perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Latar Belakang di Jawa

Dalam Kebudayaan Jawa, Batik tidak dapat diartikan hanya dengan satu

dua kata ataupun padanan kata tanpa penjelasan lanjut. Karena Batik merupakan

suatu hasil dari proses yang panjang mulai dari melukis motif hingga pada tahap

akhir proses “Babaran”. Yang menjadi cirri utama dari Batik adalah proses

tersebut digunakan bahan utama berupa Mori, malam (lilin) dan pewarnaan.

(Honggopuro, 2002:2)

Batik menjadi salah satu kekayaan Budaya bangsa khususnya

daerah Jawa, dikarenakan awal munculnya batik berasal dari Keraton-keraton

Jawa. Pada jaman dahulu batik hanya dikerjakan oleh putri-putri dilingkungan

Keraton yang dipandang sebagai kegiatan penuh nilai kerohanian, yang

membutuhkan pemusatan pikiran, kesabaran, dan kebersihan jiwa dengan

dilandasi permohonan kepada Tuhan YME. Oleh sebab itu keindahan ragam hias

Wastra Batik senantiasa menimbulkan keindahan abadi dan mengandung nilai-

nilai perlambangan yang berkaitan erat dengan latar belakang penciptaannya.

(Doellah, 2002:54)

Sejarah Batik tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan dari kerajaan yang

berada dipulau Jawa pada masa itu, yaitu Keraton dan Yogyakarta.

Keduanya adalah pecahan dari kerajaan Mataram yang dikarenakan oleh

Perjanjian Giyanti yang menyebabkan Keraton Mataram terpecah menjadi dua

bagian yaitu selatan dan utara, selatan adalah Yogyakarta dan Sri Sultan commit to user

9 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id10

Hamengkubuwono I menjadi Rajanya dan utara adalah Surakarta, Pakubuwono III

sebagai Rajanya.

“Batik Kraton” adalah Batik dengan pola tradisional, terutama yang

semula tumbuh dan berkembang di kraton-kraton Jawa. Tata susun ragam hias

dan pewarnaannya merupakan paduan mengagumkan antara seni, adat, pandangan

hidup, dan kepribadian lingkungan yang melahirkannya, yakni lingkungan kraton.

Batik Kraton menggunakan motif yang terpengaruh oleh kebudayaan Hindu-Jawa

(Doellah, 2002:54).

Sejalan dengan perkembangan Batik memasuki Istana Surakarta pada abad

XVIII, bersama itu pula sekelompok pengrajin Batik rakyat memasuki Kraton.

Para pengrajin Batik rakyat diangkat kedudukannya dan kemudian mendapatkan

status abdi dalem di lingkungan Kraton. Fenomena tersebut member konotasi

tentang keberadaan Batik rakyat yang berkembang di luar Kraton dan kemudian

masuk lingkungan Kraton mengalami Legimitasi oleh Raja sebagai Batik Istana.

Karya-karya rakyat mendapatkan cap aristokrat sebagai Batik produk Istana yang

selanjutnya disebut Batik Klasik. (Kartika, 2007:75)

Salah satu contoh untuk memberikan gambaran atas kehidupan pengrajin

Batik abdi dalem Kriya dalam usahanya meraih sedrajad status sosial, seperti apa

yang dialami oleh R. A. Resowicitro (tahun 1910). Resowicitro dalam

pengabdiannya selama di Istana sejak PB X sampai tahun 1965, berakhir dengan

perolehan status kebangsawanan Raden Ayu yang membawa kepuasan pribadi

dan menjadi kebanggaan tersendiri. Keberhasilan dalam segi keahliannya berakhir

dengan perusahaan “Babaran Genes Wicitran” yang awalnya berada di kampong

Reksoninten lalu dengan keberhasilannya mempertahankan produk Batik Tulis commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id11

asli dan mendapat pesanan langsng dari Keraton. Kemudian perusahaan tersebut

pindah ke daerah lingkungan Keraton. (Kartika, 2007:76)

Sekitar tahun 1920-an terjadi kehancuran atas kejayaan perusahaan

“Babaran Genes Wicitran” merupakan kenyataan sejarah. Kini hancur tanpa

warisan profesional dan sikap usahawan pada anak cucu atau kerabat dekatnya.

