BAB III

WACANA NUSANTARA DAN KONTEKS YANG MELATAR BELAKANGI KEMUNCULANNYA

A. Wacana

Wacana Islam Nusantara mulai ramai diperbincangkan secara luas terutama setelah istilah tersebut dipakai dalam tema Muktamar (NU) ke 33 yang diselenggarakan di Jombang pada tanggal 1-5 Agustus 2015 yang lalu. Tema yang diusung dalam muktamar tersebut ialah “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Dunia dan ”116. Bahkan sebelum penyelenggaraan muktamar tersebut istilah Islam Nusantara sebenarnya sudah muncul dan diperbincangkan dalam acara yang diselenggarakan oleh ormas itu juga, yakni pada saat penyelenggaraan Musyarwarah Nasional Alim Ulama (MUNAS) Nahdlatul Ulama yang diselenggarakan beberapa bulan sebelumnya di Masjid Istiqlah , yakni pada tanggal 14 Juni 2015117. Beberapa pihak yang mengusung wacana Islam Nusantara memberikan pengertian yang beragam mengenai istilah tersebut, misalnya dari ketua umum PBNU sendiri yakni Said Aqil Siraj yang mengartikan Islam Nusantara sebagai gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan istiadat di tanah air118. Ia mendakwahkan Islam tersebut sebagai Islam yang merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, dan tidak memberangus budaya. Lebih lanjut ia juga mengungkapkan Islam Nusantara secara lebih umum sebagai Islam yang memiliki watak yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran"119. Adapun Ahmad Baso mendefinisikan Islam Nusantara sebagai cara bermazhab secara qauli dan manhaji dalam ber-istimbath tentang Islam dari

116 . “Jaringan Ulama Nusantara”. dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Islam Nusantara; dari Ushul Fiqh Hingga Konsep Historis. Bandung: Mizan. 2015. Hal. 169 117 Hayder Affan. “Polemik Dibalik Istilah ‘Islam Nusantara”. BBC Indonesia. 15 Juni 2015. Diunduh dari www.libforall.org pada tanggal 8 April 2016 118 A. Mustofa Haroen. Meneguhkan Islam Nusantara: Biografi Pemikiran & Kiprah Kebangsaan Prof. Dr. Said Aqil Siroj, MA. Jakarta: Khalista. 2015. Hal. 113 119 Hayder Affan. Op. Cit. 37 dalil-dalilnya yang disesuaikan dengan teritori, wilayah, kondisi alam, dan cara pengamalannya dari penduduk negeri tersebut120. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa Islam Nusantara adalah, “Mazhab berpikir yang dilakukan para ulama Nusantara dalam mengamalkan dan menerjemahkan Islam ke dalam bahasa-bahasa Nusantara untuk memberikan tafsiran keagamaan normatif ke dalam ajaran atau dalil-dalil Islam itu sendiri”121. Gagasan Islam Nusantara ini juga turut disuarakan oleh Presiden Indonesia Jokowidodo. Menurutnya "Islam kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi".122 Dari beberapa pengertian tersebut, setidaknya dapat dianalisis bahwa istilah Islam Nusantara sesuai dengan tema yang menjadi titik sentral dari pewacanaannya memiliki keterkaitan dengan aspek budaya. Keterkaitan ini secara spesifik mewujud dalam bentuk akomodasinya terhadap budaya. Konsekwensi lanjutan dari akomodasinyaterhadap budaya tersebut meniscayakan model Islam tersebut untuk menerapkan Islam secara kontekstual dengan wilayah yang menjadi tempat dimana ia berpijak, perwujudan tersebt sekaligus pula memunculkan beberapa sifat daripadanya yakni Islam yang ramah, inklusif, dan toleran. Semenjak kemunculannya, diskurusus Islam Nusantara terutama yang muncul pada momen muktamar NU ke-33 ini menuai berbagai pro-kontra. Hal ini terutama dipicu oleh Istilah “Nusantara” itu sendiri yang disandingkan pada kata Islam, sehingga mengesankan pensifatan sekaligus pengkotak- kotakan terhadap Islam. Munculnya berbagai kritikan dan kontra wacana ini terutama di suarakan oleh berbagai kelompok yang gerakan Islam trans- nasional seperti halnya HTI, Salafi, yang memang memiliki ideologi yang berbeda dengan kelompok pengusung Islam Nusantara tersebut. Mengenai pemakaian istilah “Nusantara” ini, beberapa pengusung Islam Nusantara tersebut memberikan tanggapanya. Misalnya, Ishom Yusqi

120 Ahmad Baso. Islam Nusantara: Ijtihad Jenius, & Ijma’Ulama Indonesia. Jakarta:Pustaka Afid. 2015. Hal. 21 121 Ibid. 122 Hayder Affan. Op. Cit. 38 yang mengulas istilah tersebut melalui kaidah bahasa secara lebih luas. Menurutnya secara terminologis frase “Islam Nusantara” merupakan tarkib idha>fi dengan huruf jarr yang berupa ba’ (di), fi> (di dalam) dan la>m (untuk/bagi). Dengan memakai huruf ba’ Islam Nusantara dapat diartikan sebagai Islam yang merujuk pada istilah geografis, yakni Islam yag ada di kepulauan Nusantara. Apabila yang dipakai adalah huruf fi>, maka Islam Nusantara merujuk pada konsep secara antropo-sosio-kultural yang berarti Islam yang sudah dipahami, dipraktekan, dan akhirnya menginternalisasi dalam kehidpan beragama masyarakat muslim Nusantara. Sedangkan bila yang dipakai adalah la>m maka Islam Nusantara dimaksudkan sebagai ajaran ajaran yang dinamis, futuristik yang dapat diaplikasikan bagi Islam di Nusantara sehingga mampu mewujudkan maslahat, memberikan hikmah dan memberikan rahmat bagi masyarakat Indonesia baik saat ini maupun yang akan datang123. Tiga pemaknaan atas term Islam Nusantara di atas menunjukan bahwa Istilah Islam Nusnatara tidak dimaknai sebagai Islam yang bersumber dari Nusantara, karena pada hakikatnya Islam bersumber dari Allah yang merujuk pada al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga sama sekali tidak mendistorsi sifat dan identitas hakiki dari keislamanya itu sendiri. Di samping itu, adanya penjabaran tersebut sekaligus menunjukan bahwa secara akademik wilayah kajian Islam Nusantara sangat luas, meliputi kajian geografis, antropologis, sosiologis, dan futuristik. Kajian bersifat geografis meliputi wilayah kajian Islam berbasis kawasan, demografis, sekaligus historis. Kajian secara antropo-sosiologis meliputi antara lain, kajian terhadap tipologi, budaya, politik, dan etika masyarakat Nusantara, sementara secara futuristik meliputi kajian yang bersifat prediktif dan strategis mengenai perkembangan masyarakat muslim Nusantara di masa mendatang124. Dengan demikian wacana Islam Nusantara bukanlah kajian yang tanpa dasar historis atau fakta tertentu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

123 M. Ishom Yusqi, dkk. Mengenal Konsep Islam Nusantara. Jakarta:Pustaka STAINU. 2015. Hal. 4-5 124 Ibid. Hal. 5-6 39 Bizawie, diskursus Islam Nusantara merupakan diskursus yang didasari oleh adanya fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara itu sendiri yang disebarkan dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras,125 hal ini karena kehadiran Islam di Nusantara bukan untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Sebaliknya Islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi yang ada secara bertahap126. Menurut Azra127, secara geografis istilah Islam Nusantara mengacu pada Islam yang ada di gugusan kepulauan atau benua maritim (Nusantara) yang mencakup Indonesia, Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea). Dengan cakupan seperti itu, Islam Nusantara dapat dikatakan sama dengan Islam Asia Tenggara. Lebih lanjut ia juga mengungkapkan bahwa wilayah muslim Nusantara ini merupakan satu dari delapan ranah budaya Islam yang ada di dunia. Kedelapan ranah tersebut ialah Arab, Persia atau Iran, Turki, Anak Benua India, Nusantara, Cina atau Asia Timur, Afrika, dan Belahan Dunia Barat128. Sedangkan secara normatif doktrinal, Islam Nusantara menganut Rukun Iman dan Rukun Islam yang sama dengan kaum Ahlu al-sunnah wa al-jama>’ah (Sunnah atau Sunni) yang lainnya. Meski begitu, corak doktrinal Islam Nusantara tersebut tetap memiliki distingsi tersendiri129. Disitngsi tersebut misalnya tercermin dalam ortodoksi Islam Nusantara yang memiliki corak dan ortodoksi yang berbeda dengan Islam yang berada di wilayah Arab Saudi. Menurut Azra130, ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur utama, pertama kalam (teologi) Asy’ariyah, kedua, fikih Syafi’i meskipun juga menerima tiga mazhab fikih lainya, ketiga, tasawuf al-Ghazali

