STRUKTUR KOMUNITAS ALGA KORALIN BENTUK PERCABANGAN PADA KONDISI PERAIRAN YANG BERBEDA DI PULAU LAELAE, BONEBATANG DAN BADI

SKRIPSI

ACHMAD NIRWAN L 111 08 279

Pembimbing:

Dr. Ir. Aidah A.A. Husain, M.Sc

Dr. Ir. Muh. Farid Samawi, M.Si

JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014 ABSTRAK

ACHMAD NIRWAN. L111 08 279. Struktur Komunitas Alga Koralin Bentuk Percabangan pada Kondisi Perairan yang Berbeda di Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi. Dibimbing oleh AIDAH A. A. HUSAIN sebagai pembimbing pertama dan MUH. FARID SAMAWI sebagai pembimbing kedua.

Alga koralin adalah alga merah (Rhodophyta) yang memiliki kalsium karbonat yang tinggi dalam sel dindingnya. Alga ini ditemukan di seluruh dunia, diklasifikasikan ke dalam ordo Corallinales dan berasal dari suku . Penelitian tentang struktur komunitas alga koralin bentuk percabangan telah dilaksanakan pada bulan Februari–Juli 2013 di perairan Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase tutupan dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan di Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi dengan metode transek kuadran yang diambil secara purposif. Hasil penelitian menunjukkan persentase tutupan alga koralin bentuk percabangan yang paling tinggi berada di Pulau Bonebatang yaitu 88% dan paling rendah yakni Pulau Laelae yaitu 44%. Komposisi jenis tertinggi berada di Pulau Badi dengan alga koralin Jania sp. sebesar 65%. Sedangkan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan tertinggi berada di Pulau Badi sebesar 16,00 koloni/m 2 dan terendah di Pulau Laelae sebesar 10,47 koloni/m 2. Tingginya persentase tutupan dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan pada perairan Pulau Bonebatang dan Pulau Badi dicirikan oleh tingginya kandungan Ca perairan, kecerahan dan oksigen terlarut (DO). Sedangkan pada pulau Laelae didapatkan penciri yaitu kecepatan arus.

Kata kunci: struktur komunitas, alga koralin bentuk percabangan, Laelae, Bonebatang, Badi

ABSTRACT

ACHMAD NIRWAN. L111 08 279. Structure of Community in Geniculate Form Under the Different Water Conditions at Pulau Laelae, Bonebatang and Badi. Under the guidance of Mrs. AIDAH A. A. HUSAIN as First Advisor and Mr. MUH. FARID SAMAWI as Second Advisor.

Coralline algae is (Rhodophyta) which has a high calcium carbonate in its cell walls. Coralline Algae are found around the world, classified in order Corallinales and from the tribe Corallinaceae. The research for structure of coralline alga community in geniculate forms was implemented on February until July 2013 at diverse water at pulau Laelae, Bonebatang and Badi. The research aims to determine the cover percentage and the abundance of coralline algae geniculate forms in diverse water at Pulau Laelae, Bonebatang and Badi with quadrant transect method which taken in purposive way. The results showed that the highest percentage of coralline algae in geniculate form located at P. Bonebatang in the amount of 88% and the lowest at P. Laelae in the amount of 44%. The highest species composition located at P. Badi with Jania sp. in the amount of 65%. While the highest abundance of coralline algae in geniculate form located at P. Badi in the amount of of 16.00 colony/m2 and the lowest at P. Laelae in the amount of 10.47 colony/m2. The highest cover percentage and the abundance of coralline in geniculate form at the water of P. Bonebatang and P. Badi are characterized by the high content of Ca waters, brightness and dissolved oxygen (DO). While the characteristic at P. Laelae is the current speed.

Keywords: structure community, coralline algae in geniculate form, Laelae, Bonebatang, Badi i

STRUKTUR KOMUNITAS ALGA KORALIN BENTUK PERCABANGAN PADA KONDISI PERAIRAN YANG BERBEDA DI PULAU LAELAE, BONEBATANG DAN BADI

OLEH: ACHMAD NIRWAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014

ii

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Soroako, 14 Maret 1990. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Ir. H. Ruslan Muhadi, MM dan Dra. Hj. Ratna Linda Ruslan. Penulis memulai pendidikan Sekolah Dasar di SD YPS Singkole Soroako dan lulus di SD Islam Athirah Kajaolaliddo Makassar tahun 2002. Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Islam Athirah Kajaolaliddo Makassar dan lulus pada tahun 2005. Di jenjang SMA, penulis lanjut di SMA Negeri 5 Makassar dan lulus pada tahun 2008. Penulis kemudian lulus menjadi Mahasiswa pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin pada tahun 2008 melalui SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah mengikuti seminar dialog uji publik peraturan KPI tentang P3SPS di Universitas Hasanuddin pada tahun 2010 dan mengikuti pelatihan jurnalistik pers kampus bersama Majalah Gatra dan PK. Identitas Unhas pada tahun 2011. Penulis juga pernah terlibat sebagai salah satu panitia dalam kegiatan Pengembangan Taman Pendidikan Bawah Laut dan Budidaya Karang Hias Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Tekhnologi Kelautan Indonesia (HIMITEKINDO) pada tahun 2010. Selain itu, penulis juga aktif menulis tentang pergerakan subkultur di berbagai media on-line di Makassar. Penulis menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata Profesi (KKNP) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin yang termasuk dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler Universitas Hasanuddin Gelombang 82 pada tahun 2012. Penulis juga telah menyelesaikan Praktik Kerja Mandiri (PKM)-KKNP di Desa Tassiwalie, Kabupaten Pinrang pada tahun 2012 dengan judul penelitian “Analisis Sedimen pada Ekosistem Mangrove di Sekitar Perairan Desa Tassiwalie, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang” . Berkat bimbingan dari Bapak dan Ibu dosen serta doa restu dari kedua orang tua, saudara-saudaraku tercinta serta dukungan dari teman-teman, penulis berhasil menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin di tahun 2014.

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil a’alamin, segala puji dan syukur ke hadirat Allah

SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya serta kesehatan kepada penulis sehingga penulis dapat mampu menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa pula shalawat serta salam bagi kekasih-Nya, Rasulullah

SAW yang telah membuka jalan yang terang benderang, sehingga penulis mampu berfikir dengan baik dan jernih dalam menjalankan kegiatan penelitian ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi- tingginya kepada :

1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Ir. H. Ruslan Muhadi, MM dan

Ibunda Dra. Hj. Ratna Linda Ruslan serta adinda Soraya Annisar

Ruslan, atas segala kasih sayang, cinta, dukungan, doa, nasihat,

perhatian, kesabaran, pengertian, dan bantuannya, baik secara moril

maupun materiil bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

laporan ini.

2. Ibu Dr. Ir. Aidah A.A. Husain, M.Sc, selaku pembimbing utama yang

senantiasa memberikan bimbingan dalam penyelesaian skripsi yang telah

banyak membantu dalam berbagai hal terlebih untuk waktu di sela-sela

kesibukan yang telah diluangkan bagi penulis untuk berkonsultasi,

memberikan saran dan motivasi dalam penyelesaian skripsi.

3. Bapak Dr. Ir. M. Farid Samawi, M.Si, selaku pembimbing anggota yang

telah meluangkan banyak sekali waktunya untuk mengarahkan dan

membimbing penulis agar dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa. M.Sc, Dr. Ir. Supriadi, M.Si

dan Dr. Ir. Muh. Hatta, M.Si, sebagai tim penguji, yang selalu

v

memberikan kritik dan saran yang membangun bagi penulis sehingga

skripsi ini bisa lebih baik.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Sc sebagai penasehat akademik, yang

telah banyak memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat

menjalani perkuliahan dengan baik.

6. Dekan, Wakil Dekan, Ketua Jurusan dan para Dosen Fakultas Ilmu

Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, yang telah

membagikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis.

7. Seluruh staf serta karyawan Jurusan Ilmu Kelautan atas bantuannya dan

melayani administrasi penulis selama menuntut ilmu di bangku

perkuliahan.

8. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan mahasiswa Marine Science

Unhas 2008 (Mezeight) yang telah menjadi keluarga selama 6 tahun ini,

tak henti-hentinya memberikan dukungan kepada penulis.

9. Kepada seluruh teman – teman mahasiswa se-kecamatan KKN Reguler

Gel. 82 FIKP Unhas Kec. Lanrinsang, Kab. Pinrang yang selalu penuh

semangat dan canda tawa di lokasi KKN, terkhusus teman-teman Posko

Desa Amassangang yakni Ari, Andra , Dilla, Doni, Isma, Jean, Sri dan

Taufik, terimakasih atas bantuannya selama bersama-sama di lokasi

KKN.

10. Saudara seperjuangan di kampus, Fikhru, Nick, Alfian, Anca dan Matte’

yang selalu menghadirkan canda tawa dan nasehat selama pengerjaan

tugas akhir skripsi ini.

11. Teman – teman di Kedai Buku Jenny dan Katakerja yang banyak

memberi semangat dan ruang bernafas di kedai dan perpustakaan

vi

kerennya, teruskan perjuangan karena tidak ada yang baru di bawah

matahari.

12. Teman – teman staf redaksi Revius Webzine (www.revi.us) dan VONIS

Media yang banyak memberi kelonggaran waktu dan bertoleransi dengan

penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

13. Teman – teman satu band di Speed Instinct, Dennis, Leo dan Yudha

yang secara tidak langsung banyak memberi semangat dan inspirasi

kepada penulis.

