PENGHENTIAN PROYEK PEMBANGUNAN MONOREL

(Analisis Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Suryawan Syawal

1111048000008

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2015 M/1436 H PENGI{ENTIANPROYEKPEMBA|IGUNANMONOREL (AnalisisPasal 25 Undang-UndangNomor 1'8Tahun 1999Tentang Jasa Konstruksi)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas syariah dan llukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S"H)

Oleh: Suryawan Syawal 11 1 1048000008

Pem imbing U

MH. NIP. lg72020320ozol1034

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

r436H.1201sM

11

/n PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsiberjudul PENGHENTIAN PROYEK PEMBANGUNAI\ MONOREL JAKARTA

(AnalisisPasal25 Undang-Undang Nomor 18Tahun 1999Tentang Jasa Konstruksi) telah diujikan dalam sidang munaqasyahFakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif HidayatullahJakarta pada tanggal l5 September2015. Skripsi ini telahditerima sebagai salah satusyarat memperoleh gelah Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta,15 September2015

'!i '). Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

har. M.A 216199603 I 001

PANITIA UJIAN

l. Ketua : Drs.H. AsepSyarifuddin Hidayat. SH.. MH. NIP. 19691121199403 l 00l

2. Sekretaris Drs.Abu _Tamrin. S.H.'MrHum. NIP. 19650908199503 1 00 1

3. PembimbingI Dr. Alfitra.SH.. MH. NrP. 1972020320070l 1034

1. PembirnbingII: AmrizalSiagian. S. Hum..,M.Si. NIP.

5. Penguji I : Dr. DjawahirHejazziey, SH.., MA. MH. NrP. 195510r 5 t97903 I 002

6. PengujiII : Dra. IpahParihah.,_MH. NIP. 195908 I 9199403200 1

ill

) LEMBAR PERNYATAAN

Denganini sayamenyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakanhasil karya asli sayayang diajukanuntuk memenuhi

salah satu persyaratanmemperoleh gelar Strata Satu (S1) di LJIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini plagiat, maka saya bersedia

menerimasanksi yang berlakudi UIN Syarif HidayatullahJakarta.

Jakarta,15 Juni 2015

Syawal 0008)

IV

h' ABSTRAK

Suryawan Syawal. NIM 1111048000008. Penghentian Proyek Pembangunan Monorel Jakarta (Analisis Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1425 H/2015 M. Isi : xi + 113 halaman + lampiran, 55 daftar pustaka (1993-2015)

Skripsi ini menganalisis mengenai kewajiban menyelesaikan proyek pembangunan Monorel oleh pemegang tender pengelola proyek monorel sebagaimana yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dan lebih jelas lagi dalam Pasal 25 Ayat 1,2,dan 3 yang mengatur tentang kegagalan bangunan. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian yuridis normatif dengan jenis deskriptif dan bersifat kualitatif. Penulis menganalisis antara hubungan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi dalam Pasal 25 Tentang Kegagalan Bangunan dengan proyek pembangunan Monorel dalam peralihan tender pengelola Monorel jakartan. Melalui data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan data skunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya jurnal ilmiah. Selain itu, penulis menganalisis sanksi yang dapat dikenakan apabila tidak melaksanakan kewajiban pengelola tender oleh para pihak. Hasil Penelitian menyimpulkan, Berdasarkan ketentuan UU No. 18 Tahun 1999 (Pasal 25) dan dilengkapi dengan PP No. 103 Tahun 2006 hingga waktu yang ditentukan penelola proyek monorel belum memenuhi kewajiban pembangunan monorel Jakarta. Ketentuan mengenai kepastian hukum dan kewajiban penyelesaian pembangunan Monorel tidak jelas dengan kata lain ambigu, sehingga menimbulkan banyak kontrafersi. Meskipun sanksi administrative sudah jelas diatur dalamnya tetapi belum berjalan efektif, dalam hal ini proyek pembanguna Monorel Jakarta menurut UU No. 18 Tahun 1999, (Pasal 25) Tentang Jasa Konstruksi dan PP No. 103 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah Untuk Pembangunan Proyek Monorel Jakarta. Tidak berjalan sesuai dengan aturan tersebut. Kewajiban penyelesaian proyek pembangunan Monorel ini seharusnya diselesaikan dalam waktu yang telah di tentukan dalam Undang-Undang. Maka Perlu adanya ketelitian dalam hal peraturan yang mengatur penyesuaian pembangunan proyek Monorel oleh para pihak yang bersangkutan. Sehingga proyek pembangunan Monorel Jakarta dapat dilaksanakan tanpa adanya benturan dalam pelaksanaan pembangunan proyek Monorel.

v Kata Kunci : Proyek Monorel Jakarta, Kontrak Konstruksi, Adhi Karya (Tbk), PT. Jakarta Monorel.

Pembimbing : 1. Dr. Alfitra, SH., MH. 2. AmrizalSiagian, S.Hum.,M.Si.

vi KATAPENGANTAR ﺑِﺴْﻢ ﱠ ﻟﺮﱠﺣْ ﻤَﻦِ اﻟﺮَﺣِﯿﻢِ

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang dengan rahmat dan karunia-Nya memberikan kesempatan bagi kita semua untuk mengenyam pendidikan. Shalawat serta salam penulis tujukan kepada Nabi

Muhammad SAW, yang telah membawa zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Banyak ujian dan cobaan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini, namun atas izin Allah SWTpenulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“PENGHENTIAN PROYEK PEMBANGUNAN MONOREL JAKARTA

(Analisis Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa

Konstruksi)” ini dengan baik.Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari keilmuan yang penulis dapatkan dari jenjang pendidikan yang komprehensif, serta dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Asep Saefudin Hidayat, SH., MH, dan Drs. Abu Tamrin, SH., MH selaku

Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

vii 3. Dr. Al Fitra, SH., MH. dan Amrizal Siagian, S.Hum., M.Si.selaku dosen

pembimbing skripsi I dan dosen pembimbing skripsi II yang dengan sabar telah

memberikan arahan kepada penulis.

4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu yang

bermanfaat selama kuliah kepada penulis, dan tidak lupa kepada seluruh staf

dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum.

5. Ardi Gunawan Ritonga dan Suryani,selaku Ayahanda dan Ibunda yang sangat

penulis cintai, yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya kepada

penulis, memberikan nasehat, do’a, semangat, serta dukungan sehingga penulis

bisa menyelesaikan skripsi ini.

6. Dan tidak lupa juga kepada Nenek saya yang senantiasa mendo’akan dan

merindukan kepulangan saya ke Medan.

7. Devi Ardiliana Ritonga, dan Ummi Khairani selaku adinda penulis yang penulis

cintaiterima kasih atas do’a dan dukungan kalian selama ini.

8. Tsania Darma Wati Lubis selaku pemberi motivasi bagi saya dalam sehari-

harinya dan terima kasih atas do’a yang di panjatkannya kepada Allah Swt.

9. Teman-teman seperjuangan HMI juga tidak lupa saya ucapkan terima kasih atas

support yang sangat memotivasi dalam berbagai masukan yang sangat

bermanfaat.

10. Teman-teman “White House” kepada Bang Abdul Karim Munthe yang

senantiasa selalu memberikan arahandalam menyelesaikan skripsi ini, Bang

Zullisan Sidqi dan Bang Awal juga begitu, Bang zuki, dan Bang Fikri yang

viii senantiasa menasehati saya. Azhar, Azmy, Sapta, Habib, Eka selaku teman-

teman dekat saya, dan khususnya kepada Ibu Kosan yang terus memotivasi

untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi penulis.

11. Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

baik konsentrasi Hukum Bisnis maupun konsentrasi Hukum Kelembagaan

Negara.

12. Rudi Hartono, Andrio, Idham, Lisanul Fikri,Ilyas Aghnini, Rifky Alpiandi,

Febyo Hertanto, Kurnialif Triono, Dadan Gustiana, Nevo Amaba, Ian

Nurdiansyah, Muhammad Bara, Fadilah Haidar, Mazda, Supandri, serta

sahabat-sahabat penulis saat kuliah. Bersama mereka penulis berproses bersama

dan menjadi keluarga. Terima kasih atas bantuan, pengalaman, dan kenangan

yang indah bersama kalian.

13. Serta semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa penulis

sebutkan satu-persatu.

Tidak ada yang penulis bisa berikan kecuali do’a dan ucapan terima kasih kepada kalian, semoga Allah membalas kebaikan kalian semua. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua yang membacanya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Jakarta, 15 Juni 2015

Suryawan Syawal

ix DAFTAR ISI Halaman

Judul Skripsi...... i

Lembar Pengesahan Pembimbing...... ii

Lembar Pengesahan Panitia...... iii

Lembar Pernyataan...... iv

Abstrak...... v

Kata Pengantar...... vii

Daftar Isi...... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah...... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...... 9 D. Kajian Studi Terdahulu...... 10 E. Kerangka Konseptual...... 11 F. Metode penelitian...... 14 G. Sistematika Penulisan...... 18

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KONSTRUKSI DI

A. Hukum Konstruksi...... 20 1. Pengertian Hukum Konsstruksi...... 20 2. Sejarah Singkat Hukum Konstruksi di Indonesia...... 22 3. Dasar Hukum Konstruksi...... 27 4. Objek dan Ruang Lingkup Hukum Konstruksi...... 31 B. Perjanjian Konstruksi...... 31 1. Pengertian Perjanjian...... 31 2. Dasar Hukum Perjanjian Konstruksi...... 35 3. Syarat Perjanjian Konstruksi...... 37 4. Berakhirnya Perjanjian Konstruksi...... 39 5. Pelaksanaan Kontrak Konstruksi...... 41 6. Prestasi dan Wanprestasi Dalam Konstruksi...... 44

x BAB III PEMBANGUNAN PROYEK MONOREL DALAM TATA KELOLA KOTA JAKARTA

A. Tata Kelola Kota Jakarta...... 48 1. Profil Provinsi DKI Jakarta...... 48 2. Sejarah Tata Kelola Kota Jakarta...... 57 B. Proyek Monorel Jakarta...... 61 1. Pengelolaan Monorel Jakarta...... 61 2. Dasar Hukum Pembangunan Proyek Monorel...... 62 3. Skema Pembiayaan Proyek Monoral Jakarta...... 63 4. Kendala Pembangunan Monoral Jakarta...... 66

BAB IV ANALISA PENGHENTIAN PROYEK MONOREL JAKARTA MENURUT Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

A. Posisi Kasus...... 70 B. Proses Penghentian Proyek Pembangunan Monorel Menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999...... 74 C. Faktor Dihentikannya Proyek Pembangunan Monorel...... 79 D. Akibat Hukum Penghentian Proyek Monorel Jakarta...... 80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...... 82

B. Saran...... 83

DAFTAR PUSTAKA...... 85

LAMPIRAN...... 90

xi 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Transportasi merupakan unsur yang sangat penting bagi manusia karena

tanpa transportasi manusia akan mengalami kesulitan melakukan aktivitas untuk

memenuhi kehidupan. Pentingnya transportasi pada saat ini tercermin pada

semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta

barang di dalam negeri maupun keluar negeri, serta berperan sebagai pendorong

dan penggerak bagi pertumbuhan daerah dan pengembangan wilayah.1

Kemacetan di Jakarta sangat menghambat mobilitas bagi masyarakat di

setiap jalan, Berbagai cara penanggulangan kemacetan dilakukan oleh

pemerintah dari tahun ke tahun. Seperti adanya pembangunan proyek Busway,

monorel, bus APTB, hingga perbaikan pada bus . Namum semua belum

bisa membebaskan Ibu Kota dari kemacetan.

Dari pembangunan yang dilaksanakan di kepemimpina Sutiyoso, proyek

Monorel yang sampai saat ini belum tercapai. Proyek Monorel ini dibangun

sejak era kepemimpinan Sutiyoso, dan banyak proyek tranportasi lain juga yang

dibangun, di kepemimpinan Sutiyoso proyek Monorel ini masih berjalan dengan

efektif. Pembangunan moda transportasi masa depan ini sebetulnya muncul lebih

1Jurnal Perencanaan& Pengembangan Wahana Hijau VOL. 1. NO. 3. April 2006, Universitas Utara, h. 122.

1 2

dari beberapa tahun, Pada 2003 konsorsium PT Indonesia Transit Central,

memprakarsai pembangunan Monorel. Konsorsium yang terdiri dari PT Adhi

Karya, PT Global Profex Sinergy dan PT Raidant Utama. Konsorsium ini

kemudian menyatu dengan Mtrans Holding dari Malaysia karena perusahaan

tersebut sukses membangun Monorel di negeri lain, dan pada saat itu Konstruksi

pun segera dikerjakan dengan membangun tiang-tiang pada tahun 2004.2

Proyek Monorel terhenti pada tahun 2005, Sebagian tiang yang sudah

berdiri dibiarkan begitu saja. Namun, Sutiyoso terus mengupayakan untuk

melanjutan proyek Monorel. Pada Februari 2006, Sutiyoso mendapat kabar

bahwa investor dari Dubai yang siap membantu secara finansial. Investor dari

Dubai itu akan menyerahkan dana mencapai Rp 4,6 triliun untuk melanjutkan

proyek Monorel. Pada tahun 2007 pengalihan kepemimpinan Ibu Kotapun saat

itu dilanjutkan oleh Fauzi Bowo, yang sebelumnya menduduki posisi wakil

gubernur di era Sutiyoso, Walaupun sebelumnya adalah bawahan dari Sutiyoso,

Fauji Bowo tidak serta merta mengamankan kebijakan dari atasannya.3

Pada 2010, Fauji Bowo muncul dengan gagasan baru. Mengalihkan untuk

meneruskan proyek monorel, ia lebih memilih mengembangkan elevated bus

rapid transit (BRT) atau jalur bus layang. Dalam perhitungannya, proyek ini

2http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/2085/1/monorel.di.jakarta, dikutip: 26/ januari pukul, 15.34 wib.

3http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/2085/1/monorel.di.jakarta, dikutip: 26/ januari pukul, 15.34 wib. 3

jauh lebih murah dan efisien. Pembangunan elevated BRT diyakini adalah jalan

tengah, agar tiang-tiang Monorel yang sudah dibangun dapat digunakan.

Konsep ini tidak jauh beda dengan busway, hanya saja dengan jalur yang

dipastikan steril karena di jalan layang khusus. Elevated BRT sebelumnya sukses

diterapkan di Xiamen, China. Persoalannya PT Jakarta Monorel tidak rela

‘pekerjaannya’ diambil alih karena merasa sudah mengeluarkan inventasi. PT

JM kemudian meminta ganti untung sebesar Rp. 600 miliar ke Pemprov DKI.

Angka ini jauh sekali dari estimasi Badan Pengawas Keuangan dan

Pembangunan (BPKP), yaitu Rp.204 miliar. Jelas saja Fauji Bowo tidak

menyepakati pembayar sampai tiga kali lipat, Dan proyek Monorel ini berhenti

di tahun 2006. Setelah beralihnya kepemimpinan Fauju Bowo, dilanjutkan

dengan kepemimpinan .4

Dalam hal ini kebijakan Pemprov DKI Jakarta dalam transportasi massal,

Proyek Monorel hanya pembangunan sesaat saja, dan hanya diresmikan setelah

itu dihentikan. Terpilihnya Joko Widodo sebagai suksesor Fauji Bowo

memunculkan harapan baru dilanjutkannya proyek Monorel ini, Joko Widodo

dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok), telah dilantik menjadi Gubernur

dan wakil Gubernur DKI periode 2012-2017. Beliau berjanji akan melanjutkan

pembangunan transportasi massal seperti MRT dan Monorel. Dalam beberapa

bulan terakhir, keberlangsungan proyek Monorel kembali ramai diperbincangkan

4http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/2085/1/monorel.di.jakarta, dikutip: 26/ januari pukul, 15.34 wib. 4

di media, tapi tidak terlihat dengan jelas di lapangan Proyek Monorel kembali

jalan di tempat. Jumlah kemacetanpun masih belum berkurang. Tanpa

bermaksud mencari siapa yang benar dan salah, maka mari kita flash back

kepada sejarah pembangunan Monorel di Jakarta.

Dalam menjalankan tugasnya, mereka memberikan pernyataan akan

melanjutkan pembangunan Monorel yang telah berhenti sejak tahun 2006.

Keinginan kuat Jokowi untuk melanjutkan Monorel, mengakibatkan akibat buruk

terhadap kelanjutan pembangunan MRT yang kini sedang memasuki masa

proses tender konstruksi fisik.

Jokowi lebih memilih pembangunan Monorel dilanjutkan, karena

pengamat mengatakan lebih menginginkan Monorel dibangun lebih dahulu

daripada melanjutkan MRT. Terlihat dari setiap pernyataan yang Jokowi berikan

kepada media, bahwa Monorel lebih siap dibangun dibandingkan MRT.5

Timbul pro dan kontra terhadap kebijakan kelanjutan Monorel yang

mengabaikan MRT. Bahkan, dalam kelanjutan dua mega proyek transportasi

terjadi konflik kepentingan yang mengakibatkan proses pembangunannya

semakin panjang.

Bila dalam rencana pembangunan Monorel, terjadi perseteruan antar dua

konsorsium besar yaitu PT Jakarta (JM) selaku investor dan

pengembang lama yang mengakibatkan berhentinya pembangunan Monorel dan

5http://www.beritasatu.com/megapolitan/89166-monorel-vs-mrt.html, dikutip 26/Januari 2015, pukul: 19.54 wib. 5

PT Adhi Karya, selaku pemegang tender pertama (investor) yang dulu bergabung

dengan PT JM. Kedua konsorsium ini memperebutkan status sebagai investor

dan pengembang Monorel. Ketika Jokowi meminta kedua konsorsium ini

bergabung, PT Adhi Karya menyatakan tegas tidak mau. Karena, konsorsium

gabungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini tidak ingin lagi bekerja sama

dengan PT JM.

Seiring pengembalian pinjaman 58 persen untuk Pemprov DKI dan 42

persen untuk Pemerintah Pusat dirasakan sangat berat. Kemudian Jokowi

meminta penurunan beban sharing menjadi 30 persen untuk Pemprov DKI dan

70 persen untuk pemerintah pusat. Namun karena belum ada tanggapan baik dari

pemerintah pusat terhadap permintaannya, akhirnya Jokowi menurunkan sharing

pengembalian pinjaman dengan prosentasi 60 persen pemerintah pusat dan 40

persen Pemprov DKI. Dan khalayak umum untuk saat harus mengetahui bahwa,

untuk menikmati transportasi massal berbasis Monorel butuh proses dan waktu

yang lama. Baik itu berupa mass rapid transit (MRT) maupun (light rapid

transit-LRT).6

Dari penjelasan sejarah diatas dapat kita lihat bahwa kontrak konstruksi

di indonesia belum begitu efektif. Mengapa demikian, Sangat jelas kita lihat

bahwa proyek ini sangat berpengaruh dengan kontrak konstruksi, dimana proyek

ini tahun demi tahun, hingga pergantian kepemimpinan dari awal permulaan

6http://www.beritasatu.com/megapolitan/89166-monorel-vs-mrt.html, dikutip 26/Januari 2015, 19.54 wib. 6

sampai sekarang belum terlihat juga perubahan dari proyek tersebut, dan

peraturan kontrak konstruksi dalam menanggapi masalah ini tidak berjalan

efektif, seperti di jelaskan dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor

18 Tahun 1999 Tanggal 7 Mei 1999, BAB VI Pasal 25 Tentang Kegagalan

Bangunan.7

Dalam hal ini, perlu membahas sekilas tentang pengertian kegagalan dan

penghentian bangunan:

Kegagalan

Kegagalan bangunan disini adalah strukturnya yang tidak berfungsi

maka, akan mengakibatkan kerugian harta benda, bahkan korban jiwa. Oleh

karena itu perlu diantisipasi secara cermat. Bangunan yang di desain terhadap

beban-beban rencana dari code-code yang ada, belum dapat menjamin

sepenuhnya bebas dari segala resiko kegagalan bangunan, karena penyebabnya

kompleks. Salah satu strategi mengantisipasi resiko dapat dimulai dari tahap

perencanaan. Langkah pertama yang penting adalah memperkirakan penyebab

kegagalan sehingga dapat diketahui simulasi kejadiannya. Selain simulasi fisik

(eksperimen) maka simulasi numeric berbasis computer menjadi alternative lain

canggi dan relative mudah.

