Edhi Sunarso 1

SEKADAR PENGANTAR

Harimau pergi meninggalkan belang, dengan menciptakan bentuk-bentuk yang pematung sembunyi meninggalkan ruang. mendarah-daging, yang menciptakan gelora Saya baru saja memiuhkan sebuah pepatah lain. Pada hari ini kita dapat mengatakan untuk menggambarkan sumbangan besar bahwa patung-patung itu masih berdaya hidup pematung Edhi Sunarso. Kita di sudah sekalipun ruang-ruang di sekitarnya makin tak berhingga kali menyaksikan sejumlah bersifat homogen dan “universal”. Monumen- patungnya tanpa perlu tahu siapa penciptanya. monumen itu membuktikan bahwa Jakarta Patung “Selamat Datang” di Bundaran Hotel kita, di hadapan kapitalisme mutakhir sedunia, Indonesia, patung “Dirgantara” di Pancoran, masih bersifat “pascakolonial”. dan patung “Pembebasan Irian Barat” di Dalam kesempatan ini saya ingin juga Lapangan Banteng, misalnya, bukan hanya mengatakan bahwa Edhi Sunarso adalah menjadi penanda penting ibu kota kita, namun the last of the Mohicans dari generasi juga merumuskan apa dan bagaimana ruang seniman yang tumbuh pada masa Revolusi kota semestinya. Patung-patung itu seakan Kemerdekaan. Angkatan ini telah berjasa sudah menjadi bagian dari bawah-sadar kita: besar dengan memperkenalkan konsep—dan seakan tidak ada Jakarta tanpa kehadiran juga metode—“jiwa nampak”: seniman mereka. Ya, Jakarta kita, bukan Jakarta harus memperjuangkan keseorangannya, mereka. Ketika para pengembang, saudagar, individualitasnya, membuat jiwanya sendiri dan birokrat mendorong Jakarta ke dalam terlihat dalam bentuk-bentuk ciptaannya; “globalisme” dan menyeru bahwa masa namun di sisi lain, ia juga, sebagai anak depan sudah tiba hari ini, patung-patung itu masyarakat dan sejarahnya, mengancang menegaskan bahwa masa lalu adalah hari ini. figur-figur yang, sekalipun terpiuh, tetap Saya tidak sedang menganjurkan berterima. “Jiwa nampak” bukan hanya supaya anda sekalian kembali ke masa lalu. perjuangan demi kesenian modern yang Manakala ruang-ruang publik kita, khususnya bersifat nasional, tetapi juga “teknik” di Jakarta, hanya sekadar sisa ruang dari untuk menggali bentuk dengan, misalnya, “internasionalisasi” pembangunan Jakarta, menggunakan model hidup. Adapun Edhi maka patung-patung Edhi Sunarso senantiasa Sunarso sendiri, di antara teman-teman mengingatkan kita bahwa ruang-ruang publik seangkatannya, adalah juga sosok langka. kita dulu adalah ruang-ruang organik, yang Ia tidak terlibat di panggung-panggung menebalkan kehadiran kita sebagai warga. perdebatan seni; ia tak melahirkan kredo Patung-patung yang dibuat pada 1960-an itu kesenian; ia tak pernah terdengar berkomentar bukan hanya mewujudkan apa yang dikatakan tentang karya-karya orang lain; ia pun selalu Chairil Anwar “bangsa muda menjadi, jauh dari sorot kamera. Ia bekerja diam- baru bisa bilang aku”, namun juga menjadi diam, dan membiarkan patung-patungnya bukti bahwa di masa kemarin kita mampu sendiri berbicara langsung kepada kita. Dan, merancang ruang kota dengan sangat baik. monumen-monumen itu ternyata bukan hanya Benar bahwa Presiden berada “di berkata, tapi juga mengerjai kesadaran kita. balik” pembuatan patung-patung itu, namun Edhi Sunarso juga langka dalam arti adalah Edhi Sunarso sendiri yang secara bahwa ia mengalami, atau melihat dari sangat bebas-lugas mengatasi nasionalisme sempit dekat, gelombang turun-naik dalam sejarah 2 MONUMEN

kesenian kita sampai hari ini. Ia menjadi bagian gaya lain yang tak terduga, dan kembali lagi dari generasi pertama seni rupa modern ke belakang. Ketiga, pameran ini, seperti Indonesia yang sebagian besar eksponennya pameran Edhi Sunarso di Yogyakarta pada sudah tiada (namun, jika generasinya gemar Januari lalu, menampilkan sang pematung berkiat-politik, maka Edhi sebaliknya), dan ke tengah panggung; maaf, bukan dirinya ia mengalami kampus tempatnya mengajar yang ditonjolkan, melainkan suaranya, menjadi pusat perlawanan terhadap generasi- kesaksiannya akan sebuah “zaman keemasan” generasi seniman terdahulu; ia sendiri tetap ketika sang maecenas-penguasa dan sang diam-sunyi dalam arti juga tak menjadi sasaran seniman menjalin hubungan timbal-balik untuk dari para pemberontak muda-belia itu. Saya membangun kesenian yang bersifat publik. percaya ia tak terpengaruh oleh semua itu, Kami di Galeri Salihara merasa beroleh dan tetap terserap oleh kerja, kerja, kerja kehormatan besar untuk menyelenggarakan belaka. Memang ia menjelajahi gaya-gaya lain, pameran ini. (Perlu kami katakan juga misalnya saja gaya “abstrak”, tetapi ia selalu bahwa Galeri Salihara senantiasa berminat jauh dari riuh-rendah kritik seni. (Sementara menampilkan sisi lain, sisi tak terduga dari itu, saya percaya, angkatan-angkatan yang seniman-seniman yang sudah mencapai lebih mutakhir bergerak ke arah “seni kedudukan khusus dalam khazanah seni rupa konseptual”, yang makin mengabaikan “jiwa kita.) Kita semua merasa berbahagia karena nampak”.) Di tengah arus seni kontemporer Edhi Sunarso berada di tengah kita; ya, bukan kita hari ini, mantan gerilyawan ini bagaikan hanya “berada”, karena ia pasti tak akan anakronisme: kritik terhadap arus dominan berlama-lama di tengah. Ia telah mengamalkan yang berseru bahwa apa saja boleh, anything “kematian sang pengarang” jauh sebelum goes, asal dilandasi kredo yang kuat. kita mendengar prinsip ini. Hanya monumen- Pameran di Galeri Salihara ini memang monumennya yang dibiarkannya bicara, supaya tidak bersifat retrospektif, tetapi, bagi saya, kita tahu bagaimana menyelenggarakan ruang- ia penting dalam tiga arti. Pertama, ia adalah ruang publik dengan sepenuh hati. jendela untuk meninjau kembali karya-karya Nirwan Dewanto monumental Edhi Sunarso; saya tekankan Galeri Salihara hal ini karena pada masa belakangan ini kita jarang sekali memikirkan pendirian patung dalam hubungannya dengan penyelenggaraan ruang publik, atau sebaliknya. Pajangan dan susunan foto karya sejumlah fotografer bukan hanya dokumentasi yang hangat, namun juga “arkeologi pengetahuan” yang bersifat menggugah, mungkin juga menghasut. Kedua, karya-karya yang terpajang akan menunjukkan evolusi kekaryaan Edhi Sunarso; namun mungkin saja kata “evolusi” tidak tepat, karena si pematung tidak berjalan melalui satu garis lempang: ia bisa berbelok tiba-tiba, “mengkhianati” cirinya terdahulu, mengambil Edhi Sunarso 3

Sambutan Perupa

Bagi saya tahun ini merupakan waktu saya kerjakan sejak tahun 1950-an hingga yang sangat penting. Seusai menerima sekarang. Karena pameran tunggal saat penghargaan dari Insitut Seni Indonesia (ISI) ini merupakan pameran yang bersifat Yogyakarta, terasa sekali bahwa tahun 2010 kesejarahan baik bagi saya maupun bagi menjadi tahun yang memicu kreativitas saya perkembangan seni patung pada umumnya. lebih lanjut, terutama untuk melakukan kerja Dalam pameran ini saya bersama kurator individu. Di usia saya yang makin bertambah Asikin Hasan memutuskan untuk menyajikan tua, ternyata keberlangsungan kreatif tak patung-patung figuratif-realis yang secara pernah pudar. Maka setelah pameran yang tematik merupakan bagian dari ide-ide saya kerjakan di Jogja Gallery, Yogyakarta di saya mengenai tema sosial, nasionalisme awal tahun ini, langsung dilanjut ke Salihara di dan perempuan. Di luar karya patung, saya bulan Agustus. sangat setuju dengan ide kurator mengenai Dengan dibantu oleh teman-teman yang munculnya gagasan untuk menyajikan rata-rata masih muda, saya sangat beruntung. dokumentasi karya dan sejarah monumen Bagaimana tidak, pada dasarnya sebagai yang pernah saya buat. Semoga dokumen ini pematung, bukanlah hal yang gampang menjadi bagian yang penting bagi keberadaan untuk mewujudkan keinginan mematung dan kota maupun negara ini. memamerkannya. Apalagi pada setiap patung- Bersamaan dengan ini pula tak lupa patung yang saya kerjakan memerlukan saya sampaikan ucapan terima kasih kepada waktu yang lumayan lama dan harus ditopang berbagai pihak. Semoga semua yang saya dengan pembiayaan yang besar. Sehingga kerjakan mendapat rahmat dan bergulir setiap tahun saya hanya mampu mengerjakan menjadi wacana bagi semua orang. beberapa patung individu. Dua pameran yang terselenggara di tahun yang sama ini Edhi Sunarso merupakan anugerah di saat kreativitas saya juga memuncak. Patung-patung yang saya sajikan saat ini merupakan sekumpulan karya yang 4 MONUMEN

Tentang Sang Pematung Tentang Pameran

Sejak lama nama Edhi Sunarso menjadi Pelaksanaan pameran tunggal ini akan wacana dalam perkembangan seni rupa menyajikan beragam karya dan dokumen Indonesia. Namanya kerap terkait dengan tentang Edhi Sunarso yang dirangkai dengan karya-karya monumentalnya seperti patung peluncuran buku. Pameran ini didampingi Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, dengan persembahan karya-karya seni Jakarta, atau patung Pembebasan Irian Barat di fotografi dari komunitas Liga Merah Putih Lapangan Banteng. Monumen tersebut tiap hari (Oscar Motuloh, Yori Antar, Asfarinal St Rumah “ditonton” banyak orang. Karya-karyanya jelas Gadang, Syaiful Boen). Ada pun keikutsertaan bukan hanya itu. Selain monumen, ada pula mereka untuk memberitakan situasi dan karya diorama di sejumlah tempat, khususnya kontekstualisasi patung-patung monumental di Monas, relief dan patung individu. Singkatnya Edhi Sunarso yang ada di Jakarta. ia adalah sosok pematung yang kaya pemikiran, Pameran ini mengetengahkan karya-karya pengalaman serta memiliki sejarah karir yang Edhi Sunarso yang bergaya realis. Hal ini menarik. diajukan selain untuk membedakan pameran Keberadaan pematung ini tidak hanya tunggal sebelumnya yang diselenggarakan di dibicarakan pada ranah seni. Nama Edhi Jogja Gallery, Yogyakarta, Januari 2010 lalu; Sunarso telah mengantongi sejumlah juga ingin mengatakan bahwa kemampuan penghargaan yang terpusat pada pemikiran dasar realisme seperti yang dimiliki Edhi dan keseriusan hidupnya yang diabdikan pada Sunarso kini semakin langka. Gaya-gaya negara. Edhi Sunarso termasuk seniman realis yang diungkapkan Edhi Sunarso banyak yang unik. Selain sebagai seniman, ia juga dipakai dalam berbagai karyanya seperti pada seorang pejuang. Tepatnya ia juga tentara karya monumen publik mau pun sebagian masa revolusi. Tak bisa dilupakan pula bahwa karya pribadinya. Hal ini membuktikan bahwa ia adalah satu di antara sejumlah orang yang kualitas kerja Edhi Sunarso sangat baik dan kerap bertukar pikiran dengan Presiden I RI memberikan kontribusi yang kuat bagi sejarah Ir. Soekarno. Ia adalah saksi sejarah bangsa nasional maupun sejarah seni dan arsitektur di Indonesia yang penting dan masih hidup dan Indonesia. berkarya. Dari semua dinamika hidupnya inilah Kedua, pameran ini dilakukan dengan jelas menarik bagi kajian ilmu yang lain seperti pendekatan dokumenter. Oleh sebab itu materi sejarah, politik, sosial, budaya, arsitektur, pameran tidak saja berupa karya seni, akan pendidikan dan psikologi. tetapi juga mengetengahkan foto-foto (proses kerja, sejarah hidup dan karya-karya yang tak lagi bisa terlacak) Edhi Sunarso. Dari materi dokumen inilah kita dapat melacak secara lengkap perjalanan hidup Edhi Sunarso. Edhi Sunarso 5

MONUMEN

Catatan Kuratorial

Seni patung modern Indonesia bermula tapi juga penanda trimatra pengusung simbol kurang lebih setengah abad lalu. Dan, patung kepahlawanan dan keagungan. monumen “Selamat Datang” dibangun di masa Berbeda dengan patung “Liberty” di New awal itu, kini di Bundaran Hotel Indonesia, York karya pematung Prancis Frederic Auguste Jalan Thamrin, Jakarta. Patung berbarik kasar Bartholdi (1834-1904) yang diberikan sebagai dan nampak ekspresif itu menggambarkan hadiah rakyat Prancis kepada kemerdekaan sepasang muda-mudi mengangkat dan Amerika, Bung Karno membangun dengan membentangkan kedua lengan tinggi-tinggi daya yang ada di negeri sendiri, dengan dengan seluruh jemari terbuka, terkesan menempatkan dirinya selaku pengarah utama antusias menyapa sesuatu di depannya. bagi semua proyek megah tersebut. Agaknya Sebelah tangan sang pemudi menggenggam keyakinan berdikari―‘berdiri di atas kaki seikat bunga. Tentu saja gesture serupa itu sendiri’ ―masih menancap kuat dalam diri adalah alasan teknis demi memberi kesan sang pemimpin yang juga seorang arsitek itu. keseimbangan. Patung tersebut dirancang Pada sekitar 1953 dalam peresmian untuk menyambut tamu—ketika itu tengah “Tugu Muda”, Semarang, yang dikerjakan berlangsung perayaan Asian Games IV di oleh Sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Istora Senayan (1962), sebuah pesta olahraga pelukis terkemuka Hendra Gunawan, Bung terbesar, termegah, dan kontroversial di Karno berkenalan dengan, dan kemudian zamannya, di ibu kota Jakarta. memanggil Edhi Sunarso―beberapa tahun Ini bagian dari proyek gemuruh, sebelumnya pematung ini memenangkan dengan sebuah elan. Jakarta pascakolonial sayembara seni patung internasional di memang tengah dibenahi. Presiden Inggris1―dan meminta dia membangun RI pertama Ir. Sukarno mengancang “Selamat Datang”. Seperti proyek mercusuar mega-proyek untuk mengubah citra kota lainnya, Bung Karno ingin sesuatu yang kolonial menjadi berwajah nasional dalam mahabesar dan abadi sepanjang masa. Kurang tafsir romantisismenya. Yang lama telah lebih sama dan sebangun dengan salah satu ditumbangkan ramai-ramai dengan sebuah isi pidatonya: “Saya menghendaki juga agar revolusi—berdarah, dan yang baru dibangun supaya bintang-bintang di langit seribu tahun dengan semangat nasionalisme—bergelora. lagi, dua ribu tahun lagi, lima ribu tahun lagi, Bagi Bung Karno, karakter dan identitas kota sepuluh ribu tahun lagi menyaksikan bahwa perlu dibangun, untuk membedakan dan bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar.”2 menarik garis tegas masa lampau dan masa Soekarno menentukan tinggi patung sembilan kini. Bukan hanya obyek-obyek fungsional meter, terbuat dari perunggu. yang berguna bagi orang banyak dibangun, Ironisnya, Edhi Sunarso yang ditunjuk 6 MONUMEN