Makassar, Desember 2014

Achmad Nirwan

vii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL …………………………..…………………………………………. i

ABSTRAK ……………………………………………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………………. iii

RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………………. iv

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. v

DAFTAR ISI ……………………………………………………………. viii

DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. x

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………. xi

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………. xii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………………. 1

B. Tujuan dan Kegunaan ………………………………………………………. 2

C. Ruang Lingkup ………………………………………………………. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Alga Koralin ……………………………………………………. 4

B. Deskripsi Alga Koralin ……………………………………………………. 7

C. Distribusi Alga Koralin ……………………………………………………. 11

D. Faktor – Faktor Parameter

Oseanografi ……………………………………………………. 12

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat ..………..……………...... 16

B. Alat dan Bahan ...………..………………………………………… 17

C. Prosedur Penelitian ….………………………………………………… 17

D. Analisis Data …………...……………………………………….. 26

viii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Jenis Alga Koralin Bentuk

Percabangan .……………………………………….. 29

B. Distribusi Jenis Alga Koralin Bentuk

Percabangan ….…………………………………….. 31

C. Persentase Penutupan Alga Koralin

Bentuk Percabangan ………………………………………. 32

D. Komposisi Jenis Alga Koralin

Bentuk Percabangan ………………………………………. 34

E. Kelimpahan Alga Koralin Bentuk

Percabangan ...……………………………………… 37

F. Parameter Lingkungan ...……………………………………… 39

G. Keterkaitan Faktor Lingkungan dengan Persentase Tutupan dan

Kelimpahan Alga Koralin bentuk Percabangan ……………………………………… 48

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ….…………………….………………………………………… 52

B. Saran ………………………………………………………………… 52

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 53

LAMPIRAN ………………………………………………………………… 56

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hasil jumlah jenis alga koralin di lokasi penelitian ………………. 31

Tabel 2. Kelimpahan jenis alga koralin di lokasi penelitian ………………. 38

Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan Berdasarkan Standar Baku Mutu Air Laut di Tiga Pulau Yang Berbeda (Rata-Rata±STDEV) ………………. 39

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

1. Alga koralin bentuk morfologi percabangan (geniculate) ………………. 8

2. Alga koralin bentuk morfologi menyebar (non-geniculate) ………………. 9

3. Reproduksi alga koralin bentuk percabangan ………………. 11

4. Peta lokasi penelitian ………………. 16

5. Skema transek kuadran dan pengamatan ………………. 19

6. Pengamatan transek kuadran di lokasi penelitian ………………. 19

7. Skema transek garis dan pengamatan ………………. 20

8. Pengukuran kecepatan arus .……………… 21

9. Pengukuran DO di lapangan dengan titrasi Winkler ………………. 23

10. Pengukuran Ca perairan di laboratorium ………………. 24

11. Pengukuran kadar salinitas ………………. 26

12. Jenis alga koralin bentuk percabangan yang ditemukan ………………. 29

13. Persentase tutupan tiap jenis alga koralin percabangan ………………. 32

14. Rata-rata persentase tutupan alga koralin percabangan ………………. 33

15. Komposisi jenis alga koralin di Pulau Laelae ………………. 35

16. Komposisi jenis alga koralin di Pulau Bonebatang ………………. 35

17. Komposisi jenis alga koralin di Pulau Badi ………………. 36

18. Kelimpahan tiap jenis alga koralin bentuk percabangan ………………. 37

19. Rata-rata kelimpahan tiap jenis alga koralin percabangan ……………… 38

20. Rata-rata kecepatan arus perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 40

21. Rata-rata kandungan Ca perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 42

xi

22. Rata-rata kekeruhan perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 43

23. Rata-rata pH perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 44

24. Rata-rata oksigen terlarut perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 45

25. Rata-rata salinitas perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 46

26. Rata-rata suhu perairan pada setiap stasiun pengamatan. ………………. 47

27. Keterkaitan faktor lingkungan dengan persentase penutupan karang dan kelimpahan alga koralin. ………………. 49

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Sistematika alga koralin bentuk percabangan Lampiran 1. yang ditemukan di lokasi penelitian. ………………. 56

Persentase penutupan jenis alga koralin Lampiran 2. bentuk percabangan di lokasi penelitian. ………………. 57

Lampiran 3. Data kondisi perairan di lokasi penelitian. ………………. 58

Hasil uji Anova kelimpahan jenis alga koralin Lampiran 4. di lokasi penelitian. ………………. 59

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terumbu karang adalah struktur bawah air yang tersusun dari endapan kalsium karbonat (CaCO 3), yang dihasilkan oleh fauna karang yang pada umumnya dijumpai di perairan tropis (Razak dan Simatupang, 2005 dalam Tuhumena dkk., 2013). Adapula faktorfaktor fisika dan ekologi yang menjadi pembatas kehidupan terumbu karang yaitu suhu, salinitas, cahaya, sedimentasi, gelombang dan kedalaman. Faktor ekologi yaitu persaingan, pemangsaan dan grazing (Nybakken, 1988; Tuhumena dkk., 2013). Di daerah terumbu karang hidup organisme yang berasosiasi yaitu alga, krustasea, moluska, ekinodermata dan ikan (Nontji, 2002 dalam Tuhumena dkk., 2013).

Kualitas lingkungan perairan sangat menentukan keberlangsungan kehidupan pada setiap ekosistem. Pada perairan yang subur akan diikuti oleh tingginya biodiversitas, seperti pertumbuhan fitoplankton dan alga. Beberapa fenomena tersebut memperlihatkan bahwa ada keterkaitan yang sangat jelas antara peningkatan jumlah nutrien yang masuk ke dalam perairan terhadap peningkatan produktivitas primer yang memicu pertumbuhan makroalga yang pada akhirnya berpengaruh secara tidak langsung dengan terumbu karang (McCook, 2001; Faizal dkk., 2011).

Makroalga adalah salah satu jenis organisme yang hidup di sekitar ekosistem terumbu karang dengan pertumbuhan relatif lebih cepat dibandingkan hewan karang.

Pada daerah perairan dingin, makroalga membentuk komunitas besar dan menjadi ekosistem yang didominasi oleh spesies makroalga yang berukuran besar seperti

Laminaria dan Porphyra. Pada daerah perairan panas seperti di daerah tropis, makroalga 2

hidup berdampingan dengan ekosistem lain seperti ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Indonesia memiliki tidak kurang dari 628 jenis makro alga dari 8000 jenis makro alga yang ditemukan di seluruh dunia (Lüning, 1990).

Berbagai jenis makroalga berkapur banyak ditemui di terumbu karang, seperti alga berkapur Halimeda dan alga koralin. Alga koralin adalah alga merah (Rhodophyta) yang memiliki kalsium karbonat yang tinggi dalam sel dindingnya. Alga ini ditemukan di seluruh dunia, diklasifikasikan ke dalam ordo Corallinales dan berasal dari suku

Corallinaceae (Farr et al. , 2009). Alga koralin secara sederhana dibagi menjadi dua berdasar bentuknya yaitu alga koralin bentuk percabangan ( geniculate ) dan menyebar

(non-geniculate ) (Littler and Littler, 2011).

Penelitian mengenai alga koralin telah dilakukan oleh Adey (1986), Farr et al.

(2009) dan Littler and Littler (2011) yang fokus pada alga koralin. Sedangkan informasi mengenai alga koralin di perairan Indonesia khususnya di Kepulauan Spermonde belum banyak diketahui, seperti habitat, kelayakan parameter hidup, distribusi, kepadatan dan aspek ekologi lainnya. Selain itu, alga koralin masih belum dilirik oleh peneliti karang bahkan oleh ahli ganggang laut ( algologist /phycologist ) di Indonesia untuk diteliti lebih lanjut, sehingga perlu adanya kajian mendalam tentang alga koralin ini.

B. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase penutupan, komposisi jenis, dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan pada tiga pulau di perairan Kepulauan

Spermonde, yaitu di Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi serta kaitannya dengan parameter oseanografi. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber 3

informasi bagi penelitian selanjutnya yang dapat menjadi dasar pengelolaan sumberdaya hayati laut khususnya kondisi struktur komunitas alga koralin bentuk percabangan di perairan Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi:

• Persentase penutupan, komposisi jenis dan kelimpahan alga koralin bentuk

percabangan.

• Parameter lingkungan yang diukur berupa kecepatan arus, kecerahan, kedalaman,

kekeruhan, oksigen terlarut (DO), pH, suhu, salinitas dan kandungan Ca perairan.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Alga Koralin

Alga (ganggang) termasuk tumbuhan tingkat rendah yang berukuran mikroskopis, dimana susunan kerangka tubuhnya tidak dapat dibedakan antara akar, batang dan daun, sehingga keseluruhan tubuhnya dikenal dengan nama thallus . Beberapa alga mempunyai bentuk kerangka tubuh yang menyerupai tumbuhan berakar, berbatang dan berdaun atau berbuah, tetapi semua bentuk tubuh alga tersebut sebetulnya hanyalah thallus (Nontji,

2002).

Alga koralin adalah alga merah yang memiliki tingkat kalsifikasi yang tinggi, dimana terdapat kandungan kalsium karbonat yang tinggi dalam sel dindingnya (Farr et al. , 2009).

Tubuhnya berupa thallus yang tersusun dari rangkaian sel yang bergabung membentuk seperti rusuk (Littler and Littler, 2011).

Alga koralin termasuk dalam ordo Corallinales dengan tiga suku yang sekarang diketahui adalah Corallinaceae, Hapalidiaceae, dan Sporolithaceae. Bukti yang mendukung tentang hal ini adalah klasifikasi yang berasal dari studi anatomi/morfologi dan analisis molekuler, sehingga ada pemisahan menjadi tiga suku yang merupakan data paling mutakhir (Harvey et al ., 2003).

Urutan klasifikasi dari ordo Corallinales sebagai berikut (Algaebase.org, 2009; dalam Littler and Littler, 2011):

Corallinaceae Fosliella (M.A. Howe) Goniolithon (Foslie) Heteroderma (Foslie) Litholepis (Foslie) 5

Porolithon (Foslie) Pseudolithophyllum (Lemoine) Subfamili Lithophylloideae Ezo (Adey, Masaki, & Akioka) Lithophyllum (Philippi) Paulsilvella (Woelkerling, Sartoni & Boddi) Tenarea (Bory de SaintVincent) Titanoderma (Nägeli) Subfamili Mastophoroideae Hydrolithon (Foslie) Foslie) Lesueuria (Woelkerling & Ducker) Lithoporella (Foslie) Foslie) Mastophora (Decaisne) Metamastophora (Setchell) Neogoniolithon (Setchell & Mason) Pneophyllum (Kőtzing) Spongites (Kőtzing) Subfamili Amphiroideae Amphiroa (J.V. Lamouloux) Lithothrix .(I.E. Gray) Subfamili Corallinoideae Alatocladia (Yendo) Johansen) Arthrocardia (Decaisne) Bossiella (P.C. Silva) Calliarthron (Manza) Chiharea (Johansen) Cheilosporum (Decaisne) Zanardini) Corallina (Linnaeus) Dermatolithon (Foslie) Haliptilon (Decaisne) Lincley) Jania (J.V. Lamoroux) Marginisporum (Yendo) Ganesan) Pachyarthron (Manza) Rhizolamiella (Scheveiko) Serraticardia (Yendo) P.C. Silva) Yamadaea (Segawa) Subfamili Metagoniolithoideae (Webervan Bosse)

Hapalidiceae Subfamili Austrolithoideae Austrolithon (A.S. Harvey & Woelkerling) Boreolithon (A.S. Harvey & Woelkerling) Epulo (R.A. Townsend & Huisman) Subfamili Choreonematoidea Choreonema (F. Schmitz) 6

Subfamili Melobesiodeae Clathromorphum (Foslie) Exilicrusta (Y.M. Chamberlain) Kvaleya (W.H Adey & Sperapani) Leptophytum (W.H. Adey) Lithothamnion (Heydrich) Mastophoropsis (Woelkerling) Melobesia (J.V. Lamouroux) Mesophyllum (Lemoine) Phymantolithon (Foslie) Synarthrophyton (Townsend) Sporolithaceae Subfamili Sporolithoideae Sporolithon (Heydrich) Heydrichia (Townsend, Y.M. Chamberlain & Keats)

Alga koralin dapat diketahui dari bentuk thallus nya yang berbatu, terbentuk karena pengaruh endapan kapur yang terkandung di dalam dan di antara sel dindingnya. Zat kapur yang mengeras dari CaCO 3 merupakan salah satu faktor dimana alga koralin dapat tumbuh di perairan dangkal serta kedalaman beberapa meter, dan cukup banyak ditemukan di mana saja di dunia. Alga koralin biasanya dapat tumbuh di daerah beriklim hangat serta di tempattempat beriklim sangat dingin.