125 Zainul Milal Bizawie. “Islam Nusantara Sebagai Subjek dalam Islamic Studies: Lintas Diskurus dan Metodologis”. Dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 239 126 Ibid. hal. 240 127 Zainul Milal Bizawie. Materpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama- (1830-1945). Tanggerang:Pustaka Compas. 2016. Hal. 6 128 Azyumardi Azra dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 172 129 Ibid. Hal. 170 130 Ibid. 40 baik dipraktikan secara individual maupun secara komunal (tarekat). Ortodoksi Islam Nusantara ini terbentuk secara mapan terutama sejak abad ke-17, ketika murid-murid Jawi seperti Nuruddin ar-Raniri, ‘Abdurrauf al- Sinkili, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari kembali ke Nusantara setelah belajar dan terlibat dalam jaringan ulama yang berpusat di Haramain131. Dalam konteks Islam Arab Saudi, ortodoksinya hanya memakai dua unsur, pertama, kalam (teologi) Salafi-Wahabi yang menerapkan pemahaman yang cenderung literal dan penekanan Islam yang ‘murni’. Kedua, ialah fikih Hambali yang merupakan mazhab yang paling ketat dalam yurisprudensi Islam. Adapun tasawuf tidak dipakai karena dianggap mengandung banyak bid’ah132. Terkait dengan dikotomi Islam Nusantara dan Islam Arab ini para penggagas wacana tersebut mengungkapkan bahwa Islam Nusantara bukanlah Islam yang anti Arab atau anti apapun. Karena sikap tersebut merupakan sebuah ekstremisme berfikir. Terlebih karena tidak semua yang berbau Arab itu adalah sesuatu yang buruk. Akan tetapi Arabisasi secara vulgar juga tidak selalunya baik dan tidak selalu sesuai dengan Islam, karena untuk menjadi muslim yang baik tidak selalunya harus menggunakan istilah-istilah atau produk budaya Arab133. Islam Nusantara juga bukanlah suatu agenda tertentu yang bermaksud untuk menusantarakan atau nusantaranisasi Islam134. Seperti halnya konsep pribumisasi Islam, Islam Nusantara bukan bermaksud untuk melakukan upaya jawanisasi atau sinkretisasi terhadap Islam135. Terhadap budaya lokal ini, ia tetap menerapkan proses seleksi, namun juga tidak menghindari akulturasi dan adaptasi136, sehingga Islam Nusantara masih tetap berpegang pada akidah

131 Ibid. 132 Ibid. 133 M. Ishom Yusqi, dkk. Op. Cit. Hal. 10 134 Ibid. hal. 241 135 . Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok:Desantara. 2001. Hal. 119 136 Zainul Milal Bizawie dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 240 41 tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. sekaligus tetap menghargai tradisi137. Adapun bentuk operasionalisasi dari islam Nusantara tersebut menurut Bizawie ialah dengan mewujudkan nilai-nilai Islam melaui bentuk budaya lokal. Sedangkan dalam tataran praksisnya, ialah dengan menyusupkan nilai Islami di dalam budaya lokal atau mengambil nilai-nilai Islami untuk memperkaya budaya lokal atau menyaring budaya agar sesuai dengan nilai- nilai Islam tersebut138. Proses ini dimungkinkan karena dalam Islam terdapat kaidah fikih al-a>dah muh}akkamah maupun pengembangan dan pemahaman aplikasi nash. Upaya tersebut semata-mata ditujukan untuk tercapainya maqa>shid al-syari>’ah (tujuan syari’at), yaitu terwujudnya kemaslahatan (maslah}ah) manusia di dunia dan akhirat.139 Dengan adanya konsepsi demikian, bagi para pengusungnya Islam Nusantara pantas untuk diperjuangkan untuk masa depan peradaban Indonesia dan dunia. Islam Nusantara diyakini sebagai Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam Nusantara merupakan cerminan Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang beragam, sehingga Islam Nusantara layak untuk menebar rahmatan lil alamin di bumi Nusantara ini140. Dalam tulisanya Zainul Milal Bizawie mengungkapkan Islam Nusantara merupakan,

“Islam yang merangkul bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang memakai hati, bukan memaki-maki, Islam yang mengajak tobat, bukan menghujat, Islam yang memberi pemahaman bukan memaksakan.”141

137 Ibid. Hal. 241 138 Zainul Milal Bizawie. Op. Cit Hal. 6 139 Ibid. 140 Zainul Milal Bizawie dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 240 141 Ibid. Hal. 241 42 B. Konteks Kemunculan Wacana Islam Nusantara

Menurut Sila142, istilah Islam Nusantara pada hakikatnya merupakan istilah lama, hanya saja istilah tersebut kembali menjadi perbincangan pasca Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menyampaikan istilah tersebut di hadapan peserta istighosah menyambut Ramadan dan sekaligus sebagai pembukaan Munas Alim Ulama NU pada 14 Juni 2015 waktu lalu. Sedangkan menurut Nata143, istilah Islam Nusantara pertama kali diperkenalkan oleh Azyumardi Azra melalui bukunya yang berjudul Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, terbitan tahun 2002. Meski begitu, pendapat tersebut perlu untuk ditinjau kembali, karena bila merujuk pada pemakaian istilah tersebut, jauh sebelum itu istilah Islam Nusantara juga pernah dipakai oleh salah satu penulis misalnya, oleh M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, terbitan Kurnia Kalam Sejahtera terbitan tahun 1994144. Bila merujuk secara khusus pada ormas NU sendiri, diskursusIslam Nusantara telah dibahas jauh sebelum terselenggaranya muktamar NU yang ke-33 tersebut. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tulisan-tulisan yang dimuat baik dalam artikel secara tercetak maupun yang ada dalam website resmi NU sendiri. Disampig wacana dalam bentuk publikasi tulisan, Islam Nusantara juga ramai diperbincangkan dalam forum ilmiah, seperti halnya seminar145, diskusi, dan bahkan pembukaan program studi yang berfokus dalam kajian Islam Nusantara146. Diskurusu Islam Nusantara baik sebelum muktamar maupun menjelang muktamar memiliki tema yang tidak jauh berbeda, diskursus ini berkisar pada

