MAHAR DAN UANG PANAI’ MENURUT TAFSIR AL-MISBAH (STUDI KRITIS TERHADAP PERNIKAHAN MASYARAKAT SUKU BUGIS) Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh

gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

Nysa Riskiah Lakara NIM: 15210687

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA

2019 M/ 1440 H MAHAR DAN UANG PANAI’ MENURUT TAFSIR AL-MISBAH (STUDI KRITIS TERHADAP ADAT PERNIKAHAN MASYARAKAT SUKU BUGIS) Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh: Nysa Riskiah Lakara NIM: 15210687

Pembimbing:

Iffaty Zamimah, M.Ag

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA

2019 M/ 1440 H

MOTTO

Tidak ada hasil yang menghianati usaha

iii

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan tulisan ini untuk orang tua terkasih ”Bapak. Kasrin A. Lakara dan Ibu Nurhasanah Ali” terimakasih untuk do‟a yang tidak pernah putus demi yang terbaik untuk anaknya,

Terimakasih kepada dosen pembimbing Ibu Iffaty Zamimah M.Ag. yang selalu sabar membimbing, menasehati, mensupport, sampai pada titik ini.

Teruntuk almamater Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, terimakasih telah menjadi rumah ternyaman ditanah rantau selama kurang lebih 4 tahun ini.

v

بِ ْس ِم هَّللاِ ال هر ْح َم ِن ال هر ِحي ِم KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Sholawat teriring salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw sebagai suri tauladan bagi kita semua.

Skripsi yang berjudul “Mahar dan Uang Panai’ menurut tafsir Al- Misbah (Studi Kritis terhadap Adat Pernikahan Masyarakat Suku Bugis)” Disusun untuk memenuhi syarat gelar sarjana strata satu (S1) Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuludin dan Dakwah, Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta.

Selesainya skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan yang telah diberikan selama masa perkuliahan baik berupa ilmu pengetahuan, tenaga, waktu serta do‟a restu serta motivasi dari berbagai pihak lain, baik langsung maupun tidak langsung. Kepada:

1. Rektor Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta, Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, Lc, MA. Dr. Hj. Nadjematul Faizah SH., M. Hum. Sebagai Warek I, Dr. H. M. Dawud Arif Khan, SE., M.Si., Ak., CPA. sebagai Warek II, dan Dr. Hj. Romlah Widayanti, M. Ag, sebagai Warek III. 2. Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah. 3. KH. Muhammad Haris Hakam. SH., MA., ketua program studi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta beserta

vi

Ibu Mamluatun Nafisah, M.Ag., selaku sekretaris program studi Ilmu Al- Qur`an dan Tafsir. 4. Ibu Iffaty Zamimah M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam mengerjakan skripsi. Dengan keilmuan dan kesabarannya sampai penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan baik. 5. Bapak Sofian Effendi, S.Th.I, MA dan Ibu Istiqomah M.A., selaku penguji dalam sidang skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu dosen Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis serta mengajarkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. 7. Staf Fakultas Ushuluddin terima kasih atas semua waktu, semangat, dorongan dan motivasinya. Dan juga kepada Staf Perpustakaan IIQ Jakarta. 8. Ucapan terima kasih kepada instruktur tahfidz, Ibu Hj. Muthmainnah, Ibu Hj. Atiqoh,Ibu Arbiyah, dan Ibu Hj. Istiqomah, terima kasih atas waktu dan motivasi yang luar biasa kepada penulis untuk lebih dekat dengan Al-Qur`an. 9. Takhassus IIQ Jakarta, rumah kedua penulis dalam perantauan, yang telah menjadi tempat bernaung penulis selama 3 tahun dan telah banyak memberikan pelajaran dan kenangan manis didalamnya. 10. Terima kasih untuk keluarga tercinta, ayah Kasrin Lakara dan ibu Nurhasanah Ali. Yang telah memberikan cahaya kehidupan, yang tak pernah lupa melafadzkan nama penulis dalam setiap do‟a-do‟anya. Terima kasih atas setiap tetesan peluh dan keringat yang tidak akan bisa terbalaskan dengan hal apapun. Dari keduanya penulis belajar untuk tetap sabar dan kuat dalam keadaan apapun. Semoga Allah memberikan

vii

kesehatan, kebahagiaan, perlindungan dan keselamatan dunia akhirat kepada kedua cahaya kehidupanku. 11. Kepada guru-guru yang telah membimbing sejak penulis sejak TK sampai sekarang 12. Kepada 4 Sahabat tercinta, Muthmainnah S. Ali Lamu, Nur Amirah, Nur Chalifah dan Nur Ayu Qomariya, terima kasih telah membersamai dalam suka dan duka selama menjalani perkuliahan di IIQ Jakarta, yang senantiasa saling memberikan dukungan, semangat dan saling menguatkan dalam hal apapun, tanpa kalian apalah aku. 13. Kepada Arik Nur Maudina, Siti Nur Laili, dan Nurhasanah Nasution yang telah memberikan dukungan dan do‟a untuk penulis 14. Teman-teman seperjuangan kelas 8B yang sudah membersamai selama kurang lebih 4 tahun, dan teman-teman seperjuangan se-dosen pembimbing skripsi, yang senantiasa saling memberikan dukungan dan motivasi. 15. Teman-teman seangkatan 2015 Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta 16. Keluarga besar Keagamaan angkatan 2015 M.A Alkhairaat Pusat Palu, yang telah memberikan do‟a dan dukungan 17. Keluarga besar Persaudaraan Mahasiswa Bugis Makassar (PMBM) Institut PTIQ-IIQ Jakarta. 18. Pihak-pihak yang telah telah mendukung, membantu dan mendo‟akan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu keabjad yang lain. Dalam penulisan skripsi di IIQ Jakarta, transliterasi Arab-Latin mengacu pada berikut ini:

1. Konsonan

th : ط a : أ

zh : ظ b : ب

„ : ع t : ت

gh : غ ts : ث

j ؼ : f : ج

h ؽ : q : ح

kh ؾ : k : خ

d ؿ : l : د

m : ـ dz : ذ

n : ف r : ر

w : ك z : ز

h : ق s : س

‟ : ء zy : ش

y : م sh : ص

dh : ض

ix

2. Vokal Vokal Tunggal Vokal Tunggal Vokal Rangkap ai : يْ â :أ Fathah : a au : وْ î:ي Kasrah : i û:ْو Dhammah : u

3. Kata Sandang qamariyah (ال) a. Kata sandang yang diikuti alif lam qamariyah dengan (ال) Kata sandang yang diikuti oleh alif lam bunyinya. Contoh :

: al-Baqarah اَلْبػََقَرةُ al-MadĬnah : ِ اَلَْمديػْنَةُ syamsiyah(ال) b. Kata sandang yang diikuti oleh alif-lam syamsiyah (ال) Kata sandang yang diikuti oleh alif-lam ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan didepan dan sesuai dengan bunyinya. Contoh : ar-Rajul ِ :asy-Sayyidah: اَل َّسي َدةُ اَُلَّر جلُ

ad-Dârimĭ : asy-Syams : ِ اَل َّش ْم سُ اَلَّداَرم ْيُ

c. Syaddah(Tasydid) Syaddah(Tasydid) dengan system aksara Arab digunakan lambang ,sedangkan untuk alih aksara ini dilambangkan dengan huruf ,( ّْ_) yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydid. Aturan

x

ini berlaku secara umum, baik tasydid yang berada di tengah kata, di akhir kata, ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Contoh :

Âmannâ billâhî : ِ اَٰمنَّاُِِب ٰ ُلل Âmannâ as-Sufahâ’u : ٓ اَٰم َّنُال ُّسَفَها ءُ Inna al-Ladzîna : ِ َِّ إ َّفُالذيْ َنُ

: Wa ar-rukka’i َكالُّرَّكِعُ (ة)d. Ta Marbutha apabilaberdirisendiri, waqaf ataudiikutioleh kata (ة)Ta Marbutha sifat (na’at), makahuruftersebutdialihaksarakanmenjadihuruf “h”. Contoh :

al-Af’idah : اْْلَفْئَِدِةُ

al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah : ِ ِ اَ ْْلَامَعة ُاِْْل ْسالَميَّةُ -yang diikuti atau disambungkan (di (ة) Sedangkan Ta Marbutha washal) dengan kata benda (isim), maka dialihaksarakan menjadi huruf “t”. Contoh :

Âmilatun Nâshibah„: ِ ِ َعاملَةٌََُنصبَةُ

: al-Âyat al-Kubrâ اْْلَيَة ُالْ كْبػَرل

xi

e. Huruf Kapital Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital, akan tetapi apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa ), seperti penulisan awal kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Ketentuan yang berlaku pada PUEBI berlaku pula dalam alih aksara ini, seperti cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold) dan ketentuan lainnya. Adapun untuk nama diri yang diawali dengan kata sandang, maka huruf yang ditulis capital adalah awal nama diri, bukan kata sandangnya. Contoh : Ali Hasan al-Aridh, al-Asqallani, al-Farmawi dan seterusnya. Khusus untuk penulisan kata Al-Qur‟an dan nama-nama surahnya menggunakan huruf kapital. Contoh : Al-Qur‟an, Al-Baqarah, Al-Fatihah dan seterusnya.

xii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... i

PERNYATAAN PENULIS ...... ii

PERSEMBAHAN ...... iii

MOTTO ...... iv

KATA PENGANTAR ...... v

DAFTAR ISI ...... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ...... xi

ABSTRAK ...... xiv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...... 1 B. Permasalahan ...... 6 C. Tujuan Penelitian ...... 8 D. Manfaat Penelitian ...... 8 E. Tinjauan Pustaka ...... 8 F. Metode Penelitian ...... 11 G. Sistematika Penulisan ...... 13 BAB II. TINJAUAN UMUM KONSEPSI MAHAR A. Pengertian Mahar ...... 15 B. Dasar Hukum Mahar ...... 17 C. Syarat-Syarat Mahar ...... 20 D. Macam-Macam Mahar dan Jumlahnya ...... 23 E. Ukuran Mahar ...... 31 F. Mahar Nabi dan para Sahabat ...... 33

xiii

BAB III. ADAT PERNIKAHAN SUKU BUGIS DALAM TAFSIR AL- MISBAH A. Suku Bugis-Makassar ...... 40 B. Adat Pernikahan suku Bugis-Makassar ...... 42 C. Uang Panai‟ ...... 47 BAB IV. UANG PANAI’ DALAM ADAT PERNIKAHAN BUGIS- MAKASSAR DAN PENAFSIRAN AYAT MAHAR DALAM TAFSIR AL-MISBAH A. Filosofi Uang Panai‟ ...... 60 B. Penafsiran Ayat Mahar ...... 74 C. Analisis Penulis ...... 86

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ...... 88 B. Saran ...... 90

LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

xiv

ABSTRAK

Nysa Riskiah Lakara (NIM: 15210687), Judul skripsi “Mahar dan uang panai’ menurut tafsir al-Misbah (Studi Kritis terhadap adat istiadat suku bugis)” Program studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, tahun 2019.

Mengenai tradisi uang panai yang menjadi adat di Sulawesi Selatan, dijelaskan bahwa didalam al-Qur’an, Tafsir al-Misbah maupun dalam agama islam, tidak dijelaskan mengenai pemberian uang panai atau uang belanja, yang ada adalah mahar. Walaupun pemberian uang panai tidak diatur secara gamblang dalam hukum Islam, namun pemberian uang panai sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at maka hal ini diperbolehkan. Mahar dan uang panai merupakan dua perbedaan yang tidak bisa disatukan, jika mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki pada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah maka uang panai adalah uang panai’ atau uang belanja untuk pengantin mempelai wanita yang diberikan oleh pengantin pria merupakan tradisi adat suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. uang panai menjadi syarat bahwa semakin tinggi derajat, pendidikan, pekerjaan hingga kecantikan yang dimiliki seorang perempuan, maka semakin terhormatlah ia dan semakin mahal uang panai yang harus diberikan. Terkadang hal itupun yang memberatkan calon suami dan menjadi kendala terhadap suatu pernikahan yang mulia. Maka dari itu, penulis tertarik untuk meniti Mahar dan Uang Panai menurut tafsir al- Misbah (Studi Kritis terhadap pernikahan Suku Bugis).

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif (empiris) dengan pendekatan fenomenologis dan kajian pustaka (library research) dan menggunakan sumber data primer yaitu tafsir al-Mishbah. Sedangkan pengumpulan datanya menggunakan wawancara atau interview.

Kata Kunci: Mahar, Uang Panai’, Tafsir al-Misbah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Islam datang pada masa Jahiliyah menentang kedzaliman dan diskriminasi laki-laki terhadap kaum wanita. Inilah keistimewaan syariat islam. Kedudukan kaum perempuan pada zaman jahiliyah sangat nista, sebagai budak yang sangat hina. Mereka diperjual belikan seperti barang dagangan yang murah. Tidak ditimbang dan sama sekali tidak dihormati. Mereka berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan yang lain seperti barang. Dari satu ahli waris ke ahli waris lain. Karena pada masa itu, bila seorang laki-laki meninggal, maka sanak kerabatnya mewarisi istrinya sebagaimana mereka mawarisi harta bendanya. Maka, islam datang menyelamatkan wanita dari kezaliman dan penindasan ini.1 Islam sangat menghormati kaum wanita, baik dia muslimah atau kafir. Dan itulah yang menjadi salah satu keunggulan dan keistimewaan islam. Ia yang pertama kali dan secara langsung menyuarakan bahwa kaum wanita sejajar dengan kaum pria. Oleh karena itu, islam mewajibkan pembayaran mahar bagi siapa saja pria yang akan menikahi wanita dengan tujuan agar mereka tetap bisa bertahan sampai akhir zaman.2 Sejarah telah mencatat, bahwa sesungguhnya maskawin yang dijadikan sebagai perantara untuk mencapai tujuan yang mulia selalu diberikan dengan jalan yang mudah. Contohnya seperti orang Arab Badui yang membayar maskawin kepada istrinya dengan onta atau sebagian harta mereka. Para petani memberikan maskawin kepada

1 Muhammad Ali As Shabuni, Penikahan Dini yang Islami (Jakarta: Pustaka Amani, 1996) Cet ke-1 h. 77 2Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah jadi Piihan, h. 102 1

2

istrinya berupa kurma atau sebidang tanah. Pedagang memberikan maskawin kepada istrinya berupa uang atau sebagian makanannya atau pakaian-pakaiannya. Para buruh memberikan maskawin kepada istrinya berupa upahnya. Dan orang alim atau orang yang sedang menuntut ilmu memberikan maskawin kepada istrinya berupa ilmunya itu, bila mereka tidak memiliki harta.3 Mahar atau yang biasa disebut dengan maskawin adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah prosesi penikahan.Adapun mahar itu ada berbagai macam jenisnya, mulai dari emas, uang tunai, benda ataupun barang lainnya.4 Firman Allah Swt:

ِ ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ َوآتُوا النّ َساءَ َص ُدقَاِت َّن ِْنلَةً فَإ ْن طَْْب لَ ُك ْم َع ْن َش ْيء مْنوُ نَ ْف ًسا فَ ُكلُوهُ َىنيئًا َمِريئًا “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 4) Maskawin disyariatkan oleh Islam sebagai pengganti untuk kehalalan seorang laki-laki kepada wanita dan juga sebagai perantara untuk memenuhi syariat yang mengatur antara laki-laki dan wanita.5 Mahar wajib ditunaikan walaupun tidak memiliki harga yang tinggi. Sebagaimana kisah seorang sahabat yang akan menikah tapi tidak memiliki harta, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap

3Musifin As‟ad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, terj.Al-Ziwaaj Wa Al-Mubuur oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993) cet Ke-2 h. 84 4M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang patut anda ketahui, (Tangerang: Lentera Hati, 2015) cet. Ke-6, h. 103 5Abdul Aziz bin Abdurrahman dan Khali bin Ali, Pernikahan dan Permasalahannya,terj.Najmul Shalib oleh Musifin As‟ad dan Salim Basyarahil(Jakarta: Pustaka Kautsar, 1995) cet. Ke-2, h. 83

3

memerintahkan sahabat tersebut untuk mencari mahar yang memiliki nilai dan harga walaupun hanya cincin besi. Pada prinsipnya mahar hendaknya merupakan sesuatu yang bersifat material. Ini didasarkan pada sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, suatu ketika seorang sahabat ingin menikah, kemudian Nabi bertanya padanya: “Apakah engkau memiliki sesuatu untuk engkau jadikan maharnya?” Dia menjawab: “Saya tidak memiliki kecuali kain saya ini.” Nabi memerintahkan mencari mahar walau hanya sebuah cincin dari besi.Dia mencari tapi tidak juga didapatnya. Lalu Nabi bertanya: “Apakah engkau menghafal ayat-ayat Al-Qur’an?” orang itu mengiyakan sambil menyebut surah yang dihafalnya. Nabi pun bersabda: ”Kalian kukawinkan berdasar apa yang engkau hafal dari ayat-ayat Al- Qur’an” (yakni dengan mengajarkannya kepada istrinya).6 Hadis ini menunjukkan bahwa mahar yang terbaik adalah sesuatu yang bersifat material, bahkan dengan hafalan Al-Qur`an Rasul lebih mengutamakan untuk memberikan mahar yang bersifat material. Di Indonesia, mahar juga ada hubungannya dengan adat di setiap daerah. Contohnya saja, uang Panai dari Suku Bugis, untuk melamar perempuan idamannya dengan jumlah yang tak terkira. Semakin tinggi derajat, pendidikan, pekerjaan hingga kecantikan yang dimiliki seorang perempuan, maka semakin terhormatlah ia. Selain uang panai, ada juga tradisi di daerah lain, yaitu uang Japuik atau Bajapuik. Bajapuik berasal dari bahasa Padang „Japuik‟ yang artinya menjemput. Uniknya, uang Japuik ini tidak diberikan dari laki-laki kepada perempuan, tapi sebaliknya, perempuanlah yang memberikan kepada laki-laki yang mereka cintai. Menurut adat, tradisi ini sudah diwariskan turun-temurun

6M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang patut anda ketahui, (Tangerang: Lentera Hati, 2015) cet. Ke-6, h. 103

4

dari nenek moyang mereka sejak dulu. Tujuannya bukan bermaksud untuk membeli, tetapi menghargai pihak lelaki. Bajapuik inipun berlaku hanya untuk orang Pariaman saja, di luar itu bahkan tidak ada yang melaksanakan tradisi ini.7 Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat islam, melainkan menurut kemampuan suami beserta keridhaan si istri. Walau demikian, suami hendaklah benar-benar sanggup membayarnya, karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang kepada orang lain. Kalau tidak dibayar, maka akan dimintai pertanggung jawabannya di hari kemudian.8 Namun, mahar disini tidak dimaksudkan sebagai alat untuk membeli perempuan dari orangtuanya, namun pemberian mahar ini bertujuan untuk mensakralkan pernikahan dan menghormati dan memuliakan kedudukan perempuan maupun orang tuanya9 Jumhur ulama secara alternatif menyepakati bahwa mahar wajib diberikan kepada istrinya. Banyak ayat Al-Qur‟an dan rangkaian hadis yang dengan jelas mengatakan hal ini. Tidak ada dispute atau perbedaan pendapat dikalangan fukaha tentang kewajiban pembayaran mahar kepada pengantin perempuan. Namun ada waktu penyerahannya, terutama jenis dan jumlahnya, merupakan hasil negoisasi dan kesepakatan suami dan istri dengan mempertimbangkan nobilitas keluarga istri. Rasulullah Saw. dalam sebuah hadis Shahih al-Bukhari, Bab Nikah, nomor 51, menjelaskan bahwa mahar dapat berwujud materi

7http://www.bombastis.com/5daerahdenganmaharselangit. Diakses 12 juli 2019 8 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), ( Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2014), cet. Ke-67, h. 393 9 M. Luqman Hakim, Skripsi: ”Konsep Mahar dalam al-Qur‟an dan Relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam” (Malang: UINMMI, 2018), h. 1-2

5

(uang, perhiasan, properti atau benda lainnya), jasa pengajaran al-Qur‟an dan dapat juga berwujud perpaduan semuanya.10 Satu hal yang perlu diingat bahwa ada perbedaan antara “mahar” dan “uang belanja” (biaya pesta). Sebaiknya justru mahar yang lebih besar daripada biaya pesta.Mengapa demikian? Bukannya pesimis, tetapi seandainya terjadi perceraian antara suami istri sebelum mereka bercampur, maka istri harus memperoleh ganti rugi karena ia telah dirugikan.11 Firman Allah Swt:

