ARSITEKTUR RELIGI PESTA TIWAH DAYAK NGAJU SEBAGAI DAYA TARIK WISATA BUDAYA DI KALIMANTAN TENGAH

Carlos Iban1, Tuti Elfrida2 1,2. Program Studi Diploma Kepariwisataan, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada Email: 1 [email protected], 2 [email protected]

Abstrak

Kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju, khususnya penganut , di Kalimantan Tengah terhadap ruang transenden mengantarkan mereka pada pelaksanaan Pesta Tiwah, ritual penguburan sekunder untuk mengantarkan jiwa orang mati menuju surga yang disebut Lewu Tatau. Pada praktiknya, Pesta Tiwah mewujud pada simbol-simbol sakral sarat makna. Terdapat ketentuan- ketentuan yang mengatur pelaksanaannya, terlebih pada simbol fisik dan arsitektur religinya. Artikel ini akan mengerucut pada keunikan simbol-simbol pada arsitektur religi Pesta Tiwah yang berpotensi menjadi daya tarik dalam pengembangan produk wisata budaya. Dengan metode kualitatif, data didapatkan melalui wawancara mendalam, observasi partisipatoris, dan dokumentasi. Data digali di dua lokasi yang berbeda, Desa Tumbang Koling, Kabupaten Kotawaringin Timur dan di Desa Ramang, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Simbol sakral pada arsitektur religi Pesta Tiwah meliputi Sapundu dan Sandong. Sapundu mewujud dalam bentuk figur manusia atau binatang, sesuai dengan personifikasi roh sang leluhur. Sapundu berperan dalam menunjukkan jalan bagi jiwa tersebut menuju Lewu Tatau. Selain itu, Sandong merupakan bangunan kubur sekunder berbentuk miniatur rumah panggung yang menyimpan tulang belulang sang leluhur. Pembangunan dan arsitekturnya perlu memperhatikan pondasi, ukuran, tinggi, ukiran, dan ornamennya. Kearifan lokal ini tentunya berpotensi dikembangkan sebagai atraksi wisata budaya. Namun, kesakralan Pesta Tiwah harus tetap terjaga agar terhindar dari komersialisasi dan komodifikasi budaya.

Kata kunci: pesta Tiwah, Dayak Ngaju, sapundu, sandong, arsitektur religi, wisata budaya.

Abstract

Title: The Religious Architecture of Tiwah Feast among Dayak Ngaju as Cultural Tourism Attractions in

The belief to a transcendent space among Dayak , especially for Kaharingan believers in Central Kalimantan, leads to the Tiwah Feast, a secondary funeral ceremony to transmit the soul of the dead to a celestial realm called The Lewu Tatau. The Tiwah Feast manifests in many meaningfulness of sacred symbols. There are certain rules in the implementation, particularly on the physical symbols and its religious architectures. This article emphasize the uniqueness of the symbols on the religious architecture of Tiwah Feast, which has the potential to become tourist attraction in the development of cultural tourism products. Using qualitative methods, data obtained through in-depth interviews, participant observation, and documentation, in two different locations, in Tumbang Koling and Ramang Village. Sacred symbols on its religious architecture include Sapundu and Sandong. A sapundu manifests in the form of a human or animal figure, regarding to the personification of the ancestral spirit. It shows the way for the soul towards Lewu Tatau. Meanwhile, Sandong is a secondary burial coffin to put the ancestral bones. The construction and architecture should concern on foundation, size, height, carvings, and ornaments. This local wisdom is potential to be developed as a cultural tourism attraction. However, the sacredness of the Tiwah Feast must be maintained and preserved from cultural commercialization and commodification issues.

Keywords: Tiwah feast, Dayak Ngaju, sapundu, sandong, religious architecture, cultural tourism.