142 M. Adlin Sila. “Islam Nusantara atau Muslim Nusantara? Sebuah Pertanyaan Antropologis”. Litbang Diklat. Nomor 2 Tahun 2015. Hal. 42 143 Abuddin Nata. Studi Islam Komprehensif. Jakarta:Kencana. 2011. Hal. 514 144 Mahrus El-Mawa. “Sisi Filologis Islam Nusantara”. LaDuni. Edisi V Oktober- November 2015. Hal. 19 145 Seperti halnya, seminar yang digelar oleh PWNU Jawa Timur di Surabaya pada tahu 2011 dengan tema “NKRI, Aswaja, dan Masa Depan Islam Nusantara”. dikutip dari Islam Nusantara, Apa Pula ?!. sumber, www.nu.or.id , dilansir pada 28 Februari 2011, dan dikutip pada 21 Agustus 2016 pukul 14:20 WIB. 146 Pembukaan program studi Islam Nusantara ini misalnya dilakukan oleh Pasca Sarjana STAINU Jakarta pada tahun 2013 yang lalu. 43 pembahasan mengenai ke khasan corak Islam yang ada di Indoensia yang digambarkan sebagai corak Islam yang damai, unik, distingtif dan akomodatif terhadap budaya. Akan tetapi, setidaknya dalam diskurusus pra-muktamar ini bagi beberapa tokoh dinilai cukup damai dan tidak sampai menuai pro dan kontra147. Adanya pro-kontra itu sendiri sangat diwajari, mengingat momen pewacanaan Islam Nusantara yang belakangan ini berkaitan dengan momen muktamar NU yang ke-33 sekaligus menjadi tema besar daripada agenda besar ormas tersebut, sehingga banyak pihak yang mewacanakan istilah tersebut namun tanpa pemahaman yang mendalam mengenai maksud dari konsepsi Islam Nusantara tersebut. Disamping itu juga dikarenakan kesalah pahaman dalam mengartikan dan memahami istilah atau gagasan Islam Nusantara itu sendiri, bahkan mungkin sengaja disalah pahami mengingat hadirnya wacana Islam Nusantara ini disebut-sebut merupakan counter wacana dari hadirnya pemahaman golongan Islam tertentu148. Ada berbagai faktor yang melandasi kemunculan wacana Islam Nusantara menjelang momen muktamar NU yang ke-33 ini. Diantara berbagai faktor tersebut dapat dilihat misalnya baik dari konteks internal yakni dari praktik wacana yang meliputi identitas, dan ideologi dari pengusung wacana Islam Nuantara itu sendiri, maupun dari faktor eksternal yang meliputi situasi dan kondisi sosio-kultural, konteks historis yang melatar belakangi munculnya wacana tersebut. Adapun uraian lebih jelasnya ialah sebagai berikut.

1. Konteks Praktik Wacana Islam Nusantara

Sebuah wacana muncul tentunya tidak mungkin tanpa dilandasi konteks yang mendasari kemunculanya. Demikian juga wacana Islam Nusantara yang muncul pada momen muktamar NU yang ke-33 ini. Wacana ini hadir bukan tanpa maksud dan tujuan, dan tentunya

147 Ungkapan ini misalnya diutarakan oleh Rumadi yang dikutip dari, Wacana Islam Nusantara Sudah Lama dan Terus Diperbincangkan. www.nu.or.id dilansir pada 15 Maret 2016, dan dikutip pada 21 Agustus 2016 pukul 14:20 WIB. 148 “Wacana Islam Nusantara”. Litbang Diklat. Nomor 2 Tahun 2015. Hal. 11 44 kehadirannya pula bukan karena didasari oleh ketidak sengajaan yang bisa muncul secara tiba-tiba. Untuk mengurai mengenai maksud-maksud tertentu yang melandasi kemunculan wacana Islam nusantara ini, setidaknya dapat diketahui dengan mengurai atau dengan melihat wacana tersebut dari konteks praktik wacana yang melatar belakanginya. Pembahasan ini melingkupi pembahasan mengenai identitas pengusung wacana tersebut, sekaligus mengidentifikasi ideologi yang mendasari pemikirannya, konteks ini juga dapat diketahui melalui bagaimana wacana tersebut di distribusikan. Dari aspek-aspek yang telah diuraikan tersebut dapat di elaborasi dalam berbagai penjelasan berikut.

a. NU sebagai Pengusung Utama Wacana Islam Nusantara Secara eksplisit, para pengusug wacana Islam Nusantara tidak mengatakan bahwa wacana Islam Nusantara hanya miliki orang-orang NU saja. Namun secara gamblang pula dapat dengan mudah diketahui bahwa aktor utama dibalik maraknya wacana tersebut dapat dikatakan ialah hasil dari kontribusi ormas yang satu ini. Hal ini dapat diketahui bahwa dalam kemunculannya, wacana Islam Nusantara secara massif dikaji setelah istilah ini dijadikan sebagai tema dari muktamar ormas NU ini. Bahkan sebelum dijadikan tema muktamar, ormas NU juga sudah aktif mewacanakan istilah Islam Nusantara ini149. Pewacanaan kembali Islam Nusantara melalui muktamar merupakan bukti dari cukup urgennya istilah tersebut bagi agenda ormas ini. Sebagaimana yang diketahui, muktamar merupakan agenda yang cukup penting dalam penyelenggaraan ormas-ormas keagamaan terutama bagi ormas NU yang satu ini. Hal ini karena dalam penyelenggaraan muktamar, di samping dalam pelaksanaanya melibatkan seluruh unsur ormas yang ada di berbagai wilayah, juga

149 Bila merujuk pada website resmi NU yakni www.nu.or.id pembahasan mengenai Islam Nusantara baik secara konsepsi maupun penelitian secara akademik semakin marak dikaji oleh ormas NU. Meskipun pada masa sebelum muktamar juga diskursus Islam Nusantara juga sudah di bahas dalam forum-forum ilmiah, meskipun sejauh penilaian penulis masih lebih intens dilakukan menjelang momen muktamar NU yang ke-33. 45 didalamnya membahas mengenai agenda-agenda yang cukup urgen yang nantinya akan di jadikan agenda besar untuk dikembangkan oleh ormas tersebut. Beberapa dari pengusung wacana ini juga mengungkapkan secara eksplisit, bahwa NU merupakan pengusung utama sekaligus pemeliharan model Islam Nusantara. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Yusqi dan Anam bahwa, “Perintis istilah Islam Nusantara adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) melalui para akademisi Pascasarjana STAINU/UNU Jakarta. Meski tentu bukan istilah baru, namun Islam Nusantara secara khusus dikampanyekan oleh organisasi ini dan secara resmi menjadi tema besar Muktamar Ke-33 NU pada 1-5 Agustus 2015, di Jombang, Jawa Timur”.150 Secara historis, organisasi masyarakat (Ormas) NU didirikan salah satunya untuk menjaga tradisi Islam yang bercorak Aswaja. Hal ini sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, berdirinya ini tahun 1926 merupakan suatu respon atas kondisi politik internasional yang terjadi saat itu, bermula dari adanya Sidang Komite Khilafah yang akan di selenggarakan di Arab Saudi, dimana di Negara Arab Saudi kala itu tengah di kuasai oleh penguasa yang berideologikan pemahaman Wahabi yang anti dengan tasawuf dan tradisi bermazhab. Dengan adanya kondisi tersebut beberapa tokoh ulama Indonesia membentuk suatu aliansi delegasi untuk mengirim utusanya ke negara tersebut. aliansi ini dinamakan dengan Komite Hijaz, dengan tujuan untuk meyampaikan aspirasi kaum muslim Indonesia terutama yang berhaluan Aswaja kepada raja Arab Saudi supaya dapat mengizinkan umat Islam Indonesia untuk dapat melakukan aktivitas ibadah haji sesuai dengan tata cara sesuai dengan mazhabnya. Perkumpulan atau komite inilah yang menjadi cikal-bakal organisasi Nahdlatul Ulama151.

