PERAN KELUARGA DALAM KETAHANAN DAN KONSEPSI REVOLUSI MENTAL PERSPEKTIF ALQURAN

Penulis : Ahmad Hamdani, dkk. Editor : Ahmad Tholabi Kharlie Layout : Rizal Rabas

Cetakan I, Maret 2019

ISBN: 978-979-9152-54-1

Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang menggandakan isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit All rights reserved

Diterbitkan oleh: LPTQ Provinsi Banten bekerjasama dengan Gaung Persada (GP) Press Kompleks Masjid Raya Al-Bantani Jl. Syaikh Nawawi KP3B Curug Kota Serang Banten

Bekerjasama dengan: Gaung Persada Ciputat Mega Mall Blok C/11 Jl. Ir. H. Juanda No. 34 Ciputat Tangerang Selatan Telp. 021 747 075 60, Hp. 0878 86200 900 Email: [email protected] Kata Pengantar

ALHAMDULILLAH, puji syukur kehadirat Allah S.w.t., Tuhan pemberi kasih dan kemudahan, serta salawat dan salam untuk saw. yang telah menggulung tikar jahiliah menjadi bentangan permadani peradaban, akhirnya buku Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran dapat diselesaikan dengan baik. Buku ini merupakan kumpulan makalah finalis Musabaqah Makalah Al-Qur’an (MMQ) pada perhelatan Musabaqah Tilawatil (MTQ) XV tingkat Provinsi Banten tahun 2018. Karya ini merupakan salah satu upaya untuk menjaga khazanah ilmiah anak-anak muda, penggiat kajian ilmiah Al-Qur’an secara tematik. Selain itu, kehadiran buku ini bisa dijadikan contoh dan stimulan bagi pembaca yang ingin mempelajari MMQ secara lebih mendalam. Ungkapan terimakasih disampaikan kepada Pengurus LPTQ Banten, Panitia dan Dewan Hakim MTQ XXV tingkat Provinsi Banten, seluruh penulis, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi, sehingga buku ini dapat dihadirkan kepada masyarakat luas. Semoga kehadiran buku ini memberi gagasan-gagasan baru bagi pemerintah dan para pemangku kebijakan. Sebagai sebuah karya yang berproses, Kami menyampaikan permohonan

iii iv Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran maaf yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak apabila ditemukan kesalahan dan kekeliruan, baik teknis maupun substansi dalam buku ini. Semoga Allah S.w.t. meridai ikhtiar dan semangat kita semua. Amin. [] Daftar Isi

KATA PENGANTAR...... III DAFTAR ISI...... V PEMBERDAYAAN KELUARGA MENUJU BANTEN SEJAHTERA...... 1 OPTIMALISASI PERAN KELUARGA DALAM MENAHAN GEMPURAN PORNOGRAFI PADA ANAK...... 13 TANTANGAN DAN SOLUSI PEMBINAAN KELUARGA ZAMAN NOW (STUDI PENGUATAN KELUARGA UNTUK MENOPANG KETAHANAN NASIONAL)...... 23 ROLE MODEL ORANG TUA DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN NASIONAL KELUARGA...... 33 MENGGIATKAN PENDIDIKAN MASKULIN DAN FEMININ DALAM KELUARGA MENUJU PROVINSI BANTEN BEBAS LGBT...... 45 PERAN IBU TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER ANAK (TINJAUAN FUNGSI AFEKSI KELUARGA DALAM UPAYA MENOPANG KETAHANAN NASIONAL)...... 55 ISLAMIC PARENTING ALA NABI YA’QUB AS SEBAGAI STRATEGI DALAM MEMBENTUK GENERASI KUAT...... 69 PERAN PEREMPUAN SEBAGAI PONDASI UTAMA PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ALQURAN...... 83 QUR’ANIC PARENTING: SOLUSI TEPAT DALAM MENGIKIS KECANDUAN GAWAI...... 93 HUKUM KELUARGA DALAM PERSPEKTIF ALQURAN SEBAGAI BASIS UNTUK MENGOKOHKAN KETAHANAN NASIONAL...... 105 BAITI JANNATI SEBAGAI PENANGKAL RADIKALISME ANAK (UPAYA KELUARGA DALAM MENOPANG KETAHANAN NASIONAL)...... 115

v vi Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

KELUARGA ISLAMI SEBAGAI PILAR DALAM MEMBANGUN KETAHANAN NASIONAL...... 125 BINGKAI KELUARGA QUR’ANI DALAM UPAYA KETAHANAN NASIONAL...... 135 PENGUATAN KELUARGA BERBASIS PENDIDIKAN ISLAM: PILAR UTAMA DALAM MENOPANG KETAHANAN NASIONAL...... 143 PELANGI CINTA DI LANGIT LGBT (MENCEGAH LGBT MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER MORAL KELUARGA DI BANTEN)...... 155 REVOLUSI MENTAL SEBAGAI UPAYA UNTUK MENATA KEMBALI MORALITAS BANGSA...... 167 REVOLUSI MENTAL BERWAWASAN EKOLOGIS: UPAYA MENGATASI PERMASALAHAN LINGKUNGAN...... 177 MENJAGA LISAN: SEBUAH UPAYA MEMPERKUKUH REVOLUSI MENTAL DI ERA GLOBAL...... 189 MENJADIKAN ALQURAN SEBAGAI PILAR VISI MISI PROVINSI BANTEN MELALUI EDUKASI ISLAMI...... 199 REVOLUSI MENTAL MASYARAKAT BANTEN (TRANSFORMASI DARI MENTAL MUSTAHIQ MENJADI MENTAL MUZAKKI)...... 209 USTAD GAUL: REKONSTRUKSI REVOLUSI MENTAL DALAM MEMBENTUK GENERASI QUR’ANI...... 219 REAKTUALISASI UZLAH DALAM UPAYA MEWUJUDKAN REVOLUSI MENTAL KAUM BURUH PERKOTAAN DI BANTEN...... 231 REVOLUSI MENTAL BASE ON ISLAM RAMAH: UPAYA MENCIPTAKAN KEHIDUPAN BERBANGSA YANG DAMAI...... 245 BUDAYA NUSANTARA: IKHTIAR MEMBUMIKAN REVOLUSI MENTAL PERSPEKTIF ALQURAN...... 255 MASYARAKAT MADANI DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN SEBAGAI UPAYA MENCAPAI REVOLUSI MENTAL...... 267 SPIRIT EKOLOGI QUR’ANI (MEMATRI MENTAL EKOLOGI DI TENGAH GEMPURAN MODERNISASI)...... 279 KOMITMEN DAN INTEGRITAS SELURUH LAPISAN MASYARAKAT KOTA TANGERANG DALAM MEWUJUDKAN KOTA TANGERANG YANG BERSIH INDAH DAN AMAN (STUDI KASUS REVOLUSI MENTAL DI KOTA TANGERANG)...... 289 PENDIDIKAN TAKWA DI DALAM AL-QUR’AN...... 299 Pemberdayaan Keluarga Menuju Banten Sejahtera

Penulis: Ahmad Hamdani

Pendahuluan Kemiskinan menjadi atribut memilukan bagi negeri ini. Keberadaannya seolah meneguhkan ketidakmampuan mencapai sejahtera, sebuah cita-cita luhur yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan menurut Ishartono (2016: 162), kemiskinan membawa dampak pada pelbagai permasalahan, termasuk menggangu stabilitas ketahanan nasional. Oleh karena itu, setiap pemimpin di negeri ini selalu menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai program prioritas. Begitupun dengan Presiden Joko Widodo yang memasukkan pengentasan kemiskinan ke dalam salah satu Nawa Citanya. Preseden ini menghadirkan realita, bahwa pembangunan yang dilakukan selama ini belum mampu meredam peningkatan jumlah penduduk miskin. Kondisi tersebut juga terekam pada wajah Banten. Kemiskinan seolah menjadi masalah yang alot dan tidak ada ujungnya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten (2015: 3; 2016: 12; 2017: 3), angka kemiskinan di Banten masih cukup tinggi dan cenderung fluktuatif. Hal ini semakin dramatis karena pada tahun 2017, angka pengangguran di Banten mencapai 9,55%. Kantong-kantong kemiskinan tersebar di 130 desa/kelurahan dan sebanyak 27 desa berada dalam zona merah kemiskinan (www.finansial.

1 2 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran bisnis.com). Padahal, secara geografis Banten memilki peluang besar untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya. Pelbagai program pengentasan kemiskinan yang ada, hingga saat ini belum mampu memangkas kemiskinan di Banten. Selain itu, pengentasan kemiskinan yang bersifat parsial dan urban sentris, serta masih mengakarnya pemahaman kemiskinan berdasarkan realita ekonomi semakin memper­ buruk­ keadaan. Bukan saja melahirkan rancangan kebijakan yang lemah, salah sasaran, dan menciptakan benih-benih pragmentasi sosial, kondisi ini juga mengancam tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak dasar masyarakat miskin. Hal ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J tentang Hak Asasi Manusia (Tim Visi Yutistia, 2014: 12), dan berseberangan dengan konsep yang dibawa Alquran, seperti dalam Q.s. Ali Imran [3]: 104. Menurut Ratna, untuk mengentasakan kemiskinan, peningkatan kualitas manusia sebagai sumberdaya pembangunan diperlukan agar dapat memperbaiki derajat kesejahteraan. Sehingga perlu diikuti pemberdayaan keluarga yang dilaksanakan secar intensif (2013: 22). Hal ini juga senapas dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pemberdayaan yang Berkeadilan, dimana berisi program pembangunan yang pro rakyat dengan prioritas penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga (2010: 3). Pemberdayaan keluarga ini sangan penting, karena keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat. Ketika keluagra kuat maka ketahanan nasional juga akan menguat. Tulisan sederhana ini akan mencoba memberikan interpretasi dalam menjabarkan problematika ketahanan nasional, dengan mengajukan beberapa pertanyaan, yaitu: Bagaimanakah konsepsi ketahanan nasional dan realita kemiskinan di Banten? Bagaimanakah pandangan Alquran tentang pemberdayaan keluarga? Selanjutnya, bagaimanakah mewujudkan Banten sejahtera? Ketiga pertanyaan ini akan memberikan jawaban atas pelbagai permasalahan ketahanan nasional dan kesejahteraan di Banten, dengan harapan akan ada langkah konkret dalam pengentasan kemiskinan untuk menopang ketahanan nasional yang dilandaskan pada pemahaman Alquran. Semoga hadirnya tulisan ini bisa menjadi acuan para pemangku kebijakan untuk membangun Banten lebih sejahtera.

Konsepsi Ketahanan Nasional dan Realita Kemiskinan di Banten Ketahanan nasional merupakan suatu ajaran yang diharapkan dapat diyakini kebenarannya oleh seluruh bangsa . Selain itu, ketahanan nasional juga merupakan pedoman yang perlu diimplementasikan secara ber­kelanjutan dalam rangka membina kondisi kehidupan nasional yang ingin diwujudkan. Sehingga, ketahanan nasional mutlak dijaga dan ditumbuhkembangkan secara simultan Pemberdayaan Keluarga Menuju Banten Sejahtera 3 sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Menurut Prabowo: Ketahanan nasional adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi. Berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan (TAHG) dari dalam maupun luar (2009: 16-17). Oleh karena itu, keterlibatan setiap orang dalam upaya ketahanan nasional diperlukan. Sebab, ketahanan nasional adalah konsep bangsa yang harus dibangun oleh setiap orang. Sehingga, harus ada yang senantiasa mengajak dan menyerukan tentang ketahanan nasional sebagai suatu yang makruf. Mengenai hal ini, Alquran telah memberi pesan untuk senantiasa menyerukan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (Q.s. Ali Imran [3]: 104) (Mushaf Al-Bantani: 2014: 63). Makna ayat di atas dalam Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa hendak­ nya ada segolongan orang yang bertugas untuk mengemban urusan tersebut, sekalipun urusan tersebut memang diwajibkan pula atas setiap individu (Ibnu Katsir, 2010: 55-56). Secara eksplisit ayat di atas juga memberikan semangat agar ketahanan nasional dibangun melalui pasrtisipasi masyarakat. Membahas ketahanan nasional adalah tentang konsep bangsa. Sebagaimana Bambang (2006: 6) mendefinisikan, “konsepsi ketahanan nasional sebagai sarana untuk mewujudkan kemampuan dan kekuatan nasional guna menghadapi segala tantangan, untuk mecapai tujuan bersama sebagai bangsa dan negara”. Selain berfungsi sebagai landasan konsepsional strategis bangsa, yang didasari oleh Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional, konsepsi ketahanan nasional juga berfungsi sebagai pola dasar pembangunan nasional (Prabowo, 2009: 17). Namun sejak proklamasi pada 17 Agustus 1945, Indonesia tidak luput dari persoalan ketahanan nasional, terutama yang berhubungan dengan kesejahteraan. Padahal menurt Agung (2014: 22), kesejahteraan telah menjadi bagian penting dari sebuah negara. Bahkan, berdirinya Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteran masyarakatnya. Menurut Badawi, “kesejahteraan (welfare) adalah kondisi yang menghendaki terpenuhinya kebutuhan dasar bagi individu atau 4 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran kelompok baik berupa kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan” (1982: 445). Salah satu isu sentral ketika membahas kesejahteraan adalah tentang kemiskinan. Kemiskinan dianggap sebagai masalah penting yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan individu dan sosial, termasuk mengganggu stabilitas ketahanan nasional (Mahmud, 2013: 1). Banten memiliki jumlah penduduk sebanyak 12,2 juta orang dan menempati urutan kelima sebagai provinsi dengan populasi terbanyak di Indonesia (BPS, 2016: 4). Akan tetapi, diusianya yang sudah 17 tahun masih menyisakan kompleksitas permasalahan kemiskinan. Data BPS mengungkapkan, jumlah penduduk miskin di Banten mencapai 699,83 ribu juta jiwa atau 5,59% dari total penduduk (BPS, 2017: 3). Bahkan kantong-kantong kemiskinan tersebar di 130 desa/kelurahan dan sebanyak 28 desa berada dalam zona merah kemiskinan (www.finansial.bisnis.com). Labih jauh, konsistensi pengentasan kemiskinan di Banten juga masih perlu dipertanyakan. Sebagaimana data dari BPS (2016: 3; 2017: 12), bahwa angka penduduk miskin di Banten cenderung fluktuatif, yaitu 5,89% tahun 2013, 5,51% tahun 2014, 5,90% tahun 2015, 5,42% tahun 2016, dan 5,59% tahun 2017. Mencuatnya kasus kriminalitas biasanya dilakukan oleh orang yang terjebak dalam kemiskinan. Misalnya dalam kasus warga Lebak yang mencuri motor karena terlilit hutang (www.bantenraya.com). Persoalan penyalagunaan obat terlarang dan timbulnya ketegangan sosial dalam masyarakat juga sering bersumber dari kemiskinan. Hal ini ditengarai terjadi akibat disparitas pendapatan yang lebar antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Pada bidang kesehatan, masyarakat miskin adalah kelompok marjinal dengan produktivitas rendah dan memiliki kerentanan tinggi terhadap degradasi keshatan. Kasus gizi buruk yang tersebar dari Lebak sampai Tangerang Selatan (www.arrahmah.com), kelaparan dan malaria yang berujung pada kematian, adalah beberapa permasalahan yang menghiasi wajah Banten bersamaan dengan terjadinya kemiskinan. Bahkan Alquran mencatat sejarah mengerikan tentang pembunuhan anak karena takut miskin. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾﭿ Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin… (Q.s. Al-Isra [17]: 31) (Mushaf Al-Bantani, 2014: 285). Sebanarnya, banyak upaya yang dilakukan Pemerintah Banten untuk menekan angka kemiskinan sejak provinsi ini berdiri. Seperti, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS), Program Kesejahteraan Sosial KUBE (Prokesos KUBE), Bantuan Sosial Fakir Miskin (BSFK), Program Beras Miskin (Raskin), dan Kredit Usaha Tani (KUT). Bahakan kemiskinan termasuk Pemberdayaan Keluarga Menuju Banten Sejahtera 5 dalam program prioritas pembangunan di Banten. Akan tetapi, hingga hari ini tampaknya kemiskinan masih saja menjadi masalah serius bagi Banten. Salah satu preseden buruk mengenai gagalnya pemerintah dalam memenuhi hak mendasar masyarakatnya ialah banyaknya pekerja imigran di Banten, yakni Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Menurut Istiana (2015: 146), kondisi ini mengindikasikan bahwa secara umum program-program tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Peliknya masalah kemiskinann di Banten ini, menjadi penghalang dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga memberikan dampak pada ketahanan nasional. Menurut Dame (2010: 65), dewasa ini pemecahan masalah kemiskinan tidak lagi dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri melalui pelbagai kebijakan sektoral yang terpusat, seragam, dan berjanga pendek. Senada dengan ungkapan Ratna (2013: 22), bahwa dalam upaya pengentasan kemiskinan, diperlukan upaya peningkatan kualitas manusia sebagai sumberdaya pembangunan untuk memberbaiki derajat kesejahteraan. Agar upaya itu berhasil, perlu diikuti pengembangan gerakan pemberdayaan keluarga yang dilaksanakan secara intensif. Pemberdayaan keluarga juga senapas dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pemberdayaan yang Berkeadilan, dimana berisi program pembangunan yang pro rakyat dengan prioritas penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga (2010: 3). Pemberdayaan keluarga ini dilakukan mengingat keluarga merupakan lembaga kecil dalam lingkungan masyarakat dan keluarga bermutu serta kuat, akan menjadi wahana pembangunan bangsa yang sangat efektif (Ratna, 2012: 23). Sehingga pada akhirnya, setiap keluarga dapat memainkan perannya dalam mewujudkan kesejahteraan yang sejalan dengan tujuan ketahanan nasional.

Pemberdayaan Keluarga Perspektif Alquran Secara konseptual, pemberdayaan (empowerment), berasal dari kata power yang berarti kekuatan atau kekuasaan. Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan selalu bersentuhan dengan konsep kekuasaan. Menurut Sulistiyani (2004: 7), pemberdayaan dapat dimaknai sebagai proses untuk memperoleh atau memberi daya, kekuatan, dan kemampuan. Sejalan dengan ungkapan ini, Edi (2009: 59-60), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk kepada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan, dan kemampuan dalam memenuhi kebutuahan hidupnya. 6 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Namun, pola pemberdayaan yang selama ini dilakukan baik oleh pemerintah, swasta, ataupun pihak-pihak lainnya, lebih berfokus pada program charity (sumbangan, bantuan, dan amal) atau hanya how to give something. Seperti, Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan saran dan prasarana, serta bantuan lahan dan pemukiman. Dampaknya, pemberdyaan dengan semangat how to empowering jarang tersentuh bahkan dinomorduakan. Padahal, salah satu pola pemberdayaan keluarga miskin yang dinilai mampu memberikan kontribusi dalam jangka panjang, adalah dengan pemberdayaan keluarga. Melalui pemberdayaan keluarga ini, masyarakat bertindak sebagai pelaku utama dalam pemberdayaan. Menurut Ibrahim: Pentingnya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan­ di Indonesia menunjukan perubahan paradigma pem­bangunan dari pendekatan pertumbuhan (growth approach) kepada pendekatan kemandirian (self-reliance approach). Ada lima paradigma yang mendasari proses pelaksanaan pembangunan di suatu negara, yaitu pertumbuhan, welfare state, neo ekonomi, structuralize dan humanizing. Namun, kelima paradigm ini hanya bergerak pada tiga dimensi, yaitu: pertumbuhan, kesejahteraan, dan people centered. Salah satu paradigma pembangunan yang hingga saat ini masih popular sebagai acuan pembangunan di sebagian besar negara-negar berkembang, temasuk Indonesia adalah paradigma “people centered development”. (Ibrahim, 2014: 486). Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pemberdayaan keluarga menempatkan manusia sebagi subjek pembangunan yang menekankan pada pentingnya arti pemberdayaan itu sendiri. Allah S.w.t. telah memberikan isyarat akan hal ini, dimana ditegaskan bahwa setiap orang harus bahu-membahu dalam kebaikan, membagi rahmat-Nya dengan memberdayakan sesama. Perbedaan taraf hidup manusia adalah sebuah rahmat sekaligus pengingat bagi kelompok manusia yang lebih berdaya, untuk saling membantu dengan kelompok yang kurang mampu. Pemahaman seperti inilah yang harus ditanamkan, sehingga sikap simpati dan empati harus dipupuk sejak awal. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

ﯙ ﯚ ﯛ ﯜﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan ,ereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberap derajat, agar sebagian mereka dapat memanfataakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (Q.s. Az-Zukhruf [43]: 32) (Mushaf Al-Bantani, 2014: 491). Menurut Tafsir Al-Maraghi, ayat di atas menjelaskan bahwa dalam kehidupan dunia ini, Allah S.w.t. telah melebihkan sebagian hamba-hamba-Nya atas Pemberdayaan Keluarga Menuju Banten Sejahtera 7 sebagian lainnya dalam soal kekayaan dan kefakiran, kekuatan dan kelemahan, ilmu dan kebodohan, kemasyhuran dan tidaknya. Karena sekiranya Allah S.w.t. samakan mereka dalam hal-hal tersebut, niscaya sebagian mereka takkan dapat mempekerjakan sebagian lainnya (Al-Maraghi, 1993: 157). Penafisran ini secara eksplisit memberikan ruang untuk melakukan pemberdayaan terhadap kelompok yang dianggap perlu diberdayakan. Hal ini senada dengan Tafsir Al- Munir, bahwa adanya perbedaan ini adalah kehendak Allah S.w.t., apabila Allah S.w.t. menyamaratakan keadaan, maka akibatnya adalah terbengkalainya urusan dunia dan rusaknya alam (Nawawi, 2016: 563). Owin Jamsy (2004: 38), dalam bukunya Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan mengungkapkan, bahwa kerangka ber­fikir dalam pemberdayaan setidaknya mengandung tiga tujuan penting, yaitu: Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkin­kan potensi masyarakat berkembang. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat atau kelompok yang akan diberdayakan. Ketiga, berupaya mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, meciptakan keadilan dan kebersamaan antara yang sudah maju dan yang belum berkembang. Ketika pemberdayaan keluarga menekankan pada tiga hal tersebut, akan menjadi strategi unggulan yang berdampak positif terhadap penurunan angka kemiskinan. Akan tetapi diperlukan pengetahuan terlebih dahulu tentang potensi atau kekuatan yang dapat membantu proses perubahan, agar lebih cepat dan terarah. Sebab, tanpa adanya potensi dan kekuatan yang berasal dari masyarakat itu sendiri, maka seseorang, organisasi, atau masyarakat, akan sulit bergerak melakukan perubahan. Kekuatan pen­dorong ini harus ada dalam keluarga dan masyarakat, atau bahkan diciptakan lebih dahulu pada awal proses perubahan tersebut. Alquran sesungguhnya telah memberikan pesan, bahwa manusia harus mampu menggali potensi yang dimiliki untuk mencapai kesejahteraan. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang yang beriman. (Q.s. Ali Imran [3]: 139) (Mushaf Al-Bantani, 2014: 67). Ayat di atas menunjukan bahwa Allah S.w.t. telah menciptakan manusia dengan potensi besar yang bisa dioptimalkan untuk mencapai kesejahteraan. Akan tetapi, adanya potensi atau kekuatan tersebut harus didukung dengan usaha nyata; tidak bersikap lemah dan sedih hati. Disinilah urgensi bekerja dan mengusahakan yang terbaik menemukan tempatnya. Semangat bekerja untuk mencapai arti sejahtera ini harus tetap dijaga, agar konsep pemberdayaan 8 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran keluarga bisa berjalan dengan optimal. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembali­kan kepada (Allah) Yang Mengehathui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.s. At-Taubah [9]: 105). (Mushaf AL-Bantani, 2014: 203). Menurut M. Quraish Shihab (2012: 237), ayat di atas memberikan pesan bahwa manusia harus bekerja. “Bekerjalah kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat, yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu, dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat dan menialinya juga”. Senada dengan ungkapan Al-Maraghi (2006: 165), ayat di atas memberi pesan bahwa manusia dipetintahkan untuk bekerja, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat umum. Provinsi Banten dengan luas daratan 8.800,83 km2 menyimpan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam yang luar biasa. Selain itu, Banten juga memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak, sekitar 12.203.148 jiwa penduduk dengan laju pertumbuhan 1,88% (DLHK, 2017: 16). Namun, besarnya sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di Banten belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Akhirnya, sampai saat ini Banten masih terjebak pada kompeksitas masalah kemiskinan yang kemudian bermuara pada citra negatif, seperti provinsi kumuh dan tertinggal. Kiranya, Banten harus mulai mencontoh perkembangan beberapa daerah di Indonesia yang berhasil memberdayakan keluarga. Sebut saja Kota , dengan semangat pemberdayaan keluarganya, kini banyak Desa Wisata yang tumbuh dan turut menekan angka kemiskinan di sana. Ada juga Kampung Batik dan Kampung Pelangi di Semarang, Desa Sigentung Gunungkidul Yogyakarta, Desa Ponggok Klaten, dan Desa Ubud Bali. Daerah-daerah tersebut berhasil mengolah potensi menjadi lebih bernilai dengan pemberdayaan. Tidak ada kata terlambat. Demikian kalimat motivasi yang terus menggema hingga saat ini. Bagi Banten, sebuah provinsi yang memiliki semangat untuk terus meningkatkan kesejateraan, kalimat motivasi ini harus menjadi pijakan. Banten memiliki banyak daerah potensial untuk dikembangkan. Kebudayaan, potensi alam, dan makanan khas Banten juga harus terus dipromosikan dengan sentuhan kekinian, yang tetap melibatkan masyarakat setempat. Banten memiliki Desa Cikolelet Kabupaten Serang yang potensinya bisa menyami Desa Pemberdayaan Keluarga Menuju Banten Sejahtera 9

Wisata di Kota Malang. Ada Pantai Tanjung Lesung, Sawarna, dan Carita yang tidak kalah eksotik dari Bali. Juga ada makanan khas Banten, seperti Jojorong, Emping Melinjo, Balok Menes, Rengginang, Sate Bandeng, Rabeg, Opak, dan Kaceprek yang bersumber dari kearifan lokal dengan bahan dasar stempat. Sehingga bukan tidak mungkin, ketika keluarga mampu diberdayakan untuk mengoptimalkan potensi yang ada, Banten bisa sama dengan daerah-daerah tersebut di asat yang berhasil mengolah potensi menjadi prestasi. Pemberdayaan keluarga di Banten harus memberikan dampak yang positif bagi keluarga yang diberdayakan. Menurut Suharto (2010: 58), pemberdayaan menunjukan pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, sehingga mereka memiliki kemampuan dalam pelbagai hal. Seperti: 1) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom) dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan juga bebas dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan; 2) me­manjangkan sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang serta jasa yang mereka perlukan; dan 3) berpartisipasi dalam proses pembangunan dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang tepat untuk mengoptimalkan pemberdayaan keluarga di Banten, agar kata sejahtera tidak sekadar selogan tapi bisa menjadi sebuah kenyataan.

Menggagas Solusi Menuju Banten Sejahtera Kesejahteraan adalah simbol kekuatan. Bagaimanapun kesejahteraan ini harus terus diusahakan demi mewujudkan amanah konstitusi negara. Pemberdayaan keluarga sebagai proses penggerak kesejahteraan memiliki posisi strategis dalam mewujudkan ketahanan nasional. Oleh karena itu, dalam mengoptimalkan pemberdayaan keluarga, setidaknya ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar kesejahteraan di Banten bisa tercipta. Pertama, melalui person blame approach dan system balme approach. Untuk person blame approach, setiap orang harus memiliki kesadaran untuk mengusahakan yang terbaik dalam hidupnya. Disinilah setiap orang dituntut untuk mengaplikasikan semangat yang telah di bawa Alquran, seperti untuk keja keras dalam Q.s. Alam Nasrah [94]: 7-8. Selanjutnya untuk system balme approach, harus mampu meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas. Langkah yang bisa dilakukan adalah dengan perbaikan layanan kesehatan dan pendidikan, peningkatan keterampilan usaha, teknologi, perluasan teknologi (networking) dan informasi pasar. Kedua, Banten harus berani mengekspos potensi yang dimiliki. Seperti dengan menginisasi Pengembangan Usaha/Kerja Keluarga (PUKK) yang berbasis kearifan 10 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran lokal dan potensi daerah. Program ini bisa diwujudkan dengan cara mendorong pembentukan Desa Wisata dan ekonomi kerakyatan di Banten. Ketiga, melakukan pelatihan dan pendampingan untuk program-program pemberdayaan keluarga, sebelum bantuan atau modal pem­berdayaan diberikan. Sehingga tidak terjadi lagi penyalahgunaan modal oleh kelompok yang telah terbentuk. Keempat, digitalisasi promosi dan informasi usaha untuk nmendorong percepatan perkembangan usaha. Era digital saat ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mengambil peluang dan menciptakan kesejahteraan. Misalnya dengan membuat akun-akun media sosial dan website untuk media promosi usaha. Kelima, memperkuat program yang ada, menggagas program terintegrasi dan lintas sektor. Selain memperkuat program pengentasan kemiskinan nyang sudah ada, Pemerintah Banten juga harus menggagas program terintegrasi dan lintas sektor. Seperti tercermin di Provinsi Riau dengan program SAMISAKE. Program ini adalah program lintas sekor sebagai bentuk komitmen perwujudan pembangunan kesejahteraan yang beroreintasi pada pro-poor, pro-job, pro-growth, dan pro-enviromnent. Ketika lima cara ini bisa direalisasikan dengan baik, tidak saja masalah kesejahteraan yang di Banten yang bisa dientaskan, tetapi ke depannya akan tercipta sebuah sistem kehidupan yang berkualitas.

Penutup Konsepsi ketahanan nasional adalah sarana untuk mewujdukan kemampuan­ dan kekuatan guna menghadapi dan mengatasi segala tantangan, untuk mencapai tujuan bersama sebagai bangsa dan negara. Akan tetapi hingga saat ini, kemiskinan masih menjadi momok dalam mewujudkan kesejahteraan. Bagi Banten, realita ini menjadi paradoks yang memilukan. Sebab, sebagai provinsi dengan jumlah penduduk yang banyak dan sumberdaya alam yang berlimpah, Banten belum mampu membebaskan masyarakatnya dari pelbagai masalah kemiskinan. Berdasarkan data BPS Provinsi Banten, saat ini Banten memiliki 699,83 ribu jiwa penduduk miskin (BPS, 2017: 3). Bahkan, kantong-kantong kemiskinan tersebar di 130 desa/kelurahan dan sebanyak 27 desa berada dalam zona merah kemiskinan. Benten akan sejahtera jika keluarga mampu diberdayakan. Pemberdayaan keluarga di sini menempatkan manusia sebagai subjek pembangunan. Alquran telah menjelaskan hal ini, dimana ditegaskan bahwa setiap orang harus senantiasa menyerukan yang makruf, membagi rahmat-Nya dengan memberdayakan sesama. Perbedaan taraf hidup manusia merupakan sebuah rahmat sekaligus pengingat bagi kelompok manusia yang lebih berdaya, untuk membantu kelompok manusia yang belum mampu. Pemberdayaan Keluarga Menuju Banten Sejahtera 11

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam pemberdayaan keluarga di Banten. Pertama, melalui person blame approach dan system balme approach. Kedua, menginisasi Pengembangan Usaha/Kerja Keluarga (PUKK) yang berbasis kearifan lokal dan potensi daerah. Ketiga, melakukan pelatihan dan pendampingan untuk program-program pemberdayaan keluarga. Keempat, digitalisasi promosi dan informasi usaha untuk mendorong percepatan per­ kembangan usaha. Kelima, memperkuat program yang ada, menggagas program terintegrasi, dan lintas sektor. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih bijak menyikapi masalah kemiskinan di Banten. Sebagai provinsi yang dianugrahi potensi luar biasa, Banten harus segera berbenah agar potensi yang ada bisa lebih bermakna. Selain itu, masayarakat juga harus terlibat aktif dalam me­lakukan pember­dayaan keluarga. Memaksimalkan media internet untuk melipatgandakan kesejahteraan. Disinilah semua pihak yang telibat harus bersama menuju satu cita-cita, yaitu kesejahteraan. Semoga dengan meng­kaji pemberdayaan keluarga ini, akan hadir pemahaman terhadap permasalahn kesejahteraan yang lebih baik. Sehingga pada akhirnya, Banten sejahtara dapat terwujud.

Pustaka Acuan: Abu bakar, Bahrun (Penterjemah). Tafsir Al-Munir. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2016. Mushaf Al-Bantani dan Terjemahnya. : Lembaga Percetakan Alquran, 2014. Agung Eko Purwana. “Kesejahteraan dalam Perspektif Ekonomi Islam”. Publikai Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIn Ponorogo, 2014. Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi Jilid 3. Edisi II. Lebanon: Dar Al-Kutub Ak-Ilmiyah, 2006. Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi Juz XXV. Semarang: Karya Toha Putra Semarang,1993. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Statistik Daerah Provinsi Banten 2015. Serang: BPS, 2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Statistik Daerah Provinsi Banten 2016. Serang: BPS, 2016. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Statistik Daerah Provinsi Banten 2017. Serang: BPS, 2017. Badawi, Ahmad Zaki. Mu’jam Mushtalahatu al-Ulum al-Ijtima’iyyah. Beirut, Maktabah Lubnan: New Impresson, 1982. Dame Esther M. Hutabarata. “Kemiskinan Sebuah Kajian Multidimensi”. Jurnal Darma Agung. Volume XVI. No. I. Juni, 2010. 12 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Laporan Akhir Penyusunan Neraca Sumber Daya Alam Provinsi Banten 2017, 2017. Ibnu Katsir Ad-DImasqy, Al-Imam Abul Fisa Ismail. Tafsir Ibnu Katsir Juz 4. Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 2010. Ibrahim Imron., et. al. “Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Kelompok Usaha Bersama”. Jurnal Administrasi Publik (JAP), Volume 2 Nomor 3, 2014. Ishartono dan Susanto Tri Raharjo. “Sustainable Development Goals (SDGS) dan Pengentasan Kemiskinan”. Jurnal Share: Social Network Jurnal, Volume 6, Nomor 2, 2016. Istiana Hermawati. “Dampak Program Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Jayapura”. Jurnal Penelitian ndan Evaluasi Pendidikan, 2015. Jamsy, Owin. Keadailan, Pemebrdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Mizan Pustaka, 2004. L.V. Ratna Dewi S. “Upaya Program Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) dalam Pengentasan Kemiskinan.” Jurnal JKMP, Volume 1, Nomor 1, Maret, 2013. Paranowo, Bambang. Multidimensi Ketahanan Nasional. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010. Sa’id Al-Athrasy, Mahmud Ahmad. Hikmah di Balik Kemiskinan. Jakarta: Qisthi Press, 2013. Shihab M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran. Volume 5 Cet. V. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Subianto, Prabowo., et. al. Membangun Kembali Indonesia Raya: Haluan Baru Menuju Kemakmuran. Jakarta: Institut Garuda Indonesia, 2009. Suharto, Edi. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Reflika Aditama, 2009. Suharto, Edi. Kemiskinan dan Keberfungsaian Sosial. Bandung: STKS Press, 2010. Susilo Bambang Yudhoyono. “Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pemberdayaan yang Berkeadilan”. Bali: Deputi Sekretaris Bidang Hukum, 2010. Tim Visi Yutistia. Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Visimedia, 2014. Optimalisasi Peran Keluarga dalam Menahan Gempuran Pornografi Pada Anak

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.11

Pendahuluan Era global menyuguhkan tantangan sekaligus peluang dalam pola pengasuhan­ pada anak. Kehadiran media memberikan peluang bagi hadirnya konten negatif yang ditampilkan, salah satunya terkait pornografi. Hal ini tentu menjadi tatangan besar dalam upaya menjaga ketahanan nasional karena generasi mendatang ditentukan oleh pola pengasuhan dari keluarga. Menurut Komisioner Bidang Ponografi dan Cybercrime, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah menghimbau masyarakat untuk memperhatikan pemanfaatan media sosial di tanah air. Pasalnya, kasus-kasus pornografi dan kekerasan sosial pada anak di dunia maya menjadi masalah utama di era digital (www.kpai.go.id). Anak merupakan gatra dari pertumbuhan demografi yang akan mendukung terciptanya ketahanan nasional. Menurut data yang dihimpun dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) me­nyatakan bahwa pada tahun 2015 jumlah remaja yang berusia 16-20 tahun sebanyak 66 juta orang atau sekitar 25% dari jumlah penduduk Indonesia (BKKBN, 2015: 35). Tentu hal ini menjadi modal dalam membangun Indonesia dalam beberapa tahun kedepan. Apalagi Indonesia akan meraih bonus demografi pada

13 14 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran tahun 2020-2030 dan menuju Indonesia emas pada tahun 2045. Kesempatan mengembangkan sumberdaya manusia akan menjadi sia-sia apabila anak dan remaja yang dimiliki saat ini terjebak oleh candu konten pornografi yang merusak moral. Menurut Hartayatmoko pornografi akan menggangu anak–anak dan remaja sehingga mengalami gangguan psikis dan kekacauan dalam perilaku. Pornografi akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri (2007: 94-95). Hal ini menyebabkan peran keluarga sebagai garda terdepan dalam menjaga anak dari gempuran pornografi menjadi penting. Pada dasarnya, status sosial keluarga tidak berpengaruh terhadap sikap anak. Wajar jika saat ini kita menemukan berita jika ada anak pejabat terjerat kasus kriminal, anak orang terpandang terjerat kasus narkoba dan berita lain yang membuat kita berkata “kok bisa?”. Hal ini dikarenakan pola asuh dan komunikasi terhadap anaklah yang memiliki pengaruh dalam perkembangan anak. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh mengenai peran keluarga dalam menghadang gempuran pornografi dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Bagaimana problematika keluarga di era global? Bagaimana urgensi keluarga dalam menjaga ketahanan nasional? Bagaimana solusi dalam menjaga anak dari pengaruh pornografi menuju Indonesia kuat? Dengan menjawab ketiga pertanyaan tersebut diharapkan­ akan tercipta sebuah pemahaman dan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada puncaknya semoga mendapatan keberkahan dalam naungan ridha Allah S.w.t.

Problematika Keluarga di Era Global Keluarga adalah kelompok yang memiliki hubungan darah atau perkawinan. Peran keluarga sangatlah penting mengingat beberapa hal. Pertama, keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak sehingga keluarga akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak di kemudian hari. Kedua, pada zaman yang ditandai oleh perubahan sosial yang cepat dan kemajuan teknologi yang sangat pesat, individu membutuhkan tempat berpijak untuk memberikan rasa aman (Setino, 2011: 25). Oleh karena itu penting bagi keluarga untuk menjaga anak-anaknya dari bahaya pornografi. Membincang kasus pornografi dalam upaya menjaga ketahan nasional menjadi hal yang penting. Ketahanan nasional adalah kondisi dinamika sosial yang meliputi seganap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi dalam menjaga ketahan nasional dari segala ancaman menuju perwujudan cita-cita bersama Optimalisasi Peran Keluarga dalam Menahan Gempuran Pornografi Pada Anak 15

(Pranowo, 2016: 65). Ancaman pornografi melalui berbagai jenis media menjadi pengingat bagi keluarga untuk senantiasa memberikan pengawasan kepada anak. Hal ini disebabkan karena sosok yang paling rentan terkena bahaya pornografi adalah anak dan remaja. Padahal baik dan buruknya kondisi mereka akan mempengaruhi wajah bangsa di masa yang akan datang. (Soebagijo, 2008: 137). Penulis menghimpun beberapa berita tentang dampak kasus pornografi yang terjadi di Indonesia, diantaranya: a. Kasus pornografi anak secara online mencapai 21%, objek CD porno sebanyak 15% dan korban kekerasan seksual online sebesar 11%. Sementara itu sebanyak 24% anak memiliki materi pornografi www.cnnindonesia.( com) b. Polisi menyebut ratusan anak dapat menjadi korban kasus pornografi anak lewat online. Polda metro jaya baru saja mengungkap dalam sebuah grup Facebook bernama Official Candy’s Grup terdapat sekitar 500 video dan 100 foto yang menyasar banyak korban. (www.republika.co.id) Kenyataan tersebut hendaknya menjadi alarm bagi pemerintah dan keluarga jika saat ini Indonesia sedang mengalami darurat ancaman pornografi. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin telah memberikan pedoman dalam Alquran tentang pentingnya menjaga pandangan dalam upaya menjauhkan diri dari bahaya pornografi. Sebagaimana Allah S.w.t berfirman:

ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄﮅ ﮆ ﮇ ﮈﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ء Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya­ dan memelihara kemaluannya yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya… (Q.s. Al-Nur [24]: 30-31) (Kementrian Agama RI, 2004: 493). Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, kata yaghudhdhu terambil dari kata ghadhadha yang berarti menundukan atau mengurangi. Yang dimaksud disini adalah mengalihkan arah pandangan serta tidak menetapkan dalam waktu yang lama kepada sesuatu yang terlarang atau kurang baik (2002: 524). Sedangan menurt Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi penglihatan adalah pintu terbesar menuju hati dan indera tercepat untuk sampai kesana. Oleh karena itu banyak kesalahan terjadi akibat penglihatan. Selain itu penglihatan harus diwaspadai dan menahannya dari hal-hal yang diharamkan (2009: 563). Dari kedua tafsiran tersebut dapat diambil pelajaran bahwa Islam telah me­ ngajarkan untuk menjaga pandangan. Jika dikaitkan dalam konteks pornografi 16 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran pada anak dalam tafsiran di atas diketahui jika memandang sesuatu yang tidak baik dilakukan secara berulang akan memberikan dampak negatif. Disinilah keluarga memainkan perannya untuk memberikan pengawasan pada anak. Betapa hebatnya program pemerintah, sekolah, maupun agen masyarakat tidak akan berpengaruh jika orang tua tidak ikut serta. Sebagaimana pendapat Cope (2007:48) orang tua adalah agen terpenting dari berbagai program pencegahan. Menelisik problematika keluaraga di era global dalam upaya menjaga ketahanan nasional setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi akar penyebab problematika keluarga, yaitu: psikologis, ekonomi dan pendidikan. Pertama, dari sisi psikologis. Di era global seperti saat ini manusia menjelma menjadi generasi dekat dengan teknologi dan menikmati banyak hal dengan instan menuju insan kekinian. Modernitas menjadi hal yang diagungkan. Kebutuhan terhadap gawai menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Saat ini orang tua menganggap gawai adalah solusi dalam mendidik anak. Padahal penggunaan gawai tanpa pengawasan akan memberikan ruang bagi masuknya konten pornografi yang membahayakan. Kedua, dari sisi ekonomi. Kebutuhan ekonomi menuntut sebagian besar orang tua bekerja. Artinya, ayah dan ibu lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah. Hal ini memberikan konsekuensi logis terhadap kurangnya komunikasi terhadap anak. Ketiga, dari sisi pendidikan. Kurang­nya pengetahuan orang tua terhadap literasi media dan pentingnya edukasi dini terhadap masalah seksual membuat anak mencari tahu sendiri informasi dari sumber lain. Hal ini tentu berbahaya karena jika tanpa pengawasan maka anak akan menafsirkan sendiri informasi yang diperolehnya tanpa diketahui kebenarannya.

Urgensi Keluarga dalam Ketahanan Nasional Berangkat dari berbagai carut marutnya problematika yang ada, keluarga memiliki urgensi dalam melindungi anaknya sehingga menjadi generasi cerdas wujudkan ketahanan nasional. Pada dasarnya, orang tua memiliki tanggung jawab dalam mendidik dan memberikan pengetahuan kepada anak karena manunia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman: ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu mu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi mu pendengaran, penglihatan dan hati nurani agar kamu bersyukur. (Q.s. Al-Nahl [16]: 78) (Kementian Agama RI, 2004: 375). Optimalisasi Peran Keluarga dalam Menahan Gempuran Pornografi Pada Anak 17

Menurut Al-Maraghi, Allah menjadikan kalian mengetahui apa yang tidak kalian ketahui, setelah Dia mengeluarkan kalian dalam perut ibu. Kemudian memberi kalian akal yang dengan itu kalian dapat memahami dan membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara petunjuk dengan kesesatan dan antara yang salah dengan yang benar (1992:211). Artinya, seseorang terlahir dalam keadaan tidak mengetahui apaun, dalam konteks anak maka orang tua memiliki tanggung jawab untuk memberikan pemahaman yang benar. Sebagaimana dalam suatu hadis riwayat Bukhari dikatakan: Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,’Tidak ada seorang anak pun kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua ibu-bapaknya yang menjadikannya Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana halnya biantang melahirkan (dalam keadaan sempurna) adakah kalian menemukannya dalam keadaan terpotong (hidung, telinga atau lainnya)? Sampai kalian sendiri yang memotongnya’ (Al-Asqalani, 2008: 58) (H.R. Bukhari No. 6599). Hadis tersebut memberikan gambaran bahwa manusia terlahir dalam keadaan fitrah dan kedua orang tuanyalah yang akan mengarahan anak menuju jalan yang benar atau salah. Peran orang tua menjadi penting dalam upaya mewujudkan ketahan nasional karena tiga hal utama yaitu bonus demografi, paradoks globalisasi dan erosi pemahaman agama. Pertama, bonus demografi. Pada tahun 2020-2030 Indonesia akan mengalami bonus demografi. Pada masa itu jumlah pekerja usia produktif mencapai­ 70% sehingga negara ini membutuhkan generasi cerdas dan mampu menahan pengaruh negatif dari luar demi menjaga ketahanan nasional. Sebuah penelitian menunjukan pada usia 8 tahun potensi kecerdasan seseorang mencapai 80%. Oleh karena itu, diperlukan peran ibu sebagai sekolah pertama yang memberikan pengetahuan kepada anak. Sebagaimana pendapat Hartati, hendaknya seorang ibu berhati-hati bertindak di hadapan anak dan dalam memperlakukannya. Terutama ketika anak dalam usia balita. Pada usia tersebut, kemampuan anak baru sebatas menangkap dan menirukan apa yang diindera dari sekelilingnya (2006:35). Hal tersebut menyebabkan anak akan dengan mudah menirukan apa yang dilihat dan didengar tanpa mengerti arti dan maksud sebenarnya. Selain itu, selama ini muncul anggapan jika tugas mendidik anak merupakan tugas ibu, padahal ayah memiliki peran penting dalam tumbuh kembang pengetahuan dan emosi anak. Menurut penelitian dari Robert I Waston dan Henry Clay terhadap perkembangan anak diketahui jika anak yang tidak mendapat asuhan dan perhatian ayahnya akan mengalami perkembangan yang pincang. Kelompok anak yang kurang mendapat perhatian ayahnya cenderung memiliki kemampuan akademis menurun, aktivitas sosial terhambat dan interaksi sosial terbatas (Dagun, 2013: 13). Oleh karena itu, diperlukan sinergi 18 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran antara peran ayah dan ibu dalam keluarga untuk mempersiapkan anaknya menjadi generasi cerdas. Komunikasi antara ayah dan ibu juga diperlukan dalam memberikan arahan terkait masalah pornografi. Jika remaja tidak mengetahui bahwa pornografi dapat merangsang keinginannya untuk melakukan hubungan seksual, maka perilaku mereka akan cenderung semakin tergantung pada pornografi. Namun jika mereka mengetahui tentang hal tersebut, maka mereka akan menghindari paparan pornogrfi (Rinta, 2015: 170). Kedua, paradoks globalisasi. Globalisasi telah membawa pengaruh terutama dalam hal pergesaran nilai-nilai kehidupan. Kemudahan akses informasi, hiburan yang menyenangkan hingga keterhubungan tanpa batas dengan teman di seluruh dunia akhirnya menjadi daya tarik dan candu untuk anak senantiasa dekat dengan media. Hal tersebut juga dimanfaatkan oleh pengusaha media untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Menurut Haryatmoko (2007:96), kecenderungan media untuk menampilkan yang sensasional atau spektakuler akan mempengaruhi insan media sehingga mudah mempresentasikan pornografi karena paling mudah memancing kebohongan. Ketiga, degaradasi nilai agama. Saat ini muncul pemahaman untuk mensub­ kontrakan pendidikan agama ke sekolah atau lembaga keagamaan. Padahal orang tua memiliki tanggung jawab untuk memberikan pemahaman agama kepada anak. Faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan batasan pornografi dan pornoaksi adalah faktor agama. Hal tersebut disebabkan karena faktor agama memiliki ajaran dan ketentuan yang dapat memberikan batasan yang tegas terhadap pengertian pornografi dan pornoakasi (Djubaedah, 2003: 143). Selama ini terdapat beberapa kegiatan dalam upaya menanamkan nilai keagamaan di keluarga. Sebut saja gerakan maghrib mengaji yang telah dilakukan di banyak kota termasuk di Banten. Gerakan ini secara massif memberikan dampak positif namun dalam pelaksanaannya belum maksimal karena walaupun sebuah program telah dibuat namun semua kembali kepada aplikasi nyata di keluarga.

Perwujudan Gagasan Keluarga yang kuat menunjukan penghargaan dan kasih sayang, komitmen, komunikasi yang positif, kebersamaan yang menyenangkan, pemahaman spiritual dan kemampuan menangani stress serta krisis secara efektif. Dalam era globalisasi seperti saat ini peran keluarga seakan tergerus dengan berbagai problematika yang telah dibahas sebelumnya. Dalam beberapa buku dan jurnal telah mengungkapan beberapa gagasan terkait solusi pola asuh maupun cara dalam mendidkan anak. Namun belum Optimalisasi Peran Keluarga dalam Menahan Gempuran Pornografi Pada Anak 19 banyak yang menyinggung tentang pola komunikasi berkualitas sebagai salah satu elemen penting dalam membangun kesepemahaman makna antara anak dan orang tua dalam rangka melahikan genarasi terbaik di era penuh tantangan dan godaan. Penulis menggagas solusi berupa pola komunikasi efektif. Efektivitas pendidikan dalam keluarga sangat ditentukan oleh pelaksanaan komunikasinya. Dalam konteks komunikasi ini, hal esensial yang seyogianya ditekankan oleh orang tua adalah pembinaan nilai-nilai agama. Pembinaan nilai-nilai agama merupakan pendidikan dalam kerangka untuk pembentukan pribadi secara menyeluruh (Naim, 2011: 206). Pola komunikasi tersebut terbagi menjadi tiga tahapan komunikasi. Solusi ini terinspirasi dari kisah para nabi dalam berkomunikasi dengan anaknya, yaitu komunikasi berupa arahan, tindakan dan ajakan. Pola komunikasi yang pertama yaitu komunikasi berupa arahan. Dalam konteks pemahaman pornografi selama ini orang tua cenderung tidak mau terbuka atau berterus terang kepada anak-anaknya mengenai topik seksualitas. Padahal menurut Sarwono dalam Silalahi (2010: 201) semakin rendah kualitas komunikasi antara orang tua dan anak maka semakin besar kemungkinan remaja melakukan tindakan-tindakan seksual. Jika kondisi ini terjadi maka akan mengancam moral generasi penerus bangsa. Dalam membangun komunikasi berupa arahan dapat diambil pelajaran dari kisah nabi Ibrahim dengan nabi Ismail sebagaimana diabadikan Alquran dalam Surat As-Saffaat ayat 102:

ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒ ﰓ ﰔ ﰕ Maka ketika anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelih mu. Maka pikirkan bagaimana pendapat mu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayah ku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepada mu; insyaAllah engkau akan mendapati ku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.s. As-Safaat [37]: 102) (Kementrian Agama RI: 641). Dalam ayat tersebut dapat diambil tiga pelajaran terkait cara ber­komuniaksi antara orang tua dan anak yaitu cara memanggil, cara mem­berikan informasi, dan cara membuat keputusan. Pertama, cara nabi Ibrahim memanggil nabi Ismail dengan kata yaa bunayya yang artinya wahai anak-ku. Di era global seperti saat ini sudah jarang sekali ditemukan orang tua memanggil anaknya dengan panggilan sayang. Panggilan sayang lebih sering terdengar dalam panggilan keseharian antara teman atau orang lain yang tidak memiliki hubungan darah atau bahkan tidak memiliki hubungan perkawinan. Kedua, cara nabi Ibrahim memberikan informasi kepada Ismail. Walaupun informasi yang disampaikan adalah informasi yang berat atau bahkan menyedihkan, 20 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran namun nabi Ibrahim menyampaikannya dengan memberikan alasan. Jika kita lihat pada konteks kekinian, tidak sedikit orang tua yang memberikan informasi termasuk terkait larangan tanpa menginformasikan dampaknya bagi anak. Hal ini membuat anak menjadi lebih ingin tahu. Padahal apabila anak tidak dibekali pengetahuan reproduksi oleh orang tuanya sendiri, maka ia akan mencari informasi di internet yang lebih berbahaya isinya tanpa pengawasan orang tua. (Indriaty, 2014: 52). Ketiga, cara nabi Ibrahim membuat keputusan. Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa nabi Ibrahim meminta pendapat nabi Ismail terkait perintah yang turun untuk menyembelih dirinya. Jika kita lihat fenomena yang terjadi saat ini umumnya tidak melibatkan anak dalam membuat keputusan. Misalnya, dalam kasus penggunaan gawai untuk memainkan game online. Orang tua memberikan batasan atau bahkan larangan tanpa meminta pandangan dalam membuat keputusan bersama dengan anak. Dampaknya, anak akan membangkang atau bahkan mencari cara lain untuk tetap dapat bermain gawai. Demikian pola komunikasi arahan yang di­contohkan oleh nabi Ibrahim. Selanjutnya, pola komunikasi yang kedua yaitu komunikasi berupa tindakan. Komunikasi ini dilakukan dengan cara memberikan contoh kepada anak. Untuk mencegah bahaya pornografi, orang tua dapat mengajarkan anak untuk melakukan tindakan asertif, yaitu tindakan pencegahan apabila terdapat ancaman dari orang asing yang berkaitan dengan masalah seksual. Hal ini teramasuk jarang dilakukan pada anak karena masalah pornografi terlihat tabu dan malu untuk diperbincangkan. Pola komunikasi berikutnya adalah berupa ajakan. Konsep ajakan yang penulis gagas dalam makalah ini adalah ajakan hingga tahap kritis. Penulis terinspirasi dari kisah nabi Nuh dan anaknya yang bernama Kan’an sebagaimana diabadikan dalam Alquran Surat Hud ayat 40-42. Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa nabi Nuh terus mengajak Kan’an bahkan sampai tahap kritis saat ia akan tenggelam. Walau sering kali diajak dan terus menolak namun nabi Nuh terus mengajaknya bahkan hingga kematian yang memisahkan. Jika dikaitkan pada kenyataan pada umumnya, orang tua biasanya berhenti pada tahap arahan dalam upaya memberikan infomasi. Namun jika anak menolak untuk melakukan maka orang tua berhenti atau dalam tahap paling kritis, orang tua lebih memilih untuk membentak. Hal ini tentu menjadi ironi tersendiri. Jika diambil contoh saat orang tua melarang anaknya berhenti bermain game online namun sang anak menolak maka orang tua mengalah dengan alasan sayang. Padahal ungkapan kasih sayang hendanya diarahan menuju tindakan preventif melindungi anak dari pengaruh negatif di segala sisi. Oleh karena itu, melalui tiga tahapan komuniasi yang penulis rumuskan pada makalah ini semoga dapat menjadi solusi dalam Optimalisasi Peran Keluarga dalam Menahan Gempuran Pornografi Pada Anak 21 menjawab promblematika yang ada demi menjaga ketahanan nasional Indonesia dari berbagai pengaruh yang dapat mengancam keutuhan Negara.

Penutup Anak dan remaja menjadi amunisi Indonesia beberapa tahun mendatang dalam menyambut bonus demografi yang ada. Sumberdaya manusia yang unggul tentu dibutuhkan. Keluarga sebagai satuan terkecil dalam sebuah Negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengetahuan dan menanamkan nilai akhlak dan moral. Tantangan zaman menghadirkan media massa dan media sosial menjadi sebuah paradoks tersendiri dengan berbagai kemudahan yang disuguhkan maupun bahaya negatif yang di­timbulkan. Pornografi menjadi ancaman serius yang dapat merusak moral bangsa sehingga dibutuhkan sinergi antara peran orang tua dan pemerintah dalam upaya melindungi moral anak bangsa. Berbagai problematika keluarga di era global seperti saat ini diantaranya­ dari sisi priskologi, ekonomi dan pendidikan. Sehingga problematika tersebut hendaknya diluruskan mengingat keluarga memiliki urgensi dalam mewujudkan ketahananan nasional. Hal tersebut dikarenakan Indonesia akan meraih bonus demografi pada tahun 2020-2030, menjawab tantangan globalisasi serta ancaman adanya degradasi nilai agama. Oleh karena itu penulis menggagas adanya tiga tahapan komunikasi sebagai sebuah solusi aplikatif yang terinspirasi dari nilai keIslaman yang diwariskan dari para nabi. Pertama adalah komunikasi berupa arahan, kedua adalah komunikasi berupa tindakan dan ketiga adalah komunikasi berupa ajakan. Dengan konsep tiga tahapan komunikasi tersebut diharapkan akan tercipta kesepemahaman antar anggota keluarga terutama dalam meng­hadang gempuran pornografi yang hadir diberbagai ruang media. Selain itu penulis juga menghimbau kepada berbagai pihak demi ter­ wujudnya Indonesia cerdas tanpa pornografi. Pertama, kepada pemerintah, selama ini sudah banyak aturan terkait pornografi namun belum maksimal dalam hal implementasinya. Kedua, kepada orang tua hendaknya memiliki waktu emas untuk berkomunikasi dengan anak di balik segala kesibukan yang ada. Komunikasi berkualitas terkait pornografi akan membantu mem­­persempit ruang bahaya pornografi masuk kedalam kehidupan anak dan remaja. Ketiga, kepada media massa. Hendaknya lebih bijak dalam memberikan tayangan di media terlepas dari berbagai kepentingan komersil yang selalu diagungkan. Semoga dengan tulisan sederhana beserta gagasan yang diberikan dapat memberikan manfaat dan diaplikasikan secara nyata di kehidupan sehari-hari. 22 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan: Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir Al-Maraghi Juz 14 Terjemahan. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1992. Alquran dan Terjemahnya. Departemen Agama RI. 2004. Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009. BKKBN. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2015 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2016. Cope, Carol Soret. Stranger Danger Terjemahan. Yogyakarta: Apeiron Philotes. 2007. Dagun, Save M. Psikologi Keluarga: Peran Ayah Dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta. 2011. Djuabaedah, Neng. Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam. Jakarta: Prena Media. 2003. Hartati. Ibu Teladan di Era Global. Jakarta: Pusat Studi Wanita. 2006. Haryatmoko. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius. 2007. Indriati, Etty. Anak Ku Sayang Anak Ku Aman. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2014. Naim, Ngainun. Dasar-Dasar Komunikasi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz Media. 2011. Pranowo, M. Bambang. Multidimensi Ketahanan Nasional. Jakarta: Pustaka Alvabet. 2010. Rinta Leafio. “Pendidikan Seksual Dalam Membentuk Perilaku Seksual Positif Pada Remaja dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Psikologi Remaja.” Jurnal Ketahanan Nasional, Vol 21. No 3. 2015 Setino, Kusdwiratri. Psikologi Keluarga. Bandung: PT. Alumni. 2011 Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Vol 8. Jakarta: Lentera Hati. 2002 Silalahi, Karlinawati. Keluarga Indonesia Aspek Dinamika Zaman. Jakarta: PT. Rajawali Pers. 2010 Soebagijo, Azimah. Pornografi Dilarang Tetapi Dicari. Jakarta: Gema Insani. 2008 http://.kpai.go.id/berita/era-digital-picu-kasus-pornografi-dan-kekerasan-seksual- anak/. Diakses pada tanggal 9 April 2018 pukul 09.35 Dwi Murdaningsih. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/ hukum/17/03/16/omv97j368-ratusan-anak-bisa-jadi-korban-pornografi-anak- lewat-online. Diakses pada tanggal 8 April 2018 pukul 19.00 Yohannie Linggasari. http://www.cnnindonesia.com/nasional /20150210171810-20-31101/ada-1022-anak-menjadi-korban-kejahatan- online. Diakses pada tanggal 8 April 2018 pukul 19.45 Tantangan dan Solusi Pembinaan Keluarga Zaman Now (Studi Penguatan Keluarga Untuk Menopang Ketahanan Nasional)

Penulis: Peserta Nomor MQ.1.12

Pendahuluan Akibat gelombang globalisasi dan perkembangan teknologi sejak tahun 1999 yang menghempas seluruh sektor kehidupan, maka ikatan kebangsaan menjadi pudar. Pudarnya komitmen kebangsaan ini merupakan ancaman bagi keutuhan sebuah bangsa dan negara. Kondisi ini yang dihadapi Indonesia sebagai bangsa yang besar, berusaha meyelamatkan diri dari tantangan ini. Retaknya komitmen kebangsaan ini bukan diakibatkan oleh adanya propaganda besar menolak segala bentuk nasionalisme. Melainkan karena maraknya semangat individualisme yang merambah ke dalam keluarga, yang ini juga berakibat pudarnya daya rekat masyarakat.1 Problem besar ini sulit di atasi kecuali dengan jalan memperkuat kembali ikatan keluarga (batih) yang merupakan elemen paling kecil dalam masyarakat atau bangsa justru ini yang paling menentukan terbentuknya integritas bangsa. Mengingat kondisi ini peran keluarga dengan peran keibuannya memegang

1 Andi Surya, Individulisme dalam Masyarakat dan Keluarga, Diakse dari http://www.kompasina. com/individulisme-dalam-masyarakat-dan-keluarga/,67582sndi6ter839ndue77dnjel99, pada 1 April 2018 Pukul 21.30 WIB

23 24 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran peran strategis dalam membangun keluarga. Perlu diingat bahwa ini justru dimulai dari lembaga keluarga. Perlu diingat bahwa ini bukan upaya untuk mendomestifikasikan peran keluarga sebagai ibu rumah tangga, sebaliknya peran domestik (keluarga) ini justru merupakan langkah penting untuk mempaerbaiki situasi di diranah publik ini (bangsa).2 Mengingat pentingnya peran keluarga ini, maka aneh kalau salah satu dari maqoshidus syariah (tujuan syaria’ah) adalah sebagai upaya hifdzul nasl (menjaga keturunan), terutama menjaga ikatan keluarga. Di situ silaturahmi, belajar bersama serta kerjasama bisa dilakukan dalma membentuk masa depan bersama. Untuk memperkuat tugas keluarga dan tugas kebangsan ini maka keluarga perlu kembali merujuk pada Alquran. Karena selama ini budaya barat yang selama ini masuk banyak merongrong keutuhan keluarga.3 Kenapa menjaga keutuhan bangsa ini menjadi penting, tidak lain karena kedaulatan sebuah sangat di tentukan oleh harmoni dan kerukunan keluarga dalam bangsa itu, tentu saja kesejahteran juga ditentukan oleh adanya harmoni social itu. Sementara untuk menciptakan harmoni sosial tidak bisa ditempuh dengan jalan pintas dengan menciptakan media, ditempuh dengan media organisasi soalial dan berbagai macam perkumpulan. Hal itu tetap akan pudar kalu dilandasi dengan ikatan keluarga yang kuat tampilnya seorang bapak sebagai kepala keluarga bukan suatu hegemoni, melainkan sebuah bentuk kepemimpinan yang sangat dibutuhkan yang diharapkan mampu menjaga keamanan, keutuhan dan harmoni dalam keluarga.4 Masa depan Keluarga memang sangat tergantung dalam peran Ibu, sebagimana Hadis Nabi: “Syurga Itu dibawah telapak kaki ibu”. Dalam membina keluarga perlu terus memperteguh pegangannya pada Alquran. Perlunnya membangun solusi pegangan pada Alquran, perlu membangun sistem politik dan ekonomi sesuai ajaran Alquran. Paradigma yang diterapkan dalam pembinaan keluarga saat ini sangat liberal, karena memang berasal dari Negara- negara liberal. Padahal Alquran memiliki pembinaan yang baik jauh dari liberal antagonik, dan Alquran memiliki solusi yang harmonis, relevan dan moralistik.5

2 Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA, Sumber Inspirasi Budaya Nusantara menuju Masyarakat Muttamadien, (Jakarta: LTN PBNU, 2015), h. 31. 3 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2016) h. 65 4 Mia Mediana, Menjaga Keutuhan Keluarga Agar Harmonis, Diakse dari http://www.kompasina. com/menjaga-keutuhan-keluarga-agar-harmonis/,dqjb283bt9tndf8f60bdsnnndg0df96, pada 1 April 2018 Pukul 21.56 WIB. 5 Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA, Islam Nusantara Sumber Inspirasi Budaya Nusantara menuju Tantangan dan Solusi Pembinaan Keluarga Zaman Now 25

Pandangan Alquran tentang etika dalam Pembinaan Keluarga Pentingnya keluarga sebagai basis pertahanan masyarakat ini ditegaskan dalam Alquran:

ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ Wahai Orang yang berima! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (Q.s. at-Tahrim/66:6). Sebagai elemen dasar dalam masyarakat, maka keluarga dengan sendirinya paling mengetahui perkembangan jiwa anak, maka merekalah yang paling tahu ketika terjadi masalah, karena itu paling bertanggung jawab dalam meluruskannya.6 Dalam kehidupan berkeluarga, suami istri dituntut menjaga hubungan baik, menciptakan suasana yang harmonis, yaitu dengan menciptakan saling pengrtian, saling menjaga, saling menghormati, dan menghargai, serta saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Apanila suami istri melalaikan tugas dan kewajiban, maka akan terjadi kesenjangan masalah, seperti mengakibat­kan kesalahpahaman, perselisihan, dan ketgangan hidup berumah tangga.7 Oleh karena itu, antara suami istri harus selalu menjaga etika dalam berkeluarga, yaitu selalu menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan. Calon Ibu hendaklah mempersiapkan dirinya sebagai calon guru bagi anak-anaknya kelak. Hendaknya dia bisa mengaji Alquran dengan fasih, sehingga pelajaran pertama dalam membaca Alquran akan didapatkan oleh seorang anak dari mulut ibunya sendiri. Betapa anak akan sangat terkesan dengan peristiwa bersejarah dalam kehidupan itu8 Dalam upaya pembinaan keluarga, pasangan suami istri hendaknya melaksanakan etika dalam tanggung jawab keluarga, Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ [4]: 34:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯﭰ ﭱ

Masyarakat Muttamadien, (Jakarta: LTN PBNU, 2015), h. 32 6 Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA, Islam Nusantara Sumber Inspirasi Budaya Nusantara menuju Masyarakat Muttamadien, (Jakarta: LTN PBNU, 2015), h. 32 7 Kemetrian Agama RI, Tafsir al-Quran Tematik, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2012), h. 344 8 Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, Oase Alquran Penyejuk Kehidupan, (Jakarta: PT. Qaf Media Kreatif, 2017), h. 13. 26 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ Lelaki suami (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), kerena Allah telah melebih­ kan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dank arena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkaf dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang sholehah, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri mereka (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). (Q.s. An-Nisa’/4:34). Menurut Jawad Mugniyah, maksud ayat tersebut tidak menunjukan perbedaan antara laki-laki/suami dengan perempuan, tetapi keduanya adalah sama. Ayat tersebut hanya ditunjukan bahwa laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri, keduanya adalah rukun kehidupan, tidak satu pun bisa hidup tanpa yang lain, keduanya saling melengkapi. Ayat ini hanya ditunjukan untuk kepemimpinan suami dalam memimpin istrinya. Bukan untuk menjadi pemimpin secara umum dan bukan menjadi penguasa yang otoriter.9 At-Tabrani menafsirkan ayat 34 Surat an-Nisa’ Bahwa kaum laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum perempuan untuk mendidik dan mengarah­kan perempuan. Kepemimpinan ini didasarkan pada alasan, bahwa para suamilah (kaum laki-laki) yang berkewajiban memberikan mahar dan nafkah (biaya hidup) keluarga. Menurutnya, ayat ini lebih menekankan pada kedudukan suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga dari pada kepemimpinan secara umum. Sebagaimana pemimpin dalam keluarga, suami berkewajiban mendidik istrinya dengan cara yang ditetapkan dalam potongan ayat selanjutnya, yang pada akhirnya memukul istri yang membangkang dengan pukulan yang tidak menyakti boleh dalam upaya menjalankan kewajiban tersebut10 Ungkapan at-Tabrani ini nampaknya bahwa kewajiban suami menyedia­ kan nafkah menyebabkan suami sebagai pemimpin dalam keluarga. Dengan demikian, berarti nafkah sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan keluarga, yang pada akhirnya suami juga sebagai pendidik dalam keluarga, terutama ketika istri berbuat nusyuz (membangkang). Nisa/4:34 tersebut, maksudnya bahwasannya Alquran memberikan hak pada suami untuk mendidik istrinya yang masyuz (durhaka, sombong, dan benci kepada suami), melalui tiga cara: menasihati (membujuk), pisah tidur, atau tidak bicara selama tiga hari menurut sebagian ulama, dan meukulnya dengan pukulan yang tidak menyakiti. Rumah tangga yang aman dan damai adalah gabungan diantara tegapnya laki-laki dan halusnya perempaun. Laki-laki mencari nafkah dan perempuan

9 Muhammad Jawad Mughniyah, Tafsir al_Kasyif, (Beirut: Daarul-Islam Lil-Malayin, 1968), cet.1 h. 143 10 At-Tabrani, Jami’ul al-Bayan fi Ta’wililil-Qur’an, h. 37-38 Tantangan dan Solusi Pembinaan Keluarga Zaman Now 27 mengurus rumah tangga. Rumah tangga tidak bisa berdiri kalau hanya kemauan laki-laki saja berlaku, atau kalau hanya kelhalusan dan lemah lembut perempuan sja. Penggabungan laki-laki dan perempuan yang menimbulkan keturunan. Dari kasih sayang ibu dan bapak, dibentuknya jiwa anak-anak yang kelak akan tiba gilirannya, mereka pula yang mendirikan rumah tangga serta melanjutkan keturunan. Tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga adalah menjaga, membela, bertindak sebagai wali, memberi nafkah, dan sebagainya. Lain halnya dengan istri, ia justru mendapat jaminan keamanan dan nafkah, Itulah sebabnya kaum laki-laki memperoleh warisan dua kali lipat dari perempuan.11 Tugas fungsi suami istri adalah saling melengkapi. Suami tidak bisa mengambil alih tugas istri untuk hamil, melahirkan, dan menyusui anak, begitu juga sebaliknya, Ini ditempatkan sebagai tradisi yang serasi di kalangan umat manusia agar istri berjiwa bersih dan bisa memenuhi fungsinya sebagai penenang qalbu sang suami, melaksanakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga, serta mendidik anak bersama suami. Mendidik anak adalah kewajiban dan tanggung jawab bersama suami istri. Hal ini diisyaratkan dalam Alquran Surat al-Isra’[17]: 24:

ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ Dan Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kcil.” (Q.s. al-Isra [17]: 24) Yusuf al-Qardhawi mengatakan, “Keluarga Islami terbentuk dalam keterpaduan antara ketentraman dan kasih sayang. Ia terdiri dari istri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih dan ramah, ibu lemah lembut dan berparas halus, putra putri yang bakti dan taat, kerabat yang saling membina silaturahmi dan tolong menolong.12 Menurut Yusuf al-Qardhawi, ciri ciri yang menonjol di keluarga muslim tetaplah dominan kesetiaan, ketaatan, kasih sayang, dan membina silaturahmi.13 Dismping itu dalam keluarga muslim pempunyai ciri-ciri menjaga akhlak mulia yang senantiasa mengikuti tuntunan Alquran dan Hadis Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam, misalnya seorang penghuni rumah tidak masuk kamar penghuni lainnya dalam rumah itu tanpa izin.

11 Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Islam kontemporer, h.137 &138 12 Dr. Yusuf al-Qardhawi, Syariat Islam Ditantang Zaman, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1990), h. 44 13 Opcit h. 44 28 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

M. Quraish Shihab menyatakan bahwa cinta keluarga adalah ke­­cenderungan hati untuk cinta pada sesuatu yang ada pada keluarga. Sungguh sangat berat tanggung jawab kedua orang tua kepada anaknya, seperti pengasuhan, pendidikan, dan nafkah; terutama sang ibu mulai dari mengandung dengan penuh sudah payah, sampai melahirkannya dengan perjuang antara hidup dan mati, kemudian menyusi dan merawatnya.

Tantangan Pembinaan Keluarga Zaman Now Istilah Anak Zaman now nulai muncul sekarang-sekrang ini. Zaman now adalah istilah untuk anak-anak yang lahir di atas tahun 2000, semenjak masuknya era grlobalisasi. Anak Zaman now cenderung lebih paham dengan teknologi karena memang sejak kecil bahkan sebelum lahir secara tidak langsung orang tuannya meperkenalkan teknologi kepada mereka. Anak Zaman now lebih cepat dalam memperoleh perkembangan teknologi, dan informasi, sehinggan pola kumuniasi dan bersikap seperti orang dewasa.14 Pembangunan keluarga di zaman now tentunya ditemukan tantangan dalam membina keluarga, beberapa tantangan tantangan pembinaan keluarga jaman now.

1. Paradigma klasik pembagian wilayah kerja ibu dan ayah Masyarakat di Indonesia masih menerapkan pemahaman klasik dalam membina keluarga terutama dalam mengasuh anak. Masih banyak suami hanya fokus untuk bekerja, sementara urusan tetek bengek seperti mengurus rumah tangga, mengurus anak, mendidik anak adalah urusan istri. Saat istilah ini muncul “Super Women atau Super Mom” yaitu wanita hebat dalam mengemban beban keluarga dan tugas semua dibebankan oleh Istria tau ibu.

2. Mudahnya anak mengakses informasi zaman now Revolusi teknologi yang semakin cepat sehingga seluruh dunia tersentuh oleh teknologi. Revolusi yang begitu cepat terdapat disektor komunikasi dan media masa seperti Handpone, Komputer, dll. Sebagian besar orang ingin selalu mengikuti gaya tren masa kini. Mereka bangga jika anaknya bisa medsos. Orang tua zaman sekarang cenderung tidak memperhatikan anaknya dalam mengakses teknologi yang anak-anaknya lihat. Sehingga anak-anak cenderung bebas dalam mengakses teknologi, kebebasan itu akibat lemahnya pengawasan orang tua.

14 Alvi Suryani, Anak Jaman Now, Diakse dari http://www.kompasina.com/anak-jaman- now/,67582sndi6ter839ndue77dnjel99, pada 1 April 2018 Pukul 21.35 WIB Tantangan dan Solusi Pembinaan Keluarga Zaman Now 29

Media masa zaman now seperti Youtube, Facebook, Instagram, Twitter dll. Sangat mempengaruhi pola fikir anak. Kerna keasikan melihat media masa itu banyak dari mereka terjerumus kedalam free sex, pornografi, pelacuran, dll. Banyak media masa yang sifatnya memberika informasi hoax, sehingga didalam keluarga sering terjadi mis communication bahkan terjadi konflik.

3. Komunikasi keluarga yang buruk Kesibukan orang tua yang padat di zaman sekarang mengakibatkan intensi hubungan keluarga sangat jarang. Kurangnya pertemuan antara anak dan ibu, anak dan ayah mengakibatkan komunikasi yang buruk ditengah keluarga. Faktor inilah yang menyebabkan anak mencari teman untuk mencurahkan ekspresi nya. Komunikasi yang buruk mengakibatkan keluarga bisa jadi berujung perceraian. Angka Percerain di Propinsi banten tercatat dari Badan Statistik Nasional (BPS) sebanyak 10140 Kasus. Sebagain besar kasus perceraian akibat pola komunikasi yang kurang baik antara keluarga.15

4. Individualisme dalam keluarga Di era Sekarang ini, Menurut Rani Al, ,tarita, dosen komunikasi universitas budi luhur, Individualisme dalam keluarga biasanya terjadi ketika komunikasi dalam keluarga terjadin buruk.16 Kurangnya rasa perhatian dari keluarga sehingga timbul individualisme. Individualisme juga timbul karena tuntutan pemenuhan ekonomi dalam keluarga di masyarakat perkotaaan. Mereka cenderung terjebak dalam kondisi kesibukan mencari materil sehingga dalam bertetanggan dan bermasayarakat kurang. Saat ini banyak Rumah mewah seperti di komplek-komplek namun hubungan dalam keluarga saat ini mulai timbul pola individualisme karena kecanduang dengan teknologi. Kurangnya rasa bermasyarakat mengakibatkan masyarakat menjadi kurang. Di dalam keluarga juga mengalami seperti itu, banyak ayah yang masih mementingkan hanya urusan pekerjaannya tanpa mementingkan pola hubungan dengan anak.

15 http//www.bps.go.id 16 Andi Surya, Individulisme dalam Masyarakat dan Keluarga, Diakse dari http://www.kompasina. com/individulisme-dalam-masyarakat-dan-keluarga/,67582sndi6ter839ndue77dnjel99, pada 1 April 2018 Pukul 21.30 WIB 30 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Solusi Pembinaan Keluarga Zaman Now Menurut Alquran 1. Kejasama antara ayah dan ibu (suami istri) Membina keluarga harus dengan kerjasama antara ayah dan ibu. Di dalam Alquran surat an-Nisa’/4:19 disebutkan jangan sampai menyusahkan istri. Seharusnya suami saling bantu dalam mengurus anak. Walaupun memang dalam mendidik anak adalah tanggung jawab istri. Ibarat sebuah sekolah atau Madrasah Istri sebagai Guru sementara Ayah adalah kepala sekolahnya. Tanpa adanya kepala sekolah dan guru sekolah tidak akan terlaksana. Q.s. at-Tahrim/66:6 menjelaskan agar menyelamatkan anggota keluarga dari api neraka, yang menyelamatkannya dalah orang tua atau orang terdekat. Dengan kerjasama yang baik antara ibu dan bapak maka akan tecipta keluarga yang sakinah yang mudah-mudahan menjadi kelaurga ahli jannah.

2. Kritis dan selektif dalam informasi yang masuk Maraknya informasi yang masuk pada saat ini perlunya agar orang tua untuk memfilter. Mengawasi dan selektif kepada putra putrinya untuk agar tidak terjebak dengan buaian teknologi yang bisa menjadikan keluarga menjadi renggang.17 Pada Surat an-Nur/24:11 yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong adalah dari golongan kamu (juga). Dan jaganlah kamu mengira berita itu buruk dan baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. (an-Nur/24:11) Maraknya berita hoax saat ini bisa merenggangkan keluarga, oleh karena itu kita jangan mudah percaya dengan berita-berita yang masing simpang siur. Pentingnya keluarga dalam memberikan penerangan kepada anak untuk memilih media atau informasi kepada anak. Keluarga yang cerdas adalah keluarga yang selektif dan dapat memilah informasi bagi anak anaknya.

3. Komunikasi yang Intim dalam keluarga Komunikasi yang intim dalam keluarga juga sangat penting, mengatasi permasalah zaman now dilakukan dengan perlunya komunikasi yang intim dalam keluarga. Orangtua seharusnya kelalu mennanyakan tentang keluhan dari anaknya sehingga masalah-masalah keluarga juga bisa di atasi bersama. Dalam Alquran Surat al- Isra’/17:24 dijelaskan mengenai tatacara berkomunikasi yang baik dalam keluarga. Dengan bahasa yang halus dan sopan santun akan menyebabkan keluarga berada

17 Komariah Wahid, Selektif dalam Informasi dan teknolog, Diakses dari http://www.facebook. com/ria_wahid/?8kfnjfiuekvlsjhilgj;d pada 15 April 2018 pukul 13.35 WIB. Tantangan dan Solusi Pembinaan Keluarga Zaman Now 31 dalam keharmonisan dan tidak ada ungkapan dan ujaran kebencian dalam bertutur kata dalam keluarga.

4. Komunitas yang mendukung keluarga Fitrah sebagai manusia sosial sangat melekat pad diri manusia, sehingga masnusia perlu untuk hidup bertetangga dan berkomunitas, dalam Qur’an Surat an-Nisa/4:36 agar kita bisa peka apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Komunitas yang baik juga bisa mempengaruhi keutuhan keluarga. Penting­nya utuk meyesuaikan dengan dengan diri kita dan keluarga, jangan sampai kita terjebak dalam komunitas yang tidak sepaham dengan keluarga. Bagunlah komunitas keluarga dengan cinta dan kasih sayang dan senuai Alquran. Karena membangun keluarga adalah membangun komunitas terkecil di Negara ini dalam menopang ketahanan nasional

Penutup Pembinaan Keluarga dalam menopang ketahan nasional sangatlah penting. Tantangan di era globalisasi atau zaman now perlu disikapi dengan bijak sehingga dalam membina keluarga bisa menganalisis masalah-maslah yang timbul era saat ini. Alquran memberikan solusi dalam mengatasi permasalahan- permasalah tersebut sehingga dalam mewudkan keluarga yang kuat dalam menopang ketahanan nasional dapat terwujud.

Pustaka Acuan: At-Tabrani, Jami’ul al-Bayan fi Ta’wililil-Qur’an, Kemetrian Agama RI, Tafsir Alquran Tematik, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik,Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2012 Muhammad, Ahsin Sakho, Oase Alquran Penyejuk Kehidupan, Jakarta: PT. Qaf Media Kreatif, 2017. Mughniyah, Muhammad Jawad, Tafsir al_Kasyif, (Beirut: Daarul-Islam Lil- Malayin, 1968), MUI Propinsi Banten, Mushaf Al Bantani dan terjemahannya, 2012. Siroj, Said Aqil, Islam Nusantara Sumber Inspirasi Budaya Nusantara menuju Masyarakat Muttamadien, Jakarta: LTN PBNU, 2015 Shihab, M. Quraish, Menabur Pesan Ilahi Alquran dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2016 Syafitri, Niken,Ham Perempuan; Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Bandung: PT Refika Aditama, 2018 32 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Qardhawi, Yusuf Syariat Islam Ditantang Zaman, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1990) Yanggo, Huzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah: Kajian Islam kontemporer Andi Surya, Individulisme dalam Masyarakat dan Keluarga, Diakse dari http:// www.kompasina.com/individulisme-dalam-masyarakat-dan-keluarga/,67582s ndi6ter839ndue77dnjel99, pada 1 April 2018 Pukul 21.30 WIB Mia Mediana, Menjaga Keutuhan Keluarga Agar Harmonis, Diakse dari http://www.kompasina.com/menjaga-keutuhan-keluarga-agar-harmonis /,dqjb283bt9tndf8f60bdsnnndg0df96, pada 1 April 2018 Pukul 21.56 WIB. Komariah Wahid, Selektif dalam Informasi dan teknolog, Diakses dari http://www. facebook.com/ria_wahid/?8kfnjfiuekvlsjhilgj;d pada 15 April 2018 pukul 13.35 WIB. http//www.bps.go.id Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional Keluarga

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1. 05

Pendahuluan Dewasa ini era globalisasi menjadi pusat perhatian dan perbincangan kekhawatiran bagi para orang tua. Era globalisasi telah membawa dampak luas di berbagai belahan bumi, tak terkecuali di negeri tercinta Indonesia. Dampak globalisasi diibaratkan seperti pisau bermata dua, positif dan negatif memiliki konsekuensi yang seimbang. Kompetensi, integrasi adalah dampak positif globalisasi. Sedangkan dampak negatif antara lain lahirnya generasi instan, dekadensi moral, retardasi mental, konsumerisme, permisifme, bahkan anti nasionalisme (Asmani, 2012: 7). Selain itu, dampak negatif lainnya adalah beragamnya modus kejahatan melalui media sosial, munculnya tindak kekerasan, pergaulan bebas sampai pada akhirnya berujung pada hilangnya karakter bangsa (Arifin, 2013: 5). Mengutip permasalahan dari Azra bahwa gaya hidup hedonistik dan permisif di era globalisasi sebagaimana banyak ditayangkan dalam sinetron dan telenovela pada berbagai saluran televisi Indonesia hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumah tangga (2002: 172-173). Akibatnya banyak anak yang tidak memiliki kebajikan dan inner beauty dalam karakternya (Marijan, 2012: 85).

33 34 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Fenomena anak bangsa saat ini yang lebih bangga dengan produk internasional dibandingkan produk lokal, semakin menjadi puncak ke­khawatiran untuk kita semua, hilangnya identitas kebangsaan dalam diri anak bangsa disebabkan oleh canggihnya kemodernitasan, sehingga mereka lupa struktur sosial dan tumbuh menjadi generasi millennial. Peradaban barat telah berhasil merenggut rasa nasionalisme anak bangsa dengan berbagai kemajuan teknologi yang ditawarkan. Terkikisnya rasa kebangsaan menyebabkan mereka kini menjadi kurang menghargai perjuangan bangsa, lebih mengidolakan segala hal yang berbau barat dibandingkan dengan budaya timur. Sikap nasionalisme tidak bisa tumbuh begitu saja tanpa diperjuangkan. Karakter cinta tanah air akan berbekas bilamana manajemen pertama saat seorang anak dikenalkan akan bangsanya berhasil. Orang tua menjadi sorotan utama dalam mendoktrin karakter ini. Sikap nasionalisme akan terus ada sampai dewasa ketika pola asuh orang tua saat balita kian sukses mengenalkannya. Figur orang tua yang mampu mengatur semuanya dengan baik sangat dibutuhkan dalam merehabilitasi hal ini. Kemampuan mengasuh anak dengan sistem manajemen keluarga yang baik akan sangat berefek kepada karakter anak. Orang tua yang berkualitas tentunya akan melahirkan generasi yang berkualitas pula, begitupun sebaliknya, orang tua yang tidak mau mengupgrade ilmu, tertinggal peradaban, termakan oleh zaman pada akhirnya hanya akan menjadi budak atas adanya kemodernitasan. Menelisik dari permasalahan di atas, maka starting point pada malakah ini adalah Siapa yang pertama kali seharusnya bertanggung jawab atas kondisi seperti ini?, Bagaimanakah role model orang tua, pendidikan karakter dan ketahanan nasional?, Bagaimanakah formulasi gerakan role model dalam mewujudkan ketahanan nasional yang tangguh?

Menelisik Makna Role Model Orang Tua, Pendidikan Karakter dan Ketahanan Nasional dalam Alquran Sebelum lebih jauh membahas topik yang diangkat dalam karya ilmiah ini, rasanya penulis perlu terlebih dahulu menjelaskan arti dari judul yang mendasari pembuatan karya ilmiah ini.

