HUBUNGAN KELOMPOK ETNIK TOBA DENGAN KELOMPOK ETNIK PESISIR (Studi Kasus di Kota Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam Bidang Antropologi

OLEH : NURBAITI SIMAMORA 140905080

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

HUBUNGAN KELOMPOK ETNIK BATAK TOBA DENGAN KELOMPOK ETNIK PESISIR (Studi Kasus di Kota Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara)

SKRIPSI Dengan ini saya menyatakan bahwa belum pernah ada karya yang sama persis dengan skripsi ini, yang digunakan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacuh dalam naska ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap melepaskan keserjanaan saya.

Medan, Mei 2018 Penulis

Nurbaiti Simamora

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Nurbaiti Simamora, 2018, Hubungan Kelompok Etnik Batak Toba dengan Kelompok Etnik Pesisir (Studi Kasus di Kota Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara). Skripsi ini terdiri dari lima Bab, sembilan puluh enam lembar, sebelas gambar, dan empat tabel.

Skripsi dengan judul Hubungan Kelompok Etnik Batak Toba dengan Kelompok Etnik Pesisir (Studi Kasus di Kota Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara) ini, bertujuan untuk melihat bagaimana hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir, melalui aspek ekonomi, adat, agama, pendidikan, dan organisasi. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif yang berbentuk etnografi. Cara untuk memperoleh data atau informasi, peneliti menggunakan teknik observasi partisipasi dan teknik wawancara mendalam. Pihak yang menjadi informan peneliti yakni; tokoh masyarakat, kepala desa, dan masyarakat umum Kota Barus. Supaya informasi didapat dengan baik, peneliti juga membagun rapport (hubungan yang baik) dengan masyarakat yang diteliti. Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat keberagaman kelompok etnik di Kota Barus. Seperti halnya terdapat kelompok etnik Jawa, Mandailing, Minangkabau, Batak Toba, dan Pesisir. Di antara kelompok etnik tersebut “seperti halnya kelompok etnik Batak Toba dengan Kelompok etnik Pesisir “sebagaimana yang menjadi fokus kajian penelitian”, terlihat adanya stereotype di antara mereka. Seperti Stereotype kelompok etnik Pesisisr terhadap kelompok etnik Batak Toba di Kota Barus yaitu, kelompok etnik Batak Toba dikenal dengan sifatnya yang keras, suka minum tuak, perempuan kelompok etnik Batak Toba kuat-kuat dalam bekerja, dan kelompok etnik Pesisir menyebut kelompok etnik Batak Toba dengan sebutan “Batak-batak tu” dengan nada cetus. Oleh karena kelompok etnik Pesisir sering membatak-batakkan kelompok etnik Batak Toba dengan sebutan “Batak-batak tu” yang sifatnya merendahkan kelompok etnik Batak Toba. Sedangkan stereotype kelompok Batak Toba terhadap kelompok etnik Pesisir yaitu, kelompok etnik Pesisir dikatakan orangnya sangat fanatik dalam hal makanan, dan perempuan kelompok etnik Pesisir lemah-lemah. Selain itu terdapat juga sebutan- sebutan kepada orang yang mengubah marganya menjadi Tanjung (marga kelompok etnik Pesisir) oleh kelompok etnik Batak Toba, yaitu: Tanjung Sadonyo, Tanjung Katung, dan Tanjung Karang. Arti Tanjung Sadonyo, Katung, Karang berarti Tanjung bohong-bohongan, tidak sebenarnya, marga Tanjung yang dibuat-buat. Artinya dia sebenarnya bukan marga Tanjung, namun karena dia tinggal di daerah Pesisir dan dia merasa lebih dekat dengan kelompok etnik Pesisir maka dia menyebut dirinya marga Tanjung. Stereotype tersebut terjadi karena adanya pemisahan pola pemukiman di antara mereka. Selain stereotype, terdapat juga perbedaan nyata di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus. Perbedaan nyata tersebut yakni; perbedaan agama dan kebudayaan. Perbedaan agama terlihat bahwa kelompok etnik Batak Toba identik dengan agama Kristen, sedangkan kelompok etnik Pesisir identik dengan agama Islam. Sedangkan perbedaan budaya terlihat bahwa kelompok etnik Batak Toba dengan kebudayaan Batak Tobanya, dan kelompok etnik Pesisir dengan kebudayaan

Universitas Sumatera Utara Pesisirnya. Mereka memiliki kebudayaan yang berbeda, karena mereka terlahir dari kelompok etnik yang berbeda juga. Di mana setiap kelompok etnik memiliki budaya dan kebiasaan tersendiri yang mereka peroleh secara turun temurun dari kelompok etniknya masing-masing. Hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir dapat dilihat melalui interaksi mereka di berbagai aspek, yaitu: dalam aspek ekonomi, dalam aspek adat, dalam aspek pendidikan, dan dalam aspek agama. Melalui interaksi mereka dalam beberapa aspek tersebut, dapat disimpulkan bahwa hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir terjalin dengan baik. Hal tersebut terlihat dari tidak adanya kesenjangan yang terjadi di antara kelompok etnik dalam beberapa aspek tersebut.

Kata-kata kunci: stereotype, kemajemukan, kerukunan

Universitas Sumatera Utara UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan berkat, kasih, dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan penulisan dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca untuk kesempurnaan tulisan ini.

Penulis bisa menyelesaikan skripsi ini bukan semata-mata hanya karena kemampuannya saja, tetapi skripsi ini selesai karena adanya bantuan, dukugan, dan bimbingan dari orang lain. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka.

Pertama-tama mengucapkan terima kasih kepada orang tua saya yang telah mendukung dan memotifasi saya tanpa lelah. Kasih sayang serta doa selalu dia panjatkan buat saya, sehingga saya bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Saya juga berterima kasih buat saudara-saudara saya yang selama ini juga memotifasi yaitu, Saswita, Friadona, Joko, Hepron, Josra serta seluruh keluarga besar yang tidak pernah lupa untuk memberi motifasi dan bantuan dana untuk kelancaran penulisan.

Ucapan terima kasih yang paling besar juga saya ucapkan kepada Bapak Drs.

Ermansyah, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi saya. Beliau merupakan dosen yang paling berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Beliau memberi motifasi, arahan, teori, dan pandangan-pandangan yang berkaitan dengan skripsi. Selain itu

Beliau juga benar-benar membimbing dengan baik mulai dari hal penulisan (EYD), penggunaan konsep-konsep, dsb, yang mengarahkan saya untuk bisa membuat suatu skripsi yang baik.

Universitas Sumatera Utara Saya juga berterima kasih kepada dosen pembimbing akademik saya, yaitu

Bapak Nurman Achmad, S.Sos, M.Soc. Beliau juga sangat berkontribusi dalam hal penyelesaian skripsi ini. Beliau membantu saya dalam mengambil ide tentang judul skripsi ini. Beliau selalu punya waktu untuk memberi tanda tagannya disetiap berkas-berkas yang saya butuhkan untuk penyelesaian skripsi. Beliau juga terkadang memberi saya motifasi untuk bisa cepat menyelesaikan skripsi saya.

Saya juga berterima kasih kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska M.Ant selaku ketua Departemen Antropologi, serta semua dosen Antropologi Sosial yang telah memberi ilmu bagi saya mulai dari semester pertama hingga semester akhir, dan terima kasih juga saya ucapkan kepada kedua staff Departemen Antropologi, yaitu

Kak Nur dan Kak Sri.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada semua informan yang memberi informasi terkait kajian penelitian saya, terkhusus buat Ibu Linda, Bapak Linder,

Bapak Ramali Sigalingging, Eva, Bapak Tanjung, yang sangat berkontribusi dalam memberikan informasi terkait penelitian. Mereka semua mau memberi dan meluangkan waktunya untuk memberi saya informasi.

Terima kasih juga kepada semua teman-teman saya, terkhusus buat sahabat- sahabat seperjuagan saya selama kuliah yaitu, Hotnauli Girsang, Ririn Safriani

Siregar, Elysabet Hutabarat, dan Siti Maryan Panjaitan. Mereka merupakan teman curhat serta teman bermain yang baik. Suka duka kami lalui hinggah sampai saat ini dan kami juga membuat group untuk berbagi informasi serta curhat. Terima kasih juga buat teman-teman satu dosen pembimbing yaitu, Hidjri, Tia, dan Siska yang menjadi teman satu bimbingan saya. Kami selalu saling memotifasi, barang-barang pergi bimbingan, jumpai dosen, dan teman curhat tentang keluh kesah skripsi.

Universitas Sumatera Utara Terima kasih juga buat teman-teman yang lain baik itu teman satu jurusan maupun teman-teman satu kelompok organisasi yang memberi motifasi kepada saya. Segala pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah membantu saya baik secara langsung maupun tidak langsung mulai dari sebelum skripsi ini dibuat hingga skripsi selesai. Penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Mei 2018 Penulis

Nurbaiti Simamora 140905080

Universitas Sumatera Utara RIWAYAT SINGKAT PENULIS

Penulis bernama Nurbaiti Simamora,

lahir pada tanggal 01 april 1995 di

Desa Uratan, Kecamatan Andam

Dewi, Tapanuli Tengah, Sumatera

Utara. Anak ke empat dari pasagan M.

Simamora dan A. Marbun. Saat ini

peneliti menempuh perkuliahan di

Universitas Sumatera Utara,

Departemen Antropologi Sosial,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Selama kulia penulis tinggal di Jl. Jamin

Ginting, Padang Bulan, Medan. Alamat emal penulis yang bisa dihubungi yaitu [email protected].

Riwayat pendidikan penulis sebagai berikut:

1. Tahun 2001, masuk SDN 1 Uratan.

2. Tahun 2007, masuk SMPN 1 Andam Dewi.

3. Tahun 2010, masuk SMKN 8 Siak.

4. Tahun 2013, kuliah di Universitas Darma Agung, Medan. Mengambil jurusan

pendidikan bahasa inggris hanya satu semester.

5. Tahun 2014, kuliah di Universitas Prima , Medan. Mengambil jurusan

pendidikan bahasa inggris hanya satu semester.

6. Tahun 2014, kuliah di Universitas Sumatera Utara, Medan. Mengambil jurusan

Antropologi Sosial, sampai wisuda.

Universitas Sumatera Utara Komunitas atau organisasi yang pernah diikuti oleh penulis selamamenjadi mahasiswi di Universitas Sumatera Utara yaitu, komunitas KMK (Kominitas

Mahasiswa Kristen),PMPMK-ADS (Perhimpunan Mahasiswa Pemuda Kristen-

Andam Dewi dan Sekitarnya). Dalam kepanitiaan, penulis pernah menjadi bendahara

Natal Antropologi Sosial stambuk 2014, sebagai seksi konsumsi Natal PMPMK-

ADS.

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya membuat penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Hubungan Kelompok Etnik Batak Toba dengan Kelompok Etnik Pesisir (Studi

Kasus di Kota Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara). Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana di Departemen Antropologi Sosial,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Skripsi ini membahas bagaimana bentuk interaksi masyarakat Kota Barus.

Peneliti akan menguraikan apa saja yang dia temukan di lapangan ketika melakukan penelitian yang dapat menjelaskan kondisi hubungan di antara kelompok etnik Batak

Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus. Uraian tersebut akan dibuat ke dalam sub-sub judul yang dapat memudahkan pembaca dalam memahaminya.

Namun, dalam kesempatan ini, peneliti sadar bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Untuk itu, jika ada kesalahan dan kekurangan dalam tulisan, peneliti mohon maaf. Jika ada saran dan kritik yang dapat membangun, peneliti mengharapkannya, supaya peneliti dapat belajar menjadi lebih baik lagi. Sekian dan terima kasih.

Medan, Mei 2018 Penulis

Nurbaiti Simamora

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ...... i HALAMAN PENGESAHAN ...... ii PERNYATAAN ORIGINALITAS ...... iii ABSTRAK ...... iv UCAPAN TERIMA KASIH ...... vi RIWAYAT HIDUP ...... ix KATA PENGANTAR ...... x DAFTAR ISI ...... xi DAFTAR TABEL ...... xiii DAFTAR GAMBAR ...... xiv BAB I. PENDAHULUAN ...... 1 1.1. Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2.TinjauanPustaka ...... 4 1.3.Rumusan Masalah ...... 13 1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 13 1.5.Teknik Pengumpulan Data ...... 14 1.5.1.Teknik Observasi Partisipasi ...... 14 1.5.2.Teknik Wawancara ...... 15 1.5.3.Dokumenter ...... 17 1.5.4.Studi Pustaka ...... 17 1.5.5. Analisis Data ...... 18 ...... BAB II.GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ...... 19 2.1.Letak Geografis Kecamatan Barus ...... 19 2.2. Sejarah ...... 21 2.3. Struktur Pemerintahan ...... 24 2.4. Kependudukan ...... 26 2.4.1. Jumlah Penduduk Secara Umum ...... 26 2.4.2. Agama ...... 27 2.5. Mata Pencaharian ...... 30 2.5.1. Sektor Perikanan ...... 30 2.5.2. Pertanian ...... 32 2.5.3. Industri ...... 33 2.5.4. Jasa ...... 34 2.5.5. Perdagangan ...... 34 2.5.6. Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Honor ...... 35 2.6. Pola Pemukiman ...... 36 2.7. Sarana dan prasarana ...... 38 2.7.1. Sarana dan Prasarana Pendidikan ...... 39 2.7.2. Sarana dan Prasarana Kesehatan ...... 40 2.7.3. Sarana dan Prasarana Wisata ...... 43 2.7.4. Sarana dan Prasarana Lainnya...... 47

Universitas Sumatera Utara BAB III. KELOMPOK ETNIK DI KOTA BARUS ...... 49 3.1. Keberagaman Kelompok Etnik di Kota Barus ...... 49 3.1.1. Kelompok Etnik Pesisir ...... 49 3.1.2. Kelompok Etnik Batak Toba ...... 54 3.1.3. Kelompok Etnik Lainnya ...... 55 3.2. Pemisahan Wilayah Pemukiman Kelompok Etnik Batak Toba dengan Kelompok Etnik Pesisir ...... 56 3.3. Stereotype ...... 57 3.3.1. Stereotype Kelompok Etnik Pesisir pada Kelompok Etnik Batak Toba 58 3.3.2. Stereotype Kelompok Etnik Batak Toba pada KelompokEtnik Pesisir ...... 60

BAB IV. HUBUNGAN KELOMPOK ETNIK BATAK TOBA DENGAN KELOMPOKETNIK PESISIR ...... 63 4.1. Hubungan dalam Aspek Ekonomi ...... 63 4.2. Hubungan dalam Aspek Adat ...... 70 4.3. Hubungan dalam Aspek Beragama ...... 76 4.4. Hubungan dalam Aspek Pendidikan...... 78 4.5. Hubungan dalam Aspek Organisasi ...... 81 4.5. Potensi Konflik antara Kelompok Etnik Batak Toba dengan Kelompok Etnik Pesisir ...... 84 4.6. Bentuk Penyelesaian Konflik ...... 86

BABV. PENUTUP ...... 88 5.1. Kesimpulan ...... 88 5.2. Saran ...... 91

DAFTAR PUSTAKA ...... 93 LAMPIRAN ...... 95

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Luas Wilayah Menurut Desa/Kelurahan di Kota Barus, 2016 ...... 21 Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Setiap Desa Menurut Jenis Kelamin ...... 27 Tabel 2.3 Banyaknya Penduduk Menurut Agama yang Dianut ...... 28

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mesjid Raya Barus ...... 29 Gambar 2.2 Tempat Jual Ikan di Onan (pasar) ...... 31 Gambar 2.3 Persawahan ...... 33 Gambar 2.4 Onan (pasar) ...... 35 Gambar 2.5 Pemukiman ...... 38 Gambar 2.6 Puskesmas Kecamatan Barus ...... 43 Gambar 2.7 Makam Papan Tinggi ...... 44 Gambar 2.8 Titik Nol ...... 45 Gambar 2.9 Pantai Barus ...... 46 Gambar 2.10 Pelabuhan Barus ...... 48 Gambar 3.1 Interaksi antara Pembeli Kelompok Etnik Pesisir dengan Ibu Linda ...... 68 Gambar 3.2 Pernikahan Kelompok Etnik Pesisir...... 72

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang kaya akan kelompok etniknya. Hal itu tidak dapat dipungkiri, bahwa keberagaman kelompok etnik tersebut membuat Indonesia menjadi negara yang majemuk. Negara majemuk ditandai dengan adanya beberapa perbedaan, yaitu: perbedaan kelompok etnik, adat-istiadat, bahasa, agama, dll.

Sebagai negara yang majemuk, maka tingkat konflik kemungkinan tinggi. Oleh karena itu, perlu untuk menjaga sikap toleransi. Itu sebabnya, apabila potensi sosio- kultural atau hubungan itu tidak dikelola dengan baik, besar kemungkinannya akan melahirkan pergesekan-pergesekan kultural yang berujung pada ketidakstabilan politik dan disintegrasi bangsa (Geertz, 1993).

Masyarakat majemuk pada dasarnya menjalin interaksi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Interaksi yang terjadi dapat berupa interaksi yang positif dan interaksi yang negatif. Interaksi yang positif terjadi jika pertemuan antara kelompok etnik menghasilkan hubungan yang harmonis, seperti sikap kerja sama yang meliputi aktivitas gotong-royong, tolong-menolong dan musyawarah.

Sedangkaninteraksi yang negatif terjadi, jika hubungan antara kelompok etnik tidak harmonis. Hal itu disebabkan oleh, pemaksaan pendapat dari satu kelompok etnik terhadap kelompok etnik yang lain. Oleh karena itu, interaksi yang negatif dapat menghasilkan persaingan dan konflik di antara kelompok etnik.

Contoh kasus interaksi positif yaitu, kasus di Banyuwangi Desa Sarongan, di mana di satu desa tersebut terdapat tempat ibadah yang berbeda-beda. Namun, di

Universitas Sumatera Utara tengah perbedaan agama tersebut, mereka tetap hidup rukun. Hal itu terlihat dari gotong-royong yang mereka lakukan untuk membersihkan lingkungan tempat ibadah, serta beribada sesuai ajaran agama mereka masing-masing tanpa ada gangguan dari agama lain yang berada di sana. Sudah selama puluhan tahun mereka hidup seperti itu,tanpa pernah terjadi konflik. Contoh kasus interaksi negatif seperti konflik di Papua, di mana terjadi perang antara kelompok pegunungandengan kelompok pantai. Mereka menggunakan panah yang menyebabkan dua orang tewas dan puluhan orang terluka.

Keberagamankelompok etnik dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia.

Salah satunya diKota Barus. Kota Barus terdiri dari dua kelurahan dan satu desa yaitu, Kelurahan Batu Gerigis, Kelurahan Padang Masiang, dan Desa Pasar

Tarandam.KotaBarus merupakan bagian dari Kecamatan Barus yang daerahnya memiliki masyarakat majemuk yang penduduk dengan beragam kelompok etnik.

Kelompok etnik yang terdapat di Kota Barus yaitu: kelompok etnik Batak Toba, kelompok etnik Jawa, kelompok etnik Pesisir, kelompok etnik Minangkabau, kelompok etnik Mandailing, kelompok etnik Karo yang tinggal dalam satu lingkungan tempat tinggal yang sama. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki budaya yang berbeda-beda yang mereka bawa dari tempat asli mereka. Dari beberapa kelompok etnik yang ada di Kota Barus, kelompok etnik Pesisir dan kelompok etnik Batak Toba yang paling banyak penduduknya, oleh karena itu peneliti memutuskan untuk meneliti di Kota Barus.

Adapun alasan peneliti tertarik untuk meneliti di Kota Barus yaitu: pertama, belum pernah ada peneliti yang meneliti tentang “Hubungan Kelompok Etnik” di sana; kedua, akses menuju Kota Barus sangat mudah. Selain dari itu, Kota Barusjuga

Universitas Sumatera Utara merupakan kota wisata sejarah awal masuknya agama Islam, yang ditandai dengan keberadaan makam-makam bersejarah seperti makam Mahligai yang ada di sana.

Kota Barus juga merupakan kotayang pada zaman dulu sangat terkenal dengan kapur barusnya yang diincar oleh para bangsa asing yang datang berlayar ke Kota Barus dan merupakan pelabuhan yang sangat terkenal pada zamannya.

Oleh karena itu, peneliti melihat hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir, karena kedua kelompok etnik tersebut yang paling banyak penduduknya di Kota Barus. Selain itu peneliti juga melihat ada kekurangan dalam interaksi di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir dikarenakan adanya perbedaan agama, di mana kelompok etnik Batak Toba identik dengan agama Kristen sedangkan kelompok etnik Pesisir identik dengan agama

Islam. Dalam hubungan antara kelompok etnik di Kota Barus juga terdapat pengelompokan berdasarkan tempat tinggal antara kelompok etnik Batak Toba dan kelompok etnik Pesisir yaitu, kelompok etnik Batak Toba tempat tinggalnya lebih mengarah jauh dari tepian pantai. Sedangkan kelompok etnik Pesisir tempat tinggalnya lebih dekat dengan tepian pantai. Selain dari itu, hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus dapat memunculkan stereotype dikarenakan beberapa perbedaan, antara lain; perbedaan agama, perbedaan kelompok etnik, dan perbedaan budaya. Oleh karena perbedaan tersebut, maka timbullah pandangan-pandangan subjektif terhadap kelompok etnik lain yang digeneralisasikan terhadap semua anggota kelompok etnik tertentu di Kota Barus.

Contohstereotype yang muncul seperti, kelompok etnik Batak Toba yang dikenal dengan sifatnya yang keras oleh kelompok etnik Pesisir,dan kelompok etnik Pesisir yang dianggap lemah oleh kelompok etnik Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara Selain dari itu, karena Kota Barus merupakan daerah yang majemuk yang memiliki penduduk yang lebih dari satu kelompok etnik yang di mana setiap kelompok etnik memiliki budaya yang berbeda yang mereka bawa dari tempat asal mereka, maka interaksi antara kelompok etnik yang berbeda, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus bisa bersifat negatif dan bisa juga bersifat positif. Oleh karena itu, hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus memerlukan kajian yang lebih mendalam, gunanya untuk mengetahui permasalahan mendasar tentang hubungan kelompok etnik di sana, sehingga permasalahan yang menjadi penyebab hubungan yang tidak baik di antara kelompok etnik, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisisr di Kota Barus dapat dilakukan penanganan yang tepat, sehingga hubungan di antara kelompok etnik tidak terjadi konflik.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka sangat penting untuk mengkaji hubungan kelompok etnik di Kota Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir. Oleh karenakeberagaman kelompok etnik di Kota Barus yang dapat memunculkan stereotype yang sifatnya negatif. Selain itu, karenaberbagai keadaan di Kota Barus yang mungkin bisa memunculkan konflik, sehingga penting untuk mengkaji hubungan kelompok etnik di Kota Barus, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir.

