Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bogor, Desember 2019

Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Reviewer: Nina Mindawati Totok Kartono Waluyo

Editor: M. Hesti Lestari Tata

Penerbit IPB Press Jalan Taman Kencana No. 3, Kota Bogor - Indonesia

C.01/12.2019 Judul Buku: Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tim Penyusun: Hesti Lestari Tata, Merryana Kiding Allo, Aswandi, Cut Rizlani Kholibrina, Imam Muslimin, Agus Kurniawan, Kusdi, Syaiful Islam, Antun Puspanti, Septina Asih Widuri, Noorcahyati, Yusub Wibisono, Mardi T. Rengku, Retno Agustarini, Yetti Heryati, Michael Daru Enggar Wiratmoko, Avry Pribadi, Andika Silva Y., Syasri Janetta, Ramiduk Nainggolan, Lolia Shanti, Rozy Hardinasty, Nurhaeda Muin, Nur Hayati, Wahyudi Isnan, Zainuddin, Lincah Andadari, Asmanah Widarti, Andrian Fernandes, Rizki Maharani, Gusmailina, Gustan Pari, Sri Komarayati, Nur Adi Saputra Reviewer: Nina Mindawati Totok Kartono Waluyo Editor: M. Hesti Lestari Tata Desain Sampul & Penata Isi: Makhbub Khoirul Fahmi Jumlah Halaman: 244 + 20 halaman romawi Edisi/Cetakan: Cetakan 1, Desember 2019

PT Penerbit IPB Press Anggota IKAPI Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128 Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected] www.ipbpress.com

ISBN: 978-602-440-993-7

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2019, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat limpahan karunia-Nya sehingga buku bunga rampai “Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Mendukung Sustainable Development Goals” ini dapat diselesaikan. Buku ini merupakan persembahan dan hasil karya para Peneliti Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang terlibat dalam kegiatan Rencana Penelitian dan Pengembangan (RPPIg) Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), selama tiga tahun mulai dari tahun 2017-2019. Kegiatan RPPI pengembangan HHBK merupakan upaya pencapaian target Rencana Strategis KLHK dan lebih jauh berkontribusi dalam pencapaian target tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals, SDG). Pengelolaan HHBK secara lestari akan mendukung 7 target dari 17 target SDGs yang sudah dicanangkan akan tercapai pada tahun 2030. Pengembangan HHBK memerlukan koordinasi dan integrasi berbagai sektor dan para pihak mulai dari hulu di penyediaan bahan baku, hingga ke bagian hilir, pada proses produksi dan industry. Selain dukungan pendanaan dan kebijakan yang kondusif. Buku ini membahas sebagian komponen dalam pengembangan dan pengelolaan beberapa komoditas HHBK, yaitu meliputi aspek teknologi budidaya untuk menyediaan bahan baku, aspek lingkungan, manusia dan manajemennya, serta aspek diversifikasi produk HHBK. Semua aspek yang dibahas dalam buku ini memiliki relevansinya terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (atau SDG). Kami menyadari buku bunga rampai ini masih banyak kekurangannya. Tetapi kami berharap buku ini dapat menjadi landasan bagi berbagai pihak yang berminat mengelaborasi praktik-praktik terbaik dalam pengembangan HHBK di Indonesia. Besar harapan kami agar buku bunga rampai ini bisa menjadi referensi, lesson learned, dan alat penyadartahuan terkait pengembangan dan pengelolaan HHBK. Terima kasih kami ucapkan kepada para penulis yang telah berkontribusi dalam buku bunga rampai ini, Peer Review, Tim Editor, Tim Sekretariat, dan pihak Penerbit, yang telah membantu penyusunan buku bunga rampai ini. Semoga buku Bunga Rampai ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2019 Kepala Pusat Penelitian & Pengembangan Hutan

Dr. Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc. NIP. 19640118 199003 2001 Daftar Isi

Kata Pengantar...... v Daftar Isi...... v Daftar Tabel...... v Daftar Gambar...... v BAB 1 PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU INDONESIA UNTUK MENDUKUNG SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS: TANTANGAN DAN PELUANG (Hesti Lestari Tata)...... 1 1.1 Pendahuluan...... 1 1.2 Tantangan Pengembangan HHBK...... 5 1.3 Peluang Pengembangan HHBK...... 7 Daftar Pustaka...... 9

Aspek Budidaya BAB 2 PERBANYAKAN VEGETATIF STEK CABANG BAMBU PETUNG (Dendrocalamus asper (SCHULT.F.) BACKER EX HEYNE) (Merryana Kiding Allo)...... 13 2.1 Pendahuluan...... 13 2.2 Klasifikasi...... 15 2.3 Ciri dan Bentuk Karakter Bambu Petung...... 16 2.4 Persyaratan Tumbuh Bambu Petung...... 18 2.5 Teknik Perbanyakan Stek Cabang ...... 21 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

2.6 Penutup...... 33 2.7 Ucapan Terima Kasih...... 34 Daftar Pustaka...... 34 BAB 3 Macadamia integrifolia UNTUK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN SERTA KETAHANAN PANGAN DI DANAU TOBA (Aswandi dan Cut Rizlani Kholibrina)...... 37 3.1 Pendahuluan...... 37 3.2 Karakteristik Botani...... 39 3.3 Adaptabilitas pada Lahan Kritis...... 42 3.4 Teknik Perbanyakan...... 44 3.5 Integrasi Agroforestry Apikultur...... 48 3.6 Penutup...... 50 Daftar Pustaka...... 50 BAB 4 STRATEGI PEMULIAAN DAN INOVASI KEMENYAN TOBA (Cut Rizlani Kholibrina) ...... 53 4.1 Pendahuluan...... 53 4.2 Botani Kemenyan...... 57 4.3 Produksi Getah Kemenyan...... 58 4.4 Permasalahan Pengelolaan...... 59 4.5 Inisiatif Litbang: Upaya Pemuliaan Pohon...... 61 4.6 Inovasi Parfum Kemenyan...... 65 4.7 Penutup...... 68 Daftar Pustaka...... 69

viii Daftar Isi

BAB 5 KARAKTERISTIK DAN TEKNIK SILVIKULTUR KAYU KAPUR ( aromatic Gaertn) (Aswandi dan Cut Rizlani Kholibrina)...... 73 5.1 Pendahuluan...... 73 5.2 Sejarah Perdagangan Kapur...... 75 5.3 Karakteristik Pohon Kapur...... 76 5.4 Produktivitas ...... 81 5.5 Teknik Silvikultur...... 86 5.6 Strategi Pemuliaan...... 91 5.7 Penutup...... 95 Daftar Pustaka...... 96 BAB 6 BUDIDAYA TANAMAN KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi Subs. Cajuputi) UNGGUL (F1) DI KHDTK KEMAMPO, SUMATERA SELATAN (Imam Muslimin, Agus Kurniawan, Kusdi, Syaiful Islam)...... 99 6.1 Pendahuluan...... 99 6.2 Sekilas tentang Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi)...... 102 6.3 Budidaya Kayu Putih di KHDTK Kemampo (Sumatera Selatan)...... 105 6.4 Produksi dan Penyulingan...... 115 6.5 Penutup...... 117 Daftar Pustaka...... 118

ix Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Aspek Manusia, Lingkungan dan Manajemen BAB 7 POPULASI DAN ASOSIASI AKAR KUNING (Fibraurea tinctoria lour.) DI KHDTK SAMBOJA, KALIMANTAN TIMUR (Antun Puspanti*, Septina Asih Widuri, Noorcahyati, Yusub Wibisono, Mardi T. Rengku)...... 125 7.1 Pendahuluan...... 125 7.2 Mengenal Akar Kuning...... 127 7.3 Manfaat Akar Kuning...... 130 7.4 Ekologi Akar Kuning...... 131 7.5 Asosiasi Fibraurea tinctoria dengan Tumbuhan Lain...... 132 7.6 Penutup...... 137 7.7 Ucapan Terima Kasih...... 138 Daftar Pustaka...... 138 BAB 8 UPAYA PERLINDUNGAN RESIN JERNANG INDONESIA (Retno Agustarini dan Yetti Heryati)...... 141 8.1 Pendahuluan...... 141 8.2 Darah Naga (Dragon’s Blood): Jenis Rotan yang Spesifik...... 142 8.3 Permasalahan Resin Jernang di Indonesia...... 146 8.4 Upaya Mengatasi Permasalahan Resin Jernang...... 148 8.5 Legitimasi Hukum untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Nasional Resin Jernang...... 149 8.6 Penutup...... 152 Daftar Pustaka...... 152

x Daftar Isi

BAB 9 PENGELOLAAN LEBAH MADU DI KHDTK KEPAU JAYA, RIAU (Michael Daru Enggar Wiratmoko, Avry Pribadi, Andika Silva Y., Syasri Janetta, Ramiduk Nainggolan, Lolia Shanti, dan Rozy Hardinasty)...... 155 9.1 Pendahuluan...... 155 9.2 Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kepau Jaya...... 157 9.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat...... 160 9.4 Kondisi Lingkungan dan Tanaman Pakan Lebah...... 161 9.5 Pengelolaan Lebah Madu di KHDTK Kepau Jaya...... 163 9.6 Penutup...... 166 Daftar Pustaka...... 166 BAB 10 PERAN GENDER DALAM PENGEMBANGAN PERSUTERAAN ALAM DI KABUPTEN SOPPENG SULAWESI SELATAN (Nurhaedah Muin, Nur Hayati, Wahyudi Isnan, Zainuddin).. 169 10.1 Pendahuluan...... 169 10.2 Profil Wilayah...... 171 10.3 Definisi Gender...... 172 10.4 Ruang Lingkup Kegiatan Persuteraan Alam di Kabupaten Soppeng...... 173 10.5 Distribusi Peran Gender dalam Kegiatan Persuteraan Alam...... 177 10.6 Penutup...... 184 Daftar Pustaka ...... 185

xi Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Aspek Diversifikasi Produk BAB 11 DIVERSIFIKASI PRODUK BUDIDAYA MURBEI (Morus SPP.) DAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) (Lincah Andadari dan Asmanah Widarti)...... 189 11.1 Pendahuluan...... 189 11.2 Tanaman Murbei...... 191 11.3 Manfaat Murbei...... 192 11.4 Ulat Sutera ...... 197 11.5 Manfaat Ulat Sutera...... 198 11.6 Penutup...... 203 Daftar Pustaka...... 204 BAB 12 MINYAK KERUING SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN BIOMEDIS DAN BIO-KOSMETIK (Andrian Fernandes dan Rizki Maharani)...... 205 12.1 Pendahuluan...... 205 12.2 Kegunaan Minyak Keruing...... 206 12.3 Penyadapan Minyak Keruing...... 207 12.4 Penyadapan Minyak Keruing di KHDTK Labanan...... 208 12.5 Kandungan dan Potensi Penggunaan Minyak Keruing... 213 12.6 Produk Turunan Minyak Keruing...... 217 12.7 Penutup...... 218 12.8 Ucapan Terima Kasih...... 219 Daftar Pustaka ...... 219

xii Daftar Isi

BAB 13 IPTEK ARANG TERPADU SOLUSI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS LAHAN DAN TANAMAN (Gusmailina, Gustan Pari, Sri Komarayati, Nur Adi Saputra). 223 13.1 Pendahuluan...... 223 13.2 Teknologi Arang Terpadu (TAT)...... 225 13.3 Arang...... 227 13.4 Asap Cair...... 230 13.5 Arang Kompos Bio Aktif (Arkoba)...... 233 13.6 Aplikasi Arkoba pada Tanaman Padi...... 235 13.7 Penutup ...... 238 Daftar Pustaka...... 238 Penutup ...... 241

xiii

Daftar Tabel

Tabel 1.1 Pengelolaan HBK dan HHBK untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) ...... 3 Tabel 3.1 Karakteristik Buah Macadamia integrifolia...... 44 Tabel 3.2 Karakteristik benih Macadamia integrifolia...... 45 Tabel 5.1 Sifat dan struktur kayu kapur (D. aromatica)...... 82 Tabel 5.2 Lokasi pembangunan Petak Ukur Permanen di Subullusalam dan Singkil, Aceh...... 89 Tabel 5.3 Fungsi diskriminan pendugaan produktivitas ombil dan kristal kapur...... 93 Tabel 6.1 Rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan dari berbagai perlakuan ...... 116 Tabel 7.1 Luas bidang dasar dan jumlah rumpun Fibraurea tinctoria Lour. pada plot Penelitian di KHDTK Samboja...... 134 Tabel 7.2 Jenis Pohon Inang dan Indeks Asosiasi dengan F. tinctoria Lour...... 135 Tabel 8.1 Jenis-jenis rotan penghasil resin jernang...... 143 Tabel 8.2 Rekapitulasi rendemen resin jernang berdasar jenis dan asal buah...... 145 Tabel 8.3 Spesifikasi persyaratan mutu getah jernang menurut SNI 1671:2010...... 150 Tabel 8.4 Spesifikasi persyaratan mutu resin jernang menurut SNI 8663:2018...... 151 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tabel 9.1 Mata pencaharian masyarakat sekitar KHDTK Kepau Jaya...... 160 Tabel 9.2 Tanaman Pakan Lebah Potensial di KHDTK Kepau Jaya...... 162 Tabel 10.1 Persentase pembagian peran gender dalam usaha persuteraan alam secara makro...... 176 Tabel 10.2 Peran gender dalam kegiatan budidaya tanaman murbei di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan...... 177 Tabel 10.3 Peran gender dalam kegiatan persiapan budidaya ulat sutera di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan...... 178 Tabel 10.4 Peran gender dalam kegiatan budidaya ulat sutera ...... 179 Tabel 10.5 Persentase pembagian peran gender dalam penanganan kokon pasca panen secara terinci ...... 180 Tabel 10.6 Persentase pembagian peran gender dalam pemasaran kokon/benang secara terinci...... 182 Tabel 10.7 Pembagian peran gender dalam kegiatan pendukung usaha persuteraan alam...... 183 Tabel 12.1 Hasil penyadapan pada tiga pohon keruing di KHDTK Labanan...... 211 Tabel 12.2 Komponen kimia minyak keruing...... 214 Tabel 12.3 Komponen kimia oleoresin keruing...... 216 Tabel 13.1 Komposisi dan kualitas arang serbuk gergaji kayu campuran...... 229 Tabel 13.2 Beberapa sifat arang ...... 229 Tabel 13.3 Sifat-sifat dan kandungan kimia asap cair dari berbagai bahan baku...... 231

xvi Daftar Gambar

Gambar 2.1 Tipe rumpun akar monopodial (sistem perakaran tunggal)...... 18 Gambar 2.2 Pengamatan iklim mikro dan rata-rata suhu serta kelembaban yang optimal bagi pertumbuhan...... 19 Gambar 2.3 Contoh bahan tanaman asal cabang (a-b), cara perendaman ZPT dan penyimpanan pada wadah perendaman selama 2 bulan sebelum disapih ke polybag (c-d)...... 26 Gambar 2.4 Bibit di bak perendaman mulai berdaun setelah 1 bulan...... 27 Gambar 2.5 Kegiatan persemaian bambu, sebulan sebelum bahan tanaman ditanam di polybag...... 28 Gambar 2.6 Daun bambu petung umur 11 bulan di persemaian (a); tumbuhan bawah (b) sebagai materi kompos sebagai bahan pupuk hijau dasar untuk lubang tanam...... 31 Gambar 3.1 Bunga dan buah Macadamia integrifolia...... 40 Gambar 3.2 Perkecambahan dan Penyemaian Macadamia integrifolia...... 47 Gambar 3.3 Pertumbuhan Macadamia pada Kebun Percobaan Sipisopiso...... 49 Gambar 4.1 Morfologi batang dan tajuk pohon (a), morfologi daun, pembungaan dan buah (b), karakteristik getah kemenyan durame (c), getah kemenyan toba (d) dan kemenyan bulu (e)...... 55 Gambar 4.2 Rantai pemasaran kemenyan...... 60 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Gambar 4.3 Strategi pemuliaan kemenyan...... 64 Gambar 4.4 Produk Inovasi Parfum Kemenyan Tobarium...... 66 Gambar 5.1 Morfologi daun dan tajuk kapur (Dryobalanops aromatica)...... 78 Gambar 5.2 Gangguan perambahan dan alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit di Singgersing, Subulussalam Aceh ... 80 Gambar 5.3 Resin kapur dalam berbagai bentuk...... 86 Gambar 5.4 Perbanyakan vegetatif kapur...... 87 Gambar 5.5 Pertumbuhan kapur pada pola agroforestri...... 88 Gambar 5.6 Pengukuran diameter pohon dan penomoran pohon dalam PUP...... 90 Gambar 5.7 Karakteristik buah Kapur. (a) buah dengan sayap, (b) buah tanpa sayap, dan (c) perkecambahan biji...... 91 Gambar 5.8 Pembuatan takik/papasan dan takik yang basah oleh rembesan ombil...... 94 Gambar 5.9 Pembangunan dan pengukuran tanaman pada kebun pangkas provenan...... 95 Gambar 6.1 Pertumbuhan tanaman kayu putih umur 2 tahun di KHDTK Kemampo (a), pemanenan daun kayu putih (b), proses penyulingan minyak kayu putih (c)...... 109 Gambar 7.1 Morfologi batang dan akar tanaman akan kuning. A. Irisan batang akar kuning. B. Perakaran tumbuhan akar kuning juga berwarna kuning ...... 128 Gambar 7.2 Bentuk daun Arcangelisia flava ...... 129 Gambar 7.3 Bentuk daun Coscinium fenestratum (tampak depan dan belakang)...... 129

xviii Daftar Gambar

Gambar 7.4 Daun Fibraurea tinctoria ...... 130 Gambar 9.1 Foto Citra Udara KHDTK Kepau Jaya...... 158 Gambar 10.1 Peta Kecamatan Donri-Donri yang merupakan pusat pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Soppeng...... 172 Gambar 10.2 Kegiatan pembersihan serabut kokon (flossing) yang didominasi pihak perempuan...... 181 Gambar 11.1 (a) Tanaman murbei; (b) buah murbei...... 191 Gambar 11.2 Aneka teh murbei...... 193 Gambar 11.3 Bonsai murbei...... 197 Gambar 11.4 Sate pupa...... 199 Gambar 11.5 Kulit kokon untuk kecantikan...... 201 Gambar 11.6 (a) Bros dari kulit kokon; (b) bunga dari kulit kokon.. 202 Gambar 12.1 Penyadapan minyak keruing di Kamboja...... 207 Gambar 12.2 grandiflorus. (a) Tajuk saat musim buah; (b) bunga dan buah ...... 208 Gambar 12.3 Pembuatan lubang sadap pada pohon keruing ...... 209 Gambar 12.4 Pembakaran lubang sadap. (a) Menggunakan obor, (b) menggunakan pistol api ...... 210 Gambar 12.5 Oleoresin keruing hasil penyadapan tahun 2015. (a) Oleoresin dari lubang sadap yang dibakar; (b) resin yang tidak dibakar...... 210 Gambar 12.6 Penyadapan ulang pada lubang sadap yang telah dibuat pada 2015...... 211

xix Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Gambar 12.7 Penyempurnaan lubang sadap. (a) Bentuk segitiga ujung lancip menghadap ke atas; (b) ujung lancip menghadap ke bawah...... 212 Gambar 12.8 Minyak keruing hasil penyadapan, terdiri atas bentuk minyak pada bagian atas dan oleoresin berwarna putih susu di bagian bawah...... 213 Gambar 12.9 Struktur molekul caryophyllene...... 215 Gambar 12.10 Struktur molekul -caryophyllene ...... 215

Gambar 12.11 Struktur kimia -bisaboleneα ...... 216 Gambar 12.12 Struktur kimia βPhthalic acid, di (3-methoxybenzyl) ester ...... 217 Gambar 12.13 Sabun berbahan dasar minyak keruing. (a) dengan tambahan pewarna (Foto: Rizki, 2017); (b) produk kelompok tani Datai Lino - Kab. Kutai Barat ...... 218 Gambar 13.1 Beberapa model tungku. Tungku sederhana (a), tungku 3 in 1 (b) dan Tungku 2 drum (c-d) ...... 226 Gambar 13.2 Asap cair produk P3HH...... 233 Gambar 13.3 Arkoba (Arang kompos bioaktif) produk P3HH...... 234 Gambar 13.4 Proses pembuatan kompos. (a) Perajangan; (b) proses fermentasi...... 235 Gambar 13.5 Padi organik (a); Panen padi organik hasil aplikasi Arkoba+asap cair (b); (c) Foto bersama pimpinan pesantren, PPL dan kelompok tani ...... 236 Gambar 13.6 Perbandingan beras hasil budidaya non organik dan organik menggunakan Arkoba+asap cair ...... 237

xx BAB 1 PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU INDONESIA UNTUK MENDUKUNG SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS: TANTANGAN DAN PELUANG

Hesti Lestari Tata Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jalan Gunung Batu 5, Bogor Email: [email protected]

1.1 Pendahuluan Indonesia merupakan negara dengan sumber kekayaan hayati terbesar di dunia. Tidak hanya sumber daya alam berupa flora berupa kayu, tetapi juga hasil bukan kayu (HBK), yang terdiri atas buah-buahan, getah, damar, bambu, rotan, sutera, madu, dan lain-lain, baik yang tumbuh di hutan maupun di luar Kawasan hutan. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) dari kawasan hutan biasanya berasal dari tumbuhan yang tumbuh secara alami di alam. Seiring dengan meningkatnya degradasi hutan dan deforestasi, sumber daya hutan menjadi terbatas, selain itu produksi kayu dan hasil bukan kayu dari Kawasan hutan semakin berkurang. Oleh karena itu, pengembangan komoditas hasil bukan kayu (HBK) baik di Kawasan hutan maupun di lahan hak menjadi faktor penting dalam mendukung kontribusi sektor kehutanan terhadap pembangunan nasional dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals, SDGs). Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Indonesia telah menargetkan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan yang terdiri atas 17 target pada tahun 20301. Seperti halnya pengelolaan hutan lestari (PHL) yang dapat mendukung pencapaian target SDG (FAO & EFI, 2018), pengembangan HBK dari Kawasan hutan dan di luar Kawasan hutan juga erat hubungannya dengan pencapaian beberapa target SDGs. Target pertama: mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk; target kedua: mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan; target kelima: mencapai kesetaraan gender, dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan; target kedelapan: mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua; target ke-12: memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan; target ke-13: mengambil aksi segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya; target ke-15: melindungi, memulihkan dan mendukung penggunaan yang berkelanjutan ekosistem daratan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi, menghambat dan membalikkan degradasi tanah, dan menghambat hilangnya keanekaragaman hayati. Tabel 1.1. menjelaskan potensi kontribusi pengelolaan HHBK yang berkelanjutan terhadap target SDG, serta relevansinya dengan bab-bab di dalam buku ini. Hasil bukan kayu dari hutan dan luar Kawasan hutan dapat menjadi sumber penyedia jasa ekosistem berupa nilai nyata (tangible) dan nilai tidak nyata (intangible). Komoditas HBK dan HHBK dapat menjadi sumber alternative bahan pangan, bahan obat-obatan, bio-kosmetik, bahan sandang dan bioenergy. Pengembangan HHBH dan HBK dapat memberikan alternatif sumber penghasilan bagi masyarakat, dan produk HBK sendiri merupakan produk multi-guna yang dapat diolah tanpa menghasilkan limbah.

1 https://www.sdg2030indonesia.org

2 Bab 1 Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk mendukung Sustainable Development Goals: Tantangan dan Peluang

Tabel 1.1 Pengelolaan HBK dan HHBK untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) Relevansi dengan Target SDGs Kontribusi pengelolaan HHBK bab di buku ini Memastikan akses masyarakat terhadap Bab 2-6, 8-9, 11-13 pemungutan dan pemanfaatan HHBK Pengelolaan HHBK sebagai sumber penghasilan masyarakat Komoditas HHBK sebagai sumber pangan Bab 2-3, 9, 11, 13 (karbohidratdan protein), baik nabati maupun hewani

Dalam pengelolaan HHBK menuntut Bab 9-10 pembagian peran antara pria dan wanita, dan memastikan wanita mendapat porsi yang sama untuk peningkatan kapasitas Memperkuat pembangunan ekonomi Bab 4, 6, 11-13 melalui peningkatan nilai tambah produk- produk HHBK

Mengadopsi praktik pengelolaan HHBK Bab 2-6, 9, 11-13 yang berkelanjutan, menggunakan prinsip reuse, recycle, untuk mengoptimalkan penggunaan sumberdaya atau bahan baku, dan mengurangi limbah Meningkatkan daya tahan dan bersifat Bab 2-7, 9, 11-13 adaptif terhadap terhadap perubahan iklim, melalui pengelolaan HHBK yang lestari dan menerapkan praktik silvikultur yang tepat

3 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tabel 1.1 Pengelolaan HBK dan HHBK untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) (lanjutan) Relevansi dengan Target SDGs Kontribusi pengelolaan HHBK bab di buku ini Meningkatkan nilai HHBK dari manfaat Bab 3-9, 11-12 nyata (Tangible) dan tidak nyata ( (intangible). Mengarus-utamakan pengelolaan hutan lestari, dalam pengelolaan HHBK Menjaga kehilangan biodiversitas dan sumberdaya genetic melalui kegiatan pemuliaan dan konservasi jenis

Melihat pentingnya peran HHBK dan HBK dari luar Kawasan hutan, maka pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan dengan azas pengelolaan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Produktivitas HHBK dan HBK akan dapat terjaga dengan memperhatikan keberlanjutan produktivitas mulai dari bagian hulu hingga ke hilir dari mata rantai komoditas HBK dan HHBK. Dalam bab ini akan dibahas mengenai tantangan dan peluang pengembangan HBK dan HHBK di Indonesia dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Komoditas yang dibahas pada buku ini terdiri atas komoditas penghasil pangan (bambu, Macadamia, madu), penghasil bahan obat (akar kuning, kayu putih, kemenyan, keruing, kapur dan rotan jernang), serta penghasil sutera. Bab ini sekaligus sebagai pengantar bagi serangkaian bab yang dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu aspek budidaya, aspek ekologi, manusia dan pengelolaan HHBK, serta aspek diversifikasi produk HHBK.

4 Bab 1 Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk mendukung Sustainable Development Goals: Tantangan dan Peluang

1.2 Tantangan Pengembangan HHBK Dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030 dinyatakan bahwa pengelolaan dan pengembangan HHBK merupakan salah satu prioritas kegiatan kehutanan dan pemanfaatan Kawasan hutan (KLHK, 2019a). Lebih lanjut, dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020-2024, dinyatakan bahwa pembangunan sektor lingkungan hidup dan kehutanan, menargetkan produksi HHBK meningkat setiap tahunnya. Selain itu, komoditas HHBK ditargetkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam usaha komoditas HHBK (KLHK, 2019b). Target produksi HHBK di Kawasan hutan produksi di Indonesia pada akhir tahun 2024, mencapai 150.000 ton (dari semua komositas HHBK), dengan total jumlah usaha pada akhir tahun 2024 mencapai 30 unit usaha (KLHK, 2019b). Pengembangan komoditas HHBK memerlukan pertimbangan beberapa faktor, yaitu kestabilan pasokan bahan baku, teknik pemanenan, teknologi pengolahan, kestabilan harga dan pasar. Potensi tegakan beberapa komoditas HHBK di Indonesia tersebar di berbagai lokasi dan wilayah. Sebagian besar merupakan tegakan alam, seperti kapur, keruing, kemenyan dan tumbuhan obat akar kuning. Pemungutan atau pemanenan dari alam menyebabkan produksi yang rendah dan tidak memperhatikan keberlanjutan produksi. Selain itu, pemungutan langsung dari hutan, biasanya tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Tidak banyak komoditas HHBK yang berasal dari hasil budidaya dan sudah dipraktikkan oleh masyarakat petani. Jenis-jenis yang sudah dikembangkan dari hasil budidaya pada umumnya adalah jenis yang mudah dijual dan bernilai ekonomi. Aspek budidaya beberapa komoditas dibahas di dalam buku ini (bab 2-6), yaitu bambu petung, Macadamia, kayu putih, kemenyan Toba dan kapur.

5 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Pengelolaan tanaman penghasil HHBK menjadi prioritas utama dalam pengembangannya. Melalui kegiatan budidaya, diharapkan akan dapat meningkatkan stabilitas ketersediaan bahan baku bagi proses pengolahan selanjutnya bagi sektor industry (baik skala rumah tangga maupun skala industri). Terjaganya kuantitas dan kualitas bahan baku akan meningkatkan produktivitas HHBK. Kelanjutan bahan baku terjamin sepanjang daur dengan memperhatikan prinsip kelestarian hasil dalam pemanenan dan pengolahan hasil yang ramah lingkungan. Tantangan dalam penyediaan bahan baku adalah menyediakan benih dan bibit unggul, yang dihasilkan dari penelitian pemuliaan, sehingga diperoleh produk yang berkualitas baik. Penyediaan bibit dilakukan secara vegetative (melalui kultur jaringan atau stek pucuk), sehingga dapat menyediakan bibit dalam jumlah banyak atau massal. Selain itu, aplikasi teknik silvikultur yang tepat akan meningkatkan produktivitas lahan dan produksi HHBK. Misal dengan pemupukan yang tepat akan meningkatkan produktivitas. Pada sektor hilir, tantangan yang masih dihadapi adalah teknologi proses pengolahan oleh masyarakat petani. Pada rantai pasar, bahan baku bernilai sangat rendah dan tidak memiliki nilai tambah. Sedangkan produk yang telah diolah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi (produk akhir), memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pada skala masyarakat petani, harus dikembangkan pola kerjasama dengan sektor industri, sehingga bahan baku yang diproduksi oleh petani dengan memenuhi kriteria tertentu, akan dapat diserap langsung oleh industri dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Dengan kualitas bahan baku yang tinggi, pihak industri pun akan dapat menjaga kualitas produk akhirnya. Sebagai contoh, getah karet dari perkebunan karet rakyat yang dikelola dengan baik dan bekerjasama dengan perusahaan ban multinasional di Sumatera Utara memiliki nilai jual yang tinggi, setelah mendapat binaan mengenai kualitas karet lembaran (slab) dari pihak perusahaan (Kennedy et al., 2017; Leimona et al., 2018).

6 Bab 1 Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk mendukung Sustainable Development Goals: Tantangan dan Peluang

Aspek pasar menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan HHBK. Sebagian besar komoditas HHBK dan HBK belum tersedia pasarnya, atau pasar yang ada adalah pasar gelap (black market), seperti pada komoditas kemenyan Toba (bab 4) dan getah jernang (bab 8). Pengembangan HHBK perlu didukung oleh pembangunan pasar, harga yang transparan dan tata niaga yang jelas. Selain tata niaga, tata usaha pemungutan dan pemanfaatan HHBK dan HBK yang diproduksi dari luar Kawasan hutan perlu mendapat perhatian dari Pemerintah. Tantangan untuk menyediakan regulasi tata usaha yang tidak berbelit-belit, serta mekanisme perijinan yang mudah dan cepat (Salaka et al., 2012). Perlu adanya regulasi dan tata usaha yang membedakan produk HBK yang diproduksi dari lahan hak dan HHBK yang dipungut dari Kawasan hutan, agar komoditas HBK yang dihasilkan dari lahan hak tidak dikenakan regulasi yang rumit dan panjang (Tata et al., 2015; Tata & Susmianto, 2016), sehingga dapat bersaing dengan komoditas perkebunan, seperti karet dan kelapa sawit.

1.3 Peluang Pengembangan HHBK Pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar. Namun pemanfaatan tersebut haruslah berprinsip keadilan agar dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Melalui skema perhutanan sosial, masyarakat sekitar hutan mendapat akses untuk memungut dan memanfaatkan HHBK. Pengelolaan HHBK yang berkelanjutan memperhatikan keseimbangan produksi dan konsumsi, yang dikelola dengan teknologi yang ramah lingkungan. Komoditas HHBK merupakan komoditas yang multifungsi karena menghasilkan berbagai manfaat. Teknologi pengolahan hasil buangan atau limbah telah tersedia, yaitu adanya teknologi pada akhirnya akan mendukung ekonomi sirkular. Ekonomi sirkular yaitu suatu alternative

7 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals ekonomi tradisional yang bertindak secara linear. Ekonomi sirkular mempertahankan sumberdaya HBK dan HHBK selama mungkin dimana material produknya dapat diolah kembali dengan prinsip reuse dan recycle untuk meningkatkan nilai tambah dan mengurangi limbah2. Ekonomi sirkular ini sejalan dengan salah satu target SDG, yaitu pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Pengelolaan HBK dan HHBK dari hulu ke hilir sejalan dengan ekonomi sirkular. Komoditas HBK dan HHBK, seperti bambu, murbei dan sutera, kemenyan Toba, kayu putih, kapur, dll, dapat diolah kembali untuk mengurangi limbah. Limbah padat yang dihasilkan dari proses produksi dapat diolah dan dimanfaatkan dengan adanya teknologi arang terpadu (TAT) limbah padat yang dihasilkan dari proses produksi dapat dimanfaatkan bagi peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan produksi tanaman (bab 13). Teknologi TAT merupakan inovasi peneliti Badan Litbang dan Inovasi KLHK yang tepat guna dan sudah diaplikasikan oleh masyarakat dan kelompok tani di beberapa lokasi di Indonesia. Diversifikasi produk HHBK diperoleh dari berbagai teknologi yang telah diterapkan oleh peneliti, dilaporkan di dalam buku ini. Diversifikasi produk HBK dan HHBK akan meningkatkan ketahanan atau daya lenting masyarakat dalam menghadapi era global. Program pembangunan ekonomi hijau yang rendah emisi, dapat menjadi salah satu alternative bagi masyarakat petani dan pelaku usaha dalam mencari modal usaha untuk pengembangan HBK dan HHBK. Penyediaan skema insentif, baik melalui skema harga premium bagi produk berkualias tinggi, organic dan ramah lingkungan, atau skema insentif ‘pembayaran jasa ekosistem’, bagi pelaku usaha HHBK, yang bergerak dari budidaya hingga proses pengolahan produk, akan menjadi daya tarik yang menarik untuk pengembangan HHBK dalam skala luas.

2 http://www.wrap.org.uk/about-us/about/wrap-and-circular-economy

8 Bab 1 Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk mendukung Sustainable Development Goals: Tantangan dan Peluang

Secara singkat, pengembangan HBK dan HHBK di Indonesia, seperti yang dijelaskan di dalam buku ini, akan memberikan informasi mengenai potensi pengembangan HHBK dalam mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG.

Daftar Pustaka FAO & EFI (2018) Making forest concessions in the tropics work to achieve the 2030 agenda: Voluntary guidelines. Rome: FAO Forestry Paper No. 180. 128p. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2019a. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.41/MenLHK/Setjen/ Kum.1/7/2019 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2019b. Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020-2024. Jakarta. Kennedy SF, Leimona B, Yi AF. 2016. Making a green rubber stamp: emerging dynamics of natural rubber eco-certification. International Journal of Biodiversity Science, Ecosystem Services & Management. 13(1):100-115. DOI:10.1080/21513732.2016.1267664 Leimona B, van Noordwijk M, Mithofer D, Cerutti P. 2018. Environmentallly and socially responsible global production and trade of timber and tree crop commodities: certification as a transient issue-attention cycle response to ecological and social issues. International Journal of Biodiversity Science, Ecosystem Services & Management. 13(1): 497-502. DOI: 10.1080/21513732.2018.1469596

9 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Salaka FJ, Nugroho B, Nurrochmat DR. 2012. Strategi kebijakan pemasaran hasil hutan bukan kayu Kabupten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 9(1):50-65. Tata HL, Susmianto A. 2016. Prospek Paludikultur Ekosistem Gambut Indonesia. FORDA Press. Bogor. Tata HL, van Noordwijk M, Jasnari, Widayati A. 2015. Domestication of Dyera polyphylla (Miq.) Steenis in peatland agroforestry systems in Jambi, Indonesia. Agroforestry System. DOI: 10.1007/s10457-015- 9837-3.

10 Aspek Budidaya

BAB 2 PERBANYAKAN VEGETATIF STEK CABANG BAMBU PETUNG (Dendrocalamus asper (SCHULT.F.) BACKER EX HEYNE)

Merryana Kiding Allo Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makasar Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 16, Kecamatan Biringkanaya, Makasar

2.1 Pendahuluan Degradasi areal hutan maupun hasilnya berupa kayu terus berlangsung tanpa terkendali. Hasil hutan bukan kayu (hhbk) merupakan salah satu solusi, oleh karena itu memerkenalkan ragam dan bentuk pemanfaatan hhbk harus terus ditingkatkan. Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Beberapa komoditi hhbk seperti pangan, serat, obat, resin, tumbuhan hias dan satwa merupakan bentuk-bentuk produk hasil hutan yang mempunyai nilai penting dalam meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat. Bambu sebagai salah satu hhbk, saat ini terus berkembang ragam pemanfaatannya dari yang sederhana sejak zaman dahulu di kalangan penduduk desa hingga kini hasil produk bambu telah berkembang dengan sangat pesat bahkan telah menjadi salah satu komoditas andalan dalam peningkatan devisa negara. Bambu sebagai salah satu jenis komoditi melalui pendekatan kekuatan serat dapat menyubstitusi kayu. Menurut para ahli Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals botani bahwa di dunia ini terdapat sekitar 1250 jenis bambu dan 150 jenis di antaranya dijumpai tumbuh di Indonesia. Teridentifikasi 76 jenis bambu yang berasal dari 8 marga dan di Sulawesi tersebar sekitar 11 jenis bambu mulai dari genus umum seperti Gigantochloa, Bambusa, Dendrocalamus, Schizostachyum, hingga jenis endemik seperti bambu rongrong dari Luwu Utara, Na’na dari TN Bantingmurung Bulusaraung dan bambu batti dari Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Selayar. Berbagai bentuk pemanfaatan bambu menyebabkan kebutuhan bambu semakin luas, namun regenerasi secara alami kurang memadai. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan potensi dan keanekaragaman jenis bambu. Sumiasri dan Indarto (2001) menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi dalam budidaya bambu ini yaitu pemenuhan bibit tanaman. Tanaman bambu secara alami dapat memperbanyak diri secara vegetatif maupun secara generatif. Pengembangbiakan secara vegetatif umumnya menggunakan rimpang (rhizome) dan pengembangbiakan secara generatif sangat sulit dilakukan mengingat jarang ditemui biji bambu. Perbanyakan melalui rimpang memiliki kelemahan, terutama kerusakan dan kesulitan dalam pembongkaran rumpun bambu. Penggunaan stek batang atau cabang lebih praktis dan mempunyai banyak keuntungan dan menjanjikan karena bahan stek tersedia lebih banyak, mudah diperoleh dan murah, tidak merusak rumpun asal, waktu pengambilan lebih cepat, dan pembentukan rumpun lebih mudah (Rao et al., 1992). Keberhasilan stek dipengaruhi oleh faktor bahan stek, cara pengerjaan, perlakuan pada stek misalnya pemberian Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dan media tanam, serta kondisi lingkungan selama penyetekan. Tanaman bambu tergolong jenis rumput-rumputan, masuk kedalam famili Poaceae yang memiliki sistem perakaran serabut dan menjalar. Bambu termasuk kelompok tumbuhan berumpun dan batangnya beruas (ber-internode), antara ruas yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh buku (node). Dalam pertumbuhannya pada bagian buku inilah muncul

14 Bab 2 Perbanyakan Vegetatif Stek Cabang Bambu Petung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) cabang yang beruas-ruas, demikian seterusnya sehingga bambu tumbuh membentuk tegakan rumpun, berbatang tegak bagian ujung batang melengkung. Tunas-tunas yang muncul dari buku batang (pembatas antar ruas batang) sebagai calon cabang bersifat ‘multiprimordial’ (banyak tunas), sedangkan tunas yang muncul dari stek rhizom/akar bersifat ‘monoprimordial’ (satu tunas). Perbanyakan vegetatif secara umum adalah suatu proses asexual, dimana tanaman diperbanyak bukan dengan biji melainkan dengan bagian vegetatif tanaman. Keuntungan dari perbanyakan secara vegetatif adalah diperolehnya pohon-pohon dengan sifat-sifat (unggul) sama seperti pohon induknya. Keuntungan lain cara memerbanyak bagian vegetatif akar, batang maupun cabang pada kondisi iklim yang sesuai akan mudah tumbuh karena pada bagian tersebut tersimpan cadangan makan dari rumpun induknya. Bambu petung yang dijumpai di Kabupaten Tana Toraja umumnya memiliki tinggi batang hingga 23-32 m. Pada tinggi batang terpanjang dapat ditemukan 27 ruas, sebagai tempat tumbuh cabang-cabang hingga pada batang bagian ujung. Apabila tingkat keberhasilan pembiakan cabang berhasil, dapat diperoleh bahan tanaman dalam jumlah yang banyak, tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Penting untuk diketahui cara ini tentunya dapat berhasil apabila didukung oleh kondisi iklim dan tempat tumbuh yang optimal bagi kebutuhan pertumbuhan bambu.

2.2 Klasifikasi Bambu termasuk ke dalam subfamily Bambusoidea dan dalam klasifikasi bambu selanjutnya terdiri atas beberapa marga atau genus dan setiap marga mempunyai beberapa jenis atau species. Berikut ini urutan klasifikasi bambu petung yang merupakan jenis bambu berdiameter terbesar.

15 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Klas : Monocotyledoneae Ordo : Poales Famili : Poaceae Subfamili : Bambusoideae Genus : Dendrocalamus Spesies : Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne Bambu petung memiliki beberapa nama daerah atau nama lokal, antara lain betung, awi bitu, pring petung dan pereng petong.

2.3 Ciri dan Bentuk Karakter Bambu Petung Ciri-ciri fisik bambu petung dapat dikenal dari warna batang hijau, pada batang yang sudah berumur lebih dari 3 tahun permukaan batangnya berbulu kasar berwarna coklat muda, tajam apabila kena kulit. Makin tua umur batang akan muncul bercak-bercak berwarna putih kekuningan seperti jamur dan makin tua umur batang akan menutupi permukaan kulit. Jenis bambu petung termasuk ke dalam kelompok bambu berdiameter besar (>7 cm), diameter batang dapat mencapai 26 cm, tinggi batang dapat mencapai 32 m (23-27 ruas). Ruas bambu petung cukup panjang dan tebal, yaitu 40-60 cm dengan ketebalan dinding 1-1,71 cm. Jumlah batang rapat hingga 47 batang dalam 1 rumpun. Berdasarkan diameter dan postur batang yang besar dan tinggi serta rapat maka rumpun bambu petung membutuhkan ruang yang cukup luas. Pelepah batang ukurannya menyesuaikan ukuran diameter batang yaitu 22-55 cm, batang pada waktu muda ditutupi oleh

16 Bab 2 Perbanyakan Vegetatif Stek Cabang Bambu Petung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) pelepah yang ditutupi bulu yang halus dan tajam dikenal dengan miang, bila menyentuh kulit akan menimbulkan rasa gatal apabila tidak segera dibersihkan dengan tepung terigu. Batang bambu petung umumnya tumbuh tegak bagian ujung batang melengkung ke bawah. Buku-buku pada buluh bagian pangkal tertutup oleh akar udara hingga pada ruas ke tiga dan ujung akar melengkung ke bawah. Permukaan ruas buluh bambu petung agak kasar oleh duri dan dilapisi lilin pada bulu muda, sedangkan pada permukaan bulu mudanya berbulu lebat seperti beludru. Percabangan untuk bambu petung dimulai dari buku paling bawah, pada ketiak ranting dengan cabang terdapat duri, pelepah batang bermiang lebat, warna gelap, tidak mudah gugur dan tanpa kuping pelepah daun. Sifat batang sangat keras, seratnya besar dan panjang, saat ini banyak dipakai sebagai bahan konstruksi untuk bangunan jalan, konstruksi untuk warung- warung kuliner di perkotaan dan rumah-rumah di pedesaan. Morisco (1999) menyebutkan bahwa, bambu memiliki kuat tarik yang tinggi, bahkan hampir sama dengan kuat tarik baja tulangan. Hasil dari pengujian kuat tarik bambu Petung bagian pangkal, bambu muda berkisar antara 110-183,78 Mpa, bambu dewasa berkisar antara 180,26-255,96 Mpa dan bambu tua berkisar antara 131,13-240,22 Mpa. Seiring dengan kemajuan teknologi bambu petung dapat dibuat menjadi bahan moulding untuk rumah, bamboo laminating, meubel, ramuan perahu, pagar tiang dan sangat baik untuk bahan baku pulp. Rebung atau tunas muda dari jenis bambu petung merupakan jenis rebung yang terbaik di antara jenis-jenis bambu yang dapat dikonsumsi rebungnya, rebung bambu petung sangat terkenal cita rasanya paling enak, manis dan dagingnya lembut (Anonim, 2011).

17 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

2.4 Persyaratan Tumbuh Bambu Petung Hasil hutan yang melimpah dari hutan di Indonesia seperti kayu diambil secara berlebihan tanpa ada regenerasi yang dilakukan. Untuk mengurangi dan mengembalikan fungsi hutan sebagai komponen lingkungan hidup maka upaya dan langkah yang tepat dilakukan adalah menguasai teknik budi-daya bambu agar mampu bibit dapat lebih mudah. Bambu petung ini mempuyai rumpun rapat, penyebaran tempat tumbuh bambu tergolong toleran karena sifat pertumbuhan tanaman bambu yang kosmopolit, yaitu toleran terhadap ketinggian tempat tumbuh hingga 2000 m di atas permukaan laut (dpl), namun khusus jenis bambu petung dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian >600 m dpl.

Gambar 2.1 Tipe rumpun akar monopodial (sistem perakaran tunggal).

Pertumbuhan cukup baik khususnya pada tempat yang tidak terlalu kering yang ditandai oleh warna kulit batang hijau, kekuning-kuningan dan dapat mencapai panjang 10-14 m, panjang ruas antara 40-60 cm, diameter 6–16 cm, dan tebal dinding10-15 mm (Morisco, 1999). Di Kabupaten Toraja Utara jenis Dendrocalamus memiliki tinggi batang hingga 32 m, terdiri dari 27 ruas hingga ke bagian ujung, diameter batang hingga 26 cm ditemukan pada tegakan bambu petung yang sudah tua yang berumur > 75 tahun.

18 Bab 2 Perbanyakan Vegetatif Stek Cabang Bambu Petung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne)

Gambar 2.2 Pengamatan iklim mikro dan rata-rata suhu serta kelembaban yang optimal bagi pertumbuhan

Sesuai dengan pengamatan dan hasil uji coba tahun 1999 terhadap pertumbuhan 15 jenis bambu di KHDTK Mengkendek, Kab. Tana Toraja, yaitu unsur-unsur iklim seperti temperatur, sinar matahari, curah hujan dan kelembaban merupakan kondisi penentu dalam pertumbuhan tanaman bambu. Lahan yang terbuka disenangi oleh tanaman bambu yang telah melewati persemaian, namun untuk calon benih yang berasal dari stek batang maupun cabang menginginkan lokasi persemaian yang semi toleran. Lingkungan yang sesuai untuk tanaman bambu pada temperatur udara 24- 30 C, semakin tinggi suatu tempat semakin rendah suhu udara. Menurut Berlian dan Rahayu (1995), tanaman bambu dapat tumbuh mulai dari ⁰ ketinggian tempat 0-2.000 m dpl, namun tidak semua jenis bambu dapat tumbuh pada dataran rendah hingga tinggi. Petung umumnya ditemukan hidup dan berkembang dengan baik pada tempat-tempat ketinggian mulai dari 600 m dpl, pada kondisi kelembaban mencapai 78% dengan suhu rata-rata 22 C. Untuk pertumbuhan bambu membutuhkan suhu 8,8-32ºC dengan kelembaban udara > 60% dan curah hujan minimal 1020 mm per ⁰ tahun (Huberman, 1959).

19 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Berdasarkan tipe iklim, bambu Petung tumbuh dengan baik pada iklim basah (tipe iklim A), tetapi sebaliknya pada iklim kering (tipe iklim F), pertumbuhannya cenderung kerdil dan berdiameter diameter kecil (maksimal 10 cm). Petung dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, mulai dari tanah berat hingga ringan, mulai dari kering hingga berair dan tanah subur hingga kurang subur. Tempat tumbuh khususnya sifat edafik tanah dan iklim yang sesuai dan intensitas pemeliharaan merupakan hal yang paling utama. Demikian pula pada tanah bereaksi masam dengan pH 3,5 dan umumnya menghendaki tanah yang mendekati netral yaitu dari 5,0-6,7. Pada tanah yang subur tanaman bambu dapat tumbuh dengan baik karena kebutuhan makanan bagi tanaman akan terpenuhi. Berdasarkan pada ketentuan umum pembuatan persemaian, yang paling menentukan keberhasilan hidup bibit adalah kondisi kelembaban yang optimal yaitu 67-86 % sehingga harus dekat dari sumber air, membutuhkan naungan 45% untuk menghindari kontak langsung bibit dengan sinar matahari. Tinggi atap sebaiknya 1,5 m dan dibuat bertingkat agar memudahkan atap diangkat ke atas untuk memberikan ruang bagi pertumbuhan tunas baru dalam kondisi optimal. Pembentukan akar dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar dari bahan stek (Kramer dan Theodore, 1960). Kedua faktor ini bekerjasama saling mempengaruhi hingga membentuk keseimbangan yang paling menguntungkan untuk pembentukan akar. Faktor yang paling menentukan adalah faktor genetik, sedangkan faktor lainnya adalah suhu dan kelembaban tempat tumbuh, media dan hormon penyeimbang (Omura, 1967).

20 Bab 2 Perbanyakan Vegetatif Stek Cabang Bambu Petung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne)

2.5 Teknik Perbanyakan Stek Cabang Budidaya bambu memiliki dua tujuan utama yaitu untuk produksi rebung dan/atau untuk menghasilkan batang. Namun dalam pelaksanaan penerapan teknik budidaya bambu tidak ada perbedaan, demikian pula dalam penanaman dapat dilakukan secara bersamaan untuk produksi batang maupun untuk produksi rebung. Karena tanaman bambu hanya ditanam sekali saja untuk selamanya, sehingga untuk produksi batang maupun rebung dibutuhkan teknologi dalam menumbuhkan dan membuat tanaman bambu menjadi produktif. Selanjutnya akan diuraikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membudidayakan tanaman bambu, seperti perbenihan, persiapan tanam, cara menanam dan pemeliharaan tanaman baik di persemaian maupun di lapangan. Perbanyakan dengan stek cabang menjadi prioritas bahasan bab ini berdasarkan beberapa alasan antara lain: • Tidak banyak membutuhkan biaya dengan tingkat kesulitan rendah karena tidak harus membongkar rumpun untuk mengambil akar atau membuang sebagian batang sebagai bahan tanaman asal stek akar maupun stek batang. • Jumlah bahan tanaman (calon bibit) dapat diperoleh dalam jumlah yang banyak, karena cabang yang muncul pada buku bersifat multiprimordial yaitu banyak tunas (> 1 tunas) sehingga banyak bahan tanaman yang bisa dapat diperoleh. • Pilihan batang yang berumur 3-5 tahun, batang yang diambil cabangnya masih dapat digunakan. • Wadah semai, efisien dalam penggunaan tanah dan kompos, dapat menggunakan polybag ukuran kecil (12 cm x 17 cm) demikian persemaian tidak membutuhkan lokasi khusus sehingga mudah memilih lokasi yang dekat dari sumber air khususnya pada saat pembuatan persemaian pada kondisi iklim ekstrem.