1. Role Model Menurut KBBI role model adalah panutan, yang sama artinya dengan teladan yaitu “Sesuatu yang patut ditiru atau baik dicontoh (tentang kelakuan, perbuatan, sifat, dan sebagainya)” (Tim Pustaka Phoenix, 2010: 56). Sedangkan menurut Brickman role model adalah “Person who serves as an example, whose behaviour is Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional Keluarga 35 emulated by others” (2002: 18), bahwasanya seseorang yang memberikan teladan dan berperilaku yang bisa dicontoh oleh orang lain. Dari pengertian di atas role model berarti suatu tindakan yang men­ cerminkan suatu sikap yang baik sehingga dapat dijadikan sebagai model acuan atau dicontoh. Jadi baik buruknya seorang anak tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Ketika dilahirkan seorang bayi manusia tidak bisa melakukan apa-apa, kemudian dia belajar meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Ketika sudah dewasa apakah anak masih akan melakukan aktifitas yang dilakukan oleh orang tua yang mengajarinya?, jawabannya adalah ya, kemudian siapakah yang pantas untuk kita contoh menjadi seorang role model yang benar, bagi seorang muslim sudah jelas, orang yang paling pantas untuk dijadikan role model adalah Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana firman Allah S.W.T.:

ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasullallah (Muhammad) itu suri tauladan yang baik bagimu… (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21) (Depag RI, 2007: 420). Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa Rasullallah yang pantas untuk dijadikan sebagai teladan bagi umatnya. Tidak ada lagi yang bisa dijadikan panutan untuk mendapatkan keridhoan Allah S.W.T. terkecuali mengikuti apa yang telah diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Tak heran, begitu banyak orang yang bukan beragama Islam tetapi sangat mengagumi akhlak atau perilaku nabi Muhammad SAW. Seorang ahli astronomi asal Amerika Serikat , Hart Michael dalam bukunya “The 100: A Rangking of the Most Influential Persons in History”menempatkan nabi Muhammad pada urutan nomor 1. Dia menuliskan pengaruh nabi Muhammad sebagai the central human figure of Islam (1993: 23).

2. Pendidikan Karakter Pendidikan dalam arti umum yakni sebagai usaha manusia untuk me­numbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam bangsa, masyarakat dan kebudayaan (Fuad Ihsan, 1997: 1-2). Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam upaya mengembangkan segala potensi manusia untuk memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, dan akhlak mulia sehingga tumbuh dewasa dan sempurna sebagai bekal yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. 36 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Secara bahasa karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu “Chaessein” yang artinya “mengukir” (Muni, 2010: 2). Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “Character” yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan secara istilah karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya di mana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya (Zubaedi, 2011: 19). Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan segala usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi karakter seorang anak. Secara filosofis pendidikan karakter merupakan kajian yang paling rasional dan aktual, karena membahas tentang tingkah laku manusia yang tidak lekang oleh perkembangan zaman.

3. Ketahanan Nasional Kata Nasionalisme berasal dari kata “Nasional” yang menurut KBBI diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk melindungi nilai-nilai nasionalnya dari ancaman luar (Tim Pustaka Phoenix, 2010: 98). Imbuhan “isme” dalam KBBI berarti kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa (Tim Pustaka Phoenix, 2010: 98). Dari pengertian di atas kata Nasionalisme berarti seseorang yang ber­ negara kemudian sudah tertanam dalam dirinya untuk mencintai, menjaga, memelihara serta mengembangkan bangsanya. Menjaga keutuhan NKRI sudah menjadi sebuah kewajiban bagi warga Negara Indonesia. Memiliki rasa cinta tanah air adalah sebuah kemutlakan yang memang harus ada pada diri setiap anak bangsa. Dan motivasi mengistiqomahkan rasa cinta tanah air ini tentunya tidak lepas dari pola asuh orang tua yang pertama kali mengenalkan akan bangsanya. Mengapa harus cintah tanah air?, jelas karena kita menumpang dipup di sebuah negara yang senantiasa melayani kebutuhan rakyatnya dan bukti rasa syukur kita kepada Allah S.W.T.. Islam sudah lebih dahulu mengajarkan kepada umatnya untuk mencintai tanah air. Sebagimana Allah S.W.T. berfirman:

ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍ ﰎ ﰏ ﰐ ﰑﰒ ﰓ ﰔ ﰕ Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekah) ini, negeri yang aman, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian…(Q.S. Al-Baqarah [1]: 126) (Depag RI, 2007: 19). Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional Keluarga 37

Dalam ayat ini jelas menunjukan bagaimana wujud cinta nabi Ibrahim kepada tanah airnya, dengan cara mendo’akannya dalam tiga hal: menjadi negeri yang aman sentosa, penduduknya dilimpahi rezeki dan penduduknya beriman kepada Allah S.W.T. dan hari akhir. Tidaklah nabi Ibrahim berdo’a seperti ini melainkan dalam hatinya telah tumbuh kecintaan terhadap negerinya.

Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Pendidikan Karakter Islam sangat mengedepankan karakter sehingga menjadi substansi ajaran agamanya. Karakter dijadikan dasar sistem pendidikan dalam Islam. Pendidikan karakter menjadi penting bagi kehidupan manusia. Karakter yang dibentuk minimal mencakup: religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai ini merupakan bentuk kesalehan sosial yang harus diaktualisasikan dalam sistem pendidikan, sehingga mampu menepis dan membendung krisis multidimensi menuju terbentuknya pribadi yang berakhlak mulia. Karakter harus diaktualisasikan dalam sistem pendidikan sehingga terbentuk manusia yang berbudi luhur. Tujuan pendidikan karakter menurut Islam tidak lain menjadikan manusia yang berakhlak mulia. Dalam hal ini yang menjadi tolak ukur adalah akhlak nabi Muhammad SAW, dan yang menjadi dasar pembentukan karakter adalah Alquran. Alquran adalah petunjuk bagi kehidupan manusia. Seperti yang telah disinggung di atas kita hendak mengarahkan pendidikan kita dan menumbuhkan karakter yang kuat pada anak bangsa, kita harus mencontoh karakter nabi Muhammad SAW yang memiliki karakter yang sempurna. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung (Q.S. Al-Qalam [68]: 4) (Depag RI, 2007: 564). Pada ayat di atas tergambar bahwa budi pekerti yang agung benar dimiliki oleh nabi Muhammad SAW. Tidak salah beliau adalah teladan bagi ummatnya dan rasul terbaik pilihan Allah yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Sudah sepantasnya meniru apa yang telah dicontohkan oleh baginda Rasullallah SAW. Pendidikan karakter menurut Islam adalah membentuk pribadi yang berakhlak mulia, karena akhlak mulia adalah pangkal kebaikan. Orang yang berakhlak mulia akan segera melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman: 38 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳﭴ ﭵ ﭶﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari subli (tulan belakang) anak cuuc Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), “Bukanlah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi. “(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,”. (Q.S. Al- A’raaf [7]: 172) (Depag RI, 2007: 173). Al-Maraghi dalam tafsirnya menegaskan bahwa Allah S.W.T. telah men­ jadikan dalam tiap diri pribadi dari umat manusia berupa fitrah keIslaman yang disebut gharizah imany (naluri keimanan) dan melekat di dalam hati sanubari mereka. Sehingga potensi beriman kepada Allah terlebih dahulu tertanam dalam diri manusia dan baik buruknya pribadi manusia tersebut tergantung upaya mengembangkan potensi keutuhan itu. (2002: 103). Jika pendidikan karakter jauh dari akidah Islam, lepas dari ajaran religius dan tidak berhubungan dengan Allah, maka tidak diragukan lagi bahwa seorang manusia akan memiliki sifat kefasikan, penyimpangan, kesesatan dan kefakiran. Bahkan ia akan mengikuti nafsu dan bisikan-bisikan setan, sesuai dengan tabiat, fisik dan keinginan serta tuntutannya yang rendah. Dari sini jelaslah bahwa yang menjadi fundamen utama dalam pendidikan karakter bagi anak oleh orang tuanya sebagi identitas keimanan yang harus ditanamkan sejak dini.

Formulasi Gerakan Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional yang Tangguh Di era modern seperti ini rasanya figur orang tua sudah mulai tersampingkan dengan adanya berbagai hal baru yang lebih menarik untuk ditiru dan dijadikan contoh bagi seorang anak. Kelengahan dan ketidaksungguhan orang tua dalam merawat anak menjadikan beragam karakter yang tidak seharusnya ada pada diri anak. Sehingga muncul rasa dalam diri seorang anak kurangnya kasih saying, kurangnya perhatian dan kurangnya teladan untuk dirinya dari figur orang tuanya. Sehingga berdampak pada keberlangsungan masa depan seorang anak. Maka untuk mewujudkan ketahanan nasional bagi seorang anak perlu dibuat gagasan, diantanya:

1. Keluarga Pilar Utama dalam Keberlangsungan Seorang Anak Fenomena “Fatherless” yang tidak hanya popular di kaum barat namun kini sudah tersebar luas di Indonesia. Ketidakmauan Ayah untuk lebih banyak berperan mendidik anak-anaknya menjadikan mereka kehilangan sosok seorang ayah Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional Keluarga 39 yang mereka kagumi. Seharusnya dari seorang ayahlah mereka mendapatkan teladan kekuatan, keberanian dan lain sebagainya membuat mereka mencari hal lain untuk memenuhi hasrat dan keinginannya yang tidak tersampaikan. Hingga pada akhirnya mereka melampiaskan semuanya kepada “gadget” yang mereka anggap mampu menemaninya 24 jam tanpa lagi butuh figur dari kedua orang tuanya. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, keberadaannya menjadi salah satu penguat dalam sebuah negara, perannya sangat penting dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Sebgaimana Allah S.W.T. berfirman:

ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Q.S. At-Tahrim [66]: 6) (Depag RI, 2007: 560). Ayat di atas menjelaskan bahwasanya menjada diri dan keluarga adalah sebuah kewajiban. Yang mana sebuah keluarga tidak hanya terdiri atas dirinya melainkan juga anak dan istrinya. Oleh karenanya, merawat anak baik dengan tujuan menumbuhkembangkannya dengan baik adalah sebuah keharusan yang menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Allah ciptakan fungsi keluarga untuk saling berperan satu sama lain dan terjalin ikatan yang harmonis. Keberhasilan dan kehancuran seseorang acapkali diawali dari sebuah keluarga. Karenanya eksistensi keluarga dalam keberlangusngan kehidupan sangat menentukan generasi berikutnya. Bekaitan dengan masalah eksistensi keluarga, Allah S.W.T. berfirman: ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar (Q.S. An-Nisa [4]: 9) (Depag RI, 2007: 78). Penekanan ayat ini penulis menggaris bawahi pada kalimat “dzurriyyatan dhi’afan”. Ar-Raghib Al-Asfahni di dalam kitab “Mufradat al-Fadz Alquran” menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah “dzurriyyatan dhi’afan” memiliki tiga pengertian: Pertama, dhaif fi al-jism, yakni lemah secara fisik. 40 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Maksudnya bahwa seseorang tidak boleh membiarkan generasi-generasinya untuk memiliki fisik, tubuh atau badan yang lemah. Kedua,dhaif fi al-aqli, yakni lemah secara akal. Seseorang dengan akal dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Itulah sebabnya mengapa Allah S.W.T. menganugrahkan akal kepada manusia tidak kepada makhluk yang lain, agar manusia dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai hamba secara sempurna dihadapan Allah S.W.T., maka menjadi orang yang mengikuti hal-hal yang tidak benar berarti itu bukanlah sesuatu yang sesuai untuk pemanfaatan akal. Ketiga, dhaif fi al-ahli, yakni lemah karena keadaan sosial ekonomi yang dihadapinya. Perbedaan masalah kaya dan misikn merupakan suatu ketentuan yang tidak dapat dihindari. Manusia hidup selalu berdampingan, maka selanjutnya apakah kita akan menjadi manfaat bagi orang lain atau akan menjadi beban bagi orang lain (2002: 214). Keterangan di atas mengungkapkan bahwa peranan keluarga dalam menumbuhkembangkan karakter anak sangat dinilai dari pada pola asuh kedua orang tuanya dalam sebuah keluarga. Orang tua menjadi teladan pertama anak dalam bertingkah dan berperilaku. Dan orang tua pun adalah sarana edukasi pertama anak dalam mengenal bangsanya. Orang tua yang berkualitas tentu akan jauh berbeda dengan orang tua yang tidak berkualitas. Jika dibandingkan dari manajemen pola asuhnya, anak yang lahir dari pola asuh orang tua yang berkualitas tentunya memiliki karakter yang yang baik dan tersistem dengan baik. Begitupun sebaliknya, karakter anak dapat menentukan bagaimana sistem pola asuh dari pada orang tuanya.

2. Pembentukan Manajemen Keluarga Manajemen sebuah keluarga sangat diperhitungkan, Dalam hal ini, keber­hasilan orang tua dalam mendidik anakanya adalah sebuah kesuksesan bagi sebuah bangsa. Esensitas keluarga sangat berpengaruh terhadap kemajuan sebuah bangsa, manajemen yang baik akan melahirkan bangsa yang maju akan peradaban. Manajemen keluarga yang baik ini tentunya didapatkan dari orang tua yang tidak tertinggal oleh zaman, orang tua selalu update ilmu pengetahuan dan diperoleh dari orang tua yang senantiasa sungguh-sungguh dalam mendidik anak-anaknya. Peranan seorang ibu sebagai madrasah utama bagi seorang anak memang benar adanya. Pembentukan mental dan karakter anak pertama kali ditentukan dari bagaimana pola asuh seorang ibu dalam membimbing anaknya. Bagaimana mungkin tercipta karakter Isma’il as yang kuat hatinya ketika dikabarkan datang perintah Allah S.W.T. untuk menyembelihnya, jika bukan karena seorang ibu (Siti Hajar) yang lebih dulu mengenalkan arti kesabaran dan ketangguhan saat Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional Keluarga 41 ditinggalkan mencari mata air untuk anak­nya hinga muncullah air zam-zam. Kisah Siti Hajar yang ditinggal suaminya atas perintah Allah S.W.T. disuasana lembah yang gersang dan tandus, setelah itu Ibrahim as kembali ke Palestina seraya berdo’a, Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engaku (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan sholat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah mudahan mereka bersyukur (Q.S. Ibrahim [14]: 37) (Depag RI, 2007: 260). Dalam keadaan tidak menentu itulah Siti Hajar bertawakal kepada Allah S.W.T. atas dirinya dan putranya disuatu tempat yang asing bahkan saat itu Ismail as masih bayi. Ketika Ismail as menangis karena kehausan, Siti Hajar berusaha mencari air dari bukit Shafa ke Marwah tanpa putus asa Siti Hajar terus berlari-lari namun tak juga mendapatkannya. Rasa cinta seorang ibu kepada anaknya membuat Siti Hajar terus berusaha. Melihat usaha seorang ibu yang sangat gigih untuk kebutuhan anakanya, akhirnya Allah memancarkan air yang dibutuhkan oleh keduanya yang kemudian air tersebut hingga saat ini dikenal dengan air zam-zam, yang akan terus ada hingga akhir zaman. Hikmah dari pada kisah ini adalah ketabahan dan keteguhan hati seorang ibu untuk mengurus anak-anaknya, meskipun ia sedang berada dalam kondisi yang menyulitkan dan tidak ada seorang pun yang dapat membantunya, tetapi kesabaran dan ketabahan pada akhirnya mengantarkan kepada kebahagiaan.

3. Pola Pendidikan Keluarga Pendidikan tidak hanya lahir dari seorang ibu, melainkan kelengkapan hak pendidikan oleh seorang anak harus didapatkan juga dari seorang ayah. Agar seorang anak benar-benar merasakan kehadiran orang tuanya dan dapat menjadikan orang tuanya sebagai figur terbaik untuk dirinya. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepada anaknya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutu­kan Allah, 42 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar (Q.S. Luqman [31]: 13) (Depag RI, 2007: 412).

ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang diwajibkan (Q.S. Luqman [31]: 17) (Depag RI, 2007: 412). Alquran mengabadikan ucapan-ucapan Luqman berisi berbagai pelajaran yang patut diteladani oleh orang tua dalam hal mendidik putra-putrinya. Dalam ayat tersebut di atas terdapat banyak pelajaran yang dapat diungkapkan secara garis besar yang berisikan tentang aqidah, akhlak dan ibadah. Adapun rincian pesan Luqman kepada anaknya diuraikan sebagai berikut: ketauhidan, program pengasuhan anak, keteladanan, perintah dakwah, perintah berbuat yang ma’ruf, larangan berbuat yang mungkar, kerendahan hati, kelembutan dan etika ketika berbicara dengan seorang anak.

Penutup Di era modern saat ini figur orang tua sangat dibutuhkan untuk me­ numbuhkembangkan karakter (budi pekerti) yang baik untuk anak. Terciptanya karakter seorang anak yang cinta tanah air tentunya tidak lepas dari pendidikan karakter yang dikelola oleh sebuah lembaga keluarga. Manajemen pendidikan terbaik adalah ketika hasil output karakter anak pun terlihat baik. Perlunya pendidikan keluarga, manajemen keluarga serta pola asuh yang baik sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang seorang anak dalam mewujudkan ketahanan nasional yang tangguh. Urgensitas kemajuan sebuah bangsa sangat berkaitan dengan pola asuh orang tua terhadap anakanya. Orang tua sebagai role model dalam tumbuh kembang seorang anak menjadi titik awal dalam keberlangsungan ketahanan nasional. Ketahanan nasional yang tangguh lahir dari sebuah keluarga yang memiliki komitmen yang kuat dalam mengurus keluarganya. Sebaliknya, ketahanan nasional tidak akan tercapai jika keluarga mengabaikan nilai-nilai pendidikan dalam keluarga. Oleh karena itu, perbaikan sebuah keluarga dalam manajemen pe­ngasuhan anak akan sangat berdampak bagi bangsa Indonesia. Dedikasi orang tua yang ingin terus mengupgrade diri dan pengetahuannya dalam mendidik anak akan berdampak besar bagi sebuah bangsa. Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional Keluarga 43

Pustaka Acuan: Al-maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, Beirut: Darul Fikr, 2001. Ar-Raghib, Al-Ashfihani, Mu’jam Mufradat Al-Fadz Alquran, Beirut: Darul Fikr, 2000. Asmani, Jamal Ma’ruf, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta: Diva Press, 2012. Azyumardi, Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekontruksi dan demokratisasi, Jakarta: Kompas, 2002. Arifin, Muhammad dan Barnawi, Strategi Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010. Brickman, John, Sociology of Science and Sociology as Science, New York: Columbia, 1998. Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemah, Jakarta: PT. Cordoba Internasional Indonesia, 2007. Hart, Michael, The 100: A Rangking of the Most Influential Persons in History, Jossey Bass, 1993. Ihsan, Fuad, Dasar-Dasar Kependudukan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet.1, 1997. Ma’arif, Ahmad Syafei, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2009. Marijan, Muhammad, Metode Pendidikan Anak: Membangun Karakter Anak yang Berbudi Mulia, Cerdas dan Berprestasi, Yogyakarta: Sabda Media, 2012. Mulyasa, E, Revolusi Mental dalam Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015. Muni, Abdullah, Pendidikan Karakter, Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madan, 2010. Mursi, Abdul Hamid, SDM yang Produktif Pendekatan Alquran dan Sains, Jakarta: GIP, 2001. Parsudi, Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan: Telaah atas Merebaknya Penyakit Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Saptono, Dimensi-dimensi Penduduk Karakter: Wawasan Strategi dan Langkah Praktis, Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2011. Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2010. Quraish, M. Shihab, Pengantin Alquran, Jakarta: Lentera Hati, 2007. 44 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Zayyan, M. Sobron, Keluarga dalam Perspektif Alquran, Bandung: Fajar Media, 2013. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasi dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 20012. Menggiatkan Pendidikan Maskulin dan Feminin dalam Keluarga Menuju Provinsi Banten Bebas LGBT

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.02

Pendahuluan Kepribadian yang dimiliki seorang anak adalah hasil dari pendidikan ayah bunda. Mendidik anak merupakan persoalan yang paling penting (important). Seorang anak akan tumbuh dengan cara bagaimana ia dibesarkan. Bila ia dididik dengan baik, maka ia akan tumbuh menjadi orang yang baik. Sebaliknya, bila seorang anak dibiarkan mengerjakan keburukan, maka ia akan tumbuh dengan kepribadian yang tidak baik (Jamal Abdurrahman, 2017:17). Ayah bunda perlu memperhatikan tumbuh kembang anak, sebab pola asuh yang salah akan menimbulkan pelbagai macam masalah, pelbagai macam masalah yang menimpa para anak, terutama permasalahan pada kaum remaja, seperti narkoba, seks bebas, peer preasure, seks bebas, bolos, tawuran dan pelbagai macam masalah lainnya banyak yang keluar dari batas wajar. Seks bebas, sebagai salah satu dari pelbagai macam masalah, faktanya tidak hanya berawal dari ketertarikan terhadap lawan jenis, tapi juga pada sesama jenis, atau yang dikenal dengan perilaku Homoseksual (KBBI, 2008:506), dimana lesbian, gay, biseksual dan transgender (waria) termasuk di dalamnya, perilaku homoseksual tentu saja akan berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup dan perilaku penyimpangan seksual tersebut tidak banyak diinginkan oleh para ayah bunda.

45 46 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Meninjau pengenalan LGBT di Indonesia sudah dimulai sejak 1 Maret 1982 dengan berdirinya Lambda sebagai organisasi gay terbuka pertama di Indonesia. Organisasi ini dianggap sebagai cikal bakal gerakan LGBT. Mirisnya, saat terjadi tindakan terhadap gerakan mereka, para pengidap LGBT menyebutnya sebagai tindakan segregasi (pengucilan), seperti yang dialami kaum gay, lesbian dan biseksual yang banyak dikeluarkan dari tempat kerja. Begitu pula pada kaum transgander yang tidak leluasa dalam memilih lapangan pekerjaan hingga banyak dari mereka yang menjadi pekerja seks komersial atau mengamen di jalanan (www.rappler.com, 2017). Hingga kini pelegalan LGBT di Indonesia tetap pada jalan buntu, karena masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak setuju mengenai keberadaan kaum LGBT. Selain itu, dasar negara kita memasukkan nilai-nilai agama dalam undang-undang dan peraturan, sehingga akan sulit terjadi pengesahan pernikahan sesama jenis (Sinyo, 2016: 44). Sebagaimana dilansir dari bantenhits.com, kaum LGBT di Provinsi Banten pada tahun 2017 meningkat sebesar 200% dari tahun sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Komisi Penanggulangan Aids (KPA) di delapan kabupaten/kota se-Provinsi Banten, bahwa terdapat 2.535 lelaki penyuka sesama jenis dan 1.140 waria, hal ini tentu saja menjadi­ catatan penting bahwa perilaku LGBT harus segera ditangani dengan baik. Aksi penolakan atas gerakan kaum LGBT di Banten baru saja dilakukan pada 11 Februari 2018 yang bertempat di Lapangan Cilenggang, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan yang menghadirkan pelbagai elemen masyarakat, sebagai ungkapan ketidaksetujuan terhadap gerakan LGBT (seruji. co.id, 2018). Bertolak dari realitas di atas. Penulis akan memberikan interpretasi dengan menghadirkan ayat-ayat Alquran secara multidimensi. Diawali dari bagaimana Islam dan Indonesia memandang perilaku LGBT, apa saja faktor penyebab terjadinya LGBT serta penanggulangan dan pencegahan bagi keluarga agar tidak terjangkit perilaku LGBT. Berangkat dari hal di atas, penulis berharap keluarga Indonesia, khususnya yang berada di Provinsi Banten bisa hidup nyaman, sejahtera dan terbebas dari perilaku penyimpangan seksual seperti LGBT.

Islam dan Indonesia Memandang LGBT Perilaku LGBT dapat ditemukan dalam Alquran surat Al-A’râf ayat 80-81:

ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ Menggiatkan Pendidikan Maskulin dan Feminin Dalam Keluarga 47

Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaum­nya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas. Mengenai ayat di atas, perbuatan keji (fâhisyah) diulang sebanyak tiga belas kali dalam Alquran (Abd. Baqiy, 1364:513), serta memiliki pelbagai macam pengertian, di antaranya: homoseksual (Q.S. Al-A’râf [7]:80); menikahi istri ayah (Q.S. An-Nisâ’ [4]:22); zina (Q.S. Al-Isrâ’ [17]:32); berita bohong (Q.S. An-Nûr [24]:19); tindak pidana (Q.S. At-Talâq [65]:1); dan syirik (Q.S. Al- A’râf [7]:28). Pengertian homoseksual terdapat pula dalam Alquran surat An- Naml ayat 54 dan Al-Ankabût ayat 28. Al-Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, dalam tafsirnya Al- Munir (tt:288) memberikan penjelasan mengenai surat Al-A’râf ayat 80-81 di atas

ﯙ ﯚ “(Mengapa kamu melakukan perbuatan keji tersebut?) yakni mengapa kamu melakukan homoseksual?”. M. Quraish Shihab dalam tafsir kontemporernya Al- Mishbah vol. 4 (2010:188) memberikan penjelasan serupa, bahwa per­buatan keji (fâhisyah) adalah tindakan yang sangat buruk yakni homoseksual. Para ulama tafsir menyebut tindakan homoseksual sebagai tindakan keji yang lebih rendah dari binatang, karena homoseksual menghalangi jalan untuk prokreasi, yaitu memperoleh keturunan. Para ulama yang berpendapat dalam hal ini antara lain Ahmad Shawi Al-Maliki, Ali As-Shabuni dan Ibnu Katsir (Didi Junaedi, 2016:41). Homoseksual tidak hanya perilaku yang meliputi perbuatan homoseks atau gay (laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual pada laki-laki), namun juga lesbian (perempuan yang memiliki ketertarikan seksual pada perempuan), kemudian biseksual (penyuka sesama jenis dan juga lawan jenis), serta transgender atau waria (orang yang terlahir dengan jenis kelamin biologis laki-laki, namun memiliki perilaku dan perasaan seperti perempuan (Dewi Rokhmah, 2017:1). Selain Islam sangat memperhatikan perilaku LGBT, dasar negara kita—Pancasila—pun memandang LGBT sebagai tindakan perilaku yang menyimpang. Sila pertama Pancasila—Ketuhanan Yang Maha Esa—mem­ bahas hal ini, sebagaimana dalam butir nilai Pancasila pertama dijelaskan, bahwa “Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan­nya terhadap Tuhan Yang Maha Esa” (Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya, 2009:68), tentu saja hal ini tidak dikehendaki dalam Islam yang mengajak 48 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran pada jalan yang lurus dan melarang berbuat melampaui batas, baik dalam hal konsep, akidah, ibadah, perilaku, hubungan dengan sesama manusia maupun dalam perundang-undangan (Yusuf Qardhawi, 2017:22). Sila kedua Pancasila—Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab—mem­perjelas kembali, bahwa bangsa ini berkomitmen adil dan beradab (, 2015:9), sedangkan perilaku LGBT adalah perilaku penyimpangan seksual yang tidak adil, karena tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, serta tidak beradab karena bertentangan dengan nilai-nilai suci Alquran. Mengamalkan Alquran yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur adalah tugas kita bersama dengan jalan gotong royong, karena gotong royong juga merupakan saripati Pancasila: ia adalah semangat untuk bergandengan turun tangan (Anies Baswedan, 2015:229). Konsekuensi yang diberikan pada para pengidap LGBT yang melakukan tindakan seksual yang menyimpang telah diatur dalam pasal 292 KUHP dengan kurungan penjara paling lama lima tahun bagi tersangka orang dewasa dan korban belum dewasa. Tentu saja ini menjadi catatan penting bagi para ayah bunda, bahwa penguatan keluarga dengan berpegang teguh pada Alquran dan nilai-nilai pancasila adalah satu-satunya kunci utama agar keluarga terbebas dari LGBT. Berpegang teguh pada Alquran dan menghormati dengan patuh pula pada Pancasila diharapkan ayah bunda mampu menjadikan kedua hal tersebut— Alquran dan Pancasila—sebagai sumber rujukan untuk men­ciptakan keluarga yang sehat lahir batin, tidak keluar dari fitrah hidup manusia yang menjunjung tinggi kesucian dan kehormatan.

Melacak Faktor Penyebab LGBT Proses seseorang menjadi LGBT merupakan sebuah proses historis yang tidak terjadi begitu saja. Pembentukan kepribadian seorang LGBT mengalami fase perkembangan dari masa anak-anak sampai masa dewasa melalui proses yang berbeda, spesifik dan begitu panjang, dimulai dari masa anak-anak hingga menginjak masa remaja yang tidak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga dan begaul, serta tidak lepas dari konteks kultural yaitu penanaman nilai agama dan tradisi budaya yang dianut oleh sebuah keluarga, serta pengaruh paparan pornografi yang sangat mudah diakses oleh anak-anak dan remaja (Dewi Rokhmah, 2017:17). Gambaran fase kehidupan LGBT dari masa anak-anak hingga dewasa menunjukkan perbedaan yang kentara dari setiap individu. Pada masa anak- anak umumnya mereka memiliki kehidupan yang normal seperti kebanyakan­ Menggiatkan Pendidikan Maskulin dan Feminin Dalam Keluarga 49 anak-anak pada umumnya, namun setelah dipicu oleh penyebab yang menjadi titik balik individu menjadi LGBT, maka mereka mengalami perubahan kehidupan yang tidak sama dengan kebanyakan anak-anak lainnya. Faktor penyebab yang melatarbelakangi seseorang menjadi LGBT, antara lain: (1) Pengalaman traumatik pernah menjadi korban pelecehan seksual; (2) Pola asuh orang tua yang salah; (3) Kurang mendapat kasih sayang dari orang tua (ayah bunda) yang utuh; (4) Kehilangan figur ayah; serta (5) pengaruh lingkungan pergaulan (Dewi Rokhmah, 2017:18). Setelah kita mengetahui beberapa faktor seseorang terjangkit perilaku LGBT, masih ada sebagian dari mereka yang memakai dalih Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pembenaran, bahkan sampai menafsirkan salah satu ayat Alquran dengan penjelasan yang keliru, seperti firman Allah S.w.t.. dalam surat Ar-Rûm ayat 21 yang berbunyi:

ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. M. Quraish Shihab dalam tafsir kontemporernya Al-Mishbah vol. 10 (2010:186) memberikan penjelasan, bahwa kata anfusikum adalah bentuk jamak dari kata nafs yang memiliki arti jenis atau diri. Pernyataan yang menyatakan bahwa pasangan manusia dari jenis yang sama (laki-laki atau perempuan) adalah tindakan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Allah tidak mengkhendaki hubungan seksual kepada yang bukan pasangannya. Mengenai pasangan telah Allah S.w.t.. tegaskan dalam Alquran surat An-Najm ayat 45:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ Dan sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Al-Imam Jalaluddin Abdirrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam kitabnya Tafsir Jalalain (tt:198) memberikan penjelasan mengenai hal di atas, bahwa “(Sesungguhnya­ Dialah yang menciptakan pasangan) dua macam (laki-laki dan perempuan), dengan begitu dapat kita simpulkan, bahwa pasangan itu adalah dua macam: laki-laki dan perempuan, bukan yang satu jenis. Bagi mereka yang menjadikan surat Ar-Rûm ayat 21 sebagai pem­benaran, tentu saja hal ini keliru, karena tidak sesuai dengan makna surat An-Najm ayat 50 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

45 yang menjelaskan bahwa pasangan bagi laki-laki adalah perempuan, begitu pula berlaku sebaliknya. Semoga penjelasan di atas dapat menjadi acuan bahwa Allah tidak mengkhendaki pasangan sejenis.

Konsep Preventif Terkait Perilaku LGBT Setelah mengetahui faktor penyebab LGBT, maka harus ada konsep preventif bagaimana keluarga Indonesia, khususnya di Provinsi Banten, bisa terbebas dari perilaku penyimpangan seksual seperti LGBT. Penulis dalam hal ini memberikan dua konsep yang mudah-mudahan menjadi solusi terbaik, yakni lewat pendidikan, pendidikan ini diharapkan pula dijalankan atas dasar keinginan meraih ridha Allah S.w.t.. sebab dengan hal tersebut seseorang dapat mengenal Tuhannya dan membangun budi pekerti (, 2017:283), di antara konsep yang akan diberikan meliputi pendidikan maskulin untuk anak laki-laki dan pendidikan feminin untuk anak perempuan dengan rincian sebagai berikut: 1. Pendidikan Maskulin untuk Anak Laki-laki Maskulin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:884) diartikan sebagai “bersifat jantan”, sedangkan “jantan” diartikan sebagai “gagah dan berani” (KBBI, 2008:566) Ini menjadi catatan bahwa anak laki-laki harus memiliki kepribadian yang gagah, tangguh dan berani yang menjadi sifat laki-laki. Anak laki-laki perlu memiliki kepribadian maskulin yang dominan, dengan tidak menepikan sifat feminin. Dalam aplikasinya, anak akan tumbuh menjadi laki- laki yang memiliki karakter berani, disiplin, tegas dan rasional dalam mengambil keputusan (Irawati Istadi, 2017:49). Seseorang yang dapat dijadikan figur maskulin adalah ayahnya. Sebab selain kepribadian maskulin yang dimiliki seorang ayah, ia pun perlu menjadi figur, karena sesorang lebih mudah memahami dengan dicontohkan dari pada lewat teori. Jika seorang anak terlahir dari keluarga yang tidak utuh (single parent) maka seseorang yang dapat dijadikan figur maskulin adalah saudara laki-laki dari ayah atau dari bundanya. Selanjutnya, jika seorang anak sudah terlanjur terjangkit LGBT, maka tugas ayah bunda adalah dengan tidak menjauhi sang anak, tetapi dengan diarahkan dan dibina dengan penuh kasih sayang. Pastikan pula ayah bunda mendengarkan dan memahami apa yang menjadi masalah sang anak agar ia memiliki kepribadian yang sesuai dengan biologisnya (Hasan Syamsi, 2017:75). Seorang ayah dapat mengajarkan anak laki-laki aktivitas apa saja yang biasanya dilakukan anak laki-laki, serta memberikan pengajaran bahwa anak laki-laki harus memiliki jiwa dan tubuh yang kuat dan berani mengambil resiko, sebab hidup ini penuh dengan resiko, dan resiko akan mampu di­hadapi Menggiatkan Pendidikan Maskulin dan Feminin Dalam Keluarga 51 oleh jiwa yang memiliki keberanian (Robi Afrizan Saputra, 2017:120). Gelar pemberani tentu saja layak diberikan pada mereka yang tiada merasa gentar (Hamka, 2017:245). Anak laki-laki harus memiliki jiwa yang siap bertanggung jawab, terutama setelah dewasa, ketika kelak mereka menjadi ayah bagi anak-anaknya. Pendidikan yang diberikan ayah bunda, tentu saja harus dengan jalan yang baik dan tidak dengan cara yang kasar, karena cara yang kasar dapat menghapus kandungan pembicaraan yang baik (Yusuf Qardhawi, 2107:226).

2. Pendidikan Feminin untuk Anak Perempuan Feminin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “bersifat perempuan” (2008:390). Dalam hal ini perempuan harus memiliki sifat feminin: lemah lembut dan penuh kasih sayang yang dominan. Bukan berarti anak perempuan tidak diperbolehkan memiliki sifat maskulin, hanya saja sifat feminin ini harus dominan melekat. Anak perempuan jika tidak memiliki sifat maskulin dikhawatirkan akan menjadi anak yang cengeng, tertutup dan tidak mempunyai semangat. Padahal Islam tidak mengk­ ­hendaki sikap tersebut, sebagaimana firman Allah S.w.t.. dalam Alquran surat Âli ‘Imrân ayat 139 yang berbunyi:

ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman. Ditegaskan pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. tentang perintah agar kuat dan meninggalkan kelemahan, yakni: Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah S.w.t.. daripada orang mukmin yang lemah. Dan dalam segala hal memang terdapat kebaikan. Raihlah dengan sungguh-sungguh apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah. Seseorang yang dapat dijadikan figur feminin dalam hal ini adalah bunda, karena karakter feminin dalam dirinya terdapat keterampilan linguistik yang dimiliki kebanyakan perempuan. Seorang anak perempuan juga perlu figur maskulin, karena jika tidak, dikhawatirkan dirinya menjadi pasif karena tidak memiliki keberanian dan ketakutan dalam menghadapi resiko dalam hidup yang selalu hadir. Anak perempuan yang tidak mendapatkan figur maskulin yang baik— apalagi jika ditambah dengan pernah mengalami trauma terhadap laki-laki—ia bisa tumbuh menjadi lesbian karena ke­hilangan kepercayaan terhadap laki-laki. Begitu pula sebaliknya berlaku bagi anak laki-laki (Irawati Istadi, 2017:39). Usaha yang digiatkan dalam hal ini meliputi pendidikan maskulin dan feminin, pada hakikatnya tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa 52 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran menyerahkan seluruhnya pada Allah S.w.t.. Muhammad Iqbal dalam bukunya 8 Golongan yang Dicintai Allah dan 6 Golongan yang Dibenci Allah (2015:42) memberikan penuturan, bahwa tawakal adalah berserah diri kepada Allah demi mendapatkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Menurut Syekh Ibnu ‘Utsaimin, tawakal adalah menyandarkan permasalahan kepada Allah dan mengupayakan yang dicari dan menolak sesuatu yang tidak disenangi, disertai percaya penuh kepada Allah S.w.t.. Kisah Nabi Musa as. beserta para pengikutnya yang dikejar Fir’aun dan bala tentaranya dalam Alquran surat Al- Baqarah ayat 49-50 dan surat Asy-Syu’arâ’ ayat 52-68 menjadi catatan bahwa Allah S.w.t.. senantiasa menolong hamba-Nya yang tawakal.

Penutup Dari penjelasan di atas, dapat diambil benang merah. Pertama, LGBT merupakan perilaku menyimpang yang keluar dari batas wajar. Alquran dan Pancasila tidak mengkhendaki perilaku penyimpangan seksual seperti LGBT. Penguatan keluarga diharapkan mampu menjadi pintu awal agar anggota keluarga terbebas dari perilaku LGBT. Jika keluarga kuat maka negara akan kuat, jika keluarga lemah, maka negara akan mudah rapuh. Kedua, perilaku LGBT merupakan perilaku yang tidak terjadi begitu saja. Dalam hal ini, beberapa faktor penyebab LGBT meliputi: (1) Pengalaman traumatik pernah menjadi korban pelecehan seksual; (2) Pola asuh orang tua yang salah; (3) Kurang mendapat kasih sayang dari orang tua (ayah bunda) yang utuh; (4) Kehilangan figur ayah; serta (5) pengaruh lingkungan pergaulan (Dewi Rokhmah, 2017:18). Ketiga, konsep preventif yang diberikan dalam hal penanggulangan dan pencegahan terkait perilaku LGBT, yakni: (1) Pendidikan Maskulin untuk Anak Laki-laki; dan (2) Pendidikan Feminin untuk Anak Perempuan. Konsep tersebut diharapkan mampu mewujudkan keluarga di Provinsi Banten bisa hidup sehat dan terbebas dari LGBT serta menjadi masyarakat yang berlimpah rahmat Allah S.w.t.. Aamiin.

Pustaka Acuan Sumber Buku 3 Kitab Undang-Undang: KUHPer; KUHP; KUHAP. 2015. t.pn: Grahamedia Press. Abdurrahman, Jamal. 2017. Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi. Penerjemah: Agus Suwandi. : Aqwam. Menggiatkan Pendidikan Maskulin dan Feminin Dalam Keluarga 53

Al-Baqiy, M. Fuad Abd. 1364. Al-Mu’jam Al-Mutahras li Al-Fazh Alquran. Al- Qahirah: Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah. Al-Jawi, Al-Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi. tt. Tafsir Al-Munîr. Darul Ilmi: Surabaya. Al-Mundziri, Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi. 2012. Ringkasan Sahih Muslim. Surakarta: Insan Kamil. As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Al-Imam Jalaluddin Abdirrahman bin Abu Bakar. tt. Tafsir Jalalain. t.pn: CV: Pustaka Assalam. Azhar, Nur Tauhid. 2011. Mengapa Banyak Larangan? Hikmah dan Efek Pengharaman dalam Bercinta, Kesehatan, serta Psikologi Kejiwaan. Surakarta: Tinta Medina. Baswedan, Anies. 2015. Merawat Tenun Kebangsaan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Departemen Agama RI. tt. Alquran Al-Karîm dan Terjemah Bahasa Indonesia. Kudus: Menara Kudus. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa: Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hamka. 2015. Falsafah Hidup. Jakarta: Republika Penerbit. _____, 2015. Lembaga Hidup. Jakarta: Republika Penerbit. Husaini, Adian. 2015. LGBT di Indonesia: Perkembangan dan Solusinya. INSIST: Jakarta Selatan. Iqbal, Muhammad. 2015. 8 Golongan yang Dicintai Allah dan 6 Golongan yang Dibenci Allah. Bandung: PT Mizan Pustaka. Istadi, Irawati. 2017. Rumahku, Tempat Belajarku. Yogyakarta: Pro-U Media. Junaedi, Didi. 2016. Penyimpangan Seksual yang Dilarang Alquran: Menikmati Seks Tidak Harus Menyimpang. Jakarta: PT Gramedia. Qardhawi, Yusuf. 2017. Islam Jalan Tengah: Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Beragama. Penerjemah: Alwi A.M. Bandung: PT Mizan Pustaka. Rokhmah, Dewi. 2017. Strategi Pencegahan LGBT Pada Anak. Yogyakarta: Gosyen Publishing. Saputra, Robi Afrizan. 2017. Jangan Jadikan Masa Mudamu Sia-sia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Shihab, M. Quraish. 2010. Tafsîr Al-Mishbâh: Pesan, kesan, dan Keserasian Alquran Vol. 4. Jakarta: Lentera Hati. _____, 2010. Tafsîr Al-Mishbâh: Pesan, kesan, dan Keserasian Alquran Vol. 4. Jakarta: Lentera Hati. 54 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Sinyo. 2016. Lo Gue Butuh Tau LGBT. Jakarta: Gema Insani. Syamsi, Hasan. 2017. Modern Islamic Parenting. Surakarta: AISAR Publishing. Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2009. Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya. Bandung: Nuansa Aulia.

Sumber Internet Kartika Ikawati. Rappler.com. Kilas balik 3 dekade Organisasi LGBT Indonesia Bersama dede oetomo. Diakses Pada tanggal 18 Januari 2018 Pukul 19.15 WIB. Mahyadi. Bantenhits.com. “Jumlah LGBT di Banten meningkat 200%”. Diakses Pada Tanggal 18 Januari 2018 Pukul 9.41 WIB. SU02. Seruji.co.id. “Aksi Tolak LGBT digelar di Banten” Diakses pada Tanggal 18 Februari 2018 Pukul 07.30. Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak (Tinjauan Fungsi Afeksi Keluarga dalam Upaya Menopang Ketahanan Nasional)

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.01

Pendahuluan Ibu merupakan salah satu dari kedudukan sosial yang memiliki banyak peran. Peran sebagai istri dari suaminya, peran sebagai ibu dari anak-anaknya, peran sebagai manager rumah tangganya, serta sebagai madrasah untuk anak-anaknya. Ibu adalah status mulia yang pasti akan disandang oleh setiap wanita normal. Ia mengemban banyak tugas dan tanggung jawab terhadap keluarganya. Didalam Alquran dijelaskan bahwa tugas seorang ibu sebagai istri ialah melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk melayani suaminya, menjaga harga diri, rumah tangga, dan harta suami ketika suami tidak ada dirumah (Q.S.an-Nisa:34). Sedangkan tugas ibu terhadap anak diantaranya ialah mengandungnya, melahirkannya, menyusuinya serta mendidiknya bahkan ketika masih dalam kandungan (Q.S.Luqman:14). Tugas seorang ibu dalam merawat dan membesarkan anaknya tidak terbatas fisik saja, tetapi meliputi semua aspek pertumbuhan dan per­kembangan manusia sebagai makhluk Allah S.W.T.. Selain itu, hal terpenting dalam membesarkan anak adalah bagaimana mengisi jiwanya dengan akidah yang kokoh sehingga mampu menjalankan syari’at Islam dengan baik, karena Allah S.W.T. telah menegaskan kepada manusia bahwa jangan sampai meninggalkan generasi

55 56 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran setelah mereka generasi yang lemah dari segi akidah, akhlak, ilmu pengetahuan, serta aspek-aspek lainnya (Q.S.an-Nisa:9). Hal ini berarti tugas orang tua mendidik anak merupakan hak anak yang sangat utama demi terjaminnya kehidupan anak di masa mendatang. Menurut pandangan Islam mengenai hak anak dalam mendapatkan­ pendidikan, sebenarnya terkait erat dengan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Orang tua (khususnya ibu) berkewajiban memberikan perhatian kepada anaknya dan dituntut untuk tidak lalai dalam mendidik­nya. Jika anak merupakan amanah dari Allah S.W.T., maka mendidiknya termasuk bagian dari menunaikan amanah-Nya. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk khianat terhadap amanah Allah S.W.T. (Q.S.an-Nisa:58). Ada ungkapan yang menyebutkan “al-ummu madrasatul- la” (ibu adalah sekolah pertama) untuk menunjukkan betapa peran ibu sangat strategis dalam mendidik anak-anaknya di awal kehidupan mereka. Namun, di zaman modern ini terjadi banyak kemajuan pola pikir. Dewasa kini, sebagian ibu lebih memilih meniti karirnya dari pada hanya sekedar mejadi seorang ibu rumah tangga. Kini, hampir semua perusahaan dalam skala local maupun nasional memberi persyaratan gender (menempatkan wanita) pada posisi tertentu dalam bidangnya. Hal ini di­maklumkan karena memang ada beberapa peran perempuan dalam suatu pekerjaan yang memang tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Contohnya, perawat (tidak bisa seluruhnya laki-laki) atau admin perusahaan tertentu yang memberi persyaratan gender (harus wanita dengan wajah cantik dan tinggi yang ditentukan), serta masih banyak posisi-posisi pekerjaan tertentu yang membutuhkan seorang wanita. Bahkan dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 2012 menyatakan bahwa diharuskannya 30% partisipasi wanita dalam menduduki posisi kepengurusan partai politik tingkat pusat. Hal tersebut tentu memberikan dampak yang tidak sedikit, minimal dalam skala keluarga. Keluarga merupakan komunitas terkecil dalam struktur masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan bagi perkembangan anak. Salah satu fungsi keluarga juga sebagai pemberi kasih saying (fungsi afeksi). Anak yang kekurangan kasih sayang akan tumbuh secara menyimpang, atau mengalami suatu gangguan dalam sikapnya bermasyarakat. Kasih sayang orang tua dapat dilakukan dengan cara menciptakan iklim kondusif di lingkungan rumah (keluarga) guna tumbuhnya karakter yang baik sejak kecil. Hal tersebut dibutuhkan pendampingan serta keteladanan yang dilakukan secara terus menerus oleh orang tua kepada anaknya. Keterlibatan wanita (khususnya ibu) dalam karirnya tentu berakibat pada Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 57 berkurangnya kuantitas waktu (quantity time) dengan keluarganya, khususnya anak. Hal tersebut tentu memiliki dampak yang tidak sedikit untuk anak. Namun, di sisi lain, tidak dipungkiri memang dalam proses pem­bangunan nasional dibutuhkan peran wanita didalamnya. Hal ini banyak menimbulkan pertanyaan dibenak kita. Bagaimanakah seharusnya seorang ibu dalam berkarir dan mendidik anak dengan baik. Karena keduanya merupakan hal penting dalam pembangunan ketahanan nasional. Oleh karena itu, penulis akan mengkaji urgensi peran ibu terhadap pendidikan karakter anak sebagai tinjauan fungsi afeksi keluarga dalam upaya menopang ketahanan nasional.

Peran Ibu Dalam Keluarga dan Tinjauan Karirnya Peran seorang perempuan sebagai ibu, sejatinya dimulai dari saat terjadinya konsepsi yang berproses menjadi janin dan kemudian lahir sebagai bayi. Secara garis besar, peran perempuan sebagai ibu dalam keluarga dapat dijelaskan sebagai berikut:1 1. Mengandung Serta Melahirkan Anak (Fungsi Reproduksi) Salah satu kodrat perempuan adalah mengandung anak. Pekerjaan atau tugas ini sangat spesifik karena hanya bisa dijalani oleh perempuan. Mengandung anak adalah tugas yang melelahkan, karena adanya perubahan-perubahan hormonal yang berpengaruh pada keseluruhan system tubuh. Tugas ini dijelaskan oleh beberapa ayat dalam Alquran diantaranya adalah Surat al- Ahqaf (46:15). 2. Menyusui dan Merawat Anak (Fungsi Afeksi) Anak lahir ke dunia telah dilengkapi oleh Allah S.W.T. berbagai modalitas untuk hidup seperti insting (naluri) untuk menyusu, tapi belum memiliki pengetahuan atau kecerdasan (kognitif) kecuali potensi-potensi yang siap dikembangkan oleh orang tua dan lingkungannya. Tugas ini dijelaskan oleh beberapa ayat dalam Alquran diantaranya adalah Surat an-Nahl (16:78) dan Surat al-Baqarah (2:23). 3. Membesarkan dan Mendidik anak (Fungsi Pendidikan) Tugas ibu dalam membesarkan dan mendidik anak tidak seeksklusif tugas mengandung, melahirkan, dan menyusui. Karena, merawat dan membesarkan anak dapat dilakukan secara bersama-sama dengan keluarga. Merawat dan membesarkan anak tidak terbatas pada ke­butuhan fisik saja, tetapi meliputi semua aspek pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai makhluk

1 Hanafi, Muchlis M. Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir Al-Qur’an Tematik). (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012) Hal.146 58 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Allah S.W.T. seperti perkembangan mental, spiritual, sosial, kecerdasan, dan keterampilan hidup (life skill). Berikut adalah ayat yang menjelaskan kewajiban orang tua untuk mendidik anaknya serta hak anak untuk mendapatkan pendidikan (tarbiyah) dari orang tuanya:

ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Q.S.at-Tahrîm: 6). Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang beriman diharuskan memelihara dirinya dan keluarganya dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia. Ketika orang tua ingin melindungi anaknya dari panasnya api neraka, berarti ia harus membekali anaknya dengan sebaik-baiknya ilmu. Ilmu tersebut-lah yang akan menjaganya dari siksaan neraka. Sebab bagaimana anak bisa menjaga dirinya jika ia tidak mengerti apasaja yang dilarang oleh agama. Bagaimana ia bisa mengerti sesuatu yang haram jika ia tidak diberi pengetahuan tentang hal tersebut. Hal ini berarti pendidikan adalah hal yang paling utama bagi anak demi terjaminnya hidup anak di masa mendatang. Hal ini juga diperkuat dengan ayat Alquran berikut: ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar (Q.S.an-Nisâ’: 9). Dalam tafsir al-Muyassar dijelaskan bahwa seseorang harus merasa khawatir kalau-kalau sesudah wafatnya ia meninggalkan anak keturunan yang lemah, lalu mereka teraniaya dan kehilangan segalanya (tak bermakna apa-apa dalam kehidupan, meaningless). Untuk itu, penting untuk menjaga harta mereka, memberi pendidikan terbaik, menjauhkan mereka dari segala penderitaan, dan senantiasa berkomunikasi secara baik dan adil.2

2 Hanafi, Muchlis M.Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir Al-Qur’an Tematik). (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012) Hal.153 Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 59

Sebuah riwayat menyebutkan bahwa diantara hak-hak anak dari orang tuanya adalah memiliki keterampilan motorik halus seperti menulis, motorik kasar seperti bela diri, dan tidak mendapatkan rezeki yang haram. Kewajiban orang tua terhadap anaknya antara lain mengajarinya tulis baca, berenang, memanah, dan tidak memberinya rezeki kecuali yang baik (halal). (Riwayat al-Hâkim dan al-Baihaqî dari Abû Râfi’. Begitu strategisnya tanggung jawab seorang ibu terhadap anaknya, bahkan di zaman sekarang semakin banyak tantangannya bagi seorang ibu dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, Allah menempatkan ibu pada posisi yang mulia. Seperti yang dijelaskan dalam ayat berikut:

ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu (Q.S.Luqman:14)”. Namun meskipun ibu memiliki tanggung jawab yang sangat penting terhadap anak, bukan berarti ia tidak boleh melakukan kepentingan diluar rumah. Dalam Alquran memang dijelaskan bahwa sebaiknya wanita tetap tinggal dirumah, tidak berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliyah, melaksanakan shalat, menunaikan zakat serta menaati Allah dan rasulnya (Q.S.al-Ahzab: 33). Ibnu katsir menafsirkan ayat tersebut bahwa itu merupakan larangan bagi perempuan khususnya istri Nabi Saw dan perempuan muslimah lainnya untuk keluar rumah jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama, shalat dimasjid umpamanya.3 Wahbah az-Zuhaili juga berpandangan seperti di atas, ia menyatakan: “Hendaklah perempuan tetap tinggal di rumah, jangan sering keluar rumah tanpa ada keperluan yang diperbolehkan agama”.4 Sedangkan, diantara pemikir muslim kontemporer adalah al-Maududi yang berpandangan seperti di atas. Dalam bukunya al-Hijâb seperti yang dikutip oleh M. Quraish Shihab, ia menyatakan: “Tempat perempuan adalah dirumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada dirumah dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada

3 Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2001) h.330 4 Abul-Fadl, Jamaluddin. Lisânul-‘Arab (Beirut: Daarul Kutub al-Ilmiyyah, 2003) hal.418 60 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu”.5 Pandangan tersebut juga dijabarkan oleh Sayyid Qutub dan M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Fî Zilâlil-Qur’ân, Sayyid Qutub menyatakan ayat tersebut memberi isyarat bahwa rumah tangga adalah tugas pokok para istri, sedangkan selain itu adalah tempat ia tidak menetap (bukan tugas pokoknya). Sedangkan M.Quraish Shihab menambahkan argumen Sayyid Qutub dengan menyatakan bahwa perempuan pada zaman awal Islam pun bekerja, ketika kondisi mereka dituntut untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung mendorong perempuan keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat diperlukan atau dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan perempuan tertentu. Misalnya kebutuhan untuk bekerja karena yang menanggung biaya hidupnya belum mampu mencukupi kebutuhannya.6 Berikut pandangan Alquran tentang perempuan yang bekerja:7 1. Bekerja adalah keniscayaan hidup Tujuan utama Allah S.W.T. memberikan kesempatan hidup di dunia adalah agar manusia—termasuk perempuan- bekerja dengan baik. Hal ini diisyaratkan dalam Surat pada Alquran, yaitu:

ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Q.S.al-Mulk:2). Dalam ayat ini setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dituntut untuk dapat mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam bekerja dan melakukan tugas-tugasnya. Maka kalau ada orang yang enggan berusaha, apalagi kalau itu adalah tugas utamanya baik laki-laki maupun perempuan, sungguh orang tersebut telah melalaikan kewajibannya. 2. Memiliki kesempatan yang sama untuk berprestasi, ayat yang secara jelas menunjukkan hal ini adalah:

ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬﮭ

5 Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah, h.418 6 At-Tabari, Ibnu Jarir, Tafsir at-Tabari, jilid II (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992) h.136-137 7 Hanafi, Muchlis M. Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir Al-Qur’an Tematik). (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012) Hal.83 Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 61

ﮮ ﮯ ﮰ ﮱﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S.an-Nisa:32) Mufassir Abu Hayyan menjelaskan ayat tersebut menyatakan bahwa “Islam tidak menerima orang yang hanya berangan-angan dan berpangku­ tangan. Tidak pula memperkenankan sikap pasif dan malas. Islam menyerukan sikap yang progresif dan kerja keras. Adapun berangan-angan terhadap hal-hal yang baik di dunia dan berusaha mewujudkannya dengan tujuan mendapat pahala akhirat, maka yang seperti itu sangat terpuji. Seseorang yang menggantungkan keberuntungannya dengan giat bekerja adalah spirit Islam.8 Kesimpulannya, wanita dianjurkan untuk menetap dirumah, namun ia juga tidak mendapat larangan keluar rumah untuk hal tertentu sesuai kebutuhannya dan memberikan kemaslahatan umat. Hal tersebut tentu disertakan beberapa syarat, seperti yang dianjurkan oleh M.Quraish Shihab dalam bukunya: 1. Hendaklah pekerjaan tersebut disyari’atkan. Maksudnya adalah pekerjaan yang dilakukan oleh wanita tersebut bukan merupakan pekerjaan yang mendatangkan keharaman. Misalnya, menjadi wanita yang menyediakan minuman memabukkan di bar, karena Allah melaknat siapa saja yang meminum khamr, menyediakannya, serta menjualnya. Atau menjadi sekretaris seorang laki-laki yang jika mereka bekerja lebih sering berduaan sehingga menimbulkan fitnah antara keduanya. 2. Hendaklah wanita tersebut keluar rumah dengan menjaga auratnya serta memelihara kemaluannya. Ketika ia keluar rumah, hendaklah ia memakai pakaian yang rapih, menutupi auratnya, menjaga kehormatan suaminya, serta menjaga dirinya dari fitnah. 3. Hendaklah mendapat izin dari suaminya serta pekerjaannya tidak mengganggu atau melalaikannya dalam melakukan kewajibannya dalam melayani suami, mengurus anak serta mendidik anak.

Peran Ibu dalam Menumbuhkan Pendidikan Karakter Anak Pendidikan karakter adalah usaha-usaha yang dilakukan secara sadar, baik oleh individu, kelompok tertentu atau sekolah dalam rangka menginternalisasi nilai-

8 Al-Qurtubi, al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qurân, jilid X (Beirut: Darul-Fikr, 1999) h.261 62 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran nilai luhur, baik yang bersumber dari agama, dari nilai sosial dan budaya bangsa, serta etika dan moral. Hal tersebut diupayakan agar seseorang mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) yang selanjutkan akan tumbuh menjadi sikap, pandangan dan kepribadiannya.9 Sejatinya, karakter anak itu bukan dibentuk, tapi ditumbuhkan. Bagaimana caranya orang tua memberikan umpan yang baik dan terjamin sehingga karakter tersebut dapat tumbuh berkembang bahkan mengakar pada diri anak. Hal ini perlu dilakukan atas kerja sama orang tua (ayah dan ibu), perbedaannya adalah ibu lebih dominan dalam pengaruhnya terhadap proses tumbuh kembang anak, karena sejak lahir hingga tumbuh besar seorang ibulah yang cenderung mengurus anaknya. Proses menumbuhkan karakter yang baik pada anak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Penciptaan iklim yang baik (favourable) Untuk menumbuhkan karakter yang baik pada anak secara alami, maka dibutuhkannya rangsangan atau penciptaan iklim yang baik. Anak akan melakukan apa yang menurutnya menarik dari lingkungannya, maka orang tua harus berupaya menciptakan hal yang bisa merangsang anak agar dapat melakukan hal yang baik, seperti membantu ibunya, membantu ayahnya, merapihkan mainan atau barang miliknya. Dari hal-hal sederhana tersebut akan tercipta sifat mandiri, sifat meng­hormati dan sifat menolong pada diri anak. 2. Pembiasaan (Habitly) Dalam upaya menumbuhkan karakter, perlu adanya pembiasaan yang dilakukan secara terus-menerus dan berkala pada anak. Hal tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Al-Hakim dan Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Amr bin A-Ash r.a dari Rasulullah Saw, bahwa beliau bersabda yang artinya: “Perintahkan anak-anakmu menjalankan ibadah saat shalat jika mereka sudah berusia 7 tahun. Dan jika mereka sudah berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya dan pisahkanlah tempat tidur mereka”.10 Berdasarkan perintah tersebut, dapat kita fahami bahwa Rasulullah bukan

9 Tafsir, MA. Prof. Dr. H. Ahmad. Pendidikan Karakter Berbasis Wahyu. (Jakarta: Gaung Persada, 2016) hal.7 10 Nashih Ulwan, Dr. Abdullah. Pendidikan Anak Dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Amani, 2007) hal.167 Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 63

mengajarkan kekerasan kepada anak, melainkan lebih mengutamakan kasih sayang. Sehingga anak perlu di didik di usia dini, mengajarinya, serta melatihnya secara terus-menerus. Jika dalam jangka waktu tiga tahun anak tidak juga melaksanakannya, baru pukullah mereka. Bukan memukulnya tanpa mendidiknya serta melatihnya terlebih dahulu. Hal tersebut bertujuan agar supaya ketika anak tumbuh besar, ia telah terbiasa melakukan dan terdidik untuk menaati Allah, melaksanakan hak-Nya, bersyukur, kembali serta berpegang teguh kepada-Nya. 3. Keteladanan (Examplary) Sifat anak adalah meniru, dan ketika di lingkungan keluarga ia akan lebih sering meniru apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Oleh karena itu orang tua harus menjadi model yang baik untuk anak. Sebagian orang tua masa kini, tidak bisa lepas dari alat komunikasi sehingga terkadang mengabaikan anaknya yang sedang bersamanya. Hal tersebut merupakan contoh penyebab mengapa anak zaman sekarang juga sulit dijauhkan dari alat komunikasi. Maka, jadilah sebaik-baiknya model untuk anak tiru, sehingga ia akan terbiasa melakukan hal-hal yang baik dan dapat menghormati apa yang dinasehatkan oleh orang tuanya.

Korelasi Ketahanan Keluarga Dengan Ketahanan Nasional Ketahanan keluarga merupakan suatu kondisi dinamik keluarga yang memiliki keuletan, ketangguhan serta kemampuan fisik, materiil dan mental untuk hidup secara mandiri. Ketahanan keluarga juga mengandung makna kemampuan keluarga untuk mengembangkan dirinya agar hidup secara harmonis, sejahtera dan bahagia lahir dan batin. Ketahanan keluarga mencakup kemampuan keluarga untuk mengelola sumber daya dan masalah untuk mencapai kesejahteraan, kemampuan untuk beradaptasi terhadap berbagai kondisi yang senantiasa berubah secara dinamis serta memiliki sifat positif terhadap berbagai tantangan kehidupan berkeluarga. Peraturan menteri PPPA nomor 6 tahun 2013 tentang pelaksanaan pembangunan keluarga menyebutkan terdapat 5 indikator ketahanan keluarga, yaitu :11 1. Landasan legalitas dan keutuhan keluarga 2. Ketahanan fisik 3. Ketahanan ekonomi

11 Badan Pusat Statistik. Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016. (Jakarta: CV. Lintas Khatulistiwa, 2016) hal.8 64 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

4. Ketahanan sosial psikologi 5. Ketahanan sosial budaya Pada point pertama, landasan legalitas dan keutuhan keluarga di­dalamnya termaksud kemitraan gender dimana salah satu cirinya adalah ibu menyisihkan waktu khusus bersama anaknya. Hal ini menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan pada ketahanan keluarga apabila point tersebut tidak tercukupi dalam suatu keluarga. Keluarga merupakan basis pembinaan awal yang dapat berperan mem­ berikan perlindungan dan pembinaan terhadap anggota keluarganya sehingga dapat terjun ke lingkungan yang lebih besar, yakni masyarakat dan bangsa. Pembinaan dalam keluarga dapat memainkan peranan penting untuk mem­ bentengi anak dari pengaruh negative globalisasi. Keberadaan keluarga ditempatkan sebagai lini pertama yang berperan dalam pemenuhan hak anak dan menjamin tumbuh kembang anak. Keluarga merupakan institusi terkecil dalam suatu bangsa, namun keberadaannya memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan pembangunan bangsa. Dengan demikian, korelasi ketahanan keluarga dengan ketahanan nasional adalah bahwa keluarga merupakan pilar utama yang memiliki peran sentral bagi pembentukan karakter anak bangsa, peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas, dan peningkatan tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, keluarga-keluarga yang shalih-shalihah akan berpengaruh kepada kokohnya suatu bangsa.

Gagasan Kuantitas dan Kualitas Waktu (Quantity and Quality Time) Anak memang membutuhkan keduanya, kuantitas waktu dan kualitas waktu. Namun, jika orang tua (khususnya ibu) tidak dapat memenuhi keduanya karena adanya tuntutan lain, maka pertimbangkanlah hal tersebut dengan sebaik mungkin. Ketika seorang ibu tetap dirumah dan merawat anaknya, maka anak tidak akan kekurangan kasih sayang dan pendampingan dalam setiap perkembangannya, namun kebutuhan (materi) anak belum tentu terpenuhi seluruhnya. Ketika seorang ibu bekerja karena tuntutan ekonomi, maka kebutuhan anak dapat terbantu, namun ia akan kehilangan waktu bersama ibunya. Hal ini erat kaitannya, dan akan selalu ada ketimpangan yang terjadi ketika seorang ibu memilih salah satunya. Namun, seorang ibu yang cerdas akan dapat mengatasinya dengan cara ia menjadikan kuantitas waktu yang sedikit tersebut menjadi berkualitas ketika bersama anaknya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara: Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 65

1. Komunikasi yang aktif (Active Communication) Anak akan merasa diperhatikan apabila kita terus mengajaknya ber­bicara banyak hal. Menanyakan kegiatannya dalam pada hari itu, menanyakan bagaimana keadaan disekolahnya, menceritakan temannya pelajaran­nya, serta hal-hal sederhana lainnya. Lakukan hal tersebut sesering mungkin. Jika terhalang jarak, maka lakukan hal tersebut dengan menggunakan alat komunikasi. Hal ini bertujuan untuk tetap membangun kedekatan anak dengan orang tua meski sedang tidak pada tempat yang sama. 2. Berikan sentuhan (touching) Di dalam Adabul Mufrid, Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Aisyah r.a: “Seorang A’rabi telah mendatangi Nabi SAW dan berkata, ‘Apakah engkau menciumi anak-anakmu, sedang kami belum pernah melakukan hal itu’. Maka, Nabi SAW bersabda, ‘Apakah engkau ingin Allah mencopot rasa kasih sayang dari hatimu?”. Dalam hadits tersebut dapat difahami bahwa dengan memberikan sentuhan (ciuman atau pelukan) terhadap anak, akan terus me­numbuhkan rasa kasih sayang didalam hati keduanya (orang tua dan anak). Tidaklah mengherankan apabila kasih sayang itu telah tertanam di dalam hati kedua orang tua, mereka akan melaksanakan kewajibannya dan melindungi hak anak serta bertanggung jawab terhadap anak-anaknya sebagai kewajiban yang telah ditugaskan Allah kepada mereka. Maka manfaatkanlah waktu bersama anak dengan sebaik mungkin, memberikan sentuhan kepadanya sehingga menjadikan waktu tersebut berkualitas dalam mendidiknya. 3. Menjadi pendengar yang baik (good listener) Ketika sedang bersama anak, jadilah pendengar yang baik. Dengarkanlah­ ketika ia bercerita tentang apapun yang ia alami di sekolah, di lingkungan, serta apapun yang ingin ia ceritakan. Berilah ia nasihat yang baik setelah mencengar ceritanya. Respon yang baik sehingga membuat hatinya senang dan merasa didukung sepenuh hati. 4. Mengajarkan life skills Ketika anak mengeluhkan sesuatu tentang apa yang dialaminya, maka jangan ajarkan ia untuk acuh tak acuh terhadap masalahnya. Jangan ajarkan ia untuk bersikap masa bodo terhadap kejadian di sekelilingnya. Tapi ajarkanlah ia bagaimana cara mengatasi masalahnya, bagaimana ia harus mengatur emosinya, serta bagaimana ia harus berani minta maaf kepada orang lain dan memaafkan kesalahan orang lain. Beberapa hal tersebut harus dilakukan sesering mungkin dan jangan sampai menjadikan hal lain sebagai halangan. Berikan ia pendidikan yang terbaik, 66 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

materi yang mencukupi serta kasih sayang yang tiada batasnya. Sehingga akan tertanam pada dirinya sifat saling menyayangi terhadap yang lain.

Penutup Peran ibu terhadap pendidikan anak sangatlah penting. Karena ibu merupakan sekolah pertama bagi anak. Untuk melahirkan anak yang cerdas dibutuhkan seorang ibu yang cerdas. Untuk menjadikan anak shalih/shalihah maka orang tuanya pun harus shalih/shalihah. Wanita yang shalihah merupakan tiang negara, oleh karena itu untuk membangun sebuah negara yang kokoh dibutuhkannya peran wanita untuk mendidik anak-anak bangsa yang merupakan aset untuk membangun ketahanan suatu negara. Ketika seorang ibu memilih untuk berkarir dan tidak hanya menjadi ibu rumah tangga serta mengurus anak dirumah, maka hal tersebut diperbolehkan dengan adanya beberapa syarat, yaitu: 1) pekerjaannya sesuai syari’at; 2) menutup aurat dan menjaga dirinya dari fitnah; 3) atas izin suaminya dan tidak meninggalkan kewajibannya untuk mengurus anak dan suaminya. Keluarga merupakan pilar utama yang memiliki peran sentral bagi pembentukan karakter anak bangsa, peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas, dan peningkatan tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, keluarga- keluarga yang shalih-shalihah akan berpengaruh kepada kokohnya suatu bangsa. Pembinaan dalam keluarga dapat memainkan peranan penting untuk membentengi anak dari pengaruh negative globalisasi. Keberadaan keluarga ditempatkan sebagai lini pertama yang berperan dalam pemenuhan hak anak dan menjamin tumbuh kembang anak. Keluarga merupakan institusi terkecil dalam suatu bangsa, namun keberadaannya memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan pembangunan bangsa. Seorang ibu yang berkarir dapat memanfaatkan sisa waktunya dirumah dengan menjadikannya waktunya berkualitas. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara: 1) komunikasi yang aktif dengan anak; 2) memberikan sentuhan pada anak; 3) menjadi pendengar yang baik; 4) mengajarinya life skills. Hal tersebut guna mengatasi dilematika ibu masa kini yang meski berkarir namun tetap menjalankan kewajibannya untuk menumbuhkan karakter anak bangsa yang kokoh dan shalih-shalihah, sehingga dapat terwujudnya ketahanan bangsa yang kuat. Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 67

Pustaka Acuan: Alquran al-Kariim. Abul-Fadl, Jamaluddin. Lisânul-‘Arab. Beirut: Daarul Kutub al-Ilmiyyah, 2003. Al-Qurtubi, al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qurân, jilid X. Beirut: Darul-Fikr, 1999. At-Tabari, Ibnu Jarir, Tafsir at-Tabari, jilid II. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992. Badan Pusat Statistik. Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016. Jakarta: CV.Lintas Khatulistiwa, 2016. Dahlan, Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001. Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1996. Hanafi, Muchlis M. Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir Alquran Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran, 2012. Husain Fadhlullah, Sayyid Muhammad. Dunia Wanita Dalam Islam. Jakarta: Lentera Basritama, 2000. Nashih Ulwan, Dr.Abdullah. Pendidikan Anak Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Amani, 2007. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran. Jakarta: Lentera Hati, 2001. Tafsir,MA. Prof.Dr.H.Ahmad. Pendidikan Karakter Berbasis Wahyu. Jakarta: Gaung Persada, 2016.

Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1. 09

Pendahuluan Keluarga merupakan sebuah institusi terkecil dalam masyarakat. Itulah sebabnya, bangunan sebuah keluarga haruslah kuat supaya mampu meng­hasilkan generasi kuat. Pemahaman kita pada generasi kuat bukanlah sekedar pada fisik atau tubuhnya saja, melainkan lebih penting pada kekuatan keimanan dan ketakwaan. Karena dengan keimanan dan ketakwaanlah seorang anak dapat membangun diri, keluarga, agama dan negaranya. Kecenderungan generasi saat ini yang semakin merosot kedalam jurang kehancuran adalah karena tidak adanya penguatan iman, moral dan mental pada anak. Dilansir dari Kompas.com, kasus kenakalan remaja pada tahun 2017 meningkat sebanyak 400 persen. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional, 50-60% remaja di Indonesia menjadi pengguna narkoba. 48% dari jumlah tersebut merupakan pecandu dan sementara sisanya hanya mencoba penggunaan narkoba. Kenyataan ini diperparah dengan fakta lapangan bahwa 90% video porno yang beredar dalam beberapa tahun terakhir diperankan oleh remaja. Tingginya seks bebas ini juga turut meningkatkan angka aborsi. Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2012, sekitar 21,2 % remaja SMP dan SMA di 17 kota besar pernah melakukan aborsi.

69 70 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dalam kasus-kasus tersebut, ditemukan adanya andil keluarga sebagai sumber masalah. Dalam kasus kenakalan remaja misalnya, peran keluarga selalu disebut sebagai faktor utama karena orang tua tidak lagi menjalankan perannya dalam mendidik dan mengasuh anak. Fenomema maraknya orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada sekolah dan pengasuhan anak pada baby sitter atau pembantu rumah tangga menimbulkan dampak negatif yang menjadikan anak-anak memiliki kekurangan jasmani dan kelemahan iman, moral serta mental. Oleh karena itu, ketika Allah berpesan agar kita tidak meninggalkan generasi yang lemah, maka sesungguhnya Allah sedang berbicara kepada kita mengenai generasi kuat yang memiliki kekuatan lahir dan batin untuk membangun diri, keluarga, agama dan negaranya. Kekuataan ini dapat dapat kita tumbuhkan melalui proses parenting yaitu pelatihan dan pembiasaan yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anaknya. Allah S.W.T. memerintahkan kita agar mempersiapkan generasi yang kuat lahir dan batin sebagaimana termaktub dalam Surat An-Nisa ayat 9: ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggal­ kan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar (Q.s. An-Nisa: 9). Tafsir Ibnu Katsir (2002:241) menjelaskan, bahwa Ali Bin Abi Thalib berkata dari Ibnu Abbas: “Ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang meninggal, kemudian seseorang mendengar ia memberikan wasiat yang membahayakan ahli warisnya, maka Allah memerintahkan kepada orang yang mendengarnya untuk bertakwa kepada Allah serta membimbing dan mengarahkannya kepada kebenaran. Demikianlah pendapat mujahid dan para ulama lainnya. Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan pula bahwa hendaklah mereka lakukan untuk anak-anak yatim itu, karena hal itu adalah apa yang mereka ingin dilakukan orang terhadap anak-anaknya sepeninggal mereka nanti. Dan hendaklah mereka ucapkan kepada orang yang hendak meninggal (perkataan yang benar) misalnya menyuruhnya bersedekah kurang dari sepertiga dan memberikan selebihnya untuk para ahli waris hingga tidak membiarkan mereka dalam keadaan sengsara. Ayat di atas menjelaskan tentang hak waris anak-anak yatim yang harus ditunaikan secara baik. Hal ini ditegaskan oleh Alquran karena seringkali faktor ketidaktahuan dan kelemahan mereka dimanfaatkan dalam arti negatif oleh walinya. Akan tetapi ayat ini dapat diartikan secara umum bahwa setiap muslim Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 71 untuk berupaya sekeras-kerasnya agar generasi sesudahnya merupakan generasi yang kuat melebihi pendahulunya. Tugas setiap orang tua adalah mempersiapkan generasi yang kuat lahir dan batin. Proses persiapan ini perlu dilakukan sejak dini. Hal ini berkaitan dengan pola asuh orang tua yang disebut juga parenting merupakan proses orang tua merawat, mengontrol, membimbing, dan mendampingi anak-anaknya. Dalam proses parenting ini, orang tua dapat membentuk karakter kepribadian anak agar menjadi generasi kuat untuk membangun diri, keluarga, agama dan Negara. Anak merupakan sebuah amanat Allah kepada orang tuanya. Untuk memastikan anak kita memiliki kekuatan baik lahir maupun batin, kebiasaan- kebiasaan anak harus diatur dengan seksama. Syeikh Musthafa Al-Ghalayain menjelaskan dalam Kitab Idhotun Nasyi’in bahwa anak-anak kita yang masih kecil sekarang ini kelak di masa mendatang akan menjadi pemimpin- pemimpin. Apabila mereka dibiasakan diri dengan akhlak yang baik, yang dapat meninggikan derajat mereka dan berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk dirinya dan bermanfaat untuk negara, maka anak-anak itu menjadi dasar yang kokoh bagi kebangkitan bangsa. Sebaliknya, apabila anak- anak itu telah terbiasa dengan akhlak yang tidak terpuji dan enggan menuntut ilmu, maka mereka akan menjadi bencana bagi bangsa dan menjadi pengacau negara yang mereka diami. Rasulullah SAW bersabda: “Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” Hadis di atas memberikan suatu gambaran bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Sejatinya setiap manusia dilahirkan dalam keadaan lemah dan parenting (orang tuanyalah) yang kemudian menjadi kuat secara lahir dan batin. Setiap orang tua memiliki dorongan untuk memperkuat anaknya, orang tua bijaksana memperkuat anaknya dengan membiasakan kehidupan yang tunduk kepada Allah karena sejatinya pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua. Syeikh Zainuddin ‘Abdul ‘Aziz Al-Malibariy menjelaskan di dalam Kitab Fathul Mu’in bahwa kewajiban pendidikan anak terletak pada ayah dan ibunya, barulah suaminya (apabila ia sudah menikah). Oleh karena itu, dalam proses parenting ini kita sebagai orang tua harus berkiblat pada Alquran dan Sunnah Rasul. Melalui Surat Yusuf, Alquran telah menceritakan bahwa Nabi Ya’qub AS telah berhasil membuat suatu format tentang Islamic parenting yaitu pengasuhan anak dalam proses tumbuh kembangnya sesuai ajaran Islam yang berkiblat pada Alquran dan Sunnah Rasul yang menitikberatkan pada pendidikan keimanan dan ketakwaan dalam mempersiapkan generasi kuat yang akan memimpin bangsa. 72 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Achyar Zein dalam bukunya Prophetic Leadership, menyebut Nabi Ya’qub AS sebagai pemimpin yang memprioritaskan regenasi karena Nabi Ya’qub AS merupakan seorang pimpin keluarga (ayah) yang mendidik anak-anaknya dengan komitmen membentuk generasi kuat lahir dan batin. Sebagaimana Nabi Ya’qub AS berhasil membentuk anak-anaknya (Yusuf dan Saudara-saudaranya) menjadi generasi kuat melalui penerapan strategi Islamic parenting, maka Islamic parenting Nabi Ya’qub AS dapat kita terapkan sebagai strategi membentuk generasi kuat dimasa kini. Adapun rumusan masalah yang dikaji dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: yang pertama, bagaimana strategi Islamic parenting Nabi Ya’qub AS dapat membentuk generasi kuat?. Yang kedua, bagaimana implementasi strategi Islamic parenting Nabi Ya’qub AS dalam membentuk generasi kuat dimasa kini?

Islamic Parenting Nabi Ya’qub AS Alquran memerintahkan manusia untuk menyiapkan masa depannya dengan mempelajari sejarah yang dilaluinya (Susmihara, 2013:3). Allah memberi manusia kemampuan untuk menyusun cerita atau kisah dan memberinya dasar-dasar pengetahuan tentang kisah. Dengan demikian, manusia bisa menjadikan kisah sebagai salah satu sarana penting untuk mendidik manusia, dan mengajarkan nilai-nilai keutamaan (Al-Aris, 2013:19-20). Nabi Ya’qub AS merupakan salah satu nabi yang wajib diketahui dalam Islam. Selain sebagai seorang Nabi, Nabi Ya’qub AS adalah seorang ayah yang memiliki keseriusan untuk membimbing dan membina anak-anaknya dalam ketakwaan dan keimanan dalam rangka membentuk generasi kuat yang dapat membangun diri, keluarga, agama dan negaranya. Nabi Yusuf AS dan saudara- saudaranya adalah contoh generasi kuat lahir dan batin yang dibentuk melalui Islamic parenting Nabi Ya’qub AS. Nabi Yusuf AS meskipun di dalam hidupnya dipenuhi cobaan dan godaan yang dapat merusak mental dan moralnya, namun dengan kekuatan iman dan takwa yang dimilikinya Nabi Yusuf AS mampu menjadi seorang anak yang dapat membangun agamanya (sebagai seorang nabi) dan membangun negaranya (sebagai seorang bendahara Negara). Begitu pula saudara-saudara Nabi Yusuf AS, meskipun pada awalnya saudara-saudara Yusuf memiliki sifat hasad terhadap Yusuf namun dengan strategi Islamic parenting Nabi Ya’qub AS saudara-saudara Yusuf dapat menjadi generasi kuat yang dapat membangun diri (melalui pertaubatan sebagai wujud kuatnya iman dan takwa) dan membangun keluarganya (melalui perbaikan hubungan keluarga). Islamic parenting merupakan sebuah pola pengasuhan anak dalam proses tumbuh kembangnya sesuai ajaran Islam yang berkiblat pada Alquran dan Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 73

Sunnah Rasul yang menitikberatkan pada pendidikan keimanan dan ketakwaan. Islamic parenting diterapkan oleh Nabi Ya’qub AS kepada anak-anaknya sebagai strategi dalam membentuk generasi kuat yang akan memimpin bangsa. Dalam membentuk generasi kuat, Islamic parenting Nabi Ya’qub AS memiliki prinsip- prinsip diantaranya sebagai berikut:

1. Memelihara Fitrah Anak Pada dasarnya anak telah diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrahnya, yaitu cenderung pada kebenaran meskipun kebenaran tersebut hanya bersemayam di hati mereka (Majid dan Dian, 2017:120). Dalam prinsip ini, Nabi Ya’qub AS dengan strategi Islamic parenting-nya memelihara fitrah anak untuk membentuk anak menjadi generasi kuat. Ibnu Katsir menjelaskan didalam Kitab Qashashul Anbiya (2015:373- 374) bahwa ketika saudara-saudara Yusuf mendesak Nabi Ya’qub AS untuk mengizinkan mereka membawa Yusuf, mereka terus mendesak ayah mereka hingga akhirnya sang ayah mengizinkan Yusuf pergi bersama mereka. Begitu mereka sudah jauh dan tidak terlihat oleh sang ayah, mereka langsung mencela dan memperlakukannya secara hina baik dengan tindakan maupun perkataan. Mereka kemudian bersepakat untuk memasukkan Yusuf ke dalam Sumur. Setelah diletakkan di dalam Sumur, mereka mengambil baju Yusuf dan melumurinya dengan darah dusta yang dibuat-buat kemudian mereka pulang meninggalkannya pada petang hari dengan menangisi Yusuf lalu mengatakan pada ayahnya bahwa Yusuf telah dimakan serigala. Para Mufassir mengatakan : “Mereka lupa tidak merobek-robek baju itu, karena petaka dusta adalah lupa”. Perasaan dan firasat orang tua yakni Nabi Ya’qub AS berkata “Kenyataan yang terjadi bukan seperti apa yang kamu sampaikan. Bagaimana mungkin dia diterkam serigala sedang pakaiannya tidak koyak?”. Kemudian sang ayah yang mengetahui kebohongan anak-anaknya itu berkata “Sebenarnya diri kalianlah yang memandang baik perbuatan (buruk) itu. Maka, kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Hanya Allah tempat memohon pertolongan atas apa yang kalian gambarkan.” (Q.S. 12: 18) Nabi Ya’qub AS meskipun ia sebagai orang tua mengetahui kesalahan anak- anaknya, ia menasehati anak-anaknya dengan kebanaran tanpa memaksakan kebenaran itu harus sampai kepada anaknya. Karena ia tahu bahwa putra-putranya telah memiliki fitrah akan kebenaran tersebut. Nabi Ya’qub AS sebagai orang tua setelah memberikan nasehat kepada anak-anaknya yang berbuat salah bukan berarti orang tua setelah menasehati lalu dilepas begitu saja. Memelihara fitrah anak berarti tidak memaksa kemampuan anak dalam belajar dan menerapkannya 74 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran langsung pada saat itu juga. Meskipun pada saat pemberian nasihat tersebut anak-anak Nabi Ya’qub AS belum dapat menerapkan saat itu juga apa yang diajarkan ayahnya, namun ia terus berdo’a dan membimbing anak-anaknya secara kontinu dan konsisten sehingga pada akhirnya sang anak sedikit demi sedikit dapat menerapkannya. Prinsip memelihara fitah anak dalam prosesparenting sangat penting karena setiap anak memiliki kemampuan dan kekurangan masing-masing dan orang tua tidak semestinya memaksakan kemampuan tersebut. Generasi kuat dibentuk dengan memelihara fitrah anak sesuai dengan apa yang telah diajarkan Allah dan Rasul-Nya dalam Islam. Apabila ada anak yang melakukan kesalahan, maka orang tua harus memberikan nasihat kepadanya tanpa memaksakan nasihat tersebut harus diterapkan saat itu juga. Apabila anak tersebut belum berubah, maka orang tua harus terus berdo’a dan membimbing anak-anaknya secara kontinu dan konsisten sampai anak tersebut dapat menjadi lebih baik. Karena sejatinya tugas kita sebagai orang tua adalah berikhtiar dan tidak putus asa, adapun hasilnya semuanya ditentukan oleh Allah S.W.T. Misalnya ketika anak perempuan kita tidak mau menutup aurat, maka kita wajib memberikan pengajaran tentang hukum wajib menutup aurat bagi muslimah. Akan tetapi kita boleh memaksa anak tersebut harus menerapkan hal tersebut saat itu juga. Sebagai orang tua kita perlu mengetahui apa yang menyebabkan sang anak tidak mau menutup auratnya, kemudian dengan mengetahui latar belakang tersebut orang tua dapat memilih langkah lain sebagai upaya mengajak anak untuk menutup aurat. Karena sejatinya, sang anak mengetahui kebenaran dalam menutup aurat karena fitrah perempuan adalah ingin dilindungi. Maka tugas orang tua adalah mengarahkan anak sesuai dengan fitrahnya dengan cara yang baik, bukan memaksa atau menggunakan cara lainnya.