1.2. Tinjauan Pustaka

Berbagai kajian pernah dilakukan terkait hubungan kelompok etnik. Seperti halnya kajianHadiluwih (2008) dalam bukunya yang berjudul “Konflik Etnik di

Universitas Sumatera Utara Indonesia (Satu Kajian Kasus di Bandaraya Medan)”. Dalam buku itu dikatakan di

Bandaraya terjadi pergesekan antara kelompok etnik yang berbeda. Seperti pergesekan antara kelompok etnik Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Hal semacam strereotype sering terjadi di sana dan pemaksaan pendapat oleh kelompok etnik terhadap etnik lain di antara masyarakatnya memunculkan terjadinya potensi konflik. Persoalan yang menyebabkan tumbuhnya konflik dikarenakan adanya sentimen etnik yang dikemas dalam istilah putra daerah, bahkan yang paling fenomenal adalah perebutan jabatan Bupati dan Walikota di sejumlah kabupaten dan

Kota Bandar yang tertutup bagi orang yang bukan putra daerah. Kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya yang sangat heterogen di Bandaraya Medan telah melahirkan banyak sekali prasangka dan stereotype antara kelompok etnik. Seperti julukan- julukan yang diberikan kepada setiap kelompok etnik, misalnya sebutan BTL (Batak

Tembak Langsung) ejekan untuk kelompok etnik Batak Toba, Keling mabuk untuk

Tamil dsb. Konflik yang paling sering terjadi adalah konflik antara kelompok etnik

Cina atau Tionghoa dengan masyarakat pribumi.

Demikian juga dengan kajianGiring (2004) dalambuku “Madura

DimataDayak”. Dijelaskan bahwa terjadi konflik antara kelompok etnik Madura dengan kelompok etnik Dayak, disebabkan karena kurang keharmonisan antara kedua kelompok etnik tersebut. Citra kelompok etnik Madura di mata kelompok etnik Dayak melalui pengalaman interaksi di antara mereka tidaklah baik. Kelompok etnik Madura yang dikenal dengan sikap kekerasan yang dimana laki-laki kelompok etnik Madura setiap pergi selalu mambawa pisau atau alat tajam yang dibuat di belakangnya. Rasa takut kelompok etnik Dayak terhadap kelompok etnik Madura semakin parah, ketika terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok etnik

Universitas Sumatera Utara Madura. Pandangan kelompok etnik Dayak yang takut terhadap budaya kelompok etnik Madura yang selalu membawa senjata tajam, membuat kelompok etnik Dayak merasa tidak nyaman hidup bersama kelompok etnik Madura. Hal itu membuat kelompok etnik Dayak merasa takut dan tersingkir.

Begitu juga dengan kajian Sumarsono (1999) dalam buku “Budaya

Masyarakat Perbatasan (Studi Tentang Corak dan Pola Sosial Pada Masyarakat

Kecamatan Lagensari, Provinsi Jawa Barat)”. Dijelaskan bahwa Kecamatan

Legensari merupakan daerah perbatasan. Peneliti mengkaji antara kelompok etnik

Jawa dan kelompok etnik Sunda yang merupakan masyarakat dominan. Meskipun kelompok etnik Jawa dan kelompok etnik Sunda memiliki perbedaan budaya dan bahasa, tetapi mereka memiliki interaksi yang tergolong baik. Hal itu dapat dilihat dari tidak pernah terjadi konflik antara dua kelompok etnik tersebut. Persaingan memang tetap terjadi, tetapi masih dalam tahap yang wajar. Walaupun ada pandangan subjektif di antara kelompok etnik, seperti pandangan ulet dalam bekerja bagi kelompok etnik Jawa, menurut pandangan kelompok etnik Sunda serta pandangan-pandangan lain, baik itu yang sifatnya positif maupun negatif, hal itu semua hanya bersifat umum saja.

Berbeda halnya, dengan penelitian yang peneliti lakukan. Penelitian yang dilakukan melihat pola interaksi antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang dibahas di atas yaitu, perbedaan lokasi, perbedaan jenis etnik yang diteliti, penyebab konflik, dsb. Contohnya kajian Hadiluwih, mengkaji hubungan antara etnik

Tionghoa dengan pribumi. Kajian Sumarsono, mengkaji etnik di perbatasan. Hal itu

Universitas Sumatera Utara yang membuat kajian sebelumnya berbeda dengan kajian si peneliti. Lokasi penelitian yang dilakukan di Kota Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Bicara tentang hubungan kelompok etnik, tentu harus dipahami dulu apa yang dimaksud dengan kelompok etnik. Kata etnik berasal dari bahasa Yunani yaitu: ethnos yang berarti bangsa atau orang. Jadi, etnik adalah kumpulan masyarakat yang mendiami sebuah wilayah yang memiliki identitas dan kebiasaan tersendiri yang berbeda dengan masyarakat lainnya (Purna, 2013:10).

Malinowski (1922,1941) menyatakan kelompok etnik sebagai suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi yang dapat digambarkan ke dalam sebuah peta etnografi. Maksudnya di sini, bahwa kelompok etnik tersebut dapat dibedakan dengan kelompok etnik yang lainnya, baik itu organisasi kekerabatan, bahasa, hukum, maupun pola hubungan antara kelompok etnik. Dari penjelasan Malinowski tersebut dapat dikatakan bahwa batas-batas etnik dapat dilihat berdasarkan batas- batas budaya dan batas-batas teritorial.

Barth (1969) menyatakan bahwa kelompok etnik adalah golongan sosial yang askriptif. Artinya golongan sosial tersebut diperoleh berdasarkan kelahirannya yang tidak bisa ditolak. Barth menyatakan bahwa kelompok etnik tidak hanya didasarkan pada teritorial yang ditempati, tetapi pada pernyataan dan pengakuan yang berkesinambungan mengenai identifikasi dirinya. Maksudnya di sini untuk mengidentifikasi bahwa seseorang itu adalah anggota kelompok etnik tersebut dapat diketahui apabila dia memiliki kriteria yang sama dalam penilaian, dan pertimbangan. Artinya, adanya pengakuan dari masyarakat terhadap identitas diri suatu kelompok etnik. Dari penjelasan Barth tersebut dapat dikatakan bahwa batas-

Universitas Sumatera Utara batas kelompok etnik yang paling penting adalah batas-batas sosial, meskipun mereka memiliki teritorial sendiri.

Dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kelompok etnik adalah golongan sosial yang memiliki kedudukan tersendiri. Seperti kedudukan keturunan, budaya, bahasa, dan teritorial yang sama. Setiap anggotanya memiliki kesamaan sejarah, bahasa, sistem nilai serta budaya yang diakui oleh setiap kelompok etniknya.

Setiap kelompok etnik pasti memiliki stereotype tersendiri terhadap kelompok etnik lain. Stereotype adalah sebuah pandangan atau cara pandang suatu kelompok sosial, dimana cara pandang tersebut lalu digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut. Menurut Suparlan (1999:163) stereotype muncul berdasarkan adanya penggolongan dalam kebudayaan dan adanya upanya untuk saling memahami apa, dan siapa, serta mengapa, tentang pelaku yang mereka hadapi. Hal itulah, yang menimbulkan terjadinya stereotype di antara kelompok etnik.

Sedangkan Soekanto (1993) menyatakanbahwa stereotype adalah ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain. Hal itu juga, dapat mempengaruhi pola hubungan antara kelompok etnik.

Dalam hubungan sosial, interaksi menghasilkan istilah relasi. Relasi adalah hubungan timbal balik antara satu individu dengan individu lain dan saling mempengaruhi (Suparlan, 2005). Relasi dalam masyarakat terdiri dari dua bentuk, yaitu: pertama, relasi asosiatif; kedua, relasi disasosiatif. Relasi asosiatif adalah proses sosial yang di dalam realitas sosial aggota-aggota masyarakatnya dalam keadaan harmonis yang mengarah pada pola-pola kerjasama. Relasi asosiatif memiliki beberapa bentuk yaitu: kerja sama, akomodasi, dan asimilasi.

Universitas Sumatera Utara Kerjasama adalah suatu kegiatan yang dilakukan paling sedikit oleh dua individu untuk mencapai tujuan bersama. Dalam kerja sama individu dengan individu lain akan saling mendukung serta membantu dan membagun sinergi dalam mencapai tujuan bersama. Kerjasama dapat terjadi dikarenakan adanya dorongan oleh kesamaan tujuan atau manfaat yang akan diperoleh dalam kelompok tersebut.

Mengutip Charles H. Cooley, Setiadi (2011:78) menyatakan kerjasama timbul, jika orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan pada saat yang sama mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan ini melalui kerjasama. Kesadaran akan adanya kepentingan yang sama merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.

Akomodasi adalah usaha untuk mencapai penyelesaian dari suatu pertikaian ataupun konflik oleh pihak-pihak yang bertikai yang mengarah pada kondisi atau keadaan selesainya suatu konflik atau pertikaian tersebut (Setiadi, 2011:79).

Akomodasi memiliki beberapa bentuk.Pertama, koersi yaitu salah satu bentuk akomodasi yang dilakukan dengan cara kekerasan atau paksaan baik secara fisik

(langsung) maupun psikis (tidak langsung). Contohnya kompromi, seperti perjanjian yang dibuat pemerintah terhadap gerakan merdeka demi menjaga kestabilan keamanan di Aceh. Kedua, arbitrasi yaitu merupakan penyelesaian masalah antara dua pihak dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga di sini ditunjuk serta memiliki kedudukan yang lebih tinggi untuk bisa menyelesaikan masalah di antara kedua belah pihak. Artinya kedua belah pihak harus menerima keputusan dari pihak ketiga untuk menentukan pemecahan masalah. Contohnya, penyelesaian pertikaian yang terjadi antara golongan buruh dengan pemilik perusahaan oleh dinas

Universitas Sumatera Utara ketenagakerjaan sebagai pihak ketiganya. Ketiga, toleransi yaitu upaya akomodasi yang dilandasi kesadaran untuk saling menghormati antara individu atau kelompok yang bertikai, sehingga masalah dapat dicegah sebelum terjadi. Contohnya, toleransi antara perbedaan kepercayaan agama yang terjadi di Indonesia.

Asimilasi adalahproses sosial yang ditandai oleh adanya upaya-upaya mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau antarkelompok sosial yang diikuti pula usaha-usaha untuk mencapai kesatuan tindakan, sikap, dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan bersama (Setiadi, 2011:78). Contoh asimilasi yaitu, kelompok etnik Batak Toba pindah ke Bandung dan menetap di sana selama puluhan tahun. Kelompok etnik

Batak Toba tersebut harus belajar bahasa Sunda dan budaya Sunda, supaya dia bisa diterima oleh masyarakat Bandung. Ada dua faktor asimilasi. Pertama, faktor pendorong asimilasi; kedua, faktor penghambat.Faktor pendorong asimilasi yaitu, toleransi, sikap terbuka, perkawinan, persamaan unsur budaya yang umum atau universal. Faktor penghambat asimilasi yaitu adanya kelompok minoritas yang memisahkan diri dengan kelompok lain atau terisolasi, di masing-masing kelompok memiliki prasangka negatif terhadap kelompok lainnya, adanya kelompok yang merasa kelompoknya lebih istimewa dibandingkan dengan kelompok lain, akibatnya kelompok tersebut tidak mau mengakui budaya kelompok lain, adanya perbedaan karakteristik fisik, warna kulit,dsb.

Sedangkan relasi disasosiatif adalah proses sosial yang mengarah kepada ketidak harmonisan atau masalah yang mengakibatkan kerenggangan dalam berinteraksi. Bentuk-bentuk relasi disasosiatif yaitu, persaingan, kontravensi, dan konflik. Persaingan adalah proses sosial yang melibatkan individu atau kelompok

Universitas Sumatera Utara yang saling berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai kemenangan tertentu

(Setiadi, 2011:87). Persaingan dapat terjadi apabila beberapa pihak mengiginkan sesuatu yang terbatas atau sesuatu yang menjadi pusat perhatian umum. Ada beberapa faktor yang menyebabkan persaingan yaitu, adanya persamaan kepentingan dalam hal yang sama, adanya perselisipahaman yang mengusik harga diri seseorang, adanya perbedaan pendapat mengenai suatu hal yang bersifat prinsip, dan adanya perbedaan sistem nilai dan norma dari kelompok masyarakat.

Kontravensi adalah proses sosial yang berada di antara persaingan dengan pertentangan atau pertikaian yang ditandai oleh gejalah-gejalah adanya ketidakpastian tentang diri seseorang atau rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian atau keraguan terhadap kepribadian seseorang (Setiadi,

2011:89). Dalam pengertian lain, kontravensi merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan tertentu yang berubah menjadi kebencian, akan tetapi tidak sampai pada pertentangan atau pertikaian. Kontravensi dibagi ke dalam beberapa tipe, yaitu: kontravensi antargolongan dalam suatu masyarakat, kontravensi intelektual, oposisi moral, dan antagonisme keagamaan. Contoh kontravensi antargolongan dalam masyarakat yaitu, dalam suatu pemilihan Presiden, dan pemimpin daerah, kadang-kadang partai politik tertentu saat melakukan kampaye membuat suatu opini-opini untuk menjatuhkan pihak lawan di depan massa. Penciptaan opini tersebut bertujuan untuk menghasut masyarakat untuk memiliki sikap antipati terhadap kandidat atau partai lain. Contoh kontravensi intelektual yaitu, adanya sikap memandang rendah terhadap gologan yang tidak terdidik oleh gologan terdidik. Contoh oposisi moral yaitu, adanya pandagan rendah terhadap budaya lain. Seperti pandangan bangsa barat yang selalu

Universitas Sumatera Utara memandang rendah moralitas bangsa-bangsa negara ketiga, yang dianggapnya sebagai kelompok yang berperadaban rendah. Contoh antagonisme keagamaan yaitu, adanya sikap dan kenyakinan bahwa agamanya yang paling benar. Sikap tersebut didukung keiginan mengembangkan pengaruh agamanya kepada masyarakat dan biasanya sikap tersebut menimbulkan fanatisme yang berlebihan.

Konflik adalah suatu proses sosial antara dua atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya karena berbagai alasan, seperti rasa benci atau rasa permusuhan

(Setiadi, 2011:91). Menurut Max Weber (1968) konflik merupakan suatu hubungan sosial yang dimaknai sebagai keiginan untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Ciri-ciri konflik yaitu,adanya interaksi bersifat langsung, memiliki perasaan saling memusuhi atau saling berlawanan, dan yang terlibat dalam konflik setidaknya terdiri dari dua pihak. Penyebab terjadinya konflik dapat bermacam- macam, salah satunya adalah perbedaan pendapat antarsatu kelompok atau individu dengan kelompok lain dengan cara memaksakan pendapatnya terhadap kelompok lain. Macam-macam konflik yaitu, konflik individu, konflik antarkelompok, konflik politik, konflik SARA, dsb. Salah satu contoh konflik SARA yaitu, konflik antara kelompok etnik Dayak dengan kelompok etnik Madura1.

1http://www.learniseasy.com/defenisi-konflik-dan-macam-macam-konflik.html)

Universitas Sumatera Utara 1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan kelompok etnik diKota Barus, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik

Pesisir? Rumusan masalah tersebut diuraikan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Bagaimana pola menetap masing-masing kelompok etnik di Kota Barus?

2. Bagaimana stereotype yang ada di masyarakat, khususnya kelompok etnik

Batak Toba dengankelompok etnik Pesisir di Kota Barus?

3. Dalam aspek apa saja terjadi interaksi antara kelompok etnik Batak Toba dan

kelompok etnik Pesisir di Kota Barus?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan hubungan yang terjadidi antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir di

Kota Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Adapun manfaat penelitian ini dibagi dua yaitu:

1. Manfaat teoritis, penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan,

khususnya hubungan kelompok etnik, yang mengkaji tentang hubungan

kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir.

2. Manfaat praktis, penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak

yang berkepentingan, sebagai bahan atau informasi, mengenai hubungan

kelompok etnik, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok

etnik Pesisir.

Universitas Sumatera Utara 1.5. Teknik Pengumpulan Data

Data-data yang diperoleh dari lapangan merupakan bentuk deskriptif yang dijadikan menjadi etnografi. Etnografi tersebut menggunakan metode kualitatif dengan teknik-teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1.5.1. Teknik Observasi Partisipasi

Dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi partisipasi. Observasi partisipasi adalah observasi yang melibatkan peneliti secara langsung. Peneliti merasakan secara langsung apa yang dilakukan oleh informan penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan informasi berdasarkan pengalamannya di lapangan.

Peneliti melakukan observasi partisipasi supaya peneliti bisa mendapatkan informasi mengenai pola menetap, mengenai interaksi, mengenai ekspresi ketika berinteraksi, mengenai topik-topik apa yang dibahas saat berinteraksi, serta mengenai berbagai kejadian-kejadian yang terjadi di Kota Barus dengan fakta sesuai dengan pengamatan yang ditemukan di lapangan. Selain dari itu, peneliti bisa mendapatkan informasi yang lebih dipercaya, bisa dipertanggungjawabkan karena peneliti melakukan observasi partisipasi di lapangan.

Untuk mendapatkan informasi melalui observasi partisipasi, peneliti ikut serta dalam proses jual beli di pasar. Di pasar peneliti ikut berjualan dengan salah satu informan penelitiannya. Sebelum ikut berjualan, peneliti terlebih dulu membuat janji dengan informan, supaya informan mengijinkan peneliti untuk ikut berjualan di tempatnya.Tujuan peneliti ikut serta berjualan, supaya peneliti melihat dan merasakan langsung bagaimana interaksi antara kelompok etnik di pasar, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir. Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, peneliti juga melakukan observasi partisipasi di area

Universitas Sumatera Utara pendidikan seperti sekolah. Peneliti meminta pada pemilik kantin sekolah, supaya peneliti diijinkan untuk ikut membantu berjualan di sana. Saat siswa-siswi datang istirahat ke kantin, penelitimelayani mereka layaknya sebagai tukang kantin.

Tujuannya supaya, proses observasi berjalan dengan lancar tanpa ada kecanggungan.

Saat melakukan observasi partisipasi, peneliti menggunakan kamera sebagai alat bantu mengambil foto-foto atau gambar. Foto-foto atau gambar tersebut dapat menjelaskan situasi yang terjadi di lapangan. Selain dari itu peneliti juga mencatat tentang kejadian yang berlangsung di lapangan. Peneliti juga mengamati keadaan kehidupan subjek penelitian. Dalam hal ini, peneliti mengamati bagaimana hubungan yang terjadi di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir.

Setelah sampai di rumah, maka seluruh data yang diperoleh dari lapangan oleh penelitidituangkan ke dalam bentuk catatan lapangan. Hal itu dilakukan supaya data yang didapatkan di lapangan tidak hilang dan terlupa.

1.5.2. Teknik Wawancara

Selain teknik observasi partisipasi, peneliti juga menggunakan teknik wawancara.Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam.

Wawancara mendalam merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara dan yang diwawancarai secara langsung atau tatap muka, dengan melakukan penggalian informasi secara mendalam terhadap satu topik penelitian.

Wawancara mendalam, mempermudah peneliti untuk dapat mengetahui hal-hal yang mendalam dari kehidupan masyarakat, seperti tentang bagaimana masyarakat memandang benda-benda, kejadian-kejadian serta fenomena lain yang terjadi dalam lingkungan tempat tinggalnya, dan peneliti memandang itu semua berdasarkan cara pandang masyarakat yang diteliti(emic view).

Universitas Sumatera Utara Tujuan wawancara mendalam ialah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran dan hati orang lain. Wawancara mendalam juga berfungsi untuk mendapatkan informasi yang tidak dapat ditemukan melalui teknik observasi partisipasi. Dalam wawancara mendalam, peneliti membedakan informan ke dalam dua kategori, yaitu; informan kunci dan informan biasa.

Informan kunci adalah seseorang yang secara lengkap dan mendalam mengetahui informasi yang akan menjadi permasalahan dalam penelitian. Informan kunci dalam penelitian ini yaitu, kepala daerah dan ketua adat Kota Barus.Adapun informasi yang ingin diperoleh dari informan kunci yaitu, tentang sejarah Kota

Barus, kelompok etnik yang pertama kali bermukim di Kota Barus, kelompok etnik dominan baik dalam agama maupun ekonomi di masyarakat, stereotype yang terjadi di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir, konflik antara kelompok etnik, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik

Pesisir, dan cara untuk menciptakan sikap toleransi dalam masyarakat, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir.

Sedangkan informan biasaadalah seseorang yang mengetahui informasi tentang masalah penelitian secara umum tidak mendalam. Informan biasa dalam penelitian ini yaitu masyarakat umum Kota Barus. Informasi yang ingin diperoleh dari informan biasa atau umum yaitu, tentang hubungankelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir, tempat interaksi kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir, dan interaksi anak-anak dengan kawannya yang berbeda kelompok etnik, khususnya anak-anak kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir.

Universitas Sumatera Utara Dalam hal ini, peneliti menggunakan alat seperti recorder atau alat rekam sebagai alat bantu yang dapat merekam hasil wawancara dengan informan penelitian.

Sebelum merekam, penelitimeminta ijin kepada informan yang diwawancarai mengenai apakah dia bersedia atau mengijinkan peneliti melakukan perekaman dengan alat rekan atau tidak. Jika informan bersedia, maka peneliti boleh melakukan perekaman.Tujuannya, supaya tidak ada kecanggungan antara informan dengan peneliti saat proses wawancara. Selain itu, dapat memudahkan peneliti dalam proses wawancara. Setelah sesampai di rumah, peneliti akan menulis kembali hasil wawancara ke dalam bentuk tulisan yang lebih sistematik. Serta seluruh hasil wawancara akan dituangkan ke dalam bentuk catatan wawancara.

1.5.3. Dokumenter

Untuk menambah informasi serta mempermudah peneliti, maka selain dari teknik observasi dan wawancara peneliti juga memakai teknik dokumenter.

Dokumenter tersebut berupa catatan pribadi, buku harian, rekaman wawancara, rekaman video, foto dan lain sebagainya.

1.5.4. Studi Pustaka

Studi pustaka sangat penting bagi peneliti untuk menunjang kelancaran penelitian, karena studi pustaka dapat memberi informasi terkait dengan topik penelitian. Studi pustaka yang dipakai peneliti bisa berupa buku, artikel, jurnal, dsb, yang berhubungan dengan topik kajian. Hal tersebut, membantu peneliti dalam mengetahui bagaimana hubungan kelompok etnik, khususnya hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus.

Universitas Sumatera Utara 1.5.5. Analisis Data

Data-data yang diperoleh melalui pengumpulan data dianalisis secara kualitatif. Keseluruhan data yang diperoleh dari observasi dan wawancara dianalisis.

