STRUKTUR KOMUNITAS ALGA KORALIN BENTUK PERCABANGAN PADA KONDISI PERAIRAN YANG BERBEDA DI PULAU LAELAE, BONEBATANG DAN BADI
SKRIPSI
ACHMAD NIRWAN L 111 08 279
Pembimbing:
Dr. Ir. Aidah A.A. Husain, M.Sc
Dr. Ir. Muh. Farid Samawi, M.Si
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014 ABSTRAK
ACHMAD NIRWAN. L111 08 279. Struktur Komunitas Alga Koralin Bentuk Percabangan pada Kondisi Perairan yang Berbeda di Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi. Dibimbing oleh AIDAH A. A. HUSAIN sebagai pembimbing pertama dan MUH. FARID SAMAWI sebagai pembimbing kedua.
Alga koralin adalah alga merah (Rhodophyta) yang memiliki kalsium karbonat yang tinggi dalam sel dindingnya. Alga ini ditemukan di seluruh dunia, diklasifikasikan ke dalam ordo Corallinales dan berasal dari suku Corallinaceae. Penelitian tentang struktur komunitas alga koralin bentuk percabangan telah dilaksanakan pada bulan Februari–Juli 2013 di perairan Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase tutupan dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan di Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi dengan metode transek kuadran yang diambil secara purposif. Hasil penelitian menunjukkan persentase tutupan alga koralin bentuk percabangan yang paling tinggi berada di Pulau Bonebatang yaitu 88% dan paling rendah yakni Pulau Laelae yaitu 44%. Komposisi jenis tertinggi berada di Pulau Badi dengan alga koralin Jania sp. sebesar 65%. Sedangkan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan tertinggi berada di Pulau Badi sebesar 16,00 koloni/m 2 dan terendah di Pulau Laelae sebesar 10,47 koloni/m 2. Tingginya persentase tutupan dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan pada perairan Pulau Bonebatang dan Pulau Badi dicirikan oleh tingginya kandungan Ca perairan, kecerahan dan oksigen terlarut (DO). Sedangkan pada pulau Laelae didapatkan penciri yaitu kecepatan arus.
Kata kunci: struktur komunitas, alga koralin bentuk percabangan, Laelae, Bonebatang, Badi
ABSTRACT
ACHMAD NIRWAN. L111 08 279. Structure of Coralline Algae Community in Geniculate Form Under the Different Water Conditions at Pulau Laelae, Bonebatang and Badi. Under the guidance of Mrs. AIDAH A. A. HUSAIN as First Advisor and Mr. MUH. FARID SAMAWI as Second Advisor.
Coralline algae is red algae (Rhodophyta) which has a high calcium carbonate in its cell walls. Coralline Algae are found around the world, classified in order Corallinales and from the tribe Corallinaceae. The research for structure of coralline alga community in geniculate forms was implemented on February until July 2013 at diverse water at pulau Laelae, Bonebatang and Badi. The research aims to determine the cover percentage and the abundance of coralline algae geniculate forms in diverse water at Pulau Laelae, Bonebatang and Badi with quadrant transect method which taken in purposive way. The results showed that the highest percentage of coralline algae in geniculate form located at P. Bonebatang in the amount of 88% and the lowest at P. Laelae in the amount of 44%. The highest species composition located at P. Badi with Jania sp. in the amount of 65%. While the highest abundance of coralline algae in geniculate form located at P. Badi in the amount of of 16.00 colony/m2 and the lowest at P. Laelae in the amount of 10.47 colony/m2. The highest cover percentage and the abundance of coralline in geniculate form at the water of P. Bonebatang and P. Badi are characterized by the high content of Ca waters, brightness and dissolved oxygen (DO). While the characteristic at P. Laelae is the current speed.
Keywords: structure community, coralline algae in geniculate form, Laelae, Bonebatang, Badi i
STRUKTUR KOMUNITAS ALGA KORALIN BENTUK PERCABANGAN PADA KONDISI PERAIRAN YANG BERBEDA DI PULAU LAELAE, BONEBATANG DAN BADI
OLEH: ACHMAD NIRWAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
ii
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Soroako, 14 Maret 1990. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Ir. H. Ruslan Muhadi, MM dan Dra. Hj. Ratna Linda Ruslan. Penulis memulai pendidikan Sekolah Dasar di SD YPS Singkole Soroako dan lulus di SD Islam Athirah Kajaolaliddo Makassar tahun 2002. Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Islam Athirah Kajaolaliddo Makassar dan lulus pada tahun 2005. Di jenjang SMA, penulis lanjut di SMA Negeri 5 Makassar dan lulus pada tahun 2008. Penulis kemudian lulus menjadi Mahasiswa pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin pada tahun 2008 melalui SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah mengikuti seminar dialog uji publik peraturan KPI tentang P3SPS di Universitas Hasanuddin pada tahun 2010 dan mengikuti pelatihan jurnalistik pers kampus bersama Majalah Gatra dan PK. Identitas Unhas pada tahun 2011. Penulis juga pernah terlibat sebagai salah satu panitia dalam kegiatan Pengembangan Taman Pendidikan Bawah Laut dan Budidaya Karang Hias Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Tekhnologi Kelautan Indonesia (HIMITEKINDO) pada tahun 2010. Selain itu, penulis juga aktif menulis tentang pergerakan subkultur di berbagai media on-line di Makassar. Penulis menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata Profesi (KKNP) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin yang termasuk dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler Universitas Hasanuddin Gelombang 82 pada tahun 2012. Penulis juga telah menyelesaikan Praktik Kerja Mandiri (PKM)-KKNP di Desa Tassiwalie, Kabupaten Pinrang pada tahun 2012 dengan judul penelitian “Analisis Sedimen pada Ekosistem Mangrove di Sekitar Perairan Desa Tassiwalie, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang” . Berkat bimbingan dari Bapak dan Ibu dosen serta doa restu dari kedua orang tua, saudara-saudaraku tercinta serta dukungan dari teman-teman, penulis berhasil menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin di tahun 2014.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil a’alamin, segala puji dan syukur ke hadirat Allah
SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya serta kesehatan kepada penulis sehingga penulis dapat mampu menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa pula shalawat serta salam bagi kekasih-Nya, Rasulullah
SAW yang telah membuka jalan yang terang benderang, sehingga penulis mampu berfikir dengan baik dan jernih dalam menjalankan kegiatan penelitian ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi- tingginya kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Ir. H. Ruslan Muhadi, MM dan
Ibunda Dra. Hj. Ratna Linda Ruslan serta adinda Soraya Annisar
Ruslan, atas segala kasih sayang, cinta, dukungan, doa, nasihat,
perhatian, kesabaran, pengertian, dan bantuannya, baik secara moril
maupun materiil bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan ini.
