GAGASAN NYAI DALAM TIGA CERITA MASA PRA- INDONESIA DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Rizki Fitriana Asria NIM 11150130000051

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

ABSTRAK

Rizki Fitriana Asria 11150130000051, “Gagasan Nyai dalam Tiga Cerita Pra- Indonesia dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati, M.Hum.. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mendeskripsikan unsur instrinsik dalam Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti, 2) Mendeskripsikan gagasan nyai dalam Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti, dan 3) Mendeskripsikan implikasi karya Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti dalam pembelajaran sastra di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif dengan menggunakan sastra bandingan. Teori yang digunakan dalam analisis ini, yaitu oksidentalisme. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karya-karya tersebut menggambarkan karakter masyarakat zaman kolonial khususnya mengenai hubungan antara laki-laki Eropa dan China dengan perempuan pribumi dengan pola yang hampir sama, seperti pengangkatan isu perbudakan dan marginalisasi masyarakat pribumi. Penelitian ini juga mengkritisi sikap para tokoh nyai dalam merespons tradisi lama dan tradisi baru yang muncul dalam realitasnya. Analisis ini dapat memenuhi standar kompetensi pada pembelajaran sastra melalui pemahaman mengenai keterkaitan unsur-unsur pembangun cerpen dengan kehidupan sehari- hari. Melalui ini, siswa dilatih untuk meningkatkan sikap saling menghargai dan menguatkan nasionalisme yang mereka miliki. Kata kunci: Nyai, Oksidentalisme, Kwee Tek Hoay, H. Kommer, Haji Mukti, Pembelajaran Sastra

i

ABSTRACT

Rizki Fitriana Asria 11150130000051, “Ideas of Nyai in Three Pre-Indonesian Stories and Its Implications towards Learning and Literature Education in The School”, Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiya and Teaching Sciences, Syarif Hidayatullah State Islamic University. The advisor: Rosida Erowati, M.Hum.. The purpose of this research are: 1) To describe intrinsic elements in Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti, 2) To describe ideas of nyai in Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti, 3) To describe the implications Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti towards the Indonesian Language and Literature learning process in the school. Methods used in this research paper is descriptive-qualitative, using comparative literature. Theory used in this analysis is occidentalism. Based on the research, the result of this study shows that these three stories illustrate the character of colonial society, especially regarding the relationship between European and Chinese men with indigenous women with almost the same pattern, such as raising the issue of slavery and the marginalization of indigenous communities. This study also criticizes the attitude of the characters in responding to old traditions and new traditions that emerge in reality. This analysis can meet the competency standards in literary learning through an understanding of the relationship of the elements of the short story builder with everyday life. Through this, students are trained to enhance mutual respect and strengthen their nationalism. Keywords: Nyai, Occidentalism, Kwee Tek Hoay, H. Kommer, Haji Mukti, Literary Learning

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad Shallallah ‘Alayhi wa Sallam beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dengan judul “Gagasan Nyai dalam Tiga Cerita Pra- Indonesia dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami hambatan dan kesulitan. Namun, berkat kerja keras penulis serta nasihat, saran, dan dukungan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Maka dari itu, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. 2. Dr. Makyun Subuki M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Rosida Erowati, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah membimbing, memotivasi, dan memberi arahan dengan sepenuh hati selama proses penyusunan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik. 5. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama melaksanakan studi di UIN Syarif Hidayatullah. 6. Seluruh Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Perpustakaan

iii

iv

Universitas Terbuka yang telah membantu penulis dalam penyediaan buku yang diperlukan selama proses penyelesaian skripsi ini. 7. Teristimewa untuk keluarga tercinta, Ayahanda M. Ali Wajadi, Ibunda Sri Asih Sutarsih, Kakak Mukti Ali Wibowo, dan segenap keluarga yang telah mendidik, mendoakan, serta memberikan dukungan, baik dukungan moral maupun finansial. Semoga Allah selalu menjaga, melindungi, menyayangi, dan memberikan kesehatan serta kebaikan dunia maupun akhirat. 8. Teman istimewa tercinta, BR, yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan saran kepada penulis serta bersedia mendengarkan segala keluh kesah yang dirasakan oleh penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah senantiasa memberikan kebahagiaan untukmu. 9. Sahabat-sahabat “Lima Sekawan” tercinta (Faakhirah, Dina Widayanti, Siti Lazmi Latifah, dan Peni Rosmalawati) dan “Anak Malam” tercinta (Retno Anggoro Putri, Norma Septiana Putri, Monica Rosi Meilani, dan Rizky Widyanastiti) yang telah memberikan pengalaman dan pembelajaran berharga, selalu memberikan dukungan, dan motivasi selama penulis melaksanakan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2015, khususnya kelas B yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan pengalaman selama penulis melaksanakan studi di UIN Syarif Hidayatullah hingga menyelesaikan skripsi ini. 11. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Penulis berdoa dan berharap semoga semua doa dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna baik isi maupun penyampaiannya. Segala saran, kritik, dan masukan yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan dan diterima dengan besar hati oleh penulis. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat

v

memberikan manfaat bagi penulis, pembaca, dan dunia pendidikan, khususnya dalam meningkatkan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Jakarta, 30 Januari 2020

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ...... i

ABSTRACT ...... ii

KATA PENGANTAR ...... iii

DAFTAR ISI ...... vi

DAFTAR DIAGRAM ...... viii

DAFTAR LAMPIRAN ...... ix

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 7 C. Pembatasan Masalah ...... 10 D. Rumusan Masalah ...... 10 E. Tujuan Penelitian ...... 10 F. Manfaat Penelitian ...... 11 G. Metode Penelitian ...... 11

BAB II KAJIAN TEORETIS ...... 14

A. Oksidentalisme ...... 14 B. Nyai ...... 16 C. Unsur Intrinsik Cerpen dan Novel ...... 18

BAB III BIOGRAFI PENGARANG ...... 33

A. Kwee Tek Hoay ...... 33

vi

vii

B. H. Kommer ...... 37 C. Haji Mukti ...... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 43

A. Analisis Unsur Intrinsik ...... 43 1. Tema ...... 43 2. Alur ...... 47 3. Tokoh dan Penokohan ...... 53 4. Latar ...... 71 5. Sudut Pandang ...... 82 6. Gaya Bahasa ...... 84 7. Amanat ...... 88 B. Analisis Oksidentalisme ...... 88 1. Realitas Perbudakan di Hindia Belanda ...... 89 2. Realitas Paternalistik ...... 91 3. Realitas Perkawinan di Usia Belia ...... 92 4. Realitas Penjualan Anak ...... 94 5. Realitas Pernikahan Berbeda Agama ...... 96 6. Realitas Kewajaran Bernyai bagi Lelaki Non-Pribumi ...... 98 7. Realitas Nyai Dilepas dengan Diberi Harta ...... 101 C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah ...... 103

BAB V PENUTUP ...... 106

A. Simpulan ...... 106 B. Saran ...... 107

DAFTAR PUSTAKA ...... 108

LAMPIRAN

RIWAYAT PENULIS

DAFTAR DIAGRAM

4.1 Garis Waktu Boenga Roos dari Tjikembang...... 77

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Sinopsis

Lampiran 2 RPP

Lampiran 3 Hasil Transkrip Wawancara

Lampiran 4 Lembar Uji Referensi

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Salah satu sifat bahasa ialah dinamis. Artinya, bahasa dapat mengalami perubahan atau pergeseran makna sesuai dengan dimensi waktu dan tempat. Seperti yang terjadi pada kata “Nyai”. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap salah satu masyarakat mengenai kata “Nyai”, terdapat jawaban bervariasi mengenai pemahaman makna kata tersebut. Misalnya, dalam masyarakat Jawa “Nyai” merupakan panggilan kerabat yang ditujukan kepada saudara perempuan nenek atau kakek. Namun, ada pula yang mengartikan nyai sebagai wanita yang disegani di masyarakat karena pekerjaannya, seperti dukun bayi.1 Selain itu, “Nyai” juga digunakan untuk menyebut istri seorang Kyai yang memimpin sebuah pesantren. Begitu banyak pemaknaan terhadap kata tersebut. Padahal, bila kita tarik garis mundur ke zaman kolonial, kata “Nyai” memiliki makna yang sangat berbeda dengan pemaknaan zaman sekarang. “Nyai” di zaman kolonial ternyata memiliki konotasi makna negatif. Hal ini diperkuat dengan kutipan roman Njai Blanda karya Melantjong dalam Baay berikut ini. Yang dimaksud dengan nyai, yang dikenal secara umum di Hindia Belanda, adalah seorang perempuan yang mengurus rumahtangga. Sedangkan dalam arti yang sempit, “Blanda” Eropa berarti seorang perempuan Belanda. Pengurus rumahtangga di Hindia Belanda sungguh jauh berbeda dengan di Belanda. Kalau di Belanda, pengurus rumahtanga adalah sesuatu yang bernilai, seorang perempuan sopan, rapi, percaya diri, dan tidak malu-malu. Sedangkan di Timur, pengurus rumahtangga atau nyai tidak lain dari seorang gundik yang ditoleransi karena adat istiadat negeri, kebiasaan, dan cara hidup. Jadi seorang “Njai Blanda” (pengurus rumahtangga Belanda atau “Njai Eropa”) adalah julukan yang menghina.2

1 M. Ali Wajadi, Wawancara, (Tegal, 12 Mei 2019). 2 Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, diterjemahkan oleh Siti Hertini Adiwoso, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), h. 66.

1

2

Berdasarkan penyataan di atas, pemaknaan terhadap nyai di Hindia Belanda negatif, yaitu sebutan untuk pengurus rumah tangga yang tak lain merupakan seorang gundik. Larangan perkawinan antara laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi yang tadinya dilegalkan pun menjadi ilegal karena perempuan pribumi dianggap banyak merugikan. Namun, ada beberapa pihak yang menentang kebijakan tersebut. Mereka merupakan orang-orang yang merasa bahwa Hindia Belanda harus menjadi koloni, sehingga perkawinan antara laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi lebih diutamakan. Untuk mengatasi hal itu, ditemukanlah pasar budak Asia untuk melancarkan praktik tersebut.1 Pasar tersebut tidak hanya memudahkan penemuan tenaga kerja, tapi juga mudah untuk menemukan perempuan-perempuan Asia sebagai calon nyai. Bila kita aktualisasikan, praktik transaksi budak di pasar Asia seperti yang disebutkan di atas bukanlah hal tabu bagi masyarakat yang hidup di negara yang kini disebut Indonesia. Pada kenyataannya, transaksi jual-beli manusia yang saat ini lebih dikenal dengan istilah human trafficking masih saja terjadi. Penjualan manusia secara paksa dan biasanya hanya menguntungkan dua pihak saja, yaitu pembeli dan perantara. Namun, untuk memastikan apakah praktik pernyaian dengan praktik human trafficking yang berlangsung saat ini merupakan dua hal yang sama atau tidak kita harus menyelisiknya lebih jauh berdasarkan sejarah. Praktik pernyaian yang terjadi di zaman kolonial lebih sering disebut pergundikan. Gundik memiliki arti perempuan piaraan, selir, atau istri tidak resmi. Pergundikan merupakan wujud lain dari perbudakan yang dulu berkembang di zaman penjajahan. Sebagai usaha melancarkan kekuasaannya di negeri jajahan, VOC (Vereenidge Oostindische Compagnie) sebagai kongsi dagang yang berkuasa saat itu mendukung hubungan antara laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi sebelum kemudian diberlakukan berbagai peraturan guna mengontrol praktik pergundikan tersebut. Bahkan, Hellwig mengatakan bahwa kompeni membeli perempuan budak belian di pasaran Asia

1 Ibid., h. 4.

3

untuk dijadikan istri para bujangan.2 Tentu saja orang pribumilah yang menjadi objek dari praktik tersebut. Baay menyebutkan bahwa ada yang disamakan dengan orang-orang pribumi, yaitu para Tionghoa, Arab, Jepang, dan “para pengikut Muhammad lainnya serta kafir (non-Kristen) yang bertempat tinggal di koloni”.3 Hal itu berarti, tidak hanya perempuan Jawa atau Sunda saja yang dijadikan gundik, tapi juga perempuan-perempuan lain yang disamakan dengan pribumi, seperti perempuan Jepang, Arab, dan sebagainya. Namun, hal itu akan berlaku berbeda bagi para Tionghoa yang pada kenyataannya menduduki kelas terpisah dengan kaum pribumi. Kaum Tionghoa menduduki kelas istimewa dalam stratifikasi yang dibentuk oleh pemerintah Belanda, bahkan beberapa dari pria Tionghoa ada yang diperbolehkan untuk memelihara gundik atau nyai. Hal itu didukung dengan pernyataan Wahyudi yang mengatakan bahwa pernyaian merupakan praktik hidup bersama antara Eropa atau seorang Cina dengan seorang perempuan pribumi tanpa dilandasi sebuah perkawinan yang legal.4 Perempuan-perempuan pribumi dan atau yang disamakan dengannya, hidup dalam kepatuhan kepada orang tuanya, bahkan mengenai perjodohan. Seorang perempuan dapat diserahkan oleh orang tuanya sendiri untuk menjadi seorang nyai. Tentu saja hal itu dilakukan dengan syarat laki-laki Eropa yang lajang atau beristri yang berkenan dengan perempuan tersebut harus memberikan sejumlah uang kepada orang tuanya. Hal tersebut nampaknya hampir serupa dengan human trafficking yang masih berlangsung hingga saat ini. Salah satu kasus human trafficking yang terjadi di Indonesia terjadi di Jawa Barat. Sebagian besar korbannya ialah anak perempuan yang berusia 13- 17 tahun. Modus yang sering diterapkan untuk menarik korban ialah dengan diiming-imingi pekerjaan yang bergaji besar. Namun, pada nyatanya korban

2 Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, diterjemahkan oleh Mier Joebhaar, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 35. 3 Baay, Op.Cit., h. 75-76. 4 Ibnu Wahyudi, Pengantar Jilid Ketujuh Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), h. XVI.

4

dipekerjakan di tempat karaoke, panti pijat, atau lainnya.5 Sebenarnya, masih banyak kasus human trafficking yang marak terjadi di Indonesia yang mungkin modus yang digunakan hampir sama. Namun, sekiranya satu kasus yang telah disebutkan di atas dapat mewakilinya. Bila kita tilik kembali praktik perdagangan perempuan di pasar Asia pada zaman dahulu dengan zaman sekarang terdapat kesamaan pada korbannya, yaitu perempuan. Bila perempuan di zaman dahulu mereka tahu jelas bahwa mereka akan menjadi budak, sedangkan perempuan di zaman sekarang mereka terkesan ditipu dengan diiming-imingi sejumlah uang. Selain human trafficking, praktik pergundikan aktual dengan fenomena social climber atau panjat sosial. Social climber atau panjat sosial merupakan perilaku seseorang untuk meningkatkan status sosialnya. Bagi beberapa orang, status sosial menjadi hal yang sangat berharga dalam hidupnya, seperti yang dirasakan oleh penduduk pribumi pada zaman penjajahan. Sebab, pemerintah menerapkan pengkotakan atau stratifikasi masyarakat di mana penduduk Eropa menempati posisi teratas, sedangkan penduduk pribumi menempati posisi terendah. Menduduki posisi terendah demikian, hak-hak dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi, atau politik sangat terbatas. Maka, sebagian masyarakat pribumi berupaya untuk menyamakan kedudukannya agar dapat masuk dalam sistem kehidupan yang diatur pada zaman itu. Usaha untuk menyamakan kedudukan atau setidaknya memasuki lingkungan masyarakat kolonial dilatarbelakangi kebijakan yang disesuaikan dengan kelas sosialnya. Bahkan, warna kulit pun dapat dijadikan patokan bagi seseorang untuk menempati kelas sosial yang mana. Orang-orang dengan kulit putih dipastikan akan memiliki hak lebih istimewa dibandingkan dengan orang-orang yang berkulit lebih gelap. Hal itu didukung dengan pernyataan Baay.

5 Mochamad Solehudin, “Korban Human Trafficking di Jabar Didominasi Remaja Perempuan”, (https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4379218/korban-human-trafficking-di- jabar-didominasi-remaja-perempuan). Diakses pada 28 Juni 2019.

5

Baay memiliki penyebutan lain mengenai pribumi asli yang ada di Hindia Belanda, yaitu dengan sebutan orang kulit cokelat seperti pada kutipan berikut: Hindia Belanda adalah dunia yang terdiri dari dua jenis manusia, yaitu kulit putih dan kulit cokelat serta penguasa dan pelayan. Orang Eropa adalah sang majikan dan para kulit cokelat harus menyambutnya dengan hormat, mempersilakannya jika ia menginginkan hal itu, dan merendahkan diri saat ia meneriakkan perintah-perintahnya.6 Sebagai golongan orang kulit cokelat, kebanyakan orang pribumi menempati posisi pelayan bagi orang kulit putih. Sangat menguntungkan bagi sang pemilik kulit putih saat itu untuk menerima penghormatan atau pelayanan dari kaum pemilik kulit cokelat. Untuk mendukung pernyataan tersebut, Baay pun mengutip dari sebuah roman Van Oerward tot Plantage karya L. Szekely berikut: Seorang kulit putih masuk ke sebuah toko, katakanlah toko milik seorang jutawan India. Sang jutawan pun membungkuk sedalam-dalamnya di hadapan tuan putih yang mungkin seorang pelaut berpakaian bagus, seorang penjahat atau seorang petualang. Meskipun demikian ia tetap seorang tuan putih.7 Cerita-cerita seperti itulah yang membuat banyak penduduk Eropa semakin tertarik untuk datang menginjakkan kakinya di Hindia Belanda dengan tujuan mencari pekerjaan juga peruntungan lain yang tidak mereka dapatkan di tanah lahirnya. Bagi orang Eropa sendiri, kepemilikan pembantu rumah tangga sangat penting karena berkaitan dengan prestise dan harga diri, maka setidaknya dua atau tiga orang pekerja rumah tangga harus dimiliki oleh setiap rumah orang Eropa.8 Maka dari itu, perbudakan menjadi solusi bagi kebanyakan orang Eropa agar mampu bertahan di Hindia Belanda. Kondisi tersebut didukung oleh banyaknya laki-laki Eropa yang berstatus lajang. Mereka membutuhkan pembantu rumah tangga untuk mengurus kehidupannya selama bekerja untuk VOC di Hindia Belanda. Maka, dalam praktiknya, perbudakan berkembang menjadi pergundikan. Pergundikan pun menjadi pemecah masalah bagi laki-

6 Baay, Op.Cit., h. 41. 7 Ibid., h. 41-42. 8 Ibid., h. 31.

6

laki lajang atau pria beristri yang tidak membawa istrinya ke Hindia Belanda sembari menunggu wanita Eropa yang sesuai menjadi istrinya. Hal tersebut telah mendapat dukungan dari pemerintah VOC karena banyak keuntungan yang mampu melancarkan misinya di negeri jajahannya tersebut. Rupanya, keadaan itu dipandang oleh penduduk pribumi, khususnya bagi perempuan pribumi, sebagai kesempatan agar bisa memiliki harapan hidup di tengah kondisi masyarakat pada saat itu, yaitu dengan mengajukan diri sebagai pekerja di rumah-rumah orang Eropa. Hal itu sejalan dengan yang diungkapkan oleh Hellwig bahwa yang menjadi pertimbangan bagi seorang perempuan untuk menjadi nyai ialah materialistis, ingin kemewahan, dan karena iseng.9 Perempuan pribumi yang menjadi nyai memiliki derajat ekonomi lebih tinggi dari budak perempuan biasa. Hal tersebut diiringi dengan perolehan pendapatan yang tetap dan kerap lebih besar dari sebelumnya. Bila kita aktualisasikan perilaku social climber yang dilakukan oleh para perempuan pribumi di masa kolonialisme dengan social climber yang terjadi di masa sekarang rupanya masih memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama hendak menaikkan status sosialnya. Ada banyak cara yang biasa dilakukan untuk melakukan social climber, mulai dari gaya hidup hingga menentukan pasangan hidup. Salah satu contoh yang dapat mewakili perilaku social climber atau panjat sosial saat ini ialah perempuan-perempuan muda yang rela menikah dengan seorang pria yang usianya terpaut jauh dengannya demi meningkatkan kedudukan sosialnya. Seperti yang terjadi di Medan pada 2009 lalu. Seorang Kakek (60 tahun) menikahi seorang pelajar SD (12 tahun) secara siri. Menurut keterangan, ia dipaksa oleh ayahnya sendiri dengan ancaman akan dipukul bila tidak menuruti perintah tersebut. Diketahui bahwa Kakek tersebut merupakan seorang pengusaha.10 Biasanya, kasus seperti itu didasari atas tujuan ingin menaikkan status sosialnya atau disebut social climber. Berdasarkan beberapa

9 Hellwig, Op.Cit., h. 47. 10 Putri Rahmadanti, “4 Pernikahan Kakek dan Wanita Muda, Nomor 3 Hanya Bertahan Setahun!”, (https://nasional.okezone.com/read/2019/02/01/337/2012 477/4-pernikahan-kakek-dan- wanita-muda-nomor-3-hanya-bertahan-setahun). Diakses pada 28 Juni 2019.

7

fenomena di atas, praktik pergundikan masih dekat dengan kehidupan di masa sekarang, meskipun muncul dalam bentuk lain. Praktik pergundikan rupanya banyak menarik perhatian para pengarang untuk merepresentasikannya dalam suatu karya sastra khususnya berbentuk prosa. Misalnya, Boenga Roos dari Tjikembang (Kwee Tek Hoay), Njai Dasimah (F. Wiggers), Njai Isah (F. Wiggers), Tjerita Nji Paina (H. Kommer), Mirah dari Banda (Hanne Rambe), Boemi Manoesia (Pramoedya Ananta Toer), Hikayat Siti Mariah (Haji Mukti), dan sebagainya. Dari para pengarang, pembaca berharap dapat mempelajari kebenaran atau situasi yang terjadi di masa lampau atau masa mendatang. Setidaknya para tokoh yang ada dalam suatu cerita yang diciptakan oleh pengarang cukup mewakili ideologi dan norma-norma pada satu masa tertentu. Salah satunya ialah praktik kehidupan yang terjadi pada masa kolonialisme yang cukup lama dialami oleh bangsa Indonesia. Para pengarang merepresentasikan praktik pergundikan dengan cara yang berbeda-beda. Gambaran sebuah zaman yang disampaikan melalui karyanya tentu memiliki tujuan dan motif tersendiri. Mungkin mereka ingin membenarkan apa yang menjadi mitos dalam masyarakat selama ini mengenai tokoh nyai di zaman kolonialisme. Namun, tidak menutup kemungkinan ada pengarang yang hendak melawan mitos tersebut. Bersama karyanya, para pengarang hendak membawa semangat zaman yang mengiringi lahirnya karya mereka. Misalnya, karya sastra yang lahir di zaman kolonialisme atau sebelum munculnya istilah Indonesia. Perbedaan representasi pengarang menjadi salah satu dorongan untuk dilakukan penelitian terhadap karya-karya pra-Indonesia tersebut. Penelitian terhadap karya sastra masa pra-Indonesia dibantu dengan pendekatan poskolonial. Poskolonial merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami dampak atau efek kolonialisme yang ada dalam teks sastra maupun non-sastra secara kritis. Poskolonial atau pasca kolonial selalu mengacu pada hubungan yang terjadi antara penjajah dan terjajah untuk melihat gambaran identitas yang tercermin pada zaman itu.

8

Peneliti menduga bahwa saat ini perspektif penelitian mengenai pergundikan atau pernyaian itu terbatas. Berkurangnya minat para peneliti mengenai cerita pra-Indonesia mungkin saja yang menjadi salah satu penyebabnya. Peneliti juga belum menemukan penelitian pernyaian yang diimplikasikan dalam bidang pembelajaran sastra di sekolah. Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini akan membahas mengenai gagasan nyai di masa kolonialisme. Pada penelitian ini, penulis tertarik untuk meneliti tiga karya prosa yang ditulis di masa kolonial atau pra-Indonesia. Pemilihan objek kajian ini didasarkan pada anggapan bahwa cerita-cerita tersebut mengandung wacana pergundikan atau pernyaian. Pemilihan objek ini juga berkaitan dengan pendapat atau mitos masyarakat mengenai nyai yang memiliki citra buruk. Peneliti hendak membuktikan apakah seluruh citra buruk yang melekat pada sosok nyai berlaku bagi semua nyai atau tidak melalui tiga objek penelitian ini. Fokus penelitian ini ialah gagasan nyai yang terdapat dalam tiga cerita pra-Indonesia, yaitu Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti. Boenga Roos dari Tjikembang yang diterbitkan pada 1927 membicarakan permasalahan seorang perempuan pribumi bernama Marsiti yang merupakan nyai dari seorang Tionghoa bernama Ay Tjeng. Tjerita Nji Paina yang diterbitkan pada 1910 membicarakan permasalahan kisah hidup seorang nyai bernama Nyi Paina yang hendak dipiara oleh seorang kolonial yang merupakan atasan di tempat ayahnya bekerja. Hikayat Siti Mariah yang diterbitkan pada 1962 (50 tahun setelah penerbitan awalnya) membicarakan persoalan hubungan percintaan yang kompleks antara seorang nyai bernama Siti Mariah dengan tuannya yang bernama Henri Dam. Untuk menjawab fokus permasalahan dalam penelitian ini digunakan pendekatan poskolonial. Penelitian dengan menggunakan pendekatan poskolonial menjadi hal penting dalam mengungkap fenomena kolonialisme. Teori yang digunakan ialah oksidentalisme. Oksidentalisme mencoba meluruskan hal-hal yang bernuansa Eropasentrisme. Ketiga pengarang cerita di atas diindikasikan hendak

9

menyampaikan hal semacam itu melalui pandangannya masing-masing yang tetap berporos pada keadaan zaman kolonial. Penelitian ini juga diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Pada pembelajaran sastra di sekolah, terdapat materi mengenai pemahaman dan analisis terhadap cerita sejarah. Namun, apakah ketiga cerita tersebut termasuk dalam cerita sejarah atau bukan hendaknya kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana hubungan antara sejarah dengan sastra. Sebenarnya, terdapat perdebatan mengenai hal ini, apakah sebuah teks sastra dapat mewakili sejarah. Teeuw dalam Sugihastuti menjelaskan bahwa antara sastra dan sejarah terdapat interaksi yang ditentukan oleh tiga macam kelir, yaitu konvensi bahasa, sastra, dan budaya. Sugihastuti mengungkapkan bahwa di dalam sastra, peristiwa-peristiwa sejarah yang diangkat dari fakta sejarah disoroti sifat hakikinya.11 Pada pembelajaran sastra di sekolah, setiap siswa diminta membaca karya sastra dan menganalisisnya, sehingga dapat memperoleh pembelajaran positif dalam segala hal pada kehidupan. Pembelajaran yang dimaksud termasuk di dalamnya ialah pembahasan mengenai sejarah pra-Indonesia dalam karya-karya sastra yang dikaji. Peneliti berharap agar peserta didik dapat mengetahui dan memahami bahwa di zaman kolonialisme tidak hanya praktik perbudakan seperti kerja rodi atau tanam paksa yang terjadi, tapi juga praktik pergundikan yang semakin menunjukkan kekuasaan kaum kolonial atas pribumi, khususnya pribumi perempuan, melalui karya-karya sastra pra- Indonesia. Pengetahuan sejarah yang tidak didapatkan pada pembelajaran sejarah formal atau resmi diharapkan dapat tercapai dalam pembelajaran cerita sejarah. Dengan kata lain, pembelajaran sastra melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat dijadikan sebagai pembelajaran sejarah alternatif dengan prosa sebagai bahan pembelajaran. Berdasarkan pernyataan tersebut, penulis hendak memaparkan gagasan nyai yang disisipkan dalam Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek

11 Sugihastuti, Teori dan Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 168-169.

10

Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti dengan menggunakan pendekatan poskolonial. Oleh sebab itu, penelitian ini oleh penulis diberi judul Gagasan Nyai dalam Tiga Cerita Masa Pra-Indonesia dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa permasalahan yang perlu dikaji. Permasalahan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Kurangnya pemahaman mengenai konsep “Nyai” dalam masyarakat 2. Kurangnya perspektif yang baru dalam penelitian tentang “Nyai” 3. Kurangnya pembelajaran sejarah alternatif di sekolah khususnya yang melalui karya sastra 4. Masih sedikitnya pengujian kelayakan Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti dalam pengimplikasiannya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

C. Pembatasan Masalah Pembatasan suatu masalah dalam suatu penelitian sangat penting agar permasalahan yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang dari masalah yang hendak dikaji. Peneliti lebih berfokus pada gagasan nyai yang terdapat dalam tiga karya pra-Indonesia dan pengimplikasiannya dalam pembelajaran sastra di sekolah.

D. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, masalah yang akan diangkat penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gagasan nyai dalam Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti? 2. Bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

11

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini ialah mendeskripsikan gagasan nyai dalam tiga cerita masa pra-Indonesia dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Ada dua macam manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, yaitu secara teoretis dan praktis. 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu sastra, khususnya pada karya sastra berbentuk prosa. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Pembaca Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuat pembaca lebih memahami isi dalam karya sastra pra Indonesia dan dapat mengambil manfaat darinya. b. Bagi Guru Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi guru untuk memperkenalkan cerita-cerita pra-Indonesia kepada peserta didik. Cerita-cerita tersebut dapat dijadikan sebagai sarana pembinaan karakter siswa. c. Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi maupun bahan pijakan penelitian untuk melakukan penelitian yang lebih dalam.

G. Metode Penelitan Metode penelitian sastra sering dirancukan dengan pendekatan sastra dan teori sastra. Metode penelitian digunakan untuk menentukan cara kerja peneliti dalam melakukan kajiannya. Sifat dari metode penelitian ialah hanya

12

membantu peneliti untuk menjawab pertanyaan dalam penelitiannya.12 Oleh karena itu, setiap penelitian harus menggunakan metode agar dapat berjalan secara terarah. 1. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode penelitian sastra bandingan. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi gagasan nyai, unsur-unsur intrinsik, dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah yang terdapat dalam cerita-cerita masa pra-Indonesia. Metode sastra bandingan yang digunakan dalam penelitian ini berperspektif teoretis. Peneliti hendak menggambarkan gagasan nyai yang dimunculkan melalui tokoh-tokoh nyai dalam karya Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti. 2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dan objek penelitian adalah tempat memperoleh data. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian data adalah gagasan nyai dalam tiga cerita masa pra-Indonesia, sedangkan objek penelitian ini adalah Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti. Ketiga objek penelitian tersebut berasal dari sumber data primer dan sekunder. Boenga Roos dari Tjikembang yang dijadikan objek penelitian ini merupakan sumber data primer yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1927. Sementara itu, Tjerita Nji Paina dan Hikayat Siti Mariah merupakan sumber data sekunder, yaitu versi Pramoedya Ananta Toer. Peneliti menggunakan Tjerita Nji Paina versi Pramoedya yang terdapat dalam Tempoe Doeloe dan Hikayat Siti Mariah gubahan Pramoedya yang diterbitkan ulang oleh Lentera Dipantara tahun 2003. Alasan digunakannya versi gubahan tersebut ialah karena sulitnya menemukan naskah asli dari dua cerita tersebut.

12 Widyastuti Purbani, “Metode Penelitian Sastra”, (http://staffnew.uny.ac.id/upload/ 131874171/pengabdian/metode-penelitian-susastra.pdf), h.1-2. Diakses pada 02 April 2019.

13

3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah studi pustaka dengan teknik simak dan catat. Teknik studi pustaka menggunakan sumber-sumber tertulis mengenai teori yang berkaitan dengan masalah penelitian guna untuk memperoleh data penelitian. Selanjutnya, dengan teknik simak dan catat peneliti mendeskripsikan dan memaparkan masalah dalam penelitian. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif yang memberikan perhatian terhadap data alamiah. Data primer penelitian ini ialah Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti, sedangkan yang menjadi data sekundernya ialah jurnal-jurnal dan penelitian-penelitian lain yang dijadikan referensi dalam penelitian ini. Dalam menganalisis data-data yang ditemukan, peneliti menggunakan pendekatan poskolonial dengan salah satu teorinya, yaitu oksidentalisme yang dicerminkan melalui tokoh nyai dalam tiga karya yang menjadi subjek penelitian ini. Adapun langkah-langkah analisis data dalam penelitian sebagai berikut: (1) membaca Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti secara keseluruhan dan berulang-ulang, (2) mengidentifikasi unit-unit teks dalam Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti yang sesuai dengan aspek yang diteliti dan indikatornya masing-masing dengan mengacu pada fokus penelitian, (3) mengklasifikasikan data yang telah ditemukan sesuai dengan kategori aspek dan indikator, dan (4) memaparkan hasil analisis data menggunakan pendekatan poskolonial dengan melihat situasi sosial yang melahirkan fenomena pernyaian.

