PENOLAKAN TERHADAP HIMBAUAN UNI EROPA UNTUK TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE RUSIA TAHUN 2014-2018

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S,Sos)

Oleh: Eufrat Kamil Kahar 1112113000031

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019

ii

iii

iv

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisa penolakan Serbia terhadap himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia tahun 2014-2018. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui alasan Serbia mengeluarkan kebijakan menolak himbauan Uni Eropa padahal negara ini merupakan salah satu negara kandidat anggota yang harus menyelaraskan kebijakannya dengan Uni Eropa. Penulis menggunakan konsep identitas dan kepentingan nasional dalam teori konstruktivisme dalam menjelaskan masalah yang diteliti. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan data deskriptif dan teknik pengumpulan data studi pustaka. Dalam menjawab pertanyaan penelitian penulis menggunakan metode analitis deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa alasan Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia adalah adanya faktor identitas Slavia yang dimiliki oleh Serbia. Identitas ini muncul dari gagasan bahwa Uni Eropa yang merupakan negara barat adalah rival sedangkan Rusia adalah mitra dalam politik internasional. Berdasarkan faktor tersebut maka dapat diketahui bahwa alasan Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia adalah karena Serbia memiliki kepentingan nasional untuk menjaga eksistensi mereka di dunia internasional dengan cara mempertahankan identitas tersebut.

Kata kunci : Sanksi, penolakan, Crimea, Identitas, Serbia, Uni Eropa, Rusia

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, puji syukur penulis udapkan atas kehadirat Allah

SWT yang telah memberikan segala rakhmat dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam juga tak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad saw. Dalam penulisan skripsi ini tentu tidak akan selesai tanpa dukungan dari berbagai pihak. Maka karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Keluarga penulis, Ayahanda Syafni Dharma Kahar dan Ibunda Badrayani,

Tante penulis Anne Sartika Kahar dan Irma Kartika Kahar yang telah

memberikan dukungan penuh dari awal hingga akhir penulisan.

2. Bapak Febri Dirgantara Hasibuan, M.M selaku dosen pembimbing yang

telah bersedia meluangkan waktu dan pemikirannya selama membantu

penulis menyelesaikan skripsi

3. Bapak Ahmad Alfajri, M.A selaku ketua Program Studi Hubungan

Internasional yang telah memotivasi penulis hingga selesai penulisan.

4. Bapak Irfan R. Hutagalung LL. M dan Teguh Santosa, MA yang telah

menguji skripsi ini dan telah memberikan masukan yang sangat berharga

untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini.

5. Jajaran dosen dan staf Program Studi Hubungan Internasional, atas segala

upaya dalam membantu penulis dari awal perkuliahan

6. Sahabat-sahabat penulis yaitu Aang, Dede, Labib, Ismail, Rizki, Tegar,

Utong, Upi, Azmi, Ardi, Mabrur, Dirga, Djordi, Fachry, Andes dan masih

vi

banyak lagi yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, yang telah

mendukung penulis dalam proses penulisan skripsi ini.

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

memberikan bantuan selama proses penulisan skripsi ini.

Terakhir penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh

dari kata sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran agar

penulis dapat menulis lebih baik lagi dikemudian hari.

Eufrat Kamil Kahar

vii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... ii

PERSUTUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ...... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...... iv

ABSTRAK ...... v

KATA PENGANTAR ...... vi

DAFTAR ISI ...... viii

DAFTAR SINGKATAN ...... x

DAFTAR TABEL ...... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah ...... 1

B. Pertanyaan Penelitian ...... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8

D. Tinjauan Pustaka ...... 9

E. Kerangka Pemikiran ...... 13

E.1. Konsep Identitas dalam Konstruktivisme Sosial ...... 13

E.2. Konsep Kepentingan Nasional ...... 17

F. Metode Penelitian ...... 21

G. Sistematika Penulisan ...... 22

BAB II INTERAKSI SERBIA DENGAN UNI EROPA DAN RUSIA

A. Hubungan Serbia dengan Uni Eropa ...... 24

B. Hubungan Serbia dengan Rusia ...... 31

viii

BAB III PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN UNI

EROPA UNTUK TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE

RUSIA

A. Sanksi Uni Eropa Terhadap Rusia ...... 37

B. Sanksi Balasan Rusia Terhadap Uni Eropa ...... 44

C. Himbauan Uni Eropa kepada Serbia untuk Turut Menjatuhkan

Sanksi Ke Rusia ...... 47

D. Penolakan Serbia Terhadap Himbauan Uni Eropa untuk Turut

Menjatuhkan Sanksi Ke Rusia ...... 49

BAB IV ANALISA PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN

UNI EROPA UNTUK TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE

RUSIA

A. Pengaruh Identitas Serbia Terhadap Keputusannya Menolak

Himbauan Untuk Turut Menjatuhkan Sanksi ...... 53

B. Kepentingan Nasional Serbia Terhadap Keputusannya Menolak

Himbauan Untuk Turut Menjatuhkan Sanksi ...... 62

BAB V PENUTUP

Kesimpulan ...... 68

DAFTAR PUSTAKA ...... xii

ix

DAFTAR SINGKATAN

EU : European Union

SAA : Stabilization and Association Agreement

SAp : Stabilization and Association process

ICTY : International Criminal Tribunal for the former

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

NIS : Naftna Insdustrija Srbije

EaEU : The Russian-led Eurasioan Economic Union

x

DAFTAR TABEL

Tabel II.A.1 Perdagangan antara Serbia dan Uni Eropa 2001-2010 dalam Juta

Euro...... …………………………………………………………………... 29

Tabel IV.A.1 Presentase Dukungan Rakyat Negara-Negara di Eropa Untuk

Menerapkan Sanksi ke Rusia ……………………………………………...... 61

xi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini akan menganalisa alasan Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia. Sanksi ke Rusia mulai diterapkan oleh

Uni Eropa sebagai respon terhadap aneksasi Crimea oleh Rusia. Sanksi diterapkan untuk menekan Rusia agar menghentikan intervensinya di Crimea. Berbeda dengan Uni Eropa, Serbia sebagai negara kandidat anggota yang memiliki kewajiban untuk menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan kebijakan Uni

Eropa mengambil sikap yang berbeda. Padahal sebagai negara kandidat anggota,

Serbia harus membuat Uni Eropa yakin dengan komitmen mereka setelah negoisasi untuk menjadi negara anggota selalu mereka sebutkan sebagai prioritas kebijakan luar negeri (Torralba, 2014).

Aneksasi wilayah Crimea oleh Rusia terjadi setelah jatuhnya pemerintahan

Presiden Ukraina Viktor Yanukovich. Presiden Yanukovych diturunkan dari kursi kepresidenan pada Februari 2014 oleh rakyat Ukraina yang protes terhadap kebijakannya menolak kerjasama EU Eastern Partnership1 dengan Uni Eropa

(Oxenstierna dan Olsson, 2015). Pada daerah Crimea yang penduduknya dikenal pro Rusia, gelombang protes balasan terhadap aksi penurunan Presiden

Yanukovych terjadi dan berujung pada aneksasi wilayah Crimea oleh Federasi

1 EU Eastern Partnership merupakan instrumen Uni Eropa dan mitra mereka di Eropa Timur diantaranya Armenia, Azerbaijan, Belarus, Georfia, Republik Moldowa, dan Ukraina. Instrumen ini dibuat pada konferensi EU Prague Summit pada 2009. Instrumen ini mendukung dan mendrong reformasi di negara-negara tersebut sekaligus membawa mereka lebih dekat dengan Uni Eropa (Kerikmae, 2016).

1

Rusia. Presiden Vladimir Putin menandatangani hasil referendum yang menyebutkan bahwa sebanyak 96,77% masyarakat Crimea memilih untuk bergabung dengan Rusia dan melepaskan diri dari Ukraina (Wang, 2015).

Sanksi diterapkan Uni Eropa terhadap Rusia setelah menilai bahwa aneksasi tersebut ilegal. Kebijakan sanksi dikeluarkan dengan tujuan menekan Rusia untuk menghentikan intervensinya. Sanksi diberikan secara bertahap sejak Maret 2014 yang meliputi sanksi diplomatik, sanksi pembekuan aset dan larangan berpergian, sanksi ekonomi, serta pembatasan hubungan ekonomi baik dengan Rusia atau

Crimea. Pada tahap pertama, Uni Eropa membekukan aset dan memberlakukan larangan berpergian untuk beberapa politikus Rusia dan simpatisannya di Crimea.

Ruang lingkup sanksi kemudian diperluas pada Juli, September dan Desember

2014 ke beberapa sektor ekonomi Rusia agar bisa memberikan dampak yang lebih besar (Veebel, 2016).

Pada perpanjangan masa berlaku sanksi pertama, Uni Eropa memutuskan untuk menerapkan sanksi sampai 2015 dengan total 150 individu dan 37 organisasi dibekukan asetnya dan dilarang berpergian ke Uni Eropa. Sanksi juga menyentuh beberapa sektor seperti finansial, perbankan, minyak dan militer.

Pendanaan terhadap beberapa proyek di Rusia juga dihentikan oleh Uni Eropa

(Romanova, 2016). Sanksi kemudian ditinjau dan diperpanjang setiap enam bulan setelah Uni Eropa menyebutkan bahwa Rusia dianggap terus terlibat dalam beberapa kasus terkait konflik di Ukraina seperti saat peristiwa jatuhnya pesawat

Malaysia Airlines MH17 atau saat pembangunan jembatan yang menghubungkan

2

Crimea dan Rusia. Sanksi terakhir kali diperpanjang sampai tahun 2019 lewat keputusan yang dikeluarkan pada September 2018 (Newnham, 2018).

Uni Eropa juga menghimbau negara-negara kandidat anggota untuk turut menerapkan sanksi yang sama dengan tujuan memberi dampak yang lebih luas untuk Rusia (Galbert, 2015). Albania dan sebagai negara kandidat turut menerapkan sanksi yang sama ke Rusia sejak Maret 2014. Kedua negara menerapkan sanksi sejak tahap pertama dimana sanksi meliputi pembekuan aset dan larangan berpergian ke negara-negara Uni Eropa untuk beberapa petinggi pemerintahan Rusia dan Crimea (InSerbia, 2014).

Himbauan untuk Serbia sendiri beberapa kali disampaikan oleh beberapa petinggi Uni Eropa, salah satunya yang paling tegas adalah melalui Johannes

Hahn selaku komisaris Uni Eropa yang bertanggung jawab atas Enlargement and

Neighbourhood Policy dari Uni Eropa menyatakan bahwa:

“Serbia secara hukum berkewajiban, sebagai bagian dari negosiasi keanggotaan untuk semakin menyejajarkan diri dengan Uni Eropa mengenai masalah-masalah konkrit seperti sanksi terhadap Rusia. Hal ini sangat penting dan kami berharap Serbia terus menghormati komitmen ini” (Novosti, 2014).

Berbeda dengan kedua negara yang disebutkan, Serbia yang juga negara kandidat anggota Uni Eropa menolak untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia.

Penolakan tersebut pertama kali ditegaskan oleh Perdana Menteri Serbia

Aleksandar Vucic pada Maret 2014 melalui pernyatannya yang menyebutkan bahwa Serbia tidak akan menjatuhkan sanksi ke Rusia begitu saja dalam menanggapi krisis di Ukraina. Pernyataan disampaikan saat perjalananannya ke

Brussels untuk menemui Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine

3

Ashton (Novosti, 2014). Pada pertemuan tersebut, Uni Eropa melalui Catherine

Ashton mengumumkan bahwa Montenegro dan Albania sebagai negara kandidat anggota Uni Eropa telah berpartisipasi dalam kebijakan sanksi terhadap Rusia. Ia juga mendorong negara-negara kandidat lainnya untuk turut menerapkan kebijakan yang sama (Gieseke, 2014).

Penolakan Serbia tentu akan menghambat proses menjadi negara anggota

Uni Eropa. Kebijakan tersebut bertentangan dengan komitmen Serbia pada

Stabilisation and Association Agreement dengan Uni Eropa. Pada Article 10 bagian Political Dialogue dijelaskan bahwa Serbia akan bekerjasama dengan Uni

Eropa dalam membangun solidaritas dan kerjasama. Kerjasama yang dimaksud adalah menyelaraskan posisi dan kebijakan dengan Uni Eropa terkait isu internasional, stabilitas dan keamanan di Eropa (the Council of European Union,

2013). SAA sendiri dibentuk oleh Uni Eropa dan menjadi bagian dari

Stabilization and Association process (SAp) sejak 1999 sebagai bentuk komitmen negara kandidat untuk melakukan reformasi agar memenuhi syarat untuk menjadi anggota (Schenker, 2008).

Serbia berkomitmen untuk menjadi bagian dari Uni Eropa sejak Juni 2003 saat ikut serta dalam deklarasi EU-Western Balkans Summit di Thessaloniki.

Komitmen tersebut kemudian sempat menghadapi tantangan saat Uni Eropa menganggap bahwa Serbia belum bisa memenuhi komitmen yang mengharuskan

Serbia bekerjasama penuh dengan International Criminal Tribunal for the fomer

Yugoslavia dalam menangani kasus kejahatan perang di Yugoslavia yang melibatkan beberapa petinggi negara Serbia. Sampai pertengahan tahun 2005,

4

Serbia tidak diberi studi kelayakan oleh Uni Eropa. Negosiasi untuk SAA Serbia baru dibuka oleh Uni Eropa pada Oktober 2005 (Ristic, 2009).

Pada Mei 2006 negosiasi SAA Serbia kembali ditunda setelah Serbia tidak bekerjasama dengan baik dengan ICTY terkait penangkapan penjahat perang

Yugoslavia yaitu Radovan Karadzic, Ratko Mladic dan Goran Hadzic. Hubungan antara Serbia dan Uni Eropa juga semakin memburuk setelah Serbia meyakini adanya campur tangan Uni Eropa dalam referendum Montenegro dan kemungkinan kemerdekaan Kosovo. Hubungan Serbia dengan Uni Eropa membaik setelah negosiasi SAA Serbia kembali dibuka pada Juni 2007. The

Stabilisation and Association Agreement ditandatangani oleh Uni Eropa dan

Serbia pada 29 April 2008 (Fossati, 2014).

Serbia menerima status sebagai negara kandidat anggota pada 1 Maret 2012.

Proses negosiasi aksesi Serbia menjadi anggota Uni Eropa kemudian secara resmi dibuka pada Januari 2014 (Fossati, 2014). Komitmen Serbia untuk menjadi bagian dari Uni Eropa kemudian kembali dipertegas melalui pernyataan Perdana Menteri

Ivan Dacic:

“Kami tahu bahwa ada banyak hal yang perlu kami perbaiki sebelum menjadi bagian dari Uni Eropa, tapi kami tetap menjalani ini, dan Eropa mengakui tekad kami untuk berubah menjadi lebih baik. Konsolidasi sistem ekonomi adalah prioritas pertama kami untuk mendekat ke Uni Eropa” (Massy-Beresford, 2013).

Meski Serbia hanya memiliki status sebagai negara kandidat anggota dan mempunyai hak untuk mengatur kebijakan luar negerinya tanpa intervensi dari

Uni Eropa, bukan berarti Serbia tidak harus menyelaraskan kebijakannya dengan

Uni Eropa karena hal ini akan berdampak pada posisinya dalam mengejar

5

keanggotaan tetap (Torralba, 2014). Sebagai negara yang berkeinginan kuat untuk menjadi bagian dari Uni Eropa, Serbia harus meyakinkan Uni Eropa terkait komitmennya tersebut terlebih Serbia telah menandatangani SAA sebagai tolak ukur untuk memenuhi syarat menjadi negara anggota. Berdasarkan logika tersebut, penulis menganggap bahwa masalah ini menarik untuk diteliti karena kebijakan Serbia yang menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke

Rusia dapat menimbulkan risiko untuk tujuan nasional mereka menjadi negara anggota (Dolidze, 2015).

Penolakan Serbia yang bisa dikatakan sebagai bentuk dukungan untuk Rusia in juga berseberangan dengan sikap Serbia terkait pemisahan entitas tertentu dari suatu negara yang memiliki unsur pelanggaran kedaulatan seperti yang mereka alami pada kasus Kosovo (Jusufaj, 2015). Serbia melalui Perdana Menteri Ivica

Dacic memang menyatakan bahwa Serbia menghormati integritas wilayah setiap negara termasuk Ukraina dan Crimea didalamnya. Namun menariknya, Serbia menolak untuk menjatuhkan sanksi dalam bentuk apapun ke Rusia meski kebijakan tersebut dinilai dapat membawa perdamaian dengan menekan Rusia untuk menghentikan intervensinya (Ristic, 2014).

Penolakan Serbia terhadap kebijakan Uni Eropa menjadi masalah yang diteliti pada skripsi ini. Penolakan Serbia tersebut dapat menghambat proses negosiasi keanggotaan Uni Eropa yang sampai saat ini merupakan tujuan utama arah kebijakan luar negeri Serbia. Serbia tidak memanfaatkan kesempatan tersebut untuk meningkatkan posisi tawarnya dengan meyakinkan komitmennya terhadap

Uni Eropa melalui kebijakan yang selaras. Negara kandidat anggota yang

6

mendapat himbauan langsung dari Uni Eropa ini justru menolak menerapkan kebijakan sanksi kepada Rusia (Dolidze, 2015).

B. Pertanyaan Penelitian

Masalah yang akan dianalisa dalam skripsi ini adalah Penolakan Serbia dalam posisinya sebagai negara kandidat anggota menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia tahun 2014-2018. Penulis akan menganalisa alasan yang membuat Serbia mengeluarkan kebijakan penolakan tersebut. Masalah ini menarik untuk diteliti karena Serbia yang merupakan negara kandidat anggota dan telah memulai proses negosiasi aksesi keanggotaannya justru mengeluarkan kebijakan menolak dan tidak selaras dengan Uni Eropa dimana hal ini melanggar komitmen mereka dalam The Stabilisation and

Association Agreement (Novosti, 2014).

Komitmen yang dimaksud adalah komitmen untuk menyelaraskan kebijakan negara dengan kebijakan Uni Eropa. Hal ini sesuai dengan salah satu Kriteria

Kopenhagen yang merupakan syarat utama untuk menjadi anggota Uni Eropa.

Kriteria tersebut berbunyi negara kandidat diharuskan memiliki kemampuan untuk mematuhi kewajiban kanggotaan termasuk patuh dengan tujuan politik, ekonomi dan moneter Uni Eropa (Steunenberg dan Dimitrova, 2007). Kedua,

Serbia yang sangat menentang intervensi negara lain dalam pemisahan suatu entitas dari sebuah negara secara tidak langsung justru mendukung Rusia dengan menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi sebagai cara untuk menekan Rusia menghentikan intervensinya.

7

Ketiga, Serbia tidak berupaya untuk meningkatkan posisi tawarnya terkait proses aksesi keanggotaan Uni Eropa disaat keikutsertaannya dalam mendukung kebijakan Uni Eropa sedang sangat diperlukan. Berdasarkan pernyataan masalah tersebut, pertanyaan penelitian yang akan menjadi fokus pembahasan dari skripsi ini adalah “Mengapa Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia Tahun 2014-2018 ?”

C. Tujuan dan Manfaat Peneltian

Skripsi ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui alasan Serbia memilih kebijakan yang berseberangan dengan

Uni Eropa dengan menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan

sanksi ke Rusia tahun 2014-2018

2. Mengidentifikasi pengaruh identitas Serbia terhadap kebijakannya menolak

himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia tahun 2014-

2018.