21 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals a. Persiapan Persemaian Pembuatan persemaian ditetapkan berdasarkan pada ketentuan umum atau persyaratan pembangunan persemaian (Sutiyono dan Sunaryo, 2001). Persemaian sebaiknya mulai dibuat pada musim kemarau dalam rangka pemilihan tempat, penentuan batas, membuat gubug kerja (bila perlu dilakukan), dan pembersihan lapangan serta pencarian sumber air yang terdekat. Menjelang musim hujan, dilakukan pengolahan tanah dan membuat saluran. Pada tempat yang sudah diolah tanahnya, segera disesuaikan dengan gambar situasi kebun yang direncanakan. Hal ini dimaksudkan agar bahan tanaman sudah dapat disemai tepat pada musim hujan. Persemaian sebagai tempat penanaman awal bibit bambu harus memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut: • Dianjurkan dekat dari lokasi penanaman agar mudah memindahkan bibit ke lapangan. • Dekat dengan sumber air yang mampu menyediakan air sepanjang musim karena bibit bambu memerlukan tingkat kelembaban yang tinggi sehingga penyiraman terus menerus khususnya pada waktu musim kemarau. Sumber air dapat berasal dari sungai, mata air atau sumur artesis. • Berada di bawah naungan, kebutuhan naungan hingga 45% untuk menghindari kontak langsung bibit dengan sinar matahari. Untuk mendukung tingkat keberhasilan hidup bibit di persemaian adalah kondisi kelembaban yang optimal bagi tanaman bambu, yaitu sekitar 67 - 86 %. • Tinggi atap sebaiknya 1,5 m dan dibuat bertingkat agar memudah-kan atap diangkat ke atas untuk memberikan ruang bagi per-tumbuhan tunas baru yang sangat cepat tinggi. Dibersihkan sekali dalam seminggu.

22 Bab 2 Perbanyakan Vegetatif Stek Cabang Bambu Petung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) b. Persiapan Media Tanam • Lapangan tempat lokasi persemaian harus bersih dari semak dan tunggak-tunggak pohon yang mengganggu. Setelah bersih, lapangan dicangkul sedalam 30-40 cm dan dibebaskan dari batu atau sisa-sisa akar tumbuh-tumbuhan serat bongkahan-bongkahan tanah. • Pembuatan jalan pemeriksaan dengan lebar paling sedikit 1 m yang membelah tengah-tengah areal atau disesuaikan dengan kondisi. Demikian juga saluran air pembuangan agar areal pembibitan bebas dari banjir dan rendaman air. Akar bibit bambu yang tergenang air terlalu lama akan mudah busuk dan menyebabkan kematian. • Model persemaian yang akan digunakan adalah calon bibit ditanam dalam polybag. • Bedeng dibuat seluas 2 m x 1 m (panjang disesuaikan dengan kondisi lahan yang ada dan lebar sesuai dengan persyaratan persemaian), dijejerkan ke belakang atau ke samping. • Menghadap ke Timur memanjang ke arah Utara dan Selatan. • Tinggi atap 150 cm (1,5 m) atap dari bahan alami (atap rumbia) bukan sintetis untuk menghindari bibit kepanasan. Rangka persemaian sebaiknya dari bahan paralon agar tahan lama. • Gunakan paranet pada bagian luar pagar persemaian agar tunas muda yang tumbuh tidak terganggu hewan. • Persiapan media tanam dilakukan sebulan sebelum bibit ditanam. c. Perlakuan media • Media dasar adalah tanah yang diambil dari sekitar persemaian, kumpulkan dengan dialas karung plastik sebagai wadah untuk mencampur pupuk kandang dan tanah.

23 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

• Takaran 3 bagian tanah 1 bagian pupuk organik (pupuk kandang yang sudah matang), sebelum dimasukkan ke polybag. • Untuk menghindari serangan hama ataupun penyakit akibat kelembaban yang tinggi maka dalam campuran bahan dasar media tanah dicampurkan fungisida dan di sekitar bedeng tanam taburi insektisida. • Penggunaan jenis polybag disesuaikan dengan besarnya Ø calon bibit, pada umumnya digunakan polybag ukuran 12 cm x 17 cm. Dalam 1 bedeng ukuran 2 m x 1m, memuat 47 - 50 polybag. d. Pembuatan Bahan Tanaman Stek Cabang • Bahan stek cabang sebaiknya berasal dari rumpun yang sehat dan berkualitas, yaitu antara lain berdiameter besar >17 cm, batang tegak dan kondisinya subur sesuai kriteria ukuran diameter maupun tinggi batang setiap jenis. • Bagian yang digunakan adalah bagian bawah sampai tengah batang. • Cabang yang digunakan untuk bahan tanaman dipilih dari batang yang berumur 2 - 3 tahun. Tidak dianjurkan batang yang berumur tua mengingat serat kayu sudah memadat dan tunas sudah tumbuh tinggi. Untuk membuat stek, bagian cabang yang paling baik adalah bagian cabang yang menonjol bagian pangkalnya. Membuat stek-cabang dimulai dengan memisahkan cabang dari batang. Selanjutnya cabang yang diperoleh dipotong pada ruas kedua-tiga dari pangkal. • Pada buku ke-7 setelah ruas ke-6 dan seterusnya akan tumbuh cabang. Pilih cabang yang memiliki bongkol membesar sebagai tanda bahwa bongkol apabila ditanam akan cepat memproduksi akar karena menyimpan persediaan makanan. (Gambar 3.3).

24 Bab 2 Perbanyakan Vegetatif Stek Cabang Bambu Petung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne)

• Biasanya 7-12 cabang yang sudah membentuk bongkol bulat di bangian ranting dapat diambil dari setiap batang, jangan mengambil cabang yang sudah mendekati ujung karena masih sangat muda. • Cabang-cabang yang sudah dibersihkan dari pelepah dan rating, sehingga memudahkan pada waktu penanaman tidak membutuhkan ruang yang luas. • Bahan tanaman diatur berdiri dalam wadah yang telah diberi campuran hormon tumbuh dengan konsentrasi tertentu selama 1 jam hingga larutan meresap ke dalam pori-pori bongkol cabang. • Pindahkan bahan tanaman ke dalam wadah perendaman kedua, berupa bak yang beralaskan tanah yang becek seluas minimal 1mx1m, kondisinya lembab berguna sebagai tempat menumbuhkan akar dan daun sebelum ditanam ke dalam polybag. Wadah dibuat tidak jauh dari tempat yang sering basah, misalnya dekat dari sumber air/sumur, kamar mandi/tempat mencuci dimaksudkan agar kondisi kelembaban bahan tanaman tetap terjaga (sekitar rata-rata 68%).

25 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2.3 Contoh bahan tanaman asal cabang (a-b), cara perendaman ZPT dan penyimpanan pada wadah perendaman selama 2 bulan sebelum disapih ke polybag (c-d)

• Bahan tanaman diletakkan menyentuh tanah untuk memudahkan apabila akar tumbuh langsung ke tanah. Calon bibit disimpan hingga sebulan dengan ditutupi daun-daunan atau serasah kasar untuk mengatasi penguapan yang tinggi (Gambar 3.4).

26 Bab 2 Perbanyakan Vegetatif Stek Cabang Bambu Petung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne)

Gambar 2.4 Bibit di bak perendaman mulai berdaun setelah 1 bulan

• Setiap 2 hari waktu pagi, buka bagian serasah yang menutupi bahan tanaman agar bahan tanaman terkena sinar matahari tidak berjamur. • Perhatikan tanah dalam wadah harus selalu basah jangan sampai tanah mengeras akan memutuskan perakaran yang baru. Bantu dengan penyiraman agar tanah dapat berair kembali. Usahakan ukur tingkat kelembaban setiap membuka serasah daun. • Dalam 2 minggu biasanya mata tunas sudah mulai terbentuk diikuti oleh terbentuknya akar-akar yang halus amati dan catat perubahan- perubahan yang terjadi. • Dalam waktu ± 2 minggu kemudian, akar sudah mulai keluar dari bagian buku satu. Satu bulan kemudian stek cabang sudah mengeluarkan tunas dan akar akan tumbuh apabila jumlah tunas sudah > 3 cabang dan sudah berdaun. Kantong-kantong plastik yang akan ditanami sudah disiapkan di bedeng persemaian satu bulan sebelumnya. • Pemindahan bahan tanaman stek ke persemaian dilakukan sebelum akar jauh menembusi tanah, kerusakan pada bagian akar mengakibatkan tunas baru mati.

27 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals e. Penanaman di Persemaian Persemaian yang sudah disiapkan sebulan sebelum calon bibit ditanam sudah berada dalam kondisi siap ditanami, yaitu polybag sudah terisi tanah apabila kurang tambahkan tanah di atasnya hingga mencapai pinggiran polybag. Selanjutnya tanah akan turun memadat ke bagian bawah polybag sehingga tanah harus sering ditambah, mungkin saja akan tumbuh gulma dalam polybag maupun di bedengan sehingga perlu dibersihkan ketika akan menanam. Perhatikan air untuk penyiraman harus lancar dan atap serta dinding harus tertutup rapat hingga angin dan hama tidak merusak persemaian. Umur tanaman optimal di persemaian sebaiknya 18 bulan.

Gambar 2.5 Kegiatan persemaian bambu, sebulan sebelum bahan tanaman ditanam di polybag f. Pemeliharaan di Persemaian • Penyiraman dilakukan pada pagi dan sore hari bahkan dapat tiga kali sehari, apabila musim kemarau panjang. Apabila sudah ada hujan penyiraman bibit dikurangi sesuai kondisi kelembaban yang

28 Bab 2 Perbanyakan Vegetatif Stek Cabang Bambu Petung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne)

diinginkan. Kontrol tanaman dilakukan setiap dua hari. Buang rumput atau tumbuhan menjalar lainnya yang sering dijumpai pada pinggiran polybag dan apabila terdapat serangan serangga atau jamur penggunaan fungisida dan insektisida tidak dapat dihindari. g. Lapangan • Persyaratan lahan »» Lahan yang akan ditanami bambu dapat tanah kering atau tanah yang sesekali tergenang air. »» Sebelum ditanami tanah harus dibersihkan dari semak belukar dan atau alang-alang dengan cara dibabat pohon harus ditebang. »» Tinggi babatan rata dengan tanah dan hasil babatan dikumpulkan untuk disiapkan sebagai bahan kompos dan yang berkayu dibakar. »» Pembukaan lahan dilakukan pada bulan menjelang musim hujan, bulan Oktober. • Penentuan jarak tanam di lapangan »» Jarak tanam pada lahan datar yang ideal untuk bambu Ø > 7 cm adalah 7 m x 5 m. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan produksi batang yang tinggi, memudahkan/meningkat kan efesiensi penebangan dan tajuk rumpun tidak saling mengganggu. »» Pada lahan miring/berbukit, jarak tanam mengikuti arah kontur. Jarak tersebut adalah antar kontur > 5 meter dan jarak tanam di dalam kontur 7 meter. »» Di antara jarak 7 m dapat dimanfaatkan tanaman tumpangsari selama 2 tahun.

29 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

• Pemasangan ajir »» Ajir sebagai alat tanda letak lubang tanam akan sangat membantu pekerjaan penanaman. Pembuatan ajir berasal dari belahan bambu atau bahan lain yang lurus dan sebaiknya berukuran 120 cm dan tebal 2 cm. Ajir yang terlalu panjang atau pendek akan mengganggu aktivitas kegiatan. Setelah ajir siap, langsung di bawa ke lapangan dalam kondisi terikat. »» Pada titik-titik jarak tanam pasang ajir sebagai tanda. Ajir ditancapkan cukup kuat agar tidak mudah roboh karena angin atau tertabrak hewan atau orang. • Penyiapan lubang tanam »» Perhatikan sebelum membuat lubang tanam, sekeliling ajir (1,5 m) harus dibersihkan/dicabut rumputnya. »» Cabut ajir, buat lubang tanam berukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm atau seukuran 2 x lebar cangkul. »» Galian tanah top soil diletakkan sebelah kanan dan sub soil sebelah kiri, biarkan lubang tanam terbuka selama 7-10 hari. »» Isi lubang tanam dengan hasil babatan semak dan mulsa. »» Pupuk kandang + tanah bekas galian dengan perbandingan 1 : 3 (1 bagian pupuk dengan 3 bagian tanah) padatkan dengan cara diinjak-injak untuk dikomposkan selama 2 bulan. Setiap lubang tanam memerlukan 40 liter pupuk kandang. Pupuk organik sangat membantu pertumbuhan bibit yang dapat berupa pupuk kandang atau pupuk hijau. Pupuk kandang dapat berasal dari komposan kotoran ayam dan kerbau. Sedangkan pupuk hijau dari campuran komposan semak, alang-alang atau daun-daunan.

30 Bab 2 Perbanyakan Vegetatif Stek Cabang Bambu Petung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne)

• Mulching (Mulsa) »» Mulching adalah teknik penutupan pertumbuhan mata tunas dengan dedaunan atau rumput kering, untuk menjaga kelembaban dan penguapan akar rumpun bambu. Bahan penutup ini setelah busuk akan menjadi pupuk bagi rumpun yang ditempati (Gambar 2.6).

(a) (b) Gambar 2.6 Daun bambu petung umur 11 bulan di persemaian (a); tumbuhan bawah (b) sebagai materi kompos sebagai bahan pupuk hijau dasar untuk lubang tanam h. Persiapan Tanam • Angkutan bibit Kegiatan angkut bibit meliputi muat dan susun bibit dalam unit angkutan, kemudian bongkar di lapangan. Muat dan bongkar bibit harus hati-hati agar tidak rusak/lepas dari polybag karena akar berada pada bagian dasar polybag. • Ecer bibit Mengecer bibit ditujukan agar tidak ada lubang tanam yang terlewati. Letakkan bibit tepat dekat ajir, hindari mengecer bibit dengan cara dilempar. Setiap lubang tanam diecer satu bibit, sehingga yang bertugas untuk menanam akan langsung melihat bibit yang akan ditanam.

31 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

• Penyiapan bibit Bibit stek cabang yang akan dibawa ke lapangan merupakan bibit yang tumbuh bagus di persemaian. Sebelum diangkut angkat bibit dari bedeng persemaian sebagai tempat awal tanaman, seringkali bibit sudah sulit untuk diangkat karena akar sudah menembusi tanah, sehingga perlu hati-hati waktu mengangkat bibit karena tanah dalam polybag dapat ikut tercabut keluar dan terhambur. Gunakan gunting stek untuk menggunting bagian akar yang sudah masuk ke dalam tanah atau sendok semen untuk mengangkat dasar polybag. i. Penanaman • Waktu tanam Penanaman harus dilakukan pada awal musim hujan biasanya dalam bulan Oktober hingga Desember, Januari dan paling lambat bulan Pebruari karena penanaman yang tidak tepat waktu penyebab tingginya kegagalan. • Penggalian kembali lubang tanam Setelah dikomposkan selama hampir 2 bulan maka lubang tanam digali kembali. Caranya ajir dicabut, gali tanahnya, kemudian hasil galian dionggokan di kanan kiri lubang. Bibit yang sudah diecer segera ditanam, polybag dilepas kemudian bibit dimasukan ke dalam lubang tanam. Urug dengan galian kemudian padatkan (diinjak) setelah itu disiram air supaya akar-akarnya kontak dengan tanah. Masukan ke dalam lubang tanam dengan posisi menghadap ke atas (tidak terbalik) kemudian urug tanah galian, dipadatkan, siram air dan pasang ajir Jika penanaman terpaksa dilakukan pada musim kemarau beri mulsa rerumputan agar kelembaban tanahnya tetap terjaga. Pasang ajir kembali dan sobekan polybag ditaruh di atasnya sebagai tanda. yang di ujungnya selipkan polybag bekas tanaman sebagai tanda.

32 Bab 2 Perbanyakan Vegetatif Stek Cabang Bambu Petung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne)

• Tanam bibit Bibit hasil stek cabang dimasukan dalam lubang tanam dengan posisi mata tunas menghadap ke atas kemudian diurug tanah galian, dipadatkan, siram air dan pasang ajir sebagai tanda. j. Hama dan Penyakit Bambu • Jamur kapang (mold) yang disebut bamboo blight dapat menyebabkan busuk akar. Pencegahan menggunakan fungisida yang dicampurkan ke dalam pupuk. • Hama kerbau dan kumbang penggerek batang dari dalam, kotoran serangga berupa serbuk menetas menjadi larva hingga serangga dewasa. • Penyakit karatan khusus menyerang daun bambu. • Penyakit garis coklat bambu (penyakit paku). • Hama cacing tanah khususnya pada persemaian yang lembab, kotoran cacing akan membungkus bagian batang hingga daun. Pencegahan dengan menyiram tanaman dengan obat pembasmi hama cacing. Perhatikan pada musim hujan persemaian tidak boleh tergenang dan kondisi kelembaban wajib dijaga dengan cara membuka sebagian atap persemaian. 2.6 Penutup Perbanyakan tanaman bambu Petung (D. asper) dengan cara stek cabang menunjukkan pertumbuhan cukup baik, mudah dan murah setelah di semaikan selama 18 bulan di persemaian sehingga diharapkan dengan melakukan uji coba secara terus menerus sambil mengamati perubahan- perubahan yang terjadi selama proses pertumbuhan makin memudahkan perbanyakan bambu Petung di masa depan. Setelah rumpun bambu petung

33 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals hasil perbanyakan asal stek cabang berumur >5 tahun sebaiknya dilakukan ujicoba di laboratorium mekanika untuk menguji keawetan dan kekuatan serat batang, sangat penting dilakukan mengingat asal bahan tanaman dari stek cabang bambu Petung.

2.7 Ucapan Terima Kasih Terima kasih saya haturkan kepada Bapak Kepala BP2LHK Makassar yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan uji coba dan pengembangan bambu di areal KHDTK Mengkendek. Demikian pula kepada pak Ade Suryaman, S.Hut. pak Baso Sampe, pak Itteng dan Keluarga yang senantiasa selalu setia membantu selama saya melaksanakan kegiatan ini. Tak lupa juga kepada semua pihak khususnya Koordinator RPPI HHBK, ibu Dr. Hesti Tata, MSc. dan Bapak/Ibu Peneliti di Balai Litbang LHK yang selalu setia memberikan saran dan petunjuk kepada saya.

Daftar Pustaka Anonim (2011) Bambu Indonesia. Budidaya dan Pemanfaatan. Bambu Nusa Verde, PT. Yogyakarta. Barlian N, & Rahayu E. (1995) Budidaya dan Prospek Bisnis Bambu. Penebar Swadaya. Jakarta. Huberman (1959) Bamboo Silviculture. F.A.O. Rome, Italy. Lautan Teduh Hutan Bambu (2014) Diakses 15 Desember 2015. Liese, W. (1992). The Structure of Bamboo in Relation To Its Properties and Utilization. International Symposium on Industrial Use of Bamboo, Beijing, China. Morisco (1999) Rekayasa Bambu. Nafiri Offset. Yogyakarta. Morisco (2008) Teknologi Bambu. Diktat kuliah Magister Teknik Bahan Bangunan Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM. Yogyakarta.

34 Bab 2 Perbanyakan Vegetatif Stek Cabang Bambu Petung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne)

Mustafa, S. (2014) Karakteristik Sifat Fisika dan Mekanika Bambu Petung pada Bambu Muda, Dewasa dan Tua (Studi Kasus: Bagian Pangkal. Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pambudi, A. (2003) Pengaruh Pengawetan Bambu dengan Minyak Solar terhadap Karakteristik Bambu (studi kasus perendaman dingin dengan minyak solar pada jenis bambu petung). Tugas Akhir pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM. Yogyakarta. Rao, I.V.R, Rao, I.U., & Najam, F. (1992) Bamboo propagation through conventional and in vitro techniques. Dalam Rapid Propagation of Fast- Growing Woody Species. Baker FWG. (Ed.). Hlm. 41-56. CASAFA, Bristol. Sumiasri, N.N. & Indarto. (2001) Tanggap stek cabang bambu petung (Dendrocalamus asper) pada penggunaan berbagai dosis hormon IAA dan IBA. Jurnal Natur Indonesia 3(2), 121-128. Sutiyono & Sunaryo (2001) Penuntun Praktek Budidaya Bambu Ampel Hijau (Bambusa vulgaris var. Vitata). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor.

35

BAB 3 Macadamia integrifolia UNTUK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN SERTA KETAHANAN PANGAN DI DANAU TOBA

Aswandi dan Cut Rizlani Kholibrina Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli Jl. Raya Parapat Km 10,5 Sibaganding Parapat Email : [email protected]

3.1 Pendahuluan Penurunan fungsi ekosistem Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba, salah satu kawasan prioritas nasional, tidak dapat dipungkiri tengah berlangsung. Daerah resapan air beserta perairan seluas 376.627,25 ha yang terbentuk akibat letusan supervolcano Toba ~74.000 Before Period, telah mengalami penurunan kuantitas dan kualitas. Luas lahan kritis diidentifikasi seluas 169.616,7 ha atau 64% luas daratan yang terdapat di dalam kawasan ini (BPDAS Asahan Barumun, 2017). Untuk memulihkan kawasan ini, Pemerintah telah mencanangkan berbagai program rehabilitasi sejak tahun 1950-an (Nawir et al., 2004). Pada periode awal program, upaya ini telah meningkatkan luas penutupan hutan. Namun laju deforestasi yang meningkat pada periode 80 hingga akhir 90-an menyebabkan penutupan hutan menurun secara drastis. Hal ini mengganggu sistem hidrologis kawasan, tercermin dari penurunan tinggi muka perairan (Oeliem et al., 2000). Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Sejak tahun 2003, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) diluncurkan dengan memulihkan fungsi ribuan hektar kawasan hutan dan lahan terdegradasi. Namun keberhasilan program ini dipertanyakan mengingat kemampuan hidup tanaman yang rendah (Darwo et al, 2008). Berbagai penyebab kegagalan diidentifikasi, diantaranya akibat tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat yang rendah, frekuensi kebakaran yang tinggi, konflik tenurial, keterampilan teknis yang terbatas serta koordinasi yang lemah antar para pemangku kepentingan (Darwo et al, 2008; 2005; Aswandi dan Kholibrina, 2017). Produktivitas lahan pada kawasan Danau Toba umumnya juga rendah. Namun sekitar 951 ribu orang atau 85% populasi menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dengan tingkat kemiskinan mencapai 20- 25% (BPS Sumatera Utara, 2015). Kondisi ini serta lemahnya kesadaran terhadap kelestarian fungsi ekologi hutan telah mendorong pembukaan lahan baru dengan cara membakar serta menelantarkan lahan-lahan yang tidak produktif. Total lahan terlantar mencapai 24 ribu ha, atau sekitar 18% dari total lahan pertanian yang tersedia (BPDAS Asahan Barumun, 2017) dan kebakaran sering terjadi pada tipologi lahan ini. Jika ditelisik lebih dalam, kesadaran masyarakat yang rendah ini dimungkinkan akibat trauma masa lalu yang belum pulih akibat hilangnya akses mereka terhadap lahan-lahan marga yang direboisasi dan pemahaman terbatas terhadap manfaat ekosistem hutan yang mendukung kehidupan mereka. Pada masa lalu, program rehabilitasi sering menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek kegiatan, sehingga keterlibatan, rasa memiliki serta memelihara tanaman rehabilitasi yang ditanam masih sangat rendah (Darwo et al, 2008; Aswandi dan Sunandar, 2007; Aswandi,2009; Aswandi dan Kholibrina, 2017). Mengingat eksistensi kawasan Danau Toba sebagai aset strategis pembangunan nasional, upaya pemulihannya merupakan keniscayaan. Dengan karakteristik biofisik lahan marginal dengan tingkat kemasaman tanah yang tinggi,

38 Bab 3 Macadamia integrifolia untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Ketahanan Pangan di Danau Toba topografi berbukit yang didominasi alang-alang, serta kompleksitas sosial budaya dan pemangku kepentingan maka upaya pemulihan memerlukan suatu pendekatan yang integratif. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa teknik penanaman konvensional sulit diaplikasikan dalam kegiatan rehabilitasi lahan yang didominasi alang-alang dalam skala luas (Darwo et al, 2008; Aswandi dan Sunandar, 2007; Aswandi, 2009; Aswandi dan Kholibrina, 2017). Pendekatan suksesi alami yang dipercepat dapat diterapkan, namun harus mempertimbangkan pemilihan jenis-jenis kunci yang mampu mempercepat terbentuknya penutupan tajuk dan iklim mikro baru. Jenis pionir tersebut juga harus memiliki kemampuan kolonisasi lahan kritis, adaptasi dan kompetisi dengan alang-alang yang tinggi, memiliki toleransi yang lebar terhadap areal terbuka, temperatur dan resiko kebakaran yang tinggi, kelembaban yang rendah serta mampu menarik hidupan liar ke daerah ini (Aswandi dan Kholibrina, 2011; 2017; Aswandi dan Sunandar, 2007). Salah satu jenis potensial untuk rehabilitasi di DTA Danau Toba adalah Macadamia integrifolia. Berdasarkan ujicoba penanaman di Kebun Percobaan Sipisopiso (1.200 m dpl), di sekitar Danau Toba, Kabupaten Karo, jenis introduksi ini mampu beradaptasi pada lahan alang-alang dengan ketersediaan unsur hara rendah. Tujuan penulisan ini adalah untuk menggambarkan potensi Macadamia integrifolia sebagai jenis tanaman rehabilitasi hutan dan lahan yang sekaligus menggali sumber penghasilan masyarakat dari praktek integrasi agroforestry dan apikultur pada kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

3.2 Karakteristik Botani Macadamia tergolong dalam family Proteaceae. Genus Macadamia terdiri atas delapan spesies, tujuh diantaranya merupakan jenis asli bagian timur Australia, yakni Macadamia claudiensis; M. grandis; M. integrifolia; M. jansenii; M. ternifolia; M. tetraphylla; dan M. whelanii, serta satu jenis berasal

39 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals dari Sulawesi, Indonesia, yakni M. hildebrandii. Jenis terakhir ini juga banyak ditanam dan tumbuh di Danau Toba sebagai tanaman rehabilitasi dan sekat bakar. Penamaan genus Macadamia untuk menghormati ahli botani John Macadam. Diantara genus Macadamia tersebut, hanya dua spesies yakni M. integrifolia dan M. tetraphylla yang menghasilkan buah yang dapat dikonsumsi manusia. Sebaliknya dua jenis yakni M. whelanii and M. ternifolia diidentifikasi memiliki buah yang beracun (Hasanah, 1998; Djaenudin et al. 2001). Sedangkan buah M. hildebrandii yang banyak tumbuh di Danau Toba memiliki buah yang tidak bisa dimakan. Pohon Macadamia integrifolia memiliki batang berkulit licin dengan warna cokelat terang, dengan tinggi hingga 6-20 m. Daun muda berwarna hijau muda, sedangkan daun tua berwarna hijau gelap dengan permukaan licin mengkilap. Daun berbentuk lanset seperti gada kecil dengan ujung daun membulat, lebih lebar dari bagian pangkalnya dengan sisi daun berduri tajam. Daun memiliki panjang 6-30 cm dengan lebar 2-13 cm. Bunga berbentuk seperti sikat halus sepanjang 10-15 cm berwarna mulai dari putih, merah muda, ungu, dan memiliki empat tepal (Aswandi et al., 2017). Bunga-bunga ini keluar dari salah satu ketiak daun pada ranting (Gambar 3.1c).

(a) (b) (c) (d) Gambar 3.1 Bunga dan buah Macadamia integrifolia

Buah Macadamia tumbuh pada tangkai bunga berupa dompolan dengan ukuran dan bentuk mirip dengan duku, namun lebih panjang, dan warna kulit buah hijau gelap (Gambar 3.1a). Bagian lunak yang terdapat pada kulit buah Macadamia sangat tipis. Namun memiliki tempurung buah yang

40 Bab 3 Macadamia integrifolia untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Ketahanan Pangan di Danau Toba sangat keras, meskipun tebalnya hanya sekitar 1 mm. Di dalam tempurung ini terdapat kacang Macadamia yang berbentuk bulat, berwarna putih kekuningan, lunak dengan rasa gurih ketika dimakan (Gambar 3.1b). Macadamia memang merupakan salah satu tumbuhan penting penghasil kacang selain chestnut, cashew nut, dan almond (Hasanah, 1998; Djaenudin et al. 2001). Pohon Macadamia menghasilkan buah yang dapat dimakan dan bernilai ekonomi tinggi. Pohon yang ditanam di Kebun Percobaan Sipisopiso, Danau Toba yang dikelola Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli berbunga dan berbuah sporadis sepanjang tahun. Setiap pohon menghasilkan buah sekitar 2 hingga 5 kg/pohon setiap panen atau sekitar 10 hingga 20 kg/pohon setahun (Aswandi dan Kholibrina, 2017). Di pasaran, harga biji kering siap konsumsi mencapai Rp 500 ribu/ kg. Kernel biji dari buah dapat dimakan, yang rasanya lezat, enak, berwarna putih kekuningan dan beraroma sedap dengan sentuhan sedikit manis yang mengandung 70-72% minyak (High Density Lipid), 9-10% karbohidrat, protein 9-13%, mineral 0,7-2% terutama potassium, niasin, tiamin dan riboflavin serta air 5-6% (Aswandi et al., 2017; Hasanah, 1998; Djaenudin et al. 2001). Kandungan nutrisi sangat baik terutama lemak HDL yang tinggi sehingga dapat juga menjadi sumber pangan sehat. Selain dikonsumsi sebagai kacang (nut) maupun untuk pengisi cokelat, daging buah juga bisa diambil minyaknya dengan rendemen sekitar 30%. Minyak Macadamia mengandung sekitar 22% Omega-7 palmitoleic acic yang digunakan sebagai bahan baku industri kosmetika (Hasanah, 1998; Djaenudin et al. 2001). Pollen dari pohon ini juga sangat menarik bagi lebah sehingga memberikan pakan yang layak untuk produksi lebah madu (Aswandi dan Kholibrina, 2016; Aswandi et al., 2017)

41 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

3.3 Adaptabilitas pada Lahan Kritis Pohon Macadamia mulai dikenal ketika bangsa Inggris datang ke benua Australia. Tanaman ini memiliki toleransi yang baik terhadap suhu dengan kisaran 10-30 °C, maupun terhadap curah hujan dengan kisaran 1.250 - 3.000 mm/tahun, pH tanah sekitar 5,0-5,5. Salah satu negara bagian USA, Hawaii merupakan penghasil buah Macadamia yang terbesar di dunia yang diikuti Australia. Pada habitat aslinya, Macadamia integrifolia tumbuh optimal pada tanah lembab yang kaya unsur hara serta membutuhkan cahaya intensitas tinggi pada musim panas. Namun jenis ini juga mampu hidup mapan dan tahan terhadap kekeringan. Jenis ini membutuhkan pelindung karena batangnya mudah rusak oleh angin kencang. Selain itu tanaman ini juga dapat tumbuh pada iklim yang lebih sejuk dari pada habitat aslinya (Hasanah, 1998; Djaenudin et al. 2001). Berdasarkan ujicoba penanaman rehabilitasi hutan dan lahan di KHDTK Sipisopiso (1.200 m dpl), jenis eksotik ini mampu beradaptasi pada lahan alang-alang dengan ketersediaan unsur hara rendah, suhu tinggi, kelembaban rendah, dan intensitas cahaya tinggi. Pohon yang dikembangkan dari biji yang didatangkan dari Kebun Percobaan Lembang serta ditanam pada akhir tahun 2009 ini mampu tumbuh tanpa memerlukan perawatan intensif, tidak banyak gugur daun, tahan kebakaran dan mudah bertunas kembali setelah terbakar (Aswandi et al., 2017; Aswandi dan Kholibrina, 2017) Resistensi terhadap kebakaran ini merupakan karakter penting mengingat kebakaran merupakan peristiwa yang umum terjadi di kawasan ini. Selanjutnya, jenis yang ditanam di Sipisopiso ini juga diidentifikasi tidak bersifat invasif (Aswandi et al., 2017). Berdasarkan pengukuran pertumbuhan pada tahun 2017, tegakan Macadamia berumur tujuh tahun yang tumbuh pada lahan berbatu didominasi alang- alang memiliki diameter batang 15-25 cm dan tinggi 10-15 m (Aswandi

42 Bab 3 Macadamia integrifolia untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Ketahanan Pangan di Danau Toba et al., 2017). Daya hidup pohon di sekitar bebatuan dan alang-alang menunjukkan kemampuan tanaman mengikat air, yang dicerminkan dari kondisi kelembaban tanah yang lebih tinggi. Batang memiliki kulit beralur dan tebal dengan percabangan yang banyak. Jika batang patah atau terpotong maka akan muncul tunas (trubusan) baru. Tajuk lebar dan padat sehingga menghambat masuknya cahaya ke lantai hutan serta mengurangi energi curah hujan yang jatuh (Aswandi dan Kholibrina, 2017). Selain adaptif pada lahan kritis, pohon Macadamia penghasil buah yang dapat dimakan dan bernilai ekonomi. Pohon yang ditanam di daerah ini berbunga dan berbuah sporadis sepanjang tahun (Gambar 3.2). Kondisi ini berbeda dibandingkan sebaran asal tanaman ini di Australia barat, dimana hanya berbunga dan berbuah sekali setahun. Setiap pohon diperkirakan menghasilkan buah 2-5 kg/pohon setiap panen atau sekitar 10-20 kg/ pohon setahun (Hasanah, 1998; Djaenudin et al. 2001). Di pasaran, harga biji Macadamia tinggi mencapai Rp 500 ribu/kg. Polen dari pohon ini juga sangat menarik bagi lebah sehingga memberikan pakan yang layak untuk produksi lebah madu. Ketika telah masak, buah jatuh ke lantai hutan. Buah ini akan berkecambah, sehingga memunculkan semai-semai baru selama 3 hingga 4 bulan kemudian. Selain dari biji, permudaan Macadamia juga dapat diperoleh dari perbanyakan vegetatif dengan teknik stek. Saat ini satu hektar tegakan M. integrifolia yang dikelola di Hutan Penelitian Sipisopiso akan ditunjuk dan disertifikasi sebagai sumber benih. Selain adaptif pada lahan kritis, pohon Macadamia penghasil buah yang dapat dimakan dan bernilai ekonomi. Pohon yang ditanam di daerah ini berbunga dan berbuah sporadis sepanjang tahun. Kondisi ini berbeda dibandingkan sebaran asal tanaman ini di Australia barat, dimana hanya berbunga dan berbuah sekali setahun. Makadamia sangat potensial dikembangkan di

43 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Indonesia (Hasanah, 1998). Tanaman ini memiliki toleransi yang baik terhadap suhu dengan kisaran 10-30 °C, maupun terhadap curah hujan dengan kisaran 1.250-3.000 mm/tahun, pH tanah sekitar 5,0-5,5 (Djaenudin et al. 2001). Mempertimbangkan potensi dan daya adaptabilitasnya pada lahan kiritis, saat ini satu hektar tegakan M. integrifolia yang dikelola di Hutan Penelitian Sipisopiso akan ditunjuk sebagai sumber benih.

3.4 Teknik Perbanyakan a. Karakteristik Buah Buah Macadamia tumbuh pada tangkai bunga berupa dompolan. Ukuran dan bentuk buah Macadamia, mirip dengan buah duku, namun dengan tangkai yang lebih panjang dengan warna kulitnya hijau gelap. Ketika masak, buah jatuh ke lantai hutan. Buah ini selanjutnya akan berkecambah, sehingga memunculkan semai-semai baru selama 3 hingga 4 bulan kemudian. Selain dari biji, permudaan juga dapat diperoleh dari perbanyakan vegetatif dengan teknik stek.

Tabel 3.1 Karakteristik Buah Macadamia integrifolia Buah Kecil Sedang Besar No. Karakteristik Rata-rata Sp. baku Rata-rata Sp. baku Rata-rata Sp. baku 1 Berat basah (g) 5,42 0,144 7,66 0.099 9,54 0,038 2 Panjang (mm) 21,60 0,940 27,00 0,795 33,78 1,118 3 Diameter (mm) 21,05 1,050 26,55 0,583 32,50 1,288 Sumber: Aswandi et al. (2018)

Berat buah Macadamia bervariasi menurut dimensinya. Buah-buah berukuran besar memiliki rata-rata berat mencapai 9,54 g. Sedangkan buah berdimensi sedang memiliki berat 7,6 g dan buah berukuran kecil rata-rata 5,4 g/buah. Rata-rata berat buah secara keseluruhan mencapai 7,51 g. Dalam

44 Bab 3 Macadamia integrifolia untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Ketahanan Pangan di Danau Toba setiap kilogram terdapat 105 buah buah berukuran besar, 132 buah sedang dan 185 buah kecil. Rata-rata jumlah buah dalam setiap mencapai 141 buah (Aswandi et al., 2018) Perbedaan dimensi buah juga dapat dikelompokkan menurut besaran buahnya. Buah-buah besar memiliki panjang rata-rata 33,78 mm, sedangkan buah sedang mencapai 27,00 mm. Buah yang lebih kecil memiliki rata- rata panjang 21,05 mm. Secara total, rata-rata panjang buah adalah 27,20 mm. Selanjutnya, diameter diameter buah besar mencapai 32,50 mm, buah sedang mencapai 26,55 mm dan buah yang kecil mencapai 21,05 mm. Rata-rata diameter buah secara keseluruhan yaitu 2,65 mm. Tebal kulit buah tidak berbeda antara buah besar, sedang maupun kecil yakni setebal 6 mm (Aswandi et al., 2018). b. Karakteristik Benih Buah Macadamia memiliki benih yang dilapisi tempurung yang sangat keras. Diantara kulit buah dan tempurung terdapat bagian lunak yang sangat tipis berwarna putih kekuningan. Di dalam tempurung inilah terdapat kacang berbentuk bulat berwarna putih kekuningan, lunak dan rasanya gurih. Karakteristik benih Macadamia yang dikelompokkan berdasarkan dimensi benihnya terdapat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Karakteristik benih Macadamia integrifolia Buah Kecil Sedang Besar No. Karakteristik Rata-rata Sp. baku Rata-rata Sp. baku Rata-rata Sp. baku 1 Berat basah 4,62 0,142 5,49 0,086 7,57 0,140 2 Berat kering 4,29 0,123 5,20 0,116 7,39 0,137 3 Panjang 15,55 0,999 21,12 0,759 27,77 1,229 4 Diameter 15,25 1,251 20,48 0,549 26,37 1,336 Sumber: Aswandi et al. (2018)

45 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Seperti halnya perbedaan dimensi buah, berat basah biji (benih) Macadamia juga dipengaruhi perbedaan ukuran buah. Buah yang berukuran besar memiliki rata-rata berat 7,57 g atau 133 buah/kg, buah sedang memiliki berat basah 5,49 g atau 189 buah/kg dan berat biji basah buah kecil memiliki rata-rata 4,62 g atau 222 buah/kg. Rata-rata secara keseluruhan berat basah adalah 5,83 g atau terdapat 181 buah setiap kilogramnya. Selanjutnya, berat kering benih juga berbeda jika digolongkan menurun dimensinya. Benih yang berukuran besar memiliki berat kering rata-rata 7,39 g atau 135 buah/kg. Berat kering benih sedang memiliki rata-rata 5,2 g atau 192 buah/kg, sedangkan berat kering benih kecil memiliki rata-rata 4,2 g atau 238 buah/kg. Rata-rata berat kering benih secara keseluruhan mencapai 5,6 gr atau terdapat 188 buah setiap kilogramnya. Panjang benih juga dapat dikelaskan berdasarkan dimensi benihnya. Benih- benih berukuran besar memiliki panjang rata-rata 27,77 mm, benih sedang menunjukan panjang 21,12 mm dan benih kecil memiliki panjang 15,57 mm. Secara total rata panjang benih adalah 21,00 mm. Selanjutnya diameter tengah biji besar mencapai rata-rata 26,37 mm, biji sedang mempunyai diameter 20,48 mm dan biji kecil dengan diameter rata-rata 15,25 mm. Diameter rata-rata secara keseluruhan yaitu 2,3 mm. Diameter tebal kulit biji buah tidak begitu berpengaruh pada biji buah besar, biji buah sedang dan pada biji buah kecil. Dimana tebal kulit biji pada buah besar mempunyai rata-rata 0,3 mm (Aswandi et al., 2018). c. Perkecambahan Daya kecambah tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa perendaman yakni mencapai 86%, diikuti perlakuan perendaman dengan air dingin selama 24 jam yakni sebesar 78% (Gambar 3.2). Selanjutnya peretakan benih dan perendaman air dingin selam 3 jam memiliki daya kecambah yang sama yakni sebesar 58%. Daya kecambah tertinggi pada control menunjukkan

46 Bab 3 Macadamia integrifolia untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Ketahanan Pangan di Danau Toba berhubungan dengan keseragaman benih yang tidak memiliki tingkat kematangan yang sama. Namun, perlakuan benih yang diretak mempercepat masa perkecambahan. Perlakuan ini memperpendek hari berkecambah mulai hari ke 22 setelah benih disemaikan. Pengamatan dan pengukuran tinggi, diameter dan jumlah daun Macadamia selama 4 bulan dari perkecabahan 50 semai mempunyai tinggi rata-rata 13,7 cm dengan diameter rata-rata 0,32 mm dan jumlah daun rata-rata 4 daun (Aswandi et al., 2018). M. integrifolia telah ditanam dan tumbuh baik pada Hutan Penelitian Sipiso- piso (1.200 mdpl). Tegakan seluas 2 (dua) hektar yang dibangun pada akhir tahun 2009 untuk sumber benih, saat ini memiliki diameter batang 15-25 cm dan tinggi 10-15 cm dengan pembungaan dan buah yang masif. Kemampuan hidup pada lahan kritis, terbuka dan rentan kebakaran, menunjukkan bahwa jenis ini cocok di tanam di sekitar Danau Toba (Aswandi et al., 2018).

(a) (b)

(c) (d) Gambar 3.2 Perkecambahan dan Penyemaian Macadamia integrifolia

Sejak diperkenalkan tahun 2017 kepada masyarakat, tercatat animo masyarakat yang tinggi untuk menanamnya. Namun, permintaan jauh lebih tinggi dibandingkan ketersediaan bibitnya. Hal ini karena adanya tarik ulur (trade off) antara produksi kacang Macadamia dengan penyediaan bibit dari

47 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals benih (generatif), sehingga perbanyakan secara vegetatif menjadi solusi pengadaan bibit yang perlu dipertimbangkan (Gambar 3.2). Berdasarkan pertimbangkan ini, dicoba pengembangbiakan makadamia dengan teknik stek pucuk. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perbanyakan stek pucuk makadamia menghasilkan persentase hidup yang cukup besar mencapai 86,66% bahkan tanpa penambahan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT). Hal ini memungkinkan masyarakat lebih mudah mengadopsi teknik stek dan tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk membeli ZPT yang relatif mahal untuk menghasilkan bibit yang berkualitas dalam jumlah cukup.

3.5 Integrasi Agroforestry Apikultur Inisiatif penanaman Macadamia terintegrasi budidaya lebah pada sistem agroforestry di Danau Toba membuktikan tingginya potensi propolis dan madu lebah yang dihasilkan. Dari pemeliharaan 10-20 stup diperoleh pendapatan Rp 5–10 juta/bulan, sesuatu yang menjanjikan mengingat pemeliharaan lebah relatif mudah dan alokasi waktu yang minim (Aswandi dan Kholibrina, 2016; Aswandi et al., 2017). Lebah yang potensial dikembangkan adalah lebah madu (Apis) dan lebah Trigona penghasil propolis. Sumber pakan lebah Apis sebagian besar adalah nektar, sedangkan lebah Trigona adalah resin. Resin dan nektar relatif tersedia sepanjang tahun dari pohon Kemenyan serta bunga melimpah dari Macadamia dan Kopi (Coffea arabica). Potensi resin yang tinggi di DTA Danau Toba merupakan peluang pengembangan budidaya lebah Trigona. Tidak kurang 23.592 ha hutan kemenyan di wilayah ini. Usaha tani kopi juga sudah lama dikenal, tercatat total luas tanaman mencapai 57.075 ha (BPS Sumatera Utara, 2015).

48 Bab 3 Macadamia integrifolia untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Ketahanan Pangan di Danau Toba

(a) (b) Gambar 3.3 Pertumbuhan Macadamia pada Kebun Percobaan Sipisopiso

Kemampuan adaptasi yang tinggi pada lahan kritis, potensi nektar yang melimpah dari pohon Makadamia, teknik budidaya yang tidak rumit, harga jual madu dan permintaannya yang tinggi merupakan beberapa kekuatan dan peluang bagi pengembangan Macadamia yang diintegrasikan dengan budidaya lebah di DTA Danau Toba. Sebuah peluang besar bagi upaya pengentasan kemiskinan masyarakat. Manfaat penanaman Macadamia pada lahan kritis di DTA Danau Toba: 1. Meningkatkan ketahanan pangan dan kesehatan 2. Mengoptimalkan produktivitas lahan dan hasil hutan bukan kayu 3. Menggali sumber pendapatan alternatif masyarakat. 4. Mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan dan kegiatan- kegiatan yang merusak seperti penebangan liar, perladangan dan konversi lahan. 5. Atraksi menarik (pemandangan dan oleh-oleh) bagi wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba. 6. Menjaga kelestarian fungsi ekosistem

49 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

3.6 Penutup Budidaya pertanian yang dipadukan dengan berbagai tanaman konservasi tanah dan air akan meningkatkan efisiensi dan optimalisasi penggunaan lahan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. Penanaman pohon multi manfaat Macadamia integrifolia pada sistem agroforestry yang terintegrasi dengan budidaya lebah diajukan sebagai skema yang perlu dikembangkan. Macadamia memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi pada lahan kritis serta tahan terhadap kebakaran berulang, potensi nektar yang melimpah, teknik budidaya yang tidak rumit, harga jual madu dan permintaannya yang tinggi merupakan beberapa kekuatan dan peluang bagi pengembangan skema ini. Sebuah peluang besar bagi upaya pengentasan kemiskinan masyarakat di DTA Danau Toba.

Daftar Pustaka Aswandi, Kholibrina C.R., & Lumbangtobing S. (2018) Karakteristik Buah, Benih dan Penyemaian Macadamia integrifolia di Persemaian Aek Nauli, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Kehutanan Sumatrana. Aswandi & Kholibrina, C.R. (2017) Pemulihan Ekosistem Danau Toba. Medan: Bina Media Perintis. Aswandi, Pratiara & Kholibrina C.R. (2017) Pengembangan Agroforestry Macadamia dan Lebah Madu: Upaya Rehabilitasi Lahan Kritis di Danau Toba. Policy Brief, Volume 11 No. 11 Tahun 2017. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim. Badan Litbang dan Inovasi KLHK. http://puspijak.org/upload_files/ PB_2017_Vol_11_No_11_Pengembangan_Agroforestry_Aswandi1. pdf Aswandi & Kholibrina, C.R. (2016) Potensi Pengembangan Integrated Agroforestry-Apiculture untuk Pemulihan Ekosistem DTA Danau Toba dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Prosiding Seminar Nasional Inovasi dan Teknologi Informasi III, Samosir 11-12/11/2016.

50 Bab 3 Macadamia integrifolia untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Ketahanan Pangan di Danau Toba

Aswandi & Kholibrina, C. R. (2011) Rehabilitasi lahan kritis alang-alang dengan multi purposes-trees (MPTS). Makalah dipresentasikan pada Seminar Hasil-hasil Penelitian Tahun 2011. Tema Peran Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dalam Mendukung Kelestaria Hutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Medan: Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Aswandi (2009) Belajar dari pengalaman ITTO Restorasi Danau Toba: Beberapa catatan selama proses pendampingan. Prosiding Workshop Diseminasi Hasil Studi ITTO dan Tukar Menukar Pengalaman Dalam Pemulihan Ekosistem Danau Toba. Medan, 9 Februari 2009. Kerjasama ITTO PD 394/06 Rev. 1(F) dengan Puslitbang Hutan dan KA dan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara. Aswandi, & Sunandar. A.D. (2007) Peningkatan Kapasitas Rehabilitasi Lahan Kritis Pada Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian “Peran Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dalam Mendukung Rehabilitai dan Konservasi Kawasan Hutan di Sumatera Bagian Utara”. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. BPDAS Asahan Barumun (2017) Pengembangan Hutan Energi di Lahan Non-produktif di DTA Danau Toba dengan Partisipasi Masyarakat: Potensi Dampak Sosial, Ekonomi dan Lingkungan. Prosiding Workshop Inisiasi Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) Berbasis Biomassa Kayu di Propinsi Sumatera Utara. Kerjasama Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dengan Indonesia Sawmill Woodworking Association (ISWA) dan International Tropical Timber Organization, Pematangsiantar, 4 Desember 2017. BPS Sumatera Utara (2015) Sumatera Utara Dalam Angka. BPS Provinsi Sumatera Utara. http://www.sumut.bps.go.id Darwo, Sukmana, A., Napitupulu, B., Harianja, A.H., Sembiring, S. (2008) Informasi Teknis Faktor-faktor Keberhasilan Gerhan di Sumatera Utara. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

51 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Gintings, A.N. (2010) Rencana umum untuk pemulihan dan rehabilitasi ekosistem DTA Danau Toba secara partisipatif. Prosiding Workshop II: Diseminassi Hasil Studi ITTO dan Tukar Menukar Pengalaman Dalam Pemulihan Ekosistem Danau Toba. Medan, 28 Januari 2010. Kerjasama ITTO PD 394/06 Rev. 1(F) dengan Puslitbang Hutan dan KA dan Puslit Lingkungan Hidup Universitas HKBP Nommensen Sumatera Utara. Djaenudin, D., Saefoel, B., Suharjo, H. (2001) Lahan yang Berpotensi untuk Pengembangan Makadamia (Macadamia integrifolia) di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2 (1): 32-37. Hasanah, M. (1998) Peluang Pengembangan Makadamia di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 17(1): 32-38. Nawir, A.A., Murniati, Rumboko, L., Gumartini T., Hiyama, C. (2004) First Lessons Learned from Indonesia (Review of Forest rehabilitaton initiatives-lessons from the past). Progress Report.

