Pusat Penelitian BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI Badan Keahlian DPR RI Gd. Nusantara I Lt. 2 Jl. Jend. Gatot Subroto Pusat - 10270 c 5715409 d 5715245 m [email protected] KAJIAN SINGKAT TERHADAP ISU AKTUAL DAN STRATEGIS Vol. X, No. 07/I/Puslit/April/2018

ISU WAKIL PRESIDEN MENJELANG PILPRES 2019

25 Prayudi Abstrak Munculnya isu Wakil Presiden (Wapres) menjelang Pemilu Presiden dan Wapres (Pilpres) 2019 tidak terlepas dari pertimbangan kepentingan partai-partai pengusung pada saat pencalonan Pilpres dan bangunan kerja sama antara Presiden dan Wapres pada saat menjalankan pemerintahan. Posisi Wapres bukan lagi sekedar “ban serep” setelah adanya Amandemen UUD 1945 dan sistem Pilpres yang memilih presiden secara langsung oleh rakyat. Hal ini menyebabkan kebutuhan untuk mengatur hal tersebut secara kelembagaan eksekutif harus bersifat komprehensif di tingkat legislasi. RUU tentang Kepresidenan adalah strategis untuk diagendakan tidak saja bagi sistem presidensial yang efektif, tetapi juga bagi pembangunan politik secara demokratis dalam jangka panjang. Oleh karena itu, DPR melalui fungsi legislasinya diharapkan dapat memasukkan RUU tentang Kepresidenan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Pendahuluan hanya sekedar ‘ban serep’ dalam Meskipun Pemilu Presiden dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Wakil Presiden (Pilpres) baru akan ketentuan yang mengenai pencalonan berlangsung pada tahun 2019 nanti, Pilpres dalam UUD NRI Tahun 1945, tetapi isu politiknya sudah mulai khususnya Pasal 6 A ayat (2), yang hangat. Salah satu isu dimaksud adalah menyatakan: “pasangan calon Presiden mengenai posisi politik Wakil Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh (Wapres). Konteks isu ini tidak saja partai politik atau gabungan partai mengenai siapa figur yang mengisi politik peserta pemilihan umum calon-calonnya, koalisi partai yang sebelum pelaksanaan pemilihan dibangun dalam mengusung setiap umum.” Bandingkan misalnya, dengan calon secara berpasangan, atau sekedar saat kekuasaan Orde Baru era Soeharto, tingkat elektabilitas dari hasil survei, posisi Wapres cenderung menjadi PUSLIT BKD tetapi juga pemahaman posisinya subordinat Presiden. Sebelumnya, dalam sistem presidensial. di era Soekarno-Mohammad Hatta, Ketentuan konstitusi mengenai dikenal istilah “Dwi Tunggal” yang pencalonan Pilpres secara berpasangan menunjukkan “kesederajatan” antara telah menghilangkan posisi Wapres Presiden dan Wakil Presiden yang mengendalikan kepala pemerintahan. berbeda maka kecenderungan bagi Namun demikian “Kesederajatan” kebutuhan untuk saling menyesuaikan antara Presiden dan Wakil Presiden kebutuhan dan agenda politik jelas tidak terjadi lagi setelah Mohammad semakin kuat. Sejumlah isu politik Hatta mengundurkan diri dan masa strategis dalam masa pemerintahan era periodenya usai. reformasi sudah membuktikan kuatnya Berdasarkan hal tersebut diatas keperluan saling menyesuaikan maka tulisan ini hendak mengulas itu. Penyesuaian diperlukan untuk tentang posisi politik Wapres dalam mencegah kesan “matahari kembar” sistem presidensial terutama menjelang atau bahkan potensi perpecahan. Pilpres 2019. Keperluan penyesuaian politik ini diperkuat melalui model pencalonan Posisi Politik Wapres yang Kuat Pilpres yang dominan dilatarbelakangi dan Sistem Presidensial pertemuan calon presiden (capres) Kedudukan Wapres yang dinamis dengan para jajaran tokoh atau ketua 26 pada masa reformasi ditandai dengan umum partai. Bandingkan dengan kepentingan untuk menegaskan posisi calon Wapres Amerika Serikat