belum berpengalaman membangun patung memiliki toleransi, relasi, dan harmonisasi sebesar itu, dan belum pernah mencetak dengan obyek lain yang berada di sekelilingnya. patung perunggu yang, memerlukan Ia tak dapat berdiri dan berteriak sendirian. kecakapan teknik tinggi. Semula sang Dan, keinginan Bung Karno mendirikan patung pematung ragu menyambut tawaran sangat sembilan meter, belum benar-benar dikaji terhormat dari pemimpin yang dikaguminya. dari pelbagai aspek tersebut. Ia merupakan Namun, sang presiden terus meyakinkan dan gagasan yang langsung divisualisasikan oleh membangkitkan semangatnya berkali-kali.3 Edhi Sunarso. Edhi Sunarso akhirnya memberanikan diri Yang terjadi setelah model patung tegak memulai sesuatu yang kelak menentukan arah setinggi sembilan meter di Studio Keluarga perjalanan hidupnya selaku seorang pematung. Arca, Karangwuni, Yogyakarta, Edhi Sunarso Di studio berlantai tanah di Yogyakarta, berulang kali mengamatinya dari jarak jauh, bersama timnya Edhi Sunarso membuat dan mulai ragu dengan ukuran sebesar model patung dengan membentuk bongkahan itu. Ia melakukan evaluasi berkali-kali. gipsum yang ditatah sebagaimana layaknya Kesimpulannya meyakinkan: patung terlalu menatah batu. Ia menerapkan tradisi pahat tinggi dan terlalu besar. Penilaian ini didukung untuk model patung yang kemudian dibuat Ir. Sutami, salah satu orang dekat Bung Karno.4 cetakan dan dituang dengan logam. Cara tak Mereka kemudian berdebat panjang lebar lazim ini bukan hanya makan waktu panjang, tentang perbandingan ideal antara patung dan tapi juga memerlukan ketepatan dan ketelitian, obyek lain di sekitarnya. Singkat cerita Bung tersebab mengandung risiko gagal yang Karno mengalah dan setuju model patung sangat tinggi. Sebagaimana batu, gipsum tak “Selamat Datang” dibikin ulang turun menjadi bisa digantikan begitu permukaannya rontok enam meter, untuk mengimbangi tinggi Hotel oleh hantaman mata pahat. Umumnya, para Indonesia, salah satu proyek mercusuar lain pematung membuat model dari lilin—di masa sang penyambung lidah rakyat itu. Kurang dari kini bahkan menggunakan bantuan perangkat setahun kerja keras siang dan malam, patung lunak komputer—agar tercapai kesempurnaan, “Selamat Datang” akhirnya berdiri menandai dan mudah mengoreksi pekerjaan tahap demi pusat ibu kota Jakarta. tahap. Apa boleh buat, zaman tak selalu bisa Tentu saja cerita ini berbeda dengan penuh menyediakan apa-apa yang diinginkan “Industrial Worker and Collective Farm oleh sebuah cita-cita sempurna di masanya. Girl” (1937) di Moskow, Rusia, sebuah Masalah lain adalah, antara studio tempat patung monumen karya Vera Ignatyevna karya diproses, dan lokasi penempatan patung Mukhina (1889-1953), juga menggambarkan itu kelak, terbentang sebuah jarak. Sebuah sepasang muda mudi tengah mengacungkan imajinasi ruang dan lanskap dari sebuah jarak tangan tinggi-tinggi, di mana sang pemuda memungkinkan apa yang dibayangkan dan menggenggam erat sebuah palu, dan sang kenyataan berselisih jalan. Di samping itu perempuan menggenggam sebilah arit, patung di ruang publik, umumnya berukuran keduanya eksplisit menegaskan ideologi besar, bukan sebuah obyek merdeka bangsa itu. Patung tersebut terkesan sebagaimana patung-patung pribadi di ruang akademistis, ideal, terukur, dan mendekati pamer galeri atau museum. Patung publik gaya patung masa Pencerahan Eropa, Edhi Sunarso 7 sebuah citra realis yang melampaui realitas di seluruh negara baru merdeka menjelang sesungguhnya. Di situ, kita tak bersua citra tengah abad XX lalu. Seperti sebelumnya, kita manusia wajar, selain sosok-sosok dingin punya pengalaman sesuatu yang baru, namun tanpa emosi dengan citra manusia perkasa— tak pernah menjadi proyek yang benar-benar dan mungkin agung. Misi yang dibebankan berakhir selesai. Proyek realisme sosialis atau kepada patung tersebut, melampaui mirip seperti itu, sebagaimana kita saksikan kehadiran dirinya sendiri. Siapa saja mudah di belakang hari, tak lebih sebuah fragmen terpesona oleh bentuk dan teknik tinggi yang setengah hati. Bung Karno nampaknya diterapkan dalam patung tersebut, tapi ia bergerak sendiri dengan semangat eklektik, sendiri kehilangan spontanitas, kewajaran, tanpa dukungan sungguh-sungguh dari dan kehangatan, sesuatu yang justru kita orang-orang sezaman maupun sesudahnya. Ia temui pada kesederhanaan patung “Selamat membangun penanda agung di ruang publik Datang”. untuk menggugah semangat rakyat memasuki Pematung perempuan Rusia terkenal perubahan baru Indonesia pascakolonial itu belajar pada Académie de la Grande dengan fasade ibu kota dikelilingi gedung- Chaumière, Paris, di bawah bimbingan Emile- gedung ikonik seperti Hotel Indonesia, Istora Antoine Bourdelle, murid dan penerus gagasan Senayan, Jembatan Semanggi, Masjid Istiqlal, besar Auguste Rodin, pematung modern Gedung Parlemen, taman-taman hijau, terkemuka Prancis. Ia Anggota Academy of patung-patung publik, layaknya kota-kota di Arts of USSR yang juga pernah belajar di Eropa, tak cukup dipahami—atau disangkal— Italia, telah berpengalaman membuat patung boleh pemangku kuasa politik berikutnya. dengan bahan logam. Sebelum ditegakkan di Patung “Selamat Datang”, bukan satu- kota Moskow dengan teknologi tercanggih di satunya. Tahun-tahun berikutnya di tengah zamannya, patung tersebut telah populer dan krisis ekonomi yang parah, konon Bung merupakan salah satu obyek terbaik The World Karno ikut membiayai proyek mercu suar Fair, sebuah pameran karya-karya trimatra itu, ia meminta Edhi Sunarso membangun termegah yang berlangsung di pinggir Sungai patung “Pembebasan Irian Barat”, kemudian Seine, Paris.5 Berbeda dengan Edhi Sunarso, “Dirgantara”, diorama Monas, yang semuanya yang ditemukan secara kebetulan oleh Bung berada di posisi strategis ibu kota Jakarta, Karno, Vera Mukhina adalah mesin yang telah dan dibangun dengan pertimbangan dan disiapkan hadir sebagai bagian dari rencana diskusi cukup baik. Patung “Selamat Datang” besar Stalin, selaku propaganda seni rupa sampai saat ini adalah satu-satunya contoh yang berguna dan dapat dipahami oleh rakyat. patung publik yang benar perhitungan Kendati tak sempurna seperti di Rusia, penempatannya, di mana orang dapat semangat realisme sosialis pula, agaknya, mengakses dan melihat obyek tersebut dari yang mulai menyemai di Indonesia di hari- pelbagai arah, memutar 360 derajat. Sebuah hari awal kemerdekaan itu. Inilah ideologi persyaratan bagi patung di ruang publik yang perlawanan orang-orang terluka dan di masa kini nampak diabaikan. terhinakan yang menempatkan diri selaku Pada 1966 di tengah krisis ekonomi yang oposisi biner terhadap liberalisme dan makin parah, diikuti dengan krisis sosial dan kolonialisme, yang juga membahana hampir politik, kuasa Bung Karno dipatahkan oleh 8 MONUMEN

kekuatan politik baru—yang tak lain orang- itu, pematung penerima Tanda Kehormatan orang dekatnya juga—dan seluruh proyek Bintang Budaya Parama Dharma RI, pada 12 untuk menggemakan Indonesia ke seluruh Agustus 2003 ini meyakini bahwa pengetahuan penjuru dunia, pelan-pelan menghilang dan pemahaman bentuk-bentuk realis adalah bersama lalu waktu. Era baru rupanya dasar utama bagi seorang pematung. Itulah memiliki watak lain, ia datang dengan kuasa sebabnya, untuk melatih kepekaan atas kapital yang dingin, membasuh semua sisa sesuatu yang hadir di depannya, Edhi Sunarso idealisme versi Bung Karno yang selalu hangat membuat patung berdasarkan model hidup, dan bergelora. Landmark atau penanda kota sebuah tradisi yang juga mewarnai awal-awal yang baru dimiliki dan membanggakan ibu berdirinya ASRI, Yogyakarta. kota Jakarta, dengan segera dikaburkan Pengembangan studi seni patung Edhi oleh penanda-penanda baru simbol kuasa Sunarso, bergerak ke dalam beberapa kapital. Pertumbuhan ekonomi menjadi cita- bagian. Di satu sisi ia menaruh perhatian cita utama, pembangunan bergerak cepat pada patung potret yang menekankan titik api berkat pinjaman modal dari negara-negara pada kekuatan ekspresi dan karakter. Lihat maju; gedung-gedung lebih tinggi, papan- umpamanya karya-karya studi ketika ia di papan iklan dengan citra hiperealistik menjadi India, dan studi sejumlah potret di Yogyakarta. pemandangan visual, menyesaki fasade kota. Kita segera dapat membedakan karakter keduanya. Rupa pada patung itu tak hanya II terekam mirip model selaku sandarannya berkarya, tapi juga menghadirkan barik yang Edhi Sunarso mengembangkan membangkitkan emosi, dan kehangatan. kecenderungan patung-patung realis ketika Media yang dipakai adalah bongkahan batu bersama pelukis Hendra Gunawan, Trubus, andesit dengan teknik pahat, di samping teknik Affandi, dan kawan-kawan di Sanggar Pelukis pembentukan dari tanah liat yang kemudian Rakyat, dan di Akademi Seni Rupa Indonesia dicetak perunggu atau material lain. (ASRI) Yogyakarta, kemudian memperdalam Di sisi lain, ia membuat patung-patung ilmu di Visva-Bharati Rabindranath Tagore figur: menyalin sosok tokoh tertentu atau bisa University, Santiniketan, India. Dan, corak ini juga sosok anonim. Karya-karya ini dibentuk pula yang diajarkan kepada murid- muridnya dari model tanah liat atau lilin yang, kemudian di ASRI- kini FSRD- ISI, Yogyakarta. Begitupun dicetak dengan serat gelas, perunggu, dan lain hampir semua patung Edhi Sunarso di sebagainya. Pada jenis karya-karya seperti ruang publik memiliki kecenderungan ini, Edhi Sunarso tak hanya menekankan realis, di samping kecenderungan abstraksi, ekspresi dan barik, melainkan juga simbolisasi, dan pemiuhan atas figur, kecakapan memainkan gesture, atau posisi terutama pada karya-karya pribadi yang berdiri,sebagaimana terlihat pada, misalnya, jumlahnya tak begitu banyak. patung “Selamat Datang”, “Pembebasan Irian Kendati bentuk dan gaya karyanya terlihat Barat”, “Dirgantara”, atau diorama Monumen berubah-ubah, sesungguhnya ia konsisten Nasional. pada suatu tema, dan bayangan sebuah cerita Karya-karya Edhi Sunarso tak semua yang dapat dipahami orang banyak. Untuk dapat ditampilkan dalam pameran ini, Edhi Sunarso 9

tersebab ukuran dan alasan lain, misalnya, masa silam dan masa sekarang. Foto-foto sebagian daripadanya telah dimiliki oleh terpilih digolongkan ke dalam beberapa kolektor dari pelbagai negara di mana Edhi kategori, antara lain: kegiatan Edhi Sunarso Sunarso pernah berpameran. Sebagian lain di ASRI, studio kerja, masa ketika belajar berupa karya-karya monumental dalam skala di Shantiniketan. Foto-foto terkait proses kota. Salah satu cara penghadirannya yang pengerjaan patung-patung untuk ditaruh mungkin adalah melalui fotografi. Maka, di ruang publik, kunjungan Bung Karno ke untuk melengkapi gambaran karya-karya Edhi lokasi pembuatannya, dan foto sang presiden Sunarso pada pameran ini, sebagian materi memerankan dirinya selaku model patung dihadirkan dalam rupa fotografi. “Selamat Datang”. Juga model patung- patung yang siap cetak untuk ditempatkan III di Monumen Nasional, namun tersebab sesuatu alasan urung dibangun. Suasana dan Budaya visual menguasai hampir panorama lokasi penempatan patung pada segenap aspek kehidupan kita kini, menyusup awal kehadirannya. memasuki ruang-ruang pribadi maupun Paradoks Jakarta masa kini, direkam publik. Melihat gambar dan menonton lewat lensa fotografi kelompok Liga Merah gambar bergerak sejak abad XX, bukan Putih (Oscar Motuloh, Yori Antar, Syaiful hanya merupakan bentuk budaya baru, tapi Boen, Asfarinal St. Rumah Gadang). Mereka ia melampaui budaya baca tulis. Kemajuan memberi tafsir fotografis atas aktualitas teknologi pencitraan, yang merupakan bagian patung-patung monumental itu kini, di tengah dari budaya visual, menyajikan representasi simpang siur beton-beton, batang-batang realitas nyaris serupa benar dengan realitas lampu jalan, logo perusahan, gedung tinggi, itu sendiri dalam kehidupan kita. Kemampuan dan lain sebagainya. membekukan peristiwa dan mencairkannya Penanda agung yang memberi nilai kembali di waktu lain dalam pelbagai media tambah pada kehadiran kota di masa lalu, secara fleksibel memungkinkan budaya visual dan perebutan kuasa pada ruang-ruang memainkan dan memperkaya pemahaman publik yang tak berimbang di masa kini, telah kita tentang realitas. melenyapkan orientasi keberkotaan, dan Pameran ini menjajarkan obyek membebani fasade kota itu sendiri. trimatra, fotografi, dan video, sebuah upaya membangun pengertian baru tentang Asikin Hasan/Kurator

