim telah menjadi fenomena baru sebagai upaya negosiasi identitas berbasis di Indonesia pasca-Soeharto. Sementara komunitas yang memainkan peranannya dalam generasi habaib yang lebih tua lebih suka dialog di tingkat lokal, nasional, dan global. dengan low profile, generasi baru secara aktif Pada masa itu, para penggiat musik mempromosikan diri mereka sendiri. Ada memanfaatkan alat-alat musik daerahnya beberapa poin yang membedakan mereka dari masing-masing untuk menciptakan genre generasi gus/kiai/habaib sebelumnya. Pertama, musik yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak sebagian besar penceramah baru masih muda, selamanya berubah secara total. Mereka hanya mulai dari 20 hingga 30 tahun pada awal karier memodifikasi musik dari Eropa maupun dakwah mereka. Banyak dari mereka lulus dari Amerika. Hal yang sama juga terjadi pada Hadhramaut, Yaman, sementara beberapa musik-musik religius: musik Islami berfusi yang lain lulus dari sekolah Islam tradisional dengan musik Indie. Lagu rohani kemudian (pesantren) di Jawa. Kedua, para penceramah menjadi label pada setiap musik religius dengan baru cenderung membangun majelis shalawat tema-tema kenabian, ketuhanan, maupun lagu mereka sendiri, menjadi tokoh penting dalam berbahasa Arab. Tumbuhnya industri musik organisasi mereka, dan memanfaatkan iklan religius di Indonesia, berdasarkan keterangan dan internet untuk mempromosikan majelis Barendregt dan Zanten (2002), ditandai dengan mereka. Majelis yang baru didirikan sering munculnya qasidah dengan lagu-lagu puisi Arab memiliki logo atau merek, bendera, kantor ( poem) dan band Nasyid. Selain itu, pusat, situs web resmi, bahkan barang pengajian atau qari’ juga dikemas di dalam dagangan. Mereka juga memiliki tim kaset maupun CD. multimedia, anggota staf muda, dan Tumbuhnya industri musik religius tidak sukarelawan untuk membantu mengatur acara hanya terjadi di Indonesia. Charles Hirschind mereka. Ketiga, banyak gus/kiai/habaib muda melalui tulisannya, “Cassette Ethics: Public menekankan status khas mereka dengan Piety and Popular Media in ” (2006), mengenakan sorban putih, gaun putih panjang, memperlihatkan di Mesir telah terjadi hal dan selendang (sebagian besar hijau) di bahu serupa, dalam bahasanya disebut “contestatory mereka. Terakhir, sebagian besar peserta religion” (kontestasi agama). Kontestasi ini majelis jenis ini adalah anak muda, baik pria terjadi ketika teknologi perekaman masuk ke maupun wanita, mulai dari 12 hingga 30 tahun Mesir pada tahun 1970an. Berbagai komunitas dan sebagian besar berasal dari keluarga muslim, penceramah, maupun qori’ melakukan Muslim tradisionalis. Peserta biasanya perekaman kutbah, hadits, dan sebagainya ke mengenakan jaket seragam majelis yang dalam sebuah media kaset. Kaset inilah yang menunjukkan kemudian menjadi sumber ekonomi baru bagi