hubungannya dengan Presiden agar yang menurut konstitusi AS lebih dapat mengantisipasi kondisi yang menempatkan pada “undistinguished darurat. Hal ini misalnya terjadi saat poltical figure”, karena pilihan figur Komisi C 1 MPR dalam Sidang Tahunan yang mengisi posisi tersebut benar- MPR tahun 2000 memperdebatkan perlu benar didasarkan oleh sang calon atau tidaknya dibuat Ketetapan (Tap) Presiden. Wapres benar-benar kontras mengenai pelimpahan tugas Presiden kewenangannya dibandingkan ke Wakil Presiden. Bahkan, situasi kewenangan yang sangat kuat dan berkembang sangat jauh saat itu, karena luas dari Presiden AS yang antara lain kemudian sempat lahir Keppres No. 121 menjadi Panglima Tertinggi angkatan Tahun 2000 tentang Penugasan Presiden bersenjata dan bahkan mengendalikan Kepada Wapres untuk melaksanakan para milisi di negara-negara bagian. Tugas Teknis Pemerintahan Sehari- Sistem presidensial adalah bentuk Hari. Situasi demikian semakin berubah pemerintahan yang menempatkan drastis saat diterapkan Pilpres langsung Presiden sebagai kepala eksekutif oleh rakyat pada tahun 2004, di mana yang menggunakan otoritas yang posisi politik Wapres semakin menguat diperoleh dari pemilihan langsung dibandingkan saat dipilih oleh MPR. dan memerintah secara mandiri dari Wapres memiliki posisi bargaining parlemen. Jose Antonio Cheibub (2007) yang kuat bagi Presiden ketika menilai bahwa sistem presidensial sebagai pasangan berhadapan dengan biasanya bersifat zero sum, winner take all kebutuhan meraih suara pemilih untuk affair, yang kondusif bagi pembentukan memenangkan Pilpres, meskipun dalam koalisi partai-partai pendukungnya. Pasal 4 UUD 1945 hanya disebutkan: Bahkan, sistem presidensial memiliki “Dalam melakukan kewajibannya nilai tertinggi dalam proses politik, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil karena kepresidenan dipegang oleh figur Presiden.” Hal ini dalam perjalanan tunggal presidennya. Ini berarti posisi menimbulkan potensi kohabitasi bagi Wapres lebih sekedar sebagai pembantu kerja sama Presiden dan Wapres yang Presiden, meskipun Wapres memiliki menjurus pada usaha penyesuaian satu kedudukan setingkat lebih tinggi sama lain. Dengan basis politik yang dibandingkan menteri-menteri kabinet. Salah satu keuntungan sistem di antaranya mengambil media presidensial yang sering disampaikan melalui acara tertentu atau sengaja adalah kurun waktu pemerintahan bertemu langsung dengan Presiden yang bersifat pasti (fix term). Sistem . Di samping itu, juga presidensial sesudah Amandemen penyebutan nama tokoh atau bahkan UUD1945 menjadi lebih murni dan ketua umum partai saat acara internal sulit dimakzulkan (impeachment). partai bersangkutan, sekaligus menjadi Firman Noer yang mengutip pendapat instrumen testing the water. Juan Linz (1990) menyatakan, fix term pemerintahan sistem presidensial Penjajakan Koalisi Partai dan berkontribusi bagi pembusukan Figur Calon Wapres politik dan ancaman demokrasi. Ini Keperluan melakukan langkah- menghasilkan personalisasi kekuasaan langkah penjajakan awal menentukan yang juga berpotensi menjadi kaku kriteria figur calon Wapres menjadi 27 secara substansi dan tidak sejalan penting di tengah sistem presidensial di dengan perubahan zaman. Indonesia yang masih tergolong awal Keberadaan fix term pemerintahan setelah diterapkan sistem Pilpres secara ditegaskan dalam pembatasan langsung oleh rakyat. Ini menjadi wajar, masa jabatan selama dua periode karena sejarah politik kesepakatan dalam konstitusi. Pasal 7 UUD 1945 fraksi-fraksi di MPR tentang sistem menyatakan: “Presiden dan Wakil Pilpres langsung oleh rakyat tidaklah Presiden memegang jabatan selama lima mudah. Kesepakatan itu melalui proses tahun, dan sesudahnya dapat dipilih pembahasan yang panjang antara tahun kembali dalam jabatan, hanya untuk 1999 sampai 2002. Gagasannya mulai satu kali masa jabatan.” Di samping itu, digulirkan di Panitia Ad Hoc (PAH) III dalam Undang Undang No. 7 Tahun Sidang Umum (SU) MPR Tahun 1999. 