7 Nazarkhan Yasin, kontrak konstruksi di indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Maret 2014), hlm.278-279. 7

Penghentian

Penghentian proyek bangunan disini adalah bangunan yang disebut berhenti bila pekerjaan-pekerjaan proyek sudah sampai pada titik tertentu dimana tidak mungkin lagi dibuat kemajuan lebih lanjut. Aktifitas pemberhentia bangunan merupakan aktivitas yang kritikal, oleh karena itu untuk melakukan prosedur dan mekanisme yang jelas dan sistematis.

Ada beberapa alasan mengapa proyek pembangunan dinyataka berhenti, yaitu:

1. Proyek berhenti karena proyek memang sudah selesai sesuai dengan

perjanjian kontrak.

2. Proyek lebih menguntungkan bila dihentikan daripada dilanjutkan karena,

adanya beberapa faktor yang tidak dikendalikan, misalnya kelangkahan

sumberdaya, kenaikan harga secara drastis, ataupun perubahan kondisi

pasar dan kondisi alam.

3. proyek berhenti karena tidak dapat memenuhi performan yang

diinginkan. Ini bias saja terjadi dikarenakan perencanaan pengendalian

yang buruk.

Oleh karena penghentian proyek merupakan tahap yang kritikal maka sebelum penghentian proyek terjadi, menejer perlu memperhatian tahapan demi tahapannya. Dan untuk perpanjangan proyek atau untuk melanjutkan proyek 8

yang dinyatakan sudah berhenti, harus diadakan proyek baru yang berkaitan

dengan proyek lama.8

Dalam hal ini kontrak konstruksi menjadi sangat signifikan dan

menentukan dalam memberikan perlindungan hukum tersebut, melalui kontrak

konstruksi tersebut berbagai aspek perlindungan terhadap proyek yang berjalan

diatur dan disepakati oleh para pihak. Dari latar belakang masalah di atas penulis

membuat judul penelitian ini adalah PENGHENTIAN PROYEK

PEMBANGUNAN MONOREL JAKARTA (Analisis Pasal 25 Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi).

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas pada

penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang diteliti hanya terfokus

pada pembanguna Monorel Jakarta yang hingga saat ini belum terselesaikan.

Peneltian ini hanya membahas penghentian pembangunan Monorel.

2. Rumusan Masalah

Setelah penulis mengungkapkan hal-hal dalam latar belakang masalah

diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu:

8https://sites.google.com/site/operasiproduk/evaluasi-audit-pelaporan-penghentian-proyek, Dikutip: jum’at 10/April, 09.45 wib. 9

a. Bagaimana proses penghentian proyek pembangunan Monorel Menurut

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa

Konstruksi?

b. Apa yang menyebabkan faktor dihentikannya proyek pembangunan

Monorel?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui proses penghentian proyek Monorel menurut Pasal 25

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.

b. Untuk mengetahui faktor diberhentikannya proyek pembangunan

Monorel.

2. Manfaat penelitian

a. Evaluasi kepada pememerintah yang mengatur mengenai pembangunan

proyek Monorel menurut Undang-Undang Jasa Konstruksi.

b. Meningkatkan kapasitas transportasi publik, umumnya pada kapasitas

angkutan.

c. Sebagai masukan dalam menemukan akar masalah transportasi sehingga

dapat diperoleh solusi yang tepat dalam memecahkan permasalahan

transportasi DKI Jakarta. 10

D. Kajian Studi Terdahulu

Untuk mendukung penelitian yang lebih komprehensif, penyusun juga

berusaha untuk melakukan kajian awal terhadap pustaka atau karya-karya yang

mempunyai relevansi terhadap topik yang akan diteliti. Sebelumnya terdapat

beberapa skripsi yang memebahas tentang proyek monorel, diantaranya:

Setelah melakukan studi literature, analisis, perancangan, implementasi,

pengujian, serta evaluasi kinerja sistem Monorel berbasis multi-agen, dapat

ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Skripsi Johan, Fakulta Teknik UI, otomatisasi system transportasi

Monorel berbasis teknologi multi-agen, Tahun 2008. Pada sistem Monorel agen,

tidak menjadi sebuah isu yang penting, penggunaan daya jaringan relative kecil

(2400-22000 byte), konsumsi memori kurang lebih sebesar 40 MB, dan adanya

penggunaan waktu CPU saat idle (sampai dengan <40%). Pengturan pewaktuan

terhadap pekerjaan agen menjadi isu yang penting dalam membangun aplikasi

berbasis agen. Aspek mobilitas dan reliabilitas agen menjadi isu yang penting

pada system Monorel agen.

Ontology sebaiknya digunakan untuk komunikasi antaragen dengan

entitas yang komples sebagai isi pesan. Jika isi pesan relatif sederhana

strukturnya, penggunaan java serialization akan memberikan kemudahan.

Pengguna SL language akan memudahkan proses debugging dan testing

aplikasi. Pekerjaan proyek ini belum mengkaji lebih dalam dan lengkap 11

kemampuan yang ditawarkan oleh teknologi multi-agen. Meskipun demikian

penelitian ini telah mampu mengaplikasikan teknologi multi-agen.

Penggunaan JADE sebagai platform untuk membangun system multi-

agen memberikan kemudahan dengan dukungan dokumentasi dan kumpulan

pustaka java yang lengkap. System multi-agen cocok menjadi model

pengembangan aplikasi cerdas yang memanfaatkan sumber daya terdistribusi.

Dalam pembahasan skripsi di atas lebih mengarah kepada teknik ipteknya, yaitu

tentang multi-agen.9

E. Kerangka Konseptual

Secara umum pembangunan proyek Monorel merupakan suatu kegiatan

usaha bisnis yang terorganisasi untuk menghasilkan dan mewujudkan suatu

bangunan fisik dan mendapatkan hasil bangunan proyek yang menjaminkan, atau

juga sebagai pewuju dan bahwasannya wujud dan hasil dari proyek Monorel ini

dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Dalam kerangka konseptual ini, penulis

juga akan membahas sedikit tentang pengertian Hukum Konstruksi, Monorel

dan, perjanjian.

1. Hukum Konstruksi

Indonesia adalah Negara hukum Seluruh aspek dinegara kita harus

mempunyai dasar hukum, termasuk dalam industri konstruksi. Kali ini saya

akan membahas sedikit dasar-dasar tentang hukum konstruksi di Indonesia.

9Skripsi Johan, Fakulta Teknik UI, Otomatisasi System Transportasi Monorail Berbasis Teknologi Multi-Agen, Tahun 2008. 12

Sebelum itu, kita harus mengetahui bahwa ada hirarki hukum perundang-

undangan RI. Hal ini secara jelas dicantumkan dalam UU No. 12/2011.10

Hirarki ini menunjukkan tingkat kekuatan hukum tersebut. Hirarki yang lebih

tinggi artinya lebih kuat dimata hukum. Hirarki yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan peraturan yang hirarkinya berada diatasnya.

Saat ini, Hukum Konstruksi mengatur berbagai jenis kegiatan dalam

industri konstruksi di Indonesia, seperti; penyelenggaraan jasa konstruksi,

Bentuk-bentuk kontrak konstruksi, aspek perpanjangan kontrak konstruksi

dan, proses penyelesaian sengketa konstruksi.11

2. Monorel

Monorel disini adalah sebuah kata metro atau rel dengan jalur yang

terdiri dari rel tunggal, berlainan dengan rel kereta tradisianal yang memiliki

dua rel paralel dan dengan sendirinya, kereta lebih besar daripada relnya.

Biasanya Monerel, rel terbuat dari beton dan roda ban keretanya

terbuat dari karet, sehingga tidak sebising kereta konvensional. Sampai saat

ini Monorel terbagi dalam dua jenis yaitu: Tipe straddle-beam dimana kereta

berjalan di atas rel dan, Tipe suspended dimana kereta bergantung dan melaju

dibawah rel.12

10Perundang-undang RI Nomor. 12 /2011. Tantang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan

11http://kuliahinsinyur.blogspot.com/2012/06/hukum-konstruksi-di-indonesia.html?m=1, Dikutip: jum’at 10/April, 09.45 wib.

12http://id.m.wikipedia.org/wiki/monorel, Dikutip: jum’at 10/April, 09.45 wib. 13

3. Perjanjian

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.

Memang, perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh surat perjanjian, tetapi

sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang

melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-

undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan perikatan yang

lahir dari “Undang-Undang”.13

Dalam pelaksanaan proyek diperlukan perjanjian secara tertulis antara

kontraktor dan pemberi tugas sebagai pedomen apabila terjadi situasi tertentu,

disini kita memberikan gambaran tentang macam-macam isi surat perjanjian

kontrak pelaksanaan proyek konstruksi, termasuk proyek pembangunan

monorel. Proses pembangunan tersebut harus mengikuti prosedur surat

perjanjian.

Untuk proyek berskala besar seperti Monorel ini, harus dilakukan

secara detail dan lengkap sebagai pedoman dikemudian hari sekaligus untuk

kebaikan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan proyek pembangunan

tersebut.

Dengan adanya pemaparan di atas diharapkan akan terbentuk

penerapan pada semua badan-badan pihak penyelenggara proyek Monorel di

13Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. Ke-19.(Jakarta: PT Intermasa, 2002), h.1. 14

Jakarta dapat diterapkan berdasarkan prinsip keadilan dan tidak diperbolehkan

adanya pihak yang dirugikan baik dari segi manapun.

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan yang

prosedur penelitiannya menghasilkan data yang valid, yaitu bagaimana suatu

rumusan masalah itu memandu peneliti untuk menerangkan situasi sosial yang

akan diteliti secara umum, yang berupa tertulis atau lisan dari kasus yang

diamati. Penelitian ini juga termasuk penelitian analisis Undang-Undang, dan

dapat juga dikatakan penelitian Normatif. Adapun penelitian ini mengambil

permasalahan proyek Monorel yang ada di Indonesia dan pengambilan sample

ini dari kasus Monorel yang sampai saat ini masih terkendala.

Ada 4 alternatif untuk menetapkan fokus yaitu :

a. Menetapkan fokus pada permasalahan yang disarankan oleh informan.

b. Menetapkan fokus berdasarkan domain-domain tertentu organizing

domain.

c. Menetapkan fokus yang memiliki nilai temuan untuk pengembangan iptek

d. Menetapkan fokus berdasarkan permasalahan yang terkait dengan teori-

teori yang telah ada.14

14Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&B, cet ke-14 (Bandung: Alfabeta, 2011), hal.209. 15

2. Sifat penelitian

Penelitian ini dapat dikataka bersifat Yuridis Normatif yaitu dilakukan

dengan cara studi pustaka dan analisis tentang undang -undang, sehingga

mudah untuk dipahami, dianalisis dan disimpulkan. Penelitian ini juga akan

merumuskan, dan menganalisis data yang berkenaan tentang proyek Monorel

yang terkendala di Jakarta.

3. Pendekatan masalah

Metode yang digunakan sebagai pendekatan dalam penelitian ini

adalah yuridis normatif yaitu pendekatan yang berdasarkan pada Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1999 mengatur tentang jasa

konstruksi, dan studi kepustakaan yang dianggap berhubungan dengan

penelitian ini.

4. Teknis pengumpulan data

Dalam pengumpulan data untuk memperoleh data yang valid

penyusun menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan

beberapa teknik dalam pengumpulan datanya, adapun teknik-teknik tersebut

adalah :

a. Metode pengumpulan data primer berupa bahan-bahan hukum primer,

dilakukan dengan cara menginventarisasi, mempelajari mencatat ke dalam

penelitian tentang asas-asas dan norma hukum yang menjadi objek

permasalahan ataupun yang dapat dijadikan alat analisis pada masalah

penelitian. 16

b. Metode pengumpulan data sekunder berupa bahan-bahan hukum

sekunder, dilakukan dengan cara menelusuri literatur-literatur ilmu hukum

ataupun hasil-hasil penelitian hukum yang relevan dengan masalah

penelitian.

c. Metode pengumpulan data tersier berupa bahan-bahan hukum tersier,

dilakukan dengan cara menelusuri kamus-kamus hukum, kamus bahasa

dan dokumen tertulis lainnya yaang dapat memperjelas suatu persoalan

atau suatu istilah yang ditemukan pada bahan-bahan hukum primer dan

sekunder.

Pengumpulan data juga disertai dengan teknis pengumpula data di

bawah ini:

a. Dokumentasi, Sesuai dengan jenis penelitian, maka dalam pengumpulan

data penulis menggunakan studi pustaka (library research) dengan metode

dokumentasi atau studi dokumen. Dokumentasi, dari asal katanya

dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Dalam melaksanakan

metode dokumentasi, penulis menyelidiki data-data atau dokumen-

dokumen tertulis seperti buku-buku, artikel. Peraturan-peraturan, undang-

undang, dan sebagainya15

d. Observasi, Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan

dengan sistematik dari penomena yang diteliti. Adapun metode observasi

15 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Prakte,Cet. Ke-12.(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h.135. 17

yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah observasi

langsung yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap objek

yang diteliti dengan mengadakan pencatatan data seperlunya yang

berkenaan dengan penulisan ini.

e. Wawancara, Metode wawancara yang digunakan yaitu wawancara secara

langsung sebagai upaya untuk mendapatkan informasi dengan bertanya

langsung pada yang bersangkutan. Metode wawancara ini digunakan

untuk mendapatkan data dari subyek penelitian yang akan diteliti. Yaitu

tentang terkendalanya proyek pembangunan Monorel.

5. Pengelolahan dan Analisis Data

Adapun untuk menganalisis data kualitatif ini penulis mengunakan

pola berpikir deduktif-induktif, yaitu Metode deduktif-induktif ini digunakan

untuk menjelaskan bab II dan bab III. Setelah dijelaskan tentang gambaran

umum objek penelitian, kemudian dilakukan analisis data kualitatif

menggunakan metode berpikir induktif dengan tinjauan umum etika bisnis

dalam hukum. Metode Deduktif dilakukan dengan cara menarik kesimpulan

dari suatu permasalahan konkret yang dihadapi, sedangkan metode induktif

dilakuakan dengan menerjemahkan berbagai sumber dengan topik dalam

skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan penelitian yang

telah dirumuskan.16

16.Peter Mahmudi Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h.14. 18

6. Teknis Penulisan

Adapun teknik penulisan dalam penelitian ini menggunakan pedoman

penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam pembuatan dan gambaran umum skripsi ini,

penulis menyajikan sitematika pembahasan yang dibagi kedalam beberapa

bagian bab sebagai berikut:

Bab I, pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka

konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II, akan membahas tinjauan umum tentang teori dari perspektif

hukum konstruksi di Indonesia, pengertian pengurtian hukum konstruksi, dasar

hukum konstruksi, syarat hukum konstruksi, dan sejarah singkat hukum

konstruksi di Indonesia.

Bab III, berisi tentang pembangunan proyek Monorel Jakarta yang

meliputi pengelolaan Monorel Jakarta, dasar hukum pembangunan Monorel

Jakarta, skema dari pembiayaan proyek Monorel dan beserta mode pembiayaan

Monorel. 19

Bab IV, penulis akan menganalisis penghentian proyek monorel Jakarta dalam pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa

Konstruksi, yang mencakup pada proses kerja konstruksi dalam menjalankan proyek monoral, serta akibat hukum penghentian proyek monorel dan faktor- faktornya.

Bab V, kesimpulan dan, saran yang akan dikaji yakni, tinjauan hukum penerapan proses kerja konstuksi menurut Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18

Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi. 20

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM KONSTRUKSI DI INDONESIA

A. Hukum Konstruksi

1. Pengertian Hukum Konstruksi

Sebelum membahas pengertian hukum konstruksi, maka kita

terlebih menjelaskan pengertian dari masing-masing kata tersebut. Hukum

disini merupakan produk budaya. Karena merupakan suatu produk

budaya, hukum hadir dalam masyarakat dengan bentuk budaya apa pun.

Pada masyarakat premitif pun sudah dijumpai hukum. Malinowski

menegaskan, bahwa pada suatu masyarakat primitif, hukum timbul dari

kebutuhan masyarakat.1

Sedangkan pengertian hukum secara umum adalah seluruh etika

yang oleh penguasa orang-orang yang berwenang mengambil keputusan

hukum, dinyatakan atau dikira untuk ketentuan yang mengikat untuk

beberapa atau semua anggota orang-orang spesifik, dengan maksud untuk

mengadakan satu tata yang dikehendaki oleh penguasa itu.2

pengertian konstruksi dalam pembahasan adalah berasal dari kata

konstruksi merupakan kata yang menerangkan dan mengetahui jelas dari

1 Hari Chand, Modern Jurisprudence, Cet-3. (Kuala Lumpur: International Law Bookstore, 1994), h. 23.

2Webmuhammadiyah.blokspot.com/2014/03/pengertian-hukumsecaraumumpaling.html?m=1. Dikutip:29 mei 2015.pukul: 23.50

20 21

makna-maknanya, sehingga mampu memberikan pemahaman atau

maksud dari penelitian ini.

Menurut Sarwiji yang dimaksud dengan makna konstruksi

(construction meaning) adalah makna yang terdapat dalam konstruksi

kebahasaan. Jadi, makna konstruksi dapat diartikan sebagai makna yang

berhubungan dengan kalimat atau kelompok yang ada didalam sebuah

kata dalam kajian kebahasaan. Konstruksidapat juga didefinisikan sebagai

susunan (model, tata letak) suatu bangunan (jembatan, bangunan, rumah,

dan lain sebagainya).3

Kata konstruksi ini dalam kenyataannya adalah konsep yang cukup

sulit untuk dipahami dan disepakati, kata konstruksi mempunyai beragam

interpretasi, tidak dapat didefinisikan secara tunggal, dan sangt tergantung

pada konteksnya. Beberapa definisi konstruksi berdasarkan konteksnya

perlu dibedakan atas dasar: proses, bangunan, kegiatan, bahasa dan

perencanaan.

Dari beberapa uraian diatas definisi makna konstruksi dalam

konteks hubungannya dengan penelitian ini memiliki arti suatu bentuk,

tata cara atau secara lebih luas merupakan pola-pola hubungan yang ada di

dalam suatu system yang membentuk suatu proses kerja dalam hal ini

proses perencanaan peraturan daerah. Jadi makna dari hukum konstruksi

3 Sarwiji Suwandi, Semantik Pengantar Kajian Makna, Cet Pertama. ( Yogyakarta: Media Perkasa, 2008), h. 142 22

disini adalah pengaturan proses tata cara melakukan perhubungan di

dalam suatu sistem yang membentuk suatu proses kerja perencanaan yang

dilakukan oleh pihak yang berwenang penuh dalam hukum.