Gambaran tersebut memberikan konotasi bahwa apa yang menjadi faktor jatuhnya

modal perusahaan dan menurunnya sikap ekonomi para pngrajin Batik Istana,

disebabkan perubahan sikap yang mendasar karena adanya kepentingan ekonomi

keluarga. (Kartika, 2007:77-78)

Merosotnya Batik Istana mengakibatkan terjadinya tumbuh dan

berkembangnya Batik-batik daerah (diluar Istana). Perkembangan Batik daerah

tetap mengacu Batik Istana sebagai nilai dan status sebagai sumber inspirasi

pengagungan. Perkembangan Batik di daerah (Surakarta dan sekitarnya) mulai

mencapai kejayaannya sekitar abad XX, atau sekitar tahun 1930 sampai tahun

1960-an. Hal itu bisa dilihat pada daerah-daerah sumber Batik, yan pada saat itu

merupakan daerah induk Batik di Surakarta. Daerah tersebut diantaranya adalah

Bekonang, Weru, Matesih, Laweyan, dan Tembayat. Lima daerah tersebut

merupakan kunci perkembangan Batik pada saat itu. (Kartika, 2007:79)

B. Batik

Batik adalah suatu cara membuat desain pada kain dengan cara menutup

bagian-bagian tertentu dari kain dengan malam. Batik pada mulanya merupakan

lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan menggunakan alat bernama

canting. Dalam perkembangan selanjutnya dipergunakan alat-alat lain untuk

mempercepat proses pengerjaaannya misalnya dengan cap. (Hamzuri, 1981:1). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id12

Istilah batik, menurut etimologi kata “batik” berasal dari bahasa Jawa, dari

kata “tik” yang berarti kecil dapat diartikan sebagai gambar yang serba rumit.

Dalam Kesusasteraan Jawa Kuno dan Pertengahan, proses batik diartikan sebagai

“Serat Nitik”. Setelah Kraton Kartosuro pindah ke Surakarta, muncul istilah

“mbatik” dari jarwo dosok “ngembat titik” yang berarti membuat titik. (Riyanto,

1997:11).

Batik keraton adalah batik dengan motif tradisional, terutama yang semula

tumbuh dan berkembang di keraton-keraton Jawa. Tata susun ragam hias dan

pewarnaannya merupakan paduan mengagumkan antara seni, adat, pandangan

hidup, dan kepribadian lingkungan yang melahirkannya, yakni lingkungan

keraton. (Doellah, 2002:54)

Berdasarkan perkembangan batik di Pulau Jawa, pola atau motif batik

dapat dirinci menjadi tiga unsur pokok, yakni “ragam hias utama (klowongan)”,

“isen-isen” dan “ragam hias pengisi”. (Doellah, 2002:19)

1. Ragam hias atau motif utama (klowongan) adalah bentuk hiasan yang

menjadi unsur penyusun utama pola batik.

2. Motif Isen-isen adalah hiasan yang mengisi bagian-bagian ragam hias utama

(klowongan), disebut “isen pola”.

3. Ragam hias atau motif pengisi adalah hiasan yang ditempatkan pada latar

pola sebagai penyeimbang bidang agar pola secara keseluruhan tampak

serasi.

Motif merupakan unsur utama dalam pembuatan sebuah karya seni yaitu

Batik. Motif sendiri dibedakan menjadi beberapa bagian yang merupakan suatu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id13

kesatuan yang memiliki makna dan arti dalam setiap bagian-bagiannya.

Sedangkan motif dari Batik Wonogiren Tirtomoyo sendiri memiliki motif khas

Keraton.

Membatik sendiri adalah suatu pekerjaan yang mengutamakan ketiga

tahapan proses, yaitu pemalaman, pewarnaan dan penghilangan malam. Berapa

banyak pemalaman atau berapa kali penghilangan malam akan menunjukkan

betapa kompleks proses yang dilakukan, sehingga akan menghasilkan lembaran

batik yang kaya akan paduan warna. Ditinjau dari segi motifnya ada dua jenis

motif batik, yaitu motif batik tradisional dan motif batik modern. Batik tradisional

adalah jenis batik yang motif dan gayanya terikat pada suatu aturan dan isen-isen

tertentu, seperti motif sidomukti, sidoluhur, parang rusak, dan sebagainya. Batik

modern adalah semua jenis batik yang telah menyimpang dari ikatan yang sudah

menjadi tradisi tersebut (Soetopo, 1975:19).

Ditinjau dari segi teknik pembuatannya atau dalam hal ini pembatikannya

juga dikenal dua macam batik, yaitu batik tradisional dan batik printing. Batik

tradisional meliputi: batik tulis, batik cap, atau batik kombinasi tulis dan cap yang

masih dibuat dengan cara sederhana dengan menggunakan canting maupun alat

cap. Batik tulis dan batik cap berkembang berdampingan sampai saat ini. Ditinjau

dari halus tidaknya, maka batik tulislah yang lebih halus daripada batik cap, sebab

batik tulis motif-motifnya lebih hidup, karena dibuat dengan rasa seni atau unsur

seni masih ada didalamnya, sedangkan walaupun batik cap prosesnya jauh lebih

cepat dari batik tulis, akan tetapi hasil batik cap ini berbeda dengan batik tulis.