150 M Isom Yusqi dan Faris Khoirul Anam. Mabadi ‘Asyrah Islam Nusantara. dikutip dari www.nu.or.id yang dilansir pada 01 Agustus 2015, dan dikutip pada tanggal 21 Agustus 2016 pukul 19:00 WIB. 151 Rumadi. Op. Cit. Hal. 36-37 46 Ormas Nahdlatul Ulama ini juga di akui merupakan representasi sekaligus salah satu pewaris dari corak keberagamaan yang ada di Indoenesia itu sendiri. Sebagaimana yang diketahui bahwa Islam di Indonesia merupakan Islam bercorak kultural dan tradisional. Kecenderungan tradisional tersebut dimaksudkan sebagai Islam yang menjaga ketersambungan dengan tradisi yang telah ada sebelumnya baik dalam tradisi bermazhab maupun tradisi yang ada dalam masyarakat152, sehingga sesuai pula dengan corak Islam Nusantara yang bersifat akomodatif dengan budaya lokal setempat. Keterwarisan corak keberagamaan Islam di Nusantara tersebut misalnya dapat terlihat dari sanad keilmuan dari para pendiri ormas tersebut. Para tokoh-tokoh pendiri NU seperti halnya KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Casbullah, dan KH. Bisri Sansuri tersebut memiliki jalur sanad yang langsung tersambung pada ulama-ulama Nusantara sebelumnya seperti, Mahfuz al-Tirmasi, Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Kiai Khalil Bangkalan. Proses ketersambungan sanad tersebut terutama terjadi sewaktu para pendiri NU tersebut melakukan aktifitas belajarnya di kota Haramain.153. Di samping itu juga, secara genealogis Islam Nusantara merupakan elaborasi dari gagasan pribumisasi Islam yang telah di manifestokan oleh mantan ketua PBNU KH. Abdurrahman Wahid pada era tahun 80-an154. Hadirnya pribumisasi Islam merepresentasikan pemahaman Islam dari NU itu sendiri yang moderat, kontekstual dan akomodatif terhadap budaya. Sehingga konsep ini merupakan aset yang berharga tentunya bagi para pemikir Indonesia terutama dari kalangan NU itu sendiri. Lebih jelasnya lagi, pemahaman Islam Nusantara yang didakwahkan berhaluan moderat, dan toleran tersebut tercermin dari pemahaman Aswaja yang juga dipahami oleh ulama-ulama NU itu sendiri.

152 Ibid. Hal. 30 153 Ibid. Hal. 44 154 A. Mustofa Haroen. Op. Cit. Hal. 113 47 b. Pemahaman Aswaja Wacana Islam Nusantara Sebagaimana yang telah disinggung pada sub sebelumnya, produksi wacana Islam Nusantara oleh ormas NU ini tentunya tidak lepas dari pemahaman dasar yang mejadi manhaj berpikirnya. Hal ini dapat dimengerti karena NU sendiri merupakan salah satu pewaris dari transmisi Islam yang telah berakar sejak zaman Islamisasi awal-awal sebelumnya yang memiliki ortodoksi yang terangkum dalam manhaj Ahl al-sunnah wa al-jama>’ah.

Islam Nusantara sebagai perwujudan Islam yang telah ada dan tetap ada sampai hari ini digambarkan sebagai Islam Ahlu al-sunnah wa al-jama>’ah yang memiliki sifat moderat, toleran, dan akomodatif terhadap budaya. Ideologi Ahlu al-sunnah wa al-jama>’ah atau yang biasa disebut dengan Aswaja digambarkan sebagai ideologi yang bersifat tawasuth, tawazun, tasamuh dan i’tidal. Manifestasi keberagamaan yang berpijak pada ideologi tersebut memunculkan corak beragama yang lebih fleksibel dan inklusif, sehingga dapat berbaur dengan berbagai perbedaan corak beragama baik dalam Islam maupun diluar Islam, dan akomodatif terhadap budaya termasuk didalamnya dalam menerima tradisi lokal dan paham kebangsaan seperti halnya Pancasila155. Merujuk secara ontologis, identitas Aswaja sebenarnya lebih cocok dikategorikan sebagai manhaj berpikir daripada sebagai mazhab. Hal ini karena aswaja sebagai pemahaman berislam mencakup didalamnya berbagai mazhab, baik mazhab kalam, fqih, ataupun tasawuf. Sehingga tidak cocok dikatakan sebagai mazhab156. Terkait dengan Aswaja ini, Aqil Siroj mengartikan istilah tersebut secara historis sebagai “orang-orang yang memiliki metode berfikir

155 Said Aqil Siroj. “Rekonstruksi Aswaja Sebagai Etika Sosial“, dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 140 156 Ibid. hal. 140 48 keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran”157. Terbentuknya corak tersebut terutama dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik yang melingkupi awal mula kemunculannya. Menurut Aqil Siroj secara historis munculnya paham Aswaja lebih dipengaruhi faktor politis daripada teologis158. Ia menggambarkan kemunculan Aswaja mula-mula diawali oleh kondisi perpecahan umat Islam yang tengah berkecamuk pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah. Kemelut tersebut merupakan imbas dari berbagai peristiwa perpecahan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, terutama semenjak peristiwa terbunuhnya khalifah ke-3 yakni Usman bin ‘Affan yang kemudian memunculkan kericuhan dan perang saudara yang di istilahkan dengan al-fitnah al-kubra159. Adanya kemelut tersebut mengakibatkan ancaman terhadap persatuan umat, sehingga seorang panglima perang Bani Umayyah yakni Hajjaj bin Yusuf mengusulkan pada Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk melakukan politik kekuatan yakni dengan melakukan upaya fisik terhadap perpecahan tersebut. Setelah posisi pemerintahan menang, barulah Hajjaj dan Abdul Malik memutuskan untuk mengakhiri fitnah dengan cara rekonsiliasi, akomodasi dan dialog. Sehingga muncullah istilah jama>’ah yang tak lain adalah semangat inklusivisme dengan menerima keragaman keberagamaan di kalangan umat Islam dengan slogan “nahnu jama>’atan wa>hidah tahta ra>yati din Allah”, kita semua adalah anggota jamaah yang tunggal di bawah bendera agama Allah160. Pada waktu itu pengertian jama>’ah juga diartikan sebagai konsep non-sukuisme. Karena pasca wafatnya Nabi tradisi sukuisme

157 Said Aqil Siroj. Ahlussunnah wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis. Jakarta:Paramuda Jakarta. 2008. Hal. 8 158 Said Aqil Siroj dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 144-145 159 Said Aqil Siroj. Op. Cit. Hal. 28 160 Nurcholis Madjid. “Islam Indonesia Menatap Masa Depan: Aktualisasi Ahlussunnah Waljama’ah “, dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit .Hal. 123-124 49 ini muncul kembali.161 Slogan tersebut salah satu isinya berupa ittiba’ kepada empat khulafah al-ra>syidi>n yakni Abu Bakar, Umar Usman dan Ali. Hal ini termasuk baru, karena pada Dinasti Umayyah kekhalifahan Ali cenderung ditolak. Namun justru dimasa pembentukan paham jama>’ah itu ia disandingkan dengan khalifah lainya dan justru menggeser posisi Muawwiyah bin Abu Sufyan sebagai pendiri Bani Umayyah162. Generasi Aswaja yang mula-mula menurut Aqil Siroj dipelopori oleh Hasan al-Basri, ia merupakan salah seorang tabi’in yang bersikap netral pada masa terjadinya fitnah al-kubra bersama beberapa tabi’in lainnya seperti Abu Sufyan al-Tsauri, Fudlail ibn Iyadh serta Abu Hanifah. Kelompok Hasan al-Bashri inilah yang menjadi cikal bakal dari paham Aswaja, yang kemudian pada tahap selanjutnya di teruskan dan dibangun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al- Maturidi.163 Sehingga paham Aswaja tersebut bukan hanya merujuk pada al-Asy’ari ataupun al-Maturidi saja, namun juga mencakup para ulama dari Hasan al-Basri, Sufyan al-Tsauri, Abu Hanifah, para ahl al- hadits serta tokoh Sunni lainya sebelum al-Asy’ari164. Visi tansformatif yang dibangun Aswaja tersebut kemudian sampai ke Nusantara melalui para penyebar Islam awal-awal di negeri tersebut. Corak yang bersifat fleksibel dan toleran tersebut dapat dilihat misalnya dari proses dan corak penyebaran Islamnya di Nusantara ini. Misalnya di Jawa paham Aswaja ini disebarkan oleh para wali atau Walisongo, sehingga ajaranya bersifat inklusif dan akomodatif dengan tradisi lokal165. Sedangkan lebih luasnya pembentukan corak Aswaja ini di bangun pada abad 18-20 masehi

