Pejuang Veteran ANTARA PENGHAYATAN NILAI KEPAHLAWANAN DAN KEMANDIRIAN HIDUP

B2P3KS PRESS 2020

B2P3KS PRESS Warto

PEJUANG VETERAN : ANTARA PENGHAYATAN NILAI KEPAHLAWANAN DAN KEMANDIRIAN HIDUP

B2P3KS PRESS Yogyakarta B2P3KS PRESS Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Pejuang Veteran: Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup. Yogyakarta, B2P3KS Press. 88 halaman, 24 x 16 cm

Konsultan : Dr. Istiana Hermawati, M.Sos Peneliti : Warto Editor : Erwan Agus Purwanto Litkayasa : Sugiyatma

ISBN : 978-979-698-482-4

Cetakan Pertama, 2020

Diterbitkan oleh : B2P3KS Press Jl. Kesejahteraan Sosial Nomor 1, Sonosewu, Yogyakarta Telp. (0274) 377265, 373530 Fax (0274) 373530 Email: [email protected] Anggota IKAPI DIY

Copyright @ 2019 Penulis Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang All right reserved PENGANTAR PENERBIT

B2P3KS Press kali ini menerbitkan buku berjudul “Pejuang Veteran: Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup.” Buku ini merangkum hasil penelitian yang fokus mengkaji keberadaan sosok pejuang veteran di Kabupaten Bantul. Dalam kajian ini dikupas karakteristik pejuang veteran, penghayatan atas nilai kepahlawanan, dan kemandirian hidup mereka. Atas selesainya penelitian hingga penerbitan buku yang merangkum hasil kajian tema tersebut penerbit memberikan apresiasi, dan atas kepercayaan peneliti untuk menerbitkan karya hasil penelitian kami ucapkan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkompeten.

Penerbit B2P3KS Press

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup iii PENGANTAR EDITOR

Penelitian Saudara Warto ini pada dasarnya mengkaji pejuang veteran dalam penghayatan nilai kepahlawanan dan kemandirian hidup mereka. Penelitian bertujuan mendeskripsikan penghayatan atas nilai kepahlawanan dan kemandirian hidup pejuang veteran. Hasil kajian diharapkan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan berkait dengan pembinaan kemandirian pejuang veteran dan penanaman nilai kepahlawanan pada generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bantul D.I. Yogyakarta dengan informan pengurus LVRI Cabang Bantul dan responden anggota organisasi pejuang veteran tersebut. Hasil penelitian menunjukkan, pejuang veteran di Kabupaten Bantul memiliki karakteristik mayoritas laki-laki, berusia 61 hingga 95 tahun, terbanyak berpendidikan SD atau SMP sederajat, semua bekerja produktif, mayoritas menjadi pengurus LVRI cabang/ranting ataupun pengurus organisasi sosial kemasyarakatan, dan jenis keveteranan terbanyak adalah veteran pembela kemerdekaan. Pejuang veteran memiliki penghayatan atas nilai kepahlawanan secara memadai. Nilai kepahlawanan yang dihayati pejuang veteran diimplementasikan dalam hidup bermasyarakat. Mereka yang berusia lanjut ternyata masih memiliki kemandirian yang memadai, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup secara material, spiritual, dan secara sosial. Hasil penelitian diharapkan memberi kontribusi sebagai bahan pertimbangan bagi Kementerian Sosial cq Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial serta lembaga lain berkompeten dalam menentukan kebijakan baik berkait dengan regulasi maupun pelaksanaan di lapangan tentang pendayagunaan pejuang veteran dalam pelestarian nilai kepahlawanan dan kejuangan bangsa . Editor berharap, terbitnya buku ini dapat memperkaya perbendaharaan khasanah ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan tentang nilai kepahlawanan dan pejuang veteran dalam kaitan dengan kemandirian hidup.

Editor

iv Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i PRESTO ERSTO / ISBN / KDT ...... iI PENGANTAR PENERBIT ...... iii PENGANTAR EDITOR ...... iv DAFTAR ISI ...... v DAFTAR GRAFIK ...... iv

BAB I URGENSI KAJIAN POTENSI PEJUANG VETERAN 1 BAB II NILAI KEPAHLAWANAN DAN KEMANDIRIAN DALAM PERSPEKTIF PUSTAKA ...... 7 A. Nilai Kepahlawanan ...... 7 B. Kemandirian ...... 14 C. Pejuang Veteran ...... 17 D. Kerangka Pikir ...... 23 E. Batasan Pengertian ...... 25 BAB III METODE PENELITIAN ...... 27 A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ...... 27 B. Penentuan Lokasi Penelitian ...... 28 C. Penentuan Sasaran Subyek Penelitian ...... 30 D. Teknik Pengumpulan Data ...... 30 E. Pengolahan Data ...... 35 F. Analisis Data ...... 36 BAB IV HASIL PENELITIAN ...... 37 A. Gambaran Umum Kabupaten Bantul ...... 37 B. Analisis Data ...... 44

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup v 1. Karakteristik Responden ...... 44 2. Penghayatan Pejuang Veteran Atas Nilai Kepahlawanan ...... 55 3. Kemandirian Pejuang Veteran ...... 72 C. Pembahasan Hasil Analisis Data ...... 78 BAB V PENUTUP ...... 81 A. Kesimpulan ...... 81 B. Rekomendasi ...... 82 PUSTAKA ACUAN ...... 85 INDEKS ...... 88

vi Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup DAFTAR GRAFIK

Grafik hal 1. Responden Berdasar Usia ...... 46 2. Responden Berdasar Tingkat Pendidikan ...... 47 3. Responden Berdasar Pekerjaan/Jenis Usaha ...... 48 4. Responden Berdasar Jabatan dalam Kepengurusan LVRI ...... 50 5. Responden Berdasar Jabatan dalam Masyarakat ...... 52 6. Responden Berdasar Jenis Keveteranan ...... 53 7. Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Militansi ...... 56 8. Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Gagah Berani ...... 58 9. Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Rela Berkorban ...... 60 10. Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Percaya Kemampuan Sendiri ...... 62 11. Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Bertanggung Jawab 64 12. Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Bercita-Cita Tinggi 65 13. Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Berwibawa ...... 67 14. Responden Berdasar Penghayatan atas Kepribadian Kuat ...... 69 15. Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Menghimpun Semangat Juang ...... 71 16. Responden Berdasar Kemandirian dalam Pemenuhan Kebutuhan Material ...... 73 17. Responden Berdasar Kemandirian dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual ...... 75 18. Responden Berdasar Kemandirian dalam Pemenuhan Kebutuhan Sosial ...... 76

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup vii

BAB I URGENSI KAJIAN POTENSI PEJUANG VETERAN

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, merupakan jasa dari para pahlawan kusuma bangsa. Mereka secara silih berganti terus berjuang demi tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberhasilan mempertahankan kemerdekaan tersebut juga tidak terlepas dari perjuangan rakyat semesta. Perjuangan rakyat pada berbagai daerah di Indonesia dalam upaya mengusir penjajah untuk mempertahankan kemerdekaan, telah memberi gambaran kepada generasi muda bahwa sebegitu menggeloranya semangat juang dan jiwa kepahlawanan bangsa kita. Sebagaimana disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dirumuskan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan edisi ke-2 (1996: 715), bahwa pahlawan dimaknai sebagai seseorang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani. Sementara kepahlawanan adalah perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban. Mereka sebagai warga negara Republik Indonesia yang berjuang dan berjasa membela bangsa dan negara serta yang dalam riwayat hidupnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Atas dasar pengertian terebut dapat ditegaskan, bahwa pahlawan dan atau pejuang adalah seseorang yang dengan gagah berani berjuang untuk membela kebenaran dan kemaslahatan agama, negara, bangsa, dan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan disebutkan, gelar kepahlawanan adalah penghargaan negara yang diberikan kepada seseorang yang telah gugur atau meninggal dunia atas perjuangan, pengabdian, darmabakti, dan karya yang luar biasa kepada bangsa dan negara. Disebutkan pula, bahwa pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di daerah sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang gugur atau meninggal dunia dalam membela bangsa dan negara atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 1 pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Perjuangan dan perlawanan mengusir penjajah dalam upaya mempertahankan kemerdekaan tersebut juga dilakukan oleh warga masyarakat Yogyakarta, tidak terkecuali masyarakat Kabupaten Bantul yang menjadi lokasi penelitian ini. Menurut Syahrowardi (95 tahun) selaku ketua Legiun Veteran Republik Indonesia Cabang Kabupaten Bantul, bahwa perjuangan atau perlawanan rakyat waktu itu utamanya bermodal do’a dan semangat juang yang menggelora dengan prinsip rawe-rawe rantas, malang- malang putung. Menurut Sagimun sebagaimana dikutip Warto (2016:218) rawe-rawe rantas, malang-malang putung, yang secara tersurat berarti semua yang merintangi akan diberantas dan semua yang menghalangi akan dipatahkan. Sementara secara tersirat bermakna, bahwa dalam berperang atau melawan/mengusir penjajah tidak ada kata menyerah (pantang menyerah) sampai titik darah penghabisan, sekalipun harus berkorban pikiran, tenaga, harta benda, bahkan nyawa. Ungkapan lokal yang merupakan semboyan masyarakat setempat pada masa itu mampu menggerakkan dan mengobarkan semangat juang rakyat Yogyakarta khususnya masyarakat Bantul dalam mengusir pendudukan kembali penjajah Belanda. Semboyan rawe-rawe rantas, malang-malang putung berlaku hingga pada saat sekarang dan masih melandasi daya perjuangan bangsa dan pengabdian warga masyarakat Bantul dalam berbagai aspek kehidupan. Sudah barang tentu perjuangan dan pengabdian masyarakat pada era saat ini adalah mengisi kemerdekaan dengan melaksanakan pembangunan dalam segala bidang, baik pembangunan bidang prasarana sarana fisik, mental psikis, maupun pembangunan bidang sosial kemasyarakatan. Keberhasilan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia tentunya tidak terlepas dari kontribusi besar dari segenap pahlawan dan pejuang bangsa, termasuk partisipasi dan andil para pejuang veteran, yang sampai saat ini sebagian masih hidup dan dapat menikmati hasil perjuangan dengan ikutserta mengisi kemerdekaan. Para pejuang veteran sebagai bagian dari generasi pewaris cita-cita bangsa yang selama berjuang pada era pasca proklamasi tentu pernah mengalami pahit getirnya dalam melaksanakan perjuangan. Karena

2 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup sangat terbatasnya persenjataan, pejuang ini selalu berpindah dari satu daerah ke daerah lain dengan siasat perang gerilya. Menurut Peter Carey (2015: 306) taktik yang digunakan dalam perang gerilya adalah bersembunyi di rerumputan tinggi di sisi jalan yang akan dilewati musuh, lalu menyerang dalam formasi setengah lingkaran, yakni prajurit yang bersembunyi dalam posisi tiarap menembakkan bedil ke arah musuh yang diserang dari depan dan kedua sayap. Mereka berjuang tanpa pamrih untuk pribadi ataupun golongan kecuali mempertahankan wilayah dan kedaulatan negara Indonesia. Pengalaman berjuang mempertahankan kemerdekaan tentunya membuat para pejuang veteran sangat memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kepahlawanan dalam hidup sehari-hari, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Pernyataan lain, sebagai orang yang pernah berjuang mempertahankan kedaulatan negara pasca proklamasi, pejuang veteran semestinya dapat mengimplementasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam kehidupan sehingga menjadi suatu keteladanan. Perihal ini senada dengan pernyataan Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial pada booklet Peringatan Hari Pahlawan 2019 menyebutkan, para pahlawan diharapkan dapat menumbuhkan inspirasi kepada generasi muda penerus cita-cita bangsa bahwa semangat juang para pendahulu dari pendiri bangsa dapat diteladani dan diimplementasikan pada masa kini dalam bentuk perjuangan yang lain. Generasi penerus cita-cita bangsa terutama yang berada pada posisi pimpinan ataupun masyarakat lokal hendaknya meneladani sikap, perilaku, dan tindakan para pejuang yang sarat dengan nilai kepahlawanan. Sebagaimana ditegaskan Purwadi dan Megandaru W Kawuryan (2016: 223), seorang pemimpin atau tokoh masyarakat misalnya, dalam memperjuangkan hak-hak rakyat harus penuh keberanian. Dalam melaksanakan pengabdian pada masyarakat hendaknya dilakukan secara ikhlas dan tanpa pamrih untuk kepentingan suatu kelompok apalagi hanya untuk kepentingan pribadi. Dalam berperilaku atau bertindak keseharian, senantiasa menunjukkan suatu keteladanan seperti keluhuran budi pekerti dan bermoral baik, yang pantas dicontoh oleh warga masyarakat di lingkungan setempat. Sikap perilaku dan tindakan kepahlawanan pemimpin seperti dikemukakan sangat dibutuhkan pada saat ini untuk memberi keteladanan masyarakat yang cenderung

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 3 berperilaku negatif karena pengaruh berbagai faktor luar sebagai dampak era kesejagadan (globalisasi). Sebagaimana dikemukakan Warto (2016:224), bahwa nilai kepahlawanan yang diwariskan Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa hingga saat ini masih memberi semangat pengabdian generasi muda. Dicontohkan, bahwa “Dipo Ratna Muda” sebagai nama Karang Taruna di Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, ternyata merupakan penggalan nama Diponegoro dan istrinya Ratnaningsih. Penggunaan nama tersebut ternyata mampu memberi motivasi pengabdian pemuda pemudi di Guwosari yang nama desa ini juga merupakan penggalan nama Guwo (goa Selarong sebagai markas perang Diponegoro) tersebut untuk lebih berprestasi. Karang Taruna “Dipo Ratna Muda” terbukti pernah menjadi juara nasional dua kali yakni pada tahun 2009 dan tahun 2016. Berdasar data yang dicatat Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) cabang Kabupaten Bantul, jumlah pejuang veteran di wilayah kabupaten ini pada tahun 2019 sebanyak 477 orang. Sementara keberadaan janda/duda pejuang veteran bahkan lebih banyak yakni berjumlah 634 orang. Mereka rerata berusia antara 61 hingga 95 tahun, sehingga dapat dipastikan bahwa pada masa mendatang para pejuang veteran di Kabupaten Bantul ini berangsur-angsur secara alami akan terus semakin berkurang, bahkan suatu saat akan mengalami “kepunahan”. Mencermati kondisi di lapangan, yakni dengan terus semakin berkurangnya jumlah para pejuang veteran karena usia tersebut, maka dirasa perlu untuk menggali berbagai potensi yang ada pada diri mereka. Di antara cara menggali potensi tersebut adalah dengan mengungkap dan mendeskripsikan/ mengkaji karakteristik pejuang veteran, penghayatannya atas nilai-nilai kepahlawanan, dan aspek kemandirian mereka selaku mantan pejuang. Atas dasar latar belakang sebagaimana diuraikan, maka penelitian dengan tema “Pejuang Veteran: Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup” penting dilakukan. Penelitian ini menetapkan tiga permasalahan yang selanjutnya diformat dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu: 1) Bagaimana karakteristik pejuang veteran di Kabupaten Bantul. 2) Bagaimana penghayatan nilai kepahlawanan

4 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup diimplementasikan oleh pejuang veteran dalam kehidupan sehari-hari. 3) Bagaimana kemandirian hidup pejuang veteran di Kabupaten Bantul. Sementara tujuan yang dicapai dalam penelitian ini yaitu: 1) Diketahui karakteristik pejuang veteran di Kabupaten Bantul. 2) Diketahui penghayatan nilai kepahlawanan yang diimplementasikan oleh pejuang veteran dalam kehidupan sehari-hari. 3) Diketahui gambaran kemandirian hidup pejuang veteran di Kabupaten Bantul. Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat ganda yakni manfaat secara praktis dan manfaat secara teoritis. Hasil penelitian ini secara praktis dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Kementerian Sosial cq Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial serta berbagai pihak yang berkompeten dalam upaya mewariskan dan menanamkan nilai-nilai kepahlawanan kepada generasi muda untuk meningkatkan kemandirian mereka. Sementara manfaat secara teoritis hasil berupa keseluruhan laporan penelitian yang dirangkum dalam bentuk buku dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya referensi mengenai pengetahuan tentang nilai kepahlawanan dan kemandirian hidup pejuang veteran. Sebagai pewaris dan penerus cita-cita bangsa, generasi muda diharapkan mampu merevitalisasi dan mengimplementasikan nilai-nilai kepahlawanan yang diwariskan para pahlawan. Dalam konteks ini, nilai-nilai kepahlawanan berdayaguna dan sangat mendukung pelaksanaan pembangunan di setiap daerah termasuk membangun bidang kesejahteraan sosial, dengan mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi ataupun golongan. Revitalisasi dan internalisasi nilai kepahlawanan sangat diperlukan sebagai upaya mengevaluasi kembali terhadap upaya penanaman nilai kepahlawanan kepada generasi muda pada saat ini, sebagai model untuk menyejahterakan masyarakat. Revitalalisasi dan internalisasi nilai kepahlawanan sebagaimana dimaksud dalam konteks kekinian, dapat juga dijadikan modal sosial untuk mengatasi berbagai permasalahan kesejahteraan sosial seperti kemiskinan, keterlantaran, keterpencilan, dan keterbelakangan masyarakat.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 5

BAB II NILAI KEPAHLAWANAN DAN KEMANDIRIAN DALAM PERSPEKTIF PUSTAKA

Dalam bagian ini ditinjau pustaka yang dipakai sebagai acuan penelitian meliputi nilai kepahlawanan, kemandirian, dan pejuang veteran. Kemudian dikemukakan kerangka pikir dan diakhiri sajian batasan pengertian dari sejumlah konsep yang digunakan dalam penelitian ini. A. Nilai Kepahlawanan Kajian pustaka mengenai nilai kepahlawanan di sini ditelaah mengenai konsepsi nilai kepahlawanan, sejarah terbentuknya nilai kepahlawanan di Indonesia, dan dayaguna nilai kepahlawanan dalam mengisi kemerdekaan. Berikut diuraikan masing-masing kajian pustaka tersebut. 1. Konsepsi Nilai kepahlawanan. Nilai Kepahlawanan menurut Frida Firdiani (2015: 43) adalah mutiara, makna, ataupun hikmah dari perjuangan para pahlawan yang dapat dikaji, dihayati, dan diteladani oleh setiap generasi muda saat ini dan pada masa mendatang. Pengertian nilai kepahlawanan tersebut jika dicermati mengandung tiga makna pokok. Pertama, nilai kepahlawanan merupakan mutiara, makna, ataupun hikmah yang dapat dipetik dari perjuangan para pahlawan. Kedua, nilai kepahlawanan dari para pejuang tersebut perlu dikaji, dihayati, dan diteladani oleh generasi muda saat ini dan pada masa mendatang. Ketiga, generasi penerus cita-cita bangsa yang mempunyai tugas dan berkewajiban melakukan kajian, menghayati, dan meneladani mutiara, makna, dan hikmah dari perjuangan pahlawan. Apabila setiap generasi muda mau mengkaji, mengambil hikmah, dan meneladani perjuangan pahlawan, maka nilai-nilai kepahlawanan senantiasa akan tertanam di benak setiap masyarakat Indonesia. Kementerian Sosial (2016:17) merumuskan, nilai kepahlawanan adalah suatu sikap dan semangat perjuangan dari para pahlawan yang menunjukkan keberanian secara luar biasa dengan bertindak tanpa pamrih pribadi ataupun golongan, serta memiliki moral, mental, dan perilaku yang mengandung

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 7 suritauladan bagi bangsanya. Rumusan pengertian dari Kementerian Sosial tersebut dapat ditegaskan, bahwa nilai kepahlawanan adalah suatu sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh seorang pahlawan semasa hidupnya dalam berjuang meliputi: a) memiliki semangat dan sikap keberanian yang luar biasa. b) bertindak tanpa pamrih pribadi atau golongan. c) memiliki moral, mental, dan perilaku yang mengandung suritauladan. Ketiga cakupan nilai kepahlawaan tersebut dapat diuraikan berikut. Pertama, memiliki semangat dan sikap keberanian yang luar biasa. Perjuangan yang secara umum melawan penjajah dilakukan seorang pahlawan dengan semangat berdasarkan sikap yang tegas, berpendirian kokoh, dan tindakan pantang menyerah dengan prinsip keberanian. Seorang pahlawan memiliki prinsip, bahwa pemimpin perang harus berani membela kepentingan, hak, martabat, dan harkat, serta kehormatan ataupun kedaulatan rakyat. Semangat dan sikap keberanian seorang pahlawan ini juga dikemukakan oleh Moelyono (2015: 11) dengan menggambarkan keberanian Pangeran Diponegoro dalam membela kepentingan, martabat, kehormatan, dan kedaulatan rakyat. “Ketika pemerintah kolonial Belanda merencanakan pembuatan jalan yang sengaja menerjang rumah penduduk di daerah Tegalrejo, dengan maksud agar Pangeran Diponegoro marah dan menentang kompeni Belanda. Pangeran Diponegoro setelah mengetahui rencana tersebut benar-benar menjadi marah, sehingga patok-patok (pancang/tonggak dari bambu) rencana pembuatan jalan diperintahkan untuk dicabut diganti dengan tombak. Akhirnya Residen Smissert tidak berani bertindak terhadap Pangeran Diponegoro, dan untuk sementara waktu rencana pembuatan jalan tersebut ditangguhkan. Tindakan Pangeran Diponegoro tersebut merupakan wujud dari semangat dan sikap keberanian yang luar biasa. Kedua, bertindak tanpa pamrih, baik untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Seorang pahlawan merupakan sosok yang senantiasa memperjuangkan hak, kepentingan, dan kedaulatan seluruh rakyat, tidak untuk kepentingan golongan tertentu, apalagi hanya untuk kepentingan diri pribadi. Bermodal karakter sebagaimana dikemukakan, maka perjuangan pahlawan pada masanya dapat diterima dan dipercaya oleh semua lapisan masyarakat. Seorang pahlawan merupakan sosok pribadi yang berjuang tidak

8 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup untuk mengarah suatu jabatan ataupun kedudukan, bahkan pahlawan pada umumnya merupakan sosok yang hidup dalam kesederhanaan dan penuh keluhuran budi. Pahlawan secara umum adalah sosok yang taat beragama dengan mengutamakan aspek kerohanian dari pada keduniawian. Tindakan pahlawan sebagaimana dikemukakan juga diilustrasikan oleh Hendraswati (2018: 85) dalam pandangan atas perjuanagn pahlawan Nasional Pangeran Antasari dalam Perang Banjar. Pangeran Antasari berjuang bukan untuk membela pangkat karena ia tidak berpangkat; bukan membela harta karena ia bangsawan yang sederhana; dan bukan pula untuk mengambil hak kerajaan karena ia tidak berambisi untuk merebutnya. Ia berjuang karena prinsip, keyakinan, dan ajaran agama Islam yang dipegangnya. Karena itulah wajar jika dalam kondisi demikian lahir semangat juang haram manyarah waja sampai ka putting, dalas hangit batangsar dada kada manyarah lawan Walanda. Ilustrasi tersebut memberi petunjuk, bahwa komitmen, kredibilitas, dan kecerdasan gagasan serta strategi dalam melakukan perjuangan merupakan modal dasar dan kekuatan yang dimiliki. Tanpa ketiga unsur tersebut mustahil seorang pahlawan dapat diakui secara luas oleh berbagai golongan dan kalangan masyarakat. Ketiga, memiliki moral, mental dan perilaku yang mengandung teladan. Pahlawan semasa hidup merupakan seorang tokoh pemimpin yang memiliki moral (budi pekerti) yang luhur, sosok pejuang yang memiliki mental baja dengan kepribadian yang kuat dan tangguh. Seorang yang memberikan contoh kepribadian sebagai suritauladan selama hidupnya, kepribadian yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Pribadi yang dimunculkan adalah berbentuk sikap yang senantiasa tabah dan tawakal dalam berjuang dengan terus memberikan perlawanan untuk mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Kepahlawanan yang dirumuskan Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial, Kementerian Sosial (2017:4) menyatakan, bahwa nilai-nilai kepahlawanan yang perlu ditumbuhkembangkan kepada generasi muda penerus cita-cita bangsa mencakup sejumlah sikap dengan ciri-ciri : a) memiliki sikap militansi. b) berjiwa gagah berani. c) sanggup berkorban tanpa pamrih demi kepentingan nusa, bangsa, dan negara. d) memiliki kepercayaan pada kemampuan diri

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 9 sendiri. e) memiliki tanggung jawab yang besar. f) bercita-cita tinggi. g) mempunyai wibawa serta pengaruh besar. h) berkepribadian kuat. i) mempunyai kemampuan menghimpun semangat perjuangan. Ciri-ciri sikap dari dimensi nilai kepahlawanan sebagaimana dikemukakan merupakan tolok ukur untuk melihat tingkat penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan dalam penelitian ini.