101 ATRIUM, Vol. 3, No. 2, November 2017, 101-112 Pendahuluan objek yang tidak bisa diwujudkan tanpa melalui sistem perlambangan Warisan budaya tidak berwujud dari simbol duniawi. (intangible cultural heritage) dan warisan budaya berwujud (tangible Pesta Tiwah bertujuan menghantarkan cultural heritage) memiliki hubungan arwah leluhur menuju alam keabadian yang begitu erat dan sulit untuk yang serba indah dan sempurna (Dyson terpisahkan. Budaya material dan Asharini, 1980: 66). Pesta Tiwah merupakan objek dari budaya merupakan prosesi penguburan berwujud yang membutuhkan sentuhan sekunder atau pengangkatan tulang- budaya tidak berwujud untuk belulang orang yang sudah meninggal mengekspresikannya menjadi suatu dan dimasukkan ke dalam wadah objek fisik. Warisan budaya berwujud kubur baru yang disebut sandong. dalam Pesta Tiwah tertuang dalam Masyarakat Dayak Ngaju beragama bentuk arsitektur dari bangunan dan Kaharingan percaya apabila mereka ruang sakral yang menggunakan belum melakukan prosesi Pesta Tiwah simbol-simbol religius sebagai bagi keluarganya, jiwa dari jenazah ornamen desain. Simbol religius akan tetap berada di dunia dan tidak merupakan simbol sakral yang berupa dapat menuju ke Lewu Tatau. Itu ekspresi material dari aspek-aspek sebabnya bagi masyarakat Dayak yang bersifat ilahiah dan berada di Ngaju, mengadakan Pesta Tiwah wajib ruang transenden, ruang yang tidak hukumnya, terutama apabila almarhum dapat dijangkau dalam kehidupan di masih menganut religi Kaharingan. ruang realitas. Masyarakat Dayak Ngaju percaya bahwa jiwa orang mati yang sudah Eliade (2012) dalam bukunya berjudul melalui ritual Pesta Tiwah akan “The Myth of the Eternal Return: menuju ke suatu dimensi keabadian di Cosmos and History”, menggagas langit ketujuh. Schiller (1997: 30), bahwa ekspresi material dari suatu menggambarkan Lewu Tatau sebagai simbol religi adalah bentuk „peniruan‟ “Prosperous Village of Gold Sand, of manusia terhadap apa yang telah Diamond Beaches, Carpeted with Silk, dilakukan oleh entitas Sang Maha of Jasper Pebbles, Heaps of Jasper Segalanya (Supreme God), yang di Beads, Grand Place Where Bones dalam religi Dayak Ngaju disebut Never Decay Carrying the Burden of Ranying Hatalla Langit. Dalam ritual the Glorious Flesh, Where the Muscles penghantaran jiwa orang mati di Pesta Never Tire” yang berarti “Desa Tiwah, ada wujud simbol-simbol Sejahtera Berpasirkan Emas, Berpantai duniawi yang muncul dalam konteks Intan, Beralaskan Sutera, Berkerikilkan simbol sakral, contohnya adalah pohon Manik-Manik, Tempat Yang Megah Di kehidupan, perahu roh, gunung Mana Tulang dan Daging Tidak Akan keselamatan, langit ketujuh. Simbol- Membusuk, Di Mana Otot Tidak Akan simbol itu mewakili aspek-aspek dari Pernah Lelah.” Lokasi dari dimensi dimensi ke-Tuhan-an (celestial realm), tempat keabadian roh ini terletak di tetapi mengambil materi subjek dari Lewu Tatau, tepatnya di lapisan langit dimensi di dunia nyata (terrestrial ke tujuh. realm). Eliade menyebut objek-objek yang berasal dari celestial realm Gagasan tentang adanya kehidupan dengan istilah celestial archetype, manusia yang ideal di langit ketujuh