161 Ibid. Hal. 123 162 Ibid. Hal. 163 Said Aqil Siroj dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 145 164 Ibid. Hal. 147 165 Ibid. 50 yang dilakukan oleh para ulama-ulama Nusantara yang menjadi guru sekaligus murid di Timur Tengah terutama Haramain166. Dalam garis kesinambunganya dari ulama-ulama pengusung Aswaja di Timur Tengah sampai kepada pada ulama Nusantara ialah sebagai berikut, paham Aswaja awalnya ditata oleh Imam Hasan al- Bashri, seorang tabi’in yang pasca Rasululllah, yang berikap moderat ditengah krisis berkepanjangan yang menimpa umat Islam akibat fithnah al-kubra. Kemudian diteruskan oleh al-Muhasibi, al-Qalusi, dan Ibn Kullab hingga abad ke 3 H. Langkah itu diteruskan kembali oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, hingga Imam Abu Hamid al-Ghazali, lalu dikembangkan di Indonesia pada awal abad ke 20 melalui jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Dengan sanad Syaikh Mahfudz termasi, Syaikh Zaini Dahlan, al-Dasuki, al- Bajuri, al-Sanusi, al-Ijli, Imam al-Razi, dan Abdul Karim al- Syahrastani.167 Pemahaman Aswaja dalam pembentukan Islam Nusantara sangat mendasar. Karena dalam wacana Islam Nusantara tersebut, sering di wacanakan sebagai Islam yang toleran, tidak ekstrem kanan- kiri, dan akomodatif terhadap budaya, baik budaya lokal maupun budaya modern. Corak ini sangat kentara bila merujuk pada ciri khas Aswaja itu sendiri yang memiliki sifat tawasuth, tasamuh, Tawazzun, dan I’tidal. Bahkan secara eksplisit menurut beberapa pengusung wacana tersebut Islam Nusantara tak lain merupakan Islam ala Aswaja itu sendiri168. Pemahaman Aswaja dalam Islam Nusantara itu sendiri tercermin dalam tata cara bermazhab yang ada pada ormas Nahdlatul Ulama. Secara konsepsi NU merumuskan Aswaja dengan bertumpu pada pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bermazhab kalam, pada Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan pada fikih, dan Imam Ghazali serta Junaid al-Baghdadi dalam bidang

166 Rumadi. Op. Cit. Hal. 43 167 Said Aqil Siroj dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 153 168 Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 22 51 Tasawuf169, sehingga Islam Nusantara tetap memiliki pijakan dalam bermazhab baik dalam berfiqh, beraqiah dan bertasawuf. Semangat bermazhab dari Aswaja ini juga tidak saklek pada satu mazhab secara ekslusif. Karena dalam dalam Aswaja secara historis memiliki berbagai pijakan mazhab. Lebih luas lagi apabila merujuk pada apa yang ditunjukan oleh Rasulullah Saw. dengan ungkpanya “ma> ana alaihi yauma wa ashh}a>bi”, mereka yang mengikuti tradisi Nabi dan para sahabatnya. Sehingga Aswaja dapat diklaim oleh berbagai kelompok Islam yang mengaku mengikuti Nabi dan sahabatnya”170. Namun yang terpenting dari penerapan Aswaja tersebut ialah penerapan ruh inti dari manhaj tersebut yakni dengan menerapkan agama Islam secara moderat, seimbang, tengah-tengah dan toleran. Sehingga dapat memunculkan wataknya yang rahmatan li al-‘a>lami>n yang tercermin dalam pemahaman keislaman ala Islam Nsantara tersebut.

2. Konteks Historis dan Sosio-Kultural Wacana Islam Nusantara

Hadirnya pewacanaan Islam Nusantara, di samping merupakan konsekuensi dari ideologi dan identitas pengusung wacana tersebut, juga merupakan respon atas realitas sosial yang melingkupinya. Hal ini sebagai mana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa ormas NU hadir sebagai penerus dan penjaga kekhasan Islam Aswaja di Indonesia. ia juga hadir sebagai respon atas kondisi perpolitikan dan situasi keagamaan di Arab Saudi waktu itu yang sedang dikuasai oleh penguasa yang memiliki corak berislam puritan dan kurang bersahabat dengan Islam tradisi seperti halnya yang ada di Indoensia. Begitu juga halnya dengan Islam Nusantara, ia hadir sebagai penegasan corak Islam yang telah lama ada di Indoensia itu sendiri. Hal ini bukan sesuatu yang aneh, karena ragam corak Islam yang ada di wilayah tersebut di klaim sebagai corak berislam yang pas untuk diterapkan dalam

169 M. Mukhsin Jamil, Musnadi, dkk. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala , al-Irsyad, Persis dan NU. Cirebon:Fahmina Institut. 2008. Hal. 329 170 Ibid. Hal. 353 52 konteks Indonesia saat ini. Pewacanaan penerapan model Islam Nusantara ini juga sekaligus menunjukan adanya kontestasi wacana antara berbagai kelompok Islam, mengingat pada saat ini keberagamaan di Indoensia mulai marak di warnai oleh aktivitas gerakan Islam yang cenderung radikal dan anti terhadap tradisi.

a. Penegasan terhadap Islam Khas Indonesia Hadirnya pewacanaan Islam Nusantara merupakan bentuk dari penegasan Islam yang ada di Nusantara atau Indonesia itu sendiri. Penegasan ini didasari terutama oleh corak, manhaj hingga manifestasi budaya keagamaan Islam yang ramah dan damai yang pernah ada di negeri ini. Dengan demikian Islam Nusantara bukanlah suatu bentuk sekte, atau aliran baru yang yang selama ini dituduhkan pada istilah Islam Nusantara tersebut171. Dalam salah satu bukunya yang berjudul Islam Nusantara, Ahmad Baso menjelaskan bahwa penyebutan dan praktik pengamalan Islam Nusantara sendiri sejatinya telah ada semenjak zaman Walisongo. Bukti dari fenomena tersebut misalnya terdapat dalam Serat Suryo Rojo. Dalam naskah tersebut terdapat istilah Din Arab Jawi. Konteks istilah tersebut ialah mengenai kisah pembaiatan kepada seorang raja dengan gelar ‘Kimudin Arab Jawi’. Istilah tersebut dapat diartikan raja-raja di Jawa harus mempunyai komitmen untuk menegakan corak Islam yang bukan cuma Arab atau Din Arab tetapi juga perlu pengamalan dan suaranya dari Jawi172.

Jawi pada masa itu merujuk pada teritorial Nusantara. Penggunaan Istilah Nusantara ini dipakai pada masa kerajaan Majapahit. Sedangkan pada masa Walisongo, istilah tersebut diganti dengan sebutan Jawi, sehingga istilah Din Arab Jawi dapat

171 Erik Purnama Putra. Ketum PBNU: Islam Nusantara Bukan Ajaran Baru. Dikutip dari http://khazanah.republika.co.id/ , pada tanggal 30 Juli 2016, pukul 05:49 WIB. 172 Ahmad Baso. Op. Cit. Hal. 5 53 disepadankan dengan istilah Islam Nusantara, yakni pengamalan Islam dari Arab dengan mempertimbangkan lokalitas Nusantara atau Jawi173.

Penegasan Islam yang telah ada dan telah menjadi identitas Islam di Nusantara tersebut bagi para pengagas konsep Islam Nusantara sangatlah signifikan dan urgen. Hal ini karena model berislam yang ada di Nusantara atau Indonesia ini merupakan model berislam yang toleran, moderat, unik dan distingtif bila dibandingkan dengan corak berislam di wilayah atau negara lain174. Hal tersebut dapat dilihat misalnya baik dari proses masuknya Islam ke wilayah Nusantara itu sendiri maupun dari penerapan tradisi berislam yang telah berkembang di wilayah tersebut175. Penegasan mengenai Islam Nusantara juga dikarenakan Islam Nusantara dianggap sebagai Islam yang sudah paripurna, karena terbentuk dari dialog antar budaya dan peradaban di dunia seperti persia, Turki, India, Cina, Siam dan sebagainya176. Pertemuan berbagai budaya tersebut menjadikan Islam Nusantara merupakan Islam yang mampu menyelamatkan masyarakat dari konflik dari zaman ke zaman177.

