Jurnal Kajian Bali Journal of Bali Studies

p-ISSN 2088-4443 # e-ISSN 2580-0698 Volume 09, Nomor 01, April 2019 http://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali

...... Terakreditasi Peringkat B Berdasarkan SK Menristek Dikti No. 12/M/KP/II/2015 tanggal 11 Februari 2015 ......

Pusat Kajian Bali dan Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara di Pura Pejuang Taman Suci di Desa Tua, Kabupaten Tabanan, Bali

I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Email: [email protected]

Abstract Veteran Temple: Relationship between the Meanings of Religious and State Symbols in Pura Pejuang Taman Suci in Tua Village, Tabanan Regency, Bali

This study discusses the relationship of religious symbols and state symbols in the Taman Suci Temple, also known as Pura Veteran, in the Tua Village, Tabanan, one of the locations for Balinese fighters in defending Indonesian independence from Dutch attacks in 1946. Besides religious symbols, in the Veteran Temple there are also state symbols such as the decoration, the Red and White flag, and advice on fighting sharp bamboo. Data from this qualitative study were obtained from field observations, library studies, and interviews. Data analysis is carried out with critical interpretive methods which include reduction steps, classification, interpretation, and making conclusions. The article concludes that Pura Vetaran has a socio-religious function as a means of social interaction, fosters Hindu social solidarity, and socio-political functions to arouse nationalism as concerned with the use of the Garuda Pancasila symbol and the Red and White of national flag.

Keywords: religious symbol, state symbol, nationalism, Hindu religion, Pura Veteran

Abstrak Penelitian ini membahas hubungan simbol agama dan simbol negara pada Pura Taman Suci, juga dikenal dengan nama Pura Veteran, di Desa Tua, Tabanan, salah satu lokasi pertempuran pejuang Bali dalam mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda pada tahun 1946. Selain simbol-simbol agama, di dalam Pura Veteran ini juga terdapat simbol-simbol negara, seperti hiasan Garuda Pancasila, bendera Merah Putih, JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 93 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 dan saran pertempuran bambu runcing. Data dari penelitian kualitatif ini diperoleh dari pengamatan lapangan, studi kepustakaan, dan wawancara. Analisis data dilaksanakan dengan metode interpretatif kritis yang mencakup langkah- langkah reduksi, klasifikasi, interpretasi, dan membuat kesimpulan. Artikel menyimpulkan bahwa Pura Vetaran memiliki fungsi sosio-religius sebagai sarana interaksi sosial, menumbuhkan solidaritas sosial umat Hindu, dan fungsi sosio-politik untuk membangkitkan semangat nasionalisme seperti telrihat dari penggunaan simbol Garuda Pancasila dan bendera Merah Putih.

Kata Kunci: simbol agama, simbol negara, nasionalisme, agama Hindu, Pura Veteran

1. Pendahuluan egera setelah perang Puputan Margarana 1946 berakhir, para Sbekas pejuang Bali mengambil inisiatif mulia untuk mendirikan Pura Pejuang Taman Suci yang juga dikenal dengan nama Pura Veteran. Pura yang dibangun di wilayah pertempuran menghadapi pasukan NICA Belanda di Desa Tua, Kecamatan Marga, itu awalnya dibuat secara sederhana sebagai rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dalam pertempuran melawan tentara Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali. Sekitar tahun 1976, Pura Veteran itu dibangun dengan lebih permanen dan lengkap, namun sempat hancur akibat gempa bumi Seririt tahun 1976. Segera setelah itu, pura ini direnovasi utuk kemudian digelar upacara peresmian dan penyucian ngenteg linggih. Pura ini memiliki beberapa keunikan. Pertama, sejarah dan latar belakang pendiriannya yang bertolak dari rasa syukur para veteran pejuang atas keberhasilan dalam peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kedua, unsur-unsur pura dan ornamennya mengacu pada simbol-simbol agama dan simbol negara seperti burung Garuda, bambu runcing, dan bendera Merah Putih. Ketiga, penamaan pura ini sebagai Pura Veteran, berbeda dengan kelaziman

94 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... walaupun bukan satu-satunya. Artikel ini menganalisis hubungan ideologis dan teologi antara simbol-simbol agama dan simbol-simbol negara di dalam Pura Veteran atau Pura Pejuang Taman Suci. Kajian meliputi uraian ringkas latar belakang pendirian pura, konsep Pura Veteran, fungsi pura, dan konstruksi makna Pura Veteran terutama dalam konteks sosio-politik dan religius.

2. Metode dan Kerangka Teoritik Artikel ini merupakan kajian kualitatif yang datanya dikumpulkan melalui dua sumber yaitu data primer data dan data skunder. Data primer yang dikumpulan dari lapangan yang bersumber dari informan kunci yakni pimpinan Desa Adat Tua, dan informan biasa seperti panitia pembangunan pura, pinandita pura, dan para vetaran dengan mengunakan teknik wawancara dan observasi. Data skunder yaitu data yang diperoleh melalui kajian pustaka, buku, dan hasil-hasil penelitian. Penulis memperoleh data yang akurat mengenai sejarah pendirian Pura Veteran yang berbentuk buku stensilan ditulis oleh para pejuang dengan harapan dapat dianalisi untuk menggambarkan kisah perjuangan berdirinya pura, struktur pura, ornament pura, sarana upacara, pengempon sebagai pelaksana upacara, serta aktivitas-aktivitas upacara dalam hubungannya dengan masyarakat Hindu di Desa Adat Tua dan keluarga para veteran. Analisis data dilakukan dengan metode interpretif kritis terhadap kehidupan sosial keagamaan untuk menjelaskan makna apa di balik sebuah ide pendirian Pura Vetaran. Kaelan (2005:76) berpendapat bahwa peneliti yang sekaligus sebagai interpretator memberikan analisis makna sosio politik dan religious Pura Veteran. Hal ini dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah reduksi data melalui proses berupa hasil wawancara dengan para informan selanjutnya dirangkum dicari subtansi yang penting seperti sejarah pembanguna Pura Veteran serta simbol-simbol burung Garuda Pancasila dan bendera Merah Putih pada bangunan pura, selanjutnya dilakukan klasifikasi data, yaitu dengan mengetahui kandungan JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 95 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 makna sosial, politik perjuangan serta makna keagamaan yang terkandung dalam setiap tindakan sosial masyarakat umat Hindu di Desa Tua dan bagi keluarga veteran. Kajian dimaksudkan untuk memperoleh hubungan makna sosio-religius dan sosiopolitik dari Pura Veteran, dengan memberikan intepretasi, pemaknaan dengan konteks data terutama pada struktur pura, ornamen pura, sarana upacara di Pura Veteran, melalui analisis fungsi dan makna.