102 Iban, Arsitektur Religi Pesta Tiwah Dayak Ngaju didasarkan pada keyakinan-keyakinan atau penemuan yang terjadi secara sebagai berikut: alami, mencatat, menganalisis, 1) Bumi merupakan tempat menafsirkan dan melaporkan serta kehidupan manusia di alam menarik kesimpulan-kesimpulan dari kosmos; proses tersebut. Temuan penelitian 2) Karena kehidupan di bumi itu dalam bentuk konsep, prinsip, hukum, dianggap belum ideal, maka teori dibangun dan dikembangkan dari masyarakat Dayak Ngaju percaya lapangan bukan dari teori yang telah ada tahapan kehidupan yang lebih ada (Moleong, 2010: 4-6). ideal; 3) Karena keidealan itu tidak bisa Metode Pengumpulan Data ditemui di bumi (ruang realitas) Data dalam penelitian ini terdiri dari maka mereka yakin pastilah dua macam, yaitu data primer dan terdapat di sisi lain kosmos, yaitu data sekunder. Data primer merupakan non-bumi (ruang transenden), sumber data yang diperoleh langsung yakni surga yang disebut dengan dari sumber asli tanpa melalui media Lewu Tatau. Lewu Tatau adalah perantara. Data primer dapat berupa bagian dari sistem perlambangan opini subjek secara individual atau „kehidupan ideal di langit kelompok, hasil observasi terhadap ketujuh‟. Tanpa adanya bumi, suatu benda (fisik), kejadian atau maka konsep Lewu Tatau tidak kegiatan. Dalam penelitian ini, akan bisa terwujud. pengumpulan data primer menggunakan metode observasi Kebudayaan masyarakat Dayak Ngaju partisipatoris (participant observer), memiliki ekspresi material yang unik informan penelitian, wawancara dalam merancang bangunan yang mendalam (in-depth Interview), dan memuat simbol-simbol sakral. Dalam dokumentasi. prosesi Pesta Tiwah, beberapa unsur visual bangunan didesain dengan Data sekunder merupakan sumber data konsep perwujudan celestial archetype, penelitian yang diperoleh secara tidak yaitu objek-objek yang berasal dari langsung melalui media perantara atau ruang transenden dengan diperoleh dan dicatat oleh pihak lain. menggunakan simbol dari ruang Data sekunder umumnya berupa bukti, realitas. catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) Metode yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Dalam penelitian ini, Substansi yang dibahas dalam data sekunder dikumpulkan dengan penelitian ini adalah keunikan simbol- metode studi literatur. simbol pada arsitektur religi Pesta Tiwah yang dapat menjadi daya tarik Metode Analisis Data dalam pengembangan produk wisata di Analisis data kualitatif dalam Kalimantan Tengah, khususnya penelitian ini menggunakan Interactive sebagai produk wisata budaya. Model Analysis menurut Miles, Huberman dan Saldana (2012: 16) dan Metode Penelitian Kualitatif Triangulation menurut Denzin dan Penelitian ini menggunakan metode Lincoln (2011). Dalam penelitian penelitian kualitatif. Peneliti terjun ke kualitatif, proses pengumpulan dan lapangan, mempelajari suatu proses analisis data tidak dapat dipisahkan.

103 ATRIUM, Vol. 3, No. 2, November 2017, 101-112 Pengumpulan data ditempatkan sebagai komponen yang merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak awal kegiatan penelitian sampai akhir penelitian.

Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan Interactive Model Analysis, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing. Gambar 1. Proses triangulasi data Dalam tahap data reduction, dilakukan Sumber: Adaptasi dari Denzin dan Lincoln, 2011 dialog data dengan mengelompokan data menjadi tiga kategori tema, yaitu Hasil dan Pembahasan tema kebudayaan berwujud (tangible culture); tema kebudayaan tidak Arsitektur religi dalam Pesta Tiwah berwujud (intangible culture); dan merupakan pencampuran antara aspek- tema bentang budaya (cultural aspek yang berasal dari ruang landscape). transenden dunia atas dan dunia

bawah, di mana keduanya merupakan Proses triangulasi dalam penelitian ini bagian dari konsep Celestial Realm, menggunakan pengamatan dan yaitu aspek-aspek yang terkait dengan pencocokan antara berbagai data yang konsep teologis Kaharingan dan berasal dari informan, wawancara kosmologis Dayak Ngaju, dan aspek- mendalam, dan observasi aspek yang berasal dari kehidupan partisipatoris. Untuk menjamin manusia di ruang realitas atau keakuratan data, observasi Terrestrial Realm, yaitu aspek-aspek partisipatoris dilakukan di dua lokasi yang terkait dengan perwujudan fisik penelitian, yaitu di Desa Tumbang bangunan religi tersebut. Koling, Kabupaten Kotawaringin

Timur dan di Desa Ramang, Beberapa faktor dari ruang realitas Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi yang mempengaruhi bentuk arsitektur Kalimantan Tengah. meliputi:

