UNDANG-UNDANG TANAH PUSAKA DI :

SEJARAH ASAL USUL DAN PERKEMBANGANNYA

SKRIPSI

AIZAT HASBULLAH BIN AMINUDDIN

SHK 101170040

PEMBIMBING :

H.HERMANTO HARUN,Lc.,M.HI.,Ph.D

DRS. H. AMHAR RASYID, L.Sc.,MA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

2019

ii

iii

iv

MOTTO

من أحيا ارضا ميتة فهي هل

Artinya : Barangsiapa yang membuka lahan (menyuburkan) tanah yang gersang, maka tanah tersebut menjadi miliknya‛ (HR. Abu Dawud, an-Nasa‟i dan at-Tirmidzi).

v

ABSTRAK Skripsi ini berjudul Undang-Undang Tanah Pusaka Di Negeri Sembilan : Sejarah Asal Usul dan Perkembangannya. Skripsi ini adalah untuk mengungkap persoalan tentang bagaimana orang minang migrasi atau berpindah ke Tanah Melayu, kesan migrasi mereka terhadap budaya setempat di Negeri Sembilan, seterusnya apakah perbedaan yang muncul kesan dari penghijrahan Orang Minang terhadap tanah pusaka di Negeri Sembilan. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualiltatif dengan menggunakan metode diskriptif. Instrumen pengumpulan data adalah melalui studi dokumentasi atau studi literatur. Jenis penelitian yang digunakan dalam kajian ini yaitu library research (kajian pustaka) supaya penulis dapat meneliti dan membahas kajian ini secara rinci dan membahas permasalahan ini dengan lebih mendalam. Dengan menggunakan data primer yaitu daripada kitab-kitab undang seperti Perlembagaan Persekutuan, Kanun Tanah Negara 1965, Undang-Undang Republik Nomor 5 Tahun 1960, Undang-Undang Dasar Dasar Negara Republik, , manakala data sekunder yang merupakan data pelengkap atau pendukung yang diperoleh melalui buku-buku, jurnal dan juga artikel-artikel. Dalam penelitian yang dijalankan maka mendapati bahwa penghijrahan masyarakat ke Negeri Sembilan telah berlaku seawal abad ke-12 dimana perpindahan mereka ini telah menyebabkan budaya dan minangkabau mulai masuk dan dipraktekkan dalam oleh penduduk asal yang terdiri dari Melayu-proto. Hal ini turut menyebabkan tanah-tanah mulai menerima aturan adat sehingga tahap diiktiraf dalam perundang-undangan kerajaan Malaysia begitu juga di Republik Indonesia. Namun begitu bagi kedua Negara ini, dilihat terdapat perbedaan antara aturan perundang-undangan terkait tanah adat termasuklah pelaksanaannya sehingga perkara ini berdampak terhadap perkara yang berkemungkinan menghilangakan matlamat utama tanah adat.

vi

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan skripsi ini Untuk orang-orang yang ku cintai Ibunda Dan Ayahanda Tercinta Ayahanda Aminuddin Bin Tajuddin dan Ibunda Noredah Binti Sulaiman yang telah mendidik dan mengasuh ananda dari kecil hingga dewasa dengan penuh kasih sayang, agar kelak ananda menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi Agama, Nusa dan Bangsa, dan dapat meraih cita-cita. Kekanda Di Sayangi Untuk kakanda ( Fadhullah bin Aminuddin serta Ali Ahmad bin Aminuddin) yang banyak memberi motivasi, kakak-kakak dan Adik-adik (Siti Khadijah, Siti Nur Yasmin, Siti Aina Wahidah, Aiman Haziq, Siti Aida Farhana, Siti Ainur Zulaikha), yang memberi sokongan serta terima kasih di atas segala perhatian dan dorongan yang diberikan, semoga segala sesuatu yang terjadi di antara kita merupakan rahmat dan anugerah dari-Nya, serta menjadi sesuatu yang indah buat selama-lamanya. Dosen Pebimbing Tidak lupa kepada kedua-dua pembimbing saya yaitu Bapak H. Hermanto Harun,Lc.,M.HI.,Ph.d Serta Drs. H. Amhar Rasyid, L.Sc.,MA karena banyak ilmu yang dicurahkan dan banyak memberi tunjuk ajar kepada saya arti daya dan upaya untuk menghadapi cabaran hidup. Murabbi dan Ustaz Tidak lupa saya ucapkan jutaan terima kasih kepada Murabbi yang mendidik rohani saya iaitu Dato‟ Sheikh Muhammad Fuad bin Kamaluddin, KH Muhammad Daud Al Hafiz, KH Muhammad Ismail Al Banjari, KH Zainul Arifin,

vii

KH Muhammad Yusuf Al Banjari dan para asatizah lain diatas segala doa dan harapan. Teman-Teman Seperjuangan Serta tak lupa pula terima kasih juga untuk insan yang tercinta yaitu sahabat sejatiku Zaid Ikram, Zhafir Aiman, Shalihin, Zulammar, Syaqirin, Afrizal, Nor Adli, Fahmi, Yusuf, Mirza, serta teman-temanku lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia di Indonesia Cabang Jambi, serta teman- teman dari Indonesia maupun teman-teman yang berada di Malaysia, yang setia telah memberikan semangat dan dorongan di kala suka maupun duka, semoga persahabatan kita tetap terjalin dengan baik dan semoga ini semua menjadi kenangan yang terindah dalam hidupku. Terima kasih atas segalanya.

viii

ix

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………..i

PERNYATAAN KEASLIAN…………………………………...……………….ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING………………..…………………………….iii

SURAT PERNYATAAN...... iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN……………………………………….….…v

MOTTO…………………………………………………………………………vi

ABSTRAK………………………………………………………………………vii

PERSEMBAHAN...... vii

KATA PENGANTAR...... x

DAFTAR ISI...... xii

DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………….…xiii

DAFTAR TABEL...... xiv

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……………………………………...... …....1

B. Rumusan Masalah……………………………...... ……4

C. Batasan Masalah………………………………………………...... 4

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……………………………………….....4

xi

E. Kerangka Teori…………………………………………………...... 5

F. Tinjauan Pustaka……………………………………………...... 11

G. Metodologi Penelitian………………………………………………....…14

H. Sistematika Penulisan……………………………………………….....…17

BAB II: ORANG MINANG KE TANAH MELAYU

A. Sejarah Penghijrahan Orang Minangkabau...... 19

B. Kewujudan Negeri Sembilan di Semenanjung Tanah Melayu ……...... 21

BAB III: TANAH ADAT DI NEGERI SEMBILAN, MALAYSIA

A. Aspek Hukum Tanah Adat Yang Berkembang Di Negeri Sembilan...... 27

B. Sistem Pentadbiran Di Negeri Sembilan...... 29

C. Pemimpin Dalam ...... 30

D. Sistem Torrens dan Tanah Adat...... 32

E. Kedudukan Tanah Adat Dalam Perundang-Undangan Di Malaysia...... 34

F. Enakmen (Negeri) Terkait Tanah Adat Di Negeri Sembilan...... 37

BAB IV: UNDANG-UNDANG TANAH ADAT DI NEGERI SEMBILAN

DAN MINANGKABAU

A. Tanah Adat Di Minangkabau Dalam Perundang-Undang...... 41

B. Perbedaan Undang-Undang Tanah Adat Di Negeri Sembilan Dan

Minangkabau ……………………...... 44

xii

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan……………...... ………...... …………....…53

B. Saran-saran…………………………………...... …………….55

C. Kata Penutup…………………………………...... …..……56

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

CURRICULUM VITAE

xiii

DAFTAR SINGKATAN

UIN STS : Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin.

EPA : Enakmen Pemegangan Adat

NRI : Negara Republik Indonesia

UUD : Undang-Undang Dasar

KTN : Kanun Tanah Negara

NMB : Negeri Melayu Bersekutu.

ERM : Enakmen Rizab Melayu.

UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria

No. : Nomor. cet. : Cetakan.

Hlm. : Halaman.

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Suku Dan Ketua Suku Di Negeri Sembilan …………………. 36

Tabel 2 : Perubahan Sistem Perundangan Tanah ……………………….. 43

Tabel 3 : Perbedaan Sistem Pemerintahan Desa Dan Nagari……...... 44

xv

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perpindahan masyarakat Minangkabau ke Semenanjung Tanah Melayu pada peringkat awalnya dipengaruhi oleh beberapa faktor utama. Antara faktor tersebut adalah kejayaan Kerajaan Melaka pada awal abad ke -16 sehingga mendorong mereka datang berdagang sehingga sebagian dari mereka membuka perkampungan (penempatan) di Naning, Melaka dan Negeri Sembilan.1 Apabila menyebut soal pewarisan tanah pusaka, maka secara umumnya kebudayaan

Minangkabau adalah bersifat keibuan (matrilineal), di mana harta dan tanah diwariskan oleh seorang ibu kepada anak perempuan. Sementara bagi laki-laki diserahkan serta dipertanggungjawabkan atas urusan agama dan politik walaupun tidak ada penafian peran wanita dalam hal tersebut.

Mengikut catatan sejarah, Hukum Adat Minangkabau atau dikenali sebagai Adat Perpatih di Malaysia telah dikanunkan dalam bentuk Undang-

Undang Bertulis sejak awal kurun ke 20 lagi.2 Hal ini dibuktikan dengan pengenalan Enakmen Pemegangan Adat 1909. Makanya kita melihat setakat hari ini, terdapat 3 Enakmen yang mengatur Undang-Undang Pentadbiran Tanah Adat di Negeri Sembilan, Malaysia. Kewujudan enakmen ini tidak lain tidak adalah

1Mestika Zed, Hubungan Minangkabau Dengan Negeri Sembilan, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang ( Indonesia : 2010), hlm. 6. 2 Rabiah Muhammad Serji, Sistem Torrens Dalam Undang-Undang Tanah Di Malaysia : Sistem Yang Tidak Ekslusif, Fakulti Syariah Dan Undang-Undang, Kolej Universiti Islam Selangor ( Malaysia),hlm.257.

1

2

kesan dari penerapan budaya Minangkabau yang masuk ke dalam Negeri

Sembilan. Tiga enakmen tersebut adalah Enakmen Pemegangan Adat 215,

Enakmen Pemegangan Adat ( Tanah ) tahun 1960 dan yang terakhir Enakmen

Undang-Undang Rembau ( Tanah ) 1949. Jadi jelas di sini bahwa kemasukan masyarakat Minangkabau di Tanah Melayu (Malaysia) telah menyebabkan wujudnya undang-undang tanah pusaka yang mengekalkan kedudukan dan keistimewaan adat.

Adat Minang juga telah mendapat kedudukannya yang istimewa apabila

Sumatra Barat, Indonesia yang merupakan daerah asli kepada Adat Minangkabau secara konstitusional diakui dan dihormati keberadaannya dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Pasal

18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormatikesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak i tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

Undang-Undang3. Kemudian, Pasal 28I ayat (3) juga menyebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.4

3 A. Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat : Dahulu, Kini Dan Akan Datang, PT Kharisma Putra Utara,2014, hlm.76. 4Kurnia Warman , Hengki Andora, Pola Hubungan Hukum Dalam Pemanfaatan Tanah Ulayat Di Sumatera Barat, Bagian Hukum Agraria dan Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang Kampus Limau Manis, Padang, Sumatera Barat (Indonesia). hlm.367

3

Maka kita melihat bahwa di kedua daerah di atas mempunyai aturan hukum yang telah diiktiraf kedudukannya dalam undang- undang negara tersebut. Meskipun aturan hukum di kedua daerah tersebut mempunyai banyak persamaan, namun begitu kita juga mendapati bahwa terdapat perbedaan antara keduanya khususnya tentang tanah adat di Negeri Sembilan atau disebut sebagai tanah Ulayat di Minangkabau .Maka timbul suatu pertanyaan adakah perbedaan ini suatu yang memberi dampak positif atau negatif kepada keseluruhan aturan hukum bagi tanah adat di Negeri Sembilan? Suatu realitas yang berlaku pada hari kita melihat bahwa keberadaan institut adat mula makin pudar dan menghilang. Maka menjadi persoalan, apakah ia disebabkan perbedaan tersebut atau sama ada undang-undang pemerintah di Negeri Sembilan tentang tanah adat tidak lagi mampu menjamin eksistensi aturan tanah adat dalam menjamin manfaat untuk generasi akan datang.

Hal ini demikian karena terdapat berbagai permasalahan yang timbul walaupun sudah ada diatur undang-undang khusus tentang tanah adat. Antara kasus yang terjadi adalah apabila penama tanah yang secara adatnya diberi amanah sebagai penjaga sesebuah tanah mula menyalahguna kuasanya apabila sanggup menjual tanah tersebut sehingga tidak dapat dimanfaatkan suku. Hal ini belum termasuk masyarakat yang mula meninggalkan sistem adat ini karena salah faham dan tanggapan mereka bahawa sistem ini bercanggah dengan hukum syara‟ sehinggakan sekarang kita mendapati di daerah Negeri Sembilan banyak tanah adat yang dilantarkan dan ditinggalkan tanpa dimanfaatkan seakan kita melihat bahwa undang-undang tersebut sudah tidak relevan.

4

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana masuknya hukum tanah adat Minangkabau di Negeri

Sembilan?

2. Apa bentuk hukum adat Minangkabau tentang tanah yang berkembang di

Negeri Sembilan ?

3. Dimana letak perbedaan Undang-Undang Tanah Adat di Negeri Sembilan

dan Minangkabau ?