2. Sejarah Singkat Hukum Konstruksi di Indonesia

Dalam pembahasan hal ini penulis akan menjelaskan secara

singkat tentang sejarah hokum konstruksi di Indinesia. Hukum konstruksi

itu sendiri sudah ada sejak manusia membutuhkan tempat tinggal sebagai

tempat berlindung bagi dirinya dan keluarganya. Hal itu dapat dituliskan

pada sejarah kitab undang-undang yang pernah dibuat oleh manusia, yang

dapat dilihat pada Code Hammurabi yang merupakan salah satu kitab

undang-undang tertua yang pernah dicatat oleh ahli sejarah, yakni dibuat

kurang lebih 4000 tahun yang lalu. Pada Code Hammurabi tersebut sudah

ada pengaturan mengenai pekerjaan konstruksi bangunan.4

Perkembangan Hukum konstruksi itu sendiri seperti tertinggal dari

perkembangan ilmu teknologi konstruksinya akibat dari sangat

kompleksnya masalah pada bidang konstruksi, sehingga tidak banyak para

ahli hukum secara sungguh-sungguh mendalami Hukum Konstruksi

tersebut.

Kompleksnya masalah dalam bidang konstruksi disebabkan

banyak faktor variasi yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Oleh

4 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, LN No. 45 tahun 1999, TLN. No. 3833, pasal. 13. 23

karena itu bidang konstruksimerupakan suatu dunia yang dilandasi dengan

ilmu eksakta yang tidak eksak yang produk akhirnya tergolong abstrak.

Dunia konstruksi berkembang cepat dan selalu berubah bentuk,

melakukan penyesuaian-penyesuaian dari waktu ke waktu dalam rangka

penanganan yang sesuai dengan tingkat kompleksitas sasaran, tingkat

pengamanan mencapai sasaran waktu dan kualitas, dan dalam rangka

peningkatan efektifitas di sekiter konteks komersil, ekonomis dan cost

effective.5

Pembangunan industri jasa konstruksi di Indonesia mencapai

puncaknya pada periode 1967-1996 atau sampai awal 1997 dimana pada

waktu itu Indonesia untuk pertama kali menetapkan pembangunan jangka

panjang tahap I yang dijabarkan dalam (Rencana Pembangunan Lima

Tahun). Namun selam kurang waktu 30 tahun tersebut, kontra-kontrak

konstruksi yang dibuat tidak mengacu pada suatu acuan atau landasan

hukum yang baku. Satu-satunya acuan yang ada pada saat itu adalah

syarat-syarat umum (AV 41) yang dibuat sebelum Indonesia merdeka.

Kemudian pada tahun 1999 keluar undang-undang Nomor 18 Tahun 1999

tentang jasa konstruks. Kedua peraturan inilah yang sekarang harus

5 Hamid Sahab, Aspek Hukum Dalam Sengketa Bidang Konstruksi, cet-1. (Jakarta: Djembatan, 1996), h. 1. 24

dipedomani oleh para pelaku usaha jasa konstruksi di Indonesia, baik

Instansi Pemerintah maupun Perusahaan swasta/BUMN.6

Perkembangan Industri Jasa Konstruksi di Indonesia dibagi dalam

6 (Enam) periode ;7

Periode 1945 – 1950

Pada periode ini praktis industri jasa konstruksi belum bangkit,

karena negeri kita masih disibukkan dengan usaha Belanda yang ingin

menjajah kita kembali sehingga terjadilah Agresi Militer Belanda I (1947)

dan Agresi Militer Belanda II (1948). Tahun 1950, Indonesia kembali

menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan membubarkan

Republik Indonesia Serikat (RIS), karena nya dalam periode ini belum

tumbuh pembangunan atau industri jasa konstruksi. Perusahaan jasa

konstruksi yang ada dalam periode ini kebanyakan adalah perusahaan

Belanda seperti NV de Hollandshe Beton Maatschappij (PT. Hutama

Karya), NV Volker Associate (PT. Adhi Karya), NV Nederlandshe

Aanneming Maatschappij (PT. Nindya Karya), NV Volker Aanneming

Maatschappij (PT. Waskita Karya).

6 http://jadwaltraining.co.id/training-hukum-konstruksi-dan-kontrak-konstruksi/, dikutip: rabu 03 juni 2015, pukul: 17.30.

7 Nazarkhan Yasin, kontrak konstruksi di indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 5-13. 25

Periode 1951 – 1959

Sejak tahun 1951 sampai dengan 1959, Pemerintah Republik

Indonesia yang menggunakan sistem Kabinet Parlementer tidak pernah stabil. Kabinet silih berganti, karena itu dalam periode ini industri jasa konstruksi tetap masih belum bangkit. Perencanaan pembangunan yang definitive belum ada. Bentuk kontrak mengacu kepada satu – satunya ketentuan warisan Belanda, yaitu AV41.

Periode 1960 – 1966

Pada periode ini, pembangunan baru dimulai dan dipimpin langsung oleh Bung Karno dengan nama proyek “Proyek – Proyek

Mandataris”, seperti Monas, Monumen Irian Barat, Hotel Indonesia,

Samudra Beach, Beach, Wisma Nusantara, Jembatan Semanggi,

Gelora Senayan dan lainnya. Hingga tahun 1966 bentuk kontrak pada umumnya adalah cost plus fee. Pekerjaan langsung ditunjuk langsung oleh

Pemerintah (tanpa tender) dan sektor swasta belum ikut serta. Setelah tahun 1966, Pemerintah melarang bentuk kontrak cost plus fee. Kontrak ini dinilai tidak begitu baik karena mudah terjadi manipulasi dan tidak efisien sehingga biaya proyek menjadi tidak terukur.

Periode 1967 – 1996

Pada awal tahun 1969, Pemerintah menetapkan suatu program pembangunan yang terencana. Program ini dikenal dengan nama

Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJP I) Tahun 1969 – 1994 yang 26

terdiri dari 5 (lima) Rencana Pembanguna Lima Tahun (REPELITA) dan

Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJP II) Tahun 1994 – 2019, yang dimulai dengan REPELITA VI Tahun 1994 – 1999. Kontrak konstruksi sebagian besar menggunakan standar atau versi Pemerintah kecuali sektor swasta dan proyek yang menggunakan dana pinjaman luar negeri (loan) yang biasanya mengacu pada standar kontrak seperti FIDIC / JCT / AIA /

JCT.

Periode 1997 – 2002

Pada pertengahan tahun 1997 terjadi krisis moneter. Industri jasa konstruksi mengalami goncangan yang sangat hebat. Proyek – proyek mendadak berhenti dikarenakan Pengguna Jasa tidak mampu membayar

Penyedia Jasa. Pada tahu 1999, Pemerintah membuat peraturan perundang

– undangan baku mengenai industri jasa konstruksi, yaitu Undang –

Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi diikuti dengan 3

(tiga) Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya, yaitu PP

No. 28, 29 dan 30 Tahun 2000.

Periode 2003 – 2013

Sebagaiman diketahui pada bulan mei 1998 Presiden Soeharto meletakkan jabatannya dan diganti oleh BJ. Habibi, yang kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui pemilu tahun

1999. Tahun 2001 Gus Dur diturunkan oleh DPR dan diganti oleh Mega 27

wati Soekarno Putri sampai pemili 2004, kemudian digantikan oleh Susilo

Bambang Yudhoyono.

Mulai saat itu industri konstruksi mulai bangkit kembali setelah

lamanya terpuruk sejak tahun 1997. Persaingan semakin tajam, industri

jasa konstruksi mulai berkembang kembali. Akan tetapi, patut

disayangkan bahwa peraturan perundang-undangan di bidang jasa

konstruksi, seperti UU No. 18/1999 yang sudah ada lebih dari 10 tahun

lamanya tidak ditinjau demi memperbaiki kekurangan-kekurangan. Selain

itu, sebelum semua pelaku jasa konstruksi memahami ketentuan peraturan

perundang-undangan jasa konstruksi, termasuk pejabat dipemerintahan itu

sendiri.

Dari penjelasan sejarah siangkat diata penulis dapat mengambil

kesimpulan, bahwa Hukum Konstruksi ini sudah lama muncul sejak

manusia membutuhkan tempat berlindung untuk dirinya dan keluarganya.

Seiring dengan perkembangan konstruksi juga dapat berkembang dengan

cepat dan perkembangan bentuknya menyesuaikan dari waktu ke waktu.

Sehingga dalam rangka peningkatan efektifitas di sekiter konteks

komersil, ekonomis dan cost effective dapat menjadi pengamanan

mencapai sasaran waktu dan kualitas.

3. Dasar Hukum Konstruksi

Hukum konstruksi mempunyai dasar hukum yang mengatur di

dalam undang-undang yaitu: 28

1) Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang

jasa konstruksi.8

Jasa konstruksi adalah layanan jasa konstruksi perencanaan pekerjaan

konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan jasa

konstruksi pengawasan pekerjaan konstruksi.

2) Pereturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000 Tentang Usaha dan Peran

Masyarakat Jasa Konstruksi.9

Lembaga adalah organisasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang No 18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi, yang bertujuan

untuk mengembangkan kegiatan jasa konstruksi nasional.

Klasifikasi adalah bagian kegiatan registrasi untuk menetapkan

penggolongan usaha dibidang jasa konstruksi menurut bidang dan sub

bidang pekerjaan atau penggolongan profesi keterampilan dan

keahlian kerja orang perseorangan dibidang jasa konstruksi menurut

disiplin keilmuan dan keterampilan tertentu dan atau kefungsian dan

atau keahlian masing-masing.

3) Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan

Jasa Konstruksi.10

8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang jasa konstruksi.

9 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

10 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. 29

Lingkup pengaturan penyelenggaraan pekerja konstruksi meliputi

pemilihan pemyediaan jasa, kontrak kerja konstruksi, penyelenggaraan

pekerjaan konstruksi, kegagalan banguna, penyelesaian sengkete,

larangan persekongkolan, dan sanksi administratif.

4) Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 2000 Tentang penyelenggaraan

pembinaan jasa konstruksi.11

Dalam pembinaan jasa konstruksi, ada beberapa bentuk pembinaan

yaitu;

a. Pengaturan

b. Pemberdayaan

c. Pengawasan

Pihak yang harus dibina dalam penyelenggaraan pembinaan jasa

konstruksi terdiri atas penyediaan jasa, pengguna jasa, dan masyarakat.

5) Peraturan Pemerintah No. 04 tahun 2010 Tentang perubahan atas PP

No. 28 Tahun 2000.12

Beberapa ketentuan dalam peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun

2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 36,

11 Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2000 Tentang penyelenggaraan pembinaan jasa konstruksi.

12 Peraturan Pemerintah Nomor 04 tahun 2010 Tentang perubahan atas PP No. 28 Tahun 2000 30

tambahan lembaran Negara Nomor 3955) perubahan ketentuan pasal 1

angka 2.

6) Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang

Penyelenggaraan Jasa konstruksi.13

Beberapa ketentuan dalam peraturan pemerintah Nomor 29 Tahun

2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, tambahan lembaran

Negara Nomor 3959) perubahan ketentuan pasal 1 angka 1 dan angka

2.

7) Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2010 Tentang Perubahan Kedua

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha dan

Peran Masyarakat Jasa konstruksi.14

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun

2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 63,

Tamvbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3955)

sebagaimana telah diubah dengn Peraturan Pemerintah Nomor 4

Tahun 2010 Tentang Perubaha Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28

13 Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

14 Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2010 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa konstruksi. 31

Tahun 2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 7,

Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5092),

Perubahan ketentuan pasal 10 ayat (4) dihapus.

4. Objek dan Ruang Lingkup Hukum Konstruksi

Dalam hal ini yang menjadi objek adalah sebagai berikut ;15

1) Bangunan Gedung yaitu: kantor, rumah sakit, hotel, rumah dan lain-

lain.

2) Bangunan Transportasi yaitu: jalan, jembatan, rel kereta api, terminal,

pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya.

3) Bangunan Air yaitu: bendungan, saluran irigasi, saluran drainase,

bangunan bagi, gorong-gorong dan sebagainya.

4) Bangunan khusus yaitu: anjungan lepas pantai, menara jaringan listrik

tegangan tinggi,

B. Perjanjian Konstruksi

1. Pengeretian Perjanjian

Sebelum penulis membahas kepada bagian selanjutnya penulis

akan menjelaskan terlebih dahulu tentang sistem hukum perjanjian, yaitu

hukum perjanjian ini bersifat terbuka yang berbeda dengan hukum benda

15 http://struktursivil12.blogspot.com/2014/03/pengertian-konstruksi-bangunan.html, dikutip ; 06 juni 2015, pukul: 17.56. 32

yang bersifat tertutup.16 Artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan

yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian

yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketrtiban umum dan

kesusilaan.17

Perjanjian atau kontrak adalah hubungan hukum antara subjek

hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta

kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan subjek

yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan

yang telah disepakati.18

Dalam hal ini perlu juga dilihat pandangan pengaruh aliran-aliran

ilmu hukum (filsafat hukum) dalam perjanjian yang ada dan berkembang.

Hal ini agar kita dapat mengetahui unsur-unsur yang harus ada dalam

penegakan hukum, yaitu ;

1) Asas Kepastian Hukum (Rechtssicherheit), yaitu suatu perlindungan

yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa

seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan

tertentu.

16 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet VIII. (Jakarta: PT Intermasa, 2012), hal 13.

17 Iwan E. Joesoef, Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) Sebagai Kontrak Bisnis Berdimensi PublikAntara Pemerintah Dengan Investor(Swasta) Dalam Proyek Infrastruktur, Cetakan Pertama.(Jakarta: Gebyar Basuki/ Cintya Press, 2006 ), hal. 18.

18 R. Djokomartono, Dkk, Hukum Kontrak Konstruksi Dan Nonkontruksi, (jakarta, Kerukunan Pensiunan Dpartemen Keuangan/KPDK Pusat Bekerja Sama Dengan Badan Kajian Dan Pengembangan Jasa Konstruksi, 2013), hal. 2. 33

2) Asas Kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dimana masyarakat

mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum,

dan hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau

penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi

masyarakat.

3) Asas Keadilan (Gerechtigkeit), dimana masyarakat sangat

berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum,

keadilan harus diperhatikan.19

Dalam sejarahnya dimulai dari zaman Romawi kuno 2,500 tahun

yang lalu yang dikenal sebagai Hukum Alam (Natural Law).20 Dalam

aliran Hukum Alam tersebut, disebut oleh Cicero (ahli hukum dan

negarawan Romawi ternama) bahwa hukum yang sesungguhnya adalah

akal yang benar sesuai dengan alam, ia bisa diterapkan dimanapun, tidak

berubah dan abadi.21 Hukum Alam tersebut bisa bersumber dari Tuhan

(Irrasional) dan bisa bersumber dari Akal (Rasio) manusia.22

Dari aliran hukum tersebut timbul yang dinamakan hukum

kebiasaan yang sifatnya tidak tertulis. Karena sifatnya tidak tertulis, maka

19 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Cet Pertama. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), h. 145.

20 Friedmann, W., Legal Theory. Cet Pertama, (London: Stevens & Sons Limited, 1960), h. 43. 21 Sutjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet Ke-5. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 259.

22 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Cet III. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), h. 48. 34

menimbulkan ketidak pastian dan ketidak seragaman hukum. Kemudian

dalam perkembangannya, di Perancis (Eropa) pada abad ke-19 (sembilan

belas) ada upaya penyeragaman hukum dengan jalan kodifikasi (Code

Civil).23

Dalam hukum perjanjian ini terdapat juga Asas-Asas perjanjian

yang menjadi rujukannya yaitu:

1) Asas Konsensualisme

Perjanjian sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.

2) Asas Kebebasan berkontrak:

a) Membuat atau tudak membuat perjanjian

b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun

c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya

d) Menentukan bentuknya perjanjian, secara tertulis atau tidak

tertulis.

3) Asas Itikat Baik

4) Asas Pacta Sunt Servanda/Asas Kepastian Hukum

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya

5) Asas Kepribadian/personalitas

23 Friedmann, W., Legal Theory, hal. 214. 35

Asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan

atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.24

Selain pasal diatas ada juga yang mengatur dasar hukum perjanjian

yaitu terdapat pada, Undang-Undang Hukum Perdata BAB III, Tentang

Perikatan Yang Lahir Karena Undang-Undamg Pasal 1352.25

Menurut pandangan ini adalah bahwa satu-satunya sumber hukum

adalah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan lengkap, yang

berisi semua jawaban terhadap semua persoalan hukum, sehingga Hakim

hanyalah berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa

konkritnya dengan bantuan metode penafsiran gramatikal.26 Aliran ini

berpendapat bahwa semua hukum berasal dari kehendak penguasa

tertinggi, dalam hal ini kehendak pembentukan undang-undang. Jadi

semua hukum itu terdapat dala undang-undang.

2. Dasar Hukum Perjanjian Konstruksi

Perjanjian pada umumnya menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut

24 R. Djokomartono, Dkk, Hukum Kontrak Konstruksi Dan Nonkontruksi, h. 9.

25 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, BAB II, (Mengenai Perikatan Yang Lahir Karena Undang-Undang), pasal 1352.

26 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Cet-1. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti-Bersama Dengan: Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan The Asia Foundation, 1993), h. 58-59. 36

dengan perikatanyang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban masing- masing pihak. Perjanjian ini adalah sumber perikatan.27 Sesuai dengan perkembangan pembangunan maka yang diperlukan

untuk memperlancar bidang usaha termasuk adalah perjanjian

pemborongan, yang terus berkembang hingga sekarang, dimana hukum

bidang ini sudah sangat kompleks, dengan masih memberlakukan dan

mengandalkan peraturan-peraturan zaman belanda yaitu Burgerlijke

Wetboek, khususnya Buku ketiga atau peraturan bangunan yang disebut

Algemene Voormaden voor de uitvoring bij aannmening van openbare

werken in Indonesia atau yang lebih dikenal dengan AV 1941, artinya

syarat–syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di

Indonesia.28 yang diatur dalam Pasal 1601 huruf b KUH Perdata yang

berbunyi ;

Perjanjian pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan.

KUH Perdata Indonesia tidak banyak mengatur tentang kontrak

pemborongan pekerjaan, yaitu hanya terdapat dalam 14 pasal saja, mulai

dari pasal 1604 sampai dengan dan termasuk pasal 1617, walaupun

27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, BAB II, (Mengenai Perikatan Yang Lahir Dari Kontrak Atau Persetujuan), pasal 1313/1319.

28 Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Cet-. ( Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1998), h. 31. 37

demikian singkat dan sederhana, tentunya KUHPerdata tersebut berlaku

sebagai hukum positif di Indonesia.

Perjanjian pemborongan dapat dibuat dalam bentuk tertulis

maupun lisan. Jika unsur sahnya perjanjian tersebut dipenuhi, maka para

pihak yang membuat kontrak, kemudian juga akan tunduk pada pasal

1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, persetujuan-persetujuan itu

tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau

karena alasan-alasan yang oleh Undang–Undang dinyatakan cukup itu,

dengan demikian orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian,

bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan

bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih jenis perjanjian yang akan

dipakai untuk perjanjian itu dan inilah yang disebut kebebasan berkontrak.

Namun kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat

pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,

ketertiban umum, dan kesusilaan. Hal inilah yang memberi wewenang

kepada hakim untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian supaya tidak

bertentangan dengan rasa keadilan.

3. Syarat Perjanjian Konstruksi

Dalam suatu perjanjian konstruksi harus ada yang memenuhi

syarat antara kedua belah pihak yang menyepakati perjanjian tersebut,

supaya ada kelengkapan dalam menjalankan perjanjian dan masing- 38

masing dari kedua belah pihak bias mengetahui apa saja yang harus

dipenui dalam syarat tersebut untuk bias melakukan perjanjian.