Merujuk pada proses awal masuknya, kedatangan Islam di Indonesia dikatakan menggunakan pendekatan kultural, sehingga kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai178. Juga kehadiran Islam di Indonesia tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Sebaliknya, islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara bertahap.179 Senada dengan fakta tersebut, el-Mawa juga mengungkapkan bahwa

173 Ibid. hal. 4 174 Azyumardi Azra. Islam Nusantara: Islam Indonesia (2). http://www.republika.co.id/ , dikutip pada tanggal 30 Juli 2016, pukul 06:04 WIB. 175 M. Ishom Yusqi, dkk. Mengenal Konsep Islam Nusantara. Jakarta:Pustaka STAINU. 2015. Hal. 13 176 A. Mustofa Haroen. Meneguhkan Islam Nusantara: Biografi Pemikiran & Kiprah Kebangsaan Prof. Dr. Said Aqil Siroj, MA. Jakarta: Khalista.2015. Hal. 122 177 Ibid. Hal. 119 178 Ibid. 179 Zainul Milal Bizawie dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 240 54 berdasarkan data-data filologis, keislaman orang Nusantara telah mampu memberikan penafsiran ajarannya sesuai dengan konteksnya, sehingga tidak sampai menimbulkan peperangan fisik dan penolakan dari masyarakat180. Adanya fenomena tersebut menurut Azra pada akhirnya memberikan nuansa yang berbeda bila dibandingkan dengan proses islamisasi yang ada di Timur Tengah misalnya, penyebaran Islam di Timur Tengah lebih terlihat menggunakan ‘kekerasan’ oleh militer Muslim melalui penaklukan-penaklukan daripada secara kultural181. Proses pengislaman di seluruh kawasan Nusantara sangat beragam. Tingkat penerimaan Islam pada masing-masing wilayah bergantung tidak hanya pada waktu, namun juga pada watak budaya lokal masing-masing, sehingga tidak memungkinkan untuk merumuskan teori tunggal tentang konversi (Islamisasi) secara umum untuk seluruh kawasan Nusantara182. Ada beberapa pendapat atau teori tentang masuknya Islam di Indonesia. Pertama yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 M. Pendapat ini dikemukakan oleh Snouk Hurgronje. Ia mengatakan bahwa pada abad ke 13 M tersebut Islam dibawa oleh ulama-ulama Gujarat India, hal ini dibuktikan dengan ditemukanya makam sultan yang beragama Islam pertama yang bergelar Malik al- Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat183. Pendapat lainya mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad pertama hijriyah. Pendapat ini dikemukakan oleh . Ia mengungkapkan bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama hijriyah (abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah

180 Mahrus el-Mawa. Teks dan Karakter Islam Nusantara. dikutip dari www.nu.or.id yang dilansir pada 13 April 2015, dan dikutip pada 21 Agustus 2016 pukul 23:00 WIB. 181 M. Ishom Yusqi, dkk. Op. Cit. Hal. 8 182 Ibid. 183 Ibid. hal. 14 55 dimulai jauh sebelum abad ke-13, jalur tersebut diperkirakan sudah ada sejak abad ke-7 masehi melalui Selat Malaka dengan menghubungkan Dinasti Tang di China, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat184. Pendapat ketiga justru mensintesakan kedua pendapat sebelumnya, pendapat ini disampaikan oleh Taufik Abdullah seorang sarjana muslim kontemporer. Ia berpendapat bahwa memang benar bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia semenjak abad ke-7 masehi, akan tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah pada abad ke-13 M, Islam masuk secara besar-besaran (masif) dan mempunyai kekuatan politik yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Islam Samudra Pasai185. Berbagai variasi teori-teori yang menggambarkan mengenai masuknya Islam di Indonesia tersebut seperti yang telah diungkapkan sebelumnya dilakukan dengan cara damai dan akomodatif terhadap kultur Indonesia. Pada abad pertama hijriyah atau abad ketujuh masehi Islam masuk melalui saluran perniagaan, sehingga tidak terkesan memaksa dan memakai unsur kekerasan. Sedangkan pada abad ke-13 masehi Islam semakin berkembang berkat para ulama yang memiliki kompetensi sufi, sehingga cukup fleksibel dalam menghadapi tradisi dan budaya lokal masyarakat Nusantara186. Sejak awalnya dinamika Islam Nusantara tidak pernah lepas dari dinamika, kerangka, koneksi, dan perkembangan Islam dikawasan lain, khususnya di kawasan Timur Tengah187. Proses tersebut pada perkembangan selanjutnya kemudian mengalami proses pribumisasi atau mengalami akulturasi dengan budaya lokal yang ada di Nusantara itu sendiri. Agama Islam yang bercorak Arab sentris kemudian menemukan coraknya pada saat bertemu dengan kebudayaan lokal Nusantara sehingga memiliki corak dan keunikan tersendiri yang jauh

184 Ibid. 185 Ibid. 186 Ibid. hal. 13 187 Zainul Milal Bizawie dalam Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 242 56 berbeda dengan model berislam yang berkembang di Timur Tengah sebagai asalnya188. Dalam menggambarkan proses pribumisasi Islam di Indonesia tersebut Azra menggambarkanya dengan merinci beberapa proses atau tahap-tahap secara rinci, yakni dimulai dari tahap vernakularisasi dalam hal ini ialah pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan bahasa Indonesia. Barulah pada tahap berikutnya diikuti dengan proses pribumisasi, sehingga Islam menjadi embeded (tertanam) dalam budaya Indonesia.189 Contoh dari adanya proses pribumisasi antara Islam dan budaya lokal tersebut salah satunya tercermin pada model Islamisasi yang dilakukan Walisongo di Jawa. Dalam melakukan proses Islamisasinya di tanah Jawa para wali tersebut sangat toleran, kreatif, dan akomodatif dalam memanfaatkan tradisi lokal yang ada dan telah berurat berakar dalam masyarakat Jawa. Misalnya saja, yang memanfaatkan media wayang sebagai media dakwah untuk memperkenalkan Islam pada masyarakat yang masih menganut kepercayaan Hindu-Budha. yang memanfaatkan media gending dan menganggit syair-syair Jawa untuk menarik masyarakat setempat untuk mau mengenal agama Islam, dan juga wali-wali lainya yang memiliki metode dan kreatifitas lainnya190. Sifat kultural dalam penyebaran Islam tersebut di antaranya dilatarbelakangi oleh muatan ajaran Islamnya yang bersifat substansial, sehingga dapat membumi kedalam bentuk budaya keagamaan lokal dan mudah diterima oleh penduduk lokal setempat191. Hal lainnya juga karena dilatar belakangi oleh basic dari para penyebar Islamnya itu sendiri yang memiliki kompetensi bukan hanya sekedar ahli syari’at