Setelah dianalisis pada tiap-tiap data yang dikumpulkan, kemudian menguraikan bagian-bagian permasalahan dengan membuat sub-sub judul pada bab-bab penulisan penelitian. Analisis data dilakukan sesuai dengan kajian antropologi dengan melihat permasalahan yang ada. Analisis data dilakukan mulai pada saat meneliti atau selama proses pengumpulan data yang berlangsung hingga penulisan skripsi selesai.

Pada penelitian ini penulis juga menggunakan data-data yang diperoleh dari sumber dokumentasi, yangberupa hasil penelitian dan dokumen-dokumen administratif. Peneliti juga melakukan pendokumentasian selama melakukan observasi berupa foto dan rekaman wawancara yang diperoleh saat penelitian.

Universitas Sumatera Utara

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Letak Geografis KotaBarus

Kota Barusadalahsebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli

Tengah, Sumatera Utara, Indonesia. Ibukotanya berada di Kelurahan Padang

Masiang. Letak geografis wilayah Kota Barus berada di Pantai Barat Sumatera

dengan ketinggian antara 0-3 meter di atas permukaan laut. Kota Barus terletak

pada koordinat 02° 02’05”-02° 09’29” Lintang Utara, 98° 17’18”-98° 23’28” Bujur

Timur.

Kota Barus tergolong daerah beriklim tropis yang hanya memilikitiga musim, yaitu; musim kemarau, musim hujan, dan musim pancaroba. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni-September, sedangkan musim hujan biasanya terjadi pada bulan November-Maret, di antara kedua musim tersebut diselingi oleh musim pancaroba.Suhu udara Kota Barus pada tahun 2016 antara Januari-Desember 2016 maksimum bisa mencapai 32,80C dan suhu minimum mencapai 20,90C.

Secara administratif, Kota Barus mempunyai dua kelurahan dan satu desa.

Kelurahannya yaitu Pasar Batu Gerigis dan Padang Masiang. Sedangkan desanya yaitu Desa Pasar Tarandam. Kelurahan Pasar Batu Gerigis yang letaknya langsung berbatasan dengan Samudera Indonesia berfungsi menjadi pusat perdagangan dan jasa. Di kelurahan ini berdiri gedung pusat perdagangan dan pertokoan. Selain itu, di sana juga terdapat gedung perkantoran, seperti Kantor Pos dan Bank Sumut. Di

Kelurahan Pasar Batu Gerigis juga berdiri Gedung SD, SMP Muhammadiyah yang

Universitas Sumatera Utara lokasihnya tepat di Jl. R.A. Kartini. Dalam bidang jasa daerah ini merupakan pusat jasa angkutan ke luar wilayah Kecamatan Barus. Stasiun atau agen angkutan umum pusatnya berada di sekitar Jl. K.H. Zainul Arifin. Angkutan yang dilayani adalah

Tujuan Medan, , P.Sidempuan, Dolok Sanggul dan Singkil. Di sana juga terdapat penginapan dan rumah-rumah makan.

Pada setiap hari Rabu dan Sabtu di Kelurahan Batu Gerigis terdapat onan

(pasar). Setiap onan, masyarakat akan berdatangan ke Kelurahan Batu Gerigis.

Masyarakat yang datang tidak hanya dari dalam daerah, tetapi juga dari luar daerah

Kelurahan Batu Gerigis. Masyarakat yang datang ke sana ada yang hanya ingin belanja memenuhi kebutuhan keluarganya dan ada juga yang untuk berdagang.

Sementara di Kelurahan Padang Masiang, merupakan pusat pemerintahan dan pendidikan. Di kelurahan ini berdiri gedung-gedung perkantoran di antaranya,

Kantor Kecamatan Barus, KAPOLSEK, KORAMIL, PLN, BRI, TELKOM,

PUSKESMAS dan Kantor KUA. Gedung lain yang berdiri yakni SD Negeri, SMP

Negeri 1, SMA Negeri 1, Madrasah Aliyah Negeri, Perguruan N.U, Sekolah Tinggi

Ilmu Agama HASIBA dan STKIP-Barus (Afliasi STKIP Padang Sidempuan).

Sedangkan Desa Pasar Tarandam merupakan desa yang letaknya berada dekat di tepian pantai. Nama Desa Pasar Tarandam berarti jalan yang terendam.

Dikatakan seperti itu, karena jalan-jalan di sana sering terendam oleh pasang surut air laut, maka disebutlah dengan Desa Pasar Tarandam.Desa Pasar Terandam merupakan kawasan yang paling aktif dalam hal penangkapan ikan, karena di sana terdapat Pelabuhan Kualo(penampungan ikan). Selain kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan, terdapat pula pembuatan kapal Bot, pembuatan es,

Universitas Sumatera Utara kendaraan pengangkutan ikan segar keMedan, Sibolga, Padang, Dolok Sanggul dan daerah lainnya.

.Berikut tabel luas wilayah menurut desa/kelurahan di Kota Barus.

Tabel 2.1

Luas Wilayah Menurut Desa/Kelurahan di Kota Barus, 2016 No Desa/Kelurahan Luas (km2) % terhadap total 4 Padang Masiang 0,77 3,53 6 Pasar Batu Gerigis 0,50 2,29 7 Pasar Terandam 0,92 4,22 Sumber: data kecamatan Barus 2016

2.2. Sejarah

Menurut cerita masyarakat, dahulunyaBarus didirikan oleh Raja Ooloo (hulu) atau Raja yang tinggal di pedalaman di atas Bukit Maligje (mahligai) yang juga merupakan nama seluruh negerinya. Salah seorang dari bangsa Sebunyah (orang gaib) merasa mendapat ilham dari Tuhan dan pergi ke atas bukit Maligje, dia mengantarkan seorang raja pengikutnya beserta rakyatnya ke negeri

Pansohor(pansur). Pansohor merupakan nama pertama dari Bahroos (Barus).

Setelah beberapa lama di Pansohor orang gaib membawa mereka ke Bukit

Mumpatoo yaitu bukit tempat dia mengajarkan agama Islam dan mendalami ajaran- ajaran agama Islam serta diajarkan bahasa pansohor.

Pada saat itu, Barus memiliki dua raja. Satu raja yang memimpin di hilir dan satunya lagi raja yang memimpin di hulu. Raja yang di hulu masyarakat lebih banyak dari kelompok etnik Batak Toba yang beragama Kristen yang datang dari daerah pegunungan. Sedangkan raja yang di hilir masyarakatnya lebih banyak dari kelompok etnik Pesisir yang agamanya Islam yang berasal dari Tarusan di Selatan

Universitas Sumatera Utara Padang . Dikatakan kelompok etnik Pesisir, karena mereka tinggal di daerah Pesisir, memiliki bahasa yang sama yaitu bahasa Pesisir, dan memiliki budaya yang sama yaitu budaya Pesisir.Pemisahan kedua raja disebabkan oleh tidak terlalu berbaurnya kelompok etnik Pesisir yang tinggal di pinggir laut dengan kelompok etnik Batak

Toba yang tinggal lebih jauh dari tepian laut.

Berdasarkan penelitian Claude Guillot (2008) dalam buku “Barus Seribu

Tahun yang Lalu”, dikatakan bahwa pada zaman dulu Barus sangat terkenal dengan

Kapur Barusnya. Banyak pelayar yang datang dari daerah asing ke Barus, untuk mengambil rempah-rempah seperti Kapur Barus. Hal tersebut dibuktikan dari temuan-temuan arkeologi yang berupa benda-benda peninggalan bersejarah. Seperti batu nisan yang bertulisan bahasa-bahasa Arab, tembilahan, tempayan, pot, kendi, dan masih banyak lagi, yang menurut peneliti temuan-temuan tersebut bukan barang peninggalan penduduk asli Barus, tetapi peninggalan-peninggalan bangsa-bangsa asing. Hal tersebut dikatakan, karena peninggalan-peninggalan tersebut dianggap tidak pernah dipakai oleh masyarakat Barus.

Selain itu Pada zaman dulu di Kota Barus juga terdapat kelompok etnik ,

India (Keling). Kelompok etnik india (keling) merupakan kelompok etnik yang sudah lama datang ke Kota Barus. Hal itu dipertegas dengan adanya bacaan prasasti tahun 1088 M. Selain dari itu, ditemukannya artefak-artefak yang menjelaskan keberadaan kelompok etnik India (Keling)di Kota Barus. Artefak tersebut berupa alat-alat masak kelompok etnik India (Keling). Menurut perkiraan, kelompok etnik

India (Keling)tersebut membawa perlengkapan masak dan makan ke Kota Barus, karena mereka mungkin tidak bisa meninggalkan kebiasaan memasak dan makan mereka. Alat-alat lain yang juga ditemukan adalah sebuah lampu minyak yang

Universitas Sumatera Utara bercirikan India (Keling), dan alat-alat lain yang menguatkan adanya keberadaan kelompok etnik India (Keling)di Kota Barus pada zaman dahulu.

Namun, saat ini keberadaan kelompok etnik India (Keling)di Kota Barus seakan menghilang. Sudah sangat jarang menemukan kelompok etnik India

(Keling)di Kota Barus. Meskipun sejarah dan artefak menjelaskan keberadaan mereka di Kota Barus, tetapi saat ini hampir tidak pernah lagi kita dapat menemui mereka.

Pada zaman itu, Barus sangat berjaya dan dikenal sebagai pusat perdagangan yang besar, sehingga banyak pendatang yang datang ke Barus untuk berdagang.

Pendatang tersebut berasal dari berbagai kelompok etnik, yaitu kelompoketnik

Tamil, China, Arab, Aceh, Jawa, Batak Toba, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Sebagian dari mereka ada yang menetap tinggal di Barus dan ada sebagian yang datang hanya untuk berdagang saja.Namun, kejayaan Barus menurun karena saat itu Barus diselimuti konflik, dan para pedagang beralih ke pelabuhan Sunda Kelapa, Surabaya, dan Makassar. Sementara, pedagang- pedagang asing memilih mengangkut hasil bumi dari Pelabuhan Sibolga.

Barus semakin tenggelam saat Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada permulaan abad ke-17. Kerajaan Aceh Darussalam tersebut membangun pelabuhan yang lebih strategis untuk jalur perdagangan, yaitu di pantai Timur

Sumatera, berhadapan dengan Selat Melaka. Pesatnya teknologi pembuatan

Kapur Barus sintetis di Eropa juga dianggap sebagai salah satu faktor memudarnya Barus dalam peta perdagangan dunia. Pada awal abad ke-18, Barus benar-benar tenggelam dan menjadi pelabuhan sunyi yang terpencil.

Universitas Sumatera Utara Kehancuran Barus kian jelas ketika pada tanggal 29 Desember 1948,

Barus dibumihanguskan oleh pejuang kemerdekaan Indonesia karena Belanda yang telah menguasai Sibolga dikabarkan akan segera menuju Barus. Barus yang berjarak 414 km dari Medan benar-benar dilupakan. Pemerintah lebih tertarik mengembangkan perdagangan di kawasan pantai Timur Sumatera, khususnya di sekitar Selat Malaka, dengan pusatnya di Batam dan Medan. Dominasi pembangunan pantai Timur ini bisa dilihat pengiriman hasil bumi dari pedalaman pantai Barat Sumatera yang harus melalui jalur darat untuk kemudian diangkutdengan kapal dari Pelabuhan Belawan, Medan.Sedangkan untuk melayani arus perdagangan skala lokal di kawasan pantai Barat Sumatera, pemerintah lebih tertarik mengembangkan pelabuhan yang lebih baru seperti

Singkil di Utara dan Sibolga di Selatan. Kehebatan Barus sebagai bandar internasional benar-benar dilupakan.

Kini, Barus tak lebih dari sebuah kecamatan biasa di daerah pinggiran yang hampir-hampir tak tersentuh roda pembangunan. Sebagian warganya meninggalkan desa, mencari pekerjaan atau pendidikan di luar daerah. Namun, saat ini pemerintah Barus sudah mulai membenai Barus. Hal itu dapat di lihat daribertambahnya berbagai fasilitas pendukung di Barus, baik itu fasilitas pendidikan, kesehatan, keamanan serta infrastruktur yang semakin membaik.

2.3. Struktur Pemerintahan

Kota Barus merupakan bagian dari Kecamatan Barus. Sistem pemerintahan

Kecamatan Barus mengalami revolusi. Pada Juni 1946 melalui sidang Komite

Nasional Daerah Keresidenan Tapanuli, dibentuklah Kabupaten Sibolga, Tapanuli

Universitas Sumatera Utara Tengah. Seiring itu pula, di Tapanuli Tengah mulai dibentuk kecamatan-kecamatan untuk menggantikan sistem Pemerintahan. Sibolga adalah kecamatan yang pertama kali dibentuk, menyusul Lumut dan Barus. Pada waktu itu, status Barus resmi menjadi sebuah kecamatan. Oleh karena itu, dengan sendirinya wilayah Barus Raya sudah terbagi-bagi sesuai ketentuan yang berlaku pada saat itu. Adapun saat itu,

Sorkam masih dalam wilayah Kecamatan Barus. Berdasarkan undang-undang darurat no. 7 tahun 1956, di Sumatera Utara dibentuklah daerah otonom kabupaten, termasuk Tapanuli Tengah. Melalui undang-undang itu juga Sibolga menjadi Kota

Praja. Terpisahnya Sorkam dari Kecamatan Barus didasarkan adanya ketentuan yang menyatakan bahwa setiap kabupaten harus mempunyai dua kewedanaan dan satu kewedanaan minimal harus dua kecamatan. Wedana Barus terdiri dari Kecamatan

Barus dan Kecamatan Sorkam. Berdasarkan PP No. 35 /1992 tanggal 13 Juli 1992 tentang pembentukan 18 kecamatan yang ada di Sumatera Utara, maka Kabupaten

Tapanuli Tengah mendapat dua daerah pemekaran yakni, Kecamatan Manduamas yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Barus dan Kecamatan Kolang hasil pemekaran dari Kecamatan Sibolga. Sesuai dengan perkembangan pemekaran wilayah yang terjadi di seluruh Indonesia, maka Kecamatan Barus pun dimekarkan berkali-kali. Hanya dalam berberapa tahun saja Barus sudah terbagi menjadi beberapa kecamatanyaitu, Kecamatan Barus, Kecamatan Sosorgadong, Kecamatan

Andam Dewi, dan Kecamatan Barus Utara.

Kecamatan Barus sebelum dimekarkan mempunyai lebih dari sebelas desa.

Namun, setelah pemekaran saat ini Kecamatan Barus hanya memiliki sebelas desa.Desa yang tergolong kecamatan Barus adalah Patupangan, Kedai Gedang,

Sigambo-gambo, Padang Masiang, Solok, Pasar Batu, Pasar Tarandam,

Universitas Sumatera Utara Kinali, Ujung Batu, Kampung Mudik, Gabungan Hasang, Aek Dakka, dan Bunga

Tanjung. Ibu kota Kecamatan Barus berada di Kelurahan Padang Masiang. Oleh karena itu, kantor Kecamatan Barus berada di Padang Masiang. Berikut struktur pemerintahan Kecamatan Barus:

Camat Usman Edy

Sekretaris Yusran Sinaga

Staf Kantor Kasi Pemerintahan Kasi Kesyanmun Marlan Marbun Erpawati Simamora Haryani Samosir Andi Putra Tanjung

Sekdes Pasar Tarandam Seklur Kelurahan Padang Masiang Muhammad Taher Siregar Kaur Umum Pembagunan Kelurahan Pasar Batu Gerigis Rosnida Simamora Rusdi Gaja

Kaur Lely Arjuna Simbolon Staf Kelurahan Diwatman Pinayungan

Kaur Umum Esma Sinaga

Staf Kelurahan Nurbenia Silaban

2.4. Kependudukan

2.4.1. Jumlah Penduduk Secara Umum

Penduduk yang dominan di Kota Barus,yaitu kelompok etnik Pesisir. Di samping kelompok etnik Pesisir terdapat juga kelompok etnik Batak Toba yang penduduknya kedua lebih banyak. Selain kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir, terdapat juga kelompok etnik Mandailing, Karo, dan

Minangkabau. Meskipun tidak ada data di Kecamatan Barus tentang data penduduk berdasarkan kelompok etnik yang menyatakan jumlah kelompok etnik

Universitas Sumatera Utara Pesisir lebih banyak di Kota Barus, namun berdasarkan penuturan masyarakat di lapangan mengatakan kalau kelompok etnik Pesisirlah yang penduduknya paling dominan dan kelompok etnik Batak Toba kedua penduduknya paling banyak di

Kota Barus.Berdasarkan data yang diperoleh dari Kecamatan Barus jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan di

Kota Barus. Berikut tabel jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kota

Barus yang dapat menjelaskan jumlah penduduk Kota Barus secara umum. Berikut tabelnya:

Tabel 2.2

Jumlah Penduduk Setiap Desa/Kelurahan Menurut Jenis Kelamin NO Desa/kelurahan Laki-laki Perempuan JUMLAH 1 Pasar Batu Gerigis 769 748 1517 2 Padang Masiang 1055 1043 2098 4 Pasar Tarandam 1326 1207 2533 Kota Barus 3150 2998 6148 Sumber: data kecamatan Barus 2016

Dari tabel di atas terlihat perbandingan jumlah laki-laki dengan perempuan. Berdasarkan tabel, jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan. Hal itu disebabkan, karena masyarakat Kota Barus menganut sistem patrinear, di mana garis keturunan diteruskan berdasarkan garis keturunan laki-laki. Jadi bagi masyarakat di Kota Barus memiliki banyak jumlah anak laki-laki lebih baik dibandingkan anak perempuan. Selain itu, perempuan

Kota Barus setelah lulus SMA, lebih banyak pergi merantau dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena itu, jumlah laki-laki lebih banyak tinggal di Kota

Barus dibandingkan jumlah perempuan.

2.4.2. Agama

Universitas Sumatera Utara Hak untuk memilih agama atau kepercayaan adalah hak setiap masyarakat.

Begitu juga di Kota Barus. Di Kota Barus terdapat 3 jenis agama, yaitu Islam,

Kristen Protestan, dan Katolik. Di Kota Barus jumlah penduduk penganut agama

Islam lebih banyak, khususnya daerah dekat laut atau sering disebut daerah pesisir,di mana rata-rata penduduknya beragama Islam. Sedangkan arah menjauh dari tepian laut penduduknya lebih banyak beragama Kristen Protestan dan

Katolik. Berikut tabelnya:

Tabel 2.3 Banyaknya Penduduk Menurut Agama yang Dianut

No Desa/kelurahan Islam Katolik Protestan

1 Padang Masiang 5.340 9.70 3.590

2 Pasar Batu Gerigis 9.290 60 6.50

3 Pasar Terandam 9.830 20 1.50 TOTAL 24.460 1.050 4.390 Sumber: Koordinator Statistik Kecamatan Barus 2016

Dari tabel di atas dapat terlihat perbandingan jumlah penduduk berdasarkan penganut agama. Total penganut agama Islam berjumlah 24.460. Katolik berjumlah

1.050. Protestan berjumlah 4.390. Jumlah penganut agama Islam lebih banyak di

Kota Barus, hal itu terjadi karena penyebar agama Islam yang datang dari Arab lebih awal datang ke sana untuk menyebarkan ajaran agama Islam dibandingkan dengan penyebar agama Kristen. Oleh karena itu penduduk di sana lebih banyak menganut ajaran agama Islam, maka jumlah tempat ibadah Islam juga lebih banyak terdapat di

Kota Barus. Hal itu terbukti dari jumlah bangunan mesjid terdapat 6 bangunan, musollah 7 bangunan, sedangkangereja hanya terdapat 1 bangunan. Pembangunan tempat ibadah di Kota Barus tidak pernah terjadi pertentangan dan toleransi

Universitas Sumatera Utara beragama cukub baik. Hal itu dapat dilihat dari berdirihnya gereja HKBP Barus yang cukup besar dan lokasinya tidak terlalu jauh dengan lokasih Mesjid Raya Barus.

Berikut gambar Mesjid Raya Barus:

Gambar 2.1 Mesjid Raya Barus

Selain dari ketiga agama yang disebutkan sebelumnya, masyarakat di Kota

Barus jugamasih percaya pada suatu tempat yang diyakini memiliki kekuatan magis atau tempat keramat. Tempat keramat yang mereka yakini adalah Makam

Aulia 44. Salah satu Makam Aulia 44 yaitu: Makam Papan Tinggi, Makam

Mahligai, Makam Tua Batu Badan, Makam Tua Syech Badan Batu, dsb.

Sebenarnya tidak hanya masyarakat Kota Barus saja yang datang dan menyakini tempat keramat tersebut, tetapi dari luar wilayah Kota Barus juga banyak yang berdatangan untuk jiarah ke tempat tersebut, khususnya yang beragama Islam.

Masyarakat Kota Barus menyakini bahwa adanya makluk ghaib. Mereka menyakini ada hubungan antara roh leluhur yang telah meninggal dengan roh manusia. Hal itu, dapat dilihat pada saat ada masyarakat yang kesurupan mahluk

Universitas Sumatera Utara halus, maka mereka pecaya kalau mahluk halus yang memasuki tubuh orang tersebut adalah nenek moyang mereka yang telah meninggal.

2.5. Mata Pencaharian

Sumber penghasilan atau mata pencaharian masyarakat di Kota Barus beragam. Berikut mata pencaharian masyarakat di Kota Barus:

2.5.1. Sektor Perikanan

Sebagai daerah yang berada di pinggiran pantai, maka penduduk di Kota

Barus sebagian besar berprofesi menjadi nelayan, khususnya penduduk Desa Pasar

Terandamyang hampir 90% berprofesi sebagai nelayan, hal itu terjadi karena lingkungan dan lahan di Desa Pasar Tarandam cocoknya hanya dijadikan sebagai lahan untuk penangkapan ikan dan pencemuran ikan. Oleh karena itu, pusat transaksi hasil laut berada di Desa Pasar Terandam. Pusat kegiatan nelayan disebut Kualooleh masyarakat setempat. Kualomerupakan tempat pelelangan ikan dan sering juga disebut dengan pelabuhan Kualo. Pelabuhan Kualo yang berada di Desa Pasar

Terandam merupakan kawasan yang paling aktif di Kota Barus. Selain kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan, terdapat pula pembuatan kapal Bot, pembuatan es, kenderaan pengangkutan ikan segar keMedan, Sibolga, Padang, Dolok Sanggul dan daerah lainnya. Penjualan ikan yang murah di Kota Barus di jajakan oleh pedagang keliling bersepeda atau kenderaan sepeda motor. Masyarakat setempat menyebutnya pangalong-along. Selain pangalong-along, penjual ikan juga ada pada hari onan (pasar) di hari Sabtu dan Rabu. Berikut gambar tempat jual ikan di onan

(pasar):

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Tempat Jual Ikan di Onan (pasar)

Sebagai sarana angkutan bagi nelayan untuk menangkap ikan, mereka memakai kapal motor angkut yang biasa disebut Bot. Bot yang ada berjumlah ratusan buah yang terbuat dari kayu meranti dan kayu kapur. Bot tersebut, diangkut dari Pulau Mursala yang terdapat di lepas pantai Sibolga. Bot ini, terdiri dari satu ruangan kabin yang sederhana, satu motor penggerak yang dapat mengangkut antara

170 hingga 280 meter kubik. Selain Bot, para nelayan juga memberdayakan sarana angkutan perahu jongkong (jukung), perahu papan (biduk), motor tempel (sitempel), bagan tancap, dan bagan perahu.