ِ َّ ِ ِ َوإ ْن طَلْقتُُموُى َّن م ْن قَ ْب ِل أَ ْن ََتَ ُّسوُى َّن َوقَْد فَ َر ْضت ُ ْم ََلَُّن فَِري َضةً فَن ْص ُف َما ِ َِّ ِ ِ ِ ِ فَ َر ْضتُ ْم إََّّل أَ ْن يَ ْعُفوَن أَْو يَ ْعُفَو الذي بيَده عُْق َدةُ النّ َكا ِح “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan ataudimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah”(QS. Al-Baqarah: 237) Kalau maskawin itu sesuatu yang tidak bersifat material, maka apa yang didapat oleh istri? Apa yang harus dibagi dua? Yang terbaik dari mahar adalah sesuatu yang berharga secara material dan yang paling tidak memberatkan calon suami, “tidak memberatkan” tidak harus berarti “yang paling sedikit atau murah”. Di sisi lain, karena mahar adalah hak istri, maka biarlah istri yang mengusulkan, lalu disepakati bersama, mungkin saja pilihan orang lain tidak sesuai dengan keinginannya.12

10Noryamin Aini, “Tradisi Mahar di ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia”, hal. 17 11M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang patut anda ketahui, hal 103-14 12M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang patut anda ketahui, hal 104

6

Adapun alasan mengambil judul ini adalah karena di Indonesia sendiri, mahar dan uang belanja yang mahal bisa menjadi salah satu penyebab seorang laki-laki tidak berani meminang perempuan yang dicintainya. Ini menjadi penghalang baginya, sebab sering terjadi adat dan tradisi yang berbicara. Tentunya adat disetiap daerah menetapkan jumlah mahar dan uang belanja untuk sebuah penikahan.13 Tentunya ini sudah diatur dalam pasal 30 kompilasi hukum islam pada pasal 30 tentang mahar yang menyatakan bahwa “calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.14

Banyak ulama tafsir yang telah mengkaji konsep mahar ini dan pendapat yang cukup menarik bagi penulis yaitu M. Quraisy Shihab dengan Tafsirnya Al-Misbah. Sebagaimana Quraisy Shihab sendiri merupakan orang bugis-makassar, dengan alasan ini pendapat beliau sangat membantu dan menarik untuk dikaji. Dari sini penulis memfokuskan penelitian dengan judul: Mahar dan Uang Panai’ menurut Tafsir Al-Misbah (Studi Kritis terhadap adat pernikahan Suku Bugis)

B. Permasalahan Permasalahan yang terkait dengan tema yang menjadi objek penelitian adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi Masalah Dari latar belakang diatas, dapat penulis simpulkan bahwa ada beberapa permasalahan yang teridentifikasi, diantaranya adalah, . a. Tradisi uang panai‟ yang mahal menciptakan kesulitan dan beban materi

13 @tausyiahku_, Tausyiah Cinta, (Jakarta: QultumMedia, 2016) cet,. Ke-1 , h. 160 14M. Luqman Hakim, Skripsi: ”Konsep Mahar dalam al-Qur‟an dan Relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam” hal. 3-4

7

b. Bagaimana cara penentuan mahar dan uang panai‟ pada adat pernikahan masyarakat Suku Bugis c. Sebab uang panai‟ yang mahal banyak yang kawin lari, hamil diluar nikah dan lain-lain d. Bagaimana pandangan para Mufasir mengenai Mahar dan uang panai‟ 2. Fokus penelitian dan Deskripsi fokus Adapun penelitian ini diberi judul, Mahar dan Uang Panai‟ menurut tafsir Al-Misbah (Studi kritis terhadap adat pernikahan masyarakat Suku Bugis). Oleh karena itu, penelitian ini fokus terhadap bagaimana tradisi Mahar dan Uang Panai‟ dalam pernikahan Suku Bugis serta penulis ingin mencantumkan bagaimana penafsiran dan pendapat Quraisy Shihab tentang Mahar dan Uang Panai‟. 3. Perumusan Masalah Sebagaimana uraian diatas, penulis akan menyusun suatu rumusan pokok masalah agar pembahasan dalam skripsi ini menjadi lebih jelas dan terarah. Pokok permasalahannya adalah sebagai berikut: a. Bagaimana cara penentuan Mahar dan Uang Panai‟ pada adat pernikahan masyarakat Suku Bugis b. Bagaimana pandangan Quraisy Shihab mengenai Mahar dan Uang Panai‟ C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan memahami Bagaimana cara penentuan Mahar dan Uang Panai‟ pada adat pernikahan masyarakat Suku Bugis 2. Untuk Memahami bagaimana pandangan para Mufasir mengenai Mahar dan Uang Panai‟

8

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini secara umum diharapkan sebagai sumbangan intelektual bagi peminat dan pemerhati ayat-ayat Al-Qur`an terutama tentang Mahar, pandangan Mufasir tehadap ayat tentang Mahar dan secara khusus diharapkan dengan tulisan ini dapat menambah pengetahuan mengenai Mahar dan Uang Panai‟ dalam adat pernikahan masyarakat Suku Bugis dan mampu menambah dan memperkaya khazanah keilmuan tentang penafsiran Al-Qur‟an. 2. Manfaat Praktis Tulisan ini juga diharap mampu memberikan kontribusi yang positif bagi manusia dalam kehidupan nyata yaitu agar umat islam dapat memahami serta menerapkan Mahar dan Uang Panai‟ dalam pandangan Islam itu sendiri. E. Tinjauan Pustaka Menurut penulis, penelitian ini bukanlah sesuatu baru dalam dunia akademik, mengingat banyak bermunculan masalah-masalah baru dipenjuru dunia yang berkaitan dengan cara menanggapi suatu berita sangatlah beragam. Namun dari penelusuran diatas, penulis belum menemukan sebuah karya yang membahas secara khusus komparasi dari pemikiran mufasir dalam tafsir tentang ayat mahar. Sesuai dengan judul proposal ini, ada beberapa literatur dan hasil penelitian yang dialakukan oleh orang lain sebagai bahan rujukan atau kerangka berpikir dalam penyusunan penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Skripsi yang diteliti oleh M. Luqman Hakim, mahasiswa jurusan Al- Akhwal Al-Syakhsiyyah di Universitas Islam Negeri Maulana Malik

9

Ibrahim Malang, yang berjudul “Konsep Mahar dalam al-Qur‟an dan Relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam” tahun 2018. Dalam pembahasan bab kedua, skripsi ini juga membahas tentang Mahar dalam Islam meliputi definisi, dasar hukum, bentuk dan syarat, nilai jumlah mahar, macam-macam, cara pelaksanaan dan pemegang mahar. Skripsi ini sangat berkontribusi dengan skripsi yang penulis teliti, hanya perbedaannya yaitu skripsi ini terfokus pada Hukum Islam dengan penjabaran pendapat para Madzhab Fiqih dan para mufasir yaitu Musthafa Maraghi, Rasyid Ridha, dan Mutawalli Sya‟rawi. 2. Skripsi yan diteliti oleh Muhammad Fikri Nur Fathoni, mahasiswa jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, yang berjudul “Faktor-faktor Penyebab Calon Pengantin Memilih Mahar dengan Bentuk Uang Hias (Studi Kasus di Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung)” tahun 2018. Persamaan skripsi ini dengan penelitian penulis terletak pada kajian teori.di bab dua, skripsi ini juga menjelaskan teori tentang mahar yang meliputi pengertian mahar, dasar hukum, sejarah, macam-macam mahar, barang yang dapat dijadikan mahar, manfaat dan kegunaan mahar, penggunaan mahar uang hias dalam pandangan hukum islam. Namun, skripsi ini menitik fokuskan pada alasan dan faktor-faktor penyebab memilih mahar dalam bentuk uang hias di kecamatan Sekampung, Skripsi ini sangat berkontribusi bagi penulis, dengan adanya skripsi ini penulis mengetahui bahwa di kecamatan Sekampung memiliki adat yang sangat unik yaitu mahar diberikan dalam bentuk

10

uang hiasan yang sekarang sudah menjadi tren dikalangan masyarakat di Indonesia. 3. Skripsi yang diteliti oleh Reski Kamal, mahasiswi jurusan PMI Konsentrasi Kesejahteraan Sosial di Universitas Negeri Islam Alauddin Makassar yang berjudul “Persepsi Masyarakat Terhadap Uang Panai’ di Kelurahan Pattalassang Kabupaten Takalar” tahun 2016. 4. Tesis yang diteliti oleh Akhmad Maimun, mahasiswa jurusan Al- Ahwal Al-Syakhshiyyah di Universitas Negeri Maulana , yang berjudul “Makna Kesederhanaan Mahar dalam QS. An-Nisa ayat 4 dan 20 (Studi Analisis Hermeneutika Otoriatif Terhadap istilah Mahar Shadaq, Nihlah dan Qinthar)” tahun 2019. Tesis ini menjelaskan dan mengkaji kesederhanaan mahar dalam Al-Qur‟an dalam studi analisis terhadap Mahar Shaduq, Nihlah, dan Qinthar dengan menggunakan metode Hermeneutika Otoritatif sebagai metode penafsirannya. Persamaan tesis ini dengan penelitian penulis yaitu menganalisa QS.An-Nisa ayat 4 dan 20 namun penulis menggunakan metode komparatif tafsir sedangkan tesis ini menggunakan metode hermeneutika otoritatif. 5. Tesis yang disusun oleh Aris Nur Qadar Ar Razak jurusan Hukum Keluarga di Universitas Islam Negri , yang berjudul “Praktek Mahar dalam Perkawinan Adat Muna (Studi di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara) tahun 2015. Dalam tesis ini menjelaskan adat atau tradisi Muna dalam pemberian mahar, serta mengungkap respon masyarakat terhadap tradisi mahar tersebut.

11

Tesis ini sangat berkontribusi bagi penulis, dengan adanya tesis ini penulis dapat mengetahui bagaimana penerapan dan praktek mahar dalam pernikahan adat Muna. Adapun perbedaan tesis ini dengan skripsi penulis yaitu skripsi penulis lebih membahas mahar dengan studi komparatif tafsir nusantara. 6. Jurnal oleh Noryamin Ainitentang “Tradisi Mahar di ranah Lokalitas Umat Islam (Mahar dan Struktur sosial di Masyarakat Muslim di Indonesia” tahun 2014. Dalam jurnal ini, menjelaskan secara detail bagaimana praktek hukum mahar dari waktu ke waktu dengan fenomena yang terjadi disejumlah daerah di Indonesia.

Sejauh ini, penulis belum menemukan karya skripsi yang berkaitan dengan judul yang akan penulis angkat, sehingga penulis tertarik untuk membahas tema MAHAR DAN UANG PANAI’ MENURUT TAFSIR AL-MISBAH (STUDI KRITIS TERHADAP ADAT PERNIKAHAN MASYARAKAT SUKU BUGIS)

F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Metodologi merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang berusaha mendapatkan dan mengelolah data-data kepustakaan untuk mendapatkan jawaban dan pengetahuan dari masalah pokok yang diajukan.

12

2. Sumber Data Tehnik penulisan yang digunakan adalah Library Research, maka dibutuhkan pengumpulan data secara literature, yaitu penggalian bahan pustaka yang sesuai dan berhubungan dengan objek pembahasan. Adapun sumber data yang digunakan ada dua yaitu: a. Sumber data Primer, yaitu bersumber dari kitab pokok kajian dari penelitian ini, yakin kitab Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab. b. Sumber Sekunder, yaitu sumber pendukung yang dapat dijadikan rujukan dalam penelitian, yaitu buku yang membahas tentang sesuatu yang berkaitan dengan mahar, seperti, Tafsir al- Qurthubi karya Imam al-Qurthubi, Tafsir ath-Thobari karya Ibn Jarir Ath-Thobari, Tafsir Al-Munir karya Syaikh Wahbah Zuhaili, Tafsir Nurul Qur`an karya Syaikh Kamal Faqih Al- Imani, Fiqih Islam karya H. Sulaiman Rajid, Fikih empat Mazhab Fiqih Munakahat karya M. Zaenal Arifin dan Muh. Anshori, dan karya-karya ulama dari abad klasik hingga kontemporer, meskipun pada dasarnya tidak membahas tentang tema ini akan tetapi mempunyai andil dan kontribusi dalam melancarkan penelitian ini. 3. Tehnik Pengumpulan data Tehnik pengumpulan data adalah cara yang dipakai untuk mengumpulkan informasi atau fakta-fakta. Sesuai dengan metode yang digunakan, yaitu dengan Library Research, maka tehnik pengumpulan data yang dipakai adalah tehnik dokumentatif yakni dengan mengumpulkan data dari hasil membaca (baik berupa buku

13

majalah dan lain-lain) menelaah buku dan literatur yang terkait dengan judul tersebut. 4. Metode Analisis Data Metode15 yang dipakai untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode anaisis komparatif (analytical- comparative method), yaitu mencoba mendeskripsikan gambaran umum mengenai Mahar dalam kitab tafsir, kemudian dianalisis secara kritis, serta mencari persamaan dan perbedaan, kelebihan dan kekurangan dari kedua tafsir yang dikomparasikan tersebut. Metode ini bukan hanya membandingkan saja, tetapi menjelaskan persamaan, perbedaan, dan titik temu antar kedua tafsir yang dikomparasikan baik dari segi metodologi maupun pemikirannya. G. Tekhnik dan Sistematika Penulisan Secara tehnik, proposal ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi yang diterbitkan oleh IIQ Press, Institut Ilmu Al-Qur`an Jakarta, tahun 2017. Sistematika pembahasan disusun guna memudahkan dan memberikan kerangka sederhana keseluruhan isi dari penelitian ini, sehingga alurnya jelas, tidak melebar dan sistematis. Adapun susunan sistematika pembahasan adalah sebagai berikut. Bab satu, merupakan uraian tentang latar belakang yakni sebagai pengantar munculnya masalah penelitian yang dideduksi dari suatu pemikiran, identifikasi, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan data, sumber data, metode analisis data, sistematika penulisan dan outline.

15 Metode adalah suatu cara yang ditempuh untuk mengerjakan sesuatu, agar sampai pada satu tujuan. Lihat kamus Qxford Advanced Leaners Dictionary of Current English, h. 553

14

Bab dua, membahas mengenai definisi mahar, dasar hukum mahar, syarat-syarat mahar, macam-macam mahar dan jumlahnya, ukuran mahar, dan tujuan dan hikmah mahar, Bab tiga, berisi tentang pengenalan adat pernikahan suku bugis yang meliputi garis besar Suku Bugis, Adat pernikahan Suku Bugis, dan pengertian Uang Panai‟ Bab empat, berisi tentang Uang Panai‟ dalam adat pernikahan Suku Bugis dan Penafsiran Ayat Mahar dalam Tafsir Al-Misbah yang meliputi Filosofi Uang Panai‟ dalam adat pernikahan, penafsiran ayat mahar, dan analisis penulis. Bab lima, merupakan akhir dalam pembahasan ini, yaitu berupa kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dan peneliti yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang dibutuhkan.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MAHAR

A. Pengertian Mahar

Secara bahasa mahar ) merupakan mufrad (tunggal) dari املَْهُرُ )

jamaknya yakni muuhurun ( ) atau disebut juga ash-shidaaqu ُمُهْوٌرُ

1 yang berarti maskawin. Menurut istilah, mahar berarti harta ( ال ِّص َدا ُقُ) atau kekayaan yang harus diberikan oleh seorang pria kepada wanita yang akan dinikahinya melalui akad nikah yang resmi.2 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Mahar adalah pemberian berupa mas, uang, dan sebagainya dari mempelai laki-laki kepada mempelai wanita pada waktu nikah.3 Pengertian yang sama dijumpai dalam Ensiklopedia Hukum Islam, mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki pada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Mahar merupakan salah satu unsur penting dalam proses pernikahan.4 Menurut Kompilasi Hukum Islam, Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam.5

1Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir:Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresip, 1997), h. 1363 2Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah jadi Piihan,terj. Az-Zawaj wa al- `Aalaqaat al-Jinsiyyah fi al-IslamolehGazi Said (Jakarta: Almahira, 2008) Cet ke-2. h, 103 3Departemen Pendidikan Nasional , Kamus Bahasa Indonesia(Jakarta: Kamus Bahasa Pusat, 2008) , h. 895 4M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 38 5 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 1 huruf d tentang Ketentuan Hukum Perkawinan 15

16

Imam Syafi‟i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.6 Buya , dalam Tafsirnya Al-Azhar menjelaskan bahwa Mahar adalah harta yang diberikan kepada calon istri ketika akan menikah. Mahar laksana cap atau stempel bahwa nikah itu telah dimateraikan.7 Menurut al-Allamah Kamal Faqh Imani, dalam tafsirnya Nurul Qur`an, mahar adalah pemberian laki-laki kepada perempuan, tetapi bukan harga dari wanita itu, akan tetapi mahar merupakan dukungan finansial kepada perempuan ketika mungkin terjadi perpisahan dan sebagai kompensasi penderitaan yang dia alami.8 Ulama berpendapat bahwa mahar berarti harga yang harus dibayar atas kenikmatan yang diperoleh dari tubuh seorang wanita. Tetapi Imam Muhammad Abduh menolak pendapat mereka dengan alasan bahwa pendapat tersebut tidak didasarkan atas pemahaman yang benar terhadap ajaran islam. Muhammad Abduh berkata, “Sesungguhnya hubungan antara pria dan wanita lebih tinggi dan terhormat dibanding hubungan antara seorang pria dengan kudanya atau pria dengan budaknya.9 Islam mewajibkan seorang laki-laki membayar mahar kepada istrinya sesuai kemampuannya atau sesuai tradisi yang berlaku. Mahar adalah salah satu rukun nikah, apabila ia tidak disebut mahar untuk istri, maka akad nikah tetap sah dan suami wajib membayar mahar

6Lihat Abdurrahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „ala Madzahib al-Arba‟ah, juz 4, h. 94 7Abdul Malik ,,Al-Azhar Juz I-II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983) h. 332 8Kamal Faqih Imani dkk,Nurul Qur`an terj. Nurul Qur`an oleh Anna Farida (Jakarta: Al-Huda, 2003) Cet. ke-1 h. 459 9Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah jadi Piihan, h. 103 17

mitsil untuk istrinya. Menurut ajaran islam, mahar yang belum dibayar adalah hutang yang pembayarannya harus diprioritaskan dengan hutang lainnya.10 Berdasarkan keterangan diatas, dapat ditetapkan definisi mahar ialah: pemberian yang wajib diberikan dan dinyatakan oleh calon suami kepada calon istrinya di dalam shighat aqad nikah yang merupakan tanda hidup sebagai suami istri .11 B. Dasar Hukum Mahar Mahar ini memiliki makna yang cukup dalam, hikmah di disyariatkannya mahar ini menjadi pertanda tersendiri bahwa seorang wanita memang harus dihormati dan dimuliakan. Oleh karena itu, pemberian mahar juga harus dengan ikhlas dan tulus serta benar-benar diniatkan untuk memuliakan seorang wanita12 Menurut Ibnu Rusyd, bahwa membayar Mahar menurut kesepakatan para Ulama, hukumnya adalah wajib dan merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan.Hal ini berdasarkan kepada firman Allah swt dalam QS. An-Nisa‟ (4): 4 ِ ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ َوآتُوا ُالنّ َساءَ ُ َص ُدقَاِت َّن ُ ِْنلَةً ُفَإ ْن ُطَْْب ُلَ ُك ْم ُ َع ْن ُ َش ْيء ُمْنوُ ُنَ ْف ًساُ ِ فَ ُكلُوهَُُىنيئًاَُمِريئًا

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu maskawin itu dengan senang hati,

10Fuad Shalih, Untukmu yang akan menikah dan yang telah menikah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2006) Cet. ke- 1 h. 112 11Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1974) Cet ke-1 h. 78 12 Abdullah Istiqomah, “Mahar Pernikahan yang baik dalam Islam seperti sabda Rasulullah saw” Artikel, 25 Januari 2017.