Alga koralin merupakan tumbuhan purba yang muncul di awal masa Cretaceous dan telah menjadi komponen penting dalam komunitas perairan dangkal Pada masa

Cenozoicum, peningkatan jumlah alga paling banyak dari keragaman jenisnya sepanjang sejarah. Sekarang ada sekitar 1.600 spesies crustose coralline algae (Woelkerling, 1988 dalam Littler and Littler, 2011) dan 649 spesies purba (Aguirre et al. , 2000 dalam Littler and Littler, 2011).

Yang menarik, pada habitat pesisir pada masa Miosin dapat diketahui karakteristiknya melalui endapan alga koralin yang blooming (rhodalgal facies ). Alga yang berkembang pesat pada masa blooming itu menimbulkan pembentukan terumbu karang 7

yang dominan memproduksi kalsium karbonat di daerah tropis dan subtropis (Esteban,

1996 dalam Littler and Littler, 2011).

Alga koralin memiliki sebaran habitat yang mencakup sebagian besar substrat keras yang tersedia, ada yang melekat seperti kerak ( crustose ) atau akar seperti holdfasts

(haustoria ). Sifat alga koralin umumnya epifit (pada tanaman lain) atau epizoik (pada hewan), dan beberapa ada yang bersifat parasit bahkan endofit. Terlepas dari sifatsifat tersebut, alga koralin masih belum menarik minat untuk diteliti lebih lanjut oleh ilmuwan karang, bahkan oleh para ahli ganggang laut ( algologist ) (Littler and Littler, 2011).

B. Deskripsi Alga Koralin

1. Morfologi

Alga koralin atau alga berkapur muncul dalam berbagai macam bentuk dan ukuran. Beberapa terlihat seperti cabang yang runcing serta menyerupai benang filamen yang tersebar di atas permukaan karang dan batu. Filamen ini mampu untuk menjebak sedimen dan semen partikel bersamasama. Dengan cara ini, alga berkapur memperkuat dan mendukung struktur terumbu karang. Bahkan jika badai datang dan koloni karang banyak yang rusak, alga berkapur cepat mengikatkan bagian karang yang rusak kembali bersamasama (Walker and Wood, 2005).

Alga koralin dapat tumbuh di bawah pencahayaan yang sangat intens serta di bawah pencahayaan yang sangat redup. Corak warna alga koralin ini biasanya merah muda atau merah, tetapi beberapa spesies dapat menjadi variasi ungu, biru, abuabu hijau, atau coklat (Littler and Littler, 2011) .

Secara morfologi, alga koralin dapat dilihat dengan sederhana dari bentuknya berupa geniculate (bentuk percabangan) dan non geniculate ( menyebar ). Pemisahan 8

sederhana dengan melihat bentuknya meskipun berguna, bukan lagi merupakan susunan filogenetik baku untuk dipakai sebagai bahan acuan dalam mengidentifikasi alga koralin

(Bailey,1999 dalam Littler and Littler, 2011).

Bentuk geniculate adalah bentuk percabangan memiliki dua segmen, yang tidak terkalsifikasi dan separuh terkalsifikasi (Gambar 1). Segmen yang tidak terkalsifikasi biasanya memiliki genicula berupa celah atau sendi di antara segmen yang terkalsifikasi, sementara segmen yang terkalsifikasi biasanya disebut intergenicula. Geniculate kadang juga disebut dengan articulated , atau turfing , karena seringkali bentuknya pendek dan terdapat pada terumbu karang di daerah intertidal (Farr et al. , 2009).

Gambar 1. Alga koralin yang memiliki bentuk morfologi geniculate (sumber: Littler and Littler, 2011).

Sedangkan bentuk non-geniculate yang segmennya terkalsifikasi sepenuhnya, kadangkadang juga dikenal sebagai crustose atau encrusting karena bentuk pertumbuhan sebagian besar spesiesnya menyebar dan tidak memiliki percabangan 9

(Gambar 2). Corallines non-geniculate yang hidup bebas dikenal sebagai rhodoliths (atau maerl – istilah yang digunakan terutama di Eropa) (Farr et al ., 2009).

Gambar 2. Alga koralin yang memiliki bentuk morfologi non-geniculate (Sumber: Littler and Littler, 2011).

Ketebalan crustose (non-geniculate) berkisar dari ukuran mikrometer hingga sentimeter. Bentuknya tipis sehingga lebih cepat tumbuh pada semua substrat keras dan organisme laut lainnya. Crustose yang berupa lembaran tipis seperti kerak yang mengeras dan menebal, tumbuh lambat di atas permukaan karang yang bercabang hingga kolumnar, dan berakhir memadat di bagian dasar karang. Crustose ini bentuk thalli nya tebal, biasanya terdiri dari tiga lapisan: hypothallus di bagian bawah, perithallus di bagian tengah, dan epithallus di bagian atas. Pada beberapa marga, trichocytes (selsel rambut, megacells ) terdapat di bagian plat horisontal dalam lapisan epithallus , seperti pada

Porolithon (Littler dan Littler, 2011).

2. Reproduksi

Sebagian besar spesies alga koralin tumbuh relatif lambat dan memiliki kehidupan sejarah yang rumit, mencakup fase reproduksi baik seksual maupun aseksual. Reproduksi 10

seksual dan aseksual terletak pada semua struktur thallus-nya. Segmen aseksual membentuk spora yang berkecambah membentuk thalli baru. Pada sistem reproduksi secara seksual, sel jantan dan betina melepaskan gamet yang bergabung membentuk zigot. Zigot ini mengalami pembelahan sel yang menghasilkan spora. Spora kemudian menetap pada cangkang hewan seperti kepiting dan teritip dimana mereka tumbuh membentuk struktur filamen yang mengebor cangkang hewan inangnya (Walker and

Wood, 2005).

Pada beberapa jenis alga, sperma dilepaskan ke laut, sementara sel betina tetap berada dalam thallus . Untuk memastikan bahwa sperma yang berenang bebas tersebut dapat menemukan sel telur, beberapa spesies melepaskan kandungan feromon , yakni semacam zat kimia yang berfungsi sebagai sinyal. Ketika sel telur mengeluarkan feromonnya, sperma dapat mengendusnya, layaknya pencari jejak, ke arah sel telur.

Tanpa feromon ini, sel sperma dan telur pada beberapa spesies tidak akan mampu untuk bersatu (Walker and Wood, 2005).

Alga koralin bentuk percabangan memiliki tiga tahap reproduksi. Seperti kebanyakan ganggang merah lainnya, alga koralin bentuk percabangan memiliki tetrasporofit struktural yang identik dan gametofit, dengan tahap karposporofit parasit menengah. Baik tetrasporofit maupun karposporofit adalah tahap kehidupan diploid, sedangkan gametofit adalah haploid. Pembelahan meiosis terjadi pada sporofit, yang mengarah ke pelepasan tetraspor haploid. Setelah spora ini menetap di substrat berbatu, mereka berkembang menjadi gametofit pria atau wanita. Pembuahan terjadi secara oogamous dengan carpogonia nonmotil yang dibuahi oleh spermatia nonmotil.

Penggabungan dari pronukleus hasil dari gamet haploid ini menghasilkan pembentukan 11

diploid dari carposporofit yang menghasilkan carpospores. lalu karposporofit berbuah melepaskan carpospor yang diploid, kemudian berkembang menjadi tetrasporofit

(Ehrenreich, 2001).

Sistem reproduksi pada alga koralin bentuk percabangan ( geniculate ) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Reproduksi alga koralin bentuk percabangan (geniculate ) (sumber: Ehrenreich, 2001 dalam mbari.org ).

C. Distribusi Alga Koralin

Alga koralin menempati kisaran kedalaman yang hampir seluruhnya dihuni oleh organisme fotosintetik, dari daerah intertidal sampai kedalaman tinggi sekitar 274 m.

Kelimpahan besar alga koralin di laut ternyata kurang dipelajari padahal mereka 12

mempunyai kontribusi besar terhadap produktivitas, jaringan makanan laut, sedimentologi dan biogenesis karang di laut tropis (Littler and Littler, 2011).

Beberapa jenis alga koralin terkalsifikasi atau menyebar seperti Porolithon ,

Lithophyllum , dan Neogoniolithon sangat berperan penting dalam peningkatan terumbu karang. Alga ini akan membentuk zonasi tersendiri pada daerah yang terlindung dari hempasan gelombang (Adey and Vassar, 1975).

Menurut Kadi (1986), terumbu karang merupakan habitat alga koralin yang paling baik. Bila dilihat secara sepintas kehidupan kedua jenis, alga dan karang, saling menguntungkan. Fotosintesis dari alga menghasilkan oksigen yang berguna bagi respirasi karang, sedangkan respirasi karang dan hewanhewan lain menghasilkan karbon dioksida yang dipakai dalam fotosintesis alga. Adanya alga ini sebenarnya merupakan pesaing yang tidak kentara terhadap pertumbuhan karang di antaranya terjadinya perusakan pada dinding karang yang diakibatkan oleh lajunya pertumbuhan alga berzat kapur yang relatif lebih cepat bila dibanding dengan pertumbuhan karang.

D. FaktorFaktor Parameter Oseanografi

1. Arus

Alga merupakan organisme yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air

(DJPB, 2005). 13

Penyebaran lokal makroalga di suatu daerah juga dipengaruhi oleh kondisi substrat dan pergerakan air (arus/gelombang). Arus dapat terjadi karena pasang dan angin. Arus pasang lebih mudah diramal dibanding dengan arus karena angin. Arus tidak terlalu banyak menyebabkan kerusakan pada tanaman dibanding dengan ombak. Kisaran kecepatan arus yang cukup untuk pertumbuhan rumput laut antara 20–40 cm/detik

(Lüning, 1990).

2. Kandungan kalsium (Ca) perairan

Air laut mengandung 3,5% garamgaraman yang mempengaruhi sifat fisis air laut

(seperti densitas dan temperatur dimana densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Garamgaraman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%). Keberadaan kandungan kalsium (Ca) yang signifikan di dalam air laut dapat mempengaruhi pertumbuhan organisme yang berada di ekosistem terumbu karang khususnya alga koralin, karena kandungan Ca membuat air laut menjadi air sadah yaitu air yang mengandung ion Ca 2+ dan Mg 2+ (Diwangkara, 2008).

Penumpukan kalsium karbonat di terumbu karang tidak hanya dihasilkan oleh biotabiota seperti karang, moluska, ekinodermata dan hewanhewan lain yang membentuk cangkang CaCO 3 tetapi juga diproduksi oleh alga berzat kapur. Odum and

Odum (1955) dalam Kadi (1986) memperkirakan bahwa penyerapan kalsium dalam kerangka kapur karang 738% adalah dari CaCO 3. Di dalam alga berzat kapur kandungan karbonat kalsium merupakan senyawa yang paling utama dibanding senyawasenyawa lain seperti karbonat magnesium dan karbonat strontium. 14

3. Kekeruhan

Kekeruhan adalah suatu ukuran biasan cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi dari suatu polutan yang terkandung dalam air (Lüning,

1990). Menurut Boyd and Lichtkoppler (1982), kondisi kekeruhan yang optimal bagi makroalga adalah kurang dari 40 NTU.