Manfaat dari skripsi ini adalah untuk:

1. Menambah bahan pustaka bagi penelitian-penelitian terkait studi Ilmu

Hubungan Internasional berikutnya yang memiliki keterkaitan dengan tema

pada skripsi ini.

2. Menjadi referensi bagi praktisi maupun akademisi dalam memberi

pandangan terkait topik Penolakan Serbia terhadap Himbauan Uni Eropa

untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia, dalam merespon aneksasi Crimea

oleh Rusia.

8

D. Tinjauan Pustaka

Sebagai bahan pertimbangan dalam membangun analisa, penulis akan mencantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan topik penelitian pada skripsi ini. Penelitian pertama adalah Jurnal yang ditulis oleh

Galina A. Nelaeva dan Andrey V. Semenov yang berjudul EU-Rivalry in The

Balkans: Linkage, Leverage and Competition (The Case of Serbia).

Penelitian ini membahas alasan dibalik arah kebijakan Serbia yang tidak konsisten dan selalu berubah pasca ditetapkannya keanggotaan Uni Eropa sebagai orientasi kebijakan luar negeri. Penelitian ini menggunakan konsep Competitive

Authoritarianism berdasarkan model Levitsky & Way untuk menganalisa perubahan kebijakan luar negeri Serbia yang sering terjadi. Levitsky & Way berasumsi bahwa pada satu sisi negara transisi menerima demokrasi sebagai sistem pemerintahan mereka dan menjalin hubungan dengan negara-negara barat.

Pada sisi lain, negara juga tetap menggunakan norma yang dipakai sebelumnya untuk membungkam oposisi yang menghendaki hubungan erat dengan negara lain yang biasa menjalin kerjasama sebelumnya. Kedua sisi tersebut digunakan oleh negara tergantung pada peran dan pengaruh masing-masing sisi, dimana salah satunya akan aktif tergantung pada keuntungan yang bisa didapat dan sejauh mana keuntungan tersebut bisa mempengaruhi publik.

Model tersebut digunakan oleh Galina dan Andrey untuk menjelaskan bahwa Kebijakan Luar Negeri Serbia selama ini berubah-ubah tergantung pada sisi mana yang dinilai pemerintah memiliki keuntungan lebih dan keuntungan tersebut dapat diterima serta mempengaruhi opini masyarakat. Analisa mereka

9

menyebutkan bahwa pada satu sisi Serbia terus mengupayakan kebijakan integrasi dengan Uni Eropa melihat keuntungan dari segi ekonomi yang didapat. Namun pada sisi lain, hubungan erat dengan Rusia sering juga diperlihatkan sebagai cara untuk melawan oposisi yang terus menyebarkan narasi pada masyarakat bahwa

Rusia merupakan mitra penting untuk Serbia melihat keuntungan politik yang didapat dalam beberapa kasus penting di dunia internasional yang melibatkan negaranya.

Persamaan penelitian ini dengan skripsi yang penulis susun adalah keduanya membahas kebijakan luar negeri Serbia dan bagaimana perubahan kebijakan bisa terjadi. Perbedaannya adalah penulis menggunakan kerangka berpikir konstruktivisme untuk menjelaskan perubahan kebijakan tersebut. Perbedaan kedua adalah pada skripsi ini penulis menganalisa kebijakan Serbia yang menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Eropa sementara pada penelitian tersebut Galina dan Andrey menganalisa beberapa kebijakan luar negeri

Serbia sebelum kebijakan yang penulis maksud ada. Penulis menggunakan penelitian ini untuk melihat interaksi yang dibangun oleh Serbia baik dengan Uni

Eropa maupun dengan Rusia.

Penelitian kedua yang penulis jadikan sebagai tinjauan pustaka adalah

Jurnal yang ditulis Maria Eugenia Magurean berjudul De-Constructing Serbian

Russophilia In The Context Of The Crisis In Ukraine. Penelitian ini menganalisa proses konstruksi ide yang mendukung Rusia sebagai mitra terdekat Serbia dalam konteks krisis di Ukraina. Penelitian ini menggunakan kerangka teori kritis melalui konsep Foucaldian Discourse Analysis yang secara garis besar

10

menyebutkan bahwa unsur ideasional dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Hampir sama dengan konstruktivisme yang meyakini bahwa struktur sosial dapat berubah, bedanya teori kritis menyebutkan bahwa unsur ideasional terdiri dari gagasan-gagasan yang dibuat oleh elit, kelompok kepentingan atau institusi yang memiliki kuasa pada waktu suatu kebijakan dibuat.

Pada penelitian ini Maria menjelaskan bagaimana proses terbentuknya

Russophilia sebagai wacana dikembangkan oleh elit Serbia yang dibagi dalam tiga segmen yaitu Pemerintah, Partai Politik dan Masyarakat Sipil. Maria menemukan bahwa tiga segmen elit yang memiliki power pada rentang waktu krisis Ukraina terjadi tersebut sama-sama membuat wacana yang menyebutkan bahwa

Rusophilia sebagai warna politik luar negeri Serbia berdasarkan keuntungan yang pernah didapat dan mendorong hubungan kedepan lebih baik dengan Rusia.

Persamaan penelitian tersebut dengan skripsi ini adalah penjelasan tentang bagaimana unsur ideasional dapat menjadi unsur yang bisa mempengaruhi kebijakan luar negeri Serbia dalam konteks krisis di Ukraina yang melibatkan Uni

Eropa dan Rusia sebagai dua mitra penting di dunia internasional. Perbedaanya penelitian tersebut mengidentifikasi unsur ideasional sebagai wacana yang dikembangkan oleh elit Serbia yang memiliki kuasa saat krisis Ukraina terjadi melalui kerangka berpikir teori kritis. Sementara penulis mengidentifikasi unsur ideasional yang dalam hal ini adalah identitas terbentuk melalui interaksi Serbia sebelumnya. Jadi jika menurut Maria unsur ideasional terbentuk melalui pola wacana yang dikembangkan oleh elit Serbia kemudian dijadikan dasar interaksi,

11

penulis akan menjelaskan bagaimana interaksi lah yang membentuk unsur ideasional. Perbedaan lainnya adalah Maria dalam penelitian tersebut tidak membenarkan bahwa unsur ideasional tersebut dijadikan dasar Serbia mengambil kebijakan terkait krisis di Ukraina, sementara penulis membenarkan bahwa unsur ide yang dalam hal ini identitas menjadi dasar Serbia mengambil kebijakan terkait masalah tersebut.

Penelitian ketiga yang menjadi tinjauan penulis dalam memilih judul skripsi ini adalah Jurnal yang ditulis oleh Filip Ejdus berjudul Beyond National Interest:

Identity Conflict and Serbia’s Neutrality toward the Crisis in Ukraine. Penelitian ini menganalisa sikap abstain Serbia saat pemungutan suara di Dewan Keamanan

PBB terkait aneksasi wilayah Crimea yang dilakukan secara ilegal oleh Rusia.

Perbedaan dengan skripsi ini adalah Filip Ejdus menganalisa sikap abstain saat pengambilan suara di Dewan Keamanan PBB yang ia artikan sebagai sikap netral

Serbia terhadap Uni Eropa dan Rusia.

Sementara penulis akan menganalisa sikap Serbia yang cenderung memilih sisi Rusia dengan menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia, dimana himbauan sanksi ini ada setelah krisis Ukraina dibawa ke

Dewan Keamanan PBB. Saat itu terjadi perubahan arah kebijakan Serbia dari posisi netral ke posisi yang lebih memihak Rusia. Filip Ejdus menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri Serbia berubah-ubah dipengaruhi oleh dua identitas berbeda yang ada. Sikap netral diambil oleh Serbia, karena menurut Filip negara ini tidak bisa memilih salah satu identitas atau merubah identitasnya dan lebih memilih sikap netral sebagai langkah menghindar untuk meminimalisir kerugian yang bisa

12

didapat. Penelitian ini akan digunakan penulis untuk melihat identitas apa saja yang dimiliki Serbia, dan sebagai langkah baru penulis akan mengidentifikasi bagaimana akhirnya salah satu identitas lebih dipilih Serbia dengan menganalisa perubahan kebijakan yang ada dalam konteks krisis di Ukraina saat Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia.

E. Kerangka Pemikiran

Pada penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan beberapa konsep pemikiran dalam Ilmu Hubungan Internasional sebagai kerangka berpikir untuk menganalisa kebijakan penolakan Serbia sebagai negara kandidat anggota terhadap himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia, diantaranya adalah konsep identitas dalam konstruktivisme dan konsep kepentingan nasional.

E. 1. Konsep Identitas dalam Konstruktivisme

Konstruktivisme hadir sebagai pendekatan baru untuk menganalisa fenomena dalam hubungan internasional sejak berakhirnya perang dingin.

Konstruktivisme muncul sebagai teori Hubungan Internasional karena teori-teori yang ada saat itu seperti Realis dan Liberalis tidak dapat menjelaskan fenomena berakhirnya perang dingin dimana dunia internasional menjadi lebih dinamis

(Smith, 2001). Menurut Nicholas Onuf, Konstruktivisme adalah teori dalam ilmu hubungan internasional yang memiliki pandangan bahwa sistem internasional merupakan hasil konstruksi dari pemahaman aktor yang ada didalamnya. Dalam hal ini Nicholas Onuf menyebutkan bahwa sistem internasional sama dengan

13

dunia sosial yang bersifat intersubjektif dimana aktor yang ada didalamnya memahami dan memaknainya (Onuf, 2012).

Menurut Friedrich Kratochwil sebagaimana dikutip oleh Bob Sugeng

Hadiwinata, Konstruktivisme adalah pandangan yang berpendapat bahwa sistem internasional adalah hasil konstruksi sosial dari interaksi antar aktor yang membentuk dan dibentuk oleh identitas, norma dan kepentingan. Jadi teori konstruktivisme menganalisa tindakan negara sebagai aktor melalui keberadaan faktor ideasional seperti norma dan identitas (Hadiwinata, 2017). Faktor ideasional sendiri dalam konstruktivisme memiliki arti faktor yang berasal dari gagasan bersama para aktor tentang bagaimana dirinya dan aktor lain serta sistem atau dunia tempatnya berada (Bakry, 2017).

Aleksander Wendt lebih lanjut menjelaskan bahwa konstruktivisme adalah teori yang memiliki pandangan bahwa negara merupakan aktor utama analisa dalam hubungan internasional, bedanya dengan pandangan teori arus utama adalah konstruktivisme menganalisa interaksi antar negara yang akhirnya membentuk faktor ideasional sebagai gagasan bersama (Bakry, 2017). Jadi sistem internasional menurut Aleksander Wendt bisa dilihat berdasarkan dua komponen.

Komponen pertama adalah keberadaan gagasan bersama antar aktor yang membentuk faktor ideasional. Kedua adalah tindakan para aktor yang dipengaruhi oleh faktor ideasional tersebut. Pendapat ini membantah asumsi Neorealis yang menjelaskan sitem internasional sebagai anarki yang bebas dan berdaulat dari para aktor didalamnya (Jackson dan Sorensen, 2007).

14

Faktor ideasional yang paling penting menurut konstruktivisme adalah

Norma dan Identitas. Menurut Friedrich Kratochwil, Norma adalah sebuah aturan yang berisi gagasan tentang bagaimana suatu tindakan dianggap benar. Gagasan ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan hasil dari interaksi antar aktor dimana aktor mempelajari apa yang dia pahami dan memperbaiki pandangannya tentang dunia melalui gagasan tersebut. Norma kemudian mengidentifikasi identitas yang kemudian menjadi landasan aktor dalam mengambil tindakan pada interaksi berikutnya (Hadiwinata, 2017).

Faktor ideasional berikutnya adalah Identitas yang kedudukannya juga paling penting dalam konstruktivisme. Menurut Alexander Wendt, identitas adalah konsep mengenali siapa dan bagaimana aktor di sistem internasional.

Aktor tidak dapat mengetahui apa yang ia inginkan dan apa yang harus ia lakukan jika tidak mengenal dan mengetahui siapa serta bagaimana dirinya dalam sistem internasional. Sejalan dengan konstruksi sosial yang terus berputar, identitas juga menjadi sesuatu yang dapat berubah atau dimodifikasi. Sifat antara tindakan negara dan identitas adalah saling membentuk, dimana tindakan membentuk identitas yang kemudian membentuk tindakan berikutnya, begitu seterusnya

(Hara, 2011).

Proses terbentuknya identitas dalam ilmu hubungan internasional terbagi menjadi dua konsep. Konsep pertama adalah internal yang terbentuk melalui sejarah negara tersebut dimana dalam istilah Aleksander Wendt menyebutnya sebagai corporate identity. Konsep identitas ini mencakup unsur instrinsik negara seperti budaya, kepercayaan, konstituen dan institusi yang diterapkan didalamnya.

15

Konsep pertama menurut Wendt kurang sesuai jika digunakan dalam analisa hubungan internasional karena corporate identity seringkali memuat hal-hal yang hanya bisa dipahami bangsa dari negara tersebut. Konsep kedua adalah eksternal, yang terbentuk melalui interaksi aktor dengan aktor lain dimana Aleksander

Wendt menyebutnya sebagai social identity. Jadi social identity ini merupakan kesimpulan dari gagasan bersama dimana aktor sudah menggambarkan siapa dirinya dan aktor lain ketika berinteraksi atau berperilaku dalam struktur politik internasional (Wendt, 1994).

Social identity terbentuk pada level sistem, dimana konstruktivisme memusatkan analisa pada aktor negara yang berinteraksi pada sistem tersebut

(Copeland, 2000). Aleksander Wendt juga menambahkan karena interaksi sifatnya terjadi secara terus menerus, negara bisa memiliki bermacam-macam identitas tergantung pada ruang dan konteks sosialnya. Negara sebagai aktor sosial memiliki fungsi kognitif dan dengan itu negara dapat merubah atau mengembangkan identitasnya. Negara bisa memilih identitas mana yang akan digunakan sebagai dasar dalam membentuk tindakan mereka. Negara juga bisa mengidentifikasi aktor lain sebagai mitra yang tepat baginya atau rival baginya di sistem internasional (Wendt, 1994).

Proses identifikasi identitas sangat dipengaruhi oleh peran bahasa. Nicholas

Onuf menyatakan bahwa dalam konstruktivisme simbol linguistik (bahasa) adalah simbol yang berfungsi sebagai variabel yang membentuk persepsi antar aktor.

Bahasa dapat kita lihat sebagai alat yang mengidentifikasi identitas aktor di tengah lingkungannya. Simbol bahasa dalam hubungan internasional menurut

16

Onuf memiliki definisi narasi atau wacana yang diungkapkan oleh aktor baik secara verbal atau tertulis (Onuf, 2012).

Pada skripsi ini, melalui kerangka berpikir konstruktuvisme pertama penulis akan mengidentifikasi norma yang dimiliki Serbia sehingga memilih kebijakan yang lebih mendekatkan mereka dengan Rusia dalam hal ini adalah penolakan

Serbia terhadap himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia. Kedua, penulis akan mengidentifikasi identitas apa yang membingkai norma tersebut.

Identifikasi identitas akan penulis lakukan dengan melihat simbol bahasa yang dikeluarkan oleh Serbia.

E.2. Konsep Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional merupakan konsep yang ada dalam ilmu hubungan internasional sejak lama, bahkan keberadaannya dianggap sebagai kunci dalam analisa hubungan internasional. Theodore Coloumbis menyebutkan bahwa kepentingan nasional merupakan konsep penting yang digunakan untuk menjelaskan fenomena internasional. Definisi kepentingan nasional dalam hubungan internasional menurut para ahli sangat beragam. Salah satu yang paling umum menyebutkan bahwa kepentingan nasional adalah motivasi dan alasan suatu negara menjalankan hubungan luar negeri (Coloumbis dan Wolfe, 1990).

Menurut Hans Morgenthau melalui pandangan realisnya, Kepentingan nasional adalah tujuan negara yang harus dicapai dalam rangka mempertahankan eksistensinya. Kepentingan nasional menurutnya harus bisa dikenali secara rasional karena berkaitan dengan kekuasaan dan kebutuhan rakyat (Jackson dan

Sorensen, 2007). Hampir senada, KJ Holsti juga mendifiniskan kepentingan

17

nasional sebagai tujuan yang harus dipenuhi dan menjadi motif bagi negara mengeluarkan suatu kebijakan. Menurutnya terdapat empat kepentingan dasar suatu negara, yang terdiri dari Kepentingan Keamanan (Security), Kepentingan

Otonomi (Autonomy), Kepentingan Ekonomi (Economic Interest) dan

Kepentingan Prestige (Holsti, 1983).

Berdasarkan pengertian diatas, kepentingan nasional menurut teori arus utama menjadi hal yang mengendalikan keinginan dan gerak suatu negara dalam sistem internasional. Setiap kebijakan yang diambil suatu negara dengan kata lain merupakan refleksi dari kepentingan nasional mereka (Linklater, 2009).

Berdasarkan penjelasan beberapa definisi konsep kepentingan nasional menurut teori arus utama Hubungan Internasional tersebut, diketahui bahwa kepentingan nasional menjadi alasan utama negara dalam mengeluarkan kebijakan (Holsti,

1983).

Konstruktivisme sependapat bahwa kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri saling berhubungan karena teori ini tidak serta merta mengabaikan unsur material. Namun kepentingan nasional menurut konstruktivisme berbeda dengan pandangan diatas yang memandang kepentingan nasional sebagai sebuah kebutuhan negara dimana keberadaannya sudah ada dan tetap. Konstruktivisme meneliti lebih jauh hal yang membuat kepentingan nasional tersebut muncul di permukaan (Wendt, 1994). Menurut Aleksander Wendt, kepentingan nasional juga bersifat sosial dan dengan itu sangat bergantung pada proses bagaimana negara mendifinsikan situasinya terhadap lingkungan. Jadi kepentingan nasional menurut konstruktivisme adalah produk dari identitas (Bakry, 2017).

18

Menurut Anthony Giddens, kepentingan nasional menurut konstruktivisme lebih merujuk pada keamanan ontologis dimana identitas yang stabil lebih dijadikan sebagai tujuan daripada kepentingan yang mencakup unsur materi seperti pertahanan dan keuntungan ekonomi (Giddens, 1990). Hal ini yang menyebabkan kebijakan suatu negara dianggap tidak rasional dan berubah, karena orang yang melihatnya tidak mengerti identitas dari negara tersebut. Hal ini bisa kita lihat misalnya pada Amerika Serikat yang tidak merasa terancam dengan penguatan militer Kanada tapi merasa terancam dengan penguatan militer Uni

Soviet (Hadiwinata, 2017).

Lebih lanjut menurut Buzan, Waever dan de Wilde keamanan ontologis berisi pertanyaan seputar apakah keamanan itu, yang dimanifestasikan ke dalam ancaman eksistensial (existensial threat). Jika isu keamanan sudah diangkat sebagai isu yang dianggap mengancam eksitensial maka negara bisa melakukan tindakan emergensi dan segala tindakan atau keputusan yang diambil tidak berdasarkan prosedur normal serta proses politik formal bisa dijustifikasi

(Hidayat, 2017). Dalam hal ini bagi konstruktivisme, identitas yang stabil bisa mempertahankan eksistensi mereka di dunia internasional melihat gagasan- gagasan tentang dirinya, aktor lain dan lingkungannya ada pada identitas tersebut

(Giddens, 1990).