3. Latar Belakang Pendirian Pura Vetaran Pura Veteran awalnya didirikan tahun 1946 secara sederhana sesuai dengan kondisi sosial ekonomi yang serba terbatas saat itu. Pura ini dibangun permanen tahun 1976/1977 disertai dengan upacara penyucian (ngenteg linggih). Pada zaman perang kemerdekaan Republik Indonesia 1945/1946, masyarakat Desa Tua secara serentak mengadakan perlawanan dari penindasan kaum penjajah. Pemuda-pemuda pejuang dengan mempertaruhkan jiwa raganya ikut mengambil bagian, karena tak rela tanah airnya kembali diduduki oleh Tentara Belanda (NICA: Nederlandsch Indië Civil Administratie) yang begitu kejam tidak mengenal batas perikemanusiaan. Di Desa Tua masyarakat dan para pejuang berkebulatan tekad melawan tentara Belanda sampai titik darah penghabisan dengan slogan atau mati. Pada tanggal 14 Maret 1946, bertempat di Banjar Tembau Desa Marga terjadi tembak-menembak pasukan pejuang melawan satu Regu tentara NICA dari Tangsi Perean, dan seorang tentara Belanda kena tembak. Tanpa ada perlawanan, musuh dengan segera menyeret kawannya kemudian dilarikan ke tangsi Perean. Diterima laporan bahwa yang kena tembak setelah sampai di tangsi Perean akhirnya menemui ajalnya (Mantra, dkk. 1990:2). Pada tanggal 15 Maret 1946 pagi-pagi buta Desa Marga dikurung secara besar-besaran dari segala penjuru oleh tentara Belanda (Mantra, dkk, 1990 : 2) Akibat kejadian pada tanggal 14 dan 15 Maret 1946, di wilayah Staf Cabang II/M, tidak dapat dihindari pihak tentara Belanda melakukan perbuatan kejam terhadap pemuda-pemuda dan ma­ 96 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... syarakat yang tidak bersalah. Suasana menjadi keruh genting sampai pemuda-pemuda dan masyarakat menjadi sasaran dari pihak musuh, ada yang dipukul dengan popor senjata, ada dibakar hidup-hidup sampai meninggal yang namanya I Made Djigereg dari Desa Tua, dan I Ketut Ubi dari Desa Tua. Selain itu dibawa dan ditahan di tangsi Perean. Oleh karena itu, pejuang mulai melakukan tindakan membasmi mata-mata Tentara Belanda di daerah Desa Tua, Desa Apuan dan sampai ke daerah Penebel yang dipimpin oleh Darsono. Banyak pula para pejuang dari daerah lain berdatangan ke Desa Tua sehingga desa ini dianggap perjuangannya kuat. Berkat kemurahan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melindungi Desa Tua, ada dua orang penduduk yang umurnya sudah tua bernama Pan Sedah sebagai Pamangku Pura Bale Agung Desa Tua dan Nang Radeg dari Desa Tua. Beliau memberi petunjuk dengan spontan disuruh bersembunyi di tanah tegalan yang ditumbuhi ilalang yang lokasinya di sebelah Timur Desa Tua, pula dikatakan tempat itu ajaib (angker). Keangkeran tempat ini diketahui pada saat masyarakat setempat mengadakan gotong royong menyabit alang-alang. Setelah masyarakat selesai menyabit alang-alang tersebut, secara tidak sadar satu pun anggota masyarakat tidak mempuyai keinginan untuk merabas alang-alang di tempat itu seluas kurang lebih 1 x 1 m². Pada waktu membakar sisa atau sampah alang-alang di atas tanah tegalan itu, tepat pada lokasi alang-alang yang masih tumbuh dalam ukuran 1 x 1 m² itu tidak terbakar dan masih utuh padahal api yang ada di sekitarnya sangat besar. Memperhatikan petunjuk dan pengalaman yang diceritakan oleh Pan Sedah kemudian para pejuang bersembunyi dan berlindung di tengah ilalang tersebut, yang terbukti memberikan perasaan tenang dan selamat. Malahan patroli tentara Belanda silih berganti datang di sekitar tempat itu, tidak pernah diketemukan para pejuang yang bersembunyi di sana. Setelah perang Puputan Margarana pada tanggal 20 November 1946 beberapa pejuang yang masih hidup sebagian berkumpul di sana bersama-sama dengan pejuang yang berasal dari daerah Desa JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 97 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 Tua untuk melanjutkan perjuangan di bawah staf Mawar Melati yang dipimpin oleh I Made Pantjer Ardana. Berkat perlidungan Ida Sang Hyang Widhi di tempat yang pernah dipakai persembunyian para pejuang bersama masyarakat membuat upacara dengan kebulatan tekad dalam kegelapan malam memohon kemurahan Tuhan serta menyatakan hati berkaul: “Apabila para pejuang selamat dan penjajah terusir dari tanah air dan Indonesia Merdeka”, maka akan sanggup membangun pura serta mementaskan tontonan sakral selama tiga hari. Namun demikian, perjuangan berjalan terus dengan semangat yang berkobar-kobar, juga tiada lupa dibangunlah turus (tempat suci dari pohon dapdap) sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Setelah negara merdeka kemudian di antara para pejuang yang masih hidup mulai merintis pembangunan palinggih (Pura) secara gotong royong di tempat mereka berkaul. Juga atas partisipasi para pejuang dari daerah lain berdatangan iku membangun menghaturkan bahan bangunan sehingga terwujud pura yang bernama Pura Pejuang Taman Suci (Mantra, dkk., 1990).

4. Konsep Pura Pejuang Taman Suci Dalam teori religinya, Tylor (dalam Koentjaraningrat, 2002: 194-195) menguraikan secara mendalam tentang pengakuan terhadap gejala-gejala yang tidak dapat digambarkan dengan akal, dan munculnya getaran (emosi), kejadian-kejadian yang luar biasa, ataupun manusia menerima suatu wahyu atau firman Tuhan yang mepersatukan mereka. Berdasarkan pemikiran Tylor, bahwa veteran pejuang Bali memperoleh anugerah untuk melakukan tindakan sesuatu, ataupun mereka sebelumnya menyerahkan diri secara tulus ikhlas kepada Tuhan dimana tempat suci itu dibangun, sehingga mereka memperoleh kekuatan, ketenangan dan kerahayuan melawan penjajah, maka didirikanlah Pura Veteran tersebut yang selanjutnya diberi nama Pura Pejuang Taman Suci. Pura Veteran adalah salah satu pura fungsional bagi mereka seperjuangan dalam membela dan mempertahankan negara pada zaman penjajahan Belanda juga sering disebut Pura Veteran. Pura 98 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... Pejuang Taman Suci adalah sebuah tempat suci untuk memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa yang didirikan oleh para mantan pejuang, prajurit dan tentara yang beragama Hindu, atas Anugerah Tuhan pada perjuangannya melawan penjajah. Sesuai dengan konsep pendirian pura, maka sebagai suatu kosmos, terbagi menjadi tiga halaman yang makin ke dalam makin tinggi nilai kesuciannya. Pembagian tiga halaman ini adalah suatu proyeksi dari pada Tribhuwana yaitu, bhuh-loka, bhuwah loka dan swah loka (alam bawah, alam tengah, dan alam atas) (Purwita, 1998:4). Memperhatikan pembagian struktur pura tersebut, maka dapat dijabarkan bahwa Pura Pejuang Taman Suci menganut struktur pembagian tiga halaman yang sering disebut dengan Tri Mandala, yang terdiri dari Utama Mandala (halaman paling tengah/ tinggi/jeroan), Madya Mandala (halaman tengah/jaba tengah), dan Nista Mandala (halaman paling luar/jaba sisi). Pada masing-masing mandala terdapat bangunan-bangunan sesuai tempat dan fungsinya masing-masing. Secara fungsional struktur bangunan palinggih Pura Pejuang Taman Suci terdiri atas: Mandala pertama/ di Jaba sisi terdapat (1) Palinggih Pangubengan, berfungsi sebagai tempat untuk menghadirkan para dewa dari segala penjuru sesuai dengan manifestasinya; (2) pawaregan atau dapur suci tempat mengolah/memasak bahan yang digunakan upacara; (3) Bale Gong tempat menempatkan instrumen . Memasuki Mandala kedua (Madya Mandala) para bhakta melewati Pintu yang terbuka disebut Candi Bentar. Di tempat ini terdapat bangunan seperti Bale Pasandekan yaitu tempat para bhakta untuk beristirahat sejenak utuk mempersiapkan sarana upacara, dan Bale Kulkul (kentongan). Selanjutnya, untuk menuju utama mandala (bagian dalam) para bhakta dapat melewati dua pintu masuk utama disebut kori agung yang di depannya terdapat palinggih apit lawang. Di samping apit lawang inilah yang biasanya ditancapkan dua (2) buah gelanggang bambu runcing sebagai tempat mengikatkan bendera merah putih pada saat upacara piodalan. Di samping barat Kori Agung terdapat pintu (pamletasan) yang dipergunakan oleh para bhakta untuk keluar JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 99 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 setelah persembahyangan selesai di Utama Mandala. Melewati candi kurung (Kori Agung) yang terpahatkan ornament burung Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berbagai atribut sesuai dengan susunan sila-sila Pancasila, antara lain: Bintang, rantai, pohon beringin, kepala banteng, serta padi kapas.