C. Batasan Masalah

Untuk memudahkan pembahasan serta tidak menyalahi sistematik penulisan karya ilmiah sehingga membawa hasil yang diharapkan, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, sehingga tidak terkeluar topik perbahasan yaitu Status Tanah Adat Dalam Adat Minangkabau dan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Tanah Pusaka di Negeri Sembilan,

Malaysia

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan pokok permasalahan yang menjadi pokok pembahasan, maka tujuan dan penelitian karya ilmiah ini adalah: a) Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hukum tanah adat Minangkabau di Negeri Sembilan.

2. Untuk mengetahui bentuk hukum adat Minangkabau tentang tanah

yang berkembang di Negeri Sembilan.

5

3. Untuk mengetahui perbedaan Undang-Undang Tanah Adat di Negeri

Sembilan dan Minangkabau. b) Kegunaan Penelitian

1. Dari sisi akademis, hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu terhadap adat Minangkabau dalam bab

pewarisan tanah pusaka dan pengaruhnya terhadap undang-undang tanah

pusaka di Negeri Sembilan, Malaysia.

2. Sebagai bahan bacaan dan rujukan bagi mahasiswa, penelitian dan

masyarakat seluruhnya melalui pembuatan dan penyusunan karya ilmiah

sacara baik.

3. Sebagai syarat untuk menyelesaikan program studi strata satu (S1) pada

Jurusan Hukum Keluarga, UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.

E. Kerangka Teori

Kerangka teori sebagai pedoman bagi penulis dalam melakukan penelitian guna untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam judul proposal dan menghindari penafsiran yang berbeda sehingga penulisan ini terarah dan lebih baik maka skripsi ini sangat perlu untuk diperhatikan pengertian beberapa konsep dibawah ini:

6

1. Tanah Adat

Hukum tanah adat menurut B.F.Sihombing adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis, kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis. Tanah adat terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu :5

1) Hukum tanah adat masa lampau.Hukum tanah adat masa 12

2) Hukum tanah adat masa kini Hukum tanah adat masa kini ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun1945 sampai sekarang, dengan bukti autentik berupa girik, petuk pajak, pipil, hak agrarische eigendom, milik yasan, hak atas druwe, atau hak atas druwe desa, pesini, grant

Hukum tanah adat masa kini memiliki ciri-ciri, yaitu:“Tanah-tanah yang dimiliki seseorang atau kelompok masyarakat adat dan masyarakat di daerah pedesaan maupun di kawasan perkotaan, sesuai dengan daerah, suku dan budaya hukumnya kemudian secara turun-temurun telah berpindah tangan kepada orang lain, dan mempunyai bukti-bukti kepemilikan serta secara fisik dimilki atau dikuasai sendiri dan atau dikuasai orang/badan hukum. Secara ringkas ciriciri tanah hukum adat masa kini ialah : a. Ada masyarakat, badan hukum pemerintah /swasta; b. Masyarakat di daerah pedesaan atau perkotaan;

5 Victor Emanuel Perlindungan Hukum Atas Tanah Adat Dalam Kaitan DenganPemberian Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang.hlm.6.

7

c. Turun-temurun atau telah berpindah tangan atau dialihkan; d. Mempunyai bukti pemilikan berupa girik,verponding Indonesia, petuk, ketitir, sertifikat, fatwa waris, penetapan pengadilan, hibah, akta peralihan,surat di bawah tangan, dan lain-lain; e. Menguasai secara fisik, berupa masjid, kuil, gereja, candi, danau, patung, makam, sawah, ladang, hutan, rumah adat, gedung, sungai, gunung, dan lain-lain.

3. Negeri Sembilan Dan Adat Perpatih

Permulaan bagi sistem federalisme atau pemerintahan berundang dan berlembaga di Negeri Sembilan bermula selepas kemasukan masyarakat

Minangkabau. Akan tetapi sebelum kemasukan masyarakat Minangkabau ini, pada zaman kesultanan Melayu Melaka (1400-1511) telah bertapaknya segolongan kecil kelas pemerintahan yang bergantung kepada kerajaan Melaka.

Golongan pemerintah ini hanyalah sebagai para penghulu tempatan seperti di daerah Naning. Salah seorang pembesar Melaka seperti Tun Ali dilantik oleh kesultanan Melayu Melaka untuk mentadbir Sungai Ujong dengan mengikut adat tradisi Kesultanan Melayu Melaka.6

Sebelum daerah-daerah di Negeri Sembilan di satukan, pemerintahan kawasan di setiap daerah tersebut telah ditadbir oleh pemerintahan Sultan Melaka.

Maka pada tahun 1511 Melaka ditawan oleh Portugis dan Negeri Sembilan diperintah pula oleh Sultan Johor. Pemerintahan di setiap daerah di Negeri

6 Wan Kamal Mujani Sistem Federalisme Dalam Adat Perpatih Di Negeri Sembilan Department Of Arabic Studies And Islamic Civilization, Faculty Of Islamic Studies, Universiti Kebangsaan Malaysia, 43600 Ukm Bangi, Selangor, Malaysia.hlm.3

8

Sembilan ditadbir oleh seorang ketua yang dipanggil Penghulu Luak yang kemudiannya ditukar kepada Undang. Setiap Undang Luak mempunyai kuasa pemerintahan sendiri yang dibantu oleh Datuk-datuk Lembaga, Buapak (Ketua

Perut yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan perselisihan faham dalam

Perut dibawah jagaannya) (Kamus Dewan 2007: 209) dan Waris yang telah ditetapkan di dalam sistem Adat Perpatih. Para Undang di setiap Luak ini telah diberi kuasa dan cop mohor oleh Sultan Johor

Pada tahun 1760, kesultanan Johor menghadapi peperangan dengan pihak

Belanda yang mengakibatkan kedudukan Sultan Johor tergugat. Selain itu juga serangan dari pihak Acheh dan Bugis merumitkan lagi keadaan pada ketika itu.

Bugis telah mengambil kesempatan untuk mencampuri isu politik dengan kesultanan Johor yang ditimbulkan oleh wakil Bugis iaitu Daeng Kemboja. Beliau memaksa masyarakat Negeri Sembilan supaya tunduk dan patuh kepadanya. Akan tetapi masyarakat Negeri Sembilan menolak paksaan tersebut. Kelemahan kesultanan Johor telah menjadikan kawalan di Negeri Sembilan semakin longgar dan Sultan Johor telah mengarahkan masyarakat Negeri Sembilan suapaya mencari seorang raja yang berasal dari Minangkabau untuk memulihkan kembali kondisi di Negeri Sembilan

2. Harta Pusaka Tinggi

Harta Pusako Tinggi (Harto Pusako Tinggi) ialah hak milik bersama daripada suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu, dan harta ini berada di bawah

9

pengelolahan mamak kepala waris (lelaki tertua dalam kaum). Antara harta yang dikategorikan sebagai pusako tinggi adalah Tanah Ulayat yang umumnya dibagi kepada tiga bagian yaitu Tanah Perbukitan, Tanah Padang Pengembalaan dan

Tanah Hutan Tinggi.7Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak kepada kemenakan dalam istilah adat disebut juga dengan “pusako basalin”. Bagi harta pusaka tinggi berlaku ketentuan adat sebagai berikut :Tajua indak dimakan bali (Terjual tidak bisa dibeli) dan Tasando indak dimakan gadai

(Agunan tidak dapat digadai). Hal tersebut berarti bahwa harta pusaka tinggi tidak boleh dijual. Sebagai pusako tinggi, dalam hal warisan memerlukan persetujuan penghulu kaum untuk mengubah statusnya, umpamanya untuk menggadaikannya.

Persetujuan penghulu dan seluruh ahli waris sangat diperlukan sebelum warisan tersebut digadaikan. Petitih dalam masyarakat Minangkabau mengatakan tentang harta warisan itu adalah warih dijawek pusako ditolong (warisan dijawat pusaka ditolong). Yang artinya sebagai warisan, ia diturunkan kepada yang berhak dan yang berhak menjawatnya (menyambutnya), tetapi sebagai pusaka (yakni sebagai warisan yang telah terima), maka ditolong atau pelihara, karena ia merupakan suatu lembaga milik bersama untuk turun temurun. Dalam hal ini mengenai warisan harta pusaka sudah terang bahwa ahli warisnya ialah anggota- anggota keluarga dilihat dari garis ibu. Jika seorang ibu meninggal maka ahli warisnya adalah pertama-tama anaknya kemudian cucunya serta akhirnya

7Edison, Nasrun, Tambo Minangkabau : Budaya Dan Hukum Adat Di Minangkabau , Kristal Multimedia ( Indonesia :2010).hlm 271.

10

keturunan dari mereka ini. Mereka ini disebut warih nan dakek (ahli waris yang dekat).8

Tanah adat di daerah-daerah yang dinyatakan di atas. Seksyen 2 EPA Bab

215 mentakrifkan „customary land‟ sebagai tanah yang telah didaftarkan dalam

Daftar Mukim yang telah diendorskan di bawah enakmen yang sama atau di bawah seksyen 2 EPTA 1909. Amnya, enakmen ini adalah berlandaskan sumber aturan Adat Perpatih. Ini termasuk peraturan yang mengatur pembahagian dan perwarisan harta. Antara elemen penting yang menjadi prinsip Adat Perpatih yang turut diperuntukkan oleh enakmen ini adalah pemilikan dan pewarisan tanah hanyalah kepada anggota perempuan daripada suku yang sama.

3. Tanah Rezab Melayu

Secara pentadbirannya, tanah adat di negeri Sembilan adalah dikategorikan sebagai Tanah Rezab Melayu. Di Malaysia, peruntukan undang-undang menetapkan beberapa bahagian dan kawasan tanah di setiap negeri sebagai Tanah

Rezab Melayu yang dilarang dipindah milik kepada golongan bukan Melayu.

Tanah pusaka adat di Negeri Sembilan adalah termasuk didalam kategori Tanah

Rezab Melayu. Namun tidak semua tanah rezab di semua negeri merupakan tanah adat seperti mana yang wujud di beberapa daerah di Negeri Sembilan.9

8Sengketa Gadai Tanah Pusaka Tinggi Di Kelurahan Binuangkampung Dalam, Kecamatan Pauh,Kota Padang Berdasarkan Putusan Nomor: 56/Pdt.G/2015/Pn.Pdg Pengadilan Negeri Klas Ia Padang hlm 4. 9 Makiah Tussaripah Hj Jamil dan Jamaliah Mohd Taib Kajian Adat Perpatih Di Negeri Sembilan: Satu Tinjauan Menurut Perspektif Islam Universiti Teknologi Mara (Uitm) Cawangan Kampus Kuala Pilah,hlm. 5.

11

4. Enakmen Pemegangan Adat (Tanah Lengkongan) Tahun 1960

Enakmen ini digunakan untuk mentadbir tanah-tanah yang dikenali Tanah

Adat Lengkungan di daerah Kuala Pilah sahaja, atau dari segi pentadbiran adat ia meliputi Luak Ulu Muar, Luak Gunung Pasir dan sebahagian daripada Luak

Jempol.

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah uraian hasil-hasil penelitian terdahulu (penelitian- penelitian lain) yang terkait dengan penelitian ini pada aspek fokus/tema yang diteliti.

Dalam kajian pustaka ini, peneliti akan memaparkan tentang beberapa penelitian mengenai ketetapan status tanah adat dalam adat Minangkabau seterusnya pengaruhnya terhadap undang-undang tanah pusaka di Negeri

Sembilan, Malaysia . Diantaranya ialah sebagai berikut:

Izawati Wook, Nawal Sholehuddin,et.al, dalam penulisan yang berjudul

Tanah Adat Di Negeri Sembilan : Undang-Undang, Pelaksanaan dan Realitas menyebut bahwa, Undang-Undang Pentadbiran Tanah Adat di Negeri Sembilan pada masa kini diatur oleh 3 enakmen.Pertama, Enakmen Pemegangan Adat Bab

215 digunakan untuk mentadbir tanah-tanah adat di daerah Kuala Pilah, Jempol,

Jelebu, Rembau, Tampin dan daerah Kecil Gemas. Kedua, Enakmen Pemegangan

Adat (Tanah Lengkongan) Tahun 1960. Enakmen ini digunakan untuk mentadbir tanah-tanah yang dikenali Tanah Adat Lengkungan di daerah Kuala Pilah sahaja, atau dari segi pentadbiran adat ia meliputi Luak Ulu Muar, Luak Gunung Pasir

12

dan sebahagian daripada Luak Jempol.Ketiga, Enakmen Undang Rembau (Tanah)

1949. Enakmen ini digunakan untuk mentadbir lima lot tanah di daerah Rembau yang menjadi kepunyaan khusus Undang Luak Rembau dan penggantinya.10

Hendun Abd Rahman Shah,Adzidah Yaakod,et.al, dalam Dinamika

Undang-Undang Tanah Adat Di Negeri Sembilan : Kajian Perkembangan Dan Isu

Undang Undang menyebut bahawa Enakmen Pemegangan Tanah Adat 1909 adalah antara aturan undang-undang yang terawal wujud kesan imigrasi orang

Minangkabau dari Sumatera Barat Indonesia. Enakmen ini telah mengalami beberapa fasa pindaan pada tahun 1930,1932,1934 dan tahun 1936. Pada tahun

1936, ia telah diganti dengan “Customary Tenure Enactment”.11

Kurnia Warman dan Hengki Andora dalam Pola Hubungan Hukum

Dalam Pemanfaatan Tanah Ulayat Di Sumatera Barat menyebut bahwa hak tanah adat sebagai hak yang melekat pada masyarakat hukum adat secara konstitusional diakui dan dihormati keberadaannya dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Pasal 18B ayat (2)UUD

NRI Tahun 1945 dengan tegas menyatakabahwa negara mengakui dan menghormatikesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

Undang-Undang. Kemudian, Pasal 28I ayat (3) juga menyebutkan bahwa identitas

10Izawati Wook, dkk ,Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Undang-Undang, Pelaksanaan Dan Realiti Fakulti Syariah dan Undang-undang, Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) 2017,hlm.3. 11Hendun Abd Rahman Shah, dkk, Dinamika Undang-Undang Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Kajian Perkembangan Dan Isu Undang-Undang ( Fakultas Syariah & Undang-Undang, Universiti Sains Islam Malaysia (Malaysia : 2017).hlm.7.

