Eksistensi Sunda Wiwitan (Eksistensi Sunda Wiwitan pada Anggota Suku Baduy di Jakarta)

Oleh: Moch. Masykur Fuadz A. NIM: 071014025

Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Semester Genap/Tahun 2013/2014

Abstrak

Masyarakat yang ada di adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Kondisi tersebut karena masyarakat di suatu tempat akan berkumpul, yang terbagi dalam kelompok agama, ras dan budaya. Suku Baduy adalah salah satu suku adat terasing, yang mengasingkan dirinya dari dunia luar dan sangat membatasi interaksi terhadap perkembangan teknologi, serta perkembangan budaya modern lainnya. Penelitian ini berjudul “Eksistensi Sunda Wiwitan (Eksistensi Sunda Wiwitan pada Anggota Suku Baduy di Jakarta ). Di mana penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan fenomena sosial, yang dialami oleh anggota suku Baduy dalam memahami dan mempertahankan Sunda Wiwitan ketika mereka pindah ke Jakarta. Penelitian ini menggunakan teori Agama yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Teori tersebut digunakan agar dapat menjelaskan fenomena sosial yang terjadi. Teori ini menjelaskan bahwa agama adalah merupakan perwujudan daripada collective consciousness, di mana terdapat ikatan atau kontrak di dalam masyarakat. Tipe penilitian ini merupakan penelitian deskriptif, dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat adat Baduy merasa mendapatkan banyak cobaan dan rintangan dalam mempertahankan tradisi Sunda Wiwitan di Jakarta. Meskipun demikian, mereka tetap berusaha untuk dapat mempertahankan tradisi tersebut, karena sudah menjadi tanggung jawab dan tugas bagi mereka.

Kata Kunci: Eksistensi, Sunda Wiwitan, dan Baduy.

Abstract

Community in Indonesia is a community consisting of a variety of ethnicities, races and . These conditions because people would gather in a place, which is divided into religious groups, races and cultures. Baduy tribe is one of the isolated indigenous tribes, who alienated himself from the outside world and very limiting interaction to the development of technology, as well as other modern cultural development. This study, entitled "Existence Wiwitan Sunda (Sundanese existence Wiwitan the Baduy Tribe Members in Jakarta). Where the study was conducted to describe social phenomena, which is experienced by members of the Bedouin tribe in understanding and maintaining the Sunda Wiwitan when they moved to Jakarta. This study uses the theory of proposed by Emile Durkheim. The theory is used in order to explain social phenomena. This theory explains that religion is a manifestation than the Collective Consciousness, where there is a bond or contract within a society. Type of this research is a descriptive study, and the approach used is qualitative approach. The results showed that the indigenous Bedouin was getting a lot of trials and a lot of hurdles in maintaining the tradition of Sundanese Wiwitan in Jakarta. Nevertheless, they are still trying to maintain the tradition, because it is the responsibility and duty for them.

Keywords: Existence, Sunda Wiwitan, and Baduy.