2. Mengembangkan Potensi dan Memahami Kekurangan Anak Setiap anak dilahirkan dengan memiliki potensi dalam dirinya, potensi ini dapat berdampak baik atau buruk tergantung bagaimana lingkungan khususnya lingkungan keluarga dapat mengelola dan mengarahkan potensi tersebut. Kisah Yusuf AS diawali dengan tuturan tentang mimpi yang dialami­ Yusuf. Yusuf menceritakan mimpi tersebut kepada ayahnya. Ayahnya telah dianugerahi Allah kemampuan untuk menjelaskan mimpi. Kemudian Allah menganugerahkan pula kemampuan tersebut kepada Yusuf (Al-Aris, 2013:24). Ayahnya mengerti, kelak Yusuf akan meraih kedudukan tinggi di dunia dan akhirat. Ayahnya memerintahkan Yusuf agar menyembunyikan mimpi itu dan tidak ia ceritakan Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 75 kepada saudara-saudaranya agar mereka tidak hasad, berbuat lalim, dan melakukan berbagai tipu daya kepadanya (Katsir, 2015: 369). Sebagai orang tua, Nabi Ya’qub AS mengarahkan anaknya terhadap potensi yang dimilikinya. Nabi Ya’qub AS mengarahkan Yusuf untuk tidak menceritakan potensinya kepada saudara-saudaranya merupakan tindakan terbaik bagi Yusuf karena sebagai orang tua ia memahami kondisi realitas hubungan anak-anaknya yang berlangsung tidak baik. Karena apabila Nabi Ya’qub AS tidak mengarahkan hal tersebut, hal ini dapat berakibat menambah kedengkian saudara-saudara Yusuf dan dapat membahayakan kondisi Yusuf. Allah Berfirman dalam Surat Yusuf ayat 6:

ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ Demikianlah Tuhanmu memilihmu (untuk menjadi nabi) mengajarkan kepadamu sebagian takwil mimpi, dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’kub sebagaimana Dia telah menyempurna­kan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sungguh Tuhanmu Maha Tahu dan Maha Bijaksana (Q.s. Yusuf: 6). Dalam Tafsir Al-Lubab (2012:6), M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Nabi Ya’qub AS menyampaikan bahwa dengan mimpi itu : “Tuhan memilih dan mengistimewakan serta akan mengajarkanmu sebagian dari penafsiran mimpi. Melalui mimpi itu, Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan keluarga Ya’qub serta keluarga dua leluhurmu.” Ayat di atas menjelaskan bahwa setelah mengarahkan tindakan terbaik mengenai potensinya, Nabi Ya’qub AS mengajak Yusuf untuk bersyukur atas nikmat tersebut. Nabi Ya’qub AS juga mengajarkan pada Yusuf bahwa meskipun saudara-saudaranya memiliki sifat hasad kepadanya, sang ayah mengajarkan bahwa Yusuf tidak boleh membenci saudaranya. Hal ini me­nujukkan bagaimana orang tua dapat menerima kekurangan anaknya. Generasi kuat dapat terbentuk dengan mengembangkan potensi yang dimiliki anak dan melengkapi kekurangan yang dimilikinya. Orang tua dalam melaksanakan Islamic parenting kepada anak-anaknya, harus dapat memahami kondisi anak baik kekurangan maupun kelebihannya. Orang tua harus memberikan tindakan terbaik terhadap kelebihan anak dan harus dapat menerima kekurangan anak. Misalnya ketika anak kita memiliki kelebihan suara yang bagus, maka kita harus mendukung dan mengarahkan kelebihan tersebut sesuai dengan ajaran agama Islam. Misalnya mendatangkan seorang guru untuk mengajari tilawah Alquran ataupun menempatkan anaknya di pondok pesantren 76 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran yang memiliki orientasi pada pengajaran tilawah Alquran. Begitu pula apabila anak kita memiliki kekurangan berupa lambat dalam menghafal, maka yang harus dilakukan orang tua adalah memberikan pendampingan secara konsisten dan kontinu sampai anak tersebut bisa.

3. Pendidikan Dilakukan Secara Bertahap Pendidikan adalah sebuah proses panjang yang dilakukan secara bertahap. Dalam proses parenting ini, kita sebagai orang tua harus yakin bahwa segalanya hal didunia ini ditentukan oleh Allah dan yang harus kita lakukan adalah tetap berikhtiar dengan mendidik anak-anak secara konsisten, kontinu dan tidak berputus asa terhadap pendidikan yang kita ajarkan. Karena didalam Islam, baik atau buruknya seseorang dilihat dari akhirnya. Begitu pula kesalehan seseorang dilihat dari amal terakhirnya. Kita sebagai orang tua harus terus mengharapkan akhir yang baik pada anak- anak kita. Karena dalam perjalanan Nabi Ya’qub AS pun, dalam membimbing anak-anaknya dilakukan secara bertahap dengan proses yang panjang. Hal ini dapat kita lihat pada usaha Nabi Ya’qub AS dalam membimbing anak-anaknya yang berbuat kesalahan karena telah mengikuti bisikan setan untuk mengikuti sifat hasad mereka dengan membuang Yusuf ke dalam sumur. Nabi Ya’qub dengan sabar menasehati mereka seperti yang termaktub dalam Surat Yusuf ayat 18 : “Sebenarnya diri kalianlah yang memandang baik perbuatan (buruk) itu. Maka, kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Hanya Allah tempat memohon pertolongan”. Pada tahap awal ini, anak-anak Nabi Ya’qub AS belum berubah dan belum memahami kesalahan mereka. Namun Nabi Ya’qub AS secara kontinu memberikan usaha-usaha lain, yaitu usaha memberikan arahan dan pelajaran atas akibat dari kesalahan yang diperbuat. Karena mereka pernah berbohong pada ayahnya saat peristiwa pem­buangan Yusuf, maka ayahnya tidak mau lagi mempercayai mereka. Nabi Ya’qub AS berkata: “Bagaimana aku akan mempercayakan (Bunyamin) kepadamu, sebagaimana dulu aku memercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu?” (QS: 12:64). Dari tahap kedua ini, anak-anak Nabi Ya’qub AS mulai memahami dampak kesalahan mereka dan mulai menyesali perbuatan tersebut. Kemudian Nabi Ya’qub AS menjalankan tahap selanjutnya yaitu tahap per­baikan, dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk memper­­baiki kesalahan sebelumnya. Nabi Ya’qub AS berkata : “Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama kalian sebelum kalian memberikan kepadaku janji yang terguh atas nama Allah bahwa kalian pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kalian dikepung” (Q.S.12:66). Dari tahap kedua inilah, Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 77 anak-anak Nabi Ya’qub AS mulai belajar untuk memperbaiki kesalahan dengan memegang teguh janji yang telah mereka buat. Sehingga ketika suatu masalah menimpa mereka, mereka berkata “…Tidakkah kalian tahu sesungguhnya ayah kalian telah mengambil janji kalian dengan nama Allah dan sebelum itu kalian menyianyiakan Yusuf. Karena itu, aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir sampai ayah mengizinkan kepadaku (untuk kembali)…” (Q.S. 12: 80). Nabi Ya’qub AS sebagaimana disampaikan oleh Allah bahwa “… dia adalah orang yang menahan amarah” (Q.S. 12: 84) Nabi Ya’qub AS tetap sabar menghadapi anak-anaknya tanpa amarah. Nabi Ya’qub AS jutsru memberikan solusi atas masalah tersebut dan memberikan bimbingan kepada anak-anaknya yang tengah kesulitan dalam memperbaiki dirinya. Nabi Ya’qub AS berkata “Wahai anakku, pergilah kalian. Carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya. Janganlah kalian berputus asa dari Rahmat Allah…” (Q.S. 12:87). Dengan proses dan tahapan yang panjang inilah, anak-anak Nabi Ya’qub AS yang sebelumnya melakukan kesalahan kemudian bertaubat dan memperbaiki diri. Anak-anak tersebut berkata : “Wahai ayah, mohonkanlah ampun bagi kami atas dosa-dosa kami. Sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah.” (Q.S. 12:97).

4. Pendidikan yang Dilakukan Hingga Akhir Hayat Parenting yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan membimbing anak- anaknya agar menjadi generasi kuat adalah sejak anak tersebut ada di dalam kandungan hingga akhir hayatnya. Nabi Ya’qub AS telah memberikan contoh tentang pendidikan hingga akhir hayat yang dikisahkan Allah S.W.T. dalam firman-Nya:

ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sebeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangnmu, Ibrahmi, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Q.S. Al-baqarah: 133). Pada ayat di atas dijelaskan bahwa menjelang tibanya ajal Nabi Ya’qub AS beliau menanyakan kepada anak-anaknya tentang apa yang mereka sembah setelah kematiannya. Anak-anaknya menjawab bahwa yang mereka sembah adalah Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhannya Nabi Ibrahim AS, Nabi Ismail AS dan Nabi Ishaq AS. Keseriusan Nabi Ya’qub AS menanyakan komitmen 78 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran anak-anaknya membuktikan bahwa tanggung jawab pendidikan anak yang dimiliki orang tua bukan hanya sampai anak tersebut dewasa, tapi lebih dari itu pendidikan tersebut harus dilaksanakan hingga akhir hayat (Zein, 2008:59) Orang tua diamanatkan oleh Allah berupa anak yang harus dijamin keselamatannya baik didunia dan diakhirat. Keselamatan didunia adalah tentang perilaku kehidupan sang anak agar dapat mengantarkannya kepada keselamatan di akhirat. Generasi kuat dapat dibentuk dengan prinsip parenting sejak dini hingga akhir hayat.

Strategi Islamic Parenting Nabi Ya’qub AS Dalam Membentuk Generasi Kuat Generasi kuat merupakan harapan bangsa dan Negara. Generasi kuat yang memiliki kekuatan lahir dan batin diharapkan mampu membangun diri, keluarga, agama serta negaranya. Islamic parenting Nabi Ya’qub AS telah berhasil membentuk Nabi Yusuf AS dan saudara-saudara menjadi generasi kuat pada zamannya. Maka, Islamic parenting ini dapat kita implementasikan di masa sekarang dengan menggunakan strategi-strategi sebagai berikut:

1. Tunjukkan Teladan/Qudwah Syeikh Nawawi Al-Bantani didalam Kitab Uqudulujain (2013) menyatakan bahwa salah satu ciri rumah tangga Islami adalah yang didalamnya suami dan istri dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya. keteladanan merupakan suatu model yang sangat efektif untuk memengaruhi orang lain. Karena sejatinya anak adalah peniru yang ulung, ia akan mudah mengikuti apa yang dipraktekkan kedua orang tuanya. Didalam menerapkan Islamic parenting strategi yang digunakan Nabi Ya’qub AS adalah dengan menunjukkan teladan kepada anak-anaknya. Sehingga ketika di akhir hayatnya saat Nabi Ya’qub AS menanyakan keimanan dan ketakwaan anak-anaknya, mereka menjawab bahwa mereka mengikuti keimanan yang diimani juga oleh ayahnya. Hal ini diceritakan dalam Surat Al-Baqarah ayat 133 “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Q.S. 2: 133). Dalam implementasi Islamic parenting Nabi Ya’qub AS, strategi yang dapat digunakan di masa kini dalam membentuk generasi kuat adalah dengan menunjukkan teladan kepada anak-anak kita. Misalnya, dalam mencegah seks bebas pada anak-anak kita, kita harus memberikan contoh dengan menjaga diri kita sebagai orang tua dari yang bukan muhrimnya. Menjaga jarak dengan Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 79 tetangga yang tidak semuhrim, bersalaman dengan rekan tanpa menyentuh tangannya apabila tidak semuhrim. Hal ini dapat menjadi contoh bagi anak bahwa hal tersebut dilarang dan harus dijauhi. Adapun kasus lain misalnya kasus bunuh diri, bunuh diri biasanya disebabkan karena kekosongan hati dan kehampaan hidup dan rasa kesepian, adapula yang disebabkan tidak adanya ketenangan dalam hidup. Maka, untuk membentuk anak kita agar menjadi generasi kuat yang memiliki semangat hidup tinggi, kita perlu memberikan contoh pada anak bahwa sholat adalah obat hati yang dapat menenangkan hati dan pikiran. Oleh karena itu sholat harus menjadi sebuah ajakan bukan lagi perintah. Karena baik orang tua maupun anak sama-sama membutuhkan ketenangan dari sholat.

2. Ingatkan (Memberikan Nasihat) Nasihat merupakan kegiatan menyampaikan pesan moral yang biasanya disampaikan dari yang lebih tua dan ditujukan kepada yang lebih muda. Anak sebagai amanat yang diberikan Allah kepada orang tua, menjadikan orang tua bertanggung jawab atas kehidupan anak tersebut. Nabi Ya’qub AS mengajarkan anak-anaknya dengan cara memberikan nasihat-nasihat. Misalnya pada peristiwa ketika anak-anaknya berbohong tentang terbunuhnya­ Yusuf, Nabi Ya’qub AS memberikan nasihat kepada anak-anaknya tentang kesabaran dan mengingatkan anak-anaknya bahwa Allah adalah Tuhan Pemberi Pertolongan. Nabi Ya’qub AS berkata : “Sebenarnya diri kalianlah yang memandang baik perbuatan (buruk) itu. Maka, kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Hanya Allah tempat memohon pertolongan” (Q.S.12:18). Dalam mengimplementasikan Islamic parenting Nabi Ya’qub AS, strategi yang dapat kita gunakan adalah dengan mengingatkan anak-anak kita dan mengajarkan kepada mereka tentang pesan-pesan moral melalui nasihat. Dalam konteks masa kini, banyak anak-anak yang terkadang tidak mau menerima nasihat. Mereka cenderung ingin mengurus diri mereka sendiri dan tidak mau diatur. Oleh karena itu, kita sebagai orang tua harus memperhatikan cara menyampaikan nasihat kepada anak dalam waktu yang tepat dan bahasa yang tepat. Orang tua juga dapat menggunakan peristiwa-peristiwa tertentu untuk menasihati anaknya, misalnya sang anak suka menunda sholat bahkan kadang tidak melaksanakan sholat, maka orang tua ketika menonton tv misalnya lalu melihat tayangan-tayangan tentang berita kebakaran, orang tua dapat bertanya pada anaknya “De, kasian sekali ya korbannya. Pasti terasa sangat perih dan sakit.” Anak bisa jadi mersepon “iya mah, pasti sangat sakit dan panas.” Orang tua dapat memanfaatkan hal tersebut sebagai momen untuk menasehati anaknya 80 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

“Ade tau tidak? Kalau Ade sering meninggalkan sholat atau menunda-nunda sholat, maka mamah dan Ade juga akan dibakar seperti itu juga di neraka.” Strategi ini lebih mudah diterima anak daripada menasehati anak dengan cara marah atau dengan tiba-tiba berbicara tentang pesan moral tanpa adanya sesuatu yang dapat dijadikan topik untuk mengawali nasihat tersebut.

3. Melalui Kisah Kisah merupakan sarana yang mudah untuk mendidik manusia. Model ini sangat banyak dijumpai dalam Alquran (Syafri, 2014:137). Nabi Ya’qub AS dalam mengajarkan tentang keimanan menggunakan strategi mengisahkan leluhur-leuhur mereka yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishaq. Hal ini diceritakan oleh Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 133, sehingga ketika di akhir hayatnya saat Nabi Ya’qub AS menanyakan keimanan dan ketakwaan anak-anaknya, mereka menjawab bahwa mereka mengikuti keimanan yang diimani juga oleh leluhur mereka yang telah diceritakan oleh Nabi Ya’qub AS. Anak-anaknya berkata “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada- Nya.” (Q.S. 2: 133). Pada masa kini, maraknya kasus kedurhakaan anak terhadap orang tua semakin marak. Kasus anak yang menuntut orang tua bukan lagi satu atau dua kasus, dan video-video yang beredar di media sosial tentang anak yang tidak menghormati orang tua bukanlah berjumlah sedikit. Fenomena ini bahkan sampai diangkat oleh beberapa media untuk dijadikan sebuah tayangan dalam rangka memberikan pelajaran kepribadian. Dalam membentuk­ anak menjadi generasi kuat, orang tua dapat mengajarkan anak tentang perintah menghormati dan menghargai kedua orang tua dengan menggunakan strategi menceritakan kisah-kisah yang telah terjadi. Misalnya kisah Anak Nabi Nuh AS yang harus binasa diterjang banjir karena tidak mengikuti perintah ayahnya. Penyampaian kisah ini juga dapat dilakukan dengan banyak cara misalnya dengan menyediakan buku-buku kisah yang dapat menarik minat anak atau melalui video-video kartun yang saat ini mudah di download di internet.

4. Melalui Pembiasaan Untuk mencapai tujuan pendidikan karakter pada taraf yang baik, dalam artian terjadi keseimbangan nagata ilmu dan amal, maka Alquran juga memberikan model pembiasaan (Syafri, 2014:136). Nabi Ya’qub AS dalam mendorong anaknya untuk senantiasa menepati janji, menggunakan model pembiasaan kepada anak. Nabi Ya’qub AS tidak mengizinkan anak-anaknya membawa Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 81

Bunyamin dan meminta mereka membuat sebuah janji adalah sebagai pem­ biasaan anak agar senantiasa memenuhi amanat dan menepati janji. Dalam realita masa kini, untuk membentuk generasi kuat yang memiliki­ kepribadian kuat dapat dilakukan dengan strategi pembiasaan. Anak dapat kita bimbing untuk senantiasa melakukan hal-hal yang baik. Misalnya kasus pertengkaran antar remaja yang sering terjadi, baik itu di media sosial maupun di dunia nyata adalah karena anak tidak dibisakan berbicara dengan sopan dan tidak menyinggung hati siapapun. Pembiasaan yang diterapkan oleh orang tua kepada anak agar anak senantiasa menjaga ucapannya adalah salah satu pencegahan sekaligus penyelesaian kasus-kasus tersebut.

Penutup Konsep dasar parenting adalah bahwa dalam mendidik anak, orang tua harus memiliki cara yang baik dan orang tua tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya dalam mendidik anak. Apabila orang tua melalaikan tugasnya dalam mendidik anak, terbentuknya generasi kuat yang dapat membangun diri, keluarga, agama dan negaranya adalah hal yang mustahil. Islamic parenting merupakan sebuah pola pengasuhan anak dalam proses tumbuh kembangnya sesuai ajaran Islam yang berkiblat pada Alquran dan Sunnah Rasul yang menitikberatkan pada pendidikan keimanan dan ketakwaan. Islamic parenting diterapkan oleh Nabi Ya’qub AS kepada anak-anaknya sebagai strategi dalam membentuk generasi kuat. Islamic parenting Nabi Ya’qub AS merupakan konsep berkesinambungan yang saling melengkapi satu sama lain dan memiliki prinsip-prinsip diantaranya memelihara­ fitrah anak, mengembangkan potensi dan memahami kekurangan anak, pendidikan dilakukan secara bertahap dan berlangsung hingga akhir hayat. Adapun strategi yang dapat diterapkan dalam menerapkan Islamic parenting Nabi Ya’qub AS adalah melalui keteladanan/ qudwah, nasihat, kisah dan pembiasaan.

Pustaka Acuan: Alquran dan Terjemahnya. Bandung : Mikhraz Khasanah Ilmu Ad-Damasyqi, Abu Fida’ Bin Katsir. 2002. Tafsir Ibnu Katsir. Bandung: Sinar Baru Algesindo Ad-Damasyqi, Abu Fida’ Bin Katsir. 2015. Kitab Qashashul Anbiya. Jakarta: Ummul Qura Al-Aris, Fuad. 2013. Pelajaran Hidup Surat Yusuf. Jakarta: Zaman Al-Bantani, Syeikh Muhammad bin Umar An-Nawawi. 2013. Kitab Uqudulu Jain. Surabaya : Mutiara Ilmu 82 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Al-Ghalayain, Syeikh Musthafa. 2000. Kitab Idhotun Nasyi’in. Surabaya: Al- Hidayah Al-Marlibariy, Syeikh Zainuddin’Abdul ‘Aziz. 1980. Kitab Fahtul Mu’in. Kudus: Menara Kudus Majid, Abdul. Dian Andayani. 2017. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya Shihab, M. Quraish. 2012. Tafsir Al-Lubab. Tangerang: Lentera Hati Susmihara. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Ombak Syafri, Ulil Amri. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Alquran. Depok: Raja Grafindo Ulwan, Abdullah Nashih. 2012. Pendidikan Anak dalam Islam. Solo: Insan Kamil. Zein, Achyar. 2008. Prophetic Leadership. Bandung: Indonesia _____. 2006. Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Ayat Surat An-Nisa Terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Peran Perempuan Sebagai Pondasi Utama Pendidikan dalam Perspektif Alquran

Penulis: Peserta Nomor MQ.1.07

Pendahuluan Sejarah awal, Islam telah memaparkan kenyataan bahwa Islam mendorong dan mengangkat kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh suku bangsa mana pun dan peradaban sebelum Islam. Pada saat ini, Islam menjadi salah satu agama yang banyak mendapat sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Alquran sebagai kitab petunjuk samawi sendiri secara komprehensif dan lugas memaparkan hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama, hak itu meliputi hak beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia dan eksistensi menyeluruh hampir pada semua sektor kehidupan (Syarif Hidayatullah, 2010: 11). Kesetaraan tersebut menimbulkan banyak penafsiran, salah satunya ada yang memaknainya dengan persamaan dan diidentikan dengan produk pemikiran barat yang tercermin dalam kebebasan yang dibelikan dalam gerakan Women Liberation, lihat Sri Suhandjati Sukri, dkk (2002: sekapur sirih editor). Hal ini tidak sejalan dengan pemahaman Islam karena cenderung kepada menyebabkan kebebasan yang berlebihan di berbagai aspek. Oleh karena itu, anak-anak muda perlu diantisipasi dengan pendidikan yang memadai agar dapat memahami dan

83 84 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran menjalankan prinsip keperempuanan sebagaimana yang Islam ajarkan. Perempuan memiliki peran yang besar baik dalam lingkungan keluarga maupun skala nasional apabila perempuan mampu secara optimal dan sesuai dengan kodratnya. Peran utama yang diinginkan Islam adalah mengurus rumah tangganya, lebih-lebih mengurus dan mendidik anak-anaknya. Allah S.w.t. berfirman yang artinya: Para“ ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan….” (Q.S. Al- Baqarah [2]: 233) (Departemen Agama RI, 1993). Berdasarkan ayat Alquran di atas dapat dijelaskan bahwa arti penyusuan di sini bukanlah sekedar memberikan air susu itu, tetapi memberikan pula kepuasan rohani, pemeliharaan, pendidikan, dan sebagainya. Sebagaimana diakui para ahli betapa eratnya hubungan emosional dan fisik antara ibu dan anak yang dilahirkannya. Dibutuhkan keahlian khusus seorang ibu sebagai orang yang paling dekat dengan anak untuk membina anaknya hingga memiliki pondasi yang kuat menghadapi zaman yang terus berkembang. Peran orang tua terutama ibu berpengaruh besar bagi pertumbuhan seorang anak. Seorang ibu apabila mampu menjaga moral anaknya maka ibu tersebut mampu mejaga moral bangsa. Lahirnya generasi emas penerus bangsa adalah hasil dari pendidikan keluarga yang sebagian besar didominasi oleh pendidikan dari ibu, karena ibu yang pertama kali mendidik dan mengenalkan dunia kepada anak. Akan tetapi, pada masa kini perempuan seakan lupa akan perannya dalam rumah tangga, ini dipicu adanya karier perempuan di luar rumah. Persaingan antara perempuan dalam dunia karier tidak hanya dipicu oleh status pernikahan, tetapi juga tampilan fisik perempuan. Perempuan yang lebih cantik dan proporsional berat badannya jauh lebih banyak mendapat­kan kesempatan bekerja dan berkarier daripada yang tidak, lihat Gadis Arivia, dkk (2013: 17). Akibatnya banyak anak yang tumbuh dengan perkembangan yang tidak baik dan menimbulkan berbagai masalah sosial seperti kenakalan remaja, pergaulan bebas, lemahnya akhlak dan moral, dan lain sebagainya. Semua itu disebabkan karena dalam perkembangan anak tersebut tidak terlalu banyak sentuhan pendidikan dari seorang ibu yang merupakan madrasah pertama bagi anaknya. Dengan demikian, dari permasalahan di atas, agar terciptanya generasi- generasi penerus bangsa yang baik lewat pendidikan pertama dari seorang perempuan, perlu kiranya penulis memberikan interpretasi tentang “peran perempuan sebagai pondasi utama dalam pendidikan”. Dengan harapan di kesimpulan akhir kajian ini memperoleh jawaban tentang : Bagaimana perspektif Peran Perempuan Sebagai Pondasi Utama Pendidikan dalam Perspektif Alquran 85

Alquran jika berbicara tentang perempuan? Bagaimana peran perempuan sebagai pondasi utama dalam pendidikan yang akan mencetak generasi-generasi Qur’ani? Kajian sederhana ini merupakan kajian pemikiran keagamaan dengan menelusuri literatur yang berhubungan dengan penguatan keluarga dalam menopang ketahanan nasional dengan segala derivasinya, kemudian di­ kembangkan melalui pendekatan tematis dengan menggunakan Alquran dan Hadits sebagai rujukan, serta didukung dengan beberapa pandangan para ahli. Semoga kajian ini bermanfaat bagi semuanya.

Perempuan disuratkan dalam Alquran Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 235) perempuan diartikan sebagai manusia yang mempunyai puki (alat kemaluan), dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Menurut Mahmud Syaltut (1990: 323) di dalam Alquran banyak surat yang menyajikan topik tentang perempuan di antaranya dalam: Q.S. An-Nisa [4], Q.S. At-Thalaq [65], Q.S. Al-Baqarah [2], Q.S. Al-Maidah [5], Q.S. An-Nur [24], Q.S. Al-Ahzab [33], Q.S. Al-Mujadilah [58], Q.S. Al-Mumtahanah [60], Q.S. At-Tahrim [66]. Banyaknya surat yang di dalamnya terdapat pembahasan yang menyinggung tentang perempuan tersebut telah menjelaskan bahwa Allah S.W.T. memuliakan seorang perempuan (Hamka, 2015: 5). Dalam Islam perempuan juga memiliki kedudukan tinggi sebagai manusia, karena perempuan dan laki-laki tidak berbeda dalam sisi kemanusiaan. Manusia di dalam Alquran disebutkan sebagai khalifah Allah S.W.T. yang memperoleh kemuliaan (Q.S. Al- Isra [17]: 70). Kedudukan tersebut menggambarkan bahwa agama Islam tidak hanya harus dipeluk dan diikuti oleh kaum laki-laki saja, tetapi kaum perempuan pun harus memeluk dan mengikutinya. Alquran dengan tegas menyatakan adanya muslimin dan muslimat, adanya mukminin dan mukminat. Oleh sebab itu sudah tentu kaum muslimat dan mukminat wajib juga mempelajari dan atau menuntut ilmu-ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kewajiban selaku perempuan, terutama pengetahuan-pengetahuan yang berkenaan dengan agama yang dipeluknya, lihat Moenawwar Chalil (1955: 66). Acap kali terjadi bahwa perempuan bukan saja setara dengan laki-aki sejauh menyangkut kecerdasan, tetapi terkadang lebih unggul dari laki-laki. Titik rapuh satu-satunya dalam diri perempuan adalah intensitas (kekuatan) perasaan-perasaannya, lihat Murtadha Muthahari (2015: 155). Mengenai kesamaan status antara perempuan dan laki-laki juga dilihat dalam memperoleh pahala, keduanya akan mendapat imbalan upah yang 86 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran sama bila amal yang mereka lakukan sama kualitas dan kuantitasnya, seperti ditegaskan Allah S.W.T. dalam Alquran surat Al-Ahzab [33]: 35.

ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜﯝ ﯞﯟ ﯠ ﯡ “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dakam ketaatan­nya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dna perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama ) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 35) (Departemen Agama RI, 1993). Tampak jelas bahwa laki-laki dan perempuan di sisi Allah memiliki status yang sama, mereka yang beramal baik dibalas dengan kebaikan dan yang beramal buruk dibalas dengan keburukan, tak peduli apakah ia istri Nabi, orang shaleh ataupun istri orang kafir atau penjahat.

Hilangnya Peran Ibu: Hancurnya Pondasi Utama Pendidikan Dalam pasal 77 Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 tahun 1991) ditegaskan tentang hak dan kewajiban suami istri: Pertama, suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Kedua, suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Ketiga, suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. Keempat, suami istri wajib memelihara kehormatan­nya. Kelima, jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama. Pasal 79 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan kedudukan suami istri sebagai berikut: Pertama, suami adalah kepala keluarga, dan istri adlah ibu rumah tangga. Kedua, hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Ketiga, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam Alquran Allah S.W.T. berfirman: Peran Perempuan Sebagai Pondasi Utama Pendidikan dalam Perspektif Alquran 87

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….” (Q.S. An-Nisa [4]: 34) (Departemen Agama RI, 1993). Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa secara fitrah, fisiologis dan psikologis, maka prialah yang mempunyai tugas untuk memimpin, membela dan melindungi istrinya, karena Allah telah membentuk pria itu dengan tubuh yang kuat, otot-otot yang kuat yang dapat dipakai untuk berkelahi melindungi keluarganya. Tubuh pria itu menggambarkan kekuatan dengan jiwa yang rasionil jauh dari emosionil yang didorongkan oleh perasaan mudah tersinggung seperti yang terdapat pada kaum perempuan, lihat Ali Akbar (1978: 34). Peran perempuan sebagai istri menggambarkan tugas melayani dan mematuhi suami, sedangkan jika sudah berperan sebagai ibu perempuan memiliki tugas yang lebih besar yaitu menjaga, melindungi, mendidik secara psikologis dan intelektual. Melihat dari peran tersebut tak salah jika ibu memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anaknya. Jika peran tersebut dilaksanakan oleh seorang ibu dengan baik, maka anak akan tumbuh dengan baik pula, sebaliknya, jika peran tersebut tidak terlaksana dengan baik, maka akan menimbulkan masalah terhadap perkembangan anak. Terlebih sekarang ini, anak akan dihadapkan dengan perkembangan dunia yang sangat pesat dengan pergaulan dan budaya yang mengiringinya. Oleh karena itu, dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi tantangan- tantangan berat pada masa kini dan yang lebih berat lagi pada masa mendatang, maka perempuan Islam Indonesia harus mampu memilih prioritas dari serentetan kewajiban. Yang jelas adalah bahwa kualitas Perempuan Islam Indonesia yang rata-rata masih berada di bawah garis standar wawasan keIslaman, kondisi intelektual dan kondisi ekonomi sosial perlu mendapatkan priorotas pertama, lihat Ali Akbar (1978: 267). Menurut Iis Nuraeni Afgandi dan Novi Hidayati Afsari (2011: 107) ilmu pengetahuan semakin penting bagi perempuan ketika ia akan tampil menjadi ibu bagi anak-anaknya. Agar mampu melahirkan generasi yang berkualitas, maka ibu harus berkualitas terlebih dahulu. Sebagai seorang perempuan yang ditugaskan untuk menjadi pengajar pertama bagi anak-anaknya tidak semerta-merta ia hanya mengajarkan yang ia ketahui, ibu yang mampu melahirkan generasi cerdas bagi nusa dan bangsa haruslah memiliki kecerdasan dalam dirinya. Bagi seorang perempuan tidaklah 88 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran salah jika memiliki pendidikan yang tinggi agar dapat mencerdaskan anak- anaknya, (Zakiah Darajat, 1995: 53). Jika kita merujuk ke sumber-sumber ajaran Islam, kita menemukan banyak sekali petunjuk menyangkut kewajiban orang tua kepada anaknya, bahkan sebelum anak itu lahir. Karena itu Alquran berpesan bahwa: untuk menggambarkan kesyukuran dan kegembiraan dengan kelahiran anak, maka begitu dia lahir setelah dibersihkan maka diazankan di telinga kanan dan diiqomatkan di telinga kirinya. Selanjutnya, pada hari ke tujuh disembelihkan untuknya aqiqah, digunting rambutnya, ditetapkan nama yang baik untuknya. Menjadi hak anak dan kewajiban ibu untuk menyusu­kan anaknya, dan mempersiapkan sesuai kemampuan orang tua sarana yang diperlukan untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwanya. Anak sejak dini telah harus dididik baik melalui orang tuanya maupun sekolah, antara lain melalui pembiasaan dan ini berlanjut hingga ia dewasa. Anak juga berhak memperoleh pendidikan sesuai dengan bakatnya dan tidak memaksakan kehendak orang tua kepada anak, lihat Quraish Shihab (2010: 181-182). Melihat kajian tersebut menjelaskan bahwa peran ibu sebagai pendidik pertama bagi anaknya menjadi suatu kewajiban yang mulia. Profesi di luar sebagai ibu rumah tangga terkadang membuat para ibu terlena akan tugas pokoknya dalam rumah tangga. Bahkan pada zaman sekarang ini, ibu lebih mempercayakan anaknya dididik oleh orang lain yang dipekerjakan sebagai pengasuh. Dari sinilah permasalahan pendidikan muncul, tangan ibu dengan kodratnya akan lebih menjamin anak berkembang menjadi generasi yang baik dan Qur’ani dibandingkan oleh orang lain.

Ibu Sebagai Pendidik Utama: Upaya Mencetak Generasi Yang Qur’ani Dalam masyarakat manapun peranan ibu terhadap anak tidak dapat dipungkiri karena orang pertama dikenal anak adalah ibunya, lihat Zakiah Daradjat (1991: 71). Pekerjaan mendidik anak adalah pekerjaan yang paling dominan yang harus dilakukan seorang ibu dalam rumah tangganya (Ali Abdul Halim Mahmud, 1991: 508). Seiring perkembangan era globalisasi yang semakin pesat, dibutuhkan adanya agen-agen yang akan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Agen tersebut dibentuk dengan pendidikan yang baik sebagai modal awal yang dibekalkan oleh peran seorang ibu. Dalam Islam ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya, maka dari itu lewat peran ibu pribadi seorang anak akan terbentuk. Salah satu pendidikan yang sangat penting adalah pendidikan Iman, yaitu pendidikan yang mengikat anak dengan dasar-dasar Iman, rukun Peran Perempuan Sebagai Pondasi Utama Pendidikan dalam Perspektif Alquran 89

Islam dan dasar-dasar Syariah, sejak anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu (Abdullah Nashih Ulwan, 1981: 151). Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan generasi Qur’ani suatu bangsa dalam asuhan dan tangan seorang ibu, perlu kiranya penulis menjelaskan peran dan sifat yang harus dimiliki seorang ibu sebagai pondasi utama pendidikan dalam perspektif Alquran. Peran tersebut di antaranya adalah:

1. Sebagai Pembentuk Kejujuran Memang sebagaimana kesimpulan pakar-pakar psikologi dan agamawan, pembentukan watak yang paling kokoh terjadi melalui pembiasaan. Membiasakan anak untuk berperilaku jujur melalui kebiasaan ibunya maka anak akan menirunya baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat, jika ibu sudah menanamkan kejujuran sejak dini, maka anak akan menanamkan didikan itu dan mempraktikannya di kehidupan sehari-harinya.

ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝﯞ ﯟ ﯠﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakkan (kebenaran) karena Allah….” (Q.S. Al-Maidah [5]: 8) (Departemen Agama RI, 1993). Pendidikan harus dapat menyiapkan anak agar mampu hidup meng­ hadapi segala tantangan masa depan. Dalam konteks ini, ditemukan pesan yang menyatakan:”ajarilah anak-anakmu karena mereka diciptakan untuk masa depan yang berbeda dengan masa depanmu”. Hal yang bias dilakukan yaitu dengan cara pembiasaan, sedangkan pembiasaan terhadap anak akan sangat ampuh melalu keteladanan. Dari sini, contoh keteladanan dari ibu, bapak dan keluarga akan menentukan kadar keberhasilan mereka.

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Q.S. Al-Kahfi [18]: 46) (Departemen Agama RI, 1993) Begitulah firman Allah S.W.T. dalam Q.S. Al-Kahfi [18]: 46 yang menjelaskan bahwa anak baru menjadi hiasan hidup bila ia terdidik dengan baik. Ayah dan ibu diberi tanggung jawab oleh Allah S.W.T. untuk membesarkan anak-anaknya serta mengembangkan potensi-potensi positif yang dimilikinya. 90 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

2. Bersikap Lemah Lembut Seorang anak manusia yang tidak mendapat kasih sayang pada masa kecilnya dan tidak juga dibiasakan mandiri pada saatnya, di tengah masyarakat ia akan selalu tergantung dan tidak akan mandiri, Ia tidak memiliki keberanian untuk menjalin hubungan dengan selainnya. Ia takut menghadapi sesuatu yang baru karena sesuatu yang baru menurutnya memiliki resiko sehingga sesuatu tersebut menjadi terkesan menakutkan. Ia hanya ingin melakukan sesuatu yang biasa ia lakukan dan hal tersebut terjadi secara berulang-ulang. Memang, pada prinsipnya memperlakukan anak hendaknya dengan lemah lembut. Itulah anjuran utama, bahkan prinsip ajaran agama dalam mendidik yaitu dengan menjelaskan kepada anak dengan keteladanan dan dengan bahasa yang sesuai (lemah lembut). Dengan demikian, perempuan harus memiliki sifta lemah lembut terhadap anak, sebab anak memerlukan kasih saying dari sosok ibu yang mendidiknya.

ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu… (Q.S. Ali-Imran [3]: 159) (Departemen Agama RI, 1993).

3. Memiliki Kesabaran Cara mengajarkan anak bagi seorang ibu yang paling utama adalah kesabaran, saat seorang ibu mampu menahan emosi agar tidak mengeluar­kan suara bernada tinggi dan menyebutkan hal-hal yang tidak perlu didengar atau sampai mengangkat tangan. Bagi anak yang pertama kali belajar perlu adanya pembinaan dari sosok seorang ibu, dengan kesabaran dan kelemah lembutan ibu mampu mengajarkan anak perlahan-lahan memahami dan mengerti apa yang sudah diajarkan. Ibu, bapak dan guru harus memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain sebanyak mungkin, tetapi hendaknya jangan dilupakan bahwa bermain itu belajar. Dengan sifat sabar tersebut ibu dapat mendidik anak dengan baik, jika pendidikan yang diberikan baik maka anak akan tumbuh dengan baik sebagai generasi-generasi Qur’ani bangsa.

ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ Peran Perempuan Sebagai Pondasi Utama Pendidikan dalam Perspektif Alquran 91

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaran­mu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. (Q.S. Ali-Imran [3]: 200) (Departemen Agama RI, 1993)

4. Memiliki Sifat Adil Terhadap Anak Pada prinsipnya orang tua harus bersikap adil terhadap anak-anaknya. Namun keadilan bukan berarti persamaan mutlak, tetapi adalah keseimbangan. Misalnya, perhatian khusus kepada yang sedang sakit atau yang lebih kecil. Keadilan ini dilakukan untuk menghindari kecemburuan dari saudara yang lainnya.

ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝﯞ ﯟ ﯠﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ “….dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, men­dorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Maidah [5]: 8) (Departemen Agama RI, 1993). Dari uraian di atas, telah dipaparkan beberapa peran dan sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang ibu yang akan ditanamkan dan diajarkan kepada anak-anaknya sebagai suatu pembekalan yang berguna bagi masa depan anak. Jika ketahanan dan keutuhan negara ada pada pundak generasi pemuda yang ada pada negara tersebut, maka pembentukan sifat yang ada pada diri pemuda itu dibentuk dan dicetak dari tangan dan peran seorang ibu.

Penutup Berbicara tentang perempuan, Allah S.W.T. melalui firman-Nya yang tercantum di banyak surat dalam Alquran telah menjelaskan bahwa Islam sangat memuliakan dan menghormati seorang perempuan. Perempuan ataupun laki-laki memiliki hak yang sama, walaupun dalam beberapa hal laki-laki tetap menjadi pemimpin paling tinggi. Lebih dari sepuluh surat dalam Alquran yang menjelaskan tentang perempuan. Selain berperan sebagai ibu, Alquran telah menjelaskan bagaimana peran perempuan sebagai istri yang hendak patuh dan senantiasa melayani kebutuhan suami. melihat begitu banyak dan besarnya peran seorang perempuan dalam kehidupan, maka tak heran jika Allah memuliakan kedudukan permpuan. Peran ibu sebagai pendidik bagi anaknya sangatlah penting, mengingat bahwa ibu adalah pendidikan pertama sebelum seorang anak menempuh kehidupan di luar lingkungan keluarga. Pendidikan yang diberikan seorang ibu akan menjadi dasar utama kepribadian seorang anak dalam menjalani 92 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran masa depannya. Jika pendidikan yang ditanamkan baik, maka akan baik pula perkembangan seorang anak. Sebaliknya, jika pendidikan seorang anak oleh ibunya kurang, maka bangsa ini keilangan agen yang akan menjaga keutuhan dan ketahanan bangsa. Di antara peran dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang ibu dalam mendidik anaknya, adalah: ibu berperan sebagai pembentuk kejujuran, bersikap lemah lembut dalam mendidik anak, memiliki sifat sabar dan berlaku adil.

Pustaka Acuan: Afgandi, Iis Nuraeni dan Novi Hidayati Afsari. Ternyata Wanita Bukan Makhluk Lemah. Bandung: Ruang Kata, 2011. Akbar, Ali. Merawat Cinta Kasih. Jakarta: Pustaka Antara, 1978. Chalil, Moenawar. Nilai Wanita. Solo: Ramadhani, 1984. Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental Dalam Keluarga. Jakarta: Pustaka Antara, 1991. Daradjat, Zakiah. Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah. Bandung: CV Ruhama, 1995. Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: Depag, 1993. Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Abdul Halim Mahmud, Ali. Fiqh Dakwah Muslimah. Jakarta: Robbani Press. 2003. Hamka. Buya Hamka Berbicara Tentang Perempuan. Jakarta: Gema Insani. 2015. Hidayatullah, Syarif. Teologi Feminisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Muthahari, Murtadha. Filsafat Perempuan Dalam Islami. Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2015. Shihab, M Quraish. Menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati, 2010. Shihab, M Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004. Sri Suhandjati Sukri, dkk. Bias Jender Dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta: Gama Media, 2002. Syaltut, Mahmud. Tafsir Alquranul Karim (Pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi Alquran. Bandung: CV Dipenegoro, 1990. Ulwan, Abdullah Nashih. Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam. Semarang, CV Asy-Syifa. 1981. Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam Mengikis Kecanduan Gawai

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.04

Pendahuluan Dilansir dari liputan6.com pada Januari 2018 terdapat dua siswa SMP asal Wonosobo yang dilarikan ke rumah sakit jiwa ole orangtuanya. Hal ini karena perubahan drastis mereka akibat kecanduan gawai seperti tidak ingin sekolah hingga berbulan-bulan dan jika dilarang untuk memainkan gawai keduanya akan marah dan bahkan menyakiti diri sendiri. Dari peristiwa tersebut dapat dipahami bahwa dampak negatif gawai sangat memprihatinkan. Perkembangan teknologi yang sangat cepat mampu membodohi generasi muda secara kilat. Tak hanya para remaja yang mengalami kecanduan gawai, anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) kini telah mampu mengoperasikannya dengan lihai. Permainan seperti petak umpet dan lompat tali yang syarat akan pesan kejujuran, gotong royong, dan percaya diri tergeser dalam duni anak-anak. Masa-masa bermain mereka tergerus dengan berbagai macam konten menarik yang gawai tawarkan. Merosotnya akhlak dan moral ditambah era digital yang memprihatinkan menjadi masalah tersebut tak sederhana. Pemerintah dan orangtua harus mengambil aksi cepat dan tepat dalam penanganan hal tersebut. Dorongan dari dalam diri anak untuk mengetahui segala sesuatu di sekelilingnya sangatlah besar. Untuk itu terkadang mereka mengalami fase ledakan emosi,

93 94 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran terutama jika keinginannya tak dituruti. Seperti contoh saat tidak diizinkan bermain gawai. Mereka akan menangis, histeris, berteriak, membanting benda di sekelilingnya, bahkan memukul orang terdekatnya. Menurut UNICEF, hasil penelitian terbaru menunjukan pengguna internet di kalangan anak-anak dan remaja di usia 7-17 tahun mencapai 30 juta jiwa. Dan setengah di antaranya adalah pengguna gawai. Hal tersebut menunjukan bahwa gawai telah menjadi bagian dari dunia mereka. Segala aktifitas ditunjang oleh gawai, terutama tugas sekolah yang sangat mudah di akses lewat internet. Alih-alih memudahkan tugas, mereka malah tidak belajar secara sungguh- sungguh dan malas. Dalam hal ini, peran keluarga sangat dibutuhkan. Orangtua menjadi model yang akan ditiru oleh anaknya. Seperti pribahasa mengatakan, “Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya” yang menggambarkan hubungan orangtua dan anak. Orangtua perlu menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang paling berpengaruh terhadap perilaku anaknya, termasuk perilaku buruk. Terkadang muncul perilaku orangtua yang terlalu memanjakan anaknya dengan dasar merasa tak tega. Jangan karena alasan sayang, anak malah bernasib malang. Kemalangan karena kecandua gawai yang disebabkan orangtua yang sibuk bekerja tanpa memperhatikan kondisi anak. Memberikan gawai tanpa batas dan asal. Asal anak diam, asal anak betah di rumah, juga asal anak bisa mengakses tugas. Bertolak dari pemikiran di atas, tulisan ini bermaksud menjelaskan bahwa konsep parenting menurut Alquran mampu mengatasi kecanduan gawai pada anak. Maka, starting point dari masalah di atas yaitu apa epistemologi qur’anic parenting dan kecanduan gawai itu? Apa saja dampak negatif kecanduan gawai terhadap pola pikir dan tindak anak? Bagaimana konsep qur’anic parenting dalam mengikis kecanduan gawai?

Epistemologi Qur’anic Parenting dan Kecanduan Gawai 1. Qur’anic Parenting Parenting merupakan serapan dari bahasa Inggris yang berarti pengasuhan. (Echols dan Shadily, 2015:522) Pola pengasuhan dapat menentukan kualitsas anak. Seorang anak menurut Alquran, akan menjadi qurratu a’yuun (buah hati dan perhiasan dunia), jika tumbuh dalam pola pengasuhan yang baik dan berkualitas. Menurut mansur anak diibaratkan sebagai tanaman yang tumbuh, sehingga orangtua berperan sebagai tukang kebunnya (2011:3). Sebagai tukang kebun, maka memiliki kewajiban untuk menyirami, memupuk, merawat, dan memelihara tanaman tersebut. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa sebagai Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam Mengikis Kecanduan Gawai 95 orangtua, haruslah melaksanakan proses pengasuhan berdasarkan Alquran untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Sebaliknya jika tidak menyirami dan memupuk­ dengan baik, maka kelalaian tersebut akan mempengaruhi tumbuh kembang anak-anak. Dengan demikian, qur’anic parenting yaitu pola pengasuhan orangtua terhadap anaknya sesuai berdasarkan Alquran. Qur’anic parenting mengingatkan manusia bahwa anak tidak hanya memiliki potensi menjadi kebanggaan dan hiasan keluarga, tetapi juga memiliki potensi untuk menjadi musuh dan ujian berat bagi keluarga. Hal ini akan terjadi, jika anaktumbuh dan berkembang dengan pola pengasuhan yang salah. Ayat Alquran berikut menjelaskan kemungkina istri dan anak-anak menjadi musuh dan ujian berat bagi kepala keluarga. Allah S.W.T. berfirman:

ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah Pahala yang besar (Q.S At-Taghabun [64]:14-15) (Tubagus Najib, 2012:557). Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam ayat tersebut bahwa “Sesungguh­nya harta dan anak-anak itu merupaka ujian dan cobaan dari Allah S.W.T. dari makhluk-Nya, agar dapat dijelaskan siapa orang yang taat kepada-Nya dan siapa yang durhaka terhadap-Nya”. (2006:560)

2. Kecanduan Gawai Candu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah amat meng­ gemari atau menyukai. (Tim Pustaka Phoenix, 2010:152). Dan gawai berarti peranti akses cepat atau biasa di dalam bahasa Inggris disebut gadget/smartphone. Dengan demikian, kecanduan gawai berarti seseorang yang sangat menggemari atau menyukai gadget/smartphone, sehingga sering kali menggunakannya dan menghabiskan sangat banyak waktu dengan gawai tersebut. Waktu mereka dengan gawai melebihi waktu interaksi dengan manusia nyata. Anak selalu memegang gawai dalam setiap kesempatan, termasuk pada saat makan, atau di tempat tidur bahkan di kamar mandi/ WC pun begitu. Mereka abai terhadap banyak hal, seperti interaksi dengan orang lain, pelajaran, dan tugas-tugas di rumah. Sistem 96 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran pendidikan modern yang berkembang sekarang ini memandang anak sebagai sosok yang hidup dan aktif. (Suhada, 2016:4) Seiring perkembangan teknologi, gawai semakin bertransformasi menjadi media yang semakin canggih dan terjangkau. Semua lapisan masyarakat mampu membelinya denga harga murah. Berbagai macam aplikasi hadir memanjakan aktifitas sehari-hari. Lalu, kini mengenal era paperless yaitu penggunaan kertas yang dikurangi penggunaannya dan beralih pada e-book yang dapat dibaca dengan hanya menggunakan gawai. Bagi para pecinta foto, mereka tak perlu dipusingkan dengan harga kamera yang berjuta-juta. Cukup hanya dengan menggnakan gawai, mereka bisa mendapatkan foto dengan kualitas yang tak kalah dengan kamera-kamera mahal. Kemudian akses musik dan video mampu didapatkan hanya dengan meng-klik tauan unggah. Maka lagu dan video yang diinginkan langsung tersimpan secara otomatis dalam gawai pujaan. Candu gawai dengan dunia maya memang sangat membuat siapapun terlena, terlebih anak yang berada dalam masa yang potensial yaiutu masa yang mengacu pada perubahan anak. Terlebih persoalan akhlak anak yang bertujuan pada jiwa sehat yang mana senantiasa melakukan kebaikan tanpa perintah yang berimbas pada kesenangan batinnya. (Al-Ma’arif, 2015:45). Menurut cahyono bahwa anak-anak seperti halnya kertas yang ditulis atau diberikan warna, mereka sangat mudah diberikan goresan. Berbeda dengan orang dewasa mereka sudah mempunyai banyak coretan sehingga tulisan atau gambar berikutnya harus memperhitungkan tulisan yang ada sebelumnya, minimal mencari kertas yang masih mungkin dicoreti. (2015:11). Anak-anak digambarkan dalam konsep tabula rasa layaknya kertas putih kosong yang siap untuk ditulisi. (Cahyono, 2015:14) Kertas tersebut masih putih dan lembut yang atinya, jangankan diberi coretan, kita tekuk dan remas- remas kertasnya maka akan mengikuti sesuai remasan tersebut. Jika berbentuk dan coretan itu analog dengan anak-anak, maka sangat mungkin dibentuk atau diberikan coretan apapun. Karena itulah perkembangan anak sangat cepat, mudah dan punya kemungkina menuju ke berbagai arah. Dan ini terjadi secara menyeluruh di semua aspek diri anak. Anak memiliki daya serap yang tinggi sekaligus saringan yang lemah. Dengan analogi kertas tersebut, anak-anak sangat potensial untuk membentuk dirinya. Tentu saja para orangtua yang paling berperan untuk menentukan bentuk arah perubahan diri anak. Akan mengacu pada perubahan baik atau sebaliknya. Walau candu gawai memang piawai menghadirkan perubahan signikan pada anak, dengan adanya orangtua akan hadir perubahan yang menyenangkan. Karena itu masa anak-anak adalah masa potensial. Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam Mengikis Kecanduan Gawai 97

Mendidik anak dengan kebenaran Alquran sangat penting diterapkan sebab kebenaran Alquran adalah kebenaran yang tak keropos dihempas zaman dan mutlak harus ditemia bulat-bulat. Dengan Alquran, anak-anak tidak hanya cerdas secara spiritual saja, namun dapat menempas pengaruh negatif gawai yang membayang-bayangi mereka dan yang paling hakiki adalah kebahagiaan di akhirat. (Muhyidin, 2008:25). Dengan demikian harus diterapkan dasar-dasar pengasuhan anak menurut Alquran, sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (Q.S An-Nahl [16]:78) (Tubagus Najib, 2012:275). Dengan turunnya aya tersebut maka bayi ketika dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Maksudnya, bahwa bayi yang baru dilahirkan dalam keadaan nihil dari segi pengalaman empiris. Allah S.W.T. membekalinya dengan pendengaran dan penglihatan yang berpengaruh pada penguatan kapasitas intelek, emosi, dan spiritual bayi yang berbasis pada kalbu.

Dampak Negatif Kecanduan Gawai Terhadap Pola Pikir dan Tindak Anak Orangtua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. (Daradjat, 2016:35). Selaku orangtua harus memperhatikan beberapa hal yang penting untuk ditanamkan pada anak. Dengan ini ditegaskan oleh Jawas hal-hal yang harus diperhatikan orangtua di antaranya menanamkan akhlak Rasul sebagai suri tauladan yang baik. (2012:125). Akhlak baik disini dalam pandangan Mustofa bukan saja memberitahu mana hal yang baik dan yang buruk, melainkan juga mempengaruhi dan mendorong anak memperaktikan hal tersebut sehingga dapat bermanfaat bagi mereka dan orang di sekitarnya (2014:33). Lalu membiasakan anak-anak dimulai dari usia balita bahkan saat masih dalam kandungan diperdengarkan ayat-ayat Alquran, memperhatikan shalat anak-anak sehingga saat sudah dewasa terbiasa, dan yang tak kalah penting memperhatikan dengan siapa mereka bergaul agar mudah menyaring hal-hal yang tak diiinginkan. 98 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dengan demikian, ada beberapa dampak negatif kecanduan gawai terhadap pola pikir dan tindak anak di antaranya anak menjadi terobsesi, mudah marah, sedih, dan frustasi jika tidak bermain dengan gadget. Contohnya jika orangtua tidak mau meminjamkan gawai makai anak akan berontak dan marah. Begitu pula ketika orangtua hendak mengambil gadget yang sedang dipakai oleh anak. Selain itu, anak akan enggan bersosialisasi pada dunia nyata, berbohong agar dapat melakukan aktifitas di dunia maya dan hal lainnya yang mampu memberikan dampak buruk terhadap perkembangan anak. Jika dalam perkembangan anak terjadi penyimpangan seperti kecanduan gawai yang marak beredar, maka pengalaman beragama yang tertanam sejak usia dini di lingkungan keluarga menjadi kekuatan yang mengembalikan seseorang pada kehidupan normal. Kemudian, harus ada momentum yang segera menyadarkan, entah lewat membaca buku ke-Islam-an, mengikuti pengajian atau mengalami kejadian tertentu yang mengantarkan pada kekuasaan Allah S.W.T. yang absolut. Selain itu, orangtua sebagai panutan bagi anak berusah mengurangi waktu bermain anak dengan gadget, dengan meluangkan waktu untuk anak, ajak bersosialisasi dengan teman sebaya, dan melakukan aktifitas menarik. Meskipun selain ada dampak negatif dari gadget juga terdapat dampak positifnya di antaranya menambah pengetahuan, memperluas jaringan persahabatan, mempermudah komunikasi, dan melatih kreativitas. Semua itu tergantung bagaimana orangtua memberikan pengaturan yang baik kepada anak dalam penggunaan gadget.

Konsep Qur’anic Parenting Dalam Mengikis Kecanduan Gawai Parenting merupakan salah satu bentuk konsep pengasuhan dari rumah parenting dalam mengikis kecanduan gawai dan merumuskan dalam sebuah singkatan PARENTING. Konsep ini mempermudah orangtua untuk mengingat dan memahami konsep-konsep dasar yang diperlukan dalam mengasuh dan mendidik anak, terutama di era digital seperti sekarang. Qur’anic parenting juga bertujuan membangun perubahan perilaku pada anak-anak dengan berlandaskan kepada Alquran. Adapun konsep ini terdiri dari 8 langkah yaitu:

1. P (Pengasuhan anak yang benar) Penggunaan teknik yang kurang tepat akan membuat orangtua kesulitan mengasuh dan mendidik anak. Orangtua harus beralih pada metode yang benar. Salah satunya dengan cara mengajari anak mendirikan shalat. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman: Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam Mengikis Kecanduan Gawai 99

ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting (Q.S Luqman [31]:17) (Tubagus Najib, 2012:412). Dengan demikian, apabila orangtua mengajarkan anaknya untuk mendirikan shalat, dan menegakkan amar makruf nahi munkar, maka akan dapatmengikis kecanduan gawai, karena anak tersebut akan mengetahui dampak negatif dari sering memakai gawai tersebut.

2. A (Anak adalah anugrah) Langkah kedua menitik beratkan kepada pemahaman bahwa anak adalah anugrah terindah dan sebagai perhiasan dunia untuk orangtua dan mereka lahir untuk mempelajari banyak hal. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhamnu serta lebih baik untuk menjadi harapan (Q.S Al-Kahfi [18]:46) (Tubagus Najib, 2012:299). Sebagai perhiasan kehidupan dunia untuk kedua orangtuanya bahwa orangtua merasa sangat senang dan bangga dengan berbagai prestasi yang diperoleh oleh anak-anaknya, sehingga dia pun akan terbawa baik namanya di depan masyarakat. Anak tidak terlahir langsung berperilaku baik, keterampilan me­ngendalikan emosi dan lain-lain. Dalam langkah ini, orangtua harus memahami barbagai perilaku anak sebagai proses belajar dan menyadari sepenuhnya bahwa tugas membimbing ada pada orangtua. Orangtua yang bertanggung jawab bertugas membimbinganak-anaknya dalam mengikis kecanduan gawai agar dapat brperilaku baik dan menghilangkan berbagai perilaku buruk.

3. R (Redam kemarahan kepada anak) Tanpa langkah ini, orangtua akan kesulitan membuat anak patuh. Penggunaan amarah dalam membimbing anak akan membuat pengasuhan tidak efektif karena akan memancing perlawanan dari anak. Oleh karena itu, setiap orangtua harus dapat menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, terlebih 100 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran kepada anak. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:

ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan (Q.S Ali-Imran [3]:134) (Tubagus Najib, 2012:67). Dengan demikian, seseorang yang dapat menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, maka Allah S.W.T. akan memberikan surga yang luas seluas langit, karena Allah S.W.T. mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Maka selaku orangtua harus dapat meredam amarah terhadap anaknya, jika anak tersebut mempunyai kesalahan atau membuat orangtua menjadi marah, agar anak tersebut tidak beranggapan orangtuanya galak atau tidak pynya kasih sayang, sehingga ketika orangtua tersebut melarang anaknya dalam berlebihan menggunakan gawai, maka anak tersebut akan menuruti perintah orangtuanya.

4. E (Empati mendengarkan) Langkah ini bertujuan agar anak lebih mudah diarahkan. Dalam hal ini, tentu orangtua harus melakukannya secara berkala bahkan setiap hari. Tahap ini juga dapat berfungsi untuk memberikan pemahaman kepada anak. Oleh karena itu, anak lebih mudah diarahkan dan orangtua dapat memberikan arahan dengan lebih baik melalui mendengarkan masalah yang dihadapi anak terlebih dahulu. Dalam hal ini ada kaitannya dengan firman Allah S.W.T.

ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah baik- baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S Al-A’raaf [7]:204) (Tubagus Najib, 2012:176). Dengan demikian, sebagai oaarangtua harus dapat mendengar keluh kesah anaknya, agar dapat mengikis kecanduan gawai, karena dengan mendengarkannya, anak akan menjadi patuh kepada orangtuanya. Ketika anak tersebut sering menggunakan gawai , lalu sebagai orangtua menasehatinya, maka anak tersebut akan patuh terhadap nasihat orangtua yang telah diberikan kepadanya.

5. N (Notifikasi/ pemberitahuan pembicaraan dan tindakan) Konsep ini bertujuan agar anak memahami alasan untuk berperilaku baik, dan juga alasan untuk menghilangkan berbagai perilaku buuruk. Dalam langkah Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam Mengikis Kecanduan Gawai 101 ini, berbagai motivasi, situasi serta kondisi yang mendukung pembentukan perilaku harus orangtua jelaskan dan catat terlebih dahulu. Tujuannya agar anak menadapat informasi/ pesan sesuai dengan yang diinginkan. Sehingga mereka berperilaku sesuai yang kita maksud, selain itu sebagai orangtua harus dapat memberitahukan kepada anak, mana perbuatan yang baik, dan mana perbuatan yang buruk, seperti memberikan penjelasan kepada anak, bahwa sebagai anak harus berbakti kepada orangtuanya. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtua­nya ... (Q.S Luqman [31]:14) (Tubagus Najib, 2012:412). Oleh karena itu, anak apabila sudah diberitahukan oleh orangtuanya agar senantiasa berbakti kepadanya, maka anak tersebut akan patuh, jika orangtuanya melarang untuk berlebihan dalam menggunakan gawai, dengan demikian akan dapat mengikis kecanduan gawai terhadap anak.

6. T (Tanamkan predikat baik) Bila orangtua ingin anak berperilaku baik, maka berikan predikat pada anak sesuai harapan kita. Seperti “Anak saleh” atau “Anak pintar”. Panggilan tersebut, membuat anak berperilaku sesuai predikat yang diberikan. Jadi, penggunaan panggilan negatif harus dihilangkan. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (Q.S Al-Ahzab [33]:70) (Tubagus Najib, 2012: 427). Dengan demikian, orang tua harus berkata benar kepada anaknya, agar anak tersebut mudah patuh dan taat atas perintah orangtuanya, ketika memerintahkan untukmengikis kecanduan gawai. Sehingga dengan demikian, anak akan dapat mengurangi penggunaan gawai tersebut.

7. I (Istiqamah) Kunci keberhasilan dari konsep ini adalah ketika orangtua mampu men­jalankan se­ tiap langkah dengan istiqamah atau konsisten. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

ﮅ ﮆ ﮇﮈ ﮉ ﮊ ﮋ Maka tetaplah istiqomah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya ... (Q.S Fushilat [41]:6) (Tubagus Najib, 2012:477). 102 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dengan turunnya perintah tersebut, maka hendaknya setiap orangtua harus istiqamah dalam mendidik anak/ keluarganya, sehingga dengan demikian, orangtua akan mudah mengikis anaknya dalam kecanduan gawai.

8. NG (meNGadakan Time Out) Time out diperlukan untuk membantu orangtua menghentikan perilaku buruk anak. Konsep ini juga melatih anak mengendalikan kemarahan sejak dini. Biasanya anak akan membentak, berteriak, menangis, atau bahkan berguling- guling di lantai jika tidak dipenuhi. Dalam kasus yang lebih kritis mereka akan menyakiti diri mereka sendiri. Terutama karena kasus kecanduan gawai. Dalam hal ini orangtua harus menerapkan Time Out, ketika anak sedang menggunakan gawai dengan berlebihan agar anak menggunakan waktu sebaik mungkin. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang- orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Q.S Al-‘Ashr [103]:1-3) (Tubagus Najib, 2012:601). Dengan demikian, menggunakan waktu sebaik mungkin itu sangat penting. Oleh karenanya, Time Out harus diberikan ketika anak berperilaku buruk dan berlebihan dalam menggunakan gawai. Konsep ini dilakukan dengan tujuan memberikan pemahaman kepada anak bahwa perilaku buruk harus dihentikan, dan mengikis kecanduan gawai. Dalam konsep PARENTING yang disebutkan di atas. Anak diberikan jeda untuk sendiri, berusaha merenung tanpa diganggu orang lain. Orangtua harus menghindari nada tinggi dan sikap tubuh mengancam, sampaikan harapan dan arahan pada anak dengan jelas, jangan disampaikan di keramaian orang banyak. Pastikan orangtua dalam keadaan tenang saat melakukan hal tersebut. Solusi yang dapat dilakukan dari pengaruh gawai antara lain memantau histori penggunaan internet, mendampingi anak-anak saat memakai gawai, jangan memberikan anak gawai pribadi mereka sendiri, akan tetapi pinjamkan saja gawai dengan dibicarakan waktu batasan untuk memakainya, ajak dan luangkan waktu bermain seperti piknik bersama keluarga dengan begitu anak akan lebih reaktif pada lingkungannya. Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam Mengikis Kecanduan Gawai 103

Penutup Qur’anic parenting mengingatkan manusia bahwa anak tidak hanya memiliki potensi menjadi kebanggaan dan hiasan keluarga, tetapi juga memiliki potensi untuk menjadi musuh dan ujian berat bagi keluarga. Hal ini akan terjadi, jika anaktumbuh dan berkembang dengan pola pengasuhan yang salah. Dengan demikian, dengan qur’anic parenting, maka anak akan menjadi berkarakter qur’ani. Dampak negatif kecanduan gawai terhadap pola pikir dan tindak anak di antaranya anak menjadi terobsesi, mudah marah, sedih, dan frustasi jika tidak bermain dengan gadget. Contohnya jika orangtua tidak mau meminjamkan gawai makai anak akan berontak dan marah. Begitu pula ketika orangtua hendak mengambil gadget yang sedang dipakai oleh anak. Selain itu, anak akan enggan bersosialisasi pada dunia nyata, berbohong agar dapat melakukan aktifitas di dunia maya dan hal lainnya yang mampu memberikan dampak buruk terhadap perkembangan anak. Dampak negatif kecanduan gawai sendiri merupakan perilaku menyimpang anak yang terjadi akibat kelalaian orangtua. Dan dapat di atasi dengan mengamalkan pengasuhan menurut Alquran. Dengan begitu pengalaman beragama yang tertanam sejak usia dini di lingkungan keluarga menjadi kekuatan yang mengembalikan seseorang pada kehidupan normal. Kemudian harus ada momentum yang segera menyadarkan, entah lewat membaca buku ke-Islam-an, atau mengikuti pengajian. Konsep qur’anic parenting dalam mengikis kecanduan gawai. Anak diberikan jeda untuk sendiri, berusaha merenung tanpa diganggu orang lain. Orangtua harus menghindari nada tinggi dan sikap tubuh mengancam, sampaikan harapan dan arahan pada anak dengan jelas, jangan disampaikan di keramaian orang banyak. Pastikan orangtua dalam keadaan tenang saat melakukan hal tersebut. Keluarga terutama orangtua memiliki peranan penting sebagai guru pertama dan utama bagi anak. Dari lingkungan keluarga, anak mendengar, melihat, dan kemudian menirukan berbagai hal dalam kehidupan ini sehingga menjadi kebiasaan anak. Pengasuhan dengan demikian, harus bernilai edukatif dalam memberikan stimulus-stimulus yang memberikan pengarah dan penguatan kapasitas intelek, emosi dan spritual, dan psikososial anak berjalan dengan wajar sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan. Alhamdulillah ‘Ala Kulli Haal. Dengan adanya makalah yang sederhana ini, berharap agar setiap orang tua mampu mengasuh anaknya sesuai kemampuan serta melakukan sesuai pola pengasuhan menurut Alquran, serta berharap agar pemerintah dapat mem-blokir atau menghapus situs-situs atau aplikasi yang tidak baik ditayangkan atau digunakan dalam gawai, sehingga seorang anak 104 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran menggunakan gawai dengan sebaik mungkin sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Pustaka Acuan: Al-Ma’arif, Ucup Fathuddin. Kepemimpinan Dalam Perspektif Alquran. Serang: LPTQ Provinsi Banten. 2015. Al-Munajid, Muhammad bin Shalih. 40 Nasehat Memperbaiki Rumah Tangga. Jakarta: Darul Haq. 2014. Cahyono, Rudi. Daily Parenting Menjadikan Orangtua Pendidik Yang Luar Biasa. Jakarta Selatan: Panda Media. 2015. Daradjat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2016. Echols, John M dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. 2015. Hidayati, Zulaehah dan Ratiqah Munawar Wahyu. Time Out Dalam Parenting. Jakarta: Erlangga. 2015. Ismail, Asep Usman. Alquran dan Kesejahteraan Sosial. Tangerang: Lentera Hati. 2012. Katsir, Ibnu Abul Fida Ismail. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2006. Mansur. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011. Muhyidin, Muhammad. Mengajar Anak Berakhlak Alquran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2008. Mustofa, Ahmad. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. 2014. Najib, Tubagus. Mushaf Al-Bantani Alquran dan Terjemahnya. Serang: Majelis Ulama Indonesia Provinsi Banten. 2012. Suhada, Idad. Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini. Bandung: PT. Rosdakarya. 2016. Syahwan, Yahya bin Sa’id Alu. Fatwa-Fatwa Untuk Anak Muslim. Surabaya: Elba. 2006. Tim Pustaka Phoenix. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. Jakarta: PT Media Pustaka Phoenix. 2010. Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif Alquran Sebagai Basis Untuk Mengokohkan Ketahanan Nasional

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.06

Pendahuluan Tidak ada satupun cabang ilmu pengetahuan yang apabila dipelajari tidak memberikan nilai guna (manfaat). Terlebih lagi jika ilmu yang dipelajari menyentuh kehidupan setiap anggota masyarakat seperti hukum keluarga dalam kaitan ini hukum keluarga Islam dalam mengokohkan ketahanan nasional. Sosiologi (ilmu ijtima’i) mengajarkan kepada kita bahwa unit terkecil dalam masyarakat adalah keluarga. Karenanya, keluarga memiliki peran dangat signifikan dalam kehidupan bermasyarakat. Berkenaan dengan posisi penting keluarga dalam masyarakat sebagai basis utama dalam mengkohohkan ketahanan nasional (Amin Summa, 2004: 32) Setiap bangsa sudah pasti mempunyai cita-cita yang ingin diwujudkan dalam kehidupan nyata. Cita-cita itu merupakan arahan yang sebenar-benarnya dan mempunyai fungsi sebagai penentu arah dari tujuan nasional. Namun demikian, pencapaian cita-cita dan tujuan nasional bukan sesuatu yang mudah diwujudkan dalam perjalanannya kearah tersebut akan muncul energi positif maupun energi negatif yang memaksa suatu bangsa untuk mencari solusi terbaik, terarah, konsisten, efektif dan efesien.

105 106 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Indonesia adalah Negara yang bersandar pada kekuatan hokum sehingga kekuasaan dan penyelenggaraan hidup dan kehidupan kenegaraan diatur oleh hokum yang berlaku. Dengan kata lain, hukum sebagai pranata social disusun untuk kepentingan seluruh rakyat dan bangsa yaitu untuk menjaga ketertiban seluruh rakyatnya. Kondisi kehidupan nasional itu menjadi salah satu kekuatan ketahanan nasional karena adanya jaminan kekuasaan hukum bagi semua pihak yang ada di Indonesia dan lebih jauh daripada itu adalah menjadi cermin bagaimana rakyat Indonesia mampu untuk tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah yang menetapkan hukum sebagai asas berbangsa dan bernegara dengan menyadarkan pada kepentingan dan aspirasi rakyat. Kemampuan, kekuatan, ketangguhan dan keuletan sebuah bangsa melemahkan dan menghancurkan setiap tantangan, ancaman, rintangan itulah yang disebut dengan ketahanan nasional. Oleh karena itu, ketahanan nsaional mutlak senantiasa untuk dibina dan dibangun serta ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan dengan simultan dalam upaya mempertahankan hidup dan kehidupan bangsa. Lebih jauh dari pada itu adalah makin tinggi tingkat ketahanan nasional suatu bangsa maka makin kuat pula posisi bangsa dalam pergaulan dunia dan salah satu yang mempengaruhi ketahanan nasiona yaitu keluarga. Keluarga dibentuk dari sepasang manusia untuk membina rumah tangga yang sakiinah, mawaddah dan warrahmah. Keluarga merupakan unsur paling kecil dari masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga menyatukan dua pikiran berbeda dua pikiran yang berbeda membangu sebuah komitmen dalam memulai hidup baru untuk mandiri menggapai keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Dalam hal ini hukum keluarga Islam sangat diperlukan sebagai strukrur manajemen pemberdayaan diri untuk menjaga eksistensi kesejahteraan hidup berkeluarga. Negara akan sejahtera bila kelompok-kelompok masyarakat yang hidup dalam negara itu sejahtera, kelompok-kelompok itu akan sejahtera bila keluarga- keluarga yang hidup dalam kelompok itu sejahtera. Jadi negara ditentukan kesejahteraannya oleh keluarga dalam negara atau masyarakat. Data di atas bisa berubah kapanpun selama pengembangan masih terus dilakukan, lalu bagaimana pengaruh hukum keluarga Islam terhadap ketahanan nasional? Dan bagaimana formula dan strategi yang ditawarkan Alquran tentang hukum keluarga Islam sehingga dapat menjadi sebuah basis dalam mengokohkan ketahanan nasional? Makalah ini dibuat semoga nantinya dapat dijadikan pertimbangan strategi yang dapat digunakan untuk menjdikan keluarga muslim yang menerapkan hukum keluarga Islam dalam usaha untuk mengokohkan ketahanan nasional. Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif Alquran 107

Konsep Hukum Keluarga Islam Dalam pengembangan huku keluarga Islam setiap kepala keluarga harus mengatur segala keutuhan dalam keluarga berdasarkan hukum keluarga sesuai dengan hukum Islam, menurut Prof. Amin Summa (2000: 95), menyatakan keluarga merupakan suatu kesatuan yang harus dikembangkan dengan cara sebaik-baiknya. Hukum keluarga merupaka salah satu landasan yang baik untuk mengatur segala kesatuan dalam keluarga, dan hukum kelurga merupakan hukum yang pertama kali muncul dibandingkan dengan hukum-hukum yang lain seperti hukum sosial filsafat dan lain-lain. Menurut Rifyal (2002: 2), hal-hal pribadi yang dimaksud adalah masalah- masalah dimana pribadi menjadi topiknya atau yang mengendalikan masalah pribadi. Atas dasar ini maka dapat dikatakan bahwa secara harfiah,al-ahwal as-syakhshiyyah adalah hal-hal yang berhubungan dengan soal pribadi. Istilah Qanun al-ahwal as-syakhsiyyah, memang lazim diartikan dengan hukum pribadi, dalam bahasa Inggris al-ahwal as-syakhshiyyah biasa disalin dengan personal statute. Dalam literatur hukum Islam (fiqh), hukum keluarga biasa dikenal dengan sebutan al-ahwal as-syakhshiyyah. “Ahwal” adalah jamak (plural) dari kata tungga (Singular) al-hal, artinya hal, urusan atau keadaan. Sedangkan as-syakhshiyyah adalah jamak dari asykhash atau syukhush yang berarti orang atau manusia. As-syakhshiyyah berarti kepribadian atau identitas diri atau jati diri (Rawas, 1996: 749) Prof. Wabhbah Az-Zuhayli, Guru besar Universitas Islam Damaskus (1989: 19), memformulasikan al-ahwal as-syakhshiyyah (hukum keluarga) dengan hukum-hukum yang mengatur hubungan keluarga sejak dimasa-masa awal pembentukan hingga di masa-masa akhir yaitu berakhirnya (keluarga) berupa nikah, talak (perceraian), nasab (keturunan), nafkah dan kewarisan. Sementara Ahmad Al-Khumayini (1999: 89), mengingatkan bahwa huquq al-usrah atau al-ahwal as-syakhshiyah merupakann seperangkat kaidah undang- undang yang mengatur hubungan personal anggota keluarga dalam konteksnya yang khusus dalam hukum suatu keluarga. Keluarga merupakan masyarakat paling kecil yang beranggotakan seorang suami, istri serta anak. Keluaragalah yang memberikan pendidikan paling mendasar bagi seluruh anggota keluarga. Oleh karena itu, pembinaan keluarga dalam Islam merupakan agenda yang tidak mengenal akhir, melainkan agenda yang senantiasa berkelanjutan. Itulah sebabnya, Islam sangat memandang penting terhadap pengembangan keluarga yang didasari oleh nilai-nilai agama. Pengembangan keluarga berarti suatu rekayasa untuk mewujudkan keluarga yang berkembang secara dinamis. Upaya pengembangan tersebut berawal dari 108 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran pembentukan keluarga, yaitu perkawinan lalu dilanjutkan dengan pembinaan keluarga interaktif anata suami dan istri. Ruang lingkupnya tidak berhenti disini, melainkan terus berkelanjutan dengan pembinaan dengan segala seluk beluknya. Oleh karena itu, proses pengembangan keluarga tersebut sangat berpengaruh dengan hukum keluarga Islam. Demi terpeliharanya kehidupan keluarga yang mampu mengembangkan hukum keluarga Islam dan dapat menjlankan fungsinya dengan baik. Islam memalui syariatnya menetapkan sejumlah petunjuk dan aturan. Diantaranya agar keluarga dapat memberikan pengaruh pada ketahanan di suatu negaranya. Keluarga sering diumpamkan sebagai bahtera. Jika suatu bahtera memiliki dua nahkoda yang berbeda prinsip dan tujuan kerjanya, jalannya tidak akan menentu bahkan bias terjadi kecelakaan. Bahtera harus mempunyai satu nahkoda yang satu prinsip dan satu tujuan. Seorang kepala rumah tangga merupakan pemegang kendali keluarga yang penuh tanggung jawab. Dalam hal ini seorang suami memiliki wewenang untuk mengendalikan anggota keluarganya sehingga mampu mencapai dari suatu hukum keluarga Islam (Hamidi, 2003: 25) Dalam Islam keluarga merupakan tumpuan utama dan pertama dalam mempersiapkan generasi penerus peradaban. Dan ibu adalah pendidik pertama dan utama seorang anak. Menurut Dian Kusuwardani (2002: 137), setiap individu yang berkeluarga pasti mendambakan keluarga yang sakiinah. Keluarga sakiinah adalah keluaga yang memberikan ketenangan, kesejukan yang dilandasi oleh iman dan taqwa serta dapat menjalankan syariat Islam dengan sebaik baiknya Menurut Adiwikarya (2007: 98), suatu kelurga diakatakan memiliki ketahanan dan kemandirian yang tinggi, apabila keluarga itu berperan secara optimal dalam mewujudkan seluruh potensi anggota keluarganya. Karena itu, tanggung jawab keluarga dalam meningkatkan hukum keluarga Islam meliputi faktor pendidikan, ekonomi, social budaya dan lain-lain. Sehubungan dengan tanggung jawab tersebut, maka fungsi kelurga meliputi, fungsi cinta kasih, perlindungan atau proteksi, sosialisasi ekonomi dan pengembangan lingkungan. Dikemukakan oleh Budi Santoso (1995: 78) dalam tulisannya “Hukum keluarga Islam berbasis bagi pembinaan kualitas sumber daya manusia” bahwa betapapun sederhananya kehidupan suatu keluarga, pasti akan mengembangkan organisasi sosial yang masing-masing aspeknya akan menjamin ketertiban dan pencapaian tujuan hidup bersama. Organisasi sosial itu pada intinya meliputi pengaturan hubungan sosial antar anggota (social aligment), cita-cita atau tujuan bersama yang mengikat kesatuan sosial yang bersangkutan (social media), ketentuan yang disepakati sebagai pedoman dalam pergaulan social (social standar), penegakan kehidupan bersama (social control). Berdasarkan pemikiran Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif Alquran 109 ini, maka setiap orang baik sebagai individu atau anggota masyarakat terikat oleh keempat norma social tersebut dalam tetanan kehidupan masyarakat. Untuk mempertahankan hukum keluarga Islam, setiap keluarga, setiap anggota keluarga mempunya tanggung jawab dan tugas masing-masing untuk dipenuhi. Berusaha untuk saling mengisi dalam segala lini yang berkiatan dengan peningkatan hukum keluarga Islam, karena pada dasarnya hukum keluarga Islam mampu dicapai apabila dalam suatu kelurga memiliki satu visi dan tujuan yang sama untuk meningkatkan hukum keluarga Islam. Kesemuanya itu dibutuhkan perencanaan yang matang dengan me­nyiasati struktur manajemen pemeberdayaan diri masing-masing dalam berkeluarga. Keluarga yang bahagia, mandiri, sejahtera dan konsisten terhadap tanggung jawab anggota keluarganya. Segala persoalan diselesaikan dengan cara berkomunikasi yang baik dan tidak mendahulukan ego masing-masing. Hal ini yang menjadi faktor untuk meningkatkan ketahanan keluaga.

Hakikat Hukum Keluarga Islam Terhadap Ketahanan Nasional Tanpa mengetahui hukum keluarga Islam secara benar dan baik, hampir mustahil sebuah keluarga terutama keluarga muslim akan mampu mewujudkan impian atau tepatnya keluarga idaman yang didambakan, yakni keluarga sakiinah (sejahtera) yang di bangun atas dasar hubungan mawaddah dan rahmah. Hukum keluarga Islam memiliki fungsi dan tujuan yang sangat penting bagi kehidupan manusia bagi kehidupan manusia guna mengokohkan ketahanan nasional. Menurut Prof. Muhamad Amin Summa (2004: 37), satu hal yang mutlak penting diketahui ialah bila keluarga muslim dengan para anggotanya benar-benar mengetahui sekaligus mengamalkan hukum keluarga Islam secara baik dan benar, niscaya keluarga yang bersangkutan akan menjadi keluarga yang benar-benar sakiinah. Hanya keluarga yang sakinah inilah sesungguhnya yang akan membangun sebuah bangunan masyarakat, bangsa, dan negara yang tangguh dan kuat. Sehingga keluarga mempunyai pengaruh dalam upaya mengokohkan ketahanan nasional. Keluarga sakinah itu tentu akan dapat dibangun dengan baik manakala setiap anggota keluarga benar-benar mengetahui dengan baik keberadaan hukum keluarga. Dalam hal ini hukum keluarga Islam bagi keluarga muslim yang nantinya mampu dijadikan sebagai basis dalam mengokohkan ketahanan nasional. “Hasil penelitian para sosiolog dan antropolog membuktikan bahwa masyarakat kuno sebagaimanapun primitifnya juga terdapat hukum. Selama ada masyarakat, masyarakat besar maupun kecil, selalu diikuti oleh hukum.” (R. Soeroso, 1993: 49). Termasuk kedalam masyarakat kecil adalah keluarga yang umum disebut sebagai “unit terkecil” dalam masyarakat. Jika demikian halnya, 110 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran dapatlah diartikan bahwa setiap bidang hukum termasuk hukum keluarga, pasti memiliki fungsi dan kedudukan. Demikian pula halnya dengan hukum keluarga Islam bagi ketahanan nasional. Jika hukum keluarga memiliki kedudukan atau fungsi mengatur hubungan timbal balik dalam sebuah keluarga untuk mengokohkan ketahanan nasional, fungsi hukum keluarga Islam dalam suatu keluarga adalah sebagai pengatur mekanisme (hubungan) timbal balik antara sesama anggota keluarga dalam mengokohkan ketahanan nasional. Adapun tujuan dari pensyariatan hukum keluarga Islam bagi keluarga muslim dalam mengokohkan ketahanan nasional secara ringkas ialah untuk mewujudkan kehidupan muslim yang sakinah yaitu keluarga yang mampu memberikan ketenangan dan kesejahteraan sehingga dalam proses membantu dalam mengokohkan ketahanan nasional dapat berjalan dengan baik dan mampu mencapai tujuan dari ketahanan nasional. Al-imam Al-akbar Mahmud Syaltut (1883: 56) dalam kitab Al-Islam’aqidah wa-Syariah menegaskan demikian, “tidak diragukan lagi bahwa suatu keluarga adalah ibarat batu bata (bahan bangunan) dari sekian banyak batu bata umat yang terbentuk dari udengan Snit-unit atau kumpulan kumpulan keluarga yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Dan biasanya, bangunan yang terbentuk dari batu bata itu kekuatannya bergantung­ pada kuat atau lemahnya batu-bata yang menjadi bahan bakunya. Manakalah bangunan itu tersusun atas batu bata yang kuat lagi memiliki daya tahan dan kekebalan, niscaya bangunan itu sendiri akan kokoh, dan sabaliknya apabila bangunan itu tersusun atas batu bata yang lemah dan rapuh, maka dapat dipastikan bangunan itu akan lemah dan rapuh”. Senada dengan Mahmud Syltut, Muhammad Abdul Raud dalam bukunya, The Islamic Family (1994: 7), menjelaskan bahwasanya keluarga adalah suatu bangunan tersendiri dalam struktur social. Kesuksesan dan efesiensi dan tatanan social betapapun besarnya bergantung pada stabilitas keluarga dan harmonisasi internal rumah tangga. Padahal semua orang mengetahui bahwa stabilitas dan harmonisasi keluarga itu sangat bergantung pada kebaikan setiap anggota keluarga dalam memenuhi kewajibannya terhadap anggota keluarga yang lain.

Hukum Keluarga Islam Dalam Perspektif Alquran Sebagai Upaya Mengokohkan Ketahanan Nasional Dalam hukum Islam, dikenal dua macam kewajiban, yakni kewajiban individu yang lazim disebut fardu ain dan kewajiban kolektif yang biasa disebut dengan fardu kifayah. Dihubungkan dengan pemilah beban hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum menjalankan hukum keluarga Islam dalam keluarga Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif Alquran 111 muslim adalah wajib ain sekurang-kurangnya bagian-bagian tertentu dari hukum keluarga Islam. Adapun hukum mengajarkan (hukum keluarga Islam) kepada keluarga muslim merupakan fardu kifayah (kewajiban kolektif) yang bisa dilakukan oleh sebagian orang muslim untuk semua masyarakat muslim. Dasar kewajiban untuk mempelajari dan mengajarkan hukum keluarga Islam bagi keluarga muslim dalam upaya mengokohkan ketahanan nasional sesuia dengan perintah yang dijelaskan dalam Alquran. sebagaimana firman Allah aza wazala dalam Q.S An-nisa ayat 13-14.

ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalamm syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasulnya dan melanggar ketentuan-Nya. Niscaya ia kekal didalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. An-nisa (4) ayat:13-14) (Mushaf Al-Bantani 2013: 79). Menurut Quraih Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2002: 98) menafsir­kan ayat di atasbahwasanya setiap hukum merupakan ketentuanlah dari Allah dan apabila itu berdampak baik maka lakukanlah, kareana setiap perkara yang baik akan terdapat kebaikan pula. Prof. Muhammad Amin Summa dalam buku “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam” menawarkan beberapa solusi yang diterapkan dalam hukum keluarga Islam dalam mengokohkan ketahanan nasional sesuai dengan perintah dalam Alquran.

Pertama; Tanggung Jawab Manusia Sebagai Individu Langkah pertama yang harus dipenuhi untuk mencapai ketahanan nasional yang ditawarkan dalam menenrapkan hukum keluarga Islam adalah pendidikan Aqidah. Aqidah merupakan materi pembinaan anak dalam Islam. Kata “aqidah” menurut bahasa berasal dari kata bahasa arab yang berarti pengikat. Aqidah merupakan kepercayaan penuh pada hukum dan ketetapan Allah, karena dengan setiap individu diberikan pendidikan Aqidah dalam, Pada dasarnya, keberadaan manusia ditemukan dengan Allah S.w.t.. Manusia dibekali oleh Allah S.w.t. dengan berbagai macam potensi yang dimilikinya, diantaranya nafs atau jiwa sadar. Abu A’la Al-Maudud (1997: 15) menyatakan 112 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran bahawa nafs manusia ada tiga tingkatan, yakni yang pertama, nafs ammarah, yaitu jiwa yang mudah terpengaruhi bisikan hati yang sama-sama dimilik oleh manusia dan binatang. Dengan nafs ammarah ini, manusia memiliki ambisi dan emosi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hiduopnya. Kedua, nafs lawammah, yaitu jiwa yang berhati-hati atau sadar secara normal untuk berjuang meraih kebaikan dan menolak perbuatan jahat. Ketiga, nafs muthma’inanah, yaitu jiwa yang selaras secara sempurna dengan kehendak Allah S.w.t. Pembagian tersebut berpijak pada keterangan dari ayat sebagai berikut.

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyruuh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberikan rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Yusuf (12) ayat: 53) (Mushaf Al-Bantani, 2013: 242). Menurut Quraish Shihab (2002: 167) dalam tafsir al-misbah ayat di atas menjelaskan bahwasanya semua potensi yang dimilikinya, manusia dapat hidup secara layak sesuai dengan kemampuannya dalam mengontrol dalam dirinya dan mengendalikan nafs-nya yang keseluruhannya mengarah pada munculnya kreativitas manusia untuk mengembangkan kemampuan dirinya disegala bidang. Dengan kemampuan mengendalikan nafs manusia akan menyadari bahwa setiap yang dikerjakan akan dimintai pertanggung jabawan. Hal ini yang diajarkan dalam hukum keluarga Islam yang nantinya dapat mengembangka potensi setiap individu sehingga nantinya mereka dapat mengerti tentang bagaimana cara mengokohkah ketahanan nasional.