2. Sejarah Terbentuknya Nilai Kepahlawanan Di Indonesia. Sebagaimana diketahui, bahwa bangsa Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) menginjakkan kaki di bumi Indonesia pada awalnya bertujuan untuk berdagang terutama rempah-rempah. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya bangsa Eropa tersebut berkeinginan memonopoli perdagangan sebagai upaya untuk menguasai wilayah Nusantara dengan melakukan penindasan. Berbagai bentuk tindak penindasan akhirnya menimbulkan banyak reaksi dari setiap pribadi rakyat di seluruh penjuru Nusantara. Beragam reaksi rakyat tersebut berupa sikap untuk bersatu menentang kebijakan dan melakukan perlawanan yang bertujuan mengusir penjajah. Rakyat yang tertindas bahkan rela berkorban baik berupa tenaga, harta benda, maupun jiwa raga demi terwujudnya kemerdekaan bangsa Indonesia yang akhirnya dapat tercapai dan diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Kondisi masa itu yang penuh dengan segala perjuangan dengan semangat pengorbanan, dan sikap kegagahberanian tersebut mendorong setiap generasi muda terutama mereka yang berjiwa militan untuk berjuang melawan penjajah. Di antara mereka yang berjuang cukup menonjol dengan kepemilikan nilai yang amat luhur sehingga dapat dihayati, diambil makna dan hikmahnya serta diteladani, dan akhirnya diwariskan kepada generasi muda penerus cita-cita bangsa. Mereka yang gugur di medan perang atau wafat pantas dianugerahi gelar pahlawan. Sebutan itu dianugerahkan kepada generasi pejuang di masa lalu yang gugur dengan perjuangan luar biasa dan memiliki nilai yang amat luhur. Nilai dimaksud merupakan nilai-nilai kepahlawanan yang dapat diambil makna dan hikmahnya, diteladani, serta diwariskan kepada generasi muda pewaris dan penerus cita-cita bangsa Indonesia.

10 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 3. Sejarah Keberadaan Pejuang Veteran. Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, perjuangan mengusir penjajah khususnya di Yogyakarta terus dilakukan oleh seluruh rakyat. Sebagaimana diketahui dari catatan sejarah, bahwa pada tanggal 19 Desember 1948 saat bangsa Indonesia sedang menikmati suasana merdeka selama sekitar tiga tahun, rakyat dikejutkan suara letusan senapan dan bom tentara Belanda dalam upaya menduduki kembali untuk yang kedua kali setelah terlebih dahulu berhasil menduduki beberapa wilayah Indonesia seperti Madiun, Bojonegoro, Surakarta, Banten dan Banyuwangi. Tentara Belanda menduduki kembali wilayah Indonesia pertama kali pasca proklamasi pada tanggal 14 Juli 1947, yang kemudian dilakukan perjanjian Renville. Pada tanggal 20 Desember 1948, aparat negara selaku penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia bersama masyarakat kota Yogyakarta mengungsi secara besar-besaran ke pelosok desa. Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan embrio Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga ikut mengungsi, bahkan mendirikan basis perjuangan di perdesaan. Pada saat itu, terjadi reaksi spontan dari sebagian rakyat terutama generasi muda yang berani ikut berjuang dalam upaya mengusir kembali tentara pendudukan Belanda. Selama Kota Yogyakarta dalam pendudukan tentara Belanda, sebagian generasi pemuda pemberani tersebut ikut berjuang, misalnya sambil berjualan hasil bumi ke kota menjadi mata-mata BKR dengan memberikan informasi sasaran penyerangan BKR pada malam hari. Membantu membawakan dan menyimpan senjata yang digunakan BKR dengan menyamar misalnya menjadi bakul jamu gendong, peminta-minta, dan penjual makanan keliling. Sebagian ada yang berjuang dengan menyediakan bahan logistik dan dapur umum atau menolong dan pengusahakan pengobatan bagi anggota BKR yang sakit ataupun terluka dalam medan pertempuran. Sebagian masyarakat memang ada yang bernyali dan pemberani ikutserta berjuang membantu BKR dalam mengusir penjajah. Resiko yang mereka alami jika perbuatan diketahui tentara pendudukan Belanda adalah hilangnya nyawa atau paling tidak dipenjarakan. Bermodal semangat juang yang pantas dicatat dengan tinta tebal, para pejuang ini bahu-membahu mengusir penjajah Belanda. Mereka tidak berpikir sedikitpun tentang imbalan atas perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan dalam upaya mengusir penjajah Belanda. Kerjasama kelompok muda yang ikut berjuang hanya bermodal keberanian dengan mempertaruhkan jiwa dan raga. Generasi muda yang mau berjuang mengusir penjajah pasca proklamasi 17 Agustus 1945 pantas disebut pejuang

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 11 veteran. Berdasar Undang Undang Nomor 7 Tahun 1967 disebutkan Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia adalah warga negara Republik Indonesia yang dalam revolusi fisik antara 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 telah ikut secara aktif berjuang untuk mempertahankan negara Republik Indonesia di dalam kesatuan bersenjata resmi atau kelaskaran yang diakui oleh pemerintah pada masa perjuangan itu.

4. Dayaguna Nilai Kepahlawanan dalam Mengisi Kemerdekaan. Sebagaimana halnya dalam berjuang meraih dan mempertahankan kemerdekaan, dalam melaksanakan pembangunan mengisi era kemerdekaan juga perlu berlandaskan nilai-nilai kepahlawanan. Mengisi kemerdekaan pada dasarnya adalah melaksanakan pembangunan dalam segala aspek kehidupan, baik di bidang fisik, mental psikis, ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam melaksanakan pembangunan berbagai bidang tersebut dibutuhkan nilai-nilai yang harus dipedomani, di antaranya adalah nilai kepahlawanan. Pada era pembangunan sekarang ini, warga masyarakat butuh mengambil hikmah dan keteladanan para pahlawan seperti kepemilikan sikap militansi, keberanian, rela berkorban tanpa pamrih pribadi/golongan, percaya diri atas kekuatan sendiri, bertanggung jawab, berkepribadian kuat, dan bercita-cita tinggi. Masyarakat dalam melaksanakan pembangunan hendaknya berdasarkan nilai-nilai kepahlawanan sebagaimana kikemukakan, dan berbagai sikap sejenis yang dimiliki para pahlawan. Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan dalam rangka mengisi kemerdekaan Koentjaraningrat (2005:36) menyatakan, bahwa suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk pembangunan harus berusaha agar banyak dari warganya lebih menilai tinggi orientasi ke masa depan, dan bersikap hemat untuk lebih teliti mempertimbangkan hidupnya di masa depan, lebih menilai tinggi orientasi achievement dari karya, dan akhirnya menilai tinggi mentalitas berusaha atas kemampuan sendiri, percaya pada diri sendiri, berdisiplin murni, dan berani bertanggung jawab sendiri. Pakar tersebut pada dasarnya menegaskan, bahwa ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan oleh suatu bangsa yang akan mengintensifkan pelaksanaan pembangunan meliputi: 1) berorientasi jauh ke

12 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup masa depan. 2) bersikap hemat dan memiliki ketelitian secara memadai. 3) selalu mempertimbangkan hidupnya demi masa depan yang lebih baik. 4) memberi nilai tinggi dan mau menerima hasil karya sendiri. 5) menilai lebih mentalitas usaha sendiri berdasar kemampuan, memiliki kepercayaan diri, berdisiplin, dan bertanggung jawab. Senada dengan pernyataan Koentjaraningrat, Briyanto Anwari Syarif sebagaimana dikutip Habib MS (2017:39) mengemukakan, bahwa dalam pembangunan diperlukan seseorang yang pemberani, ulet dan tangguh, tanggap situasi, dan sanggup berkorban dengan selalu berada dalam identitasnya sebagai manusia seutuhnya. Briyanto Anwari Syarif lebih lanjut menjelaskan, pemberani yang dimaksud adalah, bahwa seorang pelopor pembangunan harus berani terutama dalam mengajukan suatu ide/gagasan dan mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Ulet, maksudnya pantang menyerah dan tekun dalam arti rajin bekerja. Tanggap situasi, artinya seorang pelaku pembangunan harus mampu merspons kebutuhan dengan senantiasa melihat situasi dan kondisi permasalahan yang dihadapi. Sanggup berkorban, maksudnya rela mengabdi dengan tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Selalu berada dalam identitasnya, artinya bahwa seorang penggerak pembangunan hendaknya memiliki identitas khas yang mendukung tercapainya tujuan seperti pantang menyerah dan semangat kemandirian (berdikari). Memperkuat pendapat di atas, Lathiful Khuluq (2015: 68) menyatakan, “pembangunan tidak semata-mata soal fisik material, juga bukan soal otak dan teknologi belaka, pembangunan juga merupakan persoalan mental, persoalan dedikasi, persoalan jiwa pengabdian, dan persoalan mau berkorban demi nasib lebih baik bagi bangsa dan negara”. Pernyataan pakar tersebut pada dasarnya mengandung dua makna. Pertama, bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar keberhasilan yang bersifat fisik seperti pembangunan jalan, jembatan, dan bendungan, tetapi juga mengenai terbangunnya mental psikologis seperti sikap, perilaku, dan tindakan yang secara hakiki mengarah pada kebaikan umat manusia. Kedua, keberhasilan pembangunan juga perlu mengacu dan mengimplementasikan nilai kepahlawanan seperti dedikasi, jiwa pengabdian, dan mau berkorban.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 13 Sebagai generasi muda selaku penggerak dan pelopor pembangunan, dalam berjuang mengisi kemerdekaan hendaknya senantiasa mengacu nilai kepahlawanan. Seorang pemimpin atau tokoh masyarakat misalnya, dalam memperjuangkan hak rakyat harus penuh keberanian. Dalam melaksanakan pengabdian pada masyarakat hendaknya dilakukan secara tulus ikhlas dan tanpa pamrih untuk suatu golongan apalagi untuk kepentingan pribadi. Dalam berperilaku atau bertindak keseharian, senantiasa menunjukkan suatu keteladanan serta keluhuran budi dan bermoral baik, sehingga pantas dicontoh oleh warga masyarakat di lingkungan setempat. Berdasarkan uraian sebagaimana dipaparkan di atas dapat ditegaskan, bahwa nilai kepahlawanan memiliki dayaguna bagi warga masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan nasional untuk mengisi kemerdekaan. Dalam pelaksanaan pembangunan segala aspek kehidupan sebagai wahana untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa secara berkelanjutan perlu terus memahami, menghayati, meneladani, dan mengimplementasikan nilai-nilai kepahlawanan sebagaimana dikemukakan dalam kehidupan keseharian. Melalui pemahaman, penghayatan, peneladanan, dan pengimplementasian nilai-nilai kepahlawanan, diharapkan setiap generasi muda memiliki kemandirian secara memadai. Kemandirian generasi muda yang memadai merupakan modal dasar dalam pelaksanaan pembangunan di segala bidang kehidupan.

B. Kemandirian Kemandirian adalah salah satu tujuan yang hendak dicapai setiap individu dalam menapak suatu proses kehidupan. Kemandirian merupakan kecenderungan individu untuk berdiri sendiri dan mampu berfungsi sosial secara layak tanpa membebani orang lain. Kemandirian menjadi sesuatu yang sangat penting karena sebagai pendorong bagi individu untuk senantiasa berusaha memenuhi kebutuhan hidup tanpa bergantung pada orang lain. Sejumlah definisi telah banyak dikemukakan para ahli, di antaranya oleh Fajrin (2015), kemandirian adalah sikap/perilaku yang ditunjukkan pada diri sendiri tanpa adanya pengarahan dari orang lain. Orang yang mandiri pasti

14 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup akan melakukan atau mengerjakan sesuatu dengan kemampuannya sendiri serta tidak bergantung pada orang lain (www.kompasiana.com, diunggah Senin 27 April 2020) Steinberg dalam buku berjudul Adolescene mendefinisikan, kemandirian adalah kemampuan dalam berpikir, merasakan, dan membuat keputusan secara pribadi berdasarkan diri sendiri dan tidak mengikuti apa yang orang lain percayai. Watson dan Lindgrea sebagaimana dikutip Chatarina Rusmiyati (2008: 9) mengemukakan, bahwa tingkah laku mandiri meliputi pengambilan inisiatif, mengatasi hambatan, melakukan sesuatu yang tepat, gigih dalam usaha, dan melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Hetkerington (Sri Salmah, 2010: 12) menyatakan, bahwa perilaku kemandirian ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif, kemampuan mengatasi masalah, penuh ketekunan, memperoleh kepuasan dari usahanya, serta mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Sementara Serafica Gescha (compas.com diunggah 23 April 2020) mengemukakan, bahwa kemandirian ditandai dengan menentukan nasib sendiri, kreatif, dan inisiatif mengatur tingkah laku, bertanggung jawab, dan mampu menahan diri. Nuryoto (2015: 46) menyatakan, bahwa ekspresi lain dari kemandirian berupa sikap yang tegas, tidak mudah dipengaruhi orang lain, dan konsekuen terhadap perkataan dan tindakannya. Berdasar sejumlah definisi dan ciri perilaku mandiri sebagaimana dikemukakan dapat ditegaskan, bahwa bentuk kemandirian tercermin dalam perilaku yang sesuai dengan kehendak dan kemampuan sendiri, bebas dalam mengambil keputusan, memiliki kebebasan untuk mengerjakan segala sesuatu yang diharapkan, mempunyai kemampuan menyesuaikan diri, dan mengerjakan sesuatu tanpa memperdulikan permasalahan yang dipikirkan orang lain. Dengan demikian dapat dipertegas, bahwa kemandirian merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk mandiri dan bebas dari kebergantungan pada orang lain. Soewartono (2007:9) mengutip lima komponen pokok kemandirian yang dikemukakan Menteri Negara Kehutanan dan Lingkungan Hidup meliputi : a) bebas, yakni timbulnya tindakan atas kehendak sendiri dan bukan karena orang lain, bahkan tidak bergantung pada orang lain. b) progresif dan ulet, seperti pada usaha mengejar prestasi, penuh ketekunan, merencanakan dan

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 15 mewujudkan harapan. c) berinisiatif, yakni mampu berpikir dan bertindak secara kreatif dan penuh inisiatif. d) pengendalian diri dalam (internal locus of control), adanya kemampuan mengatasi masalah yang dihadapi, mampu mengendalikan tindakannya, serta mampu mempengaruhi lingkungan atas usahanya sendiri. e) kemantapan diri (self enteem, self confidence) mencakup aspek percaya pada diri sendiri dan memperoleh kepuasan atas usahanya sendiri. Oetari Oetoyo, dkk. yang dikutip Sri Salmah (2010:12) berkait dengan kemandirian keluarga menegaskan empat pernyataan berikut. Pertama, kemandirian bukan berarti berdikari dalam arti lepas sama sekali dari kebergantungan orang lain. Oleh karena itu, pengertian kemandirian tetap mengakui bahwa manusia hidup dalam kebergantungan dengan manusia lain dan lingkungannya. Kedua, kemandirian juga tidak diartikan kesendirian, hidup terpencil, dan lepas dari pergaulan atau interaksi dengan kehidupan di sekitarnya. Ketiga, kemandirian lebih diartikan mempunyai kemampuan mendayagunakan berbagai sumber dan potensi, agar ia berhasilguna dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup tanpa mengabaikan kelestariannya. Keempat, dari segi manajemen, kemandirian cenderung mempunyai makna mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi berbagai usaha memenuhi aspirasinya. Dalam hal ini, individu yang bersangkutan mampu meletakkan berbagai kebutuhan prioritas. Berbagai bahasan tentang pengertian, ciri-ciri, dan komponen kemandirian baik itu menyangkut individu maupun keluarga, pada intinya kemandirian itu sangat diperlukan oleh manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial. Sebagaimana termaktub dalam Bab I pasal 1 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, disebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Klausul undang-undang tersebut pada dasarnya menegaskan, kesejahteraan sosial merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan kebutuhan sosial. Pada sisi lain Oetari Oetoyo, dkk. di antaranya menyebutkan, bahwa kemandirian diartikan sebagai kemampuan

16 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup mendayagunakan berbagai sumber dan potensi agar berhasil guna memenuhi kebutuhan hidup. Mengacu undang-undang kesejahteraan sosial dan pendapat Oetari Oetoyo, dkk. sebagaimana dikemukakan, maka dapat dianalogikan bahwa kemandirian individu dalam hal ini pejuang veteran, adalah kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup meliputi kebutuhan material, spiritual, dan kebutuhan sosial. Kemandirian dalam memenuhi kebutuhan material. maksudnya bahwa pejuang veteran mampu memenuhi kebutuhan materi seperti kebutuhan pangan, sandang, dan tempat tinggal. Kemandirian dalam memenuhi kebutuhan spiritual, maksudnya bahwa pejuang veteran mampu memenuhi kebutuhan mental psikilogis seperti kemampuan memperoleh keharmonisan keluarga, ketenteraman hidup dan rasa kebahagiaan. Kemandirian memenuhi kebutuhan sosial, maksudnya bahwa pejuang veteran mampu memenuhi berbagai kebutuhan dalam hidup bermasyarakat. Berdasar uraian sebagaimana dipaparkan dapat ditegaskan, bahwa para pejuang sebagai anggota Legiun Veteran Republik Indonesia tentu memiliki penghayatan yang lebih atas nilai-nilai kepahlawanan mencakup sikap militansi, kegagahberanian, kerelaan berkorban, berkorban tanpa pamrih, percaya atas kemampuan sendiri, bertanggung jawab, bercita-cita tinggi, berwibawa dan berpengaruh besar, berkepribadian kuat, dan mampu menghimpun semangat kejuangan. Nilai-nilai kepahlawanan yang dihayati selanjutnya tentu mereka implementasikan dalam hidup keseharian, baik dalam kehidupan di lingkungan keluarga, lingkungan ketetanggaan, maupun dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas. Bermodal penghayatan atas nilai kepahlawanan dan mengimplementasikan dalam hidup keseharian tersebut, pejuang veteran cenderung memiliki kemandirian dalam mencapai kesejahteraan sosial, yang pada intinya mandiri baik dalam memenuhi kebutuhan material, kebutuhan spiritual, maupun mandiri dalam memenuhi kebutuhan sosial,.