13

budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. nai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya.12 Hak ulayat diakui eksistensinya, bilamana menurut kenyataannya di lingkungan kesatuan

Kesimpulannya kesemua tinjauan pustaka yang digunakan penulis, tidak secara khusus membahas tentang Status Tanah adat dalam adat Minangkabau dan pengaruhnya terhadap undang-undang pusaka di Negeri Sembilan, Malaysia dan perbahasan di dalam penulisan ini. Namun bahan-bahan yang digunakan adalah sebagai rujukan bagi mengumpul semua data supaya analisis penulis terhadap skripsi ini dapat dicapai. Adapun buku yang tidak dinyatakan di atas adalah sebagai tambahan fakta judul skripsi.

Maka dengan berdasarkan pada kenyataan, selanjutnya dalam penelitian ini penulis mencoba meneliti tentang UNDANG-UNDANG TANAH PUSAKA

DI NEGERI SEMBILAN: SEJARAH ASAL USUL DAN

PERKEMBANGANNYA melalui pemaparan dan pembahasan dalam proposal skripsi ini.

12Kurnia Warman dan Hengki Andora, Pola Hubungan Hukum Dalam Pemanfaatan Tanah Ulayat Di Sumatera Barat, Bagian Hukum Agraria dan Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang Kampus Limau Manis, Padang, Sumatera Barat (Indonesia).hlm.367.

14

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah sebuah penelitian yang dilakukan untuk literatur-literatur pustaka saja. Bagi memenuhi keperluan tersebut, penulis menggunakan buku-buku rujukan yang asli atau data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

2. Sumber Data

Dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan metode Library Research atau Studi Kepustakaan, dengan rincian sumber data:

a. Data Primer, penulis menggunakan Perlembagaan Persekutuan

Malaysia, Kitab Kanun Tanah Negara 1965 (Akta 56/1965), Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria serta Peraturan-Peraturan dan Peraturan Daerah

Propinsi Sumatera Barat Nomor: 16 Tahun 2008.

b. Data Sekunder, seperti buku-buku yang tidak secara langsung berkaitan

dengan bahasa penelitian seperti jurnal-jurnal, skripsi serta disertasi yang

ada relevansinya dengan perbahasan ini.

15

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Proses editing merupakan proses dimana peneliti melakukan klarifikasi, keterbacaan, konsisitensi dan kelengkapan data yang sudah terkumpul. Proses klarifikasi menyangkut memberikan penjelasan mengenai apakah data yang sudah terkumpul akan menciptakan masalah konseptual atau teknis pada saat peneliti melakukan analisa data. Dengan adanya klarifikasi ini diharapkan masalah teknis atau konseptual tersebut tidak mengganggu proses analisa sehingga dapat menimbulkan penafsiran berat sebelah dari hasil analisa. Keterbacaan berkaitan dengan apakah data yang sudah terkumpul secara logis dapat digunakan sebagai justifikasi penafsiran terhadap hasil analisa. Konsistensi mencakup keajegan jenis data berkaitan dengan skala pengukuran yang akan digunakan. Kelengkapan mengacu pada terkumpulannya data secara lengkap sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang sudah dirumuskan dalam penelitian ini.

b. Temuan atau hasil penelitian, dapat dikatakan merupakan inti dari laporan penelitian karena temuan merupakan sesuatu yang sesungguhnya dicari oleh pembaca. Sebagian besar pembaca memfokuskan diri pada temuan penelitian ini karena ingin tahu apa yang ditemukan oleh penelitian untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan. Agar pembaca memang menemukan apa yang dicari. Penulis seharusnya menyiapkan temuan secara sistematis dengan bertitik tolak dari pertanyaan penelitian/permasalahan yang ingin dicari jawabannya.

16

Selain itu penulis juga harus memilih karena tidak semua temuan harus dilaporkan secara rinci. Komponen temuan tidak harus menyajikan semua hal yang ditemukan dalam penelitian. Yang disajikan adalah temuan yang memang relevan dengan hakikat penelitian ini. Berbagai hasil observasi atau tabel-tabel yang tidak relevan tidak usah dimasukkan karena akan mengganggu alur penyajian. Adapun jika penulis menganggap temuan yang tidak relevan itu begitu penting, penulis dapat melaporkannya sebagai temuan tambahan. Temuan haruslah menyajikan jawaban sebanyak-banyaknya terhadap pertanyaan yang diajukan tanpa tergelincir menjadi sangat rinci.

c. Organizing, dimaksudkan untuk mengelompokkan data ke dalam bentuk yang memudahkan pengecekan sumber datanya, tempat dan tanggal data diambil, teknik pengumpulan dan jenis data, memberi tanda pada data yang sudah dicek kelengkapan akurasinya. Pengelompokan data dibuat dalam file/map yang berbeda antara hasil pengamatan, studi dokumen, dan hasil wawancara. Seperti yang dikemukakan Nasution dalam bukunya Metode Penelitian Naturalistik

Kuallitatif (1996: 126) bahwa “Analisis adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menggolongkan data berarti menggolongkan dalam pola, tema atau kategori.

4. Teknik Analisis Data

a. Analisis Yuridis Normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep- konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan

17

dengan penelitian ini sehingga ditemui perbedaan aturan tanah adat di kedua daerah yaitu Sumatra Barat dan Negeri Sembilan.

b. Analisis Historis adalah teknik yang digunakan untuk mengetahui sejarah tentang adat Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat, Indonesia.

Seterusnya melihat sejarah penghijrahan kelompok orang Minang di Negeri

Sembilan, (Malaysia) dan sejarah perkembangan undang-undang tanah adat di

Negeri Sembilan sebelum dan selepas imigrasi orang Minangkabau.

H. Sistematika Penulisan

Penyusunan skripsi ini terbagi kepada lima bab yang mana setiap bab terdiri dari sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan- permasalahan tertentu tetapi tetap saling terkait antara satu sub dengan sub bab yang lainnya. Penulis membuat susunan dan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama: Pendahuluan, pada bab ini berisi tentang beberapa sub bab seperti, latar belakang, rumusan masalah, Batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori dan tinjauan pustaka.

Bab Kedua: Bab ini akan membicarakan bagaimana masuknya hukum tanah adat

Minangkabau di Negeri Sembilan.

Bab Ketiga akan membicarakan hukum adat Minangkabau tentang tanah yang berkembang di Negeri Sembilan.

18

Bab Keempat: Menguraikan dengan lebih lanjut perbedaan Undang-Undang

Tanah Adat di Negeri Sembilan dan Minangkabau.

Bab Kelima: Merupakan uraian penutup yang terdiri dari kesimpulan keseluruhan pembahasan dan saran-saran yang dianggap penting terhadap penelitian ini supaya dapat menambah wawasan para pembaca berkaitan pengaruh tanah adat dalam

Adat Minangkabau dalam Undang-Undang Tanah Pusaka di Negeri Sembilan,

Malaysia.

BAB II ORANG MINANG KE TANAH MELAYU

A. Sejarah Penghijrahan Orang Minangkabau

Adat Minangkabau atau dikenal sebagai sebagai „Adat Perpatih‟ di

Malaysia mempunyai sejarah dan keunikannya tersendiri. Pengamalan adat

Perpatih di Malaysia telah tersebar khususnya di provinsi Negeri Sembilan dan beberapa daerah lain seperti Naning di Melaka dan di Kampung Lukut, Kota

Tinggi, Johor. Menurut catatan sejarah, penghijrahan orang Minang ke

Semenanjung Tanah Melayu ( Malaysia ) berlaku secara dua tahapan yang mana keduanya terjadi sekitar abad ke 13 hingga 15 Masihi. Dua tahap tersebut adalah jenis imigrasi yang bersifat pindah-kekal iaitu pada 13 hingga 15 masihi.

Selanjutnya iaitu tahapan kedua yang mana imigrasi orang Minang ke Tanah

Melayu adalah bersifat kekal yang terjadia seawal abad ke 14 masihi.

Sebagaimana peradaban yang lainnya orang Minang yang memasuki

Tanah Melayu pada peringat awalnya telah membina penempatan sementara di kawasan yang mudah ditemukan sumber air seperti kawasan yang hampir dengan sungai. Hal ini dapat dibuktikan apabila mereka telah memasuki Tanah Melayu lewat Sungai Muar Sungai Linggi serta Jalan Penarikan dan membina penempatan sementara di sana.13 Maka setelah itu orang Minang berpindah dari kawasan tersebut memasuki pedalaman daerah Tampin, Kuala Pilah dan Jempol di Negeri

Sembilan.

13 Rais Yatim, Adat The Legacy Of Minangkabau,Yayasan Warisanegara Cetakan MPH Group Printing (Malaysia :2005). hlm. 308.

19

20

Adat Minangkabau adalah suatu adat yang secara aslinya berasal dari adat

Bodi-Ciniago yang secara khususnya diamalkan di Sumatera Barat. Maka setelah mana adat ini meresap ke dalam penduduk asli Negeri Sembilan yang sebelumya dikenal sebagai “ Orang Jakun”, mereka mula mempraktikkan adat ini sehingga telah menjadi sebati dalam kehidupan seharian mereka. Dalam satu penulisan lain, disebutkan bahwa sebelum kedatangan orang minangkabau, dearah-daerah negeri sembilan telah mempunyai penduduk asli yang terdiri daripada perkumpulan

Melayu-Proto yang juga dikenal sebagai „orang darat‟.14 Dari inilah adat

Minangkabau mula meluas amalannya di Negeri Sembilan dan ke daerah yang telah disebutkan sehingga dikenal sebagai “Adat Perpatih” yang diambil dari nama Datu Perpatih Nan Sebatang.

Orang Minang amat sinonim dengan kebiasaan atau tradisi mereka yang gemar merantau ke tanah dan daerah luar dari tanah asal. Namun yang demikian penghijrahan ini lebih banyak dilakukan oleh para pemuda bagi mencari rezeki sebelum bernikah demi mengukuhkan keadaan ekonomi mereka dan keluarga di tanah asal.. Bukan hanya sekadar ke Tanah Melayu, bahkan mereka juga merantau jauh sehingga ke Temasik (Singapura) dan Siak, Palembang. Menurut

Dato‟ Seri Maharaja Dato‟Haji Khalid bin Bonget, orang Minangkabau itu mulai berhijrah ke Semenanjung Tnah Melayu secara bertahap melewati empat laluan utama yaitu Temasik (Singapura) dan hujung Medini (Johor), lewat Sungai

Linggi, Sungai Muar, dan Jalan Penarikan. Ada juga yang menyebut laluan lain

14 Rosiswandy Bin Mohd Salleh, Sejarah Pengamalan Adat Perpatih Di Negeri Sembilan, Muzium Adat,hlm..8.

21

yang dilewati oleh orang Minangkabau pada awal penghijrahan mereka seperti

Sungai Triang dan Kelang (Selangor).15

Dalam sumber yang lain ada satu catatan yang menyebutkan bahwa bahagian selatan Semenanjung Tanah Melayu telah mula ditempati oleh orang

Minangkabau bermula abad ke-11 dan selewat-lewatnya pada abad ke-12.

Kelompok yang berhijrah masuk ke Tanah Melayu ini telai dikepalai oleh Tu

Pattair dan mereka mula-mula tiba di Melaka, dan sampai di suatu daerah yang bernama Tabu (Tabuh Naning). Mereka juga dipercayai telah membuka perkampungan serta menikahi wanita-wanita dari kalangan penduduk

Semenanjung Tanah Melayu yang mana akhirnya telah mampu membuka sebuah perkampungan Minangkabau pertama di Tanah Melayu.16

B. Kewujudan Negeri Sembilan di Semenanjung Tanah Melayu

Dalam menyimpulkan terkait imigrasi orang Minangkabau ke

Semenanjung Tanah Melayu, maka dapat dikatakan penghijrahan mereka ini telah berlaku jauh lebih awal daripada berdirinya satu kerajaan yang gemilang yaitu Kerajaan Melayu Melaka. Orang Minangkabau telah membuka penempatan daripada hutan-hutan lalu membina perkampungan mereka di situ.

Sebagaimana yang berlaku di tanah Minangkabau, sebelum satu-satu tempat itu menjadi nagari, maka ia perlu melalui satu proses metamorfosis.17 Hal ini demikian sepertimana yang disebutkan dalam tambo: Taratak mula dibuek, sudah

15 Rahilah Omar Dan Nelmawarni, Negeri Sembilan: Minangkabau Di Semenanjung Tanah Melayu,hlm.10. 16 Ibid.hlm.12. 17 Ibid,.hlm.18.

22

teratak menjadi kampuang, sudah kampuang menjadi dusun,sudah dusun menjadi koto, sudah koto menjadi nagari. Adapun yang demikian ia bukanlah suatu proses yang membutuhkan tempoh masa yang pendek kerana ia dipercayai daripada sikap orang Minangkabau yang gemar berpindah.