2. Ibu Dr. Ir. Aidah A.A. Husain, M.Sc, selaku pembimbing utama yang
senantiasa memberikan bimbingan dalam penyelesaian skripsi yang telah
banyak membantu dalam berbagai hal terlebih untuk waktu di sela-sela
kesibukan yang telah diluangkan bagi penulis untuk berkonsultasi,
memberikan saran dan motivasi dalam penyelesaian skripsi.
3. Bapak Dr. Ir. M. Farid Samawi, M.Si, selaku pembimbing anggota yang
telah meluangkan banyak sekali waktunya untuk mengarahkan dan
membimbing penulis agar dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa. M.Sc, Dr. Ir. Supriadi, M.Si
dan Dr. Ir. Muh. Hatta, M.Si, sebagai tim penguji, yang selalu
v
memberikan kritik dan saran yang membangun bagi penulis sehingga
skripsi ini bisa lebih baik.
5. Bapak Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Sc sebagai penasehat akademik, yang
telah banyak memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat
menjalani perkuliahan dengan baik.
6. Dekan, Wakil Dekan, Ketua Jurusan dan para Dosen Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, yang telah
membagikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis.
7. Seluruh staf serta karyawan Jurusan Ilmu Kelautan atas bantuannya dan
melayani administrasi penulis selama menuntut ilmu di bangku
perkuliahan.
8. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan mahasiswa Marine Science
Unhas 2008 (Mezeight) yang telah menjadi keluarga selama 6 tahun ini,
tak henti-hentinya memberikan dukungan kepada penulis.
9. Kepada seluruh teman – teman mahasiswa se-kecamatan KKN Reguler
Gel. 82 FIKP Unhas Kec. Lanrinsang, Kab. Pinrang yang selalu penuh
semangat dan canda tawa di lokasi KKN, terkhusus teman-teman Posko
Desa Amassangang yakni Ari, Andra , Dilla, Doni, Isma, Jean, Sri dan
Taufik, terimakasih atas bantuannya selama bersama-sama di lokasi
KKN.
10. Saudara seperjuangan di kampus, Fikhru, Nick, Alfian, Anca dan Matte’
yang selalu menghadirkan canda tawa dan nasehat selama pengerjaan
tugas akhir skripsi ini.
11. Teman – teman di Kedai Buku Jenny dan Katakerja yang banyak
memberi semangat dan ruang bernafas di kedai dan perpustakaan
vi
kerennya, teruskan perjuangan karena tidak ada yang baru di bawah
matahari.
12. Teman – teman staf redaksi Revius Webzine (www.revi.us) dan VONIS
Media yang banyak memberi kelonggaran waktu dan bertoleransi dengan
penulis selama menyelesaikan skripsi ini.
13. Teman – teman satu band di Speed Instinct, Dennis, Leo dan Yudha
yang secara tidak langsung banyak memberi semangat dan inspirasi
kepada penulis.