Pada skripsi ini, konsep kepentingan nasional dalam konstruktivisme akan digunakan untuk mengetahui kepentingan nasional apa yang berhasil diidentifikasi oleh identitas Serbia dan mendukung alasannya menolak himbauan

Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia. Jika kepentingan nasional

19

merupakan tujuan negara yang akan dicapai dalam suatu kebijakan luar negeri, pertanyaan selantjutnya yang harus dijawab adalah instrumen apa yang digunakan oleh negara untuk membuat gagasan tentang kepentingan nasional tersebut bisa diterima sebagai alasan dari dibuatnya suatu kebijakan luar negeri. Penulis akan menggunakan konsep power untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kepentingan nasional dan power merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan (Perwita dan Yani, 2005).

Menurut Martin Griffiths dan Terry O‟Callaghan, power adalah alat yang digunakan untuk mencapai tujuan negara seperti harga diri, wilayah, dan keamanan. Power terdiri dari potensi atau kemampuan untuk menolak, mengontrol, atau mempengaruhi aktor lain (Griffiths dan Collaghan, 2002).

Joseph S. Nye membedakan power menjadi dua jenis, yaitu hard power dan soft power. Hard power terdiri dari instrumen yang sifatnya bisa memaksa aktor lain seperti kekuasaan militer dan ekonomi. Sementara soft power terdiri dari instrumen yang sifatnya mempengaruhi preferensi aktor lain sehingga akor berani mengambil suatu kebijakan, instrumen ini terdiri dari kebudayaan, daya tarik, identitas, dan institusi (Nye, 2002).

Daya tarik dan identitas dalam konsep soft power akan penulis gunakan untuk melihat instrumen power apa yang Serbia munculkan sehingga negara ini berani mengambil resiko untuk tidak menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan kebijakan Uni Eropa terkait krisis di Crimea. Konsep ini digunakan sebagai pendukung dalam menjelaskan adanya pengaruh identitas dan

20

kepentingan nasional dalam kebijakan Serbia yang menolak untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia tahun 2014-2018.

F. Metode Penelitian

Metode Penelitian merupakan strategi atau cara yang digunakan dalam mengumpulkan dan menganalisis data untuk kemudian digunakan sebagai jawaban penelitian. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang menggunakan sumber data berupa data deskriptif seperti data tulisan dan lisan yang terkait dengan masalah yang sedang diamati. Metode penelitian kualitatif ini menjelaskan segala fenomena yang terjadi pada kehidupan manusia dan lingkungannya menggunakan kerangka pemikiran tertentu. Metode penelitian ini dipilih karena memiliki keunggulan diantaranya adalah membuat kita lebih mudah dalam menghadapi kenyataan ganda sehingga masalah yang diteliti lebih dapat menyesuaikan dengan berbagai fakta yang ditemukan dilapangan (Moleong,

2002).

Sementara teknik analisa yang digunakan dalam mengolah data adalah teknik deskriptif analitis dengan metode deduktif. Teknik anlisa deskriptif analitis digunakan dalam penelitian ini untuk melihat fakta yang ada dalam data yang diperoleh kemudian dikaitkan dengan kerangka pemikiran atau teori Hubungan

Internasional (Mas‟oed, 1990). Metode deduktif sendiri digunakan untuk menganalisa data dan varibel-variabel yang muncul lalu kemudian ditarik kesimpulannya di akhir penelitian (Semiawan, 2010). Terakhir adalah level analisa yang digunakan merupakan level analisa sistem dimana level analisis

21

sistem dalam HI meyakini bahwa interaksi antara para aktor, antara negara-negara merupakan suatu sistem. Struktur dan pola interaksi didalam sistem internasional menentukan perilaku aktor yang terlibat didalamnya (Bakry, 2017).

Berdasarkan metode penelitian yang digunakan dalam hal pengumpulan data penulis menggunakan teknik pengumpulan data studi kepustakaan (Library

Research) yang lebih merujuk pada data sekunder seperti laporan penelitian terkait, jurnal, buku, working paper dan hasil penelitian orang lain yang kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan (Moleong, 2002).

Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan, dipahami dan dikelompokkan sesuai dengan topik pembahasan untuk menganalisa mengapa Serbia menolak himbauan

Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian akan dibagi menjadi lima bab dengan beberapa sub bab didalamnya agar pembahasan dapat dilakukan secara sistematis dan terstruktur sebagaimana pedoman penulisan skripsi. Adapun pembagian bab adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan landasan dasar penelitian yang mencakup pernyataan masalah skripsi, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori yang digunakan sebagai landasan dalam menganalisa masalah penelitian, metode penelitian yang dipakai serta sistematika penulisan.

BAB II INTERAKSI SERBIA DENGAN UNI EROPA DAN RUSIA

22

Bab ini akan membahas proses interaksi Serbia baik dengan Uni Eropa dan

Rusia. Bab ini akan dibagi kedalam dua sub bab, diantaranya adalah Hubungan

Serbia dengan Uni Eropa dan Hubungan Serbia dengan Rusia

BAB III PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN UNI

EROPA UNTUK TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE RUSIA

Bab ini akan membahas bagaimana proses yang terjadi sampai Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia.

Penjelasan akan dijabarkan melalui empat sub bab, yaitu Sanksi Uni Eropa terhadap Rusia, Sanksi Balasan Rusia Terhadap Uni Eropa, Himbauan Uni Eropa kepada Serbia untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia berikut penolakan Serbia terhadap himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi tersebut.

BAB IV ANALISA PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN

UNI EROPA UNTUK TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE RUSIA

Bab ini terbagi dalam dua sub bab, dimana pertama penulis akan mengidentifikasi identitas apa yang aktif dan menjadi landasan Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia. Kedua, penulis akan mengidentifikasi kepentingan apa yang muncul dan mendukung identitas tersebut sebagai landasan kebijakan Serbia.

BAB V KESIMPULAN

Bab ini berisi kesimpulan yang didapat dari penelitian yang telah penulis lakukan.

23

BAB II

INTERAKSI SERBIA DENGAN UNI EROPA DAN RUSIA

A. Hubungan Serbia dengan Uni Eropa

Jatuhnya rezim pemerintahan Slobodan Milosevic pada Oktober tahun 2000 membawa negara-negara bekas Yugoslavia termasuk Serbia ke sejarah kebijakan luar negeri yang baru setelah sebelumnya selalu memandang skeptis wacana

Komunitas Eropa. Kebijakan integrasi dengan Uni Eropa kemudian menjadi salah satu agenda penting pemerintah Serbia demi mewujudkan pemerintahan yang lebih demokratis dan mengangkat negara dari krisis yang disebabkan oleh sanksi ekonomi (Yalinkilicli, 2014). Bagi Uni Eropa, keinginan Serbia menjadi negara anggota merupakan kesempatan bagus untuk menciptakan stabilitas di kawasan

Balkan Barat. Hal ini melihat bahwa sejak kawasan ini dikuasai oleh Kerajaan

Ottoman konflik sering terjadi dimana yang terbaru adalah konflik Yugoslavia era

Milosevic (Stahl, 2013).

Kebijakan Serbia untuk menjadi anggota dari Uni Eropa dimulai sejak

November 2000 saat berpartisipasi dalam Zagreb Summit of European Union and

Western Balkan2 bersama negara-negara bekas Yugoslavia lainnya. Pada pertemuan ini negara-negara yang hadir dan Uni Eropa sepakat dengan memulai negosiasi keanggotaan melalui Stabilisation and Association Process yang merupakan bentuk komitmen khusus yang disediakan untuk negara-negara Balkan

2 Konferensi Tingkat Tinggi Zagreb merupakan konferensi yang diadakan oleh Uni Eropa untuk sepuluh negara di Eropa Timur sebagai langkah pendekatan untuk negara-negara yang ingin bergabung menjadi anggota Uni Eropa sekaligus menegaskan perpektif Uni Eropa bagi negara- negara di kawasan ini yang berkomitmen untuk rencana tersebut (Turkes and Gokgoz 2006).

24

Barat agar bisa memenuhi syarat-syarat wajib menjadi bagian dari Uni Eropa

(Sela dan Shabani, 2011). Pada tahun 2003 melalui Thessaloniki of EU-Western

Balkans Summit3 secara tegas Serbia mendeklarasikan diri akan bergabung menjadi negara anggota Uni Eropa (Fourere, 2013).

Serbia melalui Perdana Menteri Zoran Dindic pada tahun 2003 juga mendeklarasikan bahwa integrasi ke Uni Eropa merupakan tujuan utama dan prioritas kebijakan luar negeri Serbia. Serbia juga menegaskan komitmennya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia sebagai bagian dari Stabilisation and

Association Process keanggotaan Uni Eropa (Kostovicova, 2014). Pendekatan yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap Serbia terkait rencananya menjadi anggota adalah mengajak Serbia untuk berkomitmen dalam Demokrasi, Hak Asasi

Manusia, dan kerjasama dengan International Criminal Tribunal for the former

Yugoslavia (ICTY) terkait peradilan terhadap tersangka kejahatan perang di

Yugoslavia (Cameron dan Kintis, 2001). Insiden terbunuhnya Perdana Menteri

Zoran Dindic dan beralihnya pemerintahan dibawah Perdana Menteri Vojislav

Kostunica yang sangat nasionalis-konservatif semakin menghambat proses negosiasi SAA karena Serbia mulai melihat alternatif hubungan lain seperti dengan negara Rusia (Kostovicova, 2014).

Negosiasi untuk The Stabilisation and Association Agreement (SAA) dengan

Serbia secara resmi baru dibuka kembali oleh Uni Eropa pada Oktober 2005 yang dikonfirmasi oleh EU Council for General and Foreign Affairs. Pencapaian tersebut merupakan hasil upaya diplomasi maksimal yang diterapkan oleh Serbia

3 Konferensi Tingkat Tinggi Thessaloniki merupakan konferensi lanjutan dari KTT Zagreb dimana Uni Eropa menegaskan bahwa kesempatan untuk menjadi negara anggota bukan hanya sebatas mimpi yang sulit diraih (Turkes and Gokgoz 2006).

25

melalui Deputi Perdana Menteri Serbia Miroljub Labus (Stoian, 2007). Pada 6

Mei 2006 negosiasi SAA Serbia kembali ditunda oleh Uni Eropa karena Serbia tidak bekerjasama dengan ICTY dalam penangkapan tersangka kejahatan perang

Yugoslavia. Vojislav Kostunica saat itu mengungkapkan pendapatnya bahwa

Serbia tidak bisa menjadi negara anggota Uni Eropa sebagai negara asal tersangka kejahatan perang sehingga kerjasama dengan ICTY merupakan kebijakan yang haris ditinjau kembali. Masalah tersebut kembali membawa hubungan antara

Serbia dengan Uni Eropa ke arah yang negatif (Kostovicova, 2014).

Referendum Montenegro tahun 2006 dan masalah status kemerdekaan

Kosovo menambah pengaruh buruk terhadap proses negosiasi keanggotaan Uni

Eropa yang sedang Serbia jalani. Hal ini juga tidak lepas dari pandangan skeptis

Serbia terhadap Uni Eropa yang mendukung kemerdekaan Kosovo. Uni Eropa menganggap bahwa pemerintah Serbia selama ini telah berlaku diskriminatif dan tidak mengakui hak-hak yang dimiliki oleh etnis Albania di Kosovo. Uni Eropa lebih lanjut mengungkapkan bahwa demi menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diatur dalam hukum internasional maka Serbia harus menghormati hak-hak Kosovo (Radeljic, 2016). Pada tahun 2007, muncul Ahtisaari Proposal4 yang diajukan ke Dewan Kemanan PBB dimana proposal ini mengupayakan status Kosovo di organisasi internasional (Tolksdorf, 2007).

Pada 31 Maret 2010, Deklarasi yang mengecam pembantaian di Srebrenica dikeluarkan oleh Parlemen Serbia. Serbia menganggap bahwa pembantaian yang dilakukan terhadap etnis muslim di Bosnia itu sebagai kejahatan terburuk pada era

4 Ahtisaari Proposal atau lebih dikenal dengan sebutan Ahtisaari Plan merupakan proposal yang diajukan untuk menjamin hak-hak Kosovo sebagai negara merdeka yang bisa mengimplementasikan demokrasi dengan bahasa Albania sebagai bahasa resmi (Gallucci 2011).

26

Milosevic. Presiden Serbia saat itu Boris Tadic menyebutkan bahwa negaranya dengan ini secara berani meminta maaf atas kesalahan masa lalu tersebut dan negaranya siap untuk memimpin rekonsiliasi di kawasan (Dragovic-Soso, 2012).

Langkah berani tersebut kemudian diapresiasi oleh Uni Eropa dan proses negosiasi Serbia untuk menjadi negara anggota kembali dimulai pada 1 Februari

2010. Pada 1 Maret 2012, Uni Eropa secara resmi memberikan status negara kandidat kepada Serbia (Kostovicova, 2014).

Pada 19 April 2013, Serbia menandatangani Brussel Agreement yang memuat hal-hal yang harus mereka lakukan untuk menormalisasi hubungan kedua negara. Perjanjian memuat lima belas poin yang intinya adalah Serbia harus menghormati hak-hak Kosovo dan pada sisi lain Kosovo juga harus menghormati orang Serbia yang ada di Kosovo. Serbia kemudian kembali mendapat hormat dari

Uni Eropa yang menganggap langkahnya adalah tepat untuk mewujudkan perdamaian di kawasan. Pada Januari 2014, proses aksesi keanggotaan Uni Eropa dibuka untuk Serbia (Ejdus, 2014).

Pada kasus Serbia, proses negosiasi menjadi negara anggota Uni Eropa berjalan lama karena Uni Eropa menerapkan SAA yang lebih komprehensif dibandingkan negara-negara calon anggota lainnya. Pertama, Serbia harus memenuhi Copenhagen Criteria sebagai syarat utama menjadi negara anggota berdasarkan keputusan European Council tahun 1993 di Copenhagen. Kriteria

Kopenhagen terdiri dari keharusan negara untuk memiliki institusi yang stabil dan menjamin supremasi hukum serta hak asasi manusia, keharusan negara memiliki sistem pasar yang memiliki daya saing, dan keharusan untuk menyelaraskan

27

kebijakan luar negeri dalam bidang politik, ekonomi, dan moneter dengan Uni

Eropa. Kedua, Serbia juga harus memenuhi komitmennya pada beberapa isu yang dijadikan syarat oleh Uni Eropa. Serbia dalam hal ini harus memenuhi komitmennya terhadap Uni Eropa terkait masalah kejahatan perang era Milosevic dan mengakui status kemerdekaan Kosovo dimana dalam hal ini Serbia merasa bahwa Uni Eropa tidak menghormati hak-hak mereka sebagai negara berdaulat yang ingin mempertahankan wilayahnya (Stojic, 2006).

Pada bidang ekonomi hubungan Serbia dengan Uni Eropa selalu menunjukkan tren yang positif. Tahun 2000 Uni Eropa membuka kerjasama bidang ekonomi dengan Serbia setelah sebelumnya memberlakukan embargo sebagai respon terhadap krisis di Yugoslavia. The Stabilitiation and Association

Process yang dibuka untuk Serbia membuat sanksi batasan perdagangan dihapuskan sehingga membuka jalan ekspor dan impor perdagangan Serbia dengan Uni Eropa. Sejak saat itu, Uni Eropa menjadi mitra perdagangan yang penting bagi perekonomian Serbia (Crnobrnja et all, 2007).

Berdasarkan data yang ada, tahun 2005 nilai ekspor dan impor Serbia dengan Uni Eropa mencapai 46,23% dari total perdagangan Serbia ke seluruh dunia. Pada tahun 2006, angka tersebut mengalami peningkatan sebanyak 6% sehingga nilai ekspor dan impor Serbia dengan Uni Eropa sebanyak 52% dari total perdagangan Serbia ke seluruh dunia. Pada tahun-tahun berikutnya, nilai perdagangan Serbia dengan Uni Eropa selalu berada diatas 40%. Bahkan pada

2010, nilai perdagangan Serbia dengan Uni Eropa mencapai angka 59,18% dari total perdagangan Serbia ke seluruh dunia (Drazovic, 2011).

28

Tabel II.A.1 Perdagangan antara Serbia dan Uni Eropa 2001-2010

dalam Juta Euro

Rasio Tahun Ekspor Impor Balance Import/Export dalam persen 2001 1,104 2,740 -1,636 40,29

2002 1,305 3,530 -2,225 36,97

2003 1,316 3,840 -2,526 34,25

2004 1,604 5,000 -3,396 32,08

2005 2,116 4,577 -2,461 46,23

2006 2,962 5,696 -2,734 52,00

2007 3,603 7,687 -4,084 46,87

2008 4,029 9,073 -5,044 44,41

2009 3,196 6,533 -3,337 48,92

2010 3,411 5,764 -2,353 59,18

Sumber: (Statistical Office of The Republic Serbia, 2011)

Hubungan baik antara Serbia dengan Uni Eropa pada sektor perdagangan berlanjut sampai tahun 2013 dimana angka perdagangan keduanya mencapai 66% dari total nilai perdagangan Serbia dengan negara-negara lain di dunia. Bahkan pada tahun 2014, nilai perdagangan Serbia dengan Uni Eropa mencapai angka

72,1% dari seluruh nilai perdagangan luar negeri Serbia. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan yang signifikan sekaligus menegaskan bahwa Uni

Eropa sangat penting bagi perdagangan Serbia (Vosta dan Jankovic, 2016). Sejak tahun 2008 – 2014, negara anggota Uni Eropa yang menjadi mitra dagang terbesar bagi ekspor Serbia sendiri diantaranya adalah Italia dengan 15% dari total ekspor

29

Serbia, Jerman dengan 13% dari total ekspor Serbia, Rumania dengan 5,7% dari total ekspor Serbia, Kroasia dengan 3,5% dari total ekspor Serbia, dan Hungaria dengan nilai 3,1% dari total seluruh ekspor Serbia (Macro Connection at MIT

Lab, 2016).

Pada bidang investasi, Serbia juga menerima berbagai manfaat dari rencana keanggotaan Uni Eropa mereka. Pasca tahun 2000, Serbia menjadi negara kedua terbesar di Balkan Barat yang menerima manfaat paling besar terkait kemudahan ini. Pada tahun 2013 total investasi asing yang masuk ke Serbia mencapai nilai

1.034 juta dolar Amerika. Padahal ketika tahun 2000, total investasi asing yang masuk ke Serbia hanya berada di kisaran 112 juta dolar Amerika. Negara-negara

Uni Eropa yang paling berpengaruh meningkatkan angka ini diantaranya adalah

Austria dengan nilai 17,1% dari total investasi asing, Belanda sebanyak 10,1%,

Yunani sebanyak 9,6%, Jerman sebanyak 9,1%, dan Norwegia sebanyak 8,4%

(Nelaeva dan Semenov, 2016).

Fakta bahwa Uni Eropa adalah mitra ekonomi yang penting membuat Serbia tetap mempertahankan komitmennya terkait negosiasi aksesi keanggotaan Uni

Eropa meski sering dihadapkan pada beberapa masalah yang secara langsung berbenturan dengan Uni Eropa. Keanggotaan Uni Eropa diyakini akan membawa

Sebia menuju ekonomi yang lebih maju dengan akses pasar tak terbatas dengan negara-negara anggota lain melalui fasilitas free trade zone yang diberikan oleh

Uni Eropa. Serbia juga mengharapkan fasilitas lain yang bisa diberikan Uni Eropa untuk meningkatkan ekonomi negara melihat angka pengangguran yang mencapai angka 27% (Gady, 2014).

