Untitled-3 1 5/24/2012 5:23:59 PM

Untitled-3 1 5/24/2012 5:23:59 PM

dengan dukungan: Lewat Djam Malam Diselamatkan

Penulis: Lintang Gitomartoyo, Totot Indrarto, Windu W Jusuf, Arie Kartikasari, Lee Chor Lin, Adrian Jonathan Pasaribu, Davide Pozzi, Lisabona Rahman, Amalia Sekarjati, Zhang Wenjie

Editor: Adrian Jonathan Pasaribu, JB Kristanto

Penerbit: Sahabat Sinematek Email: [email protected] Website: sahabatsinematek.org

Perancang Sampul: Rully Susanto Penata Letak: Dadang Kusmana

Lewat Djam Malam Diselamatkan x + 118 hlm ; 17 cm x 24 cm Daftar Isi

Pengantar vii Restorasi Lewat Djam Malam 1 Mencari Kembali Eratnya Hubungan -Singapura 3 Memulihkan Warisan Bersama 7 Tentang Proses Restorasi 9 Kronologi Restorasi Lewat Djam Malam 15 Penayangan Internasional Hasil Restorasi 21 Sebelum dan Sesudah Restorasi 25 Lewat Djam Malam 35 Kredit Lewat Djam Malam 37 Sinopsis Lewat Djam Malam 39 Tidak Mudah Menjadi Indonesia 41 Biografi: Usmar Ismail 51 Misbach Jusa Biran tentang Usmar Ismail dan Lewat Djam Malam 55 Revolusi, Impian, dan Jalan Buntu 67 Bulan Madu Panjang Militer dan Birokrasi 75 Sinematek Indonesia 85 Apa Kami Hanya Pantas Menonton Film-film Rusak? 87 Hanya 14 Persen yang Tersimpan dan dalam Kondisi Memprihatinkan 93 Inisiatif Warga Menyelamatkan Sejarah 103 Terima Kasih 109 Kredit Restorasi 112 Para Penulis 114 Panitia 117

Pengantar

Semuanya berawal dari persahabatan. Lisabona Rahman dari Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, yang bersama-sama mengerjakan buku Katalog Film Indonesia 2008, sudah lama mendesak saya untuk mengalihkan data-data buku Katalog Film Indonesia ke dalam bentuk media daring (online database). Ketika lembaga aktivis film Konfiden (Alex Sihar, Agus Mediarta, Dedy Arnov, Lintang Gitomartoyo) bersedia menjadi payung organisasi, maka tahun 2009 kami berdiskusi intens membuat peta rancangan web yang intinya adalah database film Indonesia yang ber­­sumber dari buku Katalog Film Indonesia dan data film pendek dan do­­kumenter yang dikumpulkan Konfiden. Rancangan peta ini sangat pen­ting sebelum membangun situs webnya supaya jelas alurnya, karena begitu­lah tuntutan alam internet. Di penghujung tahun itu, tepatnya 31 Desember 2009, muncul surel dari sahabat Singapura kami, Philip Cheah, sekarang jabatannya pemro­ gram/kurator pada lima festival film. Dia mengusulkan agar bukuKatalog Film Indonesia diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris. Dia se­dang membicarakan usulan ini kepada National Museum of Singapore untuk pembiayaannya. Tanggapan segera dilayangkan: bagai­mana kalau pem­biayaan itu dialihkan untuk penerjemahan data-data di situs web saja, karena situs web itu direncanakan tampil dalam dua bahasa. Gayung bersambut. Dalam surel berikutnya tertanggal 8 Januari 2010 Philip bukan hanya menyebutkan masalah penerjemahan buku dan situs web, tapi juga menyinggung “A special screening of one restored Indonesian classic film with English subtitles. After the screening, the museum will archive one 35 mm copy of the film” yang direncanakan diadakan pada Maret 2011. National Museum of Singapore nampaknya memang berniat untuk mengo­leksi bukan hanya harta budaya nasionalnya, tapi juga Asia Tenggara. Surel berikutnya,­ 12 Januari 2010, Philip meminta kami mengusulkan satu judul film Indonesia yang akan direstorasi. Maka muncul dengan spon­tan judul Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail yang bisa disebut seba­gai film terbaik sepanjang masa. Film ini bernilai tinggi bukan hanya karena nilai estetiknya, tapi juga nilai kesejarahannya. Sebagaimana dike­tahui, dibanding artefak budaya lain yang “pasif” dan menuntut imaji­nasi untuk memaknainya, maka film adalah artefak budaya yang “aktif”, hingga penonton bisa langsung berhadapan dengan masa lalu secara “hidup”. Semua sepakat dengan usulan itu. Berikutnya adalah kerja “adminis­ trasi dan birokrasi” baik di Indonesia maupun Singapura yang terkadang mem­buat semangat sempat menciut. Sahabat-sahabat Singapura lain: Lee Chor Lin, Zhang Wenjie, Teo Swee Leeng, Warren Sin, Low Zu Boon, dan Jasmine Low mengurus bagian mereka dan memilih L’Immagine Ritrovata, Bologna, Italia, satu-satunya laboratorium film khusus restorasi di dunia. Direktur laboratorium ini, Davide Pozzi, dan Cecilia Cenciarelli, staf World Cinema Foundation— lembaga bentukan sutradara ternama Martin Scorsese di Cannes 2007—yang kemudian mengadopsi film men­ jadi bagian dari sejarah sinema dunia, menjadi sahabat-sahabat baru da­ lam proses selanjutnya yang berlangsung setahun penuh. Di Sinematek Indonesia, ditemukan bahwa negatif asli Lewat Djam Malam masih ada, tapi negatif asli suaranya hanya ada delapan reel dari yang seharusnya sepuluh. Beruntung masih ada duplikat kopi positif dan negatif. Semuanya dalam kondisi yang memprihatinkan. Kopi negatif asli, duplikatnya, dan kopi positif yang terbaik disiapkan untuk dikirim ke Bologna. Pemberitahuan kepada ahli waris dilakukan, Direktur

viii Sinematek Indonesia Berthy L Ibrahim dilibatkan, begitu juga Bapak Sinematek Indonesia, Misbach Jusa Biran yang memberi latar belakang pem­buatan film itu. Rincian dari kisah restorasi bisa dibaca dalam artikel-artikel buku ini, baik mengenai kenapa restorasi film harus dilakukan maupun pro­ ses res­torasinya. Selain itu, buku ini menjadi lengkap dengan adanya pem­­bi­­caraan­ film Lewat Djam Malam itu sendiri yang dilakukan oleh sahabat-sahabat muda, hingga kita bisa mendapatkan perspektif lain. Tidak ketinggalan tulisan tentang Usmar Ismail dan warisannya untuk perfilman Indonesia. Dia meletakkan dasar estetika film Indonesia. Juga tentang kondisi Sinematek Indonesia dan koleksinya yang masih tetap memprihatinkan, padahal ini adalah harta karun bu­daya Indonesia. Sebagian masa lalu dan masa depan kita ada di sana. Karena itu, Lewat Djam Malam yang dibuat atas nama persahabatan dua bapak perfilman Indonesia, Usmar Ismail dan Djamaludin Malik, di­­res­torasi lewat sebuah persahabatan, akan diteruskan dengan Sahabat Sinematek, sebuah perkumpulan nirlaba yang berniat membantu Sinematek Indonesia dengan cara persahabatan seperti yang telah dilaku­ kan dengan restorasi Lewat Djam Malam. Semoga persahabatan ini makin meluas.

JB Kristanto

ix

Restorasi Lewat Djam Malam Lee Chor Lin pada pembukaan pekan film Merdeka! di National Museum of Singapore. Mencari Kembali Eratnya Hubungan Indonesia-Singapura

Lee Chor Lin

Rasa syukur kami panjatkan pada sahabat-sahabat kami di Indonesia, atas kesempatan yang diberikan untuk bekerja sama merestorasi Lewat Djam Malam. Meski kita sudah punya cukup informasi perihal signifikansi historis serta pencapaian artistik Lewat Djam Malam, baru setelah proyek restorasi kita bisa mengapresiasi secara utuh apa yang ingin disampaikan bapak perfilman Indonesia ini, mulai dari konfrontasinya yang berani terhadap hantu-hantu revolusi, hingga penggambarannya yang jujur akan konflik batin para individu yang terjebak dalam pusaran sejarah. Sebagai institusi nasional yang berdedikasi pada sejarah Singapura, kami terdorong oleh kebutuhan mendesak untuk menjaga warisan ber­ sama sejarah film di Asia Tenggara. Karena itulah kami terlibat dalam pro­yek restorasi ini. Kami juga tergerak oleh semangat dan keteguhan teman-teman kami di Indonesia, yang mampu mengatasi halangan- halangan­ teknis dan birokratis untuk tujuan mulia. Kami tak punya alasan untuk tidak terlibat dalam kolaborasi ini. Takdir National Museum of Singapore, sebelumnya bernama Raffles Museum, tak bisa dipisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia. Hubungan his­to­ris dengan Indonesia sungguh terasa di National Museum Singapore. Ko­ leksi museum kami bermula dari sumbangan para antropologis dan biro­ kra­si kolonial yang mampir di Singapura di tengah perjalanan mereka ke Indonesia. Pada tahun 1910, kolonial Belanda mengasingkan raja-raja Riau dan Lingga. Di waktu yang sama, sejumlah artefak macam mangkuk dan piring perak berukiran abjad Jawi mulai terdaftar di katalog museum kami. Gedung National Museum Singapore sendiri berlokasi di kaki Bukit Larang­an (sekarang Fort Canning), di mana kerajaan Temasek dulu ber­se­mayam. Kami tahu kerajaan ini punya kedekatan dengan Jawa, mengingat ornamen-ornamen emas bergaya Majapahit pernah ditemukan di sekitar fondasi kuil dan pancuran di bukit ini. Ornamen- ornamen emas dan temuan lainnya menjadi pameran pertama kami di Galeri Seja­rah Singapura museum kami. Konon, nama Singapura berasal dari se­orang pangeran muda dari Palembang. Saat ia sedang berjalan di salah satu pesisir pulau ini, sebuah makhluk melompat di hadapannya. Ia ter­kesima dengan keanggunan dan kegagahan makhluk tersebut. Ter­ cetus­lah nama Singapura. Inilah episode singkat dari pertautan sejarah Indonesia dan bangsa kami. Akhir Maret tahun 2012, kami menyaksikan film Lewat Djam Malam yang hampir selesai direstorasi. Bersamaan dengan itu diputar juga dua film Usmar Ismail dan tiga karya Garin Nugroho. Retrospeksi kecil- kecilan ini bicara tentang arti kebangsaan di dua fase sejarah Indonesia, dan kami belajar banyak dari­nya. Meski penontonnya yang hadir tak bisa dibilang banyak, kami per­caya mereka datang karena mereka tahu dan peduli dengan Indonesia. Me­reka paham adanya warisan bersama dan sejarah di antara Indonesia dan Singapura, mengapresiasi pentingnya film macam Lewat Djam Malam, dan oleh karenanya menyambut

4 Restorasi Lewat Djam Malam gembira program kami yang berjudul­ Merdeka!. Kebetulan, “merdeka” adalah kata yang diserukan oleh leluhur kami ketika Singapura bebas dari penjajahan. Proyek restorasi film ini menjadi perjalanan mencari kembali erat­ nya hubungan kami dan dinamika perbedaan kami. Sekali lagi, kami ber­syukur akan kesempatan bekerja sama dengan orang-orang hebat: Bapak dan Ibu Irwan Usmar Ismail dari keluarga Usmar Ismail, Berthy L Ibrahim dari Sinematek Indonesia, JB Kristanto, Lintang Gitomartoyo dan Alex Sihar dari Yayasan Konfiden, Lisabona Rahman dari Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, serta L’Immagine Ritrovata Bologna.

Restorasi Lewat Djam Malam 5

Memulihkan Warisan Bersama

Zhang Wenjie dan Lisabona Rahman

Pada tahun 2010, kritikus film Philip Cheah dan JB Kristanto berkola­ ­ borasi dengan Yayasan Konfiden dan National Museum Singapore untuk menerjemahkan Katalog Film Indonesia, kumpulan data film Indonesia setebal 400 halaman, ke bahasa Inggris. Kolaborasi ini menghasilkan ide untuk merestorasi sebuah film Indonesia. Ketika diminta Cheah untuk memilih satu film Indonesia untuk direstorasi, Kristanto mengusulkan Lewat Djam Malam, karya Usmar Ismail tahun 1954. Selain terkesan dengan kualitas naratif serta signi­ fi­kansi historisnya, Kristanto percaya film tersebut memuat sejumlah wawasan penting tentang masyarakat Asia Tenggara dan transisinya men­jadi bangsa yang merdeka. Ketika judul film untuk direstorasi sudah diputuskan,­ Cheah bekerja sama dengan Konfiden dan Kineforum Dewan Ke­senian Jakarta untuk mengevaluasi ketersediaan dan kondisi filmnya di Sinematek Indonesia. Pada waktu bersamaan, National Museum Singapore mengontak L’Immagine Ritrovata, sebuah laboratorium resto­ rasi film terkemuka di Bologna, Italia, untuk mempersiapkan pemeriksaan elemen-elemen film Lewat Djam Malam. Hasil riset menunjukkan bahwa kopi negatif gambar dan suara Lewat Jam Malam sesungguhnya komplit, namun beberapa di antaranya dalam kondisi mengkhawatirkan, akibat kesalahan penanganan selama bertahun-tahun. Lewat Djam Malam sudah pernah dicetak ulang ke kopi positif di awal 90an untuk kebutuhan pemutaran, namun kerusakan dari kopi orisinil film juga turut tercetak di screening copies ini. Bagi yang sudah pernah menonton Lewat Djam Malam dengan screening copies tersebut, yang teringat pastilah gambar goyang, pencahayaan yang tak konsisten, goresan, serta suara yang buruk. Restu keluarga Usmar Ismail membuka jalan bagi National Museum Singapore, Konfiden, dan Kineforum untuk memulai proyek film Lewat Djam Malam. L’Immagine Ritrovata yang menjadi rekan kerja pun sudah berpengalaman dalam memperbaiki karya-karya penting sinema dunia, di antaranya adalah A Brighter Summer Day (Edward Yang, 1991) dan La Dolce Vita (Federico Fellini, 1960). Proses restorasi memakan waktu tujuh bulan dan lebih dari 2.500 jam reparasi digital hingga selesai. Pekerjaan restorasi yang ekstensif ini harus dijalani untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan kopi film Lewat Djam Malam, sehingga kualitas asli audio visual Lewat Djam Malam bisa dikembalikan. Karena filmnya direstorasi dari kopi asli, kita pun bisa menyaksikan kembali Lewat Djam Malam seperti yang diniatkan Usmar Ismail beberapa dekade silam. Lewat Djam Malam adalah proyek pertama restorasi film Indonesia secara penuh. Proyek ini diinisiasi berdasarkan misi untuk memulihkan wa­ris­an bersama sinema Asia Tenggara. Proyek ini menjadi contoh bagai­ ma­na kecintaan pada sinema bisa menyatukan organisasi dan individu dari berbagai suku bangsa, saling membantu untuk memajukan sinema Asia Tenggara. Medium film tidaklah abadi. Kualitasnya bisa menurun apa­ bila tidak dijaga dengan kondisi yang benar. Film-film di Asia Tenggara rawan mengalami hal tersebut karena kondisi iklim daerah ini. Mengingat sum­ber daya untuk pengarsipan dan restorasi film masih sangat terbatas di Asia Tenggara, penting bagi para pegiat sinema di daerah ini untuk be­kerja sama menjaga warisan bersama. Harta karun dari masa lalu kita patut­lah dijaga dan dipertahankan dalam berbagai arsip di Asia Tenggara. Inilah tanggung jawab kita untuk generasi penerus.

8 Restorasi Lewat Djam Malam Tentang Proses Restorasi

Davide Pozzi

Restorasi Lewat Djam Malam adalah proyek ambisius berskala inter­ nasio­nal yang melibatkan banyak orang dan lembaga. Di awal tahun 2011, L’Immagine Ritrovata dilibatkan sebagai laboratorium restorasi. Menger­jakan film-film dari berbagai negeri artinya mengurusi masalah- masalah spesifik terkait kondisi fisik dan iklim dari tempat asal sebuah film. Sejak awal kami sudah mengetahui betapa restorasi Lewat Djam Malam akan menjadi ikhtiar yang rumit dan intensif. Elemen-elemen film ini mengalami beberapa goresan, jamur dan jejak-jejak kelembaban, bagian-bagian yang rusak parah, frame yang hilang, serta vinegar syndrome, yakni sejenis pembusukan yang lazim terjadi pada film yang di­sim­pan dalam kondisi ruang yang lembab. Terjadi penyusutan pita, tekukan emulsi film, dan pembusukan sehingga sepanjang gambar di pita men­jadi nyaris transparan. Langkah pertama melibatkan proses riset yang men­dalam. Kami mempelajari dan membandingkan semua elemen film yang tersedia, yang terdiri dari pita negatif, interpositive, dan duplikat kopian negatif. Riset ini kemudian meluas seiring dengan ditemukannya unsur-unsur lain yang bisa dibandingkan, seperti kopi positif di mana kami menemukan soundtrack berdurasi 90 detik yang hilang dari semua Elemen-elemen film yang asli mengalami bermacam-macam kerusakan akibat kondisi penyimpanan sehingga gulungan pita seluloid melengkung dan dan menciut.

Sebelum proses pemindaian seluloid ke format digital, serangkaian perbaikan manual dilakukan, termasuk memperbaiki sambungan dan retakan seluloid.

10 Restorasi Lewat Djam Malam Serangkaian perangkat digital digunakan untuk menyingkirkan efek-efek jamur, kotoran, goresan, efek kelap-kelip (flicker) dari elemen-elemen asli film.

Setelah kerusakan diperbaiki secara digital, koreksi warna pun dilakukan supaya saturasi dan kedalaman optik antara warna hitam dan putih sesuai dengan karakteristik gambar yang asli.

Restorasi Lewat Djam Malam 11 Restorasi suara secara digital meliputi perbaikan atas ketidakhamonisan audio seperti clicks, crackle, noise, dan tingkatan suara yang tak seimbang.

elemen lain yang ada. Kami menggunakan penyuntingan komparatif (decoupage) untuk mendokumentasikan banyak sekali shot dalam setiap gulungan­ pita, yang meliputi informasi seperti deskripsi narasi, deskripsi fisik, jenis elemen dan stok film, serta kerusakan yang terjadi. Fungsi penyuntingan komparatif ini berfungsi sebagai penyangga dan rujukan kunci yang memberikan petunjuk rekonstruksi film selama proses restorasi. Langkah kedua melibatkan restorasi fisik elemen-elemen asli filmnya agar dapat dipindai ke dalam format restorasi digital. Karena elemen- elemen filmnya mengalami berbagai macam kerusakan fisik yang bakal mempengaruhi proses pemindaian, kami pun harus melakukan per­baikan manual agar kondisi film kembali optimal sehingga gambar yang ditangkap melalui pemindaian berikutnya mampu mendekati kualitas yang asli

12 Restorasi Lewat Djam Malam dan terbaik. Proses perbaikan manual juga dilakukan agar film dapat di­ masuk­kan ke alat pemindai tanpa harus menambah kerusakan. Langkah perbaikan ini terdiri dari merekatkan potongan pita, merekonstruksi lubang-lubang di pinggir pita dan menambal retakan. Semua elemen ter­ sebut juga dibersihkan dengan mesin pencuci ultrasonik. Selanjutnya uji coba dilakukan untuk membantu kami memilih elemen-elemen terbaik mana yang bisa direstorasi secara digital serta me­ nen­tu­kan resolusi yang diperlukan demi mendapatkan kualitas ter­baik. Kami memutuskan untuk memindai elemen film ke dalam resolusi 4K (sekitar 4096x3112 pixel per frame), karena resolusi tersebut memung­ ­ kinkan kami melakukan restorasi yang lebih jauh lagi sembari tetap menjaga kualitas asli filmnya. Setelah proses pemindaian selesai, restorasi digital pun baru bisa di­ mulai. Alur kerja restorasi digital kami biasanya dimulai dengan mem­ per­baiki ketidakstabilan dan flicker, kemudian berlanjut ke proses yang sa­ngat cermat di mana efek-efek vinegar syndrome, kotoran, dan cuka pada setiap frame diperiksa satu per satu dengan serangkaian dengan perangkat otomatis dan manual. Masing-masing dirapikan, diber­sihkan,­ dan warnanya dikoreksi sesuai dengan karakteristiknya, sehingga detail gambar asli tetap terjaga dan terekonstruksi seakurat mungkin. Untuk restorasi soundtrack secara digital, kurangnya keseragaman bahan yang tersedia serta rupa-rupa kondisi yang menyertainya menjadi masalah utama. Soundtrack negatif yang asli tercetak dalam sejumlah pita film yang berbeda dan dihasilkan dengan teknologi yang berbeda pula. Selain itu, dua gulung pita hilang dari negatif sountrack yang asli. Maka, kami pun harus mengambil suara dari kombinasi interpositive prints. Dua menit terakhir gulungan seluloid kelima hilang dari negatif soundtrack dan seluruh duplikat. Untungnya semua dapat ditemukan da­lam salah satu kopi positif. Soundtrack dipindai dengan menggunakan

Restorasi Lewat Djam Malam 13 tek­nologi laser, sementara restorasi audio secara digital meliputi beberapa ta­hap penyuntingan manual, de-clicker dan de-crackle beresolusi tinggi, dan beberapa lapis reduksi kebisingan secara otomatis. Di akhir restorasi, ada dua produk yang dihasilkan: seluloid 35mm yang baru dan paket format kamera digital. Kami senang dengan hasil yang diperoleh, namun yang lebih berharga dari itu, kami merasa ter­ hor­mat telah mendapatkan kesempatan untuk menyelamatkan film yang penting nilainya bagi sinema nasional Indonesia. Proyek ini pun menunjukkan­ pada betapa kesadaran dan inisiatif untuk merestorasi dan pemeliharaan film yang berkelanjutan amatlah penting. Lewat Djam Malam hanyalah satu dari episode dari luasnya sejarah sinema yang per­ lu direstorasi. Seiring berjalannya waktu, kondisi pita seluloid bakal te­ rus memburuk jika tidak ada upaya untuk pemeliharaan dan restorasi. Kita harus bertindak cepat. Untuk saat ini, sangat menggembirakan bah­ wa Lewat Djam Malam akan kembali ke layar lebar. Kedudukannya da­ lam sejarah sinema pun kembali diperkokoh.