Makassar, Desember 2014
Achmad Nirwan
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………..…………………………………………. i
ABSTRAK ……………………………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………………. iii
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………………. iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. v
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. viii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………. xi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………. xii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………………. 1
B. Tujuan dan Kegunaan ………………………………………………………. 2
C. Ruang Lingkup ………………………………………………………. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Alga Koralin ……………………………………………………. 4
B. Deskripsi Alga Koralin ……………………………………………………. 7
C. Distribusi Alga Koralin ……………………………………………………. 11
D. Faktor – Faktor Parameter
Oseanografi ……………………………………………………. 12
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat ..………..……………...... 16
B. Alat dan Bahan ...………..………………………………………… 17
C. Prosedur Penelitian ….………………………………………………… 17
D. Analisis Data …………...……………………………………….. 26
viii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Jenis Alga Koralin Bentuk
Percabangan .……………………………………….. 29
B. Distribusi Jenis Alga Koralin Bentuk
Percabangan ….…………………………………….. 31
C. Persentase Penutupan Alga Koralin
Bentuk Percabangan ………………………………………. 32
D. Komposisi Jenis Alga Koralin
Bentuk Percabangan ………………………………………. 34
E. Kelimpahan Alga Koralin Bentuk
Percabangan ...……………………………………… 37
F. Parameter Lingkungan ...……………………………………… 39
G. Keterkaitan Faktor Lingkungan dengan Persentase Tutupan dan
Kelimpahan Alga Koralin bentuk Percabangan ……………………………………… 48
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ….…………………….………………………………………… 52
B. Saran ………………………………………………………………… 52
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 53
LAMPIRAN ………………………………………………………………… 56
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Hasil jumlah jenis alga koralin di lokasi penelitian ………………. 31
Tabel 2. Kelimpahan jenis alga koralin di lokasi penelitian ………………. 38
Tabel 3. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan Berdasarkan Standar Baku Mutu Air Laut di Tiga Pulau Yang Berbeda (Rata-Rata±STDEV) ………………. 39
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Teks Halaman
1. Alga koralin bentuk morfologi percabangan (geniculate) ………………. 8
2. Alga koralin bentuk morfologi menyebar (non-geniculate) ………………. 9
3. Reproduksi alga koralin bentuk percabangan ………………. 11
4. Peta lokasi penelitian ………………. 16
5. Skema transek kuadran dan pengamatan ………………. 19
6. Pengamatan transek kuadran di lokasi penelitian ………………. 19
7. Skema transek garis dan pengamatan ………………. 20
8. Pengukuran kecepatan arus .……………… 21
9. Pengukuran DO di lapangan dengan titrasi Winkler ………………. 23
10. Pengukuran Ca perairan di laboratorium ………………. 24
11. Pengukuran kadar salinitas ………………. 26
12. Jenis alga koralin bentuk percabangan yang ditemukan ………………. 29
13. Persentase tutupan tiap jenis alga koralin percabangan ………………. 32
14. Rata-rata persentase tutupan alga koralin percabangan ………………. 33
15. Komposisi jenis alga koralin di Pulau Laelae ………………. 35
16. Komposisi jenis alga koralin di Pulau Bonebatang ………………. 35
17. Komposisi jenis alga koralin di Pulau Badi ………………. 36
18. Kelimpahan tiap jenis alga koralin bentuk percabangan ………………. 37
19. Rata-rata kelimpahan tiap jenis alga koralin percabangan ……………… 38
20. Rata-rata kecepatan arus perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 40
21. Rata-rata kandungan Ca perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 42
xi
22. Rata-rata kekeruhan perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 43
23. Rata-rata pH perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 44
24. Rata-rata oksigen terlarut perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 45
25. Rata-rata salinitas perairan pada setiap stasiun pengamatan ………………. 46
26. Rata-rata suhu perairan pada setiap stasiun pengamatan. ………………. 47
27. Keterkaitan faktor lingkungan dengan persentase penutupan karang dan kelimpahan alga koralin. ………………. 49
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Sistematika alga koralin bentuk percabangan Lampiran 1. yang ditemukan di lokasi penelitian. ………………. 56
Persentase penutupan jenis alga koralin Lampiran 2. bentuk percabangan di lokasi penelitian. ………………. 57
Lampiran 3. Data kondisi perairan di lokasi penelitian. ………………. 58
Hasil uji Anova kelimpahan jenis alga koralin Lampiran 4. di lokasi penelitian. ………………. 59
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terumbu karang adalah struktur bawah air yang tersusun dari endapan kalsium karbonat (CaCO 3), yang dihasilkan oleh fauna karang yang pada umumnya dijumpai di perairan tropis (Razak dan Simatupang, 2005 dalam Tuhumena dkk., 2013). Adapula faktor faktor fisika dan ekologi yang menjadi pembatas kehidupan terumbu karang yaitu suhu, salinitas, cahaya, sedimentasi, gelombang dan kedalaman. Faktor ekologi yaitu persaingan, pemangsaan dan grazing (Nybakken, 1988; Tuhumena dkk., 2013). Di daerah terumbu karang hidup organisme yang berasosiasi yaitu alga, krustasea, moluska, ekinodermata dan ikan (Nontji, 2002 dalam Tuhumena dkk., 2013).
Kualitas lingkungan perairan sangat menentukan keberlangsungan kehidupan pada setiap ekosistem. Pada perairan yang subur akan diikuti oleh tingginya biodiversitas, seperti pertumbuhan fitoplankton dan alga. Beberapa fenomena tersebut memperlihatkan bahwa ada keterkaitan yang sangat jelas antara peningkatan jumlah nutrien yang masuk ke dalam perairan terhadap peningkatan produktivitas primer yang memicu pertumbuhan makroalga yang pada akhirnya berpengaruh secara tidak langsung dengan terumbu karang (McCook, 2001; Faizal dkk., 2011).
Makroalga adalah salah satu jenis organisme yang hidup di sekitar ekosistem terumbu karang dengan pertumbuhan relatif lebih cepat dibandingkan hewan karang.
Pada daerah perairan dingin, makroalga membentuk komunitas besar dan menjadi ekosistem yang didominasi oleh spesies makroalga yang berukuran besar seperti
Laminaria dan Porphyra. Pada daerah perairan panas seperti di daerah tropis, makroalga 2
hidup berdampingan dengan ekosistem lain seperti ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Indonesia memiliki tidak kurang dari 628 jenis makro alga dari 8000 jenis makro alga yang ditemukan di seluruh dunia (Lüning, 1990).