30

B. Hubungan Serbia dengan Rusia

Rusia mulai kembali menyebarkan pengaruh globalnya saat Vladimir Putin menjabat sebagai presiden pada tahun 2000 setelah sebelumnya pasca kejatuhan

Uni Soviet, Rusia sibuk meningkatkan perekonomian negara yang mengalami krisis. Melalui slogan Powerful Russian State Rusia kembali menyebarkan pengaruhnya mulai dengan negara-negara bekas Uni Soviet dan negara-negara tetangga lainnya. Instrumen yang digunakan oleh Rusia adalah Strategi Energi dan Posisi Rusia di arena internasional, salah satunya hak veto yang dimiliki

Rusia di Dewan Keamanan PBB. Serbia termasuk salah satu negara yang tidak lepas dari pengaruh Rusia tersebut (Pussenkova, 2010).

Pada 2007 Serbia dihadapkan pada masalah kemerdekaan Kosovo saat proposal terkait status Kosovo diajukan ke Dewan Keamanan PBB atau lebih dikenal dengan Athisaari Plan oleh Martti Ahtisari yang merupakan utusan khusus untuk masalah Kosovo. Proposal tersebut secara garis besar berisi pengakuan terhadap status kemerdekaan Kosovo dan mendorong Serbia serta negara-negara lain untuk turut mengakuinya. Pada Juli 2007, Rusia menggunakan hak vetonya untuk menolak proposal tersebut dan mendeklarasikan dukungannya kepada Serbia yang menolak kemerdekaan Kosovo sehingga membuat implementasi Athisaari Plan tidak bisa dilaksanakan. Rusia mulai memperkuat pengaruhnya terhadap Serbia melalui masalah ini meski pada akhirnya Kosovo tetap mendeklarasikan kemerdekaannya secara unilateral pada Februari 2008

(Konitzer, 2010).

31

Pasca menggunakan hak vetonya, Rusia menempatkan isu Kosovo sebagai isu global penting yang menjadi salah satu prioritas negaranya. Rusia memutuskan untuk mendukung integritas teritorial Serbia dengan menolak segala bentuk dukungan terhadap kemerdekaan Kosovo (Kay, 2014). Sejak 2008, Serbia akhirnya menjadikan Rusia sebagai mitra strategis negaranya melihat keuntungan yang didapat dari pengaruh penting yang dipegang oleh Rusia di politik internasional. Serbia melalui Perdana Menteri Vojislav Kostunica bahkan berpendapat bahwa menjalin hubungan diplomatik dengan Rusia merupakan hal penting. Serbia juga menjadikan Rusia lebih dari mitra strategis, yaitu sebagai pelindung sekaligus saudara terdekat negaranya melihat adanya kesamaan sejarah, bahasa dan agama yang dimiliki kedua negara (Wochnik, 2012).

Pada masalah Kosovo, sikap Serbia dan Rusia sangat jelas sama dimana mereka akan menutup kemungkinan apapun untuk kemerdekaan Kosovo (Becker,

2008). Serbia bahkan beberapa kali mengancam Uni Eropa dan berniat untuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan Rusia. Contohnya pada tahun

2012, Perdana Menteri Serbia saat itu yaitu Ivica Dacic pernah mengatakan bahwa jika Serbia tidak menerima status sebagai negara kandidat anggota setelah banyak masalah mereka dapatkan maka Serbia akan memperkuat kemitraan dengan Rusia bahkan dalam hal pertahanan (Bogzeanu, 2012).

Peran Rusia dalam mendukung Serbia menghadapi masalah Kosovo kemudian diikuti dengan keberhasilan Rusia memperluas pengaruhnya melalui instrumen lain yaitu ekonomi. Pada sektor energi dan perdagangan Rusia mulai meningkatkan kerjasamanya dengan Serbia sejak tahun 2008 (Shala, 2015). Pada

32

tahun 2011 Rusia menjadi mitra dagang terbesar kedua bagi Serbia dengan nilai perdagangan sebesar 6,2% dari total seluruh nilai perdagangan Serbia. Sampai tahun 2012, hubungan dagang keduanya semakin meningkat dengan nilai ekspor yang mencapai 8% dari total ekspor Serbia dan nilai impor yang mencapai 11% dari total impor Serbia. Pada 2013, angka perdagangan Serbia dengan Rusia menjadi 9% dari total perdagangan luar negeri Serbia dimana produk Agrikultur merupakan produk ekspor terbanyak. Angka perdagangan Serbia dengan Rusia masih memang masih jauh jika dibandingkan dengan Uni Eropa. Meski begitu

Rusia berhasil mengamankan pengaruhnya melalui posisinya terkait isu Kosovo

(Knezevic, Mihailo, dan Ivanovic, 2012).

Serbia juga memiliki ketergantungan terhadap Rusia pada sektor energi.

Fakta tersebut dibenarkan oleh Presiden Boris Tadic pada tahun 2008 yang menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada Rusia karena telah membantu membangkitkan harga minyak dan gas, serta telah menjadi teman yang baik dalam mendukung Serbia mempertahankan integritas teritorinya dalam kasus Kosovo.

Ungkapan tersebut senada dengan pernyataan Menteri Luar Negeri Serbia Vuk

Jeremic yang mengatakan bahwa secara historis hubungan Serbia dengan Rusia sangat dekat dan telah menjadi salah satu mitra terpenting bagi Serbia (Miljkovic,

2014).

Pada sektor energi, ketergantungan Serbia terhadap Rusia juga dimulai sejak tahun 2008 setelah perusahaan gas Rusia Gazprom membeli saham Naftna

Industrija Srbije (NIS) sebanyak 51% kepemilikan. Pada tahun 2011, angka kepemilikan Gazprom atas NIS bahkan meningkat menjadi 56,5%. Sampai pada

33

tahun 2013, sebanyak 60% pasokan gas Serbia berasal dari Rusia dimana hal ini berarti angka ketergantungan Serbia terhadap Rusia pada sektor energi sangat tinggi (Konitzer, 2010). Posisi NIS Setelah dibeli oleh Rusia bahkan bisa mempengaruhi harga gas dalam negeri Serbia. Meski hal ini sering menjadi perdebatan, Hubungan antara keduanya masih baik dan Serbia tetap melanjutkan kerjasamanya dengan Rusia pada sektor energi (Brkic, 2018). Total nilai impor gas Serbia dari Rusia bahkan mencapai angka 76,05% dari total impor Serbia

(Knezevic, Gajic, dan Ivanovic, 2012).

Pada tahun 2010 bahkan Serbia dan Rusia mengikat diri mereka dalam kerjasama South Stream Project yang juga melibatkan beberapa negara lainnya.

Pada proyek ini Rusia yang saat ini menjadi negara pemasok gas terbesar di Eropa berencana untuk membuat pipa gas untuk memudahkan distribusi gas mereka.

Serbia sebagai salah satu negara yang dilewati oleh rute pipa gas tersebut menyambut rencana Rusia dengan antusias. Pada 2013, pemerintah Serbia bahkan memberikan status khusus untuk South Stream Project. Sambutan hangat dari pemerintah bukan tanpa sebab, melainkan karena mereka yakin poyek ini akan mendatangkan sekitar 2,1 miliar euro untuk Serbia (Nelaeva dan Semenov, 2016).

Sama halnya dengan pemerintah, publik Serbia juga pada akhirnya menganggap bahwa Serbia juga harus meningkatkan hubungan dengan Rusia.

Pada 2008, survey yang diadakan menunjukkan hasil bahwa sebanyak 58,81% rakyat Serbia setuju jika negaranya menjalin kedekatan dengan Rusia sementara

24,39% lainnya memilih tidak setuju dan 16,79% memilih tidak tahu. Padahal saat yang sama pertanyaan terkait integrasi Serbia ke Uni Eropa juga muncul dimana

34

63,89% rakyat Serbia setuju, 22,44% tidak setuju dan 13,67% lainnnya mengaku belum memutuskan sikapnya (Konitzer, 2010).

Berdasarkan kebudayaan kedekatan diantara keduanya juga sangat bisa dilihat. Banyak organisasi non-pemerintah yang dibuat kedua negara sejak 2008 rutin mempromosikan nilai-nilai kebudayaan, dimana nilai kebudayaan dari segi agama, bahasa, dan sejarah sama. Beberapa diantaranya ada The Russian Centre in Belgrade University, Russian-Serbian Humanitarian Centre, dan hubungan baik antara Gereja Orthodox Serbia dan Gereja Kristen Orthodox Rusia (Nelaeva dan

Semenov, 2016).

Kedekatan yang dimiliki antara Gereja Orthodox Serbia dan Gereja

Orthodox Rusia sangat erat. Hal ini tidak terlepas dari peran agama Kristen

Orthodox sebagai agama mayoritas di kedua negara. Rusia sebagai negara dengan populasi Kristen Orthodox terbanyak di dunia tentu memiliki makna khusus bagi

Serbia. Kedekatan budaya dalam hal agama diantara keduanya juga sering dikaitkan dengan sejarah perlawanan mereka terhadap Kekaisaran Islam Ottoman yang selama ratusan tahun menguasai tanah Balkan. Heroisme sejarah ini sering digunakan oleh banyak nasionalis di Serbia untuk merepresentasikan identitas dan budaya nasional mereka (Pantelic, 2016).

Pada akhirya, pasca upaya mendorong status kemerdekaan Kosovo yang dilakukan oleh Uni Eropa dapat kita lihat bahwa Serbia menjadikan Rusia sebagai mitra strategis ditengah ambisi untuk mencapai keanggotaan penuh Uni Eropa.

Bahkan pada 2009, pemerintah Serbia memperkenalkan politik empat pilar sebagai orientasi kebijakan luar negeri mereka. Hal ini tercantum dalam The

35

National Security Strategy of the Republic Serbia yang disebut sebagai dokumen resmi landasan pengambilan kebijakan luar negeri Serbia. Politik empat pilar merujuk pada penetapan Uni Eropa dan Rusia bersama dengan Cina dan Amerika

Serikat yang disebut sebagai mitra srategis mereka di dunia internasional

(Petrovic, 2013).

36

BAB III

PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN UNI EROPA UNTUK

TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE RUSIA

A. Sanksi Uni Eropa Terhadap Rusia

Penerapan sanksi oleh Uni Eropa terhadap Rusia merupakan bentuk respon atas intervensi yang dilakukan pada krisis di Crimea. Aneksasi Crimea yang dilakukan oleh Rusia berawal sejak akhir tahun 2013. Pada 21 November 2013,

Presiden Ukraina Viktor Yanukovych menolak untuk menandatangani EU

Association Agreement5 dengan Uni Eropa (Gotz, 2016). Kebijakan Yanukovych menolak menandatangani perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa membuat pihak oposisi menyerukan aksi protes di Kiev (Wang, 2015). Bahkan pemimpin oposisi

Arseniy Yatsenyuk turut menuntut Presiden Yanukovych untuk turun dari kursi kepresidenan, seperti dalam pernyataannya di parlemen yang dikutip oleh

Today:

“Jika Yanukovych menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut, maka tidak hanya disebut sebagai pengkhianatan terhadap negara tetapi juga alasan untuk pendakwaan dan pemberhentian presiden dari pemerintah (Russia Today, 2014)

Setelah gelombang protes yang semula hanya terjadi di Kiev meluas ke beberapa kota di Ukraina, Presiden Viktor Yanukovych dan Pemimpin Oposisi

5 EU Association Agreement merupakan instrumen Uni Eropa untuk membuat negara- negara yang tergabung dalam Eastern Partnership bisa mengadopsi standar dan norma Uni Eropa dengan lebih mudah. Negara-negara yang menandatangani perjanjian tersebut harus mengadopsi 350 undang-undang Uni Eropa dalam jangka waktu sepuluh tahun. Sebagai timbal balik, negara- negara tersebut mendapat akses penuh ke pasar Uni Eropa. Jika negara anggota Eastern Partnership menolak menandatangani perjanjian asosiasi berarti sama saja negara tersebut menunda rencana aksesi keanggotaan Uni Eropa mereka (Jozwiak, 2013).

37

menandatangani Agreement On Settlement Of Political Crisis In Ukraine sebagai upaya untuk meredam krisis politik yang sedang terjadi (Wang, 2015). Perjanjian yang ditandatangani pada 21 Februari 2014 tersebut membuat Ukraina berada dalam masa pemerintahan transisi sampai pemilihan umum yang akan dilaksanakan Desember 2014. Namun aksi protes terhadap Viktor Yanukovych terus berlangsung sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan Ukraina dan pergi ke Rusia. Kepergian Yanukovych disebut sebagai tanda jatuhnya pemerintahan pro-Rusia yang membuat pihak oposisi mempunyai kontrol penuh atas pemerintahan Ukraina (Bond, 2015).

Beralihnya kekuasaan dari Viktor Yanukovych ke pemerintahan transisi yang dikenal pro-Barat memicu protes dari masyarakat Ukraina di wilayah timur terutama Crimea, dimana sebagian besar masyarakatnya memiliki latar belakang etnis Rusia. Kelompok bersenjata pro-Rusia kemudian menguasai gedung-gedung pemerintahan di wilayah timur Ukraina dan memutus komunikasi antara Crimea dan Ukraina. Pemerintahan Crimea juga dibentuk dengan mengesahkan jabatan

Perdana Menteri Crimea. Rusia kemudian mengirimkan militernya ke Ukraina sebagai bentuk dukungan kepada etnis Rusia di Crimea (Koch, 2016).

Komunikasi antara Crimea dengan wilayah lain Ukrania juga diputus, sehingga masyarakat Crimea sehari-hari hanya mendengar info dan kabar yang merupakan bagian dari propaganda media Rusia (Bebler, 2015).

Presiden Vladimir Putin sendiri menganggap pengiriman pasukan militer ke

Crimea bukan sebagai intervensi militer dan upaya mendukung pemberontakan etnis Rusia di Crimea. Ia menyatakan bahwa pengiriman militer berutujuan untuk

38

misi kemanusiaan, yaitu memastikan bahwa etnis Rusia di Crimea tetap aman.

Putin juga mengatakan bahwa pengiriman militer dilakukan setelah sebelumnya

Victor Yanukovych sebagai presiden Ukraina mengirimkan surat kepada Rusia, seperti dalam pernyataannya yang dikutip oleh National Public Radio:

"Tindakan kita terhadap Crimea sah secara hukum internasional, karena presiden Ukraina meminta bantuan kita. Untuk menyelamatkan orang-orang Rusia adalah kepentingan kita. Kita tidak akan mengintimidasi siapapun” (Chappel dan Memmott, 2014).

Pada 6 Maret 2014 lembaga legislatif di Crimea akhirnya mendeklarasikan akan melaksanakan Referendum Crimea. Pada 11 Maret 2014, pemerintah Crimea memberi pengumuman bahwa mereka akan mengesahkan deklarasi kemerdekaan berdasarkan referendum yang dilaksanakan pada 16 Maret 2014 (Vieira, 2016).

Pada saat referendum, masyarakat Crimea dihadapkan dengan dua pertanyaan.

Pertama, Apakah masyarakat Crimea mendukung reunifikasi Krimea dengan

Rusia dan menjadi bagian dari Federasi Rusia. Kedua, Apakah masyarakat Crimea mendukung pemulihan Konstitusi Republik Crimea tahun 1992 yang menyebutkan bahwa status Crimea sebagai bagian dari Ukraina. Hasilnya, sebanyak 96,77% masyarakat Crimea memilih untuk memisahkan diri dari

Ukraina dan menjadi bagian dari Rusia (Grant, 2015).

Pada 17 Maret 2014 Parlemen Crimea dengan tegas mendeklarasikan kemerdekaannya dan menjadi bagian dari Federasi Rusia. Kebijakan ini menurut masyarakat pro-Rusia di Crimea sebagai bentuk akhir kekecewaan mereka terhadap pemerintahan di Kiev yang orientasi kebijakannya sangat pro terhadap

Uni Eropa, penuh korupsi dan secara sepihak mengharuskan mereka

39

menggunakan bahasa resmi, bukan bahasa Rusia sebagai bahasa sehari-hari.

Pemerintah Federasi Rusia kemudian diminta untuk menandatangani perjanjian aksesi (Bebler, 2015). Treaty On The Accession Of The Republic Of Crimea to

Russia sebagai bentuk pengesahan aksesi Crimea ke Rusia ditandatangani oleh

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Crimea pada 18 Maret 2014. Putin menyatakan bahwa Crimea secara sah telah menjadi bagian dari Federasi Rusia dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut (Wang, 2015).

Pada saat penandatangan perjanjian, Vladimir Putin menyampaikan pidatonya bahwa penggabungan wilayah Crimea ke Rusia ini memang sudah seharusnya dilakukan mengingat selama ini masyarakat Crimea tidak pernah merasa menjadi bagian dari Ukraina seutuhnya. Seperti yang dikutip oleh The

Washington Post sebagai berikut:

“Dalam hati dan pikiran masyarakat, Crimea selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari Rusia. keyakinan yang kuat ini didasarkan pada kebenaran dan keadilan yang diturunkan dari generasi ke generasi, dari waktu ke waktu, dalam keadaan apapun, meskipun semua perubahan dramatis pada negara kita terjadi selama sekitar abad ke-20” (The Washington Post, 2014).

Rusia melalui Vladimir Putin juga menganggap bahwa tidak ada hal yang salah karena semua proses tidak bertentangan dengan hukum internasional

(Englund, 2014). Meski Rusia menganggap bahwa proses penggabungan wilayah

Crimea ke negaranya tidak melanggar hukum internasional, beda halnya dengan

Uni Eropa yang mengecam tindakan Rusia dan menilai bahwa tindakan intervensi militer yang disusul dengan aneksasi tersebut sebagai tindakan ilegal. Menurut

Uni Eropa, Rusia telah melanggar beberapa hukum internasional yang diantaranya

40

adalah Piagam PBB, the OSCE Helsinki Act yang ditandatangani pada tahun

1975, dan Charter Of Paris For A New Europe yang ditandatangani pada tahun

1990. Ketiga perjanjian tersebut mengharuskan setiap negara untuk menghormati kedaulatan negara lain dan menekankan prinsip non-intervensi terhadap urusan internal negara lain (Zadorozhny, 2014).

Selain itu, yang paling relevan menurut Uni Eropa bahwa Rusia telah melanggar Budapest Memorandum on Security Assurance dimana Rusia, Amerika

Serikat, United Kingdom, dan Ukraina menandatangani perjanjian tersebut pada

Desember 1994. Negara-negara yang menandatangani perjanjian ini termasuk

Rusia dilarang memberi ancaman terhadap integritas wilayah Ukraina dan harus menghormati Ukraina sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Memorandum tersebut juga melarang negara yang menandatanganinya menggunakan ekonomi sebagai instrumen untuk mengatur Ukraina demi kepentingan mereka (Synovitz,

2014).

Uni Eropa melalui Presiden Dewan Eropa Herman Van Rompuy dan

Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso menyampaikan kecaman terhadap tindakan Rusia, yang menyatakan: “Seperti yang telah dinyatakan oleh 28 Kepala

Negara atau Pemerintah EU pada 6 Maret 2014, Uni Eropa menganggap diadakannya referendum mengenai status wilayah Ukraina sebagai tindakan yang bertentangan dengan Konstitusi Ukraina dan hukum internasional. Referendum tersebut merupakan sebuah bentuk tindakan ilegal yang hasilnya tidak akan diakui... Kecaman keras kembali kami keluarkan atas pelanggaran kedaulatan

41

wilayah dan meminta Rusia agar pasukannya ditarik secara permanen merujuk pada perjanjian yang ada” (EU Press, 2014).