Catatan: (Endnotes) 1 Pada 1953 Edhi Sunarso mengikuti kompetisi seni patung internasional yang diselenggarakan oleh Institute of Contemporary Art, London. Karyanya “The Unkown Political Prisoner” dinyatakan keluar sebagai pemenang kedua.. Adapun urutan pemenang adalah sebagai berikut; pemenang pertama R. Butler (Inggris), kedua Edhi Sunarso (Indonesia), ketiga Egon Milinkovich (Italia-Hungaria), keempat Louise Leygue (Prancis), kelima Margel Hinder (Australia). 2 Amanat PJM Presiden Sukarno pada Pelantikan/Pengangkatan sumpah Mayor Jenderal KKO Ali Sadikin menjadi gubernur/kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Istana Negara, Jakarta, 28 April 1966. 3 Wawancara saya dengan Edhi Sunarso, 6 Januari 2010, di Yogyakarta. 4 Wawancara saya dengan Edhi Sunarso, 6 Januari 2010, di Yogyakarta. 5 Lihat Art and Power: Europe Under the Dictators, 1930-45 (Suttgart: Oktagon Verlag, 1995). 10 MONUMEN

UNTUK GENERASI MENDATANG

Saya bersyukur ke hadirat Allah SWT, pernah saya bayangkan—apalagi cita-citakan sebab pameran ini akhirnya terlaksana di sejak muda. Saya tidak menamatkan sekolah Komunitas Salihara, Jakarta, dengan bantuan rendah, sebab terlibat perang gerilya bersama pelbagai pihak. Sebelumnya—Januari 2010, para pejuang Republik. Tugas saya pada saat berdekatan dengan penganugerahan “Empu itu adalah menjadi kurir pengantar surat atau Ageng” kepada saya dari ISI Yogyakarta telah peluru, sekaligus menjadi mata-mata pasukan berlangsung pameran tunggal retrospeksi RI di Jawa Barat. Sampai akhirnya saya karya-karya saya di Jogya Gallery. Terus menjadi komandan pasukan Sabotase pada terang, ini mimpi lama di mana saya dapat usia belum menginjak remaja dengan lima memamerkan karya-karya dan berdialog kantong perjuangan di daerah Jawa Barat, dengan banyak orang di beberapa kota. yaitu Pamanukan, Pegaden Baru, Subang, Pameran saya ini didukung oleh John Kalijati, Segalaherang, dan Purwakarta. Pada Mamesah yang sebelumnya juga ikut dalam Juni 1946, saya tertangkap Belanda dan tim dalam mewujudkan patung “Potret ditahan secara berpindah-pindah dari penjara Wajah Terakhir Putra Fajar”, yang sekarang satu ke penjara lainnya sampai akhirnya di terpanjang di depan Kampus ISI sebagai Internir LOG Kebon Baru selama tiga persembahan saya kepada kampus yang dulu setengah tahun. bernama Akademi Seni Rupa Indonesia [ASRI], Selama di penjara itulah saya belajar tempat pertama kali saya berkesempatan bahasa Inggris, bahasa Indonesia, belajar belajar dan berkarya untuk menjadi seorang membuat kerajinan tangan dan menggambar. pematung. Patung itu juga sekaligus wujud Para pengajarnya tidak lain adalah sesama rasa terima kasih saya yang besar kepada tahanan yang lebih tua. Pada Juli 1949, seorang tokoh yang secara langsung maupun saya dibebaskan pada usia menjelang 17 tidak, telah menjejali saya dengan semangat tahun. Pada hari saat saya dibebaskan, saya pantang menyerah dalam menjalani profesi memutuskan melakukan perjalanan ke saya. Tidak lain tokoh tersebut adalah Bung Yogyakarta dengan berjalan kaki menyusul Karno Putra Fajar. induk pasukan. Akan tetapi, setiba saya di Pameran bertajuk “Monumen” ini adalah Yogyakarta, ternyata induk pasukan yang napak tilas perjalanan saya sebagai seorang saya cari sudah melakukan long march ke pematung sejak 1950 sampai sekarang. Jawa Barat. Akhirnya saya melapor ke kantor Bila saya mengenang masa lalu saya, tentu KUDP agar terdaftar sebagai pejuang RI dan saja keberadaan saya sekarang adalah sebuah menerima uang saku bulanan seperti pejuang anugerah besar dari Tuhan kepada saya, lainnya. Saban hari saya ke kantor KUDP untuk mengingat keberadaan saya di antara semua mendapat informasi kalau-kalau saya dapat karya yang sudah saya ciptakan bukan hal yang bergabung lagi dengan pasukan RI. Edhi Sunarso 11

Terkadang, dalam perjalanan saya oleh Bung Karno ada hubungannya dengan setiap hari menuju kantor KUDP Yogyakarta, berita kemenangan itu. Saat hari peresmian saya berpapasan dengan siswa-siswa ASRI “Tugu Muda” Semarang itulah kali pertama yang sedang berpraktik melukis. Suatu saya bertemu Bung Karno, dan lama setelah ketika, saya tertarik mengikuti mereka saat itu saya tidak lagi bertemu atau berhubungan sedang menggambar sambil saya juga ikut dengan beliau. menggambar. Saya jadi senang menggambar Pada 1955 setelah selesai belajar di di belakang kerumunan siswa ASRI. Sampai ASRI, saya mendapat kesempatan belajar suatu ketika, Bapak Hendra Gunawan seni di India atas biaya Unesco. Di India, menghampiri saya dan menanyakan asal usul saya belajar selama dua setengah tahun dan saya. Beberapa hari setelah pembicaraan sempat menyabet penghargaan dari Calcutta panjang kami di hari itu, atas bantuan Hendra University dan penghargaan The Best Exhibit Gunawan, Affandi, dan Katamsi, saya diterima pada All India Fine Art and Exhibition dan sebagai siswa pendengar di ASRI. mendapat medali emas. Sejak saat itu, dunia terasa terang Setelah menyelesaikan pendidikan di India, benderang buat saya. Tanpa kenal siang atau saya kembali ke Yogyakarta. Pada saat itu pun malam, saya terus belajar keras. Status ASRI sudah berganti nama menjadi Sekolah saya sebagai siswa pendengar, yaitu siswa Tinggi Seni Rupa Indonesia [STSRI]. Saya dengan hak-hak terbatas tidak menyurutkan diminta mengajar di sana mengampu mata semangat saya. Tidak lama kemudian, saya kuliah seni patung. Sebelum menjadi tenaga bergabung dengan Kelompok Pelukis Rakyat pengajar, saya mendapat tugas mengerjakan yang pada saat itu baru beranggotakan tujuh relief perjuangan untuk Museum Perjuangan orang:, Bapak Hendra Gunawan, Affandi, Yogyakarta di Brontokusuman, dibantu oleh Trubus, C. Y. Ali, Sucahyoso, Abas Alibasyah, kawan-kawan, antara lain Abdul Salam, Abdul Rustamadji, dan saya sendiri sebagai anggota Kadir, Subandrio, Sidharta, pembuatan relief termuda. menggunakan batu cor—relief pertama yang Pada 1952 kelompok Pelukis Rakyat menggunakan batu cor. mendapatkan tugas mengerjakan monumen Pada 1958, saya dipanggil Bung Karno “Tugu Muda” yang terbuat dari batu di untuk mengerjakan patung “Selamat Datang”. Semarang. Tahun 1953, saat peresmian Beliau duduk di depan saya, meminta saya tugu tersebut, Bung Karno mendatangi dan mengerjakan patung perunggu setinggi menjabat tangan saya, berkata, “Selamat sembilan meter. Saya terkejut mendengar ya. Sukses.” Waktu itu, saya bingung dengan permintaan itu. Tak ada pikiran lain dalam ucapan selamat dari Bung Karno. Beberapa benak saya kecuali menolak pekerjaan hari setelah itu ada kabar bahwa saya tersebut dengan canggung. Saya bilang, mendapat juara kedua untuk lomba seni “Pak, jangankan sembilan meter, sembilan patung internasional yang diselenggarakan sentimeter pun saya belum pernah membuat di London dengan karya berjudul “Unknown patung perunggu. Bagaimana mungkin saya Political Prisoner”. Rupa-rupanya, saya adalah bisa melaksanakan pekerjaan ini?” orang terakhir yang mengetahui hal tersebut. Kemudian dengan nada tegas, beliau Saya merasa mungkin saja ucapan selamat membalas ucapan saya, “Hey, Ed! Kau punya 12 MONUMEN

rasa bangga berbangsa dan bernegara tidak?” model patung setinggi sembilan meter dengan Lalu saya menjawab, “Tentu saja, Pak.” menggunakan 15 ton gipsum. Setelah selesai “Saya tahu itu, saya juga sudah mendengar pembuatan model, tim peninjau dari panitia cerita tentang kau yang katanya mantan pembuatan monumen, para duta besar, pejuang. Coba kamu pikir, apa perlu saya termasuk Bung Karno sendiri berkunjung menyuruh seniman luar untuk mengerjakan ke bengkel kami. Pada kesempatan itu, saya monumen dalam negeri kita sendiri? Saya memberanikan diri mengemukakan pendapat. tidak mau kau coba-coba, kau harus sanggup. Menurut saya patung tersebut terlalu besar Sekarang kamu pulang ke Yogya, bicara untuk ukuran kawasan bundaran Hotel dengan kawan-kawanmu, saya berikan kamu Indonesia. Saya sampaikan dengan bahasa waktu satu minggu untuk kembali ke sini dan santai kepada beliau, dan beliau menjawab, menyatakan sanggup.” “Kamu aneh sekali, Dhi. Patung sudah jadi Saya pun kembali ke Yogyakarta dengan sembilan meter, masak mau dikecilkan lagi?” perasaan panik dan cemas, kalau-kalau saya Lalu beliau meminta pendapat Ir. Sutami yang benar-benar tidak sanggup melaksanakan pada saat itu ikut dalam rombongan. Sutami keinginan Bung Karno. Sampai di Yogyakarta, mendukung pendapat saya. Akhirnya dengan orang pertama yang saya temui adalah persetujuan Bung Karno, saya pun membuat Gardono, seorang kawan lama. Gardono ulang model patung dengan tinggi enam adalah orang yang suka sekali bereksperimen meter di depan model patung yang sudah jadi sehingga saya berharap, dia punya pemecahan setinggi sembilan meter dan segera memulai masalah yang saya hadapi. Kami kemudian pengecoran perunggu sampai akhirnya patung menemui Pak Mangun dan Pak Darmo, dua tersebut siap dipasang. orang pensiunan bengkel Pengok, sebuah bengkel kereta api di Yogyakarta. Dan, ternyata Pekerjaan yang diberikan Bung Karno, tidak satu pun dari kami berempat yang pernah saya laksanakan atas instruksi langsung mengecor perunggu. Pak Mangun dan Pak dari beliau tanpa disertai surat perjanjian Darmo hanya pernah mengecor semacam apa pun. Para pekerja pun menerima besi. Itu memang pekerjaan mereka. Saya honorarium tanpa melalui proses tawar- dan Gardono mendesak dan mengatakan menawar seperti yang umum terjadi sekarang. bahwa kami punya buku panduan pengecoran Semua hasil kerja dilaporkan, lalu dana perunggu, nantinya kami bisa belajar dari sana. untuk mengerjakan patung tersebut kami Akhirnya kedua orang itu menyanggupi. ajukan dengan proses langsung dan mudah. Selanjutnya kami menghubungi beberapa Setelah selesai pembuatan dan pemasangan toko bahan dan beberapa orang yang kiranya patung Monumen “Selamat Datang”, kami siap meminjamkan alat. Setelah sampai batas tidak langsung diperbolehkan pulang, waktu yang diminta oleh Bung Karno, dan melainkan diberi tugas membuat perencanaan setelah semua siap, saya kembali ke Jakarta pembangunan monumen di empat penjuru untuk menemui Bung Karno dan menyatakan Monas ; Zaman Keemasan Majapahit, Zaman sanggup melaksanakan pembuatan patung Penjajahan Belanda, Zaman Penjajahan “Selamat Datang”. Jepang, serta Zaman Revolusi Kemerdekaan Pekerjaan pun dimulai. Kami mengerjakan dan Pembangunan. Akan tetapi, tatkala Edhi Sunarso 13

perencanaan selesai dibuat awal 1960, kedua kalinya mendesak saya dengan pekerjaan harus ditunda karena alasan teknis. mengatakan, “Apa kamu nggak malu kalau Setelah itu saya diperintahkan lagi oleh untuk diorama sejarah kita, aku suruh Bung Karno membuat patung Monumen Madame Tussaud mengerjakan?” “Pembebasan Irian Barat”. Sementara saya Saya terpaku sebentar lalu berujar, “Tapi dan kawan-kawan mengerjakan pembuatan apa mungkin mereka bisa, Pak?” patung tersebut di Yogyakarta, Bung Karno Serentak beliau dan para sejarawan mengirim delegasi seniman berjumlah tertawa, lalu Bung Karno berkata, “Nah, kamu delapan belas orang dari Indonesia, dipimpin mengerti, Dhi. Mana mungkin mereka bisa oleh Saptoto dan Haryadi untuk belajar mengerjakan sejarah bangsa kita? Pokoknya membuat diorama ke Jepang, Belanda, aku nggak mau tahu, kau pasti sanggup dan beberapa negara lain yang mempunyai mengerjakan diorama ini, saya percaya pada museum diorama. Tepat tiga hari setelah kemampuanmu. Lagi pula, diorama ini bukan peresmian patung “Pembebasan Irian buat aku atau para sejarawan di sini, tapi Barat”, kedelapan belas seniman yang untuk generasi nanti.” dikirim Bung Karno telah kembali ke Saya berpikir sebentar, lalu berkata, Indonesia dan kemudian membuat contoh “Begini saja Pak, apa boleh saya buat contoh yang dipresentasikan kepada Bung Karno adegan sejarah dengan patung kecil-kecil di Gedung Pemuda. Ternyata, contoh yang dicat?” diorama tersebut ditolak oleh Bung Karno Lalu beliau berkata dengan tegas, dan sejarawan yang hadir pada saat itu “Terserah kau.” dengan berbagai alasan, termasuk salah Mengerjakan diorama adalah pekerjaan satuya karena contoh yang dibuat itu tidak teramat rumit dan pelik. Ada banyak tahap menggambarkan gerak atau episode yang harus dilalui dengan melibatkan banyak perjuangan. Dua minggu kemudian, saya sekali seniman, tidak hanya pematung tapi dipanggil lagi oleh Bung Karno setelah beliau juga perupa lainnya. Saya harus taat pada mengadakan rapat dengan para sejarawan di sejarah dan memvisualisasikan potongan Gedung Sekretariat Negara dan memutuskan adegannya dalam bentuk realistik, maka saya saya sebagai pelaksana pembuatan diorama juga mesti melakukan penelitian langsung dan saya diberi empat jilid buku sejarah yang untuk memiliki gambaran atas situasi dan telah disusun oleh 23 orang sejarawan senior bentuk tempat kejadian yang sebenarnya. yang tergabung dalam tim sejarawan. Jujur saja, saya sebagai seorang seniman, Mendengar keputusan rapat para terkadang merasa jenuh dengan pekerjaan sejarawan dan Bung Karno bahwa saya diorama ini, bukan hanya waktu pengerjaan ditunjuk sebagai pelaksana pembuatan yang sangat lama, tapi juga kebebasan diorama, saya terkejut dan merasa mustahil berekspresi layaknya seorang seniman melaksanakannya. Kali ini, bukan saja ikut terkungkung. Keadaan ini sempat karena saya tidak pernah membuat diorama, meresahkan saya selama beberapa waktu. tetapi juga bahwa saya bahkan tidak pernah Tapi, semangat saya terus disulut oleh melihat seperti apa itu diorama. Menjawab kesadaran bahwa diorama yang saya kerjakan ketidaksanggupan saya, Bung Karno untuk ini adalah untuk generasi mendatang agar 14 MONUMEN