Berbagai jenis makroalga berkapur banyak ditemui di terumbu karang, seperti alga berkapur Halimeda dan alga koralin. Alga koralin adalah alga merah (Rhodophyta) yang memiliki kalsium karbonat yang tinggi dalam sel dindingnya. Alga ini ditemukan di seluruh dunia, diklasifikasikan ke dalam ordo Corallinales dan berasal dari suku
Corallinaceae (Farr et al. , 2009). Alga koralin secara sederhana dibagi menjadi dua berdasar bentuknya yaitu alga koralin bentuk percabangan ( geniculate ) dan menyebar
(non-geniculate ) (Littler and Littler, 2011).
Penelitian mengenai alga koralin telah dilakukan oleh Adey (1986), Farr et al.
(2009) dan Littler and Littler (2011) yang fokus pada alga koralin. Sedangkan informasi mengenai alga koralin di perairan Indonesia khususnya di Kepulauan Spermonde belum banyak diketahui, seperti habitat, kelayakan parameter hidup, distribusi, kepadatan dan aspek ekologi lainnya. Selain itu, alga koralin masih belum dilirik oleh peneliti karang bahkan oleh ahli ganggang laut ( algologist /phycologist ) di Indonesia untuk diteliti lebih lanjut, sehingga perlu adanya kajian mendalam tentang alga koralin ini.
B. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase penutupan, komposisi jenis, dan kelimpahan alga koralin bentuk percabangan pada tiga pulau di perairan Kepulauan
Spermonde, yaitu di Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi serta kaitannya dengan parameter oseanografi. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber 3
informasi bagi penelitian selanjutnya yang dapat menjadi dasar pengelolaan sumberdaya hayati laut khususnya kondisi struktur komunitas alga koralin bentuk percabangan di perairan Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi:
• Persentase penutupan, komposisi jenis dan kelimpahan alga koralin bentuk
percabangan.
• Parameter lingkungan yang diukur berupa kecepatan arus, kecerahan, kedalaman,
kekeruhan, oksigen terlarut (DO), pH, suhu, salinitas dan kandungan Ca perairan.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Alga Koralin
Alga (ganggang) termasuk tumbuhan tingkat rendah yang berukuran mikroskopis, dimana susunan kerangka tubuhnya tidak dapat dibedakan antara akar, batang dan daun, sehingga keseluruhan tubuhnya dikenal dengan nama thallus . Beberapa alga mempunyai bentuk kerangka tubuh yang menyerupai tumbuhan berakar, berbatang dan berdaun atau berbuah, tetapi semua bentuk tubuh alga tersebut sebetulnya hanyalah thallus (Nontji,
2002).
Alga koralin adalah alga merah yang memiliki tingkat kalsifikasi yang tinggi, dimana terdapat kandungan kalsium karbonat yang tinggi dalam sel dindingnya (Farr et al. , 2009).
Tubuhnya berupa thallus yang tersusun dari rangkaian sel yang bergabung membentuk seperti rusuk (Littler and Littler, 2011).
Alga koralin termasuk dalam ordo Corallinales dengan tiga suku yang sekarang diketahui adalah Corallinaceae, Hapalidiaceae, dan Sporolithaceae. Bukti yang mendukung tentang hal ini adalah klasifikasi yang berasal dari studi anatomi/morfologi dan analisis molekuler, sehingga ada pemisahan menjadi tiga suku yang merupakan data paling mutakhir (Harvey et al ., 2003).
Urutan klasifikasi dari ordo Corallinales sebagai berikut (Algaebase.org, 2009; dalam Littler and Littler, 2011):
Corallinaceae Fosliella (M.A. Howe) Goniolithon (Foslie) Heteroderma (Foslie) Litholepis (Foslie) 5
Porolithon (Foslie) Pseudolithophyllum (Lemoine) Subfamili Lithophylloideae Ezo (Adey, Masaki, & Akioka) Lithophyllum (Philippi) Paulsilvella (Woelkerling, Sartoni & Boddi) Tenarea (Bory de Saint Vincent) Titanoderma (Nägeli) Subfamili Mastophoroideae Hydrolithon (Foslie) Foslie) Lesueuria (Woelkerling & Ducker) Lithoporella (Foslie) Foslie) Mastophora (Decaisne) Metamastophora (Setchell) Neogoniolithon (Setchell & Mason) Pneophyllum (Kőtzing) Spongites (Kőtzing) Subfamili Amphiroideae Amphiroa (J.V. Lamouloux) Lithothrix .(I.E. Gray) Subfamili Corallinoideae Alatocladia (Yendo) Johansen) Arthrocardia (Decaisne) Bossiella (P.C. Silva) Calliarthron (Manza) Chiharea (Johansen) Cheilosporum (Decaisne) Zanardini) Corallina (Linnaeus) Dermatolithon (Foslie) Haliptilon (Decaisne) Lincley) Jania (J.V. Lamoroux) Marginisporum (Yendo) Ganesan) Pachyarthron (Manza) Rhizolamiella (Scheveiko) Serraticardia (Yendo) P.C. Silva) Yamadaea (Segawa) Subfamili Metagoniolithoideae Metagoniolithon (Weber van Bosse)
Hapalidiceae Subfamili Austrolithoideae Austrolithon (A.S. Harvey & Woelkerling) Boreolithon (A.S. Harvey & Woelkerling) Epulo (R.A. Townsend & Huisman) Subfamili Choreonematoidea Choreonema (F. Schmitz) 6
Subfamili Melobesiodeae Clathromorphum (Foslie) Exilicrusta (Y.M. Chamberlain) Kvaleya (W.H Adey & Sperapani) Leptophytum (W.H. Adey) Lithothamnion (Heydrich) Mastophoropsis (Woelkerling) Melobesia (J.V. Lamouroux) Mesophyllum (Lemoine) Phymantolithon (Foslie) Synarthrophyton (Townsend) Sporolithaceae Subfamili Sporolithoideae Sporolithon (Heydrich) Heydrichia (Townsend, Y.M. Chamberlain & Keats)
Alga koralin dapat diketahui dari bentuk thallus nya yang berbatu, terbentuk karena pengaruh endapan kapur yang terkandung di dalam dan di antara sel dindingnya. Zat kapur yang mengeras dari CaCO 3 merupakan salah satu faktor dimana alga koralin dapat tumbuh di perairan dangkal serta kedalaman beberapa meter, dan cukup banyak ditemukan di mana saja di dunia. Alga koralin biasanya dapat tumbuh di daerah beriklim hangat serta di tempat tempat beriklim sangat dingin.