1) Kondisi geografis Berikutnya, dilakukan uji silang Sebagai faktor kekuatan yang terhadap hasil pengumpulan data bersifat relatif konstan di satu tentang tema Pesta Tiwah untuk tempat tertentu; terbentuk karena memastikan tidak ada informasi yang perbedaan karakter alam. bertentangan antara data informan, Termasuk di dalamnya adalah data wawancara mendalam, dan data kondisi iklim tropis di Kalimantan observasi partisipatoris. Setelah itu, Tengah, luasnya hutan hujan hasil yang telah diperoleh perlu diuji tropis, dengan sungai yang lagi dengan informan-informan lainnya memiliki multifungsi khususnya sampai tidak ada lagi perbedaan- sebagai sarana aksesibilitas. perbedaan yang perlu dikonfirmasikan Sungai diyakini sebagai ruang kepada informan (Gambar 1). sakral dan mediator penting bagi proses menuju kehidupan baru

104 Iban, Arsitektur Religi Pesta Tiwah Dayak Ngaju pada dimensi transenden. Proses dalam menentukan arah hadap kembalinya jiwa manusia ke alam bangunan, karena sungai memiliki roh melalui Pesta Tiwah harus multifungsi sebagai sumber dilalui dengan menempuh suatu kehidupan. perjalanan kosmik ke hulu sungai hingga menuju ke langit ketujuh. 2) Penggunaan teknologi (Gambar 2 dan 3). Penggunaan teknologi merupakan faktor yang berpengaruh di satu lingkungan sosial dan bersifat relatif cepat untuk berubah. Perkembangan teknologi memungkinkan berbagai bentuk arsitektur tradisional mengalami proses transformasi.

Gambar 2. Pola pemukiman di Kalimantan 3) Sosial budaya Tengah sebagian besar berada di tepian Merupakan faktor yang terbentuk sungai (area berwarna merah) karena perkembangan sosial Sumber: Analisis peneliti, 2017 budaya masyarakat yang selalu berubah mengikuti perkembangan kondisi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Lokasi di mana faktor sosial budaya masyarakatnya bersifat lebih homogen dan memiliki akar budaya yang kuat, proses inkulturasi berjalan lebih kuat dibandingkan dengan di lokasi di mana faktor sosial budaya masyarakatnya lebih heterogen seperti di kota-kota besar. Konsepsi religi dari Pesta Tiwah kemudian diejawantahkan dalam

bentuk materi fisik. Gambar 3. Ilustrasi pembagian ruang sakral dan profan di pemukiman Dayak Masyarakat Dayak Ngaju percaya Ngaju bahwa kehadiran simbol-simbol dari Sumber: Analisis peneliti, 2017 ruang transenden yang dimunculkan di ruang realitas dengan mediator ritual Masyarakat Dayak Ngaju percaya sakral Pesta Tiwah diharapkan bahwa arah hulu sungai (ngaju) memberi ketentraman bagi kehidupan dan matahari terbit (kabeloman manusia di bumi dan „kehidupan‟ roh andau) adalah arah yang lebih di Lewu Tatau. Ekspresi material dari baik dari arah hilir sungai (ngawa) ritual penguburan sekunder tersebut ataupun arah matahari terbenam berwujud celestial archetype, yaitu (kabelepan andau). Namun struktur yang disebut sapundu dan demikian lingkungan fisik suatu sandong (Gambar 4). wilayah juga ikut menentukan arah hadap suatu bangunan. Letak sungai menjadi prioritas utama

105 ATRIUM, Vol. 3, No. 2, November 2017, 101-112 telah ditunaikan. Hewan kurban yang diikat di sapundu harus berlawanan berjenis kelamin dengan sapundu. Berdasarkan bentuknya, sapundu dibedakan menjadi enam jenis, yaitu: 1) Sapundu hatue, berwujud laki-laki yang membawa alat persenjataan (Gambar 5 dan 6). Senjata yang digunakan biasanya adalah dohong (senjata tajam berupa parang Gambar 4. Kekuatan pembentuk arsitektur kecil), lunju (tombak), mandau religi Pesta Tiwah (parang), dan talawang (tameng Sumber: Analisis peneliti, 2017 kayu). Sapundu