52 BAB 4 STRATEGI PEMULIAAN DAN INOVASI KEMENYAN TOBA

Cut Rizlani Kholibrina Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli Jl. Raya Parapat Km 10,5 Sibaganding Parapat Email : [email protected]

4.1 Pendahuluan Kemenyan merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan memiliki kontribusi yang cukup tinggi bagi pendapatan asli daerah pada beberapa daerah di Tapanuli Sumatera Utara. Kemenyan adalah getah atau resin yang dihasilkan oleh pohon kemenyan (Styrax spp) melalui proses penyadapan (pelukaan kulit batang). Terdapat tujuh jenis kemenyan yang menghasilkan getah tetapi hanya empat jenis yang secara umum lebih dikenal dan bernilai ekonomis yaitu: (a) kemenyan durame (Styrax benzoin Dryand), (b) kemenyan bulu (S. benzoin var. hiliferum), (c) kemenyan toba (S. sumatrana J.J.Sm sinonim S. paralleloneurum) dan (d) kemenyan siam (S. tokinensis) (Heyne, 1987; Aswandi dan Kholibrina, 2017a). Dari ketujuh jenis tersebut, hanya dua jenis yang dibudidayakan di sentra-sentra budidaya jenis kemenyan di Tapanuli (Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan1) yaitu jenis kemenyan toba dan kemenyan durame. Diantaranya, kemenyan

1 Luas tanaman kemenyan di Tapanuli Utara seluas 16.359 ha dengan produksi 3.634,12 ton, Luas tanaman di Humbang Hasundutan seluas 5.593 ha dengan produksi 1.403,23 ton. Luas totalhutan/kebun kemenyan rakyat di Sumatera Utara 24.077,95 ha dengan produksi 6.060,89 ton (BPS Provinsi Sumatera Utara 2008) Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals toba lebih disukai karena memiliki kualitas getah yang lebih baik (padat dan jernih) serta harga jualnya relatif lebih tinggi (Kholibrina 2012; Aswandi dan Kholibrina, 2017a,b). Pemanfaatan dan budidaya kemenyan di wilayah Tapanuli telah berlangsung sejak abad ke-17 dan memberikan kontribusi yang besar terhadap ekonomi rumah tangga petani kemenyan, yaitu sebesar 70%-75% (Sianipar dan Simanjuntak, 2000). Pohon kemenyan dikelola dalam bentuk hutan atau kebun campuran. Terdapat empat kelompok kinerja pengelolaan hutan/ kebun kemenyan di lapangan. Kelompok pertama menggambarkan pengelolaan tegakan yang cukup intensif karena telah terdapat kegiatan pemeliharaan seperti pembersihan tanaman bawah, penebasan semak serta jarak tanaman yang cukup teratur. Tegakan berupa pola campuran yang didominasi kemenyan. Kelompok kedua merupakan pengelolaan tegakan- tegakan kemenyan yang kurang intensif, ditunjukkan pembersihan tegakan bawah dengan intensitas <50%. Tegakan kemenyan bercampur dengan tegakan alam sehingga jarak antar tanaman kemenyan tidak teratur. Kelompok ketiga menggambarkan tegakan kemenyan yang dikelola tidak intensif, didominasi tegakan alam. Sedangkan kelompok terakhir menggambarkan tegakan-tegakan kemenyan yang tidak dikelola intensif, didominasi tegakan alam (Aswandi dan Kholibrina, 2017b).

54 Bab 4 Strategi Pemuliaan dan Inovasi Kemenyan Toba

Gambar 4.1 Morfologi batang dan tajuk pohon (a), morfologi daun, pembungaan dan buah (b), karakteristik getah kemenyan durame (c), getah kemenyan toba (d) dan kemenyan bulu (e)

Pohon kemenyan menghasilkan getah yang mengandung senyawa benzoin dan banyak digunakan sebagai bahan baku industri, penambah aroma rokok, obat-obatan, bahan kosmetika, penolak serangga (insektisida alami), farmasi, dan pengawet makanan dan minuman (Heyne, 1987; Sianipar dan Simanjuntak, 2000). Kayu pohon kemenyan memiliki mutu baik (kelas kuat II-III, berat jenis 0,56 - 0,81) dan berwarna coklat muda. Kayunya dipergunakan untuk bahan bangunan dan untuk jembatan (Waluyo et al, 2001). Senyawa-senyawa yang terkandung dalam resin yang diperdagangkan sejak abad pertengahan antara lain asam sinamat (C6H5CH-CHOOH), asam benzoat, styrol, vanillin (C8H8O3), styracin, coniferil benzoate, coniferil

55 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals sinamate, resin benzoeresinol dan suma resinotannol. Penelitian terkini itu mengidentifikasi senyawa minor diantaranya incensol yang memiliki efek menenangkan dan digunakan pada industri farmasi. Dengan sejarah budidaya yang mengakar serta fakta bahwa kemenyan telah menjadi mata pencaharian masyarakat, pengembangan potensi kemenyan dengan spektrum yang lebih luas sangat prospektif di Sumatera Utara dan daerah lainnya. Namun perkembangan budidaya kemenyan saat ini belum optimal, ditandai belum adanya perbaikan teknik budidaya dan pemanenannya. Budidaya kemenyan masih mengacu pola tanam sederhana dengan memelihara tegakan-tegakan permudaan alam. Rendahnya regenerasi pohon kemenyan toba mengakibatkan sebagian besar pohon yang dipelihara telah berumur tua dengan produktivitas yang semakin menurun2. Hal ini mengakibatkan petani banyak menelantarkan kebun dan menebang pohon kemenyannya dan menggantinya dengan komoditas lainnya seperti kopi. Penebangan pohon dan konversi lahan juga mengakibatkan populasi pohon kemenyan di habitat alaminya3 juga mengalami penyusutan dan tentunya berdampak terhadap keletarian jenis dan menyusutnya potensi genetik kemenyan. Untuk meningkatkan produktivitas kemenyan4, modal dasar penguasaan teknik budidaya kemenyan yang dimiliki masyarakat harus ditingkatkan dengan menerapkan teknik silvikultur intensif dan disertai upaya perbaikan sifat-sifat pohon yang mampu menghasilkan produksi getah yang optimal melalui program pemuliaan. Pengembangan jenis kemenyan harus diawali 2 Pada tahun 2008, produktivitas kemenyan 309,20 kg/ha, turun menjadi 222,87 kg/ha pada tahun 2009 (Dinas Pertanian Humbahas, 2009). Nilai ini jauh menurun dari produktivitas tahun 1998 sebesar 2,7 – 3,5 ton/ha (Jayusman et al, 2003). 3 Luas hutan kemenyan tahun 1990 seluas 21.119 ha, tahun 1993 seluas 17.299 hektar dan tahun 2008 tinggal 16.359 ha. 4 Perbaikan tata niaga getah kemenyan juga harus mendapat porsi perhatian semua pemangku kepentingan karena implikasinya akan sangat menentukan animo masyarakat mengembangkan dan membudidayakan jenis kemenyan.

56 Bab 4 Strategi Pemuliaan dan Inovasi Kemenyan Toba dengan penyediaan benih unggul secara kualitas dan kuantitas. Penggunaan benih unggul beserta teknik silvikultur yang tepat akan memacu pengembangan dan peningkatkan produktifitas tanaman kemenyan di masa depan.

4.2 Botani Kemenyan Kemenyan tumbuh menyebar dari dataran rendah hingga pegunungan. Di Sumatera Utara kemenyan tumbuh baik pada rentang 900 sampai 2.100 m dpl pada pada keadaan lapangan dari mulai datar sampai berbukit-bukit atau bergelombang. Kemenyan tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang istimewa. Tumbuh pada tanah podsolik, andosol, latosol, regosol dan berbagai asosiasinya, mulai dari tanah berstruktur berat sampai ringan serta pada tanah yang subur sampai kurang subur. Namun, jenis semi intoleran ini tidak tahan terhadap genangan, sehingga memerlukan tanah berporositas tinggi. Kondisi ideal bagi tapak budidaya kemenyan memiliki solum tanah yang dalam, pH tanah antara 4 – 7, dengan curah hujan yang cukup tinggi dan tersebar merata pada tipe iklim A dan B menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Pohon Kemenyan termasuk jenis tanaman setengah toleran. Anakan kemenyan memerlukan naungan sinar matahari dan setelah dewasa, pohon memerlukan sinar matahari penuh. Selain itu, untuk pertumbuhan optimal kemenyan memerlukan curah hujan yang cukup tinggi, dan intensitas merata sepanjang tahun. Pohon kemenyan tersebar di beberapa negara antara lain Malaysia, Thailand, Indonesia dan Laos. Di Indonesia jenis ini terdapat di Sumatera, Jawa dan Kalimantan Barat. Di pulau Sumatera kemenyan dijumpai secara alami di pantai barat, hidupnya berkelompok dan berasosiasi dengan pohon lain. Di Sumatera Utara jenis kemenyan sampai saat ini masih dibudidayakan secara luas di daerah Tapanuli (Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan Humbang Hasundutan) dan Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat.

57 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

4.3 Produksi Getah Kemenyan Permintaan getah kemenyan tetap tinggi namun kemampuan produksi dari sentra-sentra kemenyan di Sumatera Utara menurun. Produksi getah kemenyan mencapai 6.060 ton pada tahun 2008, menurun hingga 4.620 ton pada tahun 2012 (BPS Sumut, 2008; 2013). Penurunan produksi disebabkan penurunan populasi akibat penebangan, umur tanaman tua dan permudaan yang mengandalkan regenerasi alam. Konversi dan penebangan mengakibatkan penurunan luas tegakan dari 24.077 ha tahun 2007 menjadi 22.005 ha pada tahun 2012 (BPS Sumut, 2013). Penurunan produksi terjadi cukup signifikan hingga 1.440 ton/ha selama empat tahun terakhir. Pengetahuan perbanyakan tanaman yang rendah dan waktu perkecambahan yang lama (8-9 bulan) menyebabkan petani hanya mengandalkan permudaan alami (Kholibrina, 2015). Diperlukan terobosan untuk mempercepat diperolehnya sumber bibit unggul melalui karakterisasi pohon plus dengan getah banyak (bocor getah). Puncak produksi getah kemenyan berlangsung pada umur 18-19 tahun dengan produksi 306,78 g/pohon atau 188.640,35 g/ha/tahun. Kisaran diameter pohon pada umur tersebut adalah 18-20 cm (Aswandi dan Kholibrina, 2017d). Berdasarkan serangkaian literasi, pilihan penebangan peremajaan dilakukan pada saat proyeksi produktivitas telah menurun hingga dari 290 g/pohon/tahun, yakni ketika tanaman berusia 40 tahun atau setara dengan pohon-pohon berdiameter > 40 cm. Jumlah kerapatan populasi normal adalah 625 pohon/ha, sehingga direkomendasikan untuk hutan kemenyan memiliki kerapatan kurang dari nilai tersebut (Aswandi dan Kholibrina, 2017b,c).

58 Bab 4 Strategi Pemuliaan dan Inovasi Kemenyan Toba

4.4 Permasalahan Pengelolaan Pengelolaan kemenyan di Tapanuli sudah dilakukan sejak dahulu kala. Namun, pengelolaannya pada umumnya masih bersifat tradisonal, bersifat turun-temurun dan berdasarkan pengalaman. Pengelolaan hutan kemenyan baik dari sisi budidaya, maupun sosial ekonominya cenderung tidak mengalami peningkatan yang berarti, bahkan dapat dikatakan mengalami degradasi. Hutan-hutan kemenyan milik masyarakat di Kabupaten Tapanuli Utara, misalnya telah banyak dialihfungsikan untuk tanaman atau penggunaan lain. Sebagai salah satu komoditas unggulan Sumatera Utara, kajian sosial, ekonomi, budidaya (silvikultur) dan keterkaitan serta peranan lingkungan pengelolaan kemenyan perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi getah dan produktivitas lahan, baik sebagai tegakan penghasil getah, maupun dalam dukungannya terhadap ekosistem kawasan. Beberapa permasalahan di bidang sosial yakni mengenai peranan sosial dan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan kemenyan, potensi dan resolusi konflik pengelolaan hutan kemenyan baik konflik horizontal maupun vertikal, serta peranan kelembagaan dan para pihak terkait dalam pengembangan kemenyan, kebijakan pemerintah daerah maupun pusat dalam pengelolaan. Pada bidang ekonomi, permasalahan yang perlu dijawab adalah permasalahan tataniaga terkait dengan pemasaran yang cenderung monopolistik, informasi pasar yang tertutup, fluktuasi harga, serta perlakuan grading yang tidak transparan dan jelas, ketidakseimbangan distribusi marjin keuntungan pada sistem tata niaga, ketiadaan regulasi ekonomi (harga) dari pemerintah, dan relatif tidak adanya peningkatan nilai tambah produk dari petani sampai dengan eksportir. Rantai pasar kemenyan di Sumatera Utara disajikan pada Gambar 4.2.

59 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Gambar 4.2 Rantai pemasaran kemenyan

Pada bidang silvikultur, permasalahan meliputi sistem budidaya yang masih tradisional, tidak adanya rekam jejak data produktivitas berbagai jenis kemenyan pada berbagai tapak dan asosiasi dengan tumbuhan atau tanaman lain, dan belum adanya teknologi pemuliaan tanaman kemenyan. Kurangnya penguasaan teknik budidaya dan pemahaman terhadap pentingnya mengusahakan tanaman kemenyan yang memiliki sifat genetika unggul mengakibatkan budidaya kemenyan masih mengandalkan cabutan permudaan alam (Kholibrina, 2013). Selain itu, praktik pemanenan getah yang umum dilakukan ketika pohon berbunga sebagai penciri pohon yang produktif menyebabkan terganggunya inisiasi calon buah (Kholibrina et al, 2017; Syamsuwida et al, 2014). Akibatnya sangat sedikit buah matang yang dihasilkan dari suatu pohon kemenyan yang dipanen. Hal ini menyebabkan produksi getah kemenyan semakin menurun setiap tahunnya. Oleh karena itu, peningkatan produksi getah kemenyan melalui identifikasi sumber-sumber benih superior merupakan pilihan yang dapat ditempuh selain melakukan perbaikan teknik silvikultur.

60 Bab 4 Strategi Pemuliaan dan Inovasi Kemenyan Toba

4.5 Inisiatif Litbang: Upaya Pemuliaan Pohon a. Sumber Benih Kemenyan Unggul Berdasarkan eksplorasi dilakukan Balai Litbang LHK Aek Nauli pada tahun 2011-2017 tegakan kemenyan pada beberapa lokasi di Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara, terdapat indikasi adanya variasi genetik Styrax sumatrana. Produksi getah kemenyan yang diamati bervariasi antar masing-masing individu pohon dan lokasi penanaman (ketinggian tempat dan kelembaban udara). Pohon-pohon yang tumbuh pada elevasi yang lebih tinggi (Dolok Sanggul - Humbang Hasundutan) umumnya menghasilkan getah yang lebih tinggi dibanding tanaman yang tumbuh pada elevasi yang lebih rendah (Pahae - Tapanuli Utara). Lebih lanjut, hasil observasi menunjukkan bahwa pohon kemenyan yang memiliki kulit batang yang lebih gelap (cokelat gelap), tebal dan kasar menghasilkan getah yang lebih banyak dibandingkan pohon yang memiliki kulit batang yang berwarna lebih terang, tipis dan halus. Belum diketahui apakah perbedaan ini berkaitan dengan ketinggian tempat ataupun pola penanaman (Aswandi dan Kholibrina, 2017b). Saat ini belum terdapat studi yang sistematis mempelajari variasi genetik Styrax sumatrana. Untuk mengamati variasi hasil kemenyan antar berbagai individu pohon, ketinggian tempat dan lokasi penanaman diperlukan penilaian yang sistematis yang membuktikan dugaan atas keberadaan variasi tersebut (Susilowati dan Kholibrina, 2017). Perkembangan metode analisa dan kemajuan riset komoditas hasil hutan bukan kayu lainnya, sangat memungkinkan diperoleh pohon-pohon yang memiliki produktivitas tinggi melalui program pemuliaan. Peningkatan produksi getah kemenyan melalui identifikasi sumber-sumber benih superior merupakan pilihan manajemen yang dapat ditempuh selain perbaikan teknik silvikultur. Petani

61 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals kemenyan akan memperoleh peningkatan pendapatan melalui peningkatan produksi getah per pohon pada luasan lahan yang sama dan mengurangi ketergantungan terhadap pembukaan lahan hutan baru. b. Strategi pemuliaan Salah satu strategi pemuliaan yang dapat diterapkan untuk memperoleh sumber benih kemenyan superior adalah melalui pembangunan tegakan benih provenans. Strategi ini memiliki biaya yang lebih ekonomis serta waktu yang relatif lebih pendek dengan potensi keunggulan genetik dari benih yang dihasilkan dapat terjaga. Tegakan benih provenans yang dibangun dapat dijadikan sebagai kebun konservasi in-situ dan ex-situ. Strategi pemuliaan kemenyan diarahkan melalui pembangunan tegakan benih provenan dalam jangka pendek dan kebun benih semai dan kebun pangkas dan kebun benih klon dalam jangka panjang. Strategi yang diusulkan dapat dilihat pada Gambar 4.3. Pengumpulan materi genetik dilakukan dengan melalui eksplorasi pada kebun atau hutan kemenyan rakyat maupun hutan alam yang terdapat di Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, dan Pakpak Bharat. Sejak tahun 2011, BP2LHK Aek Nauli telah mengumpulkan materi genetik dari 8 lokasi di Humbang Hasundutan (masing-masing 2 lokasi di Kecamatan Dolok Sanggul, Pollung, Parlilitan dan Sijamapolang), 7 lokasi di Tapanuli Utara (Tarutung 2 lokasi, Pahae Julu 2 lokasi, Siborong-borong 1 lokasi dan Pangaribuan 2 lokasi) (Kholibrina, 2013). Materi genetik dikumpulkan dari pohon-pohon induk yang dipilih berdasarkan 3 kriteria yaitu (1) kualitas getah yang baik (2) kuantitas getah banyak, serta (3) pohonnya berbuah banyak. Penentuan pohon induk juga dilakukan dengan memperhatikan distribusi kelas diameter pohon. Distribusi kelas diameter pohon ini diharapkan dapat mewakili pohon penghasil getah yang baik dari berbagai tingkat pertumbuhan. Materi genetik yang terkumpul kemudian dikecambahkan, dipelihara di persemaian dan ditanam.

62 Bab 4 Strategi Pemuliaan dan Inovasi Kemenyan Toba

Bahan tanaman dari berbagai provenans kemudian ditanam dan dipelihara hingga waktu tertentu (5 - 7 tahun) hingga dapat dilakukan uji produktivitas getah. Pada periode waktu tersebut, tegakan S. sumatrana yang telah dipilih pada saat eksplorasi ditetapkan sebagai calon pohon induk dan dipelihara sebagai tegakan provenans. Apabila berdasarkan uji produktivitas getah pada uji provenan diperoleh individu pohon memiliki produktivitas tinggi secara genetik serta memiliki kemampuan regenerasi yang baik yang ditandai dengan pembungaan dan produksi benih yang tinggi maka calon pohon induk tersebut ditetapkan sebagai pohon induk penghasil benih (Kholibrina, 2015; Kholibrina et al, 2017). Populasi pohon induk ini dapat dijadikan sebagai tegakan konservasi in-situ. Populasi perbanyakan yang dapat diperoleh melalui strategi ini adalah Tegakan Benih Provenans, Kebun Benih Semai, Kebun Benih Pangkas dan Kebun Benih Klon (Kholibrina, 2012). Perbedaan potensi genetik yang dimiliki diantara sumber benih yg berbeda, seringkali berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan dan kualitas tegakan yang dihasilkan.

63 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Gambar 4.3 Strategi pemuliaan kemenyan

64 Bab 4 Strategi Pemuliaan dan Inovasi Kemenyan Toba

Upaya penemuan bibit unggul saat ini mulai menemukan titik terang. Berdasarkan pengujian produktivitas ditemukan populasi pohon Kemenyan Toba yang memiliki produktivitas lebih dari 2 Kg getah per pohon per tahun. Pohon-pohon induk ini ditemukan berdasarkan hasil eksplorasi dan pengujian karakter fenotip pohon getah bocor selama tiga tahun di Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, dan Pakpak Bharat. Saat ini produktivitas kemenyan di perkebunan rakyat hanya 0,5 kg-0,75 kg per pohon per tahun. Pohon ini selanjutnya telah diperbanyak secara vegetatif (klon). Perbanyakan dari pohon plus ini ini berpotensi meningkatkan nilai perdagangan empat daerah di Sumatera Utara, yaitu Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, dan Pakpak Bharat. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS Sumut, 2013), produksi getah kemenyan mencapai 4.769,5 ton per tahun. Jika harga rata-rata Rp 250.000 per kg, nilai perdagangan yang diraih Rp 1,2 triliun per tahun. Dengan temuan indukan yang bisa memproduksi 2 kg getah per tahun, potensi bisa ditingkatkan menjadi Rp 3,6 triliun per tahun atau tiga kali lipat.

4.6 Inovasi Parfum Kemenyan Salah satu produk unggulan Pusat Unggulan Iptek Pengelolaan Hutan Tropis Dataran Tinggi yakni Parfum Kemenyan Tobarium lolos seleksi Hilirisasi Produk Unggulan PUI 2019 yang diselenggarakan Direktorat Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kemenristek DIKTI. Produk inovasi dari olahan dari Kemenyan, hasil hutan bukan kayu utama di daerah Tapanuli ini juga ditampilkan pada Indonesia Innovation Day (IID) di Jerman pada bulan Juni tahun 2019. Event IID tersebut merupakan salah satu upaya untuk mendukung peningkatan kapasitas Lembaga Pusat Unggulan Iptek dengan menampilkan 20 produk unggul nasional yang potensial dihilirisasi. Produk-produk unggul tersebut merupakan hasil kompetisi dari sekitar seratus produk-produk hasil riset yang diikuti oleh hampir seluruh Pusat Unggulan Iptek.

65 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Parfum ini merupakan inovasi anak negeri pertama yang menggunakan minyak Kemenyan sebagai base-note yang dipadukan dengan berbagai minyak atsiri dari flora hutan tropis Indonesia. Parfum kemenyan berbeda dibandingkan pewangi yang banyak beredar di pasaran, tidak mengandung alkohol, konsentrasi tinggi sehingga bertahan lama hingga 16-24 jam. Selain wangi, parfum juga dapat digunakan untuk aromaterapi dan penyegar. Parfum dibuat dengan mempertimbangkan gradasi aroma sesuai dengan lepasnya partikel masing-masing minyak atsiri penyusun, wangi parfum begitu berkelas, tahan lama dengan sensari aroma yang berbeda sepanjang waktu. Parfum kemenyan saat ini telah tersedia dalam tujuh varian aroma yakni Rizla (floral fresh), Riedh@ (floral fruit), Jeumpa (cempaka), Azwa (woody), Aphis (green oceanic), Tiara (oriental) dan Sylva (forest) (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Produk Inovasi Parfum Kemenyan Tobarium

Ide dasar pengembangan parfum Kemenyan mempertimbangkan manfaat multi-dimensi kemenyan sebagai sumber penghidupan dan perkembangan sosial budaya dan peradaban di wilayah ini, maka diperlukan upaya yang berkesinambangunan untuk menjaga produktivitas pohon kemenyan serta peningkatan nilai tambah produk olahannya. Peningkatan nilai tambah

66 Bab 4 Strategi Pemuliaan dan Inovasi Kemenyan Toba dilakukan salah satunya dengan mengolah resin menjadi produk parfum bernilai ekonomi tinggi. Tidak banyak yang mengetahui jika kemenyan memiliki aroma yang wangi dan lembut. Berabad masa, wangi kemenyan terasosiasi dengan aroma pembakaran dupa sedangkan pemanfaatan untuk berbagai produk yang bernilai tinggi dirahasiakan oleh para produsen besar. Formula wangi kemenyan tidak tergali sehingga resin pohon tersebut dihargai sangat murah. Ribuan ton resin kemenyan mentah dikirim ke luar negeri sebaliknya jumlah impor produk hilir minyak atsiri dalam bentuk parfum yang mencapai ratusan juta dolar. Inovasi parfum kemenyan merupakan produk inovasi yang diarahkan untuk mengisi celah riset serta menjawab permasalahan riil di masyarakat. Produk ini menggali formulasi wangi komoditas yang juga dikenal sebagai God’s resin yang digunakan oleh hampir semua agama dan kepercayaan di dunia. Selain meningkatkan nilai tambah, produk yang dihasilkan akan mengurangi ketergantungan terhadap impor parfum dan bahan baku parfum. Dampak kegiatan pengembangan produk antara lain peningkatkan nilai tambah produk sehingga ekonomi masyarakat meningkat. Selanjutnya inisiasi pembangunan industri pengolahan di dalam negeri dan di sekitar lokasi suplai bahan baku akan meningkatkan efisiensi biaya produksi sehingga daya saing produk nasional semakin tinggi. Produk yang dihasilkan akan membangun kebanggaan bangsa atas produk hasil inovasi putra nasional. Prospek pasar yang ingin disasar dari pengembangan produk-produk berbasis resin kemenyan adalah mengisi ceruk kebutuhan produk parfum yang mencapai US$ 401 juta pada tahun 2008 yang selama ini diisi dari impor (Rahmi 2018). Segmen pasar yang disasar adalah masyarakat kelas menengah ke atas dan eksekutif muda yang menyukai aroma eksotik dan energik; wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba; kolektor minyak aromaterapi; pembeli muslim atau pembeli produk halal/non alkohol; dan industry perhotelan.

67 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

4.7 Penutup Resin kemenyan merupakan komoditas hasil hutan bukan kayu utama di Sumatera Utara. Walaupun memiliki sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan asli daerah, jenis ini masih relatif sedikit menjadi obyek litbang pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Perubahan fungsi lahan, penebangan liar dan kurangnya usaha-usaha pemuliaan jenis dan pembangunan hutan campuran mengakibatkan populasi tegakan-tegakan pada hutan dan kebun rakyat semakin menipis. Oleh karena itu diperlukan strategi pengembangan yang tepat melalui percepatan pembangunan kebun dan hutan kemenyan unggul serta konservasi genetik secara in-situ dan ex-situ untuk mengurangi laju penipisan kekayaan genetiknya. Dukungan penelitian teknologi perbenihan sangat diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan perkecambahan benih yang selama ini menjadi pembatas kegiatan pengembangan benih unggul melalui pengamatan fenologi, ekologi dan pengumpulan materi genetik dari berbagai provenans kemenyan toba serta pembangunan tegakan induk kemenyan yang memiliki genetika unggul. Untuk meningkatkan produktivitas getah kemenyan diperlukan kajian peningkatan teknik silvikultur dan pengembangan strategi pemuliaan. Adanya kebijakan pemerintah dalam kegiatan penanaman dan rehabilitasi hutan yang menuntut tersedianya sumber benih yang bermutu tinggi dapat dijadikan sebagai pendorong kegiatan pemuliaan jenis ini. Pembangunan tegakan provenans dapat dijadikan sebagai strategi awal kegiatan pengembangan bibit unggul komoditas HHBK prioritas tersebut. Selain meningkatkan nilai tambah produk olahan, produk inovasi Perfum Kemenyan yang dihasilkan akan mengurangi ketergantungan terhadap impor parfum dan bahan baku parfum yang digunakan untuk berbagai personal care. Iniasi pembangunan industri pengolahan dilakukan di dalam negeri terutama di sekitar lokasi suplai bahan baku akan meningkatkan efisien biaya produksi serta daya saing produk dalam negeri sehingga akan

68 Bab 4 Strategi Pemuliaan dan Inovasi Kemenyan Toba membangkitkan kebanggaan bangsa atas produk hasil inovasi nasional. Inovasi produk turunan berbasis kemenyan diharapkan juga mendorong skema pengelolaan komoditas hasil hutan bukan kayu potensial dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Daftar Pustaka Aswandi & Kholibrina, C.R. (2017a) Pemulihan Ekosistem Danau Toba. Medan: Bina Media Perintis. Aswandi & Kholibrina, C.R. (2017b) Faktor-faktor Fenotipa dan Lingkungan Penentu Produktivitas Resin Kemenyan Toba (Styrax sumatrana J. J. Sm). Jurnal Penelitian Kehutanan Sumatrana 1(1): 1-9. Aswandi & Kholibrina, C.R. (2017c) Growth and yield model for non-timber forest product of kemenyan (Styrax sumatrana J.J. Sm) in Tapanuli, North Sumatra. International Conference on Agriculture, Environment, and Food Security. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 122 (2018) 012036. Aswandi & Kholibrina, C.R. (2017d) Model Penduga Produktivitas Getah Kemenyan Toba (Styrax sumatrana J.J. SM) di Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Kehutanan Sumatrana (1):10 – 21. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara (2008) Sumatera Utara dalam Angka 2008. Medan: BPS Provinsi Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara (2013) Sumatera Utara dalam Angka 2013. Medan: BPS Provinsi Sumut. Dinas Pertanian Humbahas (2009) Laporan Kegiatan Tahunan. Dinas Pertanian Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara.

69 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Heyne K, (1987) Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Jayusman, Hidayat, S., Suparta I.G.N.O. (2003) Mengenal dan Budidaya Pohon Kemenyan (Styrax spp.) Jenis Andalan Sumatera Utara. Pematangsiantar: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera. Kholibrina, C.R. (2012) Strategi Pemuliaan dan Peningkatan Teknik Budidaya Kemenyan Toba (Styrax sumatrana J.J.Sm. sinonim S. paralleloneurum). Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kehutanan. Medan, 3 Juli 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian Kehutanan. Kholibrina, C.R. (2013) Eksplorasi Pengumpulan Materi Genetik Kemenyan Toba (Styrax sumatrana J.J.Sm sinonim S. parallelloneurum) untuk Populasi Dasar dan Populasi Pemuliaan. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian BPK Aek Nauli. Tema Peran Penelitian Kehutanan dalam Konservasi dan Rehabilitasi di Sumatera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Medan, 28 – 29 Mei 2013. Kholibrina, C.R. (2015) Pembungaan Pohon Kemenyan Toba (Styrax sumatrana) di Arboretum Aek Nauli. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Badan Litbang dan Inovasi. Kholibrina, C.R., Aswandi, Susilowati, A. (2017) Flowering and fruiting phenology of Kemenyan toba (Styrax sumatrana J.J.Sm.) in Aek Nauli forest, North Sumatra. International Conference on Agriculture, Environment, and Food Security. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 122 (2018) 012061.

70 Bab 4 Strategi Pemuliaan dan Inovasi Kemenyan Toba

Rahmi, D. (2018) Minyak atsiri Indonesia dan peluang pengembangannya. Balai Besar Kimia dan Kemasan. http://bbkk.kemenperin.go.id/page/ bacaartikel.php?id=OSCDT7v3kbO42NmtwHDAEGAxVG96ARt A072jn2iwylQ Sianipar, H. & Simanjuntak, B. (2000) Isolasi dan Identifikasi Asam Sinamat dari Kemenyan Sumatrana. Media Farmasi 4(1): 22-28. Susilowati, A., Kholibrina, C.R. (2017) Phylogeny of kemenyan (Styrax sp.) from North Sumatra based on morphological characters. International Conference on Agriculture, Environment, and Food Security. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 122 (2018) 012062 doi :10.1088/1755-1315/122/1/012062. Syamsuwida, D., Aminah, A., Nurochman, N., Sumarni, E.B., Ginting, J. (2014) Siklus perkembangan pembungaan dan pembuahan serta pembentukan buah Kemenyan (Styrax benzoin) di Aek Nauli. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 11(2):89-98. Waluyo, T.K., Badrunasar, A., Nuryana (2001) Kemungkinan Pemanfaatan Kayu Kemenyan (Styrax benzoin) Sadapan. Prosiding Optimalisasi Nilai Sumber Daya Hutan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera. Pematangsiantar, 80-85.

71

BAB 5 KARAKTERISTIK DAN TEKNIK SILVIKULTUR KAYU KAPUR (Dryobalanops aromatic Gaertn)

Aswandi dan Cut Rizlani Kholibrina Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli Jl. Raya Parapat Km 10,5 Sibaganding Parapat Email : [email protected]

5.1 Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ekosistem hutan tropis terluas di dunia. Luas penutupan hutan mencakup 86-93 juta ha atau hampir setengah wilayah daratannya, merupakan habitat bagi 17% spesies burung, 16% spesies reptilia dan amfibia, 12% spesies mamalia dan 10% spesies flora dunia (Widjaja et al., 2014). Menilik keanekaragaman hayati yang tinggi tersebut, sejarah pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Sejak awal pembangunan, pengelolaan hutan melalui eksploitasi kayu menjadi sektor penting peraih devisa sebagai modal pembangunan. Namun, manfaat ekonomi langsung yang diperoleh juga mengorbankan kelestariannya. Seluas 59,62 juta ha hutan telah rusak dengan laju deforestasi yang signifikan yakni 3,5 juta ha/tahun selama periode 1996-2000 dan 1,09 juta ha/tahun pada periode 2014-2015 (Kementerian LHK, 2019). Kerusakan hutan tersebut mengakibatnya terganggunya fungsi ekosistem hutan dalam penyediaan hasil Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals kayu maupun bukan kayu, jasa lingkungan, serta secara langsung maupun tidak langsung memiskinkan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Salah satu upaya yang dicanangkan pemerintah untuk mengatasi tingginya laju kerusakan hutan adalah pengembangan skema pengelolaan hutan yang mengoptimalkan pelibatan masyarakat dengan hasil hutan bukan kayu sebagai komoditas utamanya (Permenhut No. 35 Tahun 2007). Berbagai studi menunjukkan bahwa skema ini menjanjikan bagi penyediaan alternatif mata pencaharian dan pengentasan kemiskinan. Salah satunya adalah pemungutan minyak kapur atau kamper di pantai barat Sumatera. Minyak atau kristal kapur (kamfer) dipanen dari pohon kapur (Dryobalanops aromatica Gaertn) yang tumbuh pada alami di Aceh Singkil, Subulussalam hingga daerah Barus dan Natal di Sumatera Utara sejak abad ke-18. Pada masa itu, senyawa yang mengandung borneol menjadi ikon perdagangan internasional dan digunakan untuk wewangian, bahan pengobatan diantaranya untuk antiseptik, anti-inflammasi dan analgesik. Namun, permintaan yang tinggi terhadap komoditas HHBK di atas tidak diimbangi oleh suplai yang tersedia. Penebangan pohon kapur untuk produksi kayu ataupun akibat kerusakan dan konversi hutan telah mengakibatkan penurunan populasinya. Saat ini, sangat jarang masyarakat memanen resin kapur akibat semakin jarangnya pohon kapur yang ditemui di hutan. Jikapun ditemukan pohonnya, sangat sulit diperoleh resin kapur dalam bentuk kristal. Sebagian besar hasil penyadapan berbentuk minyak yang lebih cair serta memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah dibandingkan resin berbentuk kristal. Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan karakteristik pohon kamper (botani, sebaran, produktivitas) dan teknik silvikulturnya. Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan alternatif strategi perbanyakan, penyediaan sumber bibit unggul dan perbaikan teknik pemanenan resin yang dihasilkan.

74 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn)

5.2 Sejarah Perdagangan Kapur Cerita tentang pohon kapur seperti kembali ke masa lalu. Pohon sejarah ini menebar keharuman ke berbagai penjuru dunia melalui kristal kapur (kamfer) dan minyaknya (ombil). Kedua komoditas ini menjadi magnet yang mendatangkan bangsa asing ke nusantara selain gaharu, cendana, pala, pinang, cengkeh, kayu manis, lada, dan kemenyan (Azhari, 2016). Berdasarkan catatan sejarah, penamaan Pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera tidak lepas dari perdagangan komoditas ini. Hal ini diberitakan Claudius Ptolemaeus pada abad II M pada bukunya Geographyke Hyphegeiss yang menyebut Barus sebagai Barousai (Azhari, 2016). Perdagangan mancanegara di wilayah ini juga ditemukan pada Prasasti Tamil di Desa Lobu Tua Kecamatan Andam Dewi pada Tahun 1873. Prasasti “Yang Ke Lima Ratus dari Seribu Arah” memiliki tariks 1010 Saka atau 1008 M (Guillot, 2002 dalam Azhari, 2016). Kamfer memiliki berbagai manfaat, diantaranya sebagai penguat (tonikum), perangsang syahwat (aphrodisiacum), dan radang mata pada masyarakat China (Heyne, 1987). Pada peradaban Mesir kuno, kamfer dicampur rempah- rempah dari Ophir digunakan sebagai pengawet jasad manusia (balsamisasi). Jasad raja-raja Mesir pada abad VI–XVI M diawetkan menggunakan kamfer, termasuk mumi Ramses II dan Ramses III. Masyarakat Timur Tengah juga menggunakan kamfer sebagai bahan obat-obatan dan parfum (Azhari, 2016). Sejarah mencatat bahwa kapur merupakan komoditas penting bagi Eropa dan Timur Tengah untuk datang ke Barus. Marco Polo, saudagar dan penjelajah berkebangsaan Italia mengatakan bahwa harga kapur semahal emas. Claude Guillot menyatakan bahwa informasi tentang kamper yang berumur paling tua berasal dari abad IV M, ditulis seorang pedagang bernama Sogdian pada saat menelusuri jalur sutra dengan istilah ejaan China, “kprwh”. Istilah

75 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals kamper juga dimuat dalam kronik Dinasti Liang, China (502–557 M), dinamakan kamper Po-lu, suatu nama tempat yang identik dengan Barus (Azhari, 2016). Istilah kamper pertama di dunia barat digunakan oleh Amida (502– 578 M), seorang dokter Yunani di Mesopotamia, dalam karya Actius. Catatan lain dilaporkan, pada tahun 638 M ketika pasukan Arab merebut Istana Chosroes II di kota Madan di tepi Sungai Tigris, ditemukan sejumlah tempayan berisi kamper. Pada abad IX, Al-Kindi, ahli kimia berkebangsaan Arab telah menulis manfaat kapur dalam Kitab Kimiya al-‘Itr. Pada zaman kolonial sekitar tahun 1783, William Marsden seorang pegawai pemerintah kolonial Inggris di Bengkulu, telah menulis dalam bukunya History of Sumatra, kapur barus memiliki peran penting dalam perdagangan di Sumatera (Azhari, 2016). Marsden juga menyebutkan bahwa harga kapur barus pada saat itu sekitar 6 dollar Spanyol per pon (0,5 kg). Harga tersebut setara dengan harga emas, bahkan di pasar China, harga kapur lebih mahal, yakni 9-12 dollar Spanyol per pon. Harga jual kapur yang tinggi disebabkan permintaan yang tinggi dari kalangan tabib Arab yang menggunakan kapur sebagai obat berkhasiat tinggi dalam penyembuhan beberapa penyakit, serta sulitnya untuk mendapatkannya (Azhari, 2016). Ditegaskan Heyne (1987) bahwa pada tahun 1907 harga jual kapur barus di daerah Singkil Sumatera mencapai 40 dollar, melebihi harga perak.

5.3 Karakteristik Pohon Kapur a. Botani Pohon Kapur merupakan salah satu anggota famili yang menghasilkan beragam komoditi bernilai ekonomi seperti kapur (kamfer), balsam, damar, minyak atsiri, dan kayu. Di samping itu, keberadaan pohon

76 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn) kapur pada saat ini menurut IUCN Redlist termasuk dalam status konservasi rentan (vulnerable). Taksonomi pohon Kapur sebagai berikut: Kingdom : Plantae Ordo : Famili : Diterocarpaceae Genus : Dryobalanops Species : Dryobalanops aromatica Gaertn. Berdasarkan tata cara pemberian nama, Dryobalanops aromatic Gaertn. sinonim D. camphora Colebr., D. sumatrensis (J.F. Gmel.) Kosterm, D. junghuhnii Becc., D. vriesii Becc., Laurus sumatrensis J.F. Gmel., Arbor camphorifera Rumph., Dipterocarpus dryobalanops Steud., Dipterocarpus teres Steud., Shorea camphorifera Roxb., dan Shorea costata J.Presl. (Kosterman, 1988). Selain dikenal sebagai Kapur barus atau Kapur singkel, di kawasan Borneo memiliki nama Kapur, Kapur anggi, Kapur bukit, Kapur peringii, Kapur ranggi, Keladan, atau Kladan. Dalam perdagangan, jenis ini dikenal dengan nama Indonesian kapur (UK, US), capur d’Indonesia (Fr), capur indonesiano (Sp, It), indonesisk kapur (Sw), Oost-Borneo kamfer, kapoer (Nl), indonesische kapur (Gm) dan kapur (My, Sbh, Swk). Nama spesies berasal dari bahasa latin (aromaticus= rempah-rempah) dan mengacu pada bau damar (resin). Spesies ini salah satu sumber utama borneol. Pohon kapur termasuk pohon dominan dengan diameter batang mencapai 150 cm dan tinggi hingga 60 m. Batang tegak lurus dilengkapi banir dengan tajuk menjulang. Kulit kayu berwarna cokelat atau cokelat kemerahan dengan permukaan kasar, beralur tidak dalam dan pecah-pecah. Aroma kapur akan tercium apabila batang ditebang atau daunnya diremas. Daun tunggal dan berseling, permukaan daun mengkilap, tulang daun sekunder menyirip sangat rapat dengan stipula berbentuk garis dan sangat

77 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals mudah luruh. Bunga berukuran sedang, kelopak mempunyai ukuran sama besar, mempunyai mahkota bunga elips, mekar, putih berlilin, dan memiliki 30 benang sari. Buah agak besar, mengkilap, dan bersayap sebanyak 5 helai. Morfologi daun dan tajuk kapur dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1 Morfologi daun dan tajuk kapur (Dryobalanops aromatica) b. Habitat dan Penyebaran Dryobalanops merupakan salah satu marga Dipterocarpaceae dengan pola sebaran mengikuti gambaran umum Dipterocarpaceae. Di Indonesia Dipterocarpaceae tersebar tidak merata di setiap pulau, semakin menuju ke arah timur keanekaragaman jenis semakin kecil (Ashton, 1982). Sebaran Dryobalanops di Kalimantan sebanyak 7 jenis sedangkan di Sumatera hanya 2 jenis (Purwaningsih, 2004). Beberapa tipe hutan yang menjadi tempat sebaran Dryobalanops, yaitu: hutan gambut, pantai, kerangas, rawa air tawar, tepi sungai, dan lahan pamah. Marga ini hanya dijumpai pada ketinggian 0-1000 m dpl, dengan rincian ditemukan 5 jenis tumbuh di ketinggian 0-500 m dpl dan 2 jenis tumbuh

78 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn) di ketinggian 500-1000 m dpl (Purwaningsih, 2004). Sementara menurut Whitmore (1988), anggota Dipterocarpaceae tumbuh optimal pada daerah tropis basah dengan curah hujan > 100 mm/tahun dan/atau musim kemarau kurang dari 6 bulan. Habitat kapur terdapat pada hutan Dipterocarpaceae campuran pada lereng- lereng bukit, dan pegunungan bertekstur tanah yang mengandung pasir. Sebaran tumbuhan ini mulai dari Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Borneo (Sarawak, Brunei, Sabah dan Kalimantan Timur). Beberapa wilayah di Indonesia yang termasuk sebaran alami diantaranya di bagian barat Singkil, sungai Natal, antara Sibolga dan Padang Sidempuan sampai Aerbangis dan di bagian timur mulai selatan Sungai Rokan sampai utara Batanghari. Ke arah timur ditemukan di Kepulauan Riau termasuk Bengkalis dan Malaka, ke arah barat Pulau Mursala, namun pohon ini tidak dijumpai di pulau- pulau Simalur, Nias, dan Kepulauan Batu (Heyne, 1987). Berdasarkan eksplorasi di Subulussalam, Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah, pohon kapur ditemukan tersisa tumbuh mengelompok pada dataran rendah hingga perbukitan pada ketinggian 700 mdpl. Setelah era pengusahaan hutan berakhir di wilayah ini, tegakan kapur hanya ditemukan pada spot-spot kecil terpisah yang tidak terjangkau operasi pemanenan kayu di Kadabuhan, Jongkong dan Sultan Daulat di Subulussalam, Singkohor dan Danau Paris di Aceh Singkil, serta Sirandorung dan Manduamas di utara Barus Kabupaten Tapanuli Tengah. Jenis ini juga teridentifkasi mampu beradaptasi tumbuh pada rawa gambut Singkil. Tekanan konversi hutan dan perambahan hutan menyebabkan populasi jenis ini sangat sedikit ditemui pada habitat alaminya. Penurunan populasi berdampak langsung pada penurunan produktivitas hasil hutan bukan kayu bernilai tinggi ini. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis pohon kapur yang adadi Subulussalam, Singkil dan Barus merupakan jenis Dryobalanops aromatica. Lokasi vegetasi alami pohon kapur di Subulussalam berada di Kedabuhan,

79 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Pulau Penyengat, Laut bangko/Singgersing dan Babaluhung. Vegetasi kapur yang tersisa merupakan spot hutan tersisa yang sekitarnya telah terjadi alih fungsi lahan menjadi lahan perkebunan sawit (Gambar 5.2). Pohon kapur yang berada di Kedabuhan memiliki tinggi dan diameter yang cukup besar (85 – 180 cm) dengan tinggi 20-25 m. Populasi pohon kapur yang di laut bangko diameternya relatif seragam yani 15-35 cm, dengan tinggi 8-12 m. Pohon induk dengan diameter yang besar tidak ditemukan di sini. Pohon kapur ini memiliki masa berbunga 3 - 4 tahun sekali, dengan prediksi bulan berbunga Oktober-November (Kholibrina et al., 2015).

Gambar 5.2 Gangguan perambahan dan alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit di Singgersing, Subulussalam Aceh Sumber: Kholibrina dan Aswandi, 2015

80 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn)

Berdasarkan eksplorasi di Aceh Singkil ditemukan tegakan alami pohon kapur di Desa Lae Sipola Kecamatan Singkohor, Aceh Singkil. Populasi tersebut berada di sekitar perkebunan kelapa sawit dalam bentuk hutan campuran. Pohon kapur memiliki diameter 20 cm hingga >50 cm dengan mencapai tinggi lebih dari 25 m dengan bebas cabang mencapai tinggi 17 m. Populasi pohon kapur di Sirandorung memiliki sebaran diameter yang lebih lebar dari diameter 10 cm hingga >50 cm. Dari 28 batang pohon contoh yang diukur sebanyak setengahnya berada pada Kelas Diameter 40-49 cm. Pohon yang memiliki diameter >50cm berjumlah empat pohon. Dibandingkan ukuran diameter di Singkohor, pohon-pohon kapur di Sirandorung berukuran lebih besar dan tinggi hingga 27-28 m dengan bebas cabang mencapai tinggi 15- 21 m (Kholibrina dan Aswandi, 2016).

5.4 Produktivitas a. Kayu Kapur Kapur merupakan salah satu kayu perdagangan penting di Indonesia. Ekspor kayu bulat (log) dari Sabah tahun 1987 mencapai 863.000 m3 dengan nilai US$ 70 juta. Pada tahun 1992 terdiri atas 267.000 m3 kayu bulat dan 97.000 m3 kayu gergajian dengan nilai total US$ juta. Di Indonesia perdagangan kayu Kapur dan Keruing (Dipterocarpus spp.) mencapai nilai ekspor US$ 100 juta tahun 1989. Tetapi kayu Kapur hanya menyumbang 18% dari nilai ini dengan volume ekspor 83.000 m3 (Kholibrina dan Aswandi, 2016). Kayu D. aromatica dapat digunakan untuk balok, tiang, rusuk dan papan pada bangunan perumahan dan jembatan, serta dapat juga dipakai untuk perkapalan, peti (koper), mebel dan juga peti mati. Kayu kapur juga dipakai untuk kayu lapis, konstruksi berat di tempat yang tidak ada serangan rayap yang hebat, papan lantai, mebel murah, gading-gading dan papan kapal, sirap yang digergaji, dan peti pengepak untuk barang berat. Sifat dan struktur kayu Kapur dapat dilihat pada Tabel 5.1

81 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tabel 5.1 Sifat dan struktur kayu kapur (D. aromatica) Sifat dan No. Deskripsi Struktur 1 Tekstur Tekstur kayu agak kasar dan merata 2 Arah serat Arah serat lurus atau berpadu 3 Kesan raba Permukaan kayu licin 4 Kilap Permukaan kayu mengkilap 5 Bau Kayu berbau khas kamper yang sangat menyolok jika masih segar, tetapi cenderung untuk hilang jika dikeringkan 6 Berat jenis dan 0,81 (0,63-0,94); II-I kelas kuat 7 Penyusutan Laju penyusutan sedang hingga tinggi: dari kayu segar sampai kadar 15% menyusut 1.7-2.1% radial dan 3.8- 4,6% tangensial. Dari kayu segar hingga kadar air 12% menyusut 2,1-3,5% radial dan 3,8-8,0% tangensial, dan dari kayu segar ke kering tanur 4,4% radial dan 9,6% tangensial 8 Kelas awet II-III 9 Keterawetan Kayu teras sukar diawetkan, tetapi kayu gubal mudah dimasuki bahan pengawet 10 Pengeringan Papan tebal 2,5 cm yang dikeringkan sampai kadar dalam dapur air 15% memerlukan waktu 7 hari. Papan tebal 4 cm pengering memerlukan waktu 10 hari. Bagan pengeringan yang dianjurkan adalah suhu 55 – 70 oC dan kelembaban relative 85%. Cacat yang sering terjadi adalah retak ujung. 11 Pengerjaan Kayu kapur mudah digergaji dalam keadaan segar, tetapi gigi gergaji biasanya agak lengket. Banyak mengandung silica, sehingga sulit dikerjakan dengan mesin dan gergaji dalam keadaan kering. Permukaan kayu agak kasar jika diserut dalam keadaan basah, tetapi jika diserut dalam keadaan kering dapat menghasilkan permukaan yang halus. Pemboran dapat memberi hasil yang baik jika alatnya tajam. Sumber : P3HH (2008)

82 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn) b. Borneol dan Kamfer Borneol adalah terpena alkohol menyerupai powder atau kristal yang berwarna putih (C10H18O), yang diperoleh dari batang pohon Dryobalanops, yang banyak digunakan dalam pembuatan wewangian, antiseptik dan lain- lain (Huo,1995). Di China dikenal dengan nama Bing pian’s yang berfungsi sebagai anti-inflammasi dan analgesik. Namun borneol murni bersifat racun yang dapat mengakibatkan kekacauan mental. Salah satu penggunaannnya adalah sebagai bahan tambahan pada pembalut wanita (bio panty) yang bermanfaat untuk mengurangi kesakitan dan tekanan ketika haid, mengurangi kesakitan otot dan sendi, membantu membersihkan darah beku, dan mencegah perkembangbiakan kuman (Choi, 2003; Duke, 2005). Akhir-akhir ini borneol banyak dicari karena efektif untuk mencairkan darah beku pada kasus pembekuan darah, penyumbatan pembuluh darah pada jantung maupun otak manusia (Dharmananda, 2003). Pohon Kapur merupakan penghasil kapur barus (kamfer) selain Cinnamomum camphora. Kristal kamfer terdapat pada saluran parenkin aksial batang (Yamada dan Suzuki, 2004) sehingga sering dipemanen dengan menebang dan membelah batangnya. Kristal juga bisa muncul pada kulit batang yang terluka. Dahulu proses pengambilan kristal meliputi beberapa tahap, mulai dari memilih dan menebang, dan memotong batangnya dalam bentuk balok. Pemilihan pohon tidak selalu berhasil memperoleh kristal kapur. Penebangan pun dilakukan secara sembarangan sebelum menemukan sebatang pohon yang berisi cukup kapur barus. Apabila ditemukan pohon yang memang berisikan cukup kristal, kemudian dilakukan proses pengumpulannya (Gusmailina, 2013). Terdapat dua cara yang dilakukan yaitu potongan balok kayu dibelah. Dari setiap potongan balok diperoleh kristal kapur. Pengambilan kristal kapur itu juga dapat dilakukan dengan cara menakik tiap potongan balok. Dari satu pohon yang ditebang dapat diperoleh sekitar 1,5–2,5 kg kristal kapur dengan kualitas yang berbeda. Cara lain pengambilan kristal adalah

83 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals dengan mengambil langsung dari batang yang keluar secara alami dari pori- pori kulitnya. Cara kedua lebih baik dari cara pertama, karena tidak harus menebang pohon, cukup menyadap dari batang pohon. Selain kristal kamfer, pohon kapur juga menghasilkan ombil – minyak kapur. Menurut Junghuhn ombil juga terdapat pada ranting-ranting dan daun. Borneol potensial sebagai bahan baku obat organik. Dahulu, minyak kapur telah digunakan dalam pengobatan tradisional penyakit ringan dan minyak gosok. Kandungan borneol kristal kamfer mencapai 92,7% sedangkan minyak kapur 30,72%, jauh lebih tinggi dibanding D. lanceolata (Pasaribu et al., 2015). Borneol bersifat menghambat aktivitas mikroba, bakteri dan mengandung antioksidan tinggi. Antioksidan pada minyak (nilai IC50 >

10000 ppm) lebih rendah dibandingkan ekstak kulit (IC50 6,54 ppm) dan daun (IC50 16,05 ppm). Hasil uji bioaktivitas, borneol mampu memperbaiki sistem saraf dan memiliki efek menenangkan. Efektif untuk mengobati nyeri otot dan sendi, serta pencairan darah beku pada penyumbatan pembuluh jantung dan otak (Dharmananda, 2003; Duke, 2005). Secara konvensional, kristal kapur dipanen dengan cara menebang dan membelah batang menjadi balok-balok kayu. Dengan cara ini diperoleh sekitar 1,5–2,5 kg kristal kapur dengan berbagai kualitas. Pengambilan kamper juga dapat dilakukan dengan membuat takik pada batang pohon berdiri serta menampung resin cair (ombil) yang dikeluar dari saluran damar yang dilukai. Ranting dan daun juga mengandung borneol. Kandungan aromatik pada bagian ini membuka peluang bagi penyediaan borneol melalui proses destilasi. Secara tradisional, damar ini dimanfaatkan sebagai obat luka luar setelah mengalami proses pengeringan dengan cara meremas-remaskan di bagian kulit yang terluka. Minyak atsiri diperoleh melalui proses penyulingan dari bagian daunnya, minyak ini seringkali dimanfaatkan sebagai bahan dasar

84 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn) pembuatan kosmetik dan parfum terutama oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang kefarmasian. Selain itu dari buahnya dapat dibuat manisan yang langsung dapat dimakan, bahkan berdasarkan catatan sejarah dengan cara memasak buah di atas perapian dapat dihasilkan minyak (Heyne, 1987). Balsam juga dapat diperoleh dengan membuat takikan berbentuk lubang sedalam 4 inci dari kulit kayu pada pangkal pohon. Dari takikan tersebut akan mengalir cairan balsam secara perlahan-lahan dan sekitar 6 jam akan diperoleh balsam sebanyak setengah cangkir teh kecil. Kebanyakan orang dahulu memanfaatkan balsam sebagai pengganti minyak kayu putih untuk obat sakit gigi, untuk mengobati radang mata yang telah memerah, dan untuk luka luar yang telah terinfeksi kuman (Heyne, 1987). Berbagai bentuk resin kapur disajikan pada Gambar 5.3. Informasi tentang produktivitas, kuantitas dan kualitas Dryobalanops spp. sebagai penghasil HHBK belum banyak ditemukan, bahkan hampir tidak ditemukan. Di Sumatera Utara pohon kapur semakin sulit ditemukan di habitatnya. Pohon ini sudah termasuk salah satu tanaman langka di Indonesia. Kelangkaan dan terancam punahnya spesies tanaman ini diakibatkan oleh penebangan yang tidak terkendali untuk mendapatkan kristal kapur di dalamnya. Padahal kandungan kapur dalam setiap pohon tidak sama. Ancaman lainnya diakibatkan kerusakan hutan serta konversi lahan menjadi kebun kelapa sawit.