Istilah kampong bagi masyarakat Minangkabau membawa maksud penempatan. Akan tetapi atas sebab penduduknya pada kebiasaannya terdiri daripada satu suku yang sama,maka ia sering ditukar gantikan atau diedintikkan kepada “suku”. Kebiasaanya dalam sesebuah kampong akan diadakan atau dibangunkan sebuah balai sebagai tempat berunding dan mendapat kata sepakat atau dikenal sebagai „sekato‟ dalam kalangan penduduk sekampung atau sesuku tersebut. Pada tahapan seterusnya, apabila terhimpunnya beberapa kampong, maka akan membentuk sebuah „dusun‟ yang dengan ini kebiasaannya akan dibangunkan sebuah „‟. Apabila telah bergabung pula beberapa dusun, maka di sini akan membentuk sebuah kota yang mana apabila dalam sesebuah kota itu terdapat minimal 4 buah kampong atau suku, maka akan terbentuklah sebuah kemampuan berkendiri secara sosial yang mempunyai struktur dan organisasi politik yang cocok bagi mengatur kehidupan rakyat yang dianggap sebagai Nagari.

Daripada sistem perkembangan ini jualah, terbentuknya „Negeri

Sembilan” sebagai sebuah provinsi yang berasaskan kepada gabungan Sembilan buah negeri . Istilah negeri tersebut sudah pastilah diambil daripada istilah nagari.

Namun begitu pencatat sejarah masih belum mampu menetapkan secara pasti sembilan tanah dan lokasi rantau Minangkabau yang membentuk Negeri

23

Sembilan. Hal ini demikian berlaku karena dipercayai bahwa Negeri Sembilan tidak mempunyai tradisi penulisan sehinggalah Islam datang dan memasuki nusantara. Keadaan seperti ini juga terjadi dikarenakan tradisi adat Negeri

Sembilan yang melarang penulisan tentang adatnya terutama terkait yang tersirat.

Walaupun rantau yang membentuk Negeri Sembilan itu tidak dapat ditentukan secara pasti, pada sekitar abad ke-17 telah diadakan satu perjanjian antara “Kerajaan” Rembau dan Belanda bagi menyatakan dengan jelas rantau- rantau tersebut. Maka, pencatat-pencatat sejarah seperti Newbold, Lister,

Wilkinson, Parr dan Mac Kray dan Harvey telah menyebutkan sembilan buah wilayah yang termasuk dalam Negeri Sembilan dalam versi yang berbeda-beda.

Antaranya, menurut Newbold daerah tersebut adalah, Segamat, Johol, Naning,

Sungai Ujong, Jelebu, Rembau, Klang, Ulu Pahang dan Jelai.18 Ada juga dalam kalangan mereka yang berpendapat bahwa rantau yang sembilan itu adalah Sungai

Ujong, Jelebu, Rembau, Naning, Klang, Segamat, Pasir Besar, Jelai (Inas) dan

Ulu Pahang.19

Kawasan-kawasan tersebut dipilih adalah berkemungkinan besar baik bagi tujuan merantau mereka dan dianggap strategik. Meskipun rantau tersebut bukanlah bersebelahan antara satu sama lain, bahkan sampai ada rantau yang dikatakan agak jauh dari yang lainnya seperti Klang, mereka tetap saling memelihara hubungan baik antara mereka walau rantau klang sudah misalnya mempunyai sistem bermasyarakatnya yang tersendiri.

18 Rahilah Omar Dan Nelmawarni, Negeri Sembilan: Minangkabau Di Semenanjung Tanah Melayu,hlm..22. 19 Ibid.hlm.20.

24

Antara rantau-rantau tersebut, maka perlu diketahui bahwa setiap daripada mereka mempunyai kuasa autonomi tersendiri. Sekitar abad ke-17 masihi, semasa wujudnya tekanan sudut politik setempat kesan daripada kependudukan dan penjajahan kuasa British, bertambahnya pengaruh Bugis dan masalah dalam kerajaan melayu Johor, maka telah menyebabkan wujudnya konsep persekutuan.

Kondisi ini telah menyebabkan keseluruhan rantau tersebut bersatu demi mengekalkan identitas masyarakat minangkabau dan kekuasaan mereka. Oleh hal yang demikian, pakar sejarah mempercayai bahwa Negeri Sembilan itu telah diwujudkan oleh Raja Melewar setelah mana beliau diangkat sebagai Yamtuan

Negeri Sembilan.20 Maka, zaman pembentukan Negeri Sembilan dipercayai berlaku sekitar tahun 1640 sehingga 1760.21

Kebanyakan sejarah awal pembentukan kerajaan Negeri Sembilan dicatat oleh pegawai-pegawai kolonial atau penjajah yang pernah bekerja di Negeri

Sembilan. Sebagian mereka yang meminati mengkaji dan menulis terkait sejarah antaranya, Winstedst telah mengatakan bahwa nama „Negeri Sembilan‟ telah disebut dengan resminya buat yang pertama kalinya pada tanggal 11 November

1759.22 Adapun pembentukan bagi Negeri Sembilan yang kini adalah berasaskan kepada satu perjanjian yang telah diadakan pada tahun 1887. Ini adalah satu perjanjian yang telah dipersetujui antara gurbenor Negeri-Negeri Selat dengan

Yang Dipertuan Seri Menanti, penghulu-penghulu luak kawasan sehingga terbentuklah sebuah persekutuan yang dikenal hari ini sebagai Negeri Sembilan.

20 Rosiswandy Bin Mohd Salleh, Sejarah Pengamalan Adat Perpatih Di Negeri Sembilan, Muzium Adat,hlm.17. 21 Ibid,hlm.11. 22 Ibid,hlm.12.

25

Tidak hanya di situ, pada tahun 1898, satu perjanjian yang lain juga telah ditandatangani antara Yang Di-Pertuan Seri Menanti yaitu Tuanku Muhammad

Bersama Dato‟ Dato‟ Undang Yang Empat karena penunjukan baginda sebagai kepala pemerintah bagi seluruh Negeri Sembilan yang membawa gelar Yang Di-

Pertuan Besar Negeri Sembilan23

Maka dengan terbentuknya Negeri Sembilan, maka tercatatlah suku-suku yang menjadi penduduk tetap di Negeri Sembilan. Bahkan suku-suku tersebut telah secara resminya di atur dalam enakmen Negeri Sembilan. Suku-suku yang terdapat di Negeri Sembilan adalah sejumlah 12 suku yaitu24 :

a) Biduanda (Dondo) b) Batu Hampar (Tompar) c) Payo Kumbueh (Payo Kumboh) d) Mungkal (Mungka) e) Tiga Nenek (Tigo Nenek) f) Seri Melenggang (Somolenggang) g) Seri Lemak (Solomak) h) Batu Belang (Batu Bolang) i) Tanah Datar (Tanah Data) j) Tiga Batu (Tigo Batu) k) Anak Acheh l) Anak Melaka

23 Rosiswandy Bin Mohd Salleh, Sejarah Pengamalan Adat Perpatih Di Negeri Sembilan, Muzium Adat.hlm.14 24 Rais Yatim, Adat The Legacy Of Minangkabau,Yayasan Warisanegara Cetakan MPH Group Printing (Malaysia : 2005), hlm.294.

26

Jumlah suku yang terdapat di Negeri Sembilan adalah berbeda dengan suku yang terdapat di Minangkabau yang jauh lebih banyak. Bahkan disebutkan bahwa empat suku utama di Minangkabau yaitu Koto, Caniago, Piliang dan Bodi telah berkembang menjadi sehingga 40 suku besar dan membentuk ratusan suku kecil di sana.25

25 Rosiswandy Bin Mohd Salleh, Sejarah Pengamalan Adat Perpatih Di Negeri Sembilan, Muzium Adat.hlm.18.

BAB III

TANAH ADAT DI NEGERI SEMBILAN, MALAYSIA

A. Aspek Hukum Tanah Adat Yang Berkembang Di Negeri Sembilan

Penghijrahan orang minang dari Sumatera barat ke wilayah Tanah Melayu telah memberi dampak yang besar terhadap penduduk asli terutamanya di Negeri

Sembilan. Bukan saja berdampak terhadap gaya hidup dan tradisi, bahkan lebih besar lagi apabila ia telah mempengaruhi pelaksanaan undang-undang dalam berbagai aspek pentadbiran dan administrasi termasuklah kepemilikan dan pewarisan tanah.26 Secara dasarnya adat Minangkabau atau yang disebut sebagai

Adat Perpatih di Negeri Sembilan merupakan suatu amalan masyarakat yang mempunyai aturan hidup bermasyarakat. Aturan-aturan ini menjangkaui berbagai sisi seperti politik, ekonomis, perundang-undangan dan organisasi.

Penjajahan kuasa asing di semenanjung Tanah Melayu khususnya telah berdampak kepada terbentuknya dua sistem pentadbiran yang bercorak birokrasi moderen dan sosiopolitik adat. Adapun birokrasi moden telah memecahkan daerah Negeri Sembilan kepada mukim, sementara sosiopolitik adat mengekalkan strukturnya.27Apabila kita membicarakan soal tanah, maka perlu kita ketahui bahwasanya Adat Perpatih ini mempunyai keunikannya dalam mentadbir tanah khususnya tanah adat. Peraturan tentang tanah adat di Negeri Sembilan bukanlah

26 Hendun Abd Rahman Shah,dkk, Dinamika Undang-Undang Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Kajian Perkembangan Dan Isu Undang-Undang ( Fakultas Syariah & Undang-Undang, Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) : 2017),hlm.1. 27 Rosiswandy Bin Mohd Salleh, Sejarah Pengamalan Adat Perpatih Di Negeri Sembilan, Muzium Adat, hlm.16.

27

28

perkara yang baharu, akan tetapi telah menyerap masuk sejak ratusan tahun yang lalu. Secara umumnya terdapat dua jenis adat yang menjadi amalan masyarakat di

Tanah Melayu yaitu Adat Temenggong dan Adat Perpatih. Adat Temenggong merupakan amalan adat yang dipraktekkan oleh mayoritas masyarakat di

Semenanjung Tanah Melayu ketika itu sehinggalah pada hari ini kecuali di daerah

Naning dan di Negeri Sembilan.28 Sebelum memperoleh kemerdekaan, Tanah

Melayu secara totalnya dikuasai dan berada pada pemerintahan kesultanan

Melayu, di mana pemerintahan tersebut dilaksanakan berasaskan ajaran Islam dan adat Melayu. Namun begitu, corak pemerintahan ini telah mengalami perubahan yang bertahap apabila Inggris mula memasuki dan mengambil kuasa pemerintahan di Tanah Melayu.

Era penjajahan inggris di Tanah Melayu telah menjadi titik permulaan perubahan dan perkembangan yang sangat ketara khususnya terhadap tanah Adat di wilayah Negeri Sembilan. Pentadbiran tanah adat telah mengalami satu perubahan bermula awal pemerintahan dan pentadbiran kuasa asing British yang mula menakluki Tanah Melayu sejak tahun 1860 yang pada perinkat awalnya hanya menjajah beberapa provinsi seperti Melaka, Pulau Pinang dan Temasik.29

Hal ini lebih jelas dapat kita lihat apabila British pada masa pemerintahannya memperkenalkan Sistem Torrens yang digunakan oleh seluruh tanah yang ada.

Pengenalan sistem Torrens ini dilihat amat memberi dampak pros dan kontras khususnya terhadap tanah adat di Negeri Sembilan. Daripada sudut kontranya,

28 Rahilah Omar Dan Nelmawarni, Negeri Sembilan: Minangkabau Di Semenanjung Tanah Melay (Malaysia).hlm.5. 29 Oong Hak Ching, Penggubalan Dasar British Terhadap Tanah Melayu Semasa Perang Dunia Kedua (Malaysia).hlm.85.

29

maka kita mendapati bahwa konsep kepimilikan yang sebelumnya diamalkan menurut adat mulai terjejas. 30

B. Sistem Pentadbiran Di Negeri Sembilan

Penaklukan atau penjajahan kuasa asing inggris sekitar abad ke-19 telah menyebabkan wujudnya pembagian sistem pentadbiran yang bersifat birokrasi moden dan sosiopolitik adat. Sistem birokrasi tersebut telah membagikan Negeri

Sembilan kepada daerah-daerah yang diistilahi sebagai mukim sementara struktur adat dikekalkan meskipun pentadbiran sifat adat dihadkan dan hanya berwenang terhadap adat istiadat dan urusan agama sahaja. Hal yang demikian menjadi punca luputnya wewenang pemimpin adat terhadap pewarisan harta tanah adat apabila kuasa tersebut dipindahkan kepada pegawai daerah yang ditunjuk oleh pihak

British. Turut dikatakan juga bahwa penghulu dan undang hanya terlibat dalam kasus pewarisan tanah adat yang wujud sebarang permasalahan.

Seterusnya pada tahun 1959, institusi Yang Di-Pertuan Besar Negeri

Sembilan dan ndang yang empat telah dimasukkan sebagai sebagian daripada perlembagaan Negeri Sembilan. Keadaan ini akhirnya telah mewujudkan dewan tertinggi adat yang dikenal sebagai dewan keadilan dan undang.31 Oleh yang demikian wewenang pemimpin adat telah dipindahkan ke atas pemerintah kerajaan moderen. Maka kita melihat pada hari ini bahwa wujudnya perpisahan antara negeri dan adat. Yang di-Pertuan Besar, undang dan penghulu luak tidak

30 Rabiah Muhammad Serji, Sistem Torrens Dalam Undang-Undang Tanah Di Malaysia : Sistem Yang Tidak Ekslusif, Fakulti Syariah Dan Undang-Undang, Kolej Universiti Islam Selangor (Malaysia).hlm.256. 31 Rosiswandy Bin Mohd Salleh, Sejarah Pengamalan Adat Perpatih Di Negeri Sembilan, Muzium Adat, hlm.16.