Untuk peralatan penangkapan ikan, para nelayan memakai jaring atau pukat.

Pukat yang dipaki di KotaBarus dan sekitarnya yaitu, pukat payang, pukat pantai/dogal, pukat kantong. Sedangkan jaring yang dipakai yaitu, jaring insang tetap, jaring lingkar dan jaring insang hayut. Peralatan lain yang dipakai nelayan untuk menangkap ikan yaitu, perangkap bubu, rawai, dan pancing. Selain melaut,

Universitas Sumatera Utara para nelayan pun mempunyai kegiatan lain seperti pembuatan keranjang, perbaikan jaring dan tempat penjemuran ikan.

2.5.2. Pertanian

Selain nelayan, masyarakat di Kota Barus sebagian besar juga berprofesi sebagai petani. Hal itu disebabkan karena di wilayah Kota Barus memiliki hamparan sawah.Persawahan di sana ada yang memiliki sistem irigasi. Mereka mengairi sawah dengan cara membuat aliran air dari sungai. Jika musim kemarau tiba, para petani bekerja sama untuk mengairi sawah mereka dari aliran sungai.Namun, tidak semua persawahan di sana bisa diairi air yang dari sungai. Oleh karena itu, mereka hanya memanfaatkan air hujan sebagai perairan sawah mereka. Maka dari itu, hasil panen sawah yang diairi air sungai sangat berbeda dengan sawah yang hanya mengharapkan air hujan. Hasil panen sawah yang diairi air sungai lebih banyak dan kualitas padinya lebih baik serta enak. Maka para pembeli beras lebih suka membeli beras kepada mereka yang memiliki sawah yang dapat diairi air sungai. Sedangkan sawah yang hanya mengharapkan hasil hujan, hasil panennya lebih sedikit. Mereka juga tidak bisa bebas kapan saja turun ke sawah untuk menanami padi, karena mereka harus melihat kondisi cuaca.

Organisasi pertanian di Kota Barus disebut dengan Kelompok Tani.

Kelompok Tani ini merupakan kelompok yang dibuat pemerintah Dinas Pertanian untuk membantu pertanian di Kota Barus. Kelompok Tani ini diurus oleh aparat desa yang bekerja sama dengan para Dinas Pertanian Kota Barus. Pupuk-pupuk subsidi dari pemerintah disalurkan melalui Kelompok Tani kepada masyarakat yang ada di

Kota Barus. Jika ada kebijakan-kebijakan pertanian, maka Kelompok Tani yang akan

Universitas Sumatera Utara mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada masyarakat. Berikut gambar persawahan di Kota Barus:

Gambar 2.3 Persawahan

2.5.3. Industri

Selain dari itu, di Kota Barus juga berkembang industri kecil menengah yang dikelola secara perorangan. Industri itu di antaranya; pengasinan ikan, kilang es batu, kilang kopi, industri pembuatan stroop (siroop), kerupuk, dan anyaman daun pandan.Berbagai industri tersebut memakai pekerja yang dari Kota Barus maupun dari luar.Namun,umumnya pekerjanya adalah masyarakat Kota Barus. Masyarakat yang bekerja sebagai buruh/karyawan industri tidak terlalu banyak, dari jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh hanya sekitar 1% saja yang bekerja sebagai

Universitas Sumatera Utara buruh/karyawan. Hal itu dikarenakan industri yang ada di Kota Barus masih tergolong industri kecil-kecilan dan umumnya itu adalah industri perorangan.

2.5.4. Jasa

Di Kota Barus juga terdapat profesi di bidang jasa, sepertipandai besi, bengkel mobil, bengkel sepeda motor, reperasi sepeda, cas batrey, tambal ban, fotocopy, salon, tukang foto, reperasi radio/TV, bengkel perahu, bengkel las, pertukangan perabot rumah tangga, pembuatan batako, galangan kapal. Selain itu, terdapat juga jasa angkutan, jasa penginapan (hotel),dan rumah makan. Penginapan yang ada di Kota Barus merupakan peginapan yang sederhana. Nama peginapan tersebut yaitu, peginapan Hotel Fasyuri yang terletak di Jl. A. Yani Barus, dan penginapan Pesanggarahan di Kelurahan Padang Masing.

2.5.5. Perdagangan

Penduduk di Kota Barus juga sebagian besar berprofesi sebagai pedagang.Pedagang tersebut umumnya bertempat tinggal di Keluarahan Pasar Batu

Gerigis. Oleh karena itu, penduduk Kelurahan Batu Gerigis hampir 90% berprofesi sebagai pedagang. Hal itu disebabkan, karena onan (pasar) letaknya berada di

Kelurahan Pasar Batu Gerigis. Setiap Rabu dan Sabtu kegiatan jual beli dilaksanakan di onan (pasar).Para pedagang berdatangan dari dalam dan luar Kota Barus. Seperti pedagang sayur-sayuran datang dari Dolok Sanggul, dan Pakkat. Para pedagangbahan material bangunan, pedagang pakaian menempati kios-kios.

Sementara pedagang sayur mayur berjualan di kaki lima. Berikut gambar onan

(pasar) di halaman selanjutnya:

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Onan (pasar)

2.5.6. Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Honor

Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di Kota Barus tersebar diberbagai

Instansi. PNS terbanyak adalah guru. Pada tahun 2011 jumlah guru PNS mencapai

235 orang dan yang bertugas di UPT Dinas Pendidikan sebanyak 10 orang.

Selanjutnya puskesmas dengan 26 PNS. Jumlah PNS yang bertugas di Kantor

Kecamatan Barus berjumlah delapan orang. Kantor Kelurahan Padang Masiang empat orang dan Kelurahan Pasar Batu Gerigis tiga orang dan Sekretaris Desa

(Sekdes) yang diangkat jadi PNS ada di Desa Pasar Terandam.Bagi masyarakat di

Kota Barus pekerjaan sebagai PNS merupakan pekerjaan yang didambakan. Mereka rela membayar ratusan juta untuk bisa masuk menjadi PNS. Hal itu disebabkan, pekerjaan sebagai PNS merupakan pekerjaan yang menjanjikan bagi masa depan.

Kebiasaan membayar ratusan juta untuk jadi PNS sudah menjadi lumrah bagi masyarakat Kota Barus, bahkan itu sudah menjadi rahasia umum. Oleh karena itu,

Universitas Sumatera Utara bagi mereka yang memiliki uang banyak akan memiliki peluang lebih besar untuk menjadi PNS. Namun, tidak sedikit juga masyarakat yang banyak tertipu iming- iming dijadikan sebagai PNS. Seperti yang dikatakan informan saya yang berinisial

“R”:

“Saudara saya sudah pernah tertipu seratus juta karena diiming-imingi bisa menjadi PNS. Berawal ketika waktu itu, dia ditawarkan oleh kawan kerjanya yang mengatakan punya kenalan yang bisa memasukkan jadi PNS, tetapi dengan syarat memberi uang seratus juta. Saudara saya itu langsung percaya dan diapun menjual hartanya demi mendapatkan uang seratus juta. Dia berpikir kalau nanti sudah jadi PNS, cepatnya bagi dia untuk balikkan uang yang seratus juta itu. Lalu dia berikan uang tersebut, tetapi sampai sekarang belum ada kabar akan pengangkatan dia sebagai PNS. Sehingga sekarang dia terlihat pusing tiap kali dia mengigat uangnya yang hilang begitu saja (Hasil wawancara, 20/02/2018)”.

Selain dari PNS, pegawai honor juga cukup banyak di Kota Barus, khususnya pegawai honor sebagai tenaga pengajar (guru). Setelah tamat dari perguruan tinggi yang ada di KotaBarus, rata-rata lulusannya bekerja sebagai pegawai honor.

Meskipun gaji honor sangat rendah, tetapi mereka tetap bertahan sebagai honor, dengan harapan setelah beberapa tahun mengabdi mereka bisa diangkat menjadi

PNS. Seperti pengalaman Ibu Purba. Ibu Purba bekerja sebagai tenaga guru honor selama 10 tahun di salah satu sekolah SD. Setelah selama itu, tiba-tiba ada program pemerintah yang mengangkat semua tenaga honor yang sudah mengabdi selama 10 tahun menjadi PNS dan akhirnya Ibu Purba diangkat menjadi PNS.

2.6. Pola Pemukiman

Pemukiman adalah kumpulan tempat tinggal masyarakat di suatu wilayah atau tempat tertentu. Masyarakat membangun rumah-rumah tempat tinggal mereka yang saling berdekatan yang satu dengan yang lain. Bentuk pemukiman masyarakat

Universitas Sumatera Utara sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mereka, hal itu yang membuat setiap wilayah pemukiman masyarakat memiliki ciri-ciri tersendiri. Pola pemukiman masyarakat secara umum dapat dibagi atas tiga, yaitu: pola memanjang, pola terpusat, dan pola tersebar.

Pola pemukiman memanjang merupakan pola pemukiman yang memiliki ciri-ciri pemukiman berupa deretan memanjang, karena mengikuti jalan, sungai, dan pantai. Pemukiman terpusat merupakan pola pemukiman yang membentuntuk unit- unit/kelompok. Biasanya pemukiman ini terdapat di daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi. Pemukiman pola tersebar merupakan pemukiman yang terdapat di daerah dataran tinggi dan daerah gunung yang daerahnya kurang subur. Pada pola ini, para penduduk akan mendirikan pemukiman secara tersebar untuk mencari daerah yang memiliki kondisi air yang baik. Biasanya pemukiman dengan pola tersebar rata-rata mata pencahariannya sebagai petani, ladang, perkebunan, dan peternakan.

Pola pemukiman masyarakat di Kota Barus adalah pola memanjang dan terpusat. Rumah-rumah masyarakat Kota Barus membentuk pola berderet-deret hingga panjang. Hal itu, disebabkan karena Kota Barus yang letaknya berada di tepian pantai yang menuntut adanya pola ini. Pola pemukiman ini dipengaruhi oleh sistem mata pencaharian masyarakat. Oleh karena rata-rata mata pencaharian masyarakat di Kota Barus sebagai nelayan, maka mereka membangun pemukiman yang memanjang di tepian pantai dengan tujuan agar mereka lebih mudah untuk pergi mengambil ikan ke laut. Selain pola pemukiman memanjang, terdapat juga pola pemukiman terpusat di Kota Barus. Di mana terdapat pemukiman yang penduduknya berkelompok berdasarkan adanya kesamaan kelompok etnik,

Universitas Sumatera Utara pekerjaandan agama. Hal itu terlihat di setiap wilayah Kota Barus, seperti pemukiman di Kelurahan Batu Gerigis yang pemukimannya terpusat. Di mana penduduk Kelurahan Batu Gerigis rata-rata bekerja sebagai pedagang, agamanya

Islam, dan kelompok etniknya kelompok etnik Pesisir.

Selain dari itu, karena pola pemukiman masyarakat di Kota Barus berbentuk deretan yang memanjang dan terpusat. Maka, bagunan-bagunan rumah masyarakat

Kota Barus cukup padat.Oleh karena itu, bangunan yang dibagun menyatu antara satu dengan yang lain. Hal itu, disebabkan karena lahan untuk membagun bagunan sudah habis, maka banyak sawah-sawah yang ditimbun untuk dijadikan rumah. Oleh karena itu, tidak perlu heran kalau melihat rumah di sana di sampingnya ada sawah yang masih ditanami padi. Berikut gambar pola pemukiman:

Gambar 2.5 Pemukiman

2.7.Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana merupakan penunjang bagi masyarakat dalam melaksanakan segala aktifitas serta kebutuhan lainnya. Seperti halnya sarana

Universitas Sumatera Utara trasportasi. Sarana trasportasi yang sering masyarakat gunakan yaitusepeda motor, dan becak motor yang sering dijumpai pada hari onan (pasar) yang dapat membantu dan mempermudah aktifitas masyarakat. Untuk penerangan masyarakat menggunakan jaringan listrik. Hampir semua rumah masyarakat menggunakan listrik untuk kepentingan penerangan dan rumah tangga.

Sedangkan, untuk air bersih masyarakat menggali atau membor sumur, karena wilayah mereka yang dekat dengan tepian laut, serta wilayah dataran rendah dan panas membuat masyarakat harus menggali sumur yang dalam, supaya memperoleh air bersih. Jika musim kemarau yang sangat panjang, masyarakat terkadang mengalami kekeringan. Namun, saat inimasyarakat sudah jarang mengalami kesusahan mendapatkan air bersih, karena sudah adasistem air galon isi ulang ataupun aqua asli yang sudah cukup banyak di Kota Barus. Selain sarana dan prasarana yang dijelaskan sebelumnya, berikut sarana dan prasarana lain sesuai bidangnya di Kota Barus:

2.7.1. Sarana dan Prasarana Pendidikan

Pada tahun 2011 di Kecamatan Barus terdapat sebanyak 247 orang guru SD, mengajar sebanyak 2.728 orang murid pada 22 sekolah. Sementara pada tingkat

SLTP terdapat 142 orang guru, mengajar 1.533 orang murid pada tujuh sekolah.

Selanjutnya pada tingkat SLTA terdapat 84 guru mengajar 1.202 orang murid pada tiga sekolah. Sementara untuk tingkat perguruan tinggi terdapat 42 tenaga pengajar, mengajar 792 pada dua Perguruan Tinggi Swasta di Kecamatan Barus.Dari jumlah guru yang diuraikan di atas terdapat 231 guru PNS yaitu 148 orang guru

SD/Sederajat, 47 orang guru SLTP/ Sederajat dan 40 orang guru SLTA/ Sederajat.

Di Kecamatan Barus terdapat sekolah negeri maupun sekolah swasta. Dari 22 SD/

Universitas Sumatera Utara Sederajat terdapat 14 sekolah negeri dan delapan sekolah swasta. Dari tujuh

SLTP/Sederajat terdapat dua sekolah negeri dan lima sekolah swasta, sedangkan untuk tingkat SLTA/ sederajat hanya ada dua sekolah negeri dan satu sekolah swasta.

Sarana dan prasarana pendidikan di Kecamatan Barus belum tergolong baik.

Masih terdapat dibeberapa sekolah yang sarana dan prasarananya kurang memadai.

Contoh, kurangnya jumlah meja dan kursi di kelas, kurangnya ruangan untuk belajar, dan alat-alat pendukung pembelajaran lainnya yang tidak memadai.

Sehingga hal tersebut mempengaruhi proses belajar mengajar siswa. Oleh karena itu, beberapa orang tua memilih untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang ada di luar Kecamatan Barus. Seperti mengirim anaknya sekolah ke Kota

Sibolga atau ke Medan yang sarana dan prasarana pendidikannya lebih bagus. Hal tersebut dipertegas dengan perkataan Bapak Ginting. Bapak Ginting mengatakan:

“Saya tidak percaya dengan pendidikan di Kecamatan Barus ini. Fasilitas dan penunjang belajar anak sangat kurang. Jadi bagaimana lah bisa anak saya pintar kalau fasilitas sekolah saja tidak mendukung. Di sini juga pembelajaran yang berbaur agama Islam yang selalu ditonjolkan, sedangkan yang berbaur agama Kristen jarang. Makanya anak saya setelah tamat SMP, saya langsung menyekolahkannya ke Sibolga. Di Sibolga ada sekolah Katolik yang bagus. Jadi kalau anak saya tamat SMA peluang buat dia masuk Universitas Negeri lebih besar. Seperti anak perempuan saya sudah lulus dari UNIMED( Hasil wawancara 20/02/2018)”.

2.7.2. Sarana dan Prasarana Kesehatan

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting untuk dijaga, karena jika masyarakat suatu daerah dalam keadaan sehat, maka masyarakatnya akan makmur. Sesuai data pada tahun 2011 Kecamatan Barus memiliki 48 orang tenaga kesehatan dibawah pengawasan puskesmas dengan perincian dokter sebanyak

Universitas Sumatera Utara empatorang, bidan dan perawat 29 orang, serta tenaga medis lainnya sebanyak 15 orang yang bertugas di puskesmas yang berada di Kelurahan Padang Masiang.

Fasilitas kesehatan yang tersedia di Kecamatan Barus yaitu, satu unit puskesmas yang terletak di Kelurahan Padang Masiang, lima unit puskesmas pembantu yang berada di empat desa/kelurahan, lima BKIA, 17 posyandu dan tujuh poskesdes,serta satu unit rumah sakit umum. Dari 11 desa/kelurahan, Kelurahan

Padang Masiang, Desa Kedai Gedang, Desa Ujung Batu, Desa Pasar Terandam merupakan desa/kelurahan yang mempunyai sarana kesehatan paling banyak yang masing-masing terdiri dari empat sarana, sedangkan desa/kelurahan dengan sarana paling sedikit yaitu Desa Kampung Solok, Desa Aek Dakka dan Desa Bungo

Tanjung yaitu hanya ada satu posyandu.

Fasilitas kesehatan di Kecamatan Barus masih ada yang kurang. Seperti fasilitas kesehatan yang berteknologi canggih dan tenaga dokter yang profesional di bidangnya masih sangat kurang. Jadi, puskesmas dan tempat kesehatan lainnya hanya bisa menangani penyakit-penyakit ringan saja, seperti penyakit demam, flu, sakit perut serta penyakit ringan lainnya. Oleh karena itu, jika ada pasien yang mengalami penyakit kritis, pihak puskesmas tidak bisa menangani. Pihak puskesmas hanya bisa meyarankan pasien ke rumah sakit yang ada di Sibolga. Kurangnya fasilitas dan tenaga medis yang profesional membuat penanganan terhadap pasien rendah dan tingkat kehilangan nyawa akibat penyakit kritispun meningkat. Hal itu disebabkan lokasi dari Kecamatan Barus ke Sibolga butuh waktu lama. Seperti yang dikatakan oleh salah satu informan yang berinisial “M”, yaitu:

“Kalau ada yang sakit kritis di Kecamatan Barus ini sudah duluan mati di tengah jalan menuju rumah sakit Sibolga. Adapun tenaga medis dan puskesmas di sini tetapi tidak bisa mengobati penyakit kritis. Apalah

Universitas Sumatera Utara gunanya ada rumah sakit yang dibagun itu kalau tidak disediakan fasilitas dan tenaga medis yang profesional. Maunya rumah sakit yang dibagun dikelola dengan baik, agar bermanfaat bagi masyarakat (Hasil wawancara 20/02/2017)”.

Dari hasil wawancara tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat berharap pemerintah menyediakan sarana dan prasarana yang baik, karena percuma memiliki sarana kesehatan, jika tenaga medis serta peralatannya tidak memadai. Dari wawancara tersebut juga terlihat bahwa ada ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan di Kecamatan Barus. Hal itu terlihat dari tidak mampunya tenaga medis di

Kecamatan Barus dalam menangani pasien yang mengalami penyakit kritis.

Masyarakat berharap rumah sakit yang dibangun bisa dimanfaatkan dengan baik, dengan cara menyediakan tenaga medis yang profesional serta peralatan yang memadahi, supaya bisa bermanfaat bagi mereka dan jika ada yang sakit kritis bisa langsung ditangani oleh dokter spesialis.

Menurut Heddy Shri (2005:16) masalah kesehatan masyarakat sangat erat hubungannya dengan fasilitas kesehatan, sistem kepercayaan, transportasi, dan mata pencaharian, serta lingkungan tempat tinggal masyarakat. Jika fasilitas kesehatan memadahi, trasportasi mendukung untuk segala aktifitas, dan mata pencaharian yang baik, serta lingkungan yang bersih, maka kesehatan masyarakat akan lebih baik.Oleh karena itu, penting untuk membangun sarana dan prasarana yang berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Heddy Shri tersebut.Seperti halnya pada masyarakat di Kecamatan Barus yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan bertani tentunya sangat membutuhkan penanganan masalah kesehatan, dikarenakan pekerjaan mereka yang sangat menguras tenaga. Selain itu, sebagian masyarakat di Kecamatan Barus juga masih ada yang mempercayai

Universitas Sumatera Utara pengobatan penyakit dengan pergi ke orang pintar. Oleh karena itu, sangat perlu sosialisasi pada masyarakat tentangpentingnya pengobatan pertama dilakukan oleh tenaga medis terlebih dahulu. Berikut gambar Puskesmas Kecamatan Barus:

Gambar 2.6 Puskesmas Kecamatan Barus

2.7.3. Sarana dan Prasarana Wisata

Kota Barus terkenal dengan Kota Tua yang memiliki peninggalan bersejarah, seperti prasasti-prasasti dan artefak-artefak yang ditemukan oleh para peneliti arkeologi. Hal tersebut, menjadikan Kota Barus sebagai wisata bersejarah.

Peninggalan bersejarah di KotaBarus berupa peninggalan yang berbaur tentang peradaban awal masuknya para pembawa agama Islam. Hal tersebut dibuktikan dari tulisan-tulisan Arab yang mengarah kepada ajaran agama Islam.Sebagian bukti sejarah penting di KotaBarus diantaranya berupa Makam Islam kuno dengan tulisan

Arab di batu.Nisan yang tingginya sekitar 1,5 meter dan berat sekitar ratusan kilogram pada kisaran tahun 40 Hijriah atau meninggal setelah 40 tahun terhitung sejak Hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah, dengan mengacu umur

Universitas Sumatera Utara manusia yang berkisar 60 tahun sampai 100 tahun. Oleh karena itu, sangat logis dikatakan bahwa yang meninggal di Makam Islam kuno di Kota Barus Tapanuli

Tengah Sumatera Utara adalah para sahabat Nabi Muhammad SAW.

Dari fakta sejarah yang ada terutama pada tulisan di batu nisan Makam Islam kuno tersebut,serta berdasarkan cerita turun-temurun di KotaBarus terungkaplah sebagian nama sahabat Nabi Muhammad SAW yang dimakamkan di Kota Barus,

Tapanuli Tengah Utara yaitu: Sahabat Nabi di Makam Papan Tinggi,

Sahabat Nabi di Makam Mahligai, dan Makam Sahabat Nabi lainnya. Berikut gambarnya:

Gambar 2.7 Makam Papan Tinggi

Gambar di atas merupakan gambar Makam Papan Tinggi. Makam ini letaknya berada di puncak bukit yang dipagar dengan cat warna biru. Untuk menuju makam ini, pegunjung harus menaiki tangga kurang lebih 700 anak tangga. Di atas bukit terdapat sebuah makam yang diprediksikan sebagai makam para penyebar agama Islam. Makam itu sangat dianggap istimewa, karena menurut beberapa orang

Universitas Sumatera Utara panjang makam tersebut bisa berubah-ubah, tidak bisa dipastikan panjangnya.