5

TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12

Kebangkitan dakwah habaib yang dibalut menekankan kemenangan pasar atas agama. dengan majelis shalawat tidak bisa diisolasi dari Dia berpendapat bahwa "pasar dan media konteks kewenangan bersaing antarkelompok membuat agama lebih mudah diakses oleh Muslim. Dalam lingkup publik yang terus publik dan mengubah agama menjadi praktik berkembang dan pasar yang semakin budaya populer di masyarakat modern ..." terregulasi, kita menyaksikan ekspansi pesat (Kitiarsa 2010: 579). Sudut pandang ini berbagai kelompok Muslim yang bersaing untuk diadopsi oleh mayoritas kiai/gus/habaib yang memperoleh banyak pengikut (Meuleman, berusaha mempopulerkan Islam tradisionalis 2011). Mereka secara aktif menyelenggarakan mereka melalui media dan pasar baru. kegiatan publik, menjual produk keagamaan, Menyadari meningkatnya permintaan dakwah dan menyebarkan pesan keagamaan mereka dari masyarakat tradisionalis, habaib melalui media baru. Berbagai tafsir pesan meresponsnya dengan melakukan dakwah agama, mulai dari yang puritan hingga liberal, melalui kelompok dakwah dan shalawat telah disebarluaskan di media cetak dan (majelis shalawat atau majelis taklim) di internet. Perkembangan teknologi dan perkotaan. Mereka menyerukan kepada umat komunikasi yang canggih serta globalisasi telah Islam untuk memperkuat kepercayaan Sunni memungkinkan aliran ide dari luar negeri. mereka melalui partisipasi rutin dalam majelis Beberapa gerakan muslim baru yang berakar di shalawat sehingga mereka dapat memperoleh Timur Tengah telah memperluas ideologinya syafaat Rasulullah dan melindungi diri dari melalui dakwah dan pendidikan di Indonesia. Di pengaruh Salafi dan kelompok 'menyimpang' antara gerakan Islam baru, kelompok Salafi lainnya. menonjol dalam memberitakan pemurnian Meningkatnya persaingan di antara para Islam melalui khotbah, pendidikan dan media anggota jamaah membuat habaib secara kreatif baru. Mereka juga mengecam keyakinan dan mendesain dakwah tradisionalis mereka ritual muslim tradisionalis yang mereka anggap dengan fashionnya yang khas itu dalam rangka sebagai inovasi yang melanggar hukum Islam memenuhi aspirasi kaum muda Muslim (bid'ah). Muslim tradisionalis, yang merupakan perkotaan. Habaib bertekad untuk membentuk mayoritas Muslim di Indonesia, percaya bahwa kelompok shalawat (majelis shalawat) yang dakwah Salafi telah menjadi tantangan bagi sama sekali berbeda dengan yang tradisi mereka. Masyarakat menjadi semakin konvensional. Kelompok shalawat baru disusun khawatir ketika beberapa insiden muncul untuk sedemikian rupa untuk menawarkan umat mengancam posisi mereka, seperti mengambil Islam muda tempat mengekspresikan aspirasi alih masjid tradisionalis, mengecam inovasi mereka melalui aktivisme shalawat dan yang melanggar hukum (bid'ah) dalam praktik ekspresi identitas. Kiai/gus/habaib membuat keagamaan mereka, dan 'penetrasi' Salafi ke majelis shalawat mereka menjadi seperti dalam organisasi Muslim (Nuhrison 2010, pertunjukan publik dan hiburan yang Saparudin & Emawati, 2018). memberikan peran aktif kepada pengikutnya. Dalam situasi di mana Muslim tradisionalis Akibatnya, majelis tidak lagi dipandang sebagai berada di bawah ‘ancaman’ Salafi dan kelompok tempat yang serius untuk bershalawat, Muslim baru lainnya, ada permintaan yang melainkan tempat yang menyenangkan untuk meningkat untuk dakwah dan pemasaran bersosialisasi, melantunkan, dan menyanyikan agama dalam komunitas tradisionalis. pujian Nabi disertai dengan pertunjukan musik Pemasaran agama (religious marketing) dalam tradisional. pengertian ini mengacu pada “kompetisi antara para pengikut kelompok agama tertentu untuk 3.2. Hadramaut dan Walisongo: memperoleh kepercayaan publik yang kuat Performa Kesucian Genealogis dengan cara mengajak dan meyakinkan mereka Kiai/Gus/Habib melalui retorika, performa, dan citra” (de Witte Salah satu aspek khas dari majelis et. al. 2015: 120). Dalam pengertian ini, shalawat ini adalah promosi kesucian dakwah dan pasar keagamaan adalah media (kewalian). Baik status kiai, gus, maupun bagi para penceramah dan kelompok agama habaib yang memiliki trah hadramaut untuk menarik pengikut. Ini beresonansi (sayyidness) diungkapkan dalam performa dengan pandangan Pattana Kitiarsa (2008 dan seorang pembawa shalawat. Sayyidness di sini 2010) yang melawan teori sekularisasi yang mengacu pada silsilah dengan Nabi yang 6

TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12 ditandai dengan gelar "habib" (dicintai) yang Bagi muslim tradisionalis, habaib dianggap melekat pada nama pembawa shalawat. Meski telah mewarisi berkat -berkat (baraka)melalui demikian, sebagian majelis shalawat juga hubungan darah mereka dengan Nabi. Baraka menyebut penceramahnya dengan sebutan bagi muslim tradisionalis dapat membawa “kiai” atau ”gus” yang relatif terkenal di kesuksesan dan kebahagiaan atau jalan keluar kalangan umat Islam tradisional, serta memiliki dari masalah dalam hidup mereka. Oleh karena trah dengan para wali 9 (Walisongo). Selain itu, itu tidak mengherankan melihat peserta Muslim pakaian dan atribut visual tertentu juga di majelis berdiri ketika mereka bertemu mewakili tanda lahiriah seorang kiai/gus/habib. seorang habib dan berbondong-bondong Penampilan mereka juga mengekspresikan bersalaman dan mencium tangannya berharap performa mereka yang ‘seolah-olah’ berasal mendapatkan berkat darinya. Beberapa peserta dari Hadhramaut, Yaman. Banyak dari anggota juga membawa sebotol air dan meminta para majelis juga berkomentar baik atas apa yang habib untuk membacakan doa yang akan mereka lihat sebagai sesuatu yang identik memberikan kekuatan penyembuhan air atau dengan Arab, seperti hidung tajam panjang, kekuatan untuk menyelesaikan masalah apa jenggot, dan kulit gelap. Selain itu, beberapa pun yang mungkin meresahkan peserta. majelis menggunakan kata-kata Arab di Indikasi yang jelas turun dari Rasulullah spanduk mereka di atas panggung. Saw adalah atribusi gelar “habib” atau “al- Garis keturunan Nabi dan Walisongo habib” sebelum namanya. Pada zaman kolonial memberkahi habaib dengan jabatan khusus di dan kemerdekaan awal, judul “sayyid” (tuan) komunitas Muslim. Beberapa buku dan poster lebih populer digunakan dalam cetakan yang dijual di majelis shalawat serta kisah- daripada “habib”. Hal ini berdasarkan kisah yang diceritakan oleh para pembacaan surat kabar lama dan publikasi kiai/gus/habaib menggambarkan silsilah internal Majelis Habib Ali Kwitang di Jakarta. beberapa sayyid atau wali di masa lalu sebagai Beberapa habaib bercerita penggunaan gelar orang suci yang tidak hanya memainkan peran habib kini lebih populer ketimbang sayyid di utama dalam Islamisasi, tetapi juga memiliki Hadhramaut dan Indonesia. Menurut ketua kekuatan spiritual yang luar biasa. Kuburan wali Rabithah Alawiyah (Persatuan Alawi), Sayyid dianggap "keramat" (suci) oleh banyak orang Zein b. Smith, gelar habib tidak dapat dikaitkan dan memiliki kekuatan untuk memberikan dengan semua keturunan Nabi. Ia menyatakan berkat kepada pengunjung mereka. Menurut bahwa setiap habib adalah sayyid, tapi tidak Sumit Mandal, tempat pemakaman tertentu semua sayyids bisa menjadi habib. Pengakuan disebut "keramat" sebagai bentuk habib harus datang dari masyarakat dengan penghormatan dari masyarakat untuk beberapa persyaratan. Untuk menjadi seorang almarhum karena "kesalehan spiritualnya yang habib, sayyid perlu usia dewasa, dan sangat luar biasa, sejarah prestasinya atau beberapa paham dalam pengetahuan Islam, menerapkan perbedaan penting lainnya" (Mandal 2012: pengetahuan agama dalam praktiknya, 357). Di Jawa, ada beberapa kuburan suci yang menunjukkan ketulusan, takut kepada Allah menarik banyak pengunjung. Makam orang- (takwa), dan menerapkan etika Islam (akhlak). orang suci yang terkenal di Jakarta, misalnya, Namun, seperti disebutkan di atas, judulnya termasuk makam Habib Ali b. Abdulrahman Al- sekarang semakin banyak digunakan oleh Habsyi di Kwitang Jakarta, Habib Hasan b. sayyid muda karena melakukan dakwah Muhammad Al-Haddad, dan Habib Husein b. meskipun pengetahuan mereka terbatas Abubakar Alaydrus di Jakarta Utara, dan Habib tentang Islam dan kurangnya kualitas etika Ahmad Al-Haddad di Kalibata Jakarta Selatan. mereka (Republika, 11 Oktober 2014). Ini Makam ini menjadi tujuan populer bagi menunjukkan bahwa penceramah menyadari kiai/gus/habaib muda yang memasukkan nilai marketabel dari gelar tersebut dalam kecintaan tertentu terhadap para ulama dalam meningkatkan otoritas mereka. Hal ini juga program majelis shalawat mereka. Kunjungan terjadi dengan gelar “gus” atau "kiai", mereka dimaksudkan untuk membawa seseorang yang merupakan keturunan ulama, keberkahan (baraka) dari orang-orang suci memiliki pesantren, dan memiliki trah dengan yang mati dan harapan bahwa doa-doa mereka walisongo), yang kini rutin dikaitkan dengan dikabulkan oleh Allah karena peran mediasi penceramah baru. Komodifikasi gelar habib orang-orang wali tersebut. jelas terlihat dari media iklan dan website yang