Secara umum konstruksi bangunan harus memenuhi 5 syarat

yaitu;29

1. Kuat dan awet, dalam arti tidak mudah rusak sehingga biaya pemeliharaan relatip menjadi murah. 2. Fungsional, dalam arti bentuk, ukuran dan organisasi ruangan mememihi kebutuhan sesuai dengan fungsinya. 3. Indah, dalam arti bentuknya enak dipandang mata . 4. Hygienis, dalam arti sirkulasi udara dan cahayanya cukup sehingga penghuninya merasa nyaman dan sehat. 5. Ekonomis, dalam arti tidak terdapat pemborosan sehingga pembiayaan menjadi relative efisien dan efektif. Dalam pasal 1320 Undang-Undang Hukum Perdata digariskan,

untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :30

1. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya 2. Kesepakatan mereka untuk membuat perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Syarat ke- 1 identik dengan, tidak ada unsur paksaan, kekhilafan

atau penipuan, dilandasi dengan itikad baik, cukup kejelasan dengan

batasan-batasan apa yang dibatasi dan semua dibawah kesadaran.

Syarat ke- 2 identik dengan, kesadaran, pembuatan perikatan sah

dimata hukum dan bermaterai cukup.

29 http://struktursivil12.blogspot.com/2014/03/pengertian-konstruksi-bangunan.html, dikutip; 06 juni 2015, pukul: 17.56.

30 Hamid Sahab, Aspek Hukum Dalam Sengketa Bidang Konstruksi, h. 5-6. 39

Syarat ke- 3 identik dengan, paenjelasan batasan-batasan apa yang

harus disepakati, dan jelas waktu mulai dan priode berlakunya.

Syarat ke- 4 identik dengan, tidak melanggar hukum yang berlaku,

kesusilaan, ketertiban umum, dan tidak tersurat atau tersirat hal-hal yang

bertujuan yang tidak dihalalkan dalam hukum.

Jika salah satu syarat di atas tidak dipenuhi maka perikatan

menjadi otomatis batal (null and void). Pasal 1338 ayat (1) Undang-

Undang Hukum Perdata menggariskan: “Semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.31

Dengan demikian, Hart menerangkan bahwa kenyataan dan tujuan

alamiah memungkinkan dan memerlukan adanya sanksi bagi hokum

nasional. Ia katakana bahwa sanksi merupaka natural necessity, atau kalau

ditrjemahkan secara bebasmerupakan sesuatu yang secara alamiah

dibutuhkan. Hal ini diperlukan untuk melayani tujuan minimum

perlindungan bagi pribadi orang, harta benda, dan janji-janji.32

4. Berakhirnya Perjanjian Konstruksi

Apakah yang akan terjadi dalam hal ini apabila pelaksanaan

pekerjaan dihentikan (bukan ditangguhkan sementara) oleh salah satu

31 Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (1)

32 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, cetakan ke- 1. (Jakarta: Kencana, 2008.2016), h. 61. 40

pihak secara sepihak dengan membatalkan kontrak. Tentu saja hal ini

dilakukan karena alasan-alasan yang ditentukan dalam kontrak. Ketentuan

mengenai pengakhiran perjanjian/kontrak dituntut dalam PP No. 29/2000

wajib dicantumkan di dalam kontrak. Oleh karena itu, hak-hak para pihak

(penyediaan jasa/penggunaan jasa) untuk memutuskan kontrak harus jelas

disebutkan. Konsekuensi hukum yang timbul, termasuk hak-hak dan

kewajiban para pihak beserta tata cara pemberitahuan mengenai

pemutusan kontrak, dan juga harus diatur secara jelas.33

Yang dapat mengakhiri suatu perjanjian kostruksi tersebut yaitu ;34

1. Apabila tujuan kontrak telah selesai 2. Kesepakatan para pihak 3. Punahnya/hapusnya objek kontrak atau para pihak 4. Berakhirnya jangka waktu 5. Adanya perjanjian pengganti 6. Pengakhiran secara sepihak. Selain dari ketentuan di atas, ada juga yang disebut sebagai

keluwesan atau kekakuan dari pihak-pihak yang bersangkutan akan

mewarnai cepat lambatnya penyelesaian. Kelambatan penyelesaian bisa

menimbulkan pengaruh-pengaruh negative, termasuk dampak kerugian

financial dan bisa juga disertai dampak kerugian teknis yang ada kalanya

tidak disadari. Kesulitan akn terjadi jika masalah kegagalan terjadi setelah

priode konstruksi selesai, sebab biasanya masa insurance dihidupkan

33 Nazarkhan Yasin, kontrak konstruksi di indonesia, h. 87-88.

34 R. Djokomartono, Dkk, Hukum Kontrak Konstruksi Dan Nonkontruksi, h. 10. 41

hanya pada priode konstruksi. Menghidupkan insurance pada priode post-

konstruksi akan menimbulkan biaya tambahan yang relative besar. Pada

akhirnya, baik dicatat di sini, bahwa adanya insurance Coverage bisa

menimbulkan dampak negatif berupa ketidak sungguhan kontraktor atau

ahli dalam menjalankan tugasnya. Persoalan berada pada faktor

manusianya (Humman Factor). Ini mungkin memperkuat kesimpulan

yang menggambarkan bahwa 75% dari Failures termasuk dalam resiko

yang diakibatkan oleh humman-error, dengan catatan humman-error di

sini tergolong humman-error yang tidak bisa ditolerir.35

5. Pelaksanaan Kontrak Konstruksi

Di dalam konsep jasa konstruksi dikenal adanya kontrak kerja

konstruksi yang merupakan landasan bagi penyelenggaraan jasa

konstruksi di Indonesia. Kontrak kerja ini menjadi fokus dalam

mengadakan suatu kegiatan jasa konstruksi, dikarenakan substansi kontrak

yang memuat kepentingan hak dan kewajiban para pihak dalam

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

Masalah jasa konstruksi di Indonesia diatur dalam Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, di mana jasa

konstruksi diberikan arti adalah layanan jasa konsultansi perencanaan

pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan

35 Hamid Sahab, Aspek Hukum Dalam Sengketa Bidang Konstruksi, h. 142. 42

layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi (Pasal 1 angka

1). Kemudian yang dimaksud dengan pekerjaan konstruksi adalah

keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau

pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural,

sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta

kelengkapannya. untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain

(Pasal 1 angka 2). Sementara secara khusus, terdapat Keputusan Presiden

No. 80 Tahun 2003 yang mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang mengatur mengenai pengadaan

barang/jasa di lingkungan pemerintah, dan Peraturan Pemerintah No. 20

Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.36

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 pula, diatur

mengenai kontrak kerja konstruksi, sebagai landasan adanya hubungan

antar subyek hukum pelaku jasa konstruksi atau pengadaan barang/jasa.

Letak keterhubungan tersebut ada pada konsep perjanjian antar subyek

hukum dalam proyek jasa konstruksi, pelaksanaan, dan pengawasan.

Kontrak kerja konstruksi diartikan sebagai keseluruhan dokumen

yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa

dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (Pasal 1 angka 5). Sementara

di dalam Pasal 1 angka 15, Keppres 80 Tahun 2003, Kontrak adalah

36 Salim HS, dkk. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Cet-1. (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 79 43

perikatan antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dalam

pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

Di dalam kontrak kerja konstruksi terdapat beberapa substansi

kontrak menurut Pasal 22 ayat (2), UU No. 18 Tahun 1999, yakni ;37

1. Para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak; 2. Rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan; 3. Masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa; 4. Tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi; 5. Hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi; 6. Cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi; 7. Cidera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan; 8. penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; 9. Keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak; 10. Kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan; 11. Perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; 12. Aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.

37 Keppres Nomor 80 Tahun 2003, terdapat pengaturan mengenai perjanjian pengadaan barang/jasa yang harus dibuat secara tertulis (kontrak). 44

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, berikut

peraturan-peraturan pelaksanaannya, kontrak kerja jasa konstruksi harus

dibuat secara tertulis dan biasanya dalam bentuk perjanjian standar, yaitu

mendasarkan pada berlakunya peraturan standar (dalam hal ini peraturan

dibuat oleh pemerintah) yang menyangkut segi yuridis dan segi tekhnis

dan ke semua itu dimuat dalam rumusan kontrak. Dengan demikian, pada

pelaksanaan perjanjian selain mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar

mengenai perjanjian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, kontrak kerja jasa konstruksi mutlak harus memuat

ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Jasa

Konstruksi tersebut.

6. Prestasi dan Wanprestasi Dalam Kontrak

1. Prestasi (performence)

Prestasi adalah pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu

kontrak oleh para pihak yang telah mengikatkan diri dalam kontrak

tersebut. Bentuk-bentuk prestasi ditentukan dalam pasal 1234 KUH

Perdata, antara lain :38

1) Memberikan sesuatu

2) Berbuat sesuatu

3) Tidak berbuat sesuatu.

38 pasal 1234 KUH Perdata, Bentuk-bentuk prestasi. 45

2. Wanprestasi (default, nonfulfilment)

Wanpresentasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan

somasi. Somasi sendiri merupakan terjemahan dari ingerbrekestelling.

Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH

perdata.39

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang

artinya prestasi buruk. Menurut kamus Hukum, wanprestasi berarti

kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam

perjanjian.40 Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan

yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat

memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam

perjanjian.41Dan bukan dalam keadaan memaksa adapun yang

menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai

melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam

perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.42

Wanprestasi berarti tidak melakukan apa yang menjadi unsur prestasi,

yakni:

39 Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 96.

40 Sudarsono. Kamus Hukum. Cetakan pertama (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 578.

41 Rohmadi Jawi. Hukum Kontrak. http://rohmadijawi.wordpress.com/hukum- kontrak/. diakses 27 mei 2015.pukul 16.30 wib.

42 Abdul hay Marhainis, Hukum Perdata Materil. Cetakan keempat (Jakarta : Pradnya Paramita, 2004), hal. 53. 46

1) Berbuat sesuatu;

2) Tidak berbuat sesuatu; dan

3) Menyerahkan sesuatu.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap

timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang

melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi sehingga oleh

hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan

karena wanprestasi tersebut.

Tindakan wanprestasi dapat terjadi karena:43

1) Kesengajaan

2) Kelalaian

3) Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).

Seseorang yang tidak melaksanakan perjanjian baik karena kesengajaan

atau karena kelalaian dengan tidak sendirinya dikatakan telah melakukan

wanprestasi atau cidera janji, sehingga terhadapnya dapat dimintakan ganti rugi.

Berdasarkan sistem hukum di Indonesia dan umumnya di negara-negara Civil

Law, bila salah satu tidak memenuhi prestasi, maka haruslah pihak lain dalam

kontrak tersebut terlebih dahulu mengajukan peringatan yang dikenal dengan

istilah “Somasi” (Pasal 1238 KUH Perdata). Dalam Somasi ini ditentukan jangka

waktu pemenuhan prestasi. Jika jangka waktu telah lewat dan ternyata prestasi

43 http://sciencebooth.com/2013/05/27/pengertian-prestasi-dan-wanprestasi-dalam-hukum- kontrak/, dikutip: 06 juni 2015, pukul: 18.15. 47

tidak juga dipenuhi atau tidak sempurna dipenuhi maka barulah dapat dikatakan pihak tersebut telah melakukan wanprestasi dan dapat dituntut ke rana pengadilan, maka gugatan seperti ini disebut dengan gugatan premature (belum waktunya untuk diajukan). Keharusan adanya Somasi ini tidak dikenal dalam negara-negara yang menganut sistem hukum Anglosaxon. Bila terjadi wanprestasi, maka dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada pihak yang melakukan wanprestasi. 48

BAB III

PEMBANGUNAN PROYEK MONOREL DALAM TATA KELOLA KOTA

JAKARTA

A. Tata Kelola Kota Jakarta

1. Profil Provinsi DKI Jakarta

Karakteristik Wilayah

Pembangunan harus sesuai dengan karakteristik wilayah dan kebijakan

tata ruang Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hal ini sangat penting dan

merupakan faktor yang mendasar dalam meletakan landasan bagi

tersusunnya masterplan dan kajian akademis persampahan yang tepat.

Tinjauan karakteristik wilayah lebih ditekankan pada kondisi dan daya

dukung lahan terhadap aktivitas yang ada diatasnya, kemudian kebijakan

pembangunan untuk melihat fungsi dan peran yang akan dilakukan oleh

Pemerintah Provinsi dalam mendukung pembangunan, sedangkan tata

ruang lebih menekankan pada arah dan pola peruntukan lahan dengan

berbagai aktivitasnya. Dari ketiga data dan informasi ini merupakan

pijakan awal dalam rangka penyusunan masterplan pembangunan tata

kelola kota yang akan dilakukan.1

1 Jurnal Dinas Kebersihan Pemerintah Privinsi DKI Jakarta Jl. Mandala V NO.67 Cililitan Besar – Jakarta,h. 3-1.

48 49

Batas Administrasi

Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah administrasi dan 1

wilayah Kabupaten Administrasi, yaitu Wilayah Administrasi Jakarta

Pusat, Wilayah Administrasi Jakarta Utara, Wilayah Administrasi Jakarta

Barat, Wilayah Administrasi Jakarta Selatan, Wilayah Administrasi

Jakarta Timur dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Provinsi

DKI Jakarta berbatasan secara administratif dengan beberapa provinsi

lainnya yaitu:2

1) Sebelah Utara : Laut Jawa

2) Sebelah Barat : Provinsi

3) Sebelah Selatan : Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten

4) Sebelah Timur : Provinsi Jawa Barat

Kependudukan

Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2009 berdasarkan hasil proyeksi

penduduk DKI sebanyak 9.5 juta jiwa. Jumlah rumah tangga sebesar

2.311.535 rumah tangga dimana rata-rata anggota rumah tangga adalah

3,99 orang. Dengan luas wilayah 662,33 km2 berarti kepadatan

penduduknya mencapai 13,9 ribu/km2, sehingga menjadikan Provinsi

DKI Jakarta sebagai wilayah terpadat penduduknya di Indonesia.

2 Jurnal Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Jl. Mandala V NO.67 Cililitan Besar – Jakarta,h. 3-1. 50

Pertumbuhan penduduk mengalami penurunan dari 1,13 % pada periode

2005-2008 menjadi 1,06 % pada periode tahun 2005-2009.3

Kebijakan Pembangunan

Kawasan yang diusulkan dalam sistem pusat kegiatan di RTRW 2030

DKI Jakarta Pusat-pusat kegiatan DKI Jakarta terus berkembang baik

pusat kegiatan primer, sekunder, hingga tersier. Pusat-pusat kegiatan

tersebut merupakan perkembangan dari pusat-pusat kegiatan utama

menurut fungsi kawasan sebagai pembentuk struktur ruang dan sistem

pusat kegiatan utama menurut ungsi khusus yang ditetapkan RTRW DKI

Jakarta Tahun 2010.4

Analisa Sistem Pusat Kegiatan utama menurut fungsi sebagai

pembentuk struktur ruang ditetapkan ada sembilan (9) kawasan; sentra

primer baru timur, sentra primer baru barat, Pusat niaga terpadu Pantura,

Sentra primer Glodok, Sentra primer Tanah Abang, Pusat Niaga Terpadu

kuningan, sudirman dan casablanca, pusat niaga terpadu mangga dua, dan

pusat niaga terpadu bandar baru kemayoran. Delapan (8) dari kawasan

tersebut diatas masih merupakan kawasan pusat kegiatan primer.

Sedangkan kawasan sentra primer Glodok menjadi pusat kegiatan

sekunder. Kawasan Glodok sampai dengan tahun 2009 sudah mengalami

3 Jurnal Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Jl. Mandala V NO.67 Cililitan Besar – Jakarta,h. 3, 9-10.

4 Jurnal Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Jl. Mandala V NO.67 Cililitan Besar – Jakarta,h. 3-23. 51

perkembangan yang cukup pesat karenanya hanya sedikit pengembangan

kawasan yang akan dilakukan pada rencana tata ruang wilayah berikutnya.

Selain delapan (8) kawasan yang dipertahankan untuk menjadi

kawasan pusat kegiatan primer terdapat tiga (3) kawasan baru yang

muncul yaitu ; kawasan Monas, Dukuh Atas, Kawasan Manggarai, dan

kawasan ekonomi khusus Marunda.5

Kawasan Medan Merdeka dalam Pasal 17 tentang Sistem Pusat

Kegiatan RTRW 2010 sudah termuat dalam arahan sistem pusat kegiatan

utama menurut fungsi khusus sebagai pusat pemerintahan nasional dan

propinsi. Pada RTRW 2030 Kawasan Monas (tidak lagi Medan Merdeka)

menjadi pusat kegiatan primer pada kawasan monas ini akan difasilitasi

dengan perencanakan pembangunan jalan arteri yang melintasi. Pada

kawasan monas ini adalah sentra dari kegiatan pemerintahan nasional

dimana DKI Jakarta sebagai Ibukota negara Republik Indonesia.

Dari sistem transportasi yang berkembang di DKI Jakarta Kawasan

Dukuh Atas akan menjadi kawasan transit intermoda. Dukuh atas

memegang peranan penting dalam menghubungkan lokasi satu dan yang

lain di DKI Jakarta, alasan tersebut menjadi dasar potensial bagi Dukuh

Atas di RTRW 2030 menjadi pusat kegiatan primer. Kawasan Manggarai

mempunyai kecenderungan untuk bekembang pesat di wilayah DKI

5 Jurnal Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Jl. Mandala V NO.67 Cililitan Besar – Jakarta,h. 3-23. 52

Jakarta. Ada beberapa fungsi kegiatan yang berada dikawasan tersebut

diantaranya;6

a) stasiun yang akan dikembangkan menjadi stasiun penting di

wilayah DKI Jakarta sama peranannya dengan dukuh atas. Bahkan

stasiun manggarai adalah pusat penghubung dengan jalur

transportasi angkutan JABODEBEK.

b) Pintu Air manggarai, dari sistem perairan pintu air manggarai

mempunyai peran penting dalam pengindikasi banjir.

c) Fungsi perdagangan, selain terdapat gedung pertokoan pasaraya

manggarai, pada daerah sekitar Pasar Rumput di Jalan Sultan

Agung, bisa ditemukan para pedagang loak/barang bekas. Banyak

yang menjual peralatan saniter bekas. Beberapa alasan tersebut

menjadi dasar potensial bagi Manggarai di RTRW 2030 menjadi

pusat kegiatan primer.

Sistem pusat kegiatan primer dapat terlaksana secara maksimal atau

berjalan dengan baik apabila tersambung dengan jalur Arteri. Jaringan

jalan arteri tidak dapat terputus, sehingga terdapat usulan jalan arteri

dalam strktur ruang. Penamaan jalan arteri primer atau sekunder, tidak

mewakilkan penamaan dari sistem pusat kegiatan, karena arteri

merupakan spesifikasi sedangkan primer atau sekunder adalah sistemnya.

6 Jurnal Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Jl. Mandala V NO.67 Cililitan Besar – Jakarta,h. 3-24. 53

Pada sistem Pusat Kegiatan utama menurut fungsi khusus ditetapkan pada

RTRW 2010 ada Tujuh (7) kawasan; pusat pemerintahan Nasional dan

propinsi di kawasan Medan Merdeka, pusat perwakilan negara asing di

kawasan kuningan dan jl. MH.Thamrin, pusat rekreasi: Taman Mini

Indonesia Indah, Taman Impian Jaya Ancol, kepulauan seribu, Taman

Margasatwa Ragunan, dan bumi perkemahan cibubur, Pusat olah raga

senayan, pusat kesehatan di Rs. Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Rumah

Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto; Pusat Kesenian Taman Ismail

Marzuki; Pusat Distribusi Barang di Tanjung Priok, Distribusi Bahan

Bakar Minyak di Plumpang, Pasar Induk Bahan Pangan di Kramat Jati,

Cipinang, dan Rawa Buaya.