Namun, ada yang mengatakan bahwa panjangnya berkisar sembilan meter, dengan nisan setinggi 1,5 meter yang berukirkan aksara Persia dan Arab Kuno. Makam panjang ini dikelilingi oleh beberapa makam sederhana dengan nisan batu yang ditegakkan dan tidak memiliki identitas. Di samping makam juga ada sebuah sumur.

Sumur tersebut dulunya tidak pernah kering meskipun musim kemarau berkepanjangan. Namun, saat ini sumur tersebut sudah tercemar dan membuat sumurnya jadi kering.

Kota Barus saat ini sudah diakui oleh pemerintah, bahwa KotaBarus merupakan jalur pertama masuknya agama Islam keIndonesia. Oleh karena itu,

Presiden Jokowi Dodo meresmikan monumen sebagai tanda titik nol masuknya agama Islam ke Indonesia di Kota Barus. Berikut gambar titik nol:

Gambar 2.8 Titik Nol

Selain wisata religi, di Kota Barus dan sekitarnya terdapat juga sektor pariwisata bahari dan keindahan alam lainnya yang menjadi wisata

Universitas Sumatera Utara favoritmasyarakat. Hal ini didukung dengan kondisi alam yang memiliki banyak objek wisata yang tersebar diwilayahnya. Salah satu wisata bahari di Kota Barus adalah Pantai Barus. Pantai Barus merupakan salah satu pantai yang memiliki keindahan alam yang tidak kalah cantik dengan pantai-pantai di Indonesia. Warna pasir yang putih, laut yang biru, serta pemandangan alam yang indah membuat keindahan Pantai Barus semakin terpancar. Selain dari itu, lokasi Pantai Barus sangat dekat dengan Pelabuhan Barus,sehingga para pegunjung yang datang ke Pantai

Barus bisa sekalian berfoto-foto di Pelabuhan Barus, yang di mana pemandagan di

Pelabuhan Barus sangat cocok untuk dijadikan latar berfoto.Selain itu juga, di

Pelabuhan Barus para pengunjung bisa sambil memancing ikan. Berikut gambar

Pantai Barus:

Gambar 2.9 Pantai Barus Namun, yang mengecewakan bagi masyarakat adalah kurangnya kebijakan pemerintah dalam pengembangkan potensi wisata di Kota Barus. Keindahan alam bahari di Kota Barus tidak terurus dan terkelola. Hal itu terlihat dari akomodasi- akomodasi pendukung potensi wisata yang tidak disediakan. Contoh kecilnya,

Universitas Sumatera Utara tempat pembuangan sampah yang tidak tersedia. Oleh karena itu, pengunjung yang datang ke tempat-tempat wisata tersebut bebas membuang sampah tanpa ada yang mengontrol. Hal itu disebabkan, karena tidak adanya tempat pembuangan sampah yang disediakan di lokasi pantai. Akibat dari membuang sampah sembarangan tersebut membuat lingkungan tempat wisata menjadi kotor serta merusak pemandangan tempat wisata.

Kurangnya kebijakan pemerintah terhadap pengembangan potensi wisata cukup mengecewakan, karena telah menyia-nyiakan keindahan wisata bahari yang sudah tersedia di alam. Sedangkan jika potensi wisata tersebut dikelola dengan baik, maka pemasukan dari potensi wisata tersebut bisa menjadi membantu perekonomian masyarakat. Seperti halnya dengan yang dikatakan oleh informan yang bernama

Linder. Linder mengatakan:

“seandainya potensi wisata di Kota Barus ini dikelola dengan baik, maka masyarakat akan terbantu dalam peningkatan ekonomi dan tak hanya masyarakat yang diuntungkan, tetapi pemerintah juga. Coba saja lihat, bagaimana pengunjung yang dari luar kota mau datang ke sini, akomodasi pendukung wisatanya aja tidak ada. Apalagi di jaman anak muda sekarang yang sukanya tempat-tempat yang bisa menghasilkan foto-foto yang cantik buat diupload ke media sosial, pasti mencari tempat-tempat yang yang cantik untuk di foto. Jika pemerintah memanfaatkan peluang jaman sekarang menjadi media unggulan dalam mengembangkan potensi wisata, maka pastilah banyak pengunjung yang datang berwisata. Ini apalah tempat sampah saja tidak disediakan di sudut-sudut tempat wisata (Hasil wawancara 19/02/2018)”.

2.7.4. Sarana dan Prasarana Lain

Selain sarana dan prasarana pendidikan serta kesehatan, di KotaBarus juga terdapat sarana dan prasarana lain yaitu, Kantor Camat Kecamatan Barus,

KAPOLSEK, KORAMIL, PLN, BRI, TELKOM, Kantor KUA, BANG SUMUT,

Universitas Sumatera Utara Indomaret, Pelabuhan Baru yang saat ini belum beroperasi secara baik, dsb. Berikut gambar Pelabuhan Barus di halaman selanjutnya:

Gambar 2.10 Pelabuhan Barus

Universitas Sumatera Utara

BAB III

KELOMPOK ETNIK DI KOTA BARUS

3.1. Keberagaman Kelompok Etnik di Kota Barus

Kota Barus dikenal dengan daerah Pesisir, karena wilayahnya berada di tepian pantai. Penduduk yang tinggal di Kota Barus beragam. Berdasarkan identitas keetnikannya penduduk Kota Barus didiami oleh kelompok etnik Batak Toba, kelompok etnik Pesisir, dan kelompok etnik lainnya seperti kelompok etnik Jawa,

Minangkabau, Mandailing, Karo, dan Pakpak. Kelompok etnik yang paling dominan adalah kelompok etnik Pesisir dengan kelompok etnik Batak Toba. Berikut penjelasan tentang beberapa kelompok etnik di Kota Barus.

3.1.1. Kelompok Etnik Pesisir

Menurut catatan Wikipedia Indonesia2Pesisir atau Pasisiabermakna wilayah yang berada ditepian laut. Pada abad ke-14, banyak masyarakat Minangkabau yang melakukan migrasi ke Tapanuli Tengah. Tujuannya untuk menjadikan Kota Barus sebagai salah satu pelabuhan. Kedatangan mereka ke Kota Barus menjadikan pedagang Tamil menjadi tersingkir dari Kota Barus. Kedatangan orang Minang berlanjut setelah dibentuknya Residentie Tapanuli yang beribu kota di Sibolga. Sejak pertengahan abad ke-19 masyarakat dari pedalaman Toba dan Mandailing mulai banyak bermukim di Kota Barus, Sorkam, dan Sibolga. Lalu mereka berasimilasi dengan masyarakat Minangkabau dan mereka membentuk kelompok etnik Pesisir.

2 Https://id.Wikipedia.Org/Wiki/Suku_Pesisir

Universitas Sumatera Utara Dalam perkembangannyapenamaan kelompok etnik Pesisir digunakan untuk mempertegas kepentingan politik masyarakat Tapanuli Tengah dan juga untuk menghindari dominasi kelompok etnik Batak Toba di sana.

Kelompok etnik Pesisir merupakan penduduk yang dominan di Kota Barus.

Mereka rata-rata tinggal di tepian laut atau pantai dan sekitar onan(pasar). Kelompok etnik Pesisir membedakan dirinya dari kelompok etnik lain dengan menggunakan kebudayaannya, yaitu kebudayaan Pesisir. Ciri-cirikelompok etnik Pesisir, yaitu: menggunakan bahasa baikko (bahasa Pesisir Barus), beragama Islam, dan memakai budaya Pesisir.

Kelompok etnik Pesisir di Kota Barus ada yang memiliki marga dan ada juga yang tidak memiliki marga.Marga yang ada di Kota Barus antara lain; marga

Tanjung, Siregar, Sinaga, Pasaribu, Manjuntak dan sebagainya. Marga kelompok etnik Pesisir tersebut banyak yang sama dengan margakelompok etnik Batak

Toba.Oleh karena itu, terkadang sulit membedakan mana kelompok etnik Pesisir dan mana kelompok etnik Batak Toba, karena adanya kesamaan marga yang dipakai.

Jadi untuk membedakan kelompok etnik Pesisir dengan kelompok etnik Batak Toba, dapat dilihat dari agama dan kebudayaan yang mereka pakai. Apabila seseorang tersebut memakai budaya Pesisir dan beragama Islam, maka dia merupakan kelompok etnik Pesisir, meskipun dia memiliki marga yang sama dengan kelompok etnik Batak Toba.

Saat ini kelompok etnik Pesisir yang memiliki marga Batak mulai menunjukkan kebatakannya. Bahkan tidak sedikit dari kelompok etnik Pesisir yang tidak menolak disebut sebagai kelompok etnik Batak Pesisir, dikarenakan dia memiliki marga yang sama dengan kelompok etnik Batak. Hal tersebut merupakan

Universitas Sumatera Utara proses tribalisme.Tribalisme adalah kesadaran dan kesetiaannya atas kesukuannya

(KBBI). MengutipBarth 1969, depdikbud (1987:7) bahwa tribalisme merupakan pengungkapan identitas yang dilakukan secara aktif dan sadar, seperti memakai pakaian adat, bahasa, dan tingka laku tertentu, supaya orang lain mengetahui identitas dan batas-batas “Boundaries” antara mereka dan orang lain. Proses tribalismeyang terjadi diperjelas oleh salah satu informan yang bernama Ramali

Sigalingging. Dia mengatakan:

“Saya adalah etnik Batak Pesisir, saya tidak mau mengatakan kalau saya etnik Pesisir saja, karena saya punya marga Sigalingging. Saya memang beragama Islam. Budaya yang saya pakai juga budaya Pesisir, tetapi saya lebih suka disebut dengan etnik Batak Pesisir. Bahkan saat ini kadang dalam pelaksanaan pesta adat di keluarga, saya sering memakai kedua budaya etnik tersebut yaitu budaya Batak dan Pesisir(Hasil wawancara 19/02/2018).

Berdasarkan wawancara di atas, dapat terlihat adanya proses tribalisme.

Tribalismeterjadi di Kota Barus karena kekuasaan budaya Pesisir tidak lagi mendominasi, serta tidak ada peraturan atau pemaksaan terhadap kelompok etnik pendatang untuk mengikuti budaya kelompok etnik tertentu,sehingga kelompok etnik yang dulunya memakai budaya dominan tersebut mulai menunjukkan identitas budaya aslinya. Hal itu terlihat dari apa yang dikatakan oleh Bapak Ramali

Sigalingging. Dimana sejak dia lahir, dia sudah memakai budaya etnik Pesisir, namun saat ini dia tidak mau disebut sebagai kelompok etnik Pesisir saja. Dia lebih suka disebut dengan kelompok etnik Batak Pesisir. Oleh karena itu, dia mulai memakai budaya kelompok etnik Batak, seperti manottor(tarian dalam adat kelompok etnik Batak)dan mangulosi(meletakkan kain atau Ulos Batak kepada yang bersangkutan dalam adat kelompok etnik Batak).

Universitas Sumatera Utara Dalam hal pembagian kerja di keluarga kelompok etnik Pesisir di Kota

Barus, peran perempuan lebih terlihat nyata dalam kegiatan rumah tangga, khususnya di bidang domestik. Contohnya membersihkan rumah, menyapu, memasak, mencuci dan peran lain yang dapat membantu pekerjaan rumah.

Sedangkan peran anak laki-laki yaitu, dengan ikut membantu ayahnya melaut, jika orang tuanya bekerja sebagai nelayan.

Pola menetap setelah menikah kelompok etnik Pesisir di Kota Barus berada di kediaman keluarga mempelai wanita. Dimana mempelai akan tinggal di rumah mempelai perempuan sampai mempelai mempunyai anak pertama. Setelah sudah punya anak pertama maka pasangan suami istri bisa membangun rumahnya sendiri atau pisah dari kediaman orang tua perempuan. Oleh karena itu, setelah akad nikah haruslah dilakukan acara manjalang-jalang (memohon doa kepada orang tua laki- laki karena anak laki-lakinya akan tinggal di rumah mertuanya atau rumah mempelai wanita). Adat menikah yang mereka gunakan adalah adat Pesisir.

Bagi kelompok etnik Pesisir garis keturunan didasarkan pada garis laki-laki

(patrilineal). Panggilan atau sapaan bagi anak atau keluarga sebagai berikut:

1. Anak pertama disebut dengan ulung atau yung (berasal dari kata sulung)

2. Anak kedua disebut dengan ngah (berasal dari kata tengah)

3. Anak ketiga disebut dengan alang (berasal dari kata kepalang)

4. Anak ke empat disebut dengan uti (berasal dari kata putih)

5. Anak kelima disebut dengan andak (berasal dari kata pandak atau pendek)

6. Anak keenam disebut dengan ude (berasal dari kata muda atau mude)

7. Anak ketujuh disebut dengan anjang atau hitam

8. Anak kedelapan disebut dengan ucu atau uncu (berasal dari kata bungsu)

Universitas Sumatera Utara Sedangkan untuk sapaan istilah ajo, cek uning dan pak tuo merupakan istilah yang diserap dari bahasa Minangkabau. Contohnya panggilan kepada saudara ayah disebut dengan pak tuo, pak adang, pak angah, pak kacciak dan pak ancu. Selain istilah di atas, kelompok etnik Pesisir juga memakai sapaan kepada seseorang berdasarkan bentuk fisik atau mamak. Seperti mak anjang (tinggi), mak apuk

(gemuk), mak andah (pendek), mak itam (hitam), mak uning (kuning), dsb.

Bahasa yang digunakan oleh kelompok etnik Pesisir di Kota Barus adalah bahasa Pesisir atau yang disebut dengan bahasa baeko-baeko. Bahasa baeko- baekomerupakan gabungan dari dua bahasa yaitu, bahasa Minangkabau dan Melayu.

Bahasa Pesisir ini dikatakan gabungan dari bahasa Minangkabau dan Melayu karena ditemukan adanya kemiripan-kemiripan antara bahasa Pesisir dengan kedua bahasa kelompok etnik tersebut. Hal tersebut dapat dilihat adanya kemiripan bahasa masyarakat Rokan Hulu, Provinsi Riau dan masyarakat Rao di Kabupaten Pasaman,

Sumatera Barat.

Selama penelitian saya sedikit mempelajari tentang bahasa baeko-baeko dari informan, seperti bahasa baeko-baekomato (mata), teligo (teliga), parut (perut), betis

(kaki), dado (dada), ala (sudah), pai (pergi), biduk (perahu kecil), pulo (pulau), batayo (bertanya), magapo (mengapa), mallek (melihat), padusi (anak perempuan), gadang (besar), pinggan (piring), maminang (meminang), dsb. Bahasa baeko-baeko cantiknya anak perempuan itu (rancak nyo padusi itu), sudah pergi anak perempuan besar melihat pulau? (ala pai padusi gadang ke pulo?).

Mata pencaharian kelompok etnik Pesisirrata-rata sebagai nelayan menangkap ikan di laut, pedagang di onan (pasar) baik itu jualan pakaian, emas atau perhiasan, atau menjual ikan. Selain dari itu, sebagiankelompok etnik Pesisir juga

Universitas Sumatera Utara ada yang berprofesi sebagai PNS, danpetani sawah. Namun, biasanya mereka lebih banyak bekerja sebagai nelayan dan pedagang, karena kondisi tempat tinggal mereka yang tinggal di daerah tepian laut, sehingga mereka memanfaatkan hasil laut sebagai mata pencaharian.

3.1.2. Kelompok Etnik Batak Toba

Kelompok etnik Batak Toba yang ada di KotaBarus merupakan kelompok etnik pendatang, yang datang dari Dolok Sanggul, Pakkat, dan daerah-daerah batak lainnya. Awalnya kelompok etnik Batak Toba datang ke Kota Barus untuk berdagang. Namun, setelah beberapa lama mereka mulai menetap dan tinggal di

Kota Barus.

Kelompok etnik Batak Toba di Kota Barus ada yang beragama Kristen

Protestan, Katolik, dan Islam. Kelompok etnik Batak Toba yang beragama Islam cenderung akan lebih mudah bergaul dengan kelompok etnik Pesisir dibandingkan dengan kelompok Batak Toba yang beragama Kristen Protestan dan Katolik. Hal itu terjadi, karena kesamaan ajaran agama, di mana kelompok etnik Pesisir identik dengan agama Islam. Bagikelompok etnik Batak Toba yang agamanya Islam jika dia sudah lama tinggal di daerah Pesisir, dia lebih cenderung akan menyatakan dirinya sebagai kelompok etnik Pesisir, sedangkan kelompok etnik Batak Toba yang beragama Kristen baik Kristen Protestan maupun Katolik akan tetap menyatakan dirinya sebagai kelompok etnik Batak Toba, meskipun dia sudah tinggal lama di daerah Pesisir. Ciri-ciri kelompok etnik Batak Toba di Kota Barus yaitu memiliki marga kelompok etnik Batak Toba, menggunakan adat dan istiadat kelompok etnik

Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan lokasi tempat tinggal,kelompok etnik Batak Toba lebih mengarah jauh dari tepian laut atau pantai, karena kelompok etnik Batak Toba yang identik dengan agama Kristenyang memakan babi dan anjing yang dianggap olehkelompok etnik Pesisir yang identik dengan agama Islam mengatakan hal itu haram. Hal itu membuat harus ada pemisahan lokasi tempat tinggal di antara mereka.

Hal itu dilakukan agar tidak terjadi pertentangan.

Mata pencaharian etnik Batak Toba di Kota Barus biasanya bertani sawah, jadi PNS, dan beberapa pedagang, jarang berprofesi sebagai nelayan. Banyaknya kelompok etnik Batak Toba yang bekerja sebagai petani mungkin disebabkan budaya mata pencaharian kelompok etnik Batak Toba yang dari nenek moyangnya bekerja sebagai petani.

3.1.3. Kelompok EtnikLainnya

Selain kelompok etnik Pesisir dengan kelompok etnik Batak Toba, terdapat juga kelompok etnik lainnya di Kota Barus, yaitu kelompok etnik Jawa,

Minangkabau, Mandailing, Karo, dan Pakpak. Beberapa kelompok etnik tersebut merupakan kelompok etnik yang minoritas di Kota Barus. Setiap kelompok etnik tersebut datang merantau ke Kota Barus. Seperti halnya kelompok etnik Jawa yang ada di Kota Barus yang berasal dari Pulau Jawa. Mereka datang merantau ke Kota

Barus dan menetap tinggal di sana. Ketertarikan mereka terhadap KotaBarus dikarenakan KotaBarus pada zaman dulu merupakan penyedia Kapur Barus, dimana pada saat itu Kapur Barus dapat digunakan sebagai bahan obat. Keberadaan kelompok etnik Jawa di KotaBarus membuat penduduk Kota Barus hingga saat ini sangat menyukai perhiasan emas. Tak hanya kelompok etnik Jawa yang menjadi pecinta emas, namun kelompok etnik Batak Toba, kelompok etnik Pesisir juga

Universitas Sumatera Utara menjadi sangat tertarik dengan emas. Hampir setiap keluarga pasti memiliki perhiasan emas. Masyarakat Kota Barus jika memiliki uang, uangnya sering dibelanjakan untuk membeli emas dan jika dia butuh uang dia akan menjualnyakembali, karena membeli emas tidak rugi, sebab harga jualnya juga sama dengan harga beli. Terkadang jika harga emas naik, maka harga penjualan juga akan naik.

3.2. Pemisahan Wilayah Pemukiman Kelompok Etnik Batak Toba dengan

Kelompok Etnik Pesisir

Di KotaBarus terdapat pemisahan pemukiman atau yang sering disebut dengan segregasi. Segregasidiakibatkan oleh pola kehidupan masyarakat yang berbeda-beda yang membuat mereka menciptakan pemukiman yang berbeda juga.

Segregasi dapat terjadi karena disengaja dan dapat juga terjadi tanpa disengaja.

Contoh segregasi yang disengaja, yaitu dalam hal perencanaan pemukiman yang dikonsep sedemikian rupa. Sedangkan contoh segregasi yang tidak disengaja, yaitu datangnya penduduk dari luar wilayah dan menetap serta memanfaatkan ruang pemukiman tanpa ada pengkonsepan lokasi pemukiman.

Segregasidi Kota Barus diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain; faktor sejarah, dan perbedaan pekerjaan.Pemukiman kelompok etnik Pesisir berada di tepian pantai, sedangkan pemukiman kelompok etnik Batak Toba berada lebih jauh dari tepian pantai. Hal itu terjadi karena kelompok etnik Pesisir lebih awal datang ke tepian pantai dibandingkan kelompok etnik Batak Toba, sehingga kelompok etnik

Batak Toba yang datang belakangan membangun pemukimannya di lahan yang kosong yang lebih jauh dari tepian pantai. Selain dari itu mata pencaharian kelompok

Universitas Sumatera Utara etnik Pesisir cenderung sebangi nelayan. Oleh karena itu, mereka membangun pemukiman lebih dekat dengan tepian pantai. Tujuan supaya lebih mudah bagi mereka untuk pergi menangkap ikan ke laut. Sedangkan kelompok etnik Batak Toba mata pencahariannya cenderung sebagai petani. Oleh karena itu, mereka membangun pemukiman mereka di lahan yang kosong yang bisa dijadikan lahan pertanian.

3.3. Stereotype

Di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, sering muncul stereotype di antara kelompok-kelompok etnik yang ada. Stereotype adalahpenggeneralisasi yang cenderung subjektif terhadap kelompok tertentu, baik agama, kelompok etnik, budaya, dsb. Biasanya stereotype tersebut sifatnya negatif, meskipun ada stereotype yang sifatnya membangun, namun stereotype seperti itu jarang dijumpai. Jadi jika terjadi stereotype yang sifatnya negatif, merasa kelompok etniknyalah yang paling baik dan benar, sedangkan kelompok etnik lain dianggap buruk, maka hal tersebut dapat mengakibatkan pertentangan ataupun konflik dalam masyarakat.