BAB II KAJIAN TEORETIS A. Oksidentalisme Penelitian ini menggunakan pendekatan poskolonial. Menurut Ratna, poskolonial merupakan cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa.1 Dalam penelitian ini, akan digunakan salah satu teori poskolonial, yaitu oksidentalisme yang dapat dikatakan sebagai kacamata baru dalam sebuah studi sastra. Oksidentalisme berasal dari kata dasar “occident” yang berarti barat.2 Secara geografis, kata oksidentalisme berarti dunia belahan barat dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di barat. Oksidentalisme dicetuskan oleh seorang filsuf Mesir bernama Hasan Hanafi. Kemunculan istilah ini merupakan respons atas maraknya westernisme atau eurosentrisme. Menurut Hanafi, fenomena westernisme membuat kesadaran dunia Islam (Timur) bagai berjalan di atas dua kaki yang berbeda. Satu kaki merupakan simbol ketidaktahuannya mengenai tradisi lamanya, sedangkan kaki satunya merupakan simbol dari tersebarnya kebudayaan Barat. Westernisme selalu berhasil memberikan citra sebagai bentuk modernisasi dan pembebasan. Namun, Hanafi berpendapat pembebasan tersebut masih memposisikan inferioritas ego di hadapan the other.3 Istilah ego dan the other muncul pertama kali pada kajian orientalisme yang merupakan oposisi dari oksidentalisme. Hal itu jelas bahwa Barat hendak mendominasi Timur. Pada studi orientalisme, Timur merupakan obyek yang dikaji, sedangkan pada studi oksidentalisme Baratlah yang menjadi obyek kajian dan Timur sebagai subyek. Pemutarbalikan posisi yang demikian tidak berarti bahwa oksidentalisme hendak mendominasi atau berambisi untuk merebut kekuasaan atas Barat.

1 Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 90. 2 Yolies Yongky Nata, “Oksidentalisme”, (http://ejournal.kopertais4.or.id/madura/index. php/alulum/article/view/1774/1318), h. 3. Diakses pada 02 April 2019. 3 Muhidin M Dahlan, Postkolonialisme: Sikap Kita terhadap Imperialisme, (Yogyakarta: Jendela, 2001), h.57.

14

15

Sebab, oksidentalisme dibangun atas ego yang netral. Oksidentalisme tidak hendak mendiskreditkan kebudayaan lain, tapi hanya hendak mengetahui keterbentukan dan struktur peradaban Barat.4 Hanafi berpendapat bahwa oksidentalisme ditugaskan untuk meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan Eropasentrisme untuk kemudian melakukan penulisan ulang atas sejarah dunia.5 Maksudnya ialah bahwa selama ini telah terjadi ketidakseimbangan budaya yang hanya menguntungkan bangsa Barat, sedangkan Timur banyak dirugikan atas hal itu. Superioritas the ego sangat tercermin dalam berbagai bidang, seperti pengetahuan, teknologi, ekonomi, dan sebagainya. Maka, melalui oksidentalisme Hanafi hendak mengakhiri mitos Barat sebagai sentral kekuatan dan peradaban. Hal itu dimaksudkan agar Timur, khususnya Islam, mampu melakukan pembebasan. Bukan tunduk pada pembebasan semu yang dicitrakan oleh Barat, melainkan pembebasan sejati dengan kesadaran sendiri. Hanafi dalam wawancaranya dengan Afkar pun telah mengatakan bahwa dirinya mengandaikan pola proyek pembebasan dan pembangunan peradaban Islam modern bukan sekadar dalam bidang politik, ekonomi, militer, melainkan bidang yang lebih jauh, yaitu budaya dan nalar.6 Sebab, seperti yang telah ditegaskan oleh Hanafi bahwa tujuan oksidentalisme bukanlah hendak merebut kekuasaan, melainkan hendak sama-sama berkuasa dan menyetarakan posisi. Maka, budaya, tradisi, nalar atau pola pikir menjadi sasaran utama oksidentalisme. Dengan kata lain, oksidentalisme mengandung aspek penting, yaitu bercermin. Artinya, seseorang tidaklah dianjurkan untuk mengkaji orang lain tanpa mengkaji atau memahami dirinya terlebih dahulu. Namun, sebagai sebuah studi yang lahir di akhir abad ke-20, oksidentalisme tidak diterima begitu saja. Kritik dan keraguan mengenai oksidentalisme banyak dilontarkan. Oksidentalisme dianggap sebagai

4 Fudholi, “Relasi Antagonistik Barat-Timur Orientalisme vis a vis Oksidentalisme”, dimuat dalam Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 2 Nomor 2, Desember 2012: 404, (http://id. portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=350932). Diakses pada 08 Mei 2019. 5 Dahlan, Op.cit., h. 60. 6 Mohammade Arkoun, dkk., Orientalisme vis a vis Oksidentalisme, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 125.

16

penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan modernisasi lainnya karena telah menolak Barat, oksidentalisme dianggap sebagai sikap yang lahir karena takut penindasan, dan sebagainya. Oksidentalisme yang diusung Hanafi tidak dapat dilepaskan dari tiga pilar yang melandasi proyek tradisi dan pembaharuannya yang meliputi sikap kritis terhadap tradisi lama, sikap kritis terhadap tradisi barat, dan sikap kritis terhadap realitas. Ketiga pilar itu sebenarnya telah mewakili tiga dimensi waktu. Pilar pertama, yaitu masa lalu yang mengikat kehidupan kita di masa lalu, pilar kedua menyimbolkan kehidupan kita di masa mendatang, dan pilar ketiga menggambarkan kehidupan kita di masa kini.7 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa oksidentalisme merupakan suatu kajian kritis mengenai Barat dengan tujuan untuk memancing kesadaran Timur agar melakukan pembebasan yang sejati dengan berlandaskan pada tiga pilar oksidentalisme. Melalui oksidentalisme, penelitian ini berupaya untuk mengungkap gagasan nyai dalam cerita-cerita masa pra-Indonesia. B. Nyai Seperti yang telah kita ketahui, demi terbentuknya komunitas warga yang mampu bertahan di Hindia, VOC mendukung adanya hubungan antara lelaki Eropa dengan perempuan Asia. Bahkan, kompeni membeli perempuan budak untuk dijadikan istri para lelaki Eropa bujangan. Akan tetapi, lelaki Kristen dilarang menikahi perempuan non-Kristen. Namun, tidak semua perempuan Asia bersedia untuk dibaptis demi memperoleh status sebagai istri lelaki Eropa. Oleh sebab itu, banyak lelaki Eropa yang tidak pernah menikahi perempuan Asia, melainkan hanya hidup bersama sebagai gundik atau nyai.8 Jadi, dapat dikatakan bahwa pada masa tersebut, agamalah yang menjadi tembok pemisah adanya pernikahan formal antara lelaki Eropa dengan perempuan pribumi. Pada zaman kolonial praktik pernyaian atau sering disebut dengan pergundikan sangat merajalela. Istilah “Nyai” sendiri ada dalam bahasa Bali,

7 Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, diterjemahkan oleh M. Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 3-6. 8 Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, diterjemahkan oleh Mier Joebhaar, Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 35.

17

Sunda, dan Jawa dengan pengertian ‘perempuan (muda), adik perempuan’ dan juga dipaksa sebagai istilah panggilan.9 Namun, pada umumnya yang diketahui oleh masyarakat ialah bahwa sebagian dari nyai berasal dari keluarga pribumi miskin yang ada di Jawa saja. Padahal, pada masa itu ada nyai yang berasal dari Bali maupun Sunda. Ibnu Wahyudi dalam Maimunah menyebutkan bahwa munculnya praktik pernyaian dalam masyarakat kolonial Indonesia setidaknya disebabkan tiga hal. Pertama, sebagai akibat logis dari keberadaan para pegawai VOC yang datang tanpa ditemani istri atau keluarga mereka. Tidak seimbangnya jumlah perempuan Eropa menjadi alasan lain munculnya hubungan pergundikan ini. Kedua, praktik pernyaian sesungguhnya merupakan suatu manifestasi dialektik antara pihak superior degan pihak inferior di tanah jajahan. Laki-laki Eropa berada pada posisi superior baik secara ekonomi, politik, maupun intelektual dibandingkan penduduk pribumi. Menjadi seorang nyai secara ekonomis memberi peluang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan terjamin. Ketiga, larangan perkawinan legal antaragama menyebabkan laki-laki Eropa lebih memilih pergundikan dengan perempuan pribumi.10 Ada beberapa hal yang menyebabkan seorang perempuan pribumi dapat menjadi nyai. Du Perron mengatakan di Het Land van Herkomst bahwa seorang gadis pribumi dapat diserahkan oleh orang tuanya yang juga pribumi untuk menjadi nyai. Kenyataan bahwa mereka dijual oleh suami atau keluarganya sendiri telah mengungkap pola hubungan dalam membesarkan para perempuan pribumi. Pada umumnya, keluarga perempuan pribumi bersikap ganda. Di satu sisi, perilaku samenleven didorong oleh ekonomi murni. Bila status pembantu berubah menjadi ‘nyai’ berarti pendapatannya pun menjadi lebih besar dari sebelumnya. Dengan demikian, mereka dapat menjadi tulang punggung keluarganya secara penuh. Di sisi lain, ‘nyai’ menjadi aib dalam kehidupan bermasyarakat karena kedudukannya sama dengan seorang

9 Ibid., h. 36. 10 Maimunah, “Tema Perlawanan terhadap Politik Identitas dan Praktik Pernyaian dalam Tiga Cerita ‘Tempo Doeloe’”, Tesis pada Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok, 2005, h. 5, tidak dipublikasikan.

18

pelacur. Bahkan, seorang ‘nyai’ dianggap mengkhianati agamanya dengan hidup bersama orang kafir. Oleh sebab itu, mereka ditempatkan di lapisan masyarakat yang berbeda dengan pribumi dan kerap dikucilkan.11 Berdasarkan penjelasan di atas, kedudukan seorang gadis pribumi di masa kolonial berada dalam keadaan yang “utuh” dikendalikan dan dikuasai baik oleh keluarganya maupun orang-orang di sekitarnya. Hal itu terjadi baik ketika dirinya masih berstatus budak maupun setelah berstatus ‘nyai’. Dalam kondisi itu, perempuan pribumi dapat dikatakan mengalami ‘penjajahan ganda’, yaitu penjajahan dari sesama pribumi dan penjajahan dari pihak kolonial. C. Unsur Intrinsik Cerpen dan Novel Novel dan cerpen merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus sering disebut dengan fiksi. Abrams dalam Nurgiyantoro, menjelaskan bahwa penyebutan novel yang kini dipakai di Indonesia berasal dari bahasa Italia, yaitu novella yang secara harfiah berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Novel dan cerpen sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang sama, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Bila unsur ekstrinsik memiliki pengaruh tidak langsung dalam pembangunan sebuah teks sastra, unsur intrinsik justru berpengaruh dalam pembangunan cerita dengan kemunculannya yang faktual.12 Unsur intrinsik yang membangun karya fiksi antara lain tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. 1. Tema Aminuddin dalam Siswanto mengungkapkan bahwa tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.13 Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis

11 Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, diterjemahkan oleh Siti Hertini Adiwoso, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), h. 54-55. 12 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Edisi Revisi), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), h. 30. 13 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 146.

19

yang dimunculkan melalui motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.14 Menurut Brooks, Puser, dan Warren dalam Tarigan, tema ialah pandangan hidup tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai tertentu yang membentuk atau membangun gagasan utama dari suatu karya sastra.15 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan utama yang menjadi dasar pembangun dan pengembangan suatu karya sastra dan biasanya dilakukan secara implisit. Tema-tema yang hendak dikembangkan biasanya berasal dari aspek-aspek kehidupan, seperti kekuatan, kesetiaan, dan sebagainya. 2. Alur Alur bisa disebut sebagai tulang punggung cerita.16 Stanton dalam Nurgiyantoro mengungkapkan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.17 Jadi, dapat disimpulkan bahwa alur atau plot merupakan susunan peristiwa yang saling berhubungan hingga merangkai sebuah teks cerita. Nurgiyantoro membedakan plot berdasarkan kriteria urutan waktunya menjadi tiga jenis, yaitu:18 a. Plot lurus (progresif) Dikatakan berplot progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, meliputi tahap penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik, klimaks, dan tahap penyelesaian. b. Plot sorot balik (flash back) Suatu teks cerita dikatakan berplot sorot balik saat cerita tidak diawali dengan sebuah peristiwa pengenalan yang logis. Seorang

14 Nurgiyantoro, Op.cit., h. 115. 15 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1993), h.125. 16 Robert Stanton, Teori Pengkajian Fiksi Robert Stanton, diterjemahkan oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 28. 17 Nurgiyantoro, Op.cit., h. 167. 18 Ibid., h.213-215.

20

penulis mungkin mengawali cerita dengan peristiwa dengan pertentangan yang sudah meninggi. c. Plot campuran Plot jenis ini merupakan yang paling mungkin digunakan oleh seorang penulis dalam merangkai sebuah cerita. Penggunaan alur progresif dan regresif secara bersamaan sering dilakukan oleh penulis. 3. Tokoh dan Penokohan Tokoh dalam sebuah novel merupakan penggerak cerita.19 Menurut Trisman, tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau pelaku dalam berbagai peristiwa dalam cerita.20 Dimana tokoh tersebut akan mengalami konflik yang dapat menuntun sebuah cerita. Sebuah cerita tidak akan berjalan tanpa adanya tokoh yang berkonflik, baik konflik eksternal maupun internal. Ada juga istilah penokohan yang lebih luas maknanya dibanding tokoh dan perwatakan sebab ia mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana pelukisannya dalam sebuah cerita, sehingga dapat memberi gambaran yang jelas bagi pembaca.21 Reader dan Woods dalam Aziez mengungkapkan bahwa para pembaca akan menganggap tokoh itu menarik bila seorang pengarang telah menciptakannya sebagai tokoh yang berpribadi. Hal itu terlepas dari suka atau tidaknya kita sebagai pembaca menyukai tokoh tersebut atau tidak.22 Pengarang membantu para pembacanya agar mendapatkan gambaran cerita yang lebih jelas melalui watak-watak tokoh, meskipun sebenarnya yang menyimpulkan bagaimana watak seorang tokoh dalam sebuah cerita ialah

19 Agung Dwi Ertato, “Kisah Percintaan Antar-Ras di Era Kolonial dalam Novel Njai Isah”, Skripsi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: Depok, Januari, 2013, h. 13, tidak dipublikasikan. 20 B Trisman, dkk., 2002, Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern, (Jakarta: Pusat Bahasa), h. 56. 21 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 248. 22 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 61.

21

pembaca. Biasanya, pengarang juga akan menjelaskan penokohan melalui berbagai cara yang berbeda pada setiap tokohnya. Misalnya, untuk tokoh utama (mayor) dalam cerita akan digambarkan lebih kompleks dibanding tokoh tambahan (minor). Selain mayor-minor, Nurgiyantoro mengkategorikannya sebagai protagonis-antagonis, sederhana-bulat, statis- dinamis, dan tipikal-netral. Berikut penjelasannya. a. Tokoh Utama-Tambahan Tokoh utama memiliki penceritaan paling banyak dalam cerita baik sebagai pelaku peristiwa atau yang dikenai peristiwa. Sebagai tokoh yang paling banyak diceritakan, tokoh utama sangat menjadi penentu plot cerita akan berkembang. Keberadaan tokoh utama di dalam novel mungkin bisa lebih dari seorang dengan kadar kepentingan peran yang berbeda-beda. Tokoh tambahan biasanya kurang mendapat perhatian pembaca karena penceritaannya yang tidak lebih banyak dari penceritaan tokoh utama. Namun, penentuan seorang tokoh merupakan tokoh utama atau tambahan dalam sebuah cerita tidak bisa dilakukan secara eksak. Maka dari itu, biasanya orang akan berbeda pendapat dalam membedakan siapa tokoh utama dalam sebuah cerita.23 b. Tokoh Protagonis-Antagonis Selain tokoh utama-tambahan, pengkategorian tokoh dapat dibedakan berdasarkan fungsi penampilan tokoh, yaitu tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis merupakan perwujudan dari harapan para pembaca mengenai sebuah cerita. Cara tokoh protagonis menyikapi konflik cerita itu seolah-olah sama dengan yang pembaca pikirkan dan harapkan. Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro menyatakan bahwa tokoh protagonis secara populer disebut sebagai hero dalam cerita. Ia merupakan wujud ideal dari nilai dan norma yang berlaku. Oposisi dari tokoh protagonis ialah antagonis.

23 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 259-260.

22

Maka, secara sederhana tokoh antagonis dapat disebut sebagai penyebab adanya konflik dan ketegangan dalam cerita.24 c. Tokoh Sederhana-Bulat Pengkategorian tokoh dapat pula didasarkan pada perwatakannya, yaitu tokoh sederhana dan bulat. Tokoh sederhana (simple/flat character) merupakan tokoh yang memiliki satu pribadi atau sifat watak tertentu saja. Maka, berbagai kemungkinan sisi kehidupannya tidak dapat diungkap. Sifat dan sikapnya mudah dikenali dan dipahami oleh pembaca. Bahkan, perwatakannya dapat dirumuskan hanya dengan sebuah kalimat. Misalnya, “Ia seorang yang senantiasa pasrah pada nasib”. Tokoh bulat (complex/round character) merupakan tokoh yang menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin watak-watak tersebut saling bertentangan. Pembaca tidak akan begitu saja mengenali dan memahami sifat dan tindakannya. Abrams mengungkapkan bahwa tokoh bulat lebih menggambarkan kehidupan manusia yang sesungguhnya dengan berbagai kemungkinan yang tak terduga.25 Manusia merupakan pribadi yang memiliki beragam atribut, baik atau buruk, menyenangkan atau menyebalkan. Tokoh bulat itulah yang biasanya menjadi tokoh utama (mayor), sedangkan tokoh sederhana (flat) kebanyakan menjadi tokoh tambahan (minor) dalam cerita.26 d. Tokoh Statis-Berkembang Tokoh yang dikategorikan berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan ialah tokoh statis dan dinamis. Altenbernd dan Lewis mengatakan bahwa tokoh statis merupakan tokoh yang tidak mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan secara esensial. Oposisi dari tokoh statis ialah tokoh berkembang (dinamis). Tokoh

24 Ibid., h. 260-262. 25 Ibid., h.264-267. 26 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Op.Cit., h. 63.

23

berkembang akan mengalami perubahan, lebih tepatnya perkembangan sikap dan watak dari awal, tengah, dan akhir cerita.27 e. Tokoh Tipikal-Netral Pengkategorian tokoh dapat pula didasarkan pada kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap sekelompok manusia dari kehidupan nyata, yaitu tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal merupakan penggambaran orang atau kelompok orang yang memiliki ikatan dengan lembaga yang ada di dunia nyata. Tentu saja penggambaran tersebut tidak langsung, tapi pembacalah yang justru menafsirkannya sedemikian sesuai pemahamannya mengenai dunia nyata. Altenbernd dan Lewis menyebutkan bahwa tokoh tipikal lebih bersifat mewakili. Tokoh netral merupakan tokoh yang keberadaannya demi cerita itu sendiri. Bukan untuk mewakili dunia nyata, melainkan merupakan tokoh imajinatif yang hanya hadir dalam fiksi.28 4. Latar Leo Hamalian dan Frederick R. Karell dalam Siswanto mengungkapkan bahwa latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, dan suasana, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problem.29 Menurut Furqonul Aziz dan Abdul Hasyim, latar berkaitan dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak mengenai lingkungan baik tempat maupun waktu di mana para tokoh menjalankan perannya.30 Nurgiyantoro mengklasifikasikan latar menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial-budaya.31 Latar merupakan unsur yang penting dalam cerita untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca.

27 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 272-273. 28 Ibid., h. 274-275. 29 Siswanto, Op.Cit, h. 135. 30 Furqonul Aziez dan dan Hasim, Op.Cit., h. 74. 31 Nurgiyantoro, h. 314.

24

Dengan demikian, pembaca akan merasa terbantu untuk membentuk imajinasinya. Misalnya, nama-nama tempat yang disebutkan dalam cerita disertai dengan tahun peristiwa akan mendorong pembaca untuk membayangkan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita merupakan peristiwa yang dekat dengan kehidupannya. Pembaca juga akan terdorong untuk mengaitkan peristiwa tersebut dengan kehidupan sosial masyarakat yang dikisahkan dalam cerita tersebut. Maka, seorang pengarang biasanya akan menciptakan latar sebagai unsur yang menonjolkan cerita secara keseluruhan. Latar yang demikian biasa disebut latar fungsional. Namun, terkadang seorang pengarang menciptakan sebuah latar yang hanya berupa pijakan cerita tanpa menonjolkan karakteristik yang membedakannnya dengan latar-latar lainnya. Latar yang demikian disebut latar netral.32 5. Sudut Pandang Aminuddin dalam Siswanto mengartikan sudut pandang atau titik pandang sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.33 Nurgiyantoro menjelaskan bahwa pada hakikatnya, sudut pandang merupakan strategi, teknik, dan siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan cerita.34 Jadi, sudut pandang merupakan cara pengarang menempatkan dirinya dalam membawakan cerita yang dibuatnya. Apakah ia hanya sebagai narator (pencerita) atau ia juga terlibat sebagai tokoh dalam cerita. Jenis sudut pandang pun telah banyak dikemukakan. Namun, yang akan dijadikan dasar analisis dalam penelitian ini ialah pendapat Nurgiyantoro. Ia membedakan sudut pandang menjadi empat jenis:35 a. Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia” Teknik penceritaan dengan menggunakan sudut pandang persona ketiga berarti posisi pengarang berada di luar ceritanya. Meskipun

32 Ibid., h. 307-308. 33 Siswanto, Op.cit., h.90. 34 Nurgiyantoro, Opcit., h. 338. 35 Ibid., h. 347-363.

25

demikian, yang menceritakan “dia” tidak selalu mengetahui sepenuhnya kehidupan “dia” yang diceritakan. Maka dari itu, sudut pandang persona ketiga dapat dibedakan lagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) “Dia” Mahatahu Penggunaan sudut pandang ini, memungkinkan pengarang mengetahui segalanya tentang “dia” yang diceritakan. Ia bebas menceritakan berbagai hal berkaitan dengan tokoh, latar, dan peristiwa dalam sebuah cerita. 2) “Dia” Terbatas, “Dia” sebagai Pengamat Berbeda dengan si mahatahu, si pengamat yang menggunakan sudut pandang persona “dia” ini lebih terbatas dalam bercerita karena hanya mencakup seorang tokoh saja. Ia merupakan seorang observer yang melaporkan berbagai hal yang dialami seorang tokoh. Selain itu, ia juga dapat disebut sebagai kamera dalam sebuah cerita yang bertugas merekam suatu objek. b. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Teknik penceritaan dengan menggunakan sudut pandang persona pertama berarti posisi pengarang berada di dalam ceritanya. Namun, sifat kemahatahuan dari sudut pandang “aku” dapat dikatakan sangat terbatas. Pembaca mengetahui peristiwa yang hanya diceritakan dan dirasakan oleh si “aku”. Sudut pandang persona pertama dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) “Aku” Tokoh Utama Secara praktis, sebagai tokoh utama dalam ceritanya, tokoh “aku” menjadi tokoh protagonis. Pengetahuan pembaca sangat tergantung pada apa yang diketahui oleh tokoh utama tersebut. 2) “Aku” Tokoh Tambahan Tokoh “aku” dalam ceritanya ini hanya tampil sebagai saksi saja yang kemudian membiarkan tokoh utamanya bercerita sendiri.

26

Maka, posisi pengarang dalam hal ini berfungsi sebagai bingkai cerita. c. Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau” Pada umumnya, sudut pandang hanya dilihat dari persona pertama dan persona ketiga. Namun, Nurgiyantoro agaknya memberi ruang bagi persona kedua “kau”. Meskipun sebenarnya belum pernah ditemukan cerita yang dari awal hingga akhir menggunakan sudut pandang persona kedua secara penuh. Persona kedua “kau” biasanya digunakan untuk melihat diri sendiri sebagai orang lain dalam ceritanya. d. Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang campuran merupakan teknik penceritaan yang sangat fleksibel. Pengarang dapat dengan bebas berganti dari persona satu ke persona lainnya. Hal ini sangat menguntungkan pembaca karena pengetahuannya tidak terbatas pada tokoh “aku” atau “dia” saja. 6. Gaya Bahasa Setiap orang memiliki gaya yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dalam sastra, gaya merupakan cara seorang pengarang dalam berbahasa. Meskipun saat dua pengarang menggunakan latar serta alur yang sama, akan ada hal-hal yang membedakan kedua tulisan tersebut.36 Abrams menyebutkan dalam Nurgiyantoro bahwa gaya bahasa atau stile adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seseorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Jadi, ada yang membedakan antara gaya berbahasa fiksi dengan nonfiksi. Pada hakikatnya, gaya bahasa merupakan suatu teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan sekaligus untuk mencapai efek keindahan.37

36 Stanton, Op.Cit., h. 61. 37 Nurgiyantoro, h. 369-370.

27

Tarigan membagi jenis gaya bahasa menjadi empat jenis antara lain:38 a. Gaya Bahasa Perbandingan Sesuai dengan namanya, gaya bahasa ini digunakan untuk membandingkan dua hal yang dianggap memiliki kesamaan sifat. Ada 10 jenis gaya bahasa perbandingan, yaitu perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme dan tautologi, perifrasis, antisipasi atau prolepsis, dan koreksio atau epanortosis.39 b. Gaya Bahasa Pertentangan Gaya bahasa pertentangan digunakan untuk melawankan dua hal yang sifatnya berbeda. Ada 20 jenis gaya bahasa pertentangan, yaitu hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, zeugma dan silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof atau inversi, apofasis atau preterisio, histeron proteron, hipalase, sinisme, dan sarkasme.40 c. Gaya Bahasa Pertautan Gaya bahasa pertautan digunakan untuk menyandingkan dua hal yang memiliki makna saling bertautan. Ada 13 jenis yang tergolong dalam gaya bahasa pertautan, yaitu metonimia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, dan polisindeton.41 d. Gaya Bahasa Perulangan Sesuai dengan namanya, gaya bahasa perulangan digunakan untuk memberi penekanan pada makna suatu kata. Pengulangan atau repetisi tersebut bisa berupa perulangan bunyi, kata, suku kata, atau frase. Ada 12 jenis gaya bahasa perulangan, yaitu aliterasi, asonansi,

38 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 6. 39 Ibid., h.7-8. 40 Ibid., h. 53-54. 41 Ibid., h. 119-120.

28

antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodilopsis, epanalepsis, dan anadiplosis.42 7. Amanat Amanat merupakan unsur yang ditinjau berdasarkan isi. Esten menyebut tema sebagai pemecahan suatu tema dalam sebuah cerita. Di dalam amanat terkandung pandangan hidup dan cita-cita pengarang.43 Nurgiyantoro lebih sering menyebutnya dengan kata “moral”. Moral atau amanat merupakan ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya.44 Hal itu sejalan dengan yang dikatakan oleh Esten bahwa amanat merupakan pemecahan suatu tema. Seorang pengarang menciptakan sebuah karya dengan menggunakan tema tertentu sebagai landasan ceritanya. Kemudian pembaca menafsirkan apa yang terkandung, baik atau buruknya perbuatan yang digambarkan dalam cerita tersebut. Maka, pembaca akan dapat menangkap pesan atau harapan sang pengarang melalui karya tersebut. D. Pembelajaran Sastra Proses pembelajaran dapat disebut interaktif edukatif yang sadar akan tujuan. Artinya, interaksi yang telah dicanangkan untuk satu tujuan tertentu, setidaknya tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang dirumuskan dalam satuan pembelajaran.45 Salah satunya ialah pembelajaran bahasa Indonesia. Di dalam pembelajaran bahasa Indonesia tidak hanya pengajaran bahasa, tapi juga meliputi pengajaran sastra. Pengajaran sastra memiliki manfaat yang besar sebagai pengembangan aspek afektif peserta didik. Hal itu dikarenakan pengajaran sastra dapat memberikan pengalaman agar peserta didik lebih cepat tanggap dengan lingkungan sekitarnya.

42 Ibid., h. 173-174. 43 Mursal Esten, Kesustraan: Pengantar Teori dan Sejarah Ed. Revisi, (Bandung: Angkasa, 2013), h. 20. 44 Nurgiyantoro, Op.cit, h. 429. 45 Iskandarwassid dan Dadang Suhendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 202.

29

Pengajaran sastra di sekolah memiliki empat manfaat yang dapat membantu pendidikan secara utuh, antara lain:46 1. Membantu dalam Keterampilan Berbahasa Pengajaran sastra secara khusus akan melatih keterampilan membaca siswa. Selain itu, keterampilan lainnya, seperti menulis, berbicara, dan menyimak juga menjadi lebih terlatih. 2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya Aspek-aspek kehidupan manusia hampir semuanya tercermin dalam karya sastra, seperti budaya. Maka dari itu, apabila pengajaran sastra dihayati dengan sungguh-sungguh peserta didik akan mendapatkan pengetahuan baru mengenai budaya yang mungkin tersirat dalam suatu karya sastra. 3. Mengembangkan Cipta dan Rasa Pengajaran sastra dapat meningkatkan aspek afektif peserta didik. Hal itu memberikan kesempatan yang lebih besar bagi peserta didik untuk dapat mengembangkan kecakapan-kecakapan yang bersifat penalaran, sosial, religius, dan sebagainya. 4. Menunjang Pembentukan Watak Aspek-aspek kehidupan yang tersirat dalam suatu karya sastra merupakan bahan ajar yang paling berpotensi dalam pembentukan watak peserta didik. Ada banyak jenis karya sastra yang dapat digunakan sebagai bahan kegiatan apresiasi dalam pengajaran sastra. Misalnya, cerpen dan novel. Kedua jenis karya sastra tersebut biasanya dipilih karena banyak memberikan nilai- nilai kehidupan yang tersirat. Pada pengajaran sastra di tingkat SMA, peserta didik sudah sampai pada tingkatan yang tinggi. Mereka sudah mampu mengkaji unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dalam suatu karya. Sesuai dengan standar isi pembelajaran sastra, maka seorang guru harus mampu memotivasi peserta didiknya untuk mencapai indikator pencapaian

46 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 16-24.

30

kompetensi yang telah ditentukan. Dengan pengajaran sasta melalui Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti, peserta didik diharapkan mampu mengapresiasi karya sastra dengan baik serta mampu memahami dan mangaplikasikan nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra tersebut, sehingga dapat membantu dalam pembentukan karakter peserta didik, seperti nasionalisme dan saling menghargai. E. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan untuk penelitian ini ialah tesis milik Linda, mahasiswi Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta berjudul “Representasi Pernyaian dalam Karya Sastra Melayu Rendah” yang diterbitkan pada tahun 2009. Hasil dari penelitian tersebut ialah ditemukan adanya representasi tentang pernyaian yang berbeda dalam setiap cerita. Hubungan antara tuan dan nyai pun digambarkan secara kompleks karena selalu ditandai ambivalensi.47 Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis ialah kesamaan salah satu objek penelitian (Tjerita Nji Paina karya H.Kommer dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti) dan pendekatan penelitian yang digunakan, yaitu pendekatan poskolonial. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis ialah perbedaan subjek penelitian. Pada penelitian Linda, subjek penelitiannya ialah konsep ambivalensi yang tercermin dalam setiap objek penelitiannya, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh penulis subjek penelitiannya ialah konsep oksidentalisme yang direpresentasikan melalui nyai yang tercermin dalam setiap objek penelitian. Tulisan lain yang relevan, yaitu artikel yang ditulis oleh Gde Artawan dengan judul “A Comparative Study on Indigenous Female Sexuality Body in The Novels at Balai Pustaka and Tionghoa Descent” (Sebuah Studi Bandingan Tubuh Seksual Perempuan dalam Novel-novel Balai Pustaka dan Keturunan Tionghoa) yang dimuat dalam International Journal of Linguistics, Language

47 Linda, “Representasi Pernyaian dalam Karya Sastra Melayu Rendah”, Tesis pada Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2009, (https://repository. usd.ac.id/1784/2/056322006_Full.pdf). Diakses pada 28 April 2019.