18

maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”13 Ayat diatas menjelaskan bahwa lelaki saat hendak meminang seorang wanita wajib memberikan maskawin (mahar) dengan kesepakatan kedua pihak sesuai tuntunan islam. Pemberian ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah, dan apabila tidak disebutkan waktu akad, pernikahan itu pun sah.14 Islam sendiri tidak mempersulit jalannya pernikahan maka dari itu, hikmah diadakan nya mahar yaitu untuk menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang wanita. Dalam Hadis disebutkan:

ِ ٍ َح َّدثَ نَاََُيْ ََي،ُ َح َّدثَ نَاَُوكي ٌع،ُ َع ْنُ ُسْفيَا َن،ُ َع ْنُأَِِبُ َحاِزم،ُ َع ْنُ َسْهِلُبْ ِنُ ٍ َّ ِ َّ ِ ِ ِ َسْعد،ُأَ َّنُُالنَِّ َِّبُ َصلىُهللاُُ َعلَْيوَُو َسل َمُقَا َلُلَرُجٍل:ُ»تَ َزَّو ْجَُولَْوُِبَاٍََتُم ْنُ ِ ٍ 15 َحديدُ«

Kami telah mendengar dari Yahya, dari Waqi‟ dari Sufyan, dari Ayahnya Hatim, dari Sahl bin Sa‟id bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi.” (HR. Bukhari) Dalam ayat lain juga disebutkan dalam QS. An-Nisa ayat 24:

13Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2007) , Cet ke-2 h. 33 14 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2017), Cet. ke-80, h. 393 15Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shahih Bukhori (Beirut: Dar el Fikri, 2006), jilid 7 halm: 20hadis nomor 5150 19

ِ ِ ِ ِ ِ ِ َوالُْم ْح َصنَا ُت ُم َن ُالنّ َساء ُإََّّل َُما َُملَ َك ْت ُأَْْيَانُ ُك ْم ُكتَا َب ُا ََّّلل ُ َعلَْي ُك ْمُ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ َوأُح َّلُلَ ُك ْمَُماَُوَراءَُذَل ُك ْمُأَ ْنُتَ ْب تَ غُواُِبَْمَوال ُك ْمُُُْمصن َنيُغَْي َرُُم َسافح َنيُ ِِ ِ ِ فََماُا ْستَْمتَ ْعتُْمُبوُمْن ُه َّنُفَآتُوُى َّنُأُ ُجوَرُى َّنُفَِري َضةًَُوََّلُ ُجنَا َحُ َعلَْي ُك ْمُفيَماُ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ تَ َرا َضْي تُْمُبوُم ْنُبَ ْعدُالَْفِري َضةُإ َّنُا ََّّللََُكا َنُ َعليًماُ َحكيًما

“Dan (diharamkan) juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”16 Ulama berpendapat bahwa mahar berarti harga yang harus dibayar atas kenikmatan yang diperoleh dari tubuh seorang wanita. Tetapi Imam Muhammad Abduh menolak pendapat mereka dengan alasan bahwa pendapat tersebut tidak didasarkan atas pemahaman yang benar terhadap ajaran islam. Muhammad Abduh berkata, “Sesungguhnya hubungan antara pria dan wanita lebih tinggi dan terhormat disbanding hubungan antara seorang pria dengan kudanya atau pria dengan budaknya.17 Menurut al-Qur`an, as-Sunnah, dan Ijma‟ ulama, mahar merupakan suatu hal yang wajib seperti dalam QS.An-Nisa ayat 4. Dalam sebuah

16Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2016), Cet. ke-12, h. 48 17Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah jadi Piihan,terj. Az-Zawaj wa al- `Aalaqaat al-Jinsiyyah fi al-Islamoleh Gazi Said h. 103

20

hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw tidak pernah membiarkan suatu pernikahan tanpa adanya mahar. Seandainya mahar tidak wajib, pasti suatu saat nabi saw akan membiarkan pernikahan tanpa mahar untuk menunjukkan ketidakwajibannya tersebut.18 C. Syarat-syarat Mahar Sebelum memberikan mahar, terlebih dahulu kita harus memperhatikan apa saja syarat-syarat mahar agar bisa ditunaikan, seperti dalam hadits tersebut:

ِ َح َّدثَ نَاََُْي ََيُبْ ُنُأَيُّو َب،ُ َح َّدثَ نَاُُى َشْي ٌم،ُحُوَح َّدثَ نَاُابْ ُنُُُنٍَْْي،ُ َح َّدثَ نَاَُوكي ٌع،ُحُ ٍِ وَح َّدثَ نَاُأَبُوُبَ ْكِرُبْ ُنُأَِِبُ َشْي بَةَ،ُ َح َّدثَ نَاُأَبُوُ َخالدُُاْْلَ ْْحَُر،ُحُوَح َّدثَ نَاُُُمََّم ُدُ َّ ِ ِ ِ بْ ُنُالُْمثَ ََّّن،ُ َح َّدثَ نَاََُْي ََيَُوُىَوُالَْقطا ُن،ُ َع ْنُ َعْبدُا ْْلَميدُبْ ِنُ َجْعَفٍر،ُ َع ْنُيَِزي َدُ ِ ِ ِ ِ ِ بْ ِنُأَِِبُ َحبي ٍب،ُ َع ْنَُمْرثَدُبْ ِنُ َعْبدُهللاُالْيَ َزِِنّ،ُ َع ْنُعُْقبَةَُبْ ِنُ َعامٍر،ُقَا َل:ُقَا َلُ ِ َّ ِ َّ ِ ِ ِِ َرسُوُل ُهللا ُ َصلى ُهللاُ ُ َعلَْيو َُو َسل َم: ُ»إ َّن ُأَ َح َّق ُال َّشْرط ُأَ ْن ُيُوََف ُبو، َُماُ ِِ ِ ِ ا ْستَ ْحلَْلتُْمُبوُالُْفُروَجُ«،َُى َذاُلَْف ُظُ َحديثُأَِِبُبَ ْكٍر،َُوابْ ِنُالُْمثَ ََّّن،ُغَْي َرُأَ َّنُ ِ ابْ َنُالُْمثَ ََّّنُقَا َل:ُ»ال ُّشُروطُ« “Yahya bin Ayub menyampaikan kepada kami dari Husyaim, dalam sanad lain, Ibnu Numair menyampaikan kepadaku dari Waki‟ dalam sanad lain, Abu Bakar bin Abu Syaibah menyampaikan kepada kami dari Abu Khalid al-Ahmar, dalam sanad lain, Muhammad bin al- Mutsanna menyampaikan kepada kami dari Yahya al-Qathan, dari Abdul Hamid bin Ja‟far, dari Yazid bin Abu , dari Martsad bin Abdullah al-Yazani bahwa Uqbah bin Amir mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda, „Sesungguhnya syarat yang lebih berhak dipenuhi adalah apa yang kalian gunakan untuk menghalalkan kemaluan (pernikahan).”

18Adil Abdul Mun‟im Abu Abbas, Ketika Menikah jadi Piihan,terj. Az-Zawaj wa al- `Aalaqaat al-Jinsiyyah fi al-Islamoleh Gazi Said h. 103-104 21

Ini adalah lafaz hadits Abu Bakar dan Ibnu al-Mutsanna. Namun, Ibnu al-Mutsanna mengatakan dalam riwayatnya, “Syarat-syarat”.19

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut: 1. Harta atau bendanya berharga. Tidak sah suatu mahar apabila dengan harta atau benda yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuannya (banyak atau sedikit). Tetapi apabila mahar sdikit namun bernilai maka tetap sah nikahnya. 2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya. Contohnya seperti khamr, babi, darah dan bangkai, karena itu tidak mempunya nilai menurut pandangan syariat Islam. Itu adalah haram dan tidak berharga. 3. Mahar bukan barang ghosob. Ghosob artinya meengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena akan dikembalkan kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghosob tidak sah. Harus diganti dengan mahar mitsil, tetapi akad nikahnya tetap tidak sah. 4. Mahar itu tidak boleh beupa sesuatu yang tidak diketahui bentuk, jenis, dan sifatnya.20

Boleh memberikan mahar itu tidak harus dengan emas dan perak. Boleh selain itu, yang penting tidak barang atau sesuatu yang haram atau najis.

Pendapat para Imam Madzhab terkait masalah-masalah yang berhubungan dengan mahar; ada beberapa pandangan hukum:

19 Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits, Shahih Muslim (Jakarta: Almahira, 2012) cet. 1 jilid 1 halm: 1035 20Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta; Prenada Media, 2003) h, 87-88

22

1. Pendapat Madzhab Maliki:

Apabila seseorang memakai mahar sesuatu yang haram atau najis, seperti khomer atau babi atau yang lain, maka akadnya fasid atau rusak.

2. Pendapat Madzhab Maliki:

“Apabila mahar itu berasal dari barang yang dighosob yang belum dimiliki, kalau si suami tau akan hal itu. Maka akadnya fasid atau rusak. Rusak sebelum dukhul. Kalau si istri itu tidak tau bahwa mahar tersebut dari hasil ghosob, hanya suaminya saja yang tau akan hal tersebut, maka nikahnya sah.

3. Pendapat Madzhab Syafi‟i :

“Sah hukumnya, mahar itu diberikan dari sesuatu yang bernilai manfaat”. Seperti: seseorang yang membeli suatu rumah dengan mengambil manfaat dari tanahnya untuk tanaman dalam satu masa yang ditentukan, maka sah dengan menjadikan atau mengambil azas manfaat dijadikan mahar atau maskawin. Setiap sesuatu yang mempunyai nilai harga atau manfaat maka sah atau boleh dijadikan mahar.

4. Pendapat Madzhab Hanbali:

“Sah hukumnya, mahar yang diambilkan atau diberikan dari sesuatu yang bernilai beberapa manfaat”. Seperti seseorang yang menanam suatu tanaman disuatu tanah yang dimilikinya, dengan syarat ada manfaat yang jelas didapat dan diketahuinya. 23

D. Macam-Macam Mahar dan Jumlahnya Mahar dapat dilihat dari dua sisi, kualifikasi dan klasifikasi mahar. Dari sisi kualifikasi, mahar dapat dibagi dua, yaitu; 1. Mahar yang berasal dari benda-benda yang konkret seperti dinar, dirham, atau emas. 2. Mahar dalam bentuk atau jasa seperti mengajarkan membaca Al- Qur`an, bernyanyi, dan sebagainya.21 Mahar itu bisa tidak sah, kemungkinan karena barangnya itu sendiri dan kemunginan karena sifat yang ada padanya seperti tidak diketahui atau tidak bisa diterima.Yang tidak sah karena barangnya itu sendiri seeperti Khamr, babi dan sesuatu yang tidak boleh dimiliki.Dan yang tidak sah karena tidak bisa diterima dan tidak diketahui, pada dasarnya diqiyaskan dengan jual beli.22 Dilihat dari segi klasifikasi, mahar dibagi menjadi dua macam; 1. Mahar Musamma a. Mahar Musamma Yang dimaksud dengan mahar musamma ialah mahar yang telah ditetapkan jumlahnya dalam shighat akad.23 Maksudnya besar tidaknya suatu mahar tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak dan dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan atas persetujuan calon istri24 mahar musamma terbagi menjadi dua, yaitu: 1) Mahar Mu‟ajjal yaitu mahar yang segera diberikan kepada istrinya

21Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 49 22Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,h. 51 23Muhammad Luqman Hakim, “Konsep Mahar dalam Al-Quran dan Relevansinya dengan Kompilasi Hukum, h. 28 24Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 49

24

2) Mahar Mu-ajjal yaitu mahar yang ditangguhkan pemberiannya kepada istri25 Wajib membayar “Mahar Musamma” apabila: 1) Telah terjadi Dukhul antara suami istri, firman Allah swt: ِ ِ َوإِ ْنُأََرْدَُتُُا ْستْب َدا َلَُزْوٍجَُم َكا َنَُزْوٍجَُوآتَ ْي تُْمُإِ ْح َداُى َّنُقْنطَاًراُ ِ ِ فَََلََُتْ ُخ ُذواُمْنوُُ َشْي ئًاُأَََتْ ُخ ُذونَوُُبُ ْهتَاًًنَُوإِْْثًاُُمبينًا “ Dan jika kamu ingin menggantikan istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka dengan harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”.(QS. An-Nisaa‟: 20)26 2) Apabila salah seorang dari suami atau istri meninggal dunia, hal ini disepakati para ulama: a) Menurut Imam Abu Hanifah, apabila telah terjadi khalwat, maka wajib suami membayar mahar. b) Imam Syafi‟i berpendapat, terjadinya khalwat tidak menyebabkan wajib membayar mahar. Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT:27

25 26Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 85 27M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 93 25

ِ َّ ِ وإ ْنُطَلْقتُُموُى َّنُم ْنُقَ ْبِلُأَ ْنََُتَ ُّسوُى َّنَُوقَْدُفَ َر ْضتُْمََُلَُّنُ ِ ِ َِّ فَِري َضةًُفَن ْص ُفَُماُفَ َر ْضتُْمُإََّّلُأَ ْنُيَ ْعُفوَنُأَْوُيَ ْعُفَوُالذيُ ِ ِ ِ ِ ِ بيَدهُعُْق َدةُُالنّ َكا ِحَُوأَ ْنُتَ ْعُفواُأَقْ َر ُبُللتَّ ْقَوىَُوََّلُتَ نْ َسُواُ ِ ِ ِ الَْف ْض َلُبَ ْي نَ ُك ْمُإ َّنُا ََّّللَُِبَاُتَ ْعَملُوَنُبَصْيٌُ “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang aka dada ditangannya, pembebasan itu lebih dekat dengan takwa.Dan janganlah kamu lupa kebaikan diantara kamu.Sungguh Allah maha melihat apa ang kamu kerjakan.”

2. Mahar Mitsil28 a. Mahar Mitsil Yang dimaksud dengan mahar mitsil adalah mahar yang jumlahnya tidak disebutkan secara eksplisit pada waktu akad. Biasanya jenis mahar ini mengikut kepada mahar yang yang pernah diberikan kepada keluarga istri seperti adik atau kakaknya yang telah terlebih dahulu menikah.29 Bila terjadi demikian (mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara pengantin

28Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 84 29Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 49

26

wanita. Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengannya.30 Mahar mitsiljuga terjadi dalam keadaan sebagai berikut: 1) Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur. 2) Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya tidak sah. Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetepkan maharnya disebt nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan, seperti firman Allah SWT:31

ِ َّ ِ ََّلُ ُجنَا َحُ َعلَْي ُك ْمُإ ْنُطَلْقتُُمُالنّ َساءََُماََُلََُْتَ ُّسوُى َّنُأَْوُ ِ ِ تَ ْفِر ُضواََُلَُّنُفَِري َضةًَُوَمتّعُوُى َّنُ َعلَىُالُْموس ِعُقََدُرهَُُوَعلَىُ ِ ِ ِ ِ ِ الُْمْق ِِتُقََدُرهَُُمتَا ًعاُِبلَْمْعُروفُ َحِّقاُ َعلَىُالُْم ْحسن َنيُ

“Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum mereka menentukan maharnya, dan hendaklah kamu memberikan mut‟ah32, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan”

30M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 94 31M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 94 32Ialah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada istri yang diceraikannya sebagai penghibur, selain nafkah sesuai dengan kemampuannya. 27

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh mnceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini, istri berhak menerima mahar mitsil.33 Mahalnya maskawin menjadi sauatu beban dalam bidang materi, yang akan membuat seseorang enggan untuk melangsungkan perkawinan, pikirannya menjadi kacau dan tidak mustahil ia akan membatalkan pernikahan karena tidak sanggup membayar maskawin yang terlampau mahal. Adapun sebab-sebab Mahalnya maskawin yaitu: 1. Kehendak calon suami yang suka memamerkan kekayaan, serta keinginan yang berlebihan untuk memberi kepuasan kepada orang tua wanita. 2. Tidak mengertian keluarga tentang sebuah makna sebuah perkawinan dan tujuannya yang sangat mulia. 3. Berubahnya pandangan tentang suami yang sekufu dan perbedaan manusia dalam memahami masalah itu. Kebanyakan mereka menganggap bahwa suatu perkawinan sama hal nya dengan akad jual beli, 4. Adanya sandaran hukum kepada wanita, memperhatikan pendapat-pendapat mereka serta memenuhi permintaan mereka. Kecenderungan wanita sebagaimana yang kita ketahui yaitu senang dengan kebanggaan dan kemewahan. 5. Karena sikap pasif para pemimpin tentang semua urusan manusia sampai masalah ini menjadi masalah yang sangat serius dan sampai kepada kita sekarang ini.34

33M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 94-95 34Musifin As‟ad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Permasalahannya, h. 89

28

Maskawin atau mahar merupakan satu hak yang ditentukan oleh syariah untuk wanita sebagai ungkapan hasrat laki-laki pada calon istrinya, dan juga sebagai tanda cinta kasih serta ikatan tali kesuciannya. Maka maskawin merupakan keharusan tidak boleh diabaikan oleh laki-laki untuk menghargai pinangannya dan simbol untuk menghormatinya serta membahagiakannya. Pada umumnya maskawin itu dalam bentuk materi, baik berupa uang atau barang berharga lainnya. Namun syari'at Islam memungkinkan maskawin itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Maskawin dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-Quran dan demikian pula dalam hadis Nabi. Baik al-Quran maupun hadis Nabi tidak memberikan petunjuk yang pasti dan spesifik bila yang dijadikan maskawin itu adalah uang. Namun dalam ayat al-Quran ditemukan isyarat yang dapat dipahami nilai maskawin itu cukup tinggi, seperti dalam firman Allah dalam surat an-Nisa' (4) ayat 20: ِ ِ َوإِ ْن ُأََرْدَُتُ ُا ْستْب َدا َل َُزْوٍج َُم َكا َن َُزْوٍجُ َُوآتَ ْي تُْم ُإِ ْح َداُى َّن ُقْنطَاًرا ُفَََلُ ِ ِ ََتْ ُخ ُذواُمْنوُُ َشْي ئًاُأَََتْ ُخ ُذونَوُُبُ ْهتَاًًنَُوإِْْثًاُُمبينًا

Abu Salamah berkata: saya bertanya kepada Aisyah istri Nabi tentang berapa maskawin yang diberikan Nabi kepada istrinya. Aisyah berkata: "Maskawin Nabi untuk istrinya sebanyak 12 uqiyah dan satu nasy, tahukah kamu berapa satu nasy itu" saya jawab: Tidak". Aisyah berkata: "nasy itu adalah setengah uqiyah. Jadinya sebanyak 500 dirham. Inilah banyaknya maskawin Nabi untuk istrinya". Angka tersebut cukup besar nilainya, karena nisab zakat untuk perak hanya senilai 200 dirham. Meskipun demikian, ditemukan pula hadis Nabi yang maskawin hanya sepasang sandal, 29

sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi dari Abd Allah bin 'Amir menurut riwayat al-Tirmizi yang bunyinya: "Nabi Saw membolehkan menikahi perempuan dengan maskawin sepasang sandal. Dengan tidak adanya penunjuk yang pasti tentang maskawin, ulama memperbincangkannya, mereka sepakat menetapkan bahwa tidak ada batas maksimal bagi sebuah maskawin. Batas minimal mahar terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Ulama Hanafiyah menetapkan batas minimal maskawin sebanyak 10 dirham perak dan bila kurang dari itu tidak memadai dan oleh karenanya diwajibkan maskawin mitsl, dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian yang mewajibkan had terhadap pencurinya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa batas minimal maskawin adalah 3 dirham perak atau seperempat dinar emas. Dalil bagi mereka juga adalah bandingan dari batas minimal harta yang dicuri yang mewajibkan had. Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanabilah tidak memberi batas minimal dengan arti apa pun yang bernilai dapat dijadikan maskawin

Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan mahar menurut Kompilasi Hukum Islam, yaitu:

Pasal 35

1) Suami yang telah mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. 2) Apabila suami meninggal qabla al-dukhul, seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya. 3) Apabila perceraian terjadi qabla al-dukhul, tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.

Pasal 36

30

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya, atau dengan barang lain yang sama nilainya, atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang Pasal 37 Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38

1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas. 2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.35 Mengenai jumlah maskawin atau mahar, tidak ada batas yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Khalifah Umar bin Khattab sekali waktu pernah merencanakan ketetapan batas jumlah tersebut. Memepelajari hal ini, seorang wanita datang kepada beliau dengan membacakan Al-Qur`an: “(jika) kamu telah memberikan harta yang banyak kepada seorang diantara mereka, maka janganlah kamu mengambilnya kembali dari padanya barang sedikitnya.” (QS. An- Nisa: 20) mendengar ayat ini Umar berkata, “Wanita ini benar, laki- laki salah.” Tidak ada batas jumlah mahar/maskawin yang diterapkan.Namun, hadits tidak menentukan mahar diluar kehendak suami. Nasihat yang diberikan Nabi saw dalam hal ini adalah:

35Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 35-38 tentang Ketentuan Mahar, h. 5 31

“Hendaklah laki-laki berbaik hati dengan wanita, jangan dibatasi ketentuan mahar.”36 Abu Umar mengawini seoranng wanita dengan maskawin dua ratus keping perak. Nabi saw berkata: “Bahkan jika kamu mnemukan kepingan-kepingan perak disepanjang aliran sungai, kamu tidak harus menetapkan maskawin lebih mahal daripada itu.”37 Para Ulama Mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut.Besar tidaknya suatu mahar tergantung pada tradisi yang berlaku.Apa saja yang disebut harta dan bernilai bagi orang adalah sah untuk dijadikan mahar. Dengan demikian, mahar itu bisa berupa emas, perak, barang tetap seperti tanah, pertanian, atau tanah yang dapat dibangun rumah atau gedung diatasnya.Semua itu sah untuk dijadikan mahar.38 E. Ukuran Mahar Ibnu Rusyd dan para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan tentang maksimalnya. Dan mereka bebeda pendapat tentang minimalnya: 1. Syafi‟i, Ahmad, Ishaq Abu Tsaur dan para fuqaha Madinah dari kalangan tabi‟in berpendapat bahwa tidak ada batas tentang minimalnya. Semua yang bisa menjadi harga dan nilai bagi sesuatu boleh menjadi mahar, pendapat ini dikemukakan pula oleh Ibnu Wahb yang termasuk pengikut Imam Malik. 2. Sekelompok ulama yang menyatakan wajibnya menentukan batas minimalnya dan mereka berselisih dalam penentuannya, yang masyhur dalam hal ini ada dua madzhab; Pertama Madzhab Malik

36 Abul A‟la Maududi, Kawin dan Cerai menurut Islam,(Jakarta: Gema Insani Press, 1995) Cet ke-6h. 92-93 37Abul A‟la Maududi, Kawin dan Cerai menurut Islam, h. 93 38Abul A‟la Maududi, Kawin dan Cerai menurut Islam,h. 105

32

dan para pengikutnya dan Kedua, Madzhab Abu Hanifah dan para pengikutnya. Imam Malik berkata, “Minimalnya seperempat dinar berupa emas atau tiga dirham berupa perak atau yang senilai dengan tiga dirham (maksudnya dirham sebagai takaran saja, menurut riwayat yang terkenal), dan dikatakan atau yang senilai dengan salah satu dari keduanya. Sedangkan Abu Hanifah berkata, “Minimalnya sepuluh dirham. Dikatakan, lima dirham dan dikatakan empat dirham.39 Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berkenaan dengan ukuran Maskawin.