14 Restorasi Lewat Djam Malam Kronologi Restorasi Lewat Djam Malam

L i n ta n g g I T o m a rt o y o d a n Adrian Jonathan Pasaribu

Januari 2010 Philip Cheah (National Museum of Singapore/NMS) mengontak JB Kristanto dan kemudian Lisabona Rahman (Kineforum Dewan Kesenian Jakarta) dengan tawaran untuk menerbitkan Katalog Film Indonesia karya JB Kristanto dalam bahasa Inggris. Penerbitan Katalog Film Indonesia versi Inggris ini rencananya akan dibarengi dengan pemutaran film Indonesia klasik yang sudah direstorasi. Sebelumnya, belum ada film Indonesia yang pernah direstorasi. Lisabona mengabari JB Kristanto perihal proyek restorasi ini. Setelah diskusi dan konsultasi, terpilihlah Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail sebagai judul yang akan direstorasi.

September 2010 Lisabona mengadakan riset perihal teknis dan ketersediaan fisik Lewat Djam Malam. Riset ini diperlukan agar NMS dapat memperkirakan bujet restorasi yang dibutuhkan. Hasil riset kondisi Lewat Djam Malam di koleksi Sinematek Indonesia: original negative 10 reel, kopi negatif suara 8 reel (reel 8 dan 9 hilang), duplikat positif dan negatif lengkap (masing-masing 10 reel). NMS mengontak L’Immagine Ritrovata untuk menjadi rekan kerja. L’Immagine Ritrovata merupakan laboratorium di Bologna, Italia, yang khusus mengerjakan restorasi film. Salah dua karya bersejarah yang pernah pulihkan oleh laboratorium ini adalah A Brighter Summer Day (Edward Yang, 1991) dan La Dolce Vita (Federico Fellini, 1960). Atas spesialisasi dan track record inilah, L’Immagine Ritrovata dipercaya NMS untuk merestorasi Lewat Djam Malam.

Januari 2011 NMS mengontak L’Immagine Ritrovata untuk bersiap mengadakan pemeriksaan materi filmLewat Djam Malam, untuk mengetahui seberapa jauh kerusakannya. Pengiriman materi untuk dites dilakukan pada tanggal 12 Januari oleh Lintang Gitomartoyo (Yayasan Konfiden). Materi yang dikirim adalah original negative (reel 1 dan 9), kopi duplikat negatif (reel 1 dan 9), negatif suara (reel 1), kopi duplikat positif (reel 1 dan 9). Total tujuh reel dikirim ke Bologna.

Maret 2011 Davide Pozzi, direktur L’Immagine, mempresentasikan hasil pemeriksaan materi film Lewat Djam Malam, 3-4 Maret di National Museum of Singapore. Indonesia diwakili oleh Lisabona dan Lintang, sementara NMS oleh Zhang Wenjie. Davide memaparkan bahwa permasalahan utama Lewat Djam Malam adalah jamur di seluloid film. Apabila tidak dita­ngani dengan benar, jamur ini bisa menyebabkan gambar di seluloid film hilang. Ada tiga pilihan hasil akhir restorasi yang ditawarkan: 2K, 3K, dan 4K. Davide menyiapkan sampel (berdurasi sepuluh menit) untuk masing- masing pilihan hasil akhir, untuk memberi gambaran seperti apa jadinya Lewat Djam Malam setelah direstorasi. Setelah diskusi dan konsultasi, NMS memilih proses restorasi digital yang sifatnya menurun per tahap kualitasnya. Proses film scanningdilakukan dengan kualitas 4K, kemudian

16 Restorasi Lewat Djam Malam dibersihkan, dirapikan, dan diperbaiki dengan kualitas 3K. Hasil akhirnya adalah seluloid dan DCP (digital cinema package) dengan kualitas 2K. Pilihan hasil akhir DCP kualitas 2K dikarenakan proyektor yang le­bih banyak dipakai (terutama di Asia Tenggara) adalah proyektor 2K. Pro­ yektor 4K masih terbatas. Hasil akhir berupa seluloid dipilih, karena masih di­anggap sebagai bentuk penyimpanan data yang paling baik dan awet.

Juni 2011 Tanda tangan surat persetujuan antara NMS dan Irwan Usmar Ismail, pihak keluarga Usmar Ismail sekaligus pemilik hak film Lewat Djam Malam. Tiga poin yang terangkum dalam kontrak: 1) film Lewat Djam Malam akan direstorasi dengan dana NMS di L’Immagine Ritrovata, Bologna, Italia, 2) Indonesia akan menerima 1 kopi positif 35 mm dan DCP, sementara pihak NMS mendapat 1 kopi positif hasil restorasi Lewat Djam Malam, dan 3) NMS berhak menggunakan hasil restorasi film ini untuk kegiatan non-komersial.

Agustus 2011 Pengiriman sisa materi film untuk direstorasi pada tanggal 19 Agustus oleh Lintang. Materi yang dikirim adalah: negatif gambar (reel 2-8 dan 10), negatif suara (reel 2-7 dan 10), duplikat negatif (reel 2-8 dan 10), duplikat positif (reel 2-8 dan 10), trailer (1 reel), title reel (1 reel). Total ada 33 reel yang dikirim ke Bologna. Lisabona mengirimkan film-film Usmar Ismail yang lain dalam bentuk DVD ke Bologna, sebagai acuan warna dan gambar bagi L’Immagine Ritrovata dalam merestorasi Lewat Djam Malam. Salah satu film yang dikirim adalah .

Januari 2012 Ketika berkunjung ke L’Immagine Ritrovata, Lisabona mengabarkan ada sua­ ra yang hilang pada menit ke-45 di reel lima. Durasi total suara yang hi­lang

Restorasi Lewat Djam Malam 17 adalah 1 menit 46 detik. Setelah diperiksa kembali, semua materi film Lewat Djam Malam yang dikirimkan ke Bologna memiliki cacat yang sama.

Februari 2012 L’Immagine mempresentasikan proses kerja restorasi Lewat Djam Malam, 7 Februari di National Museum of Singapore. Perwakilan dari Indonesia yang hadir adalah Irwan Usmar Ismail, JB Kristanto, dan Lintang. Film baru 70% direstorasi. Suara sudah selesai direstorasi (kecuali 1 menit 46 detik yang hilang), sementara restorasi gambar hanya setengah dari total reel keseluruhan. Dari presentasi ini, teridentifikasi dua masalah. Pertama, ada jamur- jamur yang tak dapat diangkat atau dikurangi sama sekali, karena jamur berada dalam frame-frame adegan yang mengandung gerakan di dalamnya. Pengangkatan jamur akan berdampak pada kualitas gambar. Kedua, belum ditemukan solusi untuk audio film yang hilang. Sempat muncul wacana untuk melakukan dubbing dan rekonstruksi suara, namun menurut pihak lab, hasilnya tidak akan sama. Solusi yang diajukan pihak lab adalah membuat dua subtitle sekaligus (bahasa Indonesia dan Inggris) apabila data audio yang dibutuhkan tidak ditemukan. Diskusi selama presentasi di Singapura membuahkan dua agenda untuk pihak lab. Pertama, riset tentang perfilman Indonesia. Kedua, membantu pencarian audio yang hilang. Pada tanggal 9 dan 10 Februari, Davide Pozzi dan Cecilia Cenciarelli mengunjungi Jakarta. Cecilia merupakan perwakilan dari Cineteca Bologna, arsip film di Bologna yang memiliki hubungan institusional dengan L’Immagine Ritrovata. Cineteca juga tergabung dalam jaringan World Cinema Foundation (WCF) yang diketuai Martin Scorsese. Pada hari pertama, Davide dan Cecilia bertemu dengan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, Sinematek Indonesia, dan Yayasan Konfiden untuk perkenalan institusi serta dialog tentang industri dan preservasi film di Indonesia. Pada hari kedua, Davide dan Lintang

18 Restorasi Lewat Djam Malam mencari data audio yang dibutuhkan untuk restorasi komplet Lewat Djam Malam. Data tersebut akhirnya ditemukan di kopi D. Pengiriman kopi film Lewat Djam Malam yang bersuara komplet ke Bologna, dilakukan pada 22 Februari oleh Lintang. Materi yang dikirim adalah: kopi positif D (reel 1-5), dan negatif suara (reel 5/6). Total ada 6 reel yang dikirim.

Maret 2012 Di awal Maret, World Cinema Foundation (WCF) menghubungi NMS dan Konfiden dengan permintaan untuk berpartisipasi dalam proyek restorasi Lewat Djam Malam, dengan menanggung sebagian dari keseluruhan biaya restorasi. Apabila tawaran WCF diterima Sinematek Indonesia dan NMS, maka karya Usmar Ismail tahun 1954 tersebut menjadi salah satu judul yang didistribusikan oleh WCF ke seluruh dunia. Terjadilah dialog antara NMS dan Sinematek Indonesia yang dime­diasi oleh Konfiden. Irwan Usmar Ismail memberikan kuasa pada Sinematek Indonesia untuk menjalin kerja sama dengan WCF, sehingga dibuat­lah kontrak antara Sinematek dan WCF. Terjadi dua perubahan dari per­ setujuan sebelumnya. Pertama, kredit restorasi yang tadinya dialamat­kan pada Sinematek Indonesia dan NMS kini turut melibatkan WCF. Artinya, ketiga nama instansi tersebut akan ada di bagian pembuka hasil res­torasi Lewat Djam Malam, di manapun film itu diputar. Kedua, lisensi film Lewat Djam Malam menjadi hak milik Sinematek Indonesia dan WCF. Perpindahan lisensi ini berdampak pada hak distribusi Lewat Djam Malam hasil restorasi. NMS tetap memegang hak distribusi non- komersial untuk zona Asia, kecuali Indonesia. Sinematek Indonesia punya hak distribusi non-komersial di Indonesia, sementara WCF di seluruh dunia kecuali Asia. Untuk distribusi komersial, WCF adalah di seluruh dunia kecuali Indonesia. Hak distribusi komersial di Indonesia dipegang oleh Sinematek Indonesia.

Restorasi Lewat Djam Malam 19 Maret 2012 Lewat Djam Malam dengan hasil restorasi 90 persen diputar di National Museum of Singapore, 28 Maret hanya untuk undangan. Total ada 240 penonton memenuhi ruang pemutaran NMS yang berkapasitas 247 orang. Lewat Djam Malam menjadi film pembuka program Merdeka!, yang berlangsung dari 28 sampai 31 Maret di NMS. Dalam program yang sama, dua film Usmar Ismail lainnya (Darah dan Doa dan Tamu Agung) dan tiga film Garin Nugroho (Surat untuk Bidadari, Puisi Tak Terkuburkan, dan Mata Tertutup) turut diputar. Perwakilan Indonesia yang hadir di acara ini adalah JB Kristanto, Lintang Gitomartoyo, dan Alex Sihar dari Yayasan Konfiden, Irwan Usmar Ismail beserta istri, serta Berthy L Ibrahim dari Sinematek Indonesia, A Rahim Latif, importir dan distributor, yang juga sangat mengenal Usmar Ismail dan turut membantu proses restorasi, juga hadir dalam pemutaran ini JB Kristanto dan Lee Chor Lin (direktur NMS) memberikan sambutan sebelum pemutaran hasil restorasi Lewat Djam Malam.

Mei 2012 Festival Film Cannes ke-65 memutar hasil restorasi Lewat Djam Malam tanggal 17 Mei di ruang Bunuel, Palais des Festival, Prancis. Pemutaran ini menjadi pembuka Cannes Classics, program khusus untuk film-film klasik yang direstorasi. Setiap tahunnya, WCF punya slot khusus di Cannes Classics, terkait dengan status Cannes sebagai tempat terbentuknya WCF tahun 2007 silam. Tahun ini, Lewat Djam Malam mengisi slot milik WCF di Cannes bersama dengan satu film India, Kalpana karya Uday Shankar tahun 1948. Pemutaran film dibuka dengan sambutan lima orang: Thierry Frémaux (Direktur Festival Film Cannes), Kent Jones (Direktur Eksekutif WCF), Alex Sihar, Lee Chor Lin (Direktur NMS), dan Pierre Rissient (kritikus film senior dari Prancis).

20 Restorasi Lewat Djam Malam Penayangan Internasional Hasil Restorasi

Totot Indrarto

Sebelum disaksikan masyarakat Indonesia mulai Juni 2012, hasil restorasi Lewat Djam Malam sudah diputar dua kali di luar negeri. Pe­ na­yang­an pertama berlangsung di National Museum of Singapore (NMS) pada 28 Maret 2012. Saat itu sebenarnya baru 90 persen restorasi selesai. Malam itu 240 tamu memenuhi ruang pemutaran NMS yang berkapasitas 247 tempat duduk. Lewat Djam Malam menjadi pembuka program Merdeka!, yaitu pemu­ taran enam film karya Usmar Ismail dan Garin Nugroho yang dianggap perintis dan pembaharu sinema Indonesia modern. Setelah acara dibuka oleh Direktur NMS Lee Chor Lin, penasehat proyek restorasi JB Kristanto memperkenalkan­ Lewat Djam Malam ke hadapan penonton, “Usmar Ismail adalah sutradara Indonesia pertama yang memperlakukan film seba­gai pernyataan personal atau komentar sosial. Ini adalah lompatan kuantum dari semua pendahulunya dan mayoritas pembuat film sampai sekarang, yang melihat film sebagai hiburan semata.” Hasil restorasi penuh ditayangkan pertama kali sebagai World Premiere dalam program Cannes Classics pada pada hari kedua Festival Film Cannes ke-65, 17 Mei 2012. Sekitar 300 penonton memenuhi Salle Buñuel, Palais Katalog, pamflet, dan tiket Lewat Djam Malam di Cannes Classics. des Festivals. Ikut menonton Alexander Payne, sutra­dara pe­me­nang Oscar penulis skenario terbaik untuk filmnya, The Descendants, yang hadir di Cannes tahun ini sebagai anggota Dewan Juri kom­pe­tisi utama. Cannes Classics merupakan seleksi resmi Cannes untuk memutar resto­rasi karya-karya klasik dan monumental dari berbagai penjuru dunia. Tahun ini Lewat Djam Malam dan Kalpana (Uday Shankar, India, 1948) diputar atas pilihan World Cinema Foundation (WCF) yang diketuai oleh Martin Scorsese. Lembaga yang berpusat di Jenewa dan New York itu di­bentuk untuk menyelamatkan film-film yang dianggap layak menjadi bagian­ dari sejarah perfilman dunia. Keduanya bersanding dengan film- film monumental karya John Boorman, Andrei Konchalovsky, Roman Polanski, Claude Miller, Alfred Hitchcock, Keisuke Kinoshita, Roberto Rosselini, Steven Spielberg, Agnes Varda, Sergio Leone, dan lain-lain. Pemutaran Lewat Djam Malam dalam gelaran bersejarah mem­ peringati tahun ke-65 penyelenggaraan festival film paling ber­geng­si itu di­buka oleh Thierry Frémaux, (Direktur Festival Cannes), Alex Sihar (Direktur Yayasan Konfiden), Kent Jones (Diek­tur Eksekutif WCF), dan Lee Chor Lin (Direktur NMS). Thierry Frémaux, Kent Jones, dan Lee Chor Lin sepakat bahwa karya ter­baik Usmar Ismail ini merupakan salah satu warisan perfilman dunia yang sangat pantas diselamatkan dan merasa beruntung bisa terlibat da­ lam restorasinya. Sementara Alex Sihar menekankan perjuangan ke­ras para penggiat film Indonesia dalam mengupayakan restorasi dan kon­ser­ vasi film-film Indonesia yang sebagian besar dalam keadaan rusak dan ter­ancam kepunahan. Penayangan perdana ini diantar oleh Pierre Rissient, salah satu kriti­ kus film Prancis terkemuka, yang pernah menonton di Jakarta pada 1977 dan sangat terkesan meski tanpa teks terjemahan. Ia bersyukur bisa me­ nyak­sikan hasil restorasi film ini dan akhirnya bisa memahami seluruh­ dialognya 35 tahun kemudian. Rissient menekankan pentingnya memu­ ­

Restorasi Lewat Djam Malam 23 lih­kan dan menonton kembali karya Usmar Ismail dan Asrul Sani, dua pem­buat film Asia yang sangat ia hargai. Film ini juga akan ditayangkan sebagai bagian dari konferensi ASEACC (Association for Southeast Asia Cinema Conference) di Singapura 19 Juni 2012, dan dalam program Il Cinema Ritrovata di Bologna 2012 (Festival Film Klasik Bologna 2012) pada 23-30 Juni 2012. Semua pihak yang tertarik untuk melakukan pemutaran film ini selanjutnya untuk kepentingan non-komersial dan festival, dapat menghubungi Sinematek Indonesia (untuk wilayah Indonesia), NMS (untuk wilayah Asia di luar Indonesia), atau WCF (untuk wilayah lain di dunia di luar Asia). *Penyumbang bahan: Alex Sihar, Lisabona Rahman.