C. Pejuang Veteran Manusia memiliki kecenderungan untuk selalu berusaha agar mampu mandiri, begitu pula yang terjadi pada pribadi para pejuang veteran. Oleh

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 17 karena itu, kajian lebih lanjut setelah penelaahan tentang konsep kemandirian, dipaparkan secara sekilas mengenai keberadaan pejuang veteran di negara kita. Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Veteran Republik Indonesia, yang dimaksud dengan veteran Republik Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bergabung dalam kesatuan bersenjata resmi yang diakui oleh pemerintah, yang berperan secara aktif dalam suatu peperangan menghadapi negara lain dan atau gugur dalam pertempuran untuk membela dan memertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau warga negara Indonesia yang ikutserta secara aktif dalam pasukan internasional di bawah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melaksanakan misi perdamaian dunia, yang telah ditetapkan sebagai penerima tanda kehormatan veteran Republik Indonesia. Dalam undang-undang tersebut pada Bab II Pasal 3 ayat (1) disebutkan, bahwa jenis Veteran Republik Indonesia ditentukan berdasarkan peristiwa keveteranan. Pada ayat (2) disebutkan jenis veteran Republik Indonesia terdiri atas: 1) Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia. 2) Veteran Pembela Kemerdekaan Republik Indonesia. 3) Veteran Perdamaian Republik Indonesia. 4) Veteran Anumerta Republik Indonesia. Berikut penjelasan masing-masing Veteran Republik Indonesia. Pertama, Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia, adalah warga negara Indonesia yang dalam masa revolusi fisik antara tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 berperan secara aktif berjuang untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia di dalam kesatuan bersenjata resmi dan atau kelaskaran yang diakui oleh pemerintah pada masa perjuangan, termasuk di dalamnya anggota satuan yang bertugas di bidang Palang Merah Indonesia (PMI)/tenaga kesehatan yang melaksanakan fungsi kesehatan lapangan, dapur umum, juru masak, persenjataan, dan amunisi yang melaksanakan fungsi perbekalan, caraka/kurir/penghubung yang melaksanakan fungsi komunikasi, penjaga kampung/keamanan/mata-mata yang melaksanakan fungsi intelijen dalam rangka pengawasan wilayah, yang telah ditetapkan sebagai penerima tanda kehormatan veteran Republik Indonesia. Pengertian tersebut dapat ditegaskan, bahwa mereka yang dapat

18 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup dikatagorikan sebagai veteran pejuang kemerdekaan harus memenuhi persyaratan : 1) warga negara Indonesia. 2) berjuang secara aktif mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik antara 17 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949. 3) menjadi anggota kesatuan bersenjata resmi atau kelaskaran yang diakui pemerintah pada masa itu. 4) menjadi anggota satuan yang melaksanakan fungsi kesehatan lapangan, perbekalan, komunikasi, dan intelijen. 5) telah ditetapkan secara sah sebagai penerima tanda kehormatan Veteran Republik Indonesia. Kedua, Veteran Pembela Kemerdekaan Republik Indonesia, adalah warga negara Indonesia yang bergabung dalam kesatuan bersenjata resmi dan diakui oleh pemerintah yang berperan secara aktif dalam suatu peperangan menghadapi negara lain dalam rangka membela dan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terjadi setelah tanggal 27 Desember 1949, yang telah ditetapkan sebagai penerima Tanda Kehormatan Veteran Republik Indonesia. Menurut ketentuan pasal 4 Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2012, Veteran Pembela Kemerdekaan Republik Indobesia dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu : 1) Veteran Pembela Trikora, adalah warga negara Republik Indonesia yang dalam masa perjuangan pembebasan Irian Barat melakukan Trikora sejak 19 Desember 1961 sampai dengan 1 Mei 1963. Mereka terlibat langsung dan ikut secara aktif berjuang atau bertempur dalam kesatuan bersenjata resmi di daerah Irian Barat. Sebagaimana diketahui, bahwa Trikora (tiga komando rakyat) meliputi bebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda, tancapkan bendera merah putih di bumi Irian Barat, dan segera dilakukan mobilisasi umum rakyat Irian Barat. Trikora dikumandangkan oleh Presiden Soekarno sebagai pengobar semangat perjuangan dalam mempertahankan Irian Barat sebagai wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2) Veteran Pembela Dwikora, adalah warga negara Republik Indonesia yang melakukan Dwikora antara 3 Mei 1964 sampai dengan 11 Agustus 1966. Mereka secara aktif berjuang dan bertempur melalui kesatuan bersenjata resmi dalam rangka perjuangan pembebasan Kalimantan Utara. Sebagaimana disebutkan Rais Abin, dkk. (2010: 37), pada tahun 1964 dibentuklah federasi terdiri Malaysia, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunai yang difasilitasi Australia dan New

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 19 Zealand. Dalam rangka antisipasi agar federasi ini tidak dijadikan kaki tangan kolonial, maka Presiden RI Soekarno mencanangkan operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) berisi: a) perhebat ketahanan revolusi Indonesia. b) bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunai untuk membubarkan negara boneka Malaysia. Operasi Dwikora dilakukan dengan mengkoordinir satuan ABRI di daerah perbatasan dengan membentuk komando siaga (Koga). Selain itu, juga dikirim sukarelawan ke perbatasan untuk menghadapi pasukan yang tergabung dalam federasi Malaysia. c.) Veteran Pembela Seroja, adalah warga negara Republik Indonesia yang terlibat langsung ikut secara aktif berjuang atau bertempur dalam kesatuan bersenjata resmi di Timor Timur pada saat menjadi bagian wilayah Indonesia. d) Veteran Pembela lainnya, adalah warga negara Indonesia yang berjuang sebagai pembela lainnyabagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Ketiga, Veteran Perdamaian Republik Indonesia, adalah warga negara Indonesia yang berperan secara aktif dalam pasukan internasional di bawah mandat Perserikatan Bangsa Bangsa dalam rangka melaksanakan misi perdamaian dunia, yang telah ditetapkan sebagai penerima tanda kehormatan veteran Republik Indonesia Keempat, Veteran Anumerta Republik Indonesia, yang berdasar Pasal 5 Undang-Undang Veteran terdiri atas tiga golongan yaitu: 1) Veteran Anumerta Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia, adalah warga negara Indonesia yang gugur dalam masa revolusi fisik antara tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 berperan secara aktif berjuang untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia di dalam kesatuan bersenjata resmi dan atau kelaskaran yang diakui oleh pemerintah pada masa perjuangan. Di dalamnya termasuk anggota satuan yang bertugas di bidang Palang Merah Indonesia (PMI)/tenaga kesehatan yang melaksanakan fungsi kesehatan lapangan, dapur umum, juru masak, persenjataan, dan amunisi yang melaksanakan fungsi perbekalan, caraka/kurir/penghubung yang melaksanakan fungsi komunikasi, penjaga kampung/keamanan/mata-mata yang melaksanakan fungsi intelijen dalam rangka pengawasan wilayah, yang telah ditetapkan sebagai penerima tanda kehormatan veteran Republik

20 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup Indonesia. 2) Veteran Anumerta Pembela Kemerdekaan Republik Indonesia, adalah warga negara Indonesia yang bergabung dalam kesatuan bersenjata resmi yang diakui oleh pemerintah yang berperan secara aktif dalam suatu peperangan menghadapi negara lain yang gugur dalam rangka membela dan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terjadi setelah tanggal 27 Desember 1949, yang telah ditetapkan sebagai penerima Tanda Kehormatan Veteran Republik Indonesia. 3) Veteran Anumerta Perdamaian Republik Indonesia, adalah warga negara Indonesia yang berperan secara aktif dalam pasukan internasional di bawah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa yang gugur dalam rangka melaksanakan misi perdamaian dunia, yang telah ditetapkan sebagai penerima tanda kehormatan veteran Republik Indonesia. Sebagai kewajiban yang merupakan bentuk tanggung jawab, negara memberi penghargaan atas pengabdian dan jasanya sebagai hak Veteran Republik Indonesia. Pada Bab IV Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 disebutkan, bahwa veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan antara lain berhak mendapatkan tunjangan veteran dan dana kehormatan veteran. Dalam ketentuan umum undang-undang tersebut ditegaskan, bahwa tunjangan Veteran Republik Indonesia yang selanjutnya disebut tunjangan veteran adalah tunjangan yang merupakan penghargaan dan penghormatan negara. Ketentuan berikutnya menyebutkan, dana kehormatan veteran Republik Indonesia yang selanjutnya disebut dana kehormatan adalah sejumlah uang yang diberikan setiap bulan yang merupakan penghargaan dan penghormatan bagi veteran dari negara. Atas dasar kesadaran pribadi secara kolektif dan didorong rasa tanggung jawab yang besar dalam melanjutkan pengabdian, para pejuang veteran tersebut berkeinginan secara tulus ikhlas untuk ikut serta berjuang dalam rangka mengisi kemerdekaan. Ketulusan dan keikhlasan para pejuang veteran tersebut mereka ikrarkan dalam konggres pertama pada tanggal 22 Desember 1956 hingga 2 Januari 1957, diikuti pembentukan organisasi yang diberi nama Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia tersebut selanjutnya diresmikan oleh Presiden dengan Keputusan Nomor 103 Tahun 1957. Dalam rangka memperkuat organisasi

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 21 para pejuang veteran tersebut, kedudukannya diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1967 tentang Veteran Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam upaya menyesuaikan dengan perkembangan kondisi, maka dirumuskan regulasi baru yakni terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Veteran Republik Indonesia, dan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengesahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga LVRI Organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia berazaskan Pancasila, dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945. Dalam mukadimah Anggaran Dasar Legiun Veteran Republik Indonesia ditegaskan, bahwa perjuangan harus dilanjutkan untuk mengisi kemerdekaan dengan melaksanakan pembangunan nasional guna mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Bahwa Veteran Republik Indonesia dengan semangat pengabdian yang berlandaskan Panca Marga, didorong oleh kesadaran dan tanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan, siap melaksanakan perannya sebagai pewaris nilai kejuangan 1945, sebagai salah satu unsur pelaksana pembangunan nasional ataupun sebagai komponen pendukung dalam rangka sistem pertahanan dan keamanan negara yang bersifat kerakyatan dan kesemestaan. Visi yang dicanangkan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 4 Anggaran Dasar Legiun Veteran Republik Indonesia adalah “tetap berlanjutnya pelestarian jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan 1945.” Sementara misi yang diemban mencakup: 1) mewariskan jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan 1945.” 2) berperan aktif dalam pembangunan nasional. 3) memelihara hubungan persahabatan dengan organisasi veteran regional dan dunia didukung oleh organisasi veteran yang solid, efektif, dan efisien. 4) konsisten menjaga kehormatan dan meningkatkan kesejahteraan anggota. Kegiatan yang dilaksanakan organisasi LVRI sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 tentang pokok-pokok kegiatan antara lain merencanakan serta mempersiapkan materi sosialisasi dan tenaga sosialisator dalam rangka pelestarian jiwa, semangat, dan nilai kejuangan 1945. Berikut tiga tujuan dibentuknya organisasi pejuang veteran tersebut. Pertama, membina potensi nasional veteran Republik Indonesia dalam rangka

22 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup mewujudkan ketahanan nasional dan perjuangan bangsa demi kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, memperjuangkan perbaikan kondisi sosial perekonomian, pendidikan, dan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya serta veteran Republik Indonesia pada khususnya, demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Ketiga, ikutserta memelihara persahabatan antarbangsa demi terwujudnya keamanan, ketertiban, dan kedamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Fungsi dibentuknya Legiun Veteran Republik Indonesia, adalah agar para mantan pejuang anggota organisasi tersebut dapat secara aktif berperanserta dalam pewarisan nilai perjuangan 1945, pembangunan dan pertahanan keamanan nasional. Artinya, bahwa para pejuang veteran hendaknya secara aktif melakukan penghayatan atas nilai kepahlawanan untuk selanjutnya mewariskan kepada generasi muda. Peran dalam pembangunan, maksudnya bahwa melalui keorganisasian para pejuang veteran dituntut untuk dapat berpartisipasi secara aktif merumuskan kebijakan, dan melaksanakan pembangunan nasional. Sementara peran dalam pertahanan nasional maksudnya, bahwa para pejuang veteran yang kaya tentang pengalaman dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan diharapkan dapat secara aktif ikut memikirkan konsep pertahanan dan keamanan negara kita Indonesia. Berbagai peran tersebut dapat dilaksanakan oleh pejuang veteran bermodalkan sikap kemandirian, berdedikasi yang tinggi, kepemilikan jiwa pengabdian, dan mau serta ikhlas berkorban demi nasib yang lebih baik bagi bangsa dan negara Indonesia.

D. Kerangka Pikir Berdasar tinjauan pustaka tentang konsep nilai kepahlawanan, kemandirian, dan pejuang veteran, berikut disajikan skema kerangka pemikiran dari penelitian ini.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 23 PENGHAYATAN NILAI KEPAHLAWANAN : Ø Sikap militansi Ø Gagah berani Ø Rela berkorban Ø Percaya kemampuan sendiri Ø Bertanggung jawab Ø Bercita-cita tinggi Ø Berwibawa Ø Berkepribadian Kuat Ø Mampu menghimpunsemangat PEJUANG PEWARISAN VETERAN BAGI GENERASI REPUBLIK MUDA INDONESIA KEMANDIRIAN DALAM MEMENUHI: Ø kebutuhan material Ø kebutuhan spiritual Ø kebutuhan sosial

Bagan 1: Skema Kerangka Pemikiran Penelitian

Esensi kerangka pemikiran penelitian sebagaimana dikemukakan adalah, bahwa para pejuang veteran selama masa perjuangan dengan bermodal semangat dan keberanian luar biasa turutserta berjuang mempertahankan dan membela kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945. Sudah barang tentu setiap pejuang veteran memiliki pengalaman langsung dalam melakukan perlawanan untuk mengusir penjajah. Mereka juga merasakan, bahwa dalam berjuang melawan penjajah Belanda hanyalah bermodalkan semangat dan jiwa kepahlawanan, yaitu sifat yang dimiliki seorang pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, dan kerelaan berkorban. Perjuangan veteran bertempur di medan perang yang hanya bermodalkan semanagat dan jiwa kepahlawanan tersebut tentu mereka bawa dalam mengarungi bahtera kehidupan di masyarakat. Maksudnya, dalam kehidupan keseharian setiap pejuang veteran senantiasa menghayati, meneladani, dan mengambil hikmah atas nilai-nilai kepahlawanan mencakup: sikap militansi, kegagahberanian, kerelaan berkorban, berkorban tanpa pamrih pribadi/golongan, percaya pada kemampuan sendiri, bertanggung jawab,

24 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup bercita-cita tinggi, berwibawa dan berpengaruh besar, berkepribadian kuat, dan mampu menghimpun semangat juang. Pengalaman berjuang dan penghayatan atas nila-nilai kepahlawanan para pejuang veteran tersebut cenderung mempengaruhi tingkat kemandirian mereka dalam mencapai kesejahteraan sosial, baik kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidup secara material, spiritual, maupun dalam memenuhi kebutuhan sosial. Kemandirian dalam memenuhi kebutuhan material, dalam arti bahwa pejuang veteran memiliki kemampuan secara mandiri mengelola materi dalam hal ini berkait erat dengan pengelolaan perekonomian dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidup seperti kebutuhan pangan, sandang, dan tempat tinggal. Kemandirian memenuhi kebutuhan spiritual, maksudnya bahwa pejuang veteran mampu memenuhi kebutuhan mental psikologis seperti kemampuan meraih keharmonisan keluarga, ketenteraman hidup dan rasa kebahagiaan. Kemandirian dalam memenuhi kebutuhan sosial, artinya bahwa pejuang veteran mampu memenuhi kebutuhan berkait dengan kehidupan bermasyarakat

E. Batasan Pengertian Agar fokus pada arah dan pencapain tujuan kajian yang telah ditetapkan, pada bagian ini disajikan mengenai pembatasan secara konseptual pengertian yang digunakan dalam penelitian. Berikut tiga batasan pengertian konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, Pejuang Veteran Republik Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bergabung dalam kesatuan bersenjata resmi yang diakui oleh pemerintah, yang berperan secara aktif dalam suatu peperangan menghadapi negara lain dan atau gugur dalam pertempuran untuk membela dan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau warga negara Indonesia yang ikutserta secara aktif dalam pasukan internasional di bawah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melaksanakan misi perdamaian dunia, yang telah ditetapkan sebagai penerima tanda kehormatan veteran Republik Indonesia. Kedua, penghayatan nilai kepahlawanan, yang dimaksud dalam

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 25 penelitian ini adalah penghayatan pejuang veteran atas nilai-nilai kepahlawanan. Nilai kepahlawanan yang dihayati dan diteladani pejuang veteran meliputi: nilai militansi, keberanian, rela berkorban tanpa pamrih pribadi/golongan, percaya kemampuan sendiri, bertanggung jawab, berwibawa dan berpengaruh besar, bercita-cita tinggi, berkepribadian kuat, dan berkemampuan menghimpun semangat perjuangan. Ketiga, kemandirian hidup, yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemandirian pejuang veteran dalam menjalani kehidupan keseharian dengan tidak menggantungkan diri pada orang lain mencakup kemandirian dalam memenuhi kebutuhan material, kemandirian dalam memenuhi kebutuhan spiritual, dan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan sosial.

26 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif menurut Suharsimi Arikunto (2013: 3) adalah penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi, situasi, peristiwa, kegiatan, dan lain-lain yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian. Dalam kegiatan ini peneliti hanya memotret apa yang terjadi pada diri objek atau wilayah yang diteliti, kemudian memaparkan apa yang terjadi dalam bentuk laporan penelitian secara lugas seperti apa adanya. Chatarina Rusmiyati dan Akhmad Purnama (2016: 221) menyatakan, bahwa penelitian deskriptif sebagai suatu cara sederhana, yaitu suatu penelitian interpretatif terhadap suatu masalah, dan peneliti merupakan sentral yang memberi pengertian dan pemaknaan yang dibuat terhadap suatu masalah. Pendekatan yang digunakan adalah campuran antara metode kuantitatif dan kualitataif (mixed method). Creswell (2013: 15) mengemukakan, dalam penggunaan mixed method peneliti melakukan studi, kuantitatif, melakukan analisis, dan membangun penjelasan terhadap hasilnya, dan memberikan penjelasan lebih detail melalui studi kualitatif. Berkait dengan pendekatan ini Abbas Tashakkori dan Charles Teddlie (2020: 27) menyatakan, kajian dengan metode campuran adalah serangkaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam suatu metode penelitian pada kajian tunggal dan kajian beragam. Menurut pakar metodologi tersebut, terdapat lima tujuan pengkajian menggunakan metode campuran (mixed method), yaitu: 1) triangulasi atau mencari penyatuan hasil. 2) saling melengkapi, atau penyajian segi yang tumpang tindih dan aspek yang berbeda pada suatu fenomena. 3) inisiasi, atau penemuan paradoks, kontradiksi, dan perspektif yang segar. 4) pengembangan atau penggunaan metode secara berurutan, hasil dari metode pertama menginformasikan penggunaan metode yang kedua. 5) perluasan atau penggunaan metode campuran guna menambah luas dan cakupan hasil penelitian.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 27 Sehubungan dengan mixed method sebagai pendekatan penelitian, Abbas Tashakkori dan Charles Teddlie (2020: 73) lebih lanjut menyatakan, dalam desain metode campuran, peneliti melakukan studi dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam tingkat sepadan untuk memahami fenomena yang sedang dikaji. Pendekatan penelitian ini digunakan untuk menelaah tingkat penghayatan atas nilai kepahlawanan dan tingkat kemandirian hidup pejuang veteran di lokasi kajian sebagai objek penelitian. Sementara yang menjadi subjek penelitian adalah 37 pejuang veteran di Kabupaten Bantul. dengan perincian tujuh orang selaku informan dan 30 orang sebagai responden. Pendekatan penelitian tersebut lebih lanjut diimplementasikan dalam penentuan lokasi penelitian, penentuan sumber data (informan dan responden), pengumpulan data, serta analisis data.

B. Penentuan Lokasi Penelitian. Berkait dengan penentuan lokasi penelitian Moleong (2014: 128) mengemukakan, cara terbaik yang perlu ditempuh dalam penentuan lapangan penelitian ialah dengan jalan mempertimbangkan teori substantif dan dengan mempelajari serta mendalami fokus suatu rumusan masalah penelitian. Oleh karena itu, diperlukan penjajagan lapangan untuk melihat keberadaan kesesuaian antara rumusan masalah dan tujuan penelitian dengan kenyataan yang ada di lapangan. Menurut pakar metodologi tersebut, keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, beaya, dan tenaga perlu juga dijadikan pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian. Pada sisi lain Hamidi (2017: 69-70) mengemukakan, bahwa dalam menentukan lokasi penelitian pertama menyebut tempat penelitian misalnya desa, komunitas, atau lembaga tertentu. Kedua, yang lebih penting adalah mengemukakan alasan adanya fenomena sosial atau peristiwa seperti yang dimaksud oleh kata kunci penelitian, terjadi di lokasi penelitian. Ketiga (terakhir), adanya kekhasan/keunikan lokasi itu yang tidak dimiliki oleh lokasi lain sehubungan dengan atau yang berkait erat dengan permasalahan penelitian. Mengacu pendapat dari pakar metodologi tersebut, penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelum

28 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup menetapkan Kabupaten Bantul sebagai lokasi penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan penjajagan awal. Menurut Moleong (2014: 130), penjajagan awal dimaksudkan untuk melihat kesesuaian objek yang akan diteliti dengan kenyataan data yang ada di lapangan. Dengan pernyataan lain, penjajagan awal bertujuan untuk mendalami ada tidaknya kesesuaian antara tujuan penelitian yang ditetapkan dengan keberadaan data di lokasi penelitian. Atas dasar pendapat pakar metodologi tersebut, Kabupaten Bantul ditetapkan sebagai lokasi penelitian ini, dan berikut beberapa pertimbangan yang digunakan peneliti sehingga Bantul dipilih menjadi daerah penelitian. Pertama, di wilayah tersebut berdasar hasil penjajagan awal tersedia data yang dibutuhkan serta sesuai dan mendukung tujuan penelitian ini. Kedua, di Kabupaten Bantul terdapat organisasi mantan pejuang bernama Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) yang pada tahun 2020 beranggotakan sebanyak 477pejuang veteran dan 634 orang janda/duda veteran. Selain alasan di atas, Bantul ditetapkan sebagai lokasi penelitian juga atas pertimbangan bahwa di kabupaten tersebut terdapat banyak tempat menjadi simbol mengandung nilai kepahlawanan. Tempat bersejarah dimaksud tentunya dapat mengobarkan semangat warga masyarakat termasuk pejuang veteran untuk senantiasa menghayati nilai kepahlawanan, dan selanjutnya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai landasan menuju kemandirian. Tempat sebagai simbol yang mengandung nilai kepahlawanan di wilayah Kabupaten Bantul antara lain: 1) Makam Hastarengga di Kecamatan Imogiri sebagai makam Raja Yogyakarta, di antaranya dimakamkan Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang keduanya merupakan pahlawan nasional. 2) Goa Selarong di Kecamatan Pajangan merupakan tempat yang oleh Pangeran Diponegoro digunakan sebagai salah satu markas perjuangan. 3) Monumen Ngoto di Kecamatan Sewon sebagai tetenger tempat jatuhnya pesawat Dacota yang membawa obat-obatan dari India dengan gugurnya pahlawan nasional Adi Sucipto dan Adi Sumarmo karena ditembak Belanda di masa revolusi fisik. 4) Monumen Bibis di Kecamatan Kasihan sebagai prasasti tempat yang oleh Letkol Soeharto digunakan sebagai markas Serangan Umum 1 Maret 1948. Berdasar

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 29 pertimbangan sebagaimana dikemukakan, maka Kabupaten Bantul ditetapkan sebagai lokasi karena mendukung tujuan penelitian ini.

C. Penentuan Sasaran Subjek Penelitian Sasaran subjek penelitian ini mencakup pejuang veteran yang dijadikan informan dan responden. Informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive dengan kriteria tertentu, yaitu seseorang yang dipandang cakap dan memiliki pengetahuan, pemahaman, dan mampu menjelaskan berbagai informasi yang dibutuhkan berkait dengan keberadaan pejuang veteran di Kabupaten Bantul. Seseorang yang ditetapkan sebagai informan dalam penelitian ini harus mampu memberikan berbagai informasi yang dibutuhkan. Berkait dengan peran seorang informan, Moleong (2014: 90) mengemukakan “… sekurang-kurangnya memiliki kriteria jujur, suka berbicara, menguasai kondisi dan situasi lapangan, mampu menerangkan tema kajian, serta memahami betul tentang sikap, nilai, dan budaya yang dianut oleh warga masyarakat setempat. Mengacu kriteria tersebut, maka informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengurus inti organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Cabang Kabupaten Bantul, yang berjumlah tujuh orang. Responden penelitian ini ditentukan sebanyak 30 pengurus organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) ranting kecamatan di seluruh wilayah Kabupaten Bantul.Pada tingkat ranting yang terdiri dari 17 kecamatan, maka masing-masing dipilih secara random (acak) satu orang pengurus. Kemudian untuk menggenapi 30 responden, peneliti kembali memilih juga dilakukan secara acak masing-masing satu orang dari sejumlah kecamatan yang memiliki anggota terbanyak hingga berjumlah 13 orang pejuang veteran.Dengan demikian, jumlah responden seluruhnya adalah genap sebanyak 30 orang pejuang veteran.