85 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Gambar 5.3 Resin kapur dalam berbagai bentuk

5.5 Teknik Silvikultur a. Perbanyakan Vegetatif Teknologi perbanyakan secara vegetatif diperlukan untuk mengatasi keterbatasan benih yang tersedia. Strategi pemuliaan jenis rentan ini dimulai dengan mengumpulkan materi genetik dari berbagai provenan yang selanjutnya digunakan untuk mendukung penyediaan populasi dasar, populasi pemuliaan, populasi perbanyakan dan populasi produksi bagi pengembangan hutan tanaman kapur secara luas. Pada perbanyakan stek vegetative (Gambar 5.4), persentase hidup tertinggi pada media pasir dengan penambahan ZPT sebesar 80%, dan yang paling rendah adalah pada media pasir tanah arang sekam dengan tanpa pemberian ZPT yaitu sebersar 40%, persentase stek berakar yang paling tinggi media pasir dengan penambahan ZPT sebesar 50% dan persentase hidup yang terendah adalah pada media pasir tanah dengan tanpa penambahan ZPT yaitu sebesar 30%. 86 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn)

Gambar 5.4 Perbanyakan vegetatif kapur b. Penanaman dan Pemeliharaan Pertumbuhan kapur bersifat semi toleran. Semai dan permudaan hingga tingkat pancang membutuhkan sedikit naungan (intensitas cahaya 20- 50%), namun pertumbuhan pohon sejak tingkat tiang membutuhkan sinar matahari penuh. Mempertimbangkan sifat fisiologi tersebut, penanaman campuran dengan pola agrofrestri disarankan sebagai salah satu skema optimalisasi lahan (Gambar 5.5). Berdasarkan ujicoba di Aceh Selatan, Kapur tumbuh baik berdampingan dengan pala dan pinang. Pala dipilih karena daerah ini merupakan sentra pala dan telah menjadi komoditas andalan sejak dulu. Pinang dipilih karena permintaan masyarakat untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Di luar rentang habitat alaminya, kapur juga tumbuh baik di Aek Nauli (1.200 m dpl). Tanaman ini adaptif tumbuh baik secara campuran dengan kopi maupun monokultur. Kemampuan adaptasi yang tinggi pada tapak-tapak terbuka dan semak belukar bekas tebangan dan kebakaran di Padang lawas memungkinkan jenis kapur sebagai tanaman rehabilitasi.

87 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Gambar 5.5 Pertumbuhan kapur pada pola agroforestri c. Pengukuran Pertumbuhan Petak ukur permanen seluas 0,25 ha (50 m x 50 m) dibangun pada 5 (lima) lokasi yakni tiga di Kadabuhan, dan masing-masing satu di Singgersing dan Singkohor (Tabel 5.2). Jarak antar petak ukur adalah minimal 50 meter. Semua jenis pohon berdiameter ≥ 10 cm yang terdapat di dalam petak diukur diameter, tinggi dan posisinya.

88 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn)

Tabel 5.2 Lokasi pembangunan Petak Ukur Permanen di Subullusalam dan Singkil, Aceh Koordinat No Lokasi Keterangan Lintang Utara Bujur Timur 1 Kadabuhan, 2o 36’ 32.67” 98o 04’ 24,108” PUP#1 Subulussalam 2 Kadabuhan, 2o 36’ 29,274” 98o 04’ 43,88” PUP#2 Subulussalam 3 Kadabuhan, 2o 36’ 29,271” 98o 05’ 7,527’ PUP#3 Subulussalam 4 Singgersing, 2o 45’ 21,79” 97o 56’ 47,05” PUP#4 Subulussalam 5 Singkohor, Singkil 2o 32’ 35,7” 97o 57’ 59,30” PUP#5

Petak Ukur Permanen pertama hingga ketiga dibangun pada tegakan alami pohon kapur yang terdapat di Taman Hutan Raya (Tahura) Lae Kombih di Desa Kadabuhan, Kota Subulussalam, Aceh. Daerah yang menjadi Tahura tersebut juga dikenal dengan nama Gunung Kapur, merujuk pada dominasi pohon-pohon kapur berusia tua pada kawasan tersebut (Gambar 5.6). Berdasarkan penutupan lahan Google Citra © 2016 Digital Globe, daerah-daerah di sekitar ketiga PUP menghadapi ancaman perubahan lahan, terutama konversi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan pertanian lahan kering.

89 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Gambar 5.6 Pengukuran diameter pohon dan penomoran pohon dalam PUP

Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada tegakan alam pohon kapur tersisa di Singgersing, Sultan Daulat, Subulussalam dan Singkohor, Aceh Singkil. Konversi hutan menjadi perkebunan kepala sawit merupakan ancaman terbesar. Pohon-pohon kapur yang tersisa lebih disebabkan tingkat kesulitan penebangan yang tinggi dikarenakan topografi yang curam. Di Singgersing, hutan kapur tumbuh pada lereng-lereng bukit, sedangkan pada daerah yang landai telah berubah menjadi areal perkebunan sawit. Pohon kapur di Singkohor terletak di pinggir kebun sawit yang dipertahankan pemiliknya untuk dijadikan kayu pertukangan pada suatu waktu nantinya ditebang. Berdasarkan analisis vegetasi pada masing-masing Petak Ukur Permanen, Kapur merupakan jenis dominan dengan kerapatan jenis mencapai 36-104 pohon/ha dengan kerapatan total semua jenis mencapai 200-340 pohon/ ha. Indeks H’ pada petak ukur ini dihitung sebesar 1,61 yang menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis pohon tergolong sedang. Pada PUP 4, Kapur sangat dominan dengan INP 199,35%. Kerapatan jenis Kapur mencapai 248 pohon/ha dengan kerapatan total semua jenis mencapai 340 pohon/ ha. Tingkat keanekaragaman pada petak ini termasuk rendah (Kholibrina et al., 2015).

90 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn)

5.6 Strategi Pemuliaan a. Fenologi Kapur Berdasarkan pengamatan fenologi pada petak ukur permanen diketahui bahwa periode pembungaan pohon Kapur dimulai pada bulan Desember 2015 – Januari 2016 dengan masa buah masak dan jatuh pada bulan Februari – Maret 2016. Pembungaan (mass fruiting) pohon Kapur ini terjadi sekali dalam empat tahun. Bunga Kapur berukuran sedang, kelopak mempunyai ukuran sama besar, mempunyai mahkota bunga elips, mekar, putih berlilin, dan memiliki 30 benang sari. Sedangkan buah Kapur berukuran agak besar, mengkilap, dan bersayap sebanyak 5 helai. Panjang sayap mencapai 6 – 8 cm (Gambar 5.7). Benih setelah dikelupas kulitnya berukuran panjang 17 - 21 mm dengan lebar (diameter) 6-8 mm. Benih bersifat rekalsitran yang segera berkecambah dan tidak dapat disimpan lama tanpa adanya pengaturan kadar air.

(a) (b) (c)

Gambar 5.7 Karakteristik buah Kapur. (a) buah dengan sayap, (b) buah tanpa sayap, dan (c) perkecambahan biji

91 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals b. Karakteristik Pohon Plus Kapur Pemilihan dilakukan dengan memperhatikan keragaman lingkungan dan keragaman tegakan. Jarak antar kelompok minimum 100 m. Posisi pemilihan pohon induk/pohon plus ini menjadi kunci awal dalam pembangunan tegakan/pohon induk atau sumber benih berkualitas. Pohon induk/ pohon plus yang dipilih merupakan pohon yang terbaik diantara 3 pohon di sekitarnya berdasarkan kriteria kuantitas resin. Pemilihan calon pohon induk atau pohon plus bertujuan untuk menghimpun sebanyak mungkin keragaman genetik dalam tegakan. Kriteria penilaian seleksi pohon induk (pohon plus) antara lain adalah: (a) produksi resin yang relatif banyak; (b) menghasilkan buah yang banyak dan memiliki benih yang viabel; (c) pohon sehat (tidak terserang hama penyakit); dan (d) dibandingkan rata-rata tinggi dan diameter pohon di sekitarnya, tinggi dan diameter pohon dipilih minimal 5% lebih besar. c. Faktor Penduga Produktivitas Resin Kapur Pengukuran produktivitas ombil dan kristal kapur dilakukan dengan melakukan pembuatan takik/pemapasan batang dengan tiga tingkat kedalaman takik relatif, yakni dalam, sedang, dan dangkal. Pengukuran dilakukan pada 3 pohon yang dipilih secara purposive dalam setiap plot dengan pembuatan 3 takik per pohon. Produktivitas ombil dan kristal kapur diduga dari keberadaan rembesan cairan dan serbuk kapur yang muncul pada permukaan lubang. Fungsi persamaan yang diperoleh berdasarkan analisis diskriminan terhadap ketujuh faktor yang mempengaruhi produktivitas ombil dan kristal kapur terdapat pada Tabel 5.3.

92 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn)

Tabel 5.3 Fungsi diskriminan pendugaan produktivitas ombil dan kristal kapur Wilks’ Chi- Eigen Koefisien Faktor Fungsi Sig. Lambda square value Diameter DLub Ombil Y = 1.016 0.385 31.46 1.59 0.00 0.64 0.36 Diameter + 0.802 DLub Kristal Y = 0.884 DLub + 0.510 22.25 0.962 0.00 0.47 0.53 0,834 Diameter Sumber : Kholibrina et al., 2015

Berdasarkan koefisien faktor-faktor yang memberikan sumbangan terbesar terhadap terjadinya perbedaan antar kelas Ombil yang dihasilkan dilakukan pembobotan masing-masing faktor yakni diameter batang (64%), dan kedalaman lubang (DLub) (36%). Berdasarkan pembobotan tersebut, produktivitas ombil dipengaruhi oleh faktor besarnya diameter batang dengan nilai pengaruh sebesar 64%, sedangkan sisanya dipengaruhi kedalaman lubang penyadapan sebesar 36%. Selanjutnya, berdasarkan koefisien faktor-faktor yang memberikan sumbangan terbesar terhadap terjadinya perbedaan antar kelas kristal kapur yang dihasilkan, produktivitas kristal kapur dipengaruhi oleh faktor besarnya kedalaman lubang penyadapan dengan nilai pengaruh sebesar 53%, sedangkan sisanya dipengaruhi besarnya diameter batang sebesar 47%.

93 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Gambar 5.8 Pembuatan takik/papasan dan takik yang basah oleh rembesan ombil d. Material Genetik Pohon Plus Tidak semua pohon kapur menghasilkan kamfer dan teridentifikasi individu dengan performa pertumbuhan superior menunjukkan upaya pemuliaan merupakan suatu keniscayaan. Penggalian informasi sebaran, peningkatan populasi dan produktivitas melalui sumber benih berkualitas serta teknik silvikultur yang tepat diharapkan mendukung upaya peningkatan produktivitas sumberdaya hutan ini. Saat ini telah terkumpul semai dari lima provenan yakni Kadabuhan, Singgersing dan Jongkong di Subulussalam, Singkohor di Aceh Singkil dan Sirondarung di Barus. Pembangunan kebun pangkas provenan disajikan pada Gambar 5.9. Pertumbuhan awal masing-masing provenan berbeda. Riap tertinggi ditunjukkan pada provenan Barus sebesar 5,27 cm per 6 bulan diikuti provenan Singkohor sebesar 3,13 cm per 6 bulan. Diameter awal tertinggi dimiliki oleh provenan Kadabuhan yakni 6,67 cm dan terendah provenan Singkohor yakni 4,2 cm. Pengukuran tinggi awal terbesar pada perlakuan 1 yakni Provenan Jongkong 94,87 cm diikuti Sultan Daulat dan Kadabuhan sebesar 92,03 dan 89,55 cm dan terendah Provenan Singkohor setinggi 51,92 cm dan Barus 57,30 cm. Tinggi tanaman pada pengukuran kedua pada berbagai provenan menunjukkan bahwa provenan Jongkong yang tertinggi yakni 83,4 cm sedangkan yang terendah dari provenan Singkohor.

94 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn)

Gambar 5.9 Pembangunan dan pengukuran tanaman pada kebun pangkas provenan

5.7 Penutup Sebaran tegakan kapur yang tersisa merupakan informasi penting bagi pelestarian spesies endemic dan bersejarah. Tanpa adanya upaya pelestarian beberapa tahun ke depan pohon kapur Sumatera akan punah. Inovasi produksi resin atau minyak kapur dari daun maupun ranting memungkinkan perolehan kristal karpur yang berharga dari upaya penebangannya dapat dihindari. Strategi perbanyakan juga bermanfaat untuk program pemuliaan kapur sehingga mampu menghasilkan minyak kapur dan kristal kapur dengan produktifitas tinggi dimasa mendatang. Kemampuan adaptasi kapur pada kondisi yang miskin hara dan mampu hidup di lokasi yang curam dan berbatu serta tapak-tapak terbuka mendorong pemanfaatan jenis cocok sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan.

95 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Daftar Pustaka Azhari, I. (2016) Perihal Kapur Barus dan Kemenyan dalam Sumber dan Tulisan Sejarah. Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Pameran Etnobotani dengan tema Jejak Kapur Barus dan Kemenyan Sumatera Utara dalam Peradaban Dunia, Medan, 7 Desember 2016. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. (2008) Sumatera Utara dalam Angka 2008. Medan: BPS Provinsi Sumut Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. (2013) Sumatera Utara dalam Angka 2013. Medan: BPS Provinsi Sumut. Bhatia, S.P., Letizia C.S, Api, A.M. (2008) Fragrance material review on borneol. Food and Chemical Toxiology, 46:577-580. Dharmananda, S. (2003) Dryobalanops for medicine. Director, Institute for Traditional Medicine, Portland, Oregon. Duke, S. (2005) containing Borneol. Phytochemical and Ethnobotanical Databases. Institute for Traditional Medicine, Portland, Oregon. Finkeldey, R. (2005) Pengantar Genetika Hutan Tropis. Djamhuri E, Siregar IZ, Siregar UJ, Kertadikara AW, penerjemah. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Terjemahan dari: An Indtroduction to Tropical Forest Genetics. Frankham, R, Ballou J.D., Briscoe D.A. (2002) Introduction to conservation genetics. Cambridge University Press. UK. Guillot, C. (2002) Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Yayasan Obor Indonesia. Gusmailina (2015) Review: Borneol – potensi minyak atsiri masa depan. Pros. Sem. Nas. Masy. Biodiv. Indon, 1(2):259-264. Huo, G. Z. (1995) Bing pian’s anti-inflammation and analgesia effects on laser burn wounds. China J. Pharm, 30(9):532-534.

96 Bab 5 Karakteristik dan Teknik Silvikultur Kayu Kapur (Dryobalanops aromatic Gaertn)

Kholibrina, C. R., Aswandi, Saputra, M. H. (2015) Peningkatan Produktivitas Hasil Hutan Bukan Kayu Jenis: Jernang (Daemonorops spp.), Kapur (Dryobalanops aromatica) dan Cendana Aceh (Santalum album) Melalui Pengembangan Bibit Unggul dan Teknik Silvikultur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kholibrina, C. R. & Aswandi (2016) Kapur: Hasil Hutan Bukan Kayu yang Semakin Hilang. Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Pameran Etnobotani dengan tema Jejak Kapur Barus dan Kemenyan Sumatera Utara dalam Peradaban Dunia, Medan, 7 Desember 2016. P3HH (2008) Petunjuk Praktis Sifat-sifat Dasar Jenis Kayu Indonesia. Indonesian Sawmill and Woodworking Association (ISWA). https:// www.itto.int/files/itto_project_db_input/2537/Technical/TR-3.pdf Pasaribu, G., Gusmailina, Komarayati, S., Zulnery (2012) Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Dryobalanops sp. untuk Meningkatkan Nilai Tambah.Laporan Hasil Penelitian. (Tidak Diterbitkan). Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Pasaribu, G., Gusmailina, Komarayati, S., Zulnery, Pangersa Gusti, R. E. (2015) Seri Paket Iptek Teknik Pengolahan dan Pemanfaatan Dryobalanops sp. untuk Peningkatan Nilai Tambah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Pasaribu, G., Gusmailina, Komarayati, S., Zulnery, Dahlian, E., (2014) Potensi Pemanfaatan Minyak dan Kristal Dryobalanops sp. untuk Kosmetik dan Oat. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.

97 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Sitompul, M., (2011) Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) Di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Sutrisna, D. (2008) Kapur barus: pohon dan sumber tertulis asing. Medan: Balai Arkeologi. Widjaja, E.A., Rahayuningsih, Y., Rahajoe, J.S., Ubaidillah , R., Maryanto,I., Walujo, E.B., Semiadi, G., (2014) Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia. Jakarta: LIPI Press. Yamada, T. & Suzuki, E., (2004) Ecological role of vegetative sprouting in the regenation of Dryobalanops rappa, an emergent species in a Bornean tropical wetland forest. J. Trop. Ecol, 20:377-384.

98 BAB 6 BUDIDAYA TANAMAN KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi Subs. Cajuputi) UNGGUL (F1) DI KHDTK KEMAMPO, SUMATERA SELATAN

Imam Muslimin, Agus Kurniawan, Kusdi, Syaiful Islam Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Puntikayu Palembang [email protected]

6.1 Pendahuluan Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) merupakan salah satu jenis tanaman asli Indonesia yang umumnya terdapat di daerah Indonesia Bagian Timur. Tanaman ini menghasilkan produksi hasil hutan bukan kayu berupa minyak kayu putih yang didapatkan dari proses penyulingan daun melalui prinsip destilasi. Minyak kayu putih umumnya digunakan sebagai bahan baku obat-obatan yang sudah sejak lama digunakan oleh masyarakat Indonesia. Kebutuhan akan minyak kayu putih di dalam negeri diperkirakan sebesar 1.500 ton minyak kayu putih untuk setiap tahunnya. Di lain pihak, kemampuan produksi minyak kayu putih Indonesia sekitar 450 ton setiap tahunnya, dimana produksi tersebut berasal dari 24.000 hektar areal tanaman kayu putih yang tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan data dan informasi tersebut, maka diperkirakan setiap tahun terdapat defisit pasokan kebutuhan minyak Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals kayu putih sekitar 1.000 ton (Kartikawati dan Rimbawanto, 2012). Adanya kekurangan pasokan akan kebutuhan kayu putih di sisi yang lain merupakan peluang untuk dilakukannya pengembangan pembangunan hutan tanaman dan pembangunan industri minyak kayu putih di Indonesia. Langkah kongkrit sebagai salah satu upaya untuk peningkatan produksi minyak kayu putih adalah dilakukannya kegiatan penelitian pemuliaan pohon kayu putih untuk mendapatkan benih unggul. Salah satu benih unggul kayu putih yang telah dihasilkan adalah benih unggul kayu putih F1 hasil dari B2P2BPTH Yogyakarta. Keunggulan dari benih kayu putih yang dihasilkan adalah terletak pada potensi produksi daun, nilai rendemen dan kandungan sineol. Benih unggul kayu putih F1 Yogyakarta mampu menghasilkan 3-5 kg daun, mempunyai rendemen rata-rata 2% dan kandungan sineol sebesar 65% (Kartikawati, 2017). Penggunaan benih unggul mempunyai produksi yang sangat besar bilamana dibandingkan dengan benih biasa yang umumnya menghasilkan 1kg daun, rendemen 0,5-1% serta kandungan sineol <60%. Potensi produksi tanaman kayu putih benih unggul mempunyai peningkatan produktivitas sebesar 200-400% untuk produksi daun, 100-250% untuk nilai rendemen dan peningkatan kandungan sineol sebesar 8-21% lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman yang biasa (benih biasa). Cara lain yang dilakukan dalam upaya pemenuhan akan kebutuhan minyak kayu putih adalah melalui perluasan lahan tanaman kayu putih. Tanaman kayu putih saat ini mulai dikembangkan dan mengarah pada lahan-lahan di luar sebaran alaminya. Tanaman kayu putih yang dikembangkan di Pulau Jawa oleh Perum Perhutani mempunyai luasan 24.255,56 hektar dengan kapasitas produksi sebesar 400 ton/hektar (Perum Perhutani, 2016), pengembangan di P. Sumbawa, Nusa tenggara Barat pada tahun 2015 sebesar 4.000 ha (Rimbawanto, 2017b). Pulau Sumatera merupakan salah satu tempat yang dimungkinkan untuk dikembangkan tanaman kayu putih melalui pengambangan usaha budidaya di dalam wilayah KPH. luas lahan KPH yang belum terbebani izin pengusahaan hutan pada tahun 2012, terdapat

100 Bab 6 Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi) Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

848.038,47 Ha untuk lahan KPHP se-Sumatera dan Bangka Belitung. Luas lahan tersebut merupakan 16,52% dari total luas lahan keseluruhan KPH (baik KPHP dan KPHL) yang ada di seluruh Indonesia (Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan, 2012). Bilamana areal KPHP yang belum terbebani izin tersebut dilakukan penanaman kayu putih dengan benih yang biasa maka dibutuhkan luasan sebesar 56.000 Ha untuk mendukung kekurangan pasokan kebutuhan minyak kayu putih 1.000 Ha. Namun jumlah luasan yang dibutuhkan akan semakin berkurang bilamana benih yang dimanfaatkan dalam kegiatan budidaya adalah benih unggul hasil kegiatan pemuliaan pohon. Dengan kapasitas peningkatan rendemen sebesar 159% bila dibandingkan dengan benih asalan, maka hanya dibutuhkan sekitar 2.133 Ha lahan KPH untuk pemenuhan kekurangan kebutuhan minyak kayu putih sebesar 1.000 ton. Penggunaan benih unggul tanaman kayu putih di Pulau Sumatera untuk pembangunan tanaman sebagai bahan baku produksi minyak kayu putih belum pernah dilakukan. Oleh karena itu Balai Penelitian dan pengembangan Lingkungan Hidup dan kehutanan Palembang pada tahun 2016 mencoba untuk mengembangkan tanaman kayu putih di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo. Salah satu tujuan dari adanya plot pengembangan ini adalah sebagai penyedia data dan informasi berhubungan dengan jenis tanaman kayu putih unggul (F1) Yogyakarta yang dikembangkan di luar sebaran alaminya dalam rangka mendukung upaya pengembangan perluasan lahan penanaman. Makalah ini menyajikan data dan informasi serta pengelolaan tanaman kayu putih unggul (F1) yang dikembangkan di luar wilayah sebaran alaminya, khususnya di KHDTK Kemampo (Sumatera Selatan). Data dan informasi yang di dapatkan nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perluasan pembangunan tanaman kayu putih khususnya di wilayah Sumatera Selatan.

101 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

6.2 Sekilas tentang Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) Tanaman kayu putih merupakan jenis tanaman penghasil hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang populasi alaminya banyak terdapat di Provinsi Maluku (Indonesia) (Sudaryono, 2010), Thailand (Trung, 2009), Myanmar (Burma) dan Australia (Weiss, 1997). Secara alamiah, tanaman kayu putih tumbuh pada kondisi suhu 21-35 oC, retensi hara 7.0-8.0, C organik 6.0-7.0, salinitas <4, pH tanah 4,3-7,3, curah hujan 800 - <1.200 mm (Sudaryono, 2010). Beberapa studi mengisyaratkan bahwasanya jenis tanaman kayu putih bisa tumbuh pada daerah dengan kondisi geografis yang beragam. Trung (2009) dan Salim et al., (2013) mengemukakan bahwasanya jenis tanaman kayu putih bisa tumbuh pada daerah yang tergenang (rawa), tanah dengan pH asam (Osaki et al., 1998), lahan gambut (Nuyim, 1997, Osaki et al., 1998, Bozzano et al., 2014, Taing et al., 2017). Tanaman kayu putih juga mampu hidup pada lahan bekas tambang batubara yang umumnya mempunyai kondisi tanah yang asam dan kesuburan tanah yang rendah (Kodir et al., 2016). Selain itu, Mohd et al., (2013) juga mengemukakan bahwasanya Melaleuca cajuputi bisa digunkan sebagai tanaman remediasi tanah yang terkontaminasi logam berat sebagai tanaman Phytoextraction. Tanaman kayu putih pada umumnya dimanfaatkan daunnya untuk menghasilkan minyak kayu putih yang sebelumnya telah melalui proses penyulingan (destilasi). Keberadaan minyak ini sebenarnya tidak hanya terdapat dalam daun, bagian ranting, kayu dan bahkan kulit batang tanaman kayu putih juga menghasilkan minyak namun dengan produksi yang sangat sedikit. Adanya kandungan minyak kayu putih yang terdapat di bagian daun ini berhubungan dengan adanya kelenjar minyak yang banyak terdapat di bagian daun (Kantachot at el., 2007). Sehingga sebenarnya produksi minyak yang dihasilkan dari tanaman kayu putih sangat bergantung pada jumlah dan ukuran kelenjar minyak yang terdapat dalam daun. Produksi minyak kayu

102 Bab 6 Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi) Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan putih yang dihasilkan oleh masyarakat lokal di Kepulauan Maluku (Seram dan Buru) menghasilkan rendemen minyak yang rendah yaitu sebesar 0,6% (Rimbawanto, 2017b). Masyarakat pada umumnya menggunakan minyak kayu putih sebagai bahan utama obat-obatan. Minyak kayu putih bisa digunakan secara langsung untuk antiseptik dan anti nyamuk (Doran et al., 1997). Minyak kayu putih digunakan untuk mengobati penyakit ringan seperti masuk angin, influenza, gatal karena gigitan serangga, digunakan sebagai pewangi pada sabun, kosmetik, deterjen dan parfum (Rimbawanto, 2017). Tanaman kayu putih mempunyai bunga yang sangat banyak sebagai penghasil biji untuk materi perkembangbiakan generatif, agen penyerbuk (polinator) dari Apis dorsata yang datang untuk melakukan penyerbukan bisa dibudidayakan untuk menghasilkan madu (Khalil et al., 2011). Limbah proses penyulingan minyak kayu putih berupa ranting dan daun bisa digunakan untuk pembuatan papan partikel (Haroen, 2016). Adanya beragam manfaat dari tanaman budidaya kayu putih, maka diperlukan pengembangan budidaya tanaman kayu putih dengan skala yang lebih luas. Nilai penting ppaya pengembangan tanaman kayu putih dijelaskan sebagai berikut. 1. Tanaman kayu putih mempunyai rentang geografis yang lebar untuk tumbuh. Sehingga jenis ini bisa dikembangkan dalam lokasi yang lebih luas. Salah satu peluang yang bisa dikembangkan adalah upaya budidaya tanaman kayu putih pada lahan gambut yang banyak terdegradasi di Pulau Sumatra dan Kalimantan. 2. Tanaman kayu putih mempunyai beragam produk yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

103 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

3. Kebutuhan akan produk minyak kayu putih masih terbuka lebar. Kekurangan kebutuhan nasional Indonesia akan minyak kayu putih sekitar 1.000 ton (Rimbawanto, 2017b). Luasan untuk program pengembangan budidaya tanaman kayu putih ini bisa menggunakan lahan-lahan tidur yang banyak terdapat di luar P. Jawa. 4. Tanaman kayu putih yang dimanfaatkan adalah bagian daunnya. Produksi daun dilakukan selama periode rotasi 6-12 bulan. Pemanenan bagian tanaman yang bukan kayu mempunyai manfaat kondisi tanaman tetap ada sehingga bisa mempertahankan aspek konservasi dan tutupan lahan. 5. Pemanfaatan daun tanaman kayu putih secara periodik dilakukan setiap periode 6-12 bulan. Pemanenan daun umumnya menggunakan sistem pemangkasan, sehingga kondisi tanaman tidak begitu tinggi yang sekaligus sebagai upaya untuk memudahkan pemanenan tahap berikutnya. Pertumbuhan tanaman yang tidak dibuat tinggi, memberikan peluang untuk dilakukannya pembuatan tanaman campuran dengan tanaman semusim. Pola penanaman dengan tanaman semusim dapat dilakukan dalam jangka pangjang, mengingat pertumbuhan tanaman kayu putih yang tidak terlalu tinggi sehingga cahaya matahari masih bisa dimanfaatkan oleh tanaman semusim. Budiadi et al., (2005) mengemukakan bahwa tanaman kayu putih di Jawa yang di tumpangsari dengan tanaman semusim (padi dan ubi kayu) mempunyai kandungan sineol yang relatif tetap bila dibandingkan dengan tanaman kayu putih monokultur yang mempunyai kandungan sineol yang menurun pada tanaman berumur tua. 6. Tanaman kayu putih termasuk tumbuh cepat. Pemanfaatan daun untuk penyulingan bisa dilakukan pada umur 3-4 tahun, namun pada periode umur 2 tahun pemanfaatan daun untuk penyulingan pada dasarnya sudah bisa dilakukan dan memberikan kualitas minyak yang bagus.

104 Bab 6 Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi) Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

Masa panen dan produksi yang relatif lebih cepat akan mendorong pengembalian modal usaha yang lebih cepat juga, sehingga secara ekonomi juga memberikan keuntungan yang lebih cepat. 7. Aspek teknologi perbanyakan (vegetatif dan generatif), teknik budidaya tanaman serta penyediaan benih/ bibit unggul tanaman kayu putih sudah tersedia. Teknologi yang telah di kuasai mulai dari perbenihan sampai dengan produksi akan mempercepat proses pengembangan dan transfer teknologi maju kepada pengelola sebagai upaya peningkatan produktivitas tanaman dan hasil produksi. 6.3 Budidaya Kayu Putih di KHDTK Kemampo (Sumatera Selatan) a. Tipologi tempat tumbuh KHDTK Kemampo Lokasi pembangunan tanaman kayu putih dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo. KHDTK Kemampo Secara administratif pemerintahan termasuk dalam wilayah Desa Kayuara Kuning, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan. Secara administratif kehutanan termasuk dalam wilayah pengelolaan Dinas Kehutanan Aksesibilitas ke lokasi KHDTK Kemampo cukup baik. Lokasi tersebut dapat dicapai dengan mudah melalui jalan raya Palembang- Pangkalan Balai. Lokasinya berada di Selatan dari Jalan Raya Palembang- Pangkalan Balai. Dari jalan raya, untuk menuju ke lokasi melalui jalan ber aspal dan dilanjutkan dengan jalan bertanah. Kondisi jalan tanah sangat baik dan pada beberapa tempat yang menggenang air sudah dilakukan penimbunan dengan batu sehingga jalan menjadi keras. Tempat pemukiman penduduk yang terdekat dengan lokasi KHDTK adalah Desa Kayuara. Jarak tempuh ke lokasi sekitar 2 km dari Desa Kayuara, 4 km dari jalan raya

105 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Palembang-Pangkalan Balai, 41 km dari Palembang. Untuk mencapai lokasi dari Palembang dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat dibutuhkan waktu sekitar 1 jam. Wilayah KHDTK Kemampo umumnya mempunyai tipe hujan B (Schmidt dan Fergusson). Rerata curah hujan 2.581,3 mm/tahun atau 215,11 mm/ bulan dengan 15,4 hari hujan/bulan dan intensitas hujan sebesar 13,48 mm/ hari. Bulan basah terjadi selama 7 bulan berturut-turut, yaitu mulai Oktober hingga April. Sedangkan bulan kering umumnya berlangsung hanya selama 2 bulan, yaitu pada bulan Agustus dan September. Rerata penguapan air bulanan berkisar antara 98,96 hingga 131,43mm/bulan dan rerata 114,21 mm/bulan. Penguapan tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan terendah terjadi pada bulan Januari. Rerata suhu udara bulanan berkisar 25,7 - 27,0o C, rerata kelembaban udara bulanan berkisar 81,0%-87,6%. Penyinaran matahari berkisar 40,4% - 67,3% atau 5 - 8 jam/hari. Penyinaran matahari < 50% atau < 6 jam/hari terjadi pada bulan Oktober - Pebruari atau selama 5 bulan. Pada bulan-bulan tersebut curah hujan > 200 mm/bulan (termasuk bulan basah). Kecepatan angin tergolong rendah, yaitu antara 2,250 - 3,921 km/jam dan rata-rata 2,529 km/jam. Arah angin dominan adalah angin tenggara yaitu angin yang bertiup dari tenggara ke arah Barat Laut dengan frekuensi 54,20% dan kecepatan sekitar 2,5-3,5 km/jam. Arah angin dominan kedua adalah dari Barat Laut dengan frekuensi sebesar 39,30% dan kecepatan sekitar 2,5-3,5 km/jam. Selebihnya adalah arah angin timur dengan frekuensi hanya 6,60% dengan kecepatan < 2,5 km/jam. Pembangunan ujicoba penanaman benih unggul F1 kayu putih di KHDTK Kemampo dilakukan pada akhir tahun 2016. Lokasi penanaman termasuk dalam Satuan Peta Tanah (SPT) 2 (Balittaman dan Unsri, 2002) yang pada awalnya merupakan hutan sekunder dan didominasi oleh jenis tanaman mangium (Acacia mangium), Seru (Schima walichii), Pelangas, Simpur,

106 Bab 6 Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi) Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

Talok. Satuan Peta Tanah (SPT 2) mempunyai tanah Typic Hapludult yang mempunyai ukuran besar butir berlempung halus, kedalaman efektif sedang (25- 75cm), keadaan drainase baik, terletak pada fisiografi dataran. Terbentuk dari bahan sedimen bereaksi masam dan berukuran halus. Bentuk lahan datar hingga berombak dan umumnya berlereng antara 0 sampai dengan 8%. Arah lereng membujur dari Barat ke timur, dimana pada bagian barat terdapat rawa pasang surut yang mengalir sepanjang arah utara-selatan. Berdasarkan analisis kimiawi tanah, kadar N-total tanah lokasi pembangunan tergolong rendah (0,2%), kadar C-organik sedang (2,4%) dan nisbah C dan N (12,9) yang tergolong sedang. Berdasarkan kadar C-organik dan nisbah C dan N tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa laju mineralisasi N tergolong cepat. Melalui proses mineralisasi N tersebut sebagian N-organik akan berubah menjadi bentuk tersedia bagi tanaman. Dapat diasumsikan jumlah N-tersedia bagi tanaman adalah sekitar 1% dari kadar N-total, sehingga prediksi jumlah rerata N-tersedia tersebut sebesar 32 kg N/ha. Sedangkan, rerata kebutuhan tanaman akan N adalah lebih dari 100 Kg N/ha. Ketersediaan P sangat rendah dengan rerata 2,9 ppm P. Tingkat ketersediaan P yang sangat rendah tampaknya tidak ada hubungannya dengan tingkat kemasaman dan kejenuhan Al serta kandungan C-organik tanah tersebut. Tingkat kemasaman dan kejenuhan Al tanah termasuk kategori tinggi. Nilai pH H2O mempunyai rerata 4,9 yang tergolong bereaksi masam dengan kejenuhan Al rerata sebesar 52,7%. Kadar K-dd tergolong rendah (0,2), sedangkan kadar Ca-dd (0,4) dan Mg-dd tergolong sangat rendah (0,1). Kadar Na-dd tergolong sedang (0,3). b. Pertumbuhan tanaman kayu putih Uji coba penanaman tanaman kayu putih dilakukan pada bulan Desember 2016 di KHDTK Kemampo seluas 3 hektar. Rerata pertumbuhan tanaman kayu putih pada umur 1 tahun mempunyai tinggi 125,2 cm dan diameter

107 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

13,4 mm (Muslimin et al, 2017), sedangkan pertumbuhan tanaman pada umur 2 tahun mempunyai rerata umum sebesar 288,68 cm untuk tinggi dan sebesar 26,16 mm untuk pertumbuhan diameter (Muslimin et al., 2018). Pertumbuhan tanaman kayu putih yang terdapat di KHDTK Kemampo mempunyai pertumbuhan yang kurang lebih sama dengan pertumbuhan tanaman kayu putih di Paliyan (Gunung Kidul) yang menggunakan materi benih yang sama, yaitu mempunyai pertumbuhan tinggi 250cm dan diameter 29 mm (Kartikawati, 2017). Data dan informasi ini mengindikasikan bahwasanya pertumbuhan tanaman kayu putih yang dikembangkan di luar sebaran alaminya (Pengembangan di Sumatera Selatan) mempunyai pertumbuhan yang normal dan sesuai dengan pertumbuhan tanaman kayu putih yang dikembangkan di Jawa. Pertumbuhan tanaman kayu putih di beberapa tempat lain juga disampaikan oleh beberapa peneliti lainnya. Tanaman kayu putih pada lahan bekas tambang batubara mempunyai tinggi 4,31m dan diameter 8,82 cm pada umur 4 tahun (Kodir et al., 2016). Pertumbuhan tanaman Melaleuca cajuputi untuk produksi kayu yang terdapat di Naratiwat (Thailand) mempunyai diameter 16 cm pada umur 11 tahun, dengan kerapatan 750 kg/cm3 yang kurang lebih sama dengan pertumbuhan Dipterocarpus dan Jati, sedangkan pertumbuhan tanaman di Ca Mau pada umur 10 tahun mempunyai tinggi 8,07 m dan diameter <14 cm (Trung, 2009). Pertumbuhan Melaleuca cajuputi di lahan gambut Sungaikolok Thailand umur 3 tahun mempunyai persentase hidup tanaman 88%, diameter 12,53 cm, tinggi 6,36 m dan produksi 12,87 ton/ hektar (Nuyim, 1997). Pertumbuhan tanaman kayu putih yang terdapat di KHDTK Kemampo dapat dikatakan mempunyai pertumbuhan yang normal. Kondisi lingkungan geografis klimatis mempunyai nilai yang relatif sama dengan kondisi tempat tumbuh alaminya, walaupun kondisi edaphis (tipe tanahnya) berbeda. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang tidak terhambat

108 Bab 6 Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi) Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan ini nantinya diharapkan juga tidak mengalami kendala dalam hal produksi daun dan kualitas minyak kayu putih yang dihasilkannya. Karena memang produk utama dari pengusahaan tanaman kayu putih adalah kualitas minyak kayu putih.

(a) (b) (c) Gambar 6.1 Pertumbuhan tanaman kayu putih umur 2 tahun di KHDTK Kemampo (a), pemanenan daun kayu putih (b), proses penyulingan minyak kayu putih (c) c. Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan tanaman merupakan kegiatan perawatan terhadap tanaman agar dapat tumbuh baik dan optimal serta terbebas dari segala hal yang dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dapat dilakukan adalah: • Pembebasan gulma Gulma merupakan tumbuhan lain yang keberadaannya dapat mengganggu tanaman pokok. Gulma dapat berupa tumbuhan bawah, perdu ataupun tumbuhan tingkat tinggi (pohon). Keberadaan gulma dapat mengganggu tanaman pokok melalui mekanisme persaingan ruang tumbuh dan penyerapan unsur hara tanah.

109 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Hasil identifikasi jenis gulma yang di temukan di bawah tanaman kayu putih di KHDTK Kemampo terdiri dari 15 famili, 15 genus dan 15 spesies. Nilai indeks nilai penting (INP) gulma yang tertinggi yaitu Ageratum conyzoides (52,68%), Melastoma candidum (30,83%), Borreria laevis (21,67%). Nilai indeks keanekargaman (H’) sebesar -32,22 yang menunjukan bahwa tingkat keanekaragaman gulma yang ada berada pada level sedang (Cikya, 2017). Kegiatan pembebasan gulma umumnya dilakukan melalui mekanisme aplikasi teknik penyiangan dan kombinasi aplikasi penyemprotan herbisida. Tahapan awal yang dilakukan adalah kegiatan penyiangan gulma. Penyiangan dimaksudkan untuk menebas batang gulma sampai pada ketinggian 10-15cm. Penyiangan umumnya menggunakan parang tebas. Periode waktu 3-4 minggu setelah kegiatan penyiangan dilakukan, dilanjutkan dengan kegiatan aplikasi (penyemprotan) herbisida. Herbisida yang digunakan menggunakan dosis 150ml/ tangki penyemprot kapasitas 15-20 liter. Aplikasi herbisida ini dapat mematikan gulma yang ada serta dapat menekan pertumbuhan gulma sampai dengan 3 bulan. Kegiatan penyemprotan berikutnya bisa dilakukan periode 3-4 bulan berikutnya. Salah satu teknik silvikultur yang salah satunya ditujukan untuk menekan pertumbuhan gulma adalah melalui teknik pengaturan jarak tanam. Jarak tanam rapat akan memacu pertumbuhan meninggi tanaman, dan bilamana tajuk tanaman sudah bertemu, maka intensitas cahaya matahari yang jatuh ke atas tanah menjadi sedikit dan meminimalisir pertumbuhan tumbuhan bawah. Sebaliknya, jarak tanam yang lebar akan memacu pertumbuhan diameter tanaman pokok, namun intesitas cahaya yang besar

110 Bab 6 Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi) Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

masuk sampai permukaan tanah juga akan memacu pertumbuhan gulma. Idealnya adalah jarak tanam tanaman pokok tidak terlalu lebar dan juga tidak terlalu rapat. Penanaman kayu putih dengan jarak tanam yang lebih rapat yaitu 2x1m atau 2x2m dianggap lebih optimal menekan pertumbuhan gulma. Namun, kegiatan pemeliharaan tanaman berupa pembebasan gulma tetap harus dilakukan terutama pada periode setelah kegiatan pemanenan daun. Seperti diketahui bahwasanya tanaman kayu putih nantinya akan dilakukan pemanenan daun yang digunakan sebagai bahan baku penyulingan untuk menghasilkan minyak kayu putih. Umumnya proses pemanenan dilakukan dengan menebang batang tanaman pada ketinggian tertentu, kemudian daun di kumpulkan dengan cara manual atau dengan dipangkas sampai pada tingkatan ranting yang paling kecil. Tanaman kayu putih nampak tidak mempunyai tajuk dan kelihatan gundul, sehingga sinar matahari dapat masuk sampai permukaan tanah dan mengaktifkan pertumbuhan tumbuhan bawah. Dalam kondisi seperti ini, pemeliharaan tanaman dari gangguan gulma mutlak untuk dilakukan agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman pokok yang sedang aktif menghasilkan daun baru sebagai bahan baku penyulingan rotasi berikutnya. • Pemupukan tanaman Pemupukan tanaman dimaksudkan untuk memberikan tambahan nutrisi ke dalam tanah untuk dapat di serap oleh tanaman sehingga mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kegiatan pemupukan sangat dianjurkan untuk jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) yang umum terdapat di wilayah Sumatera Selatan. Mengingat tanah jenis PMK mempunyai kandungan unsur hara makro yang rendah sebagai akibat pH tanah yang masam.

111 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Ujicoba pemupukan tanaman kayu putih di tanah PMK telah dilakukan oleh Muslimin et al., (2018). Tanaman berumur 1 tahun dipupuk sebanyak 3 kali selama 1 tahun (aplikasi 4 bulan sekali) menggunakan pupuk NPK taraf dosis 0-100gr/ tanaman. Pengamatan dilakukan 3 bulan setelah pemupukan terakhir. Hasil pengamatan menunjukkan bahwasanya pertumbuhan tinggi, diameter dan produksi daun mempunyai nilai yang tidak berbeda nyata di antara perlakuan pemupukan. Namun, produksi minyak (rendemen) mempunyai nilai yang tinggi pada aplikasi pemupukan 75 gr/ tanaman dengan nilai 1,02% sedangkan pada perlakuan kontrol (tanpa pemupukan) mempunyai rendemen 0,70% (Muslimin et al., 2018). Variasi geografis menyebabkan adanya perbedaan komposisi kandungan minyak yang terdapat dalam daun kayu putih (Kim et al., 2005). Tanaman kayu putih yang tumbuh pada lahan sulfat masam dan tanah gambut, mempunyai akumulasi kandungan Na yang sangat banyak di dalam daun (pucuk) meskipun di dalam tanah mempunyai konsentrasi Na yang rendah. Dalam kondisi tanah yang tinggi konsentrasi Al dan Na, tanaman kayu putih mempunyai 2 tindakan strategi yaitu 1). Mengakumulasikan Al dan Na di daun serta 2). Mengeluarkan Al dan Na dari daun. Konsentrasi Al di daun mempunyai hubungan yang negatif dengan unsur hara lainnya kecuali N dan Mn, sedangkan konsentrasi Na di daun juga mempunyai hubungan negatif dengan P, Zn, Mn, Cu, dan Al (Osaki et al., 1998).

112 Bab 6 Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi) Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

• Pemangkasan batang Pemangkasan batang menjadi elemen yang sangat penting dalam pengusahaan tanaman kayu putih. Pemangkasan batang menjadi bagian dari manajemen produksi. Pemangkasan yang baik akan menghasilkan produksi daun yang berlimpah dan meningkat sebagai bahan baku proses penyulingan rotasi berikutnya. Kegiatan pemangkasan batang pada tahapan awal umumnya dilakukan pada umur 3 tahun pada ketinggian 1,5m. Pada umur tersebut, di tengarai kandungan minyak telah maksimal sehingga dapat diperoleh rendemen minyak yang stabil (Rimbawanto, 2017b). Periode pemangkasan batang berikutnya dilakukan secara rutin setiap 9-12 bulan sekali sebagai proses untuk mendukung kontinuitas produksi, dimana waktu panen daun terbaik adalah pada saat musim kemarau karena daun mempunyai kadar air yang rendah (Rimbawanto, 2017b). Pemangkasan batang ini mempunyai beberapa fungsi yaitu: (i) Pemangkasan batang adalah sebagai upaya untuk peremajaan daun sebagai bahan baku utama penyulingan, karena memang pengusahaan tanaman kayu putih adalah untuk memproduksi daun dan bukan memproduksi kayu. (ii) Batang yang telah di pangkas, maka daun dari batang yang terpangkas bisa dimanfaatkan untuk bahan baku dalam proses penyulingan. (iii) Batang utama sisa pemangkasan, pada periode waktu tertentu akan muncul trubusan baru dalam jumlah yang banyak dan tumbuh normal sebagai batang baru. Dengan semakin banyak jumlah tunas baru yang muncul dan tumbuh normal, maka akan terbentuk tajuk yang lebih lebar dan produksi daun juga akan mengalami peningkatan. (iv) Trubusan (tunas) baru yang tumbuh mempunyai tinggi yang tidak terlalu tinggi. Hal ini nantinya akan sangat memudahkan bagi petani untuk melakukan pemanenan daun sebagai bahan baku utama penyulingan.

113 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Kegiatan ujicoba pemangkasan batang pada tanaman kayu putih di KHDTK Kemampo telah dilakukan oleh Muslimin et al., (2018). Tanaman kayu putih berumur 1,5 tahun dilakukan ujicoba pemangkasan dengan ketinggian 50, 80, 110 dan 140 cm. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman berumur 6 bulan setelah kegiatan pemangkasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwasanya semakin rendah pemangkasan dilakukan, maka jumlah tunas juga semakin meningkat. Pemangkasan batang yang rendah (50 cm) menghasilkan jumlah rerata tunas sebanyak 3 tunas, sedangkan pemangkasan yang tinggi (140 cm) menghasilkan tunas sebanyak 2 buah. Namun, dalam hubungannya dengan produksi daun, pemangkasan batang yang rendah menghasilkan rerata daun sebanyak 1,75 kg sedangkan pemangkasan yang tinggi menghasilkan rerata daun sebanyak 2,5 kg. Hasil produksi daun ini kurang lebih mempunyai nilai yang sama dengan rerata produksi daun yang dihasilkan oleh Perum Perhutani yaitu sekitar 1-3 kg/pohon (Rimbawanto, 2017b), 2-3 kg daun per pohon yang dihasilkan oleh KPH Yogyakarta (Rimbawanto, 2017b). Produksi daun merupakan unsur utama yang harus diprioritaskan dalam pengelolaan tanaman kayu putih. Strategi teknik silvikultur melalui pemangkasan batang yang bisa dilakukan untuk menghasilkan produksi daun tinggi adalah melalui kombinasi antara pemangkasan batang bawah dan batang atas. Pemangkasan batang bawah (ketinggian 50-80 cm dari permukaan tanah) menghasilkan tunas yang lebih banyak, dimana tunas ini di pelihara untuk membentuk batang ganda tanaman. Batang ganda ini nantinya akan menjadi batang utama tanaman. Pembentukan batang utama tanaman yang lebih dari 1 batang, maka diharapkan produksi daun tanaman akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksi tanaman hasil dari satu batang saja. Langkah berikutnya adalah membentuk batang komersil, dimana pemangkasan batang tahap kedua dan seterunya dilakukan pada masing-masing batang ganda tersebut pada ketinggian 110-140 cm. Pemangkasan batang peiode kedua ini secara otomatis akan membentuk

114 Bab 6 Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi) Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan batang ganda dobel di masing-masing batang ganda yang sudah ada. Batang ganda di harapkan akan mempunyai produksi daun yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan produksi daun pada batang biasa.