Foto 1. Candi Kurung berisi ornamen burung Garuda Pancasila dan di samping kiri dan kanan ditancapkan bambu runcing yang berisi bendera Merah Putih (Foto: I Wayan Wastawa) 100 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... Memasuki candi kurung ini akan sampai pada Utama Mandala yakni halaman dalam pura, dengan beberapa tempat pemujaan dan sarana penunjang lainnya, di antaranya: 1) Bale pawedan, tempat para pamangku atau sulinggih untuk memimpin upacara. 2) Bale Pemayasan, adalah tempat menghias simbol-simbol Tuhan yang distanakan di Pura Pejuang Taman Suci pada saat upacara akan dilangsungkan, 3) Bale Paruman, berfungsi sebagai tempat menstanakan Ida Bhatara/manifestasi Tuhan dalam wujud berbagai bentuk simbol yang telah dihias untuk diusung ke Taman beji/sumber mata air suci. 4) Palinggih Taksu adalah tempat suci untuk memohon agar segala kegiatan bermakna dengan baik dan menumbuhkan inovasi serta kreatifitas umat manusia, 5) Palinggih Panglurah adalah sthana manifestasi Tuhan sebagai penjaga yang melindungi semua umat dari gangguan wabah penyakit, 6) Palinggih Meru Tumpang dua, sebagai sthana manifestasi Tuhan yang berada di Pura Pucak Padang Dawa, 7) Palinggih Padma Gunung Agung, adalah sthana Tuhan sebagai manifestasinya Naga Basuki yang memberi kemakmuran dan kesejahteraan, 8) Palinggih Padma, sthana beliau yang dimuliakan di Pura Batukaru, sebagai sanghyang Tumuwuh yang memberikan kemurahan sandang dan pangan, 9) Palinggih Padma Pasimpangan Pura Puncak Sangkur dan Pulaki, sthana Tuhan yang menjaga manusia dari gangguan-gangguan makhluk halus dan memberikan perlindungan kepada umat manusia. Secara struktur, maka konstruksi bangunan tempat suci mencerminkan adanya pembeda pada sifat-sifat yang paling sakral dan profan dari fungsi tempat suci secara vertikal maupun horizontal. Sangat jelas bahwa areal Utama Mandala, yaitu suatu tempat yang paling disucikan, yang mana pada areal ini, masyarakat JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 101 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 utamanya para pandita melakukan komunikasi transendetal kepada Tuhan melalui media pemujaan dengan berbagai palinggih dan sarana upacara. Kehidupan sosial yang dibangun di areal ini adalah solidaritas sosial dalam bhakti kepada para dewa.

5. Sistem Kepercayaan Masyarakat Pengempon Pura Pejuang Taman Suci Masyarakat Bali mengenal suwung (kosong), sanghyang embang (kosong) dan sunia (kosong) yang dalam kepercayaan Hindu disebut Çunya-Çiwa (Goris, tt:19). Dari pemikiran inilah masyarakat Hindu di Bali menggambarkan Tuhan dengan berbagai simbol, dengan berbagai seni budaya yang artistik sebagai media untuk memuja Tuhan. Berpijak teori religinya Tylor pada tingkat kedua evolusi religi “bahwa adanya jiwa di belakang peritiwa-peristiwa dan gejala-gejala alam” (dalam Koentjaraningrat, 1987:49), bahwa jelaslah kepercayaan pengempon Pura Pejuang Taman Suci apabila disimak dari sejarah pendirian pura sangatlah masuk akal. Karena pada saat suatu peristiwa terjadi krisis kejiwaan dalam keputusasaan menghadapi penjajah, mereka berada di antara hidup dan mati, maka mereka hanya pasrah dan berserah diri kepada Tuhan. Dalam kepasrahan inilah mereka menemukan kejadian-kejadian luar biasa yang dapat melindunginya dan tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat, sehingga muncul getaran emosi rasa kesatuan yang sama sebagai warga pejuang. Mereka menyampaikan permohonan dan berkaul apabila mereka selamat dan Indonesia Merdeka, maka mereka akan mendirikan tempat suci dilokasi mereka mendapat perlindungan. Di samping pendirian tempat suci, para pejuang tidak lupa memahatkan simbol-simbol Negara seperti Burung Garuda pancasila dan pengibaran Bendera Merah Putih pada setiap upacara. Peristiwa ini memperkuat keyakinan bahwa dengan filosofi lambang Garuda Pancasila dan Merah putih memperkuat kepercayaan untuk mengobarkan semangat perjuangan mereka untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Kepercayaan ini adalah sebagai keyakinan adanya kekuatan luar biasa diluar nalar kemampuan manusia, 102 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... dan percaya akan adanya Tuhan sebagai sumber segala yang ada. Kepercayaan ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan mendirikan Pura Pejuang Taman Suci. Di samping kepercayaan terhadap Tuhan yang berstana di Pura Pejuang Taman Suci, masyarakat pengempon pura yang terbentuk dari keluarga batih atau clan-clan yang berbeda-beda juga memiliki tempat pemujaan masing-masing yang disebut dengan sanggah kamulan sebagai tempat memuja roh leluhur serta memiliki tempat suci yang sifatnya territorial, yakni Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem), dan Pura fungsional termasuk Pura Subak (Pura Bedugul dan Pura Ulunsiwi) sebagai sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya. Berdasarkan kepercayaan dan struktur pura yang ada di Desa Pakraman Tua, maka Pura Pejuang Taman Suci termasuk Pura Swagina (bersifat fungsional), yakni pura yang berhubungan dengan profesi bagi para pejuang. Namun akhir-akhir ini Pura Pejuang Taman Suci diempon atau dipelihara oleh masyarakat Desa Pakraman Tua sebagai pura yang berstatus pura swagina atau pura yang bersifat fungsional.