memiliki pengetahuan mengenai sejarah. diorama tidak akan berjalan dengan baik. Bung Karno pernah berkata pada saya bahwa Saya ingin menggambarkan sedikit tentang beliau menunjuk bukan karena saya dirasa betapa tidak mudah melakukan penelitian mampu melakukan pekerjaan ini, akan sejarah untuk pembuatan diorama. Salah satu tetapi pengerjaan ini membutuhkan sikap contoh, membuat gambaran mengenai Digul, pengabdian yang tinggi terhadap bangsa, dan tempat pengasingan para tahanan politik di menurut Bung Karno saya mampu karena masa lalu. Pada saat itu, menembus daerah memiliki jiwa pengabdian itu. Itulah yang Digul sungguh tidak mudah. Kami terhalang beberapa kali membangkitkan saya dari cuaca buruk dan kondisi alam yang tidak rasa jenuh selama melaksanakan pekerjaan menentu. Tidak jarang kami harus berjalan tersebut. kaki menuju suatu lokasi yang diyakini Satu hal mengenai diorama, saya merupakan tempat berlangsungnya sejarah. selalu berharap agar pemerintah mau Perjalanan sempat tertunda, selama tiga hari memperhatikan dan membenahi diorama- kami tertahan di sebuah daerah terpencil diorama sejarah yang kebanyakan sudah dekat Digul karena cuaca buruk dan kondisi berada dalam kondisi tidak layak karena jalan yang rusak. termakan usia. Saya berharap ada di Sesampai di Digul, tidak banyak lagi saksi antara kawan-kawan seniman yang mau sejarah yang masih hidup. Tempat kejadian atau bersedia menjadi tenaga konservasi, pun sudah tidak lagi ada. Akhirnya kami harus dan melakukannya dengan bersungguh- mencari orang setempat sebagai narasumber sungguh. Sayang sekali rasanya, karena para untuk menggambarkan bagaimana bentuk sejarawan telah bertahun-tahun melakukan rumah pengasingan tersebut. Kami terpaksa penelitian sejarah untuk membuat buku guna membuat sketsa secara berulang-ulang terwujudnya pekerjaan diorama tersebut. sesuai dengan arahan narasumber sampai Sejarawan yang terlibat dalam penelitian akhirnya ditemukan bentuk yang mirip dan sejarah yang dipimpin oleh Bung Karno penggambaran situasi yang mirip dan disetujui terdiri atas Drs. Amir Sutarga, Murwati Junet oleh narasumber. Lalu kami kembali ke Pusponegoro, Drs. M. D Mansur, Drs. M. Jakarta untuk membuat visualisasinya dalam Idwar Saleh, I Gusti Ketut Pudja, S. H., Abu bentuk diorama. Bakar Aceh, Sagiman M. D., Prof. Dr. Priyono, Ilustrasi itu hanya salah satu dari sekian E. Katopo, Drs. Uka Candra Sasmita, Drs. kerumitan yang menjadi tantangan bagi kami Nugroho Noto Susanto, Drs. Buchori, Drs. R. dalam melaksanakan pekerjaan pembuatan Sukmono, Prof. Dr. Sutjipto Wiryo Suprapto, diorama. Maka tidak berlebihan rasanya kalau Drs. Djuhari, Drs. Suharjo, Drs. H. Heri Mukti, saya menghimbau kepada beberapa pihak yang Drs. Abdul Rachman, Sutrisno Kuntoyo, terkait, dalam hal ini pemerintah dan rekan- Drs. Suroto, Subandri, Dra. B. Simorangkir, rekan seniman, supaya ikut ambil bagian Sudjatmiko, Dra. Sumartini, S. Fatah, Drs. A. dalam perbaikan dan pemeliharaaan diorama Saleh, Mr. Sartono, Mr. Noto Susanto, Prof. Dr. sejarah bangsa Indonesia. Yakob, Drs. Putu. Bersamaan dengan kesibukan menggarap Mereka berjasa besar membuat deskripsi karya-karya pengabdian, saya juga masih sejarah dalam bentuk buku yang dikerjakan membuat karya-karya pribadi. Misalnya, selama dua tahun. Tanpa mereka, pekerjaan setelah pulang dari India pada 1958, saya Edhi Sunarso 15 membuat beberapa karya dari bahan kayu Karno meminta saya mengerjakan patung sonokeling dan melakukan pameran bersama “Dirgantara” itu dengan segera, maka saya istri (1959), yang menampilkan lukisan istri menyerahkan pekerjaan diorama kepada saya dan patung saya. rekan-rekan dalam tim pekerja diorama. Saya Pada waktu monumen ”Selamat ingat beliau mengatakan, bangsa Amerika Datang” selesai diresmikan, saya ditunjuk boleh saja berbangga dengan industri pesawat untuk membantu dalam pekerjaan proyek terbangnya, tapi bangsa Indonesia punya pembangunan Monumen Nasional atau Monas keberanian patriotisme. Pejuang Indonesia, di bawah pimpinan Ir. Soedarsono dan Ir. meskipun dengan pesawat rongsokan, Silaban dalam bidang karya-karya seni patung. mampu terbang dan melakukan penyerangan Pertama-tama adalah mengerjakan api puncak dari udara terhadap pasukan Belanda di Monas dalam bentuk miniatur yang nantinya Ambarawa. Bung Karno selalu berapi-api akan dikirim ke Jepang. Pada saat yang sama bila berbicara tentang partriotisme dan saya membentuk kelompok seni patung yang perjuangan bangsa Indonesia. Semangat itulah saya namakan Keluarga Arca pada 1960 yang yang kemudian menular pada saya sehingga beranggotakan Sutrisno, Wardi, Askabul, saya terus konsisten dalam mengerjakan Sarpomo, Suwandi, dan saya sendiri. Kami karya-karya pengabdian sekalipun ketika itu tinggal di barak yang dibangun untuk kejenuhan kadang-kadang datang kepada mengerjakan konstruksi Monas. saya. Tambahan lagi, dalam beberapa kali Pada 1964, saya mendapat tugas lagi kesempatan saya mengerjakan karya-karya dari Bung Karno untuk membuat patung pengabdian, Bung Karno menyempatkan diri monumen “Dirgantara” demi mengenang mengunjungi kami saat sedang bekerja. Tak sifat kepahlawanan para pejuang Indonesia jarang beliau menghibur kami dengan gurauan bidang kedirgantaraan. Seperti dua beliau layaknya sesama teman. Oleh karena patung sebelumnya; “Selamat Datang” itu, kami sangat menghargai dan kagum pada dan “Pembebasan Irian Barat”, ide dasar kepribadian beliau. penciptaan patung “Dirgantara” datang dari Pada 28 September 1965, saya dipanggil Bung Karno sendiri. Sewaktu mengemukakan Sekretariat Negara agar menghadap Bung ide mengenai bentuk patung “Dirgantara”, Karno guna melaporkan perkembangan dengan penuh semangat beliau meminta saya pekerjaan pembuatan patung “Dirgantara”. membuat patung sosok seorang laki-laki Kemudian, pada 30 September saya kembali gagah yang siap terbang ke angkasa layaknya menghadap ke istana. Sesampai di istana saya Gatot Kaca yang siap terbang. Bahkan beliau langsung diantar oleh salah seorang anggota berpose dan berkata, “Seperti ini lho, Dhi, pasukan pengawal kepresidenan menuju seperti Gatot Kaca mental bentolo.” Lalu saya teras belakang tempat biasa Bung Karno mulai membuat sketsa patung berdasarkan menerima kami untuk minum teh pagi dan gerakan beliau. berbicara ringan tentang beberapa pekerjaan, Pembuatan patung “Dirgantara”, sebelum masuk jam dinas beliau. Di teras direncanakan akan selesai dalam waktu tersebut sudah ada Prof. Dr. Leimina yang satu tahun, yaitu pada 1965. Tapi, karena juga dipanggil untuk menghadap pada hari itu. dalam waktu bersamaan saya masih harus Kami menunggu Bung Karno yang menurut mengerjakan diorama, padahal Bung pengawal yang berdiri di sekitar kami sedang 16 MONUMEN

berada di Bogor. Kami menunggu kedatangan sebagai monumen “Cukil Mata”. Padahal kau Bung Karno sampai kurang lebih pukul 12 tahu sendiri Dhi, monumen itu dibuat untuk siang. Kami mendapat kabar bahwa telah menghargai pahlawan penerbang bangsa terjadi Gerakan 30 September dan tidak ada Indonesia. Aku minta kepadamu agar itu kepastian kapan Bapak Presiden akan hadir. segera dipasang.” Kemudian, kami berdua memutuskan pulang. Lalu beliau memanggil Gafur dan Ketika sampai di pintu gerbang, kami terkejut menyuruh dia menjual salah satu mobilnya. dengan kondisi Istana Negara yang sedang Hasil penjualannya harus segera diserahkan dikepung pasukan pemberontak. pada saya sebagai biaya pemasangan patung Pada 3 Oktober, saya pulang ke “Dirgantara”. Yogyakarta. Sementara menunggu pekerjaan Lima hari kemudian, saya menerima uang lebih lanjut, saya mengerjakan karya- sejumlah satu juta tujuh ratus ribu rupiah. karya pribadi. Cukup lama saya menunggu, Saya pun bisa mengangkut bagian-bagian dan patung “Dirgantara” terbengkalai di patung dari Yogya ke Jakarta dan mulai studio saya di Yogyakarta, masih berbentuk mengerjakan pemasangan. Satu minggu potongan-potongan yang belum dirangkai. pekerjaan berjalan, Bung Karno mengunjungi Pada Februari 1967, secara mendadak kami dan memantau jalannya pekerjaan. saya diundang pelukis istana, Dullah, untuk Mendadak sekitar monumen dibanjiri lautan menemui Bung Karno. Saya terkejut melihat manusia yang ingin melihat Bung Karno. keadaan Bung Karno sekembali dari rawat Saya ingin turun dan melaporkan jalannya inap di rumah sakit militer, tampak sangat pekerjaan, akan tetapi beliau melarang. lemah dan pucat. Saya hanya bisa tertegun Pada minggu ketiga, Bung Karno kembali dan mendengar suara lirih, bertanya, “Edhi, mengunjungi kami, dan kali itu lautan manusia apa patung “Dirgantara” sudah selesai kau jauh lebih luas dari sebelumnya hingga kerjakan?” pasukan pengawal Presiden mengalami Saya menjawab, “Sudah Pak.” kesulitan mengatasi keadaan. Akhirnya Bung “Lalu mengapa tidak segera kau pasang?” Karno diminta segera meninggalkan lokasi “Saya tidak punya biaya lagi, Pak. Bahkan tersebut. saya terbelit banyak utang bahan Saya bersyukur, sebab saat kunjungan dengan beberapa orang. Rumah saya terakhir Bung Karno, patung sudah terpasang pun sudah disegel karena menjadi agunan di atas landasan. Menjelang finishing, kami saya untuk meminjam bahan. Maaf Pak saya menerima kabar berpulangnya Bung Karno. lancang, tapi begitulah kondisinya.” Saya melihat mobil jenazah melintas di Beliau terlihat diam sebentar, lalu bawah monumen. Saat itu saya sedang berkata, “Tidak apa-apa Dhi, sudah berada di puncak patung “Dirgantara”, seharusnya kamu bicarakan apa yang menjadi berusaha turun dengan segera dan ikut ke kendalamu. Patung itu harus dipasang untuk Blitar. Alhamdullilah, saya berkesempatan menepis anggapan bahwa landasan monumen menghadiri pemakamam beliau. Sayang, “Dirgantara” yang dikerjakan oleh Sutami beliau tidak sempat meresmikan patung adalah sebuah bentuk penyerangan terhadap “Dirgantara”. Betapapun, saya ikhlas dengan diriku. Ada juga yang menyebut monumen itu apa pun yang saya kerjakan untuk beliau. EDHI SUNARSO 17

Maka, monumen “Dirgantara” adalah monumen yang tidak pernah terbayar lunas dan tidak pernah diresmikan. Selamat jalan Presiden Pertama Republik Indonesia, Bapak Pemersatu Bangsa. Saya bangga dengan semua karya monumental yang berangkat dari inspirasi beliau demi menghargai segala bentuk perjuangan para pahlawan Indonesia. Sebagai rasa penghargaan dan hormat saya kepada beliau, saya membuat karya berjudul “Potret Wajah Terakhir Putra Fajar”, yang kemudian saya persembahkan kepada Institut Seni Indonesia dan dipasang pada bagian depan pintu gerbang kampus sebagai kenangan bahwa Bung Karno adalah tokoh yang sangat dekat dengan kesenian dan sangat menghargai seni.

Oleh Edhi Sunarso 18 MONUMEN

RIWAYAT HIDUP

EDHI SUNARSO

Lahir di Salatiga, 2 Juli 1932 Keluarga: Kustijah (istri), Rosa Arusagara, Titiana Irawani, Satya Rasa, Sari Prasetia Angkasa (anak-anak)

Pendidikan Visva Bharati Robindrannat Tagore University Santiniketan, India ASRI Yogyakarta

Riwayat Pekerjaan Staf pembina studio seni patung program Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. Tugas Studi Banding Seni Diorama Sejarah Vietnam dan Singapura. Staf pengajar dan Sekretaris Senat Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Staf pengajar dan Asisten Ketua Bidang Akademik STSRI “ASRI”/ISI Yogyakarta. Studi Banding Museum Diorama War Memorial Museum Australia. Staf pengajar pada Institut Kejuruan Ilmu Pendidikan Negeri (IKIP) Yogyakarta. Staf pengajar dan Ketua Jurusan Seni Patung pada STSRI “ASRI” Yogyakarta. Staf pengajar pada Akademi Kesenian Surakarta di Surakarta. Simposium Seni Rupa di Rumania, Polandia, RRC dan Uni Soviet Tugas studi banding Seni Diorama Sejarah di Perancis, Jerman, Nederland dan Italia. Diinternir pasukan Belanda di Kebon Baru, Bandung. Staf KMKT, Komando Militer Kecamatan Boyolali, Jawa Tengah. TNI Div I-Batalyon II Res. V Siliwangi/PSN Pasukan Sambernyawa.