Dari segi ketepatan pengulangan bentuk canting cap lebih menjamin, akan tetapi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id14

dari kesempurnaan goresan kurang baik. Batikan cap sering kali tidak tembus dan

kadang-kadang dilain sisi tembus, bahkan blobor (Riyanto, 1997:13)

Asal kata Wonogiri, sudah ada sejak zaman Raden Mas Said yang

memerintah Wonogiri hingga wafat, di usia 40 tahun pada 28 Desember 1795.

Wonogiri berasal dari bahasa Jawa, terdiri atas kata wana atau alas yang berarti

hutan, sawah, tegalan; dan giri berarti gunung. Nama ”wonogiri” dapat diartikan

sebagai kondisi wilayah yang sebagian besar berupa hutan atau sawah dan

gunung, maka Wonogiri juga mendapat sebutan sebagai Gunung Seribu (Trianto,

2008 : 1, 8).

Salah satu karya seni yang mengindikasikan budaya Jawa dengan

kedalaman makna dan menjadi bagian dari perkembangannya adalah wayang kulit

dan batik. Keberadan wayang kulit tersebut, telah menjadi bagian seni yang

bernilai tinggi. Wayang bukan hanya sebagai hiburan dan media penyampai

nasehat serta petuah, tetapi juga berfungsi sebagai salah satu benda seni untuk

memperindah ruangan atau dekorasi. Batik yang dibuat oleh masyarakat Wonogiri

merupakan identitas budaya, dengan perkembangan dan pengembangan tidak

lepas dari sejarah Pura Mangkunagaran. Wilayah yang menjadi lokasi usaha dan

pengembangan batik terbesar adalah di Kecamatan Tirtomoyo (Nurcahyati,

2009:99)

Batik Wonogiren secara harfiah adalah tekstil tradisi khas wilayah

Wonogiri (kabupaten), dibuat atau diproduksi dengan menggunakan teknik batik

atau coretan lilin (malam atau wax-resist) di atas kain. Tekstil tersebut bukan asli

dari Wonogiri, apabila dilihat dari awal kemunculannya. Nama Batik Wonogiren commit to user berasal dari seorang seniwati batik asal Pura Mangkunagaran (Surakarta) bernama perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id15

Kanjeng Wonogiren atau Raden Ayu Handayaningrat, istri seorang Bupati

Wonogiri (menjabat pada zaman pra kemerdekaan RI). Ia mengabdi saat

bertahtanya KGPAA Mangkunagara VII hingga VIII.

Kanjeng Wonogiren adalah kreator tekstil tradisi yang berasal dari

Wonogiri. Kata ”wonogiren” pada istilah Batik Wonogiren bukan berasal dari

kata ”wonogiri” mendapat akhiran -an, sehingga menunjukkan kepemilikan atau

asal, tetapi nama Kanjeng Wonogiren. Namanya digunakan untuk menyebut kain

batik, karena terkenal dengan babaran atau cara memberi warna pada batik.

Istilah tersebut diberikan oleh masyarakat pemakai batik karya beliau dan

pembatik yang masih keturunan keluarga bangsawan Pura Mangkunagaran.

Babaran Kanjeng Wonogiren menghasilkan warna lembut, bersih, dan lebih

muda, dibanding dengan babaran batik beredar saat itu, yang cenderung gelap

dan tajam, karena mayoritas pewarna memakai bahan alami sejenis rempah, yakni

soga jambal (Pelthoporum Ferrigineum). Bahan tersebut menghasilkan warna

coklat sawo dan gelap, sebagai ciri khas Batik Surakarta. (Nurcahyati, 2009:102-

103)

Batik Wonogiren kemunculannya berawal dari kegiatan membatik,

tepatnya dikecamatan Tirtomoyo. Batik Wonogiren memiliki ciri khas retakan-

retakan atau sring disebut remekan atau remukan. Remukan tidak hanya menjadi

ciri khas, tapi juga menjadi bagian dari Batik Wonogiren. Hal tersebut menambah

nilai estetika, yang membedakan dengan karya Batik daerah lain. Nilai estetika

tersebut bersifat obyektif dan murni terlihat pada garis, bentuk, dan warna.