Alamat kontak: Sinematek Indonesia Jl. H.R. Rasuna Said Kuningan, Kav. C-22 Jakarta 12940 INDONESIA Telp.: 021-5268455, Fax.: 021-5268454 [email protected] – www.sinematekindonesia.com atau melalui: Sahabat Sinematek [email protected] – www.sahabatsinematek.org

National Museum of Singapore (NMS) 93 Stamford Road, Singapore 178897 Special Attention to: Zhang Wenjie [email protected] – www.nationalmuseum.sg

World Cinema Foundation (WCF) 110 W. 57th Street, 5th Fl., New York, NY 10019 USA Special Attention to: Douglas Laible [email protected] – www.worldcinemafoundation.org

24 Restorasi Lewat Djam Malam Sebelum dan Sesudah Restorasi 26 Sebelum dan Sesudah Restorasi Sebelum dan Sesudah Restorasi 27 28 Sebelum dan Sesudah Restorasi Sebelum dan Sesudah Restorasi 29 30 Sebelum dan Sesudah Restorasi Sebelum dan Sesudah Restorasi 31 32 Sebelum dan Sesudah Restorasi Sebelum dan Sesudah Restorasi 33

Lewat Djam Malam Iskandar (AN Alcaff) dan Puja (Bambang Hermanto). Kredit Lewat Djam Malam

Pelakon

AN Alcaff Iskandar Netty Herawati Norma Dhalia Laila Awaludin Gafar Rd Ismail Gunawan A Hadi Ayah Norma Bambang Hermanto Puja Aedy Moward Adlin Titien Sumarni Ida Astaman Lukman Jusuf S Taharnunu Wahid Chan

Kru

Srijani S Penata Busana Hanida Arifin Penata Rias E Sambas Perekam Suara Bob Saltzman Perancang Suara GRW Sinsu Penata Musik Soemardjono Penata Gambar Max Tera Penata Kamera Kasdullah Juru Kamera Abdul Chalid Penata Artistik MD Aliff Manager Unit Asrul Sani Cerita, Skenario Djamaludin Malik Produser Usmar Ismail Produser Usmar Ismail Sutradara Perfini Produksi Persari Produksi Menjelang hukuman tembak. Sinopsis Lewat Djam Malam

Seorang bekas pejuang, Iskandar (AN Alcaff), kembali ke masya­ rakat dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah asing baginya. Pembunuhan terhadap seorang perempuan dan keluarganya atas perintah komandannya di masa perang terus menghantui dirinya. Tepat pada jam malam yang sedang diberlakukan, ia masuk rumah pacar­nya, Norma (Netty Herawati). Itu awal film yang masa kejadiannya ha­nya dua hari. Keesokannya ia dimasukkan kerja ke kantor gubernuran oleh calon mertuanya. Tidak betah dan malah cekcok. Dengan kawan lama­nya, Gafar (Awaludin), yang sudah jadi pemborong, ia juga tak mera­sa cocok. Ia masih mencari kerja yang sesuai dengan dirinya. Bertemu dengan Gunawan (Rd Ismail), bekas komandannya, ia se­makin­ muak melihat kekayaan dan cara-cara bisnisnya. Apa­ lagi setelah tahu bahwa Gunawan merampas harta perempuan yang ditembak Iskandar itu lalu dijadi­kan modal usahanya seka­ rang. Kemarahannya memuncak. Ia lari dari pesta yang diadakan pacarnya untuk dirinya dan pergi mencari Gunawan, ditemani bekas­ anak buahnya Pujo (Bambang Hermanto), yang ja­di centeng rumah bordil, yang dihuni oleh Laila (Dahlia), pelacur yang meng­ impi­ kan­ kedamaian sebuah rumah tangga yang tak kunjung da­ tang. Pulang ke pesta, ia melihat polisi datang. Ia curiga dirinya dicari-cari. Maka lari lagilah dia sampai kena tembak oleh Polisi Militer, karena me­lang­gar peraturan (lewat) jam malam, justru di saat dia menghampiri kem­bali Norma, satu-satunya orang yang mau mengerti dirinya. Karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah kritik sosial yang tajam mengenai para bekas pejuang kemerdekaan pasca-perang. Maka di akhir film dibu­buh­kan kalimat: “Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besar pengor­banan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat me­nik­mati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri.” 40 Lewat Djam Malam Usmar Ismail 1950-1970 Tidak Mudah Menjadi Indonesia

Totot Indrarto

1. “Sejarah film Indonesia tidak bisa ditulis tanpa menulis sejarah hidup Usmar Ismail,” kata Asrul Sani. Itu berarti, sejarah film Indonesia sebetul­ nya masih terbilang muda, lebih singkat dibanding pengalaman orang Indonesia menonton dan membuat gambar hidup, karena film yang di­ akui Usmar Ismail sebagai karya pertamanya baru dibuat setengah abad se­sudah bioskop masuk ke negeri ini. Sejak bioskop pertama di Jalan Kebon Jahe, Tanah Abang, berdiri pada­ 5 Desember 1900 penduduk Hindia Belanda sudah bisa merasakan sen­­sasi film. Bioskop berkembang terutama setelah pedagang Cina ma­ suk ke bisnis tersebut dan mengimpor film-film Hollywood, Jerman, dan Cina. Tapi, dibutuhkan waktu 26 tahun sampai G Krugers, sutradara do­ kumen­­­ ter­ Belanda bersama regent Bandung RAAHM Wiranatakusumah V, memproduksi film cerita pertama di Indonesia, Loetoeng Kasaroeng (1926). Setelah itu, 25 tahun berikutnya, setidaknya terdapat 124 film cerita lain dibuat oleh sutradara-sutradara berkebangsaan Belanda, Cina, dan ke­mu­dian juga Indonesia. Dua mantan wartawan, Bachtiar Effendy (Njai Dasima, 1932) dan (, 1940), menjadi pemula, yang disusul sejumlah sutradara pribumi lain termasuk Usmar Ismail. Ia waktu itu masih bekerja untuk South Pacific Film Corporation dan sem­ pat membuat dua film pada 1949, Harta Karun dan . Praktis dalam seperempat abad pertama kehadirannya, film-film Indonesia—sebagaimana motif utama pedagang Cina yang sejak 1925 menguasai­ usaha perbioskopan—dibuat semata sebagai barang hiburan dan komoditas dagang. Motif komersial yang terlampau kuat itu mendorong Usmar Ismail keluar dari perusahaan film Belanda itu dan bersama beberapa teman seni­man mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Ia merasa gerah karena mesti mengakomodir banyak “pesanan” dari produser. Dengan modal dari kantung sendiri, ditambah persekot dari pemilik bioskop yang bersedia mengedarkan, pada 1950 ia membuat The Long March, yang lebih populer dengan judul Darah dan Doa. Film yang kemudian diakui sebagai film pertamanya. Dikembangkan dari cerita Sitor Situmorang, Darah dan Doa mengisah­ kan perjalanan pulang pasukan TNI Divisi Siliwangi dari Yogya ke Jawa Barat, setelah ibukota sementara itu diserang dan diduduki Belanda. Ceri­ ta berpusat pada pemimpin rombongan, Kapten Sudarto (Del Juzar). Meskipun­ sudah beristri, dalam perjalanan ia terlibat cinta dengan dua gadis. Film ini juga menggambarkan ketegangan terhadap ancaman serang­ an Belanda, selain berbagai persoalan kemanusiaan seperti ketakut­an, keraguan, penderitaan, kesetiakawanan, pengkhianatan, dan lain-lain. Kendati menempati posisi istimewa dalam sejarah film Indonesia, Darah dan Doa bukanlah film terbaik Usmar Ismail. Ia sendiri mengakui, film ini terlalu banyak maunya, berhasrat menampilkan seluruh kejadian be­sar yang berlangsung dalam Revolusi Indonesia akibat semangatnya yang meluap-luap. Ia juga mengakui masih sangat banyak kekurangan

42 Lewat Djam Malam teknis, termasuk dalam penyusunan cerita dan penyutradaraan, karena minim­nya pengetahuan dan pengalaman. Keistimewaan Darah dan Doa tercermin dari penahbisannya seba­gai film Indonesia pertama, di samping hari pertama pengambilan gambar­ nya (30 Maret) dijadikan Hari Film Nasional, Usmar Ismail dianggap Pelopor Film Nasional, dan bersama Djamaludin Malik diakui sebagai Bapak Perfilman Indonesia.

2. Predikat “film Indonesia pertama” diberikan karena Darah dan Doa di­ sutra­darai oleh orang Indonesia asli, diproduksi oleh perusahaan film Indonesia, dan diambil gambarnya di Indonesia. Misbach Jusa Biran beralasan karena film itu mencerminkan kesadaran nasional dan meng­ isyaratkan lahirnya sejarah film Indonesia. Asrul Sani mendefinisikannya sebagai film yang menjurubicarai perjuangan rakyat Indonesia, film yang merupakan bagian integral dari kehidupan dan perjuangan rakyat Indonesia. Sejumlah pengamat dan peneliti film tidak sepakat dengan “pe­ mujaan” terhadap Usmar dan film itu, karena berarti menafikan ke­ber­ adaan dan kontribusi produser serta sutradara lain yang telah membuat film di Indonesia sejak 25 tahun sebelumnya. Boleh dibilang merekalah yang membangun infratruktur perfilman Indonesia, termasuk melahirkan bintang-bintang film berkualitas yang disukai penonton serta pekerja film terampil seperti Usmar Ismail. Usmar sendiri mengatakan Darah dan Doa tidak dibuat dengan perhi­ ­ tungan komersial apapun dan semata-mata hanya didorong idealisme. Jadi, setidaknya ada tiga motif besar yang mendasari pengakuan pada Darah dan Doa sebagai film Indonesia pertama, yaitu sentimen nasional­isme,­ politik identitas, dan hasrat idealisme yang sangat kuat. Tiga obse­ ­si yang kerap menjadi kegelisahan warga sebuah bangsa yang baru merdeka.

Lewat Djam Malam 43 Tentu bukan kebetulan jika film itu dan film-film Usmar Ismail berikut­nya juga memuat kegelisahan mengenai tiga hal tersebut. Isu na­ sional­isme mudah terbaca pada film-filmnya yang bertema revolusi dan politik: Enam Djam di Djogja (1951), Kafedo (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tamu Agung (1955), Pedjuang (1960), Toha Pahlawan Bandung Selatan (1961), Anak-anak Revolusi (1964). Di sini Usmar mempunyai kecenderungan anti hero dengan menggambarkan para pejuang, yang dalam sejarah dianggap pahlawan, sebagai manusia biasa. Justru sebagai bekas pejuang berpangkat mayor ia berani jujur dan menolak mitos ke­ pahlawanan yang serba suci dan sempurna. Dalam mengolah persoalan identitas, atau persisnya kegamangan kul­ tural manusia-manusia yang baru menikmati kemerdekaan, Usmar lebih sering mengemas atau menyelipkan sentilan atau kritik sosial terhadap kecenderungan kebarat-baratan terutama kelas menengah Indonesia pada sebagian besar filmnya. Perkara-perkara sepele yang tidak pernah diangkat dalam film-film yang dibuat di Indonesia sebelumnya, namun senantiasa mengganggunya. Melalui sentilan, ia tidak semata mempersoalkan jati­ diri, melainkan terus-menerus mengingatkan pentingnya memiliki ke­pri­ badian yang kuat sebagai sebuah bangsa merdeka. Adapun gagasan mengenai idealisme boleh dikata merupakan topik abadi pada hampir semua film Usmar Ismail, yang direpresentasikan da­lam konflik antara karakter idealis dengan karakter pragmatis. Mena­ rik­nya, kendati terasa selalu menempatkan karakter idealis sebagai protagonis, ia tidak membabi buta membela mereka. Iskandar (AN Alcaff) dalam Lewat Djam Malam, misalnya, ditembak mati akibat kekerasan hati­nya ketika hendak menemui satu-satunya orang yang dianggap bisa me­mahami idealisme dan kegelisahannya. Penggambaran seperti itu justru memperlihatkan kecintaan dan pe­ mihakan Usmar. Setelah menjadi manusia berdaulat kita mempunyai seti­ daknya dua pilihan: idealis atau pragmatis. Seorang idealis adalah anjing

44 Lewat Djam Malam penjaga kesadaran yang mesti terus ada buat memelihara keseimbangan, sehingga tidak boleh bersikap bodoh, frustrasi, dan fatalis, karena malah akan berakibat mematikannya. Dan itu jelas merugikan—dalam konteks film-filmnya—perjalanan kemerdekaan bangsa ini. Hal-hal tersebut di atas bisa menjadi argumentasi penguat mengapa Darah dan Doa serta semua film Usmar secara estetika sangat layak di­ anggap prototipe “film Indonesia.” Keberadaannya jelas-jelas menandai ke­ hadiran film-film yang berakar dan tumbuh di tanah gembur masyarakat Indonesia, alias bukan sesuatu yang dipetik dari langit khayali. Usmar tidak sekadar memotret Indonesia dengan perspektif turis­ tik, lalu mengeksploitasinya menjadi hiburan atau tontonan eksotis de­ngan konteks yang dicari-cari. Ia merasakan kegelisahan, lalu meng­ olah pelbagai persoalan faktual bangsa dan masyarakatnya untuk kemu­ dian diceritakan sebagai ekspresi personal dengan gagasan yang kuat. Ditambah lagi, ia mempunyai obsesi besar pada perfeksi teknis dan artis­ tik, sehingga setelah membuat tiga film pada 1952 ia menerima tawaran bea­siswa Yayasan Rockefeller untuk belajar film di UCLA, Los Angeles, Amerika Serikat. Setahun belajar dan berkeliling studio-studio Hollywood sempat seben­tar mengubah Usmar. Film pertama yang dibuat seusai belajar, Kafedo, terasa menampilkan gaya dan ritme Amerika, termasuk adegan- adegan perkelahian yang seru. Padahal film itu mengisahkan persaingan cinta pada masa revolusi fisik. Karakter utamanya seorang nasonalis yang bermukim­ di Mentawai dan bergaul dengan orang-orang kota namun te­ tap teguh memegang adat-istiadat, atau dalam deskripsi Usmar kala itu, “Percampuran manusia alam dan manusia peradaban.” Tapi, ia cepat berubah lagi. Setelah itu ia membuat dua film de­ngan konsep dan orientasi berbeda, yang sama berhasilnya. Dengan itu sebe­ tulnya tugasnya sebagai perintis sudah selesai, karena telah membukti­ ­ kan mampu membuat dua jenis film yang selalu dipertentangkan: film

Lewat Djam Malam 45 laris yang digemari penonton dan film bagus yang dipuji kritikus dan juri festival. Yang pertama Krisis (1953), komedi sketsa penghuni rumah kon­ trakan yang diniatkan sebagai film komersial. Film itu berhasil menjadi film terlaris setelah Terang Boelan (Albert Balink, 1938). Kedua, Lewat Djam Malam dibuat bekerja sama dengan Perseroan Artis Indonesia (Persari) se­bagai film bermutu guna bertarung di Festival Film Asia (FFA). Walau­pun batal mengikuti FFA karena dilarang pemerintah, film itu mendapat­ lima penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) 1955, ter­ masuk Film Terbaik, dan hingga kini dianggap film Indonesia terbaik se­panjang masa. Film yang baru selesai direstorasi oleh National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation itu oleh produser dan anggota Komite Film DKJ (De­wan Kesenian Jakarta) Abduh Aziz dinilai, “Menyampaikan isu paling kon­tekstual zamannya. Ada soal pembangunan yang baru ber­ jalan, ada soal frustasi para pejuang. Ada juga soal manusia sebagai kor­ ban pergolakan sejarah zamannya. Film ini sangat baik menangkap se­ mua persoalan itu.” Apresiasi dari orang-orang yang bahkan tidak hidup sezaman dengan pembuatnya itu semakin membuktikan bahwa ke-Indonesia-an film- film Usmar Ismail adalah sesuatu yang otentik dan menyatu erat seperti darah dalam daging, sehingga mudah dilihat dan dirasakan keunikannya. Indonesia sebagai semacam ruh sekaligus pembeda filmnya dengan 125 film lain yang pernah dibuat selama 25 tahun sebelumnya, bahkan, ironis­ nya, juga dengan ribuan film berikut yang dibuat orang Indonesia sampai dengan hari ini, 62 tahun kemudian.

3. Tidak pernah ada jalan mudah untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan berarti, termasuk usaha Usmar Ismail membuat apa yang disebut

46 Lewat Djam Malam “film Indonesia.” Bukan sekadar “film yang dibuat di Indonesia” atau “film yang dibuat oleh orang Indonesia.” Sebagai pengusaha ia harus berhadapan dengan kenyataan untuk berkompromi dalam banyak hal. “Barangkali filmnya yang paling murni hanya Darah dan Doa. Dalam film-film lain ia ‘belajar’ berkompromi biar­pun dengan rasa sinis,” tulis Asrul Sani. Kompromi paling nyata ada­ lah ketika ia terpaksa membuat film-film komersial yang, seberapa pun tidak disukai, tetap dikerjakan dengan pandangan kritis mengenai ke­ hidupan masyarakatnya. “Bukan film hiburan yang asal-asalan,” dalam istilah Misbach Jusa Biran. Setelah Krisis yang laris manis, Usmar juga membuat Tamu Agung (1955), Lagi-lagi Krisis (1955), Tiga Dara (1956), Delapan Pendjuru Angin (1958), Asrama Dara (1958), Amor dan Humor (1961), dan Big Village (1968). Semuanya berjenis komedi, tetapi tidak satu pun me­ nyamai­ kesuksesan Krisis. Tiga Dara, musikal yang melambungkan po­ pularitas Indriati Iskak, adalah yang paling laku di pasar. Namun, Tamu Agung, satir politik mengenai Bung Karno, justru ber­ hasil mencuri perhatian pengamat film di dalam dan luar negeri. “Film itu merupakan satir sosial dengan kompleksitas dan kecanggihan se­buah film sekualitas film Jean Renoir, La Règle du Jeu (Aturan Main, 1939). Dua segi lain yang patut memperoleh perhatian: bermain-main de­ngan kon­vensi sinematik film musikal pada bagian pembuka diimbangi ber­ main-main dengan konvensi retorikal Indonesia di bagian lain,” puji David Hanan, pengajar kajian film dan televisi dari Monash University, Melbourne. Toh, tantangan terbesar Usmar Ismail sebagai pencipta justru datang dari kondisi bangsanya sendiri, yang juga baru mengenal film sebagai me­dium interpretasi dan dramatisasi persoalan kehidupan, tidak sekadar medium hiburan seperti biasanya. Akibatnya, film yang menggambarkan realitas sehari-hari dipandang sebagai generalisasi kenyataan.

Lewat Djam Malam 47 Norma (Netty Herawati) di tengah pesta.

48 Lewat Djam Malam Banyak adegan pertempuran Darah dan Doa dipotong sensor karena terlalu realistis dan dianggap sadis. Film itu juga diprotes TNI-AD kare­na menggambarkan perwira yang terlalu manusiawi dan lemah, juga kisah percintaan sang perwira dengan gadis Eropa, serta bagian cerita menge­ nai Darul Islam (DI) yang dikhawatirkan bakal membangkitkan sema­ ngat jahat umat Islam lain. Sebaliknya, PKI memprotes karena orang- orang komunis di dalam film itu digambarkan sebagai fanatik yang suka membalas­ dendam. Menghadapi paradigma generalisasi seperti itu, dalam film-film berikutnya Usmar mesti berakrobat agar tidak ada yang tersinggung. Maka, “Orang-orang jahat hanyalah Belanda saja. Orang Indonesia semua­ nya baik dan kalau suatu waktu menjadi pengkhianat, tabu untuk me­ nyebutkan asal golongannya. Itulah sebabnya dalam film-film Indonesia yang menjadi bandit selalu golongan yang paling lemah posisi sosialnya, antara lain pengusaha!” simpulnya. Lebih berat dari itu, sebagai seniman penting dan menonjol serta buda­ wayan (pendiri dan ketua umum Lesbumi, 1962-1969), Usmar kemudian ikut terseret dalam pergolakan besar politik dan ekonomi, di mana perang ideologi kesenian dan kebudayaan antara kelompok komunis dengan nasionalis menjadi salah satu medan pertempuran terbesar dan mungkin ter­dramatis, yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Soekarno. Tak meng­herankan apabila ia konon masuk dalam daftar orang yang akan di­tumpas PKI pada 5 Oktober 1965, karena dituduh antek CIA dan kaki ta­ngan AMPAI, perwakilan film Amerika di sini. Jadi praktis tidak sampai sepuluh tahun Usmar Ismail bisa berkarya de­ngan idealisme-yang-telah-dikompromikan, dan mencapai puncaknya dalam­ Asrama Dara, film pertama Suzanna yang meraih tiga penghargaan FFI 1960. Tapi, waktu yang relatif pendek itu rasanya sudah cukup buat meletakkan fondasi dasar estetika film Indonesia. Beruntung Indonesia memiliki Usmar Ismail. Di tangannya, film

Lewat Djam Malam 49 Indonesia dilahirkan, dipelihara, dan senantiasa diperjuangkan sebagai estetika yang ideal dan mulia. Fakta itu memang bisa menjadi beban ter­amat berat bagi pekerja film generasi selanjutnya. Penulis skenario Salman Aristo mengibaratkan, “Beratnya, film Indonesia dimulai dari puncak sekali, dan setelah itu grafiknya makin lama justru makin me­ nurun. Bukan sebaliknya.” Pelbagai hambatan dan tantangan yang dihadapi Usmar pada zaman­ nya masih tetap dan akan selalu ada, mungkin dalam bentuk berbeda. Namun, mata air gagasan seperti yang ia miliki dulu pun kini tersedia sa­ma atau bahkan lebih luas dan beragam. Artinya, di atas kertas “film Indonesia” sebagaimana digagas dan dirintis Usmar dahulu tidak akan per­nah mati.