31

and Culture (IJLLC) Volume 2 Nomor 4 tahun 2016. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa ditemukan kesamaan perspektif kolonial dan pria pribumi terhadap perempuan pribumi. Mereka percaya bahwa perempuan pribumi tidak memiliki hak dan kebebasan. Orientalisme dalam konflik tubuh perempuan dan seksualitas pribumi dalam novel-novel Balai Pustaka dan Tionghoa Descent dipresentasikan oleh penulis melalui karakter-karakter mereka.48 Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis ialah kesamaan salah satu objek penelitian (Tjerita Nji Paina karya H.Kommer) dan pendekatan penelitian yang digunakan, yaitu pendekatan poskolonial. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis ialah perbedaan subjek penelitian. Pada penelitian tersebut, subjek penelitiannya ialah representasi tubuh dan seksualitas perempuan pribumi dalam setiap objek penelitiannya, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh penulis subjek penelitiannya ialah konsep orientalisme yang dipresentasikan melalui nyai yang tercermin dalam setiap objek penelitian. Adapun penelitian relevan lainnya ialah jurnal milik I Nyoman Yasa dengan judul “Orientalisme, Perbudakan, dan Resistensi Pribumi terhadap Kolonial dalam Novel-novel Terbitan Balai Pustaka” yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Pendidikan Ganesha Volume 2 Nomor 2 tahun 2013. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa relasi antara penjajah dengan terjajah, yakni antara Belanda dengan pribumi di Indonesia (Hindia Belanda) adalah relasi yang tidak setara karena Belanda mendominasi pribumi. Akibat dominasi tersebut, masyarakat pribumi melakukan resistensi dalam bentuk mimikri terhadap dalam rangka meruntuhkan kekuasaan kolonial Belanda.49 Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis ialah

48 Gde Artawan, “A Comparative Study on Indigenous Female Sexuality Body in The Novels at Balai Pustaka and Tionghoa Descent”, dimuat dalam International Journal of Linguistics, Language and Culture (IJLLC) Volume 2 Nomor 4, November 2016: 138-146, (https://sloap.org/journals/index.php/ijllc/article/view/153/ 134). Diakses pada 11 Mei 2019. 49 I Nyoman Yasa, “Orientalisme, Perbudakan, dan Resistensi Pribumi terhadap Kolonial dalam Novel-novel Terbitan Balai Pustaka”, dimuat dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Pendidikan Ganesha Volume 2 Nomor 2, Oktober 2013: 249-256, (https://ejournal. undiksha.ac.id/index.php/JISH/article/view/2179/1895). Diakses pada 08 Mei 2019.

32

kesamaan pendekatan penelitian yang digunakan, yaitu pendekatan poskolonial. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis ialah perbedaan objek penelitian. Pada penelitian Yasa, objek penelitiannya ialah novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh karya Abdoel Moeis, Hulubalang Raja, dan Katak Hendak Jadi Lembu karya Nur Sutan Iskandar, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh penulis objek penelitiannya ialah Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti. Selain penelitian-penelitian di atas, ada beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain tesis milik Maimunah yang berjudul “Tema Perlawanan terhadap Politik Identitas dan Praktik Pernyaian dalam Tiga Cerita ‘Tempo Doeloe’” dan milik Ibnu Wahyudi yang berjudul “The Nyai in Nyai Dasima, Nyai Ratna, and Njai Alimat: A Reflection of Indonesia Women' Lives as Conscubines of Europeans in Indonesia's Colonial Period”. Kedua tesis tersebut diterbitkan oleh Universitas Indonesia.

BAB III BIOGRAFI PENGARANG

A. Kwee Tek Hoay 1. Latar Belakang Salah satu penulis peranakan Cina yang produktif dalam menghasilkan karya ialah Kwee Tek Hoay. Ada perbedaan mengenai tahun kelahirannya. Gunadharma dalam Sidharta menyebutkan bahwa Kwee Tek Hoay lahir pada 31 Juli 18861, sedangkan pada sumber lain dikatakan bahwa Kwee Tek Hoay lahir pada 31 Juli 1887. Peneliti akan mengikuti sumber pertama yang mengatakan bahwa Kwe Tek Hoay dilahirkan pada 31 Juli 1886 karena Gunadharma sendiri merupakan anak dari Kwee Tek Hoay, sehingga peneliti merasa kevalidan data lebih tinggi dibanding sumber lain. Suryadinata dalam Sidharta menyebutkan bahwa Kwee Tek Hoay meninggal di Cicurug pada tahun 1951.2 Kwee Tek Hoay merupakan peranakan Cina yang lahir dan tumbuh di Bogor. Ia merupakan anak bungsu dari Kwe Tjiam Hoang dan Tan Ay Nio. Ayahnya berasal dari Fujian yang kemudian merantau ke Jawa dan menetap di Bogor. Di Bogor, ayahnya menikahi ibunya, yaitu Tay An Nio. Orang tua Tay An Nio merupakan perantau Tiongkok yang sudah menetap di Bogor selama tiga generasi. Dari Ibunyalah, Kwee Tek Hoay secara diam-diam belajar bahasa Melayu.3 Mengenai pendidikannya, Kwee Tek Hoay sebenarnya ingin bersekolah di sekolah milik Belanda, tapi pemerintah tidak mengizinkannya karena ia berasal dari kalangan jelata.4 Hal itu menguatkan fakta bahwa sebagai seorang peranakan Cina yang berasal dari kalangan jelata, ia

1 Myra Sidharta, 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), h. 259. 2 Ibid., h. 18. 3 Irfan Teguh, “Kwee Tek Hoay di Tengah Dunia Sastra Peranakan Tionghoa”, (https://tirto.id/kwee-tek-hoay-di-tengah-dunia-sastra-peranakan-tionghoa-cJuJ). Diakses pada 29 April 2018. 4 Sidharta, Op.Cit., h. 259-260.

33

34

merasakan marginalisasi dari adanya sistem stratifikasi sosial yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Akhirnya, Kwee Tek Hoay bersekolah di sekolah dasar Tionghoa dengan bahasa Hokkian sebagai bahasa pengantarnya. Namun, ia tidak menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya itu. Semasa sekolah, Kwee Tek Hoay sering membolos karena tidak mengerti bahasa Hokkian. Namun, semangat belajarnya tidak berhenti begitu saja. Kwee Tek Hoay belajar dengan mengundang guru ke rumah sembari membantu kedua orang tuanya berjualan. Ia juga belajar banyak bahasa, seperti bahasa Belanda dari Lebberton dan Wotman yang merupakan orang-orang dari perkumpulan Loge Theosophie dan belajar bahasa Inggris dari seorang pengajar di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan, S.Maharaja, yang berkebangsaan India. Selain dari ibunya, ia juga belajar bahasa Melayu secara khusus dari kenalan ibunya yang bekerja di Perkumpulan Kristen. Tidak hanya beragam bahasa, Kwee Tek Hoay juga belajar tata buku dan akuntansi dari seorang guru sekolah Belanda.5 Kwee Tek Hoay menikah di usianya yang ke-20 tahun dengan Oie Hiang Nio yang merupakan cucu perempuan dari seorang Kapten Tionghoa. Mereka menikah pada Februari 1906. Setelah menikah, Kwee Tek Hoay bekerja sebagai pedagang besar dan memiliki toserba yang dinamai Toko KTH.6 2. Pemikiran Sebagai seorang peranakan Cina, Kwee Tek Hoay memiliki watak tekun dan berkemauan keras sejak kecil. Ia berani melawan sesuatu bila hal itu dianggap tidak masuk di logikanya termasuk membantah perintah ayahnya untuk memotong kucir rambutnya yang panjang sebagai bentuk kesetiaan kepada kekaisaran Tiongkok. Selain itu, ia juga sering mengkritik beberapa tradisi Tionghoa yang memercayai takhayul.

5 Ibid.. 6 Ibid., h. 261-262.

35

Mungkin kegemaran membacanyalah yang mendorong ia berpikir luas dan tidak konservatif.7 Menurutnya, “Peranakan Tionghoa harus berorientasi ke Hindia-Belanda, karena di sinilah peranakan akan tetap tinggal dan mencari nafkah”.8 Kwee merasa bahwa bangsanya yang berada di Hindia-Belanda harus lebih terbuka khususnya agar mampu mengatasi desakan dari kaum totok. Kwee juga memiliki perbedaan pendapat dengan kaum Sin Po yang menyeragamkan sistem pendidikan bagi peranakan Tionghoa agar bisa berbicara Tionghoa seperti totok. Menurutnya, demi mempersiapkan peranakan untuk dapat mencari nafkah di Hindia-Belanda, model pendidikan peranakan akan lebih baik bila divariasikan. Bagi peranakan Tionghoa yang mampu bersekolah Belanda (diajarkan kultur Belanda dan Tionghoa), sedangkan yang miskin bersekolah Melayu. Meskipun demikian, Kwe Tek Hoay masih menganggap peranakan Tionghoa yang berada di Hindia-Belanda masih harus mempertahankan kebudayaan Tionghoa dalam hal ini agamanya. Oleh sebab itu, Kwee terus mempelajari dan menyebarkan ajaran Konghuchu, Bhuddisme, kemudian kombinasi keduanya.9 Dalam karyanya, ideologi Kwee yang demikian pun nampak. Salah satunya dalam karyanya Boenga Roos dari Tjikembang yang sedikit menjelaskan perubahan ideologi tokoh terhadap ajaran Bhuddisme. 3. Karya Kwee Tek Hoay digolongkan sebagai sastrawan sastra Melayu- Rendah yang telah ada jauh sebelum Sastra Indonesia. Ia termasuk pengarang yang sangat produktif. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh Claudine Salmon dalam “Litterature in Malay by The Chinese of Indonesia”, Kwee Tek Hoay telah menghasilkan sebanyak 3005 karya yang meliputi drama, novel, dan cerpen. Kemunculannya ialah pada masa keemasan Sastra Melayu-Rendah (1925-1942). Meski demikian,

7 Ibid., h. 260-261 8 Ibid., h. 27. 9 Ibid., h. 28-30.

36

sebenarnya Kwee Tek Hoay mulai menulis sejak tahun 1905 saat novel pertamanya yang berjudul Yoshuko Ochida atawa Pembalesannja Satoe Prampoean Japan diterbitkan secara bersambung dalam majalah mingguan Ho Po.10 Sayangnya, novel tersebut tidak dapat ditemukan. Kemudian, pada 1919 ia menulis drama 6 babak yang diberi judul Allah jang Palsoe. Novelnya yang kedua berjudul Djadi Korbannja Perempoean Hina diterbitkan pada 1924. Kedua karya yang terbit secara berurut tersebut akan sangat jelas terlihat bagaimana pengarang mengungkapkan pemikirannya secara berbeda.11 Pada tahun 1926, Kwee Tek Hoay kembali menulis sebuah drama 4 babak yang berjudul Korbannja Kong Ek. Seperti novel pertamanya, drama ini juga terbit secara bersambung dalam harian Sin Bin. Kemudian, pada 1927 terbitlah karyanya yang terkenal, yaitu Boenga Roos dari Tjikembang. Menurut keterangan, novel tersebut telah dicetak ulang sebanyak tiga kali, yaitu tahun 1927, 1930, dan 1963. Selain itu, novel tersebut telah difilmkan sebanyak tiga kali, yaitu pada 1931 dan 1976. Pada tahun 1927, Kwee Tek Hoay juga menulis sebuah drama 3 babak yang berjudul Plesiran Hari Minggoe. Drama tersebut merupakan drama yang berisi pesan tentang pendidikan anak-anak Tionghoa. Kwee Tek Hoay rupanya juga menggunakan fenomena alam sebagai latar belakang karyanya, yaitu meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883. Karyanya itu diberi judul Drama dari Krakatau dan diterbitkan tahun 1928. Novel tersebut juga dibubuhi kisah-kisah mistik. Pada tahun yang sama, ia juga menulis drama 6 babak yang berjudul Korbannja Yi Yung Toan. Selanjutnya, novelnya yang paling penting dan paling besar sepanjang karier kesastraannya lahir, yaitu Drama di Boven Digoel. Karya ini terbit secara bersambung di majalah Panorama sejak tahun 1929 hingga 1932.

10 Ibid., h. 92. 11 Ibid..

37

Barulah pada 1938 diterbitkan dalam 4 jilid buku setebal 718 halaman oleh Moestika Cicurug.12 Selain karya-karya yang telah disebutkan di atas, masih banyak karya Kwee Tek Hoay yang menunjukkan betapa produktifnya ia sebagai pengarang antara lain: The Ordeal from General Chiang Kai Shik; Resia dari kekajahannya Loh Hua di Soerabaja (Penoetoeran Siotjia Lo Lan Hoa) (1929), Nonton Tjapgome; Cato; Gadis Moedjidjat; Zonder lentera (1930), Penghidoepan satoe Sri Panggoeng (1930-1931), Nabi Poetih (1930-1932), Drama dari Merapi; Mait Idoep (1931), Pendekar dari Chapei (1932), Drama di Loro Ireng (1933), Pantoen Melajoe (1934), Bingkisan taon baroe (1935), Pengalaman satoe boenga anjelier (1938), Riwajat penghidoepan Therese Neumann (1940), Hikajat perang Annam antara Tiongkok dengan Frankrijk di taoen 1882-85 (1942).13 Dapat disimpulkan bahwa hampir setiap tahunnya Kwee Tek Hoay melahirkan sebuah karya atau lebih. B. H. Kommer 1. Latar Belakang Salah satu penulis yang menuliskan cerita pernyaian ialah H. Kommer. Berens dalam Hellwig mengungkapkan bahwa H. Kommer merupakan pengarang Indo yang lahir pada tahun 1873 di Batavia.14 Selain H. Kommer ada seorang penulis Belanda bernama H.F.R Kommer, sehingga muncul keraguan apakah H. Kommer dan H.F.R. Kommer adalah orang yang sama atau tidak. Namun, Hellwig menyebutkan bahwa kemungkinan besar kedua nama tersebut merupakan orang yang sama yang kebetulan mengganti huruf depan namanya.15 Berbeda dengan Hellwig, Sumardjo rupanya membedakan antara H. Kommer dengan H.F.R. Kommer seperti yang terlihat dalam kutipan berikut:

12 Ibid., h. 108. 13 Ibid., h. 308-314. 14 Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, diterjemahkan oleh Mier Joebhaar, Jakarta, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 60. 15 Ibid..

38

Dalam buku sejarah sastra Ajip Rosidi (Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia) dan juga dari Bakri Siregar, ada disebut tokoh-tokoh sastra pemula Indonesia seperti Pangemanann, Tirtoadisuryo, Haji Mukti, dan Mas Marco, tetapi tidak memasukkan sama sekali karya-karya sastra Melayu Rendah karangan Wigers dan Kommer (Baik H.F.R. Kommer maupun H. Kommer).16 Berdasarkan kutipan di atas, Sumardjo nampak menyebutkan beberapa pengarang yang mengawali sejarah sastra Indonesia. Ia menyebutkan keduanya, baik H.F.R. Kommer dan H. Kommer. Hal itu didukung oleh Toer yang menyebutkan bahwa Tio Ie Soe pernah menjelaskan kepada mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Respublika mengenai H. Kommer dan H.F.R. Kommer. Soel mengatakan bahwa H. Kommer hidup dalam kesulitan. Berbeda dengan H.F.R. Kommer yang memiliki koleksi hewan yang kemudian dibeli oleh Perhimpunan Kebun- binatang Surabaya. Dari hal itu dapat disimpulkan bahwa H.F.R. Kommer tidak hidup dalam kesulitan. Atas dasar itu, Toer pun menduga H. Komer dan H.F.R. Kommer bukanlah orang yang sama.17 Dengan demikian, peneliti akan menggunakan bukti pendukung tersebut untuk menyepakati bahwa H. Kommer dan H.F.R. Kommer merupakan dua orang berbeda. Pada 1894, H. Kommer memulai kariernya sebagai pegawai pemerintah. Sekitar tahun 1902, ia memulai pekerjaan redaksional dan mengarang. Ia juga sempat menjadi redaktur dua surat kabar di Surabaya pada tahun 1905. Akhirnya, tahun 1907 ia dikeluarkan secara hormat sebagai pegawai pemerintahan. Maka, karirnya sebagai pengarang semakin meyakinkan. Sebagai seorang Indo, H. Kommer tidak menulis dalam bahasa Belanda, melainkan dalam bahasa Melayu.18 Tidak banyak yang dapat diulik dari kehidupan pribadi H. Kommer, bahkan mengenai pendidikan yang ditempuhnya belum ada yang mampu mengungkapnya.

16 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah: Masa Awal, (Yogyakarta: Galang Press, 2004), h. 5. 17 Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia Cet. 2 revisi, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), h. 38. 18 Hellwig, Op.Cit., h. 60-61.

39

2. Pemikiran Menurut Toer, H. Kommer merupakan pemuncak penulis cerita pada masanya. Dua karyanya, Tjerita Nji Paina dan Njonja Kong Hong Nio, adalah karyanya yang paling terkenal. Sebenarnya, masih ada karyanya yang lain, namun kedua cerita tersebutlah yang menjadi pemuncak penulisan cerita di masa itu. Melalui karya-karyanya, kita dapat mengetahui bagaimana pemikiran seseorang termasuk bagaimana pemikiran H. Kommer. Karya H. Kommer mengungkapkan keprihatinannya terhadap masalah-masalah, seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia kerap memberikan komentar yang berupa kritik terhadap para tokoh penguasa (orang Eropa) dan memberikan pembelaan penduduk desa Jawa. Selain itu, ia juga memberikan perhatian istimewanya atas kedudukan perempuan Indonesia yang menurutnya paling mudah dilukai selama masa penjajahan.19 3. Karya H. Kommer merupakan salah satu pengarang Belanda yang karya- karyanya cukup populer di zamannya. Sebagai pengarang Belanda, karya- karyanya tidak ditulis dalam bahasa Belanda, tapi ditulis dalam bahasa Melayu. Pada tahun 1900, H. Kommer muncul dengan karya-karya antara lain Tjerita Siti Aisah, Tjerita Nji Paina, Njai Sarikem, dan Tjerita Njonja Kong Hong Nio.20 Mengenai tahun terbitnya, bukan merupakan hal yang mudah. Sebab, sumber atau dokumen yang membahas mengenai latar belakang H. Kommer dapat dikatakan terbatas. C. Haji Mukti 1. Latar Belakang Tidak semua penulis Indonesia dapat diketahui identitasnya. Salah satunya ialah Haji Mukti. Tidak ada yang tahu pasti kapan Haji Mukti dilahirkan, bahkan apakah nama tersebut merupakan nama sesungguhnya

19Ibid., h. 61. 20 Sumardjo, Op.Cit., h. 31.

40

atau sekadar nama samaran saja pun belum ada yang bisa memastikannya. Namun, Pramoedya menuliskan di bagian awal novel Hikayat Siti Mariah sebuah tulisan berjudul “Persinggahan” yang mengandung dugaan-dugaan mengenai identitas Haji Mukti. Dugaan tersebut didasarkan pada analisis penceritaan novel tersebut. Posisi pengarang sangat dinamis dan kerap ikut mengambil peran dalam cerita tersebut. Haji Mukti diduga merupakan tokoh dalam ceritanya, yaitu Sondari. Jike benar demikian, maka keterangan yang didapatkan akan diuraikan di bawah ini. Haji Mukti alias Sondari dilahirkan pada 1850 di Kedu. Ibunya merupakan seorang pribumi bernama Raden Ayu Mustikaningrat yang menikah dengan seorang Kontrolir Kedu bernama Elout van Hogerveldt. Kedua nama tersebut mungkin bukan nama sesungguhnya, tapi keberadaan keduanya mungkin memang pernah ada dengan nama yang berbeda.21 Berdasarkan hal tersebut, dugaan sementaranya ialah bahwa Haji Mukti alias Sondari merupakan seorang keturunan Indo-Belanda. Nama Haji Mukti pertama kali muncul pada kutipan berikut: Ia akan meminta pertimbangan lebih dahulu dari Sondari yang datang dari Jeddah kini menjabat pekerjaan penting di kota Semarang, dengan nama Haji Mukti.22 Berdasarkan kutipan di atas, identitas Haji Mukti sebagai penulis sedikit terjawab. Haji Mukti merupakan identitas baru salah seorang tokoh dalam Hikayat Siti Mariah, yaitu Sondari setelah menjadi seorang haji. Kutipan lain yang mendukung hal tersebut ialah sebagai berikut: Haji Mukti meneruskan kata-katanya dengan seruan bersuara nyaring: “.... Terimakasih, ya Tuhanku, sudara Siti Mariah, selamat! Kawan Henri Dam, selamat! Ingatlah pada kata-kataku dulu, meski jodoh diputuskan oleh kejahilan manusia, kelak bersatu kembali.”23 Kutipan di atas diucapkan oleh tokoh Haji Mukti saat Siti Mariah berjumpa kembali dengan Henri Dam. Seketika suasana haru menyelimuti peristiwa itu. Ucapan Haji Mukti tersebut perlu digarisbawahi, yaitu pada

21 Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, (Jakarta: Bintang Timur, 2003), h. 17-18. 22 Ibid., h. 278-279. 23 Ibid., h. 400-401.

41

“Ingatlah pada kata-kataku dulu,....” Kalimat tersebut merujuk pada kutipan berikut: Hati-hati kalian. Tunggu waktunya! Kendati jodoh terputus akibat kejahilan orang, kelak mereka akan kembali rukun lagi, karena putus bukannya bercerai! Ya, Tuhan Allah Yang Maha Kuasa!24 Kutipan di atas disampaikan oleh pengarang saat Nyonya besar berhasil memisahkan Henri Dam dengan Siti Mariah atas bantuan Dukun Jiman. Kutipan tersebut bila dikaitkan dengan kutipan sebelumnya dapat menjelaskan hubungan antara pengarang dengan Haji Mukti, yaitu keduanya merupakan orang yang sama. Haji mukti merupakan tokoh sekaligus pencerita dalam Hikayat Siti Mariah. Pronomina –ku yang terdapat pada “kata-kataku” merujuk pada perkataan yang diucapkan oleh pengarang pada halaman 162. Selain itu, jalan cerita yang masih bisa disadap ialah bahwa Haji Mukti akhirnya meninggalkan Magelang dan tinggal di Bandung seperti pada kutipan berikut: Dari Semarang Haji Mukti pindah ke Magelang, membeli tanah untuk perkebunan kopi. Tiada berapa lama ia pindah ke Bandung.25 Kutipan di atas dapat dikaitkan dengan dugaan Haji Mukti bertemu dengan Tirto Adhi Soerjo selaku redaktur kepala dan direktur harian Medan Prijaji.26 Medan Prijaji merupakan penerbit yang menerbitkan cerita Hikayat Siti Mariah untuk pertama kalinya. Berdasarkan beberapa analisis kutipan di atas mendukung dugaan bahwa Haji Mukti merupakan pengarang sekaligus tokoh dalam Hikayat Siti Mariah. Meskipun posisinya sebagai pengarang tidak konsisten. Sebab, ada bagian saat dia menceritakan kisahnya sendiri tanpa menggunakan kata ganti “akuan”.

24 Ibid., h. 162. 25 Ibid., h. 402. 26 Ibid., h. 26.

42

2. Pemikiran Biasanya cara menyimpulkan bagaimana pemikiran seorang pengarang ialah dengan melihat atau menganalisis bagaimana karyanya. Misalnya, seorang pengarang yang menjunjung tinggi nilai agama karyanya akan dekat dengan tema agama dan sebagainya. Mengingat minimnya keterangan mengenai Haji Mukti sebagai pengarang sangat membatasi seseorang yang hendak mencari tahu bagaimana sebenarnya pemikirannya. Maka, satu-satunya karya yang dapat dipercaya menjadi gambaran pemikiran Haji Mukti ialah Hikayat Siti Mariah. Berdasarkan karyanya tersebut, Haji Mukti nampak bersikap ambivalen. Ia tidak sepenuhnya mendukung koloni tapi juga tidak sepenuhnya mendukung pribumi. Hal itu nampak dalam gambaran penokohan karyanya. Beberapa tokoh koloni ada yang digambarkan dengan buruk watak dan perilakunya, tapi ada juga yang dijunjung tinggi. Begitu pula pada penggambaran tokoh-tokoh pribumi digambarkan dengan watak dan perilaku yang bervariasi. 3. Karya Identitas Haji Mukti masih menjadi hal yang misterius dalam sejarah Sastra Indonesia. Namun, dalam penelitian ini penulis cenderung merujuk pada pendapat yang tertulis di bagian awal novel Hikayat Siti Mariah yang mengungkapkan adanya kemungkinan bahwa Haji Mukti sebagai pengarang merupakan orang yang sama dengan Haji Mukti sebagai tokoh dalam karyanya, yaitu Hikayat Siti Mariah. Minimnya pengetahuan dan penelitian lebih lanjut mengenai Haji Mukti membatasi pula keterangan- keterangan mengenai karyanya.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Unsur Intrinsik 1. Tema Tema secara sederhana dapat diartikan sebagai dasar ide pengarang untuk membangun sebuah cerita. Tema yang diangkat dalam Boenga Roos dari Tjikembang, Tjerita Nji Paina, dan Hikayat Siti Mariah bervariasi, tapi tetap memiliki kedekatan. Pertama, Boenga Roos dari Tjikembang (BRdT), mengangkat tema persembahan seorang nyai. Persembahan itu baru dirasakan oleh tokoh-tokoh lain dalam BRdT jauh setelah Marsiti pergi. Marsiti pergi agar tuannya yang bernama Ay Tjeng bersedia menuruti kehendak ayahnya untuk beristri dengan seorang perempuan sebangsanya. Keputusan Marsiti yang rela menyingkir dari kehidupan Ay Tjeng juga dilakukan atas bujukan keras dari ayah Ay Tjeng dan diterima dengan lapang dada oleh Marsiti seperti pada kutipan berikut: “dan kaloe djoeragan tetep tolak kahendaknja Djoeragan Sepoeh, saja sendiri nanti minta lepas dan poelang ka kampoeng, kerna saja tida maoe lantaran saja satoe orang, antero djoeragan poenja familie moesti tanggoeng kadoekaan.”1 Kutipan tersebut disampaikan oleh Marsiti kepada Ay Tjeng saat dirinya ditanya apakah ia tulus menuruti permintaan ayah Ay Tjeng tersebut. Jawaban Marsiti sangat mengejutkan karena ia tidak ingin Ay Tjeng sekeluarga menderita jika dirinya masih berada di kehidupan Ay Tjeng. Sebelum ia meninggalkan tuannya, ia sempat berkata: “...., kaloe djoeragan bersama djoeragan istri berdoea djalan-djalan di kebon, ia bisa bantoe bikin oedara di sini bertambah haroem, ....., seperti saja poenja bingkisan jang tetep selama-lamanja.”2 Kutipan di atas disampaikan oleh Marsiti beberapa hari sebelum perpisahannya dengan Ay Tjeng. Marsiti yang sebenarnya sangat mencintai tuannya, dengan berbesar hati harus mengalah untuk menjauh dari

1 Kwee Tek Hoay, Boenga Roos dari Tjikembang, (Tanpa Kota: Djukkerij Hoa Siang In Kok, 1927), h. 12. 2 Ibid., h. 17.

43

44

kehidupan tuannya. Bukannya melawan dan menunjukkan kesedihannya di depan Ay Tjeng, Marsiti justru memberikan persembahan yang diperuntukkan kepada Ay Tjeng dan istrinya kelak. Dua puluh lima tahun kemudian semua yang dikatakan Marsiti terbukti dan berbuah manis seperti pada kutipan berikut. “Liatlah, Gwat, Marsiti pegang djanjinja. Ini kembang tida boleh salah lagi ada iapoenja bingkisan, hingga kita-orang tida boleh bikin sia-sia, hanja moesti dikoempoel dan di taro di kita poenja tempat tidoer.”3 Kutipan di atas menunjukkan bahwa semua yang dikatakan Marsiti dua puluh lima tahun yang lalu terbukti. Persembahan yang ditinggalkan Marsiti ialah bunga cempaka yang dahulu ia tanam cangkokannya dan dapat dikatakan sebagai bentuk cintanya kepada Ay Tjeng. Mengingat bagaimana Marsiti dengan berbesar hati mau mengalah demi kebahagiaan Ay Tjeng tanpa meninggalkan dendam apapun kepada Ay Tjeng maupun ayah Ay Tjeng yang dengan keras membujuk dan mengancam Marsiti untuk menuruti kehendaknya. Selanjutnya, Tjerita Nji Paina (TNP), cerpen ini memiliki tema pengorbanan nyai. Pengorbanan tersebut secara tidak langsung bertujuan untuk melawan struktur kekuasaan pada saat itu. Yang berkorban dalam cerita ini ialah tokoh Nyi Paina. Sebagai anak perempuan seorang pegawai pabrik gula, Nyi Paina memiliki peran yang penting bagi jabatan ayahnya. Ayahnya yang bernama Niti Atmojo terancam dimasukkan penjara karena telah menghilangkan uang kas pabrik. Hal itulah yang melatarbelakangi pengorbanan yang dilakukan oleh Nyi Paina. ,,Di mana Nji Paina? Kaloe kaoe soeka Nji Paina djadi njai koe, nistjaja tiada nanti terdjadi satoe apa atas dirimoe dan semoea oewang itoe kau tiada oesah bajar koembali.”4 Kutipan di atas dikatakan oleh Briot yang merupakan atasan Niti. Ia mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ia mengancam akan

3 Ibid., h. 105. 4 Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia (Edisi Revisi), (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), h. 388.

45

memasukkan Niti ke penjara karena kasus yang dialaminya. Namun, bila Niti mau menyerahkan Nyi Paina untuk menjadi nyainya, kasus itu akan dianggap selesai. Maka, Niti berusaha membujuk Nyi Paina agar bersedia menjadi nyai Briot untuk menolong dirinya. Nyi Paina tidak pernah mengira bila hidupnya akan berakhir dengan menjadi nyai seorang tuan seperti Briot. Kemudian, ayahnya menyindirnya dengan pantun-pantun yang sedih dan Paina cukup lama terdiam. Lama ia doedoek berpikir dan tiada bergerak, tiada bitjara satoe apa. ... ,,Baiklah koe toeroet maoenja toean Briot aken djadi njainja.”5 Akhirnya Nyi Paina berani mengambil keputusan untuk menuruti perintah ayahnya dengan bersedia menjadi nyainya Tuan Briot. Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, Nyi Paina telah melakukan pengorbanan atas hidupnya demi menyelamatkan ayahnya agar tidak dipenjara. Namun, di balik usahanya menyelamatkan ayahnya ia pun berusaha untuk melawan struktur kekuasaan pada saat itu. Maka Nji Paina soedah tetapken atinja aken bikin mati toean Briot dengan djalan iang sedemikian.6 Nji Paina djoega dilanggar ini penjakit tetapi tiada sebrapa kerasnja dan sigrah ia semboeh kombali, tjoemah tinggal bopeng antero moekanja, sehingga ilanglah elok dan tjantiknja.7 Dua kutipan di atas merupakan bukti pengorbanan Nyi Paina yang lainnya. Ia tidak begitu saja menyerahkan dirinya pada Briot. Ia melakukan perlawanan dengan membunuh Briot melalui penyakit yang dibawanya. Nyi Paina rela kecantikannya hilang demi menularkan penyakit kepada Briot. Meskipun kulitnya tertular wabah cacar, ia mendapat kemenangan untuk bebas dari tekanan struktur kekuasaan di zaman itu. Selanjutnya, Hikayat Siti Mariah (HSM), mengangkat tema tentang kepasrahan seorang nyai. Nyai dalam HSM bernama Siti Mariah. Kepasrahannya itu akhirnya menuai hasil yang membahagiakan di akhir cerita. Ia pasrah dengan keadaan yang memaksanya untuk berpisah dengan

5 Ibid.. 6 Ibid., h. 390. 7 Ibid., h. 391.

46

tuannya yang bernama Henri Dam serta anaknya yang bernama Ari Dam. Seperti yang umum terjadi pada nyai-nyai bahwa ada saatnya mereka harus mau menyingkir dari kehidupan tuannya, begitu pula yang terjadi pada Siti Mariah. Hal itu terlihat dari kutipan berikut. “.... Seorang opsiner piara nyai-nyai itu lumrah. Tapi administratur! Wakil saya sendiri yang besar kuasanya! Tidak patut piara nyai. Mesti buang nyai itu! ...”8 Kutipan di atas disampaikan oleh Nyonya Besar Van Holstein sebagai pemilik pabrik kepada Henri Dam. Ia mencoba membujuk Henri Dam agar membuang nyainya, Siti Mariah, dan menikah dengan perempuan sebangsanya. Siti Mariah pasrah dan rela berpisah dengan suami serta anaknya. Hingga empat belas tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali dalam situasi yang tak terduga seperti yang tergambar dalam kutipan berikut: “.... terimakasih, ya Tuhanku, sudara Siti Mariah, selamat! Kawan Henri Dam, selamat! Ingatlah pada kata-kataku dulu, meski jodoh diputuskan oleh kejahilan manusia, kelak bersatu kembali. Kinilah datang saat untuk bersua kembali. ...”9 Kutipan di atas disampaikan oleh Haji Mukti alias Sondari saat Henri Dam dan Siti Mariah bertemu kembali. Bahkan, mereka bertemu kembali dengan Ari Dam yang sudah tumbuh remaja. Baik Siti Mariah, Henri Dam, maupun Ari Dam telah melalui banyak peristiwa. Namun, kekuatan cinta keluarga mereka yang tentunya atas izin Tuhan berhasil menyatukan mereka kembali. Ketiga cerita di atas, Boenga Roos dari Tjikembang, Hikayat Siti Mariah, dan Tjerita Nji Paina memiliki kesamaaan dari sudut tokoh utama, yaitu seorang nyai. Selain itu, ketiga cerita tersebut lekat dengan unsur pengorbanan yang juga berwujud berbeda-beda. Dalam dua cerita, Boenga Roos dari Tjikembang dan Hikayat Siti Mariah berkorban untuk tuannya

8 Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, (Jakarta: Bintang Timur, 2003), h. 149. 9 Ibid., h. 401.