30

lagi berkuasa melainkan terhadap hal ehwal agama dan adat sahaja. Begitu juga dengan undang-undang adat yang mula diketepikan dengan adanya undang- undang Sivil.32

C. Pemimpin Dalam Adat Perpatih

Dalam sistem pentadbiran di Negeri Sembilan, maka pentadbiran dapat dibagi kepada dua yaitu politik moderen dan pentadbiran adat. Dalam pentadbiran politik moderen maka di Negeri Sembilan mempunyai beberapa daerah utama yang berjumlah sebanyak tujuh buah daerah yaitu Seremban, Jelebu,

Tampin, Port Dickson, Kuala Pilah, Rembau dan Jempol. Adapun dalam pentadbiran adat terdapat sejumlah luak adat yaitu Seri Menanti, Tampin, Sungai

Ujong, Jelebu, Johol, Rembau, Ulu Muar, Terachi, Jempl, Gunung Pasir, Inas,

Gemencheh, Ayer Kuning dan Linggi. Keseluruhannya pentadbiran ini adalah dikepalai oleh Yang-Di Pertuan Besar Negeri Sembilan yang pada hari ini dipegang oleh Yang Di-Pertuan Besar Negeri Sembilan Tuanku Muhriz Ibni

Almarhum Tuanku Munawir.33

Undang dan penghulu dalam adat perpatih adalah satu posisi kepimpinan yang mengepalai luak yang pada hari ini umumnya ada sebanyak sembilan luak.

Antara kewajiban lain sebagai undang dan penghulu luak adalah menjaga Yang

Di-Pertuan. Luak atau dalam istilah minangkabau disebut sebagai „luhak „adalah daerah atau jajahan yang mana di Negeri Sembilan terdapat sebanyak 14 luak

32 Rosiswandy Bin Mohd Salleh, Sejarah Pengamalan Adat Perpatih Di Negeri Sembilan, Muzium Adat.hlm.16. 33 Ibid.hlm.6.

31

seperti Seri Menanti, Tampin, Sungai Ujong, Rembau dan lainnya.34 Lembaga adalah dikenal sebagai kepala kelompok kekeluargaan suku yang mana dilantik atau ditunjuk atas kata sepakatan anak buah dan buapak. Dalam penunjukan seseorang sebagai lembaga, buapak memainkan perannya yang besar di mana buapak itu perlu memilih calon lembaga yang memenuhi syarat-syarat dan kelayakan yang menjadi tradisi Minangkabau.35

Buapak merupakan kepala kelompok kekeluargaan perut yang berwenang dalam menyelesaikan permasalah yang timbul dalam kedamaian perutnya. Dalam adat Minangkabau,maka buapak ini adalah ditunjuk atas permuafakatan anggota perut dan ahli waris. Peran buapak antara lain adalah sebagai penjaga kepentingan, keharmonisan serta pembangunan anak-anak buah dalam perutnya.

Selain itu, buapak turut berperan dalam melaporkan sebarang masalah yang timbul dalam perutnya. Hal yang demikian amat jelas menunjukkan bahwa adat minangkabau ini adalah suatu adat yang amat kaya dengan susunan kepimpinan yang teratur demi kepentingan politis, ekonomi dan sosial mereka.

34 Hajah Makiah Tussaripah Hj Jamil, Jamaliah Mohd Taib Kajian Adat Perpatih Di Negeri Sembilan: Satu Tinjauan Menurut Perspektif Islam Universiti Teknologi Mara (Uitm) Cawangan Kampus Kuala Pilah (Malaysia) .hlm.2. 35 Rosiswandy Bin Mohd Salleh, Sejarah Pengamalan Adat Perpatih Di Negeri Sembilan, Muzium Adat.hlm.30.

32

D. Sistem Torrens dan Tanah Adat

Sistem Torrens adalah suatu prinsip perundangan tanah yang diperkenalkan oleh pemerintahan British bermula dari tahun 1864.36 Ia adalah sebuah system yang mengambil sempena nama Sir Robert Richard Torrens yang mula dimula diperkenalkan di Australia Selatan sekitar tahun 1858 yang kemudiannya dikembangkan ke New Zealand, Brunei, Kenya, Fiji dan Negara lainnya..37. sistem ini adalah suatu prinsip yang mengutamakan pendaftaran tanah dan segala transaksi yang berkaitan tanah harus direkodkan dan didaftarakan bagi menjamin kesahannya.38 Kesemua ini dilihat amat penting supaya bakal pemilik atau pembeli sesebuah tanah dapat mengenalpasti pemilik asal tanah demi menjamin kepentingannya di masa hadapan. Berbeda dengan praktek amalan dalam adat Perpatih khususnya di Negeri Sembilan yang secara umumnya menyebutkan bahwa hak milik seseorang terhadap sesebuah tanah miliknya adalah tidak mutlak.

Adapun hak yang dimiliki atas sesebuah tanah adalah sekadar manfaat mengusahakan tanah tersebut dan adalah menjadi hak bagi Raja untuk merampas kembali sesebuah tanah tersebut apabila pemilik asal tanah tidak mengusahakan tanah tersebut dalam tempoh yang lama. Raja juga berhak untuk menyerahkan sesebuah tanah tersebut kepada orang setelah berlakunya rampasan tanah daripada pemilik asal yang gagal mengusahakan tanah miliknya itu. Dalam perkara

36 Rabiah Muhammad Serji, Sistem Torrens Dalam Undang-Undang Tanah Di Malaysia : Sistem Yang Tidak Ekslusif, Fakulti Syariah Dan Undang-Undang, Kolej Universiti Islam Selangor (Malaysia).hlm.256. 37 Ibid .hlm.257. 38 Loc.it.

33

pemilikan tanah, dalam adat, maka sesebuah tanah itu dapat dimiliki dengan cara mengerjakan atau mengusahakan sesebuah tanah hutan atau tanah paya berasaskan konsep menghidupkan tanah mati atau ihya’ al mawat.39

Sistem Torrens dapat dibagikan kepada dua bagian utama Yaitu Prinsip

Cermin dan Prinsip Tabir. Prinsip cermin adalah suatu prinsip yang mana pendaftaran bagi sesebuah tanah itu, mencerminkan segala fakta material yang berhubungan dengan kepimilikan seseorang terhadap suatu tanah. Prinsip ini bertujuan bagi menjaga kepemilikan seseorang terhadap tanah miliknya supaya tidak terjadi kasus rampasan tanah dan pengakuan palsu seseorang terhadap sesebuah tanah. Fakta material yang disertakan adalah seperti nama pemilik, butiran tanah, keluasan dan lokasi tanah, pelan ukur dan had sempadannya.40

Prinsip tabir pula adalah suatu prinsip yang bersifat sebagi suatu tabir antara dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Melalui prinsip ini, pembeli hanya perlu memberi konsentrasi terhadap daftar sahaja. Sudah mamdai bagi pembeli untuk mengetahui dan bergantung terhadap seluruh maklumat yang ada dalam daftar dan tidak perlu lihat atau fokus kepada detil-detil yang selebihnya. Hal ini bertepatan dengan tujuan sistem ini yang mana menyebut :

“ Untuk menyelamatkan orang-orang yang berurusan dengan pemilik tanah daripada kesulitan dan perbelanjaan karena terpaksa menyiasat latar belakang hak milik berkenaan untuk memuaskan hati mereka mengenai kesasihannya”

39 Rabiah Muhammad Serji, Sistem Torrens Dalam Undang-Undang Tanah Di Malaysia : Sistem Yang Tidak Ekslusif, Fakulti Syariah Dan Undang-Undang, Kolej Universiti Islam Selangor (Malaysia).hlm.256. 40 Ibid.hlm.257.

34

Prinsip ini secara dasarnya bertujuan untuk menjaga kepentingan kedua belah pihak yang mana pendaftaran itu dianggap sah menurut undang-undang dan tidak menyukarkan pihak pembeli untuk mencari dan menggali rekod sesebuah tanah tersebut. Pendaftran tersebut juga tidak mampu disangkal lagi karena objektif daripada prinsip ini adalah sebagai bukti konklusif terhadap kepemilikan individu terhadap tanahnya.

E. Kedudukan Tanah Adat Dalam Perundang-Undangan Di Malaysia

Tanah adat telah mendapat kedudukan yang tersendiri di Malaysia, bahkan kehadirannya mendapat pengiktirafan dalam perundang-undangan. Buktinya tanah adat disebut dalam fasa undang-undang seperti Perlembagaan Persekutuan dan Negeri ( Federal Constitution and State Constitution), Kanun Tanah Negara

1965 (National Land Code 1965), Enakmen Rizab Melayu (Malay Reservation

Enactment), Ordinan Harta Pusaka Kecil (The Small Estates (Distribution)

Ordinance 1955 No.34), Enakmen Tanah Adat (Customary Tenure Enactment)

1909.

Menurut Perlembagaan Persekutuan melalui Perkara 90, maka kita mendapati bahwa Tanah Adat itu diiktiraf oleh kerajaan persekutuan apabila pasal ini menggariskan suatu peruntukan khusus yang diberikan kepada perundangan

Tanah Adat yang mengatasi peruntukan perundangan lain khususnya urusan terkait dengan tanah. Pasal (1) Perkara 90 Perlembagaan Persekutuan menyebut:41

41 Perlembagaan Persekutuan ( Pindaan Akta 1260/2016, Malaysia).hlm.83.

35

“Tiada apa-apa jua dalam Perlembagaan ini boleh menyentuh kesahan apa apa sekatan yang dikenakan oleh undang-undang ke atas pemindahan hakmilik atau pemajakan tanah adat di Negeri Sembilan atau Negeri Melaka, atau pemindahan hakmilik atau pemajakan apa-apa kepentingan mengenai tanah itu.”

Tidak hanya berhenti di situ, menurut Pasal 16 Undang-Undang Tubuh

Kerajaan Negeri Sembilan 1959 (Constitution of the State of Negeri Sembilan) telah dengan jelasnya menyebut terkait kewenangan Dewan Keadilan dan Undang sebagai rujukan dan juga berwenang dalam memberi nasihat kepada Menteri

Besar hal-hal terkait tanah adat di Negeri Sembilan. Seterusnya dalam Pasal 32 menyatakan peruntukan khusus pemakaian adat dan kelaziman serta peruntukan perlembagaan negeri yang dipraktikkan pada masa terdahulu selagimana ia tidak becanggah dengan peruntukan perlembagaan negeri.

Dalam Kanun Tanah Negara 1965, terdapat dua seksyen utama yang mengiktiraf kedudukan istimewa tanah adat yaitu seksyen 4 dan seksyen 340.42

Seksyen 4 memperuntukkan kedudukan undang-undang tanah adat sebagai satu perundangan yang berkuatkuasa terkait dengan pemegangan secara adat dan

Kanun Tanah Negar (KTN) tidak boleh menyentuh peruntukan terkait tanah adat tersebut. Seksyen 340 turut menyatakan terkait kepentingan pendaftaran atau registrasi ke atas hakmilik atau kepentingan yang tidak boleh disangkal kecuali dalam beberapa situasi tertentu. Dua seksyen ini telah menjadi perundangan

42 Kanun Tanah Negara 1965 (Akta 56/1965, Percetakan Maziza SDN BHD (Malaysia :2009),hlm 4 dan 323.

36

tertinggi yang meletakkan posisi tanah adat sebagai suatu elemen yang diiktiraf kerajaan.

Tanah Rizab Melayu adalah suatu undang-undang yang mul;a diperkenalkan sejak 1 Januari 1914 dan mula dikuatkuasa atau digunakan di

Negeri-Negeri Melayu Bersekutu (NMB) yang mana seterusnya telah menerima proses pemansuhan dan semakan semula pada tahun 1935 dan diperkenalkan pula

Ebnakmen Rizab Melayu (ERM) yang mana masih digunakan pada hari ini.

Objektif diwujudkan undang-undang ini adalah bagi mengekalkan tanah-tanah kepunyaan atau yang dimiliki oleh orang Melayu sepanjang zaman dan bagi menghalang tanah milik kerajaan yang ada dalam kawasan Rizab Melayu daripada dilupuskan dengan apa cara sekalipun kepada bangsa non-melayu.

Ordinan Harta Pusaka Kecil adalah suatu kuasa perundang-undangan yang membagi wewenang daripada majlis perundangan persekutuan kepada Majlis

Negeri Sembilan.43 Matlamat kewujudan ordinan ini adalah bagi menyelesaikan persengketaan harta pusaka yang berada pada nilai total kurang RM5,000 ( Rp

17,000,000.00). Namun begitu, bagi masyarakat adat perpatih menurut seksyen

22, meskipun harta total melebihi RM5,000, maka tetap tertakluk di bawah undang-undang ini dan adalah menjadi kewenangan bagi pemungut hasil tanah untuk mengadili. Dalam seksyen 24 Ordinan pula, seksyen ini memberi kuasa khusus kepada pemungut hasil tanah untuk mengadili persengketaan dengan menggunapakai peraturan adat. Hal ini demikian adalah perkara adat seperti harta

43 Abd Hamid Abd Murad,dkk,Pembangunan Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Halatuju Dan Cabaran Customary Land Development In Negeri Sembilan: Its Way Forward And Challenges.hlm.9.

37

carian, harta dapatan, harta pembawa dan dalam perkara penentuan terhadap anak angkat.