Strategi Penataan Ruang

Sesuai amanat UU No 26 Tahun 2007, strategi penataan ruang pada

tingkat provinsi ditujukan untuk mewujudkan struktur dan pola ruang

wilayah, kawasan strategis provinsi, pemanfatan ruang dan pengendalian

pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Adapun strategi penataan ruang DKI

Jakarta melalui hal-hal sebagai berikut:7

1) Mengembangkan Jakarta ke arah Barat, Timur dan Utara serta mengendalikan dan membatasi pengembangan ke arah Selatan 2) Mengembangkan pembangunan ke arah Utara sekaligus optimalisasi pengelolaan Teluk Jakarta melalui reklamasi, revitalisasi, dan pembangunan pelabuhan bertaraf internasional

7 Jurnal Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Jl. Mandala V NO.67 Cililitan Besar – Jakarta,h. 3, 26-27. 54

3) Mengoptimalkan dan mengembangkan sistem pusat-pusat kegiatan jasa, perdagangan, distribusi barang, pariwisata dan ekonomi kreatif skala nasional dan internasional yang didukung prasarana dan sarana transportasi dana utilitas yang memadai dan terpadu 4) Mengembakan sistem angkutan umum massal disertai dengan pengembangan kawasan berkepadatan tinggi, campuran dan kompak melalui konsep TOD 5) Mengembangkan peremajaan kota di kawasan strategis yang berpotensi tinggi melalui perbaikan lingkungan, pemeliharaan lingkungan, peremajaan lingkungan (redevelopment), pemugaran lingkungan dan pembangunan baru (new development) 6) Mengembangkan prasarana dan sarana untuk pengendalian banjir dengan pengembangan sistem polder dan banjir kanal 7) Pemulihan dan pengembangan situ dan waduk, normalisasi sungai serta pembangunan tanggul pengaman sungai dan laut 8) Mengintergrasikan sistem prasarana DKI Jakarta dan Bodetabek 9) Memprioritaskan pemanfaatan ruang udara dan ruang bawah tanah dikaitkan dengan pengembangan sistem transportasi 10) Mendorong pemanfaatan lahan permukiman baik vertikal maupun horizontal yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana kota yang memadai 11) Mengendalikan pembangunan yang bersifat pita dnegan mengembangkan kawasan pembangunan campuran (mixed use) yang terpadu 12) Mempertahankan dan mengembangkan lingkungan dan bangunan cagar budaya untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pariwisata 13) Melaksanakan konservasi kawasan lindung dan sumber daya air, serta pengembangan ruang terbuka hijau untuk keseimbangan ekologi kota 14) Mengantisipasi dampak pemanasan global dengan menerapkan konsep bangunan ramah lingkungan (green building) dan konsep perancangan kota yang berkelanjutan (suistainable urban design).

Kebijakan Penataan Ruang

Sesuai amanat UU No 26 Tahun 2007, kebijakan penataan ruang pada tingkat provinsi ditujukan untuk mewujudkan struktur dan pola ruang wilayah, kawasan strategis provinsi, pemanfatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Untuk itu bebepara kebijakan 55

penataan ruang wilayah Provinsi DKI antara lain harus mengacu pada hal-

hal sebagai berikut:8

1) Memantapkan fungsi Jakarta sebagai kota jasa skala nasional dan internasional 2) Memprioritaskan pengembangan kota ke arah Timur, Barat, dan Utara serta membatasi perkembangan ke arah Selatan sebagai bagian dari fungsi kawasan Jabodetabek sebagai kawasan peresapan air dan tangkapan air 3) Melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup dengan optimasi daya dukung dan daya tampung lingkungan daerah sebagai bagian dari kawasan Jabodetabek 4) Meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau untuk mewujudkan Pembangunan Jakarta yang berkelanjutan 5) Mengembangkan sistem prasarana dan sarana kota yang berintergrasi dengan system regional, nasional dan internasional 6) Mengembangkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang bawah tanah, ruang permukaan dan ruang udara guna meningkatkan keterpaduan dan optimalisasi pemanfaatan ruang.

Sebagai kota metropolitan, maka strategi penataan ruang wilayah

Provinsi DKI Jakarta tidak dapat dilepaskan dalam kontek pengembangan

struktur dan pola ruang kawasan disekitarnya. Oleh karena itu strategi

penataan ruang wilayah ini diharapkan dapat bersinergi dengan strategi

penataan ruang wilayah Jabodetabek sebagai suatu kesatuan kawasan

perkotaan nasional.

Perkembangan Provinsi DKI Jakarta

Perkembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor

pembentuk wilayah itu sendiri, faktor pembentuk yang bersifat fisik dan

non fisik seperti ketersediaan lahan dan lingkungan pengembangan,

8 Jurnal Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Jl. Mandala V NO.67 Cililitan Besar – Jakarta,h. 3, 27-28. 56

kemudian non fisik seperti kependudukan, kondisi sosial, ekonomi dan

budaya setempat. Selain faktor pembentuk wilayah tersebut,

perkembangan wilayah sangat ditentukan oleh kebijaksanaan

pembangunan pemerintah daerah, baik arah dan maupun strategi yang

akan dilakukan pemerintah ke depan untuk program jangka pendek,

jangka menengah dan program jangka panjang. Perkembangan Provinsi

DKI Jakarta perlu dipahami, dimengerti dan dikaji lebih mendalam dalam

kaitannya dengan penyusunan masterplan dan kajian akademis

persampahan DKI tahun 2012-2032. Alasan pengkajian ini sangat

mendasar karena masterplan dan kajian akademis persampahan akan

mempertimbangkan perkembangan wilayah tersebut, berdasarkan

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta tahun 2012-

2030 yang sudah di Perdakan. Dengan demikian untuk melihat

perkembangan wilayah DKI Jakarta pada saat ini dan dimasa yang akan

datang, maka dilakukan dengan membandingkan kondisi sekarang dengan

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI tahun 2011-2030,

meliputi aspek kependudukan, kondisi penggunaan lahan ekisting, rencana

struktur tata ruang daratan, dan rencana pola tata ruang daratan.9

Dimana dari hasil perbandingan tersebut, dapat dilihat perkembangan

dan kepadatan penduduk persatuan administrative, kapasitas intensitas

9 Jurnal Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Jl. Mandala V NO.67 Cililitan Besar – Jakarta,h. 3-28. 57

dan jenis. Dimana dari hasil perbandingan tersebut, dapat dilihat

perkembangan dan kepadatan penduduk persatuan adminstrative,

kapasitas intensitas dan jenis.

2. Sejarah Tata Kelola Kota Jakarta

Tata ruang DKI Jakarta

Perkembangan kota Jakarta menjadi kota metropolitan terkemuka di

dunia cukup mengagumkan. Pada saat Jakarta telah menjadi salah satu

baromrter dunia. Namun demikian, berbagai persoalan muncul akibat

kompleksitas dari kehidupan di Jakarta sehingga akan memudahkan suatu

gejolak sosial, ekonomi, politik, pendidikan maupun lingkungan. Seperti

kita ketahui bahwa Jakarta menjadi pusat pemerintah, kegiatan politik, dan

ekonomi di Indonesia.

Dengan melihat perkembangan DKI Jakarta yang begitu cepat, maka

persoalan dasar yang harus mendapat perhatian pemerintah daerah DKI

Jakarta adalah konsep tata ruang kota sebagai landasan awal pembangunan

kota Jakarta sebagai Ibukota Negara dan menjadi cermin dan representasi

kota-kota lain di Indonesia.

Tata ruang kota Jakarta untuk masa mendatang harus disesuaikan

dengan peraturan daerah Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana 58

Tata Ruang Wilayah yang arahan penataan ruang wilayahnya akan

ditujukan untuk melaksanakan 3(tiga) misi utama, yaitu; 10

1) Membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat. 2) Mengembangbiakkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan. 3) Mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa skala nasional dan internasional.

Penataan ruang kota Jakarta dimaksudkan untuk mewujudkan

kehidupan masyarakat yang sejahtera berbudaya dan berkeadilan,

terselenggaranya pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan dan dan

berwawasan lingkungan hidup sesuai dengan kemampuan daya dukung

dan daya tampungnya, kemampuan masyarakat dan pemerintah, serta

kebujakan pembangunan nasional dan daerah. Selaain itu penataan ruang

juga bertujuan untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber

daya alam dan sumber daya buatan serta terselenggaranya pengaturan

pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya. Dengan adanya

penataan ruang yang lebih baik dan terarah, diharapkan visi pembangunan

kota Jakarta untuk dapat sejajar dengan kota-kota besar Negara maju

lainnya dapat terwujud.

Landasan Hukum Pengaturan Jabotabek

Landasan hukum untuk mengatur perencanaan wilayah Jabotabek

hanyalah Permendagri yang kemudian ditingkatkan menjadi Inpres.

10 PT. Insan Mandiri Konsultan. Laporan Akhir: Penyusunan Rencana Induk Pembangunan Angkutan Umun Berbahan Bakar Alternatif, h. 4-17. 59

Sementara itu, untuk mengatur kawasan rawan lingkungan Bopunjur

berlandaskan Keppres. Landasan hukum tersebut belum memadai untuk

mengatur penataan ruang wilayah Jabotabek, terutama menyangkut

pemanfaatan dan pengendalian tata ruang serta mengatur kegiatan

pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas.

Pemikiran untuk mengusulkan penerbitan Keppres untuk memberikan

landasan hukum bagi perencanaan wilayah Jabotabek. Namun pemerintah

ragu, apakah pengaturan perencanaan tata ruang untuk berbagai wilayah

dan kawasan yang tersebar di Indonesia semuanya harus diatur melalui

Keppres, Sesuai ketentuan Undang-Undang 24/1992 tentang “Penataan

Ruang”. seyogyanya wilayah Jabotabek perlu ditetapkan sebagai kawasan

tertentu yang pengaturannya harus melalui Peraturan Pemerintah.11

Mulanya Bank Dunia membantu persiapan proyek untuk membangun

jalan di dalam Kota Jakarta. Kemudian, atas permintaan pemerintah,

proyek tersebut diperluas hingga mencakup wilayah Jabotabek (JUDP I).

Namun, dalam kenyataannya, jalan-jalan yang dibangun dengan proyek

ini berada di dalam kota Jakarta. Pada saat bersamaan, Bank

Pembangunan Asia (ADB) memberi pinjaman berupa proyek

pengembangan perkotaan untuk kawasan Botabek. Proyek Pembangunan

Perkotaan Botabek ini merupakan bagian dari Proyek Pembangunan

11Jurnal Penataan Ruang dan Pembangunan Perkotaan Jabotabek dan Turunannya Sepanjang Sejarah, Oleh Hendropranoto Suselo. 60

Perkotaan Jawa Barat, karena ADB memilih memberi pinjaman untuk

Jawa Barat. Proyek Bank Dunia dan ADB untuk wilayah Jabotabek

disiapkan dan dilaksanakan bersamaan dengan meninjau kembali Strategi

Pembangunan Perkotaan Jabotabek.12

Selain lembaga multilateral yang disebutkan di atas, Pemerintah

Belanda perlu dicatat sebagai salah satu lembaga bilateral yang merintis

pemikiran untuk program perbaikan kampong di Kawasan Botabek

(Bogor, Tangerang, dan ), dan juga pembangunan perumahan

sederhana di Bantarjati (Bogor), Karawaci (Tangerang) dan Rawa

Tembaga (Bekasi). Selain program pembangunan perumahan dan

permukiman dan prasarana jalan yang menjadi tugas Departemen

Pekerjaan Umum, pengembangan wilayah Jabotabek juga dipengaruhi

oleh pembangunan prasarana lainnya seperti terjadinya pergeseran

lapangan terbang internasional dari semula di Kemayoran ke Halim

Perdanakusuma dan kemudian ke lokasi terbarunya di Cengkareng.

Jaringan prasarana jalan serta kawasan permukiman yang tumbuh karena

rangsangan pembangunan jalan yang memudahkan akses ke pelabuhan

12 Jurnal Penataan Ruang dan Pembangunan Perkotaan Jabotabek dan Turunannya Sepanjang Sejarah, Oleh Hendropranoto Suselo. 61

udara internasional tersebut jelas sangat berpengaruh terhadap

pengembangan Jabotabek.13

B. Proyek Monorel Jakarta

1. Pengelolaan Monorel Jakarta

MRT atau (mass rapid transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai

moda angkutan yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang

banyak (massal) dengan frekuensi dan kecepatan yang sangat tinggi

(rapid). Menurut modanya, MRT dapat dikelompokkan menjadi beberapa

jenis, antara lain: bus (buslane/busway), subway, tram, dan monorel.14

Monorel adalah Monorel disini adalah sebuah kata metro atau rel

dengan jalur yang terdiri dari rel tunggal, berlainan dengan rel kereta

tradisianal yang memiliki dua rel paralel dan dengan sendirinya, kereta

lebih besar daripada relnya. Biasanya monerel, rel terbuat dari beton dan

keretanya terbuat dari karet, sehingga tidak sebising kereta konvensional.

Sampai saat ini monorel terbagi dalam dua jenis yaitu: Tipe straddle-beam

dimana kereta berjalan di atas rel dan, Tipe suspended dimana kereta

bergantung dan melaju dibawah rel.15

Proyek pembangunan sarana transportasi massal sebenarnya sudah

direncanakan sejak lama. Diantaranya yang sempat muncul adalah busway

13 Jurnal Penataan Ruang dan Pembangunan Perkotaan Jabotabek dan Turunannya Sepanjang Sejarah, Oleh Hendropranoto Suselo.

14Jurnal, MRT: Angkutan Perkotaan Masa Depan. Oleh Delik Hudalah dan Yudistira Pratama, h. 1. 15 http://id.m.wikipedia.org/wiki/monorel, Dikutip: jum’at 10/April, 09.45 wib. 62

yang masi bertahan hingga saat ini, waterway yang terhenti serta monorel.

Monorel di Ibu Kota Republik Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak

juni 2004 0leh PT Monorel Jakarta. Namun meski konstruksi telah

dimulai, proyek ini terhenti pada 2007 karena permasalahan dana.

Awalnya proyek ini diberikan pada 2003 kepada perusahaan Malaysia

MTrans. Namun, ketika konstruksi mulai berjalan pada juni 2004 menjadi

terhenti setelah berjalan hanya beberapa minggu. Setelah MoU MTrans

dibatalkan, proyek ini lalu diberikan kepada konsorsium utama Singapura

Omnoco, yang mengusulkan menggunakan teknologi oleh

perusahaan Korea Selatan ROTEM.16

Proyek ini lalu dialihkan dengan MoU baru yang diberikan kepada

sebuah konsorsium perusahaan Indonesia PT Bkaka Teknik Utama, PT

INKA, dan Siemens Indonesia pada juli 2005. Namun, nyatanya

pengerjaan proyek tersebut tidak berjalan hingga saat ini, meski beberapa

pondasi telah didirikan di jalan utama Ibu Kota. Selain itu, Pemprov DKI

Jakarta harus membayar kompensasi denda sebesar Rp 800 juta kepada

pelaksana pemenang tender sebelumnya akibat kegagalan tersebut.17

2. Dasar Hukum Pembangunan Proyek Monorel

Kepastian hukum merupakan hal penting dalam tindakan hukum dan

penegakan hukum. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa peraturan

16 Laporan Utama Jakarta Kiprah Volume 53 th XII | November-Desember 2012, h. 28.

17 Laporan Utama Jakarta Kiprah Volume 53 th XII | November-Desember 2012, h. 28. 63

perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum. Peraturan

tentang pembangunan proyek monorel tersebar dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, antara lain :

1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999

Tentang Jasa Konstruksi.

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000

Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2006

Tentang Pemberian Jaminan Pemerintah Untuk Pembangunan

Proyek Monorail Jakarta.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 Tentang

Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Knstruksi.

3. Skema Pembiayaan Proyek Monorel Jakarta

Pada masa jabatan Gubernur Sutiyoso, pernah muncul gagasan untuk

membuat moda transportasi masal dengan membangun monorel. Rencana

pembiayaan proyek monorel yang dibuat pada tahun 2006 itu pada

awalnya merupakan proyek investasi swasta murni dengan dana sebesar

US$ 650 juta. Beberapa investor dari Cina sudah menyanggupi untuk

bergabung dalam konsorsium pembiayaan proyek monorel tersebut. Peran

Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Pusat hanyalah sebatas

fasilitator atas terselenggaranya pembangunan monorail di Jakarta karena 64

seluruh dana pembangunan secara penuh ditanggung oleh pihak swasta

yang dalam hal ini adalah PT. Jakarta Monorail.18

Pada tahun 2004, PT Jakarta Monorail memprakarsai pembangunan

monorail di Jakarta dengan pola pendanaan swasta murni. Inisiatif yang

disambut baik oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso berakhir dengan

kegagalan akibat permasalahan finansial dan internal perusahaan. Jaminan

pemerintah yang telah diupayakan oleh Pemerinah Pusat tidak juga

berhasil membantu pemrakarsa menyelesaikan kewajibannya. Upaya

pengalihan hak pemrakarsa lewat pemberian kompensasi yang pernah

ditempuh Pemerintah pun tak kunjung berlanjut.

selama hampir 10 tahun pembangunan monorel terkendala, Gubernur

Joko Widodo berupaya meneruskan pembangunan monorail Jakarta.

Selain itu, Gubernur juga menyambut pemrakarsa lain yang juga

mengajukan proposal pembangunan monorail baru di sekitar Jakarta. Ide

membangun monorail di Jakarta menjadi suatu kajian kebijakan publik

yang menarik, dimana Pemerintah (Pusat & Daerah) sebagai regulator

harus memfasilitasi tawaran investasi swasta untuk membangun monorail

dengan tata kelola yang tepat agar monorail nantinya dapat beroperasi

secara berkelanjutan.19

18 Jurnal Pembiayaan Untuk Sarana Transportasi Massal di DKI Jakarta, Kebijakan Publik Tugas 4 Mei 2009,h. 1.

19 Jurnal (IPKC Monorail Round Table) Tanggal 28 Pebruari 2013. 65

Persepsi publik terhadap instrumen pembiayaan adalah kondisi sosial

dan politik dalam hal persepsi publik terhadap berbagai macam instrumen

pembiayaan yang berbeda sangat penting dan berpengaruh terhadap

pemasukan yang berkelanjutan. Apabila direncanakan dengan kurang

baik, implementasi instrumen pembiayaan dapat digagalkan melalui

perlawanan publik.20

Biaya baru selalu tidak populer, dan pemilih cenderung lebih

memperhatikan kekurangan dari pada manfaat dari kebijakan tertentu.

Keterbukaan informasi dan dan transfaransi adalah alat yang paling

penting untuk menghilangkan ketidakpercayaan publik terhadap kenaikan

pajak. Persepsi positif publik terdapat instrumen pendanaan seperti skema

tarif dapat ditingkatkan substansial dengan cara:

1) Mengelola dana yang dikumpulkan secara ekspisit untuk memperbaiki transportasi perkotaan. 2) Memastikan bahwa skema yang diusulkan menjunjung tinggi keadilan. 3) Komunikasi yang jelas. seperti prinsip penggunaan, pembayaran, dimana pengguna jasa transportasi diharuskan membayar seluruh biaya yang terkait.

Proyek infrastruktur lain yang juga mendapat dukungan pemerintah

adalah Proyek Pembangunan Monorail Jakarta (green line dan blue line).

Dukungan pemerintah diberikan dalam bentuk pemberian jaminan untuk

menutup kekurangan (shortfall) atas batas minimum penumpang

20 Ko Sakamoto, pembiayaan transportasi perkotaan yang berkelanjutan, Cet Pertama. (Germany: Eschborn, 2011), h. 17-18. 66

(ridership) sebesar 160.000 penumpang per hari. Nilai jaminan maksimum

sebesar US$11,25 juta per tahun selama lima tahun, terhitung sejak proyek

tersebut beroperasi secara komersial dengan kemampuan angkut sebesar

270.000 penumpang per hari. Jaminan berlaku efektif sejak tanggal 15

Maret 2007 untuk jangka waktu 36 bulan. Apabila ketentuan dimaksud

tidak dapat dipenuhi, maka berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

(PMK) Nomor 30/PMK.02/2007 pemberian jaminan dinyatakan batal dan

tidak berlaku.