Karya Monumental 2010 Potret Wajah Terakhir Putra Fajar, ISI Yogyakarta 2009 Pembangunan patung 3 tokoh pendiri Universitas Jember 1959-2000 Pelaksana Monumen Selamat Datang di Jakarta Pelaksana Monumen Pembebasan Irian Barat di Jakarta Pelaksana Monumen Dirgantara di Jakarta Pelaksana Monumen Pahlawan Nasional Kolonel Slamet Riyadi di Ambon Pelaksana Monumen Pangsar Sudirman di Museum PETA di Bogor Pelaksana Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya di Jakarta Pelaksana Monumen Yos Sudarso di Biak Irian Barat Pelaksana Monumen Pahlawan Tak Dikenal di Digul Papua Pelaksana Monumen Perang Puputan Bandung di Denpasar-Bali Pelaksana Monumen Pahlawan Ida Bagus Japa di Bali 1953 Tim pelaksana Monumen Tugu Muda di Semarang

Penanggungjawab/Koordinator Pelaksana Pembangunan Diorama 2003 Diorama Sejarah Museum Tugu Pahlawan 10 November Surabaya di Surabaya 1993-1995 Diorama Sejarah PETA, Museum PETA Bogor 1987-1988 Diorama Museum Jogja Kembali, Yogyakarta 1986-1987 Diorama Sejarah Museum Keprajuritan Nasional (TMII) di Jakarta 1985 Diorama Sejarah Museum Yogyakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia di Kompleks Benteng Vredeburg, Yogyakarta 1976 Diorama Sejarah Museum Purba Wisesa di Jakarta 1975-1990 Diorama Sejarah Museum Pancasila Sakti Lubang Buaya di Jakarta 1972 Diorama Sejarah Museum ABRI Satria Mandala Jakarta 1967-1978 Diorama Sejarah Museum Ekstrem Kanan, Jl Gatot Soebroto, Jakarta 1967 Diorama Sejarah Ekstrem Kiri di Lubang Buaya, Jakarta 1963 Diorama Sejarah Museum Nasional di Jakarta EDHI SUNARSO 19

Pameran Tunggal Pameran tunggal “The Monument”, Galeri Salihara, Jakarta Pameran tunggal “Retrospeksi EDHI SUNARSO”, Jogja Gallery, Yogyakarta Pameran Seni Patung di Calcuta, India Pameran Seni Patung di Museum Rabindranat Tagore, India

Pameran Bersama Pameran Besar Seni Visual “EXPOSIGNS”, 25 Tahun ISI Yogyakarta, Jogja Expo Center/JEC, Yogyakarta “Living Legend”, 25th Anniversary of Edwin’s Gallery, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta “Unfold”, Taman Budaya Yogyakarta “Self Portrait: Famous Living Artists of Indonesia”, Jogja Gallery, Yogyakarta “After Fourty”, Sangkring Art Space, Yogyakarta “ICON: Retrospective”, Jogja Gallery, Yogyakarta “Membaca Dunia Widayat”, Museum H. Widayat, Mungkid, Magelang “IKAISYO”, Museum Affandi, Yogyakarta Pameran Seni Rupa Era 60-an, Pelataran Rumah Djoko Pekik, Yogyakarta “Sketsa Testimoni Enam Pelukis Rakyat”, Mien Gallery, Yogyakarta Asosiasi Pematung Indonesia (API), Galeri Nasional Indonesia, Jakarta “Syawalan”, Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta “4 Pematung”, STSRI “ASRI” Yogyakarta Festival Kesenian Yogyakarta II, Gedung Deppen DIY “Seni Patung Modern se-Jakarta”, Galeri Cipta TIM, Jakarta “Seni Patung Yogyakarta”, Purna Budaya, Yogyakarta “4 Pematung”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pameran Kolektif Seni di Eropa, Italy, Perancis, The Netherland, Belgia kerjasama Kedutaan Indonesia- Belanda Pameran Seni Lukis & Patung Indonesia, Subdit Seni Rupa, Direktorat Pembinaan Kesenian Jakarta Pameran bersama Kustiyah, Yogyakarta

Penghargaan 2010 Anugerah “Empu Ageng” dari Senat Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta 2007 Mon Decor Lifetime Achievement Award, Biennale Jogja IX 2007 2003 Menerima Bintang Budaya Dharma dari Pemerintah Republik Indonesia 1997 Piagam Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta 1989 I Gusti Nyoman Lempad Prize 1984 Piagam Seni dari Pemerintah Republik Indonesia 1982 Pemenang ke II Sayembara Monumen Pahlawan Surabaya 1957 Medali emas dari Pemerintah India untuk Karya Seni Patung Terbaik 1953 Pemenang ke II Lomba Seni Patung Internasional di Inggris dengan judul karya “The Unknown Political Prisoner”

Bibliografi (terpilih) Bambang Makampo, “Biografi Pematung Edhi Sunarso dan Karya-karyanya”, Skripsi, Yogyakarta: ISI Yogyakarta, 1987. But Muchtar, Jim Supangkat, G. Sidharta Soegijo & Kasman KS, Seni Patung Indonesia, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta. Djuli Djatiprambudi, Bung Karno: Seni Rupa dan Karya Lukisannya, Surabaya: Grafika Indah, 2001. Muhidin M. Dahlan Ed., Gelaran Almanak Seni Rupa 1999-2000, Yogyakarta: Gelaran Budaya-Iboekoe, 2009, h. 337-338. Obyek-obyek Seni di Hotel Indonesia, Katalog Karya Rumah Bangsa: Istana-istana Presiden Republik Indonesia dan Koleksi Benda Seni, Jakarta: Sekretariat Presiden Republik Indonesia, 2004, h. 112. Katalog pameran “Testimoni 6 Pelukis Rakyat”, Yogyakarta: Mien Gallery, 2003. Katalog pameran tunggal EDHI SUNARSO, “Retrospektif”, Yogyakarta: Jogja Gallery, 2010. 20 MONUMEN Edhi Sunarso 21

Kunjungan Bung Karno ke Yogyakarta dengan berlatar model Monumen Selamat Datang berbahan gipsum, 1959

Sukarno dengan di dampingi Edhi Sunarso sedang mencermati model Monumen Selamat Datang di Studio Jalan Kaliurang, Yogyakarta, 1959.

Edhi Sunarso mendampingi Sukarno saat memeragakan gestur Monumen Selamat Datang di studio Jalan Kaliurang Yogyakarta, 1959. 22 MONUMEN Edhi Sunarso 23

Proses pembuatan Patung Selamat Datang, studio Keluarga Artja Yogyakarta. 24 MONUMEN

Monumen Selamat Datang berdiri di bundaran Hotel Indonesia. Kerumunan massa yang menyaksikan Momen Estetis berdirinya karya monumental anak bangsa di bundaran HI Jakarta, 1962 Edhi Sunarso 25

Foto Syaiful Boen Patung Selamat Datang 2010 26 MONUMEN Edhi Sunarso 27

Proses pemasangan Monumen Pembebasan Irian Barat, dengan alat-alat sederhana melalui pengerekan dengan takel (belum ada alat-alat berat), 1962.

Presiden Sukarno meninjau maket Model Patung Pembebasan Irian perencanaan dan teknik pemasangan Barat yang telah disetujui Bung di ruang bagian dalam teras Karno. Monumen Pembebasan Irian Barat, Pengerjaan Patung Pembebasan sesat setelah meresmikan Monumen Irian Barat, di Lapangan Banteng, Pembebasan Irian Barat, 1962. Jakarta. 28 MONUMEN Edhi Sunarso 29

Siluet Sukarno ketika meresmikan Monumen Pembebasaan Irian Barat 1962. halaman kiri: Oscar Motuloh, Patung Pembebasan Irian Barat, 2010. 30 MONUMEN Edhi Sunarso 31

Pengerjaan Model Patung Monumen Dirgantara, di Studio Keluarga Artja Jalan Kaliurang Yogyakarta, 1963 32 MONUMEN

Proses Pembangunan Patung Perunggu Dirgantara di lokasi Jalan Gatot Subroto,Pancoran, Jakarta 1966. halaman kanan: Syaiful Boen Patung Dirgantara 2010 Edhi Sunarso 33 34 MONUMEN

Proses Kerja Studio

Edhi Sunarso

Proses pengerjaan patung 'Moeryati Sudibyo',1954

Proses pengerjaan patung 'Wajah-wajah Orang Jalanan', Batu Andhesit, tinggi 60cm panjang 80cm, 1954 Edhi Sunarso 35 36 MONUMEN

Proses Kerja Studio:kerja Studio Membuat Patung Dada Edhi Sunarso 37 studi Patung di India

Edhi Sunarso 38 MONUMEN

Edhi Sunarso membuat model patung di studio Shantiniketan, India, 1956 Edhi Sunarso 39

Karya 40 MONUMEN

Sulastri, 37x30x21 cm, bronze, 1963 EDHI SUNARSO 41

Wajah Monumen Pembebasan Irian Barat, 48x28x29 cm, bronze, 1963 42 MONUMEN

Bersolek lifesize, fiberglass soon-to-be bronze, 1959 EDHI SUNARSO 43

Istirahat 115x104x176 cm, fiberglass, 1963 44 MONUMEN

Gadis Terperanjat 65x38x32 cm, bronze, 1963 EDHI SUNARSO 45

Gadis 89x26x26 cm, resin, 2003 46 MONUMEN

Torso #1 95x20x30 cm, indian rosewood, 1958 EDHI SUNARSO 47

Torso #2 82x22x17cm, indian rosewood, 1958 48 MONUMEN

Tua Muda, 117x30x24 cm, indian rosewood, 1958 EDHI SUNARSO 49

Dua Insan #1 53x19x10 cm, bronze 1979 50 MONUMEN

Torso #3 57x19x28 cm, bronze, 1959 EDHI SUNARSO 51

Berjalan dalam Kekosongan, 68x40x20 cm, bronze, 1990 52 MONUMEN

Hope, 40x80x30 cm, bronze, 1987, collected by dr. Oei Hong Djien EDHI SUNARSO 53

Gadis dan Mimpi, 106x21x23 cm, mixed media, 1959, 54 MONUMEN EDHI SUNARSO 55

Pijat di Trotoar Senen lifesize, bronze, 1982 collected by Drs John Mamesah 56 MONUMEN

Rhythm 30x27x33cm iron wood, 1957 EDHI SUNARSO 57

Pertemuan dalam Kekosongan, 97x22x17 cm, indian rosewood, 1959 58 MONUMEN

Wajah Tokoh 123x40x30 cm bronze 2000 Edhi Sunarso 59

Wajah Terbelenggu 101x28x22x30 cm indian rosewood 2003 60 MONUMEN

Tapol Tak Dikenal, 85x45 cm, relief fiberglass, 1964 Edhi Sunarso 61

Pahlawan Tak Dikenal, miniature, 81x39 cm, relief in bronze, 2000 62 MONUMEN

Pasrah 91x52x32 cm bronze, 2000 EDHI SUNARSO 63

Kemenangan 130x20x20 cm mixed media (detail) 2003 64 MONUMEN

Adu Dialog berdasarkan Pancasila dan Persatuan 170x40 cm (detail) mixed media, 1998 EDHI SUNARSO 65

Saling Lirik Saling Curiga 130x70 cm, mixed media, 2009 (detail) 66 MONUMEN

TRANSLATIONS Edhi Sunarso 67

A FOREWORD create public spaces. It is true speak directly to us. In fact, these A tiger departs, leaves his that President Sukarno was the monuments do not merely speak stripes; a sculptor hides, leaves figure ‘behind’ the creation of to us, but instead working on our a space. I have just distorted these sculptures, but those were consciousness. a proverb to illustrate Edhi Edhi Sunarso’s hands that freely Edhi Sunarso is also Sunarso’s great contribution. We, and simply cut through narrow rare, in the sense that he has in Jakarta, have witnessed his nationalism, by creating forms experienced, or has seen up statues numerous times, without of flesh and blood, creating a close, the ebb and flow in our art ever knowing their creator. The different kind of flame. Today, history until the present time. Selamat Datang at Bundaran we can say that these sculptures He is part of the first generation Hotel Indonesia, the Dirgantara at still possess within them a life of Indonesian modern art, Pancoran, the Pembebasan Irian force, even though the spaces most of its exponents has now Barat at Lapangan Banteng, for around them have transformed passed away (but if many in his example, are not just important into something homogenous and generations were all too keen in landmarks in our capital city. ‘universal’. These monuments political discourse, then Edhi is Moreover, they prescribe the are what proved that our Jakarta, the reverse). He has experienced why and wherefores of what a in the face of modern world how the campus where he taught public space should be. These capitalism, is still very much at became the epicenter of a sculptures seem to become ‘post-colonial’. struggle against artists from part of our subconscious: as Now, also, I would like to say previous generations. He himself though Jakarta would cease that Edhi Sunarso is the last of remained quiet, in the sense that to be without them. Yes, our the Mohicans, from a generation he did not become a target of Jakarta, not their Jakarta. of artists growing in the these young rebels. I believe that When developers, merchants, Revolution of Independence Era. he has remained unaffected by it and bureaucrats pushed This generation has given great all, immersed in work, work, and Jakarta deeper into ‘globalism’, contribution by introducing the work alone. He obviously explores proclaiming that the future is concept—as well as the method— other stylistic avenues—the now, these sculptures reaffirm known as “jiwa nampak” (a visible ‘abstract’, for instance—but he that yesterday is indeed today. soul): that an artist must fight has always been far removed I am not suggesting for for his selfhood, his individuality, from the hullabaloo of art all of you to return to the past. letting his soul be visible in all his critique. (Meanwhile, I believe, Whereas our public spaces, creations. On the other hand, the that more recent generation especially here in Jakarta, are artist too, as a child of his society of artists are moving towards merely leftover spaces from the and his history, must approach ‘conceptual art’, which is moving ‘internationalization’ of Jakarta’s figures that are accepted, despite far away from the concept of development, Edhi Sunarso’s their distortion. Jiwa nampak isn’t jiwa nampak). In the midst of sculptures stand to remind us just fighting for a national art, contemporary art pervading our always, that our public spaces but also a ‘technique’ to explore lives today, this ex-guerillaman used to be organic spaces, forms through, for example, the is like an anachronism: a critique underscoring our presence use of live models. Edhi Sunarso, on the dominant ‘anything goes’- as citizens. These sculptures, even amongst his peers, stands as-long-as-there’s-a-strong- created in the 60s, do not just as a rare figure. He is not involved credo mindset. demonstrate Chairil Anwar’s in standing on the stage of art This exhibition at Galeri statement, “bangsa muda debates; he does not deliver art Salihara is not quite a menjadi, baru bisa bilang aku” credos; he is not heard to have retrospective, but, for me, it is (“a young nation formed, finally commented upon other people’s still important in three aspects. able to say ‘I am’”), but they creations; he is always far from First, it is a window to again view stand as evidence that we have any camera’s view. He works Edhi Sunarso’s monumental in the past, been able to skilfully quietly, letting his sculptures works; I emphasize this because, 68 MONUMEN