F. Enakmen (Negeri) Terkait Tanah Adat Di Negeri Sembilan

Sehingga hari ini, terdapat sejumlah 3 enakmen yang masih digunapakai sebagi satu undang-undang pentadbiran tanah adat di Negeri Sembilan. Ketiga- tiga enakmen ini menjadi pondasi dan rujukan dalam segala urusan terkait tanah adat di peringkat negeri di Negeri Sembilan. Enakmen tersebut adalah Enakmen

Pemegangan Adat Bab 215 (EPA bab 215), Enakmen Pemegangan Adat (Tanah

Lengkongan) Tahun 1960 dan juga Enakmen Undang Rembau (Tanah) 1949.44

Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 adalah satu enakmen tanah adat yang digunakan bagi mentadbir tanah-tanah adat di daerah Kuala Pilah, Jempol,Jelebu,

Rembau, Tampin, dan daerah kecil Gemas. Bagi pentadbiran adat, enakmen ini digunakan meliputi wilayah-wilayah Adat Luak Tanah Mengandung ( Luak Ulu

Muar, Luak Terachi, Luak Inas, Luak Gunung Pasir, Luak Jempol), Luak

Jelebu,Luak Rembau, Wilayah Adat Tengku Besar Tampin, Luak Gmencheh dan

Wilayah Adat Penghulu Pusaka Air Kuning.45

Enakmen Pemegangan Adat (Tanah Lengkongan) Tahun 1960 pula adalah satu enakmen di Negeri Sembilan yang digunakan bagi mentadbir tanah-tanah

44 Hendun Abd Rahman Shah,dkk, Dinamika Undang-Undang Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Kajian Perkembangan Dan Isu Undang-Undang ( Fakultas Syariah & Undang-Undang, Universiti Sains Islam Malaysia (Malaysia : 2017).hlm.9. 45 Izawati Wook, dkk ,Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Undang-Undang, Pelaksanaan Dan Realiti Fakulti Syariah dan Undang-undang, Universiti Sains Islam Malaysia (Malaysia: 2017).hlm.3.

38

yang dikenal sebagai Tanah Adat Lengkongan di daerah Kuala Pilah sahaja, atau dari aspek pentadbiran adatnya digunakan meliputi Luak Ulu Muar, Luak Gunung

Pasir dan sebagian daripada Luak Jempol. Enakmen ini adalah suatu enakmen yang asalnya telah mengalami beberapa fasa pindaan pada tahun 1930.1934 dan pada tahun 1936. Menurut seksyen 2 dalam enakmen pemegangan adat (tanah lengkungan) tahun 1960 telah menafsirkan bahwa tanah lengkungan itu adalah tertakluk sebagai undang-undang tanah adat orang melayu yang ada di daerah

Kualu Pilah yang merupakan anggota suku menurut jadwal yang berikut :46

Tabel 1

Suku Dan Ketua Suku Di Negeri Sembilan i. Suku Lengkungan Astana

Suku Ketua Suku

1. Ayer Kaki Pada Yam Tuan Orang Empat Astana

2. Batu Hampar (Air Kaki Yang Jernih) Orang Empat Astana

3. Tanah Datar (Lengkungan Yam Tuan) Termasuk Tanah Datar, Kampung Pauh Dan Gunng Pasir Orang Empat Astana

4. Seri Lemak Minangkabau (Lengkungan Yam Tuan) Orang Empat Astana 5. Seri Lemak Pahang (Lengkongan Yam Tuan) Dato Andatar

6. Anak Acheh Dato Besar

7. Tiga Batu (Lengkongan Yam Tuan) Dato Besar

46 Izawati Wook, dkk,Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Undang-Undang, Pelaksanaan Dan Realiti ,Fakulti Syariah dan Undang-undang, Universiti Sains Islam Malaysia (Malaysia: 2017). hlm 5.

39

ii. Suku Lengkongan lain

Suku Keta Suku

1. Seri Lemak Pahang (Senaling) Dato‟ Andika

2. Sri Lemak Minangkabau (Peraku) Dato Sultan Bendahara

3. Batu Hampar Empat Puluh (Pelangai) Dato‟ Raja Panglima

4. Tanah Datar (Gunong Pasir) Dato‟ Johan

5. Batu Hampar (Telapak) Dato‟ Maharaja

6. Batu Hampar (Kampong Tengah) Dato Panglima Besar

Menurut enakmen pemegangan adat ini setiap tanah lengkongan seharsnya pada setiap masa dimiliki oleh kaum laki-laki dan/atau perempuan yang berasal daripada salah satu suku seperti yang terdapat dalam jadual di atas. Adapun setiap urusan terkait tanah di bawah enakmen ini hendaklah dimaklumi terlebih dahulu kepada Dato‟ lembaga atau ketua adat. Selain itu, enakmen ini mempunyai perbedaan dengan apa yang telah menjadi ketetapan dalam Adat perpatih. Hal ini demikian karena menurut enakmen ini, anak laki-laki dan perempuan berhak untuk mewarisi pusaka dengan sama rata.47 Bagian yang didaftarkan atas nama anak perempuan akan menjadi harta dapatan yang mana akan seterusnya dibagi mengikut prinsip dapatan tinggal kepada waris perempuan tersebut setelah wafat.

Adapun bagi penama laki-laki, harta tersebut akan menjadi harta pembawaan dan kelak dibagi mengikut prinsip pembawaan juga.

47 Izawati Wook, dkk, Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Undang-Undang, Pelaksanaan Dan Realiti ,Fakulti Syariah dan Undang-undang, Universiti Sains Islam Malaysia (Malaysia:2017).hlm 6.

40

Enakmen lain yang digunakan bagi tanah adat di Negeri Sembilan adalah

Enakmen Undang Rembau (Tanah) 1949. Enakmen ini telah digunakan dalam mentadbir lima lot tanah yang terletak di daerah Rembau yang menjadi milik khusus Undang Luak Rembau dan penggantinya.

BAB IV

UNDANG-UNDANG TANAH ADAT DI NEGERI SEMBILAN DAN MINANGKABAU

A. Tanah Adat Di Minangkabau Dalam Perundang-Undangan

Negara Indonesia yang terbentuk kesan daripada persatuan masyarakat hukum adat menjadi suatu wilayah hukum adat, dapat dipandang dan dilihat sebagai satu masyarakat hukum. Hal ini demikian sampai tahap hak negara atas seluruh wilayah negara yang juga disebut sebagai “ hak menguasai negara” dapat disebut sebagai hak ulayat negara di mana seluruh tanah dalam teritorial Indonesia disebut dengan istilah tanah ulayat negara.48

Dalam membicarakan pengiktirafan Pemerintah Indonesia terhadap masyarakat adat Minangkabau, maka Minangkabau adalah merupakan salah satu persekutuan hukum atau masyarakat hukum adat yang secara garis besar mengenal tiga macam persekutuan masyarakat yaitu nagari,suku dan kaum. Istilah Nagari menurut Peraturan Daerah (Perda) Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 dan dipinda kepada Perda No.2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, pasal 1 huruf (g) menetapkan bahwa nagari adalah sebuah kesatuan mayarakat hukum adat dalam daerah provinsi Sumatera Barat yang terbina oleh kolektif sebilangan suku yang mempunyai wilayah yang tertentu batas-batasnya, mempunyai harta kekayaan dan mengurus rumah tangganya dan memilih pimpinan pemerintahannya.49

Suku pula merupakan satu istilah yang merujuk kepada suatu golongan orang yang dianggap sebagai orang seketurunan atau berasal dari induk yang sama yaitu dari seseorang nenek moyang menurut garis keturunan si ibu, bukan si bapa. Pesekutuan hukum ini memiliki harta materil yang wujud dalam bentuk

48 Edison dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau Budaya Dan Hukum Adat Di Minangkaba,hlm. 276. 49 Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor : 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya (Indonesia).

41

42

tanah ulayat. Adapun bagi nagari yang memiliki tanah ulayat/adat nagari disebut sebagai hak ulayat nagari dan ketika mana suku memiliki tanah ulayat, maka ia disebut sebagai hak ulayat suku.begitu juga bagi kaum yang memiliki tanah ulayat, maka secara automatis disebut sebagai hak ulayat kaum.

Dalam hukum adat Minangkabau adalah menjadi pegangan orang minang bahwa tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak berpunya. Seberapapun luasnya pasti ada yang menguasainya baik dikuasai oleh suku, kaum maupun nagari. Tanah ulayat yang wujud adalah merupakan hak kolektif yang tidak mungkin dikuasai oleh individu atau keluarga. Hal ini demikian karena hak ulayat tidak dapat dipindahkan secara kekal atau permanen kecuali atas alasan dan kebutuhan yang mendesak.

Dalam melihat pengiktirafan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap hukum adat maka antara dari sekian peraturan perundang-undangan yang menyatakan pengakuan tersebut adalah dalam undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 ( selanjutnya disebut UUD NRI tahun 1945) Pasal 18B ayat (2), yang menyebut bahwa :50

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”

Tidak hanya sekadar itu, tanah adat juga mendapat kedudukan yang istimewa apabila pemerintah telah mewujudkan suatu rang undang-undang yang terkait dengan tanah adat. Hal ini adalah terkait dengan undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Di dalam pasal 5 UUPA telah dijelaskan bahwa :51

“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan naional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme

50 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia., hlm. 4. 51 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( 24 September 1960: Jakarta).

43

Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.52

Pada tingkat provinsi Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI) juga telah mengambil suatu inisiatif dalam mewujudkan kumpulan perundang- undangan yang mengatur tentang tanah ulayat ataupun tanah adat di Sumatera Barat. Suatu peraturan yang disebut sebagai peraturan daerah provinsi Sumatera Barat nomor 16 tahun 2008 adalah bertujuan membahaskan perkara terkait pengelolaan, pendaftran dan pemanfaatannya. Di dalam Perda ini antaranya disebut perkumpulan yang berwenang dalam menguruskan segala perkara terkait tanah adat seperti pendaftaran tanah adat, kedudukan tanah adat dan yang paling penting yaitu terkait dengan penyelesaian sekiranya terjadi sengketa dalam perkara tanah adat.

Berdasarkan undang-undang dan peraturan yang disebut di atas, maka sudah cukup memberi kita suatu gambaran bahwa masyarakat dan hukum adat adalah dua elemen yang mendapat pengiktirafan oleh negara Indonesia. Perkara yang sama juga dapat kita lihat dalam perundang-undangan di Malaysia umumnya dan Negeri Sembilan khususnya yang diiktiraf keberadaanya.

52 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( 24 September 1960: Jakarta).

44

B. Perbedaan Undang-Undang Tanah Adat Di Negeri Sembilan Dan Minangkabau

Apabila diteliti seluruh undang-undang terkait tanah adat bagi Negara Republik Indonesia dan Malaysia maka, timbul pertanyaan apakah antara keduanya terdapat perbedaan yang boleh dijadikan sebagai satu objek perbandingan? Maka, dalam meneliti perundangan antara keduanya, kedua negara telah mengalami revolusi dalam perundangan tanah secara khususnya. Senario perubahan pentadbiran tanah maupun di Malaysia adalah terlebih banyak dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada era dan zaman kolonial dan setelah era kolonial. Berbeda dengan Republik Indonesia, di mana sistem manajemen tanahnya dapat diteliti dengan perode zaman sebelum reformasi dan juga setelah terjadinya reformasi.53

Di Malaysia ketika mana era kolonial, peruntukan istitusi informal meletakkan suatu ketetapan atau kebiasaan bahwa tujuan tanah pusaka itu adalah berbasis untuk memberi azas ekonomi sekadar meneruskan kehidupan seharian; sawah, dusun buah-buahan dan rumah tiang empat batang. Secara tuntasnya, terjadi perubahan atau revolui dalam sistem manajemen tanah adat di Malaysia yang bercirikan institusi informal lewat kata perbilangan, pepatah dan lainnya. Namun sebaik sahaja Inggeris mulai mengasai Tanah Melayu, maka mereka telah merubah institusi informal tersebut dengan mewujudkan enakmen tanah adat yang sehingga hari ini masih dipakai.54 Perubahan tersebut dapat diringkaskan seperti tabel di bawah :55

53 Azima Abdul Manaf dan Junaenah Sulehan, Masalah Dan Cabaran Tanah Adat Minang Di Dunia Melayu Malaysia Dan Indonesia ,hlm.79.

45

Tabel 2 Perubahan Sistem Perundangan Tanah

Era pra-kolonial Era kolonial

 Pentadbiran tanah  Pentadbiran tanah adat Kuasa inggeris bersifat informal lebih bersifat formal memperkenalkan sistem  Tanah milik  Tanah milik kerajaan pentabdiran tanah yang bersama ( dikenakan cukai ) bersifat formal  Tanah kepunyaan  Wjud perundangan suku bertulis seperti  Tiada bukti Enakmen Pemilikan kepemilikan tanah 1909, Enakmen  Tiada perundangan pemilikan tanah adat bertulis 1926 dan lainnya  Masyarakat hidup  Masyarakat hidup atas atas dasar muafakat konsep individu

Sepertimana yang berlaku di Tanah Melayu ( Malaysia), semasa berada dibawah jajahan serta taklukan kuasa asing, Belanda telah merangka undang- undang tanah yang dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria dan tidaklah wujudnya undang-undang ini pada ketika itu melainkan bagi kepentingan Belanda. Hal yang demikian telah menyebabkan terjadinya penentangan dari ninik mamak di Minangkabau kerana undang-undang ini akan berakhir kepada tanah adat yang akan lenyap. Perkara ini amat bertentangan dengan pegangan adat bahwa semua tanah itu ada yang menjadi pemiliknya kareana disebutkan “tanah nan sebingkah, rumpuik nan saholai udah ada yang punya”.56

Setelah memperoleh kemerdekaan, pada 17 Agustus 1945, Negara Republik Indonesia telah membentuk undang-undang tanah yang baharu dalam Undang-Undang Pokok Agraria melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Menurut peraturan baru ini, peruntukan terhadap adat itu telah disesuaikan dan disempurnakan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang moden dan sosialisme. Sekitar pada tahun 1966 sehingga 1978 (pemerintahan orde-baru), pemerintahan nagari tidak mengalami sebarang bentuk perubahan, bahkan masih

56 Azima Abdul Manaf Dan Junaenah Sulehan, Masalah Dan Cabaran Tanah Adat Minang Di Dunia Melayu Malaysia Dan Indonesia ,hlm. 80.