D. Teknik Pengumpulan Data. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan secara triangulasi sesuai dengan salah satu tujuan penggunaan metode campuran (mixed method) sebagaimana dikemukakan. Hadi Sabari Yusus (2016: 409)

30 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup menyatakan, metode triangulasi adalah suatu metode untuk mengumpulkan data dengan cara menggabungkan berbagai teknik pengumpulan data dengan maksud untuk memperoleh tingkat kebenaran yang tinggi. Dalam praktik di lapangan, pengumpulan data dilakukan secara triangulasi dengan menggunakan empat teknik yang berbeda yaitu kuesioner,wawancara berpanduan, observasi, dan telaah dokumen. Penggunaan teknik triangulasi sebagai upaya untuk memperoleh gambaran permasalahan seobjektif mungkin dalam penelitian sosial, sehingga pendapatkan kesimpulan yang juga objektif, lengkap dan akurat. Berikut diuraikan secara terperinci empat teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti. 1. Kuesioner Berkait dengan instrumen pengumpul data berupa kuesioner Hadi Sabari Yunus (2016:366) menyatakan, kuesioner adalah sekumpulan pertanyaan yang telah dibuat sedemikian rupa oleh peneliti untuk mengumpulkan data dalam upayanya memberikan jawaban ilmiah terhadap permasalahan yang telah dirumuskan. Dalam konteks yang sama Suharsimi Arikunto (2013: 268) lebih lanjut mengemukakan, bahwa daftar pertanyaan (kuesioner) memang mempunyai kebaikan sebagai instrumen pengumpul data, asal cara dan pengadaannya mengikuti persyaratan yang telah digariskan dalam penelitian, yaitu harus melalui prosedur meliputi: a) merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan instrumen tersebut. b) mengidentifikasi aspek yang akan dijadikan sasaran objek penelitian. c) menjabarkan setiap aspek menjadi sub- sub yang lebih sepesifik dan tunggal. d) menetapkan jenis data yang dikumpulkan, sekaligus untuk menentukan teknik analisisnya. Peneliti ini dalam menyusun kuesioner sebagai instrumen pengumpul data selain melalui prosedur tersebut juga mengacu Nasution (2019: 130) yang menegaskan, banyak kuesioner yang menggunakan pertanyaan tertutup dan terbuka sekaligus. Di samping pertanyaan tertutup yang mempunyai sejumlah jawaban, ditambah alternatif pertanyaan terbuka yang memberi kesempatan kepada subjek penelitian untuk memberi jawaban selain atau di luar jawaban yang tersedia. Berkait dengan kombinasi pertanyaan tersebut Hadi Sabari Yunus (2016: 369) mengistilahkan dengan pertanyaan hibrida, adalah suatu pertanyaan yang sebagian tertutup dan sebagian terbuka namun masih dalam

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 31 konteks yang sama, dimaksudkan untuk memudahkan analisis data. Sejumlah kaidah sebagaimana dikemukakan digunakan oleh peneliti sebagai acuan dalam menyusun kuesioner penelitian ini. Kuesioner digunakan untuk mengungkap data berkait dengan tiga aspek yang menjadi fokus kajian. Pertama, adalah menungkap karakteristik pejuang veteran meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, jabatan dalam organisasi LVRI, jabatan/kepengurusan dalam lembaga atau organisasi sosial kemasyarakatan, dan jenis keveteranan. Kedua, mengungkap seberapa tingkat penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan mencakup nilai sikap militansi, gagah berani, rela berkorban, percaya kemampuan sendiri, tanggung jawab, cita-cita, wibawa dan berpengaruh besar, kepribadian kuat, dan nilai kemampuan menghimpun semangat juang. Ketiga, mengungkap tingkat kemandirian hidup pejuang veteran meliputi kemandirian dalam memenuhi kebutuhan secara material, kebutuhan spiritual, dan memenuhi kebutuhan sosial. 2. Wawancara. Sehubungan dengan penggunaan teknik wawancara Hadi Sabari Yunus (2016: 357) menyatakan, dalam melakukan kegiatan wawancara ada tatakrama (sopan santun) yang harus dilakukan oleh pewawancara agar data yang diperoleh benar-benar dapat dipercaya dan sesuai dengan fakta atau pemahaman pihak diwawancarai. Pakar metodologi tersebut lebih lanjut menyatakan, bahwa ada tiga hal penting yang perlu dipahami oleh pewawancara dalam melaksanakan wawancara yaitu: a) pemakaian bahasa yang mudah dipahami. b) kepekaanpewawancara dalam membaca pihak yang diwawancarai beserta lingkungannya.c) kesantunan pewawancara. Sutrisno Hadi sebagaimana dikutip Sugiyono (2017: 38) berkait dengan teknik pengumpulan data ini mengemukakan, bahwa tiga hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti dalam menggunakan metode wawancara dan kuesioner, yaitu: a) bahwa subjek (responden) adalah orang yang paling mengetahui tentang dirinya sendiri. b) bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya. c) bahwa interpretasi subjek tentang pertanyaan yang diajukan peneliti kepadanya adalah sama dengan perihal yang dimaksud oleh peneliti.

32 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup Wawancara digunakan dengan memperhatikan pendapat pakar metodologi tersebut, yakni bahwa pejuang veteran sebagai subjek penelitian adalah orang yang paling mengetahui tentang diri pribadinya. Pengetahuan diri pejuang veteran ini tentunya termasuk seberapa dirinya menghayati nilai kepahlawanan, mengimplementasikan dalam kehidupan keseharian, dan seberapa kemandirian hidup mereka baik dalam memenuhi kebutuhansecara material, kebutuhan spiritual, maupun dalam memenuhi kebutuhan sosial. Pejuang veteran yang dijadikan informan adalah pengurus inti Legiun Veteran Republik ndonesiaI Cabang Kabupaten Bantul. Pejuang veteran selaku informan diharapkan dapat dipercaya sehingga perihal yang disampaikan adalah suatu kebenaran. Selain itu, mereka juga mampu menginterpretasikan berbagai pertanyaan yang diajukan peneliti berkait dengan tema kajian dalam penelitian ini. Wawancara dilakukan untuk menggali secara lebih mendalam data yang berkait dengan penghayatan pejuang veteran atas nilai-nilai kepahlawanan terutama implementasinya dalam kehidupan untuk menuju kemandirian. Penggunaan teknik tersebut mengacu pada panduan wawancara, yang dimaksudkan untuk mendalami data secara langsung dari setiap pejuang veteran selaku informan. Berikut tiga pertimbangan peneliti menggunakan wawancara berpanduan: a) agar mendapatkan data secara terperinci dan langsung dari pejuang veteran selaku informan. b) jikalau data yang diperoleh dirasa belum memadai, peneliti sewaktu-waktu dapat mengkorfirmasi kembali kepada informan. c) Jika pejuang veteran selaku informan belum/tidak memahami maksud dari pertanyaan yang diajukan, peneliti dapat memberi penjelasan secara lebih terperinci sehingga setiap informasi yang diperoleh dari informan lebih detail dan komprehensif. Dalam pelaksanaan di lapangan, wawancara dilakukan atas dasar kesepakatan antara peneliti dengan pejuang veteran selaku informan pada saat mereka hadir di kantor sebagai pengurus Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Cabang Kabupaten Bantul. Berdasar kesepakatan dengan setiap pejuang veteran, maka dimungkinkan pelaksanaan wawancara di kantor sekretariat organisasi tersebut. Akan tetapi dimungkinkan pula dilakukan secara on the spote, yakni peneliti mendatangi setiap pejuang veteran selaku informan dengan mengadakan wawancara di rumah tempat tinggalnya.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 33 3. Observasi. Sehubungan dengan observasi sebagai teknik pengumpul data Nasution (2019: 106) menyatakan, observasi sebagai alat pengumpul data hendaknya dilakukan secara sistematis, bukan observasi sambil-sambilan atau secara kebetulan. Dalam observasi diusahakan mengamati keadaan secara wajar dan yang sebenarnya tanpa usaha yang disengaja untuk mempengaruhi atau memanipulasi keadaan. Sutrisno Hadi sebagaimana dikutip Sugiyono (2017: 145) mengemukakan, observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting dalam observasi adalah proses pengamatan dan ingatan. Berkait dua aspek terpenting yang dikemukakan pakar metodologi tersebut, dalam implementasi di lapangan peneliti menggunakan panduan observasi. Sementara untuk mengatasi keterbatasan ingatan, peneliti berupaya segera melakukan pencatatan setiap mengadakan pengamatan atas berbagai objek yang merupakan hasil amatan data penelitian ini. Upaya peneliti mencatat hasil pengamatan ini senada dengan pendapat Nasution (2019: 110) yang menyatakan, bahwa dalam observasi perlu memperhatikan beberapa hal di antaranya adalah cara mencatat hasil observasi, cara yang mudah ialah menggunakan kamera tape recorder, atau alat mekanis lain, meskipun banyak juga hal yang harus dicatat setelah observasi dilakukan. Observasi dalam penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mengamati secara langsung subjek dan objek penelitian seperti kondisi fisik atau tampang setiap pejuang veteran selaku informan. Kondisi rumah tempat tinggal ataupun lingkungan ketetanggaan mereka. Kegiatan hidup keseharian utamanya yang berkait dengan implementasi atas penghayatan nilai kepahlawanan. Selain itu, juga pengamatan terhadap kemandirian setiap pejuang veteran, baik pengamatan terhadap kegiatan dalam pemenuhan kebutuhan hidup secara material yakni berkait kegiatan usaha ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup keseharian, pengamatan terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual misalnya berkait dengan kegiatan keagamaan, dan pengamatan terhadap kegiatan pemenuhan kebutuhan sosial kemasyarakatan. Selain bertujuan untuk mengamati secara langsung subjek dan objek penelitian, teknik observasi digunakan dengan maksud: a) mencocokkan data yang berhasil

34 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup dihimpun melalui kuesioner dan wawancara dengan kondisi fisik sebenarnya yang ada di lapangan. b) melihat secara langsung perilaku/perbuatan dan tindakan nyata keseharian pejuang veteran selaku informan berkait dengan implementasi atas penghayatan nilai kepahlawanan dan kemandirian hidup mereka. c) melengkapi data yang belum berhasil diungkap melalui kuesioner dan teknik wawancara. Observasi digunakan sebagai teknik pengumpul data pendukung. Melalui observasi, diharapkan data yang diperoleh baik data penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan, implementasi nilai kepahlawanan dalam kehidupan keseharian, maupun data tentang kemadirian mereka, benar-benar akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Demi efektivitas dan efisiensi dalam pengumpulan data baik dari segi waktu, tenaga, maupun beaya, kegiatan pengamatan sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan secara bersamaan waktu dengan pelaksanaan wawancara. 4. Studi Dokumen. Berkait dengan teknik pengumpulan data iniSuharsimi Arikunto (2013: 274) mengemukakan, bahwa studi dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Telaah dokumentasi sebagai salah satu teknik pengumpul data dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menggali berbagai data pendukung yang relevan dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Data pendukung yang dimaksudkan dalam penelitian ini dapat berupa catatan, skema ataupun foto/gambar. Berbagai dokumen yang dihimpun oleh petugas berwenang tersebut dimanfaatkan oleh peneliti seperti “Bantul dalam Angka” digunakan untuk mendeskripsikan kondisi wilayah Kabupaten Bantul sebagai lokasi penelitian. Catatan seperti transkrip, notulen rapat, agenda kegiatan yang didokumentasikan oleh pengurus Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Cabang Kabupaten Bantul digunakan oleh peneliti sebagai data pendukung untuk memperkaya pembahasan hasil analisis data. E. Pengolahan Data. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melaui dua tahap berikut. Pertama, pengaturan data. Pada tahap ini dilakukan seleksi atau pengeditan

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 35 data, yakni meneliti kembali seluruh data yang telah terhimpun melalui kuesioner untuk mengecek kelengkapan dan kejelasan dari setiap jawaban pejuang veteran selaku responden. Kedua, penyajian data. Setelah pemeriksaan dan pengeditan data selesai, kemudian data disajikan dalam bentuk grafik, yakni menyusun dan memindahkan segenap data penelitian ini ke dalam grafik, untuk menggambarkan secara deskriptif persentatif mengenaitingkat penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan dan atau tingkat kemandirian mereka dalam hidup bermasyarakat. Berkait dengan data yang disajikan dalam bentuk grafik Burhan Bungin (2018: 64) mengemukakan, gambaran data yang tertuang dalam grafik merupakan cerminan dari keadaan nyata orang yang terbesar di tengah masyarakat. Ini merupakan hasil “meringkas” kenyataan subjek penelitian yang terbesar di masyarakat. F. Analisis Data. Data yang telah tersaji secara kuantitatif persentatif dalam setiap grafikbaik menyangkut karakteristik pejuang veteran, tingkat penghayatan atas nilai kepahlawanan dan tingkat kemandirian mereka, kemudian dianalisa secara deskriptif sebagai upaya untuk memberikan makna dari setiap jenis data. Menurut Sugiyono (2017: 146) makna adalah nilai-nilai yang terkandung di balik perilaku yang tampak, yang terucapkan, dan yang tertulis. Data dalam setiap grafik yang merupakan hasil pengolahan data tersebut, selanjutnya dimaknai secara kualitatif. Angka-angka yang ada di dalam grafik tersebut ditafsirkan untuk dicari maknanya, dan tafsiran atau pemaknaan dimaksud tentu harus sesuai dengan “apa katanya” data dalam grafik itu sendiri.

36 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup BAB IV HASIL PENELITIAN

Sebagai hasil penelitian pada bab ini diawali dengan penyajian tentang gambaran umum Kabupaten Bantul yang menjadi lokasi kajian. Kemudian disajikan analisis data tentang karakteristik responden, penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan, dan analisis data tentang kemandirian mereka. Sajian dalam bab ini diakhiri dengan pembahasan hasil analisis data.

A. Gambaran Umum Kabupaten Bantul Kabupaten Bantul berdiri tidak lepas dari perjalanan sejarah dengan peninggalan masa lampau yang diwariskan nenek moyang leluhur warga masyarakat setempat. Peninggalan sebagai warisan leluhur tersebut dapat bersifat fisik ataupun non fisik yang kesemuanya mengandung nilai kepahlawanan. Peninggalan bersifat fisik di antaranya situs istana Kerajaan Mataram semasa raja Panembahan Senopati di Kotagede, Sultan Agung di Kerta, dan Amangkurat I di Pleret. Selain peninggalan fisik tersebut, keberadaan makam raja Panembahan Senopati beserta keluarga di Kotagede, dan makam “Hastarengga” di Imogiri sebagai makam raja Sultan Agung dan raja berikutnya hingga Sri Sultan Hamengkubuwana IX juga merupakan peninggalan fisik yang mengandung simbol nilai kepahlawanan. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua raja tersebut semasa hidupnya sangat anti terhadap penjajahan, bahkan atas kegigihannya dalam melawan penjajah Sultan Agung dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX oleh pemerintah Indonesia dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional. Pada masa kolonial Pangeran Diponegoro secara fisik juga meninggalkan tempat yang mengandung nilai kepahlawanan seperti kawasan perdesaan di Kecamatan Pleret dan Goa Selarong di Kecamatan Pajangan. Peninggalan yang bersifat non fisik adalah berwujud “rekaman” pengalaman hidup di masa lampau yang oleh warga masih dilestarikan hingga saat ini. Peninggalan yang bersifat non fisik antara lain berupa pengetahuan, budaya mencakup (tradisi, seni, bahasa/ungkapan, dan norma), tata nilai,

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 37 keyakinan/kepercayaan, pandangan hidup, keterampilan, proses sosial mencakup kerukunan, keharmonisan, dan kesetiakawanan warga masyarakat. Contoh peninggalan non fisik yang mengandung nilai kepahlawanan misalnya ungkapan lokal sak dumuk bathuk senyari bumi kudu ditohi tekan pati yang artinya kalau sudah menyangkut bathuk (dahi) maksudnya harga diri atau seluas jari menyangkut bumi akan dibela sampai mati. Semasa Sri Sultan Hamengkubuwono V, setelah berakhirnya perang Diponegoro dengan situasi dan kondisi kembali tenang, Raja Yogyakarta tersebut melakukan pembagian daerah kasultanan menjadi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Denggung di wilayah bagian utara, Kabupaten Kalasan di wilayah bagian timur, dan Kabupaten Bantul Karang di wilayah bagian selatan. Pembagian daerah kasultanan oleh raja Yogyakarta tersebut juga diikuti pengangkatan bupati sebagai kepala daerah. Pada tanggal 20 Juli 1831 wilayah Bantul ditetapkan secara resmi sebagai daerah kabupaten dengan nayaka (kerabat) Kasultanan Yogyakarta bernama Raden Tumenggung Mangun Negoro sebagai bupati pertama. Peristiwa sejarah 20 Juli ini akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Bantul yang selalu diperingati setiap tahun oleh aparat pemerintah bersama warga masyarakat setempat. Menurut sumber data, Helmi Jamharis yang pada saat penelitian ini menjabat Sekretaris Daerah mengemukakan, bahwa tanggal 20 Juli bagi warga masyarakat Bantul dipandang memiliki nilai “keramat”. Selain sebagai hari jadi berdirinya kabupaten jika mengacu perang Diponegoro yang mulai dikobarkan pada 20 Juli 1825, maka tanggal 20 Juli juga memiliki nilai kepahlawanan dan merupakan simbol ketahanan sosial yang dapat memberi inspirasi bagi warga masyarakat Bantul untuk mencapai kemandirian dalam berbagai aspek kehidupan. Di wilayah Kabupaten Bantul dalam kaitan dengan tema kajian ini, juga ditemukan beberapa tempat bersejarah yang memiliki nilai kepahlawanan. Buku Bantul Dalam Angka 2019 menyebutkan, Bantul menyimpan banyak kisah kepahlawanan, antara lain perlawanan Pangeran Mangkubumi di Ambarketawang dan upaya pertahanan Sultan Agung di Pleret, perjuangan Pangeran Diponegoro di Selarong, kisah ditembak Belanda pioner penerbang Adisucipto yang pesawatnya jatuh di Dusun Ngoto. Wilayah Bantul juga

38 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup sebagai basis perang gerilya yang dipimpin Jenderal dan serangan umum 1 Maret 1949 yang dicetuskan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Keberadaan tempat bersejarah tersebut tentu menjadi faktor pendorong bagi warga masyarakat setempat dalam memahami, memaknai, menghayati, dan mengimplementasikan atau mengamalkan nilai-nilai kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut sejumlah tempat di Kabupaten Bantul bernilai sejarah yang sarat dengan nilai kepahlawanan. Cepuri Parangkusuma. Tempat ini terletak di kawasan pantai Parangtritis tepatnya berada di Dusun Grogol X, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek. Menurut cerita yang berhubungan dengan kejadian tempat (legenda) yang ada dalam masyarakat setempat, Cepuri Parangkusuma tempo dulu digunakan oleh para raja Mataram sebagai tempat untuk berdo’a kepada Tuhan Yang Mahaesa. Berdo’a dalam istilah lokal pada masa itu disebut bersemedi, yakni memohon kepada Tuhan pencipta alam agar senantiasa mendapat kekuatan spiritual dalam berjuang mengadakan perlawanan untuk mengusir penjajah. Menurut juru kunci Cepuri Parangkusuma, tempat sakral tersebut juga digunakan berdo’a oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Sri Sultan Hamengkubuwana IX yang keduanya mendapat anugerah gelar sebagai pahlawan nasional dari pemerintah Indonesia. Makam Hastarengga. Makam ini berada di Dusun Pajimatan, Desa Imogiri, Kecamatan Imogiri. Makam yang dibangun oleh Sultan Agung merupakan tempat disemayamkan raja Mataram hingga raja Kasultanan Yogyakarta dan raja Kasunan ataupun Pakubuwanan Surakarta. Di antara raja yang disemayamkan di makam Hastarengga dan semasa hidupnya menentang penjajahan adalah Sultan Agung Hanyakrakusuma, Pangeran Samber Nyawa (Sri Sultan Hamengkubuwana I), dan Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Keberadaan makam yang berdasar hasil observasi dibangun dengan benteng yang sangat kokoh tentu merupakan simbol pondasi spiritual warga masyarakat Bantul pada umumnya, khususnya bagi pejuang veteran di daerah setempat dalam menghayati dan mengimplementasikan/mengamalkan nilai- nilai kepahlawanan dalam kehidupan keseharian. Goa Selarong. Goa besejarah ini terletak di Dusun Kembangputihan, Desa Guwasari, Kecamatan Pajangan. Goa ini pernah digunakan oleh Pangeran Diponegoro sebagai markas dalam menyusun strategi perang

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 39 gerilya. Sebagaimana dikemukakan Warto (2016: 221), dari Kalisoko Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya berpindah menuju Goa Selarong yang berjarak 13 km dari Keraton Yogyakarta. Berlandaskan semangat sedumuk bathuk , senyari bumi kudu ditohi tekan pati, yang menurut Nindya Noegraha (2010: 42) berarti sejari kepala maksudnya harga diri, sejengkal tanah harus dibela sampai mati, serdadu Belanda yang mengejar selalu dapat dibinasakan oleh pasukan Pangeran Diponegoro di bawah kepemimpinan Mulyo Sentiko. Bermarkas di Goa Selarong pasukan Diponegoro berhasil mengepung Belanda yang telah menguasai Keraton Yogyakarta sehingga membuat keadaan menjadi kacau. Keberadaan goa bersejarah yang berhubungan erat dengan peristiwa kepahlawanan Pangeran Diponegoro ini tentu senantiasa mengingatkan masyarakat khususnya warga Bantul dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai kepahlawanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, paling tidak dalam hidup keseharian di lingkungan ketetanggaan. Monumen Ngoto. Monumen ini dibangun oleh pemerintah di Dusun Ngoto, Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon. Monumen ini merupakan tetenger atau “prasasti” sebagai lokasi jatuhnya pesawat Dacota yang membawa peralatan medis dan obat-obatan dari Negara India untuk keperluan perawatan pasukan perang. Pesawat dengan pilot/co pilot Adi Sucipto dan Adi Sumarmo gugur dalam peristiwa tersebut, dan keduanya dianugerahi gelar pahlawan nasional, bahkan Adi Sucipto diabadikan menjadi nama Bandar udara Yogyakarta dan Adi Sumarmo sebagai nama bandara Surakarta. Oleh karena itu banyak nilai kepahlawanan yang dapat dipetik dari gugurnya dua pahlawan kusuma bangsa tersebut. Keberadaan monumen tempat jatuhnya pesawat AURI tersebut tentu memberi semangat dan mendorong masyarakat Bantul khususnya pejuang veteran dalam menghayati dan mengimplementasikan nilai kepahlawanan dalam hidup bermasyarakat. Monumen Bibis. Monumen bersejarah ini dibangun di Dusun Bibis, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan. Tempat didirikan monumen ini pada tahun 1948 merupakan rumah pendapa Joglo milik Kepala Dusun Bibis yang oleh Letkol Soeharto digunakan sebagai markas dalam menyusun strategi serangan umum 1 Maret 1948 dari arah selatan Yogyakarta. Berkat strategi