ِ ِ ِ ٍ َح َّدثَ نَاُإ ْس َحا ُقُبْ ُنُإبْ َراىي َم،ُأَ ْخبَ َرًَنُ َعْب ُدُالَْعِزيِزُبْ ُنُُُمََّمد،ُ َح َّدثَُِِنُ ِ ِ ِ يَِزي ُدُبْ ُنُ َعْبدُهللاُبْ ِنُأُ َساَمةَُبْ ِنُاَْلَاد،ُحُوَح َّدثَِِنُُُمََّم ُدُبْ ُنُأَِِبُ ِ َّ ِ عَُمَرُالَْم ّك ُّي،َُواللْف ُظُلَوُ،ُ َح َّدثَ نَاُ َعْب ُدُالَْعِزيِز،ُ َع ْنُيَِزي َد،ُ َع ْنُُُمََّمدُ ِ ِ ِ بْ ِن ُإبْ َراىي َم، ُ َع ْن ُأَِِب ُ َسلََمةَ ُبْ ِن ُ َعْبد ُالَّر ْْحَ ِن، ُأَنَّوُ ُقَا َل: ُ َسأَلْ ُتُ ِ َّ ِ َّ ِ ِ َعائ َشةََُزْوَجُالنَِِِّّبُ َصلىُهللاُُ َعلَْيوَُو َسل َم:َُك ْمَُكا َنُ َص َدا ُقَُر ُسولُهللاُ َّ ِ َّ ِ ِ ِ ِ َصلىُهللاُُ َعلَْيوَُو َسل َم؟ُقَالَ ْت:ُ» َكا َنُ َص َداقُوُُْلَْزَواجوُثْن ََْتُ َع ْشَرةَُ ِ أُوقيَّةًَُونَ ِّشا«،ُقَالَ ْت:ُ»أَتَْدِريَُماُالنَّ ُّش؟«ُقَا َل:ُقُ لْ ُت:ََُّل،ُقَالَ ْت:ُ

39Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,h. 33-34 33

ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ »ن ْص ُفُأُوقيَّة،ُفَتْل َكُ ََخْ ُسمائَةُدْرَىٍم،ُفَ َه َذاُ َص َدا ُقَُر ُسولُهللاُ َّ ِ َّ ِ ِ ِ َصلىُهللاُُ َعلَْيوَُو َسل َمُْلَْزَواجوُ«

Diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman: saya pernah bertanya kepada „Aisyah, istri Nabi saw, “berapakah Maskawin Rasulullah saw?” Dia menjawab, ”Maskawin yang diberikan kepada istri-istri beliau sebanyak dua belas Uqiyah dan Satu Nasy. Taukah kamu berapakah satu Nasy itu? “tidak”, kata saya. “Separuh Uqiyah sehingga jumlahnya mencapai lima ratus dirham,” kata „Aisyah. Itulah maskawin Rasulullah saw yang diberikan kepada istri-istrinya.40

F. Mahar Nabi dan Sahabat kepada isterinya.

1. Mahar sahabat kepada istrinya Islam tidak menentukan jumlah minimal atau maksimal dalam mahar sebuah pernikahan. boleh jadi mahar tersebut berupa seperangkat alat salat, uang tunai, atau sebuah mobil lengkapm dengan surat lunasnya. Bentuk mahar tersebut sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu perempuan dan lelakinya. Namun ternyata sudah pernah terjadi pada zaman Rasulullah yang menggunakan bahan ini sehingga pernikahan berlangsung dengan mahar unik. Yuk kita simak, siapa tahu bisa menginspirasi untuk mahar pernikahan kerabat atau diri sendiri. Tiga mahar unik tersebut tidak dilarang oleh Rasulullah, atau bahkan memang Rasulullah yang menyuruhnya.

40 Zaki Al-Din „Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim terj. Mukhtashar Shahih Muslim oleh Syinqithy Djamaluddin dan Mochtar Zoreni, (Bandung: Mizan, 2009) Cet ke-2 h. 439

34

Islam sangat memudahkan mahar seseorang yang ingin melangsungkan pernikahannya. Sebagaiman contoh unik seorang „Ali radhiyallah „anhu memberikan mahar nikahnya berupa baju besi kepada Fatimah radhiyallah „anha . Diceritakan dalam hadis sebagai berikut:

ِ ِ َع ِنُابْ ِنُ َعبَّا ٍسُقَا َلُلََّماُتَ َزَّوَجُعَل ّّىُرضىُهللاُعنوُفَاطَمةَُرضىُهللاُ ِ ِ ِ ِ عنهاُقَا َلُلَوَُُر ُسوُلُا ََّّللُ ملسوهيلعهللا -ىلص-ُأَ ْعطَهاُ َشْي ئًاُ.ُقَا َلَُماُعْندى.ُقَا َلُ ِ ِ فَأَيْ َنُدْرعُ َكُا ْْلُطَميَّةُ

Dari Ibnu Abbas bahwasanya ketika Ali radhiyallahu „anhu menikahi Fatimah radhiyallahu „anha, Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam berkata kepadanya, “Berikanlah ia (mahar) sesuatu”. Ali menjawab, “Aku tidak memiliki apa pun” Lalu Rasulullah bersabda, “Berikanlah baju besimu”

Selanjutnya ada mahar unik berupa sepasang sandal. Perempuan yang menerima mahar tersebut datang dari Bani Fazarah. Ketika ditanya perihal mahar tersebut oleh Rasulullah, ia menjawab “saya ridha”. Subhanallah wanita tersebut benar mengamalkan dan membenarkan jika Islam memudahkan dalam perihal mahar pernikahan. Hadis tersebut menceritakan, ِ ِ ِ َع ْن ُ َعامِر ُبْ ِن َُربِيَعةَ ُأَ َّن ُاْمَرأَةً ُم ْن ُبََِّن ُفَ َزاَرةَ ُتَ َزَّوَجُ ْت ُ َعلَى ُنَ ْعلَْنيُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ فَ َقا َل َُر ُسوُل ُا ََّّلل ُ ملسوهيلعهللا -ىلص- ُأََرضيت ُم ْن ُنَ ْفسك َُوَمالك ُبنَ ْعلَِْني ُ.ُ

قَالَ ْتُنَ َع ْم.ُقَا َلُفَأَ َجاَزهُ Dari Amir bin Rabi‟ah bahwasanya ada perempuan dari Bani Faza‟ah dinikahkan dengan mahar sepasang sandal. Maka Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau meridhakan dirimu dan apa yang kau miliki 35

dengan sepasang sandal?” perempuan tersebut menjawab, “ya” Rasulullah pun membolehkannya.

Dan yang ketiga, adalah cincin besi. Barang tersebut termasuk unik jika dijadikan mahar sebuah pernikahan. Rasulullah mempermudah sahabatnya yang tidak memiliki harta. Jika ia hanya memiliki cincin besi dan calon istrinya ridha, maka pernikahan pun terjadi di masanya. Sekali lagi, Rasulullah menegaskan bahwa cincin besi boleh untuk dijadikan mahar nikah, dengan sabda Nya,

ِ ِ ِ ٍ أَ ْعطَهاَُولَْوُ َخاََتًاُم ْنُ َحديدُ

“Berikanlah kepadanya (mahar) meskipun hanya sebuah cincin besi”

2. Mahar Nabi kepada istrinya

ِ ِ ِ ٍ َح َّدثَ نَاُإ ْس َحا ُقُبْ ُنُإبْ َراىي َم،ُأَ ْخبَ َرًَنُعَْب ُدُالَْعِزيِزُبْ ُنُُُمََّمد،ُ َح َّدثَِِنُيَِزي ُدُ ِ ِ ِ بْ ُن ُ َعْبد ُهللا ُبْ ِن ُأُ َساَمةَ ُبْ ِن ُاَْلَاد، ُح ُوَح َّدثَِِن ُُُمََّم ُد ُبْ ُن ُأَِِب ُعَُمَرُ ِ ِ الَْم ّك ُّي، َُواللَّْف ُظ ُلَوُ، ُ َح َّدثَ نَا ُ َعْب ُد ُالَْعِزيِز، ُ َع ْن ُيَِزي َد، ُ َع ْن ُُُمََّمد ُبْ ِنُ ِ ِ ِ ِ إبْ َراىي َم،ُ َع ْنُأَِِبُ َسلََمةَُبْ ِنُ َعْبدُالَّر ْْحَ ِن،ُأَنَّوُُقَا َل:ُ َسأَلْ ُتُ َعائ َشةََُزْوَجُ َّ ِ َّ ِ ِ َّ ِ النَِِِّّبُ َصلىُهللاُُعَلَْيوَُو َسل َم:َُك ْمَُكا َنُ َص َدا ُقَُر ُسولُهللاُ َصلىُهللاُُ َعلَْيوُ

36

َّ ِ ِ ِ ِ ِ َو َسل َم؟ ُقَالَ ْت: ُ» َكُا َن ُ َص َداقُوُ ُْلَْزَواجو ُثْن ََْت ُ َع ْشَرةَ ُأُوقيَّةً َُونَ ِّشا«،ُ ِ ِ ٍ قَالَ ْت:ُ»أَتَْدِريَُماُالنَّ ُّش؟«ُقَا َل:ُقُ ْل ُت:ََُّل،ُقَالَ ْت:ُ»ن ْص ُفُأُوقيَّة،ُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ َّ فَتْل َكُ ََخْ ُسمائَةُدْرَىٍم،ُفَ َه َذاُ َص َدا ُقَُر ُسولُهللاُ َصلىُهللاُُ َعلَْيوَُو َسل َمُ ِ ِ ِ ْلَْزَواجوُ«

“Saya pernah bertanya kepada „Aisyah, istri Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam; “Berapakah mahar Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam?” Dia menjawab; “Mahar beliau terhadap para istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu?” Abu Salamah berkata; Saya menjawab; “Tidak.” „Aisyah berkata; “Setengah uqiyah, jumlahnya sama dengan lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam untuk masing-masing istri beliau.”” (HR. Muslim)41

Hadits ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam memberikan mahar kepada istrinya itu tidak lebih daripada 500 dirham atau 12 uqiyah plus 1 nasy.

 1 uqiyah = 40 dirham. Sedangkan 1 nasy = 0,5 uqiyah = 20 dirham.  Mahar Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam adalah 12 uqiyah + 1 nasy = 500 dirham.  1 dirham = 2,975 gram perak. Maka 500 dirham x 2,975 gram perak = 1487,5 gram  1 dirham = Rp. 13.000,-

41 Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits, Shahih Muslim (Jakarta: Almahira, 2012) cet. 1 jilid 1 halm: 453 37

Berarti jumlah mahar Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam adalah 1487,5 gram x Rp. 13.000,- = Rp. 19.337.500,- (Sesuai harga perak murni saat ini). Inilah maharnya Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam dan itulah juga maharnya anak-anak perempuan Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam. Sejauh ini mahar selalu diidentikan dengan uang, emas ataupun barang lain yang bersifat duniawi. Akan tetapi sebenarnya, mahar tidak harus selalu identik dengan uang, emas, seperangkat alat shalat, Al-Quran, rumah, atau berbagai barang duniawi lainnya. Mahar juga bisa sesuatu yang bersifat akhirati seperti keimanan, seperti yagn telah diceritakan dalam sejarah, mahar seperti yang pernah di minta Ummu Sulaim pada Abu Thalhah, dapat juga berupa ilmu ataupun hafalan Al-Quran, atau bisa juga berupa kemerdekaan/pembebasan dari perbudakan, dan bisa dengan apa saja yang bisa diambil upahnya/manfaatnya, seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-Qashash ayat 27.42 ِ ِ ِ ِ قَا َلُإِّنُأُِري ُدُأَ ْنُأُنْك َح َكُإ ْح َدىُابْ نَ َََّتَُىاتَ ْنيُ َعلَىُأَ ْنََُتْ ُجَرِنَُْثَاِنَُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ح َج ٍجُفَإ ْنُأََْتَْم َتُ َع ْشًراُفَم ْنُعْند َكَُوَماُأُِري ُدُأَ ْنُأَ ُش َّقُ َعلَْي َكُ َستَج ُدِنُ ِ ِِ إِ ْنُ َشاءَُا ََّّللُُم َنُال َّصاْل َنيُ Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan)

42 http://fimadani.com/mahar-pernikahan/ diposting 25 January 2017 diakses 4 agustus 2019

38

dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik".

Kalau mahar itu dalam bentuk uang dan barang berharga, maka Nabi SAW mengkehendaki mahar itu dalam bentuk yang lebih sederhana. Adapun, hikmah disyariatkannya mahar yaitu 1. Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki- laki, bukan laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang berusaha untuk mendapatkan wanita sekalipun harus mengorbankan hartanya. 2. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada istrinya, karena maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah atau hibah yang oleh Al-Qur`an diistilahkan dengan kata nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan), bukan sebagai pembayar harga diri wanita. 3. Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan berumah tangga bukanlah main-main dan perkara yang tidak bisa dipermainkan. 4. Menunjukkan keseriusan suami dalam berumah tangga yaitu dengan memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah pemimpin atas wanitadalam kehidupan berumah tangga, dan untuk mendapatkan hak itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih bertanggung jawab dan tidak semena-mena terhadap istrinya.43 Dengan mahar, Islam telah mengangkat derajat seorang wanita dan sebagai penghormatan kepadanya.

43M. Zaenab Arifin, Muh Anshori, Fiqih Munakahat, h. 57 BAB III

MENGENAL ADAT PERNIKAHAN SUKU BUGIS

A. Suku Bugis Suku Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi selatan. Ciri utama dari kelompok ini adalah bahasa dan adat- istiadat. Bugis adalah suku yang tergolong kedalam suku-suku Melayu Deotero1. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.. kata “Bugis” berasal dari kata “To Ugi” yang berarti orang Bugis. Penamaan “Ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan China.yang terdapat di Pammana, kabupaten Wajo saat ini yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, dll. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan

1 Deutro Melayu atau Melayu Muda adalah istilah yang pernah digunakan untuk populasi yang diperkirakan datang pada “gelombang kedua” setelah “gelombang pertama” dari Melayu Proto. Populasi ini dkatakan datang pada Zaman Logam (kurang lebih 1500 SM). Suku Bangsa di Indonesia yang termasuk dalam Melayu Muda adalah Aceh, Minangkabau, Jawa, Sunda, Melayu, Betawi, Manado, Bali dan Madura. 40

41

Makassar dan Mandar. Adapun daerah peralihan Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.2 Orang Bugis juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra terbesar di dunia yakni La Galigo yang maskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata. Selanjutnya sejak abad ke 17 Masehi, Setelah menganut agama islam, Orang Bugis bersama Orang Aceh dan Minangkabau dari Sumatra, Orang Melayu di Sumatra, Dayak di Kalimantan, Orang Sunda di Jawa Barat, Madura di Jawa Timur dicap sebagai Orang nusantara yang paling kuat identitas Keislamannya. Bagi suku-suku lain disekitarnya orang bugis dikenal sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu demi kehormatan mereka orang bugis bersedia melakukan tindak kekerasan walaupun nyawa taruhannya. Namun demikian dibalik sifat keras tersebut orang bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya.3

2 https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis, diposting tanggal 1 September 2019 diakses 4 September 2019 3 https://www.gurupendidikan.co.id/suku-bugis/, diposting pada tahun 2014 diakses 4 September 2019

42

B. Adat Pernikahan Suku Bugis a. Pengertian

Perkawinan dalam Islam merupakan sarana efektif untuk menjaga umat manusia dari kebobrokan moral, menjaga setiap individu dari kerusakan masyarakat sebab manusia mempunyai naluri yang cukup mencintai lawan jenisnya, dapat disalurkan lewat pernikahan yang formal, yaitu hubungan yang halal. 6 Itulah sebabnya Rasulullah saw. khususnya bagi kaum muda agar tidak terbelenggu dalam jurang kenistaan sehingga ia menganjurkan perkawinan sebagaimana terjemahan sabdanya sebagai berikut:

Thoriq Ismail, Az-Zuwajul Islami, Diterjemahkan oleh Zainuddin Mz, Mahrous Ali dan H. Abdullah dengan judul “Pernikahan” (Cet. I; Surabaya Pustaka Progressif, 1994), h. 14. 43 Artinya: Alqamah berkata: Ketika aku bersama Abdullah bin Mas'uud di Mina tiba-tiba bertemu dengan Usman, lalu dipanggil: Ya Aba Abdirrahman, saya ada hajat padamu, lalu berbisik keduanya: Usman berkata: Ya Aba Abdirrahman, sukakah anda saya kawinkan dengan gadis untuk mengingatkan kembali masa mudamu dahulu. Karena Abdullah bin Mas'uud tidak berhajat kawin maka menunjuk kepadaky dan dipanggil: Ya Alqamali, maka aku daiang kepadanya, sedang ia berkata: Jika anda katakan begitu maka Nabi saw. bersabda kepada kami: Hai para pemuda siapa yang sanggup (dapat) memikul beban perkawinan maka hendaklah kawin, dan siapa yang tidak sanggup maka hendaknya berpuasa (menahan diri) maka itu untuk menahan syahwat dari dosa. (Bukhari, Muslim).7 Hadis tersebut menganjurkan umatnya melakukan suatu perkawinan apabila telah mampu. Sebagian 43

ulama mengatakan ada dua macam kemampuan, yakni kemampuan memberi nafkah batin antara lain senggama dan kemampuan memberi nafkah lahir antara lain nafkah rumah tangga. Apabila seorang pemuda telah memiliki dua kemampuan ini, maka hendaklah dia menikah. Jadi apabila uang panaik yang cukup tinggi mengakibatkan tak terlaksanakannya perkawinan, karena di luar kemampuan seorang laki-laki banyak yang enggan kawin akibat terlalu tingginya uang panaik yang harus dipersiapkan untuk melaksanakan perkawinan. Hal ini tidak sesuai dengan hukum Islam yakni menganjurkan untuk melaksanakan perkawinan yang tidak menyulitkan kedua belah pihak.4

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.

Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda- tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat- istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah

4 Uang Panai dalam pandangan ekonomi islam di kecamatan kajuara kab. Bone, skripsi oleh Nilawati

44

upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.

Untuk orang Bugis, Pernikahan tidak hanya mempersatukan kedua mempelai tetapi merupakan persatuan dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, pada jaman dahulu kala, bibit bebet bobot masih memegang peranan penting dalam melaksanakan pernikahan untuk orang Bugis. Seringkali orang tua pihak laki- lakilah yang mencarikan jodoh untuk anaknya. Mereka akan mencari gadis dari keluarga yang dianggap sederajat.