4. Oksigen terlarut (DO)

Menurut Salmin (2005), oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun ( toksik ). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle,

1968 dalam Salmin, 2005). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari

1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70%

(HUET, 1970 dalam Salmin, 2005). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonim, 2004 dalam

Salmin, 2005).

5. pH

Perairan yang berkondisi asam dengan pH kurang dari 6,0 dapat menyebabkan ganggang tidak dapat hidup dengan baik. Perairan dengan nilai pH lebih kecil dari 4,0 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian organisme air, sedangkan pH lebih dari 9,5 merupakan perairan yang sangat basa dan dapat mengurangi 15

produktivitas organisme air termasuk ganggang (Wardoyo, 1982). Air yang bersifat basa dan netral menjadikan organisme yang hidup di dalamnya lebih produktif untuk tumbuh dan berkembang dibandingkan dengan air yang bersifat asam (Hickling, 1971).

6. Salinitas

Makroalga umumnya hidup di laut dengan salinitas antara 30–32‰. Namun banyak jenis makroalga mampu hidup pada kisaran salinitas yang besar. Salinitas berperan penting dalam kehidupan makroalga. Salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pada proses fisiologis (Lüning, 1990). Salinitas juga mempengaruhi penyebaran makroalga di lautan. Makroalga yang mempunyai toleransi besar terhadap salinitas ( eurihalin ) akan tersebar lebih luas dibandingkan dengan makroalga yang mempunyai toleransi kecil terhadap salinitas ( stenohalin ).

7. Suhu

Pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis, selain cahaya dan konsentrasi fosfat (Odum,

1971). Rumput laut hidup dan tumbuh pada perairan dengan kisaran suhu air antara 20–

28°C, namun masih ditemukan tumbuh pada suhu 31°C (Lüning, 1990).

16

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari–Juli 2013 di perairan Pulau

Laelae, Bonebatang dan Badi (Gambar 4). Waktu tersebut meliputi survei awal, studi literatur, pengambilan data di lapangan, analisis data serta penyusunan laporan akhir.

Sedangkan untuk identifikasi sampel dan analisis data dilakukan di Laboratorium

Oseanografi Kimia Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian di Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi. 17

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu: perahu motor , digunakan untuk transportasi di lapangan; GPS (Global Positioning System) sebagai penentu titik sampling; alat selam dasar atau SCUBA untuk pengambilan sampel alga koralin; kantong sampel digunakan sebagai tempat menyimpan sampel alga koralin; botol sampel untuk menaruh air sampel; termometer untuk mengukur suhu; Water Quality Checker untuk mengukur salinitas; turbiditimeter untuk mengukur kekeruhan; layang-layang arus, stopwatch dan kompas digunakan untuk menentukan arah dan kecepatan arus; meteran

50 m untuk membuat transek; kamera digital untuk dokumentasi sampel di lapangan; sabak dan alat tulis untuk mencatat data di lapangan; aquades untuk mensterilkan/melarutkan zat kimia; labu erlenmeyer, botol BOD, gelas ukur, pipet tetes, pipet volumetri dan statis untuk pengukuran DO (oksigen terlarut) di lapangan; larutan

EDTA 0,01 M, larutan NaOH 1 N dan mureksid untuk pengukuran Ca (kalsium) di laboratorium. Sementara bahan berupa sampel air laut diambil untuk mengukur kandungan Ca, kekeruhan, pH dan salinitas.

C. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini meliputi kegiatan persiapan/observasi lapangan, penentuan stasiun, pengambilan sampel dan pengukuran parameter pendukung, analisis data serta penyusunan laporan akhir. a. Tahap Persiapan

Tahap ini meliputi studi literatur dan pengumpulan data yang berhubungan dengan penelitian, survei awal lapangan untuk mengetahui gambaran yang jelas mengenai kondisi 18

umum lokasi penelitian, serta menyiapkan peralatan yang akan digunakan dalam penelitian.

b. Tahap Penentuan Stasiun

Penentuan stasiun penelitian berdasarkan perbedaan karakteristik perairan secara visual. Jumlah stasiun yang diamati sebanyak 3 stasiun. Stasiun penelitian ditujukan pada

3 pulau yaitu Pulau Laelae, Pulau Bonebatang dan Pulau Badi (Gambar 4).

Penentuan lokasi dilakukan secara purposif, dengan 3 kali ulangan pada sisi utara, barat dan selatan setiap pulau. Sampling purposif dilakukan pada di daerah reef flat

(rataan terumbu karang) pada kedalaman 1–3 m yang paling banyak memiliki tutupan alga koralin. Dalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu. Jika satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu koloni lainnya maka tiap bagian yang terpisah itu dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua koloni atau lebih tumbuh di antara koloni yang lain, maka masingmasing koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah.

c. Pengamatan Alga Koralin

Pengamatan alga koralin menggunakan metode transek kuadran 1 m x 1 m dengan setiap kisi berukuran 20 cm dan Line Intercept Transect (LIT) sejajar sepanjang 50 meter sebagai transek pemandu (Gambar 5). Sampling dilakukan pada garis transek yang sama secara purposif sebanyak 3 ulangan pada daerah reef flat (rataan terumbu karang) yang dominan dengan alga koralin. Alga koralin yang ditemukan di setiap kisi kemudian dicatat jumlah individunya untuk setiap jenis dan diambil gambarnya. Identifikasi jenis untuk alga koralin yang ditemukan dilakukan di laboratorium. Skema untuk transek 19

kuadran dapat dilihat pada Gambar 6 dan skema untuk transek garis dapat dilihat pada

Gambar 7.

Gambar 5. Skema transek kuadran yang digunakan untuk sampling alga koralin (sumber: Faizal dkk., 2011).

Gambar 6. Pengamatan alga koralin dengan transek kuadran di lokasi penelitian.

20

(a)

(b)

Gambar 7. (a) Skema Line Intercept Transect (LIT) atau transek garis sebagai pemandu transek kuadran (sumber: English et al. , 1994) dan (b) pengamatan alga koralin dengan transek garis sebagai pemandu di lokasi penelitian.

21

d. Pengukuran Parameter Oseanografi

Untuk pengukuran kondisi perairan, dilakukan pengukuran secara langsung di lapangan, yang meliputi pengukuran arus, kedalaman, oksigen terlarut, pH dan suhu.

Untuk pengukuran kandungan Ca perairan, kekeruhan dan salinitas dilakukan di

Laboratorium Oseanografi Kimia Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Adapun metode pengambilan data kondisi perairan sebagai berikut:

1. Kecepatan dan arah arus

Pengukuran kecepatan dan arah arus dilakukan secara insitu dan diukur dengan menggunakan drift float (layanglayang arus) yang dilengkapi dengan tali berskala 15 meter (Gambar 8).

Gambar 8. Pengukuran kecepatan arus menggunakan layanglayang arus.

Prosedurnya yaitu layanglayang arus dilepas ke perairan bersamaan dengan diaktifkannya stopwatch . Ketika tali menegang, stopwatch dimatikan dan jarak tali dihitung, 22

kemudian dicatat jarak dan waktu yang digunakan sampai tali menegang. Untuk penentuan arah arus digunakan kompas geologi, tujuannya untuk mengetahui arah pergerakan arus.

Perhitungan kecepatan arus menggunakan rumus dari Galilei (1954) dalam Kuehn

(2015):

V =

dimana: V = kecepatan arus (m/dtk)

S = jarak (m)

t = waktu (dtk)

2. Kekeruhan

Pengukuran kekeruhan perairan diukur menggunakan turbidimeter di laboratorium.

Satuan kekeruhan dalam NTU.

3. Oksigen terlarut (DO)

Pengukuran oksigen terlarut dengan menggunakan metode titrasi Winkler di lapangan (Gambar 9). 23

Gambar 9. Pengukuran DO di lapangan menggunakan metode titrasi Winkler.

Prosedurnya yakni sampel air laut dimasukkan ke dalam botol sampel. Kemudian ditambahkan 2 ml mangan sulfat (MnSO 4) dengan menggunakan pipet, lalu sampel tersebut diaduk dengan cara membolakbalik botolnya. Lalu ditambahkan 2 ml NaOH + Kl kemudian ditutup dan botol sampel dibolakbalik sampai terbentuk endapan coklat.

Berikutnya, ditambahkan 2 ml H 2SO 4 pekat kemudian tutup dan bolakbalik botol sampel hingga sampel berwarna kuning tua. Selanjutnya diambil 10 ml air dari botol sampel, dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer, lalu air sampel dititrasi dengan Nathiosulfat hingga terjadi perubahan warna dari kuning tua ke kuning muda. Kemudian tambahkan 5

8 tetes indikator amylum hingga terbentuk warna biru. Titrasi dilanjutkan dengan Na thiosulfat sampai berwarna bening.

Perhitungan DO (Hutagalung dkk.,1997):

× 0.16 × 1000 =

24

Keterangan:

DO : oksigen terlarut (mg/L)

ml titran : air sampel yang ditetes dari pipet volumetri

ml sampel : total air sampel

4. Kandungan Ca (Kalsium) perairan

Kemudian untuk mengetahui kadar Ca perairan pada sampel air laut dilakukan di laboratorium (Gambar 10).

Gambar 10. Pengukuran kadar Ca perairan di laboratorium

Prosedur yaitu sampel air laut sebanyak 10 ml, dimasukkan ke dalam gelas ukur

50 ml dan tambahkan dengan aquades hingga mencapai volume 50 ml. Contoh air diambil sebanyak 50 ml dengan menggunakan gelas ukur 50 ml lalu masukkan ke dalam labu

Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 2 mL larutan NaOH 0,1 M lalu dikocok hingga pH larutan berkisar 1213. Selanjutnya ditambahkan indikator mureksid (± seujung pengaduk) kemudian dititrasi dengan larutan EDTA dengan perlahanlahan hingga berubah warna 25

dari merah muda ke ungu. Perubahan volume titran EDTA dicatat untuk perhitungan kadar kandungan Ca sebagai berikut (Samawi, 2014):

,, Ca . =

Keterangan :

A : ml titran EDTA

B : ml contoh air

Fp : faktor pengenceran

5. Suhu (°C)

Pengukuran suhu menggunakan termometer. Sampel air diambil pada permukaan perairan dengan menggunakan gelas ukur, kemudian termometer dicelupkan ke dalam sampel air, dan selanjutnya dibaca nilai skala yang tertera pada termometer. Namun sebaiknya dengan cara pengukuran langsung di bawah air, dilakukan saat penyelam akan turun atau pada saat akan naik.