40 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup perang yang dirumuskan di tempat ini serangan umum 1 Maret 1948 berjalan mulus. Tentara Nasional Indonesia bersama laskar rakyat pejuang berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih memiliki pertahanan yang memadai. Sebagai prasasti untuk mengenang tempat bersejarah dalam kaitan dengan peristiwa serangan umum 1 Maret, maka di tempat tersebut dibangun monumen bibis, dan pembangunan monumen tersebut dengan harapan mampu menggelorakan semangat kepahlawanan masyarakat khususnya warga Bantul. Keberadaan monumen bersejarah ini tentu berpengaruh terhadap warga setempat dalam pemahaman, penghayatan, dan pengimplementasian nilai kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari. Monumen Soeharto. Monumen ini berada di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu. Monumen bersejarah tersebut dibangun untuk mengenang almarhum Jenderal Soeharto atas jasa dan pengabdiannya bagi bangsa dan negara Indonesia. Di halaman pendapa joglo berdiri patung megah Jenderal Soeharto. Di dalam gedung komplek monumen disajikan diorama, film dokumenter, dan buku pustaka yang menggambarkan riwayat perjuangan mantan presiden kedua Republik Indonesia dari awal karier di militer, penumpasan G 30 S/PKI 1965, hingga menjadi Presiden Republik Indonesia. Pembangunan monumen ini selain untuk mengenang perjuangan dan jasa Jenderal Soeharto bagi negara Indonesia, diharapkan juga mampu menggelorakan semangat dan perjuangan masyarakat khususnya warga Bantul dalam melaksanakan pembangunan dengan berlandaskan nilai keteladanan yang dapat dipetik dari tokoh tersebut. Kondisi Kabupaten Bantul sebagaimana digambarkan mengisyaratkan, bahwa warga masyarakat di daerah tersebut secara historis memiliki jiwa perjuangan yang memadai. Sikap kejuangan inilah yang lebih lanjut mendorong warga setempat untuk cenderung ikut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sehingga membuat banyaknya pejuang veteran di wilayah ini. Dalam tabel berikut disajikan data keberadaan pejuang veteran dan janda/duda veteran di Kabupaten Bantul.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 41 Tabel 1: Keberadaan Pejuang Veteran dan Janda/Duda Veteran diKabupaten Bantul

No Kecamatan Veteran Janda/Duda Jumlah Persentase 1 Bantul 51 46 97 8.73 2 Sedayu 29 37 66 5.94 3 Kasihan 39 44 83 7.47 4 Sewon 34 47 81 7.29 5 Banguntapan 34 29 63 5.67 6 Pleret 38 69 107 9.63 7 Piyungan 35 54 89 8.01 8 Jetis 14 28 42 3.78 9 Imogiri 21 36 57 5.13 10 Dlingo 18 7 25 2.25 11 Pundong 13 17 30 2.70 12 Kretek 24 45 69 6.21 13 Bambanglipuro 12 18 30 2.70 14 Sanden 48 71 119 10.71 15 Pandak 25 42 67 6.03 16 Srandakan 32 32 64 5.76 17 Pajangan 10 12 22 1.98 TOTAL 477 634 1.111 100.00 Sumber: Legiun Veteran RI Cabang Kabupaten Bantul, 2020 Data pada tabelsatu menunjukkan, bahwa jumlah keseluruhan pejuang veteran di Kabupaten Bantul ternyata relatif banyak yakni 477 orang. Perihal yang sangat menarik adalah keberadaan janda/duda pejuang veteran yang ternyata jumlahnya bahkan kebih banyak yakni 634 orang. Data ini memberi petunjuk, bahwa setidaknya di Kabupaten Bantul pernah memiliki pejuang veteran paling tidak sebanyak 1.111 orang meskipun sebagian besar telah meninggal dunia. Pada sisi lain data juga memperlihatkan, bahwa pejuang veteran di kabupaten yang menjadi lokasi penelitian ini keberadaannya menyebar hampir merata di setiap kecamatan. Penyebaran data tersebut dapat dimaknai, bahwa secara umum warga masyarakat di Kabupaten Bantul memiliki semangat juang yang memadai. Kondisi ini berkorelasi dengan keberadaan sejumlah tempat bersejarah berkait dengan perjuangan yang mengandung nilai kepahlawanan. Sejumlah tempat itu misalnya situs Kerto di Kecamatan Pleret sebagai petilasan zaman keemasan Keraton Mataram pada

42 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup masa Raja Sultan Agung, monumen Bibis di Kecamatan Kasihan yang merupakan markas serangan umum 1 Maret 1949, dan monumen Ngoto di Kecamatan Sewon sebagai prasasti ditembak jatuhnya pesawat Dacota dengan gugurnya Adi Sucipto dan Adi Sumarmo, yang kesemuanya oleh pemerintah RI dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Ketiga tempat tersebut apabila dikorelasikan dengan keberadaan jumlah pejuang veteran dan janda/duda veteran, ternyata berkolerasi karena data persentase menunjukkan 9.63 persen di Kecamatan Pleret, 7.29 persen di Kecamatan Sewon,dan 7.47 persen di Kecamatan Kasihan. Pembentukan organisasi Legiun Veteran Tingkat Cabang Kabupaten Bantul mengacu Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 1957 tentang Legiun Veteran. Keputusan presiden tersebut menetapkan, terhitung tanggal 1 Januari 1957 mengesahkan pembentukan Legiun Veteran Republik Indonesia dan mengakuinya sebagai satu-satunya badan yang mewakili kaum veteran dalam hubungan dengan instansi pemerintah dan organisasi veteran internasional. Berikut disajikan struktur organisasi LVRI Tingkat Cabang Kabupaten Bantul saat penelitian ini dilakukan.

STRUKTUR ORGANISASI DEWAN PIMPINAN CABANG LVRI KABUPATEN BANTUL

WANTIMCAB KETUA PVERI KETUA PPM

ANGGOTA WAKIL KETUA

SEKRETARIS I BENDAHARA

SEKRETARIS II

SIE. ORG DIK SIE. UMUM

DPR1 DPR3 DPR5 DPR7 DPR9 DPR11 DPR13 DPR15 DPR17

DPR2 DPR4 DPR6 DPR8 DPR10 DPR12 DPR14 DPR16

Bagan 2: struktur Organisasi Legiun Veteran Tingkat Cabang Kabupaten Bantul

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 43 Mencermati struktur Dewan Pimpinan Cabang LVRI KabupatenBantul dapat ditegaskan, bahwa kepengurusan organisasi pejuang tersebut terdiri dari unsur dewan pertimbangan, unsur ketua, unsur sekretaris, unsur bendahara, dan unsur seksi. Perihal yang menarik dalam kaitan dengan penelitian ini adalah keberadaan seksi organisasi dan pendidikan. Melalui wawancara dengan M. Akhir (67 tahun) selaku sekretaris II sebagai upaya pendalaman diperoleh informasi, bahwa di antara tugas seksi ini adalah melakukan pendidikan dan pelatihan anggota dalam rangka pembinaan pejuang veteran tentang nilai kejuangan dan nilai kepahlawanan. Selain itu, dalam upaya mewariskan nilai-nilai kepahlawanan kepada generasi muda penerus cita-cita bangsa, Markas Besar Legiun Veteran Republlik Indonesia pada tahun 2016 berhasil merumuskan materi pelatihan bagi pejuang veteran calon pelaksana sosialisasi pewarisan nilai-nilai kejuangan bangsa Indonesia.

B. Analisis Data Data yang dianalisa dalam bagian ini mencakup karakteristik pejuang veteran selaku responden, data penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan, dan data kondisi kemandirian mereka. Berikut sajian analisis data terhadap tiga aspek tersebut. 1. Karakteristik Responden Responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pejuang veteran berjumlah 30 orang yang memberi respons atau tanggapan terhadap daftar pertanyaan (kusioner) yang peneliti sampaikan kepada mereka. Melalui kuesioner selain dihimpun data pokok tentang penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan dan kemandirian hidup mereka, juga dihimpun data mengenai karakteristik responden meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, jabatan kepengurusan pada organisasi LVRI, jabatan kepengurusan dalam lembaga ataupun organisasi kemasyarakatan, dan jenis keveteranan. a. Jenis Kelamin Berdasarkan jenis kelamin, bahwa pejuang veteran selaku responden yang berjumlah 30 orang ternyata sebagian besar yakni sebanyak 27 orang (90,00 %) berjenis kelamin laki-laki. Data yang berhasil dihimpun dalam

44 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup penelitian ini menunjukkan, hanya sejumlah tiga orang (10,00 %) yang berjenis kelamin perempuan. Keberadaan responden pejuang veteran berjenis kelamin perempuan yang ternyata relatif sedikit apabila dikaitkan dengan situasi dan kondisi pada masa mereka berjuang sangatlah wajar sehingga dapat dimaklumi. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012, bahwa pejuang veteran ini digolongkan menjadi tiga kategori. Pertama, veteran pejuang kemerdekaan yang berjuang pada masa revolusi fisik pasca proklamasi antara 17 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949. Kedua, veteran pembela kemerdekaan yang berjuang ikut mempertahankan kedaulatan negara setelah 27 Desember 1949. Pejuang veteran kategori ini meliputi veteran pembela Trikora, veteran pembela Dwikora, dan veteran pembela Seroja.Ketiga, veteran perdamaian yaitu pejuang yang menjadi pasukan internasional di bawah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melaksanakan misi perdamaian dunia. Ketiga jenis perjuangan itu semuanya selain membutuhkan kondisi fisik yang kuat, juga memerlukan kesiapan mental dan ketahanan psikologissecara memadai serta memiliki keberanian yang luar biasa. Sehubungan dengan tuntutan persyaratan berat tersebut, maka kebanyakan kaum laki-laki yang mengambil peran dan kesempatanikut andil untuk melakukan perjuangan demi bangsa dan negara. Dengan demikian, keberadaan pejuang veteran yang kebanyakan berjenis kelamin laki-laki dapat dipahami. b. Usia Usia pejuang veteran apabila dikaitkan dengan periode atau masa perjuangan mereka, maka diperoleh rentang usia antara 61 tahun hingga 95 tahun. Dalam grafik berikut disajikan usia pejuang veteran yang menjadi responden penelitian ini.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 45 Sumber: hasil analisis data primer, 2020

Grafik 1: Responden Berdasar Usia

Data pada grafik satu memperlihatkan, bahwa sebagian kecil yakni lima orang (16,67 %) pejuang veteran selaku responden telah memasuki usia 76 hingga 95 tahun. Ditinjau dari sisi usia, pejuang veteran kelompok ini memang dapat dikatakan sudah berusia renta. Akan tetapi mereka masih mampu mandiri khususnya dalam aktivitas mengurus diri sendiri. Dalam pendalaman lanjut melalui wawancara, lima orang ini masing-masing masih mempunyai kegiatan usaha yang bersifat ekonomi produktif, di antara usaha ekonomi yang mereka miliki adalah mengelola tempat kos, catering yang memproduksi makanan ringan, menanam sayur dengan media pot, dan memelihara ayam buras. Sementara sebagian besar pejuang veteran yang menjadi responden penelitian ini adalah berusia antara 61 hingga 75 tahun yakni sebanyak 25 orang (83,33 %). Dengan demikian, ditinjau dari sisi usia sebagian veteran selaku responden telah memasuki usia renta, tetapi rerata mereka masih mampu melakukan berbagai kegiatan atau usaha yang bersifat ekonomi produktif. Berdasar data yang berhasil dihimpun, usaha dari sebagian responden yang bersifat ekonomi produktif di antaranya berkebun dengan tanaman pisang dan buah-buahan, bertani di sawah dengan menanam padi ataupun palawija, beternak ayam buras, memelihara ikan/lele dengan media

46 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup kolam, serta memelihara sapi dan kambing. Kegiatan usaha ekonomi produktif pejuang veteran selaku responden juga dapat dilihat dalam pekerjaan mereka sebagaimana disajikan pada grafiktigadi bawah. Dengan pernyataan lain, sebagian besar dari mereka bahkan hampir semuanya masih dapat mandiri. Menurut Oetari Oetoyo sebagaimana dikutip Sri Salmah, (2010: 12), mandiri diartikan keadaan individu yang masih mempunyai kemampuan mendayagunakan berbagai sumber dan potensi, sehingga berhasilguna dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup tanpa mengabaikan kelestariannya. Pejuang veteran yang rerata telah berusia lanjut dengan mendayagunakan sisa tenaga dan pikiran, terbukti mampu melakukan kegiatan bersifat ekonomi produktif sebagai upaya menambah penghasilan dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. c. Pendidikan Sebagaimana diketahui, bahwa tingkat pendidikan individu mencerminkan keluasan pengetahuan atau wawasan serta kemampuan mengatasi berbagai permasalahan hidup yang dihadapi. Semakin tinggi pendidikan yang dicapai individu cenderung semakin dapat memahami suatu permasalahan kehidupan dan cenderung memiliki kemandirian. Hasil pendataan mengenai pendidikan pejuang veteran selaku responden penelitian ini dapat disajikan dalam grafik berikut.

Sumber: hasil analisis data primer, 2020

Grafik 2: Responden Berdasar Tingkat Pendidikan

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 47 Data pada grafik dua menunjukkan, bahwa seluruh pejuang veteran selaku responden yang berjumlah 30 orang ternyata sebagian besar yakni 19 orang (63,33 %) hanya menyelesaikan pendidikan SMP/sederajat, bahkan sebagian yaitu sebesar sepuluh persen di antara mereka hanya menamatkan pendidikan sekolah dasar/sederajat. Data memperlihatkan,terdapat sebesar 36,67 persen pejuang veteran yang berhasil menamatkan pendidikan SMA sederajat. Hasil pendalaman melalui wawancara diperoleh informasi, bahwa mereka yang mengaku tamat Sekolah Dasar ternyata menyebut dengan istilah tamat Sekolah Rakyat (SR), yang derajatnya sama dengan sekolah dasar pada saat ini. Kondisi pendidikan respondentersebut apabila dikaitkan dengan rerata usia mereka adalah sangat wajar. Pejuang veteran selaku responden sebagian besar mengalami masa kanak-kanak di awal kemerdekaan saat Bangsa Indonesia berjuang pada masa revolusi fisik, dengan kondisi pemerintah bersama rakyat berjuang untuk mempertahankan kedaulatan negara. Oleh karena itu, mereka sangat terbatas dalam memperoleh kesempatan untuk dapat mengenyam pendidikan formal yang lebih tinggi. d. Pekerjaan Melalui pekerjaan yang ditekuni, pejuang veteran dapat memperoleh tambahan penghasilan di luar tunjangan penghargaan (dana pensiun). Hasil pendataan dapat diketahui ragam pekerjaan pejuang veteran selaku responden. Pekerjaan pejuang veteran yang menjadi subjek penelitian ini pada dasarnya merupakan usaha ekonomi produktif yang dapat dikelompokkan menjadi enamjenis kegiatan usaha, sebagaimana disajikan dalam grafik berikut.

Sumber: hasil analisis data primer, 2020 Grafik 3: Responden Berdasar Pekerjaan/Jenis Usaha

48 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup Grafik tiga menunjukkan, dari 30 orang pejuang veteran selaku responden ternyata semuanya masih aktif bekerja atau paling tidak memiliki usaha ekonomi produktif. Data memperlihatkan, bahwa pekerjaan yang merupakan wahana pejuang veteran untuk melakukan usaha ekonomi produktif meliputi kegiatan bertani, beternak, perikanan kolam, wirausaha, berdagang, dan menjadi karyawan. Dalam pendalaman lanjut melalui wawancarasebesar 26,67 persenpejuang veteran yang bertani ternyata sebagai pengolah lahan sawah pengairan dengan tanaman padi, pengolah lahan pategalan dengan tanaman palawija/sayuran, bahkan di antara mereka ada yang menanam sayuran dengan media tanam berupa pot dan usaha warung hidup. Sebagian sebesar 30persen pejuang veteran yang beternak meliputi empat orang memelihara ayam buras, tiga orang memelihara mentok,serta dua orang lainnya masing-masing memelihara sapi dan kambing. Kemudian sebagian yang lain sebesar 16,67 persen pejuang veteran yang berwirausaha terdiri dari dua orang mengelola tempat kos, dua orang usaha catering membuat makanan ringan, dan satu orang usaha warung makan. Pejuang veteran sisanya sebesar 20persen memiliki usaha perikanan kolam, yang ternyata mereka memelihara lele dan ikan lain sepertigurameh mujair, dan nila. Melalui berbagai pekerjaan tersebut, pejuang veteran dapat menambah penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam wawancara terhadap tujuh pejuang veteran selaku informan diperoleh informasi, bahwa kebutuhan hidup mereka bervariasi dan beragam jenisnya. Pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kebutuhan dasar yaitu kebutuhan material, kebutuhan spiritual, dan kebutuhan sosial. Menurut informan, kebutuhan hidup material yang harus mereka penuhi meliputi kebutuhan makan, pakaian, perbaikan rumah, perawatan dan pemeliharaan kesehatan seperti kontrol kesehatan secara rutin, pemenuhan gisi, berolah raga dan berobat. Kebutuhan yang berkait dengan kehidupan spiritual meliputi kebutuhan ilmu pengetahuan, teknologi/keterampilan, serta kebutuhan keimanan dan ketaqwaan seperti kebutuhan beribadah, memperdalam ilmu agama, dan menjalankan rukun agama yang dianut. Sementara kebutuhan sosial menurut informan mencakup kebutuhan menghadiri undangan hajatan, kebutuhan berkegiatan kermasyarakatan, dan kebutuhan untuk bersosialisasi baik dengan

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 49 warga lingkungan setempat, teman sejawat, maupun saudara sedarah. Berbagai kebutuhan pejuang veteran selaku responden tersebut dapat terpenuhi secara optimal apabila didukung kecukupan finansial. Mereka sebagai orang Jawa memiliki peribahasa jer basuki mowo beyo(suatu kebaikan sudah semestinya membutuhkan beaya). Oleh karena itu, semua kegiatan usaha mereka lakukan demi untuk mencukupi kebutuhan hidup sebagaimana dipaparkan. e. Jabatan dalam Kepengurusan Organisasi LVRI Berdasar hasil studi dokumentasi di Kantor LVRI Cabang Kabupaten Bantul diperoleh informasi, bahwa terdapat sejumlah jabatan yang dapat diduduki sebagai kepengurusan organisasi pejuang veteran tersebut, meliputi unsur ketua dan anggota dewan pertimbangan cabang(Wantimcab), ketua/wakil ketua, skretaris/wakil sekretaris, bendahara/wakil bendahara, seksi organisasi, seksi pendidikan, seksi umum, dan dewan pimpinan ranting di 17 kecamatan. Grafik berikut disajikan data pejuang veteran selaku responden penelitian yang menduduki jabatan kepengurusan dalam organisasi LVRI Kabupaten Bantul.

Sumber: hasil analisis data primer, 2020

Grafik 4: Responden Berdasar Jabatan dalam Kepengurusan LVRI

50 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup Grafik empat memberi gambaran tentang jabatan pejuang veteran selaku responden dalam kepengurusan organisasi Legiun Veteran Rebublik Indonesia di Kabupaten Bantul. Data menunjukkan, bahwa mayoritasatau sebesar 83,33 persen pejuang veteran menduduki jabatan dalam kepengurusan organisasi yang mereka miliki. Dari responden yang menduduki jabatan kepengurusan LVRI di Kabupaten Bantul,mayoritas atau 60 persen menjadi pengurus LVRI pada tingkat ranting di 17 kecamatan wilayah kabupaten tersebut. Pada sisi lain data memperlihatkan, hanya sebesar pejuang veteran 16,67 persenpejuang veteranyang tidak menduduki jabatan kepengurusan organisasi veteran. Hasil perunutan melalui wawancara lima orang pejuang veteran ini ternyata juga pernah menjadi pengurus, dankarena usia sekarang mereka tidak lagi menjabat kepengurusan. Berdasar sajian data di atas dapat ditegaskan, bahwa sebagian besar pejuang veteran yang menjadi responden penelitian ini menduduki jabatan pengurus dalam organisasi yang mereka miliki.Mereka hanya sebagian kecil yang posisinya sebagai anggota biasa, itupun menurut pengakuannya pernah menjadi pengurus paling tidak pada tingkat ranting. Keberadaan data tersebut dapat dimaknai, bahwa sebagian terbanyak pejuang veteran masih mempunyai kepemimpinan dan memiliki nilai kejuangan sehingga masih berusaha mengabdikan diri menjadi pengurus organisasi yang mereka cintai. Perihal tersebut dipertegas oleh Sahrawardi (95 tahun) yang sampai saat penelitian ini masih menjabat sebagai ketua LVRI Kabupaten Bantul. Informan ini menyatakan, bahwa dalam usia 95 tahun dirinya masih berusaha mengabdi sebagai ketua LVRI. Menurutnya, meskipun menjabat sebagai ketua yang harus bertanggung jawab menyelenggarakan administrasi kepengurusan organisasi, posisi dirinya cenderung didudukkan sebagai sesepuh/ pamomong anggota.Berbagai tugas yang membutuhkan kekuatan fisik seperti upacara bendera dan upacara penghormatan terakhir bagi anggota yang meninggal, dalam praktiknya diwakilkan pada pengurus yang lain. Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa secara umum pejuang veteran yang menjadi responden masih bertekad menumbuhkembangkan nilai kepahlawanan dan nilai kejuangan dengan berusaha mengabdikan diri menjadi pengurus organisasi yang merupakan wadah pengabdian dan perjuangan mereka.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 51 f. Jabatan Pejuang Veteran dalam Masyarakat Pengabdian individu dengan menjadi pengurus dalam suatu lembaga/organisasi kemasyarakatan merupakan salah satu indikator kemandirian mereka secara sosial. Oleh karena itu, jabatan pejuang veteran selaku responden penelitian ini dalam kepengurusan pada lembaga/organisasi kemasyarakatan diungkap, dan hasilnya dapat disajikan dalam grafik lima berikut.