Sapundu merupakan struktur berbentuk figur manusia atau binatang yang terbuat dari kayu ulin atau borneo ironwood (Eusideroxylon zwageri) sebagai personifikasi dari roh leluhur yang disebut dengan sangiang. Wujud dari sapundu mengacu ke sifat dan tingkah laku dari sangiang tersebut. Roh leluhur yang diwujudkan dalam ekpresi material berbentuk sapundu Gambar 5. (Kiri) Sapundu hatue yang berguna untuk menemani dan memberi berwujud laki-laki membawa dohong petunjuk jalan bagi jiwa yang di- (senjata parang kecil) dan lunju (tombak) Tiwah-kan dalam perjalanan kosmik Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017 menuju ke Lewu Tatau. Apabila yang Gambar 6. (Kanan) Sapundu hatue yang di-Tiwah-kan adalah laki-laki, maka berwujud laki-laki membawa mandau dan sapundu berwujud perempuan yang talawang dibuat, begitu pula sebaliknya bila Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017 perempuan yang akan di-Tiwah-kan makan sapundu laki-laki lah yang 2) Sapundu bawi, berwujud dibuat. Dalam beberapa kasus, perempuan, biasanya membawa sapundu juga dibuat dalam wujud wadah atau bayi/anak kecil. binatang dan mahluk manusia setengah Wadah yang dibawa berupa siluman, tergantung dari bentuk tempat sirih, guci, mangkok, sangiang yang akan membantu tempayan minum, dan wadah- perjalanan kosmik tersebut. wadah kecil lainnya (Gambar 7 dan 8). Sapundu digunakan untuk menambatkan hewan kurban selama Pesta Tiwah, didirikan di area terbaik di suatu desa dan bertahan hingga ratusan tahun, sebagai pengingat kemeriahan Pesta Tiwah di masa lampau serta bukti bahwa tanggung jawab keluarga kepada leluhurnya

106 Iban, Arsitektur Religi Pesta Tiwah Dayak Ngaju benda, seperti padi di sekeliling lehernya atau membawa wadah kecil (Gambar 11).

6) Sapundu rahu nyampang, berwujud sepasang laki-laki dan perempuan yang sedang bersetubuh (Gambar 12).

Gambar 7. (Kiri) Sapundu bawi yang berwujud perempuan membawa tempat sirih Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017

Gambar 8. (Kanan) Sapundu bawi yang berwujud perempuan membawa tempayan minum Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017

3) Sapundu sambali, berwujud variasi tipe binatang dan mahluk mistis, misalnya anjing dan buaya. Ada beberapa ragam mahluk Gambar 11. Sapundu embak bakas yang mistis yang dijadikan figur berwujud laki-laki tua yang membawa sapundu, seperti wujud siluman cangkir dan dohong (senjata parang kecil) manusia berkepala buaya (Gambar Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017 9).

4) Sapundu haramaung, berwujud macan dahan (Gambar 10).

Gambar 12. Sapundu rahu nyampang Gambar 9. (Kiri) Sapundu sambali berwujud berwujud sepasang laki-laki dan berwujud mahluk mistis manusia siluman. perempuan yang sedang bersetubuh Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017 Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017

Gambar 10. (Kanan) Sapundu haramaung Sandong yang berwujud macan dahan (Neofelis Sandong atau sandung merupakan diardi borneensis) bangunan kubur sekunder berwujud Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017 miniatur rumah panggung. Di dalam

5) Sapundu embak bakas, berwujud sandong tersimpan tulang-belulang laki-laki tua yang membawa manusia yang telah melewati ritual

107 ATRIUM, Vol. 3, No. 2, November 2017, 101-112 sakral Pesta Tiwah. Seperti sapundu, sandong idealnya terbuat dari kayu ulin. Dari hasil olah data berdasarkan observasi dan sumber informan, sandong di Kalimantan Tengah terbagi menjadi: 1) Sandong tunggal, wadah kubur sekunder yang berdiri di satu tiang atau satu pondasi kaki penopang.

2) Sandong keratun, wadah kubur Gambar 14. Sandong munduk di Bukit sekunder yang berdiri di empat Rawi, Palangkaraya tiang atau empat pondasi kaki Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017 penopang (Gambar 13). Desain sandong memiliki model mirip seperti rumah tradisional mini, lengkap dengan atap, pintu kecil, dan jendela. Perwujudan dari seekor burung berukuran kecil sering ditempatkan di atap wadah kubur ini. Informan mengatakan bahwa burung ini disebut piak liau, yang nantinya akan menjadi milik salumpuk liau (jiwa orang yang telah meninggal) di Lewu Tatau.