Namun di jaman modern ini, telah terjadi pergeseran nilai- nilai yang dianut di jaman dahulu kala mulai banyak bergeser. Semua karena menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Termasuk dalam upacara adat pernikahan Bugis-Makassar. Banyak ritual-ritual yang dulu digunakan untuk membedakan derajat keningratan seseorang kini tidak berlaku lagi. Semua orang bisa menggunakannya tanpa peduli silsilah keturunan dari keluarga calon pengantin.5

b. Sejarah Sejarah uang panai‟ itu sendiri Sebuah sumber menyebutkan bahwa asal muasal uang panai‟ adalah karena apa yang terjadi pada zaman penjajahan Belanda dulu. Belanda seenaknya menikahi perempuan Bugis yang ia inginkan, setelah menikah ia kembali menikahi perempuan lain dan meninggalkan istrinya itu karena melihat perempuan Bugis lain yang lebih cantik daripada istrinya. Budaya seperti itu membekas di Bugis setelah Indonesia

5https://www.kabarmakassar.com/posts/view/646/kenal-lebih-dekat-adat- pernikahan-bugis-makassar.html diposting 13 maret 2018 diakses 4 september 2019 45

Merdeka dan menjadi doktrin bagi laki-laki sehingga mereka juga dengan bebas menikah lalu meninggalkan perempuan yang telah dinikahinya seenaknya. Itu membuat perempuan Bugis Makassar seolah-olah tidak berarti.

Budaya itu berubah sejak seorang laki-laki mencoba menikahi seorang perempuan dari keluarga bangsawan. Pihak keluarga tentu saja menolak karena mereka beranggapan bahwa laki-laki itu merendakan mereka karena melamar anak mereka tanpa keseriusan sama sekali. Mereka khawatir nasib anak mereka akan sama dengan perempuan yang lainnnya sehingga pihak keluarga meminta bukti keseriusan pada laki-laki atas niatannnya datang melamar. Jadi pada saat itu orangtua si gadis ini mengisyaratkan kepada sang pemuda kalau ia ingin menikahi anak gadisnya dia harus menyediakan mahar yang telah ditentukannya. mahar yang diajukan sangatlah berat sang pemuda harus menyediakan material maupun non material. hal ini dilakukannya untuk menganggat derajat kaum wanita pada saat itu. Pergilah sang pemuda itu mencari persyaratan yang diajukan oleh orangtua si gadis. Bertahun-tahun merantau mencari mahar demi pujaan hatinya ia rela melakukan apa saja asalkan apa yang dilakukannya dapat menghasilkan tabungan untuk meminang gadis pujaannya. setelah mencukupi persyaratan yang diajukan oleh orang tua si gadis sang pemuda pun kembali meminang gadis pujaannya dan pada saat itu melihat kesungguhan hati sang pemuda orangtua si gadis merelakan anaknya menjadi milik sang pemuda tersebut.

Adanya persyaratan yang diajukan memeberikannya sebuah pelajaran yakni menghargai wanita karena wanita memang

46

sangat mahal untuk disakiti apalagi sang pemuda itu mendapatkan istrinya dari hasil jeri payahnya sendiri itulah sebabnya ia begitu menyanyangi istrinya. Jadi mahalnya mahar gadis Bugis bukan seperti barang yang diperjual belikan, tapi sebagai bentuk penghargaan kepada sang wanita, jadi ketika tersirat dihati ingin bercerai dan menikah lagi maka sang pemuda akan berpikir berkali-kali untuk melakukannya karena begitu sulitnya ia mendapatkan si gadis ini.6

Uang panai‟ atau uang belanja untuk pengantin mempelai wanita yang diberikan oleh pengantin pria merupakan tradisi adat suku Bugis- Makassar di Sulawesi Selatan. Uang panai ini sejak dulu berlaku sebagai mahar jika pria ingin melamar wanita idamannya hingga sekarang. Namun, uang panai ini biasanya menjadi beban bagi pria untuk melamar wanita idamannya. Pasalnya, nilai uang panai sebagai syarat adat untuk membiayai pesta perkawinan untuk pengantin wanita tidaklah sedikit. Nilainya bahkan bisa mencapai miliaran rupiah.7

c. Besaran Uang panai‟ yang menjadi salah satu tradisi saat hendak melangsungkan pernikahan sangat ditakuti oleh pasangan kekasih. Pasalnya, uang panai dinilai memberatkan dengan besarannya ditentukan oleh status sosial seorang wanita yang hendak dilamar. Bahkan, kini uang panai di tradisi Bugis-Makassar mencapai miliaran rupiah tergantung status sosial wanita yang dilamar.

6 https://id.quora.com/Sejak-kapan-suku-Bugis-di-Makassar-mengenal-tradisi- uang-panai diposting 13 juni 2018 diakses 5 september 2019 7https://regional.kompas.com/read/2017/03/13/08532951/.uang.panai.tanda.penghar gaan.untuk.meminang.gadis.bugis-makassar?page=all. 47

Dengan uang panaik ini, ada yang merasa terbebani dan ada pula yang menganggap sebagai gengsi dalam perkawinan. Uang panai‟ terkadang ditentukan berdasarkan kelas wanita yang hendak dipinang. Misalnya, kelas wanita yang lulusan SMA, sarjana, telah bekerja, pegawai negeri sipil (PNS), dokter, hingga gadis telah berhaji memiliki mahar yang berbeda. Salah seorang warga di Kabupaten Takalar, To ugi mengaku menikahkan anak laki-lakinya dengan gadis lulusan SMA dengan uang panaik Rp 100 juta, satu set perhiasan emas, 10 karung beras dan dua ekor kerbau. "Memang tradisi di sini, malu kita juga kalau tidak menikahkan anak gara-gara uang panaik. Ya, diusahakan saja dipenuhi, tapi ada ji negosiasi sampai sesuai kemampuan. Soalnya, itu anak bungsuku, Ansar sudah lama pacaran sama itu gadis. Itu uang panaik berbeda dengan pesta pengantin laki-laki. Jadi kira-kira habis Rp 200 juta lebih," katanya.8

C. Uang Panai‟ Uang panai‟ itu sendiri adalah sejumlah uang yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Terkait berapa jumlah uang panai‟ yang harus diberikan, tidak selalu sama antara satu dengan lainnya, semua bergantung pada kesepakatan antara keluarga kedua belah pihak. Dalam menentukan jumlah uang panai‟ yang harus disiapkan juga tidak sembarangan, ada beberapa hal yang menjadi penentunya dua hal yang paling penting adalah status sosial dan tingkat pendidikan uang panai‟ untuk perempuan dari kaum bangsawan tentu berbeda dengan uang panai‟ untuk perempuan dari masyarakat biasa.

8 https://regional.kompas.com/read/2018/03/09/08201001/pernikahan-ala-adat- bugis-makassar-jumlah-uang-panaik-ditentukan-status.

48

Di kalangan masyarakat suku Bugis-Makassar itu sendiri uang panai‟ memang masih menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk dibicarakan. Sangat sering terjadi, jika mendengar seorang gadis akan menikah, yang lebih dulu ditanyakan adalah: “berapa uang panai‟nya?” Kehadiran pertanyaan ini menjadi sebuah pertanda bagaimana uang panai‟ punya peran penting dalam hal pernikahan masyarakat suku Bugis-Makassar.

Hal lain tentang uang panai‟ yang juga tidak kalah menariknya untuk disimak adalah, tidak jarang besaran jumlah uang panai‟ menjadi semacam adu gengsi. Dalam beberapa kejadian, saking tidak ingin kalah saing, ada yang bahkan tidak peduli jika pihak laki-laki harus berutang agar bisa memenuhi uang panai‟ yang sudah ditetapkan. Hal seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab mengapa uang panai‟ menjadi sesuatu yang selalu menuai komentar pro dan kontra, baik di kalangan masyarakat suku Bugis- Makassar itu sendiri maupun di kalangan masyarakat luas.9

Masyarakat Bugis Makassar memiliki tradisi tersendiri dalam hal pelaksanaan perkawinan yaitu adanya kewajiban dari pihak mempelai laki-laki untuk memberikan uang panaik sebagai syarat untuk terlaksananya sebuah perkawinan. Uang panai‟ adalah sejumlah uang yang wajib diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita sebagai pemberian ketika akan melangsungkan perkawinan selain mahar. Pemberian uang panaik merupakan salah satu langkah awal yang harus dilakukan oleh laki-laki ketika akan melangsungkan perkawinan yang ditentukan setelah adanya proses lamaran. Jika lamaran telah diterima maka tahap selanjutnya adalah penentuan uang

9 Artikel tentang Tradisi uang panai suku bugis-makassar, diposting 27 januari 2016 diakses 5 september 2019 49

panai‟ yang jumlahnya ditentukan terlebih dahulu oleh pihak wanita yang dilamar dan jika pihak laki-laki menyanggupi maka tahap perkawinan selanjutnya bisa segera di dilangsungkan. Walaupun terkadang terjadi tawar-menawar sebelum tercapainya kesepakatan jika pihak laki-laki keberatan dengan jumlah uang panaik yang dipatok. Secara tekstual tidak ada peraturan yang mewajibkan tentang pemberian uang panaik sebagai syarat sah perkawinan. Pemberian wajib ketika akan melangsungkan sebuah perkawinan dalam hukum Islam hanyalah mahar dan 63 bukan uang panaik. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam firman Allah surah an-Nisa ayat 4 Adapun akibat hukum jika pihak laki-laki tidak mampu menyanggupi jumlah uang panai yang di targetkan, maka secara otomatis perkawinan akan batal dan pada umumnya implikasi yang muncul adalah pihak keluarga laki-laki dan perempuan akan mendapat cibiran atau hinaan di kalangan masyarakat setempat. Dewasa ini, interpretasi yang muncul dalam pemahaman sebagian orang Bugis-Makassar tentang pengertian mahar masi banyak yang keliru. Dalam adat perkawinan mereka, terdapat dua istilah yaitu sompa dan dui‟ menre‟ atau uang panai‟/doi balanja. Sompa atau mahar adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam. Sedangkan dui‟ menre‟ atau uang panai‟/doi balanja adalah “uang antaran” yang harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan. Adapun pengertian uang jujuran adalah uang yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita sebagai pemberian ketika akan melangsungkan perkawinanan selain mahar. Adat pemberian uang jujuran menganut sistem patrilineal yang

50 menggunakan system perkawinan jujur . Jujur dalam sistem patrilineal bermakna pemberian uang dan barang dari kelompok kerabat calon 64 mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita dengan tujuan memasukkan wanita yang dinikahi kedalam gens suaminya, demikian pula anak-anaknya. Fungsi uang jujuran yang diberikan secara ekonomis membawa pergeseran kekayaan karena uang jujuran yang diberikan mempunyai nilai tinggi. Secara sosial wanita mempunyai kedudukan yang tinggi dan dihormati. Secara keseluruhan uang jujuran merupak hadiah yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon istrinya sebagai keperluan pekawinan dan rumah tangga. fungsi lain dari uang jujuran tersebut adalah sebagai imbalan atau ganti terhadap jerih payah orang tua membesarkan anaknya. Secara sepintas, ketiga istilah tersebut di atas memang memiliki pengertian dan makna yang sama, yaitu ketiganya sama-sama merupakan kewajiban. Namun, jika dilihat dari sejarah yang melatarbelakanginya, pengertian ketiga istilah tersebut jelas berbeda. Sompa atau yang lebih dikenal dengan mas kawin/mahar adalah kewajiban dalam tradisi Islam, sedangkan dui‟ menre‟ atau uang panai‟ dan uang jujuran adalah kewajiban menurut adat masyarakat setempat selain sebagai suatu ketentuan wajib dalam perkawinan, berdasarkan unsur-unsur yang ada di dalamnya dapat dikatakan bahwa uang panai‟ mengandung tiga makna, pertama, dilihat dari kedudukannya uang panaik merupakan rukun perkawinan di kalangan masyarakat suku Bugis-Makassar. Kedua, dari segi fungsinya uang panai merupakan pemberian hadiah bagi pihak mempelai wanita sebagai biaya resepsi perkawinan dan bekal dikehidupan kelak yang sudah berlaku secara turun temurun mengikuti adat istiadat. Ketiga, dari segi tujuannya pemberian uang 51

panai‟ adalah untuk memberikan prestise (kehormatan) bagi pihak keluarga perempuan jika jumlah uang panaik yang dipatok mampu dipenuhi oleh calon mempelai pria. Kehormatan yang dimaksudakan disini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panai tersebut. Pelaksanaan pemberian uang panai walaupun tidak tercantum dalam hukum Islam, hal ini tidak bertentangan dengan Syari‟at dan tidak merusak akidah karena salah satu fungsi dari pemberian uang panaik adalah sebagai hadiah bagi mempelai wanita untuk bekal kehidupannya kelak dalam menghadapi bahtera rumah tangga dan ini merupakan mashlahat baik bagi pihak mempelai laki- laki dan mempelai wanita. Adat seperti ini dalam hukum Islam disebut dengan „urf ash-shahih yaitu adat yang baik, sudah benar dan bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum. Mahar dan uang panai‟ dalam perkawinan adat suku Bugis-Makassar adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban yang harus dipenuhi. Akan tetapi uang panaik lebih mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses 66 perkawinan. Sehingga jumlah uang panaik yang ditentukan oleh pihak wanita biasanya lebih banyak daripada jumlah mahar yang diminta. Dalam kenyataan yang ada uang panaik bisa mencapai ratusan juta rupiah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, justru sebaliknya bagi mahar yang tidak terlalu dipermasalahkan sehingga jumlah nominalnya diserahkan kepada kerelaan suami yang pada umumnya hanya berkisar Rp. 10.000 – Rp. 5.000.000, saja. Mengenai masalah tersebut dalam sebuah hadits

52

Rasul bersabda yang maknanya bahwa perkawinan yang paling besar berkahnya adalah yang paling murah maharnya. Melihat dari makna hadits di tersebut maka sangat tidak etis jika uang panaik yang diberikan oleh calon suami lebih banyak daripada uang mahar. Hadits di atas sangat jelas menganjurkan kepada wanita agar meringankan pihak laki-laki untuk menunaikan kewajibannya membayar mahar apalagi uang panaik yang sama sekali tidak ada ketentuan wajib dalam hukum Islam. Nabi Muhammad SAW ketika menikahkan Fatimah r.a tidak meminta mahar yang banyak kepada Ali r.a. dan Ali hanya memberikan baju besi. Hal ini bertujuan memudahkan dan tidak membebani Ali atas tuntutan mahar. Pada hadits tersebut Nabi Muhammad sangat jelas menekankan kepada Ali r.a agar memberikan mahar kepada Fatimah r.a sebagai syarat sah dalam perkawinan walau hanya dengan baju besi, asalkan dipandang berharga dan mempunyai nilai. Agama Islam sebagai agama rahmat li „alamin tidak menyukai penentuan mahar yang memberatkan pihak laki-laki untuk melangsungkan perkawinan, demikian pula uang panaik dianjurkan agar tidak memberatkan bagi pihak yang mempunyai niat suci untuk menikah. Perkawinan sebagai sunnah Nabi hendaknya dilakukan dengan penuh kesederhanaan dan tidak berlebih-lebihan sehingga tidak ada unsur pemborosan di dalamnya karena Islam sangat menentang pemborosan. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam firman Allah surah al-Isra‟ ayat 27. Dalam hukum Islam dikenal prinsip mengutamakan kemudahan (raf‟ attaysir) dalam segala urusan. Terlebih lagi dalam hal perkawinan prinsip ini sangat ditekankan. Para wanita tidak diperkenankan meminta hal yang justru memberatkan pihak laki-laki karena hal ini mempunyai beberapa dampak negatif, diantaranya: 53

1. Menjadi hambatan ketika akan melangsungkan perkawinan terutama bagi mereka yang sudah serius dan saling mencintai.

2. Mendorong dan memaksa laki-laki untuk berhutang demi mendapatkan uang yang disyaratkan oleh pihak wanita.

3. Mendorong terjadinya kawin lari dan terjadinya hubungan diluar nikah. Selain tersebut di atas dampak lain yang bisa ditimbulkan adalah banyaknya wanita yang tidak kawin dan menjadi perawan tua karena para lelaki mengurungkan niatnya untuk menikah disebabkan banyaknya tuntutan yang harus disiapkan oleh pihak laki-laki demi sebuah pernikahan. Lebih jauh lagi akibat yang timbul karena besarnya tuntutan yang harus dipenuhi adalah dapat mengakibatkan para pihak yang ingin menikah terjerumus dalam perbuatan dosa. Pemberian uang panaik merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi dan biasanya dalam jumlah yang tidak sedikit. Namun demikian dari hasil wawancara diperoleh gambaran bahwa para lelaki yang ingin menikahi wanita dari suku Bugis Makassar merasa tidak terbebani dengan nilai uang panaik yang relatif tinggi karena dalam penentuan jumlah uang panaik itu terjadi proses tawar menawar terlebih dahulu sampai tercapai sebuah kesepakatan sehingga masih dalam jangkauan kemampuan pihak laki-laki untuk memenuhi uang panaik yang disyaratkan. Selain itu para lelaki memang telah mengetahui sebelumnya akan adat tentang uang panaik tersebut sehingga mereka telah mempersiapkan segalanya

54 sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius. Selama pemberian uang panai‟ tidak mempersulit terjadinya pernikahan maka hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam dan yang paling penting adalah jangan sampai ada unsur keterpaksaan memberikan uang panai‟. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah surah al Baqarah ayat 185 bahwa Allah tidak menghendaki kesukaran bagi hamba-Nya. Perbedaan tingkat sosial masyarakat sangat mempengaruhi terhadap nilai uang panaik yang disyaratkan. Di antaranya adalah status ekonomi wanita yang akan dinikahi, kondisi fisik, jenjang pendidikan, jabatan, pekerjaan, dan keuturunan. Agama Islam tidak membeda-bedakan status sosial dan kondisi seseorang apakah kaya, miskin, cantik, jelek, berpendidikan atau tidak. Semua manusia dimata Allah mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, hal yang membedakan hanyalah takwa. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman Allah surah al-Hujurat ayat 13. Dalam sebuah hadits dari Aisyah menerangkan bahwa Nabi tidak membeda- bedakan dalam hal pemberian mahar kepada istri-istrinya baik yang kaya, miskin, berpendidikan, janda atau masih gadis Hadits tersebut jelas menerangkan bahwa Nabi SAW tidak membedabedakan status sosial seseorang dalam penentuan mahar, padahal seperti yang telah diketahui bahwa hanya Khadijah r.a yang statusnya kaya dan hanya Aisyah r.a yang masih gadis. Nabi menyamakan status perempuan antara yang satu dan lainnya tanpa ada perbedaan antara yang kaya, miskin, dan lain-lain. Hukum 55

Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena sadar akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah mendapatkan peran penting dalam mengatur lalu lintas hubungan dan tertib sosial di kalangan anggota masyarakat. Adat kebiasaan berkedudukan pula sebagai hukum yang tidak tertulis dan dipatuhi karena dirasakan sesuai dengan rasa kesadaran hukum mereka. Adat kebiasaan yang tetap sudah menjadi tradisi dan telah mendarah-daging dalam kehidupan masyarakatnya. Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah banyak berlaku pada masyarakat dari berbagai penjuru dunia. Adat kebiasaan yang dibangun oleh nilai-nilai yang dianggap baik dari masyarakat itu sendiri, yang kemudian diciptakan, dipahami, disepakati, dan dijalankan atas dasar kesadaran. Nilai-nilai yang dijalankan terkadang tidak sejalan dengan ajaran Islam dan ada pula yang sudah sesuai dengan ajaran Islam. Agama Islam sebagai agama yang penuh rahmat menerima adat dan budaya selama tidak bertentangan dengan Syari‟at Islam dan kebiasaan tersebut telah menjadi suatu ketentuan yang harus dilaksanakan dan dianggap sebagai aturan atau norma yang harus ditaati, maka adat tersebut dapat dijadikan pijakan sebagai suatu hukum Islam yang mengakui keefektifan adat istiadat dalam interpretasi

hukum. Sebagaimana kaidah fiqhiyah1 : اَلَْعاَدةُ ُُمَ َّكَمة Artinya:”Adat kebiasaan dapat dijadikan pijakan hukum ” di Kota Makassar pemberian uang panai diartikan sebagai pemberian wajib dalam perkawinan yang diberikan kepada

56 mempelai wanita dari mempelai laki-laki selain uang mahar. Pemberian uang panai‟ dalam perkawinan adat masyarakat tidak dapat ditinggalkan dan sudah mendarah daging dalam diri masyarakat. Pemberian uang panai‟ pada masyarakat ini walaupun tidak diatur dalam hukum Islam namun tradisi tersebut sudah menjadi suatu kewajiban yang harus ditunaikan demi kelancaran dalam perkawinan adat masyarakat adat dan kebiasaan selalu berubah-ubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan. Realitas yang ada dalam masyarakat berjalan terus menerus sesuai dengan kemaslahatan manusia karena berubahnya gejala sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, kemaslahatan manusia itu menjadi dasar setiap macam hukum. Maka sudah menjadi kewajaran apabila terjadi perubahan hukum karena disebabkan perubahan zaman dan keadaan serta pengaruh dari gejala kemasyarakatan itu