50 Lewat Djam Malam Biografi: Usmar Ismail

Lahir: Bukittinggi, 20 Maret 1921 Meninggal: Jakarta, 2 Januari 1971

Pendidikan l 1928-1935 • HIS (Hollandsch-Inlandsche School), Batusangkar l 1935-1938 • MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) kelas BAfd, Padang l 1939-1941 • AMS (Algemeene Middelbare School) bagian A (Sastra-Budaya), Yogyakarta l 1952-1953 • UCLA (University California Los Angeles), Amerika Serikat, jurusan film

Pekerjaan l 1942-1945 • Anggota staf pengarang Pusat Kebudayaaan Jakarta l 1945-1949 • Mayor TNI di Yogyakarta l 1949 • Sutradara di South Pacific Film Corporation l 1950-1970 • Direktur, Produser, dan Sutradara NV Pefini l 1950-1970 • Direktur Utama Biro Perjalanan Triple T l 1956-1960 • Direktur PT Bank Kemakmuran, Jakarta l 1966-1969 • Anggota DPRGR/MPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) l 1967-1970 • General Manager Miraca Sky Club, Jakarta

Aktivitas Lain l 1943-1945 • Ketua Sandiwara Penggemar Maja

Lewat Djam Malam 51 l 1946-1947 • Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) l 1946-1948 • Ketua BPKI (Badan Permusyawaratan Kebudayaan Indonesia), Yogyakarta dan Ketua Serikat Artis Sandiwara Yogyakarta l 1955-1965 • Pendiri dan Ketua ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), Jakarta l 1956-1970 • Ketua PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) l 1962-1969 • Pendiri dan Ketua Lesbumi (Lembaga Seniman Budawajan Muslimin Indonesia), Jakarta l 1964-1969 • Pengurus PB NU (Nahdatul Ulama), Jakarta

Penghargaan l 1962 • Hadiah seni Widjajakusuma dari Pemerintah RI, penghargaan tertinggi dalam bidang Kebudayaan l 1970 • Penghargaan Warga Teladan Jakarta dari Pemda DKI Jakarta l 1975 • Namanya diabadikan sebagai nama pusat perfilman yang dibangun Pemda DKI Jakarta bersama masyarakat perfilman

Filmografi 1. Harta Karun (1949) • Sutradara, Penulis Skenario 2. Tjitra (1949) • Sutradara, Penulis Cerita 3. The Long March (Darah dan Doa) (1950) • Sutradara, Penulis Skenario 4. Enam Djam di Djogja (1951) • Produser, Sutradara, Penulis Skenario 5. Embun (1951) • Penulis Cerita 6. Dosa Tak Berampun (1951) • Produser, Sutradara, Penulis Skenario 7. Terimalah Laguku (1952) • Produser

52 Lewat Djam Malam 8. Kafedo (1953) • Produser, Sutradara, Penulis Skenario 9. Krisis (1953) • Produser, Sutradara 10. Harimau Tjampa (1953) • Produser 11. Lewat Djam Malam (1954) • Produser, Sutradara 12. Heboh (1954) • Produser 13. Tamu Agung (1955) • Sutradara 14. Lagi-lagi Krisis (1955) • Produser, Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario 15. Tiga Dara (1956) • Produser, Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario 16. Tiga Buronan (1957) • Produser 17. Sengketa (1957) • Produser, Sutradara 18. Delapan Pendjuru Angin (1957) • Produser, Sutradara, Penulis Skenario 19. Asrama Dara (1958) • Produser, Sutradara 20. Tjambuk Api (1958) • Produser 21. Djenderal Kantjil (1958) • Produser 22. Pedjuang (1960) • Produser, Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario 23. Laruik Sandjo (1960) • Produser, Sutradara, Penulis Skenario (Tidak pernah diedarkan) 24. Toha, Pahlawan Bandung Selatan (1961) • Produser, Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario 25. Korban Fitnah (1961) • Sutradara 26. Amor dan Humor (1961) • Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario 27. Bajangan Diwaktu Fadjar (1962) • Produser, Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario 28. Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962) • Produser, Sutradara, Penulis Skenario

Lewat Djam Malam 53 29. Masa Topan dan Badai (1963) • Sutradara 30. Anak-anak Revolusi (1964) • Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario 31. Liburan Seniman (1965) • Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario 32. Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1966) • Produser 33. Menjusuri Djedjak Berdarah (1967) • Produser 34. Ja Mualim (1968) • Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario 35. Big Village (1969) • Produser, Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario 36. Ananda (1970) • Sutradara, Penulis Cerita, Penulis Skenario 37. Bali (1970) • Sutradara, bersama Ugo Liberatore

54 Lewat Djam Malam Misbach Jusa Biran tentang Usmar Ismail dan Lewat Djam Malam

Amalia Sekarjati

Misbach Jusa Biran adalah pendiri dan direktur pertama Sinematek Indonesia. Sebelumnya, ia aktif terlibat produksi di Perfini, perusahaan yang memproduksi Lewat Djam Malam. Beliau tutup usia 11 April 2012 silam di umur 78 tahun. Sebenarnya, Misbach direncanakan akan menyampaikan pidato kehormatan di malam peluncuran hasil restorasi Lewat Djam Malam bulan Juni 2012 nanti. Wawancara ini terjadi di kediaman Misbach, Bogor, pada tanggal 14 Februari 2012. Tujuannya untuk melengkapi gambaran mengenai Usmar Ismail dan Lewat Djam Malam. Pengalamannya di Perfini merupakan wawasan yang berharga perihal konteks historis Lewat Djam Malam dan sejarah perfilman Indonesia.

Bisakah Anda bercerita tentang awal pembuatan Lewat Djam Malam? Bagaimana Perfini dan Persari bisa sampai bekerja sama, mengingat keduanya punya pendekatan yang saling bertolak belakang? Perfini membawa ideologi tertentu dalam 56 Lewat Djam Malam produksi filmnya, sementara Persari lebih dekat dengan film- film hiburan populer. Pada masa pendudukan Jepang, Usmar pernah menjadi wakil Armijn Pane yang menjadi ketua bidang Teater di Pusat Kebudayaan di Jogja. Waktu itu ia berusia 21 tahun. Ada ketidakcocokan antara Armijn dengan Usmar. Menurut Armijn, anak muda pada saat itu, termasuk Usmar dan Chairil Anwar (mereka berdua adalah kerabat), membuat karya yang keluar dari pakem. Hal yang dianggap aneh atau unik pada saat itu mereka coba. Lalu Usmar membuat Maya, sebuah perkumpulan sandiwara, dan pernah di salah satu cerita yang dibuat, ada tokoh yang karakternya mirip Armijn, yang bisa dibilang galak [Tertawa]. Armijn pun tahu. Pada zaman revolusi, dengan pertumbuhan yang baik, yaitu pernah menjadi Mayor di Yogyakarta (yang pada saat itu menjadi pusat pemerintahan RI), juga pernah menjadi ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pada usia mudanya, setelahnya ia kembali ke Jakarta dan hendak masuk ke suatu institusi yang ternyata ada Armijn di dalamnya. Maka, sulit baginya untuk masuk ke dalam institusi tersebut. Begitu juga dengan Djamaludin, karena bisa dibilang dia memang ‘orang dagang’. Ia membuat film semata-mata untuk menolong artis, karena pada saat itu banyak yang hidup miskin. Persari, rumah produksi yang didirikannya, jadi semacam perserikatan artis film dan ada untuk menolong mereka, untuk hiburan saja. Jadi, Djamal lebih punya bakat industri, pengusaha yang baik, sedangkan Usmar lebih baik secara pemikiran. Di situlah mereka seperti bertolak belakang. Namun, tahun 1953, mereka berdua pergi ke Jepang mengikuti konferensi produser-produser se-Asia. Ada cerita, ketika sedang jamuan makan dan Djamal melakukan pidato, ia berpidato dalam bahasa Padang yang isinya memaki-maki orang Jepang bahwa mereka penjajah [Tertawa]. Usmar yang sedang makan lalu kebingungan, bagaimana menerjemahkan pidato itu. “Saya ngomong pakai bahasa saya saja, lah.”

Lewat Djam Malam 57 kata Djamal yang kelahiran Padang. Sepanjang konferensi tersebut, beredar wacana kalau Festival Film Asia pertama akan diadakan tahun depannya, tahun 1954, di Tokyo, Jepang. Djamal mau ikut, tapi tidak punya film untuk dikirim. Mereka bingung mengirimkan film apa karena merasa film yang pernah dibuat masih kurang baik. Namun Djamal tetap bilang ikut. Jadi, ia minta Usmar produksi filmnya, sementara ia sendiri mencari uang. Kecuali AN Alcaff dan Bambang Hermanto, Persari menyediakan semua pemain untuk Lewat Djam Malam, sedangkan Dhalia dari luar keduanya. Bambang Hermanto dulunya seorang pemain hiburan. Kemudian ia masuk Perfini, namanya naik setelah bermain di Harimau Tjampa. Sedangkan Alcaff memang pertama kali berakting untuk Perfini. Film pertamanya adalah Dosa Tak Berampun. Dulunya ia tentara dari Jambi, datang ke Perfini dan bilang mau main film. Saat itu, Usmar sudah punya pemain. Alcaff pun dites untuk akting dan ternyata suaranya bagus, mantap. Akhirnya, Alcaff bergabung. Untuk film Dosa Tak Berampun, pada awalnya peran utama akan dimainkan Rendra Karno, tetapi kemudian ia diganti Alcaff. Di situ mulai friksi antara Usmar dan Rendra Karno, karena ia merasa sakit hati. Jadi begitulah, film Lewat Djam Malam dibuat bersama. Modal uang dari Persari, karena film seperti ini tetap butuh modal yang besar. Film ini bisa dibilang tidak ada hiburannya, tidak ada nyanyi-nyanyinya. Lalu untuk pemain gabungan dari keduanya. Untuk urusan artistik dan produksi, Usmar yang mengarahkan. Semua kru dari Perfini. Saya akui, Perfini isinya seniman-seniman besar pada mulanya. Termasuk Gajus Siagian, Basuki Resbowo, dulu pernah di Perfini. Kalau Rosihan Anwar hanya punya saham.

Ide siapakah cerita Lewat Djam Malam? Apakah Usmar Ismail, sutradaranya, atau Asrul Sani, penulis naskahnya?

58 Lewat Djam Malam Tugas pembuat cerita adalah Asrul. Cerita, skenario, itu dari Asrul. Saya tidak tahu persisnya siapa yang mencetuskan ide pertama kali. Namun pada intinya, dua orang besar pada saat itu yaitu Djamal dan Usmar, ingin membuat film yang bisa dibawa ke festival film besar di Asia. Usmar dan Asrul sendiri sempat kurang begitu baik hubungannya. Pada tahun 1952, Usmar menentang sensor. Menurutnya, kalau karya memang dibuat begitu, ya begitu. Sudah bagus-bagus dibikin, masa disensor? Sedangkan Asrul menyetujui adanya sensor. Alasannya, untuk menghindari bahaya-bahaya paham dan dampak buruk. Menurut dia, film Usmar memang dibuat baik, tetapi bagaimana dengan film-film asal yang dibuat hanya untuk mencari uang? Diperlukan sensor. Usmar sendiri ada berangkai-rangkai tulisannya tentang anti-sensor. Ketika itu Asrul mengatakan film bukanlah semata-mata alat penerangan, tetapi juga merupakan alat kebudayaan. Makanya, lembaga sensor pindah dari Departemen Penerangan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kemudian ada perubahan pandangan. Bayangkan, dua- duanya punya pemikiran seperti itu pada saat mereka masih muda dulu.

Bagaimana kemudian kiprah Lewat Djam Malam di Festival Film Asia? Filmnya tak jadi masuk festival. Ketika Usmar dan Djamal akan berangkat Jepang untuk menghadiri festival, pemerintah melarang. Tentu, ada agenda politik di balik semua ini. Ini adalah cara pemerintah kita untuk memprotes orang-orang Jepang, karena pampasan perang belum dibayar. Karena ini, Djamal mengadakan Festival Film Indonesia pertama pada tahun 1955.

Berapa biaya produksi Lewat Djam Malam? Kira-kira 300 ribu, ya. Film-film Usmar dan Perfini rata-rata segitu. Kalau film-film dari rumah produksi Cina biasanya di bawah 100-200

Lewat Djam Malam 59 ribu. Lalu bagaimana Usmar yang film-filmnya tidak begitu menghibur, berhadapan dengan film yang murah? Film murah tadi ada penontonnya, tapi film Usmar lebih banyak ditanya, “Film apa, nih?” Tamu Agung yang lucu saja, filmnya tidak laku. Padahal sudah setengah mampus dibuat lucu [Tertawa]. Di film itu ada tokoh tukang obat yang dibuat mirip Bung Karno, tapi orang-orang tidak melihat itu, karena tidak ada latar belakang pengetahuan mengenai Soekarno. Lagi-lagi Krisis, nggak laku juga. Orang-orang pada tidak tertawa, nggak ngerti yang mana yang bikin tertawa. Usmar dengan sadar menggunakan filmnya sebagai wacana politik. Ia ingin filmnya menjadi ekspresi personal dari ideologinya. Namun, bisa dibilang film-filmnya itu lahir terlalu ‘cepat’, karena penonton belum bisa menerima yang ia maksudkan lewat film tersebut. Tidak nyambung antara film dengan penontonnya. Dalam Lewat Djam Malam, tidak ada perempuan cantik, tidak ada nyanyi-nyanyi, sehingga tidak laku di kota kecil. Di kota besar mungkin.

Ketika membuat Lewat Djam Malam, Usmar sudah belajar di Amerika? Sudah. Ia belajar skenario sekitar dua tahun di sana. Namun, ada satu gelombang, ketika ia kembali kemari, film-film yang dibuatnya mirip film koboi. Salah satunya Kafedo. Ada sedikit pengaruh Amerika, tetapi segala macamnya agak dipaksakan. Namun, di film Long March, ceritanya lebih mengalir. Memang tidak lebih dramatik, tetapi ada problem yang berkembang. Sedangkan pada film Lewat Djam Malam, lebih menghibur sedikit. Sebelum Lewat Djam Malam, Perfini pernah membuat Embun, dan dua-duanya tentang orang yang kembali dari revolusi lalu mengalami kesulitan bersosialisasi. Belakangan, orang yang dulunya pejuang, ketika sudah hidup enak malah jadi koruptor. Ini justru lebih bagus dari film

60 Lewat Djam Malam Amerika yang jadi inspirasi, yaitu The Best Years of Our Lives, yang menggambarkan setelah perang dunia kedua ada perubahan sikap yang aneh sekali. Namun di Lewat Djam Malam, ada perbaikan simbol- simbol. Menjadi pejuang tuh seperti tidak ada pilihan lain. Proses revolusi jelas digambarkan dengan begitu adanya. Menggambarkan satu fase di masyarakat itu. Saya kira itu kelebihan film ini. Bagaimana terjadi perubahan-perubahan dalam perjuangan. Tokoh-tokoh yang tadinya orang berpendidikan menjadi mata duitan, atau kapten yang ragu-ragu.

Ada yang bilang film ini dipengaruhi neorealisme? Itu filmnya yang pertama. Jadi, Usmar mengajak teman-temannya, bersama-sama membuat film. Akhirnya patungan dan terkumpul 150 ribu. Dibuatlah Long March. Di dalamnya ada percintaan antara pimpinan tentara dengan orang asing yang dia rawat. Filmnya mau mengatakan bahwa bukan bangsanya yang bermusuhan, tapi pemerintah. Dulu menyebar stereotip bahwa semua Belanda jahat jadi cerita percintaan itu tidak boleh. Usmar bilang, kenapa tidak boleh? ‘Kan sesama manusia? Beberapa kru kurang setuju, tapi tetap dibikin. Untuk Long March, bisa dibilang film itu dibuat Usmar tanpa pengetahuan. Walaupun, ia sempat bekerja menjadi asisten sekitar dua tahun di Australia, di perusahaan Belanda yang memiliki kongsi film. Usmar sendiri bekerja melatih dialog, salah satunya di film Andjar Asmara yaitu Djauh di Mata. Tugasnya begitu, menjadi partner orang berlatih dialog. Pada masa ini, ia sempat membuat dua film,Harta Karun dan Tjitra. Namun, selama itu, ia melihat bahwa banyak keputusan yang diambil penata kamera, termasuk penata kamera yang bilang cut, cut, cut. Dengan sistem kerja seperti itu, Usmar merasa itu bukan film dia.

Artinya Usmar sudah sadar soal auteur sebelum ada teorinya, ya.

Lewat Djam Malam 61 Itu terbentuk karena pengalaman. Bukan berdasar kata siapa atau menurut siapa. Mau bikin apa, ya dia bikin saja. Usmar ini memang pintar, berbeda dengan sutradara lain yang besar di kampung. Lingkungannya memungkinkan dan ia termasuk elit. Usmar masuk sekolah Belanda dan bisa berbahasa Inggris aktif. Namun, lama-lama muncul orang seperti Bachtiar Siagian, yang muncul dari daerah dengan membawa misi kebudayaan. Film Indonesia selalu punya dimensi kritiknya sendiri, tetapi ketika dua tahun sesudah merdeka dan filmnya begitu-begitu saja, kritik mulai hilang. Namun, belakangan memang terjadi perubahan. Ada upaya menjadikan film bukan sebagai tontonan kampungan seperti dulu, misalnya ada Dardanella, tetapi film-film yang mengandung pemikiran. Salah satunya Usmar. Djamal memang bukan seniman, dia hanya menolong artis saja. Namun, Persari juga berkembang karena ia pandai mencari uang. Ia biasa dipanggil Big Boss. Di Persari, setiap pemain film mendapat mobil. Sedangkan Perfini cuma punya satu mobil kecil, mobilnya Usmar. Jadi, Perfini itu biasanya pakai tiga kendaraan. Untuk para pemain perempuan, naik mobil Usmar. Pemain laki-laki naik mobil pick-up, sedangkan kru naik truk. Bayangkan, kami diantar bergantian. Belakangan, Bambang Hermanto, nggak mau naik pick-up, karena sudah jadi top star. Rendra Karno juga begitu. [Tertawa]

Berapa lama Usmar Ismail bisa berkarya sesuai idealismenya sebelum akhirnya mentok dengan tuntutan ekonomi industri film? Saya rasa sampai tahun 1960an. Tahun 1957, ada krisis finansial. Banyak yang gulung tikar, pegawai keluar atau diberhentikan, karena bangkrut. Studio diambil alih oleh bank dan pemerintah. Pada saat itulah kemudian ia membuat film Tiga Dara, yang bisa dibilang film

62 Lewat Djam Malam hiburan. Namun, ia diserang Lekra, dianggap pelacur kebudayaan. DN Aidit bilang bahwa itu film bagus tapi jelek. Itu bagaimana maksudnya? Saya tak paham. Kemudian, dia bikin juga Asrama Dara. Yang main Bambang Hermanto, banyak lagu-lagu daerah, menggarap pesan yang kuat. Bukan film hiburan yang asal-asalan. Dibuat agar pemerintah mau membantu, dan pemerintah akhirnya membantu. Kemudian bekerja sama dengan Departemen Kehutanan, Usmar membuat film di hutan- hutan Kalimantan, lalu membuat Pedjuang dan Anak-Anak Revolusi. Namun, tetap saja Usmar dicela. Akhirnya keadaan ekonomi ambruk. Ada gagasan anti-Barat sehingga semua studio film ditutup. Produksinya di rumah-rumah orang, dubbing di kamar yang kecil. Maka ia mulai masuk politik dengan menjadi Ketua Pelaksana di Lesbumi, sebuah lembaga di bawah NU. Posisinya begitu kuat karena itu lembaga kebudayaan. Bung Karno, sebagai orang muslim, juga nggak terlalu berani. Pada masa Bung Karno ada tiga kekuasaan: PKI, PNI, NU. Lalu, Bung Karno pidato mendekritkan kembali ke UUD ’45 dan merumuskan konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Ia merasa didukung kekuatan nasional dan menyatakan Presiden adalah penguasa, bukan hanya lambang. Namun di NU ada Asrul Sani, Usmar Ismail, Farouk Afero. Orang pada gila-gilaan. Ya, senang-senang saja lah. Namun, ya ada pergerakan sosial itu. Bambang Hermanto mendapat penghargaan aktor terbaik di Moskow lewat film Pedjoeang, lalu dibilang politis sama Lekra. Bambang yang tidak berpendidikan langsung drop. Lalu, ditolong oleh Lekra. Orang-orang gelisah ditarik. Seniman khususnya, banyak masuk Lekra karena situasi, bukan ideologi. Jadi ya itu, suka dukanya membuat film. Kemudian ada masanya kepentingan politik masuk ke dalam film. Khususnya PKI yang mempengaruhi dan memakai kebudayaan. Dari situlah berubah cara pikir orang kita. Bukan penjajahan ekonomi, tapi penjajahan buah pikiran.