Sumber: hasil analisis data primer, 2020 Grafik 5: Responden Berdasar Jabatan dalam Masyarakat

Data pada grafik lima di atas memberi gambaran tentang jabatan/kedudukan pejuang veteran selaku responden penelitian ini dalam kepengurusan organisasi kemasyarakatan di lingkungan setempat. Data tersaji menunjukkan, bahwa sebagian besar atau 90 persen di antara mereka menjabat menjadi pengurus organisasi kemasyarakatan dan atau menduduki posisi jabatan dalam masyarakat. Pejuang veteran yang menduduki posisi penting dalam masyarakat sebagian terbanyak menjadi pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), disusul mereka yang menjabat sebagai ketua RT, selaku tokoh masyarakat ataupun tokoh agama, mengabdi sebagai pengurus PKK,terdapat pejuang veteran yang berperan selaku pengurus gabungan kelompok tani (Gapoktan). Data memperlihatkan, hanya sebagian kecil yang tidak memiliki jabatan dalam masyarakat.

52 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup Keberadaan data sebagaimana disajikan dapat dimaknai, bahwa sebagian terbanyak responden pejuang veteran masih berkiprah menjadi pengurus organisasi kemasyarakatan di daerahnya. Mereka di antaranya berkiprah pada tingkat desa/kalurahan yaitu menjadi pengurus LPMD, PKK dan Gapoktan. Sebagian mengabdi pada tingkat dusun yakni menjadi ketua RT, dan sebagian yang lain menduduki tempat terhormat dalam masyarakat yaitu diposisikan sebagai tokoh masyarakat atau tokoh agama. Keseluruhan data tersebut mengindikasikan, bahwa pejuang veteran khususnya yang menjadi responden penelitian ini masih memiliki kemandirian secara sosial. Mereka terbukti mampu berkiprah dalam masyarakat yang dilakukan melalui keaktifan berkegiatan serta pelaksanaan fungsi dan peran dimasyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan sosial. . Jenis Veteran Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 pada Bab II Pasal 3, bahwa jenis veteran Republik Indonesia ditentukan berdasarkan peristiwa keveteranan. Berikut data pejuang veteran anggota LVRI Cabang Kabupaten Bantul selaku responden penelitian ini berdasar jenis keveteranan.

Sumber: hasil analisis data primer, 2020 Grafik 6: Responden Berdasar Jenis Keveteranan

Data jenis keveteranan pada grafikenamdi atas memperlihatkan, bahwa pejuang veteran yang menjadi responden penelitian ini mayoritas yakni sebesar 86,67 persentermasuk kategori veteran pembela kemerdekaan.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 53 Sementara sisanya sebesar 10 persen adalah veteran pejuang kemerdekaan, dan hanya sebesar 3,33 persen yang merupakan veteran perdamaian. Keberadaan data tersebut dapat dimaknai, bahwa ternyata sebagian terbanyak dari mereka memiliki pengalaman berjuang membela kemerdekaan setelah tanggal 27 Desember 1949, baik sebagai veteran pembela Trikora, Dwikora, maupun veteran pembela Seroja. Responden selaku pembela Trikora yakni mereka yang telah berperan secara aktif berjuang dengan bertempur melalui kesatuan bersenjata pada kurun waktu 19 Desember 1961 hingga 1 Mei 1963 dalam upaya pembebasan Irian Barat dari cengkeraman kolonial Belanda. Sebagaimana dilatarbelakangi situasi politik waktu itu, sejak Belanda menyerahkan kedaulatan RI pada 27 Desember 1949, secara devacto pemerintah kolonial tersebut belum menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia, bahkan semakin memperkuat militernya. Menghadapi kondisi tersebut Presiden Soekarno bertekad merebut Irian Barat melaui kekuatan senjata dengan mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, berisi: 1) gagalkan pembentukan negara boneka Papua. 2) kibarkan bendera sang merah putih di bumi Irian Barat. 3) Bersiap-siap untuk mobilisasi umum. Responden selaku veteran pembela Dwikora, adalah pejuang yang pernah memiliki pengalaman dan berperan secara aktif melalui suatu operasi/pertempuran dalam kesatuan bersenjata pada kurun waktu 3 Mei 1964 hingga 11 Agustus 1966 dalam perjuangan Dwikora untuk mempertahankan kedaulatan NKRI. Sementara responden yang termasuk veteran pembela Seroja adalah mereka yang berperan secara aktif dalam operasi/pertempuran melalui kesatuan bersenjata melakukan perjuangan Seroja pada kurun waktu 21 Mei 1975 hingga 17 Juli 1976 (semasa integrasi Timor Timur). Data juga menunjukkan, tiga orang (10,00 %) pejuang veteran selaku responden menyatakan dirinya merupakan veteran pejuang kemerdekaan yang pernah berperan secara aktif berjuang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia semasa revolusi fisik antara tanggal 17 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949. Sementara satu orang responden menyatakan sebagai veteran perdamaian yang pernah berperan secara aktif menjadi pasukan internasioanal di bawah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam

54 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup rangka melaksanakan misi perdamaian dunia. Pejuang veteran dengan bermodal pengalaman dan peran yang diemban sesuai tugas masing-masing, mereka tentu mendalami ataupun menghayati niali kepahlawanan dan niali kejuangan, yang mendukung tujuan penelitian ini.

2. Penghayatan Pejuang Veteran atas Nilai Kepahlawanan Dalam mengungkap penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan ini, peneliti mengacu Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Kepahlawanan Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial, Kementerian Sosial (2014: 24), bahwa nilai kepahlawanan yang perlu ditumbuhkembangkan kepada generasi penerus cita-cita bangsa mencakup sikap yang bercirikan: militansi, gagah berani, rela berkorban, percaya kemampuan sendiri, bertanggung jawab, bercita-cita tinggi, berwibawa, berkepribadian kuat, dan mampu menghimpun semangat perjuangan. Penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan dan kemandirian hidup mereka dikategorikan ke dalam tiga tingkatan. Kategorisasi tersebut berdasar tanggapan responden terhadap setiap item pertanyaan dengan memilih jawaban tersedia menggunakan tiga tingkatan yakni penghayatan baik, cukup, dan penghayatan kurang yang dirumuskan sedemikian rupa dan urutan dibuat secara acak. Responden jika menjawab tingkatan baik nilainya 3, cukup nilai 2, dan menjawab tingkatan kurang nilai 1. Sebagai contoh nilai kepahlawanan dimensi sikap militansi yang diungkap melalui empat item pertanyaan, maka total nilai tertinggi dimensi tersebut 12 dan nilai terendah 1. Dengan demikian, responden yang memperoleh nilai 9 hingga 12 memiliki penghayatan baik atas sikap militansi, responden yang memperoleh nilai antara 5 hingga 8 memiliki penghayatan cukup, dan responden yang memperoleh nilai antara 1 hingga 4 memiliki penghayatan kurang atas sikap militansi. Demikian pula untuk mengungkap tinggkat kemandirian pejuang veteran. Kemandirian dalam memenuhi kebutuhan secara material misalnya digali dengan lima item pertanyaan, sehingga nilai terendah 1 dan dan nilai tertinggi 15. Dengan demikian, responden yang memperoleh nilai 11 hingga 15 berarti memiliki kemandirian baik, responden yang nilainya 6 hingga 10 memiliki kemandirian cukup, dan responden yang mendapat nilai 1 hingga 5

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 55 memiliki kemandirian kurang.Data penelitian bersifat kuantitatif yang merupakan gambaran tingkat penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan dan tingkat kemandirian mereka diolah secara deskriptif kuantitatif menggunakan persentase dalam bentuk grafik. Hasil analisis kuantitatif kemudian dideskripsikan berdasar kategori (Azwar, 2017: 45). Berikut data penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan berdasar sikap yang perlu ditumbuhkembangkankan kepada generasi penerus cita-cita bangsa. a. Penghayatan Pejuang Veteran atas Sikap Militansi Militansi dapat diartikan sebagai sikap individu yang senantiasa bersemangat tinggi dan memiliki ketangguhan dalam berjuang menghadapi kesulitan, pada konteks kajian ini adalah kesulitan dan bahaya peperangan. Gambaran mengenai penghayatan atas sikap militansi pejuang veteran selaku responden penelitian ini dapat disimak pada grafik berikut.

Sumber: hasil analisis data primer, 2020

Grafik 7: Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Militansi

Data tersaji pada grafik tujuh memperlihatkan, dari sebanyak 30 pejuang veteran selaku responden sebagian besar yaitu 80persen termasuk kategori baik dalam menghayati sikap militansi. Sementarasisanyasebesar 16,67 persen pejuang veteran berada dalam kategori cukup menghayati sikap militansi, dan hanya sebesar 3,33 persen yang kurang menghayati sikap militansi.

56 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup Sajian data tersebut dapat dimaknai, bahwa secara umum pejuang veteran memiliki penghayatan yang memadai dan cukup memadai atas sikap militansi sebagai dimensi nilai kepahlawanan. Artinya, bahwa sebagai seorang mantan pejuang masing-masing senantiasa menghayati sikap militansi. Kondisi tersebut dapat dipahami, karena mereka pernah merasakan atau mengalami berjuang mempertahankan kedaulatan negara dan membela kemerdekaan yang pada waktu itu jelas memerlukan suatu sikap atau tindakan yang militan. Dari hasil wawancara dengan informan, diperoleh sejumlah perbuatan atau tindakan yang mengandung nilai sikap militansi yang dapat disarikan peneliti. Nilai sikap militansi yang melandasi tekad mereka dalam melakukan perjuangan di antaranya: dalam berjuang berlandaskan do’a dan penuh kesabaran, dalam berjuang diperlukan semangat menggelora dengan penuh kegairahan, dalam melakukan perjuangan diperlukan kemampuan berkoordinasi, dan dalam berjuang perlu suatu ketegasan setiap memutuskan langkah. Beberapa sikap militansi sebagaimana dikemukakan lebih lanjut mereka implementasikan pada era mengisi kemerdekaan saat ini. Menurut pengakuan beberapa informan, sikap militansi selalu mereka terapkan dalam hidup bermasyarakat. Dalam mengatasi suatu permasalahan di lingungan setempat senantiasa dilakukan berlandaskan do’a, kehati-hatian dan sikap sabar meskipun tetap dilakukan dengan semangat membara dan rasa senang hati. Koordinasi dan tindakan tegas dalam melangkah sebagaimana “budaya” tentara juga terus mereka kembangkan dalam mengikuti kegiatan dimasyarakat. Berkait dengan sikap militansi ini Poengky Poernomodjati (2018: 16) menyatakan, generasi penerus bangsa dalam mengisi kemerdekaan harus mampu meneladani sikap militansi yang kuat untuk menghadapiberbagai ancaman pada masa mendatang. Selain itu, sikap cinta tanah air, jiwa pengorbanan, dan sikap mau berdarma bakti tanpa kenal batas akhir juga perlu dimiliki. Kesemuanya itu merupakan salah satu aktualisasi dan implementasi dari sikap militansi generasi penerusdalam bela negara. Pernyataan narasumber tersebut pada dasarnya menegaskan, bahwa dalam mendisi kemerdekaan generasi penerus cita-cita wajib meneladani sikap militansi seperti siap berkorban dan berdarmabakti terutama jika negara dalam keadaan menghadapi ancaman.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 57 b. Penghayatan Pejuang Veteran atas Sikap Gagah Berani Gagah berani yang dimaksud dalam kajian ini adalah kondisi individu yang secara fisik bertenaga kuat dan secara mental psikologis bernyali mantap (tanpa rasa takut dan tidak gentar) dengan sikap percaya diri yang besar dalam menghadapi marabahaya termasuk risiko berperang. Data pada grafik delapan berikut menggambarkan penghayatan pejuang veteran selaku responden atas sikap kegagahberanian.

Sumber: hasil analisis data primer, 2020

Grafik 8: Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Gagah Berani

Penyajian data pada grafik delapan menunjukkan, ternyata sebesar 63,33 persen pejuang veteran selaku responden termasuk kategori baik dalam menghayati sikap gagah berani, dan sebesar 16,67 persen di antara pejuang veteran berada dalam kategori cukup menghayati sikap gagah berani. Sajian data tersebut terlihat, hanya sebesar 3,33 persen pejuang veteran di antara mereka yang kurang menghayati sikap gagah berani. Menurut informan nilai sikap kegagahberanian dalam berjuang antara lain mencakup: secara fisik bertenaga kuat dan secara mental memiliki nyali memadai untuk berperang melawan musuh demi kedaulatan negara. Secara psikologis tidak merasa takut untuk bertempur di medan laga sekalipun harus berada di garis terdepan. Tidak merasa gentar menghadapi bahaya perang meskipun harus bertaruh nyawa. Sejumlah sikap kegagahberanian tersebut

58 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup menurut mereka harus ditunjukkan dalam berperang pada masa perjuangan untuk mempertahankan atau membela kemerdekaan dan kedaulatan negara pada saat itu. Sejumlah sikap yang mengandung nilai gagah berani sebagaimana disebutkan menurut pengakuan informan selalu diimplementasikan pada kehidupan saat ini. Moeradji (71 tahun) selaku wakil ketua LVRI Cabang Bantul menyatakan, bahwa anggota legiun yang masih bertenaga kuat pernah ditugaskan untuk bergotong royong membantu warga masyarakat dalam pembangunan prasarana fisik. Menurut informan ini, dalam melaksanakan pengabdian pada era reformasi ini juga dibutuhkan sikap keberanian dan nyali yang memadai, terutama dalam rangka menegakkan suatu kebenaran. Seseorang harus memiliki nyali untuk berani menentang arus yang secara hakikat merupakan suatu gerakan yang salah. Selain itu,seseorang juga harus memiliki sikap yang tegas dalam memberantas oknum yang cenderung membuat ketidakberesan tentang pengelolaan berbagai bidang kehidupan. Dalam kaitan dengan sikap gagah berani tersebut Habib MS (2017: 14) mengemukakan, kita sebagai bangsa Indonesia harus berjiwa patriotik. Jikalau di masa lalu pejuang harus membela dan menjaga kebenaran, keadilan, serta kerelaan berkorban, maka generasi penerus pada saat ini harus berani menentang dan melawan ketidakadilan, serta menegakkan kebenaran. Pakar tersebut pada prinsipnya menegaskan, bahwa jiwa patriotisme sangat diperlukan dalam mengisi era kemerdekaan ini, terutama dalam memberantas ketidakadilan yang terjadi di masyarakat dalam rangka menegakkan suatu kebenaran. c. Penghayatan Pejuang Veteran atas Sikap Rela Berkorban Rela berkorban adalah sikap individu atas kehendak atau kemauan sendiri yang bersedia (sudi) dan senang hati serta ikhlas berkorban dengan tidak mengharap imbalan.Dalam konteks kajian ini adalah keikhlasan berjuang demi merebut dan mempertahankan kemerdekaan ataupun membela bangsa dan negara Indonesia.Grafik sembilan berikut disajikan data penghayatan pejuang veteran atas sikap rela berkorban.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 59 Sumber: hasil analisis data primer, 2020 Grafik 9: Responden Berdasr Penghayatan atas Sikap Rela Berkorban

Grafik sembilan memberi gambaran tentang penghayatan pejuang veteran selaku responden atas sikap rela berkorban sebagai dimensi nilai kepahlawanan. Data memperlihatkan, hampir seluruh responden atau sebesar 96,67 persen pejuang veteran menghayati secara baik atas sikap kerelaan berkorban. Data menunjukkan, hanya sebesar 3,33 persen pejuang veteran yang penghayatannya atas sikap rela berkorban dalam kategori cukup menghayati, dan tidak terdapat responden yang kurang menghayati sikap kerelaan berkorban. Melalui wawancara kepada tujuh pengurus inti organisasi LVRI Cabang Kabupaten Bantul, diperoleh data berkait dengan komponen penghayatan pejuang veteran atas sikap kerelaan berkorban. Menurut pandangan tujuh informan yang kemudian dirangkum peneliti, bahwa unsursikap kerelaan berkorban meliputi: 1) bersedia dan siap menerima perintah atasan untuk melaksanakan tugas yang diemban. 2) dalam bertugas dilakukan dengan rasa senang hati dan gembira tanpa merasa dipaksa. 3) keikhlasan berkorban mencakup pengorbanan tenaga, pikiran, harta benda, bahkan nyawa. 4) keikhlasan yang sebenarnya berlandaskan prinsip tanpa pamrih dan tidak mengharapkan imbalan. Sebagaimana disebutkan dalam materi pelatihan nilai-nilai kejuangan (Rais Abin, 2016: 14), bahwa sebagai insan Indonesia harus berjiwa rela, ikhlas, dan berani berkorban, serta bekerja keras tanpa pamrih agar berdayaguna dan berhasilguna bagi bangsa dan negara.

60 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup Menurut informan, beberapa komponen sikap kerelaan berkorban sebagaimana dikemukakan mereka dayagunakan dalam berjuang melalui pertempuran baik pada masa revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan, membela kedaulatan bangsa dan negara dalam bingkai NKRI, ataupun dalam bertugas atas mandat PBB untuk mengemban misi menciptakan perdamaian dunia. Djoko Sardjono (65 tahun) yang menjabat sekretaris LVRI Kabupaten Bantul berkait dengan nilai kerelaan berkorban ini menyatakan: sebagai seorang pejuang, pada masa itu walaupun ada anggota keluarga yang sedang sakit bahkan keluarga baru berduka, apabila atasan memerintahkan bertugas, maka dirinya tetap bersedia melaksanakan tugas di medan laga. Pendalaman lanjut melalui wawancara diperoleh informasi, bahwa sikap kerelaan berkorban masih mereka dayagunakan dalam kehidupan keseharian. Seorang pejuang veteran M. Akhir (67 tahun) mencontohkan beberapa kerelaan berkorban yang diterapkan dalam hidup bermasyarakat pada masa ini. Misalnya dirinya selalu ikhlas untuk senantiasa menanamkan nilai kejuangan bagi generasi muda pada saat mengisi agenda pertemuan unit karang taruna di dusun setempat. Menurut informan ini, kerelaan berkorban hendaknya terus ditumbuhkembangkan dalam kehidupan bermasyarakat seperti rela mengikuti gotong royong, kerja bakti di kampung, menolong siapapun yang membutuhkan pertolongan, membantu pelaksanaan pembangunan/kemajuan dusun baik bantuan berbentuk tenaga, pikiran, maupun harta benda. Perihal yang terpenting adalah, bahwa pertolongan atau bantuan itu hendaknya diberikan secara ikhlas tanpa mengharap imbalan, yang oleh msyarakat Jawa di istilahkan dengan ungkapan lokal rame ing gawe sepi ing pamrih, kata informan tersebut. Ungkapan tersebut secara tersurat berarti ramai dalam bekerja dan sepi (tidak ada) maksud tertentu yang terselubung.Sementara secara tersirat bermakna, bahwa perjuangan seseorang itu yang terpenting adalah beramai-ramai dalam melaksanakan tugas pekerjaan, dan menjauhkan diri dari maksud tertentu yang terselubung seperti ingin memperoleh pujian, mendapatkan penghargaan, atau mengharapkan suatau imbalan.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 61 d. Penghayatan Pejuang Veteran atas Sikap Percaya Kemampuan Sendiri Percaya kemampuan sendiri adalah sikap individu yang merasa dirinya memiliki kelebihan, dan oleh karena itu mereka benar-benar yakin atas kemampuan sendiri sehingga memastikan dapat memenuhi atau mencapai target yang menjadi cita-cita dan harapannya.

Sumber: hasil analisis data primer, 2020

Grafik 10: Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Percaya Kemampuan Sendiri

Data pada grafik sepuluh menggambarkan penghayatan pejuang veteran selaku responden atas nilai kepahlawanan dimensi sikap percaya pada kemampuan diri sendiri. Data yang terangkum dalam grafik terlihat, bahwa ternyatasebesar 93,33 persen pejuang veteran memiliki penghayatan yang memadai atas nilai percaya pada kemampuan sendiri, yakni sebesar 56,67 persen menghayati secara baik dan sebesar 36,66 persen tergolong cukup menghayati sikap percaya pada kemampuan sendiri. Data tersaji menunjukkan, hanya sebesar 6,67 persen responden pejuang veteran yang menyatakan kurang percaya pada kemampuan diri sendiri. Melalui wawancara dengan sejumlah pejuang veteran sebagai pendalaman lebih lanjut diperoleh informasi, bahwa semua informan

62 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup menyatakan percaya diri atas kemampuan sendiri sangat diperlukan dalam suatu perjuangan. Berikut beberapa pandangan pejuang veteran atas sikap percaya kemampuan sendiri: 1) percaya kemampuan sendiri sangat diperlukan dengan tetap megikuti petunjuk pimpinan. 2) percaya kemampuan sendiri ditunjukkan dengan selalu siap melaksanakan tugas atas perintah atasan. 3) sebagai bentuk tanggung jawab semua tugas dikerjakan dengan kemampuan sendiri. 4) sebagai veteran pejuang dirinya yakin mampu mewariskan jiwa, semangat, dan nilai ’45 (JSN ’45). 5) sebagai mantan pejuang harus yakin dengan kemampuan sendiri dan siap melaksanakan tugas sosialisasi nilai-nilai kejuangan kepada generasi penerus cita-cita bangsa. Penggalian data melalui wawancara lebih lanjut diperoleh temuan, bahwa pejuang veteran khususnya yang menjadi informan penelitian ini rerata masih memiliki rasa percaya diri yang memadai. Rasa percaya diri ini juga selalu mereka terapkan dalam kehidupan keseharian. Sebagai anggota LVRI setiap pejuang veteran siap melaksanakan tugas sesuai amanat dan arahan pimpinan. Selaku warga masyarakat mereka berusaha untuk mandiri dalam melaksanakan berbagai tugas kemasyarakatan. Seorang mantan pejuang, mereka juga terus berusaha mewariskan nilai kepahlawanan yang antara lain dilakukan dalam setiap momen pertemuan warga. Sebagaimana dikemukakan Poengky Poernomodjati (2018: 13), bahwa percaya kepada kekuatan sendiri yang dimaksud adalah memiliki kemandirian dalam menyelesaikan berbagai tugas yang menjadi kewajibannya. Pemateri sosialisasi nilai kejuangan ini lebih lanjut menegaskan, bahwa generasi muda penerus cita-cita bangsa hendaknya percaya dan yakin pada hari depan negara yang lebih baik mengingat potensi bangsa dan wilayah yang sangat besar. Observasi pada saat peneliti melakukan wawancara di rumah pejuang veteran memperlihatkan, bahwa mereka rerata masih melakukan pekerjaan secara mandiri. Beberapa pejuang veteran ternyata juga masih mengemaban tugas pengabdian menjadi pengurus kelembagaan desa seperti sebagai pengurus LVRI tingkat ranting di kecamatan, LPMD, PKK, RT, dan pengurus Gapoktan. e. Penghayatan Pejuang Veteran atas SikapBertanggung Jawab Bertanggung jawab adalah sikap individu yang merasa memiliki

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 63 kewajiban untuk memikul tanggung jawab atau menanggung segala sesuatunya atas risiko dari perbuatan/tindakan yang dilakukan. Dalam grafik sebelas berikut disajikan data berkait penghayatan pejuang veteran atas sikap bertanggung jawab.