47

dengan cara menyingkir, sedangkan Tjerita Nji Paina berkorban untuk ayahnya dengan cara bersedia untuk menjadi seorang nyai. 2. Alur Alur secara mudah sering diartikan sebagai jalan cerita. Namun, sebenarnya penyamaan alur sebagai jalan cerita kurang tepat. Alur lebih tepat dimaknai sebagai rangkaian peristiwa yang berisi konflik, klimaks, hingga penyelesaian konflik dan apakah peristiwa-peristiwa tersebut dirangkai secara kronologis atau tidak. Secara kronologis, tahapan peristiwa dalam sebuah cerita ialah penyituasian – pemunculan konflik – peningkatan konflik – klimaks – penyelesaian konflik. Boenga Roos dari Tjikembang (BRdT) menggunakan alur progresif. Artinya, peristiwa-peristiwa dirangkai secara kronologis. Cerita diawali dengan situasi saat Ay Tjeng sedang duduk santai mengamati keindahan Gunung Gede, sedangkan Marsiti sedang membersihkan meja kecil di dekatnya. Kemudian, mereka terlibat dalam sebuah percakapan. Marsiti ada berdiri di deketnja, bersihken satoe medja ketjil di atas mana ada diatoer tekoan dan tjangkir thee dengen bebrapa piring berisi bischuit. Marsiti baroe hendak bertindak ka blakang, aken pergi ka dapoer, tatkala sekoenjoeng-koenjoeng Ay Tjeng berkata: ,,Marih sini, Marsiti, djangan boeroe-boeroe ka dapoer. Marilah doedoek di sablahkoe...”10 Narator membuka cerita dengan penggambaran alam yang menjadi latar cerita BRdT. Melalui penggambaran tersebut, pengarang juga memperkenalkan sosok Ay Tjeng yang begitu mencintai alam. Di saat Ay Tjeng sedang menikmati alam, sosok Marsiti selalu setia menemaninya. Namun, dalam situasi demikian pengarang mulai memunculkan konflik yang berasal dari Marsiti. _,,Sama sekali tida. Tapi saja soedah dapet firasat, jang djoeragan dan saja bakal lekas berpisah.”11 Marsiti menyampaikan kepada Ay Tjeng bahwa dirinya memiliki firasat tentang perpisahan. Firasatnya itu ia dapatkan setelah ia bermimpi

10 Hoay, Op.Cit., h. 5. 11 Ibid., h. 6.

48

tuannya itu meninggalkan dirinya di Kali Cisarua. Konflik tersebut semakin meningkat saat Marsiti pergi dari rumah Ay Tjeng. ,,Djoeragan, njaie teh leumpang.” (njaie pergi). ..Ia pergi ka mana?” tanja Ay Tjeng dengen kaget dan koeatir.12 Kepergian Marsiti tersebut tidak hanya didorong oleh firasat yang ia miliki, tapi juga didorong oleh keinginan ayah Ay Tjeng agar Ay Tjeng bisa menikah dengan perempuan sebangsanya. Ayah Ay Tjeng menganggap keberadaan Marsiti merupakan hambatan bagi Ay Tjeng untuk menikah dengan perempuan lain. Setelah kepergian Marsiti, Ay Tjeng menikah dengan perempuan Tionghoa bernama Gwat Nio hingga dikarunia seorang anak yang dinamai Lily. Gwat Nio melahir satoe anak prampoean jang montok, manis, dan tatkala semingkin besar djadi semingkin loetjoe. Itoe anak dibri nama Hoey Eng alias Lily.13 Namun, ia harus kehilangan lagi. Lily menderita penyakit langka yang akhirnya merenggut nyawanya. Kembali Ay Tjeng merasakan kedukaan dalam hidupnya. Tatkala Ay Tjeng sampe di Buitenzorg, boedjangnja srahken satoe telegram jang baroe sadja dateng, dikirim oleh Bian Koen, boenjinja: ,, Lily meninggal.”14 Sepeninggalan Lily, Ay Tjeng dan Gwat Nio memilih untuk menjauh dari Batavia. Rupa mereka juga nampak sepuluh tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Pandangan hidup Ay Tjeng pun berubah. Segala pekerjaan ia hentikan dan ia hidup dari uang sewaan rumah. Cerita ini diselesaikan dengan berkumpulnya semua tokoh, yaitu Ay Tjeng, Gwat Nio, Bian Koen, Lily 2 alias Roos, serta kedua anak Koen dan Roos. Sabentar lagi Ay Tjeng, Gwat Nio, Bian Koen dan Roos bersama doea anaknja berloetoet pasang hio dan bakar doepa di depan gambarnja

12 Ibid., h. 18. 13 Ibid., h. 21. 14 Ibid., h. 50.

49

Marsiti jang ada ditaro di pertengahan, dan sesoedahnja abis makan minum, iaorang berkoempoel di lataran kebon di bawah terangnja boelan,...”15 Sementara itu, Tjerita Nji Paina (TNP) menggunakan alur progresif. Peristiwa-peristiwa dalam cerita ini dirangkai secara kronologis. Cerita ini bermula saat Tuan Administratur menemui para juru tulis pabrik yang merupakan orang Jawa. Sjahadan toean administratur doedoek di krosinja dan boenjiken ginta ketjil. Ia maoe liat semoea djoroetoelis bangsa Djawa.16 Pertemuan Tuan Administratur dengan para juru tulis pabrik yang merupakan orang Jawa mengakibatkan pertemuan dengan Niti Atmojo. Tuan Administratur akhirnya memberi pekerjaan tambahan kepada Niti untuk memegang uang kas kecil pabrik. Karena pekerjaan tambahan inilah, Niti menjadi lebih sibuk di pabrik. Hingga pada suatu hari Niti menyetorkan uang kas kepada atasannya, Tuan Briot, dalam keadaan kurang dan ia diancam hukuman bui. Mendengar ini, Briot memaki dan menjaoet:,,Kau djoesta, kau sendiri soedah tjoeri itoe oewang. Kau moesti masoek di boei, kaoe moesti dikrakal anem boelan!..... ia lebih dari itoe.”17 Briot mencoba memojokkan Niti dengan ancaman bui. Di balik tindakannya itu Briot mengharapkan sesuatu yang lain, yaitu agar Niti menyerahkan anaknya yang bernama Paina untuk menjadi nyainya. Berkata Toean Briot:,,Di mana Nji Paina? Kaloe kaoe soeka Nji Paina djadi njai koe, nistjaja tiada nanti terdjadi satoe apa atas dirimoe dan semoea oewang itoe kau tiada oesah bajar koembali.18 Melalui kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Briot mencoba membuat sebuah kesepakatan dengan Niti. Niti merasa berat untuk menyampaikan hal itu kepada Nyi Paina. Namun, ia merasa bahwa hanya dengan cara itu ia dibebaskan dari hukuman bui.

15 Ibid., h. 107. 16 Toer, Op.Cit., h. 379. 17 Ibid., h. 387. 18 Ibid., h. 388.

50

Klimaks TNP ialah saat Nyi Paina membuat keputusan untuk menjadi nyai Tuan Briot demi menyelamatkan ayahnya dari hukuman bui. Awalnya, Nyi Paina menolak keras permintaan ayahnya itu. Namun, ia merasa kasihan pada ayahnya dan akhirnya ia bersedia untuk menjadi nyai Tuan Briot. Lama ia doedoek berpikir dan tiada bergerak, tiada bitjara satoe apa. Sasoedahnja, terkoendjoeng-koenjoeng ia bangoen berdiri di depan ajahnja, seperti satoe orang iang memoetoeskan perkara, seraja berkata: ,,Baiklah koe toeroet maoenja toean Briot aken djadi njainja.”19 Di balik keputusan yang diambil oleh Nyi Paina masih tersimpan usaha untuk tidak melakukan keputusan tersebut. Maka, ia mengorbankan dirinya untuk tertular cacar dari anak-anak yang ia peluk di sekitar desa untuk kemudian ia tularkan kepada Briot. Cerita TNP diakhiri dengan meninggalnya Tuan Briot. Beberapa hari setelah Nyi Paina menularkan wabah cacar, Briot meninggal dunia. Hata maka sepoeloeh hari kamoedian, toean Briot kena penjakit tjajar amat sangetnja. Bagimana djoega di obatin, toean Briot tiada djadi semboeh, maka ampat hari kamoedian, orang dapetin toean Briot mati terletak di atas oebin di depan roemahnja dan roepanja ia soedah menanggoeng sangsara besar selama sakitnja itoe.20 Meninggalnya Tuan Briot menjadi pemecah semua konflik dalam TNP. Sebab, setelah itu Nyi Paina dinikahkan dengan seorang hartawan Jawa dan hidup bahagia. Artinya, Niti pun terbebas dari ancaman yang pernah dilontarkan oleh Briot. Pada cerita ketiga, Hikayat Siti Mariah (HSM) digunakan alur progresif. Terdapat beberapa peristiwa masa lalu yang bersifat mundur, tapi sebenarnya peristiwa tersebut hanyalah peristiwa kenangan yang dimunculkan di tengah penceritaan. Secara teknik pengarang merangkai peristiwa secara kronologis. Pengarang mengawali cerita dengan kisah masa kecil Urip alias Siti Mariah. Tokoh yang pertama ditampilkan adalah tokoh

19 Ibid., h. 389. 20 Ibid., h. 391.

51

antagonis, yaitu Wongsodrono yang nampak menentang keberadaan Urip. Ia hendak menyingkirkan Urip dengan membuangnya ke jurang. Namun, niat itu tidak jadi terlaksana. Wongsodrono memilih untuk menjual Urip di pasar “Ih! Hampir diri celaka. Kalau anak ini kubunuh, bisa-bisa akan diseret kepengadilan negeri. Sebaiknya dijual saja. Harganya bisa menutup kerugian lantaran dia. Paling lacur f 25. Buntung berbalik untung.”21 Kutipan di atas disampaikan oleh Wongsodrono yang tersadar saat hendak membuang Urip. Pagi harinya ia pergi ke pasar dan menemui Mandor Joyopranoto beserta istri. Nasib baik Urip dirawat oleh Joyopranoto dan istrinya. Bahkan, Urip diislamkan dan namanya berubah menjadi Siti Mariah. Mariah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Konflik utama muncul ketika Mariah tumbuh dewasa dan bertemu dengan Henri Dam, seorang opsiner pabrik di Sokaraja. Keduanya saling jatuh cinta, namun Joyopranoto tidak menghendaki Mariah untuk dinikahi oleh Henri. Hal itu dikarenakan Henri Dam bukanlah seorang muslim. Berbagai cara dilakukan Joyopranoto untuk memisahkan mereka berdua. “Juragan, ndoro nona kemarin malam jam setengah sepuluh, sewaktu ibunya berada di gedung tuan-besar administratur, dia sedang tidur- tiduran di kamarnya, tiba-tiba juragan mandor bersama tiga orang lelaki masuk ke kamar dan menyumbat mulut nona dengan kain. Setelah tubuhnya diikat lantas digotong ke luar. Setelah dimasukkan ke dalam keranjang gula, dimuat ke dalam pedati terus dibawa ke desa Suren, dekat sini. ...”22 Melalui kutipan di atas, Sarinem menjelaskan kepada Henri apa yang dilakukan oleh Joyopranoto terhadap Mariah. Joyopranoto mencoba memisahkan Mariah dari Henri dengan cara menyembunyikannya di Desa Suren. Peristiwa itu menjadi penanda munculnya konflik utama dalam HSM. Konflik tersebut meningkat saat tokoh-tokoh lain dalam HSM menentangnya, bahkan berusaha lebih keras memisahkan keduanya melalui

21 Mukti, Op.Cit., h. 64. 22 Ibid., h. 134.

52

bantuan ilmu ghaib. Maka, terjadilah Henri Dam berpisah dengan Mariah dan menikahi Nona Lucie. Sebulan kemudian, 19 Mei 1874, Henri Dam, administratur pabrik gula Sokaraja kawin dengan nona Lucie Van Holstein di rumah nyonya-besar, tanpa pesta, sebab Henri Dam belum sembuh total.23 Henri Dam dan Mariah akhirnya berpisah karena adanya campur tangan seorang dukun yang diperintah oleh Nyonya Van Holstein dan anaknya. Sinyo Ari ikut dengan Henri, sedangkan Mariah tinggal bersama kedua orangtuanya dengan diiringi kedukaan. Konflik dalam HSM mencapai klimaks ketika Mariah merasakan kehancuran yang begitu dalam karena anaknya dikabarkan telah meninggal dunia. Sebelumnya, ia masih mampu menahan dukanya karena Henri dan Ari masih baik-baik saja. Namun, kini ia diberitahu bahwa anaknya telah pergi dari dunia ini untuk selama-lamanya. Waginah menubruk Mariah, memeluk dan menciuminya dengan airmata berleleran. Mariah sendiri terduduk tanpa kata. Ia nampak tenang. Matanya tetap bening tidak terselaputi airmata. Dengan senyum tak kentara ia bilang: “Memang tidak kepalang deritaku ini.”24 Mariah merasa penderitaannya tidak tanggung-tanggung datang bertubi-tubi. Kehilangan suami dan anaknya sekaligus. Atas peristiwa itu, ia memutuskan untuk pergi meninggalkan desa. Kedukaannya yang amat besar itu ia tegaskan dalam surat yang ia tulis untuk Henri Dam. Sesungguhnya tanpa kau saya tak bisa hidup lagi. Sekarang saya bingung tak tahu apa-apa, saya hanya tahu, bahwa sekarang saya sedang menuju ke Serayu...25 Melalui petikan surat Mariah di atas, dapat diartikan bahwa Mariah sedang kehilangan arah. Dia pergi tanpa memiliki tujuan yang jelas. Kemudian, hilanglah ia tanpa satu pun orang mengetahuinya.

23 Ibid., h. 164. 24 Ibid., h. 177. 25 Ibid., h. 181.

53

Cerita HSM diselesaikan dengan peristiwa bertemunya kembali Siti Mariah, Henri Dam, Sinyo Ari, Joyopranoto, Waginah, dan Sarinem atas bantuan Haji Mukti alias Sondari. Pertemuan itu digambarkan sangat dramatis. “... Kinilah datang saat untuk bersua kembali. Sudara Mariah dan kawan Henri Dam, inilah jantung hatimu.....Ari! Inilah bapakmu Joyopranoto. Nah, ini ibu Waginah dan Ibu Sarinem. Semua sehat wal’afiat. Ya Tuhanku, sekali lagi terimakasih.”26 Kutipan di atas disampaikan oleh Haji Mukti ketika mempertemukan Mariah, Henri, Ari, Joyopranoto, Waginah, dan Sarinem. Setelah itu, keluarga Dam pindah dan menetap di Brussel. Mereka hidup bahagia dan kembali dikaruniai tiga anak laki-laki. Berdasarkan uraian di atas, ketiga objek penelitian ini menggunakan alur yang sama, yaitu alur maju atau progresif. Di antara ketiga karya, HSM nampak khas dengan penambahan beberapa peristiwa kenangan dalam penyusunan ceritanya.

3. Tokoh dan Penokohan Rangkaian peristiwa yang disusun oleh pengarang digerakkan oleh para tokoh dalam cerita. Tokoh-tokoh tersebut berkonflik baik secara internal maupun eksternal. Bagaimana kemudian tokoh tersebut bereaksi atau merespons peristiwa yang dialami oleh dirinya maupun tokoh lain, itulah yang disebut penokohan. Dalam BRdT tokoh utamanya adalah Marsiti dan Ay Tjeng. Tokoh- tokoh lain memiliki peran sebagai tokoh tambahan, seperti Gwat Nio, Tirto, Oh Pin Lo, Liok Keng Djim, Lily, Bian Koen, Sim Tjon Hoe, Roosminah, dan Bapa Oesman. Namun, untuk kepentingan analisis pembahasan hanya fokus pada tokoh Marsiti, Ay Tjeng, dan Gwat Nio. a. Marsiti Marsiti merupakan tokoh utama dalam BRdT meskipun keberadaannya tidak utuh dari awal hingga akhir cerita. Marsiti

26 Ibid., h. 401.

54

digambarkan sebagai sosok yang cantik, pemalu, sederhana, dan baik. Penggambaran Marsiti kebanyakan disampaikan oleh tokoh lain, salah satunya disampaikan oleh Gwat Nio seperti berikut. _,,Akoe taoe lebih banjak lagi. Akoe kenal roepanja Marsiti, jang haroes djoega dibilang tjantik, koelitnja poetih koening, badannja tinggi koeroes, lehernja djoendjang, ramboetnja gomplok pata majang dan di atasan djidat ada sedikit rintik, djanggoetnja tiroes, moeloetnja ketjil, idoengnja bangir, matanja bersorot aloes, alisnja sedikit kereng dan di djidatnja, jang sedikit lebar ada satoe tanda tjodet di atasan alis. Betoel atawa tida?”27 Penggambaran fisik Marsiti disampaikan oleh Gwat Nio secara detil melalui kutipan di atas. Marsiti cantik dengan kulitnya yang kuning, badan tinggi kurus, dagunya tirus, mulutnya kecil, hidungnya mancung, alisnya tebal, dan ada satu tanda di atas alisnya. Ay Tjeng sedikit membandingkan Marsiti dengan Gwat Nio dan memang benar bahwa Marsiti memiliki kulit kuning langsat. ,, ... Orang loear tida ada jang liat itoe persama’an, kerna Gwat Nio berkoelit poetih, Marsiti koening langsap; ...”28 Pernyataan Ay Tjeng di atas disampaikan ketika ia sedang membandingkan Marsiti dengan Gwat Nio di hadapan Gwat Nio dan ayah mertuanya. Ay Tjeng menggambarkan bahwa Marsiti memiliki kulit kuning langsat. Pada saat itu juga terbongkar rahasia yang menerangkan bahwa Marsiti dan Gwat Nio merupakan saudara satu ayah berbeda ibu. Ibu Marsiti merupakan nyai dari ayah Gwat Nio. Sebagai anak seorang nyai, Marsiti kebetulan mengulang kembali nasib ibunya. Ia tidak mendapatkan tempat yang layak bersama ayahnya. Hingga akhirnya ia menjadi seorang nyai sejak ia gadis. ,,Owe ambil njaie padanja waktoe ia masih prawan, ...”

27 Hoay, Op.Cit., h. 23. 28 Ibid., h. 30.

55

Narator menggambarkan Marsiti secara sosiologis sebagai seorang nyai yang dipiara orang Tionghoa. Pada intinya, Marsiti sudah menjadi nyai Ay Tjeng sejak masih gadis. Meskipun tidak semuanya, perempuan yang diambil untuk dijadikan nyai biasanya berasal dari keluarga yang berstatus sosial rendah dan tidak mampu secara ekonomi. Hal itu didukung dengan kutipan berikut. Dan maskipoen Marsiti ada satoe prampoean Soenda pagoenongan jang tida terpladjar, ...29 Narator menggambarkan bahwa Marsiti merupakan perempuan yang tidak terpelajar. Ia tidak mengenyam pendidikan selayaknya. Status sosialnya yang rendah menjadi alasan ia tidak memiliki hak untuk itu. Gwat Nio juga menerangkan Marsiti secara psikologisnya bahwa Marsiti merupakan sosok yang sederhana. _,,... Marsiti tida soeka berdandan bagoes dan rebo, barang perhiasan jang ia pake semoea dari perak. Setiap hari ia tjoemah pake satoe tjintjin blah rotan dan gelang rante disepoe emas, penitinja dari boeroeng-boeroengan,...”30 Melalui kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Marsiti merupakan perempuan yang tidak royal. Meskipun dirinya sudah menjadi nyai Ay Tjeng selama kurang lebih tiga tahun, ia tetap pada tabiatnya yang tidak berlebihan dalam berhias diri. Nampaknya, Marsiti merupakan tokoh yang sederhana karena perwatakannya yang cenderung selalu mengarah kepada satu sikap, yaitu baik. ,,soenggoe kaoe poenja hati ada dari emas toelen jang semingkin dioedji, semingkin ternjata moelianja.”31 Penggambaran Marsiti oleh Ay Tjeng menunjukkan betapa mulia hati Marsiti. Bahkan, Ay Tjeng menyamakan hati Marsiti dengan emas.

29 Ibid., h. 4. 30 Ibid., h. 23. 31 Ibid., h. 13.

56

b. Ay Tjeng Ay Tjeng dalam BRdT merupakan tokoh utama yang memiliki interaksi paling lekat dengan tokoh utama perempuan. Posisi Ay Tjeng ialah tuan dari Marsiti. Ay Tjeng digambarkan sebagai sosok yang dewasa, berstatus sosial tinggi, pemilih, berhati baik, giat, dan bertanggungjawab. Penggambaran Ay Tjeng dilakukan baik secara deskriptif oleh narator, maupun melalui tuturan tokoh lain. Maskipoen oesianja soedah tiga poeloe taon, Ay Tjeng masih blon dan tida ada ingetan aken menikah. Ia ada kenal pada bebrapa gadis jang pinter dan eilok pada waktoe ia masih sekola, bersama siapa, tatkala ajahnja masih djadi saorang hartawan besar dan ternama di Soekaboemi.32 Melalui kutipan di atas, narator menggambarkan sosok Ay Tjeng secara fisiologis sebagai pria dewasa berumur 30-an. Di usianya tersebut, Ay Tjeng dinilai sudah seharusnya beristri. Melalui kutipan di atas pula, narator menggambarkan Ay Tjeng secara sosiologis bahwa ia berasal dari keluarga hartawan dan memiliki hak istimewa karena status sosialnya yang tinggi, seperti hak untuk mengenyam pendidikan. Saat dewasa pun ia diangkat menjadi administratur perkebunan. Sebagai seorang administratur, Ay Tjeng memilih untuk mengambil nyai sebelum ia menikah. Nyai yang ia ambil ialah seorang perempuan Sunda yang tinggal di pegunungan. Secara psikologis, Ay Tjeng memiliki karakter mudah bersyukur. Sebab, baginya kehadiran Marsiti sudah cukup dalam kehidupannya. Ia tida ada pikiran boeat menikah, boekan sadja sebab merasa kakoeatan blon tjoekoep, tapi djoega ia koeatir nanti dapet satoe istri jang tida tjotjok pikiran boeat tinggal teroes-meneroes di

32 Ibid., h. 3-4.

57

itoe tanah pagoenoengan jang soenji, djaoe dari segala keramean dan kasenangan.33 Sosok Marsiti yang selama tiga tahun telah mendampinginya sudah dirasa cukup. Meskipun pada akhirnya Ay Tjeng tetap menikah dengan perempuan sebangsanya yang bernama Gwat Nio atas desakan sang ayah. Selain itu, ia dikenal giat dan bertanggung jawab dalam melakukan tugasnya. Setelah menikah dengan Gwat Nio, Ay Tjeng dipercaya untuk memimpin perusahaan ayah mertuanya. Nama Ay Tjeng pun semakin dikenal di kalangan saudagar besar karena pekerjaannya yang bagus. ..., dan tatkala orang dapet liat Ay Tjeng ada giat dan soeka lakoeken kawadjibannja dengen soenggoe hati, boekan tjoemah boeat oikoel nama sabagimana laen-laen orang, sigrah djoega orang mendesak lebih djaoe lagi dengen angkat padanja djadi president dari bebrapa pakoempoelan, dan achirnja dateng boedjoekan boeat djadi...officier Tionghoa, ...34 Ay Tjeng merupakan tokoh berkembang. Hal itu dipengaruhi karena perubahan nasib yang terjadi pada dirinya. Pemandangannja Ay Tjeng tentang penghidoepan poen djadi berbeda djaoe. Pergaoelan satjara biasa, jang ditoedjoeken boeat dapet nama, pengaroeh dan kapoedjian, ia tida inginken lagi. Nafsoenja aken bekerdja mentjari oeaang poen djadi linjap...35 Setelah kematian anaknya, Lily, Ay Tjeng mulai tertarik dengan ajaran ketuhanan. Hal itu diiringi dengan perubahan pandangan hidup Ay Tjeng. Karakter Ay Tjeng yang dikenal sebagai orang yang giat bekerja pun berubah. Satu per satu, ia mulai melepaskan urusan duniawi. c. Gwat Nio Gwat Nio merupakan tokoh tambahan dalam BRdT yang digambarkan sebagai tokoh yang sederhana dan statis. Ia merupakan

33 Ibid.. 34 Ibid., h. 34. 35 Ibid., h. 53.

58

gadis Tionghoa yang dijodohkan dengan Ay Tjeng. Gwat Nio digambarkan memiliki kulit putih, tabiatnya mirip dengan Marsiti, cantik, berstatus sosial tinggi, terpelajar, baik, lembut, hormat pada suami, dan berhati besar. Oerang loear tida ada jang liat itoe persama’an kerna Gwat Nio berkoelit poetih, Marsiti koening langsap; ...”36 Kutipan di atas diucapkan oleh Ay Tjeng saat sedang membandingkan Gwat Nio dengan Marsiti. Ay Tjeng mengatakan bahwa orang-orang tidak akan menyadari banyak persamaan antara Marsiti dengan Gwat Nio karena gambaran fisik mereka yang berbeda. Gwat Nio berkulit putih, sedangkan Marsiti berkulit kuning langsat. Gwat Nio juga digambarkan sebagai sosok perempuan yang cantik melalui penyampaian tokoh lain, yaitu ayah Ay Tjeng...... Dan itoe Nona Gwat Nio boekan sadja mempoenjai warisan besar, tapi djoega ada satoe gadis jang tjantik, terpladjar dan baek kalakoeannja, hingga ada poeloean anak moeda poetranja orang-orang hartawan dan ternama dari mana-mana tempat soedah dateng melamar, tapi itoe semoea ditolak oleh ajahnja, ...”37 Kutipan di atas menggambarkan Gwat Nio secara fisiologis sebagai sosok perempuan yang cantik. Kutipan di atas juga mendeskripsikan gambaran Gwat Nio secara sosiologis. Gwat Nio berasal dari keluarga yang berada di tingkat sosial tinggi. Maka dari itu, ia memiliki hak untuk mengenyam pendidikan, sehingga Gwat Nio tergolong gadis yang terpelajar. Namun, dengan status sosialnya yang tinggi tidak menjadikan dirinya tinggi hati, ia justru unggul dengan sikapnya yang mampu berbesar hati ketika ia mengetahui suaminya masih menyayangi mantan nyainya, yaitu Marsiti.

36 Ibid., h. 30. 37 Ibid., h. 10.

59

_,,Tapi apakah kaoe tida merasa koeatir kaloe Marsiti dapet ditjari akoe nanti tida perdoeli lagi padamoe?” _,,Tida, sebab akoe taoe betoel kaoe tida nanti bisa ketarik pada laen prampoean sabagitoe lama akoe oendjoek katjinta’an jang toeloes dan soetji padamoe. ...”38 Narator menggambarkan Gwat Nio secara psikologis sebagai perempuan yang mampu berbesar hati. Ay Tjeng menanyakan tentang kekhawatiran Gwat Nio bila Marsiti kembali suatu hari nanti dan ia mengabaikan Gwat. Namun, dengan tenang dan yakin Gwat menjawab bahwa dirinya tidak khawatir karena ia yakin Ay Tjeng tidak akan mengkhianati ketulusannya.. Hal itu menunjukkan Gwat Nio yang sangat berbesar hati menerima keadaan suaminya. Setelah Gwat Nio menjadi istrinya, Ay Tjeng semakin mengenali sifatnya yang hormat kepada dirinya. Ay Tjeng selalu mendapati istrinya itu sedang menunggu dirinya pulang. Gwat tidak berani untuk tidur mendahului Ay Tjeng. ..., tapi banjak kalih Ay Tjeng dapatken, waktoe ia poelang dari bepergian sampe djaoe malem, iapoenja istri tida brani tidoer, hanja toenggoein datengnja.39 Tabiat Gwat Nio memang sudah halus dari awalnya. Bahkan, Ay Tjeng sering merasa dirinya melihat sosok Marsiti dalam diri Gwat Nio. Banyak hal yang dirasakan oleh Ay Tjeng bahwa kedua perempuan itu sangat mirip. Dalam TNP tokoh utamanya adalah Nyi Paina. Tokoh-tokoh lain memiliki peran sebagai tokoh tambahan, seperti Niti Atmodjo, Tuan Briot, dan Tuan Administratur. Namun, untuk kepentingan analisis pembahasan hanya fokus pada tokoh Niti, Nyi Paina, dan Tuan Briot. a. Niti Atmodjo Niti Atmodjo merupakan tokoh tambahan dalam TNP sebagai tokoh yang sederhana dan statis. Pengarang membuka cerita TNP

38 Ibid., h. 25. 39 Ibid., h. 21.

60

melalui penceritaan kehidupan pribadi Niti. Niti merupakan ayah Nyi Paina. Niti digambarkan sebagai orang Jawa yang sudah tidak muda, pandai, telaten, cukup dihormati oleh orang sebangsanya. Penggambaran karakternya dideskripsikan secara langsung oleh narator. Maka lantas datenglah sa-orang Djawa, iang tiada moeda lagi dan iang berdjalan di dalem pekarangan fabriek, teroes djongkok dengan hormat di depan pintoe dan koetika di prentah masoek ia masoek dengan manggoet serta bertindak iang amat pantesnja ...40 Melalui kutipan di atas, narator menggambarkan Niti secara fisiologis sebagai orang Jawa yang sudah tidak muda lagi. Kutipan di atas juga menggambarkan Niti secara sosiologis. Meskipun telah berhasil masuk dalam lingkungan pabrik sebagai juru tulis pabrik, ia tetap dipandang rendah dan harus menghormati orang Eropa dengan sikap berjalan jongkok dan penuh rendah diri. Status sosial merupakan ukuran seseorang untuk dihormati. Narator juga menggambarkan Niti secara psikologis sebagai orang yang pandai. Niti pandai mengatasi segala permasalahan dalam pekerjaannya. Niti bisa mengoendjoek di atas segala kalakoean, maka sering kali kaniatan djahat bisa di tjegah olehnja. Apa lagi kaloe ada katjoerian atau lain perboeatan djahat, maka Niti lantas bisa dapet oendjoek si pendjahat dengan menerangkan salahnja.41 Melalui kutipan di atas narator menggambarkan penokohan Niti yang pandai. Ia dapat menyelesaikan, bahkan mencegah kejahatan- kejahatan terkait pabrik. Karakter lain yang dimiliki Niti ialah telaten yang dideskripsikan secara langsung oleh narator. Dengan telaten ia simpen oewang itoe di dalem satoe trommol ketjil iang ada slot tergantoeng. Dari sebab iboek dan riboet membajar orang, ia tiada bisa kerdjaken boekoe boekoenja