Gambar 13. Sandong keratun dengan ornamen Jata (naga air) di bagian atap dan dijaga oleh sepasang patung sangiang (leluhur) Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017

3) Sandong kariring, wadah kubur sekunder yang berdiri di dua tiang atau dua pondasi kaki penopang.

4) Sandong raja, wadah kubur sekunder berukuran raksasa yang berdiri di enam hingga sembilan tiang penopang. Gambar 15. Ornamen bulan dan bintang di 5) Sandong munduk, wadah kubur sisi atas dan sangiang berwujud manusia sekunder yang diletakkan di atas dengan dua sayap di sisi bawah sandong Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017 tanah, tanpa tiang penyangga, umumnya untuk mengubur mereka Ornamen bulan dan bintang-bintang yang meninggal karena terbunuh sering dicat atau diukir di sisi sandong, atau kecelakaan (Gambar 14). sedangkan matahari digambarkan di sisi berlawanan (Gambar 15 dan 16). Simbol ini perwujudan dari jiwa-jiwa yang harus lulus semua tanda-tanda kosmologis dalam perjalanan mereka

108 Iban, Arsitektur Religi Pesta Tiwah Dayak Ngaju menjadi roh yang akan bersemayam di jenis sandong tunggal dibangun Lewu Tatau. terutama bagi orang-orang yang telah meninggal dengan kematian yang tidak wajar. Sumber lain menyatakan bahwa wadah kubur jenis ini dibangun untuk individu-individu dengan status bangsawan dan memastikan bahwa bekal kubur mereka tidak dicuri.

Pesta Tiwah dan Wisata Budaya Pesta Tiwah sebagai living heritage merupakan bentuk kearifan mayarakat

Dayak Ngaju yang memiliki potensi Gambar 16. Ornamen matahari yang untuk dikembangkan sebagai produk terletak di sisi samping bagian atas sandong pariwisata di Kalimantan Tengah dan Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017 dapat menjadi daya tarik baru bagi wisatawan baik luar dan dalam negeri, Ukiran sandong diisi dengan berbagai khususnya bagi segmentasi wisatawan ornamen celestial achetype. Hiasan minat khusus yang memiliki dengan motif burung tingang yang ketertarikan tertentu pada keunikan melambangkan dunia atas, sedangkan warisan budaya. Nilai kearifan dari ornamen berwujud Jata (naga air), Pesta Tiwah yang menjadi warisan siluman, dan hewan atau mahluk- budaya bagi masyarakat Dayak Ngaju mahluk menyeramkan yang ada di di Kalimantan Tengah memiliki nilai mitos Dayak Ngaju sebagai simbol budaya tinggi, baik itu yang berbentuk dunia bawah. tradisional maupun berbentuk Sandong juga memiliki variasi tinggi monumental. Selain itu, Pesta Tiwah dan ukuran, beberapa wadah kubur sebagai warisan budaya memiliki daya menempel di atas tanah, yang lain tarik wisata yang kuat, pengembangan sampai enam meter atau lebih; ada Pesta Tiwah sebagai produk pariwisata yang dibangun untuk tulang-tulang tidak selamanya memerlukan modal bagi satu orang, yang lain untuk lima ekonomi (economic capital), tetapi puluh orang atau lebih. Saat memerlukan suatu product-driven berlangsungnya Pesta Tiwah, secara berupa modal budaya (cultural capital) umum masyarakat Dayak Ngaju DAS yang kuat.

Kahayan lebih sering membuat Industri pariwisata dengan kebudayaan sandong berukuran besar yang mampu sebagai objeknya telah membawa menyimpan tulang-belulang bagi paradigma baru, di mana sumber daya puluhan kerabat, sedangkan budaya yang dulunya diproduksi dan masyarakat Dayak Ngaju DAS konsumsi masyarakat, sekarang telah Katingan lebih sering membuat bergeser menjadi konsumsi publik, sandong dengan ukuran yang kecil. khususnya bagi wisatawan. Paradigma Alasan mengapa seorang individu yang baru tersebut merupakan telah di-Tiwah-kan tetap ditempatkan „komersialisasi budaya‟ atau „budaya sendirian di dalam sandong tampaknya yang dijual‟. Komersialisasi budaya bervariasi. Beberapa informan menyajikan sumber daya budaya yang menyatakan bahwa wadah kubur dari tidak dilakukan dalam praktik yang biasa dilakukan dalam kehidupan