Sumber: hasil analisis data primer, 2020

Grafik 11: Responden Berdasar Penghayatan atas SikapBertanggung Jawab Data tersaji pada grafik sebelas mengilustrasikan kondisi penghayatan pejuang veteran selaku responden atas sikap bertanggung jawab sebagai dimensi nilai kepahlawanan. Data memperlihatkan, bahwa sebesar 56,67 persen pejuang veteran berada pada kategori baik dalam menghayati sikap bertanggung jawab. Sementara sisanya sebesar 3,33 persen dalam kondisi cukup menghayati nilai sikap tersebut. Data menunjukkan, tidak terdapat responden pejuang veteran yang kurang menghayati sikap bertanggung jawab. Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa secara umum pejuang veteran memiliki penghayatan secara memadai atas sikap bertanggung jawab sebagai komponen nilai kepahlawanan. Dari wawancara terhadap sejumlah pejuang veteran selaku informan diperoleh temuan, bahwa sikap bertanggung jawab meliputi: 1) berusaha melaksanakan kewajiban sehubungan dengan tugas seberat apapun yang diberikan. 2) berani menanggung segala risiko atas perbuatan/tindakan yang

64 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup dilakukan. 3) menyadari dan mengakui setiap kesalahan yang dilakukan dan dengan berjiwa besar mau/siap meminta maaf atas kesalahan tersebut. 4) berupaya untuk tidak mengulangi kembali atas kesalahan yang diperbuat. Perunutan lebih lanjut sebagai pendalaman melalui wawancara diperoleh informasi, beberapa sikap yang terangkum dalam nilai sikap bertanggung jawab tersebut pada saat ini oleh responden selalu diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Informan di antaranya mencontohkan, mereka berusaha melaksanakan kewajiban pengurus organisasi sesuai tugas yang diembannya. Sebagai rasa tanggung jawab sosial mereka selalu memberikan saran dan kritik demi kebaikan bersama agar kondisi masyarakat lebih baik. Apabila merasa salah dirinya senantiasa berjiwa besar mau meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan. Informan menambahkan, apabila setiap orang menghayati nilai atau sikap bertanggung jawab dan mau mengiplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka terciptalah suatu kondisi masyarakat yang secara kolektif memiliki rasa bertanggung jawab.yang memadai. f. Penghayatan Pejuang Veteran atas Sikap Bercita-cita Tinggi Bercita-cita tinggi merupakan sikap individu yang berkehendak atau berkeinginan secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan suatu perbuatan/ tindakan dalam rangka meraih tujuan dengan target capaian yang sempurna. Data pada grafik13 berikut memberi gambaran tentang penghayatan pejuang veteran selaku responden atas sikap bercita-cita tinggi.

Penghayatan atas Sikap Bercita-cita Tinggi

Sumber: hasil analisis data primer, 2020 Grafik 12: Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Bercita-Cita Tinggi

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 65 Grafik 12 mengilustrasikan pengahayatan pejuang veteran selaku responden atas sikap bercita-cita tinggi. Data memberi gambaran secara jelas, bahwa sebagian terbanyak yakni sebesar 70 persen pejuang veteran menghayati secara baik atas sikap bercita-cita tinggi. Sementara sisanya sebesar 20 persen pejuang veteran berada dalam kategori cukup menghayati sikap bercita-cita tinggi, dan hanya sebesar 10 persen di antara mereka yang kurang menghayati nilai sikap tersebut. Keberadaan data tersebut mengandung makna, bahwa pejuang veteran selaku responden pada umumnya memiliki penghayatan secara baik atas sikap bercita-cita tinggi. Berdasar wawancara sebagai pendalaman lebih lanjut diperoleh informasi, bahwa nilai bercita-cita tinggi yang mereka hayati pada dasarnya menyangkut eksistensi/kelestarian keberadaan organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) agar dapat lebih berperan dalam tiga hal berikut. Pertama, sebagai wadah pejuang veteran untuk melanjutkan perjuangan dalam pembangunan pada berbagai bidang kehidupan. Kedua, sebagai wahana untuk mewariskan dasar negara Pancasila serta jiwa, semangat, dan nilai ‘45 (JSN ’45) kepada generasi penerus cita-cita bangsa. Ketiga, melalui landasan operasional Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi LVRI, pejuang veteran sebagai anggota dapat melaksanakan kewajiban, memenuhi hak, dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Penghayatan pejuang veteran atas nilai sikap bercita-cita tinggi tersebut ternyata diterapkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Informan mencontohkan, dalam rangka mewariskan jiwa, semangat, dan nilai-nilai ’45 (JSN ’45), Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia pada Mei tahun 2016 berhasil menyusun buku yang berisi materi pewarisan nilai-nilai kejuangan bangsa Indonesia. Materi yang dihimpun pada buku tersebutkemudian digunakan sebagai bahan sosialisasi untuk mewariskan nilai-nilai kejuangan kepada generasi penerus.Dalam sambutan penerbitan buku tersebut ketua umum DPP LVRI Letjen TNI (Purnawirawan) Rais Abin menyatakan, generasi penerus bangsa yang menerima tongkat estafet pengelolaan bangsa dan negara hendaknya mampu mengisi kemerdekaan melalui pelaksanaan pembangunan di segala bidang

66 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup dengan berlandaskan aliran benang merah jiwa, semangat, dan nilai ‘45(JSN ’45), yaitu semangat perjuangan tanpa pamrih. Dalam kaitan dengan penghayatan nilai sikap bercita-cita tinggi, Rais Abin (2016: 1) juga mengutip pernyataan Soeharto sewaktu menjabat presiden RI dalam Mubenas VI Angkatan ’45 tahun 1980 di yang menyatakan, bahwa cita-cita untuk bebas dari penindasan bangsa lain sudah muncul sejak lama dan tidak pernah padam, bahkan proses perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita tersebut berkesinambungan dari suatu generasi ke generasi penerus berikutnya. g. Penghayatan Pejuang Veteran atas Sikap Berwibawa Berwibawa adalah sikap dan tingkah laku pembawaan individu yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik untuk dapat menguasai dan mempengaruhi sehingga disegani dan dipatuhi oleh orang lain. Data pada grafik berikut menggambarkan penghayatan pejuang veteran selaku responden atas sikap berwibawa.

Penghayatan atas Sikap Berwibawa

Sumber: hasil analisis data primer, 2020 Grafik 13: Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Berwibawa

Grafik 13 memberi gambaran mengenai penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan pada dimensi sikap berwibawa. Data yang tersaji memperlihatkan, ternyata pejuang veteran yang menjadi responden penelitian ini memiliki penghayatan yang memadai atas sikap berwibawa. Kondisi ini

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 67 dibuktikan dengan sebesar 60 persen pejuang veteran menghayati dengan baik, dan sisanya sebesar 40 persen cukup menghayati nilai sikap berwibawa. Data pada grafik di atas menunjukkan, tidak terdapat satupun pejuang veteran yang kurang penghayatannya atas nilai sikap berwibawa. Keberadaan data tersaji menunjukkan, bahwa pejuang veteran selaku responden penelitian ini secara umum memiliki penghayatan yang memadai atas nilai kewibawaan. Terbukti sebagian terbanyak menghayati secara baik dan sebagian yang lain cukup menghayati atas nilai/sikap berwibawa. Sejumlah sumber data dalam wawancara menginformasikan, bahwa beberapa nilai yang termasuk dimensi kewibawaan antara lain berupa sikap dan perilaku yang menunjukkan tindakan kepemimpinan. Memiliki daya tarik sehingga orang lain mau mengikuti jejak dan langkahnya. Memiliki kemampuan untuk mengayomi sejumlah orang. Memiliki sikap dan atau tindakan terpuji sehingga senantiasa disegani dan dipatuhi orang lain. Sehubungan dengan sikap berwibawa tersebut Moelyono (2015: 14) menyatakan, seorang pemimpin bangsa harus berani mengambil keputusan yang penuh risiko, dan selanjutnya mampu melaksanakan secara konsisten dan konsekuen demi kepentingan nasional sesuai bidang tugas pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Hasil pendalaman lanjut melalui wawancara diperoleh informasi, bahwa penghayatan atas nilai sikap berwibawa sebagaimana disebutkan oleh pejuang veteran hingga saat ini masih diimplementasikan dalam kehidupan bermayarakat di lingkungan setempat. Diperoleh data, bahwa kewibawaan pejuang veteran selaku responden ternyata telah dituangkan dalam kedudukan mereka di dalam masyarakat. Data membuktikan, bahwa seluruh pejuang veteran memiliki kedudukan yang dipandang terhormat dalam masyarakat di wilayah mereka tinggal. Fakta secara terperinci menunjukkan, empat orang (13,33 %) pejuang veteran sebagai tokoh masyarakat/tokoh agama, 12 orang(40,00 %) menjadi pengurus LPMD, enam orang (20,00 %) menjabat menjadi ketua RT, tiga orang (10,00 %) mengabdi sebagai pengurus PKK tingkat desa, dan dua orang (6,67 %) berperan menjadi pengurus gabungan kelompok tani (Gapoktan). Hanya enam orang (20,00 %) yang sudah tidak lagi menduduki pengurus organisasi/lembaga sosial dan dalam perunutan lanjut

68 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup diperoleh informasi ketiganya tidak lagi menduduki jabatan dalam masyarakat karena faktor telah berusia lanjut (di atas 76 tahun). h. Penghayatan Pejuang Veteran atas Sikap Kepribadian Kuat Berkepribadian kuat adalah sikap kokoh dan tegas yang merupakan cerminan dari sifat hakiki (karakter) individu yang ditunjukkan pada orang lain. Data penghayatan pejuang veteran selaku responden atas sikap kepribadian kuat dapat disajikan dalam grafik 15 berikut.

Penghayatan atas Sikap Kepribadian Kuat

Sumber: hasil analisis data primer, 2020 Grafik 14: Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Kepribadian Kuat Grafik 14 menggambarkan mengenai penghayatan pejuang veteran atas sikap kepribadian kuat yang merupakan salah satu modal dalam berjuang mempertahankan negara atau membela bangsa. Data tersaji memperlihatkan, bahwa sebesar 53,33 persen pejuang veteran menghayati secara baik atas nilai/sikap kepribadian kuat. Sementara sebesar 40 persen di antara mereka berada dalam kategori cukup menghayati sikap kepribadian kuat. Data menunjukkan, hanya sebesar 6,67 persen pejuang veteran yangdalam kondisi kurang menghayatisikap kepribadian kuat. Sebaran data sebagaimana tersaji dapat dimaknai, bahwa sebagian besar setidaknya lebih dari 50 persen memiliki penghayatan secara baik atas

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 69 nilai/sikap kepribadian kuat, dan sebagian pejuang veteran yang lain secara mayoritas masih termasuk cukup menghayati sikap kepribadian yang kuat. Dalam penelusuran lebih lanjut dapat diungkap, bahwa kepribadian kuat menurut informan mencakup kokohnya sikap seorang pejuangveteran,di antaranya berkarakter disiplin, jujur dan memiliki keteguhan hati.Tunduk pada perintah atasan/pimpinan, patuh pada aturan, serta menghormati hukum. Memiliki kematangan pribadi dan mampu menyesuaikan diri, serta selalu mempertimbangkan kritik. Memiliki sikap pantang menyerah dan terus berjuang untuk membangun bangsa dan negara. Poengky Poernomodjati (2018: 15) sehubungan dengan sikap kepribadian kuat ini menegaskan,dalam mempertahankan, mengisi kemerdekaan, dan menjamin eksistensi NKRI secara berdaulat, maka disiplin dan tanggung jawab dalam tugas pengabdian tetap harus dilaksanakan secara patriotik. Pendalaman lanjut melalui wawancara dengan informan dapat diketahui, ternyata sejumlahsikap sebagai komponen kepribadian kuat tersebut oleh para pejuang veteran juga mereka amalkan dalam hidup bermasyarakat pada saat ini. Menurut informan, sejumlah prinsip yang terkandung dalam nilai/sikap kepribadian kuat senantiasaditerapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, bahkan harus diwariskan pada generasi penerus cita-cita bangsa. Seorang informan Supardjo (75 tahun) selaku ketua seksi organisasi dan pendidikan menyatakan, bahwa kedisiplinan, tunduk pada pimpinan, patuh pada aturan, dan ketaatan pada hukum perlu terus ditumbuhkembangkan pada setiap kelompok warga, agar tercipta suatu ketenteraman dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Artinya, sebagai warga negara dengan apapun jabatannya seseorang wajib menumbuhkan budaya disiplin, tunduk pada pimpinan, dan patuh ataupun taat pada aturan hukum yang berlaku. i. Penghayatan Pejuang Veteran atas Sikap Menghimpun Semangat Juang Semangat juang adalah roh kehidupan yang menjiwai seorang pejuang dalam suatu usaha peperangan yang penuh kesulitan dan bahaya.Sesuai konteks kajian ini

70 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup adalah kesulitan dan bahaya berperang dalammerebut dan mempertahankan kemerdekaan ataupun membela kedaulatan bangsa dan negara Indonesia.Grafik 15 berikut menggambarkan penghayatan pejuang veteran selaku responden atas sikap menghimpun semangat juang,

Penghayatan atas Sikap Menghimpun Semangat Juang

Sumber: hasil analisis data primer, 2020 Grafik 15: Responden Berdasar Penghayatan atas Sikap Menghimpun Semangat Juang

Penghayatan pejuang veteran selaku responden atas sikap menghimpun semangat juang digambarkan melalui sajian data pada grafik15 di atas. Data menunjukkan, bahwa hamper seluruh responden atau sebesar 96,67 persen pejuang veteran memiliki penghayatan atas sikap menghimpun semangat juang yang memadai. Terperinci sebesar 80persen pejuang veteran menghayati secara baik dan sebesar 16,67 persen cukup menghayati sikap menghimpun semangat juang. Data memperlihatkan, hanya 3,33 persenpejuang veteran yang kurang menghayati sikap menghimpun semangat juang. Distribusi data tersebut mengindikasikan, bahwa secara mayoritas pejuang veteran selaku responden menghayati sikap menghimpun semangat juang secara baik. Berkait dengan penghayatan sikap menghimpun semangat juang, Suhardi (66 tahun) selaku bendahara LVRI Kabupaten Bantul menyatakan, bahwa menghimpun semangat juang harus senantiasa digelorakan dengan bermodal sikap tidak gentar, pantang mundur, dan tidak

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 71 kenal menyerah.Sumber data tersebut juga mengemukakan, rakyat Indonesia hendaknya terus bersemangat dan bergairah dalam berjuang. Informan ini lebih lanjut menyatakan, kalau dulu para pejuang dengan penuh semangat yang menggelora dan tidak kenal menyerah menghadapi penjajah, maka sekarang generasi penerus hendaknya juga memiliki semangat yang menggelora dan pantang menyerah dalam menghadapi permasalahan bangsa. Menurut sejumlah informan, sikap menghimpun semangat juang tersebut pada saat ini juga diimplementasikan oleh pejuang veteran dalam kehidupan bermasysrakat di lingkungan setempat. Bentuk konkrit implementasi sikap menghimpun semangat juang yang mereka lakukan misalnya mengajak atau menghimbau warga untuk selalu bersemangat dalam berkegiatan sosial. Mempelopori dan melibatkan diri untuk menyemangati warga dalam kegiatan bergotong royong. Selalu berusaha memotivasi dan menggerakkan warga agar bersemangat dalam melaksanakan pembangunan. Berkait dengan implementasi menghimpun semangat juang ini, Sahrawardi (95 tahun) selaku ketua LVRI Kabupaten Bantul mengemukakan, dalam mengimplementasikan nilai semangat juang di masyarakat hendaknya jangan sekali-kali menerapkan unsur memaksa. Menurutnya, pemimpin sebaiknyamenggunakan filosofi Jawa yang dicetuskan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara yakni “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.Maksudnya, seorang pemimpin dalam memberi semangat masyarakat untuk bergotong royong hendaknya dilakukan dengan memberi contoh/keteladanan, membangkitkan semangat juang, dan terus memotivasi setiap warga agar senantiasa giat berkarya sesuai kemampuan, bidang tugas, dan profesi mereka masing-masing. 3. Kemandirian pejuang veteran Sebagaimana dibahas dalam tinjauan pustaka, bahwa kemandirian individu sangat diperlukan dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan kebutuhan sosial. Berdasar acuan tersebut, maka pengkajian kemandirian pejuang veteran dalam penelitian ini diungkap kemampuan mereka dalam pemenuhan kebutuhan material, pemenuhan kebutuhan spiritual, dan pemenuhan kebutuhan sosial.

72 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup a. Kemandirian Pejuang Veteran dalam Pemenuhan Kebutuhan Material Kemandirian pejuang veteran dalam pemenuhan kebutuhan material yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok hidup keseharian mencakup kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan kesehatan. Hasil pendataan menggunakan kuesioner setelah diolah memperoleh data yang disajikan dalam grafik16berikut.

Kemandirian dalam Pemenuhan Kebutuhan Material

Sumber: hasil analisis data primer, 2020 Grafik 16: Responden Berdasar Kemandirian dalam Pemenuhan Kebutuhan Material

Grafik 16 memberi gambaran mengenai kemandirian pejuang veteran selaku responden dalam memenuhi kebutuhan material. Data tersaji tampak jelas, bahwa dari 30 pejuang veteran selaku responden ternyata hampir seluruhnya tepatnya 93,34 persen memiliki kemandirian secara baik dalam memenuhi kebutuhan material demi kerlangsungan hidup mereka. Data memperlihatkan hanya sebesar 6,66 persen pejuang veteran kondisinya cukup mandiri dan kurang mandiri dalam memunuhi kebutuhan hidup secara material. Kondisi kemandirian ekonomi pejuang veteran yang menjadi responden juga dapat dilihat dari sisi pekerjaan keseharian mereka yang sebagianbesar sebagai seorang pensiunan TNI. Data menunjukkan, hampir seluruh pejuang veteran dalam keseharian masih melakukan pekerjaan bernilai ekonomi

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 73 produktif yang berdasar hasil pendataan dapat digolongkan menjadi empat jenis pekerjaan yaitu pengelola jasa, perdagangan, pertanian, dan peternakan. Pejuang veteran yang menggeluti jenis pekerjaan jasa antara lain mengelola tempat kos dan usaha catering. Responden yang bergerak dalam pekerjaan perdagangan di antaranya membuka warung makanan ringan dan toko kelontong. Mereka yang memiliki usaha di bidang pertanian meliputi mengolah sawah dengan menanam padi dan menggarap kebun/pategalan dengan menanam buah seperti pisang, rambutan, mangga, dan nangka. Sementara mereka yang beternak antara lain memelihara sapi, kambing, dan mengelola kolam ikan. Kondisi kemandirian pejuang veteran ini sesuai dengan penegasan Fajri (2015: 67) yang menyatakan, orang yang mandiri pasti akan melakukan atau mengerjakan sesuatu dengan kemampuannya sendiri serta tidak bergantung pada orang lain (www.kompasiana.com, diunggah Senin 27 April 2020. Melalui berbagai pekerjaan yang bernilai ekonomi produktif sebagaimana dikemukakan, pejuang veteran selaku responden memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidup secara material. Mereka pada umumnya masih mampu memenuhi kebutuhan untuk makan, membeli pakaian, serta pengadaan perabotan rumah tangga dan memperbaiki rumah. Sebagian besar dari mereka masih memiliki tabungan sebagai modal cadangan dalam memenuhi berbagai kebutuhan, bahkan ada sebagian yang menyatakan bahwa tunjangan penghargaan sebagai veteran selalu ditabung melalui rekening bank di tempat pengambilan gaji mereka setiap bulan. Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa dilihat dari sisi kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidup secara material, pejuang veteran yang menjadi subjek penelitian ini ternyata masih memiliki kemandirian secara memadai. b. Kemandirian Pejuang Veteran dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Kemandirian pejuang veteran dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pada konteks kajian ini adalah kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan keimanan dan ketaqwaan serta ketenteraman dan kenyamanan hidup. Berikut data kemandirian pejuang veteran dalam pemenuhan kebutuhan spiritual.

74 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup Kemandirian dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual

Sumber: hasil analisis data primer, 2020 Grafik 17: Responden Berdasar Kemandiria dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual

Dilihat dari sisi kemandirian dalam memenuhi kebutuhan secara spiritual, data pada grafik 17 memperlihatkan bahwa sebesar 80 persen pejuang veteran memiliki kemandirian yang baik dalam memenuhi kebutuhan spiritual. Sementara sisanya yakni sebesar 20 persen tergolong cukup mandiri dalam memenuhi kebutuhan spiritual. Data menunjukkan, tidak terdapat satupun pejuang veteran yang kurang mandiri dalam memenuhi kebutuhan spiritual. Sajian data pada grafik di atas dapat dimaknai, bahwa ternyata pejuang veteran selaku responden memiliki kemandirian yang memadai dalam memenuhi kebutuhan spiritual. Dalam penggalian lebih lanjut melalui wawancara sebagai pendalaman data diperoleh temuan, bahwa berbagai kebutuhan spiritual yang perlu mereka penuhi mencakup kebutuhan memperdalam ilmu agama, memperluas wawasan keagamaan, meningkatkan ketaqwaan, dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Data yang diperoleh menunjukkan, bahwa dari 30 orang pejuang veteran yang mejadi responden ternyata kesemuanya beragama Islam. Berkait dengan kemampuan pejuang veteran dalam pemenuhan sejumlah kebutuhan spiritual sebagaimana dikemukakan, informan mengaku bahwa untuk memperdalam ilmu agama dilakukakn dengan banyak mengaji untuk belajar Al Qur’an, sedangkanuntuk memperluas wawasan keagamaan mereka lakukan dengan cara sering mengikuti ceramah pengajian. Dalam upaya

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 75 meningkatkan ketaqwaan mereka lakukan dengan rajin beribadah baik ibadah yang sifatnya wajib seperti sholat, puasa maupun ibadah yang bersifat sunah. Sementara dalam rangka pengamalan ajaran agama, mereka yang semuanya telah berusia lanjut berusaha untuk selalu berbuat baik, bersedekah, berzakat, dan banyak membantu atau menolong orang yang membutuhkan bantuan atau pertolongan. Pejuang veteran yang terpenuhi kebutuhan spiritual keagamaan tentu hidupnya merasa tenteram, nyaman, dan mental psikologisnya mampu mengendalikan diri untuk tidak berperilaku negatif. Sebagaimana dikemukakan Serafica Gescha yang menyatakan, bahwa kemandirian psikologis ditandai dengan kemampuan menerima diri sendiri, berinisiatif mengatur tingkah laku dalam mengatasi masalah, dan mampu menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. c. Kemandirian Pejuang Veteran dalam Pemenuhan Kebutuhan Sosial Kemandirian pejuang veteran dalam pemenuhan kebutuhan sosial yang dimaksud adalah kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan bersosialilsasi dan berkegiatan sosial dalam hidup bermasyarakat. Berikut data kemandirian pejuang veteran dalam pemenuhan kebutuhan sosial.