Uni Eropa juga menganggap bahwa krisis di Ukraina bukan lagi masalah domestik karena dengan adanya pengiriman militer dan aneksasi menunjukan bahwa adanya intervensi yang Rusia lakukan demi kepentingannya. Uni Eropa kemudian mulai memberlakukan sanksi dengan tujuan melemahkan kekuatan

Rusia (Zafar, 2015). Pada 17 Maret 2014, melalui keputusan Dewan Uni Eropa nomor 2014/145/CFSP sanksi berupa larangan berpergian dijatuhkan terhadap 21 politisi Rusia dan politisi Crimea yang dianggap terlibat dalam pelanggaran integritas wilayah Ukraina (Hellquist, 2016). Sanksi yang disebut sebagai sanksi individu ini dijatuhkan setelah Presiden Rusia Vladimir Putin bersedia menandatangani dekrit yang mengakui kemerdekaan Crimea dan telah menjadi bagian Federasi Rusia (Reuters, 2014).

Pada Juni 2014, Uni Eropa mulai memperkenalkan sanksi yang disebut sebagai sanksi ekonomi dan menghimbau semua negara anggota untuk tidak mengedepankan kepentingan ekonomi mereka masing-masing (Karpowics, 2015).

Sanksi ekonomi yang pertama kali dijatuhkan oleh Uni Eropa adalah larangan impor semua barang yang diproduksi di Crimea dan Sevastopol, kecuali barang- barang yang memiliki sertifikat dari otoritas Ukraina. Beberapa barang dan teknologi yang dapat digunakan untuk keperluan sektor energi, telekomunikasi dan transportasi masuk dalam daftar larangan ekspor dari negara-negara Uni

Eropa ke Crimea dan Sevastopol (European Union Newsroom, 2016).

42

Pasca tragedi jatuhnya pesawat Malaysian Airlines pada Juli 2014, sanksi ekonomi diperkuat. Sanksi dijatuhkan terhadap beberapa sektor kunci yang dianggap penting bagi ekonomi Rusia (Zafar, 2015). Pada sektor finansial, Uni

Eropa melalui keputusan Dewan Eropa nomor 2014/512/CFSP mulai memberlakukan pembatasan terhadap transaksi lima bank besar Rusia di pasar

Uni Eropa. Bank tersebut diantaranya adalah Sberbank, VTB Bank,

Gazprombank, Vnesheconombank (VEB), dan Rosselkhozbank. Uni Eropa juga menjatuhkan sanksi berupa embargo senjata dan teknologi militer serta larangan eksplorasi untuk beberapa perusahaan energi Rusia (BBC News, 2014).

Uni Eropa juga menghimbau seluruh negara-negara anggota untuk menghentikan kerjasama bilateral dalam bidang ekonomi dengan Rusia. Larangan berlaku untuk semua kerjasama baik yang sedang dibangun atau sudah berjalan.

Uni Eropa juga menunda peresmian sistem operasi fiansial European Investment

Bank di Rusia (European News Room, 2016). Sementara terkait sanksi individu yang sejak awal sudah diterapkan, terhitung sampai tahun 2018 Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi pembekuan aset dan larangan berpergian kepada 150 orang dan 38 organisasi yang dianggap terlibat dalam aneksasi wilayah Crimea oleh

Rusia (Kholodilin dan Netsunajev, 2018).

Uni Eropa juga menerapkan sanksi diplomatik terhadap Rusia yang satunya diterapkan saat pertemuan pemimpin negara yang tergabung dalam Group of

Eight (G-8) dengan tidak mengundang Rusia. Pertemuan tersebut yang semula akan dilaksanakan di Sochi, Rusia menjadi dilaksanakan di Brussels, Jerman.

Pada pertemuan tersebut, ketujuh negara sepakat untuk mengeluarkan Rusia dan

43

membentuk Group of Seven (G-7). Penangguhan negosiasi Rusia untuk bergabung dengan OECD dan Badan Energi Internasional juga diterapkan oleh negara-negara tersebut. Sanksi yang diterapkan melalui sanksi individu, ekonomi dan diplomatik, semuanya bertujuan untuk menekan Rusia agar menghentikan intervensinya di Ukraina dan mengembalikan kedaulatan Ukraina (The Wall

Street Journal, 2015).

B. Sanksi Balasan Rusia Terhadap Uni Eropa

Meski sanksi yang diterapkan oleh Uni Eropa bertujuan untuk menekan

Rusia agar membatalkan aneksasi, hasilnya jauh dari harapan. Pada 6 Agustus

2014 Rusia justru mengumumkan akan menerapkan sanksi embargo impor pangan dari Uni Eropa sebagai balasan. Embargo impor pangan diterapkan oleh

Rusia terhadap beberapa komoditi yang selama ini bergantung pada pasar di Rusia

(Dolidzw, 2015). Vladimir Putin secara resmi menandatangani dekrit nomor 560

“Executive Order On Special Economic Measures to Protect the Russian

Federation’s Security” yang dikeluarkan sebagai respon terhadap sanksi yang diterapkan oleh Uni Eropa terhadap Rusia (Russia Today, 2014)

Embargo impor pangan juga diterapkan oleh Rusia terhadap negara lain yang ikut menerapkan sanksi seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan

Norwegia (Dolidzw, 2015). Pada 7 Agustus 2014, Rusia secara resmi mengumumkan bahwa sanksi berupa pembatasan impor pangan dari Uni Eropa mulai berlaku dengan mengeluarkan Resolusi nomor 778 tentang daftar komoditi barang yang terkena sanksi. Embargo diterapkan terhadap beberapa produk, diantaranya adalah daging sapi, daging babi, daging unggas, ikan dan makanan

44

laut lainnya, susu, kacang-kacangan dan beberapa produk makanan siap makan seperti sosis dan makanan sehari-hari lainnya. Meski sanksi menargetkan sektor agrikultur Uni Eropa, beberapa produk seperti makanan bayi, hewan ternak hidup dan makanan hewan tidak ikut diterapkan pembatasan oleh Rusia (Wengle, 2016).

Norwegia terkena dampak paling serius dari sanksi embargo pangan yang diterapkan oleh Rusia. Rusia adalah pasar terbesar kedua setelah Amerika Serikat untuk produk agrikultur mereka 9% produk agrikultur Uni Eropa selama ini di- ekspor ke Rusia. Pada tahun 2013, total nilai ekspor produk agrikultur Uni Eropa ke Rusia mencapai angka 11,3 miliar Euro (Dimitrova, 2015). Meski Rusia tidak menerapkan embargo pada beberapa produk, sanksi yang diterapkan tetap mendatangkan kerugian bagi Uni Eropa karena sekitar 43% dari nilai ekspor agrikultur pada tahun 2013 berasal dari produk-produk yang masuk dalam daftar sanksi oleh Rusia (Szczepanski, 2015).

Parlemen Eropa menyebutkan bahwa dengan sanksi yang diterapkan oleh

Rusia, sebanyak 130.000 pekerjaan di sektor agrikultur terancam akibat kerugian yang dialami (Szczepanski, 2015). Sebagai pasar alternatif dalam menghadapi hilangnya pasar Rusia, Uni Eropa mengekspor produk agrikultur ke negara-negara ketiga. Namun hasilnya tetap tidak bisa menutupi kerugian yang dialami oleh Uni

Eropa. Sampai akhir tahun 2015, harga susu misalnya, jatuh sampai 30% akibat kelebihan hasil panen tidak tersalurkan. Swedia sebagai salah satu negara Uni

Eropa mencatat, harga susu dinegaranya sampai bulan Agustus 2015 jatuh ke angka 2.65 krona (sekitar 30 Sen AS) sementara harga minimal agar para peternak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya adalah 3.60-3.70 krona (sekitar 41-42

45

Sen AS). Jatuhya harga pangan ini menurut pemerintah Swedia merupakan salah satu yang terburuk selama 40 tahun terakhir (Russia Insider, 2015).

Berdasarkan data perdagangan antara Uni Eropa dengan Rusia, produk pangan yang paling terkena dampak adalah produk-produk yang tidak tahan lama atau mudah busuk. Negara-negara yang akan paling mengalami kerugian dari kenyataan tersebut adalah Lithuania, Latvia, Cyprus, Polandia, Belgia, Spanyol,

Yunani, Denmark, Estonia, Finlandia, dan United Kingdom. Negara-negara tersebut adalah negara penghasil produk-produk yang dikenakan sanksi embargo impor pangan oleh Rusia (Kraatz, 2014). Sebagai upaya untuk mengatasi kerugian yang dialami, Uni Eropa sendiri telah menyediakan kompensasi sebesar 400 Juta

Euro yang nantinya akan diberikan kepada produsen produk agrikultur korban dari embargo Rusia (EurActiv, 2014).

Pada tahap selanjutnya, melihat dampak serius yang diakibatkan oleh sanksi balasan Rusia, Uni Eropa memperpanjang masa sanksi yang diterapkan terhadap

Rusia. Uni Eropa juga melihat bahwa sejak sanksi pertama yang diterapkan, Rusia belum menunjukkan respon positif yang mengarah pada menciptakan perdamaian dan mengembalikan kedaulatan Ukraina. Uni Eropa juga mendorong negara- negara lain terutama negara-negara yang memiliki rencana untuk bergabung dengan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi terhadap Rusia. Hal ini dilakukan untuk menciptakan dampak yang lebih luas sehingga dapat lebih menekan Rusia (Rettman, 2014).

46

C. Himbauan Uni Eropa Kepada Serbia Untuk Turut Menjatuhkan Sanksi

Ke Rusia.

Sanksi yang diterapkan ke Rusia sebagai instrumen untuk menekan agar menghentikan intervensinya di Ukraina belum mampu merubah keadaan. Bahkan

Rusia menerapkan sanksi embargo impor pangan terhadap Uni Eropa sebagai aksi balasan (Ntoiu, 2016). Menanggapi hal tersebut Uni Eropa akhirnya menghimbau negara-negara lain terutama negara yang sudah mendapatkan status sebagai negara kandidat anggota Uni Eropa untuk menerapkan kebijakan yang sama dalam menghadapi kasus aneksasi Crimea oleh Rusia. Uni Eropa sendiri sebenarnya telah menghimbau negara kandidat untuk turut menjatuhkan sanksi ke

Rusia sejak sanksi pertama kali diperkenalkan pada Maret 2014. High

Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy Uni Eropa,

Cathrine Ashton saat itu mengumumkan bahwa Montenegro, Islandia, Albania dan semua negara kandidat juga harus mengambil langkah penerapan sanksi terhadap Rusia bersama tiga negara non-Uni Eropa lain yaitu Norwegia,

Lichtenstein dan Moldova (Gieseke, 2014).

Uni Eropa secara bertahap terus mengajak negara-negara kandidatnya untuk menerapkan kebijakan yang sama dalam merespon kasus aneksasi Crimea oleh

Rusia, termasuk Serbia. Pada April 2014, Uni Eropa melalui Michael Davenport sebagai European Union Delegation to Serbia menyatakan bahwa kebijakan

Serbia untuk mendukung pandangan Uni Eropa terkait situasi di Ukraina sangat dibutuhkan (InSerbia, 2014). Hal ini senada dengan pernyataan Johannes Hahn

47

selaku komisaris Uni Eropa yang bertanggung jawab atas kebijakan perluasan Uni

Eropa bahwa:

“Serbia secara hukum berkewajiban, sebagai bagian dari negosiasi keanggotaan untuk semakin menyejajarkan diri dengan Uni Eropa mengenai masalah-masalah konkrit seperti sanksi terhadap Rusia. Hal ini sangat penting dan kami berharap Serbia terus menghormati komitmen ini” (Novosti, 2014).

Pada 12 Maret 2015, Uni Eropa bahkan mengeluarkan resolusi resmi yang secara legal mengharuskan negara kandidat untuk menerapkan kebijakan yang sama seperti Uni Eropa dengan menjatuhkan sanksi ke Rusia. Adapun resolusi tersebut menyatakan: “Menggarisbawahi kebutuhan untuk mengkonsolidasikan

Uni Eropa dan untuk memperkuat komitmen integrasi, yang merupakan salah satu kriteria Copenhagen; menegaskan perspektif Uni Eropa terkait aksesi kepada semua negara kandidat dan kandidat potensial lainnya di bawah

Deklarasi Thessaloniki 2003, berdasarkan pemenuhan kriteria Kopenhagen, dan demi kelanjutan negosiasi aksesi... menggarisbawahi pentingnya kerja sama dengan negara-negara kandidat di bidang kebijakan eksternal dan menyoroti pentingnya keselarasan mereka dengan CSFP yang... Menekankan pentingnya bagi Uni Eropa untuk melihat negara anggotanya menunjukkan solidaritas dan satu suara menhadapi Rusia; dengan ini juga mengajak negara kandidat agar kebijakan luar negerinya terhadap Rusia selaras dengan Uni Eropa; panggilan untuk mengembangkan, sebagai prioritas, strategi Uni Eropa pada Rusia, dengan tujuan untuk mengamankan komitmen Rusia pada perdamaian dan stabilitas di

Eropa termasuk menghormati kedaulatan wilayah Ukraina” (European

Parliement, 2015).

48

Resolusi tersebut merupakan himbauan resmi dari Uni Eropa terhadap negara-negara kandidat anggota termasuk Serbia untuk menyelaraskan kebijakannya terkait krisis di Ukraina. Pada September 2014, Uni Eropa melalui

Johannes Hahn juga mempertanyakan kembali posisi Serbia yang belum juga menerapkan sanksi dengan secara tegas menyatakan bahwa:

“Serbia harus hati-hati mempertimbangkan penolakannya untuk mendukung sanksi Uni Eropa terhadap Rusia jika Belgrade berharap untuk bergabung dengan Uni Eropa ... jika Belgrade ingin bergerak maju menuju aksesi, sinyal harus diungkapkan dengan tepat pada sanksi terhadap Rusia” (Balkan Insight, 2014).

D. Penolakan Serbia Terhadap Himbauan Uni Eropa Untuk Turut

Menjatuhkan Sanksi Ke Rusia

Pada prosesnya, penerapan sanksi yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap

Rusia bukan hanya ditolak oleh Serbia sebagai negara kandidat anggota.

Kebijakan ini juga dikritik oleh beberapa negara anggota seperti Yunani, Slovakia dan Hungaria. Menurut ketiga negara tersebut, penerapan sanksi justru akan berdampak buruk bagi ekonomi negara mereka (Dimitrova, 2015). Pada kasus

Serbia, berulang kali Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Luar Negeri menyebutkan bahwa mereka tidak akan menerapkan sanksi dalam bentuk apapun ke Rusia. Menteri Luar Negeri Serbia saat itu, Ivica Dacic pertama kali menyatakan penolakan Serbia:

“Kami akan memperhitungkan kebijakan kami terlebih dahulu, tapi kami akan mengutamakan kepentingan kita sebagai bahan pertimbanan” (Veebel, 2016).

Pada akhir tahun 2016 dan tahun 2018, Menteri Luar Negeri Serbia Ivica

Dacic kembali menegaskan bahwa segala pembicaraan tentang penerapan sanksi

49

terhadap Rusia baik dimasa sekarang atau masa depan oleh Serbia sama sekali tidak berkaitan dengan kepentingan nasional Serbia (Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Serbia, 2018). Pada Maret 2019, Slavenko Terzic selaku Duta

Besar Serbia untuk Rusia juga menyampaikan bahwa negaranya akan tetap pada pendirian dan tidak akan menjatuhkan sanksi untuk Rusia. Ia menyatakan:

“Serbia, saya pikir akan mengejar kebijakan yang realistis dan tidak akan pernah setuju dengan apa yang terjadi jika bukan untuk kepentingan nasional Serbia. Karena itu Serbia tidak akan pernah ikut sanksi Uni Eropa Terhadap Rusia” (UrduPoint News, 2019).

Uni Eropa melihat kebijakan Serbia yang menolak himbauannya untuk menjatuhkan sanksi tersebut sebagai kebijakan yang tidak masuk akal dan sulit dimengerti. Beberapa konsekuensi yang bisa dirasakan oleh Serbia akibat dari penolakannya tersebut bahkan sudah diterapkan oleh Uni Eropa. Penolakan dari negara-negara anggota Uni Eropa yang memiliki hak untuk menerima atau tidaknya negara baru sebagai anggota muncul terhadap proses negosiasi keanggotaan Serbia. Penolakan pertama datang dari Perancis yang menyebutkan bahwa Serbia tidak bisa menjadi negara anggota Uni Eropa pada tahun 2025

(Lukic, 2019). Sebelumya telah ditetapkan bahwa setiap negara kandidat anggota yang saat ini telah menjalani proses negosiasi akan bisa menjadi anggota tetap jika berhasil menyelesaikan proses tersebut pada tahun 2025 (European Commission,

2019). Penolakan Perancis terhadap Serbia ini muncul dengan pendapat bahwa negara-negara anggota Uni Eropa tidak bisa mengijinkan keanggotaan baru jika kondisinya tidak menguntungkan (Lukic, 2019).

50

Hambatan kedua datang dari Kroasia yang menolak untuk membuka Bab 23 dan 24 penilaian negosiasi keanggotaan Uni Eropa yang harus dipenuhi Serbia.

Uni Eropa beranggapan bahwa kebijakan Kroasia berkaitan dengan hubungan bilateral dengan Serbia yang buruk. Namun beberapa lembaga pemerhati proses akses keanggotaan Serbia melihat bahwa adanya tekanan dari mayoritas anggota kepada Kroasia untuk menutup bab tersebut bagi Serbia (Zivanovic, 2018).

Hambatan berikutnya datang dari Lithuania yang juga menolak membuka bab penilaian Serbia, kali ini adalah bab 31 yang berisi tentang penilaian terhadap keselarasan dengan kebijakan umum luar negeri dan keamanan Uni Eropa (b92

News, 2018). Menteri Luar Negeri Lithuania berpendapat bahwa Uni Eropa hanya akan terbuka bagi negara yang menunjukkan orientasi Eropa yang tegas dan berkomitmen untuk melakukan reformasi yang diperlukan (b92 News, 2018).

Bab penilaian sendiri merupakan bagian dari proses negosiasi keanggotaan dimana yag dibagi kedalam 35 bab. Negara kandidat akan dinilai apakah komitmen negara pada masing-masing bab sudah sesuai dengan regulasi dan standar Uni Eropa. Proses penerimaan negara kandidat menjadi anggota tetap sangat tergantung pada proses tersebut (Dimitrova, 2016). Sampai saat ini Serbia telah membika 16 bab negosiasi dari total 35 bab, dimana 2 diantaranya dianggap sudah sesuai dan telah ditutup. Jika Serbia ingin menjadi negara anggota Uni

Eropa, Serbia harus menutup semua bab negosiasi pada akhir 2023 melihat tahun

2025 merupakan satu-satunya kesempatan yang jelas bagi Serbia untuk menjadi negara anggota tetap Uni Eropa (Euractiv, 2019).