Pendahuluan Selain itu, anggota masyarakat Suku adat terasing yang ada Baduy atau Kanekes memiliki agama di Indonesia bukan hanya suku kepercayaan yang disebut Sunda kajang, suku adat lainnya yang Wiwitan, tetapi juga ada beberapa termasuk terasing adalah suku adat anggota masyarakat Baduy yang Baduy yang terdapat di Desa sudah memeluk agama atau Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Budha. Kabupaten Lebak, . Suku adat Keberagaman dalam ini juga termasuk terasing atau memeluk agama pada anggota bahkan mengasingkan diri, walaupun masyarakat Baduy, merupakan letaknya tidak jauh dari hiruk pikuk bentuk ketaatan yang dilakukan kota Banten. terhadap nilai-nilai dan pandangan Suku Baduy ini bermukim di hidup yang diturunkan oleh nenek pulau Jawa, di mana Pulau Jawa moyang mereka. Agama apapun merupakan pusat pembangunan di yang menjadi kepercayaan Indonesia saat ini. Namun di masyarakat Baduy mengajarkan dalamnya, masih terdapat suku adat bahwa, semua hal yang berkaitan yang masih memegang nilai luhur dengan pola kehidupan mereka tidak budayanya, sehingga tidak terkikis boleh atau pantang untuk diubah1, dengan adanya perubahan jaman yang sangat pesat. Anggota 1 masyarakat Baduy mempunyai identitas sosial yang berkeyakinan http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/ pada sebuah ajaran agama tertentu. 1039/Sunda-Wiwitan sehingga mereka berkeyakinan inilah yang disebut Durkheim dengan terhadap suatu hal yang mereka collective consciousness atau anggap benar dan menjadi penuntun kesadaran kolektif. hidupnya. Seperti anggota masyarakat Kesadaran Kolektif (Collective tradisional lainnya, beberapa anggota Consciousness) suku Baduy juga ada yang tinggal di Durkheim menyatakan perkotaan atau hanya sekedar terdapat dua sifat dalam kesadaran mencari pekerjaan yang dianggap kolektif, yaitu yang bersifat exterior lebih baik. Kondisi tersebut sedikit dan constraint. Sifat exterior yang banyak akan mempengaruhi mereka termasuk di dalamnya adalah dalam mempertahankan identitas kesadaran kolektif yang berada di kesukuan dan tentunya luar kesadaran individu manusia dan mempertahankan agama atau yang masuk ke dalam individu kepercayaannya. Oleh karena itu, tersebut dalam perwujudannya sesuai dengan permasalahan yang adalah aturan – aturan moral, aturan telah diuraikan di atas, maka fokus – aturan agama, aturan – aturan baik penelitian yang diangkat adalah dan buruk , luhur dan mulia dan lain bagaimana anggota suku Baduy sebagainya. Aturan – aturan tersebut yang berada di Jakarta memahami akan tetap ada sekalipun individu – dan mempertahankan Sunda individu yang bersangkutan sudah Wiwitan? tidak ada lagi. Sedangkan dalam sifatnya Kajian Teori dan Metode yang constraint, kesadaran kolektif Penelitian tersebut memiliki daya memaksa Kajian Teori terhadap individu – individu. Teori yang digunakan dalam Pelanggaran yang dilakukan oleh studi ini adalah teori agama dari anggota masyarakat terhadap Emile Durkheim. Menurut Durkheim kesadaran kolektif, akan agama berasal dari anggota mengakibatkan adanya sanksi – masyarakat sendiri Setiap anggota sanksi hukuman terhadap anggota masyarakat selalu membedakan masyarakat yang bersangkutan, atau mengenai hal – hal yang di anggap dapat dikatakan bahwa kesadaran sakral dan di anggap profane atau kolektif itu adalah suatu konsensus duniawi. anggota masyarakat