Lewat Djam Malam 63 Kalau orang-orang PKI bicara, dimuat. Kalau bukan orang-orang PKI, tidak dimuat. Buat orang komunis, pengalaman itu bisa berguna untuk belajar, orang-orang politik pakai film sebagai alat untuk berkampanye. Ya, buat orang-orang komunis, sejarah adalah ilmu. Mereka belajar dari sejarah. Kalau buat kita, sejarah adalah kenang-kenangan.

Kalau pribadi Usmar bagaimana? Sudah saya bukukan, judulnya Peran Anak Muda dalam Film Nasional. Saya kembangkan, tapi tidak ada yang mau biayain buku itu, jadinya saya simpan di Sinematek. Periodenya sekitar 1950-1956. Di situ saya tulis, seperti apa tujuan pembuatan film untuk dia. Saya kira kalau baca buku ini, sebagian besar ada semua. Termasuk latar belakang Lewat Djam Malam, yang memang ingin dibuat untuk go international, tapi tidak jadi. Namun, bisa dibilang, ia banyak digodok pada zaman Jepang. Pada zaman Belanda, yakni waktu dia SMA juga sudah belajar dan sudah kenal karya-karya besar di sekolah. Usmar tergugah oleh suasana ketika Jepang datang karena pada saat itu Jepang selalu bilang, “Mengapa takut sama Belanda?”. Bahkan Jepang memposisikan bahasa Belanda sebagai bahasa kampungan. Jadi, berubahlah itu, Belanda yang digambarkan kejam, tiba-tiba dibilang kampungan. Hasil pendidikan intelektual Usmar di zaman Belanda, berubah sama sekali di zaman Jepang.

Perfini sendiri menjadi tempat kumpul seniman-seniman? Pada mulanya. Pada awal tahun 50an, banyak seniman yang pindah ke Jakarta. Lalu, sebagian besar berniat menjadikan film sebagai alat pengucapan baru. Jika tadinya lewat sastra, teater, lalu film. Ingin menunjukkan bahwa ini modern. Ada juga yang berusaha mengubah citra teater yang dianggap pertunjukan kampungan. Peralihan dari Belanda

64 Lewat Djam Malam ke Jepang juga membawa perubahan. Usmar melihat film-film Jepang yang isinya adalah orang-orang berperang untuk bangsanya. Jika film Amerika isinya nyanyi-nyanyi, film-film Jepang isinya perang melawan penjajahan Eropa di Asia. Jadi, peralihan dari Belanda ke Jepang memang sempat membuat shock. Yang selama ini diagung-agungkan, tiba-tiba hilang. Itu mengubah sikap orang kita. Setiap hari putar film dan sebelum film dimulai ada gambar bendera merah putih, lalu tulisan “Alhamdulillah, Asia telah kembali.” Lagu yang diputar Indonesia Raya. Bagaimana tidak berubah? Pada zaman Jepang, orang Inggris atau Amerika Serikat masih diperhitungkan, tapi kalau Belanda tidak masuk hitungan sama sekali. Memang diakui bahwa Jepang yang memengaruhi anak-anak muda tadi untuk berkarya.

Bagaimana dukungan pemerintah terhadap perfilman pada saat itu? Tahun 50an dulu, ada upaya mengubah dari film yang tidak dike­ ­ nal menjadi dikenal. Namun, tidak ada satu pun berhasil. Pajak sudah­ dikurangi, sudah ada subsidi. Lalu, apa yang berhasil? Ya sejak pendi­ ­ dikan digalakkan, sejak ada sekolah film, apresiasi lumayan meningkat. Upaya-upaya seperti itu yang dibutuhkan, bukan dikasih uang pemerin­ ­ tah untuk membuat film. Perubahan terjadi karena pendidikan. Da­tang­ lah ke Sinematek, baca-baca di sana. Jadi, bantuan dana ini hanya un­tuk mendidik orang film. Seperti dulu saya membuat asosiasi pekerja film KFT. Semua harus belajar terlebih dahulu di situ, baru membuat film. Mau nggak mau, harus belajar. Hasilnya, 99% orang film yang ke­mu­di­an berkembang, belajar di situ. Saya yakin, dengan pendidikan film bisa ber­ kembang. Bukan karena dikasih uang. Kalau dikasih uang ya dihabisin. Makanya, untuk selanjutnya perlu dirumuskan supaya film bisa menjadi banyak penggunaannya. Kita bisa lebih maju berpikirnya,

Lewat Djam Malam 65 maju nuraninya, maju taste-nya. Setiap film setidaknya punya pesan itu. Agar penonton juga berkembang pemikirannya. Tentang keluarga atau tentang apapun. Kedua, film juga bisa menangkap keindahan, yang mungkin susah dijelaskan. Abstrak. Nah, kalau bagi komunis, abstrak itu dimusuhi, karena tidak bersentuhan langsung dengan rakyat. Ketiga, film juga bisa dibuat untuk memenuhi rasa takut, senang, lucu, sedih, pada saat menonton, selama itu tidak berbahaya. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan alamiah manusia. Intinya, film ini mau ngomong apa dan bagaimana mau ngomongnya? Film sekarang kadang-kadang berat kemasannya daripada isinya.

Bagaimana tanggapan Bapak terhadap kondisi Sinematek sekarang? Orang-orang yang bekerja di Sinematek sebenarnya bukan tenaga kerja profesional. Kerja bukan karena dia pintar, tapi orang-orang kecil yang mau diajak kerja, jadi dia bisa punya pekerjaan yang lebih baik. Masih banyak yang kerja sampai sekarang, tapi ya semua pegawai tidak ada yang profesional. Jadi, ke depannya harus bisa lebih baik. Kalau ada uang, atau bisa minta bantuan, mengajak mereka belajar dari orang- orang luar. Sinematek cukup banyak masalahnya.

66 Lewat Djam Malam Revolusi, Impian, dan Jalan Buntu

Adrian Jonathan Pasaribu

Rumornya setiap pemimpin negara dunia ketiga membisikkan hal se­rupa sehari setelah kemerdekaan: “Sekarang masalah sebenarnya di­ mulai”. Indonesia tak terkecuali. Revolusi mendatangkan kemerdekaan dan ke­merdekaan­ membuka jalan untuk pembangunan. Masalahnya, pem­bangun­an bergantung pada prinsip-prinsip yang dulu para pejuang atasi: eksploitasi­ dan dominasi. Berarti ada harga tersendiri yang harus diba­yar para pejuang untuk mengisi kemerdekaan. Bagaimanakah mereka se­pantasnya bersikap? Usmar Ismail menyuarakan pendapatnya pada tahun 1954 melalui Lewat Djam Malam. Menurut Sitor Situmorang, film yang dibuat Usmar tersebut adalah “drama psikologis modern” pertama di Indonesia. Dalam bacaan lebih lanjut, Lewat Djam Malam sebenarnya mengikuti cetak biru film-film noir di Amerika sana. Selain terpengaruhi oleh neorealisme Italia, paling kentara di Darah Dan Doa (1950), Usmar mengakui keter­ tarikannya pada metode produksi Hollywood. “Hampir secara tidak sadar, saya mulai menerapkan prinsip kerja Hollywood,” tulis Usmar di harian Pedoman tahun 1953, sekembalinya ia dari studi penulisan naskah di Amerika Serikat. Seperti yang dituturkan sejumlah catatan sejarah, Laila (Dhalia).

68 Lewat Djam Malam 1953 adalah tahun kejayaan film noir di Hollywood, sebuah periode yang berlangsung dari 1944 sampai 1958. Melihat pola visual dan penokohan dalam Lewat Djam Malam, bisa jadi Hollywood yang Usmar maksud adalah film noir. Layaknya film noir, Lewat Djam Malam terstruktur atas kegelisahan moral seorang protagonis laki-laki. Plot film tersebut menggambarkan kejatuhan tragis seorang individu di sebuah tatanan sosial yang dicengkeram oleh para borjuis. Gambar pertama yang kita lihat adalah sepasang kaki berjalan perlahan-lahan di suatu malam yang kelam. Inilah Iskandar, bekas pejuang dan mahasiswa kedokteran. Sekembalinya dari zona perang, ia mendambakan kehidupan yang lebih tenang dan damai. Keinginannya sederhana: menikahi kekasihnya, membangun sebuah peternakan di desa, lalu menghabiskan sisa hidupnya dalam damai. Sayangnya, realita ekonomi pasca perang tak sesederhana itu. Lima tahun pasca kemerdekaan tercatat sebagai periode Revolusi Fisik, periode transisi kuasa dari kolonial Belanda ke pemerintah Indonesia. Periode ini diwarnai sejumlah kekacauan sipil dan pertempuran bersenjata di sejumlah daerah. Militer kesulitan menanganinya. Jam malam pun diberlakukan di kota-kota untuk menegakkan peraturan. Di saat yang bersamaan, pembangunan juga sudah dirintis. Fasilitas publik mulai menjamur, perusahaan nasional mulai untung, dan tenaga kerja sedang hidup-hidupnya dengan energi anak muda. Panggung sudah tersedia bagi Iskandar. Dia punya masa muda, pengalaman kerja praktis, dan latar belakang akademis. Lebih signifikannya lagi, Norma, tunangannya adalah seorang borjuis, sebuah kelas sosial yang sedang tumbuh-tumbuhnya di ekonomi pasca kemerdekaan. Kegiatan waktu senggangnya adalah pesta dan dansa- dansi semalam suntuk. Atas semua ini, Iskandar menikmati dua hal yang sulit diakses mayoritas rakyat: kesejahteraan material dan koneksi sosial. Tidak ada yang bisa menghentikan Iskandar menjadi penanggung hajat

Lewat Djam Malam 69 hidup, baik bagi bangsa maupun keluarganya. Pahlawan kita tak cocok dengan orang-orang kaya baru ini. Sepanjang film, meletus perang tak berkesudahan dalam batinnya. Di satu sisi dia masih mengimani nilai-nilai kebangsaan yang ia perjuangkan dulu, di sisi lain dia merasa dihantui oleh kematian-kematian yang ia sebabkan selama perang. Masalah kian pelik ketika ia harus berhadapan dengan fakta bahwa revolusi gagal melahirkan keadilan. Yang kejadian malah tatanan masyarakat dengan korupsi dan konspirasi sebagai pilar-pilar penyokongnya. Salah dua lakonnya adalah Gafar dan Gunawan, rekan Iskandar waktu perang dulu. Rekan satunya lagi, Puja, sudah jadi bandit yang lebih akrab dengan judi, alkohol, dan bentuk-bentuk hiburan malam lainnya. Pahlawan kita jelas tak terima. Revolusi bukan lagi soal kepentingan bersama dan semua orang punya idenya sendiri untuk menang. Ide Iskandar melibatkan sebuah pistol dan konfrontasi dengan rekan-rekan kerjanya.

Yang Terkasih dan Yang Tersisih Dalam Lewat Djam Malam, status sosial menjadi garis tegas antara orang- orang yang terkasih dan yang tersisih. Mereka yang terkasih diwakili oleh Norma dan teman pestanya, sementara pihak yang tersisih ditubuhkan melalui figur Laila, wanita panggilan yang dirawat Puja di kediamannya. Laila adalah satu-satunya wajah non-borjuis yang kita lihat sepanjang film. Laila punya katalog kliping koran yang ia jaga dengan sepenuh hati. Katalog ini menjadi pengingat Laila akan mimpi-mimpi kecilnya, semacam kegiatan menghabiskan waktu sampai seorang lelaki datang menggandeng tangannya ke pelaminan. Bagi Laila, Iskandar adalah lelaki itu dan Norma (yang nantinya ia temui sekilas) adalah perempuan yang pantas ia jadikan panutan. Dalam konteks yang lebih luas, tarik-ulur antar-kelas dalam Lewat Djam Malam menyiratkan suatu bangsa yang terpisah antara mimpi-

70 Lewat Djam Malam mimpi tak kesampaian dan jalan buntu politis. Dalam tatanan masyarakat yang disetir oleh kaum elit dan borjuis, mobilitas sosial hanyalah sebuah mitos bagi kelas bawah. Satu-satunya jalan naik, seperti yang dibayangkan oleh Laila, adalah dengan masuk ke dalam sistem atau menggantikan sistem tersebut dengan sistem baru yang lebih demokratis. Solusi terakhir sesungguhnya yang ingin dicoba oleh Iskandar. Sayangnya, ia gagal. Usahanya mengganyang ketimpangan sosial diganjar oleh sebutir peluru di dadanya. Tak ada yang menangisi tragedi ini, kecuali Iskandar seorang. Satu pertanyaan yang belum terjawab: apakah Lewat Djam Malam memang benar potret Indonesia pasca revolusi kemerdekaan, atau hanyalah mimpi kekiri-kirian sang pembuat film? Patut diingat Usmar Ismail sejatinya adalah seorang intelektual sosialis, yang dalam beberapa kesempatan menulis untuk harian partai komunis. Baru di akhir kariernya, bertahun-tahun setelah Lewat Djam Malam, Usmar mendekatkan diri dengan organisasi sayap kanan macam Lesbumi. Patut diingat juga bahwa Lewat Djam Malam diproduksi tak lama setelah insiden Oktober 1952. Insiden ini berawal dari tuntutan dua pemimpin tertinggi TNI, AH Nasution dan TB Simatupang, untuk menata ulang militer. Hanya para prajurit yang berlatar belakang pendidikan kemiliteran Belanda (KNIL) yang akan diperhitungkan. Lainnya, mulai dari prajurit eks PETA hingga relawan, akan tersingkir. Campur tangan DPR menggagalkan rencana ini dengan mencopot jabatan Nasution beserta tujuh perwira daerah. Pihak militer merasa kaum politisi terlalu campur tangan dengan rumah tangga militer. Jadilah, pada tanggal 17 Oktober 1952, sejumlah petinggi militer memprakarsai sebuah demonstrasi di Jakarta. Semula massa mendatangi gedung parlemen, kemudian ganti haluan ke Istana Negara. Tuntutan mereka: pembubaran parlemen dan pengadaan pemilu sesegera mungkin. Tuntutan ini berpuncak

Lewat Djam Malam 71 Iskandar (AN Alcaff) dan Norma (Netty Herawati).

72 Lewat Djam Malam pada sejumlah tank mengarahkan moncong meriam ke Istana Negara. Peristiwa 1952 ini berujung buntu dan sejarah mencatatnya sebagai kudeta gagal. Pada momen historis macam inilah Lewat Djam Malam berteriak lantang, momen-momen kritis ketika pilihan yang tersedia hanyalah perubahan total, atau impian-impian revolusioner bapak dan ibu negara kita hanya akan berulang menemui jalan buntu. Lewat Djam Malam merupakan sketsa tentang revolusi salah jalan, ketika nilai-nilai kolektif yang dulu diperjuangkan kini telah beralih fungsi menjadi sarana pemuas diri. Di tahun 2012, 14 tahun setelah reformasi 1998, Indonesia tak juga lebih baik. Korupsi dan konspirasi masihlah menjadi pilar penyangga kehidupan bangsa negeri ini. Melalui Lewat Djam Malam, Usmar Ismail sesungguhnya menyuarakan penantiannya akan kedatangan Iskandar-Iskandar baru, Iskandar-Iskandar yang bisa mengadakan perubahan.

Lewat Djam Malam 73

Bulan Madu Panjang Militer dan Birokrasi

Windu W Jusuf

I Bagaimana membaca Lewat Djam Malam sebagai dokumentasi era pasca-perang dan sebagai kritik sosial yang masih bersuara di zaman kita? Ingatan orang biasanya langsung tertuju pada sutradaranya, Usmar Ismail. Ia dikenang karena tiga alasan: tiga film pertamanya bertema se­­putar revolusi fisik, keterlibatannya dalam prahara kebudayaan pada dekade 1960-an, dan keberadaan dia di kubu Kanan. Ketiganya sahih. Namun tidak relevan rasanya membaca Lewat Djam Malam ha­ nya dengan meng­andalkan­ rujukan ke sang sutradara beserta afiliasi politiknya. Rujukan sebatas itu bisa berujung pada kesimpulan sembrono. Analisis yang baik ti­dak mengandalkan kecurigaan belaka yang disa­mar­ kan sebagai konteks historis. Terlebih lagi ketika kita menyadari fakta bahwa tiga film pertama Usmar Ismail diproduksi ketika polarisasi politik belum meruncing. Pun, ti­dak seharusnya pula konteks mengurung teks dalam fakta-fakta keras ma­sa lampau. Karya seni yang baik selalu bisa bicara dalam konteks zaman yang berbeda. II Seandainya esai ini ditulis tahun 1998 hingga awal 2000-an, mungkin isu yang akan diangkat tidak akan jauh-jauh dari hubungan sipil-militer. Terlebih lagi jika kita ingat bahwa di tahun 1952 tank-tank diarahkan ke Istana Negara. Peristiwa ini adalah salah satu momentum penting dalam relasi sipil-militer di zamannya. A.H. Nasution dan T.B. Simatupang, dua pimpinan­ TNI tertinggi, menuntut restrukturisasi dan reorganisasi militer. Dalam rencana mereka, hanya para prajurit yang berlatar belakang pen­ didikan kemiliteran Belanda (baca: KNIL) yang boleh masuk struktur. Arti­nya, para prajurit bekas PETA, laskar, atau relawan akan tersingkir. Rencana­ tersebut gagal oleh campur tangan DPR, dan affair Oktober 1952 itu pun sekadar mengingatkan sipil untuk tidak mengutak-atik urusan militer.

Puja (Bambang Hermanto).

76 Lewat Djam Malam Sejarah mencatatnya sebagai kudeta yang gagal. Nasution dan Simatupang memang tersingkir, namun militer, terutama pada paruh kedua dekade 1950-an, semakin kokoh posisinya. Rujukan konflik sipil- militer­ yang lain tentunya adalah klaim kedua pihak tentang siapa yang ber­hak memegang kepemimpinan politik—sebuah sengketa yang telah berlangsung bahkan pada periode Revolusi Fisik. Namun apakah masalah sipil-militer dalam Lewat Djam Malam hanya terkait klaim kepemimpinan? Rasa-rasanya tidak. Melalui cerita Iskandar, bekas pejuang yang dihantui rasa bersalah, Lewat Djam Malam menuntun pembacaan yang berbeda mengenai konflik tersebut. Salah satunya menyangkut munculnya kelas-kelas baru pasca-Revolusi Fisik, yakni birokrasi dan militer. Karakter-karakter Lewat Djam Malam ada­lah representasi kelas yang sangat gamblang. Sebagai mahasiswa

Puja (Bambang Hermanto), Iskandar (AN Alcaff), dan seorang petani.

Lewat Djam Malam 77 teknik yang terjun ke kancah perang, Iskandar tergolong bagian dari kelas menengah era kolonial. Keluarga pacar Iskandar adalah keluarga biro­krat yang hobi menggelar pesta akhir pekan semalam suntuk. Kita pun menyaksikan dua sosok bekas tentara (eks-komandan Iskandar) yang setelah perang menduduki pucuk pimpinan perusahaan negara. Di luar itu masih ada Puja, rekan seperjuangan Iskandar yang kini menjadi penjudi merangkap germo. Periode Revolusi Fisik sendiri sedikit banyak mengubah konfigurasi kelas-kelas sosial di Indonesia. Dalam skema umum revolusi di negara- negara Dunia Ketiga pasca-Perang Dunia II, Indonesia menempati posisi unik semenjak absennya kelas borjuasi dalam perjuangan nasional. Berbeda dari revolusi-revolusi serupa di negara-negara lain, tidak ada ke­ kuat­an borjuasi nasional yang terbilang kokoh untuk menopang proyek- proyek pembangunan pasca-revolusi. Sebagian besar perusahaan di Indonesia pada tahun 1950 adalah milik Belanda, sementara elit-elit non- Belanda cenderung bergerak dalam usaha dagang. Kondisi ini menuntut negara menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang puncaknya terjadi pada tahun 1958. Upaya ini didukung oleh sebagian besar partai poli­tik, militer dan nasionalis radikal.1 Dukungan militer untuk menasionalisasikan perusahaan asing di sini harus dibaca dalam kaitannya dengan tindakan pendudukan jabatan- jabatan bisnis perkebunan dan politik lokal oleh tentara reguler, laskar- laskar, dan bandit selama Revolusi Fisik2. Artinya, langkah-langkah yang kemudian diambil negara telah diantisipasi jauh lebih dulu oleh angkatan bersenjata. Adapun kelompok elit lainnya duduk di jajaran birokrasi, yang struk­turnya semakin mapan semenjak akhir masa kolonial Belanda. Sepan­jang Revolusi Fisik, keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk

1 Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, Allen and Unwin, 1986. 2 Lihat catatan Robert Cribb dalam The Jakarta People’s Militia and The Indonesian Revolution, 1945-1949, Asian Studies of Australia, 1991.