Alga koralin merupakan tumbuhan purba yang muncul di awal masa Cretaceous dan telah menjadi komponen penting dalam komunitas perairan dangkal Pada masa
Cenozoicum, peningkatan jumlah alga paling banyak dari keragaman jenisnya sepanjang sejarah. Sekarang ada sekitar 1.600 spesies crustose coralline algae (Woelkerling, 1988 dalam Littler and Littler, 2011) dan 649 spesies purba (Aguirre et al. , 2000 dalam Littler and Littler, 2011).
Yang menarik, pada habitat pesisir pada masa Miosin dapat diketahui karakteristiknya melalui endapan alga koralin yang blooming (rhodalgal facies ). Alga yang berkembang pesat pada masa blooming itu menimbulkan pembentukan terumbu karang 7
yang dominan memproduksi kalsium karbonat di daerah tropis dan subtropis (Esteban,
1996 dalam Littler and Littler, 2011).
Alga koralin memiliki sebaran habitat yang mencakup sebagian besar substrat keras yang tersedia, ada yang melekat seperti kerak ( crustose ) atau akar seperti holdfasts
(haustoria ). Sifat alga koralin umumnya epifit (pada tanaman lain) atau epizoik (pada hewan), dan beberapa ada yang bersifat parasit bahkan endofit. Terlepas dari sifat sifat tersebut, alga koralin masih belum menarik minat untuk diteliti lebih lanjut oleh ilmuwan karang, bahkan oleh para ahli ganggang laut ( algologist ) (Littler and Littler, 2011).
B. Deskripsi Alga Koralin
1. Morfologi
Alga koralin atau alga berkapur muncul dalam berbagai macam bentuk dan ukuran. Beberapa terlihat seperti cabang yang runcing serta menyerupai benang filamen yang tersebar di atas permukaan karang dan batu. Filamen ini mampu untuk menjebak sedimen dan semen partikel bersama sama. Dengan cara ini, alga berkapur memperkuat dan mendukung struktur terumbu karang. Bahkan jika badai datang dan koloni karang banyak yang rusak, alga berkapur cepat mengikatkan bagian karang yang rusak kembali bersama sama (Walker and Wood, 2005).
Alga koralin dapat tumbuh di bawah pencahayaan yang sangat intens serta di bawah pencahayaan yang sangat redup. Corak warna alga koralin ini biasanya merah muda atau merah, tetapi beberapa spesies dapat menjadi variasi ungu, biru, abu abu hijau, atau coklat (Littler and Littler, 2011) .
Secara morfologi, alga koralin dapat dilihat dengan sederhana dari bentuknya berupa geniculate (bentuk percabangan) dan non geniculate ( menyebar ). Pemisahan 8
sederhana dengan melihat bentuknya meskipun berguna, bukan lagi merupakan susunan filogenetik baku untuk dipakai sebagai bahan acuan dalam mengidentifikasi alga koralin
(Bailey,1999 dalam Littler and Littler, 2011).
Bentuk geniculate adalah bentuk percabangan memiliki dua segmen, yang tidak terkalsifikasi dan separuh terkalsifikasi (Gambar 1). Segmen yang tidak terkalsifikasi biasanya memiliki genicula berupa celah atau sendi di antara segmen yang terkalsifikasi, sementara segmen yang terkalsifikasi biasanya disebut intergenicula. Geniculate kadang juga disebut dengan articulated , atau turfing , karena seringkali bentuknya pendek dan terdapat pada terumbu karang di daerah intertidal (Farr et al. , 2009).
Gambar 1. Alga koralin yang memiliki bentuk morfologi geniculate (sumber: Littler and Littler, 2011).
Sedangkan bentuk non-geniculate yang segmennya terkalsifikasi sepenuhnya, kadang kadang juga dikenal sebagai crustose atau encrusting karena bentuk pertumbuhan sebagian besar spesiesnya menyebar dan tidak memiliki percabangan 9
(Gambar 2). Corallines non-geniculate yang hidup bebas dikenal sebagai rhodoliths (atau maerl – istilah yang digunakan terutama di Eropa) (Farr et al ., 2009).
Gambar 2. Alga koralin yang memiliki bentuk morfologi non-geniculate (Sumber: Littler and Littler, 2011).