(Christian, 2010:2-3)

commit to user 1. Perkembangan Batik perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id16

Pada awalnya pembuatan Batik dari awal sampai proses akhir hanya

dilakukan didalam lingkungan keraton. Motif-motif dan pembatikkannya

dilakukan oleh putri-putri istana, sedangkan pengerjaan selanjutnya dilakukan

oleh para abdi dalem. Dengan demikian jumlah motif batik yang dihasilkan pun

terbatas. Seiring dengan perkembangannya pembatikan mulai dilakukan diluar

istana akan tetapi mula-mula hanya dilakukan oleh para kerabat abdi dalem yang

tinggal diluar keraton. “Ketika kebutuhan Batik mulai meningkat usaha rumahan

yang dilakukan oleh para kerabat abdi dalem pun berkembang menjadi industri

yang dikelola oleh para saudagar. Mereka memperkerjakan para pembatik

terampil dan mengawasinya sehingga menghasilkan batik yang lebih halus dan

lebih indah” (Doellah, 2002:55)

Batik keraton dari jaman ke jaman tidak mengalami perubahan yang

signifikan, baik dari warna maupun tampilannya, bahkan dari segi motifpun tidak

banyak ada perubahan. “Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Batik Keraton

hampir tidak dipengaruhi oleh jaman. Meskipun demikian, dengan

berkembangnya keadaan, batik Keraton melahirkan Batik lain yang merupakan

modifikasi atau perkembangan dari Batik Keraton. Batik seperti ini secara

tradisional tidak bisa lagi disebut batik keraton”. (Doellah, 2002:55)

Secara keseluruhan daerah perkembangan Batik Keraton mencangkup

Wastra Batik yang terdapat di Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, Keraton

Cirebon, Keraton Sumenep Madura, Pura Mangkunegaran, Pura Pakualaman.

a. Keraton Surakarta

Batik Keraton Surakarta penuh dengan isen halus, sehingga keseluruhan

tampak indah dan cantik. Warna Batik Keraton Surakarta lembut dalam commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id17

perpaduan yang serasi antara rona yang satu dengan yang lain. Warna tradisional

Batik Surakarta adalah biru sampai biru kehitam-hitaman, krem, dan coklat

kemerah-merahan. Proses pembuatan Batik Surakarta secara tradisional

dikerjakan dengan cara girahan (satu kali dilorod) maupun dengan kesikan (dua

kali dilorod). Contoh Batik Keraton Surakarta adalah motif Parang Barong,

Parang Curiga, Parang Sarpa, Ceplok Burba, Candi Luhur. (Doellah, 2002:20,56)

b. Keraton Yogyakarta

Sebagaimana yang telah disebutkan dan dijelaskan bahwa pola Batik

Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta berasal dari satu sumber yaitu pola

kerajaan Mataram. Oleh karena itu pola-polanya memiliki banyak kesamaan,

meski pada perkembangan di kemudian hari terdapat beberapa perbedaan. Salah

satu perbedaan itu adalah pengenaan Wastra Batik dengan pola parang dan lereng,

gaya Surakarta mengenakan dari kanan atas miring ke kiri bawah, sedangkan

Yogyakarta dari kiri atas miring ke kanan bawah.

Batik Keraton Yogyakarta setia mematuhi aturan yang berlaku secara

turun-temurun sehingga terkesan kaku dan kurang kreatif. Paduan antara soga dan

putih sangat kontras sehingga membuat bidang putihnya tampak mencolok. Pola

geometri Keraton Yogyakarta sangat khas, besar-besar, dan sebagian diantaranya

diperkaya dengan parang dan nitik. Contoh pola Batik Keraton Yogyakarta yaitu

pola Kawung, Tambal Nitik, Ceplok Keci, Ceplok Nagaraja, Parang Kesit

Tumaruntun, Parang Barong, Parang Rusak. (Doellah, 2002:57)

c. Keraton Cirebon

Cirebon dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati merupakan pusat

kerajaan islam tertua di Jawa dan sekaligus merupakan pelabuhan penting dalam commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id18

jalur lintas perdagangan dari Persia, India, Arab, Eropa, dan Cina. Kedua keraton

yakni Kasepuhan dan Kanoman, menghasilkan Wastra Batik dengan pola dan

gaya yang tidak terdapat di daerah yang lain. Batik Cirebon semula dikususkan

untuk para Sultan, terutama dalam kaitan upacara keagamaan, hiasan istana, dan

penolak bala. Contoh pola batik khas Cirebon yaitu Mega Mendung, Wadasan,

Kereta Kasepuhan, Kapal Kadas , Peksi Naga Liman, Cerita Panji.

Selain itu Batik Cirebon mempunyai ciri khas yaitu patran, dengan ragam

hias terdiri atas bunga-bunga kecil yang tersusun dalam garis miring atau sejajar.