lately, we have rarely given the author”, long before we have soldier, to be exact. We must not thought to the building/placing even heard of this principle. He forget that he is one of a number of a statue in relation to the has only ever let his monuments of people who used to exchange organization of a public space. speak, so we may understand ideas with the first Indonesian The display and composition how one can earnestly organize President, Ir. Soekarno. He is of photographs from a number their public spaces. an important eye witness of of photographers, are not Nirwan Dewanto Indonesian history, who is still [presented] merely as warm- Galeri Salihara alive and who is still actively hearted documentations, but creating. And with regards to also as a stirring, even agitating, About the Sculptor the sum of his life’s dynamics, it ‘archeology of knowledge’. For a long time now, Edhi is evident how he is interesting Secondly, the creations on Sunarso’s name has served as in the eyes of other disciplinary display show the evolution of realms as well: history, politics, a discourse in the development Edhi Sunaryo’s work; but it socially, culturally, architecture, of Indonesian art. His name is might also be that the use of education, and psychology. the word ‘evolution’ is not at all often linked to monumental works, such as the Selamat correct, as this creator does not About the Exhibition Datang monument at Bundaran operate on a straight line. He This solo exhibition is [more than] able to veer off Hotel Indonesia, Jakarta and presents a variety of works suddenly, ‘betraying’ his previous the Pembebasan Irian Barat and documentations of Edhi characteristics, taking on a (Liberation of West Irian) in Sunarso, as well as a book different, unpredictable styles, Lapangan Banteng. These launch. This exhibition is and then returning to the one monuments are visible to a before. Thirdly, this exhibition, joined also by a presentation great number of people every like Edhi Sunarso’s exhibition in of photographic art by day. Of course, his list of works Jogjakarta in last January, puts the “Liga Merah Putih” does not stop there. In addition the sculptor onto the spotlight. community (Oscar Motuloh, to these iconic monuments, Actually, not emphasizing his self, Yori Antar, Asfarinal St Rumah there exists various dioramas but rather, his voice, as witness Gadang, Syaiful Boen). Their to a “golden age”, when the on display in many places—one involvement is to provide leader-maecenas and the artist significant example is the situational accounts and were involved in a reciprocal set of dioramas on display at to contextualize the Edhi relationship in order to build an the National Monument—a Sunarso’s monumental art form that is public by nature. great number of reliefs, and We at Galeri Salihara are sculptures found throughout individual sculptures. In short, greatly honored for being able to Jakarta. he is a sculptor rich in ideas, present this exhibition. (We must This exhibition presents experience, and in possession also say that Galeri Salihara is Edhi Sunarso’s realist works. of an interesting career history. always interested in presenting It is arranged as such not This sculptor’s presence ‘the other side’, the unexpected just to put this exhibition in a does not merely circulate in the side of artists who have reached different color from his other that special place in the treasury discussions within the realm of solo exhibition, presented at of our art history). We are all art. Edhi Sunarso has received the Jogja Gallery, Yogyakarta, extremely elated because Edhi many awards and recognitions in Sunarso is here in the midst with honor of his thoughts and earnest last January 2010; but also to us; indeed, not just ‘being here’, endeavor in service to his country. articulate how rare it is now to because he won’t abide being Edhi Sunarso is a unique artist. find skills in realism the likes in the middle for long. He has In addition of being an artist, he of Edhi Sunarso’s. Realistic put into practice “the death of is also a fighter, a revolutionary stylings as articulated by Edhi Edhi Sunarso 69

Sunarso are often evident at that time, in 1962, Jakarta ceremony of Tugu Muda in many of his works, like in as the country’s capital, played monument in Semarang— th his public monuments and in host to the 4 Asian Games at executed by Sanggar Pelukis some of his personal works. the Istora Senayan; it was the Rakyat, under the leadership largest, grandest, and most of foremost painter Hendra This shows the fine qualities controversial games of its time. Gunawan, Bung Karno was of Edhi Sunarso’s works, and This was part of a loud introduced to and then called how they present a strong project, one done with a certain upon Edhi Sunarso—who contribution both to national élan. Post-colonial Jakarta had just won an international history and the history of art was being groomed up. The sculpture art competition in 1 and architecture in Indonesia. first Indonesian President, Ir. England —to build the Selamat Secondly, this exhibition is Sukarno, initiated a mega- Datang monument. Like other done through a documentary project to turn a colonial- lighthouse projects, Bung Karno approach. Thus, the materials colored city into a city with a wanted something gigantic, preented in this exhibition are nationalist façade, according to something that would endure interpretations of romanticism. for all time. It was similar not just art works, but also The old had been collectively and reminiscent to one of his photographs of Edhi Sunarso pulled down in a revolution—a orations: “[Also] I want the stars, [work processes, life history bloody one, and the new one high up in the sky, in a thousand and his now-untraceable will be built upon the spirit of years, two thousand years, five works]. Through this nationalism—something stirring. thousand years, ten thousand documentation materials we For Bung Karno, the character years, witness that the nation 2 can trace the entirety of Edhi and identity of a city needed of Indonesia is a great nation.” Sunarso’s life’s journey. to be built, to differentiate, Soekarno decreed that the to draw a distinct separating statue should stand at 9 meters line between the then and tall, cast out of bronze. MONUMENT the now. Not just functional Ironically, Edhi Sunarso who CURATORIAL NOTES objects useful to the masses was appointed [to work on this ON EDHI SUNARSO’S needed to be built, but also project] had never built a statue SOLO EXHIBITION three-dimensional objects that large, had never cast a I to emphasize heroism and single bronze statue, something Indonesian Modern Sculpture greatness. that would need a high level Art began around half a century Quite apart from the of skill. At first, the sculptor ago. And the statue of Selamat “Liberty” statue in New York, wasn’t sure of accepting this Datang was done in that era, now by the French sculptor Frederic great honor, offered by a leader seen in Bundaran Hotel Indonesia, Auguste Bartholdi (1934-1904), he admired. However, the Thamrin, Jakarta. Roughly given as a gift from the people orator-president continuously veined, through still expressive, of France on the occasion of convinced and rallied up 3 it illustrated a young man and American independence, Bung [Edhi’s] courage. Edhi Sunarso woman with their hands lifted Karno built something with finally braved himself to start up high, their fingers opened resources found within his own something which one day would out wide, seemingly enthusiastic country; placing him as chief point the way for the rest of his to welcome something—or director of those mega-projects. life as a sculptor. someone—in front of them. One It seemed, Berdikari-Berdiri di In a studio with earthen of the young woman’s hands is atas kaki sendiri (standing on floor in Yogyakarta, Edhi clasped around a bouquet of one’s own feet), was a belief Sunarso and his team created a flower. A gesture such as that, strongly held by this leader- model using blocks of gypsum, other than as a technical reason to cum-architect. carved as one would carve out a provide a sense of balance. It was Sometime around 1953, stone. He chiseled out a model, designed to welcome guests—for during the inauguration then making a mould for metal 70 MONUMEN

to be poured in. This unusual way of this statue. He evaluated at forms and evidence of high wasn’t just time consuming, it it repeatedly. His conclusion technique practised upon the also needed precision and care, was convincing: the statue was statue; however, the statue itself due to its high risk of failure. indeed too tall and too large. lost spontaneity, genuineness, Like stones and rocks, gypsums His evaluation was supported by and warmth, something that we 4 couldn’t be repaired once its Ir. Sutami , an architect within can find in the simplicity of the surface fell apart under a chisel. Bung Karno’s ‘inner cirle’. Selamat Datang. Generally, sculptors made They debated long and hard on This well-known Russian models from wax—nowadays, the ideal proportion between sculptress, studying at Academie computer-generated models the statue and its surrounding de la Grande Chaumiere, Paris, are also widely used—to obtain objects. In short, Bung Karno under the guidance of Emile- a perfect model, and to easily relented, agreed for the model Antoine Bourdelle, student and correct each step of the work. of Selamat Datang to be remade protégé of Auguste Rodin’s grand Then again, the times couldn’t as a 6-meter statue, to balance idée. Auguste Rodin was one always provide everything it with Hotel Indonesia, another of France’s foremost modern perfectly aimed for at a certain lighthouse project of the man sculptors. [Ms. Mukhina], a point in time. known as the extension of the member of the Academy of Another problem was the people’s aspirations. Less than a Arts of the USSR, who had also distance between the studio year of hard work day and night, studied in Italy, was someone where the piece was being the Selamat Datang statue was experienced in working with worked on, and the place where finally erected to mark the center metal materials. Before being the finished statue would finally of Jakarta, the capital city. erected in Moscow, using the stand. To imagine space and This story is certainly most advanced technology of landscape from a large distance different from the story behing its time, her statue had already might cause differences in what The Industrial Worker and gained popularity, and was was perceived and what actually Collective Farm Girl (1937), one of the best objects, at the was. In addition, the statue was in Moscow, Russia, a stone World Fair—an exhibition of made for a public space—often monument created by Vera the greatest three-dimensional very large, not an free-standing Ignatyevna Mukhina (1889-1953); works held by the banks of Seine object like personal statues in another statue with a pair of River, France. Quite apart from gallery rooms or a museum. A young man and woman holding Edhi Sunarso, found almost by statue in a public space must their hands up high. The young chance by Bung Karno, Vera have tolerance, relation, and man holds a hammer, and the Mukhina was a machine well- a certain harmony with other young woman holds a sickle, prepared to be part of Stalin’s opbjects around it. It could both explicitly emphasizing the grand design, as a propaganda of not stand and scream alone. country’s ideology. This statue useful and understandable art. Furthermore, Bung Karno’s seems very academic, ideal, Though not as thorough desire to have a 9-meter tall measured, close to the style as the one found in Russia, the statue had not been researched of statues from European’s socialist-realist spirit seemed to thoroughly from all these Enlightenment period; a realistic gain momentum also, during the aspects. It was an idea that was image that surpassed genuine first days following Indonesia’s immediately visualized by Edhi realism. There, we do not meet independence. The ideology of Sunarso. the genuine image of man, the struggle by people who were And so it happened, when rather, cold figures without hurt and degraded positioned finally a 9-meter tall model emotion, exuding an image of a itself as the opposition of the stood in Studio Keluarga Arca, strong man—and perhaps, great. liberalism-colonialism duology/ Karangwuni Yogyakarta, Edhi The mission thrusted upon the binary, [the same ideology] Sunarso examined it repeatedly statue surpassed the statue’s that reverberated throughout from a distance, and doubts presence itself. Everyone can nations newly-independent at began to creep in as to the size find themselves awed, looking the beginning of the 20th century. Edhi Sunarso 71

As before, we possessed an for a statue in a public space, they tend towards the realistic; experience for new projects, seemingly ignored nowadays. this is in spite of a tendency for though they had never turned In 1966, as the economic abstraction, symbolization, and into projects that were precisely crisis worsened, followed by a distortion, especially in his not- completed. The realist-socialist crisis in the social and political too-numerous private works. project, or projects like it, in front, Bung Karno’s power was Thought his works seem hindsight, wasn’t anything more curtailed by a new political ever-changing in terms of shape than a half-hearted fragment. force—none other than those and style, he is actually very Bung Karno seemed to be moving who were close to him—and consistent to a certain theme alone with his eclectic spirit, slowly but surely, all the projects and shade of a story that is easily without [any] heartfelt support designed to proclaim Indonesia understandable by many people. from the people of that era or to the whole world, faded into Thus, for this recipient of Tanda the era following it. He had the background also. The Kehormatan Bintang Budaya built great landmarks in public new era had a new character, Parama Dharma RI [highest honor spaces, to rouse the people’s arriving with a cold, calculating awarded to an individual for spirits as they entered a new capitalist power, washing away excellence at work in the realm post-colonial Indonesia. The all remnants of Bung Karno’s of art and culture, received on 12 capital’s façade was surrounded warm and spirited ideology. August 2003], realistic shapes are by iconic buildings—like Hotel Jakarta, the city with landmarks the very basic form essential to Indonesia, Istora Senayan, it could be proud of, was soon a sculptor. That is why, to train Semanggi Bridge, Istiqlal overwhelmed by markers of the his sensitivity towards things Mosque, the Parliament Building, new capitalist power. Economic presented to him, Edhi Sunarso green spaces, public statues and growth became its primary goal, made sculptures and statues sculptures—reminiscent of great rapid development was possible based on live models. This European cities, could not be thanks to loans from developed tradition helped color the early appreciated fully, even derided, countries; buildings grew taller, formation of ASRI, Yogyakarta. by the political powers who came hyper-realistic billboards became The development of Edhi after him. a visual feast bordering on Sunarso’s study into sculpture art The Selamat Datang wasn’t gluttony; they crowded the city. moved in several progressions. the only one. The following On the one hand, he placed his years, in the midst of horrendous II attention on portrait sculptures economic crisis, when it was even Edhi Sunarso developed the which placed focus upon said that Bung Karno himself tendency to realistic sculptures the power of expression and helped pay for these lighthouse when he was together with character. Look at, for example, projects—saw Edhi Sunarso the painter Hendra Gunawan, his study works he created when built the Pembebasan Irian Barat Trubus, Affandi, and his friends he was in India, and a number of monument, then the Dirgantara at the Sanggar Pelukis Rakyat, portrait sculptures in Yogakarta. monument, the dioramas found and at the Akademi Seni Rupa We can immediately discern the in Monas [Monumen Nasional, Indonesia, Yogyakarta [ASRI, diference of characters in both the National Monument], all of Indoensian Academy of Art], of them. The appearances of the which were placed in strategic then further developing his skills sculptures do not merely record positions around Jakarta, built at Visva-Bharati Rabindranath the similarities to the models after sufficient consideration and tagore University, Santiniketan, used as basis of his works, discussion. The Selamat Datang India. And, this is also the style but they offer veins that build remains the only example of a he taught his students at ASRI, emotion and warmth. Chiseled public sculpture with the correct now FSRD-ISI, Yogyakarta. andesit blocks are medias often positioning—where people can The same goes to almost all of used in creating his works, in access and see the object from Edhi Sunarso’s sculptures and addition to modeling techniques any angle. This is a condition statues in various public spcaes, upon clay, moulded for pouring 72 MONUMEN

with bronze or other materials. reality that is almost the same have given added value to this On the other hand, he as the presence of reality in our city’s presence in the days gone has also created sculptures lives. Its ability to freeze events by; [played a role] in the uneven of figures: copying the stature and to allow it to thaw again into power struggle staged in public of certain figures, or even a vast array of medias, allow spaces of today, [the same anonymous figures. These works visual culture to play with and struggles] that chipped away at a are fashioned out of clay or enrich our understanding about city’s orientation, burdening the wax models, and then cast with reality. city’s façade itself. fiberglass, bronze and other This exhibition puts Asikin Hasan / Curator materials. In these type of works, three-dimensional objects Edhi Sunarso not only placed side-by-side with photography Notes: an emphasis opon expressions and video[graphy], an attempt (Endnotes) and streaks of moodsm but to build a new understanding 1 In 1953, Edhi Sunarso also showed his skill in playing about the past and the now. participated in an international scuplture competition—hosted by the Institute of with gesture, or standing Chosen photographs have been Contemporary Art, London. His work positions, as evident in Selamat categorized into several themes, The Unknown Political Prisoner received Datang, Pembebasan Irian Barat, amongst others: Edhi Sunarso’s second place [in a sculpture competition in England]. The winners of that Dirgantara, the various dioramas activities at ASRI, in his work competition: R. Butler (UK, 1st place); found in Monas, and many other studio, in India when he was Edhi Suanrso (Indonesia, 2nd place), Egon rd examples. at Shantiniketan. There are Milinkovich (Italy-Hungary, 3 place); Louise Leygue (France, 4th place); and Not all of his works also photographs documenting Margel Hinder (Australia, 5th place). are present in this current him working on those public 2 Mandate by PJM President Soekarno on the Induction/Swearing In exhibition, due to size and other statues, Bung Karno’s visit to of Maj.Gen. KKO Ali Sadikin as Governor/ considerations, for example: his his workshop, and photos of Head of Special Capital City Region of works owned by collectors many the president as himself as a Jakarta Raya, at the Presidential Palace, 28 April 1966). parts of the world, places where model for Selamat Datang. There 3 My interview with Edhi Sunarso, Edhi Sunarso had his exhibitions are also models of the statues 6 January 2010, in Yogyakarta. At first, before. Other works of his fall ready to be placed at Monas, he announced that he couldn’t possibly work on the Selamat Datang monument, into the category of monumental but for some reason had been as he didn’t have any experience in works, those measured in the left unexecuted. There are also creating 9-meter tall statues, and having scale of a city, which can only be photographs of the ambience and no experience in casting bronze statues. However, Bung Karno repeatedly presented within a photograph. panorama of the locations where assured him that he would be able to Thus, photographic materials the statues were once placed. do it. are made available to complete The paradox of modern-day 4 My interview with Edhi Sunarso, 6 January 2010, in Yogyakarta. After the illustration of Edhi Sunarso’s Jakarta, chronicled through he completed a model of the Selamat body of work for this exhibition. the lenses of the Liga Merah Datang, standing at 9 meters tall, made Putih group (Oscar Motuloh, in gypsum, Edhi Suanrso remarked that it was too tall when put next to Hotel III Yori Antar, Syaiful Boen, Indonesia. Bung Karno was surprised Visual culture is pervasive Asfarinal St. Rumah Gadang). to hear Edhi’s assessment, since the assessment was given after the model in almost all aspects of our life, They provide photographic was finished. They then entered into a slipping through both personal interpretations on the actuality of discussion, which involved Ir. Sutami, and public spaces. Since the 20th those monumental statues in a who apparently agreed with Edhi Sunarso’s assessment. Thus, the model century, looking at pictures or current-day setting, in the midst was redone into a smaller 6-meter watching moving pictures are not of concrete meanderings, the statue, to better balance the height of only something of a new culture, numerous stems of streetlights, Hotel Indonesia. it is quickly rising above reading/ in the middle of company writing culture. The development logos, skyscrapers, and other of imaging techniques, part of accoutrements. this visual culture, serves up These great landmarks Edhi Sunarso 73