Ketebalan crustose (non-geniculate) berkisar dari ukuran mikrometer hingga sentimeter. Bentuknya tipis sehingga lebih cepat tumbuh pada semua substrat keras dan organisme laut lainnya. Crustose yang berupa lembaran tipis seperti kerak yang mengeras dan menebal, tumbuh lambat di atas permukaan karang yang bercabang hingga kolumnar, dan berakhir memadat di bagian dasar karang. Crustose ini bentuk thalli nya tebal, biasanya terdiri dari tiga lapisan: hypothallus di bagian bawah, perithallus di bagian tengah, dan epithallus di bagian atas. Pada beberapa marga, trichocytes (sel sel rambut, megacells ) terdapat di bagian plat horisontal dalam lapisan epithallus , seperti pada
Porolithon (Littler dan Littler, 2011).
2. Reproduksi
Sebagian besar spesies alga koralin tumbuh relatif lambat dan memiliki kehidupan sejarah yang rumit, mencakup fase reproduksi baik seksual maupun aseksual. Reproduksi 10
seksual dan aseksual terletak pada semua struktur thallus-nya. Segmen aseksual membentuk spora yang berkecambah membentuk thalli baru. Pada sistem reproduksi secara seksual, sel jantan dan betina melepaskan gamet yang bergabung membentuk zigot. Zigot ini mengalami pembelahan sel yang menghasilkan spora. Spora kemudian menetap pada cangkang hewan seperti kepiting dan teritip dimana mereka tumbuh membentuk struktur filamen yang mengebor cangkang hewan inangnya (Walker and
Wood, 2005).
Pada beberapa jenis alga, sperma dilepaskan ke laut, sementara sel betina tetap berada dalam thallus . Untuk memastikan bahwa sperma yang berenang bebas tersebut dapat menemukan sel telur, beberapa spesies melepaskan kandungan feromon , yakni semacam zat kimia yang berfungsi sebagai sinyal. Ketika sel telur mengeluarkan feromonnya, sperma dapat mengendusnya, layaknya pencari jejak, ke arah sel telur.
Tanpa feromon ini, sel sperma dan telur pada beberapa spesies tidak akan mampu untuk bersatu (Walker and Wood, 2005).
Alga koralin bentuk percabangan memiliki tiga tahap reproduksi. Seperti kebanyakan ganggang merah lainnya, alga koralin bentuk percabangan memiliki tetrasporofit struktural yang identik dan gametofit, dengan tahap karposporofit parasit menengah. Baik tetrasporofit maupun karposporofit adalah tahap kehidupan diploid, sedangkan gametofit adalah haploid. Pembelahan meiosis terjadi pada sporofit, yang mengarah ke pelepasan tetraspor haploid. Setelah spora ini menetap di substrat berbatu, mereka berkembang menjadi gametofit pria atau wanita. Pembuahan terjadi secara oogamous dengan carpogonia non motil yang dibuahi oleh spermatia non motil.
Penggabungan dari pronukleus hasil dari gamet haploid ini menghasilkan pembentukan 11
diploid dari carposporofit yang menghasilkan carpospores. lalu karposporofit berbuah melepaskan carpospor yang diploid, kemudian berkembang menjadi tetrasporofit
(Ehrenreich, 2001).
Sistem reproduksi pada alga koralin bentuk percabangan ( geniculate ) dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Reproduksi alga koralin bentuk percabangan (geniculate ) (sumber: Ehrenreich, 2001 dalam mbari.org ).
C. Distribusi Alga Koralin
Alga koralin menempati kisaran kedalaman yang hampir seluruhnya dihuni oleh organisme fotosintetik, dari daerah intertidal sampai kedalaman tinggi sekitar 274 m.
Kelimpahan besar alga koralin di laut ternyata kurang dipelajari padahal mereka 12
mempunyai kontribusi besar terhadap produktivitas, jaringan makanan laut, sedimentologi dan biogenesis karang di laut tropis (Littler and Littler, 2011).
Beberapa jenis alga koralin terkalsifikasi atau menyebar seperti Porolithon ,
Lithophyllum , dan Neogoniolithon sangat berperan penting dalam peningkatan terumbu karang. Alga ini akan membentuk zonasi tersendiri pada daerah yang terlindung dari hempasan gelombang (Adey and Vassar, 1975).
Menurut Kadi (1986), terumbu karang merupakan habitat alga koralin yang paling baik. Bila dilihat secara sepintas kehidupan kedua jenis, alga dan karang, saling menguntungkan. Fotosintesis dari alga menghasilkan oksigen yang berguna bagi respirasi karang, sedangkan respirasi karang dan hewan hewan lain menghasilkan karbon dioksida yang dipakai dalam fotosintesis alga. Adanya alga ini sebenarnya merupakan pesaing yang tidak kentara terhadap pertumbuhan karang di antaranya terjadinya perusakan pada dinding karang yang diakibatkan oleh lajunya pertumbuhan alga berzat kapur yang relatif lebih cepat bila dibanding dengan pertumbuhan karang.
D. Faktor Faktor Parameter Oseanografi
1. Arus
Alga merupakan organisme yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air
(DJPB, 2005). 13
Penyebaran lokal makroalga di suatu daerah juga dipengaruhi oleh kondisi substrat dan pergerakan air (arus/gelombang). Arus dapat terjadi karena pasang dan angin. Arus pasang lebih mudah diramal dibanding dengan arus karena angin. Arus tidak terlalu banyak menyebabkan kerusakan pada tanaman dibanding dengan ombak. Kisaran kecepatan arus yang cukup untuk pertumbuhan rumput laut antara 20–40 cm/detik
(Lüning, 1990).