yang mengatur Durkheim menjelaskan hubungan sosial diantara anggota bahwa, agama adalah perwujudan masyarakat yang bersangkutan. daripada collective consciousness, walaupun selalu ada perwujudan – Kepercayaan–Kepercayaan, – perwujudannya yang lain. Collective Ritual dan Gereja consciousness sendiri pengertiannya Terdapat tiga kondisi yang menurut Durkheim adalah aturan – diperlukan dalam perkembangan aturan yang berada di luar kontrak, agama, yaitu: tetapi memungkinkan diadakannya (1). Harus ada perkembangan kontrak – kontrak sosial yang sekumpulan kepercayaan agamis mengikat dan menentukan sah kepercayaan – kepercayaan itu tidaknya suatu kontrak. Aturan – adalah “representasi – aturan yang berada di luar kontrak representasi yang mengungkapkan hakikat hal – penjelasan untuk keadaan tersebut. hal yang sakral dan relasi – Durkheim berpendapat bahwa, relasi yang mereka pertahankan, berkumpul itu sendiri adalah baik antara satu sama lain penyebab yang nyata, tetapi sekarang maupun dengan hal – hal yang pun, orang enggan menghubungkan duniawi”.2 kekuatan tersebut dengan kekuatan – (2). Dibutuhkan sekumpulan ritual kekuatan sosial. agamis , hal – hal itu adalah Sebenarnya totem di anggap ‘aturan – aturan perilaku yang sebagai sesuatu yang “suci” itu tidak menetapkan bagaimana seorang lain adalah simbol belaka, yaitu manusia harus membawakan diri simbol dari Tuhan. Durkheim dalam kehadiran objek – objek menyatakan bahwa, Tuhan tidak lain sakral tersebut”.3 merupakan lambang atau simbol (3). Agama akhirnya memerlukan daripada anggota masyarakat itu sebuah gereja, atau suatu sendiri, yaitu sebagai collective komunitas moral tunggal yang consciousness yang kemudian melingkupi, antar hubungan di menjelma ke dalam collective antara yang suci, kepercayaan – representation, yakni berupa kepercayaan, ritual – ritual, dan lambang – lambang yang berwujud gereja. ajaran – ajaran totemisme. Berdasarkan penyelidikan di Totemisme pedalaman Australia, Durkheim Totemisme adalah suatu berkesimpulan bahwa, Tuhan itu sistem agamis yang di dalam benda – hanya merupakan “idealisme” dari benda tertentu, khususnya binatang anggota masyarakat itu sendiri, yang dan tumbuhan, dipandang sebagai menganggapnya sebagai makhluk hal yang sakral dan sebagai lambang yang paling sempurna. klan. Durkheim memandang Tuhan dianggap sebagai totemisme sebagai bentuk agama simbol dari masyarakat itu sendiri, yang paling sederhana dan paling sebagai collective consciouness, primitif, dan dia percaya totemisme kemudian menjelma ke dalam terkait dengan bentuk sederhana, collective representation. Tuhan itu yang serupa dengan organisasi sosial, hanyalah idealisme dari masyarakat yakni klan. itu sendiri yang menganggapnya Totem ini merupakan pusat sebagai makhluk yang paling ritus/ upacara keagamaan dari orang sempurna (Tuhan adalah – orang sederhana tersebut, dalam personifikasi masyarakat) dan hal ini adalah anggota masyarakat melebihi apa yang dimiliki oleh pedalaman Australia. Para individu manusia. Durkheim menyatakan yang mengalami energi kekuatan terdapat dua hal pokok dalam agama, sosial yang dipertinggi pada saat yaitu kepercayaan dan ritus atau berkumpulnya klan, mengusahakan upacara-upacara, serta keyakinan adalah pikiran dan ritus adalah 2 Durkheim, E. (1959). The Elementary tindakan. Forms of the Religious Life [1912]. Na, hal 56

