SENTUHAN DALAM PEMBERLAKUAN SYARIAT DI (1514-1903)

Khamami Zada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda No 95. Ciputat Tangerang email: [email protected]

Abstrak: Artikel ini ingin menguji akar pemberlakuan hukum jinayah (hudud dan kisas) di Aceh pada masa Kerajaan Aceh Darussalam (1496-1903). Terjadi perdebatan, manakah yang diberlakukan di Aceh: syariat Islam (hudud dan kisas) atau hukum adat masyarakat Aceh. Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum jinayah pernah diberlakukan pada beberapa masa Aceh dan pendapat kedua mengatakan bahwa hukum jinayah tidak diberlakukan di Aceh, melain- kan hukum adat yang diberlakukan. Titik singgung pemberlakuan syariat Islam dengan adat di Aceh justru memperlihatkan bahwa pemberlakuan syariat Islam di Aceh tidak murni sesuai dengan ketentuan syariah, melainkan terjadi dinamika sosial, yakni masuknya unsur adat ke dalam pemberlakuan syariah.

Abstract This article tends to examine the basis of jinayah (crime) law implementation in Aceh during the Aceh Darussalam Kingdom period (1496-1903 AD). Qanun Jinayah is argued by the Acehness, it goes around that which must be implemented the shari’a, Islamic law (hudûd and qishâsh) or customary law (hukum adat) of Aceh society. First side states that jinayah law had ever been valid during the Sultan of Aceh period of time but the second side argues that it was the customary law that had been implemented. It indicates that in Aceh the enforcement of Islamic law does not genuinely match the shari’a provision, in contrast it has been influenced by customary law factor. In brief, there is a social dynamics in the implementation of shari’a.

Kata Kunci: Syariat Islam, Aceh, adat, hudud, dan kisas

Pendahuluan gis umat. Tak heran jika syariat Islam1 Islam adalah agama sempurna menjadi norma yang harus diberlakukan (kâffah) yang melingkupi seluruh aspek kehidupan umat manusia. Dalam kenya- 1Syariat Islam adalah jalan menuju Tuhan. taannya, kesempurnaan Islam ditunjuk- Termasuk di dalamnya adalah aturan-aturan kan dengan diaturnya aspek-aspek strate- hukum yang diwahyukan dalam Al-Qur’an, kemudian yang terdapat dalam Hadits, dan selanjutnya tafsir, syarh, pendapat, ijtihad, fatwa, Khamami Zada di tengah-tengah masyarakat melalui terus tumbuh dalam pemikiran politik struktur negara. Sifat kesempurnaan Islam di abad modern ini, yang direpre- Islam inilah yang ikut berkontribusi pada sentasikan oleh Hassan al-Banna dan lahirnya semangat mengangkat kembali Sayyid Quthb (Ikhwanul Muslimin, gagasan al-Islâm dîn wa dawlah (Islam Mesir), Taqiyuddin al-Nabhanî (Hizbut adalah agama dan negara sekaligus).2 Tahrir, Lebanon), Abu al-A’la al- Argumen yang dibangun adalah bahwa Mawdûdi (Jama’ati Islami, Pakistan), Nabi Muhammad SAW. sejak di Madinah Imam Khoemaini (Iran),4 Hasan Turabi sudah menerapkan kehidupan politik (Sudan), dan lain sebagainya. negara. Muhammad SAW. adalah pe- mimpin agama sekaligus juga pemimpin Titik Singgung Syariat dan Adat negara. Sifat kemenyeluruhan Islam Jika dilihat dari sejarah Kerajaan (kâffah, syumûl) menjadikan Islam adalah Aceh Darussalam (1514-1903), terdapat agama yang mencakup seluruh kehidu- pemberlakuan hukum jinayah yang dipe- pan umat manusia. Inilah yang disebut ngaruhi oleh hukum adat. Bukti dari sebagai paham integralistik yang mene- pemberlakuan hukum jinayah ini dapat gaskan bahwa agama dan negara bersatu. dilihat dari Qanun Meukuta Alam5 dan Agama memberi justifikasi kepada negara. Sebaliknya, negara melindungi 4Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh agama dengan memberlakukan aturan- Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam (Jakarta: aturan syariat. Erlangga, 2008), hlm. 40 Pemikiran ini sesungguhnya telah 5Qanun Meukuta Alam yang dijumpai penulis ditemukan dalam literatur fiqh siyâsah adalah naskah kitab Qanun Meukuta Alam dalam klasik, seperti al-Mawardi dalam al- Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Mulek dan Ko- Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Walâyât al- mentarnya, yang dialihbahasakan Mohd. Kalam Daud dan T.A. Sakti. Di dalam naskah kitabnya Dîniyyah dan Ibn Khaldun dalam Muqad- disebutkan ia berasal dari keturunan Jamalul Layl, dimah, yang memiliki pandangan bahwa salah seorang Sultan Aceh dari Dinasti Habaib. Ia mengangkat khalifah dalam suatu negara bermukim di Lam Garot Keutupang Dua Keca- adalah bertujuan untuk menggantikan matan Darul Imarah, dalam wilayah Kabupaten misi kenabian yaitu melindungi agama Aceh Besar tidak jauh dari kota . Naskah kitab ini dijumpai di Pustaka Prof. Ali 3 dan mengatur dunia. Hal ini menun- Hasjmy. Meskipun dijumpai dari halaman 31 jukkan bersatunya Islam dengan negara. sampai dengan halaman 135, namun sebagai Tak pelak lagi, paham integralistik ini sebuah informasi sejarah sangat berharga. Sebagai sebuah syarah, di dalamnya tidak dimuat materi Qanun Meukuta Alam secara utuh, lengkap dan keputusan-keputusan. Lihat Muhammad dengan bab, pasal, dan ayatnya. Tetapi yang Sa’id Al-Asymâwî, Al-Islâm al-Siyâsî (Kairo: diangkat adalah penafsiran tentang isi dan riwa- ‘Arabiyah li al-Thibâ’ah wa al-Nasyr, 1987), hlm. yat penerapannya, sesuai dengan yang dibutuh- 186. kan dari masa ke masa. Bahkan, Qanun Meukuta 2Lihat pula penjelasan Dale F. Eickelman dan Alam yang berasal dari zaman Sultan Iskandar James Piscatori, Politik Muslim: Wacana Kekuasaan Muda tersebut bukan hanya terbatas pada syarah dan Hegemoni dalam Masyarakat Muslim, terj. Endi Tgk. Di Mulek, tetapi masih diberi komentar Haryono dan Rahmi Yunita (Yogyakarta: Tiara dengan istilah-istilah baru setelah Wacana, 1998), hlm. 55. merdeka. Lihat Mohd. Kalam Daud dan T.A. 3Al-Mâwardî, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al- Sakti, “Pengantar Penyalin Kembali dan Pengalih Walâyât al-Dîniyyah (Iskandariyah: Dâr Ibn Aksara” dalam Darni M. Daud, “Pengantar” Khaldûn, ttp), hlm. 7 dan Ibn Khaldûn, dalam Darni M. Daud (ed.), Qanun Meukuta Alama Muqaddimah (Beirut: Dâr al-Fikr, ttp), hlm. 191. dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Mulek dan