Sampai pertengahan tahun 2008, investor Proyek Pembangunan

Monorail Jakarta belum berhasil mendapatkan fasilitas pembiayaan

(financial close) sesuai dengan perjanjian perjasama yang telah

ditandatangani bersama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Terkait

dengan hal tersebut, terdapat kemungkinan proyek ini akan ditinjau

kembali oleh pihak-pihak terkait. Mengingat hal tersebut, untuk tahun

2009 diperkirakan belum ada risiko fiskal terkait dengan proyek ini karena

proyek monorail belum beroperasi pada tahun 2009.

4. Kendala Pembangunan Monorel Jakarta

Pada umumnya, jangka waktu yang diperlukan sejak dimulai

dipikirkannya dan timbulnya ide sampai dengan bisa dilaksanakannya di

lapangan memerlukan waktu yang lama sekali, dan memulai berbagai

tahapan uji coba dan lain-lain. Dengan demikian maka waktu 67

pengembangan ini bias bersifat jangka panjang antara 10-20 tahun atau

mungkin lebih.21

Pada prinsipnya, masalah dan tantangan baru meliputi kelangkaan

sumber energy, financial dan lain-lain. Selain itu ada juga masalah teknis

yang harus dipecahkan misalnya: penggunaan kecepatan yang besar bias

menimbulkan masalah dalam hal keselamatan dan pengendalian serta

kenyamanan.22

Salah satu perusahaan yang mempunyai masalah dengan pengeluaran

biaya-biaya yang cukup besar dan mendapatkan laba atau keuntungan

yang kurang maksimal ini adalah kontraktor. Selain mempunyai masalah

dengan pengeluaran biaya-biaya yang cukup besar, ada masalah lain

dalam perusahaan kontraktor yang juga harus diperhatikan. Masalah lain

adalah masalah tentang penggunaan waktu yang tidak optimal atau tidak

efisien dalam menjalankan suatu proyek. Perusahaan kontraktor bergerak

dalam bidang pembuatan proyek-proyek pembangunan, seperti pembuatan

proyek perumahan, gedung-gedung, jembatan, dan lain sebagainya. Dalam

pelaksanaan tersebut sudah tentu pasti mengeluarkan biaya-biaya yang

21 M. Nur Nasution, Manajemen Transportasi, cetakan pertama,(Ghalia Indonesia: Jakarta, 2004).h. 357.

22 M. Nur Nasution, Manajemen Transportasi.h. 357. 68

cukup besar serta memerlukan jangka waktu pembuatan proyek yang

terlalu lama dan tidak optimal.23

Salah satu contohnya proyek pembangunan yang ada saat ini yaitu

proyek pembangunan Monorel. Proyek pembangunan monorel merupakan

proyek yang kedua, dimana yang pertama adalah proyek pembangunan

pembuatan busway, serta perencana proyek pembangunan yang ketiga

nantinya adalah proyek pembangunan subway. Proyek pembangunan

subway tersebut merupakan proyek utama untuk pembuatan angkutan

bawah tanah.24

Proyek pembangunan Monorel ini dikerjakan oleh PT Jakarta Monorel

dan mendapatkan dukungan pendanaan dari Bank Dubai, Uni Emirat

Arab, sebesar lima ratus juta dollar Amerika Srikat (AS). Proyek

pembangunan Monorel yang dikerjakan oleh PT Jakarta Monorel ini

memperkirakan bahwa proyek pembangunan Monorel akan selesai pada

tahun 2007. Pendanaan proyek pembangunan Monorel dari Bank Dubai,

Uni Emirat Arab tersebut bias saja tidak cukup, sehingga harus menambah

pendanaan lagi. Hal ini disebabkan karena besarnya biaya-biaya yang

harus dikeluarkan dan laba yang didapat oleh perusahaan belum mencapai

23 http://www.kompas.com/kompas-cetak/properti.htm, dikutip 16 juni 2015 pukul; 16.15 wib.

24 http://www.kompas.com/kompas-cetak/properti.htm, dikutip 16 juni 2015 pukul; 16.15 wib. 69

titik maksimal, serta jangka waktu penyelesaiannya yang belum tentu bias

tepat waktu oleh PT Jakarta Monorel.25

25 http://www.kompas.com/kompas-cetak/properti.htm, dikutip 16 juni 2015 pukul; 16.15 wib. 70

BAB IV

ANALISA PENGHENTIAN PROYEK MONOREL JAKARTA MENURUT

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi

A. Posisi Kasus

Pada tahun 2005, ADHI memperoleh kontrak Design and Build Civil

structure works Proyek Pembangunan Monorel dari PT JM dengan nilai sebesar

USD224 juta (diluar PPN), yang kemudian di tahun 2007 diaddendum

(perubahan) nilai kontraknya menjadi USD211 juta (diluar PPN).

Selama periode 2005 hingga Desember 2007, progress yang sudah diakui

oleh PT JM yang ditandatangani oleh President Director PT JM dalam sertifikat

pembayaran atau “Certificates of Interim Payment Up To December 2007”

tertanggal 21 Januari 2008 senilai total USD14,020,122.03 yang harus dibayarkan

ke ADHI, yang terdiri atas:

1) Pekerjaan Persiapan, Pembongkaran, General Item,

2) Design & Engineering, Project Management,

3) Pekerjaan Pondasi, Tiang di Area Lintas,

4) Pekerjaan Pondasi dan Pilar di Area Stasiun

Atas seluruh progres pekerjaan tersebut ADHI belum pernah menerima

pembayaran dari PT JM. Dengan tidak adanya progres pembayaran, pekerjaan

konstruksi dihentikan.

70 71

Sampai dengan saat pekerjaan dihentikan, untuk progress pekerjaan bangunan atas / gedung stasiun belum dimulai, sehingga memang secara fisik bangunan gedung tidak terlihat. Progress stasiun yang sudah dilaksanakan adalah sebagai berikut:

1) Bored Pile: Plaza Senayan, Setia Budi Utara, Casablanca Interchange

dan Pejompongan.

2) Pembesian Tiang: Grand Mulia.

3) Pengecoran Tiang: Kuningan Sentral, Taman Rasuna, Stadion Madya

dan Palmerah.

Pada tanggal 15 Mei 2008, ADHI dan PT JM menandatangani akta perdamaian yang disahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

No.617/Pdt.G/2008/PN JKT tanggal 22 Mei 2008, menyebutkan bahwa PT JM mengakui pekerjaan design dan konstruksi proyek Jakarta Monorel yang dikerjakan ADHI dengan nilai USD14,020,122.03 dan bahwa PT JM dengan ini bersedia membayar bunga kelalaian/morator sebesar 10% per tahun sejak

Desember 2005 s.d. Januari 2008 sebesar USD2,329,579.- dan untuk itu Tergugat

(PT JM) setuju dengan pembayaran bunga 10% per tahun tersebut atau sebesar

USD2,329,579,-

Pada 20 Maret 2009, PT JM telah mengajukan nilai ganti rugi kepada

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas seluruh pengeluaran terkait dengan pelaksanaan proyek sebesar Rp79 juta + USD58 juta + GBP69 ribu. Dalam 72

pengajuan klaim tersebut, PT JM mencatat Pekerjaan Konstruksi oleh ADHI sebesar USD14,020,122.03 (diluar PPN).

Atas pengajuan ganti rugi oleh PT JM, Pemprov DKI meminta Badan

Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP) melakukan due diligence dan pada tanggal 21 April 2010, BPKP mengeluarkan hasil due diligence yang menyatakan porsi pekerjaan yang telah dilakukan ADHI adalah sebesar USD14,887,252.20 dikurangi Rp233.188.159.

Pada Aspek Teknis, BPKP menyatakan bahwa “berdasarkan reviu, analisa dan hasil pengujian yang dilakukan ahli teknis dinyatakan bahwa secara keseluruhan hasil pekerjaan konstruksi tersebut memenuhi standard an layak sesuai dengan desain teknis untuk beban gandar kereta setara dengan 10 ton dalam kondisi crash peak load.”

Pada tanggal 21 September 2011 Pemprov DKI mengirimkan surat tentang Pengakhiran Perjanjian Kerja Sama antara Pemprov DKI dengan PT JM.

Mengingat bangunan konstruksi yang telah dikerjakan oleh ADHI belum pernah dibayar oleh PT JM dan untuk mengamankan bangunan tersebut, ADHI mengajukan gugatan ke PT JM di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melakukan sita asset jaminan ata bangunan dan dokumen-dokumen terkait.

Gugatan tersebut disetujui dan ditetapkan oleh PN Jakarta Selatan Nomor

296/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel tanggal 22 Oktober 2012.

Akhir tahun 2012 Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yang baru, yakni

Bapak Joko Widodo dan Bapak Basuki Tjahja Purnama, berniat melanjutkan 73

Proyek Monorel untuk memecahkan masalah kemacetan lalu lintas Jakarta.

Sehubungan dengan hal tersebut, ADHI telah mengajukan proposal untuk mengurangi kemacetan Jakarta dengan menggunakan moda transportasi massal

Monorel dengan Jalur antara lain :

1) Bekasi – Cawang

2) Cibubur – Cawang

3) Cawang – Kuningan

4) Dukuh Atas – Kuningan – Semanggi – Senayan – Palmerah

Namun Pemprov DKI memilih untuk melanjutkan kembali Proyek

Monorel Green Line dan Blue Line dibawah kontrak konsesi dengan PT JM.

Meskipun ADHI bersama-sama dengan BUMN lain (Konsorsium BUMN) mampu untuk menyelesaikan proyek tersebut, sesuai himbauan Menteri BUMN,

ADHI menerima keputusan tersebut dan memutuskan untuk fokus pada jalur, yang menurut analisa ADHI paling membutuhkan angkutan massal, sebagai berikut :

1) Bekasi – Cawang

2) Cibubur – Cawang

3) Cawang – Kuningan

Selanjutnya ADHI meminta Pemprov DKI bahwa PT JM harus menyelesaikan terlebih dahulu pembayaran atas bangunan konstruksi yang telah dibangun ADHI sebelum dapat melanjutkan Proyek tersebut. 74

Atas keputusan tersebut, ADHI melakukan beberapa kali pertemuan

dengan PT JM maupun Ortus Holding sebagai pemegang saham utama PT JM

yang baru dimana disepakati untuk menunjuk appraisal independen dalam

penyelesaian perhitungan nilai tiang monorel sebagaimana tercantum dalam

notulensi pertemuan yang ditandatangani oleh pihak ADHI dan PT JM tanggal 25

Januari 2013, yang kemudian dipertegas dengan pertemuan berikutnya pada

tanggal 5 Februari 2013 yang mennyatakan bahwa valuasi sedang dilakukan oleh

KJPP Amin Nirwan Alfiantori & Rekan.

Hasil penilai independen yang ditunjuk bersama oleh ADHI dan PT JM

menyimpulkan bahwa Nilai Konstruksi Monorel per 31 Januari 2013 adalah

senilai Rp193.662.000.000,-. Yang mana dalam pertemuan selanjutnya antara

ADHI dan PT JM, disepakati nilai pembayaran tiang monorel dan dokumen-

dokumen pendukungnya adalah sebesar Rp190 miliar sudah termasuk PPN,

sebagaimana tercantum dalam notulensi rapat tanggal 18 Maret 2013 yang

ditandatangani oleh kedua belah pihak.

B. Proses Penghentian Proyek Pembangunan Monorel Menurut Pasal 25 Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 1999

Pembangunan proyek yang dibangun pada kepemimpina Sutiyoso, proyek

Monorel yang sampai saat ini belum tercapai. Pada 2003 konsorsium PT

Indonesia Transit Central, memprakarsai pembangunan Monorel. Konsorsium

yang terdiri dari PT Adhi Karya, PT Global Profex Sinergy dan PT Raidant

Utama. Konsorsium ini kemudian menyatu dengan Mtrans Holding dari Malaysia. 75

Proyek Monorel terhenti pada tahun 2005, Sebagian tiang pancang yang sudah jadi dibiarkan begitu saja. Namun, Sutiyoso terus mengupayakan untuk melanjutan proyek Monorel. Pada tahun 2007 pengalihan kepemimpinan Ibu Kota saat itu dilanjutkan oleh Fauzi Bowo, yang sebelumnya menduduki posisi wakil gubernur di era Sutiyoso. Pada 2010, Fauji Bowo muncul dengan gagasan baru.

Mengalihkan untuk meneruskan proyek monorel, ia lebih memilih mengembangkan elevated (BRT) atau jalur bus layang. Dalam perhitungannya, proyek ini jauh lebih murah dan efisien. Pembangunan elevated

BRT diyakini adalah jalan tengah, agar tiang-tiang Monorel yang sudah dibangun dapat digunakan.

Terpilihnya Joko Widodo sebagai suksesor Fauji Bowo memunculkan harapan baru dilanjutkannya proyek Monorel ini. Joko Widodo dan Basuki

Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok), yang telah dilantik menjadi Gubernur dan wakil

Gubernur DKI periode 2012-2017. Dalam menjalankan tugasnya, mereka memberikan pernyataan akan melanjutkan pembangunan Monorel yang telah berhenti sejak tahun 2006.

Bila dalam rencana pembangunan Monorel, terjadi perseteruan antar dua konsorsium besar yaitu PT Jakarta Monorail (JM) selaku investor dan pengembang lama yang mengakibatkan berhentinya pembangunan Monorel dan

PT Adhi Karya, mantan investor yang dulu bergabung dengan PT JM. Kedua konsorsium ini memperebutkan status sebagai investor dan pengembang Monorel. 76

Ketika Jokowi meminta kedua konsorsium ini bergabung, PT Adhi Karya menyatakan tegas tidak mau.

Pengembalian pinjaman 58 persen untuk Pemprov DKI dan 42 persen untuk Pemerintah Pusat dirasakan sangat berat. Kemudian Jokowi meminta penurunan beban sharing menjadi 30 persen untuk Pemprov DKI dan 70 persen untuk pemerintah pusat. Namun karena belum ada tanggapan baik dari pemerintah pusat terhadap permintaannya, akhirnya Jokowi menurunkan sharing pengembalian pinjaman dengan prosentasi 60 persen pemerintah pusat dan 40 persen Pemprov DKI.

Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa proses proyek konstruksi di indonesia belum begitu efektif. Mengapa demikian, Sangat jelas kita lihat bahwa proyek ini sangat berpengaruh dengan proses pembanguna Monorel, dimana proyek ini tahun demi tahun, hingga pergantian kepemimpinan dari awal permulaan sampai sekarang belum terlihat juga perubahan dari proyek tersebut, dan peraturan yang mengatur konstruksi dalam menanggapi masalah ini belum berjalan efektif, seperti di jelaskan dalam Undang- Undang Republik Indonesia

Nomor 18 Tahun 1999.

Sesuai Pasal 25 yang menyatakan bahwa; Pengguna jasa dan penyediaan jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan, kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 77

10 (sepuluh tahun), kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli.

Dari analisa penulis jelas bahwa pasal diatas berperan besar dalam masalah Jasa konstruksi. Karena pengguna dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunana, seperti yang dijelaskan dalam pembangunan proyek Monorel sebelumnya. Penulis menganalisa bahwa pembangunan Monorel ini tidak berjalan sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya, karena sejak awal pembangunan proyek Monorel tahun 2003 sampai tahun 2015 sekarang belum juga terwujudkan.

Sedangkan dalam pasal diatas dijelaskan bahwah terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh tahun) menjadi tanggung jawab penyedia jasa. Dari ayat tersebut penulis menganalisa bahwa proyek tersebut termasuk dalam salah satu kegagalan dalam bangunan.

Dalam firman Allah Swt Surat (At taubah ayat 109-110) menjelaskan tentang orang-orang yang zalim, sebagai berikut;

   .           

                 

             

(At-taubah ayat 109-110) 78

Yang artinya:

109. Maka Apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan Dia ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim.

110. Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu Senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur[661]. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat di atas, Allah swt. Membuat perumpamaan tentang keadaan orang-orang yang zalim dengan orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh. Perumpamaan ini membawa orang yang membacanya untuk membayangkan secara langsung, betapa sia-sia perbuatan mendirikan bangunan di tepi jurang dan betepa perbuatan itu sebenarnya membahayakan diri sendiri.

Pada ayat 110 menjelaskan mengarah kepada aspek psikis yang terjadi sekarang. Ayat ini menerangkan tentang mereka yang mendirikan bangunan tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya sehingga mereka merasa ragu dan was-was dikarenakan dampak yang terjadi kerena ulah mereka sendiri. 79

C. Faktor Dihentikannya Proyek Pembangunan Monorel

Selama periode 2005 hingga Desember 2007, progress yang sudah diakui

oleh PT JM yang ditandatangani oleh President Director PT JM dalam sertifikat

pembayaran atau “Certificates of Interim Payment Up To December 2007”

tertanggal 21 Januari 2008 senilai total USD14,020,122.03 yang harus dibayarkan

ke ADHI, yang terdiri atas:

5) Pekerjaan Persiapan, Pembongkaran, General Item,

6) Design & Engineering, Project Management,

7) Pekerjaan Pondasi, Tiang di Area Lintas,

8) Pekerjaan Pondasi dan Pilar di Area Stasiun

Atas seluruh progres pekerjaan tersebut ADHI belum pernah menerima

pembayaran dari PT JM. Dengan tidak adanya progres pembayaran, pekerjaan

konstruksi dihentikan.

Salah satu perusahaan yang mempunyai masalah dengan pengeluaran

biaya-biaya yang cukup besar dan mendapatkan laba atau keuntungan yang

kurang maksimal ini adalah kontraktor. Ada juga masalah lain dalam perusahaan

kontraktor yang juga harus diperhatikan. Masalah dalam penggunaan waktu yang

tidak optimal atau tidak efisien dalam menjalankan suatu proyek. Perusahaan

kontraktor bergerak dalam bidang pembuatan proyek-proyek pembangunan,

Dalam pelaksanaan pembangunan sudah tentu pasti mengeluarkan biaya-biaya

yang cukup besar serta memerlukan jangka waktu pembuatan proyek yang terlalu

lama dan tidak optimal. 80

Salah satu proyek pembangunan yang ada saat ini yaitu proyek

pembangunan Monorel. Proyek pembangunan monorel merupakan proyek yang

kedua, dimana yang pertama adalah proyek pembangunan pembuatan busway.

Proyek pembangunan Monorel ini dikerjakan oleh PT Jakarta Monorel dan

mendapatkan dukungan pendanaan dari Bank Dubai, Uni Emirat Arab, sebesar

lima ratus juta dollar Amerika Srikat (AS).

Proyek pembangunan Monorel yang dikerjakan oleh PT Jakarta Monorel

ini memperkirakan bahwa proyek pembangunan Monorel akan selesai pada tahun

2007. Pendanaan proyek pembangunan Monorel dari Bank Dubai, Uni Emirat

Arab tersebut bisa saja tidak cukup, sehingga harus menambah pendanaan lagi.

Hal ini disebabkan karena besarnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan dan laba

yang didapat oleh perusahaan belum mencapai titik maksimal, serta jangka waktu

penyelesaiannya yang belum tentu bias tepat waktu oleh PT Jakarta Monorel.