188 Ibid. 189 Zainul Milal Bizawie. Op. Cit Hal. 4 190 A. Mustofa Haroen. Op. Cit. Hal. 115 191 Ibid. 57 (eksoteris), namun juga ahli hakikat atau tasawuf (esoteris)192, sehingga pandangannya cukup fleksibel dan tidak saklek pada pertimbangan-pertimbangan yang kaku dan rigid. Perwujudan kultural ala Walisongo ini kemudian mencapai titik paripurnanya dalam . Corak tersebut juga pada masa kemudian tercermin dan terwarisi pula pada model keberagamaan yang ada pada dua ormas tertua dan terbesar di negeri ini yakni NU dan Muhammadiyyah. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran ulama-ulama yang meneruskan corak Islam tersebut. Karena bagaimanapun proses perjalanan Islam di Nusantara dari masa ke masa mengalami sambung silsilah dan sanad yang hingga kini masih tetap terjaga transmisi keilmuanya.193 Proses terbentuknya corak Islam di Nusantara yang cukup dominan salah satunya berasal dari aktivitas intelektual para ulama Nusantara atau Jawi yang dilakukan di dua kota suci yakni kota Makkah dan Madinah (al-Haramain)194. Posisi kedua kota suci ini cukup penting dan strategis karena menjadi tujuan seluruh umat Islam dalam melakukan aktifitas ibadah haji, sehingga mendorong sejumlah besar guru dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah dunia muslim untuk datang dan bermukim disana. Fenomena tersebut pada giliranya menciptakan semacam jaringan keilmuan yang menghasilkan wacana ilmiah yang unik baik di Timur Tengah sendiri maupun di Nusantara195. Jaringan ulama-ulama ini setidaknya dapat dilacak dari mulai keberadaan ulama Nusantara pada abad 17-18 M. Seperti halnya pada abad ke-17, yang menjadi tokoh sentral dalam jaringan ulama di wilayah Melayu–Indonesia ialah dari Nur al-Din al-Raniri (w. 1068H/1658M), Abd al-Rauf al-Sinkili (1615-1693 M), dan

192 Zainul Milal Bizawie. Op. Cit Hal. 4 193 M. Ishom Yusqi, dkk. Op. Cit. Hal. 9 194 Rumadi. Post-Tradisionalisme Islam: Wacana Intelekualisme dalam Komunitas NU. Cirebon:Fahmina Institut. 2008. Hal. 41 195 Nurdin Muhammad. ‘Karakteristik Jaringan Ulama Nusantara Menurut Pemikiran Azyumardi Azra’. Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012. Hal. 73 58 Muhammad Yusuf al-Maqassari (1629-1699 M). Mereka membawa ajaran Neo-Sufisme (keselarasan antara Tasawuf dan Syariat) yang memiliki pengaruh baik dilingkungan pemerintahan maupun masyarakat secara umum196. Sedangkan pada abad ke-18, beberapa ulama yang menjadi pionirnya ialah Abd Samad Al-Palimbani, Muhammad Muhyi Al-Din bin Syihab Al-Din, Muhammad Arsyad al-Banjari Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M), Muhammad Nafis al-Banjari, Abd al- Wahhab al-Bugisi, Dawud bin Abd Allah al-Fatani. Pada masa ini corak yang dominan lebih bersifat ortodoks dengan corak Sunni yang kemudian menyebar hampir ke seluruh wilayah Nusantara197. Jaringan intelektual tersebut terus berlanjut hingga abad ke 19 dan 20, dan para ulama-ulama tersebut pada akhirnya bermuara pada ormas NU. Dengan demikian, dalam rentang waktu yang cukup panjang, ulama-ulama NU periode awal telah menjalin jaringan intelektual dengan Makkah dan Madinah, sekaligus mengembangkan wacana keagamaan dengan paham Aswaja, baik pada aspek teologi, fikih, maupun tasawuf yang pada gilirannya akan dijadikan standar keislaman ulama Nusantara198. Tercatat dalam sejarah, ulama-ulama pada abad 19-20 M. Ini diantara nya ialah Nawawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M), Ahmad Khatib al-Sambasi (w. 1875 M), Abd al-Karim al-Bantani, Ahmad Rifa’i Kalisalak (1200-1286 H/17861870), Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi, Daud Ibnu Abdullah al-Fatani, Junaid al-Batawi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1276-1334 H/1816-1916 M), Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi (w. 1346 H/1928 M), Muhammad Mahfuz al-Tirmasi (1285-1338 H/1842-1929 M), Hasan Musthafa al- Garuti (1268-1348 H/1852-1930 M), Sayyed Muhsin al-Falimbani, Muhammad Yasin al-Padani (1335-1410 H/1917-1990), Abd al-Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani dan sebagainya, dimana

196 Nurdin Muhammad. Op.Cit. Hal. 74 197 Ibid. 198 Rumadi. Op. Cit. Hal. 41-42 59 seluruh ulama tersebut mayoritas berhaluan Aswaja dengan fikih secara dominan pada mazhab Syafi’iah199. Secara spesifik bila merujuk pada tokoh-tokoh pendiri NU sendiri seperti halnya KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Casbullah, dan KH. Bisri Sansuri sebagai penerus jalur sanad Ulama Nusantara, maka dapat diambil beberapa nama ulama Nusantara pada abad ke 19 tersebut yang menjadi sumber keilmuannya misalnya dari Mahfuz al- Tirmasi, Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Kiai Khalil Bangkalan. Proses ketersambungan sanad tersebut terjadi sewaktu para pendiri NU tersebut melakukan aktifitas belajarnya di kota Haramain itu juga. Misalnya KH. Hasyim Asyari sebagai lokomotif NU, selama 8 tahun tinggal di Makkah sejak berusi 20 tahun dan berguru pada beberapa guru seperti Ahmad Khatib Minangkabawi, Mahfuz al-Tirmasi, Nawawi al-Bantani dan guru-guru lainya200. Penegasan atas corak Islam yang ada di Indonesia ini dimaksudkan karena, corak berislam yang berlandaskan ideologi Aswaja ini bersifat moderat, inklusif dan toleran, sehingga Islam Nusantara diharapkan mampu mempertahankan persatuan dalam masyarakat majemuk dan NKRI yang demokratis. Dan karakter Islam Nusantara tidaklah homogen karena watak Nusantara itu sendiri cukup pluralis. Dan dari sudut pandang ideologi dan politik kenegaraan, Islam Nusantara selaras dengan Pancasila, dan wawasan kebangsaan NKRI201.

b. Respon terhadap Gerakan Islam Trans-Nasional Adanya penegaan corak Islam yang khas Indonesia sebagaimana yang telah di bahas pada sub sebelumnya tentunya bukanlah hal netral begitu saja, tindakan dalam pewacanaan tersebut secara lebih jauh

199 Ibid. Hal. 43 200 Ibid. Hal. 44 201 Imam Tolkhah. “Paham Keagamaan di Lembaga Pendidikan Pada Umumnya Islam Nusantara”. Litbang Diklat. Nomor 2 Tahun 2015. Hal. 35 60 merupakan implikasi sekaligus konsekuensi dari adanya faktor-faktor yang bersifat politis. Hal ini secara lebih konkrit salah satunya di sebabkan karena adanya corak berislam di Indonesia yang kurang ramah, dan toleran terhadap Islam yang berhaluan moderat seperti yang diwakili oleh ormas NU dan Muhammadiyah. Diantara kedua ormas tersebut, tentunya ormas NU yang lebih terdesak dengan adanya berbagai gerakan tersebut, mengingat fakta bahwa dalam tradisi beragama yang dijalankan ormas NU sendiri yang lebih kentara dalam relasinya dengan praktik bermazhab dan tradisi lokal. Sebagaimana yang marak diwacanakan selama ini, gerakan trans-nasional merupakan gerakan yang mengusung pada penerapan Islam secara legal-formal. Kecenderungan yang bersifat legal formal tersebut menjadikan gerakan ini lebih mengedepankan penerapan aspek normatifitas Islam atas berbagai manifestasi tradisi dan budaya. Gerakan ini marak terutama pasca bergulirnya era reformasi di Indonesia pada tahun 1998. Ada berbagai jenis dari gerakan Islam ini, namun diantara gerakan tersebut yang cukup dominan ialah gerakan Salafi Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir Indonesia202.