3 Ibid Metode Penelitian 2 bulan di anggap waktu yang cukup Studi ini menggunakan lama bagi anggota Baduy untuk tidak metode kualitatif dengan tipe tinggal di tempat tinggalnya, serta deskriptif. Studi ini bertujuan untuk usianya di atas 15 tahun karena, pada menjelaskan secara deskriptif usia tersebut anggota Baduy sudah terhadap data yang didapatkan dari ada beberapa yang lebih memilih para informan. Penelitian deskriptif untuk bekerja di kota. bertujuan untuk mengumpulkan Studi ini menggunakan teknik informasi secara aktual dan pengumpulan data dengan cara terperinci, mengidentifikasikan wawancara mendalam. Data yang masalah, membuat perbandingan didapatkan kemudian dianalisa atau evaluasi, menentukan apa yang menggunakan teknik analisis data dilakukan orang lain dalam oleh Huberman dan Miles yang menghadapi masalah yang sama dan terdiri atas tiga hal, yaitu reduksi belajar dari pengalaman mereka data, penyajian data dan penarikan untuk menetapkan rencana dan kesimpulan4. keputusan pada waktu yang akan datang. Pembahasan Lokasi yang di pilih adalah di Eksistensi Agama Sunda Wiwitan Baduy dan Jakarta yaitu lebih Agama merupakan sebuah tepatnya di Desa Kanekes, unsur penting dari sebuah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten masyarakat, karena masyarakat Lebak, Provinsi Banten. Alasan banyak juga yang berpendapat bahwa memilih lokasi penelitian di Baduy, agama berperan sebagi penuntun atau karena Baduy merupakan suku menjadi panutan hidup dalam setiap pedalaman yang masih asli dan umatnya, sehingga agama sendiri masih murni baik dari kebudayaan, berperan sebagai penerang, penjelas agama, atau kehidupan sosialnya. antara yang benar dan yang buruk, Sementara itu Jakarta merupakan pemberi arahan untuk melakukan tempat dimana anggota suku Baduy tindakan, bahkan agama juga bisa mencari pekerjaan guna menunjang menjadi rumah yang dapat kehidupannya. menampung jiwa – jiwa yang kosong Penelitian ini menggunakan atau jiwa – jiwa yang membutuhkan teknik purposif dalam menentukan pencerahan. Perbedaan persepsi subjek atau informan yang relevan. tentang agama juga ditunjukkan pada Purposif adalah cara pengambilan setiap pengikut atau penganut agama, subjek penelitian dengan kriteria dan yang mempunyai kedudukan berbeda situasi-situasi khusus. Penelitian ini dalam agama tersebut, sehingga berusaha untuk mencari karakteristik dalam kesehariannya terdapat dari masing-masing informan, yaitu perbedaan diantara individu yang mulai dari latar belakang informan, memahaminya seperti hal yang biasa, hambatan serta rintangan yang di dengan yang berperan secara lakukan, serta pengaruh dari budaya langsung dalam setiap kegiatan dan – budaya serta agama lain terhadap eksistensi Sunda Wiwitannya. 4 Muhammad, Idrus, 2009, Metode Kemudian, kriteria informan dalam Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif hal ini adalah yang melakukan dan Kuantitatif Edisi Kedua, Jakarta: migrasi di atas 2 bulan. Dikarenakan, Erlangga. Halaman 146-147. mengerti betul nilai – nilai agama tersebut, sehingga tanpa ada perintah yang terkandung di dalamnya. ataupun tuntutan dari siapapun, Seperti yang diungkapkan pemeluk agama Sunda Wiwitan rela oleh Emile Durkheim tentang agama untuk melakukan seluruh perintah adalah asal mula agama adalah dari sesuai dengan kesadaran dirinya, masyarakat itu sendiri.5 Secara tidak bukan karena paksaan dari pihak langsung hal ini sesuai dengan manapun. Hal tersebut juga agama Sunda Wiwitan, yang ditunjukkan oleh para informan yang ajarannya berasal dari sesepuh – rela melakukan ritual atau upacara sesepuh yang memberikan amanat guna untuk mendekatkan diri dengan pada penerusnya untuk tetap Tuhannya, meskipun banyak melestarikan agama Sunda Wiwitan hambatan yang dialami baik dari tersebut, hal itu ditunjukkan baik ekonomi, pekerjaan, maupun resiko melalui lisan ataupun praktek yang yang harus diambil untuk menunjang langsung dilakukan. Anggota suku kehidupannya. Informan juga Baduy juga mempunyai sikap mengharapkan adanya sebuah tersendiri, antara hal – hal yang kesadaran, yang tetap terus ada pada dianggap suci seperti upacara, ritual setiap anggota suku Baduy. Buktinya keagamaan dan kegiatan – kegiatan dari generasi ke generasi kesadaran yang berhubungan dengan “” seperti ini akan tetap terus ada dan atau Tuhannya, dibandingkan dengan lestari, yang tujuannya untuk dapat perintah adat yang lebih ke dalam meneruskan agama Sunda Wiwit. hukum – hukum. Durkheim juga mengaitkan Constraint agama ada hubungannya dengan Constraint tidak kesadaran kolektif atau collective menunjukkan sebuah ketakutan consciousness yang terwujud dari tersendiri dari para informan, karena anggota suku Baduy sendiri. Hal ini informan menganggap hukuman tercermin dengan adanya suatu yang diterima pasti ada, dan pengikat yang erat antara pengikut hukuman tersebut dianggap akan Sunda Wiwitan yang sejatinya adalah sangat merugikan kehidupannya. anggota suku Baduy itu sendiri. Namun, semua itu berbeda dengan kesadaran yang dimiliki oleh para Exterior informan. Constraint yang mereka Exterior ini terlihat dari tunjukkan lebih kepada sumpah dengan tindakan – tindakan yang “pitutuh karuhun” dan tetap menjaga sangat tercermin dalam menyangkut amanat yang diberikan oleh dengan kegiatan ritual atau upacara leluhurnya untuk dapat menjadikan keagamaan. Tindakan – tindakan itu pengikut atau anggota suku Baduy. sangat kontras atau sangat terlihat Mereka yang beragama Sunda dalam pelaksanaan kegiatan Wiwitan akan tetap terus ingat, dan keagamaan. Mereka tidak perduli hal itu lebih bersifat pada peringatan dengan hambatan atau rintangan dan identitas yang harus dipegang yang harus dihadapai untuk teguh oleh anggota suku Baduy. melakukan kegiatan keagamaan