46

diakui sebagai kuasa yang berwenang dalam mengatur penduduk lokal Minangkabau. Namun begitu pada tahun 1979, pemerintahan nagari telah diubah kepada pemerintahan desa seperti yang terdapat dalam undang-undang nomor 5 tahun 1979. Hal yang demikian telah memberi dampak terhadap tradisi orang Minang.57 Adapun perkara seperti ini tidak berlaku di Negeri Sembilan apabila kedudukan tertinggi dalam pemerintahan Negeri Sembilan adalah kewenangan Yang Di-Pertuan Negeri Sembilan.

Perubahan daripada pemerintahan nagari kepada pemerintahan desa berlaku bermula 1 Agustus 1983. Corak pemerintahan ini berasal daripada tradisi Jawa yang mana dikepalai oleh seorang Kepala desa. Pemerintahan desa yang berjalan bermula tahun 1983 secara khususnya telah menimbulkan berbagai dampak terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat. Dikatakan bahwa pemerintahan bercorak desa ini telah menyebabkan falsafah adat masyarakat Minangkabau yaitu „Adat Basandi Syarak, Syarak Besandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Memakai, Alam Takambong Jadi Guru’ mengalami situasi degradasi. Batas-batas nagari juga mulai terpecah walaupun kita mengetahui bahwa salah satu syarat adanya wilayah suatu nagari, yaitulah mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu. Dalam memahami perbedaan antara corak pemerintahan desa dan pemerintahan nagari,maka dapat simpulkan seperti jadwal berikut:58

Tabel 3

Perbedaan sisem pemerintahan desa dan nagari

Sistem Pemerintahan Desa Sistem Pemerintahan Nagari

1.Kepala desa beserta aparaurnya 1.Mengembalikan citra kegotong mendominasi kehidupan masyrakat. royongan dan kebersamaan bagi meningkatkan kesejahteraan nagari 2. Beberapa desa menjadi mapan

57 Donny Michael, Revilitasi Sistem Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Undang- Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Di Provinsi Sumatera Barat (Indonesia).hlm 22. 58 Susi Fitria Dewi, Konflik Dalam Pemerintahan Nagari: Penelitian Di Nagari Padang Sibusuk Kabupaten Sawahlunto Sijunjung Sumatera Barat (Indonesia). hlm.63.

47

karena ada bantuan desa. 2.Disatukannya potensi pemimpin formal dan informal dalam 3. Lebih cepat mendapat layanan pemerintahan pemerintah 3.Disatukannya masyarakat 4. Tidak melibatkan pemimpin informal berdasarkan historis, sosial,budaya dan dalam mengambil keputusan ekonomi. menyangkut hajat hidup orang banyak. 4. Lebih dituntut kreatifitas dan inisiatif 5. Masyarakat kurang dilibatkan dalam aparatur Nagari dalam masyarakat. pembangunan. 5.Pembangunan lebih merata dan 6. Adat istiadat kurang terindahkan ditentukan sendiri oleh pemerintah 7. Banyak pembangunan fisik yang Nagari bersama masyarakat. tidak bermanfaat.

Menyentuh berkait dengan aturan undang-undang tanah bagi kedua negara, maka secara umumnya kedua negara ini mengiktiraf yang namanya masyarakat Minangkabau dan hukum adat. Hal ini jelas terkandung dalam Perlembagaan Persekutuan dan Negeri ( Federal Constitution And State Constitution), Kanun Tanah Negara 1965. Begitu juga bagi Negara Republik Indonesia menurut Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 melalui pasal 18B ayat 2. Aturan seperti di atas telah menjadi satu bentuk undang-undang yang menghormati pengamalan aturan hukum adat selagi mana aturan tersebut tidak menyalahi prinsip prinsip negara. Adalah menjadi kebebasan bagi masyarakat Minangkabau bagi kedua negara yaitu Malaysia dan Indonesia untuk hidup dan menegakkan aturan hukum adat mereka yang dipercayai telah diamalkan sejak ratusan tahun yang lalu. Di Malaysia khususnya, dengan terbinanya aturan ini seperti yang disebut dalam Fasal 32 Perlembagaan Persekutuan telah menyatakan peruntukan khusus pengamalan adat serta kelaziman dan perntukan perlembagaan negeri yang dipraktikkan pada masa terdahulu selagimana ia tidak bersalahan dengan peruntukan perlembagaan negeri.

48

Perkara ini telah meletakkan sistem Adat Perpatih di Negeri Sembilan dalam posisi yang terpelihara dan seluruh tanah adat yang wujud di Negeri Sembilan harus ditadbir dengan baik dan sistematik agar rasional ataupun objektif keberadaan tanah adat itu dapat dikekalkan kelebihannya sehingga dapat dimanfaatkan dari generasi kepada generasi yang lain. Dalam Kanun Tanah Negara juga melalui dua seksyen yaitu Seksyen 4 Dan Seksyen 340, jelas menyebut tentang tanah adat, di mana menurut Seksyen 4 telah memperuntukkan kedudukan tanah adat sebagai satu perundangan yang berkuatkuasa terkait dengan pemegangan secara adat dan kanun ini tidak boleh menyetuh peruntukan- peruntukan berhubung tanah adat. Begitu juga dengan Sekyen 340, di mana menyatakan kepentingan terhadap pendaftaran ke atas hakmilik atau kepentingan yang tidak boleh disangkal atau dipersoalkan kecuali dalam beberapa situasi.59

Bagi Republik Indonesia, kewujudan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Pokok Pokok Agraria di Republik Indonesia juga pada satu sisinya menghormati Hukum Agraria sebagai hukum adat. Di dalam hukum ini disebut bahwa:

“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan hukum agama”60

Namun disisi yang lain, apabila diteliti maka, eksistensi hukum adat itu terkait hak-hak atas tanah berada di bawah kekuatan hukum nasional tanpa menafikan bahwa hak atas tanah berdasarkan hukum adat itu diakui sepanjang masih hidup dan tidak menyalahi perundang-undangan.61 Tidak mustahil perkara

59Kanun Tanah Negara 1965 (akta 56/1965) Percetakan Maziza Sdn Bhd ( Kuala lumpur:1992).hlm 323. 60 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Indonesia). 61 Aermadepa,, Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Dalam Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian, hlm.607.

49

ini akan menjadi penghalang kepada kuasa adat apabila berhadapan dengan kepentingan negara serta pembangunannya.

Hal yang sama terjadi di Malaysia dengan adanya peruntukan Enakmen Pemegangan Adat bab 215 ( Epa hapt 215 ). Di bawah enakmen ini, maka setiap tanah adat seharusnya didaftarkan dan tanah tersebut akan dicatat sebagai customay land. Seluruh tanah di Negeri Sembilan yang berstatus tanah adat dan telah dicatat sebagai customary land perlu ditadbir, diurus dan diwariskan mengikut peraturan adat. Namun begitu, tanah adat yang tidak diregestrasi sebagai customary land adalah tidak tertakluk dengan aturan hukum adat dan ini pada sisi adat adalah bertentangan. Perkara ini secara umumnya telah membawa dua dampak terhadap institusi masyarakat Adat Perpatih di Negeri Sembilan. Dalam satu sisi, Enakmen Pemegangan Adat Bab 215 ini telah memberi peluang kepada undang-undang kolonial British bertambah kukuh demi kepentingan mereka tertamanya apabila mereka memperkenalkan sistem cukai ke atas tanah adat dan bahwa dengan terdaftarnya tanah tersebut, maka kewajiban cukai bagi tanah tersebut harus dilaksanakan oleh pemilik.

Dampak kedua adalah dilihat terhadap masyarakat Adat Perpatih di Negeri Sembilan. Hal ini telah menyebabkan pemegangan masyarakat adat terhadap adat mereka longgar. Kepentingan tanah adat sebagai pemilikan tetap anggota suku mulai longgar dan tidak penting bagi seluruh anggotanya setelah mana berhadapan dengan perkenalan sistem yang dibawa oleh kolonial british ini. Pemerintahan British ini telah berdampak kepada berubahnya konsep pemilikan secara suku kepada yang bersifat individu. Prinsip asal tanah adat yaitu pemilikan secara bersama termasuklah mengusahakannya secara bersama mulai hilang dampak dari sistem geran yang memacu ke arah individu sehingga tanah tersebut dapat digunakan sesukanya sehingga lenyapnya norma kehidupan masyarakat adat.

50

Nama pemilikan bersifat individu ke atas pendaftaran sesebuah tanah adat telah menjadi kesan pertembungan antara hukum adat dan undang-undang. Kecenderungan tanah adat atas nama perorangan telah melucutkan pemilikan bagi suku. Bagi Republik Indonesia, melalui undang-undang nomor 5 tahun 1960 telah membolehkan seseorang yang memiliki tanah mendapatkan bukti kepemilikan yaitu sertifikat tanah. Dasar proyek nasional (PRONA) yang diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia juga membuka peluang kepada pemilik tanah untuk meregistarasi tanah mereka tanpa dikenakan sebarang biaya oleh pemerintah. Hal ini mendorong ramai pemilik untuk segera mendaftarkan tanah mereka supaya mendapat jaminan hukum.62

Namun begitu lain yang terjadi, di Sumatera Barat yang mempunyai wilayah yang disebut sebagai nagari. Hal yang deikian karena, dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 ,pasal 1 ayat (5) yang dimaksud dengan nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari suku dan kumpulan suku mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu. Peraturan Daerah ini menjelaskan bahwa tanah ulayat itu adalah di bawah penguasaan ninik mamak Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan bahwa tanah ulayat atau adat tersebut, dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya.63 Maka kita mengetahui bahwa sesebuah tanah ulayat adalah milik sesuah anggota suku yang tidak boleh diperjual beli kepada mana-mana pihak melainkan atas beberapa faktor yang telah menjadi ketetapan dalam adat Minangkabau.

Adapun di Malaysia, kepastian hukum ini adalah sama, di mana dalam pendaftaran tanah adat menggunakan penama yang dianggap sebagai kepala suku, maka ada dicatat di atas sertifikat tersebut “tanah adat”. Dengan adanya tercatat kalimat tanah adat, terjadi sedikit sekatan atau halangan bagi penama untuk

62 Azima Abdul Manaf dan Junaenah Sulehan, Masalah Dan Cabaran Tanah Adat Minang Di Dunia Melayu Malaysia Dan Indonesia ,hlm. 82. 63http://pta-jambi.go.id/11-artikel/2013-kepastian-hukum-bagi-tanah-ulayat masyarakat-minangkabau-di-sumatera-barat-10-12-2014 yang diakses pada 11 Agustus 2019

51

bertindak meyalahi ketentuan seperti memperjual beli tanah tersebut. Perkara ini ditambah lagi ketentuan adat bahwa perlunya untuk mendapatkan izin daripada Dato‟ Lembaga dan semua penama yang ada.64

Di bawah seksyen 4(i), EPA Bab 215, pentadbir tanah itu diberi kewenangan dalam mencatat „customary land‟ bagi mana mana tanah yang diduduki atau yang dijaga menurut hukum adat. Dokumen kepemilikan itu hendaklah dokumen yang dikeluarkan dari dokumen hakmilik pejabat tanah dan bukannya dari pendaftar geran. Ini ditambah dengan seksyen 6, EPA Bab 215 yang menghalang pemindahan hak kepemilikan ke atas tanah adat oleh pihak berkuasa negeri. Menurut seksyen 7 dalam EPA bab 215 pula, tanah adat tidak boleh dipindah milikan atau dipajak kecuali kepada mana-mana anggota perempuan daripada suku yang dua belas. Dalam hal ini juga, Dato Lembaga kepada suku berkenaan hendaklah mengetahui dan mempersetujuinya.65

Walaupun dalam kita melihat bahwa tanah adat itu tidak boleh dicagarkan kepada selain daripada suku, namun kewujudan Enakmen Tanah Adat (Pindaan) 1983 seakan menyalahinya. Menurut undang-undang ini, tanah adat dapat dibangunkan dengan membenarkan tanah adat untuk dicagarkan kepada pentadbir tanah daerah, badan kewangan dan juga badan-badan yang diakui pemerintah bagi tujuan pembangunan.66 Perkara ini seakan menjadi satu gambaran bahwa institusi adat di Malaysia tidak lagi mampu menegakkan autoriti atau kuasa mereka apa bila kuasa itu dihalang dengan berbagai ketetapan baru daripada pihak pemerintah.67 Situasi sedemikian telah menjadi punca kepada persepsi sesetengah masyarakat bahwa sistem adat tidak dapat memenuhi kebutuhan sejalan dengan

64 Ibid,hlm. 84. 65 Izawati Wook, dkk, Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Undang-Undang, Pelaksanaan Dan Realiti ,Fakulti Syariah dan Undang-undang, Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) 2017. hlm 3. 66 Abdul Hamid Abd Murad, dkk,Pembangunan Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Halatuju Dan Cabaran Customary Land Development In Negeri Sembilan: Its Way Forward And Challenges,hlm.5. 67 Izawati Wook, dkk,Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Undang-Undang, Pelaksanaan Dan Realiti Fakulti Syariah dan Undang-undang, Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) 2017. hlm 7. .