6.4 Produksi dan Penyulingan Budidaya tanaman kayu putih ditujukan untuk menghasilkan daun sebagai bahan baku utama proses penyulingan untuk menghasilkan minyak kayu putih melalui proses penyulingan (destilasi). Produksi daun berhubungan dengan kegiatan silvikultur yang diaplikasikan pada tanaman kayu putih. Ukuran produksi minyak kayu putih yang dihasilkan dari proses penyulingan dinyatakan dalam bentuk rendemen yaitu persentase perbandingan antara minyak yang dihasilkan dari proses penyulingan dengan berat daun yang di suling. Rendemen minyak kayu putih mempunyai nilai yang berbeda-beda. Prediksi nilai rendemen minyak kayu putih berdasarkan beberapa kondisi (perlakuan silvikultur) terdapat pada Tabel 6.1.

115 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tabel 6.1 Rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan dari berbagai perlakuan Rendemen No Perlakuan Sumber (%) 1 Ukuran bentuk daun Muslimin et al., Kayu putih berdaun besar* 0,73 (2018) Kayu putih berdaun kecil* 0,78 2. Aplikasi pupuk NPK (15:15:15) Pupuk NPK 25gr/ tanaman 0,71 Pupuk NPK 50gr/ tanaman 0,70 Pupuk NPK 75gr/ tanaman 1,02 Pupuk NPK 100gr/ tanaman 0,88 3. Kemurnian daun waktu proses penyulingan

Daun murni 100% 1,30 Daun kotor (daun+ranting 0,70 kecil+sedikit buah) 4. Kayu putih tumpangsari dengan padi 0,61 Budiadi et al., dan ubi kayu (2005)

Kayu putih tumpangsari dengan padi 0,83 Kayu putih monokultur 0,92 5. M. cajuputi di lahan gambut Thailand 0,56-0,97 Kim et al., 2005 6. Tumbuh pada lahan bekas tambang 0,7 Kodir et al., batubara 2016 7. KPH Yogyakarta 0,9 Rimbawanto, 8. Perum Perhutani 0,7 2017b. 9. Sumber benih F1 Kartikawati, Site Paliyan 1,7 2017 Site Ponorogo 3,8 Keterangan : *penyulingan mengikutsertakan ranting-ranting kecil, serta buah dalam jumlah kecil.

116 Bab 6 Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi) Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

Produksi minyak kayu putih yang dihasilkan di KHDTK Kemampo mempunyai rendemen 0,7-1,30 %. Nilai rendemen ini mempunyai nilai yang kurang lebih sama dengan rendemen minyak kayu putih pada tempat lainnya. Beberapa perlakuan silvikultur seperti pemilihan ukuran daun minyak kayu ptuih, perlakuan pemupukan, teknik penyulingan (daun murni dan daun kotor), teknik budidaya tumpangsari kayu putih, pemilihan site yang tepat, serta penggunaan benih unggul ternyata mampu meningkatkan rendemen minyak kayu putih. Rendemen minyak kayu putih mempunyai hubungan dengan produksi minyak yang bisa dihasilkan dari produksi daun yang dipanen. Namun, nilai rendemen tidak menjadi ukuran untuk menentukan kualitas minyak kayu putih yang dihasilkan. Standar kualitas minyak kayu putih ditentukan oleh Standar Nasional Indonesia Minyak Kayu putih SNI 3954:2014 (Badan Standarisasi Nasional, 2014). SNI minyak kayu putih digunakan untuk menentukan kualitas minyak kayu putih yang ditentukan berdasarkan kadar 1,8 cineole. Dalam SNI tersebut, kualitas minyak kayu putih di bedakan berdasarkan 3 kelas yaitu kelas mutu super dengan kandungan sineol >60 %, kelas mutu utama dengan kadar sineol 55-60 % dan kelas mutu pertama dengan kadar sineol 50-<55 %. Analisis kualitas minyak kayu putih hasil dari penyulingan daun tanaman kayu putih umur 1 tahun di KHDTK Kemampo menghasilkan kadar 1,8 cineole sebesar 72,3% (Muslimin et al., 2017) dan termasuk dalam kelas kualitas mutu super.

6.5 Penutup Pengembangan budidaya jenis tanaman kayu putih mempunyai prospek yang sangat baik. Pengembangan budidaya dilakukan pada daerah-daerah di luar pulau Jawa yang memang mempunyai luasan lahan terlantar yang sangat besar. Ujicoba budidaya penanaman kayu putih di luar sebaran alaminya

117 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals dengan menggunakan benih unggul (F1) dilakukan di KHDTK Kemampo (Banyuasin, Sumatera Selatan). Ujicoba penanaman ini menghasilkan nilai rendemen yang lebih kecil bila dibandingkan dengan sumber benihnya (Paliyan, Gunung Kidul), namun mempunyai kandungan 1,8 cineole yang sangat baik dan termasuk dalam kelas kualitas super. Data dan informasi ini menunjukkan bahwasanya upaya pengembangan budidaya jenis kayu putih di luar Pulau jawa pada umumnya dan pengembangannya di Pulau Sumatera pada khususnya layak untuk dikembangkan karen memang mampu menghasilkan kualitas mutu minyak kayu putih yang sudah sesuai dengan SNI.

Daftar Pustaka Bozzano, M., Jalonen, R., Thomas, E., Boshier, D., Gallo, L., Cavers, S., Bordács, S., Smith, P. & Loo, J., eds. (2014) Genetic considerations in ecosystem restoration using native tree species. State of the World’s Forest Genetic Resources – Thematic Study. Rome: FAO and Bioversity International Budiadi, Hiroaki, I., Sigit, S., Yoichi, K. (2005) Variation in Kayu Putih (Melaleuca leucadendron Linn) oil quality under different farming system in Java, Indonesia. Eurasian Journal Forest Research. 8(1):15- 20. Balittaman & Unsri (2002) Desain engineering wanariset Kemampo. Laporan hasil Kegiatan kerjasama Balittaman dan Unsri. Kementerian Kehutanan. Tidak dipublikasikan. Cikya (2017) Identifikasi gulma di bawah tegakan kayu putih di KHDTK Kemampo. Laporan hasil praktek mahasiswa PGRI. Fakultas Biologi Universitas PGRI Palembang. Tidak dipublikasikan. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan (2012) Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2012. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Kementerian Kehutanan.

118 Bab 6 Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi) Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

Doran, J.C., Baker, G.R., Murtagh, G.J., Southwell, I.A. (1997) Improving tea tree yield and quality through breeding and selection. RIRDC Research paper series No. 97/53. https :// rirdc. infoservices.com. Diakses tanggal 27 Pebruari 2019. Haroen, W. K. (2016) Diversifikasi serat pulp untuk produk inovatif.Journal of Lignocellulose Technology. 1:15-25. Kantachot, C., Chantaranothai, P., Thammathaworn, A. (2007) Contribution to the leaf anatomy and taxonomy of thai Myrtaceae. The Natural History of Chulalongkorn University. 7(1):35-45. Kartikawati, N. K. (2017) Minyak Kayu Putih: Peningkatan Mutu Genetik Tanaman Kayu putih. Yogyakarta: Kaliwangi. Khalil, M. I., Mahaneem, M., Jamalullail, S. M. S., alam, N., Sulaiman, S. A. (2011) Evaluation of radical scavenging activity and colour intensity of nine Malaysian Honeys of Different origin. Journal of ApiProduct and ApiMedical Science. 3(1):4-11. DOI. 10.3896/IBRA.4.03.1.02. Kim, J. H., Liu, K. H., Yoon, Y., Sornnuwat, Y., Kitirattrakarn, T., Anantachoke, C. (2005) Essential leaf oils from Melaleuca cajuputi. Proc. WOCMAP III. Vol. 6: Traditional Medicine Nutraceuticals. Acta Hort. Kodir, A., Hartono, D. M., Mansur, I. (2016) Cajuput in ex-coal mining land to support sustainable development. International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT). 5(9):357-361. http:// www.ijert.org. Mohd, S. N., Majid, N. M., Shazili, N. A. M., Abdu, A. (2013) Growth performance, biomass and phytoextraction efficiency ofAcacia mangium and Melaleuca cajuputi in remediating heavy metal contaminated soil. American Journal of Environmental Science. 9(4):310-316. DOI. 10. 3844/ajessp.2013.310.316.

119 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Muslimin, I., Kurniawan, A., Kusdi, Syaiful, I. 2019. Pengembangan tanaman unggulan hasil pemuliaan di KHDTK. Laporan hasil penelitian. Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan. Muslimin, I., Kurniawan, A., Sagala, N., Kusdi. (2017) Pengembangan tanaman unggulan hasil pemuliaan di KHDTK. Laporan hasil penelitian. Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan. Nuyim, T. (1997) Peatswamp forest rehabilitation study in Thailand. The 6th annual international workshop of BIO-Refor. December 2-5, 1997. Brisbane. Australia. Osaki, M., Watanabe, T., Ishizawa, T., Nilnond, C., Nuyim, T., Sittibush, C., Tadano, T. (1998) Nutritional characteristics in leaves of native plants grown in acid sulfate, peat, sandy podzolic, and saline soils distributed in Peninsular Thailand. & Soil, 201(2):175-182. https://doi. org/10.1023/A:1004389331808 Perum Perhutani (2016) Toko Perhutani: Minyak kayu putih. https://www. tokoperhutani.com/produk/katalog/GTDdanMKP/6/minyak-kayu- putih. Diakses tanggal 8 Maret 2019. Rimbawanto, A. (2017) Minyak Kayu Putih: Seluk Beluk Tanaman Kayu Putih. Yogyakarta: Kaliwangi. Rimbawanto, A. (2017b) Minyak Kayu Putih: Budidaya Tanaman Kayu Putih. Yogyakarta: Kaliwangi. Salim, J. M., Husni, U., Junaidi, N. H. A.,Lammu, R., Salam, M. R. (2013) Natural vegetation of BRIS soil ecosystem on coastal dune of Terengganu. Seminar Kebangsaan Pemuliharaan Hutan Pesisir Pantai Negara, 11−13 Jun 2013, Universiti Malaysia Terengganu, Kuala Terengganu. https://www.researchgate.net/publication/267028776.

120 Bab 6 Budidaya Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subs. cajuputi) Unggul (F1) di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

Sudaryono (2010) Evaluasi kesesuaian lahan tanaman kayu putih Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Jurnal Teknologi Lingkungan. 11(1):105:116. Taing P., Eang P., Tann S. & Chakraborty, I. (2017) Carbon stock of peat soils in mangrove forest in Peam Krasaop Wildlife Sanctuary, Koh Kong Province, southwestern Cambodia. Cambodian Journal of Natural History, 2017, 55–62. Trung, N. Q. (2009) Melaleuca Timber. German: Deutsche Gesellschaft fuer Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Weiss, E.A. (1997) Melaleuca cajuputi, pp. 311-314. In E.A. Weiss, ed., Essential Oil Crops. Wallingford, Oxon, CAB International.

121

Aspek Manusia, Lingkungan dan Manajemen

BAB 7 POPULASI DAN ASOSIASI AKAR KUNING (Fibraurea tinctoria lour.) DI KHDTK SAMBOJA, KALIMANTAN TIMUR

Antun Puspanti*, Septina Asih Widuri, Noorcahyati, Yusub Wibisono, Mardi T. Rengku Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Jl. Soekarno-Hatta Km.38, Samboja, Kalimantan Timur, Indonesia *Corresponding author: [email protected]

7.1 Pendahuluan Akar kuning adalah jenis liana besar yang memiliki kayu bagian dalam berwarna kuning. Akar kuning dikenal dengan nama lokal seperti kukunyit, akar koneng, akar kuning, akar kunyit dan akar bila. Sedikitnya terdapat tiga spesies yang dikenal sebagai akar kuning, yaitu Arcangelisia flava, Coscinium fenestratum dan Fibraurea tinctoria. Fibraurea tinctoria termasuk dalam keluarga Menispermaceae. Habitusnya berupa liana dengan panjang mencapai 20 m dan umumnya tumbuh secara liar di hutan sekunder atau semak belukar (Tushar et al., 2008); Subiandono & Heriyanto, 2009). Akar kuning memiliki buah berbentuk bulat dengan diameter 1,5-3 cm berwarna abu-abu kecokelatan. Buah akar kuning termasuk klasifikasi buah drupe atau buah batu yang memiliki endokarp yang keras dan umumnya berbiji satu (Anonim, 2010). Bunga akar kuning muncul dipermukaan batang sehingga termasuk dalam tumbuhan cauliflorous (Noorcahyati, 2017). Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Salah satu senyawa metabolit sekunder dari akar kuning yang potensial sebagai obat adalah berberine. Senyawa golongan alkaloid ini dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba, antidiare, penghambat infeksi parasit usus, antihipertensi, antitumor, antiinflamasi, hepatoprotektor, antimalaria, antioksidan, antikanker dan dapat memperbaiki fibrosis hati (Domitrovic et al., 2013; Punitha et al., 2005; Watthanachaiyingcharoen et al., 2010; Wongbutdee, 2009). Coscinium fenestratum dan Fibraurea tinctoria merupakan jenis yang banyak dimanfaatkan oleh etnis di Kalimantan sebagai obat tradisional (Noorcahyati et al., 2010) sedangkan Arcangelisia flava lebih banyak dimanfaatkan di Sumatera dan Jawa (Subiandono & Heriyanto, 2009). Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat antara lain daun, akar dan batang. Akar kuning dipercaya mampu mengobati diabetes, malaria, demam hingga penambah stamina merupakan daftar dari beberapa jenis penyakit yang dapat diobati menggunakan akar kuning pada pengobatan tradisional etnis di Kalimantan. Untuk mendukung keberhasilan konservasi akar kuning maka perlu adanya kajian dan penelitian yang mendalam untuk memperoleh informasi yang komprehensif. Salah satu kajian yang masih sedikit informasinya adalah tentang distribusi alami, populasi dan kondisi vegetasi akar kuning terutama untuk jenis Fibraurea tinctoria Lour. di habitat alaminya. Melalui tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi terkini dan melengkapi data yang berkaitan dengan aspek ekologi akar kuning, terutama yang ada di lokasi Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Samboja, Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Selain itu diharapkan memberikan manfaat pada upaya konservasi dan pengembangan akar kuning sebagai hasil hutan bukan kayu yang potensial menjadi bahan baku obat, sehingga masuk dalam kategori hasil hutan bukan kayu tumbuhan obat.

126 Bab 7 Populasi dan Asosiasi Akar Kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) di KHDTK Samboja, Kalimantan Timur

7.2 Mengenal Akar Kuning Akar kuning merupakan jenis tumbuhan hutan liana berkayu. Di Kalimantan, umumnya ditemukan hidup secara alami pada hutan primer, sekunder, kebun karet tua yang dikelola tidak secara intensif dan bekas ladang. Seperti liana berkayu lainnya, akar kuning hidup dengan merambat pada berbagai jenis tumbuhan yang ada di dekatnya, hingga bagian atas tajuk pohon-pohon di hutan. Akar kuning memiliki ukuran panjang hingga belasan bahkan puluhan meter. Di habitat alami akar kuning, seringkali sulit membedakan antar individu akar kuning yang ada karena saling sambung menyambung hingga tajuk pohon yang menjadi tempat rambatannya. Akar kuning termasuk dalam famili Menispermaceae. Di Indonesia terdapat 3 (tiga) jenis akar kuning yang dikenal dan dimanfaatkan oleh berbagai etnis dalam pengobatan tradisional. Ketiga jenis tersebut adalah: Coscinium fenestratum, Arcangelisia flava dan Fibraurea tinctoria. Meskipun berada dalam satu famili, ketiga jenis akar kuning tersebut memiliki karakteristik yang berbeda terutama pada bagian daun dan buahnya. Kesamaan yang ada pada ketiga jenis akar kuning adalah warna khas yang menjadi ciri utamanya yakni kuning terang seperti kunyit pada bagian dalam batang dan akarnya. Warna kuning terang ini disebabkan kandungan Berberin yang berpotensi sebagai bahan baku obat. Harborne (1984) menyebutkan bahwa warna kuning pada jaringan tumbuhan tersebut menunjukkan adanya kandungan senyawa berberin. Di Kalimantan, akar kuning memiliki beberapa nama lokal, diantaranya akar bila (Dayak), akar kuning (Banjar; Melayu), merkunyit dan akar koneng (Kutai). Nama yang seringkali digunakan adalah akar kuning (Noorcahyati, 2017). Sebutan untuk nama lokal ini dirasa sangat pas bagi berbagai etnis di Kalimantan karena warna bagian dalam batang dan akarnya berwarna kuning (Gambar 7.1). Sehingga, penyebutan nama lokal untuk akar kuning ditujukan bagi ketiga jenis tersebut tanpa perbedaan.

127 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

A. B. Gambar 7.1 Morfologi batang dan akar tanaman akan kuning. A. Irisan batang akar kuning. B. Perakaran tumbuhan akar kuning juga berwarna kuning Sumber: Swara Samboja, 2017

Saat ini akar kuning telah menjadi spesies dengan metabolit bernilai tinggi bagi industri farmasi, khususnya di India (Thriveni et al., 2015). Di Indonesia, akar kuning juga sudah diproduksi menjadi jamu dan mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku obat modern. Akar kuning yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional diperoleh dengan cara mengambil langsung dari habitat aslinya. Pemanfaatam bagian akar kuning adalah pada batang dan akarnya. Pemanfaatan melalui bagian ini memiliki ancaman yang tinggi terhadap kelestarian tumbuhan, dibandingkan dengan pemanfaatan pada bagian daun. Hal tersebut ditambah dengan adanya eksploitasi di alam dan kerusakan hutan serta daya regenerasinya yang lambat menyebabkan keberadaan akar kuning kian terancam. Agar spesies akar kuning tidak menjadi langka dan terancam punah maka upaya konservasi secara ex situ dan in situ harus dilakukan. Bentuk daun dari ketiga jenis akar kuning seperti yang disajikan pada beberapa Gambar 7.2-7.4.

128 Bab 7 Populasi dan Asosiasi Akar Kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) di KHDTK Samboja, Kalimantan Timur

Gambar 7.2 Bentuk daun Arcangelisia flava Sumber foto: Puspanti

Gambar 7.3 Bentuk daun Coscinium fenestratum (tampak depan dan belakang) Sumber foto: Puspanti

129 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Gambar 7.4 Daun Fibraurea tinctoria Sumber: Puspanti

7.3 Manfaat Akar Kuning Akar kuning memiliki berbagai manfaat dalam pengobatan tradisional pada berbagai etnis di Indonesia, termasuk etnis asli yang ada di Kalimantan seperti Dayak, Banjar dan Kutai. Jenis liana ini terkenal secara empiris untuk mengobati hepatitis yang dikenal etnis lokal pada beberapa daerah sebagai sakit kuning. Selain itu, dikenal pula untuk mengobati kencing manis, maag, cacingan, sariawan hingga penambah stamina (Noorcahyati et al., 2010). Biji akar kuning dapat digunakan untuk membius ikan sedangkan ekstrak batangnya dapat digunakan sebagai insektisida (Subiandono & Heriyanto, 2009). Berbagai hasil penelitian mengenai bioaktivitas akar kuning, menjadi penguat dari pembuktian empiris yang telah dipraktikkan bertahun-tahun dari generasi ke generasi. Penelitian pada isolasi senyawa aktif dengan metode Bioassay Guided Isolation telah dilaporkan oleh Wahyuono et al., (2006) bahwa senyawa bioaktifnya mampu menghambat 20% pertumbuhan kanker in vitro. Hasil penelitian Achmadi et al. (2009) menyebutkan bahwa kandungan saponin pada akar kuning tidak merusak hati, bahkan mampu

130 Bab 7 Populasi dan Asosiasi Akar Kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) di KHDTK Samboja, Kalimantan Timur meregenerasi sel hati yang telah dirusak sebelumnya karena pemberian parasetamol. Berberin merupakan bahan aktif yang penting pada F. tinctoria Lour. Banyak penelitian mengenai berberin menyebutkan peran pentingnya sebagai anti kanker. Berberine juga diketahui memiliki berbagai aktivitas farmakologi, termasuk aktivitas pro–apoptosis (Piyanuch et al., 2007 dalam Noorcahyati, 2017b).

7.4 Ekologi Akar Kuning Informasi mengenai ekologi akar kuning belum banyak dilaporkan. Penelitian mengenai korelasi, asosiasi ketiga jenis akar kuning dengan tumbuhan di sekitarnya belum banyak dipelajari. Begitu pula dengan upaya konservasi tumbuhan ini yang keberadaan di alam semakin sulit ditemukan. Habitat alami untuk jenis C. fenestratum di Kalimantan dapat di jumpai pada hutan primer, sedangkan habitat F. tinctoria dan A. flava umumnya pada hutan sekunder. F. tinctoria lebih sering ditemukan dibandingkan kedua jenis kerabatnya. Kebun karet tua dan bekas ladang masyarakat yang dibiarkan tumbuhan lain hidup secara alami dapat menjadi habitat alami F. tinctoria. KHDTK Samboja merupakan habitat alami dari ketiga jenis akar kuning (Noorcahyati, 2017a). Keberadaan ketiga jenis akar kuning di habitat alami saat ini terus mengalami penurunan. Coscinium fenestratum yang ada di India termasuk dalam daftar tumbuhan obat yang segera memerlukan tindakan konservasi karena terancam punah (Batugal et.al, 2004). Di Indonesia, ketiga jenis akar kuning masih di panen dari habitat alami. Tanpa adanya upaya budidaya dan konservasi, pemanfaatan langsung dari alam tentunya akan mengganggu kelangsungan hidup akar kuning. Untuk mencegah penurunan populasi di alam, penanaman dan budidaya F. tinctoria Lour. sangat diperlukan. Untuk melakukan hal tersebut, maka diperlukan kegiatan untuk mengevaluasi keberadaan F. tinctoria Lour. serta diperlukan informasi kondisi ekologi, distribusi spesies serta asosiasi dengan tumbuhan lainnya.

131 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Pola sebaran tumbuhan ini cenderung mengelompok. Daerah sebarannya meliputi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Halmahera, Filipina, Thailand, Indocina dan Malaya. Akar kuning dapat dijumpai pada ketinggian tempat yang beragam dari dataran rendah hingga ketinggian 1000 mdpl (Hassler, 2019). Jenis-jenis ini termasuk tumbuhan yang lamban regenerasinya. Coscinium fenestratum bahkan membutuhkan waktu 15 tahun untuk mencapai fase reproduktif (Tushar et al., 2008). Sementara Fibraurea tinctoria belum banyak dilaporkan terkait regenerasinya. Ketiga jenis akar kuning memerlukan tumbuhan lain untuk dijadikan sebagai rambatan. Oleh karena itu, tumbuhan ini disebut sebagai liana. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Noorcahyati (2017b) tidak ada kriteria jenis tumbuhan khusus yang dijadikan rambatan oleh akar kuning. Apapun jenis tumbuhan yang ada didekatnya, akan dijadikan sebagai tempat untuk memanjat (rambatan). Selain di KHDTK Samboja, akar kuning jenis F. tinctoria juga ditemukan pada kebun masyarakat. Akar kuning dapat dikembangkan bersama dengan beberapa pohon buah-buahan dan jenis tumbuhan berkhasiat obat lainnya (Noorcahyati et al., 2016). Oleh Karena itu, liana berkayu ini dapat dikembangkan pada sistem agroforestry.

7.5 Asosiasi Fibraurea tinctoria dengan Tumbuhan Lain Penelitian mengenai asosiasi jenis akar kuning (F. tinctoria) telah dilakukan di KHDTK Samboja. Lokasi ini merupakan kawasan hutan penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Samboja yang terletak di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, provinsi Kalimantan Timur.

132 Bab 7 Populasi dan Asosiasi Akar Kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) di KHDTK Samboja, Kalimantan Timur

Untuk mengetahui kondisi vegetasi, terutama komposisi, kerapatan dan spesies yang dominan dilakukan analisis melalui Indeks Nilai Penting (INP) dari masing-masing spesies yang terdapat dalam plot pengukuran. INP diperoleh dengan menjumlahkan nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominasi relatif (Soerianegara dan Indrawan, 1982). Selain itu, untuk tingkat asosiasi antara akar kuning dengan jenis lainnya, maka uji asosiasi antara akar kuning dengan jenis pohon yang dililit juga dilakukan dengan menggunakan indeks asosiasi menurut Jaccard (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974; Ludwig dan Reynolds, 1988). Di habitat alam, batang F. tinctoria batang tertanam sangat panjang di dalam tanah dan kemudian baru melilit batang pohon inangnya. Hal ini terkadang menyulitkan untuk menghitung secara pasti jumlah individu yang ada. Oleh karena itu, untuk mengetahui populasi F. tinctoria Lour di KHDTK Samboja dilakukan dengan pendekatan pengukuran luas bidang dasar dan jumlah rumpun. Satu rumpun tersusun dari satu atau beberapa individu. Hasil perhitungan luas bidang dasar F. tinctoria Lour pada masing-masing plot pengukuran tersaji pada Tabel 7.1. Total luas bidang dasar dari tumbuhan akar kuning dari jenis F. tinctoria Lour di plot pengamatan adalah 489,87 cm2 atau sekitar 72.039,71 cm2/ha. Luas bidang dasar terbesar terdapat pada plot 4 dengan luasan 107,30 cm2, sedangkan luasan bidang dasar terendah adalah plot 3 dengan luasan 1,79 cm2. Diameter batang akar kuning ini bervariasi, dengan rentang antara 0,1 cm sampai dengan diameter terbesar yaitu 6,21 cm.

133 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tabel 7.1 Luas bidang dasar dan jumlah rumpun Fibraurea tinctoria Lour. pada plot Penelitian di KHDTK Samboja Plot Luas bidang dasar (cm2) Jumlah rumpun 1 26,82 43 2 80,47 11 3 1,79 1 4 107,30 27 5 18,73 1 6 56,32 3 7 53,65 6 8 13,64 7 9 14,31 7 10 5,36 1 11 3,58 2 12 44,71 2 13 3,58 2 14 5,16 1 15 54,46 7 Total 489,87 121 Sumber: Data Primer

Berdasarkan pengamatan di masing-masing plot, akar kuning tumbuh secara berkelompok dan pada umumnya sudah merupakan tumbuhan dewasa yang mulai menjalar dan merambat pada pohon inang. Saat dilakukan pengambilan data, tidak terdapat tumbuhan akar kuning yang sedang berbuah. Jumlah anakan akar kuning yang berupa semai juga sangat sedikit tersedia pada plot pengamatan. Saat pengambilan data, hanya terdapat 2 individu semai dengan diameter relatif sangat kecil yaitu 0,1 cm, yang tumbuh alami dan belum melilit pohon inang. Hal ini menunjukkan bahwa regenerasi alami akar kuning secara generatif (dari biji) sangat rendah di KHDTK Samboja.

134 Bab 7 Populasi dan Asosiasi Akar Kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) di KHDTK Samboja, Kalimantan Timur

Fibraurea tinctoria Lour merupakan tumbuhan yang tergolong sebagai liana, dan tumbuh merambat atau melilit pada tumbuhan lain. Pada plot pengamatan di KHDTK Samboja, terdapat 123 jenis tumbuhan yang teridentifikasi tumbuh di lokasi penelitian selain akar kuning. Sebanyak 26 jenis teridentifikasi sebagai tumbuhan inang yang dililiti oleh F. tinctoria Lour. Indeks asosiasi berdasarkan Jaccard Index dipilih dalam menentukan indeks asosiasi F. tinctoria dengan tumbuhan lainnya, karena menurut Ludwig dan Reynolds (1988), Jaccard Index mampu menyajikan hasil yang tidak bias meskipun hanya dengan jumlah sampel yang sedikit (n = 10). Indeks asosiasi antara akar kuning dengan tumbuhan inangnya disajikan pada Tabel 7.2.

Tabel 7.2 Jenis Pohon Inang dan Indeks Asosiasi dengan F. tinctoria Lour. Jumlah Jumlah Indeks No Pohon inang total Dibelit Asosiasi 1 Archidendron sp. 8 1 0,20 2 Artocarpus sp. 11 1 0,33 3 Bambusa sp. 5 2 0,07 4 Bridelia glauca 2 1 0,13 5 Calamus sp. 1 1 0,07 6 Cratoxylum sumatranum 19 2 0,40 7 Ficus grosulariodes 25 4 0,40 8 Ficus sp. 6 2 0,33 9 Fordia splendidisima 50 7 0,80 10 Glochidion sp. 1 1 0,07 11 Ilex sp. 6 2 0,20 12 Leea indica 9 2 0,47 13 Litsea firma 11 1 0,60 14 Litsea sp. 8 1 0,40 15 Lygodium circinatum 7 1 0,27 16 Macaranga motleyana 7 1 0,20

135 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tabel 7.2 Jenis Pohon Inang dan Indeks Asosiasi dengan F. tinctoria Lour. (lanjutan) Jumlah Jumlah Indeks No Pohon inang total Dibelit Asosiasi 17 Macaranga trichocarpa 54 6 0,67 18 Melicope glabra 18 1 0,53 19 Pertusadina eurynca 20 2 0,40 20 Poikilospermum sp. 1 1 0,07 21 Pternandra sp. 6 2 0,07 22 Tabernaemontana sp. 1 1 0,07 23 Terminalia sp. 3 1 0,07 24 Tetracera sp. 2 1 0,13 25 Trema sp. 1 1 0,07 26 Vitex pinata 1 1 0,07 Sumber: Data Primer

Berdasarkan hasil analisis data, terdapat 26 jenis tumbuhan yang dililit oleh akar kuning dan menjadi inangnya. Satu batang pohon pada umumnya dillilit oleh satu rumpun akar kuning yang bisa terdiri dari satu atau beberapa individu. Semakin mendekati nilai 1, maka tingkat asosiasi antara dua jenis semakin tinggi. Pada lokasi penelitian di KHDTK Samboja, nilai asosiasi tertinggi adalah 0,80 yang merupakan tingkat asosiasi antara F. tinctoria dan Fordia splendidissima. Nilai asosiasi yang lebih besar dari 0,50 ditunjukkan oleh asosiasi antara F. tinctoria dengan Macaranga trichocarpa (0,67), dengan Litsea firma (0,60) dan dengan Melicope glabra (0,53). Keempat jenis ini menunjukkan asosiasi yang lebih besar dibandingkan dengan jenis-jenis lain terhadap F. tinctoria. Hal ini berkaitan erat dengan jenis yang mendominasi di plot pengamatan.

136 Bab 7 Populasi dan Asosiasi Akar Kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) di KHDTK Samboja, Kalimantan Timur

Seperti halnya pada plot pengamatan lain yang berlokasi di Desa Sungai Merdeka, Samboja juga ditemukan asosiasi F. tentoria dengan jenis tumbuhan lainnya yang berpotensi obat (Noorcahyati et al., 2016). Meskipun rata-rata mempunyai diameter yang tidak terlalu besar, akan tetapi Fordia splendidissima dan Macaranga trichocarpa merupakan jenis yang mendominasi di plot penelitian, sehingga kedua jenis ini mempunyai peluang lebih besar untuk menjadi inang bagi tumbuhnya F. tinctoria. Sedangkan Melicope glabra merupakan jenis yang memiliki diameter besar di plot penelitian. Menurut Widyatmoko dan Zick (1998) dalam Subiandono dan Heriyanto (2009) akar kuning lebih menyukai pohon yang bertajuk lebat untuk dirambati, karena tumbuhan ini menyukai kelembaban yang tinggi untuk hidupnya.

7.6 Penutup Terdapat populasi F. tinctoria Lour di KHDTK Samboja dengan luas bidang dasar total 489,87 cm2 yang terdiri dari 121 rumpun di mana populasinya ditemukan mengelompok. Sebanyak 26 jenis teridentifikasi sebagai tumbuhan inang yang dililit oleh F. tinctoria Lour. Indeks asosiasi akar kuning dengan tumbuhan inangnya menunjukkan bahwa Fordia splendidissima merupakan jenis inang yang mempunyai tingkat asosiasi paling tinggi dengan F. tinctorial. Selain itu, akar kuing juga berasosiasi dengan Macaranga trichocarpa, Litsea firma dan Melicope glabra. Regenerasi alami akar kuning secara generatif (berasal dari biji) sangat kurang di lokasi penelitian, ditandai dengan sangat sedikitnya individu anakan. Hal ini merupakan sebuah tantangan bagi konservasi tumbuhan akar kuning, mengingat pemanfaatannya yang semakin berkembang akan mempengaruhi populasi jenis ini di habitat alaminya. Untuk itu perlu dilakukan upaya perbanyakan secara vegetatif untuk menambah ketersediaan akar kuning di luar habitat alaminya.

137 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

7.7 Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan penelitian ini, terutama untuk para teknisi lapangan yang telah membantu pada saat pengumpulan data, dan seluruh anggota Kelompok Penelitian Konservasi Kawasan dan Kelompok Penelitian Konservasi Keanekaragaman Hayati pada Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, Samboja.

Daftar Pustaka Achmadi, S.S., Irmanida, B., Irma, H.S., Raffi, M. & Gunawan, A. (2009) Akar Kuning Sebagai Hepatoprotektor, hlm. 153-163. dalam Tinambunan, D. & Wibowo, A. (edt.). Bunga Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia dari Tumbuhan Hutan untuk Keunggulan Bangsa dan Negara. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Anonim. (2010) Mengenal Akar Kuning (Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr.). Leaflet. Samboja: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Batugal, P.A, Kanniah, J., Lee, S.Y., Oliver, J.T. (eds). (2004) Medicinal Plants Research in Asia, Volume 1: The Framework and Project Workplans. International Plant Genetic Resources Institute – Regional Office for Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO), Serdang, Selangor DE, Malaysia. Domitrovic, R., Jakovac, H., Marchesi, V.V., Blazekovic, B. (2013) Resolutin of Liver Fibrosis by Isoquinoline Alkaloid Berberine in CCl4- Intoxicated Mice Is Mediated by Suppression of Oxidatative Stress and Upregulation of MMP-2 Expression. Journal Of Medicinal Food Vol. 16(6): 518-528. Harborne, J.B. (1984) Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan Kedua. Bandung: ITB Press.

138 Bab 7 Populasi dan Asosiasi Akar Kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) di KHDTK Samboja, Kalimantan Timur

Hassler, M. (2019) World Plants: Synonymic Checklist of the Vascular Plants of the World (version Nov 2018). In: Species 2000 & IT IS Catalogue of Life, 25th March 2019 (Roskov Y., Ower G., Orrell T., Nicolson D., Bailly N., Kirk P.M., Bourgoin T., DeWalt R.E., Decock W., Nieukerken E. van, Zarucchi J., Penev L., eds.). Digital resources at www.catalogueoflife.org/col. Species 2000: Naturalis, Leiden, the Netherlands. ISSN 2405-8858. Ludwig, J.A. & Reynolds. J.F. (1988) Statistical ecology. Aprumer on Methods and Computing. John Wiley and Sons. New York. Mueller-Dombois, D. & Ellenberg, H. (1974) Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York, London: John Wiley & Sons. Noorcahyati. (2010) Kajian etnobotani pohon potensial berkhasiat obat antidiabetes dan kolesterol di Kalimantan (Laporan Hasil Penelitian). Samboja: Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. (Tidak dipulikasikan). Noorcahyati, Sulandjari, Dewi, W.S. (2016) Asosiasi Akar Kuning (Fibraurea tinctoria Lour) dengan Tumbuhan Berpotensi Obat di Samboja, Kalimantan Timur. Jurnal Hutan Tropis 4(3). Noorcahyati (2017a) Biofarmaka Kalimantan. Lampu Kuning untuk Si Kuning. Majalah Swara Samboja VI(2). Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Samboja. Noorcahyati (2017b) Kajian Biogeografi, Kadar Berberin dan Perbanyakan Fibraurea tinctoria Lour. dari Beberapa Daerah di Kalimantan. Tesis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Noorcahyati (2017c) Menanti Upaya Konservasi Anggur Kuning. Majalah Swara Samboja VI(2). Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Samboja.

139 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Punitha, I.S.R., Rajendran, K., Shirwaikar, A. (2005) Alcoholic Stem Extract of Coscinium fenestratum Regulates Carbohydrate Metabolism and Improves Antioxidant Status in Streptozotocin–Nicotinamide Induced Diabetic Rats. Evid Based Complement Alternat Med. 2005 September; 2(3): 375–381. Subiandono, E., & Heriyanto, N.M. (2009) Kajian tumbuhan obat akar kuning (Arcangelisia flava Merr.) di kelompok Hutan Gelawan, Kabupaten Kampar, Riau. Buletin Plasma Nutfah, 15(1). Soerianegara, I. & Indrawan, A. (1982) Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Thriveni, H.N, Gunaga, S.V, Ramesh, B., Vasudeva R. (2015) Ecological niche modelling, population status and regeneration of Coscinium fenestratum colebr. (Menispermaceae): a medicinally important liana of the Central Western Ghats. Tropical Ecology 56(1): 101-110. Tushar, K. V., George, S., Remashree, A.B., Balachandran, I. (2008) Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr. A Review on this Rare, Critically Endangered and Highly Traded Medicinal Species. Journal of Plant Sciences 3(2):133-145. Wahyuono, S., Setiadi, J. Santosa, D. Wahyuningsih, M.S.H., Soekotjo, Widyastuti, S.M. (2006) Potensi Senyawa Bioaktif dari Akar Kuning (Fibraurea chloroleuca Miers.) Koleksi dari hutan Kalimantan Tengah sebagai Antikanker. Majalah Obat Tradisional, 11(36):22-8. Watthanachaiyingcharoen, R., Komatsu, K., Zhu, S., Vajragupta, O., Leelamanit, W. (2010) Authentication of Coscinium fenestratum among the Other Menispermaceae Plants Prescribed in Thai Folk Medicines. Biology Pharmacy Bulletin, 33(1): 91-94. Wongbutdee, J. (2009) Physiological effect of berberine. Review article. Thai Pharmaceutical and Health Science Journal, 4(1).

140 BAB 8 UPAYA PERLINDUNGAN RESIN JERNANG INDONESIA

Retno Agustarini dan Yetti Heryati Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jalan Gunung Batu 5, Bogor 16610

8.1 Pendahuluan Salah satu Hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan dalam Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007 dan mempunyai potensi besar di Indonesia adalah rotan. Kebutuhan rotan dunia, 80% diantaranya dipasok dari Indonesia. Hal tesebut didukung kondisi potensi rotan Indonesia yang mempunyai 312 jenis rotan terdiri dari 8 marga dari 13 marga di dunia dan 15 jenis rotan diantaranya adalah jenis komersial (Sahwalita, 2015a). Pemanfaatannya sendiri beragam, mulai dari batangnya untuk bahan baku kerajinan dan meubel; hingga untuk bahan pangan dan sumber air di hutan (umbut untuk sayur dan lalap serta sebagai sumber air penghilang dahaga di hutan). Selain itu ada satu jenis rotan yang dimanfaatkan resin yang ada dalam buahnya untuk bahan baku obat-obatan, kosmetik dan pewarna (Sahwalita, 2015a). Jenis rotan spesifik ini dikenal dengan rotan jernang. Keberadaan rotan jernang selain dapat dimanfaatkan secara ekonomi, juga memberikan manfaat secara ekologi dan sosial (Agustarini et al., 2016). Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

8.2 Darah Naga (Dragon’s Blood): Jenis Rotan yang Spesifik Rotan jernang merupakan jenis rotan yang menghasilkan resin jernang. Dahulu masyarakat mengenal produk rotan jernang ini dengan sebutan getah jerang. Pengertian dari masing-masing istilah tersebut telah disempurnakan dalam SNI 8349:2016 tentang Nama Hasil Hutan Bukan Kayu, baik pengertian resin maupun getah. Dalam standar tersebut disebutkan bahwa resin adalah eksudat yang dikeluarkan atau disekresikan oleh sel kelenjar khusus tumbuhan yang dengan segera atau lambat kemudian membeku dan berwarna tergantung dari jenis tumbuhan penghasil getah. Sedangkan getah adalah cairan atau koloid yang bersifat cair, kental yang dikeluarkan oleh bagian tumbuhan dari batang dan/ atau daun yang terluka. Dengan demikian, berdasarkan karakteristik dan pertimbangan produknya, hasil dari rotan jernang ini lebih tepat menggunakan istilah resin jernang. Resin jernang merupakan eksudat berwarna merah yang diekstraksi dari buah rotan (Waluyo dan Gunawan, 2013; Nugroho, AW., 2013; Sahwalita, 2014; Agustarini et al., 2016). Hasil sekresi ini berwarna merah seperti darah naga dan mulai dikenal dari Sumatera sejak abad ke-16 nama Sumatran Dragon’s blood (Purwanto et al. 2009). Komoditas yang banyak terdapat wilayah Sumatera (Jambi, Aceh, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bengkulu dan Kalimantan Selatan (Soemarna, 2009, Sahwalita et al., 2015b)) dan Kalimantan (Soemarna, 2009) ini mempunyai nama lain kino, red benzoin, jernang manday, jernang beruang, jernang kuku, getah badak dan getih warak serta dalam dunia perdagangan lebih terkenal dengan sebutan dragon’s blood (Purwanto et al. 2009, Agustarini et al., 2016). Tidak semua rotan mampu menghasilkan resin jernang. Tercatat hanya 4 genus tanaman yang mampu menghasilkan resin jernang yaitu: (1). Croton spp., (2). Daemonorops spp., (3). Draccaena spp., (4) Pterocarpus spp. Sebarannya di Afrika Timur, India Barat, hingga Amerika Selatan.

142 Bab 8 Upaya Perlindungan Resin Jernang Indonesia

Namun hanya Daemonorops spp. dari famili Aracaceae yang wilayah sebarannya hanya di Asia, dan terbatas keberadaannya di Indonesia, China dan Jepang (Gupta D, et al., 2008; Agustarini et al., 2016). Beberapa penelitian mengidentifikasi jenis-jenis dari Genus Daemonorops spp. sebagai penghasil resin jerang (Heyne, 1987; Rustiami et al. 2004; Soemarna, 2009; Gupta et al., 2008). Yang membedakan antar jenis dan menjadi karakter spesifik secara morfologi yaitu bentuk buah, ukuran tandan, warna batang, ukuran dan bentuk duri (Asra et al., 2014). Jenis-jenis tersebut secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 8.1. Kandungan resin jernang yang terbanyak terdapat pada buah yang masih muda, dan keberadaannya semakin berkurang seiring dengan semakin bertambahnya umur buah rotan (Sahwalita, 2014; Agustarini et al., 2016). Jenis Daemonorps umumnya akan berbunga setelah 2-3 tahun dan berbuah setelah berumur 4-6 tahun (Soemarna, 2009; Sahwalita, 2015a). Rotan ini tumbuh sebagai batang tunggal atau membentuk rumpun, umumnya D. draco dalam satu rumpun terdiri atas 5-20 individu rotan (Agustarini et al., 2016).

Tabel 8.1 Jenis-jenis rotan penghasil resin jernang Sumber Rustiami et.al Gupta et.al. Heyne (1987) Soemarna (2009) (2004) (2008) Daemonorops draco D. draco (Willd) D. draco (Willd) D. draco (Willd) (Willd) Blume Blume Blume Blume D.didymophylla D.didymophylla D.didymophylla D.didymophylla Becc. Becc. Becc. Becc. D. Micracantha D. Micracantha D. longipes, D. Micracantha (Griff.) Becc. (Griff.) Becc. (Griff.) Becc. D. motleyi Becc. D. acehensis D. palembanicus, D. Motleyi Becc. D. draconcellus D. rubra (Reinw. D. singalamus D. rubra (Reinw. Ex Blume)Blume Ex Blume)Blume

143 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tabel 8.1 Jenis-jenis rotan penghasil resin jernang (lanjutan) Sumber Rustiami et.al Gupta et.al. Heyne (1987) Soemarna (2009) (2004) (2008) D. brachystachys, D. brachystachys, D. propinqua Becc. D. dracuncula, D. dracuncula, D. dransfieldii. D. dransfieldii. D. maculata, D. trichrous, D. sekunderensis, D. mattanensis D. siberutensis D. uschdraweitiana

Perhitungan potensi buah rotan jernang umur 5 tahun yang tumbuh sebagai tanaman sela pada tanaman karet sebagai berikut: jumlah batang dalam 1 rumpun adalah 1 – 7 batang, dengan jumlah tandan 0 – 13 tandan, jumlah buah per tandan antara 288-545 buah dan rata-rata jumlah buah per kg sekitar 1.866 buah (Sahwalita, 2014). Jika dalam 1 ha lahan (asumsi 500 rumpun/ha) dan 1 rumpun rerata 5 batang dan 60% nya adalah betina maka akan diperoleh hasil sebesar 225 kg/ha/tahun (Sahwalita, 2015a). Pada beberapa hutan di Jambi dan Riau, dilaporkan pernah ditemukan satu rumpun jernang berisi 68 batang, dan pada satu batang bisa menghasilkan lima tandan buah. Jika diambil rata-rata dalam satu rumpun berbuah 10 batang saja, berarti bisa menghasilkan 50 tandan buah. Jika rata-rata berat buah per tandan adalah 2 kg, dan getah jernang yang dihasilkan dari 1 kg buah adalah 1 ons, maka dari 100 kg buah jernang (50 tandan x 2 kg) bisa dihasilkan 10 kg getah jernang1 (Komunikasi pribadi dengan Dr. Revis Afra). Rendemen resin jernang sangat bergantung dari asal buah, yaitu berkisar antara 1,5 – 9% per 1 kg buah atau 15 – 90 g/kg buah (Syarifuddin, 2018). Lebih lengkap gambaran rendemen masing-masing jenis resin berdasar asal buah dapat dilihat pada Tabel 8.2.

1 https://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/3316-kembangkan-rotan-jernang-di- jambi-peneliti-bli-inisiasi-pertemuan-para-pihak

144 Bab 8 Upaya Perlindungan Resin Jernang Indonesia

Resin jernang ini merupakan komoditas eksport, pasar dalam negeri sendiri masih menyerap dalam jumlah yang sedikit utamanya untuk kebutuhan pabrik obat dan jamu tradisional. Umumnya permintaan berasal dari negara- negara seperti China, Singapura, Amerika Serikat dan negara-negara Timur Tengah (Sahwalita, 2015a). China merupakan negara penghasil jernang juga, namun permintaan resin jernang dari China juga masih sangat tinggi (berkisar 400 ton per tahun) namun hanya mampu dipenuhi Indonesia sekitar 27 ton per tahun (Pasaribu, 2005).

Tabel 8.2 Rekapitulasi rendemen resin jernang berdasar jenis dan asal buah Rendemen Resin Jenis dan Asal Buah (Gram /1kg buah) Jernang Super junieb dan sekitarnya 60 Jernang Super Aceh Tengah dan sekitanya 70 Jernang Super Tangse, Janthoe, Lamno Aceh Jaya dan 50 Gunung Ulu Masen Jernang Super Aceh Utara dan sekitar Gunung Leunser 50 Jernang Gajah Aceh 15 Jernang Kacang Bentong Nagan Raya dan Gayo Leus 30 Jernang Super Simalungun daN sekitarnya 50 Jernang Super Tapanuli Selatan 80 Jernang gajah Sumatera Utara 15 Jernang burung Sumatera Utara 15 Jernang Super rambai bukit 30 Jambi 90 Jernang Super rambai bukit 12 Jambi 70 Jernang Super Rambai jangkat merangin bungo Jambi dan 60 Sekitarnya Jernang Kelukup Jambi 20 Jernang Burung Jambi 15 Jernang burung Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung 16

Sumber: Syarifudin, 2018

145 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Pemanfaatan resin jernang ini juga bergeser, dari mulanya hanya sebagai pewarna baik pakaian, maupun keramik, seiring diketahui manfaatnya menjadi bahan baku kosmetik dan obat. Masih terbuka peluang tingginya permintaan dan menjadikan rotan jernang sebagai salah satu Hasil Hutan bukan kayu (HHBK) potensial Indonesia.

8.3 Permasalahan Resin Jernang di Indonesia Rotan jernang tergolong jenis HHBK yang menjanjikan. Pasar masih terbuka lebar terutama pasar ke China. Salah satu wilayah yang sudah mengembangkan jenis rotan jerang ini adalah Jambi, daerah yang menjadi awal munculnya pengusahaan resin jernang apalagi resin jernang yang berasal dari Jambi (Daemonorops draco (Willd.) Blume) telah banyak diteliti dan mempunyai kualitas resin baik. Namun ternyata kondisi riil di lapangan, jenis D. draco ini sudah masuk daftar merah (Red List) IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) tahun 2006 sebagai tumbuhan yang terancam punah dan menurut Balai Informasi Kehutanan Provinsi Jambi (2009), rotan jernang ini sudah dikategorikan langka. Terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan dari pemanfaatan dan pengusahaan rotan jernang, yaitu: 1. Bahan baku masih mengandalkan alam. Selama ini masyarakat dan petani pengumpul hanya melakukan esploitasi pemanfaatan resin jernang yang ada di alam tanpa ada upaya penanaman kembali. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya populasi rotan jernang di alam. Produksi jernang yang ada di wilayah Jambi, khususnya di areal PT. REKI, terus mengalami penurunan yaitu pada tahun 1997 sedikitnya terdapat 40 kelompok petani yang melakukan eksplorasi resin jernang dan dalam waktu 2 minggu masing-masing kelompok mampu menghasilkan 11 kg resin atau total keseluruhan adalah 440 kg resin jernang (kualitas

146 Bab 8 Upaya Perlindungan Resin Jernang Indonesia

super). Namun pada kisaran tahun 2010 hanya tersisa 11 kelompok saja dengan hasil ± 5 kg/kelompok dalam jangka waktu eksplorasi yang sama (2 minggu) atau sekitar total 55 kg resin saja. Penurunan produksi tersebut disebabkan karena semakin berkurangnya habitat rotan jernang (Yetty et al., 2013) akibat perubahan fungsi hutan menjadi lahan-lahan perkebunan dalam skala besar, legal/illegal logging, dan kebakaran hutan. 2. Upaya pemanenan yang dilakukan belum menerapkan azas kelestarian. Proses panen buah yang tidak sesuai dengan ketentuan panen yang baik sehingga proses panen terganggu dan merusak tanaman rotan jernang. Panen dilakukan pada buah rotan yang berumur muda sampai setengah tua karena potensi resin terbanyak terdapat pada buah dengan umur demikian (Sahwalita, 2014; Agustarini et al., 2016). Pola panen seperti ini menyebabkan ketersediaan buah tua yang akan dijadikan bibit sangat terbatas. 3. Ekologi dan teknologi budidaya belum sepenuhnya dikuasai. Karakteristik buah rotan yang mempunyai kulit keras (Kurniaty dan Agustarini, 2018) membuat upaya budidaya juga mengalami hambatan. Kulit benih dari rotan jernang keras karena embrionya terlindungi oleh lempeng katup (plug) sehingga air sulit untuk menembus bahagian dalam benih, sehingga menyebabkan benih dorman (Winarto, 2013). Perlu upaya-upaya pematahan dormasi buah dan penerapan teknologi budidaya agar upaya pengembangan rotan jerang dapat terlaksana. 4. Perdagangan umumya dilaksanakan tertutup (black market), tidak ada kejelasan prosedur dan tata cara yang jelas sehingga petani tidak mempunyai posisi tawar. Tidak adanya standar baku kualitas resin jernang dari Indonesia, membuat petani tidak mempunyai daya saing. Menurut informasi dari pengepul jernang setiap jenis memiliki rendemen dan kualitas jernang yang berbeda. Rendemen diukur

147 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

dari jumlah resin kualitas super yang diperoleh, sedangkan kualitas ditentukan oleh kandungan drakorhodin dan kandungan obat dari hasil test laboratorium. Hal ini yang menjadi kendala karena pengujian dilakukan oleh pembeli di negara masing-masing seperti Singapura. Setelah ada hasil laboratorium baru pembeli menentukan harga, hal tersebut dilakukan setiap kali transaksi. Kondisi ini yang menyebabkan posisi tawar penjual (eksportir) menjadi lemah karena harga ditentukan sepihak oleh pembeli. 8.4 Upaya Mengatasi Permasalahan Resin Jernang Harga resin jernang sangat menjanjikan, untuk resin dengan kualitas kualitas bagus (grade A) berkisar Rp 2,3 juta – Rp 3 juta (Soemarna, 2009); bahkan sekarang bisa mencapai harga Rp. 4.500.000,- sampai Rp. 6.000.000,- untuk resin jernang kualitas super (komunikasi pribadi dengan Pak Nanda pelaku usaha jernang di Jambi, 2016). Potensi harga yang menjanjikan tersebut membuat pengusahaan rotan jernang semakin menggeliat, terus berkembang bahkan sampai saat ini berkembang hampir di seluruh wilayah Sumatera. Kesadaran untuk menanam bermunculan, walaupun masih dalam jumlah terbatas. Beberapa wilayah yang sudah melaksanakan pengusahaan rotan jernang diantaranya di wilayah Sarolangun (Jambi), Ogan Komering Ulu Selatan (Sumatera Selatan) dan Kaur (Bengkulu) (Agustarini et al., 2016). Peningkatan pengusahaan jernang memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat karena dapat menambah lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Beberapa KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) sebagai pengelola kawasan hutan di daerah juga sudah melakukan pemberdayaan dengan masyarakat untuk mengembangkan rotan jernang, diantaranya KPHL Kuantan Singingi Selatan (Jambi), KPH Benakat (Sumatera Selatan), KPH Wilayah 1 Meranti (Sumatera Selatan). Selain itu muncul asosiasi

148 Bab 8 Upaya Perlindungan Resin Jernang Indonesia petani jernang yang menamakan diri sebagai Asosiasi Jernang Indonesia yang berkedudukan di Medan. Asosiasi ini menjadi wadah bagi para petani dan pelaku usaha jernang untuk saling berbagi informasi baik pasar maupun budidaya sehingga pengusahaan rotan jernang semakin luas. Penelitian-penelitian untuk mengatasi permasalahan-permasalahan berkaitan dengan budidaya rotan jernang juga sudah mulai dilakukan baik oleh pihak akademisi maupun lembaga penelitian kementrian, walaupun hasilnya belum sempurna. Namun informasi-informasi dan penelitian tersebut membantu petani untuk lebih mengembangkan rotan jernang seperti informasi berkaitan dengan teknik pematahan dormansi (Kurniaty dan Agustarini, 2018), teknik perbenihan (Nugroho, AW, 2013; Sahwalita, 2014) sampai teknik penanaman (Nugroho, AW, 2013). Berkaitan dengan permasalahan perdagangan resin jernang yang tertutup, pemerintah dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pelaksana teknis memperjuangkan legitimasi bagi produk resin jernang Indonesia melalui pembuatan standar nasional berkaitan dengan resin jernang. Diharapkan dengan adanya SNI ini akan memantapkan dan meningkatkan daya saing produk nasional, memperlancar arus perdagangan dan melindungi kepentingan petani jernang sendiri.