6. Fungsi Pura Pejuang Taman Suci 6.1 Fungsi Sosio-Religius Masyarakat Hindu di Bali di dalam mendirikan sebuah tempat suci didasarkan atas: pertama, tempat dimana pura itu didirikan; kedua, berdasarkan kelompok/clan masyarakat pendiri pura; ketiga, berdasarkan tujuan didirikannya pura; keempat, berdasarkan situasi dan kondisi lingkungan tempat pura didirikan, kelima, berdasarkan mitos-mitos yang hidup dan dipercaya oleh masyarakat setempat; dan keenam bagaimana proses penskralannya. Agama Hindu mengajarkan bahwa Tuhan itu ada dimana- mana atau dimana-mana ada Tuhan, karena Tuhan tak terpikirkan (acintya), maka itulah masyarakat Hindu memerlukan media untuk menghubungkan dirinya kepada Tuhan seperti tempat pemujaan yang disebut pura. Pura merupakan replika dari kahyangan (swarga). Seperti yang disampaikan Titib (2001:112) “sejak seseorang mulai JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 103 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 memasuki candi bentar/pintu masuk, menuju kori agung sampai jeroan/bagian dalam tempat suci, sesungguhnya seperti seseorang menuju sorga”. Pura sebagai simbol dari sorga sebagai stananya Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya yang senantiasa harus dijaga kesuciannya. Sebagai tempat suci, pura memiliki tatanan atau tata aturan secara etika untuk mendukung kesucian rohani manusia dan meningkatkan vibrasi spiritual dari sebuah pura. Pura difungsikan sebagai tempat persembahyangan dan melaksanakan berbagai upacara untuk menghubungkan diri kepada Tuhan, maka ada beberapa aktivitas keagamaan yang bersifat nitya karma (upacara setiap hari), dan naimitka karma (upacara yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu termasuk upacara piodalan). Upacara yang dilakukan secara regular oleh masyarakat di Pura Pejuang Taman Suci yang dirayakan pada hari Purnama Kapat (bulan penuh pada bulan Oktober) menurut perhitungan kalender Bali yang dihadiri oleh umat Hindu pengempon pura dan para bhakta dari keluarga pejuang kemerdekaan. Sebagai tempat suci Pura Pejuang Taman Suci didirikan dengan berbagai proses upacara pensakralan. Proses pensakralan tempat suci dimaknai sebagai cara untuk menarik kekuatan Ida Sang Hyang Widhi, di samping sebagai cara untuk membersihkan lingkungan dan tempat pura dari pengaruh- pengaruh negatif sehingga menumbuhkan pibrasi spiritual. Pengempon pura adalah mereka yang mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan aktivitas keagamaan di Pura Pejuang Taman Suci yaitu masyarakat Umat Hindu Desa Pakraman Tua dan mereka yang memiliki keterikatan terhadap perjuangan kemerdekaan yakni para anggota Veteran dan keluarganya. Sesuai dengan sejarah berdirinya Pura Pejuang Taman Suci adalah sebagai suatu pemenuhan kaul dari para Pejuang kemerdekaan yang selamat dalam pertempuran, artinya tempat suci ini memiliki fungsi sosial keagamaan, yang mana tempat suci ini dapat mengaktifkan interaksi sosial di antara para veteran yang masih hidup maupun anggota keluarganya, serta interaksi sosial di antara masyarakat desa adat Tua. Interaksi sosial dapat meningkatkan hubungan sosial di 104 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... antara mereka, dan dapat membangkitkan solidaritas sosial. Solidaritas sosial yang dibangun oleh para anggota Vetaran maupun keluarganya, yaitu dengan terus menerus melakukan hubungan kekeluargaan, dengan bersembahyang bersama, serta memberikan bantuan apabila ada pembangunan dan upacara yang diselenggarakan oleh masyarakat desa adat Tua. Menurut I Wayan Merta sebagai Bendesa Adat Tua, dinyatakan bahwa membangun solidaritas sosial masyarakat adat pengempon pura selalu menyampaikan surat undangan kepada keluarga anggota Veteran pada setiap upacara keagamaan. Solidaritas sosial yang dibangun tidak hanya dengan kegiatan upacara, melainkan pula melalui pertunjukkan seni sakral berupa yang menggambarkan perjuangan para pejuang kemerdekaan untuk membela negara kesatuan Republik Indonesia (wawancara, 20 Agustus 2013). Selanjutnya membangun solidaritas dengan para dewa. Hal ini sesuai dengan gagasan ketiga dari Teori W. Robertson Smith tentang Upacara bersaji sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa (Koetjaraningrat, 1987:68). Solidaritas dengan para dewa, dimaknai bahwa para dewa sebagai makhluk suci dan mulia oleh masyarakat pengempon pura yang diimplemntasikan melalui upacara-upacara keagamaan sebagai suatu ungkapan terimakasih atas anugerah yang dilimpahkan, dan sebagai tempat memohon dan mengadu pada saat masyarakat mengalami krisis bhatin. Solidaritas dengan para dewa, juga diaktifkan, bahwa dewa yang bersthana di Pura Pejuang Taman suci sebagai manifestasi Tuhan dianggap bersaudara dengan para dewa yang lainnya. Persaudaraan para dewa dimaknai dalam hubungan satu keluarga besar, ada ibu, ada bapak, ada kakak, adik dan sebagainya. Persaudaraan seperti ini muncul sebagai suatu hubungan sosial kekeluargaan, yang mana antara satu dewa yang bersthana di tempat lain sebagai ibunya dan yang lain sebagai bala putra atau kekuatan-kekuatan dari anak-anaknya (putra kesayangan). Hubungan sosial para dewa seperti ini dapat dilihat dari struktur bangunan yang terdapat di sebuah pura. Hal ini dibuktikan bahwa JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 105 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 di areal suatu pura banyak ditemukan Palinggih Pasimpangan atau stana para dewa, tergantung ke daerah mana pangempon Pura itu memiliki jejak-jejak sejarah religius dengan para dewa penguasa pura yang lainnya. Di samping pula dapat membangun solidaritas dengan para umat Hindu di seluruh Bali, sebagai satu kesatuan keluarga besar yang nyungsung Ida Bhatara sebagai manifestasi Tuhan. Cara seperti ini umat Hindu menganggap dirinya sama di hadapan Tuhan tidak ada pembeda antara status sosial yang lebih tinggi atau yang lebih rendah yang membawa dampak hubungan sosial yang lebih erat sebagai satu kesatuan sosial keagamaan, yakni sebagai umat Hindu atas pemujaan yang sama, yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