198 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012

Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh (1514-1903)

keterangan-keterangan tentang praktik Akar dari Qanun al-Asyi adalah pemberlakuan hukum jinayah. Sultan syariat Islam yang bernapaskan Al- Alaidin Ali Mughayat Syah dicatat dalam Qur’an sebagai pedoman hidup berbang- sejarah sebagai pembangun Kerajaan sa dan bernegara pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Sultan Alauddin Aceh Darussalam. Fakta ini merupakan Riayat Syah II Abdul Qahhar sebagai pengakuan dan pengabsahan historis pembina organisasi kerajaan dengan bahwa kerajaan Aceh Darussalam me- menyusun undang-undang dasar negara nempatkan syariat Islam sebagai sumber yang diberi nama Qanun al-Asyi, yang inspirasi dan tuntunan dalam kehidupan kemudian oleh Sultan , berbangsa dan bernegara ketika itu. Qanun al-Asyi ini disempurnakan. Dalam Semua aturan hukum, adat, kebiasaan perjalanan sejarah kemudian, Qanun al- (reusam) dibangun atas landasan syariat Asyi ini adakalanya disebut Adat Meu- Islam. kuta Alam atau Qanun Meukuta Alam.6 Meskipun Islam telah menjadi Dalam Qanun Meukuta Alam ditetapkan sumber dalam penyusunan undang- bahwa dasar kerajaan Aceh Darussalam undang negara, tak dapat dielakkan adalah Islam dan bentuknya kerajaan keterpengaruhan hukum jinayah yang yang bersumber kepada Al-Qur’an, Ha- diberlakukan oleh adat-istiadat yang di- dits, Ijma’ ulama, dan qiyas. Mazhab praktikkan masyarakat. Keterpengaru- yang dipakai dalam Kerajaan Aceh han hukum jinayah dari hukum adat ini Darussalam adalah Mazhab Empat Imam, terdapat dalam pelaksanaan hukum yang yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik diberlakukan di beberapa masa Kerajaan ibn Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ah- Aceh Darussalam sejak Sultan Alaudin mad ibn Hanbal.7 Tiap-tiap kerajaan Riayat Shah al-Qahhar (1537-1571). De- diperintahkan untuk menjaga agama ngan kata lain, pelanggaran terhadap Islam dan hukum syara’ yang diserahkan pembunuhan, pencurian, khamar, dan kepada ulama Ahlu al-Sunnah wa al- zina dikenakan sanksi yang tegas yang Jamâ’ah.8 Konsep ini sesungguhnya mengambil dalam hukum jinayah yang mencerminkan secara tegas bahwa Islam bercampur dengan hukum adat. Kebera- dan negara adalah integral (al-Islâm dîn daan hukum adat dan hukum Islam juga wa dawlah). Tak berlebihan jika Kerajaan secara jelas disebutkan dalam Sarakata Aceh Darussalam menyusun Qanun al- Sultan Shams al-Alam yang dikeluarkan Asyi sebagai pedoman dasar dalam pada tahun 1726, bahwa Qadi Malik al- kehidupan bernegara, sosial, dan hukum Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, masyarakat. Orang Kaya Raja Bandhara, dan semua ahli fikih diinstruksikan untuk menerap- Komentarnya, terj. Mohd. Kalam Daud dan T.A. kan hukum Islam di beberapa wilayah Sakti (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, tertentu, bukan hukum adat. Ini juga 2010), hlm. xi. mencakup kasus pembunuhan dan 6 A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alama melukai orang lain. Ketentuan yang (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 70. 7Lihat Qanun Meukuta Alama Bab I Syariat Islam: sesuai dengan hukum Islam juga terdapat Sumber Hukum dan Qanun Meukuta Alam dalam Sarakata Sultan Iskandar Muda, Menganut Mazhab Empat, Darni M. Daud (ed.), yang juga dikenal dengan Adat Meukuta Qanun Meukuta Alam, hlm. 1-2. Alam. Ayat 25, 26, 27, 28 dan 29 dari adat 8 Lihat Qanun Meukuta Alam Bab Khadam Syariat, Ibid., hlm. 40

KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012 | 199

Khamami Zada ini berbicara mengenai hukum kisas dan Pada masa Sultan Alauddin Riayat diyat.9 Syah II Al-Mukammil (1588-1604), diber- Dalam kasus pembunuhan, diber- lakukan hukuman kisas bagi pelaku lakukan hukuman yang berbeda-beda. pembunuhan. Bahkan, Sultan Alauddin Sultan Alauddin al-Qahhar pernah Riayat Syah II Al-Mukammil telah melaksanakan kisas yang kemudian ditu- melakukan hukuman kisas terhadap pu- kar dengan diyat seratus ekor kerbau atas teranya sendiri, Abangta yang ditangkap Raja Lingga ke-16 yang terbukti membu- karena zalim, membunuh orang lain dan nuh saudara tiri Beuner Maria (Bener melawan hukum serta adat yang berlaku Meriah).10 Raja Lingga dituduh telah dalam kerajaan”.12 melakukan perampasan barang-barang Pada periode berikutnya, Sultan Maria dan Seungeda, menganiaya Iskandar Muda pernah melakukan Seungeda, dan membunuh Beuner Maria. hukuman mati terhadap anak laki- Dalam sidang yang kedua di hari ketiga lakinya sendiri atas tuduhan menggang- setelah ibu Seungeda keluar sidang, Qadli gu rumah tangga orang lain, bahkan Malikul Adil mempersilahkan Radja berzina. Dia adalah puta mahkota yang Lingga untuk memberikan ketarangan akan menggantikan ayahnya sebagai yang lanjut dan alasan-alasan untuk sultan. Dia adalah Meurah Pupok,13 yang membela diri. Raja Lingga tidak dapat memberi keterangan sesuatu dalam 12http://houseofaceh.org/2011/01/bagaimana- membela dirinya, ia tetap minta ampun sultan-iskandar-muda-menegakkan-syariat- dan maaf, menerima hukuman apa atas islam/, diakses tanggal 9 mei 2011. kesilapan dan kesalahannya. Setelah itu, 13Meurah Pupok adalah anak dari istrinya yang Qadli Malukul Adil membaca kembali bergelar Putri Gayo (asal dari etnik Gayo salah keterangan Seungeda, keterangan Tjik satu etnik di Aceh Tengah). Antara istri Iskandar Muda yang lain adalah Putri Sani yang berasal Seuroeleue, keterangan Ibu Seungeda dari Ribee, Pidie, Aceh. Dari Putri Sani, lahirlah juga pengakuan Raja Lingga, maka Qadli anak yang akhirnya menjadi salah seorang Malikul Adil menuntut akan dijalan- Sultanah Aceh yaitu Sultanah Sri Ratu Safiatuddin kannya hukum kisas, kecuali wali yang Tajul Alam (1641-1675). Ratu Safituddin ini kawin bersangkutan memberikan maaf dan dengan anak Sultan Ahmad Syah, Pahang, Malaysia yang akhirnya menjadi Sultan ke-13 menerima diyat. Dalam versi lain, Sultan setelah Sultan Iskandar Muda. Ia adalah Sultan al-Qahhar pernah menjatuhkan hukuman Iskandar Thani (II) (1636-1641). Setelah zamannya, mati kepada anak kandungnya sendiri maka Aceh diperintah oleh para Sultanah, sultan bernama Ipah Ditungkup karena melang- perempuan yang dimulai dengan Sultanah Safiatuddin. Kini, makam Meurah Pupok, anak gar hukum agama dan adat negara.11 Sultan Iskandar Muda dikelilingi oleh lebih 2000 makam tentera Belanda yang berjaya dibunuh oleh para Mujahid Aceh sekitar abad ke-18. Di makam Meurah Pupok, tercatat kata-kata yang 9Amirul Hadi, Aceh, Sejarah, Budaya, dan Tradisi sangat masyhur dari Sultan Iskandar Muda saat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 177. menjatuhkan hukuman hudud terhadap anaknya 10Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi itu yaitu “Mate aneuk meupat jirat, gadoh adat pat Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan, tamita”. Perkataan yang diucapkan oleh baginda dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, di dalam Bahasa Aceh ini bermaksud ‘Mati anak 2006), hlm. 114. boleh dicari kuburnya, tetapi mati adat di mana lagi 11Junus Djamil, Gadjah Putih Iskandar Muda mau dicari’. Maksud ‘adat’ di dalam ayat ini (Kutaradja: Lembaga Kebudajaan Atjeh, tt.), hlm. adalah adat-adat yang Islami yang dihidupkan di 90. bumi Aceh Darussalam pada masa itu. Lihat

200 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012

Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh (1514-1903)

dijatuhi hukuman hudud atas kesalahan Meskipun tidak lengkap, informasi berzina dengan istri salah seorang penga- ini dapat memberikan beberapa butir wal istana. Pelbagai cara dilakukan agar penting. Pertama, pengadilan telah Sultan Iskandar Muda meringankan menjatuhkan vonis kisas dalam kasus ini, hukuman kepada Meurah Pupok karena yang bermakna bahwa hukum jinayah ia adalah anak seorang Sultan. Namun, dilaksanakan. Selanjutnya, petisi yang Iskandar Muda menolak demi memas- diajukan oleh terdakwa untuk membayar tikan pemberlakuan syariat Islam kepada sejumlah uang dapat dikatakan sama de- siapapun.14 ngan diyat yang diberikan kepada ahli Keterangan di atas memperkuat waris korban. Kenyataan bahwa terdak- pernyataan Thomas Bowrey bahwa hu- wa yang mengajukan petisi menunjukkan kum yang diterapkan di Kerajaan Aceh bahwa “maaf” tidak diberikan oleh sangat keras bagi pembunuh, yaitu keluarga korban. Dalam hal ini, kisas hukuman mati yang dilaksanakan sese- seharusnya dilaksanakan sesuai dengan gera mungkin. Sebuah laporan dari tahun ketentuan hukum Islam. Namun, kasus 1642 yang diberikan oleh Pieter Willemzs ini diproses dengan “kebiasaan yang menginformasikan bahwa seseorang war- berlaku” (traditional practice) atau “hukum ga Aceh divonis mati oleh Qadi Malik al- yang dianut” (the law of the land).17 Inilah Adil dan dewan hakim lainnya dalam ka- bentuk keterpengaruhan hukum jinayah sus pembunuhan. Kemudian, dia menga- Aceh oleh hukum adat, sehingga tidak jukan petisi untuk diizinkan membayar seluruh komponen dalam hukum jinayah 388 tahil15 sebagai ganti vonis mati diberlakukan, melainkan juga mengako- tersebut. Qadi membawa permohonan ini modasi adat-istiadat Aceh. kepada Ratu Safiyyat al-Din. Ratu tidak Namun Snouck Hurgronje mem- memberikan keputusan, namun ia meme- bantah bahwa hukuman bagi pelaku rintahkan supaya kasus tersebut dapat pembunuhan diterapkan sesuai hukum diselesaikan, baik menurut “kebiasaan jinayah. Menurut Snouck Hurgronje, yang berlaku maupun hukum yang hukuman yang diberlakukan adalah hu- dianut.”16 kum adat, bahkan sang pengadilnya pun bukan qâdli, melainkan uleebalang. Di http://houseofaceh.org/2011/01/bagaimana- Aceh, dalam kasus penghinaan fisik, sultan-iskandar-muda-menegakkan-syariat- pelukaan atau pembunuhan karena seng- islam/. Diakses tanggal 9Mei 2011. keta biasa pada umumnya diselesaikan 14 M. Daud, Qanun Meukuta Alam, hlm. vii. Lihat oleh yang dihina tanpa campur tangan pula Abubakar, Syari’at Islam, hlm.114. penguasa dengan bantuan kawom-nya 15Tahil adalah suatu unit timbangan dalam bentuk perak yang sebanding dengan 600 atau 1000 cash. (sanak terdekat). Namun, bila pada saling Cash adalah satu unit uang Cina yang terbuat dari menghina ini akhirnya masih ada pihak perunggu yang memiliki nilai rendah. Ia berasal yang dirugikan, perkara diajukan kepada dari mata uang Portugis, yaitu caixes. Lihat uleebalang, yang dalam hal ini dengan Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of mudah dapat memerintahkan pembaya- Commerce 1450-1680 vol.1 (New Haven and London: Yale University Press, 1988), hlm. 268 ran diyat menurut hukum agama oleh dan vol 2 (1993), hlm. 377 dan 380. 16 Hadi, Aceh, Sejarah, hlm. 175. Keterangan ini dikutip dari Thomas Bowrey, A Geographical hlm. 315. Lihat pula K.A., 1051, “Daghregister of Account of Countries Round the Bay of Bengal 1669 to Pieter Willemzs, “ f.520v. 1679 (Cambridge: The Haklyut Society, 1905), 17Amirul Hadi, Aceh, Sejarah, hlm. 176.

KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012 | 201

Khamami Zada penghina kepada yang dihina. Mengenai karena membunuh untuk dibimbing diyat, kitab hukum Islam memuat tarif menjadi orang yang rajin membaca kitab- yang harus dibayar. Bila uleebalang tidak kitab (suci). Uleebalang yang warganya paham, ia dapat meminta penjelasan dari menjadi korban akan memeriksa perkara seorang kali atau ulama. Adapun pepe- dan menyatakan bahwa orang berhak rangan kecil yang berkepanjangan akibat untuk membunuh pelaku bila ia balas dendam (disebut bela di Aceh), tertangkap. Jika yang bersalah melakukan misalnya luka kecil dibalas dengan bela itu meninggal, apakah karena pembunuhan atau dengan cara lain yang kekerasan atau sebab-sebab yang wajar, melampaui batas.18 maka perkara dianggap selesai.20 Adapun penghinaan oleh seorang Dalam kasus perzinahan terjadi pejabat tinggi terhadap bawahannya da- perbedaan pendapat apakah Kerajaan pat diselesaikan tanpa adat meulangga, Aceh pernah memberlakukan hukuman hanya dengan peusijuk (penyejuk) atau rajam atau hukum adat. Berdasarkan bentuk penggantian lain tanpa segala sumber India, Rawdlat al-Thahirîn, macam upacara. Bahkan, penduduk hukuman rajam telah dipraktikkan di gampong yang dihina, menerima imbalan Kesultanan Aceh, yakni pada masa Sultan misalnya dari putera uleebalang yang ber- Alaudin Riayat Shah al-Qahhar (1537- salah, lalu meminta maaf kepadanya. 1571). Keterangan ini berdasarkan seo- Sebaliknya, penghinaan orang terkemuka rang pelancong India, Thahir Muhammad oleh bawahan tidak pernah diselesaikan Sabzwari yang berkunjung ke Aceh. Dia tanpa permohonan resmi untuk dimaaf- menceritakan bahwa dua orang dijumpai kan. Jika orang biasa berbuat salah berzina pada tahun 1550 dengan status terhadap kepala di bawah pangkat masing-masing telah menikah dihadap- uleebalang, ia menghadap kepala itu de- kan ke Sultan yang kemudian meng- ngan membawa upeti diantar oleh teman hukum mereka dengan hukuman mati. dan kerabat yang meminta maaf atas Kedua orang itu dibawake alun-alun lalu dirinya. Kalau menghadap uleebalang, dirajam hingga mati.21 yang bersalah diantar dengan balutan Berbeda dengan keterangan di atas laken seolah-olah ia mati atau sakit yang menyebutkan hukum jinayah diber- keras.19 lakukan, William M. Marsden me- Dalam perkara pembunuhan, ja- nyebutkan bahwa pada masa Iskandar rang diyat diterima, akan tetapi orang Muda tidak diberlakukan hukum jinayah akan mempertimbangkan untuk memba- dalam kasus zina. Pada Masa Iskandar las dendam. Biasanya yang salah akan Muda, ada tiga macam hukuman bagi melarikan diri dari Dataran Tinggi ke pelaku zina, yaitu pertama, bagi laki-laki Dataran Rendah atau sebaliknya dan yang berbuat zina dihukum dengan dile- pada umumnya mendapat perlindungan gam-pong. Bahkan Teungku Tanoh Abe, 20Ibid., hlm. 78-79. seorang ulama dari Mukim XXII sejak 21Ayang Utriza NWAY, “Adakan Penerapan lama melindungi bela gab (orang bersalah Syariat Islam di Aeh?: Tinjauan Sejarah Hukum di Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M,” Tashwirul Afkar, Edisi No. 24 Tahun 2008, hlm. 124. Lihat 18Lihat C. Snouck Hurgronje, Aceh: Rakyat dan Muzaffar Alam dan Sanjay Subrahnyaman, Adat Istiadatnya (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 77. “Southeast Asia as Seen Forum Mughal India”, 19Ibid., hlm. 78. Archipel 70, Paris, hlm. 225-226.

202 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012

Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh (1514-1903)

takkan di tengah lingkaran yang dikeli- laki-laki yang berzina dipotong kema- lingi oleh orang tua suami dari perem- luannya, sementara bagi wanita dipotong puan yang dizinai dan teman-temannya. hidungnya dan dicongkel kedua ma- Si laki-laki pezina diberi sen-jata untuk tanya.24 melawan. Dia harus melewati orang- Bahkan, Denys Lombard menye- orang yang mengelilinginya untuk mela- butkan keterangan yang berbeda dalam rikan diri. Si pelaku biasanya mati pemberlakuan hukum jinayah masa Sul- terpotong-potong oleh senjata orang- tan Iskandar Muda. Menurutnya, huku- orang yang mengelilinginya. Setelah man yang lazim di peradilan pidana meninggal, orang tua laki-laki pezina adalah pukulan rotan yang bisa dihindari menguburkannya seperti menguburkan dengan uang mas dengan membayar seekor banteng mati. Mereka tidak mau denda dan menyogok algojo. Jika kesala- menerima jenazah anaknya di rumah hannya lebih besar, maka orang yang mereka dan tidak ada pemakaman yang dihukum akan kehilangan sebagian dari layak. Kedua, si pezina dihukum denda. tubuhnya; mata dicungkil, hidung, Dia harus membayar sejumlah uang telinga bahkan anggota badan dipancung kepada keluarga korban, tetapi hukuman dan dipenggal. Dalam hal yang belaka- ini sangat jarang. Ketiga, jika istri ngan ini, yang dipenggal kaki atau ketahuan berzina, maka suaminya akan tangan, lalu buntungnya segera dicelup- membunuh sendiri si lelaki yang men- kan ke dalam air dingin dan dibalut zinai istrinya dan ia diam-diam menutup dengan “kantung kulit” yang menghenti- rapat aib tersebut.22 Bahkan, biasanya kan pendarahan. Dalam hal ini pun keluarga wanita yang bersalah mencegah barang siapa membayar algojonya, akan aib itu dan kerabat sedarah membunuh- dipenggal dengan cara yang lebih cepat. nya secara diam-diam, namun sesudah Jika kejahatan dihukum mati, maka si kekasihnya terlebih dahulu dibunuh. terhukum disulakan. Ini berlaku untuk Lenyapnya kedua orang ini kemudian orang kecil, karena orang terkemuka tidak diperhatikan karena tidak ada menjalani hukuman mati dengan cara pihak yang mengadu.23 yang lebih “sopan”. Mereka ditempatkan Berdasarkan laporan Francois di ladang luas yang tertutup, diberi Martin de Vitre, seorang pelancong Pe- semacam sabit besar sebagai senjata dan rancis, yang tinggal di Aceh, hukuman dengan demikian harus membela diri zina di Aceh pada masa Sultan Alauddin seorang diri melawan segerombolan pe- al-Mukammil ada dua, yaitu pertama, nyerang, yang pada umumnya terdiri laki-laki atau perempuan yang berzina atas sanak saudara keluarga yang diru- dibunuh oleh gajah dengan cara diinjak- gikan (terutama dalam hal zina). Maka injak atau badannya ditarik hingga mereka masih mempunyai harapan bisa hancur berkeping-keping. Kedua, bagi menyelamatkan diri.25

22Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syariat Islam di Aeh?, hlm. 126. Keterangan ini dikutip 24 Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syariat dari William Marsden, The History of Islam di Aeh?, hlm. 125. (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1966), 25Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman hlm. 233. Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: 23Lihat Hurgronje, Aceh: Rakyat dan Adat Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 119- Istiadatnya, 85. 120.

KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012 | 203

Khamami Zada

Penerapan hukuman zina jarang Kedua, uleebalang sama sekali tidak sekali terjadi di Aceh karena sulitnya segan untuk menghukum kejahatan membuktikan perbuatan zina. Beberapa berzina, meskipun tidak ada orang yang kali terjadi wakil hukum agama yang mengadukan asalkan tidak menimbulkan berpengaruh ingin memberi contoh akibat buruk kepada mereka dan teman- untuk menerapkan hukuman zina, seperti teman mereka dan melakukan ini bukan yang dilakukan Habib Abdurrahman demi ketertiban umum dan kesusilaan yang memberlakukan rajam kepada melainkan demi kepentingan pribadi. Ini sepasang pria dan wanita karena berzina. terutama terjadi bila dilanjutkan dengan Akan tetapi, bila uleebalang akan mem- hamilnya wanita yang belum menikah. berlakukan rajam, ada kesulitan pem- Orang yang menyebabkan kehamilan lalu buktiannya. dilacak dan kedua pihak yang bersang- Dalam praktiknya, hukuman bagi kutan diberi peringatan oleh uleebalang, perbuatan zina dibagi dua. Pertama, yaitu bahwa mereka dapat dihukum mati pembalasan dendam oleh pihak yang karena bersalah dengan dicekik dan dihina (suami, ayah, saudara, dan lain- dibenamkan, akan tetapi mereka lain, dari pihak wanita yang terlibat) sekaligus diberi tahu bahwa soal ini kadang-kadang diikuti oleh hukuman dapat diselesaikan dengan membayar atas perintah uleebalang karena yang denda tertentu asalkan tanda (bukti) dihina menurut peraturan adat tidak dilenyapkan. Denda biasanya dibayar sepenuhnya melaksanakan tugasnya.26 dan kandungan digugurkan atas perintah Pihak yang dihina boleh mem-bunuh uleebalang. Bila yang bersalah tidak yang menodai kehormatan rumahnya di mampu membayar denda, uleebalang tempat kejadian, atau juga di tempat lain masih jarang sekali melaksanakan asal ia dapat membuktikan dengan tanda. hukuman mati. Sebagai hukuman, orang Misalnya, sepotong pakaian pelaku yang itu lebih baik dijadikan pelayan tanpa tadinya melarikan diri bahwa kejahatan dibayar. Kadang-kadang rakan (pengikut) telah dilakukan. Akan tetapi bila ia tidak uleebalang menyuruh wanita untuk ber- sekaligus membunuh wanita yang bersa- jumpa dan bercakap-cakap di tempat sepi lah (keluarga sedarah atau istrinya), maka dengan maksud agar si laki-laki ditang- ia dapat terkena dendam berdarah, ke- kap atas tuduhan zina dengan bukti cuali pihak lain lebih menyukai perkara sepotong pakaian dan pengakuan sang diserahkan kepada uleebalang yang wanita. Lalu, uleebalang memeras denda memerintahkan supaya kepada wanita dari sang-laki-laki.28 itu dilaksanakan hukuman ceukik; wanita Dalam kasus lainnya seperti khamr yang bersalah ditelentangkan di dalam juga terjadi perdebatan. Seperti dinyata- air di tepi sungai, sedangkan sebatang kan dalam sejarah, mengonsumsi khamr bambu diletakkan melintang pada merupakan fenomena yang biasa di Aceh lehernya, lalu di kedua ujung bambu pada abad ke-17, terutama minuman jenis berdiri rakan (pengikut) uleebalang yang arak dan tuak. Catatan para pelancong mencekik wanita itu.27 Eropa yang pernah mengunjungi wilayah ini juga mendukung informasi ini. Arak disajikan terutama pada resepsi kerajaan 26Lihat Hurgronje, Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya, hlm. 85. 27Ibid. 28Ibid., hlm. 86.

204 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012

Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh (1514-1903)