Masyarakat di Kota Barus, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir, stereotype juga terkadang dijumpai, meskipun hal itu tidak terlalu ditunjukkan dalaminteraksi mereka. Jika ditanya mereka enggan mengatakannya, namun jika mereka berkumpul dengan yang satu kelompok etniknya, mereka terkadang membicarakan kejelekan kelompok etnik lain. Seperti halnya saat penelitian, saya bertanya kepada salah satu informan yang berinisial “P”;

“Pak bagaimana hubugan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik

Pesisir, adakah terjadi pandagan-pandagan negatif atau positif atau penyebutan- penyebutan terhadap kelompok etnik tertentudi antara mereka di sini?”,lalu Bapak

Universitas Sumatera Utara tersebut mengatakan, “tidak ada”. Namun, ketika saya mewawancarai informan lain yang tidak ingin disebut namanya tentang pertanyaan yang sama, dia mengatakan bahwa terdapat pandangan-pandangan negatif di antarakelompok etnik, namun mereka tidak mau terbuka mengatakannya.

3.3.1. Stereotype Kelompok Etnik Pesisir pada Kelompok Etnik Batak Toba

Setiap orang memiliki stereotype yang berbeda-beda terhadap setiap individu, tergantung dari apa yang dirasakan individu tersebut. Begitu juga dengan stereotype kelompok etnik Pesisir terhadap kelompok etnik Batak Toba. Setiap masyarakat kelompok etnik Pesisir pasti memiliki panilaian-penilaian tersendiri kepada kelompok etnik Batak Toba, namun ada beberapa penilaian atau stereotype yang digeneralisasikan oleh kelompok etnik Pesisir dalam menyebutkan kelompok etnik Batak Toba di Kota Barus. Stereotype kelompok etnik Pesisisr terhadap kelompok etnik Batak Toba di Kota Barus yaitu, kelompok etnik Batak Toba dikenal dengan sifatnya yang keras, suka minum tuak, perempuan kelompok etnik Batak

Toba kuat-kuat dalam bekerja, dan kelompok etnik Pesisir menyebut kelompok etnik

Batak Toba dengan sebutan “Batak-batak tu” dengan nada cetus. Oleh karena kelompok etnik Pesisir sering membatak-batakkan kelompok etnik Batak Toba dengan sebutan “Batak-batak tu” yang sifatnya merendahkan kelompok etnik Batak

Toba, maka untuk mencegah terjadi pertentangan di antara kelompok etnik tersebut terciptalah sebuah pantun. Pantun tersebut bunyinya sebagai berikut:

Jangan pakapak-kapak Jadi kapak pembela kayu Jangan di pabatak-batak Batak itu juga yang jadi Melayu

Universitas Sumatera Utara Pantun tersebut mengajarkan agar jangan membeda-bedakan Batak dengan Melayu, karena Batak itu juga yang jadi Melayu. Jadi pada dasarnya mereka itu sama, jangan dibeda-bedakan.

Stereotype kelompok etnik Pesisir terhadap kelompok etnik Batak Toba tersebut tercipta berdasarkan interaksi diantara mereka. Mereka mengatakan kelompok etnik Batak Toba keras-keras, suka minum tuak, perempuannya kuat-kuat dalam bekerja, karena mereka melihat beberapa kelompok etnik Batak Toba yang memiliki sifat demikian, sehingga mereka menyebut semua kelompok etnik Batak

Toba seperti itu. Seperti halnya yang dikatakan oleh Ibu Tini yang bekerja sebagai pedagang di pasar. Dia mengatakan:

Perempuan Kelompok etnik Batak Toba itu orangnya kuat-kuat bekerja, aku punya tetangga yang kelompok etnik Batak Toba. Dia perempuan tangguh meskipun suaminya sudah meninggal namun dia tetap menyekolahkan anak- anaknya sendirian hinggah tamat kulia. Dia pagi-pagi sudah berangkat kerja ke sawah, siangnya dia tanam sayuran di belakang rumahnya buat bisa dia jual, pokoknya semua dia kerjakan dan aku salut lihatnya dia bisa bertahan menjanda hingga sekarang (Hasil wawancara 14/02/2018)

Berdasarkan pengalaman-pengalaman interaksi kelompok etnik Pesisir dengan kelompok etnik Batak Toba seperti pengalaman Ibu Tini tersebut membuat kelompok etnik Pesisir menyebut kelompok etnik Batak Toba secara keseluruhan seperti itu. Begitu juga dengan sebutan-sebutan lain terhadap kelompok etnik Batak

Toba oleh kelompok etnik Pesisir yang digeneralisasikan secara subjektif oleh kelompok etnik Pesisir terhadap kelompok etnik Batak Toba. Meskipun tidak semua kelompok etnik Batak Toba di Kota Barus memiliki sifat yang disebutkan oleh kelompok etnik Pesisir tersebut, namun karena sebutan itu sudah melekat dipikiran masyarakat kelompok etnik Pesisir di Kota Barus, maka hal tersebut menjadi

Universitas Sumatera Utara menimbulkan stereotype-stereotype terhadap kelompok etnik Batak Toba.Stereotype kelompok etnik Pesisir terhadap kelompok etnik Batak Toba di Kota Barus meskipun ada yang sifatnya negatif, namun berdasarkan penelitian di lapangan belum pernah terjadi konflik yang disebabkan oleh stereotype tersebut.

3.3.2. Stereotype Kelompok Etnik Batak Toba pada Kelompok Etnik Pesisir

Selain stereotype kelompok etnik Pesisir terhadap kelompok etnik Batak

Toba, di Kota Barus juga terdapat stereotype kelompok etnik Batak Toba terhadap kelompok etnik Pesisir. Stereotype kelompok Batak Toba terhadap kelompok etnik

Pesisir yaitu, kelompok etnik Pesisir dikatakan orangnya sangat fanatik dalam hal makanan, dan perempuan kelompok etnik Pesisir lemah-lemah. Selain itu terdapat juga sebutan-sebutan kepada orang yang mengubah marganya menjadi Tanjung

(marga kelompok etnik Pesisir) oleh kelompok etnik Batak Toba, yaitu: Tanjung

Sadonyo, Tanjung Katung, dan Tanjung Karang. Arti Tanjung Sadonyo, Katung,

Karang berarti Tanjung bohong-bohongan, tidak sebenarnya, marga Tanjung yang dibuat-buat. Artinya dia sebenarnya bukan marga Tanjung, namun karena dia tinggal di daerah Pesisir dan dia merasa lebih dekat dengan kelompok etnik Pesisir maka dia menyebut dirinya marga Tanjung. Meskipun tidak semua marga Tanjung seperti itu, tapi karena istilah Tanjung Sadonyo, Tanjung Katung, dan Tanjung Karang sudah melekat pada diri marga Tanjung, maka kelompok etnik Batak Toba menyebut kelompok etnik Pesisir yang bermarga Tanjung dengan istila-istila seperti itu.

Stereotype tentang kelompok etnik Pesisir disebut fanatik dalam hal makanan karena beberapakelompok etnik Pesisir tidak mau memakan makanan yang dibuatkan oleh kelompok etnik Batak Toba, karena kelompok etnik Pesisir menganggap makanan kelompok etnik Batak Toba haram. Jika ada kelompok etnik

Universitas Sumatera Utara Batak Toba membuat suatu makanan untuk di jual di warung-warung, maka kelompok etnik Pesisir tidak mau membeli makanan tersebut, dan jika tiba tahun baru kelompok etnik Batak Toba datang membawa kue tahun baru ke tempat kelompok etnik Pesisir, kelompok etnik Pesisis tersebut tidak mau memakan pemberian kelompok etnik Batak Toba itu.Hal semacam itu, membuat ada rasa kekesalan dalam hati kelompok etnik Batak Toba terhadap kelompok etnik Pesisir.

Seperti wawancara saya dengan Ibu Santi yang berasal dari kelompok etnik Batak

Toba. Ibu Santi mengatakan:

“Saya malas tawarkan makanan saya sama etnik Pesisir, pasti nanti dia tidak mau memakannya. Merekakan sangat fanatik sama makanan (Hasil wawancara 15/02/2018)”.

Meskipun tidak semua kelompok etnik Pesisir bersikap demikian, namun karena stereotype tentang kelompok etnik Pesisir yang dikenal dengan sangat fanatik oleh kelompok etnik Batak Toba, maka kelompok Batak Toba menjadi malas menawarkan makanan apa pun pada kelompok etnik Pesisir, karena takut nantinya ditolak dan kecewa.

Sedangkan stereotype tentang perempuan kelompok etnik Pesisir dikatakan lemah-lemah oleh kelompok etnik Batak Toba, dikarenakan beberapa perempuan kelompok etnik Pesisir dilihat oleh kelompok etnik Batak Toba di Kota Barus kerjaannya hanya sebangai ibu rumah tangga saja dan mengharapkan uang bulanan dari suaminya tidak ada kreatifitas untuk menghasilkan uang, hanya bersolek-solek dan tidak mau bekerja keras, sehingga timbullah stereotype tentang perempuan kelompok etnik Pesisir yang lemah. Padahal banyak juga ditemukan di Kota Barus

Perempuan kelompok etnik Pesisir yang tanggu.Contohnya Ibu Sariwati yang

Universitas Sumatera Utara seorang janda, dia bekerja berjualan ikan di Pasar. Dia jadi tulang punggung keluarga, namun meskipun begitu anak-anak Ibu Sariwati sukses-sukses dan saat ini salah satu anak Ibu tersebut bekerja sebagai lurah di Kelurahan Padang Masiang.

Namun, karena stereotype tersebut sudah tertanam di pikiran kelompok etnik Batak

Toba, maka mereka menganggap semua perempuan kelompok etnik Pesisir orangnya lemah-lemah.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

HUBUNGAN KELOMPOK ETNIK BATAK TOBA DENGAN

KELOMPOK ETNIK PESISIR

Masyarakat yang mendiami Kota Barustidak hanya dari satu kelompok etnik saja, tetapi terdiri dari beberapa kelompok etnik yang berbeda. Oleh karena itu, masyarakat di Kota Barus harus memahami suatu perbedaan, dikarenakan lingkungan masyarakatnya yang majemuk.Perbedaandi antara kelompok etnik dapat dipahami melalui hubungan yang baik di antara mereka, khususnya hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir. Hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir dapat dipahami dari proses interaksi yang terjadi di antara mereka. Proses interaksi yang terjadi dapat dilihat dari beberapa aspek, sebagai berikut:

4.1. Hubungan dalam Aspek Ekonomi

Sesuai dengan kondisi wilayahnya yang memiliki potensi di bidang laut dan lahan persawahan, membuat penduduk Kota Barus banyak yang berprofesi sebagai nelayan, pedagang, dan petani sawah.Berprofesi hanya sebagai nelayan, pedagang atau petani sawah terkadang kurang bagi masyarakat di sana dalam pemenuhan kebutuhan hidup, dikarenakan biaya hidup di Kota Barus cukup lumayan mahal.

Oleh karena itu, banyak dari mereka yang bekerja merangkap, seperti bekerja di lebih satu sektor pekerjaan. Meskipun wilayahnya memiliki ladang persawahan dan laut, bukan berarti harga beras dan ikan juga murah.Harga beras di Kota Barus jika

Universitas Sumatera Utara dibeli dari penjual beras langsung berkisar Rp.150.000/kaleng, sedangkan dari distributor harga beras lebih mahal,bisa mencapai Rp.160.000 lebih/kaleng. Untuk lauk, seperti ikan dijual dengan harga berbeda-beda. Harga ikan dijual berdasarkan jenis ikan. Jika ikan tersebut masih segar dan tergolong ikan yang bagus maka harganya cukup mahal berkisar Rp.40.000 lebih/kg. Sedangkan untuk ikan dengan standar di bawah berkisar Rp.20.000-30.000/kg. Itu masih harga beras dan ikan.

Harga kebutuhan lain seperti sayur-sayuran dan kebutuhan sehari-hari lainnya masih ada dan harus dipenuhi setiap harinya. Oleh karena itu, setiap harinya mereka harus mengeluarkan uang untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup baik itu primer maupun sekunder. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki penghasilan terendah minimal Rp.1.000.000/bulan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut, masyarakat Kota Barus menjual hasil dari nelayan dan bertani mereka keOnan (pasar). Onan (pasar) merupakan tempat yang paling sering terjadi interaksi antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir, karena jika tiba hari Rabu dan Sabtu akan banyak orang yang datang untuk belanja kesana. Onan (pasar) menjadi tempat bertraksaksi yang paling sering antara pembeli dan penjual yang berbeda kelompok etnik. Orang yang datang ke pasar tidak hanya penduduk Kota Barus, tetapi dari daerah lain juga datang berbelanja ke sana. Orang yang datang ke sana ada yang untuk berjualan dan ada juga yang hanya ingin membeli. Penjual dan pembeli di sana tidak hanya dari kelompok etnik Batak Toba, tetapi juga dari kelompok etnik Pesisir. Oleh karena itu, kemungkinan terjadi interaksi antara kelompok etnik Batak Toba dan kelompok etnik Pesisir akan lebih sering.

Universitas Sumatera Utara Saat penelitian,saya tidak hanya mengobservasi, tetapi juga ikut berpartisipasi di pasar dengan cara ikut berjualan di salah satu penjual kain. Saya datang ke pasar sekitar jam tujuh pagi. Saat itu belum semua kilang ataupun tokoh di pasar terbuka. Saya datang lebih pagi dengan tujuan agar bisa melihat bagaimana aktifitas masyarakat yang datang ke pasar. Setelah sampai di pasar, saya langsung pergi ke tempat penjual kain yang sebelumnya sudahdijumpai. Sesampai di lokasi ternyata penjual kain tersebut sedang menyusun kain-kain yang akan dijualnya dan tanpa menunggu lama saya langsung menghampirinya. Nama penjual kainnya adalah

Ibu Linda Saurpaet, suaminya Bapak Marbun. Ibu Linda adalah seorang ibu dari lima anak yang saat ini anak-anaknya lagi sedang menempuh pendidikan baik itu

Universitas, SMA, SMP, dan SD. Ibu Linda dan suaminya bekerja sebagai petani sawah dan penjual kain di kota Barus.

Setelah kami menyusun semua pakain yang ingin dijual, kami duduk beristirahat dan menunggu pembeli datang. Sebelum pembeli datang saya melontarkan beberapa pertanyaan pada Ibu Linda terkait hubungan kelompok etnik

Batak Toba dengan kelompok etni Pesisir di pasar. Ibu Linda pun menjawab bahwa hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir di pasar tergolong baik. Hal itu terlihat dari pelanggan yang datang berbelanja ke Ibu Linda tidak hanya kelompok etnik Batak Toba saja, tetapi kelompok etnik Pesisir juga.Sebagaimana dikatakan oleh Ibu Linda:

“Memang pertama pembeli yang datang ke sana itu pertama-tama menjumpai penjual yang satu etnik dengannya, tetapi tidak menutup kemungkinan kalau tidak ada yang cocok pembeli lihat di toko yang satu etniknya dia jadi tidak mau membeli di penjual yang berbeda etnik, karena rasa dan gaya berpakaian orang tidak ditentukan oleh orang yang satu etniknya, tetapi bagaimana cara pandang pembeli terhadap keindahan pakaian tersebut dan jika ada pakaian yang cocok pembeli lihat di suatu penjual meskipun penjualnya beda etnik

Universitas Sumatera Utara dengannya bukan berarti pembeli tidak mau membelinya. Terkadangpun saya merasa lebih suka dengan pembeli yang dari kelompok etnik Pesisir. Karena mereka tidak susah dilayani. Kalau tawar harga juga tidak susah-susah. Sedangkan kalau terhadap etnik Batak Toba ini terkadang susah, apalagi kalau pembelinya punya kesamaan marga atau ikatan keluarga dengan penjual (Hasil wawancara 14/02/2018)”. Dari penjelasan Ibu Linda tersebut dapat terlihat bahwa hubungan di antara pembeli dan penjual yang berbeda kelompok etnik, khususnya kelompok etnik Batak

Toba dengan kelompok etnik Pesisir cukup baik. Adapun beberapa pembeli yang mengutamakan membeli keperluannya kepada kelompok etnik yang sama dengannya, itu merupakan hal yang wajar. Hal tersebut dikarenakan adanya kesadaran atas kesamaan etnisitas. Berdasarkan kesamaan etnisitas tersebut, maka timbullah sifat primordialitas. 3 Primordialitas adalah sentimen-sentimen dan kenyakinan yang utama megacu pada sebagaimana pelaku melihat dirinya dan dunia dengan kaitannya dengan keluarga, kerabat, dan kebudayaannya. Berdasarkan sifat primordialitas, maka timbullah rasa untuk memajukan dan mempertahankan kelompok etniknya. Oleh karena itu, ada rasa untuk mengutamakan membeli segala kebutuhannya kepada orang atau penjual yang memiliki kesamaan kelompok etnik dengannya. Namun, meskipun begitu tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk membeli kebutuhannya pada orang yang berbeda kelompok etnik darinya.

Lalu saya bertanya lagi kepada Ibu Linda; “bagaimana cara untuk menjalin keakraban antara sesama pedagang di pasar ini? khususnya kelompok etnik Batak

Toba dengan kelompk etnik Pesisir”. Lalu Ibu Linda menjawab:

“Biasanya kami membentuk suatu arisan, yang dikutip sekali seminggu. Anggota arisan biasanya kami batasi bagi para pedagang saja, tetapi tidak menutup kemungkinan kami menerima orang lain juga, asalkan ada anggota yang mau menanggungjawabinya.Setelah anggota sudah terkumpul kami akan menunjuk salah satu dari anggota untuk menjadi ketua arisan. Ketua

3 https://etnobudaya.net/2011/07/07/kesukubangsaan-dan-primordialitas/#more-527

Universitas Sumatera Utara arisanlah yang akan mengutip uang arisan setiap sekali seminggu. Setelah semua peserta mengumpulkan uang arisan, maka kami akan berkumpul untuk menyaksikan pemutaran dan siapa yang berhak mendapatkan uang arisan tersebut. Jika ada peserta yang tidak mengumpulkan uang arisan tepat pada waktunya, biasanya ketua arisan menduluankan uangnya untuk dipakai, supanya pemutaran arisan tidak tertunda. Untuk itu ketua arisan tidak sembarang orang. Kami memilih ketua arisan yang memang bisa bertanggung jawab, karena arisan tersebutlah membuat kami para pedagang menjadi saling mengenal nama dan etnik masing-masing pedagang dan melalui perkumpulan arisan tersebut hubungan interaksi antara etnik semakin sering terjadi (Hasil wawancara 14/02/2018)”.

Berdasarkan wawancara di atas dapat terlihat bahwa untuk menciptakan suatu interaksi yang lebih sering diantara kelompok etnik di pasar, para pedagang membuat suatu kelompok arisan.Kelompok tersebut menciptakan suatu interaksi.

Mengutip Robert K, Kamanto (2004:127) menjelaskanbahwa konsep kelompok adalah sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan. Oleh karena itu, peran kelompok sangat penting dalam menjalin suatu interaksi yang baik di masyarakat.

Tempat jual kain Ibu Linda tergolong ramai, jarang Ibu Linda sepi pembeli, dikarenakan belanja di Ibu Linda pembeli bisa utang dan cicil harga, serta pembeli dapat mencoba bajunya meskipun tidak jadi dibeli. Oleh karena sifat Ibu Linda yang ramah pada semua orang,membuat tetangga tempat jualan Ibu Linda suka dengannya, meskipun tetangganya tersebut berbeda etnik darinya.

Dari hasil observasi partisipasi tersebut terlihat bagaimana hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir. Saat pembeli yang berasal dari kelompok etnik Pesisir datang membeli, mereka tidak mau terlalu lama-lama duduk melihat pakaian tersebut. Mereka lebih suka belanja baju pada penjual yang satu kelompok etnik dengannya dan hal yang sama juga terjadi pada

Universitas Sumatera Utara kelompok etnik Batak Toba. Berikut gambar interaksi antara kelompok etnik Batak

Toba dengan kelompok etnik Pesisir di halaman selanjutnya:

Gambar 3.1 Interaksi antara Pembeli Kelompok Etnik Pesisir dengan Ibu Linda

Dari gambar di atas terlihat Ibu Linda sangat santai bercerita sambil mencari pakaian yang diminta pembeli. Sebelah kiri merupakan gambar Ibu Linda dan yang di depannya adalah pembeli dari kelompok etnik Pesisir. Saya mengambil gambar tersebut tampa sepengetahuan Ibu Linda dan pembelinya, supaya saya bisa melihat bagaimana ekspresi mereka ketika berinteraksi. Ekspresipembeli tersebut terlihat santai dan mendegar apa yang dikatakan Ibu Linda. Berdasarkan gambar tersebut, tampak bahwa hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir cukup baik.

Universitas Sumatera Utara Di pasar, penjual makanan seperti minuman, bakso, mie, dll, kebanyakan dari kelompok etnik Pesisir yang beragama Islam. Jarang yang jualan makanan dari kelompok etnik Batak Toba yang beragama Kristen. Itu sebabnya kalau lapar ketikadi pasar, kelompok etnik Batak Toba sering bilang “ayo makan ke tempat jau- jau (sebutan bagi kelompok etnik Pesisir yang beragama Islam)”. Kelompok etnik

Batak Toba yang beragama Kristen jika berjualan makanan di pasar, maka jualannya akan kurang laku, karena kelompok etnik Pesisir yang dominan beragama Islam pasti akan lebih memilih makan di tempat yang penjualnya beragama Islam. Kelompok etnik Batak toba lebih banyak berjualan di bidang sayur-sayuran dan pakaian.

Sedangkan kelompok etnik Pesisir berjualan di semua bidang, baik pakaian, sayur- sayuran, ikan, makanan, dan sebagainya.

Hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik

Pesisir dalam aspek ekonomi juga dapat dilihat di sektor pertanian. Saat tiba waktunya turun ke sawah untuk menanam atau memanen padi, pemilik sawah tidak mampu mengerjakan sawahnya sendiri. Oleh karena itu, dia membutuhkan tenaga pekerja untuk dipekerjakan di sawahnya. Baik kelompok etnik Batak Toba atau kelompok etnik Pesisir yang butuh pekerjaan akan datang menjumpai yang mempunyai sawah, supaya dia dipekerjakan oleh pemilik sawah. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Neneng yang memiliki sawah di Kota Barus. Dia mengatakan

“Pada saat tiba mau turun ke sawah baik itu mau menanam atau memanen padi, Ibu selalu mempekerjakan orang untuk mengerjakan sawah Ibu, karena Ibu tidak bisa kerjakannya sendiri. Nanti pekerja yang ingin ikut bekerja di sawah Ibu akan datang jumpai Ibu dan bilang bahwa dia mau ikut kerja dan ada juga yang langsung datang ke sawah minta supaya dia ikut kerja sama Ibu. Ibu mempekerjakan pekerja tidak melihat berdasarkan kelompok etniknya, pokoknya siapa saja yang mau selagi Ibu masih butuh Ibu akan terima. Seperti pada pas Panen bulan 01/2018 kemarin, Ibu juga

Universitas Sumatera Utara mempekerjakan sekitar delapan orang, lima perempuan dan tiga laki-laki untuk panen padi di sawah Ibu (Hasil wawancara 10/02/2018)”.