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Ini bergulir terus sampai akhirnya Pemilu), yaitu Pasal 169 huruf (n) juga pada Sidang Tahunan (ST) MPR Tahun disebutkan ketentuan persyaratan 2001 menyepakati pemilihan Presiden menjadi capres dan cawapres adalah: langsung putaran pertama dan baru “Belum pernah menjabat sebagai pada ST MPR Tahun 2002 disepakati presiden atau wakil presiden selama 2 Pilpres yang memungkinkan sistem dua (dua) kali masa jabatan dalam jabatan putaran. yang sama.” Langkah awal dalam menjajaki Kriteria masa jabatan ini penting pasangan calon Pilpres secara dicermati, mengingat tokoh-tokoh informal menjadi penting manakala yang ditampilkan untuk kemungkinan kelembagaan partai yang memiliki dalam mengisi poisisi Wapres ada yang kewenangan absah pencalonan Pilpres sudah pernah memegang dua kali masa justru belum kuat. Luky Sandra Amalia, jabatan, meskipun tidak berturut-turut, et al (2016) mencatat bahwa partai sebagaimana halnya dialami oleh Jusuf politik belum memiliki pola pencalonan Kalla. Terlepas dari personal tokoh yang yang melembaga. Konsekuensi pola pernah menjabat itu, hal yang menarik pencalonan ini menyebabkan rakyat pada saat menjelang pemilu 2019 memiliki pasangan calon Pilpres yang dan didahului oleh pilkada serentak sangat terbatas dan elitis. Di samping 2018 ini adalah beberapa figur mulai itu, fenomena munculnya konflik ditampilkan oleh partai atau kalangan internal masih mewarnai di hampir media di tengah publik. Beberapa setiap proses pencalonan meskipun dalam kadar yang berbeda-beda. Pilpres wapres bagi efek elektoral partai secara langsung membuat figur menjadi sangat tinggi maknanya, karena jauh lebih menentukan daripada Pilpres dan Pileg 2019 dilaksanakan keberadaan partai pengusung. Faktor bersamaan. Makna yang lebih tinggi survei yang banyak dilakukan oleh tadi dibandingkan saat figur capres dan lembaga survei menjadi penting untuk calon Wapres dinominasikan gabungan disimak, termasuk untuk menentukan partai pada Pemilu 2004, 2009 dan 2014, pasangan calon pendamping, yaitu dengan kurun waktu berbeda bagi Pileg posisi Wapres. di awal dan Pilpres yang mengikutinya. Pertemuan antartokoh memiliki Pertimbangan pengaruh simbol politik penting dalam kerangka elektoralnya bagi partai menyebabkan menjalin komunikasi di tengah pola sikap partai yang harus pro-aktif dalam pembentukan koalisi antarpartai menampilkan tokohnya menemui yang masih cair atau bahkan sangat Presiden petahana dan capres non- pragmatis. Presiden Jokowi menilai petahana. Landasan ketokohan pilpres, 28 penjaringan nama-nama bakal calon termasuk figur calon Wapres yang Wapres belum selesai dan memerlukan ditampilkan nantinya tetap berawal dari waktu dan proses panjang. Hingga hasil survei. Pada titik ini, kebetulan pertengahan Maret 2018 tercatat ada bahwa petahana yang masih unggul 28 s.d. 30 nama calon Wapres yang dalam hasil survei yang dilakukan dan sudah diinventarisasi oleh kalangan perkiraan peluang besar bagi masih istana. Demikian halnya di kubu kembali berulangnya pertarungan head partai-partai “oposisi” Prabowo, to head, Joko Widodo dan Prabowo langkah penyebutan 15 nama bakal Subianto. Meskipun