8.5 Legitimasi Hukum untuk Meningkatkan Daya Saing Produk Nasional Resin Jernang Legitimasi hukum untuk meningkatkan daya saing produk resin jernang serta membantu meningkatkan posisi tawar bagi petani jernang adalah pembuatan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Resin Jernang. Tidak adanya standar baku kualitas resin jernang Indonesia, membuat petani tidak mempunyai daya saing. kegiatan standardisasi yang dilakukan di bawah tanggungjawab Badan Standardisasi Nasional untuk melakukan pembuatan

149 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals standar dan penilaian kesesuaian (conformity assessment) secara terpadu yang dikembangkan secara berkelanjutan khususnya dalam rangka memantapkan dan meningkatkan daya saing produk nasional, memperlancar arus perdagangan dan melindungi kepentingan umum. Selama ini pelaku usaha jernang dan petani menggunakan standar yang disusun oleh Kementerian Perindustrian yaitu SNI 1671:2010 Getah Jernang. Aturan ini masih menggunakan istilah getah dan tidak mengakomodir standar mutu kualitas jernang yang diminta oleh konsumen yaitu kadar drakorhodin. Getah jernang dalam standar ini diklasifikasikan dalam 3 kelas mutu dengan standar persyaratan berupa kadar resin, kadar air, kadar kotoran, kadar abu, titik leleh dan warna saja. Lebih lengkap spesifikasi persyaratan mutunya dilihat pada Tabel 8.3.

Tabel 8.3 Spesifikasi persyaratan mutu getah jernang menurut SNI 1671:2010 Persyaratan No. Jenis uji Satuan Mutu Super Mutu A Mutu B 1 Kadar Resin (b/b) % Min. 60 Min. 60 Min. 25 2 Kadar Air (b/b) % Maks. 6 Maks. 8 Maks. 10 3 Kadar Kotoran (b/b) % Maks. 14 Maks. 39 Maks. 50 4 Kadar Abu (b/b) % Maks. 4 Maks. 8 Maks. 20 5 Titik Leleh oC Min. 80 Min. 80 - 6 Warna - Merah Tua Merah Muda Merah Pudar

Aturan seperti tercantum di atas tidak dapat diaplikasikan sepenuhnya oleh petani serta pelaku usaha jernang. Berdasarkan masukan-masukan yang ada selanjutnya KLHK melalui Pusat Standardisasi Lingkungan melakukan upaya pembuatan standar yang mengakomodir pasar, sebagai acuan bagi parapihak resin jernang yaitu: kelompok tani, pelaku usaha dan pemerintah serta untuk keperluan perdagangan baik dalam maupun luar negeri. Istilah yang digunakan juga sudah disesuaikan berdasarkan kondisi riil komoditasnya

150 Bab 8 Upaya Perlindungan Resin Jernang Indonesia yaitu resin bukan getah lagi. Dalam SNI 8349: 2016 Nama Hasil Hutan Bukan Kayu, jernang juga dimasukkan dalam kelompok penghasil resin. Selain penggunaan istilah yang berbeda (resin bukan getah), standar mutu didasarkan pada kadar drakorhodin (senyawa penanda/marker jernang) (Achmadi, 2016; Waluyo dan Wibowo, 2018). Hal ini untuk mengakomodir permintaan konsumen terbesar resin jernang Indonesia yaitu China, di mana standar mutu yang diminta oleh konsumen adalah kadar drakorhodin. Dalam SNI 8663: 2018 Resin Jernang, tidak ada klasifikasi kelompok untuk membedakan kualitas dari resin jernang, tetapi langsung merujuk pada persyaratan mutu yang ada, yaitu kadar drakorhodin, kadar abu, kadar kotoran dan kadar air. Warna menjadi persyaratan umum dari resin jernang yaitu berwarna merah muda sampai merah tua. Lebih lengkap spesifikasi persyaratan mutunya dilihat pada Tabel 8.4.

Tabel 8.4 Spesifikasi persyaratan mutu resin jernang menurut SNI 8663:2018 Parameter Satuan Nilai Kadar Drakorhodin % Min. 1 Kadar Abu % Maks. 6 Kadar Kotoran % Maks. 25 Kadar Air % Maks. 16

Diberlakukannya SNI 8663: 2018 Resin Jernang disambut baik oleh para pelaku usaha resin jernang. Aturan yang ada ini membuat petani lebih terarah untuk mengolah jernang dengan baik dan benar, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, sehingga memudahkan upaya pemasaran sebab sudah sesuai dengan standar yang diinginkan oleh konsumen (China) (Syarifudin, 2018). Kualitas produk yang sesuai standar membuat petani tidak lagi dipermainkan pasar dan produk resin jernang dari Indonesia mempunyai daya saing tinggi. Keberadaan asosiasi juga dapat lebih dioptimalkan sehingga daya saing produk lebih meningkat.

151 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

8.6 Penutup Resin jernang sebagai produk dari rotan jernang mempunyai keunggulan komparatif, dari segi ekonomi, ekologi dan sosial. Harga jualnya yang tinggi dan keberadaanya menyokong kelestarian lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Pengembangannya terkendala oleh beberapa hal, baik kendala teknis, budidaya sampai legitimasi hukum untuk memperkuat posisi tawar petani. Sebagai upaya perlindungan resin jernang Indonesia, banyak pihak telah berupaya sesuai dengan porsinya masing-masing untuk memantapkan dan meningkatkan daya saing produk resin jernang dalam memperlancar arus perdagangan serta melindungi kepentingan petani rotan jernang, produsen dan konsumen.

Daftar Pustaka Achmadi, S.S. (2016) Ekstraktif Bahan Alam untuk Bioproduk. Prosiding Seminar Lignoselulosa 2016 Agustarini, R., Sahwalita, Kurniaty, R. (2016) Rotan Jernang untuk Pengelolaan Hutan Lestari. Bunga Rampai Asra, R., Syamsuardi, Mansyurdin, Witono, J.R. (2014) The study of genetic diversity of Daemonorops draco (Palmae) using ISSR markers. Biodiversitas, 15(2):109-114. Deepika, G., Bleakley, B., Gupta, R.K. (2008) Dragon’s Blood: Botany, Chemistry And Therapeutic Uses. Journal Of Ethnopharmacology 115 (2008),361-380. Heyne, K. (1987) Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Badan Litbang Departemen Kehutanan, xxx + 616 hlm.

152 Bab 8 Upaya Perlindungan Resin Jernang Indonesia

Kurniaty, R. & Agustarini, R. (2018) Teknik Pematahan Dormansi Benih Rotan Jernang (Daemonorops Draco). Prosiding Seminar Nasional Silvikultur V & Kongres Masyarakat Silvikultur Indonesia IV Silvikultur Untuk Produksi Hutan Lestari Dan Rakyat Sejahtera. Lambung Mangkurat University Press. Hal: 602-608. Nugroho, AW. (2013) Cultivation Of Jernang Rattan. Seminar Internasional “Forests and Medicinal Plants for Better Human Welfare”. Bogor, 10- 12 September 2013 Permenhut. (2007) Peraturan Menteri Kehutanan No.: P.35/Menhhut- II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Jakarta Purwanto, Y., Polosakan, R., Susiarti, S., Waluyo, E.B. (2009) Ekstraktivisme Getah Jernang (Daemonorops Spp.) Dan Kemungkinan Pengembangannya. Dalam: Purwanto, Y., Walujo, E.B. & Wahyudi, A. (ed.) Valuasi hasil hutan bukan kayu setelah pembalakan (Kawasan konservasi PT Wirakarya Sakti Jambi). Bogor: LIPI. Hlm: 183 – 198 Rustiami, H., Setyowati, & Kartawinata, K. (2004) Taxonomy and uses of Daemonorops draco (Willd.). Journal of tropical ethnobiology. 1(2): 65 –75. Sahwalita (2014) Budidaya Rotan Jernang. Pelatihan Rotan Kabupaten Musi Banyuasin, 9-14 Oktober 2014 Sahwalita. (2015a) Rotan Jernang di Sumatera: Potensi, Sebaran, Pengolahan dan Pasar. Bahan Alih Teknologi dan Sosialisasi Kegiatan Pengembangan Teknologi Budidaya dan Pemanfaatan Rotan Jernang di KPHP Boalemo. Boalemo: 12 Desember 2015. Sahwalita, Nanang, H , Hengki, S., Edwin, M., Suryanto, Sri, L., Kusdi, M., Andi, N. (2015b) Strategi Konservasi, Budidaya dan Tata Niaga Rotan Jernang. RPPI Obat-obatan Alternatif Tanaman Hutan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang Tahun 2015. Palembang. (Tidak Dipublikasikan).

153 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

SNI 1671 (2010) Getah Jernang. Badan Standardisasi Nasional SNI 8349 (2016) Nama Hasil Hutan Bukan Kayu. Badan Standardisasi Nasional SNI 8663 (2018) Resin Jernang. Badan Standardisasi Nasional Soemarna, Y. (2009). Budidaya rotan jernang (Daemonorops draco Willd). Journal Litbang Kehutanan, Bogor: 2(3): 5 – 10. Syarifudin. (2018) Komunikasi pribadi dengan ketua asosiasi jernang Indonesia. Waluyo, T.K. & Pasaribu G. (2013) Aktifitas Antioksidan Dan Antikoagulasi Resin Jernang (Antioxidant and Anticoagulation Activities of Dragon’s Blood.) Jurnal Penelitian Hasil Hutan 31(4), 306-315 Waluyo, T.K., Wibowo, S. (2018) Dracorhodin: A Potential Marker Compound For Detecting The Presence Of Dragon’s Blood Resin From Daemonorops Originated From Indonesia. Biodiversitas 19(5), 1665-1671. Winarto, V. 2013. Budidaya Tanaman Rotan Jernang (Daemonorop sp). Materi Penyuluhan Kehutanan Seri:1/2013. Yetty, Haryadi B., Murni, P. (2013) Studi Etnobotani Jernang (Daemonorops spp.) pada Masyarakat Desa Lamban Sigatal dan Sepintun Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun Jambi. Biospecies, 6(1), 38-44

154 BAB 9 PENGELOLAAN LEBAH MADU DI KHDTK KEPAU JAYA, RIAU

Michael Daru Enggar Wiratmoko, Avry Pribadi, Andika Silva Y., Syasri Janetta, Ramiduk Nainggolan, Lolia Shanti, dan Rozy Hardinasty

Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan, Jl . Raya Bangkinang-Kuok km.9, Bangkinang, Riau, Indonesia, email : [email protected]

9.1 Pendahuluan Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-II/2011 tanggal 20 April 2011, Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH) dulunya bernama Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan) ditetapkan sebagai pengelola Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kepau Jaya. Tugas dan fungsi BP2TSTH di kawasan KHDTK Kepau Jaya yaitu mengelola kawasan hutan untuk keperluan penelitian dan pengembangan tanpa mengubah fungsi kawasan hutan. KHDTK Kepau Jaya pada awal berdirinya berfungsi sebagai stasiun penelitian lapangan terkait pengembangan pakan lebah madu, namun dengan perubahan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BP2TSTH, KHDTK mempunyai fungsi yang lebih luas yaitu mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan khususnya penelitian di bidang teknologi serat tanaman hutan. KHDTK tersebut membuka peluang untuk kerjasama baik itu internal instansi, UPT Kementerian, Dinas Kehutanan, perguruan tinggi, dunia usaha, dan masyarakat. Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Berdasarkan tipe hutan, KHDTK Kepau Jaya dapat digolongkan dalam tipe hutan rawa gambut. Hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan didalamnya terdapat keanekaragaman jenis tumbuhan yang sangat tinggi. Di Sumatera, terdapat lebih dari 300 jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan rawa gambut. Pada kawasan Taman Nasional Berbak, Jambi, telah tercatat 160 jenis tumbuhan (Giesen, 1991). Vegetasi penyusun KHDTK Kepau Jaya didominasi oleh vegetasi pioneer penyusun hutan sekunder (mahang dan 10 jenis pionir), kelompok Dipterocarpaceae (meranti, keruing, dsb), tanaman jenis alternative pulp (geronggang, pulai rawa, jelutung rawa, terentang, dsb), semak belukar, dan tanaman kelapa sawit. KHDTK termasuk dalam kawasan hutan produksi Tesso Nilo dengan areal bekas tebangan yang memiliki potensi tegakan yang beraneka jenis termasuk jenis-jenis endemik dan eksotik vegetasi rawa gambut. Jenis-jenis vegetasi tersebut antara lain Meranti (Shorea sp.), Mersawah (Anisoptera, sp.), Medang (Palaqium sp.), Jelutung (Dyera polyphylla Hock f.f), Pulai (Alstonia scholaris), Kompas (Kompassia malaccensis Miq.), Terap (Arthocarpus elasticus), Daru-daru (Urandra corriculata), Keruing (Dipterocarpus lowii), dll. Namun pada saat ini kondisi vegetasinya sudah banyak berubah akibat okupasi lahan oleh masyarakat dan perusahaan. Perubahan fungsi hutan ini pada jangka panjang dikhawatirkan akan merusak sistem tata air dan resapan air di kawasan tersebut. Sumber pakan yang cukup adalah syarat bagi berkembangnya ternak lebah madu. Lebah madu membutuhkan sumber makanan berupa nektar dan tepung sari dari tumbuhan. Beberapa jenis tumbuhan di KHDTK berpotensi sebagai sumber pakan lebah madu. Tumbuhan penyusun hutan rawa gambut seperti gelam, geronggang, meranti, dsb dapat menghasilkan nektar dan pollen yang dimanfaatkan jenis lebah madu. Selain tanaman berkayu, tumbuhan bawah juga memiliki potensi sebagai sumber pakan lebah diantaranya senduduk, rumput teki, ilalang, pakis, dsb. Potensi sumber

156 Bab 9 Pengelolaan Lebah Madu di KHDTK Kepau Jaya, Riau pakan lebah madu tersebut dapat ditingkatkan dengan melakukan pengayaan tanaman pakan. Salah satu teknik pengelolaan lebah madu yang dilakukan adalah dengan pembuatan Demonstrasi Plot (Demplot) pengembangan lebah madu. Pengelolaan lebah madu di KHDTK melalui pembuatan demplot dilaksanakan dengan memanfaatkan jenis lebah lokal, tanaman pakan, dan manajemen koloni lebah. Jenis lebih local yang dikembangkan yaitu Apis cerana dan Trigona itama. Kedua jenis lebah tersebut merupakan lebah asli Riau dan dapat beradaptasi dengan kondisi iklim di KHDTK Kepau Jaya. Pengelolaan tanaman pakan lebah dilakukan dengan menggabungkan tanaman asli penyusun hutan rawa gambut dengan tanaman budidaya yang berpotensi sebagai sumber pakan lebah. Manajemen koloni lebah dilakukan melalui pengendalian hama penyakit, pemeriksaan koloni, dan perawatan koloni. Namun, masih terbatasnya data dan informasi mengakibatkan pengelolaan lebah madu di KHDTK belum optimal. Tujuan dari riset ini adalah merancang model pengelolaan lebah madu di KHDTK Kepau Jaya.

9.2 Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kepau Jaya KHDTK Kepau Jaya merupakan hutan rawa gambut dataran rendah yang termasuk dalam Hutan Produksi Terbatas (HPT) Tesso Nilo. Secara geografis KHDTK Kepau jaya terletak pada 000 18’ 53” - 000 17’ 44” LU dan 1010 26’ 41” - 1010 29’ 27” LS (Gambar 9.1). Luas KHDTK Kepau Jaya berdasarkan SK Menteri Kehutanan no 74/Menhut-II/2005 adalah 1.027 ha. Secara administrative, KHDTK Kepau Jaya terletak di Desa Kepau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Berdasarkan data tahun 2010, luas tutupan lahan KHDTK yang dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian hanya tersisa 24 ha dari 1.027 ha sedangkan lahan lainnya telah berubah fungsi menjadi lahan sawit milik perusahaan dan masyarakat.

157 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Kondisi kawasan hutan sebagian besar sudah beralih fungsi menjadi areal perkebunan sawit dan sebagian lainnya merupakan lahan semak belukar yang masih dalam proses penjarahan/perambahan. KHDTK dibagi menjadi 3 blok berdasarkan pengelolaan yaitu blok A seluas kurang lebih 300 ha, blok B seluas kurang lebih 550 ha, dan blok C seluas kurang lebih 170 ha. Blok A adalah areal yang saat ini dikelola oleh BP2TSTH sebagai areal penelitian dan pengembangan, serta kerjasama pembibitan tanaman hutan dengan BPDAS Indragiri Rokan dan Balai Benih Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Namun, sejak tahun 2005 areal ini diokupasi oleh masyarakat yang menjadikannya lahan perkebunan sawit. Blok B merupakan lahan perkebunan kelapa sawit skala perusahaan. Sejak tahun 2005 PT Central Lubuk Sawit (CLS) telah membangun areal perkebunan dan sarana prasarana pemukiman di lahan tersebut. Sampai dengan saat ini di blok B, masih dilakukan proses hukum antara pihak pengelola KHDTK dengan perusahaan sawit terkait. Blok C merupakan blok yang pertama kali terjadi okupasi lahan oleh masyarakat tempatan. Terjadinya okupasi lahan oleh masyarakat diperkirakan terjadi sejak tahun 1999. Kondisi saat ini di blok tersebut ditemukan tanaman karet dan kelapa sawit usia tua.

Gambar 9.1 Foto Citra Udara KHDTK Kepau Jaya

158 Bab 9 Pengelolaan Lebah Madu di KHDTK Kepau Jaya, Riau

Sejarah penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat telah dimulai sejak tahun 1999 – 2000-an. Okupasi kawasan ini didorong oleh berakhirnya masa konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan belum diterbitkannya ijin Hutan Tanaman Industri (HTI). Adanya kekosongan pengelola kawasan ini menyebabkan masyarakat dengan leluasa merambah kawasan hutan. Okupasi kawasan hutan dilakukan oleh masyarakat tempatan (menganggap kawasan tersebut adalah tanah ulayat) dan masyarakat pendatang (transmigran Jawa Aceh yang berdatangan sejak tahun 1992). Kondisi lahan yang sudah diokupasi masyarakat saat ini telah menjadi perkebunan kelapa sawit. Kepemilikan lahan yang sudah diokupasi khususnya di blok B sudah dijual kepada perusahaan sawit PT Central Lubuk Sawit dan telah diterbitkan sertifikat oleh perusahaan serta dikelola secara professional. Sementara lahan okupasi yang dikuasai masyarakat belum bersertifikat sebab masyarakat menyadari bahwa lahan yang dikuasai adalah kawasan hutan. Kegiatan yang dilakukan di areal KHDTK antara lain penelitian, penanaman areal KHDTK, pembuatan plot kebun pangkas ramin seluas 0,5 ha kerjasama dengan ITTO, pemeliharaan rutin pada demplot tanaman sekitar pondok kerja seluas 1,2 ha. Selain kegiatan-kegiatan tersebut, BP2TSTH Kuok juga melakukan kerjasama dengan UPT Balai Benih Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan BKSDA berupa penyediaan lahan untuk pembangunan persemaian permanen. Pada tahun 2017 telah dimulai pembuatan Demontrasi Plot (Demplot) pengembangan lebah madu pada areal KHDTK Kepau Jaya. Kegiatan yang dilaksanakan pada demplot tersebut yaitu budidaya lebah madu, penanaman tanaman pakan, dan percontohan model pemberdayaan masyarakat sekitar KHDTK. Kondisi KHDTK Kepau Jaya tahun 2018 telah mengalami perubahan. Dari hasil interpretasi citra satelit Sentinel tahun 2018 diketahui tutupan lahan di KHDTK Kepau Jaya meliputi hutan sekunder seluas 22 ha, perkebunan kelapa sawit 886 ha, tanaman campuran 73 ha, semak belukar 33 ha, dan tertutup awan 13 ha. Data di atas menunjukkan pada tahun 2018, lebih

159 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals dari 80% lahan hutan KHDTK telah dirambah dan berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit baik itu milik masyarakat maupun perusahaan. Proses penyelesaian hukum lahan yang diokupasi saat ini ditempuh melalui hukum Tata Usaha Negara (TUN) dan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Langkah ini ditempuh karena pihak perusahaan PT CLS sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas kawasan yang sudah dirambah. Sampai dengan saat ini proses penyelesaian kasus hokum masih berlangsung dan belum dapat dimenangkan oleh pihak kehutanan.

9.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Mata pencaharian utama masyarakat di sekitar kawasan KHDTK Kepau Jaya hampir sebagian besar adalah petani (42%) dan buruh tani (30%). Selebihnya sebagai pedagang, PNS, buruh bangunan, guru, sopir dan pekerja swasta, dengan rincian pada Tabel 9.1.

Tabel 9.1 Mata pencaharian masyarakat sekitar KHDTK Kepau Jaya No. Mata Pencaharian Jumlah 1 Petani 393 2 Pedagang 16 3 PNS 18 4 Tukang 2 5 Guru 12 6 Pensiunan 5 7 Sopir 10 8 Buruh 283 9 Swasta 201 Jumlah 940 Sumber: BPS Kampar Dalam Angka (2017)

160 Bab 9 Pengelolaan Lebah Madu di KHDTK Kepau Jaya, Riau

Mayoritas masyarakat Desa Kepau Jaya memiliki pekerjaan/mata pencaharian utama sebagai buruh tani/petani (bukan sebagai pemilik lahan). Hal ini selaras dengan kearifan lokal masyarakat yang merupakan pendatang dari Aceh, Sumatera Utara dan Jawa yang sebagian besar terbiasa dengan kegiatan bertani dan berkebun. Sebagian besar petani tidak memiliki lahan dan hanya bekerja sebagai buruh tani sehingga lahan garapannya belum mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Rata-rata penghasilan masyarakat adalah sebesar Rp. 1.500.000 – Rp. 2.000.000 per bulan. Kondisi sosial - ekonomi masyarakat yang demikian, ditambah dengan kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang fungsi, manfaat dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan KHDTK Kepau Jaya dan terbatasnya alternatif pemenuhan kebutuhan dasar mereka sehari-hari menimbulkan berbagai permasalahan dan tekanan terhadap KHDTK Kepau Jaya sehingga perlu dibentuk kelompok tani yang khusus bergerak di bidang kehutanan.

9.4 Kondisi Lingkungan dan Tanaman Pakan Lebah KHDTK Kepau Jaya berada pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan sepanjang tahun. Suhu rata-rata harian yang tercatat di wilayah tersebut yaitu 28 0C dengan curah hujan rata-rata 5.589 mm/tahun. Dari Faktor jenis tanah, tanah di KHDTK termasuk tanah gambut dangkal dengan lapisan bawah pasir. Kondisi topografi relatif datar dengan ketinggian tempat rata-rata 34 m dpl. Areal KHDTK Kepau Jaya terdapat banyak tanaman yang potensial sebagai sumber pakan lebah madu. Tanaman yang berpotensi sebagai sumber pakan lebah disajikan pada Tabel 9.2.

161 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tabel 9.2 Tanaman Pakan Lebah Potensial di KHDTK Kepau Jaya No Jenis Nektar Pollen Masa Sekresi 1 Senduduk + + Sepanjang tahun 2 Rumput Israel + + Sepanjang tahun 3 Rumput Kerisan - + Sepanjang tahun 4 Rumput Teki - + Sepanjang tahun 5 Karet + - Sep-Okt 6 Kopi + + Mei, Agustus 7 Mahang + + Sepanjang tahun 8 Kelapa + + Sepanjang tahun 9 Putri Malu - + Sepanjang tahun 10 Acacia mangium + - Sepanjang tahun 11 Mangga + - Juni-Ags 12 Jambu Air + + Mei dan Okt 13 Jambu Biji + + Ags – Okt 14 Kelapa Sawit - + Sepanjang tahun 15 Clidemia sp + + Sepanjang tahun 16 Acacia crassicarpa + - Sepanjang tahun 17 Geronggang + + Sep – Des 18 Durian + + Juni dan Sept Sumber : data pengamatan lapangan, 2017

Tetapi tidak semua jenis tanaman dikunjungi lebah untuk diambil nektar maupun pollennya. Lebah madu memiliki kesukaan (preferensi) nektar dan pollen tumbuhan tertentu (Purnomo, 2010). Selain nutrisi, faktor genetik merupakan salah satu penentu kesukaan lebah mencari makan (Nye, 1970). Hal ini berarti jenis lebah yang berbeda akan membuat jenis tanaman yang dikunjungi berbeda. Menurut Winston (1987) menyatakan preferensi lebah terhadap nectar adalah salah satunya karena kandungan gulanya. Semakin banyak kandungan gulanya maka semakin banyak dan semakin sering lebah mengunjunginya. Namun konsentraasi gula yang terlalu tinggi (>50%) tidak terlalu disukai lebah (Shuel, 1992). Pada plot tersebut tumbuhan yang dapat menjadi sumber nektar potensial adalah dari kopi dan geronggang. 162 Bab 9 Pengelolaan Lebah Madu di KHDTK Kepau Jaya, Riau

Preferensi lebah terhadap polen sendiri belum banyak diketahui. Lebah madu akan mencari tanaman yang menghasilkan pollen melimpah dan masih dalam jangkauan terbang mereka (Pervical, 1955). Kondisi ini berimbas koloni lebah akan cenderung mencari sumber pollen terdekat dalam jangkauan mereka daripada mengunjungi sumber pollen yang melimpah tetapi jauh dari sarang. Maka dapat disimpulkan, apabila pelaku usaha perlebahan ingin membudidayakan lebah Apis cerana secara menetap perlu menyediakan sumber pakan lebah yang terjangkau oleh lebah madu.

9.5 Pengelolaan Lebah Madu di KHDTK Kepau Jaya Sejarah pengelolaan KHDTK dari awal ditujukan untuk areal pakan lebah. Oleh sebab itu pengelolaan lebah madu di KHTDK diarahkan dengan memanfaatkan areal dan tanaman pakan yang sudah ada dengan ditambahkan beberapa tanaman pakan potensial untuk pengayaan tanaman pakan lebah. Secara umum model pengelolaan lebah madu di KHDTK Kepau Jaya dapat dibagi menjadi 3 tema besar yaitu: pengelolaan tapak (tanaman pakan), pengelolaan/budidaya lebah madu, dan pengelolaan kelembagaan. Pengelolaan tapak (tanaman pakan lebah) dilakukan dengan memanfaatkan jenis tanaman pakan yang sudah ada dan dilakukan pengayaan tanaman pakan. Jenis tanaman pakan lebah yang sudah ada di KHDTK antara lain akasia karpa, lawang, gelam, geronggang, mahang, kopi liberika, jambu air, mangga, pulai, jelutung, dan lain sebagainya. Selain tanaman budidaya, jenis-jenis tumbuhan bawah juga dapat digunakan sebagai sumber pakan lebah seperti senduduk, pakis, clidemia, bebandotan, rumput Israel, dan lain sebagainya. Pada tanaman tersebut dilakukan pemeliharaan, pemotongan cabang, dan pemangkasan tumbuhan bawah agar lokasi budidaya lebah madu tidak terlalu rimbun yang dapat memancing hama seperti semut, rayap, tikus, katak, dsb. Pada areal tersebut juga dilakukan pengayaan dengan jenis-jenis tanaman pakan lebah potensial yaitu jagung dan temon.

163 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Jagung (Zea mays) dapat menjadi sumber pollen (tepung sari) bagi lebah madu dan buahnya menjadi sumber pangan. Temon (Xanthostemon sp.) merupakan sumber nectar potensial yang hampir tersedia sepanjang musim. Pada tanaman temon hanya bunga saja yang digunakan untuk pakan lebah. Pengelolaan lebah madu mengadopsi salah satu pola agroforestry yaitu agrosilvopastura. Pengertian agrosilvopastura adalah salah satu system agroforestry yang mengkombinasikan komponen tanaman berkayu (kehutanan), dengan tanaman semusim (pertanian), dan sekaligus hewan ternak (peternakan) pada unit manajemen lahan yang sama. Meskipun secara definisi pengertian agrosilvopastura lebih banyak mengarah pada pengusahaan hewan ternak (sapi, kerbau, kambing, dsb) namun pengusahaan ternak lebah madu juga dimungkinkan. Pengombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa lingkungan (khusus komponen berkayu atau kehutanan) kepada manusia. Fungsi produksi dapat diwujudkan dalam produksi tanaman pertanian/ semusim seperti padi, jagung, ketela, kacang, kedelai, dsb. Budidaya lebah madu dapat mencakup dua fungsi sekaligus yaitu fungsi produksi (produk lebah) dan fungsi jasa (agen polinasi tanaman). Maka budidaya lebah madu sangat layak untuk dikembangkan. Budidaya lebah madu di KHDTK menggunakan dua jenis lebah lokal yaitu Apis cerana dan Heterotrigona itama (kelulut). Hasil produksi madu dari lebah jenis Apis cerana mencapai 200 gram/koloni dan lebah kelulut mencapai 200 ml/koloni tetapi tidak semua koloni menghasilkan madu. Pada masa depan perlu dilakukan perawatan intensif dan perbanyakan koloni untuk dapat meningkatkan produktivitas. Pengelolaan kelembagaan untuk masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan perlu dilakukan untuk mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan. Pengelolaan kelembagaan dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dan pembentukan kelompok tani. Pengertian pemberdayaan masyarakat meenurut Sujono & Nugroho (2008) merupakan suatu proses

164 Bab 9 Pengelolaan Lebah Madu di KHDTK Kepau Jaya, Riau di mana masyarakat (khususnya yang kurang memiliki akses terhadap pembangunan) didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Menurut Widayanti (2012), program pemberdayaan masyarakat memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai usaha untuk menyelesaikan atau paling tidak mengurangi dampak masalah sosial. Sasaran dari pemberdayaan adalah mengubah masyarakat dari yang sebelumnya adalah korban pembangunan menjadi pelaku pembangunan. Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa konsep pemberdayaan masyarakat menekankan pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat. Pengembangan demonstrasi plot budidaya lebah madu dapat digolongkan dalam pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan antara BP2TSTH dengan masyarakat yang tinggal di sekitar KHDTK Kepau Jaya. Bentuk pelibatan masyarakat dalam kegiatan tersebut dalam penyediaan tenaga pengolah lahan dan pembekalan pengetahuan budidaya lebah madu melalui kegiatan alih teknologi. Secara umum, tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lebah madu di KHDTK masih rendah. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar KHDTK merupakan masyarakat pendatang (eks- transmigrasi Aceh) bermatapencaharian sebagai petani atau pekebun kelapa sawit dan buruh kebun kelapa sawit sehingga minim pengetahuan mengenai budidaya lebah. Kurangnya pengetahuan mengenai budidaya lebah madu menyebabkan masyarakat kurang berminat dalam pengelolaan lebah madu dan cenderung memilih komoditas pertanian ataupun perkebunan. Kondisi tersebut menjadi kendala dalam proses selanjutnya yaitu pembentukan kelompok tani hutan. Untuk dapat meningkatkan peran serta dan ketertarikan masyarakat dilakukan dengan cara memberikan contoh keberhasilan suatu model, apabila suatu model pemberdayaan sudah dikatakan berhasil maka otomatis masyarakat akan mengikuti.

165 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

9.6 Penutup Pengelolaan lebah madu di KHDTK Kepau Jaya perlu ditingkatkan pada waktu mendatang dengan pengayaan tanaman pakan yang memiliki nilai ekonomi, perbanyakan koloni lebah untuk meningkatkan produktivitas, penguatan kelembagaan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan penerapan teknologi tepat guna dalam rangka optimalisasi lahan KHDTK dan percontohan pengelolaan lebah madu.

Daftar Pustaka Abrol, D.P. (2013) Asiatic Honeybee Apis cerana: Biodiversity conservation and Agricultural Production. New York: Springer Publisher. Buttler, C.G. (1954). The World of The Honeybee. London : Collins Dietz, A. (1975) Nutrition of the Adult Honey Bee. Illonois: Dadant and Sons Hamilton, Koeniger, N., Vorwohl, G. (1979) Competition for food among four sympatic species of Apini in Sri Lanka : Apis dorsata, Apis cerana, Apis florea, and Trigona iridipenis. Journal of Apicultural Research 18, 85-109 Mourizio, A. (1975) How Bees Make Honey. In: Crane, E. (ed.) Honey, A Comprehensive Survey. Chapter Z. London: Heinemann. Murtidjo, B.A. (2011). Memelihara Lebah Madu, Buku. Yogyakarta: Kanisius. 86 Hlm. Nye, W.P. & Mackensen, O. (1970) Selective Breeding of Honeybees for Alfalfa Pollen Collection Region. J. Apriaries 9 : 61-64 Pervical, M.S. (1955) The Presentation of Pollen in Certain Angiosperm and its Collecttion by Apis mellifera. New Phytol. 54: 353-368

166 Bab 9 Pengelolaan Lebah Madu di KHDTK Kepau Jaya, Riau

Pribadi, A., Purnomo. (2013) Agroforestry Sorghum (Sorghum spp.) pada HTI Acacia crassicarpa Sebagai Sumber Pakan Lebah Apis cerana di Propinsi Riau Untuk Mendukung Budidaya Lebah Madu. Prosiding Seminar Universitas Malang. Pribadi, A. & Purnomo. (2013) Hutan Tanaman Industri Jenis Acacia mangium Sebagai Sumber Pakan Lebah Apis cerana. Prosiding Seminar Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. Purnomo, Winarsih, A. (2009) Potensi Hutan Tanaman sebagai Media Budidaya Lebah Madu. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPHPS, Kuok, Pekanbaru, Riau Purnomo. (2010) Potensi Nektar Pada Hutan Tanaman Jenis Acacia crassicarpa untuk Mendukung Perlebahan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat, Kuok (tidak dipublikasikan) Ruttner, F. (1988) Biogeograpy and Taxonomy of Honeybees. Berlin: Springer Verlag Salmah, S. (1992) Lebah, Pengembangan dan pelestariannya. Pidato Pengukuhan guru besar tetap dalam ilmu biologi pada FMIPA Universitas Andalas. Padang. Sari, N. K., Qurniati, R., & Hilmanto, R. (2013). Analisis Finansial Usaha Budidaya Lebah Madu Apis cerana Fabr di Dusun Sidomukti Desa Buana Sakti., 1(1), 29–36. Shuel, R W. (1992) The Production of nectar and pollen. In: Graham and Dadant & Sous (eds) : The Hive and the Honey Bee. Chapter 10. Dadant and Sous. Hamilton, YLL. Surjono, A. & Nugroho,T. (2008). Paradigma, Model, Pendekatan, Pembangunan, dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah. Malang: Banyu Media Publishing.

167 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tim Penelitian Lebah Madu. (2017) “Pembangunan Demplot Pemberdayaan Masyarakat Sekitar KHDTK : Pemanfaatan Fauna Lokal (Lebah Madu) untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat”. Laporan Hasil Pengembangan BP2TSTH Kuok Tim Penelitian Lebah Madu. (2018) “Pembangunan Demplot Pemberdayaan Masyarakat Sekitar KHDTK : Pemanfaatan Fauna Lokal (Lebah Madu) untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat”. Laporan Hasil Pengembangan BP2TSTH Kuok Verma, L.R. (1970) A Comparative Study of Temperature Regulation in Apis mellifera L and Apis cerana F. Am Bee Journal (110), 390-391 Warisno. (2011). Budidaya Lebah Madu. Yogyakarta: Kanisius. 51 Hlm. Widayanti, S. (2012). Pemberdayaan Masyarakat : Pendekatan Teoritis. Ilmu Kesejahteraan Sosial, 1(1), 87–102. Winston, M.L. (1987) The Biology of the Honey Bee. Cambridge, England: Harvard Univ. Press. Woyke, J. (1976) Brood Rearing Eficiency and Absconding in Indian Honeybees. Journal Apic Res (15),133-143 Wongsiri, S.T. (1987) Apis cerana F. Beekeeping in Thailand: unit Chulalongkom University, Bangkok Wrihatnolo, R., & Nugroho, R. (2007). Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

168 BAB 10 PERAN GENDER DALAM PENGEMBANGAN PERSUTERAAN ALAM DI KABUPTEN SOPPENG SULAWESI SELATAN

Nurhaedah Muin, Nur Hayati, Wahyudi Isnan, Zainuddin

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar Jl.Perintis Kemerdekaan Km 16 Sudiang Makassar

10.1 Pendahuluan Sutera alam merupakan salah satu jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang terkenal di Sulawesi Selatan. Persuteraan alam merupakan salah satu kegiatan ekonomi masyarakat pada beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Menurut Eswarappa (2013) kegiatan persuteraan alam merupakan sarana penting untuk menghasilkan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan merupakan usaha rumah tangga yang tepat. Khusus di Kabupaten Soppeng usaha persuteraan alam merupakan mata pencaharian utama sebagian masyarakat, namun ada pula yang menjadikan sebagai mata pencaharian tambahan atau kegiatan sambilan. Menurut (Sabar, 2015) prioritas pembangunan ekonomi Kabupaten Soppeng harus diupayakan melalui strategi pembangunan yang tepat dengan memperhatikan potensi wilayah yang merupakan dasar pembangunan ekonomi berkelanjutan. Pengembangan persuteraan alam sudah sejalan Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals dengan strategi pengembangan wilayah Kabupaten Soppeng dengan potensi pertanaman murbei yang dikelola seluas 139,1 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Soppeng, 2014) dan penduduk yang telah menekuni budidaya murbei dan ulat sutera secara turun temurun. Persuteraan alam di Kabupaten Soppeng memiliki rangkaian kegiatan berupa budidaya murbei, budidaya ulat sutera, pemintalan kokon dan pemasaran. Rangkaian kegiatan tersebut perlu ditangani secara optimal agar memperoleh penghasilan yang memadai. Untuk itu, diperlukan tenaga kerja yang terampil, ulet, hati-hati dan bertanggung jawab dalam menangani setiap tahap kegiatan. Pelaksanaan kegiatan budidaya murbei dan budidaya ulat sutera di Kabupaten Soppeng umumnya dilaksanakan dengan menggunakan tenaga kerja keluarga. Waktu yang dibutuhkan dalam budidaya ulat sutera sampai menghasilkan kokon adalah kurang lebih sebulan. Periode waktu yang dibutuhkan termasuk singkat dan padat kerja dibandingkan dengan komoditas HHBK lain sehingga tenaga kerja yang terlibat perlu dioptimalkan. Tenaga kerja utama yang terlibat umumnya adalah tenaga kerja keluarga meliputi suami, istri serta anak–anak yang membantu orang tua setelah pulang sekolah. Kegiatan yang bersifat padat karya memerlukan pembagian peran dalam pelaksanaannya. Keterlibatan kaum perempuan sebagai tenaga kerja keluarga mendampingi suami dan anak merupakan tenaga kerja produktif yang dapat berkontribusi pada ekonomi keluarga (Dewi, 2012; Khoimah, Jufri, & Mayunianta, 2018). Gender adalah konsep tentang peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Peran dan tanggung jawab tersebut seringkali timpang dan tidak adil. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk kesetaran dan keadilan gender dimana laki-laki dan perempuan sama-sama berpeluang untuk memperoleh kesempatan dan persaingan (Syamsiah, 2014).

170 Bab 10 Peran Gender dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupten Soppeng Sulawesi Selatan

Tulisan ini bertujuan menguraikan tentang peran gender dalam pengelolaan usaha persuteraan alam di Kabupaten Soppeng, sehingga hal ini dapat menjadi informasi dalam pengelolaan usaha serupa di lokasi lain serta menjadi motivasi dalam mengelola usaha lain yang bersifat padat karya.

10.2 Profil Wilayah Kabupaten Soppeng terletak 150 km sebelah utara Kota Makassar. Kabupaten Soppeng merupakan salah satu bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak antara 40 06’ Lintang Selatan dan 40 32’ Lintang Selatan dan antara 1190 47’ 18” Bujur Timur dan 1200 06’ 13” Bujur Timur. Letak Kabupaten Soppeng di depresiasi Sungai Walanae yang terdiri dari daratan dan perbukitan. Luas daratan 700 km2 berada pada ketinggian rata-rata kurang lebih 60 m di atas permukaan laut. Perbukitan yang luasnya 800 km2 berada pada ketinggian rata-rata 200 m di atas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng yaitu Kota Watan Soppeng berada pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut. Penduduk Kabupaten Soppeng pada tahun 2011 tercatat sebanyak 223.826 jiwa yang terdiri dari laki-laki 105.436 jiwa dan perempuan 118.390 jiwa. Penduduk tersebut tersebar di seluruh desa/kelurahan dalam wilayah Kabupaten Soppeng dengan kepadatan 149 jiwa/km2. Peta wilayah Kabupaten Soppeng disajikan pada Gambar 10.1.

171 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Gambar 10.1 Peta Kecamatan Donri-Donri yang merupakan pusat pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Soppeng Sumber: www.google.co.id

Kecamatan Donri-Donri sebagai pusat pengembangan usaha sutera alam memiliki jumlah penduduk sebanyak kurang lebih 23.000 jiwa. Jumlah tersebut meliputi laki-laki sebanyak kurang lebih 10.700 jiwa dan perempuan kurang lebih 12.300 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Soppeng, 2014). Jumlah usia produktif yang berumur antara 15 tahun sampai dengan 65 tahun adalah 14.643 jiwa atau 63,43% dari total penduduk Kecamatan Donri-Donri. Hal ini merupakan potensi tenaga kerja untuk pengembangan persuteraan alam yang bersifat padat karya.

10.3 Definisi Gender Secara etimologis, gender berasal dari kata yang identik dengan sex yang berarti jenis kelamin. Namun, secara terminologis gender dan sex memiliki makna yang sangat berbeda meskipun masih memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggung jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi

172 Bab 10 Peran Gender dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupten Soppeng Sulawesi Selatan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Puspitawati, 2012). Selanjutnya dikatakan gender tidak bersifat kodrati dan dapat berubah menurut waktu dan kondisi melalui proses sosial budaya yang panjang (Nazaruddin, 2015). Gender role (peran gender), merupakan definisi atau preskripsi yang berakar pada kultur terhadap tingkah laku pria atau wanita (Prasetyo, 2016). Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang. Gender akan menentukan seksualitas, hubungan dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Gender dan pembangunan adalah suatu korelasi timbal balik antara satu dengan yang lain. Peningkatan peranan perempuan dan laki-laki dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Peran gender tidak harus sama antara laki-laki dan perempuan, ada wilayah-wilayah yang dapat dilakukan laki-laki tetapi tidak dapat dilakukan perempuan, demikian sebaliknya (Hasanah & Musyafak, 2017). Semua kegiatan produksi pada usaha persuteraan alam tidak lepas dari peran serta tenaga kerja laki-laki. Adapun peran perempuan dalam ranah produktif persuteraan alam meliputi kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha pertanian maupun peternakan (Alam, Amrawaty, & Sirajuddin, 2016).

10.4 Ruang Lingkup Kegiatan Persuteraan Alam di Kabupaten Soppeng Persuteraan alam di Kabupaten Soppeng memiliki uraian kegiatan utama berupa budidaya murbei, budidaya ulat sutera, pengokonan, pemintalan dan pemasaran. Setiap kegiatan memiliki tahapan yang berbeda sehingga membutuhkan keterampilan dan penanganan yang berbeda.

173 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Kegiatan persuteraan terdiri atas beberapa tahapan, sebagai berikut: a. Budidaya Tanaman Murbei Budidaya murbei umumnya memiliki tahapan kegiatan berupa penyiapan lahan, penyiapan stek, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Budidaya tanaman murbei biasanya diawali dengan penyiapan lahan meliputi, pemilihan lokasi, pengolahan tanah, pembuatan jalan, petak dan blok, pembuatan selokan, pembuatan larikan tanaman dan pemasangan ajir. Setelah penyiapan lahan kegiatan selanjutnya adalah pembuatan persemaian mubei. Pembuatan persemaian dilakukan mengingat penanaman stek langsung di lapangan, akan menghadapi resiko faktor lingkungan seperti angin, hujan dan kekeringan (Andadari, Pudjiono, Suwandi, & Rahmawati, 2013). Setelah tanaman murbei dipersemaian siap dipindahkan, dilanjutkan dengan kegiatan penanaman. Kegiatan penanaman tanaman murbei meliputi penggemburan tanah, pembersihan rumput, pembuatan lubang dan penanaman. Setelah penanaman stek dilakukan, dilanjutkan dengan kegiatan pemeliharan tanaman. Pemeliharaan tanaman murbei harus rutin dilaksanakan untuk mendapatkan produksi yang optimal. meliputi: pemangkasan, pendangiran, pemberantasan hama dan penyakit tanaman serta pengairan. Namun, tindakan pemeliharaan tanaman terkait pemberantasan hama dan penyakit serta pengairan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. b. Budidaya Ulat Sutera Budidaya ulat sutera biasanya diawali dengan tahap persiapan meliputi: pembersihan ruang dan peralatan, desinfeksi, persiapan hakitate (pemberian makan pertama pada ulat sutera yang baru menetas), inkubasi telur dan hakitate.

174 Bab 10 Peran Gender dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupten Soppeng Sulawesi Selatan

Setelah tahap persiapan lewat, maka kegiatan selanjutnya memasuki tahap budidaya ulat sutera. Budidaya ulat sutera terbagi atas budidaya ulat kecil (instar 1 sampai instar 3) dan budidaya ulat besar (instar 4 sampai instar 5). Budidaya ulat sutera baik ulat kecil maupun ulat besar melibatkan aktivitas berupa: pengambilan pakan, pemberian pakan, pembersihan kotoran ulat dan desinfeksi tubuh ulat sutera. Perbedaan terletak pada aktivitas pengokonan yang dilakukan pada ulat sutera instar 5. Pengokonan merupakan tahap akhir dari kegiatan budidaya ulat sutera sebelum memasuki panen kokon dan penanganan pasca panen. Budidaya ulat sutera membutuhkan waktu kurang lebih 20 hari sebelum memasuki tahap pengokonan dan periode waktu tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Pengokonan adalah tahap dimana larva ulat sutera akan mengalami perubahan bentuk menjadi pupa yang terbungkus kokon atau kepompong. Setelah ulat sutera memasuki fase pengokonan maka kegiatan pengambilan pakan dihentikan dan pekerjaan terkonsentrasi pada seleksi dan pemindahan ulat yang siap mengokon ke alat pengokonan yang telah disiapkan sebelumnya. c. Pemintalan Pemintalan adalah tahap dimana kokon hasil panen budidaya ulat sutera dipintal menjadi benang sutera. Hasil wawancara yang dilakukan pada beberapa responden di Kabupaten Soppeng menunjukkan perubahan bentuk pemasaran produk budidaya ulat sutera yang sebelumnya menjual kokon beralih ke bentuk benang sutera. Petani ulat sutera yang memiliki sarana dan keterampilan memintal kokon langsung mengolah kokon yang dihasikan menjadi benang. Namun, bagi petani yang tidak memiliki keterampilan dan sarana pendukung membayar upah pemintal sebesar 10 persen dari harga benang per kilogram. Kemampuan memintal biasanya sudah menjadi keterampilan yang diwarisi sebagian masyarakat dari orang tua mereka sebelumnya.

175 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals d. Pemasaran Pemasaran kokon dan benang di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan dilakukan dalam dua pola yaitu perseorangan dan kelompok. Pada pemasaran sistem perorangan biasanya petani bebas memilih ke pedagang mana akan menjual. Berbeda dengan pemasaran sistem kelompok melalui kerja sama antara kelompok tani dengan industri harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh kelompok tani (Muin & Hayati, 2018). Petani yang terhimpun dalam pemasaran kelompok umumnya memasarkan kokon atau benang dengan negosiasi harga melalui pengurus kelompok tani. Berikut disajikan persentase pembagian peran gender dalam usaha persuteraan alam secara makro (Tabel 10.1). Pada Tabel 10.1 terlihat bahwa secara makro kegiatan budidaya ulat sutera melibatkan kaum laki-laki dan perempuan, terkecuali kegiatan pemintalan yang total ditangani oleh kaum perempuan.