6.2 Fungsi Sosial Politik Menurut Max Weber, bahwa Tuhan lokalitas politik kuno hanya eksis dalam perlindungan kepentingan asosiasi pengikut- pengikut politiknya, yang kuat secara universal dan etis (2002:325). Selanjutnya dikatakan Tuhan Kristen pun masih dibentuk sebagai Tuhan Perang dan Bapak kita. Tidak dipungkiri di dalam agama Hindu juga mengenal dewa-dewa perang, seperti Dewa Indra yang dikatakan sebagai dewa perang. dewa-dewa yang lain juga diberikan kedudukan sebagai dewa perang apabila umat manusia mendapat perlindungan dari dewa atas kepentingan yang dicapainya, sehingga mereka mengkultuskan satu dewa sebagai dewa perangnya. Tidak jarang pada zaman global sekarang ini, yang seharusnya manusia lebih banyak berpikir mempergunakan rasionya, namun masih banyak pula manusia berpikir mempergunakan rasa karena mereka tidak kuat dengan krisis bhatinnya sehingga mereka berserah diri kepada Tuhan seraya menyampaikan kaul untuk keberhasilan tujuannya. Dengan demikian tidak jarang pula para politikus mendatangi tempat-tempat suci pada saat mendekati hajatan peilihan umum untuk melaksanakan simakrama dengan masyarakat pengempon pura, seperti calon Bupati Tabanan pasangan calon nomor urut satu Eka-Jaya tahun 2015 melakukan simakrama dengan warga Desa Petiga Kecamatan Marga dalam rangka Upacara 106 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... ngenteg linggih di Pura Desa Pakraman Petiga. Dalam kegiatan tersebut pimpinan desa memohon kepada calon bupati, untuk memberikan bantuan perbaikan jalan menuju pura dan pembuatan parkir apabila berhasil duduk sebagai Bupati Tabanan (News BaliTv, dipublikasikan 28 September 2015). Demikian juga dengan calon wakil Bupati Tabanan dalam persembahyangan di Pura Puseh Batu Aya Desa Pakraman Belulang, Desa Mengesta Kecamatan Penebel- Tabanan, tahun 2014. Walaupun beliau tidak menyampaikan niatnya secara gamblang, tetapi secara komonikasi gestur beliau memohon perlindungan agar pilkada berjalan dengan damai, dan dirinya dapat memimpin Tabanan ke depannya. Atas keberhasilnya, maka beliau membayar kaulnya dengan melakukan persembahyangan dan memberikan bantuan kepada karma pengempon pura. Pendirian Pura Pejuang Taman Suci merupakan representasi dari sosial politik kebangsaan dalam memperjuangkan kemerdekaan negara dari penjajah. Para pejuang secara politik perjuangan telah kehilangan akal, krisis batin, merasa kecil dari dentuman dan gelegar senjata penjajah yang serba modern. Sementara para pejuang mengangkat bambu runcing sebagai senjata mereka, namun mereka tetap bergerak maju dengan semangat perjuangannya mempertahankan negara kesatuan Indonesia. Berdasarkan semangat perjuangan tersebut seraya memohon kepada Tuhan agar mendapat perlindungan di tempat yang dianggap angker dan magis, mereka berkumpul memohon dan berkaul apabila mereka selamat dalam pertempuran dan bangsa Indonesia merdeka, mereka akan mendirikan sebuah Pura di tempat mereka bersembunyi. Kaul ini dikabulkan, maka setelah kemerdekaan Indonesia, Pura itu didirikan dengan solidaritas para Veteran pejuang. Menyimak kisah ini secara sosial politik perjuangan, Pura Pejuang Taman Suci telah dapat mempersatukan jiwa para pejuang untuk mempertahankan martabat dan harga diri bangsa Indonesia. Selanjutnya, dewasa ini Pura Pejuang Taman Suci dapat meningkatkan solidaritas di antara para veteran yang masih hidup maupun di antara keluarga mereka. Pura Pejuang Taman suci JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 107 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 dipakai tonggak sejarah perjuangan leluhur mereka. Demikian pula para pengempon dan masyarakat Desa Adat Tua sangat menghargai dan menghormati para pejuang kemerdekaan dengan memugar, memperbaiki dan selalu memelihara Pura Pejuang Taman Suci. Di sisi yang lain, dalam pembangunan Pura ini untuk mengenang para pahlawan dan atas dasar politik ke-Bhineka- Tunggal-Ika-an dipahatlah replika lambang negara Republik Indonesia Burung Garuda Pancasila menghadap ke depan dan ke belakang pada Candi Kurung pintu masuk ke halaman utama pura. Ini merupakan suatu ideologi politik kebangsaan yang mungkin tidak ada di tempat-tempat suci yang lainnya. Ide pembuatan Lambang Negara Burung Garuda Pancasila di candi kurung ini adalah dari Ir. I Wayan Saden sebagai arsitek pembangunan pura yang dibangun pada tahun 1990 (I Nyoman Mudiana, wawancara 15 September 2013). Di samping Burung Garuda Pancasila, juga terdapat Bendera Merah Putih yang disakralkan dan selalu dikibarkan pada setiap piodalan/hari jadi Pura Pejuang Taman Suci. Hal ini sebagai tanda menumbuhkan jiwa nasionalisme dan tetap membangkitkan semangat perjuangan, untuk mengisi kemerdekaan ini dengan semangat membangun baik mental maupun sepiritual generasi muda.