تَ غَرُِّي ا sendiri. Sebagaimana kaidah fiqhiyah berikut:2

Artinya : Berubahnya fatwa ِ ِ ِ ِ لَْفْت َوى بتَ غَرُِّي األْزمنَة َو األَ ْحَوال dikarenakan perubahan masa dan tempat. Dalam redaksi lain dengan makna yang serupa disebutkan sebagai

:berikut:3 ِ ِ ِ Artinya الَيُ ْن َكُر تَ غَير َر اْألَ ْح َكام بتَ غَرُِّي اْألَْزَمان “Tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum, disebabkan berubahnya zaman”. Masyarakat Bugis- Makassar dalam menjalankan kebiasaan memberikan uang panai tidak merasa terbebani dan tidak mengganggap itu 57

merupakan sesuatu hal yang buruk, sehingga hal ini sudah dianggap kebiasaan baik yang memang harus ditunaikan bagi para pihak yang akan menikahi gadis Bugis Makassar. Adat yang sudah dikenal baik dan dijalankan secara terus menerus dan berulang-ulang serta dianggap baik oleh mereka, maka tidak bisa diharamkan oleh Islam dan undang-undang yang berlaku. Sebagaimana kaidah

ِ ِ ِ fiqhiyyah yang berbunyi:4 ا ْستْعَما ُل النَّا ِس ُح َّجة ََي ُب اْلَعَم ُل

Artinya: “Apa yang dilakukan oleh masyarakat secara ِِبا َ

umum, bisa dijadikan hujjah (alasan/dalil) yang wajib diamalkan”. Dalam kaidah fiqhiyyah yang lain disebutkan:

:Artinya ِ ِ َِّ تَ ْعتَِبُالَْعاَدةُ إذَا ا ْضطََرَد ْت أَْو غَلَبَ ْت إَّنَا “sesungguhnya adat yang diakui (oleh syar‟i) hanyalah apabila berlangsung terus menerus dan berlaku umum”. Selain itu Hasbi Ash-Shiddieqiy dalam bukunya yang berjudul Falsafah Hukum Islam mengkualifikasikan bahwa adat dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam, jika memenuhi syarat sebagai berikut: Adat kebiasaan dapat diterima oleh perasaan sehat dan diakui oleh pendapat umum. Berulang kali terjadi dan sudah umum dalam masyarakat. . Kebiasaan itu sudah berjalan atau sedang berjalan, tidak boleh adat yang akan berlaku. Tidak ada persetujuan lain kedua belah pihak, yang berlainan dengan kebiasaan. Tidak bertentangan dengan nas}. Pemberian uang panaik merupakan tradisi yang bersifat umum, dalam

58 artian berlaku pada setiap orang yang bersuku Bugis Makassar. Walaupun pemberian uang panai‟ tidak diatur secara gamblang dalam hukum Islam, namun pemberian uang panai‟ sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari‟at maka hal ini diperbolehkan. Dalam sebuah hadits| Nabi SAW bersabda:

ِ ِ ِ (فَماَ َرآهُ الُْم ْسل ُمْوَن َح َسنًا فَ ُهَو عْن َد اهللا َح َس ن )اخرجو امحد Artinya: “Apa yang dipandang oleh orang islam baik, maka baik pula di sisi Allah”. Perlu ditegaskan bahwa pelaksanaan pemberian uang panaik dalam perkawinan adat suku Bugis walaupun sudah menjadi tradisi dan membudaya hal ini tidak bersifat wajib mutlak, dalam artian perkawinan yang dilaksanakan tanpa memberikan uang panaik dan hanya memberikan mahar kepada calon mempelai wanita maka perkawinan tersebut sah menurut hukum Islam, namun secara adat akan dianggap sebagai pelanggaran yang berakibat mendapatkan hinaan dan celaan dari masyarakat. Fenomena pemberian uang panaik di Kelurahan Untia ini dalam hukum Islam dapat dikatakan sebagai kebiasaan yang baik („urf sahih) yaitu kebiasaan yang dipelihara oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam, tidak mengharamkan sesuatu yang halal, tidak membatalkan sesuatu yang wajib, tidak menggugurkan cita kemaslahatan, serta tidak mendorong timbulnya kemafsadatan. Sebagaimana dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya Kaidahkaidah Hukum 59

Islam yang menjelaskan bahwa adanya saling pengertian perihal pemberian dalam perkawinan berupa perhiasan atau pakaian adalah termasuk hadiah dan bukan sebagian dari mahar dan hal ini menurut Abdul Wahhab Khallaf merupakan „urf sahih. Tradisi pemberian uang panai‟ juga sesuai dengan asas hukum perkawinan Islam karena didalamnya terdapat asas kerelaan dan kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki dan pihak mempelai perempuan dalam penentuan nilai uang uang panai.10

Adat pemberian uang panai‟ diadopsi dari adat perkawinan suku bugis asli. Uang panai‟ bermakna pemberian uang dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita dengan tujuan sebagai penghormatan. Penghormatan yang dimaksudkan disini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panaik tersebut. Fungsi uang panaik yang diberikan secara ekonomis membawa pergeseran kekayaan karena uang panaik yang diberikan mempunyai nilai tinggi. Secara 52 keseluruhan uang panaik merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita untuk memenuhi keperluan pernikahan.11

10 Analisis hukum islam tentang uang panai dalam perkawinan adat suku bugis- makassar .doc 11 Analisis hukum islam tentang uang panai dalam perkawinan adat suku bugis- makassar .doc

BAB IV

Uang Panai’ dalam Adat Pernikahan Suku Bugis dan Penafsiran Ayat Mahar dalam Tafsir Al-Misbah

A. Filosofi Uang Panai‟ 1. Pengertian Uang panai‟ atau uang belanja untuk pengantin mempelai wanita yang diberikan oleh pengantin pria merupakan tradisi adat suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Uang panai‟ ini sejak dulu berlaku jika pria ingin melamar wanita idamannya hingga sekarang. Namun, uang panai‟ ini biasanya menjadi beban bagi pria untuk melamar wanita idamannya. Pasalnya, nilai uang panai‟ sebagai syarat adat untuk membiayai pesta perkawinan untuk pengantin wanita tidaklah sedikit. Nilainya bahkan bisa mencapai miliaran rupiah.1 2. Tata Cara Pernikahan Adat Bugis Sebagai orang Indonesia, adat dan budaya punya peranan besar dalam keseharian kita. Karena itu wajar jika pada hari pernikahan, yang bisa dikatakan hari terbesar dalam kehidupan seseorang, kita menginkorporasikan adat dan budaya suku kita. Namun rangkaian acara pernikahan adat yang sering kali panjang dan memakan waktu lama, kadang membuat pernikahan tradisional terkesan rumit, sehingga banyak calon pengantin yang memilih mengadakan pernikahan secara modern. Padahal menjalani pernikahan tradisional dengan ritual-ritual yang turun temurun dilakukan keluarga kamu tentunya membawa kepuasan tersendiri.

1https://regional.kompas.com/read/2017/03/13/08532951/.uang.panai.tanda.penghar gaan.untuk.meminang.gadis.bugis-makassar?page=all. 60

61

Prosesi pernikahan adat adalah suatu hal yang sakral, setiap tahapan dan ritual yang dijalani mengandung makna dan doa yang berbeda. Di dalam adat suku Bugis, upacara pernikahan terdiri dari tahapan-tahapan berikut: a. Mappasau Botting dan Cemme Passih Setelah menyebarkan undangan pernikahan, mappasau botting yang berarti merawat pengantin adalah ritual awal dalam upacara pernikahan. Acara ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut sebelum sampai ke hari H. selama tiga hari tersebut pengantin menjalani perawatan tradisional seperti uap dan menggunakan bedak hitam dari campuran beras ketan, asam jawa dn jeruk nipis. Cemme Passih sendiri merupakan mandi tolak bala yang dilakukan untuk meminta perlindungan tuhan dari bahaya. Upacara ini umumnya dilakukan pada pagi hari, sehari sebelum hari H. b. Mappanre Temme Karena mayoritas suku bugis memeluk agama islam, pada sore hari sebelum hari pernikahan diadakan acara Mappanre Temme atau Khatam Qur‟an dan Pembacaan Barzanji yang dipimpin oleh seorang imam. c. Mappaci atau Tudammpenni Malam menjelang pernikahan, calon pengantin melakukan kegiatan Mapacci/Tudammpenni. Proses ini bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan kedua pengantin dari hal-hal yang tidak baik. Dimulai dengan penjemputan kedua mempelai, yang kemudian duduk dipelaminan, setelah itu, didepan mereka disusun perlengkapan-

62

perlengkapan berikut: sebuah bantal sebagai symbol penghormatan, tujuh sarung sutera sebagai symbol harga diri, selembar pucuk daun pisang sebagai symbol kehidupan yang berkesinambungan, tujuh sampai Sembilan daun nangka sebagai symbol harapan, sepiring wenno (padi yang disangrai) sebagai symbol perkembangan baik, sebatang lilin yang menyala sebagai simbol penerangan, daun pacar halus sebagai symbol kebersihan dan bekkeng (tempat untuk daun pacci) sebagai symbol persatuan pengantin. Setelah perlengkapan-perlengkapan tersebut ditaruh, satu persatu kerabat dan tamu akan mengusapkan pacci ke telapak tangan pengantin. d. Mappanre Botting Mappanre botting berarti mengantar mempelai pria kerumah mempelai wanita, mempelai pria diantar ole hiring-iringan tanpa kehadiran orangtuanya. Iring-iringan tersebut biasanya terdiri dari indo botting (inang pengantin) dan passepi (pendamping mempelai). e. Madduppa Botting Setelah mappanre botting dilakukan maduppa botting atau penyambutan kedatangan mempelai pria. Penyambutan ini biasanya dilakukan oleh dua orang penyambut (satu remaja wanita dan satu remaja pria) dua orang pakkusu-kusu (wanita yang sudah menikah) dan dua orang pallipa sabbe (orang tua pria dan wanita setengah baya sebagai wakil orang tua mempelai wanita) dan seorang wanita penebar wenno.

63

f. Mappasikarawa/ Mappasilu Setelah akad nikah, mempelai pria dituntun menuju kamar mempelai wanita untuk melakukan seentuhan pertama. Bagi suku bugis, sentuhan pertama mempelai pria memegang peran penting dalam keberhasilan kehidupan rumah tangga pengantin. g. Marola/ Mapparola Pada tahapan ini, mempelai wanita melakukan kunjungan balasan kerumah mempelai pria bersama dengan iringan-iringannya, pengantin wanita membawa sarung tenun sebagai hadiah pernikahan untuk keluarga suami. h. Malukka Botting Dalam prosesi ini, kedua pengantin menanggalkan busana pengantin mereka. Setelah itu pengantin pria umumnya mengenakan celana panjang hitam, kemeja panjang putih dan kopiah, sementara pengantin wanita menggunakan rok atau celana panjang, kebaya dan kerudung, kemudian pengantin pria dililitkan tubuhnya dengan tujuh lembar kain sutera yang kemudian dilepas satu persatu. i. Ziarah Sehari setelah hari pernikahan berlangsung, kedua penganting, bersama dengan keluarga pengantin wanita melakukan ziarah ke makan leluhur. Ziarah ini merupakan bentuk penghormatan dan syukur atas pernikahan yang telah berlangsung lancar.

64 j . Massita Beseng Sebagai penutup rangkaian acara pernikahan, kedua keluarga pengantin bertemu dirumah pengantin wanita. Kegiatan ini bertujun untuk membangun tali silaturahim antara keluarga.

Perkawinan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan adat dan kebudayaan mayarakat bugis. Dalam adat perkawinan masyarakat bugis memiliki tradisi yang paling kompleks dan melibatkan banyak emosi. Bagaimana tidak, mulai dari ritual lamaran hingga selesai resepsi perkawinan akan melibatkan seluruh keluarga yang berkaitan dengan kedua pasangan calon mempelai. Salah satu tradisi tersebut adalah adanya kewajiban memberikan uang panai dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat terlaksananya perkawinan.

Tentang sejarah awal mulanya uang panai‟ perkawinan dalam adat perkawinan suku Bugis dapat dilihat hasil wawancara penulis dengan seorang tokoh masyarakat sebagai berikut ini : “Uang panai‟ dalam adat perkawinan suku bugis mulai berlaku sekitar tahun 1950, pada waktu itu yang memberlakukan uang panaik tersebut hanya terbatas pada kaum bangsawan saja. Uang panai‟ tersebut dimaksudkan untuk memeriahkan pesta perkawinan serta menunjukkan kebangsawanan mereka, makin semarak pesta perkawinan yang diselenggarakan, maka makin dikagumilah bangsawanan tersebut. Demikianlah hingga akhirnya kebiasaan para bangsawan memberlakukan adanya uang panai‟ jika 65

mengawinkan anak-anak mereka akhirnya lambat laun diikuti oleh seluruh anggota masyarakat dan tetap berlaku sampai sekarang”.

Uang panai‟ sejak adanya perkawinan dalam masyarakat bugis. Setelah Islam datang dan ajarannya tersebar di tengah masyarakat termasuk kewajiban memberikan mahar dalam perkawinan, maka uang panai‟ ini tidak serta merta dihapus, akan tetapi tetap dipertahankan sehingga muncullah dua kewajiban yang masing-masing harus dipenuhi oleh mempelai pria yaitu mahar sebagai kewajiban agama dan uang panaik sebagai kewajiban adat”.2

Adapun kelebihan uang panai‟ yang tidak habis terpakai akan dipegang oleh orang tua. Akan tetapi pada umumnya semua uang panai‟ tersebut akan habis terpakai untuk keperluan pesta pernikahan, namun apabila terdapat sisa dari total uang panaik tersebut maka akan diberikan kepada anak. Bagian anak pun terserah orang tuanya. Apakah akan memberikan semuanya atau tidak, itu menjadi otoritas orang tua si calon istri. Walaupun dalam kenyataanya orang tua tetap memberikan sebagian kepada anaknya untuk dipergunakan sebagai bekal kehidupannya yang baru.

Di dalam ekonomi Islam, uang panai‟ yang tinggi boleh-boleh saja diberikan apabila pihak laki-laki sanggup memberikan dan tidak menyusahkan pihak laki-laki.

2 Uang Panai dalam panangan Ekonomi Islam, skripsi oleh Nilawati

66

1. Prinsip keseimbangan Keseimbangan merupakan nilai dasar yang pengaruhnya terlibat pada berbagai spek tingkah laku ekonomi muslim, misal kesederhanaan (moderation), berhemat (parsimon), dan menjahi pemborosan (extravagance). Konsep nilai kesederhanaan berlaku dalam tingkah laku ekonomi, terutama dalam menjauhi konsumerisme dan menjauhi pemborosan berlaku tidak hanya untuk pembelanjaan yang diharamkan saja, tetapi juga pembelanjaan dan sedekah yang berlebihan. Keseimbangan yang dimaksudkan bukan hanya berkaitan dengan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi, tapi juga berkaitan dengan keseimbangan kebutuhan individu dan kebutuhan kemasyarakatan (umum). Islam menekankan keselarasan antara lahir dan batin, individu dan masyarakat. Oleh sebab itu, sumber daya ekonomi harus diarahkan untuk mencapai kedua kesejahteraan tersebut. Islam menolak secara tegas umat manusia yang terlalu rakus dengan penguasaan materi dan menganggapnya sebagai ukuran keberhasilan ekonomi.

Dari tulisan di atas, sudah terlihat jelas bahwa didalam islam sangat di tegaskan untuk tidak terlalu boros dalam 67

penguasaan materi dan menganggapnya sebagai ukuran keberhasilan. Penulis mengangkat poin keseimbangan di dalam 17M. Umer Chapra, “Negara Sejahtera Islami dan Perannya di Bidang Ekonomi”, dalam Ainur R. Sophian, Etika Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategi Pembangunan Masyarakat Islam, melihat kedudukan uang panai‟ didalam ekonomi islam karena penulis beranggapan bahwa uang (materi) tidak dapat kita simbolkan sebagai tolak ukur kehidupan manusia kedepannya, serta tidak dapat di ukur dari segi keberhasilan suatu resepsi pernikahan walaupun segala sesuatu yang di perlukan di dalam resepsi itu membutuhkan uang. Konsep pesta adat yang dibiayai dengan uang panai‟ ditinjau dari sudut pandang ekonomi Islam adalah pemborosan, karena masyarakat di jaman ini mengadakan resepsi perkawinan untuk berbangga-bangga. Kita banyak menyaksikan adanya resepsi yang berlebih-lebihan, pemborosan. Bahkan, ada yang membebani diri dengan resepsi yang uang panai‟nya di luar kemampuannya, sampai ada yang menggadaikan atau bahkan menjual hak miliknya, atau dengan mencari utang yang akan mencekik lehernya. Perbuatan demikian sebenarnya dilarang oleh agama. Allah swt. tidak mengajarkan demikian. Islam mengatur secara jelas mengenai masalah pernikahan. Termasuk di dalamnya adanya akad nikah, serta walīmah al-„urs. Bahwa pernikahan tidak hanya akad nikah namun perlu adanya suatu walīmah al-„ursy. Oleh sebab itu, syari‟at menganjurkan supaya pernikahan tersebut dipublikasikan pada khalayak umum, dan makruh hukumnya untuk dirahasiakan. Di sunnahkan mengumumkan (waktu dan

68 tempat) prosesi akad nikah dan mengundang masyarakat sekitar, untuk membedakan antara pernikahan dan perzinaan dan perbuatan haram, karena perbuatan haram identik dengan perbuatan remang-remang. Selain itu, jika uang panaik terlalu mahal ada beberapa dampak negatif yang bisa terjadi, yaitu: a. Silariang. Apabila orang tua laki-laki tidak dapat menyanggupi permintaan uang panai‟ dari keluarga perempuan, biasa terjadi silariang. Alasan mereka Silariang karena permintaan orang tua perempuan sangat tinggi. Disamping itu laki-laki dan perempuan saling mencintai. Jadi mereka memilih Silariang. b. Apabila uang panaik tinggi dan menggelar pesta yang meriah, salah satu dampaknya yaitu keluarga mempelai akan menggelar pertandingan domino sehari sebelum pesta pernikahan. Kemudian pada hari diadakannya pesta biasanya dilengkapi dengan orkes melayu, sebab ia tidak mau ketingalan dengan mengambil orkes. Sedangkan dalam al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah saw. menyerukan kepada kita agar melaksanakan pesta perkawinan sesederhana mungkin sesuai dengan tujuan uang panaik dalam konsep Islam yaitu dengan menyederhanakan pesta perkawinan dan dilaksanakan sesuai kemampuan. Untuk mewujudkan prinsip tersebut, penulis beranggapan bahwa pihak keluarga laki-laki dan keluarga perempuan terlebih dahulu harus menyetujui atau menyepakati uang panaik yang akan diberikan pihak laki-laki yang kemudian di kembalikan setengahnya ke pihak keluarga laki-laki. 69

Supaya terlihat seimbang dan lebih ekonomis dan supaya tidak ada yang merasa dirugikan. Pada intinya peneliti juga menyarankan bahwa yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai terdapat unsur keterpaksaan antara kedua belah pihak, bagi yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan uang panaik dalam jumlah yang besar hendaknya jangan terlalu dipaksakan. Ditinjau dari sudut agama, Islam sebagai agama rahmat lil„alamin tidak menyukai penentuan uang panaik (pesta pernikahan) yang memberatkan pihak laki-laki untuk melangsungkan perkawinan, demikian pula uang panaik (biaya pesta) yang hanya merupakan anjuran agar tidak memberatkan bagi pihak yang mempunyai niat suci untuk menikah.

2. Prinsip keadilan Secara garis besar keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat kesamaan perlakuan di mata hukum, kesamaan hak kompensasi, hak hidup secara layak, dan hak menikmati pembangunan. Keadilan harus ditetapkan disemua fase kegiatan ekonomi, baik kaitannya dengan produksi maupun konsumsi, yaitu dengan aransemen efisiensi dan memberantas keborosan ke dalam keadilan distribusi ialah penilaian yang tepat terhadap faktor-faktor produksi dan kebijaksanaan harga hasilnya sesuai dengan takaran yang wajar dan ukuran yang tepat atau kadar sebenarnya. Jika Ditinjau dari poin kedua yaitu prinsip keadilan sebagaimana telah di jelaskan bahwa Nilai keadilan merupakan konsep universal yang secara khusus berarti menempatkan sesuatu pada posisi dan porsinya. Kata adil dalam hal ini bermakna tidak berbuat zalim kepada sesama

70

manusia, bukan berarti sama rata sama rasa. Dengan kata lain, maksud adil di sini adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dari penjelasan tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa keadilan didalam kehidupan bermasyarakat sangatlah di butuhkan, karena didalam kehidupan bermasyarakat sangatlah diperlukan rasa kemanusiaan yang tinggi. Dari kesadaran kemanusiaan yang tinggi inilah manusia dapat memunculkan sifat keadilan yang bisa di pakai di dalam tawar menawar uang panai‟ antara pihak pria dan pihak wanita. Tawar menawar uang panaik dalam segi prinsip keadilan yang di maksud penulis adalah sesuainya kemampuan yang di sanggupi dari pihak laki-laki yang bisa di terima pihak perempuan atau bisa di katakan kesepakatan antara pihak laki- laki dan pihak perempuan melalui pembicaraan kedua bela pihak dan tidak ada yang merasa dirugikan.