poros alternatif di calon Wapres menjadi penting dalam luar skenario persaingan Pilpres head konteks keputusan siapa nantinya to head dimaksud coba ditampilkan yang akan diputuskan oleh koalisi kemungkinannya, atau disebut poros partai pendukungnya. Ini tetap penting politik ketiga, tetapi perjuangan masih dicatat, meskipun perdebatan tentang harus menghadapi tantangan besar kepastian pencalonan Prabowo sempat untuk benar-benar diwujudkan. menjadi isu tersendiri. Pertimbangan komposisi Jawa- Di luar dua kubu ini juga muncul luar Jawa dan bahkan latar belakang beberapa nama, antara lain mantan unsur sipil-militer bagi Wapres masih Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, menjadi pertimbangan dalam pilpres. dengan tim Relawan Selendang Hal ini berkaitan pula dengan jauh atau Putihnya. Bahkan, kolaborasi nama ketatnya persaingan antara kandidat Gatot Nurmantyo dengan Partai capres. Semakin tinggi di atas persentase Gerindra menjadi spekulasi tersendiri elektabilitas petahana yaitu di atas 60 di tengah kepastian nama Prabowo persen, maka pertimbangan kombinasi sebagai capres Gerindra. Kedua kubu atas unsur Jawa-luar Jawa, atau bahkan masih saling menunggu terkait siapa nasionalis sekuler-nasionalis religius nama Wapres yang dinominasikan dapat diabaikan. Demikian pula resmi sebagai pasangan dari calon sebaliknya, saat persentase elektabilitas presidennya, karena ditempatkan petahana di bawah 60 persen, maka bagaimana pengaruhnya terhadap pertimbangan memilih cawapres dengan elektoral partai (coattail effect) dan latar belakang sipil-milter dan Jawa- bagi soliditas bangunan koalisi partai luar Jawa menjadi signifikan untuk pendukungnya. Pertimbangan calon diakomodasi. Manuver dini saat ini telah “Jalan Garut” juga bertugas menjajagi memunculkan kritik terhadap netralitas kemungkinan terbentuknya poros Aparatur Sipil Negara (ASN). UU No. ketiga. Alasannya, Presiden tidak ingin 5 Tahun 2004 tentang ASN dan UU No. kembali terjadinya pembelahan di 39 Tahun 2008 tentang Kementerian antara pendukung capres sebagaimana Negara tampaknya tidak memadai pengalaman Pemilu 2014. dalam mengatur larangan bagi internal Tidak saja di lingkaran non- kabinet agar tidak aktif sebagai partisan presidensial partai, penggalangan politik terutama secara subyektif nominasi calon Wapres bisa dipengaruhi mendukung petahana di Kepresidenan. oleh internal partai yang memiliki tim Apalagi ini juga diwarnai oleh langkah khusus untuk menyukseskan pencalonan tersendiri Menko Kemaritiman, Pilpres Jokowi. Di Partai misalnya, Luhut Binsar Panjaitan, yang bertemu ada organisasi relawan yang disebut dengan Ketua Umum DPP Partai Gojo, kependekan dari Golkar Jokowi Gerindra, Prabowo Subianto, dengan di bawah koordinator nasionalnya 29 alasan perkenalannya secara pribadi Rizal Mallarangeng. Atau juga di partai dan kedinasan saat masih aktif di lainnya, misalnya PPP, ada tim kecil militer sejak lama, terkait kepastian yang memiliki tugas khusus membantu pencalonan Prabowo dalam Pilpres pemenangan Jokowi. Terlepas masing- 2019. Di samping netralitas ASN, ada masing pola yang dipilih, baik pola juga kekhawatiran akan mengganggu partai secara langsung atau melalui tim tugas-tugas pemerintahan, pada saat internal yang dibentuknya, hal ini jelas ada lingkaran internal kabinet yang berpengaruh pada kriteria dan figur justru dianggap menjadi tim sukses calon Wapres yang dianggap tepat dalam petahana. mendampingi sebagai pasangan di saat Di samping tim internal Pilpres 2019 nanti. Mensesneg Pratikno, pematangan proses nominasi politik pilpres Jokowi