109 ATRIUM, Vol. 3, No. 2, November 2017, 101-112 bermasyarakat, tetapi disesuaikan Masyarakat Dayak Ngaju sendiri dengan waktu dan daya beli wisatawan memandang kehidupan merupakan yang menyaksikannya. Bentuk suatu kesatuan holistik. Mereka komersialisasi budaya itu tidak hanya mempercayai bahwa kehidupan di terjadi dalam adat istiadat saja, tetapi dunia ini adalah sesuatu yang fana dan meliputi semua unsur kebudayaan tidak ideal. Hanya melalui Pesta Tiwah yang banyak kaitannya dengan saja lah mereka akan mencapai bentuk kegiatan kepariwisataan, seperti „kehidupan‟ yang sesungguhnya, suatu misalnya seni patung, seni lukis, keabadian di dimensi kosmos lain yang busana, makanan tradisional dan dianggap lebih ideal. Adanya banyak bentuk sumber daya budaya pembagian sakral dan profan lainnya yang mampu memberikan daya merupakan cara pandang dari tarik bagi wisatawan. Komersialisasi masyarakat luar yang menilai cara budaya mengakibatkan suatu bentuk masyarakat Dayak Ngaju dalam sumber daya budaya yang awalnya praktik dan interaksi sosio-religi berada di ruang privat dan memiliki mereka secara vertikal dengan Sang kesakralan, mulai bergeser ke ruang Pencipta maupun secara horizontal, publik yang profan dan memanfaatkan dengan sesama masyarakat. daya tarik sumber daya budaya tersebut menjadi nilai ekonomis yang Kesakralan atau suatu bentuk dapat dijual. kepercayaan supranatural komunal terhadap suatu objek dipercaya oleh Durkheim (2012: 1-3) mendefinisikan masyarakat Dayak Ngaju ada dalam bahwa kesakralan atau the sacred setiap unsur kehidupan dan telah merupakan pengalaman komunal menjadi bagian dari kehidupan sehari- masyarakat yang menjadi lambang hari mereka. Semua dilakukan di dunia kebersatuan transenden yang „sementara‟ ini dipandang suci, kudus, dimanifestasikan dalam simbol-simbol sakral. Mulai dari kelahiran, bercocok masyarakat, sementara profan atau the tanam, berladang, berburu, profane merupakan pengalaman perkawinan, membangun rumah, dan individual yang dianggap lebih rendah kematian, semuanya memiliki konsep dari pengalaman sakral. Konsep kesakralan, hanya saja struktur Durkheim yang melihat keduanya stratifikasinya yang berbeda-beda. Dari berdasarkan kesepakatan bersama semuanya itu, ritual adat Pesta Tiwah dalam suatu masyarakat sedikit merupakan ritual paling sakral yang berbeda dengan pemikiran Eliade. menempati posisi puncak dari berbagai ritual religi pada masyarakat Dayak Menurut Eliade (2012), profan Ngaju di Kalimantan Tengah. merupakan aspek kehidupan sehari- hari yang sering dilakukan secara Domain sakral dan profan di dalam teratur, acak, dan sebenarnya tidak penelitian ini ditinjau dari hasil analisis terlalu penting, sementara sakral elemen-elemen sumber daya Pesta adalah wilayah yang supranatural, Tiwah sebagai product-driven daya sesuatu yang di luar normal, tidak tarik wisata. Berikutnya, elemen- mudah dilupakan, dan penting. Dengan elemen tersebut akan dikategorikan kata lain, profan tidak menjadi penentu menurut substansi prosesi ritual. utama dalam hidup manusia sementara Domain sakral adalah elemen yang ada sakral menjadi penentu keberadaan di dalam konteks prosesi Pesta Tiwah, manusia. sedangkan domain profan adalah

110 Iban, Arsitektur Religi Pesta Tiwah Dayak Ngaju elemen yang berada di luar konteks ragam kuliner, dan leisure atau prosesi Pesta Tiwah. aktivitas di waktu senggang.