Biography

EDHI SUNARSO Born in Salatiga, , 2 July 1932 Family members: Kustijah (wife), Rosa Arusagara, Titiana Irawani, Satya Rasa, Sari Prasetia Angkasa (children)

Education Visva Bharanti Robindrannat Tagore University Santiniketan, India ASRI (Indonesian Academy of Art) Yogyakarta

Work history Tutor/Instructor Staff, Sculpture Studio, Post-graduate program, ISI [Indonesian Art Institute] Yogyakarta. Exchange assignment in Vietnam & Singapore, on Historical Diorama Teaching staff and Senate Secretary ISI Yogyakarta Teaching staff and Assistant Head of Academics STSRI ‘ASRI’/ ISI Yogyakarta Exchange program, Museum Diorama at War Memorial Museum, Australia Teaching staff at IKIP (Institute of Teacher Training and Education), Yogyakarta Teaching staff and Head of Sculpture Art Department, STSRI ‘ASRI’, Yogyakarta Teaching staff at Akademi Kesenian Surakarta (Surakarta Art Academy), Surakarta Art Symposium in Romania, Poland, The People’s Republic of China (PRC), Union of Soviet Socialist Republics (USSR) Exchange program assignment to Historical Diorama Art in France, Germany, The Netherlands, and Italy Internized by Dutch troops at Kebon Baru, Bandung Staff at KMKT, Military Command, Boyolali Subdistrict, Central Java TNI (Indonesian National Military) Div I-Batalyon II, Regiment V Siliwangi / PSN Pasukan Sambernyawa

Monumental Works 2010 Last Head Portrait of the Son of Dawn, ISI Yogyakarta 2009 Construction of sculptures commemorating the 3 founders of Jember University 1959-2000 Executor of Selamat Datang (Welcome) monumument, Jakarta Executor of Pembebasan Irian Barat (Liberation of West Irian) monument, Jakarta Executor of Dirgantara (Aerospace) monument, Jakarta Executor Pahlawan Nasional Kol. Slamet Riyadi monument, Ambon Executor Pangsar Sudirman monument, PETA Museum, Bogor Executor Pancasila Sakti (Sacred/Victorious Pancasila) monument, Lubang Buaya, Jakarta Executor Yos Sudarso monument, Biak, Irian Barat Executor Pahlawan tak Dikenal (The Unknown Hero) monument, Digul, Papua Executor Perang Puputan Bandung (Puputan Bandung Battle) monument Denpasar, Bali Executor Pahlawan Ida Bagus Japa, Bali 1953 Executing Team, Tugu Muda monument, Semarang

Coordinator for Diorama Projects 2003 Historical Diorama for ‘Tugu Pahlawan 10 November’ Museum in Surabaya 1993-1995 Diorama for the History of PETA, PETA Museum, Bogor 1987-1988 Diorama at ‘Jogja Kembali’ Museum, Yogyakarta 1986-1987 Historical Diorama for ‘Keprajuritan Nasional’ Museum (Museum of National Soldiering at TMII, Jakarta 1985 Historical Diorama at ‘Yogyakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia’ (Museum of Yogyakarta as Capital City of the Republic of Indonesia), located at the Vredeburg Fort complex, Yogyakarta 1976 Historical Diorama, Purba Wisesa Museum, Jakarta 1975-1990 Historical Diorama, Pancasila Sakti Museum, Lubang Buaya, Jakarta 1972 Historical Diorama, ABRI Satria Mandala Museum, Jakarta 1967-1978 Historical Diorama, Extreme Right Museum, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 1967 Historical Diorama, Extreme Left Museum, Lubang Buaya, Jakarta 1963 Historical Diorama, National Museum, Jakarta

Exhibition Solo exhibition Solo exhibition, The Monument, Galeri Salihara, Jakarta Solo exhibition, EDHI SUNARSO. A Restrospection, Jogja Gallery, Yogyakarta Exhibtion of Sculpture Art in Calcutta, India Exhibition of Sculpture Art at Rabindranath Tagore Museum, India

Group Exhibition Great Exhibition of Visual Art EXPOSIGNS, celebrating the 25th anniversary of ISI Yogyakarta, Jogja Expo Center (JEC), Yogyakarta Living Legend, 25th anniversary of Edwin’s Gallery, at the National Gallery, Indonesia Unfold, at Taman Budaya (Culture Garden), Yogyakarta Self Portrait: Famous Living Artists of Indonesia, at Jogja Gallery, Yogyakarta After Forty, Sangkring Art Space, Yogyakarta ICON: Retrospective, Jogja Gallery, Yogyakarta Reading Widayat’s World, H Widayat Museum, Mungkid, Malang IKAISYO, Affandi Museum, Yogyakarta Exhibition of Art in the ‘60s, on the Grounds of Djoko Pekik Residence, Yogyakarta Testimonial Sketches of Six People’s Painters, Mien Gallery, Yogyakarta Exhibition with the Association of Indonesian Sculptors, National Gallery of Indonesia, Jakarta Syawalan, Vredeburg Fort Museum, Yogyakarta 74 MONUMEN

4 Sculptors, STSRI “ASRI” Yogyakarta 2nd Yogyakarta Art Festival, Deppen Building, the Special Region of Yogyakarta Modern Sculpture Art of Jakarta, Galeri Cipta, TIM, Jakarta Sculpture Art of Yogyakarta, Purna Budaya, Yogyakarta 4 Sculptors, National Gallery of Indonesia, Jakarta Collective Art Exhibition in Europe, Italy, France, The Netherlands, Belgium, cooperation between the Embassies of Indonesia and the Netherlands Indonesian Painting and Sculpture Exhibition, by Art Sub-Directorate, the Jakarta Art Development Directorate Exhibition with Kustiyah, Yogyakarta

Awards and Honors 2010 Empu Ageng Award, from the Senate of Institut Seni Indonesia [ISI, Indonesian Art Institute], Yogyakarta 2007 Mon Décor Lifetime Achievement Award, 9th Jogja Biennale, 2007 2003 Bintang Budaya Dharma Medal from the Government of the Republic of Indonesia 1997 The Art Charter from the Government of the Special Region of Yogyakarta 1989 I Gusti Nyoman Lempad Prize 1984 The Art Charter from the Government of the Republic of Indonesia 1982 2nd place winner, Surabaya Hero Monument Competition 1957 Gold medal from the Government of India for Best Sculpture 1953 2nd place winner, International Sculpture Competition, England with his work “The Unknown Political Prisoner”

Bibliography [selected] Bambang Makampo, ‘Biography of Edhi Sunarso The Sculptor and His Works’, Final Paper, Yogyakarta: ISI Yogyakarta, 1987. But Muchtar, Jim Supangkat, G. Sidharta Soegijo & Kasman KS, The Art of Sculpture in Indonesia, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta. Djuli Djatiprambudi, Bung Karno: Fine Art and His Paintings, Surabaya: Grafika Indah, 2001. Muhidin M. Dahlan Ed., Caleidoscope Almanac of Fine Art 1999-2000, Yogyakarta: Gelaran Budaya-Iboekoe, 2009, h. 337-338. Art Objects in The Hotel Indonesia, Catalog of Artworks House of Nation: Palaces of the President of the Republic of Indonesia and Its Art Collections, Jakarta: The President of the Republic of Indonesia Secretariat, 2004, h. 112. Exhibition Catalog ‘Testimonials of 6 People Panters’, Yogyakarta: Mien Gallery, 2003. Solo Exhibition Catalog of EDHI SUNARSO, ‘Retrospective’, Yogyakarta: Jogja Gallery, 2010.

FOR FUTURE GENERATIONS campus, where I first learned with fighters of the republic. to be and worked as a sculptor. My job then was as to courier I am thankful to God that That particular sculpture is also letters and bullets, as a spy for this exhibition, with the help of the manifestation of my deepest the Indonesian Republic’s forces many people, has finally opened gratitude to a figure who had, in West Java. Until I became a at Komunitas Salihara, Jakarta. directly or otherwise, instilled commander of sabotage troops Previously, in January 2010, close upon me an undying spirit to in five pockets of resistance: to the time when I was honored persevere in my profession. That in Pamanukan, Pegaden Baru, by the Empu Ageng Award from figure is none other than Bung Subang, Kalijati, Segalaherang ISI Yogyakarta, an exhibition of Karno Putra Fajar (Bung Karno and Purwakarta. In June 1946, I my retrospective works had also Son of Dawn). was caught by the Dutch and was been exhibited at Galeri Yogya. The exhibition, titled moved from one holding place to To be frank, this is an old dream Monument, is a pilgrimage of my another, until finally imprisoned of mine, where I can exhibit my journey as a sculptor, from 1950 at Internir LOG Kebon Baru works and enter into a dialog with until now. Bandung for three-and-a-half many people in many cities. Looking back to my past, it years. My exhibition is supported is certain that where I am now During my time in prison, by John Mamesa who, prior to is by the grace of God, knowing I learned the English language, this has also participated in that during my younger years, the Bahasa Indonesia, learn how to the realization of the sculpture works that I have created were make handicrafts and to paint. Potret Wajah Terakhir Putra not things that I had imagined— My tutors were none other than Fajar (“The Last Head Portrait much less aimed for. When I was the older inmates. In July 1949, of the Son of Dawn”), now on quite young, in the fifth year of I was freed at the age of almost display in front of ISI (previously primary school, I dropped out 17. On that day, I decided to make ASRI, Indonesian Art Institute) of school, involved in a guerilla my way to Yogyakarta, on foot, to Edhi Sunarso 75

catch up with the main troops. Semarang, to be made out of cast stone—the first relief to However, by the time I reached of stone. In 1953, during its be made using cast stone. Yogyakarta, I found out that the inauguration ceremony, Bung In 1958, I received a main troops I tried to find had Karno approached me, shook my summons from Bung Karno already gone on a long march to hands, saying “Congratulations, to work on the Selamat Datang West Java. In the end, I reported success!” I was confused at his statue. Then, as he sat down for duty to a KUDP office, to get conglatulatory greetings. Then, in front of me, he asked me to myself listed as a soldier of the a few days afterwards, I received work on this nine-meter tall Republic of Indonesia and to news that I came in second in an bronze statue. I was surprised receive my monthly allowance international sculpture contest, to hear it. At that time, there like all the other fighters. Every held in London, for my work “the was nothing else in my mind but day, I sat in the KUDP office, Unknown Political Prisoner”. to reject this work awkwardly. I hoping to receive news that I may It appeared that I was the last said, “Sir, I’ve never even made join the republic’s troops again. person to know about this. I felt a nine-centimeter bronze statue, Sometimes, during my daily that Bung Karno’s expressing his let alone one of nine-meters. trip to the Yogyakarta KUDP congratulations at the Tugu Muda How can I complete this work?” office, I passed by some ASRI ceremony was something relating However, he firmly replied, students practicing to paint. to this news. That was the first “Hey, Ed! Do you have a sense Once, I became interested time I met with Bung Karno, and of national and civic pride?” I enough to follow them as they it was a long time before I met or replied, “Of course, Sir.” “I know painted. I painted, too. I came to connected with him again. that, and I’ve also heard the story enjoy painting behind the group In 1955, after finishing at about your being an ex-soldier. of ASRI students, and at that time ASRI, I received the opportunity Think for a minute, do I need to Mr. Hendra Gunawan approached to earn art in India, paid by order a foreign artist to make a me, asked me where I came UNESCO. In India, I studied monument for our own country?” from. A few days following the for two and a half years, in the “I don’t want you to just try; you long talk that day, with the help course of which I received an must be able to do it. Now, you of Hendra Gunawan, Affandi, and award from Calcutta University as may return to Yogyakarta, and Katamsi, I was accepted as a well as receiving the Best Exhibit speak with your friends. I’ll give auditor student at ASRI. Prize at the All India Fine Art you a week to return here and Since then, the world and Exhibition, receiving a gold state that you are able to do so.” seemed a brighter place for me. medal. I then returned to Yogyakarta Without heeding day or night, Upon completing my studies panicked and anxious, just in I worked hard. My status as in India, I returned to Yogyakarta. case that I really couldn’t carry an auditor student—a student At that time ASRI had changed out what Bung Karno required. with limited rights—did not its name into STSRI [Sekolah Once I arrived back in Yogyakarta, diminish my enthusiasm. Not Tinggi Seni Rupa Indonesia, the first person I went to meet long afterwards, I joined with the Indonesian Art School of was Gardono, an old friend. the Kelompok Pelukis Rakyat Higher Education]. I was asked to Gardono was the kind of person (People’s Painters Group), tutor there, in sculpting. Before who liked to experiment, so I had which at that time only had becoming part of the teaching hoped that he had the solution seven members: Mr. Hendra staff there, I received a task to to my quandary. We then went to Gunawan, Affandi, Trubus, C.Y.Ali, work on a relief on the struggles see Pak Mangun and Pak Darmo, Sucahyoso, Abas Alibasyah, [of war] for the Museum two retirees from Pengok garage, Rustamadji, and myself as the Perjuangan Yogyakarta at a train garage in Yogyakarta. It youngest member at that time. Brontokusuman, helped by many turned out that not one of us In 1952 the People’s Painters friends, amongst them: Abdul four had ever cast bronze. Pak group received a task to erect Salam, Abdul Kadir, Subandrio, Mangun and Pak Darmo had only the Tugu Muda monument in Sidharta; the relief was made out ever cast iron, for it was their job. 76 MONUMEN