Kedua; Tanggung Jawab Sosial Manusia senantiasa bergantung kepada orang lain sehingga ia dituntut untuk hidup bersama secara damai dalam bimbingan Allah S.w.t.. Dengan demikian, misi uatam dari penerapan hukum keluarga Islam adalah meneruskan perjuangan Nabi Muhammad Saw dalam menciptakan ketentraman dan kedamaian dimuka bumi ini. Hal ini merupakan tangggung jawab yang harus dimulai dari setiap pribadi dalam kehidupan bermasyarakat, hingga nantinya tercipta hubungan yang serasi antar anggota masyarakat dan memiliki tujuan bersama yaitu mengokohkan ketahanan nasional. Oleh karena itu, setiap pribadi bertanggung jawab untuk memperbaiki perilakunya, baik lahir maupun batin. Dari keluarga hal ini mulai dilakukan yang kemudian diteruskan pada perbaikann perilaku seluruh masyarakat sehingga terjadi timbal balik antara pribadi dan masyarakat. Karena pada hal ini perlu adanya usaha yang tinggi untuk merubah setiap hal yang ada di lingkup Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif Alquran 113 keluaraga sehingga nantinya mampu memberikan pengaruh terhadap ketahanan nasional dengan ridho Allah S.w.t.. Sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S. Ar-Rad ayat 11,

ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ Allah tidak akan merubah apa (keadaan) yang ada pada suatu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka (Q.S. Ar-Rad 13 ayat:11) (Mushaf Al-bantani, 2013: 251). Menurut Quraish Shihab dalam buku Tafsir Al-lubab (2012: 62) menafsirkan tentang ayat di atas bahwasanya pada ayat ini menegaskan bahwa Allah S.w.t. tidak mengubah keadaan suatu kaum dari positif ke negatif atau sebaliknya dari negative ke positif sampai mereka mengubah terlebih dahulu apa yang ada pada dirinya, yakni sikap mental dan pikiran mereka sendiri. Ayat ini melanjutkan bahwa apabila Allah S.w.t. menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka ketika itu berlakulah ketentuan-Nya di atas, yakni yang berdasarkan Sunatullah atau hukum-hukum kemasyarakatan yang ditetapkan-Nya. Dan apabila itu terjadi, maka taka da yang dapat menolaknya dan tidak ada satu pun pelindung baginya selain Allah S.w.t.

Penutup Begitu penting arti dari keberadaan unit-unit keluarga dalam mengokohkan ketahanan nasional, dan begitu menentukan baik dan buruknya sebuah ketahanan nasional yang ingin dibangun secara bersama-sama. Baik buruknya unit keluarga itu sendiri antara lain sangat ditentukan oleh disiplin dan kesadaran hukum masing-masing anggota keluarga terhadap hukum keluarga Islam yang dianutnya. Bagi keluarga muslim, idealnya tentu menganut dan mengamalkan hukum keluarga Islam akan memiliki sejumlah manfaat bagi anggota keluarga dalam upaya untuk mengokohkan ketahanan nasional. Tanpa mengetahui hukum keluarga Islam secara benar dan baik, hampir mustahil sebuah keluarga terutama keluarga muslim akan mampu mewujudkan impian atau tepatnya keluarga idaman yang didambakan, yakni keluarga sakiinah (sejahtera) yang di bangun atas dasar hubungan mawaddah dan rahmah. Hukum keluarga Islam memiliki fungsi dan tujuan yang sangat penting bagi kehidupan manusia bagi kehidupan manusia guna mengokohkan ketahanan nasional. Dan alquran memberikan formula dan staretagi tentang penerapan dari 114 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran hukum keluarga Islam dalam keluarga muslim dalam upaya mengokohkan ketahan nasional. Mulai dari memberikan strategi tentang tanggung jawab manusia terhadapat dirinya sendiri secara individu dan tanggung jawab social dengan upaya bersama membina akhlak Islamiah sesuai dengan penerapan hukum keluarga Islam sesuai dengan yang dianjurkan oleh Alquran, hingga akhlak itu mewarnai kehidupannya secara pribadi, keluarga dan masyarakat dan mampun memberikan kesadaran kepada setiap individu untuk menjaga dan mengokohkan ketahanan nasional.

Pustaka Acuan: Adiwikarya. Hak-hak dalam Berkeluarga. Jakarta: Sallam Press. 2007. Al-imam Al-akbar Mahmud Syaltut. Al-Islam’aqidah wa-Syariah. Jakrta: Lentera hati. 1998. Al-maududi. Abu Al-A’la et. Al, Esensi Alquran. Bandung: Mizan. Cet ke-8. 1997. Budi Santoso. Ketahanan Keluarga dalam Islam. Bandung: Salim Press. 1995. Dian Kusuwardani. Keluarga Berkarakter. Jakarta: Dwi Mulya Press. 2002. Dimyati, Irman. Membangun Ketahahan Keluarga. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007. Hadhiri, Chairuddin. Klasifikasi Kandungan Alquran. Jakarta: Gema Insani Press. 1996. Hamidi. Implikasi Keluarga dalam Pengembangan Anak. Bandung: Rajawali Press. 2003. Harun, Nasution. Islam Rasional. Bandung: Mizan. 2002. Muhammad Abdul Raud. The Islamic Family. Jakarta: Lentera hati. 1994. Pemprov Banten. Mushaf Al-Bantani dan Terjemahannya. Jakarta: (LPQ) Kemenag RI. 2013. Prof. Wabhbah Az-Zuhayli. Eksistensi Keluarga sebagai Pendidikan Awal Anak. Jakarta: Lenterahati. 1989. Rosyanti, Imas. Esensi Alquran. Bandung: Pustaka Setia Bandung. 2002. Rawas. Pengenbangan Individu dalam keluarga. Bandung: Pustaka Widya. 1996. Shihab, M. Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan. 1996. Shihab, M. Quraish. Wawasan Alquran. Bandung: Mizan. 1996. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Lubab. Jakarta: Lentera Hati. 2012. Shihab, M. Quraish.Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati. 2002. Summa, M. Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo. 2004. Baiti Jannati Sebagai Penangkal Radikalisme Anak (Upaya Keluarga dalam Menopang Ketahanan Nasional)

Penulis: Peserta Nomor MQ.1.03

Pendahuluan Popularitan puisi gubahan Dorothy Law Nolte (1924-2005) tersebut tak terbantahkan. Pendidik dan ahli konseling kelas dunia ini meluncurkannya pada 1954. Bgi wanita asal Amerika ini, kepribadian anak sangat tergantung pada pola pendidikan, pergaulan dan keteladanan yag di dapatkannya. Karena itu, kearifan lokan negeri ini mengatakan: “Mendidik di waktu kecil bagai mengukir di atas batu”, Nurul H. ma’arif (2007) Memang benar yang disebutkan oleh Dorothy. Kepribadian anak sangat tergantung pada “di mana”, “bagaimana” dan “siapa” yang mengelilinginya. Anak sering klai menjadi cerminan dari orang tuanya, kebaikannya adalah pantulan dari kebaikna orang tuanya, begitupun sebaliknya. Sehingga kata mutiara yang popular di kalangan pesantren mengatakan al-waladu sirru abihi, yaitu “anak adalah rahasia orang tuanya”. Anak adalah mutiara kehidupan yang diamanatkan Allah S.w.t. kepada orang tua. Kehadirannya senantiasa memberi arti untuk menggores kanvas kehidupan mendatang. Sejatinya ank adalah pemilik masa depan. Karenanya, ketepatan pendidikan dalam mengasah dan membentuk kepribadian anak

115 116 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran menjadi landasan utama terjelmanya masa depan bangsa yang gemilang, Akram Misbah (2005: 9). Namun, kenyatanan mencemaskan yang belakangan sering terjadi adalah keberanian anak-anak dan remaja melakukan pelanggaran-pelanggaran, baik itu pelanggaran norma, hukum, istiadat, bahkan susila. Pelanggaran seperti ini biasanya disertai dengan tindakan-tindakan yang mengganggu ketentraman masyarakat. Dan pada umumnya anak-anak dan remaja yang melakukannya adalah mereka yang kurang mendapatkan kasih sayang serta pendidikan agama, Zakiah Daradjat (1972: 481). Berangkat dari permasalahan di atas, tulisan sederhana ini berupaya menghadirkan konsep Baiti Jannati sebagai solusi untuk menangkal radikalisme anak dengan mengacu pada beberapa pertanyaan, yaitu: Apakah radikalisme anak dan penyebabnya? Lantas, apa saja pola didik anak? Dan Bagaimana cara menghadirkan surga di rumah?. Tiga pertanyaan tersebut akan menghadirkan solusi terhadap radiklisme anak yang sering kali terjadi dan diharapkan akan mampu menjadi solusi untuk menguatkan kembali ketahanan bangsa dengan berlandaskan Alquran dan hadits.

Radikalisme Anak dan Penyebabnya Radikalisme anak berasal dari bahasa Latin radix yang berarti “akar”. Ia merupakan paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk mencapai kemajuan. Radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respon tersebut dapat muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak, Enma Laisa (2014: 3). Secara sederhana, radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang tidandai oleh empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa dirinya benar dan dan menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan orang kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Lalu bagaimana dengan wajah anak yang radikal? Tentu orang tua berperan dalam melukis dan mewarnainya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks masa kini, pemahaman radikalisme anak banyak macamnya: tindakan terorisme, tawuran, pelecehan seksual, bullying, pembunuhan atas nama agama, dan pelanggaran lain terkait norma agama, adat istiadat, hukum dan sosial. Baiti Jannati Sebagai Penangkal Radikalisme Anak 117

Ada beberapa hasil survei yang sangat mengejutkan terkait dengan tindakan radiakalisme anak. Diantaranya adalah survei yang dilakuakan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pimpinan Bambang Purnomo (Guru Besar Sosiologi Islam UIN Jakarta) pada Oktober 2010 s/d Januari 2011. Survei dilakuakan pada siswa dan guru pendidikan agama Islam (PAI) di Jabodetabek. Hasilnya 50% siswa setuju dengan tindakan radikal; 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila sudah tidak relevan lagi; 84,8 % siswa setuju dengan kekerasan atas nama solidaritas agama; dan 14,2% membenarkan serangan bom, Abdul Munip (2012). Dalam konteks akademik, penelitian tersebut memang sudah termakan waktu. namun indikasi gerakan radikalisme di kalangan anak-anak dan remaja nampaknya terus berkembang seiring berjalannya waktu. Fakta tersebut seharusnya menjadi lampu merah peringatan untuk para orang tua, untuk memedulikan masa depan anaknya yang masih gamang dalam menemukan jati dirinya. Jangan sampai mereka menemukan jati dirinya dari orang-orang atau media yang tidak tepat. Jika orang tua dan para pendidik tidak mampu bertanggung jawab dan mengemban amanat dengan baik terhadap anak, tidak mengetahui sebab-sebab yang menjadikan anak tidak dapat dikontrol, dan tidak tahu cara mengatasi, menjaga serta melindungi anak, maka dapat dipastikan bahwa anak tersebut di dalam kehidupan keluarga dan masyarakat akan menjadi anak yang tidak dapat di atur, suka menyusahkan orang lain dan memiliki perangai yang tidak baik, Nashih Ulwan (2009: 189-190). Sudah semestinya para orang tua merasa khawatir jika meninggalkan anaknya dalam keadaan terancam dunia dan akhiratnya. Sebagaimana Allah S.w.t. telah berfirman di dalam Q.S. An-Nisa[4]: 9: ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggal­ kan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar (Departemen Agama RI, 2002: 79). Melalui ayat ini Allah berpesan kepada seluruh umat Islam untuk menyiapkan generasi penerus yang berkualitas, sehingga anak akan mampu mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan di masa mendatang. Dengan kata lain, jika kamu menginginkan keturunan sesudahmu di­perlakuakn 118 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran dengan baik (di masyarakat) maka perlakukanlah mereka dengan baik (didik dengan baik) dalam pemeliharaanmu (Tafsir Ibnu Katsir, 2002: 316). Radikalisme di kalangan anak dan remaja tidak akan terjadi tanpa sebab. Karena hal itu tidak pernah berlangsung dalam isolasi dan tidak berproses dalam ruang yang vakum, tetapi selalu berlangsung dalam konteks antarpersonal dan sosio-kultural, Kartini Kartono (1998: 37). Lalu, apa sebenarnya akar dari radikalisme anak? Banyak teori yang berusaha menjawabnya tergantung pada jenisnya. Seperti radikalisme agama misalnya, Yusuf Qardhawi (2009: 61) mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya sikap radikal adalah lemahnya pengetahuan tentang hakikat agama dan kurangnya bekal untuk memahaminya secara mendalam, mengetahui rahasia-rahasianya, memahami maksud-maksudnya, dan mengenali ruhnya. Namun dalam hal radikalisme anak, menurut Moch. Lukman Fathullah Rais (1997) setidaknya ada tiga faktor penyebabnya, yaitu:

1. Faktor Pribadi dan Usia Anak Sering kita jumpai kebanyakan anak yang melakukan pelanggaran atau kenakalan adalah usia empat belas tahun sampai dengan dua puluh satu tahun, karena ini adalah masa peralihan (transisi) dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Seorang anak yang melakukan perbuatan menyimpangan seperti perkelahian, biasanya karena terpengaruh ajakan teman atau karena melihat tokoh yang ia sukai. Apalagi di dukung oleh situasi tertentu, dimana timbul krisis nilai dan norma, serta krisis identifikasi tokoh panutan sebagai tauladan. Dan mereka dirangsang pula oleh berbagai sarana dan prasarana sosial yang ada, baik film, bahan bacaan, media social dan sebagainya. Jhon Naisbitt, sebagaimana dikutip oleh LPTQ Provinsi Banten dalam buku Panduan Pensyarah MSQ (2016) mengatakan bahwa “ Dibalik setumpuk dampak positif media informasi, tersimpan segudang dampak negatif”. Karena itu Allah S.w.t., mengingatkan kita melalui QS, Al-Hujurat [49]: 6 :

ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik dating kepadamu dengan membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kmau menyesali perbuatan itu (Departemen Agama RI, 2005: 517). Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa melalui ayat ini Allah S.w.t. memerintahkan (umat muslim) untuk memeriksa dengan teliti setiap Baiti Jannati Sebagai Penangkal Radikalisme Anak 119 berita yang datang dari orang fasik dan hendaknya kita berhati-hati serta tidak menerimanya begitu saja, yang akibatya akan kita sesali. Orang yang menerima begitu saja suatu berita, maka dia sama saja dengan si penyampai berita.

2. Faktor Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan kesatuan terkecil dari masyarakat yang mempunyai motivasi dan tujuan hidup tertentu. Keluarga dan rumah ibarat pelabuhan yang aman dan tambatan yang kokoh bagi setiap anggota keluarga. Oleh sebab itu, setiap kepala keluarga wajib mendidik anak dan keluarganya dengan kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam atsar yang diriwayatkan oleh Abdurrazak dan Sa’id bin Mansur: “Didiklah anak-anak dan keluarga kalian akan kebaikan, dan ajarilah tata karma pada mereka dengan baik”. (2009: 237). Keluarga merupakan fundamental yang pertama dan utama bagi pembentukan jiwa anak. Bila lingkungan keluarga tidak berfungsi dengan wajar, maka akan menimbulkan keadaan yang secara potensial dapat menghasilkan anak-anak yang nakal. Diantara lingkungan keluarga yang tidak berfungsi dengan wajar adalah: 1) Rumah tangga yang berantakan (broken home); 2) Orang tua yang selalu memanjakan anak; dan 3) Perhatian keluarga yang kurang, sehingga pertumbuhan anak tidak terperhatikan.

3. Faktor Lingkungan Masyarakat Manusia sebagai makhluk social tidak bisa terlepas dari lingkungannya. Oleh karena itu, baik buruknya tingkah laku seseorang tergantung lingkungan tempat ia tumbuh. Seperti yang diungkapkan oleh psikolog Hasan Shadily: “Tidak ada manusia yang dilahirkan dengan sifat-sifat yang jahat. Sifat-sifat manusia itu tidak lain karena hasil dari lingkungan hidup manusia itu sendiri”. Diantara hal-hal di lingkungan masyarakat yang sangat berpengaruh ter­ hadap tindakan radikalisme anak adalah: pertama, pengaruh teman sepermainan. Karena itu, ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa “Seseorang itu mengikuti agama temannya, maka berhati-hatilah dalam memilih teman”. Kedua, pengaruh lingkungan sekolah. Hal ini bisa terjadi manakala anak di lingkungan sekolah merasa bahwa guru, teman, fasilitas atau kegiatan sekolahnya tidak sesuai dengan keinginannya atau dia merasa terkekang. Ketiga, pengaruh sosial ekonomi. Keempat, pengaruh media massa. Faktor-faktor terebut sejalan dengan ungkapan Arief Rahman ketika menjadi pembicara dalam diskusi bertema ‘Menangkal Radikalisme di Kalangan Generasi Muda Dengan Pemantapan 4 Pilar Bangsa’ di gedung DPR/MPR Jakarta, Senin (1/10/2012), ia menyebutkan bahwa radikalisme di kalangan 120 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran anak muda (siswa) terjadi akibat hilangnya keteladanan di sekolah, rumah dan masyarakat sekitar. Mereka telah tercabut dari akar-akar niali agama, etika dan kemanusiaan.

Tiga Pola Asuh Anak Anan ibarat “kertas kosong” berwarna putih, tiada noda dan cela. Yang melukis, menggambar serta mewarnainya pertama kali adalah orang tuanya. Maka ketepatan pengasuhan dari orang tua menjadi sesuatu yang amat penting. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci, tak bernoda, tak bercela). Orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari no. 1296). Karena, masa depan anak, baik duniawi maupun ukhrawi sangat ter­gantung pada situasi rumahnya, maka tugas utama orang tua adalah menyelamatkan masa depan mereka (Q.S. At-Tahrim[66]: 6). Memang itu bukan tugas yang mudah, sehingga tidak dapat di anggap sepele dan dipandang sebelah mata. Terkait dengan pola asuh anak (memperlakukan, mendidik, mem­ bimbing, mendisiplinkan, serta melindungi anak) yang prinsip dasarnya adalah parental control, setidaknya ada tiga pola asuh menurut Meity H. Idris (2012). Pertama, pola asuh otoriter. Disini orang tua cenderung lebih banyak memerintah dan melarang tanpa memperhatikan keinginan anak. Pola asuh seperti ini akan menjadikan anak tidak percaya diri, penakut, menjadi pemberontak, cenderung membenci figure penguasa dan akan menghambat kreativitas anak. Kedua, pola asuh permisif. Ini adalah kebalikan dari pola asuh otoriter, dimana orang tua terlalu memberikan kebebasan kepada anak tanpa control. Pengaruhnya terhadap anak adalah: tumbuh menjadi pribadi yang manja dan egois, tidak suka bekerja keras, kurang disiplin, dan merasa ditelantarkan sehingga sulit untuk sukses. Ketiga, pola asuh demokratis. Inti dari pola asuh ini adalah komunikasi dan musyawarah antara anak dan orang tua. Anak bisa melakukan apa yang dia mau, namun tetap dalam pengawasan dan pengarahan orang tua. Pola asuh seperti ini akan menjadikan anak tumbuh percaya diri, pemberani, mengerti akan keinginan orang tua serta disiplin. Pada pola asuh seperti ini, orang tua sadar akan perannya sebagai orang dewasa, namun tidak melupakan sifat dasar anak. Sehingga akan terbentuk komunikasi yang harmonis dan akan mengurangi resiko anak tumbuh menjadi radikal. Baiti Jannati Sebagai Penangkal Radikalisme Anak 121

Mewujudkan Surga di Rumah Gerakan radikalisme anak menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi orang tua. Karenanya, diperlukan adanya kerja sama yang baik antara kedua orang tua sebagai tarbiyatul awlad. Pola asuh yang baik serta hubungan yang harmonis antara kedua orang tua dapat menjadi langkah awal untuk menangakal tumbuhnya faham radikalisme pada anak. Tugas utama orang tua adalah membentuk karakter anak yang tangguh. Dan tempat yang paling baik untuk melakukannya adalah di rumah. Menurut pusat kajian Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, ada 18 karakter bangsa yang perlu dikedepankan: 1) Disiplin; 2) Religious; 3) Jujur; 4) Toleransi; 5) Kerja keras; 6) Mandiri ; 7) Kreatif; 8) Demokratis; 9) Semangat kebangsaan; 10) Rasa ingin tahu; 11) Cinta tanah air; 12) Peduli lingkungan; 13) Peduli social; 14) Cinta damai; 15) Menghargai prestasi; 16) Gemar membaca; 17) Tanggung jawab; dan 18) Komunikatif. Namun dengan aneka keterbatasannya, orang tua tentu tidak akan mampu melaksanakan 18 poin tersebut sendiri. Karenanya kerja sama antar berbagai pihak sangat perlu dilakuakan, baik dengan pihak sekolah, masyarakat, ormas bahkan pemerintah. Untuk mengekang laju arus radiklaisme anak, setidaknya mereka perlu memperkenalkan serta mengajarkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar, meminimalisir kesenjangan ekonomi-sosial, mendorong untuk menjaga persatuan dan kesatuan, mendukung aksi perdamaian, berperan aktif dalam melaporkan tindakan-tindakan terorisme dan radicalisme, meningkatkan pemahaman urgensi hidup bersama dan menyaring informasi yang datang kepada anak. Selain itu, hal-hal yang perlu dilakukan orang tua demi menciptakan suasana surga di rumah adalah: pertama, memperkenalkan urgensi keragaman pada anak, baik keragaman budaya, agama, bahasa, warna kulit, ras dan sebagainya (Q.S. Al-Hujurat[49]: 13). Ini bertujuan untuk membiasakan anak agar tidak antipati terhadap perbedaan-perbedaan yang dia jumpai dimanapun, dan untuk menjelaskan kepada anak bahwa perbedaan tidak harus dijadikan alasan untuk saling mencurigai dan membenci. Kedua, menanamkan nilai-nilai penghormatan pada kemanusiaan sebagaimana tercermin dalam Q.S. Al-Isra’[17]: 70, karena pada hakikatnya seluruh makhluk adalah keluarga. Ketiga, mengajarkan betapa pentingnya memberi manfaat terhadap sesama. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama”. Keempat, memberikan pemahaman untuk melestarikan misi ke­khalifahan manusia di bumi (Q.S. Al-Baqarah[2]: 30). Anak-anak harus diingatkan tentang 122 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran tugas-tugasnya sebagai khalifah fil ardhdengan tidak berbuat kerusakan dan kekacauan (Q.S. Al-A’raf[7]: 36) yang akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Kelima, ajarkan tentang nilai-nilai keteladanan yang luhur. Contohnya adalah dengan memperkenalkan sosok Rasulullah saw agar anak menjadikannya sebagai tauladan yang utama (Q.S. Al-Ahzab[33]: 21). Keenam, perkenalkan anak dengan kearifan lokal, sehingga anak tidak antipati terhadap kebudayaan- kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Ketujuh, perkenalkan anak pada nilai-nilai perdamaian dan kasih sayang (Q.S. Al-Anbiya[21]: 107) agar anak tidak tumbuh menjadi pribadi pembenci. Karena rasulullah saw pun bersabda: “Kaum muslim yang memiliki sifat kasih sayang , ia akan dikasihi oleh Dzat yang maha Pengasih (Allah). Untuk itu, kasihilah makhluk yang ada di bumi, maka kalian akan dikasihi oleh makhluk yang ada di langit”. HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Interaksi yang baik antara anak-anak dan orang tua dalam keluarga akan mengantarkan bahasa rasa yang sangat mendalam, sehingga orang tua menjadi figur tauladan baginya. Hal itu dapat dipahami karena contoh dan perbuatan dapat dengan mudah di definisikan. Anak-anak mempunyaighazirah meniru ucapan, perbuatan dan gerak-gerik orang yang berhubungan erat dengan mereka, Enung Asmaya (2012). Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zakiah Daradjat, perilaku manusia 83% dipengaruhi oleh apa yang ia lihat, 11% dipengaruhi oleh apa yang ia dengar, da 6% sisanya dipengaruhi oleg berbagai stimulus campuran. Dilihat dari perspektif ini, maka nasihat orang tua hanya memiliki efektifitas 11%, sedangkan contoh tauladannya memiliki efektifitas yang lebih tinggi, Imam Mustofa (2008). Karena itulah Athiyah Al-Abrasyi, seorang filosof Muslim. Sebagaimana dikutip oleh Enung Asmaya mengharapkan “agar setiap orang tua menghias diri mereka dengan akhlak yang baik dan mulia, serta menghindari setiap yang tercela”. Dan apabila para orang tua dapat menunaikan ketujuh hal di atas di dalam rumah, maka upaya orang tua untuk mewujudkan surge di rumah akan nyata terlaksana. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter mulia dan tidak berpikir untuk mencari “surga lain” diluar rumahnya. Karena surga yang di asosiasikan anak di luar rumah, boleh jadi itu adalah neraka yang sebenarnya.

Penutup Radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respon tersebut dapat muncul dalam bentuk evaluasi ataupun penolakan terhadap asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang berhubungan dengan Baiti Jannati Sebagai Penangkal Radikalisme Anak 123 keberlangsungan keadaan yang ditolak. Radikalisme di kalangan anak dan remaja pada masa ini banyak ragamnya: tindakan terorisme, tawuran, kekerasan seksual, pembunuhan atas nama agama serta bentuk-bentuk pelanggaran lain yang terkait hokum, norma, agama, social dan susila. Sejatinya, radikalisme anak bisa dicegah sejak dini, yaitu dengan pola asuh yang benar serta dengan perhatian dan kasih sayang yang cukup. Ayah dan ibu dalam hal pencegahan paham radikalisme, atau sebagai media deradikalisasi jika anak sudah terlanjur masuk pada paham tersebut, maka keduanya harus berusaha meningkatkan komunikasi dan pendekatan-pendekatan terhadap anak secara persuasif dan memberikan pemahaman mengenai konsep Islam rahmatan lil ‘alamin. Pendekatan secara psikologis untuk memberikan pengertian terhadap anak dilakukan oleh ibu, karena ibulah yang bisa berkomunikasi dari hati ke hati dengan anak. Sedangkan ayah bertugas melakukan diskusi-diskusi dan doktrinisasi mengenai bahaya radikalisme. Ibu bertugas melakukan implementasi dan praktik moderat serta toleran yang diterapkan kepada anak di lingkungan rumah. Sedangkan ayah memberikan contoh-contoh sikap moderat dan tasamuh dari beragamnya perbedaan, Ervi Siti Zahroh (2018). Selain itu, pemahaman agama yang baik di dalam keluarga juga berperan sentral. Namun, pemahaman agama yang seharusnya ditekankan bukan hanya sekedar paham keagamaan yang bersifat normative-formal (bersangkutan dengan ibadah) dan tekstual, namun pemahaman keagamaan yang bersifat kontekstual dan berimplikasi terhadap perilaku social. Sehingga seorang anak tidak hanya menjadi shaleh dalam segi nermatif-formal (ibadah) namun juga shaleh dalam social kemasyarakatan. Selanjutnya, pola asuh yang demokratis juga mampu menjadi media deradikalisme dalam keluarga. Selain harus terjalinnya keharmonisan antara suami dan istri, dalam keluarga juga harus terjadi control dan komunikasi antara orang tua dan anak. Orang tua mengarahkan aktivitas anak, memberikan dorongan, menghargai tingkah anak serta membimbingnya. Anak diberikan kebebasan untuk mengurus dirinya sendiri, namun harus disiplin pada peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Orang tua dengan pola asuh ini menyadari haknya sebagai orang dewasa yang bertugas mendidik anaknya serta mau menerima sifat dasar anak. Mereka tetap tegas, tapi tidak membuat anak merasa terkekang. Karena keluarga merupakan pilar-pilar penyangga eksistensi suatu bangsa, apabila pilar tersebut keropos, maka bangunan bangsa tersebut tidak akan memiliki landasan yang kokoh. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, telah terbukti bahwa kehidupan keluarga yang harmonis dan suasana rumah yang bisa menjadi surge bagi setiap anggotanya, yang di dalamnya selalu diajarkan serta dicontohkan nilai- 124 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran nilai kebaikan, maka dari keluarga seperti itulah akan terbentuk anak-anak yang berkarakter tangguh dan akan menjadi kekuatan bagi bangsanya.

Pustaka Acuan: Asmaya, Enung, Implementasi Agama Dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah. Dalam Jurnal Dakwah-Dakwah & Komunikasi. Vol. 6, No. 1, 2012. Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il, Ensiklopedi Hadits Shahih Bukhari 2. Cet. 1. Jakarta: Almahira. Daradjat, Zakiah, Perawatan Jiwa Untuk Anak-Anak, Cet. I. Jakarta: Bulan Bintang, 1972. Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: Al-Hudd Kelompok Gema Insani, 2002. Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-‘Adzim. Beirut: Dar El-Khayr, 2004. Idris, Meity H, Pola Asuh Anak; Melejitkan Potensi & Prestasi Sejak Usia Dini. Cet. I. Jakarta: Luxima Metro Media, 2012. Kartono, Kartini, Patalogi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Cet. III. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an Provinsi Banten, Panduan dan Contoh Contoh Pensyarah Musabaqah Syarhil Qur’an. Cet. I. 2016. Laisa, Enma, Islam dan Radikalisme. Dalam Jurnal Islamuna. Vol.1, No. 1, 2014. Ma’arif, Nurul Huda, Islam Mengasihi Bukan Membenci. Cet. I. Jakarta: Mizan, 2007. Munip, Abdul, Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah. Dalam Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 1, No. 2, 2012. Mustofa, Imam, Keluarga Sakinah dan Tantangan Globalisasi. Dalam Jurnal Al- Mawardi. Edisi XVIII, 2008. Qardawi, Yusuf, Islam Radikal; Analisis Terhadap Radikalisme Dalam BerIslam dan Upaya Pemecahannya. Solo: Era Adicitra Intermedia, 2009. Rais, Moch Lukman Fatahullah, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar. Cet. I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997. Ulwan, Nashih Abdullah, Mencintai dan Mendidik Anak Secara Islami. Cet. I. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009. Utsman, Akram Misbah, 25 Kiat Membentuk Anak Hebat. Cet. I. Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Zidni, Ervi Siti Zahroh, Kemitraan Keluarga dalam Menagkal Radikalisme. Dalam Jurnal Studi Alquran Membangun Tradisi Berfikir Qur’an. Vol. 14, No. 1, 2018. Keluarga Islami Sebagai Pilar dalam Membangun Ketahanan Nasional

Penulis: Peserta Nomor MQ.1.08

Pendahuluan Manusia merupakan Makhluk Sosial yang dianugerahi oleh Allah S.W.T. naluri yang menjadikannya gemar memperoleh manfaat serta mudharat, serta membenci lawan keduanya itu, seimbang dengan kelebihan atau kekurangannya, demikian dengan kesenangan dan kebenciannya. Untuk meraih apa yang disenanginya atau menampik apa yang yang tidak disukainya itu, lahirlah dorongan fitrah untuk mengantar kepada aneka aktivitas Manusia, (M. Quraish Shihab, 2008: 1) Dalam kehidupannya manusia mempunyai kesatuan sosial dari terkecil sampai terbesar, satuan terkecilnya ialah Keluarga. Keluarga memiliki peran yang sangat penting, karena didalam sebuah keluarga berlangsung proses sosialisasi yang akan berpengaruh besar terhadap tumbuh dan berkembangnya setiap individu, baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena itu tugas utama Keluarga untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial semua anggotanya, mencakup pemeliharaan dan perawatan Anak-anak membimbing perkembangan pribadi, serta mendidik agar merka hidup sejahtera. Menurut Abu Ahmadi (1991: 15), suatu keluarga dikatakan memiliki ketahanan dan kemandidrian yang tinggi, apabila keluarga itu dapat berperan

125 126 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran secara optimal mewujudkan seluruh potensi anggota-anggotanya. Karena itu, tanggung jawab keluarga meliputi pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Dalam hal ini sebuah keluarga pastilah mempunyai harapan untuk bahagia, harmonis, produktif, utuh dan stabil. Keluarga metupakan cita-cita kolektif setiap manusia yang hendak menikah. Namun tidak semua keluarga merealisasikan cita-cita luhur itu. Biasa jadi karena seorang Ayah yang disibukan dengan urusan nafkah sehingga fungsi Pemimpin yang diamanatkan kepadanya tidak dijalankan, karena memang ia harus bertanggung jawab atas kondisi ekonomi keluarga. Bisa jadi karena peran Ibu sebagai Guru utama juga mengalami pengetahuan yang minim, masalah agama dan 1yang lebih spesifik lagi ialah masalah kehidupan rumah tangga yang Islami, bias jadi kedua orang tuanya berpendidikan tinggi namun tidak lagi ada waktu untuk Anak-anaknya sehingga mereka terkontaminasi dengan Virus-virus Kejahiliyahan dan Westenisasi. Menurut Undang-undang perkawinan (UUP) No 1 Tahun 1974: Perkawinan ialah Ikrar Lahir Batin anatara seorang pria dengan sorang wanita sebagai Suami-Istri dengan tujuan membentuk Keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa, (M. Muchlis Hanafi, 2012: 343). Ada beberapa permasalahan hidup dalam berumah tangga yang rumit yang juga perlu diselesaikan. Mulai dari faktor internal seperti fisik yang kurang fit, jiwa yang kurang iman, juga faktor eksternal seperti masalah bersosialisasi dan bergaul, kurang komunikasi antar sesama, ekonomi, kebutuhan akan kewajiban baik sebagai hamba Allah, dan sebagai mahluk hidup. Baik buruknya suatu keluarga akan berdampak terhadap ketahanan suatu bangsa, kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan, dibina terus menerus dan sinergis. Muali dari pribadi, keluarga, lingkungan, daerah dan nasional bermodalkan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional. Proses berkelanjutan untuk mewujudkan kondisi tersebut dilakukan berdasarkan pemikiran Geostragic yang dirancang dengan memperhatikan kondisi Masyarakat. Orang Tua menjadi peran penting dalam perjalanan tumbuh kembang anak, mereka perlu mewaspadai dan menjaga untuk menjadikan anak pintar, sehat, kuat, sudah menjadi kewajiban Orang Tua untuk mendidik mendidik dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang agar menjadi manusia yang bermartabat, (Mufidah Ch, 2008: 17) Dengan demikian Pokok Bahasan dari permasalahan di atas agar terciptanya stabilitas kehidupan bermasyarakat yang Baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur, perlu kiranya penulis memberikan interpretasi tentang “Keluarga Islami sebagai Keluarga Islami Sebagai Pilar dalam Membangun Ketahanan Nasional 127 pilar dalam mebangun ketahanan Nasional” secara komprehensif, sebagai kajian guna mensosialisasikan nilai-nilai agama, dengan harapan di Simpulan akhir dalam kajian ini, memperoleh jawaban: Bagaimana peran keluarga sebagai pilar dalam membangun ketahanan nasional ?, Serta apa upaya yang dilakukan keluarga dalam dalam membangun ketahanan nasional ?. Kajian sederhana ini merupakan kajian pemikiran keagamaan dengan menelusuri literature yang berhubungan dengan Keluarga dan Negara, kemudian dikembangkan melalui pendekatan tematis, dengan menggunakan Alquran dan Hadits sebagai rujukan, serta didukung dengan beberapa pandangan para Ahli.

Keluarga Islami sebagai Pilar dalam MembangunKetahanan Nasional 1. Pengertian Keluarga Keluarga dalam Bahas Arab disebut Ahlun, disamping kata Ahlun kata yang juga memiliki pengertian keluarga ialah ali dan asyir. Kata ahlun berasal dari kata Ahila yang berarti senang, suka, atau ramah. Pendapat lain mengatakan kata Ahlun berasal dari kata Ahala yang berarti menikah (sekelompok orang yang disatukan oleh hubungan-hubungan tertentu, seperti hubungan darah, agama, pekerjaan). Menurut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990: 211), Keluarga ialah Ibu Bapak dengan anak-anaknya seisi rumah. Dalam Alquran kata Ahlun disebut sebanyak 227 kali. dari sebanyak itu, Ahlun memilik tiga pengertian yaitu: a) Yang menunjuk kepada manusia yang memiliki pertalian darah atau perkawinan, seperti ungkapan ahlu al-bait. Pengertian ini dalam bahasa Indonesia disebut Keluarga b) Menunjuk pada suatu penduduk yang mempunyai wilayah geografis atau tempat tinggal, seperti ahli yatsrib, ahlu al-balad dan lain-lain. Dalam bahasa sehari-hari disebut Warga atau penduduk. c) Menunjukan pada status manusia secara teologis seperti ahlu al-dzikr, ahlu al-kitab, ahlu an-nar, ahlu al-janah dan sebagainya. Meskipun tampak ada perbedaan, namun ketiganya sebenarnya terkait, yakni ahlun yang berarti orang memiliki hubungan dekat, baik karena perkawinan, satu kampung, sekolah, negara atau satu agama. Terjalinnya hubungan kedekatan itu menjadikan pergaulan dantara merka hidup dengan suka cita, senang dan damai.

2. Fungsi dan Tujuan Keluarga Fungsi keluarga dalam suatu keluarga dituntut untuk melaksanakan atau melakukan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya, terutama dengan lingkungan sosialnya lebih-lebih terhadap keluarganya. Tatkala menjalankannya, 128 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran maka keluarga itu telah menjalankan fungsinya. Diantara fungsi-fungsi dari institusi keluarga dalam konteks kehidupan sosial ada 8 yaitu: 1) Fungsi Biologis, yaitu menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan biologis keluarga. Fungsi ini terkait dengan penyaluran hasrat biologis manusia yang berubah dengan kelahiran anak sebagai penerus keluarga. Fungsi ini membedakan antara pernikahan manusia dan binatang, sebab fungsi ini diatur dalam suatu norma pernikahan 2) Fungsi Edukatif (Pendidikan), dalam fungsi ini keluarga berkewajiban memberi pendidikan bagi anggota keluarganya, terutama bagi anak- anaknya, karena keluarga adalah lingkungan terdekat dan paling akrab dengan anak. Pengalaman dan pengetahuan pertama anak ditimba dan diberikan melalui keluarga. Orang tua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan rohani yang bertujuan mengembangkan aspek mental spiritual, moral, intelektual dan professional. 3) Fungsi Religius (keagamaan). Keluaraga berkewajiban mengajarkan tentang agama kepada seluruh anggota keluarganya. Keluarga merupa­kan tempat penanaman nilai moral agama melalui pemahaman, penyadaran dan praktek dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terciptanya iklim keagamaan didalamnya, sebagaimana Firman Allah S.W.T.:

ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaga malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Q.S At-Tahrim [66]: 6) ( Kemenag, 1971: 951). Dan Rasullullah SAW pernah bersabda yang artinya: “Barang siapa yang menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah S.W.T. dalam memelihara yang separuhnya lagi” (H.R Ath-Thabrani), (Ahmad Sunarto dan Noor Syamsudin, 2011: 47). 4) Fungsi Protektif (Perlindungan). Keluarga menjadi tempat yang aman dari berbagai gangguan internal maupun eksternal serta menjadi penangkal segala pengaruh negative yang masuk didalamnya 5) Fungsi Sosial Budaya. Kewajiban untuk memberi bekal kepada anggota keluarganya tentang hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat setempat, selain itu didalam lingkungan masyarakat Keluarga Islami Sebagai Pilar dalam Membangun Ketahanan Nasional 129

juga terdapat nilai tradisional yang diwariskan secara turun temurun. Proses pelestarian budaya dan adat dijalankan melalui ilustrasi keluarga sebagai komponen terkecil masyarakat. Keluarga dalam fungsi ini juga berperan sebagai katalisator budaya serta filter nilai yng masuk kedalam kehidupan. 6) Fungsi ekonomi. Keluarga merupakan kesatuan ekonomis dimana keluarga memiliki aktifitas mencari nafkah, pembinaan usaha, perencanaan anggaran, pengelolaan dan cara memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikan secara adil dan profesional, serta dapat mempertanggung jawabkan kekayaan dan harta bendanya secara social maupun moral. 7) Fungsi status keluarga atau menunjukan status, yaitu dengan adanya keluarga maka kedudukan seseorang dalam suatu keluarga menjadi jelas. 8) Fungsi Rekreatif. Keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukan dan melepaskan lelah serta penyegaran (refresing) dari seluruh aktifitas. Fungsi ini dapat mewujudkan suasana keluarga menjadi me­nyenangkan, saling menghargai, menghormati, menghibur anggota keluarganya, sehingga terciptanya hubungan yang harmonis, kasih sayang, dan setiap anggotanya merasakan bahwa Rumahku adalah Surgaku.

3. Tujuan pembentukan sebuah keluarga Konsep keluarga sudah setua sejarah kehidupan manusia. Dimana ada manusia pastilah disitu ada keluargga yang melahirkan, merawat serta mendidiknya meskipun dalam dalam waktu yang samat singkat. Dalam perspektif teologi hanya ada dua orang yang lahir tidak dari sebuah system keluarga. Yaitu Nabi Adam sebagai manusia pertama yang berjenis kelamin laki-laki dan Siti Hawa sebagai manusia kedua yang berjenis kelamin perempuan. Dari dua orang inilah yang berusaha dari awal sekali untuk mengembangkan konsep keluarga atas petunjuk Allah S.W.T.. Nabi Adam dan Siti Hawa melakukan semacam kesepakatan dan berkomiten (mitsaqan ghlidza) untuk bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan satusama lain baik dalam kebutuhan biologis maupun emosional. Bila dilihat dari Perspektif Islam, terbentuknya keluarga bermula dari terciptanya jalinan antara laki-laki dan perempuan melalu pernikahan yang halal, memenuhi rukun dan syarat-syarat yang sah, yang bertujuan untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan dan membina keluarga yang harmonis, sejahtera serta bahagia di dunia dan di akhirat Sakinah Mawaddah Wa Rahmah (Hasan Langgulung, 1995: 346). 130 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

4. Konsep Keluarga dalam Islam Keluarga merupakan jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut, (M. Quraish Shihab, 1994: 253). Itulah antara lain menjadi sebab Agama Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap kehidupan individu serta kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Terkait hal ini, bias ditemukan dalam ratusan ayat Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW, petunjuk-petunjuk yang sangat jelas menyangkut hakikat tersebut. Allah S.W.T. menganjurkan agar kehidupan keluarga menjadi bahan pemikiran setiap insan dan hendaknya dapat ditarik pelajaran berharga, (M. Quraish Shihab, 2001: 253) sebagai­mana Firman Allah S.W.T.:

ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar benar tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S Ar-Rum [30]: 21) (Kemenag, 1971: 644). Islam sebagai agama yang tujuan utamanya adalah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Islam sangat mementingkan pembinaan pribadi dan keluarga. Pribadi yang baik akan melahirkan keluarga yang baik, apabila keluarga baik, maka akan melahirkan negara yang baik, ataupun sebaliknya. Manusia diberi mandat atau amanah oleh Allah S.W.T. sebagai mandastaris- Nya. Manusia ditantang untuk menemukan, memahami dan menguasai hukum alam yang sudah digariskannya, sehinnga dengan usaha itu ia dapat mengeksploitasinya untuk tujuan-tujuan yang baik. Keluarga merupakan “Umat Kecil” yang memiliki pemimpin dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya, dari sanalah mereka belajar kesetiaan, rahmat, dan kasih saying, ghirah (kecemburuan positif) dan sebagainya. Semua anggota keluarga merasa nyaman karena pemecahan masalah dengan mengedepankan perasaan dan akal yang terbuka. Apabila terjadi perselisihan dalam hal apa saja, tempat kembalinya berdasarkan kesepakatan agama, sebagaimana Firman Allah S.W.T.:

ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ Keluarga Islami Sebagai Pilar dalam Membangun Ketahanan Nasional 131

ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒ ﰓ Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dta’atilah Rasul, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S An-Nisa [4]: 59) (Kemenag, 1971: 128). Hali ini wajar karena keluarga merupakan persyaratan baiknya suatu Bangsa dan Negara. Apabila semua keluarga mengikuti pedoman yang disampaikan agama, maka Allah akan memberi hidayah kepadanya. Karenanya dalam Islam wajar disebut baiti jannnati (Rumahku Surgaku)

Membangun Ketahanan Nasional 1. Pengertian Ketahanan Nasional Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamika, yaitu suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan ketahanan, kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, hambatandan ancaman baik yang dating dai dalam maupun luar, secara langsung ataupun tidak langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Ketahanan nasional juga diartikan sebagai kondisi yang harus diwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan Negara. Ketahanan nasional juga diartikan sebagai kondisi yang harus diwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat berjalan dengan sukses. Oleh karena itu perlu suatu konsepsi ketahanan nasional yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia, sebagaimana Firman Allah S.W.T.:

ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ “….. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (Tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya……” (Q.S Hud [11]: 61), (Kemenag, 1971: 336).

2. Asas-asas Ketahanan Nasional Asas Ketahanan Nasional adalah tata laku yang disadari nilai-nilai yang tersusun berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut (Lemhannas, 2000: 99): a) Asas keamanan dan kesejahteraan dan keamanan Kesejahteraan dan keamanan dapat dibedakan tetapi tidak dapat di­ pisahkan dan merupakan kebutuhan manusia yang mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tanpa kesejahteraan dan keamanan, sistem Kehidupan Nasional tingkat kesejahteraan dan 132 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

keamanan yang dicapai merupakan tolak ukur ketahanan nasional asas ini merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan yang wajib dipenuhi bagi individu maupun masyarakat atau kelompok. b) Asas komperhensif/menyeluruh terpadu Artinya, ketahanan nasional mencakup seluruh aspek kehidupan. Aspek- aspek tersebut berkaitan dalam bentuk persatuan dan perpaduan secara selaras, serasi, dan seimbang c) Asas kekeluargaan Asas ini bersikap keadilan, keberagaman, kesamaan, gotong royong, tenggang rasa dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal hidup dengan asas kekeluargaan ini diakui adanya perbedaan, dan kenyataan real ini dikembangkan secara serasi dalam kehidupan kemitraan dan dijaga dari konflik yang bersifat merusak/destruktif.

3. Pengaruh ketahanan nasional pada kehidupan berbangsa dan bernegara Berdasarkan rumusan pengertian Ketahanan Nasional dan kondisi kehidupan Negara Indonesia sesungguhnya ketahanan nasional merupakan gambaran dari kondisi system (Tata) kehidupan nasional dalam berbagai aspek pada saat tertentu. Tiap aspek didalamnya tata kehidupan nasional relative berubah menurut waktu, ruang dan lingkungan terutama pada aspek-aspek dinamis sehingga interaksinya menciptakan kondisi umum yang amat sulit dipantau, karena sangat kompleks (Wiryono Prodjodikoro, 1984: 43). Dalam rangka pemahaman dan pembinaan tata kehidupan nasional itu diperlukan penyederhanaan tertentu dari berbagai pemetaan dari keadaan nyata, melalui suatu kesepakatan dari hasil analisa dengan manusia/masyarakat dan dengan lingkungan. Berdasarkan pemahaman tentang hubungan tersebut diperoleh gambaran bahwa konsepsi ketahanan nasional akan menyangkut hubungan antara aspek yang mendukung kehidupan: 1) Aspek yang berkaitan dengan alamiah bersifat statis meliputi aspek geografis, kependudukan, dan sumber daya alam. 2) Aspek yang berkaitan dengan social bersifat dinamis meliputi aspek ideology, politi, ekonomi, sosila, budaya dan HAM.

Upaya Keluarga dalam Membangun Ketahanan Nasional 1. Perspektif Pendidikan Jika dilihat dar prespektif pendidikan, keluarga memberkan suasana emosional yang baik bagi anak-anak seperti perasaan tenang, senang, bahagia, kasih saying dan perlindungan. Suasana yang demikian ini dapat tercipta apabila suasana Keluarga Islami Sebagai Pilar dalam Membangun Ketahanan Nasional 133 keluarga senantiasa diliputi kebahagiaan dan keharmonisan. Kebahagiaan yang dirasakan dalam keluarga pada gilirannya dapat menumbuhkan sikap percaya diri, ketentraman dan menjauhkan dari kegelisahan serta kesedihan. Untuk menciptakan keluarga yang harmonis diantaranya adalah: ™™ Membangun rumah tangga berdasarkan pilihan bukan berdasarkan paksaan. Rasulullah sendiri telah memberikan kriteria pasangan yang hendaknya menjadi pegangan dalam menentukan pilihannya. ™™ Membangun rumah tangga atas tujuan menegakan hokum-hukum Allah S.W.T.. Pernikahan bukan sekedar untuk melampiaskan nafsu belaka, tetapi suatu ikatan yang kuat, karena didasarkan atas suatu suatu prinsip, arah, tujuan yang kuat, yaitu menegakkan hokum Allah S.W.T.. ™™ Berusaha untuk tetap menjaga kerukunan. Cara yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan saling mengingatkan, saling menasehati dan saling memaafkan. Dengan pendidikan kepada anak, serta tujuan dan da nisi pendidikan yang diberikan kepada anak-anaknya.

2. Prespektif Psikologi Agar keluarga yang dibentuk menjadi keluarga yang bias selamat, dalam keluarga harus ada rasa ketenangan, saling mencintai dan kasih sayan. Dalam keluarga terlebih dahulu harus memperoleh keberkahan. Keberkahan bias didapatkan apabila dalam suatu keluarga terdapat ketentraman.

Penutup Disini lah Peran Keluarga yang berbasis Sakinah Mawaddah Warahmah sangat berpengaruh bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, teruama dalam Ketahanan nasional. Keluarga Islami akan di pupuk dengan pengetahuan tentang keagamaan yang tidak bertentangan dari rasa nasionalisme dari semua konsep ajaran-ajar Agama Islam menerapkan sifat cinta tanah air dan Keutuhan bangsa Baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur Serta upaya yang dilakukan sebuah keuarga ialah menerapkan fungsi dari terbentuknya sebuah keluarga itu sendiri, antara lain : Fungsi Biologis, Fungsi Edukatif (Pendidikan), Fungsi Religius (keagamaan), Fungsi Protektif (perlindungan), Fungsi Sosial Budaya, Fungsi ekonomi, Fungsi status, Fungsi Rekreatif. Agar terciptanya sebuah keharmonisan antara Keluarga, Masyarakat yang bernegara terus berjalan tanpa adanya perpecahan dan akan membentuk suatu ketahanan nasional, begitupula dengan peran pemerintah sumaya menertibkan pelanggaran pelanggaran yang terjadi 134 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan: Alquran dan Terjemahnya, Jakarta: Depag, 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Kemendikbud, 1990. Ahmadi, Abu, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Al-Munawar, Said Agil, Alquran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2005. Al-Qordowi, Yusuf, Pendidikan Islam, Kaerah: Maktabah wahabah, 1997. Ch, Mufidah, Psikologi Keluarga Islam, Malang: UIN Malang Press, 2008. Hanafi, Muchlis M, Tafsir Tematik (etika berkeluarga, bermasyarakat dan berpolitik), Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012. Prodjodikoro,Wiryono, Asas-asas Imu Negara dan Politik, Yogyakarta: salahuddin Press, 1984 Rofofiq, Ahmad,Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013. Shihab, M Quraish, Berbisnis dengan Allah, Tangerang: Lentera Hati, 2008. Shihab, M Quraish, Membumikan Alquran Jilid II, Jakarta: Lentera Hati, 2008. Shihab, M Quraish, Wawasan Alquran. Bandung: Mizan, 2000. Sunarto, Ahmad dan Syamsudin, Noor, Himpunan Hadits Shahih, Jakarta: Setia Kawan, 2011. Usman, Idris M, Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam, Bogor: Media Karya, 2013. Waryono, Abdul Gofur, Hidup bersama Alquran, Yogyakarta: Rihlah, 2006. Bingkai Keluarga Qur’ani dalam Upaya Ketahanan Nasional

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.10

Pendahuluan Islam merupakan agama yang universal, ajaran Islam segala aspek dan problematika dalam kehidupan manusia di muka bumi. Diantara asek dan problematika manusia itu adalah masalah dalam keluarga. Setiap anggota dalam keluarga mempunyai peran penting demi terwujudnya keluarga yang sakinah, mawadah,dan warohmah. (QS:Ar-rum 21), tegaknya keluarga muslim memeberikan potensi yang sangat besar bagi generasi bangsa ini, Islam sendiri memberikan tanggung jawab besar kepada orang tua untuk mendididik anak-anaknya, anak merupakan “qurrata’ayuun” buah hati yang menyejukan dan “zina hayat al-dunya” hiasan kehidupan dunia. Sungguh besar peran keluarga dalam memberikan pendidikan kepada anaknya, karena itu merupakan salah satu tanggung jawab yang menjadi orang tua pada dasarnya anak adalah sebuah titipan dari Allah S.W.T., anak yang terlahir kedunia dalam keadaan suci, bagaimana orang tuanya menjadikan ia seorang majusi, nasrani, ataupun agma yang lainnya. Setiap anggota keluaga berkewajiban untuk bekerja sama dalam memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya, namun pada kenyataannya banyak

135 136 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran sekali orang tua yang tidak peduli dengan anak-anaknya meraka melantarkannya sehingga timbul permasalah-permasalahan dalam keluarga, kekerasan dalam rumah tangga (KDART), ini menjadi penomena yang tidak asing lagi bagi kita, sehingga anak dalam keluarga tidak di berikan kenyaman dan ketentaraman sehingga nekad melakukan sesuatu tindak kejahatan, minum-minuman keras, dan perbuatan yang lainnya. Bahkan penomena ini sudah tidak asing lagi bagi mata dan telinga masyarakat Indonesia, surat kabar, media social, media cetak kian menyuguhkan berita-berita seputar tentang hal tersebut, kalau sudah demikian yang terjadi siapa yang akan bertaggung jawab? Presiden kah, atau kementrian agama, atau bahkan seluruh aspek social masrakat, tentunya ini menjadi sebuah PR dalam keluarga. Dalam Islam mengajarkan tuntunan keluarga yang sesuai dengan pedoman Alquran dan Hadis, ini rujukan untuk membuatan generasi-generasi muda yang qur’ani, sesuai dengan ajaran rosullah saw, di dalam sebuah bingkai keluarga qu’ani akan terciptanya Negara yang baldatun thoyibbatun warobunn ghofur. Rumusan Masalah dalam tulisan ini adalah: Bagaiman konsep keluarga dan peranannya dalam masyarakat? Bagaimna bingkai keluarga qur’ani dalam membentuk ketahanan nasional?

Konsep Umum Keluarga dan Peranannya Dalam Masyarakat Konsep Tentang Keluarga 1. Pengertian Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Menurut para ahli: a. Sigmund freud Keluarga adalah terbentuk karena adanya perkawinan antara laki-laki dan perempuan b. Quraish sihab Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang menjalin perkawinan yang sah antara laki-laki dan perempuan dalam satu naungan atau atap yang mempunyai tugas dan peran masing-masing serta kewajiban didalamnya. c. UU, no 10 tahun 1992 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri/ suami istri dan anakanya, atau ibu dan anaknya. Bingkai Keluarga Qur’ani dalam Upaya Ketahanan Nasional 137

Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga yang mempunya tugas dan perannya masing-masing yang terikat pernikahan yang sah.

2. Makna Keluarga Prespektif Islam Makna keluarga dalam Islam tentunya mempunyai ciri dan landasan tersendiri di dalam Alquran dan Hadis, keluarga menurut Islam mempunyai beberapa pengertian yang berbeda beda. Makna keluarga menurut Islam sebagai berikut: a. Menjaga Eksistensi Manusia Melalui sebuah perkawinan adalah awal dimna penjagaan generasi manusia di muka bumi, allah menciptakan manusia sebagai kholifah di muka bumi, pemakmur bumi, keluarga yang menjaga keberlangsung tarap kehidupan manusia, sebagaimna yang telah di paparkan sebelumnya bahwa keluarga memberikan ketenangan dan perlindungan dalam keluarga serta untuk beribadah kepada sang pencipta. Firman allah dalam Alquran Ad-zariat ayat 56:

ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada Ku. Dari penjelasan ayat di atas berdasarkan tafsir tematik adalah allah menciptakan jin manusia pada hakikatnya adalah untuk beribadah, dalam ajaran Islam yang namanya ibadah banyak sekali, yaitu slah satunya adalah perkawinan dalam dalam Islam merupakan suatu ibadah, oleh karena itu untuk menjaga eksis tensi manusia perlunya adanya jenjang keturunan. b. Mewujudkan, Ketenangan, Cinta, dan Kasih Sayang Membina sebuah keluarga adalah untuk melindungi anggota keluarganya dari bahaya baik yang fisik , non fisik yang bersifat halus, menanamkan rasa cinta dan kasih saying kepada anggota keluarganya, bukan untuk menciptakan kerusakan dalam keluarga atau pun ke tidak harmonisan yang dapat menyebabkan kehancuran dalam keluarga. Firman allah di dalam Alquran surat al-ahzab ayat 22:

ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒ ﰓ ﰔ Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu mereka berkata ,”inilah yang di janjikan allah dan rasul-nya kepada kita.”dan benarlah allah dan rasul-nya., dan yang demikian itu menambah keimanan dan keIslaman. Dari penjelasan ayat di atas dapat di simpulkan bahwa ketenangan dan ketentraman dalam keluarga akan terwujud melalu ajaran-ajaran Islam. 138 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran c. Menjaga Nasab Dalam sebuah perkawinan yang sah tentunya setiap orang menginginkan keturunan yang sah dan sesuai dengan tuntunan Islam sebagimna firman allah dalam al quran Surat an-nisa ayat 23:

ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ Di haramkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu,anak-anakmu yang perempuan, saudara- saudaramu yang perempuan,saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibu­mu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,anak saudara-saudaramu yang permpuan , ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara permpuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu, dan istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu ( sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu menikahinya,( dan di haramkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dan di haramkan mengumpulkan dalam pernikahaan dua permpuan bersaudara kecuali yang telah terjadi masa lampau. Sungguh allah maha pengampun, maha penyayang. Dari ayat di atas dapat di simpulkan bahwa mana permpuan yang boleh kita nikahi dan mana permpuan yang tidak boleh kita nikahi, yang sesuai dengan ajaran agama Islam,hal tersebut untuk menjaga nasab dan keterunan yang Islami. d. Menjaga Kesucian Pernikahan yang sesuai ajaran Islam akan menjaga harkat dan martabat kaum perempuan di tengah hiruk pikuknya pelecehan sekual terhadap permpuan, pernikahan yang Islami akan menuntun dan menjaga kesucian dalam diri dan menyerahkan kepada yang berhak, Firman allah S.W.T. dalam Alquran surat an-Nur ayat 30: ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄﮅ ﮆ ﮇ ﮈﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga pandangannya,­ dan memelihara kemalaunnya; yang demikian itu lebih suci dari mereka. Sungguh allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Bingkai Keluarga Qur’ani dalam Upaya Ketahanan Nasional 139

Dari ayat di atas dapat di simpulkan bahwa perihalalah kesucian kamu jika kamu memang orang-orang yang beriman.

Peran Keluarga Dalam Masyarakat Keluarga adalah bagian kecil dari masyarakat bias dikatakan keluarga adalah hal yang terkecil dalam masyarakat yang mempunyai kepala keluarga yaitu ayah dan terdidri dari ibu dan anak-anaknya yang ada dalam satu naungan yang mempunya pungsi dan peran penting di dalam masyarakat, tidak aka nada sebuah atau sekelompok masyarakat tanpa adanya keluarga, oleh karena itu untuk menopang sebuah perkembangan dalam masrakat tidak luput dari peran keluarga, peran keluarga dalam masyarakat adalah sebagai berikut: 1. Pendidik Sebelum anak di kenalkan dengan dunia luar tentunya anak di didik oleh keluarga, baru lingkungan masyarakat 2. Sosialisasi Seorang anak diperkenalkan dengan dunia masyarakat tentunya tidak terlepas dari interaksi dengan teman sebayanya, ini yang kemudian merubah pola pikir anak, menerima hal yang baru baik itu buruk atau pun bagus dalam masyarakat tergantung dari keluarga yang membina dan mengajarkannya. 3. Pelindung Memberikan kenyamanan di dalam masrakat tidak adanya ancaman- ancaman baik itu dri dala atau pun dari luar masyarakat, sehinga biasa membawa kenyamanan dan ketentaram di dalam keluarga dan kehidupan bermasyarakat.

Bingkai Keluarga Qur’ani dalam Membentuk Ketahanan Nasional Konsep Membentuk Keluarga Dalam Alquran 1. Sakinah Di dalam al qur’an kata sakinah di temukan sebanyak 6 kali dan sisanya yang berkaitan dengan kata sakinah banyak di temukan, sakinah dalam arti sempit yaitu mempunya makna “ketenangan” ketenangan itu berasal dalam hati dan pikiran manusia. Firman allah dalam al qur’an Surat al-Araf ayat 189:

ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ 140 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (adam) dan dari padanya dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah di campurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia terasa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada allah, tuhan mereka (seraya berkata),” jika engkau memberi kami anak yang saleh, maka kami akan selalu bersyukur.”

2. Berakhlak Karimah Berahklak karimah yaitu berahlaq terpuji dan sesuai dengan pedoman dan ajaran-ajaran Islam, seseorang yang berahlaqul karimah akan menjadikan dirinya jauh dari kebohongan, kemunafikan yang akan mendorong seseorang pada jurang ke kemaksiatan, contoh ahlak karimah: a. zuhud Sifat juhud yaitu meninggalkan gemerlap keduniawian demi akhirat. b. Tawaqal Yaitu berserah diri kepada allah S.w.t., karena pada hakikatnya semua di muka bumi ini adalah milik allah S.w.t. c. Ikhlas Bahwasannya semua ujian baik itu berupa kebahagiaan atau kesengsaraan adalah dari allah S.w.t..

3. Membentuk Insan Yang Bertakwa Dalam al quran surat al-baqarah ayat 3 menjelaskan ciri-ciri orang yang bertakwa yaitu: a. Mereka yang beriman kepada yang goib b. Yang melaksanakan shalat c. Yang menginfakan sebagian rizkinya di jalan allah S.w.t. Dalam Alquran surat al-hujarat ayat 13:

ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ Wahai manusia! Sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling mengenal, sungguh yang paling mulia di antar kamu di sisi allah ialah orang yang bertakwa. Sungguh allah, maha mengetahui, maha teliti. Dari penjelasan di atas tentunya untuk membangun sebuah keluarga yang qurani tidaklah mudah ada proses menuju ke sana yang harus di lalui oleh setiap keluarga, jika ingin memperoleh keluarga yang qur’ani maka harus sesuai dengan ajaran ajaran dan tuntunan agama Islam yang harus di tempuh. Bingkai Keluarga Qur’ani dalam Upaya Ketahanan Nasional 141

Bentuk Ketahanan Nasional Melalui Konsep Keluarga Qur’ani 1. Membentuk keharmonisan keluarga dan masyarakat Keharmonisan dalam keluarga merupakan suatu sikap yang dapat men­ciptakan dan ketentaraman hidup rukun beragama tidak akan ada keluarga yang hidup kelaparan atau bahkan mejadi seorang gelandangan, apabila keharmonisan dalam keluarga dan masyarakat ini di bangun dengan pondasi yang kuat sehingga akan menciptakan suasa yang tentram dan damai, firman allah dalam Alquran, yang artinya “allah tidak akan merubah suatu kaumnya sehingga ia merubahnya sendiri”. Hal ini mempunyai makna bahwa keluarga dan masyarakat mempunyai keterikatan untuk merubah semua lini sektor dalam tatan masyarakat ke arah yang lebih baik,

2. Mempererat tali persaudaraan keluarga dan masyarakat Dengan mempererat tali persaudaraan yang kokoh akan menciptakan masrakat yang mandiri kreatif dan inovatif dalam segala hal, perekonomian, pembangunan, perdagangan dan sebagainya yang menyangkut segala hal tentang pembangunan kemasyarakatan.

Penutup Membangun keluarga qur’ani sesuai dengan ajaran-ajaran dan pedoman- pedoman dalam al quran dan sunah nabi Muhammad saw, keluarga yang Islami akan menopang upaya dalam membentuk ketahanan nasional, konsep ini yang kemudian akan merubah tatanan social dalam masyarkat melalu bingkai keluarga qurani dalam upaya membentuk ketahanan nasional: 1.menjaga keharmonisan dalam keluarga dan masyarakat; 2. menjaga persaudaraan dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini yag dapat membawa perubahan yang signifikan di dalam tatantan social dan masyarakat. Yang sesuai dengan pedoman Alquran dan Hadis.

Pustaka Acuan: Abu Laila & Muhammad Tohir (1995) ahlak seorang muslim. Bandung: al- ma’arif Ahmad tafsir.(2004). Pendidikan dalam presfektif Islam. Bandung: PT. Remaja RosdaKarya Kementrian agama RI. (2012). Penciptaan manusia dalam prespektif al qur’an dan sains, Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia Hamdi Anwar (1995).Pegantar Ilmu Tafsir, Jakarta : fikahati Aneska 142 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Mudzakir AS. (2015), Studi Ilmu-Ilmu Alquran, Bogor: Litera Antar Nusa Hernowo. (2003). 7 warisan keluarga, Jakarta:hikmah Hamzah yakub.( 1983) Etika Islam. Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam: Pilar Utama dalam Menopang Ketahanan Nasional

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.13

Pendahuluan Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertian yang konvensional dalam masyarakat. Meskipun pengertian pendidikan agama yang dikenal dalam masyarakat itu tidaklah seluruhnya salah –jelas sebagian besar adalah baik dan harus dipertahankan- namun tidak dapat dibantah lagi bahwa pengertian seperti ini harus disempurnakan (Madjid, 2004: 93). Pendidikan termasuk dalam salah satu faktor yang sangat menentukan dan berpengaruh terhadap perubahan sosial. Melalui pendidikan diterapkan bias menghasilkan para generasi penerus yang mempunyai karakter yang kokoh untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa (Zuhriy, 2011: 288). Belakangan ini, dalam dunia pendidikan dibicarakan tentang pendidikan karakter. Munculnya pendidikan karakter sebagai wacana baru pendidikan nasional bukan merupakan fenomena yang mengagaetkan. Sebab perkembangan sosial politik dan kebangsaan ini memang cenderung menghasilkan karakter bangsa. Maraknya perilaku anarkis, tawuran antar warga, penyalahgunaan

143 144 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan berbagai tindakan patologi lainnya merupakan indikasi masalah akut dalam pembangunan karakter bangsa ini (Mas’udi, 2015: 2). Menurut Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Mochtar Buchori meng­ ungkapkan bahwa, ada enam masalah yang mengancam dunia eksistensi bangsa ini (Buchori, 1995: 22). Keenam masalah tersebut ialah: 1) Kesenjangan antar-golongan bangsa; 2) Kontras antar golongan kaya dan akum miskin; 3) Proses pendewasaan politik yang mengalami berbagai hambatan; 4) Keterbelakangan IPTEK; 5) Belum selesainya transisi dari budaya agraris ke budaya industrial; dan 6) Pembudayaan Pancasila menjadi etos bangsa. Keenam masalah di atas menjadi bagian dari agenda nasional, dalam konteks ini, keluarga merupakan salah satu institusi pendidikan, setiap orang yang berada dalam institusi ini pasti akan mengalamai perubahan dan perkembangan me­ nurut warna dan corak institusi tersebut. Lingkungan keluarga yang merupakan lingkungan utama dan pertama bagi seseorang, karena dalam keluarga inilah seseorang pertama sekali mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Pendidikan dalam keluarga lebih kepada pembentukan karakter yang nantinya akan menjadi sebuah fondasi untuk pengembangan potensi. Dalam keluarga, seseorang mendapatkan perhatian yang lebih. Dalam keluarga pun, konsepsi tentang akal yang merupakan suatu kemampuan. Maka peran keluarga dalam ranah ini adalah membina sesorang supaya akalnya dapat berkembang (Siegel, 1969: 149). Sebagian besar dari kehidupan seseorang dilalu di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima adalah dalam keluarga. Pengalaman yang diperoleh seseorang melalui pendidikan dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan anak dalam proses pendidikan selanjutnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama dalam pembentukan kepribadian seorang anak manusia. Jika pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga sudah baik, maka akan melahirkan para generasi bangsa yang tangguh, yang dibutuhkan oleh negara. Sosok generasi yang mampu melaksanakan tugas dengan baik serta berkarakter, yang memiliki kekuatan, kemampuan, dan daya tahan, dalam menghadapi segala bentuk tantangan, hambatan, ancaman, dan gangguan baik dari dalam maupun luar yang secara langsung dapat menggangu stabilitas kehidupan dan eksistensi bangsa dan negara. Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam 145

Oleh karena itu, tulisan ini secara umum akan melihat bagaimana penguatan keluarga dengan basis pendidikan Islam berperan penting dalam pembentukan kepribadian seseorang atau tempat pertama seseorang mendapat pendidikan yang dijadikan landasan sebagai penopang ketahanan nasional. Kajian ini pun akam mencoba menguraikan peran keluarga dalam perspektif Alquran, kemudian akan mencoba mengelupas bagaimana keluarga menjadi sebuah institusi pembentuk karakter individu, mendidik dan mengasuh para generasi bangsa agar berperan aktif dalam setiap bidang sebagai cerminan generasi yang berkarakter dan berakhlakul karimah yang menegakkan ketahanan nasional.

Peran Keluarga dalam Perspektif Alquran Keluarga merupaka fondasi bagi perkembangan majunya masyarakat, sejak pra-kemerdekaan lembaga pernikahan sampai kepada memfungsikan keluarga sebagai dinamosator dalam kehidupan anggotanya terutama anak-anak, sehingga benar-benar menjadi tiang penyangga yang kokoh bagi masyarakat (Mustofa, 2008: 227). Keluarga merupakan sumber dari umat, dan jika keluarga merupakan sumber dari sumber-sumber umat, maka pernikahan adalah pokok keluarga, dengannya umat akan ada dan berkembang. Secara tegas dapat digarisbawahi bahwa tujuan keluarga ada yang intern dan ekstern, intern yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup keluarga itu sendiri dan ekstern berarti bertujuan yang lebih jauh yaitu mewujudkan generasi atau masyarakat muslim yang maju dalam berbagai seginya atas dasar tuntutan agama (Buseri, 1990: 16-17). Dalam artian lain, sesuai dengan tujuan keluarga yang ekstern, keluarga dapat dikatakan sebagai salah satu indikator dari keberhasilan suatu negara. Keluarga tergolong dalam kelompok manusia pertama yang ditemui setiap anak yang baru dilahirkan. Keluarga juga merupakan media pertama dan satu- satunya selama beberapa tahun yang mentransformasikan nilai-nilai, baik secara sengaja ataupun tidak disengaja, yang sangat berperan dalam kehidupan dan pertumbuhan setiap anak selanjutnya (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 129). Hal tersebut akan terlihat ketika seorang anak itu kemudian dewasa, anak-anak yang mendapatkan asuhan dan didikan baik akan berbeda dengan seorang anak yang mendapatkan asuhan dan didikan kurang baik dari keluarganya. Serupa yang diungkapkan oleh Amin Summa, bahwa ketika berbicara keluarga maka yang perlu disepakati bersama adalah bahwa keluarga merupakan unit tekecil dalam masyarakat (Summa, 2004: 4-5). Keluarga yang merupakan basis utama dan yang paling tua, dari keluarga inilah akan terbentuk masyarakat baru yang lebih banyak dan lebih luas. 146 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pengasuhan anak dalam keluarga sangat penting untuk diperhatikan, karena masa depan depan anak banyak tergantung pada pengasuhan dan pendidikan dalam keluarga. Tentang pengasuhan anak yang baik dalam keluarga, dapat diperoleh petunjuknya dalam Alquran, beberapa pola-pola yang bersifat tetap dan berlaku sepanjang masa (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 135). Dengan memperhatikan teori-teori pendidikan seperti memotivasi, tujuan, metode, dan materi pendidikan serta beberapa pembiasaan baik yang perlu dilakukan, dan memadukannya dengan petunjuk, dan isyarat dalam ayat- ayat Alquran. Seperti yang dijelaskan dalam Alquran sebagai berikut:

ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim [66]: 6) (Pemerintah Provinsi Banten, 2013: 560). Dalam ayat di atas terdapat kata wa ahlikum, yang berarti keluargamu yang terdiri dari isteri, anak, pembantu dan budak, dan diperintahkan kepada mereka agar menjaganya dengan cara memberikan bimbingan, nasihat dan pendidikan kepada mereka. Hal ini sejalan dengan Hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Munzir, al-Hakim, dan oleh riwayat lain dari Ali ra. ketika menjelaskan ayat tersebut, maksudnya adalah berikanlah pendidikan dan pengetahuan mengenai kebaikan terhadap dirimu dan keluargamu (Nata, 2002: 198). Ayat di atas pula mengandung makna “perintah” atau fi’il amar yaitu suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh kedua orang tua terhadap anaknya (Wahy, 2012: 247). Oleh karena itu, maka kedua orang harus dapat memainkan peranan penting sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, sebelum pendidikan anak diserahkan kepada orang lain. Menurut Fuad Ihsan, tanggung jawab pendidikan oleh kedua orang tua meliputi (Ihsan, 1997: 94): 1) Memelihara dan membesarkannya. Tanggung jawab ini merupakan dorongan alami untuk dilaksanakan, karena anak memerlukan makan, minum dan perawatan, agar seorang anak dapat hidup secara berkelanjutan. 2) Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara jasmani maupun rohani dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat membahayakan diri. Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam 147

3) Mendidiknya dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi hidupnya. Sehingga apabila seorang anak tersebut dewasa, mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain serta melaksanakan fungsi kekhalifahannya. 4) Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan memberinya pendidikan agama sesuai dengan tuntutan Allah S.W.T.. sebagai tujuan akhir hidup seorang muslim. Tanggung jawab ini dikategotikan juga sebagai tanggung jawab kepada Allah S.W.T. Selain sebagai media atau lembaga pendidikan pertama dan utama bagi setiap anak, keluarga perlu pula menanamkan nilai-nilai agama, sosial dan budaya serta sifat-sifat alam dan lingkungan (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 147). Beberapa ayat Alquran yang memberi petunjuk tentang hal ini, misalnya dalam surat berikut ini: ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13) (Pemerintah Provinsi Banten, 2013: 517). Dalam ayat ini menjelaskan bahwa Allah S.W.T. telah menciptakan semua manusia berasal dari laki-laki yaitu Adam, dan seorang perempuan yaitu Hawa. Allah S.W.T. menjadikan manusia yang banyak ini berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, berbeda-beda warna kulit dan berbeda bahasanya, semua itu bukan untuk saling mencemooh dan saling merendahkan, melainkan supaya saling mengenal dan tolong menolong. Allah S.W.T. tidak menyukai orang- orang yang menyombongkan diri dengan keturunan, kepangkatan atau pun kekayaan mereka, karena yang paling mulia di sisi Allah S.W.T.. hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 148). Maka, bekal asuhan dan didikan dalam keluarga mempunyai peranan yang besar dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan karakter kebangsaan yang positif, yang menunjang pada kemandirian bangsa dan ketahanan nasional di tengah terpaan arus globalisasi.

Transformasi Pendidikan: Penoang Ketahanan Nasional Dunia memperlihatkan dua kecenderungan yang berlawanan: dalam kehidupan ekonomi terlihat adanya kecenderungan globalisasi, sedangkan dalam kehidupan politik yang terlihat ialah kecenderungan fragmentasi. Lebih lanjut, bahwa 148 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran konsep ‘nation state’ rupanya tidak memadai lagi untuk menghadapi persoalan- persoalan masa kini dan masa depan (Bell 1987: 7). Konsep ‘nationn state’ terasa menjadi terlalu besar untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil suatu bangsa dan terlalu kecil untuk menyelesaikan masalah-masalah besar. Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang tidak pernah bias ditinggalkan. Pendidikan bias dianggap sebagai sebuah proses yang terjadi secara tidak sengaja atau berjalan secara alamiah. Dalam hal ini, pendidikan bukanlah proses yang diorganisasi secara teratur, terencana, dan menggunakan metode-metode yang dipelajari berdasarkan aturan-aturan yang telah dipelajari mekanisme penyelenggaraannya oleh suatu komunitas masyarakat (negara), melainkan lebih merupakan bagian dari kehidupan yang memang telah berjalan sejak manusia diciptakan. Pengertian ini merujuk pada fakta bahwa pada dasarnya manusia secara alamiah merupakan makhluk yang belajar dari peristiwa alam dan gejala-gejala kehidupan yang ada untuk mengembangkan kehidupannya (Mu’in, 2011: 287-288). Dalam konteks ke-Indonesia-an yang merupakan sebuah negara besar dengan ribuan pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke. Yang tentunya dihuni oleh berbagai suku Bangsa yang berbeda-beda: etnis, bahasa, kebudayaan, bahkan agama. Akan tetapi, pada posisi yang lain, bentuk Negara semacam ini berpotensi menimbulkan masalah. Lain ceritanya, jika asuhan sejak kecil dalam keluarga sudah dididik tentang nilai-nilai dan norma agama, sosial, dan budaya yang sifatnya tetap dalam masyarakat. Setelah didikan dan asuhan yang baik dalam ranah kelauarga, konteks ber- negara pun harus dijiwai dengan semangat berkeluarga dan kebersamaan. Dalam artian, keberadaan negara bisa memberikan jaminan bagi kepentingan seluruh rakyat sehingga mampu melampaui kepentingan golongan atau individu. Inilah yang diistilahkan dengan integralistik kehidupan nasional, dimana semua golongan, semua bagian, dan semua anggota berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 298). Kesadaran kelompok bangsa dengan identitasnya masing-masing masih akan mendominasi kehidupan umat manusia. Maka betapa pentingnya kebudayaan nasional dalam pendidikan nasional dapat disimak dari fungsi pendidikan dalam mengembangkan kepribadian seseorang yang mempunyai jati diri yang kuat. Jati diri atau identitas seseorang merupakan sebagian dari identitas kelompok atau bangsa, yang merupakan suatu tolak ukur dari tumbuhnya nasionalisme yang tepat dan kuat (Tilaar, 2004: 164-165). Suatu bangsa yang kuat perlu mempunyai “ketahanan budaya”, hal ini berkaitan dengan apa yang disebut dengan ketahanan nasional suatu bangsa. Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam 149

Dalam bahasa Arab “ketahanan nasional” atau biasa sering disebut juga dengan “ketahanan negara” dikenal dengan istilah...... Ini menunjukkan bahwa esensi ketahanan nasional adalah terciptanya rasa aman diantara warga negara. Hanya saja, rasa aman dalam hal ini disertai kesejahteraan yang merata. Sebab, kesejahteraan tanpa rasa aman menjadikan setiap warga tidak mampu melaksanakan aktifitas kehidupannya dengan baik. Begitu juga, rasa aman tanpa kesejahteraan yang merata tidak mungkin melahirkan sebuah bangsa dan negara yang kuat, bahkan akan mangancam munculnya disintegrasi bangsa (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 229). Dengan demikian, kualitas sumber daya manusia dan peran serta para generasi muda saat ini bukan saja menjadi porter masa depan bangsa, tetapi juga menjadi taruhan atas ketahanan sebuah bangsa dan negara tersebut. Atau dengan istilah lain, ketahanan nasional yang meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahankan dan kemananan, tidak akan mungkin terwujud jika generasi penerusnya tidak berkarakter. Alquran banyak megisahkan posisi kaum muda dalam perjalanan sebuah bangsa, sebagaimana dalam Firman Allah S.W.T..:

ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada kereka.” (Q.S. Al-Khaf [18]: 13) (Pemerintah Provinsi Banten, 2013: 294). Sayyid Qutub menggambarkan sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Alquran Tematik Kementraian Agama Republik Indonesia, bahwa kelompok pemuda tersebut bukan saja memiliki fisik yang kuat, tetapi juga memiliki mentalitas baja. Keimanan dan mentalitas baja inilah yang mendukung kebijakan penguasa yang otoriter (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 318). Karakter terpuji merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap perilaku positif (Shihab, 2011: 714). Di sinilah terukur keberhasilan dan kegagalan pendidikan, karena ukuran keberhasilan lembaga pendidikan bukan saja melalui kedalaman ilmu dan ketajaman nalar, tetapi juga pada kecerdasan emosi dan spiritual. Sebagian para pakar menyebutkan, bahwa kecerdasan emosi dan spiritual berperan sekitar tujuh puluh sampai dengan delapan puluh persen dalam meraih sukses, bahkan dapat menopang ketahanan nasional (Shihab, 2011: 716-717). 150 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam Sebagai Pilar Utama dalam Menopang Ketahanan Nasional Keluarga yang merupakan penanam utama dasar-dasar moral bagi seseorang, yang tercermin dalam sikap dan perilaku orang tua sebagai teladan yang dapat dicontoh oleh anak-anaknya. Pendidikan moral tidak terlepas dari pendidikan agama, maka penanaman pendidikan agama sebagai sumber pendidikan moral harus dilaksanakan sejak masih kecil dengan pembiasaan-pembiasaan (Wahy, 2012: 255). Semua ketentuan dan norma-norma hidup ini perlu disosialisasikan kepada semua anak sejak dari kehidupan di keluarga, supaya dalam menghadapi kehidupan yang lebih kompleks nanti tidak mengalami kesulitan (Shihab, 2011: 152). Pendidikan yang ditanamkan di dalam keluarga benar-benar akan mem­ persiapkan generasi muda untuk kehidupan di masa depan, maka penyesuaian tradisi serta tradisi pendidikan yang sudah ada harus dikendalikan­ dengan waspada, seksama dan berani (Buchori, 1995: 15). Pembentukan karakter bangsa yang awalanya dari individu yang dipupuk dalam lingkungan keluarga, yang kemudian berkembang di dalam masyarakat. Masyarakat yang merupakan kumpulan sekian banyak individu yang terbentuk berdasarkan tujuan yang hendak dicapai bersama. Dengan mencermati perkembangan situasi nasional pada akhir-akhir ini yang menjurus ke arah rusaknya sistem dan tatanan sosial bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, megemukanya serangkaian konflik komunal dan konflik sosial di tengah kehidupan masyarakat yang dilatar-belakangi banyak isu, antara lain: agama, etnisitas, masalah kesenjangan sosial, dan pertikaian antara partisipan partai politik serta meningkatnya gerakan separatism dibeberapa daerah sehingga menjadi cikal bakal pemicu perpecahan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 354). Pengetahuan tanpa penghayatan tidak akan menimbulkan apa yang diistilahkan oleh pakar-pakar agama (tasawuf) dengan halah, yakni kondisi psikologis yang mengantar seseorang berkeinginan kuat untuk mengubah secara positif (Shihab, 2011: 719). Jika dipahami lebih mendalam, bahwa agama akhirnya menuju kepada berbagai keluhuran budi. Oleh karena itu peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah amat penting. Dan di sini yang ditekankan adalah pendidikan, bukan pengajaran (Madjid, 2004: 94-95). Bekal asuhan dan didikan dalam keluarga mempunyai peranan yang besar dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan karekter kebangsaan yang positif yang menunjang pada kemandirian bangsa dan ketahanan nasional Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam 151 di tengah terpaan arus globalisasi. Pendidikan yang ditanamkan di dalam keluarga benar-benar akan mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan di masa depan, maka penyesuaian tradisi pendidikan harus dikendalikan dengan waspada, seksama dan berani. Pendidikan yang ditanamkan oleh kedua orang tua akan penting dan menentukan bagi keberhasilan pencegahan hal-hal yang dilarang agama Islam, agar dihindari oleh anak-anak dan generasi bangsa. Rasulullah SAW. bersabda: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanya lah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah) (Imam Bukhari, no. 1292; Imam Muslim, no. 6926). Maka pembinaan dalam aspek agama dalam keluarga melahirkan generasi muda yang berkarakter dan memiliki jati diri yang religius juga terkadang rasa kebangsaan, tanggung jawab nasional, kepemimpinan mandiri, budi luhur, berpikir kreatif, dan patriotis (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 354). Akhirnya, setiap generasi muda diharapkan berperan aktif dalam setiap bidang, baik sebagai ilmuan, seniman, budayawan, dan lain-lain, khususnya untuk ketahanan nasional. Karena itu, pengauatn keluarga yang merupakan basis utama dalam menopang ketahanan nasional memberikan generasi bangsa dalam kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan yang layak, baik formal maupun non-formal; baik yang berbasis kompetensi maupun berbasis akhlak atau pembangunan karakter.

Penutup Keluarga dalam pandangan Islam bukanlah sekedar tempat berkumpulnya orang-orang yang terkait karena pernikahan maupun keturunan, akan tetapi mempunyai fungsi sedemikian luas. Oleh karena itu untuk mempertahankan eksistensi ketahanan nasional salah satu alternatif yang sangat mungkin adalah memperdalam dan mengintensif-kan penanaman dan mengamalan nilai-nilai Islam dalam setiap anggota keluarga dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Negara akan sejahtera bila kelompok-kelompok masyarakat hidup dalam situasi yang baik, kelompok tersebut akan sejahtera bila keluarga yang hidup di dalam kelompok itu sejaktera pula. Jadi negara –bahkan dunia- ditentukan kesejahteraannya oleh keluarga dalam negara atau masyarakat tersebut, yang artinya mewujudkan keluarga yang sejahtera sangatlah penting. Nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran tentang bagaimana keluarga memposisikan dirinya sebagai institusi yang berbeda pada garda terdepan, memberikan suatu pemahaman klimaks perihal penguatan keluarga sebagai 152 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran pembentuk karakter bagi generasi penerus bangsa agar dapat berperan aktif dalam setiap bidang sebagai cerminan generasi kerakhlakul karimah yang me­ negakkan ketahanan nasional. Hampir semua pembahasan tentang penguatan keluarga, baik dalam konsep Barat, Alquran dan Sunnah sepakat memasukkan unsur pendidikan moral atau spiritual atau karakter sebagai pilar utama untuk menopang ketahanan nasional. Apabila nilai-nilai agama yang terkandung dalam teks-teks agama dijadikan sebagai dasar pendidikan dalam keluarga, maka niscaya ketahanan nasional pun akan kuat. Selain itu, yang harus dilakukan adalah mempertahankan prinsip-prinsip dan nilai moral yang ada dalam masyarakat. Karena nilai-nilai lokal ini sebagai identitas kearifan lokal (local wisdom) yang secara natural dapat diterapkan sesuai dengan kondisi sosio-kultural tanpa bertabrakan atau bertentangan dengan norma agama dan tidak memaksa masyarakat untuk merubah gaya hidupnya secara radikal.