Ragam pola patran yang terkenal adalah motif Patran Kangkung. Wastra Batik

Cirebon umumnya berwarna dasar kuning gading atau kuning muda yang lazim

disebut “kuning Cirebon”. Ciri yang lain adalah coklat soga, biru muda, biru tua,

dan hitam. Hingga kini Batik Cirebon masih dibuat di daerah Trusmi, Kali

Tengah, dan wilayah disekitarnya. (Doellah, 2002:57)

d. Keraton Sumenep

Sumenep terletak di ujung timur Pulau Madura yang memiliki Keraton

yang masih terpelihara hingga sekarang. Berbeda dengan Batik Madura pada

umumnya, Batik Keraton Sumenep berwarna kecokelat-cokelatan soga, hampir

menyerupai Batik Keraton Mataram. Meski demikian juga terdapat Batik yang

menggunakan warna biru tua, hitam, dan putih, namun dengan tambahan sedikit

rona hijau dan merah. Ragam hias sawat dan lar diperkirakan merupakan

pengaruh Mataram ketika Mataram menguasai daerah Sumenep. Sebagian besar

pola Batik Keraton Sumenep termasuk kedalam jenis pola non-geometri

dikarenakan menggambarkan kehidupan laut, burung, serta bunga-bunga yang

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id19

ditata menjadi tata susun yang cantik. Contoh dari Batik Keraton Sumenep yaitu,

Sabet Rante, Sekar Jagad, Pola Lereng, Limar Buket. (Doellah, 2002:58)

e. Pura Mangkunegaran

Gaya pola batik Pura Mangkunegaran serupa dengan Batik Keraton

Surakarta, akan tetapi dengan warna Soga coklat kekuning-kuningngan. Mesti

demikian Batik Pura Mangkunegaran selangkah lebih maju dalam penciptaan pola

dibandingkan Keraton Surakarta. Hal ini tampak dari banyaknya pola Batik Pura

Mangkunegaran. Selain itu keindahan pola Batik Pura Mangkunegaran

mencerminkan karya seni yang matang melalui pengaturan isen, peletakan hiasan

penyusun pola, serta tampilan yang lebih luwes dan serasi. Pola dari Batik Pura

Mangkunegaran yang terkenal adalah Buketan Pakis, Sapanti Nata, Ole-Ole,

Wahyu Temurun, Parang Kesit Barong, Parang Sondher, Parang Khlitik Glebag,

Seruni, Liris Cemeng. (Doellah, 2002:18,56)

f. Pura Pakualaman

Pada awalnya wilayah Pakualaman merupakan bagian dari Kasultanan

Yogyakarta. Pada tahun 1813 Kasultanan Yogyakarta dibelah menjadi Kasultanan

Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman sebagai akibat dari persengketaan antara

Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat dengan Letnan Gubernur Jendral Inggris,

Thomas . Oleh karena itu unsur-unsur budaya kedua istana itu

memiliki banyak persamaan, tidak terkecuali Wastra Batik.

Gaya pola dan warna Batik Pura Pakualaman mulai berubah sejak adanya

hubungan keluarga yang erat antara Keraton Surakarta dan Pura Pakualaman saat

Sri Paku Alam VII mempersunting Putri Sri Susuhunan Paku Buwono X. Putri

Keraton inilah yang memberi warna dan suasana Surakarta pada Batik Pura commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id20

Pakualaman sehingga pola Batik Pura Pakualaman kemudian tampil dalam

perpaduan antara pola Batik Keraton Yogyakarta dan warna Batik Keraton

Surakarta. Contoh dari pola Batik Pura Pakualaman adalah Candi Baruna, Peksi

Manyura, Parang Barong Seling Sisik, Parang Khlitik Seling Ceplok, Parang

Rusak Seling Huk, Sawat Manak, Babon Angkrem, Dodot. (Doellah, 2002:57)

2. Penggolongan Motif Batik

a. Batik geometris.

Unsur geometris adalahn dimana didalamnya terdapat susunan ragam-hias

geometris. Ragam-hias geometris ini terdapat pada seluruh bagian motif, hampir

seluruh dunia tiap suku bangsa menggunakan ragam-hias geometris. Unsur

pembentuk dan pola yang paling populer digunakan. Unsur yang menjadi bagian

dari unsur geometris adalah titik, garis, bentuk-bentuk kotak, segitiga, bintang,

lingkaran, dan sebagainya cukup banyak digunakan dalam motif batik. Termasuk

motif batik kaligrafi, contohnya kawung, parang barong, parang rusak, sekar

jagad. (Sewan Susanto, 1980: 215)

Contoh Batik geometri:

1. Kawung

Gambar 1. ( sumber: Bayu Kartika,commit 2011) to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id21

2. Parang Barong

Gambar 2. ( sumber: Putri Chester, 2010)

3. Parang Rusak

Gambar 3. ( sumber : lian rohima, 2009)