Tabel 10.1 Persentase pembagian peran gender dalam usaha persuteraan alam secara makro Pembagian Peran (%) Kegiatan Laki-Laki Perempuan A. Budidaya murbei 83.33 16.67 B. Budidaya ulat sutera 42.50 57.50 C. Pemintalan 0 100.00 D. Pemasaran 23.33 76.67 Sumber: Nurhaedah et al., 2015

176 Bab 10 Peran Gender dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupten Soppeng Sulawesi Selatan

10.5 Distribusi Peran Gender dalam Kegiatan Persuteraan Alam Tahapan kegiatan persuteraan alam yang bersifat padat karya membutuhkan tenaga kerja yang optimal. Penggunaan tenaga kerja pada kegiatan ini umumnya dilakukan dengan mengoptimalkan tenaga kerja keluarga, sehingga dibutuhkan pembagian peran dalam menangani setiap tahapan kegiatan. Berikut diuraikan hasil analisis peran gender dalam usaha persuteraan alam khususnya budidaya tanaman murbei secara rinci (Tabel 10.2.).

Tabel 10.2 Peran gender dalam kegiatan budidaya tanaman murbei di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan Uraian kegiatan Pembagian Peran (%) budidaya murbei Laki-Laki Perempuan Penyiapan lahan 95 5 Penyiapan stek 75 25 Penanaman 55 45 Pemeliharaan tanaman 75 25 Pengendalian hama/penyakit 90 10 Sumber: Data primer

Budidaya tanaman murbei meliputi: penyiapan lahan, penyiapan stek tanaman, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama penyakit umumnya dilakukan melalui kerjasama kaum laki-laki dan perempuan. Meskipun terlihat bahwa kegiatan tersebut didominasi oleh kaum laki-laki (Tabel 10.2). Kegiatan penyiapan lahan, penyiapan stek dan penanaman biasanya dilakukan pada awal pembangunan kebun murbei. Adapun kegiatan pemeliharaan yang dilakukan terkait penyulaman, pemupukan dan pemangkasan serta pengairan dilakukan setelah kebun murbei sudah terbentuk. Kegiatan pengendalian hama penyakit tanaman murbei biasanya dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi.

177 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Hasil wawancara dengan petani sutera (Tabel 10.2) menunjukkan bahwa aktivitas kebun terkait penyiapan lahan sampai tanaman murbei siap panen lebih banyak melibatkan pihak laki-laki dibandingkan perempuan. Alasan yang mendorong kaum laki-laki banyak terlibat karena kegiatan kebun membutuhkan tenaga fisik terutama terkait pengolahan lahan jika sebelumnya merupakan lahan belukar, penyiapan stek, pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama penyakit. Meskipun membutuhkan tenaga fisik, perempuan tetap terlibat membantu penyiapan stek melalui pengisian tanah pada polybag jika sistem penanaman tidak langsung atau sistem persemaian demikian pula pada pemeliharaan persemaian berupa penyiraman stek. Setelah kebun murbei terbentuk, kegiatan selanjutnya adalah budidaya ulat sutera yang perlu diawali dengan beberapa tindakan persiapan agar budidaya ulat sutera dapat berlangsung optimal. Berikut disajikan peran gender dalam kegiatan persiapan budidaya ulat sutera.

Tabel 10.3 Peran gender dalam kegiatan persiapan budidaya ulat sutera di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan No Kegiatan Uraian Pihak yang terlibat 1. Pembersihan Pembersihan peralatan dan Laki-laki ruang ulat ruang ulat 2. Inkubasi telur Penyimpanan telur untuk Perempuan tujuan penetasan 3. Persiapan hakitate Penyiapan tempat dan alat Laki-laki dan hakitate perempuan 4. Hakitate Pemberian makan pertama Perempuan pada ulat sutera yang baru menetas Sumber: Nurhaedah et al. (2015)

Kegiatan pembersihan ruang dan peralatan umumnya dilakukan kaum laki-laki (Tabel 10.3). Komponen kegiatan yang dilakukan berupa pembersihan ruangan budidaya ulat sutera dan peralatan budidaya dengan

178 Bab 10 Peran Gender dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupten Soppeng Sulawesi Selatan menggunakan campuran air dan desinfektan kaporit yang disemprotkan dengan menggunakan alat sprayer. Kondisi yang membutuhkan tenaga fisik mendorong kaum laki-laki untuk lebih banyak terlibat dibanding perempuan. Berbeda dengan kegiatan inkubasi telur dan hakitate (pemberian makan pertama pada ulat yang baru menetas) didominasi oleh kaum perempuan karena kegiatan ini memerlukan ketelatenan dan kehati-hatian. Melewati tahap persiapan budidaya, selanjutnya kegiatan inti dalam budidaya ulat sutera adalah memelihara ulat sutera mulai dari instar satu sampai instar lima. Kegiatan rutin yang harus dilakukan adalah pengambilan pakan, pemberian pakan, pembersihan kotoran ulat sutera, desinfeksi tubuh ulat sutera dan kegiatan akhir adalah pengokonan. Pembagian peran pada uraian kegiatan budidaya ulat sutera secara rinci disajikan pada Tabel 10.4. Kegiatan pengambilan pakan dan pembersihan kotoran ulat merupakan aktivitas yang terkait dengan lingkungan di luar ruang budidaya. Pengambilan pakan sangat dipengaruhi oleh jarak ruang budidaya dengan kebun murbei, sedangkan kotoran ulat terutama ulat instar 4 dan 5 terdiri dari campuran kotoran ulat dan sisa pakan yang biasanya diangkut ke kebun sebagai pupuk organik. Hal ini mendorong kaum laki-laki lebih banyak terlibat dibanding kaum perempuan (Tabel 10.4).

Tabel 10.4 Peran gender dalam kegiatan budidaya ulat sutera Uraian kegiatan Pembagian Peran (%) budidaya ulat sutera Laki-Laki Perempuan Pengambilan pakan 65 35 Pemberian pakan 35 65 Pembersihan kotoran ulat 80 20 Desinfeksi tubuh ulat 35 65 Pengokonan 50 50 Sumber: Nurhaedah et al., 2015

179 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Kondisi ini berbeda dengan pemberian pakan yang merupakan aktivitas di dalam ruang budidaya, sehingga cenderung lebih didominasi oleh kaum perempuan. Di Kabupaten Soppeng, umumnya masyarakat memanfaatkan kolong rumah kediaman yang berbentuk rumah panggung sebagai ruang budidaya ulat sutera. Keadaan ini memungkinkan kaum perempuan di daerah ini menangani aktivitas budidaya ulat sutera tanpa mengabaikan peran domestik. Beberapa alasan keterlibatan perempuan membantu kegiatan suami mencari nafkah adalah meringankan beban suami, membantu perekonomian keluarga dan memanfaatkan keterampilan (Bunsaman, 2018). Pengokonan merupakan bagian akhir dari aktivitas budidaya ulat sutera yang membutuhkan tenaga yang prima selama kurang lebih tiga hari. Pada tahap ini sangat dibutuhkan tenaga kerja yang optimal karena ketepatan waktu penanganan akan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas kokon yang diperoleh. Hasil pengamatan di lokasi kajian menunjukkan bahwa kegiatan ini ditangani melalui kerja sama antara suami/kaum laki-laki dan istri/kaum perempuan bahkan anak-anak mereka ikut pula membantu ketika pulang sekolah. Meskipun pihak perempuan harus tetap menyediakan konsumsi bagi tenaga kerja keluarga selama kegiatan pengokonan berlangsung, tetapi sisa waktu masih digunakan untuk membantu dalam kegiatan pengokonan. Pasca pengokonan, aktivitas selanjutnya adalah panen kokon dan penanganan pasca panen sebagaimana disajikan pada Tabel 10.5.

Tabel 10.5 Persentase pembagian peran gender dalam penanganan kokon pasca panen secara terinci Pembagian Peran (%) Uraian kegiatan pasca panen Laki-Laki Perempuan Panen kokon 50 50 Pembersihan kokon 35 65 Seleksi kokon 20 80 Pemintalan kokon 0 100 Sumber: Nurhaedah et al., 2015

180 Bab 10 Peran Gender dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupten Soppeng Sulawesi Selatan

Pada Tabel 10.5 terlihat bahwa persentase keterlibatan gender dalam aktivitas panen kokon berimbang antara laki-laki dan perempuan sebagaimana kegiatan pengokonan pada uraian sebelumnya. Hal ini disebabkan jumlah kokon yang dipanen dalam jumlah banyak karena budidaya ulat sutera dilakukan secara massal. Namun, setelah kokon dipanen kegiatan pembersihan dan seleksi kokon lebih banyak ditangani oleh kaum perempuan. Alam et al. (2016) mengemukakan bahwa perempuan peternak banyak menghabiskan waktu pada saat panen terutama pada proses pembersihan serabut kokon (flossing). Kegiatan pembersihan dan seleksi kokon umumnya dilakukan oleh kaum perempuan disela aktivitas domestik di kolong rumah karena tidak banyak membutuhkan tenaga fisik. Pada saat yang sama, kaum laki- laki mulai merawat kebun murbei berupa pemangkasan tanaman murbei yang telah digunakan sebagai pakan ulat. Berikut disajikan gambar salah satu aktivitas dalam budidaya ulat sutera yang melibatkan kaum perempuan (Gambar 10.2).

Gambar 10.2 Kegiatan pembersihan serabut kokon (flossing) yang didominasi pihak perempuan

181 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Setelah kokon bersih dari serabut yang menempel dan melewati tahap seleksi untuk pemisahan kokon normal dan cacat selanjutnya kokon dipintal menjadi benang. Di Kabupaten Soppeng, masyarakat cenderung menjual produk dalam bentuk benang sutera. Pemintalan kokon merupakan aktivitas untuk mengolah kokon menjadi benang sutera. Kegiatan pemintalan merupakan kegiatan yang tidak menuntut tenaga fisik, namun membutuhkan ketelatenan dan kesabaran sehingga secara total diperankan oleh kaum perempuan (Indrawasih, 2015). Benang sutera yang sudah terbentuk selanjutnya dipasarkan kepada konsumen dengan melibatkan aktivitas berikut (Tabel 10.6). Tabel 10.6 menunjukkan bahwa aktivitas pemasaran kokon/benang meliputi penentuan harga, tawar menawar harga dan pengelolaan uang hasil pemasaran yang melibatkan kaum laki-laki dan perempuan. Fungsi pemasaran lebih banyak diperankan oleh kaum perempuan. Meskipun pemasaran benang sutera secara perorangan didominasi oleh istri/kaum perempuan, namun untuk memutuskan harga penjualan tetap meminta pertimbangan kepada suami. Keterlibatan perempuan yang dominan dalam tawar menawar harga kokon menunjukkan kasus yang sama dengan tawar menawar komoditas perikanan (Handajani, Relawati, & Handayanto, 2015).

Tabel 10.6 Persentase pembagian peran gender dalam pemasaran kokon/ benang secara terinci Uraian kegiatan pasca panen Pembagian Peran (%) Laki-Laki Perempuan Penentuan harga 20 80 Tawar menawar harga 20 80 Pengelolaan uang hasil pemasaran 15 85 Sumber: Nurhaedah et al. (2015)

182 Bab 10 Peran Gender dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupten Soppeng Sulawesi Selatan

Selain aktivitas utama, kegiatan persuteraan alam juga memiliki aktivitas pendukung sebagaimana halnya pengelolaan komoditi HHBK lainnya. Di Sulawesi Selatan, kegiatan persuteraan alam melibatkan beberapa lembaga sebagai pembina maupun lembaga pada tingkat petani. Hadirnya lembaga tersebut mendorong adanya kegiatan pertemuan koordinasi, pelatihan dan keikutsertaan petani secara langsung sebagai pengurus organisasi. Adapun pembagian peran dalam kegiatan pendukung usaha persuteran alam dapat dilihat pada Tabel 10.7.

Tabel 10.7 Pembagian peran gender dalam kegiatan pendukung usaha persuteraan alam Pembagian Peran (%) Uraian kegiatan pasca panen Laki-Laki Perempuan Menghadiri pertemuan 55 45 Mengikuti pelatihan 60 40 Menjadi pengurus organisasi persuteraan alam 60 40 Sumber: Data primer

Kegiatan pendukung yang diuraikan pada Tabel 10.7 merupakan aktivitas di luar kegiatan budidaya yang mendukung perkembangan persuteraan alam. Terlihat disini bahwa aktivitas tersebut melibatkan laki-laki dan perempuan meskipun didominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini salah satunya disebabkan karena kegiatan pendukung mencakup wilayah yang lebih luas dan seringkali dilakukan di luar desa ataupun kecamatan, sehingga kaum perempuan yang terlibat harus menyesuaikan waktu dan kondisi keluarga. Aktivitas budidaya murbei dan ulat sutera di Kabupaten Soppeng secara umum membutuhkan tenaga fisik dan unsur ketelatenan sehingga melibatkan kerja sama kaum laki-laki dan perempuan. Namun, aktivitas fisik yang dilaksanakan di luar rumah umumnya di dominasi oleh laki-laki. Berbeda dengan aktivitas dalam rumah yang membutuhkan ketelatenan

183 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals didominasi oleh kaum perempuan sambil melaksanakan peran domestik seperti memasak, membersihkan rumah dan mengurus keluarga. Keterlibatan kaum laki-laki dan perempuan dalam berbagai aktivitas budidaya dan pendukungnya merupakan potensi dalam pengembangan persuteraan alam yang lebih optimal. Penduduk Kabupaten Soppeng didominasi oleh Suku Bugis. Suku Bugis memiliki budaya dimana pihak laki-laki identik dengan kegiatan yang bersifat fisik terutama di luar rumah, sedangkan perempuan terkait dengan aktivitas non fisik dan kegiatan domestik. Kondisi ini nampaknya juga diterapkan dalam kegiatan persuteraan alam. Hasil diskusi melalui FGD sebagian kaum laki-laki yang terlibat dalam persuteraan alam menganggap sesuatu yang tidak pantas jika isterinya ikut terlibat dalam kegiatan fisik di kebun, sehingga ibu-ibunya cukup bekerja di rumah ulat saja sambil menangani kegiatan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pendapat (Djafri, 2015; Sumiyatiningsih, 2013) bahwa pola pembagian peran dalam keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain sosial dan budaya masyarakat.

10.6 Penutup Kegiatan persuteraan alam melibatkan kerja sama antara kaum laki-laki dan perempuan. Namun, terdapat kecenderungan peran yang membutuhkan tenaga fisik di luar ruang budidaya serta aktivitas pendukung di dominasi oleh kaum laki-laki. Sedangkan pihak perempuan menunjukkan peran yang dominan pada kegiatan di dalam ruang budidaya ulat sutera yang membutuhkan ketelatenan, serta kegiatan pemasaran khususnya negosiasi harga. Pihak laki-laki dan perempuan secara umum menunjukkan keseimbangan peran dalam kegiatan persuteraan alam. Untuk itu, keseimbangan peran antara pihak laki-laki dan perempuan merupakan nilai yang perlu dilestarikan sehingga menjadi modal sosial dalam pengembangan usaha persuteraan alam yang lebih produktif.

184 Bab 10 Peran Gender dalam Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupten Soppeng Sulawesi Selatan

Daftar Pustaka Alam, A. M. K., Amrawaty, A. A., & Sirajuddin, S. N. (2016). Peran Perempuan pada Usaha Persutraan. Jurnal Ilmu Dan Industri Peternakan, 3(2), 83–88. Andadari, L., Pudjiono, S., Suwandi, & Rahmawati, T. (2013). Budidaya Murbei dan Ulat Sutera. (M. Kaomini, N. F. Haneda, & T. Herawati, Eds.). Bogor: Forda Press. Badan Pusat Statistik Kabupaten Soppeng. (2014). Kecamatan Donri-Donri Dalam Angka 2014. (Seksi IPDS BPS Kabupaten Soppeng, Ed.). Badan Pusat Statistik Kabupaten Soppeng. Bunsaman, S. M. (2018). Peranan Perempuan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(2), 146–157. Dewi, P. M. (2012). Partisipasi Tenaga Kerja Perempuan dalam Meningkatkan Pendapatan Keluarga. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, 5(2), 119– 124. Djafri, N. (2015). Manajemen Keluarga dalam Studi Gender. Musawa, 7(1), 80–101. Eswarappa, K. (2013). Role of Women in Sericulture and Community Development A Study from a South Indian Village. SAGE Open, (July), 1–11. https://doi.org/10.1177/2158244013502984 Handajani, H., Relawati, R., & Handayanto, E. (2015). Peran Gender dalam Keluarga Nelayan Tradisional dan Implikasinya pada Model Pemberdayaan Perempuan di Kawasan Pesisir Malang Selatan. Jurnal Perempuan Dan Anak, 1(1), 1–21. Hasanah, U., & Musyafak, N. (2017). GENDER AND POLITICS : Keterlibatan Perempuan dalam Pembangunan Politik. Sawwa, 12(3), 409–432.

185 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Indrawasih, R. (2015). Peran Produktif Perempuan dalam Beberapa Komunitas Nelayan di Indonesia. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 17(2), 249–264. Khoimah, S., Jufri, M., & Mayunianta, Y. (2018). Kontribusi pendapatan tenaga kerja wanita terhadap pendapatan rumah tangga. Journal on Social Economic of Agriculture and Agribusiness, 9(8). Retrieved from https://jurnal.usu.ac.id/index.php/ceress/article/view/21327/9302 Muin, N., & Hayati, N. (2018). Peran Pelaku Pasar Dalam Tataniaga Produk Sutera Alam Di Kabupaten Soppeng Sulawei Selatan. In M. Aryadi, Y. Nugroho, Basir, Rahmiyati, & A. Natalina (Eds.), SEMINAR NASIONAL SILVIKULTUR V & KONGRES MASYARAKAT SILVIKULTUR INDONESIA IV SILVIKULTUR UNTUK PRODUKSI HUTAN LESTARI DAN RAKYAT SEJAHTERA (pp. 760–768). Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press. Nazaruddin. (2015). Posisi Gender dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnall Al-Qadau, 2(2), 222–236. Nurhaedah, Suryanto, H., Hayati, N., Prasetyawati, A. C., Zainuddin, Hermawan, A., & Ruru, A. (2015). Pengelolaan Sutera Alam. Makassar. Prasetyo, R. M. (2016). Peran Gender Terhadap Perilaku Konsumtif Pria Metroseksual. Universitas Atma Jaya. Puspitawati, H. (2012). Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor: PT IPB Press. Sabar, W. (2015). Sektor Potensial Pengembangan Ekonomi Wilayah. Economics, Social and Development Studies, 2(1), 48–61. Sumiyatiningsih, D. (2013). Pergeseran Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam. Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat Waskita, 4(2), 139–154. Syamsiah, N. (2014). Wacana Kesetaraan Gender. Jurnal Wacana Kesetaraan Gender Sipakalebbi’, 1(2), 265–301.

186 Aspek Diversifikasi Produk

BAB 11 DIVERSIFIKASI PRODUK BUDIDAYA MURBEI (Morus SPP.) DAN ULAT SUTERA (Bombyx mori L.)

Lincah Andadari dan Asmanah Widarti

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jalan Gunung Batu 5, Bogor

11.1 Pendahuluan Agrikultur tradisional yang sebagian besar berfokus pada produksi kini harus kreatif berubah menadi pengembangan kegunaan untuk memaksimalkan pendapatan dan menambah variasi penjualan dengan kualitas tinggi, produksi dengan dasar bioteknologi dan pengembangan teknik agrikultur yang berorientasi kepada perlindungan lingkungan. Konsep diversifikasi produk merupakan upaya untuk mengusahakan atau memasarkan beberapa produk yang sejenis dengan produk yang sudah dipasarkan sebelumnya, sehingga tidak akan bergantung pada satu jenis produknya saja, tetapi juga dapat mengandalkan jenis produk lainnya (diversifikasi produk atau menganekaragaman produk). Karena jika salah satu jenis produknya tengah mengalami penurunan, maka akan dapat teratasi dengan produk jenis lainnya sehingga dapat memberi nilai tambah, pendapatan dan lain sebagainya (Prayoga, 2019) Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Pengembangan bioteknologi diharapkan mempunyai peranan yang besar dalam perbaikan ekonomi dengan adanya perkembangan sistem penyebaran informasi. Oleh karena itu, semua Negara di dunia bersaing memperbaiki bidang ini dan mengharapkan perbaikan yang cepat pada sebagian besar industri termasuk bidang agrikultur. Dalam 10 tahun terakhir, usaha untuk mengembangkan makanan segar dengan menggunakan hasil sutera alam telah dilakukan karena banyak Negara yang sudah maju persuteraan alamnya telah mencapai titik puncak. Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu peluang bisnis di Indonesia yang belum banyak dilakukan, padahal usaha ini memiliki banyak kelebihan. Usaha ini termasuk pada usaha industri rumah tangga yang relatif mudah dikerjakan, berteknologi sederhana, bersifat padat karya, cepat menghasilkan dan bernilai ekonomis tinggi. Kegiatan persuteraan alam juga merupakan salah satu upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, serta merupakan salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan daya dukung dan produktivitas lahan terutama pada lahan - lahan yang belum optimal dimanfaatkan. Murbei dan ulat sutera ternyata merupakan sumber daya alam yang mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan. Murbei dikenal mempunyai banyak substansi bio aktif sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk obat alternative dan bahan mentah untuk makanan yang mempunyai protein dan kalsium yang tinggi. Kandungan senyawa aktif yang terdapat pada murbei yaitu alkaloida, flavonoida, dan polifenol (Sunanto, 2009), Menurut Anita et el. (2012) ketiga senyawa tersebut dapat berperan sebagai antibakteri. Fakta yang mengejutkan adalah bahwa murbei ternyata merupakan sumber daya bio untuk berbagai produk industry. Sebagai hasil dari usaha tersebut, Korea dan Jepang telah berhasil membuat produksi pabrik dan siap dieksport ke Negara di belahan barat.

190 Bab 11 Diversifikasi Produk Budidaya Murbei Morus( spp.) dan Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

11.2 Tanaman Murbei Murbei tumbuh baik pada ketinggian lebih dari 100 m di atas permukaan laut dan memerlukan cukup sinar matahari. Tanaman ini mempunyai banyak jenis. Tinggi pohon sekitar 9 meter dan mempunyai percabangan banyak. Daun tunggal, letak berseling dan bertangkai dengan panjang 1-4 cm. Helai daun bulat telur, berjari atau berbentuk jantung, ujung runcing, tepi bergerigi dan warnanya hijau. Bunga majemuk bentuk tandan, keluar dari ketiak daun, warnanya putih. Ukuran dan bentuk buah tergantung kepada jenis murbei. Juga warna buah ada yang putih, putih kemerahan, ungu atau ungu tua sampai hitam. Di India utara murbei dibiarkan tumbuh sebagai pohon di belakang rumah dengan tujuan untuk buah yang enak dan harum. Tanaman murbei disamping sebagai pakan ulat sutera juga sebagai tanaman konservasi tanah dan penghijauan, selain sebagai sumber pakan ulat, tanaman murbei juga memiliki manfaat lain, yaitu sebagai bahan obat- obatan, desinfektan dan anti asmatik. Manfaat tersebut terdapat dalam berbagai bagian tanaman dari mulai daun, ranting, buah dan kulit.

(a) (b) Gambar 11.1 (a) Tanaman murbei; (b) buah murbei

191 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

11.3 Manfaat Murbei Murbei memiliki beragam manfaat. Manfaat tanaman murbei dijelaskan sebagaimana berikut ini. a. Manfaat medis Usaha untuk menggunakan tanaman murbei sebagai obat alternatif dilakukan melalui pengamatan terhadap efek farmakologi dengan dasar buku pengobatan tradisional. Murbei mengandung bahan kimia seperti tanaman obat lainnya pada akar, daun, batang, buah dan kulit batang. Daun murbei mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi, seperti karbohidrat, protein, lemak dan asam amino penting lainnya, menurut Datta (2002) daun murbei memiliki kandungan nutrisi sangat baik yaitu protein kasar berkisar 22 – 23% namun serat kasar cukup tinggi 21,8%, serta memiliki zat bioaktif alami sebagai alternatif pengganti antibiotik sintetik, sehingga sangat baik untuk untuk radang tenggorokan dan menurunkan guka darah kadang untuk diuretik dan menurunkan tekanan pada arteri. Juga untuk radang mata merah dengan mengkonsumsi segelas jus murbei secara rutin setiap hari dapat meningkatkan penglihatan pada mata. Hal ini dikarenakan buah murbei mengandung vitamin A sehingga dapat mengurangi ketegangan pada mata dan dapat meningkatkan pengelihatan. Disamping itu jus daun mempunyai kapasitas melembabkan sehingga dapat mengakibatkan kulit sehat dan mulus. Berdasarkan hasil penelitian teh murbei banyak mengandung zat-zat yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. diantaranya adalah senyawa t-deoxynojirimycin (ON]) yang berfungsi untuk mengobati diabetes mellitus. Jus buah berkhasiat untuk jantung berdebar, sukar tidur, batuk berdahak, hepatitis kronis dan sebagainya. Batang dapat mengobati luka, rematik dan sakit pinggang, kram pada tangan dan kaki, tekanan darah tinggi.

192 Bab 11 Diversifikasi Produk Budidaya Murbei Morus( spp.) dan Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

Kandungan akar dari jenis murbei M. nigra dapat digunakan sebagai obat diabetes dan mempunyai kemampuan untuk menurunkan gula darah disamping tekanan darah, selain itu kulit akar M. nigra dapat efektif melawan AIDS virus. Morusin yang diisolasi dari akar dilaporkan dapat melawan HIV. Memperbanyak air susu ibu, kolesterol tinggi dan gangguan pada saluran pencernaan. b. Makanan Teh kuwacha yang disiapkan dari tepung daun murbei digunakan oleh sebagian orang sebagai minuman tradisional yang sehat. Daun murbei merupakan daun yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi, yang mengandung berbagai elemen mineral dan biomolekul seperti karbohidrat, protein, lemak dan asam amino penting lainnya yang berguna bagi tubuh. Minuman teh murbei telah diproduksi dan dipasarkan secara komersial. Beberapa diantaranya sudah dapat ditemukan di pasaran maupun di apotek. Teh murbei juga dapat menjaga kesehatan ginjal, menjaga stamina, mencegah stroke, menormalkan tekanan darah, menyeimbangkan berat badan, membantu menghilangkan panas dalam dan susah buang air besar (Firman, 2013).

Gambar 11.2 Aneka teh murbei

193 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Daun murbei muda dapat diolah sebagai masakan (urap), campuran bubur menado dan panganan berupa keripik/rempeye’ rasanya sangat enak dan merupakan makanan yang kaya gizi karena daun murbei mengandung protein yang tinggi. Pemanfaatan buah murbei yang belum banyak mendapat perhatian dibandingkan daunnya yang mana diketahui sebagai pakan ulat sutera memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan yang bermanfaat berupa sirup buah, jus dan selai, selain itu Buah murbei yang matang bisa langsung dimakan dan rasanya manis segar sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan yang bermanfaat berupa sirup buah. Pada era modern ini penggunaan zat warna sintetis dalam makanan sangat popular, namun penggunaan pewarna sintetis makanan secara berkesinambungan dapat menyebabkan kerusakan pada organ hati. Untuk itu diperlukan pencarian alternatif pewarna alami seperti antosianin yang mempunyai efek toksisitas yang rendah, dapat mengurangi resiko penyakit jantung koroner, resiko stroke, aktivitas antikarsinogen, efek anti- inflammatory, dan dapat memperbaiki ketajaman mata. Antosianin terdapat pada sejumlah buah-buahan, salah satunya yakni buah murbei (Morus alba L.) memiliki kadar antosianin cukup tinggi berkisar antara 147.68 hingga 2725.46 mg/100 g (Azmi, 2015). c. Manfaat kecantikan Jus daun mempunyai kapasitas melembabkan sehingga dapat mengakibatkan kulit sehat dan mulus.

194 Bab 11 Diversifikasi Produk Budidaya Murbei Morus( spp.) dan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) d. Pakan ternak Salah satu faktor pembatas dalam produktivitas ternak ruminansia adalah mahalnya pakan ternak, namun masalah pakan dapat diatasi dengan cara pengembangan peternakan secara integratif dengan usaha pertanian maupun industri, sehingga dapat menekan biaya produksi, antara lain dengan menggunakan tanaman murbei yang dapat tumbuh sepanjang tahun dan cocok dengan iklim tropis. Hal tersebut dapat memberikan peluang kepada petani untuk mendapatkan produksi ternak yang lebih tinggi dengan sumberdaya tanaman murbei yang dimiliki (Isnan & Muin, 2015). Menurut Agustina et al., (2015) daun murbei mudah dibudidayakan, berkualitas protein tinggi dan memiliki zat bioaktif alami serta tidak memiliki zat antinutrisi berbahaya bagi ternak dapat merupakan sumber bahan pakan berpotensi cukup tinggi untuk meningkatkan produktivitas ternak karena memiliki kandungan nutrien yang baik bagi pertumbuhan dan kesehatan ternak. penggunaan daun murbei (Morus alba) segar sebagai pengganti sebagian ransum sampai 4% memberikan performans broiler yang baik (Tumewu, 2016). Menurut Agustina (2015) kelinci menyukai daun murbei dan bila kambing gunung makan daun murbei maka air susunya akan meningkat. Tidak hanya daun segar, di India sisa daun murbei bersama-sama dengan kotoran ulat diberikan kepada sapi perah atau dimasukkan ke dalam kolam sebagai makanan bergizi. Menurut Hidayah (2015) hijauan murbei dapat menggantikan bahan pakan konsentrat yang umumnya mahal harganya, sebagai suplementasi pada pakan domba maupun kambing yang hasilnya dapat meningkatkan kenaikan bobot badan harian domba maupun meningkatkan produksi susu kambing.

195 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals e. Kerajinan Cabang dan kayu murbei digunakan sebagai bahan bakar di pedesaan karena nilai bahan bakarnya lebih dari sisa tanaman lainnya dan mendekati nilai jagung. Juga abunya merupakan bahan desinfektan potensial dalam serikultur yang dapat digunakan sebagai anti virus karena bersifat basa yang tinggi dan stabil. Irisan cabang murbei diproses menjadi papan serat. Serat dan cabang digunakan sebagai bahan karung, pengganti katun, atau untuk membuat tali, net dan sebagainya. Selanjutnya, ranting murbei digunakan sebagai bahan keranjang terutama pada pekerjaan kontruksi, diperkirakan, rata-rata 2500 – 3000 keranjang berukuran sedang dapat dibuat dari ranting pada 1 ha kebun murbei/ha (Kaomini) Di cina dan Eropa, kulit kayu dari batang murbei digunakan dalam industry kertas karena mengandung 32% tannin yang dianggap baik untuk penyamakan dan pewarnaan. Alat olah raga seperti tongkat hockey atau raket tenis di India banyak menggunakan kayu murbei, karena sifat kayunya yang kuat dan elastik, sementara di cina dan Eropa, kulit kayu dari batang murbei digunakan dalam industri kertas karena mengandung 32% tannin yang dianggap baik untuk penyamakan dan pewarnaan. f. Hiasan Banyak tanaman murbei yang mempunyai nilai hiasan, banyak para penggemar bonsai menjadikan tanaman murbei atau besaran atau murbei ini menjadi tanaman yang mempunyai nilai seni dan jual tinggi yaiitu dengan cara menanam serta merawat tanaman ini menjadi Bonsai Murbei atau Bonsai Besaran atau Bonsai Murbai (Gamabr 11.3). Harga bonsai murbei yang ditawarkan sekitar Rp75.000 – Rp200.000 untuk bibitnya saja. Jika sudah menjadi bonsai dewasa maka harga yang ditawarkan sekitar 1 juta.

196 Bab 11 Diversifikasi Produk Budidaya Murbei Morus( spp.) dan Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

Gambar 11.3 Bonsai murbei Sumber: https://bibitonline.com/artikel/cara-menanam-bonsai-murbei

11.4 Ulat Sutera Ulat sutera (Bombyx mori) merupakan serangga yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena dapat menghasilkan sutera untuk bahan dasar kain. Selain sebagai penghasil sutera, ulat ini juga digunakan dalam pengobatan, selain itu memiliki manfaat lain sebagai treatment kulit, tentunya setelah menjadi kepompong. Menurut Fahas (2010) pengobatan jerawat banyak menggunakan kotoran ulat sutera. Orang Jepang kerap melakukan perawatan sendiri di rumah dengan bahan kepompong sutera karena ngengat sutera sudah tersedia dalam kemasan praktis. Sedang di Thailand, perawatan lebih banyak dilakukan di aneka spa premium. Tidak hanya dapat menghasilkan benang sutera yang halus, namun ulat sutera ini juga memiliki manfaat untuk kecantikan dan kesehatan. Bahkan dibeberapa negara Asia, kokon (kepompong) ulat sutera dijadikan makanan yang mengundang selera. Sebagian orang hanya mengetahui ulat sutera sebagai penghasil benang sutera. Namun, bukan hanya penghasil benang sutera, hewan kecil ini juga memiliki banyak manfaat bagi kehidupan kita. Khususnya bagi para wanita yang ingin mempercantik diri.

197 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

11.5 Manfaat Ulat Sutera Ulat sutera tidak hanya bermanfaat menghasilkan benang sutera. Berbagai manfaat mulai dari pupa, ulat dan kokon, dijelaskan berikut ini. a. Manfaat medis Bombyx batryticatu adalah istilah yang di gunakan bagi ulat sutra kaku, yang mana jenis ulat sutra ini sudah sangat lama sekali dimanfaatkan oleh orang- orang Cina untuk mengobati berbagai penyakit seperti, mencairkan dahak, mengobati flu dan mengurangi efek kejang-kejang. Adapun kriteria Bombyx batryticatu yang dapat di jadikan sebagai obat adalah larva yang sudah mati dan mengering karena sebuah penyakit muskadin putih dalam kurun waktu sekitar 4 sampai 5 tahun baru bisa dimanfaatkan sebagai obat tradisional. b. Manfaat makanan Ulat sutera ternyata bisa juga dikonsumsi di sejumlah kebudayaan. Di negara Korea Selatan, ulat sutra yang direbus dan dibumbui ternyata merupakan makanan ringan yang populer dan dikenal sebagai sebutan beondegi. Jika di negara China, sejumlah pedagang yang berada di jalanan banyak yang menjual ulat pupa adalah bagian dari isi kokon ulat sutera dapat dimanfaatkan sebagai makanan antara lain pupa bakar dan oseng-oseng pupa, rasanya gurih dan nikmat, banyak diminati karena kandungan protein yang tinggi, dan berdasarkan penelitian menunjukkan kandungan protein dari pupa ulat sutera lebih tinggi daripada ikan, daging sapi, dan kacang-kacangan (Astuti et al., 2009).

198 Bab 11 Diversifikasi Produk Budidaya Murbei Morus( spp.) dan Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

Gambar 11.4 Sate pupa Sumber: Citra, 2014

Kokon ulat sutera juga memiliki kadar protein mencapai 78,58 % . zat gizi yang bisa diperoleh saat mengkonsumsi pupa ulat sutera antara lain yaitu kitin, protein larut air, karbohidrat, dan vitamin C, B1, B2, dilengkapi asam nikotinat serta asam folat. Pupa ulat sutera juga memiliki kandungan asam amino esensial dan non esensial, untuk kandungan asam amino esensial terdiri dari lisin, isoleusin, leusin, valin, metionin, threonin sedangkan, untuk kandungan asam amino non esensial terdiri dari glisin, serin, dan alanin. pupa ulat sutera mengandung mineral esensial natrium, kalium, kalsium, dan fosfat. Bahkan kandungan asam glutamat pada kokon mencapai 1,37 % (Citra. 2012). Selain sebagai makanan pupa yang telah dibuat tepung yang selanjutnya disebut Pury berpotensi sebagai sumber pangan yang bergizi dan dapat digunakan sebagai alternatif bahan formula MP-ASI yang bagus dan sangat dibutuhkan bagi tumbuh kembang anak, Kandungan energy, protein dan lemak, serta vitamin dan mineral MPASI formula pury lebih baik dari formula komersial dan telah sesuai ketentuan Departemen Kesehatan serta

199 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals aman digunakan sebagai MPASI bayi 6-11 bulan (Astuti et al., 2009) selain sebagai alternative ASI, menurut Rifqi, et al. (2017) pepung pury juga berpotensi sebagai sumber pangan yang bergizi yang digunakan sebagai bahan baku pangan alternatif dalam pembuatan nugget. c. Manfaat kecantikan Bagian terpenting dari ulat sutera yang dapat dijadikan sebagai produk kecantikan adalah kepompong yang dihasilkannya. Dari sebuah penelitian diketahui, memiliki manfaat sebagai perawatan kulit karena kandungan kepompong tersebut memiliki zat antibakteri yang sangat berperan penting dalam menjaga jaringan kulit. Selain zat anti bakteri yang terdapat dalam kepompong, ada pun protein yang berperan penting dalam menjaga dan mempertahankan agar keremajaan dan kehalusan kulit tetap terjaga, selain itu Menurut Hauschka dalam Kaskuser (2014) struktur jaringan kepompong ulat sutera memiliki komposisi kemiripan dengan struktur jaringan kulit pada manusia yaitu dengan jumlah asam amino dan pH yang hampir sama. Kulit kepompong bisa berfungsi sebagai scrub untuk menghilangkan flek- flek hitam di wajah dan komedo, memiliki kulit cerah alami dan halus seperti bayi. Hal itu dikarenakan lapisan fibroin atau protein dari ulat sutera bisa membuat kulit bercahaya bak mutiara Selain itu kandungan protein atau fibroin yang dihasilkan ulat sutra dapat menjadikan kulit bersinar bagaikan mutiara dan hebatnya lagi, kandungan fibroin tersebut dapat menjaga kulit dari paparan sinar matahari secara langsung. Itulah mengapa kepompong dijadikan sebagai bahan untuk produk kecantikan. Orang Jepang kerap melakukan perawatan sendiri di rumah dengan bahan kepompong sutera karena ngengat sutera sudah tersedia dalam kemasan praktis. Hal ini sudah dilakukan di berbagai negara, terutama di Asia. Di Jepang, misalnya, kepompong ulat sutera ini sudah dijual dalam kemasan praktis. Sedang di

200 Bab 11 Diversifikasi Produk Budidaya Murbei Morus( spp.) dan Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

Thailand, perawatan lebih banyak dilakukan di aneka spa premium. Negara Jepang sudah memanfaatkan pupa (isi dari kokon) kering untuk diambil minyaknya sebagai minyak rambut, sabun dan lilin yang berkualitas tinggi (Astuti et al., 2009).

Gambar 11.5 Kulit kokon untuk kecantikan d. Kerajinan Kegiatan persuteraan alam, selain bertujuan menghasilkan kokon baik, yang kemudian diproses untuk dijadikan benang sutera, sebagai produk utama, mulai dikembangkan ke arah diversifikasi produk. Pada perkembangannya, banyak pihak mulai melirik pemanfaatan limbah sutera yang dihilangkan padahal memiliki nilai komersial. Salah satu limbah yang paling banyak didapatkan dalam proses ini, yaitu limbah kokon. Limbah kokon ini, berasal dari kokon berlubang, kokon cacat dan sisa kokon yang direeling. Kokon- kokon tersebut menjadi limbah, karena filamen yang ada pada kokon tidak dapat diurai menjadi benang. Namun, limbah kokon masih dapat diproses lebih lanjut sebagai diversifikasi produk persuteraan, seperti dijadikan spun silk, doupion silk dan handycraft (Nuraeninia, 2014). Limbah tersebut dapat diciptakan menjadi suatu peluang bisnis yang ramah lingkungan dengan

201 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals dikreasikan menjadi beragam hiasan menjadi beragam kerajinan tangan seperti rangkaian bunga, vas bunga, anting, kalung, korsase, hiasan untuk pensil, gantungan kunci, hiasan meja, dan lain-lain sehingga dapat dijadikan sebuah industri rumah tangga yang memiliki nilai tambah, sekaligus ikut membantu menjaga kebersihan lingkungan. Untuk mengolah limbah kepompong menjadi berbagai macam kerajinan, pertama-tama bahan kokon tersebut harus dibersihkan dari bulu-bulu yang melekat. Setelah dibersihkan lalu kokon tadi dikeringkan selama sehari dan dibuang bagian dalamnya. Untuk menambah kreasi warna, kokon dapat diberi pewarna menarik. Setelah itu, kepompong bisa dibentuk sesuai bentuk yang diinginkan. Untuk membuat aksesoris, kepompong yang sudah siap bisa langsung dibuat motifnya sesuai keinginan dengan menggunakan gunting lalu direkatkan dengan lem. Motif yang sering digunakan biasanya berbentuk bunga. Bisa dalam bentuk bunga dalam tangkai untuk disimpan di vas, aksesoris berupa jepit rambut, bros, aksesoris sepatu atau hiasan untuk interior rumah. Sedangkan untuk membuat hiasan boneka untuk pensil lebih mudah, karena tidak perlu membentuk motif. Cukup dengan menempelkan kokon yang bentuknya bulat utuh pada pangkal pensil (sebagai kepala). Lalu menambahkan mata, mulut dan benang wol untuk rambutnya.

(a) (b) Gambar 11.6 a Bros dari kulit kokon; (b) bunga dari kulit kokon 202 Bab 11 Diversifikasi Produk Budidaya Murbei Morus( spp.) dan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) e. Makanan ternak Pengembangan usaha peternakan, perlu didukung faktor ketersediaan pakan yang sangat penting untuk diperhatikan baik kuantitas maupun kualitasnya. Ketergantungan komponen impor bahan penyusun ransum ternak yang semakin mahal, menyebabkan keterpurukan industri peternakan dewasa ini. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan kehadiran dan meningkatkan produktifitas ternak perlu dilakukan upaya mencari sumber pakan baru sebagai alternatif bahan pakan yang dari segi harga terjangkau tetapi mempunyai kualitas yang baik.. Masalah pakan dapat diatasi dengan cara pengembangan peternakan secara integratif dengan usaha pertanian maupun industri, sehingga dapat menekan biaya produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan limbah industri yang dapat digunakan sebagai bahan pakan antara lain adalah limbah industri pemintalan benang sutera (Dewi dan Setiodi. 2010). Tepung pupa ulat sutera (Bombyx mori) dapat digunakan dalam ransum puyuh jantan mensubtitusi tepung ikan sampai pada aras 10 % tanpa mengganggu kinerja pada puyuh (Coturnix-coturnix japonica) jantan (Dewi dan Setiohadi. 2010). Tepung pupa ulat sutera dapat digunakan 25-75% menggantikan protein tepung ikan untuk makanan puyuh (Rahmasari et al., 2014).

11.6 Penutup Dunia usaha melalui pengembangan budidaya murbei dan ulat sutera terbuka lebar dengan diversifikasi produk yang dihasilkannya. Andalan produksi benang sutera yang bernilai ekonomi tinggi, tetap menjadi prioritas dan produk unggulan, namun produk sampingannya masih memiliki nilai jual lebih (added value) yang menguntungkan bagi masyarakat.

203 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Daftar Pustaka Astuti, T.C., Hardiansyah, M.K., Agus, H. (2009) Pengembangan makanan pendampingan air susu Ibu (MPASI) berbasis pupa mulberry. Gizi Indon, 32 (1), 22 – 29 Citra, N. (2012) Kepompong ulat sutera kaya manfaat. http://inspirasi- citraselalusemangat.blogspot.com/2012/06/normal-0-false-false-false- in-x-none-x.html. disitir tanggal 22 Maret 2018. Davidmamasa (2018) Manfaat tanaman murberry bagi kesehatan tubuh. http://www.tomamase.com/manfaat-tanaman-murberry-bagi- kesehatan-tubuh/. disitir tanggal 22 Maret 2018. Dewi, S.H.C., Setiohadi. (2010) Pemanfaatan tepung pupa ulat sutrera (bombyx mori) untuk pakan puyuh (coturnix-coturnix japonica) jantan. Jurnal AgriSains Vol.1 No.1 Hidayat, F. (2015) Pemanfaatan tanaman daun murbei sebagai pakan ternak ruminansia. Seminar studi pustaka. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. http://fadlyhidayatilyas.blogspot.co.id/. Diakses 22 Maret 2019. Isnan, W., Muin, N. (2015) “Tanaman Murbei” sumber daya hutan multi- manfaat. Info Teknis Eboni, 12(2), 111 – 119 Kaskuser, P. (2014) Manfaat kepompong ulat sutera buat facial. https://www. kaskus.co.id/thread/533386001e0bc3d1028b48b2/wowmanfaat- kepompong-ulat-sutra-buat-facial/. disitir tanggal 22 Maret 2018. Rifqi, M, Clara, A.M, Astute, T. (2017) Nugget tahu formula Pury (Tafory) sebagai alternatif kudapan tinggi protein Formulation of Tofu Nugget with Pury (Nugget Tapury) as Alternative of High Protein Snack. Amerta Nutr : 22-30 Rahmasari, R., Sumiati, Astusi, D.A. (2014) The effect of silkworm pupae (Bombyx mori) meal to substitute fish meal on production and physical quality of quail eggs (Cortunix cortunix japonica). J. Indonesian Trop. Anim. Agric. 39(3):180-187

204 BAB 12 MINYAK KERUING SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN BIOMEDIS DAN BIO-KOSMETIK

Andrian Fernandes dan Rizki Maharani

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa Jl. A W Syahrani, no. 68, Sempaja, Samarinda, Kaltim Email : [email protected] dan [email protected]

12.1 Pendahuluan Hutan hujan tropis pulau Kalimantan didominasi oleh jenis Dipterokarpa. Salah satu genusnya adalah keruing (Dipterocarpus) yang memiliki batang pohon yang besar dan cenderung menjadi pohon dominan di hutan (Saridan et al., 2011). Kayu keruing merupakan salah satu jenis kayu komersial yang telah digunakan secara luas di industri pengolahan kayu (Malik dan Santoso, 2011). Namun untuk memperoleh kayu keruing, pohon keruing harus ditebang, artinya pemanfaatan pohon keruing hanya bisa dilakukan sekali saja. Salah satu solusi pemanfaatan pohon keruing secara berulang-ulang adalah mengambil hasil hutan bukan kayu, berupa minyak keruing. Minyak keruing memiliki banyak manfaat, dintaranya sebagai biomedis dan biokosmetik. Dengan mengambil minyak keruing dengan cara disadap, pohon keruing dapat bermanfaat bagi warga sekitar hutan dan tetap terjaga kelestariannya di alam karena tidak ditebang. Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

12.2 Kegunaan Minyak Keruing Mehta et al., (2018) menyebutkan bahwa penggunaan obat herbal telah berkembang dari penggunaan secara langsung ke penggunaan spesifik berdasarkan pengujian senyawa kimia yang terkandung dalam bahan herbal tersebut. Dengan diketahuinya senyawa kimia dalam bahan herbal dapat meningkatkan bahkan memperluas kegunaan bahan herbal sebagai biomedis. Salah satu bahan obat dan kosmetik dari jenis Dipterokarpa adalah minyak keruing. Riset tentang minyak keruing sebagai bahan obat sudah cukup lama dilakukan, diantaranya adalah pada 3 Mei 1890, William Murrel memperkenalkan Gurjun Oil (minyak keruing) sebagai bahan -ekspektoran yaitu obat untuk meredakan batuk dan mempermudah keluarnya dahak. Kusuma (2013) menyatakan bahwa pohon keruing dikenal sebagai penghasil kayu dan minyak/resin yang bernilai ekonomi. Minyak keruing di India telah digunakan secara turun-menurun dalam pengobatan Ayurveda. Khare (2007) menyebutkan bahwa oleoresin (gurjan oil/gurjan balsam) dari Dipterocarpus turbinatus digunakan sebagai obat diuretik (pelancar kencing) dan luka infeksi. Oleoresin tersebut mengandung humulene, -caryophyllene dan sesquiterpene alkohol. β Minyak keruing dapat digunakan sebagai bahan obat karena memiliki beberapa aktifitas farmakologi. Yang (2013) menyatakan bahwaDipterocarpus tuberculatus Roxb. secara tradisional digunakan untuk meredakan gejala inflamasi (peradangan). Ekstrak etanol Dipterocarpus alatus mengandung senyawa vaticaffinol yang berfungsi mencegah dan menyembuhkan asam urat (Chen et al., 2017). Isolasi oleanolic acid dari biji Dipterocarpus zeylanicus berfungsi sebagai antifilarial (infeksi akibat cacing) Setaria digitata yang berfungsi untuk melepaskan radikal bebas dari dalam tubuh (Senathilake et al., 2017).

206 Bab 12 Minyak Keruing Sebagai Alternatif Bahan Biomedis dan Bio-kosmetik

Minyak keruing selain digunakan dalam bidang farmakologi, juga memiliki stigma negatif. Krause et al. (2018) menyebutkan bahwa minyak keruing (gurjun oil) digunakan untuk mengoplos minyak nilam. Oplosan minyak keruing dengan minyak nilam sulit untuk dideteksi kecuali menggunakan metode spektrokopi, misalnya NMR atau GC-MS. Di Kalimantan Tengah, suku adat Dayak yang menggunakan minyak keruing sebagai obat luka terbuka. Sedangkan di Kalimantan Timur, minyak keruing digunakan oleh cruiser untuk membuat obor di malam hari.

12.3 Penyadapan Minyak Keruing Untuk mendapatkan minyak keruing maka pohon keruing harus disadap. Penyadapan minyak keruing hanya dapat dilakukan pada pohon berdiameter besar. Di Kamboja penyadapan minyak keruing dilakukan pada pohon berdiameter lebih dari 60 cm oleh dua orang secara bersama-sama. Penyadapan minyak keruing berlangsung selama 105 hari dalam 1 tahun. Harga jual minyak keruing sebesar 0,66 USD sehingga dalam 1 tahun masing-masing keluarga dapat memperoleh 146 USD (Dyrmose et al., 2017).

Gambar 12.1 Penyadapan minyak keruing di Kamboja Sumber: Dyrmose et al., 2017)

207 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Salah satu daerah penghasil resin keruing di Indonesia adalah di Hutan Adat Menggamat Kecamatan Kluet Tengah Kabupaten Aceh Selatan. Penduduk sekitar hutan menyadap pohon keruing berdiameter 70-80 cm yang menghasilkan resin keruing antara 20-25 liter per 3 hari. Penyadapan berlangsung hingga 6 bulan dan hasil produksi pada bulan-bulan terkhir hanya mencapai 5-6 liter per tiga hari panen (Rostiwati et al., 2013).

(a) (b) Gambar 12.2 Dipterocarpus grandiflorus. (a) Tajuk saat musim buah; (b) bunga dan buah Sumber: Saridan et al., 2015

12.4 Penyadapan Minyak Keruing di KHDTK Labanan Hasil inventarisasi tegakan, di KHDTK Labanan tercatat sebanyak 21 pohon Dipterocarpus grandiflorus dengan diameter pohon di antara 40,0 - 83,0 cm. Dipterocarpus grandiflorus merupakan salah satu jenis keruing penghasil minyak atau resin (Saridan et al., 2015). Teknik penyadapan pohon keruing dilakukan dengan membuat lubang sadap yang besar pada pohon berdiameter lebih dari 50 cm. Lubang sadap dibuat dengan ukuran lebar lubang 25 – 30 cm, tinggi lubang 15-20 cm, 208 Bab 12 Minyak Keruing Sebagai Alternatif Bahan Biomedis dan Bio-kosmetik kedalaman lubang 10-20 cm dan sudut lubang sadap 45°. Pembuatan lubang sadap diawali dengan menggunakan kapak. Setelah diperoleh ukuran lubang sadap yang ditentukan, lubang sadap dirapikan menggunakan pahat (Saridan et al., 2015).