Pustaka Acuan: Bell, Daniel, “The World in 2013.” Daedalus DXVI, no. 3. Reprinted in Dialogue, Summer 1987. Buchori, Mochtar, Transformasi Pendidikan, Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 1995. Bukhari, Imam, Sahihul Bukhari, Kitabul-Jana’iz, Bab Iza aslamas-sabi famata, No. 1292; Imam Muslim, Muslim Kitabul Qadr, Bab Ma’na Kullu Mauludin Yuladu ‘Alal-Fitrah, No. 6926. Buseri, Kamrani, Pendidikan Keluarga dalam Islam, Yogyakarta: Bina Usaha, 1990. Ihsan, Fuad, Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Kementrian Agama Republik Indonesia, Tafsir Alquran Tematik: Pembangunan Generasi Muda, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran, 2011. Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Paramadina, 2004. Mas’udi, Ali, “Peran Pesantren dalam Pembangunan Karakter Bangsa.” Paradigma II, no. 1, November 2015. Mu’in, Fathchul, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Mustofa, Imam, “Keluarga Sakinah dan Tantangan Globalisasi.” Al-Mawwarid XVIII, 2008. Pemerintah Provinsi Banten, Mushaf al-Bantani, Jakarta: Lajnan Pentashihan Mushaf Alquran, 2013. Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam 153

Shihab, Quraish, Membumikan Alquran: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan, Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2011. Siegel, James T, Children in The Family, Berkeley: University of California Press, 1969, dalam Ihromi, (ed), Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013. Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Keluarga Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Tilaar, Menejemen Pendidikan Nasional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. Wahy, Hasbi. “Keluarga Sebagai Basis Pendidikan Pertama dan Utama.” Ilmiah Didaktika XII, no. 2, Februari 2012. Zuhriy, Syaefuddin, “Budaya Pesantren dan Pendidikan Karakter pada Pondok Pesantren Salaf.” Walisongo IXX, no. 2, November 2011.

Pelangi Cinta di Langit LGBT (Mencegah LGBT Melalui Pendidikan Karakter Moral Keluarga di Banten)

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.15

Pendahuluan Diskursus ketahanan nasional telah dikaji dari pelbagai perspektif. Kajian ini muncul disebabkan kondisi bangsa Indonesia yang terus mengalami banyak tantangan dan ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri, Salah satu bentuk ancaman ini adanya kaum Lesbi Gay Biseksual dan Transgender (LGBT). Kaum ini berdalih “cinta tidak mengenal hukum” menjadi pembebasan berseksual kaum ini yang menganggap hubungannya alamiah dan sehat. Warna ekspresi cinta kaum ini disimbolkan dengan pelangi yang berarti kaum ini sama seperti manusia yang hidup di muka bumi ini. Pengakuan ini terlihat dari semakin berani mereka menunjukkan eksistensinya dihadapan publik untuk disahkannya Undang-undang (UU) kebolehan LGBT. Eksistensi yang terus mereka bangun ini dianggap sebagai persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) saja, sehingga tidak perlu mencampuradukkan dengan agama dan negara. Padahal realita yang terjadi di Indonesia Banten khususnya, LGBT tidak mendapat tempat. Hal ini diperkuat dengan adanya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, sebagai dasar perkawinan semua manusia Indonesia, yaitu antara laki-laki dan perempuan (UU Pokok Perkawinan, 2000:1).

155 156 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Jika dilihat dari aspek agama, eksistensi kaum ini bertolak belakang dengan fakta yang ada sebab Islam memandang bahwa perilaku LGBT itu ber­tentangan dengan perintah dalam Alquran. Islam membenarkan seksualitas dan kebutuhan biologis. Tapi, hal ini harus sejalan dengan ketentuan agama yakni dilakukan dengan lawan jenis dan melalui mekanisme pernikahan. Sebab, agama dan negara menjadikan pernikahan sebagai hal yang suci dan terhormat. Namun, meskipun aspek agama dan falsafah negara ini telah menentang perilaku LGBT nyatanya belum mampu mempengaruhi penurunan jumlah kaum LGBT, yang ada justru Banten menyandang status mengkhawatirkan (www.BPSBanten.go.id). Berdasarkan Data Komisi Penanggulangan Aids Banten (www. KPABanten.2017), jumlah waria yang ada di provinsi Banten sebanyak 3.275 orang, penyuka sesama jenis 2.175 orang, lesbian 1.300 orang. Dari angka tersebut 5.196 menjadi Orang Dengan HIV Aids (ODHA) dan penyakit seksual lainnya akibat seks sesama jenis. Hal ini sebagai bukti, kehadiran kaum LGBT memberikan sumbangsih penularan virus HIV Aids di provinsi Banten. Padahal, dalam aspek hukum dan agama bab mengenai pernikahan telah diatur secara jelas diantaranya dilakukan dengan lawan jenis antara laki-laki dan perempuan. (Yusuf Qardhawi, 2000: 307) pernikahan pada dasarnya bertujuan membentuk keluarga agar memperoleh ketenangan, kedamaian, juga dapat menjaga keturunan (hifdzu al-nasli). Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga sangat berkontribusi aktif sebagai yang pertama dan utama dalam menanamkan nilai-nilai agama, moral dan etika anggota keluarganya. Hal ini berarti, keluarga merupakan instrumen penting yang yang mampu menopang ketahanan nasional sesuai dengan intisari dalam Alquran surat an-Nisa’ ayat 9 bahwa janganlah meninggalkan anak-anak dalam keadaan lemah. Dalam menopang ketahanan nasional ini dipelukan karakter Qur’ani yang dimulai dari keluarga. Berdasarkan hal tersebut, maka dibutuhkan pendekatan yang lebih responsif untuk meramu ketahanan nasional yang dibangun melalui keluarga. Inilah yang akan dikaji lebih dalam.

LGBT Perspektif Islam Manusia adalah makhluk spesial yang diciptakan Allah S.w.t.. Manusia dicipta dalam bentuk yang sempurna dianugerahi akal dan fitrah. Sebagai makhluk yang memiliki kelebihan, ternyata manusia mengemban misi besar yakni mengelola dan melestarikan alam raya ini berdasarkan petunjuk, ketentuan dan hukum yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Pelangi Cinta di Langit LGBT 157

Dalam perjalanannya, manusia harus mampu mempertahankan hidup. Untuk melewatinya diperlukan interaksi dengan lingkungan dalam bentuk pengetahuan, perilaku, sikap, dan tindakan yang akan membawa dampak bagi individu itu sendiri. Salah satu perilaku yang terlihat jelas dan dapat diamati langsung adalah perilaku seksual. Dalam Islam, tidak ada pandangan yang mengkonsepsikan seks sebagai hal yang kotor dan dosa karena seks dipandang sesuai dengan firah manusia asalkan pemenuhannya sesuai dengan konstitusi Islam (Rahmat Sudirman, 1999:41). Pembahasan perilaku seksual sangat erat kaitannya dengan perilaku kaum LGBT. Islam melalui Alquran tidak mendefiniskan secara kongkrit tentang perilaku LGBT. Namun, kitab suci ini memandang perilaku ini mengarah pada perilaku homoseksual. Secara historis, hal ini bisa dilihat pada cerita Nabi Luth pada Q.S. Al-A’raf ayat 80-81.

ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ Dan (Kami juga telah mengutus) Luth kepada kaumnya, Ingatlah tatkala dia berkata kepada mereka, “mengapa kalian melakukan perbuatan fakhisya’ itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian?”. Sesungguhnyan kalian mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kalian ini adalah kaum yang melampaui batas (Q.S. Al-A’raf 80-81). Melalui ayat di atas, diceritakan bahwa kaum Nabi Luth melakukan praktek homoseksual dengan menyetubuhi lelaki sejenis melalui dubur (lubang belakang), di era sekarang ini perilaku seksual yang demikian popular dengan sebutan sodomi. Menurut (Kathleen Faller, 2014: 16) perbuatan sodomi membuat trauma berkepanjangan. Menurut beberapa versi (Masjfuk Zuhdi, 1987:37) kata Sodom diambil dari nama kaum Nabi Luth yakni kaum Sodom ada juga yang mengata­ kan bahwa ini nama daerah tempat Nabi Luth diutus yakni kampung Sodom. (Ibnu Katsir, 2006:18) memberikan penjelasan terhadap ayat ini bahwa Allah S.w.t. mengutus Nabi Luth ke kampung Sodom agar penduduknya beribadah kepada Allah untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhi larangan keji dalam kata al-fakhsya’. Larangan yang kasat mata ini berupa perbuatan dosa yang tidak pernah dilakukan oleh anak cucu Adam sebelumnya, yaitu laki-laki mendatangi laki-laki untuk melampiaskan hawa nafsunya. M. Quraish Shihab (2007:189), juga menekankan ayat ini pada kata al- fakhsya’ yang berarti perbuatan menyetubuhi lelaki sejenis melalui dubur (lubang belakang) adalah perbuatan sangat keji dan perilaku ini tidak pantas dilakukan oleh manusia. 158 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Secara tekstual, kata homoseksual dan orientasi seksual tidak disebutkan dalam Alquran. Tetapi, hal ini direspon dengan kata al-fakhsya’. Di dalam Alquran sendiri tidak ada kata khusus mengenai homo, lesbi, gay, biseksual dan transgender. Namun, perlu diketahui perbuatan keji itu bisa dilakukan oleh siapapun dan tidak memandang itu homo atau hetero. Disamping Alquran, hadis Nabi juga dijadikan rujukan mengenai homoseksualitas. Dari sahabat Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth”. (HR. Nasa’I dalam as-Sunan AL-Kubra no. 7337). Nabi mengulanginya sebanyak tiga kali. Ayat Alquran dan hadis tersebut, digunakan dasar kesepakatan (ijma ulama) untuk menyepakati bahwa homoseksual dan aktifitas seskual sesama jenis adalah haram. Pengaharaman tersebut berdasar pada qaidah ushul fiqh “menghindarkan keburukan didahulukan atas mendatangkan maslahat”. Keharaman ini tentu saja memberikan petunjuk bahwa perilaku keji LGBT ini tidak boleh ada di masyarakat, sehingga diperlukan kerjasama (sinergitas) di semua elemen masyarakat. Seperti dipaparkan sebelumnya, bahwa perilaku menyimpang ini sudah banyak anggotanya terutama di provinsi Banten. Elemen utama yang menjadi perhatian khusus untuk meminimalisir bahkan mencegah perilaku ini adalah keluarga. Keluarga memiliki peran besar dalam mendidik generasi penerus bangsa agar berakhlakul karimah. Bentuk menyikapi perilaku menyimpang ini dengan adanya pendidikan karakter moral dan komunikasi yang ada dalam keluarga. Hal ini, harus diajarkan sedini mungkin untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan yang efeknya dapat dirasakan masyarakat luas.

Karakter Moral Moral dalam Islam sering diidentikkan dengan akhlak. Karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan (Quraish Shihab, 1999: 253). Akhlak atau moral juga diartikan sebagai perangai, watak atau tabiat manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu (Mukhson, 2013:9). Banyak definisi dan arti tentang moral dan akhlak menunjukkan ke­ anekaragaman kelakuan bernama manusia. Para filosof dan ahli tafsirpun memberi catatan penting terkait dengan moral, seperti adanya baik dan buruk. Ibarat uang logam, manusia memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi pertama, manusia dengan kesempurnaan melalui kebaikannya dan dari sisi yang lainnya menjelaskan manusia yang tak luput dari salah serta keburukan. Alquran memuat firman Allah S.w.t. sebagai berikut: Pelangi Cinta di Langit LGBT 159

ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ “Dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaan-Nya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan (Q.S. Asy-Sayms: 7-8). M. Quraish Shihab (1999:254) menguraikan ayat di atas, walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukannya isyarat. Isyarat dalam Alquran bahwa kebaikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan. Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep- konsep pokok moral pada setiap zaman dan peradaban. Tujuan akhir dari pendidikan moral seharusnya adalah bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral. Agus Santoso (2012: 45) mengatakan, kebanyakan pendidikan moral yang dilakukan di sekolah-sekolah tidak pernah memperhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perubahan perilaku. Pendidikan moral itu dimungkinkan hanya mencapai tingkat ‘urf. ‘urf itu sendiri memiliki definisi mengetahui, menyadari dan mengenal (Enjang&Tajri, 2009:81). Pendidikan agama telihat semakin gencar dilakukan dan indikator kasat mata tentang maraknya kehidupan beragama juga terlihat jelas di Indonesia. Namun, mengapa perilaku sebagian manusia masih jauh menyimpang dari kaidah moral, termasuk perilaku LGBT? Jadi tampaknya tujuan beragama untuk menjadikan manusia berakhlak mulia belum tercapai. Dugaannya, karena karakter moral terjebak pada formalitas saja.

Penguatan Keluarga dan Karakter Moral Dalam Keluarga Tema pokok sekarang ini berkenaan dengan masalah keluarga, pembinaan keluarga, dan tafsiran terhadap kesulitan-kesulitan dalam keluarga. Keluarga adalah asst negara yang sangat penting, manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa adanya ikatan dengan keluarga. Keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap seluruh anggotanya sebab selalu terjadi interaksi yang paling bermakna dan sangat intim. Jadi, keluarga berbeda dengan organisasi kemasyarakatan yang lain. Keluarga sangat erat kaitannya dengan negara (Sholikhin, 2010:53). Jika keluarga kuat maka negara kuat begitu juga sebaliknya jika keluarga lemah maka negara akan lemah. Oleh karena itu, untuk mencapai ketahanan nasional, diperlukan penguatan keluarga agar menjadi keluarga sejahtera baik sejahtera secara fisik, mental, maupun spiritual. Keluarga yang sejahtera adalah dambaan setiap orang. Dengan sejahtera seseorang merasakan hidup bahagia dan menyenangkan, karena kebutuhan 160 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran materiil dan spiritualnya terpenuhi. Lebih dari itu, dengan menjadi keluarga sejahtera seluruh anggota keluarga akan mengembangkan diri dengan baik sesuai dengan potensi dan bakat yang dimiliki. Secara konseptual, keluarga sejahtera bercirikan ketahanan keluarga yang tinggi. Ketahanan keluarga yang dimaksud adalah kondisi keluarga yang me­miliki kemampuan fisik, mental, spiritual untuk hidup mandiri dan mengembangkan diri serta keluarganya demi meningkatkan kesejahteraan lahir batin. Untuk membangun ketahanan keluarga yang sejahtera lahir dan batin diperlukan tuntunan hidup agar selalu terjaga dari perbuatan yang bisa menjerumuskannya kedalam api neraka. Dengan kata lain, orang tua harus mampu menjaga, membimbing, mendidik dan menjadi teladan yang baik agar sang anak tidak melakukan hal negatif yang membuat sengsara baik di dunia maupun di akhirat. Maka, tetap dibutuhkan komunikasi (interaksi) yang baik dengan memberikan arahan, bimbingan dan contoh yang baik dalam keluarga. Sebab, keluarga adalah pondasi negara. Disinilah pentingnya setiap keluarga muslim memahami dasar-dasar penguatan keluarga agar keluarganya tidak goyah dan rapuh (Majid Khadduri, 1978:36). Namun, tetap saja untuk membangun penguatan keluarga ini selalu ada rival, salah satunya lemahnya komunikasi dalam keluarga sehingga karakter moral tidak terbangun dengan baik. Padahal, dengan jelas Islam memberikan petunjuk dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 9: ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (Q.S. An-Nisa’ 9). Menurut Ibnu Katsir (2006:58) memakna ayat ini yakni hendaklah menyimpan harta mereka untuk anak-anak dan keturunan mereka agar tidak lemah dan terlantar. Karena itu, solusi di akhir ayat yang Allah sebutkan “dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. Sedangkan, (Quraish Shihab, 2002: 355) memberi penjelasan ayat ini dengan kata dan hendaklah waspada maksudnya nasib anak-anak yatim sepeninggal mereka menjadi lemah maksudnya akan terlantar maka hendaklah bertakwa kepada Allah mengenai urusan anak-anak sepeninggal mereka nanti dan hendaklah mereka mengucapkan kepada orang-orang yang hendak meninggal perkataan yang benar misalnya memberi tahu agar menyedekahkan hartanya kurang dari sepertiga dan Pelangi Cinta di Langit LGBT 161 memberikan sepenuhnya untuk ahli waris sehingga tidak membiarkan anak-anak dan keturnannya dalam keadaaan lemah dan menderita. Berdasarkan kedua mufassir di atas sama-sama memberikan penekanan ayat ini dengan kata lemah maksudnya lemah harta sehingga dikhawatirkan anak- anaknya menjadi miskin dan nasibnya terlantar. Namun, jika dikaji lebih dalam secara kontekstual, ayat ini sebenarnya bisa diartikan bahwa kata lemah adalah lemah moral maksudnya dalam hal ini menjadi bagian kaum LGBT. Perilaku ini seperti sudah diulas sebelumnya, bahwa ini adalah bentuk penyimpangan seksual yang tidak sesuai dengan firah manusia, agama dan negara. Sementara itu, gerakan yang terus disuarakan LGBT, menurut (Sinyo, 2014:15) adalah gerakan ingin melegalkan perkawinan sesama jenis. Islam memandang bahwa perilaku LGBT adalah perbuatan haram dan keji, selain itu tindakan ini tergolong kegiatan seksual tak bermoral. Sehingga dalam ayat ini, dapat diartikan bahwa keluarga tidak hanya mewasiatkan harta benda saja tapi juga harus mewasiatkan ilmu pendidikan, karakter, dan moral yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Alquran. Secara tekstual, penafsiran kata dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar menurut kedua mufassir di atas merupakan sebuah ajaran (solusi) agar tidak meninggalkan anak-anak dan keturunan dalam keadaan yang lemah. Maksudnya dengan memberi tahu kepada orang-orang agar kelak sebelum meninggal mereka memberikan hartanya kurang dari sepertiga sehingga anak-anak dan keturunannya tidak miskin dan menderita. Lebih jauh, penafsiran kata dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar memanglah sebuah solusi agar tidak meninggalkan anak-anak dan keturunannya lemah. Namun, jika dikaji secara kontekstual solusi ini tidak serta merta hanya harta saja yang ditinggalkan namun juga berkaitan dengan pengajaran bagaimana orang tua memberikan, mewarisi, dan mewasiatkan ilmu pendidikan, karakter, dan moral yang baik kepada anak-anak dan keturunannya melalui jalur komunikasi dalam keluarga. Dalam rangka menanamkan nilai karakter moral dalam keluarga maka di­ perlukan usaha keras orang tua untuk mewujudkannya. Sebab masalah moral semakin kompleks, harus segera diselesaikan dan tetap mempertimbangkan akar permasalahannya. Oleh karena itu, untuk menghindari keturunan yang lemah dalam hal ini lemah moral (perilaku LGBT) maka dibutuhkan pendidkan karakter moral orang tua kepada anak-anaknya dengan cara komunikasi dalam menanamkan nilai-nilai moral dalam keluarga. Dalam hal ini, kata qoulan sadida (perkataan yang benar) menunjukkan harus adanya pengajaran melalui komunikasi orang tua. 162 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Komunikasi (interaksi) yang baik antara orang tua, dan anak akan membentuk perilaku yang terarah dan tercipta kedekatan yang harmonis dalam keluarga. Komunikasi yang sejajar dan dua arah ini tentu akan dirasa­kan juga oleh anak-anak sehingga mereka merasa dihargai, diperhatikan, dan dicintai oleh orang tua. (Sven Wahlroos, 1999:3) komunikasi adalah semua perilaku yang membawa pesan dan diterima oleh orang lain. Perilaku ini bisa verbal dan non verbal. Untuk menanamkan karakter moral keluarga maka diperlukan tiga komunikasi kepada anak agar tidak terjerumus pada perilaku seksual menyimpang LGBT dan perilaku menyimpang lainnya. Pertama, komunikasi verbal. Interaksi antara orang tua dan anak sangat­lah dibutuhkan dalam perkembangan anak. Dengan komunikasi verbal yang baik maka orang tua akan lebih tau bagaimana memahami, mengenali, dan membina perilaku anak sebaik-baiknya. Keakraban yang dibangun melalui komunikasi verbal akan mengarahkan perilaku anak menjadi positif dan tentunya sesuai dengan ajaran Islam. Sebaliknya, jika anak jarang berkomunikasi verbal dengan orang tuanya maka hal itu pula yang tampak pada lingkungan keluarga dan sosial, diantaranya anak menjadi tertutup, merasa kurang dihargai, dan kurang diperhatikan sehingga anak mencari perhatian dan pergaulan dari luar yang akibatnya banyak terjadi tindakan amoral, dan berkembangnya perilaku seksual menyimpang LGBT disebabkan tidak adanya komunikasi verbal yang baik dari orang tua kepada anak. Dengan demikian, komunikasi verbal bertujuan menciptakan keakraban melalui ucapan dan nasihat orang tua kepada anak. Jika komunikasi verbal ini diterapkan pada setiap keluarga, maka hal tersebut akan mencegah terjadinya perbuatan amoral dan penyimpangan seksual. Kedua, komunikasi fisik. Dalam komunikasi keluarga, maka diperlukan juga komunikasi fisik yang diberikan kepada orang tua dan anak. Bentuk komunikasi ini tercermin pada perilaku yang dicontohkan orang tua kepada anaknya yang secara sadar ataupun tidak mempengaruhi perilaku anak. Dengan demikian, orang tua dapat memberikan efek positif dan negatif pada perkembangan anak. Jika orang tua mencontohkan perilaku baik kepada anaknya sejak awal, maka akan tertanam karakter moral yang baik bagi anak sejak dini, sebab menurut (Didik Hermawan, 2002:49) meniru adalah tahap pertama perkembangan anak. Sehingga anak tidak mencari figur di luar rumah yang bisa jadi menjerumuskan mereka ke dalam perilaku tak bermoral atau bahkan tergabung dalam komunitas LGBT. Ketiga, komunikasi fikiran. Komunikasi ini terjalin jika komunikasi verbal dan fisik telah terjalin dari orang tua kepada anak. Dalam hal ini, doktrin agama Islam sangat dibutuhkan agar tertanam pada anak iman yang kuat sehingga Pelangi Cinta di Langit LGBT 163 segala hal yang mengikis keimanan secara otomatis tertolak. Hal ini diperkuat oleh (Bamuallim & Latief, 2018: 32) keluarga adalah pondasi awal pendidikan agama, seorang anak mendapatkan sentuhan pertama kali di keluarga. Dalam praktiknya, komunikasi verbal, fisik dan fikiran memerlukan proses batin. (Mukhson dan Samsuri, 2013:45) proses batin secara tidak langsung akan menampakkan interaksi afeksi dan kognisi moral yang melahirkan perilaku moral. Dengan demikian, ketiga komunikasi ini sangat penting diterapkan bagi setiap keluarga. Selain itu, ada hal yang direkomendasikan oleh orang tua menurut (Ibrahim Amini, 2006:253). “Memahami anak, berbicaralah dengan bahasa yang mereka pahami, jalinlah pondasi hubungan internal yang kukuh, tunjukkan sikap positif terhadap anak baik lewat lisan atau perbuatan. Tunjukkan sikap respek kepadanya, jangan membeberkan kekurangan- kekurangannya, jangan langsung memvonis kesalahan mereka, perlakukanlah mereka dengan penuh simpati dan cinta”. Dengan demikian, dari Alquran surat an-Nisa’ ayat 9 tadi maka dapat dijelaskan bahwa kata lemah pada ayat tersebut tidak hanya kekhawatiran kurang harta benda saja, melainkan juga kata lemah ini merujuk pada terjerumusnya anak-anak dan keturunan ke perilaku menyimpang LGBT. Selain itu, kata dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar menuntut orang tua untuk memberikan ilmu pendidikan, karakter dan moral yang baik demi bekal keberlangsungan hidup melalui komunikasi-komunikasi dalam keluarga. Sehingga, jika hal ini diterapkan oleh setiap orang tua maka dapat dipastikan kaum LGBT semakin tak akan menunjukkan eksistensinya sebab hal ini sudah tertanam dari setiap orang tua dan anak bahwa hal tersebut (perilaku LGBT) merupakan perbuatan seksual menyimpang berlawanan dengan nilai agama, norma dan negara. Pada akhirnya, demi menciptakan sistem pencegahan perilaku LGBT secara alamiah (natural) maka hal utama yang harus dilakukan adalah melalui komunikasi dalam keluarga. Dalam keluarga diperlukan komunikasi (interaksi) yang baik antara orang tua dan anak baik komunikasi verbal, fisik maupun komunikasi fikiran guna mencetak generasi Qur’ani yang terhindar dari perilaku negatif terutama perilaku amoral dan perilaku seksual menyimpang yang dampaknya terasa di masyarakat.

Penutup Benang kusut terjadinya penyimpangan seksual (LGBT) ini menjadi kerapuhan negara itu sendiri. Eksistensi kaum LGBT walaupun dilawan dengan kekuatan hukum dengan menetapkan UU dan peraturan daerah, tetap saja kaum ini punya jawaban pamungkas yakni hal ini adalah Hak Asasi Manusia (HAM). 164 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Sehingga, perlu penguatan keluarga (sebagai basis masyarakat) yang kemudian didukung oleh kekuatan hukum untuk mengcounternya. Dalam Alquran surat an-Nisa’ ayat 9 dijelaskan, kata lemah maksudnya, jangan meninggalkan keturunan dalam kondisi yang terlantar, papa tiada daya (tak berharta). Namun, kata lemah juga diartikan jangan sampai meninggalkan keturunan dalam keadaan terlantar. Maksudnya, terlantar karna tidak punya bekal moral dari orang tuanya sehingga anak terjerumus ke dalam perilaku LGBT. Pada akhir ayat, dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar tidak hanya dipahami sebagai peringatan kepada orang tua untuk menyedekahkan harta benda kepada anaknya saja, melainkan juga sebagai bentuk peringatan (pengajaran) kepada orang tua agar menyedekahkan ilmu, mendidik (menanamkan nilai yang baik dan benar) kepada anak-anak dan keturunannya sehingga mereka tidak ditinggalkan orang tuanya dalam kondisi lemah moral yang bisa terjerumus pada perilaku keji LGBT. Dengan demikian, dalam rangka mengurai benang kusut yang terjadi di Banten ini, perlu dibangun pendidikan moral dalam keluarga masyarakat Banten maka dengan otomatis atau dengan sendirinya (natural) keluarga sebagai unit terkecil masyarakat dapat mengcounter perilaku LGBT dengan menerapkan sistem komunikasi verbal, fisik dan komunikasi fikiran untuk menanamkan moral yang baik dan benar kepada anak. Komunikasi verbal, meliputi apa saja yang orang tua ucapkan kepada anak, perhatian orang tua dalam bentuk ucapan, dan nasihat-nasihat moral lainnya. Sedangkan, komunikasi fisik dilakukan dengan bagaimana perilaku fisik orang tua mencontohkan hal yang baik untuk anaknya. Terakhir, komunikasi fikiran, hal ini dapat diberikan orang tua melalui ajaran-ajaran agama yang ditanamkan kepada anak-anak sehingga tidak terjerumus pada perilaku menyimpang. Oleh karena itu, karakter moral yang dilakukan dengan komunikasi di keluarga menjadi solusi yang responsif dalam pencegahan perilaku LGBT di provinsi Banten tercinta ini.

Pustaka Acuan: Buku: Ad-Dimasqi Al Imam Abu al Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 5. Terj. Bahrun Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006 Alquran dan Terjemahnya, Jakarta: Kemenag RI, 2010 Amini, Ibrahim, Agar Tak Salah Mendidik, Jakarta: Al-Huda, 2006 Bamualim, Latief, dkk, Kaum Muda Muslim Milenial cet. 1, Tangerang Selatan: Pusat Kajian Agama dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2018 Pelangi Cinta di Langit LGBT 165

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988 Hermawan, Didik, Suggestive Parenting, Membangun Komunikasi Positif Pada Anak Dengan Teknik Hypno-NLP, Jakarta, PT. Elex Media Komputindo, 2002 Enjang dan Tajiri, Etika Dakwah, Bandung: Widya Padjajaran, 2009 Faller, C, Kathleen, Child Sexual Abuse, terj Kristi Poerwandri, Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Press, 2014 Muchson dan Samsuri, Dasar-dasar Pendidikan Moral, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013 Musfah, Jejen, Indeks Alquran Praktis, Bandung: Mizan, 2001 Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram Dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2000 Santoso, Agus, Hukum, Moral, dan Keadaan, Jakarta: Kencana, 2012 Sudirman, Rahmat, Kontruksi Seksualitas Islam Dalam Wacana Sosial, Yogyakarta: Media Pressindo, 1999 Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Vol. 2, cet. VIII. Jakarta, Lentera Hati, 2007 Shihab, M. Quraish, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan, 1999 Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014 Solikhin, Ternyata Menikah Itu Asyik, Yogyakarta: Cakrawala, 2010 Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002 Wahlroos, Sven, Komunikasi Keluarga, Jakarta: Gunung Mulia, 1999 Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Malang: Gelora Asmara Pratama, 1987

Internet: WWW.BPSBanten.go.id WWW.KPABanten.go.id

Jurnal: Khadduri, Majid, “Marriage in Islamic Law: the Modernists Viewpoints” dalam The American Journal of Comparative Law no 26, 1978.

Revolusi Mental Sebagai Upaya Untuk Menata Kembali Moralitas Bangsa

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.16

Pendahuluan Hal pertama yang paling menarik dilakukan Presiden ke-7 Joko Widodo setelah dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia dan serah terima jabatan adalah melaqkukan video confrence dengan sejumlah masyarakat diberbagai daerah (delapan daerah). Dalam video confrence, Presiden menekankan perlunya revolusi mental dalam berbagai bidang kehidupan (E. Mulyasa, 2015, iii-iv). Munculnya gagasan revolusi mental ini dilandasi oleh kenyataan bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis moral dalam berbagai aspek, mulai dari aspek politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Adapun krisis moral yang dialami bangsa Indonesia saat ini antara lain, menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, berkembangnya kekerasan, praktik korupsi yang semakin meluas, penyalahgunaan narkoba, pornografi dan pornoaksi, dan lain- lain. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka penulis tertarik membuat makalah dengan judul “Revolusi Mental sebagai Upaya untuk Menata Kembali Moralitas Bangsa” .Adapun rumusan masalah yang dapat diambil adalah sebagai berikut: Bagaimana wawasan Alquran tentang

167 168 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran revolusi mental? Bagaimana moralitas bangsa Indonesia saat ini?, dan Bagaimana solusi Alquran untuk mengatasi masalah dekadensi moral bangsa?

Wawasan Alquran Tentang Revolusi Mental Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih untuh tentang definisi dan makna revolusi mental perspektif Alquran, maka terlebih dahulu dijelaskan pengertian revolusi mental secara umum. Revolusi mental terdiri dari dua kata, yaitu revolusi dan mental. Revolusi berarti perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang (KBBI, 2002, 954). Sedangkan kata mental berarti bathin, watak, atau karakter. Secara sederhana, revolusi mental adalah perubahan yang cukup mendasar dalam hal yang menyangkut bathin, watak, atau karakter dan bukan bersifat fisik atau tenaga. Dalam Alquran, secara khusus tidak ditemukan ayat yang berbicara tentang revolusi mental, akan tetapi banyak ayat Alquran yang berbicara tentang perubahan masyarakat seperti dalam firman Allah Q.S. Al-Anfal ayat 53:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang gtelah diberikan-Nya kepada suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah apa ayang ada pada diri mereka sendiri (Q.s. Al-Anfal : 53). Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah dikaruniakan kepada seseorang, melainkan karena dosa yang dilakukannya, seperti dalam firman-Nya Q.S. Ar-Ra’d ayat 11:

ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang mengubahnya (Q.S. Ar-Ra’d : 11). Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakuknya adalah Allah S.W.T., dan kedua, perub ahan keadaan diri manusia yang pelakunya adalah manusia. Agaknya, yang perlu mendapat pembahasan disini adalah pelaku kedua, yaitu manusia. Perlu ditekankan bahwa uraian Alquran tentang diri manusia disini bukannya bentuk lahiriahnya, tetapi kepribadiannya atau manusia dalam totalitasnya (Shihab, 1994, 246-247). Munzir Hitami (2009, 48-49) menjelaskan, ayat tersebut adalah bahwa Allah tidak akan mengubah sesuatu (nikmat) yang ada suatu kaum sehingga kaum itu mengubah sesuatu (mental, sikap) yang ada pada diri mereka. Revolusi Mental Sebagai Upaya Untuk Menata Kembali Moralitas Bangsa 169

Dari redaksi ayat tersebut yang menggunakan term qawm dan kata ganti plural (waw) pada kata kerja hatta yughayyiru dapat dijadikan isyarat bahwa yang ditekankan adalah keterlibatan manusia dalam perubahan pada tingkat komunitas kolektif.

Moralitas Bangsa Indonesia Saat Ini Moralitas bangsa sangat berperan dalam mencapai tujuan suatu bangsa. Di era globalisasi dewasa ini, kehidupan moral mendapatkan tantangan eksternal dan internal. Tantangan eksternal berupa banyaknya ideologi dan nilai-nilai sosial budaya dari luar yang dapat mempengaruhi kepribadian bangsa Indonesia. Tantangan internal berupa pudarnya nilai-nilai lama dan belum mapannya nilai-nilai baru. Situasi demikian membuat hilangnya pegangan hidup bersama atau sering disebut krisis moral. Dampak lebih jauh dari krisis moral ini adalah terjadinya krisis dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan politik (Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 73). Moral berarti concerned with principles of right and wrong behaviour, or standard of behaviour sesuatu yang menyangkut prinsip benar dan salah dari suatu perilaku dan menjadi standar perilaku manusia (Crowther, terj. Januri dan Alfan, 2011: 57). Dalam bahasa latin, moral berasal dari kata moralis (kata dasar mos, moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, cara dan tingkah laku (Januri dan Alfan, 2011: 57). Dalam bahasa arab, moral berasal dari kata khuluq, jamaknya adalah akhlaq yang berarti budi pekerti, pekerti bathin, tingkah laku (Hakim, 2004: 170). Dari berbagai definisi di atas, tampak jelas bahwa moral merupakan prinsip-prinsip dari suatu perilaku manusia yang kemudian dijadikan sebagai standarisasi baik-buruk, benar-salah, serta sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral (Januri dan Alfan, 2011: 57). Pertanyaannya, bagaimanakah moralitas bangsa Indonesia saat ini? Bangsa Indonesia yang notabene bangsa dengan penduduk musli terbesar di dunia yang seharusnya mencerminkan Islam sebagai pedoman dalam bertindak dan berperilaku, akan tetapi fakta yang terjadi dilapangan adalah sebaliknya. Indonesia kini sedang dilanda krisis moral dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial-budaya, keamanan, dan sebagainya. Hal itu nampak antara lain dalam gejala-gejala berikut: 170 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

1. Menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan Demi mencapai tujuan pribadi atau kelompok, para elite politik sering mengguna­ kan cara-cara yang bertentangan dengan moral. Akibatnya, kepentingan dan hak-hak orang banyak menjadi terabaikan. Hal ini ber­dampak pada kurangnya kepercayaan masyarakat kepada para pemimpinnya. Rakyat merasa hanya diperhatikan ketika dibutuhkan dalam pemilu, selebihnya rakyat merasa ditinggalkan (Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 76). Rakyat merasa muak dengan olah para elite politik yang dalam banyak hal mengatasnamakan rakyat, padahal sesungguhnya demi kepentingan pribadi dan golongan.

2. Berkembangnya kekerasan Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia cenderung memamerkan kekerasan. Banyak permasalahan sosial diselesaikan dengan kekerasan dan perkelahian. Perkelahian antar kelompok masyarakat, antar aparat keamanan, antar masyarakat dan penegaqk hukum sering terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Bangsa indonesia yang semula dikenal ramah dan santun, sejak reformasi cenderung menjadi beringas, kasar daan keras. Semuanya itu menunjukkan bahwa nilai musyawarah yang diwariskan nenek moyang bangsa Indonesia seolah-olah tidak berlaku lagi. Budaya kekerasan disertai pengrusakan telah menggantikan budaya musayawarah dalam menyelesaikan suatu masalah. Tindakan kekerasan dan pengrusakan yang mengatasnamakan agamapun akhir- akhir ini sedang terjadi (Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 76-77).

3. Korupsi yang semakin meluas Baru-baru ini, Political and Economic Rich Consultancy, sebuah lembaga penelitian yang bermarkas di Hongkong, dan Transparancy Global Index, sebuah lembaga penelitian yang beralamat di Jerman melaporkan, bahwa Indonesia merupakan negara terkorup pertama di Asia dan negara terkorup ketiga di dunia. Kita perhatikan, praktik korupsi di Indonesia saat ini telah memasuki tahap yang sangat mengkhawatirkan, ia telah melanda seluruh lapisan pemerintahan, mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah. Demikian pula halnya pada semua lapisan masyarakat. Pendek kata, praktik korupsi telah mensistem di negeri ini, telah mengakar, bahkan dengan meminjam istilah Bill Dalton, pengarang buku Indonesia Hand Book yang dilarang beredar di Indonesia, bahwa korupsi telah menjadi cara hidup sehari-hari. Semua institusi, termasuk lembaga yang dibentuk untuk memberantas korupsi seperti Badasn Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantassan Korupsi (KPK) juga melakukan praktik korupsi (Herdiansyah dan Syarbini 2016: 51). Revolusi Mental Sebagai Upaya Untuk Menata Kembali Moralitas Bangsa 171

4. Penyalahgunaan narkoba Kini, ditengah-tengah masyarakat kita, penyalahgunaan narkoba merupakan salah satu bentuk dekadensi moral yang sedang mewabah dan menggejala. Badan Narkotika Nasional (BNN) melaporkan, dulu Indonesia merupakan distribution zone, daerah penyebaran narkoba. Namun kini, Indonesia merupakan production zone, daerah pembuat narkoba. Sehingga 3,8 juta lebih penduduk Indonesia terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Dan yang lebih memprihatinkan ternyata pemakai narkoba tersebut 80% adalah generasi muda (Herdiansyah dan Syarbini, 2016: 45).

5. Pornografi dan pornoaksi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), pornografi adalah segala bentuk tulisan atau gambar yang sengaja dirancang untuk merangsang gairah seksual seseorang. Sedangkan pornoaksi adalah segala bentuk gerak atau aksi yang dilakukan oleh seseorang, baik laki-laki atau perempuan dan bisa membangkitkan birahi seksual manusia . Melihat pengertian tersebut, muncul pertanyaan, bagaimanakah praktik pornografi dan pornoaksi di Indonesia? Secara jujur, kita tidak mungkin menutup mata, bahwa saat ini marak dan merebak bentuk-bentuk pornografi dan pornoaksi ditengah-tengah masyarakat. Kita saksikan, tidak sedikit iklan- iklan yang menawrkan keindahan tubuh perempuan, tidak sedikit majalah- majalah yang mengeksploitasi kemolekan tubuh wanita, tidak sedikit VCD- VCD dan situs-situs porno buatan Indonesia (Herdeiansyah dan Syarbini, 2016: 9). Sarlito Wirawan, guru besar psikologi Universitas Indonesia, dengan jujur melaporkan hasil penelitiannya tentang kejahatan seksual para remaja, pelajar dan mahasiswa di kota-kota besar, ternyata dari 1.000 responden hasilnya adalah 67% pernah berpacaran, 62% pernah berpelukan, 54% pernah berciuman, 38% pernah raba-rabaan, 20,05% pernah berhubungan badan, bahkan 9,56% pernah menggugurkan kandungan (Herdiansyah dan Syarbini, 2016: 15).

Upaya-upaya Mengatasi Masalah Dekadensi Moral Krisis moral bangsa Indonesia tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Bangsa indonesia harus bangkit memperbaiki diri guna mencapai tujuannya. Alquran dapat menjadi pedoman dalam menegakkan nilai-nilai moral bangsa. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki moral bangsa antara lain: 172 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

1. Membiasakan perilaku mengedepankan kepentingan orang lain Mengedepankan kepentingan orang lain dalam Islam disebut itsar. Perilaku ini merupakan ajaran Islam yang paling mulia. Rasulullah bersabda: “Tidaklah beriman seseorang diantaramu, hingga ia mencintai sudaranya, seprti ia mencintai dirinya sendiri”. Perilaku mengedepankan kepentingan orang lain juga disinggung dalam firman Allah yang menceritakan kepedulian dan kasih sayang kaum anshor terhadap kaum muhajirin. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Hasyr ayat 9:

ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ Dan orang-orang (Anshor) yang telah menempati mota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (muhajirin), dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Al-Hasyr : 9). Ayat ini menurut penafsiran Al-Maraghi, bahwa kaum Anshor men­ cintai orang-orang Muhajirin dan menginginkan kebaikan untuk orang-orang Muhajirin itu sebagaimana halnya mereka menginginkan kebaikan untuk diri mereka sendiri. Mereka tidak menginginkan sedikitpun dari harta fa’i (rampasan perang) dan lain-lain yang diberikan kepada orang-orang Muhajirin. Mereka mendahulukan orang-orang yang membutuhkan di atas diri mereka sendiri dan memulai dengan orang lain sebelum diri mereka sendiri (Al-Maraghi, terj. Bahrun, dkk, 1993: 67-68).

2. Keteladanan pemimpin Mengingat bangsa Indonesia masih bersifat paternalistik, maka keteladanan para pemimpin sangat dibutuhkan. Upaya perbaikan moral harus dimulai para pemimpin, baik pemimpin formal (pemimpin negara) maun informal (tokoh masyarakat dan pemuka agama). Para pemimpin dituntuk untuk memiliki integritas moral yang tinggi. Hal itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Integritas moral tersebut berkaitan dengan kepercayaan masyarakat kepada mereka yang memimpin (Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 79). Apabila para pemimpin itu rusak, maka rusaklah umat atau bangsa itu, dan jika mereka baik maka umat dan bangsa itu baik juga (Al-Ghalayain, terj. An-Nadwi, 2010: 151). Revolusi Mental Sebagai Upaya Untuk Menata Kembali Moralitas Bangsa 173

Rasulullah merupakan figur pemimpin yang harus diteladani, karena dalam diri beliau terdapat uswatun hasanah (suri tauladan yang baik). Allah berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 21:

ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”. (Q.S. Al-Ahzab : 21). Ayat tersebut, menurut penafsiran Imam Ali Ash-Shabuny dalam kitab Showatut Tafaasir adalah, bahwa Rasulullah merupakan figur yang luhur yang wajib kita ikuti seluruh perbuatan dan perkataannya. Sedangkan makna uswatun hasanah menurut Al-Maraghi adalah, bahwa Rasulullah merupakan contoh terbaik dalam semua perkataan, perbuatan dan seluruh aspek kehidupannya (Herdiansyah dan Syarbini, 2016: 20-21). Sejalan dan sejalin dengan maksud ayat tersebut, Siti Aisyah ketika ditanya bagaimana gambaran akhlak Rasulullah, beliau menjawab, “akhlak Rasulullah adalah ibarat Alquran” (Ibnu Katsir, terj. Bahreisy, 1993: 180).

3. Pemahaman dan penghayatan agama dengan benar Tidak bisa disangkal, agama berkorelasi erat dengan moral. Setiap agama mengandung ajaran moral yang dijadikan pegangan bagi para penganutnya. Pada umumnya, kehidupan beragama yang baik akan menghasilkan kehidupan moral yang baik pula. Meskipun moralitas tidak selalu berhubungan dengan agama, merosotnya moralitas bangsa bisa dilihat sebagai rendahnya penghayatan dan pemahaman agama di Indonesia (Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 81). Ayat Alquran yang berbicara tentang perlunya pemahaman dan peng­ hayatan agama dengan benar adalah Q.S. Luqman ayat 17:

ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (Q.S. Luqman: 17). Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan, bahwa ayat tersebut merupakan inti ajaran Luqmanul Hakim yang ditanamkan kepada anaknya sebegai generasi penerus. Lalu, bagaimana konketstualisasi ayat tersebut jika kita kaitkan dengan upaya menata kembali moralitas bangsa? Ayat tersebut 174 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran mendeskripsikan bahwa untuk menata kembali moralitas bangsa, hal yang harus dilakukan adalah menanamkan pendidikan agama kepada anak-anak, remaja dan pemuda sejak dini. Karena kita ketahui, bukankan dengan pemahaman agama yang mendalam generasi muda akan memiliki moralitas yang baik (Herdiansyah dan Syarbini, 2016: 47-48).

4. Pendidikan moral dan budi pekerti Pendidikan nasional Indonesia dewasa ini menerapkan pola link and match. Dengan sistem ini, para siswa diharapkan dapat menguasai teknologi dan langsung bisa menerapkannya dalam dunia kerja. Namun, padatnya mata pelajaran dan adanya ujian nasional, sekolah terasa bagaikan mesin pencetak lulusan. Proses mendidik manusia menjadi manusia (humanisasi) sering terabaikan. Nilai-nilai budi pekerti dan moralitas tidak diberi tempat lagi disekolah (Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 81). Oleh karena itu, mengingat betapa pentingnya moralitas dalam mem­ bangun bangsa, maka perlunya menjadikan pendidikan moral dan budi pekerti sebagai kurikulum nasional dan menjadi pelajaran wajib di sekolah.

Penutup Revolusi mental merupakan sebuah perubahan dalam bidang menyangkut batin, watak atau kepribadian dan bukan bersifat fisik atau tenaga. Muncul­nya gagasan revolusi mental ini karena melihat bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis moral dalam berbagai aspek kehidupan, mulai aspek ekonomi, politik, sosial-budaya, keamanan, dan sebagainya. Oleh karena itulah, Islam datang dengan membawa sebuah solusi untuk menata moralitas bangsa Indonesia. Adapaun solusi yang ditawarkan Islam antara lain, membiasakan perilaku mengedepankan kepentingan orang lain, keteladanan pemimpin, pemahaman dan penghayatan agama dengan benar serta menjadikan pendidikan moral dan budi pekerti sebagai kurikulum nasional dan mata pelajaran wajib di sekolah. Dengan demikian, jika hal-hal tersebut diaplikasikan, maka moralitas bangsa Indonesia akan membaik. Jika moralitas bangsanya baik, maka bangsa Indonesia akan mampu menjadi bangsa yang unggul dan berkarakter serta menjadi bangsa yang baldatun, thoyyibatun, warobbun ghofuur, bangsa yang aman, nyaman, tentram, damai dan sejahtera dibawah naungan Allah S.W.T.. Aamiin. Revolusi Mental Sebagai Upaya Untuk Menata Kembali Moralitas Bangsa 175

Pustaka Acuan: Alquran dan Terjemahannya Abu Alfida Ibnu Katsir. 1994.Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8. Terjemahan oleh Salim Bahreisy dan Said Bahreisy. Surabaya: Bina Ilmu. Ahmad Musthafa Al-Maraghi. 1974. Tafsir Al-Maraghi Juz 28. Terjemahan oleh Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly dan K. Anshori Umar Sitanggal. Semarang: CV. Toha Putra. Dindin Herdiansyah dan Amirullah Syarbini. 2016. Panduan dan Contoh-contoh Musabaqah Syarh Alquran. Serang: LPTQ Provinsi Banten. E. Mulyasa. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Gunawan Sumodiningrat dan Ari Wulandari. 2015. Revolusi Mental Pembentukan Karakter Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo. Muhammad Quraish Shihab. 1994. Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. Muhammad Fauzan Januri dan Muhammad Alfan. 2011. Dialog Pemikiran Timur-Barat. Bandung: Pustaka Setia. Musthafa Al-Ghalayain. Idhotun Nasyi’in. Terjemahan oleh Fadlil Said An- Nadwi. Surabaya: Al-Hidayah. Taufiqul Hakim. 2004.Kamus At-Taufiq. Jepara: Pondok Pesantren Daar al- Falah. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Revolusi Mental Berwawasan Ekologis: Upaya Mengatasi Permasalahan Lingkungan

Penulis: Ahmad Hamdani

Pendahuluan Begitu banyak permasalahan di negeri ini yang bersumber dari buruknya mental. Diskursus seputar revolusi mental pun telah menjadi perbincangan yang menyita perhatian banyak kalangan. Menurut Juwaini (2014: 173-174), hal ini disebabkan oleh dilema kerja saat ini yang berkembang semakin kompleks, bukan hanya seputar proses manajemen dan teknologi produksi serta perluasan pasar, tetapi juga tentang karisma moral dan kekuatan spiritual. Menariknya kondisi ini berlaku pada semua sektor kehidupan, termasuk isu-isu lingkungan. Lingkunagn (environment), merupakan salah satu isu penting yang dihadapi manusia sejak awal kehidupannya hingga menjadi isu global saat ini. Seperti terlihat pada Resolusi Stockholm tahun 1972, dimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk badan yang khusus membidangi permasalahan lingkungan bernama United Nations Environmental Programs (UNEP). Akan tetapi menurut Saifullah (2007: 1), satu setengah daSaw.arsa setalah dicetuskannya resolusi tersebut, Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB dalam laporannya yang bertajuk Common Future, mengidentifikasi sejumlah gejala yang mengancam eksistensi bumi. Di antara yang sangat mengkhawatirkan adalah, rusaknya lapisan

177 178 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran ozon, pemanasan global, hujan asam, dan pencemaran air laut oleh bahan berbahya dan beracun (B3). Bahkan, di Indonesia dewasa ini permasalahan lingkungan tetap saja mengemuka. Berdasarkan data Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), disebutkan bahwa Indonesia terus mengalami peningkatan pencemaran udara, penurunan kualitas air, masalah hutan dan lahan, hingga ancaman punahnya keanekaragaman hayati (Restra KLHK, 2015: 4-5). Pelbagai gejala tersebut kemudian menderivat menjadi bencana nasional, seperti pada tahun 2017 terjadi banjir Sumbawa dan Jakarta, kekeringan di Pulau Jawa, gempa bumi di Tasikmalaya dan Banten, kebakaran hutan di Riau, hingga deforestasi dan degradasi hutan yang selalu terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Seolah tidak berkesudahan, berdasarkan informasi dalam situs www.nasional.kompas.com, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 2.271 bencana yang terjadi di Indonesia sejak awal hingga akhir tahun 2017. Banyaknya permasalahan lingkungan yang terjadi secara dominan dan signifikan tersebut, apabila dilihat secara seksama, sebenarnya berakar pada perilaku eksploitatif dan konsumtif manusia yang berparadigma antroposentris dengan menempatkan manusia sebagai centre of the universe. Manusia semakin terobsesi mengejar kepuasan material, tetapi mengorbankan lingkungan. Bahkan demi mengejar kepentingan tersebut, terkadang seseorang tidak lagi merasakan beban moral dan mengabaikan etika lingkungan. Disinilah pentingnya revolusi mental berwawasan ekologis diletekan dalam sendi-sendi kehidupan. Hal ini sesuai dengan semangat ajaran Islam, bahwa umatnya perlu merestorasi diri dengan semangat menjaga alam sepanjang hayat, sebagaimana termaktub dalam Q.s. Al-A’raf [7]: 56-58. Tulisan ini akan memaparkan revolusi mental berwawasan ekologis sebagai upaya mengatasi permasalahan lingkungan, dengan mengajukan beberapa pertanyaan, yaitu: Bagaimanakah Alquran memandang per­masalahan lingkungan? Bagaimanakah konsep revolusi mental berwawasan ekologis? Selanjutnya, bagaimanakah cara membumikan revolusi mental berwawasan ekologis? Ketiga pertanyaan tersebut akan memberikan jawaban terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi, dengan harapan akan ter­cipta pemahaman yang bijak untuk merevolusi mental agar bumi tetap lestari. Semoga tulisan ini bisa menjadi ‘oase’ dalam meneguhkan diri menjaga lingkungan.

Telaah Permasalahan Lingkungan Perspektif Alquran Bahaya terbesar bagi umat manusia di masa depan adalah rusaknya lingkungan hidup yang sangat cepat. Peringatan ini menunjukan tentang gagalnya upaya Revolusi Mental Berwawasan Ekologis 179 konservasi alam dalam mengimbangi cepatnya gerakan eksploitasi sumberdaya alam yang didudukung oleh pelbagai peralatan mutakhir hasil rekayasa ilmu dan teknologi modern (Zuhdi, 2012: 147). Peringatan ini juga mengajak manusia untuk sejenak merenungkan pengaruh kehidupan bagi alam. Sejak 1950-an masalah lingkungan mendapat perhatian serius, tidak saja dari kalangan ilmuan, tetapi juga politisi dan masyarakat umum (Saifullah, 2007: 1). Selain itu, pada tahun 2009 tokoh-tokoh agama di dunia berkomitmen mengadakan aksi masing-masing institusi dan umat beragama dalam menanggulangi masalah lingkungan (Fachruddin, 2007: 1). Numun, perbincangan tentang masalah lingkungan seolah tidak ada hentinya. Bumi semakin panas. Ini bukan judul film, tetapi gejala nyata yang dirasakan dunia saat ini. Suhu rata-rata udara di permukaan bumi yang pada abad lalu meningkat 0,750C, dalam 50 tahun terakhir ini naiknya berlipat ganda. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) PPB, memproyeksikan bahwa tahun 2100 suhu rata-rata dunia cenderung meningkat dari 1,80C manjadi 40C—dan skenario terburuk bisa mencapai 6,40C—. (Said, 2011: 2). Padahal menurut Takdir (2014: 3-6), terjadinya permasalahan lingkungan ini akan memberikan dampak serius, seperti timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami (nature’s system). Uraian di atas menjelasakan bahwa banyaknya bencana alam yang terjadi tidak hanya kerana takdir ilahi, tetapi lebih banyak disebabkan hukum kesimbangan alam yang tidak terjaga. Senada dengan ungkapan Arif, bahwa krisis lingkungan yang terjadi saat ini bersumber pada kesalahan fundamentalis- filosofis pada cara pandang manusia terhadap dirinya dan alam (2010: 262). Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍ Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Q.s. Al-Rum [30]: 41) (Mushaf Al-Bantani, 2014: 408). Ayat di atas dalam Tafsir Al-Maraghi dijelaskan, bahwa orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah S.w.t. merupakan penyebab kerusakan, sebagaimana termaktub dalam Q.s. Al-Anbiya ayat 22. “Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa”. Ayat di atas juga menginformasikan, bahwa manusia telah melanggar larangan-larangan Allah 180 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

S.w.t. sehingga tersebarlah di antara mereka kezaliman, ketamakan, termasuk di dalamnya orang-orang kuat mengambil harta orang-orang lemah. Maka kemudian Allah S.w.t. menimpakan kepada manusia azab. (Al-Maraghi, 1946: 54). Selain itu, Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan ayat di atas dengan ungkapan, bahwa munculnya kekacauan, penyimpangan di setiap penjuru alam, banyak kerusakan, sedikit manfaat, kurang tumbuhan, sedikit hujan, kekeringan dan paceklik, disebabkan karena manusia dan dosa mereka. Allah S.w.t. menjadikan itu semua sebagai balasan sebagaian perbuatan dan perilaku manusia atas kemaksiatan dan dosa-dosa. (Zuhaili, 2006: 108). Pernyataan tersebut senada dengan ungkapan dalam Tafsir Ibnu Katsir, bahwa permasalahan lingkungan di bumi disebabkan oleh kemaksiatan. (Abdullah, 2008: 380). Sebenarnya Allah S.w.t. telah memberikan peringatan untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Peringatan ini dipertegas melalui firman Allah S.w.t. berikut:

ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setalah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguh­nya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan (Q.s. Al-a’raf [7]: 56) (Mushaf Al-Bantani, 2014: 157). M. Quraish Shihab (2007: 123), menjelasakan bahwa ayat di atas melarang perusakan bumi karena merupakan bentuk pelampauan batas. Oleh karena itu, ayat di atas melanjutkan tunutuan ayat yang lalu dengan menyatakan, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut sehingga kamu lebih khusyuk”. Sesungguhnya rahmat Allah S.w.t. sangat dekat kepada al-muhsinin, yakni orang- orang yang berbuat baik.

Berdasarkan pemaparan dua ayat di atas, dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa kerusakan alam, krisis ekologis, dan adanya pelbagai bencana, secara langsung atau tidak dan secara spontan atau dalam rentang waktu tertentu, disebabkan oleh perbuatan manusia itu sendiri. Permasalahan lingkungan yang disebabkan tingkah laku manusia tidak sebatas yang diutarakan di dalam Alquran, tetapi juga yang tengah terjadi sekarang ini adalah akibat kesalahan manusia dalam menanggapi persoalan ekologisnya. Secara spesifik Chiras (1991: 454-460), mengklasifikasikan faktor perusak lingkungan yang Revolusi Mental Berwawasan Ekologis 181 berasal dari manusia menjadi empat, yakni: perilaku manusia bermentalitas frontier, kesulitan teknologi (tecnologcal fix), pandangan-pandangan pribadi yang bersifat subjektif, dan masyarakat bersinergi rendah. Mentalitas frontier ditunjukan oleh sifat-sifat berikut: skin-encaplusated ego, cavalier attitude, derived self, biological imperialism, dll. Kesulitan teknologi yang dimaksud di sini adalah kesulitan dalam memperoleh bahan atau teknik tertentu yang ramah lingkungan. Pandangan-pandangan pribadi yang subjektif meliputi: apatis, mementingkan diri sendiri, dan perasaan kurang berarti. Sedangkan masyarakat bersinergi rendah adalah kurangnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam upaya pengelolaan lingkungan. Alam raya telah diciptakan Allah S.w.t. dalam keadaan yang sangat harmonis, serasi, dan memenuhi kebutuhan makhluk-Nya. Sehingga, sudah selayaknya menjaga lingkungan mendapatkan porsi besar dalam sistem kehidupan manusia. Sebab, manusia dikaruniai kesempurnaan berpikir dan memiliki perasaann yang dapat dikendalikan, berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia dipilih untuk mengemban tugas merawat alam. Oleh keran itu, mental-mental perusak lingkungan tidak semestinya ada. Apalagi bagi Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbanyak di dunia. Umat Islam memiliki modal untuk menjadi pioner kemajuan karakter dan ketinggian peradaban dunia. Hal ini karena umat Islam kental akan nilai-nilai spiritual, tidak saja untuk merevolusi mental, tetapi juga untuk mewujudkan kembali status sebagai Khairu Ummah (Umat Terbaik), sebagaimana termaktub dalam Q.s. Ali Imran [3]: 110.

Revolusi Mental Berwawasan Ekologis: Sebuah Paradigma Istilah revolusi mental merupakan gabungan dari kata revolusi dan mental. Istilah ini booming semenjak kampanye Joko Widodo dan Yusuf Kalla sebagai calon presiden dan wakil presiden. Kemudian revolusi mental ini menjadi agenda kabinet kerja pada pemerintahan mereka. Joko Widodo mengungkapkan: Reformasi yang dilaksanakan di Indonesai sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998, baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum neyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita proklamasi Indonesia yang merdeka, adil dan makmur, Indonesia perlu melakukan revolusi mental. (Darimis, 2015: 49). Munculnya gagasan revolusi mental ini didasarin oleh kenyataan bahwa bangsa Indonesia belum mampu menjadi bangsa yang unggul dan berkarater. Pelbagai kebiasaan yang tumbuh subur sejak zaman pra-kolonial hingga pasca- kolonial masih berlangsung hingga kini, mulai dari korupsi, toleransi, ingin 182 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran menang sendiri, sifat oportunis, dan mengabaikan keserasian dengan lingkungan. (Semiarto, 2015: v). Revolusi mental berasal dari kata “revolusi” dan “mental”. Kata “revolusi” dapat diartikan sebagai pembinaan ketatanegaraan (pemerintah atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata), atau bisa juga berarti perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang. (Hasan, 2014: 954). Adapun kata “mental” mengandung arti yang menyangkut batin, watak, yang bukan bersifat fisik dan tenaga. (Hasan, 2014: 942). Menurut Seto, revolusi mental adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat dan negara yang berhubungan dengan pola pikir (mindset), sikap, dan kebaikan (akhlak) dalam tempo singkat. (2016: 174). Revolusi mental menurut Agustius Daniel adalah “mental revolution is basicly ‘back to God’ movement, turned back and rely on God to change the old person in us to new person. So, revolution the real power that will transformation each of us into a new person is not from our own efforts and strength, but from the power and grace of God”. (2014: 81). Secara sederhana, maksud dari ungkapan ini adalah bahwa revolusi mental di sini adalah ‘kembali kepada Allah S.w.t.’ yang bertujuan untuk membangun peradaban baru yang lebih baik. Secara sederhana, dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa revolusi mental merupakan sebuah gerakan ke dalam, untuk memperbaiki sikap diri sebagai individu dan mengevaluasi sistem yang rusak. Hakikat revolusi mental adalah proses kembali kepada Allah S.w.t. dan hidup sesuai petunjuk Allah S.w.t. Hal ini telah dicontohkan oleh Muhammad Saw.. melalui sifat-sifatnya yang terakumulasi dalam akhlakul karimah. Alquran telah menggambarkan ini dalam Q.s. Al-Qalam [68]: 4, yang artinya “Dan sesungguhnya kamu benar- benar berbudi pekerti yang agung”. Menurut M. Quraish Shihab, dalam rangkaian ayat Alquran sesungguh­ nya tidak ditemukan sebuah terma yang sepadan dengan revolusi mental. Namun demikian, ada beberapa ayat Alquran yang menggunakan terma yang seakar katanya. Misalnya dalam Q.s. Al-Baqarah [2]: 71, Q.s. Al-Rum [30]: 9, Q.s. Fathir [35]: 9, dan Q.s. Al-‘Adiyat [100]: 4. Lebih jauh, pada tataran nilai Alquran secara jelas telah membawa gagasan-gagasan revolusi, baik revolusi mental- spiritual maupun revolusi sosial. Bahkan, sejak awal Alquran memperkenalkan dirinya sebagai kitab suci yang fungsi utamanya mendorong lahirnya perubahan- perubahan positif dalam masyarakat. (Saifuddin, 2016: 58-59). Secara sederhana, apiknya konsep revolusi mental jika dipadukan dengan wawasan ekologis dapat menjadi sebuah solusi nyata dalam me­ngatasi permasalahan lingkungan saat ini. Keterpaduan ini senada dengan peran dasar Revolusi Mental Berwawasan Ekologis 183 manusia sebagai khalifah di bumi. Sebagaimana dalam Tafsir Alquran Tematik disebutkan, bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang didelegasikan Allah S.w.t. bukan hanya sekadar penguasa di bumi, tetapi juga peranannya untuk memakmurkan bumi. Selain itu, digulirkannyan revolusi mental berwawasan ekologis merupakan perwujudan dari semangat menjaga lingkungan agar bisa diwariskan kepada generasi mendatang. Hal ini senada dengan kaidah ushul fiqh berikut ini: Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan. (Sugianto, 2014: 9). Islam memiliki misi universal yaitu memberikan rahmat untuk semesta alam (rahmatan li al-‘alamin) (Q.s. Al-Anbiya [21]: 107). Oleh karena itu, Islam memberikan pandangan sistematis tentang Tuhan, manusia, dan alam. Tema pokok Alquran (major theme of the Quran) berkisar pada tiga persoalan itu dengan segala dialektika hubungan antara ketiganya (Rahmat dalm Fajar, 2008: 180). Dengan demikian, tidak salah jika dikatakan bahwa Islam mengandung kerangka dasar etika ekologi yang relevan. Persoalannya kini terletak pada seberapa jauh kreativitas intelektual umat Islam dalam mengelaborasi lebih dalam dan serius suatu kajian etik yang universal, serta memadukannya dalam persoalan yang lebih operasional agar pesan Islam tidak terhenti di langit yang suci. Ekologis sendiri berasal dari kata ekologi. Menurut Molles, ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan lingkungannya. (2016: 11). Makna ekologis di sini adalah sebuah gerakan yang menyoroti tentang hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Konsep lingkungan (ecologies) dalam kajian ilmu ekologi pada litelatur agama Islam diperkenalkan dalam Alquran dengan beragam istilah, seperti al-‘alamin dan ardun. Akan tetapi, dalam tulisan ini hanya dikaji tentang istilah yang terakhir saja, yaitu terma ardun yang bermakna bumi dimana terdiri dari darat dan laut. Kata ardun memiliki duan variasi makna; pertama, bermakna lingkungan yang sudah ada di planet bumi. Kedua, bermakna lingkungan yang masih mengalami proses penciptaan dan kejadian di planet bumi. (Fajar, 2008: 181). Berdasarkan dua makna ini, yang perlu dicermati lebih lanjut adalah, kata ardun yang berkonotasi bumi sebagai lingkungan yang sudah jadi. Hal ini untuk memudahkan mempertegas perumusan konsep lingkungan bumi dalam ekologi. Contoh ayat ekologis yang menggunakan kata ardun dengan pelbagai konotasinya dalam Alquran. Salah satu contohnya adalah ayat Alquran yang berkonotasi daur ulang dalam ekosistem bumi. Allah S.w.t. berfirman: 184 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ …dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh- tumbuhan yang indah. (Q.s. Al-Hajj; [22]: 5). (Mushaf Al-Bantani, 2014: 332). Berdasarkan makna semantik kata ardun dalam ayat Alquran di atas, terdapat indikasi kuat bahwa kata ardun tersebut dalam Alquran dijadikan sebagai salah satu terma guna memperkenalkan istilah lingkungan dalam disiplin ilmu ekologi. Ayat di atas juga memeberikan pesan, bahwa tidak ada satu pun di muka bumi ini yang berdiri sendiri. Semuanya saling bergantung dan saling membutuhkan. Inilah letiak urgensi menjaga lingkungan agar bisa memberikan manfaat berkelanjutan. Ironisnya, penyempitan wacana lingkungan dalam ekologi terapan dewasa ini melahirkan suatu kenyataan, bahwa titik fokus kajian permasalahan­ lingkungan selalu didasarkan pada keuntungan bagi kepentingan manusia, bukan keuntungan bagi lingkungan itu sendiri, atau keuntungan pahala yang didapat dari Tuhan. Akibatnya, permasalahan lingkungan ditelantarkan, diacuhkan, bahkan dikesampingkan. Sehingga, ekologi akan memunculkan wajah arogan, bukan ekologi santun yang untuh dan menjunjung nilai-nilai humanis. Kondisi ini menjadi pemicu terjadinya pelbagai permasalahan lingkungan di bumi tercinta. Pondasi yang harus dipersiapkan dalam revolusi mental adalah ajaran agama Allah S.w.t. secara utuh, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Ketiga asas tersebut merupakan integrasi ajaran Islam yang meliputi kelimuan syariat, adab, kelembutan, ibadah zahiriyah dan ibadah batiniyah. (Ajat, 2018: 6-7). Pondasi selanjutnya dalam mewujudkan revolusi mental yang bernilai ialah, perubahan ke dalam jiwa individu pada beberapa dimensi: pertama, perubahan fitrah fisik disebutfitrah jismiyah (jasadiyah); kedua,perubahan fitrah psikis fitrah( ruhaniyah), dan; ketiga, perubahan fitrah psikofisik (fitrah nafsaniyah), yang meliputi akal, qalb (hati), dan nafs. (Abdul, 1999: 39). Unsur-unsur inilah yang kemudian membentuk mental seseorang menjadi sebuah tindakan yang baik. Melalui revolusi mental inilah seharusnya pemerintah membangun ke­ pribadian bangsa. Sebagaimana Islam dengan totalitas ajarannya, menawarkan­ konsep pembinaan mental yang tidak sekadar membina perkara yang dainggap sepele, tetapi juga mengatur urusan yang berkenaan dengan manusia terhadap tuhannya, dirinya, masyarakat sekitar, dan dengan lingkungannya. Revolusi mental berwawasan ekologis ini dimulai dari komponen inti manusia, yaitu akal, hati, dan jiwa. Ketika ketiga unsur ini baik maka baik pula kepribadian manusia, Revolusi Mental Berwawasan Ekologis 185 begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, pemahaman ini harus dibumikan agar lingkungan bisa diwariskan untuk generasi mendatang.

Menggagas Solusi: Membumikan Revolusi Mental Berwawasan Ekologis Revolusi mental berwawasan ekologis ini akan sia-sia jika berhenti hanya pada tataran konsep atau sekadar inspirasi dokumentasi. Sebab, revolusi mental berwawasan ekologis adalah gerakan nyata yang menjadi sumber kekuatan dalam menyikapi permasalahan lingkungan. Sehingga, untuk mengimplementasikan revolusi mental berwawasan ekologis, setidaknya ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Pertama, kontekstualisasi peran manusia sebagai khalifah. Pendekatan ini sangat mungkin dilakukan, mengingat bahwa Indonesia merupakan Negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Tafsir Alquran Tematik (2009: 11) menyebutkan, bahwa peran manusia sebagai khalifah sejatinya adalah makhluk yang didelegasikan untuk mekmurkan bumi. Kontekstualisasi peran manusia bisa dijadikan pijakan dalam memelihara lingkungan. Paradigma antroposentrik yang menempatkan manusia sebagai penguasa alam harus segera digeser, bahkan diubah sama sekali menuju paradigm yang menekankan manusia sebagai bagian dari alam. Kedua, Indonesia harus memiliki Environmental Data Base. Environmental Data Base adalah sebuah langkah menghimpun data-data yang berhubungan dengan kondisi lingkungan. Selain itu, Environmental Data Base merupakan modal dasar untuk memetakan kebijakan dalam mengatasi dan menyikapim isu- isu lingkungan. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan akan lebih me­nyentuh akar permasalahan, karena produk kebijakan disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan masyarajat setempat. Cara ini juga dilakukan oleh Finlandia, sebuah negara paling ramah lingkungan berdasarkan Environmental Performance Index (EPI), yang diriilis oleh Universitas Yale dan Universitas Columbia Amerika Serikat. Ketiga, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan No-Paper dan digitalisasi file di lingkungan pemerintahan dan pendidikan pada perguruan tinggi. Selain akan mempermudah aktivitas, prinsip No-Paper dan digitalisasi file ini akan memberikan positif dalam mengurangi pemanasan global. Hal ini karena konsumsi kertas di Indonesia masih sangat tinggi, padahal kertas dibuat dengan memanfaatkan pohon. Kebijakan ini bisa dilakukan secara bertahap, persuasif, dan terukur, sehingga di sini lain kebijakan ini bisa diterima oleh produsen kertas. Keempat, memperkuat program yang ada, menggagas program terintegrasi dan lintas sektor. Program-program seperti ini adalah bentuk komitmen perwujudan 186 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan. Dampaknya bisa simultan, tidak saja menyelesaikan permasalah lingkungan yang ada, tetapi juga berorientasi pada pro-poor, pro-job, dan pro-growth. Kelima, optimlisasi era digital dalam pendekatan sosial. Basis Indonesia sebagai Negara dengan pengguna internet ke-6 terbanyak di dunia, menjadi modal untuk membumikan revolusi mental berwawasan ekologis. Misalnya dalam kegiatan “Gerbek Sampah” yang diinisiasi oleh Pemerintah DKI Jakarta, penggunaan internet di sini begitu terasa manfatnya. Tidak sekadar untuk menggaungkan kampanye isu-isu lingkungan, optimlisasi era digital ini juga bisa memunculkan sebuah komunitas yang bisa bersinergi tanpa terhalang lagi oleh jarak dan waktu. Melalui pendekatan sosial ini, masyarakat sudah selayaknya aksi-aksi nyata guna mempercepat penyelesaian permasalahan lingkungan. Sehingga pada akhirnya, masyarakat akan berada pada garda terdepan dalam memelihara lingkungannya. Apabila kelima cara di atas dapat direalisasikan dengan baik, maka secara langsung akan dapat membumikan revolusi mental berwawasan ekologis. Dengan demikian, pemahaman tentang pentingnya menjaga lingkungan tidak saja akan mengakar dalam setiap sanubari, tetapi juga memberikan solusi terhadap permasalahan lingkungan dewasa ini.

Penutup Permasalahan lingkungan di negeri ini bersumber dari kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya dan alam, dengan menempatkan manusia sebagai centre of the universe. Adanya permasalahan lingkungan pada dasarnya bermula dari buruknya mental, karena mengabaikan petunjuk Alquran yang berhubungan dengan interaksi manusai dengan alam. Alquran secara tegas telah memberikan peringatan tentang hal ini, seperti tercermin dalam Q.s. Al-Rum [30]: 41 dan Q.s. AL-A’raf [7]: 56. Kegiatan merusak lingkungan ini bisa mengancam eksistensi manusia dan alam, serta mendatangkan azab dari Allah S.w.t. Oleh karena itu, permasalahan lingkungan dewasa ini perlu disikapi dengan bijak, salah satunya melalui konsep revolusi mental berwawasan ekologis. Konsep revolusi mental berwawasan ekologis menghendaki adanya perubahan yang terjadi pada masyarakat dan negara yang berhubungan dengan pola pikir (mindset), sikap, dan kebaikan (akhlak) terhadap lingkungan dan bertujuan untuk membangun peradaban baru yang lebih baik. Keterpaduan antara revolusi mental dengan wawasan ekologis senada dengan peran dasar manusia sebagai khalifah di bumi. Sebagaimana dalam Tafsir Alquran Tematik disebutkan, bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang didelegasikan Allah Revolusi Mental Berwawasan Ekologis 187

S.w.t. bukan hanya sekadar penguasa di bumi, tetapi juga peranannya untuk memakmurkan bumi. Selain itu, digulirkannyan revolusi mental berwawasan ekologis merupakan perwujudan dari semangat menjaga lingkungan agar bisa diwariskan kepada generasi mendatang. Revolusi mental berwawasan ekologis ini akan sia-sia jika berhenti hanya pada tataran konsep atau sekadar inspirasi dokumentasi. Oleh karena itu, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk membumikan revolusi mental. Pertama, kontekstualisasi peran manusia sebagai khalifah. Kedua, Indonesia harus memiliki Environmental Data Base. Ketiga, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan No-Paper dan digitalisasi file. Keempat,memperkuat program yang ada, menggagas program terintegrasi dan lintas sektor. Kelima, optimlisasi era digital dalam pendekatan sosial. Revolusi mental berwawasan ekologis ini akan berjalan optimal jika semua pihak, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat dapat bersama-sama mewujdukan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, sebagai pihak yang merumuskan kebijakan, pemerintah harus mampu mendorong terwujudnya iklim yang berwawasan lingkungan. Masyarakat dan pihak swasta sebagai subjek pembangunan juga harus sadar bahwa setiap aktivitas yang dilakukan akan memberikan pengaruh bagi lingkungan. Ketika pemahaman ini sudah dimiliki oleh setiap orang, maka lingkungan akan ikut terjaga.

Pustaka Acuan: Abdul Quddus. Échoteology Islam: Teologi Konstruktif Atasi Krisis Lingkungan”. Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, Vol. 16, No. 2, Desember, 2014. Achmad Cholil Zuhdi. “Krisis Lingkungan Hidup dalam Perspektif Alquran”. Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis (Mutawatir), Vol 2, No. 2, Desember, 2012. Aji Purwanti, Semiarto. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, 2015. Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2014. Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Tafsir Al-Maraghi. Kairo-Mesir: Musthofa Al- Babi Al-, 1946. Dasuqy, Fajar.”Ekologi Alquran”. Jurnal Kaunia, Vol. Iv, No. 2, Oktober,2008. Departemen Agama RI. Tafsir Tematik Alquran: Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Lajnah Pelestarian Mushaf Alquran, 2009. Ghoffar, M. Abdul (Penterjemah). Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam As- Syafi’I, 2008. Juwaini. “Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Pembangunan Revolusi 188 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Mental Keilmuan. Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies. Vol. I, No.I, Juni, 2014.\ Mangunjaya, Fachruddin. Ekopesantren: Bagaimanan Merancang Pesantren Ramah Lingkungan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesai, 2016. Molles Jr, Manuel C. Ecology: Concept And Application, Seventh Edition. New York: McGraw-Hill Education, 2016. Mujib, Abdul. Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologi. Jakarta: Darul Falah. 1999. Mushaf Al-Bantani dan Terjemahnya. Serang: MUI Provinsi Banten, 2014. Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia, Cet. ke-4. Jakarta: Rajawali Press, 2014. KLHK. Rencana Strategis 2015-2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta: KLHK, 2015. Saifuddin.”Revolusi Mental dalam Perspektif Alquran: Sebuah Penafsiran M. Quraish Shihab”. Jurnal Maghza, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember, 2016. Saifullah. Hukum Lingkungan: Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati. Malang: UIN Malang Press, 2007. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran, Vol. 5. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Sugianto. “Membangun Lemma Ekonomi Islam Berbasis Qowa’id al-Fiqhiyah”. Jurnal HUMAN FALAH, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni, 2014. Sumantri, Arif. Kesehatan Lingkungan dalam Perspektif Alquran. Jakarta: Kencana, 2010. Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir fi al-Aqidat wa al-Syariat wa al-Manha. Damaskus: Dar al-Fikr, 2005. www.nasional.kompas.com/read/2017/12/21/17505651/bnpb-mencatat-ada -2271-bencana-alam-sepanjang-2017/ Menjaga Lisan: Sebuah Upaya Memperkukuh Revolusi Mental di Era Global

Penulis: Musfiah Saidah

Pendahuluan Indonesia saat ini sedang mengalami krisis mental. Sebuah problematika lama yang masih terus diobati hingga hari ini. Wajar jika Presiden Joko Widodo mengumandangkan kembali gerakan revolusi mental yang pernah digaungkan oleh Ir. Soekarno. Melalui gerakan ini, Presiden Joko Widodo berharap adanya perubahan sikap dan pola pikir yang berorientasi kepada kemajuan. Akan tetapi, kehadiran era global membawa kemudahan dalam akses informasi sekaligus tantangan terhadap perubah nilai yang boleh jadi tidak sejalan dengan gerakan revolusi mental. Saat ini kita berada dalam ruang publik yang serba instan. Opini publik semakin tidak terkontrol sehingga memberikan ancaman bagi hubungan dalam bermasyarakat. Dampakanya, kemerdekaan yang telah dimiliki bangsa Indonesia tidak diikuti oleh kepercayaan anatar sesama sehingga mudah diadu domba. Produk lama warisan penjajah bernama devide et impera yang tumbuh subur di era media. Berdasarkan data yang dari dewan pers, diketahui jika terdapat 40.000 media online di Indonesia namun yang terverifikasi jumlahnya tidak lebih dari 300 media. Selain itu Kominfo telah memblokir 11 situs yang

189 190 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran dianggap melakukan provokasi berbau Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA) (www.cnnindonesia.com). Artinya terdapat banyak ancaman dari media jika tidak disikapi dengan benar. Hal ini menunjukan kebebasan berpendapat saat ini telah disalah artikan menjadi ajang berekspresi melalui gagasan tanpa kendali. Hadir­nya berita bohong atau biasa disebut hoax maupun ujuaran kebencian (hatespeech) akhirnya mudah masuk dan merusak mental bangsa. Ironisnya hal ini dimanfaatkan oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan baik ekonomi maupun politis namun abai terhadap dampak panjang kerusakan mental. Padahal di dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang memberikan tuntunan terkait ajaran dan upaya menjaga lisan seperti yang terdapat dalam Q.s. Al-Hujurat: 12, Q.s. Al-Hujurat: 6, Q.s. Al-Nur: 15, Q.s. Al-Baqarah: 83. Q.s. Qaaf:18 dan ayat lainnya. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh terkait upaya menjaga lisan dalam ruang perang informasi seperti saat ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Bagaimana problematika menjaga lisan di era global? Bagaimana solusi dalam mengupayakan revolusi mental menjaga lisan? Diharapkan setelah adanya penulisan makalah sederhana ini, maka akan diperoleh informasi dan solusi aplikatif yang dapat diterapkan menuju bangsa maju seperti yang dicita-citakan.

Problematika Menjaga Lisan di Era Global Kajian seputar menjaga lisan di era global seperti saat ini menjadi menarik mengingat saat ini kehadiran media telah memberikan pengaruh terhadap perubahan pola pikir masyarakat. Selain itu, media membuat masyakat saling terkoneksi satu sama lain tanpa batas ruang dan waktu. Hal ini tentu memberikan pengaruh. Sebagaimana pendapat Waskito, perilaku kaum muslimin saat ini banyak berubah jika dibandingkan era tahun 80-90 an. Proses invansi media yang luar biasa massif, intensif, kreatif dan terus menerus mengubah karakter bangsa Indonesia menjadi lemah, konsumtif, hedonistik, miskin etika, malas, cuek sosial dan jauh dari sifat religius (Waskito, 2013: 162-165). Peran media perlu disikapi dengan baik dalam kondisi demokrasi yang tidak sehat dan kondisi budaya yang belum matang. Hal ini merupakan sebuah paradoks saat kemudahan akses informasi melanda namun masyarakat dengan mudah terpengaruh oleh fitnah dan provokasi. Sebuah ironi saat semesta kaya akan informasi namun miskin terhadap makna. Menurut William L. Rivers, media komunikasi massa dapat mempengaruhi perubahan apalagi jika terkait kepentingan orang banyak. Media juga mampu menggalang persatuan opini publik terhadap peristiwa tertentu (2015:41). Menjaga Lisan: Sebuah Upaya Memperkukuh Revolusi Mental di Era Global 191

Setidaknya terdapat tiga alasan hal ini dapat terjadi, yaitu kebebasan ber­ pendapat yang salah kaprah, pola konsumsi informasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pertama, kebebasan berpendapat yang salah kaprah. Kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 28 telah menjadi dalil legitimasi untuk mengungkapkan gagasan baik secara lisan maupun tulisan. Padahal kebebasan berpendapat yang dimaksud adalah kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab. Oleh karena itu penting bagi manusia untuk menjauhi prasangka dari sebuah berita yang belum tentu diketahui kebenarannya. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫﭬ ﭭ ﭮﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya­ sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah di antara kamu ada yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha penerima tobat, Maha penyayang. (Q.s. Al-Hujurat [49]: 12)(Departemen Agama RI, 2004: 745). Menurut Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi kata wa laa tajassasu berarti janganlah mencari-cari kesalahan orang lain. Hal tersebut disebabkan sejak semula pada diri orang yang berprasangka itu sudah ada tuduhan (kecurangan), kemudian dia berusaha mencari tahu, memeriksa, melihat dan mendengar berita itu dan memastikan tuduhan (kecurigaan) yang ada pada dirinya. Oleh karena itu, Nabi SAW. melarang hal tersebut. Sedangkan menurut Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi kata wa laa tajassasu menyatakan bahwa jangan sebagian kamu meneliti keburukan sebagian lainnya dan jangan mencari-cari rahasia- rahasianya dengan tujuan mengetahui cacat-cacatnya. Akan tetapi puaslah kalian dengan apa yang nyata bagi mu mengenai dirinya. Lalu pujilah atau kecamlah berdasarkan yang nyata itu bukan berdasarkan hal yang kamu ketahui dari yang tidak nyata (1993: 229). Berdasarkan kedua tafsiran tersebut dapat diambil pelajaran bahwa Allah S.w.t. melarang untuk mencari-cari aib orang lain. Jika hal tersebut sulit untuk dilakukan maka Islam mengajarkan cara proteksi diri yang begitu mudah namun elegan, yaitu dengan diam. Sebagaimana dalam sebuah hadis dikatakan: Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya bertutur kata yang baik atau diam (Al-Asqalani, 2011: 265). 192 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Kedua adalah pola konsumsi informasi. Masyarakat Indonesia memiliki tipe eksploratif sehingga mencari sumber informasi kemudian mengikuti dan menyebarkannya secara berkelanjutan. Sayangnya, kebutuhan terhadap informasi tidak diikuti dengan semangat literasi media. Saat ini lini masa dipadati berbagai gagasan yang keluar dari perpanjangan lidah bukan lagi sekadar kata-kata yang keluar dari lisan namun juga tulisan. Orang yang tertarik memperhatikan media akan menyampaikan informasi yang diperoleh kepada orang lain yang terhubung secara sosial. Aliran pesan memberikan efek berupa penyampaian pesan bahkan dari orang yang belum pernah dikenal sebelumnya. Namun, informasi yang disampaikan akan terlihat menarik melalui media. (Perse, 2008: 34) Ketiga adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ketimpangan sosial dan kesejahteraan yang tidak merata membuat kesenjangan sosial terjadi di banyak tempat. Berdasarkan data dari Bank dunia menyebutkan bahwa lebih 60% kekayaan Indonesia di kuasai oleh kalangan menengah ke atas. Di sisi lain angka kemiskinan masih menjadi permasalahan yang berlum terpecahkan. Dengan kondisi perekonomian yang tidak stabil, hoax dapat menjadi racun ampuh untuk memberikan pemahaman yang salah. Pada dasarnya provokator hanya membutuhkan berita bohong yang disebarkan melalui berbagai jenis media dan diterima masyarakat sebagai berita tanpa perlu diklarifikasi.