4. Sekar Jagad

Gambar 4. ( sumber : Bayu Kartika, 2011)

b. Batik nongeometri.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id22

Batik nongeometri adalah batik yang susunannya tidak teratur tidak

menurut bidang geometris. Motif dari nongeometris tersusun dari ornamen-

ornamen tumbuhan dan hewan dalam susunan yang tidak teratur. Contohnya batik

buketan, semen gununglar, gringsing, semen rante. (Sewan Susanto, 1980:215)

Contoh Batik nongeometris:

1. Buketan

Gambar 5. ( sumber : Putri Chester, 2010)

2. Semen Gunung Lar

Gambar 6. ( sumber : Bayu Kartika, 2011)

3. Gringsing

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id23

Gambar 7. ( sumber : Sastro Utomo, 2008)

4. Semen Rante

Gambar 8. ( sumber : Amelia , 2011) 3. Jenis Motif Batik

Ditinjau dari jenisnya, batik terbagi menjadi tiga yaitu, batik klasik,

neoklasik, dan kontemporer.

a. Batik klasik adalah batik yang sudah ada pada jaman dahulu dan merupakan

motif-motif yang sudah pakem atau tradisi dan memiliki karekteristik dari

daerah asal masing-masing seperti batik dari Solo, Jogja, Pekalongan,dll.

Batik klasik mempunyai nilai dan cita rasa seni yang tinggi, dengan

pengerjaan yang rumit dan dalam waktu berminggu-minggu. Batik klasik

mempunyai pola-pola dasar tertentu dengan berbagai macam variasi motif,

seperti kawung, parang, nitik, tuntum, ceplok, tambal, dan lain sebagainya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id24

Bahan dasar batik berupa kain katun putih kwalitas halus, juga kain sutera

putih, batik dengan bahan sutera akan menghasilkan warna yang lebih

hidup. (Hamzuri, 1985:8)

Contoh Batik Klasik:

Gambar 9. Parang Barong dan Parang Menang (sumber : motif batik solo, 2011)

b. Batik neoklasik atau lebih dikenal dengan batik modern adalah batik yang

sudah mengalami perkembangan dari motif yang lama baik dari segi bahan

maupun dari segi motif dan pewarnaan yang digunakan. Berbeda dengan

batik klasik, pada batik modern motif maupun pewarnaan tidak tergantung

pada pola-pola dan pewarnaan tertentu seperti pada batik klasik, namun

dress designnya bisa berupa apa saja dan warna yang beraneka macam.

Batik modern juga menggunakan bahan-bahan dan proses pewarnaan yang

mengikuti perkembangan dari bahan-bahan pewarnanya. Terkadang pada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id25

beberapa area design kaos, canting tidak dipergunakan namun dengan

menggunakan kuas dan untuk pewarnaan kadang diterapkan langsung

dengan menggunakan kapas atau kain. Dengan kata lain, proses pembuatan

batik modern hampir seperti batik klasik namun desain baju batik modern

dan pewarnaan baju batik modern terserah pada citarasa seni pembuat

design kaos dan tergantung bahan-bahan pewarnanya. Bahkan dengan

berkembangnya bahan dasar kain dan bahan kain berwarna, batik modern

menjadi semakin bervariasi, seperti misalnya batik pada bahan katun lurik

Jogja , bahan kain poplin, bahan piyama, bahan wool.

Contoh Batik Neoklasik:

Gambar 10. Motif Batik Neoklasik (sumber : Sastro Utomo, 2008)

c. Batik kontemporer adalah batik yang menurut jenisnya dan motifnya dalam

pembuatannya sudah tidak terikat oleh pakem atau aturan-aturan yang ada

pada batik tradisi, batik kontemporer lebih bisa bereksplorasi sesukanya

tanpa harus ada batasan-batasan pada pembuatan motif-motifnya.Batik ini

terlihat tidak lazim untuk disebut batik, tetapi proses pembuatannya sama

seperti membuat batik. Warna dan coraknya cenderung seperti kain pantai

khas Bali atau kadang warna dan coraknya seperti kain sasirangan, Batik commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id26

kontemporer banyak dikembangkan oleh desainer batik untuk mencari

terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan batik dan mode pakaian

yang didesain. (staff.uny.ac.id 23-10-2011 23:16)

Contoh Batik Kontemporer:

\ Gambar 11. Motif Batik Kontemporer (sumber: Bayu Kartika, 2011)

C. Estetika

”Ilmu estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang

berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut

keindahan.”(Djelantik, 2004:7). Keindahan meliputi keindahan alam dan

keindahan buatan manusia. Keindahan buatan manusia pada umumnya kita sebut

kesenian. Dengan demikian kesenian, dapat dikatakan merupakan salah satu

wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan.