7

TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12 mempromosikan sosok kiai/gus/habib dalam b. Jindan, Al-Musawa, b. Yahya, Jamalullail, dan majelis shalawat. Al-Jufri. Komunitas sayyid memiliki organisasi Selain dari gelar dan nama keluarga, keluarga, Rabithah Alawiyah yang berpakaian juga penting dalam mengeluarkan buku silsilah (buku nasab) untuk mengekspresikan sayyidness. Pakaian para anggota mereka. Didirikan pada tahun 1928, kiai/gus/habaib mengikuti gaya lama ulama organisasi ini berfungsi untuk memperkuat dan orang-orang suci tradisional (wali atau solidaritas di antara sayyid dengan kepedulian sunan) di Indonesia. Penceramah utama untuk meningkatkan pendidikan dan kiai/gus/habaib sering memakainya sebagai dakwah. Salah satu perannya adalah penanda identitas. Selain itu, beberapa mempertahankan catatan silsilah dan secara penceramah juga membawa siwak (tongkat resmi mengeluarkan sertifikat silsilah. Bagi pembersih gigi yang terbuat dari ranting pohon) mereka yang ingin mendapatkan sertifikat di saku mereka dan menggunakannya sebelum resmi sayyid / sharifa, mereka perlu melakukan doa. Habaib menganggap gaya mengajukan permohonan ke kantor Rabithah pakaian mereka meniru pakaian yang dan membawa bukti koneksi keluarga mereka dikenakan Nabi selama hidupnya. Salah di barisan ayah mereka. Beberapa staf Rabithah seorang penceramah kiai/gus/habib populer di khawatir popularitas pendeta habaib yang Malang yang menyarankan agar pengikut laki- marak menyebabkan komodifikasi status habib. lakinya memakai sorban sebagai simbol Mereka berkomentar bahwa beberapa kesalehan. Ia berpendapat bahwa Nabi, penceramah di Jakarta dan Kalimantan Selatan sahabat-sahabatnya, dan banyak ulama di menggunakan gelar palsu untuk masa lalu mengenakan sorban selama hidup mempromosikan diri di pasar dakwah. Namun, mereka. mereka belum mengambil tindakan apa pun Jubah tradisional habaib juga meniru terhadap hal ini. Sebaliknya, mereka penampilan para orang suci Muslim yang menyerukan kepada komunitas sayyid untuk selama ini dibayangkan melalui film Indonesia melestarikan tradisi budaya dan agama dan budaya populer. Mereka digambarkan mereka. Salah satu caranya adalah dengan mengenakan jubah panjang dan sorban putih. mengajukan buku silsilah melalui kantor Para orang suci Muslim yang terkenal di Jawa Rabithah. Dengan memiliki buku, sayyid dapat disebut ‘sembilan orang suci’ (wali songo) menunjukkan bukti garis keturunan mereka. Ini dikreditkan dengan menyebarkan agama Islam penting terutama untuk mempertahankan di Jawa. Sementara itu, ada berbagai versi asal tradisi kafa'ah (kesetaraan dalam pernikahan) orang-orang kudus, sebagian besar habaib dan dalam komunitas sayyid, di mana seorang beberapa cendekiawan Hadhrami (Alatas 1995; wanita sayyid (sharifa) diharuskan untuk Shihab 2001) mengklaim bahwa sembilan menikah dengan seorang pria sayyid yang orang suci itu berasal dari Hadhramaut dan dapat membuktikan sayyidness-nya melalui bermigrasi ke Asia Tenggara untuk dakwah dan buku silsilah. perdagangan agama. Kecenderungan untuk Mengingat pentingnya silsilah untuk mengklaim sayyidness untuk walisongo membangun legitimasi agama, banyak dipopulerkan di majalah milik Habaib, terutama kiai/gus/habaib menampilkan poster silsilah Majalah al-Kisah, dan juga dalam dakwah. Para mereka secara menonjol di rumah atau kantor penceramah, kiai, gus, ataupun habaib sering mereka. Poster tersebut menunjukkan nama- menceritakan perjuangan leluhur mereka nama keturunan keluarga laki-laki kembali dalam Islamisasi, prinsip-prinsip etika mereka, kepada Nabi Muhammad. Sebagian besar latihan spiritual dan mukjizat mereka. penceramah habaib yang saya temui Karena terhubung dengan masa lalu, mengklaim mereka adalah keturunan Nabi habaib berusaha menekankan peran penting generasi ke-38 hingga ke-40. Menurut Alwe Al- nenek moyang mereka dan kualitas spiritual Mashoor, nama keluarga Alawiyyin berjumlah mereka kepada jemaat. Dalam beberapa sekitar 180 dan mereka juga mencerminkan kesempatan, para penceramah menceritakan identitas sayyid mereka (Al-Mashoor, 2011: mimpi mereka kepada para pengikut mereka 175). Beberapa nama keluarga penceramah yang menggambarkan bagaimana mereka populer di Indonesia, antara lain Al-Aththas, Al- bertemu Nabi dan orang-orang suci yang mati Saqqaf, Shihab, Al-Habsyi, Al-Aydarus, Al-Kaff, dan menerima pesan dan nasihat dari mereka.