40 Toer, Op.Cit., h. 379. 41 Ibid., h. 378.

61

sampe satjokoepnja sebagimana biasanja, maka sahingga djem poekoel sembilan malem Niti tinggal kerdja di kantor.42 Karakter Niti memang sejak awal telaten, maka setelah mendapat pekerjaan tambahan pun ia kerjakan dengan sungguh- sungguh dan penuh tanggung jawab. Ia memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya hingga larut malam di kantor. b. Nyi Paina Tokoh utama dalam TNP adalah Nyi Paina. Keberadaannya sudah dikisahkan sejak awal cerita melalui kehidupan pribadi Niti Atmodjo meskipun masih samar-samar. Nyi Paina digambarkan sebagai sosok yang sangat cantik, cukup disegani, dan pemberani. Penggambaran tersebut digambarkan baik melalui pemikiran dan perasaan tokoh lain maupun tokoh itu sendiri. Kerna Nji Paina amat tjantiknja, koelitnja langsep dan ramboetnja patah majang, teroerei di tioep angin, maka toean Briot lantas djatoh birahi, ...43 Penggambaran fisik Nyi Paina yang diungkapkan melalui pemikiran dan sikap tokoh Briot menunjukkan bahwa Nyi Paina sangat cantik. Ia memiliki kulit langsat, rambut mayang atau ikal dan terurai. Melalui penyebutan “Nyi” di depan nama Paina, pengarang telah menggambarkan sosok Nyi Paina secara sosial. Sebab, tidak semua perempuan pribumi mendapat sebutan “Nyi” di depan namanya seperti yang didapat oleh Nyi Paina. Hal itu bisa saja disebabkan karena ia telah menikah dengan seorang mantri/hartawan Jawa. Maka menoeroet adat bangsa Djawa, kadoea anak ini koetika masih ketjil soedah di kasih nikah, satoe sama poetranja mantri oeloe oeloe, dan iang lain sama poetranja saorang Djawa hartawan iang ada poenja banjak sawah dan hewan.44

42 Ibid., h. 381. 43 Ibid., h. 382. 44 Ibid., h. 378.

62

Nyi Paina dan saudaranya sudah dinikahkan dengan lelaki pilihan orang tuanya. Pilihan kedua orang tuanya pun merupakan lelaki yang memiliki status sosial tinggi, yaitu mantri dan hartawan. Setelah menikah, berarti status sosial Paina naik sebagai istri seorang hartawan/mantri. Maka, gelar “Nyi” pun ia dapatkan di depan namanya. Selain itu, narator menggambarkan Nyi Paina secara psikologis sebagai perempuan yang berani. Ia berani mengabaikan Tuan Briot yang merupakan atasan ayahnya karena ia tahu Tuan Briot telah menyulitkan ayahnya dalam pekerjaan. Koetika toean Briot membesarken langkahnja dan mengawasi padanja, dengen moeka keren seraja berdjalan di sampingnja ampir kasenggol, Nji Paina itoe bikin seperti tiada melihat padanja.45 Sejak awal ia memang tidak menyukai Tuan Briot karena ia sudah tahu bagaimana perlakuannya terhadap ayahnya di kantor. Keberanian Nyi Paina dalam mengambil sikap juga ditunjukkan dalam kutipan berikut. Maka Nji Paina soedah tetapken atinja aken bikin mati toean Briot dengan djalan iang sedemikian.46 Melalui kutipan di atas, narator hendak menguatkan karakter berani yang dilekatkan pada Nyi Paina. Meskipun ia sudah menuruti kemauan ayahnya untuk bersedia menjadi nyai Tuan Briot, ia tetap berusaha mencari cara agar keluar dari keadaan itu. Akhirnya, ia memutuskan suatu rencana untuk lepas dari situasi yang menjebaknya itu. Dari beberapa penggambaran karakter Nyi Paina, dapat diketahui bahwa Nyi Paina merupakan tokoh berkembang. Penokohan yang melekat pada dirinya cenderung berubah ketika ia

45 Ibid., h. 383. 46 Ibid., h. 390.

63

harus mempertimbangkan nasib ayahnya. Namun, ia kemudian tetap menunjukkan bentuk perlawanannya. c. Tuan Briot Tuan Briot merupakan tokoh tambahan dalam TNP. Peranannya ialah sebagai tokoh antagonis. Ia merupakan penyebab adanya konflik dan ketegangan dalam TNP. Tuan Briot digambarkan sebagai juru pegang buku, berbadan besar, dan kasar. Penggambaran penokohan Briot dilakukan oleh narator secara deskriptif. Tiada lama, datenglah satoe toean iang tegap badannja dan moekanja bengis bolong, tiada disoekai orang, serta ramboetnja ada amat kasar, maka toean ini berdiri di hadepan administrateur bebrapa lamanja.47 Penggambaran fisik Briot yang disampaikan oleh narator menunjukkan bahwa Briot merupakan sosok yang berbadan besar dan mukanya bengis. Karena fisiknya yang demikian menyebabkan dirinya juga tidak disukai orang-orang sekitar dan dijuluki dengan sebutan celeng. Hal itu merupakan penggambaran psikologis Briot di mata masyarakat sekitar. Anak-anak itoe lantas bertreak “tjeleng tjeleng”, dan nama tjeleng ini soedah di briken pada toean Briot.48 Tuan Briot diberi julukan celeng. Celeng atau babi hutan merupakan binatang yang memiliki konotasi negatif. Babi hutan dikenal sebagai binatang yang kotor, suka berkubang dalam lumpur, dan suara saat ia mengendus menunjukkan kerakusannya. Maka, bila Tuan Briot disamakan dengan celeng tersebut, dapat dipastikan label yang melekat padanya menyerupai binatang tersebut. Melalui penyebutan “Tuan” di depan nama Briot, pengarang telah menggambarkan sosok Tuan Briot secara sosial. Ia merupakan orang yang memiliki jabatan cukup penting di pabrik, yaitu sebagai juru pegang buku yang posisinya berada di atas Niti.

47 Ibid., h. 380. 48 Ibid., h. 384.

64

Dalam HSM tokoh utamanya adalah Urip alias Siti Mariah. Tokoh-tokoh lain memiliki peran sebagai tokoh tambahan, seperti Sarinem, Wongsodrono, Joyopronoto, Waginah, Henri Dam, Sondari, Nona Lucy, Nyonya Van Holstein, Ari Dam, dan sebagainya. Namun, untuk kepentingan analisis pembahasan hanya fokus pada tokoh Siti Mariah, Henri Dam, dan Sondari. a. Urip/Siti Mariah Tokoh utama dalam HSM adalah Urip alias Siti Mariah. Sebagai tokoh utama, ia digambarkan sebagai tokoh bulat. Beberapa kali ia berganti identitas. Sejak kecil narator menggambarkan Urip sebagai seorang anak yang cantik. Si Urip sendiri tumbuh menjadi cantik, berkulit bersih, kuning langsat. Ia dirawat seperti puteri raja. Minum susu sesukanya. Sering dibawa ke gudang tuan kuasa pabrik. Tuan dan nyonya mengatakan “mooi kind”, kita bilang “anak cantik”.49 Penggambaran fisik Urip di atas dilakukan secara deskriptif oleh narator. Ia dirawat dengan sangat baik oleh Joyopranoto dan Waginah. Bertubuh sehat karena diberi susu. Urip digambarkan sebagai anak yang cantik. Ia memiliki kulit bersih berwarna kuning langsat. Kecantikannya itu mengiringi tumbuh kembangnya. Siti Mariah, yang berumur 12, duduk mendampingi bapaknya, berkebaya putih, sarung batik Banyumas, berkalung dan bergelang emas, bersubang dan bercincin berlian, bersunting kembang mawar merah. Ia kembang Sokaraja, boleh dikata bintang Banyumas.50 Setelah diislamkan, Urip berganti nama menjadi Siti Mariah. Narator kembali menggambarkan fisik Mariah secara deskriptif. Mariah disebut sebagai “kembang Sokaraja” yang berarti ia memiliki paras secantik bunga dan menjadi “bintang Banyumas” yang artinya ia diumpamakan sebagai sesuatu yang bersinar di Banyumas.

49 Mukti, Op.Cit., h. 89. 50 Ibid., h. 94.

65

Kutipan di atas juga menggambarkan Mariah secara sosial. Benda-benda yang digunakannya, seperti kebaya putih, kalung emas, gelang emas, cincin berlian menunjukkan bahwa Mariah bukan seorang gadis biasa. Ia dibesarkan dalam dalam keluarga pribumi yang memiliki status sosial menengah. Selain itu, Mariah bisa bergaul dengan anak-anak Belanda seusianya, seperti Nona Lucy dan Sondari. Sikapnya yang mudah beradaptasi dengan anak-anak Belanda diduga karena Mariah merupakan keturunan Indo. Ibu kandungnya merupakan nyai dari seorang kontrolir. “... Pantas serupa benar Mariah dengan sinyo Sondari. Dasar memang bersudara. Aneh, yang memberi nama Siti Mariah tak lain dari tuan Jen Elout sendiri. Dia tak tahu itu anaknya sendiri. ...”51 Kutipan di atas digambarkan melalui ucapan tokoh Waginah yang merupakan ibu angkat Mariah. berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Mariah merupakan anak dari Tuan Jen Alout yang juga merupakan ayah dari Sondari. Artinya, Sondari dan Urip berdarah campuran atau disebut sebagai anak Indo. Sebagai anak Indo, keduanya sama sekali tidak menerima stereotip dari orang- orang di sekitarnya. Darah campuran Mariah kemungkinan yang memengaruhi cara bergaul Mariah. Meskipun ia dibesarkan dalam keluarga pribumi, ia mudah bergaul dengan anak-anak Belanda lainnya. Sebagai tokoh protagonis dalam HSM, Mariah juga digambarkan secara psikologis. Ia memiliki karakter yang tabah dalam menghadapi deritanya. Siti Mariah sudah menduga akan ada onar besar dan ia bakal menderita. Tapi ia tetap berbesar hati, menyerahkan semua pada Yang Maha Kuasa, dan percaya sama jantung hatinya karena merasa telah terbalas cintanya.52

51 Ibid., h. 101. 52 Ibid., h. 129.

66

Narator menggambarkan penokohan Mariah melalui sikap yang dilakukan Mariah atas keadaannya. Ia sadar bahwa rasa cinta yang dimilikinya kepada Henri Dam akan ditentang oleh ayahnya. Namun, ia tetap tabah, berbesar hati, dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Namun, Mariah sempat mencapai puncak ketabahannya. Ia memutuskan untuk pergi dari penderitaannya dan menghilang dari Sokaraja, yaitu saat ia dikabarkan bahwa Sinyo Ari meninggal. Sesungguhnya tanpa kau saya tak bisa hidup lagi. Sekarang saya bingung tak tahu apa-apa, saya hanya tahu, bahwa sekarang saya sedang menuju ke Serayu...53 Kutipan di atas merupakan potongan surat yang ditulis oleh Mariah kepada Henri Dam saat ia pergi meninggalkan Sokaraja tanpa diketahui siapa pun. Ketika ia harus menerima bahwa Henri Dam dan Sinyo Ari direbut darinya, ia masih bersyukur karena setidaknya ia tahu kedua kesayangannya itu baik-baik saja. Namun, saat Sinyo Ari dikabarkan meninggal, ia merasa sudah tidak ada harapan lagi dengan Henri Dam. Ia pergi dari penderitaannya itu. Meski demikian, sikapnya itu termasuk berani. Ia berani memilih jalan hidupnya yang baru tanpa sanak saudara di Sokaraja. b. Henri Dam Henri Dam merupakan tokoh tambahan dalam HSM. Sebagai tokoh tambahan, narator menggambarkannya sebagai tokoh yang sederhana dan statis. Pada awalnya, narator memperkenalkan Henri Dam sebagai sahabat Sondari yang menggantikannya mengisi posisi opsiner di Pabrik Sokaraja yang pada awalnya ditawarkan pada Sondari. Henri Dam digambarkan memiliki wajah Belanda totok, miskin, pekerja keras, rajin, beradat santri, menghargai makna cinta, sabar, dan tawakal. Henri Dam berwajah manis, mirip anak gadis, totok, miskin. Orang tuanya sudah lama meninggal. Kini ia dipungut dan

53Ibid., h. 181.

67

tinggal bersama keluarga Buten, yang berumah di Salemba, disebelah nyonya Van Holstein.54 Penggambaran fisik Henri Dam di atas dilakukan oleh narator secara deskripstif. Henri Dam digambarkan memiliki wajah manis seperti anak gadis, Belanda totok. Melalui kutipan di atas, narator juga menggambarkan Henri Dam secara sosiologis. Narator menyebut Henri Dam miskin karena orang tuanya sudah lama meninggal. Namun, setelah itu ia dipungut oleh keluarga Buten. Penggambaran fisik Henri Dam juga dilakukan oleh tokoh lain, yaitu oleh Tuan Administratur. Melalui pandangan Tuan Administratur dapat diketahui bahwa Henri Dam memiliki wajah totok, pipi merah, badan kecil kurus, berambut hitam, dan halus wajahnya. Rupanya yang demikian memunculkan rasa keraguan di kalangan pegawai pabrik Sokaraja. Henri Dam dianggap tidak pantas melakukan pekerjaan-pekerjaan berat yang banyak menguras tenaga. Hal itu memang sesuai pada kenyataan di lapangan. Henri Dam sering merasa pusing bila terkena panas dan kelelahan bila berjalan jauh. Namun, Henri Dam meminta waktu untuk dirinya beradaptasi dengan hal itu. Sebentar-sebentar ia jatuh sakit. Selalu menghadap dokter. Sampai dokter lapor pada tuan administratur, Henri Dam tak bisa kerja berat di kebun. Sebaiknya diberi pekerjaan kantor saja, membantu penata buku. Tapi Henri Dam minta agar orang bersabar, karena Paris juga tak terbangun dalam sehari.55 Melalui kutipan di atas digambarkan psikologis Henri Dam sebagai seorang pekerja keras. Ia tidak menyerah dan mengikuti begitu saja saran orang-orang sekitarnya untuk berhenti dari pekerjaannya itu. Pada akhirnya, ia berhasil menyesuaikan diri dan

54 Ibid., h. 111. 55 Ibid., h. 115.

68

menyelesaikan semua pekerjaan di pabrik yang dibebankan kepadanya. Penokohan lain yang dimiliki Henri Dam adalah ia rajin dan agamis. Hal itu dibuktikan melalui kutipan berikut. Ia seorang yang rajin, beradat santri, masih bersih, jauh dari godaan nafsu, berfikiran tajam, berhati lembut dan sabar.56 Penokohan Henri Dam di atas disampaikan oleh narator secara deskriptif. Itu disampaikan bersamaan saat memperkenalkan identitas Henri Dam sebagai sahabat Sondari. Ia merupakan orang yang agamis dan rajin. Hal itu terbukti saat ia sudah 4 bulan bekerja di Pabrik Sokaraja. Pagi-pagi setengah enam ia sudah naik kuda pergi ke kebun tebu dalam iringan Joyopranoto. Ia sudah mulai mengurus tebu potongan yang harus segera dibawa ke pabrik. Ia pulang sore hari. Malam menjaga pabrik kalau mendapat giliran. Tidur sebentar. Paginya sudah di kebun lagi. Di waktu sore ia tidak suka minum-minuman keras. Tidak main top. Tidak main perempuan.57 Kutipan di atas menguraikan kegiatan yang dilakukan oleh Henri Dam. Di pagi hari ia sudah berkuda menuju kebun tebu. Ia juga tidak minum minuman keras dan tidak main perempuan seperti yang biasa dilakukan oleh para pria lajang pada umumnya. Karakternya yang baik itu tidak hanya mengenai tabiatnya, tapi juga mengenai pandangannya mengenai percintaan. Ia benar-benar menghargai makna cinta. Ia akan hidup bersama Mariah sampai mati. Hidup manis, rukun tak terpisahkan. Itu yang ia pinta, ia harap. Itu saja sudah cukup, sudah untung besar. Nanti sesudah berumur 23, terlepas dari kekuasaan wali, Mariah akan dikawini. Tak bakal ia buang dia untuk mengawini nona Belanda. Cintanya cuma satu, sampai mati, tak bisa diganti.58

56 Ibid., h. 111. 57 Ibid., h. 115. 58 Ibid., h. 123.

69

Narator menggambarkan penokohan Henri Dam melalui pemikiran tokoh lain. Kutipan di atas merupakan pemikiran di atas setelah Tuan Administratur mendorongnya untuk memelihara nyai sementara dan bila sudah saatnya meninggalkan nyai tersebut untuk mengawini perempuan sebangsa dengannya. Namun, Henri Dam tidak sependapat dengan hal itu. Cinta dalam prinsipnya ialah hanya untuk satu orang. Pada saat itu ialah Siti Mariah. Maka, ia menyusun rencana untuk tinggal dengan Mariah dan menikahinya di usia 23 tahun. Prinsipnya itu terus ia pegang, bahkan saat ia diminta untuk meninggalkan Mariah. “... Seribu kali lebih suka melarat tapi penuh cinta daripada hidup kaya-raya dengan hati remuk-redam. Begitulah pertimbangan saya, tuan administratur. Boleh tuan kabarkan pada nyonya-besar Van Holstein. Masa bodoh apa yang akan terjadi. ...”59 Penokohan Henri Dam juga digambarkan melalui ucapan tokoh itu sendiri. Seperti kutipan di atas yang menggambarkan Henri Dam sebagai seorang yang setia. Nyonya Van Holstein meminta Henri Dam untuk membuang nyainya dan segera menikah dengan wanita sebangsanya yang dapat mendatangkan rezeki lebih banyak. Namun, Henri Dam mengatakan bahwa dirinya lebih baik tak berharta daripada tak memiliki cinta. Cinta dan setianya kepada Mariah begitu besar. c. Sondari/Haji Mukti Sondari merupakan tokoh tambahan yang memiliki peranan penting dalam pemecahan konflik dalam HSM. Penokohannya tergolong statis dari awal hingga akhir cerita. Sondari dan Urip sudah berteman sejak kecil. Penggambaran fisik Sondari digambarkan oleh narator secara deskriptif.

59 Ibid., h. 151.

70

Sondari dan Urip nampak seperti pinang dibelah dua. Cuma Sondari berkulit putih, Urip kuning langsat.60 Melalui kutipan di atas, narator menggambarkan Sondari secara fisik. Ia memiliki rupa yang mirip dengan Urip. Mereka disebut mirip seperti saudara kandung. Hanya saja Sondari memiliki kulit berwarna putih, sedangkan Urip kuning langsat. Dugaan para tokoh dalam HSM memang benar bahwa Sondari dan Urip bersaudara. “... Pantas serupa benar Mariah dengan sinyo Sondari. Dasar memang bersudara. Aneh, yang memberi nama Siti Mariah tak lain dari tuan Jen Elout sendiri. Dia tak tahu itu anaknya sendiri. ...”61 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sondari dan Urip merupakan saudara kandung. Keduanya merupakan anak dari Tuan Jen Elout, namun beribukan wanita pribumi yang berbeda. Artinya, Sondari dan Urip berdarah campuran atau disebut sebagai anak Indo. Sebagai anak Indo, keduanya sama sekali tidak menerima stereotip dari orang-orang di sekitarnya. Narator menggambarkan psikologis Sondari sebagai orang yang sederhana dan mandiri. Sondari juga merupakan orang yang berhati teguh. “Zoo, zoo, Sondari sama hati dan adatnya dengan papa Lucie almarhum. Kau memang berhati teguh. Itu pantas dipuji. Berjiwa besar. Ulet mencapai idaman. Tidak mengukti putaran angin. ...”62 Melalui ucapan tokoh lain, Nyonya van Holstein, Sondari digambarkan sebagai seseorang yang berhati teguh, berjiwa besar, ulet, dan tidak mudah digoyangkan. Nyonya van Holstein juga menyamakan sifat Sondari yang demikian dengan almarhum suaminya yang juga berhati teguh.

60 Ibid., h. 90. 61 Ibid., h. 101. 62 Ibid., h. 107.

71

4. Latar Latar merupakan hal-hal yang menjadi panggung sebuah cerita. Tidak hanya menyangkut tempat, waktu, dan suasana semata, tapi juga dapat dilihat dari suasana yang berkaitan dengan sikap masyarakat dalam menghadapi suatu problema. a. Latar Tempat Latar tempat merupakan unsur yang akan menjawab pertanyaan di mana sebuah peristiwa itu terjadi. Beberapa latar memiliki fungsi yang menonjolkan fungsinya, tapi sebagian lainnya bisa saja hanya sebagai pijakan tanpa memberi tekanan yang begitu penting dalam sebuah cerita. Boenga Roos dari Tjikembang (BRdT) latar tempat fungsionalnya di Preanger, Batavia, dan Cikembang, sedangkan latar tempat tipikalnya di kebun sayuran, di kamar, dan sebagainya. Cerita bermula di Preanger (bagian ujung wilayah Jawa Barat) yang menjadi daerah kediaman Ay Tjeng. Dalam boelan Januari antero tanah-tanah pagoenoengan di Preanger djadi basah tersirem oleh oedjan jang toeroen satiap hari.63 Kutipan di atas merupakan kalimat pertama yang membuka cerita BRdT. Preanger merupakan bahasa Belanda yang memiliki arti Priangan atau Parahyangan, yaitu wilayah pegunungan di Jawa Barat. Preanger merupakan tempat kediaman Ay Tjeng yang tinggal bersama nyainya, yaitu Marsiti. Preanger merupakan salah satu latar fungsional. Di kediamannya inilah, Ay Tjeng tinggal sekaligus berpisah dengan Marsiti. Preanger juga menjadi bukti cinta kasih Marsiti kepada Ay Tjeng. Saban ada angin berkesioer, marika dapet tjioem itoe boenga kemoening dan tjempaka, jang tempo-tempo rontok dari

63 Hoay, Op.Cit., h. 1.

72

poehoennja dan melajang djato di atas itoe tiker, bingkisan jang tetep selama-lamanja dari Marsiti.64 Kutipan di atas merupakan kalimat penutup cerita BRdT. Narator menjelaskan bahwa di daerah gunung Preanger Ay Tjeng menghabiskan masa tuanya bersama istri, anak, dan cucunya. Latar tempat BRdT selanjutnya ialah Batavia. Setelah menikah dengan Gwat Nio, Ay Tjeng berpindah tempat tinggal ke Batavia. Hal itu terlihat pada kutipan berikut: Begitoelah dalem satoe satenga taon sasoedahnja menika, Ay Tjeng tida tinggal lagi di itu onderneming, kerna ia moesti selaloe ada di dampingnja ia poenja mertoea dan tjumah kadang-kadang sadja ia dateng tengok pakerdjaan di Goenoeng Moelia.65 Mertua Ay Tjeng, Liok Keng Djim, merupakan seorang hartawan dan memiliki kantor di Batavia. Maka dari itu, setelah Ay Tjeng resmi menjadi menantunya, ia meminta Ay Tjeng untuk tinggal di Batavia menangani urusan perusahaannya. Daerah Cikembang juga menjadi salah satu latar menonjol dalam BRdT. Cikembang merupakan tempat yang seolah mengawali kedukaan para tokoh dalam cerita terobati dengan kemunculan gadis yang menyerupai Lily. Bian Koenlah yang pertama kali berjumpa dengan gadis tersebut. .... ia kenalin ada poehoen poering mangkok emas jang djarang ada dan ia blon perna liat toemboe di bilangan Tjikembang.66 Tapi baroe sadja ia berdiri dan angkat kepala, ia djadi tertjenggang dan goemeter...... Lily berdiri di hadepannja!67 Bian Koen tinggal di Cikembang. Saat itu ia sedang melintasi sekitaran Cikembang dan menemukan pohon puring yang mengelili sebuah kuburan. Kemudian, ia menghampiri kuburan itu. Ia hendak

64 Ibid., h. 108. 65 Ibid., h. 27. 66 Ibid., h. 56. 67 Ibid., h. 57.

73

mengambil satu pohon untuk ditanam di rumahnya. Tiba-tiba seorang gadis yang wajahnya mirip dengan Lily muncul di hadapannya. Koen bergegas mengejar, tetapi tiba-tiba ia jatuh pingsan. Setelah itu, gadis tersebut ditelusuri dan rupanya ia adalah Roos yang merupakan anak dari nyai Ay Tjeng, yaitu Marsiti. Tjerita Nji Paina (TNP) latar tempat fungsionalnya ialah di Desa Purwo, Jawa Timur, sedangkan latar tempat tipikalnya di kantor, rumah Niti, di jalanan, di rumah Tuan Briot, dan sebagainya. Pada awal penceritaan narator telah mendeskripsikan keadaan desa Purwo sebagai latar utama TNP. Sabermoela di tjeritaken, adalah satoe roemah ketjil di desa Poerwo di tanah Djawa Wetan, poenjanja saorang Djawa, bernama Niti Atmodjo, djoeroetoelis fabriek goela, dan roemah itoe ada terdiri di bawah satoe boekit, iang adanja di pinggir kali, iang tiada dalem aernja.68 Kutipan di atas merupakan kalimat pembuka cerita TNP yang menjelaskan latar tempat cerita tersebut. Desa Purwo menjadi latar tempat utama cerita TNP. Dari awal hingga akhir cerita terjadi di satu tempat, yaitu Desa Purwo. Beberapa tempat yang disebut tidak mendeskripsikan sifat khas dan apabila tempat tersebut dipindah ke tempat lain tidak akan memengaruhi jalannya cerita, seperti di depan rumah, di pabrik, dan sebagainya. Melalui TNP, narator banyak menunjukkan karakter Desa Purwo secara implisit. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut. Di waktoe malem di oedara kaliatannja merah seperti api menjala dan di oetan-oetan di roemah-roemah ada amat dinginnja, sahingga orang-orang tiada bisa tahan kadinginan.69 Melalui kutipan di atas, narator menggambarkan Desa Purwo yang tidak sedang baik-baik saja. Malam hari yang seharusnya gelap digambarkan merah seperti api menyala. Penggambaran itu dapat ditafsirkan bahwa suasana di Desa Purwo dingin, namun seperti api

68 Toer, Op.Cit., h. 377. 69 Ibid., h. 384.

74

menyala. Hal itu sejalan dengan tema TNP, yaitu adanya pengorbanan nyai yang bertujuan untuk melawan struktur kekuasaan saat itu. Hikayat Siti Mariah (HSM) latar tempat fungsionalnya ialah Sokaraja, Semarang, Wonosobo, Kebumen, Yogyakarta, sedangkan latar tipikalnya di pabrik, pancuran, rumah Joyopranoto, kebun, dan sebagainya. Beberapa wilayah Banyumas menjadi latar tempat peristiwa-peristiwa penting HSM salah satunya Sokaraja yang menjadi tempat Urip alias Siti Mariah tumbuh dan menikah dengan pujaan hatinya, yaitu Henri Dam. Ahai, betapa manis geulis Mariah, bintang Sokaraja, bidadari Banyumas. Edas! Edas! Sesudah diarak diiringi gendang dan segala permainan selamatan pun dimulai di 6 buah pendopo, dihadiri lebih dari 1000 tamu.70 Kutipan di atas diucapkan narator saat menggambarkan suasana pesta pernikahan Mariah dengan Henri Dam. Keduanya bertemu di Sokaraja dan berpisah pun di Sokaraja. Selain itu, Semarang juga menjadi latar HSM. Semarang merupakan tempat Sinyo Ari tinggal setelah berpisah dengan orang tuanya. Sebelumnya, ia tinggal di Salemba bersama neneknya, lalu ia dipindahkan di Pulau Rajang bersama suruhan neneknya yang bernama Karyodrono. Namun, ada kejadian yang mengakibatkan Karyodrono ditangkap dan dihukum mati. Setelah kejadian itu, barulah Sinyo Ari tinggal di sebuah rumah yatim piatu di Semarang. Umur enam tahun waktu Sinyo Ari dimasukkan ke rumah piatu Katolik Roma di Karangbidara, Tawang, Semarang.71 Kutipan di atas disampaikan oleh narator saat sedang menceritakan nasib Sinyo Ari yang tinggal di rumah yatim piatu setelah Karyodrono alias Wongsodrono dihukum oleh polisi pemerintah. Saat itu usianya masih enam tahun.

70 Mukti, Op.Cit., h. 146. 71 Ibid., h. 239.

75

Wonosobo juga digunakan sebagai latar tempat HSM. Di kota itu narator menceritakan bagaimana Joyopranoto bertemu dengan Sinyo Ari yang dulu diberitakan meninggal dunia. Pada tanggal 27 Desember 1883 Haji Abdurrahman datang meninjau Wonosobo lalu memeriksa pekerjaan dan pembukuan bawahannya itu.... Ia tahu juga bahwa tuan muda Ari van Aken ikut membantunya bekerja, dan memuji kerajinannya.72

Melalui kutipan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa Haji Abdurrahman alias Mandor Joyopranoto bertemu dengan Ari van Aken alias Ari Dam. Saat itu, mereka belum menyadari identitas masing- masing karena telah lama berpisah. Namun, narator menceritakan bagaimana kemudian Sinyo Ari turut serta dengan Haji Abdurrahman ke Kebumen, sehingga bertemu dengan Waginah dan Sarinem. Pada tanggal 29 Desember 1883 Haji Abdurrahman kembali ke Prembun, Kebumen. Sinyo Ari dibawa.73 Keluarga Joyopranoto kini menetap di Kebumen. Sinyo Ari dibawa serta ke Kebumen karena pekerjaannya di Wonosobo dinilai sangat bagus. Dengan demikian, Sinyo Ari bertemu dengan Waginah dan Sarinem di Kebumen. Awalnya, keempat orang tersebut tidak mengetahui kebenaran dari identitas masing-masing. Namun, pada akhirnya mereka mengetahui juga. Latar tempat selanjutnya adalah Yogyakarta. Yogyakarta merupakan kota di mana Siti Mariah, Henri Dam, dan Ari dipertemukan kembali. Mariah dan Sondari lalu meninggalkan Magelang menuju kota Yogya.74 Benar saja dari Henri. Ia telah datang di Yogya dan selanjutnya memberitakan akan datang berkunjung.75

72 Ibid., h. 270. 73 Ibid.. 74 Ibid., h. 394. 75 Ibid., h. 397.

76

Melalui kedua kutipan dapat diketahui, Siti Mariah dan Henri berada di Yogyakarta. Hari lainnya, Ari bersama keluarga Joyopranoto tiba di Yogya. Dengan rencana Sondari, ketiganya bertemu sebagai anggota keluarga yang telah lama terpisah. Berdasarkan uraian di atas, ketiga cerita yang menjadi objek penelitian ini berlatar di Pulau Jawa. Cerita BRdT terjadi di Jawa Barat (Sunda), cerita TNP terjadi di Jawa Timur, dan cerita HSM terjadi di Jawa Tengah. b. Latar Waktu Selain tempat, latar waktu menjadi unsur yang dapat menuntun pembaca untuk merasakan cerita yang realistis. Tidak sedikit pengarang yang mengangkat unsur sejarah dalam menentukan latar waktu sebuah cerita. Ada juga pengarang yang tidak menyebutkan secara spesifik mengenai latar waktu sebuah cerita. Saat itulah imajinasi pembaca berkembang. Meskipun demikian, pengarang akan memberi tanda lain, seperti benda, seni, atau hal-hal spesifik lain yang dapat menggambarkan latar waktu sebuah cerita. Boenga Roos dari Tjikembang (BRdT) tidak disebutkan secara langsung kapan cerita ini berlangsung. Namun, narator memberi tanda lain berupa benda, yaitu sarung Tiga Negeri yang menunjukkan bahwa cerita ini terjadi pada 1890. Berbeda dari pada waktoe bertemoe dengen Bian Koen di tempat koeboeran, Roosminah sekarang ada berdandan rapih, pake badjoe batist poeti dengen kembang borduur poetih sebagi jang banjak dipake oleh prampoean Tionghoa dengen saroeng ,,Tiga Nagri” dan ramboetnja baroe abis disisir.76 Dalam kutipan di atas terdapat sebuah benda spesifik, yaitu sarung Tiga Negeri. Menurut sejarah, produk Tiga Negeri merupakan produk yang dibuat oleh pengusaha peranakan Tionghoa di tahun 1910. Menurut jalan cerita BRdT, tahun 1910 merupakan tahun di mana Koen bertemu dengan Roos yang saat itu berumur 19 tahun.