Islam telah memberikan kemudahan kepada para pemeluknya dalam menjalankan hukum Islam sesuai dngan kemmapuannya. Hal ini dapat kita lihat pada ayat al-Qur‟an sebagai berikut:

1. QS al-Baqarah / 2 : 286

ِ ِ ََل يُ َكلّ ُف ا هَّللُ نَ ْف ًسا إهَل ُو ْسَعَها Terjemahnya: „Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya... .‟

71

2. QS An-Nisa / 4 : 28

ِ ِ ِ يُِري ُد ا هَّللُ أَ ْن ُُيَّف َف َعْن ُك ْم َو ُخل َق اِْْلنْ َسا ُن َضعيًفا

Terjemahnya: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah‟.19

3. QS Al-Maidah /5 : 6

ِ ِ يُِري ُد ا هَّللُ ليَ ْجَع َل َعلَْي ُك ْم م ْن َحَرج Terjemahnya: „Allah tidak hendak menyulitkan kamu...‟

Dengan melihat ayat-ayat dia atas, nampaklah kepada kita bahawa hukum Islam berjalan di atas kemudahan, tidak memberatkan dan tidak menyulitkan. Dan perkawinan tiada lain hanya untuk melaksanakan ketetapan yang sudah menjadi Sunnatllah semenjak azali dan melaksanakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah swt. Karena adanya unsur mempersulit perkawinan dengan tuntutan mahar dan uang panai‟ yang mahal atau berbagai tuntutan yang lainnya, hal ini tidak sesuai dengan kemudahan yang dianjurkan oleh Allah swt. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa uang panaik adalah sejumlah uang yang wajib diserahkan oleh calon mempelai suami kepada pihak keluarga calon istri yang akan digunakan sebagai biaya dalam resepsi perkawinan, di mana uang tersebut belum termasuk mahar. Menurut pandangan

72 masyarakat suku Bugis Bone pemberian uang panai‟ dalam perkawinan adat mereka adalah suatu kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Tidak ada uang panai‟ berarti tidak ada perkawinan. Karena dari sudut pandang mereka uang panaik dan mahar merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kebiasaan inilah yang berlaku pada masyarakat suku Bugis-Makassar sejak lama dan turun menurun dari satu periode ke periode selanjutnya sampai sekarang. Pada hakikatnya dalam hukum perkawinan Islam tidak ada kewajiban untuk memberikan uang panaik, kewajiban yang ada dalam perkawinan Islam hanyalah memberikan mahar kepada calon istri. Pemberian uang panai‟ ini merupakan adat kebiasaan yang turun temurun dan tidak bisa ditinggalkan karena mereka telah menganggap bahwa uang panai‟ merupakan suatu kewajiban dalam perkawinan. Jadi hal yang terpenting adalah mahar haruslah sesuatu yang bisa diambil manfaatnya, baik berupa uang atau sebentuk cincin yang sangat sederhana sekalipun. Telah dipaparkan di atas bahwa dalam Islam tidak ada ketentuan yang pasti tentang standar minimal dan maksimal dari mahar yang harus dibayarkan oleh suami kepada calon isteri. Islam hanya menganjurkan kepada kaum perempuan agar tidak berlebihlebihan dalam meminta jumlah mahar kepada suami. Anjuran di atas merupakan perwujudan dari prinsip menghindari kesukaran atau kesusahan (raf‟ al-haraj) dan mengutamakan kemudahan (altaysir). Dua prinsip ini merupakan prinsip universal dalam menjalankan 73

keseluruhan syari‟at Islam. Hanya saja, dalam melaksanakan hukum pernikahan prinsip tersebut jauh lebih ditekankan, dalam artian mempersulit terwujudnya pernikahan dan membebani laki- laki dengan sesuatu yang tidak kuat mereka pikul adalah pemicu kerusakan dan bencana. Di sisi lain, Islam sangat akomodatif terhadap kondisi dan kemampuan manusia. Tidak bisa dipungkiri, mereka berbeda dalam hal pendapatan, kebiasaan, tradisi dan lainnya. Islam tidak menyukai penentuan mahar yang terlalu berat atau di luar jangkauan kemampuan seorang laki-laki, karena hal ini dapat membawa akibat negatif antara lain: pertama, menjadi hambatan berlangsungnya nikah bagi laki-laki dan perempuan, terutama bagi mereka yang sudah merasa cocok dan telah mengikat janji, akibatnya kadang-kadang mereka putus asa dan nekad mengakhiri hidupnya; kedua, mendorong atau memaksa pihak laki-laki untuk berhutang. Hal ini bisa berdampak kesedihan bagi suami isteri dan menjadi beban hidup mereka karena mempunyai hutang yang banyak. Dampak ketiga, adalah mendorong terjadinya kawin lari. Di samping itu, dampak lain yang bisa ditimbulkan adalah banyaknya wanita yang tidak kawin dan menjadi perawan tua karena para lelaki mengurungkan niatnya untuk menikah disebabkan banyaknya tuntutan yang harus disiapkan oleh pihak lakilaki demi sebuah pernikahan. Lebih jauh lagi, akibat yang timbul karena besarnya tuntutan yang harus dipenuhi adalah dapat mengakibatkan

74

para pihak yang ingin menikah terjerumus dalam perbuatan dosa. Adapun hikmah uang panai‟ dalam perkawinan tidaklah sekedar ditetapkan sebagai sesuatu yang tak bermakna apa-apa. Ia memiliki makna dan hikmah yang tinggi, uang panaik merupakan dana yang digunakan untuk melaksanakan pesta perkawinan. Uang belanja yang merupakan keharusan bagi pihak laki-laki yag diserahkan kepada pihak perempuan sebagai penunjang biaya yang dikeluarkan oleh pihak perempuan. Ini berarti kedua elah pihak saling membantu dalam melaksanakan pesta perkawinan. Tolong menolong merupakan ajaran Islam yang cukup mendasar dalam kehidupan bermasyarakat antara satu dengan yang lainnya dituntun untuk senantiasa tolong menolong dalam mengatasi berbagai kesulitan.

Perkawinan merupakan suatu kegiatan umat manusia yang mengandung nilai kebaikan. Perkawinan mewakili tujuan yang mulia. Karena itulah didalam pelaksanaannya dituntut untuk saling menolong. Dengan demikian, bagaimanapun beratnya pelaksanaan perkawnan itu akan dapat etratasi.3

B. Penafsiran Ayat Mahar

Dalam Al-Qur`an, ada beberapa ayat yang menjelaskan mengenai mahar. Di antaranya:

1. QS. an-Nisa ayat 4:

3 Uang Panai dalam pandangan ekonomi islam, skripsi Nilawati 75

ِ ِِ ِ ِ ِ ٍ ِ َوآتُوا النّ َساءَ َص ُدقَاِت هن ِْنلَةً فَإ ْن طَْْب لَ ُك ْم َع ْن َش ْيء مْنوُ نَ ْف ًسا فَ ُكلُوهُ ِ َىنيئًا َمِريئًا “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (orang yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh dengan kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskwain) itu dengan senang hat, maka terimalah dan nikmatillah pemberian itu dengan senang hati.” (QS an-Nisa [4]: 4)

dalam QS. An-Nisa ini diartikan sebagai ِنلة dan صدقة Kata

Mahar.

Dalam ayat ini tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa, Maskawin ,shaduqah (صدقة) shadaqat bentuk jamak dari (صدقات) dinamai

yang terambil dari akar yang berarti “kebenaran”. Ini karena maskawin itu didahului oleh janji sehingga pemberian itu merupakan bukti kebenaran janji. Demikian menurut Muhammad Thahir Ibn Asyur. Dapat juga dikatakan bahwa maskawin bukan saja lambang yang membuktikan kebenaran dan ketulusan hati suami untuk menikah dan menanggung kebutuhan hidup istrinya, tetapi terlebih dari itu, ia adalah lambang dari janji untuk tidak membuka rahasia kehidupan rumah tangga, khususnya rahasia terdalam, yang tidak dibuka oleh seorang wanita kecuali kepada suaminya. Dari segi kedudukan maskawin sebagai lambang kesediaan suami menanggung kebutuhan hidup istri, maskawin hendaknya sesuatu yang bernilai materi, walau hanya cincin dari sebagaimana sabda Nabi saw., dan

76

dari segi kedudukannya sebagai lambang kesetiaan suami istri, maskawin boleh merupakan pengajaran ayat-ayat al-Qur`an.4

Menamai maskawin dengan nama tersebut di atas diperkuat lagi nihlah. Kata ini berarti pemberian yang (ِنلة) oleh lanjutan ayat, yakni

tulus tanpa mengharapkan sedikitpun imbalan. Ia juga dapat berarti agama, pandangan hidup, sehingga maskawin yang diserahkan itu merupakan bukti kebenaran dan ketulusan hati sang suami, yang diberikannya tanpa mengarapkan imbalan, bahkan diberikannya karena didorong oleh tuntunan agama atau pandangan hidupnya. 5

Kerelaan istri menyerahkan kembali maskawin itu harus benar- benar muncul dari lubuk hatinya. Karena itu, ayat di atas, setelah

,thibna yang maknanya mereka senang hati (طْب) menyatakan

nafsan‟ jiwa untuk menunjukkan (نفسا) ditambah lagi dengan kata

betapa kerelaan itu muncul dari lubuk jiwanya yang dalam tanpa tekanan, penipuan dan paksaan dari siapa pun. Dari ayat ini dipahami adanya kewajiban suami membayar maskawin buat istri, dan bawa maskwain itu adalah hak istri secara penuh. Dia bebas menggunakannya dan bebas pula memberi seluruhnya atau sebagian darinya kepada siapa pun termasuk kepada suaminya. Dalam surah al- Baqarah [2]: 236 penulis kemukakan bahwa firman-Nya: “ selama kamu belum menyentuh mereka atau mewajibkan atas dirimu untuk

4M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. III hlm 415-416 5M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. III hlm 416 77

mereka suatu kewajiban untuk membayar mahar, “ menunjukkan bahwa maskawin bukanlah rukun pada akad nikah. Sehingga, dengan demikian, bila maskawin tidak disebut pada saat akad, pernikahan tetap sah.6

Maskawin menjadi kewajiban suami, bahkan membelanjai istri dan keluarga, karena demikian itulah kecenderungan jiwa manusia yang normal, bahkan binatang. Pernahkah anda melihat ayam betina menyodorkan makanan untuk ayam jantan? Bukankah ayam jantan yang menyodorkan makanan untuk kemudian merayu dan mengawaninya? Demikian tabiat yang ditetapkan Allah swt. Bahkan, wanita yang tidak terhormat sekalipun enggan, paling tidak enggan, terlihat atau diketahui membayar sesuatu untuk kekasihnya. Sebaliknya, rasa harga diri lelaki menjadikannya enggan untuk dibiayai wanita. Ini karena naluri manusia yang normal merasa bahwa dialah sebagai pria yang harus menanggung beban itu.7

2. QS. An-Nisa [4]: 24-25 ِ ِ ِ ِ ِ ِ َوالُْم ْح َصنَا ُت م َن النّ َساء إهَل َما َملَ َك ْت أَْْيَانُ ُك ْم كتَا َب ا هَّلل َعلَْي ُك ْم ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ َوأُح هل لَ ُك ْم َما َوَراءَ ذَل ُك ْم أَ ْن تَ ْب تَ غُوا ِبَْمَوال ُك ْم ُُْمصن َني غَْي َر ُم َسافح َني ِِ ِ ِ فََما ا ْستَْمتَ ْعتُْم بو مْن ُه هن فَآتُوُى هن أُ ُجوَرُى هن فَِري َضةً َوََل ُجنَا َح َعلَْي ُك ْم فيَما ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ تَ َرا َضْي تُْم بو م ْن بَ ْعد الَْفِري َضة إ هن ا هَّللَ َكا َن عَليًما َحكيًما )42( َوَم ْن ََلْ

6M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. III hlm 416-417 7M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. III hlm 417

78

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ يَ ْستَط ْع مْن ُك ْم طَْوًَل أَ ْن يَ نْك َح الُْم ْح َصنَات الُْمْؤمنَات فَم ْن َما َملَ َك ْت ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ أَْْيَانُ ُك ْم م ْن فَ تَ يَات ُك ُم الُْمْؤمنَات َوا هَّللُ أَ ْعلَ ُم ِبْيَان ُك ْم بَ ْع ُض ُك ْم م ْن بَ ْع ٍض ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ٍ فَانْك ُحوُى هن ِب ْذن أَْىلِه هن َوآتُوُى هن أُ ُجوَرُى هن ِبلَْمْعُروف ُُْم َصنَات غَْي َر ِ ٍ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ُم َساف َحات َوََل ُمتهخ َذات أَ ْخ َدان فَإذَا أُ ْحص هن فَإ ْن أَتَ َْني بَفاح َشة ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ فَ َعلَْيه هن ن ْص ُف َما َعلَى الُْم ْح َصنَات م َن الَْع َذاب ذَل َك لَم ْن َخش َي ِ ِ الَْعنَ َت مْن ُك ْم َوأَ ْن تَ ْصِِبُوا َخْي ٌر لَ ُك ْم َوا هَّللُ غَُفوٌر َرحي ٌم )42( “Dan (diharamkan juga kmu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki. Sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan mereka. Berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam- Hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan- perempuan yang memelihara diri, buka pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina) , maka (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri dari (perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu 79

lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun , Maha Penyayang.” (QS an-Nisa [4]: 24-25)

.dalam ayat diatas diartikan sebagai Mahar أجر Kata Dalam penjelasan Quraish Shihab terhadap tafsir al-Misbah adalah Selesai memerinci yang haram dinikahi, kemudian dijelaskan siapa yang boleh dinikahi dan caranya, dengan menegaskan bahwa dan dihalalkan bagi kamu seselain itu, yakni selain mereka yang disebutkan pada ayat ini dan yang lalu serta selain yang dijelaskan oleh Rasul Saw itu dihalalkan supaya kamu mencari dengan sungguh- sungguh pasangan-pasangan yang halal dengan harta kamu yang kamu bayarkan sebagai maskawin dengan tujuan memelihara kesucian kamu dan mereka, bukan sekadar untuk menumpahkan cairan yang terpancar itu, dan memenuhi dorongan berahi, atau bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka dengan sempurna imbalannya, yakni maharnya, sebagai suatu kewajiban yang kamu tetapkan kadarnya atas diri kamu berdasarkan kesepakatan kamu dan ditetapkan juga oleh Allah dan tidaklah mengapa, yakni tidak ada dosa bagi kamu, wahai para suami, terhadap sesuatu yang kamu sebagai suami istri telah saling merelakannya, sesudah kewajiban itu, yakni sesudah menentukan mahar itu. 8

ajr/upah untuk menunjuk maskwain (أجر) Penggunaan kata

dijadikan dasar oleh ulama-ulama bermazhab Hanafi untuk menyatakan bahwa maskawin haruslah sesuatu yang bersifat material. Tetapi kelompok ulama bermazhab Syafi‟i tidak mensyaratkan sifat

8M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. III hlm 479-480

80

material untuk maskawin. Penyebutkan kata upah disini hanyalah karena disini hanyalah karena itu yang umum terjadi dalam masyarakat. Rasul saw. kata mereka, membenarkan pernikahan seseorang dengan memberi maskawin pada istrinya berupa pengajaran al-Qur`an. Hemat penulis, maskawin sebaiknya berupa materi, “Carilah walau cincin dari besi” demikian sabda Rasul saw. Kalau memang benar-benar tidak ada, barulah sesuatu yang bersifat non materi, seperti ayat-ayat al-Qur`an, karena maskawin antara lain merupakan lambang kesediaan suami untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Bahwa memberi kitab suci al-Qur`an atau alat- alat shalat bersama sesuatu yang bernilai materi tentu saja tidak dilarang, bahkan itu baik jika ia dimaksudkan untuk dibaca oleh istri serta mengingatkan pelaksanaan shalat.9

Maskawin dilukiskan oleh ayat ini dengan redaksi mewajibkan (atas dirimu) untuk mereka suatu kewajiban. Ini untuk menjelaskan bahwa mas kawin adalah kewajiban suami yang harus diberikan kepada istrinya, tetapi hal tersebut hendaknya diberikan dengan tulus dari lubuk hati sang suami karena dia sendiri, bukan selainnya yang mewajibkan atas dirinya. Di tempat lain, Allah memerintahkan pemberian maskawin itu dengan firman-Nya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”.10(QS an-Nisa [4]: 4).

Sungguh buruk jika wali memaksakan jumlah tertentu untuk mas kawin, apalagi yang memberatkan calon suami. Mas kawin bukanlah

9M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. III hlm 488 10M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. III hlm 620 81

harga dari seorang istri, tetapi ia antara lain adalah lambang kesediaan dan tanggung jawab suami memenuhi kebutuhan istri dan anak- anakya. Walaupun kamu, wahai para suami yang menceraikan istrinya dalam kasus di atas, tidak berkewajiban membayar sesuatu, sungguh bijaksana jika kamu memberikan sesuatu kepadanya karena itu hendaklah kamu berikan suatu mut‟ah (pemberian kepada mereka). Ini karena perceraian tersebut telah menimbulkan sesuatu yang dapat mengeruhkan hati istri dan keluarganya, bahkan dapat menyentuh nama baik mereka. Pemberian tersebut sebagai ganti rugi atau lambang hubungan yang masih tetap bersahabat dengan mantan istri dan keluarganya walaupun tanpa ikatan perkawinan. Jumlahnya diserahkan kepada kerelaan mantan suami. Yang luas (rezekinya memberi) menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patu sesuai dengan pandangan agama dan masyarakat.

Yang luas, yakni rezekinya, seperti diterjemahkan di atas, ada juga yang memahaminya dalam arti yang luas geraknya dipentas bumi ini untuk mebcari rezeki. Ini berarti ia mempunyai kemampuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain atau karena luasnya geraknya maka ia memperoleh rezeki yang banyak. Memang orang yang berpangku tangan, tidak bergerak aktif, tidak akan memperoleh rezeki yang memadai. “Tidaklah ada suatu dhabbah pun di bum melainkan Allah-lah yang meberi rezekinya” (QS Hud [110: 6. Maka kata dhabbah adalah makhluk yang bergerak sehingga semakin luas bergerak, semakin berpeluang makhluk itu memperoleh rezeki.11

11M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. III hlm 620

82

Yang demikian itu merupakan hak (ketentuan) atas al-Muhsinin, yakni orang-oran yang berbuat kebajikan. Penutup ayat ini dijadikan dasar oleh dua kelompok ulama untuk menguatkan pendapat mereka tentang hukum pemberian mut‟ah di atas. Yang mengarahkan pandangannya kepada kata al-Muhsinin berpendapat bahwa pemberian itu bersifat anjuran.12

3. QS. al-Baqarah: 236-237:

ِ ه ِ ََل ُجنَا َح عَلَْي ُك ْم إ ْن طَلْقتُُم النّ َساءَ َما ََلْ ََتَ ُّسوُى هن أَْو تَ ْفِر ُضوا ََلُهن فَِري َضةً ِ ِ ِ ِ ِ َوَمتّعُوُى هن َعلَى الُْموس ِع قََدُرهُ َوَعلَى الُْمْق ِِت قََدُرهُ َمتَا ًعا ِبلَْمْعُروف َحًّقا ِ ِ ِ َعلَى الُْم ْحسن َني )432( َوإِ ْن طَلهْقتُُموُى هن م ْن قَ ْبِل أَ ْن ََتَ ُّسوُى هن َوقَْد ِ ِ هِ ِ ِ ِ فَ َر ْضتُْم ََلُهن فَِري َضةً فَن ْص ُف َما فَ َر ْضتُْم إهَل أَ ْن يَ ْعُفوَن أَْو يَ ْعُفَو الذي بيَده ِ ِ ِ عُْق َدةُ النّ َكا ِح َوأَ ْن تَ ْعُفوا أَقْ َر ُب للته ْقَوى َوََل تَ ْن َسُوا الَْف ْض َل بَ ْي نَ ُك ْم إ هن ا هَّللَ ِ ِِبَا تَ ْعَملُوَن بَصريٌ )432( “Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut‟ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah [2]: 236-237).