78 Lewat Djam Malam mengu­kuhkan legalitas republik di mata dunia. Selain itu, berbeda dari elit-elit Belanda dan Tionghoa yang menjadi sasaran kemarahan massa di tahun-tahun 1945-46, posisi mereka relatif tidak terusik oleh revolusi. Pada perkembangannya terdapat banyak perusahaan negara yang berada di bawah kendali militer, sementara awak birokrasi, yang telah menjadi lahan usaha tersendiri, membengkak hingga dua kali lipatnya di masa Orde Baru.3 Kita pun mendapati borjuasi yang tidak berada di luar aparatus negara melainkan sudah ada sejak awal pendirian republik dalam tu­buh birokrasi dan militer sendiri. Relasi-relasi kelas dalam Lewat Djam Malam dapat dipahami sejauh dua kelas elit tersebut melahirkan pariah­nya masing- masing: para sukarelawan yang harus kembali ke ma­sya­rakat dan bekerja (atau menganggur), laskar-laskar sipil, serta bekas bandit yang kembali ke dunia hitam. Iskandar sendiri tidak akan men­dapatkan pekerjaan seandainya keluarga sang pacar bukan birokrat (sekali­pun ia hanya betah duduk di meja kerja satu hari). Sementara peker­jaan kedua yang segera ditampiknya berasal dari Gunawan, bekas koman­dannya yang kini menjabat direktur. Sewaktu perang, Gunawan pernah memerintahkannya mengeksekusi satu keluarga yang dicurigai mata-mata. Namun tentu saja Iskandar dijamin oleh statusnya yang pernah kuliah sebelum perang4. Tanpa status dan jaringan sosial tersebut, nasib­nya tidak akan berbeda jauh dari Puja, temannya seperjuangannya dulu.

III Melalui karakter Iskandar dan Puja inilah Usmar Ismail meletakkan di­ mensi kritik Lewat Djam Malam. Iskandar adalah kelas menengah yang

3 Benedict Anderson, “Exit Soeharto, Obituary for A Mediocre Tyrant”, New-Left Review 50, Maret- April 2008. 4 Dan status mahasiswa ini nampaknya juga menandakan latar belakang elit Iskandar.

Lewat Djam Malam 79 gagal mengidentifikasi diri dengan kelasnya sendiri, sementara Puja me­ wakili sosok prajurit yang dibuang dari kastanya sendiri dan akhirnya men­jadi prototipe sempurna lumpenproletarian yang serba pragmatis. Peranan Puja tidak hanya sampai di situ. Kedudukannya dalam narasi Lewat Djam Malam adalah sebagai pembanding posisi Gunawan. Singkatnya, seolah hanya ada dua macam kehidupan yang menanti seorang veteran setelah perang berakhir: kaya luar biasa atau melarat. Dua-duanya ditentukan oleh pangkat kemiliteran semasa perang serta kejelian mengail di air keruh. Tidak heran jika stigma melekat adalah “bekas pejuang jadi bandit” atau “bekas pejuang hidup enak”. Bagi Iskandar, status tersebut tentu sangat menyulitkan. Hari pertama kerjanya sudah diusik oleh cibiran “bekas pejuang” yang terlontar dari rekan-rekan sekantor. Ia merasa mirip dengan Gunawan yang cepat kaya dengan bermodalkan reputasi perang. Ia jijik ketika menyaksikan mantan komandannya itu mulai memakai retorika-retorika revolusioner untuk menjustifikasi diri sebagai “penguasa pribumi”. Sialnya lagi, dua lingkungan elit yang ditampik Iskandar pun senantiasa berkumpul di rumah kekasihnya, dalam pesta semalam suntuk yang dihadiri sosialita dan para hero revolusi pujaan para gadis. Bulan madu panjang antara militer dan birokrasi tidak pernah tergambar seintim ini. Tanpa membaca relasi kelas yang melatarbelakangi kisah tokoh- tokoh Lewat Djam Malam, sengketa sipil-militer hanya akan selesai pada pembacaan klise soal “dendam sejarah”, pada pertanyaan “siapa yang layak memegang kepemimpinan politik? Mereka yang berdiplomasi atau yang angkat senjata?” Tanpa membaca konteks ekonomi politik ini pula, ekspresi kekecewaan Iskandar hanya akan nampak sebagai kritik moral biasa yang lahir dari, misalnya, pilihan sutradara untuk menampilkan “pesimisme Barat limapuluhan” yang dipindahkan ke konteks lokal. Bisa juga terlihat seperti kritik legalistik-liberal yang menyerang korupsi dan ekses-ekses penyelewengan kekuasaan lainnya tanpa mempertanyakan

80 Lewat Djam Malam asal-usul dan cara beroperasi kekuasan itu sendiri. Dua-duanya terlalu simplisistis.

IV Hubungan antarkelas sosial adalah satu ihwal yang absen dari film-film propaganda bertema “kembali ke masyarakat” yang marak di tahun 1950-an. Namun jika soal antagonisme kelas ini dibawa ke bingkai politik pasca-revolusi yang lebih besar, persoalan yang diangkat dalam Lewat Djam Malam adalah bagaimana dinamika revolusi menentukan kondisi- kondisi sosial dan politik setelahnya, serta bagaimana pemerintahan baru harus mengkonfrontir berbagai macam masalah yang muncul sebagai ekses-ekses kekerasan revolusi maupun sisa-sisa kolonialisme (baca: menyelamatkan capaian-capaian revolusi itu sendiri). Maka ketika kita di zaman sekarang menyaksikan Lewat Djam Malam, pertanyaaan yang harus diajukan bukanlah “seperti apa wajah korupsi di zaman itu?”, melainkan “mengapa korupsi lahir bersama Republik dan terus langgeng secara struktural hingga kini? Tidak heran jika nyaris tidak ada film tentang Indonesia pasca- revolusi fisik semenjak Orde Baru sampai sekarang. Apa yang terjadi sepanjang dekade 1950-an (perpecahan politik, kebingungan menentukan arah pembangunan, marjinalisasi para veteran) adalah cermin terdekat dari apa yang terjadi selama pendirian Republik lima tahun sebelumnya. Proses-proses yang harus dilewati untuk menyebut diri sebagai sebuah bangsa ternyata mirip dengan apa yang harus dialami seorang anak dalam fase pertumbuhannya: sama-sama traumatis dan memalukan. Dalam korpus sinema Orde Baru dan setelahnya, Revolusi Fisik adalah proses yang padu dan beradab, dengan prajurit-prajurit Republikan bermoral luhur melawan Belanda yang bejat. Di antara kedua kubu tidak ada yang lain, kecuali wartawan Belanda yang simpatik, mata-mata pribumi, atau pemberontak yang menggembosi kekuatan Republik (DI/

Lewat Djam Malam 81 TII, PKI, dan sebagainya). Tugas revolusi pun direduksi sebagai upaya mengusir Belanda yang ingin kembali bercokol setelah kemerdekaan diproklamasikan. Lewat Djam Malam menunjukkan yang sebaliknya: Revolusi Fisik ternyata adalah proses yang brutal dan jauh dari tertib. Banyak eksekusi ilegal di sana-sini oleh kubu Republikan serta kerusuhan yang menyasar warga kulit putih/indo dan Tionghoa. Terdapat berbagai macam pihak yang ambil bagian dalam revolusi dan tak jarang saling bersengketa karena perbedaan-perbedaan kepentingan dan ideologi politik. Tugas-tugas sejati revolusi untuk membentuk masyarakat baru pun tidak banyak diceritakan. Dengan kata lain, dalam rezim representasi Orde Baru, revolusi pun mengalami depolitisasi. Ia tidak beda jauh dari jamuan makan malam yang rapi dan santun.

V Jika Lewat Djam Malam masih punya sesuatu yang ingin disampaikan hari ini, itu artinya peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya ceritanya harus dibuang. Hanya dengan itu ia masih tetap relevan sebagai sebuah bingkai, dengan segala potensi dan keterbatasannya, dalam mana epos di zaman kita diuturkan. Kita pun bisa berandai-andai momentum sejarah mana yang bisa dibincangkan lewat film ini—dengan kata lain, membayangkan sebuah remake Lewat Djam Malam. Yang pertama kali harus dilakukan adalah menempatkannya ke dalam jajaran tradisi film disiden alih-alih sekadar film perang. Subjek veteran tidak harus dipersempit ke dalam karakter eks-prajurit yang bernasib buruk, melainkan para pembaharu rezim atau pemberontak yang kecewa setelah perubahan politik yang disongsongnya gagal menepati janji. Adapun momentum historis yang dipilih tentunya, disadari atau tidak, mengandaikan sikap partisan. Sebagai contoh, film-film Sjuman Djaya, sang sutradara disiden, banyak mengkritik korupsi dan penyelewengan kekuasaan Orde Baru. Namun di satu sisi, kritik-kritiknya masih berada

82 Lewat Djam Malam dalam wacana kepolitikan Orde Baru. Dalam film Si Mamad, misalnya, kemiskinan digambarkan sebagai ekses buruk pembangunan sementara penderitaan orang kecil disuarakan oleh kelas menengah.5 Film ini seolah menuntut agar birokrat lebih jujur dan teknorat bersikap lebih populis, sekalipun telah diketahui bahwa Orde Baru sudah korup semenjak pendiriannya. Ketika menyaksikan Si Mamad, orang bisa tahu betapa kritik yang paling radikal terhadap rezim pada waktu itu mungkin hanya mendambakan semacam “Orde Baru yang berwajah manusia.” Maka, boleh jadi pertaruhan film-film disiden periode 1970-an adalah perubahan sistem dari dalam tanpa mengubah ruling ideology-nya. Di sisi lain, dengan adanya gambaran kelas menengah urban yang sa­ dar politik dan mengartikulasikan kepentingan kelas bawah, film Sjuman Djaya justru menyiratkan relasi kelas yang timpang, yang penggam­­ bar­­ ­ annya­ diharamkan dalam rezim representasi Orde Baru. Si Mamad pun menjadi counterpoint dari gerakan massa kelas bawah pra-1965, ketika isu-isu politik progresif yang (sayangnya) di zaman kita ter­lanjur di­ identifikasi sebagai wacana elit liberal urban seperti ge­rakan perem­puan dan anti-kekerasan justru diartikulasikan dalam nama kelas pekerja. Dari situasi yang terbalik ini orang pun terpancing untuk bertanya lebih lanjut: mengapa gerakan massa yang otentik dan ter­organisir hilang dalam lanskap politik setelah 1965 dan digantikan oleh bentuk- bentuk perjuangan yang serba legalistik? Inilah potensi yang layak dise­ ­ la­matkan. Apa kabar Indonesia pasca-1998? Ketika semua langkah-langkah legal untuk mengubah rezim relatif berhasil namun dalam praktiknya ambu­ ­radul, bagaimana film serupa Lewat Djam Malam bisa mengeks­ ­ pre­si­kan kekecewaan politik mereka yang berperan dalam perubahan

5 Krishna Sen, Indonesian Cinema: Framing the New Order, Zed Books, New York, 1994.

Lewat Djam Malam 83 ter­sebut? Lagi-lagi yang bisa diambil dari Lewat Djam Malam adalah re­pre­sentasi sosial karakter-karakter di dalamnya: Iskandar sebagai borjuis kecil yang kecewa, Puja si penjudi dan germo, dan Gunawan yang oportunis­ namun tetap memakai slogan-slogan revolusioner? Orang bisa me­la­kukan klasifikasi serupa di zaman ini: Tokoh A, mantan mahasiswa radikal yang kecewa dan memilih tidak berpolitik; tokoh B, rekan tokoh A, yang sekarang jadi bos preman; dan tokoh C, juga mantan mahasiswa, yang kini masuk dalam nomenklatura partai dan masih memakai slogan- slogan aktivis. Lewat Djam Malam berakhir pesimis. Kita tahu Iskandar mati di­ tem­bak patroli polisi—bukan kematian yang heroik. Kita juga tahu bah­ wa kemarahan Iskandar adalah ledakan biasa dan tidak politis. Dia tidak seperti karakter Johan, mantan pejuang yang segera menggalang gerakan­ perdamaian begitu revolusi selesai dalam film Tjorak Dunia (Bachtiar Siagian, 1956)6—sebuah “sekuel” Lewat Djam Malam, jika ada. Sosok Iskandar—ini juga yang menjadi keterbatasan Lewat Djam Malam—sekadar terpuruk dalam melankoli berkepanjangan. Tapi dari pesimisme itu kita pun senantiasa dituntut mengoreksi kegagalan-kega­ galan perubahan politik yang pernah terjadi seraya membayangkan ke­ mungkin­ ­an lain. Sebuah posisi yang tidak nyaman, tentunya.

6 Salim Said, “Revolusi Indonesia dalam Film-film Indonesia”, dalam Pantulan Layar Putih, Sinar Harapan, Jakarta, 1991.

84 Lewat Djam Malam Sinematek Indonesia

Lewat Djam Malam 85 Rak-rak penyimpanan film di Sinematek Indonesia. Apa Kami Hanya Pantas Menonton Film-film Rusak?

Sinematek Indonesia dan Generasi Indonesia Masa Depan

Lisabona Rahman

Perayaan untuk restorasi filmLewat Djam Malam hari ini tak bisa tidak akan membuat kita mengenang almarhum Misbach Jusa Biran, pendiri Sinematek Indonesia (SI). Sungguh sayang ia tidak sempat menyaksikan film ini pulih dan pulang ke Usmar Ismail Hall bersama kita semua. Ten­ tu tidak berlebihan jika saya katakan bahwa tanpa inisiatif almarhum Misbach bersama SM Ardan sejak tahun 1970 hingga berdirinya SI pada 1975, kita semua tak akan berada sini dan merayakan keberhasilan kerja sama kita semua. Tulisan ini adalah penghargaan bagi upaya kedua almar­ hum, sekaligus upaya untuk meneruskan kerja keras mereka. Kita patut bangga punya arsip film seperti SI. Almarhum Misbach ingin membuat suatu tempat untuk orang bisa menonton dan belajar dari film-film Indonesia klasik untuk mencegah ”orang film dewasa ini… meng­ulangi salah langkah yang dilakukan orang pada masa lampau.” Meskipun jelas bahwa almarhum ingin memberi tempat belajar bagi pem­ buat film Indonesia, tapi sesungguhnya yang ia hasilkan lebih dari seka­ dar itu. SI adalah rumah bagi harta budaya pecinta film dunia, pembuat film maupun bukan, yaitu kita semua yang hadir pada perayaan ini dan siapapun yang bersua dengan Lewat Djam Malam sebelum dan sesudah hari ini. Bagi saya dan kawan-kawan segenerasi, pembuat film maupun bukan, kali pertama menyaksikan karya-karya klasik film Indonesia adalah saat-saat magis yang bukan saja menggetarkan, tapi hampir selalu juga me­nyakitkan. Film-film berharga dari masa lalu itu kami tonton dalam keadaan terputus-putus, penuh goresan dengan suara yang kadang cem­ preng kadang hilang sama sekali. Betapa irinya kami pada orang-orang yang menontonnya di masa lalu dengan gambar yang mulus dan suara yang merdu. Pada hari ini, kita tak bisa tidak menengok ke belakang dan kagum akan gagasan bagus almarhum Misbach dan Ardan yang begitu maju dan menjadi inspirasi bagi masyarakat Asia. Gagasan luar biasa inilah yang me­mungkinkan saya dan generasi saya merasa bahwa kami pun punya akar dan kami adalah bagian dari sejarah panjang seni film Indonesia dan ikut merawatnya. Kami jadi bisa percaya bahwa sejarah bukan ha­ nya nyata bagi bangsa lain sementara kami hanya bisa menatap iri dan kagum. Kami, para penonton, memanjangkan nafas saat-saat bersejarah yang pernah diciptakan sebelum kami ada. Bersamaan dengan itu kita akan terhenyak sebentar dan bertanya, bagai­mana kiranya masa depan gagasan maju dan inspiratif itu pada hari ini, sesudah hampir empat puluh tahun lewat? Koleksi SI tidak terawat dan makin hari makin rusak. Koleksi yang dikumpulkan satu demi satu oleh al­marhum Misbach dan SM Ardan adalah harta budaya yang tak ter­ nilai, tapi saat ini dalam keadaan terpuruk dan tak terurus dengan baik. Barangkali paling tidak satu kali dalam setahun, kita membaca tulisan di

88 Sinematek Indonesia koran atau majalah nasional tentang kondisi SI yang makin hari makin buruk. Karena sudah terlalu sering diberitakan, mendengar kabar kondisi SI memburuk rasanya seperti mendengar rekaman ratapan usang tanpa ke­sudahan. Apakah ini berarti bahwa kami, saya dan generasi saya, hanya boleh menonton film-film klasik Indonesia dalam keadaan rusak? Apakah ini berarti bahwa generasi sesudah kami bahkan tidak diberi kesempatan menonton film-film itu sama sekali? Kondisi menyedihkan SI dan koleksi film klasik Indonesia bisa di­ ubah. Hari ini kita merayakan salah satu kabar gembira bahwa satu judul dari koleksi SI, Lewat Djam Malam, telah dipulihkan dengan kerja bersama berbagai pihak dari dalam negeri maupun antar-bangsa yaitu SI, Yayasan Konfiden, Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, National Museum of Singapore, L’immagine Ritrovata Bologna, Italia dan World Cinema Foundation, AS/Swiss. Memulihkan harta budaya yang telanjur rusak adalah kerja skala besar yang melibatkan bantuan banyak pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Kerja restorasi film ini adalah langkah pertama yang harus disusul langkah-langkah selanjutnya dengan judul-judul film lain yang penting untuk ingatan bersama akan budaya sinema Indonesia. Saya kira kami dan juga generasi setelah kami punya hak dan ingin ikut bangga serta merawat harta warisan budaya kami un­ tuk meneruskannya pada generasi berikutnya.

***

Ketertarikan dunia internasional terhadap proses restorasi dan pemutaran Lewat Djam Malam menunjukkan bahwa koleksi SI sangat penting untuk diapresiasi, dirawat, dan dipertunjukkan. Lima belas judul dalam koleksi ini sudah menjadi bagian dari ”Memory of The World: National Cinematic Heritage” UNESCO sejak tahun 1995 atas prakarsa almarhum Misbach yang masih menjabat sebagai Kepala SI pada waktu itu.