”Estetika dalam desain adalah kreatifitas dalam mencari solusi yang paling

indah dalam arti yang sebenarnya, yaitu benar secara fungsional, jujur terhadap

material, etis, dan inspiratif.”(Buchori Zainudin, 1989: 3). Sedangkan menurut

pendapat lain, ”Estetika (daya tarik estetis) adalah hal yang berkaitan erat dengan

penampilan dari sebuah produk secara visual. Bentuk dari estetika adalah totalitas

dari suatu produk yang memilikicommit unsur to yanguser menjadi ciri khas dari produk perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id27

tersebut dari garis, bidang, ukuran, bentuk, warna, tekstur dan proporsi yang harus

saling mendukung dan menjadi konfigurasi produk yang terkomposisi.”(Rizali,

2006:24)

Berdasarkan pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu cabang

filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada

alam dan seni. Estetika yang berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” berarti hal-

hal yang dapat diserap oleh panca indera, oleh karena itu estetika sering diartikan

sebagai persepsi indera (sence of perception). (Kartika, 2004:5)

Nilai seni dan nilai estetis sangat sulit dibedakan dan dipisahkan, karena

keduanya menyangkut psikologi seni dan filsafat seni, dan ada di dalam dunia

yang sama yaitu karya seni. Bedanya karna nilai estetis lebih mendasar (inti),

murni dan abstrak sedangkan nilai seni sebagai suatu cita yang berkaitan dengan

bentuk visual dan auditif (pendengaran suara) dari manusia, alam, dan binatang, di

samping bentuk yang abstrak seperti gerak hati, ekspresi rasa dan citra.(Kartika,

2004:20)

Nilai yang digunakan untuk menilai keindahan dari sebuah karya seni

adalah menggunakan 4 landasan nilai, menurut Darsono Sony Kartika yaitu:

1. Nilai intrinsik

Adalah nilai hakiki dalam karya seni secara implisit. Sifatnya mutlak dan

hakiki macam dan jenis seni berlainan. Nilai intrinsik adalah nilai seni itu sendiri.

2. Nilai ekstrinsik

Adalah nilai yang tidak hakiki. Nilai ini tidak langsung menentukan suatu

karya seni melainkan; berfungsi mendukung, memperkuat kehadiran atau commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id28

penyelenggaraan menentukan karya seni dan bersifat melengkapi kehadiran karya

seni.

3. Nilai estetis murni

Nilai estetis yang murni ini terdapat pada garis, bentuk, warna dalam seni

rupa gerak, tempo, irama, dalam seni tari. Suara metrum irama dalam seni musik.

Dialog, ruang, gerak dalam, seni drama, dan lain-lain.

4. Nilai ekstra estetis atau nilai tambahan

Nilai ekstra estetis (nilai luar estetis) yang merupakan nilai tambahan

terdapat pada bentuk-bentuk manusia, alam, binatang dan lain-lain, gerak

lambaian, sembahan, dan lain-lain, seru tangis. Keindahan yang dapat dinikmati

penggemar seni yang terdapat pada unsur-unsur tersebut, disebut keindahan luar

estetis atau tambahan.

Berbeda dengan perkembangan budaya Barat, perkembangan estetik di

negara-negara timur tampaknya sudah berkembang mulai zaman primitif hingga

munculnya berbagai agama besar sampai era modern saat ini. Estetika pada

dasarnya sangat sangat dinamis dengan filosofi dan pemikiran baru, tetapi di timur

justru statis dan dogmatis, sehingga sangat lamban dan bahkan sulit mengatakan

keunggulan masing-masing pihak. Hal tersebut karena pijakan atau latar belakang

kebudayaan yang masing-masing memang berbeda.(Kartika, 2004:218)

Kajian batik dari sudut pandang estetika merupakan kajin bentuk visual

pola atau motif batik. Darsono Sony Kartika menyebutnya sebagai struktur batik

yakni, prinsip dasar penyusunan batik yang terdiri dari unsur pola atau motif

batik yang disusun berdasarkan pola atau struktur yang sudah baku, tersusun: commit to user (Kartika, 2004:217-218) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id29

1. Motif, merupakan unsur pokok pola, berupa gambar-gambar bentuk tertentu

disebut ornamen karena merupakan unsur pokok, maka disebut pula

ornamen pokok.

2. Motif pengisi, merupakan pola berupa gambar-gambar yang dibuat untuk

mengisi bidang, bentuknya lebih kecil dan tidak turut memberi arti atau jiwa

pola tersebut, ini disebut ornamen pengisi.