8

TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12

Kisah mimpi mendiang Habib Munzir, misalnya, mendukung dakwah mereka melalui beredar luas di kalangan pengikutnya setelah sumbangan. Di situs web dan media sosial, kematiannya pada 2013. Jauh sebelum khotbah habaib dapat diakses dan orang-orang kematiannya, Habib Munzir telah memberi tahu dapat menonton khotbah streaming langsung para pengikutnya bahwa dia melihat Nabi dalam dan mendengarkan doa musik. Selain itu, mimpi. Dalam mimpi itu, Rasulullah SAW mereka menyediakan ruang online bagi audiens menyarankan Habib Munzir beristirahat dari Muslim untuk mengikuti kegiatan majelis yang dakwah dan berjanji akan bertemu Nabi di usia sedang berlangsung dan mengambil bagian empat puluh tahun. Mimpi ini kemudian online dengan mengajukan pertanyaan dan dimaknai sebagai prediksi wafatnya Habib membuat komentar terkait program majelis Munzir di usia empat puluh tahun. Kisah ini atau hal teologis. sering dikaitkan dengan kebanggaan oleh Media baru telah memungkinkan kakaknya, Habib Nabiel b. Fuad al-Musawa, dan pembuatan jaringan informal yang penceramah/kiai/gus/habaib lainnya, menghubungkan pengikut majelis shalawat. menyinggung mukjizat (karama) Habib Munzir. Media paling populer untuk pengikut muda Kisah-kisah ajaib seperti ini umum dalam sastra adalah milis, komunitas online di media sosial, Sufi, yang melimpahkan status khusus pada dan grup obrolan melalui ponsel pintar. orang-orang suci Muslim. Narasi-narasi mimpi Beberapa penggemar habaib telah membuat telah digunakan oleh beberapa penceramah halaman komunitas di media sosial untuk sebagai cara membangun otoritas spiritual memperkuat ikatan di antara para pengikut. mereka dengan pengikut Muslim. Melalui komunitas online, para pengikut dapat berdiskusi dan berbagi cerita dan kesan habib 3.3. Membumikan Spiritualitas mereka serta berbagi informasi tentang dengan Musikalitas kegiatan majelis yang akan datang. Selain itu, mereka dapat memobilisasi rekan-rekan Banyak penceramah/kiai/gus/habaib muda mereka untuk menghadiri program keagamaan telah menggunakan teknologi komunikasi baru majelis atau pertemuan sosial. Para pengikut sebagai instrumen dalam mempromosikan , misalnya, telah memobilisasi majelis mereka dan menyebarkan pesan rekan-rekannya untuk menghadiri dakwah mereka kepada audiens yang lebih luas. publik atau menyelenggarakan pertemuan Penggunaan media baru, khususnya internet, solidaritas yang disebut "Kopi Darat" (bertemu dan iklan dimulai oleh dua majelis terbesar di untuk saling mengenal) di rumah sesama Jakarta, yaitu Majelis Nurul Musthofa dan relawan. Untuk kegiatan terakhir, mereka Majelis Rasulullah. Kedua majelis memulai sering mengajak habib peringkat kedua dan ekspansi dakwah pada tahun 1998 di Jakarta. beberapa staf Majelis Rasulullah untuk Situs majelis sangat penting dalam memberikan ceramah pada pertemuan masing- mempromosikan pemimpin habib atau masing. Tuan rumah pertemuan merasa penceramah utama dan majelisnya. Halaman diberkati karena kehadiran seorang beranda situs Nurul Musthofa, misalnya, kiai/gus/habib dan percaya bahwa zikir serta menunjukkan gambar habib tampak saleh pujian Nabi di rumahnya dapat membawa dengan kostum tradisionalis, berdoa atau mereka lebih banyak keberuntungan dan berkhotbah kepada jemaat. Laman tersebut kemakmuran. menyediakan berbagai pilihan seperti profil Majelis-majelis shalawat yang dipimpin majelis, program dan jadwal majelis, oleh kiai/gus/habaib muda menekankan dokumentasi acara dakwah, lagu Islami peningkatan etika dan praktik sufi praktis (qasidah) dan doa, link media sosial, Radio Live, daripada doktrin hukum hitam putih. Ini sangat kanal YouTube dan live streaming YouTube, dan berbeda dari gerakan Muslim global, terutama lain sebagainya. Baru-baru ini, pada tahun Salafi, yang menekankan serangkaian teologi 2019, laman ini juga mengiklankan perjalanan Islam dan hukum Islam yang ketat dalam ziarah ke Mekkah dan Madinah di bawah kelompok studi mereka. Penceramah bimbingan Habib Hasan dan saudara- kiai/gus/habaib dalam kebanyakan peristiwa saudaranya. Opsi-opsi dalam situs web tidak menghimbau kepada orang-orang untuk hanya memberikan informasi tentang majelis bertakwa melalui ritual keagamaan dan dan pesan-pesan keagamaan, tetapi juga perbuatan baik serta menghindari dosa. Majelis mendorong audiens untuk terlibat dan