Sinematek Indonesia 89 Keberadaan SI sebagai pelaku aktif arsip film merosot tajam setelah Misbach Jusa Biran tidak lagi menjabat sebagai Kepala. Sejak itu hingga sekarang SI cenderung bekerja secara pasif, tidak lagi aktif mendorong apresiasi di dalam negeri maupun secara internasional. Ruang pemutaran film khusus sudah tidak ada lagi, kegiatan apresiasi film berhenti, kegiatan perawatan koleksi film hanya terbatas pada penyimpanan dengan kondisi yang kurang baik dan pembersihan kimiawi dengan alat-alat yang sama sekali tidak memadai. SI yang tadinya adalah salah satu pencetus seka­ ­ ligus pemula, pun tidak lagi bisa mempertahankan keanggotaannya di asosiasi arsip film internasional. Melihat skala kerja yang begitu besar dan mendesak, kiranya kita memerlukan langkah-langkah aktif untuk memulihkan harta budaya yang lama tidak dirawat. Koleksi SI yang berharga dalam bentuk buku, naskah,­ film, dan lain-lain membutuhkan tata kelola yang dirancang dan dijalankan oleh tenaga ahli yang saat ini belum ada dalam struktur lem­baga­nya. Sebagai lembaga, SI memerlukan rancangan kinerja baru dan bentuk pengelolaan yang baru supaya dapat memenuhi tantangan pengelolaan harta budaya sinema Indonesia saat ini dan untuk masa de­pan. Jika bentuk kelembagaan yang menaungi SI saat ini tidak lagi membuka kesempatan untuk menerima bantuan dan kerja sama demi perawatan koleksi SI, maka sudah saatnya SI diberi rancangan penge­ lolaan dan kelembagaan yang lebih baik. Mengelola arsip film seperti SI pada hari ini, 112 tahun setelah film tiba di tanah Nusantara, adalah tugas penting kita sebagai war­ga dunia. Memasuki abad yang lalu, film dan bentuk ciptaan gambar ber­gerak lainnya sudah menjadi bagian penting dari peradaban manusia. Para ahli warisan budaya dunia mengakui bahwa gambar bergerak telah menjadi­ media paling berpengaruh dalam sejarah manusia modern yang telah membentuk cara pikir manusia sejak abad ke-20. Kita, warga Nusan­tara, bukan saja telah ikut menikmati jutaan karya cipta gambar bergerak dari

90 Sinematek Indonesia seluruh dunia, tapi telah ikut pula mencipta. Hingga hari ini tercatat hampir 3.000 judul film cerita panjang pernah diciptakan sejak tahun 1926. Sejak saat itu hingga hari ini karya cipta dari wilayah Nusantara sudah menghibur dan memukau jutaan penonton di seluruh dunia. Sejarah yang diciptakan oleh karya film cerita Nusantara telah hidup hampir 90 tahun, melampaui masa susah dan senang, kejayaan dan kehancuran, waktu damai dan perang. Sesulit apapun keada­an, ribuan pencipta film Nusantara senantiasa menghasilkan karya film. Sejak abad yang lalu, tentu sudah lebih dari ratusan juta orang di seluruh dunia terpesona, menangis, tertawa, dan (tentu pula) ditakut-takuti oleh buah tangan para pencipta Nusantara. Bukankah daftar panjang penca­paian ini sudah sepatutnya kita hargai sebagai harta budaya yang bernilai tinggi? Bukankah upaya menyimpan, merawat, dan memutarkan film-film itu berarti juga menjunjung kenangan ratusan juta warga dunia, ter­masuk warga Nusantara, dan mewariskannya untuk generasi demi generasi mendatang? Akhirnya kita sampai pada pertanyaan, dari hampir 3.000 judul karya cipta Nusantara selama ini, berapa banyak yang tersisa? Saat ini karya film yang layak tonton dalam koleksi SI tidak sampai sepersepuluhnya. Lewat Djam Malam barulah satu dari hampir 3.000 karya dalam sejarah kita. Kalau kita tidak bekerja lebih keras lagi sejak sekarang, tak perlu menunggu sampai generasi berikutnya lahir, kita akan kehilangan seja­ rah film kita sendiri. Saya dan generasi saya yakin, kita semua tidak akan membiarkan ini terjadi. Sekaranglah saatnya mulai terlibat dan me­ mastikan kita tidak hanya tinggal diam disuguhi film-film rusak.

***

Proses yang kita jalankan untuk Lewat Djam Malam, selain membuktikan bahwa kita masih punya harapan, juga mengajari kita beberapa hal.

Sinematek Indonesia 91 Pertama, jika kita bekerja lebih keras dan terarah, harta budaya yang di­ simpan SI yang saat ini makin tenggelam, bisa diselamatkan dan dipu­lih­ kan kembali untuk dibagi kepada publik saat ini maupun generasi men­ datang. Kedua, koleksi SI bisa diselamatkan dengan perawatan profesional yang sayangnya belum menjadi bagian sumber daya internal SI. Sebagai lembaga, SI perlu membuka diri untuk diperbarui dan menjadi lembaga arsip profesional atau bekerja sama dengan lembaga arsip profesional. Ketiga, dukungan internasional sangat penting dalam menyelamatkan koleksi SI karena memungkinkan pertukaran keahlian di bidang pelak­ sanaan proses kerja restorasi (baik dari segi manajemen maupun teknik res­torasi). Terakhir, dukungan dan perhatian yang ditunjukkan oleh pri­ badi maupun lembaga di Indonesia menunjukkan bahwa proses restorasi ini bisa diteruskan pada judul-judul lain yang penting bagi sejarah film Indonesia dengan lebih banyak melibatkan pihak-pihak di Indonesia. Restorasi Lewat Djam Malam membutuhkan waktu keseluruhan dua ta­hun dan melibatkan bukan saja lembaga arsip dan restorasi film, tapi ju­ga kerja sama keluarga Usmar Ismail serta para profesional di bidang distri­­busi dan pemutaran film hingga festival internasional terkemuka se­ perti Cannes Film Festival. Proses kerja yang sama juga melibatkan orang- orang dari generasi yang berbeda dan dengan bangga saya harus menya­ ta­ ­ kan, mewakili generasi saya, bahwa kami tidak tinggal diam saja. Ini adalah langkah awal untuk mengajak lebih banyak orang dan lembaga Indonesia untuk melibatkan diri karena hanya dengan bekerja sama kita bisa mengubah judul berita tentang sejarah sinema di media massa kita dari ratapan dan ungkapan iba, menjadi lontaran semangat dan kebanggaan. Tentu saja ini bukan pekerjaan mudah dan cepat, tapi jelas bahwa kita semua bisa membuatnya mungkin terjadi.

Amsterdam, Mei 2012

92 Sinematek Indonesia Catatan dari Ruang Penyimpanan Film Sinematek Indonesia Hanya 14 Persen yang Tersimpan dan dalam Kondisi Memprihatinkan

Arie Kartikasari

Tempat penyimpanan koleksi film dengan format seluloid, yang dimiliki Sinematek Indonesia (SI) terletak di lantai basement Gedung Pu­sat Perfilman Haji Usmar Ismail. Ruangan besar bersuhu dingin, berisi rak pe­nuh tumpukan reel film. Ada empat karyawan yang bekerja di bagian pe­nyim­panan dan pemeliharaan film. Perawatan film di SI dilakukan berdasarkan urutan rak penyimpanan, setiap hari karyawan bagian pemeliharaan film bisa membersihkan dua-tiga judul film, tergantung jumlah reel-nya. Dengan­ SDM sejumlah itu serta peralatan manual, maka perawatan dan pen­catatan kondisi seluruh isi ruang penyimpanan film bisa memakan waktu dua tahun. Kerusakan film dibagi menjadi dua jenis. Kerusakan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan kerusakan yang berasal dari medium film itu sen­diri (internal). Firdaus, salah satu karyawan, menjelaskan bahwa proses perawatan dilakukan dengan cara menghambat kerusakan, karena pada dasarnya materi seluloid sendiri tetap akan rusak, namun dengan pera­watan yang baik umur film bisa bertahan hingga ratusan tahun. Masa­lah alami seperti tingkat keasaman yang tinggi, dapat menyebabkan penyusutan pada perforasi, serta bentuk film yang bergelombang. Hal ini dapat menyebabkan film jadi rapuh. Sedangkan untuk faktor eksternal ma­salah yang dihadapi biasanya adalah film yang berjamur dan berair, karena pengaruh suhu dan udara. Kerusakan itu sendiri dibagi menjadi dua tahapan, yaitu kerusakan ringan dan kerusakan berat. Pada tahap kerusakan ringan biasanya ting­ kat keasaman film sudah mencapai 2-2,5 persen, warna yang mulai ke­

Peralatan tua yang digunakan untuk merawat film.

94 Sinematek Indonesia Contoh dari negatif Lewat Djam Malam yang tergores.

Tempat penyhimpanan poster dll di Sinematek Indonesia yang seadanya.

Sinematek Indonesia 95 me­­rahan pada film berwarna, serta gambar yang mengalami goresan halus. Kerusakan ringan ini biasanya diatasi dengan cara membersihkan film dengan cairan trichloroethanol yang terbatas suplainya, sehingga ha­rus dihemat. Perawatan semacam ini hanya bisa berpengaruh pada asam, dan tidak berpengaruh banyak pada warna yang kemerahan ser­ta gambar yang tergores. Kerusakan pada tahapan yang sudah berat biasa­ nya diawali oleh tingkat asam yang melebihi batas 3%. Tingkat asam yang tinggi akan membuat film jadi bergelombang dan perforasi pun men­jadi susut dan rapuh. Apabila perforasi susut dan rapuh namun tetap di­pak­sa­ kan untuk diputar, maka perforasi pun akan mudah sobek. Bukan tidak mungkin perforasi yang sobek juga dapat berlanjut dengan gambar yang ter­kelupas. Dengan keterbatasan fasilitas yang ada di SI, tidak banyak yang bisa dilakukan apabila hal ini terjadi. Bagian pemeliharaan hanya bisa membersihkannya dengan cairan dan memperbaiki perforasi secara manual dengan transparant tape. Film dengan jenis kerusakan berat seperti ini tentu saja tidak diperbolehkan untuk diputar. Untuk kerusakan yang dipicu oleh faktor eksternal, permasalahan yang sering terjadi adalah masuknya jamur ke dalam pita film melalui

Grafik Jumlah Koleksi Rusak

Jumlah Film Rusak ringan Rusak berat Tidak lengkap

96 Sinematek Indonesia per­tu­karan udara. Sebelumnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara menyertakan paraformaldehyde ke dalam reel film yang sudah melalui pro­ses perawatan. Metode pemberian bubuk berwarna putih, yang ber­ fung­si sebagai disinfektan itu, kini sudah tidak pernah dilakukan lagi, kare­na anggaran yang terbatas. Suhu dan kelembaban ruangan merupakan hal penting dalam pera­ watan film. Ruang penyimpanan film di SI memasang suhu standar 10°- 12° Celcius dan kelembaban 45-65 %. Dalam beberapa kasus kerusakan pada koleksi film, asal mula datangnya koleksi juga berpengaruh. Contoh kasusnya­ adalah kondisi gambar film yang mulai terlihat kemerahan, saat beberapa judul film Indonesia datang dari tempat penyimpanannya di Hongkong pada tahun 1998.

Hanya 14 persen dan banyak yang rusak Pada tempat penyimpanan film di SI terdapat 414 judul yang terdiri dari 84 negative copy, 17 judul hitam-putih dalam format 16mm, 58 judul berwarna dalam format 16mm, 53 judul hitam-putih dalam format 35mm,

Perbandingan Koleksi dengan Film Beredar

Koleksi Sinematek Indonesia Jumlah film beredar

Sinematek Indonesia 97 dan 235 judul berwarna dalam format 35mm. Selain itu masih ada koleksi dokumentasi dengan format seluloid sejumlah 313 judul. Ruang penyimpanan film SI tidak hanya menyimpan film koleksi sendiri, tetapi ada juga beberapa film titipan rumah produksi. Untuk perio­de 1950an tercatat 65 judul film yang dikoleksi oleh SI atau sekitar 17 persen dari 386 judul film beredar yang tercatat di Katalog Film Indonesia (KFI). Maka angka 414 judul dari tahun 1939 sampai dengan tahun 2011 ter­sebut sangat kecil apabila dicocokkan dengan data film beredar yang ter­catat di KFI, yaitu 2.914 film sampai dengan tahun 2011, atau hanya 14 persen saja. Dengan koleksi yang sangat sedikit ini pun kondisinya banyak yang mem­prihatinkan. Dari data kategori kerusakan seperti yang dicatat petu­ gas SI, terdapat sejumlah film yang harus segera ditangani: 1. Dari 84 negative copy yang tersimpan, 37 judul di antaranya tidak lengkap. 2. Seluruh koleksi 16mm hitam-putih tidak dapat diputar karena rusak dan tidak lengkap. Sedangkan delapan judul dari koleksi 16mm berwarna, sudah mengalami kerusakan ringan. 3. 23 judul format 35mm hitam-putih masuk kategori rusak dan tidak dapat diputar, 10 di antaranya dalam kondisi tidak lengkap. Dari sisa film yang dapat diputar sekitar tujuh judul mengalami kerusakan ringan. 4. Dari 235 judul film berwarna format 35mm, sembilan di antaranya tidak dapat diputar karena rusak dan 36 film yang dapat diputar mengalami kerusakan ringan.

Tidak jelasnya standar pencatatan, serta pengerjaan kondisi terbaru yang memakan waktu dua tahun lamanya, membuat angka-angka da­ lam daftar ini tidak bisa dianggap mendekati kenyataan. Oleh karena itu membuat catatan yang baru secara detail, serta memiliki kategori kon­

98 Sinematek Indonesia Daftar Film dalam Kondisi Kritis Per November 2011

disi film yang lebih baik adalah pekerjaan rumah pertama kita. Selain itu juga memeriksa kembali dan membenahi fasilitas serta suplai bahan perawatan yang sudah ada. Selain memperbaiki film yang rusak, yang juga harus diperhatikan adalah kurangnya koleksi yang dimiliki oleh SI. Hal ini cukup penting untuk dilakukan mengingat kita hanya memiliki 14 per­sen dari keseluruhan warisan nasional dalam bentuk film.

Sinematek Indonesia 99 Kondisi Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak Rusak berat. Rusak 35mm

7/1 5/1 4/1 5/1 6/1 5/1 6/1 8/1 6/1 6/1 4/1 6/1 6/1 6/1 4/1 5/1 5/1 5/1 5/1 5/1 5/1 3/1 J umlah Can/Copy Print Kondisi 16mm Baik. Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak Rusak berat, tidak lengkap. Rusak

2/1 4/1 3/1 2/1 2/1 2/1 3/1 2/1 2/1 2/1 1/1 1/1 2/1 2/1 3/1 2/1 3/1 1/1 J umlah Can/Copy ------3 5 + 0 D N +DP ------N egative G +S 4 + 3 8 + 6 0 + 9 11 + 10 Per November Per 2011 F ilm dalam Kondisi Kritis Sutradara Daftar Daftar Hasmanan Samsul Fuad Dhira Soehoed Teguh Karya Teguh Edwart P. Sirait Edwart P. Teguh Karya Teguh Teguh Karya Teguh Misbach Yusa Biran Yusa Misbach Asrul Sani Wahyu Sihombing Wahyu Jacob Harahap Wim Umboh/ Misbach Yusa Biran Yusa Umboh/ Misbach Wim Wahyu Sihombing Wahyu Amir Jusuf/ B.Supardi RM Soetarto Hu Basuki Effendi Hu Bachtiar Effendy, Rd Ariffien Rd Bachtiar Effendy, Basuki Effendi, Rendra Karno Basuki Effendi, Rendra Bachtiar Effendy Wahju Hidajat Wahju Tan Sing Hwat Tan Bambang Sudarto Basuki Effendi Ratna Asmara Ratna Kotot Sukardi Kotot Bachtiar Effendy Moh Said HJ dr Huyung Moh Said HJ Usmar Ismail Usmar Ismail Andjar Asmara Andjar Tan Tjoei Hock Tan Asmara Andjar Tan Tjoei Hock Tan Bersaudara Wong J udul Kemilau Kemuning Senja (W) Kemuning Kemilau Tuan, Nyonya Dan Pelayan (W) Nyonya Dan Pelayan Tuan, Petualang Cilik (W) Petualang Perkawinan Dalam Semusim (W) Perkawinan Chicha (W) Cinta Pertama (W) Cinta Pertama Wajah Seorang Laki-laki (W) Wajah Honey, Money And Jakarta Fair (W) Money Honey, Tauhid (HP) Tauhid Impian Bukit Harapan (HP) Air Mata Darah (HP) Bintang Ketjil (HP) Bintang Ketjil Balada Kota Besar (HP) Balada Kota Sepiring Nasi (HP) Djajaprana (HP) Ada Gula Ada Semut (HP) Ada Gula Si Melati (HP) Derita (HP) Antara Tugas Dan Tjinta (HP) Dan Tugas Antara Rentjong Dan Surat (HP) Rentjong Meratjun Sukma (HP) Belenggu Masjarakat (HP) Bawang Merah Putih (HP) Kumala Dewa Dewi (HP) Kumala Pulang (HP) Dr. Samsi (HP) Dr. Si Pintjang (HP) Si Pintjang Djiwa Pemuda (HP) Djiwa Pemuda Untuk Sang Merah Putih (HP) Antara Bumi Dan Langit (HP) Inspektur Rachman (HP) Tjitra (HP) Harta Karun (HP) Gadis Desa (HP) Srigala Item (HP) Djaoeh Dimata (HP) Matjan Berbisik (HP) Sembrani (HP) Koeda 1980 1977 1977 1976 1976 1973 1971 1970 1964 1964 1964 1963 1963 1960 1955 1955 1954 1954 1954 1953 1953 1953 1953 1952 1952 1952 1951 1951 1950 1950 1950 1949 1949 1949 1941 1948 1940 1941 Tahun 8 9 7 6 5 3 4 1 2 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16 14 15 13 12 11 10 N o.

100 Sinematek Indonesia Kondisi Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan, Rusak tidak lengkap. Rusak berat. Rusak 35mm

5/1 6/1 5/2 5/1 6/1 6/1 5/1 6/1 5/1 6/1 6/1 7/2 6/1 5/1 6/1 5/2 5/1 5/1 5/2 6/1 6/1 8/1 7/1 6/1 7/1 5/1 6/1 6/1 5/1 5/1 6/1 15/1 10/1 10/1 J umlah Can/Copy Print Kondisi 16mm Rusak ringan. Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak ringan. Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak ringan. Rusak ringan. Rusak

2/1 2/1 2/1 2/1 2/1 2/1 2/1 2/1 J umlah Can/Copy D N +DP N egative G +S 12 + Sutradara Chaerul Umam Sjuman Djaya Slamet Rahardjo Sjuman Djaya Abrar Siregar Arifin C Noer Lilik Sudjio Chaerul Umam Ismail Soebardjo IM Chandra Adi IM Chandra Arifin C Noer Kurnaen Suhardiman Kurnaen Mochtar Soemodimedjo Usman Effendy Sjuman Djaya Mochtar Soemodimedjo Bobby Sandy Umboh Wim Arifin C Noer Teguh Karya Teguh Lukman Hakim Nain Lukman Hakim Nain Bobby Sandy Wim Umboh Wim Teguh Karya Teguh Sjuman Djaya Sjuman Djaya Wahab Abdi Wahab Nico Pelamonia Amin Kertarahardja Alam Surawidjaja Nja Abbas Akup Abbas Nja Asrul Sani Misbach Jusa Biran S. Waldi/ Sjarieffudin S. Waldi/ Turino Djunaidy Turino R. Iskak Gatut Kusumo Bachtiar Siagian Wim Umboh Wim MT. Risyaf MT. J udul Kejarlah Daku Kau Kutangkap (W) Daku Kau Kutangkap Kejarlah Kerikil Kerikil Tajam (W) Tajam Kerikil Kerikil Kembang Kertas (W) Kertas Kembang Budak Nafsu (W) Sorta (Tumbuh Bunga Di Sela Batu) (W) Sorta (Tumbuh Pengkhianatan G 30 S/ PKI (W) Pengkhianatan Manusia Berilmu Gaib (W) Gadis Marathon (W) Perempuan Dalam Pasungan (W) Dalam Pasungan Perempuan Hilangnya Sebuah Mahkota (W) Yuyun Pasien Rs.Jiwa (W) Pasien Yuyun Sinila (Peristiwa Gunung Dieng) (W) Sinila (Peristiwa Tuan Besar (W) Tuan Satu Malam Dua Cinta (W) Kabut Sutra Ungu (W) Inem Nyonya Besar (W) (W) Kekasih Cintamu (W) Kugapai (W) Suci Sang Primadona Badai Pasti Berlalu (W) Badai Pasti Malam Pengantin (W) Malam Pengantin Cinta Rahasia (W) Sentuhan Cinta (W) Senyum Dipagi Bulan Desember (W) Kawin Lari (W) Si Mamad (W) Si Doel Anak Betawi (W) Si Doel Segenggam Harapan (W) Laki Laki Pilihan (W) Laki Pilihan Ayah (Akhirnya Kau Sadar) (W) Ayah Perawan Disektor Selatan (W) Perawan Matt Dower (HP) Apa Jang Kau Tjari Palupi? (W) Tjari Palupi? Apa Jang Kau Operasi X (HP) Petir Sepandjang Malam (HP) Petir Madju Tak Gentar (HP) Tak Madju Djiwa Kolonial (HP) Djiwa Kolonial Penjebrangan (HP) Penjebrangan Violeta (HP) Violeta Terang Bulan Terang Di Kali (HP) Terang Bulan Terang Bawalah Aku Pergi (W) Aku Pergi Bawalah 1985 1984 1984 1983 1982 1982 1981 1981 1980 1980 1979 1979 1977 1978 1979 1977 1977 1977 1977 1977 1975 1976 1976 1974 1974 1973 1973 1973 1973 1973 1971 1969 1969 1968 1967 1965 1964 1963 1962 1956 1981 Tahun 79 78 77 76 75 74 73 72 71 70 69 68 65 66 67 61 62 63 64 60 57 58 59 56 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 40 39 N o.