Gambar 12.3 Pembuatan lubang sadap pada pohon keruing

Sumber: Saridan et al., 2015)

Setelah lubang sadap dibuat, ada dua perlakuan yang diberikan terhadap lubang sadap tersebut yaitu dibakar (mengadopsi penyadapan di Kamboja) dan tidak dibakar. Berdasarkan hasil penelitian 2015 menunjukkan bahwa perlakuan pembakaran pada lubang sadap memberikan tidak memberikan perbedaan jumlah oleoresin yang dihasilkan tapi memberikan perbedaan warna oleoresin yang dihasilkan. Adanya proses pembakaran menghasilkan oleoresin yang berwarna putih kehitaman dan berbau hangus bekas terbakar (Saridan et al., 2015).

209 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

(a) (b) Gambar 12.4 Pembakaran lubang sadap. (a) Menggunakan obor, (b) menggunakan pistol api Sumber: Saridan et al. 2015

(a) (b) Gambar 12.5 Oleoresin keruing hasil penyadapan tahun 2015. (a) Oleoresin dari lubang sadap yang dibakar; (b) resin yang tidak dibakar. Sumber: Saridan et al., 2015

Penyadapan ulang dilakukan apabila sadapan sudah tidak mengeluarkan resin/minyak. Penyadapan ulang bertujuan untuk membuat luka baru pada lubang sadap yang ada dengan cara memahat hingga ketebalan 2-3 mm atau hingga terlihat sel kayu teras mengeluarkan minyak/oleoresin.

210 Bab 12 Minyak Keruing Sebagai Alternatif Bahan Biomedis dan Bio-kosmetik

Gambar 12.6 Penyadapan ulang pada lubang sadap yang telah dibuat pada 2015. Sumber: Andrian 2016

Penyadapan ulang dilakukan apabila sadapan sudah tidak mengeluarkan resin/minyak. Penyadapan ulang bertujuan untuk membuat luka baru pada lubang sadap yang ada dengan cara memahat hingga ketebalan 2-3 mm atau hingga terlihat sel kayu teras mengeluarkan minyak/oleoresin.

Tabel 12.1 Hasil penyadapan pada tiga pohon keruing di KHDTK Labanan Hasil Hasil Diameter pohon Hasil penyadapan penyadapan pada tahun 2017 penyadapan pada ulang pada 2016b ulang pada 2017c (cm) 2015a (ml) (ml) (ml) 56,6 6.573 732 2.131 66,4 5.417 418 1.866 78,8 2.252 371 1.770 Keterangan : a: Fernandez (2015), b: Fernandez (2016), c: Fernandez (2017)

211 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Lubang sadap pada 2016 berukuran lebar ±20 cm, tinggi ±20 cm dan kedalaman 12-15 cm. lubang sadap yang dibuat dengan bentuk segitiga ujung lancip menghadap ke atas harus dibuat parit untuk mengalirkan minyak keruing yang keluar dapat mengarah ke corong (Ngatiman & Saridan, 2016). Pembuatan parit ini memerlukan waktu yang lebih lama. Berdasarkan hasil pengamatan waktu kerja, lubang sadap berbentuk segitiga ujung lancip memerlukan waktu 1 jam 16 menit hingga 1 jam 30 menit. Sedangkan pada lubang sadap berbentuk segitiga ujung lancip dibawah memiliki waktu kerja lebih cepat, sekitar 38 menit hingga 55 menit. Bentuk lubang sadap disajikan pada Gambar 7.

(a) (b) Gambar 12.7 Penyempurnaan lubang sadap. (a) Bentuk segitiga ujung lancip menghadap ke atas; (b) ujung lancip menghadap ke bawah. Sumber: Andrian, 2016

Lubang sadap berbentuk segitiga ujung lancip menghadap ke atas memiliki beberapa kelemahan, diantaranya ada minyak keruing yang tumpah atau tidak masuk ke dalam corong pengumpul minyak. Sedangkan lubang sadap

212 Bab 12 Minyak Keruing Sebagai Alternatif Bahan Biomedis dan Bio-kosmetik berbentuk segitiga ujung lancip menghadap ke bawah, minyak keruing hasil sadapan langsung mengarah ke corong pengumpul, sehingga tidak ada minyak keruing yang tumpah.

12.5 Kandungan dan Potensi Penggunaan Minyak Keruing Minyak keruing hasil penyadapan di KHDTK Labanan (Gambar 12.8) tampak terlihat ada dua bagian atau lapisan yaitu minyak dan oleoresin. Bagian atas adalah minyak dengan warna kuning kecoklatan dan cenderung jernih memiliki BJ 0,91, sedangkan bagian bawah adalah oleoresin. Oleoresin berwarna putih susu, tidak tembus pandang, lebih lengket dan kental, memiliki BJ 0,95. Setiap 1,5 liter hasil sadapan keruing diperoleh 100-300 ml bagian minyak kuning bening dan 1,2 – 1,4 liter oleoresin.

Gambar 12.8 Minyak keruing hasil penyadapan, terdiri atas bentuk minyak pada bagian atas dan oleoresin berwarna putih susu di bagian bawah. Sumber dokumentasi: Andrian, 2017

213 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Komponen kimia minyak keruing berdasarkan hasil uji menggunakan GC- MS Shimadzu QP 2010; jenis kolom RTx-5MS; dan database NIST terlihat pada Tabel 12.2.

Tabel 12.2 Komponen kimia minyak keruing Retention Area Peak Senyawa kimia time (%) 1 5.77 0.01 3-Pyrrolidinecarboxylic acid, 1-methyl-5-oxo- 2 7.08 0.01 Carbomethoxy-2-[phenylcarbamoyl]ethyl disulfide 3 19.30 83.26 Caryophyllene 4 20.61 16.16 .alpha.-Caryophyllene 5 21.65 0.56 1,6-Cyclodecadiene, 1-methyl-5-methylene-8-(1- methylethyl)-, [s-(E,E)]- Sumber : data primer penelitian, 2016

Komponen kimia yang terkandung dalam minyak keruing adalah

Caryophyllene 83,26%, memiliki rumus molekul C15H24 dan berat molekulnya 204,35. Caryophyllene juga dikenal dengan nama -caryophyllene, Bicyclo[7.2.0]undec-4-ene, 4,11,11-trimethyl-8 methylene-, [1R- β (1R*,4E,9S*)]-, dan beberapa senyawa kimia lainnya. Machado et al. (2018) menyebutkan bahwa caryophyllene termasuk dalam kelompok sesquiterpen yang berasal dari tumbuhan dan memiliki aktivitas farmokologi, antara lain antioksidan, antikanker, antimikroorganisme, nefroprotktif, meningkatkan imunitas tubuh, melindungi fungsi jantung, hati dan pencernaan. Meroterpenoid sebagai senyawa turunan dari caryophyllene (Gambar 11.9) dapat berfungsi sebagai agen antidiabetes (Ma et al., 2018).

214 Bab 12 Minyak Keruing Sebagai Alternatif Bahan Biomedis dan Bio-kosmetik

Gambar 12.9 Struktur molekul caryophyllene

Komponen kimia kedua yang terdeteksi pada minyak keruing adalah -caryophyllene 16,16%. -caryophyllene (Gambar 12.10) dikenal juga dengan nama humulene atau iso-caryophyllene yang memiliki rumus kimia α α C15H24, berat molekul 204,35. Legault et al. (2013) menyebutkan bahwa iso-caryophyllene berfungsi melindungi membrane sel dari radikal bebas yang akan masuk ke dalam sel. Komponen kimia yang terkandung dalam oleoresin keruing tercantum pada Tabel 12.3.

Gambar 12.10 Struktur molekul -caryophyllene Sumber: Legault et al., 2013 α

215 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Komponen terbanyak dalam oleoresin keruing larut etanol 95% adalah Cyclohexene 69,14%, 1-methyl-4-(5-methyl-1-methylene-4-hexenyl)-, (S)- atau dikenal juga sebagai -bisabolene (Gambar 12.11), rumus molekul C H dan memiliki berat molekul 204,35. Yeo (2015) menyebutkan 15 24 β bahwa -bisabolene yang diisolasi dari minyak Commiphora guidottii bersifat sitotoksik terhadap sel kanker, sehingga berpeluang sebagai bahan obat β antikanker.

Tabel 12.3 Komponen kimia oleoresin keruing

Waktu Area Peak retensi Nama (mnt) (%) 1 13.625 0.1 N-Acrylonitryl-2,2-dimethylaziridine 2 13.765 0.1 4H-4a,7-Methanooxazirino[3,2-I][2,1]benzisothiazole, tetrahydro-9,9-dimethyl-, 3,3-dioxide, [4as-(4a. alpha.,7.alpha.,8ar@)]- 3 14.503 69.14 Cyclohexene, 1-methyl-4-(5-methyl-1-methylene-4- hexenyl)-, (S)- 4 14.675 14.74 Phthalic acid, di(3-methoxybenzyl) ester 5 14.855 15.92 Phthalic acid, 5-ethyl-1,3-dioxan-5-yl octyl ester Sumber : data primer penelitian

Gambar 12.11 Struktur kimia -bisabolene Sumber: Yeo 2015) β

216 Bab 12 Minyak Keruing Sebagai Alternatif Bahan Biomedis dan Bio-kosmetik

Komponen kimia kedua dan ketiga dalam oleoresin keruing adalah kelompok phthalic acid, yaitu Phthalic acid (Gambar 12.12), di(3-methoxybenzyl) ester 14,74% dan Phthalic acid, 5-ethyl-1,3-dioxan-5-yl octyl ester 15,92%. Bang et al., (2011) menjelaskan bahwa kelompok ester dari senyawa phthalate memiliki aroma wangi yang khas, digunakan dalam industri parfum, pewarna kuku, pewarna rambut yang disemprot, dan berbagai kosmetik lainnya.

Gambar 12.12 Struktur kimia Phthalic acid, di(3-methoxybenzyl) ester Sumber: Bang et al., 2011

12.6 Produk Turunan Minyak Keruing Minyak keruing mengandung senyawa kelompok terpenoid sehingga dapat dimanfaatkan salah satunya sebagai bahan tambahan (aditif) pembuatan biocosmetic berupa sabun herbal (Gambar 12.13). Sabun herbal yang dibuat dinamakan Borneo Tallow Soap with Gurjun Oil (BTSGO). B2P2EHD telah memberikan informasi dan teknologi ke salah satu perusahaan sabun di Jakarta untuk dapat membuat sabun herbal berbahan baku minyak keruing.

217 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

(a) (b) Gambar 12.13 Sabun berbahan dasar minyak keruing. (a) dengan tambahan pewarna (Foto: Rizki, 2017); (b) produk kelompok tani Datai Lino - Kab. Kutai Barat Sumber: Andrian, 2019

Di lingkup Kalimantan Timur, sabun BTSGO bentuk lainnya telah diaplikasikan pada kelompok warga sekitar hutan, diwakili oleh kelompok Tani Datai Lino di Kabupaten Kutai Barat dengan bahan dan aroma yang lebih sederhana. Sabun yang dihasilkan diuji menggunakan SNI Sabun Mandi Padat SNI 06-3532-1994, dengan hasil uji pH rata-rata 10,28 (SNI pH 9-12), kadar air rata-rata 13,63% (SNI maks 15%), bahan tak larut etanol rata-rata 3,24% (SNI maks 5%).

12.7 Penutup Pohon keruing Dipterocarpus grandiflorus selain menghasilkan kayu, juga menghasilkan hasil bukan kayu berupa minyak dan oleoresin. Minyak keruing berwarna kuning kecoklatan, sedangkan oleoresin berwarna putih susu, lengket dan kental. Komponen kimia minyak keruing yang dominan adalah caryophyllene (C15H24) berkisar 83,26% yang bermanfaat sebagai antioksidan, antikanker, antimikroorganisme, meningkatkan immunitas

218 Bab 12 Minyak Keruing Sebagai Alternatif Bahan Biomedis dan Bio-kosmetik tubuh, melindungi fungsi jantung, hati, pencernaan, dan lain-lain. Sedangkan komponen kimia oleoresin keruing mengandung -bisabolene 69,14% yang memiliki aktivitas farmakologi sebagai anti oksidan, anti kanker, anti β mikroorganisme dan agen anti diabetes. Komponen penting lainnya dalam minyak keruing adalah senyawa phthalate (30,66%) yang memiliki aroma wangi khas dan dapat digunakan dalam industri parfum, pewarna rambut dan kuku serta bahan dasar kosmetik lainnya. Beberapa produk turunan telah dihasilkan dari minyak keruing berpotensi untuk memberikan alternative pendapatan bagi masyarakat sekitar hutan.

12.8 Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih dan doa kami persembahkan kepada almarhumah Ibu Tati Rostiwati yang telah menginisiasi riset HHBK minyak keruing sejak 2010. Terima kasih kami persembahkan pula teruntuk dedikasi dan curahan pemikiran dari Bapak Amiril Saridan yang telah purna tugas dan Bapak Agus Kholik yang telah pindah tugas dari B2P2EHD. Serta terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu riset HHBK minyak keruing.

Daftar Pustaka Bang, D.Y., Lee, I.K., Lee, B.M. (2011) Toxicological Characterization of Phthalic Acid. Official Journal of Korean Society of Toxicology, 27 (4):191-203. Chen, Y.S., Chen, C.J., Yan, W., Ming, H., Kong, L.D. (2017) Anti- hyperuricemic and anti-inflammatory actions of vaticaffinol isolated from Dipterocarpus alatus in hyperurisemic mice. Chinese Journal of Natural Medicine. 15(5): 330-340.

219 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Dyrmose, A.H., Turreira-García, N., Theilade, I., & Meilby, H. (2017). Economic Importance of Oleoresin (Dipterocarpus alatus) to Forest- Adjacent Households in Cambodia. Nat. Hist. Bull. Siam Soc. 62 (1) 67-84. Fernandez, A. (2015) Teknik Pengolahan Minyak Kapur dan Minyak Keruing. Laporan Hasil Penelitian 2015. Samarinda: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa. Fernandez, A. (2016) Teknik Pengolahan Minyak Kapur dan Minyak Keruing. Laporan Hasil Penelitian 2016. Samarinda: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa. Fernandez, A. (2017) LHP Teknik Pengolahan Minyak Kapur dan Minyak Keruing. Laporan Hasil Penelitian 2017. Samarinda: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa. Khare, C.P. (2007) Indian Medicinal Plants. Springer. Hal. 221. Krause, A., Wu Y., Tian, R., van Beek, T.A. (2018) Is Low-field NMR a Complementary Tool to GC-MS in Quality Control of Essential Oils? A Case Study: Patchouli Essential Oil. Planta Med. Journal. 84 (12- 13): 956-963. Kusuma, Y.W.C., Wihermanto, R.A., Risna, Ashton, P.S. (2013) Rediscovery of the Supposedly Extinct Dipterocarpus cinereus. Fauna and Flora International. 47 (3): 323-327. Legault, J., Cote, P.A., Ouellet, S., Simard, S., Pechette, A. (2013) Iso- caryophyllene Cytotoxicity Induced by Lipid Peroxidation and Membrane Permeabilization in L-929 Cells. Jurnal of Applied Pharmaceutical Science. 3 (8): 25-31. Ma, S.J., Yu, J., Yan, D.W., Wang D.C., Gao, J.M., Zhang, Q. (2018) Meroterpene-like Compounds Derived from -caryophyllene as Potent α-glucosidase Inhibitors. Organic and Biomolecular Chemistry Journal. 16 (48) : 9454-9460. β

220 Bab 12 Minyak Keruing Sebagai Alternatif Bahan Biomedis dan Bio-kosmetik

Machado, K.D.C., IIslam, M.T., Ali, E.S., Rouf, R., Uddin, S.J., Dev, S., Shilpi, J.A., Shill, M.C., Reza, H.M., Das, A.K., Shaw, S., Mubarak, M.S., Misra, S.K., Melo-cavalcante, AAC. (2018). A Systematic Review on the Neuroprotective Perspectives of Beta-caryophyllene. Phytotherapy Research Journal. 32 (12) : 2376-2388. Malik, J., Santoso, A. (2011) Karakteristik Kayu Lamina dari Kayu Keruing Berminyak Setelah Diekstrak. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 29 (3): 271-277. Mehta, D., Shuaib, M., Ali, M. (2018) A Comprehensive Note on Future of Medicine and Future Medicine Inventi Rapid Medicine. 2019 (1) : 1-3. Ngatiman, Saridan, A. (2016) Teknik Penyadapan Minyak Keruing. Laporan Hasil Penelitian. B2P2EHD. Tidak dipublikasikan. Rostiawati, T., Suryanto, Saridan, A., Effendi, R. (2013) Status Pemanfaatan Pohon Penghasil Minyak Keruing Dipterocarpus spp, di Kabupaten Aceh Selatan. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia ke 44. Palembang. Sarinda, A., Kholik, A., Rostiwati, T. (2011) Potensi dan Sebaran Spesies Pohon Penghasil Minyak Keruing di Hutan Penelitian Labanan, Kalimantan Timur. Jurnal penelitian Dipterokarpa. 5 (1) :11-22. Saridan, A, Ngatiman, Armansyah. (2015) Pengelolaan Dipterokarpa: Teknik Penyadapan Minyak Keruing. Laporan Hasil Penelitian. B2P2EHD. Tidak dipublikasikan. Senathilake, K.S., Karunanayake, E.H., Samarakoon, S.R., Tennekoon, K.H., de Silva, E.D., Adhikari A. (2017) Oleanolic acid from antifilarial triterpene saponins of Dipterocarpus zeylanicus induces oxidative stress and apoptosis in filarial parasite setaria digitata in vitro. Experimental Parasitology Journal. 177 : 13-21.

221 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Yang, W.S., Lee, B.H., Kim, S.H., Kim, H.G., Yi, Y.S., Htwe K.M., Kim Y.D., Hong S, Lee W.S., Cho J.Y. (2013). Dipterocarpus tuberculatus ethanol extract strongly suppresses in vitro macrophage-mediated inflammatory responses and in vivo acute gastritis. Journal of Ethnopharmacology. 146 (3) : 873-880. Yeo, S.K., Ali A.Y., Hayward O.A., Turnham D., Jackson T., Bowen, I.D., Clarkson, R. (2015) -bisabolene, a Sesquiterpene from Essential Oil Extract of Opoponax (Commiphora guidottii), Exhibits Cytotoxicity in Breast Cancer Cellβ Lines. Phytoterapy Research Journal. 30 (3). DOI: 10.1002/ptr.5543.

222 BAB 13 IPTEK ARANG TERPADU SOLUSI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS LAHAN DAN TANAMAN

Gusmailina, Gustan Pari, Sri Komarayati, Nur Adi Saputra

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Jalan Gunung Batu 5, Bogor

13.1 Pendahuluan Iptek arang terpadu adalah rangkaian proses yang diawali dengan kegiatan pengarangan tanpa menimbulkan asap sampai kegiatan pembuatan arang kompos sebagai produk turunan. Melalui proses pendinginan, asap berubah bentuk menjadi cairan yang disebut asap cair atau wood vinegar atau cuka kayu. Teknologi ini tergolong ramah lingkungan karena proses pengarangan atau pembakaran tanpa atau sedikit asap. Material pengarangan dapat menggunakan bahan-bahan sisa atau limbah berupa bahan berlignoselulosa atau bahan organik. Arang yang dihasilkan selanjutnya dipakai sebagai bahan pencampur kompos yang disebut Arkoba (arang kompos bioaktif), dengan menambahkan dekomposer organik. Arkoba merupakan gabungan arang dan kompos yang dihasilkan melalui teknologi pengomposan dengan bantuan mikroba lignoselulotik yang tetap hidup di dalam kompos. Arkoba mempunyai keunggulan karena keberadaan arang yang menyatu dalam kompos, sehingga bila diaplikasikan pada tanah berperan sebagai agent Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals pembangun kesuburan tanah, memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah. Sedangkan asap cair -mengandung senyawa turunan asam asetat bertindak sebagai hormon tumbuh bagi tanaman, sementara senyawa fenol dan alkohol sangat efektif untuk membasmi serta mengendalikan berbagai serangan hama dan jamur tanaman. Beberapa lokasi implementasi Iptek arang terpadu telah dilakukan antara lain di Kabupaten Karo (Sumatera Utara), PT. Wijaya Sentosa, Wasior (Papua), PT. Jati Dharma Indah Playwood (Nabire), Toraja, Halmahera, dan beberapa daerah lainnya. Sementara implementasi pada demplot padi dan kopi telah dilaksanakan di Kabupaten Cianjur. Bahan baku yang digunakan adalah biomas seperti limbah kayu, serbuk gergaji dan serasah, semak, rumput, atau gulma yang banyak tersedia di sekitarnya. Kegiatan-kegiatan tersebut terlaksana atas jalinan kerjasama yang bertujuan untuk mengoptimalkan limbah biomas menjadi arang, asap cair dan arang kompos. Hasil yang diperoleh kemudian diaplikasikan dan diujicobakan pada tanaman dan media semai tanaman. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik dan dengan produksi padi yang lebih baik dibanding dengan yang ditanam menggunakan pupuk kimia. Demikian juga hasil aplikasi pada beberapa jenis tanaman hutan dapat meningkatkan pertumbuhan anakan tanaman seperti matoa, merbau dan nyatoh, demikian juga pada tanaman kopi. Implikasi dari kegiatan ini akan memberikan manfaat antara lain: mengatasi limbah dan pencemaran lingkungan; meningkatkan nilai tambah limbah; meningkatkan produktivitas tanah dan lahan; dan meningkatkan pertumbuhan tanaman mulai dari persemaian serta mendukung sektor budidaya. Tulisan ini akan memberikan pemahaman komprehensif kepada komunitas ilmiah, masyarakat dan sektor usaha sebagai pengguna akhir serta stakeholder lainnya. Demikian, tulisan ini akan mendeskripsikan proses pembuatan

224 Bab 13 IPTEK Arang Terpadu Solusi Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Tanaman arang, kondensasi asap menjadi asap cair, karakterisasi arang dan asap cair, produksi dan aplikasi arang kompos bioaktif (arkoba) serta rangkaian diseminasi hasil penelitian bidang arang terpadu.

13.2 Teknologi Arang Terpadu (TAT) Teknologi arang terpadu (TAT) adalah teknologi yang dalam proses dan aplikasinya dilakukan secara terpadu. Merupakan inovasi teknologi ramah lingkungan yang dapat diterapkan oleh masyarakat dengan memanfaatkan berbagai jenis limbah biomassa sebagai bahan baku yang banyak terdapat dilingkungan sekitarnya (Gusmailina et al. 2017). Dari teknologi arang terpadu akan dihasilkan arang, arang kompos bioaktif (arkoba) dan asap cair, yang jika digunakan secara terpadu dan berkesinambungan dapat menggantikan keberadaan pupuk dan pestisida kimia yang selama ini digunakan. Dengan demikan, pengunaan produk arang terpadu (arkoba dan asap cair) dapat mendukung sistem budidaya organik. Beberapa penelitian tentang TAT yang pernah dilakukan, diantaranya diawali dengan cara konvensional atau tradisional yang sangat murah dan mudah yaitu hanya menggunakan 1 drum bekas yang tutupnya disambung dengan bambu sepanjang 4 m yang berfungsi sebagai pendingin alami (Gambar 13.1a). Selanjutnya teknologi menggunakan tungku kubah yang terbuat dari batu bata, dilengkapi unit pendingin (Komarayati, Gusmailina & Pari 2011; Nurhayati, Pasaribu, & Mulyadi 2006; Nurhayati, Roliadi, & Bermawie 2005). Kemudian pernah dilakukan juga dengan menggunakan tungku baja dan tungku sakuraba, masing-masing dilengkapi dengan unit pendingin air. Terakhir, tungku arang terpadu terbuat dari bahan stainless steel dengan dual pendingin di mana bagian dalam dilapisi dengan bata yang dinamai dengan tungku 3 in 1 (Gambar 13.1b). Pada tungku 2 drum terdiri atas 1 = tempat pembakaran ; 2 = tempat proses karbonisasi ; 3 = tutup

225 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals drum ; 4 = pipa pengalir asap ; 5 = cerobong asap ; 6 = drum berisi air untuk mendinginkan asap ; 7 = drum berisi air yang dilengkapi dengan pompa sirkulasi (Gambar 13.1c). Rendemen yang dihasilkan lebih baik diantara beberapa tungku, terutama perolehan asap cairnya. Hasil penelitian Komarayati, Gusmailina & Pari (2011), selain tungku 3 in 1, dari beberapa model tungku tersebut dapat diketahui bahwa tungku baja lebih baik dari tungku sakuraba, baik untuk produksi arang maupun asap cair. Begitu pula sifat arang yang dihasilkan tungku baja lebih baik -dibanding tungku sakuraba, ditandai dengan hasil kadar abu dan kadar zat mudah terbang yang rendah dan kadar karbon terikat yang tinggi.

(a) (b)

(c) (d) Gambar 13.1 Beberapa model tungku. Tungku sederhana (a), tungku 3 in 1 (b) dan Tungku 2 drum (c-d) Sumber: Gusmailina

226 Bab 13 IPTEK Arang Terpadu Solusi Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Tanaman

Rendemen asap cair yang diperoleh dari tungku baja lebih tinggi (22%) dari pada tungku sakuraba (14,61%). Asap cair yang dihasilkan dari ke dua tungku sudah memenuhi persyaratan asap cair standar Jepang (Nurhayati, Pasaribu, and Mulyadi 2006). Penggunaan tungku drum yang diberi sungkup bambu masih mempunyai kelemahan yaitu kualitas asap cair yang dihasilkan masih terlihat kotor dan berwarna hitam, sehingga harus dilakukan penyulingan agar menjadi lebih jernih. Penggunaan tungku drum tersebut mempunyai kelebihan yaitu teknologi lebih sederhana, murah dan mudah diaplikasikan.

13.3 Arang Arang atau dikenal juga dengan istilah biochar merupakan hasil dari pembakaran tidak sempurna. Jika pembakaran berlangsung sempurna, arang berubah menjadi abu dan melepas karbon. Arang dapat meningkatkan kelembaban dan kesuburan tanah, juga dapat bertahan ribuan tahun dalam tanah. Walaupun bukan sebagai pupuk, arang dapat membangun kualitas dan kondisi tanah baik secara fisik, kimia dan biologi. Dibidang pertanian dan kehutanan arang telah banyak digunakan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman (Haji 2013; Komarayati, Gusmailina, and Pari 2003; Komarayati and Santoso 2011). Di beberapa negara maju dan berkembang, arang telah menjadi tumpuan bagi keberlanjutan sistem usahatani dan sekaligus mengurangi dampak perubahan iklim global karena sifatnya yang karbon-negatif. Indonesia sebagai negara yang ikut meratifikasi pengurangan dampak perubahan iklim global sangat berkepentingan dalam penggunaan arang. Selain dapat meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman, penggunaan arang juga dapat mengurangi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertanian.

227 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Di Indonesia, pemanfaatan arang dalam skala luas merupakan hal yang relatif baru. Oleh karena itu pemerintah berperan penting dalam memberikan pemahaman dan pembinaan kepada masyarakat luas, terutama petani, akan pentingnya arang sebagai pembenah tanah guna mendukung keberlanjutan pertanian mendatang (Haji 2013). Ogawa (2006) menyatakan bahwa di Jepang, arang digunakan sebagai ”soil conditioning” untuk merangsang pertumbuhan tanaman. Penelitian lainnya menyatakan bahwa arang dapat meningkatkan pH tanah, nutrien dalam tanah, meningkatkan pertumbuhan tanaman (tinggi, diameter dan jumlah daun), makin tinggi konsentrasi arang yang diberikan, makin baik pertumbuhan tanaman. Arang diketahui sebagai pembangun kesuburan tanah, karena mempunyai pori-pori yang dapat menyerap dan menyimpan air dan hara, kemudian air dan hara tersebut akan dikeluarkan kembali sesuai kebutuhan. Arang yang difokuskan untuk Arkoba adalah arang berbahan serbuk gergaji. Komposisi arang umumnya terdiri dari air, volatile matter tar dan cuka kayu, abu, dan karbon terikat. Komposisi tersebut tergantung dari jenis bahan baku dan metode pengarangan, namun tetap memiliki keunggulan komparatif pada setiap penggunaan. Misalnya pada pertanian semua unsur sangat diperlukan, namun di bidang industri kandungan air diharapkan seminimal mungkin (SEAMEO-BIOTROP 2000). Secara umum arang yang dihasilkan dari serbuk gergaji campuran mempunyai kandungan hara N berkisar antara 0,3 sampai 0,6 %; kandungan P total dan P tersedia berkisar antara 200 sampai 500 ppm dan 30 sampai 70 ppm; kandungan hara K berkisar antara 0,9 sampai 3 meq/100 gram; kandungan hara Ca berkisar antara 1 sampai 15 meq/100 gram; dan kandungan hara Mg berkisar antara 0,9 sampai 12 meq/100 gram (Gusmailina, Pari, and Komarayati 1999).

228 Bab 13 IPTEK Arang Terpadu Solusi Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Tanaman

Tabel 13.1 Komposisi dan kualitas arang serbuk gergaji kayu campuran No Karakteristik Jumlah 1 Rendemen, % 24,5 2 Kadar air, % 2,78 3 Kadar abu, % 5,74 4 Kadar zat terbang, % 20,10 5 Kadar karbon, % 74,16 6 Derajat keasaman (pH) 10,20 7 Nitrogen (N) 5397,60 8 Fosfor (P) 1476,0 9 Kalium (K) 783,13 10 Natrium (Na) 313,69 11 Kalsium (Ca) 1506,03 12 Magnesium (Mg) 1234,0 13 Besi (Fe) 1617,6 14 Tembaga (Cu) 103,64 15 Seng (Zn) 62,32 16 Mangan (Mn) 112,95 17 Belerang (S) 528,92 Sumber: (Gusmailina, Pari, Komarayati 1999)

Beberapa sifat arang yang bermanfaat untuk perbaikan dan pembangun kesuburan tanah tercantum pada Tabel 13.2.

Tabel 13.2 Beberapa sifat arang No Sifat dan keunggulan arang 1 Karbon berwarna hitam hasil proses karbonisasi dari bahan berlignoselulosa pada suhu 400-500oC 2 Padat, porous dan berpori berguna untuk purifikasi udara, penyuburan tanah, filter, anti embun, penumbuh mikroorganisme dan lain-lain. 3 Sebagian besar porinya masih tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen dan sulfur

229 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Tabel 13.2 Beberapa sifat arang (lanjutan) No Sifat dan keunggulan arang 4 Terdiri dari air, volatile matter tar dan cuka kayu, abu, dan karon terikat. Secara kimia arang bersifat reaktivitas meliputi penyalaan api, produksi 5 karbon sulfat, gasifikasi, bahan farmasi dan pembuatan baja Struktur arang sebagian besar amorf tetapi berisi beberapa struktur kristal 6 lokal senyawa aromatik yang terkonjugasi Atom karbon yang terikat erat sehingga tahan terhadap serangan dan 7 dekomposisi mikroorganisme mengandung senyawa organik aromatik - alifatik struktur yang kompleks 8 ( termasuk sisa volatil ) , dan senyawa mineral ( abu anorganik ) Sumber: (Gusmailina 2009, 2010; Gusmailina and Komarayati 2011; Gusmailina, Pari, and Komarayati 1999; Komarayati, Gusmailina, and Pari 2002, 2013; Pari 2014)

13.4 Asap Cair Asap cair atau cuka kayu adalah cairan organic atau destilat yang diperoleh dari hasil kondensasi asap pada proses pengarangan atau karbonisasi. Proses karbonisasi dapat menggunakan bahan dari berbagai limbah berlignoseslulosa. Bahan baku kayu sebanyak 1 drum dapat menghasilkan asam cair 25-30 liter. Cairan tersebut berwarna kuning kecoklatan sampai hitam. Asap cair selain bersifat asam, memiliki aroma dan rasa spesifik, juga mengandung komponen kimia multi guna bagi manusia, hewan maupun tumbuhan, seperti asam asetat, fenol dan metanol. Asap cair dapat digunakan sebagai obat penyakit kulit, biopestisida, pemacu pertumbuhan tanaman, pengawet makanan, pengawet kayu, pembersih ruangan, penyerap racun dalam tubuh, anti oksidan, anti mikroba, koagulan dan menghilangkan bau pada pengolahan karet, pencegah jamur dan lain-lain (Gusmailina 2009).

230 Bab 13 IPTEK Arang Terpadu Solusi Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Tanaman

Tabel 13.3 Sifat-sifat dan kandungan kimia asap cair dari berbagai bahan baku Asam Fenol No Jenis/limbah pH BJ Asal asetat (%) (%) 1 Kayu alpukat 0,96 0,05 4,01 0,8294 Karo (Sumut) 2 Kayu cokelat 3,36 0,07 3,48 0,8359 Karo (Sumut) 3 Kayu puspa 2,04 0,23 Cianjur 4 Kayu karet 6,83 1,05 3,94 0,8372 Lakitan 5 Kayu sengon 2,40 0,53 Cianjur 6 Bambu KWT 0,70 0,35 3,23 0,8351 Cianjur 7 Sabut kelapa 0,29 0,12 4,85 0,8303 Cianjur 8 Shorea 5,09 0,68 3,24 0,8464 9 Kayu campuran 0,67 0,06 4,10 0,8285 Sumber: data primer

Dari Tabel 13.3 terlihat bahwa kadar asam asetat asap cair kayu karet tertinggi dibandingkan asap cair kayu lainnya, hal ini menunjukkan kandungan holoselulosa kayu karet lebih besar. Kadar phenolnya juga tertinggi dibandingkan kayu lainnya dan menghasilkan asap cair berwarna kuning kecoklatan dan keruh, hal ini menandakan kayu karet mengandung lignin cukup tinggi Rahimah (2014) menyebutkan bahwa asap cair mengandung alkaloid dan metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai pestisida. Menurut Hagner (2014), asam asetat dan furfural yang terkandung pada asap cair merupakan senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menolak hama siput. Menurut Mitsuyoshi (2002) asap cair mengandung komponen kimia seperti asam asetat yang berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan tanaman dan pencegah penyakit tanaman. Metanol berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan tanaman, sedangkan phenol dan turunannya berfungsi untuk

231 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals mencegah serangan hama dan penyakit tanaman. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa asap cair berguna untuk memperbaiki mutu tanah dan membantu pertumbuhan tanaman agar lebih baik dan kuat serta lebih resisten terhadap hama dan penyakit (Sinar Tani, 2010). Adanya senyawa alkohol, asam asetat dan fenol yang terkandung dalam asap cair dapat mendenaturasi protein dan melarutkan lipid penyusun dinding sel kitin pada dinding sel jamur yang mengakibatkan fungsi dinding sel hifa jamur yang terdapat di dalam benih menjadi terganggu, Rusaknya sel kitin ini mengakibatkan fungsi dinding sel hifa jamur yang terdapat dalam benih terganggu, sehingga akan mengganggu pertumbuhan dan aktivitas sel jamur (Fardiaz 1992; Pelczar 1986). Adanya , fenol, alkohol dan asam asetat yang bersinergi dapat menghambat perkecambahan spora dan pertumbuhan jamur yang terdapat di dalam benih, sehingga deteriorasi benih akibat serangan patogen tidak terjadi selama penyimpanan, artinya perlakuan asap cair mampu mempertahankan benih dari serangan patogen benih (Nugroho and Aisyah 2013). Khusus untuk senyawa fenol dalam asap cair dapat berfungsi sebagai anti oksidan karena dapat memperlambat deteriorasi sehingga dapat dimanfaatkan juga untuk meningkatkan daya simpan benih (Sari et al. 2007). Tilgner (1977) dan Darmadji (1996), menyatakan bahwa dari semua senyawa yang teridentifikasi, senyawa asam-asam organik dan fenol dalam asap cair memiliki kemampuan fungsional sebagai antibakteri, antifungi dan antioksidan. Efek antimikrobia asam organik lemah dihasilkan dari efek kombinasi dari molekul yang tidak terdisosiasi dan molekul yang terdisosiasi. Efek antimikrobia yang diakibatkan oleh molekul yang tidak terdisosiasi secara langsung dapat mengasamkan sitoplasma, merusak tegangan permukaan membran dan hilangnya transport aktif makanan melalui membran sehingga menyebabkan destabilisasi bermacam-macam fungsi dan struktur komponen sel (Ray 2019; Ray and Bhunia 2013),

232 Bab 13 IPTEK Arang Terpadu Solusi Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Tanaman

Gambar 13.2 Asap cair produk P3HH

13.5 Arang Kompos Bio Aktif (Arkoba) Arang kompos bioaktif merupakan bagian produk dari teknologi arang terpadu yang merupakan lanjutan dari pengembangan fungsi dan manfaat arang (Gambar 13.3). Arang kompos bioaktif adalah gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui proses pengomposan (Gambar 13.4) Sejak tahun 1999 P3HH mulai mengembangkan produk arang kompos dengan bahan baku utama arang adalah serbuk gergaji, sedangkan bahan baku kompos berasal dari limbah organik pertanian, serasah mangium, serasah tusam, dan serasah campuran dari beberapa jenis pohon. Tujuan penambahan arang pada proses pengomposan adalah untuk meningkatkan kualitas kompos dan dengan adanya arang pada pengomposan akan menambah jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat (Komarayati, Gusmailina, and Pari 2002). Dari beberapa uji coba pemberian arang kompos pada tanah selain dapat menambah ketersediaan unsur hara tanah, memperbaiki

233 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals sifat fisik, kimia dan biologis tanah, juga dapat meningkatkan pH tanah dan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah, sehingga cocok digunakan untuk rehabilitasi/reklamasi lahan kritis yang semakin luas di Indonesia (Komarayati, Gusmailina, and Pari 2002). Aplikasi arang kompos yang telah diuji cobakan, baik di laboratorium, maupun di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang diberi arang kompos meningkat hingga 2 kali lipat.

Gambar 13.3 Arkoba (Arang kompos bioaktif) produk P3HH

Arkoba dari serasah mengandung unsur hara berupa karbon organik 30- 35; Nitrogen total 1,6-1,8; Phospor total 0,6 - 1,2 ; Kalium 13, - 1,6 ; Kalsium 0,8 – 1,0 dan Magnesium 0,3 – 0,5 (Komarayati, Gusmailina, and Pari 2002). Unsur hara makro, karbon organik dan nitrogen ini sangat diperlukan tanaman baik pada pembibitan, media semai dan pertumbuhan tanaman di lapangan.

234 Bab 13 IPTEK Arang Terpadu Solusi Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Tanaman

(a) (b) Gambar 13.4 Proses pembuatan kompos. (a) Perajangan; (b) proses fermentasi

13.6 Aplikasi Arkoba pada Tanaman Padi Aplikasi arkoba+asap cair di demplot tanaman padi dengan luas sawah 2000 m2 dihasilkan gabah sebanyak 1020 kg setara dengan 765 kg beras di mana rendemen beras 75 kg/100 kg gabah (Gusmailina et al. 2017). Sedangkan bertanam padi secara non oraganik atau konvensional dengan luasan sawah yang sama menghasilkan padi sebanyak 1.120 kg setara dengan 728 kg beras di mana rendemen beras 65 kg/100 kg gabah. Hasil ini menunjukkan aplikasi arkoba+asap cair menghasilkan beras lebih tinggi dibanding dengan cara penanaman padi secara konvensional/non organik meskipun produksi padi/gabah lebih sedikit dibanding cara konvensional. Hal ini disebabkan bulir gabah yang dihasilkan dengan aplikasi arkoba+asap cair lebih bernas (Gambar 13.5a). dibanding cara konvensional. Teknologi Arang Terpadu (TAT) merupakan salah satu alternatif pilihan dalam rangka mendukung pengembangan pertanian organik yang berkelanjutan, yang mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan produksi tanaman, tidak menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, mampu mengkonservasi dan mempertahankan produktivitas lahan secara mudah dan murah.

235 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

(a) (b)

(c)

Gambar 13.5 Padi organik (a); Panen padi organik hasil aplikasi Arkoba+asap cair (b); (c) Foto bersama pimpinan pesantren, PPL dan kelompok tani Foto: Gusmailina, 2016

Umumnya peralihan sistem pertanian konvensional yang mengandalkan pupuk kimia dan pestisida ke sistem pertanian organik, pada awalnya akan beresiko terhadap penurunan produksi. Produksi padi pada musim tanam pertama yang menggunakan organik akan menurun hingga mencapai 50%,

236 Bab 13 IPTEK Arang Terpadu Solusi Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Tanaman keadaan ini berlangsung hingga musim tanam ke tiga. Musim tanam ke 4 produksi akan meningkat hingga 2 kali lipat, yang diiringi dengan kualitas produk yang bagus dan super (Gambar 12.6).

Gambar 13.6 Perbandingan beras hasil budidaya non organik dan organik menggunakan Arkoba+asap cair Foto: Gusmailina, 2017

Beberapa kelebihan dari demplot penanaman padi menggunakan Arkoba+asap cair dibanding dengan padi yang ditanam secara konvensional menggunakan pupuk kimia dan pestisida adalah sebagai berikut: • Benih yang ditanam 2-3 batang/rumpun berkembang menjadi 26- 33 batang/rumpun, sedangkan tanaman padi yang ditanam secara anorganik dengan jenis dan lokasi yang sama, benih yang ditanam 10 batang/rumpun berkembang menjadi 36 batang/rumpun. Tanaman padi tidak mudah terserang hama dan tikus dan menghasilkan bulir padi lebih padat dan berisi. Tanah bekas tanaman padi masih dalam keadaan lembut kehitaman, tidak mudah mengeras dan merengkah walau sudah terpapar sinar matahari selama 2 hari (Gusmailina et al. 2017).

237 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

13.7 Penutup Teknologi arang terpadu (TAT) adalah teknologi di mana proses dan aplikasinya dilakukan secara terpadu. Proses diawali dengan kegiatan pengarangan yang menghasilkan arang dan asap cair. Asap cair hasil kondensasi asap pada proses pengarangan. Selanjutnya, arang dicampur dengan serasah atau limbah organik dibuat kompos melalui fermentasi yang disebut arang kompos bio-aktif (Arkoba). Aplikasi arkoba pada tanah dapat menambah ketersediaan unsur hara, memperbaiki sifat fisik-kimia dan biologis tanah dan meningkatkan pH tanah. Sedangkan asap cair bersifat biopestisida, biofungisida dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Aplikasi arkoba+asap cair pada tanaman pertanian dan kehutanan dapat menggantikan dan mengurangi penggunaan pupuk kimia, pestisida dan fungisida kimia. Dengan demikian, aplikasi arkoba+asap cair dalam bidang pertanian dan kehutanan menghasilkan produk-produk organik yang sehat dan ramah lingkungan.

Daftar Pustaka Darmadji, Purnama. 1996. “Aktivitas Antibakteri Asap Cair Yang Diproduksi Dari Bermacam-Macam Limbah Pertanian.” Agritech 16(1996). Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gusmailina. 2009. “Isolasi Dan Seleksi Mikroba Potensial Sebagai Aktivator Pengomposan Untuk Mendekomposisi Limbah Kulit Mangium.” Jurnal Penelitian Hasil 27(4): 352–68. ———. 2010. “Pengaruh Arang Kompos Bioaktif Terhadap Pertumbuhan Anakan Bulian Dan Gaharu.” Jurnal Penelitian Hasil Hutan: 1–26.

238 Bab 13 IPTEK Arang Terpadu Solusi Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Tanaman

Gusmailina, and Sri Komarayati. 2011. “Arang Kompos Bioaktif (ARKOBA) Dari Limbah Kulit Kayu Dan Sludge.” In Seminar Teknologi Pulp Dan Kertas,. Gusmailina, Sri Komarayati, Gustan Pari, and Jaojah. 2017. “Demontrasi Plot (Demplot) Percontohan Arkoba + Asap Cair Dari Sampah Organik Pada Lahan Padi Di Desa Kertajaya, Ciranjang, Kabupaten Cianjur.” Forest Product Magazine. Gusmailina, Gustan Pari, and Sri Komarayati. 1999. Teknologi Penggunaan Arang Dan Arang Aktif Sebagai Soil Conditioning Pada Tanaman. Hagner, Marleena. 2014. “Potential of the Slow Pyrolisis Products Birch Tar Oil, Wood Vinegar and Biochar in Suistenable Plant Protection- Pesticidal Effects, Soil Improvement Risks.” Haji, Abdul Gani. 2013. “Komponen Kimia Asap Cair Hasil Pirolisis Limbah Padat Kelapa Sawit.” Rekayasa kimia dan Lingkungan 9(3): 109–16. Komarayati, Sri, Gusmailina Gusmailina, and Gustan Pari. 2011. “Produksi Cuka Kayu Hasil Modifikasi Tungku Arang Terpadu.”Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29: 234–47. Komarayati, Sri, Gusmailina, and Gustan Pari. 2002. “Pembuatan Kompos Dan Arang Kompos Dari Serasah Dan Kulit Kayu Tusam.” Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(3): 231–42. ———. 2003. “Aplikasi Arang Kompos Pada Anakan Tusam (Pinus Merkusii).” Buletin Penelitian Hasil Hutan 21(1): 15–21. ———. 2013. “Arang Dan Cuka Kayu: Produk Hasil Hutan Bukan Kayu Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Dan Serapan Hara Karbon.” Jurnal Penelitian Hasil Hutan 31(1): 49–62. Komarayati, Sri, and Erdy Santoso. 2011. “Arang Dan Cuka Kayu: Produk HHBK Untuk Stimulan Pertumbuhan Mengkudu (Morinda Citrifolia).” Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29(2): 155–78.

239 Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Mitsuyoshi, Yatagai. 2002. “Utilization of Chaecoal and Wood Vinegar in Japan.” Tokyo University. Nugroho, Arianto, and Imas Aisyah. 2013. “Evektivitas Asap Cair Dari Limbah Tempurung Kelapa Sebagai Biopestisida Di Gudang Penyimpanan.” Jurnal Penelitian Hasil Hutan 31(3). Nurhayati, Tjutju, Ridwan Ahmad Pasaribu, and Dida Mulyadi. 2006. “Production and Utilization of Charcoal and Wood Vinegar of Mixture Wood Sawdust.” Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24: 395–411. Nurhayati, Tjutju, Han Roliadi, and Nurliani Bermawie. 2005. “Production of Mangium (Acacia Mangium) Wood Vinegar and Its Utilization.” Journal od Forestry Research 2(1): 13–25. Ogawa. 2006. Report of Shortterm Research Cooperation. The Tropical Rain Forest Research Project JTA-9A (137). JICA. Pari, Gustan. 2014. “Biochar Technology as a Go Green Movement in Indonesia.” Indonesian Journal of Wetlands Environmental Management 2(1): 84–91. http://ijwem.unlam.ac.id/index.php/ijwem/article/ view/24. Pelczar, Michael J. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. Rahimah DS. 2014. “Asap Usir Elmaut.” Majalah Trubus. Ray, Bibek. 2019. Food Biopreservatives of Microbial Origin. CRC press. Ray, Bibek, and Arun Bhunia. 2013. Fundamental Food Microbiology. CRC press. Sari, Maryati, M. R. Suhartanto, and Endang Murniati. 2007. “Pengaruh Sarcotesta Dan Kadar Air Benih Terhadap Kandungan Total Fenol Dan Daya Simpan Benih Pepaya (Carica Papaya L.).” Indonesian Journal of Agronomy 35(1). SEAMEO-BIOTROP. 2000. “Pedoman Pengharkatan Hara Kompos.” Tilgner, Damazy Jerzy. 1977. “The Phenomena of Quality in the Smoke Curing Process.” Pure and Applied Chemistry 49(11): 1629–38. 240 Penutup

M. Hesti Lestari Tata Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals ini merupakan kumpulan karya tulis ilmiah peneliti Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang berdasarkan hasil riset, pengembangan dan bahkan inovasi dalam berbagai aspek dan komoditas hasil hutan bukan kayu. Telah banyak hasil yang diperoleh dan dapat diaplikasikan dan diadopsi oleh masyarakat petani. Pengelolaan HHBK oleh masyarakat yang dilakukan di dalam Kawasan hutan (dalam hal ini KHDTK) dan di luar kawasan hutan. Masyarakat telah mendapat manfaat langsung dari pengelolaan HHBK (seperti dijelaskan di dalam bab 3, 4, 9, 10-13). Pengelolaan HHBK juga sejalan dengan program Perhutanan Sosial, yan gbertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar Kawasan hutan, mengurangi konflik permasalahan lahan dan untuk mengentaskan kemiskinan. Pengelolaan HHBK oleh masyarakat akan mampu memberikan alternative sumber penghidupan bagi masyarakat, dan sekaligus dapat menjaga sumber daya alam. Oleh karena, model bisnis berbasis komoditas HHBK di daerah perlu dikembangkan setelah mengidentifikasi HHBK potensial di daerah masing-masing. Hal ini sejalan dengan program perhutanan sosial, maka akan mendukung pencapaian target pengelolaan pembangunan berkelanjutan (SDG). Beberapa sektor swasta telah menjalin kerjasama dengan berbagai satuan kerja Badan Litbang dan Inovasi, untuk pengembangan HHBK pada tingkat bisnis. Komoditas HHBK dengan nilai ekonomi tinggi, seperti murbei dan sutera, resin kemenyan, kayu putih dan miyak keruing, memerlukan dukungan sektor swasta dalam hilirisasi produk. Bunga Rampai Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia untuk Mendukung Sustainable Development Goals

Pengembangan HHBK untuk skala bisnis dan industry memerlukan dukungan pendanaan, bagi masyarakat (baik petani maupun pelaku usaha). Oleh karena itu, perlu ada system keuangan mikro yang berprinsip pada sosial bisnis (Yunus, 2010) sehingga dapat diakses oleh masyarakat (individu dan usaha kecil) yang tidak memiliki akses ke perbankan, seperti kredit mikro, penyediaan pinjaman kecil untuk nasabah miskin, dan tabungan mikro. Aspek ekonomi, pasar dan pemasaran komoditas HHBK, merupakan aspek yang menarik dan tidak dapat dipisahkan dalam pengembangan komoditas HHBK. Namun buku ini belum membahas mengenai hal tersebut, karena keterbatasan bidang ilmu yang digeluti oleh para Penulis yang berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Pengembagan komoditas HHBK di Indonesia masih memerlukan regulasi tata kelola untuk pengembangannya. Tradisi memungut hasil bukan kayu dari hutan, tidak akan memberikan hasil yang berkelanjutan. Sudah banyak informasi dari pengumpul hasil bukan kayu, yang menjelaskan bahwa hasil bukan kayu seperti rotan jernang, kulit gemor, kulit kayu masoyi, dan lainnya, semakin sulit dicari di alam. Sementara minat masyarakat untuk menanam atau membudidayakan tanaman tersebut, tergolong rendah, karena beberapa faktor, seperti keterbatasan jumlah bibit, bibit asalan (bukan bibit unggul), kapasitas petani yang kurang memadai untuk menjaga kualitas produk, serta ketidakpastian pasar dan harga. Selain itu, pada bagian hilir, diperlukan koordinasi antar sector, baik dari perdagangan dan perindustrian, agar dapat menjembatani penyediaan bahan baku dari petani kepada pihak industry. Keberpihakan kepada masyarakat (khususnya petani) sangat diperlukan untuk membangun kemandirian bangsa, dan tidak tergantung pada produk import khususnya komoditas HHBK. Aksi kolektif berbagai pihak diperlukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar posisi tawar dan kepercayaan diri meningkat.

242 Penutup

Buku bunga rampai ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi harapannya, buku ini dapat menjadi sumbangsih sumber informasi bagi para peneliti, akademisi, dan praktisi yang berkecimpung dalam komoditas hasil bukan kayu di Indonesia.

243