51

Kesempatan jelas yang diberikan Uni Eropa untuk meraih status keanggotaan tetap harus Serbia menfaatkan karena bukan tidak mungkin kesempatan yang sama tidak akan datang lagi dan membawa proses negosiasi keanggotaan Serbia diberhentikan, sebagaimana yang terjadi pada Turki. Johannes

Hahn selaku komisaris Uni Eropa yang bertanggung jawab atas kebijakan perluasan Uni Eropa menjelaskan bahwa proses negosiasi dengan Turki saat ini sedang diberhentikan melihat reformasi dan komitmen yang dipegang pemerintah

Turki mengalami kemunduran (Radio Free Europe Radio Liberty, 2019).

Hingga saat ini, Uni Eropa belum mengetahui secara pasti apakah kebijakan tersebut dikeluarkan sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan ekonomi atau hanya berdasarkan kedekatan budaya dengan Rusia. Berbeda dengan Albania yang memutuskan untuk menerapkan sanksi dimana dukungan dari Albania disambut postif oleh Uni Eropa yang melihat Albania sebagai negara yang menghormati hukum internasional (Hellquist, 2016).

52

BAB IV

ANALISA PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN

UNI EROPA UNTUK TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE

RUSIA

A. Pengaruh Identitas Serbia Terhadap Keputusannya Menolak Himbauan

Untuk Turut Menjatuhkan Sanksi

Keanggotaan Uni Eropa dijadikan sebagai arah kebijakan luar negeri Serbia sejak tahun 2000 pasca negara ini tidak lagi dipimpin oleh Slobodan Milosevic.

Demokratisasi dan Eropanisasi dipercaya bisa melepaskan Serbia dari berbagai kesulitan yang didapat sebagai konsekuensi dari kejahatan perang era Milosevic.

Bagi Serbia saat itu, alternatif ini dianggap paling baik dimana terbukti sanksi

Serbia dicabut, bantuan untuk rekonsilisasi negara diberikan, dan pasar Uni Eropa bisa dinikmati dalam hal perdagangan (Radeljic, 2014). Pada tataran publik sendiri, kebijakan ini memang diakui akan membawa kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Perdagangan bebas yang terstruktur, beragam bantuan yang bisa diambil membuat sepanjang 2000-2009 dukungan rakyat Serbia terhadap aksesi keanggotaan Uni Eropa berada diatas angka 60% (Serbian European Integration

Office, 2016).

Setelah tahun 2009, angka dukungan masyarakat untuk integrasi dengan Uni

Eropa menurun dan sikap skeptis publik terhadap Uni Eropa mulai muncul. Pada sisi lain Rusia muncul sebagai orientasi kebijakan luar negeri Serbia (Mulalic dan

Karic, 2014). Proyek ambisius yang mengejar keanggotaan Uni Eropa ini tidak

53

berjalan lancar karena Serbia harus menghadapi konsekuensi lain. Serbia dituntut untuk satu visi dengan Uni Eropa dalam hal penanganan kasus kejahatan perang di Yugoslavia. Serbia juga harus satu visi dengan Uni Eropa yang memiliki pandangan tentang status kemerdekaan Kosovo. Akibatnya demi mengikuti pandangan umum rakyat Serbia yang tidak ingin melepaskan Kosovo, negara ini sering mengeluarkan kebijakan yang berubah-ubah antara pro-Barat dan pro-

Rusia (Seroka, 2010).

Kebijakan luar negeri Serbia yang bertentangan dengan pandangan Uni

Eropa kemudian beberapa kali didukung oleh Rusia dengan muncul sebagai pelindung mereka. Pada masalah Kosovo, kehadiran Rusia yang menolak pengakuan unilateral terhadap kemerdekaan Kosovo di Dewan Keamanan PBB berhasil membuatnya ditetapkan sebagai aliansi terdekat Serbia. Posisi penting

Rusia ini sering disebutkan beberapa kali oleh para pemimpin Serbia (Tepavcecic,

2018). Pada masa pemerintahan presiden Boris Tadic, Serbia mengenalkan politik empat pilar sebagai orientasi kebijakan luar negeri mereka dan Rusia disebut sebagai salah satu pilar dalam terminologi tersebut. Padahal saat itu Boris Tadic dikenal oleh rakyat Serbia sebagai pemimpin pro-Barat (Patalakh, 2018)

Momentum status kemerdekaan Kosovo yang didukung oleh Uni Eropa membangkitkan kesadaran nasional akan identitas yang mendekatkan mereka dengan Rusia. Kesadaran nasional ini tidak lepas dari sejarah masa lalu dimana

Serbia yang berulang kali mengalami penjajahan juga selalu dibantu Rusia.

Identitas yang dimaksud adalah identitas Slavia. Identitas ini merefleksikan persatuan dan kesatuan diatas kesamaan gen etnis, bahasa, dan agama mereka

54

yaitu Kristen Orthodox. Pada kalangan elit politik Serbia, identitas ini sangat dikenal dan sering digunakan sebagai justifikasi untuk mempertahankan kemitraan dengan Rusia (Patalakh, 2018). Identifikasi Slavia sebagai identitas

Serbia juga diakui oleh rakyat Serbia. Opini publik yang ada semakin memperkuat posisi identitas ini sehingga sering menjadi acuan pemerintah ketika harus berhadapan dengan isu-isu nyata yang merlibatkan Serbia, Rusia, dan Uni Eropa

(Seroka, 2010).

Bagi pemiikir konstruktivis identifikasi dari elit politik sudah cukup untuk mewakili negara secara keseluruhan. Meski begitu pengakuan dari publik juga perlu kita lihat. Terlebih dalam kerangka berpikir konstruktivisme yang bermain pada struktur sosial dimana unsur ideasional harus diakui oleh mereka yang ada didalamnya. Hal ini juga berkaitan dengan fakta bahwa publik memiliki pengetahuan tentang sistem negaranya dan mereka juga yang akan merasakan dampak dari kebijakan yang dibuat (Neack, 2008).

Jejak pendapat yang beberapa kali dilakukan selalu menunjukkan bahwa dukungan Rusia kepada Serbia pada masa-masa sulit membuat berkembangnya opini publik bahwa Rusia memiliki posisi penting dalam orientasi kebijakan luar negeri Serbia. Pada 2012, sebanyak 53%-63% rakyat Serbia menganggap bahwa

Rusia adalah mitra strategis Serbia untuk menjaga kepentingan nasional mereka.

Sementara angka yang menunjukkan bahwa rakyat Serbia menganggap Uni Eropa sebagai mitra strategis hanya berkisar antara 12% sampai 17%. Pada kalangan masyarakat, trauma akan perlakuan buruk Uni Eropa dan perlakuan baik Rusia

55

ditengahnya juga menjadi awal identifikasi mereka akan identitas bangsa Slavia sebagai identitas negaranya (Kostovicova, 2014).

Pada beberapa poling bahkan hilangnya rasionalisasi masyarakat terhadap kecintaan mereka dengan Rusia dapat dilihat dengan jelas. Salah satu contoh dapat kita lihat pada survey yang dilakukan tahun 2014 dimana 49% rakyat Serbia percaya bahwa sebagian besar dana pembangunan negaranya berasal dari Rusia.

Padahal 89,49% dana pembangunan Serbia sebenarnya berasal dari bantuan yang diberikan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat. Kecintaan rakyat Serbia terhadap

Rusia yang berdasarkan identitas Slavia mereka sudah mengakar pada mentalitas meski beberapa pandangan rasionalis menganggap bahwa hal tersebut tidak masuk akal (Lobanov, 2016).

Identifikasi lain yang menyebutkan Slavia sebagai identiatas Serbia datang dari adanya peran Gereja Orthodox Serbia. Bagi rakyat Serbia dimana 84,5% dari total populasi beragama Kristen Orthodox yang merupakan agama pemersatu bangsa Slavia, gereja menjadi institusi yang paling dipercaya oleh publik. Gereja secara aktif mempromosikan Kosovo sebagai tanah suci bahkan Yerrusalem-nya

Serbia. Maka dari itu, posisi Serbia atas Kosovo harus jelas, yaitu tidak boleh melepaskannya. Rusia yang mendukung Serbia dalam masalah Kosovo kemudian dipromosikan oleh gereja sebagai saudara Slavia mereka (Patalakh, 2018).

Pada pandangan yang diyakini Gereja Orthodox Serbia, Rusia sebagai saudara Slavia berdasarkan kesamaan agama memang sangat erat kaitannya.

Rusia sebagai negara dengan populasi Kristen Orthodox terbanyak di dunia memiliki tempat khusus di hati Serbia, terlebih Rusia pernah mempromosikan

56

identitasnya sebagai Roma ketiga dan dengan itu mereka yakin harus melindungi saudara-saudara orthodox mereka di timur (Zabaev, Mikhaylova, dan Oreshina,

2018). Budaya memang memiliki definisi preferensi nilai yang dianggap sebagai panduan oleh manusia untuk melakukan suatu hal, terlebih agama merupakan variabel yang paling berpengaruh diantara semuanya (Murden, 2005).

Slavia sebagai identitas juga diakui oleh Rusia pada sisi lain. Berdasarkan jejak pendapat yang pernah dilakukan, sebanyak 78 persen publik Rusia mendukung pemerintah untuk menjalin hubungan yang dekat dengan negara- negara Slavia. Persamaan bahasa, budaya, kawasan dan sejarah sosial-politik yang diyakini sebagai pemersatu (Suslov, 2013). Bagi Serbia, Slavia sebagai identitas pemersatu mulai ada sejak tahun 1804 saat upaya melawan Kerajaan Ottoman yang berkuasa dari tahun 1939. Rusia hadir sebagai aliansi yang membantu setelah memutuskan untuk melawan Kerajaan Ottoman. Begitu juga saat Serbia berupaya melawan Kerajaan Austro-Hungary, Perang Dunia I, Perang Dunia II,

Rusia ada sebagai mitra mereka dalam melawan penjajahan dan fasisme. Masa ini menjadi masa-masa yang penting bagi Serbia karena pondasi untuk berdiri sebagai negara berdaulat mulai dibangun dan gagasan-gagasan yang ada pada saat itu turut memperngaruhi Serbia dalam bernegara (Aghayev, 2017).

Slavia sebagai identitas terbentuk dari gagasan yang muncul akibat perjuangan bangsa Slav termasuk di Serbia melawan penjajahan atau yang mereka definiskan sebagai rival. Gagasan tersebut memaknai barat sebagai rival karena dalam beberapa kali sejarah negara-negara barat menjajah Serbia dan negara

Slavia lainnya, sementara negara Slavia adalah sebagai teman atau mitra karena

57

mereka selalu bersatu untuk melawan penjajahan tersebut. Gagasan tersebut yang kemudian membentuk gagasan lain Serbia bahwa persaudaraan Slavia harus mereka utamakan untuk melawan dominasi barat yang sering melanggar kedaulatan mereka. Terminologi Slavic Brotherhood atau Persaudaraan Slavic yang kemudian muncul sebagai norma yang membingkai gagasan-gagasan diatas untuk memastikan bahwa gagasan tersebut akan dijalankan (Suslov, 2013).

Terminologi tersebut memiliki arti bahwa hanya persatuan yang dapat menyelamatkan Serbia, dalam ruang lingkup politik luar negeri pesatuan yang dimaksud adalah persatuan negara-negara Slavia. Terminologi tersebut bahkan diadopsi sebagai slogan negara dan dijadikan sebagai arti dari lambang negara

Serbia (Smith, 2013). Lebih lanjut gagasan Serbia dan negara-negara Slavia diatas berbeda dengan gagasan mereka tentang dunia yang seharusnya dimana dikenal dengan sebutan prinsip Sabornost. Sabornost mengambil konsep dimana sabor yang dalam bahasa Rusia artinya gereja menyatukan beragam individu dengan kesamaan tertentu yang datang untuk mencapai suatu tujuan. Prinsip ini juga mendukung kesetaraan setiap individu karena mereka datang dengan keinginannya sendiri untuk bersatu (Prosic, 2015).

Berdasarkan prinsip Sabornost, menurut Vuk Jeremic selaku Perdana

Menteri Serbia pada 2007-2012 sistem internasional harusnya menghargai setiap negara yang tergabung didalamnya karena pada dasarnya mereka datang dengan keinginannya sendiri yang kemudian disatukan oleh keinginan untuk mencapai tujuan bersama (Jeremic, 2017). Prinsip ini serupa dengan konsep “The General

Will” milik Jean-Jacques Rossenau yang juga menghendaki setiap individu yang

58

tergabung didalam sebuah kontrak sosial harus menikmati kesetaraan sehingga sama-sama bisa menerima manfaat dari membentuk sebuah kesatuan (Thompson,

2017).

Pada saat Serbia menjadi bagian dari Yugoslavia identitas Slavia ini digunakan untuk menyatukan negara-negara Slavia di kawasan Balkan dan beberapa etnis minoritas lainnya. Norma persaudaraan Slavia diadopsi menjadi slogan negara yaitu Brotherhood and Unity (Gjoni, 2016). Sayangnya pada era pemerintahan Slobodan Milosevic norma ini lebih ditekankan pada aspek peran lebih perjuangan etnis Serbia untuk membebaskan tanah Balkan. Sehingga egoisme etnis Serbia muncul dan menjadi penyebab ketika etnis lain berusaha untuk melepaskan diri dari Yugoslavia karena krisis (Vujacic, 2004).

Sekali lagi, gagasan-gagasan tersebut membentuk pandangan Serbia tentang

Dunia. Kesadaran nasional bahwa Rusia adalah saudara slavia mereka bangkit karena hubungan Serbia dengan Rusia selama beberapa tahun terakhir memperlihatkan kesetaraan diantara keduanya. Berbeda dengan Uni Eropa yang berulang kali bertindak tanpa menghormati hak-hak Serbia. Kesadaran nasional

Serbia akan identitas Slavia mereka, membuat negara ini seringkali mengeluarkan kebijakan luar negeri pro-Rusia jika harus dihadapkan pada dua pilihan antara

Rusia dan Uni Eropa. Hal ini juga terjadi ketika Serbia menolak himbauan Uni

Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia (Kovacecic, 2019).

Keuntungan yang didapat Serbia dari mempertahankan hubungan dekatnya dengan Rusia memang sulit disebut signifikan manfaatnya. Bahkan jika melihat hubungan Serbia-Rusia yang selalu mengalami pasang surut harusnya membuat

59

pemerintah Sebia memikirkan ulang tentang arah kebijakan luar negerinya. Meski begitu, keuntungan yang Rusia berikan sejauh ini selalu menyentuh ranah identitas sehingga memiliki implikasi makna yang kuat serta berhasil memancing perhatian masyarakat Serbia (Patalakh, 2018). Sehingga jika Uni Eropa dan Rusia berdiri dengan sisi berlawanan pada masalah yang menuntut respon Serbia, Serbia akan lebih memilih untuk mempertahankan hubungannya dengan Rusia. berdasarkan identitas bangsa Slavia diantara keduanya (Ejdus, 2014).

Keadaan ini berlaku untuk kebijakan Serbia yang menolak himbauan Uni

Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia untuk merespon krisis di Ukraina, dimana ini kita bisa lihat melalui pernyataan presiden Serbia Tomislav Nikolic saat pertama kali Serbia menolak himbauan tersebut:

“Hal ini akan menjadi sangat tidak menyenangkan bagi Serbia jika harus mengambil kebijakan tersebut. Ini bahkan bisa memecah Serbia. Banyak rakyat Serbia adalah Rusophile (merujuk pada identitas bangsa Slavia), ketika mereka menerima eropanisasi sebagai fondasi yang lebih baik untuk hidup mereka (Ejdus, 2014)”

Opini publik Serbia terkait himbauan Uni Eropa agar Serbia turut menjatuhkan sanksi ke Rusia juga tidak berbeda dengan pendapat dari elit pemerintah Serbia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa rakyat Serbia juga meyakini identitas tersebut merupakan bagian dari diri mereka.

Kecenderungan rakyat Serbia untuk tidak menerapkan sanksi terhadap Rusia dapat kita lihat melalui jejak pendapat. Menurut hasil survey yang dikeluarkan

Gallup Daily News terkait opini masyarakat di Eropa terhadap penerapan sanksi, hanya 5% rakyat Serbia yang mendukung penerapan sanksi tersebut sementara sisanya menolak (Gallup Daily News, 2016)

60

Tabel IV.A.1 Presentase Dukungan Rakyat Negara-Negara di Eropa Untuk

Menerapkan Sanksi ke Rusia

Negara Uni Eropa di Eropa Timur Yes, Support

Polandia 70

Rumania 52

Kroasia 50

Estonia 49

Lithuania 45

Latvia 38

Republic Ceko 35

Hungaria 29

Slovakia 25

Bulgaria 23

Yunani 11

Negara Non-Uni Eropa di Eropa Timur Albania 60

Kosovo 57

Bosnia and Herzegovina 24

Macedonia 19

Montenegro 10

Serbia 5

Sumber: (Gallup Daily News, 2016)

61

B. Kepentingan Nasional Serbia Terhadap Keputusannya Menolak

Himbauan Untuk Turut Menjatuhkan Sanksi

Konstruktivisme dalam ilmu hubungan internasional melihat kebijakan suatu negara didasarkan pada gagasan bersama yang terbentuk melalui interaksi sosial. Konstruktivisme berbeda pandangan dengan pandangan kaum rasionalis dalam melihat pengaruh unsur materi sebagai faktor negara mengeluarkan suatu kebijakan. Konstruktivisme mengakui adanya hubungan antara kepentingan nasional dengan kebijakan luar negeri (Renner, 2008). Bedanya Konstruktivisme melihat lebih jauh apa yang menyebabkan kepentingan nasional itu ada dan bermakna bagi aktor pembuat kebijakan. Pada tahap ini konstruktivisme berpendapat bahwa identitas yang menjadi dasar suatu negara mengeluarkan kebijakan dan dengan itu kepentingan nasional ada dan bermakna karena identitas

(Wendt, 1994). Lebih lanjut menurut Giddens, kepentingan nasional dalam kerangka berpikirir konstruktivis adalah tujuan negara untuk mempertahankan identifikasi dirinya di lingkungan internasional. Negara akan mempertahankan posisi tentang siapa dirinya dan posisi aktor lain sebagai mitra atau rivalnya

(Giddens, 1990). Dengan begitu, negara percaya akan bisa mempertahankan eksistensinya dan bertahan di dunia internasional (Hidayat, 2017).

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa kepentingan nasional Serbia dalam keputusannya menolak himbauan Uni Eropa untuk turut untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia adalah kepentingan untuk mempertahankan eksistensi atau keberadaan mereka dalam dunia internasional. Hal ini tidak lepas dari gagasan-gagasan yang ada dalam identitas Slavia mereka bahwa Rusia

62

sebagai saudara Slavia adalah mitra strategis sekaligus pelindung mereka, di sistem internasional yang selama ini selalu mengabaikan hak-hak kedaulatannya

(Zakowska, 2016). Rusia dalam hal ini juga sudah berkomitmen untuk selalu mendukung Serbia dalam politik internasional. Hal ini kembali dikonfirmasi oleh

Menteri Luar Negeri Rusia saat menyebutkan secara khusus masalah Kosovo pada pidatonya untuk referendum Crimea. Menurutnya, Rusia akan selalu mendukung penuh posisi pemerintah Serbia yang berdiri untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Serbia. Segala bentuk pelanggaran kedaulatan atas nama keinginan masyarakat internasional menurutnya harus dilawan (Zadorozhny, 2014).