76 Hoay, Op.Cit., h. 65.

77

,,Bapa poenja tjoetjoe ini ada bagoes sekali dan soedah besar ja?” kata Tjoan Hoe pada Oesman. ,,Berapakah oemoernja?” _,,Sembilan blas djoeragan.”77 Kutipan di atas menggambarkan Tjoan Hoe yang sedang mencari tahu identitas Roos yang mirip dengan Lily. Di tahun 1910 pula kemungkinan Koen dan Roos melangsungkan pernikahan mereka. Lima tahun kemudian (1916) mereka sudah dikarunia dua anak. Di tahun tersebut, ada peristiwa di mana Ay Tjeng dan Gwat Nio sedang mengenang Marsiti. ,,... Baroesan, Gwat, tatkala kaoe mendatengin sambil membawa nenampan dengen itoe flesch-flesch bischuit, pikirankoe sedeng melajang dan soedah balik pada pengalaman doeapoeloe lima taon jang laloe, ...”78 Melalui kutipan di atas, yang dikenang oleh Ay Tjeng dua puluh lima tahun yang lalu adalah masa-masa saat dirinya bersama Marsiti. Maka, tahun 1916 bila ditarik mundur ke dua puluh lima tahun yang lalu adalah tahun 1890. Jadi, cerita BRdT bermula dari tahun 1890. Untuk memudahkan, silakan perhatikan garis waktu di bawah ini. Diagram 4.1: Garis Waktu Boenga Roos dari Tjikembang 25 tahun 1890 1891 1910 1916 Ay Tjeng Lily lahir, Koen bertemu Ay Tjeng menikah kemungkinan Roos, dan me- mengenang dengan Gwat Roos juga sudah lahir nikahinya 25 tahun lalu Tjerita Nji Paina (TNP) juga tidak dituliskan secara spesifik kapan cerita ini terjadi. Namun, dapat diperkirakan terjadi pada tahun 1897. Hal itu dikaitkan dengan peristiwa sejarah mengenai turunnya harga gula di pasar dunia. Dari sebab itoe Niti Atmodjo teroes tinggal di dalem pekerdjah- annja dengan dapet gadjih besar maskipoen di itoe tempo, goela ada soesah lakoe dan ada toeroen harga.79

77 Ibid., h. 65. 78 Ibid., h. 101. 79 Toer, Op.Cit., h. 378.

78

Melalui kutipan tersebut, narator menggambarkan keadaan tokoh yang bernama Niti yang tetap diberi gaji besar meskipun harga gula sedang turun. Menurut peristiwa sejarah, harga gula dari Jawa turun di pasar dunia pada tahun 1879. Rangkaian persitiwa yang disusun narator pun tidak berdurasi panjang. Artinya, TNP terjadi kurang lebih selama satu tahun. Hikayat Siti Mariah (HSM) merupakan satu-satunya dari tiga obyek penelitian ini yang dengan terang menyebutkan latar waktu. Bahkan, dapat dikatakan bahwa waktu menjadi unsur yang sangat ditonjolkan oleh narator dalam penceritaannya. HSM berlangsung cukup lama, yaitu sejak Juni 1854-Mei 1888 atau selama 33 tahun. Kentongan gardu desa tetangga menggema dua kali, alamat jam dua malam. Tanggal 15 bulan Juni 1854. Bulan Suram. Hujan Gerimis.80 Kutipan di atas merupakan kalimat pertama yang digunakan narator untuk mendeskripsikan waktu cerita ini terjadi, yaitu pada tahun 1854. Pada tanggal 31 Mei 1888 ada pesta besar di rumah yatim-piatu Katholik Roma di Semarang. Keluarga Dam menyerahkan uang sebesar f10.000. dari Semarang Haji Mukti pindah ke Magelang, membeli tanah untuk perkebunan Kopi.81 Kutipan di atas merupakan kalimat terakhir yang digunakan narator untuk mendeskripsikan latar waktu HSM, yaitu tahun 1888. Di tahun tersebut, cerita HSM berakhir dengan kemurahan hati keluarga Dam serta perginya Sondari ke Bandung. Berdasarkan uraian di atas, ketiga cerita yang menjadi objek penelitian ini berlatar di tahun di mana Indonesia masih dikuasai oleh kolonial. Cerita BRdT terjadi di tahun 1890-an, cerita TNP terjadi di 1879, dan cerita HSM terjadi di tahun 1854.

80 Mukti, Op.Cit., h. 56. 81 Ibid., h. 402.

79

c. Latar Sosial/Budaya Latar sosial-budaya berhubungan dengan perilaku, adat, atau pemikiran masyarakat yang diceritakan dalam sebuah cerita. Penggambaran suasana kehidupan masyarakat akan dapat dirasakan oleh pembaca melalui pembangunan latar sosial-budaya tersebut. Boenga Roos dari Tjikembang (BRdT) berlatar sosial kehidupan masyarakat Sunda yang berada di bawah kepemimpinan orang Tionghoa. Pembedaan status sosial sudah menjadi kesadaran diri dari masing-masing pihak. Keinferioran pribumi tercermin dari beberapa tokoh, salah satunya ialah Marsiti yang merupakan seorang nyai Tuan Tionghoa. ,,Soemoehoen, djoeragan,” saoet Marsiti jang laloe berdoedoek di tanah, di atas tangga di hadepan kakinja Ay Tjeng.82 Sebagai pribumi, Marsiti menyadari posisinya yang berada di bawah tuannya. Penyebutan kata “juragan” serta sikap duduk di tanah mencerminkan sikap merendahkan diri dan hormatnya kepada orang yang berstatus sosial lebih tinggi. Selain itu, narator tidak hanya menggambarkan adat masyarakat pribumi saja, tapi juga masyarakat Tionghoa sebagai superior dalam cerita BRdT. ,,Omong kosong! kaoe toch taoe, soedah djadi kabiasa’an oemoem, ampir semoea pegawe dan kwasa dari onderneming, orang Blanda atawa Tionghoa, ada piara njaie di kampoeng, maskipoen jang soedah mempoenjai anak dan istri.83 Melalui kutipan di atas, narator menggambarkan bahwa bagi petinggi, baik itu orang Belanda maupun Tionghoa merupakan hal yang biasa. Jadi, kepemilikan seorang nyai tidak mutlak hanya untuk pria Belanda, tapi untuk pria Tionghoa juga. Bahkan, bila pria tersebut telah beristri dengan sebangsanya.

82 Hoay, Op.Cit., h. 5. 83 Ibid., h. 11.

80

Narator juga menggambarkan latar budaya melalui perilaku orang Tionghoa yang mempercayai sinshe (tabib tradisional). ,,Akoe soedah pergi pada bebrapa sienshe tapi semoea, katjoeali satoe, membilang bagoes sekali, bakal beroemoer pandjang, dapet banjak anak tjoetjoe, idoep broentoeng dengen soeaminja, dan laen-laen sabaginja.”84 Kutipan di atas menggambarkan perilaku masyarakat Tionghoa yang lebih mempercayai pengobatan tradisional dibanding dokter. Sinshe tetap menjadi pilihan pertama yang dipercaya untuk mengobati seseorang yang sakit, meskipun pada akhirnya Ay Tjeng dan Gwat Nio mengandalkan saran-saran dari dokter mengenai penyakit yang diderita Lily. Tjerita Nji Paina (TNP) berlatar sosial kehidupan masyarakat di Jawa Timur di bawah kekuasaan Belanda. Pelapisan sosial di masyarakat menjadi hal yang menonjol. Selain melalui sikap, penghormatan tersebut dicerminkan melalui bahasa seperti pada kutipan berikut. ,,Hamba kandjeng toean, tjeritakenlah daja itoe.” Menjaoet Niti dengan amat heran mendengar perkatahan lemas itoe dari moeloet toean Briot, iang belon pernah bitjara begitu manis.85 Narator juga menggambarkan latar budaya melalui adat masyarakat Jawa yang menikahkan anak perempuannya. Maka menoeroet adat bangsa Djawa, kadoea anak ini koetika masih ketjil soedah di kasih nikah, ...86 Hikayat Siti Mariah (HSM) merupakan karya yang secara utuh berlatar sosial kehidupan masyarakat di masa tanam paksa. Maka, interaksi baik antarorang Eropa, antarmasyarakat pribumi, maupun antara orang-orang Eropa dengan masyarakat pribumi, akan terlihat jelas. Narator menunjukkan bahwa ada kebiasaan atau aturan dalam masyarakat di daerah tersebut.

84 Toer, Op.Cit., h. 39. 85 Ibid., h. 388. 86 Ibid., h. 378.

81

Yang berteriak horda adalah seorang penjaga gardu tapal batas Desa Pringanom, Distrik Batur Banjarnegara, Keresidenan Banyumas. Yang menyahut “Prin” seorang petani yang bernama Wongsodrono dari dukuh Wonosepuh, Desa Pringanom juga.87 Interaksi yang terjadi antarmasyarakat pribumi pada saat itu harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah Belanda memberlakukan aturan yang akhirnya menjadi sebuah kebiasaan, yaitu kewajiban seorang penjaga gardu untuk menegur orang-orang yang melintas di malam hari dan orang yang ditegur pun harus menjawab teguran tersebut. Narator juga menggambarkan latar budaya melalui adat atau tradisi pesta giling yang diadakan di lingkungan pabrik. Mandor Joyopranoto menghadap mohon ijin tahun depan, kalau tak ada halangan, selama pesta giling, hendak berhajat: 1. Mengislamkan anaknya, Urip, 2. Mengganti namanya. Tuan dan nyonya Van Holstein memberi ijin dengan segala senang hati. Malah tuan itu berjanji: “Tahun depan pesta giling harus lebih meriah. Semua hajat pabrik yang membiayai.”88 Melalui kutipan tersebut diperlihatkan bahwa di daerah Pabrik Sokaraja diadakan pesta giling setiap tahunnya. Dalam pesta tersebut pemilik pabrik juga memperkenankan pejabat pabrik yang hendak berhajat selama pesta giling diadakan. Tentunya, hanya orang-orang tertentu yang mendapat izin demikian. Sebab, saat itu masyarakat mempercayai bahwa garis keluarga memiliki pengaruh besar dalam keberhasilan hidup seseorang. Hal itu didukung kutipan berikut. “... Direkturnya, tuan Diepenheim, masih famili saya. Kalau tidak dengan sistem famili, susah kita maju di dunia ini. ...”89 Kutipan tersebut disampaikan oleh Nyonya Van Holstein saat sedang membujuk Sondari agar bersedia bekerja di kantor Gubermen.

87 Mukti, Op.Cit., h. 57. 88 Ibid., h. 90-91. 89 Ibid., h. 109.

82

Menurut Nyonya Van Holstein, Sondari tidak akan maju bila tinggal sendirian di kampung tanpa bantuan keluarganya. Berdasarkan uraian di atas, ketiga cerita yang menjadi objek penelitian ini memiliki latar sosial/budaya yang hampir sama, misalnya adanya suatu penghormatan karena kelas sosial yang mengakibatkan lahirnya kesenjangan sosial. Hal itu diwujudkan baik melalui perilaku maupun bahasa. Selain itu, tradisi Pesta Giling yang digambarkan dalam HSM yang terjadi di lingkungan pabrik juga memperlihatkan adanya kesenjangan tersebut. Dengan demikian, latar sosial/budaya yang ada di ketiga cerita ini secara konsisten menampilkan suasana kemasyarakatan yang tegang atau rentan konflik akibat adanya kesenjangan sosial tersebut.

5. Sudut Pandang Secara singkat sudut pandang diartikan sebagai posisi pengarang di dalam cerita. Apakah ia sebagai narator atau justru terlibat sebagai tokoh dan bila terlibat apakah dia merupakan tokoh utama atau bukan. Sudut pandang juga berkaitan dengan cara pengarang bercerita. Sudut pandang yang digunakan dalam Boenga Roos dari Tjikembang (BRdT) adalah sudut pandang persona ketiga “dia” maha tahu. Posisi pengarang merupakan narator dalam cerita. Ia dapat menceritakan secara bebas dan terbuka mengenai unsur-unsur yang membangun BRdT, seperti latar, penokohan, alur, dan sebagainya. Di awal cerita, narator dengan terbuka menceritakan latar BRdT. Dalam boelan Januari antero tanah-tanah pagoenoengan di Preanger djadi basah tersirem oleh oedjan jang toeroen satiap hari. Semoea tomboe-tomboean djadi kaliatan seger dan montok, ...90 Sejak awal narator sudah mengawali cerita dengan kemahatahuannya tentang latar BRdT. Narator menjelaskan secara detail bagaimana kondisi

90 Hoay, Op.Cit., h. 1.

83

Preanger pada saat itu. Setelah menjelaskan latar tempat BRdT, baru ia menyebut seorang tokoh bernama Oh Ay Tjeng. Toean Oh Ay Tjeng, administratur dari Rubber Orderneming. ,,Goenoeng Moelia”, jang terletak antara goenoeng Salak dan goenoeng Gedeh, ada saorang moeda jang hargaken ketjantikan alam.91 Penyebutan nama tokoh oleh narator dalam cerita merupakan salah satu ciri penggunaan persona ketiga. Ia juga menyematkan penokohan tokoh Ay Tjeng yang sangat menghargai kecantikan alam. Tokoh-tokoh selanjutnya pun muncul dengan penyebutan persona ketiga yang berupa nama-nama atau pronomina lainnya. Sudut pandang yang digunakan dalam Tjerita Nji Paina (TNP) adalah sudut pandang persona ketiga “dia” maha tahu. Narator mengisahkan cerita dari sudut pandang “dia”. Tokoh yang pertama ia sebut adalah Niti Atmodjo. Sabermoela di tjeritaken, adalah satoe roemah ketjil di desa Poerwo di tanah Djawa Wetan, poenjanja saorang Djawa, bernama Niti Atmodjo, djoeroetoelis fabriek goela, dan roemah itoe ada terdiri di bawah satoe boekit, iang adanja di pinggir kali, iang tiada dalem aernja.92 Kutipan di atas merupakan paragraf pembuka cerita TNP. Penyebutan nama tokoh merupakan salah satu tanda bahwa narator bercerita dari sudut pandang “dia”. Kemudian, secara terbuka ia menceritakan hal-hal yang menyangkut tokoh tersebut. Dari tokoh Niti, narator berpindah menceritakan tokoh-tokoh yang lain. Hal itulah yang menguatkan posisi narator sebagai pihak ketiga yang serba tahu. Sudut pandang yang digunakan dalam Hikayat Siti Mariah (HSM) adalah sudut pandang campuran. Maksudnya, pengarang dapat dengan bebas berpindah dari persona satu ke persona yang lain. Tidak hanya menjadi narator, pengarang juga berperan sebagai tokoh dalam HSM. Di awal cerita, narator bercerita dengan sudut pandang persona ketiga. Yang berteriak horda adalah seorang penjaga gardu tapal batas Desa Pringanom, Distrik Batur Banjarnegara, Keresidenan Banyumas.

91 Ibid., h. 2. 92 Toer, Op.Cit., h. 377.

84

Yang menyahut “Prin” seorang petani yang bernama Wongsodrono dari dukuh Wonosepuh, Desa Pringanom juga.93 Melalui kutipan di atas narator menggambarkan dua tokoh secara bergantian, yaitu seorang penjaga gardu dan seorang petani. Dari situ narator telah memosisikan diri berada di luar cerita. Namun, kemudian narator mulai memperkenalkan diri kepada pembaca dan perlahan-lahan memasuki cerita HSM. Kasihan, kasihan! Apa yang dia sedang rasakan? Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang tahu. Kita manusia hanya bisa menduga-duga. Saya, pengarang, minta permisi sebentar, karena hati terasa tergoyang dan mata berkeringat.94 Dalam kutipan di atas narator menggunakan beberapa pronomina baru, yaitu “kita” dan “saya”. Kata “kita” merujuk pada dirinya dan pembaca. Jadi, melalui kutipan tersebut narator hendak memperkenalkan dirinya dan secara tidak langsung memohon izin untuk masuk ke dalam cerita yang sedari awal ia kisahkan. Seperti yang diketahui bahwa sudut pandang campuran memungkinkan narator untuk bebas berganti dari persona satu ke persona lainnya itu dibenarkan. Setelah kutipan di atas, narator tidak konsisten menggunakan pronomina “saya” atau “kita”. Terkadang ia kembali bercerita menggunakan sudut pandang persona ketiga. Barulah pada bagian akhir ia kembali menggunakan persona pertama dengan menggunakan pronomina “-ku”. “... Ingatlah pada kata-kataku dulu, meski jodoh diputuskan oleh kejahilan manusia, kelak bersatu kembali. ...”95 Pengarang meminta pembaca untuk mengingat perkataannya berikut: Hati-hati kalian. Tunggu waktunya! Kendati jodoh terputus akibat kejahilan orang, kelak mereka akan kembali rukun lagi, karena putus bukannya bercerai! Ya, Tuhan Allah Yang Maha Kuasa!96

93 Mukti, Op.Cit., h. 57. 94 Ibid., h. 164. 95 Ibid., h. 401. 96 Ibid., h. 162.

85

Kutipan di atas menguatkan bahwa posisi narator dalam beberapa penceritaan berada di dalam cerita, yaitu sebagai tokoh tambahan. Kemungkinan bahwa narator telah memfokalisasi dirinya sendiri pun dapat dipertimbangkan. Awalnya, ia hadir melalui persona ketiga. Lalu, ia hadir juga melalui persona pertama sebagai tokoh tambahan dalam HSM.

6. Gaya Bahasa Gaya bahasa berkaitan dengan cara pengarang menggunakan kalimat atau kata dalam penceritaannya. Setiap pengarang tentu memiliki gaya bahasa yang berbeda, tetapi sama-sama bertujuan untuk memberikan nilai estetika kepada pembaca dengan cara membandingkan, mempertentangkan, menghubungkan, mengulang, atau bahkan menyeimbangkan keempat hal tersebut. Gaya bahasa yang digunakan dalam Boenga Roos dari Tjikembang (BRdT), Tjerita Nji Paina (TNP), dan Hikayat Siti Mariah (HSM) cenderung menggunakan bahasa sehari-sehari yang mudah dipahami pembaca. Selain itu, ungkapan-ungkapan yang bersifat perumpamaan dan metafora juga digunakan untuk mendorong imajinasi pembaca. Misalnya, dalam BRdT digunakan majas perbandingan (perumpamaan, personifikasi) yang ditunjukkan dalam kutipan berikut. Angin goenoeng jang menioep dengen perlahan dan swara kresekannja daon bamboe jang kadengeran seperti swaranja gadis eilok lagi bitjara berbisik-bisik, ada sabagi besi brani jang menarik hatinja hingga ia tida ada pikiran aken lekas berlaloe.97 Itoe poehoen-poehoen poering mangkok emas ada berdjedjer seperti pager memoeteri satoe koeboeran jang maskipoen ada saderhana, ...98 Kedua kutipan di atas merupakan bentuk penggunaan majas perbandingan. Pada kutipan pertama narator mengibaratkan angin sebagai benda hidup yang bisa meniup. Selain itu, suara daun bambu diumpamakan sebagai suara gadis yang sedang berbisik. Pada kutipan kedua pengarang mengibaratkan pagar sebagai benda hidup yang dapat memutari kuburan.

97 Hoay, Op.Cit., h. 56. 98 Ibid., h. 56.

86

Penggunaan gaya bahasa tersebut bertujuan untuk menekankan suasana alam yang damai dalam BRdT.

Majas pertentangan (hiperbola) juga digunakan oleh narator yang ditunjukkan dalam kutipan berikut. Itoe aer jang bertjoetjoer dalem kaadaan begitoe, ada aer mata jang paling soetji, dan sasoeatoe tetes ada berharga lebih besar dari moetiara jang paling indah dan moelia..99 Kutipan di atas merupakan bentuk penggunaan majas pertentangan. Narator menggunakannya untuk mendeskripsikan penokohan Ay Tjeng dan Gwat Nio yang pada saat itu menangis di depan kuburan Marsiti. Air mata mereka diceritakan dengan berlebihan sebagai air yang paling suci dan lebih berharga dari mutiara. Hal itu sebagai penggambaran betapa bersyukurnya Ay Tjeng dan Gwat Nio atas pengorbanan Marsiti.

Selain itu, digunakan juga majas pertautan (eponim) yang ditunjukkan dalam kutipan berikut. ,,Gwat, kaoe ini soenggoe malaikat, brangkali Dewi Kwan Im mendjelma ka doenia, boeat hiboerin akoe.”100 Kutipan di atas merupakan bentuk penggunaan majas pertautan. Narator menggunakan sosok Dewi Kwan Im untuk menggambarkan penokohan tokoh Gwat Nio. Dewi merupakan sosok yang dimuliakan dalam kepercayaan Buddha baik kemurahan hatinya maupun kecantikannya. Maka, seperti itulah penggambaran tokoh Gwat Nio oleh narator.

Dalam TNP digunakan majas perbandingan (perumpamaan, personifikasi) yang ditunjukkan dalam kutipan berikut. Maka toean Briot djoega taoe, orang prampoean elok itoe ada anaknja si Niti, sebab roepanja seperti pinang di bela doea pada anak-anaknja Niti, iang kerdja di fabriek.101

99 Ibid., h. 87. 100 Ibid., h. 25. 101 Toer, Op.Cit., h. 383.

87

Hatinja tiada karoewan rasa, seperti ombak membanting dirinja, pikirannja poen soedah kalang kaboet, koetika dengar tjerita ajahnja.102 Kedua kutipan di atas merupakan bentuk penggunaan majas perbandingan. Pada kutipan pertama, narator menggambarkan penokohan Nyi Paina secara fisik yang mirip dengan Niti. Pada kutipan kedua, narator menggambarkan suasana hati Nyi Paina saat ia diminta untuk menjadi nyainya Tuan Briot. Kemarahan Nyi Paina diibaratkan seperti dibanting ombak. Narator mengibaratkan ombak seperti benda hidup yang dapat membanting.

Selain itu, majas pertentangan (sarkasme) banyak digunakan pengarang yang ditunjukkan dalam kutipan berikut. ..., sehingga soearanja poela membikin boekan sadja koeping pegawei pegaweinja toeli, tetapi djoega bikin roesak hati orang.103 Kutipan di atas merupakan bentuk penggunaan majas pertentangan. Narator menggambarkan penokohan tokoh Tuan Briot dengan sangat buruk melalui ungkapan yang kasar.

Dalam HSM digunakan majas perbandingan (depersonifikasi) yang ditunjukkan dalam kutipan berikut. Siapa berani lawan banteng berkaki dua, berbadan besi, berhati geledeg itu?104 Kutipan di atas merupakan bentuk penggunaan majas perbandingan. Narator menggambarkan penokohan tokoh Tuan Briot dengan membandingkannya dengan benda mati, yaitu berbadan besi dan berhati geledeg. Hal itu memiliki konotasi negatif.

Narator juga menggunakan majas pertautan (epitet) yang ditunjukkan dalam kutipan berikut.

102 Ibid., h. 389. 103 Ibid., h. 380. 104 Mukti, Op.Cit., h. 62.

88

Lampu dunia hampir timbul sebentar lagi.105 Kutipan di atas merupakan bentuk penggunaan majas pertautan. Narator menggambarkan suasana menjelang fajar dengan menggunakan kata “lampu dunia” sebagai simbol dari matahari.

Selain itu majas perulangan (anafora) juga digunakan dalam HSM yang ditunjukkan dalam kutipan berikut. “Jangan dikata, pak. Bertani di hutan semakin lama semakin susah. Tambah penjagaan. Tambah urusan. Tambah ongkos. ...”106 Kutipan di atas merupakan bentuk penggunaan majas perulangan. Narator melakukan penekanan dalam menggambarkan suasana yang sangat susah dengan cara mengulang kata “tambah”, yaitu tambah penjagaan, tambah urusan, dan tambah ongkos.

7. Amanat Melalui karyanya, pengarang hendak menyampaikan pesan terkait dengan tema cerita yang diciptakannya. Pengarang berharap para pembacanya dapat menafsirkan nilai baik-buruk yang digambarkan dalam karyanya. Secara garis besar, amanat yang terkandung dalam Boenga Roos dari Tjikembang, Tjerita Nji Paina, dan Hikayat Siti Mariah ditunjukkan melalui sikap para tokoh nyai dalam masing-masing karya tersebut. Bahwa, citra nyai yang selalu dipandang buruk dalam masyarakat, melalui ketiga karya tersebut, nyai justru memiliki nilai dan dijunjung tinggi oleh pengarang. Keberanian para nyai dalam ketiga karya tersebut membuktikan bahwa berani mengalah tidak selalu berujung kalah. Keikhlasan hati bisa mengantarkan jiwa pada suatu kemenangan. Misalnya, sifat ikhlas yang dimiliki Nyai Marsiti mengantarkan ia pada ketenangan jiwanya, bahkan saat ia telah tiada di dunia. Keikhlasan Nyi Paina dan keberaniannya mengantarkan ia pada kebahagiaan sesungguhnya. Keikhlasan Nyai Mariah

105 Ibid., h. 62. 106 Ibid., h. 77.

89

dan ketabahannya dalam menjalani kehidupan akhirnya mengembalikan sesuatu yang pernah hilang dalam kehidupannya. Artinya, pengorbanan dan keikhlasan hati akan mengantarkan seseorang pada kemenangan. Wujud kemenangan itu pun bermacam-macam, seperti fisik/nonfisik, lahir/batin, atau jiwa/rohani. Berdasarkan pembahasan unsur-unsur instrinsik ketiga cerita di atas memperlihatkan keterkaitan antarunsur. Penciptaan tokoh-tokoh nyai dengan penokohannya sesuai dengan tema dari masing-masing cerita. Tema-tema tersebut menjadi landasan narator untuk menyampaikan misi atau amanatnya kepada para pembacanya. Selain itu, penggambaran latar dilakukan secara fungsional untuk menunjukkan karakter waktu, tempat, dan sosialnya. Waktu terjadinya ketiga cerita adalah selama berkuasanya Belanda di Hindia Belanda, yaitu masa kolonial. Latar cerita BRdT adalah daerah Jawa Barat. Narator melakukan penceritaan BRdT dengan penuh ketenangan, kedamaian, dan haru. Hal itu sejalan dengan penokohan para tokohnya yang cenderung lembut. Latar cerita TNP adalah daerah Jawa Timur. Narator melakukan penceritaan TNP dengan penuh ketegangan dan sarkasme. Hal itu juga sesuai dengan penokohan para tokohnya yang cenderung keras wataknya, penuh perlawanan, dan sebagainya. Latar cerita HSM adalah daerah Jawa Tengah. Narator cukup seimbang dalam melakukan penceritaan HSM. Suasana tegang nampak dihadirkan di awal cerita, tapi kemudian ketegangan mulai menurun seiring dengan menurunnya konflik. Setelah itu, muncul konflik-konflik lainnya dengan ketegangan yang bervariasi mengingat cerita HSM berlangsung cukup lama sekitar 33 tahun. Penggambaran latar pada masing-masing cerita juga divariasikan dengan gaya bahasa untuk menambah estetika dalam penceritaannya. Secara keseluruhan, unsur-unsur intrinsik dari masing- masing cerita mampu membangun dan menegaskan cerminan karakter masyarakat zaman kolonial, khususnya tentang hubungan antara laki-laki Eropa atau China dengan perempuan pribumi yang kental dengan superioritas dan inferioritas.

90

B. Analisis Oksidentalisme: Gagasan Nyai dalam Ketiga Cerita Masa Pra Indonesia Oksidentalisme diusung oleh Hasan Hanafi dengan proyeknya, yaitu tradisi dan pembaharuan. Untuk melandasi proyek tersebut, Hanafi merumuskan tiga agenda, antara lain sikap kritis terhadap tradisi lama, sikap kritis terhadap tradisi baru, dan sikap kritis terhadap realitas. Hanafi hendak mengkritisi ketiga dimensi waktu tersebut. Tujuannya adalah untuk memancing kesadaran Timur agar melakukan pembebasan sejati dengan cara bercermin, yaitu melakukan pembaharuan dengan tetap mempertimbangkan tradisi lama sebagai pedoman atau mempertahankan identitas dengan tidak menolak hal-hal baru sepenuhnya. Terhadap kata tradisi sepertinya perlu digarisbawahi kembali. Tradisi yang dimaksud dalam oksidentalisme dapat berupa budaya, nalar, pola pikir, dan tradisi itu sendiri. Telah diketahui pula bahwa kebudayaan bersifat dinamis, yaitu bahwa kebudayaan akan selalu berproses. Perbedaan reaksi terhadap kebudayaan lama pun dapat melahirkan kebudayaan baru. Tradisi lama yang dimaksud ialah nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Timur yang sumbernya dari leluhurnya dan dijadikan sebagai prinsip hidup.107 Tidak hanya mencakup nilai atau aturan yang bersifat personal, tapi mencakup hal yang lebih luas dari itu, yaitu menyangkut sistem sosial yang menentukan setiap keputusan.108 Tradisi baru/Barat merupakan pemikiran yang merefleksikan lingkungan partikular peradabannya. Artinya, bahwa kebudayaan Barat bukanlah tradisi universal yang mencakup seluruh model eksperimentasi manusia. Tradisi atau pemikiran tersebut lahir dari lingkungan dan situasi tertentu. berdasarkan uraian pengertian di atas, peneliti telah mengklasifikasikan berdasarkan tafsiran konteks suatu tradisi atau pemikiran tertentu ke dalam 2 jenis, yaitu tradisi lama dan tradisi baru.

107 Ita Rodiah, “Perspektif Oksidentalisme Hanafi dalam Novel Ukhruj Minha Ma’lun Karya Saddam Hussein”, Tesis pada Universitas Indonesia, Depok, 2005, h. 65, (https://docplayer.info/ 54981201-Universitas-indonesia-perspektif-oksidentalisme-hanafi-dalam-novel-ukhruj-minha-ya- mal-un-karya-saddam-hussein-tesis-ita-rodiah-npm.html). Diakses pada 10 Februari 2020. 108 Ibid., h. 72.