6. Salinitas (‰)

Pengukuran kadar garam (salinitas) perairan dilakukan di lokasi pengambilan sampel dengan menggunakan alat WQC (Water Quality Checker). Cara mengukurnya dengan dengan memasukkan ujung probe ke dalam perairan. Selanjutnya ubah tombol ke pengukuran salinitas. Catat hasil yang tertera di layar WQC (Gambar 11).

26

Gambar 11. Mengukur kadar salinitas dengan Water Quality Checker .

7. Derajat keasaman (pH)

Pengukuran derajat keasaman (pH) air dilakukan di laboratorium menggunakan alat pH meter pada sampel air laut pada setiap substasiun/ulangan. Kemudian setelah sampel air laut diukur, pH meter dicuci bersih dengan aquades, agar air sampel selanjutnya tidak terkontaminasi dengan sampel air sebelumnya.

D. Analisis Data

Untuk perhitungan persentase penutupan, komposisi jenis dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan digunakan rumus sebagai berikut:

1. Persentase tutupan

Persentase tutupan menggunakan estimasi yang dikembangkan oleh Atobe (1970) dalam English et al. (1994) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

= X 100 % 27

Keterangan : C = Persentase penutupan alga koralin (%)

∑C i = Jumlah unit tutupan untuk setiap jenis alga koralin untuk setiap jenis alga koralin A = Jumlah total kisikisi yang digunakan (25 unit)

2. Komposisi dan kelimpahan jenis

Untuk menghitung komposisi jenis alga koralin, digunakan rumus (Odum, 1971) sebagai berikut:

ni Komposisi jenis (%) = ×100 % N

dimana:

ni = jumlah individu setiap jenis i

N = jumlah total individu (koloni)

Untuk kelimpahan dinyatakan dalam jumlah koloni per satuan transek (koloni/ transek) dalam transek kuadran 1 m x 1 m. Untuk mengetahui perbedaan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan antar stasiun pulau dilakukan analisis variansi dengan bantuan program SPSS 21. Perhitungan kelimpahan jenis dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Brower et al. , 1998):

=

dimana: Ni = jumlah individu tiap jenis (koloni)

A = transek kuadran (m 2)

28

3. Keterkaitan faktor lingkungan dengan kepadatan alga koralin

Analisis keterkaitan persentase tutupan dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan dengan faktor oseanografi dilakukan dengan teknik analisis PCA ( Principle

Component Analysis ) yang disediakan oleh program Biplot. Adapun sebagai individu statistik (baris) yaitu stasiun pengamatan dan sebagai variabel (kolom) yaitu persentase tutupan alga koralin dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan serta faktor lingkungan .

29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Jenis Alga Koralin Bentuk Percabangan

Sebanyak 4 spesies alga koralin bentuk percabangan ditemukan di tiga pulau yakni Amphiroa anceps, A. fragilissima, Arthrocardia sp. dan Jania sp. (Gambar 12).

Sistematikanya dapat dilihat pada Lampiran 1.

1. Amphiroa anceps 2. Amphiroa fragilissima

3. Arthrocardia sp. 4. Jania sp.

Gambar 12. Jenisjenis alga koralin bentuk percabangan yang ditemukan di lokasi penelitian.

30

Genus Amphiroa mempunyai kerangka tubuh berwarna kemerahmerahan dan dapat mencapai panjang 20 cm. Bentuk thallus nya bulat panjang agak pipih dengan diameter 0,11 cm. Karakteristik alga ini rapuh, mudah patah menjadi potongan kecilkecil tetapi ada yang bersifat keras. Bila dalam keadaan kering warna berubah menjadi merah keputihputihan dengan komposisi kimiawi yang paling utama adalah aragonite (Kadi,

1986).

Amphiroa anceps adalah alga koralin bentuk percabangan (geniculate) dengan bercabang sumbu tegak, warnanya merah seringkali menjadi ungu kusam, merah muda dan abuabu serta tingginya 210 cm. Akar holdfast-nya menyebar, segmen kalsifikasinya merata pada percabangan sumbu atas, tetapi berbentuk silinder pada dasar tanaman, dengan tanaman bersandar di satu bagian. Panjang segmen bervariasi sekitar 28 mm panjang dan lebarnya 0,752,5 mm. Habitatnya di daerah subtidal (Farr et. al , 2009).

Amphiroa anceps yang ditemukan terletak di daerah karang keras dan di rataan pasir.

Amphiroa fragillisima yang morfologinya menyerupai Amphiroa anceps , memiliki karakteristik tumbuh yang hampir sama juga dengan menyebar luas di rataan pasir

(tumbuh menempel pada dasar pasir) dan di padang lamun yang menempel pada substrat dasar lainnya (Atmadja dan Prud'homme, 2012).

Arthrocardia sp. memiliki segmen terkalsifikasi, khususnya di sepertiga tubuhnya,

Beberapa segmennya bercabang dan memiliki garis pertumbuhan yang sangat tidak teratur. Yang membedakan Arthrocardia sp . dan jenis alga koralin bentuk percabangan lainnya yaitu pada bentuk percabangan utamanya (Farr, et al , 2009). Arthrocardia sp. yang ditemukan terdapat di daerah substrat karang keras. 31

Jania sp. dicirikan dengan bentuk langsing, dikotomus bercabang thalli terdiri dari segmen silinder, biasanya banyak terdapat di perairan tropis dan subtropis (Wray, 1977).

Jania sp. yang ditemukan terdapat di daerah substrat berpasir dan karang keras.

Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kadi (1986) bahwa alga berzat kapur dalam kelas Rhodophyta mempunyai bentuk dan warna yang hampir sama sehingga sukar untuk dibedakan satu sama lainnya. Keduanya hidup saling kaitmengkait dalam substrat dan habitat yang sama pula. Secara visual, misalnya antara marga Gellidium dengan

Amphiroa dan Galaxaura tidak terdapat persaingan. Jenisjenis ini tumbuh subur pada pantaipantai yang mempunyai kandungan mineral yang cukup tinggi dengan arus air dan kejernihan air yang cukup tinggi pula.

B. Distribusi Jenis Alga Koralin

Dari hasil penelitian yang dilakukan di ketiga pulau, ditemukan sebanyak 4 jenis alga koralin bentuk percabangan (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil jumlah jenis alga koralin di lokasi penelitian.

Stasiun No. Jenis Alga Koralin LaeLae Bonebatang Badi

1. Amphiroa anceps  

2. Amphiroa fragilissima   

3. Arthrocardia sp.   

4. Jania sp.  

Jumlah Jenis 3 3 4

32

Jenis alga koralin yang ditemukan di Pulau Badi sebanyak 4 jenis, sedangkan di

Pulau Bonebatang dan LaeLae sebanyak 3 jenis. Amphiroa anceps tidak ditemukan di

Pulau Laelae dan Jania sp. tidak ditemukan di Pulau Bonebatang.

C. Persentase Penutupan Alga Koralin

Hasil perhitungan ratarata persentase penutupan alga koralin bentuk percabangan diperlihatkan pada Gambar 13.

90 72.75 80 70 60 50 32.64 40 21.4 30 20.77 9.24 7.2 8.03 20 1.35 1.8 10 2 0 Pulau Badi Pulau Badi Pulau Badi Pulau Badi Pulau Pulau Laelae Pulau Laelae Pulau Laelae Pulau Tutupan Alga TutupanAlga Koralin bentuk percabangan(%) Pulau Bonebatang Pulau Bonebatang Pulau Bonebatang Pulau

Amphiroa Amphiroa fragilissima Arthrocardia sp. Jania sp. anceps Jenis Alga Koralin Bentuk Percabangan

Gambar 13. Persentase tutupan tiap jenis alga koralin bentuk percabangan di lokasi penelitian.

33

Dari Gambar 13 menunjukkan bahwa tutupan alga koralin tertinggi tiap jenis terletak pada jenis Arthrocardia sp. di Pulau Bonebatang 72,75% dan paling rendah pada jenis Amphiroa anceps di Pulau Badi 1,35%.

Ratarata tutupan alga koralin tidak jauh berbeda dengan tutupan tiap jenis alga koralin (Lampiran 2). Ratarata tutupan alga koralin yang paling tinggi di Pulau

Bonebatang sebesar 88% dan paling rendah di Pulau Laelae 44% (Gambar 14).

100 88 90 80 70 60 44 45 50 40 30 20 Tutupan Alga TutupanAlga Koralin (%) 10 0 Pulau Laelae Pulau Bonebatang Pulau Badi Stasiun

Gambar 14. Ratarata persentase tutupan alga koralin bentuk percabangan di lokasi penelitian.

Tingginya ratarata tutupan makroalga khususnya alga koralin bentuk percabangan di Pulau Bonebatang yang jauh dari daratan utama disebabkan oleh kecepatan tumbuh dari alga lebih besar dari karang batu dan menjadikan organisme ini lebih cepat memperoleh lokasi yang kosong dibandingkan dengan karang batu. (McCook, 2001 dalam

Faizal et al , 2011). 34

Di Pulau Bonebatang yang didominasi substrat berpasir yang memungkinkan terjadi persaingan perebutan ruang kosong untuk ditempati antara makroalga khususnya alga koralin bentuk percabangan dengan karang batu. Hal ini sesuai dengan temuan

Siringoringo dkk. (2006) bahwa alga diduga memiliki tingkat persaingan yang lebih tinggi dibandingkan organisme lain untuk menempati ruang di dalam ekosistem terumbu karang.

Sedangkan persentase penutupan alga koralin paling rendah ada di Pulau Laelae yaitu sebesar 44%. Indikasinya adalah intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan di

Pulae Laelae lebih rendah karena tingkat kekeruhan yang tinggi. Hal ini diperkuat pernyataan Lirman (2001) bahwa alga dan karang keras saling berkompetisi memperebutkan cahaya untuk aktifitas metabolismenya. Zooxanthella pada karang memerlukan cahaya untuk aktifitas fotosintesisnya, sama halnya dengan alga memerlukan cahaya untuk fotosintesis.

D. Komposisi Jenis Alga Koralin

Komposisi jenis masingmasing spesies yang ditemukan di Pulau Laelae berdasarkan persentase ada tiga jenis yaitu Arthrocardia sp (54%), Amphiroa fragilissima

(35%), dan Jania sp. (11%). Hasil komposisi jenis alga koralin Pulau Laelae diperlihatkan pada Gambar 15 berikut: 35

Amphiroa fragilissima 35%

Arthrocardia sp. 54%

Jania sp. 11%

Gambar 15 . Komposisi jenis alga koralin di Pulau Laelae.

Komposisi jenis alga koralin bentuk percabangan di Pulau B onebatang ada tiga jenis dengan persentase yaitu Arthrocardia sp. (52%), Amphiroa anceps (25%) dan

Amphiroa fragilissima (23%). Hasil komposisi jenis diperlihatkan pada Gambar 16 berikut:

Amphiroa Amphiroa anceps fragilissima 25% 23%

Arthrocardia sp . 52%

Gambar 16 . Komposisi j enis alga koralin di Pulau Bonebatang . 36

Sedangkan komposisi jenis Pulau Badi memiliki tiga jenis alga koralin yaitu Jania sp. (65%), Arthrocardia sp. (20 %), Amphiroa anceps (8%) dan Amphiroa fragilissima (7%)

(Gambar 17).