Komitmen Rusia terkait posisi ini pada perjalanannya selalu berhasil dibuktikan. Pada masa penerapan sanksi Uni Eropa terhadap Rusia, sekali lagi

Rusia menetapkan posisinya yang jelas terhadap isu Kosovo. Pada tahun 2015,

Rusia bersama China menggunakan pengaruhnya untuk menolak keanggotaan

Kosovo di UNESCO. Kosovo yang harus mendapatkan 95 suara yang merupakan dua per tiga total anggota UNESCO harus menelan kenyataan pahit setelah Rusia,

Cina, dan 48 negara lainnya setuju untuk menolak proposal keanggotaan Kosovo.

Menurut mereka, Kosovo bukan sebuah negara melainkan entitas yang merupakan bagian dari Serbia dimana banyak cagar budaya di Kosovo sangat erat kaitannya dengan sejarah Serbia (Collaku, 2015).

Komitmen Rusia sebagai saudara Slavia Serbia untuk selalu mendukung

Serbia di sistem internasional juga dibuktikan bukan hanya pada masalah Kosovo.

Pada tahun 2015, Rusia menggunakan hak vetonya kembali untuk Serbia setelah

Dewan Keamanan PBB atas permohonan Inggris dan Amerika Serikat untuk

63

menetapkan pembantaian Srebrenica sebagai genosida. Masalah ini menurut pemerintah Rusia tidak perlu dibawa ke Dewan Keamanan PBB, dimana mereka berpendapat bahwa Srebrenica bukan kasus pembantaian yang ditutup-tutupi oleh pemerintah Serbia. Kasus ini terjadi pada masa perang sipil dimana banyak dari rakyat Serbia juga ikut menjadi korban (Dzidic dan Nikolic, 2015).

Posisi Rusia sebagai saudara Slavia Serbia yang jelas akan mendukung

Serbia dalam hal politik tentu harus dipertahankan mengingat Serbia masih mengakui Kosovo sebagai bagian dari mereka. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada The National Security Strategy yang merupakan landasan arah kebijakan luar negeri Serbia bahwa ancaman kedaulatan yang paling mendasar bagi Serbia adalah masalah daerah otonom Kosovo (Ejdus, 2014). Serbia juga terikat dengan tragedi masa lalu terkait kejahatan perang era presiden Slobodan Milosevic.

Tragedi ini bukan tidak mungkin akan menuntun Serbia pada masalah-masalah baru yang dibawa ke Dewan Keamanan PBB seperti yang terjadi pada kasus pembantaian Srebrenica. Maka dari itu, Serbia perlu mempertahankan hubungan baik dengan Rusia sebagai saudara slavia yang akan selalu medukung Serbia.

Berdasarkan kepentingan ini, Serbia akan selalu menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia (Weber dan Bassuener, 2014).

Posisi Rusia sebagi saudara Slavia Serbia juga bisa dilihat dari segi ekonomi. Rusia hadir sebagai mitra strategis Serbia pada bidang ekonomi sejak tahun 2000 saat Kerjasama Perdagangan Bebas antara keduanya berhasil disepekati dimana perjanjian ini mencakup 99% nilai perdagangan bilateral antara kedua negara. Meski Uni Eropa menguasai sebagian besar nilai perdagangan luar

64

negeri Serbia, Rusia sebagai negara yang menempati posisi kedua juga mempunyai peran penting dalam sektor tertentu. Sektor yang dimaksud adalah energi, peternakan dan investasi. Keadaan ekonomi Serbia yang belum stabil pasca krisis yang mereka alami sejak tahun 2000, membuat kehadiran Rusia menjadi bermakna (Torralba, 2014).

Keputusan Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia dinilai sebagai pilihan yang tepat melihat Rusia sebagai saudara slavia mereka dan dengan itu akan membuka kemungkinan kerjasama baru dalam bidang ekonomi. Hal ini juga mengingat embargo ekonomi yang diterapkan Uni

Eropa kepada Rusia pada beberapa sektor akan menuntun mereka pada kemungkinan untuk mencari pasar baru pengganti Uni Eropa. Keadaan ini yang ingin dimanfaatkan oleh Serbia (Torralba, 2014). Hal ini bisa mulai kita lihat ketika Serbia dan Rusia memulai negosiasi untuk meningkatkan nilai perdagangan mereka melalui platform The Russian-led Eurasian Economic Union (EaEU) pada tahun 2016. Perjanjian ini dinilai bisa mengembangkan perjanjian sebelumnya yang ditandatangani oleh Serbia dan Rusia pada tahun 2000. Perjanjian ini nantinya akan memberikan Serbia akses kepada pasar Rusia dan negara lainnya yang terikat perjanjian EaEU. Pada sisi lain, Rusia dan negara lain tersebut juga bisa menikmati pasar Serbia untuk memperluas pasar mereka (European Union,

2017).

Pada akhirnya, dapat kita lihat bahwa identitas Slavia yang dimiliki Serbia membuat negara ini lebih memilih untuk mendukung Rusia sebagai saudara slavia mereka dan mengeluarkan kebijakan penolakan terhadap himbauan Uni Eropa

65

untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia. Identitas tersebut mengidentifikasi

Rusia sebagai mitra strategis Serbia yang akan selalu memberinnya dukungan dalam ranah politik internasional dan bidang ekonomi. Hal ini menjadi kepentingan nasional Serbia untuk mempertahankan pandangannya tersebut karena mereka percaya dengan begitu negara akan bisa bertahan di sistem internasional (Kovacecic, 2019).

Terakhir dalam membawa gagasan-gagasan yang ada pada identitas Slavia sebagai justifikasi untuk membuat kebijakan menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia, Serbia memanfaatkan power yang mereka miliki terhadap Uni Eropa untuk meyakinkan bahwa resiko yang didapat ketika mereka menetapkan Rusia sebagai mitra strategis bisa ditekan. Pertama adalah daya tarik mereka sebagai negara yang secara geografis berada di wilayah Balkan dan terjepit diantara kekuatan besar yaitu Rusia dan Uni Eropa. Wilayah Balkan merupakan wilayah di tanah Eropa yang sejauh ini dianggap paling tidak stabil dan dikhawatirkan dapat mempengarhui stabilitas negara-negara di sekitarnya.

Uni Eropa percaya bahwa dengan masuknya Serbia menjadi negara anggota dan menganut nilai-nilai Uni Eropa, negara tersebut akan membawa stabilitas di kawasan Balkan (European Council on Foreign Relations, 2018).

Serbia juga berada diantara dua kekuatan besar yaitu Rusia dan Uni Eropa.

Rusia selama ini selalu ada berhadapan dengan Uni Eropa dalam beberapa isu internasional. Posisi Serbia dan negara Balkan lain dinilai akan menguntungkan

Uni Eropa jika menjadi anggota dalam segi pengaruh terhadap keberadaan Rusia yang selama ini mendominasi wilayah Balkan. Keberhasilan Uni Eropa dalam

66

menjaga stabilitas dan pengaruh nantinya bisa membawa prestige dan pengaruh

Uni Eropa dalam dunia internasional semakin bisa diakui (Wunsch, 2017). Daya tarik Serbia dimata Uni Eropa diatas yang membuat Serbia beranggapan bahwa tidak akan ada resiko yang serius dari Uni Eropa jika ia memilih untuk tidak menerapkan sanksi ke Rusia sesuai himbauan (Torralba, 2014).

Kedua adalah identitas Serbia sebagai bangsa Slavia yang secara historis lebih dekat dengan Rusia juga menjadi kekuatan sendiri bagi Serbia. Uni Eropa menilai bahwa dengan bergabungnya Serbia menjadi anggota akan merubah kesetiaan geopolitik mereka yang sebelumnya lebih ke Rusia menjadi lebih dekat dengan Uni Eropa dan menjadi salah satu negara yang bisa digunakan untuk mengimbangi Rusia di Eropa. Posisi Serbia dimata Uni Eropa yang kedua ini kemudian dimanfaatkan oleh elit politik Serbia untuk instrumen yang mendukung proses negosiasi keanggotaan sekaligus meyakinkan publik bahwa sejatinya Uni

Eropa membutuhkan Serbia (Savic, 2014). Kedua power tersebut yang menjadi instrumen bagi Serbia untuk mengeluarkan kebijakan sekaligus justifikasi terhadap keberadaan identitas Slavia yang memperngaruhinya. Meski pada beberapa pembahasan, keyakinan akan kepemilikan power tersebut justru bisa menghambat kemajuan proses negosiasi Serbia untuk menjadi anggota Uni Eropa

(Field, 2000).

67

BAB V

PENUTUP

KESIMPULAN

Pada 17 Maret 2019, Uni Eropa yang mengecam aneksasi wilayah Crimea mulai menjatuhkan sanksi terhadap Rusia. Sanksi tahap pertama diberikan dengan membekukan aset dan memberlakukan larangan berpergian terhadap 21 individu

Rusia dan Crimea yang dianggap terlibat dalam pelanggaran kedaulatan wilayah

Ukraina oleh Rusia. Uni Eropa kemudian juga menghimbau negara-negara kandidat anggota untuk turut menjatuhkan sanksi yang sama dengan maksud memberikan efek yang lebih besar bagi Rusia. Serbia sebagai negara kandidat anggota yang menetapkan keanggotaan Uni Eropa sebagai kunci kebijkan luar negerinya justru memutuskan untuk menolak himbaun Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia. Sanksi Uni Eropa diperpanjang setiap enam bulan mengingat Rusia masih belum menghentikan intervensinya di Crimea. Sampai perpanjangan terakhir tahun 2018, posisi Serbia terkait penerapan sanksi tetap sama.

Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir konstruktivisme yang menjelaskan kebijakan luar negeri suatu negara sebagai aktor internasional melalui peran identitas. Penelitian ini menemukan bahwa penolakan Serbia terhadap himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkn sanksi ke Rusia tahun 2014-2018 dipengaruhi oleh faktor identitas yang dimiliki Serbia. Dalam hal ini, identitas yang dimaksud adalah identitas Slavia yang memposisikan Rusia sebagai saudara

68

Slavia mereka. Identitas ini kemudian menyebabkan munculnya kepentingan nasional Serbia untuk mempertahankan hubungan dekat dengan Rusia.

Momentum status kemerdekaan Kosovo yang diupayakan oleh Uni Eropa membangkitkan kembali gagasan-gagasan Serbia sebagai aktor internasional yang menyebutkan bahwa Uni Eropa adalah rival dan Rusia adalah mitra. Perasaan dijajah kedaulatan wilayahnya dan perasaan terasingkan mengingatkan Serbia kembali pada sejarah-sejarah dimana mereka berjuang melawan penjajahan dan fasisme yang pada rangkaian sejarah tersebut Rusia selalu hadir mendukung atas nama persaudaraan Slavia. Identitas Slavia kemudian diidentifikasi sebagai identitas Serbia. Melalui identitas ini, menjaga persatuan dengan sesama negara

Slavia menjadi norma yang harus Serbia utamakan dalam setiap kebijakan luar negerinya.

Identitas Serbia tersebut kemudian menyebabkan munculnya kepentingan nasional Serbia untuk menjaga kemitraan dengan Rusia demi mempertahankan gagasan-gagasan yang menjadi identifikasi identitas Slavia. Hal ini dilakukan karena Serbia percaya bahwa dengan mempertahankan gagasan tersebut mereka bisa mejaga eksistensi dan bertahan di dunia internasional. Kemitraan dengan

Rusia harus Serbia pertahankan juga karena kembali lagi, selama ini berbagai keuntungan materi didapatkan oleh Serbia. Hal ini yang kemudian menyebabkan

Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia tahun

2014-2018.

69

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Bakry, Umar S. 2017. Dasar-Dasar Hubungan Internasional. Depok: Penerbit Kencana.

Coloumbis, Theodore A. and James H. Wolfe. 1990. Introduction to International Relations: Power and Justice. New Jersey: Prentice Hall.

Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Palo Alto: Stanford University Press.

Griffiths, Martin dan Terry O‟Collaghan. 2002. International Relations: The Key Concepts. London: Routledge.

Hadiwinata, Bob S. 2017. Studi dan Teori Hubungan Internasional: Arus Utama, Alternatif, dan Reflektivis. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Hara, Abubakar E. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme Sampai Konstruktivisme. Bandung: Penerbit Nuansa.

Holsti, KJ. 1983. International Politics: A Framework for Analysis. Edisi Keempat ed. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Jackson, Robert and George Sorensen. 2007. Introduction to International Relation: Theories and Approaches. Oxford: Oxford University Press.

Karpowics, Jaroslaw C. 2015. Sanctions And Russia. Warszawa: Polski Instytut Spraw Miedzynarodowych.

Linklaker, S.B. 2009. Teori-Teori Hubungan Internasional, edisi terjemahan. Bandung: Nusa Media.

Mas'oed, Mochtar. 1990. Ilmu Hubungan Inetrnasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES

Murden, Simon. “Culture in World Affairs.” P. 456 dalam The Globalization of World Politics. John Baylis and Smith Steve. 2005. New York: Oxford University Press.

Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Neack, Laura. 2008. The New Foreign Policy: Power Seeking In A Globalized Era. New York: Rowman & Littlefield Publishers.

xii

Nye, Joseph S. 2002. The Paradox of American Power. New York: Oxford University Press.

Onuf, Nicholas. 2012. World of Our Making: Rules and Rule in Social Theory. Edisi Pertama. London: Routledge.

Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochammad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Semiawan, Conny R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya. Jakarta: Grasindo.

B. Artikel Jurnal, Working Paper, etc

Aghayev, Elvin. 2017. “Relations Between Russia and Serbia.” European Researcher 8(1):4-8.

Bebler, Anton. 2015. “The Russian-Ukranian Conflict Over Crimea.” Teorija In Praksa 52(1).

Becker, Jens. 2009. “The European Union and the Western Balkans.” Journal for Labour and Social Affairs 11(1): 7-27

Bogzeanu, Cristina. 2012. “Current Trends in the Relation Between Western Balkan States and the EU. An Analysis From The Perspective of Liberal Realism.” Strategict Impact: 44-53.

Bond, Ian. Maret 2015. “Frozen: The Politics And Economics Of Sanctions Against Russia.” Center For European Reform.

Brkic, Dejan. 2018. “Energy Situation in the Republic of Serbia.” Pre Prints Review

Cameron, Fraser and Andreas Kintis. 2001. “Southeastern Europe and the European Union.” Southeast European and Black Sea Studies 1(2):94-112.

Copeland, Dale C. 2000. “The Constructivis Challenge to Structural Realism: A Review Essay on Social Theory of International Politics. by Aleksander Wendt.” The MIT Press International Security 25(2):187-212.

Dimitrova, Antoaneta. Juli 2016. “The EU‟s Evolving Enlargement Strategies: Does Tougher Conditionality Open The Door For Further Enlargement” MAXCAP Working Paper Series No. 30.

xiii

Dimitrova, Zornitsa K. Desember 2015. “The Economic Impact Of The Russian Import Ban: A CGE Analysis.” Directorate General For Trade of European Commission.

Dolidzw, Tatia. Januari 2015. “EU Sanctions Policy towards Russia: The Sanctioner-Sanctionee's Game of Thrones.” CEPS Working Document: 1- 24.

Dragovic-Soso, Jasna. 2012. “Apologising for Srebrenica: The Declaration of the Serbian Parliament, The European Union and The Politics Compromise.” East European Politics 28(2):163-179.

Ejdus, Filip. 2014. “Beyond National Interest: Identity Conflict and Serbia‟s Neutrality Toward the Crisis in Ukraine.” Sudosteuropa 62(3):348-362.

_____, Filip. April 2014. “The Brussels Agreement and Serbia's National Interest: A Positive Balance Sheet?” Konrad Adenauer Stiftung Analysis: 1-10.

European Union. 2017. “Serbia‟s Cooperation With China, The European Union, Russia and The United States of America.” Study on Directorate-General For External Policies of European Union 28.

Field, Heather. 2000. “Awkward states: EU Enlargement and Slovakia, Croatia and Serbia.” Perspectives on European Politics and Society 1(1):123-146.

Fossati, Fabio. 2014. “Democratic Anchoring Of The European Union Towards Post Communist Countries.” Studia Universitatis Babes-Bolyai Studia Europaea 59(1):21-67.

Fourere, Erwan. Mei 2013. “Thessaloniki Ten Years on: Injecting Momentum into the Enlargement Process for the Western Balkans.” CEPS Commentary: 1-4.

Galbert, Simon d. 2015. “A Year of Sanctions Against Russia-Now What?” A Report, Oktober: 1-29.

Gallucci, Gerard M. November 2011. “The Ahtisaari Plan and North Kosovo.” Trans Conflict, November: 1-17.

Gjoni, Roland. 2016. “Nationalism, Myth, and the State in Russia and Serbia: Antecedants of the Dissolution of the Soviet Union and Yugoslavia.” Europe-Asia Studies 68(8):1446-1448

Gotz, Elias. 2016. “Russia, the West, and the Ukraine Crisis: Three Contending Perspective.” Contemporary Politics 22(3):249-266.

xiv

Grant, Thomas D. 2015. “Annexation of Crimea.” The American Journal of International Law 109(1).

Hellquist, Elin. 2016. “Either With Us Or Against Us? Third-country Alignment With EU Sanctions Against Russia/Ukraine.” Cambridge Review of International Affairs 29(3):997-1021.

Hidayat, Rizal. 2017. “Keamanan Manusia Dalam Perspektif Studi Keamanan Kritis Terkait Perang Intra-Negara.” Journal of International Studies 1(2):108-129.

Jusufaj, Elvina. 2015. “The Kosovo Precedent in the Secession and Recognition of Crimea.” Iliria International Review 1:249-286.

Kay, Chloe. 2014. “Contemporary Russian-Serbian Relations: Interviews with Youth from Political Parties in Belgrade and .” The Journal of Russian and Asian Studies.

Kerikmae, Tanel. “Dimensions and Impilacations of Eastern Partnership Policy: Introduction.” 1-6 dalam Tanel Kerikmae dan Archill Chocia. 2016. Political and Legal Perpective of the EU Eastern Partnership Policy. New York: Springer International Publishing.

Kholodilin, Konstantin A. and Aleksei Netsunajev. 2018. “Crimea and Punishment: the Impact of Sanctions on Russian Economy and Economies of the Euro Area.” Baltic Journal of Economics 19(1):39-51

Knezevic, Ivan, Mihailo Gajic, and Kristina Ivanovic. 2012. “Serbia, European Union, Russia: An Analysis of Economic Relations.” Research Forum of the European.

Koch, Julia. 2016. “The Efficiacy And Impact Of Interim Measures: Ukraine‟s Inter-State Application Against Russia.” Boston College International and Comparative Law Review 39(1).

Konitzer, Andrew. Juli 2010. “Serbia Between East and West: Bratstvo, Balancing, and Business on Europe‟s Frontier.” The National Council for Eurasian and East European Research Working Paper: 2.

Kostovicova, Denisa. 2014. “Post-socialist identitiy, territoriality and European Integration: Serbia‟s return to European after Milosevic.” Geo Journal 61: 23-30.

______, Denisa. 2014. “When Enlargement Meets Common Foreign and Security Policy: Serbia‟s Europeanisation, Visa Liberalisation and the Kosovo Policy.” Europe-Asia Studies 66(1):67-87.

xv

Kovacecic, Marko. 2019. “Understanding The Marginality Constellations of Small States: Serbia, Croatioa, and the Crisis of EU-Russia Relations.” Journal of Contemporary European Studies.

Miljkovic, Ivana B. 2014. “Foreign Trade Between Russia and The Balkans in the Context of Global Geostrategic Relations.” Journal of Globalization Studies 5(2).