91

Melalui oksidentalisme, penelitian ini hendak merumuskan gagasan- gagasan yang dimiliki oleh para nyai pada zaman itu. Terdapat tiga nyai yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu Nyai Marsiti, Nyi Paina, dan Nyai Siti Mariah/Nyai Esobier. Nyai yang terakhir telah menjadi nyai dari dua tuan Eropa, yaitu nyai Henri Dam dan nyai Esobier. Perumusan gagasan berikut didasarkan pada bagaimana sikap penerimaan masing-masing nyai terhadap tradisi lama dan tradisi baru yang ada pada saat itu, apakah ia menerimanya secara penuh, setengah hati, atau menolaknya. 1. Realitas Perbudakan di Hindia Belanda Memang tidak dapat dipungkiri bahwa status seseorang memengaruhi bagaimana ia bersikap. Bahkan, hal itu sudah berlaku jauh sebelum Barat datang ke Hindia Belanda. Artinya, hal itu merupakan tradisi atau pola pikir lama. Hubungan antara atasan (majikan) dengan bawahan (budak) sangat hierarkis. Seorang budak berada di bawah majikannya, maksudnya adalah dalam keadaan apapun seorang budak harus selalu merasa dan bersikap rendah diri di hadapan majikannya. Misalnya, caranya berbicara dan duduk saat bersama majikannya. Hal itu tergambar dalam BRdT. Marsiti selaloe djoendjoeng dan hormat padanja seperti Toean dan kaloe bitjara pada Aij Tjeng ia selaloe panggil ,,djoeragan” dan bahasaken dirinja ,,abdi” (boedak).109 Melalui kutipan di atas, Marsiti nampak menerima penuh tradisi atau pola pikir tersebut. Ia bersedia untuk menggunakan bahasa yang mencerminkan statusnya sebagai seorang budak meskipun posisinya sebagai seorang Nyai Ay Tjeng. Sebenarnya, Nyai dapat dikatakan sebagai budak perempuan yang telah naik pangkat. Maka, bila Marsiti menyadari posisinya yang sudah lebih tinggi dari seorang budak, ia tidak harus bersikap begitu merendah. Sikap merendah diri Marsiti juga tercermin dalam posisi duduknya saat bersama tuannya (majikannya). ,,Soemoehoen, djoeragan,” saoet Marsiti jang laloe berdoedoek di tanah di atas tangga di hadepan kakinja Ay Tjeng.110

109 Hoay, Op.Cit., h. 4. 110 Ibid., h. 5.

92

Kutipan di atas mempertegas tradisi bahwa seorang budak berada di bawah majikannya. Sebagai seorang tuan (majikan), Ay Tjeng meminta Marsiti untuk duduk di sebelahnya. Dengan segera Marsiti duduk di tanah sebagai bentuk penghormatannya kepada tuannya. Dalam tradisi atau pola pikir bahwa budak berada di bawah majikannya, secara penuh diterima oleh Marsiti. Hal tersebut dilakukan karena ia hendak mempertahankan identitasnya dengan tidak menolak hal- hal baru sepenuhnya. Perbudakan muncul jauh sebelum Barat datang dan semakin kuat saat Barat berhasil menguasai Hindia Belanda karena masyarakat Hindia Belanda sangat bergantung dengan kekuasaan Barat. Dalam hal ini, penyebutan masyarakat Hindia Belanda lebih cocok dibandingkan pribumi. Sebab, tidak hanya masyarakat pribumi, tapi juga masyarakat berdarah campuran yang kurang beruntung dijadikan budak. Pengkotakan masyarakat pun terbentuk dengan menempatkan masyarakat Hindia Belanda sebagai inferior. Kebanyakan dari mereka menjadi budak bagi bangsa Eropa atau Cina. Seorang budak berada di bawah tuannya. Artinya, mereka harus bersikap serendah-rendahnya di hadapan tuannya. Budak perempuan yang cukup beruntung biasanya akan dipiara oleh orang Barat atau Cina dengan berubah statusnya menjadi seorang gundik atau nyai. Hal itu pula yang terjadi pada Marsiti. Antara budak dengan nyai tentu berbeda. Masyarakat saat itu memiliki pola pikir bahwa bila seorang budak perempuan menjadi nyai, artinya ia telah naik satu pangkat. Ia mulai memiliki hak lebih yang diberikan oleh tuannya. Meskipun Marsiti telah berstatus Nyai, ia tetap mempertahankan identitasnya sebagai seorang budak yang harus merendah di hadapan tuannya. 2. Realitas Paternalistik Paternalistik berasal dari kata pater yang artinya ayah. Realitas paternalistik yang dimaksud dalam hal ini menunjukkan seorang ayah memiliki sikap superioritas. Hubungan kekeluargaan menempatkan ayah sebagai sebenar-benarnya pengambil keputusan. Seorang anak harus patuh kepada orang tua, khususnya ayah. Tradisi atau pola pikir bahwa seorang

93

anak harus patuh kepada orang tua merupakan tradisi lama yang dimiliki oleh bangsa Timur. Kewajiban untuk patuh kepada orang tua juga merupakan salah satu ajaran yang cukup ditekankan dalam agama. Maka, bila dilanggar akan dianggap sebagai dosa. Hal itu tergambar dalam BRdT. Saja rasa djoeragan moesti toeroet kainginannja orang toea, sebab anak jang tida menoeroet pada orang toea, djadi berdosa pada Allah, dan saja poen djadi toeroet berdosa kaloe moesti halangin Djoeragan Sepoeh poenja kahendak. ...”111 Kutipan di atas merupakan ucapan Marsiti kepada Ay Tjeng setelah ia diminta Juragan Sepuh atau ayah Ay Tjeng untuk menyingkir dari kehidupan Ay Tjeng. Marsiti berusaha meyakinkan Ay Tjeng agar menuruti kehendak ayahnya untuk menikahi perempuan sebangsanya, yaitu Gwat Nio. Marsiti menjunjung tinggi apa yang telah ia pelajari. Ia mencoba menegaskannya kepada Ay Tjeng dengan melibatkan dirinya yang akan ikut berdosa bila Ay Tjeng melawan ayahnya. Dalam tradisi atau pola pikir bahwa seorang anak harus patuh kepada orang tua, secara penuh diterima oleh Marsiti. Hal tersebut dilakukan karena Marsiti hendak mempertahankan identitasnya dengan tidak menolak hal-hal baru sepenuhnya. Dalam BRdT diceritakan bahwa ayah Ay Tjeng menginginkan anaknya menikah dengan perempuan sebangsanya yang tentunya memiliki status sosial yang sama atau sedikit lebih tinggi. Terhadap hal tersebut Marsiti menerimanya dengan tetap mempertahankan identitasnya. Identitasnya tercermin dari ucapannya yang mengatakan bahwa seorang anak akan berdosa pada Allah bila tidak memenuhi kehendak orang tuanya. Marsiti menggunakan apa yang telah ia pelajari untuk meyakinkan Ay Tjeng agar menuruti kehendak ayahnya untuk menikah dengan perempuan yang setara dengan kelas sosialnya. 3. Realitas Perkawinan di Usia Belia Sudah menjadi hal biasa bagi seorang anak perempuan dikawinkan di usianya yang masih sangat muda. Tradisi tersebut merupakan tradisi lama

111 Ibid., h. 12.

94

yang dimiliki oleh bangsa Jawa. Setelah kedatangan bangsa Barat, tradisi tersebut semakin berkembang. Anak perempuan yang biasanya dikawinkan dengan para priyayi Jawa, kini dikawinkan dengan lelaki Eropa atau Tionghoa. Perkawinan tersebut merupakan perkawinan yang tidak formal dalam kata lain, anak perempuan tersebut hanya menjadi piaraan para lelaki Eropa atau Tionghoa. Hal itu tergambar dalam TNP. Maha koeasa doea anak prampoean iang amat tjantik dan elok parasnja, tiada ada kadoeanja di antero desa itoe. Maka menoeroet adat bangsa Djawa, kadoea anak ini koetika masih ketjil soedah di kasih nikah, satoe sama poetranja mantri oeloe- oeloe, dan iang lain sama poetranja saorang Djawa hartawan iang ada poenja banjak sawah dan hewan.112 Melalui kutipan di atas, ditunjukkan sebuah tradisi khususnya tradisi Jawa, yaitu orang tua menikahkan anak perempuannya di usia yang masih belia. Namun, hal itu nampaknya diutamakan bagi anak perempuan yang menjadi bunga di desanya. Seperti yang dialami oleh Nyi Paina dan kakaknya. Narator telah menerangkan penggambaran fisik mereka sebagai gadis yang sangat cantik dan tidak ada tandingannya di desa, sehingga sejak kecil mereka sudah dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Baik Nyi Paina maupun kakaknya tidak ada yang melawan tradisi tersebut. Dalam tradisi atau pola pikir, pernikahan di usia belia, secara penuh diterima oleh Nyi Paina. Tradisi tersebut juga tergambar dalam HSM. Siti Mariah juga dikawinkan oleh orang tuanya di usianya yang masih belia, yaitu 15 tahun. Hal itu secara tersirat terdapat dalam kutipan berikut. Tanggal 5 Januari 1874 adalah hari ulangtahun sinyo Ari genap berusia lima tahun. ... Siti Mariah berumur 20 tahun. Tubuhnya tegap segar, masih terhitung bintang Sokaraja, geulis dan lembut.113 Di tahun 1874, Sinyo Ari berusia lima tahun dan Mariah berusia 20 tahun. Artinya, Mariah menikah dengan Henri Dam di usia 15 tahun. Usia

112 Toer, Op.Cit., h. 378. 113 Mukti, Op.Cit., h. 151.

95

yang tergolong masih belia ia menikah dengan seorang lelaki Eropa. Pernikahan tersebut tergolong bukan pernikahan formal karena ia baru menjadi seorang nyai piaraan Henri Dam. Narator juga menggambarkan fisik Mariah yang masih disebut sebagai bintang Sokaraja. Dalam hal ini, Mariah tidak melakukan perlawanan apapun karena ia pun menghendaki dirinya dikawinkan dengan Henri Dam. Dengan kata lain, perkawinan mereka berdua didasari atas rasa saling mencintai. Dalam tradisi atau pola pikir perkawinan di usia belia, secara penuh diterima oleh Nyi Paina (TNP) dan Siti Mariah (HSM). Hal tersebut dilakukan karena keduanya hendak mempertahankan identitasnya dengan tidak menolak hal-hal baru sepenuhnya. Namun, terdapat perbedaan terhadap sikap penerimaan Nyi Paina dan Siti Mariah mengenai perkawinan di usia belia yang dialami. Nyi Paina menjalani perkawinan dengan lelaki pribumi yang memiliki status sosial yang tinggi, sedangkan Siti Mariah menjalani perkawinan dengan lelaki Eropa. Narator juga menjelaskan dalam TNP bahwa perkawinan di usia belia yang dialami Nyi Paina merupakan adat Jawa, sedangkan perkawinan di usia belia yang dialami Siti Mariah merupakan akibat dari praktik pernyaian. Sebagai orang Jawa, Nyi Paina tetap mempertahankan identitasnya dengan mengikuti adat yang sudah berlaku. Begitu pula dengan Siti Mariah yang mempertahankan identitasnya sebagaimana tradisi yang berlaku pada saat itu. Anak perempuan yang berusia 15 tahun sudah dianggap layak untuk dinikahkan. Selain itu, ada kemungkinan bahwa perkawinan di usia belia yang dialami oleh mereka sangat berpengaruh terhadap prestise orang tua mereka, khususnya ayah. Maka dari itu, keduanya menerima secara penuh perkawinan tersebut dengan atau tanpa adanya cinta. 4. Realitas Penjualan Anak Datangnya bangsa Barat ke Hindia Belanda menyebabkan masyarakat pribumi sangat bergantung dalam segala bidang, misalnya ekonomi. Pada masa itu, banyak orang tua yang menjual anaknya karena masalah ekonomi keluarga. Para orang tua berpikir bahwa anak merupakan aset yang dapat

96

menghasilkan uang, khusunya anak perempuan karena pada masa itu para lelaki Eropa atau Tionghoa banyak yang melakukan praktik pergundikan. Artinya, tradisi penjualan anak ini merupakan tradisi baru yang dilakukan untuk mengatasi masalah perekonomian keluarga. Kebanyakan anak pun mau tidak mau harus menuruti kehendak orang tuanya. Penjualan anak tersebut bermacam-macam caranya. Ada yang dilakukan dengan menjual di sembarang pasar atau dijual kepada laki-laki Eropa dengan kata lain ialah dijadikan nyai, seperti yang terjadi pada Nyi Paina. Hal itu tergambar dalam TNP. ,,Di mana Nji Paina ? Kaloe kaoe soeka Nji Paina djadi njai koe, nistjaja tiada nanti terdjadi satoe apa atas dirimoe dan semoea oewang itoe ku tiada oesah bajar koembali.”114 Kutipan di atas diucapkan oleh tokoh Tuan Briot kepada Niti. Niti yang pada saat itu bermasalah dengan uang kas pabrik diancam oleh Briot untuk mengembalikan uang tersebut dan jika tidak bisa ia harus bersiap untuk dipenjarakan. Namun, Briot memberi penawaran lain kepada Niti, yaitu agar menyerahkan Nji Paina untuk dijadikan nyainya. Sebagai orang yang sedang dipojokkan, Niti menyambut tawaran itu dengan tenang. Bahkan, ia meminta izin kepada Briot untuk membicarakannya dengan Nyi Paina terlebih dahulu dan mendapat respons seperti dalam kutipan berikut. ,,Apa, djadi njainja tjeleng itoe? Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tamik dan sekarang koe hendak didjadiken boedaknja si tjeleng alas itoe?”115 Melalui kutipan di atas, Nyi Paina menolak untuk dijadikan nyai. Dua alasan yang mendasari pernyataan Nyi Paina di atas, yaitu ia sangat tidak menyukai Tuan Briot dan ia enggan untuk dijadikan seorang nyai. Sikap Nyi Paina yang tegas demikian sudah ditunjukkan oleh narator sejak awal kemunculannya. Ia berani mengambil sikap atas apa yang tidak ia sukai meskipun ia akhirnya bersedia untuk menjadi nyai Tuan Briot karena merasa kasihan kepada ayahnya yang sedang dalam masalah keuangan.

114 Toer, Op.Cit., h. 388. 115 Ibid., h. 389.

97

,,Baiklah koe toeroet maoenja toean Briot aken djadi njainja.”116 Nyi Paina yang awalnya menolak keras keinginan ayahnya itu akhirnya luluh juga dan bersedia untuk menyerahkan dirinya menjadi nyai Tuan Briot. Namun, karakter yang dibangun dalam diri Nyi Paina sangat kuat mengarahkan dirinya untuk berusaha mempertahankan dirinya agar tidak menjadi seorang nyai. Berawal dari rasa iba kepada ayahnya, Nyi Paina berhasil melawan tradisi pada saat itu. Dalam tradisi atau pola pikir penjualan anak diterima dengan setengah hati oleh Nyi Paina. Hal tersebut dilakukan karena ia hendak mempertahankan identitasnya. Sebenarnya, apa yang dilakukan Nyi Paina di zaman itu cukup berlawanan dengan sikap perempuan-perempuan lainnya. Pada umumnya, kondisi perempuan saat zaman kolonial sangat lemah. Kebanyakan dari mereka akan menerima apa saja nasib mereka, bahkan bila mereka harus menikah atau menjadi nyai dengan laki-laki Eropa atau Cina tanpa adanya cinta. Berbeda dalam TNP yang diduga mengandung misi pengarang, yaitu H.Kommer. Pribumi, dalam TNP ialah Nyi Paina, jauh dari sifat inferior. Namun, bukan berarti bahwa ia bersifat superior. Ia mengakui adanya hal-hal baru yang berasal dari Barat. Misi pengarang dalam TNP ialah memperkenalkan adanya resistensi secara kooperatif melalui sosok perempuan. Dengan sikap yang seolah-olah kooperatif demikian, pribumi dapat mempertahankan identitasnya. 5. Realitas Perkawinan Berbeda Agama Bangsa Timur memegang tradisi bahwa perkawinan atau pernikahan berbeda agama (kafir) tidak dibenarkan. Dalam konsep oksidentalisme, menurut bangsa Timur, yang termasuk dalam golongan orang kafir ialah mereka yang tidak beragama Islam. Artinya, pelarangan dalam pernikahan berbeda agama merupakan tradisi lama yang sudah dimiliki bangsa Timur. Hal di atas sesuai dengan pendapat Hellwig yang intinya menyatakan bahwa tembok pemisah pernikahan formal antara perempuan pribumi

116 Ibid., h. 389.

98

dengan lelaki Eropa adalah agama. Maka dari itu, kebanyakan lelaki Eropa tidak pernah menikahi perempua Asia, tapi hanya hidup bersama dengan menjadikannya sebagai gundik atau nyai.117 Berdasarkan pernyataan Hellwig tersebut, bangsa Barat juga tidak menghendaki perkawinan berbeda agama kecuali salah satunya bersedia untuk dibaptis. Maka dari itu, perkawinan lintas bangsa (berbeda agama) tersebut kebanyakan dilakukan secara tidak formal. Realitas ini tergambar dalam HSM. Menurut pertimbangannya, yang akan kawin sendiri yang wajib memilih jodohnya. Jadi terserah pada Mariah. Asal saja pantas, dan sama-sama beragama Islam.118 Melalui pemikiran tokoh Joyopranoto di atas, ditunjukkan tradisi atau pola pikir mengenai konsep pernikahan yang mengharuskan satu agama. Namun, Mariah menerimanya dengan setengah hati. Siti Mariah sudah menduga akan ada onar besar dan ia bakal menderita. Tapi ia tetap berbesar hati, menyerahkan semua pada Yang Maha Kuasa, dan percaya sama jantung hatinya karena merasa telah terbalas cintanya. Bagi dirinya cinta Henri Dam adalah kekuatan buat menderita.119 Sejak awal, Mariah menyadari bahwa hubungannya dengan Henri Dam tidak mudah diterima oleh orang-orang di sekitarnya. Harapannya pun semakin besar saat dia tahu bahwa cintanya terbalas oleh Dam. Namun, ia menyerahkan keadaan tersebut kepada Tuhan. Satu ruang ia menyadari kebenaran tradisi tersebut, tapi satu ruang lainnya ia berharap dapat bersatu dengan Henri Dam. Dalam tradisi atau pola pikir, pernikahan berbeda agama itu dilarang, diterima oleh Mariah dengan setengah hati. Realitas tersebut juga tercermin dalam BRdT. Marsiti bersedia untuk dikawini oleh Tuan Ay Tjeng yang merupakan pria berkebangsaan Tionghoa.

117 Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, diterjemahkan oleh Mier Joebhaar, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 35. 118 Mukti, Op.Cit., h. 117. 119 Ibid., h. 129.

99

Laen dari itoe ia ada tjinta dengen sagenep hati pada ia poenja Njaie, Marsiti, jang soedah ikoetin dan rawat padanja dengen satia tiga taon lamanja, ... 120 Kutipan di atas menjelaskan bahwa Marsiti sudah tiga tahun menjadi Nyainya Tuan Ay Tjeng. Ia sebagai seorang beragama Islam bersedia dikawini oleh seorang pria Tionghoa secara tidak formal. Namun, bukan berarti ini merupakan sebuah bentuk perlawanannya terhadap tradisi atau pola pikir tersebut. Sebab, status Marsiti yang hanya sebagai nyai menunjukkan bahwa sebenarnya ia tidak bersedia dibaptis dan meninggalkan kepercayaan yang ia anut sebelumnya. Selain itu, penokohan secara sosiologis Marsiti menunjukkan bahwa kemungkinan ia tidak berdaya atas perkawinan itu. Ada kemungkinan bahwa bersedianya ia menjadi nyai Ay Tjeng adalah usahanya untuk memperbaiki nasibnya. Namun, di sisi lain nampaknya Marsiti memiliki cinta yang tulus untuk Ay Tjeng. Hal itu sangat diperlihatkan saat hari-hari terakhir sebelum ia berpisah dengan Ay Tjeng. Dalam tradisi atau pola pikir bahwa perkawinan atau pernikahan berbeda agama itu dilarang diterima dengan setengah hati oleh Siti Mariah (HSM) dan Marsiti (BRdT). Hal tersebut dilakukan karena ia hendak mempertahankan identitas dengan tidak menolak hal-hal baru sepenuhnya. Mereka bersedia untuk menjadi nyai. Dari kesediaan mereka tersebut mengandung dua sikap, yaitu menerima praktik pernyaian dan adanya usaha untuk tetap mempertahankan identitasnya sebagai seorang muslim karena tidak dibaptis. Baik Marsiti maupun Siti Mariah dalam praktik pernyaiannya pun nampak didasari rasa sayang yang tulus kepada tuannya masing- masing. Hal itu semakin menunjukkan penerimaan mereka yang setengah hati terhadap tradisi atau pola pikir pernikahan berbeda agama itu dilarang. 6. Realitas Kewajaran Bernyai bagi Lelaki Non-Pribumi Tradisi mempunyai nyai sebelum menikah merupakan tradisi yang dibangun oleh Barat. Beberapa faktor pendorong terjadinya praktik

120 Hoay, Op.Cit., h. 4.

100

pernyaian antara lain, kedatangan para pegawai VOC yang masih lajang dan atau tidak ditemani istrinya serta larangan perkawinan legal antaragama, sehingga laki-laki Eropa lebih memilik untuk bergundik perempuan pribumi. Tradisi atau pola pikir tersebut tercermin dalam BRdT. _,,Omong kosong! kaoe toch taoe, soedah djadi kabiasa’an oemoem, ampir semoea pegawe dan kwasa dari onderneming, orang Blanda atawa Tionghoa, ada piara njaie di kampoeng, maskipoen jang soedah mempoenjai anak dan istri.121 Kutipan di atas merupakan perkataan ayah Ay Tjeng ketika sedang meyakinkan Ay Tjeng bahwa anaknya itu masih bisa bernyai meskipun dirinya menikah dengan perempuan sebangsanya. Ayah Ay Tjeng mengatakan bahwa pegawai atau penguasa perkebunan yang memiara nyai merupakan hal yang sudah biasa. Sebelum ayah Ay Tjeng mengatakan hal itu, Ay Tjeng sudah memiara nyai yang bernama Marsiti selama tiga tahun. Artinya, dalam tradisi atau pola pikir, bernyai sebelum menikah, diterima oleh Marsiti. Namun, Marsiti menolak untuk tetap dipiara sebagai nyai ketika tuannya hendak menikah dengan perempuan lain. Artinya, dalam tradisi atau pola pikir, bernyai sebelum menikah, diterima oleh Marsiti. Entah karena ia menyadari bahwa tiba saatnya Ay Tjeng menikah dengan perempuan sebangsanya atau karena hatinya memang tidak menerima bila hubungannya dengan tuannya tersebut hanya berlangsung sementara, sehingga Marsiti memutuskan untuk menyingkir pergi dari kehidupan Ay Tjeng. Keputusan tersebut ia ambil karena tekanan dari ayah Ay Tjeng. Keng Djim lantes soeroe satoe djago berklai, nama Koesen jang terkenal djahat dan sring dihoekoem, aken antjem pada itoe njaie soepaja menjingkir biar djaoe, kerna djikaloe tida, ia nanti diboenoeh oleh Toean Tanah jang tida bisa liat bakal mantoenja piara njaie. Kutipan di atas merupakan ringakasan dari penjelasan Tirta kepada Tjoan Hoe dan istrinya mengenai peristiwa hilangnya Marsiti. Jadi, selain memang Marsiti menerima bahwa pernyaian hanya berlangsung sebelum

121 Ibid., h. 11.

101

pernikahan seorang tuan dengan perempuan sebangsanya, ia pun mendapat ancaman yang tidak lain datang dari ayah Ay Tjeng berupa ancaman akan dibunuh. Tradisi atau pola pikir bernyai sebelum menikah juga tercermin dalam HSM. “... Kamu harus piara nyai dulu buat urus rumah tanggamu. Semua temanmu juga begitu. Nanti kalau sudah waktunya baru kamu boleh kawini bangsamu dan lepaskan nyaimu. ...”122 Kutipan di atas disampaikan oleh Tuan Administratur kepada Henri Dam. Berdasarkan kutipan di atas, seorang laki-laki Eropa harus memiara nyai sebelum dirinya siap menikah dengan wanita sebangsanya. Pola pikir demikian nampaknya sudah dibangun oleh pihak kolonial demi bertahan hidup di Hinda Belanda. Sosok perempuan pribumi dibutuhkan oleh laki- laki Eropa tidak hanya sebagai pemuas hasrat semata, tapi juga sebagai media untuk belajar bagaimana mereka meyesuaikan diri dengan kondisi geografis serta budaya di Hindia Belanda. Namun, posisi perempuan pribumi yang menjadi nyai pada waktu itu bersifat sementara dan tidak diakui secara hukum. Hal itu dikarenakan pernikahan antara laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi pada saat itu tidak dilegalkan. Demikianlah tradisi atau pola pikir yang dibentuk oleh Barat. Dalam tradisi atau pola pikir bernyai sebelum menikah rupanya diterima oleh Siti Mariah. Namun, penerimaan tersebut dimaknai berbeda oleh Siti Mariah. Hal tersebut juga didukung oleh pola pikir Henri Dam. Barat membentuk tradisi atau pola pikir seorang pria bernyai sebelum menikah dengan perempuan sebangsanya, sedangkan Henri Dam meyakinkan Siti Mariah untuk bernyai sebelum menikahinya secara resmi. Sudah 4 hari ini saya punya rencana untuk mandor-besar mengenai Siti Mariah, yang saya cintai dan mencintai saya. Mariah saya pinta untuk saya piara sampai berumur 23 tahun, lalu hendak saya kawini di kantor.123

122 Mukti, Op.Cit., h. 122. 123 Ibid., h. 143.

102

Kutipan di atas disampaikan Henri Dam saat ia meminta izin kepada Joyopranoto untuk memiara Mariah. Berdasarkan kutipan di atas, tujuan Henri Dam ialah bernyai sebelum pada akhirnya menikahi nyai itu sendiri. Maka dari itu, Mariah pun menerima secara penuh tradisi atau pola pikir bahwa seorang pria Eropa bernyai sebelum menikah. Dalam tradisi atau pola pikir bernyai sebelum menikah diterima oleh Marsiti dan Siti Mariah. Hal tersebut dilakukan karena mereka hendak melakukan pembaharuan dengan tetap mempertimbangkan tradisi lama sebagai pedoman. Pembaharuan yang hendak mereka lakukan ialah penerimaan terhadap praktik pernyaian, tapi mereka tetap menyadari bahwa menjadi seorang nyai pun memiliki masa hingga tuannya menikah dengan perempuan sebangsanya atau setidaknya pernikahan yang formal. Namun, terdapat perbedaan antara penerimaan yang dikonsepkan oleh Marsiti dan Siti Mariah. Marsiti dapat menyingkir dari kehidupan tuannya dengan mudah. Namun, Siti Mariah justru memiliki bayangan kehidupan setelah status nyainya berakhir, yaitu menjadi istri sah Henri Dam melalui pernikahan secara formal. Meskipun pada akhrinya Mariah tetap harus menyingkir dari kehidupan Henri Dam karena tuannya itu akan menikah dengan perempuan sebangsanya. Pada intinya adalah keduanya sama-sama menerima tradisi atau pola pikir bahwa praktik pernyaian hanya dilakukan sebelum adanya pernikahan formal. 7. Realitas Nyai Dilepas dengan Diberi Harta Hubungan antara nyai dengan tuannya merupakan hubungan yang tidak diakui secara hukum. Pemerintah pada saat itu tidak mengizinkan pernikahan lintas bangsa tersebut. Hal itu yang menyebabkan para laki-laki Eropa atau Tionghoa memilih untuk memuara nyai hingga tiba saatnya ia siap berumah tangga dengan perempuan sebangsanya. Kedudukan nyai yang demikian pun telah memberi batasan atas hak-haknya. Nyai harus siap bila suatu saat dirinya harus dilepas dengan atau tanpa harta. Namun, dalam BRdT dan HSM, nyai dilepas dengan dijanjikan harta yang cukup.

103

Tradisi atau pola pikir bahwa seorang nyai yang dilepas tuannya diberi harta yang cukup ini dibentuk oleh Barat. Seorang pria yang memutuskan meninggalkan nyainya untuk menikahi perempuan sebangsanya akan memberikan harta yang cukup, baik itu berupa uang, tanah, atau lainnya seperti yang tercermin dalam BRdT. ,,... Dari hal Marsiti, akoe taoe betoel ia nanti merasa senang kaloe kaoe kirim ka kampoeng dengen dibliken roemah dan prabotan lengkep serta sawah-sawah boeat penghidoepannja.124 Kutipan di atas disampaikan oleh ayah Ay Tjeng, Pin Lo, saat membujuk Ay Tjeng untuk melepas nyainya dan menikah dengan perempuan sebangsanya. Kemudian, hal itu disampaikan kepada Marsiti dan oleh Marsiti dijawab sebagaimana tertulis dalam kutipan berikut. ,, ... Saja sedia aken balik ka kampoeng, dari hal djoeragan poenja kasian dan oewang blandja, dikasih baek, tida poen soedah, sebab saja bisa tjari sendiri dengen berkoeli.”125 Marsiti yang nampak menerima tradisi atau pola pikir bahwa bernyai hanya dilakukan seorang pria Tionghoa/Barat menikah, mencoba menerima takdirnya bahwa ia harus menyingkir dari kehidupan tuannya. Namun, berdasarkan kutipan di atas, Marsiti nampak tidak menginginkan harta yang ditawarkan oleh keluarga Ay Tjeng. Artinya, dalam tradisi atau pola pikir bahwa nyai dilepas dengan diberi harta ditolak oleh Marsiti. Tradisi atau pola pikir bahwa nyai dilepas dengan diberi harta juga tercermin dalam HSM. Melalui Doest, Henri Dam berpesan, dengan penuh hormat menyerahkan kembali Siti Mariah. Semua harta dan uang boleh diambil dan menjadi haknya. Selain itu Mariah menerima uang f10.000 dari kas pabrik berikut surat lepas yang amat mengharukan dan manis bunyinya.126 Kutipan di atas disampaikan oleh pengarang saat menggambarkan bagaimana Henri Dam melepas nyainya dengan hormat. Hal itu nampak

124 Hoay, Op.Cit., h. 11. 125 Ibid., h. 12. 126 Mukti, Op.Cit., h. 167.

104

berbeda dengan nyai-nyai yang pada umumnya dilepas dengan cara tidak hormat. Berdasarkan kutipan di atas, nampak juga pola pikir yang menunjukkan pelepasan nyai disertai dengan pemberian harta. Namun, rupanya hal itu tidak diterima oleh Mariah. “... Sebaiknya jangan sampai bapak mau menerima uang f10.000 itu, biarpun malah lebih. Menurut pendapat saya uang itu seolah-olah harga pembelian suami saya, sebagai obat sakit hati. Jangan mau menerimanya, bapak, malu, ah, malu. Saya pikir itu perbuatan busuk.127 Kutipan di atas disampaikan oleh Mariah kepada bapaknya. Ia meminta agar uang pemberian Henri Dam setelah melepasnya tidak diterima. Mariah justru merasa terhina dengan perlakuan semacam itu. Bahkan, ia mengatakan bila menerima uang itu merupakan tindakan yang busuk. Dari kutipan di atas memperlihatkan Mariah yang tetap tegar mempertahankan harga dirinya meskipun hatinya sedang terluka. Sikap Mariah yang demikian menunjukkan bahwa tradisi atau pola pikir bahwa nyai dilepas dengan diberi harta ditolak oleh Mariah. Dalam tradisi atau pola pikir nyai dilepas dengan diberi harta ditolak oleh Marsiti (BRdT) dan Siti Mariah (HSM). Hal tersebut dilakukan karena keduanya hendak mempertahankan identitas dengan tidak menolak hal-hal baru sepenuhnya. Pemberian harta kepada nyai yang hendak dilepas merupakan pola pikir yang dibentuk oleh Barat. Namun, tidak semua nyai yang dilepas mau menerima pemberian tersebut, seperti yang dilakukan oleh Marsiti dan Siti Mariah. Identitas yang hendak mereka pertahankan ialah status perempuan biasa seperti sebelum mereka menjadi nyai. Berdasarkan uraian di atas, para tokoh nyai memiliki gagasan sendiri yang ditunjukkan melalui sikap atas tradisi atau pola pikir yang terbentuk pada saat itu, baik dalam tradisi lama maupun tradisi baru. Atas tradisi lama para nyai lebih bersikap menerima, misalnya perkawinan di usia belia. Atas tradisi baru ada beberapa yang diterima dan ada beberapa yang ditolak oleh para tokoh nyai. Sikap penerimaan atau penolakan yang mereka lakukan pun

127 Ibid., h. 171.

105

merupakan bentuk kritis terhadap tradisi lama atau tradisi baru. Apakah para nyai tersebut hendak mempertahankan identitasnya dengan tidak menolak hal-hal baru sepenuhnya atau hendak melakukan pembaharuan dengan mempertimbangkan tradisi lama sebagai pedoman. C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah Ketiga objek peneilitian ini, yaitu Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Pembelajaran sastra di sekolah terdapat dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Terkait dengan silabus Kurikulum 2013, pengimplikasian penelitian ini merujuk pada materi teks sejarah yang diajarkan di tingkat SMA kelas XII (dua belas) semester ganjil (satu). Hasil analisis ini dapat dimanfaatkan dalam rangka mengembangkan keterampilan berbahasa dan sastra seperti yang terdapat di RPP dengan kompetensi dasar yang menekankan pada aspek memahami dan menganalisis teks cerita fiksi baik secara lisan maupun tulisan dengan cara menentukan unsur intrinsik dan memahami topik pembahasan teks tersebut. Peserta didik diharapkan mampu menganalisis kedudukan dan karakter tokoh serta mampu menginterpretasikan makna yang terkandung di dalam teks. Pengajaran sastra dapat membantu meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mengapresiasi sebuah karya. Dengan kemampuan berbahasa yang dimiliki, khususnya kemampuan membaca, peserta didik akan berimajinasi, bahkan mengaktualisasikannya dengan apa yang dilihat atau dialaminya. Rangkaian peristiwa yang disusun dalam bentuk cerpen atau novel mengandung berbagai nilai kehidupan yang dapat meningkatkan pengetahuan budaya, sejarah, dan pengetahuan lainnya yang juga dapat mengembangkan nilai kepribadian peserta didik. Maka, hal itu sejalan dengan tujuan implikasi penelitian ini, yaitu untuk menjadikan sebuah karya sastra sebagai sumber pembelajaran sejarah alternatif di sekolah. Penyebutan sejarah alternatif menjurus pada pengetahuan sejarah di luar sejarah formal yang didapat oleh peserta didik. Namun, perlu diingat

106

juga bahwa sastra tidak bisa dijadikan dokumen sejarah seutuhnya. Sastra hanya dapat digunakan sebagai data pelengkap atau tambahan saja. Sebab, sastra tidak bisa dituntut ketepatannya dengan realitas seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa setiap pengarang memiliki misi atau penilaian yang beragam mengenai situasi sosial di masa tertentu.. Ketiga karya yang menjadi objek dalam penelitian ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat di zaman kolonial, khususnya pada sosok yang disebut sebagai “nyai”. Kehidupan yang pekat dengan stratifikasi sosial masyarakat serta pengangkatan berbagai isu, seperti isu agama, ras, dan sebagainya tentu akan mengembangkan pola pikir peserta didik. Saat kegiatan belajar mengajar dilaksanakan, peserta didik diharapkan telah membaca cerpen atau novel yang akan dibahas. Pada pertemuan pertama dengan indikator peserta didik mampu mendata informasi penting dalam teks novel sejarah yang telah ditentukan. Peserta didik dilatih untuk memahami gambaran karakter masyarakat di zaman kolonial, baik masyarakat pribumi maupun pihak koloni. Guru memulai pembelajaran dengan mengajukan beberapa pertanyaan stimulus yang berkaitan dengan perbudakan atau bila diaktualisasikan dengan masa kini adalah penggunaan ART (Asisten Rumah Tangga). Bagaimana hubungan mereka dengan ART yang telah dipekerjakan oleh orang tua mereka. Selanjutnya, guru dapat menggambarkan sekilas mengenai perbudakan di zaman dahulu agar peserta didik dapat membandingkannya. Hal tersebut dimaksudkan dapat mengarahkan peserta didik dalam menumbuhkan sikap saling menghargai. Apabila guru sudah mendapatkan perhatian peserta didik mengenai realitas yang terjadi pada zaman dahulu, guru dapat mengajukan pertanyaan lanjutan yang berakitan dengan materi teks novel sejarah. Guru dapat mengajukan pertanyaan, seperti apakah peserta didik pernah membaca novel sejarah. Terdapat dua kemungkinan jawaban atas pertanyaan tersebut. Bila peserta didik menjawab pernah membacanya, guru bisa mengajukan pertanyaan lanjutan, seperti sejarah apa yang dibahas dalam novel tersebut. Bila peserta didik menjawab belum pernah membacanya, guru dapat

107

mengajukan pertanyaan sederhana, seperti apa yang terlintas dalam pikiran peserta didik saat mendengar istilah novel sejarah. Setelah beberapa pertanyaan stimulus diajukan, guru dapat meminta peserta didik untuk menyampaikan pendapatnya mengenai gambaran karakter masyarakat di zaman kolonial, baik masyarakat pribumi maupun koloni berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Setelah itu, guru dapat memberikan contoh-contoh novel sejarah yang berkaitan dengan sejarah tersebut. Guru dapat langsung memberikan membaca kepada peserta didik agar mereka dapat segera mengetahui bagaimana gambaran novel sejarah. Melalui pembelajaran dengan kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi dan penguatan nilai-nilai karakter, peserta didik mampu meningkatkan dan memadukan pengetahuannya. Hal itu dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian yang berkarakter, sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari yang positif.

BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis tentang “Gagasan Nyai dalam Tiga Cerita Pra- Indonesia dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah” dapat disimpulkan seperti di bawah ini. Analisis ketiga cerita memperlihatkan keterkaitan unsur-unsur pembangun cerita. Unsur intrinsik menggambarkan cerminan karakter masyarakat zaman kolonial khususnya mengenai hubungan antara laki-laki Eropa dan China dengan perempuan pribumi. Boenga Roos dari Tjikembang membicarakan permasalahan seorang perempuan pribumi bernama Marsiti yang merupakan nyai dari seorang Tionghoa bernama Ay Tjeng. Cerita ini sarat dengan marjinalisasi terhadap pribumi. Tjerita Nji Paina membicarakan permasalahan kisah hidup seorang nyai bernama Nyi Paina yang hendak dipiara oleh seorang kolonial yang merupakan atasan di tempat ayahnya bekerja. Penciptaan tokoh perempuan pribumi dalam cerita ini merupakan perlawanan terhadap realitas sosial pada zaman itu. Hikayat Siti Mariah membicarakan persoalan hubungan percintaan yang kompleks antara seorang nyai bernama Siti Mariah dengan tuannya yang bernama Henri Dam. Selain isu marjinalisasi terhadap pribumi, cerita ini juga sedikit mengangkat isu agama. Tokoh nyai yang biasa menempati posisi minoritas juga memiliki sikap atau gagasan terhadap apa yang dihadapinya. Dalam hal ini sikap terhadap tradisi, baik tradisi lama maupun tradisi baru. Identifikasi sikap dalam analisis ini digolongkan dalam tiga sikap, yaitu menerima dengan sepenuh hati, menerima dengan setengah hati, dan menolak. Beberapa tradisi lama antara lain: perbudakan, hubungan peternalistik yang keras, perkawinan di usia belia, dan pelarangan atas perkawinan yang berbeda agama. Beberapa tradisi baru antara lain: kewajaran bernyai bagi pria non-pribumi dan pelepasan nyai dengan diberi harta. Dari gagasan-gagasan yang telah ditemukan tersebut, dapat diketahui bagaimana sikap kritis para tokoh nyai terhadap tradisi atau pola pikir tersebut. Sesuai dengan pendekatan yang digunakan ialah oksidentalisme, maka

108

109

hanya ada dua pilihan sikap. Dua sikap tersebut ialah mempertahankan identitas dengan tidak menolak hal-hal baru sepenuhnya atau melakukan pembaharuan dengan mempertimbangkan tradisi lama sebagai pedoman. Telah dijelaskan bahwa oksidentalisme merupakan cermin bagi bangsa Timur untuk melihat tradisi lama dan tradisi baru. Maka, baik tradisi lama maupun tradisi baru dianggap sama pentingnya. Hal itu juga menggambarkan kecenderungan yang lebih dipilih oleh tokoh-tokoh nyai, apakah bertahan atau melakukan pembaharuan. Implikasi penelitian ini dalam pembelajaran sastra di sekolah dapat dipraktikkan dalam pembelajaran sastra di tingkat SMA kelas XII semester ganjil. Berdasarkan kurikulum 2013, KD yang ingin dicapai dalam kegiatan pembelajaran ini, yaitu mengidentifikasi informasi penting yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi, dan resolusi dalam novel sejarah lisan atau tulis. Peserta didik diharapkan dapat mengusai materi yang diindikasikan dalam Indikator Pencapaian Kompetensi, yaitu pada KD 3.3 tersebut. Peserta didik mampu memahami isi dan mendata informasi penting dalam novel sejarah. Setelah itu, peserta didik diharapkan dapat mengidentifikasi struktur teks novel sejarah yang dibaca. Dengan begitu, peserta didik mampu memahami isi teks dan mengaitkannya dengan nilai-nilai kehidupan sehari-hari. B. Saran Berdasarkan analisis dan simpulan yang telah diuraikan, ada beberapa saran yang diajukan penulis, yakni: 1. Guru dalam pembelajaran sastra lebih memaksimalkan proses pembelajaran dengan memilihkan karya sastra yang beragam. Salah satu karya sastra dapat dijadikan rujukan dalam pembelajaran adalah Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan atau Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti. 2. Peserta didik dalam proses pembelajaran diharapkan sungguh-sungguh memahami isi cerita, sehingga dapat mengambil hal-hal positif dan menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA Arkoun, Mohammade, dkk.. Orientalisme vis a vis Oksidentalisme. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. Aziez, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Baay, Reggie. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Terjemahan oleh Siti Hertini Adiwoso. Jakarta: Komunitas Bambu, 2010. Dahlan, Muhidin M. Postkolonialisme: Sikap Kita terhadap Imperialisme. Yogyakarta: Jendela Grafika, 2001. Ertato, Agung Dwi. “Kisah Percintaan Antar-Ras di Era Kolonial dalam Novel Njai Isah”. Skripsi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 2013, tidak dipublikasikan. Esten, Mursal. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah (Edisi Revisi). Bandung: Angkasa, 2013. Hanafi, Hassan. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Baru. Terjemahan oleh M. Najib Buchori. Jakarta: Paramadina, 2000. Hellwig, Tineke. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Terjemahan oleh Mier Joebhaar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Hoay, Kwee Tek. Boenga Roos dari Tjikembang. Tanpa Kota: Djukkerij Hoa Siang In Kok, 1927. Iskandarwassid dan Dadang Suhendar. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Maimunah. “Tema Perlawanan terhadap Politik Identitas dan Praktik Pernyaian dalam Tiga Cerita ‘Tempo Doeloe’”. Tesis pada Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok, 2005, tidak dipublikasikan. Mukti, Haji. Hikayat Siti Mariah. Jakarta: Bintang Timur, 2003. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi (Edisi Revisi). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013. Rahmanto, B.. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1992. Ratna, Nyoman Kutha. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

110

111

Sidharta, Myra. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. Stanton, Robert. Teori Pengkajian Fiksi Robert Stanton. Terjemahan oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Sumardjo, Jakob. Kesusastraan Melayu Rendah: Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press, 2004. Sugihastuti. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa, 1993. ______. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa, 1985. Toer, Pramoedya Ananta. Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia Cet. 2 revisi. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003. Trisman, B, dkk.. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa, 2002. Wahyudi, Ibnu. Pengantar Jilid Ketujuh Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003.

Sumber Daring/Elektronik Artawan, Gde. “A Comparative Study on Indigenous Female Sexuality Body in The Novels at Balai Pustaka and Tionghoa Descent”. Dimuat dalam International Journal of Linguistics, Language and Culture (IJLLC) Volume 2 Nomor 4, November 2016, https://sloap.org/journals/index.php/ijllc/article/view/153/ 134, 11 Mei 2019. Fudholi. “Relasi Antagonistik Barat-Timur Orientalisme vis a vis Oksidentalisme”. Dimuat dalam Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 2 Nomor 2, Desember 2012, http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle& article=350932, 08 Mei 2019. Linda. “Representasi Pernyaian dalam Karya Sastra Melayu Rendah”. Tesis pada Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2009, https://repository.usd.ac.id/1784/2/056322006_Full.pdf, 28 April 2019.

112

Nata, Yolies Yongky. “Oksidentalisme”, http://ejournal.kopertais4.or.id/madura/ index.php/alulum/article/view/1774/1318, 02 April 2019. Purbani, Widyastuti. “Metode Penelitian Sastra”, http://staffnew. uny.ac.id/upload/131874171/pengabdian/metode-penelitian-susastra.pdf, 02 April 2019. Rahmadanti, Putri. “4 Pernikahan Kakek dan Wanita Muda, Nomor 3 Hanya Bertahan Setahun!”, https://nasional.okezone.com/read/2019/02/01/337/2012 477/4-pernikahan-kakek-dan-wanita-muda-nomor-3-hanya-bertahan-setahun, 28 Juni 2019. Rodiah, Ita. “Perspektif Oksidentalisme Hanafi dalam Novel Ukhruj Minha Ma’lun Karya Saddam Hussein”. Tesis pada Universitas Indonesia, Depok, 2005, https://docplayer.info/54981201-Universitas-indonesia-perspektif- oksidentalisme-hanafi-dalam-novel-ukhruj-minha-ya-mal-un-karya-saddam- hussein-tesis-ita-rodiah-npm.html, 10 Februari 2020. Solehudin, Mochamad. “Korban Human Trafficking di Jabar Didominasi Remaja Perempuan”, https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4379218/korban- human-trafficking-di-jabar-didominasi-remaja-perempuan, 28 Juni 2019. Teguh, Irfan. “Kwee Tek Hoay di Tengah Dunia Sastra Peranakan Tionghoa”, https://tirto.id/kwee-tek-hoay-di-tengah-dunia-sastra-peranakan-tionghoa- cJuJ, 29 April 2018. Yasa, I Nyoman. “Orientalisme, Perbudakan, dan Resistensi Pribumi terhadap Kolonial dalam Novel-novel Terbitan Balai Pustaka”. Dimuat dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Pendidikan Ganesha Volume 2 Nomor 2, Oktober 2013, https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JISH/article/view/ 2179/1895, 08 Mei 2019.

Wawancara Wajadi, M. Ali. Wawancara. Tegal, 12 Mei 2019.

LAMPIRAN

SINOPSIS 1. Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay Di daerah Preanger (Priangan) ada seorang perempuan bernama Marsiti yang hidup bersama seorang peranakan Tionghoa bernama Ay Tjeng. Sudah tiga tahun Marsiti menjadi nyai Ay Tjeng. Pekerjaannya sangat rajin dan rapih, sehingga Ay Tjeng tidak memiliki niatan untuk menikah dengan perempuan sebangsanya. Kecintaannya kepada Marsiti dapat dibilang sangat besar karena Marsiti mampu mengurus keperluan rumah tangga serta melayani Ay Tjeng dengan sangat baik. Namun, ayah Ay Tjeng menginginkan anaknya agar dapat menikah dengan seorang perempuan peranakan Tionghoa yang merupakan anak dari seorang saudagar kaya bernama Liok Ken Tjim. Ay Tjeng merupakan harapan besar bagi ayahnya untuk dapat mengangkat kembali keluarganya dengan cara menikahi gadis Tionghoa bernama Gwat Nio, anak Liok Ken Tjim. Namun, Ay Tjeng tetap pada perasaan cintanya kepada nyai Marsiti. Maka, pada suatu hari ayah Ay Tjeng membujuk Marsiti untuk menjauh dari Ay Tjeng. Meskipun Marsiti memiliki perasaan yang sama kepada Ay Tjeng, ia memutuskan untuk menuruti permintaan ayah Ay Tjeng demi kebahagiaan Ay Tjeng sendiri. Marsiti meninggalkan rumah Ay Tjeng tanpa pamit kepada tuannya itu. Setelah lama mencari Marsiti dan tidak mendapatkan hasil apa-apa, Ay Tjeng memutuskan untuk menikah dengan Gwat Nio hingga dikarunia seorang anak yang diberi nama Lily. Kehidupan Ay Tjeng tidak berjalan baik-baik saja. Kesedihan, kehilangan, dan kerinduan kepada Marsiti masih dirasakan Ay Tjeng. Kesedihan Ay Tjeng itu tanpa disadari ternyata berpengaruh kepada anaknya. Lily tumbuh menjadi seorang gadis yang melankolis dan mudah putus asa. Hingga akhirnya ia harus kehilangan Lily yang meninggal dunia karena sakit. Padahal, saat itu Lily telah bertunangan dengan Bian Koen. Sepeninggalan Lily, Ay Tjeng dan Gwat Nio

memutuskan untuk sejenak beristirahat jauh dari Batavia sembari mengobati kesedihan mereka. Selama masa istirahat itu banyak hal tak terduga yang dialami oleh Ay Tjeng dan istrinya. Mereka bertemu dengan seorang gadis yang parasnya persis dengan Lily anaknya. Bian Koenlah yang menemui gadis itu terlebih dahulu di sebuah pemakaman. Ternyata, setelah ditelusuri gadis tersebut merupakan anak dari Marsiti yang diberi nama Roos. Selama ini Roos tinggal bersama Tirto, mantan jongos Ay Tjeng. Tirto menceritakan bahwa dulu saat Marsiti pergi dari rumah Ay Tjeng, ia sedang mengandung Roos. Kehadiran Roos telah mengobati kesedihan yang dirasakan semua orang, baik Ay Tjeng, Gwat Nio, maupun Bian Koen. Bian Koen akhirnya menikah dengan Roos dan dikaruniai dua orang anak. Hingga akhir cerita, nama Marsiti dan perbuatannya selalu dikenang oleh mereka, terutama oleh Ay Tjeng. 2. Tjerita Nji Paina karya H.Kommer Peran seorang anak perempuan biasanya akan sangat membantu seorang ayah yang bekerja pada kolonial, seperti seorang perempuan pribumi bernama Nji Paina yang pada awalnya nampak berkorban demi ayahnya. Ayahnya bernama Niti bekerja di sebuah perusahaan milik Belanda sebagai juru keuangan. Suatu hari, saat atasannya yang bernama Briot melihat Nji Paina, ia langsung terpikat dan berniat menikahinya. Nji Paina tentu saja menolak apalagi ia tahu bahwa Briot berlaku tidak baik terhadap ayahnya. Bukannya terus mengangkat derajat Niti dalam pekerjaan, Briot justru menjebak Niti dalam tuduhan penggelapan uang. Niti diminta mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab dengan mengganti uang perusahaan. Namun, ia merasa tidak bersalah dan tidak mampu mengganti uang yang diminta oleh Briot. Lalu, Briot mengancam Niti agar menyerahkan putrinya untuk ia nikahi dengan jaminan bahwa Niti

akan terbebas dari tuduhan tersebut. Nji Paina yang merasa kasihan kepada ayahnya, akhirnya mau menuruti permintaan Briot tersebut. Pada saat itu, di dusun Nji Paina sedang marak virus cacar. Sebelum pergi ke rumah Briot, ia sengaja memeluk anak-anak yang terkena cacar. Setibanya di rumah Briot Nji Paina berpura-pura bertingkah manis dan melakukan kontak secara fisik dengan Briot. Akhirnya, Briot tertular penyakit cacar yang dibawa oleh Nji Paina dan meninggal dunia. Adapun Nji Paina baik-baik saja sebab sakitnya tidak parah. Kemudian, ayahnya berhasil mendapat pekerjaan baru. Kehidupannya berangsur- angsur terus membaik. Nji Paina pun menikah dengan seorang hartawan dan hidup bahagia selamanya. 3. Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti Seorang keturunan Indo memiliki tempat tersendiri dalam lapisan masyarakat, begitulah yang dialami oleh tokoh Sondari dan Urip alias Siti Mariah. Keduanya sama-sama dibesarkan dalam lingkungan pabrik. Bedanya, Sondari hidup bersama keluarga Belanda, sedangkan Urip hidup bersama keluarga pribumi dengan seorang ayah yang bekerja sebagai mandor di pabrik. Sejak kecil mereka bersama Nona berteman Lucie sudah bersahabat. Namun, saat mereka tumbuh dewasa semua itu sedikit berubah. Nona Lucie mulai memilih-milih dalam bergaul dan salah satunya adalah Siti Mariah yang ia hindari karena berbeda secara kelas sosial. Mengenai Sondari, sepeninggalan orang tuanya ia memutuskan untuk pergi ke Betawi dan bekerja dengan usaha sendiri meskipun hidupnya pas-pasan. Siti Mariah sejak kecil sudah memiliki paras cantik, bahkan hingga dewasa ia mampu mencuri perhatian seorang opsiner pabrik bernama Henri Dam. Keduanya saling jatuh cinta, tapi ayah Siti Mariah tidak merestui hubungan tersebut. Sebab, Henri Dam merupakan seorang Belanda dan berbeda keyakinan dengan keluarganya. Bahkan, ayah Siti Mariah melakukan berbagai cara agar kedua sejoli tersebut tidak dapat bersatu. Begitu pun dengan Henri Dam. Ia tidak menyerah begitu saja

dan terus memperjuangkan Siti Mariah hingga akhirnya ayah Siti Mariah luluh dan merestui mereka. Keduanya pun mengadakan pesta pernikahan dan dari perkawinannya tersebut dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Ari Dam. Keluarga mereka hidup dalam kedamaian hingga kedatangan Nona Lucie yang meminta Henri Dam untuk menikah dengannya. Memang sudah saatnya bagi Hendri Dam untuk menikahi seorang wanita Belanda karena ia akan diangkat menjadi seorang administratur. Maka dari itu, Henri Dam diminta untuk segera membuang nyainya. Rupanya, jabatan itu tidak menggoyahkan Henri Dam yang terlanjur menyayangi Siti Mariah amat dalam. Hal itu membuat Nyonya Van Hostein, ibu Nona Lucie, sangat marah. Akhirnya, ia meminta bantuan dukun untuk memengaruhi Henri agar mau menurutinya dan itu berhasil. Henri Dam melepaskan Siti Mariah, namun tidak anaknya, Sinyo Ari. Demi mengobati lukanya, Siti Mariah memutuskan untuk meninggalkan kampung tanpa memberitahu siapa pun hingga seluruh masyarakat mengira ia sudah meninggal entah terbawa arus sungai atau apa. Namun, takdir berkata lain. Beberapa tahun kemudian, keduanya bertemu kembali. Tentunya tidak mudah bagi mereka untuk bersatu kembali karena banyak hal besar telah mereka lewati yang pasti tiada pernah disangka-sangka oleh pembaca. Bahkan, Sinyo Ari yang dahulu dikira telah meninggal dunia rupanya telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Sekolah : SMA N 6 Tangerang Selatan Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : XII/Ganjil Materi Pokok : Teks Novel Sejarah Alokasi Waktu : 8 x 40 Menit (4X pertemuan) A. Kompetensi Inti

K1 Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

K2 Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

K3 Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

K4 Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi KOMPETENSI DASAR DAN IPK DARI KI 4 3.3 Mengidentifikasi informasi yang Indikator Pencapaian Kompetensi mencakup orientasi, rangkaian 3.3.1 Mendata informasi penting dalam kejadian yang saling berkaitan, novel sejarah komplikasi, dan resolusi dalam novel 3.3.2 Mengidentifikasi struktur teks sejarah liasan atau tulis novel sejarah

C. Tujuan pembelajaran Melalui kegiatan pembelajaran dengan pendekatan saintifik peserta didik dapat mengidentifikasi informasi yang mencakup orientasi, rangkaian kejadian yang saling berkaitan, komplikasi, dan resolusi dalam novel sejarah liasan atau tulis

D. Materi Teks Novel Sejarah

E. Pendekatan, Metode dan Model Pembelajaran 1. Pendekatan : Saintifik 2. Model Pembelajaran : Discovery Learning 3. Metode : diskusi kelompok, tanya jawab, penugasan

G. Media/Alat, dan Bahan Sumber Belajar 1. Media/Alat : Teks Cerita Pendek atau Novel 2. Sumber Belajar : a. Buku Bahasa Indonesia kelas XII b. Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay, Tjerita Nji Paina karya H. Kommer, dan atau Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti c. Referensi lain yang menunjang materi struktur teks novel sejarah (KBBI offline, Internet, dan lain-lain).

F. Kegiatan Pembelajaran Pertemuan pertama (@2 ×45 menit)

Nilai Karakter Alokasi Tahap Langkah-langkah Pembelajaran (PPK), Literasi, Waktu 4C, HOTS

Kegiatan 1. Peserta didik merespons salam Religius 10 Awal tanda mensyukuri anugerah Tuhan dan menit saling mendoakan. 2. Peserta didik merespons pertanyaan dari guru berhubungan dengan pembelajaran Rasa ingin tahu sebelumnya (tanya jawab). 3. Peserta didik menyimak kompetensi dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan manfaatnya dalam kehidupan sehari- hari 4. Peserta didik menerima informasi tentang hal-hal yang akan dipelajari, metode dan media, langkah pembelajaran dan penilaian pembelajaran Kegiatan Menanya : Literasi 70 Inti 1. Guru mengajukan beberapa menit pertanyaan stimulus terkait materi yang akan dibahas pada pertemuan saat itu 2. Peserta didik dan guru bertanya Rasa ingin tahu jawab tentang materi novel sejarah

Nilai Karakter Alokasi Tahap Langkah-langkah Pembelajaran (PPK), Literasi, Waktu 4C, HOTS

Mengamati : Berpikir kritis Peserta didik mengamati materi teks (Critical thinking) novel sejarah yang sudah ditentukan secara berkelompok Menalar : 1. Peserta didik diarahkan duduk Kreativitas secara berkelompok. Masing-masing (Creativity) kelompok terdiri atas 4 orang. Setiap kelompok mendiskusikan informasi Komunikatif dari teks cerita sejarah yang sudah (Communicative) dibaca Menyajikan/mengomunikasikan: 1. Peserta didik menyampaikan hasil diskusinya dan mengidentifikasi struktur teks novel sejarah dan peserta didik lainnya memperhatikan 2. Guru memberikan tanggapan Kegiatan Kegiatan guru bersama peserta Kreativitas 10 Penutup didik (Creativity) menit 1. Membuat rangkuman/ simpulan pelajaran. 2. Melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan. 3. Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil HOTS pembelajaran; dan Kegiatan guru 1. Memberikan tugas kepada peserta didik 2. Menyampaikan rencana pembelajaran yang akan dilakukan selanjutnya. 3. Menutup kegiatan belajar mengajar.

H. Penilaian, Pembelajaran Remedial, dan Pengayaan 1. Teknik Penilaian a. Sikap (spiritual dan sosial) b. Pengetahuan (Tes Tertulis) c. Keterampilan (Unjuk Kerja) 2. Pembelajaran Remedial Tulis kegiatan pembelajaran remedial antara lain dalam bentuk: a. pembelajaran ulang b. bimbingan perorangan

c. belajar kelompok d. pemanfaatan tutor sebaya bagi peserta didik yang belum mencapai ketuntasan belajar sesuai hasil analisis penilaian. 3. Pembelajaran Pengayaan Berdasarkan hasil analisis penilaian, peserta didik yang sudah mencapai ketuntasan belajar diberi kegiatan pembelajaran pengayaan untuk perluasan dan/atau pendalaman materi (kompetensi) antara lain dalam bentuk tugas mengerjakan soal-soal dengan tingkat kesulitan lebih tinggi, meringkas buku-buku referensi dan mewawancarai narasumber.

Tangerang Selatan, 5 Januari 2020

Mengetahui, Kepala SMA N 6 Tangerang Selatan Guru Mata Pelajran

......

LAMPIRAN MATERI TEKS NOVEL SEJARAH

A. PENGERTIAN TEKS NOVEL SEJARAH Teks novel sejarah adalah sebuah teks yang di dalamnya memuat cerita dan menjelaskan mengenai suatu fakta atau suatu kejadian yang terjadi pada masa lalu yang akhirnya menjadi sebuah latar belakang (asal muasal) yang mana kejadian tersebut mempunyai unsur nilai sejarah di dalamnya. B. CIRI TEKS NOVEL SEJARAH 1. Disajikan secara kronologis atau urutan peristiwa atau urutan kejadian. 2. Bentuk teks cerita ulang (recount) 3. Struktur teksnya: orientasi, urutan peristiwa, reorientasi. 4. Sering menggunakan konjungsi temporal. 5. Isi berupa fakta. C. JENIS-JENIS TEKS NOVEL SEJARAH Teks novel sejarah dapat dikategorikan sebagai novel ulang (rekon) yang terdiri atas tiga jenis: 1. Rekon Pribadi, yaitu novel ulang yang memuat kejadian dengan melibatkan penulis secara langsung 2. Rekon Faktual (informasional), yaitu novel ulang yang memuat kejadian faktual seperti eksperimen ilmiah, dan laporan polisi 3. Rekon imajinatif, yaitu novel ulang yang memuat novel imajinatif dengan lebih rinci D. STRUKTUR TEKS NOVEL SEJARAH Struktur teks adalah sebuah gambaran (deskripsi) cara bagaimana teks tersebut dibangun. Apakah anda mengetahui bahwa sebuah teks cerita sejarah disusun berdasarkan dengan struktur teks orientasi cerita sejarah yang kemudian diikuti oleh urutan kejadian (peristiwa) dan diikuti oleh orientasi kembali (reorientasi)? Oleh karena itu, perhatikan penjelasan berikut agar anda mudah untuk memahaminya. 1. Orientasi, bagian ini merupakan tahap pengenalan / tahap pembuka dari teks cerita sejarah. 2. Urutan Peristiwa, bagian ini rekaman peristiwa atau kejadian sejarah yang terjadi, biasanya tahap ini disampaikan dalam bentuk urutan kronologis. 3. Reorientasi, tahap ini berisikan dengan komentar yang sifatnya pribadi oleh penulis mengenai kejadian atau peristiwa sejarah yang telah diceritakan. Tahap ini adalah tahap yang sifatnya pilihan (optional) yang berarti, pada tahap ini penulis teks sejarah boleh untuk tidak menyajikannya.

LAMPIRAN PENILAIAN

1. Penilaian Sikap Petunjuk: a. Amati perkembangan sikap peserta didik menggunakan instrumen jurnal pada setiap pertemuan. b. Isi jurnal dengan menuliskan sikap atau perilaku peserta didik yang menonjol, baik yang positif maupun negatif. Untuk peserta didik yang pernah memiliki catatan perilaku kurang baik dalam jurnal, apabila telah menunjukkan perilaku (menuju) yang diharapkan, perilaku tersebut dituliskan dalam jurnal (meskipun belum menonjol)

Jurnal Perkembangan Sikap Sosial

Nama Sekolah : SMA N 6 Tangerang Selatan Kelas/Semester : XII/1 Tahun Pelajaran : 2019/2020

No. Tanggal Nama Peserta didik Catatan Butir Sikap Perilaku

2. Penilaian Pengetahuan Petunjuk: a. Penugasan diberikan di akhir kegiatan pembelajaran b. Guru memberikan soal uraian tentang teks cerita sejarah untuk dikerjakan oleh peserta didik secara individu

Penilaian Kompetensi Pengetahuan

Teknik : Tes Bentuk : Tes Non Obyektif Indikator soal/Kisi-kisi: No Materi Indikator Bentuk tes No.Soal

1. Teks cerita 1. Menjelaskan pengertian teks Uraian 1 sejarah cerita sejarah

2. Menjelaskan ciri dan tujuan 2 teks cerita sejarah Disajikan teks cerita sejarah, peserta didik mampu 3 3. Mengidentifikasi informasi penting dalam teks tersebut

Pedoman penskoran

No. Deskriptor Skor

Dapat menjawab pengertian teks cerita sejarah 1. 5 dengan benar.

Dapat menjelaskan ciri dan tujuan teks cerita 2. 5 sejarah dengan benar

3. Dapat mengidentifikasi informasi penting dalam 10 teks tersebut Nilai = Jumlah skor jawaban benar X 5

3. Penilaian Keterampilan Petunjuk: a. Penugasan merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran pada hari itu b. Guru memberikan tugas kepada peserta diidk untuk mendiskusikannya secara berkelompok. Setelah itu, peserta didik diminta untuk mengomunikasikannya secara lisan secara bergantian

Penilaian Kompetensi Keterampilan Teknik : Non Tes Bentuk : Unjuk Kerja Indikator soal/Kisi-kisi:

No Materi Indikator Bentuk tes No.Soal

1. Teks Disajikan teks cerita sejarah, Unjuk Kerja cerita peserta didik mampu sejarah 1 1. Mengidentifikasi informasi penting dan struktur teks novel sejarah tersebut

Jurnal Penilaian Keterampilan

Aspek yang Dinilai JML NO Nama Siswa Kecepatan Ketepatan Kelengkapan Kejelasan SKOR 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1

2

3

4

푆퐾푂푅 푃퐸푅푂퐿퐸퐻퐴푁 SKOR = X 100 푆퐾푂푅 푀퐴퐾푆퐼푀퐴퐿

Hasil Transkrip Wawancara

Informan : M. Ali Wajadi (54 tahun) Warga Desa Kemantran Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Waktu Pelaksanaan : Tegal, 12 Mei 2019 Alasan dipilihnya informan sebagai sumber tambahan dalam penelitian ini ialah karena di daerah asal informan, Desa Kertayasa-Kabupaten Tegal, masih banyak wanita yang dipanggil dengan sebutan “Nyai”. hal itu membuat penulis tertarik untuk mengetahui konsep “Nyai” yang ada di masyarakat, khususnya desa tersebut P: Di sekitar desa apakah masih ada seorang perempuan yang dipanggil dengan sebutan Nyai?

I: Masih, tapi bukan di desa ini. Dia ada di Desa Kertayasa. Dia seorang wanita tua asli desa ini. namanya Nyai Siro.

P: Apakah dia seseorang yang disegani di desa ini?

I: Bisa dibilang begitu, karena dia seorang dukun bayi sejak lama.

P: Oh, begitu. Apakah semua dukun bayi selalu disebut dengan sebutan “Nyai”?

I: Tidak juga.

P: Lalu apakah ada syarat atau ketentuan yang menjadikan seorang wanita bisa dipanggil dengan sebutan “Nyai”?

I: Kalau boleh sedikit bercerita, sebenarnya sebutan “Nyai” itu merupakan sebutan yang umum di masyarakat Jawa. Biasanya, wanita yang disebut dengan “Nyai” merupakan seseorang yang dikenal di masyarakat. Entah itu pekerjaannya, misalnya Nyai Siro ini yang dikenal sebagai dukun bayi di desa ini. selain itu, istri seorang pemilik pesantren atau Kyai biasanya juga dipanggil sebagai “Nyai”. Namun, beberapa orang ada juga yang menggunakan “Nyai” sebagai kata sapaan kekerabatan sebagai pengganti “nenek”.

P: Oh jadi sebenarnya “Nyai” itu merupakan sebutan yang umum di Jawa, ya, Pak. Terima kasih atas informasi yang telah Bapak berikan.

RIWAYAT PENULIS

Rizki Fitriana Asria, lahir pada 14 Desember 1997. Gadis kelahiran Tegal ini akrab dipanggil Kiki. Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan M. Ali Wajadi dan Sri Asih Sutarsih.

Kiki mengawali pendidikannya di SD Negeri 01 Kemantran. Pada tahun 2009 ia melanjutkan pendidikannya di SMP N 3 Kota Tegal. Setelah itu, ia melanjutkan sekolahnya di SMA N 1 Kota Tegal dan menamatkannya pada 2015. Gadis asli Tegal ini mencoba mendaftar beberapa universitas sebagai tempat ia melanjutkan pendidikannya. Akhirnya, pada pertengahan 2015, ia diterima di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. gadis

Selama menjadi mahasiswa, penulis sering aktif sebagai panitia dalam berbagai kegiatan di jurusan. Seperti, Studium General, PBAK, dan sebagainya. Pada 2016, ia dinobatkan sebagai runner-up Duta Jurusan PBSI. Ia tertarik dalam bidang tarik suara dan seni tari. Penulis menyelesaikan pendidikan S-1 dengan menulis skripsi yang berjudul “Gagasan Nyai dalam Tiga Cerita Pra-Indonesia dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah”.