juga Penutup dilakukan melalui tim eksternal. Tim Kedudukan Wapres dalam sistem internal maupun eksternal semacam presidensial di Indonesia memiliki ini tampaknya mulai menandai dinamika politik tersendiri terhadap transformasi pola presidensial partai. jalannya pemerintahan. Apalagi jika Pada masa sebelumnya ketua umum mengacu pada fenomena manuver otomatis selalu dicalonkan oleh partai partai dan bahkan lingkaran sekitar sebagai capres, namun kini menuju presiden yang tinggi guna mencari pola non- presidensial partai. Naiknya figur Wapres menjelang Pilpres 2019 nama Jokowi pada saat Pilpres 2014 nanti. Oleh karena itu, penting bagi dengan relawan di belakangnya dan DPR melalui fungsi legislasi untuk tampaknya akan mengulang sejarah memasukkan RUU Kepresidenan menjelang pemilu 2019, menegaskan sebagai prioritas Program Legilasi kecenderungan transformasi itu. Nasional (Prolegnas). Agenda prioritas Adapun tim eksternal Jokowi, misalnya RUU Kepresidenan dalam Prolegnas yang dikenal dengan istilah “Tim Jalan menjadi strategis bagi penempatan Garut”, juga bersifat informal. Tim secara tepat keunggulan fix term masa ini dipimpin oleh mantan Sekretaris jabatan Presiden-Wapres dalam sistem Kabinet, Andi Wijayanto. Tim ini antara presidensial yang demokratis dan tidak lain bertugas mencari calon Wapres terjebak pada sekedar subjek figur untuk Jokowi. Di samping itu, Tim politik yang ditampilkan. Referensi “Saat Mereka Diajak Jokowi”, Kompas, Antonio Cheibub, Jose. (2007). 20 Maret 2018, hal. 4. Presidentalism, Parliamentarism, and Sandra Amalia, Luky et al .(2017). Democracy. New York: Cambridge Evaluasi Pemilihan Presiden Langsung University Press. di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka “Berlanjut Pertemuan Jokowi dengan Pelajar. Politisi”, Kompas, 25 Maret 2018, Subekti, Valina Singka. (2008). Menyusun hal. 1 Konstitusi Transisi: Pergulatan Davis, James W. (1987). The American Kepentingan dan Pemikiran dalam Presidency: A New Perspective. New Proses Perubahan UUD 1945. Jakarta: York: Harper & Row Publisher. Rajawali Press. Fernandes, Arya, “Siapa Cawapres “Tim Pemburu di Jalan Garut” dan Jokowi”, Suara Pembaruan, 22 Maret Partai Pembonceng Jokowi”, Tempo 2018, hal. 16. No. 33, 25 Maret 2018, hal. 28-33. “Mensesneg Diminta Tak Libatkan Undang Undang Dasar Negara 30 ASN dalam Pembahasan Cawapres Republik Indonesia Tahun 1945. Jokowi”, https://kompas.com, Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 diakses 20 Maret 2018. tentang Pemilihan Umum. Nurhasim, Moch dan Nusa Bhakti, Ikrar (ed). (2009). Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal. Yogyakarta: kerjasama Pustaka Pelajar dan AIPI.

Prayudi. [email protected]

Drs. Prayudi, M.Si., menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta pada tahun 1989 dan pendidikan S2 Ilmu Politik Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia pada tahun 2004. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Bidang Politik Pemerintahan Indonesia pada Pusat Penelitian-Badan Keahlian DPR RI. Beberapa karya tulis ilmiah yang telah dipublikasikan melalui jurnal dan buku antara lain: “Posisi Birokrasi Dalam Persaingan Politik Pemilukada” (2013), “Media Penyiaran, Dinamika Pemerintahan Daerah dan Politik Kekuasaan” (2014), dan “Politik Binwas Provinsi terhadap Kabupaten/Kota (Kasus Bangka Belitung dan Sulawesi Selatan” (2015).

Info Singkat © 2009, Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang http://puslit.dpr.go.id mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh ISSN 2088-2351 isi tulisan ini tanpa izin penerbit.