7. Konstruksi Makna Pura Pejuang Taman Suci 7.1 Relasi Simbol Agama dan Negara Agama tak pernah merupakan metafisika belaka. Bagi agama Hindu bentuk-bentuk, wahana-wahana, dan objek-objek penyembahan diliputi dengan sebuah pancaran kesungguhan moral yang mendalam (Geertz, 2001:50). Berdasarkan pendapat Geertz tersebut, bahwa sebuah simbol tidak hanya berdiri sendiri sebagai makna denotatif apa adanya, melainkan memiliki makna yang tersimpan dibalik simbol sebagai makna konotatif sebuah simbol. Dikatakan pula bahwa yang membentuk sebuah sistem religius adalah serangkaian simbol sakral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur. Bagi mereka yang ambil 108 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... bagian di dalamnya, sistem religius itu tampaknya mempengantarai pengetahuan sejati, pengetahuan tentang kondisi-kondisi sejati (Geertz, 2001:53). Secara konotatif simbol sebagai pengungkapan ide manusia yang terjadi dalam kehidupannya yang mengandung konsep hidup secara menyeluruh, dalam rangka menegakan nilai-nilai sosial dan moralitas bagi masyarakat. Kekuatan sebuah agama dalam menyangga nilai-nilai sosial lantas terletak pada kemampuan simbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia tempat nilai- nilai itu, menjadi bahan-bahan dasarnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah gambaran kenyataan (Geertz, 2001:57). Agama Hindu banyak mempergunakan simbol-simbol sebagai penggambaran sebuah kenyataan, yang dimaknai sakral dan mengandung nilai moral, baik berupa mitos maupun sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini. Demikian pula apabila diperhatikan dengan adanya simbol Burung Garuda (Burung Garuda Pancasila) di candi kurung Pura Pejuang Taman Suci, dan simbol Bendera Merah Putih yang dipergunakan pada saat upacara keagamaan sangat tampak bervariasi dalam kontennya dari kebudayaan agama dengan kebudayaan sebuah negara. Apabila dimaknai secara konotatif maka simbol-simbol negara dengan simbol-simbol agama saling memberi makna yang mendukung nilai-nilai sosial keagamaan dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan dalam rangka mengukuhkan moralitas kebangsaan. Menurut Goris (tt:23) bahwa burung Garuda adalah juga burung Matahari. Garuda dikatakan terbang menopang bagi arwah si mati ke langit. Garuda adalah burung Matahari atau burung Rajawali yang dianggap sebagai lambang dunia atas (Sutaba, 1976,14, Van der Hoop, 1949:1978, dalam Titib, 2001:386). Di dalam Rgveda juga dilukiskan aspek keagungan Tuhan yang Maha Esa dengan berbagai nama atau wujud seperti Agni, Yama, Varuna, Mitra, dan Garutma atau Garuda. Kemahakuasaan-Nya Bagaikan Garuda Keemasan yang menurunkan hujan menganugerahkan kemakmuran (Rgveda 1.164.46,47,52). JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 109 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 Titib (2001: 387-390), beberapa kutipannya menguraikan bahwa, dalam perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia, burung Garuda yang terkenal dalam wiracarita Hindu ternyata mempengaruhi kesenian Indonesia (Stutterheim, 1926:333). Menurut Kempers (Utomo, 2010), hal ini dapat diperhatikan melalui seni pertunjukan dan seni ukir, seperti (1) burung garuda pada kaki arca Visnu dari Candi Banon dan arca Garuda mendukung Dewa Wisnu dari Candi Belahan; (2) pahatan relief garuda di candi Siwa, , candi Kidal, Kedaton, dan , yang pada umumnya mempunyai pertalian yang erat sekali dengan cerita Amrta (air kehidupan abadi) dan sebagai lambang kelepasan atau kebebasan jiwa dari seseorang yang telah meninggal dunia (Sutaba, 1976:4; Hadi, 2006); (3) dalam peninggalan epigrafis, cap atau stempel Garudamukha pertama kali dipakai oleh Sri Maharaja Balitung (808- 910) yang memerintah di Jawa Tengah, selanjutnya burung garuda dijadikan lencana kepala negara terutama yang sangat terkenal adalah cap Garudamukha yang dipakai oleh Prabhu Airlangga (1016-1042). Seterusnya cap Garudamukha juga dipergunakan oleh raja-raja berikutnya di antaranya: Raja Kertajaya dan Raja Kediri yakni Jayabaya. Kitab Adiparwa menguraikan episode kelahiran Sang Garuda serta missi yang diembannya untuk membebaskan ibu kandungnya dari perbudakan atau penjajahan yang dilakukan oleh Sang Kadru (Adiparva, VI), sedangkan di dalam Kakawin Bhomantaka dijelaskan peranan Sang Garuda membantu Sri Kresna yang bertempur menghadapi raja raksasa yang bernama Bhoma. Garuda dengan kibasan sayapnya menyebabkan terpental dan lepasnya mahkota milik Sang Bhoma yang bersisi permata jimat bernama Vijayamala. Vijayamala ini segera diambil oleh Sang Garuda yang menerbangkannya jauh tinggi dan kemudian Sri Kresna berhasil memenggal leher sang Bhoma, kepala dengan wajahnya yang menyeringai jatuh kepangkuan ibu pertiwi (Bhomantaka, CVIII.1-4). Rupanya episode ini mengilhami para arsitek tradisional Bali untuk menempatkan ukiran Bhoma di atas pintu (ambang) kori agung, pintu masuk sebuah pura (Titib, 2001: 388-389). 110 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... Sebuah mantra atau stava yang disebut Garudeyamantra, yang pertama kali ditemukan di Puri Kerajaan Cakranegara, Lombok dan telah diedit oleh Juynboll (1927) yang dikutip pula oleh Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya 6000 Tahun Sang Merah Putih (1954:130). Burung Garuda yang dilihat dari penampilannya sesuai terjemahan mantra di atas disebut sebagai burung merah putih yang di dalam bahasa sanskerta disebut “Sveta-rakta-khagah”. Di Bali wujud burung Garuda juga dijumpai pada bangunan-bangunan seperti di belakang bangunan suci padmasana, gedong bata, bade (menara pengusung Jenazah dalam upacara ngaben), pada “tugeh” (tiang penyangga atap puncak) pada bangunan bale dangin, bahkan dalam sesajenpun, khususnya “ banten pasucian”, dalam tingkatan upacara yang besar terdapat sesajen bernama “Banten Garuda”. Juga banten pengesoring Surya dan ulam babangkitpun menurut Lontar Kunadrstaprakrtti menggunaklan sate berbentuk Garuda (Titib, 2001:389-390). Sangat menarik untuk dimaknai dari simbol Garuda dan Bendera Merah Putih yang ada di Kori Agung Pura Pejuang Taman Suci. Pahatan dengan pegambaran burung garuda tidak hanya ada di Kori Agung melainkan juga terdapat di belakang palinggih padmasana pasimpangan Ida Bhatara Gunung Agung dan di belakang palinggih pamayasan. Burung Garuda ini adalah sebagai simbol Vahana dari Deva Wisnu. Berbeda halnya dengan pahatan Burung Garuda yang ada pada Kori Agung, baik yang tampak dari depan maupun yang tampak dari belakang. Pahatan Burung Garuda ini adalah merupakan lambang dari Negera Republik Indonesia, karena tampak jelas terpahat gambar bintang di tengah-tengah dada Burung Garuda, walaupun pahatan kepala banteng, rantai, padi kapas dan pohon beringin tidak tampak. Penempatan pahatan relief Burung Garuda di koring agung Pura Pejuang Taman Suci merupakan sebuah Ide dari seorang arsitek lokal yaitu Ir. I Wayan Saden tahun 1990.

JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 111 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120

Foto 2. Palinggih Pasimpangan Pucak Bukit Sangkur, tempat dikibarkannya Bendera Merah Putih pada waktu upacara piodalan (Foto: I Wayan Wastawa)

Kontruksi makna burung Garuda sebagai lambang negara pada kori agung memunculkan suatu pertanyaan, apakah ini merupakan suatu suatu hegemoni negara atas agama. Emile Durkheim, melihat agama tidak lain merupakan sistem keyakinan dan praktik terhadap hal-hal yang sakral, yakni keyakinan dan praktik yang