Gardono and I pushed, saying by Bung Karno based upon sample diorama was rejected that we had a book on casting direct instruction, without any by Bung Karno and historians bronze, and that we could all agreement letter of any kind. present at that time due to many learn from there. Finally, the two All of the workers received reasons, including that the of them agreed. honorariums without going sample presented did not show Afterwards, we contacted a through any bargaining process an episode or movement of the few materials shops and a few as usually found nowadays. struggle [for independence]. Two other people who were willing Everything resulting from work weeks later, I was summoned to loan some equipments. By was reported and then we put once more by Bung Karno, the time, the deadline requested forward a request for funds to after he had a meeting with by Bung Karno arrived, and work on the statue, directly and the historians at the National after everything was in place, easily. Upon completing and Secretariat Building and had I returned to Jakarta to meet erecting the Selamat Datang decided to make me the person with Bung Karno, and declared statue, we were not immediately in charge of diorama. I was given that I could accomplish the allowed to go home, instead, four volumes of history, compiled construction of the Selamat were given the task to plan the by 23 senior historians forming a Datang statue. construction of monuments to panel of historians. Work commenced soon be placed on the four points When I heard the decision after, we worked on a model of leading off Monas; [representing] of the meeting between the the statue using 15-ton gypsum, Majapahit’s golden age, panel of historians and Bung standing at nine meters tall. Dutch colonialism, Japanese Karno—that I was appointed as Once we finished making the occupation, and the Era of the person-in-charge of dioramas—I model, an observation team from Revolution of Independence and was shocked, and felt that it the monument construction Growth. However, at the time the would be impossible to do. This committee, ambassadors, and plans were completed, in 1960, time, not only that I’ve never Bung Karno himself came to work was postponed for technical made one, but that I’ve never visit our workshop. During this reasons. actually seen to know what a opportunity, I steeled myself Then, I was ordered by diorama should look like. When to give my own observation Bung Karno to construct I said that I wouldn’t be able to, regarding this statue. I opined the Pembebasan Irian Barat Bugn Karno, for the second time, that the statue was too big for an (Liberation of West Irian) insisted by saying, “Won’t you be area the size of Bundaran Hotel monument. While my friends ashamed, if I should ask Madame Indonesia. I presented my opinion and I worked on the construction Tussaud to make a diorama for in an informal way to him, and of this statue in Yogyakarta, our own history?” I was stunned he replied. “You’re strange, Dhi. Bung Karno sent a delegation for a short while before finally The statue is already done as of 18 artists from Indonesia, answering, “But do you think nine meters tall, and you want to headed by Saptoto and Haryadi they can, Sir?” Then, at once, he make it smaller?” Then he turned to learn how to make dioramas and the historians laughed. Then to ask the opinion of Ir. Sutami, in Japan, the Netherlands and Bung Karno said, “There you who was in his entourage. Sutami a few other countries with a go, you supported my opinion. Finally, diorama museum. Exactly three understand, don’t you, Dhi. How with Bung Karno’s agreement, I days following the inauguration could they make the history of then remade a model statue of ceremony of the Pembebasan our nation? The bottom line six meters tall, setting it in front Irian Barat monument, the is, whatever may be, I believe of the nine-meter statue done eighteen artists sent by Bung you will be able to create this earlier, then commencing bronze Karno returned to Indonesia, diorama, I have trust in your casting, until finally the statue then created a diorama to be abilities. Besides, those dioramas was ready to be displayed. presented to Bung Karno at won’t be for me, nor for the I did all the task given Gedung Pemuda. However, the historians here, they’re for future Edhi Sunarso 77

generations.” I took a short while historical dioramas, as most in the yesteryear. At that time, to think this through, and then of them are now in a state of going into Digul is not an easy said, “Let’s put it this way, Sir, disrepair due to age. I hope thing. We were beseiged by bad is it all right for me to make a that there are those within weather and the unpredictable sample of a certain act in history the ranks of my fellow artists natural conditions. Often, we in tiny painted statues?” Then, he who would want or be ready found ourselves traveling on firmly replied, “Up to you.” to join a conservation team, foot to reach a certain place Creating dioramas and to do the work earnestly. believed to be where history turned out to be a difficult and Such a waste, I think, that the had happened. There was also complicated work. There were historians have poured years an occasion where we had to so many steps to work through, of historical research into postpone our journey, for three involving many artists, not only compiling the books to realize days we were detained in a sculptors but other artists as this diorama project. Here is the remote location near Digul due well. Other than the need for list of the historians involved in to bad weather and aheavily me to be faithful to history, said historical research under damaged road. Once we arrived visualizing it into a realistic form, Bung Karno: Drs. Amir Sutarga, in Digul, there weren’t very many I needed to do direct research to Murwati Junet Pusponegoro, eye witnesses still alive. The retain an image of the situation Drs. M.D Mansur, Drs. M. Idwar exact location of the site was and form of the actual location. Saleh, I Gusti Ketut Pudja, SH, also no longer evident. To be honest, as an artist, I often Abu Bakar Aceh, Sagiman M.D, In the end, we had to seek felt too taxed in doing these Prof. Dr. Priyono, E. Katopo, local people to be our source dioramas, not only because of Drs. Uka Candra Sasmita, Drs. of information, to describe to the long work hours, but also Nugroho Noto Susanto, Drs. us the shape of this house of because the need for freedom Buchkori, Drs. R. Sukmono, Prof. exile. We had to make sketches of expression inherent in an Dr. Sutjipto Wiryo Suprapto, Drs. after sketches according to their artist became curtailed also. Djuhari, Drs. Suharjo, Drs. H. descriptions, over and over, until These feelings agitated me for Heri Mukti, Drs. Abdul Rachman, we found a form similar enough some time. However, my own Sutrisno Kuntoyo, Drs. Suroto, and a description of the situation enthusiasm was continually Subandri, Dra. B. Simorangkir, which was similar enough and rekindled by the understanding Sudjatmiko, Dra. Sumartini, S. could be agreed upon by them. that these dioramas were made Fatah, Drs. A. Saleh, Mr. Sartono, Then, we returned to Jakarta for the benefit of our future Mr. Noto Susanto, Prof. Dr. Yakob, to create a certain visualization generations, for them to gain Drs. Putu. in the form of a diorama. That knowledge of their history. Bung They had performed a was just one of the various Karno once told me that he great deed in creating historical difficulties, the challenges that appointed me not [only] because descriptions in the form of a set faced us in carrying out this task. he felt that I could do the job, of books, worked upon in a span So, I don’t think it’s too excessive but [more] because to do the of two years, and without those for me to advise related parties, work required a high sense of names mentioned above, the in this case the government and dedication to the service of the diorama project wouldn’t have fellow artists, to take part in the nation, and Bung Karno said gone as smoothly. work to restore and maintain the that I could do it because of this I now want to illustrate, dioramas of Indonesian history. sense. This was what allowed me briefly, how unsimple the work In addition to the busily to lift myself out of my agitation, that has gone into historical working on works dedicated to continue to do the work. research for the sake of creating to the country, I could still find One thing regarding these dioramas. One example: time to create personal works. dioramas, I’ve always harbored when attempting to create an For example, when I returned hope that the government would illustration of Digul—a place from India in 1958, I created a pay attention and repair the of exile for political prisoners few works from indian rosewood, 78 MONUMEN

and had an exhibition with my However, since at the same time to one of the guards standing wife (1959), exhibiting my wife’s I still had the diorama to work near us, was in Bogor. We waited paintings and my statues. on, I handed over the diorama for Bung Karno’s arrival until At the time of the Selamat project to my fellows in the around 12 o’clock, midday. Then Datang monument ceremony, diorama team. All because Bung we received news that there I was apointed to help with the Karno insisted I work on the was an incident afoot—what Monumen Nasional (Monas, Dirgantara as soon as possible. will be known as Gerakan 30 National Monument) construction I remembered he said that September—and that there would project, under Ir. Soedarsono and America could take pride in their be no way to be certain when the Ir. Silaban, especially in the field aeronautical achievements, but President will arrive. So both of of creating statues. First, to work the Indonesians had the patriotic us, myself and Prof. Dr. Leimina, on the flames to be placed at the bravery. Indonesian fighters, decided to head home. When top of Monas, in miniature, which even with rickety old planes we reached the front gates, we was to be sent to Japan. At the had managed to fly, mounting were surprised at the condition; same time, I formed a sculpture air assault upon Dutch forces the presidential palace was art group, which I named in Ambarawa. Bung Karno was surrounded by rebel troops. “Kelompok Arca” in 1960. The like a brightly burning flame On 3 October, I returned to members were L Sutrisno, Wardi, when he talked about patriotism Yogyakarta. While waiting for Askabul, Sarpomo, Suwandi, and and the Indonesian struggle further tasks, I worked on my myself. At that time, we lived in a for independence. His fervor personal works. I had to wait barrack built to do the work for was infectious, allowing me to for quite a whole, the Dirgantara the Monas construction out of. keep consistent, working my all but forgotten, waiting, in my In 1964, I received another devotional craft, even when I felt studio in Yogyakarta. It was still task from Bung Karno to low sometimes. In addition, in the in pieces, not yet put together. create the Dirgantara statue; to few times I was working on these In February 1967, I received a commemorate the heroic traits statues, Bung Karno seemed to sudden call from Dullah, the of Indonesian fighters, especially always made time tovisit us while presidential painter, to meet with in the sky. Like the two previous we were working. Often, he would Bung Karno. I was surprised to statues I worked on: Selamat entertain us with his humor, just see Bung Karno’s condition, as Datang and Pembebasan Irian as he would with friends. Thus, he was very weak and pale, after Barat, the basic idea of the we were always respectful and spending some days as an in- creation of the Dirgantara statue appreciative of his personality. patient at the military hospital. came from Bung Karno himself. On 28 September 1965, I I was stunned, and I heard his At that time, he put forward the received a call from the State thin voice greeting me. Then he idea for the statue’s form, and full Secretariat to meet with Bung asked, “Edhi, have you finished of enthusiasm he asked for me Karno to report on the progress work on the Dirgantara statue?” I to make a statue in the image of of the Dirgantara project. On 30 answered, “Yes, Sir.” “Then, why a powerful man ready to ascend September, I presented myself didn’t you set it up immediately?” into the skies, just like Gatot Kaca at the presidential palace. Once ready to take to the skies. He I arrived, I was escorted by one “I don’t have any more funds, even posed, saying “Something of the presidential guards to Sir. I even have debts to some like this, Dhi, like Gatot Kaca the back terrace, where Bung people for materials, my house mental bentolo [preparing to fly].” Karno always received us to has been sealed up because I’ve I began sketching the statue to drink morning tea and to small put it up as mortgage to pay for imitate to his gesture. talk before his work day started. the materials. I’m sorry to be Prof. Dr. Leimina, who was also so forward, Sir, but that’s how The creation of the requested to come that morning it is.” He was quiet for a while, Dirgantara was planned and was already there. We waited then said, “It’s fine, Dhi, it’s only finished in one year, in 1965. for Bung Karno who, according proper for you to speak about Edhi Sunarso 79

what have been your obstacles. wanted to come down to report never fully paid and never really That statue must be put up soon, the progress of our work, but he inaugurated. to dismiss the impression that forbade me, told me to continue Farewell, the first president the monument’s foundation done working. In the third week, Bung of the Republic of Indonesia, by Sutami was a form of attack Karno visited us again, and Founding Father. I am proud of to me. There are even those who that time, there was even more all my monumental works that called it Cukil Mata [Eye Gouge] people than last time, his guards stemmed from his inspiration, monument. But, as you yourself seemed overwhelmed by the to honor all forms of struggle know, Dhi, that monument is situation, until finally Bung Karno by Indonesian heroes. As my made to honor the fighter pilots was requested to leave the site. appreciation and respect for him, of Indonesia. I ask you, to have I was very thankful that, I created The Last Head Portrait the statue put up immediately.” by the time of Bung Karno’s of the Son of Dawn, which I He then called Gafur, telling him last visit, the statue was finally then presented to Institut Seni to sell one of Bung Karno’s cars, put together on its foundation. Indonesia [ISI, Indonesian Art the proceeds of its sales to be During the finishing phase, we Institute], to be placed in the front handed over to me, so that I may received news that Bung Karno gate area of the campus, as a pay for the statue to be put up. had passed away. At that time, remembrance of how Bung Karno Five days later, I received the funeral car traveled under was a figure, a patron, very close money to the sum of one milion the monument. That time, I to the art world and someone seven hundred thousand rupiah. was at the top of the Dirgantara who appreciated art. I was then able to transport the statue, attempting to quickly statue’s pieces from Yogyakarta descend and travel to Blitar. Edhi Sunarso to Jakarta, to be assembled and Alhamdullilah, I was able to put up. One week into our work, attend his funeral. In my heart, Bung Karno dropped by for a I was sorry that he didn’t have visit, to observe the work done. the chance to inaugurate the Suddenly, the monument was Dirgantara, but I was sincere in surrounded by a sea of people everything I did for him. Thus, wanting to catch a glimpse the Dirgantara monument of Bung Karno. At that time, I remained a monument that was 80 MONUMEN

Keluarga besar Edhi Sunarso mengucapkan terima kasih kepada

We would like to thank

Keluarga Hendra Gunawan, Keluarga R. J. Katamsi, Kali Jati, Lapas Subang, Lapas Pegaden Baru, Sri Sultan Keluarga Notowisastro, Keluarga besar Institut Hamengku Buwono X, Drs. John Mamesah, dr. Oei Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Istana Kepresidenan Hong Djien, Grand Indonesia Jakarta, Komunitas Republik Indonesia, Sanggar Keluarga Artja, Sanggar Salihara Jakarta, Sarpomo, Sutopo, Mon Mujiman, Pelukis Rakjat, Tim Sejarawan Museum Monumen Zaenuddin R., Deska Bayu, Untung Murdiyanto, Nasional, Tim Sejarawan Museum ABRI, Ahmad Sadali, Dunadi, Askabul, Jim Supangkat, Agus Dermawan T, S. Sudjojono, Nashar, G. Sidharta Soegijo, Amrus Baskara T. Wardaya, Yuke Ardhiati, Anusapati, Suwarno Natalsja, Keluarga Batara Lubis, Keluarga Ign. Gardono, Wisetrotomo, Djuli Djatiprambudi, Aminudin T. Keluarga Henk Ngantung, Djawatan Penerangan H. Siregar, Asikin Hasan, Liga Merah Putih (Oscar Republik Indonesia, Departemen Hukun dan HAM Matulloh, Yori Antar, Asfarinal Sutan, Saiful Boen), Dede Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Barat, Lapas Eri Supriya, para kolektor dan budayawan, rekan-rekan Kelas I Bandung, Lapas Kelas II B Purwakarta, Lapas panitia, serta rekan-rekan wartawan.

Penyelenggara: Galeri Salihara Panitia Penerbitan Buku dan Pameran Tunggal Edhi Sunarso

Partner: Liga Merah Putih

Sponsor: PT. Sidola Drs. John Mamesah Grand Indonesia PT Hasta Kreatifa Manunggal

Media Partner: Visual Arts C-Arts Majalah Arti