12M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. III hlm 621 83

.dalam ayat diatas diartikan sebagai Mahar فَِري َضةً Kata Dalam penfasiran tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa Tidak ada kewajiban atas para suami, membayar mahar atau selainnya kecuali yang akan ditetapkan nanti jika kamu, karena satu dan lain sebab, menceraikan wanita-wanita yang telah menjalin ikatan perkawinan dengan kamu selama kamu belum menyentuhnya, yakni berhubungan seks dengannya, dan selama kamu menentukan maharnya. Ini berarti bahwa seorang suami yag menceraikan istrinya, tidak berkewajiban membayar mahar bila istri tersebut tidak digauliya dan tidak pula ia belum menetapkan mahar ketika berlangsung akad nikah. Firman- Nya: selama kamu belum menyentuh mereka atau mewajibkan atas dirimu untu mereka suatu kewajiban membayar mahar menunjukkan bahwa maskawin bukanlah rukun ada akad nikah. Dengan demikian, bila pun maskawin tidak disebut pada saat akad, pernikahan tetap dinilai sah.13 “tidaklah ada halangan atas kamu jika kamu mentalak perempuan selama tidak kamu sentuh mereka, atau sebelum kamu tentukan kepada mereka (mahar) yang difardhukan.” Untuk mengetahui kedudukan ayat ini, yaitu boleh menceraikan istri sebelum “disentuh” tegasnya sebelum dicampuri, dan boleh pula sebelum maharnya dibayar, hendaklah kita ketahui adat istiadat setengah negeri, dalam islam, terutama ketika ayat ini turun. Seorang gadis juga mempunyai kewajiban yang mulia di samping akan bercampur gaulnya dengan suaminya, ia menghubungkan diantara dua keluarga, supaya lebih akrab. Sampai sekarang di negeri-negeri timur seumumnya masilah kuat dan penting hubungan ipar besan di

13M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. III hlm 619

84

antara kedua keluarga itu, sehingga berkesan menjadi pepatah di beberapa negeri di Indonesia kita ini: “Yang nikah adalah mempelai sama mempelai, tetapi yang kawin adalah keluarga dengan keluarga.”14 Kadang kadang seorang orang tua yang mempunyai anak perempuan menawarkan anaknya kepada seorang laki-laki yang dia sukai, terlebih-lebih untuk memperkarib persaudaraan, dan laki-laki menerimanya. Kemudian kawinlah mereka, ternyata bahwa perempuan itu tidak suka terhadap suaminya, atau si suami tidak suka kepada perempuan itu, padahal mereka belum berlarut-larut bolehlah mereka bercerai. Dan dalam hal yang lain lagi, meskipun seketika akad nikah sudah wajib diterangkan beberapa mahar akan dibayar, ada pula yang berjanji bahwa mahar itu tidak tunai dibayar hari itu melainkan dijanjikan di hari lain. Maka kalau keputusan bercerai (talak) juga akan terjadi, tidaklah mengapa. Artinya boleh mentalak sebelum mahar dibayar. Tetapi dilanjutkan ayat diterangkan kewajiban mentalak istri sebelum dicampuri, atau sebelum mahar dibayar itu: “dan berilah mereka bekal, (yaitu) bagi orang yang berkelapangan sekedar lapanganya.” Tegasnya berilah perempuan itu uang pengobat hati itu uang pengobat hatinya. Kalau engkau orang kaya berilah menurut ukuran kekayaanmu. “Dan bagi yang berkempitan menurut kadarnya (sekedar kemampuanya pula).” Lalu dijelaskan apa macamnya bekalan pengobat hati itu. “Yaitu bekalan yang sepatutnya,” sekali lagi yang sepatutunya, atau yang ma‟ruf. Yaitu yang patut menurut kebiasaan di tempat itu dan masa itu. Dan di ujung ayat ditegaskan lagi: “Menjadi kewajiban bagi

14 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Qur`an, Vol. III hlm 619 85

orang-orang yang ingin berbuat kebaikan.” (ujung ayat 236). Inilah pendidikan budi pekerti yang sedalam-dalamnya kepada orang yang beriman.15 Dalam tafsir Al-Misbah dijelakan bahwa ayat ini menjelaskan tentang perceraian terhadap istri yang belum digauli baik sebelum maupun setelah mereka menyepakati jenis atau kadar maskawin. Dan Qurais Shihab menjelaskan bahwa seorang suami menceraikan istrinya tidak berkewajiban membayar mahar bila istri tersebut tidak digaulinya dan tidak pula ia belum menetapkan mahar ketika berlangsung akad nikah. Dan beliau menjelaskan pula bahwa maskawin bukanlah rukun pada akad nikah. Dengan demikian, bilapun maskawin tidak disebut pada saat akad, pernikahan tetap dinilai sah. Lalu beliau juga menjelaskan maskawin dilukiskan pada ayat ini dengan redaksi mewajibkan. Ini untuk menjelaskan bahwa maskawin adalah kewajiban suami yang harus diberikan kepada isterinya tetapi hal tersebut hendaknya diberikan dengan tulus dari lubuk hati sang suami karna dia sendiri bukan selainya yang mewajibkan atas dirinya. Quraish Shihab juga menjelaskan dalam tafsirnya bahwa sungguh buruk jika wali memaksakan jumlah tertentu untuk maskawin apalagi yang memberatkan calon suami maskawin bukanya harga diri seorang isteri, tetapi ia antara lain adalah lambng kesediaan dan tanggung jawab suami memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya. Kemudian pada ayat selanjutnya ayat 237 Quraish Shihab menjelaskan kalau perceraian dijatuhkan sebelum terjadi hubungan

15 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz V, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), cet. 5, h. 326- 327

86

seks, tetapi telah disepakati kadar mahar sebelum perceraian, yang wajib diserahkan oleh suami adalah seperdua jumlah yang ditetapkan itu ini karena salah satu tujuan utama perkawinan belum terlaksana yakni hubungan seks. Dan beliau mengutip pendapat para pakar hukum bahwa kalau seorang suami telah bercampur dengan isterinya dan telah pula menetapkan kadar maharnya, ia berkewajiban memberikan mahar pada isterinya, demikian juga kepada isteri yang diceraikanya, kadar mahar secara penuh. Adapun kalau mereka sudah bercampur sebagai layaknya suami isteri, tetapi belum ada ketetapan tentang kadar mahar sebelum diceraikanya, yang wajib dibayarkan oleh suami adalah sejumlah yang pantas bagi wanita yang setatus sosialnya sama dengan status sosial isteri yang diceraikan itu.

C. Analisis Penulis Menurut Quraish Shihab, pada Q.S An-Nisa: 4 dijelaskan Shaduqat .ِنلة Dan صدقات bahwa nama lain dari kata mahar adalah

yang artinya kebenaran karena maskaswin itu didahului oleh janji sehingga pemberian itu merupakan bukti kebenaran janji.

Kemudian. Pada An-Nisa ayat 24-25 dijelaskan bahwa menikah itu terdapat kesenangan dan ketentraman jiwa maka sudah sepatutnya seorang lelaki yang hendak menikah membayar mahar dan tidak boleh menggauli istri tanpa memberi nafkah. Kewajiban pemberian maskawin itu diberikan walaupun hanya kepada budak yang dinikahi.

Kemudian pada QS. Al-Baqarah 236-237 dijelaskan bahwa apabila setelah bercerai dan belum bergaul dengan sang istri serta 87

mahar belum dibayarkan maka pihak lelaki harus membayar mahar setengahnya. Sebaliknya apabila mahar telah dibayarkan seluruhnya maka dari pihak istri harus mengembalikan setengah dari mahar yang diberikan. Dan apabila kedua belah pihak saling memaafkan maka peraturan Allah tidak berlaku lagi. Mengenai tradisi uang panai‟ yang menjadi adat di Sulawesi Selatan, dijelaskan bahwa didalam al-Qur‟an, Tafsir al-Misbah maupun dalam agama islam, tidak dijelaskan mengenai pemberian uang panai‟ atau uang belanja, yang ada adalah mahar. Walaupun pemberian uang panai‟ tidak diatur secara gamblang dalam hukum Islam, namun pemberian uang panai‟ sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari‟at maka hal ini diperbolehkan. Dalam hal ini, jangan sampai terdapat unsur keterpaksaan antara kedua belah pihak, bagi yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan uang panai‟ dalam jumlah yang besar hendaknya jangan terlalu dipaksakan. Ditinjau dari sudut agama, Islam sebagai agama rahmat lil„alamin tidak menyukai penentuan uang panai (pesta pernikahan) yang memberatkan pihak laki-laki untuk melangsungkan perkawinan, demikian pula uang panaik (biaya pesta) yang hanya merupakan anjuran agar tidak memberatkan bagi pihak yang mempunyai niat suci untuk menikah.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis di atas, penulis dapat menyimpulkan:

Pemahaman yang muncul dari sebagian orang tentang pengertian mahar dan uang panai’ masih banyak yang keliru. dalam adat perkawinan masyarakat bugis, baik mahar ataupun uang panai’ merupakan dua pengertian yang berbeda. Uang Panai’ adalah “Uang hantaran” yang harus diserahkan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan. Sedangkan Mahar adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam.

Mahar dan uang panai’ dalam perkawinan adat suku bugis adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban yang harus dipenuhi. Akan tetapi uang panai’ lebih mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses perkawinan. Sehingga jumlah uang panai’ yang ditentukan oleh pihak wanita biasanya lebih banyak daripada jumlah mahar yang diminta. Dalam kenyataan yang ada uang panai’ bisa mencapai ratusan juta rupiah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, justru sebaliknya bagi mahar yang tidak terlalu dipermasalahkan sehingga jumlah nominalnya diserahkan kepada kerelaan suami yang pada umumnya hanya berkisar Rp. 10.000 – Rp. 5.000.000, saja.

88

89

Walaupun pemberian uang panai’ tidak diatur secara gamblang dalam hukum Islam, namun pemberian uang panaik sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at maka hal ini diperbolehkan

Dalam tafsir al-Misbah dan pengertian mahar dalam QS. An- Nisa ayat 4, bahwa nama lain dari mahar adalah Shoduqah dan Nihlah. Dalam tafsir al-Misbah shoduqah yang berarti kebenaran, karna menurut beliau maskawin itu didahului oleh janji sehingga pemberian itu merupakan bukti kebenaran janji dan dari segi kedudukannya, mahar dartikan sebagai lambang kesediaan suami dalam mencukui.

Dan untuk ukuran mahar, dalam tafsir al-Misbah menjelaskan, bahwa mahar hendaknya dalam bentuk materi, yaitu walau hanya dengan cincin dari besi sebagaimana sabda Nabi saw. Dan boleh juga hanya dengan pengajaran ayat-ayat suci Al-Qur`an.

90

B. Saran Penulis menyadari bahwa tulisan ini tak luput dari kesalahan dan kekurangan, maka dari itu harus banyak peneliti yang meneliti tentang kajian ini, karena pembahasan tentang mahar sangat luas.

DAFTAR PUSTAKA

@tausyiahku_, Tausyiah Cinta, Jakarta: QultumMedia, 2016.

A. M Ismatullah, “Kisah Yusuf Dalam Tafsir Al-Mishbah” dalam Tesis Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 2006.

Abbas, Adil Abdul Mun’im Abu. Ketika Menikah jadi Pilihan,terj. Az-Zawaj wa al-`Aalaqaat al-Jinsiyyah fi al-IslamolehGazi Said (Jakarta: Almahira, 2008.

Abdurrahman Abdul Aziz bin dan Khali bin Ali, Pernikahan dan Permasalahannya, terj. Najmul Shalib oleh Musifin As’ad dan Salim Basyarahil, Jakarta: Pustaka Kautsar, 1995. al-Bukhori, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhori, Beirut: Dar el Fikri, 2006.

Al-Jaziry, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Darul kutu al Ilmiah, 2003.

Al-Mundziri, Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim. Ringkasan Shahih Muslim terj. Mukhtashar Shahih Muslim oleh Syinqithy Djamaluddin dan Mochtar Zoreni, (Bandung: Mizan, 2009) Cet ke-2 h. 439

Al-Qur`an Terjemahan Kementrian Agama.

Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim. Al-Azhar Juz I-II, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender menurut Quraish Shihab, Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008.

Anwar, Mauluddin. Cahaya, Cinta, Canda Quraish Shihab, Tangerang, Lentera Hati, 2015.

As Shabuni, Muhammad Ali. Penikahan Dini yang Islami, Jakarta: Pustaka Amani, 1996.

As’ad, Musifin dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, terj.Al- Ziwaaj Wa Al-Mubuur oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993.

91

92

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Kamus Bahasa Pusat, 2008.

Faudah, Muhammad Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur`an, Perkenalan Metode Tafsir, Bandung: Pustaka, 1407 H.

Ghazaly,Abd. Rahman Fiqih Munakahat, Jakarta; Prenada Media, 2003.

Hakim, M. Luqman. Skripsi: ”Konsep Mahar dalam al-Qur’an dan Relevansinya dengan Kompilasi Hukum Islam” Malang: UINMMI, 2018.

Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur`an di Indonesia, Bandung: Mizan, 1996.

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2013.

Istiqomah, Abdullah. “Mahar Pernikahan yang baik dalam Islam seperti sabda Rasulullah saw” dalam Artikel, 25 Januari 2017.

Kamal Faqih Imani dkk. Nurul Qur`an terj. Nurul Qur`an oleh Anna Farida Jakarta: Al-Huda, 2003.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 1 huruf d tentang Ketentuan Hukum Perkawinan.

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 35-38 tentang Ketentuan Mahar.

Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2016.

Maududi, Abul A’la. Kawin dan Cerai menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Muchtar, Kamal Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Muhammad Luqman Hakim, “Konsep Mahar dalam Al-Quran dan Relevansinya dengan Kompilasi Hukum, t.t.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresip, 1997. 93

Mustafa, M. Quraish Shihab Membumikan Kalam Di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Nasution, Harun Dkk. Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002.

Noryamin Aini, “Tradisi Mahar di ranah Lokalitas Umat Islam: Mahar dan Struktur Sosial di Masyarakat Muslim Indonesia”, 2017.

Nur, Afrizal ”M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, dalam Jurnal Ushuluddin vol XVIII No. 1 Januari 2012.

Rajafi,Ahmad MHI. Nalar Fiqh Quraish Shihab, Yogyakarta: istana Publishing, 2014.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2017.

Rasjid,Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2014.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Jakarta; Pustaka Azzam, 2007.

Said,Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah Al-Qur`an: Kajian Atas Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Puspita Press, 2011.

Saifuddin dan Wardani, Tafsir Nusantara, Yogyakarta, LKis Printing Cemerlang, t.t.

Samsulnizar, Memperbincangkan Dinamika Inteletual dan HAMKA tentang pendidikan Islam, Jakarta: kencana, 2008.

Shalih, Fuad. Untukmu yang akan menikah dan yang telah menikah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Shihab, M. Quraish Wawasan Al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1992.

Shihab, M. Quraish. M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang patut anda ketahui, Tangerang: Lentera Hati, 2015. 39 buku

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur`an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Mizan, 1992. 94

Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik- Modern, Jakarta: Lembaga Pengembangan UIN SYarif Hidayatullah 2011.

Syukur, Yanuardi dan Arlen Ara Guci. Buya HAMKA: Memoar Perjalanan Hidup Sang Ulama, Solo: Tinta Medina, 2017.

Uang Panai dalam pandangan ekonomi islam di kecamatan kajuara kab. Bone, skripsi oleh Nilawati

Wartini, Atik. “Corak penafsiran M. Quraish Shihab dalam tafsir al- Mishbah”, Hunafa: Jurnal Studi Islamika Vol 11 No. 1, Juni 2014.

Yusuf,Yunan. Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar, Jakarta: Penamadina, 2003.

Sumber internet:

http://www.bombastis.com/5daerahdenganmaharselangit. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis, diposting tanggal 1 September 2019 diakses 4 September 2019 https://www.gurupendidikan.co.id/suku-bugis/, diposting pada tahun 2014 diakses 4 September 2019 A. Hasil Wawancara dengan para Narasumber

1. Nama; Kasmidi Hamzah,

TTL: Sidrap, 20 juli 1982

Asal Daerah; Sidrap, Sulawesi Selatan

Waktu Wawancara: 28 Agustus 2019

Pertanyaan Jawaban Apakah benar anda suku bugis asli ? Iya, kedua orangtua saya suku asli bugis Ketika anda menikah, berapa uang Uang panai’ atau uang belanja yang panai’ yang anda keluarkan? saya berikan ke istri Rp. 30 juta kemudian saya juga memberikan hantaran berupa alat makeup, sarung bugis, baju, sepatu, dan kelambu. Hanya, untuk uang panai’ , kata istri saya pada waktu itu kurang untuk acara persiapan resepsi, dan kekurangannya ditanggung oleh istri saya. Bagaimana dengan mahar ? Mahar yang saya berkan ke istri pada waktu ijab qabul dikatakan seperangkat alat sholat dan emas 10gram, itu mahar saya kepada istri.

TTD

Kasmidi Hamzah

2. Nama: Chaerul Anam TTL : Bone, 6 Maret 1997 Asal Daerah : Bone, Sulawesi Selatan Waktu Wawancara : 6 September 2019

Pertanyaan Jawaban Apakah benar anda suku bugis asli ? Iya, orang tua saya masih punya keturunan raja asli bone Ketika anda menikah, berapa uang panai’ Istri saya orang sunda, dia tidak meminta uang panai’ namun karena saya sebagai orang Bugis yang anda keluarkan? Makassar, menghargaiyang namanya adat dan tradisi , maka saya dari pihak laki-laki memberi uang panai’ Rp. 40 juta

Bagaimana dengan mahar ? Mahar saya berikan kepada istri saya kebun kelapa sawit seluas 2 hektar.

TTD

Chaerul Anam

3. Nama: Aloma TTL : Jeneponto, 25 Oktober 1968 Asal Daerah : Jeneponto, Sulawesi Selatan Tanggal Wawancara : 16 September 2019

Pertanyaan Jawaban Apakah benar anda suku bugis asli ? Iya, saya keturunan asli suku bugis mandar Ketika anda menikah, berapa uang Pada waktu itu, mempelai wanita meminta panai’ yang anda keluarkan? uang panai’ Rp. 35 juta, dan dari pihak saya mengiyakan, jadi pada waktu itu uang panai saya R. 35 juta Bagaimana dengan mahar ? Mahar saya 1 set perhiasan 3 gram

TTD

Aloma 4. Nama: Riki Richardo Rifaldi Senewe TTL : Ampana, 15 Februari 1996 Asal Daerah : Palu, Sulawesi Tengah Waktu Wawancara : 16 September 2019

Pertanyaan Jawaban Apakah benar anda suku bugis asli ? Iya. hanya dari keturunan bapak, tetapi ibu tidak. Ketika anda menikah, berapa uang Ketika saya berkunjung ke kediaman wanita, keluarga mempelai wanita panai’ yang anda keluarkan? menawarkan uang panai sekitar 50 juta kemudian keluarga saya menyanggupinya Jadi, uang panai’ istri saya pada waktu itu Rp. 50 juta mengingat pendidikannya Magister (S2). Bagaimana dengan mahar ? Mahar istri saya Emas dan Gelang 3 gram

TTD

Riki Richardo R RIWAYAT HIDUP

Nysa Riskiah Lakara, nama panggilan Nisa. Dilahirkan di kota Manado, pada tanggal 23 november 1997, anak pertama dari 3 bersaudara, dari pasangan Kasrin A. Lakara dan Nurhasanah Ali. Saat ini tinggal Jl. Aspi no. 95, rt 03 rw 08, Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan. Mulai menempuh pendidikan dari TK Pertiwi, Binangga, Sulawesi Tengah kemudian SDN no. 1 Binangga (lulus tahun 2009), kemudian Mts Alkhairaat Pusat Palu (lulus tahun 2012), MA. Alkhairaat Pusat Palu (lulus tahun 2015), kemudian melanjutkan studi di Institute Ilmu Al- Qur’an (IIQ) Jakarta Fakultas Ushuluddin, Program Studi Ilmu Al- Qur’an dan Tafsir.

Selama menempuh pendidikan ini, penulis aktif di organisasi pramuka (2010-2015) dan pernah menjabat sebagai ketua pramuka putri (Pradani). Kemudian pernah aktif dalam organisasi PPIA (Persatuan Pelajar Islam Alkhairaat) dan pernah menjabat sebagai anggota bidang politik.

Selain itu penulis juga memiliki beberapa prestasi, yaitu Juara 1 lomba puisi tingkat sekolah (SD) se-kecamatan tahun 2008, juara 2 cabang MFQ pada MTQ tingkat kabupaten Sigi di Bora, Sulawesi Tengah tahun 2012, dan juara 2 cabang MFQ pada MTQ tingkat kabupaten Sigi di Palolo, Sulawesi Tengah pada tahun 2014.