Arthrocardia sp. , 20% Amphiroa fragilissima , 7 %

Jania Amphiroa sp. , 65% anceps , 8%

Gambar 17 . Komposisi jenis alga k oralin di Pulau Badi.

Dari pengamatan di lapangan, komposisi jenis alga koralin yang ditemukan di

Pulau Laelae dan Pulau Bonebatang didominasi Arthrocardia sp. , s edangkan di Pulau

Badi didominasi oleh Jania sp. Melimpahnya jenis Arthrocardia sp. di Pulau Lael ae disebabkan karena jenis alga koralin ini merupakan jenis yang hidupnya berkoloni dan ketika dilihat secara visual dapat mempermudah untuk mengidentifikasinya. Sedangkan jenis lainnya lebih sering ditemukan terpisah dari koloninya sehingga jumlahnya lebih sedikit.

Fenomena ini diduga berhubungan dengan pengaruh faktor abiotik dan biotik di dalam perairan. Menurut Farr et al. (2009), secara um um alga koralin dijumpai pada terumbu karang, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, sedangkan pada substrat pasir, lumpur, dan patahan karang keragamannya berkurang dan hanya ditempati oleh jenisjenis alga koralin tertentu. Sedangkan menurut Littl er dan Littler (2011), alga 37

koralin dikenal sebagai organisme dengan kemampuan mengkoloni dan pertumbuhan yang cepat, daya adaptasi luar biasa serta dapat dominan di lingkungan dengan bahan organik yang tinggi.

E. Kelimpahan Alga Koralin

Hasil kelimpahan alga koralin bentuk percabangan diperlihatkan pada Gambar 18 berikut:

40.0 ) 2 32.0 35.0 26.7 30.0 25.0 14.1 20.0 13.3 15.0 8.0 9.3 10.0 7.3 3.3 3.3 4.0 5.0 0.0 Pulau Badi Pulau Badi Pulau Badi Pulau Badi Pulau Kelimpahan alga Kelimpahanalga koralin (koloni/m Pulau Laelae Pulau Laelae Pulau Laelae Pulau Pulau Bonebatang Pulau Bonebatang Pulau Bonebatang Pulau

Amphiroa Amphiroa Arthrocardia sp. Jania sp. anceps fragilissima

Gambar 18. Kelimpahan tiap jenis alga koralin bentuk percabangan di lokasi penelitian.

Kelimpahan tiap jenis alga koralin bentuk percabangan tertinggi ditemukan pada di

Pulau Badi pada Jania sp. sebesar 32,00 koloni/m 2, Pulau Bonebatang pada Arthrocardia sp. 26,7 koloni/m 2, dan Pulau Laelae pada Amphiroa fragillisma 13,3 koloni/m 2. 38

Kelimpahan paling rendah terdapa t pada jenis Amphiroa anceps dan A. fragillisima di

Pulau Badi sebesar 3,3 koloni/m 2 dan Jania sp. di Pulau Laelae 4,0 koloni/m 2.

Ratarata kelimpahan alga koralin terbesar yang ditemukan di Pulau B adi sebesar

16,00 koloni/m 2, kemudian di susul oleh Pulau Bonebatang sebesar 14,00 koloni/m 2 dan yang terakhir Pulau Laelae sebesar 10,47 koloni/m 2 (Gambar 19).

18.00 16.00 16.00 14.00 14.00 12.00 10.47 10.00 8.00 6.00

Individu/m2 4.00 2.00 0.00 Laelae Bonebatang Badi Stasiun

Gambar 19. Ratarata kelimpahan tiap jenis alga koralin bentuk percabangan di lokasi penelitian.

Dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji Analysis of Variance (AN OVA) pada selang kepercayaan 95 % (α = 0,05), juga menunjukkan bahwa kelimpahan alga koralin menunjukkan tidak adanya perbedaan an tara tiga pulau. Pulau Laelae memiliki kelimpahan jenis a lga koralin relatif lebih sedikit dibandingkan pada Pulau Bonebatang dan Badi (Tabel 2).

39

Tabel 2. Kelimpahan jenis alga koralin di lokasi penelitian.

No. Jenis Alga Kelimpahan Jenis Koralin Laelae (ind/ml) Bonebatang Badi (ind/ml) (ind/ml) Sub Sub Sub Sub Sub Sub Sub Sub Sub 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 Amphiroa 0.0 0.0 0.0 2.7 3.3 2.0 1.3 1.3 0.7 anceps 2 Amphiroa 3.3 4.7 5.3 2.7 2.0 2.7 1.3 0.7 1.3 fragilissima 3 Arthrocardia sp. 0.1 5.3 8.7 16.7 5.3 4.7 3.3 2.0 4.0 4 Jania sp. 0.7 2.0 1.3 0.0 0.0 0.0 16.7 5.3 10.0 4.1 12.0 15.3 22.0 10.7 9.3 22.6 9.3 16.0 RataRata 10.5 14.0 16.0

Hal ini diduga disebabkan oleh tingkat pencemaran di Pulau Laelae yang sangat tinggi dengan salinitas perairan yang berubahubah atau berkurang dari kadar normal yang mengakibatkan alga koralin kurang melimpah, sehingga keberadaan alga koralin pada Pulau Laelae tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan Pulau

Bonebatang dan Badi. Hasil uji ANOVA kelimpahan alga koralin dapat dilihat di Lampiran

4.

F. Parameter Lingkungan

Hasil pengukuran parameter kimia perairan ketiga pulau selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3, dengan gambaran kondisi lingkungan sebagai berikut:

40

Tabel 3. Hasil pengukuran parameter lingkungan berdasarkan standar baku mutu air laut untuk biota laut (ratarata±SDEV).

No Parameter Satuan Pulau Pulau Pulau Badi Standar Baku Mutu ligkungan Laelae Bonebatang

1 Arus m/s 0,115±0,03 0,075±0,03 0,092±0,02 2 Kalsium (Ca) Mg/L 10,786±0,1 11,466±2,472 11,987±0,715 Perairan 66

3 Kekeruhan NTU 1,51±0,15 0,22±0,14 0,38±0,24 <5 4 Oksigen mg/L 4,493±0,53 5,017±0,08 6,177±0,16 >5 Terlarut (DO)

5 pH 7,16±0,05 7,15±0,01 7,2±0,01 78,5 6 Salinitas ‰ 34,2±0,58 33,7±0,58 34,3±1,53 3334 7 Suhu oC 29±0,00 28,6±0,30 28,2±0,21 2830

1. Arus

Arus sangat membantu dalam penyebaran organisme alga koralin. Hasil

pengukuran arus ratarata perairan pada tiap stasiun diperlihatkan pada Gambar 20.

0.160 0.140 0.115

0.120 0.092 0.100 0.075 0.080

m/det 0.060 0.040 0.020 0.000 Laelae Bonebatang Badi

Gambar 20. Ratarata kecepatan arus perairan pada setiap stasiun pengamatan.

41

Berdasarkan hasil penelitian, tampak kisaran ratarata arus berturutturut yang diperoleh yaitu Pulau Laelae 0,115±0,03m/s, Pulau Bonebatang 0,075±0,03m/s dan Pulau

Badi 0,092±0,02m/s (ratarata±SDEV). Nilai ratarata kecepatan arus tertinggi adalah

Pulau Laelae dan yang terendah adalah Pulau Bonebatang.

Adanya perbedaan kecepatan arus di tiga pulau yaitu Pulau Laelae, Pulau

Bonebatang dan Pulau Badi disebabkan karena letak geografis pulau itu sendiri. Hal ini dinyatakan oleh Akbar (2013) bahwa lokasi Pulau Laelae yang sangat dekat dengan daratan utama Pulau Sulawesi dan banyaknya aktifitas perkotaan di sekitar Pulau Laelae.

Demikian pula pada Pulau Bonebatang yang dimana pulau tersebut tidak berpenghuni, sehingga pengaruh oseanografi terhadap organisme laut dalam hal ini alga koralin bentuk percabangan sangat baik untuk kehidupannya jika dibandingkan dengan pulau Laelae.

Sedangkan pulau Badi sangat jauh dari daratan utama dan kurangnya aktifitas manusia sehingga pengaruh oseanografi sangatlah baik untuk kehidupan organisme laut alga koralin bentuk percabangan.

2. Kandungan Ca (Kalsium) perairan

Hasil pengukuran kandungan Ca perairan ratarata perairan pada tiap stasiun diperlihatkan pada Gambar 21.

42

3000 2322 2500 2005.3667 1771.77 2000 1500 1000 Ca (Mg/L) Ca 500 0 Laelae Bonebatang Badi

Gambar 21. Ratarata kandungan Ca perairan pada setiap stasiun pengamatan.

Nilai ratarata pengukuran kandungan Ca perairan yang didapatkan pada masing masing lokasi penelitian, Pulau Laelae sebesar 2005,3667±179,158, Pulau Bonebatang

1771,77±608,824 dan Pulau Badi 2322±30,300. Perairan Pulau Badi yang memiliki nilai ratarata kandungan Ca tertinggi, dibandingkan dengan perairan Pulau Bonebatang dan

Pulau Laelae memiliki nilai ratarata di bawah Pulau Badi.

Dari segi fisik, senyawa kalsium karbonat mempunyai arti penting yakni dalam pembentukan terumbu karang. Keuntungan sifat saprofitik dari alga berzat kapur pada karangkarang mati dapat menahan kehancuran kerangka tubuh karang mati. Hal ini terjadi karena hasil penumpukan metabolisme algae berzat kapur yang berupa CaCO 3 dapat berfungsi sebagai perekat kerangka karang mati, bahkan dari pertumbuhan thallus nya kadangkadang terjadi penyelimutan total terhadap seluruh kerangka tubuh karang mati (Kadi, 1986).

43

3. Kekeruhan

Kekeruhan di dalam air sangat dipengaruhi oleh kandungan zatzat koloid, bahan

bahan organik serta material tersuspensi lainnya. Hasil pengukuran kekeruhan ratarata

perairan pada tiap stasiun diperlihatkan pada Gambar 22.

1.8 1.51 1.6 1.4 1.2 1 0.8 NTU 0.6 0.22 0.38 0.4 0.2 0 Laelae Bonebatang Badi

Gambar 22. Ratarata kekeruhan perairan pada setiap stasiun pengamatan.

Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa kisaran kekeruhan yang diperoleh

adalah 1,51±0,15 NTU di Pulau Laelae, 0,22±0,14 NTU di Pulau Bonebatang dan

0,38±0,24 NTU di Pulau Badi. Nilai ratarata kekeruhan perairan Pulau Laelae 1,151 NTU,

nilai tersebut menunjukkan bahwa perairan Pulau Laelae memiliki kekeruhan sangat tinggi

dibandingkan dengan Pulau Bonebatang (0,22 NTU) dan Pulau Badi (0,38 NTU) yang

relatif sama namun nilai ratarata yang didapatkan masih sesuai dengan standar baku

mutu air laut untuk biota laut yaitu <5 NTU.