Revolusi Mental Menuju Pembaruan Revolusi merupakan hal yang tidak dapat terjadi secara instan. Penanaman nilai dalam waktu yang lama akan memberikan pengaruh tumbuhnya budaya yang hebat. Terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan demi mewujudkan revolusi mental yang dicita-citakan. Pertama adalah menggubah pola pikir, kedua adalah menggandeng media dan yang terakhir keterlibatan tokoh agama. Pertama, pengubahan cara berpikir. Untuk tercapainya suatu ukhwah yang kuat peran komunikasi bersifat penting. Rasa saling pengertian dan memahami dalam rangka kebaikan diwujudkan melalui kerjasama (Raharjo, 2012: 170). Manusia hendaknya memperhatikan rahasia antara yang patut dan tidak. Bukan hanya mencari kesalahan dan aib. Perbedaan pendapat amat dijunjung tinggi. Tetapi perbedaan pendapat yang dibangun di atas kebencian dapat menjurus kepada konflik sehingga peran etika sosial dalam hal ini tindakan tabayyun sebagai upaya menghindari konflik amat penting untuk membangun masyarakat. (Misrawi, 2007:324). Oleh karena itu, jika membahas mengenai revolusi mental maka tidak terlepas dari perjuangan pribadi untuk membiasakan diri berkata baik. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman: Menjaga Lisan: Sebuah Upaya Memperkukuh Revolusi Mental di Era Global 193

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui (Q.s. Al-Anfal [8]: 53) (Departemen Agama RI, 2004: 248) Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran, nash ini mem­perlihatkan keadilan Allah dalam memperlakukan manusia sehingga tidak dicabut kenikmatan mereka sebelum mereka sendiri yang mengubahnya dan mengganti sikap mereka dengan perilaku yang baik (2013: 215). Berbagai upaya dan program sehebat apapun jika tidak diikuti oleh tindakan dari pribadi manusia maka tidak akan terwujud revolusi mental yang dicita-citakan. Hal ini dikarenakan misi besar revolusi mental merangkul seluruh rakyat Indonesia. Dalam mewujudkan perbaikan mental dalam upaya menjaga lisan di era global Islam hadir dengan membawa solusi untuk mencari tahu kebenaran suatu berita terlebih dahulu, Allah S.w.t. berfirman:

ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepada mu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatan mu itu. (Q.s. Al-Hujurat [49]: 6) (Departemen Agama RI, 2004: 744). Dalam kaitan ini, Alquran menggunakan kata fatabayyanuu. Kata perintah tersebut menuntut penyampaian informasi agar berusaha dengan teliti dan sungguh-sungguh dalam mencari keterangan dan informasi yang diterima (Kementrian Agama RI, 2011: 397). Sedangkan menurut Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwasanya kesalahan dalam menerima informasi disebabkan karena tergesa-gesa dan tidak pelan-pelan. Sehingga pada ayat ini menunjukkan rusaknya pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa seluruh kaum muslimin itu unggul sampai ditetapkan adanya cacat. Allah memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan secara teliti dan pemeriksaan tersebut tidak akan berguna jika sudah dilakukan putusan (2009:30). Dari kedua tafsiran tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa dalam menyikapi sebuah berita hendaknya diperiksa telebih dahulu kebenaran isinya sebelum menyampaikannya kepada orang lain. Hal tersebut penting dilakukan untuk menghindari munculnya sebuah pemahaman yang salah dan akhirnya menebar berita bohong ke banyak tempat. Di akhir ayat tersebut dikatakan 194 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran jika manusia akan menyesali perbuatannya. Jika kita liat ke fenomena yang terjadi saat ini sudah terdapat beberapa orang yang akhirnya tertangkap polisi karena melakukan ujaran kebencian. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 28 ayat 1 UU ITE mengatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan serta mengakibatkan kerugian maka akan dipidana paling lambat 6 tahun penjara atau denda maksimal 1 milyar rupiah (2016: 24). Selain itu dampak kekeliruan dalam menjaga lisan juga dapat me­mutuskan hubungan pertemanan. Hal ini biasanya terjadi hanya karena status di media sosial, kesalah pahaman membalas pesan elektronik dan kenyataan lain yang membuat hubungan hidup antar manusia menjadi kurang harmonis. Sebagaimana firman Allah S.w.t: (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulut mu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. (Q.s. Al-Nur [24]: 15)(Departemen Agama RI: 490). Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah kata buhtan adalah kebohongan yang sangat besar. Kata ini terambil dari kata buhita yang berarti tercengang dan bingung tidak mengetahui apa yang harus dilakukan. Kebohongan besar biasa menjadikan seseorang tidak mengerti bagaimana hal tersebut dapat diucapakan. Penyebaran isu dinilai sebagai buhtan karena ia adalah ucapan yang disengaja dan tanpa alasan serta bukti yang berkaitan dengan kehormatan manusia. (2009:501). Berdasarkan tafsiran tersebut, dalam menyikapi realitas yang terjadi di masyarakat bahwasanya sering kali opini masyarakat tergiring oleh opini mayoritas yang pada akhirnya mengesampingkan makna konfirmasi. Selain itu terkadang masyarakat abai dengan kehadiran para penyebar isu yang lebih sering terlihat di dunia maya bukan di dunia nyata. Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk menjaga lisannya dan melindungi diri dari pengaruh provokasi yang bertebaran di berbagai media maupun dari mulut ke mulut. Dalam sebuah hadis riwayat Buhkari, Rasulullah SAW. telah mengingatkan: Dari Abu Hurairah dia mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya ada hamba yang pasti mengucapkan kalimat yang tidak dipikirkannya terlebih dahulu yang karenanya dia tergelincir ke dalam neraka yang lebih jauh dari apa yang ada diantara Timur” (Al-Asqalani, 2011: 267)(HR. Bukhari, No. 6477). Kedua, menggandeng media. Tidak dapat dimungkiri jika media memiliki peran besar dalam menyediakan ruang berbicara. Namun hal tersebut menjadi momok berbahaya saat isi berita yang ditayangkan di media pada akhirnya membuka ruang berbicara tanpa batas, saling umpat dan menebar kebencian Menjaga Lisan: Sebuah Upaya Memperkukuh Revolusi Mental di Era Global 195 tanpa batas. Peran media dalam upaya merevolusi mental dalam rangka menjaga lisan menjadi penting mengingat pengguna media sosial di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan data yang penulis himpun dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2006 terdapat 132,2 juta pengguna internet di Indonesia. Dari jumlah tersebut 129,2 juta diantaranya menggunakan media sosial (2016: 22). Pada dasarnya pemilik media memahami dampak negatif munculnya perpecahan akibat saling serang gagasan di media sosial. Mark Zuckenberg seorang pendiri media sosial nomor 1 di dunia bernama Facebook sebagaimana dikutip Syuhada dalam Jurnal Etika Media di Era “Post-Truth” menyebutkan bahwa berita palsu dapat menyebar dalam sesaat karena penggunanya abai dalam menyelesaikan bias konfirmasi. Penggunaan algoritma dalam membaca fitur like“ ” dan “sharing” sangat mengeksploitasi elemen psikologi manusia dan membuat mereka lebih cenderung untuk menerimanya. Sayangnya Facebook justru mengabaikan perannya sebagia wadah sosial dalam meminimalisir efek dan masalah yang dihadapi penggunanya seperti fakenews, hoax maupun hatespeech (2017: 77). Dari fakta tersebut dapat diketahui jika pemilik media pada dasarnya mengetahui adanya efek negatif dari media yang didirikan namun belum ada upaya meminimalisir hal tersebut. Untuk itu penulis menggagas adanya gerakan menggandeng media. Secara sederhana apabila ingin membuat media melakukan perubahan besar adalah dengan melakukan hal besar berupa gerakan berhenti menggunakan media. Tentu jika tidak memiliki pengguna maka media akan melakukan perubahan signifikan. Namun hal tersebut agak sulit untuk diwujudkan karena media massa ibarat telah menjadi candu bagi masyarakat. Oleh karena itu upaya menggandeng media dapat dilakukan dengan komunikasi yang baik antara pemerintah dengan media maupun media dengan masyarakat. Menurut Direktur Jendral (Dirjend), Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kominfo, Rosarita Niken Widiastuti mengatakan, media massa memiliki potensi dalam membangun dan membentuk karakter bangsa. Media dapat menentukan arah karakter dan nilai yang diterima publik (www.kpi.go.id). Oleh karena itu dengan menggandeng media melalui pengawasan dan komunikasi yang bijak antara pemerintah dan masyarakat serta kesadaran masyarakat untuk menyampaikan kritik terhadap isi berita di media massa maupun media sosial dapat menjadi senjata melawan godaan kebohongan, pertikaian atau bahkan perpecahan akibat dari tidak dapat menjaga lisan. Ketiga adalah peran agama. Kejayaan sebuah bangsa dipengaruhi oleh komitmennya terhadap keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah ta’la (Waskito, 196 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

2011: 206). Peran agama diperlukan karena dalam permasalahan menjaga keimanan melalui peran tokoh agama untuk memberikan arahan. Tokoh agama merupakan tokoh kunci yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Sebagai contoh, keterlibatan tokoh agama dalam upaya menangkal berita bohong telah dilakukan oleh pemerintah provinsi Banten. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Banten merupakan daerah dengan tingkat pemanfaatan teknologi dan informasi dengan kategori tinggi khususnya dalam penggunaan telepon genggam (HP) dan Internet. Aplikasi yang paling dominan digunkan adalah browsing, chating, download informasi, email dan upload (2013: 209-10). Fakta tersebut menunjukan tingkat konsumsi masyarakat terhadap informasi cukup besar. Jika tidak disikapi dengan bijak, hal tersebut membuka ruang terbukanya kesempatan masuknya berita bohong maupun dorongan melakukan ujaran kebencian. Oleh karena itu Kantor Wilayah (Kanwil) Kementrian Agama (Kemenag) Provinsi Banten berdasarkan berita yang penulis himpun mewartakan akan mengerahkan 1.602 penyuluh agama dalam upaya melawan berita hoax yang beredar di kalangan masyarakat. (www.kabarbanten.com). Hal tersebut tentu diperlukan karena bahasa agama diyakini mudah diterima masyarakat dalam menayampaikan kebenaran.

Penutup Revolusi mental berbeda dengan revolusi fisik yang mengakibatkan pertumpahan darah. Tantangan revolusi mental di era global memerlukan dukungan moral dan spiritual dari masyarakat serta pemerintah dalam usaha bersama menjaga lisan dalam upaya memperkukuh revolusi mental. Pemahaman kebebasan berpendapat yang salah kaprah, pola konsumsi informasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang belum stabil mengakibatkan berbagai godaan menjaga lisan tumbuh subur di era global. Dalam menjawab problematika tersebut, penulis menggagas tiga solusi yang dapat diaplikasikan dalam upaya menjaga lisan baik secara perkataan maupun tulisan. Pertama, mengubah pola pikir dengan menumbuhkan kesadaran jika manusia adalah makhluk sosial yang hidup bersama sehingga perlu menyadari keberadaan orang lain sehingga tidak sembarangan dalam berkata. Selain itu perlu adanya sikap tabayyun dalam memeriksa informasi yang diperoleh. Kedua, menggandeng media, hal yang tidak mudah menahan media dari segala kepentingan komersilnya namun hal yang mungkin menggandeng media untuk ikut turut serta menyeleksi konten negatif untuk memberikan perlindungan informasi terhadap konsumen. Ketiga, memaksimalkan peran tokoh agama Menjaga Lisan: Sebuah Upaya Memperkukuh Revolusi Mental di Era Global 197 untuk memberikan arahan. Sebagai pembicara kunci, tokoh agama diyakni dapat memberikan pesan yang dapat diterima masyarakat. Oleh karena itu demi teraplikasinya gagasan ini, maka penulis meng­himbau kepada berbagai pihak. Pertama, kepada pemerintah hendaknya lebih tegas dalam menegakkan Undang-undang terkait transaksi elektronik yang dapat mengakibatkan perpecahan karena lisan baik berupa perkataan maupun tulisan. Selain itu, penulis menghimbau dibentuknya gerakan kerelawanan tentang literasi media yang melibatkan berbagai kalangan dan terkoneksi melalaui media sosial. Kedua, kepada masyarakat hendaknya lebih selektif dalam memilih informasi dan menjadi pemutus apabila ada berita bohong yang didapatkan. Hal lain dapat dilakukan dengan melakukan kontra narasi dengan menginformasikan berita yang benar ketika ditemukan informasi yang menyesatkan. Ketiga, kepada media, hendaknya media dapat menjadi perjuangan dari upaya revolusi mental dengan membantu mewadahi informasi seputar literasi media yang benar. Semoga dengan begitu tatangan era global berupa perang informasi yang dirasakan saat ini dapat diatasi menuju Indonesia maju sejahtera bermental benar.

Pustaka Acuan: Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 18. Semarang: PT. Karya Toha Putra Al-Quran dan Terjemahnya. Departemen Agama RI. 2004 Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009. Arifianto, S. Dinamika Perkembagan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi serta Implikasinya di Masyarakat. Jakarta: Media Bangsa. 2013. Asosiasi Penyelenggara Jasa Interner Indonesia. Info Grafis Penetarsi dan Perilaku Pengguna Internet di Indoensia. 2016. Kementrian Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik Komunikasi dan Informasi. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran. 2011 Misrawi, Zuhri. Al-Quran Kitab Toleransi. Jakarta: Penerbit Fitrah. 2007. Perse, Elizabeth M. Media Effect and Society. New Jersey: Lawrance Elbaraum Associates. 2008. Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Quran Terjemahan. Jakarta: Gema Insani. 2013 Raharjo, M Dawam. Menuju Persatuan Umat. Jakarta: Mizan. 2012. Rivers, William L. Media Massa dan Masyarakat Modern Terjemahan. Jakarta: Prena Media Grup. 2015 Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Vol 8. Jakarta: Lentera Hati. 2009. 198 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Syuhada, Kharisma Dhimas. Etika Media di Era “Post-Truth”. Jurnal Komunikasi Indonesia Vol 5 No 1. 2017 UU RI No. 19 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sekertariat Negara. 2016 Waskito, AM. Republik Bohong Hikayat Bangsa yang Senang Ditipu. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2011. Waskito, Am. Invansi Media Melanda Kehidupan Umat. Jakarta: Pustaka Al- Kausar. 2013 Yunita. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170108110443-20-184798/ menkominfo-bakal-tertibkan-media-online-tak-jelas. Diakses pada tanggal 18 Maret 2018 pukul 14.50 Masykur. http://www.kabar-banten.com/redam-keresahan-akibat-hoax-1-602- penyuluh-agama-dikerahkan/. Diakses pada tanggal 18 Maret pukul 15.00 Rahmat Gunawan. http://www.kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam- negeri/33910-peran-media-penyiaran-menentukan-keberhasilan-gerakan- revolusi-mental-dan-pembentukan-karakter-bangsa Diakses pada tanggal 8 April 2018 pukul 19.46. Menjadikan Alquran Sebagai Pilar Visi Misi Provinsi Banten Melalui Edukasi Islami

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.02

Pendahuluan Demoralisasi yang terjadi akhir-akhir ini begitu memprihatinkan, terutama bagi para ibu bapak yang tidak ingin hal tersebut menimpa anak-anak mereka. Beragam perbuatan tercela (al-af’al al-madzmumah): korupsi, politik uang, pengabaian anak-anak terlantar, perundungan, pembunuhan dan pembantaian oleh massa yang main hakim sendiri, teror bom atas nama jihad dan perusakan atas nama agama terdapat pada negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini, serta sudah menjadi bagian dari citra Indonesia sehari-hari (Said Aqil Siroj, 2006:356). Aksi kejahatan—perundungan (bullying)—kembali terjadi di Provinsi Banten, pada Jumat (9/3/2018), yang bertempat di sekitar kawasan Ruko Modernland, Cipondoh, Kota Tangerang. Tindakan tidak terpuji tersebut dilakukan oleh dua orang remaja wanita berinisial LS (15) dan YIZ (16) terhadap siswi SMP yang berinisial WN (13). Sambil memaki, kedua pelaku memukul dan menendang siswi SMP tersebut di bagian kepala hingga membuat siswi tersebut terjatuh dan menangis (www.kompas.com, 2018). Hal di atas menjadi catatan penting, bahwa tindakan kejahatan karena masih

199 200 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran terdapat watak (mental) yang buruk, sehingga perlu tindakan pembaharuan atau pengintensifan perilaku baik masyarakat Banten, salah satunya dengan menjadikan Alquran sebagai pedoman. Masyarakat Banten perlu melek kandungan ayat suci Alquran agar kasus kejahatan di Provinsi Banten bisa berkurang, bahkan tandas. Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Provinsi Banten mengungkapkan hasil survei melek huruf Alquran di Banten. Ternyata, hasil survei menunjukkan tingkat kemampuan muslim membaca Alquran dari tingkat cukup sampai dengan tingkat sangat buruk mencapai angka 76,72 persen. Sementara yang terbilang mampu dari tingkat agak baik sampai dengan sangat lancar hanya 23,28 persen (www.kabar-banten.com, 2017). Realitas di atas jadi catatan penting, bahwa masyarakat Banten masih perlu meningkatkan pemahaman terhadap kandungan ayat suci Alquran, tentu saja hal tersebut harus diawali dalam hal bisa membaca Alquran, dan tidak akan terrealisasi jika masyarakat masih belum bisa atau belum baik membaca Alquran. Sudah saatnya kita mengoreksi. Koreksi yang dilakukan tidak harus menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya nusantara, bersahaja dan berkesinambungan (E. Mulyasa, 2015:25). Provinsi Banten yang dikenal sebagai daerah yang religius perlu menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup seutuhnya, agar terrealisasi pula visi Provinsi Banten yang maju, mandiri, berdaya saing, sejahtera dan berakhlak mulia. Pendidikan dalam hal ini berperan pula agar misi Provinsi Banten dalam hal: (1) menciptakan tata kelola pemerintah yang baik (good governance); (2) membangun dan meningkatkan kualitas infrastruktur; (3) meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan berkualitas; (4) meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan kesehatan berkualitas; serta (5) meningkatkan kualitas pertumbuhan dan pemerataan ekonomi (.), dapat berjalan dengan ridha Allah agar tercipta daerah yang sejahtera, aman, damai dan religius. Bertolak dari realitas di atas, penulis akan memberikan interpretasi dalam hal menjawab dan menanggulangi permasalahan yang terjadi di Provinsi Banten, dengan menghadirkan teks Alquran, khususnya mengenai bagaimana agar terrealisasi revolusi mental dalam hal pendidikan akhlak yang sesuai dengan tuntunan Alquran. Tulisan ini akan berawal dari: (1) Bagaimana menciptakan pola pendidikan yang baik?; (2) Apa penyebab perilaku bejat?; dan (3) Bagaimana solusi menangani kasus dari keburukan perilaku?. Tiga hal tersebut diharapkan mampu mewujudkan visi misi provinsi Banten, agar terrealisasi Provinsi Banten yang religius dengan menjadikan Alquran sebagai pilar utama. Menjadikan Alquran Sebagai Pilar Visi Misi Provinsi Banten 201

Akhlak Sebagai Karakteristik Edukasi Islami Akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:27) diartikan sebagai: (1) budi pekerti; dan (2) kelakuan. Dalam etimologi bahasa arab, akhlak merupakan bentuk jamak yang mufrodnya adalah khuluq, yang memiliki arti tabiat atau watak dasar (ath-thabi’ah); kebiasaan atau kelaziman (al-‘adat); perangai (as-sajiyah); peradaban yang baik (al-muru’ah); dan agama (ad-dîn). Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihyâ’Ulûmuddin (1989:56) mengatakan, bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan- perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sedangkan menurut Muhammad Abdullah Darraz, akhlak diartikan sebagai sesuatu kekuatan dari dalam diri yang berkombinasi antara kecenderungan pada sisi yang baik (akhlak al-karimah) dan sisi yang buruk (akhlak al-madzmumah) jika ditinjau dari pengertian secara terminologi (Ulil Amri Syafri, 2014:72). Kecenderungan sisi baik dan buruk manusia terdapat dalam Alquran surat Asy-Syams ayat 8-10, yang berbunyi:

ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Al-Imam Jalaluddin Abdirrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Jalalain (tt:263) memberikan penjelasan: (Maka Dia mengilhamkan kepadanya [jalan] kejahatan dan ketakwaannya) bahwa antara jiwa terdapat dua jalan, yakni keburukan dan kebaikan. Kemudian Thabâthabâ’i dikutip dari M. Quraish Shihab dalam tafsir kontemporernya Al-Mishbah Vol. XV (2010:345) menuturkan, bahwa yang dimaksud dengan “mengilhami jiwa” adalah penyampaian Allah kepada manusia tentang sifat perbuatan, apakah dia termasuk ketakwaan atau kedurhakaan setelah memperjelas perbuatan dimaksud dari sisi substansinya sebagai perbuatan yang dapat menampung ketakwaan atau kedurhakaan. Memakan harta, misalnya, adalah suatu perbuatan yang dapat berbentuk memakan harta anak yatim atau memakan harta sendiri. Jika memakan harta anak yatim, maka hal tersebut merupakan bentuk kedurhakaan. Sedangkan yang kedua—memakan harta sendiri yang dicari dari jalan halal—merupakan bentuk ketakwaan. Alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan menurut Abuddin Nata dalam bukunya Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (2012:129) adalah hati nurani. Sedangkan alat yang digunakan untuk mencapai keburukan adalah hawa nafsu. Dalam hal ini, pendidikan harus berupaya mengarahkan manusia agar memiliki 202 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran keterampilan dalam menggunakan akal dengan baik, dan mengatur diri agar terhindar dari hawa nafsu yang membawa pada keburukan. Beberapa indikator akhlak menurut Muhammad Iqbal dalam bukunya 8 Golongan yang Dicintai Allah dan 6 Golongan yang Dibenci Allah (2015:24) di antaranya ialah: (1) berserah diri kepada Allah agar terhindar dari rasa takut dan bersedih hati (Q.S.. Al-Baqarah [2]:112); (2) berdamai dan memiliki rasa empati (Q.S.. An-Nisa [4]:128); (3) menahan amarah dan suka memaafkan (Q.S.. Ali Imran [3]:134); (4) tidak membuat atau mencari-cari masalah, melainkan memohon maaf (Q.S.. Al-A’raf [7]:56); (5) membalas dengan perbuatan baik (Q.S.. Yunus [10]:26); (6) sabar dan tabah (Q.S.. Hud [11]:115); (7) bertakwa dan senantiasa mengambil hikmah dalam tiap persoalan (Q.S.. Yusuf [12]:22); serta (8) saling menasehati agar terhindar dari perbuatan keji dan munkar (Q.S.. An-Nahl [16]:90). Dari beberapa indikator di atas, tentu figur yang dapat dijadikan suri teladan adalah Rasulullah Saw.. dengan begitu keagungan budi pekerti yang dimilikinya (Q.S.. Al-Ahzâb [33]:21). Selain itu, menurut Imam Al-Ghazali, Asmaul Husna yang berjumlah 99 dapat diteladani oleh manusia, kecuali sifat ketuhanan-Nya (M. Quraish Shihab, 2011:760). Berbuat baik tidak hanya akan menjadikan kita pribadi yang lebih baik, tapi juga dicintai Allah Swt. sebagaimana termaktub dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 195, yang berbunyi:

ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨﮩ ﮪﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Melacak Akar Penyebab Akhlak Buruk Kebejatan perilaku menjadi pembahasan yang tidak pernah surut dan bisa disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya hati yang di dalamnya tidak tertanam nilai-nilai suci Alquran. Alquran memiliki isi kandungan yang me­ nyentuh hati, banyak orang yang terkesima dan jatuh hati. Jiwa yang kosong bisa terisi dengan nilai-nilai rabbil izzati. Pikiran yang keruh dan kalut bisa jernih. Muka yang masam bisa tercerahkan. Bahkan mereka yang tadinya memusuhi Alquran bisa tunduk tak beraksi. Masyarakat yang terkucil menjadi masyarakat madani, maju, tangguh, sukses dan disegani (Ashin Sakho Muhammad, 2017:197). Seseorang yang dalam jiwanya tertanam nilai-nilai Alquran akan berbeda dengan mereka yang dalam jiwanya tidak tertanam nilai-nilai luhur Alquran. Nilai-nilai Alquran teraplikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Ia akan semakin Menjadikan Alquran Sebagai Pilar Visi Misi Provinsi Banten 203 berbeda dalam berperilaku, banyak perubahan baik yang akan terjadi (Raghib As-Sirjani dan Abdul Muhsin, 2017:22). Manusia Alquran memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersumber dari gumpalan tanah yang menumbuhkan pelbagai macam sumber makanan yang baik. Memenuhinya ala manusia, bukan ala binatang. Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruhaniah (M.Quraish Shihab, 2013:364). Seorang muslim sejati tahu bagaimana menyeimbangkan jasmani dan ruhani. Idealnya ruhani yang baik didukung oleh jasad yang tangguh, karena pada keduanya terdapat kebaikan yang begitu bermanfaat (Sri Nuryati, 2008:40). Sebagian manusia bahkan menjadikan akhlak untuk membangun budi pekerti yang baik. Semakin baik seseorang membangun budi pekerti dan merealisasikannya, maka semakin baik masyarakatnya dalam berperilaku (M. Quraish Shihab, 2017:17). Sejatinya, esensi diciptakannya manusia termaktub dalam Alquran surat Adz-Dzâriyât ayat 56, yang berbunyi:

ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Menggunakan akal dan menjaga diri dari berbuat buruk pada intinya adalah bentuk dari ketaatan pada Allah Swt. dan yang menggerakkan hati manusia mengerjakan kewajibannya sebagai bentuk taat pada Allah Swt. disebabkan karena dua perkara. Pertama, dari dalam, yaitu perasaan sendiri sebagai orang hidup harus berperangai utama. Kedua, dari luar, yaitu menilik peraturan pergaulan hidup dan masyarakat bersama, untuk menuju hal tersebut perlu disatukan tujuan diri (Hamka, 2017:85). Budi pekerti—akhlak baik—pada manusia juga menjadi kewajiban dan hak. Dia menjadi kewajiban, karena undang-undang budi pekerti menyuruhnya. Dia menjadi hak, sebab undang-undang kesopanan memberi kebebasan kepada manusia untuk mengajarkannya (Hamka, 2017:129). Tentu saja setelah memahami bagaimana akhlak terbangun dan penyebab bobroknya akhlak, harus ada akhlak yang kokoh (Matinul Khuluq) dalam jiwa setiap manusia karena ia merupakan salah satu konsep pondasi inner beauty yang tidak boleh hilang (Arif Hidayat, 2015:19).

Menggagas Solusi Menuju Banten Religius Setelah mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perilaku kejahatan karena akhlak yang tidak baik, maka penulis memberikan formulasi yang diharapkan mampu menjadi solusi agar tercipta kehidupan masyarakat Banten yang religius. Solusi yang penulis berikan antara lain: 204 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pertama, masyarakat Banten perlu memahami kandungan ayat suci Alquran, yakni tidak hanya menjadikan Alquran sebagai bacaan tanpa dipelajari lebih dalam, karena di dalam Alquran terdapat pelbagai macam pelajaran yang baik, sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat Shâd ayat 29, yang berbunyi:

ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ Artinya: Kitab (Alquran) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran. Hasan Al-Bishri dikutip dari Aby Al-Fida’i Ismail bin Umar bin Katsir Al-Quraisy Ad-Dimsyiqy dalam kitabnya Tafsir Alquran Al-‘Adzim (1999:63) mengatakan mengenai tafsiran ayat di atas: “Demi Allah, tidaklah cara meng­ ambil pelajaran dengan menghafal huruf-hurufnya, dan tidak menghilangkan aturannya, sehingga salah seorang dari mereka berkata: “saya telah membaca Alquran seluruhnya”, tetapi tidak terlihat padanya Alquran pada akhlak dan tidak pula pada amalnya. Dengan begitu, membaca ayat-ayat suci Alquran, diikuti dengan perbuatan baik menjadi tujuan utama dari konsep revolusi mental agar tercipta masyarakat Banten yang melek kandungan Alquran. Kedua, menerapkan konsep keteladanan (qudwah). Hal ini sangat di­ perlukan, sebagaimana menurut Muhammad Abu Fath Bayanuni—dosen Pendidikan dan Dakwah di Universitas Madinah—dikutip dari Ulil Amri Syafri dalam bukunya Pendidikan Karakter Berbasis Alquran (2014:142) mengatakan, bahwa menurut teorinya, Allah menjadikan konsep qudwah ini sebagai acuan manusia untuk mengikuti. Selain itu, fitrah manusia adalah suka mengikuti dan mencontoh, bahkan fitrah manusia adalah lebih kuat dipengaruhi dan melihat contoh ketimbang dari hasil bacaan. Tuntunan hidup yang bersumber pada Alquran menjadi realistis karena terdapat konsep qudwah pada penerapan, sehingga semua konsep ajaran Islam tidak saja idealis, namun juga realistis. Ketiga, membentuk program “Banten Nyantri”. Program ini penulis pandang sebagai suatu hal yang perlu dibentuk, latar belakang dari program ini adalah nilai-nilai kepesantrenan yang begitu baik, kehidupan pesantren ibarat miniatur masyarakat. Di dalamnya terbentuk struktur kepengurusan mulai dari pimpinan hingga anggota, serta kehidupan gotong-royong—bermasyarakat— yang mencerminkan nilai kebaikan hidup. Kehidupan pesantren berbeda dengan kehidupan non-pesantren. Di pesantren, seseorang lebih banyak jam belajar daripada waktu santai, serta lebih beragam karakter masyarakatnya karena banyak yang tidak hanya masyarakat pribumi. Pada praktiknya, Banten nyantri diharapkan tidak hanya menjadi tugas masyarakat akademis, tapi juga kalangan pemerintah, organisasi Islam dan tentunya seluruh elemen masyarakat kalangan atas atau bawah. Formulasi dari Menjadikan Alquran Sebagai Pilar Visi Misi Provinsi Banten 205 gagasan ini diharapkan mampu mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih maju, mandiri, bisa berdaya saing, sejahtera dan berakhlak mulia sesuai dengan visi Provinsi Banten. Program Banten nyantri bukan berarti mengekang seluruh lapisan ma­ syarakat untuk menetap di Pondok Pesantren. Tetapi ikut andil dalam hal: (1) mensyiarkan ajaran Islam; (2) membentuk lembaga dakwah (3) mengikuti kajian-kajian Islami (4) membangun madrasah atau pesantren bagi yang mampu; (5) mengamalkan ilmu atau hadir di majelis taklim yang dekat dengan tempat tinggal; (6) mengirimkan anak bagi ibu bapak agar mereka tinggal atau menimba ilmu di pesantren (7) tidak berpikiran buruk terhadap pola pendidikan yang diterapkan dalam pesantren; serta (8) Menjalin hubungan dengan pihak pesantren untuk membentuk masyarakat Banten nyantri. Segala sesuatu yang direncanakan, pada hakikatnya tidak akan berjalan dengan baik jika bukan kita yang membangun, mengatur, melindungi, atau menjalankannya, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Alquran surat Ar-Ra’d ayat 11, yang berbunyi:

ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.

Penutup Dengan berakhirnya tulisan ini, maka dapat diambil benang merah. Pertama, revolusi mental dapat dilakukan dengan menerapkan pola pendidikan Islami yang sesuai dengan kandungan ayat-ayat Alquran. Pendidikan akhlak dalam hal ini juga perlu, sebab akhlak merupakan karakteristik pendidikan Islami. Pemberian yang Allah anugerahkan—ketakwaan dan keburukan—menjadi ujian tersendiri. Ketakwaan tentu akan mengantarkan pada kemaslahatan, sedangkan keburukan akan memberikan timbal balik (feedback) yang buruk pula. Seorang muslim diharapkan mampu mengontrol hati nurani dan hawa nafsunya. Kedua, bejatnya perilaku yang merebak akhir-akhir ini disebabkan karena tidak tertanamnya nilai-nilai suci Alquran dan tidak teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani yang tidak seimbang juga menjadi salah satu faktor penyebabnya, sebab hati yang bersih— baik bersikap—didukung oleh jasad yang tangguh Ketiga, membentuk program “Banten Nyantri” sebagai solusi yang diharapkan mampu mengurangi tindak kejahatan dan bisa menumbuhkan hati 206 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran masyarakat Banten yang dalam hatinya tersimpan nilai-nilai luhur Alquran dan bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu, hal ini akan berjalan dengan baik jika seluruh elemen masyarakat bergerak, membangun dan peduli akan nasib generasi cemerlang masyarakat Banten yang diharapkan memiliki kecakapan ilmu dan berudi pekerti baik.

Pustaka Acuan: Sumber Buku Ad-Dimsyiqy, Aby Al-Fida’i Ismail bin Umar bin Katsir Al-Quraisy. 1999. Tafsir Alquran Al-‘Adzim. Riyadh: Darut Tayyibah. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 1989. Ihyâ’ ‘Ulûmuddin. Beirut: Dâr Al- Fikr. As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Al-Imam Jalaluddin Abdirrahman bin Abu Bakar. tt. Tafsir Jalalain. t.pn: CV Pustaka Assalam. Departemen Agama RI. 2006. Alquran Al-Karîm dan Terjemah Bahasa Indonesia. Kudus: Menara Kudus. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa: Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hamka. 2015. Lembaga Hidup. Jakarta: Republika Penerbit. _____. 2015. Falsafah Hidup. Jakarta: Republika Penerbit. Hidayat, Arif. 2015. Gantengnya tuh di sini: Mendesain Inner Beauty bagi Muslim Ala Rasulullah Saw... Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia. Iqbal, Muhammad. 2015. 8 Golongan yang Dicintai Allah dan 6 Golongan yang Dibenci Allah. Bandung: Mizania. Muhammad, Ahsin Sakho. 2017. Oase Alquran Penyejuk Kehidupan. t.pn: Qaf. Muhsin, Raghib As-Sirjani dan Abdul. 2017. Orang Sibuk pun Bisa Hafal Alquran. Surakarta: PQ.S. Publishing. Mulyasa, E. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nata, Abuddin. 2012. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Nuryati, Sri. 2008. Halalkah Makanan Anda?. Surakarta: Aqwamedika. Shihab, M. Quraish. 2010. Tafsîr Al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran. Tangerang: Lentera Hati. _____. 2011. Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan Masyarakat Jilid II. Tangerang: Lentera Hati. Menjadikan Alquran Sebagai Pilar Visi Misi Provinsi Banten 207

_____. 2013. Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. _____. 2017. Akhlak: Yang Hilang Dari Kita. Tangerang: Lentera Hati. Siroj, Said Aqil. 2006. TaSaw.uf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan. Syafri, Ulil Amri. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Alquran. Jakarta: Rajawali Pers.

Sumber Internet Dares. 2017. “Visi Misi Provinsi Banten 2017-2022”. Diakses dari www. bantenprov.go.id, Pada Tanggal 12 April 2018 Pukul 09.09 WIB. Kabar Banten. 2017. “Hasil Survei LPTQ Terhadap Muslim di Banten, 76,72 Persen Belum Lancar Baca Alquran”. Diakses dari www.kabar-banten.com, Pada Tanggal 19 Maret 2018 16.42 WIB. Ridwan Aji Pitoko. 2018. “Polisi Tangkap Dua Remaja Wanita yang Aniaya Siswi SMP di Tangerang”. Diakses dari www.megapolitan.kompas.com, Pada Tanggal 18 Maret 2018 Pukul 20.24 WIB.

Revolusi Mental Masyarakat Banten (Transformasi dari Mental Mustahiq Menjadi Mental Muzakki)

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.15

Pendahuluan Indonesia kaya Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Tambang adalah bentuk SDA Indonesia yang hasilnya bisa dimanfaatkan menjadi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi. Pemerintah dengan wewenangnya berhak mengatur dan mengelola hasil tambang. Sektor ini dijadikan sebagai salah satu penunjang kesejahteraan rakyat, baik dalam skala besar maupun skala kecil. Hal ini karena faktor pertambangan bernilai ekonomis dan menjadi salah satu sumber pemasukan negara yang cukup besar nilainya (Salim HS, 2014:12). Selain dari sektor pertambangan, sektor panganpun menjadi perhatian khusus bagi bangsa Indonesia. Sebagai negara agraris, secara langsung Indonesia memiliki sumber pangan. Pangan menjadi kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup, sebagaimana (Isment, 2007:3 & Suryana, 2008:5) kecukupan pangan adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan Indonesia dan menjadi fokus utama dalam pertanian apalagi saat ini pemerintah sedang menggaungkan swasembada pangan. Sadar atau tidak, ternyata potensi alam ini dimiliki oleh masyarakat Banten.

209 210 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Di daerah Cikotok menjadi daerah penghasil emas, biji besi di Cikurut, bahan semen di Anyar, intan di Cibaliung dan penghasil batubara di gunung Kencana (banten.bps.go.id). Selain itu, provinsi Banten menjadi daerah penyangga pangan Ibu kota (detiknews.com). Artinya, kekayaan produk tambang dan pangan ini bisa mendongkrak perekonomian masya­rakat Banten khususnya dan negara pada umumnya. Namun, disamping berbangga dengan dengan kekayaan sektor per­ tambangan dan pangan ternyata tetap saja dihadapkan pada persoalan yang pelik. Banten sebagai negara kaya tampaknya perlahan meredup setelah pelbagai pertambangan milik negara telah dikuasai asing, pribumi menganggur, dan kemiskinan semakin teratur dan terstruktur. Bagaimana tidak, kemiskinan di provinsi tercinta ini masih menunjukkan angka yang memprihatinkan dari tahun ke tahun. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan hingga September 2017 naik 10,7 persen dari total penduduk di Banten (BPSBanten.go.id). Hal ini seperti sebuah aksi gali lubang tutup lubang yang tak berkesudahan. Pemerintah seolah memangkas rumput namun tidak sampai pada akarnya. Ironisnya, meskipun kekayaan SDA dan SDM berlimpah, ternyata terjadi impor beras, daging sapi, bahkan garam padahal Indonesia adalah negara maritim (dikelilingi pulau) harusnya justru mengeskpor bukan impor. Inilah yang menjadi persoalan serius. Hal ini disebabkan karena belum tertanam mental dan etos kerja yang lebih baik pada diri bangsa Indonesia serta minimnya kemampuan sumber daya manusia menjadi faktor penghambat kesejahteraan bangsa dan ini menjadi catatan penting bagi semua elemen masyarakat. Padahal provinsi Banten mayoritas muslim seharusnya menerapkan nilai-nilai Alquran, sehingga masyarakatnya tidak berada pada kondisi memprihatinkan dan ketergantungan dengan yang lain. Kita harus sadar, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya (Q.S.. Al-Ra’du:11). Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dibutuhkan transformasi mental masyarakat Banten yang malas bekerja dan hanya mengharap bantuan orang lain saja (mustahiq) menjadi mental yang siap bekerja keras demi kehidupan yang baik bagi mereka namun tidak melupakan yang lainnya (muzakki) dengan menerapkan empat unsur transformasi dan tiga nilai revolusi mental. Hal inilah yang dikaji lebih dalam makalah ini.

Tiga Nilai Revolusi Mental Gagasan revolusi mental di Indonesia sebenarnya telah digaungkan sejak pemerintahan Presiden Soekarno (Detiknews.2015). Menurutnya, revolusi Revolusi Mental Masyarakat Banten 211 mental adalah salah satu gerakan untuk melatih dengan sekuat tenaga generasi Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, dan berjiwa api menyala-nyala. Kata revolusi dipahami sebagai perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang. Sedangkan kata mental memiliki pengertian sesuatu yang menyangkut batin, watak dan bukan bersifat badan atau tenaga. Jika digabungkan, maka revolusi mental dapat dipahami sebagai gerakan perubahan mendasar dalam watak, batin, pola pikir manusia. Menteri dalam negeri Thahjo Kumolo mengatakan revolusi mental yakni perubahan mendasar terhadap cara berfikir, bekerja, dan cara hidup yang lebih baik (Hamry Gusman, 2016). Revolusi mental mengajak kita untuk menyadari dan mengubah sikap hidup yang tidak hanya sekedar hanyut dalam arus kehidupan serta tidak menjalani hidup sekedar pasrah mengalir seperti air, namun perlu adanya perubahan-perubahan menuju kemaslahatan hidup yang baik. Pendeknya, revolusi mental diartikan sebagai perubahan mendasar atas pola pikir (mindset) dan pola kerja yang mencerahkan. Ada tiga nilai dalam gerakan revolusi mental, yaitu integritas, etos kerja dan gotong royong (Kemenko, 2015:29). Integritas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 335) memiliki pengertian jujur dan dapat dipercaya. Orang yang memiliki integritas adalah yang dianggap baik, panutan dan menjadi teladan dalam banyak hal sebab mampu berkomitmen secara benar baik perkataan maupun perbuatan. Wujud integritas untuk mencapai kemakmuran dilakukan dengan cara masyarakat Banten harus berintegritas yang tinggi dan yakin, bahwa bisa melakukan segala sesuatu dengan baik. Sehingga, pekerjaan apapun yang dikerjakan akan maksimal dan optimal apalagi jika dibarengi dengan tekad bulat memajukan kesejahteraan. Nilai integritas terdapat dalam surat as-Shaf ayat 3:

ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ “Sangatlah besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan” Dengan demikian, jika masyarakat Banten memiliki integritas yang tinggi, maka pasti mampu mengemban amanah untuk mengelola kekayaan ini dengan penuh komitmen memajukan negara ini, Nilai revolusi mental yang kedua, etos kerja. Etos kerja juga mengandung sebuah makna tentang semangat yang menggelegar untuk mengubah sesuatu lebih bermakna (Toto tasmara, 2002:21). Etos kerja ini tentang perilaku kerja yang inovatif, memiliki daya saing yang tinggi, optimis, dan produktif juga 212 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran terangkai dalam Alquran surat at-Taubah ayat 105: ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kata “bekerjalah kamu” merupakan bentuk perintah yang tidak hanya untuk Rasulallah Saw., namun bentuk perintah ini juga berlaku untuk seluruh hambaNya. Lakukan dan kerjakan segala amalan karna nanti di hari kiamat segala amalan yang pernah dilakukan akan diperlihatkan dihadapan Allah swt, Rasul dan orang-orang mukmin. Selain merupakan bentuk perintah, kata ini juga sebagai bentuk ancaman untuk semua hamba Allah agar berusaha, bekerja, dan melakukan segala amalan baik dan meninggalkan yang buruk. Revolusi mental mengajak setiap jiwa untuk menuju pada perubahan yang lebih baik, sehingga jiwa akan terbiasa dan selalu terdorong untuk melakukan hal yang baik-baik. Bentuk kesadaran jiwa akan suatu keburukan, kemudian membiasakan jiwa untuk terbiasa melakukan hal baik dapat menjadi titik awal perubahan mental, jiwa, sikap menjadi lebih baik, berintegritas, selalu bekerja keras, dan selalu membangun kemitraan (gotong royong). Pada titik inilah revolusi mental seseorang untuk lebih baik akan terjadi. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa bekerja adalah salah satu kewajiban bagi umat manusia untuk mencari karunia dari Allah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sikap kerja keras, inovatif dan memiliki daya saing tinggi tentu akan membawa perubahan-perubahan dasar menuju penghidupan yang lebih baik. Jika, masyarakat ditananmkan dengan karakter kerja yang baik, maka akan selalu mengerjakan sesuatu dengan penuh usaha dan pasti akan menjadi pekerja keras. Sedangkan nilai revolusi mental yang ketiga adalah gotong royong. Gotong royong menjadi kerjasama kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan positif secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam Alquran gotong royong dikenal dengan istilah ta’awun. Kata ini terdapat pada surat al-Maidah ayat 2: ﯭ ﯮ ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶﯷ ﯸ ﯹﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ Revolusi Mental Masyarakat Banten 213

Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat berat siksaannya. Melalui ayat tersebut, Allah memerintahkan manusia untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan melarang untuk tolong menolong dalam keburukan. Semangat nilai-nilai gotong royong dapat tercermin pada sikap saling berbuat baik dan membangun mitra yang baik terhadap sesama. Adanya kerjasama tentu akan melahirkan kinerja dan keuntungan yang lebih baik pula antar kedua belah pihak. Hal ini berarti, diperlukan kerjasama dan kemitraan yang baik antar semua elemen masyarakat untuk bisa berjuang bersama mensejahterakan masyarakat menuju masyarakat sejahtera. Penjelasan nilai-nilai revolusi mental di atas menunjukkan bahwa pentingnya penerapan tiga nilai tersebut sebagai gerakan hidup baru dalam bermasyarakat. Masyarakat harus mampu mengubah pola pikir dan kerja lebih baik lagi demi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia menuju kesejahteraan bersama melalui gerakan revolusi mental.

Transformasi Mental Masyarakat Banten Melakukan suatu perubahan dibutuhkan keberanian. Dalam upaya menerapkan mental bangsa Indonesia agar lebih baik, maka diperlukan keberanian untuk melakukan transformasi. Empat unsur transformasi untuk merevolusi mental masyarakat dapat dilakukan melalui: a. Niat dan Semangat Berubah Lebih Baik (Niat) Niat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna maksud dari suatu tujuan. Secara bahasa Arab, niat adalah keinginan dalam hati untuk melakukan suatu tindakan (Kamus Al munawwir, 2007) atau simpelnya orang Arab berkata bahwa niat berarti “sengaja”. Kadang, niat juga diartikan dengan sesuatu yang dimaksudkan atau disengajakan dalam hati. Apa yang ada dalam hati, terkadang berbeda dengan apa yang ada pada lisan dan perbuatan. Maka, niat yang dilakukan oleh manusia hanya diketahui oleh Allah dan pemiliki hati tersebut. Hal ini, memberikan titik terang bahwa niat mengubah agar lebih baik adalah pondasi memajukan kondisi masyarakat Banten sekarang ini. Di tengah kondisi masyarakat yang lemah ekonomi ini diperlukan niat, tekad, komitmen dan semangat perubahan menuju Banten sejahtera. Sebagai masyarakat, sudah sepantasnya kita memiliki keinginan untuk mengubah nasib kita menuju lebih baik dan maju. Hal ini, membutuhkan usaha keras dari pribumi itu sendiri untuk mengubah keadaan. Sebagaimana dalam Q.S.. Al-Ra’du ayat 11 214 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Mengenai ayat ini, (Wahbah Zuhaili, 2015:126) mengungkapkan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan dan kondisi umat Islam yang mulia, kuat, makmur, sejahtera, unggul dan merdeka selagi umat Islam tersebut tidak mengubah dirinya pada perbuatan yang keji. Sedangkan, (Quraish Shihab, 2002: 556-557) menjelaskan bahwa ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial. Ini dapat dipahami dari penggunaan kata “qaum” pada ayat tersebut. Selain itu, ayat ini juga menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat. Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa ayat ini menunjukkan pesan revolusi mental bagi manusia untuk memperbaiki kehidupannya melalui perubahan-perubahan ke arah lebih baik. Perubahan tersebut tidak hanya dilakukan oleh individu saja, namun juga dilakukan dan disebarkan kepada masyarakat luas. Karna itu, boleh saja terjadi perubahan oleh penguasa namun jika masyarakatnya tidak berubah maka keadaan akan tetap sama seperti sediakala. Untuk itu, masyarakat harus mempertahankan nilai-nilai positif yang ditunjukkan dengan perubahan pola pikir dan mental pribadi masing-masing yang dimulai dengan membangun niat, tekad, dan komitmen dalam hati untuk sama-sama memperbaiki kondisi diri menuju lebih baik lagi. . b. Penanaman Nilai Karakter Moral dan Karakter Kinerja (at-Tarbiyah) Moral dalam Islam diartikan dengan akhlak. Karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budai pekerti atau kelakuan (Quraish Shihab, 1999:253). Akhlak atau moral juga diartikan sebagai watak atau tabiat manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu (Mukhson, 2013:9). (Quraish Shihab, 1999:254) Adanya dua isyarat dalam Alquran mengenai manusia bahwa kebikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan. Bentuk kebajikan yang kongkrit, tercermin dari moral. Moral sangat penting posisinya, jika manusia bermoral maka ia dihargai dan dihormati orang sekelilingnya. Begitu sebaliknya, jika seorang manusia tidak memiliki moral artinya ia tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Revolusi Mental Masyarakat Banten 215

Dengan segala kebaikan yang ada pada manusia maka karakter moral bangsa harus dibangun sedini mungkin, bahkan harus dibangun sebelum manusia mengenal kejahatan. Terdapat dua jenis karakter, yaitu karakter moral dan karakter kinerja (Anis, Baswedan, 2015:13). Pertama, karakter moral harus ditumbuhkan pada setiap pribadi. Bertakwa, jujur, berintegritas, dan segala kebaikan lainnya harus menghiasi jiwa dan mental masyarakat Banten sebagai bekal mengubah mental menjadi lebih beriman dan cerdas untuk mengubah mental diri agar tidak menjadi mustahiq (mental selalu ingin diberi) agar Banten sejahtera. Kedua, karakter kinerja. Hal ini juga sangat dibutuhkan dalam me­revolusi mental masyarakat Banten, sebab untuk mewujudkan Banten yang bahagia harus dilakukan dengan kerja keras, professional dan tanggung jawab. Jika hal ini yang dilakukan masyarakat, maka sangat dimungkinkan lambat laun karakter ini akan melekat pada diri bangsa dan upaya mewujudkan Banten sejahtera akan terwujud. c. Nasionalisasi Aset-aset Bangsa (al-Watoniyah) Sesuai dengan amanat pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (UUD) pada sila kelima bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia da nisi UUD pasal 33 ayat 2 menyebutkan “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini menjadi bukti bahwa segala kekayaan alam yang dimiliki Indonesia dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Sebagaimana yang kita ketahui, banyak aset Indonesia yang dikelola asing sebagai sumber daya manusia Indonesia justru terserap hanya sedikit yang menyebabkan pengangguran dimana-mana. Nasionalisasi, proses menjadikan sesuatu milik negara atau bangsa (KBBI:1988). Proses ini berarti sejalan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia, saat ini sumber daya alam di Indonesia, Banten khususnya yang dikenal dengan kawasan Industri, justru perusahaannya banyak dikuasai asing sehingga diperlukan proses nasionalisasi bagi setiap bangsa Indonesia demi kesejahteraan rakyat. Hal ini dimulai dari keberanian bangsa Indonesia untuk mengambil sikap, tidak dengan mudah memberi angin segar kepada asing untuk mengelolanya. Hal ini terbukti, banyak orang asing yang menjadi pekerja kasar (angkut pasir) di negeri kita, padahal pekerjaan itu pasti bisa dilakukan oleh pribumi (Kompas:2017). Padahal, telah jelas Allah berfirman dalam Q.S. An-Nahl 90. 216 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berbuat adil dan berbuat kebajikan. Ayat di atas, sangat penting dikaji berkaitan dengan bagaimana sikap menghadapi bangsa asing yang menguasai aset bangsa ini yakni. Lebih lanjut, proses nasionalisasi menurut ayat ini dilakukan dengan menyuruh pribumi untuk bersikap proporsional dan baik. Maksudnya, sikap proporsional ini tidak boleh membiarkan negara dan bangsa ini terpuruk tapi kita juga tidak bisa diam melihat keserakahan bangsa asing yang menjarah kekayaan negeri Indonesia dengan trik, strategi dan perhitungan yang matang. Usaha ini dilakukan dengan terus memperbaiki Sumber Daya Manusia dengan membekali dengan pendidikan dan keterampilan. Sedangkan, kata ihsan berarti baik, bagus. Maksudnya, hanya pemimpin yang ihsan (tidak hanya janji di lisan) ia berani menasionalisasi aset bangsa ini yang tentunya harus dengan mufakat semua elemen masyarakat demi kesejahteraan rakyat. d. Tawakkal Tawakkal adalah pasrah diri terhadap kehendak Allah. Orang yang ber­tawakkal artinya orang yang punya iman, artinya segala sesuai dengan pengawasan Allah. Tanda orang yang bertawakkal bersikap optimis, tenang dan tentram atas apa yang telah diterimanya. Tawakkal juga diartikan sebagai wujud penyandaran hati kepada Allah dan percaya Allah berkuasa atas segala sesuatunya (Syaikh Ahmad Farid, 2012: 348). Kata tawakal disebut dalam Alquran sebanyak 83 kali dalam 31 surat (Jejen, Musfah, 2001:189) diantaranya Q.S.. Ali Imran 159, al-Anfal 61, Hud 123, al-Furqan 58, al-An’am 66, asy-Syuara 217 yang semuanya mengacu pada penyerahan. Dengan demikian, Islam menyuruh pemeluknya untuk berusaha keras, dan beramal di jalan Allah dan mewajibkan agar segala usaha dan amalnya dikerjakan sambil bertawakal kepada Allah. Dalam rangka memajukan Banten menuju lebih baik maka diperlukan mental bangsa agar menjadi pekerja keras, bermoral, dan tawakal kepada Allah. Artinya, jika masyarakat telah sepakat melakukan usaha terbaik untuk negeri ini, maka diperlukan niat yang baik, karakter moral dan kinerja yang baik, menasionalisasi aset bangsa, setelah itu serahkan kepada Allah. Revolusi Mental Masyarakat Banten 217

Penutup Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk merevolusi mental masyarakat Banten menjadi lebih baik lagi tidak bisa dilakukan secara instan. Namun, diperlukan proses untuk mewujudkannya. Dalam hal ini, transformasi menjadi jalan keluar untuk mengubah mental masyarakat Banten agar aset negara tidak dikelola asing dan tidak import kebutuhan pokok (mental mustahiq ) menuju masyarakat pekerja keras, mengelola kekayaan alam secara mandiri dan ekspor kebutuhan pokok (muzakki) untuk hidup sejahtera dan lebih baik lagi. Proses transformasi ini terdiri dari (niat, tarbiyah, nasionalisasi dan tawakkal) dan dengan menerapkan tiga nilai revolusi mental bidang ekonomi yakni integritas, etos kerja dan gotong royong. Jika proses transformasi dan nilai revolusi mental ini diterapkan oleh masyarakat Banten, maka akan tercipta mental-mental pekerja keras (muzakki) yang akan membantu perekonomian lebih baik lagi.

Pustaka Acuan: Sumber Buku A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Indonesia dan Arab, Surabaya: Pustaka Progressif, 2007 Hayyie, Abdul, Tafsir al-Munir Wahbah Zuhaili Jilid 7, Jakarta: Gema Insani, 2014 Alquran dan Terjemahan, Jakarta: Kemenag RI, 2010 Baswedan, Anis, Merawat Tenun Bangsa, Jakarta: Serambi, 2015 Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002 Gusman, Hamry, 5 Pilar Revolusi Mental, Jakarta:PT. Elex Media Komputindo, 2016 Ismet, M. Tantangan Mewujudkan Kebijakan Pangan yang Kuat, Jakarta: Badan Urusan Logistik, 2007 Muchson, Nilai-nilai Pendidikan Karakter Dalam Serat Wedhatama, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013 Musfah, Jejen, Indeks Alquran Praktis, Bandung: Mizan, 2001 Salim, HS, Hukum Pertambangan dan Batubara, Jakarta: Sinar Grafika, 2014 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Jakarta: Lentera Hati, 2002 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Vol 2, cet. VIII, Jakarta: Lentera Hati, 2007 Shihab, M. Quraish, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan, 1999 218 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Suryana, A, Menelisik Ketahanan Pangan dan Swasembada Beras: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008 Farid, Syaikh. Ahmad, Tazkiyatun Nafs, Ter. M. Suhadi, Yoyakarta: Ummul Quro, 2012 Tasmara, Toto, Membudayakan Etos Kerja Islami, Jakarta: Gema Insani Press, 2002 Tim Penyusun Pusat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007

Sumber Internet www.BPSBanten.go.id www.detiknews.com www.kompas.com Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi Mental dalam Membentuk Generasi Qur’ani

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.04

Pendahuluan Pesatnya kemajuan dan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah membuka era baru dalam perkembangan budaya, serta cara berfikir umat manusia yang dikenal dengan era globalisasi. Pada era ini ditandai dengan semakin dekatnya jarak dan hubungan serta komunikasi antar bangsa dan budaya umat manusia. Dunia tampak sebagai satu kesatuan system yang saling memiliki ketergantungan antar satu dengan yang lainnya. Dalam suasama semacam itu, tentunya umat manusia membutuhkan seorang yang dapat membawa kepada jalan kebaikan. Dalam realita hidup, generasi muda Indonesia, masih terbelenggu dengan masalah narkoba atau obat-obatan terlarang. Banyak dari mereka yang ter­ perangkap dalam hasutan teman pergaulannya sehingga ikut-ikutan untuk mengonsumsi barang itu. Setelah terperangkap, mereka akan terus membuat semacam geng atau biasa disebut “Komplotan narkoba” untuk membujuk generasi muda yang masih mengalami transisi. Tidak hanya orang dewasa ataupun remaja, bahkan anak-anakpun bisa jadi korbannya. Namun, semua itu tidak akan dibiarkan begitu saja oleh generasi muda yang masih sadar dan tahu akan pentingnya nasib bangsa Indonesia di masa

219 220 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran depan. Mereka tidak akan tinggal diam dan termenung, melainkan cepat sigap mangantisipasi serta menumpas habis masalah generasi muda penerus bangsa untuk tuntas dari berbagai persoalan yang sedang menimpanya. Oleh karena itu, harus ada cara bagaimana mengantisipasi hal tersebut. Syekh Az-Zarnuji menjelaskan bahwa ketika temanmu itu mempunyai tabiat jelek dan perusak maka jauhilah ia dengan secepatnya sebelum kejelekan temanmu itu mempengaruhimu, lalu kamu berulah seperti apa yang dilakukannya. Namun jika temanmu itu adalah sosok yang mempunyai tabiat baik, maka bertemanlah kamu dengannya, supaya kamu mendapatkan petunjuk, sebab pertemanan itu berpengaruh, karena itu buah dan manfaat dari sebuah pertemanan akan berpengaruh untukmu. Hal ini seperti apa yang telah dikukuhkan dalam sebuah hadiys, bahwa sesungguhnya pertemanan itu punya sisi yang dapat mempengaruhi, jika tidak maka semua makhluk yang diciptakan Allah SWT akan terhindar dari kerusakan dan hal buruk atau celaka. (2006:14) Dengan demikian, sebagai seorang pelajar atau generasi muda hendak­nya dalam bergaul membatasi dirinya untuk tidak berteman dengan orang-orang yang malas atau mempunyai akhlak jelek. Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar merupan tujuan utama dan termulia diciptakannya seorang manusia. Sebagaimana Allah SWT ber­firman:

ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (Q.S Ali-Imran [3]:104) (Tubagus Najib, 2012:63). Dengan turunnya perintah tersebut, maka hendaknya ada sebagian orang dari orang-orang yang beriman yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, agar umat manusia tidak tenggelam dalam kesesatan, dan sekaligus dapat mengurangi jumlah kemaksiatan. Jika di dalam suatu masyarakat telah ada sejumlah orang yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, maka masyarakat semacam itu akan terlindungi dari murka dan siksaan-Nya. Dengan adanya ustad gaul akan dapat merubah mental generasi qur’ani saat ini, karena ustad gaul dapat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, serta berperan sangat penting bagi para remaja bahkan anak-anak, juga dapat menyampaikan dakwah sesuai dengan situasi, kondisi, dalam masyarakat sekitar, baik dalam bahasanya, gayanya, mauapun cara penyampaiannya. Sehingga dapat diterima oleh masyarakat serta para remaja khususnya. Bertolak dari pemikiran di atas, tulisan ini bermaksud menjelaskan bahwa ustad gaul dapat mengatasi rekonstruksi revolusi mental dalam membentuk generasi qur’ani. Maka, starting point dari masalah di atas yaitu apa yang di Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi Mental dalam Membentuk Generasi Qur’ani 221 maksud ustad gaul? Bagaimana gagasan rekonstruksi revolusi mental? Apa saja ikhtiar untuk membentuk generasi qur’ani?

Mengurai Makna Ustad Gaul Ustad menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu tuan, guru, atau mahaguru (laki-laki) pada madrasah. (Tim Pustaka Phoenix, 2010:928). Menurut Daradjat guru adalah pendidik professional, karena secara implisit ia telah merelakan dirinya memikul sebagian tanggung jawab pendidik yang terpikul di pundak orangtua. Di Negara-negara Timur sejak dahulu kala guru dihormati oleh masyarakat. Orang India dahulu, menganggap guru itu sebagai orang suci dan sakti. Di Jepang, guru disebut sensei, artinya yang lebih dahulu lahir atau yang lebih tua. Di Inggris, guru itu dikatakan teacher, dan di Jerman der Lehrer, keduanya berarti pengajar, melainkan pendidik, baik di dalam maupun di luar sekolah. Ia harus menjadi penyuluh masyarakat. (2016:39-40). Sedangkan gaul, mungkin orang beranggapan bahwa gaul itu identic dengan aneka pernak-pernik yang melekat di tubuhnya, seperti gelang, cincin, anting, kalung, rantai, dan lain-lain. Padahal, arti gaul itu sendiri bukanlah demikian, sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti gaul itu adalah hidup berteman atau bersahabat. (Tim Pustaka Phoenix, 2010:275). Jadi, ustad gaul adalah seorang guru yang hidup berteman atau bersahabat dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Sehingga dapat dijadikan contoh yang baik bagi kaaum remaja sebagai generasi di masa yang akan dating untuk meneladani jejak dakwah menegakkan amar ma’aruf nahi munkar. Agama Islam sangat menghargai orang-orang yang berilmu pengetahuan seperti layaknya seorang guru, sehingga hanya mereka sajalah yang pantas mencapai taraf ketinggian dan keutuhan hidup. Sebagaimana Allah SWT berfirman

ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍ ﰎ ﰏ ﰐﰑ …Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat… (Q.S Al-Mujadalah [58]:11) (Tubagus Najib, 2012:543) Dengan demikian, Imam Jalaluddin Al-Mahalli menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa “Niscaya Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian karena ketaatannya dalam hal tersebut dan Dia me­ ninggikan pula orang-orang yang diberi ilmupengetahuan beberapa derajat di Surga nanti. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan” (tt:450). Oleh karena itu, Allah SWT akan meninggikan derajat di Surga nanti kepada orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu pengetahuan. Diantara­ 222 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran nya kepada seorang guru, karena guru memiliki ilmu, selain memiliki ilmu, ia mengamalkan kepada orang-orang yang senantiasa ingin mendapatkan ilmu agar bermanfaat. Akan tetapi, jika seorang guru tersebut tidak beriman, maka tidak akan ditinggikan derajat oleh-Nya, karena beriman dan berilmu harus ada pada diri manusia, terutama oleh seorang guru sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar.

Gagasan Rekonstruksi Revolusi Mental 1. Menggagas rekonstruksi Rekonstruksi adalah pembinaan baru atau pembangunan kembali. (Qohar, tt:213). Seorang ustad atau guru harus menyadari perannya sebagai orang yang dipercaya, dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental, serta berakhlak mulia. (Mulyasa, 2015:178). Di antara makhluk hidup di muka bumi ini, manusia merupakan makhluk yang unik, dan sifat-sifatnya pun berkembang dengan unik pula, menjadi apa dia, sangat dipengaruhi pengalaman, lingkungan dan pendidikan. Untuk menjadi manusia dewasa, manusia harus belajar dari lingkungan selama hidup dengan menggunakan kekuatan dan kelemahannya. Pendekatan psikologis dan mental healt di atas akan banyak menolong guru dalam menjalankan fungsinya sebagai penasehat, yang telah banyak dikenal bahwa ia banyak membantu peserta didik untuk dapat membuat keputusan sendiri. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩﭪ Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf. Dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah… (Q.S Ali-Imran [3]:110) (Tubagus Najib, 2012:64) Cara berdakwah yang paling mendekati keberhasilan adalah hendaknya si da’i hidup dengan apa yang ia sampaikan kepada umat atau pendengar dakwahnya. Sebab, tujuan dakwah hanyalah untuk mengajak manusia kepada jalan Allah SWT yang lurus. Dan seorang mukmin adalah siapa yang lahir maupun batinnya lurus. Dan seorang mukmin adalah siapa yang lahir maupun batinnya lurus. Jika hidup seorang mukmin setengah-setengah, maka ia dapat dikatakan sebagai seoarang yang bersikap munafik. Oleh karena itu, seorangda’i harus bersih dari segala sifat tidak terpuji. Karena keimanan yang kuat bernilai sangat tinggi, dan ia tidak akan menyampaikan sesuatu kecuali yang baik serta lurus di setiap masa dan tempat. Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi Mental dalam Membentuk Generasi Qur’ani 223

Syekh Manna’ Al-Qaththan mengatakan alam yang luas dan dipenuhi makhluk-makhluk Allah SWT ini, gunung-gunung yang menjulang tinggi, samudranya yang melimpah, dan datarannya yang menghampar luas, menjadi kecil dihadapan makhluk yang lemah, seperti manusia. Yang demikian disebabkan Allah SWT telah menganugrahkan kepadanya berbagai keistimewaan, dan memberinya kekuatan berfikir yang mampu menebus segala sisi untuk menundukkan unsur-unsur kekuatan alam tersebut dan menjadikan sebagai pelayan bagi kepentingan kemanusiaan. Allah SWT sama sekali tidak akan melantarkan manusia tanpa memberikan kepadanya sebersit wahyu, dari waktu ke waktu, yang akan membimbingnya ke jalan petunjuk sehingga mereka dapat menempuh kehidupan ini atas dasar keterangan dan pengetahua. Ungkapan tersebut memberikan penyerahan kepada setiap manusia, bahwa Allah SWT telah menganugrahkan kepada manusia sebagai keistimewaan. (2004:257). Oleh karena itu, seorang ustad gaul sangat berperan bagi kehidupan generasi qur’ani saat ini, dan harus merekonstruksinya agar timbul banyak generasi-generasi seperti ustad gaul tersebut, karena dapat mencetak generasi yang berakhlak Alquran, dan dapat merubah mental generasi saat ini. Setiap kali terdegar berita tentang wafatnya guru atau ulama, betapa setiap dada mukmin pasti bergetar, khawatir yang patah takkan tumbuh dan hilang berganti. (El Saha, 2008:9). Persoalan mendasar yang mungkin inheren dengan keprihatinan umat dengan kelangkaan ustad saat ini, karena beban dan tugas mereka begitu berat dalam merekat umat untuk tidak terpecah-pecah. Pada dasarnya ustad memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan bangsa. Hal ini karena ketokohannya di bidang ilmu agama dan merupakan panutan masyarakat. Sebagai panutan, mereka mempunyai charisma. Sampai sekarang, masyarakat umumnya masih menerima dan menghayati pengertian ustad sebagai ketokohan yang khas. Selain itu, tugas menegakkan amar ma’ruf nahi munkar bukanlah merupakan tugas utama seorang ustad gaul atau setiap mukmin semata. Akan tetapi, lebih jauh dari itu juga menjadi tugas utama Negara dan pemimpinnya. Sebab, mereka mempunyai kekuasaan untuk menindak segala kemunkaran melalui kekuasaan yang tengah disandangnya, seperti menghapuskan perzinaan, perjudian, minuman keras, dan penimbunan barang kebutuhan pokok. Pekerjaan semacam itu tidak dapat dilakukan oleh orang biasa yang tidak mempunyai kewenangan atau kekuasaan apa pun. Apalagi jika ia bertindak dengan kekerasan, tentunya ia akan menghadapi tuntutan hukum dari Negara. Jika para pemimpin suatu negeri tidak mau menindak segala bentuk perbuatan munkar dengan kekuatan dan kekuasaan yang telah diamanahkan, maka mereka harus diberi peringatan oleh rakyat yang telah memilih mereka sebagai para pemimpin pada negeri tersebut. Alhasil, tugas amar ma’ruf nahi munkar adalah beban bagi setiap mereka yang mengaku dirinya sebagai muslim dan mukmin. 224 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

2. Menuju ke arah revolusi mental Setiap ustad atau guru dituntut untuk memiliki kompetensi kepribadian yang memadai, bahkan kompetensi ini akan melandasi atau menjadi landasan bagi kompetensi-kompetensi lainnya. Dalam hal ini, ustad atau guru tidak hanya dituntut untuk mampu memaknai pembelajaran, tetapi dan yang paling terpenting adalah bagaimana dia menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik secara berkesinambungan. Revolusi mentalharus dapat membangun pribadi guru yang dapat dijadikan contoh dan teladan bagi peserta didik. Guru merupakan contoh dan teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. (Mulyasa, 2015:174). Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Keprihatinan, kerendahan, kemalasan, rasa takut, secara terpisah ataupun bersama-sama bisa menyebabkan seseorang berfikir atau berkata “Jika saya harus menjadi teladan atau dipertimbangkan menjadi model, maka pembelajaran bukanlah pekerjaan yang tepat bagi saya. Saya tidak cukup baik untuk diteladani, di samping saya sendiri ingin bebas untuk menjadi diri sendiri dan untuk selamanya tidak ingin menjadi teladan bagi orang lain. Jika peserta didik harus memiliki model, biarkanlah mereka menemukan dimanapun”. Alasan tersebut tidak dapat dimengerti, mungkin dalam hal tertentu dapat diterima tetapi mengabaikan atau menolak aspek fundamental dari sifat pembelajaran. Menjadi contoh dan teladan merupakan sifat dasar kegiatan pembelajaran, dan ketika seorang guru tidak mau menerima ataupun menggunakannya secara konstruktif maka telah mengurangi keefektifan pembelajaran, peran fungsi ini patut dipahami, dan tidak perlu menjadi beban yang memberatkan, sehingga dengan keterampilan dan kerendahan hati akan memperkaya arti pembelajaran.

Ikhtiar Untuk Membentuk Generasi Qur’ani 1. Strategi dalam membentuk generasi Dalam menangani hal dakwah, seorang ustad gaul harus mengetahui serta mengamalkan 3 metode berdakwah yang dijelaskan dalam firman-Nya:

ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi Mental dalam Membentuk Generasi Qur’ani 225

Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk (Q.S An-Nahl [16]:125) (Tubagus Najib, 2012:281). Berdasarkan ayat di atas, metode dakwah di dalam Alquran ada 3 perkara, yaitu: a. Bil Hikmah (Kebijaksanaan) Yaitu cara penyampaian dakwah sesuai dengan keadaan penerima dakwah. Contoh ceramah dalam pengajian, pemberian santunan kepada anak yatim, korban bencana alam, pembangunan tempat ibadah, dan lain-lain. b. Mauizhah Hasanah Yaitu memberi nasehat atau mengingatkan kepada orang lain dengan tutur kata yang baik, sehingga nasehat tersebut dapat diterima tanpa ada unsur keterpaksaan. Miasalnya, ceramah umum, , kunjungan keluarga, penyuluhan, dan lain-lain. c. Mujadalah (Bertukar pikiran dengan cara yang baik) Pada zaman sekarang, bertukar pikiran menjadi suatu kebutuhan karena tingkat berpikir masyarakat sudah mengalami kemajuan. Namun demikian, seorang da’i harus mengetahui kode etik dalam pembicaraan atau perdebatan sehingga akan memperoleh mutiara kebenaran, bahkan terhindar dari ingin mencari popularitas ataupun kemenangan semata. Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam ayat Wa Jaadilhum Billati Hiya Ahsan yakni terhadap orang-orang yang dalam rangka menyeru mereka diperlakukan perdebatan dan bantahan. Maka hendaknya hal ini dilakukan dengan cara yang baik, yaitu dengan lemah lembut, tutur kata yang baik, serta secara yang bijak. (2006:292). Dari ketiga metode dakwah di atas. Maka ada beberapa upaya dakwah ustad gaul dalam membentuk generasi qur’ani di antaranya; 1) Berdakwah dengan penuh kasih sayang Seorang da’i atau ustad adalah pejuang yang mengembangkan kasih sayang kepada segala sesuatu. Dia tidak akan menggunakan cara-cara yang keliru untuk menyampaikan dakwahnya, misalnya menggunakan kekerasan, kekuatan, dan paksaaan. Karena untuk meneguhkan iman dalam hati seseorang tidak perlu menggunakan cara yang keliru seperti yang disebutkan di atas. Untuk menerangkan keimanan kepada orang lain dibutuhkan sikap kasih sayang, toleransi, dan kesabaran. Bila ini yang dilakukan maka keimanan dapat tumbuh subur di hati setiap orang yang berjiwa qur’ani. 2) Mengiringi dakwah dengan do’a Berdo’a merupakan tugas utama yang harus senantiasa dilakukan oleh 226 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

seorang da’i atau ustad, karena berdo’a merupakan sarana paling utama untuk berhubungan dengan Allah SWT. Setiap ingin melakukan sesuatu harus diawali dengan niat dan do’a, agar setiap aktivitas mendapatkan ridho-Nya. 3) Berdakwah dengan cerdas Seorang da’i atau ustad yang selalu mengajak orang lain ke jalan Allah SWT, hendaknya berfikir objektif, sehingga dapat menempatkan dirinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. Ketika ia berbicara dihadapan para pendengarnya, ia menyesuaikan materi dan bahasanya sesuai kemampuan berpikir para pendengarnya. Sehingga pembicaraan dapat diterima oleh mereka, karena isi pembicaraanya dikagumi oleh para pendengarnya, tidak muluk-muluk, tidak membosankan, dan tidak menyakitkan hati mereka. 4) Menjaga empati Setiap mukmin khususnya para da’i dan ustad, hendaknya mempunyai perasaan sangat prihatin ketika melihat kesesatan dan pembangkangan umatnya terhadap agama Allah SWT. Dengan perasaan itu, maka hatinya akan tergerak untuk membimbing ke jalan yang lurus, seperti yang dirasakan oleh Rasulullah SAW., ketika melihat kaumnya sangat sesat, sehingga Alquran menggambarkan sebegai berikut, seperti yang disebut dalam firman-Nya:

ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan), karena mereka (penduduk mekah) tidak beriman (Q.S Asy-Syu’ara [26]:3) (Tubagus Najib, 2012:367). Dengan demikian, Allah SWT mengisyaratkan bahwa beliau sangat menghawatirkan keselamatan umatnya ketika mereka menentang ajaran Islam. Sifat ini hendaknya dimikili oleh para da’i dan ustad. 5) Memiliki kedalaman ruhani Seorang da’i atau ustad harus mempunyai ruhani yang sangat dalam, karena perilaku dan tutur katanya akan dijadikan suri tauladan yang baik bagi orang lain dan sebagai tanda bahwa ruhani adalah sehat. Jika seorang da’i atau ustad sangat dalam keruhaniannya, maka ia akan sukses dalam berdakwahnya kepada orang lain. 6) Melaksanakan dakwah dengan penuh kerinduan Seorang da’i atau ustad yang melaksanakan tugasnya dengan penuh kerinduan dan merindukan, maka ia tidak berharap imbalan apapun dari selain Allah SWT. Karena ia mengetahui bahwa rizki itu sudah diatur oleh Sang Pemberi Rizki yaitu Allah SWT. Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi Mental dalam Membentuk Generasi Qur’ani 227

7) Memelihara kebersihan qalbu Hendaknya setiap da’i atau ustad mempunyai hati yang bersih dan hati yang lemah lembut, ketika menyampaikan dakwahnya kepada orang lain. Kalu tidak, maka hubungannya dengan Allah SWT akan kotor, sehingga setiap kalimat dari dakwahnya tidak akan memberi pengaruh sedikitpun bagi para pendengarnya. Selain yang dipaparkan di atas, ustad gaul melakukan dakwah sesuai dengan keberadaan jama’ahnya, apabila mayoritas para remaja, maka ustad gaul menggunakan bahasa remaja, seperti halnya Alm. Ustad Jefri Albuchori, Ustad Hannan Attaki, Ustad Evie Effendi, dan lain-lain. Para ustad gaul tersebut menyampaikan dakwah dengan bahasa yang mudah dipahami terlebih kepada generasi qur’ani. Sehingga apa yang disampaikan bisa diterima oleh orang yang mendengarkannya. Di sisi lain dari penampilan atau gaya penyampaiannya, menggunakan pakaian yang sederhana, tetapi sesuia syar’i. Dan materi yang disampaikan sangat diterima oleh masyarakat yang mendengarkannya. Di samping itu Aziz berpendapat bahwa seorang da’i harus berwawasan luas agar suasana lebih hidup, dinamis, berisi, tidak monoton, menarik, memasyarakat, dan enak didengar. (2015:33). Selain itu, seorang da’i harus humoris dan punya bakat menghibur. Bakat itu diperlukan karena tugas seorang da’i yang harus mampu menghipnotis dan menghibur para pendengar. Bahkan di zaman sekarang ini, dakwah bagi pendengar sudah identik dengan hiburan (entertainment). Sebenarnya, menegakkan tugas amar ma’ruf nahi munkar di tegah masyarakat yang telah rusak merupakan pekerjaan yang cukup meminta perhatian. Sehingga nilainyapun akan jauh lebih bagus dari pada beribadah dengan cara mengasingkan diri dari banyak orang banyak. Andaikata tugas ini tidak mempunyai nilai dari ibadah seseorang, tentunya Rasulullah SAW. tidak akan pernah meninggalkan kediaman beliau untuk berhijrah, dan tidak akan melepaskan diri beliau dari senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Atau dengan kata lain, tentunya beliau tidak akan bergaul dengan orang banyak, demikan pula, andaikata tugas suci ber-amar ma’ruf nahi munkar tidak lebih mulia nilainya dari berbagai macam ibadah-ibadah individu yang lain, tentunya Allah SWT tidak akan berfirman sebagai berikut:

ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ Wahai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah! Lalu berilah peringatan” (Q.S Al-Muddatsir [74]:1-2) (Tubagus Najib, 2012:575). Memang semua ajaran agama ini berisikan nasihat bagi setiap pe­ngikutnya. Karenanya, menegakkan tugas suci amar ma’ruf nahi munkar merupakan pengabdian paling besar. Demikian pula setiap da’i harus mengenalkan kepada 228 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran setiap muslim atas kitab Alquran sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ Sungguh, Kami telah mendatangkan Kitab (Alquran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.S Al-A’raf [7]:52) (Tubagus Najib, 2012:157). Pemuda termasuk dalam naungan Surga jika pemuda yang tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah SWT. (Handoko, 2014:9). Mengapa pemuda yang demikian itu menjadi begitu istimewa? Karena masa remaja itu dipenuhi dengan berbagai gejolak dan problematika. Apalagi dengan kondisi kejiwaan masih labil, kemungkinan para pemuda terjerumus ke dalam pergaulan yang rusak, hanya menuruti syahwatnya jauh lebih besar dari pada kemungkinan menjadi pribadi yang tenang (Mutmainnah) dan rajin (Istiqamah) mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pertalian dan kerja sama yang erat antara guru-guru lebih berharga dari pada gedung yang molek dan alat-alat yang cukup. Sebab apabila guru-guru saling bertentangan, anak-anak akan bingung dan tidak tahu apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang. Oleh karena itu, guru hendakya jangan bersikap seperti majikan terhadap bawahannya. Malahan ia harus mengabdi kepada guru-guru lain, artinya ia harus mengurus dan siap sedia memperjuangkan kepentingan guru-guru lain. (Daradjat, 2016:44)

2. Final goal generasi qur’ani Alquran sangat mudah untuk dipelajari jika ia benar-benar dan bersungguh- sungguh untuk mempelajarinya, sebagaimana Allah SWT berfirman

ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ Dan sungguh, telah Kami mudahkan Alquran untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? (Q.S Al-Qamar [54]:17) (Tubagus Najib, 2012:529). Dengan demikan, bahwa Alquran itu mudah untuk dipelajari jika benar- benar ingin mempelajarinya. Alquran mencakup sehgala aspek, bukan hanya tilawahnya, tetapi juga pemahaman terjemah dan tafsirnya. Bagi umat Islam yang peduli dengan ketentuan agama, sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak bisa lancar membaca dan memahami isinya dengan baik. Apalagi selama ini banyak pihak dan lembaga yang konsen dalam memberikan perhatian kepada Alquran, agar dikaji dan dipelajari secara serius, terpadu, dan berkesinambungan. Mereka berusaha secara optimal dengan berbagai cara untuk mendekatkan dan mengakrabkan masyarakat muslim Indonesia dengan bacaan, hafalan, Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi Mental dalam Membentuk Generasi Qur’ani 229 dan pemahaman Alquran. Apabila seorang telah mempelajari Alquran serta memahaminya, maka akan dapat menjadi seseorang berkarakter qur’ani. Alquran mempunyai banyak sisi keutamaannya, sebagaimana Ahsin Sakho Muhammad mengibaratkan Alquran seperti berlian yang mempunyai banyak sisi. Jika dipandang dari satu sisi akan menampakkan keindahan tersendiri. Dilihat dari sisi yang lain akan tampak keindahan yang lain. Berlian itu sendiri selalu berkelipan sepanjang zaman. Hanya mereka yang mempunyai hati tulus, bersih, dan haus akan nilai-nilai Alquran akan bisa menikmati keindahan itu. (2017:6). Selain itu, bahasa Alquran sangat indah dan teliti. Sebagaimana Quraish Shihab mengibaratkan keindahan bahasa Alquran bagaikan seorang perempuan yang menyandang aneka tolak ukur kecantikan, warna kulit putih menarik, bibirnya bagaikan delima merekah, matanya bagai bintang kejora, hidungnya mancung menarik, dan perawakannya semapai. (2013:337)

Penutup Ustad gaul adalah seorang guru yang hidup berteman atau bersahabat dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Sehingga dapat dijadikan contoh bagi kaum remaja sebagai generasi di masa yang akan dating untuk meneladani jejak dakwah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Bukan berarti ustad gaul itu identik dengan aneka pernak pernik yang melekat di tubuhnya. Sebagai seorang ustad gaul memiliki peran dalam rekonstruksi revolusi mental membentuk generasi qur’ani di antaranya sebagai orang yang dipercayai oleh masyarakat, sebagai penasihat untuk senantiasa berada dalam jalan yang lurus, serta sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar untuk dapat mencetak generasi yang berkarakter qur’ani serta menjadi generasi yang bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa. Dalam upaya dakwah ustad gaul membentuk generasi qur’ani di antara­ nya berdakwah dengan penuh kasih sayang, memupuk sikap pengorbanan, mengiringi dakwah dengan do’a, berdakwah dengan cerdas, menjaga empati, me­miliki kedalaman ruhani, melaksanakan dakwah dengan penuh kerinduan, serta memelihara kebersihan qalbu. Alhamdulillah ‘alaa Kulli Haal. Dengan selesainya makalah yang sederhana ini, berharap akan selalu ada seseorang yang dapat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar untuk kemaslahatan umat. Selanjutnya, sebagai pemerintah harus ada perhatian khusus terhadap ustad, terlebih kepada ustad yang mengajarkan Alquran, agar ustad dengan pemerintah bisa bersatu untuk mewujudkan generasi yang berkarakter qur’ani. 230 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan: Al-Mahalli, Jalaluddin. Tafsir Jalalain. Surabaya: Nurul Huda. tt. Al-Qaththan, Manna. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah. 1425H./2004M. Aziz, Muhammad Abdul. Jurus Jitu Da’i Profesional. Kediri: Lirboyo Press. 2015. Az-Zarnuji. Ta’lim Muta’lim. Bandung: Alharomain Jaya. 2006. Daradjat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2016. El Saha, M. Ishom. Manajemen Kaderisasi Ulama. Jakarta: Transwacana. 2008. Handoko, Rahmat. Pemuda Pemudi Yang Dirindukan Surga. Jakarta: Matabara. 2014. Ibrahim, Ibnu. Dakwah Jalan Terbaik Dalam Berpikir dan Menyikapi Hidup. Jakarta: PT. Gramedia. 2014. Kasir, Ibnu Abul Fida Ismail. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2006. Maarif, Ahmad Syafii. Alquran dan Realitas Umat. Jakarta: Republika. 2010. Muhammad, Ahsin Sakho. Oase Alquran Penyejuk Kehidupan. Jakarta: PT. Qof Media Kreativa. 2017. Mulyasa, E. Revolusi Mental Dalam Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2015. Najib, Tubagus. Mushaf Al-Bantani Alquran dan Terjemahnya. Serang: Majelis Ulama Indonesia Provinsi Banten. 2012. Qohar, Mas’ud Khasan Abdul, Kamus Istilah Pengetahuan Populer. Yogyakarta: CV Bintang Pelajar. tt. Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. 2013 Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. Jakarta: PT Media Pustaka Phoenix. 2010. Yusuf, Kadar M. Studi Alquran. Jakarta: Amzah. 2014. Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh Perkotaan di Banten

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.01

Pendahuluan Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Terkait hal tersebut, seharusnya bangsa ini mencerminkan karakter Islam pada diri manusia-manusianya. Manusia pada hakikatnya selalu menginginkan kebahagiaan. Namun sebenarnya, kebahagiaan yang hakiki bukan didapat dari bebasnya kehidupan yang kita jalani, melainkan melalui pola hidup yang konsisten menaati peraturan tertentu, yaitu agama. Agama berperan sebagai pendorong atau penggerak serta mengontrol tindakan anggota-anggota masyarakat agar tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya sehingga terciptanya ketertiban sosial. Karena dalam kehidupan bermasyarakat, selalu terdapat permasalahan-permasalahan atau bahkan penyimpangan sosial yang dilakukan oleh manusia. Penyimpangan sosial dapat terjadi disebabkan beberapa faktor, salah satunya yaitu bobroknya akhlak. Akhlak yang buruk tercipta dari moral yang buruk, dan moral yang buruk merupakan hasil dari mental yang buruk. Mental secara bahasa diartikan sebagai kejiwaan, rohani, batin, mengenai pikiran atau pola pikir (mindset), sikap, dan kepribadian. Mental yang ber­sumber

231 232 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran dari agama akan menjadi kuat dan tahan terhadap berbagai benturan zaman, sehingga agama akan tetap memposisikan dan membimbing manusia sebagai manusia seutuhnya sesuai dengan fitrahnya. Manusia dipandang sebagai satu- satunya makhluk moral, yakni makhluk yang dapat menilai baik dan buruk. Orang baik adalah orang yang memfokuskan dirinya untuk meraih tujuan penciptaan­ nya.1 Dengan demikian, merevolusi mental menjadi lebih baik merupakan salah satu cara untuk mengurangi angka penyimpangan sosial. Banten merupakan salah satu provinsi yang didalamnya terdapat penyimpangan sosial. Sebagian penduduknya ada yang bersifat hedonis, fragmatis dan memiliki mobilitas yang tinggi. Banten juga merupakan salah satu daerah industri yang termasuk maju dalam segi perekonomian. Namun, alangkah baiknya kemajuan perekonomian tersebut diseimbangi oleh kemajuan moralitas. Beberapa waktu lalu, di salah satu kota provinsi banten terjadi kerusuhan antar pencari nafkah (transportasi ojek online dengan transportasi umum). Mereka saling bertentangan, beradu kekuasaan, saling menyakiti hanya demi kepentingan materi. Hal ini berarti ada pengaruh yang signifikan antara masalah keduniawian dengan moralitas dan mentalitas. Masalah ekonomi berimbas pada buruknya mental, sehingga berpengaruh terhadap buruknya akhlak. Terkait hal ini perlu adanya transformasi solusi demi meningkatkan mutu mentalitas masyarakat banten, yaitu Uzlah. Uzlah adalah mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia dan berusaha menghindari kenikmatan dunia. Uzlah pada masa lalu dilakukan dengan cara berpindah tempat ke gunung-gunung, bukit-bukit, desa-desa, dan segala tempat yang dirasa jauh dari kehidupan perkotaan yang sarat akan lingkungan masyarakat yang hedonis. Hal tersebut bertujuan untuk membentuk­ kepribadian yang sederhana demi terciptanya ketenangan batin untuk beribadah. Ketika seseorang dapat memaksimalkan ibadahnya, maka hal tersebut akan berpengaruh kepada kesucian jiwanya, kebaruan mentalnya, serta berpengaruh terhadap akhlaqnya. Namun permasalahannya, jika kita memahami Uzlah dalam konteks sekarang, terlebih lagi jika kita tinggal di kota metropolitan apakah masih relevan makna Uzlah tersebut untuk di terapkan di masa kini?. Oleh karena itu, penulis akan mencoba memberikan sebuah gagasan tentang reaktualisasi Uzlah di masa modern untuk mewujudkan revolusi mental. Demi terfokusnya masalah, maka penulis akan memberikan batasan dan cakupan masalah terkait hal ini dengan menjadikan kaum buruh sebagai objek penelitian dan membatasi area penelitian yang hanya terpusat di Banten.

1 Kartanegara, Mulyadhi. Filsafat Islam, Etika, dan Tasawuf. (Jakarta:Ushul Press, 2009) hal.73 Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 233

Tujuannya agar para pembaca dapat lebih memahami secara fokus terkait maksud penelitian ini dan dapat melihat dengan jelas manfaat dari makna Uzlah bagi masyarakat buruh perkotaan.