Sumber: hasil analisis data primer, 2020 Grafik 18: Responder Berdasar Kemandirian dalam Pemenuhan Kebutuhan Sosial

76 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup Dalam grafik 18 dipaparkan data tentang kemandirian pejuang veteran selaku responden dalam memenuhi kebutuhan sosial. Data menunjukkan, sebesar 90 persen pejuang veteran memiliki kemandirian yang baik dalam memenuhi berbagai kebutuhan sosial. Grafik memperlihatkan, terdapatsebesar 10 persen pejuang veteran yang lain berkondisi cukup mandiri dalam memenuhi kebutuhan sosial, serta tidak ada pejuang veteran yang kurang mandiri dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Keberadaan data tersebut mengandung makna, bahwa meskipun seluruh pejuang veteran selaku responden telah berusia lanjut, tetapi mereka masih memiliki kemandirian secara memadai dalam memenuhi kebutuhan sosial. Kemandirian mereka dalam memenuhi kebutuhan sosial ternyata mencakup kemandirian dalam mobilitas secara fisik, kemandirian secara finansial, dan kemandirian dalam bersosialisasi. Kemandirian mobilitas secara fisik maksudnya bahwa pejuang veteran rerata masih mampu melakukan mobilitas (pindah dari satu tempat ke tempat lain) dalam upaya beraktualisasi diri dan berkegiatan di masyarakat. Kemandirian secara finansial artinya bahwa mereka masih mampu membiayai kebutuhan untuk berkegiatan di masyarakat yang membutuhkan pendanaan seperti membayar iuran kegiatan RT/dusun, memberi sumbangan sosial, dan kegiatan sumbang-menyumbang dalam hajatan warga. Sementara kemandirian dalam bersosialisasi yang dimaksud adalah bahwa mereka masih memiliki kemampuan berperan dan berfungsi sosial dalam hidup bermasyarakat seperti menjadi pengurus lembaga ataupun organisasi sosial kemasyarakatan di lingkungan setempat. Berkait dengan kemampuan berperan dan berfungsi sosial, diperoleh informasi bahwa dari 30 pejuang veteran hanya tiga orang yang sudah tidak lagi menjadi pengurus lembaga/organisasi kemasyarakatan. Sementara secara mayoritas yakni 27 orang pejuang veteran masih aktif berperan sosial dengan kedudukan sebagai tokoh masyarakat/agama, pengurus LPMD, pengurus PKK, ketua RT, dan pengurus gabungan kelompok tani (Gapoktan). Fakta ini senada penegasan Oetari Oetoyo, dkk. sebagaimana dikutip Sri Salmah(2010: 12) yang menyatakan, kemandirian bukan berarti berdikari dalam arti lepas sama sekali dari kebergantungan orang lain. Kemandirian tetap mengakui, bahwa manusia hidup dalam kebergantungan dengan manusia lain dan

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 77 lingkungannya. Kemandirian juga tidak diartikan kesendirian, hidup terpencil, dan lepas dari pergaulan atau interaksi dengan kehidupan disekitarnya. Kemandirian lebih diartikan mempunyai kemampuan mendayagunakan berbagai sumber dan potensi, sehingga mereka berhasilguna dalam menjalankan fungsi dan peran sosial di masyarakat.

C. Pembahasan Hasil Analisis Hasil analisis data menunjukkan, bahwa secara mayoritas pejuang veteran selaku responden memiliki penghayatan secara baik terhadap nilai-nilai kepahlawanan. Sebagaimana ditemukan di lapangan, bahwa penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan mencakup sikap militansi, gagah berani, rela berkorban, percaya kemampuan sendiri, bertanggung jawab, bercita-cita tinggi, berwibawa dan berpengaruh besar, berkeperibadian kuat, dan sikap menghimpun semangat juang. Nilai-nilai kepahlawanan yang dihayati pejuang veteran tersebut pada masa berjuang tempo dulu merupakan “senjata moral” sekaligus merupakan pendorong semangat mereka dalam berjuang melawan penjajah. Nilai kepahlawanan sebagaimana disebutkan kemudian merasuk dan terpatri di dalam hati sanubari para pejuang dalam konteks kajian ini adalah pejuang veteran baik dalam berjuang di masa lalu sewaktu mereka melakukan perjuangan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, membela kemerdekaan, sebagai pejuangmenciptakan perdamaian dunia, maupun dalam berjuang mengisi kemerdekaan pada saat ini. Berkait dengan perjuangan mengisi kemerdekaan Rais Abin (2016: 51) menyatakan, dalam era mengisi kemerdekaan serta menghadapi arus globalisasi yang sulit dihindari, rasa kebangsaan atau nasionalisme harus tetap kuat dan melekat erat dalam diri manusia Indonesia, agar tidak terpengaruh oleh paham atau ideologi lain yang tidak sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia. Nilai-nilai kepahlawanan tersebut oleh pejuang veteran senantiasa diimplementasikan dalam hidup bermasyarakat di lingkungan setempat. Sebagai contoh misalnya dalam implementasi nilai sikap militansi, di masa perang kemerdekaan pejuang dengan penuh ketangguhan melakukan perjuangan hingga tercapai kedaulatan NKRI secara penuh.Pada era sekarang

78 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup generasi penerus dalam mengisi kemerdekaan hendaknya meneladani sikap militansi, terutama dalam menghadapi setiap ancaman ataupun gangguan hendaknya berlandaskan sikap yang militan sebagai aktualisasi rasa cinta tanah air dan sikap membela negara. Dalam hal sikapgagah berani, jikalau pada masa lalu pejuang dengan gagah dan berani membela dan mempertahankan negara dengan bertaruh jiwa dan raga, maka pada saat ini sikap keberanian tersebut diimplementasikan dalam melawan ketidakadilan untuk menegakkan kebenaran. Implementasi nilai kepahlawanan tersebut sesuai dengan karakter kepahlawanan sebagaimana disebutkan Habib MS (2017: 58), bahwa kepahlawanan berasal dari kata dasar “pahlawan” berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanan dalam membela kebenaran dan keadilan. Berkait dengan pewarisan nilai/sikap rela berkorban jikalau pada masa perang dahulu para pejuang bersikap rela, ikhlas, dan mau berkorban demi bangsa dan negara hingga titik darah penghabisan, maka dalam mengisi kemerdekaan pada saat ini mereka hendaknya berusaha bersikap rela dan siap melawan ketidakadilan serta ikhlas menanggung segala risiko tindakan yang dilakukan. Contoh lain misalnya berkait dengan nilai sikap bertanggung jawab, jikalau di masa perjuangan para pejuang bertanggung jawab mempertahankan negara dan membela bangsa, maka pejuang veteran pada saat ini merasa bertanggung jawab mengisi kemerdekaan dengan selalu berusaha menjaga eksistensi kedaulatan NKRI dengan melaksanakan pengabdian sesuai dengan tugas dan profesi mereka maing-masing.Tanggung jawab tersebut senada dengan Pasal 5 Anggaran Dasar LVRI, disebutkan bahwa misi dibentuknya organisasi adalah mewariskan jiwa, semangat, dan nilai kejuangan 1945, berperan aktif dalam pembangunan nasional, memelihara hubungan persahabatan dengan veteran regional dan dunia, serta didukang oleh organisasi veteran yang solid, efektif dan efisien, serta konsisten dalam menjaga kehormatan dan meningkatkan kesejahteraan pejuang veteran. Sehubungan dengan misi terbentuknya organisasi yang di antaranya mewariskan jiwa, semangat, dan nilai kejuangan 1945 (JSN ’45), maka pejuang veteran di Kabupaten Bantul telah bekerja sama dengan Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) setempat

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 79 dalam rangka merencanakan dan melaksanakan program sosialisasi nilai kepahlawanan dan kejuangan bangsa Indonesia. Program sosialisasi nilai kepahlawanan dan kejuangan tersebut oleh pemateri pejuang veteran pernah disosialisasikan secara bergilir kepada siswa siswi SLTP/SLTA di Kabupaten Bantul. Sosialisasi baru berjalan tiga periode selama tiga bulan yakni bulan Januari, Februari, dan Maret 2020. Akan tetapi akibat pandemi Covid-19 kegiatan tersebut untuk sementara waktu ditunda dan akan dilanjutkan apabila wabah tersebut telah mereda. Kerja sama tersebut merupakan bentuk pemenuhan kewajiban pejuang veteran sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2015 Pasal 16 huruf (d), bahwa veteran Republik Indonesia wajib berusaha menjadi unsur masyarakat yang aktif dalam melaksanakan program pembangunan untuk mewujudkan ketahanan nasional.

80 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup BAB V PENUTUP

Sebagai penutup dalam bab lima ini disajikan kesimpulan dari hasil analisis data dan pembahasan . Atas dasar kesimpulan tersebut kemudian disajikan sejumlah rekomendasi untuk dapat ditindaklanjuti oleh berbagai pihak berkompeten. A. Kesimpulan Berdasar hasil analisis data baik analisis terhadap karakteristik, penghayatan atas nilai kepahlawanan, maupun analisis terhadap kemandirian pejuang veteran, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pejuang veteran di Kabupaten Bantulyang menjadi responden penelitian ini memiliki karakteristiksebagian besar berjenis kelamin laki-laki, memiliki rentang usia antara 61 hingga 95 tahun, mayoritasberpendidikan SD dan atau SMP sederajat, semua masih bekerja/memiliki usaha ekonomi, sebagian besar masih mengabdi sebagai pengurus LVRI Cabang Kabupaten Bantul ataupun LVRI ranting di kecamatan, hampir semuanya memangku jabatan pada lembaga/organisasi kemasyarakatan atau sebagai tokoh masyarakat/agama, dan sebagian besar memiliki jenis keveteranan kategori veteran pembela kemerdekaan. Karakteristik sebagaimana dikemukakan apabila dikaitkan dengan konteks kajian yang menjadi fokus penelitian ini, maka dapat ditegaskan bahwa meskipun pejuang veteran selaku responden telah berusia lanjut tetapi masih memiliki kemandirian hidup. Pejuang veteran selaku responden ternyata memiliki penghayatan atas nilai kepahlawanan yang relatif memadai. Nilai-nilai kepahlawanan yang dihayati pejuang tersebut mencakup nilai sikap militansi, gagah berani, rela berkorban tanpa pamrih, percaya pada kemampuan sendiri, bertanggung jawab, bercita-cita tinggi, berwibawa dan berpengaruh besar, berkepribadian kuat, dan nilai kemampuan menghimpun semangat perjuangan.Sejumlah sikap merupakan dimensi nilai kepahlawanan inilah yang melandasi pejuang veteran dalam mencapai kemandirian. Nilai-nilai kepahlawanan sebagaimana dipaparkan oleh pejuang veteran

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 81 juga di implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Implementasi nilai- nilai kepahlawanan yang berwujud berbagai sikap sebagaimana dikemukakan cenderung membuat pejuang veteran masih mampu bekerja dan atau berkarya, meskipun mereka telah berusia lanjut. Pejuang veteran memiliki pekerjaan yang selaras dengan kondisi/kemampuan fisik masing-masing sesuai keterampilan yang dikuasai. Pekerjaan mereka pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu jasa, berdagang, bertani, dan beternak. Pejuang veteran yang telah berusia lanjut ternyata masih memiliki kemandirian hidup secara memadai. Pertama, mereka memiliki kemandirian untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup yang bersifat material seperti pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan rumah tempat tinggal. Kedua, mereka mandiri untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat spiritual seperti pemenuhan kebutuhan memperdalam ilmu dan memperluas wawasan keagamaan sebagai upaya meningkatkan pengetahuan agama, beribadah dan beramal dalam untuk meningkatkan ketaqwaaan, dalam rangka memperoleh ketenteraman/kenyamanan hidup. Ketiga, mandiri dalam memnuhi kebutuhan sosial seperti pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri, bersosialisasi, dan pemenuhan kebutuhan berkegiatan sosial.

B. Rekomendasi Berpijak pada beberapa kesimpulan sebagaimana dikemukakan di atas, berikut disajikan sejumlah rekomendasi untuk dapat ditindaklanjuti oleh berbagai pihak berkompeten. Tindak lanjut yang dilakukan oleh pihak berkompenten tersebut diharapkan merupakan solusi dalam pemberdayaan pejuang veteran menuju kemandiran di satu sisi, dan pada sisi lain merupakan wahana pendayagunaan potensi mereka sebagai ujung tombak pelaksanaan sosialisasi sikap kejuangan pada generasipenerus cita-cita bangsa, dalam upaya pelestarian nilai kejuangan dan nilai kepahlawanan. Pertama, pemerintah melalui Kementerian Sosial cq Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial bekerjasama dengan berbagai lembaga/instansi berkompetensecara periodik perlu

82 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup memfasilitasi kelompok pejuang veteran di seluruh wilayah Indonesia melalui organisasi LVRI pada tingkat cabang di setiap kabupaten/kota. Tujuan fasilitasiadalah agar semangat perjuangan mereka tetap terpelihara dengan senantiasa memahami, menghayati, dan mengimplementasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di samping itu, fasilitasi juga perlu diarahkan agar pejuang veteran baik secara organisatoris maupun secara individu mampu dan mau berperan untuk senantiasa mewariskan nilai-nilai kepahlawanan, kejuangan, dan keperintisan kepada generasi penerus cita-cita bangsa. Kedua, Kementerian Sosial dengan Kementerian Pendidikan melalui direktorat berkompeten masing-masing di institusi tersebut perlu bersinergi merumuskan kebijakan berkait dengan pewarisan nilai kepahlawanan/nilai kejuangan pada generasi muda penerus cita-cita bangsa. Setrategi yang dapat ditempuh di antaranya adalah menyusun kurikulum penanaman nilai kepahlawanan bagi peserta didik pada setiap jenjang pendidikan. Apabila strategi tersebut tidak dimungkinkan, setidaknya bukan penanaman nilai kepahlawanan tersebut dijadikan sebagai materi pembelajaran muatan lokal. Ketiga, Kementerian Sosial melalui Sub Direktorat Kepahlawanan hendaknya menggali dan mengkaji nilai kepahlawanan/nilai kejuangan yang dihayati oleh pejuang veteran dari setiap daerah di wilayah Indonesia. Nilai kepahlawanan dan atau nilai kejuangan yang dihayati pejuang veteran tersebut secara berkesinambungan perlu disosialisasikan kepada generasi penerus cita- cita bangsa dalam upaya pelestarian nilai kejuangan yang melandasi semangat perjuangan bangsa Indonesia. Keempat, Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Cabang Kabupaten Bantul melalui seksi pendidikan hendaknya secara intensif melakukan sosialisasi pewarisan nilai kepahlawanan dan atau nilai kejuangan bangsa Indonesia. Pelaksana sosialisasi adalah pejuang veteran yang telah memperoleh pelatihan peningkatan kapasitas untuk melakukan sosialisasi pada siswa di sekolah dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti kegiatan kepramukaan dan Palang Merah Remaja (PMR). Sosialisasi nilai kepahlawanan/nilai kejuangan dapat pula dilakukan baik pada anggota kelembagaan desa seperti LPMD, Karang taruna, maupun pada kelompok

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 83 organisasi sosial keagamaan yang ada di masyarakat. Materi sosialisasi nilai kepahlawanan dan nilai kejuangan jika memungkinkan perlu dimodifikasi dalam bentuk permainan sesuai dengan jenjang pendidikan siswa atau komunitas yang menjadi sasaran kegiatan.

84 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup PUSTAKA ACUAN

Abbas Tashakkori dan Charles Teddlie. (2020) Mixed Methdology, Mengkombinasikan Penelitian Kunatitatif dan Kulitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Asmadi Alsa. (2017). Pendekatan Kuantitaif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2017). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Burhan Bungin. (2018). Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penggunaan Model Aplikasi. : PT Raja Grafindo Persada. Chatarina Rusmiyati. (2008). Kemandirian Anak dalam Panti Asuhan. Yogyakarta: B2P3KS Press. Chatarina Rusmiyati dan Akhmad Purnama. (2016). Analisis Kebutuhan Pelayanan Sosial bagi Keluarga Miskin. Yogyakarta: Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, Vol. 15, September 2016. Creswell, J.W. (2013). Research Design: Qulitative, Quantitative, and Mix Methods Approaches 4 Edition. Thousand Oaks: Sage Publications Inc. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1996). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Fajri. (2015) Kemandirian Individu dalam Hidup Bermasyarakat. www.kompasiana.com. Frida Firdiani. (2015) Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro. Jakarta: Bee Media Habib MS. (2017) Kepahlawanan dan Pujaan bagi Pahlawan. Yogyakarta: Majalah Adzan edisi 2017. Hadi Sabari Yunus. (2016). Metode Penelitian Wilayah Kontemporer,Cetakan Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hamidi. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UMM Press.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 85 Hendraswati. (2018) Nilai-Nilai Kepemimpinan dan Kepahlawanan Pangeran Antasari dalam Perang Banjar. Yogyakarta: Jantra Vol 10 No 1 Juni 2016. Balai Pelestarian Nilai Budaya. Istiana Hermawati. (2004). Pengkajian Keswadayaan Masyarakat Desa dalam Pemberdayaan Sumber Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: B2P3KS Kementerian Sosial. (2016). Pedoman Prosedur Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional. Jakarta: Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial. ______. (2017). Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Kepahlawanan. Jakarta: Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial. ______(2019). Rangkaian Kegiatan Hari Pahlawan. Jakarta: Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial. Koentjaraningrat. (2005). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lathiful Khuluq. (2015). Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat. Yogyakarta: Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial. Moelyono. (2015). Sejarah Perang Diponegoro 1925-1930. Yogyakarta: Sasana Wiratama Tegalrejo. Moleong. (2014). Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. : PT. Remaja Rosdakarya. Nasir. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Chaka Indonesia. Nasution. (2019). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: PT Bumi Aksara. Nindya Noegraha. (2010). Babad Diponegoro. Jakarta: Perpuskaan Nasional RI. Nuryoto. (2015). Kemandirian Remaja Ditinjau dari Tahap Perkembangan, Jenis Kelamin, dan Peran Jenis. Yogyakarta: Pasca Sarjana Universitas Gajahmada.

86 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup Peter Carey. (2015). Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1825-1830). Jakarta: Kompas. Poengky Purnomodjati. (2018). Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah). Jakarta: Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia. Purwadi dan Megandaru W Kawuryan. (2016). Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro. Yogyakarta: Tunas Harapan. Rais Abin. (2016). Materi Pelatihan Calon Pelaksana Sosialisasi Pewarisan Nilai-Nilai Kejuangan Bangsa Indonesia (Buku 2). Jakarta: Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia. Soewartono. (2007). Penelitian tentang Pengaruh Pelayanan Pati Sosial Bina Remaja terhadap Kemandirian Eks Kelayan Anak Terlantar di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Yogyakarta: B2P3KS. Sugiyono. (2017) Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Suharsimi Arikunto. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,Cetakan 15. Jakarta: Rineke Cipta. Sri Salmah. (2010). Menuju kemandirian: Peran Panti Sosial Bina Remaja dalam Mengentaskan Anak Terlantar. Yogyakarta: B2P3KS Press. Warto. (2016). Pewarisan Nilai Kepahlawanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Yogyakarta: Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial. Vol.40 Nomor 3 Desember 2016.

Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup 87 ACUAN LAIN: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Veteran Republik Indonesia. Keputusan Presiden RI Nomor 103 Tahun 1957 tentang Legiun Veteran Republik Indonesia. Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengesahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Legiun Veteran Republik Indonesia. Keputusan Presiden RI Nomor 43/M Tahun 2018 tentang Pemberhentian Dewan Pimpinan Pusat dan Dewan Pertimbangan Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia.

88 Pejuang Veteran : Antara Penghayatan Nilai Kepahlawanan dan Kemandirian Hidup eneliti melalui buku ini mencoba menelaah pejuang veteran dalam penghayatan atas nilai kepahlawanan dan kemandirian hidup mereka. PTujuan penelitian, pertama mendeskripsikan karakteristik pejuang veteran. Kedua, mengungkap seberapa penghayatan pejuang veteran atas nilai kepahlawanan. Ketiga, menggambarkan kemandirian pejuang veteran dalam memenuhi kebutuhan material, kebutuhan spiritual, dan dalam memenuhi kebutuhan sosial. Dari pengkajian diperoleh temuan, bahwa pejuang veteran memiliki karakteristik berusia antara 61 hingga 95 tahun, mayoritas berpendidikan SD/SMP sederajat, semua masih bekerja/produktif, rerata menjadi pengurus LVRI cabang/ranting ataupun pengurus organisasi sosial kemasyarakatan, dan sebagian besar sebagai veteran pembela kemerdekaan. Pejuang veteran memiliki penghayatan atas nilai kepahlawanan secara memadai. Nilai kepahlawanan yang dihayati mencakup sikap militansi, gagah berani, rela berkorban, percaya kemampuan sendiri, bertanggung jawab, bercita-cita tinggi, berwibawa, berkepribadian kuat, dan nilai kemampuan menghimpun semangat juang. Pejuang veteran yang berusia lanjut terbukti masih memiliki kemandirian secara memadai. Pertama, kemandirian memenuhi kebutuhan material seperti pangan, sandang, kesehatan, dan tempat tinggal. Kedua, kemandirian memenuhi kebutuhan spiritual seperti beribadah, beramal, dan memperoleh ketenteraman hidup. Ketiga, kemandirian memenuhi kebutuhan sosial seperti aktualisasi diri, bersosialisasi, dan berkegiatan sosial. Direkomendasikan, agar pemerintah melalui Kementerian Sosial cq Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial hendaknya bekerja sama dengan lembaga/instansi terkait secara periodik memfasilitasi kelompok pejuang veteran melalui organisasi LVRI pada tingkat cabang di setiap kabupaten/kota. Tujuan fasilitasi adalah agar bermodal kemandirian yang memadai mereka baik secara organisatoris maupun secara individual mampu berperan untuk senantiasa mewariskan nilai kepahlawanan, kejuangan, dan keperintisan kepada generasi penerus cita-cita bangsa.

B2P3KS PRESS BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL (B2P3KS YOGYAKARTA) B2P3KS PRESS Jl.Kesejahteraan Sosial No.1 Sonosewu,Yogyakarta Telp.(0274) 377265, 373530 Fax (0274) 373530