4. Derajat keasaman (pH)

Hasil pengukuran pH ratarata perairan pada tiap stasiun diperlihatkan pada

Gambar 23. 44

7.4

7.2

7

6.8

6.6 7.16 7.15 7.2 pH Air Laut Laut Air pH 6.4

6.2

6 Laelae Bonebatang Badi

Gambar 23. Ratarata pH perairan pada setiap stasiun pengamatan.

Nilai ratarata pengukuran pH yang didapatkan pada masingmasing lokasi penelitian, Pulau Laelae sebesar 7,16±0,05, Pulau Bonebatang 7,15±0,01 dan Pulau Badi

7,2±0,01, perairan Pulau Badi yang memiliki nilai ratarata pH tertinggi.

Untuk pengukuran pH selama penelitian, diperoleh nilai kisaran pH yang tidak terlalu jauh berbeda pada tiap stasiun pengamatan yaitu ratarata 7 dan tersebar secara merata. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2004) bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5.

5. Oksigen terlarut (DO)

Hasil pengukuran oksigen terlarut ratarata perairan pada tiap stasiun diperlihatkan pada Gambar 24. 45

7.000

6.000

5.000

4.000

mg/L 3.000 6.177 5.017 4.493 2.000

1.000

0.000 Laelae Bonebatang Badi

Gambar 24. Ratarata oksigen terlarut perairan pada setiap stasiun pengamatan.

Nilai ratarata oksigen terlarut (DO) yang didapatkan di perairan Pulau Laelae sebesar 4,493±0,53 mg/L, Pulau Bonebatang 5,017±0,08 mg/L dan 6,177±0,16 mg/L.

Hanya Pulau Laelae yang tidak sesuai dengan standar baku mutu air laut untuk biota laut

(Tabel 2). Pada tabel, nilai ratarata oksigen terlarut menunjukkan bahwa kondisi perairan

Pulau Laelae termasuk kategori tercemar sedang, sedangkan Pulau Bonebatang dan

Pulau Badi tergolong dalam kategori tercemar ringan. Menurut Supardi (1984) tingkat pencemaran air laut terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: (1) tercemar ringan bila kadar DO = 5 mg/L, (2) tercemar sedang bila kadar DOnya antara 2–5 mg/L, dan (3) tercemar berat bila kada DO antara 0,1–2 mg/L. Hasil analisis data untuk pengukuran DO pada Pulau Laelae dengan Pulau Badi dan Pulau Bonebatang dengan Pulau Badi menunjukkan hasil berbeda nyata , sementara untuk Pulau Laelae dengan Pulau Bonebatang tidak berbeda nyata seperti yang tertera di Lampiran 3.

46

6. Salinitas

Dari hasil pengukuran memperlihatkan variasi salinitas yang tidak terlalu berbeda pada tiap pulau. Hasil pengukuran salinitas ratarata perairan pada tiap stasiun diperlihatkan pada Gambar 24.

40 35 30 25 20 ppt 34.3 33.7 34.3 15 10 5 0 Laelae Bonebatang Badi

Gambar 25. Ratarata salinitas perairan pada setiap stasiun pengamatan.

Tampak kisaran ratarata salinitas di Pulau Laelae, Pulau Bonebatang dan Pulau

Badi masih sesuai dengan standar baku air laut untuk biota laut yaitu sebesar 33.734.3‰.

Salinitas perairan Pulau Laelae dan Pulau Badi memiliki nilai ratarata yang homogen yaitu sebesar 34,3‰, sementara nilai ratarata salinitas pada perairan Pulau Bonebatang sebesar 33,7‰. Kadar salinitas tidak menunjukkan nilai yang berbeda jauh antar pulau penelitian. Untuk kisaran salinitas yang terdapat di perairan Pulau Laelae, Pulau

Bonebatang dan Pulau Badi memungkinkan bagi alga koralin untuk dapat berkembang dengan baik.

Hal ini diperkuat pernyataan Kadi (1986), alga bentik tumbuh pada perairan dengan salinitas 1337‰, sedangkan menurut Lüning (1990), makro alga umumnya hidup 47

di laut dengan salinitas antara 3032‰. Namun banyak jenis makro alga hidup pada

kisaran salinitas yang lebih besar. Salinitas berperan penting dalam kehidupan makroalga.

Salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pada proses

fisiologis.

7. Suhu

Hasil pengukuran suhu perairan pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 26.

35

30

25

20 oC 15 29 28.6 28.2 10

5

0 Laelae Bonebatang Badi

Gambar 26. Ratarata suhu perairan pada setiap stasiun pengamatan.

Suhu perairan berperan penting dalam mengatur proses metabolisme suatu

organisme di dalam perairan. Hasil pengukuran suhu ratarata perairan pada tiap stasiun

diperlihatkan pada Gambar 13. Berdasarkan hasil penelitian, tampak bahwa kisaran rata

rata suhu yang diperoleh adalah 29±0,00 oC di Pulau Laelae, 28,6±0,30 oC di Pulau 48

Bonebatang dan 28,2±0,21 oC di Pulau Badi, nilai ratarata untuk ketiga pulau penelitian masih sesuai standar mutu baku air laut untuk biota laut sebesar 2830 oC.

Menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2007), suhu yang baik adalah berkisar antara 2529 oC, sedangkan batas minimum dan maksimum suhu berkisar antara 1617 oC dan sekitar 36 oC (Kinsman, 1964 dalam Supriharyono, 2000).

Menurut Lüning (1990), suhu optimal untuk tumbuhan alga dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu berkisar 0–10°C untuk alga di daerah beriklim hangat dan 15–30°C untuk alga hidup di daerah tropis.

G. Keterkaitan Faktor Lingkungan dengan Persentase Tutupan dan Kelimpahan Alga Koralin Bentuk Percabangan

Hasil analisis Principle Component Analysis (PCA) menunjukkan keterkaitan faktor lingkungan dengan persentase penutupan dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan diperlihatkan pada Gambar 27.

Kelompok I yaitu Pulau Bonebatang dengan parameter pencirinya yaitu kecerahan, kelimpahan dan persentase penutupan karang. Persentase tutupan karang di Pulau

Bonebatang paling tinggi yaitu 88%. Tingginya persentase ini disebabkan makroalga khususnya alga koralin bentuk percabangan bersaing dengan karang batu untuk menempati substrat berpasir yang banyak di Pulau Bonebatang tersebut. Tingkat kecerahan yang tinggi pada pulau Bonebatang yaitu 100% pada kedalaman 3 – 5 m menyebabkan populasi alga koralin juga ikut melimpah dengan nilai 29,3 ind/m 2. Tingkat kecerahan suatu perairan dapat dipengaruhi oleh kepadatan tersuspensi, bahan organik dan anorganik yang terdapat dalam perairan (Tarigan dan Edward, 2003). 49

Biplot (axes F1 and F2: 72.77 %)

4

3 BD1 Salinitas LL1 2 pH kekeruhan 1 Kec arus LL2 BD2 LL3 0 Oksigen Suhu

F2 (25.61 %) (25.61 F2 -1 BB3 BB1 BD3 -2 BB2 -3

-4 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5

F1 (47.15 %)

Gambar 27 . Keterkaitan faktor lingkungan dengan persentase penutupan karang dan kelimpahan alga koralin.

Kelompok II yaitu Pulau Laelae dengan parameter penciri kecepatan arus, salinitas, suhu dan kekeruhan. Ratarata kecepatan arus pada lokasi penelitian berkisar antara 0,075 0,115 m/s. Menurut Akbar (2013), pengaruh kecepatan arus disebabkan oleh letak geografis pulau itu sendiri. Pulau Laelae termasuk memiliki kecepatan arus paling tinggi karena dekat dengan daratan utama Pulau Sulawesi dan faktor biotik seperti aktifitas manusia di sekitar Pulau Laelae.

Nilai salinitas di Pulau Laelae yang memperlihatkan ratarata 34,3‰. Menurut

Lüning (1990), makro alga umumnya hidup di laut dengan salinitas antara 3032‰.

Namun banyak jenis makro alga hidup pada kisaran salinitas yang lebih besar. Salinitas berperan penting dalam kehidupan makroalga. Tetapi salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pada proses fisiologis makroalga. 50

Yang menjadi penciri Pulau Laelae berikutnya yaitu nilai kekeruhan 1,51 NTU.

Kekeruhan air ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh organisme yang terdapat di dalam perairan. Penurunan nilai kekeruhan juga bisa disebabkan adanya pengaruh arus dan gelombang yang menyebabkan beban pencemaran tersebar ke laut lepas dengan konsentrasi yang kecil (Boyd dan Litchkopper,

1982).

Derajat keasaman (pH) yang terukur memperlihatkan ratarata 7,20 yang menjadi penciri berada pada Pulau Laelae. Hal ini diperkuat pernyataan Borowitzka (1981) bahwa nilai pH pada daerah yang terdapat alga koralin sekitar pH 6,5 dan 7,5. Setiap organisme mempunyai toleransi yang berbeda terhadap pH maksimal, minimal serta optimal dan berbagai indeks keadaan lingkungan. Nilai pH air yang normal yaitu antar 6–8, sedangkan pH air yang tercemar beragam tergantung dari jenis buangannya. Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan organisme perairan, sehingga sering dipakai untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan.

Kelompok III terdiri dari Pulau Badi dicirikan dengan kandungan Ca dan DO terlarut. Tingginya kandungan Ca perairan perairan dengan ratarata 2322 mg/L. disebabkan oleh banyaknya jumlah jenis alga koralin yang ditemukan di Pulau Badi yaitu 4 spesies sehingga kandungan Ca perairan melimpah. Kandungan Oksigen terlarut (DO) yang terukur memiliki nilai ratarata 6,177 mg/L. Oksigen terlarut merupakan gas respirasi yang sering menjadi faktor pembatas dalam lingkungan perairan. Ditinjau dari segi ekosistem, kadar oksigen terlarut menentukan kecepatan metabolisme dan respirasi serta sangat penting bagi kelangsungan dan pertumbuhan organisme air. Kandungan oksigen terlarut akan berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas (Sachlan, 1982 dalam 51

Nybakken, 1988). Konsentrasi dari oksigen terlarut paling rendah yang dibutuhkan oleh organisme perairan adalah 1 ppm .

Hasil analisis komponen utama (PCA) terlihat bahwa parameter yang memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya persentase tutupan dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan adalah kandungan Ca perairan dan kecerahan.

Clark (1996), Costa Jr. et al. (2008) dan Faizal dkk. (2011) menyatakan bahwa secara alamiah terumbu karang sebagai tempat menempelnya makroalga mempunyai strategi untuk hidup dimana organisme ini dapat hidup diperairan oligotrofik dengan nutrien sedikit, bahkan akan terganggu ketika nutrien mulai berlimpah. Dengan ciriciri sebagai berikut, alga bentik mulai tumbuh dimanamana bahkan lebih cepat dari pertumbuhan terumbu karang, fitoplankton mulai berkembang pada air keruh dan mengurangi penetrasi cahaya ke terumbu karang, predator karang mulai berkembang dan meningkat.