dan bagi orang-orang Eropa, arak terlalu dilarang keras untuk melakukannya di keras untuk dikonsumsi. Kitab Bustân al- rumah masyarakat Aceh.31 Salâtîn karya al-Raniri juga memperjelas Hampir tidak diperoleh informasi butir ini. Di antara kebiasaan masyarakat mengenai bentuk hukuman yang dibe- yang dilarang keras oleh Iskandar Muda rikan kepada masyarakat Aceh yang ialah mengonsumsi arak.29 Karena arak mabuk karena mengonsumsi minuman dan tuak termasuk minuman yang keras, namun, dapat dipastikan bahwa mema-bukkan dan dilarang keras dalam mereka dilarang keras mengonsumsinya Islam, memproduksi dan memperda- dan hukuman berat dijatuhkan bagi siapa gangkannya di Aceh berada di bawah saja yang melanggarnya. Dalam laporan pengawasan ketat kerajaan dan hukuman yang diberikan oleh Compostel diketahui berat diberika kepada siapa saja yang me- bahwa dua orang Aceh ditemukan langgarnya. Informasi mengenai aturan sedang mabuk di rumah Nakhoda Fijgie yang jelas dan rinci dalam hal ini belum tersebut diatas. Mereka ditangkap dan lagi ditemukan, namun beberapa kasus di dihukum oleh Penghulu Kawal, yaitu bawah ini dapat mendukung kesimpulan kepala polisi, dengan menuangkan timah di atas.30 panas ke kerongkongan mereka.32 Di Aceh, pada saat itu, hanya Singkatnya, meskipun minuman pedagang asing nonmuslim yang dibe- keras disajikan pada acara resepsi kera- rikan izin resmi untuk mengonsumsi jaan untuk menghormati tamu-tamu dari arak. Untuk itu, berbagai aturan yang mancanegara, kepemilikannya sangat ketat diterapkan dalam memproduksi dilarang oleh negara. Memroduksi, dan menjual minuman keras. Di kalangan menjual, dan mengonsumsinya hanya nonmuslim tersebut, hanya yang telah diizinkan bagi pedagang non Muslim. memiliki lisensi dari penguasa saja yang Bahkan dalam hal ini pun, peraturan boleh memproduksi dan memperjual- yang ketat diterapkan. Hukuman yang belikan arak. Jacob Compotsel meng- diberikan kepada masyarakat Aceh yang informasikan, bahwa seorang yang melanggar aturan adapat dianggap tidak bernama Nakhoda Fijgie telah diberikan proporsional, namun telah didasarkan izin untuk memproduksi arak. Namun, pada kebiasaan lokal (adat) daripada pada tahun 1642, dua orang pekerja ketentuan yang diberikan oleh kitab Eropa pada sebuah pabrik milik perusa- fikih.33 haan Inggris dihukum oleh Ratu Safiyyat Menurut sumber India, Rawdhat al- al-Din dengan memotong kedua tangan Tâhlirîn, hukuman bagi pencuri pada mereka karena telah berusaha mempro- masa Sultan Alaudin Riayat Shah al- duksi arakyang sebenarnya dilarang oleh Qahhar adalah potong tangan.34 Pernya- penguasa tersebut dengan hukuman yang taan ini diperkuat Dampier yang mendes- berat. Terlebih lagi, meskipun orang- kripsikan hukuman potong tangan orang Eropa telah diberikan izin untuk mengonsumsi arak, namun mereka 31 Ibid., 177. 32 Ibid., 180. 33 Ibid. 34 Utriza NWAY, “Adakan Penerapan Syariat Islam di Aeh?, hlm. 127. Lihat Muzaffar Alam dan 29 Hadi, Aceh, Sejarah, hlm. 177-178. Sanjay Subrahnyaman, “Southeast Asia as Seen 30 Ibid., 179. Forum Mughal India”, Archipel 70, Paris, hlm. 226.

KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012 | 205

Khamami Zada sebagai hukuman berat. Yakni, pada Francois Martin de Vitre berdasar- perbuatan pencurian yang pertama, kan pengalaman perjalanannya ke Aceh seorang pencuri dihukum dengan memo- menjelaskan bahwa hukuman bagi pen- tong pergelangan tangan kanan; pada kali curi kecil dipotong tangannya. Jika dia kedua dengan memotong tangan kiri, dan mengulangi lagi perbuatannya, maka terkadang juga, sebagai gantinya dengan dipotong kaki dan tangannya yang lain.37 memotong salah satu atau kedua ka- Kesaksian lain dikemukakan Van kinya. Meskipun jarang terjadi, seorang Waarwyk, yang menyebutkan hukuman pencuri juga dihukum dengan memotong di Aceh untuk masalah kecil adalah kedua tangan dan kaki, si terhukum potong tangan dan kaki. Oleh karena itu, masih melakukan kesalahan yang serupa, banyak sekali orang yang hanya mempu- misalnya dengan mencuri melalui jari-jari nyai satu tangan dan satu kaki. Mereka kaki, mereka dibuang ke pulo way (Pulau menutup dengkulnya yang terpotong Weh) seumur hidup. Jenis hukuman ini dengan mangkok yang dikaitkan dengan diberikan khususnya dalam kasus peram- dengkul itu dan menggunakan tongkat pokan besar. Akan tetapi, untuk pen- dari bambu untuk menopang badan curian yang kecil-kecilan, pelakunya mereka agar dapat berjalan. Hukuman pertama kali akan dicambuk, sedangkan, potong tangan dan kaki ini berlaku bagi untuk kesekian kalinya pencurian yang semua jenis kejahatan dan berlaku bagi kecil dianggap sebagai sebuah kriminal semua orang, rakyat biasa atau besar. Dalam posisi ini, Dampier bangsawan.38 membantah bahwa ia tidak pernah Beberapa contoh hukuman yang mendengar hukuman mati dijatuhkan dipaparkan di atas nampaknya sesuai kepada pencuri.35 dengan hukum Islam mengenai pen- Adapun Bowrey memberikan curian, dengan perbedaanya utamanya deskripsi sebagai berikut: “Bila seseorang teletak pada urutan bagian dari tangan ditemukan telah mencuri sesuatu senilai atau kaki yang dipotong. Pengiriman empat emas, ia segera dibawa ke istana pelaku ke Pulau Weh sebagai tempat dan dihukum dengan memotong kedua pembuangan penjahat semenjak abad ke- tangannya di depan pimpinan Orang 16 M, setelah kedua tangan dan kakinya Kaya. Untuk kali kedua melakukan dipotong, sesuai dengan pendapat Syafi’i. kriminal yang kecil, kakinya dipotong, Namun, di Aceh saat itu kelihatannya dan kali ketiga kepalanya dipenggal. ketika kedua tangan dan kaki seorang Namun bila untuk kali pertama seseorang pencuri dipotong tidak selalu berarti pencuri dalam jumlah besar, seperti bahwa dia telah melakukan kejahatan senilai seekor lembu atau kerbau, yang sama sebanyak empat kali. Meski- hukuman mati dijatuhkan. Ini dilakukan pun mereka mengamati dalam waktu sebagai pelajaran bagi yang lain”.36 yang hampir bersamaan, Bowrey menya- takan bahwa hukuman mati bisa dijatuh- kan bagi pencuri, sementara Dampier 35 Hadi, Aceh, Sejarah, hlm. 180. Keterangan ini dikutip dari William Dampier, Voyages and Countries Round the Bay of Bengal 1669 to 1679, hlm. Description, vol 1 (New York: Octagon Books, 315 1966), hlm. 315. 37 Utriza NWAY, “Adakan Penerapan Syariat 36 Ibid., hlm. 181. Keterangan ini dikutip dari Islam di Aeh?, hlm. 128. Thomas Bowrey, A Geographical Account of 38 Ibid.