Dalam mengembangan daya tarik Kesimpulan wisata pada Pesta Tiwah, perlu adanya delineasi yang dapat menggambarkan Setiap agama atau kepercayaan perbedaan antara daya tarik Pesta meyakini adanya ruang transenden, Tiwah dalam ruang lingkup sakral dan sebuah ruang non-duniawi yang daya tarik profan yang berada di luar bersifat ilahiah. Pesta Tiwah yang ritus yang sakral. Pesta Tiwah dimiliki oleh masyarakat Dayak Ngaju merupakan bentuk living heritage yang beragama Kaharingan di Kalimantan masih dipraktikkan secara turun- Tengah merupakan ritual penguburan temurun oleh masyarakat Dayak Ngaju sekunder yang dimaksudkan untuk dari masa lampau hingga masa menghantarkan arwah leluhur menuju sekarang, sehingga dalam alam keabadian, yakni Lewu Tatau. pengembangannya sebagai produk Sapundu dan Sandong lah yang wisata, komponen sakral dari Pesta kemudian menjadi elemen penting Tiwah tidak dapat dimodifikasi sebagai sekaligus bagian dari tangible haritage objek yang menyesuaikan aspek dalam rangkaian Pesta Tiwah. permintaan, karena komponen sakral tersebut merupakan roh yang menjadi Sebagai bentuk dari living heritage, daya tarik utama Pesta Tiwah. Pesta Tiwah layak dijaga kelestariannya. Langkah pengembang- Unsur penting dalam pengembangan an Pesta Tiwah menjadi atraksi wisata komponen sakral sebagai produk budaya mampu menjadi upaya dalam wisata adalah perlu adanya mitigasi menjaga ritual tersebut terus eksis, baik dampak negatif pariwisata pada rangkaian ritual maupun simbol fisik kebudayaan, yaitu menghindari yang sakral. Jika demikian, Pesta timbulnya komersialisasi budaya Pesta Tiwah akan bertransformasi menjadi Tiwah yang awalnya di ruang privat produk yang dikonsumsi publik. Isu masyarakat dan berada di domain komersialisasi dan komodifikasi sakral, mulai bergeser ke ruang publik budaya pun muncul seiring yang profan dan mengeksploitasi daya dijadikannya Pesta Tiwah sebagai daya tarik sumber daya budaya tersebut tarik wisata. Dampaknya, unsur sakral menjadi nilai ekonomis yang dapat dari Pesta Tiwah dapat memudar, dan dijual. menyisakan ke-profan-annya.

Komponen daya tarik yang berada Dalam pengembangan wisata budaya, dalam domain profan akan menjadi masyarakat Dayak Ngaju baiknya lebih bebas pengembangan dan memberi batas antara wilayah sakral pengunaannya dibandingkan dengan dan profan. Dalam artian, terdapat daya tarik yang berada dalam domain domain yang bisa diakses penuh oleh sakral. Komodifikasi dan wisatawan dan domain yang hanya komersialisasi budaya dapat diakses bisa diakses secara terbatas oleh seluasnya dalam koridor pariwisata. wisatawan dan dikendalikan penuh Pemanfaatan daya tarik domain profan oleh masyarakat lokal Dayak Ngaju. berdasarkan hasil analisis adalah Selanjutnya, pengembangan Pesta handycraft atau pengolahan kerajinan Tiwah dalam bingkai wisata budaya menjadi souvenir, gastronomy atau tidak terfokus pada upaya menarik

111 ATRIUM, Vol. 3, No. 2, November 2017, 101-112 wisatawan, melainkan lebih pada menjaga esensi, baik spiritual maupun non-spiritual, dan kelestarian ritual keagamaan tersebut.

Daftar Pustaka

Denzin, N., & Lincoln, Y. (2011). The Sage handbook of qualitative research (4th ed.). Thousand Oaks, California: Sage. Durkheim, E. (2012). The elementary forms of religious life. Mineola, New York: Dover Publication, Inc. Dyson, L., & Asharini, M. (1980). Tiwah upacara kematian pada masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Jakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Eliade, M. (2012). The myth of the eternal return: Cosmos and history. Princetown, New Jersey: Princeton University Press. Miles, M., Huberman, A., & Saldana, J. (2014). Qualitative data analysis, a method sourcebook (3th ed.). Thousand Oaks, California: Sage. Moleong, L. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Schiller, A. (1997). Religious change and cultural identity among the Ngaju of . Madison Avenue, New York: Oxford University Press.

112