5 Siahaan, Hotman M, 1986, Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, Jakarta: Penerbit Erlangga Kepercayaan, Kepercayaan, Ritual – pada saat melakukan kegiatan sehari Ritual Dan Tempat Ibadah. – hari. Pertama, yang di tunjukkan Anggota suku Baduy oleh agama Sunda Wiwitan tersebut mempunyai tempat yang sangat adanya regenerasi dari yang tua, sakral di dalam kehidupannya, yang untuk memberikan pengetahuan bertujuan untuk pelaksanaan ritual – kepada yang muda melalui lisan, ritual pemujaan yang dilaksanakan, serta keterkaitan antara anggota suku agar mendapatkan petunjuk dan Baduy yang menganut Sunda “wangsit” atau bisikan dari Wiwitan, yang dipercaya dapat Tuhannya, dan untuk melakukan menunjang kehidupannya lebih baik. kegiatan yang memang seharusnya Kedua, ritual – ritual agamis dilakukan. Tempat yang sakral di sini ditunjukkan dengan adanya 9 rukun disebut dengan “titipan”, yaitu yang di percayai oleh Sunda berupa hutan lindung yang Wiwitan, di mana dari 9 rukun merupakan tempat sakral bagi tersebut tentunya menjadikan setiap penganut agama Sunda Wiwitan. umatnya mendekatkan diri pada yang Sunda Wiwitan sendiri juga suci atau yang sakral. Kegiatan mempunyai simbol dari setiap ritual tersebut dilakukan agar mereka – ritual yang diadakan, dan tentunya mendapatkan ketenangan, serta setiap ritual – ritual atau upacara – menggugurkan tanggung jawab serta upacara keagamaan itu sendiri kewajiban yang dimiliki. Ketiga, mempunyai tujuan dan misi yang Adanya tempat berkumpul yang berbeda – beda tentang dirinya sangat suci yaitu hutan “titipan” yang kepada Tuhannya. menjadi wadah untuk mendapatkan petunjuk serta mendapatkan Bentuk Eksistensi penerangan terhadap hal – hal yang Sesuai dengan pernyataan di anggap suci dan di anggap Durkheim, yaitu pada waktu orang menjadi sakral. terlibat dalam upacara – upacara keagamaan, maka kesadaran mereka Totemisme tentang collective consciousness Sunda Wiwitan sendiri semakin bertambah kuat. Sesudah termasuk sebagai agama yang upacara – upacara keagamaan, primitif, karena dalam suasana keagamaan tersebut akan kesehariannya, baik ritual dan dibawa dalam kehidupan sehari – upacara yang dilakukan hari mereka. Hal itu juga ditunjukkan menunjukkan lebih ke dalam unsur oleh anggota suku Baduy yang Alam dan unsur penyembahan menjadi informan. Meskipun terhadap Dewi Sri atau yang menjadi kedudukan dan statusnya sebagai dewi dari masyarakat Baduy itu anggota suku Baduy yang bekerja di sendiri. Dewi Sri sendiri berperan kota, tidak menyurutkan mereka sebagai Dewi yang diagung – untuk mendapatkan semangat, serta agungkan namanya, untuk membantu keikutsertaan dalam setiap kegiatan masyarakat suku Baduy dalam keagamaan, meskipun ada rukun memelihara alam, baik untuk yang dilewatkan, karena hanya di keberlangsungan hidupnya yang lakukan di kampungnya. Namun, lebih baik, maupun keberkahan yang rukun yang memang harus dilakukan diberikan oleh Dewi Sri tersebut dan rukun yang bersifat fleksibel tersebut pasti akan dilakukan oleh upacara yang sudah biasa dilakukan informan yang bekerja di Jakarta. dan