112 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... membentuk suatu moral komunitas pemeluknya. Moral komunitas ini memperlihatkan bahwa agama berfungsi sebagai perekat atau kohesi sosial antara satu sama lain yang mengintegrasikan manusia ke dalam satu ikatan moral yang kolektif (Abdullah, dkk ed., 2008: 3-4). Lambang atau simbol secara struktural dapat menimbulkan konsensus agama guna mengintegrasikan manusia ke dalam satu ikatan moral yang kolektif seperti disampaikan Durkheim. Korelasi makna yang muncul dari Burung Garuda di candi kurung Pura Pejuang Taman Suci adalah adanya sumber-sumber pustaka baik dalam bentuk cerita dan relief-relief seperti telah diuraikan di atas. Dalam konteks makna teologis agama bahwa relief Burung Garuda yang dipahatkan di atas hiasan bhoma, memiliki korelasi yang diambil dari cerita Bhomantaka seperti telah disebutkan di atas, sebagai tanda kekuasaan Garuda terhadap Bhoma (bhumi). Sedangkan pahatan gambar bintang pada dada burung Garuda secara konotatif adalah melambangkan bahwa menjujung tinggi sikap keagamaan para pejuang yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan sila pertama Pancasila. Menurut Clifford Geertz kebudayaan adalah sebagai suatu pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis. Juga budaya merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan (Abdullah, 2002:2 dalam Sutiyono, Abdullah ed., 2008:162). Dalam konteks budaya upacara di Pura Pejuang Taman Suci penggunaan simbol kenegaraan berupa bendera Merah Putih merupakan suatu simbol yang digunakan media berkomunikasi kepada semua pengempon pura dan para penerus para Veteran bahwa dahulu di lokasi tersebut sebagai tempat menyusun strategi perjuangan dan simbol jiwa nasionalisme para pejuang. Bendera Merah Putih secara denotatif adalah lambang negara yang terdiri dari kain merah dan putih. Sedangkan secara konotatif merupakan JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 113 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 simbol perjuangan yang berani mati (simbol warna merah) dengan ketulusan hati yang bersih berjuang untuk negara Merdeka (disimbolkan dengan warna putih). Ide memakai bendera Merah Putih sebagai bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki korelasi dengan simbol Burung Garuda. Dengan demikian sangat jelas adanya korelasi simbol agama dengan simbol-simbol negara yang dipergunakan di Pura Pejuang Taman Suci. Sebagai konstruksi budaya Burung Garuda dan Bendera Merah Putih dimaknai sebagai ideologi bangsa Indonesia berdasarkan pengalaman dan latar belakang sosial budaya masyarakat Indonesia untuk berjuang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

7.2 Makna Pengorbanan para Veteran dan Masyarakat Hindu Pada kisah Mahabharata Krisna mengajarkan kepada Arjuna tentang arti pengorbanan, dimana pada saat itu Arjuna kebingungan dan bertanya kepada Krisna “Bila Engkau beranggapan bahwa jalan ilmu pengetahuan lebih mulia dari pada jalan kegiatan, wahai Janārdana (Krsna), lalu mengapa Engkau menyuruhku untuk melakukan kegiatan yang kejam ini wahai Kesawa”? (Bhagavadgita, III-1). Dengan pertanyaan Arjuna seperti itu, maka Krisna berusaha menjelaskan tentang arti sebuah pengorbanan “Kecuali kerja yang dilakukan sebagai dan untuk tujuan pengorbanan, dunia ini terbelenggu oleh kegiatan kerja. Oleh karena itu, wahai putra Kunti (Arjuna), lakukanlah kegiatanmu sebagai pengorbanan itu dan jangan terikat dengan hasilnya” (Bhagavadgita III-9). “Dahulu kala, Prajapati menciptakan manusia bersama-sama dengan pengorbanan dan berkata: “dengan ini semoga engkau akan berkembang biak dan biarlah ini menjadi sapi perahmu” (Bhagavadgita III-10). “Oleh karena itu, tanpa keterikatan, lakukanlah selalu kegiatan kerja yang harus dilakukan, karena dengan melakukan kerja tanpa pamrih seperti itu membuat manusia mencapai tingkatan tertinggi” (Bhagavadgita, III-19).

114 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... Pembebasan keterikatan jelaslah melalui kerja atau pengor­ banan. Pendirian Pura Pejuang Taman Suci adalah sebuah pe­ ngorbanan dari niat suci untuk dapat mengusir penjajah dari tanah pertiwi Indonesia, agar bebas dari segala penindasan penjajah. Makna sebuah pengorbanan dan perjuangan berdasarkan niat suci dan demi melanjutkan perjuangan, maka para Veteran pejuang memperingatinya dengan membangun sebuah tempat suci yang disebut Pura Pejuang Taman Suci atau sering disebut dengan nama Pura Veteran. Upacara Keagamaan (piodalan) di Pura itu adalah bermakna untuk selalu mengobarkan semangat generasi muda untuk berjuang dan berkorban demi nusa dan bangsa Indonesia. Hal ini tidak mengecilkan dan memprofankan, ataupun melecehkan simbol-simbol agama Hindu, karena semua itu merupakan sebuah inspirasi dan realitas yang lahir dari ideologi umat Hindu yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu.