9

TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12 mereka memberikan kegiatan yang lebih ritual pertunjukan, beberapa pengikut muda daripada pembelajaran serius teks-teks agama melambaikan bendera majelis mereka atau tertentu (kitab). Banyak informan merasa mengayunkan tangan mereka ke kanan dan kiri bahwa mereka mendapatkan ketenangan dan sambil bernyanyi dan menikmati musik seolah- kedamaian ketika menghadiri majelis. Salah olah mereka berada dalam konser musik. satu anggota perempuan Majelis Syubbanul Para pemimpin majelis shalawat telah Muslimin menyatakan: menjadi superstar bagi kaum muda Muslim karena efek dari media, iklan, dan kinerja “Saya tidak tahu mengapa saya tiba-tiba mereka sendiri. Promosi diri melalui situs web, tertarik ke majelis pada awalnya. Yang buku, billboard, dan barang dagangan telah utama adalah bahwa ketika penulis membantu meningkatkan profil habaib di datang ke majelis, saya merasa damai antara audiens mereka dan masyarakat umum dan aman. Saya juga merasa bebas dari yang mengakses media tersebut. Para peserta, beban dan masalah yang saya hadapi yang terlibat dengan habaib dan kagum dengan dalam hidup saya. Terlebih lagi, ketika kinerja mereka, pesan agama, dan kepribadian saya bergabung menyanyikan salawatan yang menyenangkan, membantu menyebarkan (mengirimkan pujian kepada Nabi), air citra mereka ke masyarakat luas. Beberapa mata saya tidak bisa berhenti peserta mengaitkan pengalaman mereka menjatuhkan.” dengan teman dan keluarga di media sosial, dan ini membantu menyebarkan ketenaran Bagian khas dari Majelis Syubbanul kiai/gus/habaib. Banyak anggota majelis Muslimin adalah mengulang-ulang dzikir (zikir menggambarkan kiai/gus/habib mereka Allah) dan shalawat (memuji Nabi) yang dapat sebagai orang suci (wali), rendah hati, saleh, merupakan hingga setengah dari kegiatan tetapi juga keren (keren). ‘Keren’ dalam ceramah. Umumnya para anggota jamaah pengertian ini berarti bahwa habaib, meskipun untuk membaca doa dengan emosi yang besar, mengenakan jubah tradisional, memahami dan beberapa dari mereka tergerak untuk slang pemuda dan gaya bicara dan jubah menangis. Selama zikir, para anggota jamaah mewah. Gus Hafidz dan saudara-saudaranya di biasanya sangat khidmat, di tangan mereka ada lingkungan Majelis Syubbanul Muslimin, buklet majelis yang berisi serangkaian silsilah misalnya, kerap membuat jamaah muda Nabi atau ulama, bacaan dzikr dan shalawat terpesona dengan menggunakan dialek lokal yang akan dibaca selama kegiatan ceramah. Probolinggo dan slang serta memakai kacamata Setiap majelis telah menghasilkan booklet zikir hitam. Status sayyid, kiai, gus, promosi diri, sendiri dengan foto dan logo penceramah, kiai, dan performa penuh gaya telah mengubah gus, atau habaib mereka di atasnya. penceramah muda, Gus