Revolusi Mental Dalam Perspektif Islam Revolusi mental berasal dari kata revolusi dan mental. Revolusi merupakan perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang. Adapun kata mental mengandung arti yang menyangkut pola pikir, batin, watak, akhlak, moral, yang bukan bersifat fisik atau tenaga.2 Revolusi mental adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat dan negara menyangkut pola pikir (mindset), sikap dan kepribadian (akhlak), sehingga hal tersebut berpengaruh dalam perubahan amal atau perbuatan. Terkait konteks perubahan (revolusi) masyarakat sosial, di dalam Alquran dijelaskan dalam ayat berikut:

ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ Baginya manusia ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Q.S.ar- Ra’d:11) Hal tersebut juga dijelaskan dalam ayat:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ

Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S.al-Anfâl:53) Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, kedua ayat diatas berbicara tentang perubahan.3 Ayat pertama yang menggunakan kata m (apa) berbicara

2 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) hal.954 3 Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah Vol.6. hal.232 234 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran tentang perubahan apapun, baik dari nikmat atau suatu yang positif menuju ke niqmat (murka ilahi) atau sesuatu yang negatif, maupun sebaliknya. Sedangkan ayat kedua berbicara tentang perubahan nikmat. M.Quraish Shihab menggaris bawahi ada beberapa hal yang menyangkut kedua ayat diatas: Pertama, kedua ayat tersebut menjelaskan tentang perubahan sosial bukan perubahan individu. Dapat dipahami dari kata qaum (masyarakat) pada kedua ayat tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Namun, perubahan tersebut bisa dimulai dari hanya seorang individu yang menyebarluaskan ide-idenya, lalu diterima oleh masyarakat. Dalam hal ini, berarti perubahan tersebut bermula dari pribadi dan berakhir pada masyarakat. Pola pikir (mindset) dan sikap perorangan itu menular kepada masyarakat, lalu sedikit demi sedikit mewabah pada masyarakat luas. Kedua, penggunaan kata qaum juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan itu tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras, dan agama tertentu. Tetapi, ia berlaku umum, kapan dan dimanapun mereka berada. Selanjutnya, karena ayat tersebut berbicara tentang qaum, berarti sunnatullâh yang dibicarakan berkaitan dengan duniawi, bukan ukhrawi. Ketiga, kedua ayat tersebut juga berbicara tentang dua pelaku pe­rubahan. Pelaku yang pertama adalah Allah SWT yang mengubah nikmat yang di­ anugerahkan-Nya kepada suatu masyarakat. Sedangkan pelaku kedua adalah manusia, dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau apa yang terdapat dalam diri mereka (mâ bi anfusihim). Keempat, kedua ayat tersebut juga menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut dirinya. Tanpa perubahan ini mustahil akan terjadi perubahan sosial. Karena itu boleh saja terjadi perubahan pemimpin sistem, tetapi jika dalam diri masyarakat tidak berubah, keadaan tetap bertahan sebagaimana sediakala. Berdasarkan penafsiran ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa, jika kita ingin melakukan perubahan pada suatu bangsa maka kita harus melakukan perubahan tersebut dalam diri kita terlebih dahulu. Perubahan tersebut berdasar dari jiwa kita dan dapat dimulai dengan merubah mental kita dengan perubahan yang progressif, sehingga akan meluas kepada perubahan akhlak dan moralitas kita. Pondasi yang harus dipersiapkan untuk merevolusi mental adalah perubahan ke dalam jiwa individu pada beberapa dimensi, yaitu: 1) perubahan fitrah fisik (fitrah jismiyah/jasadiyah); 2) perubahan fitrah psikis (fitrah ruhaniyah); 3) Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 235 perubahan fitrah psikofisik (fitrah nafsaniyah).4 Perubahan fitrah psikofisik (fitrah nafsaniyah) meliputi: 1. Akal (Aql) Mesin berfikir adalah akal cognitive( process), maka untuk merevolusi pola pikir kita harus merevolusi akal. Akal dapat dikatakan sebagai cahaya ruhani untuk menerima ilmu yang membedakan baik dan buruk, sempurna atau kurang. Menurut Ibnu Zakariya, semua kata yang memiliki akar kata ‘ain, qaf, lam memiliki arti kemampuan mengendalikan sesuatu, baik berupa perkataan, pikiran, maupun perbuatan.5 Sedangkan menurut Abdul Aziz al- Umairy, akal adalah ketajaman pengetahuan seseorang dalam menganalisa suatu perkara serta pembeda yang cerdas dengan lebih cerdas. Akal pula merupakan bagian dalam manusia yang tidak diketahui bentuknya tetapi terlihat hasil analisanya.6 2. Hati (Qalb) Hati atau qalb berasal dari kata qalaba (kalbu) yang berarti berubah, berpindah atau berbalik. Sedangkan kata qalb itu sendiri berarti jantung atau hati. Diantara fungsi hati adalah: pertama, menerima kesaksian Allah sebagai tuhan (Q.S.al-A’raf: 182); kedua, sebagai wasilah mendapat ma’rifah (Q.S.al-Hajj: 46); ketiga, sebagai tempat bersemayamnya iman (Q.S.al-Hajj: 32); keempat, sebagai sumber kebaikan dan keburukan pribadi seseorang. Seperti itulah Rasulullah SAW. menyampaikan dalam suatu sabdanya bahwa hati adalah sentral dalam tubuh manusia, jika baik hatinya maka baik perbuatan seluruh jasadnya dan sebaliknya. Sehingga model terbaik mengendalikan hati adalah dengan berjalan berseberangan dengan keinginan atau hawa nafsu (Q.S.an- Nazi’at: 40-41). 3. Jiwa (Nafs) Dalam Alquran, kata nafs menunjuk kepada diri (self). Yakni, kata umum yang meliputi seluruh motivasi dan aktifitas manusia baik pemikiran atau pemahaman secara keseluruhan. Nafs memiliki banyak jenisnya, yaitu: ammarah, lawwamah, mulhamah, muthmainnah, radiayah, mardiyah, dan kamilah.7 Fathi Yakan menyebutkan bahwa ada tiga karakter manusia dalam memerangi hawa nafsu: pertama, golongan yang dapat dikuasai oleh

4 Mujib, Abdul. Fitrah dan Kepribadian Islam (sebuah pendekatan psikologi). (Jakarta: Daarul Falah, 1999) hal.39 5 Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya. Mu’jam al-Maqayis fi al-lughah. 6 Al-Umairy, Abdul Aziz. Maratib al-Aql Wa ad-Din. (Thaba’ah Mushahah, 2009) hal.11 7 Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan. (Jakarta: PT.al-Husna, 2003) hal.267 236 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

nafsunya hingga ia tertancap di bumi dan berbekal hidup dengan dunia (Q.S.al-J siyah: 23); kedua, golongan yang senantiasa berjuang memerangi dengan gigih, tetapi terkadang ia mengalami kemenangan dan terkadang mengalami kekalahan (Q.S.Ali Imran: 135); ketiga, golongan yang berhasil menolak segala kejahatan, perbuatan keji dan dosa-dosa karena mereka selalu menang dalam pertempuran melawan hawa nafsu.

Pengertian Dan Bentuk Uzlah Pada Era Klasik Secara bahasa, Uzlah berasal dari kata ta’azzala ‘an ‘al-syai’ atau menghindar dari sesuatu.8 Ibn Mandzur memperjelas pengertian Uzlah dengan ayat Alquran fain lam tu’minu fa i’taziluni dan in lam tu’minu fala takunu ‘alayya wala ma’i.9 Sedangkan secara terminologi, menurut al-jurjani, Uzlah adalah membebaskan diri dari masyarakat dengan cara menghindarkan diri atau memutuskan hubungan dengan mereka.10 Muhammad Abdullah Darraz berpendapat bahwa Uzlah merupakan pengasingan diri yang dilakukan oleh seseorang ke tempat sunyi, bisa di dalam kota maupun diluar kota. Hal ini dilakukan karena menurutnya penduduk kota di tempat ia menetap tidak berperilaku baik, sehingga apabila ia tidak menghindar maka ia akan terpengaruh. Uzlah yang dilakukan tidaklah berlaku selamanya, apabila ia sudah merasa siap untuk kembali kepada masyarakat maka ia harus kembali.11 Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Uzlah adalah mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia, dari pergaulan manusia, dan berusaha menghindari kenikmatan dunia dengan tujuan untuk membentuk kepribadian yang sederhana demi terciptanya ketenangan dalam beribadah. Dalam Alquran, Uzlah tersirat dalam ayat berikut:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ

8 Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Bangli: Yayasan Pesantren Islam, 1999) hal.252 9 Abu al-Fadhl Muhammad Ikram ibn al-Mandzur. Lisan al-Arab Jilid XI. (Beirut: Dar al-Shadr 1994) hal.440 10 Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani. Kitab at-Ta’rifat. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983) hal.150 11 Muhammad Abdullah Darraz. Dustur al-Akhlaq fi al-Qur’an. (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1991) hal.647 Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 237

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu” (Q.S.al-Kahfi: 16) Az-Zuhaili menafsirkan ayat diatas sebagai berikut: “Dan ingatlah! Hai ashabul kahfi akan seruan itu, yang muncul dari antara kamu kepada yang lain. Ketika kalian berketetapan hati untuk melarikan diri, menyelamatkan agama kalian, maka asingkanlah diri kalian. Berpisahlah dengan kaum kalian seraya ber-Uzlah secara fisik dan non fisik dengan berpindah dari tempat tinggal secara mental/kejiwaan dengan ketetapan tidak menyembah apa yang mereka sembah, melainkan hanya kepada Allah semata.12 Menurutnya, Allah memerintahkan mereka ber-Uzlah secara fisik dengan cara masuk ke gua besar didalam gunung secara total. Di tempat yang sunyi itu mereka dapat memurnikan jiwa dengan beribadah kepada Allah dan mampu menjauhi orang-orang musyrik. Ini dilakukan mereka sehingga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka dan memudahkan persoalan mereka serta menjadikannya bermanfaat. Hal ini berarti, Uzlah merupakan alat yang mampu merevolusi mental seseorang, menentramkan hati, menenangkan hidup serta meningkatkan kekhusyu’an seseorang dalam beribadah. Uzlah terbagi dua, yakni Uzlah zahir dan Uzlah bathin. Uzlah zahir ialah ketika seorang manusia mengasingkan diri dan menahan badannya dari manusia agar tidak menyakiti orang lain dengan akhlak yang buruk, meninggalkan kesenangan-kesenangan nafsu dan meninggalkan amal buruknya yang zahir agar indera batinnya terbuka dengan niat yang ikhlas, meninggal dan masuk kubur dengan kepasrahan.13 Sedangkan, Uzlah bathin ialah ketika seorang manusia mengasingkan dirinya dari pikiran-pikiran bangsa nafsu dan syaitan, seperti menyenangi makanan, minuman, pakaian, riya’, kemasyhuran. Hatinya secara sadar tidak memasuki sifat sombong, ujub, kikir, dengki, mengumpat, mengadu domba, pemarah, dan sebagainya yang merupakan sifat-sifat tercela. Manusia yang didalam hatinya memiliki sifat-sifat seperti itu, maka ia termasuk dari mufsidin (orang-orang yang merusak) walaupun pada lahirnya termasuk orang yang shaleh. Tujuan konsep Uzlah pada tahap awal adalah membersihkan hati dari semua itu, serta menahan nafsu dan hawa nafsu. Berikut ini akan dipaparkan manfaat ataupun faedah yang akan diperoleh seseorang dalam ber-Uzlah:14

12 Dr.Wahbah az-Zuhaili. Tafsir al-Munir. (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1990) hal.220 13 Abdul Qadir al-Jailani. Sirrur Ashror. (Beirut: Dar Fikr) hal.20 14 Imam al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin Juz II. (Kairo: Isa al-Bab al-Halabi) hal.226 238 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

1. Tersedianya waktu untuk beribadah, bertafakkur, dan merasakan keintiman dalam bermunajat kepada Allah Al-Zabidi menjelaskan bahwa seseorang yang mengamalkan Uzlah, otomatis mempunyai banyak waktu untuk berhubungan dengan Allah dengan menjalankan berbagai macam ibadah serta merenungkan ayat Allah SW T. 15 Pada zaman dahulu, ber-Uzlah merupakan budaya di kalangan bangsa Arab. Setiap tahun, mereka menyisakan beberapa waktu untuk berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan berdo’a mengharapkan rezeki dan pengetahuan. Dengan demikian orang yang ber-Uzlah dapat terhindar dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik dengan segala kelapangan waktu yang ia miliki untuk beribadah. 2. Terbebasnya dari ghibah, riya’ dan akhlaq mazmumah Menurut Ibn al-Qudamah sudah menjadi kebiasaan orang membicara­kan kejelekan orang lain ketika berkumpul dengan sesamanya. Dengan ber- Uzlah, seseorang dapat terhindar dari hal tersebut, karena ia tidak bergaul didalamnya. Kecenderungan seorang alim adalah menjaga pergaulan, tingkah laku, memanfaatkan waktu seoptimal mungkin untuk mengabdi kepada Allah , sementara yang tidak alim adalah sebaliknya.16 3. Terbebas dari fitnah, permusuhan antar muslim, dan fanatisme golongan/ bangsa Seseorang yang mengasingkan diri dari masyarakat secara tidak langsung berarti ia membentengi diri untuk tidak terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang mengundang munculnya fitnah, permusuhan antar sesama manusia, dan fanatisme golongan/bangsa dimana ia berada. Ketika seseorang memutuskan untuk bergabung pada satu kelompok, ia akan sangat sulit untuk berbuat demi kelompok lain. Dengan ber-Uzlah berarti ia telah membatasi pergaulannya sehingga tidak melakukan­ ashabiyah (fanatisme) yang berdampak negatif pada kesatuan dan persatuan umat. 4. Terbebas dari kejahatan manusia Al-Ghazali dengan tegas mengatakan bahwa sesungguhnya seorang manusia banyak sekali menimbulkan kesulitan bagi manusia lain. Terkadang dengan kejahatan yang nyata seperti mencuri, menghina, dan bahkan terkadang dengan kejahatan hati seperti ghibah, namimah dan lain sebagainya. Ketika seseorang ber-uzlah maka ia terhindar dari hal seperti itu.

15 Muhammad al-Zabidi. Ithaf al-Sadat al-Muttaqin Juz VI. (Beirut: Dar al-Fikr) hal.341 16 Armyn Hasibuan. Transformasi Uzlah dalam Kehidupan Modern. (Medan: IAIN Sumatera Utara, 2015) hal.98 Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 239

5. Terbebas dari menyaksikan orang berakhlak rendah dan kurang akal Al-Ghazali mengistilahkan penglihatan terhadap hal-hal jelek dengan buta kecil (al-umy al-ashgar) Hal ini dianggap penting karena pengaruh melihat hal-hal yang tidak baik sangat besar pada pembentukan sifat, mental, dan tingkah laku. Apabila yang selalu dilihatnya adalah hal baik, maka ia akan terbiasa untuk melakukan hal baik juga, dan sebaliknya.

Urgensi Uzlah Bagi Kaum Buruh Perkotaan Para buruh merupakan pekerja yang memiliki tingkat kesetresan yang cenderung tinggi. Setiap hari mereka bekerja, berusaha keras dalam men­cari nafkah dengan ambisi dapat memenuhi kebutuhan serta keinginan duniawinya. Sebagian dari mereka memiliki pola pikir untuk tidak menyia-nyiakan waktunya dengan hal lain selain mencari uang agar tercapainya kehidupan yang berkecukupan. Mereka berlomba dalam mengikuti per­kembangan zaman yang semakin modern, stylish, agar tidak ketinggalan zaman. Hal tersebut membuat mereka lupa akan kebutuhan jiwanya, batinnya, serta kebutuhan ibadahnya. Semakin berkembangnya kemajuan teknologi, maka persaingan antar buruh semakin ketat sehingga mereka saling memperebutkan kekuasaan. Hal tersebut tentu akan berpengaruh kepada jiwanya. Mereka akan mengalami kesetresan karena lelahnya bekerja, dan penatnya pikiran. Sehingga ber­pengaruh kepada emosionalnya. Dengan adanya sifat individualis serta matrealistis pada sebagian kaum buruh, maka morallah yang menjadi keterpengaruhannya. Berdasarkan hal ini dapat kita simpulkan bahwa kaum buruh memerlukan revolusi pada mentalnya, pola pikirnya, moralnya, akhlaknya, agar mereka dapat meraih ketenangan hati dan jiwanya dengan cara ber-Uzlah. Keseimbangan antara bekerja dan beribadah sangatlah penting untuk kita lakukan demi tercapainya hidup yang sakinah. Sebagaimana yang tertera dalam Alquran:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila shalat telah 240 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan” dan Allah pemberi rezeki yang terbaik” (Q.S.al-Jumu’ah: 9-11). Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa keseimbangan antara bekerja dan beribadah sangatlah penting. Hal tersebut guna me­nyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani seseorang agar tetap sehat badan serta pikiran (mental). Oleh karena itu, disela-sela waktu kerjanya, mereka membutuhkan waktu untuk beribadah. Terbebasnya seseorang dalam beberapa waktu dari kegiatan duniawi secara tidak langsung memberikan perubahan baginya untuk mendedikasikan diri secara utuh pada Allah SWT demi tujuan ukhrawi. Disamping itu, ia akan merasakan ketenangan batin dan kemantapan jiwa serta kejernihan pikiran (mentalnya lebih siap) dalam beraktifitas kembali di waktu berikutnya. Ibn at-Thailah al-Sakandari mengatakan bahwa, “bagaimana mungkin hati seseorang dapat terang dan bersih dari noda bila bayangan dunia masih memantul dari lensa hatinya?. Oleh karena itu, ber-Uzlah merupakan salah satu cara yang dapat kaum buruh lakukan untuk merevolusi mental dan pikirannya.

Reaktualisasi Uzlah Di Masa Modern dan Pengaruhnya Terhadap Revolusi Mental Uzlah merupakan suatu bentuk peribadatan yang telah dipraktekkan para rasul dan salafus shalih semenjak ribuan tahun lalu. Uzlah merupakan proses kematangan diri yang menyuguhkan banyak keuntungan serta hal-hal positif yang sangat bermanfaat untuk kehidupan, baik secara pribadi atau bermasyarakat.17 Namun permasalahannya, apakah Uzlah pada masa klasik masih relevan dengan kehidupan yang modern saat ini? Terkait hal ini, perlu adanya dua sudut pandang dalam melihat pengertian Uzlah. Pertama secara kontekstual, kedua secara tekstual. Uzlah secara kontekstual mungkin masih relevan dan dapat di­implemetasikan dalam kehidupan modern. Namun, jika dipahami secara tekstual, yakni dengan pengertian bahwa Uzlah harus dilakukan di lereng-lereng gunung, di bukit-bukit, desa-desa atau tempat-tempat terpencil yang jauh dari pergaulan masyarakat, maka jawabannya tergantung pribadi masing-masing. Mungkin seseorang pada masa kini cenderung menjawab tidak untuk melakukan Uzlah

17 Ibn at-Thailah al-Sakandari. Al-Hikam. (Jakarta: Mizan, 2006) hal.25 Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 241 karena tidak relevan dengan masa kini yang modern. Sebab perkembangan zaman terus mengalami perubahan serta kondisi sosial yang membutuhkan tanggung jawab terhadap keluarga, anak, istri, suami, orang tua, atau bahkan orang lain sekalipun. Uzlah dalam ajaran Islam pada dasarnya harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, yakni dengan makna yang lebih kontekstual. Nilai- nilai faedah yang terkandung dalam Uzlah dapat diimplementasikan dengan menjauhi berbagai hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam atau syari’at. Dalam hal ini dapat dikatakan seseorang di masa kini dapat ber-Uzlah secara bathin, yakni tidak perlu mengasingkan diri dari pergaulan manusia, serta perkembangan zaman. Tetapi, cukup dengan membiasakan diri dengan menjaga hatinya agar tidak mengalami kehampaan spiritual dan dzikir kepada Allah. Fisiknya tetap pada hal dunia, seseorang akan tetap bekerja tapi dengan aturan yang disiplin yang tentunya tidak meninggalkan ibadah. Namun hatinya tetap hidup dan mengingat Allah dengan kondisi, suasana, waktu, dan aktifitasnya yang berorientasi pada kekhusyu’annya kepada Allah. Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa Uzlah sebagaimana yang telah diaplikasikan oleh para nabi dan salafus shalih masih relevan untuk zaman modern ini. Sibuknya seseorang beraktifitas mungkin hanya menyisakan beberapa hari saja untuk beristirahat dalam sebulan. Oleh karena itu, waktu-waktu tersebut jangan hanya dijadikan ajang untuk pesta dan hura-hura, tetapi akan lebih berdaya guna apabila dimanfaatkan untuk mengisinya dengan hal-hal yang bernuansa ibadah spiritual. Seseorang mungkin dapat pergi ke suatu tempat yang jauh dari keramaian untuk merenung dan bertafakkur atas alam ciptaan Allah yang sangat luas, sambil mengisinya dengan berbagai ritual sebagai bentuk lahiriyah dari dedikasinya kepada Allah. Transformasi Uzlah yang lebih modernisasi dapat dilihat dalam tabel berikut:18 Formasi Klasik Modern Menghindari, mawas diri, Pengasingan diri dari pergaulan yang dilakukan secara latihan Makna manusia untuk beribadah periodik, menuju kehidupan kepada Allah SWT lebih ilahiyah ditengah kehidupan bermasyarakat. Luar kota atau dalam kota Dimana saja, asalkan tidak Tempat dengan tempat khusus teganggu untuk ibadah

18 Armyn Hasibuan, Op.Cit,. hal.101 242 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

TaSaw.uf yang bersifat falsafi, TaSaw.uf yang bersifat amaliyah sehingga hati dan jiwa dijaga TaSaw.uf melalui amalan-amalan zikir dari pengaruh eksternal yang dan bacaan mengotorinya Uzlah bathiniyah (menjaga Uzlah lahiriyah (mengasingkan hati agar tidak terpengaruh Bentuk diri dari kehidupan secara total) dengan kehidupan duniawi yang memperdaya) Membersihkan hati dan Beribadah kepada Allah secara Tujuan menjernihkan pikiran dan jiwa khusyu’ dengan integritas syari’ah.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat dipahami bahwa keuntungan dari ber-Uzlah sangatlah banyak, salah satunya untuk merevolusi mental. Uzlah masih relevan untuk dilakukan di zaman modern seperti sekarang ini, sehingga kaum buruhpun dapat melakukanya di tengah kesibukannya mencari hal-hal berkaitan duniawi.

Penutup Uzlah merupakan salah satu alat untuk merevolusi mental setiap orang, khususnya kaum buruh. Uzlah di masa modern dapat membantu kita dalam mengabdi kepada Allah juga tidak meninggalkan pengabdian kita kepada keluarga dan masyarakat. Ber-Uzlahnya kaum buruh dapat dilaksanakan dengan cara menyisakan sedikit waktu bekerjanya untuk menyempatkan diri beribadah, berzikir dan bermunajat kepada Allah. Tentunya dengan dukungan lingkungan, yakni musholla atau tempat ibadah yang nyaman sehingga terciptanya kekhusyu’an para buruh dalam beribadah. Kaum buruh juga dapat mengikuti kajian-kajian yang sifatnya membangun dan memberi pencerahan pola pikir dan hati. Karena, seseorang yang telah menuntut ilmu, ia akan pulang dengan hati yang lebih tenang, dan pikiran yang lebih jernih sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap kebugaran jiwa dan mentalnya. Karena sesungguhnya orang yang bermental baik, akan merefleksikan pengetahuannya kepada perilaku dan akhlak yang juga baik. Demi terwujudnya revolusi mental, maka kita perlu memperbaharui cara beribadah kita dengan terus meningkatkannya. Tentunya hal tersebut perlu dukungan dari pemerintah atau pimpinan suatu instansi terkait. Sebagai saran yang penulis sampaikan bahwa demi terciptanya perwujudan revolusi mental kaum buruh di banten, diperlukan hal sebagai berikut: Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 243

1. Pemerintah perlu meningkatkan fasilitas peribadatan di tempat-tempat pekerja seperti perusahaan, mall atau bahkan hotel. Tujuannya agar ketika para karyawan beribadah, mereka bisa mencapai kekhusyu’annya. Karena sejauh ini penulis melihat bahwa masih banyak sekali musholla pada mall- mall, bahkan hotel yang posisinya diletakkan di dekat besment, parkiran, bahkan dapur. Sehingga, tempat ibadah tersebut menjadi kurang bersih, kurang nyaman, udara panas sehingga dapat mengganggu orang yang beribadah didalamnya. 2. Para pemimpin perusahaan atau pemilik instansi tertentu perlu bekerja sama dengan suatu organisasi tertentu yang terkait dengan tujuan ber- Uzlah. Salah satu contohya adalah organisasi JATMAN (Jam’iyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah). Mereka adalah organisasi yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang mengamalkan thariqah. JATMAN merupakan organisasi keagamaan sebagai wadah pengamal ajaran thariqah al-mu’tabarah yang merupakan salah satu pilar dari ajaran Islam yang telah dirintis dan dikembangkan oleh para salafus shalihin yang bersumber dari Rasulullah SAW. dengan sanad yang muttasil. Tujuan kerja sama ini adalah agar organisasi tersebut dapat melakukan kajian-kajian kepada karyawan perusahaan tersebut. Mengajarkan nilai-nilai keagamaan guna membangun mental-mental positif pada para buruh.

Pustaka Acuan: Al-Quran al-Kariim Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya. Mu’jam al-Maqayis fi al-lughah. Al-Habsyi, Husin. Kamus al-Kautsar. Bangli: Yayasan Pesantren Islam, 1999. Al-Mahalli dan as-Suyuthi, Tafsir Jalalain. (Tafsir Alquran al-adzim). Semarang: Taha Putra. Al-Umairy, Abdul Aziz. Maratib al-Aql Wa ad-Din. Thaba’ah Mushahah, 2009. Hasibuan, Armyn. Transformasi Uzlah Dalam Kehidupan Modern. Medan: IAIN Sumatera Utara, 2015. Kartanegara, Mulyadhi. Filsafat Islam, Etika, dan TaSaw.uf. Jakarta:Ushul Press, 2009. Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan. Jakarta: PT.al-Husna, 2003. Mahardi, Dedi. Revolusi Mental. Depok: Khalifah Mediatama, 2017. Muhammad Ikram, Abu al-fadhl. Lisan al-Arab Jilid XI. Mujib, Abdul. Fitrah dan Kepribadian Islam (sebuah pendekatan psikologi). Jakarta: Daarul Falah, 1999. 244 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Saifuddin. Revolusi Mental Dalam Perspektif Alquran. Banjarmasin: IAIN Antasari Banjarmasin. Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah Vol.6. hal.232 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Revolusi Mental Base On Islam Ramah: Upaya Menciptakan Kehidupan Berbangsa yang Damai

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.03

Pendahuluan Multikukturalisme di Indonesia memang selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum nasional maupun internasional. Tahun 1979, di kota Vatikan Roma, diadakan konferensi Agama Internasional yang dihadiri oleh seluruh tokoh pembesar agama dunia. Dalam konferensi tersebut terungkap, bahwa Indonesia merupakan Negara percontohan dalam kehidupan toleransi antar umat beragama. Bahkan Paus Paulus II mengatakan, “Indonesia meskipun terdiri dari beragam suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama, namun hidup dalam kerukunan dan keramahtamahan”, LPTQ Provinsi Banten (2016: 135). Namun sayang, kekaguman dunia internasional tersebut kini tinggal kenangan, sebab perbedaan suku bangsa, bahasa, adat istiadat, dan agama kini sering menjadi pemicu dan pemacu lahirnya radikalisme, fanatisme buta, persaingan tidak sehat, perselisihan, perpecahan, bahkan tindakan saling serang yang megikis habis nilai-nilai toleransi yang selama ini kita jaga. Dan kini, radikalisme dan intoleransi tidak hanya menjadi fenomena yang berkembang bukan hanya dalam komunitas tertentu, tapi keberadaannya sudah berkembang dalam corak yang berbentuk trans-nation dan trans-religion. Banyak

245 246 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran yang menyoroti fenomena tersebut di tengah multikukturalnya Indonesia. Hal ini perlu di garisbawahi, di renungkan dan di cari solusinya. Sebab, tumbuhnya radikalisme dan menjamurnya intoleran dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Kita perhatikan konflik yang selama ini terjadi di berbagai daerah, mulai dari kerusuhan Sambas, Sampit, Ambon, Timor Timur, Poso, Bogor, Kuningan, Pandeglang sampai Tumanggung, Jawa Tengah, (Khamami Zada: 2008), peristiwa-peristiwa tersebut merupakan contoh konflik horizontal yang sangat menguras energy, merugikan materi, merenggut nyawa dan mengorbankan keharmonisan bangsa Indonesia. Ini juga menjadi tanda menjamurnya tindakan radikalisme dan hilangnya nilai toleransi di Indonesia yang selama ini menjadi kebanggaan. Bahkan dewasa ini, isu intoleransi dan faham-faham radikalisme yang mengatasnamakan agama menjadi semakin kompleks seiring berkemang­nya teknologi informasi dan komunikasi (TIK).. Imbasnya, Kementrian Komunikasi dan Informasi menutup 22 situs-situs Islam yang ditengarai menyuburkan faham radikal dan intoleransi di Indonesia (Hasani: 2015). Padahal Islam merupakan totalitas kerifan, cinta dan perda,aian dintara manusia, Agus (2009: 13). Berdasarkan survei yang nasional dilkukan Wahid Institut yang bekerja sama dengan lemabag Survei Indonesia (LSI) tahun 2016,telah diketahui bahwa setidaknya ada 0,4% dari masyarakat Indonesia yang telah melakukan tindakan radikalisme; Ada potensi 11 juta warga Indonesia yang siap melakukan tindakan radiklisme. Selain itu, dari total 1.520 responden, sebanyak 59,9% memiliki kelompok yang dibenci, Abdul Munip (2012). Kondisi ini telah menjadi paradox yang memilukan, sebab Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika nya belum mampu menunjukkan ketangguhan. Menyoal radikalisme dan intoleransi yang sering kali di absahkan dengan ayat-ayat Alquran menjadi sangat menarik untuk dibahas. Ini karena Alquran dengan tegas mengakui kemajemukan. Ratusan ayat di dalamnya secara eksplisit menyerukan sikap santun, perdamaian dan toleransi terhada sesame umat Islam dan umat agama lain. Hal ini senada dengan ungkapan Zuhairi Mishrawi (2010: 75), bahwa Alquran adalah lumbung ajaran toleransi. Berangkat dari permasalahan diatas, tulisan sederhana ini berupaya untuk terciptanya kehidupan bangsa Indonesia yang damai dengan mengacu pada beberapa pertanyaan, yaitu: Bagaimana dengan masalah radikalisme dan intoleransi di Indonesia? Lalu, kenapa harus revolusi mental? Lantas bagaimana solusi Alquran untuk menciptakan kehidupan berbangsa yang damai? Ketiga pertanyaan tersebut akan menghadirkan jawaban untuk permasalahan Revolusi Mental Base On Islam Ramah 247 radikalisme dan intoleransi yang kian hari kian memanas dengan lendasan Alquran dan hadits.

Radikalisme dan Intoleransi; Problem Bernegara Hari Ini Indonesia dikenal dengan Negara yang tumbuh dan berkembnag dengan keargaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama yang bahkan telah berkembang melebihi usia republic ini.karena factor-faktor tersebutlah para pendiri bangsa merumuskan nilai-nilai dan falsafah bangsa yang disarikan dalam Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai basis konstitusi Negara yang salah satu nilai di dalamnya adalah toleransi. Sayangnya, Indonesia saat ini tengah menghadapi masalah yang serius. Terjadinya dekadensi moral yang ditandai dengan maraknya tindakan radikalisme yang identik dengan intoleransi terhadap perbedaan, ekstrim dalam menyikapi masalah, dan menjadikan kekerasan sebagai cara untuk menye­ ­lesaikan masalah kian menjadi momok menakutkan bagi wajar bangsa ini. Radikalisme sendiri berasal dari kata radix yang berarti “akar”. Ia merupakan faham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk mencapai kemajuan. Radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respon tersebut dapat muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, bhakan perlawanan terhadap aasumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dianggap bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak. Sederhananya, radicalisme adalah suatu pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatic, yaitu sikap yang selalu merasa benar sendiri dan selalu menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu sikap membedakan diri dari kebiasaan orang kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan, Enma Laisa (2014: 3). Sedangkan intoleransi menurut (KBBI: 2014, 544) adalah sikap tidak mengaindahkan nilai-nilai humanis; tidak tenggang rasa dan tidak toleran. Dan dalam konteks sosial, budaya dan agama, intoleransi adalah sikap dan perbuatan yang menghendaki adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat, Husein Muhammad (2015). Masalah-masalah terkait radikalisme dan intoleransi yang banyak terjadi di Indonesia dewasa ini, sejatinya berawal dari kebobrokan mental masyarakat itu sendiri. Selain itu, tindakan radikalisme dan intoleransi juga disebabkan oleh 248 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran kesenjangan sosial ekonomi. Karena factor ekonomi sosial sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Susunan masyarakat dimana yang satu hidup dalam kemewahan, sedangkan yang lain dalam kesengsaraan dan kemiskinan sangat erat hubungannya dengan tindak radikal yang berupa tindak kejahatan seperti pembunuhan dan perampokan. Dalam hal ini, Soedjono D. S.H., berpendapat bahwa krisis di bidang ekonomi akan menjadikan orang miskin, pengangguran, gelandangan dan sebagainya menjadi sangat sensitive dan cenderung bersikap intolerasi, serta membawa mereka ke arah dekadensi moral, tindakan radikalisme, bahkan terorisme, Lukman Fatahullah (1997: 96-97). Ketika masyarakat berada dalam keadaan yang gamang, dan bingung dalam menentukan tauladan, memilih sumber informasi, serta bingung dimana harus menempatkan diri, Indonesia dapat menjadi lahan yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya paham-paham radikal yang selama ini dianggap telah hilang seperti PKI, Jamaah Islamiyah, IS dan sebagainya, serta memberi akses untuk masuknya kelompok-kelompok ekstrim penganut paham-paham radikal agama seperti ISIS (Islamic State in Iraq and Syiria), BNPT (2015:123). Agama memang bersifat sensitif. Mudah terbakar fanatisme, mejadi kipas paling kencang untk melakukan tindakan yang sangat keras, baik dalam kehidupan sosial maupun individu. Berbeda dengan Islam yang menurut Abdul MoQ.s.ith Ghazali (2009: 215) hadir membawa ajaran nilai-nilai toleransi dalam bentuk symbol, praktik sekaligus tokohnya. Alquran memang menjelaskan bahwa Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan li al-‘alamin) mengakui kemajemukan. Terbukti dengan banyaknya ayat yang menyerukan sikap santun dan toleransi terhadap umat agama lain, diataranya tercermin pada Q.S.. At-Tbah[9]: 13; Q.S.. An-Nahl[16]: 125; Q.S.. Muhammad[47]: 4; Q.S.. Al-Mumtahanah[60]:8; dan Q.S.. Al- Baqarah[2]: 190. Nanum, harus diakui bahwa selain ayat-ayat tersebut, terdapat pula ayat- ayat yang berpotensi untuk dijadikan pemantik dalam terhadap tindakan kekerasan yang diatas namakan agama jika dipahami dengan salah. Diatara dalil yang dijadikan rujukan radikalisme menurut Hasani Ahmad Said (2015) adalah: pertama, firman Allah swt dalam Q.S.. Al-Taubah[9]: 36 yang berbunyi:

ﯡ ﯢ ﯣ ...Perangilah orang-orang musyrik secara keseluruhan… Berbasis pemahaman yang tekstual-literal, bahwa orang musyrik harus diperangi, bisa saja sesorang kemudian melakukan kekerasan terhadap orang Revolusi Mental Base On Islam Ramah 249 lain, manakala ia melihat praktik kemusyriikan dari versinya. Kedua, Q.S.. Ali- Imran[3]: 19 yang berbunyi:

ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼﭽ Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalh ISLAM … Ayat tersebut bisa saja dipahami sebagai sebuah legitimasi untuk menafika eksistensi agama lain. Yahudi dan Nasrani dinilai sebagai agama yang harus dihapuskan oleh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.. Bahkan ayat tersebut dianggap telah menaskh ayat tentang jaminan kebebasan dalam beragama dan brkeyakinan (Q.S..Al-Baqarah[2]: 256). Ketiga, pada Q.S.. Al-Baqarah[2]: 208 sebagai berikut:

ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian dalam ‘agama Islam’ secara keseluruhan... Ayat tersebut seringkali dijadikan justifikasi untuk konsep Islam yang Kaffah dengan formulasi Negara Islam. Bagi mereka, Islam secara “formal” harus diterapkan secara totalitas dalam setiap lini kehidupan umat Islam. Maka munculah konsep Islam al-Din wa Daulah, Islam adalah agama dan Negara. Yang sebaga impliksinya, hokum-hukum produk manusia, atau system Negara yang tidak berlandaskan Islam dianggap sebagai Negara thagut. Keempat, terdapat pada Q.S.. Al-Maidah[5]: 51 yang berbunyi :

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙﭚ ﭛ ﭜ ﭝﭞ Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orag-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)…” Pada ayat ini, pemahaman golongan radikal antipasti dengan pemimpin yang dianggap kafir karea tidak berhukm kepada Allah. Ayat ini tidak jaarng dimaknai dengan literal yang kemudoan menjadikan mereka eksklusif, juga menuntut mereka untuk melakukan aksi simbolik yag bertujuan untuk membedakan antara Muslim dan non-Muslim. Para kelompok radikal militant membaca ayat-ayat Alquran di dalam kesunyian, seakan-akan makna ayat tersebut begitu transparan sehingga ide moral dan konteks sejarah tidak relevan dalam penafsiran mereka. Padahal pemahaman teradap konteks diturunkannya ayat-ayat Alquran sangatlah penting, karena Alquran tidak turun dala sebuah ruang yang hampa, Harfin Zuhdi (2010: 68). Hal ini senada dengan ungkapan Yusuf Qardhawi (2009: 61), bahwa salah satu penyebab utama terjadinya sikap radikal dalam agama adalah lemahnya 250 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran pengetahuan tentang hakikat agama itu sendiri, dan kurangnya bekal untuk memahaminya secara mendalam, mengetahui rahasia-rahasianya, serta mengenali ruhnya. Jika dilihat sepintas, ayat-ayat tersebut memang tampak benar dan merupakan dalil yang kuat. Akan tetapi, jika dilihat dengan seksama, maka akan terlihat bahwa mereka kurang teliti dalam memahami dalil-dalil tersebut, baik dari segi teks maupun konteknya. Sehingga melahirkan pandangan yang sempit, ekstrim dan radikal, dan pada gilirannya akan menimbulkan tindakan terorisme. Dari beberapa contoh ayat diatas, penulis contohkan satu diantara contoh penafsiran yang radikal pada penafsiran Q.S.. Al-Taubah[9]: 29, Allah berfirma :

ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan tidak mengharamkan apa yang telah dihramkan Alla swt dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah, sedangkan mereka dalam ekadaan yang patuh dan tunduk. Sepintas pemahaman radikal akan muncul ketika membaca ayat tersebut. Namun bila ditinjau dari pendekatan sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul), ayat ini berkenaan dengan perang terhadap ahli kitab (musyrik), Karen aad sekelompok Nasrani yang merasa khawatir terhada ajaran nabi Muhammad, lalu mereka mengumpulkan pasukan dari suku Arab yang beragam Kristen dan bergabung dengan kekuasaan Romawi untuk menyerang­ umat muslim, sehingga umat muslim merasa cemas terlebih setelah mereka mendengar bahwa pasukan penyerang sudah smapai di Yordania. Kecemasan umat muslim tersebut dijawab oleh Allah dengan menurunkan ayat ini, Al-Maraghi (2001: 52-53). Tentu saja konteks ketika ayat itu turun sangat berbeda dengan konteks masa kini, sehingga perintah pada ayat ini tidak menjadi relevan lagi, terutama dengan konteks Indonesia.

Kenapa Harus Revolusi Mental? Seperti yang telah di singgung sebelumnya, bahwa penyebab utama terjadinya tindakan radikalisme dan intoleransi di Indonesia adalah karena lemah dan bobroknya mentalitas manusianya. Oleh karena itu, langkah solutif yang pertama kali harus dilakukan adalah dengan merevolusi mental masyarakat itu sendiri. Revolusi Mental Base On Islam Ramah 251

Haryatmoko, sebagaimana dikutip oleh Semiarto (2015: 22) me­ngatakan bahwa yang dimaksud dengan revolusi mental adalah perubahan mendasra dari pola berfikir (mindset) manusia dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Dalam keadaan bangsa yang majemuk, revolusi mental harus di lakukan sebagai sebuah terobosan untuk memberantas praktik-praktik yang buruk yang selama ini berkemabng diantara multikulturalnya bangsa, seperti radikalisme dan intoleran yang jika dibiarkan akan mengancam persatuan, kesatuan dan perdamaian bangsa ini. Maka dalam hal radikalisme dan intoleransi, revolusi atau perubahan pola pikir yang harus dilakukan adalah: pertama, merubah sudut pandang dalam menyikapi keadaan sosial dan ekonomi. Dalam hal ini manusia harus berusaha memandang keadaan ekonomi yang berbeda bukan sebagai alasan untuk bersikap radikal, brutal dan sebagainya. Namun keaan ekonomi yang berbeda, seharusnya dijadikan motivasi untuk merubah keadaan ekonomi tersebut. Kedua, dalam hal radikaisme agama, perlu diadakan kontruksi baru dalam metodologi penafsiran untuk menjinakkan ayat-ayat yang sringkali di anggap sebagai pembolehan untuk tindakan radikalisme, yaitu dengan : 1) al-Quran harus di tempatkan sebagai paradigma kitab rahmah dan perdamaian. Sehingga segala bentuk tafsir atau pemahaman Alquran yang bertentangan dengan nilai- nilai harus ditinjau ulang, atau dihilangkan; 2) ayat-ayat tenag perdamaian harus di pandang sebagai ayat muhkamat atau pokok, sementara ayat-ayat konflik atau perang harus di pandang sebagai ayat mutasyabihat, dimana penafsirannya harus mengacu pada ayat-ayat yang muhkamat sehingga tidak menghasilkan pemahaman sang tekstual dan sempit; 3) pemahaman dan penafsiran ayat-ayat yang dapat memicu sikap dan tindakan radikal, harus mempertimbangkan beberapa aspek seperti asbab an-nuzul, aspek munasabah, juga koteks kekinian yakni dalam konteks masyarakat multicultural. Abdul Mustaqim (2014).

Islam Ramah Sebagai Solusi Hidup Damai Selama ini, radicalisme dan intoleransi menjadi common enemy karena selalu menimbulkan kerusakan dan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Anehnya, perbedaan selalu menjadi isu utama penyebab tumbuhnya radikalisme dan intoleransi tersebut. Karena masih banyak masyarakat yang belum bisa menerima arti dari perbedaan, akibatnya, perbedaan dipaksa harus melebur dalam satu pemahaman yang mereka bangun sendiri. Padahal, berdasarkan catatan sejarah, Nabi Muhammad telah me­letakkan dasar- dasar pluralisme dan toleransi dalam piagam Madinah. Piagam tersebut secara tegas menggarisbawahi adanya pengakuan terhadap seluruh penduduk Madinah tanpa 252 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran memandang adanya perbedaan agama dan suku, sebagai anggota yang tunggal dengan hak-hak dan kewajiban yang sama, Abudin Nata (2013: 127). Alquran dengan tegas menyatakan bahwa perbedaan adalah sunnatullah. Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya Q.S.. Al-Hujurat[49]: 23, yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang mulia diantara kamu di sisi Allah adalah ia yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti. (Departemen Agama RI (2005:518). Pada prinsipnya, Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan kasih sayang, menjunjung tinggi sifat tolong menolong, toleransi, perdamaian, saling menasehati dalam hak dan kesabaran, menghargai egaliter (kesamaan derajat), tenggang rasa, demokratis dan sebagainya, Yatimin (2006: 19). Prinsip-prinsip tersebut sangat banyak ditemukan dalam ayat-ayat Alquran. Salah satunya dalam Q.S. Al-Anbiya[21]: 107:

ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ Aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta. Khitab (objek sasaran) kewajiban ayat ini memang spesifik kepada Nabi Muhammad Saw.. Namun tentu saja titah mengemban misi kerahmatan tidak hanya berlaku baginya, melainkan untuk selruh umat muslim yang mewarisi keteladanannya (Q.S.. Al-Ahzab[33]: 21). Sebagai umat yang meneladaninya, tak elok rasanya jika kita mengabaikan nilai-nilai kerahmatan yang di dengungkan Allah swt melalui ayat-ayat-Nya dan Nabi Muhammad melalui sabda-sabdanya. Juga malu rasanya jika keberadaan kita sebagai umat muslim bukannya menebarkan rahmat, justru malah menebarkan laknat bagi kehidupan bersama dalam bangsa dengan melakukan tindakan-tindakan radikalisme dan intoleransi, Nurul Huda (2007: 162-163). Ibnu Mandzur, seorang ahli bahasa terkemuka, mengatakan bahwa kata “rahmat” dalam ayat ini mengandung makna kepekaan hati (Riqqah al-Qalb), kelembutan hati (At-Ta’athuf) dan mudah memberi maaf (Al-Maghfirah), Husein Muhammad (2015:2). Alquran juga menegaskan:

ﭥ ﭦ ﭧ ﭨﭩ ...Rahmat Tuhan meliputi segala sesuatu… Para ahli tafsir sepakat bahwa rahmat Allah yang dimaksud mencakup orang-orang mukmim dan orang-orang kafir, orang baik (al-Birr), dan yang jahat (al-Fajir), serta semua makhluk Allah. Kerahmatan Islam juga berarti Revolusi Mental Base On Islam Ramah 253 menghormati orang lain, termasuk yang berbeda agama, bukan hanya ketika dia masih hidup, bahkan juga ketika dia sudah mati. Pernyataan diatas memberikan bukti bahwa Islam mempunyai tujuan untuk mewujudkan kebaikan dalam kehidupan. Islam adalah agama yang selalu mengutamakan kemaslahatan bagi semua makhluk tanpa terkecuali. Islam adalah agama yang ramah, yang selalu mengajarkan perdamaian dan melarng berbagai bentuk tindakan radiklisme dan intoleransi. Sebab, radikalisme dan intoleransi tidak hanya membawa dampak yang buruk bagi konteks masyarakat yang plural, tapi juga implikasinya dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan.

Penutup Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa radikalisme dan intoleransi sejatinya merupakan realitas dari kemajemukan suatu bangsa. Adanya perbedaan merupakan sunnatullah yang mesti di sukuri, sehingga sikap toleransi harus menjadi landasan dalam kehidupan. Sebab, dalam konteks masyarakat yang plural, sikap dasar yang seharusnya dikembangkan adalah sikap bersedia menghargai adanya perbedaan pada masing-masing anggota masyarakat. Dalam keadaan bangsa yang majemuk, revolusi mental harus di lakukan sebagai sebuah terobosan untuk memberantas praktik-praktik yang buruk yang selama ini berkemabng diantara multikulturalnya bangsa, seperti radikalisme dan intoleran yang jika dibiarkan akan mengancam persatuan, kesatuan dan perdamaian bangsa ini. Islam mempunyai misi untuk menjadi agama yang ramah dengan menciptakan perdamaian, keadilan dan menebar kasih saying (rahmatan li al- ‘alamin). Berdasarkan konsep ini, maka tidaklah tepat jika dalil-dalil agama di absahkan sebagai dasar dari tindakan radikalisme dan intoleransi yang ini marak terjadi. Adanya berbagai konflik terkait dengan radikalisme dan intoleransi sebenarnya berakar pada dua hal, pertama, kesenjangan sosial-ekonomi yang sering kali mendrong manusia menjadi sensitive, intoleransi dan bertundak radikal. Kedua, adanya ketidak tepatan dalam memahami teks-teks keagamaan sehingga menimbulkan pemahaman yang salah tentang pokok-pokok ajaran agama. Oleh karena itu, umat muslim perlu membumikan kembali sikap toleransi, cinta damai dan saling mengasihi demi kembali terwujudnya negeri Indonesia yang laksana Qith’ah min al-Jannah (serpihan surge) yang bisa dijadikan contoh kehidupan berbangsa yang damai. 254 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Harmonisasi Dalam Kebhinekaan. Cet. I. bogor: 2005. Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: Al-Hudd Kelompok Gema Insani, 2002. Ma’arif, Nurul Huda, Islam Mengasihi Bukan Membenci. Cet. I. Bandung: Mizan, 2017. Simarmata, Henry Thomas, dkk, Indonesia Zamrud Toleransi. Cet, II. Friedrick- Ebert-Stiftung, 2017. Tahir, Suaib, Isis Buka Islam. Cet. II. Badang Penanggulangan Terorisme, 2016. Qardhawi, Yusuf, Islam Radikal; Analisis Terhadap Radikalisme Dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya. Solo: Era Adicitra Intermedia, 2009. Muhammad, Husein, Toleransi Islam; Hidup Damai Dalam Masyarakat Plural. Cet. I. Cirebon: Fahmina Institut, 2015. Perpustakaan Nasional RI, Panduan dan Contoh Pensyarah MSQ. Cet. I. Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an Provinsi Banten, 2016. Zada, Khamami, dkk, Prakarsa Perdamaian; Pengalaman dari berbagai Konflik Sosial. Jakarta: PP Lakpesdam NU, 2008. Rais, Moch Lukman Fatahullah, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997. Misrawi, Zuhairi, Alquran Kitab Toleransi; Tafzir Tematik Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Jakarta: Pustaka Oasis, 2010. Kartono, Kartini, Patalogi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Cet. III. Jakarta: Raja Grafindo Petsada, 1998. Said, Hasani Ahmad, Fathurrahman Rauf, Radikalisme Agama Daam Pers[ektif Hukum Islam. Dalam Jurnal Al-‘Adalah. Vol. XII. No. 3, 2015. Laisa, Enma, Islam dan Radikalisme. Dalam Jurnal Islamuna. Vol. 1, No. 1, 2014. Mustaqim, Abdul, De-Radikalisme Penafsiran Alquran dalam Konteks KeIndonesiaan yang Multikultural. Diakses Minggu, 8 Juni 2014, pukul 06:48 Munip, Abdul, Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah. Dalam Jurnal Pendidikan Islam. Vo. 1. No. 2, 2012. Pesantren Budaya Nusantara: Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental Perspektif Alquran

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.05

Pendahuluan Dewasa ini timbul kerisauan disebagian kalangan masyarakat terhadap perilaku manusia Indonesia yang dianggap telah menyimpang dari nilai-nilai luhur agama, budaya dan falsafah bangsa. Bahkan sebagian masyarakat yang lain berani menjustifikasi bahwa telah terjadi kerusakan moral yang amat parah, baik di tingkat elit, rakyat, maupun pelajar dan remaja. Pada tingkat elit rusaknya moral bangsa ini ditandai dengan maraknya praktek ketidakadilan, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK), praktik KKN di Indonesia tahun 2017 menjadi 3.5% dari 3% pada tahun 2016. Dengan skor ini peringkat Indonesia terdongkrak cukup signifikan, yakni berada di urutan 37 dari keseluruhan negar yang disurvai oleh Transparancy International. Pada tingkat akar rumput (rakyat), hancurnya moral bangsa ini ditunjukan dengan merajalelanya pelbagai tindakan kejahatan dan kriminal, seperti penipuan, perampokan, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, dan termasuk juga tindak kekerasan atas nama ras, suku dan agama. Kerusakan moral juga terjadi dikalangan pelajar. Hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas, penyalahgunaan narkoba, tawuran, dan lain sebagainya. Direktur remaja

255 256 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran dan perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M. Masri Muadz mengatakan bahwa 63% remaja Indonesia pernah melakukan seks bebas. Sedangkan remaja korban narkoba di Indonesia ada 2.2 juta orang atau 4.5% dari total jumlah korban. Selain itu, berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, SMA, yang terlibat tawuran mencapai 1.8% atau sekitar 2.318 siswa dari total 2.645.835 siswa di DKI Jakarta (Dharma Kusuma, 2016: 8). Pelbagai kerusakan moral di atas, mengindikasi telah hilangnya nilai-nilai karakter yang melekat pada bangsa Indonesia, seperti kejujuran, kesantunan, kebersamaan, rasa malu, tanggung jawab, kepedulian sosial, dan lain sebagainya. Untuk itu, perlu usaha untuk menjadikan nilai-nilai yang melekat pada bangsa ini, kembali menjadi budaya dan karakter yang membanggakan. Munculnya gagasan revolusi mental sebagai jargon yang mengemuka­kan pasangan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia 2014-2018 yaitu Joko Widodo dan M. Yusuf Kalla, diharapkan menjadi jawaban dari gerakan yang dapat merubah arah bangsa ini ke arah yang lebih baik. Namun terasa jauh panggang dari api, harapan tersebut seolah masih melangit belum membumi bersama kemajuan zaman. Berbagai kebiasaan yang tumbuh subur sejak zaman pra-kolonial hingga pasca kemerdekaan masih berlangsung hingga kini, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat tamak, ingin menang sendiri, cenderung menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, melecehkan hukum dan sikap oportunis, ternyata masih banyak ditemukan. Pondok pesantren yang diyakini sebagai pendidikan nonformal yang tersebar di Indonesia, sampai dengan saat ini masih tetap eksis dan bertahan di tengah-tengah masyarakat. Dan dari pesantren, tidak sedikit mencetak kader- kader bangsa yang memiliki karakter, mental, tanggung jawab, dan akhlak yang terbaik dalam mewujudkan bangsa ini. Hal ini terjadi, karena pondok pesantren memiliki ciri khas terus dikembangkan sesuai dengan aturan dan norma yang terdapat dalam manhaj agama islam. Tidak hanya ranah kognitif yang diunggulkan di pesantren akan tetapi juga ranah afektif dan psikomotorik. Dengan seabreg kelebihan pesantren tersebut, “pesantren budaya” mencoba hadir untuk menjawab kegelisahan yang terjadi dalam mental bangsa ini. Berkangkat dari itulah, untuk memudahkan penyusunan makalah ini, perlu kiranya dibuat perumusan untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam revolusi mental. Bagaimanakah konseptula pesantren budaya?, Seperti apakah revolusi mental dalam perspektif Alquran?, Seperti apakah lanskap pesantren budaya dalam membumikan revolusi mental? Tentunya kajian ini akan mencoba membuat konsep pesantren budaya Pesantren Budaya Nusantara: Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental Perspektif Alquran 257 untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang bermartabat, melalui pendekatan tematik Alquran. Sehingga, revolusi mental yang digadang-gadang sebagai solusi dari berbagai permasalahan yang terus menimpa negeri ini dapat membumi.

Menelisik Makna Pesantren Budaya Nusantara Sebelum lebih jauh membahas makalah ini, perlu kiranya penulis memapar­kan terlebih dahulu judul yang mendasari pembuatan makalah ini.

1. Pesantren Pesantren atau yang lebih dikenal dengan pondok pesantren terdiri dari dua kata yaitu “pondok dan pesantren”. Menurut Azra, kata pondok berasal dari bahasa Arab yaitu “funduk” yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana. Dengan penggunaan kata “pondok” orang membayangkan “gubuk” atau “saung bambu”, suatu lambing yang baik tentang kesederhanaan sebagai dasar pemikiran kelompok, di sini guru dan murid tiap hari bertemu dan berkumpul, dan dalam waktu yang lama bersama-sama menempuh kehidupan untuk menimba ilmu (2011: 19). Sedangkan pesantren berasal dari kata dengan awalah “pe” dan akhiran “an” menjadi pesantrian, kemudian berubah menjadi pesantren (santri- pesantrian-pesantren). Proses perubahan tersebut sesuai dengan hukum tata bahasa Indonesia, yakni fonem “ian” berubah menjadi “en”, sehingga menjadi pesantren yang berarti tempat tinggal para santri (Rustiawan, 2005: 274). Dalam wawasan , pondok pesantren adalah sebagai institusi yang menggambarkan komunitas subkultur, artinya memiliki keunikan dalam aspek-aspek cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern yang ditaati sepenuhnya (Mughits, 2008:9). Sehingga pesantren telah banyak berpengaruh dalam pola kehidupan masyarakat Indonesia lebih khusus masyarakat pedesaan. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah sebuah lembaga pengkajian ilmu keislaman yang merupakan hasil penyerapan akulturasi dari masyarakat Indonesia dari kebudayaan agama Hindu-Budha dan kebudayaan islam yang kemudian menjelmakan suatu lembaga yang lain dengan warna Indonesia.

2. Budaya Menurut KBBI budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi, atau adat istiadat (Tim Pustaka Phoenix, 2010: 54). Sedangkan menurut Mulyana, budaya 258 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi (2006: 25). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh yang dimiliki oleh sebuah kelompok yang terbentuk dari sistem yang rumit termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, karya seni, dan lain sebagainya.

3. Nusantara Nusantra secara etimologi tersusun dari dua kata “nusa” dan “antara”, dalam bahasa Sanskerta berarti pulau atau kelupauan. Sedangkan antara dapat diartikan sebagai laut, sebrang atau luar. Secara terminologi nusantara dapat diartikan sebagai kemampuan yang dipisahkan oleh laut atau bangsa-bangsa (Abduh, 2003: 13). Dari pengertian di atas bahwa nusantara adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatra sampai Papua. Sehingga, budaya nusantara merupakan perwujudan cipta, karya, dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat bangsa, serta mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa. Dengan demikian, pesantren budaya nusantara merupakan perpaduan antara konsep pondok pesantren dengan keberagaman budaya yang ada di Indonesia, dengan tetap memperhatikan elemen-elemen yang ada di pondok pesantren. Elemen-elemen dasar tradisi pondok pesantren terdiri dari pondok, masjid, santri, pengajaran kitab klasik, dan . Masjid tidak dapat dipisahkan dari pesantren dan dianggap sebgai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik sholat lima waktu, khutbah dan sholat jum’at, dan pengajaran kitab-kitab islam klasik (Dhofier, 2011: 85). Elemen-elemen penting selanjutnya adalah santri, perlu diketahui bahwa santri ada dua macam, yakni pertama santri mukim (yaitu murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam pondok pesantren). Dan kedua santri kalong (murid yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren, dan biasanya tidak menetap di pesantren). Selain itu ada unsur penting lainnya yaitu kyai atau ulama, artinya orang yang mengetahui, memahami ilmu- ilmu keislaman secara mendalam Rustiawan, 2005: 276).

Revolusi Mental Perspektif Alquran Selain makna pesantren budaya, perlu juga dipaparkan makna dari revolusi mental, sehingga didapat pemahaman yang utuh. Menurut KBBI, Revolusi mental berasal dari dua kata yaitu “revolusi” dan “mental”. Kata revolusi dapat Pesantren Budaya Nusantara: Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental Perspektif Alquran 259 diartikan sebagai perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan, atau bisa juga perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang (Tim Pustaka Phoenix, 2010: 219). Menurut Purwanto istilah mental dapat didefinisikan sebagai pandangan- pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma serta aturan-aturan yang dimiliki oleh seorang individu yang dijadikan kerangka acuan atau pedoman untuk memahami dan mewujudkan perilaku atau tindakan tertentu terhadap lingkungan yang dihadapi. Sedangkan Supelli mengartikan mental sebagai nama genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup, misalnya mentalitas zaman. Di dalam cara hidup ada cara berfikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/ meyakini, cara berperilaku dan bertindak (2008: 23). Dari pengertian di atas revolusi mental dapat dimaknai sebagai perubahan mendasar pola pikir masyarakat dan penguasa dalam konteks kehidupan bangsa dan bernegara dan merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat dengan cara cepat untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategis yang diperlukan oleh bangsa dan negara untuk mampu menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi. Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, revolusi mental tampaknya tidak bisa dipisahkan dari kajian perubahan sosial dan kebudayaan. Menurut J. Lewis Gillin dan J. Philip Gillin memahami perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Cara-cara hidup itu meliputi norma, nilai, keyakinan keagamaan, cara-cara mengolah tanah, berburu, menangkap ikan dan lain sebagainya (2004: 67). Menurut Soekanto perubahan sosial merupakan ruang lingkup perubahan­ sosial yang meliputi unur-unsur kebudayaan, baik yang material maupun yang immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan terhadap unsur-unsur immaterial. Dia mencontohkan pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis yang telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dengan majikan, dan pada gilirannya menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik. Lebih jauh, dia berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan tersebut mencakup semua bagiannya: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya, bahkan perubahan- perubahan dalam bentuk dan aturan-aturan organisasi sosial (1992: 80). Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa perubahan sikap mental atau pola pikir merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perubahan sosial 260 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran dan kebudayaan. Perubahan sosial dan kebudayaan yang terkait erat dengan perubahan mental, terutama menyangkut cara-cara hidup, seperti cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, meyakini, cara berperilaku, bertindak, di samping itu juga pangangan-pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, dan norma- norma. Dalam rangkain Alquran sesungguhnya tidak ditemukan sebuah term yang persis sepadan dengan “revolusi mental” ( ). Namun demikian, ada beberapa ayat Alquran yang menggunakan term seakar kata dengan . Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Alquran:

ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, (sapi) itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sehat, dan tanpa belang”. Mereka berkata, “Sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya”. Lalu mereka menyembelihnya, dan nyaris mereka tidak melaksanakan (perintah) itu. (Q.S.. Al-Baqarah [2]: 71) (Depag RI, 2007: 11). Selain ayat di atas, masih terdapat ayat yang lain yang menggunakan term “ats-tsaurah”, seperti terdapat dalam surat Ar-Ruum [30]: 9 dengan menggunakan kata “mengolah”. Surat Fathir [35]: 9 dengan menggunakan kata “menggerakan, dan surat Al-A’diyat [100]: 4 dengan menggunakan kata “menerbangkan”. Dari keempat ayat tersebut apabila diperhatikan maka semuanya menggunakan kata kerja. Hal ini menunjukan bahwa dalam revolusi ada proses perubahan, pergerakan dan pergeseran. Lebih jauh pada tataran nilai Alquran secara jelas telah membawa gagasan-gagasan revolusi, baik revolusi mental-spiritual maupun revolusi sosial. Menurut M. Quraish Shihab, sejak semula Alquran memperkenalkan­ diri sebagai kitab suci yang fungsi utamanya mendorong lahirnya perubahan- perubahan positif dalam masyarakat. Atau, dalam bahasa Alquran “mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang benderang”. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

ﭢﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ Alif laam raa (ini adalah) kitab yang kami turunkan kepadamu Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha perkasa, Maha terpuji (Q.S. Ibrahim [14]: 1) (Depag RI, 2007: 253). Pesantren Budaya Nusantara: Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental Perspektif Alquran 261

Ayat di atas menggunakan bentuk jamak untuk kata “Adz-Dzulumat” dan bentuk tunggal untuk kata “an-nur”, Quraish Shihab dengan merujuk pendapat ahli tafsir mengemukakan hal ini mengisyaratkan bahwa kegelapan bermacam- macam serta beraneka ragam dan sumbernya pun banyak, berbeda dengan kata “an-nur”: yang artinya cahaya (2012:310).

Landskip Pesantren Budaya Nusantara dalam Membumikan Revolusi Mental Alquran telah mendorong manusia terlebih muslim untuk konsen belajar agama, sebab Alquran dalam semua uraiannya termasuk dalam masalah pendalaman ilmu pengetahuan, selalu memandang manusia secara utuh. Dalam pemaparan Quraish Shihab, Alquran dalam memaparkan ajarannya senantiasa memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat serta bangsa. Individu dilihatnya secara utuh, fiisk, akal, dan kalbu. Dan masyarakat dihadapinya dengan penekanan adanya seruan untuk mengkaji ilmu pengetahuan dan dibagikan kinerja secara proposional. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya (Q.S. At-Taubah [9]: 122) (Depag RI, 2007: 206). Ayat tersebut di atas menggarisbawahi terlebih dahulu motivasi bertafaqquh atau memperdalam pengetahuan bagi mereka yang dianjurkan keluar, sedang motivasi utama mereka yang berperang bukanlah tafaqquh. Dalam pandangan Quraish Shihab, ayat ini tidak berkata bahwa hendaklah jika mereka pulang mereka bertafaqquh, tetapi berkata “untuk memberi peringatan kepada kaum mereka apabila mereka telah kembali kepada mereka supaya mereka berhati-hati”. Peringatan itu hasil tafaqquh, tidak mereka peroleh pada saat terlibat dalam perang karena yang terlibat ketika itu pastilah sedemikian sibuk menyusun strategi dan menangkal serangan, mempertahankan diri sehingga tidak mungkin ia dapat bertafaqquh memperdalam ilmu pengetahuan (2010: 191-192). Memang harus diakui bahwa yang bermaksud memperdalam pengetahuan agama harus memahami arena serta memperhatikan kenyataan yang ada, tetapi itu tidak berarti dapat dilakukan oleh mereka yang tidak ikut terlibat dalam perang itulah yang lebih mampu menarik pelajaran, mengembangkan ilmu dari pada mereka yang terlibat langsung dalam perang. 262 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Penegasan ayat di atas memberikan motivasi untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama dalam sebuah lembaga, baik formal maupun nonformal, termasuk di dalamnya pondok pesantren. Memperdalam ilmu pengetahuan merupakan langkah awal dalam memahami teori-teori tentang sesuatu, akan tetapi perlu diingat untuk membumikan revolusi mental, tidak hanya ilmu pengetahuan sebagai ranah kognitif yang dikejar. Akan tetapi, masalah sosial kemasyarakatan juga perlu diperdalam. Sehingga revolusi mental secara utuh dapat dipraktekan. Revolusi mental yang digagas oleh Joko Widodo mempunyai tiga pilar utama yaitu: integritas, etos kerja, dan gotong royong. Integritas meliputi: jujur, dapat dipercaya, berkarakter, bertanggung jawab, Etos kerja meliputi: kerja keras, optimis, produktif, inovatif, dan berdaya saing, sedangkan gotong royong meliputi: bekerjasama, solidaritas tinggi, komunal, berorientasi pada kemaslahatan, kewargaan. Namun demikian, masih banyak karakter positif bangsa Indonesia yang belum disebutkan di sini, seperti religius, toleran dan tenggang rasa, ramah, santun, cinta damai, dan cinta tanah air. Untuk mencapai itu semua, dengan memperhatikan elemen-elemen yang ada di pesantren. Pesantren budaya nusantara memiliki konsep yang tidak biasa seperti pesantren pada umumnya: Pertama, konsep asrama yang dibuat dalam pesantren budaya nusantara, berdasar pada rumah-rumah adat yang ada di Indonesia. Hal ini di­maksudkan, agar para santri sebagai salah satu elemen yang harus ada dalam pesantren, mengenal dan memahami budaya-budaya leluhur Indonesia yang diwujudkan dalam rumah-rumah adat. Dalam pandangan Sucipto, rumah adat atau rumah tradisional yang jumlahnya sekitar 35 rumah adat, adalah rumah yang dibangun sebagai tempat tinggal bagi masyarakat zaman nenek moyang dahulu yang memiliki ciri dan bentuk yang khas. Dengan konsep ini, para santri secara tidak langsung diajarkan tentang budaya-budaya atau tradisi-tradisi yang melekat pada bangsa Indonesia, sehingga para santri memiliki jati diri yang kuat untuk saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia, yang digambarkan melalui rumah adat. Lebih jauh Alquran mengeksplorasi tentang pentingnya saling mengenal terhadap perbedaan-perbedaan, sebagaimana Allah SWT berfirman:

ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laik-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku- Pesantren Budaya Nusantara: Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental Perspektif Alquran 263

suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisis Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha mengetahui, Maha teliti (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13) (Depag RI, 2007: 517). Kedua, konsep bahasa yang dijadikan sebagai bahasa komunikasi dalam keseharian pesantren budaya, tidak melulu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama, bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai bahasa tambahan, akan tetapi juga menggunakan komunikasi dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Jumlah bahasa daerah yang ada di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah 742 bahasa. Jumlah yang sangat banyak ini pesantren budaya menjadwalkan agar para santri meskipun tidak menguasai, tapi setidaknya mengenal bahasa daerah yang ada di Indonesia. Dengan konsep seperti ini, maka para santri akan lebih menghargai perbedaan-perbedaan bahasa yang ada di Indonesia. Sehingga menjadikan santri memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan. Dalam Alquran bahwasanya menciptakan perbedaan bahasa dan warna kulit sebagai tanda kebesaran bagi orang-orang yang mengetahui, sebagiaman Allah SWT berfirman:

ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengatahui (Q.S. Ar-Ruum [30]; 22) (depag RI, 2007: 406). Ketiga, konsep yang tidak kalah penting dalam pesantren budaya adalah guru atau ustadz sebagai role model bagi para santri. Revolusi mental di pesantren harus dapat membangun pribadi guru atau ustadz yang dapat dijadikan contoh atau teladan bagi para santri. Sebab, terdapat kecenderungan yang sangat besar untuk menganggap bahwa guru atau ustadz menjadi sorotan bagi para santri dalam perilaku sehari-hari. Sebab, menyesuaikan antara konsep keilmuan dengan amaliah keseharian, baik dalam berkomunikasi, berpakaian, memberikan pengajaran maupun amaliah yang lainnya. Dalam masalah teladan, Alquran menyebutkan dalam kehidupan harus menjadi contoh bagi orang lain, sebagaimana Allah SWT berfirman:

ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ Sungguh, telah ada pada (diri) Rasullallah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) 264 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah (Q.S. Al Ahzab [33]: 21) (Depag RI, 2007: 420).

Penutup Revolusi mental merupakan istilah yang cukup hangat untuk dibicarakan, meskipun bukan istilah baru namun karena diungkapkan oleh presiden Republik Indonesia terutama di awal pemilihan presiden 2014. Maka hal tersebut menjadi ramai dan menarik diperbincangkan. Gagasan revolusi mental ini muncul karena dilandasi oleh kenyataan bangsa Indonesia belum mampu menjadi bangsa yang unggul dan ber­ karakter. Berbagai kebiasaan yang tumbuh subur sejak zaman pra-kolonial hingga pasca kemerdekaan masih berlangusng hingga kini, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat tamak, ingin menang sendiri, cenderung menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, melecehkan hukum dan sikap oportunis. Sebab itulah, masalah revolusi mental menjadi masalah yang mengemuka di negeri tercinta ini. Pesantren budaya nusantara menjadikan jargon “revolusi mental” sebagai suatu peluang untuk mengembalikan kembali keadaan mental Indonesia yang sudah semakin terpuruk, menuju kepada mental yang bermartabat, dengan cara: kontruksi asrama tempat tinggal para santri menyerupai rumah-rumah adat yang ada di Indonesia atau miniatur rumah adat sebagai asrama. Kemudian, bahasa yang dijadikan sebagai alat komunikasi bukan hanya bahasa Indonesia, Arab dan Inggris, tapi juga dikenalkan bahasa- bahasa daerah yang ada di Indonesia. Selain itu, guru atau ustadz tidak hanya menyampaikan materi secara klasikal, akan tetapi menjadi contoh atau teladan bagi para santri dalam setiap amaliah keseharian. ‘Ala kulli hal, semoga tulisan ini menjadi kontribusi dalam membumi­ kan revolusi mental di Indonesia, revolusi mental bukan hanya cita-cita, akan tetapi terwujud dalam kehidupan bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih bermartabat.

Pustaka Acuan: , Saifuddin, Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: PT. Mawardi Prima, 2000. Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung: Muzan, 2002. Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemah, Jakarta: CV. Dana Nala, 2007. Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3S, 2011. Pesantren Budaya Nusantara: Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental Perspektif Alquran 265

Direktorat Jendral Kelembagaan Islam Depag RI, Pola pemberdayaan Masyarakat Melalui Pondok Pesantren, Jakarta, 2003. El-Saha, M. Ishom, dan Masuki, Intelektualisme Pesantren, Jakarta: Diva Press, 2004. Hasyim, Maskur, Model Masyarakat Madani, Jakarta: Intimedia, 2002. Ismail, Faisal, Pijar-Pijar Islam Pekumpulan Kultur dan Struktur, Yogyakarta: LESFL, 2002. Lembaga Qur’an Indonesia, Ensiklopedia Alquran, Jakarta: Lentera Hati, 2007. Ma’arif, Ahmad Syafe’I, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2009. Majid, Nurkholis, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Mizan, 2008. Mughits, Abdul, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Mulyana, Dedi, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Nashr, Sayyid Hosen, The Heart of Islam, Bandung: Mizan, 2003. Rustiawan, Hafid, Modernisasi Sistem Pendidikan di Pesantren (Jurnal Alqalam), Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN SMH Banten, 2005. Shihab, M, Quraisy, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Jakarta: Lentera Hati, 2012. Shihab, M, Quraisy, Wawasan Alquran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Jakarta: Lentera Hati, 2007. Toha, Muhammad, Membumikan Alquran: Fungsi Peran Wahyu dalam Kehidupan, Jakarta: Lentera Hati, 2010. Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1992. Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2010. Zuhaili, Wahbah, Tafsirul Wajiz, Jakarta: Gema Insani Press, 2007.

Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai Revolusi Mental

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.06

Pendahuluan Cita-cita sosial Islam menempati posisi strategis dalam kerangka ajaran Islam, karena merupakan arah dan acuan kehidupan keberIslaman. Gerakan Islam, bagaimanapun bentuknya, sepanjang diorientasikan dalam rangka memperjuangkan cita-cita sosial Islam, dengan demikian, merupakan faktor instrumental untuk mengantarkan umat kepada pencapaian (tepatnya penghampiran) cita-cita tersebut. Menurut (1995: 15), menjelaskan dalam perspektif ini gerakan Islam, seyogyanya melakukan interpretasi dan aktualisasi cita-cita sosial Islam dalam konteks sosial, budaya, dan dinamika masyarakat yang dihadapinya. Interpretasi cita-cita sosial tersebut mengambil bentuk perumusan nilai-nilai dasar (basic values), dan nilai-nilai instrumental (instrumental values), dan aktualisasi diselenggarakan dalam suatu proses dinamis dan sistematis untuk mencapai masyarakat madani. Konsistensi gerakan Islam baik pada tujuan maupun khitah perjuangan­ nya, dengan cita-cita sosial Islam yang dimaksud akan mengukuhkan gerakan masyarakat madani sebagai gerakan Islam untuk mencapai tujuan bersama. Kemampuan menginterpretasikan dan mengaktualisasikan cita-cita sosial Islam

267 268 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran dalam konteks perubahan sosial mencerminkan efektivitas gerakan sebagai agen reformasi untuk mencapai sebuah revolusi mental. Dalam hal ini, proses pencarian cita-cita sosial menuntut adanya reformasi dan perubahan sosial yang berkesinambungan antara penerapan masyarakat madani untuk mencapai revolusi mental, karena pada dasarnya masalah revolusi mental merupakan masalah yang konkrit dan perlu ada usaha dan formulasi untuk mencapai kearah tersebut. Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki sifat kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama. Di Indonesia, secara historis, upaya untuk merintis lahirnya institusi semacam ini ini sudah muncul sejak masyarakat kita sudah mulai bersentuhan dengan pendidikan modern, berkenalan dengan sistem kapitalisme global, dan modernisasi. Setelah meraih kemerdekaan, semangat masyarakat madani semakin berkembang dan menecapai puncaknya pada tahun 1950 ketika organisasi-organisasi politik dan kemasyarakatan berkembang pesat dan pemerintahan dibawah pemerintahan Ir. Soekarno bertekad unruk membangun negara modern dengan system demokrasi. Tapi sejalan dengan itu, bangsa kita senantiasa gagal dalam membangun fondasi masyarakat madani untuk meningkatkan kemampuan individu dalam upaya mencapai tujuan bersama yaitu revolusi mental (Abdulahmed, 2001: 89). Para pakar ilmu-ilmu sosial, aktifis sosial, dan politisi umumnya melihat kegagalan itu disebabkan karena minusnya pertisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, proses percepatan globalisasi budaya yang tidak mampu direspon secara berimbang yang akhirnya menyebabkan penyakit culture shock (kekagetan budaya) yang kemudian mengakibatkan gagalnya anggota masyarakat (secara individual) menemukan pijakan ideologis yang kuat. Dalam masyarakat yang demikiam tentu saja kemandirian menjadi sikap hidup yang langka. Baik sejara politis (karena minimnya partisipasi) maupun secara umum kulural umumnya anggota masyarakat tidak memiliki kemandirian dan ketidakjelasan sehingga berakibat pada melemahnya revolusi mental bangsa Indonesia. Data diatas bisa berubah kapanpun selama pengembangan masih terus dilakukan, lalu bagimana pengaruh masyarakat madani terhadap revolusi mental? Dan bagaimana solusi dan strategi Alquran tentang masyarakat madani dalam upaya mencapai revolusi mental. Makalah ini dibuat semoga nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk membentuk keluarga madani sebagai upaya untuk mencapai revolusi mental. Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai Revolusi Mental 269

Konsep Masyarakat Madani Dalam paradigma sosial politik Islam, dengan melacak sumber-sumber doktrinalnya, ada dua kata kunci yang bisa menghampirka kita pada konsep masyarakat madani (civil society), yakni kata “ummah” dan “madinah”. Dua kata kunci yang memiliki eksistensi kualitatif (memiliki keutamaan-keutamaan tertentu) inilah yang menjadi nilai-nilai dsar dan nilai-nilai instrumental bagi terbentuknya masyarakat madani. Kata “ummah” misalnya, yang biasanya dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, sepeerti dalam istilah “ummah Islamiyah”. “ummah wasathan”, “ummah ”. “ummah wahidah”, “khira ummah”, dan lain-lain, , merupakan pranata sosial utama yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. setelah hijrah dimadinah. (, 2000: 95). Terminologi “ummah” dalam bahasa Arab menunjukkan pengertian komunitas keagamaan tertnetu, yakni komunitas yang mempunyai ke­yakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti diisyaratkan Alquran, terminologi “ummah” menunjukkan suatu komunitas yang mempunyai basis solidaritas tertentu atas dasar komitmen keagamaan etnis, dan moralitas. Dalam perspektif sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. dimaksudkan untuk membina solidaritas para pemeluk Islam (kaum Muhajirin dan kaum Anshar). Khusu bagi kaum Muhajirin, konsep “ummah” merupakan sistem sosial alternative pengganti sistem sosial tradisional dan kesukaan yang mereka tinggalkan lantaran memeluk Islam. Hal ini menunjukan bahwa konsep “ummah” mengundang konotasi sosial, ketimbang konotasi politik. Menurut Quraih Shihab dalam buku Tafsir Alquran Tematik (2001: 98) Kata “ummah” disebut sebanyak 54 dalam Alquran baik dalam bentuk tungga maupun bentuk dalam bentuk jamak. Penyebutan dalam Alquran menunjukkan bahwa makna “ummah” adalah masyarakat madani yang didalamnya dijelaskan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah konsep umat Islam yahng ditegaskan atas dasar solidaritas keagamaan dan merupakan manifestasi dari keprihatinan moral terhadap eksistensi dan kelestarian masyarakat berorientasi kepada nilai- nilai Islam yang bertujuan untuk membantu memeperbaiki kepribadian dan mengembangkan kemampuan individu untuk mencapai tujuan bersama. Kendati demikian, eksistensi umat Islam, tidaklah bersifat ekslusif. Karena Islam merupakan agama universal (rahmatan lil-a’alamin), maka nilai-nilai Islam harus mendatangkan kebaikan bagi alam semesta. Prinsip kerahmatan dan kesemestaan ini menuntut adanya upaya universalisasi (evelasi) nilai-nilai Islam untuk menjadi nilai-nilai nasional ataupun global (Hikam 1996: 3). 270 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Seperti telah disebutkan diatas, penyebutan kata “ummah” dalam Alquran dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa “ummah”, sebagai komunitas sosial kualitatif, mempunyai nilai ”relatif”. Artinya bahwa perwujudan “ummah” dalam keagamaan realitas sosial budaya kaum muslimin tidak seragam dan bercorak tunggal. Sebagain implikasinya, perwujudan “ummah” akan sangat tergantung kepada realitas sosial budaya tertentu. Korelasi demikian menunjukkan bahwa cita-cita ideal agama (Islam) adalah terwujudnya masyarakat yang berperadaban tinggi sebagai struktur fisik dari umat Islam yang natinya mampu mewujudkan cita-cita bersama dan mampu mewujudkan tujuan untuk mencapai revolusi mental sehingga dengan penerapan masyarakat madani, mampu meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang meiliki mental yang kuat dalam upaya mencapai revolusi mental.

Masyarakat Madani Terhadap Revolusi Mental Harus diakui bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi masalah mendasar dalam hal kualitas sumber daya manusia. Secara umum, kehidupan masyarakat kita masih diikuti oleh lemahnya kualitas pengalaman disiplin nasional dan etos nasional. Hal ini ditunjukan, umpamanya oleh rendahnhya penghargaan terhadap waktu, lemahnya penghayatan nilai kualitas nilai kualitas dan prestasi, serta penghayatan terhadap norma-norma hukum. Menurut Qurasih Shihab (2011: 120), menghadapi tantangan persaingan antar bangsa yang semakin keras di masa depan, bangsa Indonesia perlu mengembangkan beberapa sikap orientasi yang kondusif kepada kemajuan, yaitu: (a) sikap orientasi yang kondusif kepada kemajuan, (b) orientasi kualitas (quality oriented), (c) orientasi terhadap tujuan (goal oriented), dan (d) orientasi kepada masa depan (future oriented). Dalam hal ini, seorang manusia modern yang maju adalah yang cenderung merealisasikan segala cita, rasa kedalam karya nyata, dan kemudian senatiasa cenderung untuk meningkatkan karya nyatanya itu menjadi karya terbaik, dalam proses dinamis dan sistematis untuk menghampiri cita-cita (tujuan hidup), sebagai manifestasi dalam rangka mencapi sebuah tujual sosial yaitu revolusi mental. Dalam perspektif diatas menurut Dr. Tarmdizi Taher dalam bukunya Menuju Umatan Wasathan (2006: 98), menjelaskaan bahwa masyarakat modern dalam mencapai revolusi mental harus memiliki kecendrungan antara lain: (1) bersifat rasional dalam menghadapi segala masalah, yaitu dapat memberikan pertimbangan yang logis dalam menentukan pilihan, (2) bersifat terbuka (outward Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai Revolusi Mental 271 looking), yaitu toleran, apresiatif dan akomodatif terhadap perkembangan diluar dirinya yang dinilai mengandung kebaikan, dan (3) disiplin terhadap waktu, yaitu kecendrungan untuk mengisi dan memanfaatkan waktu dengan sebaik- baiknya. Disiplin waktu ini melahirkan kecenderungan untuk menampilkan hidup yang berencana dengan perencanaan strategis dan berorientasi pada efesien dan efektivitas kerja. Hal-hal inilah yang mampu membantu setiap individu dalam rangka pengembangan daya saing dan mentalitas setiap invidu sehingga mampu mewujudkan dan mencapai revolusi mental. Dalam hal ini, proses pencapaian cita-cita sosial yaitu revolusi mental menuntut adanya reformasi dan perubahan sosial yang berkesinambungan. Hal demikian diharapkan dapat menunjukkan nuasa pemikiran Islam mengenai penerapan sistem kemasyrakatan yang dapat diterapkan dalam upaya mencapai revolusi mental dalam dua masa besar, yaitu “masa perkembangan Alquran” (Qur’anic development period). Pada masa pertama, Nabi Muhammad SAW. merumuskan cita-cita sosial Islam berdasarkan wahyu Tuhan dan menerapkan dalam konteks sosial budaya masyarakat Arab. Pada masa kedua, para pemikir muslim melakukan hal yang serupa dalam setting sosio-historis yang berbeda yang telah melahirkan pemikiran dan pranata sosial yang beragam (Tarmidzi, 2006: 107). Cita-cita masyarakat madani merupakan refleksi tauhid yang merupakan­ prinsip sentral dan kardinal dalam Islam. Menurut Amien Rais dalam bukunya­ Cakrawala Islam (1992: 18), menegaskan bahwa kesatuan hubungan utama atara masyarakat madani dengan refleksi tauhid menekankan pada kesatuan tiga eksistensi: Tuhan, alam dan manusia. Manusia seagai subjek kehidupan merupakan khalifah Tuhan yang diberi kuasa untuk memanfaatkan alam untuk membangun peradaban bumi. Keberhasilan misi kakhalifaan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan manusia dalam mengembangkan sunnatullah dalam dirinya, yakni dengan menginternalisasikan kekuatan-kekuatyan Tuhan (al-Asma al-Husna), sehingga manusia dapat memahami dan memanfaatkan sunatullah pada alam semesta. Pengembangan misi kekhalifahan ini meniscaya­ kan kerja kolektif manusia bersama manusia yang lainnya. Dengan demikian konsep mayarakat madani mengandung dimensi sosial, baik pada proses maupun tujuan. Proses dam tujuan dalam hal ini terjalin dalam hubungan simbiotik yang bersifat dinamis, yaitu bahwa proses pencapaiannya tujuan masyarakat madani adanaya komunitas sosial dengan kulaitas tertentu, yang pada giliran berikutnya mendukung terjadinya proses yang lebih baik, lebih maju dalam mewujudkan komunitas sosial yang lebih kualitatif sehingga nantinya pada saat upaya pencapain revolusi mental dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. 272 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Masyarakat Madani: Upaya Mencapai Revolusi Mental Selain sebagai makhluk individual, manusia juga sebagai makhluk sosial. Sebagai mahkluk individual, manusia membutuhkan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan teman untuk bergaul untuk menyatakan suka dan duka. Dengan memenuhi berbagai kebutuhan lainnya yang bersifak kolektif. Manusia membutuhkan kedua sisi kehidupan tersebut. Sebagai makhluk sosial, mau tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan dimana manusia berada. Membentuk lingkungan sosial yang ramah, peduli santun saling menjaga dan menyayangi, saling membantum taat pada aturan, menghargai hak-hak asasi manusia dan sebagainya, lingkungan yang demikian itulah yang memungkinkan manusia dapat melakukan berbagai aktifitasnya dengan tenang. Keinginan untuk mewujudkan lingkungan yang demikian itu, pada gilirannya mendorong perlunya membina masyarakat yang pendidikan, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yaitu salah dengan membentuk mashyarakat madani dalam kehidupan bersmasyarakat. Karena hanya didalam masyarakat madani akan tercipta lingkunan dimana berbagai aturan dan tujuan bersama dapat terealisasi (Muthada, 1997: 15). Alquran sebagai sumber ajaran Islam telah memberikan perhatian yang besar terhadap perlunya pembinaan masyarakat madani. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah aza wazala dalam Q.S. Ali Imran (3): 110).

ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ Kamu sekalian adalah umat yang terbaik (khairul ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah” (Q.S. Ali Imran (3): 110) (Mushaf Al-bantani 2013). Menurut Quraish Shihab dalam buku Tafsir Al-Misbah (2000: 90), menjelaskan bahwa kata ummah yang terdapat dalam ayat diatas berasal dari kata amma yauma yang berarti jalan dan maksud. Dari asal kata ini dapat diketahui bahwa masyarakat adalah kumpulan individu yang memiliki keyakinan yang sama. Menghimpun diri seca harmonis dengan maksud dan tujuan bersama. Selanjutnya dalam al-mufradat fi Gharib Alquran(1998: 325), masyarakat diartikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama, waktu, tempat, baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri. Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai Revolusi Mental 273

Kemudian Ali Sari’ati (1986: 15), berpendapat bahwa ayat diatas menjelas­ kan tentang masyarakat yang merupakan sekumpulan dari manusia antara satu dan lainnya yang terkait dalam satu nilai, adat istiadat yang didalamnya terdapat sistem hubungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ibn Khaldun dalam buku Filsafat Islam tentang sejarah (1976: 35), mengatakan bahwa adanya masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang demikian itu merupakan suatu keharusan, karena menurut wataknya, manusia adalah makhluk sosial. Alquran merupakan pedoman umat Islam yang memberikan solusi me­nganai segala permasalahan yang ada dimuka bumi, tidak lain dengan permasalahan revolusi mental yang ada di Negara Indonesia. Alquran memberikan solusi melalui masyarakat madani yang didalamnya terdapat beberapa strategi yang diterapkan dalam masyarakat madani sehingga dapat menjadi basis dalam upaya mencapai revolusi mental, strategi yang dijelaskan dalam Alquran mengenai penerapan masyarakat madani dalam upaya mencapai revolusi mental sebagai berikut:

Pertama; Musyawarah Antar Manusia Kata musyawarah, berasal dari bahasa arab musywarah yang menunjukan isiim mashdar dari kata kerja syawara, yusyawiru. Kata ini terambil dari akar kata sya, wau dan ra yang bermakna pokok pengambilan sesuatu, menampakkan dan menawarkan sesuatu. Menurut Quraish Shihab (2000: 67), kata musyawarah mulanya bermakna mengeluarkan madu karena berasal dari kata syaara (Saw.ara). Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatau yang dapat diambil atau dapat dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah juga juga dapat berarti mengatakan atau mengerjakan sesuatu. Musyawarah pada dasarnya hanyab digunakan pada hal-hal yang baik, baik menyangkut urusan pribadi ataupun urusan umum. Oleh karena itu, musyawarah sangat diperlukan dalam menjalankan kehidupan, terutama untuk menyelesaikan problem yang dihadapi masing-masing individu atau masyarakat pada umumnya. Karena pada dasarnya urgensi musyawarah begitu besar dan sangat diperlukan dalam rangka penyelesaian dalam kehidupan bermasyarakat sehingga dalam hal ini merupakan pondasi awal untuk membentuk masyarakat madani dalam upaya untuk mencapai revolusi mental. Seperti dijelaskan dalam firman Allah swt Q.S. Asy-Syura (42): 38,

ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ 274 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dan bagi mereka orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka.” (Q.S. Asy-Syura (42): 38). (Mushaf Al-Bantani, 2013: 487). Menurut Quraish Shihab dalam buku Tafsir Al-Misbah (2002: 178), menjelaskan bahwa ayat diatas berisi tentang sifat-sifat orang mukmin, yaitu mengamalkan perintah Allah swt yang oleh Nabi Muhammad Saw., mengerjakan sholat, memusyawarahkan urusan mereka, dan menafkahkan sebagian rezeki yang pernah mereka peroleh. Dari ayat ini dapat dikatakan bahwa musyawarah merupakan salah satu bentuk ibadah. Musyawarah bukanlah produk sosial melainkan institusi yang dihasilkan oleh wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw.. Dengan demikian, musyawarah merupakan bagian dari ajaran Islam. Ini artinya bahwa dalam masalah-masalah dunia, seperti strategi perang, pemilihan pemimpin, menghadapi sebuah perbedaan dan lain sebagainya, Islam mengajarkan demokrasi yang tetap berpegang teguh kepada Alquran. Alquran juga menjelaskan sisi penting dari musyawarah, yaitu konsultasi. Dalam masalah yang memerlukan masukan dari orang lain, konsultasi merupakan suatu hal yang diperintahkan Allah swt. Seperti disebutkan dalam Firman-Nya: ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ “Jika kamu (Muhammad) berada dalam karagu-raguan tentang apa yang kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah dating kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu” (Q.S. Yunus (10): 94) (Mushaf Al-Bantani 2013: 219). Menurut Quraish Shihab (2002: 78) menjelaskan bahwa ayat diatas menunjukkan bahwa apanila seseorang ragu tentang suatu hal, hendaklah bertanya kepada orang yang dianggap mengetahuinya. Salah satu maksud dan tujuan dari bertanya adalah untuk berkomunikasi. Allah Saw. mengabadikan konsultasi yang dilakukan oleh Ratu Bilqis dengan para pembesar kerajaannya ketika hendak mendapatkan tawaran “merger” dari Raja Sulaiman dalam Q.S. An-Naml ayat 32:

ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada mereka yang mempunyai pengetahuan jika kamu ingin mengetahui” (Q.S. An-Naml (27): 32) (Mushaf Al- Bantani 2013: 479). Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai Revolusi Mental 275

Ayat-ayat diatas membuktikan bahwasanya dari kegiatan, musyawarah ada manfaat yang dapat diambil oleh peserta musyawarah, yaitu membentuk kepribadian dan meningkatkan kemampuan serta mengambil pelajaran dari pengalaman dan keahlian orang lain dalam berbagai bidang. Oleh sebab itu dengan musyawarah akan tercapai kesatuan umat yang dapat dijadikan upaya untuk mencapai revolusi mental.

Kedua; Berprilaku Adil Secara umum, al-adl (keadilan/tindakan yang adil) artinya suatu keadaan yang terdapat pada jiwa seseorag yang membuatnya menjadi lurus. Menurut Al-Jurjani (1969: 152) menjelaskan bahwa dari kata al-adl diambil pengertian keadaan menengan antara diantara dua keadaan yang ekstrem. Oleh karena itu, kata al-adl dapat berarti al-miizan (timbangan) dengen mengikuti firman Allah:

ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ Allah-lah yang menurunkan kitab dengan membawa kebenaran dan menurunkan dengan keadilan. Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat?” (Q.S. Asy-Syura (42): 17). (Mushaf Al-Bantani, 2013: 485). Menurut Quraih Shihab (2002: 92), menjelaskan bahwa adil adalah sifat yang utama bagi setiap manusia, yang ditumbuhkan oleh tiga kekuatan yang terdapat pada dirinya, yaitu al-hikmah (kebijaksanaan), al-iffah (memelihara diri dari maksiat) dan asy-syja’ah (keberanian). Ketiga kekuatan itu berjalan beriringan sehingga menimbulkan dorongan untuk selalu berbuat adil terhadap dirinya dan orang lain. Maksud sifat adil disini adalah memberikan hak kepada yang berhak menerimanya dengan tidak membesar-besarkan antara orang yang satu dengan lainnya, melainkan berdasarkan besar kecilnya hak itu. Pengertian ini menunjukkan bahwa baik memberikan hak dan penghargaan maupun menuntut kewajiban dan menjatuhkan hukuman adalah sama-sama adil apabila dilakukan secara proporsional. Allah swt berfirman dalan Q.S. An-Nisa (4): 58):

ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh) kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi penghargaan yang sabaik-baiknya kepada kamu, sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S. An-Nisa (4): 58) (Mushaf Al-Bantani, 2013: 87). 276 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Menurut Quraish Shihab dalam buku Tafsir Al-Misbah (2002: 108), menegaskan bahwasanya ayat menunjukkan bahwa kita dituntut untuk berbuat adil kepada siapapun meskipun musuh kita. Artinya, bertindak sesuai dengan batasan hukum yang berlaku. Maka dari itu dari solusi dan strategi yang dijelaskan oleh Alquran mengenai penerapan masyarakat madani dalm kehidupan bermasyarakat merupakan tanggung jawab bersama sehingga nantinya dapat memberikan perubahann kepada setiap individu dan mampu dijadikan strategi untuk mencapai revolusi mental.

Penutup Masyarakat madani secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki sifat kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama. Di Indonesia, secara historis, upaya untuk merintis lahirnya institusi semacam ini ini sudah muncul sejak masyarakat kita sudah mulai bersentuhan dengan pendidikan modern, berkenalan dengan system kapitalisme global, dan modernisasi. Masyarakat madani dalam konsep Alquran, akan terwujud manakala setiap anggota masyarakatnya menjadikan musyawarah dan keadilan sebagai salah satu pilar penyangga kehidupan masyarakat tersebut. Alquran mengisyaratkan bahwa bermusyawarah merupakan salah satu berntuk fitrah manusia dengan berpegang teguh dengan bagaimana cara yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., dan keadilan sebagai bagian dari sesuatu yang ma’ruf tidak ada tawar menawar lagi. Praktik musyawarah dan keadilan yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. yang dijadikan acuan setiap muslim dalam membangun sebuah bangsa yang memilki kemampuan sumber daya yang baik dan mampu berdaya saing sehingga nantinya mampu memberikan perubahan dan mencapai revolusi mental Demikianlah ajaran Islam menekankan ditegakkannya musyawarah dan keadilan ditengah-tengah masyarakat, keduanya memberikan kebebasan yang penuh dan sempurna kepada setiapn individu dalam batas-batas yang sama dengan tidak merusak dan tidak pula mempersempit ruang gerak individu lain. Orang yang berhati jahat sekalipun akan berhati-hati dengan keadaan yang dapat merugikan dirinya. Menerapkan musyawarah dan menegakkan keadilan tidak akan berjalan dengan sendirinya, banyak resiko dan pengorbanan yang besar untuk menegakkan keduanya. Namun kedua hal tersebut merupakan barometer bagi ketakwaan seorang muslim. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali harus berbuat adil agar tujuan dari revolusi mental dapat dicapai dengan cara yang baik dan bernilai mulia di sisi Allah swt. Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai Revolusi Mental 277

Pustaka Acuan: Abdulahmed, Sultan. Alquran untuk Hidupmu. Jakarta: Outskirt Press. 2001. Al-Jurjani. Asy-Syaksiyah al-mumtazah, terj. Moh Nurhakim. Jakarta: Gema Insani. 1969. Basri, Asghary. Solusi Alquran tentang Problem Sosial, Politik, Budaya. Jakarta: Rineka Cipta. 1994. Khaldun, Ibn. Filsafat Islam tentang sejarah. Jakarta: Pustaka Media. 1976. Kementrian Agama RI. Tafsir Tematik Pembangunan Generasi Muda. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran. 2011. Kementrian Agama RI. Tafsir Tematik Alquran dan Kenegaraan. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran. 2011. Hikam. Masyarakat Madani di Dunia Islam. Jakrta: Salim Press. 1996. Nata, Abudin. Tafsir Al-Ayat Al-Taebawiy. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002. Pemprov Banten. Mushaf Al-Bantani. Jakarta: LPQ Kemenag RI. 2013. Raghib, Al-Asfiari.Almufradat Fil Ghoril Jakarta: CV Pustaka Ceria. 2002. Rais, Amien. Dinamika Masyarakat di Dunia Islam. Jakarta: Pustaka Setia. 1995. Rais, Amien. Cakrawala Islam. Jakarta: GS Press. 1992. Rosyanti, Imas. Esensi Alquran. Bandung: CV Pustaka Setia. 2002. Sari’ati, Ali. Quranic Society Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Alquran. Jakarta: Erlangga. 1986. Shihab, Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan. 1996. Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta:Lentera Hati. 2002. Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: PT logos cahaya ilmu. 2000 Taher, Tarmidzi. Menuju Ummatan Wasathan. Jakarta: PPIM. 1998. Muthada. Masyarakat Madani Pelopor Perubahan. Jakarta: Rajawali Press. 1997.

Spirit Ekologi Qur’ani (Mematri Mental Ekologi di Tengah Gempuran Modernisasi)

Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.08

Pendahuluan Manusia adalah Makhluk yang paling Unik diantara Makhluk Allah SWT lainnya. Keuinikan terlihat ketika manusia selalu mencari makna dan nilai-nilai luhur yang dicita citakannya. Hal ini selaras dengan perintah Allah SWT agar manusia senantiasa berfikir tentang Alam Semesta, sebagai tangga yang mesti dilalui untuk mendaki kejenjang yang lebih tinggi dalam mengenal Allah SWT. Dalam perjalanan hidupnya, manusia mengemban amanah yang dibebankan kepadanya agar dipenuhi, dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya, yakni dengan dikarunia potensi yang ada pada diri manusi (fitrah, akal, ruh, qalb dan jasmani), (M. Quraish Shihab, 2000: 283). Menurut Fahrudin M. Mangunjaya (2005: xiv), kurangnya kesadaran dan pemahaman seseorang tentang masalah lingkungan hidup menjadi salah satu indicator penyebab kerusakan lingkungan, selain itu didukung dengan lemahnya penegakan hokum bagi mereka yang merusak lingkungan dengan skala besar (makro). Manusia dengan segala kegiatannya, mereka mengeksploitasi alam dengan terus menguras energi dan seumber daya alam yang ada di dalamnya. Gambaran umum tentang terjadinya beragam bencana ekologis yang

279 280 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran menimpa diberbagai daerah, khususnya di Povinsi Banten seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lain sebagainya. Situasi ini telah memaksa semua kalangan untuk mulai berfikir sekaligus bergerak cepat menemukan formula yang tepat bagaimana situasi lingkungan yang terus memburuk ini dapat segera diselamatkan, terutama dalam mengantisipasi terjadinya gempa bumi dan tsunami yang dahsyat akan melanda wilayah pesisir Pandeglang-Banten (Perkiraan BPPT, 2018). Bencana yang terjadi bukan hanya ulah dan perbuatan tangan manusia secara langsung terhadap alam, (Q.S Ar-Rum [30]: 41), akan tetapi ada efek rusaknya prilaku dan moral manusia itu sendiri yang diakibatkan oleh gempuran modernisasi, sehingga dapat berakibat mendatangkan murka dari Allah SWT. Karena fenomena alam yang terjadi tidak cukup disikapi hanya dengan sains dan teknologi belaka, akan tetapi termasuk pula pada perilaku manusia yang disebabkan rusaknya Hati, (Endang Busri, 2000: 243). Alquran sudah memberikan peringatan keras untuk tidak melakukan kerusakan dimuka bumi ini. Bahkan, manusia diperintahkan menjadi khalifah untuk menjaga dan merawat bumi (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30). Bagi umat perlu kiranya mengelaborasi pesan-pesan Universal Alquran dalam membangun infrastruktur teknologi, ekonomi, politik dan ekologi berdasarkan pada landasan Spiritual yang telah ada, terutama diwilayah Provinsi Banten, (Asep S Muhtadi, 2012: iii). Islam, sebagai agama yang mewarnai Kultur Masyarakat Banten, sepantasnya selalu dijadikan sandaran dalam menjawab berbagai aspek kehidupan, termasuk masalah ekologi. Namun, yang menjadi teka-teki saat ini, mengapa masyarakat Banten belum masih belum menuai manfaat sendiri dari petunjuk yang diberikan secara berlimpah dalam kitab suci Alquran. Para penganut Islam di Banten seolah gagal “Membumikan dan Melautkan” pasan Alquran untuk menjaga lingkungan dan membangun kesejahteraan umat (Khayran Ummah), perubahan yang terjadi karena rusaknya lingkungan, kemudian berdampak pada rusaknya keseimekologis itu sendiri. Berpijak dari kepentingan tersebut keberadaan pendidikan lingkungan dikemas dalam pengajian yang berkelanjutan, seyogyanya dapat diintegrasi­kan dalam bingkai Alquran oleh masyarakat Banten sebagai langkah solutif untuk menjaga lingkungan yang berwawasan Alquran dan kearifan lokal, bahkan eksisnya diyakini akan berdampak positif terhadap masyarakat Banten sendiri. Dengan demikian Pokok Bahasan dari permasalahan diatas, agar ter­ciptanya stabilitas kehidupan yang Baldatun Toyyibatun Wa Rabbun Ghofur, perlu kiranya penulis memberikan interpretasi tentang ”Membangun Spirit Ekologi Qur’ani” Spirit Ekologi Qur’ani (Mematri Mental Ekologi di Tengah Gempuran Modernisasi) 281 secara komprehensif, sebagai kajian guna mensosialisasikan nilai-nilai agama tentang Ekologi, dengan harapan simpulan akhir dalam kajian ini, memperoleh jawaban: Bagaimana Alquran berbicara tentang Ekologi?, Bagaimana peran pemerintah dalam penataan Ekologi yang berpedoman pada Alquran ?, serta bagaimana langkah kongkrit dalam merektualisasi ekologi Qur’ani ditengah gempuran modernisasi?. Kajian sederhana ini merupakan kajian pemikiran keagamaan dengan menelusuri literaturyang berhubungan dengan Ekologi Banten dengan segala derivasinya, kemudian dikembangkan melalui pendekatan tematis, dengan menggunakan Alquran dan Hadist sebagai rujukan, serta didukung dengan beberapa pandangan para Ahli.

Ekologi dalam Kajian Alquran Pada bebarapa buku diungkapkan, kata ekologi pertama kali dikenal oleh Ernst Haeckel pada tahun 1868. Istilah Ekologi berasal dari Bahasa Yunani: Oikos yang artinya rumah dan Logos yang berarti ilmu. Karena itu secara harfiah ekologi berarti Ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumah tangganya atau dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang makhluk hidup, (Otto Soemarwoto, 2004: 22). Menurut Slamet Ryadi (1981: 11), ekologi adalah ilmu yang mem­pelajari hubungan timbal-balik (inter-relationship) antara organisme atau sekelompok organisme dengan lingkungannya secara alamiyah melalui suatu tatanan (Ecosystem). Demikian pula Mangunjaya (2005: 8), Elly M Setiadi, dkk (2010: 180) memberikan definisi yang cukup komperhensip terkait ekologi, yakni sebagai suatu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 570) Ekologi adalah ilmu mengenai hubungan timbal balik antara Makhluk Hidup (kondisi) dan alam sekitar (lingkungannya). Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, terdapat tiga kata kunci untuk merumuskan ekologi, yakni hubungan timbal balik, hubungan anatara sesame organisme dan hubungan Organisme dengan lingkungannya. Ekologi secara sederhana dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari proses timbal balik antara sesama makhluk hidup dan makhluk hidup dengan lingkungannya. Allah SWT. menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi daratan, lautan, dan segala sesuatu yang ada didalamnya adalah untuk keperluan umat manusia, sebagaimana Firman Allah SWT.: 282 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ”Dialah Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikannya tujuh langit. Dan dia maha mengetahui segala sesuatu” (Q.S Al-Baqarah [2]: 29), (Kemenag, 1971: 13). Umat islam telah diberi petunjuk menemukan segala seuatu untuk keperluan keselamatan hidup manusia di Dunia dan di Akhirat kelak. Sebagai agama yang Ramah Lingkungan, Alquran telah banyak berbicara tentang alam raya serta potensi yang ada didalamnya, sebagaimana ayat-ayat yang berkaitan dengan deskripsi penciptaan alam, aktivitas alamiah, perintah untuk mengambil pelajaran darinya, serta untuk menjaga keberlangsungan­nya (Q.S Al-An’am [6]: 102), (Q.S Al-Hijr [15]: 19), (Q.S An-Nur [24]: 43), (Q.S Al-A’raf [7]: 53) dan (Q.S Al-Waqiah [56]: 68-70). Berdasarkan pada beberapa kajian para peneliti, terdapat ayat-ayat Alquran yang dapat dideskripsikan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, yaitu ayat-ayat yang berkaitan dengan Binatang (Fauna) yang ditemukan­ dalam Alquran sebanyak 50 kali (ad-dabbah 18 kali dan al-an’am 32 kali), Tumbuh- tumbuhan (Flora) sebanyak 21(nabat 9 kali dan al-harts 12 kali), Tanah (al-ard) sebanyak 451 kali, Air (al-maa) sebanyak 63 kali, Lautan (bahr) sebanyak 32 kali, (Agus S Djamil, 2004: 517), dan Udara atau Angin (ar-riih) sebanyak 28 kali, Analisis Muhammad Fahmi As-Syafi’I (Ad-Dalil Al-Mufahrasy). Menurut Djamil (2004: xxxi), ayat-ayat diatas menantang manusia untuk memahami proses alam sebagai sumber ilmu pengetahuan yang harus diperdalam, dan kemudian dijadikan Pemantik keimanan. Ayat-ayat diatas pula merupakan bukti kebenaran dan kebesaran Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhoi Allah SWT. Dalam Balutan Alquran, Allah SWT telah menyampaikan akan kebesaran dan potensi yang besar untuk dieksplorasi oleh manusia, karena sejatinya Allah SWT Menundukan Apa yang ada di Bumi dan di Lautan, hanya untuk kesejahteraan manusia.

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ Apakah kamu tiada melihat bahwasannya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar dilautan dengan perintah-Nya. Dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar maha Pengasih lagi maha Penyayang kepada Manusia (Q.S Al-Hajj [22]: 65), (Kemenag, 1971: 521). Spirit Ekologi Qur’ani (Mematri Mental Ekologi di Tengah Gempuran Modernisasi) 283

Ekologi dalam Bingkai Pemerintah Ditengah derasnya perkembangan pembangunan diera modernisasisaat ini, kewajiban Negara dalam mengelola lingkungan tercantum dalam UUD 1945, hal tersebut dijelaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, lihat pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Pemerintah sebagai pemangku kebijakan, seyogyanya membuat kebijakan-kebijakan yang tidak bertolak belakang dengan Ekologi. Pemerintah harus membuat kebijakan- kebijakan yang sinergi dengan Ekologi, baik dari tatanan pemerintah pusat sampai pada kebijakan-kebijakan daerah (titik fokus Desa). Pemerintah Desa saat ini sedang diperhatikan oleh pemerintah pusat, dengan bantuan Dana Desa yang sangat besar seyogyanya mampu membangun­ dan membina masyarakat agar selalu menjaga dan melestarikan keseimbangan hidup yang berkaitan dengan kepentingan Ekologi dan tidak hanya mementingkan keseimbangan modernisasi, semisal membuat peraturan semisal bagi warganya agar tidak boleh menebang pohon apabila belum menyediakan benih untuk ditanami kembali, peraturan ekonomi berbasis lingkungan, peraturan pem­ bangunan perumahan berbasis lingkungan, dan lain sebagainya. Dayung bersambut bagi masyarakat yang mencintai tanah airnya yang harmonis dengan alam, apabila pemerintah melalu desa dapat meng­ implementasikan sebagai kebijakan yang selaras dengan kepentingan ekologi­nya, mereka mencintai alam akan merasa didampingi dengan peraturan pemerintah tersebut. Sebab, masyarakat akan mengakui bahwa kesalahan yang terkait dengan hubungan antar manusia di dunia secara umum dapat mengakibatkan kerusakan secara langsung. Fakta sejarah membuktikan pelestarian alam telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. dengan membentuk kawasan haram, yaitu kawasan yang diperuntukan untuk melindungi sumber daya alam agar tidak diganggu. Rasulullah SAW. menetapkan daerah-daerah yang tidak boleh diganggu aturan ekosistemnya, semisal sumber mata air, sungai dan lain sebagainya. Bahkan hal ini diperlihatkan pula ketika umat Islam sedang melaksanakan ibadah Haji wajib membayar DAM (tebusan) apabila merusak kelestarian alam semisal mematahkan kayu, memburu binatang dan lain sebagainya. Islam sangat jelas menggambarkan bahwa setiap pemeluknya harus menjaga kelestarian lingkungan alamnya dengan baik sebagai implementasi ibadah kepada Allah SWT. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang ekologi. Dengan demikian, Ekologi Qur’ani sebagai Fikih Lingkungan Hidup bukan hanya akan berdampak positif bagi umat muslim di Banten sebagai Agama yang mayoritas 284 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran tapi akan memberikan dampak positif bagi segenap Alam oleh karena itu Ekologi Qur’ani sebagai Fikih Lingkungan harus di dibumikan dilubuk sanubari Masyarakat Banten yang kemudian pada akhirnya ,menjadi pribadi yang memakmurkan, melestarikan dan cinta pada lingkungan.

Sadar Lingkungan: Reaktualisasi Ekologi Qur’ani di era modernisasi Modernisasi banyak memberikan dampak positif terhadap masyarakat Banten yang Agamis. Namun disisilain, masyarakat Banten saat ini dengan dalih modernisasi terbuai dengan Pola dan Gaya Hidup yang Materialisme, Paragmatisme, Hedonisme, Konsemerisme dan Lain sebagainya yang jauh dari nilai-nilai Agama dan Ekologi (Jajat Burhanudin, 2006: 97). Banyaknya Industri dan Gedung-gedung menjadi penyebab terjadi longsor dan banjir di beberapa daerah Banten, seperti Pandeglang Selatan wilayah Panimbang, Patia dan sekitarnya. Di daerah Patia, membuang sampah dan limbah ke laut, penambangan pasir, menangkap ikan dengan Cara di Bom mengganggu dan merusak ekosistem laut. Dalam Islam, manusia mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian alam (Lingkungan Hidup).

ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ Sesungguhnya kami telah mengemukakan Amanat kepada langit, bumi dan gunung- gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dam mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia amat zalim dan amat bodoh (Q.S Al-Ahzab [33]: 72) ((Kemenag, 1971: 680). Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap tihannya, manifestasi dari keimanan seseorang dapat dilihat daro prilaku manusia, sebagai Khalifah terhadap lingkungannya. Islam mempunyai konsep yang sangat detail terkait pemeliharaan dan kelestarian alam (lingkungan hidup). Sebagaiman Firman Allah SWT: ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’ mereka berkata:’Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan dengan memuji Spirit Ekologi Qur’ani (Mematri Mental Ekologi di Tengah Gempuran Modernisasi) 285

engkau dan mensucikan engkau?’ Tuhan Berfirman:’Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui (Q.S Al-Baqarah [2]: 30) (Kemenag, 1971:13). Pemerintah dan masyarakat Banten berhak mengelola alam ini guna me­ ngambil manfaat darinya, dengan tidak meninggalkan tugas dan kewajiban terhadap keberadaan ekosistem yang ada didalamnya, hal ini dibebankan kepada umat manusia. Sebagai Rasulullah SAW. pernah bersabda yang artinya : “Dari Aisyah R A Nabi SAW. bersabda “barang siapa yang menggarap tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun, maka ia berhak atas tanah itu (HR. Bukhari). Allah menggariskan takdirnya atas bumi, pertama kalinya dengan mem­ berikan segala fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi, diciptakan gunung, menurunkan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya. Belum cukup dengan itu Allah SWT memperindah polesan kehidupan di bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angina dan awan di angkasa. Setelah selesai dengan segala penciptaannya, Allah SWT Memberikan sebuah Amanat kepada Manusia.

ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya Rahmat Allah amat dekat dengan kepada orang-orang yang berbuat baik (Q.S Al-A’raf [7]: 56), (Kemenag, 197: 230). Hal ini diperparah dengan sikap yang tamak dan serakah yang melekat pada diri manusia. Dengan demikian, tidak keliru apabila beberapa Sarjana Muslim yang konsen dengan isu lingkungan, mengharuskan manusia untuk memperbaiki aspek spiritualnya untuk menciptakan lingkungan yang asri. Karena tindakan merusak alam merupakan tindakan kezaliman. Semua perbuatan manusia yang dapat merugikan kehidupan manusia merupakan perbuatan dosa dan kemungkaran. Maka setiap individu maupun Kelompok, yang melihat tindakan tersebut, wajib menghentikannya melalui segala cara yang mungkin dan dibenarkan. Namun terkadang sebaliknya, masyarakat sering menyepelekan lingkungan serta tidak memperdulikan ekosistem yang ada di dalamnya, seperti penebangan pohon di hutan untuk keperluan pemukiman dan industry, over eksploitasi, alih fungsi tanah secara besar-besaran (sebagaimana terjadi di berbagai wilayah Banten), membuang sampah ke sungai, membuang limbah industry ke laut, pembakaran Hutan untuk pembukaan lahan, penggalian pasir yang tidak sesuai aturan dan lain sebagainya. 286 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Kondisi lingkungan seperti ini berada di ambang kehancuran, terlebih apabila berlakunya Otonomi daerah tidak disertai tanggung jawab dari pemangku kebijakan (Pemerintah). Sebab hal ini pula merupakan salah satu indicator penyebab terjadinya kerisis lingkungan, sehingga rakyat semakin sengsara, hal ini pelu adanya penanaman nilai-nilai yang baik terhadap lingkungan hidup demi terciptanya ketentraman. Seperti: 1) Sikap Hormat terhadap alam (Respect For Nature) Dalam Alquran Allah Berfirman:

ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta Alam (Q.S Al-Anbiyaa [21]: 107), (Kemenag, 197: 508). Hormat terhadap Alam merupakan suatu perinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam seluruhnya. Seperti halnya, setiap anggota komunitas sosial mempunyai kewajiban untuk menghargai kehidupan bersama (kohesivitas sosial). 2) Prinsip tanggung jawab (Moral Responsibility For Nature) Terkait prisnsip di atas ada tanggung jawab moral terhadap alam, karena manusia diciptakan sebagai Khalifah (Penanggung jawab) di muka bumi dan secara ontologis manusia adalah bagian Integral dari alam. 3) Solidaritas kosmis (Cosmic Solidarity) Terkai dari kedua prinsip moral tersebut adalah prinsip solidaritas. Sama halnya dengan kedua prinsip itu, prinsip solidaritas muncul dari kenyataan bahwa manusia adalah bagian Integral dari semesta alam semesta. 4) Prinsip kasih saying dan kepedulian terhadap alam (Caring For Nature) Sebagai sesama anggota Komunitas Ekologis yang setara, manusia digugah untuk mencintai, menyayangi, dan melestarikan alam semesta dan seluruh isinya, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi. Kasih sayang dan kepedulian ini juga muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara (tidak disakiti) dan dirawat. Manusia umumnya bergantung pada keadaan lingkungan sekitar (alam) yang berupa sumber daya alam sebagai menunjang kehidupan sehari-hari, seperti pemanfaatan air, udara dan tanah yang merupakan sumber alam yang utama. Lingkungan yang sehat dapat terwujud jika manusia dan lingkungan dalam kondisi yang baik. Krisis lingkungan yang terjadi pada saat ini adalah efek yang terjadi akibat dari pengelolaan atau pemanfaatan lingkungan manusia tanpa menghiraukan Spirit Ekologi Qur’ani (Mematri Mental Ekologi di Tengah Gempuran Modernisasi) 287 etika. Dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi oleh manusia yang berkarakter dalam krisis etika atau krisis moral. Manusia kurang peduli terhadap norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan kepentingan sendiri. (Abdul Mazid Aziz Al-Zindan, 1997: 68). Manusia modern menghadapi alam hamper tanpa menggunakan Hati Nurani. Alam dieksplitasi dengan begitu saja dan mencemari tanpa merasa bersalah. Akibatnya terjadi penurunan kualitas Sumber Daya Alam seperti punahnya sebagian Spesies dari muka Bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia. Etika Islam tidak melarang manusia untuk memanfaatkan Alam, namun hal tersebut harus dilaksanakan secara seimbang dan tidak berlebihan.

Penutup Berdasarkan Kajian dan Analisis Penulis, sungguh menarik mencermati susunan kalimat dalam beberapa ayat Alquran yang menyinggung tentang Lingkungan. Ketika Allah SWT menginformasikan tentang Fenomena Alam, atau manfaat disekitarnya, maka di ujung ayat-ayat tersebut ditutup dengan Anjuran ”Supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya)” dan “supaya kamu bersyukur”. Untuk menggali jutaan misteri yang terkandung di dalamnya, langkah solutifnya dapat dieksplorasi dengan menanamkan nilai Spirit Qur’ani. Adapun upaya implementasi yang mesti dilakukan dalam merestorasi kajian-kajian sebagai media pendidikan cinta lingkungan di Banten, dapat dilakukan dengan menambah wawasan ramah lingkungan kepada Pemerintah dan Masyarakat yang ada, khususnya di wilayah Banten, baik oleh pemerintah maupun no-pemerintah, kemudian dilengkapi dengan elemen-elemen Pesantren, dan ditunjang dengan Pasilitas serta sarana pendukung Ilmu Pengetahuan tentang Lingkungan. Gagasan untuk merestorasi Spirit Qur’ani di Banten, tidak hanya bernilai positif bagi pemerintah, namun akan berdampak positif pula bagi kehidupan masyarakat sekitar. Sebab melalui ini, selain terus membina para pejabat pemerintah dengan meneladani ilmu-ilmu tentang Lingkungan. Seluruh aktivitas “Pendidikan Lingkungan dikemas dalam Pengajian” adalah bentuk kegiatan dakwah yang dapat dilakukan melalui bahasa Agama (lisan dan perbuatan), yakni selain membentuk kelompok-kelompok pengajian bagi pemerintah, dapat pula dengan pola membimbing masyarakat sekitar untuk cinta lingkungan berbasis Alquran. 288 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan: _____, Alquran dan Terjemahnya, Jakarta: Kementrian agama, 1971. _____, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995. _____, Laporan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Banten, Banten: Prodata Nusaraya, 2013. _____, Fiqih Lingkungan, Jakarta: PP Muhammadiyah pustaka Ramadhan, 2005. Al-Qordlawi, Yusuf, Pendidikan Islam, Maktabah Wahbah: Kaeherah, 1997. As-Syafii, Husain Muhammad Fahmi,Al-Daliilul Al-Mufaharas, Iskandarariah Mesir: Daar Al-Salman, 2008. Aziz Al-zindan, abdul Mazid, Pendidikan Lingkungan, Bandung: Pelajar, 1997. Burhanudin, Jajat (penyunting), Mencetak Muslim Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Busri, Endang, Futurologi dan Phenomenology Nilai Spritual, Pontianak: Karya Utama, 2002. Djamil, Agus S, Alquran dan Lautan, Bandung: Mizan, 2004. Mangunjaya, Fahrudin M, Konservasi Alam Dalam Islam, Jakarta: Y. Obor Indonesia, 2005. Masturi, Niam Ulin, Pelestarian Lingkungan dalam Prespektif Islam, Semarang: Raja Karya, 2014. Marzuki, Melestarikan Lingkungan Hidup dan Mensikapi Bencana Alam dalam Perspektif Islam, Yogyakarta: Media Karya, 1998. Muhtadi, Asep S, Alquran Kitab Ramah Lingkungan, Bandung: Mizan, 2000 Nasr, Sayyed Hoessein, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, Yogyakarta: IRCiSod, 2005. Putra, Dulay Haidar, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007. Ryadi, Slamet AL, Ecology(Ilmu Lingkungan), Surabaya: Usana Opi, 1981. Sajogyo, Ekologi Pedesaan, Jakarta: Rajawali, 1982. Setiadi, Elly M, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2010 Shihab, M Quraish, Membumikan Alquran, Bandung: Mizan Media Utama, 2009 Shihab, M Quraish, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan Media Utama, 2000. Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Imagraph, 2004 Usman, M idris, Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam, Bogor: Media, 2013. Wijaya, Nyoman, Ekologi, Bandung: Pelajar, 2000. Komitmen dan Integritas Seluruh Lapisan Masyarakat Kota Tangerang dalam Mewujudkan Kota Tangerang Yang Bersih Indah dan Aman (Studi Kasus Revolusi Mental di Kota Tangerang)

Penulis: Peserta Nomor MQ.1.12

Pendahuluan Di negara maju biasa kita lihat sungai, jalan, dan selokan yang bersih. Itu disebabkan bukan karena banyaknya petugas kebersihan dan alat pemungut sampahnya, melainkan kesadaran warganya untuk menjaga kebersihan dan tidak membuang sampah sembarangan dijalan. Mereka menerapkan prinsip hidup bersih dimulai dari diri mereka dengan adanya komitmen dari seluruh lapisan masyarakatnya.1 Bagi warga Jepang kebersihan adalah cara mendekatkan diri pada tuhan, sehingga mereka terus berlomba-lomba manjaga kebersihan dan menjadikan hal itu sebagai budaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Selain faktor tersebut, ternyata masyarakat Jepang sejak kecil dididik untuk berbudaya bersih dan memikirkan kenyamanan orang lain. Orang tua di Jepang mendidik anak-anak mereka sejak kecil untuk selalu menjaga kebersihan dimanapun mereka berada, seperti membuang sampah pada tempatnya, mengelompokan sampah sesuai

1 Agus Hardoyo, Mejaga Kebersihan Bagian dari Revolusi Mental, Diakses dari http//:www. facebook.com/agus_day/kfa773jhf99wjbf/ Pada 15 April 2015 Pukul 20.30 WIB

289 290 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran jenisnya, mengelap ‘dudukan” wc dengan tisu sesudah memakainya, dsb.2 Menjaga kebersihan merupakan cerminan dari revolusi mental. Karena yang dibangun dalam revolusi mental adalah pola pikir / mental manusia untuk lebih baik. Kehidupan yang bersih merupakan representative dari nilai-nilai islam yang diajarkan dalam Alquran. Al-Quran memerintahkan kita untuk hidup bersih. Tuntunan hidup bersih didalam al-Quran tertera dalam Q.S..al- Baqarah 2/222. Alquran juga memerintahkan agar kita.3 Masalah sampah di Indonesia terdapat kurang lebih 14 persen merupa­ kan sampah plastik. Sedangkan dari total jumlah sampah diperkirakan jumlah sampah plastic sebesar 57%. Sampah plastik merupakan sumber pencemaran laut di Indonesia, sebesar 75% berkaratgori sangat tercemar, 20 % tercemar, dan 5 % tercemar ringan.4 Ini menunjukan bahwa masyarakat di Indonesia masih banyak permasalah-permasalahan yang berkaitan dengan kebersihan. Sebagaimana Hadis Nabi yang berbunyi: “Sesungguhnya Islam itu bersih, maka jadilah kalian orang bersih, tidak masuk syurga kecuali orang yang bersih (HR. Baihaqi).5 Dengan permasalah diatas hadist nabi ini bisa menjadi acuan dan dasar agar kita bisa hidup bersih mengikuti sunnah nabi Muhammad SAW. Kota Tangerang pernah dijuluki kota terkotor ke 2 se Indonesia pada tahun 2006, karena masih kurangnya meanset kesadaran untuk ber­komitmen, dalam Alquran Q.S.. az-Zumar:17-18 komitmen seorang muslim dibangun untuk selalu berkomitmen dalam kebaikan untuk menjaga lingkungan. Adanya predikat seperti itu kota tangerang bangkit untuk berjuang membenahi label kota terkotor dengan kota terbersih. Atas upaya dan kerja dari lapisan masyarakatnya, akhirnya kota tangerang mendapat piala adipura sejak tahun 2010 sampe sekarang menjadi piala Andipura kencana.6 Maka dari itu Alquran sebagai acuan dan dasar hukum untuk revolusi mental dalam kebersihan. Revolusi Mental Bersih Perspetif Alquran Dalam Alquran ada 2 ayat terkait pembahasan mengenai revolusi mental yaitu

2 Andri Haris, Mari Mulai Revolusi Mental dengan Menjaga Kebersihan, Diakses dari http/kompasiana. com/mari-mulai-revolusi-mental-dengan-menjaga-kebersihan/?24480mdsgedjn93n03/ Pada 15 April 2018 Pukul 16.30 WIB. 3 Akhsin Sakho Muhammad, Oase al-Qur’an Penyejuk Kehidupan, (Jakarta: PT. Qaf Pustaka Kreativa, 2018) h. 67. 4 http:ppid/menlhk.go.id/siaran_pers/browse/544 5 Shoheh al-Baihaqi 6 Wiji Harahap, Kota Tangerang Menangkan Piala Adipura Diakses dari http://www.infopinang.com/ berita/kota-tangerang-menangkan-piala-adipura/jfjhjbuu83939937ndfidsjiu/, pada 14 April 2018 pukul 22. 30 WIB Komitmen dan Integritas Seluruh Lapisan Masyarakat Kota Tangerang 291 surat al-Anfal ayat 8/53 dan surat ar-Ra’d ayat 13/11 keduanya mempunyai konteks yang sama mengenai reolusi mental7

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ Yang demikian itu sesungguhnya Allah tidak akan merubabah suatu nikmat yang telah diberikan Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, Sungguh Allah maha mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S.. al-Anfal 8/53)8 Alquran juga menjelaskan mengenai pentingnya untuk hidup bersih, hidup bersih merupakan langkah yang harus ditempuh oleh muslim untuk memulai dalam beribadah. Ibadah apapun harus dimulai dengan sesuatu dan niat yang bersih, baik bersih dari kotoran dan dosa. Islam adalah agama yang bersih. dahulu ketika Islam masuk ke Indonesia banyak yang tertarik dengan islam akibat pola hidup bersih. Kerajaan Demak membuat masyarakat yang belum mengenal islam disitu terpesona karena pola hidup bersih masyarakat kerajaan demak.9 Maka mereka semua setelah menjadi islam merasa senang karena dalam Islam diajarkan untuk menjaga kebersihan. Sebagaimana Firman Allah:

ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ...Sesungguhnya Allah menyukai orang bertaubat dan menyukai orang yang mnyuci­ kan diri(Q.S. al-Baqarah 2/222).10 M. Quraish Shihab menjelaskan mengenai kebersihan merupakan ceriman dari nilai-nilai luhur yang melekat di diri muslim. Seseorang bisa diukur keimannya berdasarkan kebersihannya karena keberihan merupakan sebagian dari iman. Iman merupakan spirit untuk mendekatkan diri kepada Allah maupun untuk memotivasi diri dalam berbuat sesuatu. Spirit untuk melakukan sesuatu kebersihan itu terjadi jika mereka mau menghayati nilai-nilai yang ada dalam al-Quran. Nilai-nilai dalam Alquran itu sangat kental dengan dorongan agar kita menjadi lebih baik untuk menjalani hidup.11 Bersih mengandung arti segala sesuatu yang terlepas dari najis dan kotoran

7 M. Quraish Shihab, Revolusi Mental dalam al-Qur’an Diakses dari http://youtube/watch?/ nd28479h pada 15 April pukul 20.00 WIB 8 MUI Propinsi Banten, Mushaf al-Bantani dan Terjemahannya, 2012 9 Amin Sudarsono, Ijtihad Mambangun Basis gerakan, (Jakarta: Muda Cedekia, 2000), h. 30 10 MUI Propinsi Banten, Mushaf al-Bantani dan Terjemahannya, 2012 11 M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006) h. 56 292 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran yang ada pada diri dan lingkungan, yang dimaksud dengan bersih ruhani yaitu suatu kondisi dimana rohani terbebas dari dosa-dosa, belenggu-belenggu nestapa, dan sesuatu yang menyebabkan matinya hati untuk menerima pedoman dari Alquran atau petunjuk ilahi.12 Indikator kebersihan adalah suatu acuan untuk menentukan kebersihan baik kebersihan jasamana dan kebersihan ruhani. Indikator kebersihan ruhani bisa dinilai dengan senangnya menghadiri majlis- majelis ilmu, suka menderngarkan nasihat-nasihat yang baik, suka sedekah, berkata jujur, dan senantiasa selalu berdzikir setiap waktu. Indikator kebersihan jasmani dilihat dari cara dia menjaga kebersihan seperti menjaga kebersihan pakaian, kebersihan badan, selalu suci dari najis.13 Alquran juga memerintahkan untuk menjaga alam dan lingkungan karena manusia yang beriman dan betaqwa kepada Allah mereka yang bisa menjaga kebersihan. Sifat manusia pada hakikatnya manusia yang ingin memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan yang ada di manusia disebabkan dengan terpenuhnya kebutuhan manusia. Dalam memenuhi kebutuhan manusia kadangkalanya manusia tak menghiraukan kebersihan dari lingkungannya.14 Padahal Alquran menjelaskan tentang pentingnya menjaga lingkungan dalam upaya mewujudkan revolusi mental.

ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ

Telah Nampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan masnusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), berpergilah di bumi lalunlihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu, Kebanyakan dari mereka adalah orang yang menpersekutukan (Allah) (Q.S. Ar-Rum 30/41-42).15 Manusia diciptakan dengan segala hal yang bisa dilakukan olehnya. Kerusakan alam yang saat ini terjadi merupakan sebagian dari aktifitas manusia. Aktifitas manusia kadang tidak disengaja bisa membuat kerusakan lingkungan.

12 Irja, Etika dam Susila, (Medan: Firma Islamia), 1992, h. 19 13 Wardah Arminah, Menjadi Muslim yang Bersih, Diakses dari http://www.islapos.com/ kolom/menjadi-muslim-yang-bersih./1319jds, Pada 15 Aplil 2017 pukul 23.30 WIB 14 Said Aqil Munawar Husin Al-Munawar, al-Quran Membangun Tradisi Kesholehan Haqiqi, (Jakarta: Ciputat Press, 2004) h. 98 15 MUI Propinsi Banten, Mushaf al-Bantani dan Terjemahannya, 2012 Komitmen dan Integritas Seluruh Lapisan Masyarakat Kota Tangerang 293

Sebagai mana yang dijeskan Q.S.. ar-Rum ayat 41-42 kita dituntut untuk menjaga lingkungan. Karena itu menjaga lingkungan merupakan implementasi dari nilai-nilai yang tertanam dalam Alquran dan suatu hal yang harus di­ laksanakan oleh seluruh komponen masyarakat yang menginginkan keindahan dan kenyamanan16 Dalam membangun hidup bersih diperlukan komitmen dari masyarakat­ ­ nya. Komitmen “Mitsaqon Gholizho” merupakan salah satu unsur dimensi dalam pro-aktivitas , ia lahir dari akal dengan berpikir yang disadari, Kesadaran bukan di otak, tetapi berpusat di hati. Hati adalah alat untuk menghayati, oleh karena itu komitmen merupakan hasil kerja hati dengan penghayatannya. Diantara prasayarat terpenting unuk ibadah adalah kehadiran hati yang sebenarnya merupakan esensin ibadah. Tanpa hati, ibadah tidak ada artinya dan tidak diterima disisi Allah.17 Komitmen dan integritas yang baik di masyarakat akan menjadikan sebuah perubahan yang menjadikan keadaan bersih yang lebih baik. Hati orang mukmin adalah hati yang cemerlang, yang tidak keluar dari fitrahnya yang suci. Hati orang mukmin bergerak pada jalan yang lurus, yaitu jalan spiritual yang lempeng menuju nilai-nilai kemanusian, dan memiliki hati yang bersih dapat mengantarkan drajat yang tinggi di hari akhir. Dengan adanya Komitmen dan Integritas, membangun manusia dapat dilakukan dengan baik.18

Permasalahan Menjaga Kebersihan Zaman Now 1. Kurangnya kesadaran dari dalam diri Masyarakat era modern sekarang ini banyak yang tidak peduli mengenai sampah. Mereka seenaknya saja membuang sampah sembarangan sehingga sampah yang ditimbulkan akibat ulah mereka bisa berdampak buruk bagi lingkungan. Kurangnya kesadaran itu disebabkan karena di beberapa sekolah yang ada di perkotaan sudah terdapat cleaning service. Sehingga mereka tidak bisa cara untuk membuang sampah, mengelola sampah, dan menjaga kebersihan. Karena memang dari kecil mereka sudah dimanjakan dengan pembantu untuk membersihkan tempat mereka.19

16 Alfian Muhammad,Menjaga Lingkungan dalam Islam, Diakses Dari http://www. Alfian.Moch. blogspot.com/15-12-15/menjaga-lingkungan-dalam-islam, pada 11 April 2018 pukul 10.30 WIB 17 Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan Islam: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004) h. 24 18 Komaruddin Hidayat, “Etika Dalam Kitab Suci dan Relevansinya dalam Kehidupan Modern”, dalam Budi Munawar RAchman, Kontektualisasi Doktrin Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 23 19 Maritsa Handana, Peduli sampah Masyarakat kini, Diakse dari http://kompasiana.com/peduli- 294 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Permasalahan kurangnya kesadaran diri untuk menjaga kebersihan sangat menghambat terjadinya revolusi mental khususnya dalam menjaga kerbersihan. Karena dalam menjaga kebersihan lingkungan maupun masyarakat diperlukan sinergi dari segala lapisan masyarakat.20

2. Kurangnya kerjasama di lingkungan masyarakat dalam menjaga lingkungan Kebersihan suatu lingkungan masyarakat tidak akan tercapai tanpa ada­nya sinergitas, integritas dan kerjasama dari seluruh lapisan masyarakat. Lingkungan yang kumuh bukan semata-mata pemerintah tidak bisa menerapkan program kebersihan lingkungan, tetapi kurang kerjasaman dari masyarakat untuk membangun lingkungan yang bersih. Kurangnya komunikasi antara masyarakat dan pemerintah mengenai kebersihan lingkungan bisa menjadi penghambat untuk menjadikan lingkungan yang bersih, indah, dan nyaman.21

3. Masarakat jaman now tidak mau repot Era teknologi saat ini dapat merubah meadset berpikir manusia. Masyarakat saat ini ingin tampil praktis. Mereka seenaknya saja membuang sampah di mana saja asal tidak ketahuan orang, buang air kecil dipohon, padahal informasi mengenai tempat-tempat untuk buang air kecil banyak ditemukan dimana- mana. Pemerintah sudah menyediakan jenis-jsnis tempat sampah, tetap saja mereka membuang sampah sembarangan. Sampah yang seharusnya di buang ke dalam sampah organik, mereka tetaptidak patuh membuangnya ke sampah non organik

Upaya mewujudkan Kota Tangerang yang Bersih, Indah dan Nyaman Upaya dalam mewujudkan kota yang bersih tidak lepas dari komitmen dan kesungguhan warganya untuk hidup berubah. dalam Alquran dijelaskan bahwa Allah tidak merubah nasib sebuah kaum melainkan kaum itu sendiri yang merubahnya. Kota Tangerang yang bermoto “Kota Akhlaqul Karimah”22 dimana seluruh lapisan masyarakat baik dari pemerintah, ulama, masyarakat, pengusaha sampah-masyarakat-kini/uwfnnw72383nnd9bw837/, pada 15 April 2018 pukul 20.00 WIB 20 Yoga Saputra, Sampah problematika kini Diakses dari http//www.facebook.com/komunitas_ samkot?/hdfikh688 pada 14 April 2018 pukul 21.30 21 Halimi, Kebersihan lingkungan masyarakat, Diakses dari http://www.istitut.com/ kolom/93739/kebersihan-lingkungan-masyarakat, pada 10 April 2018 pulul 22.30 WIB 22 Http://www.kotatangerang.go.ig/beranda/kota-tangerang-akhlaqul-karimah Komitmen dan Integritas Seluruh Lapisan Masyarakat Kota Tangerang 295 d.l.l, bahu membahu mewujudkan kota yang menerapkan prinsip hidup bersih menurut Alquran. Untuk mewujudkan kota yang bersih, indah dan nyaman diperlukan beberapa cara diantaranya:

1. Adanya Forum Kota Tangerang Sehat (FKTS) FKTS singkatan dari Forum Kota Tangerang Sehat merupakan sebuah wadah untuk menjadikan Kota Tangerang yang bermartabat dan berdaulat terhadap kebersihan setiap warganya. FKTS dibentuk karena adanya upaya pemerintah dalam membangun komitmen dan integritas seluruh masyakat untuk hidup sehat, bersih dan nyaman. Program-Program FKTS: a. Kampung Sehat Kampung sehat merupakan cerminan hidup dalam masyarakat Islam yang diajarkan oleh Alquran, dalam al-Quran dijelaskan tidak hanya kebersihan dalam diri sendiri melainkan lingkungan juga dijaga kebersihannya. Al- Quran juga melarang kita untuk merusak lingkungan yang terdapat dalam Q.S.. ar-Rum 41-42. Di Kota Tangerang program kampung sehat sudah dijalankan dari tahun 2010 dimana ketika itu Kota Tangerang mendapat predikat kota terkotor ketika tahun 2006, maka dari itu seluruh lapisan masyarakaat bahu membahu menjadikan kampung sehat, mulai dari selokan, gorong-gorong, dan menghias rumah-rumah yang ada di kampung dengan hiasan yang berasal dari dauran sampah, menjadikan kampung menjadi kampung hijau sehingga nyaman di huni oleh masyarakatnya. b. Sarasehan & Sosialisasi Lingkungan Serasehan lingkungan merupakan upaya pemerintah kota tangerang untuk bisa berkonsultasi bertukar atara masyarakat dan pemerintah. Merumuskan keluhan dan permasalah masyarakat mengenai kebersihan dan sampah. Di sini masyarakat bisa mendapat informasi mengenai cara pengelolaan sampah yang ada di masyarakat lewat pakar yang sudah bepengalam mengnai sampah, c. Sedekah Sampah Sedekah sampah adalah program kota tangerang dimana masyarakat yang mempunyai sampah yang masih bisa didaur ulang dikumpulkan untuk di jual lalu uangnya di sedekahkan. Uang sedekah itu masuk kedalam Badan Zakat Infak dan Shodaqoh (BAZIS) Kota Tangerang.23

23 http://www.klh.kotatangerang,go.id 296 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

2. Teknologi Pengelolaan Sampah di Kota Tangerang Di kota tangerang, untuk menjadikan kota tangerang bersih, indah dan nyaman dengan adanya pengelolaan sampah yang baik dan modern. Di negara maju, pengeloaan sampah dipakai dengan teknologi modern. Di kota tangerang masyarakat dan pemerintah berintegritas dalam mengelola sampah dengan teknologi modern. Tempat Pebuangan Akhir (TPA) di kota tangerang terletak di Kelurahan Kedaung kecamatan neglasari, lebih setidaknya 100 ton sampah yang masuk kedalam TPA itu. Terdapat berbagai macam sampah seperti sampah yang berbahaya, beracun, limbah rumah sakit, sampah plastik dll. 24 TPA Kedaung terdapat banyak olahan sampah, seperti pupuk kompos, gas hasil sampah umtuk masak, kerajinan dari sampah yang sudah dipilih dll. Pemerintah dan masyarakat kota tangerang bahu membahu dengan masyarakat agar terus mencari teknologi yang tepat untuk mengelola sampah di kota tangerang

3. Aplikasi Jemput Sampah Online Tidak hanya revolusi kebersihan saja, revolusi teknologi kebersihan juga ada di Kota Tangerang. Di era modern saat ini atau yang kita kenal dengan “era zaman now” dimana masyarakat yang semakin cerdas, dan melek teknologi. Dinas Kebersihan Kota Tangerang meciptakan sebuah aplikasi mirip seperti Ojek online untuk mengangkut sampah yang ada di masyarakat. Bisa dengan di download aplikasi nya dan login lalu pilih untuk penjemputan sampah. Dengan adanya aplikasi ini masyarakat sadar untuk tidak membuang sampah sembarangan, sehingga pola revolusi mental bisa ditanamkan pada masyarakat kota tangerang.

Penutup Alquran memerintahkan untuk menjadikan menjaga kebersihan dan lingkungan. Menjaga kebersihan merupakan nilai-nilai dari revolusi mental. Alquran juga memberikan solusi untuk menjaga kebersihan. Manusia adalah makluk yang senantiasa berinovasi untuk mnciptakan sesuatu yang bermaslahat dalam kehidupan,.semua itu tidak akan terjadi jika seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, ulama dan pengusaha tidak bahu membahu dalam memenjadikan semangat untuk hidup bersih.

24 Arif Hasan, Pengolaan Sampah di Kota Tangerang, Diakses dari http://www.tangerangsatu. co.id/12032016/28e2r2rindsd, Pada 15 April 2018 pukul 21.00 WIB Komitmen dan Integritas Seluruh Lapisan Masyarakat Kota Tangerang 297

Pustaka Acuan: MUI Propinsi Banten, Mushaf al-Bantani dan Terjemahannya, 2012 Al-Munawar, Said Aqil Munawar Husin al-Quran Membangun Tradisi Kesholehan Haqiqi, Jakarta: Ciputat Press, 2004 Hidayat, Komaruddin “Etika Dalam Kitab Suci dan Relevansinya dalam Kehidupan Modern”, dalam Budi Munawar RAchman, Kontektualisasi Doktrin Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995 Irja, Etika dam Susila, Medan: Firma Islamia, 1992 Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan Islam: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004 Muhammad, Akhsin Sakho, Oase Alquran Penyejuk Kehidupan, Jakarta: PT. Qaf Pustaka Kreativa, 2018 Alfian Muhammad,Menjaga Lingkungan dalam Islam, Diakses Dari http:// www. Alfian.Moch.blogspot.com/15-12-15/menjaga-lingkungan-dalam- islam Arminah, Wardah, Menjadi Muslim yang Bersih, Diakses dari http://www. islapos.com/kolom/menjadi-muslim-yang-bersih./1319jds Halimi, Kebersihan lingkungan masyarakat, Diakses dari http://www.istitut. com/kolom/93739/kebersihan-lingkungan-masyarakat Handana,Maritsa, Peduli sampah Masyarakat kini, Diakse dari http://kompasiana. com/peduli-sampah-masyarakat-kini/uwfnnw72383nnd9bw837/ Harahap, Wiji Kota Tangerang Menangkan Piala Adipura Diakses dari http:// www.infopinang.com/berita/kota-tangerang-menangkan-piala-adipura/ jfjhjbuu83939937ndfidsjiu/ Hardoyo, Agus Mejaga Kebersihan Bagian dari Revolusi Mental, Diakses dari http//:www.facebook.com/agus_day/kfa773jhf99wjbf/ WIB Haris, Andri, Mari Mulai Revolusi Mental dengan Menjaga Kebersihan, Diakses dari http/kompasiana.com/mari-mulai-revolusi-mental-dengan- menjaga-kebersihan/?24480mdsgedjn93n03/ Hasan, Arif, Pengolaan Sampah di Kota Tangerang, Diakses dari http://www. tangerangsatu.co.id/12032016/28e2r2rindsd, Http:www.ppid/menlhk.go.id/siaran_pers/browse/54 Http://www.klh.kotatangerang,go.id Http://www.kotatangerang.go.ig/beranda/kota-tangerang-akhlaqul-karimah 298 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Saputra, Yoga, Sampah problematika kini Diakses dari http//www.facebook. com/komunitas_samkot?/hdfikh688 Shihab, M. Quraish, Revolusi Mental dalam Alquran Diakses dari http:// youtube/watch?/nd28479h Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an

Penulis: Dimyati Sajari Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email: [email protected]

KETAKWAAN merupakan kondisi spiritual yang diidamkan oleh setiap orang beriman. Idaman setiap orang beriman ini didasarkan pada pernyataan Alqur’an bahwa orang yang paling bertakwalah yang paling mulia di sisi Allah Swt (QS 49: 13). Oleh sebab itu, setiap orang beriman berusaha, sesuai dengan kemampuannya dan “caranya” masing-masing, meningkatkan ketakwaannya supaya menjadi makhluk yang paling mulia di sisi-Nya. Usaha meningkatkan ketakwaan-diri itulah yang dimaksud dengan pendidikan takwa, yang akan menjadi fokus tulisan di bawah ini. Tentu diakui bahwa tulisan ini tidak berpretensi untuk menyuguhkan tentang “Pendidikan Takwa di dalam Alqur’an” secara utuh dan menyeluruh dikarenakan belum memungkinkan untuk disajaikan di dalam tulisan ini.

Perintah Allah Usaha pendidikan atau peningkatan ketakwaan itu, tentu saja, diperintahkan di dalam Alqur’an. Misalnya, ayat yang memerintahkan untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya bertakwa yang biasa dibaca sang khatib Jum’ah, yaitu ittaqû ّ ّ QS Ali Imrân: 102). Secara bijak, ada ,اتقوا اهلل حق تقاته) Allâha haqqa tuqâtihi

299 300 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran jaminan bahwa perintah ini mampu dilaksanakan oleh hamba-Nya dikarenakan diperintahkan tanpa melebihi batas kemampuan hamba-Nya (lâ yukallifu Allâhu nafsân illâ wus‘ahâ, QS Al-Baqarah: 286). Kemudian, pengamalan perintah ini ّ ,فاتقوا اهلل ما استطعتم) pun supaya ditempuh sesuai kemampuan masing-masing QS Al-Taghâbun: 16), yang antara satu dengan yang lainnya tidak boleh saling memaksakan kemampuannya ke pihak yang lainnya. Sifat Mahabijak Allah itu menjadikan peningkatan atau pendidikan ketakwaan bukan saja ada jaminan akan kemampuan sang hamba untuk melaksanakan-Nya, tetapi juga tidak terasa memberatkan. Di samping tidak memberatkan, pengetian “sesuai kemampuan masing-masing” itu, tampaknya, dapat dipahami bahwa peningkatan ketakwaan itu hendaknya diupayakan dengan caranya atau metodenya masing-masing. Dengan demikian, metode pendidikan atau peningkatan ketakwaan itu dapat beragam di antara orang- orang bertakwa. Perintah Allah Swt tentang “sesuai kemampuan masing-masing” itu dinyatakan pula oleh Rasulullah s.a.w. Di dalam salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah s.a.w. bersabda: َ ْ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ ْ َ ُ ْ ُ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ َ ْ فإِذا أمرتكم بِش ٍء فأتوا ِمنه ما استطعتم وإذا نهيتكم عن شء َ ْ ِ فاج َت ُنب ُوه َ)ر َو ُاه ُمسلم(ء “Tatkala aku perintah kalian dengan suatu perintah, maka tunaikan perintah itu sesuai kemampuan kalian. Bila aku larang kalian tentang sesuatu, maka jauhilah.” HR. Muslim.

Makna Takwa Sebelum mengungkap tentang metode peningkatan atau pendidikan ketakwaan di dalam Alqur’an, maka makna takwa itu perlu dipahami supaya tidak menimbulkan kesalahpengertian. Tentu saja, tidak ada kewajiban untuk menyetujui hal-hal yang diungkap dalam tulisan ini. merupakan salah satu di antara kata-kata agama (تقوى ,Kata takwa (= taqwâ yang banyak dikenal, sering diucapkan, dan sering diwasiatkan atau dinasehatkan. Di dalam Alqur’an, kata takwa ini digunakan dalam bentuk dua bentuk, yaitu isim (ism, kata benda) dan fi‘il (kata kerja), yang penyebutannya tampak sama banyaknya dengan penyebutan kata iman, amal, shalat dan zakat (Murtadha Muthahhari, 1999: 12). Di dalam Al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfâzh Alqur’ân al-Karîm dapat diketahui bahwa jumlah kata takwa di dalam al-Qur’an, dengan berbagai bentuknya, adalah berjumlah 233 kali. Penyebutan yang sebanyak ini memungkinkan kata takwa, semisal dikemukakan Fazlur Rahman (1996: 43), Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an 301 merupakan istilah tunggal yang terpenting di dalam Alqur’an. Adapun terjemahan kata takwa itu terbagi menjadi dua bagian yang tak terpisahkan. Misalnya, Murtadha Muthahhari (1999: 13-14) menyatakan bahwa kata takwa di dalam pengartian atau penterjemahan-penterjemahan ke dalam bahasa Persia menjadi “menjauhi” dan “takut.” Menurut Muthahhari, bila kata takwa itu digunakan dalam bentuk isim (kata benda), seperti kata taqwâ dan atau muttaqîn, maka diartikan dengan makna “menjauhi.” Muthahhari memberi ّ ,Ayat ini, kata Muthahhari .(هدى للمتقني) contoh ungkapan hudân li al-muttaqîn diartikan dengan “petunjuk bagi orang-orang yang menjauhi (larangan).” Hanya saja, Muthahhari menginformasikan, jika kata ini digunakan dalam bentuk fi‘il (kata kerja), khususnya dalam bentuk fi‘il amr yang muta‘alliq-nya disebutkan, ّ atau (اتق اهلل) maka diartikan dengan “takut.” Misalnya, ungkapan ittaq Allâh ّ diartikan menjadi “takutlah kepada Allah” atau “takutlah (اتقوا انلار) ittaqû al-nâr kepada neraka.” Di dalam bahasa Indoensia, kata takwa dalam bentuk fi‘il amr (kata kerja) juga diartikan dengan “takut.” Namun, dalam Alqur’an dan Terjemahnya terbitan Kementerian Agma RI, kata takwa dalam bentuk fi‘il, baik fi‘il madhi, mudhari‘ ataupun amr diartikan dengan “bertakwa.” Contoh dalam bentuk fi‘il madhi ّ ّ Adapun orang ,فأما من أعطى واتىق) ”adalah ayat “Fa’ammâman a‘thâ wa al-Taqâ yang memberikan—hartanya di jalan Allah—dan bertakwa) (QS al-Lail: 5. Lihat pula 2: 189, 103, 203, 212; 3: 15, 76, 172, 198; 5: 65, 93; 7: 96, 201; 12: 109, dll). Contoh dalam bentuk fi‘il mudhari‘ adalah ayat: “Wa man yattaqi ّ barangsiapa yang bertakwa ,ومن يتق اهلل جيعل هل خمرجا) ”Allâha yaj‘al lahû makhrajâ kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, QS 65:2) dan ّ كذ لك يبني) ”ayat “kadzâlika yubayyinu Allâhu âyâtihî linnâs la‘allahum yattaqûn ّ ّ ّ demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada ,اهلل ايته للناس لعلهم يتقون manusia supaya mereka bertakwa) (QS 2: 187. Lihat pula 2: 21, 63, 179, 183, 224; 3: 28, 120, 125, 179, 186; 26: 106, 124, 142, 161, 177 dst). Contoh ّ واتقوا) ”dalam bentuk fi‘il amr adalah ayat: “Wattaqû Allâh la‘allakum tuflihûn ّ :dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung) (QS 2 ,اهلل لعلكم تفلحون 189. Lihat juga 2: 194, 196, 203, 206, 223, 231, 233, 278, 282; 5: 2, 4, 7, 8, 11, 35, 57, 88, 96, 100 dsb). Akan tetapi, ketika kata takwa dalam bentuk fi‘il amr itu dikaitkan dengan zharaf zaman, maka diartikan secara tidak konsisten, yakni ada yang diartikan dengan “takut” dan ada yang diartikan dengan “penjagaan diri.” Umpamanya yang diartikan dengan “takut” adalah ayat: “wattaqû yawmân lâ tajzî nafsun ‘an ّ dan takutlah kamu kepada suatu ,واتقوا يوما ال جتزى نفس عن نفس شيئا) ”nafsin syaiân hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun) 302 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

(QS 2: 123). Adapun contoh yang diartikan dengan “penjagaan diri” atau “pemeliharaan diri” adalah ayat: “Wattaqû yawmân lâ tajzî nafsun ‘an nafsin ّ dan jagalah dirimu dari—azab—hari ,واتقوا يوما ال جتزى نفس عن نفس شيئا) ”syaiân kiamat, yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun) (QS 2: 48) dan ayat: “wattaqû yawmân turja‘ûna fîhi ilâ Allâh” (dan peliharalah dirimu dari—azab yang terjadi pada—hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah) (QS 2: 281). Dari pengartian-pengartian di dalam Alqur’an dan Terjemahnya itu, tampaknya pengartian pada Surat al-Baqarah ayat 48 dan 281 itulah yang paling tepat. Hal ini sesuai yang dikatakan Muthahhari bahwa kata takwa itu berasal dari akar kata waqyan, yang berarti menjaga dan memelihara. Arti dari kata ittaqâ adalah penjagaan. Dengan demikian, ungkapan seperti ittaqû Allâh dan ittaqû al-nâra berarti “peliharalah dirimu dari siksa balasan Ilahi” dan “peliharalah dirimu dari siksa neraka.” Atas dasar ini, Muthahhari (1999: 14) menyatakan bahwa terjemahan yang benar dari kata taqwâ ialah menjaga dan memelihara diri, dan kata muttaqîn berarti orang-orang yang menjaga dan memelihara diri. Di bagian lain, Muthahhari (1999: 16) tampak tidak menolak makna takwa itu dengan takut. Namun, kata takut di sini tidak dimaksudkan “takut kepada Allah,” melainkan “takut kepada hukum keadilan Ilahi.” Jadi, bila dikaitkan dengan arti “penjagaan dan pemeliharaan diri” itu, maka kata takwa dapat didefinisikan menjadi “menjaga dan memelihara diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik karena takut hukum keadilan Ilahi akan mengakibatkan perbuatan yang tidak baik ini berakibat pada yang tidak baik pula (kepadanya), baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.” Pengertian seperti itu sejalan dengan yang dikemukakan Fazlur Rahman (1996: 43). Menurut Rahman, akar perkataan taqwâ adalah wqy yang berarti “berjaga-jaga atau melindungi diri dari akibat-akibat perbuatan sendiri yang buruk dan jahat.” “Dengan demikian,” kata Rahman, “takut kepada Allah dengan pengertian takut kepada akibat-akibat perbuatan sendiri—baik akibat- akibat di dunia maupun di akhirat—adalah tepat sekali.” Definisis atau pengertian takwa menurut Muthahhari dan Rahman itu sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh (t.t.: 124-5). Menurut Abduh, akar kata takwa adalah waqâ yaqî wiqâyah yang berarti jauh atau menjauhi kesusahan (kemadharatan) atau menolak kesusahan. Kemudian, di dalam Alqur’an kata takwa ini dinisbahkan kepada lafal Allah sehingga menjadi “takwa Allah,” yang dalam bentuk amr-nya adalah ittaqî Allâh. Abduh mengartikan kalimah ittaqî Allâh ini dengan “takut kepada azab dan siksa-Nya.” Selanjutnya, Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an 303 penyandaran kata takwa kepada Allah ini, menurut Abduh, adalah untuk menunjukkan betapa besar azab dan siksa-Nya, yang kalau tidak demikian maka manusia tidak akan takut kepada Allah, tidak akan mengakui kekuasaan-Nya dan tidak akan tunduk kepada kehendak-Nya. Dari sini Abduh mendefinisikan orang yang bertakwa sebagai “orang yang menjaga dirinya dari siksa” (man .(من حيىم نفسه من العقاب ,yahmâ nafsahu min al-‘iqâb Pendefinisian Abduh tentang orang yang bertakwa dengan “orang yang menjaga dirinya dari azab dan siksa-Nya” itu menunjukkan bahwa konsep takwa, sebagaimana dikatakan Toshihiko Izutsu (1966: 195), berkaitan erat dengan visi eskatologis. Dengan demikian, bila kata takwa ini diartikan dengan takut, maka takut yang tidak biasa, tapi takut yang bersifat eskatologis, yakni takut yang luar biasa akan azab dan siksa Allah di akhirat nanti. Untuk rasa takut yang biasa, menurut Izutsu (1966: 196) di dalam Alqur’an digunakan kata khasyyah dan khawf. Namun, Abduh (t.t.: 125) tidak berkesimpulan semacam ini. Artinya, Abduh tidak memandang takwa itu sebagai ketakutan yang bersifat eskatologis belaka, melainkan bersifat duniawi pula sehingga bersifat duniawi ukhrawi atau dunia akhirat. Dengan demikian, orang yang bertakwa, dalam pandangan Abduh, tidak hanya menjaga diri dari azab dan siksa-Nya di akhirat nanti, tetapi juga di dunia ini.

Kebajikan Negatif Oleh karena itulah orang yang bertakwa berarti orang yang memiliki rasa tanggung jawab dunia akhirat, dan sebab rasa tanggung jawabnya inilah orang yang bertakwa, sebagaimana dikatakan Rahman, disebut sebagai makhluk yang bermoral. Dalam konteks inilah Rahman (1995: 187) memandang takwa sebagai konsep sentral moralitas bagi manusia, meski bukan sebagai konsep moralitas yang bersifat positif, melainkan yang bersifat negatif. Artinya, karena takwa itu berarti menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik yang akan mengakibatkan tidak baik pula kepadanya, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti, maka takwa itu merupakan moralitas yang bersifat negatif atau, dalam istilah Mustansir Mir, merupakan kebajikan yang bersifat negatif (negative virtue). Hanya saja, Mir (1987, h. 157) tetap mengatakan bahwa di dalam Alqur’an kebajikan negative (takwa) ini sering disebut bersamaan dengan kebajikan yang bersifat posistif, positive virtue, semisal, “Orang-orang yang bertakwa dan berbuat baik” (QS 7: 35; 4: 128, 129; 5: 93; 16: 128). Kalimat “berbuat baaik” di sini dipandang Mir sebagai kebajikan positif. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa metode pendidikan takwa itu tidak diwujudkan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi 304 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran larangan-larangan-Nya, tetapi justeru diawali dengan cara sebaliknya, yaitu dengan cara menjauhi larangan-larangan-Nya dan melaksanakan perintah- perintah-Nya. Atau, dalam istilah Abduh (t.t.: 125), “dengan cara menjauhi apa yang dilarang-Nya dan mengikuti apa yang diperintah-Nya” (bi ’jtinâbi mâ nuhiya wattibâ‘i mâ umira). Metode pendidikan takwa itu berbeda dengan pemahaman yang dominan selama ini. Boleh dikata, selama ini metode pendidikan takwa lebih merujuk kepada makna takwa yang dikemukakan Al-Imâmaini al-Jalâlaini (1896: 2) yang menyatakan bahwa takwa adalah imtitsâl al-awâmiri wa ‘jtinâbu al-nawâhî. ,” seperti dikemukakan oleh Al-Imamaini al-Jalalaini. Beranjak dari makna takwa seperti ini, maka proses pendidikan atau peningkatan ketakwaan ditempuh dengan cara “peningkatan pelaksanaan perintah-perintah-Nya dan penjauhan dari larangan-larangan-Nya.” Dengan demikian, orang yang paling bertakwa adalah orang yang paling banyak melaksanakan perintah-perintah-Nya dan paling banyak menjauhi larangan-larangan-Nya. Hanya saja, berdasarkan pengertian takwa di atas, maka dapat dikatakan bahwa takwa itu pada hakikatnya bersifat negative atau merupakan sebuah kebajikan yang negative (a negative virtue), yang proses perwujudannya lebih menekankan pada “peninggalan larangan” dibanding “pelaksanaan perintah.” Kemudian, supaya orang beriman itu dapat menjauhi larangan-Nya (dan melaksanakan perintah-Nya), maka pendidikan ketakwaan dapat mengambil dua bentuk. Pertama, menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang buruk dan jahat atau perbuatan-perbuatan dosa dengan cara menjauhkan diri dari lingkungan (masyarakat) dan hal-hal yang akan mengakibatkan dosa. Dalam bentuk “ekstrimnya,” penjauhan semisal ini mengambil bentuk “pengucilan diri dari masyarakat dan orang banyak.” Sudah tentu, pendidikan takwa semacam ini tidak dapat disalahkan karena kualitas ketakwaan, sebagaimana dikatakan Quraish Shihab (1997: 128), merupakan “kualitas keimanan.” Artinya, kalau tidak mengucilkan diri dia dapat terkena dosa, seperti halnya orang yang hidup di tengah-tengah lingkungan yang berpenyakit menular dapat tertulari penyakit menular tersebut. Apalagi Allah berfirman, bertakwalah“ kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS al-Taghabun: 61). Sedangkan kemampuan mereka adalah dengan cara mengucilkan diri dari masyarakat orang banyak. Oleh karena itu, cara mereka ini tidak dapat disalahkan, meski metode ini dapat dipandang sebagai perwujudan kualitas keimanan/ketakwaan yang masih lemah. Kedua, menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat (buruk dan jahat) dengan cara senantiasa melatih diri menjauhi perbuatan tersebut sehingga, dengan latihan ini, terbentuk kualitas keimanan dan rohani yang kuat. Kualitas Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an 305 keimanan dan rohani seseorang yang kuat ini akan menjaga orang tersebut dari perbuatan dosa dan maksiat sehingga orang tersebut terjaga dari kemaksiatan, meski hidup di tengah-tengah lingkungan yang penuh dengan peralatan dan fasilitas kemaksiatan. Dengan demikian, orang tersebut tidak perlu menjauhi, apalagi mengucilkan diri dari, masyarakat. Bahkan, mereka ini adalah orang-orang yang beriman yang senantiasa berbuat kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Inilah “hakikat ketakwaan” yang sebenarnya, yang sepadan maknanya dengan “hakikat kebajikan” (haqîqah al-birr), semisal dikemukakan Muhammad al- Ghazali (1995: 17), bersasarkan Firman Allah: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS 2: 177). Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas, hakikat takwa sama dengan hakikat birr; pendidikan takwa sama dengan pendidikan birr. Dengan kata lain, kata takwa sinonim dengan kata birr atau hakikat ketakwaan sama dengan hakikat kebajikan; pendidikan takwa sama dengan pendidikan kebajikan. Dalam istilah lain, seperti dikatakan Toshihiko Izutsu, orang-orang yang memiliki cirri- ciri birr dan orang-orang yang memiliki cirri-ciri takwa pada dasarnya adalah sama. Izutsu juga mengatakan bahwa, dengan mengutip pendapat Ibn Taimiyah, kata takwa bila digunakan secara “mutlak,” maka maknanya sama dengan birr (dan iman). Namun, bila tidak digunakan secara mutlak, maka makna takwa berbeda dengan makna birr. Misalnya, dalam ayat: “dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) birr dan takwa” (QS 5: 2). Ayat yang menyebutkan birr dan takwa secara bersama-sama semacam ini, menurut Ibn Taimiyah yang dinukil Izutsu, merupakan dua konsep yang berbeda satu sama lain, yang masing-masing secara khusus digunakan sebagai syarat yang penyebutannya secara tidak mutlak, maka kata takwa di sini berarti dalam arti sempit atau tidak sama dengan syarat yang lainnya. Umpamanya, ayat “wa in tashbirû wa tattaqû” ّ وان تؤمنوا) ”QS 3: 120, 125, 186), “wa in tu’minû wa tattaqû ,وان تصربوا وتتقوا) ّ ّ (QS 4: 128 ,ان حتسنوا وتتقوا) ”QS 3: 179, 47: 36), “in tuhsinû wa tattaqû ,وتتقوا ّ QS 4: 129), maka makna takwa di ,ان تصلحوا وتتقوا) ”dan “in tushlihû wa tattaqû sini berbeda maknanya dengan kata sabar, iman, ihsan dan ishlah. Di samping bermakna berbeda, penyebutan secara iqtirânân itu menunjuk­ 306 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran kan pula bahwa pendidikan takwa berkaitan dengan pendidikan konsep-konsep lain, terutama dengan konsep keimanan. Penyebutan yang terutama berkaitan dengan konsep keimanan ini—Izutsu bahkan mengatakan bahwa semuanya berkaitan dengan konsep kunci “iman”—dikarenakan konsep ketakwaan, seperti kata Quraish di atas, merupakan kualitas keimanan. Oleh karena merupakan kualitas keimanan, maka di beberapa ayat disebutkan bahwa orang yang beriman identik dengan orang yang bertakwa, semisal ayat: “Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang- orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa (= beriman) itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat” (QS 2: 212) dan “Orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa” (QS 10: 63, 27: 53 dan 41: 18). Kesamaan makna takwa dengan iman ini menunjukkan bahwa proses pendidikan ketakwaan sama dengan proses pendidikan keimanan. Meski begitu, di beberapa ayat orang-orang beriman dipandang belum mencapai taraf ketakwaan sehingga mereka diperintah untuk bertakwa. Dalam hal ini berarti, peningkatan atau pendidikan ketakwaan ditujukan untuk orang beriman. Umpamanya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman” (QS 2: 278); “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya” (QS 3: 102); dan “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya” (QS 5: 35). Pendidikan ketakwaan bagi orang beriman yang belum mencapai taraf ketakwaan itu dilalui melaui proses ibadah atau peningkatan kualitas beribadah. Hal ini, misalnya, perintah: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa” (QS 2: 21) dan “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS 2: 183). Metode peningkatan ketakwaan bagi orang beriman dengan cara beribadah ini dikarenakan ibadah, seperti kata Abduh (t.t.: 186), akan menyampaikan orang beriman tersebut kepada ketakwaan.

Tingkatan Ketakwaan Konsekuensi logis dari proses pendidikan ketakwaan itu pastilah meng­hasilkan ketakwaan orang-orang bertakwa yang bertingkat-tingkat. Tingkatan ketakwaan ini, menurut Quraish Shihab, sesuai dengan tingkat pengabdian dan kedekatan mereka kepada Allah. Quraish menyebutkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa “iman itu telanjang, dan pakaiannya adalah ketakwaan.” Quraishpun Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an 307

(1997: 129) mengatakan, “Kalau takwa diibaratkan sebagai pakaian, maka jelas pakaian bermacam ragam dan kualitasnya, demikian pula halnya dengan takwa.” Pendapat Quraish tentang tingkatan-tingkatan ketakwaan sebagai hasil daripendidikan ketakwaan itu berdasarkan ayat yang menyebutkan cirri-ciri orang bertakwa, yaitu di ayat 133-135 Surat Ali Imran yang artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada sorga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” Berdasarkan ayat itu, maka pendidikan ketakwaan dilatih dan di­biasakan dengan: a). Menafkahkan sebagian hartanya, baik sewaktu lapang atau sempit (tidak kikir); b). Mampu menahan amarahnya (lapang dada), bahkan memaafkan orang yang melakukan kesalahan atau kalau dapat, berbuat baik terhadap mereka; c). Bila melakukan dosa besar dia sadar dan memohon ampunan Allah; dan d). Tidak berkelanjutan melakukan hal-hal yang diketahuinya sebagai dosa. Sementara itu, bila dilihat di al-Baqarah ayat 2-4, maka pendidikan takwa dapat dikatakan melalui proses: a). Beriman kepada yang gaib; b). Mendirikan shalat; c). Menafkahkan sebagian rizkinya; d). Beriman kepada Alqur’an dan kitab-kitab sebelumnya; dan e). Beriman kepada hari akhir. Jika pendidikan ketakwaan di Surah Ali Imran ayat 133-135 dan Surah al-Baqarah ayat 2-4 itu disatukan, maka hampir terangkum semuanya di Surah al-Baqarah ayat 177, yaitu melalui a). Peningkatan keimanan kepada Allah; b). Peningkatan keimanan kepada hari akhir; c). Peningkatan keimanan kepada para malaikat; d). Peningkatan keimanan kepada kitab-kitab; e). Peningkatan keimanan kepada nabi-nabi; f). Melatih atau membiasakan diri memberikan harta yang dicintai kepada karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibn sabil dan peminta-peminta; g). Memerdekakan hamba sahaya; h). Mendirikan shalat; i). Menunaikan zakat; j). Menepati janji; dan k). Bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Bila diringkas, maka terdapat 14 proses pendidikan ketakwaan, yaitu: 1. Peningkatan keimanan kepada Allah. 2. Peningkatan keimanan kepada malaikat-malaikat Allah. 308 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

3. Peningkatan keimanan kepada kitab-kitab Allah. 4. Peningkatan keimanan kepada rasul-rasul Allah. 5. Peningkatan keimanan kepada hari akhir. 6. Melanggengkan mendirikan shalat. 7. Senantiasa enunaikan zakat. 8. Melatih atau membiasakan diri memberikan harta yang dicintai, baik di waktu lapang atau sempit, kepada karib-kerabat, anak-anak yatim, orang- orang miskin, ibn sabil (musafir) dan peminta-minta. 9. Melatih atau membiasakan diri untuk mampu menahan amarah (lapang dada), bahkan memaafkan orang yang melakukan kesalahan atau, kalau sanggup, berbuat baik terhadap mereka. 10. Bila melakukan dosa segera sadar dan memohon ampun kepada Allah. 11. Melatih atau membiasakan diri untuk tidak berkelanjutan melakukan hal- hal yang diketahuinya sebagai dosa. 12. Memerdekakan hamba sahaya. 13. Melatih atau membiasakan diri untuk selalu menepati janji. 14. Melatih atau membiasakan diri untuk senantiasa bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.

Pembinaan Takwa Supaya orang-orang bertakwa ikhlas menempuh keempat belas proses pendidikan takwa tersebut, maka sesuai makna dan pengertian takwa yang diungkap di atas, meniscayakan adanya internalisasi yang tiada henti akan azab dan siksa-Nya yang amat dahsyat, yang hanya mampu dihindari melalui penjauhan larangan- larangan-Nya dan pelaksanaan perintah-perintah-Nya. Melalui cara inilah in syâ Allâh orang-orang bertakwa ikhlas menempuh keempat belas proses pendidikan ketakwaan di atas dan in syâ Allâh dapat selamat dari segala azab dan siksa-Nya. Untuk itu, diperlukan adanya pengetahuan tentang sebab-sebab yang menimbulkan azab dan siksa Allah tersebut. Menurut Abduh, takut kepada azab dan siksa Allah ini, baik siksa dunia maupun akhirat, berarti “takut” kepada sebab-sebabnya, yakni memelihara diri dari sebab-sebab yang menimbulkan siksa-Nya (bittiqâ’i asbâbih), yang meliputi dua hal, yaitu sebab melanggar agama dan syariat-Nya (mukhâlafatu dîni Allâhi wa syar‘ihi) serta sebab melanggar hukum-hukum-Nya atau sunnah-sunnah-Nya yang diberlakukan pada ciptaan- Nya (mukhâlafatu sunânihi fî nizhâmi khalqihi), yang sering disebut Sunnatullah atau hukum alam. Dalam pandangan Abduh, menjaga diri dari siksa akhirat adalah dengan cara menjaga diri melalui keimanan yang benar (al-imân al- Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an 309 shâlih), tauhid yang murni, amal shalih, menjauhi kemusyrikan, kekufuran, kemaksiatan dan kekejian. Adapun siksa dunia dijaga melalui pengetahuan terhadap sunah-sunah Allah di dunia (alam) ini, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan badan dan keseimbangan ciptaan (yang berpasang-pasangan) serta hukum social kemasyarakatan. Dalam konteks itulah Abduh memberikan contoh tentang takwa yag ber­ kaitan dengan makanan yang baik, semisal Firman-Nya yang artinya: “Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS 5: 87), dan haramnya khamar, seperti Firman-Nya yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan- perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS 5: 90). Artinya, makanan dan minuman itu berkaitan dengan kesehatan badan sehingga orang yang beriman harus menjaga diri dari makanan dan minuman yang tidak baik dan tidak halal. Kemudian, minuman-minuman keras, perjudian dan kemusyrikan berkaitan secara langsung dengan keteraturan kehidupan sosial, sehingga orang-orang beriman diwajibkan menjauhi perbuatan-perbuatan syaitan tersebut.

Penutup Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arti kata takwa yang tepat bukanlah “takut,” tetapi “menjaga dan memelihara diri,” yakni menjaga dan memelihara diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yang akan berakibat tidak baik pula terhadapnya, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dengan demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga dan memelihara diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yang akan mendatangkan azab dan siksa-Nya, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, dunia maupun akhirat. Beranjak dari arti dan pengertian takwa itu berarti metode pendidikan ketakwaan tidak diawali dengan pelaksanaan perintah-perintah-Nya baru kemudian meninggalkan larangan-larangan-Nya, tetapi justeru sebaliknya, yakni dengan mendahulukan peninggalan larangan-larangan-Nya dibanding pelaksanaan perintah-perintah-Nya. Jadi, pendidikan takwa yang tepat adalah meninggalkan larangan-larangan-Nya dan melaksanakan perintah-perintah- Nya. Hanya saja, dalam ranah praksisnya metode ini tetap ditempuh secara bersamaan. Wallâhu a‘lam. 310 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan: Abduh, Syaikh Muhammad, Tafsir Al-Manar, Juz I, t.t. Al-Ghazali, Muhammad, Nahw Tafsir Mawdhu’i li Suwar Al-Qur’an Al-Karim, Kairo: Dar al-Syuruq, 1995. Al-Imâmaini al-Jalâlaini, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Kudus: Makatabah wa Mathba’ah Menara Kudus, 1896. Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious Concpts in the Qur’an, Montreal: McGill University Press, 1966. Mir, Mustansir, Dictionary of Qur’anic Terms and Concepts, USA: Garland Reference Library of the Humanities, 1987 Muthahhari, Murtadha, Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, Jakarta: Lentera, 1999. Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1996. _____, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Bandung: Pustaka, 1995. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.