dilaksanakan sebagaimana Hal tersebut dikarenakan telah mestinya dan upacara - upacara atau menjadi sebuah tanggung jawab dan ritual yang memang di perkenalkan kewajiban yang memang sudah pada masyarakat luas. Namun, untuk seharusnya dilakukan, serta menjadi upacara atau ritual yang lain kesadaran tersendiri bagi setiap pemahaman dari setiap anggota anggota suku Baduy. berbeda – beda. Bentuk eksistensi yang Sunda Wiwitan merupakan dilakukan oleh para anggota suku kepercayaan yang termasuk agama Baduy yang berada di Jakarta, untuk primitif, tentunya sangat harus dijaga tetap mempertahankan identitasnya kelestariannya agar tidak mudah sebagai Sunda Wiwitan tersebut hilang dan tidak mudah tergeser memiliki berbagai macam cara. Hal keberadaannya. Penganut – penganut itu semua tercermin pada, bagaimana Sunda Wiwitan sendiri semakin lama sulitnya mempertahankan eksistensi semakin berkembang, karena yang harus mereka lakukan, anggota suku Baduy semakin sedangkan mereka harus memenuhi banyak, sehingga mendorong berbagai kebutuhan di dalam pengikutnya untuk dapat menjaga kehidupan, yang tidak hanya untuk amanat yang telah disampaikan Sunda Wiwitan. Anggota suku dalam bentuk “pikukuh karuhun” dan Baduy yang ada di Jakarta lebih bacaan – bacaan. Hal tersebut memilih untuk tetap melakukan memang harus dipegang teguh baik kegiatan ritual – ritual serta upacara masyarakat yang berada di tempat – upacara keagamaan, dibandingkan asalnya ataupun masyarakat yang dengan perannya saat berada di sedang berada Jakarta atau di daerah Jakarta atau berada di kota. Semua perkotaan. itu memang harus dilakukan untuk Anggota suku Baduy yang di kesejahteraan individu, Sunda Jakarta akan semakin rentan untuk Wiwitan maupun untuk anggota suku meninggalkan identitas dan Baduy pada umumnya. kesukuannya karena banyak terjadinya benturan – benturan dan Kesimpulan masuknya budaya – budaya serta Eksistensi yang banyak ajaran – ajaran yang tidak sejalan dilakukan melalui beberapa cara, dan dengan Sunda Wiwitan. Namun, memiliki tahapan yang berbeda pada anggota suku Baduy yang berada di masing – masing anggota suku Jakarta masih tetap menjaga semua Baduy, serta pemahaman – itu, yang dapat dilihat dengan pemahaman yang dipahami oleh bagaimana pernyataan serta masing – masing anggota juga ketegasan mereka terhadap agama berbeda. Kondisi tersebut terlihat serta kesukuannya, karena dirasa dari beberapa pernyataan tentang sudah menjadi tanggung jawab dan pemahaman keagamaan yang menjadi tugas masyarakat adat berbeda dari informan satu dengan Baduy. informan lainnya. Selain itu pemahaman yang di mengerti hanya inti – inti dari agamanya, yaitu Sunda Wiwitan, di mana intinya adalah Daftar Pustaka Muhammad, Idrus. (2009) Metode Buku Penelitian Ilmu Sosial Durkheim, E. (1959) The Elementary Pendekatan Kualitatif dan Forms of the Religious Life Kuantitatif Edisi Kedua. Jakarta: [1912]. Erlangga Siahaan, Hotman. (1986) Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Web Sosiologi. Jakarta: Penerbit http://kebudayaanindonesia.net/id/cul Erlangga. ture/1039/Sunda-Wiwitan