3. Isen, untuk memperindah pola secara keseluruhan baik ornamen pokok

meupun ornamen pengisi diberi isian berupa hiasan, titik-titik, garis-garis,

gabungan titik dan garis. biasanya isen dalam seni batik mempunyai bentuk

dan nama tertentu, dan jumlahnya banyak

Memahami tentang tata susun batik, terutama untuk memahami simbol-

simbol pada batik, misalnya pemakai tata warna batik, menjadi karakteristik orang

Jawa yang dianggap memiliki lambang atau simbol pemujaan terhadap causa

prima, yang berada dalam kedudukan tinggi. Pada umumnya lambang dinyatakan

lewat perlambangan yang diilhami oleh lambang-lambang warna kosmologi Jawa

yaitu papat keblat lima pancer.

D. Kerangka Pikir

Penulis harus memiliki pemahaman dasar tentang suatu masalah yang

hendak diteliti dan teori atau pendekatan yang akan dipakai untuk mengkaji

permasalahan yang diteliti. Penulis melihat latar belakang budaya untuk

mengungkap Batik Wonogiren itu sendiri, yaitu dengan melihat latar belakang

terciptanya Batik Wonogiren Tradisi Tirtomoyo dengan menggali informasi yang

bisa dilakukan dengan mengutip dari buku-buku yang bersangkutan dengan obyek

dan juga bisa dilakukan dengan wawancaracommit to user yang dilakukan dengan para pelaku perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id30

sejarah atau dengan siapapun yang masih ada hubungannya dengan obyek yang

diteliti.

Penulis juga melihat faktor sosial, alam sekitar daerah Tirtomoyo

Wonogiri untuk menjadi dasar mengungkap sisi keindahan Batik Wonogiren

Tradisi Tirtomoyo tersebut. Dengan melihat keadaan sosial masyarakat dan

keadaan alam sekitar daerah Wonogiri kususnya daerah Tirtomoyo tersebut yang

menjadi dasar bagaimana terciptanya motif-motif dari Batik Wonogiren Tradisi

Tirtomoyo.

Batik Wonogiren Tradisi Tirtomoyo ini dikenal dengan nama batik tulis

Wonogiren yang sudah ada sejak tahun 1910 pada saat para abdi dalem Keraton

Mangkunegaran Surakarta bertugas di Tirtomoyo Wonogiri. Tidak kalah dengan

kota-kota penghasil batik lainnya di Jawa Tengah seperti Pekalongan, Solo, dan

Rembang, Batik tulis Wonogiri memiliki karakteristik tersendiri dalam kreasi

corak batik, yakni corak Bledak, Dasaran (kuning kecokeiatan), Sekaran (lukisan

bunga), dan Babaran (guratan pecah). (Santoso, 2012)

Setelah menggunakan dasar tersebut untuk mengungkap Batik Wonogiren

Tradisi Tirtomoyo, penulis menggunakan teori Kajian Estetika Timur untuk

mengungkap nilai keindahan apa yang terkandung pada Batik Wonogiren Tradisi

Tirtomoyo. Penulis menggunakan Kajian Estetika Timur karena Kajian batik dari

sudut pandang estetika timur merupakan kajian bentuk visual pola atau motif

batik. Sedangkan kajian estetika yang dipakai adalah Kajian Estetika dari Darsono

Sony Kartika, dengan meneliti empat poin yaitu nilai intrinsik, ekstrinsik, estetis

murni, dan estetis tambahan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id31

Memahami tentang tata susun batik, terutama untuk memahami simbol-

simbol pada batik, misalnya pemakai tata warna batik, menjadi karakteristik orang

Jawa yang dianggap memiliki lambang atau simbol pemujaan terhadap causa

prima, yang berada dalam kedudukan tinggi. pada umumnya lambang dinyatakan

lewat perlambangan yang diilhami oleh lambang-lambang warna kosmologi Jawa

yaitu papat keblat lima pancer. (Kartika, 2004:218)

Dengan adanya karakteristik yang dimiliki oleh Batik Wonogiren seperti

yang telah disebutkan di atas maka penulis ingin mengkaji melalui sudut pandang

teori Estetika Timur dengan menggunakan dasar dari Darsono Sony Kartika

tentang Batik dimana Batik Wonogiren adalah salah satu Batik Tradisi di mana

masih ada hubungannya dengan Batik Keraton atau Batik Klasik Tradisi Jawa.

Skema Bagan Kerangka Pikir

Gambar 12 Latar Belakang Latar Belakang Batik Wonogiren Alam sekitar Sosial Budaya Tradisi Tirtomoyo, Tirtomoyo

Wonogiri

Nilai intrinsik Estetika Batik Wonogiren

Estetika timur: Darsono Nilai ekstrinsik Sony Kartika

Nilai estetis murni

Nilai estetis tambahan

commit to user