Saat bekerja di sawah para pekerja akan saling berinteraksi, saling bercerita antara satu dengan yang lain, supaya pekerjaannya tidak terlalu melelahkan. Saat siang hari sekitar jam 12 siang, para pekerja akan istirahat untuk makan siang.

Biasanya makanan sudah disediakan oleh yang punya sawah, tetapi ada juga para pekerja yang bawa makanannya sendiri dari rumahnya. Bagi pekerja yang membawa makanan sendiri dari rumahnya, maka gajinya akan lebih besar dibandingkan dengan pekerja yang makan dari makanan yang dibawah oleh yang punya sawah. Untuk itu sebelum bekerja pemilik sawah akan bertanya pada pekerjanya, apakah yang memasak makanan yang punya sawah atau mereka membawa makanan sendiri. Gaji pekerja per orang, wanita Rp.50.000, pria Rp.60.000. Jika mereka bawa bekal masing-masing, maka gajinya ditambah Rp.10.000/orang.

Bekerja sebagai buruh di sawah orang disebut dengan “Gajian” oleh masyarakat di Kota Barus. Melalui Gajian, hubungan di antara kelompok etnik, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir akan terlihat apakah baik atau tidak, karena saat Gajian pekerja dituntut untuk saling bekerjasama, supaya pekerjaan mereka dapat cepat selesai. Melalui penelitian di sawah tersebut terlihat hubungan antaretnik khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir tergolong baik. Mereka terlihat bekerjasama dan tidak ada terlihat pertentangan. Jikapun ada pertentangan pada beberapa pekerja, hal itu tidak diakibatkan oleh karena perbedaan kelompok etnik, tetapi karena masalah pribadi antarpekerja.

Universitas Sumatera Utara 4.2. Hubungan dalam Aspek Adat

Setiap kelompok etnik di Kota Barus dalam pelaksanaan acara selalu didasarkan sesuai dengan adat dan tradisi mereka masing-masing. Adat atau tradisi tersebut memiliki nilai yang menjadi pedoman disetiap kehidupan dan yang dilakukan secara turun-temurun. Salah satu acara adat yang terdapat di Kota Barus yaitu, acara kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Bagi setiap kelompok etnik tentunya memiliki bentuk acara adat yang berbeda-beda. Contohnya, kelompok etnik Batak Toba dalam pelaksanaan adat sesuai dengan adat Batak Toba yang ditandai dengan ada acara manottor(tarian dalam adat Batak), penyambutan hula-hula(keluarga dari mempelai wanita atau pihak Ibu mempelai pria),pemberian jambar(bagian), bahasa yang digunakan dalam acara bahasa Batak Toba, dsb yang sesuai dengan adat pernikahan kelompok etnik

Batak Toba. Begitu juga dengan kelompok etnik Pesisir. Dalam pelaksanaan acara juga selalu sesuai dengan adat yang berlaku dengan adat kelompok etnik Pesisir.

Contohnya dalam pernikahan mereka memakai adat Pesisir. Mulai dari persiapan pernikahan hingga acara pernikahan selesai semua acaranya sesuai dengan adat

Pesisir, serta bahasa yang digunakan yaitu bahasa Pesisir.

Untuk mengetahui kelompok etnik apa yang melaksanakan suatu acara pesta di Kota Barus dapat dilihat dari ornamen yang digunakan di acara pesta. Jika kelompok etnik Pesisir mengadakan pesta pernikahan, maka akan ditandai dengan ornamen payung warna kuning keemasan di depan rumah pengantin yang terdiri dari dua payung, dan tempat duduk pengantin dihiasi dengan cantik oleh bunga-bunga yang menarik di setiap sudut tempat duduk pengantin, sehingga pengantin tanpak seperti ratu dan raja sehari. Jika menemukan tanda seperti itu di Kota Barus, itu

Universitas Sumatera Utara tandanya ada acara pesta pernikahan yang sedang berlangsung. Berikut gambar pernikahan kelompok etnik Pesisir di halaman selanjutnya:

Gambar 3.2 Pernikahan Kelompok Etnik Pesisir

Gambar di atas adalah gambar pernikahan kelompok etnik Pesisir. Pada adat

Pesisir pelaminan pengantin harus dihias dengan cantik. Seperti gambar di atas terlihat hiasan pelaminan pengantin yang cantik dengan ornamen-ornamen yang cerah diharapkan kehidupan pengantin kedepannya akan cerah.

Sedangkan untuk pernikahan kelompok etnik Batak Toba dapat dilihat dari prosesi adat yang digunakan serta pada pakaian yang digunakan pengantin maupun keluarga. Biasanya dalam pernikahan kelompok etnik Batak Toba akan terdapat manontor(tarian dalam adat Batak) dan saat manontor mereka memakai Ulos Batak.

Tempat pengantin juga dihiasi dengan cantik sama seperti tempat duduk pengantin kelompok etnik Pesisir. Namun, yang paling membedakan hiasannya yaitu bagi kelompok etnik Pesisir biasanya di samping tempat duduk pegantin akan ada

Universitas Sumatera Utara dipajang payung cantik berwarna emas, tetapi pada pernikahan kelompok etnik

Batak Toba itu tidak ada.

Pelaksanaan acara adat maupun pesta di Kota Barus di bantu oleh organisasi masyarakat yang mereka dirikan. Organisasi masyarakat tersebut lebih diperuntungkan bagi siapa yang tergolong anggota organisasi tersebut. Jika, salah satu anggota organisasi melaksanakan pesta, maka pihak organisasi akan ikut serta membantu. Nama organisasinya yaitu, Muhammadiyah, Alwashliyah, dan NU.

Organisasi tersebut memang organisasi yang berbaur agama Islam, karena mayoritas masyarakat Kota Barusberagama Islam. Organisasi tersebut diciptakan dengan tujuan untuk membimbing dan mengarahkan semua anggotanya ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran agama Islam. Bantuan yang diberi kepada anggota yang melaksanakan acara adat dan pesta berupa bantuan tenaga, uang, dan memberi pinjaman alat-alat perlengkapan pesta seperti tenda, piring, mangkok, cangkir, wajan serta perlengkapan memasak lainnya. Bantuan tersebut diberikan secara gratis kepada anggotanya. Jika ada kelompok etnik Batak Toba yang mengadakan acara adat ataupun pesta, tetapi dia bukan anggota dari organisasi tersebut bukan berarti jika kelompok etnik Batak Toba meminta bantuan kepada organisasi, organisasi jadi tidak mau membantu. Organisasi akan membantu, namun bantuan yang diberi tidak akan sama seperti bantuan yang akan diberikan pada anggota organisasinya. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Marbun:

“.....iyah pada pernikahan anak Bapak pada Desember tahun lalu 2017, Bapak meminjam perlengkapan seperti tratap dan kursi ke organisasi NU. Bapak memang bukan agama Islam, namun Bapak punya kenalan di organisasi NU itu dan saat itu Bapak sangat butuh perlengkapan seperti kursi dan tratap, jadi Bapak minta tolong sama kawan Bapak itu untuk menjadi jaminan dan meminjamkan perlengkapan itu pas acara pesta pernikahan anak Bapak (Hasil Wawancara 24/02/2018)”.

Universitas Sumatera Utara

Melalui organisasi tersebut hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir jadi lebih baik, karena melalui organisasi tersebut diajarkan bagaimana membangun rasa solidaritas di antara masyarakat. Organisasi menciptakan suatu pola kerukunan antara umat beragama. Meskipun organisasi tersebut berbaur agama Islam, namun organisasi tidak membatasi diri untuk membantu masyarakat yang berbeda agama.

Hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik

Pesisir dalam aspek acara adat cukup baik. Hal itu terlihat ketika ada kelompok etnik

Batak Toba maupun kelompok etnik Pesisir yang melaksanakan acara adat, maka mereka akan saling mengundang. Hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir dalam aspek acara adat biasanya terjadi pada acara adat pernikahan dan kematian. Dalam acara adat pernikahan mereka akan saling mengundang dan biasanya mereka akan menghadiri undangan tersebut, baik undangan dari kelompok etnik Batak Toba maupun kelompok etnik Pesisir. Biasanya hubungan tersebut akan menghasilkan hubungan resiprositas (timbal-balik) di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Situmorang:

“....betul sekali pada pernikahan anak Bapak pada Desember tahun lalu 2017 tahun lalu Bapak mengundang Bapak Tanjung dari kelompok etnik Pesisir dan Bapak Tanjung menghadiri pesta Bapak. Lalu tanggal 14/01/2018 lalu, dia berpesta dan dia juga mengundang Bapak dan Bapak pun datang ke pestanya, karena dia juga datang kok ke pesta Bapak (Hasil Wawancara 17/02/2018)”.

Biasanya jika dalam acara adat pernikahan di Kota Barus para undangan yang datang akan mengisi buku daftar tamu. Setelah mengisi buku daftar tamu

Universitas Sumatera Utara mereka akan memberi kado, tetapi tamu sering mengganti kado dengan sejumlah uang. Bagi kelompok etnik Batak Toba menyebutnya Tuppak. Jumlah Tuppaktamu akan dituliskan di buku daftar tamu. Tujuan itu ditulis agar yang punya pesta mengetahui berapa Tuppakyang diberikan tamu-tamunya dan diapun tahu untuk membalas Tuppakyang diberi tamu tersebut jikala nanti tamu itu melaksanakan pesta. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Sri yang dari kelompok etnik Pesisir. Dia mengatakan:

“.....tentunya Ibu pastilah akan datang ke pernikahan anak Bapak Regar pada tanggal 5/03/2018 bulan depan. Orang dulu pas nikahan anak ibu dia datang, jadi mana mungkin ibu tidak datang. Bapak itu juga baik, dia ikut bantu- bantu dulu di pesta ibu. Dia juga memberi amplot yang isinya lumayan (sambil tersenyum) (Hasil wawancara 18/02/2017)”.

Dari hasil wawancara tersebut dapat terlihat jelas hubungan resiprositas diantara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus.

Saling membalas perbuatan tersebut menggambarkan hubungan antaretnik tergolong baik. Hubungan timbal balik antaretnik tersebut juga terjelaskan dalam buku

“Pemberian” karagan Marcel Mause. Menurut Marcel Mause (1992), pada dasarnya tidak ada pemberian yang cuma-cuma, segala bentuk pemberian selalu dibarengi dengan sesuatu pemberian kembali atau imbalan. Sama halnya dengan kondisi di

Kota Barus. Mereka menghadiri undangan pernikahan dengan tujuan supaya dikemudian hari orang tersebut juga akan datang ke acaranya.

Sifat saling menghargai antaretnik juga terlihat dalam acara adat di Kota

Barus. Hal tersebut dapat terlihat saat kelompok etnik Batak Toba melaksanakan pesta atau acara adat, maka bagian memasak akan diserahkan pada kelompok etnik

Pesisir dan masakan yang dimasak dalam acara adat semua akan bersifat halal. Jika

Universitas Sumatera Utara memasak makanan yang tidak halal untuk keperluan adat Batak Toba, maka masakan itu akan dimasak di tempat yang berbeda dari masakan kelompok etnik

Pesisir tersebut. Hal itu terlihat pada pesta pernikahan Bapak Sitompul pada tanggal

21/02/2018. Bagian memasak di pesta Bapak Sitompul diserahkan kepada kelompok etnik Pesisir untuk memasak semua makanan yang diperlukan untuk pesta tersebut.

Seperti yang dikatakan oleh Ibu istri Bapak Sitompul:

“.....iya tentu dek, semua masakan di pesta pernikahan anak Ibu kemarin yang masak itu dari orang etnik Pesisir, karena undangan Ibu kan banyak yang dari etnik Pesisir juga. Kalau nanti yang masak dari kita orang Batak, mereka pasti tidak mau makan nantinya. Jadi supaya saling menghargai semua bagian masakan Ibu suruh mereka yang kerjakan, karna orang Batak tidak masalah memakan masakan mereka (Hasil wawancara 24/02/2018)”.

Dari hasil wawancara tersebut dapat terlihat bahwa acara adat yang ada di

Kota Barus sifatnya sangat terbuka. Sikap yang terbuka tersebut merupakan bagian dari toleransi, di mana sikap toleransi tersebut merupakan sikap yang dapat mempersatukan perbedaan. Seperti halnya dengan yang dikatakan oleh4UNESCO, bahwa toleransi merupakan sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keberagaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia. Oleh karena itu, hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir dalam aspek acara adat sangat baik tidak ada pertentangan.

4.3. Hubungan dalam Aspek Beragama

Kelompok etnik Batak Toba yang identik dengan agama Kristen, sedangkan kelompok etnik Pesisir lebih identik dengan agama Islam. Oleh karena itu, hubungan di antara kelompok etnik tidak perna terjadi dalam hubungannya dengan agama.

4 https://www.scribd.com/doc/82271469/toleransi-dalam-masyarakat-plural

Universitas Sumatera Utara Kelompok etnik Batak Toba membuat komunitas atau kelompok yang anggotanya adalah orang yang satu agama dengannya, seperti komunitas satu gereja. Mereka mengadakan perjumpaan atau acara-acara yang berbaur agama Kristen. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok etnik Pesisir. Komunitas atau kelompok yang mereka buat anggotanya adalah orang yang satu agamanya yaitu agama Islam.

Contohnya kelompok pengajian, wiritan, dsb yang berhubungan dengan keagamaan.

Oleh karena itu, hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik

Pesisir dalam hal keagamaan tidak pernah ada terjadi.

Hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir dalam hal keagamaan adalah hubungan saling menghargai. Kelompok etnik Batak Toba yang beragama Kristen menghargai kelompok etnik Pesisir yang beragama Islam dan begitu juga sebaliknya. Sikap saling menghargai, mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Cara-cara mereka menghargai yaitu dengan tidak mengganggu kegiatan keagamaan di antara mereka masing-masing, itu sebabnya di Kota Barus tidak masalah letak gereja dengan mesjid saling berdekatan. Cara lain juga dapat dilihat saat kelompok etnik Batak Toba mengadakan Pesta pernikahan. Pada masyarakat di

Kota Barus sudah menjadi tradisi dalam pernikahan menyewa atau memakai keyboard sebagai penghibur dalam acara pernikahan. Suara keyboard tersebut sangat kuat. Jadi, untuk menghargai umat beragama Islam. Pihak yang melaksanakan acara pesta akan menghentikan atau mengecilkan suara keyboardnya saat umat beragama

Islam melaksanakan sholat, dan kegiatan keagamaan lainnya. Hal itu langsung saya saksikan sendiri di acara pernikahan Bapak Sitompul, pada tanggal 21/02/2018 yang di mana rumah Bapak Sitompul tidak jauh dari mesjid yang ada di Kelurahan Padang

Masiang. Saat itu saya heran karena keyboard di pesta tersebut tidak dinyalakan, alat

Universitas Sumatera Utara pengeras suarapun tidak dipakai, padahal saat itu merupakan acara adat yang mengharuskan memakai alat pengeras suara untuk memanggil hula-hula(keluarga ibu dari pihak mempelai laki-laki). Awalnya saya mengira kalau keyboard tersebut sedang rusak, namun setelah beberapa menit kemudian keyboardnya dinyalakan lagi.

Lalu saya bertanya kepada salah satu ibu-ibu penjual gorengan yang dekat dengan acara pesta tersebut; “kenapa tadi keyboardnya tidak dinyalakan ya bu? padahal itukan penting?”, lalu ibu tersebut menjawab,” itu karena tadi lagi ada acara sholat di mesjid itu (menunjuk ke arah mesjid yang tidak jauh dari lokasi kami), makanya dimatikan supaya tidak mengganggu, karena kalau tidak dimatikan suara keyboardnya dapat menggaggu acara sholat mereka dan itu bisa menyebabkan pertentangan, karena tidak menghargai umat yang beragama”. Mendengar hal itu barulah saya mengerti kalau umat beragama di sana harus saling menghargai, supaya tidak terjadi permasalahan.

4.4. Hubungan dalam Aspek Pendidikan

Dalam hal pendidikan Kelompok etnik Batak Toba lebih unggul dari kelompok etnik Pesisir. Hal itu terjadi, karena bagi kelompok etnik Pesisir asalkan tamat SMA saja sudah cukup, anaknya langsung disuruh pergi merantau. Khususnya bagi anak perempuan kelompok etnik Pesisir. Sedangkan kelompok etnik Batak

Toba sangat mementingkan pendidikan. Selain itu kelompok etnik Pesisir lebih mengutamakan pendidikan anak laki-laki dari pada anak perempuan, karena mereka menganggap kalau anak perempuan itu nantinya hanya sebagai ibu rumah tangga.

Sedangkan,anak laki-laki itu akan menjadi kepala rumah tangga. Jadi pendidikan lebih diutamakan kepada anak laki-laki, karena nanti pendidikannya bisa

Universitas Sumatera Utara dimanfaatkan buat cari kerja dan bisa menafkahi anak dan istrinya. Pemikiran demikian merupakan subordinasi bagi perempuan. Subordinasi merupakan pandangan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional dalam berpikir, tidak bisa tampil sebagai pemimpin dan akhirnya perempuan ditempatkan dalam posisi yang tidak penting (Narwoko, 2011:342). Sedangkan, kelompok etnik Batak Toba sangat mementingkan pendidikan. Anak-anak kelompok etnik Batak Toba jarang yang hanya tamatan SMA, meskipun orang tuanya hanya sekedar petani.

Hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik

Pesisir dalam aspek pendidikan dapat dilihat dari proses interaksi mereka di sekolah.

Baik itu hubungan antara guru dan murid, murid dengan murid, guru dengan guru, guru dengan orang tua murid, dsb. Saya melihat hubungan tersebut di lingkungan

SD, SMP, dan SMA Negeri Barus. Saya datang ke sana melihat bagaimana hubungan yang terjadi dalam lingkungan sosial pendidikan. Selama di sana, saya melihat hubungan mereka cukup baik, jarang ada terjadi pertengkaran antara murid, guru, maupun orang tua yang beda kelompok etnik. Saya mengobservasi di kantin sekolah. Saya melihat terjadi interaksi antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir pada saat mereka datang ke kantin. Saat istirahat siswa berdatangan ke kantin untuk membeli jajanan, baik kelompok etnik Batak Toba maupun kelompok etnik Pesisir terlihat tidak ada kesenjangan, mereka sama-sama makan bersampingan dan terkadang mereka saling minta tolong untuk mengambilkan saus atau kecap, tidak hanya murid, gurunya juga seperti itu.

Melihat hal tersebut, saya mendekati salah satu siswa dan saya bertanya.

Namanya adalah Eva Simbolon, usia 15 tahun, dari kelompok etnik Batak Toba.

Saya bertanya terkait hubungan dia dengan kelompok etnik Pesisir. Eva menjawab:

Universitas Sumatera Utara “Hubungan saya dengan etnik Pesisir baik, tidak pernah bertengkar. Kami berteman, jika dia baik aku juga baik padanya. Teman satu bangku saya juga etnik Pesisir, kami sudah dua tahun ini selalu satu bangku. Memang ada beberapa orang etnik Pesisir itu yang tidak terlalu suka bergaul dengan etnik Batak Toba, mereka hanya mau bergaul dengan yang satu etnik dan agama saja. Tapi itu hanya beberapa orang saja (Hasil wawancara 20/02/2018)”.

Dari hasil wawancara di atas terlihat hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus pada umumnya tergolong baik. Hanya beberapa orang diantara siswa-siswi yang tidak mau bergaul dengan kelompok etnik yang berbeda dengannya. Hal itu disebabkan oleh, kurang terbiasa bagi diri sang anak untuk berteman dengan anak dari kelompok etnik yang berbeda dengannya.

Ketidak biasaan itu terjadi, karena dari kecil anak tersebut tidak pernah bergaul dengan anak di luar kelompok etniknya, khususnya yang beragama berbeda dengannya. Jadi, ketika sang anak dalam lingkungan sekolah yang memiliki siswa dari berbagai kelompok etnik, sang anak menjadi susah bergaul dengan anak di luar etniknya dan diapun hanya bergaul dengan anak yang menurutnya memiliki kesamaan kelompok etnik serta agama dengannya. Dalam hal ini, peran orang tua sangat dibutuhkan. Mengajarkan anak untuk bersosialisasi mulai dari kecil kepada semua orang, tanpa membeda-bedakan kelompok etnik dan agama, sehingga saat sang anak besar, hal tersebut tidak menjadi hambatan dalam pergaulan anak. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nurwoko, dan Suyanto (2004) bahwa orang tua merupakan lembaga sosial dasar dari mana semua lembaga atau pranata sosial lainnya berkembang.

Setelah saya bertanya dengan Eva, lalu saya bertanya lagi pada informan yang lain yang memiliki kelompok etnik berbeda dari Eva. Tujuannya, supaya informasi yang diperoleh seimbang. Informan selanjutnya bernama Alisa, yang

Universitas Sumatera Utara berusia 17 tahun, kelompok etnik Pesisir. Saya bertanya dengan pertanyaan yang sama, lalu Alisa mengatakan:

“Hubungan saya dengan etnik Batak Toba baik-baik saja, tidak ada kami bertengkar. Aku juga punya teman akrab yang etnik Batak Toba. Dia baik sama ku, akupun baik sama dia (Hasil wawancara 20/02/2018)”.

Selain mewawancarai siswa, saya juga mewawancarai guru dan orang tua siswi yang sedang duduk di kantin menunggu anaknya pulang sekolah. Saya bertanya dengan pertanyaan yang sama. Jawaban guru dan orang tua tersebut juga sama dengan jawaban kedua siswa sebelumnya. Mereka mengatakan bahwa hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir dalam aspek pendidikan baik-baik saja, tidak ada masalah. Bahkan salah satu informan yang berprofesi sebagai guru, namanya Ibu Tanjung dia mengatakan:

“....iyahhh hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan Kelompok etnik Pesisir di Kota Barus ini baik-baik saja, kami saling akur. Apalagi kalau tiba 17 Agustus, semua siswa-siswi bekerja sama untuk mengikuti perlombaan- perlombaan yang diadakan oleh pihak sekolah. Seperti pada 17 Agustus kemarin 2017, ada perlombaan tarik tambang antara siswa, mereka sangat antusias. Bahkan saat waktu tim dari sekolah kami menang, semua siswa itu saling peluk karna kegirangan, tidak ada terlihat kecanggungan bagi mereka, meskipun beda kelompok etnik (Hasil wawancara 20/02/108)”.

4.5. Hubungan dalam Aspek Organisasi

Manusia sebagai mahluk sosial senantiasa berinteraksi dengan sesamanya.