2. Kandungan kalsium (Ca) perairan
Air laut mengandung 3,5% garam garaman yang mempengaruhi sifat fisis air laut
(seperti densitas dan temperatur dimana densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Garam garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%). Keberadaan kandungan kalsium (Ca) yang signifikan di dalam air laut dapat mempengaruhi pertumbuhan organisme yang berada di ekosistem terumbu karang khususnya alga koralin, karena kandungan Ca membuat air laut menjadi air sadah yaitu air yang mengandung ion Ca 2+ dan Mg 2+ (Diwangkara, 2008).
Penumpukan kalsium karbonat di terumbu karang tidak hanya dihasilkan oleh biota biota seperti karang, moluska, ekinodermata dan hewan hewan lain yang membentuk cangkang CaCO 3 tetapi juga diproduksi oleh alga berzat kapur. Odum and
Odum (1955) dalam Kadi (1986) memperkirakan bahwa penyerapan kalsium dalam kerangka kapur karang 7 38% adalah dari CaCO 3. Di dalam alga berzat kapur kandungan karbonat kalsium merupakan senyawa yang paling utama dibanding senyawa senyawa lain seperti karbonat magnesium dan karbonat strontium. 14
3. Kekeruhan
Kekeruhan adalah suatu ukuran biasan cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi dari suatu polutan yang terkandung dalam air (Lüning,
1990). Menurut Boyd and Lichtkoppler (1982), kondisi kekeruhan yang optimal bagi makroalga adalah kurang dari 40 NTU.
4. Oksigen terlarut (DO)
Menurut Salmin (2005), oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun ( toksik ). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle,
1968 dalam Salmin, 2005). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari
1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70%
(HUET, 1970 dalam Salmin, 2005). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonim, 2004 dalam
Salmin, 2005).
5. pH
Perairan yang berkondisi asam dengan pH kurang dari 6,0 dapat menyebabkan ganggang tidak dapat hidup dengan baik. Perairan dengan nilai pH lebih kecil dari 4,0 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian organisme air, sedangkan pH lebih dari 9,5 merupakan perairan yang sangat basa dan dapat mengurangi 15
produktivitas organisme air termasuk ganggang (Wardoyo, 1982). Air yang bersifat basa dan netral menjadikan organisme yang hidup di dalamnya lebih produktif untuk tumbuh dan berkembang dibandingkan dengan air yang bersifat asam (Hickling, 1971).
6. Salinitas
Makroalga umumnya hidup di laut dengan salinitas antara 30–32‰. Namun banyak jenis makroalga mampu hidup pada kisaran salinitas yang besar. Salinitas berperan penting dalam kehidupan makroalga. Salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pada proses fisiologis (Lüning, 1990). Salinitas juga mempengaruhi penyebaran makroalga di lautan. Makroalga yang mempunyai toleransi besar terhadap salinitas ( eurihalin ) akan tersebar lebih luas dibandingkan dengan makroalga yang mempunyai toleransi kecil terhadap salinitas ( stenohalin ).
7. Suhu
Pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis, selain cahaya dan konsentrasi fosfat (Odum,
1971). Rumput laut hidup dan tumbuh pada perairan dengan kisaran suhu air antara 20–
28°C, namun masih ditemukan tumbuh pada suhu 31°C (Lüning, 1990).
16
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari–Juli 2013 di perairan Pulau
Laelae, Bonebatang dan Badi (Gambar 4). Waktu tersebut meliputi survei awal, studi literatur, pengambilan data di lapangan, analisis data serta penyusunan laporan akhir.
Sedangkan untuk identifikasi sampel dan analisis data dilakukan di Laboratorium
Oseanografi Kimia Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin.
Gambar 4. Peta lokasi penelitian di Pulau Laelae, Bonebatang dan Badi. 17
B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu: perahu motor , digunakan untuk transportasi di lapangan; GPS (Global Positioning System) sebagai penentu titik sampling; alat selam dasar atau SCUBA untuk pengambilan sampel alga koralin; kantong sampel digunakan sebagai tempat menyimpan sampel alga koralin; botol sampel untuk menaruh air sampel; termometer untuk mengukur suhu; Water Quality Checker untuk mengukur salinitas; turbiditimeter untuk mengukur kekeruhan; layang-layang arus, stopwatch dan kompas digunakan untuk menentukan arah dan kecepatan arus; meteran
50 m untuk membuat transek; kamera digital untuk dokumentasi sampel di lapangan; sabak dan alat tulis untuk mencatat data di lapangan; aquades untuk mensterilkan/melarutkan zat kimia; labu erlenmeyer, botol BOD, gelas ukur, pipet tetes, pipet volumetri dan statis untuk pengukuran DO (oksigen terlarut) di lapangan; larutan
EDTA 0,01 M, larutan NaOH 1 N dan mureksid untuk pengukuran Ca (kalsium) di laboratorium. Sementara bahan berupa sampel air laut diambil untuk mengukur kandungan Ca, kekeruhan, pH dan salinitas.