Sinematek Indonesia 101 Kondisi Tidak lengkap. Tidak lengkap. Tidak Tidak lengkap. Tidak Tidak lengkap. Tidak Tidak lengkap. Tidak Tidak lengkap Tidak Tidak lengkap. Tidak Tidak legkap. Tidak Tidak lengkap. Tidak Tidak lengkap. Tidak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak Rusak ringan. Rusak 35mm

9/1 4/1 3/1 2/1 3/1 4/1 4/1 3/1 5/1 3/1 6/1 6/1 4/1 5/1 5/1 7/1 5/2 5/1 5/1 5/1 5/12 J umlah Can/Copy Print Kondisi 16mm

J umlah Can/Copy 9 ada 9 + 0 D N +DP - - N egative G +S 0 + 9 9 + 10 + 10 + Sutradara Nawi Ismail Wim Umboh Wim Soedarso WK R. Hu Hu Wu Tsun Wu TanTjoei Hock TanTjoei Tan Tjoei Hock Tan Tan Koen Yauw Koen Tan Slamet Rahardjo Slamet Rahardjo Adisoerya Abdy Adisoerya Henky Solaiman Maman Firmansjah Jimmy Atmaja Jimmy Slamet Rahardjo Sophan Sophiaan Sam Sarumpaet Chaerul Umam Pitrajaya Burnama Pitrajaya J udul Serodja (HP) Dibalik Dinding (HP) Merapi (HP) Klenting Kuning (HP) Klenting Kuning Tiga Benda Adjaib (HP) Benda Tiga Surja (HP) Seribu Satu Malam (HP) Tengkorak Hidoep (HP) Tengkorak Singa Laoet (HP) Gagak Item (HP) Marsinah (Cry Justice) (W) Telegram (W) Telegram Wanita (W) Wanita Suamiku Sayang (W) Disini Senang Disana (W) Nuansa Birunya Rinjani (W) Langitku Rumahku (W) Langitku Rumahku Arini, Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat Yang Ada Kereta Arini, Masih (W) Pacar Pertama (W) Pertama Pacar Keluarga Markum (W) Keluarga Don Aufar (W) Don 1958 1955 1954 1954 1952 1952 1942 1941 1941 1939 2000 1997 1990 1990 1990 1989 1989 1987 1986 1986 1986 Tahun 99 98 97 96 95 94 93 92 91 90 89 88 87 86 85 84 83 82 81 80 100 Keterangan: Keterangan: G: Gambar S: Suara DN: Dupe Negatif DP: Dupe Positif N o.

102 Sinematek Indonesia Sahabat Sinematek Inisiatif Warga Menyelamatkan Sejarah

Totot Indrarto

Restorasi Lewat Djam Malam oleh National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation di satu sisi sangat menggembirakan ka­ rena telah menyelamatkan film terbaik Indonesia sepanjang masa yang kebetulan dibuat oleh perintis film nasional, tetapi di sisi lain seperti me­ nam­par wajah kita sendiri. Mengapa justru orang-orang dan institusi asing yang lebih peduli pada salah satu warisan budaya terpenting Indonesia? Tamparan itu semakin terasa menyakitkan karena proyek restorasi ini untuk kesekian kalinya menyadarkan kita betapa teledor bahkan tidak peduli­nya bangsa ini pada infrastruktur pengarsipan harta kekayaannya sen­diri. Lebih menyakitkan lagi, tidak ada satu orang pun di negeri ini, bahkan­ pemerintah, yang tahu bagaimana cara menyelamatkan koleksi tak ternilai yang tersimpan di pusat dokumentasi dan informasi perfilman Sinematek Indonesia. Walaupun demikian, proyek restorasi ini telah memberikan banyak­ pelajaran berharga mengenai bagaimana sebaiknya preservasi film- film koleksi Sinematek lainnya dilakukan. Pelajaran lain, selain ketidak­ ­ pedulian pemerintah, Sinematek dan Yayasan PPHUI (Pusat Perfilman H. Usmar Ismail) yang menaunginya ternyata mempunyai banyak ke­ter­ batasan, sehingga menyulitkan keduanya melakukan kegiatan komersial guna menghimpun dana, termasuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak yang ingin membantu. Beberapa tahun lalu sejumlah penggiat film yang aktif di Komite Film DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dan Kineforum – antara lain Abduh Aziz, Alex Sihar, Farishad Latjuba, Lisabona Rahman, Riri Riza – berinisiatif mem­bentuk komunitas Sahabat Sinematek. Tujuannya, melakukan peng­ ga­langan dana masyarakat untuk membantu Sinematek. Tapi gagasan itu ke­mudian tidak berlanjut. Kembali belajar dari pengalaman proyek restorasi ini, jika kita ingin melakukan inisiatif atau memberikan bantuan serupa, sebaiknya dila­ ku­kan oleh organisasi legal-formal yang memang khusus bekerja untuk tujuan itu, karena membutuhkan korespondensi intens dan banyak perikatan dalam bentuk perjanjian-perjanjian nasional dan internasional yang rumit dan sangat formal.

Sahabat Sinematek Untuk memanfaatkan momentum peluncuran hasil restorasi Lewat Djam Malam di Indonesia, muncul gagasan menghidupkan kembali dan mem­berdayakan Sahabat Sinematek sebagai badan hukum berbentuk perkumpulan non-profit. Sebagai organisasi legal-formal, diharapkan ia lebih dapat mengikat komitmen para anggotanya, lebih memiliki legiti­ masi menyelenggarakan penghimpunan dana dan sumbangan lain dari masyarakat, lebih leluasa mengikat perjanjian kerja sama dengan berbagai pihak, serta lebih flesksibel melakukan lobi-lobi yang diperlukan, termasuk kepada pemerintah dan parlemen. Perkumpulan ini merupakan entitas di luar Sinematek yang secara

104 Sinematek Indonesia inde­penden melakukan berbagai inisiatif, usaha, dan kerja sama guna memberikan bantuan berkelanjutan kepada Sinematek. Dua minggu sebe­lum meninggal, pendiri Sinematek Misbach Jusa Biran melontarkan keinginan­nya agar perkumpulan ini bisa benar-benar terbentuk dan berjalan. Saat itu bahkan ia menawarkan diri menjadi semacam penasehat bersama JB Kristanto, penerima Lifetime Achievement Award FFI 2011 atas jasanya mendokumentasikan data-data film Indonesia sejak 1926 sampai sekarang. Saya dan Alex Sihar yang ditugaskan mempersiapkan pembentukan perkumpulan ini juga telah melakukan diskusi dengan sejumlah teman dari kalangan perfilman untuk mematangkan bentuk, konsep, dan garis besar program, antara lain Zairin Zain, A Rahim Latief, Riri Riza, Farishad Latjuba, Ronny P Tjandra, Yoki Soufyan, Salman Aristo, dan lain-lain. Se­ mua menyambut baik gagasan tersebut dan bersedia membantu apabila diperlukan. Hasil diskusi itu kemudian kami sampaikan kepada Ketua Sinematek Indonesia Berthy L Ibrahim dan Ketua Yayasan PPHUI Djonny Syafruddin. Kesimpulannya, sebelum pemerintah menganggap penting infra­ struktur pengarsipan dengan menunjukkan perhatian serius dan memberikan jalan keluar yang kongkret untuk keberlangsungan Sinematek secara layak, inilah satu-satunya pilihan yang tersedia seka­ rang. Sebuah upaya bersama warga negara yang peduli untuk menye­ lamatkan dokumentasi sejarah perfilman Indonesia, yang berarti masa lalu sekaligus masa depan budaya bangsanya. Sesuai bentuknya, keanggotaan perkumpulan ini bersifat perorangan. Keanggotaan terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia yang pe­ duli dan mempunyai komitmen jangka panjang untuk memperbaiki Sinematek. Selain iuran berkala, yang antara lain akan digunakan untuk membiayai­ operasional organisasi, setiap anggota diharapkan bisa mem­ berikan komitmen minimal satu dukungan lain yang diperlukan untuk

Sinematek Indonesia 105 melaksanakan­ program-program perkumpulan. Bisa berupa sumbangan tetap, bantuan keahlian, kesediaan menjadi relawan, dan lain-lain. Rapat Umum Anggota pertama, yang dihadiri anggota-anggota pen­ diri, menyepakati pembentukan perkumpulan dengan nama Sahabat Sinematek, mensahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), serta memilih Badan Pengawas dan Badan Pengurus periode 2012-2015. Selanjutnya Badan Pengurus akan menyusun program kerja jangka pendek dan jangka panjang serta membuka pendaftaran anggota baru. Secara garis besar, program kerja perkumpulan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Penghimpunan Dana dan Sumbangan Lain 2. Bantuan Program untuk Sinematek

Di samping iuran berkala dan komitmen sumbangan tetap dari ang­ gota serta pendapatan dari eksploatasi ekonomi film-film yang direstorasi dengan bantuan Sahabat Sinematek, pemasukan perkumpulan ber­ sumber dari penggalangan dana serta sumbangan lain, seperti peralatan dan perlengkapan kerja, dari masyarakat. Bisa perorangan atau organi­ sasi, perusahaan, komunitas, dan lain-lain. Penggalangan dana dan sumbangan lain dari masyarakat itu akan di­ lakukan­ secara terorganisir untuk suatu program bantuan tertentu kepa­ da Sinematek. Misalnya, untuk pembersihan jamur pada film seluloid, pengem­bangan pustaka digital, renovasi gudang penyimpanan film, dan lain-lain. Dengan demikian, penghimpunan dana dan sumbangan lain untuk setiap bantuan program sangat terukur nilai atau besaran targetnya. Selain itu masyarakat penyumbang bisa memilih penggunaan sumbangannya untuk program bantuan yang dikehendaki.

106 Sinematek Indonesia Bantuan Program Telah disepakati bahwa Sahabat Sinematek tidak akan memberikan bantuan berupa uang kepada Sinematek. Bantuan diberikan dalam bentuk program, mulai dari pembiayaan sampai tenaga relawan (jika diperlukan), serta peralatan atau perlengkapan kerja yang dibutuhkan. Bantuan program untuk Sinematek akan difokuskan pada dua hal, yaitu:

1. Akuisisi Dalam beberapa tahun terakhir Sinematek kesulitan melakukan akuisisi untuk melengkapi koleksinya karena keterbatasan anggaran. Perkumpulan ini akan membantu melakukan akuisisi dengan men­jalin komunikasi instensif dan kerja sama jangka panjang dengan produser film (untuk menyimpan kopi seluloid dan digital filmnya sete­lah masa tayang bioskop berakhir), distributor home video (untuk me­nyum­ bangkan kopi DVD/VCD setiap judul yang diedarkan), penerbit buku (un­ tuk menyumbangkan beberapa eksemplar buku terbitannya yang berkait­ an dengan film), penerbit media cetak (untuk memberikan fasilitas ber­ lang­ganan gratis), dan lain-lain. Intinya adalah bagaimana bisa terus me­ nambah­­ koleksi Sinematek, sebisa mungkin tanpa mengeluarkan biaya. Badan Pengurus akan membentuk tim kurator untuk memilih film-film dan koleksi lain yang akan diprioritaskan untuk disimpan di Sinematek. Tim itu juga yang nanti akan menyusun daftar prioritas film- film untuk direstorasi berdasarkan nilai penting estetika, sejarah, dan konteksnya.

2. Preservasi Program ini akan dilakukan secara bertahap. Untuk koleksi film, misalnya, dimulai­ dari pembersihan jamur pada seluloid, penggantian tempat pe­ nyimpanan­ dari kaleng ke plastik, pencatatan kondisi setiap film, dan

Sinematek Indonesia 107 seterus­nya. Begitu pula untuk poster, skenario, foto, buku, majalah/koran, dan koleksi-koleksi lain. Setelah itu perkumpulan akan mengembangkan sistem kepustakaan digital yang tersambung ke jaringan internet. Selanjutnya adalah resto­ rasi yang, mengingat biayanya yang relatif besar, akan ditawarkan da­lam bentuk adopsi kepada sponsor yang berminat berdasarkan urutan prio­ ritas yang disusun oleh tim kurator. Apabila Anda tertarik untuk mengetahui lebih lanjut, menyampaikan ide/gagasan, atau ingin bergabung menjadi anggota Sahabat Sinematek, silakan layangkan­ surat elektronik ke alamat [email protected].

108 Sinematek Indonesia Terima Kasih

Sinematek Indonesia 109 Seluruh peristiwa yang telah berlangsung tidak akan terlaksana tanpa dukungan:

Lembaga l National Museum of Singapore l World Cinema Foundation l Sinematek Indonesia l L’Immagine Ritrovata l Kompas TV l Cineplex 21/XXI l Blitz Megaplex l Jive! Collection l Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif l Asosiasi Desainer Grafis Indonesia l Matamera Communications l Yayasan Konfiden l Kineforum Dewan Kesenian Jakarta

Perorangan l Philip Cheah l Teo Swee Leng l Lee Chor Lin l Zhang Wenjie l Sin Warren l Low Zu Boon l Irwan Usmar Ismail dan seluruh keluarga Usmar Ismail l Berthy L Ibrahim l Rekan-rekan di Sinematek Indonesia (Mbak Rus, Pak Hartono, Mas Daus, Mas Sandas) l Davide Pozzi

110 Terima Kasih l Valeria Bigongiali l Elena Tammacaro l Misbach Jusa Biran l David Hanan l Basoeki Koesasi l A Rahim Latif l Corry Elyda l Windu W Jusuf l Farishad I Latjuba l Abduh Aziz l Cecilia Cenciarelli l Martin Scorsese l Kent Jones l Douglas Laible l John Badalu l Lalu Roisamri l Amna Kusumo l Ronny P Tjandra l Mohammad Djafar l Asmayani Kusrini l Indra Y Ramadhan l Julie Wibowo l Salman Aristo l Harris Lesmana l Jimmy Haryanto l Catherine Keng l Kenny Santana l Arief “Ayip” Budiman l Wayan Sujana l Tim Kerja Peluncuran Lewat Djam Malam versi restorasi dan semua pihak yang telah membantu proses restorasi

Terima Kasih 111 Kredit Restorasi

Lewat Djam Malam direstorasi oleh National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation, bekerja sama dengan Yayasan Konfiden dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta. Film ini direstorasi di L’Immagine Ritrovata dari kopi asli yang disimpan dan dikoleksi Sinematek Indonesia. Terima kasih khusus untuk keluarga Usmar Ismail.

Penasehat l Philip Cheah, Teo Swee Leng, JB Kristanto, Alex Sihar, Berthy L Ibrahim

Tim Proyek l Indonesia — Lintang Gitomartoyo, Lisabona Rahman l Singapura — Zhang Wenjie, Warren Sin, Low Zu Boon, Jasmine Low

Teks Inggris l David Hanan dan Basuki Koesasi dengan tambahan dari JB Kristanto, Lintang Gitomartoyo, Lisabona Rahman

112 Terima Kasih Tim Teknis l Direktur — Davide Pozzi l Produser — Elena Tammaccaro l Reparasi Film — Ariane Baudat, Giorgia Curelli, Marianna De Sanctis, Catarina Diniz, Paola Ferrari l Pemindai Film — Paola Ferrari l Telesin — Stefano Lorusso l Restorasi Digital — Céline Stéphanie Pozzi (Kepala Departemen Restorasi Digital), Chelu Deiana (Supervisi Proyek), Sara Arduini, Carmen Barbato, Giulia Bonassi, Michela Florito, Petra Marlazzi, Elisa Napelli, Elena Nepoti, Marco Rossi l Koreksi Warna — Giandomenico Zeppa l Master, DCI & Back Up — Mario Rettura, Silvia Spadotto, Emanuele Vissani, Mario Stefanovich l VFX — Laura Mancini, Diego Mercuriali l Restorasi Suara — Gilles Barberis l Teks — Valentina Turri l Print and Processing — Simone Castelli, Pier Luigi Tosi, Cristiano Valorosi

Terima Kasih 113 Para Penulis

LINTANG GITOMARTOYO. Manajer program filmindonesia.or.id dan asisten pengembangan program Yayasan Konfiden. Bertanggung jawab atas administrasi yayasan dan pernah menjadi manajer festival Film Pendek Konfiden 2006 sampai 2009.

TOTOT INDRARTO. Praktisi periklanan dan blogger yang sejak 2001 me­nulis resensi film di Kompas, sekarang ko-editor situs filmindonesia. or.id. Di Festival Film Indonesia (FFI) pernah dua kali menjadi anggota Komite Seleksi (2005, 2010) dan tiga kali sebagai anggota Dewan Juri (2008-2010). Mulai 2011 menjadi panitia FFI yang menangani kompetisi dan penjurian.

WINDU W JUSUF. Penulis tentang film dan politik. Saat ini mengu­rus Perpustakaan Literati dan CinemaPoetica.com, sembari menye­le­saikan studi pasca-sarjana di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 2011 menjadi anggota dewan juri Jogja-NETPAC Asian Film Festival.

ARIE KARTIKASARI. Menyelesaikan pendidikan produksi film di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, pada tahun 2007. Sempat menjadi asisten pengajar produksi film di almamaternya, terlibat dalam beberapa produksi film dan festival film di Indonesia. Kini aktif sebagai pengurus database untuk filmindonesia.or.id.

114 Terima Kasih JB KRISTANTO. Penulis Katalog Film Indonesia yang sudah terbit dalam tiga edisi. Dikenal luas sebagai penulis kritik film senior. Setelah pensiun sebagai wartawan di Harian Kompas, aktif mengurus usaha pe­ ner­bitannya dan editor filmindonesia.or.id.

LEE CHOR LIN. Berkarier di lingkungan museum sejak tahun 1985. Ber­ tanggung jawab sebagai kurator senior untuk Asian Civilisations Museum sampai tahun 2003, kemudian menjadi direktur National Museum of Singapore sampai sekarang. Pada tahun 2010 mendapat gelar Chevalier des arts et des lettres dari pemerintah Prancis atas kontribusinya di bidang seni.

ADRIAN JONATHAN PASARIBU. Penulis filmindonesia.or.id dan editor CinemaPoetica.com. Dari tahun 2007 sampai 2010, bertanggung jawab sebagai manajer program Kinoki, bioskop independen di Yogyakarta. Pada tahun 2011 menjadi juri film pendek Festival Film Indonesia.

DAVIDE POZZI. Lahir di Italia pada tahun 1977. Bekerja di Cineteca di Bologna sejak tahun 2001. Pada tahun 2006 ia menjabat direk­tur laboratorium restorasi film L’Immagine Ritrovata. Di bawah penge­lola­ ­ annya, langgam dan lingkup kerja laboratorium tersebut pun bertambah: rata-rata 60 film berhasil direstorasi setiap tahunnya, dan sebagian besar adalah film internasional. Kebanyakan film yang telah direstorasi ­putardi di festival-festival film besar di seluruh dunia. Selama beberapa ta­hun terakhir Immagine Ritrovata mengerjakan proyek-proyek restorasi ber­ sama dengan sejumlah pusat arsip film, lembaga, dan perpustakaan film yang terkemuka di seluruh dunia.

LISABONA RAHMAN. Ko-editor filmindonesia.or.id dan manajer pro­gram Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, bioskop terprogram per­

Terima Kasih 115 tama di Indonesia sejak Oktober 2006. Pernah menulis kritik film untuk The Jakarta Post. Sekarang sedang studi S2 tentang preservasi film di University of Amsterdam, Belanda.

AMALIA SEKARJATI. Saat ini berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir di Universitas Multimedia Nusantara. Berkegiatan sebagai publisis di Kineforum, kontributor majalah Change dan Jurnal Perempuan, serta penulis untuk situs filmindonesia.or.id.

ZHANG WENJIE. Kepala National Museum of Singapore Cinémathèque dan ko-direktur Singapore International Film Festival ke-22. Mengurus program Substation’s Moving Image dari tahun 2003 sampai 2005, lalu menjadi Manajer Program National Museum of Singapore Cinémathèque dari 2005 sampai 2008.

116 Terima Kasih Panitia

Penasehat A Rahim Latif

Acara Lintang Gitomartoyo Sari Mochtan Mandy Marahimin Sugar Nadia Azier Nicko Silfido

Sahabat Sinematek Totot Indrarto Alex Sihar

Publikasi Ade Kusumaningrum Amalia Sekarjati

Buku JB Kristanto Adrian Jonathan Pasaribu Rully Susanto Dadang Kusmana

Terima Kasih 117