Hafidz, menjadi idola Musik tradisional Arab (hadhrah) baru bagi kaum muda Muslim, utamanya di mengiringi kegiatan lantunan dan ceramah. Probolinggo. Majelis Syubbanul Muslimin biasanya memiliki anggota kru yang ditugaskan untuk 4. Penutup melantunkan dzikir, salawat, dan teks maulid, Melalui pemanfaatan media teknologi baru dan menyanyikan lagu-lagu Islami. Di Majelis dan internet, Majelis Syubbanul Muslimin telah Syubbanul Muslimin, ceramah agama memungkinkan terciptanya penceramah bergantian dengan pertunjukan musik agar selebriti semalam. Meskipun semua tidak membosankan jamaah. Para kru di penceramah mengklaim pekerjaan mereka belakang memainkan alat musik tradisional, adalah demi dakwah, mereka telah menikmati seperti rebana dan drum, dengan beberapa imbalan keuangan dari umat. Berdasarkan vokalis menyanyikan doa dan lagu. Pertunjukan pengamatan sementara ini, ada empat sumber musik menjadi daya tarik penting bagi peserta pendapatan habaib di dakwah: honorarium dari muda untuk majelis. Pemimpin Syubbanul tuan rumah, sumbangan dari para peserta saat Muslimin ini menyusun sejumlah lagu religi ceramah publik, bantuan dana dari pejabat yang diadaptasi dari lagu-lagu populer negara dan donatur dermawan, serta Indonesia. Musik telah menciptakan pendapatan dari penjualan barang extravaganza yang merangsang emosi dan dagangannya. Majelis shalawat biasanya menggairahkan kerumunan. Selama mengenakan biaya jutaan rupiah untuk

10

TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12 kegiatan shalawat publik untuk daerah setempat dan lebih dari jumlah itu untuk daerah Fealy, G. & White, S. (eds.). (2008). Expressing di luar kabupaten. Mereka berpendapat bahwa Islam: Religious Life and Politics in uang ini digunakan untuk membayar para Indonesia. Singapore: Institute of penceramah, pemain dan anggota hadhrah, Southeast Asian Studies. serta untuk menyediakan panggung, speaker, alat musik, dan iklan seperti spanduk dan Hew, Wai Weng (2018). Chinese Ways of Being papan iklan. Terlepas dari klaim ini, penampilan Muslim: Negotiating Ethnicity and beberapa majelis shalawat telah membuatnya Religiosity in Indonesia. Copenhagen populer di kalangan Muslim perkotaan dan K, Denmark: NIAS Press. pedesaan. Popularitas ini memberinya banyak undangan pribadi (di luar majelis formalnya) Hidayah, S. (2004). “Konsumerisme Religius”. untuk memberikan ceramah dan melantunkan Skripsi. Yogyakarta: Antropologi FIB shalwat di acara-acara di tempat sekitar, Universitas Gadjah Mada seperti upacara pernikahan, Maulid Nabi, pengajian, dan acara keagamaan lainnya. Hirschkind, C. (2005). “Cassette Ethics: Public Piety and Popular Media in Egypt,” dalam Birgit Meyer dan Annelies Daftar Pustaka Moors. Religion, Media, and the Public Sphere. Indianapolis: University of