206 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012

Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh (1514-1903)

membantahnya. Memang, pernah terjadi hukuman berat, yang sengaja diciptakan sebuah kasus di tahun 1642, seseorang demi menjaga ketertiban dan hukum.40 telah mencuri seekor kuda yang kemu- Snouck Hurgronje juga menje- dian dia jual di Pidie. Akhirnya, Ratu laskan bahwa pelaku pencurian di Aceh Safiyyat al-Din memvonisnya dengan dikenakan hukuman mati meskipun ia hukuman mati. Ini adalah sebuah penge- tidak tertangkap basah. Bila yang kecu- cualian, karena pencurian dilakukan rian menangkap basah pencuri dan terhadap milik penguasa, dan hukuman membunuhnya, menurut ajaran pembuk- yang berat pasti diberikan.39 tian adat ia wajib membuktikan bahwa Hukuman berat bagi pencuri di yang dibunuh itu benar-benar pencuri. Aceh didasarkan pada kondisi sosial Kalau tidak, ia akan terlibat utang tinda- masyarakat ketika itu yang dihantui oleh kan balas dendam. Dan bila pencuri tidak dua kriminal utama, yaitu pencurian dan segera tertangkap, maka fakta juga harus pembunuhan. Alexander Hamilton me- dibuktikan supaya yang kecurian mem- nulis bahwa tidak ada tempat di dunia ini punyai hak untuk membunuh pencuri yang menghukum pencuri dengan begitu tanpa dikenakan pembalasan dendam berat melebihi Aceh, namun perampokan keluarga pencuri. Menurut adat, bukti ini dan pembunuhan lebih sering terjadi di hanya dapat diberikan dengan uleebalang Aceh dibanding dengan tempat-tempat melakukan penyelidikan setempat dan lain. Ada kemungkinan Hamilton mem- menetapkan kebenaran pencuri yang oleh besar-besarkan situasi ini, namun orang Aceh disebut peusah pancuri. Di dipercaya bahwa kedua jenis kejahatan Mukim XXVI, peusah ini menurut adat ini sering terjadi di Aceh. Bowrey mence- lama hanya dapat dilakukan oleh ritakan bagaimana seorang yang telah panglima sagi, di Mukim XXV oleh tiap cacat, karena kedua tangan dan kakinya uleebalang dan beberapa bagian Mukim telah diamputasi, masih berusaha men- XXII dapat dilakukan oleh rapat ketiga curi di sebuah pabrik milik perusahaan imum, jika uleebalang tinggal terlalu jauh Inggris. Dia kemudian divonis mati. dari tempat kejadian. Para sesepuh dan Namun, atas kebaikan pimpinan pabrik ahli adat biasanya menyebut empat ciri, yang memaafkannya, dia akhirnya terle- yaitu (1) yad, yakni bahwa tersangka pas dari hukuman tersebut. Iskandar terlihat merangkak di dekat rumah yang Muda sendiri mengatakan kepada kecurian, (2) kinayat, yakni tersangka Augustine de Beaulieu bahwa Aceh telah terlihat memasuki rumah yang kecurian, menjadi “sarang para pembunuh dan (3) peunyabet, yakni tersangka terlihat perampok” dan tak seorang pun merasa memegang atau menyentuh barang aman. Masyarakat di siang hari diharus- curiannya, (4) haleue meue, yakni tersang- kan berjaga-jaga dari para perampok dan ka ditemukan memiliki barang itu. pada malam hari mereka memproteksi Namun dalam praktiknya, orang tidak diri di rumah dengan baik. Keadaan yang berpegang kepada peraturan ini. Peusah sangat tidak kondusif ini tentu, di antaranya, berperan dalam pelaksanaan 40 Ibid., hlm. 183-184. Keterangan ini dikutip dari de Augustine Beaulieu, The Expedition of 39 Hadi, Aceh, Sejarah, hlm. 180. Keterangan ini Commodore Beaulieu to the East Indies dalam John dikutip dari John Davis, Voyages and Works of John Haris (ed.), Navigatum atque Itirenantium Davis the Navigator (Cambridge: The Haklyut Biblioheca, or A Complete Collection of Voyages, Society, 1880), hlm. 315-318. vol. 1 London, 1764, hlm. 734.

KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012 | 207

Khamami Zada lazimnya didasarkan pada kenyataan dengan maksud memberikan peringatan bahwa pencuri yang dibunuh itu (al-wa’dz) bagi pelaku dan untuk meng- ditemukan terletak di samping maupun hindarinya dari kesalahan di masa di dekat barang curian, yang diperkuat mendatang.43 lagi dengan bekas-bekas pembongkaran Seseorang, umpamanya, dihukum rumah atau barang curian ditemukan di cambuk sebanyak tiga kali karena, penadah yang akan diberi ganti rugi asal menurut Bealieu, diketahui mengintip ia bersedia menunjukkan pencurinya atau istri tetangganya yang sedang mandi. orang menemukannya di gampong de- Namun, sebuah hukuman yang sangat ngan berbagai petunjuk pada orang berat dijatuhkan kepada sesorang yang tertentu sebagai pencuri yang luput dari mengintip salah seorang istri Iskandar kejaran orang.41 Muda, yaitu sebelah matanya dicongkel. Di Dataran Tinggi, pencurian Tidak ada yang menyangkal bahwa begitu sering terjadi sehingga orang hukuman ini terlalu berat. Namun, harus terbiasa memberi kesempatan kepada diingat bahwa melakukan pelanggaran pencuri untuk membayar uang tebusan terhadap keluarga kerajaan merupakan supaya bebas (teuboh). Sebaliknya di kejahatan besar. Willemsz menginfor- tempat lain, terutama di Mukim XXV, masikan bahwa seorang anak didapati pencuri sudah biasa dihukum bunuh. menyiksa ibunya. Atas kesalahan ini, si Sedangkan pada pencurian kecil-kecilan, anak dijatuhi hukuman pemotongan kadang-kadang pencuri ditahan beberapa kedua tangannya. Menurut pegawai hari di jalan atau dekat rumah uleebalang. Belanda ini, hukuman ini sesuai dengan Lalu sebelum dibebaskan, orang itu harus hukum adat setempat. Hal ini diperkuat berjanji di bawah sumpah bahwa ia tidak oleh butir yang tercantum di dalam akan mencuri lagi.42 Sarakata Shams al-Alam yang menegaskan Beberapa kasus dari Aceh abad ke- bahwa menyakiti perempuan berten- 17 dapat dikategorikan sebagai hukuman tangan dengan hukum adat di Aceh. ta’zîr yang dapat diurut dari yang ringan Namun, pada saat yang sama hukuman sampai kepada yang paling berat, yaitu ini juga dapat dilihat sebagai ta’zîr.44 hukuman mati. Dampier menemukan Meskipun membutuhkan imple- bahwa di Aceh kejahatan ringan hanya mentasi yang sangat ketat, vonis mati dihukum dengan pukulan di belakang dapat juga diterapkan atas nama ta’zîr. dengan alat yang mereka menamakannya Secara normal, para ahli hukum dengan chaubuk (cambuk). Informasi lebih sependapat dengan jenis hukuman ini. lanjut mengenai jenis kejahatan yang Namun ia dapat dilaksanakan dalam dilakukan dalam hal ini dan jumlah kasus-kasus tertentu yang sangat serius, pukulan tidak diberikan. Namun, dapat seperti menjadi mata-mata bagi musuh, diasumsikan bahwa kejahatan yang dila- kukan itu kecil, sehingga jumlah 43 Hadi, Aceh, Sejarah, hlm. 185. Keterangan ini hukuman cambuk yang dijatuhkan juga dikutip dari William Dampier, Voyages and sedikit. Bentuk hukuman ini dilakukan Description,hlm. 138. 44 Ibid., hlm. 185-186. Keterangan ini dikutip dari de Augustine Beaulieu, The Expedition of 41Lihat Hurgronje, Aceh: Rakyat dan Adat Commodore Beaulieu to the East Indies, 734. Lihat Istiadatnya, hlm. 79-80. pula K.A., 1051, “Daghregister of Pieter Willemzs, 42Ibid., hlm. 84. “ f.520v.