7.3 Makna Teologi Politik Pura Pejuang Taman Suci Ada banyak batasan atau definisi teologi sebagaimana uraian berikut ini; teologi secara harfiah berarti teori atau studi tentang Tuhan. Dalam praktik, istilah ini dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran individu (Maulana dkk, 2005 dalam Donder, 2009:166). Theologi atau dalam bahasa Sanskerta Brahmavidya atau Brahma Tatwa Jñana adalah ilmu tentang Tuhan (Pudja, 1984:14). Sedangkan istilah politik berarti: (1) pengetahuan/mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan; (2) segala urusan atau tindakan, seperti kebijakan, siasat, dan sebagainya, mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; dan (3) cara ber­ tindak, dalam menghadapi atau menanganu suatu masalah atau ke­ bijaksanaan (KBBI, 2001 dalam Santoso & Priyanto, 2010:4). Politik selalu dikaitkan dengan kekuasaan. Penggalangan kekuasaan dan penegakkan terhadap keyakinan-keyakinan politik bisa dilakukan lewat beberapa cara: yang pertama dan paling mudah dipahami adalah mencari kekuasaan lewat kekerasan (Thomas & Wareing, 2007:52). JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 115 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 Apabila diperhatikan definisi teologi dengan politik adalah dua kata yang sama sekali tidak ada korelasinya, karena teologi berhubungan dengan Tuhan sedangkan politik disepadankan dengan sistem pemerintahan sebuah negara, dan atau pula memperoleh kekuasaan dengan kekerasan. Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa sebagai negara dan bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, segala sesuatu dihubungkan dengan kepercayaan terhadap Tuhan. Segala sesuatu aktivitas dihubungkan dengan Tuhan tak terkecuali adalah politik. Kekuasaan juga tidak terlepas dengan agama, kadangkala agama dipakai meraih kekuasaan, sehingga muncul agama mayoritas dan agama minoritas. Agama dipakai pembalut kekuasaan, seperti penggunaan simbol- simbol agama, dan atau ayat-ayat kitab suci tertentu dipaksakan kepada masyarakat yang notabene menganut pluralitas agama. Di sisi lain dalam panggung politik dewasa ini, bahwa untuk mencapai kekuasaan tidak jarang juga menggunakan sarana- sarana tempat ibadah, hari-hari raya keagamaan sebagai suatu ajang pencitraan partai politik maupun kandidat calon pemimpin, dimana sifat kesakralan sebuah agama ditarik pada hal-hal yang profan, seperti masimakrama dengan dalih sembahyang bersama mengumbar janji-janji politiknya di tempat-tempat suci, untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya kehadapan Tuhan. Dengan demikian teologi telah mengambil peran dalam politik, baik politik pencitraan maupun politik yang didasarkan atas perjuangan untuk pembebasan. Seperti dinyatakan Donder (2009), yang berhubungan dengan teologi sosial, yang memiliki sasaran aksiologis untuk mewujudkan masyarakat yang religius atau masyarakat yang berketuhanan. Demikian pula halnya dengan teologi politik, yang juga memiliki sasaran aksiologis untuk mewujudkan masyarakat, dan pemegang kekuasaan yang religius, mengayomi kebebasan beragama bagi masyarakatnya, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pergerakkan perjuangan untuk Indonesia merdeka oleh para pejuang juga tidak terlepas dengan hubungan teologi pembebasan melalui perjuangan pergerakan melawan penjajahan yang ingin 116 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... menghacurkan sistem politik ketatanegaraan Republik Indonesia. Salah seorang pamangku (orang suci Hindu) yang usianya telah lanjut bernama Pan Sedah Pamangku Pura Bale Agung Desa Tua, ikut memberi andil perjuangan para pejuang dengan memberikan spirit perjuangan agar para pejuang tidak putus asa dan mundur dari pertempuran. Pan Sedah, dengan keyakinannya bahwa para pejuang akan memperoleh perlindungan dari Tuhan, sehingga disuruh bersembunyi di hamparan alang-alang yang diyakini angker. Dalam hal ini Pan Sedah sebagai seorang pamangku pura mengambil peran sebagai motivator kepada para pejuang. Para tentara Belanda yang lalu-lalang di sekitar alang-alang tersebut tidak menemukan persembunyian para pejuang. Dengan demikian, sebuah keyakinan yang irrasional ikut bermain dalam sebuah perjuangan antara hidup dan mati. Hal ini berarti bahwa Tuhan yang diyakini ikut memegang peranan dalam perjuangan tersebut, sehingga keyakinan kepada Tuhan dalam perjuangan adalah sebagai teologi politik perjuangan pembebasan bangsa dan negara dari penjajah asing, yang menindas dan membunuh masyarakat yang tidak berdosa. Selanjutnya kepercayaan kepada Tuhan sebagai ideologi teologis dalam perjuangan dimaknai oleh para pejuang sebagai penyelamat mereka, sehingga para pejuang berjanji dan berkaul akan mendirikan sebuah tempat suci sebagai sthana Tuhan yang telah memberikan rasa aman dan keselamatan kepada mereka di tempat dimana mereka bersembunyi, dan tempat suci itu selanjutnya diberi nama “Pura Pejuang Taman Suci”. Hal ini, Menurut Tuner tentang “prosesual simbolik”, yaitu kajian mengenai bagaimana simbol menggerakkan tindakan sosial dan melalui proses yang bagaimana simbol memperoleh dan memberikan arti kepada masyarakat dan pribadi (Abdullah, 2002, dalam Sutiyono, 2014). Seturut dengan pendapat Abdullah di atas, bahwa penggunaan simbol-simbol negara pada bangunan suci Pura Pejuang Taman Suci adalah sebagai penggerak tindakan sosial para pejuang untuk memberikan arti perjuangan. Dalam hal ini, bahwa pergerakan pejuangan sebagai tanda teologi politik, yang bermakna adanya JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 117 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 peran serta agama (Tuhan) dalam perjuangan bangsa untuk merdeka atau juga bisa dikatakan sebagai teologi pembebasan dari tekanan para penjajah.

8. Simpulan Secara struktur Pura Pejuang Taman Suci merupakan simbol kosmos, yaitu simbol bhuana agung atau alam semesta yang terbagi menjadi tiga tingkatan secara vertikal adalah suatu proyeksi dari Tribhuwana yaitu, bhuh loka, bhuwah loka, dan swah loka. Secara fungsional Pura Pejuang Taman Suci berfungsi sebagai pura swagina, yang didirikan oleh veteran pejuang untuk penghormatan atas anugerah Hyang Widhi memberikan keselamatan dan ke­ sejahteraan terhadap perjuangan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara sosioreligius pura ini berfungsi sebagai tempat me­ lakukan interaksi sosial diantara para veteran seperjuangan, sa­ nak keluarga dan masyarakat Desa Pakraman Tua pada umumnya dalam membangkitkan solidaritas sosial, maupun membangun solidaritas kepada para dewa. Pura ini memiliki fungsi sosial politik, untuk membangkitkan jiwa nasionalisme dalam mempertahankan persatuan serta martabat bangsa Indonesia, maka di pura ini simbol- simbol negara diadopsi sebagai simbol perjuangan suci berdasarkan jiwa keagamaan. Makna Pura Pejuang Taman Suci, dapat dilihat pada pola relasi simbol agama dan simbol negara yang mengandung makna nilai-nilai moral dan disakralkan, serta mendukung nilai-nilai sosial keagamaan. Makna pengorbanan yang tulus ikhlas dipersembahkan kepada Nusa dan Bangsa. Terdapat pula makna teologi politik, yang dibuktikan dengan seorang pemangku (pendeta) juga memiliki andil sebagai motivator kepada para pejuang. Munculnya ideologi teologis untuk menyerahkan diri kepada Tuhan, karena Tuhan dianggap mengambil peran utama sebagai penyelamat dalam perjuangan tersebut. Berdasarkan gagasan teologis itu, maka dibangunlah Pura Pejuang Taman Suci sebagai tonggak peringatan perjuangan para veteran. 118 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 Hlm. 93—120 Pura Veteran: Hubungan Makna Simbol Agama dan Negara ... DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I. Edd. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdullah, I. 2002. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Donder. I. K. 2009. Teologi Memasuki Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah Tentang Tuhan Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya: Paramita.

Geertz, C. 2001. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Goris. Tt. Kepercayaan Orang Bali.

Hadi, Y. S. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Pustaka.

Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta

Thomas, L., & Wareing, S. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mantra, I. B. dkk. 1990. Stensilan. Sejarah Singkat Palinggih Pura Pejuangan Taman Suci Desa Tua, Kecamatan Marga, kabupaten Daerah Tk II Tabanan: Tua-Marga.

Pudja, G. 1984. Sraddha. Jakarta: Mayasari.

Santoso, P., & Priyanto, A. 2010. Kajian pengujian bahan aditif semen untuk aplikasi konservasi dan pemugaran candi. Jurnal Konservasi Cagar Budaya, 4(1), 45-54.

Stutterheim, WF. 1926. Van Java Cultuurgeschiedenis di Beeld. Leiden: Weltevreden.

JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019 119 I Wayan Wastawa, I Ketut Sudarsana Hlm. 93—120 Sutiyono, A. 2014. Kearifan budaya Jawa pada ritual keagamaan komunitas Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) di Desa Adipala dan Daun Lumbung Cilacap. Semarang: UIN Walisongo

Thomas, L. & Waering, W. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Titib, I M. 2001. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Utomo, B. B. 2010. Atlas Sejarah Indonesia Masa Klasik (Hindu-Buddha), Dirjen Sejarah dan Purbakala, 2010: Atlas Sejarah Indonesia Masa Klasik (Hindu-Buddha) (Vol. 1). Bukupedia.

Weber, M. 2002. Sosiologi Agama. Djokdja: IRCiSoD.

120 JURNAL KAJIAN BALI Vol. 09, No. 01, April 2019