Indiana Press. Abaza, M. (2004). “Markets of Faith: Jakartan

Da’wa and Islamic Gentrification. Hoesterey, James B. (2008) “Prophetic Archipel, 67 (1), 173-202. DOI : Cosmopolitanism: Islam, Pop 10.3406/arch.2004.3813 Psychology, and Civic Virtue in

Indonesia,” City & Society, Vol. 24, Alatas, S.F. (1997). “Hadhramaut and the Issue 1, hlm. 38-61. Hadhrami Diaspora: Problems in

Theoretical History”. In U. Freitag and Kalmbach, H. (2015). “Blurring Boundaries: W. Clarence-Smith (eds.), Hadhrami Aesthetics, Performance, and the Traders, Scholars and Statesmen in Transformation of Islamic Leadership”. the Indian Ocean, 1750s-1960s (pp. Culture and Religion, 16(2), 160-174. 19-34). Leiden, New York, Kӧln: E.J. DOI : Brill. DOI : 10.2139/ssrn.2650602 10.1080/14755610.2015.1058528

Al-Mashoor, A.A. (2011). Sejarah, Silsilah & Kitiarsa, P. (Ed.). (2008). Religious Gelar ‘Alawiyin: Keturunan Imam Commodification in Asia: Marketing Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Jakarta: Gods. London and New York: Maktab Daimi-Rabithah Alawiyah. Routledge. DOI :

10.4324/9780203937877 Barendregt, B., & Zanten, W. V. (2002).

“Popular Music in Indonesia since Mandal, S.K. (1994). Finding Their Place: A 1998, in Particular Fusion, Indie, and History of Arabs in Java under Dutch Islamic Music on VideoCompact Discs Rule, 1800-1924. PhD thesis, and the Internet.” Yearbook for Columbia University. Traditional Music, 34, 67-113.

Meuleman, J. (2011). “Dakwah, Competition for Bowen, J. R. (1989). “Salat in Indonesia: The Authority, and Development”. Social Meanings of an Islamic.” Man: Bijdragen tot de Taal-, Land- en New Series, 24(4): 601-611. Volkenkunde, 167(2/3), 236-269. DOI

: 10.1163/22134379-90003591 De Witte, M., de Koning, M., & Sunier, T.

(2015). “Aesthetics of Religious Authority: An Introduction”. Culture and Religion, 16 (2), 117-124. 11

TRILOGI: Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 1(1), Mei-Agustus 2020: 1-12

Millie, Julian. (2012). “Oratorical Innovation and Audience Heterogeneity in Islamic Shihab, A. (2001). Islam Sufistik: Islam West Java”. Indonesia, 93, 123-145. Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia. Bandung: Mizan. Mulder, N. (2001). Mistisisme Jawa. Yogyakarta: LKiS. Supani (2007). “Tradisi Maulid: Pro dan Kontra.” IBDA’ Jurnal Studi Islam dan Nuhrison, M.N. (2010). “Gerakan Paham dan Budaya, 5(1): 15-16 Pemikiran Islam Radikal Pasca Orde Baru (Gerakan Dakwah Salafi di Kec. Tsauri, A. (2015). Sejarah Maulid Nabi Lembar, Kab. Lombok Barat, Nusa Meneguhkan Semangat Keislaman dan Tenggara Barat)”. In W. Sugiyarto Kebangsaan Sejak Khaizuran (173 H) (ed.), Direktori Kasus-Kasus Aliran, hingga Habib Luthfi bin Yahya (1947 Pemikiran, Paham, dan Gerakan M-Sekarang). Pekalongan: Menara Keagamaan di Indonesia. Jakarta: Publisher. Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Winn, Phillip. (2012). “Women’s Majelis Taklim Keagamaan. and Gendered Religious Practice in Northern Ambon”. Intersections: Saparudin & Emawati (2018). Masjid dan Gender and Sexuality in Asia and the Fragmentasi Sosial: Pencarian Pacific, 30, November 2012. Available Eksistensi Salafi di Tengah Mainstream at Islam di Lombok. Pusat Penelitian dan http://intersections.anu.edu.au/issue Publikasi Ilmiah Lembaga Penelitian 30/winn.html (Diakses 10 March dan Pengabdian kepada Masyarakat 2015). Universitas Islam Negeri Mataram.

12