D. Akibat Hukum Penghentian Proyek Monorel Jakarta

Dalam penghentian proyek Monorel Jakarta dapat memunculkan suatu

akibat hukum yang menyalahi aturan undang-undang dalam kontrak jasa

konstruksi. Sesuai Pasal 25 yang menyatakan bahwa; Pengguna jasa dan

penyediaan jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. Kegagalan

bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi

dan paling lama 10 (sepuluh tahun). Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli. 81

Sebagimana yang telah kita ketahui sebelumnya, penulis disini akan menganalisa dalam hal akibat hokum dari penghentian proyek monorel di Jakarta.

Jelas kita ketahui dalam pasal 25 ayat 1,2 dan, 3 diatas sangat berperan besar dalam pelaksanaan proyek monorel ini, namun para pihak yang bersangkutan tidak memperhatikan pasal yang mengaturnya sehingga dalam pelaksanaan pembangunan proyek monorel tersebut terbengkalai.

Dalam hal ini penulis menganalisa bahwa dalam pelaksanaan proyek

Monorel terjadi wanprestasi yang diakibatkan dari salah satu pihak tidak

memenuhi perjanjia kontrak, seperti yang telah kita bahas dalam pembahasan

“Posisi Kasus” di atas, dalam hal tersebut pihak yang tidak memenuhi apa saja

yang telah disepakati dalam perjanjian maka pihak tersebut telah dianggap cidera

janji (wanprestasi). Sesuai yang diatur dalam ketentuan Buku III Pasal 1234

KUHPerdata tentang Wanprestasi. 82

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari analisis hukum yang dibahas dan diuraikan pada

bab-bab sebelumnya, maka penulis memberikan kesimpulan dari penelitian

skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Proses Penghentian Proyek Pembangunan Monorel Menurut Pasal 25

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.

Pembangunan proyek monorel pada dasarnya merupakan salah satu

bentuk kewajiban yang harus diselesaikan oleh pengelola proyek monorel,

seperti pada awalnya yang dikelola oleh PT Adhi Karya dan kemudian

dilanjutkan oleh PT Jakarta Monorel, atau pemegang tender yang

bertindak bijak dan menyelesaikan proyek tersebut dengan sebaik-

baiknya. Dengan tujuan untuk pembangunan daerah dan pengembangan

masyarakat. Berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-undang Nomor 18

Tahun 1999 tentang kegagalan bangunann hingga waktu yang ditentukan

pemegang tender kontra proyek monorel belum memenuhi kewajibannya,

yaitu kegagalan bangunan yang dimaksud adalah suatu kesalahan

perencanaan atau pengawasan konstruksi, dan dalam hal ini dapat

menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Dalam pelaksanaan proyek

pembangunan ini juga dapat dinyatakan dalam kegagalan bangunan

karena dalam jangka waktu yang ditentukan 10 Tahun dalam pasal 25

82 83

tersebut, bangunan belum juga terlaksana sampai sekarang, yang dimulai

dari tahun 2003 hingga tahun 2015.

2. Faktor Diberhentikannya Proyek Pembangunan Monorel. Ketentuan

mengenai kepastian hukum dan kewajiban penyesuaian kontrak konstruksi

terhadap pembangunan proyek monorel tidak jelas dengan kata lain

ambigu. Dapat kita lihat dalam posisi kasus yang menjadi faktor

dihentikannya proyek pembangunan monorel bahwa kesepakatan yang

ditandatangani oleh PT. Jakarta Monorel atas pembayaran progres yang

telah dilaksanakan oleh Adhi Karya (Tbk) senilai USD14,020,122.03 yang

harus dibayar oleh PT. Jakarta Monorel. Atas seluruh progres pekerjaan

tersebut Adhi Karya (Tbk) belum menerima pembayaran dari PT. Jakarta

Monorel, dengan tidak ada progres pembayaran tersebut pekerjaan

konstruksi dihentikan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian masih diterdapat beberapa hal

permasalahan yang belum terjawab dan penulis bermaksud memberikan

beberapa saran sebagai berikut :

1. Perlu adanya penegasan undang-undang dalam hal peraturan yang

mengatur penyesuaian kontrak konstruksi unntuk mengaturnya. Sehingga

kewajiban penyelesaian proyek monorel Jakarta dilaksanakan tanpa 84

adanya permasalahan-permasalahan yang timbul atau yang tidak sesuai

dari undang-undang yang mengaturnya.

2. Perlu adanya kejelasan mengenai posisi pemerintah, karena posisi

pemerintah masih rancu ketika harus melaksanakan kewajiban

pembangunan proyek monorel tersebut. Pemerintah tidak hanya sebagai

pemberi izin, akan tetapi bertindak juga sebagai partner usaha dan

melaksanakan pengelolaan proyek tersebut.

3. Diperlukan rumusan sanksi yang tegas dan jelas ketika pemegang tender

dan pemerintah tidak dapat melaksanakan ketentuan dan kewajiban dari

pembangunan proyek monorel tersebut. Selain sanksi yang tegas

dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk melaksanakannya.

Dalam hal mekanisme pengalihan pemegang tender, diperlukan perjanjian yang jelas dalam kriteria penentuan aset yang akan dialihkan kepada pemegang tender selanjutnya. Penentuan asset yang akan dialihkan harus dengan dasar hukum yang kuat serta berlandaskan asas keadilan, agar tidak ada pihak yang dirugikan. 85

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Cet-12. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Chand, Hari. Modern Jurisprudence, Cet-3.Kuala Lumpur: International Law Bookstore, 1994. Djokomartono, RDkk.Hukum Kontrak Konstruksi Dan Nonkontruksi, jakarta: Kerukunan Pensiunan Dpartemen Keuangan/KPDK Pusat Bekerja Sama Dengan Badan Kajian Dan Pengembangan Jasa Konstruksi, 2013.

Fuady, Munir. Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Cet-pertama. Bandung :PT. Citra Aditya Bakti, 1998.

HS, Salim, Dkk. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Cet-1. Jakarta: Sinar Grafika, 2007 . Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cet- kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2003

Joesoef, Iwan E. Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) Sebagai Kontrak Bisnis Berdimensi Publik Antara Pemerintah Dengan Investor (Swasta) Dalam Proyek Infrastruktur, Cet-Pertama. Jakarta: Gebyar Basuki/ Cintya Press, 2006.

Marhainis, Abdul Hay. Hukum Perdata Materil. Cet-keempat. Jakarta :Pradnya Paramita, 2004. Martokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Cet- Pertama.Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002.

. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Cet-1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti-Bersama Dengan: Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan The Asia Foundation, 1993.

Marzuki, Peter Mahmudi. Penelitian Hukum,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005. 86

. Pengantar Ilmu Hukum, Cet-pertama. Jakarta: Kencana, 2008.2016.

Nur, M Nasution. Manajemen Transportasi, Cet-pertama. Ghalia Indonesia: Jakarta, 2004.

Raharjo, Sutjipto. IlmuHukum, Cet Ke-5. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Rasjidi, Lilidan Ira Thania Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Cet III. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004.

Sahab, Hamid. Aspek Hukum Dalam Sengketa Bidang Konstruksi, cet-1. Jakarta: Djembatan, 1996.

Sakamoto, Ko. pembiayaan transportasi perkotaan yang berkelanjutan, Cet Pertama. Germany: Eschborn, 2011. Subekti. Hukum Perjanjina, Cet-19. Jakarta: PT Intermasa, 2002.

.Hukum Perjanjian, Cet VIII. Jakarta: PT Intermasa, 2012.

Sudarsono. Kamus Hukum. Cet-pertama. Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&B. Cet-14. Bandung: Alfabeta, 2009.

Suwandi, Sarwiji. Semantik Pengantar Kajian Makna, Cet-Pertama. Yogyakarta: Media Perkasa, 2008.

W, Friedmann. Legal Theory. Cet Pertama. London: Stevens & Sons Limited, 1960.

Yasin, Nazarkhan. Kontrak Konstruksi di Indonesia, Cet-Pertama, Edisi Ke-2. Jakarta: PT.Gramedia Utama, 2014.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tanggal 7 Mei 1999 tentang jasa konstruksi.

Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor. 12 /2011. Tantang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 87

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, LN No. 45 tahun 1999, TLN. No. 3833, pasal. 13.

Peraturan Pemerintah Nomor28 tahun 2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah Nomor30 tahun 2000 Tentang penyelenggaraan pembinaan jasa konstruksi.

Peraturan Pemerintah Nomor04 tahun 2010 Tentang perubahan atas PP No. 28 Tahun 2000.

Peraturan Pemerintah Nomor59 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah Nomor92 Tahun 2010 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa konstruksi.

Keppres Nomor 80 Tahun 2003, terdapat pengaturan mengenai perjanjian pengadaan barang/jasa yang harus dibuat secara tertulis (kontrak).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

C. Jurnal, Makalah, Laporan

Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wahana Hijau VOL. 1. NO. 3. April 2006, Universitas Sumatra Utara.

Laporan Dinas Kebersihan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Jl. Mandala V NO.67

PT. Insan Mandiri Konsultan. Laporan Akhir: Penyusunan Rencana Induk Pembangunan Angkutan Umun Berbahan Bakar Alternatif.

Laporan Penataan Ruang dan Pembangunan Perkotaan Jabotabek dan Turunannya Sepanjang Sejarah, Oleh Hendropranoto Suselo. 88

MRT: Angkutan perkotaan masa depan. Oleh Delik Hudalah dan Yudistira Pratama.

Laporan Utama Jakarta Kiprah Volume 53 th XII | November-Desember 2012.

Laporan Pembiayaan Untuk Sarana Transportasi Massal di DKI Jakarta, Kebijakan Publik Tugas 4 Mei 2009.

Laporan (IPKC Monorail Round Table) Tanggal 28 Pebruari 2013.

D. Skripsi

Skripsi Johan, FakultaTeknik UI, otomatisasi system transportasi monorail berbasis teknologi multi-agen, Tahun 2008 E. Internet

http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/2085/1/monorel.di.jakarta,dikutip:26 /januai pukul, 15.34 wib.

https://sites.google.com/site/operasiproduk/evaluasi-audit-pelaporan- penghentian-proyek, Dikutip: jum’at 10/April, 09.45 wib.

http://kuliahinsinyur.blogspot.com/2012/06/hukum-konstruksi- diindonesia.html?m=1, Dikutip: jum’at 10/April, 09.45 wib.

http://id.m.wikipedia.org/wiki/monorel, Dikutip: jum’at 10/April, 09.45 wib.

http://jadwaltraining.co.id/training-hukum-konstruksi-dan-kontrak- konstruksi/, dikutip:rabu 03 juni 2015, pukul: 17.30.

Webmuhammadiyah.blokspot.com/2014/03/pengertian-hukum-secara-umum- paling.html?m=1. Dikutip: 29 mei 2015.pukul: 23.50

http://struktursivil12.blogspot.com/2014/03/pengertian-konstruksi- bangunan.html, dikutip ; 06 juni 2015, pukul: 17.56.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/properti.htm. Dikutip 16 juni 2015 pukul; 16.15 wib.

http://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/. Diakses 27 mei 2015. pukul 16.30 wib. 89

http://sciencebooth.com/2013/05/27/pengertian-prestasi-dan-wanprestasi- dalam-hukum-kontrak/, dikutip: 06 juni 2015, pukul: 18.15. http://id.m.wikipedia.org/wiki/monorel, Dikutip: jum’at 10/April, 09.45 wib. 90

PRESS RELEASE

PT ADHI KARYA (Persero) Tbk. ATAS PROYEK MONOREL JAKARTA Piutang ADHI pada PT Jakarta Monorail

Jakarta, 12 Februari 2013 - PT Jakarta Monorail (PT JM) adalah Investor pada Proyek Monorail di Jakarta dan PT ADHI KARYA (Persero) Tbk. (ADHI) merupakan Kontraktor Pelaksana Design & Build untuk pekerjaan civil & structure proyek tersebut. ADHI telah melaksanakan sebagian pekerjaan tersebut sejak tahun 2005 sampai dengan awal tahun 2008, namun sampai dengan saat ini belum pernah menerima pembayaran dari PT JM. Atas permasalahan tersebut, telah ada kesepakatan penyelesaian antara ADHI dengan PT JM sebagaimana tertuang dalam Akta tertanggal 15 Mei 2008 dan telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 617/Pdt.G/2008/PN.JKT- SEL tanggal 22 Mei 2008, yang salah satu isi putusannya menyatakan bahwa Jumlah seluruh kewajiban yang menjadi tanggung jawab PT JM adalah sebesar: Pekerjaan design dan konstruksi = USD 14.020,122,03 (di luarPPN) Bunga kelalaian = USD 2.329.579 Total = USD 16.349.701,03 Mengingat tidak ada realisasi pembayaran setelah adanya Akta Perdamaian, ADHI pada tanggal 15 Mei 2012 mengajukan gugatan kepada PT JM dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:296/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel tanggal 11September 2012, yang salah satu isi putusannya menyatakan bahwa ADHI adalah pemilik dan satu-satunya pihak yang paling berhak atas gambar-gambar konstruksi dan bangunan pondasi hingga tiang konstruksi monorail. Pada tanggal 9 Januari 2013, ADHI mengadakan pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta dimana dalam pertemuan tersebut Gubernur DKI Jakarta menyampaikan bahwa kelanjutan pembangunan monorail terutama jalur green line akan dilaksanakan oleh PT JM, adapun tiang2 yang telah dibangun oleh ADHI akan diselesaikan pembayarannya oleh PT JM dalam jangka waktu satu bulan. 91

Menindaklanjuti hal tersebut, ADHI telah mengadakan pertemuan dengan PT JM sebanyak 3 (tiga) kali, dan mengingat ADHI merupakan perusahaan Tbk., telah disepakati bersama penilaian atas biaya yang telah dikeluarkan terkait Proyek Monorail akan dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dan ADHI telah menunjuk KJPP Amin, Nirwan, Alfiantori & Rekan (KJPP ANA). Pada tanggal 7 Februari 2013, KJPP ANA telah menerbitkan Laporan Ringkas Penilaian Progress Pekerjaan Proyek Jakarta Monorel per 31 Januari 2013 yaitu senilai Rp193.662.000.000 (seratus sembilan puluh tiga milyar enam ratus enam puluh dua juta rupiah). Hasil penilaian KJPP tersebut telah dikirim ke PT JM namun hingga saat ini belum ada tanggapan Kepemilikan Saham ADHI pada PT JM dan PT Indonesia Transit Central ADHI memiliki saham pada PT JM sebesar USD1.530.000 000 (satu juta lima ratus tiga puluh ribu dollar amerika serikat) atau 7,65% dari total saham PT JM dan pada PT Indonesia Transit Central (PT ITC) yang merupakan pemegang saham mayoritas PT JM sebesar Rp3.440.000.000 (tiga milyar empat ratus empat puluh juta rupiah) atau 24,57% dari total saham ITC. ADHI menghendaki penyelesaian kedua hal tersebut secara bersamaan yaitu : Pekerjaan design dan konstruksi :Rp193.662.000.000 Saham di ITC :USD1.530.000. 000 Saham PT JM :Rp3.440.000.000 ***

Untuk informasi lebih lanjut,hubungi: Amrozi Hamidi Corporate Secretary PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Jl. Raya Pasar Minggu Km.18, Jakarta 12510 P. 797.5312 F.797.5311 M.0812.860.8218 W.www.adhi.co.id 92

Proyek Monorel DKI Jakarta

Jakarta, 21 Februari 2014-

Terkait dengan pemberitaan di media cetak maupun online tanggal 19 dan 20 Februari 2014, khususnya pemberitaan yang disampaikan oleh Komisaris Utama PT Jakarta Monorail (PT JM), Edward Soerjadjaja, bahwa ADHI menggelembungkan harga atas tiang-tiang monorel yang telah dibangun. Pemberitaan tersebut adalah salah dan tidak mempunyai dasar. Untuk itu, ADHI perlu meluruskan pemberitaan tersebut sebagai berikut:

Pada tahun 2005, ADHI memperoleh kontrak Design and Build Civil structure works Proyek Pembangunan Monorel dari PT JM dengan nilai sebesar USD224 juta (diluar PPN), yang kemudian di tahun 2007 diaddendum (perubahan) nilai kontraknya menjadi USD211 juta (diluar PPN).

Selama periode 2005 hingga Desember 2007, progress yang sudah diakui oleh PT JM yang ditandatangani oleh President Director PT JM dalam sertifikat pembayaran atau “Certificates of Interim Payment Up To December 2007” tertanggal 21 Januari 2008 senilai total USD14,020,122.03 yang harus dibayarkan ke ADHI, yang terdiri atas:

 Pekerjaan Persiapan, Pembongkaran, General Item,  Design & Engineering, Project Management,  Pekerjaan Pondasi, Tiang di Area Lintas,  Pekerjaan Pondasi dan Pilar di Area Stasiun Atas seluruh progres pekerjaan tersebut ADHI belum pernah menerima pembayaran dari PT JM. Dengan tidak adanya progres pembayaran, pekerjaan konstruksi dihentikan.

Sampai dengan saat pekerjaan dihentikan, untuk progress pekerjaan bangunan atas / gedung stasiun belum dimulai, sehingga memang secara fisik bangunan gedung tidak terlihat. Progress stasiun yang sudah dilaksanakan adalah sebagai berikut:

 Bored Pile: Plaza Senayan, Setia Budi Utara, Casablanca Interchange dan Pejompongan.  Pembesian Tiang: Grand Mulia.  Pengecoran Tiang: Kuningan Sentral, Taman Rasuna, Stadion Madya dan Palmerah. 93

Pada tanggal 15 Mei 2008, ADHI dan PT JM menandatangani akta perdamaian yang disahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.617/Pdt.G/2008/PN JKT tanggal 22 Mei 2008, menyebutkan bahwa PT JM mengakui pekerjaan design dan konstruksi proyek Jakarta Monorel yang dikerjakan ADHI dengan nilai USD14,020,122.03 dan bahwa PT JM dengan ini bersedia membayar bunga kelalaian/morator sebesar 10% per tahun sejak Desember 2005 s.d. Januari 2008 sebesar USD2,329,579.- dan untuk itu Tergugat (PT JM) setuju dengan pembayaran bunga 10% per tahun tersebut atau sebesar USD2,329,579.-.

Pada 20 Maret 2009, PT JM telah mengajukan nilai ganti rugi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas seluruh pengeluaran terkait dengan pelaksanaan proyek sebesar Rp79 juta + USD58 juta + GBP69 ribu. Dalam pengajuan klaim tersebut, PT JM mencatat Pekerjaan Konstruksi oleh ADHI sebesar USD14,020,122.03 (diluar PPN).

Atas pengajuan ganti rugi oleh PT JM, Pemprov DKI meminta Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP) melakukan due diligence dan pada tanggal 21 April 2010, BPKP mengeluarkan hasil due diligence yang menyatakan porsi pekerjaan yang telah dilakukan ADHI adalah sebesar USD14,887,252.20 dikurangi Rp233.188.159.

Pada Aspek Teknis, BPKP menyatakan bahwa “berdasarkan reviu, analisa dan hasil pengujian yang dilakukan ahli teknis dinyatakan bahwa secara keseluruhan hasil pekerjaan konstruksi tersebut memenuhi standard an layak sesuai dengan desain teknis untuk beban gandar kereta setara dengan 10 ton dalam kondisi crash peak load.”

Pada tanggal 21 September 2011 Pemprov DKI mengirimkan surat tentang Pengakhiran Perjanjian Kerja Sama antara Pemprov DKI dengan PT JM. Mengingat bangunan konstruksi yang telah dikerjakan oleh ADHI belum pernah dibayar oleh PT JM dan untuk mengamankan bangunan tersebut, ADHI mengajukan gugatan ke PT JM di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melakukan sita asset jaminan ata bangunan dan dokumen- dokumen terkait. Gugatan tersebut disetujui dan ditetapkan oleh PN Jakarta Selatan Nomor 296/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel tanggal 22 Oktober 2012.