Oleh karena itu organisasi merupakan salah satu wadah untuk berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Dalam organisasi berkumpul beberapa orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Sama halnya di Kota Barus terdapat juga organisasi yang menjadi wadah bagi masyarakat Kota Barus dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain. Organisasi besar yang terdapat di Kota Barus yaitu, organisasiMuhammadiyah, Alwashliyah, dan NU. Organisasi ini memiliki aturan

Universitas Sumatera Utara berdasarkan ajaran agama Islam. Anggota organisasinya juga semua yang beragama

Islam dan paling banyak dari kelompok etnik Pesisir, karena semua kelompok etnik

Pesisir beragama Islam di Kota Barus. Sedangkan kelompok etnik Batak Toba jarang yang masuk organisasi ini, karena kelompok etnik Batak Toba rata-rata beragama

Kristen. Oleh karena itu, dalam ketiga organisasi tersebu hubungan kelompok etnik

Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir tidak ada, karena anggota organisasinya hanya dari kelompok etnik Pesisir saja.

Selain ketiga organisasi besar tersebut terdapat juga perkumpulan- perkumpulan kecil di Kota Barus yang dimana anggotanya tidak hanya dari satu kelompok etnik saja. Perkumpulan tersebut adalah perkumpulan muda-mudi Kota

Barus dan perkumpulan arisan semarga. Dalam perkumpulan tersebut terlihat hubungan antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir.

Pada perkumpulan pemuda pemudi di Kota Barus, para pemuda-pemudi yang tergolong dalam keanggotaan tidak hanya dari kelompok etnik Pesisir saja, tetapi kelompok etnik Batak Toba juga. Dalam organisasi tersebut terlihat hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir berjalan dengan baik.

Mereka saling bekerja sama dalam setiap kegiatan yang digelar oleh perkumpulan.

Salah satu contohnya ketika acara penyelenggaraan MTQ yang diselenggarakan oleh masyarakat yang beragama Islam di Kota Barus pada Februari 2018. Kegiatan itu berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Pada saat itu perkumpulan pemuda- pemudi Kota Barus ikut berperan dalam menyukseskan acara tersebut, meskipun tidak semua anggota kelompok itu beragama Islam, namun mereka juga ikut membantu dalam menyusun perlengkapan-perlengkapan acara, menjaga ketertipan acara, dll.

Universitas Sumatera Utara Sedangkan dalam perkumpulan arisan semarga dapat juga dilihat hubungan kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir. Perkumpulan arisan semarga ini anggotanya didasarkan pada kesamaan marga. Salah satu perkumpulan tersebut adalah arisan marga Pasaribu. Di Kota Barus yang bermarga Pasaribu tidak hanya kelompok etnik Batak Toba saja, tetapi kelompok etnik Pesisir juga ada yang memiliki marga Pasaribu. Semua yang bermarga Pasaribu bisa masuk dalam keanggotaan perkupulan tersebut bagi siapa yang mau, sehinggah anggota perkumpulan arisan marga Pasaribu ini tidak hanya dari kelompok etnik Batak Toba saja, tetapi kelompok etnik Pesisir juga. Perkumpulan ini mengadakan pertemuan setiap sekali semingguh yang diadakan di rumah anggota secara berganti-gantian.

Setiap ada salah satu anggotanya yang melaksanakan kegiatan pesta, maka semua anggota perkumpulan tersebut akan ikut membantu-bantu di pesta tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Tini Br.Pasaribu:

“.....iya kalau ada salah satu anggota perkumpulan arisan marga Pasaribu yang mengadakan pesta, kami akan selalu membantu. Seperti waktu itu pernikahan Bapak Buyung Pasaribu pada tahun 2016 lalu, saya lupa tanggal dan bulan apa waktu itu pernikahan anak Bapak itu. Kami dari perkumpulan datang ke pestanya, karena Bapak Buyung memakai adat Pesisir jadi tidak ada istilah adat batak di pestanya, maka ibu di sana datang membantu kegiatan memasak dan dari perkumpulan kami juga mengumpulkan uang untuk diberikan kepada yang berpesta (Hasil wawancara 14/02/2018)”.

Dalam organisasi ini dapat terlihat hubungan antara kelompok etnik Batak

Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus. Mereka saling berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Terlihat dari interaksi mereka bahwa perbedaan kelompok etnik tidak menjadi hambatan untuk mereka menjalin suatu hubungan yang baik, bahkan mereka tergabung dalam suatu perkumpulan yang sama. Mereka saling membantu disaat mereka saling membutuhkan.

Universitas Sumatera Utara

4.6. Potensi Konflik antara Kelompok Etnik Batak Toba dengan Kelompok

Etnik Pesisir

Kota Barus adalah kota yang memiliki lebih dari satu kelompok etnik dalam satu lingkungan. Oleh sebab itu, potensi konflik bisa saja terjadi di lingkungan masyarakat. Pada masyarakat Kota Barus, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir memiliki perbedaan, yaitu perbedaan budaya, agama, dan adat istiadat. Dari beberapa perbedaan tersebut, perbedaan agamalah yang paling tampak di lingkungan bermasyarakat. Dimana kelompok etnik Batak Toba lebih ke agama Kristen dan kelompok etnik Pesisir lebih keagama Islam. Oleh karena itu, norma-norma hidup mereka juga berdasarkan ajaran agama mereka masing-masing.

Konflik yang pernah terjadi di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir menurut Bapak Linder sekitar tahun 50-an pernah terjadi konflik lokal antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir.

Konflik tersebut tentang perebutan tempat untuk berdagang di pasar. Perebutan tersebut mengakibatkan konflik dan membuat terjadi pertentangan yang cukup menarik perhatian warga pada saat itu. Kelompok etnik Pesisir yang memiliki sifat buruk, yaitu jika ada satu kelompok etniknya yang mengalami konflik dengan kelompok etnik Batak Toba, maka mereka akan datang berombongan untuk ikut menghajar kelompok etnik Batak Toba tersebut. Oleh karena itu, terjadilah perkelahian di lokasi pasar antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir. Untuk menghentikan perkelahian tersebut, satpam dan aparat pengamanan desapun harus ikut campur tangan untuk menghentikan perkelahian tersebut.

Universitas Sumatera Utara Selain konflik yang disebutkan Bapak Linder tersebut, tidak pernah ada lagi konflik yang menimbulkan kekerasan. Namun, konflik-konflik ringan yang dapat melukai hati masih terkadang terjadi, khususnya di pasar dalam perebutan lokasi tempat berjualan. Seperti yang dikatakan Ibu Linda:

“Di pasar para pedagang terkadang beradu mulut menyatakan bahwa lokasi tempat berdangan tersebut dia yang duluan menempatinya, namun pedagang yang lainnya mengatakan bahwa dia yang duluan, lalu mereka beradu mulut hingga akhirnya harus ada satu pihak yang mengalah. Biasanya tempat yang sering direbutkan itu, tempat-tempat yang di kaki lima. Kalau kios-kios itu (menunjuk ke arah kios) jarang terjadi perebutan, karena biaya sewanya sudah ditentukan setiap bulannya dan dikutif oleh petugas pasar. Seperti pada hari rabu lalu tanggal 7/02/2018 tempat jualan yang itu (menunjuk tempat jualan tukang jepit rambut di depan tempat jualan Ibu Linda) pedagang itu bertengkar untuk merebutkan tempat jualan itu. kalau tidak salah satu pedagangnya marga Simanjuntak dan satu lagi marga Tanjung (Hasil wawancara 14/02/2018)”.

Berdasarkan wawancara tersebut terlihat terjadi perebutan lahan yang mengakibatkan perdebatan ringan di antara pedagang. Perebutan lahan ini pada umumnya terjadi di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik

Pesisir. Memang perebutan ini, tidak pernah sampai mengakibatkan konflik yang mengatas namakan kelompok etnik. Namun, jika hal tersebut terus berlanjut dalam jangkah waktu yang lama dan dalam jumlah yang sering, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik yang mengatas namakan etnik, karena sakit hati yang sudah lama tertanam dalam hati setiap kelompok etnik. Oleh karena itu, perluada penanganan pihak pasar supaya mengkordinir pedagang, agar tidak mengakibatkan perebutan lahan tempat jualan.

Meskipun perna terjadi konflik antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus, namun hal tersebut tidak serta-merta membuat hubungan mereka menjadi hancur. Mereka tetap menjalankan kerjasama

Universitas Sumatera Utara dalamkelangsungan antaretnik serta pembangunan di Kota Barus. Saat ini konflik- konflik sudah tidak perna terjadi, jikapun terjadi mereka bisa menyelesaikan konflik tersebut dengan baik tanpa harus melibatkan pihak yang tertinggi.

4.6.Bentuk Penyelesaian Konflik

Penyelesaian konflik yang terjadi di Kota Barus dilakukan dengan melibatkan tokoh-tokoh agama dan desa. Biasanya sifatnya kompromi. Contohnya, pernah terjadi kasus pencurian yang dilakukan oleh kelompok etnik Batak Toba terhadap kelompok etnik Pesisir di Kelurahan Batu Gerigis pada tahun 2015 tanggal dan bulannya kurang jelas kapan, karena informan tidak ingat lagi. Saat itu pencuri tersebut ketahuan oleh kelompok etnik Pesisir. Tanpa rasa ampun kelompok etnik

Pesisir tersebut langsung menghajar pencuri di tempat hingga semua wajah pencuri itu lebam dan berdarah. Jika kepala desa tidak datang pada saat itu, mungkin pencuri tersebut akan mati di tempat. Lalu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, kepala desa membawa pencuri ke balai desa dan disana dilakukan kompromi antara pelaku dengan korban. Mereka membuat sebuah kesepakatan yang tidak terlalu memberatkan kedua bela pihak, yang dicuri disuruh memberi argumen begitu juga dengan yang mencuri, lalu diambil sisi tengahnya.

Jika cara tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah, maka pihak desa akan memanggil semua yang bersangkutan dan menyerahkan kasus kepada pihak yang berwajib, yaitu kepolisian. Menurut warga setempat cara kompromi adalah cara yang tepat dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi, karena dengan kompromi, keharmonisan antaretnik dapat dijaga. Kompromi juga dianggap mampu

Universitas Sumatera Utara meredam konflik yang terjadi. Oleh karena itu, di Kota Barus sampai saat ini jarang mengalami yang namanya konflik yang berhubungan dengan SARA.

Universitas Sumatera Utara BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Indonesia adalah negara yang kaya akan kelompok etniknya. Hal itu tidak dapat dipungkiri, bahwa keberagaman kelompok etnik tersebut membuat Indonesia menjadi negara yang majemuk. Negara majemuk ditandai dengan adanya beberapa perbedaan, yaitu: perbedaan kelompok etnik, adat-istiadat, bahasa, agama, dll.

Sebagai negara yang majemuk, maka tingkat konflik kemungkinan tinggi. Oleh karena itu, perlu untuk menjaga sikap toleransi. Itu sebabnya, apabila potensi sosio- kultural atau hubungan itu tidak dikelola dengan baik, besar kemungkinannya akan melahirkan pergesekan-pergesekan kultural yang berujung pada ketidakstabilan politik dan disintegrasi bangsa (Geertz, 1993).

Masyarakat majemuk yang terdapat di Indonesia terlihat pada masyarakat

Kota Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Kota Barus termasuk daerah dengan masyarakat majemuk yang memiliki penduduk dengan beragam kelompok etnik.

Kelompok etnik yang terdapat di Kota Barus yaitu: kelompok etnik Batak Toba, kelompok etnik Jawa, kelompok etnik Pesisir, kelompok etnik Minangkabau, kelompok etnik Mandailing, kelompok etnik Karo yang tinggal dalam satu lingkungan tempat tinggal yang sama. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki budaya yang berbeda-beda yang mereka bawa dari tempat asli mereka.

Dari hasil penelitian ini telah menjawab ketiga pertanyaan penelitian yang tertuang di rumusan masalah.Pertanyaan yang pertama dapat dijawab, bahwa pola menetap masing-masing kelompok etnik di Kota Barus itu sifatnya berkelompok.

Kelompok etnik Pesisir pemukimannya di tepian pantai, sedangkan kelompok etnik

Universitas Sumatera Utara Batak Toba wilayah pemukimannya lebih jauh dari tepian pantai. Menurut masyarakat setempat penyebab lokasi wilayah kelompok etnik Pesisir lebih dekat dengan tepian pantai diakibatkan karena faktor pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Kelompok etnik Pesisir mata pencahariannya identik sebagai nelayan. Oleh karena itu, mereka membangun pemukiman yang berdekatan dengan laut dengan tujuan agar lebih mudah untuk pergi menangkap ikan ke laut. Sedangkan wilayah pemukiman kelompok etnik Batak Toba lebih jauh dari tepian pantai disebabkan lahan di tepian pantai sudah dikuasai oleh kelompok etnik Pesisir, serta mata pencahariannya lebih kepada bertani, jadi mereka membangun pemukiman mereka di lahan yang kosong yang bisa dijadikan lahan pertanian. Oleh karena itu, mereka membangun pemukiman di lahan yang jauh dari tepian pantai.

Pertanyaan kedua dapat dijelaskan bahwa stereotype yang terjadi di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir yaitu, ada stereotype yang sifatnya negatif dan positif. Stereotype kelompok etnik Pesisisr terhadap kelompok etnik Batak Toba di Kota Barus yaitu, kelompok etnik Batak Toba dikenal dengan sifatnya yang keras, suka minum tuak, perempuan kelompok etnik Batak

Toba kuat-kuat dalam bekerja, dan kelompok etnik Pesisir menyebut kelompok etnik

Batak Toba dengan sebutan “Batak-batak tu” dengan nada cetus. Oleh karena kelompok etnik Pesisir sering membatak-batakkan kelompok etnik Batak Toba dengan sebutan “Batak-batak tu” yang sifatnya merendahkan kelompok etnik Batak

Toba. Sedangkan stereotype kelompok Batak Toba terhadap kelompok etnik Pesisir yaitu, kelompok etnik Pesisir dikatakan orangnya sangat fanatik dalam hal makanan, dan perempuan kelompok etnik Pesisir lemah-lemah. Selain itu terdapat juga sebutan-sebutan kepada orang yang mengubah marganya menjadi Tanjung (marga

Universitas Sumatera Utara kelompok etnik Pesisir) oleh kelompok etnik Batak Toba, yaitu: Tanjung Sadonyo,

Tanjung Katung, dan Tanjung Karang. Arti Tanjung Sadonyo, Katung, Karang berarti Tanjung bohong-bohongan, tidak sebenarnya, marga Tanjung yang dibuat- buat. Artinya dia sebenarnya bukan marga Tanjung, namun karena dia tinggal di daerah Pesisir dan dia merasa lebih dekat dengan kelompok etnik Pesisir maka dia menyebut dirinya marga Tanjung.

Pertanyaan ketiga dapat dijelaskan, bahwa interaksi yang terjadi di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir dapat terjadi diberbagai aspek. Aspek tersebut yaitu aspek ekonomi, adat, agama, pendidikan dan organisasi.

Berdasarkan interaksi di beberapa aspek tersebut, terlihat hubugan kelompok etnik

Batak Toba dengan Kelompok etnik Pesisir baik. Hal itu terlihat dari tidak perna ada pertikaian yang terjadi dalam beberapa aspek tersebut.

Dari keempat pertanyaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keragaman kelompok etnik yang ada di Kota Barus dapat menimbulkan beberapa stereotype di antara kelompok etnik, khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir. Hal tersebut juga terjadi karena adanya pemisahan pola pemukiman.

Namun, meskipun demikian hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir tetap terjalin baik. Seperti halnya hubungan dalam aspek ekonomi, adat, agama, pendidikan, dan organisasi. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa, di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir terdapat perbedaan yang nyata. Contohnya kelompok etnik Batak Toba identik dengan agama

Kristen, sedangkan kelompok etnik Pesisir identik dengan agama Islam. Selain dari itu mereka juga memiliki kebudayaan yang berbeda yaitu kelompok etnik Batak

Universitas Sumatera Utara Toba dengan kebudayaan Batak Tobanya dan kelompok etnik Pesisir dengan kebudayaan Pesisirnya. Mereka memiliki kebudayaan yang berbeda karena mereka terlahir dari kelompok etnik yang berbeda juga. Di mana setiap kelompok etnik memiliki budaya dan kebiasaan tersendiri yang mereka peroleh secara turun temurun dari kelompok etniknya masing-masing. Namun, meskipun di tengah perbedaan tersebut, hubungan di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik

Pesisir tetap terjalin dengan baik.

5.2. Saran

Setelah menyelesaikan penelitian, peneliti memberikan saran yang diharap dapat berguna. Baik itu bagi kelompok etnik Batak Toba dan kelompok etnik

Pesisir yang ada di Kota Barus. Serta bagi kalangan luas yang merasa memiliki kesamaan dalam bidang hubungan antara etnik. Saran peneliti sebagai berikut:

1. Bagi kelompok etnik yang ada di Kota Barus, khususnya kelompok etnik

Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir, diharapkan untuk saling

menjaga keharmonisan. Memiliki pandangan bahwa perbedaan itu penting

untuk membuat perubahan yang lebih baik, sehingga dalam perbedaan

tersebut tidak menimbulkan konflik, tetapi menimbulkan rasa saling

menghargai, memahami baik itu dalam konteks kebudayaan, adat, pola

hidup, dsb.

2. Bagi pemerintah, khususnya pemerintahan Kota Barus, diharapkan untuk

jangan membuat suatu pemisahan di antara etnik. Buatlah suatu acara-

acara yang melibatkan semua kelompok etnik, jangan ada pengkhususan

Universitas Sumatera Utara terhadap kelompok etnik tertentu, supaya tidak timbul rasa kecemburuan

dalam pemerintahan tersebut.

3. Bagi masyarakat, diharapkan jangan sering membuat pengelompokan-

pengelompokan berdasarkan kesamaan etnik ataupun agama, karena jika

ada hal demikian, hubungan antara kelompok etnik akan menjadi sangat

sedikit dan hal itu bisa memudahkan pempropokasian kelompok

berkepentingan lain terhadap etnik tersebut.

4. Supaya mencegah atau mengurangi terjadinya konflik antaretnik, maka

perlu meningkatkan pergaulan dan hubungan yang baik di dalam

masyarakat etnik.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Buku

Barth, Fredrik (Nining I. Soesilo). 1988. Kelompok Etnik dan Batasanya (Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan). Jakarta: Universitas Indonesia.

Guillot, Claude, dkk. 2008. Barus Seribu Tahun Yang Lalu. Jakarta: KPG.

Giring. 2004. Madura di Mata Dayak. Yogyakarta: Galang Press.

Hadiluwih, Subanindyo. 2008. Konflik Etnik Di Indonesia (Satu Kajian Kes di Bandaraya Medan). Medan: USU Press.

Hamid, Abu, dkk. 1987. Sosialisasi pada Perkampungan Miskin Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdikbud.

Nurwoko, J.Dwi, dan Bagong Suyanto.2011. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.

Mauss, Marcel. 1992. Pemberian. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Purna ,I Made, dkk. 2013. Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Dalam Budaya Etnik. Bali: Balai Pelestaria Nilai Budaya Bandung Bali.

Sumarsono dan Tato Sucipto. 1999. Budaya Masyarakat Perbatasan (Studi Tentang Corak dan Pola Sosial Pada Masyarakat Kecamatan Lagensari Provinsi Jawa Barat). Jakarta: CV. Bupara Nugraha.

Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Soekanto,Soerjono. 1993. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sunarto, Komanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Setiadi, Elly M, dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana.

Suparlan, Parsudi. 1999. Menuju Polri Mandiri yang Profesional. Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja.

Suparlan, Parsudi. 2005. Investasi Sosial. Jakarta: Pusat Peyuluhan Sosial Departemen Sosial RI.

Universitas Sumatera Utara

Jurnal

Amri Marzali. 2006.“Struktural-fungsionalisme”.Jurnal Antropologi Indonesia. Vol.30. No. 2.

Usman Pelly.1998. “Masalah Batas-Batas Bangsa”. Jurnal IKIP Sumatera Utara. No. 54.

Sumber Internet http://www.learniseasy.com/defenisi-konflik-dan-macam-macam-konflik.html (Diakses pada29 Maret 2018, Pukul 15.15). https://etnobudaya.net/2011/07/07/kesukubangsaan-dan-primordialitas/#more-527 (Diakses pada 29 Maret 2018, Pukul 15.30). https://www.scribd.com/doc/82271469/toleransi-dalam-masyarakat-plural (Diakses pada 02 April 2018, Pukul 11.05).

Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN

Pertayaan penelitian (Interview Guide)

A. Pertayaan kepada informan kunci

1. Bagaimana sejarah Kota Barus?

2. Kelompok etnik apa saja yang terdapat di Kota Barus?

3. Kelompok etnik apa yang paling dominan di Kota Barus?

4. Bagaimana sejarah keberadaan kelompok etnik Batak Toba dan kelompok

etnik Pesisir di Kota Barus?

5. Adakah terdapat pandagan-pandagan negatif di antara kelompok etnik Batak

Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus?

6. Adakah perna terjadi konflik di antara kelompok etnik Batak Toba dengan

kelompok etnik Pesisir di Kota Barus?

7. Jika pernah, bagaimana cara mereka meredam konflik tersebut?

8. Adakah terjadi diskriminasi di antara kelompok etnik Batak Toba dengan

kelompok etnik Pesisir?

9. Bagaimana bentuk pola menetap masyarakat, khususnya kelompok etnik

Batak Toba dan kelompok etnik Pesisir?

10. Dimana lokasi yang paling sering terjadi interaksi di antara kelompok etnik

Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir?

11. Bagaimana solidaritas antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok

etnik Pesisir?

12. Adakah suatu organisasi yang anggotanya terdapat kelompok etnik Batak

Toba dan kelompok etnik Pesisir?

Universitas Sumatera Utara 13. Bahasa apa yang digunakan masyarakat Kota Barus dalam berkomunikasi?

14. Adakah terdapat sifat gotong-royong di masyarakat, khususnya antara

kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir?

15. Dalam rangka acara/kegiatan apa saja yang bisa menjalin hubungan gotong

royong di antara kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir?

16. Bagaimana kondisi pendidikan masyarakat di Kota Barus?

17. Pernahkah ada terjadi pernikahan di antara kelompok etnik Batak Toba

dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus?

B. Pertayaan kepada informan biasa

1. Bagaimana kondisi masyarakat di Kota Barus?

2. Bagaimana hubungan kelompok etnik, khususnya Kelompok etnik Batak

Toba dengan kelompok etnik Pesisir di Kota Barus?

3. Apa mata pencaharian masyarakat di Kota Barus yang paling dominan?

4. Peganut agama apa saja yang terdapat di Kota Barus?

5. Adakah suatu tradisi/strategi masyarakat dalam menjaga keharmonisan,

khususnya kelompok etnik Batak Toba dengan kelompok etnik Pesisir di

Kota Barus?

6. Siapa tokoh masyarakat yang lebih paham tentang kondisi masyarakat di

Kota Barus?

Universitas Sumatera Utara