Mulalic, Muhidin and Mirsad Karic. 2014. “The Western Balkans Geopolitics and Russian Energy Politics.” Journal of Transdisciplinary Studies 7(1):87-109.

Nelaeva, Galina A. and Andrey V. Semenov. 2016. “EU-Russia Rivalry in the Balkans: Linkage, Leverage and Competition.” Romanian Journal of European Affairs 16(3): 56-71.

Nuechterlein, Donald E. 1976. “National Interests and Foreign Policy: A Conceptual Framework for Analysis and Decision-Making.” British Journal of International Studies 2(3):246-266.

Ntoiu, Cristian. 2016. “Towards conflict or cooperation? The Ukraine Crisis and EU-Russia Relations.” Southeast European and Black Sea Studies 16(3):375-390.

Lobanov, Mikhail M. 2016. “The Problems of Serbian self-determination in foreign policy: through the thorns to the „Stars‟ of the European Union.” Comparative Politics Russia 7(4):127-142.

Oxenstierna, Susanne. 2015. “The Economic Sanctions Against Russia: Impact and Prospects of Success.” FOI Research-Report Series, September, pp. 13- 20.

Patalakh, Artem. 2018. “Emotions and Identity as Foreign Policy Determinants: Serbian Approach to Relations with Russia.” Chinese Political Science and Review 3(4):495-528.

Pantelic, Bratislav. 2016. “The Last Byzantines: Perseptions of Identity, Culture, and Heritage in Serbia.” The Journal of Nationalism and Ethnicity.

Petrovic, Nikola. 2013. From Four Pillars Of Foreign Policy To European Integration. Belgrade: International and Security Affairs Centre.

Prosic, Tamara. 2015. “Cultural Hegemony, Sobornost, and the 1917 Russian Revolution.” Statis Journal 3(2):204-225.

Pussenkova, Nina. 2010. “The Global Expansion of Russia‟s Energy Giants.” Journal of International Affairs 63(2).

xvi

Radeljic, Branislav. 2016. “European Union Approaches to Human Rights Violations in Kosovo Before and After Independence.” Journal of Contemporary Central and Eastern Europe 24(2):131-148.

Radeljic, Branislav. 2014. “The Politics of (No) Alternatives in Post-Milosevic Serbia.” Journal of Balkan and Near Easternd Studies 16(2):243-259.

Renner, Judith. 2008. “Of Heroes and Villains: Competing Identity-Constructions in Post-War Croatia.” Munic Working Papers 1.

Seroka, Jim. 2010. “Serbian National Security and Defense Strategy: Forever Wandering in the Wilderness?” Journal of Slavic Military Studies 23(3):438-460.

Smith, Christian R. 2001. “Human Rights and the Social Construction of Sovereignty.” Review of International Studies 27(4):519-538.

Ristic, Irena. 2009. “Serbia‟s EU Integration Process: The Momentum of 2008.” Panoenonomicus 1:111-125.

Romanova, Tatiana. 2016. “Sanctions and the Future of EU-Russian Economic Relations.” Europe-Asia Studies 68(4):774.

Savic, Bojan. 2014. “Where is Serbia? Traditions of Spatial Identitiy and State Positioning in Serbian Geopolitical Culture.” Geopolitics 19(3):684-718.

Sela, Ylber dan Lirim Shabani. 2011. “The European Union Politics in the Western Balkans.” The Western Balkans Policy Review 1(2):23-38.

Serbian Integration Office. Desember 2016. “European Orientation of Serbian Citizens: Public Opinion Poll.”

Shala, Krenar. September 2015. “Western Balkans Regiona and the Geopolitical Context: Russian Influence.” Friedrich Ebert Stiftung Working Papers.

Schenker, Harald. 2008. “The Stabilization and Association Process: An Engine of European Integration in Need of Tuning.” Journal on Ethnopolitics and Minority Issues in Europe 1-19.

Stahl, Bernhard. 2013. “Another “Strategic Accession”? The EU and Serbia (2000–2010).” The Journal of Nationalism and Ethnicity 41(3):447-468.

Steunenberg, Bernhard dan Antoaneta Dimitrova. 2007. “Compliance in the EU Enlargement Process: The Limits of Conditionality.” European Intergration Online Papers 11(06): 1-18.

xvii

Stoian, Carmen. 2007. “The Benefits and Limitations of European Union Membership as a Security Mechanism.” European Integration 29(2):189- 207.

Stojic, Marko. 2006. “Between Europhobia and Europhilia: Party and Popular Attitudes Towards Membership of the European Union in Serbia and Croatia.” Perpective on European Politics and Society 7(3):312-335.

Suslov, Mikhail. 2013. “Geographical Metanarratives in Russia and the European East: Contemporary Pan-Slavism.” Eurasian Geography and Economics 53(5):575-595.

Szczepanski, Marcin. 2015. “Economic Impact on the EU of Sanctions Over Ukraine Conflict.” European Parlimentary Research Service, Oktober.

Tepavcecic, Senja. 2018. “In the Bear‟s Shadow? Rusia‟s International Image and Its Influence on Invesments of Russian Companies in Post-Socialist Europe.” Journal of eas-West Business 24(2):108-137.

Thompson, Michael J. 2017. “Autonomy and Common Good: Interpreting Rossenau‟s General Will.” International Journal of Philosophical Studies 25(2).

Tolksdorf, Dominik. Mei 2007. “Implementing the Ahtisaari Proposal: The European Union's Future Role in Kosovo.” Bertelsman Group for Policy Research: 1-12.

Torralba, Raquel M. 2014. “Belgrage at the Crossroads: Serbian-Russian Relation in the Light of the Ukraine Crisis.” Analyses of the Elcano Royal Institute (ARI), Desember 22, pp. 1-12.

Turkes, Mustafa and Goksu Gokgoz. 2006. “The European Union's Strategy Toward The Western Balkans: Exclusion or Integration?” East European Politics and Societies 20:659-690.

Vieira, Alena V. G. 2016. “Eurasian Integration: Elite Perspective Before and After the Ukraine Crisis.” Post-Soviet Affairs 32(6):566-580.

Vosta, Milan and Vukica Jankovic. 2016. “Serbia As a Candidate State of the EU and Their Mutual Connection.” The Journal Political Science (4).

Veebel, Viljar. 2016. “Lessons From The EU Russian Economic Relations.” Baltic Journal of Law and Politics 8(1):167-185.

xviii

Vujacic, Veljko. 2004. “Perceptions of the State in Russia and Serbia: The Role of Ideas in the Soviet and Yugosav Collapse.” Post-Soviet Affairs 20(2): 164- 194.

Wang, Wan. 2015. “Impact of Western Sanctions On Russia In The Ukraine Crisis.” Journal of Politics and Law 8(2):1-6.

Weber, Bodo and Kurt Bassuener. September 2014. “The Western Balkans and the Ukraine Crisis - A Changed Game For EU and US Policies?” DPC Policy Paper: 1-25.

Wendt, Alksander. 1994. “Collective Identity Formation and the International State.” American Political and Science Review 88(2):384-396.

Wengle, Susanne. 2016. “The Domestic Effects Of The Russian Food Embargo.” Demokratizatsiya 24(3).

Wochnik, Jelena O. 2012. “Europeanising the „Kosovo Question‟: Serbia‟s Policies in the Context of EU Integration.” West European Politics 35(5):1158-1181.

Wunsch, Natasha. 2017. “Between indifference and hesitation: France and EU enlargement towards the Balkans.” Southeast European and Black Sea Studies 17(4):541-554.

Ylinkilicli, Yalin. 2014. “From Neo-Balkanization To Europeanization: Institutional Change Anf Regional Cooperation In The Western Balkans.” Journal of Bakan Research Institute 3(2): 127-149.

Zabaev, Ivan, Yana Mikhaylova, and Daria Oreshina. 2018. “Neither Public Nor Private Religion: The Russian Orthodox Church in the Public Sphere of Contemporary Russia.” Journal of Contemporary Religion 33(1):17-38.

Zafar, Shaista S. 2015. “The Ukraine Crisis And The EU.” Journal of European Studies 31(2).

Zadorozhny, Olexandr. 2014. “Comparative Characteristic Of The Crimea And Kosovo Cases: International Law Analysis.” European Political And Law Discourse 1(3).

Zakowska, Marzena. 2016. “Strategic Challenge For Serbia's Integration With The European Union.” And Defence Quarterly, Juli, pp. 5-31.

Zoric, Bojana. 2017. “Assesing Russian Impact On The Western Balkan Countries EU Accessio: Cases of Croatia and Serbia.” Journl of Liberty and International Affairs 3(2):9-19.

xix

C. PENELITIAN

Drazovic, Aleksandra. 2011. EU External Economic Relations With Serbia: Legal, Trade and Economic Aspects. Thessaloniki: University of Macedonia.

D. DOKUMEN RESMI Council of the European Union. 22 Juli 2013. “Council And Commission Decision of 22 July 2013 on the conclusion of the Stabilisation and Association Agreement between the European Communities and their Member States, of the one part, and the Republic of Serbia, of the other part.” Official Journal of the European Union L (278).

European Commission. 29 Mei 2019. “Communication From The Commission To The European Parliament, The Council, The European Economic and Social Committe and The Committe of the Regions.” Official Journal of the European Union COM (260 final)

European Parliament. 12 Maret 2015. “European Parliament resolution of 12 March 2015 on the Annual Report from the High Representative of the European Union for Foreign Affairs and Security Policy to the European Parliament.” Annual report from the High Representative of the European Union for Foreign Affairs and Security Policy to the European Parliament P8_TA(2015)0075

Ministry oof Foreign Affairs of the Republic Serbia. 21 Agustus 2018. “Without the support of Russia, no solution can be reached between Belgrade and Pristina.” Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Serbia Press Service.

E. WEBSITE RESMI

European Council on Foreign Relations. 2018. “The EU as seen from Serbia.” Diakses pada 26 Mei 2019 (https://www.ecfr.eu/article/commentary_the_eu_as_seen_from_serbia).

European Parliement. 2015. “Annual Report From the High Representative of the European Union.” Diakses pada 26 April 2019 (http://www.europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?pubRef=- //EP//TEXT+TA+P8-TA-2015-0076+0+DOC+XML+V0//EN).

Macro Connection at MIT Lab. 2016. “Serbia (SRB) Exports, Imports, and Trade Partners”. Observatory of Economic Complexity. Diakses pada 17 Maret 2019 (https://atlas.media.mit.edu/en/profile/country/srb/).

xx

Smith, Whitney. 2013. “ of Serbia.” Encyclopedia Britannica. Diakses pada 29 April 2019 (https://www.britannica.com/topic/flag-of-Serbia).

Statictical Office of the Republic Serbia. 2011. “Trade in goods between Serbia and the EU (2001-2010) in millions of EUR. Monthly Statistical Bulletin 3/2011. Diakses pada 19 Maret 2019 (http://webrzs.stat.gov.rs/WebSite/repository/documents/00/00/35/04/MSB0 3_2011)

F. BERITA ONLINE

B92 News. 2018. “Germany, not Lithuania, blocking Serbia‟d chapter 31?.” Diakses pada 28 Mei 2019 (https://www.b92.net/eng/news/world.php?yyyy=2018&mm=08&dd=17&n av_id=104882).

B92 News. 2018. “Lithuania blocking chapter because of Belgrade-Moscow ties.” Diakses pada 28 Mei 2019 (https://www.b92.net/eng/news/politics.php?yyyy=2018&mm=07&dd=31& nav_id=104749).

Balkan Insight. 2014. “Hahn Tells Serbia to Join Sanctions.” Diakses pada 27 Mei 2019 (http://www.bbc.com/news/business-28539928).

BBC News. 2014. “Russia Sanction Against Russia Over Ukraine Crisis.” Diakses pada 26 Januari 2019 (http://www.bbc.com/news/business- 28539928).

Collaku, Petrit. 2015. “Kosovo‟s UNESCO Membership Bid Fails.” Balkan Insight. Diakses pada 29 April 2019 (https://balkaninsight.com/2015/11/09/kosovo-unesco-membership-vote-11- 09-2015/).

Chappel, Bill and Mark Memmott. 2014. “Putin Says Those Aren't Russian Forces In Crimea.” National Public Radio. Diakses pada 26 Desember 2016 (http://www.npr.org/sections/thetwoway/2014/03/04/285653335/putinsaysth osearentrussianforcesincrimea).

Dzidic, Denis and Ivana Nikolic. 2015. “ Suggest Russia Veto for Srebrenica Resolution.” Balkan Insight. Diakses pada 27 April 2019 (https://balkaninsight.com/2015/06/17/serbs-suggest-russia-veto-for- srebrenica-resolution/).

Englund, Will. 2014. “Kremlin Says Crimea Is Now Officially Part of Russia After Treaty Signing.” The Washington Post. Diakses pada 13 Januari 2019

xxi

(https://www.washingtonpost.com/world/russias-putin-prepares-to-annex- crimea/2014/03/18/933183b2-654e-45ce-920e- 4d18c0ffec73_story.html?utm_term=.8dd3e1e940cf).

EurActiv. 2014. “EU Tries To Limit Damage From Russian Food Embargo.” Diakses pada 23 Februari 2019 (https://www.euractiv.com/section/europe-s- east/news/eu-tries-to-limit-damage-from-russian-food-embargo/).

EurActiv. 2019. “Serbia in the EU in 2025-Mission (im)possible.” Diakses pada 27 Mei 2019 (https://www.euractiv.com/section/enlargement/news/serbia- in-the-eu-in-2025-mission-impossible/).

EU Press. 2014. “Joint Statement on Crimea by President of the European Council Herman Van Rompuy.” Diakses pada 20 Januari 2019 (http://www.consilium.europa.eu/uedocs/cms_data/docs/pressdata/en/ec/141 566.pdf).

European Union Newsroom. 2016. “EU Sanctions Against Russia over Ukraine Crisis.” Diakses pada 12 Desember 2018 (https://europa.eu/newsroom/highlights/special-coverage/eu_sanctions_en).

Gallup Daily News. 2016. “Russians, EU Residents See Sanctions Hurting Their Economies.” Diakses pada 28 April 2019. (http://www.gallup.com/poll/191141/russiansresidentssanctionshurtingecon omies.aspx; Internet; diakses pada 8 Februrari 2017).

Gieseke, Lauren. 2014. “Russian Sanctions Pose Particular Strains on Aspiring EU and NATO Candidate States.” European Institute. Diakses pada 20 Februari 2019 (http://europeaninstitute.org/index.php/ei-blog/240-july- 2014/1870-russian-sanctions-pose-particular-strains-on-aspiring-eu-and- nato-candidate-states-7-3).

InSerbia. 2014. “EU Desires That Serbia Supports The Joint View On Ukraine.” Diakses pada 19 April 2019 (https://inserbia.info/today/2014/04/davenport- eu-desires-that-serbia-supports-the-joint-view-on-ukraine/).

InSerbia. 2014. “Montenegro, Albania impose sanctions against Russia.” Diakses pada 23 Februari 2019 (http://inserbia.info/today/2014/03/montenegro- albania-impose-sanctions-against-russia/).

Lukic, Filip. 2019. “The French are clear – Serbia cannot enter the Eu in 2025.” European Western Balkans. Diakses pada 29 Mei 2019 (https://europeanwesternbalkans.com/2019/04/09/french-clear-serbia- cannot-enter-eu-2025/).

xxii

Jozwiak, Rikard. 2013. “Explainer: What Is An EU Association Agreement.” Radio Free Europe Radio Liberty. Diakses pada 23 Oktober 2018 (http://www.rferl.org/a/eu-association-agreement-explained/25174247).

Massy-Beresford, Helen. 2013. “Serbia Wants In The European Union -- But Does It Have The Economy, And The Human Rights Record, To Make It ?” International Business Time. Diakses pada 12 Februari 2019 (http://www.ibtimes.com/serbia-wants-european-union-does-it-have- economy-human-rights-record-make-it-1507710).

Radio Free Europe Radio Liberty. 2019. Diakses pada 26 Mei 2019 (https://www.rferl.org/a/eu-commission-calls-for-start-of-north-macedonia- albania-accession-talks/29970623.html).

Rettman, Andrew. 2014. “Germany Backs More EU Sanctions On Russia.” EU Observer. Diakses pada 26 Maret 2019 (https://euobserver.com/foreign/125007).

Reuters. 2014. “U.S., EU Set Sanctions as Putin Recognizes Crimea Sovereignty.” Diakses pada 3 Februari 2019 (http://www.reuters.com/article/us-ukraine- crisis-idUSBREA1Q1E820140317).

Ristic, Marija. 2014. “Serbia Rules Out Joining Sanctions on Russia.” Balkan Insight. Diakses pada 3 Maret 2019 (www.balkaninsight.com/en/article/serbia-stays-neutral-towards-ukraine- crises-dacic).

Russia Insider. 2015. “Russia Sanctions Triggered Worst EU Dairy Crisis in 30 Years.” Diakses pada 21 Januari 2019 (http://russia- insider.com/en/politics/european-dairy-industry-crisis-due-russian-food- embargo/ri9181).

Russia Today. 2014. “Europe In Shock As Ukraine Kills Integration Plan, Says Mission Is Over.” Diakses pada 21 Desember 2018 (https://www.rt.com/news/eu-ukraine-agreement-reaction-125/).

Russia Today. 2014. “Putin Bans Agricultural Imports From Sanctioning Countries For 1 Year.” Diakses pada 23 Desember 2018 (https://www.rt.com/news/178484-putin-russia-sanctions-agriculture/).

Synovitz, Ron. 2014. “Explainer: The Budapest Memorandum And Its Relevance To Crimea.” Radio Free Europe Radio Liberty. Diakses pada 3 Februari 2019 (http://www.rferl.org/a/ukraine-explainer-budapest- memorandum/25280502.html).

xxiii

The Wall Street Journal. 2015. “List G-7 Agrees To Exclude Russia.” Diakses pada 21 November 2018 (http://www.wsj.com/articles/SB10001424052702303949704579458753312 382992).

The Washington Post. 2014. “Transcipt: Putin Says Russia Will Protect The Rights of Russian Abroad.” Diakses pada 26 November (https://www.washingtonpost.com/world/transcript-putin-says-russia-will- protect-the-rights-of-russians-abroad/).

UrduPoint News. 2019. “EU Looking To Put Pressure On Serbia.” Diakses pada 30 April 2019 (https://www.urdupoint.com/en/world/serbia-never-to-join- anti-russia-sanctions-de-581054.html).

Novosti, Ria. 2014. “Belgrade will not sanction Russia over its handling of the crisis in Ukraine, Serbia's First Deputy Prime Minister Aleksandar Vucic said Tuesday.” Sputnik News. Diakses pada 23 Februari 2019 (http://sputniknews.com/world/20140401/188967552/Serbia-Refuses-to- Back-EU-Sanctions-Against-Russia-Over-Crimea-.html#ixzz44ebjmcqL)

Novosti, Vecernje. 2014. “Serbia must honor commitments, impose sanctions.” B92 News. Diakses pada 27 Mei 2019 (https://www.b92.net/eng/news/politics.php?yyyy=2014&mm=11&dd=20& nav_id=92307)

Zivanovic, Mega. 2018. “Serbia Backsliding on EU Accession Progress, NGOS Warn.” Balkan Insight. Diakses pada 29 Mei 2019 (https://www.b92.net/eng/news/politics.php?yyyy=2014&mm=11&dd=20& nav_id=92307)

xxiv