Di antara ketiga kelompok tersebut, kelompok Wahabi merupakan yang paling kuat terutama dalam hal pendanaannya. Meski begitu dari ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni menerapakan formalisasi Islam dalam bentuk negara dan aplikasi syari’ah sebagai hukum positif atau sekaligus mendirikan sistem pemerintahan Khilafah seperti halnya yang dicita-citakan oleh HTI203. Dari beberapa kelompok tersebut yang paling masif pergerakanya di Indonesia ialah kelompok Salafi-Wahabi dan Hizbut Tahrir Indoensia. Kedua kelompok tersebut dapat dipetakan dalam tipologinya masing-masing, misalnya kelompok Wahabi yang lebih

202 Abdurrahman Wahid. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam transnasional di Indonesia. Jakarta: , bekerjasama dengan Bhinneka Tunggal Ika, Maarif Institute. 2009. Hal. 78 203 Ibid. 61 cenderung menyuarakan pemurnian atau puritanisme Islam dengan slogan kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan slogan tersebut kelompok ini mengklaim kelompok-kelompok diluar dirinya terutama para penganut Islam Tradisional dan tarekat sebagai ahlul bid’ah dan sering pula di cap syirik dan kafir204. Fenomena kemunculan kelompok puritanisme tersebut secara historis telah terjadi cukup lama di Indonesia. Perkembangan gerakan pemurnian ini di Indonesia mula-mula terjadi pada masa gerakan kaum Padri yang dipelopori oleh Haji Miskin dan kawan-kawan yang mengajak para kaum adat untuk meninggalkan kebiasaan yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Adanya peristiwa tersebut meunculkan konfrontasi antara kaum padri dengan kaum adat, sehingga memunculkan Perang Padri pada tahun 1803205. Sedangkan pada periode pasca Orde Baru, gerakan ini muncul atas bergulirnya reformasi yang memberikan kebebasan berpendapat, berpikir dan beragama, sehingga memberikan peluang pada segenap kelompok untuk menebarkan ideologinya masing-masing206. Pasca reformasi tersebut munculah berbagai organisasi yang berafiliasi dengan kelompok Salafi-Wahabi di antaranya ialah Dewan Dakwah Islam Indoensia (DDII), LIPIA sehingga menjadikan gerakan tersebut berkembang pesat di Indonesia207. Hadirnya kelompok gerakan Trans Nasional tersebut menjadikan Islam di Indonesia menjadi lebih radikal. Hal tersebut karena secara ideologis, kaum puritan terutama kelompok salafi Wahabi yang mendasarkan ideologinya pada pemahaman literatur agama secara literalis, sehingga corak beragamanya terkesan kaku, juga sering mengkafirkan dan membid’ahkan para penganut paham

204 Hamid Algar. Wahabisme: Sebuah Tinjauan Kritis. Terj. Rudy Harisyah Alam. Jakarta:Democrasi Project. 2011. Hal. 36 205 Ibid. hal. 59 206 Abdurrahman Wahid. Op. Cit. Hal. 96 207 Ibid. Hal. 78 62 Islam lain terutama kelompok Islam tradisional208. Pemahaman secara literal tersebut salah satunya ialah untuk menghindari kompleksitas pemahaman dan praktik hukum, teologi dan tasawuf yang telah tumbuh semenjak masa risalah berakhir209, sehingga wajar saja bila kelompok ini menganggap bid’ah mengenai bermazhab baik pada mazhab fikih terlebih lagi ikut serta dalam kelompok tasawuf atau tarekat. Sedangkan para Islam politik seperti HTI, mereka lebih menyerang pada ranah pemahaman politik dan kebangsaan. Seperti yang telah diketahui, kelompok ini mencita-citakan untuk mendirikan sistem pemerintahan khilafah kembali, sehingga sering bertentangan dan memunculkan kontestasi dengan kelompok yang kontra dengan ideologi selain khilafah tersebut. Termasuk pula dengan kelompok yang pro terhadap ideologi Pancasila, Nasionalisme, Demokrasi, yang telah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia yang didalamnya juga mencakup ulama-ulama Indonesia. Dari adanya situasi tersebut, maka NU terutama sebagai ormas yang berhaluan Islam tradisi dan menganut paham kebangsaan Pancasila merasa terusik sekaligu bertanggungjawab untuk melakukan counter wacana terhadap isu-isu yang di lontarkan oleh gerakan Islam Trans-Nasional tersebut, salah satunya dengan mengusung wacana Islam Nusantara.210 Menurut Said Aqil Siroj, bahwa NU tegas menolak ide gerakan Islam yang mudah mengkafirkan orang lain. Kelompok semacam ini tidak sesuai dengan nilai-nilai ahlu sunnah wa al-jama>’ah. Menurutnya, Wahabi itu hanya sampai pada tingkat Ahlu al-sunnah saja, tetapi tidak wa al-jama>’ah.211 Ia juga mengatakan secara eksplisit bahwa dalam sejarahnya NU dibentuk untuk melawan Wahabi. NU dibentuk untuk menggagalkan upaya kaum Wahabi dalam membongkar makam Nabi Muhammad

208 Ibid. Hal. 63 209 Ibid. 210 “Wacana Islam Nusantara”. Litbang Diklat. Nomor 2 Tahun 2015. Hal. 11 211 A. Mustofa Haroen. Op. Cit. hal. 127 63 Saw.212 “Berdirinya NU karena perilaku Wahabi. Maka dari itu, dari awal NU sudah bentrok dengan Wahabi. Lahirnya NU didorong oleh gerakan Wahabi yang suka membongkar makam, situs sejarah, mengkafir-kafirkan, mebid’ah-bid’ahkan perilaku kita, amaliah kita”213. Dalam sebuah tulisannya yang dijadikan sambutan pada buku yang berjudul Islam Nusantara. KH. Mustofa Bisri mengungkapkan penegasan Islam Nusantara tersebut sebagai apresiasi atas kekhasan Islam Indonesia yang ramah sekaligus sebagai reaksi atas adanya kelompok Islam Trans-Nasional tersebut, ia mengatakan: “Islam yang selama ini kita jalani ternyata menjadi unik dan menarik setelah maraknya fenomena keberagamaan kelompok di luar yang menamakan diri muslim dan membawa bendera Islam, namun meresah gelisahkan dunia. Dunia yang kemudian bertanya-tanya tentang Islam yang rahmatan lil’aalamin, Islam yang damai, dan teduh pun mendapat jawaban dari perilaku keislaman kita yang dinusantara ini...Tapi kita harus realistis. Perilaku keislaman kita sendiri sa’at ini, sudah mulai terganggu oleh berbagai pengaruh luar... kita mesti bersatu padu mempertahankan cara kita berislam saat ini, seperti yang diajarkan oleh guru-guru Islam kita yang memperoleh Islam dari guru-guru mereka dari guru-guru sebelumnya dengan sanad yang bersambung hingga rasulullah Saw. semoga Allah menolong kita”214. Islam Nusantara seperti halnya yang telah dipaparkan dalam sub-sub sebelumnya ialah Islam yang akomodatif terhadap budaya yang mencakup tradisi lokal dan modern, sehingga Islam model ini bagi para pengusung ide tersebut layak untuk diterapkan dan disebarkan di seluruh penjuru Indonesia bahkan dunia. Model Islam ini dianggap cocok untuk bangsa Indonesia yang memiliki keragaman budaya, dan agama, sehingga mampu untuk bisa hidup berdampingan

212 Ibid. Hal. 128 213 Ibid. 214 A. Mustofa Bisri. “Islam Nusantara, Mahluk Apakah Itu ?” sebuah sambutan dari buku Akhmad Sahal, Munawir Aziz. Op. Cit. Hal. 14 64 secara damai dengan penganut agama dan budaya lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik215.

Dalam salah satu bukunya, Bizawie mengungkapkan Salah satu masterpiece Islam Nusantara ialah tegaknya NKRI dan Pancasila. Dalam pandangan Islam Nusantara, Indonesia merupkan da>r al-sala>m dan Pancasila merupakan intisari dari ajaran Ahlu al-sunnah wa al- jama>’ah. Karenanya, mempertahankan NKRI dan mengamalkan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia dalam menjalankan syari’at Islam. Ia juga mengungkapkan bahwa Pancasila merupakan pengejawantahan dari Islam Nusantara216.

215 Zainul Milal Bizawie. Op. Cit. Hal. 4 216 Ibid. 65