52

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Persentase ratarata tutupan alga koralin bentuk percabangan pada ketiga pulau yang

paling tinggi berada di Pulau Bonebatang yaitu 88% dan paling rendah di Pulau

Laelae yaitu 44%. Komposisi jenis tertinggi berada di Pulau Badi dengan alga koralin

Jania sp. sebesar 65%. Sedangkan kelimpahan jenis ratarata tertinggi berada di

Pulau Bonebatang sebesar 16,00 koloni/m 2 dan terendah di Pulau Laelae 10,47

koloni/m 2.

2. Tingginya persentase tutupan dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan pada

perairan Pulau Bonebatang dan Pulau Badi dicirikan oleh kandungan Ca perairan,

kecerahan dan oksigen terlarut (DO) yang merupakan faktorfaktor yang paling

penting dalam proses pertumbuhan alga koralin. Sedangkan pada Pulau Laelae

dicirikan dengan kecepatan arus.

B. Saran

Sebaiknya di lokasi penelitian ini dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis alga koralin bentuk percabangan ( geniculate ) lainnya dan juga bentuk menyebar ( non- geniculate ), agar informasi tentang komunitas alga koralin lebih banyak diketahui selanjutnya.

53

DAFTAR PUSTAKA

Adey, W. H. 1986. Coralline algae as indicators of sea levels. Chapter 11. In : de Plassche Van, Manual for the Collection and Evaluation of Sea Level Data. Springer Netherlands, Amsterdam . Pp.229280.

Adey, W.H. and J.M. Vassar. 1975. Colonization, succession and growth rates of tropical crustose coralline algae (Rhodophyta, Cryptonemiales). Phycologia, 14(2): 5569.

Akbar, M. 2013. Kaitan kondisi oseanografi dengan kepadatan dan keanekaragaman karang lunak di Pulau Laelae, Pulau Bonebatang dan Pulau Badi. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Atmadja, W.S. 1999. Sebaran dan Beberapa Aspek Vegetasi Rumput Laut (Makro Alga) di Perairan Terumbu Karang Indonesia. Puslitbang Oseanologi–LIPI, Jakarta.

Atmadja, W.S. and W.F. Prud'homme van Reine. 2012. Ceklis keanekaragaman jenis rumput laut di Indonesia dengan sebaran dan klasifikasinya: Rhodophyceae. Coral Reef Information and Training Centre. Coral Reef Rehabilitation and Management Programme. Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta. Pp. [2], ivi, 172.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi, Studi tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press, Medan.

Borowitzka, M.A. 1981. Photosynthesis and calcification in the articulated coralline red algae Amphiroa anceps and A. foliacea . Marine Biology, 62: 1723.

Boyd, C.E. and E. Lichtkoppler. 1982. Water Quality Management in Pond Fish Culture. Auburn University, Auburn. Alabama.

Brower, J.E, J.H. Zar and C.N. von Ende. 1998. Fields and Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition. Wn. C. Brown Publisher, Dubuque.

Diwangkara, E. 2008. Penentuan Kesadahan Sementara dan Kesadahan Permanen. Erlangga, Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB). 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Direktorat Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Ehrenreich, I. 2001. Life history of articulated coralline algae. http://www.mbari.org/staff/ conn/botany/reds/ian/artcor/lifehis.htm . Diakses 13 Juli 2014.

English, S., C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Asean. ASEANAustralia Marine Science Project, Living Coastal Resources, Townsville. 54

Faizal, A., J. Jompa, M.N. Nessa dan C. Rani. 2011. Pemetaan Sebaran Tutupan Makroalga Kaitannya dengan Kualitas Lingkungan di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Semnaskan_UGM/Kelautan (KL12). Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UNHAS. Hal. 2.

Farr, T., J. Broom, D. Hart, K. Neill and W. Nelson. 2009. Common Coralline Algae of Northern New Zealand: An Identification Guide. NIWA Information Series No. 70. Science Communication, NIWA, New Zealand.

Harvey, A.S., W.J. Woelkerling and A.J.K. Millar. 2003. The Sporolithaceae (Corallinales, Rhodophyta) in Southeastern Australia: Taxonomy and 18s Rrna phylogeny. Phycologia, 41: 207–227.

Hickling, C.F. 1971. Fish Culture. Faber and Faber. London.

Hutagalung, H.P. 1997. Pengambilan dan Pengawetan Contoh Air Laut: Metode Analisa Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. P3O LIPI, Jakarta.

Kadi, A. 1986. Beberapa catatan tentang algae berzat kapur. Oseana. XI(2): 60–71.

Kuehn, K. 2015. Galileo Galilei: The Mean Speed Theorem. In: A Student's Guide Through the Great Physics Texts Undergraduate Lecture Notes in Physics 2015. Springer, New York. pp 119130

Lirman, D. 2001. Competition between Macroalgae and Corals: Effects of Herbivore Exclusion and Increased Algal Biomass on Coral Survivorship and Growth. Springer, New York. Pp. 392399.

Littler, M.M. and D.S. Littler. 2011. Algae coralline. In: David Hopley (ed.) Encyclopedia: A Modern Marine Coral Reef. Springer, New York. Pp. 20–29.

Lüning, K. 1990. Seaweeds: Their Environment, Biogeography, and Ecophysiology. Wiley, New York.

McCook, L.J. 2001. Competition between corals and algal turfs along a gradient of terrestrial influence in the nearshore central Great Barrier Reef. Coral Reefs, 19: 419425.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut – Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company Ltd., Philadelphia.

55

Salmin. 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD) sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. Oseana, XXX(3): 21–26.

Samawi, M. F. 2014. Penuntun Praktikum Penentuan Ca2+ dan Mg 2+ dalam Air Laut. FIKP UH, Makassar.

Siringoringo R.M., Giyanto, A. Budiyanto dan H. Sugiarto. 2006. Komposisi jenis dan persentase tutupan karang batu di perairan LeparPongok, Bangka Selatan. Oseanologi dan Limnologi, 41: 71–84.

Supardi, I,. 1984. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Tropical Marine Pollution. MSc Report. University of Newcastle Upon Tyne, U.K.

Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Tarigan, M.S. dan Edward. 2003. Kandungan total zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) di perairan Raha, Sulawesi Tenggara. Makara, VII(3):109119.

Tuhumena, J., J.D. Kusen dan C.P. Paruntu. 2013. Struktur komunitas karang dan biota asosiasi pada kawasan terumbu karang di perairan Desa Minanga Kecamatan Malalayang II dan Desa Mokupa Kecamatan Tombariri. Tropis, III(1): 612.

Walker, P. and E. Wood. 2005. The Coral Reef. Facts on File Inc., New York. Pp. 32–35.

Wardoyo, S.T.H. 1982. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Training Analisis Dampak Lingkungan: PPLHUNDPPUSDIPSL. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wray, J. L. 1977. Calcareous Algae. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam.

56

LAMPIRAN

Lampiran 1. Sistematika alga koralin bentuk percabangan yang ditemukan di lokasi penelitian.

SISTEMATIKA Klas Ordo Famili Genus Spesies Rhodophyceae Corallinales Corallinaceae Amphiroa Amphiroa fragilissima Amphiroa anceps Arthrocardia Arthrocardia sp. Jania Jania sp.

57

Lampiran 2. Persentase penutupan jenis alga koralin bentuk percabangan di lokasi penelitian.

Stasiun Tran Jumlah Jenis Alga Koralin % Total sek Amphiroa Amphiroa Arthrocardia Jania Penutupan anceps fragilissima sp. sp. (%) Laelae 1 0 5 10 1 2 0 7 8 3 3 0 11 10 2 44 ∑ 0 23 28 6

Rata 57 Rata

Boneba 1 4 4 48 0 tang 2 5 3 35 0 88 3 3 4 26 0

∑ 12 11 109 0

Rata 132 Rata Badi 1 2 2 5 25

2 2 1 3 8 45 3 1 2 6 15

∑ 5 5 14 48

Rata 72 Rata

58

Lampiran 3. Data kondisi perairan di lokasi penelitian.

STASIUN Sub Salinita Suh pH Kekeruh Keceraha DO Kec . Ca Perairan stasiu s (‰) u an n (%) (mg/L arus (Mg/L) n (°C) (NTU) ) (m/s)

Laelae 1 35 29 7.21 1.45 100 4.18 0.088 1901.9

2 34 29 7.12 1.68 100 5.1 0.147 1901.9

3 34 29 7.14 1.41 80 4.2 0.109 2212.21

Bone 1 34 28.6 7.16 0.38 100 4.95 0.045 1421.42 batang

2 33 28.9 7.14 0.18 100 5.1 0.088 1421.42

3 34 28.3 7.15 0.11 100 5 0.093 2472.27

Badi 1 36 28 7.21 0.58 100 6.23 0.088 2352.35

2 34 28.1 7.18 0.44 100 6.3 0.116 2292.29

3 33 28.4 7.2 0.12 100 6 0.071 2322.32

59

Lampiran 4. Hasil uji Anova kelimpahan jenis alga koralin di lokasi penelitian.

Descriptives Kelimpahan

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for Mean Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound laelae 3 10.43 5.811 3.355 4.00 24.87 4 15 bonebatang 3 14.00 7.000 4.041 3.39 31.39 9 22 badi 3 16.00 6.700 3.868 .64 32.64 9 23 Total 9 13.48 6.154 2.051 8.75 18.21 4 23

Test of Homogeneity of Variances Kelimpahan Levene Statistic df1 df2 Sig.

.102 2 6 .904

ANOVA Kelimpahan

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 47.709 2 23.854 .561 .598

Within Groups 255.307 6 42.551

Total 303.016 8

60

Multiple Comparisons Dependent Variable: Kelimpahan (I) stasiun (J) stasiun Mean Difference (I Std. Sig. 95% Confidence Interval

J) Error Lower Upper

Bound Bound bonebatang 3.567 5.326 .789 19.91 12.78 laelae badi 5.567 5.326 .578 21.91 10.78

Tukey laelae 3.567 5.326 .789 12.78 19.91 bonebatang HSD badi 2.000 5.326 .926 18.34 14.34 laelae 5.567 5.326 .578 10.78 21.91 badi bonebatang 2.000 5.326 .926 14.34 18.34 bonebatang 3.567 5.326 .528 16.60 9.47 laelae badi 5.567 5.326 .336 18.60 7.47 laelae 3.567 5.326 .528 9.47 16.60 LSD bonebatang badi 2.000 5.326 .720 15.03 11.03 laelae 5.567 5.326 .336 7.47 18.60 badi bonebatang 2.000 5.326 .720 11.03 15.03

Kelimpahan

stasiun N Subset for alpha = 0.05 1

laelae 3 10.43 bonebatang 3 14.00 Tukey HSD a badi 3 16.00

Sig. .578 laelae 3 10.43 Tukey B a bonebatang 3 14.00 badi 3 16.00 laelae 3 10.43

bonebatang 3 14.00 Duncan a badi 3 16.00

Sig. .351

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. 61