208 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012

Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh (1514-1903)

menyebarluaskan ajaran sesat yang dapat dalam batas tertentu seringkali tidak menimbulkan keresahan dalam masya- seluruhnya sama seperti aturan fikih.[] rakat; atau ketika pada situasi ketika tidak ada cara lain yang dilakukan untuk Daftar Pustaka penjahat yang akut agar ia tidak lagi Abubakar, Al Yasa’. Syari’at Islam di mengulangi perbuatannya. Apabila infor- Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: masi yang diberikan Dampier mengenai Paradigma, Kebijakan, dan Kegiatan. hukuman mati yang dijatuhkan kepada Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, seorang pencuri itu benar, maka ini harus 2006. dipahami sebagai ta’zîr, karena pen- Alam, Muzaffar dan Subrahnyaman, curian, perampokan, dan pembunuhan Sanjay. “Southeast Asia as Seen sering terjadi di Aceh. Penghianatan Forum Mughal India”. Archipel 70, merupakan sebuah kejahatan besar terha- Paris. dap negara dan tatanan sosial. Oleh Asymawi, Muhammad Sa’id al-. Al-Islâm karena itu, hukuman berat yang dijatuh- al-Siyâsî. Kairo: ‘Arabiyyah li al- kan bagi pelakunya dikategorikan ke Thibâ’ah wa al-Nashr, 1987. dalam ta’zîr. Beaulieu menyampaikan Daud, Darni M. (ed.). Qanun Meukuta bahwa sebuah gerakan bawah tanah telah Alama dalam Syarah Tadhkirah berusaha menggulingkan Iskandar Muda. Tabaqat Tgk. Mulek dan Komentar- Ketika aktivitas mereka diketahui, semua nya. Terj. Mohd. Kalam Daud dan yang terlibat dihukum mati. Konspirasi T.A. Sakti. Banda Aceh: Syiah serupa juga dilakukan untuk menjatuh- Kuala University Press, 2010. kan Iskandar Thani. Akibatnya, menurut Djamil, Junus. Gadjah Putih Iskandar Muda. Peter Mundy, sekitar 400 orang diekse- Kutaradja: Lembaga Kebudajaan kusi dalam tenggang waktu tiga atau Atjeh, tt.. empat bulan.45 Dari penjelasan William Snouck Eickelman, Dale F. dan Piscatori, James. Politik Muslim: Wacana Kekuasaan Hurgronje, M. Marsden, Denys Lombard dan Hegemoni dalam Masyarakat tampak bahwa hukum yang diberla- Muslim. Terj. Endi Haryono dan kukan di Aceh bukanlah hukum jinayah, Rahmi Yunita. Yogyakarta: Tiara melainkan hukum adat yang disesuaikan Wacana, 1998. dengan kepentingan penguasa. Namun, banyak kesaksian juga yang menjelaskan Hadi, Amirul. Aceh, Sejarah, Budaya, dan bahwa hukum jinayah diberlakukan di Tradisi. Jakarta: Yayasan Obor, Aceh dalam kasus pembunuhan, pencu- 2010. rian, minum khamr, dan zina, meski Hasjmy, A. Iskandar Muda Meukuta Alama. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Hurgronje, C. Snouck. Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya. Jakarta: INIS, 1996. 45 Ibid., hlm. 187. Lihat N. Coulson, “The State and The Individual in Islamic Law,” International Khaldûn, Ibn. Muqaddimah. Beirut: Dâr al- and Comparative Law Quarterly 6 (1957), hlm. 54. Fikr, ttp. Lihat pula de Augustine Beaulieu, The Expedition Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman of Commodore Beaulieu to the East Indies, hlm. 734. Sultan Iskandar Muda (1607-1636). William Marsden, The History of Sumatra, hlm. 446. Lihat pula Peter Mundy, The Travels of Peter Jakarta: Kepustakaan Populer Mundy in Europe and Asia 1608-1667, hlm. 330-331. Gramedia, 2008.

KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012 | 209

Khamami Zada

Mâwardî, al-. Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa Utriza NWAY, Ayang. “Adakah al-Walâyât al-Dîniyyah. Iskandari- Penerapan Syariat Islam di Aceh?: yah: Dar Ibn Khaldûn, ttp. Tinjauan Sejarah Hukum di Reid,Anthony. Southeast Asia in the Age of Kesultanan Aceh Tahun 1516- Commerce 1450-1680. New Haven 1688M. Tashwirul Afkar. Edisi No. and London: Yale University Press, 24 Tahun 2008. 1988. Syarif, Mujar Ibnu dan Zada, Khamami. Fiqh Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Erlangga, 2008.

ÓÓÓ

210 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012