52

perubahan zaman apabila dengan mudahnya diwujudkan perundang-undangan baharu yang bersifat mempunyai kepentingan bagi pemerintah.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah diadakan pembahasan dan penguraian terkait undang-undang tanah adat di Negeri Sembilan : Sejarah Asal-Usul Dan Perkembangannya, maka dapatlah penulis mengambil beberapa kesimpulan seperti yang berikut :

1. Adat Perpatih merupakan satu amalan masyarakat yang berpandukan kepada peraturan hidup berkomunitas yang merangkumi pelbahgai aspek kehidupan seperti politis, ekonomis serta perundang-undangan. Tradisi Minangkabau yang mulai masuk ke Tanah Melayu seawal abad ke- 13,amat mementingkan keadilan dan konsep muafakat merupakan suatu tradisi yang selayaknya mendapat keistimewaan yang tersendiri hingga adat itu dapat diwariskan dan dikenalkan kepada generasi yang seterusnya. Kedatangan masyarakat Minangkabau ke Tanah Melayu telah membawa erti yang besar terhadap masyarakat asli Tanah Melayu terutamnya dalam corak kehidupan yang lebih bersistem dan teratur. Konsep individualitas yang diketepikan oleh masyarakat Minangkabau telah menyebabkan meraka mampu bermuafakat dan hidup dalam suasana yang harmonis. Dalam bab pewarisan tanah adat, maka kita mendapati bahwa adat ini mempunyai ketetapannya yang tersendiri di mana ia diwarisi dari nenek moyang terus kepada ibu dan anak-anak perempuan yang tidak menafikan hak bagi anak lelaki dalam memanfaatkannya walau secara adat nama anak tidak boleh diletakkan sebagai sebagian dari penama bagi sesuah tanah. 2. Dalam perbahasan terkait tanah adat Malaysia-Indonesia, perlu kita sedari bahwa dalam konteks dunia Melayu, keduanya mempunyai peruntukan dalam usaha memperjuangkan eksistensi dan ketinggian adat Minangkabau serta tanah adat. Bagaimanpun penjajahan kuasa asing telah membawa perubahan yang besar terhadap institusi adat yang telah diwarisi

53

54

turun temurun ini. Dengan kedatangan kuasa asing tersebut, amalan dan tradisi tanah adat mulai diubah. Kalau dahulunya tanah secara murni ditabdir mengikut adat, namun setelah dijajah kuasa asing, tanah adat tidak lagi dinikmati manfaatnya oleh masyarakat Minangkabau. Jika, dahulunya kepimilikan sesebuah tanah adalah milik bersama, namun semuanya terkesan apabila wujudnya undang-undang untuk mendaftar tanah adat kepada pemerintah dengan diletakkan atas nama individu. 3. Walaupun terdapat perbedaan kecil dalam aturan tanah adat di Negeri Sembilan dan di Minangkabau, namun kita mendapati bahwa keduanya masih meletakkan tanah adat sebagai suatu perkara yang patut di kekalkan. Maka dengan itu telah ada berbagai aturan yang diwujudkan dalam memastikan eksistensi tanah adat. Namun begitu, perubahan sistem pemerintahan yang berubah daripada nagari kepada desa telah memberi dampak terhadap kewenangan adat dalam mengatur urusan yang terkait dengan adat. Bagi Negeri Sembilan selain isu pendaftaran tanah atas penama individu yang telah memungkinkan penama tersebut untuk mencagar, memungut hasil dan menerima pampasan atas tanah tersebut lalu kesemuanya digunakan atas kepentingan peribadi, masalah persepsi negatif masyarakat terhadap Adat Perpatih turut terjadi. Perkara ini amat jelas berlaku apabila adanya tanah adat yang dibiar tanpa diusahakan. Bahkan terdapat daripada kalangan pewaris bahkan masyarakat yang memandang negatif terhadap Adat Perpatih dengan mengatakan bahwa adat ini bersalahan dengan hukum Islam, tanpa memahami prinsip dan tujuan sebenar tanah adat dalam adat Minangkabau. Walaupun pada satu sisi, kita melihat sistem pentadbiran tanah yang diperkenalkan di Malaysia dan Indonesia ke atas tanah adat bersifat lebih sistematik dan tersusun, namun perlu disadari bahwa ia telah menghadkan kuasa adat dalam mentadbir tanah adat. Kepala-kepala adat seperti Dato‟ Lembaga dan penghulu berkurang dan hanya berwenang terhadap hal ehwal adat dan agama.

55

B. Saran-saran

Daripada pembahasan serta kesimpulan yang telah dikehadapankan, maka di sini penulis ingin menyarankan beberapa perkara yang boleh diaplikasikan seperti yang berikut :

1. Dalam memastikan eksistensi tanah adat terus dikekalkan, maka terdapat beberapa saran yang mungkin dapat diaplikasi dalam mencapai tujuan ini. Adapun yang pertamanya, masyarakat Minangkabau terutamanya di Malaysia perlu sedar dan cuba dalam memahami yang dinamakan dengan adat Minangkabau. Mereka adalah terlebih awal perlu memahaminya dalam membenarkan semula persepsi mereka terhadap adat yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Sekiranya bukan mereka yang terlebih dulu mendidik diri bagi memahami perkara ini, maka siapa lagi yang akan memperjuangkan warisan ini. Mana mungkin juga mereka mampu mempertahankan warisan ini sekiranya mereka tidak mampu memahami adat minangkabau ini terutamanya dalam perkara terkait tanah adat. 2. Pemahaman yang benar terhadap tanah adat juga begitu penting dalam memastikan setiap generasi dalam sesebuah suku dapat mengambil manfaat daripada pewarisan tanah adat. Bahkan hal yang demikian penting supaya tiada lagi tanah adat yang ditinggal tanpa diusahakan oleh para pewaris yang mana kesemuanya dampak dari prihatinnya mereka terhadap kepentingan tanah adat ini dalam adat minangkabau yang mana tujuannya adalah luhur dalam memastikan keturunan bagi suatu suku itu dapat meneruskan kehidupan dengan dimanfaatkan sebaiknya sesebuah tanah adat itu. 3. Daripada sisi perundang-undangan maka adalah sukar apabila kita katakan bahwa perlu dimansuhkan setiap perundangan yang telah wujud terkait tanah adat dalam memastika tanah adat terpelihara prinsipnya. Namun di sini, pemerintah seharusnya meneliti kembali undang-undang sedia ada dan menambah baik peraturan tersebut dengan dilakukan atas nasihat dan petunjuk daripada orang memahami perjalanan adat Minangkabau supaya

56

peraturan tersebut dalam masa yang sama memelihara kepentingan kedua belah pihak yaitu pemerintah dan masyarakat Minangkabau.

C. Kata Penutup

Segala puji bagi Allah SWT tuhan sekalian alam atas taufik dan hidayahNya dapatlah penulis menyelesaikan penulisan yang sangat sederhana semampunya walau banyak halangan, hambatan serta rintangan yang telah penulis tempuhi. Namun begitu hal tersebut bukanlah suatu penghalang yang melemahkan penulis daripada berhenti dalam meneliti melainkan sebagai motivasi dan semangat agar terus bangkit hingga keberhasilan mampu dicapai.

Dalam penulisan yang sederhana ini, penulis menyedari bahwa skripsi ini adalah jauh daripada kesempurnaan. Terdapat banyak kekurangan serta kelemahan yang masih memerlukan kepada pembaikan. Oleh yang demikian, penulis dengan rendah hati menerima sebarang kritikan, saran maupun cadangan dalam usaha mewujudkan suatu penulisan pada masa hadapan supaya dapat menyampaikan maksud dan tujuan sesebuah penulisan kepada para pembaca seterusnya membina wawasan terhadap apa yang menjadi pokok perbahasan dalam sesebuah penulisan.

Semoga Allah SWT memberikan kebaikan sebanyaknya dan pahala berganda ke atas semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu dalam menyempurnakan penulisan ini. Semoga allah memberikan taufiq dan hidayahnya kepada kita semua dan memasukkan kita semuanya dalam syurgaNya kelak. Aamiin ya rabbal Alamin.

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Edison, Nasrun, Tambo Minangkabau : Budaya Dan Hukum Adat Di Minangkabau , Kristal Multimedia ( 2010).

Mestika Zed, “Hubungan Minangkabau Dengan Negeri Sembilan” Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang, (Indonesia: 2010).

Oong Hak Ching, Penggubalan Dasar British Terhadap Tanah Melayu Semasa Perang Dunia Kedua.

Rais Yatim, Adat The Legacy Of Minangkabau,Yayasan Warisanegara Cetakan MPH Group Printing (Malaysia:2005).

Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat : Dahulu, Kini Dan Akan Datang, PT Kharisma Putra Utara, 2014.

Yuliandre Darwis, Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau (1859- 1945) , PT Gramedia Pustaka Utama ( Jakarta:2013)

B. Jurnal, Skripsi, Disertasi

Abdul Hamid Abd Murad, YM Raja Raziff Raja Shaharuddin, Resali Muda, Ahmad Zaki Salleh, Ahmad Wifaq Mokhtar, Md Yunus Abd Aziz, Hisham Sabri dan Nurul Hidayah Ibrahim ,Pembangunan Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Halatuju Dan Cabaran Customary Land Development In Negeri Sembilan: Its Way Forward And Challenges Azima Abdul Manaf dan Junaenah Sulehan, Masalah Dan Cabaran Tanah Adat Minang Di Dunia Melayu Malaysia Dan Indonesia

Abdul Hamid Abd Murad, YM Raja Raziff Raja Shaharuddin, Resali

Muda, Ahmad Zaki Salleh, Ahmad Wifaq Mokhtar, Md Yunus

Abd Aziz, Hisham Sabri dan Nurul Hidayah Ibrahim

,Pembangunan Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Halatuju Dan

Cabaran Customary Land Development In Negeri Sembilan: Its

Way Forward And Challenges

Aermadepa,Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum

Adat Minangkabau Dalam Pelaksanaan Gadai Tanah

Pertanian.

Fitrianto, “Pemilikan Tanah Menurut Adat Minangkabau Dalam

Perspektif Hukum Islam” (Studi Di Desa Penampuang Puhun),

Fakultas Syariah Institut Islam Negeri Al Jami‟ah Al Islamiyyah

Al-Huumiyyah Sunan Kalijaga (Yogyaarta: 2001).

Hendun Abd Rahman Shah, Adziah Yaakob, Suraiya Osman, Abidah

Abd Ghafar, Norfadhilah Mohd Ali, Farah Salwani Muda, Dina

Imam Supaat, Syahirah Abdul Shukor, Arif Fahmi MdYusof Dan

Normala Basir, “Dinamika Undang-Undang Tanah Adat Di Negeri

Sembilan:” Kajian Perkembangan Dan Isu Undang-Undang

(Fakultas Syariah & Undang-Undang, Universiti Sains Islam

Malaysia (USIM), 2017.

Izawati Wook, Nawal Sholehuddin, Nurfadhilah Che Amani, Siti Selihah

Che Hassan, Azman Ab. Rahman, Mohamad Zaharuddin

Zakaria, Syed Mohd Najib Syed Omar, Lukman Abdul

Mutalib, Nabilah Yusof, Syaryanti Hussin, Che Zuhaida Saari,

Ahmad Anis Muhd Fauzi, Tengku Mansur TengkuZainal Abidin,

“Tanah Adat Di Negeri Sembilan: Undang-Undang,

Pelaksanaan Dan Realiti”, Fakultas Syariah dan Undang-

undang, Universiti Sains Islam Malaysia (Malaysia : 2007).

Kurnia Warman , Hengki Andora, “Pola Hubungan Hukum Dalam

Pemanfaatan Tanah Ulayat Di Sumatera Barat”, Bagian Hukum

Agraria dan Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum

Universitas Andalas, Padang Kampus Limau Manis,Padang,

Sumatera Barat (Indonesia).

Makiah Tussaripah Hj Jamil, Jamaliah Mohd Taib “Kajian Adat

Perpatih Di Negeri Sembilan: Satu Tinjauan Menurut

Perspektif Islam”, Universiti Teknologi MARA (UiTM)

Cawangan Kampus Kuala Pilah (Malaysia)

Sengketa Gadai Tanah Pusaka Tinggi Di Kelurahan Binuangkampung

Dalam, Kecamatan Pauh,Kota Padang Berdasarkan Putusan

Nomor: 56/Pdt.G/2015/Pn.Pdg Pengadilan Negeri Klas Ia Padang

(Indonesia).

Rabiah Muhammad Serji, “Sistem Torrens Dalam Undang-Undang Tanah Di Malaysia : Sistem Yang Tidak Ekslusif”, Fakulti Syariah Dan Undang-Undang, Kolej Universiti Islam Selangor (Malaysia).

Rahilah Omar Dan Nelmawarni, Negeri Sembilan: Minangkabau Di Semenanjung Tanah Melayu

Susi Fitria Dewi, Konflik Dalam Pemerintahan Nagari: Penelitian Di Nagari Padang Sibusuk Kabupaten Sawahlunto Sijunjung Sumatera Barat. Rosiswandy Bin Mohd Salleh, Sejarah Pengamalan Adat Perpatih Di Negeri Sembilan, Muzium Adat. Victor Emanuel Perlindungan Hukum Atas Tanah Adat Dalam Kaitan DenganPemberian Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang Wan Kamal Mujani Sistem Federalisme Dalam Adat Perpatih Di Negeri Sembilan Department Of Arabic Studies And Islamic Civilization, Faculty Of Islamic Studies, Universiti Kebangsaan Malaysia (Malaysia)

C. Undang-Undang

Kanun Tanah Negara 1965 (Akta 56/1965) Percetakan Maziza

SDN BHD ( Kuala Lumpur:1992).

Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor : 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya.

Perlembagaan Persekutuan ( Pindaan Akta 1260/2016 Malaysia). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Poko Agraria. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

D. Internet

http://pta-jambi.go.id/11-artikel/2013-kepastian-hukum-bagi-tanah-

ulayat masyarakat-minangkabau-di-sumatera-barat-10-12-2014.