Akhir tahun 2012 Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yang baru, yakni Bapak Joko Widodo dan Bapak Basuki Tjahja Purnama, berniat melanjutkan Proyek Monorel untuk memecahkan masalah kemacetan lalu lintas Jakarta. Sehubungan dengan hal tersebut, ADHI telah mengajukan proposal untuk mengurangi kemacetan Jakarta dengan menggunakan moda transportasi massal Monorel dengan Jalur antara lain :

 Bekasi – Cawang  Cibubur – Cawang  Cawang – Kuningan  Dukuh Atas – Kuningan – Semanggi – Senayan – Palmerah 94

Namun Pemprov DKI memilih untuk melanjutkan kembali Proyek Monorel Green Line dan Blue Line dibawah kontrak konsesi dengan PT JM. Meskipun ADHI bersama-sama dengan BUMN lain (Konsorsium BUMN) mampu untuk menyelesaikan proyek tersebut, sesuai himbauan Menteri BUMN, ADHI menerima keputusan tersebut dan memutuskan untuk fokus pada jalur, yang menurut analisa ADHI paling membutuhkan angkutan massal, sebagai berikut:

 Bekasi – Cawang  Cibubur – Cawang  Cawang – Kuningan

Selanjutnya ADHI meminta Pemprov DKI bahwa PT JM harus menyelesaikan terlebih dahulu pembayaran atas bangunan konstruksi yang telah dibangun ADHI sebelum dapat melanjutkan Proyektersebut.

Atas keputusan tersebut, ADHI melakukan beberapa kali pertemuan dengan PT JM maupun Ortus Holding sebagai pemegang saham utama PT JM yang baru dimana disepakati untuk menunjuk appraisal independen dalam penyelesaian perhitungan nilai tiang monorel sebagaimana tercantum dalam notulensi pertemuan yang ditandatangani oleh pihak ADHI dan PT JM tanggal 25 Januari 2013, yang kemudian dipertegas dengan pertemuan berikutnya pada tanggal 5 Februari 2013 yang mennyatakan bahwa valuasi sedang dilakukan oleh KJPP Amin Nirwan Alfiantori & Rekan.

Hasil penilai independen yang ditunjuk bersama oleh ADHI dan PT JM menyimpulkan bahwa Nilai Konstruksi Monorel per 31 Januari 2013 adalah senilai Rp193.662.000.000,-. Yang mana dalam pertemuan selanjutnya antara ADHI dan PT JM, disepakati nilai pembayaran tiang monorel dan dokumen-dokumen pendukungnya adalah sebesar Rp190 miliar sudah termasuk PPN, sebagaimana tercantum dalam notulensi rapat tanggal 18 Maret 2013 yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Meskipun sudah ada kesepakatan tersebut, PT JM melalui suratnya tanggal 30 Oktober 2013 menawarkan akan membayar berdasarkan hasil due diligence oleh BPKP tanggal 21 April 2010. Dimana berdasarkan penafsiran sepihak PT JM, nilai pembayaran kepada ADHI sebesar USD 14,887.22 – IDR 233,188,159 akan dibayar sebesar IDR 130 Milyar, yaitu menggunakan kurs nilai pada saat BPKP menerbitkan hasil due diligence April 2010 (1 USD = IDR 9,161).

Melalui surat tanggal 16 Desember 2013, ADHI mohon kepada Gubernur DKI untuk meminta kesediaan BPKP, selaku instansi yang menerbitkan laporan, melakukan penafsiran atas hasil audit BPKP tanggal 21 April 2010.

Berdasarkan urutan kronologis di atas, dimulai sejak pengakuan pekerjaan konstruksi melalui sertifikat pembayaran di tahun 2005 hingga notulensi bersama di tahun 2013, didukung dengan laporan serta dokumen tertulis berbagai pihak (termasuk PT JM sendiri), sampai saat 95 ini ADHI belum menerima pembayaran dari PT JM atas pengerjaan tiang-tiang monorel tersebut.

ADHI terus berupaya agar proses pembayaran dapat terselesaikan sesuai dengan asas keadilan dan berpegang pada proses hukum yang berlaku. Sebagai perusahaan publik yang mengedepankan prinsip transparansi dan tanggung jawab, ADHI berharap penjelasan tersebut di atas dapat meluruskan pemberitaan terkait kelanjutan Proyek Monorel belakangan ini yang terkesan memojokkan dan merugikan ADHI.

*** Untuk informasi lebih lanjut, hubungi : M. Aprindy CorporateSecretary PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Jl. Raya Pasar Minggu Km.18, Jakarta 12510 P.797.5312 F.797.5311 M.0812.1222.112 W.www.adhi.co.d Disclaimer: Important Notice  Dokumen ini dipersiapkan hanya untuk pihak yang hadir dengan tujuan diskusi. Dokumen ini beserta isinya hanya boleh direproduksi, diungkapkan atau digunakan dengan persetujuan tertulis PT Adhi Karya (Persero) Tbk.  Dokumen ini dapat berisi pernyataan yang memproyeksikan harapan dan ekspektasi masa depan, yang mewakili keadaaan Perusahaan saat ini dengan kemungkinan kejadian di masa yang akan datang dan perencanaan keuangan. Proyeksi tersebut dibuat berdasarkan asumsi dan data yang tersedia pada saat data ini dibuat, yang mengandung risiko dan dapat berubah sewaktu-waktu. PT Adhi Karya (Persero) Tbk. atau pihak terkait lainnya terbebas dari tanggung jawab atau kerugian yang muncul akibat penggunaan dokumen ini maupun isinya atau yang terhubung dengannya. 96

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 103 TAHUN 2006

TENTANG PEMBERIAN JAMINAN PEMERINTAH

UNTUK PEMBANGUNAN PROYEK MONORAIL JAKARTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pertumbuhan kawasan perkotaan dan meningkatnya populasi penduduk di Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang sangat pesat, telah menimbulkan permasalahan khususnya di bidang transportasi;

b. bahwa permasalahan transportasi di Provinsi DKI Jakarta tersebut, telah mengganggu kelancaran aktivitas penduduk di Provinsi DKI Jakarta pada umumnya, sehingga mempengaruhi citra Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia;

c. bahwa untuk mengatasi permasalahan transportasi di Provinsi DKI Jakarta dimaksud, dipandang perlu membangun suatu sarana angkutan massal yang mampu melayani pergerakan manusia di kawasan perkotaan;

d. bahwa sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, pembangunan angkutan massal di daerah Provinsi DKI Jakarta tersebut perlu mendapat dukungan pemerintah dalam bentuk pemberian jaminan;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pemberian Jaminan Pemerintah Untuk Pembangunan proyek Monorail Jakarta;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 97

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479);

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PEMBERIAN JAMINAN PEMERINTAH UNTUK PEMBANGUNAN PROYEK MONORAIL JAKARTA. Pasal 1 (1) Terhadap pembangunan Proyek Monorail Jakarta yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta melalui kerjasama dengan Badan Usaha, Pemerintah dapat memberikan jaminan.

(2) Jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari shortfall atas batas penumpang minimum sebanyak 160.000 (seratus enam puluh ribu) penumpang per hari atau 50% (lima puluh perseratus) dari nilai maksimum sebesar USD 22,500,000 (dua puluh dua juta lima ratus ribu dolar Amerika) per tahun selama 5 (lima) tahun.

(3) Pemberian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh Menteri Keuangan setelah memperoleh kepastian kesanggupan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjamin 50% (lima puluh perseratus) sisa nilai penjaminan yang tidak dijamin oleh Pemerintah, dan memenuhi persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 98

Pasal 2

Pelaksanaan jaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dilakukan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut bagi pelaksanaan Peraturan Presiden ini ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 4

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 13 Desember 2006

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 99

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 18 TAHUN 1999

TENTANG JASA KONSTRUKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:

a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional; c. bahwa berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku belum berorientasi baik kepada kepentingan pengembangan jasa konstruksi sesuai dengan karakteristiknya, yang mengakibatkan kurang berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal, maupun bagi kepentingan masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c diperlukan Undang- undang tentang Jasa Konstruksi; Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan

1. jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi; 2. pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain; 100

3. pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi; 4. penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi; 5. kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; 6. kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa; 7. forum jasa konstruksi adalah sarana komunikasi dan konsultasi antara masyarakat jasa konstruksi dan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah jasa konstruksi nasional yang bersifat nasional, independen, dan mandiri; 8. registrasi adalah suatu kegiatan untuk menentukan kompetensi profesi keahlian dan keterampilan tertentu, orang perseorangan dan badan usaha untuk menentukan izin usaha sesuai klasifikasi dan kualifikasi yang diwujudkan dalam sertifikat; 9. perencana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik lain; 10. pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain; 11. pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2

Pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pasal 3

Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk

 memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas; 101

 mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi. BAB III USAHA

JASA KONSTRUKSI Bagian Pertama Jenis, Bentuk, dan Bidang Usaha Pasal 4

1. Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi, dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. 2. Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi. 3. Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi. 4. Usaha pengawasan konstruksi memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi. Pasal 5

1. Usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha. 2. Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil. 3. Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku perencana konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya. 4. Pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan. Pasal 6

Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil dan/atau mekanikal dan/atau elektrikal dan/atau tata lingkungan, masing-masing beserta kelengkapannya. 102

Pasal 7

Ketentuan tentang jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), bentuk usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua Persyaratan Usaha, Keahlian, dan Keterampilan

Pasal 8

Perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus a. memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi; b. memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi.

Pasal 9

1. Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keahlian. 2. Pelaksana konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan sertifikat keahlian kerja. 3. Orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai perencana konstruksi atau pengawas konstruksi atau tenaga tertentu dalam badan usaha pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keahlian. 4. Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja. Pasal 10

Ketentuan mengenai penyelenggaraan perizinan usaha, klasifikasi usaha, kualifikasi usaha, sertifikasi keterampilan, dan sertifikasi keahlian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Bagian Ketiga Tanggung Jawab Profesional Pasal 11

1. Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya. 2. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai dengan kaidah keilmuan, kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap mengutamakan kepentingan umum. 103

3. Untuk mewujudkan terpenuhinya tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditempuh melalui mekanisme pertanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Keempat Pengembangan Usaha Pasal 12

1. Usaha jasa konstruksi dikembangkan untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh dan efisien melalui kemitraan yang sinergis antara usaha yang besar, menengah, dan kecil serta antara usaha yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu. 2. Usaha perencanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi dikembangkan ke arah usaha yang bersifat umum dan spesialis. 3. Usaha pelaksanaan konstruksi dikembangkan ke arah: a. usaha yang bersifat umum dan spesialis; b. usaha orang perseorangan yang berketerampilan kerja. Pasal 13

Untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi diperlukan dukungan dari mitra usaha melalui:

1. perluasan dan peningkatan akses terhadap sumber pendanaan, serta kemudahan persyaratan dalam pendanaan, 2. pengembangan jenis usaha pertanggungan untuk mengatasi risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan. BAB IV

PENGIKATAN PEKERJAAN KONSTRUKSI

Bagian Pertama Para Pihak

Pasal 14

Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari: a. pengguna jasa; b. penyedia jasa.

Pasal 15

1. Pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dapat menunjuk wakil untuk melaksanakan kepentingannya dalam pekerjaan konstruksi. 2. Pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan konstruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank. 104

3. Bukti kemampuan membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwujudkan dalam bentuk lain yang disepakati dengan mempertimbangkan lokasi, tingkat kompleksitas, besaran biaya, dan/atau fungsi bangunan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara pengguna jasa dan penyedia jasa. 4. Jika pengguna jasa adalah Pemerintah, pembuktian kemampuan untuk membayar diwujudkan dalam dokumen tentang ketersediaan anggaran. 5. Pengguna jasa harus memenuhi kelengkapan yang dipersyaratkan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Pasal 16

1. Penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b terdiri dari: a. perencana konstruksi; b. pelaksana konstruksi; c. pengawas konstruksi. 2. Layanan jasa yang dilakukan oleh penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tiap-tiap penyedia jasa secara terpisah dalam pekerjaan konstruksi. 3. Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dapat dilakukan secara terintegrasi dengan memperhatikan besaran pekerjaan atau biaya, penggunaan teknologi canggih, serta risiko besar bagi para pihak ataupun kepentingan umum dalam satu pekerjaan konstruksi. Bagian Kedua Pengikatan Para Pihak Pasal 17

1. Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas. 2. Pelelangan terbatas hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang dinyatakan telah lulus prakualifikasi. 3. Dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung. 4. Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa. 5. Pemilihan penyedia jasa hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9. 6. Badan-badan usaha yang dimiliki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan. Pasal 18

1. Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup: 105

a. menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuan- ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dapat dipahami; b. menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan. 2. Dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun dokumen penawaran berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan kepada pengguna jasa. 3. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat mengikat bagi kedua pihak dan salah satu pihak tidak dapat mengubah dokumen tersebut secara sepihak sampai dengan penandatanganan kontrak kerja konstruksi. 4. Pengguna jasa dan penyedia jasa harus menindaklanjuti penetapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan suatu kontrak kerja konstruksi untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang serta dilandasi dengan itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pasal 19

Jika pengguna jasa mengubah atau membatalkan penetapan tertulis, atau penyedia jasa mengundurkan diri setelah diterbitkannya penetapan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, maka pihak yang mengubah atau membatalkan penetapan, atau mengundurkan diri wajib dikenai ganti rugi atau bisa dituntut secara hukum.

Pasal 20

Pengguna jasa dilarang memberikan pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk mengerjakan satu pekerjaan konstruksi pada lokasi dan dalam kurun waktu yang sama tanpa melalui pelelangan umum ataupun pelelangan terbatas.

Pasal 21

(1) Ketentuan mengenai pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berlaku juga dalam pengikatan antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa. (2) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, penerbitan dokumen dan penetapan penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Kontrak Kerja Konstruksi Pasal 22

(1) Pengaturan hubungan kerja berdasarkan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. (2) Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai: a. para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak; 106

b. rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan; c. masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa; d. tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi; e. hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi. f. cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi; g. cidera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan; h. penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; i. pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak; j. keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. k. kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan; l. perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; m. aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan. (3) Kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual; (4) Kontrak kerja konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif. (5) Kontrak kerja konstruksi untuk kegiatan pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi, dapat memuat ketentuan tentang sub penyedia jasa serta pemasok bahan dan atau komponen bangunan dan atau peralatan yang harus memenuhi standar yang berlaku. (6) Kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. (7) Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dengan subpenyedia jasa. 107

(8) Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hak atas kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan mengenai pemasok dan/ atau komponen bahan bangunan dan/atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB V

PENYELENGGARAAN PEKERJAAN KONSTRUKSI Pasal 23

1. Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi meliputi tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan beserta pengawasannya yang masing-masing tahap dilaksanakan melalui kegiatan penyiapan, pengerjaan, dan pengakhiran. 2. Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 3. Para pihak dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan untuk menjamin berlangsungnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 4. Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 24

1. Penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dapat menggunakan sub penyedia jasa yang mempunyai keahlian khusus sesuai dengan masing-masing tahapan pekerjaan konstruksi. 2. Subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9. 3. Penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi hak-hak subpenyedia jasa sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa. 4. Subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi kewajiban- kewajibannya sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa. BAB VI

KEGAGALAN BANGUNAN Pasal 25

1. Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. 108

2. Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. 3. Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli. Pasal 26

1. Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan perencana atau pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi. 2. Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi. Pasal 27

Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pengguna jasa dalam pengelolaan bangunan dan hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pengguna jasa wajib bertanggung jawab dan dikenai ganti rugi.

Pasal 28

Ketentuan mengenai jangka waktu dan penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, tanggung jawab perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 serta tanggung jawab pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB VII PERAN MASYARAKAT Bagian Pertama Hak dan Kewajiban

Pasal 29

Masyarakat berhak untuk: a. melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi; b. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Pasal 30

Masyarakat berkewajiban: a. menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang pelaksanaan jasa konstruksi; b. turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum. 109

Bagian Kedua Masyarakat Jasa Konstruksi Pasal 31

1. Masyarakat jasa konstruksi merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha dan pekerjaan jasa konstruksi. 2. Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui suatu forum jasa konstruksi. 3. Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri. Pasal 32

(1) Forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) terdiri atas unsur-unsur: a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi; b. asosiasi profesi jasa konstruksi; c. asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha jasa konstruksi; d. masyarakat intelektual; e. organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dan berkepentingan di bidang jasa konstruksi dan/atau yang mewakili konsumen jasa konstruksi; f. instansi Pemerintah; dan g. unsur-unsur lain yang dianggap perlu. (2) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya menumbuhkembangkan usaha jasa konstruksi nasional yang berfungsi untuk: a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; b. membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan jasa konstruksi nasional; c. tumbuh dan berkembangnya peran pengawasan masyarakat; d. memberi masukan kepada Pemerintah dalam merumuskan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. Pasal 33

(1) Lembaga sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (3) beranggotakan wakil-wakil dari: a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi; b. asosiasi profesi jasa konstruksi; c. pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan bidang jasa konstruksi; dan d. instansi Pemerintah yang terkait. (2) Tugas lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: 110

a. melakukan atau mendorong penelitian dan pengembangan jasa konstruksi; b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi; c. melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja; d. melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi; e. mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi. (3) Untuk mendukung kegiatannya, lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengusahakan perolehan dana dari masyarakat jasa konstruksi yang berkepentingan. Pasal 34

Ketentuan mengenai forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB VIII PEMBINAAN Pasal 35

1. Pemerintah melakukan pembinaan jasa konstruksi dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. 2. Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan peraturan perundang-undangan dan standar-standar teknis. 3. Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap usaha jasa konstruksi dan masyarakat untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam pelaksanaan jasa konstruksi. 4. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk menjamin terwujudnya ketertiban jasa konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat jasa konstruksi. 6. Sebagian tugas pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB IX PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Pertama U m u m Pasal 36

1. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. 2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 111

3. Jika dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Pasal 37

1. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah- masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan. 2. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jasa pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak. 3. Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau masyarakat jasa konstruksi. Bagian Ketiga Gugatan Masyarakat Pasal 38

1. Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara: a. orang perseorangan; b. kelompok orang dengan pemberian kuasa; c. kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan. 2. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi peri kehidupan pokok masyarakat, Pemerintah wajib berpihak pada dan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Pasal 39

Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu dan/atau tuntutan berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 40

Tata cara pengajuan gugatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) diajukan oleh orang perseorangan, kelompok orang, atau lembaga kemasyarakatan dengan mengacu kepada Hukum Acara Perdata.

BAB X SANKSI Pasal 41

Penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana atas pelanggaran Undang-undang ini.

Pasal 42 112

(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada penyedia jasa berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi; c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; d. pembekuan izin usaha dan/atau profesi; e. pencabutan izin usaha dan/atau profesi.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada pengguna jasa berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi; c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; d. larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi; e. pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi; f. pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi. (3) Ketentuan mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 43

(1) Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak. (2) Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak. (3) Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak. BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 44

(1) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan jasa konstruksi yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai diadakan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini. (2) Penyedia jasa yang telah memperoleh perizinan sesuai dengan bidang usahanya dalam waktu 1 (satu) tahun menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, terhitung sejak diundangkannya. 113

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP Pasal 45

Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal yang sama dan bertentangan dengan ketentuan Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 46

Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini, dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Ttd

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 54

Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Jasa Konstruksi tersebut di atas beserta Penjelasannya telah mendapat persetujuan dalam Rapat Paripurna Terbuka ke - 57 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 22 April 1999 untuk disahkan menjadi Undang-undang.

Jakarta, 22 April 1999 WAKIL KETUA ttd

H. ISMAIL HASAN METAREUM, S.H