C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini meliputi kegiatan persiapan/observasi lapangan, penentuan stasiun, pengambilan sampel dan pengukuran parameter pendukung, analisis data serta penyusunan laporan akhir. a. Tahap Persiapan
Tahap ini meliputi studi literatur dan pengumpulan data yang berhubungan dengan penelitian, survei awal lapangan untuk mengetahui gambaran yang jelas mengenai kondisi 18
umum lokasi penelitian, serta menyiapkan peralatan yang akan digunakan dalam penelitian.
b. Tahap Penentuan Stasiun
Penentuan stasiun penelitian berdasarkan perbedaan karakteristik perairan secara visual. Jumlah stasiun yang diamati sebanyak 3 stasiun. Stasiun penelitian ditujukan pada
3 pulau yaitu Pulau Laelae, Pulau Bonebatang dan Pulau Badi (Gambar 4).
Penentuan lokasi dilakukan secara purposif, dengan 3 kali ulangan pada sisi utara, barat dan selatan setiap pulau. Sampling purposif dilakukan pada di daerah reef flat
(rataan terumbu karang) pada kedalaman 1–3 m yang paling banyak memiliki tutupan alga koralin. Dalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu. Jika satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu koloni lainnya maka tiap bagian yang terpisah itu dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua koloni atau lebih tumbuh di antara koloni yang lain, maka masing masing koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah.
c. Pengamatan Alga Koralin
Pengamatan alga koralin menggunakan metode transek kuadran 1 m x 1 m dengan setiap kisi berukuran 20 cm dan Line Intercept Transect (LIT) sejajar sepanjang 50 meter sebagai transek pemandu (Gambar 5). Sampling dilakukan pada garis transek yang sama secara purposif sebanyak 3 ulangan pada daerah reef flat (rataan terumbu karang) yang dominan dengan alga koralin. Alga koralin yang ditemukan di setiap kisi kemudian dicatat jumlah individunya untuk setiap jenis dan diambil gambarnya. Identifikasi jenis untuk alga koralin yang ditemukan dilakukan di laboratorium. Skema untuk transek 19
kuadran dapat dilihat pada Gambar 6 dan skema untuk transek garis dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 5. Skema transek kuadran yang digunakan untuk sampling alga koralin (sumber: Faizal dkk., 2011).
Gambar 6. Pengamatan alga koralin dengan transek kuadran di lokasi penelitian.
20
(a)
(b)
Gambar 7. (a) Skema Line Intercept Transect (LIT) atau transek garis sebagai pemandu transek kuadran (sumber: English et al. , 1994) dan (b) pengamatan alga koralin dengan transek garis sebagai pemandu di lokasi penelitian.
21
d. Pengukuran Parameter Oseanografi
Untuk pengukuran kondisi perairan, dilakukan pengukuran secara langsung di lapangan, yang meliputi pengukuran arus, kedalaman, oksigen terlarut, pH dan suhu.
Untuk pengukuran kandungan Ca perairan, kekeruhan dan salinitas dilakukan di
Laboratorium Oseanografi Kimia Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Adapun metode pengambilan data kondisi perairan sebagai berikut:
1. Kecepatan dan arah arus
Pengukuran kecepatan dan arah arus dilakukan secara insitu dan diukur dengan menggunakan drift float (layang layang arus) yang dilengkapi dengan tali berskala 15 meter (Gambar 8).
Gambar 8. Pengukuran kecepatan arus menggunakan layang layang arus.
Prosedurnya yaitu layang layang arus dilepas ke perairan bersamaan dengan diaktifkannya stopwatch . Ketika tali menegang, stopwatch dimatikan dan jarak tali dihitung, 22
kemudian dicatat jarak dan waktu yang digunakan sampai tali menegang. Untuk penentuan arah arus digunakan kompas geologi, tujuannya untuk mengetahui arah pergerakan arus.
Perhitungan kecepatan arus menggunakan rumus dari Galilei (1954) dalam Kuehn
(2015):
V =
dimana: V = kecepatan arus (m/dtk)
S = jarak (m)
t = waktu (dtk)
2. Kekeruhan
Pengukuran kekeruhan perairan diukur menggunakan turbidimeter di laboratorium.
Satuan kekeruhan dalam NTU.
3. Oksigen terlarut (DO)
Pengukuran oksigen terlarut dengan menggunakan metode titrasi Winkler di lapangan (Gambar 9). 23
Gambar 9. Pengukuran DO di lapangan menggunakan metode titrasi Winkler.
Prosedurnya yakni sampel air laut dimasukkan ke dalam botol sampel. Kemudian ditambahkan 2 ml mangan sulfat (MnSO 4) dengan menggunakan pipet, lalu sampel tersebut diaduk dengan cara membolak balik botolnya. Lalu ditambahkan 2 ml NaOH + Kl kemudian ditutup dan botol sampel dibolak balik sampai terbentuk endapan coklat.
Berikutnya, ditambahkan 2 ml H 2SO 4 pekat kemudian tutup dan bolak balik botol sampel hingga sampel berwarna kuning tua. Selanjutnya diambil 10 ml air dari botol sampel, dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer, lalu air sampel dititrasi dengan Na thiosulfat hingga terjadi perubahan warna dari kuning tua ke kuning muda. Kemudian tambahkan 5
8 tetes indikator amylum hingga terbentuk warna biru. Titrasi dilanjutkan dengan Na thiosulfat sampai berwarna bening.
Perhitungan DO (Hutagalung dkk.,1997):